Anda di halaman 1dari 340

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

1|Page
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Dalam Rangka Memperingati 45 Tahun


( 1 Okt. 1965 – 1. Okt. 2010)
Tragedi Nasional Kemanusiaan
di Indonesia

Kata Pengantar
e-Book jilid II ini adalah bunga rampai tulisan-tulisan mengenai "Gerakan Satu Oktober
1965" (Coup d´État ´65), yang saya baca dan kumpulkan selama bulan September 2010 dari
berbagai Mailinglist di Internet dalam rangka Membuka Tabir Sejarah Republik Indonesia "45
Tahun Tragedi Nasional Republik Indonesia" (01.10.1965 - 01.10.2010). Jilid I bisa dilihat di
http://www.wirantaprawira.net/pakorba/

Sebagai generasi muda yang lahir tahun 1983 dan hidup di luar Indonesia, saya ingin
mengetahui sebab-sebab, mengapa Bapak saya yang tercinta, Willy R. Wirantaprawira,
yang oleh Pemerintah Republik Indonesia diberi tugas untuk belajar di Eropah Timur (1963 -
1968), sejak umur 24 tahun sampai saat ini, lebih dari 47 tahun terpaksa kelayaban di
mancanegara.

Tulisan-tulisan dalam buku ini disajikan se-adanya, tanpa di-modifikasi dan tanpa komentar
dari saya pribadi. Hak cipta dari pada tulisan-tulisan tersebut adalah milik penulis yang
bersangkutan. Penerbitan buku ini saya biayai sendiri dan disebar-luaskan secara gratis
kepada perpustakaan-perpustakaan diseluruh Indonesia dan kepada mereka yang tidak
mempunyai akses ke Internet.

Dipersembahkan kepada seluruh "anak bangsa, - korban rezim OrBa Jendral Soeharto -
yang terpaksa kelayaban di mancanegara" (Gus Dur 2000)

Freiburg, Jerman, 30 September 2010

CynthaWirantaprawira
cynth@wirantaprawira.net
http://www.wirantaprawira.net/privat/cyntha/
http://www.facebook.com/?ref=mb&sk=messages#!/profile.php?id=1500631766&ref=ts

Hak Masyarakat Dapat Informasi Peristiwa Gerakan Satu Oktober ´65


secara Benar

Kesalahan Orang Yang Terlibat "Gestok" Jangan Sampai Ditanggung Anak dan Cucu

JasMerah = Jangan Melupakan Sejarah


(Sukarno)

2|Page
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Forgive – but Not Forget


Nurdiana (diansu6363@yahoo.com):

NUSANTARA BULAN SEPTEMBER (6)


45 Tahun Peristiwa 65.
Bung Karno mengajar kita:
Sekali-kali jangan lupakan sejarah.
Sepertiga abad Nusa gelita kelam,
Orba kuasa liwat fitnah dan pembunuhan,
Fitnah lebih kejam,
dari pembunuhan.

Begitu terjadi G30S,


PKI dituduh,
difitnah dalang.
Pakai TAP MPRS Dua Lima,
Hukum fasis anti-demokratis,
Landasan kuasa semena-mena
Yang sampai kini dipegang orba,
PKI dilarang,
anggotanya dibunuh,
dibantai, dibuang.

Aidit, Lukman, dan Njoto,


Menteri pembantu Bung Karno,
Tanpa makam dibunuh keji,
Sampai kini tak diketahui.

3|Page
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Wanita-wanita Gerwani difitnah,


Lakukan “upacara harum bunga”,
Tidak bermoral,
Menyiksa para jenderal,
Dilarang lah Gerwani,
Anggotanya dibunuh dibasmi

PKI difitnah dalang,


Dan sewenang-wenang,
Anggota PKI dibunuh disiksa,
Oleh Suharto dan rezim orba.

Memfitnah Gerwani menyiksa jenderal;


Adalah Suharto dan rezim orba.
Yang bertanggungjawab
Membunuh anggota Gerwani,
Juga Suharto dan rezim orba.
Memfitnah dan membunuh,
Oleh sosok yang sama,
Melakukan dua-duanya,
Suharto dan rezim orba.
Jelas-jemelas tiada tara,
Mentari cerah menjadi suluh,
Suharto dan rezim orba
Adalah pemfitnah dan pembunuh.
Dengan pembunuhan dan fitnah,
Sepertiga abad orba kuasa,
Terbina zaman jahiliyah,
Nusa jelita jadi neraka.

Mampus dan terkutuklah,

4|Page
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Suharto dan rezim orba !!!.

30 September 2010.

Pada tanggal 2-3 Oktober 2010, bertempat di Diemen Amsterdam telah


dilangsungkan peringatan 45 tahun Tragedi Nasional 1965/1966. Tragedi berdarah
pelanggaran HAM berat ini dilakukan oleh rejim ORBA dibawah pimpinan Jendral
Soeharto. Peringatan ini diadakan oleh sebuah Panitia yang didukung berbagai
organisasi masyarakat Indonesia di Negeri Belanda. Disamping dari negeri Belanda,
dalam pertemuan ini juga hadir dari Jerman, Perancis dan Swedia. Saya akan
berusaha menyajikan berbagai sambutan dalam peringatan ini. Kali ini kita
tampilkan sambutan M.D.Kartaprawira, Ketua Panitia Peringatan Tragedi
Nasional 65-66 di Negeri Belanda.
Salam: Chalik Hamid.
============================================================

TUNTASKAN KASUS PELANGGARAN HAM BERAT 1965-66 DEMI KEBENARAN, KEADILAN


DAN REKONSILIASI NASIONAL
(Pidato sambutan pada “Peringatan 45 Tahun Tragedi Nasional 1965” di Diemen,
Nederland pada tanggal 02 Oktober 2010) Oleh MD Kartaprawira*
Hari ini kita memperingati peristiwa tragedi nasional 1965, yang harus menjadi
pelajaran bagi kita semua dan generasi mendatang, agar peristiwa tersebut tidak
terulang lagi. Peristiwa G30S 1965 adalah suatu lembaran sejarah hitam bagi bangsa
Indonesia. Sebab dampak peristiwa tersebut telah merobah 180 derajat peta politik
dan tata kehidupan berbangsa dan bernegara. Politik negara yang digariskan Bung
Karno untuk membangun Indonesia yang merdeka, berdaulat dan mandiri
berdasarkan Trisakti, melawan nekolimisme-neoliberalisme dirobah oleh rejim Suharto
menjadi politik pembudakan kepada kekuatan neoliberalisme, sehingga Indonesia
praktis tidak berdaulat lagi. Inilah tragedy tata politik dan tata negara Indonesia. Di
sisi lain peristiwa G30S berdampak terjadinya malapetaka yang mengerikan --
pelanggaran HAM berat yang memakan korban jutaan manusia tak bersalah, di
mana langsung atau tidak langsung terlibat rejim Suharto. Inilah kejahatan
kemanusiaan yang kekejamannya hanya bisa dibandingkan dengan kejahatan
Nazi Hitler pada Perang Dunia ke II.
Kalau kita kilas balik peristiwa timbulnya G30S 1965 yang terjadi 45 tahun yang lalu
maka tampak fakta kejadian-kejadian a.l. sebagai berikut.
Pada pagi hari 01 Oktober 1965 terjadilah suatu gerakan dari satuan Angkatan
Darat (Cakrabirawa) yang menamakan dirinya sebagai Gerakan Tigapuluh
September melakukan penculikan terhadap beberapa jenderal, yang akhirnya
mereka dibunuh di Lubang Buaya. Kemudian melalui RRI diumumkan berdirinya
Dewan Revolusi di bawah pimpinan Letkol Untung dan bersamaan itu pula
diumumkan pendemisioneran kabinet Bung Karno oleh Dewan Revolusi. Dalam

5|Page
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

waktu singkat kegiatan G30S dapat dihancurkan oleh tentara KOSTRAD di bawah
pimpinan Jenderal Suharto.
Peristiwa selanjutnya adalah maraknya gerakan anti Sukarno dari mahasiswa dan
pelajar aliran kanan (KAMI dan KAPI) yang dibelakangnya adalah tentara
KOSTRAD- Suharto. Pada tanggal 11 Maret 1966 tiga jenderal utusan Suharto
(Brigjen. M.Jusuf, Brigjen. Amirmachmud, Brigjen. Basuki Rahmat) berhasil memaksa
Presiden Soekarno untuk menanda tangani Surat Perintah yang terkenal dengan
sebutan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang ditujukan kepada Mayjen.
Suharto selaku Panglima Angkatan Darat untuk mengambil tindakan yang perlu
demi pemulihan keamanan dan ketertiban. Dengan Supersemar di tangannya
Suharto berhasil melakukan kudeta merangkak, yang bermuara pada penggusuran
kekuasaan presiden Soekarno oleh MPR ala Orde Baru di bawah pimpinan Jenderal
Nasution..
Dari fakta-fakta sejarah tersebut timbul bermacam-macam versi tentang G30S, yang
terus berkembang sampai sekarang. Meskipun demikian kita yakin kepada hukum
logika bahwa kebenaran hanya satu, sedang lainnya kebohongaan. Para pakar
sampai sekarang masih berdebat tentang apa dan siapanya G30S, siapa yang
bertanggung jawab dan siapa yang bersalah dalam peristiwa tersebut. Sampai
dewasa ini belum ada kebulatan pendapat dalam soal tersebut di atas. Sementara
tercatat beberapa versi antara lain G30S/PKI, G30S/Suharto, G30S/CIA,
G30S/Soekarno dan lain-lain variasinya. Sampai kapan perdebatan tersebut berakhir
dengan satu kesimpulan, kita tidak tahu. Meskipun demikian, banyak fakta yang
menjurus kepada kesimpulan bahwa Suharto bertanggung jawab atas timbulnya
peristiwa G30S dan terjadinya tragedI nasional selanjutnya. Maka dari itu, terus
menerus melakukan pencermatan masalah G30S demi pelurusan sejarah adalah
mutlak penting Tanpa menunggu terbukanya isi kotak Pandora-G30S dan tanpa
menunggu kesimpulan siapa yang bersalah dalam peristwa G30S kita sudah bisa
menyatakan tanpa ragu-ragu tentang terjadinya tragedy nasional yang maha
dahsyat, yaitu kejahatan kemanusiaan berupa pelanggaran-pelanggaran HAM
berat pada tahun 1965-66, yang dilakukan langsung atau pun tidak langsung oleh
rejim militer Suharto.
Pelanggaran HAM berat tersebut terjadi di banyak daerah di Indonesia yang
berwujud antara lain pembunuhan massal jutaan manusia yang tak bersalah tanpa
proses hukum yang berlaku, penahanan ribuan orang di pulau Buru,
Nusakambangan, dan di banyak rumah tahanan lainnya. Pembunuhan-
pembunuhan massal tersebut tidak akan terjadi kalau ABRI (RPKAD) tidak berdiri
dibelakangnya. Sedang penahanan ribuan orang di Pulau Buru, Nusakambangan,
penjara Plantungan dan lain-lainnya jelas-jemelas dilakukan oleh ABRI. Inilah
tragedy kemanusiaan, yang seharusnya tidak boleh terjadi pada abad XX yang
merupakan abad kemajuan peradaban manusia dalam segala bidang, termasuk
bidang hukum dan HAM.
Setiap manusia yang jujur akan heran melihat kenyataan terjadinya kasus
kekejaman luar biasa tersebut di atas di negara Indonesia yang di dalam
konstitusinya tercantum filsafat Pancasila sebagai Dasar Negara. Setiap hati nurani
yang berkemanusiaan akan terperanjat mengapa pelanggaran HAM berat
demikian tak mendapat perhatian dari penyelenggaran negara, khususnya institusi
6|Page
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

penegak hukum Indonesia. Setiap manusia beradab akan bertanya mengapa suatu
tindak pidana – kriminal/kejahatan, setelah kwalikasinya menjadi kejahatan
kemanusiaan - pelanggaran HAM berat, penanganannya malah dipinggirkan
sampai tidak ada batas kepastian sama sekali.
Indonesia menurut konstitusi adalah negara hukum, tapi kenyataan menunjukkan
lain,yang menyangsikan bahwa Indonesia adalah betul-betul negara hukum. Sebab
law enforcement-nya sangat menyimpang dari tuntutan keadilan layaknya di
negara hukum: di mana terjadi kejahatan/pelanggaran hukum maka kasusnya
diproses di pengadilan untuk mendapatkan keadilan sesuai bukti-bukti yang ada.
Kesangsian kita akan hal tersebut tidak tanpa dasar, sebab fakta-fakta yang
merupakan bukti sah terjadinya pelanggaran HAM berat yang dilakukan penguasa
rejim Suharto sudah lebih dari cukup untuk melakukan proses hukum terhadap kasus
tersebut. Terutama, fakta penahanan ribuan orang di Pulau Buru, Nusakambangan
dan rumah-rumah tahanan lainnya yang tanpa dibuktikan kesalahannya sesuai
hukum yang berlaku, dilakukan oleh penguasa militer/ABRI. Di kawasan-kawasan
tempat tahanan tersebut ABRI jugalah yang melakukan pengawasan dan
penjagaan ketat. Kemudian pembebasan mereka, setelah dunia internasional
mengecam keras tindakan pelanggaran HAM yang memalukan tersebut, dilakukan
oleh ABRI juga. Banyak para korban berhasil membuat kesaksian tentang
pengalamannya sebagai korban pelanggaran HAM, yang berwujud buku, artikel,
interview, foto, video dan lain-lainnya. Kalau penegak hukum di Indonesia mau
melaksanakan tugasnya secara jujur seharusnya sudah menemukan setumpuk bukti
dokumen keterlibatan ABRI dalam pelanggaran HAM dari arsif KOPKAMTIB dan
MBAD. Tidak ada dasar dan alasan untuk mengingkari terjadinya pelanggaran HAM
berat 1965-66. Sebab bukti-bukti ada di depan mata.
Fakta-fakta pelanggaran HAM tersebut, tidak boleh tidak, harus dijadikan materi
bagi usaha-usaha pelurusan sejarah yang selama 32 tahun dimanipulasi oleh rejim
Orde Baru Suharto. Dari fakta-fakta tersebut negara harus mengakui bahwa telah
terjadi pelanggaran HAM berat 1965-66 yang dilakukan oleh rejim Suharto. Dan oleh
karenanya pemerintah harus minta maaf kepada para korban dan keluarganya
atas kejadian tersebut dan atas terabaikannya penuntasan kasus tersebut selama
45 tahun ini. Setelah itu pemerintah harus dengan segera mengambil kebijakan-
kebijakan konkrit untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat tersebut secara
adil dan manusiawi, terutama yang menyangkut masalah pemulihan kembali hak-
hak sipil dan politik, kompensasi, restitusi dan lain-lainnya yang bersangkutan
dengan usaha-usaha pengentasan penderitaan yang dialamai para korban.
Penuntasan kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 yang ideal adalah melalui proses
pengadilan. Tetapi tampak akan dipaksakan oleh penguasa negara
penuntasannya melalui proses Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), yang
sesungguhnya tidak akan menghasilkan keadilan sebenarnya. Sebab KKR adalah
suatu cara penuntasan kasus pelanggaran HAM secara kompromistik, melalui proses
“take and give” – setelah para pelaku mengakui kesalahannya dan meminta maaf,
mereka diberi amnesti. Sedang di pihak lain, para korban dipulihkan hak-hak sipil
dan politiknya beserta restitusi dan kompensasi. Oleh karena itu keadilan yang
ditimbulkan oleh proses KKR adalah keadilan kompromistik, yang sama sekali tidak
melikwidasi impunitas terhadap para pelanggar HAM. Maka para korban

7|Page
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

pelanggaran HAM dan para peduli HAM perlu sangat kritis terhadap RUU KKR yang
baru, sebab RUU KKR ini tidak lebih baik dari pada UU KKR-lama yg telah dibatalkan
oleh Mahkamah Konstitusi. Meskipun demikian, keadilan kompromistik tersebut
mungkin akan bisa membantu tercapainya rekonsiliasi nasional, apabila KKR
dilakukan secara adil dan manusiawi. Secara adil berarti bahwa para korban yang
telah lama menderita harus terpenuhi kepentingan-kepentingannya yang berkaitan
dengan pemulihan hak-hak sipil-politik, kompensasi, restitusi dan lainnnya. Manusiawi
berarti terhadap para korban yang telah lama menderita tersebut tidak akan
diterapkan aturan berokrasi yang berliku-liku dan bertele-tele, agar mereka tidak
merasa tersiksa karenanya. Jadi kepentingan para korban harus menjadi titik
perhatian yang dominan.
Selama 45 tahun ini tidak ada pernyataan pemerintah secara resmi tetang
terjadinya pelanggaran HAM berat 1965-66, seakan-akan tidak terjadi apa-apa.
Keadaan yang demikian memberikan bukti bahwa negara telah mengabaikan
Pancasila dan UUD 1945 – mengabaikan pelaksanaan tugas dan kewajiban
menegakkan hukum dan keadilan, membiarkan terus berjalannya impunitas
terhadap pelaku kejahatan kemanusiaan, dan dengan demikian menghindarkan
tanggung jawab hukum bagi para pelaku pelanggaran HAM berat 1965-66.
Sungguh kenyataan yang sangat memalukan, sebab norma-norma hukum tentang
HAM yang tercantum di dalam UUD 1945, UU Hak Asasi Manusia, UU Pengadilan
HAM (ad hoc), kovenan-kovenan PBB dan konvensi-konvensi yang telah diratifikasi
Parlemen Indonesia tidak diterapkan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat
1965-66. Jelas hal demikian membuktikan bahwa hukum dan keadilan tidak
ditegakkan secara jujur dan konsekwen, tetapi secara sangat manipulatif dan
diskriminatif. Kita merasa bangga atas kesuksesan proses penegakan kebenaran
dan keadilan di negara-negara Amerika Latin (misalnya Argentina dan Peru),
dimana pengadilan-pengadilan nasional (tanpa menggantungkan kepada
bantuan PBB) berhasil melaksanakan proses hukum terhadap para pelaku
pelanggaran HAM berat.
Di Argentina di bawah presiden Cristina Fernandez de Kirchner (yang terpilih dalam
pemilu 2007, anggota Partai Justicialist/Partai Peronist) penegakan hukum dan
keadilan berjalan lancar. Para jenderal yang melakukan pelanggaran HAM berat 30
tahun yang lalu satu persatu dihadapkan ke pengadilan: jenderal Rafael Videla dan
Jenderal Luciano Menendez divonis hukuman penjara seumur hidup, jenderal
Reynaldo Bignone dihukum 25 tahun penjara, sedang kira-kira 20 jenderal
lainnya menunggu giliran untuk divonis. Di Peru ketika presiden Alejandro Toledo
memegang kekuasaan (2001-2006) atas nama negara menyatakan permintaan
maaf kepada para korban pelanggaran HAM dan keluarganya. Kemudian mantan
presiden Fujimori oleh pengadilan Lima divonis hukuman penjara 25 tahun.Tetapi
penegak hukum di Indonesia ternyata tidak tergugah hati nuraninya atas korban
tragedi nasional 1965-66 dan membuta atas kesuksesan penuntasan kasus-kasus
pelanggran HAM berat di Argentina dan Peru tersebut.
Maka demi tegaknya kebenaran dan keadilan, rekonsiliasi nasional dan pelurusan
sejarah, para korban pelanggaran HAM berat 1965-66 berhak penuh untuk
MENUNTUT kepada penyelenggara negara, cq. Pemerintah agar mengakui
terjadinya pelanggaran HAM berat 1965-66 yang dilakukan oleh rejim Suharto,

8|Page
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

meminta maaf kepada para korban dan keluarganya, secepatnya melakukan


kebijakan-kebijakan untuk penuntasan kasus-kasus tersebut di atas beserta kasus2
HAM pada umumnya secara adil dan manusiawi tanpa diskriminasi -- tidak
tergantung agama, ideology, etnik, suku, kepartaian dari para pelaku dan korban,
dan selanjutnya mencabut semua perundang-undangan yang sifatnya diskriminatif
terhadap para korban.
Semoga Tuhan YME meridhoi dan membuka hati nurani para penyelenggara
negara agar mampu melihat jalan benar menuju ke kebenaran dan keadilan.
Amien.
Diemen, Nederland 02 Oktober 2010
* Ketua Panitia Peringatan 45 Tahun Tragedi Nasional 1965
Rakyat Merdeka Online
Inilah Petisi Peringatan 45 Tahun Tragedi Nasional 1965 untuk SBY
Minggu, 03 Oktober 2010 , 19:37:00 WIB
Laporan: A. Supardi Adiwidjaya
RMOL. Pada Sabtu (2/10) di Diemen, tepatnya pinggir kota Amsterdam, Belanda,
panitia Peringatan 45 Tahun Tragedi Nasional 1965, yang terdiri dari para wakil
dari berbagai organisasi masyarakat Indonesia di Nederland, menggelar pertemuan
untuk memperingati peristiwa tersebut.
Acara peringatan ini sekaligus sebagai upaya untuk ikut serta dalam usaha
pelurusan sejarah yang berkaitan dengan “Peristiwa Tragedi Nasional 1965” demi
penegakan kebenaran dan keadilan, demikian panitia.
Pertemuan dihadiri oleh lebih dari 90 peserta, yang sebagian besar adalah
“orang-orang yang terhalang pulang” atau mereka yang dicabut paspornya oleh
rezim Orba. Beberapa di antaranya sengaja datang dari Swedia, Jerman, Perancis.
Termasuk sastrawan yang juga aktivis kemanusiaan, Putu Oka Sukanta, sang
penghuni ”Pulau-Buru” era rezim Orde Baru, diundang datang sebagai salah
seorang pembicara utama dalam pertemuan tersebut.
Menutup pertemuan pada hari Sabtu (2/10) tersebut, Panitia Peringatan Tragedi
Nasional 1965 mengeluarkan sebuah Pernyataan yang ditujukan kepada Presiden
Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono, dengan tembusan ke berbagai
instansi, seperti DPR, Kejagung, Mahkamah Agung, Dephuk dan HAM, Komisi
Nasional HAM RI, dan juga Komisi Hak Asasi Manusia PBB, Amnesti Internasional.
Berikut ini pernyataan dimaksud secara lengkap.
Setelah terjadi peristiwa Gerakan Tigapulu September (G30S) 1965, di banyak
daerah di Indonesia terjadi pembunuhan massal atas jutaan manusia, penahanan
ribuan orang selama bertahun-tahun di pulau Buru, Nusakambangan dan di
berbagai rumah tahanan, penganiayaan dan lain-lainnya yang dilakukan oleh
rezim Orde Baru Suharto tanpa proses hukum. Semua tindakan tersebut tidak bisa
lain dinilai selain merupakan pelanggaran HAM berat - kejahatan kemanusiaan
yang tidak dapat disangkal oleh siapa pun dan kapan pun. Kasus besar tersebut

9|Page
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

sudah semestinya harus dituntaskan seadil-adilnya sesuai dengan hukum yang


berlaku di Indonesia dan yurisprudensi hukum internasional.
Sudah 45 tahun berlalu kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 (pasca peristiwa
G30S) hingga dewasa ini belum/tidak pernah ditangani secara serius dan tuntas
oleh penyelenggara negara. Hal ini membuktikan bahwa penyelenggara negara
cenderung cenderung untuk membiarkan kasus pelanggaran HAM berat 1965-66
dilupakan, seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Tampak dengan jelas adanya
rekayasa untuk untuk menghindarkan tanggung jawab hukum bagi para pelaku
pelanggaran HAM tersebut. Tapi kapan pun lembaran-lembaran sejarah tidak
mungkin bisa dihapus begitu saja, dan tidak mungkin dimanipulasi yang hitam
diputihkan dan yang putih dihitamkan.
Kenyataan bahwa sudah 45 tahun kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 tidak
dituntaskan. Hal ini membuktikan bahwa norma-norma hukum yang tercantum di
dalam UUD 1945, perundang-undangan tentang hak asasi manusia, termasuk
konvensi-konvensi yang telah diratifikasi oleh Parlemen Indonesia, tidak
diterapkan terhadap kasus-kasus pelanggran HAM berat 1965-66. Dengan demikian
membuktikan juga bahwa hukum dan keadilan tidak ditegakkan oleh
penyelenggara negara secara jujur dan konsekuen, tetapi sangat diskriminatif.
Adalah suatu hal yang wajar bahwa para korban menuntut ditegakkannya hukum
dan keadilan baginya tanpa diskriminasi, sebab hukum dibuat dengan tujuan untuk
menegakkan keadilan bagi semua warga bangsa, tidak tergantung agama,
ideologi, suku, etnik dan kepartaian mereka.
Di samping itu, tanpa diselesaikannya kasus pelanggaran HAM berat 1965-66
berarti membiarkan langgengnya proses impunitas di Indonesia. Dan dengan
demikian membuktikan kegagalan kebijakan penguasa Indonesia dalam
menegakkan hukum dan keadilan. Norma-norma hukum HAM nasional maupun
internasional hanya dijadikan pajangan saja untuk mengelabui massa luas seolah-
olah Indonesia adalah negara hukum yang peduli HAM.
Kondisi tersebut di atas tentu akan menjadi penghalang bagi terjadinya
rekonsiliasi nasional, yang sangat diperlukan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara untuk pembangunan Indonesia yang demokratik, sejahtera, adil,
makmur, aman dan damai.
Atas pertimbangan hal-hal tersebut di atas, pertemuan “Peringatan 45 Tahun
Tragedi Nasional 1965”, yang diselengarakan oleh organisasi-organisasi
masyarakat Indonesia di Negeri Belanda dan didukung oleh para korban
pelangaran HAM 1965 di negeri-negeri Eropa, menuntut kepada penyelengara
negara c.q. Pemerintah Indonesia agar:
1. Mengakui bahwa tlah terjadi pelanggaran HAM berat 1965-66 (pasca
peristiwa
G30S), yang mengakibatkan jatuhnya korban yang luar biasa besar
jumlahnya tanpa dibuktikan kesalahannya berdasarkan hukum yang berlaku.

2. Meminta maaf kepada para korban dan keluarganya atas terjadinya


pelanggaran HAM tersebut dan atas terbengkalainya penanganan kasus-
kasus tersebut yang sudah berlangsung 45 tahun.
10 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

3. Segera melakukan kebijakan-kebijakan konkrit untuk menuntaskan kasus-


kasus tersebut secara adil dan manusiawi, terutama menyangkut masalah
pemulihan kembali hak-hak sipil dan politik, kompensasi, restitusi dan lain-
lainnya yang bersangkutan dengan usaha-usaha pengentasan penderitaan
yang mereka alami.

4. Bagi para korban yang telah dinyatakan bersalah dalam pengadilan


sandiwara rezim Orba diberi rehabilitasi nama baiknya.

5. Tidak diskriminatif dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan yang berkaitan


dengan penuntsan kasus-kasus pelanggaran HAM pada umumnya dan
mencabut semua perundang-undangan yang sifatnya diskriminatif.
Pernyataan tersebut di atas atas nama Panitia Peringatan 45 Tahun Tragedi
Nasional 1965 ditandatangani oleh M.D. Kartaprawira (Ketua) dan S.Pronowardojo
(Sekretaris).

Acara “Peringatan 45 Tahun Tragedi Nasional 1965” yang diselenggarakan selama


dua hari berturut-turut di Diemen, di pinggir kota Amsterdam, yang dimulai pada
Sabtu (2/10) tersebut ditutup hari ini (Minggu, 3/10) dengan pemutaran dua film
dokumentasi: Cidurian 19 dan Forty Years of Silence. [wid]

MENYAKSIKAN FILM "TJIDURIAN 19"


Ada tiga buah film ( dvd/vcd atau entah apalagilah namanya) yang diputar di
Diemen-Amsterdam hari ini oleh penyelenggara atau panitia dari PERSAUDARAAN
dengan bekerja sama dengan berbagai organisasi lainnya. Saya mulai dengan film
"TJIDURIAN 19" yang berdurasi 41 menit. Ada dua muka yang penting sebagai
bagian dari sebuah medali yang berbeda nilai setiap bilahnya.
Bilah pertama: NILAI DOKUMENTASI( SEJARAH).
Nilai dokumentasi film ini saya nilai tinggi, berguna dan bermanfaat bagi setiap
peneliti sejarah maupun orang awam yang punya minat terhadap sejarah
bangsanya di masa lalu. Saya tidak mau berpanjang-panjang memberikan nilai
positip segi dokumentasi film ini, tapi dengan tulus saya bisa menghargai para
pembuat film ini yang telah menyumbang barang berharga ini di segi
dokumentasi dan pengetahuan sejarah.
Bilah ke dua: NILAI IDEOLOGI (semangat revolusioner).
Di bilah ini saya sangat kecewa. Para tokoh tingkat sesepuh "LEKRA"dengan nada
dan nafas yang sama tapi dengan kata-kata yang berbeda melampiaskan
penyesalan mereka terhadap PKI (saya kecualikan Sabar Anantaguna). Bahkan
Oey hay Djoen dengan nada bersemangat menuduh PKI memaksakan Lekra untuk
diKOMUNISkan, membikin organisasi WANITA KOMUNIS karena katanya beberapa
pimpinan inti PKI tidak berhasil memaksa GERWANI menjadi organisasi wanita
Komunis. Tuduhan Oey hay Djoen (OHD) tentu saja tidak bisa dibuktikan, tidak ada
dokumennya dan hanyalah tuduhan lisan berlapis emosi kemarahan dan
kekecewaan terhadap PKI. Demikian pula para tokoh Lekra lainnya yang tidak
usahlah saya sebut namanya satu persatu di sini karena kalau memang tertarik,
haruslah melihat sendiri film ini. Sebuah ironi lain adalah bahwa sebagian terbesar
11 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

para tokoh pengarang terkermuka Lekra yang di wawancarai dalam film ini pada
umumnya punya "ÍJAZAH" atau sertifikat PULAU BURU sebagai sebuah jaminan
pengalaman buangan dan penjara serta siksaan rezim suharto yang tidak bisa
diragukan kekejamannya. Ketika berpuluh tahun lalu semasa saya masih berada di
Vietnam untuk belajar pengalaman revolusi rakyat Vietnam mengusir kaum
penjajah atau kaum Imperialis Perancis, Jepang dan Amerika Serikat, para kader
Partai Pekerja Vietnam dari mulai yang paling rendah hingga kader tertinggi mereka
yang pernah mengalami siksaan-siksaan di penjara musuh, telah menceritakan
pengalamannya secara jujur dan tulus kepada kami dan kesan yang kami dapat
cuma satu: penderitaan yang tak terperikan, tanpa menyerah, tanpa kompromi,
hidup atau mati melawan musuh dan tanpa satu kata penyesalan terhadap Partai,
terhadap perjuangan meskipun dalam keadaan kalah dan perjuangan sedang
menurun dan terpukul sangat hebat oleh musuh. Jadi pantasan saja mereka ahirnya
bisa merebut kemenangan. Tapi sebagian terbesar para pengarang Lekra dalam
film ini seolah berlomba-lomba dengan caranya sendiri melampiaskan penyesalan
mereka terhadap Partai yang dulu mereka junjung tinggi, terhadap perjuangan
revolusioner yang pernah mereka sokong tanpa pamrih. Tapi begitu Partai
mengalami kekalahan berat dan perjuangan revolusioner mengalami kekandasan
dan bahkan kehancuran total, semangat revolusioner sebagian terbesar orang-
orang Lekra setelah menerima pendidikan musuh dalam buangan dan penjara-
penjara menjadi merosot hingga titik nol. Ternyata sebagian terbesar dari para
pengarang dan seniman Lekra bukanlah orang revolusioner sejati, bukan para
pejuang rakyat yang bisa dipercaya, bukan pengemban misi sejarah di bidang
sastra dan seni yang akan membawa rakyat Indonesia ke gerbang kebebasan
yang akan menuju sosialisme, bukan patriot terdepan dalam front sastra dan
kebudayaan kiri Indonesia atau dalam satu kata yang dipersingkat: MENTALITAS.
Mereka tidak mempunyai mentalitas pejuang revolusioner yang teruji dan bila mau
berkata lebih jujur lagi, jauh di dalam lubuk hati mereka, mereka telah menjadi
orang-orang anti komunis, melepaskan perjuangan dan mencari kehidupan baru:
ketenangan dan kesentosaan hidup pribadi dengan cara melepaskan dendam
klas(apa pernah mereka punyai?), "berdamai dengan diri sendiri" (kata-kata Putu
Oka Sukanta) atau dengan kata lain; PASIFISME dengan musuh-musuh mereka untuk
selama-lamanya (abadi). Rakyat tidak lagi memerlukan mereka dan merekapun
telah meninggalkan rakyat. Dan alangkah indahnya. Semua itu telah
terdokumentasi yang mereka buat sendiri dalam film-film maupun dalam
pernyataan-pernyataan lisan serta tulisan-tulisan mereka sendiri.
ASAHAN.

Ilham Aidit : No Future Without Forgiveness


http://www.jawaban.com/index.php/news/detail/id/91/news/101002174557/limit/0/I
lham-Aidit--No-Future-Without-Forgiveness.html
SATURDAY, 02 OCTOBER 2010
Testimoni Ilham Aidit, Putra Ketua CC PKI DN Aidit, juga mengisahkan kondisi
traumatis yang dialaminya. Warisan "dendam" menghantui hidupnya. Pada suatu
pagi, saat usianya menginjak 6,5 tahun, ia melihat sebuah tulisan besar di tembok
"Gantung Aidit, Bubarkan PKI". "Saya kaget melihat tulisan itu. Tubuh saya bergetar.
Dan saya merasa, sejak pagi itu, hidup saya akan sulit dan gelap. Sejak saat itu pula,
12 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

saya tidak berani menyematkan nama "Aidit", nama ayah, di belakang nama saya,"
tutur Ilham pada acara yang sama. Ia merasa, ayahnya sudah menjadi musuh
besar bangsa Indonesia.
Menginjak pendidikan di SMP, masa-masa sulit dialaminya. Ilham remaja kerap
berkelahi karena ejekan rekan-rekan sebaya terhadap ayahnya. "Setiap ada orang
yang mengejek ayah saya, saya selalu melawan dan selalu kalah karena yang
mengeroyok saya puluhan orang," ujarnya.
Semua berlalu hingga suatu saat sejumlah penggagas dan pendiri FSAB mengajak
Ilham mendeklarasikan forum tersebut pada tahun 2003. Awalnya, ia enggan dan
bertanya-tanya apa yang akan dilakukan forum silaturahim itu. Ketakutan terhadap
sepak terjang sang ayah membuat Ilham merasa tak diterima. "Tapi, sejak itu pula,
saat FSAB dideklarasikan, kali pertama saya kembali memakai nama Aidit di
belakang nama saya, dan saya tetap hidup. Terima kasih kepada FSAB," kata Ilham.
Melalui FSAB, ia berharap, upaya rekonsiliasi dengan keluarga korban Gerakan 30
September akan terjadi. "Ini adalah forum silaturahim kebangsaan. Saya berharap
bisa menjadi jembatan untuk sebuah proses rekonsiliasi. Meski sulit, harus kita lalui
karena ini akan menjadi proses yang bermanfaat bahwa mereka yang pernah keliru
punya jiwa besar untuk meminta maaf dan para korban juga bisa memaafkan,"
harap Ilham. Dan ia mengingat sebuah kalimat dari tokoh Afrika Desmond Tutu
sebagai penutup testimoninya yaitu “No future without forgiveness,” atau masa
depan tak kan tercapai tanpa pengampunan.

Kasih Itu Hadir Di Rekonsilisasi Nasional G30S


http://www.jawaban.com/index.php/news/detail/id/91/news/101002153915/limit/0/
Kasih-Itu-Hadir-Di-Rekonsilisasi-Nasional-G30S.html

SATURDAY, 02 OCTOBER 2010


Sebuah langkah bersejarah menyatukan kekuatan anak bangsa terjadi Jumat
kemarin (01/10), dalam Rekonsilisasi Silaturahmi Nasional yang digelar Forum
Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB) di Gedung MPR/DPR, Jakarta, dihadiri oleh putra-
putri tokoh yang terlibat konflik Gerakan 30 September 1965 (G30S) dan masa
perjuangan revolusi fisik.
Dalam acara ini mereka menyatakan komitmen untuk mengakhiri konflik yang
diwariskan orang tuanya dan siap menyongsong Indonesia ke depan yang damai.
Bahkan pada acara tersebut mereka berpelukan, menyampaikan pendapat, dan
membulatkan tekad untuk melupakan dendam di masa lalu. Putra bungsu mantan
Presiden Soeharto, Hutomo Mandala Putra atau Tommy Suharto,dan putra Central
Committee (CC) Partai Komunis Indonesia (PKI) DN Aidit, Ilham Aidit, terlihat
berpelukan. “Kita tidak bisa mengubah sejarah, tapi kita bisa mengubah masa
depan. Forum ini harus dilanjutkan untuk membina hubungan sosial ekonomi dan
membangun bangsa,” kata Tommy.
Dalam acara yang digagas FSAB dan jajaran pimpinan MPR itu,putra-putri tokoh
Pahlawan Revolusi dan korban G30S/PKI yang hadir antara lain putri Jenderal
Ahmad Yani, Amelia Yani; putri Mayjen Pandjaitan, Chaterine Pandjaitan; dan putra
Mayjen Sutoyo, Agus Widjojo. Lainnya, anak Laksamana Madya Oemardani, Feri
13 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Omar Nursaparyan; serta anak Wakil CC PKI Nyoto, Svetlana. Selain itu, hadir juga
putra tokoh DI/TII Kartosoewiryo, yaitu Kartono Kartosoewiryo, putri mantan Presiden
Soekarno,Sukmawati Soekarnoputri. Tokoh nasional Adnan Buyung Nasution, Akbar
Tandjung. Lalu Ketua MPR Taufik Kiemas didampingi dua Wakil Ketua MPR, yakni
Lukman Hakim Saifuddin dan Ahmad Farhan Hamid. Acara berlangsung cukup
dinamis dan sering kali diwarnai tepuk tangan ratusan hadirin yang memenuhi
Ruang Sidang Gedung Nusantara IV Gedung MPR/DPR.
Menurut Taufik Kiemas, mereka sudah saling menyadari bahwa konflik yang pernah
terjadi pada orang tua masing masing tidak seharusnya diwariskan kepada anak
cucunya. “Yang paling berat dalam hidup ini adalah memaafkan sehingga ini
menjadi momentum yang harus dipelihara,” ungkap Taufik.

PERNYATAAN BERSAMA SILATURAHMI NASIONAL ANAK BANGSA


Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
Kami menyatakan:
1. Memegang teguh dan mengamalkan secara utuh dan konsekuen Pancasila
sebagai satu-satunya Ideologi Negara.
2. Menjunjung tinggi Konstiusi Negara Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
3. Menjaga Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
4. Menerima keberagaman dalam bingkai “Bhineka Tunggal Ika”.
5. Menanggalkan sikap-sikap yang dapat memicu konflik, yang mengakibatkan
perpecahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa meridhoi.
Amin.

Jakarta 1 Oktober 2010


FRIDAY, 01 OCTOBER 2010
Putra bungsu mantan Presiden Soeharto, Tommy Soeharto, menghadiri acara
silahturahmi elemen Eksponen Angkatan 66 dan keluarga korban Tragedi G 30 S di
Gedung Nusantara V DPR, Jakarta pada hari ini Jumat (1/10). Acara ini digelar oleh
Forum Silahturahmi Anak Bangsa (FSAB) bersama MPR.
Acara ini digelar dalam rangka memperingatri hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober.
Dalam acara tersebut, ketua MPR Taufiq Kiemas mengatakan momen ini
diharapkan bisa menjadi jembatan untuk mewujudkan rekonsiliasi antar anak
bangsa. “Momen ini diharapkan bisa menjadi momen memperkuat persaudaraan
anak bangsa,” kata Taufiq.
Selain Tommy, ikut hadir Sukmawati Soekarnoputri, Amelia Yani yaitu putri pahlawan
Jenderal Anumerta Achmad Yani, Nani yang merupakan putri Mayjen TNI Anumerta
DI Panjaitan dan beberapa tokoh lainnya.

14 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Presiden Tak Wajib Peringati Hari Kesaktian Pancasila di Lubang


Buaya
http://www.jawaban.com/index.php/news/detail/id/91/news/100930105943/limit/0/
Presiden-Tak-Wajib-Peringati-Hari-Kesaktian-Pancasila-di-Lubang-Buaya.html
THURSDAY, 30 SEPTEMBER 2010
Presiden RI tidak wajib mengikuti peringatan Hari Kesaktian Pancasila di Monumen
Lubang Buaya, Jakarta Timur, setiap tanggal 1 Oktober. Sebaiknya presiden
menggelar peringatan tahunan itu di Istana Negara yang dibarengi dengan
rekonsiliasi nasional atas peristiwa G30S. "Tidak ada dasar hukumnya presiden harus
menghadiri peringatan Hari Kesaktian Pancasila di Lubang Buaya, karenanya ia
tidak wajib. Ini penting diingatkan, karena kita negara hukum," kata ahli peneliti
utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Asvi Warman Adam, Kamis
(29/9/2010).
Asvi lantas mengungkapkan riwayat digelarnya upacara peringatan Hari Kesaktian
Pancasila di Lubang Buaya. Upacara tersebut diwajibkan pertama kali oleh
Panglima Angkatan Darat (AD) Jenderal Soeharto melalui Surat Keputusan tanggal
14 Oktober 1966. Sebagai peserta adalah seluruh matra angkatan perang, yaitu AD,
AL, dan AU.
Karena tidak diikutkan, Panglima Angkatan Kepolisian lantas mengirim surat kepada
Soeharto. Akhirnya, pada tanggal 20 Oktober Soeharto selaku Menteri Utama
Pertahanan meralat SK yang telah diterbitkan dengan memasukkan kepolisian
sebagai aparat yang wajib mengikuti upacara 1 Oktober. "Jadi untuk presiden itu
tidak wajib. Hanya saja, Soeharto yang memerintahkan upacara itu kemudian
menjadi presiden. Ahirnya dia datang terus pada saat upacara," lanjut Asvi.
Asvi mengatakan, kehadiran presiden dalam di Lubang Buaya sangat menyulitkan,
terutama pada saat Megawati Seokarnoputri memimpin. Bagi Megawati, menurut
Asvi, peringatan Hari Kesaktian Pancasila itu adalah hal yang menyakitkan, karena
sejak terjadinya prahara pada 1965, kekuasaan Presiden Soekarno mulai dilucuti. "Itu
bisa dilihat dari upacara yang dipersingkat pada zamannya Megawati. Dan
inspektur upacaranya adalah ketua MPR, bukan Megawati sendiri selaku presiden,"
kata doktor sejarah dari Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sosiales, Paris, ini.
Karena itu, Asvi mengusulkan agar presiden memperingati hari bersejarah tersebut di
Istana Negara sambil mengukuhkan agenda rekonsiliasi nasional atas peristiwa
G30S. Sebab, korban jiwa dalam tragedi kemanusiaan 45 tahun silam itu bukan
hanya 7 jenderal, yang kemudian diangkat menjadi pahlawan revolusi, melainkan
ratusan ribu warga negara Indonesia. "Saya mengusulkan lebih baik di Istana saja,
juga sebagai hari untuk rekonsiliasi nasional. Kalau mengadakan upacara di Lubang
Buaya, biarlah khusus TNI saja. Sebab dasar hukumnya keputusan menteri utama
pertahanan Soeharto," tutupnya.
Kegiatan rekonsiliasi konstruktif terhadap Tragedi Nasional yang melibatkan antar
keluarga para korban ini lebih tepat diselenggarakan sehingga dapat membuat
masyarakat lebih memahami dan juga mensyukuri apa yang harus dilakukan
terhadap momentum ini, bukan mencari dan meributkan kembali tentang siapa
yang melakukan dan bertanggungjawab.

15 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

YPKP 65 Menolak Peringatan G 30 S


Jakarta, Bingkai Merah – Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65)
menggelar konferensi pers (29/9). YPKP 65 menyatakan menolak segala bentuk peringatan
Gerakan 30 September (G 30 S) yang diselenggarakan oleh pemerintah. Menurut mereka
bangunan sejarah G 30 S/PKI versi Orde Baru yang masih dilanggengkan oleh negara
sampai saat ini memuat kebohongan publik.
Fakta-fakta sejarah terkini yang diungkapkan beberapa peneliti sejarah menguak
keterlibatan Amerika Serikat dengan Central Intelligence Agency (CIA) dan Angkatan Darat
di bawah komando Mayor Jenderal Suharto. Mereka sejak jauh hari telah merencanakan
aksi konspiratif yang akan menggulingkan Presiden Sukarno secara tdak langsung dengan
mengarahkan tuduhannya ke Partai Komunis Indonesia (PKI). Sekaligus, membasmi gerakan
revolusioner pendukung setia Sukarno dan mematahkan faksi Jenderal Ahmad Yani dan
Jenderal Nasution. Hal itu membuat Amerika Serikat dapat melalangbuana menghisap
kekayaan sumber daya Indonesia dan Suharto naik ke puncak kepemimpinan nasional.
Dalam rangka menyongsong diadakannya peringatan 45 Tahun Tragedi berdarah tahun
1965/1966 yang akan dilangsungkan pada tanggal 2-3 Oktober 2010 di Diemen, Amsterdam,
saya berusaha menyiarkan ulang beberapa tulisan yang menyangkut peristiwa kejam
pelanggaran HAM berat tsb. Kali ini kita kutip tulisan tentang data-data kasus pelanggarah
HAM semasa ORBA, yang pernah dimuat dalam website http://umarsaid. free.fr/ . Seperti
diketahui peringatan ini akan dihadiri oleh berbagai kalangan dari negeri Belanda, Jerman,
Perancis, Swedia, Rep.Ceko dan Indonesia.

Slm: Chalik Hamid.

Bahan renungan ini juga disajikan di website http://umarsaid. free.fr/

Data-Data Kasus Pelanggaran HAM Semasa Orde Baru


(bahan renungan ke-4 untuk memperingati 44 tahun 30 September 1965)
Mohon sama-sama kita renungkan,apakah kiranya dalam sejarah bangsa Indonesia sampai
kini ada pemerintahan atau kekuasaan yang sudah begitu banyak, begitu lama dan juga
begitu luas melakukan berbagai macam kejahatan kemanusiaan, perusakan moral,
penyalahgunaan kekuasaan untuk KKN, seperti yang dilakukan selama 32 tahun oleh rejim
militer Orde Barunya Suharto ? Tidak !
Mudah-mudahan, sepanjang perjalanan sejarah bangsa Indonesia di kemudian hari pun
tidak akan ada lagi pemerintahan yang begitu banyak dosanya terhadap rakyat banyak.
Pemerintahan rejim militer Suharto adalah masa panjang kediktatoran militer yang gelap
bagi kehidupan demokrasi dan kehidupan normal bagi sebagian terbesar dari rakyat kita,
yang tidak boleh terulang lagi
Oleh karena itu, adalah kewajiban kita semua untuk selalu -- atau sesering mungkin --
mengingatkan sebanyak mungkin orang kepada masa-masa yang telah mendatangkan
kesengsaraan dan kerusakan bagi rakyat dan negara kita ini. Ulangtahun ke-44 peristiwa 30
September 1965 adalah kesempatan yang ideal untuk bersama-sama mengingat kembali
kejahatan pimpinan militer di bawah Suharto yang mengkhianati pemimpin besar revolusi
rakyat Indonesia, Bung Karno, dan menghacurkan kekuatan kiri pendukungnya, termasuk
golongan PKI. Kebetulan sekali, Munas Golkar yang akan diadakan secara besar-besaran di
Riau di bulan Oktober juga bisa merupakan peristiwa penting untuk memblejedi apakah itu
sebenarnya Golkar, yang bersama-sama golongan militer di bawah Suharto sudah membikin

16 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

berbagai kejahatan dan pengrusakan yang menyengsarakan begitu banyak orang dan
selama puluhan tahun pula. Dalam rangka ini jugalah maka dibawah berikut ini disajikan
catatan pribadi seorang (yang menamakan dirinya Ithum), yang secara pokok-pokok atau
serba singkat dan dengan baik sekali menyusun data-data tentang berbagai kejahatan
dan pelanggaran HAM di Indonesia selama pemerintahan Orde Baru. Data-data tersebut
bisa membantu kita semua untuk mengingat kembali berbagai peristiwa-peristiwa tersebut,
dan memudahkan kita untuk melengkapinya lebih lanjut dengan bahan-bahan lainnya.

A. Umar Said

Paris, 11 September 2009

== == == ==

Data-Data Kasus Pelanggaran HAM Semasa Orde Baru


Oleh Ithum , 28 Februari 2008

Sebuah bahan refleksi bagi diriku pribadi, melihat perjalanan bangsa yang penuh luka dan
darah. Catatan berbagai pelanggaran HAM yang terjadi pada tahun 1965 dan masa
pemerintahan orde baru yang ada dalam catatanku. Masih ada pelanggaran-
pelanggaran HAM yang belum tercatat di sini, semoga cukup waktu untuk melengkapinya.

1965

 Penculikan dan pembunuhan terhadap tujuh Jendral Angkatan Darat.


 Penangkapan, penahanan dan pembantaian massa pendukung dan mereka yang
diduga sebagai pendukung Partai Komunis Indonesia . Aparat keamanan terlibat
aktif maupun pasif dalam kejadian ini.

1966

 Penahanan dan pembunuhan tanpa pengadilan terhadap PKI terus berlangsung,


banyak yang tidak terurus secara layak di penjara, termasuk mengalami siksaan dan
intimidasi di penjara.
 Dr Soumokil, mantan pemimpin Republik Maluku Selatan dieksekusi pada bulan
Desember.
 Sekolah- sekolah Cina di Indonesia ditutup pada bulan Desember.

1967

 Koran-koran berbahasa Cina ditutup oleh pemerintah.


 April, gereja- gereja diserang di Aceh, berbarengan dengan demonstrasi anti Cina di
Jakarta .
 Kerusuhan anti Kristen di Ujung Pandang.

1969

17 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

 Tempat Pemanfaatan Pulau Buru dibuka, ribuan tahanan yang tidak diadili dikirim ke
sana .
 Operasi Trisula dilancarkan di Blitar Selatan.
 Tidak menyeluruhnya proses referendum yang diadakan di Irian Barat, sehingga hasil
akhir jajak pendapat yang mengatakan ingin bergabung dengan Indonesia belum
mewakili suara seluruh rakyat Papua.
 Dikembangkannya peraturan- peraturan yang membatasi dan mengawasi aktivitas
politik, partai politik dan organisasi kemasyarakatan. Di sisi lain, Golkar disebut- sebut
bukan termasuk partai politik.

1970

 Pelarangan demo mahasiswa.


 Peraturan bahwa Korpri harus loyal kepada Golkar.
 Sukarno meninggal dalam „tahanan‟ Orde Baru.
 Larangan penyebaran ajaran Bung Karno.

1971

 Usaha peleburan partai- partai.


 Intimidasi calon pemilih di Pemilu ‟71 serta kampanye berat sebelah dari Golkar.
 Pembangunan Taman Mini yang disertai penggusuran tanah tanpa ganti rugi yang
layak.
 Pemerkosaan Sum Kuning, penjual jamu di Yogyakarta oleh pemuda- pemuda yang
di duga masih ada hubungan darah dengan Sultan Paku Alam, dimana yang
kemudian diadili adalah Sum Kuning sendiri. Akhirnya Sum Kuning dibebaskan.

1972

 Kasus sengketa tanah di Gunung Balak dan Lampung.

1973

 Kerusuhan anti Cina meletus di Bandung .

1974

 Penahanan sejumlah mahasiswa dan masyarakat akibat demo anti Jepang yang
meluas di Jakarta yang disertai oleh pembakaran- pembakaran pada peristiwa
Malari. Sebelas pendemo terbunuh.
 Pembredelan beberapa koran dan majalah, antara lain „Indonesia Raya‟ pimpinan
Muchtar Lubis.

1975

 Invansi tentara Indonesia ke Timor- Timur.


 Kasus Balibo, terbunuhnya lima wartawan asing secara misterius.

18 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

1977

 Tuduhan subversi terhadap Suwito.


 Kasus tanah Siria- ria.
 Kasus Wasdri, seorang pengangkat barang di pasar, membawakan barang milik
seorang hakim perempuan. Namun ia ditahan polisi karena meminta tambahan atas
bayaran yang kurang dari si hakim.
 Kasus subversi komando Jihad.

1978

 Pelarangan penggunaan karakter-karakter huruf Cina di setiap barang/ media cetak


di Indonesia.
 Pembungkaman gerakan mahasiswa yang menuntut koreksi atas berjalannya
pemerintahan, beberapa mahasiswa ditahan, antara lain Heri Ahmadi.
 Pembredelan tujuh suratkabar, antara lain Kompas, yang memberitakan peritiwa di
atas.

1980

 Kerusuhan anti Cina di Solo selama tiga hari. Kekerasan menyebar ke Semarang ,
Pekalongan dan Kudus.
 Penekanan terhadap para penandatangan Petisi 50. Bisnis dan kehidupan mereka
dipersulit, dilarang ke luar negeri.

1981

 Kasus Woyla, pembajakan pesawat garuda Indonesia oleh muslim radikal di Bangkok.
Tujuh orang terbunuh dalam peristiwa ini.

1982

 Kasus Tanah Rawa Bilal.


 Kasus Tanah Borobudur . Pengembangan obyek wisata Borobudur di Jawa Tengah
memerlukan pembebasan tanah di sekitarnya. Namun penduduk tidak mendapat
ganti rugi yang memadai.
 Majalah Tempo dibredel selama dua bulan karena memberitakan insiden
terbunuhnya tujuh orang pada peristiwa kampanye pemilu di Jakarta . Kampanye
massa Golkar diserang oleh massa PPP, dimana militer turun tangan sehingga jatuh
korban jiwa tadi.

1983

 Orang- orang sipil bertato yang diduga penjahat kambuhan ditemukan tertembak
secara misterius di muka umum.
 Pelanggaran gencatan senjata di Tim- tim oleh ABRI.
19 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

1984

 Berlanjutnya Pembunuhan Misterius di Indonesia.


 Peristiwa pembantaian di Tanjung Priuk terjadi.
 Tuduhan subversi terhadap Dharsono.
 Pengeboman beberapa gereja di Jawa Timur

1985

 Pengadilan terhadap aktivis-aktivis islam terjadi di berbagai tempat di pulau Jawa.

1986

 Pembunuhan terhadap peragawati Dietje di Kalibata. Pembunuhan diduga


dilakukan oleh mereka yang memiliki akses senjata api dan berbau konspirasi
kalangan elit.
 Pengusiran, perampasan dan pemusnahan Becak dari Jakarta.
 Kasus subversi terhadap Sanusi.
 Ekskusi beberapa tahanan G30S/ PKI.

1989

 Kasus tanah Kedung Ombo.


 Kasus tanah Cimacan, pembuatan lapangan golf.
 Kasus tanah Kemayoran.
 Kasus tanah Lampung, 100 orang tewas oleh ABRI. Peritiwa ini dikenal dengan
dengan peristiwa Talang sari.
 Bentrokan antara aktivis islam dan aparat di Bima.
 Badan Sensor Nasional dibentuk terhadap publikasi dan penerbitan buku.
Anggotanya terdiri beberapa dari unsur intelijen dan ABRI.

1991

 Pembantaian di pemakaman Santa Cruz, Dili terjadi oleh ABRI terhadap pemuda-
pemuda Timor yang mengikuti prosesi pemakaman rekannya. 200 orang meninggal.

1992

 Keluar Keppres tentang Monopoli perdagangan cengkeh oleh perusahaan-nya


Tommy Suharto.
 Penangkapan Xanana Gusmao.

1993

 Pembunuhan terhadap seorang aktifis buruh perempuan, Marsinah. Tanggal 8 Mei


1993

20 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

1994

 Tempo, Editor dan Detik dibredel, diduga sehubungan dengan pemberita-an kapal
perang bekas oleh Habibie.

1995

 Kasus Tanah Koja.


 Kerusuhan di Flores.

1996

 Kerusuhan anti Kristen diTasikmalaya. Peristiwa ini dikenal dengan Kerusuhan


Tasikmalaya. Peristiwa ini terjadi pada 26 Desember 19962. Kasus tanah Balongan.
 Sengketa antara penduduk setempat dengan pabrik kertas Muara Enim mengenai
pencemaran lingkungan.
- Sengketa tanah Manis Mata.
 Kasus waduk Nipah di madura, dimana korban jatuh karena ditembak aparat ketika
mereka memprotes penggusuran tanah mereka.
 Kasus penahanan dengan tuduhan subversi terhadap Sri Bintang Pamung-kas
berkaitan dengan demo di Dresden terhadap pak Harto yang berkun-jung di sana.
 Kerusuhan Situbondo, puluhan Gereja dibakar.
 Penyerangan dan pembunuhan terhadap pendukung PDI pro Megawati pada
tanggal 27 Juli.
 Kerusuhan Sambas–Sangualedo. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 30 Desember 1996.

1997

 Kasus tanah Kemayoran.


 Kasus pembantaian mereka yang diduga pelaku Dukun Santet di Jawa Timur.

1998

 Kerusuhan Mei di beberapa kota meletus, aparat keamanan bersikap pasif dan
membiarkan. Ribuan jiwa meninggal, puluhan perempuan diperkosa dan harta
benda hilang. Tanggal 13 – 15 Mei 1998.
 Pembunuhan terhadap beberapa mahasiswa Trisakti di jakarta , dua hari sebelum
kerusuhan Mei.3. Pembunuhan terhadap beberapa mahasiswa dalam demonstrasi
menentang Sidang Istimewa 1998. Peristiwa ini terjadi pada 13 – 14 November 1998
dan dikenal sebagai tragedi Semanggi I.

1999

21 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

 Pembantaian terhadap Tengku Bantaqiyah dan muridnya di Aceh. Peritiwa ini terjadi
24 Juli 1999. Pembumi hangusan kota Dili, Timor Timur oleh Militer indonesia dan Milisi
pro integrasi. Peristiwa ini terjadi pada 24 Agustus 1999.
 Pembunuhan terhadap seorang mahasiswa dan beberapa warga sipil dalam
demonstrasi penolakan Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan
Bahaya (RUU PKB). Peristiwa Ini terjadi pada 23 – 24 November 1999 dan dikenal
sebagai peristiwa Semanggi II.

Ditulis dalam indonesia, pojok santai | Tag: 1965, ham, indonesia

Diambil dari http://ithum. wordpress. com/2008/ 02/28/data- data-kasus- pelanggaran- ham-


semasa- orde-baru)

**************

Pernyataan Sikap
UNGKAP KEBENARAN, REHABILITASI KORBAN
Konstruksi sejarah G 30 S yang diasosiasikan oleh pemerintah sebagai pemberontakan Partai
Komunis Indonesia (PKI) terbukti manipulatif. Fakta-fakta sejarah yang dikemukakan peneliti-
peneliti sejarah terkini berkata lain. Mereka membeberkan adanya kudeta merangkak oleh
Suharto terhadap pemerintahan Sukarno dengan memasang suatu aksi konspiratif yang
dirancang untuk memusnahkan gerakan revolusioner sebagai pendukung setia Sukarno.
Manifestasinya diawali dengan pembunuhan perwira-perwira Angkatan Darat pada 30
September 1965. Aksi-aksi konspiratif mereka didalangi oleh CIA (Amerika) dan Angkatan
Darat di bawah faksi Suharto.
Pembunuhan para perwira pada 30 September 1965 menjadi dalih penahanan, penyiksaan,
dan pembunuhan massal pendukung setia Sukarno. Mereka yang tidak tahu soal aksi G30 S,
tepatnya menurut istilah Sukarno, Gerakan 1 Oktober 1965 (Gestok), telah mengalami
pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat sepanjang sejarah kemerdekaan Indonesia.
Kondisi pelanggaran HAM berat berlangsung sekian lama hingga kini karena konstruksi
sejarah yang manipulatif itu. Akibatnya, terjadi stigmatisasi terhadap korban dan keluarga
korban. Stigma yang melekat pada korban dan keluarga korban membuat mereka
mengalami diskriminasi ekonomi, sosial, budaya, dan politik yang seharusnya dilindungi oleh
negara.
Sejalan dengan UUD 1945 Amademen Keempat Tahun 2002 Bab XA tentang Hak Asasi
Manusia, Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5) yang menyebutkan negara memiliki fungsi sebagai
perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM sesuai prinsip hukum dan
demokrasi dan TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM, seharusnya negara segera
merehabilitasi hak-hak korban dengan terlebih dahulu melakukan terobosan dengan
membongkar konstruksi sejarah palsu buatan rejim Orde Baru dengan mengakomodir
fakta-fakta sejarah terkini.

Atas dasar itu, YPKP 65 menyatakan:

22 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

1. Menolak konstruksi sejarah palsu buatan rejim Orde Baru soal G 30 S yang
masih
digunakan negara sampai saat ini
2. Menolak segala peringatan yang dilakukan pemerintah perihal G 30 S yang
diasosiasikan dengan pemberontakan PKI
Selain itu, YPKP 65 menuntut:
1. Ungkap kebenaran sejarah soal Gerakan 1 Oktober 1965 yang
didalangi oleh CIA dan Angkatan Darat faksi Suharto
2. Presiden harus mengeluarkan permintaan maaf kepada korban atas
kesalahan negara yang pernah melakukan penahanan, penyiksaan,
dan pembunuhan jutaan orang terkait dengan kejahatan
kemanusiaan 1965
3. Pulihkan hak-hak korban
4. Negara harus bertanggung jawab di hadapan hukum
5. Negara harus menjamin agar kejahatan kemanusiaan serupa tidak
terulang kembali di masa depan dengan cara menegakan HAM dan
demokrasi kerakyatan
Jakarta, 29 September 2010.
Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65)

ISTIQLAL (11/5/2000)#

MEMPERTAHANKAN TAP MPRS XXV/1966 = KEMBALI KE ZAMAN


JAHILIAH
Oleh: Alam Tulus

Berbagai cara telah dilakukan kaum fasis Indonesia guna menentang dicabutnya kembali Tap
MPRS No XXV/1966, yang melarang berdirinya PKI dan penyebaran ajaran marxisme-leninisme-
komunisme. Di antaranya ada yang melalui pernyataan pada media massa, ada yang melalui demo
sampai membakar bendera palu arit. Membakar bendera palu arit dalam hal ini, sesungguhnya
mereka membakar bendera Gus Dur (NU) yang mengusulkan dicabutnya Tap MPRS tsb, serta
bendera PKB yang mendukung pencabutan tsb.
Kaum fasis mengharamkan komunisme, itu sudah hal yang umum. Suharto sebagai seorang fasis,
besar sekali sumbangannya bagi pengembangan ideologi fasis di Indonesia. Di mulainya dengan
melahirkan Tap MPRS No XXV/1966 dan kemudian ditingkatkannya ke penggulingan Presiden
Sukarno dari kekuasaannya.

Setelah kekuasaan berada di tangannya, maka siapa saja yang berani terang-terangan mengecam
akal-akalan Suharto untuk memperkaya diri serta anak-anaknya melalui KKN, akan dijebloskannya
ke dalam penjara.
Dengan Tap MPRS yang melarang komunisme itu, Suharto leluasa untuk menuduh setiap orang
sebagai komunis, subversif bila berbeda pendapat dengan dirinya, terutama bila berani menentang
perbuatannya yang tidak adil. Dan orang-orang yang diuntungkan oleh Tap MPRS tsb selama 32

23 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

tahun Suharto berkuasa, berkepentingan benar untuk mempertahankan tetap berlakunya Tap
MPRS teb. Kaum fasis dan pendukung fasis Suharto itulah yang kini bergerak menentang
pencabutan tap MPRS tsb. Kefasisannya Tap MPRS itu diakui Sekneg melalui "buku putih "(G.30-S
pemberontakan PKI), bahwa fasisme adalah ideologi otoriter yang memuja superioritas nasional!
Anti komunisme dan liberalisme. Marilah kita menoleh kebelakang sejenak.

TIGA DIMENSINYA SUKARNO

Sebelum meletus apa yang dinamakan Peristiwa G.30-S, masalah perbedaan ideologi politik
tidaklah begitu gencar dipermasalahkan. Bahkan NASAKOM-nya Bung Karno, Presiden pertama
RI, yang awalnya dicetuskan pada tahun 1926, tidak diberi label ideologi sekuler dan menganut
atheisme. Karena Bung Karno memiliki tiga kualifikasi sekaligus, yaitu:

1. Kehidupan kerohaniaannya (spritual way of lifenya) adalah seorang muslim taat, jadi
agamis, Theis, bahkan menjadi anggota Muhammadiyah Bengkulu, yang Konsul PB-nya
seorang muslim Tionghoa, Oei Cheng Hien;
2. Seorang nasionalis, yang bercita-cita memerdekakan bangsa dan tanah air, dan anti
penjajahan (kolonialisme dan imperialisme);

3. Filsafat visi politik, ekonomi, menganut paham demokrasi dan sosialisme, yang memakai
senjata sosial ekonomi paham marxisme, yaitu filsafat dialektika, ideologi mazhab sejarah
materialisme, dan teori ekonomi politik evolusisme Darwin.

Dalam dimensi spritual, Bung Karno adalah mukmin, bertauhidi, mengakui Keesaan Tuhan, jadi
penganut monotheimse. Sebagai insan kelahiran dan putera Nusantara yang mengalami penjajahan
dan penindasan kolonialisme dan imperialisme, Bung Karno berjiwa nasionalisme. Untuk
memerdekakan rakyat, masyarakat, bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan dan mendirikan
negara RI yang ber-Pancasila. Dalam dimensi politik ekonomi, sosial, Bung Karno memakai metode
analisa ilmiah filsafat dialektika, yang dirintis oleh Hegel, Fauerbach (thesa, anti thesa dan
synthesa). Dalam menganalisa perkembangan masyarakat (sosiologi), Bung Karno memakai metode
yang dikembangkan oleh Darwin, yaitu historis materialism (dari primitif komunisme, pemilikan
budak, feodalisme, kapitalisme, imperialisme, sosialisme dan modern komunisme).

Ketiga-tiganya dijadikan trilogi (Nasamar-Nasionalisme, Agama dan Marxisme). Teori-teori itu


adalah lahir di Eropa barat, setelah era Pencerahan dan Kebangkitan (renaisance) dan pemisahan
bidang antara gereja dan Negara, atau antara agama dengan politik, antara masalah ukhrowi dan
duniawi sehingga dipakai istilah profaan (agama) dan sekuler untuk urusan keduniaan. Bila
mengatur dan mempermasalahkan ukhrowi memakai filsafat Theisme dan jika mempermasalahkan
duniawi, memakai filsafat Non Theisme (Atheisme), tanpa mempermasalahkah urusan ilahiah.
NON THEISME TIDAK ANTI TUHAN DAN AGAMA
Di Jawa, sebelum peresmian pemakaian istilah Santri dan Abangan oleh Clifford Geertz, oleh
rakyat biasa dipakai folklore "Mutihan", yang berasal dari bahasa Arab "Muthii" atau man athaa'a
dan qauman atau ummatan/kaumatan. Sedang istilah Abangan dipakai untuk mereka yang non
muthi yaitu Abaa Ya'baa, mengabaikan tidak mentaati, tidak menjalankan penuh syariah agama.
Para Santri biasanya menyenangi pakaian yang berwarna putih, sehingga juga disebut kaum yang
berpakaian putih.

Walaupun kaum Abangan tidak menjalankan syariah, namun mereka tetap merasa sebagai muslim,
karena ketika menginjak dewasa, dikhitan (diislamkan), atau nikah di serambi masjid, dengan
24 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

menirukan pembacaan syahadatain sebagai pernyataan muslimin, berkeimanan kepada Allah dan
rasulullah Muhammad Saw. Mereka disebut muslim cacah jiwa (statistik).

Mereka yang diindikasikan, dengan praduga-salah, sebagai terlibat G.30-S, pada umumnya percaya
kepada hal-hal yang ghaib dari hari kemudian (kiamat) atau yukminuuna bil ghaibi wabil akhirati
hum yuqginuun. Jadi, tidak benar bahwa para penganut ideologi politik marxisme adalah didentikan
dengan atheis atau penganut atheisme, hanya karena mereka mempermasalahkan masalah politik,
sosial, ekonomi, dianggap sebagai murni "kedaulatan" dan bukan masalah agama atau Ketuhanan.
Padahal mereka itu berpedoman kepada sabda Nabi Muhammad Saw:" Antum A'lamu biumuuri
dunyakum" (Kalian lebih mengerti utusan keduniaan atau masalah sekuler). Jadi, bukan anti Tuhan
dan anti agama.

Jika dikaji lebih mendalam teori-teori marxisme, ternyata yang dinamakan atheisme adalah
paham yang memilah antar bidang agama dan bukan agama, antara negara dan gereja, sehingga
ada teori dua pedang atau dua kedaulatan. Yaitu kedaulatan Tuhan/Agama/Gereja dan kedaulatan
Negara/sekuler. Gods sovereignity dan Kings sovereignity dan teori Teocratis dan Aristocratis.

Jadi huruf "A" dalam atheisme adalah tidak mengkait-kaitkan dalam pemecahan masalah politik,
ekonomi, sosial dan kebudayaan, dengan hal-hal yang berada dalam bidang keagamaan dan
Ketuhanan. Tetapi adalah salah kaprah yang terjadi di ndonesia, yaitu non theisme (atheisme)
dinyatakan sebagai pandangan hidup anti dan tanpa Tuhan.
Bukti sejarah empirik menunjukkan titik temu (kalimatin sawaa) antara Sosialisme dan Islam:

1. Buku karangan HOS Tjokroaminoto, pimpinan Pusat Partai Syarikat Islam yang berjudul
"Islam dan sosialisme";

2. Semaun, Darsono, Alimin dan Musso adalah mantan-mantan anggota SI dan murid HOS
Tjokroaminoto, demikian pula Bung Karno, salah satu diantara founding fathers RI. Tentu
dalam ajaran sekuler yang dianut para marxis dan ajaran Islam yang bermazhab kultural,
yaitu persamaan, keadilan, kemanusiaan, kemerdekaan politik, sosial, ekonomi dan budaya.

3. Pernyataan-pernyataan almarhum pemimpin-pemimpin Masyumi pada era RI Yogyakarta


(1946-1948) Mr Muhammad Roem, Mr Syafruddin Prawiranegara, Mr Yusuf Wibisono
bahwa Masyumi dan Islam kultural dan substansial berasaskan Sosialisme religius.

Tentang Syafruddin Prawiranegara menganggap dirinya sosialis Religius, dapat diketahui dengan
membaca dalam sebuah buku kecil yang berjudul "Politik dan Revolusi Kita", Yogyakarta 1948.
Dalam buku Syafruddin itu antara lain dikatakan: "Apabila unsur-unsur sosialisme tidak ada,
revolusi Indonesia tidak ada artinya bagi kami, karena ia tidak memberikan harapan baru kepada
kami. Bersama dengan para pemimpin partai-partai lain, ia menganggap pasal 33 UUD 45 sebagai
pernyataan sosialisme.
Karena itu mengkait-kaitkan para mantan tapol/napol G.30-S digebyah uyah sebagai atheist, anti
Tuhan, anti Pancasila adalah kezaliman dan tirani mental dan character assasination.
ARTI MEMPERTAHANKAN TAP MPRS XXV/1966

Sesungguhnya mempertahankan tetap berlakunya Tap MPRS XXV/1966, adalah untuk membela
lembaga MPRS yang cacat hukum, karena dikotori oleh 136 orang anggota MPRS yang diangkat
Suharto dari kalangannya sendiri, tanpa hak. Ia bukan Presiden, 136 anggota MPRS yang diangkat

25 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Suharto itu, ialah untuk mengganti anggota MPRS dari PKI dan PNI yang dipecatnya. MPRS yang
cacat hukum itulah yang mengeluarkan Tap MPRS No XXV/1966 itu.

Mempertahankan Tap MPRS No XXV/1966 adalah untuk mempertahankan suatu Tap yang
bertentangan dengan UUD 1945 (pasal 27 dan 28), bertentangan dengan Pancasila. Menurut
pidato Bung Karno dalam "Lahirnya Pancasila", negara RI didirikan bukan untuk satu golongan,
melainkan dari semua buat semua. Jadi termasuk bagi kaum komunis. Dengan kata lain Tap MPRS
tsb isinya menentang UUD 45 dan Pancasila. Jadi, tidak konstitusional.

Mempertahankan Tap MPRS XXV/1966 adalah dengan tujuan untuk kembali ke zaman Suharto
berkuasa, yang atas nama Demokrasi Pancasila dibunuhnya demokrasi, diinjak-injaknya hak-hak
asasi manusia. Lihatlah diantaranya pembantaian di Tanjung Priok, di Aceh dsb.

Mempertahankan Tap MPRS No XXV/1966, sama artinya dengan kembali keabad pertengahan
(zaman jahiliah), dimana tidak ada kebebasan pikiran, keinsyafan batin (human consience) dan hati
nurani manusia. Perbedaan cara berpikir, keinsyafan batin, hati nurani, ideologi, politik semestinya
memperkaya khazanah alam pikiran dan budaya sprituai dan menjadi rahmat bagi bangsa dan
Negara Republik. Tentu saja harus dia dakan dialog, komunikasi, rekonsialisasi atas dasar saling
memahami dan mengerti, mencari titik temu (platform) untuk menegakkan keadilan, kemerdekaan
dan meniadakan penindasan, penghisapan manusia oleh manusia. ***

KONSPIRASI DAN GENOSIDA[1]


Kemunculan Orde Baru dan Pembunuhan Massal

Oleh Bonnie Triyana[2]


Gestapu 1965: Awal Sebuah Malapetaka
Pada hari kamis malam tanggal 30 September 1965, sekelompok pasukan yang terdiri dari
berbagai kesatuan Angkatan Darat bergerak menuju kediaman 7 perwira tinggi Angkatan Darat.
Hanya satu tujuan mereka, membawa ketujuh orang jenderal tersebut hidup atau mati ke hadapan
Presiden Soekarno. Pada kenyataannya, mereka yang diculik tak pernah dihadapkan kepada
Soekarno. Dalam aksinya, gerakan itu hanya berhasil menculik 6 jenderal saja. Keenam jenderal
tersebut ialah Letjen. Ahmad Yani, Mayjen. Suprapto, Mayjen. S.Parman, Mayjen. Haryono M.T.,
Brigjen. D.I Padjaitan, Brigjen. Sutojo Siswomihardjo dan Lettu. Piere Tendean ajudan Jenderal
Nasution. Nasution sendiri berhasil meloloskan diri dengan melompat ke rumah Duta Besar Irak
yang terletak persis disebelah kediamannya.
Di pagi hari tanggal 1 Oktober 1965, sebuah susunan Dewan Revolusi diumumkan melalui corong
Radio Republik Indonesia (RRI). Pengumuman itu memuat pernyataan bahwa sebuah gerakan yang
terdiri dari pasukan bawahan Angkatan Darat telah menyelamatkan Presiden Soekarno dari aksi
coup d‘ etat. Menurut mereka, coup d‘ etat ini sejatinya akan dilancarkan oleh Dewan Jenderal
dan CIA pada tanggal 5 Oktober 1965, bertepatan dengan hari ulang tahun ABRI yang ke-20.
Empat hari kemudian, jenazah keenam jenderal dan satu orang letnan itu diketemukan di sebuah
sebuah sumur yang kemudian dikenal sebagai Lubang Buaya. Di sela-sela acara penggalian korban,
Soeharto memberikan pernyataan bahwa pembunuhan ini dilakukan oleh aktivis PKI didukung oleh
Angkatan Udara.

Sehari setelah penemuan jenazah, koran-koran afiliasi Angkatan Darat mengekspose foto-foto
jenazah tersebut. Mereka mengabarkan bahwa para jenderal tersebut mengalami siksaan di luar

26 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

prikemanusiaan sebelum diakhiri hidupnya.[3] Pemakaman korban dilakukan secara besar-besaran


pada tanggal 5 Oktober 1965. Nasution memberikan pidato bernada emosional, ia sendiri
kehilangan seorang putrinya, Ade Irma Nasution. Upacara pemakaman itu berlangsung tanpa
dihadiri Soekarno. Ketidakhadirannya itu menimbulkan beragam penafsiran.[4]
Pemuatan foto-foto jenazah korban dan berita penyiksaan yang dilakukan memberikan sumbangan
besar terhadap lahirnya histeria massa anti PKI. Di sana-sini orang-orang tak habis-habisnya
membicarakan penyiksaan yang dilakukan oleh Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Perempuan-
perempuan Gerwani itu diisukan mencukil mata jenderal dan memotong kemaluannya.[5]
Segera setelah media massa Ibukota yang berafiliasi dengan Angkatan Darat melansir berita
tersebut selama berhari-hari, dimulailah suatu pengganyangan besar-besaran pada PKI. Di
Jakarta, Kantor pusat PKI yang belum selesai dibangun diluluhlantakan. Beberapa orang pemimpin
PKI ditangkap. Tak hanya sampai di situ, anggota PKI pun mengalami sasaran.
Secara de facto, sejak tanggal 1 Oktober 1965, Soeharto merupakan pemegang kekuasaan.
Soekarno sendiri secara bertahap digeser dari percaturan politik, lebih dalam lagi ia layaknya
seorang kapten dalam sebuah team sepak bola yang tak pernah menerima bola untuk digiring.

Strategi dan taktik Soeharto dalam melakukan kontra aksi Gestapu 1965 sangat efektif dan
mematikan[6]. Dalam waktu satu hari ia berhasil membuat gerakan perwira-perwira ―maju‖ itu
kocar-kacir.
Sehari setelah menerima Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), Soeharto mengeluarkan
surat perintah bernomor 1/3/1966 yang memuat tentang pembubaran serta pelarangan PKI dan
organisasi onderbouwnya di Indonesia. Inilah coup d‘etat sesungguhnya. Bersamaan ini, dimulai
drama malapetaka kemanusiaan di Indonesia.

Ganjang Komunis!:

Pembunuhan Massal serta Penangkapan Anggota dan Simpatisan PKI di Daerah.

Di daerah-daerah, kampanye pengganyangan PKI diwujudkan dengan tindakan penculikan dan


pembunuhan secara massal terhadap anggota dan simpatisan PKI. Semua anggota organisasi massa
yang disinyalir memiliki hubungan dengan PKI pun tak luput mengalami hal serupa.

Pembantaian dilakukan kadang-kadang oleh tentara, kadang-kadang oleh sipil, orang-orang Islam
atau lainnya.[7] Di sini, tentara merupakan pendukung utama. Masyarakat merupakan unsur korban
propangadis Angkatan Darat yang secara nyata memiliki konflik dengan PKI. Di beberapa tempat
memang terjadi konflik antara PKI dan kelompok lain di kalangan masyarakat. Di Klaten misalnya,
aksi pembantaian massal menjadi ajang balas dendam musuh-musuh PKI yang berkali-kali
melakukan aksi sepihak penyerobotan lahan-lahan milik tuan tanah di sana. Aksi sepihak ini
berakibat bagi kemunculan benih-benih konflik di masyarakat. Pasca Gestapu 1965, PKI menjadi
sasaran utama kebencian yang terpendam sekian lama.[8]

Apa yang terjadi di Klaten tak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Jombang dan Kediri.
Namun kedua daerah ini memiliki sejarah konflik yang sangat kronis. Kaum komunis menuduh umat
Islam telah mengobarkan ―Jihad‖ untuk membunuh orang komunis dan mempertahankan tanah
miliknya atas nama Allah, sedangkan umat Muslim menuduh PKI dan Barisan Tani Indonesia (BTI)
melakukan penghinaan terhadap agama Islam.[9] Saling tuduh ini merupakan manifestasi konflik
kepentingan diantara dua kelompok.

27 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Bagi PKI, tanah merupakan komoditi politik-ekonomi yang dapat dijadikan alasan untuk menyerang
kaum Muslim sebagai penguasa tanah mayoritas. Sedangkan kaum Muslim menggunakan isu
ideologis atheis terhadap PKI untuk menyerang balik. Dua hal ini memang berujung pada
kepentingan ekonomis. Namun, dengan keyakinannya masing-masing, kedua kelompok ini berhasil
membangun sebuah opini yang mengarahkan pengikutnya pada titik temu konflik berkepanjangan.
Keduanya sama-sama ngotot.

Berbeda dengan di Jombang, Kediri dan Klaten, di Purwodadi, pembunuhan massal lebih tepat
dikatakan sebagai bagian dari genosida yang dilakukan oleh militer terhadap massa PKI. Di daerah
lain yang menjadi ladang pembantaian, tentara hanya bermain sebagai sponsor di belakang
kelompok agama dan sipil. Sementara di Purwodadi, tentara memegang peranan aktif dalam
pembunuhan massal.
Purwodadi ialah sebuah kota kecil yang terletak 60 Km di sebelah Tenggara Semarang. Purwodadi
ialah ibukota Kabupaten Grobogan. Daerah ini merupakan salah satu basis komunis terbesar di
Jawa Tengah. Amir Syarifudin, tokoh komunis yang terlibat dalam Madiun Affairs tahun 1948,
pun tertangkap di daerah ini.

Kasus Purwodadi sempat mencuat ketika pada tahun 1969, H.J.C Princen, seorang aktivis
kemanusiaan, berkunjung ke Purwodadi. Dengan disertai Henk Kolb dari Harian Haagsche Courant
dan E. Van Caspel,[10] Princen meninjau secara langsung keabsahan berita pembunuhan massal
yang didengarnya dari seorang pastor. Adalah Romo Wignyosumarto yang kali pertama
menyampaikan adanya pembunuhan besar-besaran ini. Romo Sumarto melaporkan berita tersebut
pada Princen setelah ia mendengarkan pengakuan dari seorang anggota Pertahanan Rakyat (Hanra)
yang turut dalam pembunuhan massal.[11]

Digunakannya unsur Hanra dalam pembunuhan massal sangat dimungkinkan karena lebih mudah
diorganisir dan dikendalikan secara langsung oleh tentara setempat. tak terjadinya konflik
horizotal di Purwodadi menyebabkan militer harus turun tangan langsung untuk melakukan
pembunuhan massal. Di Jombang, Kediri dan Klaten, tentara hanya mensuplai senjata bagi
kelompok-kelompok sipil. Selanjutnya mereka hanya memberikan dukungan-dukungan baik dalam
penangkapan maupun dalam hal penahanan Anggota dan Simpatisan PKI.

Pembunuhan dan penangkapan Anggota dan Simpatisan PKI di Purwodadi dibagi kedalam dua
periode. Pertama, ialah penangkapan dan pembunuhan yang dilakukan tahun 1965. pada peristiwa
ini ukuran penangkapan ialah jelas, artinya militer hanya menangkap mereka yang memiliki indikasi
anggota PKI aktif beserta anggota-anggota organisasi onderbouw PKI.

Penangkapan periode pertama lebih memperlihatkan bagaimana militer melakukan strategi


penghancuran secara sistemik terhadap PKI. Organisasi yang memiliki hubungan dengan PKI atau
apapun itu sepanjang berbau komunis dapat dipastikan ditangkap. Ini memang cara yang paling
efektif kendati jumlah korban tentu sangat banyak.
Dengan cara ini penguasa Orde Baru dapat meminimalisir ancaman komunisme. Perang terhadap
penganut Marxisme ini memang lebih rumit dari sekedar anti-komunisme.[12] Dari sudut pandang
manapun terlihat jelas jika Orde Baru berusaha membangun sebuah konstruk kekuasaan tanpa
aroma komunisme sedikitpun.

Kedua, penangkapan dan pembunuhan massal yang dilakukan pada tahun 1968. Pada periode ini,
ukuran penangkapan sangat tidak jelas, serba semrawut dan serba asal-asalan. Hanya karena
menjadi anggota Partai Nasional Indonesia – faksi Ali Sastroamidjojo-Surachman – militer sudah
28 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

dapat menangkapnya. Penangkapan ini dikenal sebagai penangkapan terhadap Soekarno – Sentris
atau dikenal sebagai SS.[13]

Operasi penangkapan pada tahun 1968 ini dilakukan di bawah Komandan Komando Distrik (Kodim)
0717 Purwodadi dengan dibantu Batalyon 404 dan 409. Operasi ini diberi nama Operasi Kikis.
Melalui operasi inilah seluruh anasi-anasir kekuatan komunis dan Orde Lama (SS) ditangkap.

Tak jelas apa motivasi penangkapan terhadap orang-orang SS ini. Namun ini dapat dipahami
sebagai usaha untuk mengkikis kekuatan Orde Lama. Di pusat kekuasaan, Soeharto sedang
berusaha untuk mengukuhkan kekuasaanya. Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 1971, kekuatan
anti Orde Baru tentu menjadi penghalang bagi kekuasaanya.

Pada perkembangan selanjutnya, orang-orang yang dianggap komunis ini didesain sebagai massa
mengambang atau Floating Mass. Mereka tak dibiarkan memasuki sebuah organisasi politik
tertentu selama kurun waktu lima tahun menjelang Pemilihan Umum (Pemilu),[14] namun suara
mereka dapat dipastikan disalurkan melalui Golongan Karya (Golkar). Konsep massa mengambang
sendiri ialah sebuah konsep yang diajukan oleh Mayjen Widodo, Panglima Kodam VII/Diponegoro
Jawa Tengah.

Lalu konsep ini dikembangkan oleh pemikir dari Center for Strategic and International Studies
(CSIS), sebuah lembaga think- tanks Orde Baru yang berdiri pada tahun 1971 atas sponsor Ali
Murtopo dan Soedjono Hoemardani, dua orang jenderal yang memiliki hubungan spesial dengan
Soeharto.[15]

Tak berlebihan jika kasus di Purwodadi dapat dikategorikan ke dalam tindakan Genosida. Genocide
menurut Helen Fein[16] adalah suatu strategi berupa pembunuhan, bukan semata-mata karena
benci atau dendam, terhadap sekelompok orang yang bersifat ras, suku, dan politik untuk
meniadakan ancaman dari kelompok itu terhadap Keabsahan Kekuasaan para pembunuh.

Penangkapan dan pembunuhan massal pada tahun 1968 ini banyak menimbulkan korban. Banyak
mereka yang tak mengetahui apapun tentang politik ditangkap bahkan dibunuh. Contohnya seperti
apa yang diungkapkan oleh Bapak Sp.:
―saya hanya pemain sandiwara Ketoprak pedesaan. Namun, saya ditangkap karena saya dianggap
memiliki hubungan dengan Lekra. Oleh karena itu saya sempat mendekam di Penjara Nusa
Kambangan selama 3 tahun. Di sebuah Kamp di Pati, saya dipaksa untuk mengakui bahwa saya
anggota PKI.‖[17]

Ini membuktikan ekses negatif pada sebuah operasi militer. Hal serupa pernah diungkapkan oleh
Ali Murtopo, ia mengatakan jatuhnya korban pembunuhan massal di Purwodadi ialah sebuah
konsekuensi dalam sebuah operasi militer.[18]
Operasi militer merupakan salah satu usaha yang digunakan tentara Indonesia dalam mengontrol,
memperkukuh dan memberikan sebuah ukuran kesetiaan bagi pemerintah pusat. Operasi ini kerap
dilakukan dalam rangka menumpas gerakan perlawanan daerah terhadap pusat. Penguasa Pusat
(Baca: Jakarta) memposisikan sebagai kosmis kekuasaan Raja sementara daerah ditempatkan
sebagai Kawula. Hal ini merupakan hasil dari interdependensi antara kekayaan dan politik dalam
masyarakat tradisional.[19] Jelas sebuah operasi militer memiliki arti strategis dalam menjaga
kekuasaan pusat atas kekayaan daerahnya.

Kebijakan operasi militer di Purwodadi tidak terlepas dari peranan komandan Kodim 0717 sendiri
sebagai penguasa militer setempat. Letkol. Tedjo Suwarno, Komandan Kodim dikenal sebagai
29 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

orang yang keras dan berambisi.[20] Atas perintahnyalah ratusan orang ditangkap selama tahun
1968.

Seorang saksi bernama Bapak Wt bercerita perihal penangkapan besar-besaran pada tahun 1968.
Tahanan itu ditempatkan di sebuah Kamp di Kuwu, desa kecil yang terletak 25 Km di Selatan
Purwodadi: ―saya ditempatkan di sebuah kamp di Kuwu. Setiap sore datang sekitar dua ratus
orang tahanan. Namun, di pagi hari, dua ratus orang itu telah dibawa oleh aparat. Yang tersisa
hanya saya dan dua teman saya‖,[21] di kemudian hari ia mendengar kabar bahwa ratusan orang
itu di bunuh di daerah Monggot atau di daerah lainnya di sekitar Kabupaten Grobongan. Bagi
mereka yang kaya dan memiliki hubungan khusus dengan para perwira militer, sogok atau suap
kerapkali terjadi demi menyelamatkan suami, anak atau sanak saudaranya yang ditahan militer
Purwodadi.
Tak heran jika pada waktu itu banyak perwira-perwira yang menumpuk kekayaan hasil dari uang
sogok kerabat tahanan tahanan. Di waktu selanjutnya sudah menjadi kebiasaan jika seorang
penguasa militer merupakan pelindung yang ampuh untuk apapun. Seorang pengusaha misalnya, ia
dapat bebas berdagang di sebuah daerah dengan meminta backing pada penguasa militer
setempat.[22] bukan isapan jempol jika penguasa militer di daerah memiliki pengaruh besar.

Figur kepemimpinan militer di daerah seperti halnya di Purwodadi memang memiliki pengaruh yang
cukup kuat. Di masa Orde Baru, sudah menjadi kebiasaan jika seorang Komandan Kodim (Dandim)
diangkat menjadi Bupati. Ini dilakukan atas pertimbangan kemanan dan realisasi dari Dwi Fungsi
ABRI.

Fenomena tersebut dikenal sebagai konsep kekaryaan ABRI. Konsep ini diperuntukan bagi perwira
militer yang karirnya mentok atau tak lagi memiliki kesempatan menapaki jenjang karir yang lebih
tinggi. Para perwira ini biasanya diplot menjadi kepala daerah baik di tingkat I atau II. Orde Baru
menciptakan kategori daerah-daerah tertentu bagi penempatan perwira-perwira mentok ini.[23]

Pada masa Orde Baru, Penguasa militer di daerah, dari Tk I hingga II atau bahkan tingkat
Komando Rayon Militer (Koramil) berusaha dengan keras menciptakan suasana aman dan stabil.
Maka ukuran kestabilan keamanan pasca Gestapu 1965 ialah dengan mencegah timbulnya kembali
kekuatan komunisme di Indonesia.[24]

Ada kesan dengan menahan sebanyak-banyaknya massa PKI merupakan prestasi tersendiri.
Dengan cara ini kondisi sosial-politik setempat dinyatakan stabil dan terkendali. Pemerintah Orde
Baru menganggap komunisme ialah musuh yang paling utama dalam pembangunan. Selama hampir
32 tahun, bahaya laten komunis didengung-dengungkan sebagai sebuah momok yang menakutkan.
Ini ditunjukan dengan cara memutar film Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia atau
G.30.S/PKI yang disutradarai oleh Arifin C. Noor setiap tahunnya.
Kekhawatiran yang teramat sangat pada komunis (komunisto phobia) memang terlihat begitu jelas
inheren pada masa Orde Baru. tak hanya itu, pemerintah Orde Baru tak segan-segan melemparkan
stigma PKI pada organisasi-organisasi yang berlawanan dengan kebijakannya. Kasus 27 Juli 1996
memperlihatkan secara jelas usaha Orde Baru dalam membangkitkan ketakutan masyarakat akan
komunisme.[25]
Penahanan ribuan anggota dan simpatisan PKI selama kurun waktu 1965 – 1980-an (dalam
beberapa kasus bahkan hingga masa reformasi tiba) juga bagian dari usaha Orde Baru mencegah
penularan komunisme pada masyarakat. Tahanan politik ini dibuang di Pulau Buru, Nusa Kambangan
dan penjara-penjara di tiap daerah. Tak ada itikad dari Orde Baru untuk melepaskannya. Segera
30 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

setelah mendapatkan tekanan internasional, khususnya Amnesti Internasional, pemerintah Orde


Baru melepaskan beberapa tahanan politik dengan klasifikasi A, B dan C.[26]

Pemerintah memiliki berbagai dalil dalam aksi penahanan besar-besaran terhadap anggota dan
simpatisan PKI. Pada tahun 1975, Pangkopkamtib Laksamana Sudomo mengatakan bahwa pelepasan
tahanan politik di saat itu merupakan ancaman bagi kestabilan nasional.[27]

Senada dengan apa yang diungkapkan oleh Sudomo, Letkol. Tedjo Suwarno di dalam sebuah
kunjungan wartawan Ibu Kota ke Kamp-kamp di Purwodadi mengatakan bahwa bila mereka
dikembalikan ke masyarakat akan menimbulkan problem tersendiri dan masyarakat akan
berontak.[28] Di pihak lain, Bapak S mengatakan bahwa setelah penangkapan atas dirinya,
keluarganya mengalami penderitaan. Ia sebagai kepala keluarga tak lagi dapat menghidupi istri
dan anak-anaknya.[29] Istrinya terpaksa berjualan nasi di depan Stasiun Purwodadi untuk
mencukupi kebutuhan sehari-hari dan mengirim makanan sekedarnya pada Bapak S. yang saat itu
di dalam Kamp di Purwodadi.
Penahanan atas anggota dan simpatisan PKI tidak saja menyisakan trauma mendalam[30] bagi
mereka namun keluarganya juga harus menghadapi kenyataan hidup yang serba kekurangan. Di
Purwodadi banyak keluarga yang hidup dalam kesederhanaan akibat penahanan dan pembunuhan
terhadap anggota keluarganya yang dituduh anggota maupun simpatisan PKI. Bahkan di sebuah
desa di Purwodadi, dikenal sebagai ―kampung janda‖ karena suami-suami mereka diciduk oleh
militer.

Hingga kini tak dapat dipastikan secara pasti berapa jumlah korban yang meninggal dalam
peristiwa pembunuhan massal di Purwodadi dalam kurun waktu tahun 1965-1968. H.J.C Princen
mengatakan bahwa korban tewas ada sekitar 850 – 1000 orang. Sementara itu menurut
perhitungan Maskun Iskandar, seorang wartawan harian Indonesia Raya, korban berkisar 6.000
jiwa.

Berapapun jumlahnya, satu nyawa manusia yang hilang merupakan dosa yang tak terampuni. Maka
penegakan hukum ialah jawabannya untuk menghindari perulangan peristiwa serupa.
Litsus dan Label KTP: Kontrol atas Mantan Tahanan Politik

Penderitaan tidak berakhir begitu saja. Setelah para tahanan politik pulang dari pembuangan di
pulau Buru, Nusa Kambangan atau penjara lainnya, aparat militer masih saja melakukan
pengawasan pada diri mereka dan keluarganya. Bapak Rk, seorang tahanan politik jebolan Pulau
Buru menceritakan bagaimana dirinya diintimidasi oleh aparat setelah pulang dari Pulau Buru pada
tahun 1979.

―Sepulangnya dari Pulau Buru, saya membuka praktek sebagai mantri. Obat-obatan yang saya bawa
dari Pulau Buru saya gunakan untuk mengobati masyarakat yang membutuhkan. Namun karena hal
tersebut, Koramil mendatangi saya dan memanggil saya untuk diinterogasi‖[31]

Pengawasan yang extra ketat ini memang diberlakukan bagi mantan tahanan politik. Salah satu
cara untuk memantau gerak gerik mereka pemerintah Orde Baru menetapkan untuk memberi
tanda khusus Ex Tapol (ET) dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) para mantan tahanan politik.
Tindakan lainnya, selama Orde Baru, keluarga mantan tahanan politik tidak diperkenankan
memasuki dunia politik atau menjadi pegawai negeri. Untuk yang satu ini pemerintah menetapkan
Penelitian Khusus (Litsus) kepada calon pegawai negeri.

31 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Seorang mantan tahanan politik pernah mengatakan sebuah lelucon bahwa label ET dalam KTP-nya
bukan berarti Ex-Tapol tapi tidak lain adalah ―elek terus‖ (Indonesia: Jelek Terus).

Menyitir apa yang pernah dikatakan oleh Ben Anderson bahwa kekuasaan Orde Baru dibangun
diatas tumpukan mayat. Namun sejarah membuktikan bahwa atas nama apapun, sebuah orde yang
dibangun di atas penderitaan rakyatnya pasti akan tumbang dengan sendirinya.*

****
<< Dimuat dalam Jurnal MESIASS Masyarakat Indonesia Sadar Sejarah Semarang, Jawa Tengah
>>
----------------------------------------------------------
[1] Makalah ini dibuat dalam rangka diskusi yang diselenggarakan Australian Consortium for In-
Country Indonesian Studies (ACICIS) di Yogyakarta 17 Oktober 2002.
[2] Penulis adalah Koordinator Kajian dan Diskusi pada Masyarakat Indonesia Sadar Sejarah
(Mesiass) dan Mahasiswa Sejarah Universitas Diponegoro, Semarang. Kini sedang menulis skripsi
tentang pembantaian massal anggota dan simpatisan PKI di Purwodadi.

[3] Bandingkan dengan Hermawan Sulistyo dalam Palu Arit di Ladang Tebu, Sejarah Pembantaian
yang Terlupakan 1965-1966 (Jakarta: Kepustakaan Gramedia Populer, 2000) Hal. 8

[4] Meskipun mungkin karena pertimbangan keamanan, ketidakhadiran itu tetap dianggap sebagai
skandal. Lihat Hermawan Sulistyo dalam Ibid..hal. 8. Mengutip dari John Hughes dalam
Indonesian Upheaval (New York: David McKay, 1967) hal. 137-138.

[5] Untuk lebih lengkap, periksa Saskia Eleonora Wieringa dalam Penghancuran Gerakan Wanita di
Indonesia (Jakarta: Kalyanamitra dan Garba Budaya, 1999) Hal. 498.

[6] Dalam pledoinya Kolonel A. Latief menceritakan bahwa sesungguhnya Soeharto telah
mengetahui bahwa akan ada sebuah gerakan yang akan menangkap Dewan Jenderal. Lihat Kolonel
A. Latief dalam Pledoi Kolonel A.Latief Soeharto Terlibat G.30.S (Jakarta: ISAI, 2000), hal. 129.

[7] John D. Legge dalam Sukarno Biografi Politik (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001) Hal.
457.
[8] Untuk diskusi lebih lanjut lihat Kata Pengantar Soegijanto Padmo pada Aminudin Kasdi dalam
Kaum Merah Menjarah (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2001)

[9] ―Sedari awal semangat agama masuk dalam konflik tanah. Kelompok NU menuduh PKI dan BTI
telah menyerang sekolah-sekolah agama dan menghina Islam, sementara kaum Muslim dituduh
telah mendorong pengikutnya untuk mengganyang ―kaum atheis‖ dan mempertahankan milik
mereka atas nama Allah. Untuk lebih lanjut lihat Hermawan Sulistyo dalam op.cit., hal. 146
mengutip dari Rex Mortimer dalam The Indonesian Communist Party and Landreform, 1959-1965
(Clayton, Victoria: Center of Southeast Studies, Monash University, 1972), hal. 48.
[10] Harian Sinar Harapan, edisi 3 Maret 1969.

[11] A Javanese Catholic priest, Father Sumarto, had pieced together an account of the
massacre from the confession of conscience stricken Catholic members of the Civil Defense
Corp, who had been forced to take for it. Untuk diskusi lebih lanjut periksa Brian May dalam The
Indonesian Tragedy (Singapore: Graham Brash (Pte) Ltd, 1978), hal. 205

32 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

[12] Memorandum Intelejen CIA, ―Indonesian Army Attitudes toward Communism‖ Directorate
of Intelligence, Office Current Intelligence, 22 November 1965, case #88-119, Doc. 119, butir 1.

[13] Wawancara dengan Bapak S., seorang Sekretaris Sarekat Buruh Kereta Api (SBKA) Stasiun
Purwodadi. SBKA, menurut versi Orde Baru, adalah onderbouw PKI. Bapak S., mengatakan bahwa
penangkapan dan pembunuhan yang paling besar justru terjadi pada tahun 1968. Tentara dapat
menangkap orang-orang hanya karena menjadi anggota PNI Ali Sastroamidjojo – Surachman
(PNI-ASU) atau motif dendam lainnya.

[14] General Widodo mantained that party activity in the villages disrupted the hard work and
unity necessary for development. Far better to let the population ‗float‘ without party contact in
the five year period during elections….diskusi lebih lanjut lihat Hamis McDonald dalam Suharto‘s
Indonesia (Blackburn, Victoria: Fontana Books, 1980), hal. 109.
[15] Lihat Dewi Fortuna Anwar, Policy Advisory Institutions: ―Think – Tanks‖ dalam Richard W.
Baker (ed) et.al., Indonesia The Challenge of Change (Pasir Panjang, Singapore: ISEAS and
KITLV, 1999), hal. 237.

[16] Helen Fein, Revolutionary and Antirevolutionary Genocides: A Comparison of State Murders
in Democratic Kampuchea, 1975 to 1979, and In Indonesia. 1965 to 1966, dalam Contemporary
Studies of Society and History, Vol. 35, No. 4, October 1993, Hlm. 813. Dikutip dari Hermawan
Sulistyo dalam loc.cit..Hal. 245-246
[17] Wawancara dengan Bapak Sp.

[18] Harian Sinar Harapan, Selasa 11 Maret 1969.

[19] Interdependensi antara kekayaan dan politik dalam masyarakat tradisional menimbulkan dua
hal. Pertama, negara dan raja harus mengontrol harta kekayaan kawula guna menghindarkan
ancaman politis dari mereka. Kedua, kawula yang secara politik dan fisik berada di bawah harus
dieksploitasi sedemikian rupa…lebih lanjut periksa Onghokham dalam Rakyat dan Negara (
Jakarta: LP3ES dan Pustaka Sinar Harapan, 1991), hal. 103.

[20] ―Pak Tedjo itu kelihatannya berambisi menjadi Bupati Grobogan. Ia dulu sering berceramah
kemana-mana tentang Pancasila. Ia memang terkenal galak‖. Wawancara dengan Bapak A

[21] Wawancara dengan Bapak Wt

[22] Dalam banyak hal, sipil tampaknya lebih tergantung pada militer baik secara politik,
kekuasaan maupun ekonomi, ketimbang sebaliknya. Untuk hal ini lihat Indria Samego dalam TNI di
Era Perubahan (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1999), hal. 34. Juga lihat Harold Crouch dalam
General and Business in Indonesia, Pacifis Affairs, 48, 4, 1975/76.

[23] Replika selama masa Orde Baru, dengan munculnya kriteria daerah A, B dan C, secara politik
sangat menguntungkan ABRI, terutama dalam penjatahan mengenai kepala daerah tingkat I dan
II. Kriteria A merupakan daerah yang sangat rawan secara politik, sehingga jabatan politik
(Bupati maupun Gubernur) harus dipegang oleh orang militer. kriteria B setengah rawan, dapat
diisi oleh sipil maupun militer, tapi kenyataannya banyak diisi oleh militer. Sedangkan kriteria C
adalah kriteria daerah aman, secara konsep dapat diisi oleh sipil tetapi kenyataannya justru
sering diisi pula oleh militer. Untuk diskusi lebih lanjut lihat M. Riefqi Muna dalam Persepsi
Militer dan Sipil Tentang Dwifungsi: Mengukur Dua Kategori Ganda. Dimuat dalam Rizal Sukma

33 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

et.al.., dalam Hubungan Sipil – Militer dan Transisi Demokrasi di Indonesia (Jakarta : CSIS,
1999), hal. 50.

[24] Kebangkitan komunis tidak saja dikhawatirkan akan datang dari dalam negeri pun dari luar
negeri. Pada tahun 1971, ketika kampanye Pemilu sedang dilakukan, beberapa orang diplomat Uni
Soviet berkunjung ke Jawa Tengah. Panglima Kodam VII/Diponegoro di Semarang hampir-hampir
melarang kunjungan mereka ke daerahnya. Hal tersebut ditanggapi oleh menteri luar legeri
dengan mengeluarkan larang kunjungan ke daerah-daerah bagi diplomat negeri komunis itu. Untuk
hal ini periksa Harold Crouch dalam Militer dan Politik di Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1999), hal. 376.

[25] Pada waktu itu, Kasospol ABRI, Letjen. Syarwan Hamid melekatkan label komunis pada Partai
Rakyat Demokratik (PRD). PRD dituduh sebagai dalam di balik kerusuhan tersebut. Hingga kini,
kasus pengrusakan terhadap markas PDI (sekarang PDI-Perjuangan) itu belum tuntas.
[26] Kategori A diberikan pada mereka yang dianggap terlibat secara langsung pada peristiwa
Gestapu 1965, kategori B berarti mereka yang dianggap memberikan dukungan pada Gestapu 1965
dan kategori C dilabelkan pada mereka yang mengetauhi peristiwa Gestapu secara langsung atau
tidak. Pada bulan September 1971, Jenderal Sugiharto mengatakan pada wartawan bahwa jumlah
tahanan politik kategori A ialah 5.000 orang, untuk kategori B menurut Pangkopkamtib sekitar 29.
470 dan kategori C menurut Jenderal Sudharmono ada sekitar 25.000 orang tahanan. Untuk
perihal ini silahkan lihat Amnesty International dalam Indonesia an Amnesty International Report
(London: Amnesty International Publication, 1977), hal. 31-44.

[27] Lihat Hamish McDonald dalam Ibid., hal.219-220.

[28] Harian Indonesia Raya, Rabu 12 Maret 1969.

[29] Wawancara dengan Bapak S.

[30] Untuk lebih lengkap periksa Liem Soei Liong, It‘s the Military, Stupid! Dalam Freek
Colombijn dan Thomas Lindblad (ed) et.al., Roots of Violence In Indonesia (Leiden: KITLV, 2002),
hal. 199.
[31] Wawancara dengan Bapak Rk.

SUDAH 44 TAHUN MASIH TERUS BERLANGSUNG IMPUNITY


ATAS PELANGGARAN HAM BERAT 1965-66 (1/4)
(MENYOROT LIKU-LIKU SEJARAH PANJANG PERJUANGAN PENEGAKAN KEBENARAN DAN
KEADILAN BERKAITAN PELANGGARAN HAM BERAT 1965-66 DI INDONESIA DAN LUAR
NEGERI)
Oleh MD Kartaprawira*

Peristiwa G30S yang meletus pada pagi hari 01 Oktober 1965 adalah suatu fakta sejarah yang
berbuntut tragis bagi bangsa dan negara Indonesia. Sebab kekuatan militaris kanan di bawah
pimpinan jenderal Suharto dengan dalih menumpas G30S menegakkan kekuasaan diktatur-militer-
fasis, melakukan pelanggaran HAM berat tak berperikemanusiaan, menggulingkan pemerintahan
Soekarno, membuka lebar-lebar pintu bagi neoliberalisme untuk menguras kekayaan alam
Indonesia.
34 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Dalam tulisan ini tidak akan dikupas tentang sejarah peristiwa G30S, sebab sudah banyak ditulis
dengan berbagai macam versi, yang satu sama lain tidak bisa ketemu dalam satu kesimpulan. Tapi
satu hal yang tidak dapat diingkari yaitu rejim Orde Baru Suharto bertanggung jawab penuh atas
terjadinya pelanggaran HAM berat 1965-66 dan penguasa negara pasca jatuhnya rejim Suharto
juga bertanggung jawab atas penuntasan kasus tersebut demi tegaknya kebenaran dan keadilan.
Sebab berlangsungnya impunity (kebal hukuman) di dalam negara hukum tidak bisa dibiarkan
terus, apalagi yang menyangkut pelanggaran HAM berat 1965-66 – kejahatan kemanusiaan
terbesar kedua sesudah kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Jerman Nazi pada Perang
Dunia II. Toleransi terhadap impunity adalah bencana terhadap tatanan negara dan hukum di
Indonesia. Dalam kesempatan ini penulis mencoba menyoroti beberapa aspek kasus pelanggaran
HAM berat 1965 yang sudah 44 tahun tidak dijamah oleh penyelenggara negara.
Perang Dingin dan pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia
Di seluruh dunia beradab dewasa ini tidak ada bangsa yang ketinggalan bicara tentang penegakan
hak asasi manusia (HAM), meskipun dalam perjalanan sejarah masa lalu bangsa-bangsa beradab
tersebut adalah pelanggar HAM berat yang sangat memalukan. Mereka inilah yang menangkapi
orang-orang Afrika kemudian dijadikan budak sebagai barang dagangan di Amerika dan bagian
dunia lainnya. Mereka tidak hanya merampas hak asasi, tapi juga hak atas kekayaan alam bangsa-
bangsa Asia dan Afrika, Indian Amerika dan pribumi Australia dalam rangka politik kolonialisme
dan imperialismenya.
Sesuai hukum perkembangan masyarakat setelah Perang Dunia II akhirnya pandangan mereka
mengenai hak asasi manusia mengalami perubahan/kemajuan positif.

Maka pada tahun 1948 di PBB dicetuskan Deklarasi Sedunia Hak Asasi Manusia, meskipun
sasaran tembaknya terarah ke medan konfrontasi politik Perang Dingin antara Blok Barat
(kapitalis) dan Blok Timur (Sosialis). Dengan tak henti-hentinya bombardemen dari Blok Barat
ditujukan kepada negara-negara sosialis (terutama Uni Soviet), yang dituduh telah menginjak-
injak HAM rakyat di negara-negara tersebut. Tetapi Blok Barat diam seribu bahasa mengenai
pelanggaran-pelanggaran HAM yang mereka lakukan di negara-negara jajahannya di benua Asia
dan Afrika saat itu. Begitu juga sikap politiknya terhadap pelanggaran HAM berat yang dilakukan
langsung atau tak langsung oleh rejim militer Suharto, setelah berhasil merebut kekuasaan dari
pemerintahan Soekarno pasca peristiwa G30S 1965. Blok Barat menutup mata rapat-rapat
seakan-akan di Indonesia tak terjadi apa-apa – tak terjadi pelanggaran HAM berat – kejahatan
kemanusiaan.

Tentu saja secara logika sikap politik mereka yang demikian itu tidaklah mengherankan. Sebab
rejim Suharto yang berpolitik anti komunisme berdiri dalam satu front politik Perang Dingin
waktu itu menghadapi Blok Sosialis. Jutaan rakyat tak berdosa dibantai, dibuang ke pulau Buru
dan kamp-kamp lainnya, diteror, dihilangkan dengan tuduhan anggota PKI atau simpatisannya tidak
mendapatkan reaksi negatif. Bahkan sebaliknya dianggap sebagai kesuksesan dari mata rantai
strategi politik menghancurkan komunisme di Asia Tenggara dan untuk menjatuhkan Pemerintahan
Sukarno yang berpolitik persatuan nasional NASAKOM. Begitu juga ketika rejim Suharto
melakukan agresi terhadap Timor Leste (Timtim), negara-negara blok Barat secara diam-diam
merestuinya. Sebab Timor Leste di bawah Fretilin akan menjadi benteng kekuatan kiri
(marxisme) yang membahayakan keamanan kawasan Asia Tenggara dan Pasifik.

35 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Tetapi ketika tingkah rejim Suharto sudah keliwat batas dari nilai-nilai kemanusiaan, negara-
negara barat pun tidak bisa lain kecuali terpaksa harus membuka lampu kuning, sebagai peringatan
dan tekanan terhadap rejim Suharto untuk melakukan sesuatu perubahan politik terhadap para
korban pelanggaran HAM tersebut. Dengan lampu kuning tersebut rejim Suharto pada tahun
1970-an terpaksa melepaskan para tahanan politik dari pulau Buru dan penjara-penjara lainnya
setelah belasan tahun meringkuk di dalamnya. Sedang bagi para LSM di tanah air dan luar negeri
terbukalah lampu hijau yang bisa memungkinkan melakukan aktivitasnya di bawah kibaran bendera
HAM.
Baik lampu kuning maupun lampu hijau tersebut memang harus mereka buka, sebab teriakan
pelanggaran HAM yang ditujukan secara gencar siang dan malam terhadap negara-negara sosialis
akan terdengar sumbang apabila tanpa diimbangi dengan tekanan politik terhadap rejim Suharto
agar mengadakan perbaikan kebijakan terhadap para korban pelanggaran HAM berat di Indonesia
pasca peristiwa G30S: yaitu dengan pembebasan para tahanan politik. Dan rejim Suharto yang
tergantung ekonomi dan politiknya dari negara-negara blok barat - anti komunis, tidak mungkin
bisa menolak tekanan politik tersebut. Maka pada kurun waktu tahun 1970-an dilepaskanlah para
tapol dari pulau Buru dan penjara-penjara lainnya.

Tapi ternyata pembebasan para tapol tersebut hanya suatu langkah permainan politik belaka,
sebab setelah pembebasan dari tahanan mereka tetap tidak mengalami pembebasan dari tindak
pelanggaran HAM sesuai yang dimaksud dalam Deklarasi Sedunia Hak Asasi Manusia (1948) dan
peraturan-peraturan HAM lainnya. Mereka masih mengalami diskriminasi dalam banyak segi
kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Mereka dalam kurun waktu panjang tetap diinjak-injak
hak asasinya: misalnya di dalam KTPnya diberi label ―ET‖ (Ex Tapol) yang mengakibatkan
kesulitan besar dalam kehidupannya, mereka antara lain tidak boleh menjadi pegawai negeri, tidak
boleh menjadi guru. Mereka dan keluarganya tambah mengalami penderitaan berat ketika
penguasa melakukan kebijakan tentang bersih lingkungan. Sedang ribuan/jutaan manusia yang
dilibas sedikitpun belum menjadi perhatian para penegak hukum, meskipun sudah ditemukan
beberapa kuburan massal. Dan di luar negeri para OTP (Orang Terhalang Pulang, karena dicabut
paspornya) sampai saat ini masih belum mendapat penyelesaian sesuai statusnya sebagai korban
pelanggaran HAM. Bahkan di dalam UU Kewarganegaraan RI Tahun 2006 tampak jelas politik
hukum penyelenggara negara yang berusaha menutup masalah yang berkaitan dengan keadilan
bagi para OTP.**

Demikianlah Perang Dingin yang sudah berakhir dengan kemenangan Blok Barat dan runtuhnya
negara-negara komunis/sosialis di Eropa, tapi masih meninggalkan sisa-sisa pengaruh negatif
dalam kehidupan politik di Indonesia sampai dewasa ini. Sebab masalah penuntasan kasus
pelanggaran HAM berat 1965-66 secara langsung atau tidak, sengaja atau tidak selalu dikait-
kaitkan dengan isu komunisme (bahaya komunisme, come back PKI dsb.). Maka tidak
mengherankan masalah penuntasan kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 meskipun sudah 44
tahun lamnya, masih tetap berlarut-larut tanpa kesudahan.
Nederland, 28 Oktober 2009
*) Ketua Umum Lembaga Pembela Korban 1965 (LPK65), Negeri Belanda. **)

Lihat: - MD Kartaprawira: Andi Mattalata Sosialisasikan U.U. Kewarganegaraan R.I 2006 (1):
Tidak Serius, Mengapa?,

36 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

http://lembagapembelakorban65.blogspot.com/2009/03/andi-mattalata-sosialisasikan-u.html

- MD Kartaprawira: Andi Mattalata Sosialisasikan UU Kewarganegaraan RI 2006 (2):


Menyembunyikan masalah pokok yang prinsipiil,
http://lembagapembelakorban65.blogspot.com/md-kartaprawira-andi-mattalata.html
- MD Kartaprawira: Andi Mattalata Sosialisasikan UU Kewarganegaraan RI 2006 (3):
Berhadapan Statement LPK‘65 (27.04.2007),
http://lembagapembelakorban65.blogspot.com/md-kartaprawira-andi-mattalata_19.html

SUDAH 44 TAHUN MASIH TERUS BERLANGSUNG IMPUNITY


ATAS PELANGGARAN HAM BERAT 1965-66 (2 / 4)
(MENYOROT LIKU-LIKU SEJARAH PANJANG PERJUANGAN PENEGAKAN KEBENARAN DAN
KEADILAN BERKAITAN PELANGGARAN HAM BERAT 1965-66 DI INDONESIA DAN LUAR
NEGERI)

Oleh MD Kartaprawira*

Penggelapan terhadap kebenaran dan keadilan terus berlanjut

Penyelenggara negara sampai dewasa ini secara resmi belum mengakui adanya pelanggaran HAM
berat yang dilakukan oleh penguasa negara pada masa lalu yang dilakukan Rejim Suharto. Hal itu
berarti penguasa negara sampai dewasa ini masih melakukan penggelapan terhadap kebenaran dan
keadilan berkaitan dengan pelanggaran HAM berat 1965-66 (khususnya).

Di Afrika Selatan dalam proses rekonsiliasi pelaku pelanggaran HAM berani minta maaf atas
tindakannya. Di Peru Presiden Toledo atas nama negara meminta maaf kepada para korban dan
keluarganya. Juga di Peru mantan presiden Fujimori telah dijatuhi hukuman 25 tahun penjara atas
pelanggaran HAM yang hanya menewaskan 25 orang. Di Spanyol tahun 2008 Parlemen telah
mengakui adanya tindakan pelanggaran HAM oleh rejim Franco, maka karena itu parlemen
mengesahkan UU tentang pemberian kompensasi/restitusi kepada para korban pelanggaran HAM
tersebut.

Tapi di Indonesia pelanggaran HAM berat 1965-66 sampai sekarang belum mengalami kemajuan
yang berarti. Akibatnya penegakan kebenaran dan keadilan bagi para korban di atas belum pernah
mendapatkan penyelesaian. Mengapa demikian keadaannya? Jawabannya tentu tidak mudah dan
tidak sederhana. Meskipun demikian, untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan di atas
setidak-tidaknya dua kondisi berikut ini bisa dijadikan bahan pertimbangan.

Pertama, sisa-sisa sampah politik Perang Dingin yang bermuatan anti komunisme masih
bertumpukan di Indonesia. Tidak mengherankan kalau semua yang dianggap berbau
komunis/komunisme akan tetap selalu ―diwaspadai‖. Kekhawatiran terhadap come backnya Partai
Komunis Indonesia beserta ideologi Marxisme masih sangat kental sekali. Sehingga para
Tapol yang telah dibebaskan dari tahanan pulau Buru dan penjara-penjara lainnya masih juga
dianggap berbahaya dan perlu diwaspadai. Semua kegiatan demokratik massal yang berbau kiri
selalu dicurigai dan diwaspadai.

