Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

Revolusi teknologi baru-baru ini telah membawa perubahan yang konsisten dalam
modern tempat kerja. Istilah “teknologi informasi dan komunikasi” (TIK) adalah kombinasi
darikomputer, telekomunikasi dan teknologi media (Bradley, 2000). Meluasnya penggunaan
Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) telah menyebabkan peningkatan kondisi kerja di
semua sektor, serta memungkinkan untuk mempercepat proses dan cara tertentu, memfasilitasi
komunikasi dan secara eksponensial meningkatkan produktivitas, sehingga membuat pekerjaan
orang lebih mudah. Dengan mengadopsi TIK, organisasi telah melakukan perubahan dalam
beberapa aspek, termasuk organisasi, struktur dan perilaku, proses bisnis, dan cara interaksi yang
berubah di antara karyawan dan antara individu dan organisasi (Ragu-Nathan, Tarafdar,Ragu-
Nathan, & Qiang, 2008).
Revolusi Industri 4.0 merupakan fenomena yang berkolaborasi dengan teknologi siber
dan teknologi otomasi (Pratiknyo, 2020). Normalitas lain yang mulai terbentuk adalah
pergeseran mekanisme pelayanan publik, kegiatan ekonomi, dan bisnis proses industri yang
semuanya mengadopsi teknologi digital (Mckinsey & Company 2020). Diperparah dengan
wabah covid 2019 yang menyebar ke seluruh dunia yang disebut dengan kondisi pandemi.
Revolusi saat ini akan mengalami pergeseran yang sangat pesat dan perkembangan disrupsi akan
menyesuaikan kebutuhan dan perilaku konsumen yang harus menyesuaikan dengan situasi
pandemi (Darwin, 2020).
Hal ini telah menghasilkan beberapa manfaat yang signifikan bagi organisasi dalam hal
pengurangan biaya operasional, penghematan tenaga kerja, proses yang lebih baik, efisiensi dan
produktivitas kerja yang lebih tinggi (Dos Santos & Sussman, 2000). Namun, semakin banyak
studi penelitian menunjukkan aspek negatif dari kemajuan teknologi (Fisher & Wesolkowski,
1999; Heinssen, Glass, & Knight,1987). Seiring dengan manfaat bisnis yang jelas, TIK juga
dapat menghasilkan reaksi individu yang negatif dan menuntut karyawan untuk menyesuaikan
diri dengan berbagai cara (Tarafdar, Tu,Ragu-Nathan, S., & S., 2007). Misalnya, karyawan
mungkin harus terus memperbarui keterampilan teknis mereka dan beradaptasi dengan sistem
yang lebih rumit untuk mengikutikemajuan pesat TIK. Persyaratan ini dapat mengakibatkan
karyawan menghasilkan kognisi negatif terhadap TIK (Heinssen et al., 1987).
Oleh karena itu aliran penelitian yang berkembang, sekarang juga berfokus pada digital
stress sebagai efek samping dari peningkatan ekonomi dan prevalensi TIK di masyarakat (lihat,
misalnya, ulasan oleh Fischer dan Riedl, 2017; Agogo dkk., 2018; La Torre dkk., 2019; Benzari
et al., 2020), yang sejalan dengan seruan sebelumnya untuk lebih lanjut investigasi ke dalam
manfaat tidak berwujud dan biaya TIK (misalnya, Brynjolfsson dan Hitt, 2000). Dalam aliran
penelitian ini, fokus utama adalah pada penggunaan TIK di tempat kerja (Agogo et al., 2018; La
Torre et al., 2019) dan metode pengumpulan data utama adalah kuesioner laporan diri (Fischer
dan Riedl, 2017) Penggunaan TIK tampaknya menciptakan stres pada beberapa individu.
Fenomena ini sebelumnya dikenal sebagai "technostress". Stres seperti itu dialami oleh individu
yang tidak mampu mengatasi tuntutan penggunaan TIK organisasi (Tarafdar, Tu,& Ragu-
Nathan, 2010).
Steele, Hall dan Christofferson (2019), melakukan tinjauan terhadap berbagai penelitian
tentang stres yang diakibatkan penggunaan internet dan perangkat pintar. Setidaknya ada empat
komponen stres digital yang masih sulit dicarikan padanan istilah yang paling tepat di bahasa
Indonesia. Ada availability stress (tekanan untuk harus selalu ada dalam jaringan), approval
anxiety (perasaan cemas terkait kebutuhan untuk diterima), fear of missing out (rasa takut akan
hilang atau tertinggal), serta communication overload (berkelebihan beban komunikasi).
Karyawan selalu terhubung melalui email, telepon, dan Internet. Individu mungkin
merasa bahwa mereka selalu “siap siaga” dan kehilangan kendali atas waktu dan ruang mereka
sendiri, dan selalu menciptakan "urgensi" (Brillhart, 2004). Situasi seperti ini mungkin bisa
membuat karyawan merasa stres. Kedua, karyawanter kadang tampak kewalahan oleh informasi
dari berbagai sumber sebagai bagian dari pekerjaan mereka (Tarafdar, Ragu-Nathan, Ragu-
Nathan, & Tu, 2005). Hal ini memaksa mereka untuk bekerja lebih keras dan lebih cepat untuk
mengatasi tuntutan pekerjaan. Ketiga, pengenalan teknologi baru atau sistem yang sering datang
dengan perampingan organisasi. Sehingga karyawan merasa terancam digantikan oleh TIK yang
kompleks (Bradley,2000). Semua situasi yang di atas berpotensi mengurangi kepercayaan dan
kepuasan karyawan secara keseluruhan tentang penggunaan TIK. Mereka kemudian mungkin
mulai merasa tidak aman dan memiliki keengganan untuk menggunakan sistem baru. Selain itu
juga mendorong karyawan untuk terus memperbarui keterampilan di bawah tekanan dari sistem
yang rumit (Bradley, 2000; Tarafdar, et al.,2010)
Tren pengembangan organisasi saat ini mengharuskan peningkatan tingkat
ketergantungan pengguna pada TIK (Tarafdar, et al., 2010) Karyawan mungkin harus terus-
menerus meningkatkan interaksi harian mereka dengan TIK, yang dapat memperburuk potensi
dampak negative penggunaan TIK pada individu. Oleh karena itu, sangat penting bagi karyawan
untuk puas dengan sistem yang mereka kerjakan dan mampu menggunakannya secara efektif
untuk memenuhi pekerjaan mereka, dan untuk memanfaatkan sistem untuk meningkatkan
produktivitas kerja (Huang, Yang, Jin,& Chiu, 2004). Peneliti sebelumnya telah menyarankan
bahwa technostress dapat menyebabkan penurunan kepuasan kerja terhadap teknologi, kinerja
buruk, mengganggu perilaku, komitmen rendah dan niat untuk meninggalkan tempat kerja
(Qiang, Kanliang,& Qin, 2005). Studi oleh S Carolan, et al., menunjukkan bahwa intervensi
stress digital melalui online discussion group mampu meningkatkan engagement pada karyawan.
Sangat penting untuk memahami fenomena technostress dan efek negatifnya pada tingkat
individu, serta dampak terhadap organisasinya. Gagasan tentang iklim inovasi yang nyata
sebagai pedang bermata dua danmenunjukkan bahwa mendorong inovasi teknologi secara
permanen juga harus dilihat dari sudut pandang potensi efek sampingnya. (Thomas Fischer and
Rene Riedl)

