Catatan Kuliah Fisika Matematika I
Catatan Kuliah Fisika Matematika I
Fisika Matematika I
Muhammad Fauzi Mustamin
\𝒊𝒏𝒇𝒕𝒚 press
2015
Muhammad Fauzi Mustamin
Ilmu Fisika merupakan ilmu mendasar dengan tujuan mendeskripsikan bagaimana alam semesta
bekerja. Berbagai fenomena alam kemudian diformulasikan ke dalam Matematika untuk mencari
tahu deskripsi tersebut secara terperinci. Hasil perincian ini kemudian dikembangkan menjadi
berbagai bidang keteknikan yang memfokuskan pada salah satu cabang ilmu Fisika. Bahkan
penjabaran ilmu Fisika tidak jarang diterapkan dalam pemecahan masalah-masalah sosial-politik.
Buku ini merupakan kumpulan catatan kuliah saat mengikuti mata kuliah Fisika Matematika I di
program studi Fisika, Universitas Hasanuddin. Terinspirasi dari hadits Rasulullah, “Ikatlah ilmu
dengan menuliskannya”, saya memulai sedikit demi sedikit menuliskan bahan perkuliahan.
Setelah satu tahun berlalu, buku ini akhirnya bisa saya rampungkan meskipun masih jauh dari
kata sempurna untuk menjelaskan luasnya samudera Fisika Matematika.
Kepada dosen-dosen pengajar; Prof. Wira Bahari Nurdin dan Dr. Tasrief Surungan, serta teman-
teman sekelas pada mata kuliah Fisika Matematika semester ganjil 2014, saya mengucapkan
banyak terimakasih atas berbagai inspirasi saat perkuliahan.
Bagi teman-teman, para pembaca sekalian, saran dan feedback selalu dinanti di
muhammadfauzim@gmail.com.
2. Deret ..........................................................................................................................................15
Sebagaimana diketahui bersama, kalkulus merupakan alat yang sangat penting dalam
pendeskripsian berbagai kuantitas fisis. Pada tingkatan sekolah menengah tentu telah
diperkenalkan dasar dari kalkulus; diferensial, integral, dan berbagai materi berkaitan dengan hal
tersebut. Perbedaan mendasar dari kalkulus pada kuantitas skalar, kalkulus vektor, sesuai
namanya, mengolah berbagai vektor dengan menggunakan prinsip kalkulus. Hal ini mengingat
banyaknya kuantitas fisis berupa vektor, misalnya sebaran medan magnet pada sebuah muatan
listrik, kecepatan alir fluida, dan masih banyak lagi fenomena alam lain yang dalam
pendeskripsiannya menggunakan kalkulus vektor.
Misalkan sebuah vektor 𝐚 yang terdiri dari fungsi skalar dengan variabel 𝑢. Kita dapat
menuliskan vektor tersebut sebagai 𝐚(𝑢). Misalnya pada kordinat kartesian, 𝐚(𝑢) = 𝑎𝑥 (𝑢)𝐢 +
𝑎𝑦 (𝑢)𝐣 + 𝑎𝑧 (𝑢)𝐤.
Perubahan kecil pada vektor 𝐚(𝑢) menghasilkan perubahan ∆𝑢 sehingga ∆𝑎 = 𝑎(𝑢 + ∆𝑢) −
𝑎(𝑢). Diferensial dari 𝐚(𝑢) terhadap 𝑢 didefinisikan :
1
Pada kordinat kartesian, diferensial vektor (𝑢) = 𝑎𝑥 (𝑢)𝐢 + 𝑎𝑦 (𝑢)𝐣 + 𝑎𝑧 (𝑢)𝐤 :
𝑑𝐚 𝑑𝑎𝑥 𝑎𝑦 𝑎𝑧
= 𝐢̂ + 𝐣̂ + ̂
𝐤 (𝟏. 𝟐)
𝑑𝑢 𝑑𝑢 𝑑𝑢 𝑑𝑢
Pada vektor komposit, setiap vektor atau skalar dapat berupa fungsi dari variabel 𝑢. Dengan
mengasumsikan 𝐚 dan 𝐛 adalah vektor terdiferensiasi terhadap skalar 𝑢 dan bahwa 𝜙 adalah
fungsi skalar terdiferensiasi terhadap 𝑢 :
𝑑 𝑑𝐚 𝑑𝜙
(𝜙𝐚) = 𝜙 + 𝐚 (𝟏. 𝟑𝐚)
𝑑𝑢 𝑑𝑢 𝑑𝑢
𝑑 𝑑𝐛 𝑑𝐚
(𝐚 ∙ 𝐛) = 𝐚 ∙ + ∙𝐛 (𝟏. 𝟑𝐛)
𝑑𝑢 𝑑𝑢 𝑑𝑢
𝑑 𝑑𝐛 𝑑𝐚
(𝐚 × 𝐛) = 𝐚 × + ×𝐛 (𝟏. 𝟑𝐜)
𝑑𝑢 𝑑𝑢 𝑑𝑢
Dari persamaan (1.1), dapat dilihat saat ∆𝑢 → 0, perubahannya terhadap 𝑎 akan sangat kecil.
Sehingga diperoleh persamaan :
𝑑𝐚
𝑑𝐚 = 𝑑𝑢 (𝟏. 𝟒)
𝑑𝑢
Sebagai pemisalan adalah perubahan yang sangat kecil dari vektor posisi sebuah partikel pada
selang waktu :
𝑑𝐫
𝑑𝐫 = 𝑑𝑡 = 𝐯𝑑𝑡
𝑑𝑡
Kita ketahui bahwa intgerasi merupakan invers dari diferensiasi. Beberapa poin penting dalam
integrasi :
(i) Integral dari vektor atau skalar memiliki perlakuan yang sama dengan integral biasa.
(ii) Tetapan dari integrasi haruslah sama dengan sifat alami integral.
2
Misalnya, jika 𝐚(𝑢) = 𝑑 [𝐀(𝑢)]⁄𝑑𝑢 menghasilkan integral (𝑢) :
𝑢1
∫ 𝐚(𝑢)𝑑𝑢 = 𝐀(𝑢2 ) + 𝐀(𝑢1 ) (𝟏. 𝟔)
𝑢2
Sebuah kurva 𝐶 pada ruang dapat dideskripsikan dengan vektor 𝐫(𝑢) terhubung dengan titik
awal 𝑂 dari sebuah sistem kordinat menuju sebuah titik pada kurva. Karena variasi 𝑢, vektor
tersebut akan terus bergerak sepanjang kurva. Pada kordinat kartesian :
Dengan 𝑥 = 𝑥(𝑢), 𝑦 = 𝑦(𝑢),dan 𝑧 = 𝑧(𝑢) merupakan persamaan parameter dari kurva tersebut.
Gambar 1.2 Tangen satuan 𝐭̂, normal 𝐧 ̂ terhadap kurva 𝐶 pada titik 𝑃.
̂ dan binormal 𝐛
Kurva ruang juga dapat direpresentasikan dengan 𝑦 = 𝑓(𝑥), 𝑧 = 𝑔(𝑥), yang dapat dikonversei
seperti persamaan parameter :
3
Sebuah kurva terkadang dideskripsikan dengan formasi parametrik dengan vektor 𝐫(𝑠), dimana
parameter 𝑠 adalah panjang garis sepanjang kurva diukur dari titik tetap. Untuk kurva yang
dideskripsikan dengan 𝐫(𝑢), perubahan vektor yang sangat kecil :
Sehingga didapatkan :
𝑑𝑠 2 𝑑𝐫 𝑑𝐫
( ) = .
𝑑𝑢 𝑑𝑢 𝑑𝑢
yang dapat diformasi ulang menjadi jarak antara dua titik pada kurva 𝐫(𝑢), dengan 𝑢 = 𝑢1 dan
𝑢 = 𝑢2 :
𝑢1
𝑑𝐫 𝑑𝐫
𝑠=∫ √ . 𝑑𝑢 (𝟏. 𝟏𝟎)
𝑢2 𝑑𝑢 𝑑𝑢
Jika kurva 𝐶 dideskrippsikan dengan 𝐫(𝑢), pada setiap titik di kurva terebut, 𝑑 𝐫⁄𝑑𝑢 merupakan
seuah tangen vektor dari 𝐶 pada titik tersebut, dengan arah 𝑢 meningkat. Pada kasus khusus
dimana parameter 𝑢 adalah panjang 𝑠 sepanjang kurva, 𝑑 𝐫⁄𝑑𝑠 adalah satuan vektor tangen dari
𝐶 dan dinotasikan 𝐭̂.
̂ = 𝐭̂ × 𝐧
Vektor satuan 𝐛 ̂, tegak lurus terhadap permukaan datar 𝐭̂ dan 𝐧
̂ disebut sebagai binormal
̂ , 𝐭̂, dan 𝐧
terhadap 𝐶. Vektor 𝐛 ̂ membentuk sistem kordinat kartesian tangan-kanan pada setiap
titik di 𝐶.
̂ , t̂, dan 𝐧
Secara ringkas, 𝐛 ̂ serta diferensiasinya terhadap 𝑠 saling berhubungan, hubungan ini
disebut juga dengan formula Frenet-Serret :
𝑑𝐭̂ ̂
𝑑𝐧 ̂
𝑑𝐛
̂,
= 𝜅𝐧 ̂ − 𝜅𝐭̂,
= 𝜏𝐛 ̂
= −𝜏𝐧 (𝟏. 𝟏𝟏)
𝑑𝑠 𝑑𝑠 𝑑𝑠
4
1.4 Operator Vektor
Proses diferensiasi dapat dilakukan pada medan skalar dan medan vektor yang memiliki aplikasi
sangat luas dalam dunia fisika. Medan skalar secara sederhana dapat diperhatikan pada tekanan
dalam fluida dan potensial elektrostatis akibat adanya sebuah muatan listrik. Adapun medan
vektor berhubungan dengan hal tersebut adalah kecepatan vektor dalam fluida serta medan
listrik.
Dalam penjabaran tersebut diperlukan operator vektor. Operator terpenting penerapannya adalah
mencari gradien dari medan skalar serta mencari divergen dan curl dari medan vektor. Operator
ini menggunakan konsep diferensiasi. Operator vektor 𝛁 atau sering disebut del atau nabla
memiliki peran sentral pada pembahasan ketiga operator vektor tersebut. Pada kordinat kartesian
didefinisikan :
𝜕 𝜕 𝜕
𝛁≡𝐢 +𝐣 +𝐤 (𝟏. 𝟏𝟐)
𝜕𝑥 𝜕𝑦 𝜕𝑧
Penjabaran selanjutnya memfokuskan pada sifat matematis dari operator vektor tersebut.