Sesungguhnya di dalam TAP MPR No. XXV/1966 secara tekstual tidak ada yang bisa dijadikan
dasar untuk melegalkan penumpasan orang-orang anggota PKI dan simpatisannya. Sebab TAP

37 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

tersebut hanya melarang berdirinya Partai Komunis Indonesia dan ajaran komunisme/marxisme-
leninisme, bukan ketetapan yang memberi perintah untuk membasmi mereka. Meskipun demikian
rejim Suharto tidak ragu-ragu membasmi kurang lebih 3 juta orang yang dituduh anggota PKI,
baik secara langsung maupun tidak langsung.
Pelanggaran HAM tersebut sejak jaman kekuasaan rejim Orba sampai pada jaman ―reformasi‖
dewasa ini didiamkan saja seakan-akan tidak terjadi apa-apa, artinya dibiarkan terus
berlangsungnya impunity atas pelanggaran HAM yang megaberat dalam negara hukum Indonesia.
Tapi sebaliknya terus digaungkan seruan kewaspadaan terhadap come backnya PKI oleh alat
negara dan tokoh masyarakat tertentu.

Anehnya ketika Perang Dingin telah berakhir dengan kemenangan Blok Kapitalis di negara-negara
Barat yang merupakan benteng anti komunis, tidak ada larangan terhadap ajaran marxisme dan
keberadaan partai-partai komunis. Tetapi di Indonesia dari jaman Suharto sampai dewasa ini
masih tetap dipertahankan TAP MPRS No.XXV/1966 yang melarang ajaran komunisme/marxisme-
leninisme dan berdirinya partai komunis. Berarti demokrasi dan HAM di Indonesia masih belum
sepenuhnya ditegakkan.

Seharusnya hanya mereka yang secara nyata dan terbukti tersangkut dengan G30S yang harus
memikul tanggung jawab hukum, tidak tergantung apakah mereka komunis/anggota PKI atau
bukan. Dengan demikian, siapa saja tidak tergantung apa partainya, ideologinya, agamanya,
kepercayaannya, suku bangsanya, rasnya, kebangsaannya, kedudukan sosialnya dan lain sebagainya
kalau tidak terbukti di pengadilan tersangkut dalam G30S tidak semestinya dijebloskan di
penjara atau kamp tahanan, apalagi dibantai semau-maunya. Inilah suatu pelanggaran HAM berat
yang sesungguhnya terjadi dan menjadi tanggung jawab penguasa negara penuntasaannya.

Kedua, perkembangan intitusi hak asasi manusia yang makin lama makin menunjukkan nilai-nilai
positifnya, sedikit banyak membikin para pelaku pelanggaran HAM berat 1965 (baik oknom
maupun intitusi negara) mendapatkan sorotan kritis yang tajam sehingga terbuka borok-boroknya.
Tentu saja para pelanggar HAM tidak begitu saja menyerah untuk bisa diseret ke pengadilan.
Oleh karenanya sisa-sisa orde baru yang secara nyata masih dominant di dalam kekuasaan negara
selalu berusaha merekayasa agar pertanggungan jawab hukum tidak akan pernah terjadi. Dengan
―didiamkannya‖ kasus pelanggaran HAM berat selama 44 tahun adalah merupakan keberhasilan
dari rekayasa tersebut. Dengan ―didiamkannya‖ kasus tersebut sedemikian rupa para pelaku
pelanggaran HAM dan para korbannya satu demi satu meninggal dunia karena usia lanjut. Akhirnya
tidak ada lagi penuntut dan yang dituntut pertanggung jawaban hukum. Rekayasa tersebut
direalisasikan secara cerdik dan lihai dalam kebijakan negara, termasuk dalam bidang hukum dan
HAM.**
Mereka satu persatu bisa habis meninggal dunia, tapi sejarah masa lalu tentang terjadinya
pelanggaran HAM berat 1965-66 tidak akan bisa dihapus. Generasi muda berhak mengetahui
sejarah masa lampau. Generasi muda berhak mengetahui kebenaran ( the truth) tentang
terjadinya pelanggaran HA berat 1965 dan mereka berhak mengetahui mengapa keadilan tidak
bisa ditegakkan dalam kurun waktu 44 tahun. Padahal di dalam UUD 45 sudah dimasukkan banyak
pasal-pasal tentang hak asasi manusia, yang atas dasar itu lahir undang-undang organiknya (UU
HAM, UU Pengadilan HAM) dan telah diratifikasi konvensi-konvensi tentang HAM internasional.
Bahkan dalam Kabinet telah dibentuk Departemen yang khusus menangani masalah Hukum dan
HAM. Masih kurang apa lagi?

38 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Maka dari itu perjuangan untuk tegaknya kebenaran dan keadilan harus berjalan terus.
Semboyan Persatuan yang selalu diserukan Bung Karno dalam melaksanakan perjuangan demi
kemajuan bangsa dan negara, dewasa ini masih tetap relevant diterapkan dalam perjuangan untuk
menegakkan HAM dan keadilan di Indonesia. Oleh karenanya, harus dicegah usaha pecah belah
dari orang-orang/kelompok-kelompok tertentu yang secara sadar atau tidak sadar telah
merugikan perjuangan. Kita tentu menyadari bahwa sisa-sisa orde baru sangat lihai dalam intrik
dan penyusupan di kalangan para korban dan kekuataan kiri (pejuang penegak HAM) untuk
memainkan politik pecah belah. Para pejuang HAM baik berwujud organisasi maupun perorangan
menyadari bahwa antara mereka ada perbedaan-perbedaan pendapat dalam masalah tertentu,
tetapi hal itu suatu hal wajar dalam alam demokrasi. Yang lebih penting adalah mencari kesamaan-
kesaamaan yang harus terus dikembangkan secara berkesinambungan dalam perjuangan
penegakaan HAM. Bukan membesar-besarkan perbedaan yang bisa mengakibatkan retaknya
persatuan kekuatan pejuang penegak HAM. Siapa yang diuntungkan dengan terpecah-belahnya
kekuatan pejuang HAM? (Jawab sendiri dengan hati jujur!).

Memang dalam situasi di mana semenjak jatuhnya Suharto peta politik masih belum ada
perubahan mendasar, perjuangan tersebut sangat berat. Sebab sisa-sisa orba menggunakan
segala jalan dan cara yang begitu lihay dan licik, sehingga penggalangan persatuan di antara para
korban pun menjadi labil, tidak memuaskan. Bahkan di kalangan para peduli HAM beserta
organisasinya tidak sepenuh hati membela korban pelanggaran HAM berat 1965. Sehingga terasa
adanya diskriminasi dalam melaksanakan tugasnya sebagai penegak HAM. ―Berbahagia‖lah para
korban selainnya korban 1965-66, yang mendapat solidaritas luas di arena nasional maupun
internasional secara lancar. Para korban 1965 ikut gembira atas kesuksesan tersebut. Tapi di
samping itu akan terus maju berjuang untuk menegakkan HAM di Indonesia tanpa diskriminasi
dan budaya tebang pilih. Dengan persatuan kita akan bisa menegakkan HAM di Indonesia,
menghapus impunitas dalam kehidupan bernegara serta berbangsa dan menghentikan penggelapan
terhadap kebenaran serta keadilan.
Nederland, 28 Oktober 2009
*) Ketua Umum Lembaga Pembela Korban 1965 (LPK65), Negeri Belanda**) MD
Kartaprawira: Semakin gelap, jalan ke kebenaran dan keadilan (Menyambut
Peringatan 42 Tahun Tragedi Nasional 1965),
http://lembagapembelakorban65.blogspot.com/2009/03/md-kartaprawira-semakin-gelap-jalan-
ke_15.html

SUDAH 44 TAHUN BERLANGSUNG TERUS IMPUNITY ATAS


PELANGGARAN HAM BERAT 1965-66 (3/4)
(MENYOROT LIKU-LIKU SEJARAH PANJANG PERJUANGAN PENEGAKAN KEBENARAN DAN
KEADILAN BERKAITAN PELANGGARAN HAM BERAT 1965-66 DI INDONESIA DAN LUAR
NEGERI)

Oleh MD Kartaprawira*

Usaha-usaha menerobos celah-celah tembok penghalang pelaksanaan HAM

Ada suara kritis yang mengatakan bahwa para korban 1965 sendiri kurang gigih melakukan
perjuangan di arena nasional maupun internasional. Mungkin suara tersebut mengandung
kebenaran, tapi tidak sepenuhnya benar. Sebab para korban pelanggaran HAM 1965 baik di tanah
39 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

air maupun di luar negeri sesuai kondisi, situasi dan kemampuannya sudah lama tak henti-hentinya
berjuang untuk menerobos celah-celah tembok penghalang realisasi pelaksanaan hak asasi
manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk tujuan tersebut organisasi-organisasi
para korban (Komite Aksi Pembebasan Tapol/Napol, Pakorba, LPR KROB, YPKP, LPK65 Nederland,
dll.) telah lama dengan gigih menyelenggarakan berbagai macam kegiatan, misalnya seminar,
pertemuan, temu wicara, interview, pernyataan dan sebagainya, baik dengan tema khusus
mengenai HAM, mau pun suatu bagian tema HAM dalam kegiatan umum.

Para korban yang bermukim di luar negeri, terutama di Negeri Belanda, sejak di masa jaya-
jayanya rejim orde baru melakukan perjuangan politik untuk menelanjangi hakekat rejim tersebut
dan di masa reformasi dilanjutkan dengan perjuangan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan
bagi para korban pelangggaran HAM berat 1965-66 yang dilakukan rejim Orba/Suharto. Seperti
halnya di tanah air kegiatan para korban di luar negeri di berbagai kesempatan berupa
seminar-seminar yang dihadiri juga wakil-wakil pers dan wakil-wakil organisasi asing peduli HAM,
membuat pernyataan-pernyataan, memutar film-film dokumenter dan lain-lainnya.

LPK‘65 Nederland sebagai satu-satunya organisasi di Eropa yang berjuang di lapangan HAM
dengan visi dan missi yang berkaitan langsung membela kepentingan para korban pelanggaran
HAM 1965-66 demi tegaknya kebenaran dan keadilan terus melakukan kegiatan demi cita-cita
tersebut di atas, meskipun mengalami banyak kendala yang dihadapi. Saya kira LPK‘65 meskipun
tidak akan mencapai sukses besar dalam perjuangannya, tapi paling tidak bisa memberi andil
dalam perjuangan untuk pelurusan sejarah yang telah dibengkokkan oleh rejum Orde Baru selama
32 tahun. Pelurusan sejarah inilah yang maha penting bagi generasi yang lahir di era Rejim Orde
Baru/Suharto dan generasi mendatang.

Untuk pertama kalinya di Nederland diadakan simposium besar khusus bertemakan masalah HAM,
yang berlangsung di Amsterdam-RAI pada 11 Desember 1999. Simposium tersebut berjalan
sukses berkat kerjasama organisasi Indonesia Forum for Human Dignity (INFOHD) dengan
ILRWG dan beberapa organisasi peduli HAM di Nederland lainnya. Sangat tepat sekali topik yang
dipasang dalam simposium ―Against Impunity‖, sebab tanpa penghapusan praktek impunitas
kebenaran dan keadilan tidak akan mungkin ditegakkan.. Simposium tersebut dihadiri a.l
M.Hasballah Saad (Menteri Negara Urusan HAM), Sulami (YPKP), Prof. Daniel S.Lev (University
of Washington), Rachlan Nashidik (PBHI), Carmel Budiardjo (TAPOL) dan lain-lainnya.**
Apresiasi tinggi perlu diberikan kepada para mahasiswa Indonesia di Belgia (a.l. terdiri dari para
romo muda), yang telah sukses mengadakan sarasehan satu hari pada tahun 2000 di Leuven
(Belgia) dengan judul ―Mawas Diri: Peristiwa September ‘65 dalam Tinjauan Ulang‖, sebagai tanda
kepedulian dan keprihatinannya terhadap malapetaka tragedi nasional pasca peristiwa G30S.
Tampil sebagai nara sumber a.l. Sitor Situmorang (korban, ex tapol, Lembaga Kebudayaan
Nasional), Hersri Setiawan (korban, ex tapol pulau Buru, Lembaga Kebudayaan Rakyat), Mr. Paul
Moedikdo (ex-dosen Universitas Utrecht), Nany Sutoyo (psikholog UI, putri jendral Sutoyo yang
dibunuh di Lubangbuaya). Penulis, sebagai tamu sarasehan, kagum atas keseriusan para pemuda
dan mahasiswa Indonesia (nota bene bukan korban) yang dalam kesibukannya bergulat dalam ilmu
pengetahuan masih menyempatkan diri melakukan kegiatan (sarasehan) demi pelurusan sejarah
tragedi nasional 1965. Bahkan pejabat-pejabat KBRI Den Haag (di masa Dubes Abdul Irsan) pun
menyempatkan hadir dalam sarasehan tersebut.

Setelah Sarasehan Leuven, pada tanggal 29 September 2001 kelompok eksilan yang tergabung
dalam Indonesia Legal Reform Working Group (ILRWG) bekerja sama dengan organisasi
40 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

masyarakat Indonesia lainnya di Negeri Belanda mengadakan sarasehan ―Peristiwa 30 September


1965 dan Pembantaian Massal 1965-1966‖ yang menampilkan nara sumber dari Indonesia Hasan
Raid (Korban, Jakarta), Murtini (Korban, Palembang) dan dari Negeri Belanda: Dr. Coen
Holtzappel (pakar, Universiteit Leiden), Paul Moedikdo S.H. (pakar, Universiteit Utrecht).
Pada tahun 2003 delegasi para korban 1965 dari Indonesia dengan segala kendala finansial dan
prosedural yang tak ringan telah berhasil menghadiri sidang Komisi Tinggi HAM PBB di Jenewa.
Delegasi tersebut terdiri dari Bp. Setiadi Reksoprodjo (mantan menteri dalam pemerintahan
Soekarno), Mbak Ribka Ciptaning (ketua Pakorba, sekarang Anggota DPR RI dari Fraksi PDI
Perjuangan) dan Bp. Heru Atmodjo (LPR KROB), diperkuat dengan beberapa orang korban (―Orang
Terhalang Pulang‖) yang berdiam di Negeri Belanda. Kemudian pada tahun-tahun berikutnya
datang juga delegasi-delegasi serupa serupa. Tapi semuanya tidak menghasilkan sesuatu yang
diharapkan oleh para korban pelanggaran HAM berat 1965. Sebab tidak mendapat dukungan dari
Komisi HAM PBB, yang tampaknya punya strategi ―bisu-tuli‖ untuk tidak melakukan sesuatu yang
berkaitan pelanggaran HAM berat 1965-66 di Indonesia. Dan strategi tersebut ternyata
tercermin juga di Indonesia, seperti yang kita lihat kenyataan dewasa ini belum ada perubahan
sedikitpun ke arah kemajuan terhadap masalah kasus tersebut di atas dalam tingkat nasional.

Sedang pada 15 Oktober 2005 dalam rangka memperingati 40 Tahun Korban Pelanggaran HAM
berat 1965-66 organisasi-organisasi masyarakat Indonesia di Negeri Belanda yang dipelopori
oleh Lembaga Pembela Korban 1965 berhasil mengadakan pertemun/seminar besar yang dihadiri
tidak hanya para korban yang bermukim di Negeri Belanda, tapi juga dari Jerman, Perancis,
Swedia dan Belgia. Sebagai narasumber tampil Bk. Cipto Munandar ( ), C. Panggidaey ( ) dan
ditambah Sdr. Hilmar Farid ( ). Di dalam seminar tersebut selain di selenggarakan pameran buku
dan foto berkaitan pelanggaran HAM, juga disediakan makalah MD Kartaprawira: ―Gelapnya Jalan
Menuju ke Kebenaran dan Keadilan‖.

Di antara organisasi peduli HAM di Indonesia (a.l. YPKP, LPR KROB) memandang penting
pengumpulan data-data/fakta pelanggaran HAM berat 1965-66 sebagai salah satu bentuk
perjuangan untuk menerobos celah-celah menuju ke kebenaran dan keadilan. Memang harus
diakui bahwa data-data tersebut sangat penting sekali, baik sebagai alat bukti dalam proses
pengadilan maupun sebagai fakta sejarah yang akan menjadi bahan pembelajaran bagi generasi
muda agar tidak terjadi pelanggaran HAM semacam tersebut. Meskipun demikian semuanya
terpulang kepada Penyelenggara Negara (Penguasa Negara), artinya mereka punya nyali atau tidak
menuntaskan masalah tersebut di atas, masih adakah di dalam jiwa mereka semangat Pancasila:
keadilan dan perikemanusiaan?
Setiap orang yang pernah duduk di bangku sekolah menengah dan perguruan tinggi tentunya
mengerti bahwa data-data/fakta tersebut penting sekali bagi institusi penegak hukum, yang
berkewajiban mengumpulkannya dan menggunakannya dalam melaksanakan tugas-kewajibannya.
Tapi apa lacur, di Indonesia pada kenyataannya sudah berjalan 44 tahun kasus tersebut belum
pernah dijamah oleh institusi penegak hukum. Seharusnya Presiden, Kapolri dan Kejagung secara
resmi memberi penjelasan kepada para korban mengapa kasus tersebut terbengkelai. Dan jangan
lupa, bahwa sesungguhnya pengumpulan data kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 bukanlah
tugas dan kewajiban organisasi-organisasi kemasyarakatan (YPKP, LPR KROB, LPK‘65 dll.),
melainkan intitusi penegak hukum.

Mengenai masalah data bukti tentang terjadinya pelanggaran HAM berat sesungguhnya sudah
lebih dari cukup. Tapi akan lebih berbobot apabila bukti-bukti yang ada dilengkapi dengan
41 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

dokumen-dokumen dari arsip yang tersimpan dalam institusi yang bersangkutan (MBAD, ex-
KOPKAMTIB, BAKIN). Hal tersebut dapat dimengerti, ambil contoh puluhan ribu orang yang
dibuang/ditahan di pulau Buru. Siapa pun tidak bisa menyangkal fakta penahanan ribuan orang di
pulau Buru tanpa melalui proses hukum. Dari arsip di institusi-institusi tersebut akan
jelas siapa pelaksananya dan siapa yang memerintahkannya.

Dalam kaitan tersebut di atas, maka KOMNASHAM harus diberi pintu masuk untuk melakukan
penyelidikan arsip tersebut. Tanpa itu KOMNAS.HAM hanya merupakan intitusi pajangan saja.
Seperti tulisan saya yang lalu, saya tetap berpendapat bahwa KOMNASHAM harus diberi
kewewenangan yang lebih berbobot seperti halnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang bisa
melakukan penyelidikan ke intitusi-institusi negara lainnya. Kalau KOMNASHAM tidak bisa
melihat arsip intitusi ABRI (MBAD, KOPKAMTIB, BAKIN) maka sangat diragukan tegaknya
kebenaran dan keadilan bisa terlaksana di Indonesia.
Contoh lain, tentang ditemukannya kuburan massal di berbagai daerah, berkaitan peristiwa pasca
G30S. Fakta adanya kuburan massal tersebut seharusnya sudah cukup bagi negara c.q. institusi
penegak hukum memikul beban kewajiban untuk menindak lanjuti sehingga kasus tersebut bisa
digelar di pengadilan. Tapi kenyataan ditemukannya kuburan massal yang mengindikasikan
terjadinya kejahatan besar (pelanggaran HAM berat 1965) tidak pernah menjadi perhatian serius
dari intitusi penegak hukum sesuai peraturan hukum yang berlaku. Jadi untuk apa dibuat Kitab UU
Hukum Pidana dan Kitab UU Hukum Acara Pidana? Dan untuk apa UU Pengadilan HAM?
Jadi sesungguhnya sudah tidak sedikit gerak dan usaha para korban untuk menggugah dan
membangkitkan Penguasa Negara Indonesia dan Insitusi PBB (Komisi Tinggi HAM PBB di Jenewa)
untuk berbuat sesuatu bagi penegakan Kebenaran dan Keadilan berkaitan korban pelanggaran
HAM berat 1965-66 di Indonesia. Tidak masuk akal kalau Penguasa RI dan institusi-institusi PBB
tidak mengetahui adanya pelanggaran HAM berat 1965-66.

Sangat memalukan dan memilukan bahwa di era reformasi tindak kejahatan besar tersebut di
atas dibiarkan terbengkalai begitu saja selama 44 tahun. Mengapa para penegak hukum hanya
berpangku tangan, tidak melakukan tugasnya secara aktif, padahal kasus pelanggaran HAM berat
1965-66 tersebut jelas kasus pidana, bukan kasus perdata. Akhirnya demi keterbukaan (glasnost)
perlu dipertanyakan: mengapa RI sebagai negara hukum yang memiliki bertumpuk-tumpuk
peraturan tentang hak asasi manusia (UUD 1945, UU, Konvensi Internasional dan lain-lainnya)
sudah 44 tahun tidak mempergunakannya untuk menyelesaikan kasus Pelanggaran HAM berat
1965-66?

Bahwasanya sudah 44 tahun kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 tidak pernah dijamah oleh
penegak hukum membuktikan tembok penghalang pelaksanaan norma-norma dan nilai-nilai hak
asasi manusia masih berdiri kokoh sekokoh pada jaman jaya-jayanya rejim orde baru Suharto
dulu. Dan hal tersebut adalah akibat rekayasa kebijakan kekuatan orde baru yang masih belum
berubah dalam peta politik Indonesia selama ini. Dan akhirnya semuanya terpulang kepada
Penyelenggara Negara (Penguasa Negara): mereka punya nyali atau tidak untuk menuntaskan
masalah tersebut di atas, dan masih adakah di dalam jiwa mereka semangat Pancasila: keadilan
dan perikemanusiaan?

Nederland, 28 Oktober 2009

*) Ketua Umum Lembaga Pembela Korban 1965 (LPK‘65), Nederland. **) Programme for the
human rights symposium ―AGAINST IMPUNITY‖, December 11th. 1999: Welcom speech by Mr.

42 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Rafendi Djamin (INFOHD), Opening by Mrs. Martha Meijer (HOM), Testimony of Mrs. Sulami
(YPKP): "Jailed without a fair trial", Keynote speaker Mr. Hasballah Saad (Min. Of Human Rights
Affairs, Rep. Of Indonesia): "The prospects of human rights improvement within the Indonesian
emerging civil society", Keynote speaker Prof. Dr. Daniel S. Lev (University of Washington):
"Strengthening civil society", Keynote speaker Mr. Rachland Nashidik (PBHI): "Pattern of human
rights violations in Indonesia", Keynote speaker Mrs. Suraiya Kamaruzzaman (Flower Aceh):
"Humanitarian crisis and humanitarian aid", Keynote speaker Mrs. Carmel Budiardjo (TAPOL, UK):
"Measures against impunity: A review of international responses".
===========================================================
SUDAH 44 TAHUN BERLANGSUNG TERUS IMPUNITY ATAS
PELANGGARAN HAM BERAT 1965-66 (4/4)
(MENYOROT LIKU-LIKU SEJARAH PANJANG PERJUANGAN PENEGAKAN KEBENARAN DAN
KEADILAN BERKAITAN PELANGGARAN HAM BERAT 1965-66 DI INDONESIA DAN LUAR
NEGERI)

Oleh MD Kartaprawira*

Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat 1965-66 Melalui Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (KKR)

Seperti pernah penulis nyatakan di media cetak dan internet bahwa penyelesaian kasus
pelanggaran HAM berat 1965 lewat KKR adalah suatu jalan kompromi untuk menerobos jalan
buntu yang sudah berjalan puluhan tahun. Dengan KKR diharapkan akan dicapai penyelesaian yang
bisa diterima oleh kedua belah pihak – korban dan pelaku --, di mana pelaku tidak dituntut
pertanggungan jawabnya atas kejahatannya, sedang korban mendapatkan pemulihan kembali hak-
hak politik dan sipilnya, restitusi dan kompensasi, meskipun dengan demikian pihak korban akan
kehilangan bagian tuntutan yang sangat mendasar dalam perjuangan untuk keadilan, yaitu masalah
berkaitan impunitas yang harus dibrantas. Artinya para pelaku pelanggaran HAM mendapatkan
keuntungan lebih besar, sebab tidak akan dituntut pertanggung- jawabannya di pengadilan. Maka
masalah ini harus mendapat perhatian serius demi penegakan kebenaran dan keadilan yang optimal
dan untuk pelurusan sejarah.

Dari teks UU KKR (UU No.27 Tahun 2004) yang sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dan
RUU KKR yang sekarang sedang menunggu proses pembahasan di DPR masih diragukan akan
menghasilkan sesuatu keadilan bagi para korban. Sebab dalam RUU KKR tidak jelas apakah
―Institusi/Negara‖ termasuk dalam kategori ―Pelaku‖, di samping pelaku ―Oknum/Individu‖ (lih.
Pasal 8 1b dan Pasal 13/3 RUU KKR). Bahkan dalam Bagian Penjelasan Pasal-pasal RUU KKR, pasal-
pasal tersebut di atas dianggap cukup jelas. Seperti telah diuraikan di atas intitusi negara yang
kala itu berada di tangan rejim Suharto jelas terlibat dalam pelanggaran HAM berat 1965-66
baik secara langsung maupun tidak langsung, baik sebagai ―dader‖ (pelaku) maupun ―mededader‖
(pelaku peserta).

Kalau dalam KKR hanya dititik beratkan kepada tanggung jawab oknum/individu saja, dapat
dipastikan masalahnya akan menjadi hambar, kabur dan tidak akan menghasilkan keadilan bagi
korban. Dan hal tersebut tentu bisa ditafsirkan sebagai rekayasa pengalihan tanggung jawab
negara kepada tanggung jawab oknum/individu. Seharusnya kedua-duanya - oknom dan negara -
harus bertanggung jawab. Sebab tanpa turun tangannya negara dalam pelanggaran HAM berat
43 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

1965-66 tidak mungkin terjadi pembantaian jutaan manusia tidak berdosa, tidak mungkin puluhan
ribu manusia di jebloskan dalam berbagai tempat tahanan (p.Buru, p. Nusakambangan, berbagai
rumah penjara) sampai belasan tahun. Maka adalah kekurangan serius apabila RUU KKR tidak
mempertimbangkan masalah tersebut di atas secara jujur, agar memberikan penyelesaian
rekonsiliasi nasional secara adil. Padahal dengan dilaksanakannya modes operandi rekonsialiasi
(melalui KKR) saja para korban sudah kehilangan haknya untuk mendapatkan keadilan penuh.
Demikianlah gambaran yang bisa ditangkap dalam RUU KKR.

Berdasarkan logika hukum yang benar, karena institusi negara (dalam hal ini rejim Suharto)
tersangkut pelanggaran HAM maka penguasa negara dewasa ini secara resmi harus mengakui
telah melakukan pelanggaran HAM berat dan meminta maaf kepada para korban dan keluarganya
atas pelanggaran HAM tersebut. Berdasakan keadilan maka negara harus mengembalikan semua
hak-hak politik dan sipil sepenuhnya tanpa diskriminasi dan marginalisasi terhadap para korban
serta memberikan restitusi dan kompensasi. Bagi para korban yang telah divonis ―bersalah‖ oleh
pengadilan orde baru, harus mendapatkan rehabilitasi nama baiknya.

Syarat mutlak untuk suksesnya KKR, pemerintah harus berani menyelesaikan lebih dahulu masalah
yang mendasari timbulnya pelanggaran HAM berat 1965-66. Untuk itu pemerintah pasca rejim
Suharto harus mengakui keterlibatan negara di bawah rejim orde baru dalam pelanggaran HAM
berat 1965-66 sebagai tahap awal kudeta merangkak terhadap pemerintahan Soekarno. Boleh
saja tidak setuju dengan ideologi komunisme dan ajaran Soekarno ( Marhaenisme, yang anti
nekolim), tapi pembunuhan terhadap orang-orang komunis dan kiri lainnya adalah kesalahan besar
– kejahatan kemanusiaan, suatu politik barbarisme jahiliah. Atas dasar hal-hal tersebut di atas
maka pemerintah secara resmi harus meminta maaf kepada para korban dan keluarganya.
Kemudian langkah selanjutnya yang harus ditempuh oleh penyelenggara negara, c.q. pemerintah
ialah melaksanakan rekonsiliasi yang jujur, adil dan berkemanusiaan, bukannyaRekonsiliasi untuk
menang-menangan sendiri.

Seyogyanya penyelenggara negara Indonesia bercermin pada praktek penegakan hukum/HAM di


Peru, dimana Presiden Alberto Toledo dengan tegas secara resmi minta maaf kepada para korban
dan keluarganya atas pelanggaran HAM yang dilakukan oleh rejim Fujimori (mantan presiden
Peru). Perlu dicatat bahwa penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang dilakukan Fujimori tidak
membebaskan dia dari pertanggungan jawabnya di muka pengadilan, sehingga divonis 25 tahun
penjara. Praktek impunitas dalam kasus pelanggaran HAM di Peru bisa dicegah. Tampak jelas di
Indonesia akan diterapkan pola-pola praktek KKR Afrika Selatan, di mana impunitas tidak
diganggu gugat. Mengingat kondisi penegakan hukum di Indonesia sudah begitu parah karena
kuatnya mafia hukum dan mafia HAM maka modus operandi penyelesaian kasus pelanggaran HAM
berat melalui jalan KKR adalah satu-satunya jalan yang bisa ditempuh. Bahkan mungkin sekali
Rekonsiliasi Nasional yang dirancang dalam RUU KKR ini pun masih bisa kandas lagi. Sebab tetap
saja ada golongan yang tidak menginginkan adanya rekonsiliasi nasional.

Dalam RUU KKR yang akan dibahas di DPR pada persidangan waktu mendatang ini hanya diatur
masalah-masalah bersifat sangat umum. Dengan demikian penjabaran pasal-pasalnya untuk
pelaksanaan UU KKR akan diserahkan pada peraturan-peraturan hukum turunan di bawahnya.
Dalam tingkat inilah kemungkinan besar terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, sebab peraturan-
peraturan turunan tersebut akan memungkinkan adanya usaha-usaha pengakomodasian
kepentingan- kepentingaan yang merugikan korban. Pemberian chek kosong demikan ini sangat
berbahaya bagi penegakan hukum dan keadilan. Mestinya kita harus ingat ketika UUD 1945 yang

44 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

karena singkat dan supel dengan amat mudah disalah-gunakan oleh penguasa Orba demi
kelanggengan hegemoni kekuasaan dan kepentingan- kepentingan lainnya. Sehingga semua institusi
tertinggi negara (MPR, DPR, BPK, Depernas, DPA, MA) kala itu praktis telah menjadi kepanjangan
tangan rejim orde baru melalui peraturan-peraturan organik. Dengan demikian kalau terjadi
penyalah-gunaan UU KKR tentu kepentingan para korban tidak akan terpenuhi.

Maka dari itu RUU KKR perlu disempurnakan secara serius, sehingga bisa menjawab dengan jelas
masalah-masalah penting antara lain:

- Mengapa tidak diadakan pembedaan antara kategori ―pelaku sebagai oknum‖ dan ―pelaku
sebagai negara/institusi‖ (Lih. Pasal 8 1b dan Pasal 13/3 RUU KKR ). Hal tersebut penting, sebab
dalam kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 terdapat bukti kuat bahwa negara/institusi telah
bertindak sebagai pelaku.
- Bagaimana kalau pelaku menolak mengakui tindakannya yang melanggar HAM. Apakah
kasusnya bisa dilanjutkan ke pengadilan HAM.
- Bagaimana kalau pelaku mengakui telah melakukan pelanggaran HAM, tetapi tidak mau
minta maaf,

- Bagaimana kalau pelaku mengakui melakukan pelanggaran HAM dan bersedia minta maaf,
tapi karena alasan tertentu korban tidak bersedia memberi maaf,

- Mengapa dalam RUU KKR tidak diatur pokok-pokok tentang amnesti, rehabilitasi,
kompensasi dan restitusi dalam kaitannya dengan rekonsiliasi berdasarkan UU KKR. Ketentuan-
ketentuan tentang hal tersebut di atas, harus dituangkan di dalam UU KKR, bukannya di dalam
peraturan-peraturan organik.

Meskipun proses kasus pelanggaran HAM dalam RUU KKR hanya merupakan kompromi untuk
tercapainya rekonsiliasi nasional perlu diperhatikan beberapa hal mendasar berikut:

1. Titik berat kepentingan Korban Pelanggaran HAM harus diposisikan dominan. Sebab para
korban adalah pihak yang telah menanggung penderitaan yang ditimpakan oleh para
pelanggar HAM selama puluhan tahun. Dengan diselenggaarakannya KKR mereka tidak
akan menerima keadilan penuh sesuai hukum yang berlaku. Maka keadilan ala RUU KKR
harus obyektif dan riil bisa dirasakan secara jasmaniah dan rohaniah oleh para korban.
Kalau tidak demikian, maka keadilan tersebut hanya bersifat semu, dan karenanya
rekonsiliasi nasional juga akan bersifat semu pula.
2. Masalah para korban pelanggaran HAM berat 1965-66 harus tidak dicampur adukkan
dengan kasus para pelaku G30S. Kasus pelaku G30S secara hukum harus dituntaskan
melalui proses pengadilan, dimana sanksi hukum harus dijatuhkan kepadanya kalau
terbukti kesalahannya.
Nederland, 28 Oktober 2009

*) Ketua Umum Lembaga Pembela Korban 1965 (LPK65), Nederland lbgpk_enamlima@yahoo.com


===========================================================
Dalam rangka menyongsong diadakannya peringatan 45 Tahun Tragedi berdarah tahun 1965/1966
yang akan dilangsungkan pada tanggal 2-3 Oktober 2010 di Diemen, Amsterdam, saya berusaha
menyiarkan ulang beberapa tulisan yang menyangkut peristiwa kejam pelanggaran HAM berat
tsb. Ini merupakan bagian (4/4) tulisan M.D.Kartaprawira, Ketua Lembaga Pembela Korban 65
45 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

(LPK65) negeri Belanda. Seperti diketahui peringatan ini akan dihadiri oleh berbagai kalangan dari
negeri Belanda, Jerman, Perancis, Swedia, Rep.Ceko dan Indonesia.

Slm: Chalik Hamid.


***********
From: gri. mhmd <gri.mhmd@gmail.com>
Subject: G30S ATAU GESTOK?
To: sastra-pembebasan@yahoogroups.com, "Dian Su" <diansu6363@yahoo.com>,
septiajiw@yahoo.co.id, "iqbal putra" <pandji69@gmail.com>, "grirolis" <grirolis@email.com>,
"christian ginting" <thinx_do@yahoo.com>, "griindonesia" <griindonesia@email.com>
Date: Monday, September 27, 2010, 10:13 PM

SEPTEMBER ATAU OKTOBER?


Apakah G30S yang sesuai dengan nama yang digunakan oleh para pelaku gerakan dan dibakukan
oleh Soeharto dengan tambahan ―/PKI‖ ataupun versi nama yang dimunculkan oleh Bung Karno
dengan nama GESTOK yang didasarkan pada kegiatan pembunuhan para jenderal dan langkah
terbuka yang dilakukan sebagai awal kemenangan Soeharto, kemudian sebagai momentum untuk
menghancurkan musuh-musuhnya. Itu pula sebabnya Soeharto menjadikan tanggal 1 Oktober
sebagai ―Hari Kesaktian (Hapsak) Pancasila‖. Dengan demikian, patutlah mereka memperingatinya.

Jika saya menggunakan kata G30S, maka buat saya bukan hal yang patut saya peringati, tapi
sebagai kenangan pahit dalam suasana keprihatinan, karena berjuta rakyat tidak berdosa menjadi
korban peristiwa itu. Untuk itu, maka bagi saya lebih mengedepanan renungan keprihatinan dan
melakukan koreksi, dimanakah kesalahan yang terjadi? Mengapa korban hingga begitu besar?
Adakah andil saya terhadap kesalahan didalam keluarga besar dari ―rumah tua‖ kita? Dapatkah
kita merasa bersih dari kesalahan pimpinan keluarga besar itu?

Saya juga salah seorang korban yang mengalami penangkapan, penyiksaan, penjara selama belasan
tahun. Bahkan sesudah lepas dari penjara lokal itupun saya masih harus mengalami penjara yang
lebih luas ditanah air dengan segala kesulitan dan rintangan yang harus dihadapi untuk bisa
bertahan hidup dan membangun keluarga. Tentu semua memahami, ―apa yang harus dikerjakan‖
dalam keadaan seperti itu tak perlu diucapkan disini. Tetapi saya tidak merasa sebagai ―korban
istimewa‖ dibanding dengan penderitaan seluruh rakyat di tanah air yang menjadi korban sistim
yang diciptakan orde baru bersama imperialisme hingga saat ini.
Apakah dengan mundurnya Soeharto dari singgasana kepresidenan dan kemudian dengan gerakan
reformasi lantas kita merasa bukan di era orde baru lagi? Saya berpendapat, sekarang ini kita
berada dalam era Orde Baru Babak Kedua, karena yang berubah hanyalah bentuknya, taktiknya.
Bukan pada perubahan sistim dan strateginya sebagai perkembangan dari imperialisme. Yang
berbeda hanyalah Soeharto dengan tindakan fasis militernya, sedangakan sekarang melalui
demokrasi kapitalisnya (semu, bukan demokrasi bagi Rakyat) dan negeri ini tetap menjadi neo-
kolonialisme/imperialism, dan sekarang juga masih begitu. Pemerintahan Soeharto adalah antek
atau boneka imperialis, lalu, apakah sekarang bukan antek atau boneka imperialis? Kalaupun
sekarang ini (demokrasi kapitalis) terdapat peluang bagi mereka yang berambisi menjadi bagian
dari penguasa di lembaga-lembaga Negara boneka imperialis, hal itu p a s t i tidak bisa
mengganti sistim pengabdi modal imperialis menjadi negeri dan masyarakat yang merdeka
sepenuhnya bagi seluruh Rakyat Indonesia. Pikiran dan tindakan itu hanyalah untuk memperkaya
46 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

diri, menurut pendapat saya, bukankah justru mengajarkan kepada generasi muda menjadi kaum
oportunis? Mampukah mereka mencabut TAP MPRS 25 dan 30? Mampukah menghapus Undang-
undang Penanaman Modal Asing? Mampukah membuat Undang-undang yang menetapkan upah layak
dan hapusnya sistim kerja kontrak bagi kaum buruh?
Berjuang itu mutlak, tapi berharap bahwa penguasa boneka imperialis akan memenuhi tuntutan-
tuntutan para korban (istimewa?) mengenai masalah-masalah rehabilitasi, HAM, apalagi keadilah
bagi si penuntut, termasuk juga masalah impunity, maaf.., bagi saya sama saja saya bermimpi di
siang bolong.
Kebebasan dan kemenangan itu tidak akan dating, jika kita tidak mampu merebutnya.
Mengenang tragedi nassional 30 September sebagai keprihatinan atas kebiadaban orde baru dan
dan imperialism yang menjadikan Indonesia negeri dan masyarakat jajahan model baru. Itu
berarti bahwa setiap patriot harus berusaha membangun kembali nasionalisme dan patriotism
untuk membangkitkan kesadaran massa Rakyat, mengorganisasi Rakyat dan selanjutnya
memobilisasi Rakyat untuk mampu menghancurkan benteng penjajahan. Hal itu berarti harus ada
pemimpin-pemimpin baru yang lahir dari perjuangan Rakyat itu sendiri, bukan mengidam-idamkan
sosok pemimpin masa lalu.(nurman*)

**********

REFLEKSI : Seiring dengan 42 tahun Tragedi Nasional 1965, masalah pelanggaran berat HAM
menjadi masalah yang utama. Kita dihadapkan pada serangkaian masalah-masalah seperti : G30S,
Pealanggaran berat HAM 1965 dan TAP MPRS No.XXV/1966, dan masalah ―reformasi― 1998
(tambahan dari saya); yang semuamnya itu membahayakan kehidupan bangsa dan negara dalam
bentuk-bentuk yang sangat mengejutkan, yaitu bentuk penjajahan model baru oleh imperialisme
neoliberal terhadap NKRI, yang dalam waktu singkat tak dapat dikembalikan lagi. Kita mempunyai
dokumentasi yang cukup tentang jangkauan yang hendak dicapai oleh masalah-masalah tersebut
diatas, yang antara lain seperti yang tercermin dalam tulisan yang berjudul : SEMAKIN GELAP,
JALAN KE KEBENARAN DAN KEADILAN oleh MD Kartaprawira.
Semakin kita pelajari masalah-masalah utama dizaman ―reformasi― kita, semakin kita sadari
bahwa masalah-masalah seperti G30S, Pelanggaran berat HAM 1965, TAP MPRS No.XXV/1966,
kudeta mearngkak dari jendral TNI AD Soeharto, dan masalah ―reformasi― 1998, semuanya itu
tidak dapat dimengerti secara terpisah antara satu sama laian. Masalah-masalah itu merupakan
masalah sistemik, artinya bahwa semuanya itu saling terkait dan tergantung satu sama lain.
Atas dasar semuanya itu, pelanggaran berat HAM di Indonesia, hanya mungkin dapat di
tuntaskan apa bila bangsa Indonesia mau melaksanakan Reformasi Sosial yang fundamental atau
mendasar. Artinya merombak atau menjebol (Reetollin menurut istilah BK) semua tatanan-tatanan
sosial-politik yang bobrok, yang anti rakyat, anti Demokrasi dan anti pembangunan suatu
masyarakat yang adil dan makmur; warisan rezim otoriterisme militer Soeharto. Tatanan sosial
yang bobrok itu tercermin dalam badan-badan sbb:

1.Badan legislatif, yaitu DPR. Eksekutif (Pemerintahan) dan Judikatif (badan penegak hukum).
2.Alat-alat-kekuasaan negara-Angkatan Darat, Laut, Udara dan Polisi
3 Alat-alat produksi, dan distribusi

4.Organisasi-organisasi masyarakat, partai-partai politik, badan-badan sosial dan badan-badan


ekonomi yang lainnya.
47 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Hanya dengan melakukan Reetooling tatanan sosial (dari 1 sampai 4) secara fundamental dan
sungguh-dungguh, barulah bisa diharapkan DPR akan benar-bnar bisa menjadi alat pembangunan
dan alat perjuangan dalam proses reformasi sosial yang fundamental atau mendasar, sehingga
memberikan kemungkian untuk membuka titik terang bagi kebenaran dan keadilan yang selama ini
gelap gilita.

Alat-alat kekuasaan negara seperti polisi dan militer harus di control; Karena militer dapat
menumbuhkan kekuasaan dwifungsi yang anti demokrasi, bisnis militer yang menumbuhkan oligarki
ekonomi dan konglomerasi, dan otoriterisme militer seperti yang kita alami dan hayati di era
rezim orde baru jilit ke I, yang telah memakan banyak korban manusia, yang merefleksikan
dirinya dalam bentuk; genosida, penyiksaan, pembuangan ke pulau Buru, penjebloskan ke penjara-
penjara, penghilangkan tanpa diketahui di mana rimbanya dan yang di luar negeri pencabutan
paspor - yang semuanya dilakukan tanpa proses hukum, seperti yang sudah diungkapkan oleh bung
MD Kartaprawira dalam tulisannya, yang terkait dibawah ini.
Sistem neoliberal yang dianut oleh rezim SBY di era ―reformasi― sekarang ini secara umum sama
sekali tak dapat menuntaskan kasus-kasus pelanggaran berat HAM, kasus korupsi kakap seperti
skandal Bannk Century, tapi justru menumbuhkan bermacam-macam Mafia, seperti mafia
hukum,mafia pajak dan entah apalagi. Yang dampaknya tekah menjadikan hukum dan
ketatanegaraan di negara ini ambrul-adul, yang sangat menguntungkan bagi para pelanggar berat
HAM dan para koruptor kakap yang telah merampok uang negara dan rakyat.
Kesimpulam akhir, buang ilusi terhadap rezim SBY, dan siap berjuang untuk melakukan reformasi
sosial yang fundamental atau mendasar, sebagai syarat mutlak untuk menuntaskan pelanggaran
berat HAM dan KKN di selurh nusantara, dan untuk selanjutnya membuka jalam kesrah Demokrasi
termimpin yang mengikuti keteraturan-keteraturan Pancasila 1 Juni 1945 dan UUD 45 naskah
aseli, yang sudah kita setujui bersama.

Roeslan.

Tulisan ini juga disajikan dalam website http://umarsaid.free.fr yang sampai sekarang sudah
dikunjungi lebih dari 645 480 kali = = = = = = = = = =

http://lembagapembelakorban65.blogspot.com/2009/03/md-kartaprawira-semakin-gelap-jalan-
ke_15.html

SEMAKIN GELAP,
JALAN KE KEBENARAN DAN KEADILAN
(Menyambut Peringatan 42 Tahun Tragedi Nasional 1965)

Oleh MD Kartaprawira*

48 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Amburadulnya sistim hukum peradilan HAM


Adalah sangat memprihatinkan bahwa telah berlalu 42 tahun tragedi nasional 1965 belum juga
mendapat perhatian dari penyelenggara negara untuk menuntaskannya. Bagaimana pun
kompleksnya masalah tragedi tersebut kita perlu memisahkan masalah-masalah lain yang
bersinggungan dengannya. Pencampur adukan masalah-masalah yang sangat kompleks, hanya akan
menambah ruwet benang yang sudah begitu ruwet untuk diuraikan. Akibatnya kita akan sukar
menampilkan solusi tepat demi penegakan kebenaran dan keadilan.

Maka dalam menegakkan kebenaran dan keadilan berkaitan dengan pelanggaran HAM berat 1965
paling tidak ada 3 hal yang perlu ditegaskan:

Pertama, masalah siapa dalang G30S

Sampai dewasa ini belum tuntas pembuktian siapa dalang G30S. Dari literatur-literatur yang
sudah terbit terdapat bermacam-macam versi tentang dalang G30S: PKI/Aidit, Suharto, CIA-
Dinas Intel. Inggris, Soekarno dll. Menurut pendapat saya siapa saja yang bersalah dalam
peristiwa tersebut harus bertanggung jawab sesuai hukum yang berlaku.

Kedua, masalah Pelanggaran HAM berat 1965 sendiri

Tidak tergantung siapa dalang G30S, dan lepas masalah G30S tuntas atau belum, pembunuhan
massal dan pembuangan serta penahanan ribuan orang tanpa dibuktikan kesalahannya adalah
pelanggaran HAM berat. Maka demi keadilan yang dijamin dalam UUD 45 masalah pelanggaran
HAM berat tersebut harus diselesaikan.

Ketiga, masalah TAP MPRS No.XXV/1966

Adalah kesalahan besar menjadikan TAP MPR XXV/1966 sebagai dasar untuk menghalalkan
pembantaian massal dan pembuangan/penahanan massal 1965-1967. Sebab TAP tersebut dengan
jelas hanya menyatakan pembubaran PKI serta onderbouwnya dan pelarangan ajaran marxisme-
leninisme, yang tidak dapat diartikan sebagai perintah pembantaian massal tersebut di atas.
Bahkan kalaupun PKI terbukti bersalah, pembantaian massal dan semacamnya tetap tidak dapat
dibenarkan dan merupakan kejahatan kemanusiaan. Watak otoriter rejim Orde Baru berbeda
seperti bumi dan langit dibandingkan dengan kebijakaan Soekarno, di mana ketika Partai Sosialis
Indonesia dan Masyumi dibubarkan karena terbukti tersangkut dalam pemberontakan PRRI-
Permesta, toh tidak terjadi pembunuhan terhadap anggota-anggota kedua partai tersebut,
apalagi pembantaian massal.
Pelanggaran HAM berat masa lalu (dari kasus pembantaian 1965 sampai kasus trisakti) adalah
suatu fakta yang tak terbantahkan oleh siapa pun. Namun kasus pelanggaran HAM 1965 perlu
digaris-bawahi berhubung korbannya berjumlah jutaan manusia -- dibunuh, disiksa, dibuang ke
pulau Buru, dijebloskan ke penjara-penjara, dihilangkan tanpa diketahui di mana rimbanya dan
yang di luar negeri dicabuti paspornya - yang semuanya dilakukan tanpa proses hukum. Tapi
kenyataannya pelanggaran HAM berat masa lalu (1965) tersebut sampai saat ini tidak mendapat
penyelesaian dari penegak hukum negara Indonesia yang berdasarkan UUD dinyatakan sebagai
negara hukum.
Maka dari itu, seharusnya penyelenggara negara RI , terutama organ yudikatif, di era ―reformasi‖
merasa malu besar atas ketidak-mampuannya berbuat sesuatu untuk menyelesaikan masalah
pelanggaran HAM berat tersebut dan atas ketidak mampuannya membuktikan bahwa Indonesia
negara hukum. Hal itu dibuktikan dengan keberadaan UU Pengadilan HAM ad Hoc No.26 Tahun
49 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

2002 yang sampai detik ini tidak diterapkan untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM
berat berkaitan peristiwa 1965. Padahal pasal 43 menyatakan tentang berlakunya prinsip
retroaktif terhadap pelanggaran HAM masa lalu. Tapi mengapa kasus pelanggaran HAM berat
1965 tidak pernah diajukan ke pengadilan oleh kejaksaan?
Apalagi kejahatan (pelanggaran) HAM berat 1965 bukanlah delik aduan, sehingga penuntutannya
bisa dilakukan kejaksaan/jaksa agung tidak tergantung dari adanya aduan pihak korban.
Kenyataannya telah 42 tahun kasus tersebut diterbengkalaikan oleh penegak hukum, meskipun
telah banyak dilancarkan kritikan di media massa dan tuntutan dari para korban mengenai kasus
tersebut. Penegak hukum tetap membisu dan membuta. Apakah hal tersebut bukan tragedi hukum
dan keadilan? Jawabnya tegas: Tragedi hukum dan keadilan. Pantaskah mereka disebut penegak
hukum kalau nyatanya berperi laku mempertahankan impunitas? Jawabnya tegas: Tidak
pantas!.Penyelesaian di pengadilan kasus pelanggaran HAM masa lalu secara fakta telah macet
(atau sengaja dimacetkan?).
Maka perlu direkayasa jalan keluar yang indah kedengarannya - Jalan Rekonsiliasi. Dengan
Rekonsiliasi tersebut diharapkan ditemukan keadilan yang "menguntungkan" kedua belah pihak
(pelaku dan korban), di mana pelaku mendapat amnesti - tidak dihukum, sedang korban
mendapatkan rehabilitasi hak-hak politik-sipil dan kompensasi. Rekonsiliasi yang demikian intinya
adalah suatu modus win-win - jalan kompromis dua kepentingan yang direkayasa dengan aroma
machiavelistik untuk menyelamatkan impunitas. Dengan dikeluarkannya UU No.27/2004 tentang
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR) sesungguhnya usaha penegakan keadilan sejati telah
gagal. Sebab keadilan yang timbul adalah keadilan yang tidak utuh, di mana sebagian keadilan
terpaksa harus dikorbankan untuk kompromi.

Berkaitan dengan masalah rekonsiliasi, timbul teori ―transitional justice‖ (keadilan transisional),
yaitu keadilan yang timbul dalam masa transisi dari era diktatur-totaliter ke masa demokrasi.
Tapi benarkah keadilan pada masa peralihan dari era diktatur-totaliter ke masa demokrasi mesti
lahir dari rekonsiliasi, dan karenanya keadilan yang lahir dari rekonsiliasi tersebut suatu keadilan
yang dikehendaki korban? Dari hal tersebut di atas penulis menolak teori transitional justice, di
mana seakan-akan rekonsiliasi merupakan satu-satunya cara untuk mendapatkan keadilan. Sebab
dalam apa yang dinamakan masa transisi tersebut tidak selalu timbul modus rekonsiliasi untuk
mencapai keadilan. Contoh, pada masa transisi setelah rejim Nazi Jerman jatuh tidak diperlukan
adanya rekonsiliasi. Tapi keadilan diwujudkan melalui pengadilan Neurenberg terhadap semua
tokoh-tokoh Nazi. Bahkan sampai dewasa ini tokoh-tokoh Nazi yang masih bersembunyi terus
dicari dan dikejar untuk ditangkap dan diadili. Tidak ada Rekonsiliasi sebagai modus timbulnya
transitional justis. Begitu juga tidak ada rekonsiliasi terhadap Slobodan Milosovic dan tokoh-
tokoh lainnya, yang masih terus dalam perburuan oleh pengadilan internasional Yugoslavia.

Memang kita perlu menyadari bahwa peta politik orde baru di Indonesia secara esensi belum
berubah, meskipun Suharto sudah turun panggung. Sehingga penyelesaian ala pengadilan
Neurenberg dan Pengadilan Yugoslavia tidak mungkin dilakukan, meskipun sudah dibentuk UU
tentang Pengadilan HAM. Bahkan UU KKR yang demikian wujudnya pun sesungguhnya tidak
diterima dengan lapang dada oleh ―mayoritas‖ kekuatan politik. Hal itu tampak dari pembentukan
dan pelaksanaan UU KKR yang tersendat-sendat , sampai akhirnya dibatalkan oleh Mahkmamah
Konstitusi. Padahal UU KKR tidak sepenuhnya menjamin keadilan bagi para korban, hanya sebagai
celah-celah yang dapat dimanfaatkan oleh para korban.

50 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Kenyataannya rekonsiliasi yang machiavelistik tersebut hanya sebagai alat manuver politik orba
dalam masa transisi untuk konsolidasi kekuatan dan memacetkan upaya menegakkan kebenaran
dan keadilan. Meskipun demikian, harus diakui bahwa UU KKR sesungguhnya bisa digunakan oleh
para korban sebagai celah-celah untuk memperjuangkan keadilan tertentu.Memang benarlah
pepatah: kalau tidak ada nasi, singkong pun jadi. Para peduli HAM dan para korban (tidak
semuanya) melihat realitas tersebut. Pengungkapan Kebenaran dan Penegakan Keadilan
(bersamaan dengan itu korban mendapatkan rehabilitasi hak-hak sipil dan politiknya, rian
restitusi, kompensasi,dll) dijdikan kunci menuju rekonsiliasi, sebagai sisi positif. Maka UUKKR
tersebut diterima sebagai salah satu jalan yang relatif bisa memberi keadilan, lebih dari itu sukar
untuk dicapai mengingat peta politik dewasa ini masih berjiwa orde baru.

Kemenangan yang identik kekalahan total


Seperti kita ketahui di dalam UUKKR yang lalu terdapat pasal-pasal yang merugikan kepentingan
para korban, terutama Pasal 27 UUKKR di mana restitusi, kompensasi dll. bisa diberikan kepada
korban kalau pelaku mendapat amnesti. Seharusnya kalau kebenaran sudah terungkap: pelaku
telah mengakui melakukan pelanggaran HAM dan minta maaf, maka korban otomatis harus
mendapat restitusi-kompensasi-rehabilitasi, tidak tergantung adanya amnesti kepada pelaku.
Pasal-pasal yang merugikan korban inilah yang oleh para LSM dan para korban diajukan kepada
Mahkamah Konstitusi untuk dilakukan judicial review.Tapi di samping itu terdapat kelompok lain
yang juga mengajukan judicial review terhadap Pasal tersebut kepada Mahkamah Konstitusi (MK).
Mereka melihat bahwa pelaku pun tidak mendapatkan kepastian hukum untuk mendapat amnesti,
meskipun dia telah mengakui melakukan pelanggaran HAM dan telah meminta maaf atas
perbuatannya. Sebab pemberian amnesti adalah hak presiden (setelah menerima pendapat DPR),
yang mana belum tentu presiden memutuskan memberikannya. Jadi disimpulkan UUKKR tidak
menjamin adanya kepastian hukum dan hal itu akan berakibat macetnya UUKKR secara
operasional. Maka MK memutuskan UUKKR bertentangan dengan UUD 45 dan menyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Dengan pembatalan UUKKR keseluruhannya timbul pertanyaan: apakah MK tidak melakukan
keputusan di luar apa yang dituntut oleh pemohon yudicial review? Jawabannya jelas: MK telah
membuat putusan di luar tuntutan pemohon yudicial review. Putusan tersebut adalah cacat hukum,
harus dianggap tidak sah. MK seharusnya hanya membatalkan pasal-pasal tertentu sesuai yang
dimintakan untuk direview.Hal tersebut sangat berbahaya sekali dalam sistem hukum di
Indonesia. Apalagi keputusan MK adalah putusan tingkat pertama dan terakhir, tidak ada instansi
yuridis yang lebih tinggi berhak memeriksa dan mengontrol atas putusannya. Tidak salah orang
mengatakan MK adalah diktator dalam sistem hukum di Indonesia.
Masalahnya, pembatalan UUKKR oleh Mahkamah Konstitusi tersebut menguntungkan atau
merugikan korban?Ternyata dengan pembatalan UU KKR timbangan menunjukkan bahwa yang
diuntungkan oleh keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut: yaitu para pelaku pelanggaran HAM,
bukannya para korban. Nasib sial telah menimpa para korban yang sesungguhnya hanya
menginginkan supaya pasal-pasal tertentu yang merugikan kepentingannya saja yang dimintakan
judicial review dan dibatalkan. Tapi Mahkamah Konstitusi justru membatalkan keseluruhan
UUKKR. Hapuslah secercah harapan para korban untuk mendapatkan Kebenaran dan Keadilan. Dan
gagallah hukum di Indonesia membela keadilan dan berlanjutlah untuk berapa tahun lagi para
korban harus menanggung derita. Dengan demikian perjuangan untuk menegakkan Kebenaran dan
Keadilan terpaksa harus dimulai dari NOL lagi.

51 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Tidak salah kalau dikatakan bahwa keputusan MK tersebut kebablasan (atau memang ada
rekayasa untuk dibablaskan?), meskipun dengan alasan pro bono publico – untuk kepentingan
umum, suatu klausul yang selalu dipakai penguasa dengan akibat kerugian bagi rakyat. Kalau
mengingat peta politik Indonesia dewasa ini, maka jalan menuju ke Kebenaran dan Keadilan
menjadi tambah lebih gelap dan lebih panjang sekali. Dan bertepuk tangan bahagialah para
pelanggar HAM berat 1965.

Bom waktu Pasal 28(I) UUD 45 (Amandemen)

Tetapi masalah tersebut tidak berhenti di situ saja. Kekalahan total akibat pembatalan UU KKR
tersebut para korban tragedy nasional 1965 masih menghadapi bayang-bayang ―kekalahan‖ lagi
berhubung dengan dicantumkannya azas nonretroaktif dalam pasal 28 (i) UUD 45 (Amandemen).
Tepatlah kalau Pasal 28 (i) tersebut dikatakan sebagai bom-waktu yang meledak pada waktu yang
mereka tentukan. Bahkan ditegaskan dalam pasal tersebut bahwa pemberlakuan asas retroaktif
adalah suatu pelanggaran HAM.
Asas non-retroaktif adalah suatu ketentuan imperatif dalam konstitusi yang tidak dapat
dilanggar. Jadi berdasarkan pasal 28 (i) UUD 45 kasus-kasus pelanggaran HAM yang timbul
sebelum pasal tersebut timbul (berkaitan Peristiwa 1965, Tanjung Priok, Jalan Diponegoro,
Semanggi dan lain-lainnya) secara yuridis tidak dapat diadili. Banyak orang masih berilusi dan
bermimpi bahwa kasus pelanggaran HAM berat masa lalu bisa diselesaikan melalui Pengadilan
HAM ad hoc berdasarkan Pasal 43 ayat 1 yang memberlakukan asas retroaktif. Mereka tidak
menyadari(atau tidak mau tahu) bahwa pasal tersebut bertentangan dengan UUD 45
(Amandemen), yaitu Pasal 28(i). Jadi kalau sampai kasus Pelanggaran HAM berat masa lalu
diproses di pengadilan, maka pelaku pelanggaran HAM (cq. advokatnya) tentu akan melakukan
pembelaan berdasarkan asas non-retroaktif dalam pasal 28(i) UUD 45. Bahkan kalau keputusan
pengadilan memenangkan korban, pelaku pelanggaran HAM akan mengajukan judicial review ke
Mahkamah Konstitusi. Dan Mahkamah Konstitusi tentunya akan membatalkan UU No. 26 Tahun
2000 Pengadilan HAM ad hoc, setidak-tidaknya Pasal 43 ayat 1, yang memberlakukan asas
retroaktif, sebab jelas bertentangan dengan UUD 45. Jadi Pasal 28(I) UUD 45 tersebut praktis
merupakan bom waktu yang akan meledak untuk membumi hanguskan tuntutan korban pelanggaran
HAM berat masa lalu baik di pengadilan, maupun di Mahkamah Konstitusi sebagai putusan judicial
review.
Perlu ditekankan, baik pengadilan biasa maupun pengadilan ad hoc tidak boleh bertentangan
dengan UUD 45 - pasal 28 (i). Jadi apabila Pasal 28(i) tidak dirubah, -- seperti yang saya usulkan
dalam artikel "Gelapnya jalan menuju ke Kebenaran dan Keadilan", Milis Nasional (nasional-list) 02
Oktober 2005 --, dengan menambah klausul: "kecuali pelanggaran HAM berat yang diatur
selanjutnya dengan UU", maka kasus pelanggaran HAM berat masa lalu secara yuridis tidak
mungkin bisa diselesaikan melalui pengadilan.
Tapi masalah Pasal 28 (i) UUD 45 tersebut sejak dari Rancangan Amandemen UUD 45 sampai
disahkannya sebagai pasal resmi bagian UUD 45 oleh para peduli HAM dan para pakar hukum
tidak (kurang sekali) dijadikan obyek bahasan serius. Padahal implikasinya terhadap sistem hukum
di Indonesia besar sekali, sehingga impunity tetap tidak mendapat gangguan sedikitpun, dan
pelaku pelanggaran HAM berat terus tidur nyenyak dan jalan leha-leha ke mana mau. Nah
mengapa terjadi demikian?Dari hal-hal tersebut di atas kiranya nampak jelas bahwa dalam
masalah penuntasan pelanggaran HAM berat 1965 digunakan skenario sandiwara siluman lihai, di
mana korban disetting selalu kalah:- Ada UU Pengadilan HAM, tapi kasus pelanggaran HAM berat
52 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

1965 tidak pernah diangkat dan diproses di pengadilan. - Kalau akhirnya kasus tersebut diproses
juga di Pengadilan HAM, maka akan diruntuhkan dengan memakai Pasal 28 (i) UUD 45 oleh MK
atas permohonan yudisial review dari pelaku.-
Karena penyelesaian melalui Pengadilan HAM sudah dimacetkan, maka dibuatkanlah UU KKR yang
juga di-setting untuk macet pula, karena banyak kelemahannya. Makanya MK dengan mudah
membatalkan UU KKR. Nah, dengan demikian korban terus menerus mengalami kekalahan. Yang
perlu kita perjuangkan saat ini:

Jangka panjang:

Dengan ulet dan tegas memperjuangkan perubahan peta politik yang sampai dewasa ini masih
bermental orba – anti HAM dan demokrasi -- menjadi peduli HAM, keadilan dan demokrasi sesuai
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Dengan demikian Pancasila tidak hanya di bibir saja,
tapi diwujudkan perbuatan konkrit dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Inilah yang
perlu dengan sadar diperjuangkan seluruh rakyat Indonesia, apalagi kita sudah tidak mempunyai
Soekarno, sedang orang-orang seperti Mandela, Chaves, Morales belum nampak di kancah
perpolitikan di Indonesia.Memperjuangkan agar Pasal 28 (i) UUD 45 dirubah (diamandir) sehingga
berbunyi sebagai berikut:"......hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut,
kecuali mengenai pelanggaran HAM berat yang diatur dalam undang-undang adalah hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Jangka pendek:

Sebelum UU KKR baru terbentuk, maka presiden harus segera mengeluarkan "Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) tentang KKR" dengan memperhatikan Keputusan
Mahkamah Konstitusi agar wacana KKR bisa menjadi kenyataan dan berfungsi menegakkan
Kebenaran dan Keadilan. Inilah celah-celah legal dan jalan singkat yang mungkin bisa
diperjuangkan secara riil. Sebab kalau menunggu dibentuknya Undang-undang tentang KKR tentu
membutuhkan waktu panjang bertele-tele.

Di samping mengeluarkan PERPU tentang KKR, Presiden sebagai pemegang hak prerogative
tentang pemberian amnesti, harus juga mengeluarkan Keputusan Presiden tentang pemberian
amnesti umum kepada para pelaku yang telah dengan jujur mengungkap dan mengakui bersalah
melakukan perbuatan melanggar HAM dan menyatakan minta maaf kepada korban di dalam Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi. Dengan demikian proses dalam Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
akan berjalan baik.Masyarakat peduli HAM, demokrasi dan keadilan terutama lembaga-lembaga
yang berkecimpung dalam masalah HAM, harus proaktif mendukung segala upaya tentang
terbentuknya PERPU KKR dan kemudian UU KKR.
Dengan pengalaman keputusan MK tentang pembatalan UU KKR kiranya para korban dan kalangan
LSM perlu mawas diri dan brtindak cermat agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di
masa mendatang, sehingga dengan demikian tuntutan-tuntutannya tidak menjadi boomerang
terhadap diri sendiri yang merugikan secara total.

Diemen, Nederland, 30 September 2007


*) Ketua Umum Lembaga Pembela Korban '65, Nederland.

Mengenang peristiwa 30 September 1965


53 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Suharto tidak patut diberi gelar pahlawan nasional


Mohon ma‘af terlebih dulu kepada para pembaca bahwa dalam tulisan untuk mengenang peristiwa
30 September 1965 kali ini, banyak digunakan ungkapan-ungkapan yang barangkali kedengaran
terlalu kasar, tidak sepatutnya, atau bahkan kelewatan tidak senonohnya. Sebab, tulisan ini
memang merupakan ledakan emosi atau letupan kemarahan setelah membaca berita bahwa daerah
Jawa Tengah akan mengusulkan kepada pemerintah untuk memberi gelar pahlawan nasional kepada
Suharto.

Berita tersebut disiarkan oleh Suara Pembaruan tanggal 23 September 2010 (artinya, seminggu
sebelum tanggal peristiwa 30 September), yang antara lain berbunyi sebagai berikut :

« Tim penilai pengkaji gelar pahlawan pusat tengah mengkaji 19 dari 30 tokoh yang diusulkan
daerah untuk diberi gelar pahlawan nasional. Di antara deretan nama tersebut, Gus Dur dan
Soeharto masuk nominasi pemberian gelar pahlawan. Tim penilai pengkaji gelar pahlawan tersebut,
terdiri dari 13 orang yang berasal dari kalangan Masyarakat Sejarah Indonesia, akademisi,
Arsip Nasional, dan Pusat Sejarah TNI.

Direktur Kepahlawanan Keperintisan dan Kesetiakawanan Sosial Kementerian Sosial (Kemsos),


Suyoto Sujadi mengatakan, nama-nama tersebut, masih dikaji mendalam oleh tim, lalu diverifikasi
Menteri Sosial untuk selanjutnya diserah ke Dewan Gelar di bawah naungan Presiden."Semua
nama tersebut, masih dalam proses penggodokan di antaranya mantan presiden Gus Dur,
Soeharto, Johanes Leimena, dan Ali Sadikin.

Gus Dur, tambah Suyoto, diusulkan dari daerah Jawa Timur, Soeharto dari Pemerintah Jawa
Tengah. Sedangkan Jawa Barat mengusulkan lima nama, di antaranya Laksmi Ningrat. Nama-nama
lain yang juga dinominasikan adalah Pakubowono X dan Kraeng Galengsong. Kriteria penting dalam
menobatkan gelar pahlawan nasional menurutnya, sang tokoh harus memiliki bobot perjuangan
yang terukur, baik skala lokal maupun nasional » (kutipan selesai).

Suharto tidak patut disebut pahlawan nasional.

Mungkin banyak orang yang terheran-heran membaca dalam berita di atas bahwa masih ada
orang-orang yang menganggap bahwa Suharto pantas diberi penghargaan dengan gelar pahlawan
nasional. Terlepas dari apakah orang-orang yang mengusulkan supaya Suharto diberi gelar
pahlawan nasional itu waras nalarnya, ataukah sehat jiwanya, usul itu sendiri adalah betul-betul
gila !
Sebab, sekarang makin banyak orang dari berbagai kalangan atau golongan yang makin sadar atau
bahkan yakin bahwa Suharto adalah petinggi Angkatan Darat, yang melakukan insubordinasi
(pembangkangan) terhadap Panglima Tertinggi Angkatan Perang RI, dan mendongkel Presiden
Sukarno dari kedudukannya melalui kudeta, kemudian membunuh pemimpin bangsa ini dengan
menterlantarkannya secara tidak manusiawi dalam keadaan sakit parah selama dalam tahanan.
Orang yang semacam ini tidaklah pantas sama sekali disebut sebagai pahlawan bangsa !
Banyak orang masih belum lupa bahwa selama sedikitnya 32 tahun Suharto sudah memalsu dan
menyalahgunakan Pancasila, sehingga Pancasila dibenci orang banyak (ingat Penataran P4). Ia juga
sudah melarang disebarkannya ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno. Dengan politiknya « de-
Sukarnoisasi » yang menyeluruh ia sudah membunuh jiwa revolusi rakyat Indonesia, dan merusak
jiwa revolusioner bangsa. Ini berarti bahwa ia sudah mengkhianati bangsa. Karenanya, ia tidaklah
pattut sama sekali disebut sebagai pahlawan bangsa !
54 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Kalau kita amati situasi negara dan bangsa dewasa ini, yang penuh dengan kebejatan moral,
korupsi yang mengganas di kalangan atas dan juga kalangan bawah, maka nyatalah bahwa keadaan
yang membusuk ini adalah akibat langsung atau produk Orde Baru di bawah pimpinan Suharto.
Suharto adalah perusak Republik Indonesia. Ia bukanlah seorang pahlawan nasional. Melainkan
pengkhianat nasional.

Apakah Suharto memang punya bobot perjuangan?

Disebutkan (dalam berita itu) bahwa « Kriteria penting dalam menobatkan gelar pahlawan nasional
sang tokoh harus memiliki bobot perjuangan yang terukur, baik skala lokal maupun nasional ». Lalu,
apakah memangnya Suharto memiliki bobot perjuangan yang terukur, baik skala lokal maupun
nasional Apakah pengkhianatannya terhadap Bung Karno bisa dikategorikan sebagai bobot
perjuangan skala nasional ?
Bobot perjuangan Suharto sama sekali tidak nampak ketika ia memimpin Orde Baru. Perjuangan
apa atau terhadap siapa ? Terhadap kolonialisme atau imperialisme ? Sama sekali tidak ! Yang
jelas dan pasti adalah banwa ia gigih dalam perjuangan terhadap seluruh kekuatan yang
mendukung Bung Karno, yang terdiri dari golongan revolusioner, termasuk golongan PKI. Puluhan
juta orang di antara mereka telah diterror, diintimidasi, dibunuhi, dipenjarakan, didiskriminasi,
disengsarakan (termasuk keluarga-keluarganya). Jadi, Suharto bukanlah pemersatu bangsa,
melainkan sebaliknya, ia adalah perusak persatuan bangsa.
Mengingat itu semua, usul untuk memberikan gelar pahlawan nasional kepada Suharto jelas bisa
menyakitkan hati banyak orang, yang pernah menjadi korban rejim militer yang dipimpinnya.
Terutama dari kalangan pendukung politik Bung Karno dan dari golongan kiri pada umumnya. Hal
yang demikian adalah wajar, atau adalah manusiawi.

Menolak gelar pahlawan untuk Suharto adalah adil

Menolak atau menentang diberikannya gelar pahlawan kepada Suharto bukanlah sikap yang salah
atau buruk, baik dilihat dari segi moral atau adat-istiadat maupun dari segi apa pun lainnya. Tidak
juga berarti bahwa tidak menghargai jasa-jasanya kepada bangsa dan negara. Menolak atau
menentang diberikannya gelar pahlawan nasional adalah adil, dan berdasarkan nalar yang waras,
dan bersumber dari hati nurani kemanusiaan.

Sebab, menyetujui diberikannya gelar pahlawan kepadanya akan berarti mengakui bahwa apa yang
dilakukan Suharto adalah benar. Pemberian gelar pahlawan kepadanya berarti bahwa
pendongkelannya terhadao kedudukan Bung Karno, dan perusakannya terhadap Pancasila dan
tujuan revolusi 45 adalah tindakan-tindakan yang baik. Yang lebih parah lagi, adalah bahwa
pembunuhan massal terhadap jutaan orang tidak bersalah serta pemenjaraan begitu banyak orang
lainnya (yang tidak bersalah apa-apa juga !!!) adalah tindakan Suharto yang dianggap tidak salah
sama sekali. Wajarlah, kalau karenanya, ada orang-orang yang ngomel : « Orang yang begitu kok
disebut pahlawan ! »
Kalau sudah begini, apa sajakah yang harus dikatakan mengenai jiwa atau hati nurani orang-orang
Indonesia ? Bukankah ini menunjukkan jiwa yang sakit, atau nalar yang tidak beres, atau hati yang
sudah membusuk ? Atau, dengan kalimat lain, lalu negara apa namanya yang begini ini ? Orang yang
embunuh -- atau menyuruh bunuh -- begitu banyak orang, apalagi bangsanya sendiri, diangkat
sebagai pahlawan !!! Sungguh, sulit dimengerti bagi orang yang waras otaknya dan bersih hatinya.

Apakah betul rakyat Jawa Tengah mengusulkannya ?

55 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Pengangkatan Suharto sebagai pahlawan nasional juga akan berarti bahwa praktek KKN yang
sudah begitu terkenal di Indonesia dan juga di luarnegeri sudah dianggap tidak soal lagi atau
dima‘afkan saja. Meskipun sebagian besar rakyat Indonesia, sebenarnya, tidak akan bisa lupa
kepada dosa-dosa besarnya. Jadi wajarlah bahwa rakyat tidak akan membiarkan orang yang
begitu itu dijadikan pahlawan nasional.

Soal lainnya lagi, adalah pernyataan bahwa daerah Jawa Tengah mengusulkan supaya Suharto
diberi gelar pahlawan nasional. Apakah betul rakyat Jawa Tengah mengusulkannya ? Siapa-siapa
saja yang katanya mengusulkannya ? Sebab, sejarah sudah membuktikan bahwa dalam masa-masa
yang lalu Jawa Tengah adalah daerah basis utama kekuatan pendukung Bung Karno dan juga
kekuatan revolusioner umumnya, termasuk golongan PKI. Itu sebabnya, korban penindasan Orde
Baru (antara lain : pembunuhan massal, pemenjaraan, persekusi-persekusi lainnya) juga besar
sekali di Jawa Tengah. Karena itu pula, patut sekali diragukan bahwa rakyat Jawa Tengah
mengajukan usul yang begitu aneh itu.
Kalau Suharto dijadikan pahlawan, maka akan merupakan soal yang bisa dipertanyakan oleh
generasi-generasi yang akan datang, karena mereka toh akan tahu juga bahwa era rejim militer
Orde Baru yang 32 tahun itu adalah era yang merupakan noda hitam dalam sejarah bangsa. Jadi
mereka bisa menjadi malu bahwa orang yang begitu kualitasnya toh bisa dihormati sebagai
pahlawan oleh generasi pendahulunya.
Kalau Suharto diangkat sebagai pahlawan, maka banyak orang akan mengutuk atau menghujat
orang-orang yang terlibat dalam proses pengusulan dan pemutusannya, baik di tingkat daerah
maupun tingkat pusat. Pengutukan atau penghujatan terhadap orang-orang yang terlibat dalam
kasus yang bisa menjadi skandal besar bangsa ini adalah benar, adil dan luhur. Sebab, rakyat atau
bangsa kita haruslah bersikap adil terhadap kasus Suharto, tetapi juga harus adil terhadap
mereka yang sudah paling sedikitnya 32 tahun menderita berbagai politiknya.

Suharto tidak mempunyai moral perjuangan untuk rakyat

Sekarang kita sama-sama melihat dari sejarah, bahwa berlainan sama sekali dengan Bung Karno,
maka Suharto bukanlah seorang yang mempunyai gagasan-gagasan besar atau karya-karya penting
bagi perjuangan bangsa. Suharto juga tidak memiliki moral perjuangan untuk rakyat setinggi
moral Bung Karno.

Kalau Bung Karno sudah menyumbangkan kepada bangsa Indonesia karya-karya besarnya seperti
Indonesia Menggugat, pidatonya tentang lahirnya Pancasila, kumpulan pidato-pidatonya dalam
buku Dibawah Bendera Revolusi, Konferensi Bandung, Trisakti, pidato di PBB To build the World
Anew, maka Suharto dalam 32 tahun tidak menghasilkan karya atau pemikiran yang benar-benar
berbobot bagi sejarah bangsa.
Kalau Bung Karno sudah terbukti dalam sejarah bahwa ia pemersatu bangsa, dan dengan gigih
berjuang untuk nation and character building, patriotisme dan internasionalisme revolusioner,
maka Suharto sudah terbukti sebagai perusak persatuan rakyat, sebagai pembusuk character
building bangsa, dan pengkhianat internasionalisme revolusioner.
Mengingat itu semua, maka gagasan atau usul untuk memberikan gelar pahlawan nasional kepada
Suharto haruslah ditentang atau dilawan besar-besaran oleh berbagai golongan dalam masyarakat
Indonesia. Usul semacam itu hanya akan mendatangkan berbagai hal negatif bagi rakyat.
Karenanya, perlawanan ini perlu dilakukan demi kebaikan bangsa kita seluruhnya, termasuk bagi
anak cucu kita di kemudian hari.
56 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Gelar pahlawan untuk Suharto tidaklah mendatangkan kebaikan bagi persatuan bangsa. Sebagian
besar dari rakyat tidak merasa perlu dengan adanya penamaan yang begitu tinggi terhadap orang
yang telah begitu besar membikin kerusakan, pembusukan, dan kebobrokan kepada bangsa dan
negara. Bahkan, sebaliknya, yang justru pantas diberikan kepada Suharto adalah pengkhianat
bangsa !

Paris, 26 September 2010

1.. Umar Said

= = = = == =

Dalam rangka mengenang peristiwa 30 September 1965 mohon pendapat Anda terhadap tulisan di
atas. Pendapat Anda bisa Anda sampaikan melalui E-mail dan siarkan di berbagai mailing-list untuk
diketahui publik secara luas, atau hanya disalurkan melalui japri (jalur pribadi) untuk pengetahuan
saya pribadi saja, dan tidak untuk disiarkan. Apa pun atau bagaimana pun pendapat Anda mengenai
soal yang dibahas dalam tulisan di atas adalah berguna untuk diketahui.
Terimakasih,

Sumber: http://pemudaindonesiabaru.blogspot.com/2009/09/renungan-tentang-g30spki-dan-
orde-baru.html

Kamis, 10 September 2009

Renungan Tentang G30s/PKI dan Orde Baru


Renungan Tentang G30s/PKI dan Orde Baru - Rejim militer Orde Baru yang dikepalai Suharto
selama 32 tahun telah memerintah dengan mentrapkan berbagai macam "peraturan perundang-
undangan gila ", yang ditujukan bagi para eks-tapol atau orang-orang yang pernah ditahan, yang
menurut Kopkamtib berjumlah 1.900 000 orang. Peraturan perundang-undangan yang paling
sedikitnya ada 30 macam ini, memang terutama sekali berlaku bagi seluruh anggota PKI dan
ormas-ormas yang bernaung di bawah PKI. Namun, dalam prakteknya banyak sekali orang yang
tidak ada sangkut-pautnya dengan PKI pun ikut-ikut menderita kesulitan dengan adanya berbagai
peraturan yang aneh-aneh itu.

Seperti kita ingat atau kita ketahui ada peraturan " Surat bebas G30S "bagi orang yang melamar
pekerjaan. Bahkan, ada yang untuk sekolah pun diharuskan punya surat ini. Ada pula peraturan
yang gila juga, yaitu apa yang dinamakan "bersih lingkungan " Artinya, kalau ada orang yang salah
satu saja di antara sanak-saudaranya yang diduga atau dituduh dekat dengan PKI atau organisasi-
organisa si kiri maka ia akan mendapat berbagai kesulitan.
Istilah « tidak terlibat baik langsung maupun tak langsung dalam gerakan kontra revolusi
G30S/PKI » merupakan momok yang mengancam banyak orang selama puluhan tahun. Bahkan, yang
lebih gila lagi, adalah bahwa ancaman ini berlaku juga bagi anak-cucu mereka, walaupun mereka
jelas-jelas sekali tidak tahu menahu sama sekali dengan G30S.
Dengan membaca kembali bahan dari LPR KROB (Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rejim
Orde Baru) di bawah ini kita melihat bahwa rejim militer Suharto sudah melakukan kejahatan
besar sekali, dengan membikin peraturan atau perundang-undangan yang diskriminatif dan
menyusahkan banyak orang, dan selama puluhan tahun pula ! Dalam hal ini peran Golkar adalah
sama saja busuknya atau jahatnya dengan golongan militer. Dosa-dosa besar Golkar tidak bisa

57 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

dipisahkan dengan dosa para pimpinan militer pendukung Suharto. Golkar dan kontra-revolusi yang
dibenggoli oleh Suharto adalah satu dan senyawa.

Silakan para pembaca menyimak kembali dan merenungkan dalam-dalam berbagai hal yang
diutarakan oleh dokumen LPR KROB bulan September 2006, yang berikut di bawah ini.

Tragedi 65/66

Tragedi 65/66 terjadi 41 tahun yang lalu. Rangkaian peristiwa yang saling berkaitan antara yang
satu dengan lainnya. Dilaksanakan tahap demi tahap untuk memuluskan tercapainya tahapan
terakhir. Terkenal dengan kudeta merangkak.G30S 1965. Dalam peristiwa ini mengakibatkan
korban dibunuh, 6 orang jenderal dan 1 orang perwira.

Tragedi 65/66, Pembantaian Massal


Tanggal 17 Oktober 1965 pasukan elite RPKAD dipimpin Kolonel Sarwo Edhi Wibowo menuju Jawa
Tengah. Tanggal 22 Oktober 1965 terjadi pembantaian massal selama dua minggu di Jawa
Tengah; diteruskan di Jawa Timur selama satu bulan dan kemudian beralih di Bali. Di Sumatera
Utara pembantaian dilaksanakan 1 Oktober 1965. Pembantaian yang sama terjadi di daerah lain di
Indonesia.

Penyalahgunaan SP (Surat Perintah) 11 Maret 1966

Penerima SP, Soeharto menyalahgunakan SP 11 Maret 1966 oleh pemberinya, Soekarno. SP 11


Maret 1966 adalah pendelegasian kekuasaan (delegation of authority) tetapi ditafsirkan oleh
penerimanya, Soeharto, sebagai pemindahan kekuasaan (transfer of authority). Beranjak dari
pengertian yang salah ini, digunakan oleh Soeharto untuk menangkap menteri, pembantu setia
Bung Karno, dengan alasan diamankan. Tidak hanya para menteri, tetapi pengikut Bung Karno dari
partai-partai nasional dan Islam, 125 ormas buruh, tani, wanita, pemuda, pelajar/mahasiswa,
seniman/sastrawan, guru, pamong desa, etnis Tionghoa, semuanya dilibas.

Kudeta terhadap Presiden RI yang sah, Soekarno Tahapan akhir rangkaian peristiwa ini adalah
tujuan sebenarnya yang dituju. Kudeta Presiden RI yang sah, Soekarno. Melalui MPRS yang sudah
dibongkar-pasang agar dianggap konstitusional, Soeharto diangkat menjadi Presiden RI pada
tahun 1967.Kudeta merangkak ini didukung sepenuhnya oleh CIA (AS).

Sukses di Jakarta ada kemiripan dengan kejadian di Cile 1970. Ketika itu CIA melaksanakan misi
amat rahasia, melakukan pembunuhan terhadap Jenderal Schneider, Kepala Staf AD Cile yang
telah menolak melakukan kudeta untuk menghalangi pemilihan Salvador Allende sebagai presiden.
Selanjutnya, CIA mendukung komplotan AD Cile melakukan kudeta berdarah terhadap Presiden
Allende yang telah terpilih secara demokratis. Jenderal Pinochet naik tahta. Bandingkan nasib
Jenderal Schneider dan Jederal A Yani, Allende dengan Bung Karno. Salah satu operasi
penyesatan
CIA untuk meningkatkan suhu politik di Cile dengan menyebarkan kartu-kartu kepada tokoh
serikat buruh kiri maupun para perwira militer kanan dengan tulisan Djakarta ce acerca (Jakarta
sedang mendekat).

Tap MPRS 25/1966 tentang Pembubaran dan Pelarangan PKI merupakan instrumen politik bagi
Soeharto dan pendukungnya untuk "membersihkan " mereka yang loyal terhadap Soekarno di

58 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

kabinet Dwikora, MPRS, DPRGR. Kemudian melalui UU No 10/1966 tentang Kedudukan MPRS dan
DPRGR, Soeharto mengangkat orang-orang kepercayaannya untuk menduduki jabatan anggota
MPRS, DPRGR dan kabinet tandingan yang disebut kabinet Ampera terutama dari golongan
militer.
Dalam UU No 10/1966 untuk pertama kali muncul istilah tidak terlibat baik langsung maupun tak
langsung dalam gerakan kontra revolusi G30S/PKI dan atau organisasi terlarang/terbubar lainnya,
terutama menyangkut persyaratan untuk menduduki jabatan politik atau publik.

Peristiwa 1965 merupakan tahun pembatas zaman. Zaman berubah antara sebelum 1965 dan
sesudahnya. Perubahan itu terjadi dalam bidang ekonomi, politik dan sosial budaya secara
serentak. Ajaran Bung Karno untuk menentukan rah revolusi Indonesia dihancurbinasakan.

Sesudah tahun 1965, politik luar negeri berubah total. Dari nonblok menjadi pro barat, menjadi
pengikut AS. Ekonomi Indonesia yang dulunya berdikari berubah menjadi ekonomi yang
tergantung pada modal asing. Dalam bidang kebudayaan, sebelum 1965, bebas berpolemik;
sesudah 1965 budaya seolah-olah satu, menjadi monolitik. Tidak ada lagi perbedaan, semua
seragam.

Tindakan Keji

Tragedi 65/66, kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pembunuhan warga negara tak bersalah
menurut keterangan almarhum Jenderal Sarwo Edhi Wibowo Komandan Resimen RPKAD kepada
Permadi SH berjumlah 3 juta orang. Kuburan massal berserakan di berbagai tempat di Jawa
Timur, Jawa Tengah, Bali, Sumatera Utara dan tempat-tempat lain. Belum lagi mayat-mayat yang
dimasukkan luweng dan dibuang di sungai-sungai.

Penahanan/pengasingan/dihukum berjumlah 1.900.000 orang menurut keterangan resmi


Kopkamtib. Penjara di seluruh Indonesia dijadikan tempat tahanan. Bila penjara sudah penuh,
gedung lainnya dipergunakan seperti Gudang Padi di Bojonegoro (Jawa Timur).

Pulau Nusakambangan, Pulau Buru, Plantungan, Pulau Kemarau (Sumatera Selatan) dijadikan
tempat pengasingan/ konsentrasi kam. Dengan mengerjapaksakan tapol didirikan tempat-tempat
isolasi di beberapa daerah seperti Argosari (Kalimantan Timur), Loe Mojong (Sulawesi Selatan),
Nanga-Nanga, Kendari (Sulawesi Tenggara), Wadas Lintang, Brebes Jawa Tengah.

Penangkapan dan penahanan seringkali disertai dengan perampasan harta benda seperti rumah,
tanah, uang, perhiasan, surat-surat berharga. Selama masa penahanan tapol mengalami interogasi
yang disertai penyiksaan, dipukuli dengan tangan kosong, atau dengan alat, digunduli, disetrum dan
dipaksa menyaksikan penyiksaan tahanan lainnya.

Bagi tapol perempuan mengalami pelecehan seksual bahkan ada yang diperkosa berkali-kali. Ibu-
ibu tapol yang mengandung terpaksa melahirkan dalam tahanan/penjara. Isteri tapol laki-laki
dijadikan sasaran rayuan gombal aparat negara. Sebagian dari mereka yang ditahan dalam usia
sangat muda sehingga kehilangan kesempatan untuk menikmati masa muda, terpaksa putus sekolah
dan bereproduksi.

Setidaknya ada dua cara yang digunakan dalam proses "pembersihan " terhadap mereka yang
dituduh sebagai orang komunis.

59 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Pertama: cara nonformal, yaitu operasi "pembersihan: tanpa proseduryang oleh pihak militer
dengan memobilisasi organisasi-organisa si paramiliteryang bernaung di berbagai organisasi.
Kelompok ini diberi kewenangan untuk bertindak menjadi hukum dan hakim sekaligus.
Kedua: secara formal penangkapan dan pemeriksaan terhadap orang-orang yang dituduh komunis
dilakukan oleh sebuah sistem atau lembaga di bawah Kopkamtib atau Pelaksana Khusus Daerah
(Laksusda). Di tingkat pusat, disebut Tim Pemeriksa Pusat (Teperpu); di daerah disebut Tim
Pemeriksa Daerah (Teperda). Tim diberi otoritas untuk melakukan proses screening terhadap
semua orang yang dituduh sebagai komunis, kemudian membuat klasifikasi dan penggolongan.
Setelah melalui screening para tahanan dikirimkan ke kam-kam tahanan. Tidak ada jaminan
kepastian hukum terhadap jutaan tahanan yang dituduh komunis.

Dengan demikian "pembersihan" terhadap mereka yang dituduh komunis dijalankan sangat
sistematis dengan menggunakan hirarki kekuasaan, melalui penerbitan peraturan maupun tindakan
aparat; dan terjadi secara meluas di seluruh wilayah RI. Kopkamtib tak lain seperti mesin
penggilas yang digunakan untuk melumatkan siapapun di persada tanah air Indonesia tercinta yang
hendak melawan kekuasaan Soeharto, kekuasaan Orde Baru.

Perlakuan Yang Diskriminatif

Sampai tahun 1979, datang tekanan dari dunia internasional, terutama dari Amnesti Internasional
dan negara-negara donor. Mereka mendesak Indonesia untuk mengeluarkan para tahanan politik
dari kam-kam tahanan sebagai prasyarat untuk cairnya bantuan internasional bagi pemerintah
Indonesia.

Tahun 1979, tapol secara formal dibebaskan. Dalam Surat Pembebasan / Pelepasan dinyatakan
bahwa mereka tidak terlibat dalam peristiwa G30S/PKI. Dalam kenyataannya, pembebasan bukan
berarti kebebasan tanpa syarat bagi mantan tapol, mereka masih dikenakan « " wajib lapor"
kepada pejabat dan lembagakemiliteran yang ada di sekitar tempat tinggalnya.

Tindakan demikian dianggap belum cukup. Mantan tapol diberlakukan berdasarkan peraturan yang
diskriminatif. Tidak kurang dari 30 peraturan perundang-undangan yang diskriminatif
diterbitkan, antara lain:

Surat Edaran BAKN No 02/SE/1975 tentang tidak diperlukan Surat Keterangan Tidak Terlibat
dalam G30S/PKI bagi pelamar calon pegawai negeri sipil yang pada tanggal 1 Oktober 1965 calon
ybs masih belum mencapai 12 tahun penuh.

Keppres No 28/1975 tentang Perlakuan terhadap mereka yang terlibat PKI Golongan C. Golongan
C dibagi menjadi Golongan C1, C2, dan C3. Terhadap pegawai tindakan administratif sbb: Golongan
C1 diberhentikan tidak dengan hormat sebagai pegawai negeri; Golongan C2 dan C3 dikenakan
tindakan administratif lainnya dengan memperhatikan berat ringannya keterlibatan mereka.
SK No 32/ABRI/1977 tentang Pemecatan sebagai Pegawai TNI karena dituduh terlibat PKI.
Inmendagri No 32/1981 tentang Pembinaan dan Pengawasan Bekas Tahanan dan Bekas Narapidana
G30S/PKI. Larangan menjadi pegawai negeri sipil, anggotan TNI/Polri, guru, pendeta dan lain
sebagainya bagi mereka yang tidak bersih ingkungan. Pada KTP mantan tapol dicantumkan kode
ET.
Keppres No 16/1990 tentang Penelitian Khusus bagi Pegawai Negeri RI. Penelitian khusus bukan
hanya ditujukan kepada korban langsung tetapi berlaku uga bagi anak dan/atau cucu korban yang
dituduh terlibat G30S/PKI.
60 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Kepmendagri No 24/1991 tentang Jangka Waktu berlakunya KTP bagi penduduk berusia 60 tahun
ke atas. KTP seumur hidup tidak diberlakukan bagi warga negara Indonesia yang terlibat langsung
atau pun tidak langsung dengan Organisasi Terlarang (OT).
Permendagri No 1.A/1995 tentang Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk dalam rangka Sistem
Informasi Manajemen Kependudukan. KTP yang berlaku seumur hidup hanya berlaku bagi WNI
yang bertempat tinggal tetap dan tidak terlibat langsung atau pun tidak langsung degnan
Organisasi Terlarang (OT).

Inmendagri No 10/1997 tentang Pembinaan dan Pengawasan Bekas Tahanan dan Bekas Narapidana
G30S/PKI. Inmendagri ini sebagai pengganti Inmendagri No 32/1981. Ketentuan dan larangan
masih tetap sama seperti Inmendagri No 32/1981. Perubahannya adalah kode ET tidak
dicantumkan lagi pada KTP mantan tapol, tetapi pada KK (Kartu Keluarga) tetap dicantumkan kode
ET.
UU No 12/2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD
Provinsi/Kabupaten/ Kota. Syarat anggota DPR, DPD, DPD Provinsi / Kabupaten/Kota bukan bekas
anggota organisasi terlarang PKI termasuk organisasi massanya atau bukan orang yang terlibat
langsung dalam G30S/PKI.

Kekerasan struktural berupa peraturan yang diskriminatif tidak hanya tertuju kepada mantan
tapol korban Tragedi 65/66 tetapi juga terhadap anak dan cucu mereka. Perlakuan demikian telah
memporakporandakan harapan dan masa depan jutaan warga negara Indonesia termasuk ribuan
warga negara Indonesia di luar negeri yang dicabut paspor mereka secara paksa oleh KBRI
setempat. Dampak peristiwa ini dirasakan oleh korban Tragedi 65/66 baik berupa stigmatisasi
sebagai orang yang tidak "bersih lingkungan " atau pun diskriminasi dalam hak politik, sosial dan
ekonomi.

Secara umum proses diskriminasi terhadap korban Tragedi 65/66 dimulai etika secara sepihak
keputusan politik dikeluarkan oleh Jenderal Soeharto yang ditunjuk sebagai Panglima Kopkamtib
oleh Presiden Soekarno. Keputusan politik dikeluarkan Jenderal Soeharto tanggal 12 Maret 1966
untuk membubarkan dan melarang PKI dan semua organisasi yang dicurigai berasas/berlindung/
bernaung di awahnya dari pusat sampai di seluruh wilayah Indonesia.

Pemerintahan Daerah melalui Peraturan Daerah (Perda) membatasi hak politik mantan tapol dan
keluarganya terutama untuk partisipasi politik di tingkat lokal. Jabatan Kepala Desa hingga
anggota legislatif tingkat daerah mengharuskan calonnya "bebas G30S/PKI"
Setelah rezim Soeharto tidak lagi berkuasa beberapa peraturan dan kebijakan yang
mendiskriminasikan mantan tapol dan keluarganya dicabut. Badan Koordinasi Keamanan dan
Stabilitas Nasional (Bakorstanas) lembaga pengganti Kopkamtib pada pemerintahan Presiden
Abdurrahman Wahid telah dibubarkan melalui Keppres No 38/2000. Dinas Sosial Politik
(Dissospol) lembaga sipil yang diberi otoritas melakukan proses "penelitian khusus"(litsus)
terhadap masyarakat sipil telah dihapuskan. Tetapi pergantian rezim ternyata bukan jaminan
bahwa praktik diskriminasi tidak lagi diberlakukan.
Perjuangan menuntut Rehabilitasi, Kompensasi, Restitusi, dan Penghapusan Diskriminasi Warga
negara Indonesia korban Tragedi 65/66 tidak pernah dihukum bersalah berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Setelah dibebaskan diperlakukan
secara diskriminatif.

61 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Rehabilitasi menjadi tuntutan utama bagi mantan tapol Tragedi 65/66 setelah beberapa tahun
dibebaskan tanpa kebebasan. Setelah terbentuknya lembaga yang menghimpun dan menyatukan
korban Tragedi 65/66 perjuangan menuntut rehabilitasi, kompensasi, restitusi dan menghapus
diskriminasi berjalan lebih terorganisasi.
Berbagai jalan dan cara telah ditempuh; 6 (enam) kali mengajukan permohonan kepada Presiden
RI, menemui Ketua MA RI, mengajukan gugatan class action kepada Pengadilan Negeri,
mengajukan pengujian (judicial review) terhadap Pasal-Pasal UU yang bertentangan dengan UUD
Negara RI 1945, membeberkan Tragedi 65/66 dalam sidang Komisi Tinggi HAM PBB, mengirim
surat kepada Sekjen PBB.

Hasil yang Bisa Dicapai

Perjuangan untuk menuntut rehabilitasi umum, kompensasi, restitusi serta penghapusan


diskriminasi cukup lama dan tak kenal lelah telah dilakukan; baik melalui lembaga korban sendiri
maupun dengan menggalang kerja sama dengan LSM dan semua pihak yang sama-sama
memperjuangkan terwujudnya demokrasi, kebenaran, keadilan dan HAM. Dan jerih payah yang
sudah dilakukan hasil yang bisa dicapai tidak bisa dikatakan tidak ada sama sekali. Tetapi memang
masih belum memenuhi harapan.

Persyaratan Rehabilitasi Umum

Dan hasil pertemuan antara delegasi mantan tapol Tragedi 65/66 yang dipimpin Sumaun Utomo,
Ketua Umum DPP LPR-KROB dengan Ketua MA RI (14/3/2003) maka Ketua MA RI mengirim surat
kepada Presiden RI tentang permohonan rehabilitasi Korban Tragedi 65/66. Kemudian disusul
surat Wakil Ketua DPR RI dan Ketua Komnas HAM kepada Presiden RI tentang masalah yang
sama. Dengan demikian rehabilitasi umum dengan adanya pertimbangan tersebut dilihat dari segi:

Hukum

Surat Ketua MA RI No KMA/403/VI/2003, 12/6/03, Perihal permohonan rehabilitasi.

Politik Surat Wakil Ketua DPR RI No KS.02/37.47/ DPR RI/2003

Sifat: Penting,
Derajat: Segera, 25/7/2003,

Perihal Tindak Lanjut surat MA RI.

Kemanusiaan

Surat Komnas HAM No 147/TUA/VII/ 2003, 25/8/2003,


Perihal Rehabilitasi terhadap para korban G30S/PKI 1965.

Surat Komnas HAM No 33/TUA/II/2005, 8/2/2005, Perihal Pemulihan mantan tahanan politik
yang dikaitkan dengan Peristiwa G30S/PKI
Maka tak ada alasan bagi Presiden RI untuk tidak menggunakan hak prerogatifnya menurut Pasal
14 ayat (1) UUD 1945 mengeluarkan Keppres Rehabilitasi Umum terhadap korban Tragedi 65/66.
Penghapusan Diskriminasi

Putusan MK RI, 24/2/2004

62 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Permohonan pengujian (judicial review) Pasal 60 huruf (g) UU No 12/2003 yang diajukan oleh DPP
LPR-KROB kepada MK RI (17/11/2003) yang sebelumnya masalah yang sama diajukan oleh Deliar
Noor dkk, menghasilkan: Putusan Perkara No 011-017/PUU- I/2003, 24/2/2004 yang menyatakan
bahwa Pasal 60 huruf (g) UU No 12/2003 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.

Dengan putusan ini hak politik korban Tragedi 65/66 telah dipulihkan dan hak kewarganegaraan
korban Tragedi 65/66 telah dikembalikan, yang selama 39 tahun telah dirampas secara sewenang-
wenang tanpa dasar hukum.
Sebagai warga negara korban Tragedi 65/66 tidak hanya sebagai pemilih aktif tetapi sekaligus
pemilih pasif. Akses untuk dicalonkan sebagai anggota badan legislatif baik di pusat maupun di
daerah terbuka. Putusan ini dinilai bersejarah, karena sebelum putusan diterbitkan sebagai warga
negara korban Tragedi 65/66 diperlakukan secara diskriminatif dan dikucilkan. Dampak dari
putusan MK RI ini beberapa peraturan yang diskriminasi dicabut, peraturan baruditerbitkan.
Permendagri No 28/2005 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk dan
Pencatatan Sipil di Daerah Pasal 16 ayat (5), KTP untuk penduduk WNI yang berusia 60 tahun ke
atas berlaku seumur hidup.

Pasal 74, dengan berlakunya Peraturan ini Peraturan Kepala Daerah mengenai penyelenggaraan
pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil agar disesuaikan.
Pasal 77 ayat (3), Permendagri No 1.A/1995 dinyatakan tidak berlaku.

Sebelum berlakunya Kep Mendagri No 24/1991 dan Permendagri No 1.A/1995. Mengenai


Kepmendagri No 24/1991 sesuai dengan surat jawaban Mendagri kepada DPP LPR-KROB
dinyatakan sudah diganti dengan Permendagri No 28/2005 (surat Mendagri No 474.4/874/MD,
27/3/2006).

Sejak terbitnya Permendagri No 28/2005 maka status kewarganegaraan korban Tragedi 65/66
setara dengan warga negara Indonesia lainnya. UU No 12/2006 tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia Asas yang digunakan UU No 12/2006 menganut asas persamaan dalam hukum
dan asas nondiskriminatif yang berhubungan dengan suku, ras, agama, golongan, jenis kelamin dan
jender.

Dengan diterbitkannya UU No 12/2006, UU No 62/1985 tentang Kewarganegaraan tidak berlaku


dan tidak ada lagi warga negara keturunan karena semua adalah WNI.
Penjelasan Pasal 2, bahwa yang dimaksud ?Bangsa Indonesia Asli? adalah orang Indonesia yang
menjadi WNI sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima ewarganegaraan lain atas kehendak
sendiri. UU No 12/2006 tidak mensyaratkan SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik
Indonesia) dan sejenisnya, cukup akta lahir.
Dengan demikian warganegara korban Tragedi 65/66 dari etnis apapun termasuk etnis Tionghoa
tidak didiskriminasikan. Pasal 42, warganegara Indonesia yang bertempat tinggal di luar wilayah
negara RI selama 5 (lima) tahun atau lebih tidak melaporkan diri kepada Perwakilan RI sebelum
UU ini diundangkan dapat memperoleh kembali kewarganegaraannya dengan mendaftarkan diri di
Perwakilan RI dalam waktu paling lambat 3 (tiga) tahun sejak UU ini diundangkan sepanjang tidak
mengakibatkan kewarganegaraan ganda.

63 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Sejak Putusan MK RI bahwa Pasal 60 huruf (g) UU No 12/2003 bertentangan dengan UUD 1945
dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (24/2/2004) maka terbit Permendagri No
28/2005 (5/7/2005) tentang Pedoman Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan
Sipil di Daerah dan UU No 12/2006 (1/8/2006) tentang Kewarganegaraan RI.
Tetapi masih ada peraturan yang diskriminatif belum dihapus seperti Keppres No 28/1975, Surat
Edaran No 02/SE/1975, Inmendagri No 10/1997. Utamanya yang bersangkutan dengan masalah
pelanggaran HAM berat yang terjadi 41 tahun yang lalu, Tragedi 65/66 belum ada upaya untuk
dituntaskan. Penghapusan diskriminasi hanya sebagian dari keseluruhan penyelesaian masalah
korban Tragedi 65/66, belum merupakan pemecahan secara esensiil.

Penyelesaian masalah korban Tragedi 65/66 ialah:

Negara harus mengakui bahwa Tragedi 65/66 adalah pelanggaran HAM berat oleh negara. Negara
harus minta maaf pada korban dan rakyat Indonesia. Penanggung jawab pertama dan utama harus
diadili.
Negara harus memenuhi hak korban seperti yang tertera dalam Konvenan PBB,yaitu rehabilitasi,
kompensasi, restitusi yang merupakan hak melekat pada korban tanpa mempermasalahkan
pelakunya teridentifikasi atau tidak. Negara harus menjamin bahwa peristiwa serupa seperti itu
tidak akan terjadi lagi.

Peraturan perundang-udangan sebagai landasan untuk menyelesaikan masalah korban Tragedi


65/66 sudah tersedia. Yang pasti, peraturan itu bukan sekedar hiasan pada lembar tumpukan
kertas. Pemerintah harus berlapang dada, menunjukkan kemauan baik dan niat yang sungguh-
sungguh.

41 tahun telah berlalu, nasib korban Tragedi 65/66 masih tak menentu. Teringat selalu kata-kata
mutiara Bung Karno (17 Agustus 1960), "Hak tak dapat diperoleh dengan mengemis, hak hanya
dapat diperoleh dengan perjuangan"

***
Sumber:http://sejarahsosial.org/ltp/2005/07/25/perempuan-korban-menggugat-senyap-
sebuah-catatan-pandangan-mata/

Perempuan Korban Menggugat Senyap: Sebuah Catatan Pandangan


Mata
Posted on 07/25/2005 by issi

Pada 24 Juli 2005 Lingkar Tutur Perempuan mendapat kehormatan menjadi saksi sejarah reuni
para perempuan korban Tragedi 1965 di Yogyakarta. Acara yang diberi nama ―Temu Rindu
Menggugat Senyap‖ ini berlangsung selama kurang lebih 5 jam tanpa ada gangguan yang berarti
dan membuka ruang pengungkapan kebenaran tentang salah satu tragedi kekerasan paling
berdarah di negeri ini. Di bawah ini adalah catatan pengamatan kami selama acara berlangsung.
Selamat membaca!
Membuka Ruang Jumpa dan Mengungkap Rasa

Sekitar pukul 10.00 pagi, hari Minggu, 24 Juli 2005, satu persatu hadirin memasuki pelataran
SMKI (Sekolah Menengah Karawitan Indonesia), Bugisan, Yogyakarta. Sebagian besar dari
mereka adalah perempuan lanjut usia yang berjalan perlahan dari pelataran parkir yang cukup luas

64 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

menuju meja penerima tamu. Mereka kemudian disambut oleh sejumlah perempuan muda, petugas
among tamu, dan dibimbing memasuki pendopo berukuran sekitar 20×20 meter. Di pendopo sudah
tergelar tikar-tikar untuk duduk lesehan dan tersedia pula belasan kursi untuk para perempuan
yang tidak bisa lagi duduk lesehan.
Para perempuan lanjut usia itu adalah korban tragedi 1965 yang berasal dari berbagai kota di
Jawa, antara lain Yogyakarta, Solo, Semarang, Purwokerto, Cilacap, Kebumen, Klaten, Boyolali,
Blitar, Surabaya, dan Jakarta. Mereka datang dengan bus-bus sewaan, kendaraan-kendaraan
pribadi, dan kereta api, ada yang dalam kelompok kecil, ada pula yang diantar bapak-bapak korban
dari daerah masing-masing. Para ibu ini, yang tertua diantara mereka berusia 96 tahun, hadir
tanpa embel-embel organisasi, baik organisasi di masa lalu maupun di masa sekarang. Mereka
hanya punya satu tujuan: berjumpa teman-teman yang telah bertahun-tahun terpisah.
Begitu para ibu ini berjumpa dengan kawan-kawan lama, untuk beberapa saat yang tampak dan
terdengar hanyalah mereka yang berpelukan erat, hamburan pertanyaan bercampur tangis, ujaran
lega bersahut-sahutan dalam bahasa Jawa pun Indonesia, dan sentuhan hangat di wajah dan
bagian tubuh masing-masing untuk memastikan bahwa kawan yang dihadapi memang hadir dalam
kenyataan.

Di tengah keriuhan ungkapan rasa rindu, puluhan perempuan muda seperti terhenyak. Mereka yang
bertugas sebagai among tamu tidak tahu persis harus berbuat apa selain menyaksikan perjumpaan
bersejarah ini dengan rasa haru. Sehari sebelumnya kawan-kawan muda yang berasal dari jaringan
Syarikat Indonesia dan fakultas psikologi beberapa universitas di Yogya mengikuti lokakarya
Trauma Healing yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Sejarah dan Etika Politik (Pusdep) di
Universitas Sanata Darma. Beberapa dari mereka sudah pernah bertemu dengan korban tragedi
1965 dalam kegiatan-kegiatan sosial Syarikat yang bertujuan mewujudkan rekonsiliasi antara para
korban dan pelaku, khususnya dari kalangan warga Nahdlatul Ulama (NU). Tapi ada juga yang baru
pertama kali bertemu muka dengan para korban. Tak terbayangkan sebelumnya bahwa suasana
pertemuan akan menjadi sedemikian cair dan mengharukan!
Menjelang pukul 11.00, lebih dari 300 perempuan lanjut usia sudah memenuhi pendopo, sedangkan
di sisi-sisi pendopo berkumpul bapak-bapak dan hadirin lain yang diundang panitia. Para eks-tapol
LP Plantungan segera saja berkumpul di sudut kanan belakang pendapa saling berpeluk-cium,
menitikkan air mata, sambil mensyukuri,―Oalah…kowe ki isih urip to. Tak daraki wis mati!‖ (Oalah
kamu ini masih hidup to. Aku kira sudah mati!). Lalu, mereka saling bertukar kabar singkat tentang
kehidupan masing-masing selepas pengasingan. Sejak pembebasan massal 1978/79, ini adalah kali
pertama mereka bisa berkumpul kembali. Seorang perempuan eks-Plantungan memberi tahu
rekan-rekannya, ia sekarang sudah punya tiga anak. Rekan-rekannya terharu. Mereka tak
menyangka si ibu masih bisa melahirkan anak setelah mengalami penyerangan seksual selama masa
interogasi. Sementara itu, istri-istri dan anak-anak eks-tapol yang tak punya teman khusus yang
ingin mereka jumpai mendapat pengalaman baru berjumpa langsung dengan perempuan-perempuan
yang selama ini hanya mereka dengar namanya lewat cerita. ―Senang berjumpa banyak teman
senasib,‖ kata seorang ibu.
Acara resmi dibuka dengan sepatah kata dari 2 pembawa acara, Bondan Nusantara, seniman
ketoprak dari Bantul yang juga anak korban, dan Ruth Indiah Rahayu (Yuyud), salah satu aktifis
Lingkar Tutur Perempuan dari Jakarta. Mereka menjelaskan maksud diadakannya acara ini dan
mempersilakan panitia memberikan sambutan. Berturut-turut ketua panitia acara, Ibu
Sumarmiyati, eks-tapol dari Yogyakarta, dan Imam Aziz, ketua Syarikat Indonesia, menyampaikan
65 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

ucapan selamat datang singkat. Setelah acara formal dibuka, ibu-ibu lansia secara bergantian
membacakan puisi dan menyanyi dengan iringan permainan organ tunggal bersama dengan seorang
penyanyi perempuan muda. Lagu-lagu yang didendangkan, keroncong dan pop, kebanyakan berasal
dari periode 60an. Ada pula seorang simbah mempersembahkan tembang Jawa dengan suara yang
masih merdu. Kami duga dulu pastilah suaranya jauh lebih bagus. Mungkin ini untuk pertama
kalinya sejak puluhan tahun ia nembang lagi di depan umum. Beberapa anak korban juga mendapat
kesempatan membacakan puisi. Pada saat makan siang kelompok ketoprak Mas Bondan
menampilkan sebuah fragmen tentang tragedi 1965. Sayang sound system kurang memadai untuk
gedung seluas pendopo itu sehingga ucapan-ucapan para pemain kurang terdengar. Ditambah lagi
dengan riuhnya suara ibu-ibu yang asyik ngobrol dengan kawan-kawannya.

Yang paling menarik dari rangkaian acara kesenian ini adalah ketika sang penyanyi profesional
membawakan lagu Jawa yang cukup rancak sehingga ibu-ibu tergerak untuk berjoget! Siapa
anggota Gerwani atau yang dicap Gerwani masih berani menari dan menyanyi di acara-acara publik
setelah geger 65? Ada seorang ibu pemeran Petruk di LP Bulu yang ‗memprovokasi‘ ibu-ibu lain
untuk joget. Lalu, muncul ibu pemeran Gareng yang asyik dengan gaya jogetnya yang kocak.
Tampak bagaimana beberapa ibu yang memang penari masih lentur melenggak-lenggok gaya
tradisional. Spontan kawan-kawan muda dari pasukan among tamu bergabung dengan para ibu yang
sedang asyik berjoget. Sungguh suatu pemandangan yang mengundang tawa sekaligus rasa lega!
Sambil menyaksikan ibu-ibu menari dan berjoget di pendapa SMKI kami berusaha memahami
bagaimana para perempuan ini merepresi ekspresi seninya selama ini. Kami dengar banyak diantara
para ibu yang hadir dulunya adalah aktivis Lekra (Lembaga Kesenian Rakyat) atau setidaknya tidak
pernah ketinggalan ikut dalam acara-acara kebudayaan di tingkat kampung. Tapi, seperti
diungkapkan seorang ibu: siapa yang bisa melarang kecintaan pada seni? Di LP Bulu Semarang di
mana ia pernah ditahan, para tapol perempuan tetap ketoprakan, biarpun yang menonton hanya
warga LP. Karena tinggi tubuh dan mancung hidungnya, ia selalu diposisikan sebagai Petruk. Carmel
Budiardjo juga menceritakan dalam bukunya bagaimana para tapol di LP Bukit Duri diam-diam
menghibur diri dengan ketoprak.
Acara tidak terpusat di pendopo saja. Para ibu tidak henti-hentinya mencari kawan-kawan
mereka, berjalan dari satu sisi pendopo ke sisi lainnya, berbincang-bincang, berkelompok di
bagian-bagian lain seluruh areal SMKI. Ketika salah satu dari kami antre memakai kamar kecil,
seorang perempuan setengah baya menghampiri seorang perempuan tua bertubuh pendek agak
gemuk dengan rambut sudah memutih semua. Si perempuan setengah baya memegangi pundak si
ibu tua sambil berkata dalam bahasa Jawa yang artinya kira-kira seperti ini, ―Ibu masih ingat
saya? Saya……(menyebut namanya). Saat di Plantungan dulu saya masih semuda mbak ini (sambil
menunjuk ke arah penulis)‖. Si ibu tua langsung memegang pipinya dan berusaha memastikan
kebenaran ucapannya, ―Apa iya kamu itu? Kok beda sekali. Wah, kamu juga masih hidup ya?‖ Lalu
si perempuan setengah baya bercerita tentang perempuan lain yang menurutnya sudah mati.
Mereka berdua lantas berpelukan dan bertangisan.
Mereka juga berusaha mengenal kawan-kawan muda yang bukan korban maupun anak korban dan
menceritakan pengalaman mereka. Seorang ibu yang berasal dari Semarang, bertanya kepada
penulis, ―Anak ini putra korban yang tinggal di daerah mana?‖ Ketika penulis menjawab bukan anak
korban, ia berkata, ―Oh…syukurlah kalau begitu‖. Lantas ia bercerita bahwa dia adalah isteri
tentara yang ditembak mati. Si ibu ini hidup bersama enam anaknya. Saat suaminya ditangkap,
anak terbesar masih kelas 4 SD sementara anak terkecilnya berusia 1 bulan. Rumahnya hampir

66 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

saja dibakar massa yang juga tetangga-tetangga sekitarnya. Ia berusaha bertahan bersama
keenam anaknya, tidak keluar dari rumah tsb. Akhirnya, massa tidak jadi membakar rumahnya. Ia
berujar, ―Pokoknya, peristiwa 1965 itu kejam sekali, tentara itu kejam sekali, tidak punya
perikemanusiaan‖. Lalu ia menunjuk ke seorang ibu berkulit hitam, bertubuh pendek dengan
punggung tampak membungkuk, sambil berucap, ―Ibu itu badannya habis disiksa. Ya diperkosa
berkali-kali dan punggungnya dipukuli dengan bambu hingga hancur. Habis paling tidak satu bambu
hancur untuk memukuli punggung ibu itu‖. Lantas ia melanjutkan beberapa cerita yang cukup
menggetarkan hati. Ia pun menutup kisahnya dengan ungkapan, ―Ibu ini cukup beruntung karena
tidak mengalami hal itu. Ibu hanya harus berusaha apa saja agar anak-anak bisa hidup dan terus
sekolah‖.

Acara kesenian yang berlangsung kurang lebih 2 jam diakhiri dengan sambutan ibu-ibu mewakili
delegasi dari kota masing-masing. Selain memperkenalkan diri, ibu-ibu ini juga menyatakan
keinginan mereka untuk berkumpul lagi dan membicarakan soal-soal yang berkenaan dengan
masalah mereka sebagai korban. Kalau dalam bahasa ibu-ibu dari Solo, ―Ini nanti kesimpulannya
apa, mbak?‖ Kami hanya bisa menyampaikan bahwa bukan kami yang akan membuat ‗kesimpulan‘
tetapi ibu-ibu korban sendiri. Diantara ibu-ibu wakil daerah ini juga ada yang menyampaikan
kesaksian agak panjang tentang penderitaan yang dialaminya. Ibu-ibu memang masih butuh banyak
ruang untuk menuturkan pengalaman hidupnya.
Dua kawan dari kelompok non-korban, Ita F. Nadia dari Komnas Perempuan dan Atnike Sigiro dari
Lingkar Tutur Perempuan juga diminta memberikan sambutan singkat sebagai wakil dari generasi
muda. Tiga hal yang ditekankan kedua kawan ini adalah: pertama, bahwa tragedi 1965 bukan hanya
persoalan korban tragedi itu sendiri tetapi juga persoalan kita semua sebagai bangsa. Kedua,
pentingnya bagi generasi muda untuk memahami pengalaman para pendahulunya baik sebagai
korban maupun sebagai orang-orang yang aktif dalam pergerakan supaya tumbuh suatu kesadaran
sejarah baru yang lebih sehat. Dan yang terakhir, perlunya korban dari berbagai kasus dan
periode untuk bertemu dan bertukar pikiran agar ada pemahaman bersama tentang kejahatan
yang dilakukan rejim Orde Baru terhadap rakyatnya.
Kurang lebih pukul 2 siang pembawa acara memutuskan untuk menutup acara. Ibu-ibu yang sudah
sangat lanjut usianya mulai tampak kelelahan, dan rombongan dari luar Yogyakarta harus segera
pulang agar tidak kemalaman di jalan. Ibu-ibu kemudian memimpin acara penutupan dengan
membentuk lingkaran yang terbentuk dari jajaran para korban dan anak-anak muda yang saling
bergandengan dan menyanyikan lagu-lagu perpisahan. Sulit untuk sama sekali menghentikan acara
karena ibu-ibu dan kawan-kawan muda tak putus-putus berdendang. Nyanyian baru sama sekali
berhenti ketika seorang kawan muda dari jaringan Syarikat tiba-tiba jatuh pingsan. Iin, begitu ia
biasa dipanggil, adalah putri seorang anggota Banser dari Kebumen yang pernah terlibat dalam
pembantaian orang-orang yang dianggap terlibat G30S. Sejak ia bergabung dengan Syarikat ia
ikut mendampingi para perempuan korban tragedi 1965. Anak yang pada dasarnya penggembira
dan ramah ini rupanya tak tahan menanggung rasa bersalah setiap kali ia mendengarkan kisah-
kisah korban yang memang memilukan.
Segera para ibu yang asyik bernyanyi menghampiri Iin yang sudah siuman dan menangis
sesenggukan di pelukan Hersri Setiawan, sastrawan dan eks-tapol Pulau Buru. Ibu-ibu ini
menghibur Iin dengan mengatakan bahwa bukan dia yang harus bertanggung jawab terhadap
tragedi di masa lalu itu. Seorang ibu dari Blitar mengatakan, ―Sudah jangan menyalahkan diri

67 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

sendiri. Yang penting sekarang kamu tahu bahwa kami-kami ini bukan pelacur, perempuan bejat
yang membunuhi para jendral.‖

Kejadian ini membuat kami berpikir lebih jauh tentang peliknya soal berbagai upaya pengungkapan
kebenaran, rekonsiliasi dan pemulihan di tingkat akar rumput. Dalam wacana pelanggaran HAM
kita berpegang pada kategori-kategori ‗korban‘ dan ‗pelaku‘ sementara di luar kategori-kategori
itu ada anggota keluarga, sanak saudara, yang mungkin tidak tahu menahu atau tidak mau tahu
tentang pengalaman ‗korban‘ dan ‗pelaku‘. Seperti yang dialami kawan-kawan dari Syarikat, mereka
pun harus dipersiapkan untuk menghadapi kenyataan sejarah yang paling pahit dalam kehidupan
mereka agar ketika kita bicara tentang rekonsiliasi menjadi jelas siapa yang sesungguhnya perlu
berdamai dengan apa/siapa.