Salah satu sumber daya manusia pada perusahaan ialah karyawan. Hasibuan (2003)
menyatakan bahwa karyawan adalah setiap orang yang menyediakan jasa (baik dalam bentuk
pikiran maupun tenaga) dan mendapatkan balas jasa ataupun kompensasi yang besarannya telah
ditentukan sebelumnya. Karyawan menjadi salah satu aset penting dalam perusahaan yang dapat
merealisasikan tujuan dari perusahaan. Oleh karena itu, karyawan dituntut untuk dapat bekerja
secara produktif dan profesional, baik bekerja secara individual maupun bekerja dengan tim guna
pencapaian tujuan perusahaan. Selain karyawan, perusahaan juga perlu menyediakan lingkungan
kerja yang efektif agar karyawan dapat bekerja sesuai harapan perusahaan dan memastikan
bahwa karyawan engaged dengan perusahaan. Inisiatif inovasi harus menyeimbangkan
persyaratan organisasi dan individu untuk stay, atau become, lebih kompetitif, sehingga secara
eksplisit mempertimbangkan efek samping yang mungkin ditimbulkan oleh terlalu banyak
dan/atau terlalu cepat inovasi pada pengguna.

Kahn (1990) menyatakan bahwa individu dikatakan engaged ketika dapat menempatkan
diri mereka dan perannya di tempat kerja baik secara fisik, kognitif dan emosional. Adapun
Schaufeli et. al. (2002) menyatakan bahwa individu dengan work engagement sebagai keadaan
yang berhubungan dengan penyelesaian pekerjaan secara positif yang ditandai dengan vigor
(keberanian), dedication (dedikasi) dan absorpsion (penghayatan). Mujasih & Ratnaningsih
(2012) mengemukakan bahwa karyawan yang engaged pada pekerjaannya akan mampu berusaha
lebih keras untuk bekerja, memiliki rasa loyalitas pada perusahaan dan membuat karyawan
merasa bermakna dan menyatu dalam sebuah perusahaan ataupun organisasi yang pada akhirnya
meningkatkan kinerja di dalam perusahaan.