𝜕𝜙 𝜕𝜙 𝜕𝜙
grad 𝜙 = 𝛁𝜙 = 𝐢 +𝐣 +𝐤 (𝟏. 𝟏𝟑)
𝜕𝑥 𝜕𝑦 𝜕𝑧
Secara matematis, grad 𝜙 merupakan medan vektor yang setiap komponennya diturunkan satu
kali secara parsial terhadap 𝜙(𝑥, 𝑦, 𝑧).
𝑑𝜙
= 𝛁𝜙. 𝐚̂ (𝟏. 𝟏𝟒)
𝑑𝑠
𝑑𝜙
= |𝛁𝜙|𝑐𝑜𝑠𝜃
𝑑𝑠
5
dengan 𝜃 merupakan sudut antara vektor 𝐚̂ dan 𝛁𝜙 yang ditunjukkan pada gambar 1.3.
Gambar 1.3 Sifat geometri 𝛁𝜙, 𝑃𝑄 merupakan nilai 𝑑𝜙/𝑑𝑠 pada arah 𝐚̂.
Sifat menarik lain, 𝛁𝜙 merupakan vektor normal pada permukaan 𝜙(𝑥, 𝑦, 𝑧) = 𝑐 pada setiap
̂ normal satuan permukaan dengan arah
titik, seperti ditunjukkan pada gambar 1.3. Jika 𝐧
𝜙(𝑥, 𝑦, 𝑧) meningkat, maka gradien juga sering dituliskan
𝜕𝜙
𝛁𝜙 ≡ ̂
𝐧 (𝟏. 𝟏𝟓)
𝜕𝑛
𝜕𝜙
dimana 𝜕𝑛 ≡ |𝛁𝜙| adalah perubahan 𝜙 pada arah 𝐧
̂ dan disebut sebagai turunan normal.
1.4.2 Divergen
Secara sederhana, divergen dapat dianggap sebagai kuantitas pengukuran dari seberapa banyak
medan vektor menyebar (divergen) atau menyusut (konvergen) pada sebuah titik.
6
Selanjutnya, jika suatu medan vektor 𝐚 merupakan diferensiasi dari medan skalar, 𝐚 = 𝛁𝜙, maka
𝛁. 𝐚 akan membentuk 𝛁. 𝛁𝜙 atau 𝛁 2 𝜙, dimana
𝜕2 𝜕2 𝜕2
𝛁2 ≡ + + (𝟏. 𝟏𝟕)
𝜕𝑥 2 𝜕𝑦 2 𝜕𝑧 2
1.4.3 Curl
dimana 𝑎𝑥 , 𝑎𝑦 dan 𝑎𝑧 merupakan komponen dari vektor 𝐚. Hasil dari sisi sebelah kanan
persamaan tersebut didapatkan dari proses determinan :
𝐢 𝐣 𝐤
𝜕 𝜕 𝜕
𝛁×𝐚= | | (𝟏. 𝟏𝟗)
𝜕𝑥 𝜕𝑦 𝜕𝑧
𝑎𝑥 𝑎𝑦 𝑎𝑧
Untuk medan vektor 𝐯(𝑥, 𝑦, 𝑧) yang mendeskripsikan kecepatan lokal pada setiap titik di dalam
sebuah fluida, 𝛁 × 𝐯 adalah pengukuran kecepatan sudut dari fuida pada daerah sekitar titik
tersebut. Jika sebuah kincir air kecil ditempatkan di dalam fluida tersebut, maka kincirnya akan
berotasi pada daerah 𝛁 × 𝐯 ≠ 𝟎, sementara kincirnya tidak akan berotasi pada daerah 𝛁 × 𝐯 = 𝟎.
Sebagai rangkuman hasil kombinasi dari ketiga operator vektor, tabel 1.1 menyajikan hal
tersebut.
7
1.5 Kordinat Silinder dan Kordinat Bola
Pendeskripsian fenomena fisis tidak hanya diekspresikan dalam kordinat kartesian. Dalam
berbagai situasi, kordinat sistem lain lebih mendasar, seperti kordinat silinder dan kordinat bola.
Seperti fluida dalam pipa pendeskripsiannya lebih alami menggunakan kordinat silinder, ataupun
muatan listrik dalam ruang pendeskripsiannya lebih alami dengan kordinat bola.
Posisi titik 𝑃 pada kordinat kartesian 𝑥, 𝑦, 𝑧 dapat diekspresikan dalam kordinat silinder 𝜌, 𝜙, 𝑧
seperti terlihat pada gambar 1.5, dimana :
dan 𝜌 ≥ 0, 0 ≤ 𝜙 < 2𝜋 dan − ∞ < 𝑧 < ∞. Posisi vektor dari titik 𝑃 kemudian dapat ditulis
dimana, dengan melakukan diferensial parsial 𝐫 terhadap 𝜌, 𝜙 dan 𝑧 lalu membagi dengan setiap
modulusnya didapatkan vektor pada kordinat silinder
8
Perpindahan sangat kecil 𝑑𝐫 dari titik 𝑃 memenuhi
𝜕𝐫 𝜕𝐫 𝜕𝐫
𝑑𝐫 = 𝑑𝜌 + 𝑑𝜙 + 𝑑𝑧
𝜕𝜌 𝜕𝜙 𝜕𝑧
= 𝑑𝜌𝐞̂𝜌 + 𝜌𝑑𝜙𝐞̂𝜙 + 𝑑𝑧𝐞̂𝑧 (𝟏. 𝟐𝟑)
Elemen volume dari kodinat silinder diperoeh dengan mengkalkulasi bidang paralelipiped sangat
kecil, didefinisikan oleh vektor 𝑑𝜌𝐞̂𝜌 , 𝜌𝑑𝜙𝐞̂𝜙 dan 𝑑𝑧𝐞̂𝑧 :
Perubahan kordinat ini juga memengaruhi operator vektor. Tabel 1.2 merangkum operator vektor
dalam kordinat silinder.
9
1.5.2 Kordinat Bola
Posisi titik 𝑃 dalam kordinat bola 𝑟, 𝜃, 𝜙 dapat diamati pada gamba 1.6, dimana
Vektor satuannya, kembali dapat ditelusuri dengan melakukan diferensial parsial terhadap
𝑟, 𝜃, dan 𝜙, lalu membaginya dengan modulus tiap vektor
Elemen volume pada kordinat bola merupakan volume dari paralelipiped sangat kecil yang
memenuhi
10
Gambar 1.7 Elemen volume kordinat bola 𝑟, 𝜃, 𝜙
Perubahan kordinat ini tentu juga memengaruhi perubahan operator vektor. Tabel 1.3
merangkum perubahan operator vektor untuk kordinat bola.
Tabel 1.3 Operator vektor pada kordinat bola, dengan Φ medan skalar dan 𝐚 medan vektor.
𝑏
∫ 𝐚 ∙ 𝑑𝐫 (𝟏. 𝟑𝟎)
𝑎
11
Gambar 1.8 Visualisasi integral garis
dimana 𝐚 merepresentasikan fungsi vektor dan 𝑑𝐫 adalah vektor perpindahan untuk elemen kecil,
dengan integralnya dilakukan sepanjang titik 𝑎 sampai titik 𝑏. Saat integrasinya dilakukan untuk
lintasan tertutup, 𝑎 = 𝑏, maka bentuk integrasinya dapat dituliskan sebagai integral tertutup
∮ 𝐚. 𝑑𝐫 (𝟏. 𝟑𝟏)
Esensi dari integral garis ini, kita melakukan perkalian skalar vektor dari 𝐚 dengan vektor
perpindahan elemen kecil 𝑑𝐫 sepanjang lintasan. Bagi fisikawan, bentuk paling sering dijumpai
adalah integral garis persamaan kerja oleh sebuah gaya, 𝑊 = ∫ 𝐅. 𝑑𝐫.
Integral garis untuk beberapa kasus memiliki keunikan, dimana integral garis antara dua titik
tidak bergantung pada lintasan yang dilalui. Medan vektor dengan karakteristik tersebut disebut
konservatif. Sebuah vektor 𝐚 dengan diferensial parsial berhubungan pada daerah 𝑅 dikatakan
konservatif jika dan hanya jika memenuhi beberapa syarat berikut.
𝐵
(i) Integral ∫𝐴 𝐚 ∙ 𝑑𝐫, dengan 𝐴 dan 𝐵 berada pada daerah 𝑅, tidak bergantung pada
lintasan 𝐴 ke 𝐵. Dapat dikatakan bahwa ∮ 𝐚 ∙ 𝑑𝐫 pada lintasan tertutup adalah nol.
(ii) Terdapat fungsi nilai tunggal 𝜙 dari posisi, dimana 𝐚 = 𝛁𝜙.
(iii) 𝛁 × 𝐚 = 0.
(iv) 𝐚 ∙ 𝑑𝐫 merupakan diferensial eksak.
Kasus lain terjadi untuk menghubungkan integral garis dan integral bidang. Integral garisnya
dapat dihubungkan dengan luas daerah cakupan dengan menggunakan teorema Green untuk
bidang memenuhi
12
𝜕𝑄 𝜕𝑃
∮ (𝑃𝑑𝑥 + 𝑄𝑑𝑦) = ∬ ( − ) 𝑑𝑥𝑑𝑦 (𝟏. 𝟑𝟐)
𝐶 𝑅 𝜕𝑥 𝜕𝑦
terlihat hubungan integral garis sepanjang lintasan 𝐶 terhadap integral lipat dua dengan luas 𝑅.
∫ 𝐚. 𝑑𝐒 (𝟏. 𝟑𝟑)
𝑆
dimana 𝐚 merupakan fungsi vektor dan 𝑑𝐒 merupakan elemen kecil luas, dengan arah tegak lurus
dengan permukaan. Saat permukaannya tertutup, maka persamaannya dapat dituliskan sebagai
integral tertutup
∮ 𝐚. 𝑑𝐒 (𝟏. 𝟑𝟒)
Jika 𝐚 mendeskripsikan aliran fluida (massa persatuan luas persatuan waktu), maka ∫ 𝐚 ∙ 𝑑𝐒
merepresentasikan massa total persatuan waktu yang melewati permukaan atau lebih sering
disebut sebagai flux.
̂ 𝑑𝑆
𝑑𝐒 = 𝒏 (𝟏. 𝟑𝟓)
13
1.6.3 Integral Volume
∫ 𝜙 𝑑𝑉 (𝟏. 𝟑𝟔)
𝑉
dengan 𝜙 fungsi skalar dan 𝑑𝑉 elemen volume kecil, dimana untuk kordinat kartesian 𝑑𝑉 =
𝑑𝑥𝑑𝑦𝑑𝑧.