Kisah di Balik Ruang Jumpa


Gagasan acara ―Temu Rindu Menggugat Senyap‖ muncul di kalangan para ibu eks-tapol di
Yogyakarta sejak beberapa bulan lalu. Mereka kemudian membentuk panitia yang diketuai Ibu
Sumarmiyati (Bu Mamiek) dengan koordinator acara Bondan Nusantara. Kepanitiaan jadi meluas
dengan terlibatknya kawan-kawan dari kelompok Syarikat dan jaringannya, serta para peneliti
dari Pusdep Sanata Dharma. Sejak awal panitia ini sudah sepakat bahwa acara akan dilangsungkan
tanpa perlu mengatasnamakan satu kelompok/organisasi korban atau kepentingan politik tertentu.
Tujuan pertemuan semata-mata membuka ruang bagi para ibu untuk saling melepas kangen dan
mengatasi ketakutan berbicara. Banyak perempuan korban yang baru mulai bangkit dari
kesenyapan panjang sehingga panitia tidak mau membebani acara ini dengan terlalu banyak
agenda.

Awalnya yang berniat untuk bertemu hanya perempuan-perempuan korban dari Yogyakarta saja
dan jumlah yang diperkirakan hadir 150 orang. Ternyata, berita menyebar sampai ke daerah-
daerah lain dan mendapat sambutan luar biasa. Sampai satu hari sebelum acara diperoleh kabar
akan ada 300 orang yang hadir. Kenyataannya, jumlah ibu-ibu yang datang, berikut para pengantar
dan hadirin lainnya, mencapai 500 orang. Beberapa petugas among tamu harus berbagi satu nasi
bungkus dengan 2-3 kawan lain untuk menahan rasa lapar. Untunglah ibu-ibu yang mengurus
konsumsi cukup sigap bergerak sehingga baik peserta maupun panitia akhirnya bisa menikmati
hidangan makan siang dengan menu sederhana.

Menariknya, dalam mempersiapkan acara panitia tidak menghadapi hambatan yang berarti dari
pihak penguasa, tapi justru dari kelompok-kelompok lain yang ingin menggunakan kesempatan ini
untuk agenda politik tertentu. Bahkan sempat beredar proposal acara dengan nilai dana yang jauh
berbeda dan menimbulkan kebingungan di kalangan pihak-pihak yang sudah bersedia membantu
kelangsungan acara ini. Dari kedua pembawa acara, Bondan dan Yuyud, didapat juga cerita di balik
panggung. Ada tetamu tertentu yang hadir begitu terkesan melihat besarnya jumlah perempuan
yang hadir dan ingin ‗memberi arahan politik‘ versi masing-masing. Para tamu ini meminta waktu
khusus dari MC tapi setelah berkonsultasi dengan panitia diputuskan bahwa waktu diutamakan
untuk para ibu-ibu untuk mengungkapkan keinginan mereka, apa pun bentuknya. Di sini lah
kebijaksanaan Bu Mamiek sebagai ketua panitia, dan Syarikat sebagai penyelenggara di lapangan
patut diberi acungan jempol sehingga tidak terjadi ketegangan yang merusak suasana.

Setelah acara usai, panitia berkumpul untuk membicarakan kesan-kesan yang diperoleh dan
merencanakan kegiatan selanjutnya. Dari catatan kesan dan pesan yang ditulis di secarik kertas
yang diedarkan panitia disimpulkan bahwa para perempuan korban ingin agar acara seperti ini

68 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

diadakan kembali, paling tidak setahun sekali. Bagi mereka, acara ini sangat berarti terutama bagi
mereka yang sudah sakit-sakitan dan berusia sangat lanjut. Bahkan, saat panitia mengontak
beberapa perempuan yang akan hadir di acara ini, ada sekitar 4 orang yang sudah meninggal
walaupun saat kontak pertama kali (hanya berselang 2 bulan sebelumnya) mereka masih hidup.
Beberapa kawan yang baru pertama kali bertemu korban mengungkapkan kelegaannya karena para
ibu ternyata tidak mencurigai mereka dan bersedia berbincang-bincang dengan hangat. Memang
tidak semua ibu dengan serta merta mau bercerita; banyak dari mereka yang hanya ingin melepas
rindu dengan kawan-kawan mereka di penjara dahulu. Tapi paling tidak dengan bertemu kawan-
kawan muda ini para ibu menjadi lebih percaya diri bahwa kisah bohong tentang kejahatan mereka
yang diciptakan Orde Baru akan mendapat sanggahan justru dari generasi muda.

Kami juga membicarakan kemungkinan membuka ruang-ruang yang lebih kecil di wilayah yang
berbeda-beda dimana ibu-ibu bisa mencurahkan isi hatinya, menuturkan pengalaman hidup yang
selama ini mereka tutup rapat. Kegiatan ini sebenarnya sudah dimulai oleh jaringan Syarikat dan
Lingkar Tutur Perempuan di berbagai kota. Tapi diperlukan lebih banyak lagi ruang-ruang
bercerita untuk perempuan korban. Selain untuk keperluan pemulihan dan penguatan bagi korban,
ruang-ruang seperti ini akan membantu generasi muda merekonstruksi sejarah gerakan
perempuan yang digelapkan selama ini.

Dari acara di Yogya ini kami juga bisa melihat bagaimana kesenian menjadi sangat penting bagi
proses pemulihan dan penguatan. Sebagian besar korban bercerita bahwa di masa sebelum tragedi
1965 terjadi mereka terlibat dalam berbagai kegiatan kesenian di tingkal lokal sampai nasional.
Ketika mereka di penjara kegiatan kesenian pula yang membuat hari-hari mereka terasa lebih
ringan. Kiranya inilah tugas organisasi-organisasi korban dan kemanusiaan untuk membayangkan
kegiatan-kegiatan kesenian serupa apa yang bisa menjadi medium pertemuan berbagai kalangan
untuk membicarakan tragedi ini.***

Yogyakarta, 25 Juli 2005

Tim Penulis Lingkar Tutur Perempuan


Ayu Ratih
B.I. Purwantari
Th. J. Erlijna

http://www.jawapos.co.id/mingguan/index.php?act=detail&nid=157122
[ Minggu, 26 September 2010 ]

Stigmatisasi dan Narasi Sejarah 1965


TRAGEDI 1965 berlalu, ingatan tak menghilang, trauma masih tersisa, dan stigma terus
menghantui. Sejarah berdarah itu memang luka besar, aib untuk Indonesia. Kita mengenang

69 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

dengan gambaran tentang kekerasan, penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan. Gambaran buruk,
kelam, hitam ditampilkan Orde Baru dalam produksi buku sejarah, buku pelajaran, film, pidato,
atau penataran. Propaganda Orde Baru ingin membuat ''hitamnya hitam'' PKI, kendati harus
mengorbankan jutaan orang: dipenjara, diasingkan, didiskriminasikan, atau dimatikan.
Episode arogansi Orde Baru secara politik berakhir, tapi model sebaran dan internalisasi stigma
atas peristiwa 1965 masih mengendap dalam diri masyarakat. Stigma seolah mau diabadikan.
Segala bentuk penghitaman disahkan melalui represi ingatan. Politik-militer dijadikan sumber
untuk memunculkan pendefinisian pelaku, korban, dalang, atau pahlawan. Peristiwa 1965 mirip
pementasan teater. Jadi, perhitungan tokoh, alur, konflik, atau latar memang sengaja ditampilkan
pemilik otoritas tertinggi atas nama dominasi kekuasaan. Orde Baru berhasil memanipulasi teater
sejarah itu dengan menakjubkan sekaligus mengenaskan.
Jejak-jejak sejarah kelam, ulah Orde Baru, konsekuensi indoktrinasi atas ingatan sejarah
mendapatkan penjelasan apik dan kritis dalam buku Kuasa Stigma dan Represi Ingatan garapan Tri
Guntur Narwaya. Buku ini tidak dimaksudkan sebagai kajian sejarah. Penulis sekadar menempuhi
''jalan sejarah'' untuk menguak pelbagai manipulasi sejarah oleh rezim Orde Baru. Sorotan
hermeneutika digunakan dengan kemauan mencari terang tafsiran, menyingkap dominasi politis,
dan penyadaran atas pelbagai kepalsuan sejarah.

***
Penulis mengingatkan, publik selama ini terpaku pada puncak kisah pembunuhan dan kudeta pada
peristiwa 1965. Padahal, itu sekadar bagian kecil dari narasi besar sejarah. Pandangan tersebut
seolah mengabaikan episode-episode lanjutan usai tragedi. Produksi stigma atas para anggota dan
simpatisan PKI menjadikan mereka menanggung dosa sejarah selama puluhan tahun. Orde Baru
sengaja menciptakan mitos, membangun monumen, dan menulis ''sejarah resmi'' untuk menghabisi
PKI. Represi ingatan pun dilakukan untuk menjamin lakon politik Orde Baru. Narasi-narasi
tandingan dibungkam, dihancurkan, dan dipinggirkan dengan dalih subversi, anti-Pancasila, atau
anti-NKRI.
Monopoli sejarah berlangsung sejak Orde Baru dilahirkan dan setelah kejatuhan. Hari ini kita
masih merasa segala stigma dan represi ingatan, kendati haluan politik berubah dan penyadaran
ideologis digulirkan dengan spirit reformasi. Kondisi ganjil itu membuat penulis mengajukan
perspektif hermeneutik untuk menggenapi, mengimbangi, mengkritisi pelbagai kajian tentang
tragedi 1965. Kerja atau model penafsiran sejarah tersebut diacukan pada kegelisahan, empati,
dan motivasi ilmiah atas problem korban arogansi-politik Orde Baru. Penulis menginginkan riset
(kerja penelitian) tidak sekadar memenuhi hasrat akademik, tapi sanggup mengantarkan orang
untuk menyentuh realitas sosial. Interpretasi kritis pun mesti disadari bakal dihadapkan pada
politik kepentingan dominan. Kutipan atas pemikiran Paul Ricouer merepresentasikan spirit buku
ini: ''Interpretasi selalu akan membuka ruang untuk perbedaan dan konflik.''
***
Pergumulan tafsir memerlukan penelisikan dan pembongkaran ideologi. Penulis mendasarkan
analisis ideologi dengan memakai konsepsi besar John B. Thompson dalam mengolaborasi pelbagai
ideologi mutakhir. Mekanisme sebaran dan penanaman ideologi oleh Orde Baru dibongkar dengan
sasaran untuk mengetahui stigmatisasi atas para korban, PKI, dan komunisme. Jadi, kerja
tafsiran ada dalam pelbagai tahap dan memerlukan kejelian. Penulis mesti bergulat untuk memilih,
memilah, dan menilai pelbagai data. Hasrat pembongkaran ideologis itu bisa terepresentasikan
melalui model kebijakan, pengetahuan publik, dan permainan simbol.
70 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Contoh pelik dari ketegangan tafsir adalah pemunculan simbol palu dan arit. Simbol itu terus
termaknai secara politik, identik dengan ulah PKI, kudeta, juga menandai kebangkitan komunisme.
Jadi, bentuk pelarangan buku dan aksi kekerasan gara-gara penggunaan simbol palu dan arit biasa
terjadi setelah kejatuhan rezim Orde Baru. Dominasi ideologi dan stigmatisasi terjadi dalam
pembacaan dan tafsir simbol. Thompson menjelaskan bahwa konsep ideologi menunjukkan usaha
mobilisasi makna. Simbol jadi lahan pertarungan untuk kepentingan dominasi atas segala resistansi
dalam tafsir dan tindakan. Ungkapan dari Kathryn Tanner bisa jadi acuan: ''Sejarah penafsiran
adalah sejarah pergulatan.''
***
Buku ini seolah ingin menarik pembaca pada pergulatan intim dalam membaca dan menafsirkan
narasi besar sejarah 1965. Dominasi politik Orde Baru kentara memberikan efek ideologis
mendalam, efek berkepanjangan, dan menghuni dalam bawah sadar publik kendati rezim berganti.
Baskara T. Wardaya dalam pengantar menjelaskan: ''Jika korban pembunuhan masal mencapai
sekitar setengah juta orang, buku ini mengingatkan kita bahwa stigmatisasi itu korbannya lebih
banyak dan kurun waktunya lebih panjang.'' Jadi, buku ini bisa menjadi pemicu penyadaran untuk
menilik ulang cara membaca dan menafsirkan tragedi 1965 dan ulah Orde Baru.

Stigmatisasi adalah model penghancuran dan pembinasaan sistematis. Kita kerap mengabaikan itu
karena indoktrinasi Orde Baru, represi politik, dan keburaman ingatan. Metafor komunis, orang
kiri, Gestapu telah menciptakan gambaran kejam dalam sejarah Indonesia. Pemaknaan politis oleh
Orde Baru membuat kita terjebak pada stigmatisasi dengan pamrih ideologis. Buku ini menyapa
kita untuk mengoreksi, mengkritisi, dan mengubah tafsiran agar ada pemahaman komprehensif
tentang sejarah 1965 dan efek-efek lanjutan. Buku ini mengingatkan kita untuk peka sejarah dan
melawan tafsir dominasi ideologis. Begitu. (*)

*) Bandung Mawardi , pengelola Jagat Abjad Solo

Judul Buku: Kuasa Stigma dan Represi Ingatan


Penulis : Tri Guntur Narwaya
Penerbit: Resist Book, Yogyakarta
Cetakan: September 2010
Tebal: xlii + 250 halaman

PERINGATAN 1 OKTOBER SEBAGAI HARI TRAGEDI NASIONAL


Teman-teman,

Membaca secuwil tulisan Ikranegara di bawah ini, saya jadi ingat peribahasa Indonesia
yang berbunyi: ―Tungau diseberang lautan kelihatan, gajah di pelupuk mata nggak
nampak‖. (tungau=mite that infests fowls, mite).Saya rasa, begitulah keadaan si ―penulis terkenal‖
Ikranegara itu. Begitu lamanya tertidur kemudian mimpi untuk menulis hal-hal yang barangkali

71 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

bisa dihembus-hembus dengan harapan untuk bisa menjadi api besar menyala membakar
kesana kemari. Yang bermain dalam pikiran dan kayalan beliau yang dikembangkannya menjadi
propaganda picisan itu tidak lain adalah kejelekan komunis. Seperti saya katakan diatas, gajah di
pelupuk matanya, nggak kelihatan.
Matanya tertutup dan hatinya buta akan kebenaran sejarah . Si penulis, penyair, penyajak, ahli
reklame dan propaganda yang punya ambisi mengatasi propaganda Suharto ini, nampaknya tidak
pernah baca apalagi mempelajari sejarah. Mata dan hatinya buta akan kebenaran. Yang ada dalam
kepalanya cuma kejelekan dan kebencian akan komunis. Memang ada baiknya-dan juga ada tidak
baiknya-ucapan pak Asahan yang mengatakan: ‖……biarkan Ikranegara teriak-teriak dengan
tulisan-tulisan anti Komunisnya ke media manapun yang dia sukai. Dengan demikian dia akan mudah
dicatat dan diingat sejarah dan juga ditelanjangi isi otaknya yang berpihak pada fitnah dan
kebohongan durjana kaumnya suharto dan orbanya yang kadang-kadang pura-pura dia cela. Siapa
yang tidak tahu gerombolan pengarang anti Komunis sejenis Ikranegara di masa lalu. Menghadapi
Ikranegara tidak sulit dan kadang-kadang juga tidak perlu‖. Mengapa saya katakan ada baiknya
ucapan pak Asahan itu? Karena Ikranegara kan seniman Manikebu, tentunya sudah tua, dan
sebentar lagi tentu mati sendiri! Jadi biarkan saja!

Namun saya pikir, ada juga tidak baiknya membiarkan propaganda itu karena mengingat sifat
bangsa kita yang pelupa akan sejarah, propaganda picisan Ikanagara itu bisa saja dianggap benar
oleh fihak-fihak yang malas mempelajari kebenaran sejarah. Seperti segala fitnah dan rekayasa
Suharto tentang komunis tahun 1965. Karena fitnah dan rekayasa itu disiarkan berulang-ulang
siang malam pagi sore selama 32 tahun, bagi orang-orang yang tidak mau repot-repot menggali
kebenaran sejarah, menganggap bahwa apa yang dipropagandakan rezim Suharto itu sebagai suatu
kebenaran. Maka terciptalah pembodohan massal oleh rezim Suharto. Semua cuma ―inggih ndoro‖
dan ―nrimo ing pandum‖.

Justru inilah yang menjadi isi pikiran ―yang terhormat‖ seniman Ikranegara. Dengan
propagandanya, dia mencoba membuat rakyat terutama generasi muda bangsa menjadi malas
menyelidiki sejarah, cuma ―nrimo pandum‖ sebodo amat, dan cuma meng-amini dan menjadi buta
seperti Ikranegara sendiri, yang bisa melihat tungau di seberang lautan tapi tidak bisa melihat
gajah di pelupuk matanya.

Kalau saja, (saya ulangi: kalau saja) Ikranegara mau membaca dan mempelajari sejarah tentang
bagaimana dan berapa banyak orang komunis yang dibunuh oleh kaum reaksioner anti komunis dan
anti Sukarno, barangkali pikirannya bisa menjadi jernih. Sebagai contoh, kalau memang
Ikranegara mau belajar sejarah, beliau mesti tahu bahwa begitu berdiri Dewan Banteng/PRRI di
Sumatra tahun 1958, semua pimpinan dan anggota komunis ditangkap dan dimasukkan ke dalam
tahanan di seluruh tempat dan kota di seluruh Sumatra Barat, padahal orang-orang komunis
itu tidak berbuat apa-apa. Hal ini disebabkan karena kecemburuan politik, di mana PKI menang
dan masuk menjadi partai besar ke-4 dalam Pemilu 1955. Dalam tahanan, orang-orang komunis
yang tanpa salah itu disiksa dengan berbagai cara. Wanita-wanita muda yang ditahan diperkosa,
dipaksa mengandung anak-anak haramnya para militer dan pejabat PRRI dalam rahim mereka. Dan
ribuan mereka yang ditahan oleh PRRI mengalami akhir nasib yang sangat mengenaskan,
diberondong dengan senapan-mesin, dibakar dan dibulldozer, didorong kedalam lobang besar yang
digali sebelumnya dan ditimbun oleh tentara PRRI. Ini terjadi hampir di setiap desa dan kota di
Sumatera Barat, seperti di Simun, Situjuh, Atar, Gunung Sago dan banyak tempat lainnya. Sampai

72 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

hari ini, kalau mau mencari dan menyelidiki, masih ada saksi hidup yang bisa bicara tentang
peristiwa kebiadaban di Sumatera Barat ini.

Kemudian di tahun 1965, Jenderal Suharto yang meneruskan cita-cita dan praktek PRRI yaitu
anti Komunis dan Anti Sukarno, menggunakan para perwira muda Angkatan Darat yang tergabung
dalam apa yang disebut G30S, menghabisi lawan-lawannya yaitu 6 jenderal yang enjatuhkankannya
dari kedudukan sebagai Pangdam VII Diponegoro di tahun 50-an karena kejahatan kriminal yaitu
penyelundupan yang dilakukannnya. Dengan merekayasa dan memfitnah bahwa G30S itu
sepertinya dilakukan oleh PKI (ucapan Yogasugama di pagi hari 1 Oktober 1965), Jenderal
Suharto dengan licik menggunakannya untuk membakar semangat segolongan massa. Dengan
dibredelnya semua surat kabar dan media-massa kecuali Harian Angkatan Bersenjata dan Berita
Yudha (Koran Militer), maka rakyat tidak bisa mendapatkan informasi yang benar dan dipaksa
menerima dan menelan ―kebenaran‖ dari apa yang dikarang dan disiarkan oleh Angkatan Darat dan
antek-antek imperialis. Rakyat dibutakan matanya, tidak bisa mencari kebenaran. KAMI/KAPPI
yang dibentuk dan menjadi alat imperialis AS menjadi tenaga demonstrator yang besar yang
setiap harinya dijatah 5000 nasi bungkus lengkap dengan lauk pauknya dan jaket
kuning dari kedutaan Amerika, bertindak sebagai alatnya Suharto untuk membela dan
mengembangkan rekayasa dan fitnah yang diciptakan, demi tujuan Suharto menuju singgasana
kekuasaan.
Dengan alasan G30S, dengan alasan pembunuhan keji atas 6 jenderal, Suharto dengan dibantu
oleh Sarwo Edhi Wibowo (bapak mertuanya SBY), Sumitro, Sudomo, Kemal Idris, Yasir Hadibroto
dan para jenderal serta petinggi Angkatan Darat lainnya, dengan massa yang dijadikan sebagai
anjing pelacak AD, menyalahgunakan rasa keagamaan untuk menghasut dan menanam kebencian
terhadap komunis, dan melakukan pembunuhan massal atas bangsa Indonesia yang tak berdosa
dan tak tahu apa-apa. Diseluruh bumi persada darah rakyat tumpah. Pembantaian sadis terjadi di
mana-mana atas orang yang dituduh komunis. Mereka dilenyapkan, dihabiskan, ditahan tanpa
peradilan bahkan sampai mati, dibuang ke pulau Buru, wanita-wanita muda diperkosa beramai-
ramai kemudian dibunuh. Sungai-sungai, selokan dan paya-paya penuh dengan mayat-mayat tak
berkepala. Rumah dan gedung-gedung milik orang-orang yang dituduh komunis, dirampas dan
dijarah oleh militer dan komando aksi.

Para Mahasiswa yang dikirim belajar ke luarnegeri, para duta dan perwakilan Indonesia, dicabut
paspornya hingga mereka menjadi orang yang kleleran dan mencari-cari gantungan di negeri asing.
Semua ini dilakukan Suharto demi menghabiskan kaum komunis sebagai pengikut-pengikut Sukarno
. Dan setelah para pendukung Sukarno yang setia ini semua habis dan dilumpuhkan, sasaran
Suharto selanjutnya adalah Sukarno. Suharto dengan licik berhasil menahan dan secara perlahan-
lahan membunuh Sukarno. Presiden dan Bapak Bangsa Indonesia, Penemu dan Pejuang
Kemerdekaan, Bapak Pancasila dan Peyambung Lidah Rakyat Indonesia. Sukarno mati di tangan
perwira Angkatan Darat yang pernah diselamatkannya! Kemudian manusia militer fasis Suharto ini
melenggang masuk ke Istana Merdeka, jadi presiden mengangkangi Indonesia selama 32 tahun,
dengan topangan bedil dan bayonet (AD) serta dukungan partainya yaitu Golkar. Rakyat dibikin
bodoh dan tidak bisa atau berani berpikir karena diancam dengan tuduhan murahan yaitu ―PKI‖,
sehingga sampai 7 termen Suharto menjadi calon tunggal dan menjadi presiden, seolah-olah
jutaan bangsa Indonesia semua bebal, goblok, dan dungu nggak ada yang pinter dan bisa menjadi
presiden selain Suharto!

73 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Mestinya, rakyat Indonesia—terutama yang terhormat Ikranegara—mempelajari sejarah secara


benar dan teliti. Jangan cuma ―dengar‖, atau ―menurut cerita‖ dan ngarang sejengkal jadi sedepa.
Harus dikemukakan fakta-fakta kebenarannya. Rakyat Indonesia sekarang tidak lagi hidup di
jaman Suharto yang bisa di takut-takuti dengan ancaman atau tuduhan sebagai komunis dsb.
Tentang jumlah Korban Pembunuhan Massal 1965/1966 di Indonesia, kalau yang terhormat
bapak Ikranegara mau tahu, saya cuplikkan beberapa potongan berita tentang itu sbb.: Dr.
Robert Cribb, Dosen Sejarah pada Universitas Nasional Australia di Melbourne, memperkirakan
jumlah korban berkisar antara 78.000 hingga 2 juta jiwa. John Hughes dalam bukunya
―Indonesian Upheaval‖ (1967), memprediksikan antara 60.000 hingga 400.000 orang. Donald
Hindley dalam tulisannya, ―Political Power and the October Coup in Indonesia‖ (1967),
memperkirakan sekira setengah juta orang.Prof. Guy Pauker, agen CIA yang sangat dikenal dan
tidak asing lagi di Seskoad (Sekolah Staf Komando Angkatan Darat), dalam tulisannya ―Toward
New Order in Indonesia‖ memperkirakan 200.000 orang yang dibunuh.
Yahya Muahaimin dalam bukunya ―Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966‖,
memprediksikan sekira 100.000 orang. Ulf Sundhaussen, dalam bukunya ―The Road to Power:
Indonesian Military Politic 1945-1967‖ (1982), khusus untuk Jawa Barat, tanpa menyebut angka,
mengatakan bahwa dari seluruh anggota komunis yang dibunuh di Jawa Barat, bisa jadi hampir
seluruhnya dibantai di Subang.
Kolonel Sarwo Edi Wibowo, Komandan RPKAD, pembunuh berdarah dingin dengan 400 orang anak
buahnya yang melakukan pembersihan di Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali, kepada
Panitia Pencari Fakta, dengan bangga mengaku ―telah membunuh 3 juta komunis‖. Sedang,
Bertrand Russel,pemikir besar Liberalisme, menyebut pembunuhan massal ini sebagai hal yang
amat mengerikan yang mustahil bisa dilakukan oleh manusia. (Perang Urat Syaraf…Kompas 9
Pebruari 2001) ―Dalam empat bulan, manusia yang dibunuh di Indonesia, lima kali dari jumlah
korban perang Vietnam selama 12 tahun‖ (―In four months, five times as many people died in
Indonesia as in Vietnam in twelve years‖).
(Maafkan pak Ikra, kalau saya mesti mengucapkan ―Masyaallah dan Astagafirullah…….karena
Dalam empat bulan, manusia yang dibunuh di Indonesia, lima kali dari jumlah korban perang
Vietnam selama 12 tahun‖!) Di samping itu semua, Pramudya Ananta Toer, Sastrawan dan bekas
tapol dari Pulau Buru, dalam ucapannya sebelum meninggal dunia, yang direkam dalam film
dokumen ―Shadow Play‖ mengatakan: ―Sampai sekarang tidak jelas berapa jumlahnya yang
dibunuh. Soedomo [Kopkamtib] mengatakan 2 juta yang dibunuh, Sarwo Edhie [RPKAD]
mengatakan 3 juta yang dibunuh. Yang jelas tidak ada yang tahu sampai sekarang‖.
Pembunuhan Massal 1965/1966 inibenar-benar ibarat ‗gajah di pelupuk mata‖ yang coba dilupakan
begitu saja! Buat sekedar tambahan pengetahuan pak Ikra, bersama ini saya cuplikkan Telegram
Green, Dutabesar AS di Jakarta ke Washington tanggal 20 Oktober 1965 yang mengatakan:
Beberapa ribu kader PKI dilaporkan telah ditangkap di Jakarta….beberapa ratus diantaranya
telah dibunuh. Kami mengetahui hal itu….pimpinan PKI Jakarta telah ditangkap dan barangkali
telah dibunuh… RPKAD tidak mengumpulkan tawanan, mereka langsung membunuh PKI. Green
melanjutkan: ―pembersihan oleh AD berlanjut di kampung dan tempat-tempat lain di daerah
Jakarta. Pemuda Muslim ―membantu‖ mengawani pasukan militer. Sumber mengatakan ―beberapa‖
pembunuhan merupakan hasil dari pembersihan ini. Fakta lebih jauh tentang hubungan militer
dengan kumpulan yang terorganisir dalam kampanye anti PKI ini, dapat dilihat dari pertemuan
antara Kolonel Ethel ( CIA ) dan pembantu dekat Jenderal Nasution, yang mengatakan bahwa
74 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

demonstrasi anti PKI akan meningkatkan pengganyangan menjadi anti Tionghoa. Dan pengrusakan
dan pendudukan kantor perdagangan Kedutaan Tiongkok di Cikini, bukan dilakukan oleh AD akan
tetapi oleh ―mereka yang bertindak untuk kita‖, yaitu Muslim dan Ansor. Hanya 3 bulan semenjak
kampanye anti PKI , CIA melaporkan: Hampir semua anggota Politbiro PKI ditangkap, banyak
diantara mereka telah dibunuh, termasuk tiga pimpinan tertinggi partai. Berita besar hari ini,
adalah: ditangkap dan dibunuhnya Ketua PKI D.N. Aidit. Sedang pembunuhan terhadap anggota
dan simpatisan PKI di Sumatra Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali terus berlangsung…….‖
Bagi AS dan sekutunya, keberhasilan Angkatan Darat Indonesia menghancurkan PKI adalah
merupakan suatu kemenangan besar‖ Demikian Marian Wilkinson menulis dalam Sydney Morning
Herald, July 10, 1999

Dalam tulisannya, pak Ikra ngarang dan menyusun kalimat: ―…….seorang kiyai dikroyok oleh orang
PKI sampai babak belur tak berdaya dan bahkan kemudian dikencingi oleh salah seorang anggota
Gerwani.‖
Seperti kata pak Asahan, propaganda picisan Ikra diatas ini, sungguh mau mencoba mengatasai
propaganda anti komunisnya Suharto, yang menipu,memitnah,merekayasa dan menghasut massa
dengan mengindentikkan dan mengingkari kemusiaan orang komunis, penggambaran mereka
sebagai mahkluk kejam, asusila dan ateis, dan musuh Tuhan dan penyalah gunaan rasa keagamaan
untuk menghasut, dan menanam kebencian terhadap komunis. Pandangan ini mengabaikan
kenyataan bahwa hampir semua anggota PKI , seperti juga semua bangsa Indonesia beragama.
Akan tetapi, hasutan-hasutan itu memang bukan bermaksud menggambarkan kebenaran, melainkan
menanamkan kebencian, menabur gagasan bahwa memerangi PKI adalah wajib hukumnya, bahkan
tidak haram untuk mengalirkan darah orang komunis. Itulah yang ada di dalam hati dan pikiran
Ikranegara!

Dengan Peristiwa Pembunuhan Massal 1965, ―hasil‖ hasutan, fitnah, kelicikan dan rekayasa
Suharto itu menyebabkan massa yang beragama, massa yang berkebudayaan dan berpribadi dan
mengaku ―melaksakan Pancasila secara murni dan konsekwen‖, menjadi serigala atas sesama
manusia, lupa kepada Ketuhanan, lupa kepada Kemanusiaan dan lupa kepada Pancasila yang
di‖agungkannya‖. Sehingga dengan bantuan dan tulangpunggung AD, terjadilah Peristiwa
Pembunuhan Massal 1965/1966 itu. Nah berapa ribu ―kiyai‖ yang dituduh PKI yang ikut menjadi
korban, bukan saja sekedar dikencingi tapi dibunuh dengan kejam oleh pengikut-pengikut fasis
Suharto.

Silahkan pak Ikra membaca cuplikan berita dari wartawan asing yang menjadi saksi, betapa ―gajah
nongkrong di pelupuk mata‖ golongannya pak Ikra.
―Penduduk Muslim di Aceh sangat gairah dalam menghabiskan kaum komunis. Mereka memotong
leher orang-orang PKI dan menancapkan kepalanya disepanjang jalan buat tontonan. Pimpinan
organisasi Pemuda Pancasila mengatakan kepada pejabat Konsulat Amerika di Medan bahwa
organisasi mereka (Pemuda Pancasila) akan membunuh setiap anggota PKI yang dapat mereka
tangkap. Organisasi itu tidak akan menyerahkan orang PKI itu kepada penguasa/pemerintah,
sebelum mereka mati atau hampir mati. Kantor-kantor PKI , toko, dan rumah-rumah dibakar.
Ratusan dan mungkin ribuan kader dan aktivis PKI (yang belum sempat dibunuh-pen) ditahan
dipenjara atau ditempat-tempat yang dijadikan tempat tahanan‖ .(Marian Wilkinson, Sydney
Morning Herald, July 10, 1999).

75 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Di Sumatra Utara korban buruh perkebunan, sedikitnya 100.000 tewas Sedang di Tapanuli, Utara,
Selatan dan Simalungun tatanan adat terjungkal setelah milisi Komando Aksi Penumpasan G30S
mulai bergerak mengganyang elemen-elemen komunis. Mereka tidak peduli apakah korban adalah
paman, satu marga atau keluarga istrinya. Mereka tidak peduli kendatipun hubungan yang
dibentuk hirarki adat itu adalah simpul keutuhan sosial. Bahkan Brigjen Kemal Idris, Komandan
RPKAD mengatakan: ―Soeharto memberi perintah untuk membersihkan semua …..maka ini yang
saya lakukan. Saya perintahkan semua prajurit saya untuk patroli dan menangkap setiap orang
PKI. Selama masih ada satu orang komunis di Indonesia, akan ada operasi militer melawan satu
orang itu‖ (Silahkan lihat film dokumen Shadow Play).

Nah, kalau pak Ikra punya keberanian, silahkanlah melihat ―Gajah yang dipelupuk mata‖ ini.
Silahkan bongkar dan selidiki, berapa juta manusia komunis yang dibunuh rezim Suharto dan
antek-anteknya. Berapa puluh juta bangsa Indonesia, keluarga para korban yang dibuat sengsara
oleh kezaliman rezim Suharto selama berkuasa 32 tahun (bahkan masih menderita sampai
sekarang kendatipun telah beberapa kali tukar presiden!) dengan menggunakan segala macam
hukum dan peraturan diskriminatif dan tidak manusiawi, serta tebang pilih. Silahkan menggali dan
belajar, menggali sejarah yang benar, jangan sampai peristiwa besar ditanah air yaitu
pembunuhan massal 1965/1966 ditutup-tutupi dan dimasukkan ke keranjang sampah atau disapu
di bawah karpet supaya orang tidak bisa melihat. Tragedi Pembunuhan Massal 1965/1966 adalah
Dosa dan Aib Bangsa yang tidak bisa dilupakan begitu saja yang coba ditutupi dengan propaganda-
propaganda picisan seperti ―kiyai dikencingi‖ dsb.! Ingatlah selalu akan pepatah Jawa: ―Becik
ketitik olo ketoro!‖ Sepandai-pandai menutup bangkai, lambat laun terbau juga!

Selamat memperingati 45 tahun Peristiwa Pembunuhan Massal 1965/1966. Salam buat sanak
saudara korban pembunuhan massal Suharto dan semua Korban Rezim Orde Baru.

Australia-15 Pebruari 2010

=======================

Re:: [wahana-news] Re: #sastra-pembebasan# PERINGATAN 1 OKTOBER SEBAGAI HARI


TRAGEDI NASIONAL...
Sat, February 13, 2010 5:56:40 PM
From: MiRa <la_luta@yahoo.com> ...View Contact
To: sastra-pembebasan@yahoogroups.com

________________________________

Benar adanya, bahwasanya sosok sejenis "Ikranagara" akan tetap bertahan melakukan kampanye
reklame murahan ditambah fitnahan picisan. Tapi saya percaya bahwa rakyat Indonesia bukanlah
orang bodoh yang gampang di manipulasi informasi kebohongan selama lebih dari 32 tahun lamanya
hidup dalam penjara besar nusantara, ditambah dengan kondisi represi dan penindasan kekuasan
rejim militer Soeharto.
Di masa rejim Soeharto yang secara sistimatis dan struktural melakukan represi dan menindas
rakyatnya, juga memperdagangkan reklame picisan melalui media massa, seni dan budaya baik
dengan cara terbuka maupun dengan cara terselubung, yang kesemuanya mendapat dukungan dari
rejimnya dan di sponsori oleh kepentingan kapital asing di pimpin oleh USA.

76 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Di paska reformasi, tentu masih banyak sosok-sosok loyalis rejim militer soeharto yang mengatas
namakan sebagai seorang intelektual, seorang sutradara dan penyair, misalnya dari Groups
Berkely di pimpin oleh Widjojo Nitisastro (Doctor of Philosophy Berkeley, 1961,BBPN
Director), Emil Salim (Doctor of Philosophy, Berkeley, 1964), Arifin C. Noer dan para penanda
tangan manikebu menganggap peristiwa sejarah berdarah 1965/1966 merupakan tindakan halal
yang tetap menunjukan sikap dan tindakan loyalitasnya terhadap warisan rejim kediktatoran
militerism Soeharto dan antek-anteknya. ..

Dan mereka2 itu juga masih punya anak-anak buahnya yang tetap keleleran di bumi pertiwi, atau
seusai melakukan pendidikan konsolidasinya dari USA, yang melakukan penipuan sejarah
kebenaran, dengan secara sukarela atau pun di pelihara dan di biayai oleh para pendukung-
pendukung loyalis warisan rezim Seharto buat mempertahankan model kehidupan jaman rezim
Militer untuk tetap melestarikan propaganda budaya fitnah picisan.
Tapi ada pula generasi muda yang bergelut di dunia intelektual, sutradara, penyair memiliki
kesadaran pada Sejarah kebenaran Peristiwa Berdarah 1965/1966, yang pula menjadi sosok
berpengaruh di lingkungan masyarakat di Indonesia, dengan memiliki visi dan missi kemanusiaan
dan keadilan sosial.

Sekali lagi aku percaya pada rakyat Indonesia yang sampai saát ini hidupnya semakin terpuruk
kehidupan sosial-ekonominya, bukanlah rakyat bodoh yang gampang dimanipulasi oleh sisa2 sampah
loyalis rejim militer warisan Soeharto sejenis "Ikranagara" ....

Akan ada saátnya, Sejarah kebenaran Peristiwa berdarah 1965/1966 Bersaksi di hadapan
pengadilan rakyat...

Tetap semangat, perjuangan rakyat tertindas pasti akan menang!

Info sehubungan dengan Groups berkeley, click: http://en.wikipedia .org/wiki/ Berkeley_ Mafia

Info sehubungan dengan Manikebu versus LEKRA, silahkan click:

http://books.coffee-cat.net/2006/11/pramoedya-sastra-realisme-sosialis/
http://asepsambodja.blogspot.com/2009/09/goenawan-mohamad-dan-manikebu.html
http://id.shvoong.com/social-sciences/1711504-soal-naskah-musibah-manikebu/

Selamat menikmati malam minggu,and HAPPY VALENTINE DAY!

================================
>----- Original Message -----
From: iwamardi
To: GELORA45@yahoogroups.com
Cc: sastra-pembebasan@yahoogroups.com > ; temu_eropa@yahoogroups.com
Sent: Saturday, February 13, 2010 9:05 AM
Subject: [temu_eropa] Re:: [wahana-news]
Re: #sastra-pembebasan# PERINGATAN 1 OKTOBER SEBAGAI HARI TRAGEDI NASIONAL
Setelah membaca tulisan Sdr. Ikranagara dibawah, lepas dari masalah manikebu atau bukan
manikebu, saya punya kesan, kok begitu dangkal propaganda yang dituliskan oleh seorang
sutradara dan penyair pula. Padahal sudah ada berratus ratus buku buku sejarah yang authentik
yang membuktikan bahwa semua fitnahan fitnahan murahan itu bohong semua. (Misal tulisan Ben
Anderson, John Roosa, Hersutejo dan lain lainnya).

77 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Sepertinya kaya membaca (ini kalau saya lho) reklame murahan ditambah fitnahan picisan. Terus
terang saya mengharapkan tulisan yang lebih bermutu dari seorang intelektuil, seorang sutradara
dan penyair. Anehnya pula, ada juga teman teman kita yang (pernah) mengaguminya lagi......
Saya tidak mengatakan apa yang ditulis Sdr. Ariprati itu benar semua ( terutama bentuknya ),
tapi juga tidak salah semua isinya, maknanya. Ya, terserah pembaca yang lain, bagaimana penilaian
terhadap tulisan Sdr. Ikranagara tersebut dibawah. Saya kira ada baiknya, jika teman teman
semilis memberikan pendapatnya, jangan berdiam diri karena menunggu pendapat yang lain dahulu,
ber "silence is golden" saja. Kebiasaan yang kurang baik saya kira.
salam
iwamardi
____________ _________ _________ __
From: Halim Akbar <halimakbar38@ yahoo.co. id>
To: AKSARA SASTRA <aksarasastra@ yahoogroups. com>; artculture-indonesi a@yahoogroups.
com; GELORA45 <gelora45@yahoogroup s.com>; mimbar-bebas@ yahoogroups. com;
Pembebasan_Papua@ yahoogroups. com; SANTRI KIRI <santrikiri@yahoogro ups.com>;
SASTRA PEMBEBASAN <sastra-pembebasan@ yahoogroups. com>; wahana-news@ yahoogroups.
com
Cc: BDG KUSUMO <bdgkusumo@volny. cz>; gm <goenawan_mohamad@ hotmail.com>;
gustafd <gustafd@cbn. net.id>; harsutejo <harsonos@cbn. net.id>; hersri setiawan <hersri@yahoo.
com>; Hilmar Farid <hilmar_farid@ yahoo.de>; tatiana lukman <jetaimemucho@ hotmail.com>;
> kohar_be@yahoo. fr; la_luta@yahoo. com; Sulistya Dewi <lies3t@hotmail. com>; lusi@ginko.de;
sangumang kusni <meldiwa@yahoo. com.sg>; PUTU OKA SUKANTA <poskanta@indosat. net.id>;
> SAMIAJI <samiaji@free. fr>; Ambon <sea@swipnet. se>; Siauw <siauw@wxs.nl>;
siswa99@yahoo. com; May Teo <subang@singnet. com.sg>; sudharsono <tambora@club- internet.
fr>; taufiqism500@ hotmail.com; teddy sunardi <teddysunardi@ gmail.com>; DR Alexander
Tjaniago LLM yskp45@lycos. com
Sent: Fri, February 12, 2010 10:39:02 PM
Subject: [GELORA45] Bls: [wahana-news]
Re: #sastra-pembebasan# PERINGATAN 1 OKTOBER SEBAGAI HARI TRAGEDI NASIONAL

Saya pernah baca pak Ikra ini salah seorang penandatangan Manikebu. Anehnya, teman-temannya
sudah banyak yang tobat dan mengakui eksistensi Lekra dalam periode 1950-1965 dan
memberikan sumbangannya dalam pengembangan kebudayaan bangsa Indonesia. Kasihan juga pak
Ikra ini malah kembali ke belakang ditinggalkan teman-temannya satu Manikebu.
Pada Jum, 12/2/10, ASAHAN a.alham@kpnplanet. nl menulis:

Dari: ASAHAN a.alham@kpnplanet. nl


Judul: [wahana-news] Re: #sastra-pembebasan# PERINGATAN 1 OKTOBER SEBAGAI HARI
TRAGEDI NASIONAL
Kepada: "AKSARA SASTRA" <aksarasastra@ yahoogroups. com>, artculture-
indonesia@yahoogroups. com, "GELORA45" <gelora45@yahoogroup s.com>, mimbar-
bebas@yahoogroups. com, Pembebasan_Papua@ yahoogroups. com, "SANTRI KIRI"
<santrikiri@yahoogro ups.com>, "SASTRA PEMBEBASAN" <sastra-pembebasan@ yahoogroups.
com>, wahana-news@ yahoogroups. com

78 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Tanggal: Jumat, 12 Februari, 2010, 1:14 PM

Ikranegara adalah seorang penyair anti Komunis yang cukup terkenal dan termasuk yang
berbahagia bisa menikmati demokrasi di antara musuh-musuhnya yang lama hingga sekarang ini.
Mungkin dia menggunakan semua media untuk menyebarkan sajak-sajaknya, reklame untuk diri
sendiri sebagai "bintang film"yang merasa laku dan terkadang menulis-nulis sesuatu yang bernada
anti Pemerintah. Tapi dari semua itu yang terpenting adalah propaganda anti Komunisnya yang
ingin menggantikaan propaganda anti Komunisnya suharto dan orba yang semakin tidak laku, tidak
dihiraukan orang-orang. Ikranegara merasa bebas terbang ke mana saja yang dia ingini bagi
meneriakkan lagu lama anti Komunisnya yang dia sangka masih manjur dengan mengulang-ulang
fitnahan suharto terhadap PKI yang bahkan John Roosa sendiri yang jauh lebih lihai dari dia,
gagal dan cuma dibela segelintir intelektuil yang satu ideologi dengannya: anti komunis dalam
berbagai selubung, dalam berbagai tipuan dan metode demagogi dan munafik.
Tapi Ikranegara berani main kasar, blak-blakan anti Komunis bahkan di media yang dia tahu
sendiri, dia sesungguhnya tidak punya tempat di sana namun masih dibiarkan orang entah sampai
kapan. Saya sendiri, pribadi, punya pendirian, biarkan Ikranegara teriak-teriak dengan tulisan-
tulisan anti Komunisnya ke media manapun yang dia sukai. Dengan demikian dia akan mudah
> dicatat dan diingat sejarah dan juga ditelanjangi isi otaknya yang berpihak pada fitnah dan
kebohongan durjana kaumnya suharto dan orbanya yang kadang-kadang pura-pura dia cela. Siapa
yang tidak tahu gerombolan pengarang anti Komunis sejenis Ikranegara di masa lalu. Menghadapi
Ikranegara tidak sulit dan kadang-kadang juga tidak perlu. Anjing menggonggong, Komunis
bersatu.

ASAHAN.

Subject: #sastra-pembebasan# PERINGATAN 1 OKTOBER SEBAGAI HARI TRAGEDI


NASIONAL

Dear all!

Salah satu kebiadaban itu adalah teror yang dilakukan PKI di Kanigoro atas sejumlah anak-anak
remaja Pelajar islam Indonesia yang sedang melakukan mental training, pada Januari 1965.
Kekerasan ini dibukukan dengan baik oleh korban Anis Abiyoso dan penyais Ahmadun Y. Herfanda.
Bahkan diungkapkan juga kejadian-kejadian lain di Jawa Timur pada masa itu, menjelang 1
Oktober. Yang antara lain disaksikan oleh seorang tokoh pemuda organisasinyya PNI berupa
kejadian bagaimana seorang kiyai dikroyok oleh orang PKI sampai babak belur tak berdaya dan
bahkan kemudian dikencingi oleh salah seorang anggota Gerwani. Dll. Bacalah buku "Teror
Subuh di Kanigoro" itu. Dan sejumlah buku lainnya lagi.
Masa itu adalah masa "Jor-joran Manipolis" sesuai anjuran Bung Karno lewat pidatonya, tetapi
yang terjadi di lapangan (di Yogya, Jawqa Tengah, Jawa Timur dan Bali) adalah gontok-gontokan.
Jadi, isi pidato itu maksudnya baik, tetapi efeknya di masyarakat adalah perpecahan berupa bara
di balik sekam.

Yang terjadi di Jakarta (baca: Lobang Buaya) pada 1 Oktober adalah pembunuhan atas beberqapa
orang jenderal AD, dan itu sangat luar biasa, maka patutlah tanggal 1 Oktober 1965 itu
diperingati sebagai Hari Tragedi Nesional! Pembunuhan yang sama modus opreransinya, yakni
79 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

menjebeloskan mayat korban ke dalam sumur, dilakukan orang-orang PKI, Pemuda Rakyat cs
terjadi juga di banyak daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Rentetan itu terjadi karena
adanya instruksi agar di seluruh daerah dibentuk Dewan Revolusi Daerah oleh CDB PKI dan
underbownya.
Saya sendiri sedang menulis novel yang berlatar belakang peristiwa teror PKI di Kanigoro itu.
Setelah ini nanti, akan saya tulis sebuah novel yang berlatar belakang zaman "Jor-joran
Manipolis" di Bali. Sebuah drama sudah saya tuliskan dan pentaskan di TIM berjudul "Agung"
tentang "perang tanding" antara PKI vs PNI di Bali.
Dalam novel yang akan saya tulis setelah yang sedang saya tulis ini adalah berangkat dari drama
saya itu, mengungkapkan apa yang terjadi menjelang 1 Oktober dan sesudahnya, terutama yang
terjadi di kota kelahiran saya pada 30 Nopember ketika CDB PKI angkat senjata di sana. Maka
saya akan ungkapkan korban di kedua belah fihak, baik difihak PKI maupun yang bukan PKI.
Marilah kita jangan setengah-setengah dalam mengungkapkan pejadian sejarah kita.
Ikra.-

http://www.contradictie.nl/1965cc/archive/2005/12/051218JomaEngl.html

Reflections on the 1965 Massacre in Indonesia


By Prof. Jose Maria Sison

Chairperson International League of Peoples‘ Struggle

Amsterdam, Netherlands, 18 December 2005

I wish to thank the 1965 Commemoration Committee for inviting me to speak. It is an honor for
me to be with other speakers very knowledgeable about the subject and very distinguished in
the struggle to seek justice for all the people victimized by the 1965 massacre in Indonesia.

I have become acquainted with Indonesian history and current affairs since 1961 when I took a
scholarship from the Jajasan Siswa Lokantara. I stayed in Indonesia during the first half of
1962 to study bahasa Indonesia and translate the poems of Chairil Anwar. I went back to
Indonesia twice in 1963 and 1964 as a correspondent of the London-based Eastern World and as
member of the Afro-Asian Journalists‘ Association.

I had the opportunity to meet Yusuf Isak in 1963. He was then an officer of the Indonesian
journalists‘ association. I admire him for his longrunning fight for human rights in connection
with the 1965 massacre and other barbarities of the so-called New Order of the US-directed
Suharto military fascist dictatorship.
Since 1962 I have been exceedingly close to Indonesia and the Indonesian people. As general
secretary of the Philippine-Indonesian Friendship and Cultural Association up to 1965, I
arranged quite a number of cultural exchanges between the Philippines and Indonesia. I also met
officers and members of Indonesian progressive forces, including communists, nationalists and
religious believers, and gained some insights into the factors and events before, during and after
the 1965 massacre. US and Other Imperialist Forces Behind the 1965 Massacre

The US and other imperialist powers were behind the 1965 massacre in Indonesia. They had the
largest interest in and strongest motive for using the Suharto military clique to end the Sukarno
government and the national united front that were opposed to colonialism, imperialism and

80 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

neocolonialism. They provided the most decisive means for the Suharto military clique to do
their brutal bidding. And they got what they wanted through the puppet instrumentality of the
Suharto military fascist dictatorship.
In the aftermath of World II, the US emerged as the strongest imperialist power and coveted
Indonesia as a rich source of cheap raw materials, a large market and a wide field for
investments. It regarded control of the country as necessary for having hegemony over the
entire Southeast Asia. It wished to have Indonesia as a semi-colony in the face of the
determination of the Indonesian people to uphold and fight for their national independence as
proclaimed in 1945 as well as the failed attempts of the British and Dutch imperialists to bring
back the old colonial times.

The sense of national unity among the Indonesian people was strong against colonialism and
imperialism, particularly because of the revolutionary role of the Communist Party of Indonesia
(PKI) and the constant willingness of this party to be in alliance with the nationalists and
religious believers against foreign domination. The US, Dutch and British imperialists saw the
PKI as an obstacle even only to making a semi-colonial or neocolonial arrangement.

Thus, the US and its Indonesian stooges were always seeking to suppress the PKI. In fact, the
Madiun incident of 1948 was the first serious provocation aimed at eliminating the PKI and its
followers through mass arrests and mass murder after World War II. It pushed the communists
out of the government and paved the way for the neocolonial compromise like the Round Table
Conference Agreement of 1949. The US, British and Dutch held on like mad to their oil interests
and plantations in Indonesia.

Under the Eisenhower administration, the US National Security Council had already adopted by
1953 a series of documents whose essential line called for ―appropriate action, in collaboration
with other countries, to prevent communist control of Indonesia.‖ Military training of Indonesian
officers was planned as a means of increasing US influence. At the same time, the CIA
concentrated on undertaking and developing relations with the right-wing political parties and
organizations, including the Masjumi, the pseudo-socialist parties, the SOKSI trade unions and
certain Islamic youth organizations. And it provided them with funds.

The ceaseless attempts of the US and other imperialist powers to press their neocolonial
demands eventually compelled the nationalist Sukarno to seek alliance with the PKI against US-
lining political opponents like Hatta and Sumitro, the Partai Socialis Indonesia and Masjumi up to
the mid-1950s and the regional rebellions like those of Permesta-PRRI and the Darul Islam-TNI
in 1958. The US supplied arms and money to the regional rebellions through various channels,
including Filipino military agents, and even openly launched an assassination attempt on Sukarno
in 1957 by airplane from the US Clark Air Base in the Philippines.

But all the hostile US maneuvers and intrigues resulted in the intensified resistance of the
Indonesian people and in the strengthening of the PKI and the NASAKOM, which was the united
front of the nationalists, religious believers and communists. Failing with using blatantly crude
methods, the US used a wide range of methods of subversion.
While robbing Indonesia of its oil wealth through the operations of Stanvac and Caltex, in
exchange for paltry amounts of royalty payment, the US offered economic and military aid in
grants and loans. It promoted exchanges between US and Indonesian universities and the Ford

81 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Foundation used research, study and travel grants in order to influence the academics and
indirectly some students.

The most subversive activities of the US were undertaken by the Pentagon, the CIA, the US air
force, RAND corporation and the Ford Foundation and were aimed at generating influence within
the Indonesian military officer corps. The US military assistance program offered and provided
arms, communications and transport equipment. Indonesian military officers were induced to
undertake US-designed military training program locally and in American military forts.

Under US influence, Generals Nasution and Suwarto established the Indonesian Army Staff and
Command School in Bandung (SESKOAD) to convert the Indonesian army fully into a
counterrevolutionary organization under the strategic doctrine of ―territorial warfare‖ or
―counterinsurgency‖ and developing civic mission or ―civic action‖ programs. The main thrust of
the training was supposedly to prevent a PKI seizure of power, by preparing military officers to
take over functions in administration and in the economy and cooperate with civilian officials and
anti-communist organizations at all levels.

The Ascendance of the Suharto Military Fascist Dictatorship

It was at SESKOAD that Colonel Suharto became the protégé of General Suwarto and took a
prominent part in the early 1960s in the formation of the Doctrine of Territorial Warfare and
Civic Mission. CIA agents like Guy Pauker and assets like Colonel Jan Walandouw spotted Suharto
as an excellent puppet officer, one who was clever and corrupt. The latter had wormed his way
into the confidence of Sukarno and became the commanding general of the Strategic Reserve
Command.

He quietly focused on counterintelligence and became prominent by playing both ends in the
rivalry between Generals Nasution and Yani and eventually making in the army seminar of April
1965 the SESKOAD doctrine as the compromise army doctrine Tri Ubaya Cakti, touting the
independent political role of the army. Under the pretext of counterintelligence and loyalty to
Sukarno, he was able to spread intrigue in his favor and gained advantage at having access to and
using elements and parts of the presidential guards and the Diponegoro Division. His main
collaborators were officers associated with the US-lining PSI.

Suharto and his military clique became the key instrument of the US in preparing the
destruction of the PKI, the NASAKOM and the Sukarno government to allow the US neocolonial
takeover of Indonesia. They rapidly developed in that role from 1961 to 1965. Although Nasution
had been publicly perceived since the Madiun massacre as the principal Indonesian military agent
of the US, the CIA was disappointed with him in 1961 for failing to make a coup against Sukarno
on a number of occasions and for going along with him on the line against Britain, especially with
regard to Malaysia.

During the 1961-65 period, the Indonesian people pressed hard for the realization of their
national democratic rights and interests. The MANIPOL-USDEK was the guiding light within the
NASAKOM framework. The people, especially the workers, pushed for the nationalization of
imperialist-owned enterprises and plantations. The PKI deepened peasant support for the
Indonesian revolution by undertaking a campaign of rural research, mass organizing and land
reform.

The people compelled the Dutch to leave Irian Barat under Indonesian sovereignty. They induced
the foreign oil monopolies to agree to the production-sharing agreement. They mobilized in
82 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

opposing the British neocolonial creation of Malaysia. The US-inspired Maphilindo initiative of
the Manila government could not stop the ―ganyang Malaysia‖ campaign of Indonesia. The
Sukarno government became active in pursuing a policy of nonalignment and anti-imperialism and
demanded the dismantling of US military bases in the region. It developed closer relations with
the Soviet and Chinese governments.

After Sukarno declared, ―To Hell with US Aid‖, the US government suspended non-military aid
and the CIA instigated and manipulated currency speculation and the scarcity of goods,
especially food. But it continued to deliver military assistance to the Indonesian army in the
form of arms, communications equipment, land vehicles and 200 aero commander planes from
Lockheed.

Apart from receiving secret CIA funds, the Suharto military clique received money for
counterrevolutionary operations and self-enrichment from the Lockheed payoffs and the royalty
payments of US oil companies to the army‘s oil company Permina run by General Ibnu Sutowo and
another oil company Pertamin run by Chaerul Saleh, head of the pseudo-proletarian and pro-US
Murba party.

The intelligence agencies of the US, British, Dutch, Japanese, German and Australian
governments collaborated in sharing their intelligence stock with the Suharto military clique
before, during and after the process of eliminating the PKI, NASAKOM and Sukarno. As early as
December 1964, a Pakistani ambassador in Europe wrote to foreign minister Ali Bhutto that a
Dutch intelligence officer with NATO had told him the following: Western intelligence agencies
would organize what would appear as a premature PKI coup, provide the army the opportunity to
crush the PKI and make Sukarno the army‘s prisoner of goodwill. In early 1965, Sukarno himself
complained to Lyndon Johnson‘s special envoy Michael Forrestal about the letter of British
Ambassador Gilchrist referring to the planned coup against Sukarno.

The so-called Gerakan September Tigapuluh (Gestapu) was neither a movement nor a coup
against ―Rightist generals‖ by the PKI and leftists, as claimed by Suharto and his imperialist
masters. All the generals that the so-called Gestapu targeted were pro-Sukarno, with the
possible exception of defense minister General Nasution who had the reputation of being
Rightist and anti-Sukarno. The army chief of staff General Yani and the other five generals
murdered were either pro-Sukarno or followed state policy as put forward by Sukarno.

The so-called Revolutionary Council supposedly headed by Colonel Untung of the presidential
guards had no more reality than the press statement issued in his name. It was used by the
Suharto military clique to give the Gestapu a semblance of reality and to implicate Sukarno
inasmuch as Colonel Untung allegedly claimed that he was acting in defense of Sukarno against a
―Council of Generals‖. Even Sjam the former PSI member and double agent in the PKI special
bureau was used merely as a conduit for the tale about the ―Council of Generals‖ and as a tool
for giving a semblance of truth to the claim that PKI had foreknowledge of the Gestapu and
participation in it.
Suharto used the Gestapu to frame up the PKI and to eliminate the army generals who outranked
him and who could stop his rise to power or even counter the plan to massacre the PKI and other
stalwarts of the NASAKOM. He directed some army units to arrest and murder the six generals
in the name of the illusory Gestapu and then put himself in command of the entire armed forces
under the pretext of stabilizing the situation and defending the leadership of Sukarno. He

83 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

proceeded to direct the mass arrests and massacre of the PKI and other people. Government
officials and the mass media of the imperialist countries kept quiet as most of the carnage was
done by the Indonesian army and its irregular recruits.
Suharto pretended to protect Sukarno and systematically removed the pro-Sukarno and pro-Yani
officers from key army positions. In carrying out the massacre and rendering Sukarno impotent,
he was assisted mainly by pro-Suharto and anti-Yani generals, like Basuki Rachmat and Sudirman
and other officers from SESKOAD. He capitalized on Nasution‘s support for the anti-PKI
pogrom but he also undercut and boxed him out eventually.
Sukarno apparently trusted Suharto until it was too late. In March 1966 Suharto demanded and
got from him the presidential authority to exercise martial law powers. In March 1967 he made
the Provisional People‘s Consultative Assembly name him as the acting president Sukarno
remained under house arrest until his death in 1970. The US gained full control over Indonesia
as a semi-colony or neocolony through the instrumentality of the Suharto military fascist
dictatorship.

It seemed as if this dictatorship would stay in power forever. It proceeded from one anti-
national and anti-people socio-economic policy after another. In the 1960s and 1970s, it seemed
to have stabilized the Indonesian economy by using its oil export and other natural resource
income and rising level of foreign debt to allow imperialist superprofit taking, bureaucratic and
military corruption, consumption-oriented imports and infrastructure-building.

Then with the oil income declining, it shifted into export-oriented semi-manufacturing and into a
foreign-funded program of private construction that boomed in the 1980s and 1990s. These
were excuses for a cash flow to favor conspicuous consumption (cars and palaces) and were in
fact sustained by ever more onerous foreign borrowing. Came the 1997 financial collapse in
Southeast Asia, the protest mass actions spread, became bigger and intensified. The Suharto
dictatorship was ripe for a fall in 1998.

The economic, social and political conditions in Indonesia continue to deteriorate. They are
indicated by Indonesia‘s having become a net oil importer since 2004, by its severe difficulties in
serving the foreign debt and by the US imposition of the ―war on terror‖ or a ―strategy of
tension‖ calculated to stir up religious and ethnic conflicts and to justify US hegemony over
Indonesia and the rest of Southeast Asia.

Seeking Justice for the Massacre Victims+


The army officers and troops of the Suharto military clique could easily communicate,
coordinate and go around to massacre people in the regions of Indonesia in 1965 because of the
US-supplied communications equipment, land vehicles and planes. In sharp contrast, the people
being massacred by the military and their paramilitary collaborators had no way of knowing the
Gestapu nor the killing of the six generals because in extensive areas they did not even have
radio sets.

As clear proof that it had no accountability for Gestapu, the PKI did not mobilize its own large
following among the people and within the Indonesian state and the armed forces either to
advance the supposed objectives of the Gestapu or defend themselves against the massacre. In
November 1965, there was a Philippine delegation attending a conference against US military
bases. An Indonesian comrade delivered to a Filipino comrade a half sheet of paper bearing the
most recent decision of the PKI Politburo in effect calling on the PKI rank and file to stay calm
84 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

and let Sukarno solve the internal problem of the Indonesian army. By this token, we in the
Philippines were convinced that the PKI had no accountability for the Gestapu.

Regarding the number of victims in the 1965 massacre, I prefer to take the face value of the
statement of General Sarwo Edhie that three million were killed, in the absence of a more
accurate accounting by more credible entities. He should know what he was talking about
because he was the commanding general of the command in charge of the massacre. The problem
with being too indeterminate in the estimates, from the low of 300,000 to 1.5 million, is that the
imperialists and their press are playing down the number and trying to induce the people to
forget about the butchery. At the same time, they busy themselves with upping the number of
supposed victims of revolutionary forces in other countries.

Bourgeois journalists, writers and academics usually claim that the victims in the 1965 massacre
were PKI members. I do not agree with limiting the range of victims to PKI members. The
victims were communists and other people. There were a lot of noncommunist victims of the
massacre in view of the fact that the PKI was good at building mass organizations and doing
united front work. The sweeping massacre done by the military and its irregulars, included many
noncommunists who were mistaken as communists because they were known as friends or
relatives of communists.

At any rate, whether communists or noncommunists, the victims had inherent and inalienable
human rights. The imperialists and their puppets had no license to violate the human rights of
anyone. Moreover, they are reprehensible for ordering the murder of three million people and
the indefinite detention of 750,000 more people in exchange for the murder of six generals. In
the first place, the latter were the victims of Suharto‘s crack raiders and not by PKI women and
youth, contrary to the psywar of Suharto and the US. It is utterly absurd that the imperialists
and their puppets are so vituperative about their false claims of human rights violations by
communists but keep silent about or even condone the 1965 massacre, which is one of the most
horrendous crimes in the 20 century and is comparable to the US acts of aggression in Korea,
Vietnam and Iraq in terms of the death toll.

The Indonesian people and their institutions, nongovernmental organizations, people‘s


organizations, professional associations and personages concerned with human rights are the
most reliable in establishing and documenting the facts about the victims of the 1965 massacre,
locating the remains of the dead and the surviving family members, identifying the human rights
violators, seeking justice for the victims and their families, rehabilitating and indemnifying them
and conducting mass meetings and mass movement in furtherance of seeking truth and justice.
The people of the world and their organizations can and should extend their solidarity and
support to and cooperation with the Indonesian people in their struggle for justice for and in
behalf of the victims in the 1965 massacre. They can provide moral and material support. They
can spread the findings and conclusions of human rights organizations in Indonesia. They can help
the victims and their survivors run after the human rights violators by filing the possible and
necessary cases against them and somehow holding responsible the Indonesian reactionary state.
They can denounce the imperialists, the multinational firms and banks that benefited from the
1965 massacre and the resultant Suharto military fascist dictatorship.
Not only the great number of victims of mass arrests and massacre in 1965 and thereafter were
victims of the Suharto fascist dictatorship and its imperialist masters, but the entire

85 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Indonesian people who were subjected to increased oppression and exploitation, to national
humiliation and deeper underdevelopment and poverty, because of the suppression of the
movement for national liberation and democracy.
The Indonesian people must therefore strive to carry out the new democratic revolution against
imperialism, feudalism and bureaucrat capitalism. The best way to seek justice for the martyrs
of 1965 is for the Indonesian people to continue the revolutionary struggle under the revived
leadership of the PKI.

###

14 Juni 1999

Wawancara Wisnu Djajengminardo:

"Saya Serigala Terbesar dari Halim..."


Wisnu Djajengminardo, 70 tahun, mantan Komandan Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma,
Jakarta, menyebut dirinya serigala terbesar dari Halim. Serigala adalah sebutan orang luar
terhadap anggota Angkatan Udara RI periode 1965-1966. Sebutan "menyalak" itu berkait erat
dengan peristiwa Gerakan 30 September-Partai Komunis Indonesia (G30S-PKI), yang menyeret
pamor angkatan itu dalam sebuah episode sejarah yang disebut "kabut Halim".

Versi resmi rezim Orde Baru menyebutkan bahwa AURI terlibat dalam peristiwa pemberontakan
komunis itu. Ada beberapa indikasi yang dimajukan: pelatihan sejumlah sukarelawan yang dipimpin
Mayor Udara Sujono sejak Juli 1965 di Desa Lubangbuaya, Jakarta; kenyataan bahwa
Menteri/Panglima AU Laksamana Madya Udara Omar Dhani telah sebelumnya mengetahui rencana
penculikan sejumlah jenderal Angkatan Darat (AD) yang kemudian disebut tujuh pahlawan
revolusi; dan fakta bahwa Dipa Nusantara Aidit, tokoh PKI, bisa melenggang terbang dari
Pangkalan Halim ke Yogyakarta pada 2 Oktober 1965 dini hari.

Namun, karena sebagian sejarah bisa dimanipulasi di bawah sepatu lars kekuasan Orde Baru, kini
pada era reformasi banyak pihak yang ingin membuka topeng sejarah yang bopeng. Salah satunya
adalah Wisnu Djajengminardo itu dan Perhimpunan Purnawirawan Angkatan Udara
(PPAU)?organisasi mantan anggota Angkatan Udara (AU), yang didirikan pada 1998. Sejak Januari
lalu, mereka telah merintis penulisan semacam buku putih sejarah AURI, khususnya menyangkut
peristiwa seputar G30S-PKI di Pangkalan Halim. Wisnu sebelumnya telah menerbitkan buku
Kesaksian: Memoir Seorang Kelana Angkasa (Penerbit Angkasa Bandung, 1997).
Wisnu kini kakek enam cucu. Namun, tubuhnya masih tegap. Raut wajahnya menyiratkan jejak
kegantengan masa silamnya. Ceplas-ceplos bila berbicara (kadang sebelah kakinya jegang di atas
kursi), purnawirawan marsekal muda itu berpenampilan muda: berjas biru gelap dengan kemeja
tanpa dasi, berkacamata hitam, dan bertopi kulit warna cokelat. Kepada wartawan TEMPO Ardi
Bramantyo dan Kelik M. Nugroho, Wisnu mengungkapkan sebagian isi buku itu dan detik-detik
bersejarah seputar G30S-PKI di Pangkalan Halim.

Wawancara berlangsung dua kali, di kantor PPAU di kawasan Kebayoran, Jakarta, dan di rumahnya
yang megah berarsitektur mediteranian di kawasan Pejaten Barat, Jakarta, Selasa pekan lalu.
Pada wawancara pertama, Saleh Basarah (mantan KSAU), A. Andoko (Sekretaris Jenderal PPAU),
dan Omar Dhani mendampingi Wisnu. Berikut petikannya.

86 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Mengapa buku ini disusun? Apa gambaran isi secara umum?

Buku ini ingin menyajikan peristiwa seputar 1 Oktober 1965 berdasarkan fakta-fakta. Buku ini
digarap tidak asal-asalan dan berdasarkan informasi saksi hidup yang masih banyak. Ia juga
diaudit oleh ahli sejarah Asvi Marwan Adam dari LIPI. Kita harus berusaha mengungkap "kabut
Halim", demi sejarah, demi keutuhan ABRI. Menepuk air didulang tepercik muka sendiri. Kalau
Angkatan Udara ternoda, rusaklah pula angkatan-angkatan lain.

Menjelang peristiwa G30S-PKI, sejumlah sukarelawan dilatih di Halim. Sebagai komandan


pangkalan, Anda mengetahuinya waktu itu?
Saya tahu. Tapi mereka latihan di Desa Lubangbuaya, bukan di Pangkalan Halim. Saya hanya tahu
bahwa di situ ada latihan. Saya tidak tahu lebih jauh dari itu.
(Latihan itu dilakukan untuk menyiapkan pembentukan "angkatan kelima", gagasan PKI untuk
mempersenjatai rakyat sebagai angkatan tersendiri setelah Angkatan Darat, Udara, Laut, dan
Kepolisian)

Siapa yang melatih?

Mereka gabungan beberapa angkatan, termasuk AD. Latihan itu berlangsung sejak Juli hingga
September 1965. Jumlah mereka 2.000 orang. Pimpinannya Mayor Udara Sujono, Komandan
Resimen Pasukan Pertahanan Pangkalan (PPP) yang bermarkas di Kramatjati, Jakarta. Dulu, selain
PPP, AURI memiliki Pasukan Gerak Tjepat (PGT). Keduanya kini bergabung dalam satuan
Kopaskhas (Komando Pasukan Khas) TNI AU.

Apa tujuan pelatihan di Lubangbuaya itu?

Untuk menghadapi neokolonialisme-imperialisme (nekolim), dulu kita berusaha agar pangkalan-


pangkalan vital dijaga dengan baik. Istilah Bung Karno (Presiden RI-1) dulu kan "Inggris kita
linggis, Amerika kita setrika". Mengingat pasukan kita tidak banyak, ada ide untuk melatih
masyarakat. Itu yang dilaporkan Sujono. Itu sebenarnya mirip Rakyat Terlatih (Ratih) sekarang.
Ternyata kemudian Sujono melampaui kewenangannya. Dia ambisius dalam mengejar karir dan
pangkat. Dia berbuat sesuatu yang ingin bisa disebut wah.

(Menurut A. Andoko, Sekretaris Jenderal PPAU, pelatihan di Pondokgede itu inisiatif Sujono.
Akhir September, pimpinan AURI telah memerintahkan agar pelatihan itu dihentikan karena
tujuannya dianggap tidak jelas. Juga ditemukan bahwa mereka yang dilatih itu kebanyakan orang
dari PKI. Padahal, mereka semestinya direkrut dari berbagai unsur kaum nasionalis, agama, juga
komunis. Karena ketidakseimbangan itu, pelatihan tersebut diperintahkan untuk dihentikan.)

Apa tindakan Anda setelah mengetahui pelatihan itu?

Itu bukan wilayah kekuasaan saya. Apa wewenang saya untuk menghentikannya? Waktu itu Markas
Besar AU juga menanyakan, apakah Halim sudah mengadakan latihan bersenjata. Jawabannya:
saya baru di sini dan belum menyelami keadaan masyarakat di sini. Saya dilantik sebagai Komandan
Pangkalan Halim pada 24 Mei 1965, sekitar empat bulan sebelum peristiwa G30S-PKI.
Sebenarnya apa ancaman untuk pangkalan itu?
87 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Dulu, suatu peristiwa peledakan tempat amunisi pernah terjadi di Pangkalan Udara Iswahyudi,
Madiun. Kejadian itu mengandung unsur subversi. Momentumnya beberapa waktu setelah peristiwa
pembakaran Kedutaan Inggris di Jakarta. Apakah ini bentuk balas dendam oleh pihak Inggris,
saya tidak bilang begitu. Yang jelas, waktu itu Angkatan Udara kita terkuat di Asia Tenggara,
sementara banyak perlengkapan AU dipasok dari Rusia. Inggris dan Amerika Serikat iri dan
khawatir.

Apa yang Anda alami pada peristiwa 30 September 1965?

Malam itu, saya berada di rumah saya di Jalan Madura, Menteng. Ajudan Omar Dhani mendatangi
saya pada pukul 22.00. Kata dia, saya harus segera pergi ke Pangkalan Halim karena Komodor Leo
Watimena, Panglima Komando Operasi (Koops) AU, akan mengadakan briefing penting. Sesampai di
Halim, saya bertemu Leo. Komandan-komandan skuadron bawahan saya dan perwira-perwira staf
Koops AU sudah berkumpul di sana. Leo menyampaikan briefing singkat yang diberikan Omar
Dhani sebelumnya. Kata dia, Omar Dhani mengatakan akan terjadi sesuatu di kalangan AD.
Beberapa jenderal yang dikatakan kontrarevolusioner akan ditangkapi dan diculik oleh grup yang
menamakan diri progresif revolusioner.

Dalam briefing diberitahukan nama-nama jenderal itu?

Tidak. Dalam briefing, saya menanyakan siapa jenderal yang akan diculik, juga siapa yang
menamakan diri progresif revolusioner itu. Leo mengatakan bahwa dia memberikan briefing tidak
lebih dan tidak kurang dari yang dia dengar dari Omar Dhani. Bahwa itu (soal penculikan jenderal
dan kelompok progresif revolusioner) adalah urusan intern AD. Kata Leo, kita tidak usah ikut
campur, kita adalah AURI, tapi kita siap siaga saja. Dia kelihatan marah saya tanya itu.

Setelah itu, apa yang Anda lakukan?

Lalu saya mengumpulkan semua staf: perwira intel, komandan skuadron, perwira operasi, dan lain-
lain. Saya laksanakan perintah Pangkoops untuk menyiagakan penjagaan Halim. Saya minta warga
sekitar juga dijaga. Setelah itu, saya ingin pulang ke rumah untuk mengganti pakaian sipil dengan
pakaian militer. Dalam perjalanan pulang, saya berpikir terus mempertanyakan siapa yang disebut
progresif revolusioner itu. Kalau kita mau mengadakan operasi, kan info intel harus jitu. Tapi, ini
infonya tidak lengkap.

(Dalam buku Kesaksian, Wisnu mencoba bertanya ke kakak iparnya, Kolonel CPM Drajad, soal
briefing dari Leo itu, tapi Drajad mengaku tidak tahu-menahu soal itu. Juga jawaban setali tiga
uang diperoleh Wisnu ketika dia menanyakannya ke Letnan Kolonel Sugianto, staf intelijen dari
CPM.)

Jadi, sebenarnya AD sudah mengetahui rencana penculikan tersebut karena Anda sudah
bertanya ke Drajad dan Sugianto?
Mereka berdua tidak tahu, lalu mereka kasak-kusuk setelah itu. Jawaban yang mereka terima
juga sangat rahasia.
Soal kepergian Presiden Soekarno ke Halim, apakah itu berkaitan dengan standar
pengamanan presiden?

88 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Oh, ya. Begitu ada berita presiden akan masuk ke Halim, kita langsung menyiapkan tempat Leo
untuk istirahat.

Apa alasan Bung Karno ke Halim?


Menurut Kolonel Saelan, mantan ajudan Presiden RI 1, Bung Karno sendiri yang menentukan untuk
pergi ke Halim. Mungkin itu jalan yang lebih dekat daripada ke Pelabuhan Tanjungpriok. Mungkin
juga karena Omar Dhani ada di situ sehingga Bung Karno merasa lebih aman.

Apakah setelah Bung Karno datang di Halim, keamanan lebih ditingkatkan?

Harus.

Siapa yang mengamankan Pangkalan Halim?


Ya, ada sebagian dari anggota PGT. Jumlah personelnya mungkin tidak mencapai satu kompi. Juga
ada Polisi AU yang berkekuatan tidak mencapai satu kompi. Karena kejadiannya bertubi-tubi, kita
tidak bisa menjalankan perintah operasi yang jitu. Dalam peristiwa itu, dua orang PGT tertembak.
Berapa lama Soekarno di Halim?

Dari sekitar pukul 10.00 hingga pukul 22.00. Tetapi, akhirnya diputuskan lewat darat menuju
Bogor.

Apakah ada pasukan pemberontak di Halim?

Siapa? Mungkin kita dicap sebagai pasukan pemberontak. Padahal, justru kita yang loyal pada
Panglima Tertinggi.
Bagaimana peristiwa baku tembak itu terjadi?

Itu terjadi pada 2 Oktober. Resimen Para-Komando Angkatan Darat (RPKAD) sebenarnya
mengejar batalyon dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Batalyon itu lari masuk ke dalam pangkalan
dan dikejar. Lalu, terjadi pertempuran di Jalan Pondokgede. Tapi, dua prajurit kita yang
tertembak itu sebelum RPKAD perang dengan batalyon tersebut.
Apa alasan RPKAD memaksa masuk Halim?

Ya, itu perintah dari Soeharto (Panglima Komando Cadangan Strategis AD waktu itu). Katanya,
mereka mau membersihkan Halim dari pasukan komunis dan orang-orang komunis yang di dalam
pangkalan.

Siapa pasukan komunis yang dimaksud?

Tidak tahu. Mungkin pasukan Sujono itu. Tapi mereka tidak tahu latihan itu di luar pangkalan.

RPKAD tidak mengontak Anda sebelum masuk Halim?


Oh, tidak. Pokoknya, kejar saja itu Wisnu.
Kenapa dua batalyon itu ada di sana?

Katanya, mereka akan ikut parade Hari Ulang Tahun ABRI 5 Oktober.
Kenapa mereka ditempatkan di sekitar Halim?
Sebetulnya di jalan by pass (dari Cawang ke Tanjungpriok). Mungkin agar mereka lebih leluasa ke
Senayan bila ingin latihan.

89 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Apakah senjata chung yang dilaporkan Soeharto ke Bung Karno itu milik AURI?
Bukan hanya milik AURI, Angkatan Darat juga punya. Yang jelas, itu bukan dari gudang di Halim.
Saya tidak menyimpan chung.
Siapa saja tokoh yang datang ke Halim?
Aidit. Jangan lupa, waktu itu dia Menko (D.N. Aidit adalah menteri koordinator dalam Kabinet
Dwikora). Waktu itu saya diminta untuk menyiapkan pesawat untuk menerbangkan dia ke Jawa
Tengah.

Atas perintah siapa?

Saya memperoleh perintah dari Leo. Sebenarnya, dia juga memperoleh perintah dari atasannya.
Kenapa Aidit bisa terbang dari Halim?

Dia kan Menko. Waktu itu, kita kan belum mengetahui yang terlibat (peristiwa 30 September) itu:
Aidit, PKI, atau agen rahasia AS?

Jadi, bukan hal yang aneh bila Aidit terbang dari Halim?

Menurut saya tidak. Kita belum tahu, apakah Aidit ini bajingan atau bukan.

Kapan Aidit terbang?

Tidak lama setelah Presiden Soekarno ke Bogor. Sekitar pukul 00.00, 2 Oktober. Katakanlah
karena itu kita bersalah. Tapi, dari sudut kacamata siapa kita bersalah? Kita loyal kepada Pangti.
Kita profesional.
Bagaimana soal keterlibatan orang-orang AURI, seperti Heru Atmodjo dan Gathut
Soekrisno?

Tidak ada anggota AURI yang menyiksa (tujuh pahlawan revolusi). Kolonel Heru Atmodjo (waktu
itu Asisten Direktur Produksi Intelijen Departemen AU, berpangkat kolonel) itu intel kita. Dia
bergerak ke mana saja, kok dimasukkan sebagai salah satu penggerak? Dia sendiri tidak merasa.
Sedangkan keterlibatan Gathut Soekrisno (waktu itu mayor udara yang diperbantukan pada
Inspektur Jenderal Politik Ekonomi Sosial AURI) jelas. Dia anak buah Sujono.

Apakah Anda diperiksa juga? Berapa lama?

Oh, ya. Sebentar. Saya diperiksa oleh anak buah Leo (Komando Operasi AU). Sebelum saya
menjadi Atase Militer Kedutaan RI di Washington D.C., kan harus ada semacam clearance
(penjernihan).

Anda lulus pemeriksaan Teperpu?


Oh, ya! Saya diperiksa Teperpu (Team Pemeriksa Pusat) Komando Operasi Pemulihan Keamanan
dan Ketertiban hanya beberapa jam. Mungkin hanya tiga sampai empat jam. Pertanyaannya sama
dengan apa yang diajukan anak buah Leo kepada saya.

Kenapa Anda tidak dijadikan saksi dalam persidangan Omar Dhani?

90 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

I'm the biggest wolf of Halim (Saya serigala paling besar dari Halim).
Apakah waktu itu ada usaha dari AURI untuk mencarikan saksi kunci yang bisa meringankan
Omar Dhani?
Yah, terus terang saja, AURI waktu itu sudah keple (lembek). Mereka semua sudah takut kepada
Soeharto.

Apakah perintah harian Omar Dhani sebagai reaksi waktu itu gambaran umum sikap AURI?

Ya, itu, kita loyal. Kejadian itu memang bertubi-tubi, terus ada ralat, kan.

Bisa jadi AURI terkena imbas G30S-PKI karena sikap itu salah satunya?
Mungkin, atau bisa juga sudah ada suatu rekayasa sebelumnya, kan (Wisnu dan yang lain-lain
tertawa).

Apa yang dimaksud dengan rekayasa?


Ya, sudah ada skenario sebelumnya. Ini mungkin, lo, ya, ha-ha-ha.... AURI jadi kambing hitam.

Kok, AURI dijadikan kambing hitam? Apa sebelum itu AURI "musuh" AD?

Omar Dhani dan A. Yani (Letnan Jenderal TNI AD waktu itu) itu kawan dekat dan akrab.

Lalu, kenapa AURI dijadikan kambing hitam?

Yang di Pak Yani itu siapa?

Bagaimana perasaan Anda dituduh komunis?

Ketika buku putih pertama sejarah G30S-PKI diterbitkan, anak saya yang kuliah di Universitas
Padjadjaran Bandung membacanya. Di buku itu, nama saya ditulis sebagai komunis. Wow, saya
kejar si Domo (Sudomo, mantan Panglima Kopkamtib waktu itu, yang menyusun buku putih). Saya
bilang, "Ini ada apa?" Domo itu kan begitu. Dia dangkal sekali. Jawaban dia, "Ya, kalau tidak benar,
kan tidak apa-apa.?" Terus saya mengatakan, "Lo, kalau tidak benar tidak apa-apa bagaimana?
Kalau cucuku bilang, oh, eyangku itu komunis, bagaimana?" Setelah itu, buku putih itu diganti dan
nama saya sudah tidak disebut lagi.

Jadi, apa inti buku yang kini tengah Anda susun bersama teman-teman?

Intinya adalah "you listen to us, we're telling you a story". Mbok kita sekali-kali didengerin, dong.
Seperti iklan di TV itu, lo, ha-ha-ha.? Nah, baru setelah itu, Anda yang menilai, kita bohong atau
tidak. Buku itu akan kami terbitkan Agustus nanti.

14 Juni 1999

Sesudah Pius Bicara

PIUS LUSTRILANAG: MENOLAK BUNGKAM

Penulis : F. Sihol Siagian

91 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Penerbit : Grasindo, Jakarta, 1999

Tebal : 98 halaman

Memahami Pius. Itulah yang ditawarkan buku ini. Isinya bukan hanya kesaksian atas penculikan
yang dilakukan anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus), tapi juga ide-ide Pius tentang
tentang gerakan mahasiswa, hak atas tanah, agama, sampai pluralitas partai politik. Judul Menolak
Bungkam bertitik tolak dari kesaksian Pius setelah dilepaskan penculiknya pertengahan April
1998. Kesaksiannya tentang pengalamannya sebagai korban penculikan menggegerkan Tanah Air
terutama karena, secara tersirat, terungkapnya keterlibatan penguasa yang menggunakan militer
sebagai alat represi terhadap rakyatnya. Pius ternyata berhasil melawan rasa takutnya dari
ancaman pembunuhan atas dirinya. Karena keberhasilan melawan rasa takut itulah Pius eksis. Kalau
bukan karena penculikan dan kesaksiannya, Pius akan seperti para aktivis lain, yang hampir tanpa
nyawa—karena tak berani bersaksi—setelah dizalimi. Sebenarnya, bukan hanya Pius yang pernah
melakukan kesaksian seperti itu. Aktivis Pijar, Hendrik Sirait, yang pernah disiksa oleh aparat
militer, pernah mengungkapkan kekejaman aparat Orde Baru. Dan kesaksian itu dimuat di media
massa. Hanya, bedanya, pengakuan Pius menjadi sorotan karena terjadi tepat pada masa
keruntuhan Soeharto (sebulan sebelum Soeharto berhenti sebagai presiden), sehingga kesaksian
Pius menjadi catatan sejarah. Tampaknya, Pius telah dijemput sejarah. Ariel Heryanto, dalam
kata pengantar buku ini, menunjukkan bahwa kekerasan politik di tahun-tahun terakhir kekuasaan
Orde Baru tak berawal dari penculikan Pius dan kawan-kawan seperjuangannya. Pembredelan tiga
media massa di Jakarta pada 1994, penyerbuan brutal kantor pusat Partai Demokrasi Indonesia
di pusat Ibu Kota pada 1996, dan kekerasan politik pada era menjelang kejatuhan Soeharto
seperti roda raksasa yang menggelinding di sebuah lembah curam, melindas apa saja yang ada di
depannya. Dan pengakuan Pius menjadi salah satu pemicu pengungkapan bobroknya Orde Baru.
Sayangnya, buku yang dibuat dengan dengan gaya tanya jawab ini tampak dipaksakan untuk
menonjolkan sisi keimanan Pius.

Padahal, selama ini, keimanannya tak pernah menonjol dalam aktivitasnya, sehingga Pius sebagai
sosok yang "kembali ke pangkuan Tuhan" sebetulnya bukan sebuah bagian yang dominan dari
karakterisasinya. Keberanian Pius, menurut dia, memang bersumber dari keimanan, tapi bukan
bagian ini yang sebetulnya paling dominan dari sosok aktivis itu.

Buku
Sesudah Pius Bicara

Kisah dari Balik Jeruji

salam
iwa

iwamardi wrote:

Aduh mak, Omie dear !


Tulisanmu ini sangat menggugah hatiku.

Sekali pukul 3 lalat :

92 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

1) Membongkar kembali, bagaimana kebiadaban "budaya" orba yang meracuni bangsa


Indonesia ini, sampai anak anak kecilpun terlanda arus lumpur busuk ini dan ikut
menteror phisik dan psichik kepada sesamanya , anak anak teman bermain mereka .
Aku sangat kagum akan ketegaran dan keberanianmu ,Omie ! Tak kurang jasa dan
penghargaanku terhadap pendukung utama keutuhan dan kebulatan tekad dan jiwamu :
ibundamu yang Omie paling sayangi !

Pukulan mematikan kepada para (yang masih buta) pembela rejim orba, yang masih
saja menutup nutupi dosa besar dan kebangkrutan rejim itu dan bahkan ada yang
memimpikan kembalinya rejim biadab itu !

2) Tindakan tegasmu : melawan ! adalah tindakan yang membutuhkan keberanian. Dan alhasil,
dengan berlawan, berlarianlah anak anak ("teman teman"??) sebayamu yang tak sedar
terracuni ideologi rejim orba dan orang tua mereka !
3) Bukti ini sekaligus menyapu bersih pendapat yang hanya "menunggu, harus tenang, jangan
terprovokasi, jangan ber emosi" dan lain lainnya seperti chotbah pendeta yang tak tahu
situasi, bagaimana harus membalas serangan musuh dengan tepat dan yang membikin
mereka kocar kacir, bukan hanya berpikir dan berpikir berpikir sampai......badan remuk
dilempari batu "teman teman" mu itu !

Seperti seorang teman milis yang melukiskan : "Tenang, sabar, jangan melawan kekerasan
dengan kekerasan.....sehingga achirnya Hitler berkuasa dan membantai berjuta juta ( k.l.
16 juta!) orang orang tak bersalah yang melawan atau tidak setuju ideologi Nazi di
Jerman saat itu !".

Pengalamanmu sangat berharga yang patut dishare seluas luasnya ,Omie !

salam

iwa

--- In RumahKitaBersama@yahoogroups.com, ati gustiati <hatiku_rumahku@...> wrote:

Ketika saya masih kecil, setiap hari pulang sekolah saya ditimpukin kerikil sama anak2 jahil krn
saya anak PKI, saya diam kan saja, ibu pun menasehati utk tidak melawan, lari saja secepatnya
nak, begitu nasehatnya, lalu saya sering melamun, saya diamkan anak2 itu semakin dasyat
menimpuki saya, bahkan menyiram saya dengan air comberan, saya tidak pernah menangis dgn
kekerasan, tetapi membuat saya berfikir mencari akal krn dorongan kemarahan, lalu saya
membuat bandring (ketepel), berbekal batu kerikil disetiap kantong serta tas sekolah sampe
berat oleh kerikil, kadang membawa tongkat kayu sebagai tambahan senjata saya, pulang sekolah
saya kencangkan ikat tali sepatu krn saya siap utk bertempur dan berlari sekencang kencangnya.
Di tikungan itu, saya mulai sibuk menjepret siapa saja dikerumun anak2 'bully' itu, saya memang
lincah bergerak kian kemari sehingga banyak anak2 yg sampe luka kepalanya, tidak puas saya
hampiri anak yg berhasil meluncurkan batunya dgn telak ke jidat saya, saya hajar tubuh anak itu
dgn kayu lalu saya lari ter-birit2 pulang, esok harinya para bully ini semakin berkurang jumlahnya,
saya semakin berani krn jumlah mrk semakin berkurang setiap hari hingga akhirnya menghilang.

Untuk menjadi seorang reaksioner di Indonesia memang membutuhkan pengorbanan karena ini
bukan sikap bangsa dan landasan hidup disana, musyawarah, cari jalan damai, yg penting boss
93 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

senang, yg penting suami terpuaskan kebutuhan sex nya, nah yg terakhir ini sangat menganggu
sekali bagi saya (smile little...), ada kebanyakan suami di tanah air menganggap tugas istri adalah
memuaskan kebutuhan sex suami, what ? emangnya ini lobang nenek moyangmu?
hahahahaha.....(kidding..), no its NOT, kita harus membela hak kita, kecuali kita hidup di negara2
yg tidak berdaulat, dimana rakyatnya tidak berdaya utk menolong dirinya sendiri, kalau kita
berdiam diri menerima perlakukan yg tidak senonoh, berarti kita menerima dan membenarkan
sikap mereka yg jelas salah, betul katamu pak Dan, inilah kelemahan kita, sikap nerimo dan
helpless ini sudah menjadi budaya masyarakat disana, and its very frustrating indeed !
Salam

Omie

From: Arya Agastya arya.agastya@...


--- In RumahKitaBersama@yahoogroups.com, "Marcopolo" <comoprima@> wrote:
TETAP TENANG DAN - JANGAN TER "PROFOKASI " DAN JANGAN UMBAR EMOSI. KEPALA
TETAP HARUS DINGIN agar KITA BISA TETAP BERPIKIR DAN BERTINDAK DNG TEPAT!

**** Inilah tragisnya!

Yang tetap tenang, sangat tenang, dan tak menghindarkan kekerasan sesama umat..tenaaaanngg

Yang tak terprovokasi juga tenang, seolah tak ada apa apa.. termasuk pemerintah

Business goes on like usual.. business as usual..mal mal jalan terus, penuh pengunjung..
Yang berkepala dingin, sangat dingin, tanpa emosi melihat apa yang terjadi..terutama para elitis...
emang gue pikirin?

Ujung ujungnya kekerasan membudaya, kian men-jadi jadi..

65 tahun sejak kemerdekaan..

Atau?
Ini pernah terjadi di Jerman antara 1936 sampai 1939. Para elit, partai demokratis tetap
tenaaangg.. dari hari ke hari timbul kekerasan dari kelompok Nazi... menghancurkan kaca toko
toko Yahudi, memmaki maki, berbuat kekerasan..
rakyat Jerman jalan teerus, tak melihat... sampai sudah terlambat... kelompok kecil ini mengambil
alih kekuasaan..Hitler naik takhta... secara konstitutional..

ha ha ha

yang sampai sekarang sudah dikunjungi lebih dari 641 640 kali
Mengenang peristiwa 30 September 1965 Korban rejim Suharto (Orde Baru) berhak menuntut
keadilan !

Dalam mengenang peristiwa 30 September 1965 satu hal yang tidak bisa dilupakan adalah masalah
para korban kekuasaan militer Suharto atau rejim Orde Baru. Sebagai akibat atau dampak
peristiwa 30 September 1965 ini puluhan juta orang telah menjadi korban, yang terdapat di
banyak kalangan atau golongan dan dalam berbagai bentuk atau macam-macam keadaan.

Di antara para korban yang banyak sekali itu ada yang terdiri dari anggota atau simpatisan PKI,
tetapi juga banyak sekali yang tak ada hubungannya sama sekali dengan PKI. Yang jelas adalah
94 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

bahwa di antara para korban Orde Baru itu banyak sekali (bahkan sebagian terbesar) yang
menjadi pendukung politik Bung Karno, baik yang aktif sekali maupun hanya ikut-ikutan saja.

Karena Bung Karno adalah pemimpin revolusioner bangsa yang paling terkemuka dan Presiden
Republik Indonesia yang dicintai rakyat banyak, maka dengan sendirinya pendukungnya juga amat
banyak. Dan karena Bung Karno sejak muda sudah menunjukkan dirinya sebagai pejuang
revolusioner, maka dengan sendirinya pula, berbagai golongan yang berhaluan revolusioner (atau
golongan kiri) mendukung politiknya yang anti-kapitalisme, anti-kolonialisme, anti-imperialisme dan
pro-sosialisme.
Di antara berbagai golongan kiri itu PKI beserta puluhan ormas-ormasnya merupakan pendukung
utama politik Bung Karno, baik yang berkaitan dengan masalah-masalah dalam negeri (nasional)
maupun luar negeri (internasional). Dapatlah kiranya disimpulkan bahwa dukungan yang kuat dari
PKI terhadap Bung Karno adalah karena adanya persamaan pandangan revolusioner dalam
perjuangan untuk kepentingan bangsa menuju masyarakat adil dan makmur, yang bebas dari
penindasan manusia oleh manusia dan penindasan bangsa oleh bangsa.

Berbagai peristiwa anti Bung Karno dan anti-PKI di masa lalu

Sebenarnya, kaum reaksioner dalam negeri (antara lain : sebagian dari kalangan Masyumi, PSI,
dan sebagian dari Angkatan Darat) sudah sejak lama mempunyai sikap yang anti-Bung Karno dan
anti-PKI, jauh sekali sebelum peristiwa 30 September 1965. Di antara tonggak-tonggak sejarah
anti-Sukarno dan anti-PKI adalah (yang pokok-pokok atau yang besar) : RMS, peristiwa Kahar
Muzakkar, peristiwa Andi Azis, DI-TII, peristiwa 3 Selatan, PRRI-Permesta.

Dalam berbagai peristiwa anti-Bung Karno dan anti-PKI itu sudah terlibat campur-tangan
kepentingan imperialisme (terutama Belanda, Inggris dan Amerika Serikat) yang bersekongkol
dengan agen-agennya di dalam negeri, secara langsung atau tidak langsung. Campur-tangan
kekuatan gelap Amerika Serikat yang langsung adalah ketika terjadi masalah PRRI/Permesta,
yang kemudian disusul dengan bantuan -- dengan bermacam-macam cara – kepada kudeta
merangkaknya Suharto terhadap Bung Karno melalui peristiwa 30 September 1965.
Sekadar untuk menyegarkan ingatan kita bersama, patutlah disebutkan di sini bahwa dalam
berbagai peristiwa anti Bung Karno dan anti-PKI di masa-masa lalu telah terjadi banyak
penahanan atau pemenjaraan anggota-anggota atau simpatisan PKI (antara lain dalam peristiwa 3
Selatan, yaitu di Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan). Pembunuhan dan
pembunuhan massal terhadap orang-orang PKI (atau yang dianggap PKI) juga banyak terjadi
selama berlangsungnya peristiwa PRRI/Permesta antara tahun 1958-1960.

Tetapi pembunuhan massal dan penahanan besar-besaran yang paling luar biasa hebatnya dalam
sejarah Republik Indonesia adalah sesudah terjadinya peristiwa 30 September 1965. Sekitar 3
juta orang kiri (atau hanya diduga berhaluan kiri) dan menjadi anggota atau simpatisan PKI atau
pendukung Bung Karno dibantai secara massal dan biadab oleh pasukan militer atau oleh
berbagai kalangan (terutama sebagian dari kalangan Islam yang anti-Bung Karno, atas dorongan,
pimpinan, atau petunjuk pimpinan militer).
Seharusnya mereka semuanya tidak bisa dipersalahkan. Walaupun terjadi pembunuhan sebegitu
banyak orang, dan di berbagai tempat di seluruh negeri pula, namun selama 32 tahun rejim militer
Suharto berkuasa tidak banyak yang diketahui tentang apa sebenarnya yang terjadi dan sampai
di mana luasnya atau berapa besarnya pembunuhan massal itu.

95 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Karena, semua orang takut bicara terang-terangan, walaupun tahu serba sedikit, tentang apa yang
terjadi atas pembunuhan bapaknya, ibunya, anak-anaknya, atau saudara-saudaranya. Kebanyakan
di antara mereka hanya berani bicara bisik-bisik kepada keluarga terdekat yang bisa dipercaya.
Keadaan yang semacam itu banyak sekali yang berlangsung selama puluhan tahun, sampai hari
jatuhnya Suharto dan runtuhnya Orde Baru dalam tahun 1998.

Tidak dapat dibayangkan betapalah besarnya penderitaan keluarga yang punya saudara dibunuhi
secara biadab seperti itu, sedangkan mereka tidak bersalah apa-apa kecuali menjadi anggota
(atau simpatisan PKI) atau hanya menjadi pendukung Bung Karno. Dan sekalipun menjadi anggota
PKI atau simpatisannya, mereka seharusnya tidak bisa dipersalahkan, karena waktu itu PKI adalah
partai yang sah dan legal, punya wakil dalam parlemen dan pemerintahan, dan menjadi pendukung
utama Presiden RI, Bung Karno, yang juga PBR (Pemimpin Besar Revolusi, menurut keputusan bulat
MPRS).
Selama puluhan tahun korban tindakan Orde Baru ini tidak bisa berbuat apa-apa, karena
menghadapi kekuasaan militer yang terus-menerus melakukan terror, persekusi dan intimidasi,
yang hebat sekali intensitasnya. Mereka tidak bisa mengadu atau minta perlindungan dan
pembelaan kepada siapapun. Dan kebanyakan orang pun tidak berani membela mereka.

Korban lainnya rejim militer Suharto adalah ratusan ribu tahanan politik golongan A, B, dan C,
yang ditahan atau dipenjarakan atau dimasukkan kamp-kamp tahanan yang terdapat hampir di
seluruh pulau-pulau yang penting, sampai bertahun-tahun, tanpa diadili, dan terbukti tidak
bersalah apa-apa juga. Di antara tapl-tapol itu ada yang dibuang ke dalam tahanan di pulau
Buru sampai kurang lebih 10 tahun. Mereka juga harus meninggalkan keluarga mereka, yang
kebanyakan terpaksa hidup sulit sekali karena berbagai macam penderitaan.

Pelanggaran HAM yang jarang bandingannya di dunia

Sampai sekarang adalah sulit sekali diperkirakan jumlah anggota-anggota keluarga yang
ditinggalkan para korban yang dibunuh, dan para tapol yang dipenjarakan berkepanjangan ini, yang
terdiri dari istri atau suami, atau anak-anak dan saudara-saudara terdekat mereka, yang ikut
dalam penderitaan.

Kalau diingat itu semua, maka nyatalah bahwa dosa-dosa Suharto bersama Orde Baru-nya akibat
kejahatan-kejahatannya yang begitu besar dan tidak manusiawi itu merupakan pelanggaran HAM
yang jarang bandingannya di dunia, kecuali yang dilakukan oleh Hitler. Namun, yang lebih biadab
lagi adalah bahwa Suharto -- beserta pendukung-pendukungnya dari berbagai golongan – telah
melakukan macam-macam kejahatan atau pelanggaran HAM besar-besaran itu terhadap
bangsanya sendiri !
Dan lagi, kalau diingat bahwa jumlah orang yang dibunuh secara sewenang-wenang dan membabi-
buta itu begitu banyak, maka dosa Suharto (dan pendukung-pendukungnya) adalah juga besar
sekali. Sebab kalau membunuh satu orang yang tidak bersalah saja sudah harus dihukum lebih dari
10 tahun, maka membunuh atau menyuruh bunuh (atau harus bertanggung jawab atas pembunuhan)
jutaan orang tidak bersalah, berapa besarkah hukuman yang seharusnya dijatuhkan kepada
Suharto atau pendukung-pendukung setianya.
(Dalam kaitan ini, baiklah kita ingat bersama bahwa Antasari Azhar dijatuhi hukuman 18 tahun
penjara, karena dinyatakan oleh pengadilan telah membunuh Direktur PT Putra Rajawali, Nasrudin
Zulkarnain. Juga bahwa Tommy Suharto divonnis 15 tahun penjara karena terlibat dalam
pembunuhan hakim agung Syafiudin Kartasasmita)
96 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Jutaan orang dibunuh, namun tidak seorangpun dikenakan hukuman


Kita sama-sama tahu bahwa meskipun sudah ada jutaan orang yang sama sekali tidak bersalah
apa-apa telah dibunuh secara sewenang-wenang dan biadab pula, namun tidak seorang pun yang
dituntut atau dikenakan hukuman. Inilah yang keterlaluan luar biasanya !!! Seolah-olah
pembunuhan begitu banyak orang itu dianggap tidak ada saja, atau dianggap soal remeh yang bisa
« dicuekin » saja. Sungguh keterlaluan, sungguh ! Satu ayam, atau satu kambing, atau satu sapi
mati saja ada artinya, apalagi kalau jumlahnya jutaan. Apalagi, sekali lagi apalagi ( !), yang mati
(dibunuh) adalah jutaan manusia-manusia yang tidak bersalah apa-apa sama sekali. Marilah
sama-sama kita renungkan dalam-dalam masalah yang begini besar dan menyedihkan ini.

Dosa-dosa yang sudah berat dari pembunuhan massal yang berskala besar di seluruh negeri itu
ditambah lebih berat lagi dengan pemenjaraan ratusan ribu orang lainnya (yang sama sekali juga
tidak bersalah apa-apa !!!) dengan sewenang-wenang, dan dalam jangka lama sekali pula. Mereka
semua itu juga dipaksa harus meninggalkan keluarga mereka dalam penderitaan yang
berkepanjangan.

Pendidikan politik dan pendidikan moral untuk bangsa

Sebagian kecil dari bermacam-macam kisah tentang anggota-anggota keluarga yang ditinggalkan
oleh mereka yang dibunuh dan dipenjarakan sebagai tapol itu sudah banyak ditulis sebagai artikel
dalam majalah-majalah atau sebagai buku, atau ada juga yang dibikin film, walaupun tidak banyak.
Karena itulah, maka sedikit demi sedikit, dan hanya sebagian kecil saja dari masalah korban
tindakan penguasa militer Suharto itu mulai diketahui oleh masyarakat.

Tetapi, masih banyak sekali ( !) masalah yang sebenarnya tentang korban rejim militer Orde Baru
yang belum diketahui oleh rakyat kita, karena belum bisa terungkap akibat berbagai sebab. Di
samping sisa-sisa Orde Baru masih berusaha untuk menghalanginya, juga masih banyak orang yang
takut atau enggan berbicara terus terang. Dan sebagian di antara mereka yang memilih diam saja,
dan membiarkan apa yang sudah terjadi mereka tanggung sendiri saja, untuk tidak menimbulkan
persoalan atau kesulitan.
Padahal, segala penderitaan yang diakibatkan oleh berbagai kejahatan penguasa militer dan Orde
Baru terhadap para korban beserta keluarga (dan saudara-saudara mereka itu ) perlu sekali
diketahui sebanyak-banyaknya dan sejelas-jelasnya oleh rakyat kita. Ini untuk kepentingan
sejarah bangsa kita dan anak cucu kita di kemudian hari. Juga untuk pendidikan politik dan
pendidikan moral bagi generasi muda dewasa ini serta generasi-generasi yang akan datang, supaya
pengalaman bangsa yang begitu menyedihkan dan begitu tidak manusiawi itu tidak akan terulang
lagi untuk kedua kalinya.
Karena itu, para korban kejahatan rejim militer Suharto itu patut berusaha terus, dengan macam-
macam jalan dan cara, untuk selalu mengangkat masalah besar bangsa ini setiap ada kesempatan
atau kemungkinan. Kegiatan semacam itu tidaklah sekadar karena dendam dan membalas sakit
hati, walaupun jutaan orang sudah dibunuhi secara biadab dan ratusan ribu lainnya dipenjarakan
sebagai tapol. Kegiatan semacam itu perlu sekali dilakukan, sesering mungkin atau sebanyak
mungkin, demi dihargainya rasa keadilan oleh seluruh bangsa, termasuk mereka yang tadinya
pernah mendukung Suharto beserta Orde Barunya.

Para korban rejim Orde Baru berhak menuntut keadilan

97 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Mengingat itu semuanya, patutlah kiranya sama-sama kita hargai -- dan kita dukung -- segala
usaha atau kegiatan yang dilakukan oleh berbagai kalangan dan golongan (umpamanya, antara lain :
oleh LPR-KROB, YPKP, Pakorba, Komnas HAM) untuk selalu menyegarkan ingatan bangsa kita
kepada tragedi besar yang telah menimbulkan begitu banyak korban. Apa yang mereka lakukan itu
sangatlah perlu dan juga mulia bagi keseluruhan bangsa, termasuk bagi anak cucu kita di kemudian
hari.

Para korban rejim militer Suharto yang begitu banyak itu -- terutama sekali yang dari golongan
kiri dan pendukung politik Bung Karno -- sudah terlalu lama ( kebanyakan sudah sekitar 45 tahun),
mendapat berbagai perlakuan yang melanggar HAM dari penguasa (dan juga dari sebagian
masyarakat). Mereka itu berhak menuntut dan berjuang bersama-sama untuk memperoleh hak
mereka sebagai warganegara yang lain atau direhabilitasi sepenuhnya.
Mereka juga berhak sepenuhnya – dan sudah seharusnya pula – untuk menuntut diperbaikinya
kesalahan-kesalahan yang begitu besar dan ditebusnya dosa-dosa berat yang sudah dilakukan
begitu lama oleh Orde Baru beserta para penerusnya. Diperbaikinya kesalahan dan ditebusnya
dosa-dosa terhadap para korban itu akan mendatangkan kebaikan bagi kehidupan bangsa, yang
sampai sekarang masih tercabik-cabik, atau tersayat-sayat, sehingga melukai Pancasila dan
merusak Bhinneka Tunggal Ika.

Tidak ada kebaikannya memperpanjang penderitaan para korban


Penyelesaian secara tuntas dan integral masalah korban rejim militer Orde Baru ini akan
merupakan salah satu dari langkah-langkah penting menuju persatuan bangsa, yang sejak
pemerintahan Orde Baru dirusak atau dibusukkan oleh berbagai masalah besar lainnya.
Sebaliknya, kalau masalah para korban Orde Baru ini tetap tidak ditangani secara baik, maka akan
tetap terus menjadi duri dalam daging bangsa, yang sekarang sudah dalam keadaan sakit
parah ini.

Jelaslah kiranya bagi kita semua, bahwa bangsa dan negara kita tidak akan mendapat keuntungan
apa-apa sama sekali dengan adanya berbagai penderitaan para korban rejim militer, yang masih
terus berlangsung puluhan tahun, sampai sekarang ! Demikian juga bagi para pendukung Suharto
dan Orde Barunya ( atau sisa-sisanya dan penerusnya sekarang), tidak ada kebaikannya sama
sekali untuk melanjutkan -- terus-menerus -- kesalahan dan dosa besar yang sudah berlangsung
berkepanjangan itu.

Sebaliknya, masih terkatung-katungnya nasib para korban begitu lama itu hanya menunjukkan
bahwa para penguasa, yang bertanggung jawab di masa yang lalu dan sekarang, adalah orang-orang
yang sama sekali tidak mempunyai rasa kemanusiaan, yang rusak moralnya, yang sesat imannya,
dan yang menyalahi perintah-perintah agama atau Tuhan. Orang-orang yang macam inilah yang
juga membikin negara kita penuh dengan koruptor, orang-orang munafik, yang suka bersekongkol
dengan kaum reaksioner di dalam negeri dan luar negeri, termasuk dengan kekuatan neo-
liberalisme.

Dalam makamnya di Blitar, pastilah Bung Karno marah sebesar-besarnya melihat begitu banyak
orang kiri pendukungnya dibunuhi secara besar-besaran dengan cara-cara yang sama sekali
bertentangan dengan kebiasaan dan kepribadian bangsa Indonesia, dan dengan Pancasila serta
Bhinneka Tunggal Ika.

Keadilan bisa ditegakkan dengan Meneruskan Revolusi Rakyat

98 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Oleh karena itu, maka para korban rejim militer Orde Baru, berhak sepenuhnya berjuang terus
untuk ditegakkannya keadilan bagi mereka dan juga bagi bangsa seluruhnya. Namun, sekali lagi
namun, kita semua tahu bahwa keadilan bagi para korban rejim militer Suharto tidak mungkin
ditegakkan selama kekuasaan masih terus ada di tangan kaum reaksioner yang anti ajaran-ajaran
revolusioner Bung Karno atau anti-kiri pada umumnya. Sebaiknya, ilusi bahwa kekuasaan
reaksioner bisa menegakkan keadilan bagi bangsa haruslah dibuang jauh-jauh saja.

Keadilan bagi semua golongan, termasuk para korban rejim Suharto barulah bisa ditegakkan di
negeri kita hanya melalui perubahan-perubahan besar dan fundamental. Dan untuk mewujudkan
perubahan-perubahan besar dan fundamental itu, jalan yang terbaik atau cara yang paling tepat
adalah jalan Meneruskan Revolusi Rakyat, yang sudah ditunjukkan oleh Bung Karno berulangkali
melalui ajaran-ajaran revolusionernya
Paris, 15 September 2010
A. Umar Said
====

Bung Achmad yb,

Kalau boleh saya memberikan sedikit pendapat atas kebingunan anda. Pertama, sejarah adalah
catatan kenyataan yang terjadi dimasa lampau, yang dicatat sebagaimana adanya. Jadi, sejarah
tidak seharusnya dimanipulasi sesuai kehendak yang berkuasa. Menghilangkan yang tidak disukai
dan mengadakan yang tiada, memutar balikkan kenyataan yang terjadi, menghitamkan yang putih
dan memutihkan yang hitam, ... sebagaimana terjadi selama jenderal Soeharto berkuasa lebih 32
tahun itu. Oleh karena itu, dimasa demokrasi dan reformasi belasan tahun terakhir ini setelah
Soeharto lengser, dimana orang mempunyai kebebasan untuk bersuara, banyak orang
berkesempatan mengungkap kenyataan dan kebenaran yang disembunuyikan, yang selama ini
diputarbalik oleh penguasa. Dimasa Soeharto berkuasa, rakyat hanya diperbolehkan dan bisa
mendengarkan apa yang suarakan penguasa, hanya suara Soeharto-lah yang dianggap sebagai satu-
satunya "kebenaran".
Kedua, melihat kenyamanan hidup dari masa kemasa, hendaknya melihat faktor objektif ketika itu
dan bagaimana pemerintah berkuasa menangani masalah. Coba kita lihat dimasa Presiden
Soekarno berkuasa, 20 tahun pertama setelah Merdeka, benar-benar Republik ini dilahirkan
dalam kemiskinan sangat parah, itulah peeninggalan koloni Belanda. Sudah begitu Desember tahun
49 hasil Perundingan KMB, ternyata RI diharuskan membayar "KERUGIAN" yang diderita Belanda
dalam perang Agresi I/II. Padahal perang itu justru dilancarkan Sekutu bersama Belanda dalam
usaha merebut kembali Nusantara ini untuk dijadikan jajahan Belanda kembali. Sungguh tidak adil.
Sudah sangat miskin masih harus "ganti-rugi", tapi itulah kenyataan yang dihadapi RI.
Kemudian kita juga harus melihat kenyataan lain, akibat politik Presiden Soekarno yang
menghendaki kebebasan Bangsa Indonesia untuk menentukan sendiri politik dan ekonomi,
menentang dicocok-hidung oleh imperialisme AS, menuruti kehendak yang hanya menguntungkan
AS semata. Akibatnya, AS melancarkan usaha mendukung mati-matian kaum reaksioner di dalam
negeri untuk menggulingkan dan mengganti Presiden Soekarno, ... berulangkali mencoba membunuh
Presiden Soekarno, bahkan juga melancarkan PEMBERONTAKAN DI/TII dan PRRI/Permesta.

99 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Dalam keadaan objektif yang dihadapi RI ketika itu, bisa dimengerti pembangunan ekonomi untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat tertangguhkan, karena harus dahulukan mengatasi keamanan
negara, ... dan tahun 63 usaha membebasakan Irian Barat yang masih saja dikangkangi Belanda.
Setelah G30S meletup ditahun 65, kemudian jenderal Soeharto berhasil merebut kekuasaan
dengan kekejaman yang luar biasa menebas PKI dan membantai pengikut Bung Karno, dan dengan
menjalankan politik yang berlawanan dengan Presiden Soekarno, tidak hanya membiarkan modal
asing masuk menanamkan modal, tapi juga mengobral harta kekayaan alam bumi Nusantara secara
besar-besaran, ... menguras habis-habisan kekayaan minyak, batubara, besi, emas, ikan-laut
bahkan hutan belukar juga menjadi gundul. Dan melihat di tahun 70 sampai dengan awal 90
ekonomi dunia sedang menanjak naik, maka dengan sendirinya ekonomi Indonesia yang kebetulan
dibawah kekuasaan Soeharto juga terangkat naik. Alhasil, kesejahteraan rakyat dilapisan
menengah diarasakan lebih baik. Serba berkecukupan dirasakan banyak orang. Sekalipun tidak
bisa dipungkiri dilapisan rakyat terbawah yang belasan juta bahkan puluhan juta tetap dalam
kehidupan papa-miskin, ...

Tapi ingat, selama 32 tahun lebih Soeharto berkuasa, yang menjalankan kebijaksanaan
persekongkolan antara penguasa dan pengusaha, yang disatu pihak melahirkan segelintir
konglomerat sebagai gelembung-gelembung sabun gemerlapan yang menyilaukan mata, dipihak lain
merusak hancurkan sistem ketata-negaraan. Telah terjadi korupsi dan manipulasi dalam birokrasi
Pemerintahan, boleh dikatakan telah membusukan birokrasi Pemerintah yang sangat parah, karena
aparat HUKUM juga sudah terjadi korupsi dan manipulasi kasus/perkara. Kebobrokan yang
terjadi sangat parah demikian ini, tentu tidak mudah dibenahi. Siapapun Presiden berikut yang
berkuasa akan kewalahan dan sulit untuk mengatasi masalah berat ini, kecuali berani mendobrak
birokrasi lama untuk membangun birokrasi Pemerintahan yang baru sama sekali, lepas dan jauh
dari pencoleng-pencoleng yang selama ini masih saja bercokol.

Sudah bisa dipastikan, dengan birokrasi Pemerintah yang masih saja dipenuhi koruptor,
perampok-perampok kekayaan negara, dengan sendirinya kesejahteraan rakyat tidak akan bisa
dientaskan dengan baik. Rakyat banyak tetap saja dibiarkan dalam kemiskinan, ...