Fakta yang terjadi dibuktikan dengan beberapa hasil lembaga survei yang melakukan
pendataan terkait engagement di Indonesia yang menemukan bahwa angkatan kerja di Indonesia
didominasi oleh karyawan yang berada pada tingkat engagement yang rendah. Survei yang
dilakukan Dale Carnage Indonesia (2016) menyebutkan bahwa hanya 25% karyawan milenial di
Indonesia yang terlibat sepenuhnya (fully engaged) atau hanya 1 dari 4 pekerja, 66% partially
engaged dan 9% not engaged. Survei lain yang dilakukan oleh Gallup, inc (2016) menunjukkan
bahwa 80% pegawai di Indonesia dikategorikan not engaged di tempat kerja dengan rincian 13%
karyawan fully engaged, 76% not engaged dan 11% actively disengaged. Sebuah studi oleh
Puspitasari AS menyimpulkan dari hasil studinya bahwa karyawan milenial lebih rentan terhadap
kebosanan dalam pekerjaan rutin dan lebih sering menggenggam handphone untuk mengecek
media sosial yang dimiliki. Sehingga disela-sela pekerjaan yang mereka lakukan ketika merasa
sudah lama, para milenial bisa menghibur diri dengan media sosial dan hiburan lainnya di gadget
mereka. Disertasi yang dilakukan oleh Laura Harney menyimpulkan bahwa personalitas
memiliki peranan penting terhadap pengalaman technostress dan work engagement menguatkan
hubungan ini.

Survei lain mengenai work engagement karyawan yakni Global Workforce. Study (GWS)
yang dilakukan oleh Towes Watson (2012), menunjukkan bahwa dua pertiga karyawan yang ada
di Indonesia tidak memiliki hubungan yang kuat dan erat pada perusahaannya. Hal ini
dikarenakan 38% karyawan tidak memiliki ketertarikan dan kecenderungan akan meninggalkan
pekerjaan yang dijalani setelah bekerja selama 2 tahun. Oleh karena itu, dapat disimpulkan
bahwa presentasi karyawan Indonesia yang engage pada pekerjaannya tidak melebihi dari 35%.
Badan Pusat Statistik (2020) menyatakan bahwa saat ini Indonesia memiliki angkatan kerja
sebanyak 137,91 orang dan akan terus bertambah karena akan menghadapi bonus demografi
yang memungkinkan pertumbuhan pesat jika dilakukan oleh sumber daya manusia yang
memiliki skill memajukan pertumbuhan negara.

Salah satu sektor yang mulai menerapkan pemanfaatan teknologi dalam kehidupan
sehari-hari usaha dan kegiatannya adalah sektor ekonomi, termasuk BUMN yang merupakan
perseroan yang menggerakkan ekonomi di Indonesia. PT.X merupakan salah satu perusahaan
BUMN terbesar di kawasan Indonesia yang tersebar di seluruh provinsi. PT. X merupakan
BUMN yang mengemban tugas khusus memberdayakan usaha Mikro, Kecil, Menengah dan
Koperasi (UMKMK). Setiap karyawan di BUMN diharuskan memiliki kepemimpinan Digital
(Digital Leadership) dan mampu menetapkan kebijakan pemanfaatan teknologi (digital) sebagai
keunggulan kompetitif Perusahaan, menetapkan dan mengaplikasikan teknologi (digital) untuk
memperbaiki proses bisnis dan pelaksanaan pekerjaan dan memastikan implementasinya ,
mendorong pemanfaatan teknologi (digital) untuk meningkatkan nilai dan citra Perusahaan, serta
memperluas pasar dan produk sesuai keunggulan kompetitif yang dimiliki Perusahaan. Hal ini
menunjukkan bahwa penggunaan TIK pada PT. X sudah mendominasi para karyawan.

Dalam hal ini, karyawan pada PT. X didominasi karyawan yang berusia 18-22 tahun.
Dari penelitian sebelumnya yang memperlihatkan bahwa hanya 25% karyawan millennial yang
engaged dengan perusahaannya. Sehingga peneliti sangat tertarik untuk melihat korelasi antara
tingkat digital sress terhadap work engagement pada karyawan di PT. X di era digitalisasi saat
ini.