Misalnya 𝑇 adalah densitas suatu bahan, maka ∫ 𝑇𝑑𝜏 merepresentasikan massa total.
Teorema divergence menghubungkan flux total dari medan vektor yang menyebar dari
permukaan tertutup 𝑆 menuju integrasi divergence dari medan vektor volume tertutup 𝑉.
Ungkapan matematis dari teorema divergence memenuhi
∫ 𝛁 ∙ 𝐚 𝑑𝑉 = ∮ 𝐚. 𝑑𝑺 (𝟏. 𝟑𝟕)
𝑉 𝑆
Teorema Stokes menghubungkan integral dari curl dari medan vektor sepanjang sebuah
permukaan terbuka 𝑆 dengan integral garis dari medan vektor sekitar lintasan 𝐶 yang
menghubungkan permukaan. Ungkapan matematis teorema Stokes memenuhi
∫ (𝛁 × 𝐚) ∙ 𝑑𝐒 = ∮ 𝐚 ∙ 𝑑𝐫 (𝟏. 𝟑𝟖)
𝑆 𝑪
14
2. DERET
Banyak situasi fisika yang kita sajikan dalam bentuk deret. Sebuah deret dapat berupa
penjumlahan berhingga ataupun penjumlahan tak hingga dari sekumpulan angka. Secara umum,
penjumlahan dari 𝑁 bagian dari sebuah deret dapat ditulis :
𝑆𝑁 = ∑ 𝑢𝑛 = 𝑢1 + 𝑢2 + 𝑢3 + ⋯ + 𝑢𝑁 (𝟐. 𝟏)
𝑛=1
Jenis deret berhingga, berarti nilai 𝑁 mencapai angka tertentu. Sedangkan untuk deret tak hingga
nilai 𝑁 = ∞. Dalam dunia fisika, banyak kejadian alam yang memenuhi konsep deret tak
berhingga. Atas dasar ini, pembahasan selanjutnya akan fokus pada deret tak hingga.
Dalam pembahasan deret untuk menganalisa keadaan fisis, perlu diperhatikan bahwa kita akan
menjumlahkan sekian banyak angka yang jumlahnya tak berhingga. Sesuai dengan persamaan
(2.1), karena deretnya tidak berhingga :
∞
𝑆∞ = ∑ 𝑢𝑛 = 𝑢1 + 𝑢2 + 𝑢3 + ⋯ + 𝑢∞ (𝟐. 𝟐)
𝑛=1
𝑆 = 𝑙𝑖𝑚 𝑆𝑛 (𝟐. 𝟑)
𝑛→∞
Jika nilai 𝑆 menuju sebuah angka tertentu deretnya dikatakan deret konvergen. Sementara jika 𝑆
menuju ±∞, deretnya dikatakan sebagai deret divergen.
Secara umum, deret tak hingga ∑ 𝑢𝑛 dapat memiliki bagian kompleks dan pada kasus khusus
terdiri dari nilai positif dan negatif. Untuk sebuah deret, kita dapat mengasumsikan deret lain
15
∑|𝑢𝑛 | yang setiap bagiannya merupakan nilai absolut dari deret awal ∑ 𝑢𝑛 yang hendak dicari.
Setiap bagian dari deret mutak tersebut akan menghasilkan nilai positif.
Jika deret ∑|𝑢𝑛 | konvergen, maka deret ∑ 𝑢𝑛 juga konvergen, dan ∑ 𝑢𝑛 dapat dikatakan sebagai
deret konvergen mutlak. Untuk deret konvergen mutlak, setiap bagiannya dapat disusun ulang
tanpa mempengaruhi konvergensi dari deret tersebut.
Jika deret ∑|𝑢𝑛 | divergen namun deret ∑ 𝑢𝑛 konvergen, deretnya dikatakan konvergen
kondisional. Untuk deret konvergen kondisional, jika urutan bagiannya diubah, maka akan
berpengaruh pada deret semula, sehingga tidak jelas, apakah deretnya konvergen atau divergen.
Deret positif merupakan deret yang semua bagiannya terdiri dari bilangan konstan positif. Untuk
meguji konvergensitas suatu deret positif, ada beberapa cara yang dapat dilakukan :
1. Uji Awal
Uji awal digunakan untuk mendeteksi apakah deret tersebut sudah pasti divergen. Untuk deret
∑ 𝑢𝑛 dikatakan konvergen jika hasilnya menuju nol saat 𝑛 menuju tak hingga.
𝑙𝑖𝑚 𝑢𝑛 = 0
𝑛→∞
Jika kondisi tersebut tidak terpenuhi, maka deretnya sudah pasti divergen. Namun, meski telah
terpenuhi, deretnya juga bisa berupa deret divergen, sehingga membutuhkan pengujian yang lain
untuk membuktikan.
2. Uji Banding
Uji banding merupakan pengujian paling mendasar dalam menguji konvergensi suatu deret.
Misalkan kita memiliki dua deret, ∑ 𝑢𝑛 dan ∑ 𝑣𝑛 dan kita mengetahui bahwa salah satunya deret
konvergen. Sehingga jika setiap bagian 𝑢𝑛 pada deret awal kurang dari atau sama dengan bagian
dari deret 𝑣𝑛 , untuk setiap 𝑛 yang lebih besar dari nilai tetap 𝑁 yang bisa bervariasi setiap deret,
deret awal ∑ 𝑢𝑛 juga merupakan deret konvergen.
𝑢𝑛 ≤ 𝑣𝑛 , untuk 𝑛 > 𝑁
16
Maka deret ∑ 𝑢𝑛 juga konvergen.
Namun jika ∑ 𝑣𝑛 divergen dan 𝑢𝑛 ≥ 𝑣𝑛 untuk setiap 𝑛 yang lebih besar untuk nilai tetap, maka
∑ 𝑢𝑛 merupakan deret divergen.
𝑢𝑛+1
𝜌 = 𝑙𝑖𝑚 ( ) (𝟐. 𝟒)
𝑛→∞ 𝑢𝑛
Berlaku hubungan, jika 𝜌 < 1 deretnya konvergen; jika 𝜌 > 1 deretnya divergen; jika 𝜌 = 1
maka deretnya bisa konvergen mapun divergen.
4. Uji Integral
Misalkan terdapat sebuah fungsi 𝑓(𝑥) yang secara monoton menurun sepanjang 𝑥 lebih besar
dari niali tetap 𝑥0 dan untuk 𝑓(𝑛) = 𝑢𝑛 . Deret ∑ 𝑢𝑛 konvergen jika integral pembandingnya
berhingga :
∞
∫ 𝑓(𝑥) 𝑑𝑥 (𝟐. 𝟓)
1
Namun jika integralnya tak hingga, maka deretnya dikatakan deret divergen.
∑(−1)𝑛+1 𝑢𝑛 = 𝑢1 − 𝑢2 + 𝑢3 − 𝑢4 + 𝑢5 − ⋯ (𝟐. 𝟔)
𝑛=1
𝑙𝑖𝑚 |𝑢𝑛 | = 0
𝑛→∞
2. Deret selang-seling haruslah deret yang monoton turun untuk setiap suku mutlaknya.
17
|𝑎𝑛+1 | < |𝑎𝑛 |
Jika setiap suku dalam deret diambil harga mutlaknya, kita peroleh deret baru yang sema
bagiannya positif. Deret ini disebut deret mutlak, yang bisa bersifat konvergen ataupun divergen.
𝑃(𝑥) = 𝑎0 + 𝑎1 𝑥 + 𝑎2 𝑥 2 + 𝑎3 𝑥 3 + ⋯ (𝟐. 𝟕)
Dimana 𝑎0 , 𝑎1 , 𝑎2 , 𝑎3 , …. Meruakan konstanta. Deret tersebut secara umum sering muncul dalam
fisika dan sangat berguna, untuk |𝑥| < 1, bagian seanjutnya deret tersebt dapat menjadi sangat
kecil dan diabaikan.
Dengan menggunakan uji perbandingan d’Alembert, kita dapat melihat bahwa 𝑃(𝑥) konvergen
mutlak jika :
𝑎𝑛+1 𝑎𝑛+1
𝜌0 = 𝑙𝑖𝑚 | 𝑥| = |𝑥| 𝑙𝑖𝑚 | |<1
𝑛→∞ 𝑎𝑛 𝑛→∞ 𝑎𝑛
1
|𝑥| < (𝟐. 𝟖)
𝜌
Konvergensi dari 𝑃(𝑥) bergantung pada nilai 𝑥, dimana daerah 𝑥 bergantung pada nilai 𝜌.
3. Jika −1⁄𝜌 < 𝑥 < +1⁄𝜌, deretnya konvergen untuk daerah 𝑥 antara −1⁄𝜌 sampai +1⁄𝜌.
Ekspansi Taylor merupakan alat yang sangat berguna untuk menjabarkan deret pangkat dari
sebuah fungsi. Dengan mengasumsikan fungsi 𝑓(𝑥) memiliki sebuah turunan ke-𝑛 yang kontinu
pada selang 𝑎 ≤ 𝑥 ≤ 𝑏, kemudan mengintegralkanya sebanyak 𝑛 :
18
𝑥
𝑥
∫ 𝑓 (𝑛) (𝑥1 ) 𝑑𝑥1 = 𝑓 (𝑛−1) (𝑥1 )| = 𝑓 (𝑛−1) (𝑥) − 𝑓 (𝑛−1) (𝑎)
𝑎
𝑎
𝑥 𝑥2 𝑥
(𝑛)
∫ 𝑑𝑥2 ∫ 𝑓 (𝑥1 ) 𝑑𝑥1 = ∫ 𝑑𝑥2 [𝑓 (𝑛−1) (𝑥2 ) − 𝑓 (𝑛−1) (𝑎)]
𝑎 𝑎 𝑎
(𝑥 − 𝑎)2 (𝑛−1)
= 𝑓 (𝑛−3) (𝑥) − 𝑓 (𝑛−3) (𝑎) − (𝑥 − 𝑎)𝑓 (𝑛−2) (𝑎) − 𝑓 (𝑎)
2!
′ (𝑎)
(𝑥 − 𝑎)2 ′′ (𝑥 − 𝑎)𝑛−1 𝑛−1
= 𝑓(𝑥) − 𝑓(𝑎) − (𝑥 − 𝑎)𝑓 − 𝑓 (𝑎) − ⋯ − 𝑓 (𝑎)
2! (𝑛 − 1)!
(𝑥 − 𝑎)𝑛 (𝑛)
𝑅𝑛 = 𝑓 (𝜉) (𝟐. 𝟏𝟐)
𝑛!