Salam,
ChanCT

----- 原始郵件-----
寄件者: achmad fatoni
收件者: inti-net@yahoogroups.com
傳送日期: 2010年9月27日 10:21
主旨: Re: [inti-net] Stigmatisasi dan Narasi Sejarah 1965
Mudah2an buku ini bisa jadi referensi menguak sejarah, tapi yg saya bingung ( pendapat pribadi
yg ga tau apa2 ), kalo memang orde baru sejahat itu dgn segala propagandanya, tapi kok rakyat
waktu masa orde baru merasa aman, nyaman, sembako terjangkau, tdk sulit mencari kerja...beda
dgn jaman sekarang jaman reformasi ..kebalikannya...apakah ada penulis buku yg ingin menguak
kemana arah reformasi indonesia ini...untu rakyat atau segelintir orang saja, banyak bukti di
mana2 dengungan perbaikan ekonomi tercapai tapi mereka yg di pelosok atau yg di pinggir ibukota
banyak yg hidup di bawah garis kemiskinan....mari kembali kepada nilai2 Pancasila dan UUD 45 ,
Bhineka Tunggal Ika....majulah indonesiaku.
100 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Achmad Fatoni ( Tony )


________________________________
From: sunny <ambon@tele2.se>
To: Undisclosed-Recipient@yahoo.com
Sent: Mon, September 27, 2010 2:26:15 AM
Subject: [inti-net] Stigmatisasi dan Narasi Sejarah 1965

http://www.jawapos.co.id/mingguan/index.php?act=detail&nid=157122

[ Minggu, 26 September 2010 ]

Stigmatisasi dan Narasi Sejarah 1965


TRAGEDI 1965 berlalu, ingatan tak menghilang, trauma masih tersisa, dan stigma terus
menghantui. Sejarah berdarah itu memang luka besar, aib untuk Indonesia. Kita mengenang
dengan gambaran tentang kekerasan, penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan. Gambaran buruk,
kelam, hitam ditampilkan Orde Baru dalam produksi buku sejarah, buku pelajaran, film, pidato,
atau penataran. Propaganda Orde Baru ingin membuat ''hitamnya hitam'' PKI, kendati harus
mengorbankan jutaan orang: dipenjara, diasingkan, didiskriminasikan, atau dimatikan.

Episode arogansi Orde Baru secara politik berakhir, tapi model sebaran dan internalisasi stigma
atas peristiwa 1965 masih mengendap dalam diri masyarakat. Stigma seolah mau diabadikan.
Segala bentuk penghitaman disahkan melalui represi ingatan. Politik-militer dijadikan sumber
untuk memunculkan pendefinisian pelaku, korban, dalang, atau pahlawan. Peristiwa 1965 mirip
pementasan teater.
Jadi, perhitungan tokoh, alur, konflik, atau latar memang sengaja ditampilkan pemilik otoritas
tertinggi atas nama dominasi kekuasaan. Orde Baru berhasil memanipulasi teater sejarah itu
dengan menakjubkan sekaligus mengenaskan.

Jejak-jejak sejarah kelam, ulah Orde Baru, konsekuensi indoktrinasi atas ingatan sejarah
mendapatkan penjelasan apik dan kritis dalam buku Kuasa Stigma dan Represi Ingatan garapan Tri
Guntur Narwaya. Buku ini tidak dimaksudkan sebagai kajian sejarah. Penulis sekadar menempuhi
''jalan sejarah'' untuk menguak pelbagai manipulasi sejarah oleh rezim Orde Baru. Sorotan
hermeneutika digunakan dengan kemauan mencari terang tafsiran, menyingkap dominasi politis,
dan penyadaran atas pelbagai kepalsuan sejarah.
***
Penulis mengingatkan, publik selama ini terpaku pada puncak kisah pembunuhan dan kudeta pada
peristiwa 1965. Padahal, itu sekadar bagian kecil dari narasi besar sejarah. Pandangan tersebut
seolah mengabaikan episode-episode lanjutan usai tragedi. Produksi stigma atas para anggota dan
simpatisan PKI menjadikan mereka menanggung dosa sejarah selama puluhan tahun. Orde Baru
sengaja menciptakan mitos, membangun monumen, dan menulis ''sejarah resmi'' untuk menghabisi
PKI. Represi ingatan pun dilakukan untuk menjamin lakon politik Orde Baru. Narasi-narasi
tandingan dibungkam, dihancurkan, dan dipinggirkan dengan dalih subversi, anti-Pancasila, atau
anti-NKRI.
Monopoli sejarah berlangsung sejak Orde Baru dilahirkan dan setelah kejatuhan. Hari ini kita
masih merasa segala stigma dan represi ingatan, kendati haluan politik berubah dan penyadaran
ideologis digulirkan dengan spirit reformasi. Kondisi ganjil itu membuat penulis mengajukan
101 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

perspektif hermeneutik untuk menggenapi, mengimbangi, mengkritisi pelbagai kajian tentang


tragedi 1965. Kerja atau model penafsiran sejarah tersebut diacukan pada kegelisahan, empati,
dan motivasi ilmiah atas problem korban arogansi-politik Orde Baru. Penulis menginginkan riset
(kerja penelitian) tidak sekadar memenuhi hasrat akademik, tapi sanggup mengantarkan orang
untuk menyentuh realitas sosial. Interpretasi kritis pun mesti disadari bakal dihadapkan pada
politik kepentingan dominan. Kutipan atas pemikiran Paul Ricouer merepresentasikan spirit buku
ini: ''Interpretasi selalu akan membuka ruang untuk perbedaan dan konflik.''

***
Pergumulan tafsir memerlukan penelisikan dan pembongkaran ideologi. Penulis mendasarkan
analisis ideologi dengan memakai konsepsi besar John B. Thompson dalam mengolaborasi pelbagai
ideologi mutakhir. Mekanisme sebaran dan penanaman ideologi oleh Orde Baru dibongkar dengan
sasaran untuk mengetahui stigmatisasi atas para korban, PKI, dan komunisme. Jadi, kerja
tafsiran ada dalam pelbagai tahap dan memerlukan kejelian. Penulis mesti bergulat untuk memilih,
memilah, dan menilai pelbagai data. Hasrat pembongkaran ideologis itu bisa terepresentasikan
melalui model kebijakan, pengetahuan publik, dan permainan simbol.

Contoh pelik dari ketegangan tafsir adalah pemunculan simbol palu dan arit. Simbol itu terus
termaknai secara politik, identik dengan ulah PKI, kudeta, juga menandai kebangkitan komunisme.
Jadi, bentuk pelarangan buku dan aksi kekerasan gara-gara penggunaan simbol palu dan arit biasa
terjadi setelah kejatuhan rezim Orde Baru. Dominasi ideologi dan stigmatisasi terjadi dalam
pembacaan dan tafsir simbol. Thompson menjelaskan bahwa konsep ideologi menunjukkan usaha
mobilisasi makna. Simbol jadi lahan pertarungan untuk kepentingan dominasi atas segala resistansi
dalam tafsir dan tindakan. Ungkapan dari Kathryn Tanner bisa jadi acuan: ''Sejarah penafsiran
adalah sejarah pergulatan.''

***

Buku ini seolah ingin menarik pembaca pada pergulatan intim dalam membaca dan menafsirkan
narasi besar sejarah 1965. Dominasi politik Orde Baru kentara memberikan efek ideologis
mendalam, efek berkepanjangan, dan menghuni dalam bawah sadar publik kendati rezim berganti.
Baskara T. Wardaya dalam pengantar menjelaskan: ''Jika korban pembunuhan masal mencapai
sekitar setengah juta orang, buku ini mengingatkan kita bahwa stigmatisasi itu korbannya lebih
banyak dan kurun waktunya lebih panjang.'' Jadi, buku ini bisa menjadi pemicu penyadaran untuk
menilik ulang cara membaca dan menafsirkan tragedi 1965 dan ulah Orde Baru.

Stigmatisasi adalah model penghancuran dan pembinasaan sistematis. Kita kerap mengabaikan itu
karena indoktrinasi Orde Baru, represi politik, dan keburaman ingatan. Metafor komunis, orang
kiri, Gestapu telah menciptakan gambaran kejam dalam sejarah Indonesia. Pemaknaan politis oleh
Orde Baru membuat kita terjebak pada stigmatisasi dengan pamrih ideologis. Buku ini menyapa
kita untuk mengoreksi, mengkritisi, dan mengubah tafsiran agar ada pemahaman komprehensif
tentang sejarah 1965 dan efek-efek lanjutan. Buku ini mengingatkan kita untuk peka sejarah dan
melawan tafsir dominasi ideologis. Begitu. (*)
*) Bandung Mawardi , pengelola Jagat Abjad Solo
Judul Buku: Kuasa Stigma dan Represi Ingatan
Penulis : Tri Guntur Narwaya
Penerbit: Resist Book, Yogyakarta
Cetakan: September 2010
102 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Tebal: xlii + 250 halaman


Peristiwa 1965, Sebuah tragedi Kemanusiaan Dalam Sejarah Bangsa

―Apakah masih perlu kita memperingati hari tersebut berdasarkan penulisan sejarah yang
dilakukan orde baru yang penuh rekayasa?‖
(Refleksi dari generasi X)

Ketika kita berbicara mengenai peristiwa 65, maka yang terbayang dalam benak kita adalah
peristiwa ‗pemberontakan PKI‘ pada tanggal 30 September 1965 atau dikenal dengan Gerakan 30
September (G30 S/PKI). Sejarah yang ditulis orde baru tentang peristiwa 65 ini adalah Partai
Komunis Indonesia (PKI) saat itu akan melakukan kudeta terhadap kepemimpinan Soekarno dan
berencana menjadikan Indonesia menjadi negara komunis. Kudeta yang akan dilakukan PKI saat itu
memakan korban 7 orang jendral di kalangan angkatan darat di Jakarta dan dua orang di
Yogyakarta.
Pembunuhan sadis dan kejam terhadap para jendral tersebut, serta kepahlawanan Soeharto
dalam mengatasi situasi yang ‗genting‘ saat itulah yang ditonjolkan oleh film G30S PKI karya
sutradara besar Arifin C Noer. Setiap tanggal 30 September kita diwajibkan menonton film itu
sehingga tanpa tersadar kita didoktrin oleh pemerintahan orde baru yang dipimpin Soeharto atas
peristiwa yang terjadi tahun 1965 tersebut.

Kita tidak pernah tahu bahwa sesungguhnya peristiwa 65 tidak hanya menimbulkan korban dari
kalangan Angkatan Darat (AD) tapi juga ribuan rakyat sipil yang tidak tahu menahu mengenai
peristiwa tersebut karena dianggap terkait dengan PKI.

Mereka yang haknya dirampas, dianiaya, dilecehkan, diperkosa, dibuang, diasingkan, dianggap
bukan manusia, dan berbagai macam perlakuan yang dapat disebut sebagai pelanggaran atas hak
asasi manusia (HAM).

Pengakuan Sarwo Edhi (mantan komandan RPKAD) yang bertanggungjawab atas operasi
pembasmian orang-orang yang dianggap terlibat dalam ‗kudeta‘ 1965, tercatat sekitar 3 juta
orang yang telah di‘lenyapkan‘nya. Jumlah ini belum termasuk yang ditahan di berbagai penjara di
daerah-daerah Beberapa lembaga korban peristiwa 1965 seperti Lembaga Penelitian Korban
Peristiwa 65 (LPKP ‘65), Paguyuban Korban Orde Baru (Pakorba) atau Yayasan Penelitian Korban
Peristiwa 1965 (YPKP) mencoba melakukan penyusuran kembali data orang-orang yang ditangkap,
ditahan, dianggap hilang dan dibunuh. Namun sampai saat ini belum ada angka pasti berapa jumlah
korban peristiwa 1965 dari kalangan rakyat sipil yang dianggap terkait dengan PKI. Peristiwa 65
merupakan peristiwa besar dalam sejarah Indonesia. Begitu banyak pertanyaan yang timbul
berkaitan dengan peristiwa tersebut.
Terdapat banyak skenario peristiwa yang dipaparkan oleh berbagai pihak yang menjadi saksi dan
korban pada tahun 1965. Pemerintah orde baru pun mengeluarkan sebuah buku berjudul ―Gerakan
30 September, Pemberontakan Partai Komunis Indonesia,‖ sebagai dokumen resmi yang
menjelaskan latar belakang, aksi dan penumpasannya. Dokumen yang dikeluarkan oleh Sekretariat
Negara Republik Indonesia tahun 1994, berhasil memberikan pemahaman pada generasi muda
terutama yang lahir setelah 1965, bahwa peristiwa 1965 semata-mata peristiwa pemberontakan
Partai Komunis Indonesia atau PKI.

Pada jaman Soekarno berkuasa, PKI merupakan partai yang memiliki massa yang besar. Terutama
berhasil mendapat posisi dalam empat besar pada pemilu 1955. Apalagi terdapat kebijakan
103 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Soekarno dengan politik Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis) sebagai upaya mempersatukan
bangsa Indonesia yang saat itu terbagi dalam tiga kekuatan yaitu kaum nasionalis, agamais dan
komunis. Politik nasakom memberi ruang bagi ketiga kekuatan tersebut untuk saling
mengembangkan diri dan menyatukan ideolgi dalam wadah-wadah partai politik. Ketiga kekuatan
inilah yang mendukung ide-ide dan perjuangan Soekarno untuk melanggengkan kekuasaannya
selama bertahun-tahun. Di dalam perkembangannya, ide dan perjuangan Soekarno banyak
didukung oleh kaum komunis dan sosialis, terutama dengan konsep marhaenisme, yang dekat
dengan ide sosialis dan komunis. Soekarno sebagai pendukung utama ekonomi kerakyatan dapat
dijawab dengan keberadaan PKI.

Tahun 1960-an Soekarno mengambil kebijakan anti nekolim (anti neo kolonialisasi, liberalisme dan
imperalisme), yang artinya ketergantungan ekonomi kepada negara-negara blok barat diputuskan.
Indonesia pun mulai melirik ke blok-blok timur. Soekarno membentuk hubungan poros Jakarta-
Peking-Moscow. Negara-negara timur yang sosialis dan komunis. Akibatnya ajaran sosialis,
komunis, marxis, dibebaskan. Bukannya salah untuk mempelajari semua ideologis yang ada, namun
cita-cita luhur Soekarno yang ingin mempersatukan Indonesia dengan semua ideologinya tidak
mungkin ketika ideologi itu saling bertentangan. Kalangan agama menuduh kalangan komunis tidak
bertuhan, lalu kalangan komunis menuduh kalangan nasionalis pro dengan liberalisme dalam hal ini
Amerika dan Inggris.
Ketika ‗perang‘ ideologis saling tarik menarik dikalangan masyarakat Indonesia saat itu, pihak-
pihak yang memang menghendaki kekuasaan Soekarno diakhiri karena dianggap sesudah terlalu
lama berkuasa, mencoba memanfaatkan situasi tersebut. Peristiwa 1965 merupakan puncak dari
segala pertentangan ideologis tersebut. Skenario-skenario politik berbagai pihak dimainkan dalam
sandiwara perang ‗Bharatayudha‘, sebuah perang saudara dalam pewayangan Jawa. Yang timbul
kemudian adalah korban dari rakyat sipil yang tidak mengetahui sama sekali skenario-skenario
politik yang tengah dimainkan. Para rakyat hanyalah menjadi wayang, yang siap di‘korbankan‘ oleh
dalangnya. Intinya, peristiwa 30 september 1965 merupakan trigger factor bagi operasi paling
efektif pembasmian sebuah ideologi.
Namun uraian diatas hanyalah sebagian cukilan kecil dari penelitian, riset dan kajian yang telah
banyak dilakukan untuk mengurai skenario peristiwa 30 September1965. Beberapa hasil dan teori
bahkan telah diuraikan dalam buku-buku dapat dibagi dalam 6 teori yaitu :
1. Skenario yang disetujui oleh pemerintah orde baru bahwa pelaku utama G 30 S
adalah PKI dan Biro Khusus, dengan memperalat unsur ABRI untuk merebut
kekuasaan dan menciptakan masyarakat komunis di Indonesia.
2. Skenario kedua yakni G 30 S merupakan persoalan internal AD, yang merupakan
kudeta yang dirancang mantan presiden, Soeharto

3. Sedangkan untuk skenario ketiga bahwa CIA-lah yang bertanggungjawab dengan


menggunakan koneksi di kalangan AD bertujuan menggulingkan Soekarno dan
mencegah Indonesia menjadi basis komunisme
4. Skenario yang dibuat oleh Inggris dan Amerika bertujuan menggulingkan Soekarno
5. Merupakan skenario yang paling kontroversial dengan menempatkan Soekarno
sebagai dalang dari G 30 S untuk melenyapkan pemimpin oposisi dari kalangan AD

104 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

6. Teori chaos, gabungan dari nekolim, pemimpin PKI yang keblinger dan oknum ABRI
yang tidak benar

Teori atau skenario apapun yang dijalankan saat itu oleh pihak-pihak yang masih dianggap
misterius, dikarenakan belum adanya kesepakatan untuk menunjuk satu pihak yang
bertanggungjawab dalam peristiwa 1965, peristiwa tersebut telah menorehkan luka yang sangat
dalam bagi sebagian besar warga Indonesia. Sekitar 500.000 juta jiwa telah menjadi korban,
tewas dibunuh hanya karena diduga menjadi kader, simpatisan atau anggota PKI. Tragedi ini juga
telah mengakibatkan penderitaan bagi 700.000 orang rakyat Indonesia termasuk keluarganya.
September tanggal 30, memang sudah lewat, namun ada yang perlu dicermati ketika memasuki
bulan Oktober. Tanggal 1 Oktober yang disebut sebagai hari Kesaktian Pancasila, ternyata masih
dirayakan dengan upacara di kawasan Lubang Buaya. Upacara tersebut ditujukan untuk
memperingati ‗kesaktian‘ dari Pancasila, sebagai lambang negara yang menurut sejarah Orde Baru
akan digantikan oleh Palu Arit sebagai lambang komunis. Singkatnya, para komunis yang waktu itu
tergabung dalam Partai Komunis Indonesia berencana mengkudeta pemerintahan Soekarno dan
mengkomuniskan Indonesia.

Yang menjadi pertanyaan dalam benak saya, ―apakah masih perlu kita memperingati hari tersebut
berdasarkan penulisan sejarah yang dilakukan orde baru yang penuh rekayasa?‖ Sementara
penulisan sejarah akan selalu bersikap subjektif karena ditulis oleh pihak yang berkuasa. Memang
benar ketika peristiwa 1965 beberapa jendral angkatan darat terbunuh. Memang benar telah
terjadi korban dalam peristiwa tersebut, dan korbannya tidak hanya dari golongan agama atau
nasionalis tapi juga komunis. Semua pihak merupakan korban. Lalu apa yang harus dikritisi
kembali?

Yang harusnya dikritisi yaitu pandangan-pandangan yang masih saja menganggap peristiwa 1965,
terbunuhnya para jendral dan korban-korban lain dari non komunis dikarenakan golongan komunis
ingin berkuasa. Tidak ada dokumen yang pasti yang menunjukkan komunislah dalam hal ini PKI yang
bertanggungjawab atas semua. Bahwa kemudian yang terjadi adalah pembantaian dan penangkapan
para anggota, simpatisan ataupun orang yang dekat dengan PKI, bukanlah suatu tindakan yang
dapat dibenarkan.

Peristiwa 1965 merupakan peristiwa yang masih mengundang banyak pertanyaan bagi semua orang.
Dan kenyataannya tidak ada satu dokumenpun yang dapat ditunjukkan oleh pemerintahan orde
baru mengenai peristiwa tersebut sebagai upaya kudeta oleh PKI ataupun usaha penggantian
Pancasila sebagai lambang negara. Karena bukti yang baru didapatkan bahwa pada dalam sidang
penentuan Pancasila tahun... sebagai simbol negara, justru dari PKI lah yang memiliki suara
terbanyak dan mendukung Pancasila. Golongan agama justru ingin memberlakukan syarikat islam
dan mengganti lambang Pancasila dengan simbol islam.

Jadi, ketika dikatakan PKI sebagai anti Tuhan, kita harus mulai kritis dengan membedakan
komunisme sebagai ideologi dengan marxisme atau leninisme karena sebagai ide atas penghapusan
sistem kelas dalam masyarakat, semuanya berbeda. Orde barulah yang menjadikan semua ideologi
diatas sebagai larangan, yang artinya sama dengan anti agama.
Oleh : Diyah Wara, Anggota Sidang Redaksi Sekitarkita dan Ruang Ganti.

Sumber :
http://www.facebook.com/l/c4770k4_S3cuJLlon5uXREJg_bw;dev.progind.net/modules/smartse
ction/makepdf.php?itemid=93
105 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

MENGENANG 45 TAHUN TRAGEDI KEMANUSIAAN INDONESIA


(Bagian 1)
Setiap tahun, bulan September adalah satu bulan yang tidak bisa dilupakan begitu saja bagi
bangsa dan rakyat Indonesia. Karena, akhir bulan ini, dan awal Oktober membuat berbagai
kalangan di Indonesia teringat kembali kepada tragedi kemanusiaan 45 tahun yang lalu yaitu
dibunuhnya 6 Jenderal Angkatan Darat oleh kaum militer yang tergabung dalam Gerakan 30
September, yang menjadi alasan dan membuka kesempatan buat Jenderal Suharto menghabisi
orang-orang komunis dan golongan kiri pendukung Bung Karno. Suharto dengan licik dan tipu daya
memanipulasi keadaan dan melakukan kejahatan kemanusiaan yang tiada taranya, hingga
memuluskan jalan bagi nya buat mengambil dan merebut kekuasaan Presiden RI dari tangan Bung
Karno.bahkan secara perlahan membunuhnya. Semua itu dilakukan Suharto dengan alas an
"menumpas G30S"

Semenjak 1 Oktober 1965, Angkatan Darat dan Suharto melakukan kejahatan kemanusiaan
dengan melakukan genosida, pembunuhan besar-besaran terhadap jutaan orang yang tidak
bersalah, yang tidak berdosa apa-apa sama sekali. Di Jakarta, Jateng, Jatim, Bali, Aceh,
Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara
dan tempat-tempat lainnya di seluruh Indonesia, buminya bersimbah darah orang-orang yang
dibunuh secara kejam dan biadab karena dituduh komunis atau ada indikasi dengan komunis, dan
diberi cap sebagai "terlibat langsung maupun tidak langsung dengan G30S" yang diembel-embeli
dengan kata "PKI" di belakangnya.
Indonesia tercinta dibanjiri oleh darah dari orang-orang tak bersalah, darah bangsa Indonesia
sendiri, di mana segolongan manusia yang mengaku beragama dan berkebudayaan menjadi algojo-
algojo barbar dan bertindak melebihi serigala buas atas sesamanya sebangsa dan se tanah air.

Pembunuhan besar-besaran yang dilakukan dengan pimpinan, atau pengarahan, atau hasutan
militer di bawah Jenderal Suharto dalam tahun-tahun 1965-1966 itu merupakan kejahatan yang
luar biasa besarnya terhadap peri kemanusiaan dan merupakan aib besar serta dosa maha-berat,
dan tidak bisa dilupakan begitu saja, sebab, mereka yang dibunuh ini kebanyakan adalah anggota
atau simpatisan PKI dan berbagai organisasi massa buruh, tani, nelayan, prajurit, pegawai negeri,
wanita, pemuda, mahasiswa, pelajar, pengusaha dan berbagai kalangan masyarakat lainnya, yang
jumlahnya tidak kurang dari 3 juta nyawa. Pengakuan Mantan Komandan RPKAD Kol. Sarwo Edhi
Wibowo sendiri didepan Komisi Pencari Fakta, bahwa dia sendiri dan 400 orang anak buahnya-
anggota RPKAD- telah membunuh 3 juta orang komunis. Hal ini dilakukannya ketika RPKAD
dibawah pimpinannya melakukan operasi pembunuhan atas orang-orang kiri di Jakarta, Jawa
Tengah, Jawa Timur dan Bali, mulai Oktober 65 - Januari 1966.
(Hasil investigasi yang dilakukan oleh Tim Pencari Fakta, lebih dikenal sebagai Komisi Lima yang
dipimpin oleh Menteri Dalam Negeri sat itu, Mayjen Dr. Soemarno, dengan angota-anggota
Moejoko (Polri), Oei Tjoe Tat SH, Mayjen. Achmadi (ex. Brigade XVII/TP) dan seorang lagi dari
tokoh Islam, menyebut bahwa jumlah korban pembunuhan yang dilakukan atas perintah Soeharto
sekitar 500 ribu orang. Bahkan menurut pengakuan mendiang Letnan Jenderal Sarwo Edhie
Wibowo kepada Permadi SH, jumlahnya mencapai sekitar tiga juta orang. "Itu yang ia suruh bunuh
dan ia bunuh sendiri" kata sumber ini.

106 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1998/08/26/0011.html)

Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan begitu kejam tanpa perikemanusiaan. Di Sumatra,


terutama Aceh, para korban dipenggal dan kepalanya ditancapkan diatas sepotong kayu/bambu
dan dipajangkan disepanjang tepi jalan untuk tontonan. Di Sumut, para wanita diperkosa beramai-
ramai kemudian tubuhnya dicincang dan dibuang ke kali. Di Sumbar, korban dalam keadaan hidup,
diikat dan ditarik oleh dua buah pedati/kereta lembu, hingga tubuh dan kepala bercerai berai.

Di Painan, Sumbar, seorang gadis SMP, yang melindungi ayahnya yang dituduh PKI oleh pihak
militer, ditangkap dan dimasukkan kedalam karung, diikat kemudian dilempar ke sungai dan
meronta-ronta di dalam karung sampai menghembuskan napas terakhirnya. Di Jawa, kepala atau
leher korban yang dalam keadaan masih hidup, diikat ke sebatang pohon, dan kakinya diikat
kesebuah truk kemudian truk dijalankan hingga tubuh korban hancur berkecai. Di Surakarta, para
korban diikat berjejer diatas rel kereta-api dimalam hari untuk dilindas hancur oleh keretapi
yang datang melaju. Bahkan, diceritakan, bahwa yang melakukan hal itu konon adalah pihak
punggawa dalam keraton. Di Timor Barat, korban dipancung didepan anak dan istri hingga
darahnya memercik membasahi sekujur tubuh anak dan istri yang menjadi histeria. Di Bali, para
korban yang diambil dari dalam tahanan dibunuh dan tubuh serta bagian tubuhnya dicincang,
dipotong-potong.
Sungguh, perbuatan-perbuatan biadab yang pasti saja direstui dan juga dianjurkan secara diam-
diam oleh Suharto, (karena tiada pencegahan dari Suharto), telah menelan sangat banyak korban
bangsa Indonesia yang tak bersalah, tak melawan dan tak bersenjata, di tangan militer Angkatan
Darat dan gerombolan milisia pendukung Suharto. Demikian banyaknya korban pembunuhan itu,
sampai-sampai Bertrand Russel, pemikir besar Liberalisme, menyatakan "Dalam empat bulan,
manusia yang dibunuh di Indonesia, lima kali dari jumlah korban perang Vietnam selama 12 tahun"
("In four months, five times as many people died in Indonesia as in Vietnam in twelve years")
(Perang Urat Syaraf.Kompas 9 Pebruari 2001). Dia menyebut bahwa pembunuhan massal ini
sebagai hal yang amat mengerikan yang mustahil bisa dilakukan oleh "manusia".
Di samping itu juga telah ditahan atau dipenjarakan hampir 2 juta orang yang juga sudah terbukti
dengan jelas tidak bersalah apa-apa sama sekali dalam jangka waktu yang berbeda-beda, yang
ditahan sampai puluhan atau belasan tahun, di setiap kota dan pelosok tanah air, di antaranya 12
ribu orang dibuang dan dikerjapaksakan membuka lahan, hutan belantara di Pulau Buru, di bagian
Timur Kepulauan Indonesia untuk kepentingan penguasa militer. Dan disebabkan kerja paksa di
hutan belantara itu, banyak yang mati karena malaria, busung, disentri dan kurang makan Dan
yang masih hidup, setelah bertahun-tahun, para tahanan yang ratusan ribu itu dikeluarkan dari
tahanan begitu saja tanpa proses pengadilan. Tanpa adanya proses hukum dan pengadilan atas
mereka ini, jelas membuktikan bahwa mereka semua tidak bersalah. . Mereka dilepas dari tahanan
begitu saja setelah meringkuk belasan tahun, seperti ayam yang lama dikurung dan dikeluarkan
dari kandangnya untuk mencari makan.
Disebabkan oleh pembunuhan massal dan pemenjaraan jutaan orang-orang yang umumnya adalah
pendukung Bung Karno itu, maka puluhan juta istri para korban kekejaman Suharto/Ordebaru ini
(beserta anak-anak mereka) terpaksa hidup dalam kesengsaraan atau penderitaan yang
berkepanjangan, dikucilkan oleh pemerintahan militer yang berkuasa. Bahkan, banyak di antara
mereka yang sampai sekarang , walaupun presiden sudah silih-berganti, masih tetap menderita
akibat tindakan militer warisan Suharto itu. Banyak orangtua yang pernah ditahan oleh rezim

107 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Militer, takut mendekat kepada anak-anaknya yang telah menjadi manusia dewasa, demi menjaga
jangan sampai mereka menjadi korban intimidasi dan pengucilan masyarakat yang sudah begitu
lama diracuni ordebaru.. Dan tidak sedikit anak-anak yang takut dan tidak mengakui orangtua
mereka, karena orangtuanya pernah menjadi tapol rejim Suharto ataupun simpatisan komunis.
Kebudayaan bangsa Indonesia menjadi rusak karena politik "bersih lingkungan", suatu politik
meneruskan pembunuhan massal tanpa bedil seperti yang tercantum dalam Peraturan Mendagri
Amir Mahmud No: 32/1981, yang diskriminatif dan tidak manusiawi, yang membatasi dan melarang
semua kegiatan dan gerak orang-orang kiri, pengikut Bung Karno yang dianggap "tidak bersih".
"Karenanya, memperingati tragedi 1965 adalah perlu sekali. Sebab, menurut agama apapun di
dunia ini dan juga menurut nalar yang beradab, membunuh hanya satu orang yang tidak bersalah
saja sudah merupakan kejahatan yang mengandung dosa berat dan juga harus dihukum, maka
mengapa justru pembunuhan jutaan orang tidak bersalah itu didiamkan saja? Siapa-siapa sajakah
yang melakukan pembunuhan atau menyuruh bunuh begitu banyak orang itu? Dan siapa sajakah
yang harus bertanggung-jawab terhadap pemenjaraan begitu banyak orang tidak bersalah belasan
tahun lamanya itu? Semua ini juga merupakan aib besar sekali bagi bangsa, yang dibikin oleh
Suharto beserta para pendukungnya" (silahkan baca: Suharto bersama Orde Barunya adalah Najis
Bangsa. http://umarsaid.free.fr/))

Tentang Peristiwa dinihari 1 Oktober 1965, rasanya perlu dilakukan pencerahan, refreshing,
mengingat kembali apa yang terjadi yang merupakan titik tolak garis mundur dan kehancuran
bangsa. Sebagaimana diucapkan oleh Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng, menurut
Rakyat Merdeka Minggu, 01 Oktober 2006 di Jakarta. "Pengungkapan kembali tentang apa yang
terjadi saat itu memang perlu, Meski begitu, sejarah, terutama penggambaran suasana pada saat
itu, memang layak direnungkan. Sebab, peristiwa itu diyakini sebagai salah satu titik balik
pemerintahan Indonesia". Sadar atau tidak sadar, jubir Kepresidenan ini juga mengakui bahwa
kejadian Peristiwa 1965 sebagai titik balik pemerintah Indonesia.

Apa dan bagaimana Peristiwa 1965 itu, mari sedikit kita telusuri kembali , agar ingatan dan pikiran
senantriasa segar akan sejarah yang telah melanda bumi persada 45 tahun yang lalu, yang
mengakibatkan, kerusakan dan kemunduran bangsa sampai sekarang.

Pada subuh dinihari 1 Oktober 1965, sekelompok perwira muda Angkatan Darat seperti Letkol.
Untung, Kolonel A. Latief dan Brigjen Supardjo, melalui suatu gerakan yang mereka beri nama
Gerakan 30 September, bertindak melakukan penculikan dan penangkapan terhadap para perwira
tinggi Angkatan Darat yang mereka duga tergabung dalam organisasi "dewan jenderal" yang akan
melakukan kudeta terhadap Presiden Soekarno. Penangkapan dan penculikan yang katanya untuk
menghadapkan para jenderal kepada Presiden Sukarno itu, ternyata berakir dengan pembunuhan
para Jenderal, yang jenazahnya dibuang di sumur tua yang disebut Lubang Buaya . Enam Jenderal
dan seorang Perwira menengah menjadi korban di malam naas itu. Hal ini, semua mahkluk yang
bernama manusia di Indonesia tahu, karena selama 32 tahun pihak Orba Suharto mencekokkan
kepada bangsa Indonesia-dari anak taman kanak-kanak sampai kakek-kakek- bahwa G30S yang
katanya di dalangi oleh PKI, melakukan pemberontakan dan membunuh enam jenderal Indonesia.
Semua suratkabar dilarang terbit. Radio, TV, sk.Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha yang
dikuasai militer Suharto bicara tentang kebiadaban dan kekejaman G30S dan meyiarkan segala
fitnah dan rekayasa rejim Suharto. Bahkan Orba sengaja membuat sepesial film untuk itu,
tentang kekejaman, kebiadaban dan para para korban yang "bersimbah darah" yang setiap saat
selama Suharto berkuasa diputar, dipertonton dan dijejalkan kepada publik, sehingga lama

108 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

kelamaan, karena diputar terus-terusan, publik yang apatis dan masa bodohb dan mengganggap
bahwa apa yang dipertunjukkan dan ditayangkan itu "sebagai benar".

Namun, apakah yang dipropagandakan oleh Orba itu sesuatu hal yang benar, ataukah suatu taktik
politik berupa fitnah dan rekayasa untuk memancing kemarahan rakyat, guna memudahkan
Suharto dan pihak Angkatan Darat melakukan kudeta terhadap kekuasaan Presiden Indonesia
Bung Karno?

Tidak banyak orang yang tahu, bahkan tidak pernah disiarkan atau diberitahukan kepada umum
bahwa menjelang 30 September 1965 telah datang ke Jakarta, Batalyon dari Jawa Timur, Jawa
Tengah untuk mendukung gerakan yang bakal dilangsungkan pada malam harinya. Begitu juga
Batalyon Kujang Siliwangi dari Bandung.

Siapakah yang memanggil kesatuan militer dari Jatim, Jateng dan Jabar ini ke Jakarta? Apakah
Letkol Untung Samsuri yang hanyalah Komandan Batalyon I Pasukan Pengawal Presiden,
Cakrabirawa, yang menjadi Ketua G30S serta Kolonel A. Latief yang hanyalah Komandan Brigade
Infantri 1 Kodam V Jaya? Apakah mereka berdua yang memanggil Batalyon itu? Apakah mereka
berdua begitu berkuasa hingga bisa memanggil Batalyon dari Diponegoro dan Brawijaya dengan
peralatan siap tempur ke Jakarta? Sudah pasti, tidak! Yang memanggil Batalyon dari Jatim dan
Jateng untuk mendukung Gerakan 30 September serta Batalyon RPKAD dari Bandung yang
kemudian digunakanuntuk menumpas Batalyon yang mendukung G30S adalah Panglima Komando
Strategi Angkatan Darat (Pangkostrad), yaitu Mayor Jenderal Angkatan Darat Suharto! Jenderal
Suharto yang memanggil kesatuan militer itu untuk membantu G30S itu, sekaligus memanggil
Batalyon untuk menumpas G30S. Persis seperti pemain catur yang mempersiapkan dua pion yang
berlawanan dan bermain di kedua sisi. Dua pion (biji catur) yang berlawanan, untuk saling
menghabisi, namun satu pemainnya! Disinilah kelicikan Suharto!

Selaku Panglima Kostrad, Soeharto memberi perintah dengan telegram No. T.220/9 pada tanggal
15 September 1965 dan mengulanginya lagi dengan radiogram No. T.239/9 tanggal 21 September
1965 kepada Yon 530 Brawijaya Jawa Timur dan Yon 454 Banteng Raider Diponegoro Jawa
Tengah untuk datang ke Jakarta dengan kelengkapan tempur penuh. Ketika datang ke Kostrad
diterima oleh Soeharto dan juga dilakukan inspeksi pasukan pada tanggal29 September 1965.
Sedangkan Yon 328 Siliwangi datang dengan tanpa peluru. Tanggal 30 September 1965 jam 17.00
Yon 454 diperintahkan ke Lubang Buaya untuk bergabung dengan pasukan lainnya guna melakukan
gerakan pada malam harinya.

Pemanggilan pasukan ini sesuai dengan janji dan ucapan Suharto kepada Letkol Untung. Sebelum
"gerakan" itu melancarkan aksinya, Letkol. Untung yang tidak asing bagi Soeharto, mendatanginya
dan melaporkan rencananya. Soeharto mengatakan sikap itu sudah benar. "Bagus kalau kamu punya
rencana begitu. Sikat saja, jangan ragu-ragu". Kalau perlu bantuan pasukan akan saya bantu.
Dalam waktu secepatnya akan saya datangkan pasukan dari Jawa Timur dan Jawa Tengah"
Kolonel A. Latief dalam kesaksiannya kemudian mengatakan bahwa dia mengunjungi Suharto di
kediamannya di Jl Agus Salim, Jakarta dan membicarakan soal gerakan, tanggal 18 September 65,
tanggal 28 September 65. Dan pada 29 September 65 antara jam 9-10 pagi A. Latief menemui
Jenderal Suharto di RSPAD untuk mematangkan rencana. Dan pada 30 September 65 , jam 11.00
malam hari, Kolonel Latief mengunjungi Jenderal Soeharto lagi di RSPAD Gatot Subroto untuk
melaporkan situasi "gerakan" yang bakal dimulai empat jam lagi. .

109 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Melihat situasi dan pertemuan Kolonel A. Latief dan Jenderal Suharto sedemikian, lantas
bagaimana dan sampai di mana "kedudukan" Jenderal Suharto dalam G30S? Melihat situasi yang
demikian, maka tidak bisa dibantah bahwa Jenderal Suharto mengetahui rencana sebelumnya dan
memberikan bantuan militer kepada G30S untuk melaksanakan gerakannya. Dus, menurut
standard hukum Orba, Suharto mengetahui dan terlibat langsung dengan G30S! Dan sekali lagi,
menurut jatah hukuman Orba, yang mengetahui dan terlibat langsung dengan G30S, yaitu
Suharto, harus dihukum mati!

Dan seperti apa yang dilaporkan Kolonel A. Latief kepada Jenderal Suharto, maka dinihari 1
Oktober 1965, berlakulah penculikan dan pembunuhan atas 6 orang jenderal Angkatan Darat.

Pagi harinya, sebelum orang tahu apa yang terjadi, sebelum ada pemeriksaan, penyelidikan dan lain
sebagainya, mendengar berita tentang diculiknya para jenderal kanan Angkatan Darat itu, Yoga
Sugama yang tahun 50-an pernah dikirim oleh Zulkifli Lubis mengikuti pendidikan Intel pada MI-6
Inggris, pada pagi hari 1 Oktober 65 itu, mengaku lebih dahulu sampai di Kostrad. Sebagai
Asisten I Kostrad/Intelijen, atas kejadian pagi subuh 1 Oktober itu, serta merta Yoga Sugama
dan disokong oleh Ali Murtopo begitu saja mengatakan bahwa "hal itu pasti perbuatan PKI".

Selanjutnya, kalangan militer di bawah koordinasi Pangkostrad Mayjen. Soeharto melakukan


gerakan penumpasan sambil memperkenalkan "teorinya" tentang keberadaan PKI sebagai dalang
G30S. Isu keterlibatan PKI sebagai aktor utama G30S yang dikembangkan Soeharto ternyata
mampu menumbuhkan simpati dan dukungan kuat masyarakat terhadap gerakan penumpasan yang
dipimpinnya, apalagi setelah semua suratkabar dilarang terbit sejak 1 Oktober itu, kecuali koran
militer yaitu Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata yang merupakan terompet militer untuk
menebar luaskan teori, rekayasa serta fitnah yang diciptakan. Jam malam diberlakukan dari 6
sore sampai 6 pagi atas perintah Pangdam Jaya Letjen Umar Wirahadikusumah.

Para pengikut Soeharto membuat rekayasa tentang keberadaan anggota-anggota Gerwani dan
Pemuda Rakyat di Lubang Buaya jauh sebelum peristiwa, karena tempat itu adalah tempat latihan
Sukarelawan Ganyang Malaysia, namun ditutup sejak 26 September 1965. Dan ditebarkanlah isu
dan fitnah bahwa anggota-anggota Gerwani dan Pemuda Rakyat menyiksa para jenderal sebelum
dibunuh di Lubang Buaya.

"Sejak 4 Oktober 1965, ketika dilakukan pengangkatan jenazah para jenderal di Lubang Buaya,
maka disiapkanlah skenario yang telah digodok dalam badan intelijen militer untuk melakukan
propaganda hitam terhadap PKI dimulai dengan pidato fitnah Jenderal Soeharto tentang
penyiksaan kejam dan biadab, Lubang Buaya sebagai wilayah AURI. Hari-hari selanjutnya dipenuhi
dengan dongeng horor fitnah keji tentang perempuan Gerwani yang menari telanjang sambil
menyilet kemaluan para jenderal dan mencungkil matanya. Ini semua bertentangan dengan hasil
visum dokter yang dilakukan atas perintah Jenderal Soeharto sendiri yang diserahkan kepadanya
pada 5 Oktober 1965. Kampanye hitam terhadap PKI terus-menerus dilakukan secara
berkesinambungan oleh dua koran AD Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha, RRI dan TVRI
yang juga telah dikuasai AD, sedang koran-koran lain diberangus. Ketika sejumlah koran lain
diperkenankan terbit, semuanya harus mengikuti irama dan pokok arahan AD. Seperti disebutkan
dalam studi Dr. Saskia Eleonora Wieringa, mungkin tak ada rekayasa lebih berhasil untuk
menanamkan kebencian masyarakat daripada pencitraan Gerwani (gerakan perempuan kiri) yang
dimanipulasi sebagai "pelacur bejat moral". Kampanye ini benar-benar efektif dengan memasuki
dimensi moral religiositas manusia Jawa, khususnya kaum adat dan agama. ( Harsutejo: Jejak
Hitam Soeharto, Sejarah Gelap G30S dan Sekitar G30S http://kontak.club.fr/index.htm)
110 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Rakyat dihasut dan dipaksa memamah biak segala cekokkan fitnah dan rekayasa pihak militer
Suharto melalui surat-kabar militer.. Rakyat tidak sempat berpikir bahwa kekuatan Batalyon
Militer yang mendukung G30S dan kekuatan Batalyon Militer yang menghancurkan G30S itu
adalah Batalyon Militer yang datang dan hadir di Jakarta pada 30 September 1965 karena
dipanggil pertelegram oleh Pangkostrad Mayjen. Suharto. Lantas, dalam hal ini, di mana dan
bagaimana kedudukan Suharto di dalam G30S? Tidakkah sesugguhnya bahwa dia bermuka dua,
atau berlayar diatas dua buah perahu? Atau seperti ditulis diatas, pemain catur yang
menggunakan dua pion yang berlawanan?
Namun, fitnah dan rekayasa yang dilancarkan Angkatan Darat dengan menanamkan kebencian,
mengalahkan segala pikiran sehat. Para pengikut dan kaum milisia yang tergabung dalam segala
macam bentuk Komando Aksi di bawah naungan Angkatan Darat dan Angkatan 66 yang dibiayai
oleh kedutaan AS di Jakarta dengan jatah 5000 nasi bungkus setiap harinya dengan mengenakan
jaket kuning, berdemonstasi mendongkel Bung Karno dan mengharu birukan kota Jakarta, bahkan
menjalar sampai keseluruh pelosok tanah air.

Api menyala. Darahpun tumpah. Ketika kemarahan dan kebencian sudah meluas, pembunuhan
massal diorganisir dan terjadi secara sangat sistematis, seiring dengan pergerakan RPKAD. Di
Jakarta-begitu juga di seluruh pelosok tanah air- rumah dan gedung-gedung yang diduga milik
anggota atau simpatisan komunis dirusak dan dibakar. Orang-orang yang dituduh komunis,
ditangkap dan diarak oleh demonstran, dan dalam keadaan tak berdaya, di tengah-tengah massa
demonstran, korban ditusuk dan dibunuh dengan pedang sedang pihak militer hanya melihat dan
menonton. (Lihat film dokumen Australia Broad Casting: Riding The Tiger).

Peristiwa pembantaian di Jawa Timur diungkapkan Soekarno dalam pidato di depan Himpunan
Mahasiswa Islam di Bogor 18 Desember 1965. Soekarno mengatakan pembunuhan itu dilakukan
dengan sadis, orang bahkan tidak berani menguburkan korban. "Awas kalau kau berani ngrumat
jenazah, engkau akan dibunuh. Jenazah itu diklelerkan saja di bawah pohon, di pinggir sungai,
dilempar bagai bangkai anjing yang sudah mati."
Setiap tokoh baik dalam dan luar negeri berbicara mengenai jumlah korban pembunuhan massal
yang dibiarkan dan dijadikan alasan Suharto menghancurkan G30S itu. Setiap tokoh memberikan
data dan analisa. Namun si jago jagal Jenderal Suharto, bungkam tidak berkomentar mengenai
begitu banyaknya korban bangsa Indonesia yang dibunuh, bakan dia sendiri memerintahkan
Kolonel Jasir Hadibroto untuk "membereskan", memburu dan membunuh Ketua PKI D.N.Aidit.

(bersambung ke bagian 2)

MENGENANG 45 TAHUN TRAGEDI KEMANUSIAAN INDONESIA


(Bagian 2)
Sampai matinya karena kerusakan otak (gila?-pen) dan mesti dirawat oleh 40 orang dokter ahli,
Suharto tetap bungkam atas pembunuhan massal terhadap bangsa Indonesia yang dijadikannya
alasan menghancurkan G30S, dan melakukan kudeta merangkak memreteli kekuasaan Presiden R.I.
Bung Karno.

Tiga puluh dua tahun selama kekuasaan Suharto, rakyat dipaksa dan dijejali dengan sejarah
plintiran, ditipu dan diperbodoh melalui sejarah ciptaan dan karangan penjilat-penjilat Suharto.

111 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Sekarang, setelah 65 tahun semenjak kejadian genosida bangsa Indonesia tahun 1965/1966 itu,
keadaan rakyat dan bangsa Indonesia tidak ada perobahan. Sisa-sisa kaum milisia Orba yang
bertindak semaunya, masih berkeliaran di mana-mana dan tampil dengan berkedokkan organisasi
agama, pancasila dll., melakukan terror terhadap rakyat. Kehidupan rakyat makin hari makin
bertambah sengsara. Diperkirakan, 60% rakyat Indonesia adalah melarat, berpendapatan di
bawah minimum. Sedang sebagian menjadi kaya raya melewati batas. Politikus, Kapitalis, Pejabat
dan para Menteri Pemerintah, kekayaannya makin hari makin gendut dan melambung . Indonesia
jauh melencong dari yang dicita-citakan oleh founding fathers/mothers dan pejuang
kemerdekaan.

Kekayaan Indonesia dijarah dan dibagi-bagi oleh dan untuk para penguasa. Rakyat makin
dilupakan, dianggap seolah-olah sampah yang tak tahu apa-apa, terutama mereka yang semenjak
tahun 1965 menjadi korban fitnah dan rekayasa Suharto, yang keluarganya dibunuh, ditahan
belasan tahun, dibuang, dicabut kewarganegaraannya dan dikucilkan dari masyarakat dan dibatasi
ruang hidupnya. Mereka dianggap sebagai manusia berpenyakit kusta, harus dijauhi dan dianggap
sebagai pariah.

Setelah 65 tahun, mereka satu persatu meninggal dunia dalam kepapaan, dalam kemelaratan,
tanpa sedikitpun perhatian dari pemerintah tentang nasibnya. Bahkan keturunan dan sanak
saudara mereka sampai sekarang masih hidup menderita karena politik diskriminasi Pemerintah.
Janji-janji perhatian, rekonsiliasi dan rehabilitasi cumalah lip-service, cuma hiasan bibir.
Semboyan "dari rakyat untuk rakyat" hanyalah sekedar coretan di atas kertas. Tidak heran kalau
ada seorang ibu dengan 2 anaknya rela bunuh diri karena tidak bisa membayar "hutang" yang cuma
kurang dari 2 dollar. Beginilah kenyataan Indonesia kita sekarang!

Setelah Suharto si raja fitnah dan rekayasa ditumbangkan oleh para pemuda dan mahasiswa yang
heroik, dan KH Abdurrahman Wahid menjadi Presiden RI dalam Era Reformasi, nampak sedikit
cahaya terang menyinari bumi persada. Pertama-tama sekali, beliau yang adalah Ketua dan
sesepuh Nahdhatul Ulama (NU) berani meminta maaf kepada semua korban Suharto/Ordebaru,
orang-orang komunis yang dibantai, dimana NU dan anggota-anggotanya ikut arahan Suharto
menumpahkan darah orang-orang yang tak bersalah yaitu golongan progresip yang dituduh
komunis. Keberanian Gus Dur meminta maaf kepada para korban ini sangat dipujikan. Bukan itu
saja, bahkan Gus Dur berusaha untuk menghapus peraturan-peraturan Pemerintah atau MPR yang
salah kaprah, dibuat-buat oleh rezim Suharto, guna menopang dan menjadikan Suharto sebagai
penguasa di Indonesia, seperti TAP MPRS No: XXV/MPR/1966. Banyak usaha-usaha baik lainnya
yang dilakukan Gus Dur. Akan tetapi, karena hal ini, pihak lawan politiknya tidak suka, terutama
Golkar dan cecunguk Ordebaru yang masihberkuasa di pemerintahan dan MPR. Gus Dur didongkel
dan dijatuhkan. Dinaikkanlah wakil Presiden Megawati Sukarnaputri menjadi Presiden. Pihak
reaksioner, pembela-pembela Suharto/orba berasumsi bahwa Mega bisa didikte, dan tidak akan
berbuat hal-hal yang mereka tidak sukai. Asumsi dan harapan mereka ternyata memang betul
karena Mega tidak bisa berbuat banyak. Bahkan sebagai presiden, "tidak sempat" memulihkan
nama baik Bung Karno, ayahnya, yang dengan sengaja sudah ditumpuki najis oleh Suharto. Mega
gagal dan rakyat kecewa. Akibatnya, dalam pemilu 1999, Mega tidak terpilih. SBY yang pernah
menjadi menterinya Mega dan keluar karena disebut sebagai anak kecil oleh suami Mega, dan juga
sebagai Menteri yang dipecat Gus Dur, menang Pemilu dan jadi Presiden! Dia tampil sebagai idola!

112 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Rakyat meletakkan harapan kepada Presiden SBY, seorang militer yang gagah, ganteng dan
dianggap berwibawa dan bisa membela rakyat. Sebagai Presiden, SBY mulai mengumbar kata-kata
dan janji manis.
Tahun 1984, Eks . Komandan RPKAD Letjen. Sarwo Eddi Wibowo, pernah bertemu dengan Ilham
Aidit, putra bungsu D.N. Aidit, Ketua PKI, di puncak Gunung Tangkubanperahu Jabar. Saat itu,
kepada Ilham, Sarwo Edhi berkata mengenai pembunuhan yang dilakukannnya, bahwa dirinya
hanya melaksanakan tugas dan kewajiban pada 1965 silam yang diyakininya benar. Tapi setelah
peristiwa itu, kata Ilham, Sarwo sadar bahwa yang dilakukannya itu salah. Ilham terpana. Sarwo
mengulurkan tangan, dan tangan Ilham gemetar. Mereka bersalaman, dan berpelukan.

Perkataan, pernyataan dan uluran tangan Sarwo Edhi Wibowo kepada Ilham Aidit ini jelas
merupakan expressi, pernyataan "menyesal" dari Sarwo Edhi atas "perbuatannya" membunuhi
manusia seenaknya.
Akan tetapi, kendatipun Sarwo Edhi Wibowo "menyesal" dan menyatakan "sadar bahwa yang
dilakukannya itu salah", apakah kasus pembantaian tiga juta manusia itu bisa dianggap selesai
dengan "permintaan maaf" Sarwo Edhi Wibowo kepada Ilham?

Kasus G-30-S-1965, bukanlah kasus antar-personal. Bukanlah kasus Sarwo Edhi dan Ilham Aidit,
tetapi adalah masalah bangsa dan negara, yang harus diselesaikan secara kenegaraan pula.

Sebelum pemilihan presiden putaran terakhir pada tahun 2004, Ilham mengikuti silaturahmi yang
digagas oleh dai kondang Aa Gym, dan bertemu dengan calon presiden Susilo "SBY" Bambang
Yudhoyono.

Dalam pertemuan itu Ilham membisiki SBY tentang pertemuannya dengan Sarwo Edhi Wibowo
(yang adalah bapak mertua SBY), pada 1981 dan 1984 silam. SBY memberi respons positif.
"Dengan tangannya yang besar, dia (SBY) memegang paha kiri saya dan dia bilang kita harus
menyelesaikan masa lalu, namun dengan cara yang arif," kata Ilham. Ketika itu, SBY yang berbaju
batik dan berpeci diapit oleh Aa Gym yang bersorban dan Ilham mengenakan kemeja lengan
panjang. (Silahkan baca tulisan wartawan Bersihar Lubis: Pertemuan Sarwo Edhie-Ilham Aidit)
Pada permulaan kekuasaannya, Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudoyono, rakyat merasa
mempunyai harapan karena ucapan beliau yang akan "mensejahterakan eks. tahanan politik",
bahkan berkunjung ke Pulau Buru tempat 12.000 tapol dikerjapaksakan, diromushakan, dirodikan
oleh rejim Suharto untuk membuka hutan belantara menjadi perkebunan/ladang padi.. Akan tetapi
sayang, sampai para eks tapol Pulau Buru pada mati satu persatu seperti Pramudya Ananta Toer,
Oei Hay Djoen dll., ucapan Presiden SBY pada 1 Oktober 2006 itu tidak pernah terlaksana.

Seharusnya, momentum," permintaan maaf" Sarwo Edhi Wibowo kepada Ilham Aidit, bisa menjadi
contoh dan pendorong buat SBY melakukan rekonsiliasi para korban rejim Suharto yang jutaan
jumlahnya. Namun, sayang, SBY sebagai penguasa, nampaknya tidak punya keberanian untuk itu.
Terlalu lembek dan mengikut arus para pendukung dan pembelaOrba Suharto.Bahkan kemudian
tindakannya menjadi berbalik 180 derajat, kembali mengikuti pola pikiran dan membela Suharto
dengan mengatakan bahwa membicarakan masalah yang berkaitan dengan G30S/1965 sebagai hal
"yang tidak produktif" dan rakyat supaya jangan terjebak dengan hal itu. (Silahkan baca RM-
Online 1/10/2006).

Betapa sedih dan kecewanya jutaan Rakyat akan penyataan SBY itu. Membicarakan mengenai
derita 20 juta sanak keluarga korban rejim Suharto sebagai "tidak produktif". Nampak dan jelas

113 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

sekali bahwa Presiden dan Pemerintah, cenderung untuk nelupakan begitu saja, menghilangkan dan
menghapus sejarah yang terjadi atas bangsa dan tanah air Indonesia. Rakyat, bukan saja kecewa
dengan SBy, namun juga menjadi takut karena menganggap bahwa SBY dan Suharto adalah satu!
Yang lebih jelek lagi, dalam mengungkapkan masalah HAM, dua tahun yang lalu ada mantan
jenderal yang juga coba menghilangkan sejarah dengan mengatakan bahwa "tak ada jenderal yang
bunuh rakyatnya". Kalau boleh kita bertanya, bagaimana dengan pengakuan Jenderal Sarwo Edhi
Wibowo yang telah membunuh 3 juta jiwa? Bahkan lebih munafik lagi, ada juga Mantan Jenderal
terkenal yang juga beriktikad menghilangkan sejarah dengan mengatakan bahwa di Indonesia
tidak ada Genosida. "Kasus pelanggaran HAM berat seperti pembunuhan massal, termasuk
genocida itu seperti yang terjadi di Rwanda, Kambodja dan Nazi Jerman". Sang Mantan Jenderal
terkenal ini jelas sekali menutup mata dan menyembunyikan serta menghilangkan fakta sejarah
Pembunuhan Massal atau Genosida yang terjadi di Indonesia pada tahun 65/66. Sedangkan
Bertrand Russel, pemikir besar liberalisme, menyebut pembunuhan massal ini sebagai hal yang
amat mengerikan: "Dalam empat bulan, manusia yang dibunuh di Indonesia, lima kali dari jumlah
korban perang Vietnam selama 12 tahun." (Perang Urat Syaraf.Kompas, 9 Februari 2001). Dan
tidak ketinggalan, bahkan, Presiden Amerika Serikat Barack Obama yang dibanggakan bangsa
Indonesia karena beliau pernah dibesarkan dan bersekolah di Indonesia, mengatakan: "According
to estimates, between 500.000 and one million people were slaughtered during the purge, with
750.000 others imprisoned or forced to exile.".
Nah, bagaimana mantan Jenderal terkenal Indonesia itu menanggapi pernyataan Barack Obama
ini?

Telah banyak ditulis buku-buku, baik oleh sarjana-sarjana luar maupun dalam negeri yang
menceritakan tentang hal-hal yang berkaitan dengan Peristiwa Tragedi Nasional 1965/di
Indonesia. Ratusan, bahkan ribuan tulisan dan artikel telah muncul mengenai derita dan aniaya
yang menimpa bangsa dan tanah air di bawah rejim Suharto/Orba dan Peristiwa Pembantaian
Masal 1965. Puluhan buku hasil penelitian dan studi telah ditulis oleh banyak pakar dan
cendekiawan luar dan dalam negeri, mengenai Peristiwa 1965, kudeta Jendral Suharto,
penggulingan Presiden Sukarno dan Genosida 1965 . Baik dalam bentuk artikel, wawancara, prosa
ataupun puisi yang menggambarkan tentang derita dan sengsara rakyat dalam Peristiwa 1965.

Para sarjana dari Amerika, Belanda dan Kanada seperti Prof. Br. Ben Anderson , Dr. Mc. Vey,
Lambert Giebel, John Hughes, Dr. Henk Schulte Nordholt dan banyak lagi lainnya, semua menulis
tentang Tragedi Nasional 1965 di Indonesia. Tak ketinggalan juga Prof. John Roosa yang menulis
buku: "Dalih Pembunuhan Massal-G30S dan Kudeta Suharto" yang merupakan panduan penting
untuk generasi muda Indonesia untuk mengerti tentang Kudeta Suharto, yang coba ditutupi dan
disembunyikan oleh para pendukung dan pengikut Suharto yang masih duduk di lembaga-lembaga
pemerintahan dan kejaksaan sampai sekarang. Bahkan, seorang penulis Indonesia, Harsutejo juga
pada 2003 telah berhasil menulis dan menerbitkan hasil penelitiannya yang berjudul : "G30S --
Sejarah yang Digelapkan" -- Tangan Berdarah CIA dan Rejim Suharto".
Begitu banyaknya buku dan tulisan yang membukakan kepada bangsa dan generasi muda Indonesia
tentang Peristiwa Tragedi Nasional dan Kudeta Suharto, sampai-sampai sebuah lembaga
dokumentasi penting di Amsterdam Negeri Belanda, "Perkumpulan Dokumentasi Indonesia ", di
bawah asuhan Saudara Sarmaji (seorang yang paspor Indonesianya dicabut Suharto), telah
berhasil menyusun sebuah perpustakaan dan koleksi yang jumlahnya tidak kurang dari 231

114 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

(duaratus tigapuluh satu) judul buku dan dokumen mengenai "Gerakan 30 September 1965 dan
Dampaknya". (dari: Catatan Ibrahim Isa, Negeri Belanda)

Juga tidak bisa dilupakan segala usaha dan jerih payah Saudari Cyntha, yang ayahnya Dr.
Wirantaprawira mendapat tugas belajar di Eropah Timur (1963-1968), namun kemudian
paspornya dicabut oleh rejim Suharto hingga hampir 47 tahun terpaksa "kelayaban" di
mancanegara. Sebagai generasi muda yang lahir tahun 1983 dan hidup di luar Indonesia,
Cyntha telah berhasil mengumpulkan tulisan-tulisan mengenai "Gerakan Satu Oktober
1965" (Coupd´État ´65), yang telah disusunnya sebagai sebuah e-Book dengan judul
"Menguak Tabir Peristiwa 1 Oktober 1965 - Mencari Keadilan ("Lifting the Curtain on
the Coup of October 1st 1965 - Suing for the Justice") Ini bisa dilihat dan dibaca
dengan mengklik situs: http://www.wirantaprawira.net/pakorba/
Namun, dengan jumlah buku dan dokumen yang begitu, masih terasa belum mencukupi. Indonesia
telah terlalu lama dicekoki dengan sejarah dan plintiran fakta oleh rejim Suharto. Sepertiga abad
lamanya, setiap hari bangsa kita dijejali dongeng dan cerita rekayasaciptaan rejim Orba, sehingga
menjadi muak dan apatis dan akhirnya menjadi masa bodoh dan sebagian menganggap bahwa
semua cerita itu sebagai suatu yang benar. Generasi muda Indonesia, pewaris-pewaris masa depan
bangsa dan negara, perlu lebih banyak mengetahui, perlu lebih banyak bahan dan dokumentasi
untuk dipelajari guna menelanjangi Pemerintah sekarang dan para pejabatnya yang cenderung
untuk menghilangkan dan menghapus secara diam-diam sejarah Tragedi Nasional 1965, tentang
Pembunuhan Massal dan Kudeta Suharto.
Kita berterimakasih kepada Penerbit Ultimus Bandung yang pada 1 Agustus 2010 telah
menerbitkan sebuah buku kecil yang berjudul "Mengorek Abu Sejarah Hitam Indonesia". Buku
setebal 256 halaman ini yang diberi kata pengantar oleh Prof. Jakob Sumardjo, berisi kumpulan
informasi dan tulisan dari para ahli sejarah dan penulis-penulis lainnya sekitar 'sejarah hitam'
yang coba disembunyikan, dihilangkan dan dihapus atau ibarat "abu" yang coba disiram , coba
dimusnahkan oleh pihak penguasa. Dan abu sejarah hitam yang berserakan di mana-mana ini,
dikumpulkan menjadi satu catatan yang berkesinambungan dan dijadikan buku, agar menjadi
pegangan dan panduan kaum muda Indonesia.

Di samping menceritakan secara urutan-kronologis-tentang sejarah hitam Indonesia dari masa


sesudah Proklamasi Kemerdekaan sampai kepada wafatnya Bung Karno karena sengaja dibunuh
secara perlahan oleh Suharto, buku ini memuat sebagian kecil (lebih dari seribu nama) Daftar
Korban Genosida 1965-1968, yaitu nama para /tapol yang ditahan dan dihilangkan, dibunuh tanpa
proses hukum oleh penguasa militer, di Jabar, Jateng, Jatim, Bali, Jogyakarta dan Sumut,
Sumbar, Riau serta Daftar Pemerkosaan Perempuan di Indonesia tahun 66-67 yang dilakukan oleh
Penguasa dan kakitangannya. Daftar ini diperoleh dari Bagian Data Lembaga Perjuangan
Rehabilitasi Korban Rejim Orde Baru (LPR-KROB), yang merupakan sebagian kecil dari Daftar
Genosida 65 yang oleh LPRKROB telah diserahkan kepada Komnas HAM. Setiap orang dianjurkan
untuk mendapatkan buku kecil ini sebagai pegangan guna membantah omongan yang mengatakan
"tidak ada jenderal yang membunuh rakyatnya" atau omongan yang mengatakan bahwa "genosida
itu cuma terjadi di Rwanda, Kambodja dan Nazi Jerman" tanpa menyinggung sedikitpun tentang
Pembunuhan Massal 3 juta orang di Indonesia oleh rejim Suharto. Bagi sanak saudara keluarga
para korban, mungkin bisa menemukan nama ayah, ibu, saudara atau kakeknya dalam Daftar
Genosida dan Perkosaan yang terlampir dalam buku tersebut.

115 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Menurut Harian Sinar Harapan tanggal 10 Maret 2004, Ketua Komnas HAM Abdul Hakim Garuda
Nusantara telah mengucapkan pernyataan yang antara lain menyebutkan bahwa : "Perlu diteliti
siapa aktor dan berapa jumlah korban pembantaian 1965. Negara telah membiarkan korban
selama puluhan tahun tanpa proses pengadilan, maka negara harus minta maaf dan memberikan
keadilan pada korban".

Dan Ifdhal Kasim Ketua Komisi Nasional (Komnas) HAM dalam mimbar bebas untuk memperingati
Hari HAM se-Dunia di Kantor Komnas HAM, Jalan Latuharhary, Jakarta (Kamis, 10/12/2009).
menilai "kebijakan SBY tidak serius dalam menuntaskan kasus pelanggaran hak asasi manusia
(HAM) di Indonesia". Jadi, nampaknya, selama masih Presiden Indonesia adalah SBY, mungkinkah
bakal ada penyelidikan dan pemeriksaan atas drakula-drakula yang menumpahkan banyak darah
bangsa Indonesia dalam Pembunuhan Massal 1965? Rasanya jauh panggang dari api, karena
mbahnya drakula, si pembunuh manusia yang terbesar jumlahnya adalah Komandan RPKAD, Letnan
Jenderal Sarwo Edhi Wibowo, yang adalah bapak mertua SBY sendiri! "Jangan Sekali-kali
Melupakan Sejarah" kata Bung Karno! Karenanya, tanpa ada keberanian SBY melakukan gebrakan,
sebagai pimpinan negara untuk meminta maaf atas kejahatan kemanusiaan yang dilakukan
pemerintahan rejim Suharto, dan melakukan rekonsiliasi atas para korban rejim Suharto, rasanya
sulit bagi rakyat yang telah menderita selama 45 tahun untuk mengakui SBY sebagai pemimpin
mereka; Tidak bakal ada arti samasekali bagi rakyat yang menderita, karena mereka akan
menganggap Suharto dan SBY sami mawon!
Hendaknya, SBY berani belajar akan keberanian Paus John Paul II yang meminta maaf kepada
Dunia karena keikutsertaan Katolik atas Nazi Hitker; berani belajar atas keberanian Perdana
Menteri Australia Kevin Rudd yang meminta maaf atas perilaku pemerintahan masa lalu yang
melakukan "stolen generation atas" anak-anak Aborigin Australia; berani belajar atas keberanian
Perdana Menteri Inggris Gordon Brown, yang meminta maaf atas kesalahan pemerintahan masa
lalu yang menculik anak-anak Inggris dan membuangnya - mentransmigrasikannya- ke
Australia.Alangkah bagusnya kalau SBY mencontoh keberanian pemimpin-pemimpin dunia
tersebut.
Mengingat semuanya itu, patutlah kiranya sama-sama kita hargai dan kita dukung segala usaha dan
kegiatan yang dilakukan oleh berbagai kalangan dan golongan seperti LPR-KROB, YPKP, Pakorba,
Komnas HAM, Kontras, dan organisasi-organisasi Kemanusiaan lainnya, baik di dalam maupun
luarnegeri, yang selalu menyegarkan ingatan bangsa kita kepada tragedi besar yang telah
menimbulkan begitu banyak korban. Apa yang dilakukan oleh organisasi-organisasi tersebut diatas
itu sangatlah perlu dan juga mulia bagi keseluruhan bangsa, termasuk bagi anak cucu kita di
kemudian hari. "Jangan sekali-kali melupakan sejarah", pesan pemimpin kita Bung Karno.
Para korban rejim militer Suharto yang begitu banyak itu - terutama sekali yang dari golongan
kiri dan pendukung politik Bung Karno - sudah terlalu lama, semenjak 1965, mendapat berbagai
perlakuan yang melanggar HAM dari penguasa bahkan juga dari sebagian masyarakat. Mereka itu
berhak menuntut dan berjuang bersama-sama untuk memperoleh hak mereka sebagai
warganegara yang lain atau direhabilitasi sepenuhnya.
Mereka juga berhak sepenuhnya - dan sudah seharusnya pula - untuk menuntut diperbaikinya
kesalahan-kesalahan yang begitu besar dan ditebusnya dosa-dosa berat yang sudah dilakukan
begitu lama oleh Orde Baru beserta para penerusnya. Diperbaikinya kesalahan dan ditebusnya
dosa-dosa terhadap para korban itu akan mendatangkan kebaikan bagi kehidupan bangsa, yang
sampai sekarang masih tercabik-cabik, atau tersayat-sayat, sehingga melukai Pancasila dan
116 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

merusak Bhinneka Tunggal Ika. (silahkan baca tulisan A.Umar Said, Paris dalam Mengenang
peristiwa 30 September 1965 dengan judul "Korban rejim Suharto berhak dan harus menuntut
keadilan !".- http://umarsaid.free.fr/)
Kawan-kawan para korban rejim Suharto, di manapun berada, baik yang belum maupun yang sudah
tergabung dalam organisasi apapun jua, dalam mengenang, mengheningkan cipta dan memperingati
45 tahun Peristiwa Tragedi Bangsa 1965 ini, mari bersatu teguh dan harus menggunakan hak kita
sebagai bangsa Indonesia, menuntut keadilan kepada Pemerintah yang berkuasa! Jangan sampai
tertipu dengan usaha-usaha licik para penerus rejim Orba (baca Suara Pembaruan 23/9/2010)
yang ingin mengangkat Suharto sebagai "Pahlawan Nasional". Tuntaskan terlebih dahulu masalah
Peristiwa 1965 dan Pembunuhan Massal 3 juta manusia tahun 1965/1966 itu, masalah Pembunuhan
perlahan-lahan terhadap Bung Karno, Bapak Bangsa dan Pemimpin Revolusi Indonesia dan Kudeta
merangkak Suharto, Cabut TAP No. XXV/MPR/1966 dan TAP XXXIII/MPR/1967, perjelas
kebenaran sejarah Indonesia yang digelapkan selama ini, baru kemudian dipikirkan, apakah pantas
untuk menganugerahi "koruptor/maling besar, penyelundup kawakan, penjahat kemanusian
terbesar abad 20, sersan KNIL (serdadu kolonialis Belanda) yang jadi penguasa Indonesia dan
mengangkangi Indonesia selama sepertiga abad lamanya , menjadi "pahlawan nasional"?.

"Jika Suharto pahlawan nasional, maka semua koruptor dan perusak negara Indonesia ini, yang tak
lain adalah anak anak didik dan anak anak kesayangan Suharto, adalah putera putera bangsa yang
berjasa ! Karena mereka ini adalah produk dari orba selama Suharto berkuasa memerintah
Indonesia .Jika Suharto pahlawan nasional , maka sebagai konsekwensi Bung Karno adalah
dianggap penghianat Republik Indonesia , bukan pendiri dan proklamator RI, bukan penggali
Pancasila, bukan pemimpin Revolusi Indonesia, bukan ketua BPPKI dan bukan salah satu perancang
UUD 1945 . Dan Bung Karno adalah seorang berstatus tahanan atau pesakitan yang masih
dipenjara-rumahkan ! Kenyataan lebih biadab lagi, Bung Karno telah dibunuh perlahan perlahan
oleh rejim Suharto !

Konsekwensinya? Indonesia bukanlah lagi Republik Indonesia yang lahir dari Revolusi Agustus
1945 yang telah dibayar dengan waktu, pikiran, tenaga dan jiwa para founding mothers dan
fathers kita selama periode dari tahun 1928 (Sumpah Pemuda) sampai Revolusi 1945 !"
(Iwamardi-Jerman)

Mengangkat Suharto menjadi 'pahlawan nasional' adalah merupakan sebuah lelucon, dagelan-jawa
yang tidak lucu, yang bukannya membuat rakyat tertawa dan gembira tetapi muntah!!!

YTTaher

Australia-30 September 2010.

Melawan Lupa
Rabu, 29 September 2010 | Editorial

Mulai hari selasa 28 September 2010 kemarin, sampai 4 Oktober 2010, sejumlah kalangan dari
organisasi massa, LSM, dan seniman mengadakan rangkaian kegiatan bertemakan Pekan Melawan
Lupa. Kegiatan ini dilangsungkan di berbagai tempat di Jakarta, untuk mengingkatkan kita
semua pada berbagai tragedi kemanusiaan di Indonesia sejak "kudeta merangkak" oleh Soeharto
di tahun 1965 sampai penculikan aktivis tahun 1998. Tragedi-tragedi tersebut terjadi di dalam

117 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

iklim perjuangan, baik saat melawan imperialisme (neokolonialisme) maupun melawan


kediktatoran militer—yang juga menjadi kepanjangan tangan (komprador) imperialis.

Keadaan sebelum Gerakan 30 September 1965 menunjukkan gelombang pasang revolusioner dalam
kepemimpinan Bung Karno; yang di satu sisi berjuang menghadapi imperialisme Barat, dan di sisi
lain berjuang mendirikan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan mandiri. Namun setelah
tanggal tersebut jutaan orang pengurus dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) atau
pendukung Bung Karno dibunuh secara terencana dan terorganisir. Ratusan ribu lainnya
dipenjarakan dan dibuang tanpa pengadilan. Jutaan orang menanggung stigma PKI sebagai pendosa
atau "pengkhianat bangsa" sehingga harus hidup terkucil dari masyarakat. Bahkan Bung Karno
dikenakan tahanan rumah sampai wafatnya tahun 1971. Inilah kontra-revolusi oleh militer
(khususnya faksi dalam AD), yang sekaligus membawa masuk dan mengawal beroperasinya modal
Barat lewat kroninya.
Perjuangan membuka ruang demokrasi, atau ruang bagi kelahiran kembali ide-ide dan gerakan
revolusioner, tak lain merupakan kelanjutan perjuangan menghadapi sistem penindasan yang
dibangun pasca kudeta merangkak. Sistem yang menjadikan rakyat Indonesia sebagai kuli di
negeri sendiri dan menjadi kuli di antara bangsa-bangsa. Tak luput, perjuangan melawan kekuasaan
rezim Soeharto yang berpuncak di tahun 1998 menuntut pengorbanan dari Putra-Putri terbaik
bangsa ini oleh tangan brutal yang sama.
Banyak di antara rakyat Indonesia yang sempat menjadi saksi atau mengalami sendiri kekejaman
massal yang terjadi tahun 1965-1966 dan kekejaman lain sesudahnya oleh aparatus yang sama.
Narasi-narasi baru pun terus lahir untuk menjernihkan pengetahuan kita tentang berbagai
kejadian di waktu itu. Namun, dari pihak penguasa selalu menutup-nutupi kejadian sebenarnya, dan
sekaligus memutarbalikkan fakta selama turun temurun. Permintaan maaf yang disampaikan
(Almarhum) KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terhadap korban dan keluarga tragedi 1965 harus
dibayar mahal dengan kejatuhannya. Buku-buku yang coba mengungkap narasi yang berbeda
seputar tragedi ini (yang tidak sejalan dengan propaganda penguasa) dilarang dengan beragam
cara. Sekolah-sekolah hanya mengajarkan satu versi sejarah yang sempit dan sarat manipulasi.

Kami tidak ingin generasi sekarang maupun yang akan datang dibutakan oleh pelajaran sejarah
yang salah dan bohong. Oleh karena itu wajiblah kami mendukung segala upaya mengungkap
kejahatan di masa lalu, yang juga merupakan bagian dari upaya mengungkap keadaan bangsa ini
sekarang dari sudut pandang sejarah. Pembakaran buku-buku sejarah yang isinya tidak sesuai
dengan kehendak rezim merupakan tindakan biadab yang harus dikecam oleh seluruh rakyat yang
masih mencintai bangsa ini. Sejalan dengan itu, kami kembali menuntut dibentuknya pengadilan
HAM ad hoc sebagaimana yang direkomendasikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
sejak setahun lalu.

Anda dapat menanggapi Editorial kami di : redaksiberdikari@yahoo.com


http://berdikarionline.com/editorial/20100929/melawan-lupa.html
<http://berdikarionline.com/editorial/20100929/melawan-lupa.html>

118 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

INDONESIA-L
Date: Tue, 24 Sep 1996 08:19:24 -0400 (EDT)
To: apakabar@clark.net

BEN ANDERSON
TENTANG PEMBUNUHAN MASSAL-65
Ben Anderson adalah profesor ilmu politik di Cornell. Sekarang dia sedang menjadi dosen tamu di
Yale. Bagaimana jenderal-jenderal itu dibunuh? "Tentara atau pimpinan tentara tahu betul bahwa
jenderal-jenderal itu dibunuh oleh sesama tentara. Sama sekali tidak ada siksaan, tidak ada
penganiayaan, dsb." Mengapa media massa menyiarkan kabar bohong? "Saya yakin itu justru
diperintahkan oleh Suharto bersama orang yang dekat-dekat dia seperti Ali Murtopo. Mereka
dengan darah dingin sekali membuat kampanye fitnah untuk kepentingan politik."
BAGAIMANA JENDERAL-JENDERAL ITU DIBUNUH?

T: Untuk studi tentang pembunuhan 6 orang jenderal dan seorang letnan pada tgl 1 Oktober 1965,
Pak Ben menggunakan laporan otopsi jenasah mereka. Studi Pak Ben diterbitkan dalam majalah
Indonesia nomor 43, April 1987, berjudul "How did the generals die?" Kami ingin mengetahui hasil
studi itu. Apakah laporan otopsi itu asli? Dari mana Pak Ben mendapat laporan otopsi itu?

J: Asli. Ini suatu kebetulan. Waktu itu kira-kira awal tujuh puluhan. Atas desakan dari Pak Kahin,
saya, dsb, akhirnya disampaikan, oleh orang-orang CSIS-nya Benny Murdani, beberapa kilo
berkas-berkas Mahmilub (Mahkamah Militer Luar Biasa) yang pernah diadakan oleh pemerintah
Indonesia. Setiap proses verbal itu tebalnya bukan main. Sekarang ini saya tidak ingat persis
proses verbal yang mana, tapi di dalamnya ada serentetan lampiran yang panjang sekali. Pada kira-
kira halaman 700 atau 800 saya temukan laporan otopsi itu sebagai dokumen resmi yang ditanda-
tangani oleh dokter-dokter Universitas Indonesia. Mereka disuruh Suharto untuk mengadakan
pemeriksaan mayat-mayat yang ditemukan di Lubang Buaya. Jadi jelas sumbernya dari berkas
yang diserahkan kepada kami oleh pemerintah Indonesia. Jadi itu sama sekali bukan barang palsu,
tanda tangan semuanya ada di situ, dan laporannya cukup mendetail.

T: Apakah laporan otopsi ini pernah dijadikan barang bukti di pengadilan?

J: Kalau masuk berkas Mahmilub itu berarti termasuk dokumen yang dipakai di pengadilan. Tetapi
saya tidak tahu apakah dokumen ini memang pernah dibacakan di pengadilan. Tapi jelas termasuk
barang-barang yang seharusnya dipikirkan oleh para hakim.

T: Siapa yang memerintahkan para dokter untuk melakukan otopsi?

J: Itu jenderal Suharto. Pemeriksaan diadakan atas perintah dari pejabat Kasad saat itu, yaitu
Suharto. Dan tanda-tangan Suharto memang ada di situ.
T: Tanggal 7 Oktober 65 koran Angkatan Bersenjata bilang, "Matanya dicongkel." Apakah
memang ditemukan bukti-bukti penganiayaan sebelum mereka dibunuh? Apa ada yang dicukil
matanya atau disayat-sayat badannya?
J: Sama sekali tidak ada. Itu yang menarik buat saya sewaktu membaca. Karena jelas mereka
semua mati karena ditembak. Dan kalau ada luka-luka lain itu karena kena pinggiran sumur atau
terbentur batu-batu di dalamnya. Jenasah itu dilemparkan ke dalam sumur yang dalamnya lebih
dari 10 meter. Jadi sama sekali tidak ada tanda siksaan. Dan dokter tidak pernah menyebutkan

119 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

ada bekas-bekas siksaan. Jadi matanya, oke. Kemaluannya juga utuh, malah disebut 4 disunat dan
3 nggak disunat.

T: Bagaimana pemberitaan koran dan TV pada bulan Oktober dan Nopember 1965? Misalnya
Angkatan Bersenjata 5 Oktober 65 itu bilang, "Perbuatan biadab berupa penganiayaan yang
dilakukan di luar batas perikemanusiaan." Berita sejenis ini muncul setiap hari selama beberapa
minggu baik di koran, radio maupun di TV.

J: Itu jelas direkayasa. Karena pimpinan tentara tahu betul bahwa tidak ada siksaan. Tapi ini
salah satu strategi untuk menimbulkan suasana yang tegangnya bukan main. Ini sudah biasa. Di
mana saja di dunia, kalau mau diadakan pembataian massal, harus diciptakan suasana di mana
orang merasa apa saja boleh. Karena calon korban sudah berbuat hal-hal diluar peri kemanusiaan.

T: Otopsi selesai tgl 5 Oktober sekitar jam 12 siang. Karena Suharto yang memerintahkan, tentu
dia orang pertama yang diberi tahu hasil otopsi itu. Suharto tahu tidak ada bukti-bukti
penyiksaan di Lubang Buaya. Mengapa Suharto membiarkan koran-koran -- terutama Angkatan
Bersenjata dan Berita Yudha, koran Angkatan Darat yang bisa dia kontrol -- menyiarkan kabar
bohong tentang penyiksaan, kekejaman, dsb?

J: Saya tidak mengatakan bahwa Suharto membiarkan. Saya yakin itu justru diperintahkan oleh
Suharto bersama orang yang dekat-dekat dia seperti Ali Murtopo. Ini jelas justru untuk
membantu mereka dalam hal menghancurkan PKI dan pada akhirnya mengambil kekuasaan dari
tangan Bung Karno. Yang bisa menjadi penyokong Bung Karno yang paling kuat dan paling
terorganisir adalah PKI. Kalau PKI sudah tidak ada, Bung Karno tidak punya kekuatan konkrit yang
terorganisir yang bisa melawan tentara.

T: Apakah Suharto, sebagai Pangkopkamtib pada tahun 1965 itu, pernah menjelaskan pada
masyarakat umum tentang bagaimana sebenarnya jenderal-jenderal itu dibunuh, siapa yang
membunuh, dsb?

J: Saya nggak yakin Suharto saat itu sudah menjadi Pangkopkamtib. Saya lupa persis kapan dia
menjadi Pangkopkamtib. Yang paling penting ketika itu adalah pidato Jenderal Nasution sewaktu
anaknya yang malang itu dikuburkan. Jadi Suharto sendiri pada waktu itu tidak menonjol sebagai
tukang pidato. Tetapi media massa yang dikuasai oleh Suharto dkk terus menerus mengatakan itu
PKI yang menjadi dalang dari peristiwa. Suharto itu sendiri juga memberi pidato. Tapi saya
merasa yang penting bukan pidato dia sendiri tapi suasana yang diciptakan media massa yang
direkayasa oleh kelompok Suharto.
T: Bagaimana dengan kabar ditemukannya alat-alat pencukil mata? Misalnya dalam berita di koran
Api Pancasila tgl 20 Oktober, "Alat cukil mata ditemukan di kantor PKI di desa Haurpanggang di
Garut."
J: Saya yakin ini bikin-bikinan. Masa orang menyimpan alat pencukil di Garut? Juga apa yang
disebut sebagai alat pencukil, saya kurang tahu persis. Rasanya ini sebenarnya cuma satu alat
yang dipakai oleh petani untuk urusan sehari-hari. Atau mungkin alat untuk buruh yang kerja di
perkebunan. Jadi bukan alat khusus pencukil mata. Mungkin kalau anda sendiri lihat gambarnya
bisa menjelaskan sebenarnya itu alat apa.
T: Bagaimana dengan berita tentang pengakuan dari saksi mata yang dimuat dalam Angkatan
Bersenjata tgl 10 Oktober, "Korban dicungkil matanya. Ada yang dipotong alat kelaminnya dan

120 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

banyak hal-hal lain yang sama sekali mengerikan dan di luar perikemanusiaan." Apakah 'pengakuan'
saksi mata itu benar? Atau bikinan tentara?

J: Saya kira nggak. Waktu itu ada dua saksi penting. Yang paling penting itu seorang gadis
berumur 15 tahun yang jelas sudah diteror habis-habisan. Buktinya kedua wanita ini, yang pernah
mengaku ikut mencukil mata, tidak pernah diadili. Jadi ini jelas bikin-bikinan.

T: Jadi mereka dituduh ikut menyiksa tetapi tidak ada bukti?

J: Sama sekali tidak ada bukti. Kalau ada bukti ini akan menjadi kasus yang bagus untuk pihak
pimpinan tentara. Tapi ini cuma dibikin untuk memanaskan suasana. Setelah itu gadis ini tidak
pernah kedengaran namanya lagi.
T: Apa kesimpulan studi tentang pembunuhan di Lubang Buaya ini?

J: Apa yang sebenarnya terjadi di Lubang Buaya itu lain soal. Yang penting ialah sebelum
kampanye media massa, tentara atau pimpinan tentara tahu betul bahwa jenderal-jenderal itu
dibunuh oleh sesama tentara. Sama sekali tidak ada siksaan, tidak ada penganiayaan dsb. Jadi
mereka dengan darah dingin sekali membuat kampanye fitnah untuk kepentingan politik. Dan itu
bisa dibuktikan oleh dokumen yang berasal dari tokoh itu sendiri, juga oleh dokter-dokter dari
fakultas kedokteran Universitas Indonesia yang kejujurannya dalam hal ini tidak disangsikan.

T: Apakah Pak Ben mendapatkan data baru yang merubah kesimpulan atau hasil studi yang ditulis
tahun 1987 ini?

J: Tidak ada (bersambung).

BEN ANDERSON TENTANG PEMBUNUHAN MASSAL-1965 (2)


Dalam versi sejarah dan juga film yang dibuat Orde Baru, pembunuhan para jenderal itu dilakukan
oleh orang-orang PKI. Tetapi sebenarnya siapa yang membunuh para jenderal itu? "Jelas oleh
kelompok tentara sendiri. Sama sekali tidak ada bukti bahwa orang sipil ikut."
SIAPA YANG MEMBUNUH

T: Siapa yang membunuh 3 jenderal (Yani, Panjaitan dan Haryono) di rumahnya?

J: Sepengetahuan kami sampai sekarang pembunuhan yang terjadi di rumah jenderal-jenderal


dilakukan oleh kesatuan dari Cakrabirawa yang dipimpin langsung oleh letnan Dul Arief yang
sampai sekarang nggak ada bekasnya. Bagaimana nasibnya, ke mana larinya, dibunuh di mana, itu
tidak diketahui. Jadi jelas oleh kelompok tentara sendiri. Jenderal Nasution sendiri dalam
pengakuannya mengatakan memang rumahnya diserang oleh tentara.
T: Siapa yang melakukan pembunuhan 3 jenderal (Parman, Suprapto dan Sutoyo) dan letnan
Tendean di Lubang Buaya?

J: Kalau yang terjadi di Lubang Buaya itu saya kira sama juga. Mungkin bukan orang-orang dari
Cakra saja, tetapi juga dapat bantuan dari kelompok kecil dari AURI. Sampai sekarang tidak
jelas, karena bagaimanapun waktu itu Halim dalam kekuasaan AURI. Sama sekali tidak ada bukti
bahwa orang sipil ikut.
T: Jadi bunuh-membunuh itu antara tentara sendiri.

J: Oh iya. Justru itu menjadi faktor yang sangat menentukan. Karena perpecahan di kalangan
tentara ini justru sesuatu yang menjadi skandal besar yang bisa menghancurkan nama ABRI di
121 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

mata umum. Jadi kalau ada ABRI membunuh ABRI, ya bagaimana? Sangat diperlukan dalang yang
bukan ABRI.

T: Apakah ada anggota PKI, atau ormasnya seperti Pemuda Rakyat dan Gerwani, yang ikut
melakukan pembunuhan di Lubang Buaya?
J: Tidak ada bukti.

T: Apakah semua pembunuh diajukan ke pengadilan?

J: Ya, satu dua. Malah masih ada satu yang dulu sersan dari Cakra. Kalau nggak salah dia sampai
sekarang masih nongkrong di -- yang dalam bahasa Inggris dinamakan -- "Death Row." Dia divonis
hukum mati 25 tahun yang lalu. Tapi sampai sekarang belum dijalankan. Tapi sebagian besar dari
kelompok Cakra itu hilang tanpa bekas. Kita nggak tahu bagaimana nasibnya mereka. Untung
sendiri ditangkap dan diadili. Tapi dia sendiri tidak langsung memimpin kesatuan yang menyerbu
rumah jenderal dan sebagainya.
T: Apakah kesaksian yang pernah diadili itu konsiten dengan otopsi?

J: Saya tidak ingat lagi. Kami tidak pernah menerima berkas proses verbal dari sersan-sersan
Cakra. Yang kami terima cuma berkas-berkas dari perkaranya orang-orang yang dianggap tokoh
dalam G-30-S dan beberapa orang sipil seperti Subandrio, dll. Kalau yang dianggap orang kecil,
seperti sersan ini dan sersan itu, tidak pernah disampaikan.

T: Apakah ada orang yang mempermasalahkan tentang hilangnya para pelaku pembunuhan di
Lubang Buaya yang tanpa bekas ini?

J: Tidak pernah. Yang lebih mengherankan adalah bahwa kelompok pimpinan Kodam Diponegoro
yang mendukung G-30-S, Kolonel Suherman asiten satu, Kolonel Maryono asisten tiga, Letkol
Usman asisten empat, dsb, untuk selama kira-kira 48 jam, menguasai hampir seluruh Jawa
Tengah, kemudian mereka juga hilang. Tidak pernah diantara mereka ada yang diadili, diajukan ke
pengadilan, dsb. Mereka hilang tanpa bekas. Itu tidak pernah diisukan. Malah kalau membaca
laporan dari Buku Putih apa yang terjadi di Jawa Tengah sama sekali tidak menjadi masalah. Jadi
semua perhatian dengan sengaja dipusatkan pada apa yang terjadi di Jakarta.
T: Sebenarnya yang tahu soal orang hilang ini siapa?

J: Ya, harus tanya pada pemerintah di Indonesia. Suherman di mana? Maryono, Usman di mana?
Dsb. Banyak sekali tokoh-tokoh dari G-30-S hilang tanpa bekas. Yang tahu bagaimana nasibnya, ya
tentara sendiri.
T: Kemudian bagaimana Pak Ben menjelaskan kehadiran anggota Pemuda Rakyat dan Gerwani di
Halim?

J: Ini dalam rangka konfrontasi dengan Malaysia. Memang ada kebijaksanaan dari pemerintah.
Selain dari anggota ABRI ada juga orang sipil yang dilatih sebagian sebagai sukarelawan untuk
dikirim ke perbatasan. Tapi ada sebagian juga yang dilatih untuk membantu seandainya Ingris
melakukan serangan udara ke Jakarta sebagai pembalasan terhadap aksi dari pihak Indonesia.
Dan pada umumnya Angkatan Darat tidak begitu antusias. Tapi AURI di bawah pimpinan Omar
Dhani yang dekat dengan Bung Karno, rupanya mulai suatu sistim latihan itu di beberapa pangkalan
udara. Dan mereka minta dari parpol-parpol dan ormas-ormas supaya anggota-anggota mereka
dilatih. Dan yang paling antusias pada waktu itu, ya PKI. Jadi kalau ada Gerwani dan Pemuda
Rakyat di Halim itu karena mereka dikirim oleh pimpinan PKI di Jakarta untuk latihan. Dan karena
122 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

tugasnya setengah militer, mereka ini harus yang muda-muda. Mereka bisa dilatih oleh petugas-
petugas dari AURI, dalam hal ini ya mayor Suyono. Bukan PKI saja, juga ada PNI dan NU dilatih.

T: Apa yang dilatih di Halim itu tidak hanya PKI tetapi juga PNI dan NU.
J: NU saya nggak jelas apakah dilatihnya di Halim. Tetapi di pangkalan lain jelas ada.
T: Kalau begitu keberadaan mereka secara kebetulan saja?

J: Tidak kebetulan. Memang ada program dari pemerintah. Tetapi tidak dilatih untuk membunuh
jenderal. Mereka dilatih untuk mempertahankan pangkalan kalau diserang oleh Inggris.

T: Bagaimana Pak Ben menjelaskan kehadiran DN Aidit, ketua PKI, di Halim? Apa yang dia lakukan
selama di Halim pada tanggal 1 Oktober itu?
J: Sampai sekarang ini menjadi teka-teki yang besar. Karena sepengetahuan kami tidak ada bukti
bahwa DN Aidit berbuat apa-apa. Justru ini yang aneh. Seolah-olah dia dijemput oleh kelompok
tertentu, dibawa ke Halim, terus ditaroh di salah satu rumah di situ sepanjang hari. Pada akhirnya
dia dapat pesan, mungkin ada kurir atau apa dari Bung Karno, dia disuruh pergi ke Jawa Tengah
untuk menenangkan situasi. Jadi tidak ada bukti kalau dia ketemu dengan pimpinan G-30-S. Tidak
ada bukti bahwa dia memberi instruksi apa-apa. Malah ada kemungkinan juga dia mau
disembunyikan di Halim di bawah perlindungan AURI. Seandainya ada usaha menculik dia dari
rumahnya atau dari kantor PKI.

T: Tadi dikatakan bahwa dia disuruh pergi ke Jawa Tengah untuk menenangkan situasi. Jadi ke
Jawa Tengahnya bukan inisiatif dia sendiri?

J: Tidak ada bukti. Yang jelas setelah Bung Karno melihat situasi pada malam hari tanggal 1
Oktober, dia tahu bahwa situasi itu sangat berbahaya. BK juga tahu situasi di Jawa Tengah. Dia
merasa mungkin ini bisa menjadi permulaan dari suatu perang saudara. Dia juga takut jangan-
jangan PKI merasa harus berbuat sesuatu, padahal mereka tidak bisa berbuat banyak. Mereka
kan tidak punya senjata. Saya kira Aidit juga takut jangan-jangan ada kelompok di daerah yang
tidak mengerti keadaan lantas membuat sesuatu yang bisa dipakai sebagai provokasi oleh lawan.
ita harus sadar bahwa dalam ingatan orang-orang PKI, Peristiwa Madiun tahun 1948 itu menjadi
trauma yang besar. Waktu Madiun, orang-orang tingkat lokal membuat sesuatu yang kemudian
menyeret pimpinan partai dan akhirnya menghancurkan partai pada waktu itu. Jadi seperti, ya
sudah ada ide dalam partai, itu jangan terjadi lagi, jangan sampai bisa diprovokasi sekali lagi
(bersambung).

BEN ANDERSON TENTANG PEMBUNUHAN MASSAL-65 (3)


Pada bulan Januari 1966 Ben Anderson dan Ruth McVey, waktu itu masih mahasiswa S-3, menulis
makalah yang kemudian dikenal luas dengan nama "Cornell Paper." Dalam makalah itu Pak Ben
menyatakan, "Tokoh-tokoh utama dari gerakan ini baik di Jawa Tengah maupun Jakarta sendiri
adalah perwira-perwira dari kodam Diponegoro. Mereka semuanya bekas bawahan dari Suharto
sendiri." Bagaimana peranan PKI dan Bung Karno? "Sampai sekarang sama sekali tidak ada bukti
bahwa Bung Karno ada di belakangnya. Masalah PKI lebih ruwet. Setelah tahun 66 ada beberapa
data yang masuk seolah-olah ada orang PKI yang terseret. Saya tidak bisa mengatakan bahwa
sama sekali PKI tidak ada sangkut pautnya. Tapi saya masih tetap berpendapat mereka bukan
pencipta utama G-30-S."

123 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

CORNELL PAPER
T: Tiga bulan setelah pembunuhan para jenderal, Pak Ben dan Ibu Ruth menyusun hasil studi
berjudul "A preliminary analysis of the October 1, 1965, coup in Indonesia." Studi itu selesai
ditulis tgl 10 Januari 1966 dan semula cuma diedarkan di kalangan terbatas. Baru diterbitkan
untuk umum, tanpa perubahan, pada tahun 1971. Studi itu kemudian dikenal dengan nama "Cornell
Paper." Apa pokok pikiran dalam Cornell Paper? Dan apa bukti-bukti utama yang menunjang pokok
pikiran itu?

J: Pada waktu itu kami ingin mengecek sampai kemana versi resmi dari apa yang terjadi itu masuk
di akal. Versi resmi bunyinya, "Ini suatu komplotan jahat, yang didalangi oleh PKI." Pada waktu itu
kami ingin mengecek apa ini cocok dengan informasi dan data-data yang masuk. Laporan itu selesai
ditulis tanggal 10 Januari. Tapi saya kira bahan-bahan itu makan waktu tiga minggu untuk
penulisan. Jadi bahan-bahan yang masuk itu hanya sampai pertengahan Desember. Nah, kebetulan
kira-kira tiga minggu setelah peristiwa, situasi belum 100% bisa dikontrol oleh Suharto. Jadi
masih banyak koran beredar di Jawa Timur, Jawa Tengah, Medan, dsb. Dan kebetulan Cornell
punya koleksi koran Indonesia yang paling lengkap di dunia. Pada waktu itu memang luar biasa kami
dapat segala macam koran dari Surabaya, Semarang, Yogya, Solo, dll. Dan ternyata dari laporan-
laporan itu banyak yang tidak cocok dengan versi resmi.

Selain itu kami punya arsip tentang tentara. Dari situ kami bisa juga sedikit banyak mengecek
siapa sebenarnya orang-orang seperti Suherman, Usman, dsb. Dari situ kami bisa mengetahui
bahwa umpamanya Suherman baru kembali dari latihan di Amerika. Dia dilatih sebagai orang
inteljen oleh AS. Untuk kita tidak masuk di akal bahwa ada seorang PKI bisa menjadi lulusan
latihan AS dan dikasih jabatan sebagai tokoh intel di Jawa Tengah. Selain dari itu juga ada
beberapa informasi dalam bentuk surat dari teman-teman yang kebetulan jalan-jalan di Jawa
Tengah dan Jawa Timur pada waktu itu. Mereka menulis apa yang mereka lihat dengan mata
sendiri.

T: Cornell Paper dibuka dengan kalimat ini, "The weight of the evidence so far assembled and the
(admittedly always fragile) logic of probabilities indicate that the coup of October 1, 1965, was
neither the work of PKI nor of Sukarno himself." Apa yang Pak Ben maksud dengan "logic of
probabilities" itu?

J: Ini kesimpulan dari dua sudut logika. Bung Karno sama sekali tidak dapat keuntungan dari
peristiwa berdarah ini. Justru beliau bisa berdiri di atas segala kelompok di Indonesia karena
bisa mengimbangi kelompok ini dengan kelompok itu. Kalau politik sudah bergeser dari politik sipil,
yaitu omong-omong, organisasi, dsb, ke lapangan kekerasan, BK nggak bisa apa-apa. Jadi jelas G-
30-S membahayakan dia, bukan membantu dia.
Dari sudut PKI, kami merasa selain dari faktor trauma-48, PKI pada waktu tahun 1965 cukup
sukses dalam politiknya. Yaitu politik damai. Di mana dia semakin lama semakin berpengaruh.
Justru karena mereka tidak mengambil jalan seperti Ketua Mao dengan perang gerilya, dsb.
Mereka pakai strategi sipil. Justru mereka akan jadi susah kalau mulai konflik bersenjata. Karena
mereka tidak punya senjata, tidak punya kesatuan-kesatuan yang bersenjata. Jadi logika dua
kelompok ini, BK dan PKI, menuntut supaya politik tetap politik normal bukan politik bedil.

Logika ini diperkuat dengan hal-hal yang kongkrit. Banyak hal yang aneh dalam G-30-S. Pertama,
pengumuman-pengumuman dari G-30-S itu nggak mungkin disusun oleh tokoh-tokoh PKI yang
cukup berpengalaman dalam bidang politik. Saya kasih dua contoh. Pertama, yang dikatakan Dewan

124 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Revolusi yang diumumkan G-30-S, itu suatu Dewan yang sama sekali tidak masuk di akal. Karena
banyak tokoh-tokoh yang penting, seperti Ali Sastroamidjojo, yang tidak masuk. Tapi banyak
tokoh-tokoh yang hampir tidak dikenal namanya justru masuk. Malahan banyak orang kananpun
masuk, itu umpamanya Amir Machmud. Jadi ini bukan suatu Dewan Revolusi yang meyakinkan. Jadi
rasanya kacau.

Yang kedua, yang lebih meyakinkan lagi, adalah pengumuman dari Untung kepada sesama tentara,
bahwa mulai saat itu tidak akan ada lagi pangkat dalam tentara yang lebih tinggi dari pangkatnya
Letkol Untung sendiri. Nah itu jelas membuat setiap kolonel, brigjen, mayjen, letjen, dsb,
jengkelnya bukan main. Dan ini suatu move yang membuat semua pimpinan tentara akan anti
dengan gerakan ini. Nggak mungkin ada orang yang punya otak politik akan membiarkan suatu
pengumuman seperti itu. Itu jelas suatu pengumuman yang keluar dari hati nurani Letkol Untung
sendiri. Karena dia jengkel dengan atasannya. Atau bisa juga itu provokasi yang diatur oleh dalang
sebenarnya dari peristiwa ini. Yang memakai Untung, yang jelas bukan orang pinter, sebagai
pionnya.

T: Setelah 30 tahun, apakah Pak Ben tetap berpegang pada pendapat itu?

J: Kalau Sukarno jelas. Sampai sekarang sama sekali tidak ada bukti bahwa Bung Karno ada di
belakangnya. Masalah PKI lebih ruwet. Setelah tahun 66 ada beberapa data yang masuk seolah-
olah ada orang PKI yang terseret. Saya sendiri pernah ikut persidangan Mahmilub Sudisman pada
tahun 1967, dan mendengar pidato uraian tanggung jawabnya. Dalam pengadilan itu yang
dinamakan Ketua Biro Khusus yaitu si Kamaruzaman, atau Syam, nongol sebagai saksi. Di sana
cukup jelas bahwa Syam ini adalah orang yang dikenal betul oleh Sudisman. Bagaimanapun Syam
ada hubungan langsung dengan pimpinan PKI. Jadi apa ada sebagian dari orang-orang PKI ikut-
ikutan, apa ada sebagian dari PKI yang dibodohin oleh kelompok ini-itu, masih tidak jelas. Jadi
saya tidak bisa mengatakan bahwa sama sekali PKI tidak ada sangkut pautnya. Tapi saya masih
tetap berpendapat mereka bukan pencipta utama G-30-S.

T: Kalimat terakhir dalam alinea pertama "Cornell Paper" itu, "The actual originators of the coup
are to be found not in Djakarta, but in Central Java, among middle-level Army officers in
Semarang, at the headquarters of the Seventh (Diponegoro) Territorial Division." Apa bukti-
bukti utama dari pernyataan ini?

J: G-30-S hanya sukses bisa menguasai daerah di Jawa Tengah. Dan tokoh-tokoh utama dari
gerakan ini baik di Jawa Tengah maupun Jakarta sendiri adalah perwira-perwira dari kodam
Diponegoro, kecuali Supardjo. Mereka semuanya bekas bawahan dari Suharto sendiri, termasuk
Supardjo. Yang paling menonjol tentu pada waktu itu adalah fakta bahwa Untung dan Latif kedua-
duanya dekat sekali dengan Suharto. Suharto sendiri pada tahun 64 pergi jauh-jauh ke salah satu
desa di Jawa Tengah untuk ikut menghadiri perkawinan bawahannya yang tercinta, yaitu Untung.
Jadi itu yang pertama.
Kedua, fakta bahwa apa yang terjadi di Jawa Tengah sampai sekarang 100% ditutupi oleh versi
resmi. Ini aneh. Karena nggak ada pengadilan, nggak ada cerita apa yang terjadi di Semarang.
Terus kesatuan-kesatuan utama yang ikut gerakan di Jakarta itu sebagian besar juga dari
Diponegoro. Itu yang penting.

T: Apa motivasi perwira-perwira Diponegoro itu?

J: Ini jelas tentara yang belum berbintang. Otaknya seolah-olah pangkat mayor, letkol, kolonel,
dibantu oleh kapten, letnan, sersan, dsb. Kalau kita membaca pengumuman G-30-S, seolah-olah
125 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

masalahnya itu masalah intern. Mereka menuduh jenderal-jenderal ikut serta dengan CIA dalam
rangka mendongkel Bung Karno. Menuduh jenderal-jenderal orang yang hidup mewah, orang yang
suka main perempuan, yang tidak menghiraukan nasib dari bawahannya, dsb.
Jadi terasa sekali ada semacam konflik antara tentara yang bawahan, yang pada umumnya miskin-
miskin, dan tokoh jenderal-jenderal yang berduit. Pada waktu itu di Jakarta cuma ada satu mobil
Lincoln Continental yang putih. Dan pemiliknya siapa? Jenderal Yani, kan? Padahal Indonesia saat
itu miskinnya bukan main. Jadi sangat menyolok. Jadi kalau motivasinya dikatakan sebagai
kecemburuan sosial, juga bisa.
T: Apa ada hubungan antara motivasi itu dengan lingkungan para perwira Diponegoro pendukung G-
30-S itu?

J: Sebagian karena Jawa Tengah terkenal sebagai daerah yang paling miskin dibandingkan dengan
Jawa Barat dan Timur. Juga kultur di Jawa Tengah di mana patriotisme kejawa-jawaan itu paling
kuat. Dari dulu ada persaingan antara Diponegoro dan Siliwangi. Perwira Siliwangi dianggap orang
yang statusnya lebih tinggi, biasa pakai bahasa Belanda diantara mereka sendiri dan biasa
kebarat-baratan, dan paling dekat dengan Amerika.

Perwira Jawa Tengah sebagian besar berasal dari Peta, bikinan Jaman Jepang. Waktu revolusi
mereka merasa diri sebagai orang Jogya lah. Orang yang mempertahankan nilai-nilai dari revolusi
45, patriotisme Jawa, dsb. Pokoknya kalau jenderal-jenderal Bandung omong, mereka tidak
pernah pakai --ken, --ken. Tapi ini bukan masalah suku. Karena tokoh utama dari semuanya itu
orang Jawa dan sasaran utamanya juga orang Jawa.

T: Pada minggu pertama Oktober 1965, dari 5 pucuk pimpinan PKI, 3 orang ada di Jawa Tengah
(Aidit, Lukman dan Sakirman). Nyoto sedang berada di Sumatra Utara sedangkan Sudisman di
Jakarta. Kemudian Lukman dan Nyoto menghadiri Rapat Kabinet di Bogor tgl 6 Oktober. Apa yang
dilakukan para pimpinan PKI selama berada di Jawa Tengah setelah 1 Oktober?

J: Dari informasi yang masuk, dari laporan sopirnya Lukman, dsb, ya mereka putar-putar. Aidit
dan Lukman menghubungi cabang dan ranting-ranting PKI, memberi tahu apa yang sedang terjadi,
dan diminta untuk waspada dan jangan sampai bisa diprovokasi. Dalam hal ini kita belum tahu
banyak. Karena sampai sekarang kebanyakan orang PKI yang masih hidup, di dalam maupun di luar
negeri, belum sempat menulis secara jujur, terang-terangan, tentang kehidupan intern partai
pada saat itu (bersambung).

BEN ANDERSON TENTANG PEMBUNUHAN MASSAL-65 (4)


Munculnya tokoh Syam, Ketua Biro Khusus PKI, membuat pendapat Ben Anderson bergeser.
Tentang tokoh itu, "Syam ini orangnya cukup misterius." Tentang Biro Khusus, "Banyak hal yang
masih belum jelas." Tentang peranan RPKAD, "Pembunuhan juga baru mulai di Jawa Timur setelah
RPKAD berpindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Di Bali, pembunuhan massal baru mulai
setelah RPKAD pindah dari Jawa Timur ke Bali."
BIRO KHUSUS

T: Tadi Pak Ben bilang, munculnya tokoh Syam itu membuat pendapat Pak Ben bergeser?
J: Ya. Maka itu kami menamakan "Laporan Sementara." Dan sampai sekarang status sebagai
laporan sementara tetap dipertahankan. Karena bagaimanapun sebagian besar tokoh-tokoh yang

126 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

paling penting sudah dibunuh, atau sudah hilang. Dan ada juga yang berkaitan langsung tetapi
belum mau ngomong. Jadi harus nunggu.

T: Ini bukan bahan dari Cornell Paper, tapi dari Buku Putih yang diterbitkan Sekretariat Negara
tahun 1994. Dalam Buku Putih soal Biro Khusus PKI dibahas panjang lebar. Menurut Pak Ben
sendiri seberapa besar peranan Biro Khusus PKI ini dalam G-30-S?

J: Dalam hal Biro Khusus ini ada beberapa sisi yang sampai sekarang sulit dimengerti. Pertama,
pada umumnya partai komunis, di manapun juga di dunia, punya format yang sama. Susunan
organisasinya sangat standard. Dan sampai sekarang belum ditemukan partai komunis lain yang
pernah menciptakan semacam Biro Khusus. Ini tidak mustahil. Tetapi cukup aneh.

Kedua, istilah atau bahasa yang dipakai oleh orang-orang yang dianggap tokoh Biro Khusus ada
juga yang mencurigakan. Umpamanya mereka pakai istilah "pembina." Jadi, untuk menggambarkan
aktivitas mereka, ada para pembina yang mengadakan pembinaan-pembinaan. Sepanjang
pengetahuan saya, ini bukan bahasa marxist dan bukan bahasa komunis. Tapi dari dulu ini
bahasanya tentara. Rada aneh kalau waktu itu PKI berlawanan dengan tentara, kok yang dianggap
organisasi rahasia PKI itu justru pakai istilah teknis dari tentara?

Yang ketiga, sampai sekarang identitas dan nasibnya Kamaruzaman alias Syam itu masih menjadi
teka-teki. Setelah memeriksa beberapa dokumen di Amerika, di Indonesia dan di Belanda,
ternyata si Syam ini pernah menjadi anggota PSI. Dalam majalah resmi dari PSI namanya pernah
disebut pada tahun 1951 sebagai ketua ranting. Kalau tidak salah di Rangkasbitung, Banten. Selain
itu ditemukan juga dokumen dalam arsip Belanda di mana Kamaruzaman ini pada waktu revolusi
pernah diangkat sebagai orang intelnya Recomba Jawa Barat. Recomba itu pemerintah federal
buatan Belanda. Itu bisa juga. Karena pada waktu itu ada juga patriot-patriot yang pura-pura jadi
pegawai Belanda untuk mengetahui rahasianya Belanda. Tapi toh rada aneh. Terus di koran-koran
Indonesia ada informasi bahwa pada akhir tahun 50-an Kamaruzaman nongol sebagai informan
dari komandan KMK (Komando Militer Kota) Jakarta.

Jadi Syam ini orangnya cukup misterius. Jelas dia dikenal baik oleh pimpinan PKI. Tetapi dia juga
pegang peranan di Recomba, di PSI, di tentara, dsb. Sampai sekarang serba misterius. Di mana
kesetiaannya? Buat saya tidak jelas. Walaupun pemerintah mengumumkan bahwa Syam sudah
dieksekusi, itu masih disangsikan kebenarannya. Mungkin dia cuma disimpen saja.

Yang terakhir, ini kesan saya waktu mengikuti pengadilan Sudisman. Di sana Syam diberi
kesempatan untuk omong panjang lebar. Saya bisa membandingkan kesaksiannya dengan kesaksian
Sudisman. Itu sangat berbeda. Kesaksian Sudisman itu mengesankan, jelas, mendalam dan
bahasanya teratur. Sedangkan kesaksian Syam itu bukan main kacau-balaunya. Dia banyak
memakai bahasa-bahasa dari jaman revolusi yang sudah tidak berlaku lagi. Malahan seolah-olah
orangnya itu agak sinting. Jadi sulit masuk di akal kalau orang seperti ini menjadi kepala biro yang
sangat rahasia dan penting. Jadi banyak hal yang masih belum jelas.
T: Pak Ben mengikuti sendiri pengadilan Sudisman. Dia satu-satunya pucuk pimpinan PKI yang
diadili. Apa kesimpulan Pak Ben dari pengadilan Sudisman itu?
J: Dari kesaksian Sudisman saya dapat kesan bahwa dia merasa diri dalam keadaan di mana partai
yang ikut dia pimpin itu dihancurkan secara mengerikan. Ratusan ribu yang mati. Dan dia sebagai
seorang pemimpin dan sebagai seorang Jawa merasa bertanggung-jawab. Bagaimanapun, kalau
pimpinannya baik dan beres seharusnya hal seperti itu tidak terjadi. Karena itu dia menamakan
pembelaannya itu "Uraian Tanggung Jawab."
127 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Dia tidak mau debat tentang soal ini-itu. Dia cuma bilang, "Bagaimanapun juga, sebagai pimpinan
tertinggi yang masih hidup, saya memakai kesempatan ini untuk meminta maaf atas apa yang
terjadi." Sudisman tidak pernah bilang bahwa dia ikut merencanakan G-30-S. Dia cuma bilang
bahwa rupanya ada unsur-unsur PKI yang terseret Dia tidak membicarakan soal Biro Khusus.
Tidak membenarkan dan juga tidak membantah adanya. Waktu Syam memberi kesaksian,
Sudisman tidak mau melihat mukanya dan tidak mau menjawabnya. Yang jelas, untuk sebagian
besar dari saksi-saksi waktu itu informasi tentang adanya Biro Khusus itu sesuatu yang
mengejutkan sekali. Jelas mereka sama sekali tidak tahu menahu.
PERANAN RPKAD

T: Ini catatan dalam Cornell Paper. Pasukan RPKAD sampai di Semarang tgl 19 Oktober.
Bentrokan pertama dengan ormas PKI terjadi di Boyolali tgl 21 Oktober. Selama 3 minggu, tgl 1
sampai 21 Oktober, tidak ada bentrokan berdarah. Walaupun pemberitaan di koran, TV dan radio
tentang Lubang Buaya sangat memanaskan suasana, menyebarkan ketakutan, dst. Bagaimana Pak
Ben menjelaskan 3 minggu tanpa bentrokan ini?

J: Saya kira sebagian karena kekuatan sosial pada tingkat sipil cukup seimbang. Jadi orang
merasa bahwa organisasi PKI dan keluarga besar PNI itu kira-kira seimbang. Di Jawa Tengah NU
itu tidak begitu berpengaruh. Pertama orang merasa tidak ada kelompok yang dominan. Dan
walaupun suasana tegangnya bukan main, saya nggak yakin bahwa orang Jawa Tengah, kalau tidak
ada orang yang mengipasi mereka, mau cepat-cepat membantai tetangganya.

Kita harus ingat di desa-desa, di kota-kota, orang PKI itu bukannya bergerak di bawah tanah.
Mereka itu tetangga, yang saban hari ketemu, masih famili, dsb. Banyak anggota PNI yang punya
saudara PKI, dsb. Kalau tidak dibikin suasana yang luar biasa tegangnya tidak akan terjadi apa-
apa, dalam arti pembantaian.

Justru pentingnya kedatangan RPKAD adalah orang-orang anti PKI merasa bahwa angin sudah
berada di pihak mereka. Mereka yang mau netral dapat petunjuk dari RPKAD kalau membuktikan
kamu bukan orang PKI maka kamu harus membunuh PKI. Ini khususnya ditujukan kepada pemuda-
pemuda, pemuda Islam, pemuda Banteng, pemuda Kristen, Katolik, dsb. Jadi kalau tidak ada
pembantaian sebelum RPKAD datang. Itu justru menunjukan apa yang terjadi tidak spontan. PKI
sendiri juga takut.

T: Kesatuan-kesatuan yang mendukung G-30-S itu dari Diponegoro, lalu mereka menguasai Jawa
Tengah. Lalu RPKAD datang. Bukankah kedua kekuatan itu seimbang?
J: Itu benar pada hari-hari pertama. Tetapi jangan lupa bahwa Suherman, Maryono, Usman, dkk,
itu hanya berkuasa selama kira-kira 48 jam. Setelah itu Pangdamnya, Suryosumpeno, sempat
ambil kembali posisi sebagai panglima. Lalu orang-orang ini hilang entah ke mana. Bahwa ada
kesatuan-kesatuan di Jawa Tengah yang bersimpati pada PKI, itu mungkin sekali. Karena sebagai
kelompok teritorial bagaimanapun mereka berada di tengah masyarakat Jawa Tengah. Tentara ini
sedikit-banyak akan membantu PKI. Tapi kira-kira mulai tanggal 3 Oktober, pimpinan Diponegoro
tidak lagi di tangan perwira-perwira yang pro G-30-S. Dan kesatuan-kesatuan yang dicurigai itu
langsung ditarik ke daerah lain.
Tapi, ini dapat dibuktikan, pembunuhan juga baru mulai di Jawa Timur setelah RPKAD berpindah
dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Di Bali, pembunuhan massal baru mulai setelah RPKAD pindah
dari Jawa Timur ke Bali. Kalau membandingkan tiga propinsi ini, tiga minggu yang tenang di Jawa

128 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Tengah itu aneh. Lebih aneh lagi karena ada enam minggu yang tenang di Jawa Timur. Dan malahan
ada dua bulan yang tanpa pembunuhan di pulau Bali (bersambung).

BEN ANDERSON TENTANG PEMBUNUHAN MASSAL-65 (5)


Bagaimana pembunuhan massal itu dilaksanakan? "Faktor yang pertama adalah policy atau
kebijaksanaan dari pimpinan tentara di Jakarta yang diwujudkan dengan pengiriman RPKAD ke
Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Senjata, latihan, perlindungan, kendaraan, dsb, dikasih kepada
kelompok-kelompok pemuda yang mereka hubungi." Mengapa orang mau disuruh membunuh? Mau
dipakai sebagai alat? "Itu mungkin menunjukan gejala yang lebih mendasar. Buat saya faktor yang
utama adalah keadaan ekonomi. Mulai kira-kira tahun 1961-62 inflasi di Indonesia melejit secara
mengerikan." Tentang konflik antara kelompok agama dengan PKI, "Ini timbul sebagai akibat
Undang-Undang Pokok Agraria dan Undang-Undang Pokok Bagi Hasil."
PEMBUNUHAN MASSAL
T: Sekarang (1996) hampir semua koran di dunia melaporkan orang PKI yang dibunuh pada tahun
1965 itu jumlahnya sekitar 500 ribu. Misalnya dalam editorial New York Times (1 Ags), The
Economist (3 Ags) dan editorial Washington Post (20 Ags). Dalam pemberitaan media di
Indonesia, jumlah korban ini jarang diungkapkan. Dan siapa yang jadi korban itu juga tidak
dijelaskan. Tahun 1985, dalam majalah Indonesia nomor 40, Pak Ben bilang, "Probably between
500.000 and 1.000.000 Indonesians died at the hands of other Indonesians."

J: Pertama harus dikatakan bahwa tidak ada orang yang tahu persis berapa jumlahnya orang yang
dibunuh pada waktu itu. Angka 500 ribu itu diambil dari pernyataan Adam Malik dan pernah juga
dari Soedomo. Tapi apa mereka sendiri tahu? Itu nggak jelas. Itu cuma perkiraan.
T: Menurut Pak Ben apa sebab terjadinya pembunuhan massal selama akhir 1965 itu?