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan dan memvalidasi model
yang menganalisis efek dari faktor-faktor yang menciptakan digital stress/technostress, dan
menganalisa hubungannya dengan work engagement. Selain itu, penelitian ini juga
mengidentifikasi mekanisme yang berpotensi mengurangi efek negatif dari digital stress. Serta
meneliti bagaimana keterlibatan karyawan sebagai inhibitor digital stress mempengaruhi
technostress serta hasil organisasi.
Konsep berpikir:
 ICT berkembang
 ICT memberikan manfaat dan kemudahan
 Namun, ada studi yang melaporkan bahwa muncul masalah karena perkembangan
teknologi ini
 Penelitian ragu Nathan melaporkan bahwa anyak pekerja yang mengalami stres
saat menggunakan teknologi, yaitujuga disebut sebagai "technostress",
 Riset telah menemukan bahwa ini memiliki efek negatif yang signifikan pada
kesehatan fisik dan mental pekerja, dengan konsekuensi bagi organisasi. Ragu-
Nathan, Tarafdar, Ragu-Nathan, & Tu, 2008)
 Salah satu sektor yang mulai menerapkan pemanfaatan teknologi dalam
kehidupan sehari-hari usaha dan kegiatannya, adalah ekonomi.
 Salah Satu perusahaan perseroan di Indonesia adalah BUMN
 Setiap karyawan di BUMN Kepemimpinan Digital (Digital Leadership);
 Menetapkan kebijakan pemanfaatan teknologi (digital) sebagai keunggulan
kompetitif Perusahaan, dan memastikan implementasinya di seluruh Perusahaan.
 Menetapkan dan mengaplikasikan teknologi (digital) untuk memperbaiki proses
bisnis dan pelaksanaan pekerjaan di seluruh Perusahaan untuk meningkatkan
kinerja Perusahaan. Mendorong pemanfaatan teknologi (digital) untuk
meningkatkan nilai dan citra Perusahaan, memperluas pasar dan produk sesuai
keunggulan kompetitif yang dimiliki Perusahaan.
 Mendorong orang lain untuk mengenali informasi yang terkait dengan
perkembangan teknologi (digital), kapabilitas dan fitur-fitur kuncinya, serta
aplikasinya dalam berbagai situasi bisnis.
 Melakukan asesmen dan pengelolaan risiko yang menyeluruh atas pemanfaatan
teknologi digital pada proses bisnis strategis perusahaan.
 PT Permodalan Nasional Madani (Persero) pada 1 Juni 1999, sebagai BUMN
yang mengemban tugas khusus memberdayakan usaha Mikro, Kecil, Menengah
dan Koperasi (UMKMK).

 Sebuah badan penelitian yang muncul sedang menangani dampak teknologi pada
kesejahteraan dan kinerja karyawan (Berg-Beckhoff, Nielsen & Ladekjær Larsen,
2017; Tarafdar, Pullins& Ragu-Nathan, 2015). Karena keuntungan TIK,
karyawan berada di bawah tekanan karena merekadiharapkan untuk bekerja lebih
cepat dan lebih produktif, selalu dapat dijangkau dan terhubung (Wang, Shu &
Tu, 2008). Ini berpotensi menyebabkan kelelahan dari waktu ke waktu dan
menjadi kurang terlibatkaryawan, sehingga mempengaruhi kinerja mereka
(Salanova, Llorens & Cifre, 2013).

Closing Statement:
Penelitian ini akan mengembangkan dan memvalidasi model yang menganalisis efek dari
faktor-faktor yang menciptakan digital stress/technostress, dan menganalisa hubungannya
dengan work engagement. Selain itu, penelitian ini juga mengidentifikasi mekanisme yang
berpotensi mengurangi efek negatif dari digital stress. Serta meneliti bagaimana keterlibatan
karyawan sebagai inhibitor digital stress mempengaruhi technostress serta hasil organisasi.
Metode yang dilakukan dengan penelitian longitudinal terhadap karyawan di perusahaan X yang
tersebar di seluruh Indonesia. Total Sampel yang direncanakan sebanyak 100 perwakilan dari 20
provinsi. Penelitian ini mengembangkan data terbaru mengenai fenomena digital stress yang
semakin banyak terjadi diiringi dengan kondisi pandemic COVID-19 yang membuat setiap
pekerja menjadi lebih sering berinteraksi dengan dunia digital. Penelitian ini akan mengambil
data di dua waktu dengan interval jarak waktu pengambilan data pertama dan kedua selama 2
bulan. Pengukuran Engagement karyawan akan dinilai satu minggu sekali setiap bulan..

Peneliti merencanakan adanya intervensi yang dapat diberikan dalam kurun waktu masa
tunggu 2 bulan setelah mengambil data awal mengenai tingkat digital stress yang dialami oleh
karyawan di PT.X. Setelah itu intervensi akan diberikan dan melihat apakah terdapat perubahan
terhadap peningkatan work engagement setelah intervensi dari analisa digital stress di PT X.

Anda mungkin juga menyukai