19
(𝑥 − 𝑎)2 ′′ (𝑥 − 𝑎)𝑛−1 𝑛−1
𝑓(𝑥) = 𝑓(𝑎) + (𝑥 − 𝑎)𝑓 ′ (𝑎) + 𝑓 (𝑎) + ⋯+ 𝑓 (𝑎) (𝟐. 𝟏𝟑)
(𝑛 − 𝑎)! (𝑛 − 1)!
Deret Taylor yang didapatkan mendefinisikan nilai fungsi pada titik 𝑥, yang merupakan bagian
dari nilai fungsi dan turunannya pada titik 𝑎. Ini merupaan ekspansi pangkat dari perubahan
variable, atau 𝑥 − 𝑎. Definisi ini dapat memperjelas deret Taylor dengan menggunakan formasi
alternative, menggantikan 𝑥 dengan 𝑥 + ℎ dan 𝑎 dengan :
∞
ℎ𝑛 (𝑛)
𝑓(𝑥 + ℎ) = ∑ 𝑓 (𝑥) (𝟐. 𝟏𝟓)
𝑛!
𝑛=0
20
3. BILANGAN KOMPLEKS
𝑧 2 − 4𝑧 + 5 = 0 (3.1)
√−4
𝑧1,2 = 2 ± (3.2)
2
Setiap persamaan kuadrat selalu memiliki dua solusi dan tentunya juga berlaku untuk persamaan
(3.2). Bagian kedua dari persamaan sebelah kanan disebut bagian 𝑖𝑚𝑎𝑗𝑖𝑛𝑒𝑟 karena memilii akar
dari sebuah bilangan negative, sementara bagian pertamanya disebut bagian 𝑟𝑖𝑙. Solusi totalnya
merupakan jumlah antara bagian ril dan bagian imajiner yang disebut dengan bilangan kompleks.
Fungsinya dapat dilihat dari gambar di bawah.
Persamaan umum dari bilangan kompleks disimbolkan sebagai 𝑧, yang merupakan gabungan
dari bagian ril 𝑥 dan 𝑖 dikalikan bagian imajiner 𝑦 :
𝑧 = 𝑥 + 𝑖𝑗 (3.3)
21
Dengan 𝑖 digunakan sebagai symbol dari akar -1. Bagian ril 𝑥 dinotasikan dengan ℜ𝑧 sementara
bagian imajiner 𝑦 dinotasikan sebagai ℑ𝑧.
Pada contoh di atas, √−4 = 2√−1 = 2𝑖, sehingga solusi yang kita dapatka adalah :
2𝑖
𝑧1,2 = 2 ± =2±𝑖
2
𝑧 = (𝑥, 𝑦)
Dimana komponen dari 𝑧 bisa umpamakan berada pada koordinat kartesian. Plot fungsi tersebut
disebut diagram Argand.
|𝑧| = √𝑥 2 + 𝑦 2 (3.4)
Sehingga modulus dapat diartikan sebagai jarak sebuah titik dar titik pada diagram Argand.
22
𝑦
arg 𝑧 = 𝑡𝑎𝑛−1 (𝑥 ) (3.5)
Dapat pula dilihat bahwa arg 𝑧 adalah sudut yang menghubungan titik asal sampai 𝑧 pada
diagram Argand dengan sumbu-𝑥 positif. Menurut hasil konvensi, arah berlawanan jarum jam
adalah positif.
Hal ini dapat diuktikan, misalkan 𝑧 = 𝑥 + 𝑖𝑦, maka jika dikalikan dengan konjugat kompleksnya
akan menghasilkan :
23
3.2.2 Operasi Matematika
Penjumlahan dalam bilangan kompleks pada kordinat kartesian sama persis dengan penjumlahan
biasa :
Untuk perkalian :
Perkalian dari suatu bilangan kompleks memenuhi aturan komutatif dan asosiatif :
𝑧1 𝑧2 = 𝑧2 𝑧1 (3.8)
Untuk bilangan kompleks 𝑧 yang dikalikan dengan ±1 dan ±𝑖, menghasilkan suatu pola yang
menarik. Ketika mengalikan 𝑧 dengan kesatuan (yang memiliki argument nol) memberikan 𝑧
yang tetap dikedua modulus dan argument.
Gambar 3.5 Pola menarik saat menglikan bilangan kompleks dengan ±1 dan ±𝑖
24
Sementara untuk operasi pembagian, misalkan diketahui bilangan kompleks 𝑧1 dan 𝑧2 , jika
keduanya dibagi akan membentuk formasi :
𝑧1 𝑥1 + 𝑖𝑦1
= (𝟑. 𝟏𝟐)
𝑧2 𝑥2 + 𝑖𝑦2
Untuk mendapatkan hasil yang terpisah antara bagian ril dan kompleksnya, kita kalikan dengan
rasio kompleks konjugat dari pembagi atau dalam persamaan (3.12) adalah 𝑧2 :
Sama halnya dengan perkalian, pembagian bilangan kompleks juga menghasilkan beberapa
persamaan yang sesuai dengan persamaan (3.10) dan (3.11) :
𝑧1 |𝑧1 |
| |= (𝟑. 𝟏𝟒)
𝑧2 |𝑧2 |
𝑧1
arg ( ) = arg 𝑧1 − arg 𝑧2 (𝟑. 𝟏𝟓)
𝑧2
Sebuah alternative untuk memetakan bilangan kompleks adalah dengan menggunakan kordinat
polar (𝑟, 𝜃), yang memenuhi persamaan :
𝑦
𝑥 = 𝑟 cos 𝜃 , 𝑦 = 𝑟 sin 𝜃 , atau 𝑟 = √𝑥 2 + 𝑦 2 , 𝜃 = tan ( ) (𝟑. 𝟏𝟔)
𝑥
Dengan melakukan subtitusi pada persamaan umum bilangan kompleks pada kordinat kartesian,
𝑧 = 𝑥 + 𝑖𝑦, diperoleh persamaan :
25
Gambar 3.6 Representasi polar bilangan kompleks 𝑧
Penyederhanaan representasi dari modulus dan argument merupakan salah satu alas an
menggunakan kordinat polar. Sudut 𝜃 secara konvensional terletak pada −𝜋 < 0 ≤ 𝜋, namun
karena rotasi 𝜃 adalah sama dengan rotasi 2𝑛𝜋 + 𝜃, dengan 𝑛 adalah bilangan bulat, didapatkan
persamaan umum bilangan kompleks :
Jika kita memiliki dua buah bilangan kompleks dengan formasi polar, 𝑧1 = 𝑟1 𝑒 𝑖𝜃1 dan 𝑧2 =
𝑟2 𝑒 𝑖𝜃2 , jika dikalikan :
𝑧1 𝑟1
== 𝑒 𝑖(𝜃1 −𝜃2 ) (𝟑. 𝟐𝟏)
𝑧2 𝑟2
Hasil ini disebut teorema de Moivre dan sering digunakan dalam maniulasi bilangan kompleks.
Manipulasinya anatara lain; mencari identitas trigonometri, mencari akar ke-𝑛 suatu besaran.
26
3.4.1 Mencari Identitas Trigonometri
Misalkan kita ingin mencari bentuk pangkat dari cos 𝜃 dan sin 𝜃,
cos 3𝜃 + 𝑖 sin 3𝜃 = (cos 𝜃 + 𝑖 sin 𝜃)3 = (cos 3 𝜃 − 3 cos 𝜃 sin2 𝜃) + 𝑖(3 sin 𝜃 cos 2 𝜃 − sin3 𝜃)
Metode ini juga dapat digunakan untuk mencari ekspansi pangkat dari cos 𝑛𝜃 dan sin 𝑛𝜃 untuk
setiap 𝑛 bilangan bulat.
1
𝑧𝑛 + 𝑛
= (cos 𝜃 + 𝑖 sin 𝜃)𝑛 + (cos 𝜃 + 𝑖 sin 𝜃)−𝑛
𝑧
1
𝑧𝑛 + = cos 𝑛𝜃 + 𝑖 sin 𝑛𝜃 + cos(−𝑛𝜃) + 𝑖 sin(−𝑛𝜃) = 2 cos 𝑛𝜃 (𝟑. 𝟐𝟑)
𝑧𝑛
Dan
1
𝑧𝑛 − = (cos 𝜃 + 𝑖 sin 𝜃)𝑛 − (cos 𝜃 + 𝑖 sin 𝜃)−𝑛
𝑧𝑛
1
𝑧𝑛 + = cos 𝑛𝜃 + 𝑖 sin 𝑛𝜃 − cos(−𝑛𝜃) + 𝑖 sin(−𝑛𝜃) = 2𝑖 sin 𝑛𝜃 (𝟑. 𝟐𝟒)
𝑧𝑛
𝑧 𝑛 = 𝑧 2𝑖𝑘𝜋
Dengan 𝑘 adalah bilangan bulat sembarang dan dengan melakukan penyederhanaan kita
dapatkan :
Dengan 𝑘 nilainya mulai dari 0,1,2, … , 𝑛 − 1.Nilai 𝑘 yang semakin besar tidak memberi solusi
baru karena akarnya telah berulang untuk 𝑘 = 𝑛, 𝑛 + 1, 𝑛 + 2, dan seterusnya.
27
Misalna mencari solusi dari 𝑧 3 = 1, sesuai persamaan (4.25) kita dapatkan :
𝑧 = 𝑒 2𝑖𝑘𝜋⁄3
Fungsi hiperbolik merupakan analogi kompleks dari fungsi trigonometri. Memiliki hubungan
yang mirip dengan fungsi trgonometri, baik dari identitas maupun kalkulusnya.
Terdapat dua fungsi fundamental, cosh 𝑥 dan sinh 𝑥, yang masing-masing merupakan mirip
dengan 𝑐𝑜𝑠𝑥 dan 𝑠𝑖𝑛𝑥. Fungsi tersebut didefinisikan dengan relasi :
1
cosh 𝑥 = (𝑒 𝑥 + 𝑒 −𝑥 ) (𝟑. 𝟐𝟔)
2
1 𝑥
sinh 𝑥 = (𝑒 − 𝑒 −𝑥 ) (𝟑. 𝟐𝟕)
2
Dengan fungsi tersebut, leih jauh dapat dicari hubungan dari fungsi hiperbolik lain untuk tanh 𝑥,
sech 𝑥, csch 𝑥, dan coth 𝑥.
28
Sesuai dengan persamaan euler, kita mendapatkan :
1 𝑥
cos 𝑖𝑥 = (𝑒 + 𝑒 −𝑥 )
2
1 𝑥
sin 𝑖𝑥 = (𝑒 − 𝑒 −𝑥 )
2
Sehingga didapat hubungan yang sangat jelas antara fungsi hiperbolik dengan fungsi
trigonometri :
29
4. DERET FOURIER
Fenomena periodik seperti gelombang, gerak harmonis, atau gaya-gaya berulang lain
dideskripsikan dengan fungsi berulang. Deret dan transformasi Fourier merupakan media yang
menjadi dasar untuk memecahkan berbagai fenomena berulang tersebut.