J: Kalau sebab-sebab ada dua faktor. Faktor yang pertama adalah policy atau kebijaksanaan dari
pimpinan tentara di Jakarta yang diwujudkan dengan pengiriman RPKAD ke Jawa Tengah, Jawa
Timur dan Bali. Mereka ingin supaya PKI dihancurkan dan mereka ingin juga bahwa ini tidak hanya
dikerjakan oleh tentara tapi juga oleh kelompok-kelompok yang mau dijadikan sekutu untuk
membangun apa yang belakangan dinamakan Orde Baru. Jadi mereka menyertakan warga Banteng,
NU, Katolik, Protestan, dsb. Karena itu senjata, latihan, perlindungan, kendaraan, dsb, dikasih
kepada kelompok-kelompok pemuda yang mereka hubungi. Jadi kalau policy pimpinan tentara ini
tidak ada, kemungkinan terjadi pembunuhan massal itu saya kira tidak besar.
Tetapi mengapa orang mau disuruh membunuh? Mau dipakai sebagai alat? Itu mungkin menunjukan
gejala yang lebih mendasar. Buat saya faktor yang utama adalah keadaan ekonomi. Mulai kira-kira
tahun 1961-62 inflasi di Indonesia melejit secara mengerikan. Saat itu saya sendiri ada di
Indonesia. Saya lihatsaban minggu itu harga barang bisa berlipat ganda. Duit tidak ada arti sama
sekali. Khususnya bagi orang-orang gajian itu menimbulkan suasana yang panik. Kalau pejabat
gajinya tidak berarti lagi, mereka cepat-cepat lari ke dunia korupsi, catut, dsb. Orang melarikan
duitnya untuk beli tanah. Karena tanah dianggap sesuatu yang bisa mempertahankan harganya.
Keadaan ekonomi waktu itu menimbulkan suatu kegelisahan di seluruh Indonesia. Orang merasa
masa depannya sangat gelap, tidak normal dan serba tak tentu. Ini yang penting.
Terus, ada kemiskinan yang luar biasa. Saya ingat waktu itu jalan-jalan di Yogya-Solo, banyak
orang yang geleparan di pinggir jalan. Orang yang mati karena busung lapar. Bung Karno sendiri

129 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

tidak malu untuk bikin propaganda supaya orang makan tikus sawah. Dan dia sendiri mengaku
pernah makan tikus sawah. Saya sendiri nggak percaya. Tapi itu penting.

Ketiga, konflik antara kelompok agama dengan PKI. Ini timbul sebagai akibat Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA) dan Undang-Undang Pokok Bagi Hasil (UUPBH). PKI memperjuangkan Land
Reform justru ketika tanah menjadi sangat penting, beras menjadi sangat penting, pembagian
hasil menjadi sumber konflik yang luar biasa. Apalagi dalam hal Land Reform salah satu
pengecualian yang penting adalah tanah-tanah yang menjadi milik dari lembaga agama –
umpamanya mesjid, surau, gereja dsb -- tidak boleh diganggu gugat. Dalam suasana seperti itu
orang-orang yang punya tanah lebih, supaya bisa tetap pegang tanahnya, lebih sering justru
menyerahkannya kepada wakaf, kalau Islam. Dan lembaga yang seperti itu juga untuk yang
Kristen. Di mana dia bisa ikut sebagai pimpinan.
Jadi seperti dilaporkan oleh Lance Castles dalam artikelnya dalam majalah Indonesia pada tahun
1966 itu, kita ambil contoh pesantren Gontor. Dalam satu tahun tanah yang dimiliki oleh Gontor ini
bisa bertambah sepuluh kali. Jadi dengan mendadak lembaga agama menjadi tuan tanah yang
terbesar. Kalau orang-orang kiri, orang-orang yang pro-Land Reform, mau ribut soal tanah ini,
mereka langsung berhadapan bukan dengan individu tuan tanah tapi langsung menghadapi lembaga
agama. Banyak orang tergugah untuk membela. Mereka bukannya mau melindungi tuan tanah tapi
bagaimanapun mereka pasti mau melindungi atau membela lembaga agama mereka.
T: Pembunuhan massal terjadi di desa-desa Jateng, Jatim dan Bali. Di Jateng yang dominan itu
Islam abangan. Di Jatim Islam santri, dan di Bali itu semuanya Hindhu. Tapi di Jawa Barat, tidak
ada pembunuhan besar-besaran. Padahal Jabar adalah daerah yang Islamnya paling taat,
daerahnya Masyumi. Pemenang Pemilu-55 dan Pemilu Daerah-57 di Jabar adalah Masyumi.
Bagaimana Pak Ben memahami hubungan antara pembunuhan massal ini dengan agama penduduk
setempat?

J: Isu agama ini gampang dipakai selama PKI dapat dianggap sebagai kelompok anti agama. Dan
harus diingat bahwa paman Karl Marx pernah mengatakan bahwa agama itu candu supaya
masyarakat tidak menghadapi realitas siapa yang menindas. Ini sulit dicabut oleh PKI, walaupun
mereka berusaha supaya tidak confrontational terhadap agama. Tapi isu agama ini gampang
dipakai. Apalagi di negara komunis pimpinan agama diusir, Uni Soviet itu atheis, dsb. Jadi
bagaimanapun isu agama ini salah satu alat pemukul di kalangan lawan PKI.

Tetapi waktu mengikuti pengadilan Sudisman, saya lihat banyak saksi-saksi dari pihak PKI. Dan
hanya sedikit -- Sudisman sendiri, mungkin satu-dua lagi -- yang tidak mau ambil sumpah secara
agama, menggunakan Al Qur'an, Al Kitab, dsb. Jadi saya yakin sebagian besar dari orang-orang
PKI itu sebenarnya juga orang beragama. Itu faktor penting.
Soal perbedaan antara daerah-daerah memang menarik. Karena pembunuhan ini tidak terjadi di
mana-mana secara merata di seluruh Indonesia. Di sini kami bisa melihat betapa menentukan
faktor pimpinan tentara lokal. Ambil contoh umpamanya Jabar. Pada tahun 68 saya sempat
mewawancara jenderal Ibrahim Adjie yang pada waktu peristiwa dia menjadi Pangdam Siliwangi.
Pada waktu itu dia dianggap sebagai saingannya Suharto, lalu dibuang ke London jadi Dubes di
sana. Saya ngomong lama sama beliau.

Saya tanya, kenapa kok tidak ada pembunuhan besar-besaran di Jawa Barat? Sebenarnya memang
ada, umpamanya di Indramayu, tetapi tidak meluas. Dia bilang, "Itu sebabnya karena saya tidak
ingin ada pembantaian di Jawa Barat. Karena merasa bagaimanapun ini sebagian besar orang biasa,

130 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

orang-orang kecil. Akan mengerikan kalau mereka itu dibunuh. Saya sudah kasih perintah kepada
semua kesatuan di bawah saya, orang ini ditangkap, diamankan. Tapi jangan sampai ada macem-
macem." Ternyata kewibawaan si Adjie yang terkenal jenderal kanan, yang dekat dengan Amerika,
itu berlaku penuh.
Sebaliknya di Jawa Timur pimpinan tentara pada waktu itu lemah. Saya lupa nama panglimanya.
Mungkin Sunaryadi? Tapi jelas kolonel-kolonel, komandan Korem merasa bisa bergerak dangan
sendirinya. Umpamanya Danrem di Kediri yang masih famili dengan salah satu jenderal yang
dibunuh di Jakarta, itu mengambil inisiatif sendiri. Sebagian timbul karena perpecahan. Kalau
RPKAD sudah masuk orang merasa bahwa untuk selamat mereka harus berbuat sesuatu. Di Bali
juga begitu. Ini menarik dan penting. Karena di Jawa Barat, di mana RPKAD tidak pernah putar-
putar, justru tidak terjadi pembantaian.
T: Mengapa tidak ada perlawanan dari orang PKI?
J: Ya karena mereka tidak punya senjata. Mau apa?
PENGARUH LUAR NEGERI? BUDAYA?

T: Bagaimana pengaruh faktor luar negeri?

J: Daftar orang PKI yang dibikin orang kedutaan Amerika itu?

T: Ya. Orang kedutaan AS itu kan bikin daftar 5 ribu orang PKI, lalu dia serahkan ke Suharto.

J: Saya juga kenal dengan orang Amerika itu. Karena waktu di Jakarta saya kadang-kadang ke
Kedutaan Amerika dan ini orang memang punya obsesi yang aneh. Mungkin karena dia dididik
sebagai Kremlinologist, dia sibuk bikin daftar dari orang-orang PKI. Pada waktu itu menjadi bahan
ketawaan pegawai di kedutaan sendiri. Seolah-olah tentara Indonesia tidak pernah bikin daftar.
Padahal mereka jauh lebih mengikuti seluk beluknya politik di Indonesia dari pada orang Amerika.
Pada waktu itu orang kedutaan Amerika yang dapat berbahasa Indonesia dengan fasih, boleh
dikatakan baru satu-dua. Saya tidak percaya bahwa tentara memerlukan daftar yang dibuat oleh
pegawai kedutaan Amerika. PKI itu tidak di bawah tanah.

T: Salah satu studi Pak Ben yang lain adalah tentang "Mitologi dan Toleransi Orang Jawa," terbit
tahun 1965. Bagaimana Pak Ben menjelaskan pembunuhan massal itu dari pemahaman tentang
budaya Jawa?

J: Saya merasa kita harus membedakan kebudayaan dalam keadaan normal, ketika tidak ada
ketegangan mencekam, tidak ada suasana ketakutan yang luar biasa. Kalau melihat kehidupan
sehari-hari dari orang Jawa, apalagi orang Jawa Tengah, mereka berusaha menghindari konflik
yang terbuka, dsb.

Tapi dalam masyarakat apapun juga -- kalau kita lihat sejarah dunia modern -- pembantaian,
pembunuhan yang luar biasa kejamnya, bisa timbul dalam suasana ketika orang merasa situasi
sudah tidak ada ketentuan. Saya ambil contoh, umpamanya Yugoslavia. Pada akhir kesatuan
Yugoslavia orang makin merasa bahwa hukum tidak berlaku, alat negara jelas terpecah, sebagian
ikut ini sebagian ikut itu. Situasi ekonomi sudah mulai hancur. Dalam situasi seperti itu orang akan
coba menyelamatkan diri sendiri dengan cara apapun. Mereka harus berbuat sesuatu yang dalam
keadaan normal tidak mungkin terjadi.

Kita lihat umpamanya di Yugoslavia banyak sekali terjadi perkawinan antara orang Serbia dan
Bosnia. Dan memang bahasanya sama. Jadi selama tiga puluh tahun sebelum terjadi huru-hara
131 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

nggak ada masalah. Tapi kalau ketakutan besar sudah mulai, ya bisa terjadi bahwa si bapak yang
Serbia terpaksa – supaya tidak dianggap antek karena bininya sebagai orang Bosnia calon
penghianat -- dia harus berbuat sesuatu yang kejem, demi keselamatan diri sendiri. Bisa juga dia
malah membunuh istrinya sendiri. Dan ini bener-bener terjadi.
Kita lihat situasi yang sama umpamanya ketika terjadi pembagian India dan Pakistan oleh Inggris.
Dan terjadi juga di tempat-tempat yang lain. Saya yakin di Amerikapun, kalau dalam situasi
ketakutan seperti itu, akan banyak kekejaman yang bisa terjadi. Jadi saya merasa ini tidak
kontradiktif dengan toleransi sehari-hari orang Jawa. Kekejaman ini harus dikaitkan dengan
situasi yang serba tidak tentu.

Kita lihat bagaimana setelah peristiwa terjadi tidak pernah ada orang yang nongol di depan umum
dengan bangga ngaku bahwa saya telah membunuh seratus lima puluh orang PKI. Malah propaganda
dari pemerintah seolah-olah korban dari pihak pemerintah dan dari PKI kira-kira samalah. Jadi
tidak ada kebanggaan atas pembantaian. Jaman sekarang istilah yang paling sering disebut adalah
trauma. Itu jelas bukan trauma untuk yang mati, karena mereka sudah mati. Trauma justru untuk
yang menang dan yang membunuh. Banyak orang yang membunuh akhirnya menjadi gila.

T: Orang Jawa sangat dipengaruhi cerita wayang. Dalam cerita wayang, Mahabarata itu diakhiri
dengan Perang Baratayuda. Ramayana juga diakhiri dengan perang besar menyerbu Alengka.
Apakah ada pengaruh dari budaya wayang ini?
J: Mahabarata dan Ramayana itu berasal dari India. Kalau orang Jawa itu pantang menggelarkan
lakon Baratayuda karena sangat bahaya. Lakon itu dianggap dapat membawa malapetaka. Jadi itu
pantang sekali. Setahu saya cuma ada satu desa di Delanggu, entah karena apa, setiap setahun
sekali Baratayuda itu harus digelar. Tapi itupun harus dengan macam-macam upacara sebelumnya.
Jadi sulit juga kalau dikatakan bahwa orang Jawa suka Baratayuda (bersambung).

BEN ANDERSON TENTANG PEMBUNUHAN MASSAL-65 (6 - habis)


Siapa yang bertanggung-jawab? "Suharto dan pimpinan Angkatan Darat itu bertanggung jawab
atas pembunuhan ini, itu jelas." Tentang kesalahan PKI, "Bisa dikatakan bahwa pimpinan PKI yang
bertanggung-jawab atas politik partai itu mungkin memang ada salahnya." Lalu Pak Ben membuat
catatan panjang tentang kesalahan pimpinan PKI. Tentang anak muda sekarang, "Kalau anak muda
mengerti apa yang terjadi, mereka tidak bisa melihat situasi secara hitam-putih. Mereka harus
melihat ke depan, jangan cuma menengok kebelakang." Pelajaran apa yang bisa ditarik, "Kita
sebagai manusia dalam situasi tertentu bisa menjadi pembunuh. Jadi kita harus berusaha keras
supaya tidak timbul situasi di mana sifat binatang di dalam diri kita masing-masing bisa ke luar."

PELAJARAN SEJARAH

T: Pelajaran apa yang bisa kami tarik dari pembunuhan jenderal-jenderal itu?

J: Saya tidak tahu pelajaran apa yang diambil dari pembunuhan jenderal. Kecuali bahwa orang
yang hidup dari kekerasan akan dihancurkan oleh kekerasan. Jadi Untung, Supardjo, Latif, dll,
harus bertanggung jawab atas apa yang mereka kerjakan. Bagaimanapun kalau orang tidur di
rumah tahu-tahu dibrondong mitraliyur itu mengerikannya bukan main.
T: Kalau orang Indonesia tahu kebohongan tentang Lubang Buaya, lalu tahu ada pembunuhan
massal, bagaimana sejarah akan menilai Suharto?

132 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

J: Banyak sejarah yang hilang. Ratusan ribu orang yang jadi korban itu tidak bisa bicara lagi.
Berapa sebenarnya jumlah yang dibunuh, itu mungkin kita tidak akan bisa tahu dengan pasti. Dan
dalam sejarah memang banyak peristiwa pembunuhan atau kekejaman yang kemudian tidak bisa
diungkapkan. Misalnya saja sejarah perdagangan budak di Afrika. Kita tidak tahu berapa yang
dibunuh, bagaimana dibunuhnya, siapa yang membunuh, dst. Jadi jangan terlalu yakin bahwa
seluruh sejarah 1965 ini akan bisa diungkapkan.

Sekarang memang banyak sejarah yang dihapus. Kita juga harus ingat bahwa Orba selama ini
justru melakukan apa yang suka saya sebut "kebijaksanaan pembodohan" masyarakat Indonesia
sendiri. Bukan hanya tentang pembunuhan tahun 65. Tetapi juga tentang bagaimana munculnya
kesadaran nasional, sejarah Jaman Pergerakan yang sebenarnya, tentang Jaman Jepang, Jaman
Revolusi, dsb. Karena yang mau dijadikan pahlawan itu cuma ABRI. Padahal ABRI kan belum lahir
waktu orang lain sudah berjuang puluhan tahun. Tapi toh sekarang mulai terlihat usaha anak-anak
muda untuk mencari informasi, untuk menggali kembali sejarah bangsanya. Seperti terlihat dalam
buku "Bayang-Bayang PKI" itu, antara lain. Dan memang ini tugas anak muda, kan? Untuk tidak mau
dibodohi.

Tapi bahwa Suharto dan pimpinan Angkatan Darat itu bertanggung jawab atas pembunuhan ini, itu
jelas. Dan bukan pembunuhan ini saja. Mereka juga bertanggung jawab atas ratusan ribu korban
pembunuhan di Timtim, dan ribuan lagi orang yang dibunuh dalam kasus-kasus Irian Jaya, Aceh,
Petrus, dsb. Sepanjang sejarah Indonesia, termasuk selama Jaman Belanda dan Jaman Jepang,
belum pernah ada kelompok penguasa yang tangannya begitu berlumuran darah. Ya, itu fakta.

T: Tadi Pak Ben bilang soal pembunuhan di Kediri yang luar biasa kejam. Tapi ada juga propinsi
seperti Jabar, di mana pembunuhan tidak meluas. Apa yang bisa dipelajari dari fakta-fakta
seperti itu?

J: Laporan Cornell itu topik utamanya bukan pembunuhan massal. Tetapi apa yang terjadi dalam
Gerakan 30 September. Apa sebabnya terjadi pembunuhan massal? Itu soal lain lagi. Untuk tahu
tentang pembunuhan massal itu kita sudah tahu politik dari tentara di pusat. Tapi itu tidak selalu
dilaksanakan pada tingkat lokal. Mengapa di Kediri pembunuhan meluas, tadi sudah dibicarakan,
karena Danremnya saudara dari jenderal yang dibunuh. Kenapa di Jabar pembunuhan tidak
meluas, juga sudah kita bicarakan. Pembunuhan di Aceh juga sangat kejam. Dan di Aceh juga
banyak sekali orang Cina yang dibunuh.Itu juga karena inisiatif Pangdam Aceh waktu itu, Ishak
Juarsa. Jadi ada dua tingkat. Kebijaksanaan pusat dan kebijaksanaan lokal dari pangdam, danrem,
dsb. Studi yang lengkap memang belum ada.

T: Ini soal media. Sebelum pembunuhan massal, media massa -- koran, radio, TV -- dipakai
Suharto untuk menyebarkan kabar bohong tentang kekejaman PKI di Lubang Buaya. Akibatnya
masyarakat jadi tegang, ketakutan, saling curiga. Apa yang bisa kami pelajari dari pengalaman
dengan media ini?
J: Kita harus belajar menghadapi media massa. Apalagi kalau sudah dimonopoli oleh suatu
kelompok. Kita harus skeptis, curiga, jangan cepat percaya. Harus bisa membandingkan informasi
dari media yang dikontrol penguasa itu dengan informasi lain, dengan pengalaman diri sendiri,
dengan media luar negeri, internet, dll.

Karena media massa itu jelas alat penguasa yang dipakai untuk kepentingan penguasa. Bukan hanya
di Indonesia, di Amerika juga begitu. Kalau lihat TV di sini selalu saya punya sikap curiga.
Pokoknya belum tentu benar. Apalagi kalau media itu condong menghasut si penonton untuk jadi

133 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

fanatik, untuk membenci, dsb. Kita harus skeptis. Belajar menjaga diri supaya nggak ikut
terseret.

Saya sudah mengalami keadaan demikian di beberapa negara. Bukan cuma di Indonesia saja. Saya
lihat bagaimana media massa di Inggris waktu Perang Malvinas. Media massa di Amerika waktu
Perang Vietnam juga begitu. Jadi ini bukan sifat khusus media massa di Indonesia. Tetapi sifat
khusus dari penguasa yang kalang kabut atau yang punya maksud jelek.

Kalau sekarang, kita bisa lihat umpamanya dalam Peristiwa 27 Juli. Tahu-tahu dicarikan kambing
hitam. Sekelompok anak muda yang nggak sampai 200 orang jumlahnya. Ini jelas suatu usaha
untuk bikin suasana panik. Untuk menutupi sebab-sebab sebenarnya dari peristiwa itu.

T: Menurut Pak Ben apa kesalahan PKI?

J: Saya tidak mau bilang bahwa PKI punya salah. Karena PKI itu suatu keluarga besar yang isinya
jutaan orang. Saya tidak percaya kalau suatu organisasi yang begitu banyak manusianya, yang
begitu beraneka warna, itu punya salah. Tapi bisa dikatakan bahwa pimpinan PKI yang
bertanggung-jawab atas politik partai itu mungkin memang ada salahnya.

Pertama, pimpinan PKI mungkin tidak betul-betul mengerti atau tidak mempertimbangkan dengan
matang kontradiksi yang ada antara strategi politik -- yang berdasarkan pemilihan umum,
aktivitas terbuka yang legal, keanggotaan partai yang jutaan -- dengan retorika yang sangat
radikal. Retorika PKI waktu itu cocok untuk dipakai dalam perang gerilya. Di mana pada akhirnya
perjuangan akan ditempuh dengan jalan kekerasan.

PKI menganjurkan banyak sekali orang-orang biasa untuk ikut. Dan mereka jelas tidak pernah ada
pikiran bahwa sewaktu-waktu bakal ada pembunuhan besar-besaran. Kalau mau mengajak jutaan
orang biasa yang kerja di kantor, di desa, di kampung, untuk ikut suatu partai yang legal, di atas
tanah, memakai lembaga-lembaga parlemen, pemilu, dsb. Tetapi sekaligus juga memakai retorika
bahwa seolah-olah sewaktu-waktu bakal terjadi krisis yang revolusioner, di mana ini mau
dihancurkan, itu mau dihancurkan, maka itu menimbulkan kontradiksi yang lumayan bahayanya.

Karena lawan politik yang mendengar retorika seperti itu -- bahwa sekali waktu kamu akan
dihancurkan, akan dibeginikan-dibegitukan -- tentu merasa pada akhirnya akan terjadi suatu
konflik fisik yang luar biasa dahsyatnya. Jadi dengan sendirinya mereka akan mempersiapkan diri.
Dan pada waktu itu justru lawan PKI lah yang punya senjata.

Saya pernah dengar-dengar, Mao Tse Tung pernah mengatakan begini kepada pimpinan PKI, "Ini
nggak bener. Kalau kamu mau menghancurkan ini, menghancurkan itu, ya itu nggak bisa di kota-
kota, nggak bisa di parlemen, nggak bisa di tengah orang ramai. Itu harus di gunung, harus bikin
perang pembebasan rakyat. Dan sebaliknya kalau kamu betul-betul mau pakai cara parlementer,
maka retorika dan analisamu harus cocok dengan situasi dan strategi yang kamu pakai." Jadi
dengan demikian ada kemungkinan pimpinan PKI juga ikut membuka kesempatan untuk apa yang
kemudian terjadi. Tapi, ya tentu ini cuma pendapat orang luar, seorang outsider.
Saya juga merasa, kadang-kadang PKI juga terlalu mencari musuh yang nggak perlu. Umpamanya
kampanye terhadap Manikebu (Manifesto Kebudayaan). Itu bukan kelompok yang penting, cuma
beberapa orang yang sama sekali tidak berbahaya. Padahal lawan sebenarnya dari PKI itu, ya
konglomerat, pimpinan tentara, dsb. Tetapi PKI tidak berani langsung menghadapi mereka. Lalu
dicarikan target yang lebih gampang. Secara taktis ini tidak baik. Dan menimbulkan kesan PKI
selalu ingin menang sendiri.

134 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Pada waktu ada pemilihan umum yang bebas di Indonesia, partai yang paling besarpun tidak bisa
dapat pendukung lebih dari 25% dari masyarakat. Tidak mungkin ada suatu organisasi yang bisa
menang secara mutlak. Bagaimanapun Indonesia baru akan bisa maju dengan baik kalau ada
persekutuan, ada aliansi antara kelompok-kelompok yang beraneka ragam.
Selain itu saya juga dapat kesan begini. Ini kesan yang timbul ketika mengikuti pengadilan
Sudisman. Pada waktu Sudisman menghadapi kematiannya sendiri, dia tahu bahwa pengadilan itu
adalah saat terakhir dia bisa ngomong. Dia banyak melepaskan diri dari bahasa resmi, bahasa
formal, bahasa standard dari partainya. Lalu dia mulai ngomong sebagai manusia. Ya tentu bahasa
partainya juga cukup banyak. Tetapi pidatonya itu mengesankan justru karena tidak pakai bahasa
resmi. Dia ngomong sebagai orang Jawa, sebagai orang Indonesia, orang yang pernah ikut revolusi,
yang ikut berjuang, dsb. Itu mengesankan. Jadi sepertinya PKI terlalu mengajak orang untuk
ngomong dengan bahasa yang terlalu distandarisasikan, terlalu monoton, terlalu uniform. Sehingga
bisa dibilang itu membunuh atau mengurangi kreatifitas.
T: Apakah rasa dendam dari mereka yang keluarganya dibunuh itu mungkin bakal muncul sekali
waktu nanti?

J: Ada kemungkinan bakal muncul individu-individu yang demikian. Tapi jangan lupa bahwa
peristiwa ini terjadi 30 tahun yang lalu. PKI sudah hancur selama 30 tahun. Dan kemenangan
tentara adalah kemenangan yang mengerikan. Tetapi, dan ini perlu dimengerti juga, bahwa dalam
proses membunuh, menyiksa, dsb, ternyata ada juga sebagian anggota partai, malahan juga di
kalangan atasnya, yang kemudian ikut jadi penyiksa dan pembunuh. Jadi PKI tidak hanya
dihancurkan oleh lawannya. Tetapi sebagian juga dihancurkan oleh anggotanya sendiri. Nah ini
suatu luka yang sangat dalam.

Kalau anak muda mengerti apa yang terjadi, mereka tidak bisa melihat situasi secara hitam-putih.
Dan toh Indonesia sudah banyak berubah. Masalah Indonesia sudah lain dan dunia juga sudah lain.
Mereka harus melihat ke depan, jangan cuma menengok ke belakang. Harapan ada di depan. Tidak
pernah ada di belakang.
T: Dalam periode sejarah yang serem ini, apakah Pak Ben melihat orang-orang yang bisa dianggap
pahlawan?

J: Saya bukan orang yang gampang mencari pahlawan. Tapi saya tahu ada orang-orang yang
semangat dan achlaknya memang saya kagumi. Saya kasih contoh 3 orang. Pertama, Pak Pram
tentunya. Yang dengan segala penderitaannya toh bisa menciptakan karya sastra yang luar biasa
dan tidak pernah mau tunduk kepada penindasnya. Saya juga angkat topi kepada teman saya yang
sudah lama meninggal, si Soe Hok Gie. Yang walaupun aktif melawan PKI, tetapi pada waktu
pembantaian massal, penangkapan dan pengiriman ke Buru, dia satu-satunya orang yang pada
waktu itu berani mengatakan di pers bahwa ini salah. Dia satu-satunya orang yang menyatakan
begitu pada tahun 60-an.
Yang ketiga, tentunya almarhum Pak Yap. Dia bersedia membela orang-orang yang sudah pasti
akan dihukum mati. Yang notabene adalah lawan politiknya. Tapi dia berusaha keras membela
mereka sebagus mungkin. Walaupun karena itu dia sendiri tentu rugi. Karena jadi dibenci oleh
penguasa. Apakah mereka ini bisa dianggap pahlawan? Mungkin belum tentu. Tetapi sebagai orang
yang punya karakter, punya moralitas, punya integritas, saya mengagumi mereka.

T: Kalau di antara politikus?

135 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

J: Sorry ya, nggak ada yang saya kagumi.


T: Kalau di kalangan orang-orang biasa? Pahlawan saya itu orang-orang biasa, pak. Tentu banyak
juga orang-orang biasa yang sudah berani ambil resiko untuk menolong korban waktu itu. Atau
menolong keluarga dan anak-anak orang yang dibunuh, dipenjara atau dibuang. Atau orang seperti
Ibu Pram, dalam memoar Pak Pram di P. Buru, "Nyanyi Sunyi Seorang Bisu." Atau seperti Ibu Oey
dalam "Memoar Oey Tjoe Tat." Mereka itu istri yang setia luar biasa dan tabah bukan main.
Mereka bisa terus mengurus keluarga ketika suaminya dibuang belasan tahun, waktu anaknya
masih kecil-kecil. Mereka kan orang biasa. Mungkin lebih gampang buat jadi contoh.
J: Ya. Tentu banyak orang yang bisa kita jadikan contoh. Cuma kita tidak tahu nama mereka. Tapi
saya tahu dua contoh. Waktu pengadilan Sudisman saya masih ingat banyak saksi dari PKI, dari
atas sampai bawah. Banyak sekali dari golongan atas yang sebenarnya memalukan sekali
kesaksiannya. Mereka jelas-jelas mau mencoba mencuci tangan, melarikan diri dari tanggung-
jawab sebagai atasan.
Tapi ada dua orang yang sikapnya bagus. Yang pertama Sri Ambar dari Gerwani. Dan yang paling
mengesankan itu seorang anak Cina yang masih muda. Saya tidak ingat namanya. Dia menjadi
kurirnya Sudisman waktu dalam persembunyian. Anak muda itu orangnya polos, berani, sopan, dan
tidak pernah mau bertekuk lutut terhadap pengadilan. Tentu dia bukan orang yang penting, bukan
orang yang dikenal namanya. Tetapi sikapnya hebat.
T: Secara umum, pelajaran apa yang bisa kami tarik dari pembunuhan massal-65?

J: Kalau tentang pembunuhan massal, ada perasaan umum di Indonesia yang seolah-olah peristiwa
serem semacam itu jangan sampai terjadi lagi. Ini suatu yang mengerikan dan memalukan.
Pelajaran satu lagi, bahwa kita sebagai manusia dalam situasi tertentu bisa menjadi pembunuh.
Jadi kita harus berusaha keras supaya tidak timbul situasi di mana sifat binatang di dalam diri
kita masing-masing bisa ke luar (Habis).

***

(Wawancara tgl 20 & 23 September 1996).


Received on Thu Oct 3 06:10:31 MES 1996
From: indonesia-l@igc.apc.org
INDONESIA-L
Date: Wed, 02 Oct 1996
To: apakabar@clark.net

Tulisan ini merupakan penuturan seseorang yang kala itu masih duduk di bangku SMP, dibesarkan
di kalangan PNI di kodya Yogya. Terutama membicarakan peristiwa-peristiwa di sekitar tahun
1965 berkatitan dengan kegiatan PNI dan PKI. Cerita ini didasarkan ingatan semata. Sumber
berita ada yang dari koran lokal waktu itu, ada pula dari omongan-omongan orang-orang dewasa di
sekitarnya. Semoga cerita-cerita berikut ini menambah gambaran sejarah para apakabarian
mengenai masa di seputar masa peralihan itu yang sampai sekarang masih banyak memiliki sisi-sisi
gelap. Semoga ada netters lainnya yang memiliki cerita sejaman yang berkaitan dapat
melayangkan cerita atau pengalaman-pengalaman pribani mereka. Barangkali saja ada sejarawan,
atau mahasiswa jurusan sejarah yang tertarik mengangkat salah satu cerita untuk diteliti sesuai
dengan kaidah-kaidah penulisan sejarah.

136 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Sejak setahun sebelum peristiwa 1965, saya mulai merasakan ketegangan di antara para pemuda
di kampung saya. Terjadi persaingan antara para pemuda Marhaenis dengan Pemuda Rakyat-nya
PKI. Konflik langsung memang tidak terjadi. Mading-masing bergaya dengan seragam hitam-hitam.
Para pemuda ramai-ramai mewenter baju dan celana panjang menjadi hitam. Para pendukung PNI
berseragam celana baju hitam dengan gambar banteng dengan cat putih dipunggungnya dan
berbaret merah. Sedangkan PR dengan seragam hitam dengan gambar skorpio atau cancer atau
binatang sejenis berdasrkan kelompok dari kampung masing-masing. Para pemuda Marhaenis dari
kampung kami sempat berguru kekebalan secara kolektif dan instant. Setelah diwejang oleh
seorang guru dan dimandikan di sungai pada malam hari, mereka bisa setiap saat mendapatkan
kekebalan sesaat hanya dengan cara berdoa dan memutar badannya bagai baling-baling. Seorang
pemuda tetangga menunjukkan caranya ingin jadi banteng dan memang badannya menjadi keras
dan bernafas mirip banteng. Tetapi belum pernah terdengar ada konflik antar kedua kubu
sehingga perlu memakai ilmu tersebut. Sebagai tetangga, mereka tetap sebagaimana orang Jawa
dalam kehidupan ketetanggaan.

Di bulan (kalau tak salah) Juni 1965 ada Longmarch Klaten Yogya dalam rangka memperingati
ulang tahun PNI. Seperti biasanya waktu itu, para Pemuda Marhaenis meneriakkan "Marhaen
Menang". Di tengah jalan, peserta berpapasan dengan seorang anggota Angkatan Darat. Diteriaki
"Marhaen Menang" dia balas dengan "Marhaen Bajingan". Rupanya jawaban itu membuat para
pemuda marah. Si tentara dihajar di tempat. Akibat dari peristiwa itu, Batalyon 451 dari asal di
tentara kroco itu marah. Mereka konon sempat menciduk beberapa pemuda Marnaenis dari rumah
masing-masing untuk di hajar di tnagsi mereka. Sehingga waktu itu di Yogya banyak para tokoh
PNI dan pemudanya yang setiap malam mengungsi tidur di luar kota untuk menghindari
pencidukan. Ternyata, batalyon itulah yang bermarkas di Kenthungan yang kemudian terlibat
dalam penculikan Kolonel Katamso, Danrem Pamugkas DIY. Satu hal menarik, istilah ciduk
terdengar pertama kali justru dilakkan leh para simpatisan PKI terhadap musuh-musuhnya.

Stelah pristiwa 30 September 1965 ketegangan antara aktivis PNI dan PKI memuncak. Beberapa
hari setelah tanggal 30 September 1965, salah seorang tokoh Pemuda Rakyat sesumbar bahwa
dia telah menyediakan kuburan untuk orang "lor". Dugaan kami, yang dimaksud adalah ketua PNI
ranting kampung setempat yang rumahnya tepat di sebelah utara rumah si anggota PR tersebut.
Dia sendiri akhirnya diciduk bersama teman-teman lainnya. Anehnya, ketua PKI ranting setempat
justru tidak diciduk. Kami, para tetangga tidak berbuat apa-apa. Kami hanya berusaha memaklumi,
barangkali dia tidak diciduk karena dia terlihat menaburkan kembang-kembang di atas genteng
rumahnya. Juga aneh bagi kami, ternyata salah seorang aktivis PR perempuan, Gerwani, akhirnya
menikah dengan seorang anggota Brimob di Jakarta. Kamipun tidak meributkannya.
Kami membaca kekejaman-kekejaman yang dilakukan oleh PR dan PKI di kota terdekat, Solo. Yang
masih teringat misalnya berita tentang PKI yang membunuh seorang PNI dengan memaku
kepalanya agar mirp banteng Memang pembunuhan yang dilakukan terhadap para pendukung PKI
tidak diberitakan. Kami hanya dengar berita dari mulut-kemulut. Misalnya pembunuhan-
pembunuhan terhadap PKI di Kali Wedi, sebuah sungai yang hanya beraliran pasir, yang berhulu di
gunung Merapi. Sebagai akibat berita itu, pada saat itu orang tidak mau makan kangkung dan
genjer-genjer yang tumbuh di aliran sungai. Juga terdengar pembunuhan terhadap para tokoh PKI
di Gunung Kidul. Menurut kabar burung, mereka diikat jempol tangannya dengan kawat di
belakang. Dengan mata tertutup mereka disuruh jalan untuk masuk ke terjerumus masuk ke
aliran-aliran sungai di bawah tanah yang banyak terdapat di Gunung Kidul. Berita-berita yang
dimuat koran di Yogya memang tidak memberitakan pembunuhan dari pihak manapun yang terjadi
137 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

di DIY. Di kecamatan Prambanan yang terbelah menjadi dua, sisi barat merupakan bagian DIY dan
sisi timur bagian Surakarta, Jawa Tengah, pembagian administrasi ini berarti banyak.

Pembunuhan-pembunuhan (atau pembantaian) hanya terjadi di bagian propinsi Jawa Tengah.


diberitakan, orang-orang PKI yang sebagian besar petani melawan panser dengan pentungan-
pentungan kayu dan senjata seadanya. Tidak terjadi di bagian DIY yang jaraknya 17 km dari
kodya Yogya. Mungkin hal ini dapat dikaitkan dengan telaah Ben Anderson tentang keberadaan
RPKAD yang bermarkas di Kartasura, kabupaten Surakarta, yang tidak dikirim ke DIY. Kami
waktu itu secara awam memahami gejala ini dengan mengkaitkannya dengan keberadaan kraton
Yogya. Barangkali peristiwa saling membunuh itu terhindar dari DIY karena wibawa Sri Sultan HB
IX.

Peristiwa aneh sering terjadi hampir setia pagi pada beberapa saat pada tahuhn 1967. Kami yang
berada di bagian utara Yogya, setiap pagi sekitar jam 6:30 sering mendengarkan suara latihan
drumband di arah timur. Seolah di arah RS Panti Rapih. Ternyata orang yang tinggal di sekitar RS
itu, mendengar juga dari arah timur lagi. Apakah dari arah Meguwo dimana berada kampus Akabri
Udara? hampir tak mungkin karena jaraknya berkilo-kilometer. Tak pernah ada yang tahu persis
dimana arah datangnya suara drumband sayup-sayup itu, kecuali dari arah timur. Orang menduga-
duga jangan-jangan itu arwah mereka yang terbunuh di arah timur kota.

Orang-orang di lingkungan kami yang sempat konfrontatif dengan jauh sebelum peristiwa 30
September 1965 merasa sakit hati difitnah membela PKI. Para mahasiswa KAMI dan KAPPI yang
datang dari Jakarta dikawal RPKAD berdemntrasi di Yogya seolah-olah menduduh warga PNI
beraliansi dengan PKI. Tahun 1967-an muncul ketegangan baru antara para warga PNI dengan
KAMI dan KAPPI yang di motori oleh orang-orang Kauman. Sepat terjadi perkelahian berdarah
antara warga PNI dengan 'orang-orang Kauman' pendukung KAMI. Bahkan ada seorang pelari pagi
yang tidak jelas kaitannya dengan PNI dibunuh di belakang RS Muhamadiyah, yang terletak di
sebelah utara kampung Kauman. Seorang teman yang dulu tinggal di kauman menceritakan
bagaimana kakaknya ikut menusuk si pelari pagi itu dengan sebilah keris kecil. Mayatnya tergolek
di RS tersebut dan walaupun beritanya masuk koran lokal, tetapi kasusnya tidak pernah diusut.
Nama korban pernah diabadikan para tetangganya menjadi sebuah nama gang di selatan setasiun
kereta api Tugu, Yogya.

Pada waktu itu peta yang ditangkap masyarakat adalah RPKAD mendukung ormas Islam yang
bermarkas pusat di Kauman. Sedangkan KKO lebih mendukung pendukung PNI. Pernah terjadi duel
antara bersenjata AK antara seorang anggota RPKAD dengan seorang anggota KKO di Kauman.
Konon, si RPKAD berada di (loteng) salah satu rumah di jalan KHA Dahlan menantang seorang
anggota KKo yang lewat di depannya. Duel dimenangkan oleh si RPKAD dengan kematian si KKO.
Para warga PNI juga sakit hati ketika di cap bahwa mereka pnegikut PNI ASU (A-li
Sastroamidjojo sebagai ketua dan Ir. SU-rachman, yang di cap bekas PKI, sebagai sekretaris
jenderal). Melalui semacam kongress, akhirnya PNI Osa Usep-lah yang tandingan yang direstui
pemerintah Orde Baru. Rumor yang berdedar waktu itu mengatakan bahwa delegasi dari DIY dan
Kodya diwakili oleh orang-orang dari Kauman, artinya dari ormas Islam, berkedok sebagai anggota
'PNI Osa Usep' berangkat ke kongres nasional dengan dukungan dari Korem dan Kodim. Kalau ini
benar, maka praktek-praktek penggembosan PDI tahun ini, dan mungkin juga pada tahun-tahun
sebelumnya, sudah dilakukan oleh ABRI sejak hampir 30 tahun lalu dengan modus operandi serupa
terhadap PNI. Hanya berbeda obyek penderitanya.

138 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Pada masa yang bersamaan, konon juga banyak terjadi peristiwa saling bunuh- membunuh antara
warga PNI dan NU di Jawa Timur. Bukannya membunuh warga PKI. Banyak mayat hanyut di sungai
Brantas. Juga terdengar kabar adanya seorang anggota RPKAD (?) yang pulang dari tugas Dwikora
mendapatkan keluarganya habis dibantai. Dia yang pulang membawa senjata api otomatis
mengamuk membabat tetangganya.

Peristiwa berdarah yang cukup terbuka pada waktu itu, adalah penyerbuan markas Mbah Suro di
Randublatung, sekitar Boyolali (?). Si Mbah ini konon dianggap sakti sehingga banyak orang
berguru padanya. Katanya pula banyak murid si mbah yang ABRI. Dari sisi pemerintah si mbah ini
dianggap komunis sehingga perlu ditindak. Tetapi padepokannya dijaga oleh orang-orang
bersenjata AK di atas menara-menara pengintai. Seorang anggota RPKAD yang kesatuannya
menumpas padepokan itu menceritakan bahwa untuk berangkat dari Semarang (?) ke
Randublatung kesatuannya terpaksa menyamar sebagai orang sipil bersarung. Karena penjaga
menara bersenjata api tidak mau menyerah akhirnya padepokan dan markas mbah Suro diserbu.
Waktu itu kiranya masyarakat tidak ada keraguan mengenai perlunya aksi penyerbuan itu.

Memang, seperti kata Ben Anderson, apapun bisa terjadi pada masyarakat Jawa jika keadaan
dibuat memaksa mereka berlaku diluar batas-batas normal. Akankah kejadian-kejadian seperti
tersebut cukup dikubur saja dalam ingatan sebuah bangsa?

Tunggal Pratomo

Anatomi Dibalik G30S


Oleh: Arnold Lukito

http://www.indonesiamedia.com/2009/8/mid/sejarah/Anatomi.htm part 1
http://indonesiamedia.com/2009/08/30/anatomi-dibalik-g-30-s-2/
http://indonesiamedia.com/2009/09/23/anatomi-dibalik-g30s-%e2%80%93-bagian-ke-3/

Dimulai dengan adanya politikal konfrontasi antara Sukarno dengan Malaysia, yang didukung oleh
Australia dan Inggris, saat itu memiliki investasi modal yang sangat besar di Indonesia. Lalu
dilanjutkan tindakan ―nasionalisasi‖ atau penyitaan perusahaan-perusahaan Inggris mencapai
jumlah total US$400 million.
Saat itu seluruh investasi modal Amerika juga terancam akan disita, bahkan hampir separuhnya
sudah direbut oleh PKI. Tindakan ini adalah balasan atas serangan Amerika terhadap komunis di
Vietnam Selatan, setelah G-30-S di padamkan perusahaan-perusahaan itu kemudian dikelolah oleh
pimpinan militer sebagai ―bisnis ABRI‖.

139 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Setelah terjadi G30S, Indonesia mulai mengembalikan seluruh perusahaan investasi asing yang
bergerak didalam sumber bahan mentah dan hasil alam, dari minyak, karet, kopi, dan teh, kepada
negara seperti Belanda, Inggris dan Amerika, dll.

Kudeta dengan menggunakan G30S berjalan lancar, dan bersamaan dengan pembantaian PKI,
dilihat oleh pihak asing berhasil melancarkan kembali bisnis investasi modal. Bahkan Indonesia
menciptakan ―UU Investasi Asing pada Januari 1967″, yang menjamin seluruh penanaman modal
luar negeri di Indonesia, termasuk adanya bantuan militer, dan perlindungan Armada 7 dari
ancaman masuknya ideologi komunisme.

Perusahaan perusahaan konglomerat Amerika sangat berpengaruh, menyadari potensi strategis


dari Indonesia, dengan menggunakan kekuatan lobby, mereka mendiktekan mandat politik luar
negeri Amerika di Washington untuk Indonesia.
Hasilnya mendorong terjadinya kudeta G30S yang berhasil memperkuat posisi investasi modal
kapitalisme dan kekuatan militer Amerika di Asia Tenggara, setelah PKI ditaklukan. Dari Chase
Manhattan Bank, Freeport di Irian Barat, kebun karet ban mobil Goodyear di Sumatra, Unilever,
Palmolive dan Lux di Jakarta, Uniroyal, Union Carbide, pabrik mesin jahit Singer dan National
Cash Register, Tenneco, menerima kembali hak miliknya. Tidak ketinggalan hampir seluruh
perusahaan minyak dari Arco, Caltex, Exxon, Chevron, Shell. Mobil Oil, keuntungan perusahaan-
perusahaan ini berlipat ganda sejak Presiden Suharto berkuasa.

140 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Karena adanya ancaman kehilangan investasi modal yang sangat besar atas sikap politik Sukarno
yang sedang kampanye ganyang Malaysia dan anti barat, maka masalah ini dibahas oleh Attorney
General Kennedy pada tahun 1961. Lalu dilanjutkan dengan aksi politik dimulai sejak bulan March
4, 1964. Komite 303 memberikan aksi proposal untuk merencanakan ―covert action‖ melibatkan
para individual dan group yang telah disiapkan untuk melakukan gerakan darurat di Indonesia.
Beberapa bulan kemudian aksi proposal ini dilanjutkan pada musim panas 1964, berkerjasama
dengan Foreign Office, mengesahkan aksi politik resolusi untuk Indonesia. Tujuan pemerintah
Amerika menciptakan koalisi dan mendukung individual-individual dan golongan-golongan anti-
komunis sebagai kaki tangan dan ujung tombak di Indonesia.

Kemudian propaganda inipun diikuti dengan kampanye anti-pemerintah China, dan juga anti suku
Tionghoa Indonesia yang saat itu diasosiasikan dengan pro komunis, maksudnya dengan melakukan
demonisasi terhadap seluruh golongan Tionghoa tujuannya memperkecil perlawanan dari mereka
baik secara physical maupun ideologi, agar pembantaian PKI berjalan lancar.

Program ini dikoordinasikan di Washington Foreign Office bagian Asia Tenggara dan juga dengan
U.S. Ambassador untuk Indonesia pada saat itu, Marshall Green. Rencana ini melibatkan
individual yang akan ditunjuk sebagai liason antara US Embassy dan golongan anti komunis,
pemberian dana untuk covert-action.

Dari aksi politik dilanjutkan dengan aksi militer dilapangan: Seorang anggota pasukan dari US
Marines Fleet Forces pada tahun 1986, pernah bercerita setelah terjadinya penculikan G30S di
Jakarta, bersama Armada 7 sekitar tahun 1965 mendarat di Tanjung Priok kurang lebih
seminggu dalam tugas ―search and rescue‖, untuk menyelamatkan warga Amerika didalam keadaan
krisis di Jakarta. Juga bersamaan dengan pemberian bantuan M-16 untuk menumpas gerakan
komunis.

141 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

CIA mengakui kejadian G30S adalah aksi yang paling berhasil dan seringkali dijadikan contoh
model untuk kegiatan insurgency di Asia dan beberapa negara Amerika Latin. (Southwood and
Flanagan: Indonesia: Law, Propaganda, and Terror, 1983, # 36)

Beberapa ahli menekankan cara pola rencana CIA di Laos, Guatemala, Philipine, Argentina, Brazil,
Pre-Sandanista Nicaragua, Chile, Zaire, dan di Indonesia dalam G30S pun terlihat adanya
persamaan taktik ―menciptakan friksi adu domba‖ diantara beberapa kekuatan badan politik dan 4
golongan kekuatan yang mendukung Jenderal Yani/Nasution vs PKI, pendukung kubu dukungan
CIA: Jenderal Soeharto, dan kubu kekuatan terakhir Presiden Sukarno.

Langkah-langkah skenario badan intelijen asing:

142 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

1. Dengan psychological propaganda membuat rumor bahwa komunis semakin berambisi,


lawan politik Sukarno, yang sangat tinggi nasionalismnya. Digunakan oleh negara China
untuk menguasai negara Indonesia.
2. Memberikan bantuan terhadap individual-individual dan kelompok-kelompok yang mampu
dan siap untuk menghancurkan golongan komunis.

3. Mendukung kelompok anti Komunis (Dewan Jenderal) didalam lingkungan Presiden Sukarno
dengan konsep jelas, yang akan menyatukan kelompok yang tidak mendukung fraksi-fraksi
komunis dan menciptakan jurang antara PKI dan majoritas warga Indonesia.

4. Menunjuk dan membimbing calon pemimpin Indonesia yang telah ditunjuk untuk mengambil
kuasa setelah ―military covert action‖: Kudeta G30S selesai, PKI dihancurkan, dan siapa
yang akan memimpin Indonesia bila Sukarno tewas, maupun disingkirkan dari posisi
kedudukan sebagai Presiden Indonesia.
5. Meneliti, memberikan evaluasi, dan memonitor kegiatan kelompok yang anti Sukarno,
gunanya untuk mempengaruhi group itu agar selanjutnya, mendukung Presiden anti
komunis yang Amerika sudah persiapkan.

6. Secara publik Amerika mendukung group I: Perwira-perwira tinggi pro Western sebagai
kelompok anti komunis, dirumorkan sebagai Dewan Jenderal, yang akan melakukan kudeta
pada 5 Oktober 1965.

7. Namun dibalik group I, secara rahasia badan intelijen asing juga mendanai group II,
tanpa sepengetahuan Dewan Jenderal, maupun publik, menunjuk Suharto sebagai pewaris
kuasa negara Indonesia, untuk menggantikan Presiden Sukarno. Dibalik layar Suharto
berkerjasama dengan US mendukung diciptakannya Dewan Revolusi bersama orang
kepercayaanya yaitu: BrigJen Supardjo sebagai Teknikal Komando, Kolonel Suherman,
Kolonel Marjono, LetKol Usman Sastrodibroto, Mayor Sujono, Kolonel Latief, LetKol
Untung, didukung 5 dari 7 batalion Diponegoro dan juga Brawijaya. Dikemudian hari
Suharto menyiapkan TNI RPKAD dibawah pimpinan Kolonel Sarwo Edhie Wibisono,
berkerja sama dengan 4 Ketua Nadhatul Ulama, dan pemuda Ansor, sebagai bagian dari
pembersihan komunis Indonesia.

143 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

8. Setelah CIA berhasil mengontrol 4 kubu kekuatan yang berlawanan, maka dilanjutkan
dengan menciptakan ―trigger-point untuk menciptakan Domino effects‖‖ agar terjadi
konflik perebutan kekuasaan didalam negara Indonesia, dengan cara membocorkan sebuah
―dokumen penting‖ pada September 14, 1965. Intinya bahwa Dewan Jenderal akan
melakukan Kudeta pada 5 Oktober 1965. Kemudian pemimpin ABRI melakukan rapat
emergency pada tanggal 18 September membahas kebenaran rumor dan tindakan apa yang
harus dilakukan, dan rapat terakhir dilakukan pada September 30.

9. Dewan Revolusi yang dikepalai oleh LetKol Untung diberikan lampu hijau untuk melakukan
counter-kudeta terhadap Dewan Jenderal pada 30 September, dengan menggunakan nama
Presiden Sukarno sebagai alasan untuk menculik.

10. Melibatkan keberadaan ―2000 low level PKI‖ di Halim, didalam kejadian G30S, sebagai
alasan keterlibatan komunis dalam G30S, diikuti oleh propaganda, fitnah dan
penghianatan.
Pada bulan November 1965, Suharto mengesahkan Tim Pembersih Khusus dipimpin Kolonel
Sarwo Edhie Wibowo untuk menumpas PKI, dilanjutkan dengan pembataian masal yang dimulai
dengan pemberian ―5000 hit lists‖ dari pihak Amerika. Dimana dikatakan adanya pengecekan
daftar nama yang sudah dieliminasi. Pemberian sejumlah radio telekomunikasi dari Amerika dan
British, tanpa sepengetahuan pihak Indonesia, bahwa frequenzynya secara rahasia dimonitor.
Seluruh percakapan dalam radio, selama perencanaan, serta perintah komando dan pembantaian
PKI terjadi, didengarkan oleh British inteligen. Komunikasi itu dimonitor selama setahun, dan
diterjemahkan oleh British MI6 di Phoenix Park, Singapore, dan British Hong Kong Head
Quarters. G30 S telah berlalu, komunism dan sosialism dihancurkan, tembok Berlin telah
diruntuhkan pada 1989, Soviet Union terpecah belah, Presiden Boneka Suharto pun akhirnya telah
digulingkan.

Walaupun CIA telah mengeluarkan ‖blacked-out‖ dokumen pada 1998 mengenai kejadian 30
September, dan pada tahun 2007, Presiden Suharto Authorized Biography pun memberikan opini
mengenai Kudeta G30S, namun inti tulisan dari seluruh sumber buku itu terjadi ―conflict of
interests‖, bertentangan dengan banyak fakta bukti-bukti dilapangan yang ada dan telah dianalisa
oleh para ahli dokter forensik, bahkan buku dan kesaksiannya mudah sekali dituduh sebagai
lanjutan fabrikasi dari kejadian yang sebenarnya. Terutama buku Suharto‘s Authorized Biography
lebih menitik beratkan bahwa dirinya sebagai pahlawan bangsa dan kuatnya keterlibatan PKI
didalam G30S, akan tetapi kurang dapat memberikan bukti-bukti keterlibatan PKI secara
langsung, selain hanya alegasi politikal motive, bahkan Suharto dalam buku itu terlihat berusaha
keras menutupi keterlibatan dirinya didalam aksi rencana awal G30S. Sedangkan hampir selusin

144 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

buku yang ditulis diluar Indonesia intinya adalah hypothesis yang mejelaskan bahwa PKI dan
Presiden Sukarno adalah pihak yang menjadi korban perebutan kekuasaan didalam negara
Indonesia, dengan MayJen Suharto sebagai pewaris kuasa satu-satunya, yang mengenal dengan
baik seluruh pelaku konspirator G30S, dan secara rahasia terlibat dari awal sampai akhir didalam
melaksanakan sinkronisasi rencana US untuk menggulingkan Presiden Sukarno.

Pada tanggal 30 September 1965, Presiden Sukarno memberikan pidato Musyawarah Besar
Teknik(Mubestek) di Stadium Senayan, setelah itu pulang menemui Dewi Sukarno. Menurut
informasi yang didapat LetKol Untung mengejar kendaraan Presiden, dan membawa Presiden
keliling melewati Istana Merdeka dengan memberikan informasi bahwa Istana Merdeka sudah
dikelilingi oleh pasukan-pasukan dari luar daerah, padahal mereka adalah pasukan Tjakrabirawa.
Lalu mengusulkan untuk ke Halim dengan alasan keselamatan dan nyawanya terancam. Akan tetapi
banyak yang spekulasi bahwa LetKol Untung mencoba memenuhi rencana awal yang akan
mengindikasikan bahwa Presiden Sukarno adalah bagian dari perencana G30S, dan menggunakan
Halim sebagai Markas Operasi.

Beberapa urutan kejadian pada October 1, 1965 dan bulan-bulan berikutnya terlihat sangat jelas
tetapi cerita detail penculikan masih tetap menjadi misteri, artikel ini akan berusaha
merekonstruksi kejadian semaksimal mungkin, walaupun banyak data yang telah hilang didunia
politik Indonesia. Yang pasti para Dewan Jenderal telah diculik dan dibunuh pada malam
September 30, 1965. Dilanjutkan dengan tuduhan terhadap warga Indonesia termasuk etnis
Tionghoa (Southwood and Flanagan: Indonesia: Law, Propaganda, and Terror, 1983, # 53) sebagai
anggota PKI, tanpa adanya pengadilan resmi, majoritas dibantai menggunakan pisau dan golok,
sebagaian dianiyaya, ada yang dipaksa menggali kuburan masal, dan juga ada yang dilemparkan
kedalam goa, namun banyak korban yang dibuang kekali, kejadian ini berlaku diseluruh pelosok
Indonesia akan tetapi kebanyakan di Jawa Tengah, Jawa Timur, Aceh, dan Bali. Kudeta ini sangat
mudah dilakukan, karena terjadinya legitimasi propaganda media dan badan inteligen.

Pagi hari 1 Oktober satu group pimpinan TNI melakukan pelanggaran manusia, melakukan summary
executions, pembunuhan systematic, penyiksaan, untuk mendukung kekuatan politik Suharto dan
dalam usaha mengambil alih kuasa ABRI saat itu (Southwood and Flanagan: Indonesia: Law,
Propaganda, and Terror, 1983, # 49)
Counter Kudeta ini menggunakan kekuatan militer dengan alasan menghancurkan kaum komunis,
yang sangat kritikal dengan terjadinya korupsi didalam tubuh Bisnis TNI pada tahun 60an. Akan
tetapi Suharto dengan cepat menyusun kekuatan dalam waktu 4 bulan didalam sejarah
145 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

pembantaian rakyat Indonesia yang sangat keji.(Chomsky, Noam and Herman16581231, Edward S.
The Washington Connection and Third World Fascism, 1979, #206)

Sejarah politik Indonesia sejak 1965 adalah politik pelanggaran HAM, warga menghilang diculik,
mahasiswa meninggal secara misterious seperti kecelakaan, dan segala macam kejadian. Kekejian
teror yang membuta bukanlah cara efektif negara untuk menaklukan warga Indonesia sendiri.
Bahkan rezim yang paling brutal akan memanipulasi hukum seperti Nazi Germany, dan Stalin di
Russia tidak terkecuali, termasuk Suharto. Akan tetapi UU negara melegalisasikan ―martial law‖
KOMKAMTIB (Bunge, Frederica M: Indonesia: A Country Study. Wasington HQ, Dept of the
Army 1983) sebagai Dwi-Fungsi ABRI ―organisasi state teror‖ memang dimaksudkan untuk
mendukung kebijaksanaan Suharto. Total jumlah korbanpun tidak dapat dipastikan tapi
diperkirakan dari 1-3 juta korban, sebagai Genocide kedua terbesar setelah korban Nazi dalam
Perang Dunia II.
Sukarno seorang kharismatik, Bapak Kemerdekaan Indonesia, sudah memimpin hampir 20 tahun.
Sukarno secara politik bermain mata diantara 2 ideologi: dunia barat dan blok sosialis/komunis.
Dengan cerdiknya menciptakan ideologi baru; Nasakom, singkatan dari nationalism, agama dan
komunis. Saat itu Partai Komunis Indonesia sangat kuat. Dikatakan memiliki 3 juta anggota dengan
10 juta pendukung, menjadikan PKI nomor 4 di Indonesia dan partai komunis yang berpengaruh
diluar China dan USSR. PKI secara umum mendapat dukungan politik Presiden Sukarno, akan
tetapi tidak membuat dirinya sebagai seorang komunis sejati.

Walaupun Sukarno adalah Presiden seumur hidup namun tidak memiliki kekuatan untuk menjadikan
dirinya seorang diktator. Pihak militer dan pemegang elite politik mampu membatasi langkah
kekuasannya. Lebih lanjut para pemegang kuasa militer seperti loose cannon ―mereka dapat
bertindak tanpa persetujuan dari Presiden Indonesia‖, seperti menghentikan demonstrasi,
menutup penerbitan surat kabar, menculik, dan melakukan penyiksaan didalam interogasi terhadap
pemimpin oposisi politik dan ketua PKI.
Sukarno mendirikan PNI ditahun 1927, partai ini dilarang Belanda. Sebagai ketua partai,
dipenjarakan oleh pemerintah pada tahun 1930, setahun kemudian dibebaskan. Partai ini lalu
dibubarkan tahun 1945, setelah Indonesia merdeka, karena adanya perbedaan pendapat, dianggap
kurang diperlukan?
Kemudian pada tahun 1947-1948 PNI diaktifkan kembali. Kepemimpinan PNI tidak lagi diurus oleh

146 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Sukarno, dan para pemimpin PNI didaerah-daerah, majoritas mendukung ideologi komunis, pada
1965 sekretaris jenderal PNI dan banyak dari para anggota menjadi target dan korban
pembunuhan masal, dianggap pendukung PKI.
Sebagai Presiden Indonesia yang dikatakan memiliki IQ sangat tinggi, tetapi Sukarno tidak
memiliki partai politik, dan tergantung terhadap keberadaan PKI untuk kebijaksaan politik di
Indonesia, badan intelijen asing pun menilai MenLu Dr Subandrio adalah pewaris kuasa Sukarno
yang tidak disukai Amerika karena mendukung ideologi komunisme. Sukarno seringkali mengatakan
setelah Indonesia merdeka dari Belanda bukan berarti akhir dari pergolakan politik didalam tanah
air. Selalu didalam pidatonya mengingatkan seluruh rakyat Indonesia perlunya kelanjutan dari
kemerdekaan untuk menciptakan negara adil sejahtera, dan makmur. Namun orasinya
meninggalkan persepsi dan definisi berlainan diantara seluruh rakyat Indonesia juga terhadap
badan intelijen asing yang selalu melakukan analisa politik terhadap apa yang diucapkan dan apa
yang akan dilakukan oleh Presiden Sukarno selanjutnya. Tingkah laku Sukarno sangat meresahkan
pemimpin-pemimpin negara barat, bahwa PKI akan menjadikan Indonesia berideologi
Sosialisme/Komunisme (―ekonomi kerakyatan‖ sosialisme/komunisme dijanjikan oleh Mega/
Prabowo dalam Pemilu 2009).

Sukarno berhasil mengalahkan PKI dalam konfrontasi ditahun 1948. Namun PKI dapat meraih
sukses simpatisan didalam eleksi Presiden tahun 1955. Kemudian PKI naik menjadi partai yang
sangat berpengaruh pada pemilihan partai legislatif tahun 1957 (US Army‘s 1983 Areas Studies
Handbook on Indonesia), tentu sebagai politisian Sukarno menyadari ada baiknya berkerja sama
untuk kebaikan bersama. Karena PKI telah membentuk SOBSI organisasi buruh hampir diseluruh
daerah dan memiliki anggota sangat besar yang dapat membuka jalan untuk memberikan keadilan
serta kesejahteraan terhadap seluruh rakyat. Bahkan Sukarno mengharuskan pegawai negeri
mempelajari prinsipal Nasakom dan teori Marxis untuk studi banding.

Diawali kunjungan Sukarno menemui Mao Tse Tung ke Peking pada November 1964, kemudian Dr
Subandrio menerima kunjungan ketua partai komunis China, Zhou En-Lai, di Istana Bogor April
20, 1965. Setelah itu Sukarno pada bulan Augustus memberikan pidato diperlukannya sebuah
pasukan kelima, diluar seluruh pasukan militer dan polisi. Pemerintah Amerika dan media barat

147 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

memberitakan bahwa Sukarno membeli 100,000 AK-47 dari China untuk mempersenjatai pasukan
milisia, semua senjata disimpan didalam gudang senjata TNI-AU di Halim Perdana Kusumah.
Ketika 2000 Gerwani dan Pemuda Rakyat mendapatkan latihan militer terutama dalam cara baris-
berbaris, sejak bulan July 1965, didalam persiapan untuk mengikuti pawai hari angkatan
bersenjata pada 5 Oktober 1965 di Monas. Tujuan utamanya juga dipersiapkan untuk menyerbu
Malaysia. Namun anggota level bawahan komunis ini “hanya diijinkan menggunakan senapan
kayu!” Juga keberadaan mereka di Halim, secara politik sengaja ―being set-up‖ untuk melibatkan
seluruh nama PKI secara langsung kedalam penculikan dan pembunuhan dalam kasus G30S.
Dalam pidatonya dibulan Augustus 1964, Sukarno mengucapkan bahwa dirinya menghendaki suatu
group revolusi, tidak keberatan apakah mereka berasal dari kaum nasionalis, kelompok agama,
atau komunis, dan menambahkan ―Saya adalah kawan Komunis, sebab Komunis adalah rakyat yang
tidak gentar melakukan aksi revolusi‖ Lalu pada hari peringatan PKI, April 1965, Sukarno berkata
―Saya mencintai PKI sebagai saudara setanah air, dan bila saya meninggal saya akan merasa
kehilangan seorang saudara kandung‖.

Sukarno menyetujui konfrontasi dengan Malaysia atas masalah Sabah, 29 December, 1963,
pasukan gerilya Indonesia menyerang Kalakan, 50 km didalam daerah Sabah. Hasilnya pasukan
Ghurka Inggris dan Malaysia menghancurkan seluruhnya kecuali 6 gerilya menjadi tawanan. Juga 7
Maret 1964 mengirim ABRI dan pasukan Marinir untuk memata-matai kedalam negara itu, namun
beberapa tertangkap dan dihukum mati di Malaysia. Sejak tahun 1963 Sukarno mulai melakukan
propaganda anti Amerika, seperti melakukan pelarangan mendengarkan lagu Beatles dan group
KoesPlus, pelarangan dansa Agogo, dan segala macam apapun yang berbau Amerika.
Ketika US Ambassador untuk Indonesia menghadiri acara pawai, Presiden Sukarno dalam
pidatonya katakan dalam bahasa Inggris ―go to hell with your aids‖, mengakibatkan US President
Johnson pada December 1963 memotong dana bantuan sandang pangan terhadap negara
Indonesia. Akan tetapi bantuan militer tetap diberikan untuk menghadapi komunisme.

Kemudian pada Januari 1965 Sukarno mengejutkan dunia sebagai negara Asia pertama yang keluar
dari PBB, sebagai reaksi protes karena Malaysia mendapatkan kedudukan didalam UN Security
Council. Dilanjutkan pada August 1965 Sukarno dalam pidatonya mengatakan akan mengaktifkan
pasukan kelima dalam keadaan darurat karena adanya konfrontasi dengan Malaysia. Keadaan
ekonomi di Indonesia saat sebelum terjadinya Kudeta G30S sangat parah sekali. Bahkan Sukarno
dirumorkan menderita penyakit keras, serta adanya kecemasan dan pelemparan psy-op
propaganda dan rumor bila Sukarno meninggal maka PKI akan dihancurkan oleh kekuatan militer.
Segala rumor propaganda ini sengaja diciptakan oleh badan intelijen untuk menciptakan krisis
politik dan kecurigaan dari setiap lapisan badan negara. Badan intelijen analis dari beberapa
negara menilai Sukarno sudah berada diluar jalur dan keputusan bersama diambil bahwa “dirinya
harus disingkirkan secepatnya.”
Saat itu perang di Vietnam melawan Komunis sedang berlangsung, dunia barat menyadari
demokrasi dan sistim kapitalism di Asia Tenggara sangat terancam dengan keadaan politik
domestik Indonesia, bahkan PKI berkembang sangat pesat kedalam kabinet negara Indonesia
tanpa adanya perlawanan berdarah seperti dinegara-negara Asia Tenggara lainnya. Itulah
persepsi yang berlangsung terhadap PKI.
Psy-Op Black Propaganda: Tujuan utama kampanye ini, melakukan character assassination/
demonization “memberikan persepsi bahwa kaum komunis adalah mahluk tidak beragama” ini
adalah langkah awal untuk mempersiapkan ―hati nurani dan pikiran seluruh warga Indonesia‖
148 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

sebagai brain-wash, mengisi dan mempengaruhi cara pola berpikir majoritas didalam usaha
melancarkan “physical koordinasi” dan kerjasama bagi seluruh group dan individual yang akan
melakukan aksi pembantaian PKI. Dalam sensus dari jumlah 40 juta, paling sedikitnya 1/4
sejumlah 10 juta adalah anggota pendukung PKI. Sejumlah 10 juta warga Indonesia, ditambah
sanak keluarga, saat itu dibawah ancaman pembunuhan langsung (Southwood and Flanagan:
Indonesia: Law, Propaganda, and Terror, 1983, # 74).

Provokasi dan hasutan melalui pamplet disebarkan melalui helicopter, radio, koran-koran di
Indonesia, dilakukan menggunakan unsur nasionalism, etnis, dan agama seperti: ―Bunuh atau
dibunuh, bunuh atau tanah dirampas, Cina Komunis adalah Kafir, bunuh dan habiskan mereka demi
kebesaran Islam‖. (Southwood and Flanagan: Indonesia: Law, Propaganda, and Terror, 1983, #
67). Dilanjukan dengan pembantaian masal terhadap 1-3 juta korban yang dilakukan oleh Pasukan
RPKAD, direstui oleh 4 ketua NU, dan pemuda milisia Ansor.
Hubungan diantara Dewan Revolusi: Karena kerasnya rumor yang didengungkan oleh CIA selama
beberapa tahun. Perwira-perwira muda ―percaya‖ dan berkesimpulan bahwa adanya Dewan
Jenderal telah melakukan korupsi dan menerima uang sogok dari Amerika. Dengan kehidupan yang
sangat mewah dimana seluruh rakyat sedang mengalami kesulitan ekonomi, ditambah bahwa Dewan
Jenderal telah menghianati dan akan melakukan Kudeta terhadap Presiden Sukarno pada October
5, 1965. Menurut catatan sejarah pergolakan dimulai dari perwira-perwira yang berasal dari Jawa
Tengah, namun di Jakarta dibelakang layar sebuah rencana kudeta dipimpin oleh Jenderal
Soeharto, Jenderal Supardjo, Kol Latief, dan LetKol Untung ―kebetulan‖ dipindahkan pada
January 1965, ditugaskan memimpin 3 unit Tjakrabirawa, pengawal Istana Presiden Merdeka.

Singkatnya dalam hari D-Day ketika semua berkumpul di Halim Perdana Kusumah, Kolonel Latief
dan LetKol Untung mengatakan kepada seluruh pasukan bahwa: Malam itu adalah saatnya
bertindak terhadap para Dewan Jenderal karena mereka akan melakukan Kudeta terhadap
Presiden Sukarno pada Oktober 5, yang akan didukung oleh US, cerita ini dipercayai oleh seluruh
anggota pasukan. Mereka diperintahkan untuk menciduk para Dewan Jenderal dengan
menggunakan nama Sukarno ―Presiden memanggil dan menunggu di Istana‖. Aksi G30S dilakukan
tanpa sepengetahuan Presiden Sukarno secara detail. Karena hampir tidak mungkin seorang
Presiden Indonesia memerintahkan untuk menculik dan membunuh seluruh 7 Jenderal. Sebagai
aparat negara bertugas mempertahankan kedaulatan negara, mematuhi perintah atasan, dan
sangat percaya apa yang mereka lakukan akan mengembalikan Negara Indonesia, dan akan
menyelamatkan Presiden Sukarno. Seluruh anggota TNI malam itu yakin bahwa rencana Kudeta
Dewan Jenderal benar akan terjadi, maka LetKol Untung yang diwakili oleh Letnan Satu Doel
Arief melakukan operasi militer yang dikenal dengan peristiwa G30S. Hubungan diantara para
konspirator perlu diketahui: Jenderal Soeharto secara pribadi mengenal LetKol Untung sebagai
anak buah, begitupun terhadap Kolonel A. Latief, Major Bambang Supeno.
Dua tahun lalu pada 10 Juli 1963 Suharto diangkat menjadi PangKostrad, dan beberapa hari
sebelum 30 September 1965 memerintahkan kedatangan pasukan dari luar daerah ke Jakarta,
dan harus diingat Suharto melakukan inspeksi kesiagaan siap tempur, terhadap seluruh unit dari
―pasukan penculik‖ pada 29 September 1965, sehari sebelum kejadian aksi G30S.
Bahkan pada 10pm malam itu, beberapa jam sebelum terjadinya aksi penculikan terhadap para
Dewan Jenderal, Kolonel A. Latief menemui Suharto, ketika Tommy berada dirumah sakit, untuk
memberikan laporan terakhir bahwa rencana yang mereka ketahui bersama akan dilakukan dalam
beberapa jam, dan semua berjalan lancar. Namun dalam buku Autobiographynya Suharto

149 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

mengatakan Kolonel Latief hanya lewat tanpa mengucapkan sepatah katapun, bahkan dalam
interviewnya dimuat di media Malaysia, Suharto pernah menuduh Kolonel Latief mencoba untuk
menculik dan membunuh dirinya pada malam itu tanpa pasukan, dirumah sakit????
Apakah MayJen Suharto Penghianat: Badan intel asing menghianati para Dewan Jenderal
sebagai umpan-pancingan agar G30S terjadi, sedangkan Suharto sebagai pewaris kuasa dalam
covert action ini menghianati seluruh sahabat dan para pelaku G30S dan kemudian secara
sistematis mengambil alih kuasa ABRI, dengan cara mencuci tangan keterlibatan dirinya dari
rencana awal, dan mengeksekusi hampir seluruh Perwira yang melakukan aksi G30S untuk
keuntungan dirinya. Yang sangat menarik dan perlu diingat LetKol Untung; didalam sidang Militer
berkata ―Bapak(Suharto) telah menghianati saya‖.

Setelah Dewan Revolusi berhasil menghancurkan Dewan Jenderal. Pada March 1966, Suharto
mengutus 2 Jenderal menemui Presiden Sukarno di Istana Bogor, menghasilkan Super Semar,
namun bukti surat itu tidak pernah ditemukan, dan dikatakan hilang???
Pasukan-pasukan TNI-AD yang terlibat dalam aksi penculikan berasal dari:
* 1 regu dari Tjakrabirawa diketuai oleh LetKol Untung.
* 1 regu dari 454 Jawa Tengah diketuai oleh Major Sukino.
* 1 regu dari 530 Jawa Timur diketuai oleh Major Bambang Supeno.
* 1 regu Brigade Infantri I diketuai oleh Kolonel A. Latief
Awalnya PKI tidak diganggu, untuk melakukan seperti apa yang sudah direncanakan dengan detail
dari semula, dan juga untuk mencuci nama semua yang terlibat, Suharto memulai propaganda
hitam dengan memberikan bukti-bukti fabrikasi dan mengatakan bahwa PKI beserta Gerwani
telah menculik dan membunuh para Jenderal. Walaupun tak satupun terbukti bahwa adanya
penduduk sipil yang terlibat dalam aksi penculikan, dan pembunuhan, karena didalam aksi operasi
militer, mereka semua berseragam TNI-AD, dan mengendarai kendaraan TNI-AU. Pasukan-
pasukan dikerahkan menjadi 7 unit, setiap unit bertugas untuk menciduk satu jenderal. Jumlah
mereka tidak sama tergantung rumah Jenderal mana yang akan mereka akan kunjungi, bagi yang
dikerahkan untuk menciduk Jenderal Nasution dan Jenderal Yani, memiliki lebih banyak anggota
pasukan dari unit yang lain. Karena kedua Jenderal ini memiliki anggota pasukan bersenjata
didepan rumah mereka, dan mengantisipasi bahwa perlawanan mungkin akan terjadi.

Pertemuan di Lubang Buaya dimulai pada 2:00 pagi, persiapan logistik selesai sekitar 3:00 pagi,
kemudian satu persatu mereka naik kedalam kendaraan yang telah diperintahkan. Sekitar 3:15
kira-kira selusin bus dan truk yang membawa seluruh pasukan berangkat dari Halim Perdana
Kusumah dan tiba 45 menit kemudian, didaerah kawasan Menteng, perumahan elite di Jakarta.
Mereka tiba ditarget lokasi sekitar pukul 4:00 pagi.
Penculikan terhadap Jenderal Yani: Regu penciduk untuk Jenderal Yani berangkat dari Lubang
Buaya dibawah pimpinan Letnan Satu Mukijan, menggunakan 2 Bus dan 2 Truck, dengan pasukan
sebanyak 1.5 Kompi. Melewati Jakarta Bypass, kemudian memotong jalan melalui Jalan
Rawamangun menuju Salemba, Jalan Diponegoro dan Jalan Mangunsakoro, mereka tiba dirumah
Jenderal Yani di Jalan Lembang.
Pasukan dibagi menjadi 3 group, yang pertama menjaga belakang rumah, yang kedua menjaga
didepan rumah, dan group ketiga dibawah pimpinan Letnan Satu Mukijan dan Sersan Dua Raswad,
memasuki perkarangan rumah dan menghampiri rumah. Mereka berdua menyapa pasukan penjaga
bahwa mereka menyampaikan pesan penting dari Presiden Sukarno. Melihat seragam Tjakrabirawa

150 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

mereka tidak menaruh curiga sama sekali, kemudian diikuti oleh group penyerang dengan cepatnya
melucuti senjata mereka. Menjawab ketukan dipintu, pembatu rumah tangga membuka pintu, dan
secepatnya didorong kesamping. Setelah mereka masuk kedalam rumah, group yang dipimpin oleh
Sersan Raswad menjumpai anak laki berumur 7 tahun; Eddy putra Jenderal Yani yang sedang
mencari Ibunya.

Eddy diminta membangunkan Jenderal Yani, kemudian keluar mengenakan pakaian pajama, Raswad
mohon agar Jenderal Yani menemui Presiden sekarang juga. Jenderal Yani meminta tunggu untuk
mandi, akan tetapi Raswad katakan tidak perlu mandi, dan tidak perlu tukar pakaian. Karena sadar
apa yang terjadi kemudian Jenderal Yani memukul salah satu prajurid, dan masuk kedalam
kamarnya secepatnya untuk mengambil senjata, dan menutup pintu berjendela gelas dibelakang-
nya. Raswad kemudian perintahkan Sersan Gijadi untuk lepaskan tembakan. Sejumlah 7 peluru
menembus pintu dan menewaskan Jenderal Yani saat itu juga. Sebagian dari group, yang terdiri
dari Raswad dan Gijadi, juga Korporal Djamari, Prajurid Kepala Dokrin, dan Prajurid Satu
Sudijono, menyeret jenasahnya keluar dan melemparkan kedalam salah satu bus yang sedang
menunggu. Kemudian mereka semua kembali melalui Jatinegara menuju Lubang Buaya, disana
Mukidjan melaporkan hasil tugasnya kepada Doel Arief.

Penculikan terhadap Jenderal Soeprapto: Karena rumah Jenderal Soeprapto tidak dijaga, maka
hanya diperlukan pasukan dalam jumlah kecil. Dengan menggunakan pasukan yang dimuati dalam
satu Toyota Truk dibawah pimpinan Sersan Dua Sulaiman dan Sukiman. Jumlah mereka sebanyak
19 orang, dipersenjatai dengan Sten guns, Garrand, dan Senapan Chung.

Walaupun Letnan Doel Arief sudah membawa Sersan Sulaiman malam sebelumnya dimana lokasi
rumah ini, namun menyasar 2 kali kealamat yang salah di Jalan Besuki. Regu kecil ditempatkan
dikiri dan kanan rumah, sementara regu utama memasuki halaman rumah. Kemudian pecah menjadi
3 kelompok, yang pertama dan kedua menjaga pintu masuk utama, dan garasi. Lalu yang ketiga
memasuki rumah dipimpin oleh Sulaiman.

Malam itu Jenderal Soeprapto tidak dapat tidur, dan diganggu oleh suara anjingnya, lalu
Soeprapto berjalan keluar dengan T-Shirt, sarung, dan sandal jepit. Korporal Dua Suparman
menjawab sapaan Jenderal Soeprapto, dengan memberikan salut dan katakan Presiden ingin temui
dirinya. Tanpa memberi kesempatan untuk berpakaian, menutup pintu secepatnya Suparman
menyeret Jenderal Soeprapto ke Toyota Truk. Istri dari Jenderal Soeprapto yang menyaksikan
kejadian itu melalui jendela sangat kaget dan kecewa, dan percaya bahwa suaminya ditahan.
Kemudian mencoba menghampiri suaminya namun dihalangi oleh pasukan pimpinan Sersan Dua
Sulaiman, yang membawa Soeprapto ke Lubang Buaya.
Penculikan terhadap Jenderal Parman: Pagi itu kira-kira jam 4:00 pagi, ketika satu group
dengan jumlah 20 tentara muncul diluar rumah Parman dijalan Serang. Mendengar suara diluar,
Jenderal Parman dan istri yang sedang bergadang keluar kehalaman kebun mereka, mengira ada
maling dirumah tetangga. Kemudian melihat group dari Tjakrabirawa didalam halamannya, lalu
bertanya; ada apa?
Mereka katakan diperintahkan untuk menjemput untuk menemui Presiden. Tanpa curiga dan tanpa
berikan tanda kecurigaan, Parman masuk kedalam rumah diikuti oleh sebagian Tjakrabirawa dan
berhasil ganti pakaian dinas Walaupun sebagai istri sangat tersinggung dan merasa mereka sangat
kurang sopan, namum Parman diberikan kesempatan untuk ganti pakaian dinas, sebelum jalan
membisikan istrinya untuk hubungi Jenderal Yani secepatnya. Jenderal Parman berpikir dirinya

151 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

ditahan atas perintah Presiden Soekarno. Tapi begitu mereka akan pergi salah satu anggota
Tjakrabirawa mencabut dan membawa telephone rumahnya.

Walaupun Jenderal Parman sadar apa yang terjadi namum tidak melakukan perlawanan dalam
perjalanan ke Lubang Buaya. Lima belas menit kemudian Ibu Harjono datang menangis mengatakan
suaminya telah ditembak mati, menyadarkan apa yang telah terjadi. Namum, istri dari Jenderal
Parman terganggu oleh anggota Tjakrabirawa yang sering kali menjemput suaminya pada waktu
diluar jam kerja, yang menjabat sebagai Kepala Angkatan Darat Intelijen atas perintah Presiden
tidak sadar apa yang terjadi saat itu.
Penculikan terhadap Jenderal Sutoyo Siswomiharjo: Pasukan penyerang dipimpin oleh Sersan
Mayor Surono yang menerima perintah langsung dari Doel Arief secara pribadi. Kelompok ini
memulai dengan menutup jalan Sumenep dimana korban tinggal. Ketika itu kebenaran ada Hansip
yang sedang patrol, senjata mereka dilucuti satu persatu. Kemudian seperti halnya dengan modus
operandi terhadap penculikan Jenderal lainnya, group ini dibagi tiga squads, yang pertama
menempatkan diri didepan, yang kedua dibelakang rumah dan yang ketiga melakukan penculikan.
Dengan membujuk Jenderal Sutoyo membuka pintu kamarnya dengan alas an akan memberikan
surat dari Presiden. Kemudian mengikat tangannya dibelakang kepala dan menutup kedua matanya
lalu mendorong kedalam truk yang sedang menunggu, kemudian mereka mencapai Lubang Buaya
secepatnya.
Penculikan terhadap Jenderal Pandjaitan: Tidak seperti para Jenderal lainnya, Pandjaitan
tinggal di Kebayoran Baru, didaerah Blok M, dijalan Hasanudin. Rumahnya seperti typical model
Kebayoran, mempunyai 2 lantai, tidak seperti rumah yang model klasik di Menteng. Kamar
keluarga Pandjaitan semuanya berada dilantai 2. Disebelah rumah tapi dalam satu komplek,
terdapat ruangan kecil dimana ada 3 saudara laki-laki yang tinggal. Dua truk penuh dengan
tentara muncul dijalan Hasanuddin, dan yang satu memarkir didepan dan yang kedua dibelakang.

Setelah melewati pagar besi disekitar rumah, pasukan penculik memasuki ruangan dibawah tangga,
membanguni pembantu rumah tangga yang sudah tua. Sangat ketakutan mengatakan majikan tidur
diatas. Keributan didalam rumah telah membuat seluruh keluarga bangun, mengira rumahnya
sedang dikunjungi oleh pencuri lalu merampas pistol dari para penculik. Mereka segera ditembak
oleh pasukan penculik. Salah satunya Albert Silalahi, kemudian tewas di rumah sakit dari luka
tembakan. Sementara itu dilantai dua istri Jenderal Pandjaitan dalam kepanikannya bertanya
apakah hal ini semacam latihan? Tapi mengatakan hal ini bukan latihan sama sekali.

Melihat seragam Tjakarabirawa dilantai satu, dirinya mengira pasti ada pesan dari Istana, tetapi
ancaman yang berlangsung meyakinkan bahwa telah terjadi suatu hal yang sangat janggal. Prajurid
dibawah sangat nervous untuk tidak naik kelantai dua, lalu berteriak dan memerintahkan Jenderal
Pandjaitan untuk turun kebawah, tapi ditolaknya. Pertama Jenderal Pandjaitan mencoba
menghubungi Polisi, tetangga, kemudian Kolonel Samosir, tapi gagal. Karena telephone line sudah
dipotong. Lalu mencoba menggunakan Stengun untuk menghalau penyerang, tapi senjatanya macet.
Kemudian dirinya dipaksa turun karena adanya ancaman terhadap keluarganya. Ketika dirinya
berada dihalaman dia mencoba untuk lari dan pertahankan dirinya, namun penculik menembaknya.
Walaupun istrinya memohon paling tidak untuk memakamkan jenazahnya, namun mayatnya
dilemparkan kedalam truk dan dibawa ke Lubang Buaya. Yang sangat menarik pada saat itu polisi
bersepeda bernama Sukitman setelah mendengar tembakan menuju lokasi, menempatkan dirinya
pada posisi diantara sejumlah pasukan penculik. Senjatanya dilucuti dan dipatahkan oleh pasukan
Tjakrabirawa, Sukiman diangkut bersama mayat Jenderal Panjaitan ke Lubang Buaya, didalam
152 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

truk tentara. Setelah itu dirinya menjadi saksi mata terhadap kejadian penculikan dan
pembunuhan.

Penculikan terhadap Jenderal Haryono: Serangan terhadap rumah Jenderal Harjono di Jalan
Prambanan 8, mengikuti taktik sama seperti yang disebutkan semua diatas. Sejumlah 18 anggota
pasukan TNI-AD dibawah Sersan Kepala Bungkus mengelilingi rumah. Bertindak atas Doel Arief
instruksi, kelompok ini memecahkan diri menjadi 3 group. Group pertama masuk kedalam rumah
mencoba melihat apakah dapat menjumpai korban dengan taktik sama bahwa korban dipanggil oleh
Presiden.

Harjono sadar apa yang akan terjadi, dia perintahkan istri dan anaknya sembunyi dikamar
belakang dan matikan semua lampu, lalu Harjono menunggu pasukan penculik, ketika mereka masuk
kedalam kamar, dirinya mencoba merampas salah satu senjatanya, namun tidak mampu melawan
semua dan Jenderal Harjono langsung ditembak mati ditempat. Tubuhnya dilemparkan kedalam
truk dan dibawa ke Lubang Buaya. Selama ini pasukan penculik melakukan dengan sangat brutal
dan sukses. Tiga dari enam telah dibunuh, tiga ditawan tanpa kesulitan. Tapi percobaan terhadap
Jenderal ke 7, Menteri Pertahanan,Jenderal Abdul Haris Nasution, terbukti yang paling gagal.

Penculikan terhadap Jenderal Nasution: Penyerangan kerumah Jenderal Nasution dilakukan


dengan cara sama, tapi dalam skala yang jauh lebih besar dibandingkan dengan penyerangan
terhadap para Jenderal lainnya. Seluruhnya sekitar 100 anggota pasukan terlibat, diangkut
dengan 4 truk, satu power wagon dan satu kendaraan jenis Gaz(semacam power wagon). Seperti
dalam penyerangan terhadap Jenderal Soetojo, group penyerang menutup jalan Teuku Umar
dimana Jenderal Nasution tinggal, melucuti pasukan bersenjata diseluruh jalan itu, Kebenaran
saat itu rumah Dr Johannes Leimena(nomor 36) mempunyai tiga penjaga bersenjata, sebagai
kehormatan menjadi Perdana Menteri ke 2.

Pasukan keamanan ini dengan mudah dilucutkan, namun salah satunya dari Brimob ditembak mati
dalam perkelahian. Sama sekali tidak ada maksud untuk memasuki rumahnya Dr Leimena. Karena
goal utama adalah agar penjaga dari Dr Leimena tidak akan datang mencampuri kerumah Jenderal
Nasution yang beda dua rumah yaitu nomor 40, saat itu seluruh nya berhasil diamankan. Turun
dari truk banyak sekali pasukan-pasukan dari Tjakrabirawa, Kompi dari 454, dan kemungkinan
Pemuda Rakyat dalam seragam TNI.
Keempat penjaga keamanan dipusat rumah jaga dihampiri oleh 4 anggota Tjakrabirawa, yang
memulai pembicaraan, kemudian 30 anggota pasukan lainnya melucuti para penjaga satu persatu.
Senjata penjaga kelima pun dikuasai dengan mudah oleh sekitar 30 anggota pasukan penyerang.
Satu squad sekitar 30 orang memasuki rumah dari belakang dari situ mengelilingi menuju garasi.
Squad yang lain sebanyak 15 orang memasuki pintu depan, yang lain mengawasi dari rumah
penjaga, dimana sekitar 30 anggota lainnya mengawasi jalanan. Didalam rumah Jenderal Nasution
telah bangun. Mendengar pintu dibuka istri Jenderal Nasution ingin tahu siapa yang masuk. Dari
pintu kamar tidurnya dia dapat melihat seorang Tjakrabirawa berdiri menhadapi dengan senapan,
diseberang ruangan. Karena takut dan kagetnya dia menutup pintu sekerasnya, dan menyadari
bahwa ada percobaan untuk menculik suaminya. Jenderal Nasution kurang yakin maka dia
membuka pintu, pada saat yang sama dirinya harus menghindari semburan peluru.
Istri Nasution mencoba menyelamatkan diri dari serangan 3 anggota Tjakrabirawa yang dipimpin
oleh Korporal Hargyono. Sementar itu Ibu dari Jenderal Nasution masuk kedalam kamar yang
berhubungan, mengira anaknya Jenderal Nasution luka parah kena tembak. Istri Nasution
153 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

ingatkan jangan beritahu bahwa Nasution ada dalam kamar. Kemudian Mardiah, adik dari Jenderal
Nasution dimana ruangan tidurnya berada disisi dimana Tjakrabirawa melepaskan tembakan, ingin
lari menyeberangi ruangan menuju kamar tidur Jenderal Nasution, dengan membawa anak terkecil
yaitu Ade Irma, dalam gendongannya. Begitu Mardiah lari menyeberangi ruangan Corporal
Hargyono mulai melepaskan tembakan lagi yang mencederai Ade Irma. Mardiahpun tertembak dua
peluru dilengannya.

Ketika anggota Tjakrabirawa masih berusaha membuka pintu, istri Nasution menunjukkan jalan
keluar menuju rumah kediaman Iraq Ambassador (no 38). Ketika mulai naik melalui tembok
pemisah dirinya ditembak oleh salah satu pasukan penyerang dari pos pengawas keamanan. Namun
dirinya berhasil melompat kerumah sebelah dengan patah tumit kaki. Ternyata penembak tidak
tau siapa yang dia tembak kecuali hanya menembak setiap adanya bayangan. Mencoba menutupi
dan menekan sumber pendarahan Ade Irma dipangkuannya, Ibu Nasution secepatnya menelphone
seorang doktor, tapi beberapa anggota TNI-AD merusak dan mencoba memasuki pintu belakang
dengan melepaskan beberapa tembakan sebelum memasuki rumah. Mereka menuntut jawaban
dimana Jenderal Nasution saat itu.

Dijawab bahwa beliau sedang berada diluar kota, mereka tidak percaya dan memeriksa setiap
ruangan dan kamar dirumah itu. Suitan-suitan terdengar dari luar yang meminta mereka semua
kumpul diluar rumah, Ibu Nasution pun tidak dilarang pergi bersama pembantu rumah tangga,
membawa Ade Irma kerumah sakit Angkatan Darat, yang kemudian dinyatakan meninggal dunia
sekitar jam 6:00 pagi.

Sementara itu didalam 2 pavilion dibelakang rumah terjadi kepanikan. Penjaga keamanan yang
telah dilucuti lari kebelakang dan memberi tahu sopir apa yang telah terjadi. Janti anak tertua
Jenderal Nasution mendengar tembakan melarikan diri keruangan Letnan Pierre Tendean,
Adjudant Jenderal Nasution yang berada di ruangan depan. Pierre minta Janti sembunyi dibawah
ranjang, dan dia keluar menghadapi pasukan penculik, namun sekejap saja sudah dilucuti.

Tampaknya Pierre Tendean dalam kegelapan figurenya mempunyai kesamaan. Walaupun beberapa
anggota TNI-AD meragukan namum karena waktu yang minimal, akhirnya mereka membawa ke
Lubang Buaya, saat itu jam 4:08. Namun pada jam 4:09 salah satu anggota keluarga yang tinggal
dirumah, Hamdan menghubungi Jakarta Teritorial Komandan Jenderal Umar Wirahadikusumah,
melalui alat komunikasi khusus, dan menceritakan apa yang telah terjadi. Sekitar 4:30 Umar tiba
dirumah Nasution, lalu diikuti oleh 5 tank, 2 digunakan menjaga rumah dan 3 dikerahkan memburu
mereka yang terlihat menggunakan jalan menuju Bogor atau Bekasi. Sesaat kemudian Pasukan
Marinir tiba memperkuat penjagaan dirumah Nasution.
Tapi hanya pada jam 6:30 Jenderal Nasution merasa aman untuk menampakan dirinya dari
persembunyiannya bahkan kepada Jenderal Umar Wirahadikusumah. Dengan sekejap Nasution
dibawa ketempat persembunyian, untuk mencegah percobaan kedua terhadap keselamatan dirinya.
Lalu malam harinya Nasution sekitar 19:00 dirinya baru merasa aman untuk kembali kedalam
pasukan TNI yang terbukti mendukung dirinya. Ketiga Tank tidak berhasil membuntuti kecepatan
Truk yang sudah menghilang menuju Lubang Buaya, seluruh pasukan penculik berhasil sampai
ditempat tujuan pada 5:15 pagi, mereka melihat seluruh pasukan bergabung kembali dan
melaporkan bahwa operasi militer yang bernama G30S telah berhasil dilaksanakan.
Kejadian di Lubang Buaya: Para Gerwani dan Pemuda Rakyat dibangunkan pagi-pagi oleh para
pelatihnya, mereka diperintahkan untuk bersiap siaga untuk menerima perintah darurat. Ketika

154 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

seluruh truk tiba membawa 6 Jenderal dan Letnan Tendean, pembuangan mayat-mayat dan
pembunuhan terhadap mereka dimulai. Mayat para Jenderal: Yani, Pandjaitan, Harjono
dilemparkan kedalam Lubang Buaya, yang mencapai kedalaman 10 meter. Sisanya ketiga Jenderal
dikatakan diludahi, dan disiksa oleh Gerwani dan Pemuda Rakyat yang telah diindoktrinasikan
bahwa mereka itu adalah musuh dari Presiden Sukarno. Jenderal Soeprapto ditembak dari
belakang oleh Prajurid Kepala Nurchajan, ketika berdiri dipinggir sumur.

Kemudian tembakan berikutnya dilanjutkan ketika tubuh Soeprapto jatuh diatas mayat didalam
sumur. Tembakan ini dilakukan berulang kali, diberikan contoh oleh Kopral Djauri, yang kemudian
diikuti oleh voluntir lainnya. Jenderal Parman ditembak dari belakang oleh Prajurid Kepala
Athanasius Buang, atas perintah Sersan Dua Sulaiman, yang memimpin penyerbuan kerumah
Jenderal Soeprapto. Kemudian dilanjutkan dengan tiga tembakan berikutnya, tubuhnya dibuang
kedalam Lubang Buaya. Jenderal Soetojo pun ditembak dalam cara yang sama. Cerita detail
terhadap kematian Letnan Tendean tidak begitu jelas, tapi dikatakan disiksa sampai tewas.
Keterlibatan Pemuda Rakyat dan Gerwani: Para Gerwani diberikan pisau silet, dan pisau, mereka
diharuskan berbaris dan dipaksa untuk mengiris tubuh mereka, dan tidak diberi kesempatan
bertanya, siapakah diri mereka. Dari hasil autopsi yang dilakukan oleh para ahli dokter forensik,
tidak ada bukti bahwa mata, dan kelamin para Jenderal dimutilasi seperti yang Suharto ucapkan,
namun seluruh surat kabar ditutup hanya yang mempropagandakan fabrikasi kebohongan diijinkan
untuk disebarkan keseluruh rakyat Indonesia, sebagai pretext pembantaian masal terhadap PKI.
Dari pengakuan seorang Gerwani yang sedang hamil 3 bulan, berumur 15 tahun, mulutnya ditampar
oleh seorang Sersan TNI-AU ketika bertanya siapa mereka. Setelah seluruh korban dibunuh dan
dibuang kedalam Lubang Buaya, kemudian ditutup oleh daun-daun, sampah, kemudian seluruh
Gerwani dan Pemuda Rakyat diperintahkan untuk kembali ketenda mereka masing-masing
menunggu perintah berikutnya.

Terbukti bahwa pemuda-pemudi ini sengaja diterlibatkan dan diperintahkan untuk menjadi dari
aksi bagian dari skenario yang sudah direncanakan sejak awal tanpa adanya tahu menahu apa yang
sedang terjadi. Begitupun kemungkinan dengan sengaja melibatkan beberapa Pemuda Rakyat
kedalam kelompok penculikan dengan memerintahkan mereka memakai seragam TNI-AD, dengan
begitu posisi PKI secara langsung sengaja dilibatkan kedalam kegiatan G30S. Bahkan ketua PKI
meminta para Pemuda Rakyat dan Gerwani mematuhi perintah para pelatih dari TNI-AU, namun
keberadaan mereka dijadikan kedalam permainan politik dalam Kudeta G30S.

Kata akhir: Kudeta G-30-S telah berlalu sekian lamanya, komunisme dan sosialisme telah
dihancurkan atau hancur sendiri, tembok Berlin telah diruntuhkan pada 1989, Soviet Union
terpecah belah, Presiden Suharto pun akhirnya telah disingkirkan dan telah berpulang. Apakah
kita sebagai bangsa masih tetap ingin ―diadu domba‖? Bagaimanapun kita masih tetap bersaudara,
apakah rekonsiliasi total bisa terlaksana?
Sumber dan Intisari dari:
1. Chomsky, Noam and Herman Ed: The Washington Connection and Third World Facism. Boston:
Southend Press, 1979
2. Southwood, Julie and Flanagan, Patrick: IndonesiaL Law, Propaganda, and Terror. London:
Zed Press, 1984
3. Weinstein, Francklin. Indonesia Foreign Policy and Dilemma of Dependency. London: Cornell
University Press, 1976

155 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

4. Benedict R. Anderson and Ruth T. Mc Vey: A Preliminary Analysis of October 1, 1965 Coup in
Indonesia.
5. Bunge, Fregrica M. Indonesia: A Country Study, Washington: Department of the Army, 1983.
6. Herman Ed. An Overview: US Sponsorship of State Terrorism‖ Covert Action Information
Bulletin
7. McGehee, Ralph. Deadly Deceits: My 25 years in the CIA, New York: Sheriden Square
Publications Inc, 1983
8. Tornquist, Olle. Dilemmas of Third World Communism: The Destruction of the PKI in
Indonesia
9. CIA 1998 declassified documents
10. CIA: Indonesia-1965; The Coup That Backfired
11. Weinstein, Franklin B. Indonesian Foreign Policy and the Dilemma of Dependence: From
Sukarno to Soeharto. London: Cornell University Press 1976
12. The United States Army and Human Rights in Indonesia: A Joint Statement by the South
East Asian Resource Center and the Pacific Service Center 25 February 1978

Categories: Business - Community Event - Humanity - Indonesian Politic - Military

Tags: Dewan Jenderal vs Dewan Revolusi - G30S - Gerwani dan Pemuda Rakyat - Partai Komunis
Indonesia - Suharto dan CIA - Suharto fabrikasi bukti
27 June 2009 at 10:39 - Comments

Wisata Sejarah : Anatomi Dibalik G30S « Jakarta 45 at 20:55 on 2 October 2009

[...] Anatomi Dibalik G30S [...]

Kontra-Kudeta Yang Dirancang Gagal


Rabu, 29 September 2010 | Opini
Oleh : Rudi Hartono

TIDAK seperti biasanya ketika Bung Karno menyampaikan pidato. Ketika berpidato di hadapan
Musyawarah Nasional Teknik (Munastek), di Istora Senayan, pada malam 30 September 1965,
Bung Karno tiba-tiba berhenti dan meninggalkan podium, dan selang beberapa menit kemudian,
Bung Karno muncul kembali dan menceritakan "Mahabharata", yaitu soal perang saudara Kurawa
dan Pandawa.

Ada yang mengatakan, Bung Karno saat itu sedang sakit dan pergi ke belakang untuk mendapat
suntikan dari tim dokternya. Sementara versi lain menyebutkan, Bung Karno diminta untuk
menerima sebuah informasi yang sangat penting. Apa itu? Semua masih tidak diketahui.

Pada malam itu, yang telah memutar-balikkan haluan ekonomi, politik, dan kebudayaan Indonesia
sampai sekarang ini, telah terjadi gerakan yang disebut "Gerakan 30 September", demikian
pemimpin gerakan ini menamai gerakannya melalui siaran RRI pada pagi hari 1 Oktober.
Sekarang ini, segala hal mengenai "gerakan 30 September" masih merupakan sesuatu yang gelap
dan menyimpan misteris, meskipun ada banyak sejarahwan dan akademisi yang berusaha membuat
"terang" kejadian ini.

156 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Saya hanya hendak menjelaskan satu hal, bahwa gerakan kudeta sebetulnya bukanlah pada malam
30 september itu, tetapi sudah dirancang dan dijalankan berulang kali dan kejadian pada 30
September hanya merupakan satu bagian dari rangkaian rencana kudeta tersebut.
Konteks Yang Lebih Luas
Dalam rapat pimpinan AD di Jakarta pada 28 Mei 1965, Soekarno telah mengatakan: "Mereka
akan melakukan serangan terbatas terhadap Indonesia. Dan mereka punya teman-teman di sini".
Maksud Soekarno adalah kekuatan imperialisme, khususnya AS dan Inggris yang sudah lama
mengincar untuk melikuidasi kekuasannya.

Ya, sejak gejolak revolusi agustus 1945 mulai menggugurkan banyak kepentingan kolonialis, kaum
imperialis mulai menyadari, bahwa mereka bisa kehilangan apa yang disebutnya "permata asia"
kapan saja. Karena itu, mereka mulai melibatkan diri dalam usaha-usaha merebut kembali
Indonesia dari pengaruh kebangkitan gerakan revolusioner, yang sejak awal memang sangat anti-
kolonial.
Untuk itu, pada tahun 1947, Bank Dunia telah memberi pinjaman sebesar 195 juta dolar ke
Belanda, yang sebagian besar dipergunakan untuk menggempur Republik Indonesia. Setahun
berikutnya, pada September 1948, tangan imperialis AS dinyatakan terlibat dalam menyokong
sebuah proposal untuk membasmi "kaum merah" di Indonesia.

Di akhir tahun 1950-an, terutama setelah Soekarno sukses membawa revolusi Indonesia semakin
ke kiri, intervensi AS semakin memuncak. H. W. Brands menulis dalam "Journal of American
History", bahwa AS telah mengambil bagian dalam upaya "coup" yang gagal terhadap Soekarno
tahun 1958.

"Sukarno berhasil menggagalkan pemberontakan di Sumatera (PRRI) yang dibantu oleh CIA
dengan 300 orang tentara Amerika, Filipina dan Tiongkok Nasionalis, lengkap dengan pesawat
udara transport dan Bomber B-26," kata Brands.

Prof. George McT. Kahin dari Cornell University (AS) mengakui betapa jelas campur tangan
pemerintah Amerika Serikat dalam soal-soal politik Indonesia, karena kekhawatiran Washington
tentang kemungkinan Indonesia jatuh ke tangan komunis.

Pendek kata, pihak imperialis dan kekuatan sayap kanan di dalam negeri tidak pernah berhenti
untuk mencari segala usaha melikuidasi pemerintahan Soekarno.

Kontra Kudeta
Menjelang tahun 1965, di Indonesia telah tersebar desas-desus akan terjadinya perebutan
kekuasaan negara, yang konon dipersiapkan oleh apa yang disebut "dewan jenderal", sebuah group
dari sekelompok pimpinan tentara yang tidak segaris dengan politik Bung Karno. Ada yang
mengatakan, isu ini berasal dari Waperdam/Menlu/Kepala Badan Pusat Intelijen (BPI) Subandrio,
dan kemudian tersebar hingga Soekarno dan PKI.

Berhembusnya isu seperti ini adalah sah dalam konteks saat itu, terlepas apakah itu benar atau
tidak, mengingat bahwa situasi politik benar-benar sudah pada "titik didihnya" dan segala
kemungkinan bisa terjadi.
Soekarno, berdasarkan kesaksian ajudannya, Bambang Widjanarko, terus mendapatkan pasokan
informasi mengenai kebenaran "dewan jenderal" itu, dan memerintahkan pasukan pengawalnya

157 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

untuk langkah-langkah antisipasi untuk mengamankan keselamatan Presiden kalau muncul situasi
berbahaya.

Mungkin saja, itulah yang ditangkap oleh salah seorang komandan pasukan pengamanan presiden,
Kolonel Untung, dan diterjemahkan dalam sebuah upaya untuk menjalankan operasi "kontra-
kudeta" terhadap dewan Jenderal.

Karena penjelasan ini pula, maka menjadi masuk akal bagi saya, seorang perwira berkarier
cemerlang seperti Brigjend Supardjo harus mendukung gerakan ini, meskipun dia hanya
berpartisipasi Cuma tiga hari dalam gerakan ini.

Setelah melakukan penculikan terhadap para Jenderal, pimpinan Gerakan 30 September telah
berusaha meminta kepada Bung Karno, untuk mendukung aksinya menyingkirkan jenderal-jenderal
yang berusaha menjatuhkan beliau. Namun, pada saat disodori surat pernyataan dukungan oleh
Brigjend Soepardjo, maka Bung Karno telah menolaknya.
Bung Karno telah mengambil tindakan sendiri, yaitu memberhentikan gerakan kedua belah pihak
(dengan keterangan kalau perang saudara berkobar, maka yang untung adalah nekolim). Dengan
"absennya" dukungan Bung Karno, maka boleh jadi ini yang menjadi penyebab kenapa Gerakan 30
September tidak memperlihatkan "semangat menyerang" lanjutan, atau setidaknya mengantisipasi
serangan balik Soeharto-Nasution.

Kalaupun ada upaya disinformasi mengenai "dewan jenderal", maka ini bisa dianggap sebagai
rangkaian usaha untuk menciptakan "jebakan", yang nantinya dapat dipergunakan untuk
menjalankan tindakan tertentu.

"Kudeta Yang Dirancang Gagal"

Setelah membaca dokumen Brigjend Supardjo tentang "Beberapa Pendapat Yang Mempengaruhi
Gagalnya G-30-S Dipandang Dari Sudut Militer", saya mendapatkan kesan bahwa memang ada
pihak dalam gerakan ini yang merancang supaya gerakan ini mengalami kegagalan. Namun, untuk
menjelaskan siapa orang itu, saya belum bisa untuk memastikannya.

Dalam dokumen Brigjend Supardjo disebutkan, menjelang pelaksanaan operasi ini, ternyata masih
banyak yang hal yang belum terselesaikan, misalnya, persiapan pasukan belum jelas, beberapa
perwira mengundurkan diri, penentuan sasaran dan gambaran pelaksanaan aksi belum jelas, dan
masih banyak lagi.

Sejak awal, menurut Brigjend Supardjo, didalam gerakan ini sudah timbul "keragu-raguan", namun
segera ditimpa dengan semboyan "apa boleh buat, kita tidak bisa mundur lagi." Demikian pula
dengan kenyataan-kenyataan yang terjadi paska pelaksanaan gerakan, yang kacau balau dan tidak
sesuai dengan rencana.
Supardjo menulis, "strategi yang dianut gerakan secara keseluruhan adalah semacam strategi
"bakar petasan"; maksudnya, jika sumbunya dibakar di Jakarta, maka mercon-merconnya dengan
sendirinya mengikuti di daerah.
Pada kenyataannya, tahap persiapan dan penggambaran umum gerakan tidak mencerminkan
"obsesi" tersebut, bahkan kacau-balau saat dipraktekkan di lapangan. Sumbu yang terbakar bukan
memicu mercon di daerah, melainkan membakar "tangan dan badan sendiri".

158 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Menurut saya, ada pihak-pihak dalam gerakan ini yang memang merancang "gerakan untuk
mengalami kegagalan", dan selanjutnya menjadi dalih untuk mendiskreditkan kelompok-kelompok
politik tertentu.
Ada benarnya juga, setelah melihat rangkaian upaya kudeta terhadap Bung Karno sejak akhir
1950-an, bahwa "kontra-kudeta yang dirancang gagal ini" dimaksudkan untuk menciptakan dalih
guna melumpuhkan Soekarno. Sebab, dengan menghancurkan PKI yang menjadi sekutu paling loyal
Bung Karno dalam melawan imperialisme, maka pemerintahan Soekarno kehilangan kaki
penyangganya".
Bukankah "Gerakan 30 September" telah menjadi alasan yang cukup kuat, dan sangat ditunggu-
tunggu oleh kekuatan kanan saat itu, untuk mengobarkan kampanye anti-komunis dan mencari
segala macam cara untuk melibatkan Soekarno dalam kasus tersebut, sebagai jalan untuk
mengakhiri "pemerintahan anti-imperialis" ini.
Bukankah fakta menunjukkan, bahwa, meskipun Soekarno tidak cukup bukti untuk dilibatkan dalam
"G.30.S", tetapi sayap kanan yang dikomandoi Soeharto terus mencari usaha untuk menjerat
"proklamator bangsa ini", hingga mengasingkannya pada suatu tempat dan membiarkannya mati
perlahan di sana.

Pertanyaan-pertanyaan itu perlu dijawab!

http://berdikarionline.com/opini/20100929/kontra-kudeta-yang-dirancang-g\
agal.html
<http://berdikarionline.com/opini/20100929/kontra-kudeta-yang-dirancang-\
gagal.html>

"Tragedi 65 dan Rekolonialisme


Kamis, 30 September 2010 |Editorial

Tragedi 65, yang terjadi 45 tahun yang lalu, menjadi titik balik bagi rekolonialisme di Indonesia.
Terlepas dari perdebatan sejarahwan mengenai tragedi tersebut, namun kenyataan yang tak
terbantahkan adalah, bahwa tragedi itu telah menjadi "pembuka jalan" untuk melikuidasi
pemerintahan anti-imperialis Soekarno dan mengembalikan status Indonesia sebagai koloninya
negeri-negeri imperialis.

"Gerakan 30 September" tidak hanya menjadi alasan yang sudah lama ditunggu-tunggu oleh
kelompok kanan untuk mengorbankan kampanye anti-komunis, tetapi juga menjadi "senjata" untuk
melikuidasi keseluruhan kekuatan-kekuatan anti-imperialis di dalam negeri. Boleh dikatakan,
bahwa sasaran utama penumpasan dan pemusnahan adalah kekuatan-kekuatan anti-imperialis dan
pendukung Soekarno.

Dalam November 1967, setelah golongan Soekarnois dan PKI benar-benar telah dilumpuhkan,
perwakilan rejim Soeharto telah bertemu dengan para kapitalis terbesar dan paling berkuasa di
dunia, seperti David Rockefeller, di Jenewa, Swiss. Hadir dalam pertemuan tersebut raksasa-
raksasa korporasi barat, diantaranyaGeneral Motor, Imperial Chemical Industries, British
Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemen, Goodyear, The International
Paper Corporation, dll.

159 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Dan, sebagai bonus tambahan dari pertemuan itu, pemerintah Indonesia telah bersedia
mengundangkan UU nomor 1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing, yang begitu ramah dan
baik hati terhadap "perampokan sumber daya" alam Indonesia.
Juga, setelah PKI dan ormas-ormasnya dihancurkan, terbitan-terbitan berbau kiri dan nasionalis
dilarang, rejim Soeharto telah menciptakan sebuah kehidupan politik yang tidak mengijinkan
"oposisi" untuk hidup.

Dan, apa yang tak kalah pentingnya, adalah bahwa rejim Soeharto telah melakukan kejahatan
kemanusiaan terbesar dalam sejarah manusia, konon itu adalah kedua terbesar setelah kekejian
NAZI-Hitler. Ada yang mengatakan, jumlah korban kemanusiaan dalam tragedy 65 mencapai 500
ribu hingga 1 juta orang. Ratusan ribu orang dipenjara dan dibuang tanpa proses hukum atau
pengadilan.

Indonesia, yang luasnya hampir sama dengan Britania raya, Perancis, Jerman barat, Belgia,
Belanda, Spanyol, dan Italia kalau digabungkan menjadi satu, merupakan "permata asia" dalam
pandangan kolonialis dan imperialis. Mereka tidak menginginkan republik baru ini benar-benar
merdeka, apalagi jika dikendalikan oleh kekuatan progressif atau anti-kolonialisme, maka
disusunlah serangkaian dukungan terhadap Belanda untuk menggempur Republik Indonesia yang
masih baru.
Di akhir tahun 1950-an, terutama setelah Soekarno sukses membawa revolusi Indonesia semakin
ke kiri, intervensi AS semakin memuncak. H. W. Brands menulis dalam "Journal of American
History", bahwa AS telah mengambil bagian dalam upaya "coup" yang gagal terhadap Soekarno
tahun 1958. Campur tangan asing sangat nyata dalam menyokong pemberontakan PRRI/permesta,
upaya pembunuhan terhadap Bung Karno, dan lain sebagainya.

Dampak jangka panjang dari "tragedi 65″ adalah rekolonialisme. Segera setelah Bung Karno
berhasil digulingkan, seluruh tatanan hukum, politik, ekonomi, dan budaya yang berbau
kolonialisme, telah dipulihkan dan bertahan hingga kini. Sebagai misal, praktek-praktek
neo-kolonialisme sangat nyata dalam pengelolaan ekonomi Indonesia, seperti lahirnya berbagai
ketentuan (perundang-undangan) yang memudahkan pihak asing mengeruk kekayaan alam
Indonesia, menghancurkan pasar di dalam negeri, mengeksploitasi tenaga kerja, dan lain-lain.

Pendek kata, "tragedi 1965" adalah usaha kolonialisme untuk menemukan pintu masuk guna
menjajah kembali negeri ini. Tragedi ini telah merestorasi kekuatan-kekuatan dan praktik-praktik
neo-kolonialisme di dalam negeri, misalnya semakin dominannya modal asing, tersingkirnya rakyat
dari kehidupan politik, eksploitasi tenaga kerja murah, dan lain sebagainya.
Tragedi 1965 adalah tragedy kemanusiaan yang menandai pembunuhan keji, pembuangan paksa dan
pemenjaraan tanpa proses pengadilan, dan pelecehan terhadap ratusan ribu hingga jutaan orang
yang dituding sebagai anggota atau simpatisan komunis. Sebagain besar korban tragedi 1965
adalah buruh, petani, aktivis perempuan, guru sekolah, guru mengaji, pegawai negeri, dan seniman.

Oleh karena itu, tragedi 65 adalah luka bangsa yang perlu disembuhkan sebelum melangkah jauh
ke depan, yaitu dengan mengungkap tabir yang menutupi kejadian ini. Persoalan rekonsilisasi
nasional pun hanya dapat berjalan dengan baik, jikalau proses ini sudah didahului dengan
pengungkapan fakta dan pengadilan terhadap para pelakunya.

Dengan begitu, kita berharap bisa bersatu kembali untuk melawan imperialisme dan
neokolonialisme secara bersama-sama.
160 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Anda dapat menanggapi Editorial kami di : redaksiberdikari@yahoo.com


http://berdikarionline.com/editorial/20100930/tragedi-65-dan-rekoloniali\
sme.html
<http://berdikarionline.com/editorial/20100930/tragedi-65-dan-rekolonial\
isme.html>

**************

Luruskan Sejarah Kelahiran Soekarno


Minggu, 29 Agustus 2010 | 02:05 WIB

Mario Blanco dan Soekarno Dok OZIP Magazine


SURABAYA, KOMPAS.com--Wali Kota Surabaya Bambang Dwi Hartono akan mengirim surat ke
Sekretaris Negara (Sekneg) terkait pelurusan sejarah tempat kelahiran proklamator RI
Soekarno (Bung Karno) yang berasal dari Surabaya dan bukan dari Blitar.

"Kami akan mengirim surat ke Sekneg terkait itu," kata Bambang di acara Seminar Pelurusan
Sejarah Tempat Kelahiran Bung Karno yang digelar di Balai Pemuda Surabaya, Sabtu.
Bahkan dalam pidato Bung Karno, lanjut dia, dikatakan Bung Karno sendiri mengaku sebagai warga
Surabaya. Namun, lanjut dia, sejarah tersebut diputarbalikkan, sehingga seolah-olah Bung Karno
lahir di Blitar.

Menurut dia, gambaran menghargai kepahlawan di Indonesia hingga saat ini masih kurang.

"Bung Karno Arek Suroboyo"


Sabtu, 28 Agustus 2010 18:31 WIB | Peristiwa | Pendidikan/Agama | Dibaca 573 kali

Surabaya (ANTARA News) - "Banyak di antara kita yang tidak mengetahui bahwa semangat
perjuangan dan jiwa seni Sang Pemimpin Besar Revolusi Indonesia, Soekarno (Bung Karno) adalah
juga `Arek Suroboyo` (pemuda asal Kota Surabaya)," kata Peneliti dan pengajar di Universitas
Trisakti Jakarta, Yuke Ardhiati.

Yuke mengatakan bahwa setiap bulan Juni dan Agustus, hampir dapat dipastikan "ruh Soekarno"
hadir di bumi Indonesia.
161 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

"Bulan Juni menjadi bulan khusus baginya (hari kelahirannya), bulan Agustus adalah bulan
diproklamasikan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia," katanya di acara Seminar Pelurusan
Sejarah Tempat Kelahiran Bung Karno yang digelar di Balai Pemuda Surabaya, Sabtu.
Menurut dia, si Arek Suroboyo itu telah lama "Kondur Sowan ing Ngarsaning Gusti Allah"
(berpulang ke Rahmatullah atau wafat, red), namun suaranya yang menggelegar di setiap
kesempatan menyapa rakyatnya, masih selalu bergema menggaungkan resonansi di setiap sudut
hati.

Eksplorasi Yuke untuk mengungkapkan semangat "Arek Suroboyo" yang terpantul dari jiwa
Soekarno, diterapkan dalam teori arketipe tentang konsep diri dari gagasan Carl Gustav Jung.

Arketipe, sebagai refleksi sifat dominan dari karakteristik manusia. Dalam diri Soekarno
tertanam gabung dari berbagai arketipe yaitu "mother", "hero" dan "mona" berpadu sekaligus.
"Soekarno memiliki sifat menyerupai rahim ibu. Sebagai penyedia sebuah kehadiran, ada semangat
patriotik. Namun sekaligus memiliki daya pesona yang luar biasa dari dirinya," paparnya.
Pengalaman dan kebiasaan Soekarno sejak usia muda, kata dia, dijelaskan dalam lima hal, yakni
timangan (kekudangan orang tua), kecintaan terhadap unsur air, menolak nuansa kolonialisme,
cinta romantisme terhadap negara, citra kemegahan budaya Jawa Kuno.