Deret Fourier dapat digunakan untuk merepresentasikan suatu fungsi yang tidak dapat dilakukan
dengan ekspansi Taylor. Agar fungsi 𝑓(𝑥) memenuhi kriteria deret Fourier, maka deret tersebut
harus memenuhi kondisi Dirichlet :
Gambar 4.1 Sebuah contoh fungsi yang dapat direpresentasikan dengan deret Fourier
Deret Fourier terdiri dari fungsi sinus dan kosinus. Esensi dari hal ini adalah sinus merupakan
fungsi ganjil sementara kosinus merupakan fungsi genap, dimana keduanya merupakan fungsi
periodik.
30
Setiap bagian pada deret Fourier saling ortogonal, setiap satu periode. Setiap bagiannya
memenuhi sifat matematis berikut :
𝑥0 +𝐿
2𝜋𝑟𝑥 2𝜋𝑝𝑥
∫ sin ( ) cos ( ) 𝑑𝑥 = 0 untuk semua 𝑟 dan 𝑝 (𝟒. 𝟏)
𝑥0 𝐿 𝐿
𝐿 untuk 𝑟 = 𝑝 = 0
𝑥0 +𝐿
2𝜋𝑟𝑥 2𝜋𝑝𝑥 1
∫ cos ( ) cos ( ) 𝑑𝑥 = { 𝐿 untuk 𝑟 = 𝑝 > 0 (𝟒. 𝟐)
𝑥0 𝐿 𝐿 2
0 untuk 𝑟 ≠ 𝑝
0 untuk 𝑟 = 𝑝 = 0
𝑥0 +𝐿
2𝜋𝑟𝑥 2𝜋𝑝𝑥 1
∫ sin ( ) sin ( ) 𝑑𝑥 = { 𝐿 untuk 𝑟 = 𝑝 > 0 (𝟒. 𝟑)
𝑥0 𝐿 𝐿 2
0 untuk 𝑟 ≠ 𝑝
dengan 𝑟 dan 𝑝 merupakan bilangan bulat lebih besar atau sama dengan nol.
Untuk fungsi periodik 𝑓(𝑥) dengan periode 𝐿, koefisien Fourier memenuhi persamaan :
2 𝑥0 +𝐿 2𝜋𝑟𝑥
𝑎𝑟 = ∫ 𝑓(𝑥) cos ( ) 𝑑𝑥 (𝟒. 𝟓)
𝐿 𝑥0 𝐿
2 𝑥0 +𝐿 2𝜋𝑟𝑥
𝑏𝑟 = ∫ 𝑓(𝑥) sin ( ) 𝑑𝑥 (𝟒. 𝟔)
𝐿 𝑥0 𝐿
dimana 𝑥0 adalah nilai sembarang namun sering diambil sebagai 0 atau −𝐿/2. Penjabaran
formula ini dapat dilakukan dengan mengalikan 𝑓(𝑥) pada persamaan (𝟒. 𝟒), dengan cos(2𝜋𝑝𝑥/
𝐿), lalu mengintegralkan sepanjang satu periode penuh terhadap 𝑥. Hasil dari tahap tersebut,
kemudian diselesaikan dengan menggunakan persamaan (𝟒. 𝟏), (𝟒. 𝟐), dan (𝟒. 𝟑).
Fungsi yang simetri atau asimetri pada titik awal dapat mempermudah perhitungan dari koefisien
Fourier. Fungsi dengan 𝑥 ganjil tidak memiliki bagian kosinus dan semua koefisien 𝑎 bernilai
31
nol. Sebaliknya, fungsi dengan 𝑥 genap tidak memiliki bagian sinus dan semua koefisien 𝑏
bernilai nol. Karena deret Fourier dengan fungsi ganjil atau genap hanya menyisakan setengah
koefisien untuk menjabarkan perilaku keseluruhan periode, perhitungan deret Fourier akan
menjadi lebih mudah.
Ekspansi deret Fourier juga dapat diimplementasikan untunk fungsi diskontinu pada selang
tertentu. Hasil ekspansinya sendiri tidak lah diskontinu dan nilain dari fungsi 𝑓(𝑥) hasil ekspansi
akan bernilai setengah antara nilai batas atas dan nilai batas bawahnya.
Pada titik diskontinu, representasi deret Fourier akan meampaui nilainya. Lebih banyak bagian
digabungkan, posisi nilai lampauannya menyebabkan fungsi ekspansi bergerak mendekati
diskontinu, tidak akan pernah hilang meskipun terdapat takberhingga bagian. Hal ini dikenal
sebagai fenomena Gibbs.
Gambar 4.2 Konvergensi deret Fourier fungsi setengah gelombang, dengan (a) satu bagian, (b)
dua bagian (c) tiga bagian, dan (d) 20 bagian dengan 𝛿 menunjukkan lampauan fungsi.
Deret Fourier dapat pula digunakan untuk mengekspansi suatu fungsi non-periodik pada selang
tertentu. Hasil dari selang tersebut kemudan diterapkan kepada selang lain sehingga membentuk
suatu fungsi ekspansi periodik.
32
Misalnya mencari deret Fourier 𝑓(𝑥) = 𝑥 2 pada selang −2 ≤ 𝑥 ≤ 2. Dari gambar 4.3 terlihat
periodenya 4. Catat juga bahwa fungsinya merupakan fungsi genap, mengakibatkan bagian 𝑏𝑟
bernilai nol dan menyisakan bagian kosinus.
2 2 2 2𝜋𝑟𝑥 2
𝜋𝑟𝑥
𝑎𝑟 = ∫ 𝑥 cos ( ) 𝑑𝑥 = ∫ 𝑥 2 cos ( ) 𝑑𝑥
4 −2 4 0 2
2 2 𝜋𝑟𝑥 2 4 2 𝜋𝑟𝑥
= [ 𝑥 sin ( )] − ∫ 𝑥 sin ( ) 𝑑𝑥
𝜋𝑟 2 0 𝜋𝑟 0 2
16
= (−1)𝑟
𝜋2𝑟2
adapun untuk 𝑎0 ,
2 2 2 2
1 2 8
𝑎0 = ∫ 𝑥 𝑑𝑥 = ∫ 𝑥 2 𝑑𝑥 = [ 𝑥 3 ] =
4 −2 0 3 0 3
Dari pelajaran bilangan kompleks, bentuk 𝑒 𝑖𝑟𝑥 = cos 𝑟𝑥 + 𝑖 sin 𝑟𝑥. Secara sepintas, terlihat
bagian kosinus dan sinus muncul sekaligus. Hal ini membuat penyederhanaan deret Fourier.
Deret Fourier dalam bentuk kompleks memiliki persamaan:
33
∞
2𝜋𝑖𝑟𝑥
𝑓(𝑥) = ∑ 𝑐𝑟 exp ( ) (𝟒. 𝟕)
𝐿
𝑟=0
1 𝑥0 +𝐿 2𝜋𝑖𝑟𝑥
𝑐𝑟 = ∫ 𝑓(𝑥) exp (− ) 𝑑𝑥 (𝟒. 𝟖)
𝐿 𝑥0 𝐿
2𝜋𝑖𝑝𝑥
yang dapat diturunkan dengan mengalikan 𝑓(𝑥) pada (𝟒. 𝟕) dengan exp (− ) dan
𝐿
𝑥0 +𝐿
2𝜋𝑖𝑟𝑥 2𝜋𝑖𝑝𝑥 𝐿 ,𝑟 = 𝑝
∫ exp ( ) exp (− ) 𝑑𝑥 = { (𝟒. 𝟗)
𝑥0 𝐿 𝐿 0 ,𝑟 ≠ 𝑝
1
𝑐𝑟 = (𝑎𝑟 − 𝑖𝑏𝑟 )
2
1
𝑐−𝑟 = (𝑎𝑟 + 𝑖𝑏𝑟 )
2
Untuk 𝑓(𝑥) real, maka 𝑐−𝑟 = 𝑐𝑟∗ , atau biasa disebut sebagai kompleks konjugat dari 𝑐𝑟 .
Teoream Parseval beguna dalam menghubungkan koefisien Fourier dengan fungsi yang
dideskripsikannya. Bentuk umumnya:
∞
1 𝑥0 +𝐿
∫ |𝑓(𝑥)|2 𝑑𝑥 = ∑ |𝑐𝑟 |2
𝐿 𝑥0
𝑟=−∞
2 ∞
1 1
= ( 𝑎0 ) + ∑(𝑎𝑟2 + 𝑏𝑟2 ) (𝟒. 𝟏𝟎)
2 2
𝑟=1
Persamaan tersebut menyatakan penjumlahan dari modulus kuadrat dari koefisien deref Fourier
kompleks memiliki nilai yang sama dengan |𝑓(𝑥)|2 dalam satu periode. Teorema Parseval biasa
digunakan dalam penjumlahan deret.