"Dan terakhir pemuda berjiwa patriot," katanya.

Dalam semua punulisan biografi Soekarno sebelum tahun 1970, semuanya menulis Bung Karno lahir
di Surabaya.

Akhir tahun 1900, R.Soekani Sosrodiharjo (ayahanda Soekarno) dipindahtugaskan dari Singaraja
Bali sebagai guru sekolah rakyat Sulung, Surabaya.

Di Surabaya itulah istrinya, Nyoman Rai Srimben melahirkan seorang putera yang diberi nama
Kusno yang kemudian menjadi Soekarno pada 6 Juni 1901. (A052/C004)

Beda Pemakaman Pak Harto dan Bung Karno


Oleh Asvi Warman Adam *

Pada 27 Januari 2008 pukul 13.10, mantan Presiden Soeharto wafat. Jenazahnya disemayamkan di
kediamannya, Jalan Cendana, dan dilayat pejabat tinggi negara, mulai presiden, wakil presiden,
sampai para menteri. Masyarakat umum berjubel di sepanjang Jalan Cendana menonton para
tetamu.

Senin pagi, 28 Januari 2008, ini jenazah mantan orang nomor satu RI itu diterbangkan ke
pemakaman keluarga di Astana Giribangun. Ketua DPR Agung Laksono akan bertindak secara resmi
dalam pelepasan jenazah di Jalan Cendana, Wakil Presiden Jusuf Kalla memimpin pelepasan di
Halim Perdanakusumah. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi inspektur upacara di Astana
Giribangun.

Astana Giribangun yang diperuntukkan keluarga Nyonya Suhartinah Soeharto didirikan di Gunung
Bangun yang tingginya 666 meter di atas permukaan laut. Cangkulan pertama dilakukan Tien
Soeharto Rabu Kliwon, 13 Dulkangidah Jemakir 1905, bertepatan dengan 27 November 1974.

Dengan menggunakan 700 pekerja, bangunan yang merupakan gunung yang dipangkas tersebut
diselesaikan dan diresmikan pada Jumat Wage, 23 Juli 1976. Jadi 30 tahun sebelum meninggal,

162 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Soeharto telah mempersiapkan tempat peristirahatan yang terakhir. Hal itu dilakukan Soeharto
agar ―tidak menyusahkan orang lain‖.

Soeharto memperoleh hak dan fasilitas sebagai seorang mantan kepala negara. Namun, hal yang
berbeda dialami mantan Presiden Soekarno. Sewaktu mengalami semacam tahanan rumah di
Wisma Yaso (sekarang Gedung Museum Satria Mandala Pusat Sejarah TNI) di Jalan Gatot
Subroto, Jakarta, Soekarno tidak boleh dikunjungi masyarakat umum.

Pangdam Siliwangi H.R. Dharsono mengeluarkan perintah melarang rakyat Jawa Barat untuk
mengunjungi dan dikunjungi mantan Presiden Soekarno. Kita ketahui, H.R. Dharsono kemudian juga
menjadi kelompok Petisi 50 dan meminta maaf kepada keluarga Bung Karno atas perlakuannya
pada masa lalu itu.

Putrinya sendiri, Rachmawati, hanya boleh besuk pada jam tertentu. Pada 21 Juni 1970, Bung
Karno wafat setelah beberapa hari dirawat di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta. Beberapa waktu
sebelumnya, Rachmawati menanyakan kepada Brigjen Rubiono Kertapati, dokter kepresidenan,
kalau Soekarno menderita gagal ginjal, kenapa tidak dilakukan cuci darah? Jawabannya, alat itu
sedang diupayakan untuk dipesan ke Inggris.

Itu jelas sangat ironis. Pada masa revolusi pasca kemerdekaan, Jenderal Sudirman menderita
penyakit TBC. Ketika itu, obatnya baru ditemukan di luar negeri, yakni streptomycin. Pemerintah
Indonesia dalam keadaan yang sangat terbatas dan berperang menghadapi Belanda berusaha
mendapatkan obat tersebut ke mancanegara, tetapi nyawa Panglima Sudirman tidak tertolong lagi.
Hal itu tidak dilakukan terhadap Ir Soekarno.

Bung Karno dibaringkan di Wisma Yaso setelah wafat di RSPAD Gatot Subroto dan di situ pula dia
dilepas Presiden Soeharto dan Nyonya Tien Soeharto. Situasi saat itu memang sangat tidak
kondusif bagi Soekarno dan keluarganya. Beberapa hari sebelumnya, yakni 1 Juni 1970,
Pangkopkamtib mengeluarkan larangan peringatan hari lahirnya Pancasila setiap 1 Juni. Soekarno
sedang diperiksa atas tuduhan terlibat dalam percobaan kudeta untuk menggulingkan dirinya
sendiri. Pemeriksaan tersebut dihentikan setelah sakit Bung Karno semakin parah.
Pada 22 Juni 1970, jenazah sang proklamator dibawa ke Halim Perdanakusumah menuju Malang. Di
Malang disediakan mobil jenazah yang sudah tua milik Angkatan Darat, demikian pengamatan
Rachmawati Soekarnoputri (di dalam buku Bapakku Ibuku, 1984) yang membawanya ke Blitar.

Sepanjang jalan Malang-Blitar, rakyat melepas kepergian sang proklamator di pinggir jalan. Di sini
Soekarno dimakamkan dengan Inspektur Upacara Panglima ABRI Jenderal Panggabean pada sore
hari. Sambutan dibacakan sangat singkat.

Soekarno hanya dimakamkan di pemakaman umum di samping ibunya. Seusai acara resmi, rakyat
ikut menabur bunga. Karena banyaknya tanaman itu, sampai terbentuk gunung kecil di atas pusara
Sang Putra Fajar tersebut. Namun tak lama kemudian, rakyat yang tidak kunjung beranjak dari
makam kemudian mengambil bunga-bunga itu sebagai kenangan-kenangan. Dalam tempo singkat,
makam Bung Karno kembali rata sama dengan tanah.

Pemakaman di Blitar itu berdasar Keputusan Presiden RI No 44/1970 tertanggal 21 Juni 1970.
Keputusan tersebut diambil dengan berkonsultasi bersama pelbagai tokoh masyarakat. Padahal,
Masagung dalam buku Wasiat Bung Karno (yang baru terbit pada 1998) mengungkapkan bahwa
sebetulnya Soekarno telah menulis semacam wasiat masing-masing dua kali kepada Hartini (16
September 1964 dan 24 Mei 1965) dan Ratna Sari Dewi (20 Maret 1961 dan 6 Juni 1962). Di

163 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

dalam salah satu wasiat itu dicantumkan tempat makam Bung Karno, yakni di bawah kebun nan
rindang di Kebun Raya Bogor.

Di dalam otobiografinya, Soeharto mengatakan bahwa sebelum memutuskan tempat pemakaman


Soekarno, dirinya mengundang pemimpin partai. Jelas Soeharto menganggap itu masalah politik
yang cukup pelik. Jadi, pemakaman tidak ditentukan keluarga, tetapi melalui pertimbangan elite
politik.

Kemudian, Soeharto melalui keputusan presiden menetapkan pemakaman di Blitar konon dengan
alasan tidak ada kesepakatan di antara keluarga. Apakah betul demikian? Sebab, pendapat lain
mengatakan bahwa hal itu dilakukan Soeharto demi pertimbangan keamanan. Jika dikuburkan di
Kebun Raya, pendukung Bung Karno akan berdatangan ke sana dalam rombongan yang sangat
banyak, sedangkan jarak Bogor dengan ibu kota Jakarta tidak begitu jauh. Hal tersebut dianggap
berbahaya, apalagi saat itu menjelang Pemilu 1971.
Pemugaran makam Bung Karno juga penuh kontroversi. Pemugaran dilakukan pada 1978 dengan
memindahkan makam-makam orang lain itu. Menurut Ali Murtopo di depan kader PDI se-Jawa
Timur, ide tersebut berasal dari Presiden Soeharto. Masyarakat tentu bisa menduga bahwa itu
dilakukan dalam rangka mengambil hati para pendukung Bung Karno menjelang pemilu. Dalam
pemugaran tersebut, keluarga tidak diajak ikut serta. Bahkan, dalam peresmian pemugaran itu,
putra-putri Soekarno tidak hadir.
Dalam prosesi pemakaman di Blitar, Megawati tidak hadir karena sedang berada di luar negeri.
Namun, kabarnya putra tertua Bung Karno, Guntur Sukarno Putra, mewakili keluarga mantan
Presiden Soekarno akan datang ke Astana Giribangun. Ketika Soeharto di Rumah Sakit Pertamina,
Guruh juga berkunjung. Ini suatu pelajaran sejarah berharga bagi bangsa kita. Jangan lagi
kesalahan masa lalu diulang dan marilah kita berjiwa besar.

* Dr Asvi Warman Adam, sejarawan, ahli peneliti utama LIPI

Sumber : Jawa Pos,


====

Rachmawati: Bung Karno Dibunuh Pelan-pelan


Rakyat Merdeka, Jumat, 12 Mei 2006,

Jakarta, Rakyat Merdeka. Terbongkar sudah. Teka-teki perlakuan Soeharto kepada Soekarno
selama sekarat ternyata menyakitkan. Proklamator itu dibiarkan digerogoti penyakit akutnya
hingga meninggal secara mengenaskan.
―Yang saya bawa ini adalah catatan medis selama setahun, dari 1967 hingga 1968 saat Bung Karno
mulai sakit. Jelas telihat bahwa Bung Karno tidak mendapatkan perawatan yang semestinya. Bung
Karno dibiarkan mati karena semua obat yang diberikan harus disetujui Soeharto,‖ ujar
Rachmawati dengan penuh emosi. Rachma membuka catatan medis ini di Yayasan Pendidikan
Soekarno, Kampus UBK Cikini, Jumat sore.
Dijelaskan, catatan medis yang dibawa dalam bentuk sebelas buntelan itu telah disimpannya sejak
tahun 1969.

164 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

―Ketika itu ada upaya menghapus jejak Bung Karno. Dokter perawat Bung Karno kemudian
memindahkan catatan medis yang disimpan secara pribadi itu ke rumah saya,‖ lanjut Rachma.
Dokter yang dimaksud adalah dr. Surojo.
Adik Megawati ini yakin, Soeharto telah melakukan tindakan sistematis dan terencana untuk
mencabut secara berlahan nyawa Bung Karno.

―Dalam medical record ini Bung Karno jelas sakit gagal ginjal. Seharusnya ada tindakan pencucian
darah secara berkala. Tapi itu tidak diberikan. Saat itu semua obat yang masuk harus disetujui
Soeharto. Bahkan Soeharto juga menolak keinginan keluarga agar Bung Karno mendapat
pengobatan di luar negeri,‖ lanjutnya.

Akibat tidak diobati secara layak, menjelang wafatnya, tubuh Bung Karno bengkak-bengkak dan
penyakit ginjalnya tidak dapat disembuhkan lagi. Nasib bapak bangsa ini berakhir tragis di tangan
Soeharto.
Rachma sendiri akan menyerahkan rekaman medis ini kepada pemerintah SBY dalam waktu dekat.
―Tidak ada tujuan lain, agar mereka tahu, betapa sangat buruknya perlakuan Soeharto kepada
Bung Karno,‖ katanya.

=== ===

Benarkah Soeharto membunuh Soekarno...?


Sedari pagi, suasana mencekam sudah terasa. Kabar yang berhembus mengatakan, mantan
Presiden Soekarno akan dibawa ke rumah sakit ini dari rumah tahanannya di Wisma Yaso yang
hanya berjarak lima kilometer.
Malam ini desas-desus itu terbukti. Di dalam ruang perawatan yang sangat sederhana untuk
ukuran seorang mantan presiden, Soekarno tergolek lemah di pembaringan. Sudah beberapa hari
ini kesehatannya sangat mundur. Sepanjang hari, orang yang dulu pernah sangat berkuasa ini
terus memejamkan mata. Suhu tubuhnya sangat tinggi. Penyakit ginjal yang tidak dirawat secara
semestinya kian menggerogoti kekuatan tubuhnya.

Lelaki yang pernah amat jantan dan berwibawa-dan sebab itu banyak digila-gilai perempuan
seantero jagad, sekarang tak ubahnya bagai sesosok mayat hidup. Tiada lagi wajah gantengnya.
Kini wajah yang dihiasi gigi gingsulnya telah membengkak, tanda bahwa racun telah menyebar ke
mana-mana. Bukan hanya bengkak, tapi bolong-bolong bagaikan permukaan bulan. Mulutnya yang
dahulu mampu menyihir jutaan massa dengan pidato-pidatonya yang sangat memukau, kini hanya
terkatup rapat dan kering. Sebentar-sebentar bibirnya gemetar. Menahan sakit. Kedua tangannya
yang dahulu sanggup meninju langit dan mencakar udara, kini tergolek lemas di sisi tubuhnya yang
kian kurus.

Sang Putera Fajar tinggal menunggu waktu.

Dua hari kemudian, Megawati, anak sulungnya dari Fatmawati diizinkan tentara untuk mengunjungi
ayahnya. Menyaksikan ayahnya yang tergolek lemah dan tidak mampu membuka matanya, kedua
mata Mega menitikkan airmata. Bibirnya secara perlahan didekatkan ke telinga manusia yang
paling dicintainya ini.

"Pak, Pak, ini Ega..."

Senyap.
165 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Ayahnya tak bergerak. Kedua matanya juga tidak membuka. Namun kedua bibir Soekarno yang
telah pecah-pecah bergerak-gerak kecil, gemetar, seolah ingin mengatakan sesuatu pada puteri
sulungnya itu. Soekarno tampak mengetahui kehadiran Megawati. Tapi dia tidak mampu membuka
matanya. Tangan kanannya bergetar seolah ingin menuliskan sesuatu untuk puteri sulungnya, tapi
tubuhnya terlampau lemah untuk sekadar menulis. Tangannya kembali terkulai. Soekarno terdiam
lagi.

Melihat kenyataan itu, perasaan Megawati amat terpukul. Air matanya yang sedari tadi ditahan
kini menitik jatuh. Kian deras. Perempuan muda itu menutupi hidungnya dengan sapu tangan. Tak
kuat menerima kenyataan, Megawati menjauh dan limbung. Mega segera dipapah keluar.

Jarum jam terus bergerak. Di luar kamar, sepasukan tentara terus berjaga lengkap dengan
senjata.
Malam harinya ketahanan tubuh seorang Soekarno ambrol. Dia coma. Antara hidup dan mati. Tim
dokter segera memberikan bantuan seperlunya.
Keesokan hari, mantan wakil presiden Muhammad Hatta diizinkan mengunjungi kolega lamanya ini.
Hatta yang ditemani sekretarisnya menghampiri pembaringan Soekarno dengan sangat hati-hati.
Dengan segenap kekuatan yang berhasil dihimpunnya, Soekarno berhasil membuka matanya.
Menahan rasa sakit yang tak terperi, Soekarno berkata lemah.

"Hatta.., kau di sini..?"

Yang disapa tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Namun Hatta tidak mau kawannya ini
mengetahui jika dirinya bersedih. Dengan sekuat tenaga memendam kepedihan yang mencabik
hati, Hatta berusaha menjawab Soekarno dengan wajar. Sedikit tersenyum menghibur.

"Ya, bagaimana keadaanmu, No?"

Hatta menyapanya dengan sebutan yang digunakannya di masa lalu. Tangannya memegang lembut
tangan Soekarno. Panasnya menjalari jemarinya. Dia ingin memberikan kekuatan pada orang yang
sangat dihormatinya ini.

Bibir Soekarno bergetar, tiba-tiba, masih dengan lemah, dia balik bertanya dengan bahasa
Belanda. Sesuatu yang biasa mereka berdua lakukan ketika mereka masih bersatu dalam Dwi
Tunggal.

"Hoe gaat het met jou...?" Bagaimana keadaanmu?

Hatta memaksakan diri tersenyum. Tangannya masih memegang lengan Soekarno.


Soekarno kemudian terisak bagai anak kecil.
Lelaki perkasa itu menangis di depan kawan seperjuangannya, bagai bayi yang kehilangan mainan.
Hatta tidak lagi mampu mengendalikan perasaannya. Pertahanannya bobol. Airmatanya juga
tumpah. Hatta ikut menangis.
Kedua teman lama yang sempat berpisah itu saling berpegangan tangan seolah takut berpisah.
Hatta tahu, waktu yang tersedia bagi orang yang sangat dikaguminya ini tidak akan lama lagi. Dan
Hatta juga tahu, betapa kejamnya siksaan tanpa pukulan yang dialami sahabatnya ini. Sesuatu
yang hanya bisa dilakukan oleh manusia yang tidak punya nurani.

"No..."

166 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Hanya itu yang bisa terucap dari bibirnya. Hatta tidak mampu mengucapkan lebih. Bibirnya
bergetar menahan kesedihan sekaligus kekecewaannya. Bahunya terguncang-guncang.

Jauh di lubuk hatinya, Hatta sangat marah pada penguasa baru yang sampai hati menyiksa bapak
bangsa ini. Walau prinsip politik antara dirinya dengan Soekarno tidak bersesuaian, namun hal itu
sama sekali tidak merusak persabatannya yang demikian erat dan tulus.

Hatta masih memegang lengan Soekarno ketika kawannya ini kembali memejamkan matanya.

Jarum jam terus bergerak. Merambati angka demi angka.

Sisa waktu bagi Soekarno kian tipis.

Sehari setelah pertemuan dengan Hatta, kondisi Soekarno yang sudah buruk, terus merosot.
Putera Sang Fajar itu tidak mampu lagi membuka kedua matanya. Suhu badannya terus meninggi.
Soekarno kini menggigil. Peluh membasahi bantal dan piyamanya. Malamnya Dewi Soekarno dan
puterinya yang masih berusia tiga tahun, Karina, hadir di rumah sakit. Soekarno belum pernah
sekali pun melihat anaknya.

Minggu pagi, 21 Juni 1970. Dokter Mardjono, salah seorang anggota tim dokter kepresidenan
seperti biasa melakukan pemeriksaan rutin. Bersama dua orang paramedis, Dokter Mardjono
memeriksa kondisi pasien istimewanya ini. Sebagai seorang dokter yang telah berpengalaman,
Mardjono tahu waktunya tidak akan lama lagi. Dengan sangat hati-hati dan penuh hormat, dia
memeriksa denyut nadi Soekarno. Dengan sisa kekuatan yang masih ada, Soekarno menggerakkan
tangan kanannya, memegang lengan dokternya. Mardjono merasakan panas yang demikian tinggi
dari tangan yang amat lemah ini. Tiba-tiba tangan yang panas itu terkulai. Detik itu juga Soekarno
menghembuskan nafas terakhirnya. Kedua matanya tidak pernah mampu lagi untuk membuka.
Tubuhnya tergolek tak bergerak lagi. Kini untuk selamanya.

Situasi di sekitar ruangan sangat sepi. Udara sesaat terasa berhenti mengalir. Suara burung yang
biasa berkicau tiada terdengar. Kehampaan sepersekian detik yang begitu mencekam. Sekaligus
menyedihkan.

Dunia melepas salah seorang pembuat sejarah yang penuh kontroversi. Banyak orang
menyayanginya, tapi banyak pula yang membencinya. Namun semua sepakat, Soekarno adalah
seorang manusia yang tidak biasa. Yang belum tentu dilahirkan kembali dalam waktu satu abad.
Manusia itu kini telah tiada.

Dokter Mardjono segera memanggil seluruh rekannya, sesama tim dokter kepresidenan. Tak lama
kemudian mereka mengeluarkan pernyataan resmi: Soekarno telah meninggal.
Berita kematian Bung Karno dengan cara yang amat menyedihkan menyebar ke seantero Pertiwi.
Banyak orang percaya bahwa Bung Karno sesungguhnya dibunuh secara perlahan oleh rezim
penguasa yang baru ini. Bangsa ini benar-benar berkabung. Putera Sang Fajar telah pergi dengan
status tahanan rumah. Anwari Doel Arnowo, seorang saksi sejarah yang hadir dari dekat saat
prosesi pemakaman Bung Karno di Blitar dalam salah satu milis menulis tentang kesaksiannya.
Berikut adalah kesaksian dari Cak Doel Arnowo yang telah kami edit karena cukup panjang:

Pagi-pagi, 21 Juni 1970, saya sudah berada di sebuah lubang yang disiapkan untuk kuburan
manusia. Sederhana sekali dan sesederhana semua makam di sekelilingnya. Sudah ada sekitar
seratusan manusia hidup berada di situ dan semua hanya berada di situ, tanpa mengetahui apa
saja tugas mereka sebenarnya. Yang jelas, semuanya bermuka murung. Ada yang matanya penuh

167 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

airmata, tetapi bersinar dengan garang. Kelihatan roman muka yang marah. Ya, saya pun marah.
Hanya saja saya bisa menahan diri agar tidak terlalu kentara terlihat oleh umum.

Kita semua di kota Malang mendengar tentang almarhum yang diberitakan telah meninggal dunia
sejak pagi hari dan sudah menyiapkan diri untuk menunggu keputusan pemakamannya di mana.
Sesuai amanat almarhum, seperti sudah menjadi pengetahuan masyarakat umum, Bung Karno
meminta agar dimakamkan di sebuah tempat di pinggir kali di bawah sebuah pohon yang rindang di
Jawa Barat (asumsi semua orang adalah di rumah Bung Karno di Batu Tulis di Bogor).

Tetapi lain wasiat dan amanah, lain pula rezim Soeharto yang secara sepihak memutuskan jasad
Bung Karno dimakamkan di Blitar dengan dalih bahwa Blitar adalah kota kelahirannya. Ini benar-
benar ceroboh. Bung Karno lahir di Surabaya di daerah Paras Besar, bukan di Blitar! Bung Karno
terlahir dengan nama Koesno, dan ikut orang tuanya yang jabatan ayahnya, Raden Soekemi
Sosrodihardjo, adalah seorang guru yang mengajar di sebuah Sekolah di Mojokerto dan kemudian
dipindah ke Blitar. Di sinilah ayah Bung Karno, meninggal dunia dan dimakamkan juga di sisinya,
isterinya (yang orang Bali ) bernama Ida Ayu Nyoman Rai.

Setelah matahari tinggal sepenggalan sebelum terbenam, rombongan jenazah Bung Karno akhirnya
sampai di tempat tujuan. Yang hadir didorong-dorong oleh barisan tentara angkatan darat yang
berbaris dengan memaksa kumpulan manusia agar upacara dapat dilaksanakan dengan layak.

Tampak Komandan Upacara jenderal Panggabean memulai upacara dan kebetulan saya berdiri
berdesak-desakan di samping Bapak Kapolri Hoegeng Iman Santosa, yang sedang sibuk berbicara
dengan suara ditahan agar rendah frekuensinya tidak mengganggu suara aba-aba yang sudah
diteriak-teriakkan. Saya berbisik kepada beliau, ujung paling belakang rombongan ini berada di
mana? Beliau menjawab singkat di kota Wlingi. Hah?! Sebelas kilometer panjangnya iring-iringan
rombongan ini sejak dari lapangan terbang Abdulrachman Saleh di Singosari, Utara kota Malang.

Pak Hoegeng yang sederhana itu kelihatan murung dan sigap melakukan tugasnya. Dia berbisik
kepada saya: "There goes a very great man!!" Saya terharu mendengarnya. Apalagi ambulans
(mobil jenazah) yang mengangkut Bung Karno terlalu amat sederhana bagi seorang besar seperti
beliau. Saya lihat amat banyak manusia mengalir seperti aliran sungai dari pecahan rombongan
pengiring. Sempat saya tanyakan, ada yang mengaku dari Madiun, dari Banyuwangi bahkan dari
Bali.

Kuburannya Pun Tidak Boleh Dijenguk

Sejarah mencatat, sejak 1971 sampai 1979, makam Bung Karno tidak boleh dikunjungi umum dan
dijaga sepasukan tentara. Kalau mau mengunjungi makam harus minta izin terlebih dahulu ke
Komando Distrik Militer (KODIM). Apa urusannya KODIM dengan izin mengunjungi makam?
Saya bersama ibu saya dan beberapa saudara datang secara mendadak pergi ke Blitar dengan
tujuan utama ziarah ke Makam Bung Karno. Tanpa ragu kita ikuti aturan dan akhirnya sampai ke
pimpinannya yang paling tinggi. Saya ikut sampai di meja pemberi izin dan sudah ditentukan oleh
kita bersama, bahwa salah satu saudara saya saja yang berbicara. Saya sendiri meragukan emosi
saya, bisakah saya bertindak tenang terhadap isolasi kepada sebuah makam oleh Pemerintah atau
rezim? Nah, ternyata meskipun tidak terlalu ramah, mereka melayani dengan muka seperti dilipat.
Mungkin dengan menunjukkan muka seperti itu merasa bertambah rasa gagahnya terhadap rakyat
biasa macam kami. Akhirnya semua beres dan kami mendapat sepucuk surat. Apa yang terjadi?

168 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Sesampainya di makam kami turun dari kendaraan kami dan saya bawa surat izin dari KODIM.
Surat itu kami tunjukan ke tentara yang jaga makam. Waktu tentara itu baca surat, saya
terdorong untukmenoleh ke belakang. Terkejut saya. Selain rombongan sendiri, Ibu saya dan
saudara-saudara, telah mengikuti kami sebanyak lebih dari tiga puluh orang, bergerombol.
Mereka, orang-orang yang tidak kami kenal sama sekali, melekat secara rapat dengan rombongan
kami. Saya lupa persis bagaimana, akan tetapi saya ingat kami memasuki pagar luar dan kami bisa
mendekat sampai ke dinding kaca tembus pandang dan hanya memandang makamnya dari jarak,
yang mungkin hanya sekitar tiga meter.
Para pengikut dadakan yang berada di belakang rombongan kami dengan muka berseri-seri,
merasa beruntung dapat ikut masuk ke dalam lingkungan pagar luar itu. Ada yang bersila,
memejamkan mata dan mengatupkan kedua tangannya, posisi menyembah. Saya tidak
memperhatikannya, tetapi jelas dia bukan berdoa cara Islam. Mereka khusyuk sekali dan waktu
kami kembali menuju ke kendaraan kami, beberapa di antara mereka menjabat tangan dan malah
ada yang menciumnya, membuat saya merasa risih.

Salah seorang dari mereka ini mengatakan bahwa dia sudah dua hari bermalam di sekitar situ di
udara terbuka menunggu sebuah kesempatan seperti yang telah terjadi tadi. Tanpa kata-kata,
saya merasakan getar hati rakyat, rakyat Marhaen kata Bung Karno! Mereka menganggap Bung
Karno bukan sekedar Proklamator, tetapi seorang Pemimpin mereka dan seorang Bapak mereka.
Apapun yang disebarluaskan dan berlawanan arti dengan kepercayaan mereka itu semuanya
dianggap persetan. Dalam hubungan Bung Karno dengan Rakyat, tidak ada unsur uang berbicara.

Dibunuh Perlahan

Keyakinan orang banyak bahwa Bung Karno dibunuh secara perlahan mungkin bisa dilihat dari cara
pengobatan proklamator RI ini yang segalanya diatur secara ketat dan represif oleh Presiden
Soeharto. Bung Karno ketika sakit ditahan di Wisma Yasso Jl. Gatot Subroto. Penahanan ini
membuatnya amat menderita lahir dan bathin. Anak-anaknya pun tidak dapat bebas
mengunjunginya.
Banyak resep tim dokternya, yang dipimpin dr. Mahar Mardjono, yang tidak dapat ditukar dengan
obat. Ada tumpukan resep di sebuah sudut di tempat penahanan Bung Karno. Resep-resep untuk
mengambil obat di situ tidak pernah ditukarkan dengan obat. Bung Karno memang dibiarkan sakit
dan mungkin dengan begitu diharapkan oleh penguasa baru tersebut agar bisa mempercepat
kematiannya.
Permintaan dari tim dokter Bung Karno untuk mendatangkan alat-alat kesehatan dari Cina pun
dilarang oleh Presiden Soeharto. "Bahkan untuk sekadar menebus obat dan mengobati gigi yang
sakit, harus seizin dia, " demikian Rachmawati Soekarnoputeri pernah bercerita.
(Dari website Andi Santoso, 1 Februari 2010)

***

169 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Memperingati wafatnya Bung Karno 21 Juni 1970


Jasa-jasa besar Bung Karno tak terlupakan
Ajaran-ajaran revolusionernya patut dihayati oleh kita semua
Memperingati wafatnya Bung Karno 40 tahun yang lalu, yaitu pada tanggal 21 Juni 1970, adalah
hal yang penting bagi kalangan atau golongan yang ingin meneruskan perjuangan besarnya demi
revolusi rakyat Indonesia dan demi cita-cita bersama untuk menciptakan masyarakat adil dan
makmur.

Wafatnya Bung Karno merupakan kehilangan yang besar sekali bagi bangsa Indonesia, terutama
bagi yang mencintainya, menghormatinya, mengaguminya, sebagai bapak bangsa, dan sebagai
pemersatu bangsa yang paling agung sepanjang sejarah Indonesia..
Agaknya bagi sebagian terbesar dari rakyat Indonesia tidak adalah pemimpin yang bisa
menyumbangkan jasa-jasa sebesar jasa Bung Karno, atau yang bisa mencetuskan gagasan-gagasan
serevolusioner dan sebanyak dia.
Namun, ada orang atau kalangan yang berpendapat bahwa memperingati wafatnya Bung Karno,
yang sudah terjadi 40 tahun yang lalu adalah sesuatu yang sudah kedaluwarsa, atau sesuatu yang
tidak perlu lagi « dikunyah-kunyah terus-menerus ». Ada juga yang mengatakan « biarkanlah masa
yang lalu, jangan diutik-utik lagi, yang penting adalah masalah depan kita ».

Orang-orang atau golongan yang mengatakan seperti tersebut di atas, sebaiknya diajak untuk
secara serius merenungkan berbagai hal yang yang berkaitan erat dengan sakitnya atau wafatnya
Bung Karno. Sebab, masalah ini sama sekali bukanlah hal yang sudah kedaluwarsa, dan bukannya
pula sesuatu yang tidak perlu dikunyah-kunyah terus-menerus atau tidak pelu diutik-utik
lagi.

Berbagai akibat wafatnya Bung Karno


Wafatnya Bung Karno merupakan satu rentetan rantai yang tidak bisa dipisahkan dari
penggulingannya secara khianat oleh pimpinan Angkat Darat (waktu itu) di bawah Suharto. Dan
akibat yang menyedihkan dari penyerobotan kekuasaan Bung Karno itu adalah lumpuhnya revolusi
rakyat Indonesia dan rusaknya negara dan bangsa seperti yang kita saksikan dewasa ini. Jadi
membicarakan sebab-sebab dan akibat-akibat wafatnya Bung Karno, justru ada hubungannya yang
erat sekali dengan berbagai hal masa kini.

Banyak soal di masa kini yang merupakan akibat -- secara langsung atau tidak langsung -- dari
berbagai persoalan yang menyebabkan wafatnya Bung Karno dalam tahun 1970 itu . Jelaslah
bahwa masalah-masalah yang menyebabkan dan akibat wafatnya Bung Karno sama sekali bukanlah
hal yang sudah kedalu warsa untuk diingat kembali atau ditelaah lagi untuk kepentingan masa kini
dan untuk masa depan negara dan bangsa kita.

Wafatnya Bung Karno bukanlah seperti wafatnya pemimpin atau tokoh-tokoh Indonesia lainnya.
Peristiwa besar ini bukan saja menimbulkan dukacita yang dalam dan luas bagi banyak orang,
melainkan juga membangkitkan kemarahan, rasa brontak atau protes terhadap segala perlakuan
buruk sebelumnya, yang sunguh-sungguh biadab dan tidak manusiawi yang menyebabkan wafatnya

Mempunyai rasa duka terhadap wafatnya Bung Karno, meskipun sudah 40 tahun berlalu, adalah
wajar dan bisa dimengerti, mengingat besarnya arti Bung Karno bagi bangsa Indonesia. Selain itu,
170 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

bersikap marah besar atau gusar sekali terhadap perlakuan yang begitu ganas dan keji atas
dirinya adalah sah, serta benar dan bahkan sudah seharusnya.

Mengutuk perlakuan biadab terhadap Bung Karno


Sebaliknya, tidak marah atau tidak mengutuk perlakuan yang keterlaluan biadabnya dari pimpinan
Angkatan Darat (waktu itu) terhadap Bung Karno adalah sikap yang salah, yang berdasarkan moral
yang rendah atau akhlak yang rusak. Sedang mengutuk atau menghujat segala hal yang tidak
manusiawi yang diperlakukan terhadap Bung Karno adalah benar, sah, adil, dan juga luhur.

Siapapun yang beradab, yang berhati-nurani, yang bernalar sehat, yang bermoral, akan tidak
menyetujui siksaan fisik dan bathin yang sudah dikenakan terhadap Bung Karno. Dan siapapun
yang merasa gembira, atau yang menyetujui, atau yang membenarkan perlakuan tidak manusiawi
pimpinan Angkatan Darat (waktu itu) terhadap pemimpin besar bangsa kita adalah orang-orang
yang patut diragukan kesehatan jiwanya atau kewarasan nalarnya.
(Untuk mendapat sedikit gambaran tentang betapa biadabnya perlakuan terhadap Bung Karno
sebelum wafat, harap disimak kumpulan berbagai bahan yang sudah disajikan tersendiri melalui
berbagai milis dan juga website)

Pendidikan politik dan moral yang penting

Peringatan tentang hari wafatnya Bung Karno tidak saja patut menjadi sumber pelajaran yang
sangat berharga bagi para pendukungnya atau pencintanya yang jumlahnya besar sekali, melainkan
juga bagi mereka yang pernah anti-Bung Karno, atau bagi mereka yang tidak begitu mengenal
sejarahnya dan perjuangannya.

Peringatan sekitar peristiwa ini tidak saja bisa menjadi sumber pendidikan politik yang penting
sekali bagi banyak orang, melainkan juga sebagai sumber pendidikan moral yang ideal sekali bagi
rakyat luas, dan sekaligus juga menjadi sumber inspirasi perjuangan revolusioner bagi berbagai
golongan, terutama bagi generasi muda bangsa.

Dengan mendengar atau membaca kembali macam-macam bahan tentang wafatnya Bung Karno
dalam keadaan yang tidak normal, maka orang banyak bisa menilai sendiri betapa besar kejahatan
pimpinan Angkatan Darat (waktu itu) yang berupa cara-cara biadab yang tidak bisa dima‘afkan
oleh nalar yang sehat, atau tidak bisa diterima oleh hati-nurani yang bersih, atau juga tidak bisa
dibenarkan oleh iman yang benar.

Bulan Juni dijadikan « Bulan Bung Karno »


Mengingat itu semuanya, maka dicetuskannya Pancasila oleh Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945,
dan Hari Kelahirannya pada tanggal 6 Juni 1901 serta Hari Wafatnya pada tanggal 21 Juni 1970
adalah tiga hari sangat bersejarah yang untuk selanjutnya di kemudian hari patut diperingati oleh
bangsa kita secara selayaknya.
Tiga hari bersejarah ini membuat tiap bulan Juni sebagai « Bulan Bung Karno », yang dapat
digunakan oleh berbagai golongan rakyat untuk mengenang kembali keagungan satu-satunya
pemimpin besar bangsa yang telah berjuang dengan konsekwen selama seluruh hidupnya demi
kepentingan rakyat.
Mengenang kembali Bung Karno berarti juga mengingat kembali berbagai ajaran-ajaran
revolusionernya, yang sekarang ini terasa sekali dibutuhkan oleh banyak golongan sebagai
pedoman atau sumber inspirasi untuk mengadakan perubahan-perubahan besar dari keadaan serba
171 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

bejat akibat sistem pemerintahan Orde Baru dan politik pro-neoliberalisme yang dijalankan oleh
pemerintahan-pemerintahan pasca-Suharto sampai sekarang.

Sudah lama banyak orang melihat -- serta merasakan sendiri -- bahwa bangsa dan negara kita
sedang menghadapi kekosongan pedoman besar dan pimpinan nasional yang kuat dan dicintai
rakyat dan berwibawa seperti Bung Karno, sejak Suharto memerintah dengan Orde Barunya.

Keagungan ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno

Kita semua ingat bahwa kalau Bung Karno telah berjasa dengan banyak sumbangan-sumbangan
besarnya untuk negara dan bangsa yang berupa berbagai ajaran-ajaran revolusionernya, maka dari
Suharto beserta para enderalnya -- atau tokoh-tokoh sipil pendukungnya -- sama sekali tidak
ada (atau sedikit sekali, itu kalau pun ada !) pedoman atau ajaran yang berharga yang bisa jadi
panutan bangsa.
Kalau kita perhatikan bersama, maka nyatalah bahwa selama Suharto bersama Orde Barunya
berkuasa (bahkan juga sesudahnya) tidak ada dokuman atau karya yang mengandung pemikiran-
pemikiran besar serta cemerlang yang sudah disajikan kepada bangsa, yang setingkat dengan
kebesaran ajaran-ajaran Bung Karno, seperti, antara lain : Indonesia Menggugat, Lahirnya
Pancasila, Manifesto Politik, Trisakti, Berdikari, pidato di Konferensi Bandung, Panca Azimat
Revolusi, pidato di PBB « To build the world Anew » dll dll.

Dari pengamatan sesudah Bung Karno digulingkan secara khianat oleh Suharto beserta para
jenderalnya, maka di Indonesia hanya terdapat sosok-sosok yang kerdil, atau tokoh-tokoh politik
yang « bonsai », yang jauh sekali perbedaannya dengan kebesaran sosok atau keagungan
ketokohan revolusioner Bung Karno. Sampai sekarang !

Sosok-sosok yang kerdil atau « bonsai »

Padahal, seperti yang kita saksikan bersama dewasa ini, negara dan bangsa kita sedang
menghadapi banyak persoalan-persoalan besar, yang berupa kerusakan moral yang sudah parah
sekali, dan kebejatan akhlak atau pembusukan mental yang disebabkan oleh korupsi, dan situasi
ekonomi dan sosial yang buruk akibat sistem politik yang busuk oleh kalangan-kalangan
« atas » yang bersikap dekaden, dan berkolaborasi dengan kekuatan neoliberalisme.

Sebagian kecil dari kerusakan-kerusakan parah itu tercermin dalam kegaduhan sekitar peristiwa
Bank Century, persoalan Bibid Chandra, kasus Gayus Tambunan, kasus pajak perusahaan-
perusahaan Aburizal Bakri, hiruk-pikuk usul « dana aspirasi » Rp 15 miliar untuk tiap anggota DPR
setahun, dan tersangkutnya para pembesar Polri, Kejaksaan, dan pengadilan dalam soal
korupsi dan berbagai kejahatan dll dll dll )

Di tengah-tengah kerusakan-kerusakan berat dan parah di bidang moral dan politik itu semualah
sebagian dari masyarakat kita memperingati Hari Wafatnya Bung Karno tanggal 21 Juni. Dan kita
semua tahu bahwa segala yang rusak parah yang sedang terjjadi dewasa ini, adalah hasil atau
kelanjutan dari produk yang dibikin oleh sistem politik dan praktek-praktek rejim Orde Barunya
Suharto beserta para jenderal pendukungnya.

Rejim Suharto adalah pengubur revolusi rakyat


Sekarang sudah terbukti, dengan jelas pula, bahwa rejim militer Orde Baru pada dasarnya telah
merusak cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945. Makin terang juga bagi banyak orang, bahwa pada
hakekatnya Suharto (beserta para jenderal pendukungnya) adalah pengkhianat Pancasila. Sudah

172 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

tidak bisa dibantah oleh siapa pun yang berhati jujur bahwa Suharto bukanlah penyelamat
Republik Indonesia yang diproklamasikan tahun 1945 melainkan, sebaliknya, malahan merusaknya.
Jelasnya, Suharto bersama para jenderal pendukungnya adalah pengubur revolusi rakyat
Indonesia di bawah pimpinan Bung Karno.
Dengan mengingat hal-hal itu semualah kita bisa menjadikan Hari Wafatnya Bung Karno sekarang
ini sebagai kesempatan yang baik sekali untuk mengangkat kembali tinggi-tinggi sejarah
perjuangannya serta ajaran-ajaran revolusionernya,

Hari wafatnya Bung Karno bisa kita jadikan bagian dari « Bulan Bung Karno » selama bulan Juni
tiap tahun yang mencakup juga tanggal lahirnya Pancasila ( 1 Juni) dan hari lahirnya Bung Karno (6
Juni).

Dengan cara begini kita semua dapat bersama-sama mengisi setiap bulan Juni dengan berbagai
kegiatan untuk memperingati tiga hari bersejarah yang berkaitan dengan Bung Karno.
Oleh karena dalam sejarah sudah dibuktikan dengan gamblang sekali bahwa perjuangan Bung
Karno adalah untuk kepentingan semua golongan bangsa Indonesia, maka seyogianya « Bulan Bung
Karno » ini juga menjadi urusan semua golongan yang mendukung berbagai gagasannya yang
revolusioner untuk menyatukan bangsa dan meneruskan revolusi yang belum selesai.

Dengan mengisi « Bulan Bung Karno » dengan berbagai kegiatan -- dan melalui berbagai macam
cara dan bentuk -- untuk mengangkat kembali ajaran-ajaran revolusioner dan gagasan-gagasan
agung Bung Karno, maka kita semua bisa menjadikan « Bulan Bung Karno » sebagai bulan
pendidikan politik, dan pendidikan moral, atau pemupukan semangat pengabdian kepada rakyat.

Ajaran-ajaran Bung Karno perlu disebarluaskan

Karena sudah lebih dari 45 tahun ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno telah dilarang, atau
disembunyikan, atau dibuang dengan berbagai cara oleh rejim Suharto (dan oemerintahan-
pemerintahan oenerusnya) maka segala macam kegiatan untuk menyebarkannya kembali adalah
penting sekali bagi kehidupan bangsa , termasuk bagi generasi muda dewasa ini dan anak cucu kita
dikemudian hari.
Sejarah bangsa sudah membuktikan bahwa ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno merupakan
gagasan-gagasan politik yang paling bisa mempersatukan bangsa, dan merupakan pedoman moral
revolusioner, serta sumber inspirasi perjuangan bagi rakyat yang mau berjuang, teutama bagi
kaum buruh, tani, perempuan, kalangan muda, dan rakyat miskin pada umumnya.
Bangsa Indonesia patut merasa bangga mempunyai ajaran-ajaran revolusioner dan gagasan-
gagasan agung yang telah disumbangkan oleh Bung Karno. Oleh karena itu ajaran-ajaran atau
gagasan-gagasan besarnya itu perlu disebarluaskan seluas-luasnya untuk dipelajari dan dihayati
oleh sebanyak mungkin orang dari berbagai golongan yang mau berjuang.
Ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno adalah senjata yang ampuh sekali bagi semua golongan
yang mau berjuang melawan ketidakadilan, penindasan, dan penghisapan dari semua kalangan
reaksioner di Indonesia, dan juga untuk melawan neo-liberalisme. Sari pati atau inti jiwa
revolusioner ajaran-ajaran revolusionernya itu dapat digali oleh siapa saja dalam berbagai
bukunya, terutama dalam « Dibawah Bendera Revolusi » dan « Revolusi Belum Selesai ».

173 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Dengan semangat untuk menjunjung tinggi-tinggi ajaran-ajaran revolusionernya dan jasa-jasanya


yang besar kepada bangsa Indonesia inilah kita peringati Hari Wafatnya Bung Karno pada tanggal
21 Juni ini.
Paris, 14 Juni 2010
Umar Said

Menjelang Wafatnya Soekarno (1)


Berkas yang Hilang
Oleh Wahyu Dramastuti
Copyright © Sinar Harapan

Diposkan 27/07/2009

JAKARTA – Sembilan buku besar tertumpuk rapih di salah satu ruangan di rumah Rachmawati
Soekarnoputri, Jl. Jati Padang Raya No. 54 A, Pejaten, Jakarta Selatan. Buku bertuliskan tangan
itu berisi medical record (catatan medis) mantan Presiden Soekarno selama sakit di Wisma Yaso,
Jakarta.

Ada pula tujuh lembar kertas tua yang warnanya sudah memudar kecokelatan. Ini juga menjadi
bukti riwayat penyakit Bung Karno. Kopnya bertuliskan Institut Pertanian Bogor, Fakultas
Kedokteran Hewan Bagian Bakteriologi, Djl. Kartini 14, telpon 354, Bogor. Tapi yang lebih
membuat dahi ini berkernyit keras, nama pasien disamarkan. Misalnya, ada yang tertera namanya
Taufan (salah seorang putra Soekarno).

Menguak peristiwa yang terjadi tahun 1965-1970 itu memang tidak mudah. Pada masa lalu
membicarakan masalah ini secara terbuka menjadi hal tabu. Maka tak heran jika sekarang banyak
orang, terutama generasi muda, tak mengetahui kebenaran sejarah tersebut. Namun kini, ketika
semua mata dan seluruh perhatian tertumpah di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) sehubungan
dengan sakitnya mantan Presiden Soeharto sejak 4 Januari 2008, rasa ingin tahu tentang masa
lalupun kembali mengusik. Itu semata-mata karena Soeharto dan Soekarno sama-sama mantan
kepala negara.

Adalah Rachmawati Soekarnoputri, putri ketiga Soekarno, yang sangat ingin menyerahkan catatan
medis ayahnya kepada pemerintah. ―Ini kalau pemerintah butuh data-data pendukung dan ingin
melihat dari segi kebenaran, bukan hanya cerita fiktif,‖ tutur Rachmawati kepada SH di
kediamannya, Sabtu (19/1) sore. Maklum, seorang mantan menteri Orde Baru pernah berkomentar
bahwa perlakuan terhadap Soekarno ketika sakit tidak sekejam itu. ―Saya tak mau gegabah. Ini
bukan make up story, karena Kartono Mohamad saja (saat itu Ketua Ikatan Dokter
Indonesia/IDI-red), mengatakan perawatan terhadap Bung Karno seperti perawatan terhadap
keluarga sangat miskin,‖ kata Rachmawati.

Di sore hari itu, Rachmawati tidak sanggup bercerita banyak. Ia hanya tersedu sedan, hal itu
sudah menggambarkan betapa getir kenangan yang dialaminya. Tetapi sebuah artikel yang pernah
dimuat SH pada 15 Mei 2006, memberikan gambaran lebih lengkap. ―Seorang perempuan muncul di
Kantor IDI di Jakarta, awal 1990-an,‖ demikian kalimat pertama artikel tersebut. Perempuan itu
ingin bertemu Kartono Mohamad untuk menyerahkan 10 bundel buku berisi catatan para perawat
jaga Soekarno.

174 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Namun jauh sebelum pertemuan itu, Kartono bertemu Wu Jie Ping, dokter yang pernah merawat
Soekarno di Hong Kong. Wu mengungkapkan bahwa Soekarno ―hanya‖ mengalami stroke ringan
akibat penyempitan sesaat di pembuluh darah otak saat diberitakan sakit pada awal Agustus
1965, dan sama sekali tidak mengalami koma seperti isu yang beredar. Ini menepis spekulasi
bahwa Soekarno tidak akan mampu menyampaikan pidato kenegaraan pada peringatan hari
proklamasi 17 Agustus 1965. Dan nyatanya, Soekarno tetap hadir pada peringatan detik-detik
proklamasi 17 Agustus itu di Istana Merdeka, lengkap dengan tongkat komandonya.

Diperiksa Dokter Hewan


Setelah kembali lagi ke Jakarta, Kartono menemui Mahar Mardjono, dokter yang tahu banyak soal
stroke. Rupanya Kartono tak hanya bercerita soal stroke, tapi juga rentetan kejadian yang
dengan sengaja menelantarkan Soekarno. Maka bundel buku yang dibawa perempuan itu semakin
menguatkan kegelisahan Kartono.
Namun Indonesia di awal 1990-an, kebenaran hanya boleh ditentukan oleh penguasa. Maka bundel
buku itu hanya teronggok di meja kerja Kartono selama bertahun-tahun. Hingga kemudian, krisis
moneter meledak.

Rakyat turun ke jalan dan Presiden Soeharto, yang telah berkuasa selama 32 tahun, dipaksa
meletakkan jabatan. Indonesia berubah wajah. Kartono pun teringat onggokan buku itu.

Ia bergegas ke RSPAD, rumah sakit yang mempekerjakan empat perawat di Wisma Yaso.

Kartono berharap dapat menemukan mereka, agar bangsa Indonesia mendapat cerita yang lengkap
tentang tahun-tahun terakhir Soekarno. Namun menemukan Dinah, Dasih, J. Sumiati, dan
Masnetty ternyata bukan hal mudah. Seorang di antara mereka meninggal, sedangkan yang lain
sudah pensiun.

RSPAD pun mendadak tak memiliki file atau berkas dari para perawat ini. Kartono kehilangan
jejak. Upayanya untuk mencari medical record Soekarno gagal. Pihak RSPAD mengatakan bahwa
keluarga Soekarno telah membawanya. Ketika ini ditanyakan kepada Rachmawati, ia hanya geleng-
geleng kepala. ―Tidak, tidak,‖ jawabnya lirih.
Yang membuatnya semakin terenyuh, sebelum dibawa ke Jakarta, Soekarno ditangani oleh dokter
Soerojo yang seorang dokter hewan. Jejak ini terlihat dari berkas berkop Institut Pertanian
Bogor, Fakultas Kedokteran Hewan Bagian Bakteriologi. Bahkan setelah dipindah ke RSPAD
karena sakit ginjalnya semakin parah, upaya untuk melakukan cuci darah tidak dapat dilakukan
dengan alasan RSPAD tidak mempunyai peralatan. Catatan medis juga menyebutkan obat yang
diberikan hanya vitamin (B12, B kompleks, royal jelly) dan Duvadillan, obat untuk mengurangi
penyempitan pembuluh darah perifer. Perihal tekanan darah tinggi yang juga disebutkan dalam
catatan medis, juga menyisakan tanya pada diri Rachmawati.
Setiap kali menjenguk sang ayah dan mencicipi makanannya, masakan selalu terasa asin. ―Saya
kecewa dengan semua perawatan itu. Ini sama saja dengan membiarkan orang berlalu,‖ lanjut
Rachmawati.

Seorang mantan pejabat di era Presiden Soekarno membenarkan terjadinya fakta seputar masa
sakit Soekarno yang tersia-sia. ―Tidak seperti sekarang ini, perawatan terhadap Soeharto.
Sangat berbeda, padahal seharusnya semua mantan presiden berhak dirawat secara all out dan
diongkosi oleh negara,‖ katanya.

175 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Purnawirawan perwira tinggi militer itu juga mengungkapkan, perlakuan seragam terhadap
Soekarno berasal dari sebuah instruksi. ―Yang memberi instruksi ya orang yang sekarang sedang
dirawat itu,‖ katanya.
Namun pria ini enggan dituliskan namanya. ―Wah, kalau ditulis di koran saya pasti digangguin…,‖
tuturnya dengan nada serius.

Menjelang Wafatnya sang Proklamator (2-Habis)

Mengistimewakan Soeharto, Menyia-nyiakan Soekarno

JAKARTA – Selembar foto hitam putih menguak penderitaan Soekarno ketika tergolek sakit di
Wisma Yaso, Jakarta, 15 hari sebelum ia wafat. Kedua pipinya terlihat bengkak, gejala fisik
pasien gagal ginjal.

Matanya sedikit terbuka, tapi tanpa ekspresi. Raut wajahnya menampak kepasrahan yang begitu
dalam. Soekarno terlihat berbaring di atas sofa berukuran sempit dengan sebuah bantal.
Kedua tangannya dicoba ditangkupkan. Siapa sangka, pria gagah inilah sang proklamator yang
mengantarkan Negara Indonesia ke pintu kemerdekaan hingga detik ini.

Gambar ini dibuat secara diam-diam oleh Rachmawati Soekarnoputri bersama Guruh
Soekarnoputra, 6 Juni 1970. Sebuah momentum bertepatan dengan hari ulang tahun Soekarno
yang ke-69.

Dik, ikut yuk, saya mau motret bapak,‖ tutur Rachmawati kepada adiknya, Guruh, kala itu.

Rupanya foto tersebut kemudian dikirimkan Rachmawati ke Kantor Berita AP dan dimuat di
Harian Sinar Harapan.

Maka gemparlah, dan Rachmawati diinterogasi oleh Corps Polisi Militer (CPM). Rachmawati pun
bertanya, ‖Mengapa dilarang memotret, memangnya status Bung Karno apa?‖

Tetapi tak pernah ada jawaban tentang apa status Soekarno, sampai detik ini. ‖Jadi semua
serbasumir. Tak ada kejelasan tentang status bapak sampai bapak meninggal,‖ kata Rachmawati
kepada SH di kediamannya di Jl. Jati Padang Raya No. 54A, Pejaten, Jakarta Selatan, Sabtu
(19/1) sore.
Di saat kondisi penyakit ayahnya semakin kritis dan putra-putri ingin membesuknya, mereka tetap
harus melapor dulu ke Pomdam Jaya, sehingga tidak dapat menengok setiap hari. Wisma
Yaso yang terletak di Jl. Gatot Subroto, Jakarta, itu padahal merupakan kediaman istri
Soekarno, yakni Dewi Soekarno. Begitu pula Soekarno sendiri, dalam kondisi sakit masih tetap
harus menjalani pemeriksaan oleh Kopkamtib tiga bulan sekali.
Situasi seperti itu semakin menambah kalut keluarga Soekarno, setelah sebelumnya didera
cobaan bertubi-tubi. Pada pertengahan 1965, sebuah rumor mengabarkan Soekarno mengalami
koma sehingga diperkirakan tidak bisa menyampaikan pidato kenegaraan pada peringatan
Proklamasi 17 Agustus 1965. Tetapi nyatanya, Soekarno hadir pada peringatan detik-detik
proklamasi tersebut di Istana Merdeka, lengkap dengan pakaian kebesaran dan tongkat
komandonya.

Tahun berikutnya, setelah Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) diteken 11 Maret 1966,
keluarga Soekarno mendapat kiriman radiogram pada tahun 1967, berupa perintah supaya mereka
keluar dari Istana Bogor.

176 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Maka kemudian di tahun 1968, Soekarno pindah dari Istana Bogor ke Batu Tulis, masih di wilayah
Bogor. Ternyata hawa dingin di Bogor membuat penyakit rematik Bung Karno semakin parah. Saat
itu Soekarno ditangani oleh dokter Soerojo, dokter hewan. Bukti ini dikuatkan dengan dokumen
riwayat penyakit Bung Karno di atas tujuh lembar kertas tua yang warnanya sudah memudar
kecokelatan.

Kopnya bertuliskan Institut Pertanian Bogor, Fakultas Kedokteran Hewan bagian Bakteriologi,
Djl. Kartini 14, telpon 354, Bogor. Menurut Rachmawati, penanganan dokter Soerojo saat itu pun
hanya bersifat insidental.

Lantaran rasa sakit makin tak tertahankan, akhirnya Soekarno mengutus Rachmawati untuk
menyampaikan surat permohonan kepada Soeharto agar diperbolehkan kembali ke Jakarta.
Saya diterima Pak Harto di Cendana, menyampaikan permintaan agar bapak dipindah ke Jakarta.
Saya harus menunggu jawabannya dua minggu, aduh…,‖ tutur Rachmawati tak habis pikir.
Akhirnya, Soekarno dipindah ke Wisma Yaso di Jakarta, yang sekarang menjadi Museum Satria
Mandala.

Beberapa minggu kemudian dibentuklah tim dokter dengan ketua Mahar Mardjono. Tetapi karena
Wisma Yaso hanya rumah biasa, tentu saja fasilitas medis yang tersedia sangat berbeda dengan
jika dirawat di rumah sakit.

Tidak Cuci Darah

Hari-hari berikutnya, kondisi Soekarno menurun drastis. Seperti yang terdokumentasi dalam
foto Rachmawati tersebut, pipi Soekarno sudah membengkak, pertanda mengalami gagal ginjal.
Kondisi makin kritis. Hingga akhirnya pada 11 Juni 1970 mantan Presiden I RI itu dilarikan ke
Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto.

Rupanya pindah perawatan ke rumah sakit tidak seluruhnya menyelesaikan masalah. Perawatan
yang diberikan tetap tidak maksimal dan peralatan medis seadanya. Pada saat dokter
memastikan harus dilakukan cuci darah, upaya satu-satunya ini tidak dapat dilaksanakan.
Alasannya, RSPAD tidak memiliki peralatan untuk cuci darah. ‖Ini sama saja membiarkan orang
cepat berlalu…,‖ tutur Rachmawati.

Begitu pula dengan obat-obatan, tidak tersedia di RSPAD sehingga putra-putri Soekarno
membelinya sendiri di apotek di Kebayoran. ‖Ada satu periode di mana saya tidak boleh
menengok bapak,‖ ungkap Rachmawati. Dalam keadaan genting seperti itu, keluarga masih tetap
tidak diizinkan tidur di rumah sakit untuk menunggui sang ayah. Mereka hanya boleh menunggu di
dalam mobil di tempat parkir.
Tak ada pula teman-teman yang bisa menjenguknya, kecuali Mohammad Hatta. Rachmawati
mengakui, selepas tahun 1965 memang terjadi de-Soekarno-isasi. Semua hal yang berbau
Soekarno harus disingkirkan sejauh mungkin.
Hingga akhirnya pada 21 Juni 1970, Soekarno wafat. Jenazahnya kemudian disemayamkan di
Wisma Yaso dan dilepas oleh Presiden Soeharto untuk diterbangkan ke Blitar, Jawa Timur. Itulah
kali pertama Soeharto melihat fisik Soekarno setelah disingkirkan dari Istana Kepresidenan.

177 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Yang menjadi inspektur upacara pada pemakaman itu Jenderal TNI M Panggabean, tanpa
kehadiran Presiden Soeharto di Blitar.

Mengapa pusara mantan Presiden I RI itu berada di kompleks pemakaman Desa Bendogerit,
Blitar? Lokasi itu dipilihkan oleh negara dengan alasan dekat dengan makam kedua orangtua
Soekarno. Pihak keluarga sebenarnya mengajukan permintaan sesuai wasiat Soekarno, yaitu
dimakamkan di Batu Tulis atau di lokasi lain di Bogor.

Juga ketika gaung agar Tap MPR No. 11 Tahun 1998 tentang KKN mantan Presiden Soeharto
dikumandangkan kembali tatkala Soeharto sakit di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP),
Rachmawati meminta dicabutnya Tap MPRS No. XXXIII/1967.

Tap MPRS itu intinya adalah mencabut mandat MPRS dari Soekarno dan mengangkat Soeharto
sebagai Pejabat Presiden. ‖Secara pribadi saya berharap ada rehabilitasi. Dan Tap MPRS harus
dicabut karena beban politik berbeda dengan beban pidana atau perdata,‖ lanjut Rachmawati.
Putri ketiga Soekarno itu pun hanya geleng-geleng kepala, ketika mengetahui kondisi kesehatan
Soeharto yang sedang dirawat di RSPP mulai membaik. Semua orang juga tahu, betapa
luar biasa dan istimewanya fasilitas untuk Soeharto.

Tetapi Rachmawati sama sekali tidak menaruh rasa dendam. Yang ia inginkan hanyalah,
kebenaran sejarah.

=== === = ===

Soekarno - Sejarah yang tak memihak


Oleh : Iman Brotoseno, 13 January 2008
Hawa panas dan angin seolah diam tak berhembus. Malam ini saya bermalam di rumah ibu saya.
Selain rindu masakan sambel goreng ati yang dijanjikan, saya juga ingin ia bercerita mengenai
Presiden Soekarno. Ketika semua mata saat ini sibuk tertuju, seolah menunggu saat saat
berpulangnya Soeharto, saya justru lebih tertarik mendengar penuturan saat berpulang Sang
proklamator.

Karena orang tua saya adalah salah satu orang yang pertama tama bisa melihat secara langsung
jenasah Soekarno. Saat itu medio Juni 1970. Ibu yang baru pulang berbelanja, mendapatkan
Bapak ( almarhum ) sedang menangis sesenggukan. ― Pak Karno seda ― ( meninggal )

Dengan menumpang kendaraan militer mereka bisa sampai di Wisma Yaso. Suasana sungguh sepi.
Tidak ada penjagaan dari kesatuan lain kecuali 3 truk berisi prajurit Marinir ( dulu KKO ). Saat
itu memang Angkatan Laut, khususnya KKO sangat loyal terhadap Bung Karno. Jenderal KKO
Hartono - Panglima KKO – pernah berkata, ―Hitam kata Bung Karno, hitam kata KKO. Merah kata
Bung Karno, merah kata KKO―

Banyak prediksi memperkirakan seandainya saja Bung Karno menolak untuk turun, dia dengan
mudah akan melibas Mahasiswa dan Pasukan Jendral Soeharto, karena dia masih didukung oleh
KKO, Angkatan Udara, beberapa divisi Angkatan Darat seperti Brawijaya dan terutama Siliwangi
dengan panglimanya May. Jend Ibrahim Ajie.

Namun Bung Karno terlalu cinta terhadap negara ini. Sedikitpun ia tidak mau memilih opsi
pertumpahan darah sebuah bangsa yang telah dipersatukan dengan susah payah. Ia memilih
sukarela turun, dan membiarkan dirinya menjadi tumbal sejarah.

178 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

The winner takes it all. Begitulah sang pemenang tak akan sedikitpun menyisakan ruang bagi
mereka yang kalah. Soekarno harus meninggalkan istana pindah ke istana Bogor. Tak berapa lama
datang surat dari Panglima Kodam Jaya – Mayjend Amir Mahmud – disampaikan jam 8 pagi yang
meminta bahwa Istana Bogor harus sudah dikosongkan jam 11 siang. Buru buru Bu Hartini, istri
Bung Karno mengumpulkan pakaian dan barang barang yang dibutuhkan serta membungkusnya
dengan kain sprei. Barang barang lain semuanya ditinggalkan.

― Het is niet meer mijn huis ― – sudahlah, ini bukan rumah saya lagi, demikian Bung Karno
menenangkan istrinya.
Sejarah kemudian mencatat, Soekarno pindah ke Istana Batu Tulis sebelum akhirnya dimasukan
kedalam karantina di Wisma Yaso. Beberapa panglima dan loyalis dipenjara. Jendral Ibrahim
Adjie diasingkan menjadi dubes di London. Jendral KKO Hartono secara misterius mati terbunuh
di rumahnya.
Saat itu belum banyak yang datang, termasuk keluarga Bung Karno sendiri. Tak tahu apa mereka
masih di RSPAD sebelumnya. Jenasah dibawa ke Wisma Yaso. Di ruangan kamar yang suram,
terbaring sang proklamator yang separuh hidupnya dihabiskan di penjara dan pembuangan kolonial
Belanda. Terbujur dan mengenaskan. Hanya ada Bung Hatta dan Ali Sadikin – Gubernur Jakarta –
yang juga berasal dari KKO Marinir.

Bung Karno meninggal masih mengenakan sarung lurik warna merah serta baju hem coklat.
Wajahnya bengkak bengkak dan rambutnya sudah botak. Kita tidak membayangkan kamar yang
bersih, dingin berAC dan penuh dengan alat alat medis disebelah tempat tidurnya. Yang ada hanya
termos dengan gelas kotor, serta sesisir buah pisang yang sudah hitam dipenuhi jentik jentik
seperti nyamuk. Kamar itu agak luas, dan jendelanya blong tidak ada gordennya. Dari dalam bisa
terlihat halaman belakang yang ditumbuhi rumput alang alang setinggi dada manusia !.

Setelah itu Bung Karno diangkat. Tubuhnya dipindahkan ke atas karpet di lantai di ruang tengah.
Ibu dan Bapak saya serta beberapa orang disana sungkem kepada jenasah, sebelum akhirnya
Guntur Soekarnoputra datang, dan juga orang orang lain.
Namun Pemerintah orde baru juga kebingungan kemana hendak dimakamkan jenasah proklamator.
Walau dalam Bung Karno berkeingan agar kelak dimakamkan di Istana Batu Tulis, Bogor. Pihak
militer tetap tak mau mengambil resiko makam seorang Soekarno yang berdekatan dengan ibu
kota. Maka dipilih Blitar, kota kelahirannya sebagai peristirahatan terakhir. Tentu saja Presiden
Soeharto tidak menghadiri pemakaman ini.
Dalam catatan Kolonel Saelan, bekas wakil komandan Cakrabirawa, ― Bung karno diinterogasi oleh
Tim Pemeriksa Pusat di Wisma Yaso. Pemeriksaan dilakukan dengan cara cara yang amat kasar,
dengan memukul mukul meja dan memaksakan jawaban. Akibat perlakuan kasar terhadap Bung
Karno, penyakitnya makin parah karena memang tidak mendapatkan pengobatan yang seharusnya
diberikan.― ( Dari Revolusi 1945 sampai Kudeta 1966 )
Dr. Kartono Muhamad yang pernah mempelajari catatan tiga perawat Bung Karno sejak 7 februari
1969 sampai 9 Juni 1970 serta mewancarai dokter Bung Karno berkesimpulan telah terjadi
penelantaran. Obat yang diberikan hanya vitamin B, B12 dan duvadillan untuk mengatasi
penyempitan darah. Padahal penyakitnya gangguan fungsi ginjal. Obat yang lebih baik dan mesin
cuci darah tidak diberikan. ( Kompas 11 Mei 2006 )

179 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Rachmawati Soekarnoputri, menjelaskan lebih lanjut, ― Bung Karno justru dirawat oleh dokter
hewan saat di Istana Batutulis. Salah satu perawatnya juga bukan perawat. Tetapi dari Kowad ―
( Kompas 13 Januari 2008 ) dengan perlakuan terhadap mantan Presiden Soeharto, yang setiap
hari tersedia dokter dokter dan peralatan canggih untuk memperpanjang hidupnya, dan masih
didampingi tim pembela yang dengan sangat gigih membela kejahatan yang dituduhkan. Sekalipun
Soeharto tidak pernah datang berhadapan dengan pemeriksanya, dan ketika tim kejaksaan harus
datang ke rumahnya di Cendana. Mereka harus menyesuaikan dengan jadwal tidur siang sang
Presiden !
Malam semakin panas. Tiba tiba saja udara dalam dada semakin bertambah sesak. Saya
membayangkan sebuah bangsa yang menjadi kerdil dan munafik. Apakah jejak sejarah tak pernah
mengajarkan kejujuran ketika justru manusia merasa bisa meniupkan roh roh kebenaran ? Kisah
tragis ini tidak banyak diketahui orang. Kesaksian tidak pernah menjadi hakiki karena selalu ada
tabir tabir di sekelilingnya yang diam membisu. Selalu saja ada korban dari mereka yang
mempertentangkan benar atau salah. Butuh waktu bagi bangsa ini untuk menjadi arif.

Mengasihani Soeharto, Mengasingkan Soekarno


Oleh : Fransisca Ria Susanti

Dimuat di Sinar Harapan, 15 Mei 2006

JAKARTA – Seorang perempuan muncul di kantor Ikatan Dokter Indonesia (IDI) di Jakarta, awal
1990-an. Di tangannya, 10 bundel buku berisi catatan para perawat jaga. Ia ingin bertemu Kartono
Mohammad (Ketua IDI saat itu). Tak banyak percakapan di antara mereka. Perempuan itu
kemudian menghilang.
Jauh sebelum pertemuan itu, Kartono bertemu Wu Jie Ping (dokter yang merawat mantan
Presiden Soekarno) di Hong Kong. Dari Wu, Kartono tahu bahwa Soekarno ―hanya‖ mengalami
stroke ringan akibat penyempitan sesaat di pembuluh darah otak saat diberitakan sakit pada awal
Agustus 1965. Ia sama sekali tak mengalami koma.

Penasaran dengan keterangan ini, sampai di Jakarta, ia menemui Mahar Mardjono. Ia meyakini
satu-satunya dokter yang tahu banyak soal stroke saat itu hanya Mahar. Ia tak pernah
menyangka bahwa Mahar tak hanya berkisah soal stroke itu, tapi juga rentetan kejadian yang
membuatnya berkesimpulan bahwa ada pihak yang dengan sengaja menelantarkan Soekarno.
Kartono gelisah.
Bundel buku yang dibawa perempuan itu semakin menguatkan kegelisahan Kartono. Namun,
Indonesia di awal 1990-an bukanlah negeri yang ramah. Kebenaran hanya boleh ditentukan oleh
penguasa. Bundel buku itupun terpaksa teronggok di meja kerja Kartono selama bertahun-tahun.

Hingga kemudian, krisis ekonomi Asia meledak. Rakyat turun ke jalan dan Soeharto dipaksa
meletakkan jabatan. Indonesia berubah wajah. Kebenaran tiba-tiba muncul dalam banyak versi.
Kartono pun teringat onggokan bukunya. Ia bergegas ke RSPAD, institusi yang mempekerjakan
empat perawat di Wisma Yaso, tempat di mana Soekarno dirawat dan meninggal sebagai
pesakitan. Ia berharap dapat menemukan mereka. Ia ingin bangsa Indonesia bisa mendapatkan
cerita lengkap tentang tahun-tahun terakhir Soekarno.

Namun menemukan Dina, Dasih, J. Sumiati, dan Masnetty ternyata bukan hal mudah. Seorang di
antara mereka meninggal, sedangkan yang lain sudah pensiun. RSPAD pun mendadak tak memiliki

180 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

file dari para perawat ini. Kartono kehilangan jejak. Upayanya untuk mencari medical record
Seoekarno pun gagal. Pihak RSPAD mengatakan bahwa keluarga Soekarno telah membawanya.
Kartono, saat itu, tak yakin.
Hingga pekan lalu, di hadapan pers, Rachmawati Soekarnoputri berterus terang. Ia memiliki
catatan medis Soekarno dari tahun 1967-1968. Mirip dengan kesimpulan Kartono, Rachmawati
mengatakan bahwa Soekarno tak mendapat perawatan semestinya.

Medical record tersebut menyebut bahwa Soekarno mengalami gagal ginjal. Wu Jie Ping pun,
kepada Kartono, mengatakan bahwa Soekarno menderita batu ginjal dan tekanan darah tinggi
sebagai komplikasi.

Yang mengejutkan, kepada pers, Rachmawati mengatakan bahwa semua obat yang diberikan
kepada Soekarno harus mendapat persetujuan Soeharto. Soeharto juga menolak keinginan
keluarga agar Soekarno mendapat perawatan di luar negeri.
Pengakuan Rachmawati ini seolah membenarkan ―kemarahan‖ Mahar Mardjono saat ia menemukan
resep obat yang dibuatnya untuk Soekarno ternyata tetap tersimpan di laci seorang dokter di
RSPAD. Kepada Kartono, Mahar mengaku bahwa penyimpanan resep ini dilakukan atas sebuah
instruksi.

Dan dari catatan para perawat tersebut, Kartono menemukan bahwa tak ada dokter spesialis yang
memeriksa Soekarno. Satu-satunya dokter yang datang adalah Sularyo, seorang dokter umum.
Sementara itu, obat yang diberikan melulu vitamin (B12, B kompleks, dan royal jelly) serta
Duvadillan yang merupakan obat untuk mengurangi penyempitan pembuluh darah perifer.

Tak ada obat untuk menurunkan tekanan darah Soekarno saat mencapai 170/100 dan tak ada pula
obat untuk memperlancar kencing sewaktu terjadi pembengkakan. Dalam kondisi seperti inilah,
Soekarno mengembuskan nafas terakhirnya pada 21 Juni 1970 di bumi yang ia perjuangkan
kemerdekaannya.

Tak Adil

Rachmawati berniat menyerahkan medical record ini ke pemerintah. Ia ingin menunjukkan fakta
bahwa negeri ini tak cukup adil dalam memperlakukan mantan presiden.

Berpuluh tahun, Soekarno diperlakukan sebagai seorang pecundang dengan keberadaan Tap MPRS
XXXIII/1967 yang mengaitkannya dengan peristiwa Gerakan 30 September 1965. Ia tak pernah
diadili, meski tap tersebut jelas-jelas menyebut bahwa perlu ditempuh jalur hukum untuk
membuktikan tudingan ini.
Soeharto lebih memilih menyingkirkan Soekarno dengan mengasingkannya dan menjadikannya
sebagai pesakitan. Tak pernah ada niat untuk membuktikan tudingannya di pengadilan.
Sebagai gantinya, Soekarno mendapat pengadilan lewat citraan (image) sepihak yang dirancang
oleh media massa yang berada di bawah kendali kekuasaan, juga melalui kurikulum yang dipasokkan
ke generasi pasca-1960-an. Berpuluh tahun, Soekarno menjadi momok. Ada suatu masa, di mana
memasang gambarnya pun dicurigai sebagai makar.

Kini, saat publik ramai-ramai mempersoalkan pengadilan Soeharto—atas tudingan korupsi—


mendadak nama Soekarno kembali disebut. Para pejabat Negara beramai-ramai bicara soal
pengampunan. Tak hanya untuk Soeharto, tapi juga bagi Soekarno. Mereka menyebutnya:
rehabilitasi.
181 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Sejarawan Asvi Warman Adam menyebut solusi ini semacam ―sogok‖ untuk meredam kemarahan
kaum Soekarnois saat belas kasihan yang ditunjukkan sejumlah pejabat negara kepada Soeharto
tampak begitu berlebihan.
Namun rehabilitasi, menurut Asvi, hanya cocok untuk Soekarno yang selama puluhan tahun
dituding berada di balik G30S. Sebuah tudingan yang kental dengan nuansa politis. Sementara
tudingan yang diarahkan ke Soeharto menyangkut soal korupsi, penyalahgunaan uang rakyat, yang
sama sekali tak berkaitan dengan tudingan politis.

Bagaimana mungkin ―obat‖ yang diberikan untuk Soeharto disamakan dengan Soekarno?

Barangkali ada kekhawatiran bahwa tudingan kepada Soeharto akan merembet pada kasus lain,
termasuk G30S yang ia tudingkan pada Soekarno dan sejumlah kasus pelanggaran Hak Asasi
Manusia (HAM) yang terjadi di bawah kekuasaannya.
Jika toh ini terjadi, sebaiknya negeri ini belajar bersikap adil. Keadilan, menurut Asvi, tak hanya
cukup dilihat dari ―pengampunan‖ kepada Soekarno dan Soeharto, tapi juga mempertimbangkan
rasa keadilan mayoritas korban. Mereka yang kehilangan orang-orang terdekatnya, dimatikan
kebebasannya, dan dinjak-injak harga dirinya selama berpuluh tahun akibat kebijakan politis
yang dibuat Soeharto.

Ribuan orang dibuang di Pulau Buru dan disekap di penjara-penjara Indonesia tanpa pernah diadili,
ratusan ribu orang yang meregang nyawa hanya karena aspirasi politiknya, dan jutaan lainnya yang
menjadi tumbal atas nama legitimasi kekuasaan, dari Tanjung Priok, Talang Sari, hingga Papua.

Kita harus berdamai dengan masa lalu, bukan dengan melupakannya, tapi melihatnya secara lebih
jernih, sehingga masa depan tak lagi tampak menakutkan.

=========

Soeharto Tindas Bung Karno


Oleh : Achmad Subechi, 10-9-2007

21 JUNI 1970… Bangsa Indonesia kehilangan seorang tokoh besar yang memiliki kharisma dan
intelektual yang tak tertandingi di antara para pemimpin-pemimpin bangsa di Asia. Dialah
Soekarno. Ia pergi meninggalkan bumi pertiwi tanpa status hukum yang jelas. Akankah Soeharto
bernasib sama dengan Soekarno? Bagaimana cara Soeharto memperlakukan Soekarno?

SOEHARTO kini terbaring lemas di RS Pusat Pertamina (RSPP). Status hukumnya juga masih
belum jelas. Sama seperti apa yang dialami Soekarno 36 tahun yang lalu. Bedanya, status hukum
Soeharto lebih jelas. Artinya, ia pernah diseret ke Kejaksaan Agung dengan status sebagai
tersangka. Namun, di tingkat pengadilan –menyandang status terdakwa– Soeharto sama sekali tak
menyentuh karpet hijau hingga detik ini –dengan alasan kondisi kesehatannya tidak memungkinkan
untuk diadili.

Perbedaan lainnya, ketika Soeharto sakit, wartawan dengan leluasa boleh melaporkan hasil
liputannya melalui medianya masing-masing. Wajar saja kalau Siti Hardiyanti Indra Rukmana alia
Mbak Tutut mengucapkan rasa terima kasihnya kepada para kuli tinta. ―Atas nama keluarga, saya
juga berterima kasih kepada semua artawan yang sudah datang menjenguk dan mengabarkan
kondisi terakhir Bapak,‖ kata putri sulung Soeharto, dalam jumpa pers 7 Mei 2006 malam.

182 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Bagaimana dengan Soekarno? Pria asal Blitar itu sama sekali tak tersentuh oleh pers. Bukannya
pers tak tertarik untuk meliput kondisi kesehatan Bung Karno di Wisma Yaso, tetapi penguasa
Orde Baru, Soeharto sangat sangat ketat mengawasi Soekarno dengan menggunakan militer
sebagai alat untuk mengisolasi Bung Karno.
Awal tahun 1968, Bung Karno dipindahkan ke Istana Batutulis, Bogor. Sejak saat itu, praktis Bung
Karno dikarantina dan tidak bisa ditemui wartawan. Namun atas permintaan keluarganya, karena
udara disana terlalu dingin, maka Bung Karno dipindahkan ke Wisma Yaso –kini Museum Mandala
Bhakti, di Jalan Gatot Subroto, Jakarta.
Di tempat itu Bung Karno diinterograsi dan ditahan. Sejak itu Bung Karno benar-benar terisolasi
dari dunia liar. Suatu hari terdengar kabar bahwa kesehatan Soekarno makin memburuk. Seorang
fotografer Associated Press, Piet Warbung, nekat mengambil gambar Bung Karno. Pria itu
berhasil mengambil foto Bung Karno. Selama beberapa hari, Piet Warbung berjaga di bawah
pohon di depan masjid kecil yang waktu itu ada di samping Wisma Yaso. Dengan tele-lens, ia
kemudian berhasil memotret Bung Karno yang sedang berdiri, tanpa peci, di depan pintu Wisma
Yaso. Foto itulah yang kemudian tersebar ke seluruh dunia.

Upaya memotret Bung Karno tidak hanya dilakukan wartawan AP. Tanggal 6 Juni 1970 ketika
kondisi kesehatan Bung Karno makin memburuk –pas di hari ulang tahunnya ke 69 — Rachmawati
dan Guruh dengan sembunyi-sembunyi memotret bapaknya yang terbaring di tempat tidur. Foto
itu lalu dibocorkan keluar. Dan tampaknya foto-foto tersebut merupakan foto terakhir Bung
Karno semasa masih hidup yang dimuat pers dunia.

Beberapa hari kemudian –11 Juni 1970– Bung Karno dibawa ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat
(RSPAD) karena kesehatannya yang kian parah. Sang Proklamator itu akhirnya meninggal pada 21
Juni 1970, pukul 07.00 pagi. Dunia hari itu berduka, karena kehilangan seorang tokoh yang
memiliki kharisma di mata rakyat Indonesia.

SELAMA ditahan di Wisma Yaso tanpa kepastian hukum yang jelas, Bung Karno menderita tekan
psikis berkepanjangan. Istri keempat Bung Karno, Ratna Sari Dewi memberikan kesaksian, disaat-
saat terakhir suaminya hendak pergi meninggalkan alam fana ini, ia berada disampingnya. ‖Saya
ada disamping Bapak ketika beliau begini: kekhh… kekhh… kekkh..,‖ kata Ratna Sari Dewi
suatu hari, sambil memperagakan suara Soekarno yang sedang sekarat.

Bapak sudah mulai begitu pukul empat sore, sampai meninggal pukul empat pagi. Jadi dua belas
jam, ini luar biasa.‖ Suatu hari kata Ratna Sari Dewi, ia bertemu dengan lima orang anggota tim
dokter untuk meminta penjelasan terhadap kondisi kesehatan suaminya. Namun seorang di antara
mereka mengatakan, tim dokter tak boleh memberikan laporan apa pun tanpa seizing atasan. ‖Ya,
itu berarti Jenderal Soeharto kan?‖ ujarnya ketika ditanya siapa yang dimaksud atasan. Dari hasil
konsultasinya dengan dokter di AS, Prancis, dan Jepang, ada dugaan Bung Karno meninggal akibat
kelebihan dosis obat tidur. Hal itulah yang mengherankan Dewi, karena Bung Karno tidak pernah
minum obat tidur.

Tetapi para dokter yang dihubunginya menjelaskan, obat tidur juga dapat diberikan dengan cara
injeksi. Jadi, tambah Dewi, Bung Karno dibunuh secara perlahan dengan suntikan oleh tim dokter
atas perintah Soeharto. ‖Saya kira begitu. Mungkin Soeharto kesal, kok Bapak tak juga
meninggal.‖

Dewi juga menduga, suaminya dibiarkan cepat mati agar tidak sempat lagi berbicara dengannya.
Ia juga menyatakan, kisah Bung Karno yang jatuh koma dan harus dilarikan ke RSAD adalah
183 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

bohong besar. Buktinya, ketika Dewi bertanya kepada penjaga Wisma Yaso, tempat Soekarno jadi
tahanan rumah, diperoleh jawaban bahwa sebelum dibawa ke RSAD, Bung Karno sama sekali tidak
sedang mengalami koma berat.
Penjaga wisma itu mengatakan, sebelum dibawa ke RSAD, ada tentara tak dikenal yang memaksa
bapak, agar bersedia ditandu dan dibawa ke rumah sakit. Waktu itu Bapak tidak mau dibawa ke
rumah sakit,‖ tutur Dewi dengan mata berkaca-kaca.

Penahananan dan pengisolasian yang teramat kejam oleh rezim Orba, kemudian siksaan lahiriah – –
penahanan rumah, sangat tidak memadainya pengurusan kesehatan, dan isolasi politik serta
mental–mempercepat proses kematian Bung Karno. Saksi sejarah Roeslan Abdoelgani pernah
mengatakan, ―Bung Karno dalam keadaan terasing dan terkungkung.‖

ZAMAN telah berubah. Salah satu putri Bung Karno Megawati Soekarnoputri terpilih menjadi
Wapres mendampingi Gus Dur. Namun, Megawati bukanlah tipe wanita pendedam. Aparat hukum
diminta bekerja secara profesional. Akhir Mei 2000, Soeharto mendapatkan status tahanan
rumah.

Perlakuan rezim baru terhadap Soeharto, masih manusiawi. Artinya, Soeharto boleh tinggal di
rumah kebanggannya Jl Cendana. Selain itu Jaksa Agung masih memberikan izin kepada keluarga,
dokter, dan pengacaranya untuk mengunjungi Soeharto.

Semula Kejaksaan Agung mengalami kesulitan mencari tempat yang aman buat Soeharto, gara-
gara mantan penguasa Orde Baru itu sering didemo mahasiswa. Malah, ketika itu ada rencana mau
memboyong ke hotel segala. Sebaliknya, keluarga Soeharto segera menyatakan keberatan dengan
rencana pemindahan itu. Alasannya, kondisi kesehatannya membutuhkan tempat yang tenang dan
familiar untuk terapi. ―Kalau dipindahkan, sama saja dengan membunuh pelan-pelan Pak Harto,
berarti mereka tidak mempunyai keinginan untuk memberkas kasus ini,‖ kata Denny Kailimang,
salah satu penasihat hokum Soeharto, waktu itu.

Kini naiknya SBY menjadi presiden, semakin membuka pintu terhadap status hukum Soeharto.
Wacana agar pemerintah memberikan amnesti atau abolisi semakin menggalir dan seakan
mendapat dukungan dari semua pihak. Ada pro dan kontra. Namun, di mata aktivis Forkot — tokoh
gerakan reformasi 1998–pemberian amnesti atau istilah lainya sama dengan meruntuhkan sistem
hokum di Indonesia. ―Okey bahwa amnesti adalah hak prerogatif presiden. Akan tetapi bagaimana
seorang kepala negara memberikan pengampunan, sementara sampai saat ini Soeharto belum
pernah dinyatakan bersalah oleh hakim,‖ katanya. (achmad subechi)
***

Mengenang Wafatnya Bung Karno


Hari ini, 21 Juni 2010. Empat puluh tahun yang lalu, seorang pemimpin Besar Bangsa, pejuang
kemerdekaan dan revolusi yang sejak mudanya mengorbankan masanya demi bangsa yang
dicintainya, Presiden Pertama Republik Indonesia Bung Karno, wafat dalam derita yang
mengenaskan.

Wafatnya Bung Karno merupakan kehilangan yang besar sekali bagi bangsa Indonesia, terutama
bagi yang mencintainya, menghormatinya, mengaguminya, sebagai bapak bangsa, dan sebagai
pemersatu bangsa yang paling agung sepanjang sejarah Indonesia..

184 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Ketokohan Bung Karno sebagai Pemimpin, bukan saja diakui oleh bangsa Indonesia, namun juga
dunia mengakuinya karena banyak karya dan ide-idenya, ajaran-ajarannya yang tersebar di dunia
luar dan diakui terutama oleh negara-negara Asia Afrika yang berjuang dan berhasil memutuskan
rantai penjajahan atas negerinya. Bahkan, Bung Karno tidak segan-segan berbicara di depan
Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dan bertekad membangun dunia baru, "To Build
a World Anew" dengan memperkenalkan dan menganjurkan agar dunia juga menganut Pancasila
(Five Priciples).

Akan tetapi, sayang sekali, wafatnya Bung Karno tidak seperti wafatnya pemimpin atau tokoh-
tokoh Indonesia lainnya. Bung Karno meninggal karena dizalimi dan dianiaya oleh seorang manusia
militer yang bernama Suharto.

Jenderal Suharto, dengan sangat licik dan keji, menggunakan Bung Karno untuk menghabisi semua
pendukung-pendukungnya. Melalui Sarwo Edhi Wibowo, Sudomo, Kemal Idris, Sumitro, Jasir
Hadibroto dan petinggi militer yang bisa dan gampang diperintahnya, melakukan pembunuhan
massal terhadap jutaan bangsa Indonesia pendukung Bung Karno, sebagai dalih mengganyang
G30S. Jutaan bangsa Indonesia mati dibunuh, ratusan ribu dipenjarakan, 12 ribu dibuang ke pulau
Buru, dan ribuan yang berada di luar negeri dicabut paspor Indonesianya. Sedang keluarga dan
sanak saudara kaum kiri yang dimusnahkan, dijadikannya sebagai golongan yang tidak bersih dan
dikucilkan dari masyarakat dan dianggap kaum pariah melalui peraturan-peratruran diskriminatif.
Setelah semua pengikut dan pembela Bung Karno dipreteli dan dimusnahkan, dengan segala dalih
dan akal licik, Bung Karno sendiri dizalimi. Dengan menggunakan istitusi di bawah bedil dan
bayonet Jenderal Suharto, Bung Karno dicabut kekuasaannya dan didepak keluar dari Istana
Merdeka dan dijadikan tahanan rumah di Wisma Yaso. Bung Karno dijadikan Tahanan Politik
Ordebaru/Suharto, persis seperti ratusan ribu rakyat yang ditahan di kamp-kamp tahanan yang
berserakan disegenap penjuru Indonesia. Suharto menjadi orang nomor satu di Indonesia, berkat
kelicikan dan akal busuknya serta politik dedil dan bayonet yang dilakukannya. Dia menjadi "the
smilling general" karena dia berhasil melenyapkan jutaan kaum kiri dan PKI serta menjatuhkan
Bung Karno, dimana Amerika Serikat sendiri tidak berdaya melakukannya!

Wafanya Bung Karno menimbulkan duka cita yang luas dan mendalam bagi segenap bangsa
Indonesia, secara terang-terangan maupun secara sembunyi (karena takut ditangkap dan dibui
oleh nazinya Suharto). Rakyat marah, dendam dan sakithati terhadap segala perlakukan keji,
biadab dan tidak berperikemanusiaan yang dilakukan Suharto terhadap Bung Karno hingga
menyebabkan wafatnya. Kita kehilangan Bung Karno, Pemimpin Bangsa yang susah untuk dicari
gantinya. "Belum ada yang menandingi Soekarno sampai sekarang.. Dialah yang mengerti 'nation'
Indonesia. Karena itu juga, Soekarno-lah yang tidak jemu-jemunya menganjurkan tentang 'nation
and character building' (Ucapan Pramoedya Ananta Toer dalam film dokumen Shadow Play)

Bung Karno telah tiada. Hari ini tepat 40 tahun yang lalu dia mati mengenaskan, dizalimi dan
dianiaya oleh seorang militer yang pernah diselamatkannya. Bung Karno pergi, meninggalkan
bangsa Indonesia yang dicintainya. Kita kehilangan seorang tokoh agung, seorang bapak, seorang
penyambung lidah rakyat dan pemimpin besar revolusi Indonesia Bung Karno. Bung Karno, lahir,
hidup, berjuang dan mati untuk rakyat dan bangsa Indonesia yang dicintainya! "Yo sanak yo
kadang yen mati aku sing kelangan!" Bangsa Indonesia berhutang padanya dan rakyat akan
senantiasa mengenangnya!

185 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Untuk mengenang hari-hari akhir Bung Karno, dibawah ini dikutip beberapa cuplikan berita
tentang hari-hari akhir Bung Karno, Pemimpin Besar, Bapak Bangsa dan Presiden Pertama Republik
Indonesia. Salah satu cuplikan adalah dari anak Bung Karno sendiri, Rachmawati, yang dikutip dari
Harian Jawa Pos, sbb.:
1. Me-nurut informasi yang ditulis pada 12 April 2003 oleh A. Karim D. P., mantan Ketua
Persatuan Wartawan Indonesia, dikatakan bahwa "Jenderal Soeharto, memerintahkan
kepada Bung Karno supaya meninggalkan Istana Merdeka sebelum tanggal 17 Agustus
1967. Bung Karno beserta anak-anaknya pergi dari istana dengan berpakaian kaos oblong
dan celana piyama dengan kaki hanya beralaskan sandal, menompang mobil Volkswagen
Kodok, satu-satunya mobil milik pribadinya yang dihadiahkan oleh Piola kepadanya, pergi
ke Wisma Yaso, di mana kemudian menjadi tempat tahanannya sampai wafat. Semua
kekayaannya, ditinggalkan di istana, tidak sepotong pun yang dibawa pergi kecuali Bendera
Pusaka Merah Putih yang dibungkusnya dengan kertas koran. Anak-anaknya pun tidak
diperbolehkan membawa apa-apa, kecuali pakaian sendiri, buku-buku sekolah, dan
perhiasannya sendiri. Selebihnya, ditinggalkan semua di istana....." (A. Karim DP., Apa
Sebab Bung Karno Bisa Digulingkan, http://www.progind.net)

2. Selama ditahan di Wisma Yaso, Bung Karno diperlakukan sangat tidak manusiawi sekali.
Bung Hatta, mantan wakil presiden pertama RI, sahabat Bung Karno, menceritakan
bagaimana permintaan Bung Karno kepada Soeharto untuk sekadar mengizinkan
mendatangkan seorang dukun pijat, ahli pijat langganan Bung Karno dan juga langganan
Bung Hatta, ditolak oleh Soeharto! Bung Karno mengharapkan dengan bantuan pijatan
dukun ahli itu, penderitaannya bisa sedikit berkurang. Penolakan Soeharto itulah yang
kemudian mendorong Bung Hatta menulis surat pada 15 Juli 1970 kepada Soeharto yang
mengecam betapa tidak manusiawinya sikap Soeharto itu! Bung Hatta minta kepada
Soeharto lewat Jaksa Durmawel, S.H., agar dilakukan pengadilan untuk memastikan
apakah Bung Karno bersalah atau tidak. Sebab, jika Bung Karno meninggal dalam statusnya
sebagai tahanan politik karena tidak diadili, rakyat yang percaya bahwa Bung Karno tidak
bersalah, akan menuduh pemerintah Soeharto sengaja membunuhnya, kata Bung Hatta."
(Deliar Noer, Mohammad Hatta Biografi Politik, http://www.progind.net)

3. BUNG KARNO yang penyakitnya tambah parah dalam tahanan rumahnya, tiada mendapat
pengobatan yang wajar, bahkan resep pengobatan hanya disimpan di laci oleh seorang
pejabat tinggi militer. Untuk ini, mari kita telusuri kisah putri Bung Karno, Rachmawati,
"Mengenang Saat Terakhir Mendampingi Bung Karno" seperti yang diceritakan oleh
Harian Jawa Pos.
AIR mata Rachmawati membasahi pipi. Meski sudah 38 tahun berlalu, anak ketiga Bung Karno
dengan Fatmawati itu belum bisa melupakan kekecewaannya terhadap perlakuan pemerintahan
Soeharto terhadap sang ayahanda di penghujung hayatnya.

"Bung Karno saat itu seperti dibiarkan mati perlahan-lahan," katanya kepada Jawa Pos sambil
mengusap air matanya dengan tisu saat ditemui di kediaman di kawasan Jakarta Selatan kemarin
(19/1).

Menurut perempuan kelahiran Jakarta, 27 September 1950, presiden pertama RI itu dilarikan ke
RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, dalam kondisi kritis pada 11 Juni 1970.

186 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Berbeda dengan Soeharto yang mendapat perawatan supermaksimal dari tim dokter kepresidenan
beranggota 25 dokter, Bung Karno mendapat perawatan minimal pada hari-hari terakhir menjalani
opname di rumah sakit milik TNI-AD itu. Kondisi ginjal salah satu proklamator RI waktu itu sudah
sangat parah.
"Tapi, tak ada perawatan maksimal. Alat hemodialisis (cuci darah) untuk pengidap gagal ginjal pun
tak diberi," kenang wanita bernama lengkap Diah Pramana Rachmawati Soekarno yang kini menjadi
anggota Dewan Pertimbangan Presiden itu.

Saat Bung Karno sakit kritis, lanjut dia, Soeharto melakukan konsolidasi politik pasca G 30
S/1965. Tak heran bila saat itu dia sedang membersihkan tubuh birokrasi dan militer. Tidak
hanya dari unsur-unsur PKI, tapi juga dari orang-orang Soekarnois.

Asupan makan untuk Soekarno yang juga disebut pemimpin besar revolusi itu pun seadanya.
Kendati juga didiagnosis mengidap darah tinggi, menu makanan untuk Bung Karno terasa asin saat
dicicipi Rachmawati.
Adik kandung Megawati pun langsung protes dan baru setelah itu menu makanan diganti. "Bung
Karno seperti dibiarkan mati perlahan-lahan," imbuhnya.

Gadis yang saat itu berusia hampir 20 tahun dan kuliah di Fakultas Hukum UI memang paling rajin
membesuk di hari-hari terakhir sang Putra Fajar tersebut. Namun, soal membesuk juga bukan
urusan mudah dan jangan dibayangkan seperti keluarga Cendana yang kini bisa hilir mudik ke
Rumah Sakit Pusat Pertamina setiap saat.

Tak gampang mengakses tempat perawatan Bung Karno yang saat itu statusnya diambangkan
laiknya tahanan rumah. Bahkan, tak ada kolega Soekarno yang datang mengalir seperti yang
terlihat pada Soeharto hari-hari ini.

Menjenguk Soekarno memang sulit. Sebab, ruang perawatan intensif RSPAD Gatot Subroto
dipenuhi tentara. Serdadu berseragam dan bersenjata lengkap bersiaga penuh di beberapa titik
strategis rumah sakit tersebut. Bahkan, petugas keamanan berpakaian preman juga hilir mudik di
koridor rumah sakit hingga pelataran parkir.
Yang repot, kata Rachmawati, obat-obatan pun tak datang dari langit. Mereka harus membeli
sendiri. "Pokoknya beda, beda banget. Ini perjalanan sejarah yang pahit," sambung Rachmawati
yang harus tidur di mobil jika hendak menunggu ayahnya yang dirawat di RSPAD.

Bahkan, Rachmawati yang pada 6 Juni 1970 sempat memotret Bung Karno yang saat itu diasingkan
di Wisma Yaso (sekarang Museum Satria Mandala, Red), Jakarta Selatan, harus berurusan dengan
polisi militer di Jl Guntur, Jakarta Pusat.

Pasalnya, foto yang menunjukkan kondisi terakhir Bung Karno itu dikirimkan Rachmawati ke
Associated Press (kantor berita yang berpusat di Amerika) yang kemudian memublikasikannya ke
seluruh dunia.

Salah seorang yang bisa menjenguk Bung Karno saat itu adalah mantan Wakil Presiden Mohammad
Hatta. Bung Karno sempat memegang tangan Bung Hatta, sahabat seperjuangan yang juga
proklamator RI itu, kemudian menangis. Sehari kemudian, tepatnya Minggu pagi, 21 Juni 1970,
beberapa saat setelah diperiksa dr Mardjono, salah seorang anggota tim dokter kepresidenan,
Bung Karno akhirnya mengembuskan napas terakhir pada usia 69 tahun.

187 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Setelah Bung Karno meninggal itulah, baru Soeharto datang ke RSPAD untuk melihat kondisi
jenazah Soekarno. Pertemuan itu, menurut Rachmawati, adalah yang pertama antara ayahnya -
yang telah tiada- dan Soeharto semenjak ayahnya jatuh dari kursi presiden dalam Sidang
Istimewa 7 Maret 1967.
Orang kuat Orde Baru itu kembali datang ke Wisma Yaso saat jenazah Soekarno hendak
diterbangkan ke Blitar melalui Malang, Jawa Timur.

Di Blitar, upacara pemakaman Soekarno dilaksanakan dengan sederhana dan singkat dipimpin
Jenderal M. Panggabean. "Rasa-rasanya, hari itu begitu mencekam. Kami hanya menurut saja saat
pemerintah memakamkan Bung Karno di Blitar. Bukan sesuai permintaannya di Batu Tulis, Bogor,
Jawa Barat," kenang mantan ketua umum Partai Pelopor itu.

Bendera setengah tiang pun berkibar di seluruh tanah air kendati setelah itu tak semua orang
bebas datang ke kubur Bung Karno.
Rachmawati mengaku sama sekali tak menaruh dendam atas tindakan Soeharto kepada ayahnya.
Secara pribadi dan sebagai manusia, dia malah memaafkan Soeharto. Tapi, dia tetap menuntut
penyelesaian hukum kepada jenderal bintang lima yang berkuasa selama 32 tahun itu. Kalaupun
pemerintah memutuskan untuk mencabut Tap MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara
Negara yang Bersih dan Bebas KKN yang menyangkut Soeharto, Rachmawati juga meminta
pencabutan Tap XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari
Presiden Soekarno.

Apakah karma Bung Karno yang kini menimpa Pak Harto? "Wallahu 'alam. Tapi, alhamdulillah, kalau
Pak Harto kembali sehat sekarang," jawabnya.

Kendati belum sempat membesuk, Rachmawati telah menghubungi dua putri Soeharto, Mamik dan
Titik, serat mendoakan kesembuhan ayah mereka. "Kami bangga diwarisi Bung Karno dengan bekal
ilmu kehidupan. Bukan harta berlimpah," katanya lalu menyeka air mata."

Demikian wawancara dengan Rachmawati sebelum Jenderal Soeharto meninggal.

Bung Karno telah tiada, bapak bangsa dan rakyat Indonesia, pejuang kemerdekaan Indonesia
telah pergi. Dia meninggal, mati dalam mempertahankan rakyatnya, bangsa dan negaranya agar
tidak terpecah-belah. Bung Karno pergi dengan meninggalkan warisan besar kepada Soeharto
berupa pangkat jenderal setelah menyelamatkannya dari pengadilan militer karena korupsinya,
kemudian Soeharto mengkhianatinya. Bung Karno mati mengikuti jalan yang telah dirintis oleh
jutaan pengikutnya, yaitu dibantai Soeharto. Kita kehilangan seorang tokoh agung, seorang bapak,
seorang penyambung lidah rakyat dan pemimpin besar revolusi Indonesia Bung Karno. Bung Karno,
lahir, hidup, berjuang dan mati untuk rakyat dan bangsa Indonesia yang dicintainya! "Yo sanak yo
kadang yen mati aku sing kelangan!" Bangsa Indonesia berhutang padanya dan rakyat akan
senantiasa mengenangnya!

Australia, 21 Juni 2010


Y.T. Taher.

188 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

HIDUP BUNG KARNO !!!


Mohammad As.
Kiranya tidak ada kata-kata yang lebih tepat untuk diucapkan jika ditujukan kepada Bung Karno,
selain dari tiga kata tersebut, yang kalau dituliskan, ditulis dengan huruf besar dan tebal serta
diiringi dengan tiga tanda seru. Tiga kata tersebut di atas lebih menjiwai perasaan kita daripada
segala ucapan rasa cinta, rasa hormat dan setia akan ajaran-ajaran serta cita-citanya.
Begitu juga untuk memperingati Hari Ulang Tahun beliau tanggal 6 Juni yang akan datang, marilah
kita memekik sekeras-kerasnya dari lubuk hati sedalam-dalamnya:

HIDUP BUNG KARNO !!!

Sangatlah sukar, jika bukan tidak mungkin, untuk membayangkan bagaimana jalan sejarah
andaikata di bumi Indonesia tidak pernah lahir seorang yang bernama Bung Karno. Mantan Kepala
Staf Angkatan Perang T.B.Simatupang, dalam tulisannya tentang Bung Karno menyatakan: ―Namun
hidup kita sebagai Negara dan Bangsa agaknya akan jauh lebih miskin sekiranya dia tidak pernah
hidup dan berjoang di antara dan bersama-sama kita‖.

Sampai seberapa jasa-jasa Bung Karno untuk bangsa dan negara, tidak lagi dapat diukur. Di tahun-
tahun tigapuluhan, Bung Karno lah yang berhasil mempersatukan segala macam bentuk gerakan,
dengan meyakinkan bahwa tujuan utama rakyat Indonesia ialah membebaskandiri dari penjajahan
Belanda dan bahwa musuh pokok rakyat Indonesia pada waktu itu ialah penjajah Belanda. Bung
Karno lah pencetus Pancasila yang kemudian menjadi dasar dan filosofi negara kita. Bung Karno
lah yang memproklamasikan kemerdekaan Indonesia sehingga diikuti oleh semua suku bangsa dari
Sabang sampai Merauke. Bung Karno lah yang berusaha menyatukan bangsa dengan NASAKOM-
nya. Bung Karno lah yang menjadi arsitek konferensi Asia-Afrika. Bung Karno lah yang......... Bung
Karno lah yang.......... Bung Karno........................... Bung Karno................................... Bung Karno
....................................... Bung Karno adalah seorang raksasa yang telah lahir di bumi Indonesia. Bung
Karno adalah seorang pahlawan dan pemimpin yang, seperti Danco dalam dongengannya Maxim
Gorki, ketika bangsanya berada dalam kegelapan telah merenggut jantung dari dalam dadanya
untuk diangkat tinggi-tinggi sebagai penerangan jalan ke arah kemerdekaan dan kebahagiaan.
Raksasa macam begini, mau tidak mau pasti menimbulkan rasa kagum dan hormat, bukan saja oleh
kawan, tapi juga oleh lawan. Hanya manusia-manusia kerdil, berwatak kerdil dan berjiwa kerdil,
berusaha menyembunyikan kekerdilannya dengan menghina dan mencemoohkan Bung Karno.
Setelah Bung Karno tiada, mereka berusaha mengubur jasa-jasanya bersama dengan jenazahnya.
Mereka juga berusaha mengubur ajaran-ajarannya dalam debu sejarah yang terlupakan dengan
melarang rakyat membaca tulisan-tulisannya. Setelah Bung Karno tiada, mereka berteriak
setinggi langit bahwa Bung Karno seorang politik yang telah gagal, bahwa Bung Karno telah gagal
dalam merealisasi impian dan cita-citanya. Mereka berteriak bahwa Bung Karno sudah terkalahkan
untuk selama-lamanya.
Padahal yang selalu diimpikan oleh Bung Karno, yang dicita-citakan oleh Bung Karno, ialah negeri
Indonesia yang adil, makmur, tenteram dan damai. Yang diimpikan oleh Bung Karno, yang dicita-
citakan oleh Bung Karno ialah bangsa Indonesia yang berharga diri, bermartabat dan
berbudaya tinggi. Apakah ini semua sudah gagal? Apakah cita-cita ini sudah terkalahkan? Apakah
Indonesia yang adil, makmur, tenteram dan damai sudah tidak mungkin lagi direalisasi? Apakah

189 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

bangsa Indonesia tidak mungkin lagi menjadi bangsa yang berharga diri, bermartabat dan
berbudaya tinggi? Jelas tidak!

Memang Bung Karno telah gugur dalam perjuangannya sebelum cita-cita dan impiannya berhasil
menjadi kenyataan. Akan tetapi Bung Karno sama sekali tidak gagal dan juga sama sekali tidak
terkalahkan, karena impiannya, cita-citanya sudah diwarisi dan akan terus diwarisi serta
membakar hati rakyat Indonesia. Pada suatu hari, cita-cita Bung Karno, impian Bung Karno,
Indonesia yang adil, makmur, tenteram dan damai pasti akan menjadi kenyataan. Pada suatu hari,
bangsa Indonesia pasti menjadi bangsa yang berharga diri dan berbudaya tinggi. Pada suatu hari,
meskipun dia sudah tiada, Bung Karno dengan cita-citanya pasti akan mengalami kemenangan yang
gemilang.

Memang Bung Karno akhirnya gugur. Bukan terbunuh oleh ledakan granat atau tertembus peluru
musuh, akan tetapi dibunuh pelan-pelan oleh seorang pengkhianat bangsa bersama kroni-kroninya,
manusia-manusia kerdil lainnya. Howard P. Jones, bekas Duta Besar Amerika Serikat di Indonesia,
pernah menulis: ―Sukarno terlalu sering menjadi korban dari kepercayaannya sendiri terhadap
rakyatnya. Di samping kepintarannya sebagai orang Timur dalam bidang politik kecurigaannya
terhadap Barat yang bias dimengerti sebabnya, ia memiliki kepercayaan yang naif terhadap
perseorangan dan keyakinan yang berbau mistik terhadap rakyat Indonesia dan kecintaan mereka
kepadanya. Sukarno tidak bisa percaya bahwa ada orang Indonesia yang bermaksud jahat
padanya.‖
Memang mungkin buat Howard Jones sifat Bung Karno ini dianggapnya naif. Tetapi apakah
ini bukan justru menunjukkan kebesaran jiwanya? Bahwa kemudian dia gugur akibat pengkhianatan
manusia kerdil karena kebesaran jiwanya, mungkin memang itu sudah menjadi nasib yang tak
terhindarkan buat seorang pahlawan seperti dia.

Marilah kita kutip tulisan Rachmawati Sukarno th.1976 mengenai hari-hari akhir Bung Karno,
untuk melihat sampai seberapa kekerdilan jiwa manusia macam Suharto beserta kroni-kroninya.

―....... sakitnya Bapak makin parah, terlebih-lebih karena ada periode di mana tidak seorang
anggauta keluarga pun yang boleh menemani. Sejak itu, tempat di mana Bapak di-―karantina‖-kan
dengan ketat, sunyi, sepi sekali. Bisa dibayangkan betapa kesunyian mencekam di dalam gedung
yang besar itu.

Kurang terurus adalah kesan yang jelas timbul dari wajah Bapak dan tempat tinggalnya pada
waktu itu, ketika penulis akhirnya diperbolehkan bertemu kembali pada sekitar tahun 1969.
Mengapa sampai separah itu keadaan Bapak? Penulis tidak habis pikir, sedih bercampur gemas
dalam perasaan pada waktu itu.
Ketika penulis menanyakan keadaan Bapak selama tidak diperbolehkan bertemu anak-anak dan
keluarganya, Bapak hanya berkata ―di-interogasi‖. Dan sejak itu Bapak hanya berbaring
terus, karena jalan pun sudah sangat sulit, harus dipapah, tidur di atas sofa, tapi tidak
mengurangi membaca majalah yang dibawakan oleh keluarga dari luar (itu pun setelah disensor)
dan sembahyang berbaring. Pemeriksaan secara medis memang masih tetap dilakukan, tapi kesan
yang timbul hanya pemeriksaan ala kadarnya, mengingat penyakit yang diderita Bapak adalah
chronis dan complex yang membutuhkan perawatan khusus. Perasaan yang timbul dari seorang
anak kepada bapaknya – hal ini memang menyedihkan sekali, tapi kesedihan itu selalu ditutupi
dengan perasaan bahwa Bapak adalah seorang pejuang besar, sehingga kepedihan dan kesedihan
ini adalah hanya sebagai konsekwensi dari perjuangannya.

190 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Perjuangan yang dirintisnya mulai dari usia yang relatif muda sekali sehingga detik Bapak
terkapar di atas sofa di dalam kesunyian yang mencekamnya di alam Negara Merdeka yang
dibebaskannya bersama-sama pejuang-pejuang lainnya dahulu dari tangan musuh, sungguh tragis
rasanya. Pada hal status Bapak tidak jelas, artinya dibilang tahanan politik bukan, pensiunan
bukan, Presiden juga bukan, karena tidak ada yang diakui secara jelas dan gamblang. Tapi
demikianlah kenyataannya.

Tanggal 6 Juni 1970, Hari Ulang Tahun Bapak yang ke 69. Penulis bersama Guruh (adik penulis)
secara diam-diam mengambil photo-photo Bapak di dalam ―karantina‖ karena jelas kalau sampai
ketahuan security pada waktu itu pasti dilarang. Apakah bukan suatu yang ―aneh‖ bila mengambil
photo-photo bapaknya sendiri di Hari Ulang Tahunnya, dilarang? Tapi begitulah kenyataan pada
waktu itu. Dengan itikat kemanusiaan, photo-photo yang diambil itu dimuat oleh surat kabar di
seluruh dunia untuk menceritakan keadaan yang sebenarnya dari Bung Karno selama itu. Walhasil
pada waktu itu penulis dan Guruh menghadapi security untuk mempertanggung-jawabkan peristiwa
tanggal 6 Juni tersebut, memang tidak heran lagi. Buat penulis, photo ini merupakan kenang-
kenangan yang bersejarah karena photo Bapak yang terakhir semasa hidupnya, jadi merupakan
pengalaman penulis yang tidak terlupakan.

Tanggal 11 Juni 1970 akhirnya Bapak harus dibawa ke RSPAD (sekarang R.S.Gatot Subroto). Di
situ meskipun ada team medis, terasa perawatannya tidak memuaskan, misalnya mesin cuci
(pembersih) darah yang diperlukan pasien seperti Bapak sampai akhir hayatnya tidak diberikan.
Walhasil pasien yang butuh ini tidak tertolong lagi. Itu hanya salah satu contoh saja kesulitan
yang dihadapi Bapak pada hari-hari terakhirnya. Lain-lainnya penulis hanya bisa mengelus dada
saja, karena tidak tahu ke mana harus mengadu. Inikah sakratul maut yang harus dihadapi oleh
seorang pejuang besar yang sebagian hidupnya diberikan untuk negara dan bangsanya termasuk
orang-orang yang pada waktu itu jadi security, Dokter-dokter, Profesor, Perawat, penulis sendiri
atau lain-lainnya?

Yang jelas Bung Karno figure yang tak mudah dihapuskan dari sejarah bangsa Indonesia. Jasa
beliau terlalu banyak – ini tak dapat dipungkiri, kecuali ada orang yang ingin memutar balikkan
sejarah. Tetapi di samping itu sebagai manusia biasa beliau tak luput dari kesalahan dan dosa.
Tepatnya tanggal 21 Juni 1970 jam 7 malam bersamaan pula akan dirayakannya Hari Ulang Tahun
Kota Jakarta, seorang negarawan bangsa Indonesia menutup matanya, meninggalkan dunia fana ini
yang penuh dengan segala macam ragam tingkah laku manusia, dengan segala kemunafikan dan
keserakahannya. Beliau tidak sempat menikmati karyanya selama itu seperti Jakarta dengan
gedung megah dan lampu-lampu beraneka ragam ....................‖ –
Sekarang keadaan Indonesia, maupun dunia, sudah berubah sama sekali jika dibandingkan dengan
di jaman Bung Karno dahulu. Bahkan Suharto yang haus darah, haus kekayaan dan haus kekuasaan,
juga sudah dimakan cacing di dalam tanah. Sekarang rakyat Indonesia mendambakan akan
terjadinya ―reformasi total‖, pendobrakan sama-sekali hal-hal yang tidak adil dan merugikan
rakyat dari jaman ―Orde Baru‖ yang sampai sekarang masih terus berjalan. Apakah harapan
rakyat ini dapat ditumpukan kepada elite politik yang ada sekarang? Untuk itu marilah kita kutip
sedikit kesan-kesan tentang Bung Karno yang ditulis oleh B.M.Diah pada th.1970, mantan Duta
Besar Republik Indonesia di Hongaria, Inggris dan mantan Menteri Penerangan dalam kabinet
Ampera, agar kita dapat membandingkannya dengan elite politik di Indonesia sekarang.

191 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

.....―Bung Karno besar di bidang Internasional, sebab ia pejuang kebesaran Asia. Ingatlah
Konperensi Asia-Afrika 1955 Bandung. Ia besar di bidang nasional, karena mencari dalil-dalil dan
konsepsi-konsepsi untuk kemajuan Indonesia. Ingatlah Manipol. Ia besar di bidang kemanusiaan,
sebab ia inginkan perdamaian dunia.
.....Sebaliknya benar pula Bung Karno ini adalah human. Orang yang mau membunuhnya diampuninya.
Peristiwa-peristiwa besar yang ditujukan terhadap dirinya tidak ada yang dihancurkan habis-
habisan. Bahkan, pilot Amerika yang membantu oknum-oknum memberontak terhadap padanya
dalam peristiwa PRRI dilepaskannya! Maukar, pilot AURI yang menembak Istana Merdeka tidak
dihukum mati.

.....Bung Karno yang sebenarnya, adalah seorang humanis. Ia tidak dapat melihat darah. Tidak
senang mendengar perpecahan. Ia mencoba mempersatukan apa yang pecah. Ambillah umpamanya
peristiwa-peristiwa percobaan pembunuhan terhadap dirinya. Ia masih memberikan ampun pelaku-
pelakunya. Pelaku-pelaku dalam pemberontakan PRRI juga diberikannya amnesti. Terlebih dahulu
juga dengan pemberontakan Andi Azis. Peristiwa 17 Oktober, Permesta, semua berakhir dengan
perdamaian nasional. Ia bukan penyokong fikiran kekerasan dibalas dengan kekerasan. Oleh
karena itu maka pemimpin-pemimpin bangsa asing di lain bagian dunia kita menghormati Bung
Karno dari sudut ini.

.....Bung Karno lebih dari proklamator. Ia adalah BAPAK KEMERDEKAAN INDONESIA. Ia adalah
ARSITEK dari pada Negara Kesatuan Republik Indonesia.

.....Tanpa Sukarno tidak ada SATU Indonesia, tidak ada SATU bangsa, tidak ada Indonesia
Merdeka, tidak ada bendera dan lagu Indonesia Raya.

.....Sewaktu 99% orang Indonesia terpelajar mengharapkan hidupnya aman di jaman kolonial, ia
menghabiskan waktu mudanya berjuang menentang kolonialisme.......Dengan proklamasinya kita
semua, bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke menjadi bangsa yang bernegara, bangsa
yang bernama. Sebagai juga Washington mendirikan Negara Amerika Serikat, demikian juga pada
hakekatnya Bung Karno mendirikan Negara Indonesia, negara Republik Indonesia. Dia juga
memberikan kepada kita Undang-Undang Dasar. Ia juga yang membangunkan segala atribut,
segala perlengkapan satu negara.

.....Ia menghendaki kemakmuran bagi bangsa Indonesia. Ia menghendaki kebesaran bagi bangsa
Indonesia.....Semboyannya ialah Panta Rei! Gerak terus, gerak maju.

.....Pada waktunya Bung Karno berani mempertaruhkan jiwanya untuk sesuatu yang dianggapnya
penting buat menegakkan negara. Ia lakukan semua keberanian itu, karena sebenarnya ia tidak
menghendaki adanya perpecahan yang berdarah, pembunuhan sesama kita, penghancuran unsur-
unsur kemanusiaan dalam masyarakat Indonesia.
.....Bung Karno BUKAN tukang komplot.....Ia memupuk kekuatan dan kekuasaan tidak melalui partai.
Tetapi tidak pula ia memakai ―pressure group‖ atau barisan siluman buat menterrorisir partai-
partai yang tidak mau ikuti kemauannya. Di sepanjang sejarah perjuangan Bung Karno ia tidak
sanggup berkomplot. Ia tidak sanggup kasak-kusuk. Ia tidak mengirimkan orang-orangnya untuk
―nggremet‖, nyusup buat menerbitkan kekacauan di kalangan kawan dan lawannya.....Di dalam
segala peristiwa yang terjadi terhadap Bung Karno, setahu saya, tidak pernah ia menggerakkan
satu komplotan kontra terhadap musuh-musuhnya. Ia menolak pembunuhan. Ia menolak
pembinasaan.

192 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

.....Bung Karno toleran. Ia tidak mendendam panjang. Ia bukanlah Mr.Jekyl and Mr.Hyde. Ia tidak
bermuka dua; satu jahat, satu manis dan baik. Bung Karno adalah manusia yang bersih dalam
rongga dadanya.
.....Hampir semua orang yang pernah bertemu mengatakan manusia yang berjiwa besar. Seorang
yang mencintai sesama manusia. Dan saya tidak pernah mendengar Bung Karno menganjurkan
kekerasan untuk mencapai kekuasaan.

.....Tetapi, ia memang bukan nasionalis yang mlempem. Bukan pula nasionalis borjuis yang sudah
senang dengan keadaan di lingkungannya. Ia nasionalis revolusioner. Ia seorang nasionalis yang
bersemboyan: buat negara yang sedang berjuang tidak ada akhir perjalanannya. Ia anti kolonialis.
Ia anti imperialis. Ia anti kapitalis. Ia anti fasisme.

.....Ia mempunyai perasaan perikemanusiaan yang sangat besar. Ia menganggap perikemanusiaan


itu universil. Dus, ia juga internasionalis. Lebih-lebih lagi, ia internasionalis yang ingin
membesarkan Asia.
.....Jenderal Suharto juga adalah anak didik Bung Karno. Demikian Amir Machmud dll jenderal-
jenderal yang memegang pimpinan berbagai tatausaha negara di waktu itu. Bung Karno, Presiden
Republik Indonesia yang berkuasa itu, tidak ada menempatkan sanak keluarganya pada satu pos
penting pun‖. –

Membaca tulisan di atas, rasanya kita menjadi sedih atau malah bisa menjadi putus asa melihat
perangai serta tingkah laku elite politik di Indonesia jaman sekarang. Akan tetapi, apabila kita
mengingat ajaran Bung Karno, Bung Karno tidak pernah menumpukan harapannya kepada partai-
partai politik maupun kepada elite politik, melainkan kepada pemuda. Karena itu marilah kita juga
menumpukan harapan kita kepada pemuda dan, seperti Bung Karno, berani mengatakan ―go to
hell !‖.