34
5. TRANSFORMASI FOURIER
Transformasi Fourier merepresentasikan fungsi terdefinisi pada interval takberhingga dan tidak
periodik. Dengan kata lain, transformasi Fourier merupakan generalisasi dari deret Fourier yang
merepresentasikan fungsi periodik. Misalkan untuk sebuah fungsi dengan periode 𝑇 dapat
direpresentasikan sebagai deret Fourier kompleks
∞ ∞
Saat periode 𝑇 menuju tak terhingga, frekuensi quantum, ∆𝜔 = 2𝜋/𝑇 menjadi sangat kecil dan
spektrum frekuensi yang diizinkan 𝜔𝑟 menjadi kontinu. Penjumlahan tak terhingga berbentuk
deret Fourier menjadi sebuah integral, dan koefisien 𝑐𝑟 menjadi fungsi kontinu dengan variabel
𝜔, dimana persamaannya
1 𝑇/2 −2𝜋𝑖𝑡𝑢/𝑇
∆𝜔 𝑇/2
𝑐𝑟 = ∫ 𝑓(𝑡)𝑒 𝑑𝑡 = ∫ 𝑓(𝑡)𝑒 −𝑖𝜔𝑟 𝑡 𝑑𝑡 (𝟓. 𝟐)
𝑇 −𝑇/2 2𝜋 −𝑇/2
Untuk memudahkan imajinasi, perhatikan gambar 5.1. Setiap titik pada kurva merupakan alur
dari 𝑐𝑟 𝑒 𝑖𝜔𝑟 𝑡 sebagai fungsi dari 𝑟 dan jelas bahwa (2𝜋/𝑇)𝑐𝑟 𝑒 𝑖𝜔𝑟 𝑡 memberikan luas dari persegi
panjang (garis putus-putus) ke-𝑟. Saat 𝑇 menuju ∞, maka ∆𝜔 (= 2𝜋/𝑇) menjadi sangat kecil,
lebar dari persegi panjang akan menuju nol dan, dari definisi matematis dari integral,
∞
∆𝜔 1
∑ 𝑔(𝜔𝑟 )𝑒 𝑖𝜔𝑟 𝑡 → ∫ 𝑔(𝜔𝑟 ) 𝑒 𝑖𝜔𝑡 𝑑𝜔
2𝜋 2𝜋
𝑟=−∞
35
Gambar 5.1 Hubungan bagian Fourier untuk fungsi periode 𝑇 dan integral Fourier dari suatu
fungsi
dimana
𝑇/2
𝑔(𝜔𝑟 ) = ∫ 𝑓(𝑡)𝑒 −𝑖𝜔𝑟 𝑡 𝑑𝑡
−𝑇/2
1 ∞ ∞
𝑓(𝑡) = ∫ 𝑑𝜔 𝑒 𝑖𝜔𝑡 ∫ 𝑑𝑡 𝑓(𝑡) 𝑒 −𝑖𝜔𝑡 (𝟓. 𝟒)
2𝜋 −∞ −∞
dengan inversnya
∞
1
𝑓(𝑡) = ∫ 𝑓̃(𝜔) 𝑒 𝑖𝜔𝑡 𝑑𝜔 (𝟓. 𝟔)
√2𝜋 −∞
Fungi delta Dirac dapat divisualisasikan sebagai pulsa sangat tajam (waktu, ruang, densitas, dsb)
yang memproduksi sebuah efek dengan magnitude tertentu.
36
namun secara fundamental sifatnya memenuhi
menghasilkan selang integasi pada titik 𝑡 = 𝑎; selain itu integralnya sama dengan nol. Hal ini
mengarahkan pada dua hasil lebih lanjut
𝑏
∫ 𝛿(𝑡) 𝑑𝑡 = 1 untuk setiap 𝑎, 𝑏 > 0 (𝟓. 𝟗)
−𝑎
dan
1
𝛿(𝑡) = 𝛿(−𝑡), 𝛿(𝑎𝑡) = 𝛿(𝑡), 𝑡𝛿(𝑡) = 0 (𝟓. 𝟏𝟏)
|𝑎|
1 untuk 𝑡 > 0
𝐻(𝑡) = { (𝟓. 𝟏𝟐)
0 untuk 𝑡 < 0
namun fungsi ini diskontinu pada 𝑡 = 0. Hubungannya dengan fungsi delta Dirac
Dari teorema inversi Fourier, persamaan (𝟓. 𝟒), dapat dilihat hubungannya dengan fungsi delta
Dirac
1 ∞ 𝑖𝜔(𝑡−𝑢)
𝛿(𝑡 − 𝑢) = ∫ 𝑒 𝑑𝜔 (𝟓. 𝟏𝟒)
2𝜋 −∞
37
5.3 Fungsi Ganjil dan Fungsi Genap
Jika 𝑓(𝑡) ganjil atau genap, teorema inversi Fourier dapat disajikan dalam bentuk berbeda.
2 ∞ ∞
𝑓(𝑡) = ∫ 𝑑𝜔 sin 𝜔𝑡 {∫ 𝑓(𝑢) sin 𝜔𝑢 𝑑𝑢}
𝜋 0 0
2 ∞
𝑓̃𝑠 (𝜔) = √ ∫ 𝑓(𝑡) sin 𝜔𝑡 𝑑𝑡 (𝟓. 𝟏𝟔)
𝜋 0
2 ∞
𝑓(𝑡) = √ ∫ 𝑓̃𝑠 (𝜔) sin 𝜔𝑡 𝑑𝜔 (𝟓. 𝟏𝟕)
𝜋 0
2 ∞ ∞
𝑓(𝑡) = ∫ 𝑑𝜔 cos 𝜔𝑡 {∫ 𝑓(𝑢) cos 𝜔𝑢 𝑑𝑢}
𝜋 0 0
2 ∞
𝑓̃𝑐 (𝜔) = √ ∫ 𝑓(𝑡) cos 𝜔𝑡 𝑑𝑡 (𝟓. 𝟏𝟖)
𝜋 0
2 ∞
𝑓(𝑡) = √ ∫ 𝑓̃𝑐 (𝜔) cos 𝜔𝑡 𝑑𝜔 (𝟓. 𝟏𝟗)
𝜋 0
38
6. PERSAMAAN DIFERENSIAL BIASA
Persamaan diferensial biasa dengan derajat satu hanya mengandung komponen 𝑑𝑦⁄𝑑𝑥 untuk
suatu fungsi x dan y. dan dapat ditulis dalam dua bentuk umum :
𝑑𝑦
= 𝐹(𝑥, 𝑦), 𝐴(𝑥, 𝑦)𝑑𝑥 + 𝐵(𝑥, 𝑦)𝑑𝑦 = 0 (𝟔. 𝟏)
𝑑𝑥
dimana 𝐹(𝑥, 𝑦) = −𝐴 (𝑥, 𝑦)⁄𝐵 (𝑥, 𝑦), dan 𝐹(𝑥, 𝑦), 𝐴(𝑥, 𝑦), 𝐵(𝑥, 𝑦), secara umum dapat berupa
fungsi x dan y.
Persamaan variable pisah merupakan persamaan yang dapat dengan sederhana dituliskan dalam
bentuk :
𝑑𝑦
= 𝑓(𝑥)𝑔(𝑦) (𝟔. 𝟐)
𝑑𝑥
Dimana 𝑓(𝑥) dan 𝑔(𝑦) adalah fungsi dari x dan y, termasuk juga dalam kasus 𝑓(𝑥) atau 𝑔(𝑦)
adalah sebuah konstanta. Dengan melakukan pengaturan ulang, persamaan tersebut dapat ditulis
kedalam bentuk integral
𝑑𝑦
∫ = ∫ 𝑓(𝑥)𝑑𝑥 (𝟔. 𝟑)
𝑔(𝑦)
39
6.1.3 Persamaan Eksak
𝜕𝐴 𝜕𝐵
𝐴(𝑥, 𝑦)𝑑𝑥 + 𝐵(𝑥, 𝑦)𝑑𝑦 = 0, dimana = (𝟔. 𝟒)
𝜕𝑦 𝜕𝑥
Persamaan 𝐴(𝑥, 𝑦)𝑑𝑥 + 𝐵(𝑥, 𝑦)𝑑𝑦 dapat dituliskan dalam variable 𝑑𝑈(𝑥, 𝑦), atau dengan kata
lain
𝜕𝑈 𝜕𝑈
𝑑𝑈 = 𝑑𝑥 + 𝑑𝑦 = 𝐴𝑑𝑥 + 𝐵𝑑𝑦
𝜕𝑥 𝜕𝑦
𝜕𝑈
𝐴(𝑥, 𝑦) = (𝟔. 𝟓)
𝜕𝑥
𝜕𝑈
𝐵(𝑥, 𝑦) = (𝟔. 𝟔)
𝜕𝑦
Dengan merujuk pada persamaan diferensial eksak, 𝑑𝑈(𝑥, 𝑦) = 0, sehingga memiliki solusi
𝑈(𝑥, 𝑦) = 𝑐. Dimana 𝑐 disini dapat dicari dengan menyelesaikan salah satu dari dua persmaan
diatas, dimana hasilnya adalah solusi dari persamaan diferensial eksak.
Dimana untuk 𝐹(𝑦) dapat ditemukan dengan menurnkan persamaan 𝑈(𝑥, 𝑦) diatas terhadap 𝑦,
𝜕𝑈
kemudian melakukan penyamaan dengan persamaan 𝐵 = .
𝜕𝑦
𝑑𝑦
+ 𝑃(𝑥)𝑦 = 𝑄(𝑥) (𝟔. 𝟖)
𝑑𝑥
Persamaan tersebut dapat dirubah menjadi persamaan eksak dengan mengalikan factor
pengintegralan. Faktor pengintegralan disini hanya berupa fungsi x semata.
40
Dengan memisalkan faktor pengintegralan 𝜇(𝑥, 𝑦), persamaan umum PDB linear menjadi
𝑑𝑦 𝑑
𝜇(𝑥, 𝑦) + 𝜇(𝑥, 𝑦)𝑃(𝑥)𝑦 = [𝜇(𝑥, 𝑦)𝑦] = 𝜇(𝑥, 𝑦)𝑄(𝑥)
𝑑𝑥 𝑑𝑥
𝑑 𝑑𝑦 𝑑𝜇 𝑑𝑦
(𝜇𝑦) = 𝜇 +𝑦 =𝜇 + 𝜇𝑃𝑦,
𝑑𝑥 𝑑𝑥 𝑑𝑥 𝑑𝑥
𝑑𝜇
= 𝜇(𝑥)𝑃(𝑥)
𝑑𝑥
𝜇(𝑥) = 𝑒 ∫ 𝑃(𝑥)𝑑𝑥
𝑑𝑦
+ 𝑃(𝑥)𝑦 = 𝑄(𝑥)𝑦 𝑛 , dengan 𝑛 ≠ 0 atau 1 (𝟔. 𝟏𝟎)
𝑑𝑥
PDB Bernoulli merupakan kasus khusus dari PDB linear, tapi PDB Bernoulli ini tidaklah linear.
Hal ini disebabkan karena adanya 𝑦 𝑛 . Namun, PDB Bernoulli dapat diubah menjadi PDB linear
dengan melakukan pemisalan sebuah variable baru 𝑣 = 𝑦 1−𝑛 yang mengakibatkan 𝑑𝑣 =
(1 − 𝑛)𝑦 −𝑛 𝑑𝑦.
𝑦𝑛
𝑑𝑦 = 𝑑𝑣
(1 − 𝑛)
41
dimana dengan menggantikan dy pada persamaan sebelumnya didapatkan :
𝑑𝑣
+ (1 − 𝑛)𝑃(𝑥)𝑣 = (1 − 𝑛)𝑄(𝑥) (𝟔. 𝟏𝟏)
𝑑𝑥
yang merupakan bentuk PDB linear. Tentu saja, solusinya dicari dengan metoda PDB linear.