―Kalau saya pemuda, saya akan berontak.....‖terkenal kata-kata Bung Karno menggugah pemuda
supaya berani meronta melawan partai-partai politik dengan elite politiknya yang saling
bercakaran dan berebutan kekuasaan untuk kepentingan pribadi masing-masing. Seruannya kepada
pemuda pada 17 Agustus 1951, tetap aktuil sampai sekarang dan akan selalu tetap aktuil sampai
cita-citanya, impiannya, menjadi kenyataan:

Pemuda !

Lihat ! Engkau berdiri di tengah-tengah perjoangan bangsa kita mencari hidup. Engkau melihat
pengacau-pengacauan, dan mendengar ratap-tangisnya berjuta-juta bangsa kita yang meminta
ketenteraman dan keamanan. Engkau berjalan di antara orang-orang yang durhaka dan orang-
orang yang jujur. Pembunuhan-pembunuhan dan pencurian-pencurian terjadi di muka rumahmu.
Ada orang-orang berkata, bahwa itu adalah untuk sesuatu ―idee‖. Tetapi yang terjadi di
hadapanmu itu adalah bukan sekadar hal ―idee‖, melainkan hal baik atau jahat!
Maka aku menanya kepadamu: Dapatkah engkau diam-diam saja?
Siapa yang diam di hadapan hal-hal semacam itu, sebenarnya mendegradir dirinya sendiri secara
moril !
Soekarno 17 Agustus 1951.

193 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

HIDUP BUNG KARNO !!!


Bung Karno: ―Saya merasa diri saya sebagai sepotong kayu dalam satu gundukan kayu api unggun,
sepotong daripada ratusan atau ribuan kayu di dalam api unggun besar yang sedang menyala-nyala.
Saya menyumbangkan sedikit kepada nyalanya api unggun itu, tetapi sebaliknya pun saya dimakan
oleh api unggun itu!

Dimakan apinya api unggun . . . . !


Tidakkah kita sebenarnya merasa semua demikian?‖---

Bung Karno, Presiden pertama RI: 06 Juni 1901 – 21 Juni 1970.

Amsterdam,
segala waktu,

Mohammad As.
Skenario drama penghianatan :

Mulut komat kamit memuji-muji Bung Karno,


tangan kiri mangacungkan jempol membantu mulutnya,
tangan kanan memasukkan racun keminuman/makanan bung Karno !

Letkol Untung, anak buahnya yang setia, dibunuh juga agar mulutnya bisa dibungkam .
Begini ada yang mengusulkannya menjadi pahlawan nasional ?

----- Forwarded Message ----


From: Y.T.Taher <ariyanto@bigpond.com>
To: temu_eropa@yahoogroups.com
Cc: arif.harsana@t-online.de; Magili <magili31@arcor.de>
Sent: Tue, June 22, 2010 5:50:34 AM
Subject: [temu_eropa] Re: Bung Karno, Pak Harto, Gus Dur, dan SBY

SISI LAIN ISTANA


Bung Karno, Pak Harto, Gus Dur, dan SBY
Selasa, 22 Juni 2010 | 08:14 WIB

Persda/Bian Harnansa

194 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Mantan Presiden Soeharto keluar dari Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), Jakarta Selatan,
setelah dirawat hampir selama satu bulan sejak 5 Mei 2006.

Oleh: J Osdar
KOMPAS.com — Senin, 21 Juni 2010, di Blitar, Jawa Timur, berlangsung haul Bung Karno ke-40.
Ketika Bung Karno wafat, Presiden Soeharto waktu itu di depan para pemimpin partai politik
mengatakan, "Kita harus memberikan penghargaan atas jasa-jasa beliau sebagai pejuang yang luar
biasa. Sejak dulu beliau adalah pejuang, perintis kemerdekaan. Sebagai proklamator, beliau tidak
ada bandingannya."

"Berpikir mengenai Bung Karno, selalu saya bertolak dari ingatan bahwa manusia memang tidak
ada yang sempurna. Jangankan manusia biasa, nabi pun bisa khilaf," demikian kata Soeharto dalam
buku otobiografi Soeharto; Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya seperti dipaparkan kepada G
Dwipayana dan Ramadhan KH.
Pak Harto pada tahun 1980 mendirikan patung Bung Karno dan Bung Hatta di Jalan Proklamasi,
Jakarta. Tahun 1985, Pak Harto menetapkan nama bandar udara di Cengkareng dengan nama
Soekarno-Hatta. Tahun 1986, Bung Karno dan Bung Hatta ditetapkan sebagai Pahlawan
Proklamator.

Minggu, 27 Januari 2008, Pak Harto wafat. Dalam upacara pemakaman Pak Harto di Astana Giri
Bangun, Solo, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bertindak sebagai inspektur upacara. Dalam
pidatonya, SBY menyebut Pak Harto sebagai Bapak Pembangunan.

Kamis, 31 Desember 2009, mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur wafat. Dalam
upacara pemakaman di Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, Presiden Yudhoyono dengan suara yang
menyentuh hati para pendengarnya mengatakan, "Selamat jalan bapak pluralisme kita, semoga
tenang di sisi Allah SWT."

Suara SBY di antara ribuan orang yang melayat waktu itu, sekali lagi, menyentuh hati. Suara itu
diucapkan ketika angin berdesau. Suara SBY mengalun indah, tulus, dan diterima dengan ikhlas
oleh alam semesta ini.
Sikap Soeharto dan SBY memberi penghormatan kepada para mantan presiden atau pendahulunya
membuat manusia merasakan apa yang ada dalam ungkapan bahasa Latin, Mors ianua vitae, bahwa
kematian itu adalah pintu kehidupan.

Kalimat di atas, itulah ucapan manusia yang paling munafik di dunia!!! Dengan mulutnya, didepan
para pemimpin partai politik serta rakyat yang yang mencintai Bung Karno, Suharto berkata
demikian. Namun dibelakang itu, dia secara licik, keji dan zalim menahan, membunuh dengan
perlahan Pemimpin Besar Bangsa Indonesia Bung Karno. Dan dengan menggunakan tangan-tangan
dan bedil serta bayonetnya para drakula Sarwo Edhi Wibowo,(Komandan RPKAD=Resimen
Pembunuh Komunis Angkatan Darat-pen), Kemal Idris, Sudomo, Sumitro, Jasir Hadibroto
membunuhi jutaan pengikut Bung Karno dan para anggota komunis. Setelah semua pengikut Bung
Karno dibabat habis,tahap terakhir adalah melenyapkan Bung Karno. Setelah Bung Karno tiada,
maka Suharto bisa tersenyum bangga dan sinis serta menjadi "the smilling general" karena bisa
melenyapkan seorang pejuang bangsa yang agung yang tidak akan pernah ada penggantinya atau
menyamainya. Untuk pura-pura tidak berdosa, diucapkannyalah kalimat diatas di saat wafatnya
Bung Karno, namun adakah Suharto datang ke Blitar untuk menghadiri pengebumian Bung Karno?
Lupakah dia akan niatnya yang ingin me Mahmilubkan Bung Karno? Tanpa ucapan basa-basi dari

195 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Suharto itu, Bung Karno adalah memang pejuang sejak mudanya, perintis kemerdekaan,
proklamator, penyambung lidah rakyat, penggali Pancasila, Pemimpin Besar Revolusi dan Bapak
Bangsa Indonesia
Pepatah Jawa- yang tentunya dianut juga oleh Suharto- mengatakan: "Becik ketitik olo ketoro".
(Kebaikan akan terlihat, kejahatan akan nampak jelas). Kendatipun Suharto memoles bibirnya
dengan madu, dan berkata manis, rakyat tidak akan lupa akan kejahatan dan kezaliman serta
kekejamannya yang dengan penuh kelicikannya merampok kedudukan Bung Karno dan membunuhi
bangsa Indonesia. 'Olo' yang dilakukan jauh lebih besar dan banyak ketimbang 'becik' yang
dilaksanakan oleh Jenderal Suharto. Ini membuktikan, kendatipun dia menjadi Jenderal TNI dan
Presiden RI, namun jiwanya adalah tetap jiwa "Sersan KNIL" (tentara penjajah/kolonialis
Belanda!) yang anti Pejuang Kemerdekaan Bung Karno dan anti Kemerdekaan Indonesia sejak
semula.
(YTT)

Mengenang Wafatnya Bung Karno


Hari ini, 21 Juni 2010. Empat puluh tahun yang lalu, seorang pemimpin Besar Bangsa, pejuang
kemerdekaan dan revolusi yang sejak mudanya mengorbankan masanya demi bangsa yang
dicintainya, Presiden Pertama Republik Indonesia Bung Karno, wafat dalam derita yang
mengenaskan.

Wafatnya Bung Karno merupakan kehilangan yang besar sekali bagi bangsa Indonesia, terutama
bagi yang mencintainya, menghormatinya, mengaguminya, sebagai bapak bangsa, dan sebagai
pemersatu bangsa yang paling agung sepanjang sejarah Indonesia..
Ketokohan Bung Karno sebagai Pemimpin, bukan saja diakui oleh bangsa Indonesia, namun juga
dunia mengakuinya karena banyak karya dan ide-idenya, ajaran-ajarannya yang tersebar di dunia
luar dan diakui terutama oleh negara-negara Asia Afrika yang berjuang dan berhasil memutuskan
rantai penjajahan atas negerinya. Bahkan, Bung Karno tidak segan-segan berbicara di depan
Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dan bertekad membangun dunia baru, ―To Build
a World Anew‖ dengan memperkenalkan dan menganjurkan agar dunia juga menganut Pancasila
(Five Priciples).
Akan tetapi, sayang sekali, wafatnya Bung Karno tidak seperti wafatnya pemimpin atau tokoh-
tokoh Indonesia lainnya. Bung Karno meninggal karena dizalimi dan dianiaya oleh seorang manusia
militer yang bernama Suharto.
Jenderal Suharto, dengan sangat licik dan keji, menggunakan Bung Karno untuk menghabisi semua
pendukung-pendukungnya. Melalui Sarwo Edhi Wibowo, Sudomo, Kemal Idris, Sumitro, Jasir
Hadibroto dan petinggi militer yang bisa dan gampang diperintahnya, melakukan pembunuhan
massal terhadap jutaan bangsa Indonesia pendukung Bung Karno, sebagai dalih mengganyang
G30S. Jutaan bangsa Indonesia mati dibunuh, ratusan ribu dipenjarakan, 12 ribu dibuang ke pulau
Buru, dan ribuan yang berada di luar negeri dicabut paspor Indonesianya. Sedang keluarga dan
sanak saudara kaum kiri yang dimusnahkan, dijadikannya sebagai golongan yang tidak bersih dan
dikucilkan dari masyarakat dan dianggap kaum pariah melalui peraturan-peratruran diskriminatif.

Setelah semua pengikut dan pembela Bung Karno dipreteli dan dimusnahkan, dengan segala dalih
dan akal licik, Bung Karno sendiri dizalimi. Dengan menggunakan istitusi di bawah bedil dan
bayonet Jenderal Suharto, Bung Karno dicabut kekuasaannya dan didepak keluar dari Istana
196 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Merdeka dan dijadikan tahanan rumah di Wisma Yaso. Bung Karno dijadikan Tahanan Politik
Ordebaru/Suharto, persis seperti ratusan ribu rakyat yang ditahan di kamp-kamp tahanan yang
berserakan disegenap penjuru Indonesia. Suharto menjadi orang nomor satu di Indonesia, berkat
kelicikan dan akal busuknya serta politik dedil dan bayonet yang dilakukannya. Dia menjadi ―the
smilling general‖ karena dia berhasil melenyapkan jutaan kaum kiri dan PKI serta menjatuhkan
Bung Karno, dimana Amerika Serikat sendiri tidak berdaya melakukannya!

Wafanya Bung Karno menimbulkan duka cita yang luas dan mendalam bagi segenap bangsa
Indonesia, secara terang-terangan maupun secara sembunyi (karena takut ditangkap dan dibui
oleh nazinya Suharto). Rakyat marah, dendam dan sakithati terhadap segala perlakukan keji,
biadab dan tidak berperikemanusiaan yang dilakukan Suharto terhadap Bung Karno hingga
menyebabkan wafatnya. Kita kehilangan Bung Karno, Pemimpin Bangsa yang susah untuk dicari
gantinya. ―Belum ada yang menandingi Soekarno sampai sekarang…. Dialah yang mengerti ‗nation‘
Indonesia. Karena itu juga, Soekarno-lah yang tidak jemu-jemunya menganjurkan tentang ‗nation
and character building‘ (Ucapan Pramoedya Ananta Toer dalam film dokumen Shadow Play)
Bung Karno telah tiada. Hari ini tepat 40 tahun yang lalu dia mati mengenaskan, dizalimi dan
dianiaya oleh seorang militer yang pernah diselamatkannya. Bung Karno pergi, meninggalkan
bangsa Indonesia yang dicintainya. Kita kehilangan seorang tokoh agung, seorang bapak, seorang
penyambung lidah rakyat dan pemimpin besar revolusi Indonesia Bung Karno. Bung Karno, lahir,
hidup, berjuang dan mati untuk rakyat dan bangsa Indonesia yang dicintainya! ― Yo sanak yo
kadang yen mati aku sing kelangan!‖ Bangsa Indonesia berhutang padanya dan rakyat akan
senantiasa mengenangnya!

Untuk mengenang hari-hari akhir Bung Karno, dibawah ini dikutip beberapa cuplikan berita
tentang hari-hari akhir Bung Karno, Pemimpin Besar, Bapak Bangsa dan Presiden Pertama Republik
Indonesia. Salah satu cuplikan adalah dari anak Bung Karno sendiri, Rachmawati, yang dikutip dari
Harian Jawa Pos, sbb.:

1. Me-nurut informasi yang ditulis pada 12 April 2003 oleh A. Karim D. P., mantan Ketua Persatuan
Wartawan Indonesia, dikatakan bahwa ―Jenderal Soeharto, memerintahkan kepada Bung Karno
supaya meninggalkan Istana Merdeka sebelum tanggal 17 Agustus 1967. Bung Karno beserta
anak-anaknya pergi dari istana dengan berpakaian kaos oblong dan celana piyama dengan kaki
hanya beralaskan sandal, menompang mobil Volkswagen Kodok, satu-satunya mobil milik pribadinya
yang dihadiahkan oleh Piola kepadanya, pergi ke Wisma Yaso, di mana kemudian menjadi tempat
tahanannya sampai wafat. Semua kekayaannya, ditinggalkan di istana, tidak sepotong pun yang
dibawa pergi kecuali Bendera Pusaka Merah Putih yang dibungkusnya dengan kertas koran. Anak-
anaknya pun tidak diperbolehkan membawa apa-apa, kecuali pakaian sendiri, buku-buku sekolah,
dan perhiasannya sendiri. Selebihnya, ditinggalkan semua di istana.....‖ (A. Karim DP., Apa Sebab
Bung Karno Bisa Digulingkan, http://www.progind.net)
2. Selama ditahan di Wisma Yaso, Bung Karno diperlakukan sangat tidak manusiawi sekali. Bung
Hatta, mantan wakil presiden pertama RI, sahabat Bung Karno, menceritakan bagaimana
permintaan Bung Karno kepada Soeharto untuk sekadar mengizinkan mendatangkan seorang dukun
pijat, ahli pijat langganan Bung Karno dan juga langganan Bung Hatta, ditolak oleh Soeharto! Bung
Karno mengharapkan dengan bantuan pijatan dukun ahli itu, penderitaannya bisa sedikit
berkurang. Penolakan Soeharto itulah yang kemudian mendorong Bung Hatta menulis surat pada
15 Juli 1970 kepada Soeharto yang mengecam betapa tidak manusiawinya sikap Soeharto itu!
Bung Hatta minta kepada Soeharto lewat Jaksa Durmawel, S.H., agar dilakukan pengadilan untuk
197 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

memastikan apakah Bung Karno bersalah atau tidak. Sebab, jika Bung Karno meninggal dalam
statusnya sebagai tahanan politik karena tidak diadili, rakyat yang percaya bahwa Bung Karno
tidak bersalah, akan menuduh pemerintah Soeharto sengaja membunuhnya, kata Bung Hatta.‖
(Deliar Noer, Mohammad Hatta Biografi Politik, http://www.progind.net)
3. BUNG KARNO yang penyakitnya tambah parah dalam tahanan rumahnya, tiada mendapat
pengobatan yang wajar, bahkan resep pengobatan hanya disimpan di laci oleh seorang pejabat
tinggi militer. Untuk ini, mari kita telusuri kisah putri Bung Karno, Rachmawati, ―Mengenang Saat
Terakhir Mendampingi Bung Karno‖ seperti yang diceritakan oleh Harian Jawa Pos.
AIR mata Rachmawati membasahi pipi. Meski sudah 38 tahun berlalu, anak ketiga Bung Karno
dengan Fatmawati itu belum bisa melupakan kekecewaannya terhadap perlakuan pemerintahan
Soeharto terhadap sang ayahanda di penghujung hayatnya.
―Bung Karno saat itu seperti dibiarkan mati perlahan-lahan,‖ katanya kepada Jawa Pos sambil
mengusap air matanya dengan tisu saat ditemui di kediaman di kawasan Jakarta Selatan kemarin
(19/1).

Menurut perempuan kelahiran Jakarta, 27 September 1950, presiden pertama RI itu dilarikan ke
RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, dalam kondisi kritis pada 11 Juni 1970.

Berbeda dengan Soeharto yang mendapat perawatan supermaksimal dari tim dokter kepresidenan
beranggota 25 dokter, Bung Karno mendapat perawatan minimal pada hari-hari terakhir menjalani
opname di rumah sakit milik TNI-AD itu. Kondisi ginjal salah satu proklamator RI waktu itu sudah
sangat parah.

―Tapi, tak ada perawatan maksimal. Alat hemodialisis (cuci darah) untuk pengidap gagal ginjal pun
tak diberi,‖ kenang wanita bernama lengkap Diah Pramana Rachmawati Soekarno yang kini menjadi
anggota Dewan Pertimbangan Presiden itu.

Saat Bung Karno sakit kritis, lanjut dia, Soeharto melakukan konsolidasi politik pasca G 30
S/1965. Tak heran bila saat itu dia sedang membersihkan tubuh birokrasi dan militer. Tidak
hanya dari unsur-unsur PKI, tapi juga dari orang-orang Soekarnois.
Asupan makan untuk Soekarno yang juga disebut pemimpin besar revolusi itu pun seadanya.
Kendati juga didiagnosis mengidap darah tinggi, menu makanan untuk Bung Karno terasa asin saat
dicicipi Rachmawati.

Adik kandung Megawati pun langsung protes dan baru setelah itu menu makanan diganti. ―Bung
Karno seperti dibiarkan mati perlahan-lahan,‖ imbuhnya.
Gadis yang saat itu berusia hampir 20 tahun dan kuliah di Fakultas Hukum UI memang paling rajin
membesuk di hari-hari terakhir sang Putra Fajar tersebut. Namun, soal membesuk juga bukan
urusan mudah dan jangan dibayangkan seperti keluarga Cendana yang kini bisa hilir mudik ke
Rumah Sakit Pusat Pertamina setiap saat.

Tak gampang mengakses tempat perawatan Bung Karno yang saat itu statusnya diambangkan
laiknya tahanan rumah. Bahkan, tak ada kolega Soekarno yang datang mengalir seperti yang
terlihat pada Soeharto hari-hari ini.
Menjenguk Soekarno memang sulit. Sebab, ruang perawatan intensif RSPAD Gatot Subroto
dipenuhi tentara. Serdadu berseragam dan bersenjata lengkap bersiaga penuh di beberapa titik

198 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

strategis rumah sakit tersebut. Bahkan, petugas keamanan berpakaian preman juga hilir mudik di
koridor rumah sakit hingga pelataran parkir.

Yang repot, kata Rachmawati, obat-obatan pun tak datang dari langit. Mereka harus membeli
sendiri. ―Pokoknya beda, beda banget. Ini perjalanan sejarah yang pahit,‖ sambung Rachmawati
yang harus tidur di mobil jika hendak menunggu ayahnya yang dirawat di RSPAD.

Bahkan, Rachmawati yang pada 6 Juni 1970 sempat memotret Bung Karno yang saat itu diasingkan
di Wisma Yaso (sekarang Museum Satria Mandala, Red), Jakarta Selatan, harus berurusan dengan
polisi militer di Jl Guntur, Jakarta Pusat.

Pasalnya, foto yang menunjukkan kondisi terakhir Bung Karno itu dikirimkan Rachmawati ke
Associated Press (kantor berita yang berpusat di Amerika) yang kemudian memublikasikannya ke
seluruh dunia.
Salah seorang yang bisa menjenguk Bung Karno saat itu adalah mantan Wakil Presiden Mohammad
Hatta. Bung Karno sempat memegang tangan Bung Hatta, sahabat seperjuangan yang juga
proklamator RI itu, kemudian menangis. Sehari kemudian, tepatnya Minggu pagi, 21 Juni 1970,
beberapa saat setelah diperiksa dr Mardjono, salah seorang anggota tim dokter kepresidenan,
Bung Karno akhirnya mengembuskan napas terakhir pada usia 69 tahun.

Setelah Bung Karno meninggal itulah, baru Soeharto datang ke RSPAD untuk melihat kondisi
jenazah Soekarno. Pertemuan itu, menurut Rachmawati, adalah yang pertama antara ayahnya -
yang telah tiada- dan Soeharto semenjak ayahnya jatuh dari kursi presiden dalam Sidang
Istimewa 7 Maret 1967.

Orang kuat Orde Baru itu kembali datang ke Wisma Yaso saat jenazah Soekarno hendak
diterbangkan ke Blitar melalui Malang, Jawa Timur.

Di Blitar, upacara pemakaman Soekarno dilaksanakan dengan sederhana dan singkat dipimpin
Jenderal M. Panggabean. ―Rasa-rasanya, hari itu begitu mencekam. Kami hanya menurut saja saat
pemerintah memakamkan Bung Karno di Blitar. Bukan sesuai permintaannya di Batu Tulis, Bogor,
Jawa Barat,‖ kenang mantan ketua umum Partai Pelopor itu.
Bendera setengah tiang pun berkibar di seluruh tanah air kendati setelah itu tak semua orang
bebas datang ke kubur Bung Karno.

Rachmawati mengaku sama sekali tak menaruh dendam atas tindakan Soeharto kepada ayahnya.
Secara pribadi dan sebagai manusia, dia malah memaafkan Soeharto. Tapi, dia tetap menuntut
penyelesaian hukum kepada jenderal bintang lima yang berkuasa selama 32 tahun itu. Kalaupun
pemerintah memutuskan untuk mencabut Tap MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara
Negara yang Bersih dan Bebas KKN yang menyangkut Soeharto, Rachmawati juga meminta
pencabutan Tap XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari
Presiden Soekarno.

Apakah karma Bung Karno yang kini menimpa Pak Harto? ―Wallahu ‘alam. Tapi, alhamdulillah, kalau
Pak Harto kembali sehat sekarang,‖ jawabnya.

Kendati belum sempat membesuk, Rachmawati telah menghubungi dua putri Soeharto, Mamik dan
Titik, serat mendoakan kesembuhan ayah mereka. ―Kami bangga diwarisi Bung Karno dengan bekal
ilmu kehidupan. Bukan harta berlimpah,‖ katanya lalu menyeka air mata.‖

Demikian wawancara dengan Rachmawati sebelum Jenderal Soeharto meninggal.


199 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Bung Karno telah tiada, bapak bangsa dan rakyat Indonesia, pejuang kemerdekaan Indonesia
telah pergi. Dia meninggal, mati dalam mempertahankan rakyatnya, bangsa dan negaranya agar
tidak terpecah-belah. Bung Karno pergi dengan meninggalkan warisan besar kepada Soeharto
berupa pangkat jenderal setelah menyelamatkannya dari pengadilan militer karena korupsinya,
kemudian Soeharto mengkhianatinya. Bung Karno mati mengikuti jalan yang telah dirintis oleh
jutaan pengikutnya, yaitu dibantai Soeharto. Kita kehilangan seorang tokoh agung, seorang bapak,
seorang penyambung lidah rakyat dan pemimpin besar revolusi Indonesia Bung Karno. Bung Karno,
lahir, hidup, berjuang dan mati untuk rakyat dan bangsa Indonesia yang dicintainya! ― Yo sanak yo
kadang yen mati aku sing kelangan!‖ Bangsa Indonesia berhutang padanya dan rakyat akan
senantiasa mengenangnya!

Australia, 21 Juni 2010


Y.T. Taher.

« 40 tahun yang lalu » dan « Hidup Bung Karno ! »


Kalimat yang tercantum di atas adalah kutipan judul dari dua tulisan yang dibuat oleh Sdr
Iwamardi dan Sdr Muhammad As dalam rangka memperingati Hari Wafatnya Bung Karno
beberapa hari yang lalu. Kedua tulisan tersebut melengkapi kumpulan » Tulisan-tulisan tentang
wafatnya Bung Karno » yang sudah disajikan di berbagai milis dan juga di website. Dari kumpulan
tulisan-tulisan itu semuanya nampak sekali pandangan banyak kalangan yang melihat kebesaran
atau keagungan Bung Karno dan juga kemarahan besar dari berbagai golongan terhadap perlakuan
yang tidak manusiawi dari pimpinan Angkatan Darat (waktu itu) terhadap satu-satunya pemimpin
besar rakyat Indonesia, Bung Karno.
===

40 tahun yang lalu


Hari ini, 21 Juni 2010, tepat 40 tahun yang lalu, bangsa Indonesia telah kehilangan seorang
pembawa obor penyuluh bangsa, obor yang telah diidamkannya, dirancangnya dan dibikinnya,
dinyalakannya untuk menunjukkan jalan terang yang harus ditempuh bangsa yang muda ini menuju
dunia bebas, dunia adil dan makmur yang menjadi idaman bangsa dan pembawa obor penyuluh
ini. Obor yang telah lebih dari 40 tahun dia sulut dan nyalakan dan sinarnya telah dia abdikan
kepada bangsa Indonesia ini, sejak dia muda dan mengalami pemenjaraan dan pembuangan yang
dilakukan kolonialis Belanda ini, secara keji dan penuh penghianatan telah dicoba dipadamkan oleh
seorang jendral bernama Suharto dan konco konconya, atas perintah tuan tuannya di seberang
sana, demi harta kekayaan yang bisa mereka sedot dari bumi Nusantara ini dan demi memenuhi
lapar dan dahaga kekuasaan yang dia dan kroninya telah idam idamkan secara diam diam ada
dibenak mereka sewaktu mereka berpura pura ikut barisan yang dipimpin pencipta dan pembawa
obor penyuluh bangsa : Bung Karno , pahlawan pemersatu dan pembebas bangsa Indonesia,
architekt pembangun Republik Indonesia yang kita cintai ini !
Obor itu telah meredup sinarnya selama 45 tahun sejak peristiwa kudeta penghianatan jenderal
Suharto & Co, tetapi tidak pernah padam, walaupun minyak dan zat asam telah dipisahkan secara
paksa dari obor itu oleh rejim orba dan penerusnya dengan dibuatnya dan diberlakukannya sampai
sekarang TAP no. XXIII MPRS /1967 yang chianat dan tidak syah itu, yang oleh pemerintah
pemerintah pasca orba tidak dicabut, bahkan masih digunakan secara aktif.

200 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Satu hal yang sangat memalukan dan merupakan cacad pemerintah dan cacad bangsa, pemerintah
dan bangsa yang menghukum dan menginjak injak HAM pahlawan bangsanya yang justru telah
memungkinkan lahirnya bangsa ini, Bung Karno architekt Republik Indonesia !
Dalam memperingati hari wafatnya pemimpin besar kita yang telah terlalu besar pengorbannya
bemi existnya republik ini, patutlah kita merenungkan kembali, membayangkan, akan pernahkah
ada dan berdiri Republik Indonesia ini tanpa adanya perjuangan gigih Bung Karno beserta kawan
kawan seperjuangannya selama berpuluh puluh tahun itu ?

Mungkin sangat bermanfaat buat kita semua, bila kita mau sedikit membuang waktu membaca
artikel yang telah dimuat dimilis ini, ― Mengenang Wafatnya Bung Karno― oleh Y.T.Taher
(Australia), seorang korban kesewenag wenangan rejim orba Suharto, dan ― Hidup Bung Karno !!! ―
oleh Mohammad As, seorang pendukung Bung Karno.
Jika kita bandingkan kehidupan Bung Karno dan presiden Suharto, pada pokoknya ada „sedikit―
perbedaan yang besar :
Bung Karno : Dia telah mengorbankan dan menyumbangkan seluruh hidupnya, jiwa raganya demi
kepentingan bangsa Indonesia.

Presiden Suharto : Dia telah mengorbankan seluruh kepentingan bangsa Indonesia demi
kepentingan dirinya, kekuasaan dan harta benda.

Itu saja bedanya !!

Buat BK

Dipagi berembun sejuk ini


Kutarik napas dalam
Kuhirup udara segar
Kukenang intan-murni pikiranmu
Setiamu pada bangsamu
Bagai cahaya tak pernah pudar
Walau kau lewati lubang hitam dijagad lebar
Biar hati dan jantungmu tak lagi berdetak
Yang direnggut manusia judas
Sinarmu tetap berkilau emas
Kami gantungkan cita setinggi bintang
Maju terus ke dunia cita
Ke keadilan yg terdamba
Biar jalan penuh bahaya
Vivere pericolosopun ditempuh jua
Tak satupun boleh menghalang

Jerman , Juni 2008


Iwa

Mari kita galakkan nyala obor kemerdekaan yang telah dicipta, dinyalakan
dan dibawa sebagai penyuluh jalan terang bangsa Indonesia ini !!!
Obor Ajaran Bung Karno yang telah teruji dan terbukti kebenarannya !

201 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

***
« 40 tahun yang lalu » dan « Hidup Bung Karno ! »
Kalimat yang tercantum di atas adalah kutipan judul dari dua tulisan yang dibuat oleh Sdr
Iwamardi dan Sdr Muhammad As dalam rangka memperingati Hari Wafatnya Bung Karno
beberapa hari yang lalu. Kedua tulisan tersebut melengkapi kumpulan » Tulisan-tulisan tentang
wafatnya Bung Karno » yang sudah disajikan di berbagai milis dan juga di website. Dari kumpulan
tulisan-tulisan itu semuanya nampak sekali pandangan banyak kalangan yang melihat kebesaran
atau keagungan Bung Karno dan juga kemarahan besar dari berbagai golongan terhadap perlakuan
yang tidak manusiawi dari pimpinan Angkatan Darat (waktu itu) terhadap satu-satunya pemimpin
besar rakyat Indonesia, Bung Karno.
===
40 tahun yang lalu
Hari ini , 21 Juni 2010, tepat 40 tahun yang lalu, bangsa Indonesia telah kehilangan seorang
pembawa obor penyuluh bangsa, obor yang telah diidamkannya, dirancangnya dan dibikinnya ,
dinyalakannya untuk menunjukkan jalan terang yang harus ditempuh bangsa yang muda ini menuju
dunia bebas, dunia adil dan makmur yang menjadi idaman bangsa dan pembawa obor penyuluh ini.
Obor yang telah lebih dari 40 tahun dia sulut dan nyalakan dan sinarnya telah dia abdikan kepada
bangsa Indonesia ini, sejak dia muda dan mengalami pemenjaraan dan pembuangan yang dilakukan
kolonialis Belanda ini, secara keji dan penuh penghianatan telah dicoba dipadamkan oleh seorang
jendral bernama Suharto dan konco konconya, atas perintah tuan tuannya di seberang sana, demi
harta kekayaan yang bisa mereka sedot dari bumi Nusantara ini dan demi memenuhi lapar dan
dahaga kekuasaan yang dia dan kroninya telah idam idamkan secara diam diam ada dibenak mereka
sewaktu mereka berpura pura ikut barisan yang dipimpin pencipta dan pembawa obor penyuluh
bangsa : Bung Karno , pahlawan pemersatu dan pembebas bangsa Indonesia, architekt pembangun
Republik Indonesia yang kita cintai ini !

Obor itu telah meredup sinarnya selama 45 tahun sejak peristiwa kudeta penghianatan jenderal
Suharto & Co, tetapi tidak pernah padam, walaupun minyak dan zat asam telah dipisahkan secara
paksa dari obor itu oleh rejim orba dan penerusnya dengan dibuatnya dan diberlakukannya sampai
sekarang TAP no. XXIII MPRS /1967 yang chianat dan tidak syah itu , yang oleh pemerintah
pemerintah pasca orba tidak dicabut , bahkan masih digunakan secara aktif.

Satu hal yang sangat memalukan dan merupakan cacad pemerintah dan cacad bangsa, pemerintah
dan bangsa yang menghukum dan menginjak injak HAM pahlawan bangsanya yang justru telah
memungkinkan lahirnya bangsa ini, Bung Karno architekt Republik Indonesia !

Dalam memperingati hari wafatnya pemimpin besar kita yang telah terlalu besar pengorbannya
bemi existnya republik ini, patutlah kita merenungkan kembali, membayangkan , akan pernahkah
ada dan berdiri Republik Indonesia ini tanpa adanya perjuangan gigih Bung Karno beserta kawan
kawan seperjuangannya selama berpuluh puluh tahun itu ?

Mungkin sangat bermanfaat buat kita semua, bila kita mau sedikit membuang waktu membaca
artikel yang telah dimuat dimilis ini, ― Mengenang Wafatnya Bung Karno― oleh Y.T.Taher
(Australia), seorang korban kesewenag wenangan rejim orba Suharto, dan ― Hidup Bung Karno !!! ―
oleh Mohammad As , seorang pendukung Bung Karno.

202 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Jika kita bandingkan kehidupan Bung Karno dan presiden Suharto, pada pokoknya ada „sedikit―
perbedaan yang besar :

Bung Karno : Dia telah mengorbankan dan menyumbangkan seluruh hidupnya, jiwa raganya demi
kepentingan bangsa Indonesia .
Presiden Suharto : Dia telah mengorbankan seluruh kepentingan bangsa Indonesia demi
kepentingan dirinya, kekuasaan dan harta benda .

Itu saja bedanya !!

Buat BK
Dipagi berembun sejuk ini
Kutarik napas dalam
Kuhirup udara segar
Kukenang intan-murni pikiranmu
Setiamu pada bangsamu
Bagai cahaya tak pernah pudar
Walau kau lewati lubang hitam dijagad lebar
Biar hati dan jantungmu tak lagi berdetak
Yang direnggut manusia judas

Sinarmu tetap berkilau emas

Kami gantungkan cita setinggi bintang


Maju terus ke dunia cita
Ke keadilan yg terdamba
Biar jalan penuh bahaya
Vivere pericolosopun ditempuh jua
Tak satupun boleh menghalang
Jerman, Juni 2008

Iwa

Mari kita galakkan nyala obor kemerdekaan yang telah dicipta, dinyalakan dan dibawa sebagai
penyuluh jalan terang bangsa Indonesia ini !!!
Obor Ajaran Bung Karno yang telah teruji dan terbukti kebenarannya !

***
Mohammad As.—

HIDUP BUNG KARNO !!!


HIDUP BUNG KARNO !!!
Kiranya tidak ada kata-kata yang lebih tepat untuk diucapkan jika ditujukan kepada Bung Karno,
selain dari tiga kata tersebut, yang kalau dituliskan, ditulis dengan huruf besar dan tebal serta

203 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

diiringi dengan tiga tanda seru. Tiga kata tersebut di atas lebih menjiwai perasaan kita daripada
segala ucapan rasa cinta, rasa hormat dan setia akan ajaran-ajaran serta cita-citanya.

Begitu juga untuk memperingati Hari Ulang Tahun beliau tanggal 6 Juni marilah kita memekik
sekeras-kerasnya dari lubuk hati sedalam-dalamnya:
HIDUP BUNG KARNO !!!

Sangatlah sukar, jika bukan tidak mungkin, untuk membayangkan bagaimana jalan sejarah
andaikata di bumi Indonesia tidak pernah lahir seorang yang bernama Bung Karno. Mantan Kepala
Staf Angkatan Perang T.B.Simatupang, dalam tulisannya tentang Bung Karno menyatakan: ―Namun
hidup kita sebagai Negara dan Bangsa agaknya akan jauh lebih miskin sekiranya dia tidak pernah
hidup dan berjoang di antara dan bersama-sama kita‖.

Sampai seberapa jasa-jasa Bung Karno untuk bangsa dan negara, tidak lagi dapat diukur. Di tahun-
tahun tigapuluhan, Bung Karno lah yang berhasil mempersatukan segala macam bentuk gerakan,
dengan meyakinkan bahwa tujuan utama rakyat Indonesia ialah membebaskan diri dari penjajahan
Belanda dan bahwa musuh pokok rakyat Indonesia pada waktu itu ialah penjajah Belanda. Bung
Karno lah pencetus Pancasila yang kemudian menjadi dasar dan filosofi negara kita. Bung Karno
lah yang memproklamasikan kemerdekaan Indonesia sehingga diikuti oleh semua suku bangsa dari
Sabang sampai Merauke. Bung Karno lah yang berusaha menyatukan bangsa dengan NASAKOM-
nya. Bung Karno lah yang menjadi arsitek konferensi Asia-Afrika. Bung Karno lah yang......... Bung
Karno lah yang.......... Bung Karno........................... Bung Karno................................... Bung Karno
.......................................

Bung Karno adalah seorang raksasa yang telah lahir di bumi Indonesia. Bung Karno adalah seorang
pahlawan dan pemimpin yang, seperti Danco dalam dongengannya Maxim Gorki, ketika bangsanya
berada dalam kegelapan telah merenggut jantung dari dalam dadanya untuk diangkat tinggi-tinggi
sebagai penerangan jalan ke arah kemerdekaan dan kebahagiaan.

Raksasa macam begini, mau tidak mau pasti menimbulkan rasa kagum dan hormat, bukan saja oleh
kawan, tapi juga oleh lawan. Hanya manusia-manusia kerdil, berwatak kerdil dan berjiwa kerdil,
berusaha menyembunyikan kekerdilannya dengan menghina dan mencemoohkan Bung Karno.
Setelah Bung Karno tiada, mereka berusaha mengubur jasa-jasanya bersama dengan jenazahnya.
Mereka juga berusaha mengubur ajaran-ajarannya dalam debu sejarah yang terlupakan dengan
melarang rakyat membaca tulisan-tulisannya. Setelah Bung Karno tiada, mereka berteriak
setinggi langit bahwa Bung Karno seorang politik yang telah gagal, bahwa Bung Karno telah gagal
dalam merealisasi impian dan cita-citanya. Mereka berteriak bahwa Bung Karno sudah terkalahkan
untuk selama-lamanya.
Padahal yang selalu diimpikan oleh Bung Karno, yang dicita-citakan oleh Bung Karno, ialah negeri
Indonesia yang adil, makmur, tenteram dan damai. Yang diimpikan oleh Bung Karno, yang dicita-
citakan oleh Bung Karno ialah bangsa Indonesia yang berharga diri, bermartabat dan berbudaya
tinggi. Apakah ini semua sudah gagal? Apakah cita-cita ini sudah terkalahkan? Apakah Indonesia
yang adil, makmur, tenteram dan damai sudah tidak mungkin lagi direalisasi? Apakah bangsa
Indonesia tidak mungkin lagi menjadi bangsa yang berharga diri, bermartabat dan berbudaya
tinggi?

Jelas tidak! Memang Bung Karno telah gugur dalam perjuangannya sebelum cita-cita dan
impiannya berhasil menjadi kenyataan. Akan tetapi Bung Karno sama sekali tidak gagal dan juga
sama sekali tidak terkalahkan, karena impiannya, cita-citanya sudah diwarisi dan akan terus
204 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

diwarisi serta membakar hati rakyat Indonesia. Pada suatu hari, cita-cita Bung Karno, impian Bung
Karno, Indonesia yang adil, makmur, tenteram dan damai pasti akan menjadi kenyataan. Pada
suatu hari, bangsa Indonesia pasti menjadi bangsa yang berharga diri dan berbudaya tinggi. Pada
suatu hari, meskipun dia sudah tiada, Bung Karno dengan cita-citanya pasti akan mengalami
kemenangan yang gemilang.

Memang Bung Karno akhirnya gugur. Bukan terbunuh oleh ledakan granat atau tertembus peluru
musuh, akan tetapi dibunuh pelan-pelan oleh seorang pengkhianat bangsa bersama kroni-kroninya,
manusia-manusia kerdil lainnya. Howard P. Jones, bekas Duta Besar Amerika Serikat di Indonesia,
pernah menulis:

―Sukarno terlalu sering menjadi korban dari kepercayaannya sendiri terhadap rakyatnya. Di
samping kepintarannya sebagai orang Timur dalam bidang politik kecurigaannya terhadap Barat
yang bisa dimengerti sebabnya, ia memiliki kepercayaan yang naif terhadap perseorangan dan
keyakinan yang berbau mistik terhadap rakyat Indonesia dan kecintaan mereka kepadanya.
Sukarno tidak bisa percaya bahwa ada orang Indonesia yang bermaksud jahat padanya.‖

Memang mungkin buat Howard Jones sifat Bung Karno ini dianggapnya naif. Tetapi apakah ini
bukan justru menunjukkan kebesaran jiwanya? Bahwa kemudian dia gugur akibat pengkhianatan
manusia kerdil karena kebesaran jiwanya, mungkin memang itu sudah menjadi nasib yang tak
terhindarkan buat seorang pahlawan seperti dia.
Marilah kita kutip tulisan Rachmawati Sukarno th.1976 mengenai hari-hari akhir Bung Karno,
untuk melihat sampai seberapa kekerdilan jiwa manusia macam Suharto beserta kroni-kroninya.

―....... sakitnya Bapak makin parah, terlebih-lebih karena ada periode di mana tidak seorang
anggauta keluarga pun yang boleh menemani. Sejak itu, tempat di mana Bapak di-―karantina‖-kan
dengan ketat, sunyi, sepi sekali. Bisa dibayangkan betapa kesunyian mencekam di dalam gedung
yang besar itu.

Kurang terurus adalah kesan yang jelas timbul dari wajah Bapak dan tempat tinggalnya pada
waktu itu, ketika penulis akhirnya diperbolehkan bertemu kembali pada sekitar tahun 1969.
Mengapa sampai separah itu keadaan Bapak? Penulis tidak habis pikir, sedih bercampur gemas
dalam perasaan pada waktu itu.

Ketika penulis menanyakan keadaan Bapak selama tidak diperbolehkan bertemu anak-anak dan
keluarganya, Bapak hanya berkata ―di-interogasi‖.

Dan sejak itu Bapak hanya berbaring terus, karena jalan pun sudah sangat sulit, harus dipapah,
tidur di atas sofa, tapi tidak mengurangi membaca majalah yang dibawakan oleh keluarga dari luar
(itu pun setelah disensor) dan sembahyang berbaring.
Pemeriksaan secara medis memang masih tetap dilakukan, tapi kesan yang timbul hanya
pemeriksaan ala kadarnya, mengingat penyakit yang diderita Bapak adalah chronis dan complex
yang membutuhkan perawatan khusus. Perasaan yang timbul dari seorang anak kepada bapaknya –
hal ini memang menyedihkan sekali, tapi kesedihan itu selalu ditutupi dengan perasaan bahwa
Bapak adalah seorang pejuang besar, sehingga kepedihan dan kesedihan ini adalah hanya sebagai
konsekwensi dari perjuangannya.
Perjuangan yang dirintisnya mulai dari usia yang relatif muda sekali sehingga detik Bapak
terkapar di atas sofa di dalam kesunyian yang mencekamnya di alam Negara Merdeka yang
dibebaskannya bersama-sama pejuang-pejuang lainnya dahulu dari tangan musuh, sungguh tragis
205 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

rasanya. Pada hal status Bapak tidak jelas, artinya dibilang tahanan politik bukan, pensiunan
bukan, Presiden juga bukan, karena tidak ada yang diakui secara jelas dan gamblang. Tapi
demikianlah kenyataannya.
Tanggal 6 Juni 1970, Hari Ulang Tahun Bapak yang ke 69. Penulis bersama Guruh (adik penulis)
secara diam-diam mengambil photo-photo Bapak di dalam ―karantina‖ karena jelas kalau sampai
ketahuan security pada waktu itu pasti dilarang. Apakah bukan suatu yang ―aneh‖ bila mengambil
photo-photo bapaknya sendiri di Hari Ulang Tahunnya, dilarang? Tapi begitulah kenyataan pada
waktu itu.
Dengan itikat kemanusiaan, photo-photo yang diambil itu dimuat oleh surat kabar di seluruh
dunia untuk menceritakan keadaan yang sebenarnya dari Bung Karno selama itu. Walhasil pada
waktu itu penulis dan Guruh menghadapi security untuk mempertanggung-jawabkan peristiwa
tanggal 6 Juni tersebut, memang tidak heran lagi. Buat penulis, photo ini merupakan kenang-
kenangan yang bersejarah karena photo Bapak yang terakhir semasa hidupnya, jadi merupakan
pengalaman penulis yang tidak terlupakan.

Tanggal 11 Juni 1970 akhirnya Bapak harus dibawa ke RSPAD (sekarang R.S.Gatot Subroto). Di
situ meskipun ada team medis, terasa perawatannya tidak memuaskan, misalnya mesin cuci
(pembersih) darah yang diperlukan pasien seperti Bapak sampai akhir hayatnya tidak diberikan.
Walhasil pasien yang butuh ini tidak tertolong lagi. Itu hanya salah satu contoh saja kesulitan
yang dihadapi Bapak pada hari-hari terakhirnya. Lain-lainnya penulis hanya bisa mengelus dada
saja, karena tidak tahu ke mana harus mengadu. Inikah sakratul maut yang harus dihadapi oleh
seorang pejuang besar yang sebagian hidupnya diberikan untuk negara dan bangsanya termasuk
orang-orang yang pada waktu itu jadi security, Dokter-dokter, Profesor, Perawat, penulis sendiri
atau lain-lainnya?

Yang jelas Bung Karno figure yang tak mudah dihapuskan dari sejarah bangsa Indonesia. Jasa
beliau terlalu banyak – ini tak dapat dipungkiri, kecuali ada orang yang ingin memutar balikkan
sejarah. Tetapi di samping itu sebagai manusia biasa beliau tak luput dari kesalahan dan dosa.
Tepatnya tanggal 21 Juni 1970 jam 7 malam bersamaan pula akan dirayakannya Hari Ulang
Tahun Kota Jakarta, seorang negarawan bangsa Indonesia menutup matanya, meninggalkan dunia
fana ini yang penuh dengan segala macam ragam tingkah laku manusia, dengan segala kemunafikan
dan keserakahannya. Beliau tidak sempat menikmati karyanya selama itu seperti Jakarta dengan
gedung megah dan lampu-lampu beraneka ragam ....................‖ -
Sekarang keadaan Indonesia, maupun dunia, sudah berubah sama sekali jika dibandingkan dengan
di jaman Bung Karno dahulu. Bahkan Suharto yang haus darah, haus kekayaan dan haus
kekuasaan, juga sudah dimakan cacing di dalam tanah. Sekarang rakyat Indonesia mendambakan
akan terjadinya ―reformasi total‖, pendobrakan sama-sekali hal-hal yang tidak adil dan merugikan
rakyat dari jaman ―Orde Baru‖ yang sampai sekarang masih terus berjalan. Apakah harapan
rakyat ini dapat ditumpukan kepada elite politik yang ada sekarang? Untuk itu marilah kita kutip
sedikit kesan-kesan tentang Bung Karno yang ditulis oleh B.M.Diah pada th.1970, mantan Duta
Besar Republik Indonesia di Hongaria, Inggris dan mantan Menteri Penerangan dalam kabinet
Ampera, agar kita dapat membandingkannya dengan elite politik di Indonesia sekarang.

.....―Bung Karno besar di bidang Internasional, sebab ia pejuang kebesaran Asia. Ingatlah
Konperensi Asia-Afrika 1955 Bandung. Ia besar di bidang nasional, karena mencari dalil-dalil dan

206 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

konsepsi-konsepsi untuk kemajuan Indonesia. Ingatlah Manipol. Ia besar di bidang kemanusiaan,


sebab ia inginkan perdamaian dunia.

.....Sebaliknya benar pula Bung Karno ini adalah human. Orang yang mau membunuhnya diampuninya.
Peristiwa-peristiwa besar yang ditujukan terhadap dirinya tidak ada yang dihancurkan habis-
habisan. Bahkan, pilot Amerika yang membantu oknum-oknum memberontak terhadap padanya
dalam peristiwa PRRI dilepaskannya! Maukar, pilot AURI yang menembak Istana Merdeka tidak
dihukum mati.

.....Bung Karno yang sebenarnya, adalah seorang humanis. Ia tidak dapat melihat darah. Tidak
senang mendengar perpecahan. Ia mencoba mempersatukan apa yang pecah. Ambillah umpamanya
peristiwa-peristiwa percobaan pembunuhan terhadap dirinya. Ia masih memberikan ampun pelaku-
pelakunya. Pelaku-pelaku dalam pemberontakan PRRI juga diberikannya amnesti. Terlebih dahulu
juga dengan pemberontakan Andi Azis. Peristiwa 17 Oktober, Permesta, semua berakhir dengan
perdamaian nasional. Ia bukan penyokong fikiran kekerasan dibalas dengan kekerasan. Oleh
karena itu maka pemimpin-pemimpin bangsa asing di lain bagian dunia kita menghormati Bung
Karno dari sudut ini.

.....Bung Karno lebih dari proklamator. Ia adalah BAPAK KEMERDEKAAN INDONESIA. Ia adalah
ARSITEK dari pada Negara Kesatuan Republik Indonesia.

.....Tanpa Sukarno tidak ada SATU Indonesia, tidak ada SATU bangsa, tidak ada Indonesia
Merdeka, tidak ada bendera dan lagu Indonesia Raya.

.....Sewaktu 99% orang Indonesia terpelajar mengharapkan hidupnya aman di jaman kolonial, ia
menghabiskan waktu mudanya berjuang menentang kolonialisme.......Dengan proklamasinya kita
semua, bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke menjadi bangsa yang bernegara, bangsa
yang bernama. Sebagai juga Washington mendirikan Negara Amerika Serikat, demikian juga pada
hakekatnya Bung Karno mendirikan Negara Indonesia, negara Republik Indonesia. Dia juga
memberikan kepada kita Undang-Undang Dasar. Ia juga yang membangunkan segala atribut,
segala perlengkapan satu negara.
.....Ia menghendaki kemakmuran bagi bangsa Indonesia. Ia menghendaki kebesaran bagi bangsa
Indonesia.....Semboyannya ialah Panta Rei! Gerak terus, gerak maju.

.....Pada waktunya Bung Karno berani mempertaruhkan jiwanya untuk sesuatu yang dianggapnya
penting buat menegakkan negara. Ia lakukan semua keberanian itu, karena sebenarnya ia tidak
menghendaki adanya perpecahan yang berdarah, pembunuhan sesama kita, penghancuran unsur-
unsur kemanusiaan dalam masyarakat Indonesia.

.....Bung Karno BUKAN tukang komplot.....Ia memupuk kekuatan dan kekuasaan tidak melalui partai.
Tetapi tidak pula ia memakai ―pressure group‖ atau barisan siluman buat menterrorisir partai-
partai yang tidak mau ikuti kemauannya. Di sepanjang sejarah perjuangan Bung Karno ia tidak
sanggup berkomplot. Ia tidak sanggup kasak-kusuk. Ia tidak mengirimkan orang-orangnya untuk
―nggremet‖, nyusup buat menerbitkan kekacauan di kalangan kawan dan lawannya.....Di dalam
segala peristiwa yang terjadi terhadap Bung Karno, setahu saya, tidak pernah ia menggerakkan
satu komplotan kontra terhadap musuh-musuhnya. Ia menolak pembunuhan. Ia menolak
pembinasaan.

207 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

.....Bung Karno toleran. Ia tidak mendendam panjang. Ia bukanlah Mr.Jekyl and Mr.Hyde. Ia tidak
bermuka dua; satu jahat, satu manis dan baik. Bung Karno adalah manusia yang bersih dalam
rongga dadanya.
.....Hampir semua orang yang pernah bertemu mengatakan manusia yang berjiwa besar. Seorang
yang mencintai sesama manusia. Dan saya tidak pernah mendengar Bung Karno menganjurkan
kekerasan untuk mencapai kekuasaan.

.....Tetapi, ia memang bukan nasionalis yang mlempem. Bukan pula nasionalis borjuis yang sudah
senang dengan keadaan di lingkungannya. Ia nasionalis revolusioner. Ia seorang nasionalis yang
bersemboyan: buat negara yang sedang berjuang tidak ada akhir perjalanannya. Ia anti kolonialis.
Ia anti imperialis. Ia anti kapitalis. Ia anti fasisme.

.....Ia mempunyai perasaan perikemanusiaan yang sangat besar. Ia menganggap perikemanusiaan


itu universil. Dus, ia juga internasionalis. Lebih-lebih lagi, ia internasionalis yang ingin
membesarkan Asia.
.....Jenderal Suharto juga adalah anak didik Bung Karno. Demikian Amir Machmud dll jenderal-
jenderal yang memegang pimpinan berbagai tatausaha negara di waktu itu. Bung Karno, Presiden
Republik Indonesia yang berkuasa itu, tidak ada menempatkan sanak keluarganya pada satu pos
penting pun‖. -

Membaca tulisan di atas, rasanya kita menjadi sedih atau malah bisa menjadi putus asa melihat
perangai serta tingkah laku elite politik di Indonesia jaman sekarang. Akan tetapi, apabila kita
mengingat ajaran Bung Karno, Bung Karno tidak pernah menumpukan harapannya kepada partai-
partai politik maupun kepada elite politik, melainkan kepada pemuda. Karena itu marilah kita juga
menumpukan harapan kita kepada pemuda dan, seperti Bung Karno, berani mengatakan ―go to hell
!‖.

“Kalau saya pemuda, saya akan berontak.....” terkenal kata-kata Bung Karno menggugah
pemuda supaya berani meronta melawan partai-partai politik dengan elite politiknya yang saling
bercakaran dan berebutan kekuasaan untuk kepentingan pribadi masing-masing. Seruannya kepada
pemuda pada 17 Agustus 1951, tetap aktuil sampai sekarang dan akan selalu tetap aktuil sampai
cita-citanya, impiannya, menjadi kenyataan:

Pemuda !
Lihat ! Engkau berdiri di tengah-tengah perjoangan bangsa kita mencari hidup. Engkau melihat
pengacau-pengacauan, dan mendengar ratap-tangisnya berjuta-juta bangsa kita yang meminta
ketenteraman dan keamanan. Engkau berjalan di antara orang-orang yang durhaka dan orang-
orang yang jujur. Pembunuhan-pembunuhan dan pencurian-pencurian terjadi di muka rumahmu.
Ada orang-orang berkata, bahwa itu adalah untuk sesuatu ―idee‖. Tetapi yang terjadi di
hadapanmu itu adalah bukan sekadar hal ―idee‖, melainkan hal baik atau jahat !
Maka aku menanya kepadamu: Dapatkah engkau diam-diam saja?
Siapa yang diam di hadapan hal-hal semacam itu, sebenarnya mendegradir dirinya sendiri
secara moril !
Soekarno
17 Agustus 1951.

208 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

HIDUP BUNG KARNO !!!


Bung Karno: ―Saya merasa diri saya sebagai sepotong kayu dalam satu gundukan kayu api unggun,
sepotong daripada ratusan atau ribuan kayu di dalam api unggun besar yang sedang menyala-nyala.
Saya menyumbangkan sedikit kepada nyalanya api unggun itu, tetapi sebaliknya pun saya dimakan
oleh api unggun itu!
Dimakan apinya api unggun . . . . !
Tidakkah kita sebenarnya merasa semua demikian?‖---
Bung Karno, Presiden pertama RI: 06 Juni 1901 – 21 Juni 1970.
* * *

Menghadirkan Kembali Bung Karnoisme Dalam Praktik


Sabtu, 10 Juli 2010 | 1:46 WIB

Editorial

Dari deretan tokoh-tokoh pejuang pembebasan nasional Indonesia, Soekarno patut diberi tempat
yang khusus, sebagai simbol atau pemimpin dari gerakan tersebut. Dr. Sutomo, salah satu tokoh
gerakan nasional saat itu, meletakkan Soekarno sebagai motor, kekuatan penggerak dari
seluruh barisan yang memperjuangkan kemerdekaan nasional.

Sayang sekali, selama kekuasaan rejim Soeharto, sosok Bung Karno telah dikeluarkan dari
penulisan sejarah, terutama soal gagasan dan sepak terjangnya. Di masa Soeharto, anak sekolah
hanya diperkenalkan dengan Soekarno sebatas perannya sebagai proklamator, tidak lebih dari itu,
sesuatu yang memang tak bisa diputar-balikkan oleh siapapun.
Pernah, dalam tahun 1984, ketika Nugroho Notosusanto menerbitkan buku "pejuang dan prajurit",
wajah Bung Karno tidak nampak dalam gambar pengibaran bendera merah putih saat proklamasi 17
Agustus 1945. Ini sangat ironis, seorang proklamator kemerdekaan bangsa, justru hendak dihapus
dari buku-buku sejarah. Inilah sebagian kecil dari praktek de-sukarnoisme di jaman Soeharto.

Sekarang ini, saat rakyat kita digempur habis-habisan oleh sebuah system penjajahan baru
bernama neoliberalisme, upaya pencarian tokoh bangsa menjadi penting. Ini akan terdengar
"mesianik" di telinga intelektual didikan barat, namun menjadi aspek sangat penting bagi
ratusan juta rakyat yang sedang terjajah dan diabaikan pemimpinnya sendiri. Ibarat anak ayam
yang telah kehilangan induknya, rakyat pun mencari-cari kembali sosok pemimpinnya. Dan, dari
berbagai sosok yang kembali dimunculkan itu, salah satunya adalah Bung Karno. Para pemuda mulai
mencari tahu sosok Bung Karno, tidak sekedar memburu kaos-kaos bergambar Bung Karno, namun
mulai mencari-cari buku-buku yang menceritakan bapak bangsa ini atau bahkan membeli sendiri
buku-buku karya Bung Karno.

Bulan Juni, yang dikenal sebagai bulan Bung Karno karena tiga peristiwa penting, yaitu hari lahir
Pancasila (1 Juni), hari lahir Bung Karno (6 Juni) dan meninggalnya Bung Karno (21 Juni), mulai
dirayakan berbagai kelompok masyarakat. Tidak hanya dirayakan oleh PDIP, partai yang
mengaku melanjutkan cita-cita Bung Karno, tapi juga kelompok masyarakat lain. Ini patut
diapresiasi, bahwa rakyat Indonesia mulai mengambil kembali Bung Karno dari tempat
pembuangannya dalam sejarah Indonesia.

209 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Berpuluh-puluh tahun Bung karno coba diasingkan oleh sejarawan kanan dari sejarah Indonesia,
namun sekarang rakyat Indonesia telah berusaha mengambilnya kembali.

Oleh karena itu, pantaslah kiranya jika kita menaruh harapan, bahwa kemunculan kembali Bung
Karno ini tidak sekedar di baliho, spanduk, dan poster-poster. Apa yang lebih penting, bahwa
Soekarno kembali bersama gagasan-gagasan perjuangan, yang menurut kami masih sangat relevan
untuk perjuangan rakyat Indonesia saat ini.

Apa yang sangat mendesak adalah menghadirkan kembali Bung Karno dan gagasan-gagasan
perjuangannya. Kita harus memperjuangkan agar ajaran Bung Karno menjadi kurikulum di sekolah,
terutama SMP dan SMA. Seiring dengan prose situ, fikiran-fikiran dan buku-buku Bung Karno
perlu untuk dicetak ulang secara massal, sehingga bisa menjadi bacaan setiap pemuda-pemudi
Indonesia, menghiasi perpustakaan sekolah dan publik. Di Philipina, ajaran Jose Rizal, pahlawan
pembesan nasional negeri itu, menjadi mata kuliah wajib bagi mahasiswa di sana.
Dan, lebih penting lagi, diskusi dan kursus politik untuk bagaimana meletakkan fikiran Bung Karno
dalam situasi sekarang menjadi sangat penting. Ajaran-ajarannya seperti Marhaenisme, Resopim,
Manipol Usdek, Trisakti, Pancasila, Sosialisme Indonesia, dan sebagainya, sangat perlu
didiskusikan dan diletakkan dalam konteks sekarang.

Kita sedang berhadapan dengan sebuah sistim penjajahan baru, yaitu neoliberalisme, yang
karakter dan tujuannya tidaklah terlalu berbeda dengan kolonialisme di masa lalu. Untuk itu,
sebagai jalan menghadapi itu, strategi politik Bung Karno menjadi sangat relevan;
sammenbundeling van alle revolutionaire krachten.

Anda dapat menanggapi editorial kami di: redaksiberdikari@yahoo.com


http://berdikarionline.com/editorial/20100710/menghadirkan-kembali-bung-\
karnoisme-dalam-praktik.html

Bung Karno atau Soekarno (Sukarno) ?


Bung Karo alias Ir.Soekarno, adalah Presiden Pertama Republik Indonesia, Proklamator
Kemerdekaan Republik Indonesia . Seorang pejuang tak kenal lelah untuk terbentuknya satu
nation, satu bangsa yang berwilayah satu dan berbahasa satu , Indonesia, seperti yang telah
disumpahkan oleh pejuang pejuang kesatuan bangsa didalam hari kedua Kongres Pemuda tanggal
28 Oktober 1928. Hadir dalam Kongres Pemuda ke II itu (dari wikipedia ) :

Para peserta Kongres Pemuda II ini berasal dari berbagai wakil organisasi pemuda yang ada pada
waktu itu, seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond,
Jong Islamieten Bond, PPPI, Pemuda Kaum Betawi, dll. Di antara mereka hadir pula beberapa
orang pemuda Tionghoa sebagai pengamat, yaitu Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok dan Tjio
Djien Kwie serta Kwee Thiam Hiong sebagai seorang wakil dari Jong Sumatranen Bond.
Diprakarsai oleh AR Baswedan, pemuda keturunan arab di Indonesia mengadakan kongres di
Semarang dan mengumandangkan Sumpah Pemuda Keturunan Arab.

Dalam perjalanan hidupnya, dalam melawan kolonialis Belanda yang didukung selalu oleh sekutu
(USA,Inggris dan beberapa negara Eropa), beiiau telah menghimpun pengagum dan pendukung
politiknya yang konsekwen melawan musuh bangsa Indonesia , satu kekuatan yang bersatu padu
melawan nekolim (neo kolonialismdan imperialisme), yang sangat ditakuti kekuatan barat karena
bisa menggoncangkan dominasi mereka dinegeri negeri neokoloni mereka.
210 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Disamping melahirkan kawan kawan seperjuangnan, tentu saja beliau menghadapi musuh musuh
dalam negeri, yang pada dasarnya adalah kekuatan reaksioner, kekuatan yang justru menghendaki
tetapnya ketergantungan bangsa yang baru ini kepada kekuatan barat yang mereka anggap
kampiun demokrasi. Mereka menganggap, dengan mengadopsi demokrasi a la barat maka Indonesia
akan cepat maju seperti negeri negeri barat. Mereka tidak sadar, bahwa dengan menuruti jalan
yang diberikan dan didiktekan barat, Indonesia akan tetap menjadi negeri setengah koloni dimana
pemerintaha RI hanya berfungsi sebagai boneka yang bisa dimainkan semau mereka ,sebagai
dalangnya, terutama dalam mengexploitasi SDA dan SDM Indonesia untuk kemakmuran pemilik
modal internasional barat. Dan sebagai dampak sampingan, kaum neokolonials dan neoimperialis ini
selalu memasang „pemerintahan― yang korup dan sewenang wenang terhadap rakyat negeri negeri
semi koloni mereka dengan tujuan , semua privileg/hak hak istimewa mereka tidak akan disinggung
singgung selama para penguasa korup ini mereka lolohi dengan dollar yang nota bene hanyalah
sebagian sangat kecil saja dari hasil exploitasi SDA dan SDM ditanah air kita.
Maka tak heranlah kita, semenjak berdirinya pemerintah boneka orba dan sampai sekarang ini,
maka kebiasaan korupsi chususnya, KKN umumnya, sudah merupakan kebudayaan yang dicekokkan
dinegeri ini, merupakan hal yang seakan akan biasa, ya memang begitulah dimana mana urusan
negara berjalan !

Anggapan beginilan yang merupakan anggapan yang keblinger dan menceng ! Hal inilah yang selalu
dan tak lelah lelahnya diperangi dan dilawan oleh Bung Karno. Selama Indonesia masih tergantung
hidupnya kepada kaum nekolim, kita bisa melihat sendiri, bagaimana sejak lahirnya orba sampai
sekarang, rakyat miskin makin kembang kempis hidupnya, hutang negara melejit setinggi langit
yang melunasi juga harus rakyat miskin, pendidikan hanya bisa dinikmati oleh anak anak orang
orang berduit, terutama para koruptor dan pengusaha besar, persentase kemiskinan makin
melonjak , lingkungan dirusak , dobrak abrik, hutan digunduli, sungai dikotori dengan sampah
sampah pabrik , kimia dan tambang. Laut dihabisi isinya oleh pengusaha pengusaha besar dan asing
tanpa mengingat pentingnya regenerasi keseimbangan lautan. Mineral, kekayaan alam makin
mengosong, tambang tambang makin melompong.
Inilah semua akibat pemerintah pemerintah korup yang sengaja dipasang oleh kaum neokolonial
dan neoimperialis, sejak dari orba sampai sekarang. Seperti telah tertulis diatas, pikiran,
tindakan , perjuangan yang telah dilakukan Bung Karno selama hidupnya, telah menimbulkan
simpatin dan dukungan besar dari mayoritas bangsa Indonesia , sedangkan sebagian kecil yang
termasuk manusia manusia reaksioner yang egois dan egosentris yang menjadi kakitangan kaum
nekolim, dengan sendirinya memusuhi Bung Karno secara sembunyi sembunyi atau terang terangan.
Entah benar atau tidak, tetapi ini kesimpulan saya, mereka yang memusuhi atau antipati terhadap
Bung Karno sekarang ini, selamanya , baik dalam pidato, pembicaraan atau tulisan akan
menyebutkan nama beliau dengan „Soekarno―. Sedangkan yang memihak kepada pikiran, politik dan
tindakannya, akan selalu menyebutkannya dengan titel dan nama akrabnya „Bung Karno―.
Anehnya, dan janggalnya, ada juga beberapa manusia yang mengaku „kiri―, menamakan dirinya
progresif atau pembela rakyat miskin nomer wahid, dalam ulasan ulasannya juga menyebut nama
Bung Karno dengan „Soekarno― atau „Sukarno―, nama yang juga disebut/dipakai oleh kaum nekolim,
musuh rakyat Indonesia. Mereka ini kaum „kiri― yang meremehkan Bung Karno, seakan mereka
lebih banyak jasanya, adalah benar benar manusia „kiri― yang tidak tahu sejarah, tidak tahu
hakekat perjuangan bangsa Indonesia, yang hanya berjuang diatas buku dengan huruf huruf
cetak, buta akan situasi dan kondisi Indonesia.

211 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Mereka adalah kaum kiri yang keblinger ! Pada hakekatnya, sikap memusuhi dan meremehkan jasa
jasa Bung Karno sebagai pejuang kemerdekaan, kebebasan dan persatuan bangsa Indonesia,
apapun motivasinya, adalah sikap yang satu front dengan kaum neoimperialis !
Menghormati jasa jasa Bung Karno adalah kriteria bagi seseorang, apakah dia seorang patriot
atau seorang reaksioner yang hidupnya tergantung kepada penjualan tanah air dan bangsa kepada
nekolim, atau seorang yang merasa dan menjajakan dirinya sebagai orang "kiri", menganggap lebih
berjasa dan lebih tinggi "kerevolusionernya" dari pada Bung Karno , tetapi pada hakekatnya dia
adalah seorang pembantu dan kaki tangan kaum neoimperialis.
iwa

Monumen dan patung Bung Karno di Surabaya dan Jakarta


Berikut di bawah ini disajikan berita-berita tentang didirikannya Monumen Kelahiran Bung Karno
di Surabaya, yang dikutip dari beberapa sumber. Peristiwa yang diungkap dalam berita itu
merupakan hal yang penting bagi pelurusan sejarah Bung Karno. Juga mempunyai arti tersendiri,
ketika negara dan bangsa kita sedang dalam situasi yang tidak menentu, dalam keadaan
terpuruk, dan ruwet atau kacau di berbagai bidang seperti sekarang ini. Berita-berita tersebut
adalah sebagai berikut : Surabaya Bangun Monumen Kelahiran Bung Karno Minggu, 29 Agustus
2010

TEMPO Interaktif, Surabaya - Pemerintah Kota Surabaya membangun monumen kelahiran Bung
Karno di Jalan Pandean IV/40, Kelurahan Peneleh, Kecamatan Genteng, Surabaya. Peletakan batu
pertama pembangunan monumen tersebut dilakukan oleh Wali Kota Surabaya, Bambang Dwi
Hartono, Minggu (29/8).
Ketua panitia acara pembangunan monumen Bung Karno, Peter A Rohi mengatakan monumen itu
untuk menandakan tempat kelahiran Soekarno. Rencananya, monument tersebut akan diresmikan
pada 6 Juni 2012 mendatang. "Kami hanya membuat tugu kecil sebagai penanda, sebab tempatnya
sempit dan tak memungkinkan untuk membuat monumen yang besar," kata Peter.

Peter menambahkan, pembangunan monumen Bung Karno itu juga dimaksudkan untuk meluruskan
anggapan yang menyebutkan bahwa presiden pertama Indonesia tersebut lahir di Blitar, Jawa
Timur. Padahal dalam penelusuran sejarah, kata Peter, Bung Karno dilahirkan di kampung Pandean.
"Kami ingin meluruskan sejarah," ujar Peter.

Berdasarkan penelusuran yang dia lakukan, ayah Sokarno, R Soekeni Sosrodiharjo yang juga
seorang guru, dipindah dari Singaraja, Bali ke Sekolah Sulung Surabaya pada akhir 1900. Pada
saat itu istri Soekeni, Nyoman Rai Srimben tengah hamil tua. "Dipastikan Bung Karno lahir di
Surabaya," imbuh Peter.

Selain itu, ujar Peter, putra-putri Bung Karno juga membenarkan bahwa ayahnya lahir di Kota
Pahlawan. Sebab suatu ketika Guruh Soekarnoputra pernah menyatakan pada Bambang Dwi
Hartono bahwa ayahnya lahir di kampung di tepi Kali Mas itu. "Banyak referensi yang menyatakan
Bapak lahir di Blitar, itu keliru," kata Bambang menirukan Guruh.

Menurut Peter, biaya pembangunan monumen itu berasal dari urunan para pecinta dan pengagum
Bung Karno. Peter sebenarnya sempat meminta bantuan dana kepada sejumlah pengusaha namun
tidak mendapat respon. "Akhirnya kami urunan, dan terwujudlah monumen ini," kata Peter yang
juga wartawan senior.

212 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Sebelum peletakan batu pertama, acara itu didahului dengan seminar bertema "Soekarno dan
Surabaya" di Balai Pemuda, Sabtu sore kemarin. Seminar itu mendatangkan pembicara Dr Yuke
Ardhiati, Dr Nurinwa Hendrowinoto, Dr Tjuk Kasturi Sukiadi dan Bambang Budjono.
***

Luruskan Sejarah Kelahiran Soekarno


Minggu, 29 Agustus 2010
SURABAYA, KOMPAS.com--Wali Kota Surabaya Bambang Dwi Hartono akan mengirim surat ke
Sekretaris Negara (Sekneg) terkait pelurusan sejarah tempat kelahiran proklamator RI
Soekarno (Bung Karno) yang berasal dari Surabaya dan bukan dari Blitar. "Kami akan mengirim
surat ke Sekneg terkait itu," kata Bambang di acara Seminar Pelurusan Sejarah Tempat
Kelahiran Bung Karno yang digelar di Balai Pemuda Surabaya, Sabtu.
Bahkan dalam pidato Bung Karno, lanjut dia, dikatakan Bung Karno sendiri mengaku sebagai warga
Surabaya. Namun, lanjut dia, sejarah tersebut diputarbalikkan, sehingga seolah-olah Bung Karno
lahir di Blitar. Menurut dia, gambaran menghargai kepahlawan di Indonesia hingga saat ini masih
kurang.
***

"Bung Karno Arek Suroboyo"


Sabtu, 28 Agustus 2010

Surabaya (ANTARA News) - "Banyak di antara kita yang tidak mengetahui bahwa semangat
perjuangan dan jiwa seni Sang Pemimpin Besar Revolusi Indonesia, Soekarno (Bung Karno) adalah
juga `Arek Suroboyo` (pemuda asal Kota Surabaya)," kata Peneliti dan pengajar di Universitas
Trisakti Jakarta, Yuke Ardhiati.

Yuke mengatakan bahwa setiap bulan Juni dan Agustus, hampir dapat dipastikan "ruh Soekarno"
hadir di bumi Indonesia.

"Bulan Juni menjadi bulan khusus baginya (hari kelahirannya), bulan Agustus adalah bulan
diproklamasikan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia," katanya di acara Seminar Pelurusan
Sejarah Tempat Kelahiran Bung Karno yang digelar di Balai Pemuda Surabaya, Sabtu.

Menurut dia, si Arek Suroboyo itu telah lama "Kondur Sowan ing Ngarsaning Gusti Allah"
(berpulang ke Rahmatullah atau wafat, red), namun suaranya yang menggelegar di setiap
kesempatan menyapa rakyatnya, masih selalu bergema menggaungkan resonansi di setiap sudut
hati.

Eksplorasi Yuke untuk mengungkapkan semangat "Arek Suroboyo" yang terpantul dari jiwa
Soekarno, diterapkan dalam teori arketipe tentang konsep diri dari gagasan Carl Gustav Jung.
Arketipe, sebagai refleksi sifat dominan dari karakteristik manusia. Dalam diri Soekarno
tertanam gabung dari berbagai arketipe yaitu "mother", "hero" dan "mona" berpadu sekaligus.
"Soekarno memiliki sifat menyerupai rahim ibu. Sebagai penyedia sebuah kehadiran, ada semangat
patriotik. Namun sekaligus memiliki daya pesona yang luar biasa dari dirinya," paparnya.

213 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Pengalaman dan kebiasaan Soekarno sejak usia muda, kata dia, dijelaskan dalam lima hal, yakni
timangan (kekudangan orang tua), kecintaan terhadap unsur air, menolak nuansa kolonialisme,
cinta romantisme terhadap negara, citra kemegahan budaya Jawa Kuno.
"Dan terakhir pemuda berjiwa patriot," katanya.
Dalam semua penulisan biografi Soekarno sebelum tahun 1970, semuanya menulis Bung Karno lahir
di Surabaya.

Akhir tahun 1900, R.Soekani Sosrodiharjo (ayahanda Soekarno) dipindahtugaskan dari Singaraja
Bali sebagai guru sekolah rakyat Sulung, Surabaya.

Di Surabaya itulah istrinya, Nyoman Rai Srimben melahirkan seorang putera yang diberi nama
Kusno yang kemudian menjadi Soekarno pada 6 Juni 1901.

Demikianlah berita-berita yang diambil dari beberapa sumber.


Di bawah berikut ini adalah sekadar berbagai tanggapan mengenai berita-berita tersebut di atas :
-- Dilihat dari berbagai segi dan sudut pandang, pembangunan monumen kelahiran Bung Karno di
Surabaya ini merupakan peristiwa yang penting. Sebab, selama ini masih sedikit sekali monumen
atau peninggalan-peninggalan bersejarah tentang kehidupan dan perjuangan Bung Karno yang bisa
dijadikan oleh rakyat untuk mengenang pemimpin besar bangsa kita itu beserta gagasan agungnya
dan ajaran-ajaran revolusionernya.

Memang, sudah banyak kalangan dalam masyarakat yang mengenal museum dan makam Bung Karno
di Blitar, yang tiap harinya sepanjang tahun dikunjungi banyak orang, bahkan seringkali sampai
ribuan orang.

Walaupun tempat pembuangannya di Endeh (Flores), dan bekas tempat tinggalnya di Bengkulu juga
menjadi perhatian banyak orang, namun masih banyak peninggalan sejarah hidup Bung Karno
lainnya yang patut sekali dikenang dan dihormati oleh para pencintanya atau pengagumnya,
termasuk masyarakat luas lainnya.

Didirikannya monumen kelahiran Bung Karno di Surabaya adalah penting bukan saja karena kota
ini merupakan tempat lahir Bung Karno melainkan juga karena di kota inilah ia mulai dalam usia
muda belia belajar politik dan mengenal Marxisme atau sosialisme dari pemimpin besar gerakan
Islam Haji Oemar Said Tjokroaminoto.

Jadi, Surabaya adalah tempat beriwayat bagi Bung Karno selagi masih muda belia, seperti halnya
kota Bandung, sebelum ia dibuang oleh pemerintah kolonial Belanda ke Endeh dan Bengkulu.
Didirikannya monumen kelahiran Bung Karno di Surabaya baru-baru ini menambah sarana bagi
banyak orang untuk mengenang kembali jasa-jasa besar tokoh agung Pemimpin Besar Revolusi
(PBR) Bung Karno, yang merupakan salah satu dari tokoh-tokoh yang menjadikan Surabaya sebagai
Kota Pahlawan
Karena itu, didirikannya monumen kelahiran Bung Karno di Kota Pahlawan (Surabaya) ini bisa
mempunyai arti simbolis, yang menjadikan satunya tokoh Pemimpin Besar Revolusi ini (Bung Karno)
dengan kota yang melahirkan Hari Pahlawan 10 November.

Pembangunan monumen di Surabaya ini menyusul peristiwa penting lainnya beberapa minggu
sebelumnya, yaitu didirikannya patung besar Bung Karno (lebih dari 9 meter) di kampus
Universitas Bung Karno di Jakarta, yang menarik perhatian banyak orang.

214 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Pembangunan monumen di Surabaya dan didirikannya patung besar di Universitas Bung Karno
mengindikasikan bahwa opini publik terhadap Bung Karno, yang pernah lebih dari 32 tahun
diracuni oleh Orde Baru, sudah mulai berobah sedikit demi sedikit.
Mengingat situasi di Indonesia dewasa ini, yang betul-betul sudah terlalu sakit parah dan payah
dengan segala macam kerusakan moral yang menimbulkan bermacam-ragam kejahatan (antara lain
korupsi dan pelanggaran hukum, kongkalikong dengan neo-liberalisme) maka opini yang pro-ajaran-
ajaran Bung Karno adalah penting untuk bangsa kita.

Untuk itu, banyaknya sarana untuk mengenal kebesaran sejarah perjuangan Bung Karno dan
ajaran-ajaran revolusionernya – yang bisa berupa buku-buku, kaset-kaset berisi pidato-pidatonya,
lagu-lagu, foto-foto bersejarahnya, monumen atau patung-patungnya -- perlu diperbanyak di
mana-mana oleh inisiatif masyarakat, seperti yang dilakukan oleh berbagai kalangan di
Surabaya atau di Universitas Bung Karno di Jakarta.
Tersebarnya secara seluas mungkin ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno adalah salah satu di
antara unsur-unsur penting dan juga investasi utama dalam usaha bersama untuk membangun
kekuatan besar yang bisa mendorong revolusi rakyat sesuai dengan gagasan-gagasan Pemimpin
Besar Revolusi Bung Karno, dalam situasi dan kondisi sekarang.

Penyebaran ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno seluas mungkin dan sebanyak mungkin adalah
tugas utama bagi seluruh kekuatan demokratis di Indonesia, yang menginginkan adanya perubahan
besar-besaran dan fundamental di negeri kita, demi kepentingan rakyat, terutama rakyat miskin.

Paris, 31 Agustus 2010

1.. Umar Said

Membaca buku Nani Nurani Affandi

―Penyanyi Istana, Suara Hati Penyanyi Kebanggaan Bung Karno‖


Galangpress, Yogyakarta, 2010, 400 halaman Bagian Dari Tragedi 1965

(Catatan Harsutejo)
Selama ini ada sejumlah buku memoir yang ditulis oleh korban tragedi 1965 maupun kumpulan
kesaksian mereka, di antaranya oleh kaum perempuan. Mereka umumnya berasal dari organisasi
kiri atau yang dianggap kiri. Sering buku-buku itu menceritakan kepedihan luar biasa yang
menimpa mereka yang sama sekali tidak berdosa berupa perendahan harkat manusia dan harkat
perempuan, penyiksaan yang mengarah pada pelecehan seksual, perkosaan beramai-ramai maupun
dalam jangka panjang, dan bahkan pembunuhan. Kisah-kisah itu sering mengerikan dan mendirikan
bulu kuduk. Secara munafik sang rezim menyebutnya atas nama Pancasila.

Buku ini tidak menceritakan hal-hal dahsyat semacam itu, tetapi cukup menarik di antaranya
karena ditulis oleh seorang penyintas tragedi 1965 yang tidak berasal dari golongan kiri
(menurutnya ia disebut sebagai borjuis oleh beberapa ibu Gerwani), bahkan ia tidak berorganisasi
apa pun yang berbau politik, dengan begitu ia menulisnya dengan kacamata berbeda, kental dengan
aspek kemanusiaan dan gambaran tindak kesewenangan rezim yang berkuasa.

Buku dibuka dengan sejumlah pengantar yang cukup banyak sampai makan 44 halaman dari
sejumlah tokoh LBH yang pernah membelanya dalam perkara KTP seumur hidup, sampai dari
beberapa orang dekat penulis. Selanjutnya tentang dirinya yang dididik dalam lingkungan Islam
215 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

taat yang modern sampai ia menjadi penyanyi dan penari di Istana Cipanas pada 1962-1965, ketika
itu ia bermukim di Cianjur. Dari situ ia kenal banyak tokoh terkemuka. Pada Juni 1965 ia pindah
dan bekerja di Jakarta.
Kegiatannya dalam kesenian masih berlanjut, bahkan ia pun kenal dengan Istana Cendana-nya
Suharto sampai 1968 sebelum ia ditangkap. Sebelum pindah ke Jakarta ia sempat diundang dalam
ulang tahun PKI 1965 di Cianjur untuk menyanyi dan menari, sesuatu yang dilakukannya kepada
siapa saja yang mengundangnya. Di zaman edan Orba hal ini sudah dapat dijadikan cukup buklti
sebagai keterlibatannya bukan saja dengan PKI tapi juga dengan G30S. Tuduhan yang
disandangnya pun cukup berat ―sebagai kader PKI yang diselundupkan,‖ ketika itu ia berumur 27
tahun. Ia ditahan sebagai tapol, dari satu tempat tahanan ke tempat tahanan yang lain, sampai
mendarat di penjara Bukitduri, Jakarta.
Sebagai seorang muda yang dididik keras menghargai moral kejujuran, ia pun menjadi jujur dan
polos, bahkan sering naif. Di situ ia sering mengalami masalah berhadapan dengan para pejabat
dan sesama tapol yang jauh lebih berpengalaman, juga dalam memasang berbagai macam topeng.
Ia pun berhadapan dengan berbagai intrik dan semacam komplotan di penjara Bukitduri, apalagi
karena ia selalu rapi dan wangi. Ia tidak pernah mengalami siksaan fisik, tetapi kenyang dengan
siksaan mental. Beruntung di Bukitduri pula ia bertemu dengan tokoh-tokoh nasional yang dapat
menjadi gurunya, ibunya, pelindungnya. Ia belajar bahasa Inggris dari Ibu Carmel Budihardjo,
keterampilan dari Ibu Masye Siwi (tokoh Gerwani), Ibu Salawati Daud (walikota perempuan
Indonesia pertama dari Makassar dan anggota DPR), dari Ibu Mudigdio (anggota DPR, mertua DN
Aidit), ia bahkan belajar mengaji lanjutan dan menafsirkan isinya dari tokoh sepuh ini. Dari Ibu
Mudikdio yang disapanya dengan Embah Mudik, tokoh yang sangat ia hormati, tempat banyak
belajar menjadi tabah dan kuat. Dalam buku ini ia banyak menceritakan tentang pergaulan dan
interaksinya dengan Mbah Mudik yang memperlakukan dirinya seperti anak bungsunya, tempat ia
mencurahkan isi hatinya dan mengadu. Di samping itu ia juga berinteraksi dengan tokoh-tokoh
seperti dokter Tanti Aidit, Suharti Suwarto (tokoh Gerwani), juga dengan sejumlah tapol ―Lubang
Buaya‖ yakni yang pernah ikut latihan sukwan ganyang Malaysia 1965 yang mendapat tuduhan amat
berat dan mengerikan sebagai penyiksa para jenderal yang mengalami siksaan fisik dan mental
tiada tara ketika mereka berumur belasan tahun.

Nani Nurani terlahir sebagai bungsu dari beberapa anak, mendapat perlindungan dan kasih sayang
dari keluarga dan menjadi anak yang biasa disebut sebagai manja, takut kegelapan dsb. Dengan
pengalaman seluruh hidupnya, terutama melalui enam tahun dalam tahanan dan penjara Bukitduri
sebagai tapol, banyak belajar dari sekitar, ia menjadi kuat dan berani, bahkan orang menyebutnya
nekat. Pastilah ia juga seorang yang cerdas meski pendidikan formalnya tidak tinggi. Pada 2003 ia
menuntut pemerintah untuk mendapatkan KTP seumur hidup sesuai peraturan, sesuatu yang
sangat menguras waktu dan energinya, dasar ia ―kepala batu‖ ia tidak menyerah. Baru pada 2008
ia memenangkannya di tingkat Mahkamah Agung. Bravo Mbak Nani.

Catatan: Mas Ilham & Mbak Iba, mungkin anda sudah baca buku ini, kalau belum ada baiknya anda
baca. Bekasi, 31-8-2010.-

216 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Pemberitaan seputar G30s -setelah 45 tahun berlalu...


Yogyakarta (ANTARA) - Peristiwa Gerakan 30 September 1965 tidak akan pernah terungkap
secara utuh karena seluruh tokoh kunci gerakan tersebut sudah meninggal dunia, kata sejarawan
dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Budiawan.
"Rangkaian kejadiannya memang dapat terlacak, tetapi siapa yang sesungguhnya menjadi dalang
gerakan tersebut tidak akan pernah diketahui karena sudah tidak ada tokoh kunci gerakan
tersebut yang masih hidup," katanya di Yogyakarta, Kamis.

Selain itu, menurut dia versi-versi sejarah tentang Gerakan 30 September yang diungkapkan para
ahli hanya mengungkapkan secara sepotong-sepotong dan sebagian besar tidak melalui metodologi
penelitian baku. "Versi tunggal yang digunakan oleh rezim Orde Baru ternyata juga tidak
sepenuhnya benar, cenderung mendramatisasi fakta, bahkan berbagai pihak menganggap versi
Soeharto dongeng belaka," katanya. Selain itu, ia mengatakan diskriminasi yang dialami oleh
mantan tahanan politik Orde Baru telah mengakibatkan beban psikologis kepada para mantan
tahanan politik tersebut.

"Setelah mereka dibebaskan tidak serta merta mereka mendapatkan kebebasan yang
sesungguhnya karena pada kenyataannya mendapat stigma sangat buruk dari kalangan
masyarakat," katanya. Ia mengatakan diskriminasi tersebut tidak hanya datang dari negara dan
masyarakat, bahkan para mantan tahanan politik Orde Baru mendapat diskriminasi dari saudara
mereka. "Situasi yang mengondisikan para mantan tahanan politik tersebut menjadi pihak yang
serba salah. Orde Baru berperan besar dalam menciptakan diskriminasi tersebut," katanya.
Menurut dia, aparatur negara tidak merasa mendiskriminasikan para mantan tahanan politik
karena merasa memiliki payung hukum yang sah untuk menempatkan para mantan tahanan politik
sebagai warga yang patut dibedakan. "Oleh karena itu sampai saat ini para mantan tahanan politik
tersebut masih menyimpan trauma dan menanggung beban psikologis yang sangat berat," katanya.

http://id.news.yahoo.com/antr/20101001/tpl-kasad-laten-komunis-tetap-patut-diwa-
cc08abe.html

Jakarta (ANTARA) - Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) Jenderal TNI George Toisutta,
mengatakan, munculnya kebebasan yang diusung atas nama demokratisasi, termasuk kebebasan
berideologi, membuat laten komunis tetap patut diwaspadai.

"Jangan karena dalih kebebasan atau demokratisasi dan penghormatan terhadap hak azasi
manusia, kita menjadi lengah dan tidak waspada terhadap laten komunis," kata George dalam
sambutannya di acara `Tahlilan dan doa bersama Mengenang Pahlawan Revolusi yang dibasmi
dalam pemberontakan G 30 S/PKI, di Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta, Kamis.

Menurut dia, masyarakat Indonesia jangan melupakan kekejaman kaum komunis di sepanjang
sejarah bangsa Indonesia, dimana banyak pahlawan revolusi yang meninggal akibat pemberontakan
dan pengkhianatan yang dilakukan oleh PKI pada 30 September 1965 lalu.
"Kita patut bersatu padu dan bergotong-royong untuk menutup semua celah dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara bagi kemungkinan bangkitnya komunisme di negeri
nusantara ini," tegasnya.

217 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Menurut George, komunis telah memaksakan kehendaknya yang nyata-nyata bertentangan dengan
tujuan dan cita-cita perjuangan bangsa Indonesia, yakni dengan membangun masyarakat adil dan
makmur dalam wadah NKRI berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945.
Oleh karena itu, bila ada upaya untuk menghambat tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia, maka
patut ditumpas. Ia mengingatkan bahwa empat pilar yang menopang eksistensi bangsa Indonesia,

yakni NKRI, Pancasila, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika harus dijaga dan dipertahankan, oleh
karenanya patut diwaspadai terhadap upaya-upaya untuk mengubah empat pilar itu.

George menambahkan, acara tahlilan dan doa bersama ini mengandung makna yang sangat penting
karena selain sebagai sarana untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa, juga mengajak
kita semua untuk lebih memahami dan menghayati fakta sejarah peristiwa pemberontakan
G30S/PKI.
Di tempat yang sama, Panglima Kodam Jaya/Jayakarta, Mayor Jenderal Marciano Norman,
mengatakan, dengan adanya iklim kebebasan seperti saat ini dapat saja dimanfaatkan untuk
menghapuskan sejarah dan memutarbalikan fakta, sehingga membuat generasi muda bingung dan
menjadi peluang bagi bangkitnya kembali komunisme di Indonesia.

Oleh karena itu, lanjut dia, masyarakat Indonesia patut waspada terhadap kemungkinan
bangkitnya kembali komunisme dalam berbagai bentuk. "Kita harus waspada dengan kemungkinan
seperti itu dengan menjunjung tinggi dan mengamalkan nilai-nilai pancasila sebagai ideologi
negara," kata Marciano.

Ia menambahkan, acara tahlilan dan doa bersama untuk mengenang pahlawan revolusi itu tidak
hanya sebagai ritual yang sering dilakukan oleh TNI, tetapi sebagai upaya menanamkan nilai
kepahlawanan dalam bentuk patriotisme yang diwariskan oleh generasi penerus bangsa.
Sementara itu, Letjen Hotmangaraja Panjaitan yang merupakan anak dari pahlawan revolusi
Mayjen DI Panjaitan, mengatakan, banyak pahlawan revolusi yang telah menjadi korban keganasan
PKI pada 30 September 1965 lalu.
"Namun, kami ikhlaskan pengorbanan mereka untuk menjadikan pemicu bagi kami dan menjadi
cita-cita TNI dalam memperjuangkan ideologi bangsa Indonesia," katanya.

2010/9/30 ChanCT <SADAR@netvigator.com>

tabik,

Arifadi Budiarjo
fxarifadi@gmail.com
0811153687

BB Pin :2175B27A

"Dimanapun yang memperbarui itu generasi muda" - YB Mangunwijaya

218 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

8/08/2001 12:40 WIB

Misteri CIA di Seputar G30S (1)


Soekarno Diduga Tahu Penculikan
Penulis : Rita Uli Hutapea

detikcom - Jakarta, Dua pekan lalu, publik Indonesia dikejutkan dengan kabar ditariknya dokumen
rahasia tentang kiprah pemerintahan AS pada saat terjadinya Gerakan 30 September 1965 (G
30S). Padahal, baru beberapa hari sebelumnya, dokumen itu dibuka menyusul dilantiknya
Megawati Soekarnoputri, putri mantan Presiden Soekarno, menjadi presiden RI ke-5. Menariknya,
penarikan dokumen tersebut terjadi bukan karena protes. Sejak dibuka diam-diam, tak satu pun
pihak yang menyatakan keberatan atas isi dokumen.

Ini jelas suatu keanehan. Adakah yang janggal dalam peristiwa itu? Siapa saja yang sebenarnya
terlibat versi CIA dalam tragedi tersebut? Meski sudah ditarik, tak urung beberapa copy
dokumen tersebut telah beredar. Berikut beberapa bagian dari dokumen tersebut, khususnya
yang menjelaskan apa yang terjadi di elite politik RI dalam kurun waktu Oktober 1965-Maret
1966.
Di poin pertama pada bab yang berjudul, "Kudeta dan Reaksi Perlawanan : Oktober 1965 - Maret
1966," begitu terjadi operasi penculikan para jenderal, CIA langsung mencurigai keterlibatan
Soekarno. Namun tak dijelaskan apa yang mendasari kecurigaan tersebut. Berikut teks dokumen
CIA yang ditujukan kepada Presiden AS Lyndon Johnson. Menariknya, memorandum tersebut
dikirim 1 Oktober 1965 pukul 07.20 AM waktu Washington DC, atau hanya selisih beberapa jam
dari peristiwa pembunuhan para jenderal.

Memorandum untuk Presiden Johnson Washington, 1 Oktober 1965, 7:20 pagi (Berikut teks
laporan situasi oleh CIA) Sebuah gerakan kekuatan yang mungkin telah menyebabkan implikasi
yang jauh sedang terjadi di Jakarta. Kelompok yang menamakan dirinya "Gerakan 30 September"
mengklaim telah mencegah "kudeta jenderal' di Indonesia.
Sejumlah jenderal dan politisi telah ditangkap, dan rumah kediaman Menteri Pertahanan Jenderal
Nasution dan Panglima ABRI Jenderal Yani berada di bawah pengawasan tentara. Keputusan yang
dikeluarkan oleh Letkol. Untung, Komandan Pasukan Pengawal Presiden (Cakrabirawa-red)
menyatakan bahwa pemerintahan akan diatur oleh Dewan Revolusi Indonesia. Menurut keputusan
tersebut, dewan akan meneruskan kebijakan pemerintah yang sudah ada dan keanggotaan dewan
akan segera diumumkan. Belum ada keterangan mengenai peran aktif Presiden Soekarno. Radio
pemerintah RRI adalah yang pertama kali mengumumkan bahwa Gerakan 30 September
diorganisir untuk "menyelamatkan Presiden Soekarno yang kesehatannya mengkhawatirkan."
Gerakan 30 September kemudian menyatakan bahwa Soekarno aman dan "terus menjalankan
kepemimpinan bangsa." Kelompok Gerakan 30 September mengklaim rencana kudeta oleh para
Jenderal bersumber dari Amerika. Jaringan telepon eksternal di Kedutaan AS sempat terputus 3
jam sebelum RRI mengumumkan bahwa "kudeta" telah digagalkan. Aparat tentara ditempatkan di
Kedutaan AS.
Tujuan yang ingin segera dicapai oleh Gerakan 30 September tampaknya adalah untuk
menyingkirkan setiap peran politik oleh elemen-elemen ABRI yang anti-komunis dan perubahan

219 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

dalam kepemimpinan ABRI. Tindakan terhadap elemen ABRI serupa tampaknya juga direncakan di
luar Jakarta. Masalah ini bisa saja digunakan untuk membentuk aktivitas baru yang anti-Amerika.

Tampaknya mungkin saja Soekarno tahu sejak awal gerakan ini dan tujuannya. Namun langkah
terpenting menyangkut timing dan detil rencana tampaknya dipegang oleh Wakil I Perdana
Menteri Subandrio dan pemimpin komunis yang dekat dengan Soekarno.

8/08/2001 13:20 WIB

Misteri CIA di Seputar G 30S (2)


ABRI Salip Soekarno, 5 Oktober
Penulis : Rita Uli Hutapea

detikcom - Jakarta, Masa-masa antara 1-5 Oktober 1965 adalah saat yang genting. Bagaimana
mengantisipasi G 30S dan siapa dalang gerakan itu masih menjadi spekulasi. Kedubes AS sempat
panik dan ingin mengevakuasi warga AS yang di Indonesia, namun upaya itu dicegah setelah
mendapat saran seorang jenderal ABRI. Yang menarik, CIA pun segera menganalisa lebih jauh
apakah Presiden Soekarno tahu persis gerakan itu? Kesimpulannya, ada 2 spekulasi.

Soekarno tahu persis geralan itu dan mencoba memancing reaksi, kedua, Soekarno tak tahu
menahu karena ia dibodohi pelaku G 30S. Sementara itu, di tengah situasi itu, ABRI bergerak
cepat. CIA mensinyalir ABRI sengaja akan mempergunakan momentum pemakaman 6 jenderal
sebagai wahana meraih simpati masyarakat. Sekaligus, mereka akan menenggelamkan kharisma
Soekarno.

Berikut memorandum yang menyebutkan hal tersebut. Memorandum dari Direktur Wilayah Timur
Jauh (Blouin) kepada Asisten Menteri Pertahanan untuk Urusan Keamanan Internasional
(McNaughton) Washington, 4 Oktober 1965 Masalah: Situasi di Indonesia.

Situasi di Indonesia tengah dilanda keresahan dan Presiden Soekarno tampaknya berupaya keras
untuk mempertahankan kesatuan nasional di tengah-tengah meningkatnya perseteruan antara
ABRI dan kelompok-kelompok yang mendukung Gerakan 30 September. Tubuh para pejabat
militer yang ditembak pada awal usaha kudeta 30 September lalu telah ditemukan. Ada laporan
telah terjadi tindak 'kebrutalan' pada tubuh mereka, dan ABRI dengan bermodalkan pada insiden
ini ingin mencari dukungan publik atas posisinya. Akan tetapi, Soekarno telah mengisyaratkan
bahwa dirinya belum siap bergerak melawan PKI, Angkatan Udara, Subandrio atau elemen-elemen
lainnya yang mungkin terlibat dalam perebutan kekuasaan 30 September. Ada
laporan yang mengindikasikan bahwa Soekarno berada di tangan Angkatan Udara sampai hari
Minggu dan tidak tahu situasi yang sebenarnya. Laporan lainnya menyebutkan bahwa Soekarno kini
sangat menyadari apa yang telah terjadi dan tahu siapa yang jadi dalangnya. ABRI telah melarang
koran PKI - Harian Rakyat -- terbit namun belum bertindak apapun terhadap markas PKI.
Jenderal Seoharto, yang tampaknya memiliki kontrol yang kuat terhadap situasi militer di dalam
dan sekitar Jakarta, pergi ke RRI hari ini, dengan pidatonya yang berapi-api ia mengutuk
Angkatan Udara atas perannya dalam kudeta dan upayanya mencari dukungan publik dengan
menyebut-nyebut soal tindakan brutal terhadap pada jenderalnya. Ini merupakan indikasi pertama
yang kita dapat bahwa ABRI mungkin saja bersedia mengikuti kebijakan Soekarno yang coba
membelokkan peristiwa-peristiwa yang terjadi belakangan ini.

220 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Evakuasi Warga Amerika Sejauh ini belum ada satupun keberangkatan warga AS dari Jakarta via
pesawat terbang komersial, meski pihak Kedutaan memperkirakan bahwa itu mungkin baru dimulai
hari ini. Seorang pejabat tinggi Indonesia (Jenderal Rubiono) mengatakan kepada Kedutaan AS,
tidaklah bijak mengevakuasi warga Amerika pada saat ini karena hal itu akan menunjukkan
kurangnya kepercayaan pada kemampuan ABRI untuk mengatasi situasi. Sebaliknya, ada laporan
bahwa Letkol Untung tengah berada di Jawa Tengah dan sedang mengatur beberapa batalyon
untuk kembali melakukan aksi terhadap ABRI dan pemimpin PKI Aidit kini sedang bersembunyi.

Estimasi Situasi Ada beberapa penilaian dari terjadinya peristiwa belakangan ini, yang semuanya
didukung oleh beberapa informasi yang, kadang kala bertentangan. Namun ada 2 hal utama, yakni:

1. Soekarno mengetahui sesungguhnya apa sedang terjadi sejak awal dan bersikap menunggu
sampai ia bisa melihat siapa yang akan muncul paling depan (diduga ia mengharapkan kudeta trio
Untung-Subandrio-Dani akan berhasil dan Panglima ABRI tak lagi menjadi ancaman terhadap
kebijakannya yang pro-Peking).
2. Soekarno telah dibodohi untuk percaya bahwa kudeta Untung Cs dilakukan untuk
menyelamatkan dirinya dari sebuah kudeta oleh ABRI yang disponsori AS, dan kini ia mulai
percaya bahwa Angkatan Udara PKI terlibat dalam upaya menyingkirkan lawan kuat mereka satu-
satunya, ABRI.

Jika perkiraan (1) di atas benar, maka Soekarno akan melakukan apa saja untuk mencegah ABRI
menghancurkan Angkatan Udara dan PKI, dan ia akan melanjutkan kebijakan terdahulunya yang
menerapkan hubungan dekat dengan Peking dan PKI, yang akan merugikan kita.

Ia telah melakukan beberapa upaya untuk mengesankan bahwa insiden ini semata-mata merupakan
pertikaian antar lembaga.

Jika kita anggap estimasi (2) tersebut benar, maka ABRI akan diberikan otoritas lebih dan orang-
orang seperti Subandrio, Dani dan Untung akan keluar. Tapi, Soekarno mungkin takut bila ia
membiarkan ABRI mengambil tindakan terlalu cepat terhadap Gerakan 30 September, dan
khususnya terhadap PKI, perang sipil akan meluas dan memecah belah negara, akibatnya pulau-
pulau tertentu rentan terhadap penetrasi asing.

Dengan bergerak perlahan dan berupaya menunjukkan kesatuan nasional, ia mungkin bisa
mencegah disintegrasi bangsa dan tetap mengatur elemen-elemen yang coba menggulingkan
pemerintah. Saya cenderung untuk mengira bahwa Soekarno tahu, setidaknya sebagian, apa yang
terjadi sejak awal dan ia sekarang berusaha untuk bersikap sewajarnya, menjaga prestise dirinya
tetap utuh. Pertanyaannya adalah, apakah ABRI yang telah menunjukkan kekuatan dan
kesatuannya, akan mengizinkan Soekarno menjalankan kontrol pemerintah yang dulu
diterapkannya. Dalam berbagai peristiwa, citra Soekarno telah memudar. Dua hari mendatang kita
akan bisa tahu banyak.

Jika ABRI menjadikan peringatan Hari ABRI (5 Oktober) sebagai prosesi besar pemakaman para
jenderalnya, maka momentum itu bisa menempatkan ABRI dalam posisi terdepan dan bukannya
Soekarno. Akan tetapi, kita tak bisa mengesampingkan kekuatan Soekarno memanipulasi situasi
dengan cara apapun yang ia inginkan, yang baik atau yang buruk. Mungkin sekarang tak ada orang
lain di Indonesia yang bisa menjaga keutuhan bangsa, dan ABRI mungkin menganggap faktor ini
lebih penting daripada melakukan tindak pembalasan terhadap Angkatan Udara dan PKI.

221 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

E.J. Blouin

Direktur Wilayah Timur Jauh


8/08/2001 14:40 WIB

Misteri CIA di Seputar G 30S (3)


Kedubes Minta AS Dukung ABRI
Penulis : Rita Uli Hutapea

detikcom - Jakarta, Kedubes AS di Indonesia, merekomendasikan pemerintah AS untuk


membantu segala langkah ABRI mengatasi G 30S. Karena inilah saat yang tepat untuk
mengenyahkan komunisme dari Indonesia. Namun bantuan harus secara diam-diam. Berikut
dokumen yang mengungkapkan hal itu.
Telegram dari Kedutaan AS di Indonesia kepada Deplu AS Jakarta, 5 Oktober 1965 No.868

1. Berbagai peristiwa selama beberapa hari terakhir telah menyebabkan PKI dan elemen-
elemen pro-Komunis bersikap defensif dan mereka mungkin akan memicu ABRI untuk pada
akhirnya bersikap efektif terhadap Komunis.
2. Pada waktu yang bersamaan kami menyaksikan hal yang tampaknya seperti pengalihan
kekuasaan dari tangan Soekarno ke seseorang atau beberapa orang yang identitasnya belum
diketahui, yang mungkin mendatangkan perubahan kebijakan nasional.
3. Sekarang, kunci persoalan kita adalah apakah kita bisa membentuk perkembangan ini agar
menguntungkan kita.
4. Beberapa panduan berikut mungkin bisa memberikan sebagian jawaban atas bagaimana
sikap kita seharusnya:

A. Hindari keterlibatan yang terang-terangan karena seiring berkembangnya perebutan


kekuasaan.

B. Akan tetapi, secara tersembunyi, sampaikan dengan jelas kepada tokoh-tokoh kunci di ABRI
seperti Nasution dan Soeharto tentang keinginan kita membantu apa yang kita bisa, sementara di
saat bersamaan sampaikan kepada mereka asumsi kita bahwa kita sebaiknya menjaga agar setiap
bentuk keterlibatan atau campur tangan kita tidak terlihat.
C. Pertahankan dan jika mungkin perluas kontak kita dengan militer.

D. Hindari langkah-langkah yang bisa diartikan sebagai tanda ketidakpercayaan terhadap ABRI
(contohnya memindahkan warga kita atau mengurangai staf).

E. Sebarkan berita mengenai kesalahan PKI, pengkhianatan dan kebrutalannya (prioritas ini
mungkin paling membutuhkan bantuan kita segera, yang dapat kita berikan kepada ABRI jika kita
bisa menemukan jalan untuk melakukannya tanpa diketahui bahwa hal ini merupakan usaha AS).

F. Dukung seluruh masukan informasi dan sarana-sarana lainnya yang ada untuk bisa menyatukan
ABRI.

G. G. Ingatlah selalu bahwa Moskow dan Peking adalah akar konflik menyangkut Indonesia, dan
bahwa Uni Soviet mungkin akan lebih sejalan pemikirannya dengan kita dibanding saat ini. Ini akan
222 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

menjadi subyek pada pertemuan Country Team kita mendatang dan mungkin kita bisa memberikan
rekomendasi untuk mengeksploitir fenomena ini.

H. Untuk sementara waktu, terus dan pertahankan sikap low profile.


5. Kami akan memberikan rekomendasi selanjutnya karena tampaknya hal-hal inilah yang paling
sesuai untuk situasi yang tidak diragukan lagi akan berkembang cepat atau setidaknya belum pasti
ini.

Green Duta Besar AS untuk Indonesia

8/08/2001 16:0 WIB

Misteri CIA di Seputar G 30S (4)


Washington Setuju Bantu ABRI
Penulis : Rita Uli Hutapea
detikcom - Jakarta, Permintaan Kedubes AS agar AS membantu ABRI (sekarang TNI) menumpas
G 30S disanggupi pemerintah AS di Washington. Dalam rapat kabinet, AS mensinyalir G 30S
adalah upaya Soekarno untuk mengukuhkan kekuasaannya. Namun dipesankan, agar bantuan
dilakukan jika diminta. Surat balasan pemerintah AS melalui Departemen Luar Negeri tersebut
tertanggal 6 Oktober 1965, selang dua hari dari surat yang dikirimkan oleh Kedubes AS.

Berikut isi surat tersebut. Telegram dari Deplu AS ke Kedutaan AS di Indonesia Washington, 6
Oktober 1965, 7.39 malam No. 400 (jawaban atas telegram no. 868)
1. Berdasarkan laporan pertemuan Kabinet 6 Oktober yang baru diterima via FBIS, jelas bahwa
Soekarno berupaya membangun kembali status quo dengan mencuatkan hantu imperialisme
pengeksploitasi perbedaan-perbedaan Indonesia dan menahan tindakan balas dendam ABRI
terhadap PKI dengan alasan untuk mempertahankan kesatuan nasional.

2. Seperti yang telah Anda sampaikan, pertanyaan utama adalah apakah ABRI bisa
mempertahankan momentum sikap ofensifnya terhadap PKI di hadapan manipulasi politik yang
dilakukan Soekarno.
3. Soekarno, Subandrio, dan para simpatisan PKI di Kabinet akan waspada terhadap setiap bukti
yang menguatkan dugaan mereka bahwa NEKOLIM akan berusaha mengeksploitir situasi. Kami
yakin pentingnya kita tidak memberikan kesempatan bagi Soekarno dan sekutunya untuk
menyatakan bahwa mereka akan diserang NEKOLIM dan bahwa kita tidak memberikan Subandrio
dan PKI bukti-bukti bahwa pemerintah AS mendukung ABRI untuk melawan mereka.
4. ABRI tampak jelas tidak membutuhkan bantuan materi dari kita pada poin ini. Selama
bertahun-tahun hubungan inter-service dikembangkan lewat program latihan, program aksi sipil
dan MILTAG, begitu pula dengan jaminan reguler terhadap Nasution, harus diingat jelas dalam
benak para pemimpin ABRI bahwa AS mendukung mereka jika mereka membutuhkan bantuan.
Menyangkut paragraf 4b dan c (dalam telegram bernomor. 868), kita harus mengadakan kontak
yang esktra hati-hati dengan ABRI dengan tidak mengurangi maksud baik kita untuk menawarkan
bantuan kepada mereka. Mengingat kondisi emosional Nasution saat ini ada baiknya Anda
menghindari kontak langsung dengannya kecuali kalau ia yang memulai.

223 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

5. Kami bermaksud dan sedang melaksanakan program informasi dan VOA (Voice of America)
berdasarkan sumber-sumber Indonesia dan pernyataan resmi dari pemerintah tanpa memasukkan
opini kita. Setidaknya dalam kondisi saat ini, kita yakin bahwa berlimpahnya bahan informasi yang
menyalahkan PKI atas perannya terhadap kebrutalan 30 September bisa diperoleh dari RRI dan
media Indonesia.

6. Menyangkut paragraf 4d, kami setuju bahwa evakuasi warga yang terburu-buru tidak
diperlukan saat ini.

7. Kami menanti rekomendasi selanjutnya dari Kedutaan tentang bagaimana langkah kita
selanjutnya.

Ball Pejabat Menteri Luar Negeri AS

8/08/2001 16:40 WIB


Misteri CIA di Seputar G 30S (5)
CIA Sebut Soeharto Oportunis

Penulis : Rita Uli Hutapea

detikcom - Jakarta, CIA serius memantau perkembangan Indonesia pasca G 30S. Gerak cepat
Pangkostrad Mayjen Soeharto juga diamati. CIA mencatat jenderal satu ini punya kecenderungan
politik dan merupakan jenderal oportunis. Satu hal dari sikap Soeharto tersebut terlihat dari
penolakannya terhadap sosok Mayjen Pranoto Reksosamudro. Semula Presiden Soekarno
mengangkat Pranoto sebagai pemimpin sementara ABRI dimaksudkan untuk menjadi penengah.
Pranoto diharap mampu melindungi sayap kiri yang pada kondisi itu sedang terpojok. Namun,
Soeharto mengacuhkan Pranoto. Ia tidak suka. Lebih jauh, Soeharto bahkan berani mengarahkan
moncong senjata ke arah Istana dan menuduh PKI serta AU terlibat G 30S. Berikut dokumen CIA
yang menyebut analisa tersebut.

Memorandum CIA (Central Intelligence Agency) Washington, 6 Oktober 1965 OCI No. 2330/65
Perubahan di Indonesia

Ringkasan ABRI yang baru mengalami apa yang tampaknya merupakan kudeta sayap kiri pada 1
Oktober (30 September WIB), untuk sementara waktu memegang kontrol penuh atas Indonesia.
ABRI -- sekarang TNI -- akan menggunakan kesempatan untuk mengambil langkah tegas terhadap
Partai Komunis Indonesia (PKI) dan elemen-elemen yang terkait dengannya. Namun ABRI masih
ragu untuk mengambil tindakan ini tanpa persetujuan Presiden Soekarno. Soekarno, yang
mementingkan kesatuan nasional dan mungkin mengkhawatirkan meningkatnya kekuatan ABRI,
menganggap bahwa situasi saat ini adalah masalah politik yang membutuhkan penyelesaian politik
dan ia berharap untuk menyelesaikannya sendiri. Ia tampaknya berupaya untuk berkonsiliasi
dengan sayap kiri dan mengembalikan PKI ke posisi politik yang sempat mereka duduki sebelum
peristiwa 1 Oktober.

Pada 1 Oktober sebuah kelompok yang menamakan dirinya "Gerakan 30 September" menculik
enam jenderal ABRI, termasuk Panglima ABRI Jenderal Ahmad Yani, dan kemudian membunuhi
mereka. Gerakan ini dipimpin oleh Letkol. Untung, komandan batalyon dalam pasukan pengawal
Presiden Soekarno, Cakrabirawa. Gerakan ini tampaknya juga didukung oleh beberapa elemen
Angkatan Udara dan yang pada awalnya secara terbuka didukung oleh Kepala Staf Angkatan
Udara Omar Dani.

224 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Juga terlibat elemen ABRI yang pro-komunis dari Jawa Tengah dan anggota Pemuda Rakyat -
organisasi pemuda PKI yang merupakan barisan tentara khusus PKI, dan GERWANI - barisan
wanita Komunis. Sebuah pesan yang dibacakan lewat Radio Jakarta pada 1 Oktober (pagi)
menyatakan bahwa tindakan Untung didukung oleh tentara kesatuan lain dari ABRI dan bahwa
"Gerakan 30 September" dilakukan untuk mencegah kudeta "jenderal" yang disponsori AS.

Pesan tersebut menyatakan bahwa Presiden Soekarno dan target lainnya dari "kudeta jenderal"
kini berada di bawah perlindungan Gerakan. Tak lama sesudah itu 45 anggota "Dewan Revolusi"
sayap kiri diumumkan. Hampir setengah dari anggota Dewan terdiri dari pejabat-pejabat
pemerintah, beberapa dari mereka adalah pejabat tinggi dan tak ada satupun yang bersikap anti-
komunis.

Pada 1 Oktober malam, Jenderal Suharto, Panglima KOSTRAD menginformasikan kepada seluruh
jajaran militer tentang absennya Jenderal Yani yang telah diculik, ia lantas mengambil alih tampuk
kepemimpinan ABRI. Ia melakukan hal ini dengan pengertian dan kerja sama Angkatan Laut untuk
menghancurkan "Gerakan 30 September". Dua jam kemudian RRI mengumumkan bahwa ABRI
telah menguasai situasi, dan polisi telah bergabung dengan ABRI dan Angkatan Laut untuk
menghancurkan 'gerakan revolusi', dan bahwa Presiden Soekarno serta Menteri Pertahanan
Jenderal Nasution (yang menjadi target kelompok Untung) selamat. Pada 1 Oktober malam, Letkol
Untung tampaknya telah melarikan diri ke Jawa Tengah dengan harapan menjalin kekuatan dengan
elemen pro-Komunis di propinsi itu. Siaran berulang-ulang tentang seruan Presiden Soekarno
untuk pemulihan ketertiban dan kuatnya orang-orang yang pro-Soekarno, pro-ABRI dari Jenderal
Sabur - atasan Untung di pasukan Cakrabirawa dan Jenderal Suryosumpeno - pimpinan ABRI di
Jawa Tengah, tampaknya telah menciutkan jumlah para pengikut Untung. Namun laporan tentang
berapa jumlah pendukung Untung bervariasi. Ada yang menyebut sekitar 110 tentara sampai
beberapa batalyon.

Pada 4 Oktober, Kepala Staf Angkatan Udara Omar Dani yang oleh Presiden Soekarno telah
dinyatakan tidak bersalah dalam Gerakan 30 September, menyatakan dirinya tidak terkait dengan
gerakan. Dalam siaran khususnya, ia berterima kasih kepada Soekarno atas kepercayaannya pada
Angkatan Udara dan menegaskan tindakan tegas akan diambil terhadap setiap personil Angkatan
Udara yang terlibat dalam gerakan. Sementara itu, Presiden Soekarno melakukan manuver untuk
memastikan kontrolnya atas situasi. Pada 2 Oktober, ia memanggil semua pimpinan militer dan
Wakil Perdana Menteri II Leimena untuk mengadakan rapat guna menyelesaikan insiden 30
September segera.

(Wakil PM Subandrio berada di Sumatra Utara namun segera pulang dan berada di Bogor
bersama Soekarno; Wakil PM III Chaerul Saleh tengah dalam perjalanan pulang ke Indonesia dari
Cina). Kemudian Soekarno menyiarkan ke seluruh bangsa bahwa dirinya secara pribadi masih
memegang tampuk kepemimpinan ABRI, dan menunjuk Jenderal Pranoto, kepala administrasi
ABRI dan Jenderal Soeharto untuk menjalankan pemulihan keamanan. Berdasarkan siaran oleh
Komando Operasi Tinggi (KOTI) pada 3 Oktober terungkap bahwa Pranoto hanya sebagai
'pembantu presiden'. Soeharto, yang lama dikenal sebagai seorang politikus dan mungkin saja
oportunis, muncul pada situasi ini sebagai pemimpin militer yang tangguh dan tampaknya amat
anti-Komunis.
Sebaliknya, Pranoto, tidak dekat dengan para pejabat yang merindukan kepemimpinan Yani dan
Nasution dan jelas tidak disukai oleh Soeharto dan koleganya. Soekarno menyatakan dirinya
menunjuk Pranoto pada saat krisis ini adalah sebagai cara konsiliasi dan melindungi sayap kiri, dan
225 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

tampaknya ia juga sengaja melakukan hal ini untuk mencegah perpecahan di kalangan ABRI.
Kedutaan AS di Jakarta telah mengkonfimasikan laporan bahwa pasukan pengawal istana dari
Soekarno dan tentara Angkatan Udara melindungi Soekarno dan Omar Dani di Bogor.
Dilaporkan pula, tentara Soeharto telah mengarahkan senjatanya ke arah istana. Pihak Kedutaan
AS kini percaya bahwa tentara Soeharto memiliki akses ke Soekarno namun mereka tidak
menguasainya. Soekarno menolak saran dari ABRI untuk mengambil langkah tegas terhadap para
pemimpin "Gerakan 30 September" dan PKI.