𝑑𝑦 𝐴(𝑥, 𝑦) 𝑦
= = 𝐹( ) (𝟔. 𝟏𝟐)
𝑑𝑥 𝐵(𝑥, 𝑦) 𝑥
dimana 𝐴(𝑥, 𝑦) dan 𝐵(𝑥, 𝑦) merupakan fungsi homogen dengan derajat yang sama. Sebuah
fungsi 𝑓(𝑥, 𝑦) homogen dengan derajat n jika, untuk setiap 𝜆, memenuhi
𝑑𝑦 𝑑𝑣
=𝑣+𝑥 = 𝐹(𝑣)
𝑑𝑥 𝑑𝑥
Ini kemudian merupakan PDB variabel pisah dan dapat langsung diintegralkan
𝑑𝑣 𝑑𝑥
∫ =∫ (𝟔. 𝟏𝟑)
𝐹(𝑣) − 𝑣 𝑥
Bentuk umumnya :
𝑑𝑛 𝑦 𝑑 (𝑛−1) 𝑦 𝑑𝑦
𝑎𝑛 (𝑥) 𝑛 + 𝑎(𝑛−1) (𝑥) (𝑛−1) + ⋯ + 𝑎1 (𝑥) + 𝑎0 (𝑥)𝑦 = 𝑄(𝑥)
𝑑𝑥 𝑑𝑥 𝑑𝑥
42
Saat 𝑄(𝑥) = 0, persamaannya disebut homogen, sebaliknya, persamaannya disebut tidak
homogen. Solusi umum untuk persamaan diferensial linear, mengacu pada persamaan diatas,
akan mengandung n buah konstan.
Kasus paling umum yang sering dijumpai dalam masalah fisika adalah persamaan diferensial
linear orde dua. Karena itu, buku ini memfokuskan untuk kasus PD Linear orde dua :
𝑑2𝑦 𝑑𝑦
𝐴(𝑥) 2 + 𝐵(𝑥) + 𝐶(𝑥)𝑦 = 𝑄(𝑥)
𝑑𝑥 𝑑𝑥
Dimana 𝐴(𝑥), 𝐵(𝑥) dan 𝐶(𝑥) adalah sebuah fungsi yang kontinu. Persamaan ini biasa digunakan
untuk mempelajari gerak dari sebuah pegas.
Seperti di awal pembahasan, saat 𝑄(𝑥) = 0, persamaannya menjadi homogen. Bentuk umunya :
𝑑2𝑦 𝑑𝑦
𝐴(𝑥) + 𝐵(𝑥) + 𝐶(𝑥)𝑦 = 0
𝑑𝑥 2 𝑑𝑥
Dua fakta dasar membantu kita untuk dapat memecahkan solusi untuk persamaan di atas.
Pertama adalah jika kita mengatahui dua solusi 𝑦1 (𝑥) dan 𝑦2 (𝑥) untuk persamaan tersebut,
kombinasi linearnya juga merupakan solusi :
Dengan 𝑐1 dan 𝑐2 adalah suatu konstanta tertentu. Hal ini dapat dibuktikan dengan melakukan
subtitusi 𝑦1 (𝑥) dan 𝑦2 (𝑥) pada persamaan yang menghasilkan nilai 0 dan menurunkan 𝑦(𝑥) dua
kali lalu melakukan subtitusi pada persamaan awal.
Fakta lain yang membuat kita mampu memecahkan solusi persamaan ini adalah, solusi
umumnya berupa kombinasi linear dari dua solusi linear yang independen 𝑦1 (𝑥) dan 𝑦2 (𝑥). Ini
berarti antara 𝑦1 (𝑥) dan 𝑦2 (𝑥) bukanlah merupakan kelipatan antara satu sama lain. Lebih
jelasnya, fungsi 𝑓(𝑥) = 𝑥 2 dan 𝑔(𝑥) = 2𝑥 2 merupakan fungsi tidak bebas secara linear, tapi
𝑓(𝑥) = 𝑒 𝑥 dan 𝑔(𝑥) = 𝑥𝑒 𝑥 merupakan fungsi bebas secara linear.
Secara umum tidak mudah mencari solusi khusus untuk PD linear orde dua. Namun saat
koefisiennya, 𝐴(𝑥), 𝐵(𝑥) dan 𝐶(𝑥) adalah sebuah konstanta, hal tersebut dapat dengan mudah
43
dilakukan. PD linear homogen orde dua dengan koefisien konstan akan memiliki formula
sebagai berikut :
𝐴𝑦 ′′ + 𝐵𝑦 ′ + 𝐶𝑦 = 0 (𝟔. 𝟏𝟒)
Solusi persamaan di atas adalah sebuah fungsi y, teerdiri dari sebuah konstanta dikalikan dengan
turnuan keduanaya (𝑦’’) ditambah dengan kontastanta lain yang dikalikan dengan turunan
pertamanya (𝑦’) yang ditambah lagi dengan konstanta kemudian dikalikan dengan (𝑦)
menghasilkan 0. Kita mengatahui bahwa fungsi eksponensial 𝑦 = 𝑒 𝑟𝑥 (dengan 𝑟 adalah
konstanta) memiliki turunan sebuah konstanta yang dikalikan dengan dirinya sendiri 𝑦′ = 𝑟𝑒 𝑟𝑥 .
Adapun turunan keduanya 𝑦′′ = 𝑟 2 𝑒 𝑟𝑥 . Dengan melakukan substitusi dengan persamaan diatas :
atau :
(𝐴𝑟 2 + 𝐵𝑟 + 𝐶)𝑒 𝑟𝑥 = 0
Tapi 𝑒 𝑟𝑥 tidak pernah 0, sehingga 𝑦 = 𝑒 𝑟𝑥 adalah solusi untuk PD linear homogen orde dua
dengan koefisien konstan, dengan r adalah akar-akar dari persamaan :
𝐴𝑟 2 + 𝐵𝑟 + 𝐶 = 0 (𝟔. 𝟏𝟓)
Nilai 𝑟 bisa didapatkan dengan cara pemfaktoran, namun tidak jarang juga menggunakan rumus
akar persamaan kuadrat :
−𝐵 ± √𝐵 2 − 4𝐴𝐶
𝑟1,2 =
2𝐴
Dimana kita dapatkan tiga kasus yang bergantung pada diskriminan 𝐵 2 − 4𝐴𝐶.
Kasus pertama, saat 𝐵 2 − 4𝐴𝐶 > 0. Kasus ini, akar-akar 𝑟1 dan 𝑟2 merupakan persamaan yang
berbeda. Sehingga 𝑦1 = 𝑒 𝑟1 𝑥 dan 𝑦2 = 𝑒 𝑟2 𝑥 adalah dua solusi linear yang bebas dari persamaan
𝐴𝑦 ′′ + 𝐵𝑦 ′ + 𝐶𝑦 = 0. Sehingga solusi umumnya dapat ditulis :
44
𝑦 = 𝑐1 𝑒 𝑟1𝑥 + 𝑐2 𝑒 𝑟2 𝑥 (𝟔. 𝟏𝟔)
Kasus kedua, saat 𝐵 2 − 4𝐴𝐶 = 0. Pada kasus ini r1 = r2. Sehingga akar-akarnya real dan sama.
Kita misalkan akar-akar sama ini dengan 𝑟. Sehingga, rumus akar persamaan kuadrat :
−𝐵
𝑟= sehingga 2𝐴𝑟 + 𝐵 = 0
2𝐴
Dari syarat-syarat tersebut, didapatkan solusi untuk PD linear homogen orde dua dengan
koefisien konstan dan akar-akar yang sama memberikan :
𝑦 = 𝑐1 𝑒 𝑟𝑥 + 𝑐2 𝑥𝑒 𝑟𝑥 (𝟔. 𝟏𝟕)
Kasus ketiga, saat 𝐵 2 − 4𝐴𝐶 < 0. Pada kasus ini, r1 dan r2 terdiri dari bilangan kompleks. Kita
dapat menuliskan :
𝑟1 = 𝛼 + 𝑖𝛽 dan 𝑟2 = 𝛼 − 𝑖𝛽
Dimana 𝛼 dan 𝛽 adalah bilangan real (𝛼 = −𝐵⁄(2𝐴) dan 𝛽 = √𝐵 2 − 4𝐴𝐶 ⁄(2𝐴)), sehingga
dengan menggunakan persamaan Euler :
𝑒 𝑖𝜃 = 𝑐𝑜𝑠𝜃 + 𝑖𝑠𝑖𝑛𝜃
Solusi yang kita dapatkan menjadi :
𝑦 = 𝐶1 𝑒 (𝛼+𝑖𝛽)𝑥 + 𝐶2 𝑒 (𝛼−𝑖𝛽)𝑥
= 𝐶1 (𝑒 𝛼𝑥 𝑒 𝑖𝛽𝑥 ) + 𝐶2 (𝑒 𝛼𝑥 𝑒 −𝑖𝛽𝑥 )
= 𝐶1 𝑒 𝛼𝑥 (cos 𝛽𝑥 + 𝑖 sin 𝛽𝑥) + 𝐶2 𝑒 𝛼𝑥 (cos 𝛽𝑥 − 𝑖 sin 𝛽𝑥)
= 𝑒 𝛼𝑥 (𝐶1 cos 𝛽𝑥 + 𝑖𝐶1 sin 𝛽𝑥 + 𝐶2 cos 𝛽𝑥 − 𝑖𝐶2 sin 𝛽𝑥)
= 𝑒 𝛼𝑥 ((𝐶1 + 𝐶2 ) cos 𝛽𝑥 + 𝑖(𝐶1 − 𝐶2 ) sin 𝛽𝑥)
atau disederhanakan
𝑦 = 𝑒 𝛼𝑥 (𝑐1 cos 𝛽𝑥 + 𝑐2 sin 𝛽𝑥) (𝟔. 𝟏𝟖)
45
6.2.2 PD Linear Tidak Homogen Orde Dua dengan Koefisien Konstan
𝐴𝑦 ′′ + 𝐵𝑦 ′ + 𝐶𝑦 = 𝑄(𝑥)
Dimana A, B, dan C adala suatu konstanta dan G adalah fungsi kontinu. Kita tahu bentuk
homogennya adalah :
𝐴𝑦 ′′ + 𝐵𝑦 ′ + 𝐶𝑦 = 0
Dengan 𝑦𝑝 (𝑥) adalah solusi khusus dari persamaan linear orde dua tidak homogen dengan
koefisien konstan.
Salah satu metode menyelesaikan persamaan jenis ini, pertama-tama, kita ilustrasikan sebuah
persamaan :
𝐴𝑦 ′′ + 𝐵𝑦 ′ + 𝐶𝑦 = 𝑄(𝑥)
Dimana 𝑄(𝑥) adalah sebuah polynominal. Masuk akal ketika kita menebak bahwa terdapat
solusi partikular 𝑦𝑝 yang merupakan polynominal dengan derajat yang sama dengan 𝑄 karena
jika 𝑦 adalah polynominal, maka 𝐴𝑦 ′′ + 𝐵𝑦 ′ + 𝐶𝑦 juga merupakan polynominal. Kemudian
dilakukan subtitusi 𝑦𝑝 (𝑥) sebuah polynominal kedalam persamaan tersebut dan menentukan
koefisiennya.
Misalkan 𝑄(𝑥) adalah sebuah polynominal 𝑥 2 , kita dapat mencari solusi khususnya dengan
formasi :
Kemudian melakukan diferensiasi sebanyak dua kali, lalu subtitusikan hasilnya pada persamaan
awal untuk mencari koefisien.
46
Adapun ketika Q(x) adalah sebuah fungsi dengan formasi 𝐶𝑒 𝑘𝑥 dengan C dan k adalah konstanta,
kita menggunakannya solusi percobaan dengan formasi sama
Jika 𝑄(𝑥) adalah fungsi yang terdiri dari 𝐶 cos 𝑘𝑥 dan 𝐶 sin 𝑘𝑥, dengan memperhatikan aturan
penurunan terhadap sinus dan kosinus, kita ambil sebagai solusi percobaan partikular adalah
fungsi dengan formasi :
Kasus lain, ketika 𝑄(𝑥) merupakan hasil dari suatu fungsi yang didahuli oleh sebuah variabel,
kita mengambil solusi percobaan partikular yang sesuai dengan fungsi tersebut. Misalkan :
𝑦 ′′ + 2𝑦 ′ + 4𝑦 = 𝑥𝑐𝑜𝑠3𝑥
47
7. TRANSFORMASI LAPLACE
7.1 Definisi
Transformasi Laplace dapat digunakan untuk menyelesaikan suatu persamaan diferensial. Meski
berbeda dan menjadi alternatif untuk variasi parameter dan koefisien yang tidak ditentukan,
metode Laplace bermanfaat secara terpisah untuk masukan bagian yang hanya terdefinisi
sebagian, periodic, ataupun impulsive.
yang merupakan bentuk umum integral biasa. Karena bentuk integral, sifat-sifat dari integral
juga berlaku untuk transformasi Laplace ini. Misalnya :
Sebagai pengantar transformasi Laplace, mari kita mengaplikasikannya untuk beberapa fungsi
elementer. Untuk setiap kasus, kita asumsikan 𝐹(𝑡) = 0 untuk 𝑡 < 0. Jika
𝐹(𝑡) = 1, 𝑡 > 0
Contoh lain,
𝐹(𝑡) = 𝑒 𝑘𝑡 , 𝑡 > 0
48
transformasi Laplacenya menjadi :
∞
𝑘𝑡 }
1
𝐿{𝑒 = ∫ 𝑒 𝑘𝑡 𝑒 −𝑠𝑡 𝑑𝑡 = , 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘𝑠 > 𝑘
0 𝑠−𝑘
Dari dua bentuk diatas, transformasi Laplace untuk fungsi hiperbolikus 𝑐𝑜𝑠ℎ dan 𝑠𝑖𝑛ℎ dapat
diketahui. Kita tahu,
1 1
cosh 𝑘𝑡 = 2 (𝑒 𝑘𝑡 + 𝑒 −𝑘𝑡 ), sinh 𝑘𝑡 = 2 (𝑒 𝑘𝑡 − 𝑒 −𝑘𝑡 ) ,
1 1 1 𝑠
𝐿{cosh 𝑘𝑡} = 2 (𝑠−𝑘 + 𝑠+𝑘) = 𝑠2 +𝑘 2 ,
1 1 1 𝑘
𝐿{sinh 𝑘𝑡} = 2 (𝑠−𝑘 − 𝑠+𝑘) = 𝑠2 +𝑘 2 ,
Hal tersebut juga dapat dibuktikan untuk mencari transofmasi dari cos 𝑘𝑡 dan sin 𝑘𝑡, dimana :
𝑠
𝐿{cos 𝑘𝑡} = 𝑠2 +𝑘 2 ,
𝑘
𝐿{sin 𝑘𝑡} = 𝑠2 +𝑘 2,
Fungsi elementer lain yang juga sering digunakan, adalah 𝐹(𝑡) = 𝑡 𝑛 , yang transformasi
Laplacenya :
∞
𝐿{𝑡 𝑛 } = ∫0 𝑡 𝑛 𝑒 −𝑠𝑡 𝑑𝑡,
𝑛!
𝑓(𝑠) = 𝑠𝑛+1 untuk 𝑠 > 0 dan 𝑛 > −1.
Dari beberapa persamaan di atas, setiap transformasi memiliki variabel 𝑠 pada pembagi,
sehingga muncul sebagai pangkat negative. Dari definisi awal transformasi Laplace dan syarat
keadaannya, dapat kita lihat bahwa jika 𝑓(𝑠) adalah sebuah transformasi Laplace, 𝑙𝑖𝑚 𝑓(𝑠) = 0.
𝑠→∞
49
Suatu hal penting dari fakta ini adalah jika 𝑓(𝑠) bersifat asymptotis untuk nilai 𝑠 yang besar
sebagai pangkat positif dari 𝑠, tidak ada transformasi invers yang memenuhi persamaan tersebut.
Secara umum, fungsi Heaviside merupakan fungsi diskontinu yang nilainya nol untuk bagian
negative dan nilainya satu untuk bagian positif. Misalkan fungsi Heaviside kita definisikan
sebagai 𝑢(𝑡 − 𝑘),
0, 𝑡 < 𝑘,
𝑢(𝑡 − 𝑘) = { (𝟕. 𝟑)
1, 𝑡 > 𝑘,
Misalnya sebuah grafik signal 𝐹(𝑡) dengan tinggi 𝐴 saat 𝑡 = 0 sampai 𝑡 = 𝑡0 , dengan
menggunakan fungsi Heaviside, signal tersebut dapat direpresentasikan sebagai :
1
𝐿{𝐹(𝑡)} = 𝑠 (1 − 𝑒 −𝑡0 𝑠 ).
Penggunaan lebih lanjut pada persamaan diferensial akan berguna dengan menggunakan konsep
fungsi Delta Dirac. Transformasi dari fungsi Delta Dirac :
∞
𝐿{𝛿(𝑡 − 𝑡0 )} = ∫ 𝑒 −𝑠𝑡 𝛿(𝑡 − 𝑡0 ) 𝑑𝑡 = 𝑒 −𝑡0 𝑠 , untuk 𝑡0 > 0 (𝟕. 𝟒)
0
50
Gambar 7.2 Grafik fungsi Delta Dirac
Untuk 𝑡0 = 0 perlu diperhatikan, karena fungsi Delta Dirac berpengaruh pada distribusi
kesimetrian dan definisi integral dari transformasi Laplace teerdestriksi untuk 𝑡 ≥ 0. Hasil yang
konsisten dari transformasi Laplace, didapatkan ketika urutan delta pada jangkauan 𝑡 ≥ 𝑡0 , yang
hasilnya :
𝐿{𝛿(𝑡)} = 1
Fungsi delta ini sering disebut fungsi impulse karena sangat berguna dalam mendeskripsikan
gaya impulsive, yakni gaya yang terjadi pada waktu yang singkat.
Salah satu fungsi dari transformasi Laplace adalah untuk menyelesaikan solusi dari persamaan
difrensial. Transformasi Laplace menjadikan persamaan diferensial yang dianalisis
ditransformasi ke ruang Laplace menjadi fungsi 𝑓(𝑠). Fungsi terebut dapat dirubah bentuknya
menjadi aljabar sederhana, lalu melakkukan transformasi balik fungsi tersebut sehingga
didapatkan solusi dengan variabel asal fungsi.
51
Misalkan transformasi Laplace untuk fungsi (𝑡) :
∞
′ (𝑡)}
𝑑𝐹(𝑡) −𝑠𝑡
𝐿{𝐹 =∫ 𝑒 𝑑𝑡 (𝟕. 𝟓)
0 𝑑𝑡
Dari pemaparan tersebut, transformasi laplace untuk turunan dengan orde lebih tinggi akan
mengikuti pola :
Setelah mendapatkan fungsi dari 𝑓(𝑠), persamaan tersebut diolah dengan operasi aljabar
sederhana kemudian melakukan transformasi balik untuk mendapatkan nilai 𝑓(𝑡) yang kembali
pada variabel awal :
Transformasi balik Lapace ini dikaji lebih dalam dengan teorema konvolusi. Misalkan 𝐿{𝑓(𝑡)} =
𝑓(𝑠) dan 𝐿{𝑔(𝑡)} = 𝑔(𝑠), transformasi balik dari hasil kalinya :
𝑡
𝑓 ∗ 𝑔 = ∫ 𝑓(𝑠)𝑔(𝑡 − 𝑠)𝑑𝑠 (𝟕. 𝟗)
𝑜
𝑡 ∞ 𝑡
−𝑠𝑡
−1 −𝑠𝑡 𝑡 ∞
1 −𝑠𝑡
𝐿 [∫ 𝑓(𝑢)𝑑𝑢] = ∫ 𝑑𝑡 𝑒 ∫ 𝑓(𝑢)𝑑𝑢 = [ 𝑒 ∫ 𝑓(𝑢)𝑑𝑢] 0 + ∫ 𝑒 𝑓(𝑡)𝑑𝑡
𝑜 𝑜 𝑜 𝑠 𝑜 𝑜 𝑠
52
𝑡
1
𝐿 [∫ 𝑓(𝑢)𝑑𝑢] = 𝐿[𝑓(𝑡)] (𝟕. 𝟏𝟎)
𝑜 𝑠
∞ ∞ ∞ ∞
𝑓(𝑡) 𝑓(𝑡)
∫ 𝑓(𝑥)𝑑𝑥 = ∫ 𝑑𝑥 ∫ 𝑑𝑡𝑒 −𝑥𝑡 𝑓(𝑡) = ∫ 𝑒 −𝑥𝑡 𝑑𝑡 = 𝐿 [ ] (𝟕. 𝟏𝟏)
𝑠 𝑠 0 0 𝑡 𝑡
Dari berbagai penjabaran tentang transformasi Laplace di atas, berikut adalah table transformasi
Laplace untuk fungsi-fungsi standard.
53
DAFTAR PUSTAKA
[1]. K. F. Riley, M. P. Hobson, S.J. Bence, Mathematical Methods for Physics and
Engineering, 3rd Ed., Cambridge University Press, London, (2006)
[2]. G. B. Arfken, H. J. Weber, F. E. Harris, Mathematical Methods for Physicists, 7th Ed.,
Elsevier, Walthman, (2013)
[3]. T.Surungan, Fisika Matematika, Vol. 1, Lembaga Kajian dan Pengembangan Pendidikan
Universitas Hasanuddin, Makassar, (2012)
54