Pada 4 Oktober, ia menyatakan kepada para jenderal ABRI bahwa situasi ini pada dasarnya
melibatkan isu politik, sehingga ketenangan dan ketertiban diperlukan untuk solusinya, dan bahwa
para jenderal harus membiarkan penyelesaian politik pada dirinya. Para jenderal yang awalnya
puas dengan adanya harapan untuk menghancurkan komunis, namun tampak kecewa setelah
pertemuan mereka dengan Soekarno. Tampaknya, beberapa jam sebelum pertemuan 4 Oktober
antara Soekarno dengan para jenderal ini, Soeharto mengeluarkan pernyataan publik yang tidak
biasanya, yang mengimplikasikan keraguan dan kritik terhadap presiden dan menuduh Angkatan
Udara dan PKI terlibat dalam "Gerakan 30 September". Ia menyebutkan jenazah telah ditemukan
di dalam sebuah sumur di lingkungan markas besar Angkatan Udara Halim di Jakarta. Ia
menyatakan bahwa daerah dekat sumur itu telah digunakan sebagai pusat latihan angkatan udara
untuk para sukarelawan dari Pemuda Rakyat (organisasi pemuda komunis) dan GERWANI
(organisasi perempuan komunis).
Berdasarkan fakta ini, menurut Soeharto, mungkin saja benar pernyataan Presiden, Panglima
Tertinggi, Pemimpin Besar Revolusi, bahwa angkatan udara tidak terlibat dalam masalah ini.
Namun tidaklah mungkin bila tidak ada kaitan dengan masalah ini di antara elemen angkatan udara
itu sendiri.

8/08/2001 17:47 WIB

Misteri CIA di Seputar G 30S (6)


Letkol Untung Hanyalah Alat
Penulis : Rita Uli Hutapea
detikcom - Jakarta, Analisis CIA menyebutkan, komandan G 30S Letkol Untung Sutopo hanyalah
alat belaka. Ia bukanlah dalang. Lantas siapa bosnya?

Soal ini CIA tak tahu. Bisa jadi pejabat ABRI yang korup atau faksi komunis yang hendak
memanfaatkan kesempatan. Cerita soal adanya faksi komunis ini sangat mungkin. Menurut laporan,
memang ada tentara komunis di dalam pasukan Untung. Untung sendiri adalah muslim taat. Untung
bergerak, setelah Soekarno merestui penculikan para jenderal yang direncanakan PKI. Namun
perlu dicatat, Soekarno tak setuju dan tak mengira bila ada pembunuhan.

Berikut analisis CIA yang disampaikan 6 Oktober 1965. Memorandum CIA (Central Intelligence
Agency) Washington, 6 Oktober 1965 OCI No. 2330/65 Jenderal Sabur dalam kapasitasnya
sebagai Sekjen Komando Operasi Tinggi (KOTI) menyiarkan tentang peringatan Soekarno pada 4
Oktober kepada para jenderal dan panglima perang. Menurut Sabur, Soekarno telah
memerintahkan mereka yang hadir saat itu, dan termasuk seluruh warga Indonesia untuk tidak
saling berseteru satu sama lain karena akan "membahayakan perjuangan kita dan melemahkan
kekuatan kita".

226 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Sabur menyatakan penyelesaian insiden 30 September akan ditangani langsung secara pribadi dan
secepatnya oleh Presiden. Ia mengutip ucapan Soekarno yang memperingatkan para pimpinan
militer untuk tidak masuk ke dalam perangkap taktik (mungkin imperialis atau neokolonialis) untuk
melemahkan kita dari dalam sebelum nantinya menyerang kita. Menurut Sabur, Soekarno secara
spesifik memerintahkan para panglima perang untuk menyadari bahaya intrik-intrik dari musuh
kita, tetap waspada dan terus memperkuat kesatuan.

Soekarno juga mengatakan bahwa mereka yang menjadi korban "gerakan 30 September" adalah
pahlawan revolusi dan ia mengajak semua berdoa untuk jiwa mereka. PKI yang telah menyatakan
dukungannya terhadap "Gerakan 30 September' melalui surat kabarnya Harian Rakyat, kini
banyak berdiam diri.

Pimpinan PKI tampaknya sedang menyembunyikan diri. Menurut sebuah sumber rahasia, kebijakan
PKI kini adalah untuk menyangkal "Gerakan 30 September".
Anggota-anggota partai yang ketahuan mendukung pemberontakan itu akan dianggap oleh PKI
sebagai orang yang salah jalan. Banyak pertanyaan yang belum terjawab mengenai "Gerakan 30
September". Kebanyakan soal seputar Soekarno. Apakah Soekarno sebelumnya telah mengetahui
"Gerakan 30 September" dan tujuannya? Apakah benar ia sempat berada di bawah perlindungan
anggota gerakan atau apakah ia pergi (seperti yang telah diumumkannya) ke markas Angkatan
Udara Halim - markas Kepala Staf Angkatan Udara Omar Dani dan mungkin juga markas gerakan
30 September - atas kemauannya sendiri pada 1 Oktober karena pikirnya ia memang sebaiknya
berada dekat bandara?

Atau apakah kehadirannya di sana sebagai indikasi bahwa ia, seperti halnya Angkatan Udara dan
PKI secara terbuka dan terang-terangan mendukung gerakan? Atau apakah ini bagian dari rencana
melarikan diri, yang diatur oleh Jenderal Sabur, untuk membawa Soekarno keluar Jakarta dan
menuju Bogor? Apakah sakit Soekarno selama malam menjelang Gerakan 30 September
memotivasi terjadinya insiden - meski sebelumnya ia memang sudah sakit tapi mungkin saja ini
sebenarnya bagian dari rencana?
Pertanyaan lain tersisa mengenai Letkol Untung dan pimpinan PKI. Banyak laporan yang
menyatakan atau menduga Untung semata-mata adalah korban; menurut sebuah sumber, ia adalah
penganut Islam yang taat, yang terjebak ke dalam permainan korup para pejabat tinggi ABRI.
Jika ia hanya alat dan tameng - dan ini tampaknya benar - jadi siapa sesungguhnya dalangnya?

Atau apakah beberapa rencana oleh berbagai elemen menjadi bercampur dan masing-masing
rencana digunakan untuk membenarkan rencana lainnya? Ada laporan yang bisa dipercaya bahwa
PKI pada bulan Agustus telah membahas sebuah contingency plans yang akan dijalankan bila
Soekarno meninggal dalam beberapa hari atau minggu mendatang.
Setidaknya ada satu laporan yang menyebutkan bahwa Soekarno menyetujui penangkapan - oleh
siapa penangkapan itu tidak diketahui - jenderal-jenderal yang anti-komunis namun ia tidak
mengetahui adanya rencana untuk membunuh mereka. Jika ia tahu, pasti ia tak akan
menyetujuinya. Sebuah sumber pejabat tinggi ABRI (pernah menjadi dokter Soekarno dan tokoh
kunci dalam komunikasi ABRI), yang sering kali blak-blakan mengenai urusan internal, pada 3
Oktober mengungkapkan bahwa di antara para pendukung Untung ada beberapa personil Komunis
yang bersenjata dan tidak mendapat informasi tentang rencana tersebut.

Pasukan Untung termasuk di antara mereka yang pergi ke rumah para jenderal namun tidak jelas
siapa yang melakukan penembakan - mengingat personil Komunis yang tidak mendapat informasi
227 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

itu juga bagian dari grup. Pandangan yang paling mungkin tentang latar belakang insiden "Gerakan
30 September" adalah bahwa Soekarno, Subandrio, dan mungkin pimpinan PKI yang dekat dengan
mereka telah mempertimbangkan soal penangkapan beberapa jenderal tertentu.
Soekarno dan Subandrio berulang kali di depan publik telah memperingatkan ABRI agar para
pimpinannya harus kooperatif dengan "revolusi" atau akan "ditinggalkan". Berpijak dari hal ini,
para personil milisi PKI baik yang di dalam maupun di luar Angkatan Udara mungkin menggunakan
hal itu untuk membenarkan tindakan terhadap Untung. Pemuda milisi PKI menolak taktik damai
yang didukung oleh pimpinan tinggi PKI dan juga Soekarno.
Pemilihan waktu aksi mereka bisa jadi dipengaruhi oleh adanya laporan Soekarno menderita sakit
pada malam 30 September dan oleh adanya sebagian informasi soal contingency plans PKI jika
Soekarno meninggal. Para milisi yang spontan dan mungkin tidak bisa berpikir jernih itu
menganggap dengan kematian para jenderal dan pembentukan pemerintah baru akan memaksa
Soekarno dan seluruh rakyat Indonesia untuk tunduk kepada mereka.
Meski "Harian Rakyat" terang-terangan mendukung gerakan namun tampaknya Ketua PKI Aidit
tak menyetujui pembunuhan para jenderal atau bahkan perubahan pemerintah. Situasi Indonesia,
baik di dalam maupun luar negeri tampak menguntungkan bagi PKI dan mengingat Soekarno yang
mungkin tak lama lagi meninggal, tampaknya keadaan akan menjadi jauh lebih menguntungkan bagi
PKI.
Namun motivasi Kepala Staf Angkatan Udara Omar Dani tetap tidak terjawab. Melihat
perlawanan ABRI dan langkah Soekarno, banyak pertanyaan tersisa mengenai timbulnya "Gerakan
30 September". Namun poin penting sekarang adalah apakah ABRI akan setuju dengan Soekarno
dalam mengatasi situasi.

Berdasarkan laporan-laporan mengenai ABRI tampaknya, meski marah dan kecewa dengan
pembunuhan enam jenderal mereka, sebagian besar pejabat ABRI tetap akan mendukung
Soekarno. Meski ada beberapa individu pejabat ABRI yang mulai meragukan kebenaran kebijakan
Soekarno, namun sebagian besar masih enggan untuk menentangnya. Terlebih Soekarno telah
menegaskan sikapnya bahwa setiap tindakan terhadap PKI akan dianggap sebagai tindakan anti-
Soekarno. Akan tetapi, sebagai akibat dari "Gerakan 30 September", untuk sementara ABRI akan
tetap menguasai secara politik.

Ini didasarkan pada masih diberlakukannya keadaan darurat militer di Jakarta dan kontrol penuh
ABRI di beberapa wilayah Indonesia. Langkah Soekarno yang terlalu cepat menunjukkan
dukungannya terhadap sayap kiri selama periode ini, akan menyebabkan perbedaan yang kian
tajam antara dirinya dan kebanyakan pimpinan ABRI.
Ini bisa memicu bertambahnya dukungan publik dan politikus anti-komunis terhadap ABRI.
Kesehatan Soekarno tetap menjadi faktor penting dalam menentukan arah situasi. ABRI
tampaknya akan lebih bersikap tegas jika presiden mangkat atau tak mampu lagi memimpin
dibanding jika presiden masih menunjukkan kekuatannya. Meski Soekarno masih terus
mengasingkan diri namun ini tak bisa dijadikan indikasi bahwa kesehatannya telah menurun tajam.
Ia mungkin saja menolak hadir di depan publik sampai ia pikir itu ada gunanya bagi kepentingan
politiknya. Namun, belakangan ini Soekarno sering mengadakan pertemuan dengan sejumlah
pejabat militer dan sipil.

228 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

8/08/2001 18:30 WIB

Misteri CIA di Seputar G 30S (7)


Setumpuk Strategi AS Bantu ABRI
Penulis : Rita Uli Hutapea

detikcom - Jakarta, Perkembangan cepat yang terjadi pasa G 30S, membulatkan tekad AS untuk
membantu ABRI menghadapi komunis. AS menduga Indonesia berpaling pada Jepang. Karena itu,
sederet rencana bantuan segera disodorkan.

Ternyata seperti yang diungkap dalam perintah Deplu AS bagi Kedubes AS di Indonesia, 29
Oktober 1965, pemberian bantuan itu meliputi banyak hal. Antara lain, kesiapan memberikan
bantuan ekonomi via IMF, meyakinkan AS adalah sahabat Indonesia, pemberian bantuan pangan
dan mempertimbangkan pengiriman senjata. Berikut bunyi dokumen tersebut.
Telegram dari Deplu AS ke Kedutaan AS di Indonesia Washington, 29 Oktober 1965, pukul 3.48
sore No.545
Berikut adalah analisis tentatif kami atas perkembangan situasi di Indonesia dan implikasinya
buat AS. Kami ingin tanggapan atau pengamatan Anda untuk dikembangkan menjadi rekomendasi
kebijakan kami. Pidato Nasution ada 25 Oktober dan kampanye terbuka melawan Subandrio
adalah bukti konklusif pertama bahwa para pemimpin ABRI bertekad untuk memerangi PKI dan
para simpatisannya, dan tidak akan melenceng dari tujuannya meski ditentang Soekarno.
Pimpinan ABRI semakin menunjukkan perlawanannya terhadap Soekarno. Arah permainan mereka
tampaknya akan coba menjauhkan Soekarno dari para penasihatnya yang anti-ABRI,
mengasingkannya dan kemudian menggunakannya atau bahkan mungkin menyingkirkannya, jika
dibutuhkan. PKI yang kini sedang diburu oleh ABRI, masih bisa melakukan aksi perlawanan dengan
menyerang, sabotase atau perang gerilya dengan dalih bahwa ABRI adalah alat kekuatan
imperialis dan CIA.

ABRI tak akan punya pilihan lain kecuali melawan serangan ini dan akan membutuhkan konsistensi
pemerintah untuk mendukung usaha mereka. ABRI tetap mempertahankan perannya yang non-
politik dan menjauhi ide perebutan kekuasaan. Namun dengan jatuhnya konsep NASAKOM, maka
tak ada kesatuan terorganisir yang bisa memberikan arah dan kepemimpinan kepada pemerintah,
kecuali ABRI.

Cepat atau lambat, akan menjadi semakin jelas bagi pimpinan ABRI bahwa merekalah satu-satunya
kekuatan yang mampu menciptakan keteraturan di Indonesia, dan mereka harus mengambil
inisiatif untuk membentuk pemerintah gabungan militer atau sipil-militer, dengan atau tanpa
Soekarno.
Hubungan dengan Red China semakin tegang karena berdasarkan kecurigaan para pemimpin ABRI,
Komunis Cina berada di balik kudeta. Uni Soviet telah melancarkan tekanan terhadap ABRI untuk
menghentikan aksi serangannya terhadap sayap kiri, bahkan sudah mengisyaratkan bantuan dana
Uni Soviet akan dihentikan. ABRI tentu saja tak akan menyerah pada tekanan ini.

Jika analisis ini benar, kita bisa lihat beberapa bentuk masalah yang mungkin bisa mempengaruhi
kita:

229 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

a. Seiring dengan pemikiran ABRI untuk membentuk pemerintahan baru, mereka mungkin
membentuk pemerintahan sipil atau koalisi sipil-militer untuk menjalankan reformasi ekonomi dan
membawa Indonesia ke arah baru yang bebas dari pengaruh luar.
b. Komunis Cina semakin menunjukkan pertentangannya dengan Indonesia karena tindakan ABRI
terhadap PKI. Ini tak beda jauh dengan sikap Uni Soviet, yang menyalahkan Cina atas terjadinya
kudeta. Jika Uni Soviet mendukung usaha PKI menentang ABRI, maka hubungan ABRI dan Uni
Soviet akan menegang, namun mereka juga tidak bisa mendukung ABRI. Mungkin Uni Soviet akan
memilih bersikap menunggu. Cina dan Uni Soviet mungkin berharap Soekarno tetap berkuasa dan
memaksa ABRI untuk menerima kehadiran sayap kiri dalam NASAKOM.

c. Jika asumsi kita benar bahwa ABRI harus melanjutkan peperangannya terhadap PKI, dan PKI
akan bereaksi, dan bahwa Cina dan Uni Soviet tidak bisa mengabaikan penumpasan PKI ini
sehingga mereka akan terus mengkritik ABRI, maka ABRI terpaksa harus menelaah sikapnya
terhadap Cina dan Uni Soviet.
d. Dari situ hanya ada satu langkah bagi ABRI untuk terus menumpas ABRI, bahwa mereka harus
mencari teman dan dukungan lain. Kita perkirakan mereka akan mendekati Jepang, atau kekuatan
lainnya, dan tidak diragukan lagi, kita. Mereka akan menyadari bahwa kebijakan domestik dan luar
negeri Soekarno dan PKI yang ekstrim telah membawa Indonesia ke kondisi chaos-nya
perekonomian, politik dan sosial.
Namun berdasarkan pemikiran Soekarno yang telah berlangsung lama, mereka pasti akan ragu-
ragu untuk mengatasi ini semua atau curiga dengan bantuan dan saran dari kita. Beberapa hari,
minggu atau bulan mendatang, mungkin akan tersedia kesempatan bagi kita untuk mulai
mempengaruhi rakyat, seiring dengan mulai pahamnya militer akan masalah dan dilema yang
mereka alami.

a. Kita hendaknya berusaha meyakinkan mereka bahwa Indonesia bisa selamat dari chaos, dan
ABRI merupakan instrumen utama untuk itu.

b. Kita harus menunjukkan bahwa Indonesia dan ABRI mempunyai sahabat yang siap menolong
mereka.

c. Bila kita diminta membantu oleh Nasution kita harus meresponnya dengan mengatakan kita
siap membantu.

d. Mereka akan membutuhkan pangan, dan kita tegaskan bahwa Palang Merah Internasional bisa
memberikannya jika mereka meminta bantuan langsung kepada kita atau lainnya (Jepang, Brazil,
Malaysia, Thailand, Taiwan, dan bahkan Republik Korea).

e. Anjloknya rupiah dan situasi ekonomi yang buruk mungkin membutuhkan perhatian para pakar
segera. Kita bisa nyatakan bahwa IMF bisa memberikan saran dan bantuan, begitu pula dengan
kita. Namun hal ini akan membutuhkan perubahan sikap Indonesia terhadap IMF dan negara
sahabat.
f. Persenjataan dan perlengkapan militer mungkin akan dibutuhkan untuk menangani PKI.
(Apakah Uni Soviet akan mensuplai ABRI dengan persenjataan jika itu digunakan untuk menyerang
PKI?)

g. Dengan berkembangnya situasi, ABRI akan semakin mengerahkan upayanya untuk menumpas
PKI, dan kita harus sudah siap dengan kesempatan itu.

230 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

h. Mungkin sekali ABRI akan datang kepada Jepang pertama kali untuk meminta bantuan. Jepang
memiliki kepentingan nasional yang vital atas keberhasilan ABRI melawan PKI dan kestabilan
Indonesia. Jepang sendiri sudah mengambil inisiatif.
i. Saat ini, Jepang masih terhipnotis dengan Soekarno sebagai pria 'esensial' dan mereka
berhati-hati untuk tidak melawannya. Namun bila, situasi berkembang seperti yang kita
perkirakan, dan Soekarno akan diasingkan atau dipindahkan, keadaan akan menjadi amat berbeda
bagi Jepang.

Hingga tahap tertentu, kita akan mengadakan diskusi rahasia dengan Jepang, membandingkan
catatan perkembangan yang dimiliki masing-masing pihak dan mengupayakan kerja sama atas
pengambilan tindakan yang disepakati. Kita tentu saja, akan mengkonsultasikan ini dengan Inggris,
Australia, dan lainnya.
Rusk Pejabat Departemen Luar Negeri
8/08/2001 19:47 WIB

Misteri CIA di Seputar G 30S (8)


Bantuan AS pun Mengalir Deras
Penulis : Rita Uli Hutapea

detikcom - Jakarta, Komitmen AS untuk membantu ABRI menghadapi komunis pasca G 30S
ditepati. Kepada ABRI diberikan bantuan peralatan komunikasi canggih. Komitmen pemberian
bantuan juga datang dari Kasgab militer AS.

Beberapa poin soal pemberian bantuan ini tertuang dalam beberapa dokumen penting. Satu ciri
yang mutlak, pada pemberian bantuan terhadap ABRI diupayakan setertutup mungkin, mengingat
hal itu bisa menjadi bumerang. Presiden Soekarno bisa menjadikannya sebagai alat tuduhan ABRI
ditunggangi CIA. Berikut poin-poin penting dalam dokumen tersebut.
Memorandum yang disiapkan untuk Komite 303 Washington, 17 November 1965

Perihal: Pengiriman Peralatan Komunikasi untuk Tokoh Penting ABRI Anti-Komunis


Ringkasan

Maksud proposal operasi ini untuk memastikan bahwa tokoh-tokoh kunci ABRI anti-komunis akan
memiliki peralatan komunikasi yang cukup untuk digunakan dalam perlawanannya terhadap
Komunis. Peralatan ini tidak tersedia cukup di Indonesia. Kekurangan ini telah mengurangi
keefektifan mereka dalam memerangi upaya Komunis menghapuskan pengaruh non-Komunis di
pemerintahan mereka. Permintaan peralatan oleh beberapa pejabat tinggi Indonesia mendapat
dukungan dari Dubes AS di Indonesia dan disetujui Biro Urusan Timur Jauh Deplu.

Ada beberapa risiko dalam pengiriman peralatan ini, namun dengan tindakan pencegahan yang
tepat akan meminimalkan risiko. Indonesia saat ini tidak bisa melakukan pembelian peralatan dari
AS. Apalagi, berita soal ini tidak saja akan memalukan pemerintah AS, namun juga para pejabat
tinggi ABRI di Indonesia. Tindakan hati-hati diperlukan. Pada 5 November 1965, Komite 303
menyetujui permintaan serupa untuk mengirimkan peralatan medis ke Indonesia.

Diharapkan Komite 303 akan menyetujui program di atas, yang diperkirakan akan berlangsung
sampai waktu tertentu. Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan

231 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

a. Asal mula permintaan: Banyaknya permintaan akan peralatan komunikasi datang (kurang dari 1
baris tulisan dirahasiakan) dari Dubes AS untuk Indonesia, dari pembantu Menteri Pertahanan
Nasution, dan dari Jenderal Sukendro.
b. Pertimbangan kebijakan AS yang sesuai: Pada 5 November 1965 Komite 303 menyetujui
proposal operasional untuk menjawab permintaan Indonesia atas peralatan medis.

c. Tujuan Operasional: Kontak tertutup (kurang dari 1 baris dirahasiakan) harus dipertahankan
dengan pimpinan ABRI tertentu.

d. Teknis

e. Teknis
f. Pelatihan: Beberapa pejabat komunikasi senior ABRI yang qualified, ditentukan oleh
Sukendro, akan diberikan (kurang dari 1 baris tulisan dirahasiakan) pelatihan khusus rahasia di
lokasi yang aman untuk menggunakan peralatan ini. Mereka akan dijelaskan konsep umum
pengoperasian jaringan komunikasi ini; frekuensi antara 42 dan 53 megacycles yang bisa
digunakan di Indonesia (agar aman dari monitoring lokal) sehingga dengan spesifikasi ini,
penghubung kami bisa menyetel peralatan dengan frekuensi yang diinginkan.

g. Pendanaan: Total biaya diperkirakan mencapai (kurang dari 1 baris tulisan asli dirahasiakan).
Peralatan itu sendiri kira-kira akan mencapai (kurang dari 1 baris tulisan asli dirahasiakan) untuk
pemuatan dan pengepakan.

4. Koordinasi Proposal operasional ini telah direkomendasikan oleh Dubes AS untuk Indonesia dan
telah disetujui Departemen Luar Negeri Biro Urusan Timur Jauh.

5. Rekomendasi Komite 303 menyetujui program ini. Memorandum dari Gabungan Kepala Staf
kepada Menteri Pertahanan McNamara Washington, 30 Desember 1965 Perihal: Bantuan ke
Indonesia Berkaitan dengan pesan terakhir dari Kedutaan AS di Jakarta yang berisikan informasi
bahwa Presiden Soekarno mungkin akan digulingkan setelah 1 Januari 1966, Indonesia mungkin
meminta bantuan AS. Jika ini terjadi, permintaan bantuan ekonomi mungkin akan cukup besar.

Permintaan material militer mungkin tidak banyak. Barang-barang yang mungkin diminta termasuk
amunisi, senjata otomatis ringan, kendaraan, radio portabel, dan mungkin suku cadang C-130 dan
C-47. Bantuan training mungkin juga diminta.

Upaya penjatuhan Presiden Soekarno oleh ABRI bisa menguntungkan kepentingan keamanan AS di
sana. Meski ABRI tampaknya tak ingin mencari sekutu asing dalam penerapan kebijakannya,
seperti halnya Soekarno dulu.
ABRI tampaknya akan menjadi kekuatan tunggal anti-komunis yang paling kuat di Indonesia,
namun pada akhirnya pasti akan memerlukan kepemimpinan sipil. Kepentingan AS akan lebih
terjamin jika pemerintah baru nanti cenderung pro-Barat. Atau setidaknya netral. Akan tetapi
ada beberapa faktor yang menyebabkan kita belum bisa memberikan bantuan militer kepada
ABRI:
a. Posisi ABRI yang belum pasti dan pemberian bantuan militer AS yang terang-terangan pada
saat ini akan cenderung mendatangkan tuduhan oleh Soekarno, Subandrio, Peking dan Moskow
bahwa ABRI adalah 'alat imperialisme AS'.

232 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

b. Mengingat komitmen AS di Asia Tenggara, pemberian bantuan logistik kepada Indonesia


harus dievaluasi. Gabungan Kepala Staff merekomendasikan:

b1 Amerika Serikat, jika diminta, akan siap memberikan kepada Indonesia sejumlah bahan
pangan/obat-obatan untuk menunjukkan dukungan terhadap pemerintah baru.
b2 Karena kampanye pimpinan ABRI melawan PKI tampaknya berjalan sesuai rencana dan
bantuan militer AS tampaknya tak dibutuhkan untuk keamanan internal, maka untuk saat ini AS
hendaknya tidak secara terang-terangan memberikan bantuan militer kepada Indonesia.

b3 Departemen Luar Negeri dan Departemen Pertahanan bersama-sama menyusun kriteria


untuk melanjutkan pemberian bantuan militer dan ekonomi.
b4 Memorandum ini akan diteruskan ke Menteri Luar Negeri.

Atas nama Gabungan Kepala Staf:


David L. McDonald
Ketua

8/08/2001 21:13 WIB

Misteri CIA di Seputar G 30S (9)


ABRI Lamban, AS Mulai Ragu-Ragu
Penulis : Rita Uli Hutapea
detikcom - Jakarta, Sikap ABRI yang tak juga berani bertindak keras terhadap Soekarno dan
PKI tak urung sempat membuat AS jengkel. AS menganggap para pimpinan ABRI bersikap
terlampau hati-hati dalam menghadapi Soekarno. Maksud hati agar tak timbul perpecahan di
masyarakat, namun yang didapat kuku komunisme tak juga tercabut.

Karena itu, AS pun mulai hati-hati pula menyalurkan bantuan. Presiden AS Lyndon B. Johnson pun
sempat bertanya pada Dubes AS Marshall Green untuk memastikan bantuan benar-benar
dihentikan. Berikut dokumen yang menyebut hal itu.
Telegram dari Kedutaan AS di Indonesia kepada Deplu AS Jakarta, 19 November 1965 No. 1511

1. Kami yakin bahwa AS dan sekutunya harus ekstra hati-hati mengenai pemberian bantuan
kepada para jenderal saat ini. Dalam setiap hal, bantuan kita tergantung pada apakah kita yakin
ABRI benar-benar berniat tegas menentang Soekarno/Subandrio. Ada indikasi yang
membingungkan apakah ABRI akan tetap bersikap tegas atau justru perlahan-lahan akan menuruti
keinginan presiden. Yang jelas, kita jangan sampai memberikan bantuan yang akan mendatangkan
keuntungan bagi Soekarno yang tetap menjadi kepala negara dan pemerintahan.

2. Saat ini ada bukti-bukti yang membingungkan tentang apakah, kapan dan bagaimana ABRI
akan bergerak melawan Soekarno. Selama Soekarno masih berkuasa, ABRI dan anti-komunis
mungkin akan cenderung mempertahankan kebijakan "anti-imperialis dan anti-kolonial", yang
konsekuensinya adalah terus belangsungnya konfrontasi dengan Malaysia dan sikap anti-Barat.
Kami juga menduga keadaan akan semakin chaos sebagai akibat deadlock antara Soekarno dan
ABRI yang menyebabkan setiap program pembangunan ekonomi tak mungkin dilakukan, kecuali
sampai salah satu kekuatan politik itu disingkirkan.
233 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

3. Meski AS mengharapkan kondisi yang lebih baik nantinya (masa sesudah Soekarno), kami
tidak melihat adanya perbaikan besar posisi AS dalam jangka pendek, bahkan jikapun ABRI bisa
bertahan sebagai salah satu struktur kekuasaan. Apalagi, tindakan Soekarno untuk merebut
kembali kekuasaannya, tak diragukan lagi akan menggencarkan kebijakan anti-Amerika Serikat.
Kami sudah melihat bukti hal ini dalam pidato presiden tentang penarikan biaya Rp 150 juta.
(Dalam pidatonya kepada Kabinet 6 November 1965, Soekarno menuntut biaya sebesar Rp 150
juta dari mantan Dubes AS untuk Indonesia Howard Jones karena sengaja menyebarkan ideologi
Dunia Bebas ke Indonesia - Airgram 331 dari Jakarta, 16 November).
4. Karena itu, kami merekomendasikan beberapa hal untuk diajukan di pertemuan:

A. Kita tak akan mengambil langkah apapun yang bisa meningkatkan imeg Soekarno-Subandrio,
baik diinginkan ABRI atau tidak.
B. Kita sebaiknya tidak memberikan bantuan ekonomi yang signifikan untuk ABRI kecuali dan
sampai kita tahu kemana arah mereka secara politik dan ekonomi. (Hal pemberian bantuan yang
bisa menolong ABRI mengatasi PKI akan diperlakukan berbeda).

C. Kita hendaknya mempertimbangkan pemberian bantuan untuk pemerintah yang murni non-
komunis jika ada perubahan atmosfir karena bantuan ini akan efektif.

Marshall Green Dubes AS untuk RI

Memorandum Pembicaraan Washington, 15 Februari 1966, pukul 11.55-12.20

Perihal: Indonesia Partisipan:

Presiden Johnson, Wakil Menlu William P. Bundy, Dubes Marshall Green, Mr. Robert Komer. Atas
permintaan Presiden, Dubes Green membahas situasi dan tren prospektif di Indonesia,
menyertakan beberapa rekomendasi umum kebijakan AS dalam berhadapan dengan Indonesia.

Dubes menegaskan, meskipun hubungan antara Indonesia dan AS masih jauh dari memuaskan,
adanya kudeta pada 1 Oktober (31 September WIB) lalu telah mendorong upaya penumpasan PKI;
merosotnya prestise internasional Peking yang diduga terlibat dalam kudeta itu; memburuknya
hubungan antara Indonesia dan Komunis Cina; goncangan bagi citra Soekarno sebagai pemimpin
'kekuatan baru' melawan dunia Barat; dan berkurangnya prestise dan dukungan bagi Soekarno di
antara rakyatnya.

Akan tetapi, Soekarno tetap menjadi Presiden dan pemimpin revoulsi. Hingga tahap tertentu, ia
berhasil memainkan kebingungan dan ketakutan lawan-lawannya dalam merebut kekuasaan. Ia
tampaknya berhasil membelokkan kembali revolusi ke arah kiri. Ia pintar dan persuasif dan
tampaknya fisiknya masih kuat.

Menurut Dubes Green, ABRI yang memimpin kelompok oposisi Soekarno, meski tak bersedia
melawan Soekarno secara terang- terangan dan frontal, sebenarnya sangat menentang hadirnya
PKI dan hubungan dengan Cina.

Kelompok oposisi juga menginginkan pemerintahan yang lebih baik. Akan tetapi, didorong oleh rasa
khawatir timbulnya kekacauan masyarakat, ABRI masih enggan dan bimbang untuk langsung
menentang Soekarno. ABRI juga mungkin ragu untuk mengemban tanggung jawab yang terlalu
besar seiring dengan terus memburuknya kondisi politik dan ekonomi Indonesia.

234 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Dubes Green merasa bahwa hancurnya perekonomian yang kian parah, khususnya krisis atas valuta
asing bisa membuat masalah semakin menggunung dalam enam bulan mendatang atau lebih. Dari
waktu ke waktu, situasi di Indonesia akan sangat berantakan, ujarnya. Hal yang tampaknya
semakin jelas saat ini adalah kita tengah berada dalam fase transisi antara Soekarno dan
penggantinya yang belum diketahui siapa.

Dalam situasi ini, menurut Dubes AS hendaknya terus mempertahankan sikap low profile. Dubes
menyatakan ia sangat menghargai cara-cara pejabat AS mulai dari Presiden sampai pejabat di
bawahnya yang telah berusaha untuk tidak memberikan pernyataan publik tentang Indonesia.
Mempertahankan sikap seperti ini sangatlah penting karena apapun yang dikatakan atau dilakukan
AS tentang Indonesia bisa menyebabkan distorsi dan salah penafsiran. Kita akan terus dituduh
mencoba ikut campur urusan mereka, yang tentu saja tidak kita lakukan dan memang tak
seharusnya kita melakukan. Presiden menanyakan apakah semua bantuan AS ke Indonesia,
termasuk bantuan ke militer telah dihentikan.
Dubes menyatakan sudah, dan ia menyarankan agar AS tidak memberikan dulu bantuan ke
Indonesia sampai Indonesia memulai menata kembali negaranya. Ia menyebutkan bahwa Soekarno
terang-terangan menentang setiap bantuan AS ke Indonesia, dan hal ini secara diam-diam telah
disampaikan pimpinan ABRI kepada kami dan kepada Jepang. Mereka menyatakan, mereka
menentang bantuan apapun pada saat ini karena hanya akan menguntungkan Soekarno dan
Subandrio. Meski begitu, menurut Dubes kita seharusnya tetap berpikiran terbuka soal bantuan
kepada Indonesia.

Situasi bisa saja bertambah buruk dan kita bisa memberikan bantuan pangan atas dasar
kemanusiaan, juga untuk mencegah timbulnya huru-hara akibat kurang pangan dan kerusuhan yang
bisa membahayakan warga asing di Indonesia. Jika Indonesia mulai mengambil langkah-langkah
yang signifikan untuk memperbaiki pemerintahan dan arahnya, maka menurut pendapat Dubes,
kita harus siap menawarkan bantuan, bisa lewat sebuah kesepakatan konsorsium atau badan
internasional seperti Bank Pembangunan Asia (ADB). Ringkasan Tindakan Presiden menyatakan ia
menghargai observasi ini dan ia menyerahkan kepada Dubes untuk membuat detil rekomendasi
mengenai waktu dan kondisi yang memungkinkan Amerika Serikat memberikan bantuannya ke
Indonesia.

9/08/2001 01:7 WIB

Misteri CIA di Seputar G 30S (10)


Cerita Adam Malik pada Dubes AS
Penulis : Rita Uli Hutapea
detikcom - Jakarta, Sadar langkahnya selalu ditunggu, ABRI mulai menambah tenaga. Politisi sipil
yang dekat dengan Soeharto, Adam Malik mengatakan rencana terbaru ABRI pada Dubes AS.
Dijamin, ABRI akan siap bergerak.
Kejadian itu, malam di awal Maret 1966. Dalam pertemuan dengan Dubes AS Marshall Green itu,
Adam Malik menceritakan bagaimana ABRI sudah siap bergerak dengan dukungan 22 batalyon.
Menurut Adam Malik, sikap antisipastif ini dipicu tindakan Soekarno sendiri yang berniat
memberhentikan Pangkobkamtib Jenderal Soeharto.

235 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Semula Green ragu. Soekarno bisa saja memcah ABRI dengan mengumpulkan pati ABRI lainnya.
Namun Adam Malik menjamin hal itu tak terjadi. ABRI dalam kondisi solid. Apapun, demi
mendengar ocehan ini, Dubes Green pun langsung mengirim telegram ke Washington. Berikut
ceritanya.
Telegram dari Kedutaan AS di Indonesia ke Deplu AS Jakarta, 10 Maret 1966 No. 2536

1. Menteri Adam Malik, yang tampaknya amat bersemangat, berbeda dari yang pernah saya
lihat sebelumnya, mengatakan kepada saya ketika bertemu di suatu tempat kemarin malam, bahwa
situasi kini siap meledak. ABRI katanya telah siap bergerak setiap waktu dengan menggunakan 22
batalyon tentara yang setia kepada Jenderal Nasution dan Soeharto di Jakarta dan sekitarnya.

2. Saya katakan padanya saya mengerti bahwa Soekarno berencana memberhentikan


Soeharto, benarkah begitu? Ia menyatakan Presiden memang berencana memberhentikan
Soeharto dan Adjie; dan Malik berharap Soekarno akan melakukan hal itu karena langkah ini jelas
akan mendorong ABRI bergerak melawan Presidium dan membawa perubahan yang telah lama
dinantikan.

3. Saya katakan bahwa dulu ketika ABRI tampaknya satu dalam tekadnya, Soekarno mampu
menggoyahkan mereka dengan memanggil semua jajaran militer termasuk panglima-panglima
wilayah dan membuat mereka setuju pada sikapnya, akibatnya para panglima itu pun bingung
menentukan bagaimana sebenarnya sikap mereka. Pekan ini Soekarno telah mengadakan
pertemuan serupa itu, apakah sejarah akan kembali terulang?

4. Malik menjawab bahwa menurutnya hal itu tidak akan terjadi. Semua panglima sekarang
berdiri di belakang Soeharto, hanya tinggal menunggu perintah darinya. Akan tetapi, ABRI tak
akan mengambil langkah inisiatif melawan Soekarno/Subandrio karena ABRI tak mau bersikap
agresif, namun tindakan ABRI akan berbentuk serangan balas. Para mahasiswa dan buruh akan
terus berdemonstrasi sampai Soekarno/Subandrio terprovokasi untuk mengambil tindakan yang
bisa dibenarkan ABRI untuk melakukan serangan balas. Ini bisa berupa pemecatan Soeharto atau
Adjie atau Sarwo Edhie atau Mokoginta atau ketia pasukan Cakrabirawa menembaki mahasiswa.
Contoh bahwa Soekarno amat mungkin menjadi pemicu tindakan ABRI adalah ketika ia dan
Subandrio menginspeksi Departemen Luar Negeri yang diamuk massa pada 9 Maret, Soekarno
saat itu amat marah hingga ia memerintahkan pasukan Cakrabirawa untuk menembak mahasiswa.

5. Malik juga mengatakan, staf muda Angkatan Udara juga kini terorganisir menjadi tim yang
mendukung gerakan anti-Presidium dan merencanakan sabotase pesawat terbang yang terlibat
dalam usaha pelarian menteri-menteri kabinet sayap kiri dari Jakarta.

6. Menurut Malik, sejauh ini elemen baru yang paling penting dalam situasi ini dibanding sejak
pertemuan kami sebulan lalu adalah gerakan mahasiswa melawan Subandrio dan menteri-menteri
kabinet sayap kiri. Mahasiswa ini lebih kuat daripada semua partaidan mampu menarik banyak
simpati dan dukungan. Bahkan, gerakan anti-pemerintah yang ada sebelumnya tak ada yang mampu
menandingi besarnya dukungan terhadap mahasiswa. Apalagi, aparat tentara dan polisi paling
canggung untuk menembak demonstran mahasiswa.
7. Terlebih lagi, serikat-serikat kerja juga mulai beraksi. Sebagian besar serikat kerja akan
mendukung mahasiswa dengan bersama-sama berunjuk rasa dan melakukan mogok kerja yang
dimulai pekan ini.

236 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

8. Saya menanyakan pada Malik apakah pemberhentian Nasution telah mendatangkan masalah
serius bagi ABRI. Menurutnya, tidak sama sekali. Nasution yang terus mendapat dukungan di
seluruh negeri, bisa bertindak lebih efektif di belakang layar dibanding ketika ia masih di
Departemen Pertahanan. Nasution dan Soeharto tetap dekat namun lebih baik membiarkan
Soeharto berada di depan. Saya tanyakan bagaimana posisi Jenderal Machmud (Panglima Kodam V
yang bertanggung jawab atas wilayah Jakarta), kata Malik ia jelas mendukung Soeharto.

9. Akhirnya dan yang terpenting, saya tanyakan Malik tentang situasi keamanan umumnya atas
pengaruhnya pada warga Amerika dan properti milik Amerika. Saya sebutkan soal demo mahasiswa
ke kantor Subandrio sudah tentu akan mendorong Subandrio untuk membalas atau mengalihkan
perhatian. Ia tak bisa menjadikan ABRI atau mahasiswa sebagai target sasarannya, jadi amat
mungkin ia akan mengerahkan pasukannya melawan Kedutaan kami. Hal ini sudah pernah terjadi
dua kali dalam 2 minggu belakangan. Apalagi saya punya laporan yang agak mengganggu bahwa
Soekarno telah menunjukkan kemarahannya yang bisa diarahkan ke Amerika. Ini berarti bahaya
bagi penduduk kami. Bagaimana menurut Malik?

10. Malik menjawab, memang tidak diragukan lagi Subandrio akan mencoba aksi anti-Amerika.
Akan tetapi, hal ini tak akan mendapat dukungan dari banyak elemen di sini, dan ABRI sudah pasti
akan maju melindungi warga Amerika. Menurut Malik, evakuasi komunitas Amerika dari Jakarta
tidaklah diperlukan, namun ia menyarankan agar mereka sebisa mungkin tidak menampakkan diri,
terlebih selama minggu mendatang saat keadaan akan menjadi amat menegangkan.
11. Saya katakan pada Malik sekali lagi bahwa saya berharap adanya hubungan baru antara
pemerintahan kita, hubungan yang produktif dan bermanfaat dari sudut pandang Indonesia, dan
pentingnya mencegah terjadinya aksi anti-Amerika. Jika itu sampai terjadi, akan menganggu
hubungan kita dan menghapus kesempatan untuk menjalin kerjasama dan persahabatan yang
menguntungkan. Ia menyatakan, dirinya sangat paham maksud saya. Ia berpikiran yang sama.
Menurutnya, ia kini lebih yakin bahwa segalanya akan berjalan sesuai yang kita inginkan bersama.

12. Saya katakan pada Malik bahwa ia bebas menceritakan percakapan kami pada Nasution dan
Soeharto. Malik bilang ia akan melakukannya.

Marshall Green Dubes AS untuk RI

9/08/2001 02:3 WIB

Misteri CIA di Seputar G 30S (11)


Soekarno Nyaris Jatuh, AS Bersiap
Penulis : Rita Uli Hutapea
detikcom - Jakarta, Benar kata Adam Malik. Tanggal 11 Maret 1965, atas dasar Supersemar,
ABRI bergerak cepat. PKI dibubarkan. Tapi Soekarno belum jatuh. Meski demikian, AS sudah
menyiapkan langkah bila pemerintahan berganti. Kesiapan AS ini terungkap dalam memorandum
yang diberikan oleh Pembantu Khusus Presiden Walt Rostow kepada Presiden AS Lyndon B.
Johnson. Isinya antisipasi yang akan menyusul kejatuhan Soekarno. Berikut dokumen tersebut.
Memorandum dari Pembantu Khusus Presiden (Rostow) kepada Presiden Johnson Washington, 8
Juni 1966, pukul 14:35

237 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Bapak Presiden: AS mengharapkan Anda membaca lampiran tulisan tentang Indonesia. Ini
merupakan ringkasan yang bagus tentang evolusi Indonesia dan kebijakan kita sejak 1 Oktober
tahun silam. Poin operasionalnya adalah: jika Soekarno turun, kita akan menghadapi isu bantuan
berikut:
Ø Tambahan bantuan darurat

Ø Penjadwalan ulang utang multilateral

Ø Bantuan berjangka panjang (terutama Eropa, Jepang, multilateral, namun mungkin juga
beberapa bilateral AS).

Ø Kemungkinan, beberapa bantuan kecil militer untuk latihan dan aktivitas sipil. Perencanaan
yang diajukan atas masalah ini sangat bagus, bahkan bagi para tokoh penting Kongres yang sudah
diberitahukan soal ini. Sejauh ini, mereka cukup simpatik. Belum ada keputusan yang diambil,
kecuali Anda berkehendak memberikan petunjuk.

Walt

9/08/2001 03:17 WIB

Misteri CIA di Seputar G 30S (12)


Pertemuan Soeharto-Dubes AS
Penulis : Rita Uli Hutapea
detikcom - Jakarta, Keberhasilan Soeharto menjadi pejabat presiden disambut gembira. Tanpa
sungkan, Soeharto pun menjalin kontak langsung dengan AS. Ia bertemu dengan Dubes AS
Marshall Green, 6 Juli 1967, 3 bulan setelah ia terpilih. Berikut isi pertemuan tersebut,
sebagaimana dilaporkan Marshall Green pada Deplu AS.

Telegram dari Kedutaan AS di Indonesia ke Deplu AS Jakarta, 7 Juli 1967 No.114.


Perihal: Pertemuan dengan Soeharto Selama hampir tiga jam pertemuan dengan Soeharto kemarin
malam, saya coba menghilangkan keprihatinan Soeharto atas prospek bantuan AS untuk tahun ini
dan tahun mendatang.

Dalam percakapan juga dibahas masalah bantuan lainnya, MAP, investasi asing dan isu kebijakan
luar negeri. Pembicaraan kami mengenai Vietnam dan masalah sensitif lainnya telah dilaporkan.
Soeharto mendukung kebijakan kita atas Vietnam, dan saya menilai, masalah lain juga begitu.
Soeharto tampaknya moderat, sepaham dan obyektif.
Tujuan utama percakapan saya dengannya adalah membangun basis untuk saling bertukar
pandangan lebih sering lagi dengan orang yang sudah hampir dipastikan akan memimpin pemerintah
Indonesia di masa mendatang. Namun tidak jelas apakah saya berhasil mencapai tujuan ini. Hal ini
akan tergantung pada hasil konkrit pembicaraan kami, yakni tanggapan kita atas permintaannya.

Permintaan Soeharto untuk Dukungan AS


1. Soeharto mengawali pembicaraan dengan menjelaskan bahwa dirinya tidak meragukan niat
baik kita pada Indonesia. Ia juga mengakui komitmen kita yang mendunia dan masalah yang
dihadapi pemerintah AS dalam memperoleh bantuan lewat Kongres. Namun, ia dengan serius
mempertanyakan apakah kita telah memberikan prioritas yang cukup tinggi untuk Indonesia,
238 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

mengingat besarnya masalah Indonesia termasuk tantangan dari kekuatan pendukung Soekarno.
Bangsa Indonesia menghadapi masalah darurat yang memerlukan langkah-langkah yang tidak
seperti biasanya, dan bantuan AS sangatlah dibutuhkan.
2. Soeharto mengatakan bahwa program kabinet Ampera dibentuk di atas ekspektasi bantuan
AS yang berkelanjutan. ―Saya menganggap AS sebagai teman terbaik kami, namun jika saya
merasa tak pasti akan bantuan Anda, maka saya akan membuat rencana lain.‖ Soeharto tidak
menyinggung apakah ia akan beralih ke Rusia atau hal seperti itu, namun ia menyatakan dirinya
akan membuat beberapa penyesuaian besar dalam rencana anggaran pemerintah, yang akan
menarik perhatian para pendukung Soeharto dan kekuatan musuh lainnya di Indonesia. Akibatnya
pemerintah bisa saja dalam bahaya dan kerusakan bisa amat parah.

3. Posisi AS -- Saya katakan bahwa saya gembira karena ia tidak meragukan motif kami. Saya
tahu banyak rumor tidak benar yang beredar mengenai posisi kami. Saya sudah sejak lama ingin
menemui Soeharto, hanya untuk menjelaskan kepadanya bahwa kita sepenuhnya mendukung
pemerintahannya dan bahwa kita berupaya untuk mempertahankan orde baru di bawah
kepemimpinannya. Ia adalah orang yang bisa membawa Indonesia melalui masa-masa sulitnya, dan
kami mengagumi kemoderatannya, kepraktisannya, dedikasinya akan kebutuhan rakyat, dan
keinginan untuk menyeimbangkan elemen militer dan sipil dalam pemerintah. Saya juga
menyampaikan penghargaan kita yang setinggi-tingginya atas para penasihat tinggi urusan ekonomi
dan luar negerinya. Saya katakan memang ada perbedaan antara sesama teman tapi hal ini tak
seberapa dibandingkan kerja sama dan minat kita yang sama. Mengenai Bantuan CY'67 l1 Tentang
program CY'67 kita, saya ingatkan Soeharto bahwa bantuan AS akan melibatkan PL480 dan
pinjaman impor. Saya yakin kita tak akan memaksakan PL480 yang tidak dibutuhkan pada
pemerintahannya, namun telah menjadi kesimpulan kami bahwa kapas mentah akan dibutuhkan
pada akhir tahun ini. Jika pemerintah Indonesia tidak setuju, tentu saja masalah ini akan dibahas
lebih lanjut oleh para pakar kami. Jika beras yang dipersoalkan, saya berwenang memberitahukan
padanya bahwa kita sangat menyadari kebutuhan Indonesia, dan paling cepat pada musim panen
tahun ini, dimulai bulan ini, kami akan beritahukan apakah kami bisa membantu.
4. Soeharto lagi-lagi mendesak - sebelumnya lewat Jenderal Sudjono dua minggu lalu - agar
kita memberikan sebanyak mungkin beras PL480 tahun kalender ini. Hal ini sangat dibutuhkan
mendesak. (Ia tidak menyebutkan kemungkinan menerima 76.000 ton butir beras yang telah
disampaikan kepada Widjoyo dalam perundingan Washington kemudian).

5. Soeharto menyatakan, ia ingin menjelaskan bahwa pemerintah Indonesia menyambut


penjualan PL480, tidak hanya beras, tapi juga kapas dan bahkan ia akhirnya berminat akan
gandum. Ia berharap bisa mengubah pola makan nasional, dimulai dari Jakarta, sehingga roti bisa
menggantikan nasi pada menu sarapan pagi. Ia menyatakan, bahwa untuk keseimbangan CY'67,
Indonesia hanya membutuhkan beras PL480 dan pinjaman impor dolar. (No 8-13 tidak jelas)
6. Saya yakin Soeharto tidak memiliki kecurigaan apapun atas dukungan kita pada Nasution,
negara Islam ataupun omongan kosong lainnya. Kecurigaan ini tidak diragukan lagi sudah dilebih-
lebihkan oleh beberapa pejabat Soeharto, namun hal ini sudah diatasi dalam pembicaraan terakhir
saya dengan Jenderal Sudjono, Sumitro dan Hartono. Saya bisa melihat awal sebuah pengertian
dengan Soeharto, meski saya belum bisa tahu kemana arahnya. Yang jelas, tindakan yang
responsif atas permintaan Soeharto yang masuk akal ini, akan banyak membantu mengatasi
masalah komunikasi kita dengan Soeharto.

239 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Marshall Green
9/08/2001 04:6 WIB

Misteri CIA di Seputar G 30S (13)


US$ 325 Juta Buat Soeharto
Penulis : Rita Uli Hutapea
detikcom - Jakarta, AS menepati janjinya mendukung pemerintahan Soeharto. Begitu resmi
menjabat presiden, AS langsung menyiapkan dana bantuan dari IMF yang besarnya mencapai US$
325 juta.
Namun agaknya, AS masih berhitung pula. Dalam dokumen khusus yang disampaikan Pembantu
Presiden AS Walt Rostow kepada Presiden Lyndon B. Johnson terungkap, AS tak akan bersedia
memberikan bantuan US$ 325 juta itu mentah-mentah. Akan dibuat skema dimana AS dan
Jepang, hanya akan menyumbang sepertiga dari jumlah itu. Sisanya disokong oleh negara lain.
Berikut isi dokumen tersebut.
Memorandum dari Pembantu Khusus Presiden (Rostow) kepada Presiden Johnson Washington, 18
Juni 1968, pukul 18:35
Perihal: Bantuan Untuk Indonesia Dana Moneter Internasional (IMF) menyiapkan US$ 325 juta
sesuai yang dibutuhkan Indonesia untuk bantuan luar negeri selama tahun kalender 1968.

Kami menyusun formula dimana AS dan Jepang akan menyediakan sepertiga dari kebutuhan
tersebut, dan sisanya akan disumbangkan bangsa-bangsa lain. Pemerintah Jepang tampak sedikit
lamban tahun ini, namun tampaknya mereka akan memenuhi bagian mereka sebesar US$ 110 juta.
Donatur lainnya tampaknya tak akan memberikan lebih dari US$ 80 juta kepada Indonesia.

Kebutuhan Indonesia kini menjadi amat besar. Banyak program stabilisasi yang gagal dijalankan.
Pada kuartal pertama tahun ini, laju inflasi hampir 60 persen, sebagian besar dikarenakan tidak
mencukupinya bahan pangan. Jika keadaan masih terus berlangsung sampai tahun depan,
pemerintahan dalam bahaya.
Untuk itu, IMF dan Bank Pembangunan Asia (ADB) telah menyerukan bantuan makanan ke
Indonesia, jauh melebihi angka US$ 325 juta, sebelumnya. Masalahnya, bagaimana membantu
Indonesia memenuhi kebutuhannya, termasuk bantuan makanan darurat, tanpa mengganggu
formula sepertiga tersebut (yang populer di Kongres dan terbukti ampuh menekan donatur lain
untuk melaksanakan kewajiban mereka).
Kami menawarkan 350 ribu ton (US$ 46 juta) tepung terigu untuk segera dikirimkan. Namun sulit
mengatakan berapa banyak yang bisa digunakan Indonesia selama 1968.

Untuk itu, masuk akal bila memisahkan bantuan ini dari kesepakatan mengenai bantuan kita tahun
1968 dan di luar formula sepertiga tadi. Dengan cara ini, kita bisa menawarkan US$ 156 juta
bantuan sekarang. Ini secara psikologis sangat penting untuk meningkatkan keyakinan pemerintah
Indonesia dan meyakinkan masyarakat bisnis Indonesia bahwa sumber daya akan tersedia untuk
menghindari inflasi spiral lainnya pada akhir tahun ini. Selain gandum, paket kita terdiri dari:

Ø 200.000 ton beras, senilai US$ 41 juta;

Ø 160.000 bales kapas mentah dan sejumlah 70.000 bales cotton yarn senilai US$ 44 juta;

240 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Ø bantuan pinjaman pembangunan AID senilai US$ 25 juta


Ø totalnya US$ 110 juta, sepertiga bagian kita yang harus disediakan.

Sebagai tambahan, Bill Gaud dan Orville Freeman ingin mengatakan pada Soeharto bahwa kita
akan mempertimbangkan tambahan 100 ribu ton beras dan tambahan 80 ribu bales kapas pada
musim gugur mendatang. Ini akan sangat berarti bagi Soeharto untuk menyingkirkan
kekhawatiran akan kekurangan beras selama periode kritis Januari-Maret.

Menteri Fowler tidak keberatan dengan paket ini. Namun begitu, ia yakin kita hendaknya tetap
mendesak donatur lain untuk memberikan bantuannya. Kami menyampaikan paket tahun 1968
secara keseluruhan (supaya Anda bisa menilainya lebih baik) dan Anda sebenarnya telah
memberikan persetujuan atas paket senilai US$ 60 juta pada Januari lalu.

Yang kami minta Anda untuk memberikan persetujuannya adalah program PL-480 senilai US$ 98
juta (US$ 35 juta pada gandum, US$ 33 juta pada kapas, dan US$ 30 juta pada beras). Orang-
orang saya (Marshall Wright dan Ed Hamilton) membantu menyusun paket ini. Saya rasa ini bagus.
Bob McNamara baru saja kembali dari Indonesia dan merasa hal ini sangat penting untuk kita
laksanakan tanpa ditunda-tunda lagi. Menurutnya paket ini sangat mendesak dan penting bila
Soeharto ingin diselamatkan, dan ia yakin bahwa Soeharto memang layak diselamatkan.

Saya menyarankan Anda untuk menyetujui program PL-480 senilai US$ 98 juta, dan memberikan
wewenang pejabat kita di Jakarta untuk memberitahukan kepada Soeharto bahwa kita akan
mempertimbangkan tambahan beras dan kapas pada musim gugur mendatang.

Walt Setuju*

Tidak setuju

Hubungi saya Tanda (*) menunjukkan presiden AS sudah setuju.

9/08/2001 04:12 WIB

Misteri CIA di Seputar G 30S (14)


Korban Penumpasan PKI 105 Ribu
Penulis : Rita Uli Hutapea

detikcom - Jakarta, Buntut dari tudingan keterlibatan PKI pada G 30S, para simpatisan dan
anggota PKI diburu masyarakat dan ABRI. Beberapa pihak menyebut sebagai episode pembantaian
karena banyaknya korban. Berapa sebenarnya jumlah korban?

Ada sebuah dokumen pemerintah AS yang sedikit mengintip perihal tersebut. Angka resmi
memang tak penah disebutkan, namun seorang pejabat Deplu AS, selama 1965-1966 sempat
melakukan penelitian. Hasilnya, ia menyebut angka 105 ribu orang tewas. Di bawah ini adalah isi
dokumen tersebut.
Catatan Editorial Kedutaan AS di Jakarta memiliki keterbatasan dalam laporannya mengenai
peristiwa yang terjadi di luar Jakarta tentang kondisi yang diawali oleh adanya konflik antara PKI
di satu pihak dan ABRI serta kekuatan anti-komunis di pihak lain.

241 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Dalam telegramnya tanggal 27 Oktober 1965, Kedutaan menyebutkan soal banyaknya laporan
tentang semakin tidak amannya keadaan dan pertumpahan darah yang kerap terjadi di Jawa
Tengah, namun tidak bisa dipastikan apakah itu disebabkan oleh gerakan PKI yang coba melakukan
sabotase.
Pada 28 Oktober, Country Team Kedutaan menganalisa situasi dan mengirimkan tanggapannya.
Meski laporan-laporan itu menekankan tentang berbahayanya situasi di Jawa Tengah, Jawa Timur,
Bandung dan Jakarta, Country Team tak bisa menyatakan apakah insiden itu merupakan aksi
komunis setempat atau sebuah permulaan dari tindakan teror dan sabotase yang terkoordinir.
Laporan Kedutaan juga menyimpulkan bahwa Indonesia tengah menuju 'periode chaos' karena PKI
memiliki kekuatan dan persenjataan yang tangguh, dan tampaknya ini diseimbangkan oleh ABRI.
Pada akhir Oktober 1965, Kedutaan mulai menerima laporan pembunuhan dan kekejaman terhadap
anggota PKI.
Pada 29 Oktober, Kedutaan mendapat laporan bahwa warga Aceh memenggal kepala anggota PKI
dan meletakkannya di tongkat di sepanjang jalan. Tubuh mereka kemudian dilemparkan ke sungai
atau laut karena rakyat Aceh tak mau tubuh mereka mengkontaminasi tanah Aceh.

Pada 8 November, Kedutaan mendapat laporan bahwa di Sumatra Utara dan Aceh, ABRI dengan
dibantu organisasi pemuda IP-KI dan elemen anti-komunis lainnya kian gencar melakukan
penumpasan dengan angka pembunuhan yang dilaporkan cukup besar.
Pada 13 November, Kedutaan memiliki laporan dari kepala kepolisian setempat bahwa sekitar 50
sampai 100 orang anggota PKI dibunuh setiap malamnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur oleh
pasukan sipil anti-komunis dengan dukungan dari ABRI. Seorang misionari di Surabaya melaporkan
bahwa 3.500 anggota dan simpatisan PKI dibunuh di Kediri antara 4 dan 9 November dan
sebanyak 300 orang dibunuh di Paree, 30 kilometer sebelah barat daya Kediri.

Laporan-laporan serupa terus masuk sampai enam bulan pertama tahun 1966.

Pada airgram-nya tanggal 25 Februari 1966, Kedutaan melaporkan perkiraan angka total kematian
anggota PKI dan simpatisannya di bali mencapai 80.000 orang. Angka kematian yang tinggi itu
dipicu oleh konflik antara PKI dan Partai Nasional Indonesia (PNI), juga karena masalah pribadi
dan perseteruan kelompok yang memang kerap terjadi di sana.

Perlahan-lahan Kedutaan mulai menyadari bahwa Indonesia sedang mengalami upaya penghapusan
pengaruh PKI secara besar-besaran dan pembunuhan itu juga dipicu oleh konflik etnik dan agama.
Kedutaan tak bisa menyampaikan angka pasti berapa jumlah penduduk Indonesia yang telah
menjadi korban pembunuhan dalam kampanye melawan PKI ini. Kebenaran tak akan pernah
diketahui.
Bahkan pemerintah Indonesia sendiri tak memiliki kepastiannya. Kedutaan mengakui, "Sejujurnya
kami tidak tahu apakah angka pastinya mendekati 100.000 atau 1.000.000 tapi kami percaya, lebih
baik memberikan perkiraan yang lebih kecil, khususnya jika ditanyakan oleh media.
Pada tahun 1970, pejabat urusan luar negeri Richard Cabot Howland, seorang pejabat di Kedutaan
AS di Indonesia pada tahun 1965 dan 1966, menerbitkan sebuah artikel Studies in Intelligence.
dalam artikelnya, Howland membicarakan 3 kesalahan konsepsi yang populer saat itu: bahwa ABRI
didorong untuk melawan PKI oleh pasukan AS di Vietnam, bahwa Cina berada di balik usaha
kudeta 30 September, dan bahwa sekitar 350 ribu sampai 1,5 juta anggota PKI dibunuh sebagai
balasan atas kudeta 30 September.
242 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Howland menjabarkan bahwa atas usahanya sendiri, ia mengumpulkan informasi dari warga
Indonesia pada tahun 1966, dan kesulitannya dalam memperoleh jawaban yang akurat dan data-
data. Menurutnya, angka kematian anggota PKI dilebih-lebihkan oleh pejabat dan warga Indonesia
untuk menunjukkan sentimen anti-PKI mereka kepada otoritas baru anti-komunis di Indonesia. Ia
menyebutkan bahwa dirinya menerima data-data dari seorang Letkol di KOTI Bagian Urusan Aksi
Sosial dan memastikan bahwa data itu akurat karena diperolehnya langsung dari laporan di
lapangan.

Menurutnya, total 50 ribu anggota PKI tewas di Pulau Jawa; 6 ribu tewas di Bali; 3 ribu tewas di
Sumatra Utara. Menurut Howland, ia agak ragu dengan metode Letkol tersebut namun bisa
menerima estimasinya, dan dengan menggabungkannya dengan data yang dia peroleh sendiri,
hasilnya sebanyak 105 ribu anggota PKI tewas.

Misteri CIA di Seputar G30S (1)


Soekarno Diduga Tahu Penculikan
Penulis : Rita Uli Hutapea

detikcom - Jakarta, Dua pekan lalu, publik Indonesia dikejutkan dengan kabar ditariknya dokumen
rahasia tentang kiprah pemerintahan AS pada saat terjadinya Gerakan 30 September 1965 (G
30S). Padahal, baru beberapa hari sebelumnya, dokumen itu dibuka menyusul dilantiknya
Megawati Soekarnoputri, putri mantan Presiden Soekarno, menjadi presiden RI ke-5. Menariknya,
penarikan dokumen tersebut terjadi bukan karena protes. Sejak dibuka diam-diam, tak satu pun
pihak yang menyatakan keberatan atas isi dokumen.
Ini jelas suatu keanehan. Adakah yang janggal dalam peristiwa itu? Siapa saja yang sebenarnya
terlibat versi CIA dalam tragedi tersebut? Meski sudah ditarik, tak urung beberapa copy
dokumen tersebut telah beredar. Berikut beberapa bagian dari dokumen tersebut, khususnya
yang menjelaskan apa yang terjadi di elite politik RI dalam kurun waktu Oktober 1965-Maret
1966.
Di poin pertama pada bab yang berjudul, "Kudeta dan Reaksi Perlawanan : Oktober 1965 - Maret
1966," begitu terjadi operasi penculikan para jenderal, CIA langsung mencurigai keterlibatan
Soekarno. Namun tak dijelaskan apa yang mendasari kecurigaan tersebut. Berikut teks dokumen
CIA yang ditujukan kepada Presiden AS Lyndon Johnson. Menariknya, memorandum tersebut
dikirim 1 Oktober 1965 pukul 07.20 AM waktu Washington DC, atau hanya selisih beberapa jam
dari peristiwa pembunuhan para jenderal.
Memorandum untuk Presiden Johnson Washington, 1 Oktober 1965, 7:20 pagi (Berikut teks
laporan situasi oleh CIA) Sebuah gerakan kekuatan yang mungkin telah menyebabkan implikasi
yang jauh sedang terjadi di Jakarta. Kelompok yang menamakan dirinya "Gerakan 30 September"
mengklaim telah mencegah "kudeta jenderal' di Indonesia.
Sejumlah jenderal dan politisi telah ditangkap, dan rumah kediaman Menteri Pertahanan Jenderal
Nasution dan Panglima ABRI Jenderal Yani berada di bawah pengawasan tentara. Keputusan yang
dikeluarkan oleh Letkol. Untung, Komandan Pasukan Pengawal Presiden (Cakrabirawa-red)
menyatakan bahwa pemerintahan akan diatur oleh Dewan Revolusi Indonesia. Menurut keputusan
tersebut, dewan akan meneruskan kebijakan pemerintah yang sudah ada dan keanggotaan dewan
akan segera diumumkan. Belum ada keterangan mengenai peran aktif Presiden Soekarno. Radio

243 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

pemerintah RRI adalah yang pertama kali mengumumkan bahwa Gerakan 30 September
diorganisir untuk "menyelamatkan Presiden Soekarno yang kesehatannya mengkhawatirkan."

Gerakan 30 September kemudian menyatakan bahwa Soekarno aman dan "terus menjalankan
kepemimpinan bangsa." Kelompok Gerakan 30 September mengklaim rencana kudeta oleh para
Jenderal bersumber dari Amerika. Jaringan telepon eksternal di Kedutaan AS sempat terputus 3
jam sebelum RRI mengumumkan bahwa "kudeta" telah digagalkan. Aparat tentara ditempatkan di
Kedutaan AS.

Tujuan yang ingin segera dicapai oleh Gerakan 30 September tampaknya adalah untuk
menyingkirkan setiap peran politik oleh elemen-elemen ABRI yang anti-komunis dan perubahan
dalam kepemimpinan ABRI. Tindakan terhadap elemen ABRI serupa tampaknya juga direncakan di
luar Jakarta. Masalah ini bisa saja digunakan untuk membentuk aktivitas baru yang anti-Amerika.
Tampaknya mungkin saja Soekarno tahu sejak awal gerakan ini dan tujuannya. Namun langkah
terpenting menyangkut timing dan detil rencana tampaknya dipegang oleh Wakil I Perdana
Menteri Subandrio dan pemimpin komunis yang dekat dengan Soekarno.

8/08/2001 13:20 WIB


Misteri CIA di Seputar G 30S (2)
ABRI Salip Soekarno, 5 Oktober
Penulis : Rita Uli Hutapea

detikcom - Jakarta, Masa-masa antara 1-5 Oktober 1965 adalah saat yang genting. Bagaimana
mengantisipasi G 30S dan siapa dalang gerakan itu masih menjadi spekulasi. Kedubes AS sempat
panik dan ingin mengevakuasi warga AS yang di Indonesia, namun upaya itu dicegah setelah
mendapat saran seorang jenderal ABRI. Yang menarik, CIA pun segera menganalisa lebih jauh
apakah Presiden Soekarno tahu persis gerakan itu? Kesimpulannya, ada 2 spekulasi.
Soekarno tahu persis geralan itu dan mencoba memancing reaksi, kedua, Soekarno tak tahu
menahu karena ia dibodohi pelaku G 30S. Sementara itu, di tengah situasi itu, ABRI bergerak
cepat. CIA mensinyalir ABRI sengaja akan mempergunakan momentum pemakaman 6 jenderal
sebagai wahana meraih simpati masyarakat. Sekaligus, mereka akan menenggelamkan kharisma
Soekarno.
Berikut memorandum yang menyebutkan hal tersebut. Memorandum dari Direktur Wilayah Timur
Jauh (Blouin) kepada Asisten Menteri Pertahanan untuk Urusan Keamanan Internasional
(McNaughton) Washington, 4 Oktober 1965 Masalah: Situasi di Indonesia.
Situasi di Indonesia tengah dilanda keresahan dan Presiden Soekarno tampaknya berupaya keras
untuk mempertahankan kesatuan nasional di tengah-tengah meningkatnya perseteruan antara
ABRI dan kelompok-kelompok yang mendukung Gerakan 30 September. Tubuh para pejabat
militer yang ditembak pada awal usaha kudeta 30 September lalu telah ditemukan. Ada laporan
telah terjadi tindak 'kebrutalan' pada tubuh mereka, dan ABRI dengan bermodalkan pada insiden
ini ingin mencari dukungan publik atas posisinya. Akan tetapi, Soekarno telah mengisyaratkan
bahwa dirinya belum siap bergerak melawan PKI, Angkatan Udara, Subandrio atau elemen-elemen
lainnya yang mungkin terlibat dalam perebutan kekuasaan 30 September. Ada laporan yang
mengindikasikan bahwa Soekarno berada di tangan Angkatan Udara sampai hari Minggu dan tidak
tahu situasi yang sebenarnya. Laporan lainnya menyebutkan bahwa Soekarno kini sangat
menyadari apa yang telah terjadi dan tahu siapa yang jadi dalangnya. ABRI telah melarang koran

244 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

PKI - Harian Rakyat -- terbit namun belum bertindak apapun terhadap markas PKI. Jenderal
Seoharto, yang tampaknya memiliki kontrol yang kuat terhadap situasi militer di dalam dan
sekitar Jakarta, pergi ke RRI hari ini, dengan pidatonya yang berapi-api ia mengutuk Angkatan
Udara atas perannya dalam kudeta dan upayanya mencari dukungan publik dengan menyebut-
nyebut soal tindakan brutal terhadap pada jenderalnya. Ini merupakan indikasi pertama yang kita
dapat bahwa ABRI mungkin saja bersedia mengikuti kebijakan Soekarno yang coba membelokkan
peristiwa-peristiwa yang terjadi belakangan ini.

Evakuasi Warga Amerika Sejauh ini belum ada satupun keberangkatan warga AS dari Jakarta via
pesawat terbang komersial, meski pihak Kedutaan memperkirakan bahwa itu mungkin baru dimulai
hari ini. Seorang pejabat tinggi Indonesia (Jenderal Rubiono) mengatakan kepada Kedutaan AS,
tidaklah bijak mengevakuasi warga Amerika pada saat ini karena hal itu akan menunjukkan
kurangnya kepercayaan pada kemampuan ABRI untuk mengatasi situasi. Sebaliknya, ada laporan
bahwa Letkol Untung tengah berada di Jawa Tengah dan sedang mengatur beberapa batalyon
untuk kembali melakukan aksi terhadap ABRI dan pemimpin PKI Aidit kini sedang bersembunyi.

Estimasi Situasi Ada beberapa penilaian dari terjadinya peristiwa belakangan ini, yang semuanya
didukung oleh beberapa informasi yang, kadang kala bertentangan. Namun ada 2 hal utama, yakni:

1. Soekarno mengetahui sesungguhnya apa sedang terjadi sejak awal dan bersikap
menunggu sampai ia bisa melihat siapa yang akan muncul paling depan (diduga ia
mengharapkan kudeta trio Untung-Subandrio-Dani akan berhasil dan Panglima
ABRI tak lagi menjadi ancaman terhadap kebijakannya yang pro-Peking).

2. Soekarno telah dibodohi untuk percaya bahwa kudeta Untung Cs dilakukan untuk
menyelamatkan dirinya dari sebuah kudeta oleh ABRI yang disponsori AS, dan kini
ia mulai percaya bahwa Angkatan Udara PKI terlibat dalam upaya menyingkirkan
lawan kuat mereka satu-satunya, ABRI.

3. Jika perkiraan (1) di atas benar, maka Soekarno akan melakukan apa saja untuk
mencegah ABRI menghancurkan Angkatan Udara dan PKI, dan ia akan melanjutkan
kebijakan terdahulunya yang menerapkan hubungan dekat dengan Peking dan PKI,
yang akan merugikan kita.

Ia telah melakukan beberapa upaya untuk mengesankan bahwa insiden ini semata-mata merupakan
pertikaian antar lembaga.

Jika kita anggap estimasi (2) tersebut benar, maka ABRI akan diberikan otoritas lebih dan orang-
orang seperti Subandrio, Dani dan Untung akan keluar. Tapi, Soekarno mungkin takut bila ia
membiarkan ABRI mengambil tindakan terlalu cepat terhadap Gerakan 30 September, dan
khususnya terhadap PKI, perang sipil akan meluas dan memecah belah negara, akibatnya pulau-pulau
tertentu rentan terhadap penetrasi asing.

Dengan bergerak perlahan dan berupaya menunjukkan kesatuan nasional, ia mungkin bisa mencegah
disintegrasi bangsa dan tetap mengatur elemen-elemen yang coba menggulingkan pemerintah. Saya
cenderung untuk mengira bahwa Soekarno tahu, setidaknya sebagian, apa yang terjadi sejak awal
dan ia sekarang berusaha untuk bersikap sewajarnya, menjaga prestise dirinya tetap utuh.
Pertanyaannya adalah, apakah ABRI yang telah menunjukkan kekuatan dan kesatuannya, akan
mengizinkan Soekarno menjalankan kontrol pemerintah yang dulu diterapkannya. Dalam berbagai
peristiwa, citra Soekarno telah memudar. Dua hari mendatang kita akan bisa tahu banyak.

245 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Jika ABRI menjadikan peringatan Hari ABRI (5 Oktober) sebagai prosesi besar pemakaman para
jenderalnya, maka momentum itu bisa menempatkan ABRI dalam posisi terdepan dan bukannya
Soekarno. Akan tetapi, kita tak bisa mengesampingkan kekuatan Soekarno memanipulasi situasi
dengan cara apapun yang ia inginkan, yang baik atau yang buruk. Mungkin sekarang tak ada orang
lain di Indonesia yang bisa menjaga keutuhan bangsa, dan ABRI mungkin menganggap faktor ini
lebih penting daripada melakukan tindak pembalasan terhadap Angkatan Udara dan PKI.

E.J. Blouin
Direktur Wilayah Timur Jauh

8/08/2001 14:40 WIB


Misteri CIA di Seputar G 30S (3)
Kedubes Minta AS Dukung ABRI
Penulis : Rita Uli Hutapea
detikcom - Jakarta, Kedubes AS di Indonesia, merekomendasikan pemerintah AS untuk membantu
segala langkah ABRI mengatasi G 30S. Karena inilah saat yang tepat untuk mengenyahkan
komunisme dari Indonesia. Namun bantuan harus secara diam-diam. Berikut dokumen yang
mengungkapkan hal itu.

Telegram dari Kedutaan AS di Indonesia kepada Deplu AS Jakarta, 5 Oktober 1965 No.868
1. Berbagai peristiwa selama beberapa hari terakhir telah menyebabkan PKI dan
elemen-elemen pro-Komunis bersikap defensif dan mereka mungkin akan memicu
ABRI untuk pada akhirnya bersikap efektif terhadap Komunis.

2. Pada waktu yang bersamaan kami menyaksikan hal yang tampaknya seperti
pengalihan kekuasaan dari tangan Soekarno ke seseorang atau beberapa orang
yang identitasnya belum diketahui, yang mungkin mendatangkan perubahan
kebijakan nasional.

3. Sekarang, kunci persoalan kita adalah apakah kita bisa membentuk perkembangan
ini agar menguntungkan kita.
4. Beberapa panduan berikut mungkin bisa memberikan sebagian jawaban atas
bagaimana sikap kita seharusnya:

A. Hindari keterlibatan yang terang-terangan karena seiring berkembangnya


perebutan kekuasaan.

B. Akan tetapi, secara tersembunyi, sampaikan dengan jelas kepada tokoh-


tokoh kunci di ABRI seperti Nasution dan Soeharto tentang keinginan kita
membantu apa yang kita bisa, sementara di saat bersamaan sampaikan
kepada mereka asumsi kita bahwa kita sebaiknya menjaga agar setiap
bentuk keterlibatan atau campur tangan kita tidak terlihat.
C. Pertahankan dan jika mungkin perluas kontak kita dengan militer.

D. Hindari langkah-langkah yang bisa diartikan sebagai tanda


ketidakpercayaan terhadap ABRI (contohnya memindahkan warga kita
atau mengurangai staf).

246 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

E. Sebarkan berita mengenai kesalahan PKI, pengkhianatan dan


kebrutalannya (prioritas ini mungkin paling membutuhkan bantuan kita
segera, yang dapat kita berikan kepada ABRI jika kita bisa menemukan
jalan untuk melakukannya tanpa diketahui bahwa hal ini merupakan usaha
AS).

F. Dukung seluruh masukan informasi dan sarana-sarana lainnya yang ada


untuk bisa menyatukan ABRI.

G. Ingatlah selalu bahwa Moskow dan Peking adalah akar konflik menyangkut
Indonesia, dan bahwa Uni Soviet mungkin akan lebih sejalan pemikirannya
dengan kita dibanding saat ini. Ini akan menjadi subyek pada pertemuan
Country Team kita mendatang dan mungkin kita bisa memberikan
rekomendasi untuk mengeksploitir fenomena ini.
H. Untuk sementara waktu, terus dan pertahankan sikap low profile.
I. Kami akan memberikan rekomendasi selanjutnya karena tampaknya hal-hal
inilah yang paling sesuai untuk situasi yang tidak diragukan lagi akan
berkembang cepat atau setidaknya belum pasti ini.

Green Duta Besar AS untuk Indonesia

8/08/2001 16:0 WIB


Misteri CIA di Seputar G 30S (4)
Washington Setuju Bantu ABRI
Penulis : Rita Uli Hutapea

detikcom - Jakarta, Permintaan Kedubes AS agar AS membantu ABRI (sekarang TNI) menumpas
G 30S disanggupi pemerintah AS di Washington. Dalam rapat kabinet, AS mensinyalir G 30S
adalah upaya Soekarno untuk mengukuhkan kekuasaannya. Namun dipesankan, agar bantuan
dilakukan jika diminta. Surat balasan pemerintah AS melalui Departemen Luar Negeri tersebut
tertanggal 6 Oktober 1965, selang dua hari dari surat yang dikirimkan oleh Kedubes AS.

Berikut isi surat tersebut.


Telegram dari Deplu AS ke Kedutaan AS di Indonesia Washington, 6 Oktober 1965, 7.39 malam
No. 400 (jawaban atas telegram no. 868)

1. Berdasarkan laporan pertemuan Kabinet 6 Oktober yang baru diterima via FBIS,
jelas bahwa Soekarno berupaya membangun kembali status quo dengan
mencuatkan hantu imperialisme pengeksploitasi perbedaan-perbedaan Indonesia
dan menahan tindakan balas dendam ABRI terhadap PKI dengan alasan untuk
mempertahankan kesatuan nasional.

2. Seperti yang telah Anda sampaikan, pertanyaan utama adalah apakah ABRI bisa
mempertahankan momentum sikap ofensifnya terhadap PKI di hadapan manipulasi
politik yang dilakukan Soekarno.

3. Soekarno, Subandrio, dan para simpatisan PKI di Kabinet akan waspada terhadap
setiap bukti yang menguatkan dugaan mereka bahwa NEKOLIM akan berusaha
mengeksploitir situasi. Kami yakin pentingnya kita tidak memberikan kesempatan

247 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

bagi Soekarno dan sekutunya untuk menyatakan bahwa mereka akan diserang
NEKOLIM dan bahwa kita tidak memberikan Subandrio dan PKI bukti-bukti
bahwa pemerintah AS mendukung ABRI untuk melawan mereka.
4. ABRI tampak jelas tidak membutuhkan bantuan materi dari kita pada poin ini.
Selama bertahun-tahun hubungan inter-service dikembangkan lewat program
latihan, program aksi sipil dan MILTAG, begitu pula dengan jaminan reguler
terhadap Nasution, harus diingat jelas dalam benak para pemimpin ABRI bahwa
AS mendukung mereka jika mereka membutuhkan bantuan. Menyangkut paragraf
4b dan c (dalam telegram bernomor. 868), kita harus mengadakan kontak yang
esktra hati-hati dengan ABRI dengan tidak mengurangi maksud baik kita untuk
menawarkan bantuan kepada mereka. Mengingat kondisi emosional Nasution saat
ini ada baiknya Anda menghindari kontak langsung dengannya kecuali kalau ia yang
memulai.
5. Kami bermaksud dan sedang melaksanakan program informasi dan VOA (Voice of
America) berdasarkan sumber-sumber Indonesia dan pernyataan resmi dari
pemerintah tanpa memasukkan opini kita. Setidaknya dalam kondisi saat ini, kita
yakin bahwa berlimpahnya bahan informasi yang menyalahkan PKI atas perannya
terhadap kebrutalan 30 September bisa diperoleh dari RRI dan media Indonesia.
6. Menyangkut paragraf 4d, kami setuju bahwa evakuasi warga yang terburu-buru
tidak diperlukan saat ini.

7. Kami menanti rekomendasi selanjutnya dari Kedutaan tentang bagaimana langkah


kita selanjutnya.

Ball Pejabat Menteri Luar Negeri AS

8/08/2001 16:40 WIB


Misteri CIA di Seputar G 30S (5)
CIA Sebut Soeharto Oportunis
Penulis : Rita Uli Hutapea
detikcom - Jakarta, CIA serius memantau perkembangan Indonesia pasca G 30S. Gerak cepat
Pangkostrad Mayjen Soeharto juga diamati. CIA mencatat jenderal satu ini punya kecenderungan
politik dan merupakan jenderal oportunis. Satu hal dari sikap Soeharto tersebut terlihat dari
penolakannya terhadap sosok Mayjen Pranoto Reksosamudro. Semula Presiden Soekarno
mengangkat Pranoto sebagai pemimpin sementara ABRI dimaksudkan untuk menjadi penengah.
Pranoto diharap mampu melindungi sayap kiri yang pada kondisi itu sedang terpojok. Namun,
Soeharto mengacuhkan Pranoto. Ia tidak suka. Lebih jauh, Soeharto bahkan berani mengarahkan
moncong senjata ke arah Istana dan menuduh PKI serta AU terlibat G 30S. Berikut dokumen CIA
yang menyebut analisa tersebut.
Memorandum CIA (Central Intelligence Agency) Washington, 6 Oktober 1965 OCI No. 2330/65
Perubahan di Indonesia
Ringkasan ABRI yang baru mengalami apa yang tampaknya merupakan kudeta sayap kiri pada 1
Oktober (30 September WIB), untuk sementara waktu memegang kontrol penuh atas Indonesia.
ABRI -- sekarang TNI -- akan menggunakan kesempatan untuk mengambil langkah tegas terhadap
Partai Komunis Indonesia (PKI) dan elemen-elemen yang terkait dengannya. Namun ABRI masih
248 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

ragu untuk mengambil tindakan ini tanpa persetujuan Presiden Soekarno. Soekarno, yang
mementingkan kesatuan nasional dan mungkin mengkhawatirkan meningkatnya kekuatan ABRI,
menganggap bahwa situasi saat ini adalah masalah politik yang membutuhkan penyelesaian politik
dan ia berharap untuk menyelesaikannya sendiri. Ia tampaknya berupaya untuk berkonsiliasi
dengan sayap kiri dan mengembalikan PKI ke posisi politik yang sempat mereka duduki sebelum
peristiwa 1 Oktober.

Pada 1 Oktober sebuah kelompok yang menamakan dirinya "Gerakan 30 September" menculik
enam jenderal ABRI, termasuk Panglima ABRI Jenderal Ahmad Yani, dan kemudian membunuhi
mereka. Gerakan ini dipimpin oleh Letkol. Untung, komandan batalyon dalam pasukan pengawal
Presiden Soekarno, Cakrabirawa. Gerakan ini tampaknya juga didukung oleh beberapa elemen
Angkatan Udara dan yang pada awalnya secara terbuka didukung oleh Kepala Staf Angkatan
Udara Omar Dani.
Juga terlibat elemen ABRI yang pro-komunis dari Jawa Tengah dan anggota Pemuda Rakyat -
organisasi pemuda PKI yang merupakan barisan tentara khusus PKI, dan GERWANI - barisan
wanita Komunis. Sebuah pesan yang dibacakan lewat Radio Jakarta pada 1 Oktober (pagi)
menyatakan bahwa tindakan Untung didukung oleh tentara kesatuan lain dari ABRI dan bahwa
"Gerakan 30 September" dilakukan untuk mencegah kudeta "jenderal" yang disponsori AS.

Pesan tersebut menyatakan bahwa Presiden Soekarno dan target lainnya dari "kudeta jenderal"
kini berada di bawah perlindungan Gerakan. Tak lama sesudah itu 45 anggota "Dewan Revolusi"
sayap kiri diumumkan. Hampir setengah dari anggota Dewan terdiri dari pejabat-pejabat
pemerintah, beberapa dari mereka adalah pejabat tinggi dan tak ada satupun yang bersikap anti-
komunis.

Pada 1 Oktober malam, Jenderal Suharto, Panglima KOSTRAD menginformasikan kepada seluruh
jajaran militer tentang absennya Jenderal Yani yang telah diculik, ia lantas mengambil alih tampuk
kepemimpinan ABRI. Ia melakukan hal ini dengan pengertian dan kerja sama Angkatan Laut untuk
menghancurkan "Gerakan 30 September". Dua jam kemudian RRI mengumumkan bahwa ABRI
telah menguasai situasi, dan polisi telah bergabung dengan ABRI dan Angkatan Laut untuk
menghancurkan 'gerakan revolusi', dan bahwa Presiden Soekarno serta Menteri Pertahanan
Jenderal Nasution (yang menjadi target kelompok Untung) selamat. Pada 1 Oktober malam, Letkol
Untung tampaknya telah melarikan diri ke Jawa Tengah dengan harapan menjalin kekuatan dengan
elemen pro-Komunis di propinsi itu. Siaran berulang-ulang tentang seruan Presiden Soekarno
untuk pemulihan ketertiban dan kuatnya orang-orang yang pro-Soekarno, pro-ABRI dari Jenderal
Sabur - atasan Untung di pasukan Cakrabirawa dan Jenderal Suryosumpeno - pimpinan ABRI di
Jawa Tengah, tampaknya telah menciutkan jumlah para pengikut Untung. Namun laporan tentang
berapa jumlah pendukung Untung bervariasi. Ada yang menyebut sekitar 110 tentara sampai
beberapa batalyon.
Pada 4 Oktober, Kepala Staf Angkatan Udara Omar Dani yang oleh Presiden Soekarno telah
dinyatakan tidak bersalah dalam Gerakan 30 September, menyatakan dirinya tidak terkait dengan
gerakan. Dalam siaran khususnya, ia berterima kasih kepada Soekarno atas kepercayaannya pada
Angkatan Udara dan menegaskan tindakan tegas akan diambil terhadap setiap personil Angkatan
Udara yang terlibat dalam gerakan. Sementara itu, Presiden Soekarno melakukan manuver untuk
memastikan kontrolnya atas situasi. Pada 2 Oktober, ia memanggil semua pimpinan militer dan
Wakil Perdana Menteri II Leimena untuk mengadakan rapat guna menyelesaikan insiden 30
September segera.
249 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

(Wakil PM Subandrio berada di Sumatra Utara namun segera pulang dan berada di Bogor bersama
Soekarno; Wakil PM III Chaerul Saleh tengah dalam perjalanan pulang ke Indonesia dari Cina).
Kemudian Soekarno menyiarkan ke seluruh bangsa bahwa dirinya secara pribadi masih memegang
tampuk kepemimpinan ABRI, dan menunjuk Jenderal Pranoto, kepala administrasi ABRI dan
Jenderal Soeharto untuk menjalankan pemulihan keamanan. Berdasarkan siaran oleh Komando
Operasi Tinggi (KOTI) pada 3 Oktober terungkap bahwa Pranoto hanya sebagai 'pembantu
presiden'. Soeharto, yang lama dikenal sebagai seorang politikus dan mungkin saja oportunis,
muncul pada situasi ini sebagai pemimpin militer yang tangguh dan tampaknya amat anti-Komunis.
Sebaliknya, Pranoto, tidak dekat dengan para pejabat yang merindukan kepemimpinan Yani dan
Nasution dan jelas tidak disukai oleh Soeharto dan koleganya. Soekarno menyatakan dirinya
menunjuk Pranoto pada saat krisis ini adalah sebagai cara konsiliasi dan melindungi sayap kiri, dan
tampaknya ia juga sengaja melakukan hal ini untuk mencegah perpecahan di kalangan ABRI.
Kedutaan AS di Jakarta telah mengkonfimasikan laporan bahwa pasukan pengawal istana dari
Soekarno dan tentara Angkatan Udara melindungi Soekarno dan Omar Dani di Bogor.

Dilaporkan pula, tentara Soeharto telah mengarahkan senjatanya ke arah istana. Pihak Kedutaan
AS kini percaya bahwa tentara Soeharto memiliki akses ke Soekarno namun mereka tidak
menguasainya. Soekarno menolak saran dari ABRI untuk mengambil langkah tegas terhadap para
pemimpin "Gerakan 30 September" dan PKI.
Pada 4 Oktober, ia menyatakan kepada para jenderal ABRI bahwa situasi ini pada dasarnya
melibatkan isu politik, sehingga ketenangan dan ketertiban diperlukan untuk solusinya, dan bahwa
para jenderal harus membiarkan penyelesaian politik pada dirinya. Para jenderal yang awalnya
puas dengan adanya harapan untuk menghancurkan komunis, namun tampak kecewa setelah
pertemuan mereka dengan Soekarno. Tampaknya, beberapa jam sebelum pertemuan 4 Oktober
antara Soekarno dengan para jenderal ini, Soeharto mengeluarkan pernyataan publik yang tidak
biasanya, yang mengimplikasikan keraguan dan kritik terhadap presiden dan menuduh Angkatan
Udara dan PKI terlibat dalam "Gerakan 30 September". Ia menyebutkan jenazah telah ditemukan
di dalam sebuah sumur di lingkungan markas besar Angkatan Udara Halim di Jakarta. Ia
menyatakan bahwa daerah dekat sumur itu telah digunakan sebagai pusat latihan angkatan udara
untuk para sukarelawan dari Pemuda Rakyat (organisasi pemuda komunis) dan GERWANI
(organisasi perempuan komunis).
Berdasarkan fakta ini, menurut Soeharto, mungkin saja benar pernyataan Presiden, Panglima
Tertinggi, Pemimpin Besar Revolusi, bahwa angkatan udara tidak terlibat dalam masalah ini.
Namun tidaklah mungkin bila tidak ada kaitan dengan masalah ini di antara elemen angkatan udara
itu sendiri.
8/08/2001 17:47 WIB
Misteri CIA di Seputar G 30S (6)
Letkol Untung Hanyalah Alat
Penulis : Rita Uli Hutapea
detikcom - Jakarta, Analisis CIA menyebutkan, komandan G 30S Letkol Untung Sutopo hanyalah
alat belaka. Ia bukanlah dalang. Lantas siapa bosnya?
Soal ini CIA tak tahu. Bisa jadi pejabat ABRI yang korup atau faksi komunis yang hendak
memanfaatkan kesempatan. Cerita soal adanya faksi komunis ini sangat mungkin. Menurut laporan,

250 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

memang ada tentara komunis di dalam pasukan Untung. Untung sendiri adalah muslim taat. Untung
bergerak, setelah Soekarno merestui penculikan para jenderal yang direncanakan PKI. Namun
perlu dicatat, Soekarno tak setuju dan tak mengira bila ada pembunuhan.
Berikut analisis CIA yang disampaikan 6 Oktober 1965.
Memorandum CIA (Central Intelligence Agency) Washington, 6 Oktober 1965 OCI No. 2330/65
Jenderal Sabur dalam kapasitasnya sebagai Sekjen Komando Operasi Tinggi (KOTI) menyiarkan
tentang peringatan Soekarno pada 4 Oktober kepada para jenderal dan panglima perang. Menurut
Sabur, Soekarno telah memerintahkan mereka yang hadir saat itu, dan termasuk seluruh warga
Indonesia untuk tidak saling berseteru satu sama lain karena akan "membahayakan perjuangan
kita dan melemahkan kekuatan kita".

Sabur menyatakan penyelesaian insiden 30 September akan ditangani langsung secara pribadi dan
secepatnya oleh Presiden. Ia mengutip ucapan Soekarno yang memperingatkan para pimpinan
militer untuk tidak masuk ke dalam perangkap taktik (mungkin imperialis atau neokolonialis) untuk
melemahkan kita dari dalam sebelum nantinya menyerang kita. Menurut Sabur, Soekarno secara
spesifik memerintahkan para panglima perang untuk menyadari bahaya intrik-intrik dari musuh
kita, tetap waspada dan terus memperkuat kesatuan.

Soekarno juga mengatakan bahwa mereka yang menjadi korban "gerakan 30 September" adalah
pahlawan revolusi dan ia mengajak semua berdoa untuk jiwa mereka. PKI yang telah menyatakan
dukungannya terhadap "Gerakan 30 September' melalui surat kabarnya Harian Rakyat, kini
banyak berdiam diri.

Pimpinan PKI tampaknya sedang menyembunyikan diri. Menurut sebuah sumber rahasia, kebijakan
PKI kini adalah untuk menyangkal "Gerakan 30 September".

Anggota-anggota partai yang ketahuan mendukung pemberontakan itu akan dianggap oleh PKI
sebagai orang yang salah jalan. Banyak pertanyaan yang belum terjawab mengenai "Gerakan 30
September". Kebanyakan soal seputar Soekarno. Apakah Soekarno sebelumnya telah mengetahui
"Gerakan 30 September" dan tujuannya? Apakah benar ia sempat berada di bawah perlindungan
anggota gerakan atau apakah ia pergi (seperti yang telah diumumkannya) ke markas Angkatan
Udara Halim - markas Kepala Staf Angkatan Udara Omar Dani dan mungkin juga markas gerakan
30 September - atas kemauannya sendiri pada 1 Oktober karena pikirnya ia memang sebaiknya
berada dekat bandara?

Atau apakah kehadirannya di sana sebagai indikasi bahwa ia, seperti halnya Angkatan Udara dan
PKI secara terbuka dan terang-terangan mendukung gerakan? Atau apakah ini bagian dari rencana
melarikan diri, yang diatur oleh Jenderal Sabur, untuk membawa Soekarno keluar Jakarta dan
menuju Bogor? Apakah sakit Soekarno selama malam menjelang Gerakan 30 September
memotivasi terjadinya insiden - meski sebelumnya ia memang sudah sakit tapi mungkin saja ini
sebenarnya bagian dari rencana?
Pertanyaan lain tersisa mengenai Letkol Untung dan pimpinan PKI. Banyak laporan yang
menyatakan atau menduga Untung semata-mata adalah korban; menurut sebuah sumber, ia adalah
penganut Islam yang taat, yang terjebak ke dalam permainan korup para pejabat tinggi ABRI.
Jika ia hanya alat dan tameng - dan ini tampaknya benar - jadi siapa sesungguhnya dalangnya?

Atau apakah beberapa rencana oleh berbagai elemen menjadi bercampur dan masing-masing
rencana digunakan untuk membenarkan rencana lainnya? Ada laporan yang bisa dipercaya bahwa

251 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

PKI pada bulan Agustus telah membahas sebuah contingency plans yang akan dijalankan bila
Soekarno meninggal dalam beberapa hari atau minggu mendatang.

Setidaknya ada satu laporan yang menyebutkan bahwa Soekarno menyetujui penangkapan - oleh
siapa penangkapan itu tidak diketahui - jenderal-jenderal yang anti-komunis namun ia tidak
mengetahui adanya rencana untuk membunuh mereka. Jika ia tahu, pasti ia tak akan
menyetujuinya. Sebuah sumber pejabat tinggi ABRI (pernah menjadi dokter Soekarno dan tokoh
kunci dalam komunikasi ABRI), yang sering kali blak-blakan mengenai urusan internal, pada 3
Oktober mengungkapkan bahwa di antara para pendukung Untung ada beberapa personil Komunis
yang bersenjata dan tidak mendapat informasi tentang rencana tersebut.

Pasukan Untung termasuk di antara mereka yang pergi ke rumah para jenderal namun tidak jelas
siapa yang melakukan penembakan - mengingat personil Komunis yang tidak mendapat informasi
itu juga bagian dari grup. Pandangan yang paling mungkin tentang latar belakang insiden "Gerakan
30 September" adalah bahwa Soekarno, Subandrio, dan mungkin pimpinan PKI yang dekat dengan
mereka telah mempertimbangkan soal penangkapan beberapa jenderal tertentu.

Soekarno dan Subandrio berulang kali di depan publik telah memperingatkan ABRI agar para
pimpinannya harus kooperatif dengan "revolusi" atau akan "ditinggalkan". Berpijak dari hal ini,
para personil milisi PKI baik yang di dalam maupun di luar Angkatan Udara mungkin menggunakan
hal itu untuk membenarkan tindakan terhadap Untung. Pemuda milisi PKI menolak taktik damai
yang didukung oleh pimpinan tinggi PKI dan juga Soekarno.

Pemilihan waktu aksi mereka bisa jadi dipengaruhi oleh adanya laporan Soekarno menderita sakit
pada malam 30 September dan oleh adanya sebagian informasi soal contingency plans PKI jika
Soekarno meninggal. Para milisi yang spontan dan mungkin tidak bisa berpikir jernih itu
menganggap dengan kematian para jenderal dan pembentukan pemerintah baru akan memaksa
Soekarno dan seluruh rakyat Indonesia untuk tunduk kepada mereka.

Meski "Harian Rakyat" terang-terangan mendukung gerakan namun tampaknya Ketua PKI Aidit
tak menyetujui pembunuhan para jenderal atau bahkan perubahan pemerintah. Situasi Indonesia,
baik di dalam maupun luar negeri tampak menguntungkan bagi PKI dan mengingat Soekarno yang
mungkin tak lama lagi meninggal, tampaknya keadaan akan menjadi jauh lebih menguntungkan bagi
PKI.

Namun motivasi Kepala Staf Angkatan Udara Omar Dani tetap tidak terjawab. Melihat
perlawanan ABRI dan langkah Soekarno, banyak pertanyaan tersisa mengenai timbulnya "Gerakan
30 September". Namun poin penting sekarang adalah apakah ABRI akan setuju dengan Soekarno
dalam mengatasi situasi.
Berdasarkan laporan-laporan mengenai ABRI tampaknya, meski marah dan kecewa dengan
pembunuhan enam jenderal mereka, sebagian besar pejabat ABRI tetap akan mendukung
Soekarno. Meski ada beberapa individu pejabat ABRI yang mulai meragukan kebenaran kebijakan
Soekarno, namun sebagian besar masih enggan untuk menentangnya. Terlebih Soekarno telah
menegaskan sikapnya bahwa setiap tindakan terhadap PKI akan dianggap sebagai tindakan anti-
Soekarno. Akan tetapi, sebagai akibat dari "Gerakan 30 September", untuk sementara ABRI akan
tetap menguasai secara politik.

Ini didasarkan pada masih diberlakukannya keadaan darurat militer di Jakarta dan kontrol penuh
ABRI di beberapa wilayah Indonesia. Langkah Soekarno yang terlalu cepat menunjukkan

252 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

dukungannya terhadap sayap kiri selama periode ini, akan menyebabkan perbedaan yang kian
tajam antara dirinya dan kebanyakan pimpinan ABRI.

Ini bisa memicu bertambahnya dukungan publik dan politikus anti-komunis terhadap ABRI.
Kesehatan Soekarno tetap menjadi faktor penting dalam menentukan arah situasi. ABRI
tampaknya akan lebih bersikap tegas jika presiden mangkat atau tak mampu lagi memimpin
dibanding jika presiden masih menunjukkan kekuatannya. Meski Soekarno masih terus
mengasingkan diri namun ini tak bisa dijadikan indikasi bahwa kesehatannya telah menurun tajam.
Ia mungkin saja menolak hadir di depan publik sampai ia pikir itu ada gunanya bagi kepentingan
politiknya. Namun, belakangan ini Soekarno sering mengadakan pertemuan dengan sejumlah
pejabat militer dan sipil.

8/08/2001 18:30 WIB


Misteri CIA di Seputar G 30S (7)
Setumpuk Strategi AS Bantu ABRI
Penulis : Rita Uli Hutapea

detikcom - Jakarta, Perkembangan cepat yang terjadi pasa G 30S, membulatkan tekad AS untuk
membantu ABRI menghadapi komunis. AS menduga Indonesia berpaling pada Jepang. Karena itu,
sederet rencana bantuan segera disodorkan.

Ternyata seperti yang diungkap dalam perintah Deplu AS bagi Kedubes AS di Indonesia, 29
Oktober 1965, pemberian bantuan itu meliputi banyak hal. Antara lain, kesiapan memberikan
bantuan ekonomi via IMF, meyakinkan AS adalah sahabat Indonesia, pemberian bantuan pangan
dan mempertimbangkan pengiriman senjata. Berikut bunyi dokumen tersebut.

Telegram dari Deplu AS ke Kedutaan AS di Indonesia Washington, 29 Oktober 1965, pukul 3.48
sore No.545
Berikut adalah analisis tentatif kami atas perkembangan situasi di Indonesia dan implikasinya
buat AS. Kami ingin tanggapan atau pengamatan Anda untuk dikembangkan menjadi rekomendasi
kebijakan kami. Pidato Nasution ada 25 Oktober dan kampanye terbuka melawan Subandrio
adalah bukti konklusif pertama bahwa para pemimpin ABRI bertekad untuk memerangi PKI dan
para simpatisannya, dan tidak akan melenceng dari tujuannya meski ditentang Soekarno.
Pimpinan ABRI semakin menunjukkan perlawanannya terhadap Soekarno. Arah permainan mereka
tampaknya akan coba menjauhkan Soekarno dari para penasihatnya yang anti-ABRI,
mengasingkannya dan kemudian menggunakannya atau bahkan mungkin menyingkirkannya, jika
dibutuhkan. PKI yang kini sedang diburu oleh ABRI, masih bisa melakukan aksi perlawanan dengan
menyerang, sabotase atau perang gerilya dengan dalih bahwa ABRI adalah alat kekuatan
imperialis dan CIA.

ABRI tak akan punya pilihan lain kecuali melawan serangan ini dan akan membutuhkan konsistensi
pemerintah untuk mendukung usaha mereka. ABRI tetap mempertahankan perannya yang non-
politik dan menjauhi ide perebutan kekuasaan. Namun dengan jatuhnya konsep NASAKOM, maka
tak ada kesatuan terorganisir yang bisa memberikan arah dan kepemimpinan kepada pemerintah,
kecuali ABRI.

Cepat atau lambat, akan menjadi semakin jelas bagi pimpinan ABRI bahwa merekalah satu-satunya
kekuatan yang mampu menciptakan keteraturan di Indonesia, dan mereka harus mengambil

253 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

inisiatif untuk membentuk pemerintah gabungan militer atau sipil-militer, dengan atau tanpa
Soekarno.

Hubungan dengan Red China semakin tegang karena berdasarkan kecurigaan para pemimpin ABRI,
Komunis Cina berada di balik kudeta. Uni Soviet telah melancarkan tekanan terhadap ABRI untuk
menghentikan aksi serangannya terhadap sayap kiri, bahkan sudah mengisyaratkan bantuan dana
Uni Soviet akan dihentikan. ABRI tentu saja tak akan menyerah pada tekanan ini.

Jika analisis ini benar, kita bisa lihat beberapa bentuk masalah yang mungkin bisa mempengaruhi
kita:

a. Seiring dengan pemikiran ABRI untuk membentuk pemerintahan baru, mereka


mungkin membentuk pemerintahan sipil atau koalisi sipil-militer untuk menjalankan
reformasi ekonomi dan membawa Indonesia ke arah baru yang bebas dari
pengaruh luar.
b. Komunis Cina semakin menunjukkan pertentangannya dengan Indonesia karena
tindakan ABRI terhadap PKI. Ini tak beda jauh dengan sikap Uni Soviet, yang
menyalahkan Cina atas terjadinya kudeta. Jika Uni Soviet mendukung usaha PKI
menentang ABRI, maka hubungan ABRI dan Uni Soviet akan menegang, namun
mereka juga tidak bisa mendukung ABRI. Mungkin Uni Soviet akan memilih
bersikap menunggu. Cina dan Uni Soviet mungkin berharap Soekarno tetap
berkuasa dan memaksa ABRI untuk menerima kehadiran sayap kiri dalam
NASAKOM.

c. Jika asumsi kita benar bahwa ABRI harus melanjutkan peperangannya terhadap
PKI, dan PKI akan bereaksi, dan bahwa Cina dan Uni Soviet tidak bisa
mengabaikan penumpasan PKI ini sehingga mereka akan terus mengkritik ABRI,
maka ABRI terpaksa harus menelaah sikapnya terhadap Cina dan Uni Soviet.

d. Dari situ hanya ada satu langkah bagi ABRI untuk terus menumpas ABRI, bahwa
mereka harus mencari teman dan dukungan lain. Kita perkirakan mereka akan
mendekati Jepang, atau kekuatan lainnya, dan tidak diragukan lagi, kita. Mereka
akan menyadari bahwa kebijakan domestik dan luar negeri Soekarno dan PKI yang
ekstrim telah membawa Indonesia ke kondisi chaos-nya perekonomian, politik dan
sosial.

Namun berdasarkan pemikiran Soekarno yang telah berlangsung lama, mereka pasti akan ragu-
ragu untuk mengatasi ini semua atau curiga dengan bantuan dan saran dari kita. Beberapa hari,
minggu atau bulan mendatang, mungkin akan tersedia kesempatan bagi kita untuk mulai
mempengaruhi rakyat, seiring dengan mulai pahamnya militer akan masalah dan dilema yang
mereka alami.

a. Kita hendaknya berusaha meyakinkan mereka bahwa Indonesia bisa selamat dari chaos,
dan ABRI merupakan instrumen utama untuk itu.

b. Kita harus menunjukkan bahwa Indonesia dan ABRI mempunyai sahabat yang siap
menolong mereka.
c. Bila kita diminta membantu oleh Nasution kita harus meresponnya dengan mengatakan kita
siap membantu.

254 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

d. Mereka akan membutuhkan pangan, dan kita tegaskan bahwa Palang Merah Internasional
bisa memberikannya jika mereka meminta bantuan langsung kepada kita atau lainnya
(Jepang, Brazil, Malaysia, Thailand, Taiwan, dan bahkan Republik Korea).
e. Anjloknya rupiah dan situasi ekonomi yang buruk mungkin membutuhkan perhatian para
pakar segera. Kita bisa nyatakan bahwa IMF bisa memberikan saran dan bantuan, begitu
pula dengan kita. Namun hal ini akan membutuhkan perubahan sikap Indonesia terhadap
IMF dan negara sahabat.

f. Persenjataan dan perlengkapan militer mungkin akan dibutuhkan untuk menangani PKI.
(Apakah Uni Soviet akan mensuplai ABRI dengan persenjataan jika itu digunakan untuk
menyerang PKI?)

g. Dengan berkembangnya situasi, ABRI akan semakin mengerahkan upayanya untuk


menumpas PKI, dan kita harus sudah siap dengan kesempatan itu.
h. Mungkin sekali ABRI akan datang kepada Jepang pertama kali untuk meminta bantuan.
Jepang memiliki kepentingan nasional yang vital atas keberhasilan ABRI melawan PKI dan
kestabilan Indonesia. Jepang sendiri sudah mengambil inisiatif.

i. Saat ini, Jepang masih terhipnotis dengan Soekarno sebagai pria 'esensial' dan mereka
berhati-hati untuk tidak melawannya. Namun bila, situasi berkembang seperti yang kita
perkirakan, dan Soekarno akan diasingkan atau dipindahkan, keadaan akan menjadi amat
berbeda bagi Jepang.

Hingga tahap tertentu, kita akan mengadakan diskusi rahasia dengan Jepang, membandingkan
catatan perkembangan yang dimiliki masing-masing pihak dan mengupayakan kerja sama atas
pengambilan tindakan yang disepakati. Kita tentu saja, akan mengkonsultasikan ini dengan Inggris,
Australia, dan lainnya.

Rusk Pejabat Departemen Luar Negeri

8/08/2001 19:47 WIB


Misteri CIA di Seputar G 30S (8)
Bantuan AS pun Mengalir Deras
Penulis : Rita Uli Hutapea

detikcom - Jakarta, Komitmen AS untuk membantu ABRI menghadapi komunis pasca G 30S
ditepati. Kepada ABRI diberikan bantuan peralatan komunikasi canggih. Komitmen pemberian
bantuan juga datang dari Kasgab militer AS.

Beberapa poin soal pemberian bantuan ini tertuang dalam beberapa dokumen penting. Satu ciri
yang mutlak, pada pemberian bantuan terhadap ABRI diupayakan setertutup mungkin, mengingat
hal itu bisa menjadi bumerang. Presiden Soekarno bisa menjadikannya sebagai alat tuduhan ABRI
ditunggangi CIA. Berikut poin-poin penting dalam dokumen tersebut.
Memorandum yang disiapkan untuk Komite 303 Washington, 17 November 1965
Perihal: Pengiriman Peralatan Komunikasi untuk Tokoh Penting ABRI Anti-Komunis

Ringkasan

255 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Maksud proposal operasi ini untuk memastikan bahwa tokoh-tokoh kunci ABRI anti-komunis akan
memiliki peralatan komunikasi yang cukup untuk digunakan dalam perlawanannya terhadap
Komunis. Peralatan ini tidak tersedia cukup di Indonesia. Kekurangan ini telah mengurangi
keefektifan mereka dalam memerangi upaya Komunis menghapuskan pengaruh non-Komunis di
pemerintahan mereka. Permintaan peralatan oleh beberapa pejabat tinggi Indonesia mendapat
dukungan dari Dubes AS di Indonesia dan disetujui Biro Urusan Timur Jauh Deplu.

Ada beberapa risiko dalam pengiriman peralatan ini, namun dengan tindakan pencegahan yang
tepat akan meminimalkan risiko. Indonesia saat ini tidak bisa melakukan pembelian peralatan dari
AS. Apalagi, berita soal ini tidak saja akan memalukan pemerintah AS, namun juga para pejabat
tinggi ABRI di Indonesia. Tindakan hati-hati diperlukan. Pada 5 November 1965, Komite 303
menyetujui permintaan serupa untuk mengirimkan peralatan medis ke Indonesia.
Diharapkan Komite 303 akan menyetujui program di atas, yang diperkirakan akan berlangsung
sampai waktu tertentu. Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan
a. Asal mula permintaan: Banyaknya permintaan akan peralatan komunikasi datang
(kurang dari 1 baris tulisan dirahasiakan) dari Dubes AS untuk Indonesia, dari
pembantu Menteri Pertahanan Nasution, dan dari Jenderal Sukendro.

b. Pertimbangan kebijakan AS yang sesuai: Pada 5 November 1965 Komite 303


menyetujui proposal operasional untuk menjawab permintaan Indonesia atas
peralatan medis.

c. Tujuan Operasional: Kontak tertutup (kurang dari 1 baris dirahasiakan) harus


dipertahankan dengan pimpinan ABRI tertentu.

d. Teknis

e. Pelatihan: Beberapa pejabat komunikasi senior ABRI yang qualified, ditentukan


oleh Sukendro, akan diberikan (kurang dari 1 baris tulisan dirahasiakan) pelatihan
khusus rahasia di lokasi yang aman untuk menggunakan peralatan ini. Mereka akan
dijelaskan konsep umum pengoperasian jaringan komunikasi ini; frekuensi antara
42 dan 53 megacycles yang bisa digunakan di Indonesia (agar aman dari
monitoring lokal) sehingga dengan spesifikasi ini, penghubung kami bisa menyetel
peralatan dengan frekuensi yang diinginkan.

f. Pendanaan: Total biaya diperkirakan mencapai (kurang dari 1 baris tulisan asli
dirahasiakan). Peralatan itu sendiri kira-kira akan mencapai (kurang dari 1 baris
tulisan asli dirahasiakan) untuk pemuatan dan pengepakan.

5. Koordinasi Proposal operasional ini telah direkomendasikan oleh Dubes AS untuk


Indonesia dan telah disetujui Departemen Luar Negeri Biro Urusan Timur Jauh.
6. Rekomendasi Komite 303 menyetujui program ini.

Memorandum dari Gabungan Kepala Staf kepada Menteri Pertahanan McNamara Washington, 30
Desember 1965 Perihal: Bantuan ke Indonesia Berkaitan dengan pesan terakhir dari Kedutaan AS
di Jakarta yang berisikan informasi bahwa Presiden Soekarno mungkin akan digulingkan setelah 1
Januari 1966, Indonesia mungkin meminta bantuan AS. Jika ini terjadi, permintaan bantuan
ekonomi mungkin akan cukup besar.

256 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Permintaan material militer mungkin tidak banyak. Barang-barang yang mungkin diminta termasuk
amunisi, senjata otomatis ringan, kendaraan, radio portabel, dan mungkin suku cadang C-130 dan
C-47. Bantuan training mungkin juga diminta.
Upaya penjatuhan Presiden Soekarno oleh ABRI bisa menguntungkan kepentingan keamanan AS di
sana. Meski ABRI tampaknya tak ingin mencari sekutu asing dalam penerapan kebijakannya,
seperti halnya Soekarno dulu.

ABRI tampaknya akan menjadi kekuatan tunggal anti-komunis yang paling kuat di Indonesia,
namun pada akhirnya pasti akan memerlukan kepemimpinan sipil. Kepentingan AS akan lebih
terjamin jika pemerintah baru nanti cenderung pro-Barat. Atau setidaknya netral. Akan tetapi
ada beberapa faktor yang menyebabkan kita belum bisa memberikan bantuan militer kepada
ABRI:
a. Posisi ABRI yang belum pasti dan pemberian bantuan militer AS yang terang-
terangan pada saat ini akan cenderung mendatangkan tuduhan oleh Soekarno,
Subandrio, Peking dan Moskow bahwa ABRI adalah 'alat imperialisme AS'.

b. Mengingat komitmen AS di Asia Tenggara, pemberian bantuan logistik kepada


Indonesia harus dievaluasi. Gabungan Kepala Staff merekomendasikan:

b1. Amerika Serikat, jika diminta, akan siap memberikan kepada Indonesia
sejumlah bahan pangan/obat-obatan untuk menunjukkan dukungan terhadap
pemerintah baru.

b2. Karena kampanye pimpinan ABRI melawan PKI tampaknya berjalan sesuai
rencana dan bantuan militer AS tampaknya tak dibutuhkan untuk keamanan
internal, maka untuk saat ini AS hendaknya tidak secara terang-terangan
memberikan bantuan militer kepada Indonesia.

b3. Departemen Luar Negeri dan Departemen Pertahanan bersama-sama


menyusun kriteria untuk melanjutkan pemberian bantuan militer dan ekonomi.

b4. Memorandum ini akan diteruskan ke Menteri Luar Negeri.


Atas nama Gabungan Kepala Staf:
David L. McDonald
Ketua

8/08/2001 21:13 WIB


Misteri CIA di Seputar G 30S (9)
ABRI Lamban, AS Mulai Ragu-Ragu
Penulis : Rita Uli Hutapea

detikcom - Jakarta, Sikap ABRI yang tak juga berani bertindak keras terhadap Soekarno dan
PKI tak urung sempat membuat AS jengkel. AS menganggap para pimpinan ABRI bersikap
terlampau hati-hati dalam menghadapi Soekarno. Maksud hati agar tak timbul perpecahan di
masyarakat, namun yang didapat kuku komunisme tak juga tercabut.
Karena itu, AS pun mulai hati-hati pula menyalurkan bantuan. Presiden AS Lyndon B. Johnson pun
sempat bertanya pada Dubes AS Marshall Green untuk memastikan bantuan benar-benar
dihentikan. Berikut dokumen yang menyebut hal itu.
257 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Telegram dari Kedutaan AS di Indonesia kepada Deplu AS Jakarta, 19 November 1965 No. 1511
1. Kami yakin bahwa AS dan sekutunya harus ekstra hati-hati mengenai pemberian bantuan
kepada para jenderal saat ini. Dalam setiap hal, bantuan kita tergantung pada apakah kita
yakin ABRI benar-benar berniat tegas menentang Soekarno/Subandrio. Ada indikasi yang
membingungkan apakah ABRI akan tetap bersikap tegas atau justru perlahan-lahan akan
menuruti keinginan presiden. Yang jelas, kita jangan sampai memberikan bantuan yang
akan mendatangkan keuntungan bagi Soekarno yang tetap menjadi kepala negara dan
pemerintahan.
3. Saat ini ada bukti-bukti yang membingungkan tentang apakah, kapan dan bagaimana ABRI
akan bergerak melawan Soekarno. Selama Soekarno masih berkuasa, ABRI dan anti-
komunis mungkin akan cenderung mempertahankan kebijakan "anti-imperialis dan anti-
kolonial", yang konsekuensinya adalah terus belangsungnya konfrontasi dengan Malaysia
dan sikap anti-Barat. Kami juga menduga keadaan akan semakin chaos sebagai akibat
deadlock antara Soekarno dan ABRI yang menyebabkan setiap program pembangunan
ekonomi tak mungkin dilakukan, kecuali sampai salah satu kekuatan politik itu disingkirkan.

4. Meski AS mengharapkan kondisi yang lebih baik nantinya (masa sesudah Soekarno), kami
tidak melihat adanya perbaikan besar posisi AS dalam jangka pendek, bahkan jikapun
ABRI bisa bertahan sebagai salah satu struktur kekuasaan. Apalagi, tindakan Soekarno
untuk merebut kembali kekuasaannya, tak diragukan lagi akan menggencarkan kebijakan
anti-Amerika Serikat. Kami sudah melihat bukti hal ini dalam pidato presiden tentang
penarikan biaya Rp 150 juta. (Dalam pidatonya kepada Kabinet 6 November 1965,
Soekarno menuntut biaya sebesar Rp 150 juta dari mantan Dubes AS untuk Indonesia
Howard Jones karena sengaja menyebarkan ideologi Dunia Bebas ke Indonesia - Airgram
331 dari Jakarta, 16 November).

5. Karena itu, kami merekomendasikan beberapa hal untuk diajukan di pertemuan:

A. Kita tak akan mengambil langkah apapun yang bisa meningkatkan imeg
Soekarno-Subandrio, baik diinginkan ABRI atau tidak.

B. Kita sebaiknya tidak memberikan bantuan ekonomi yang signifikan untuk


ABRI kecuali dan sampai kita tahu kemana arah mereka secara politik dan
ekonomi. (Hal pemberian bantuan yang bisa menolong ABRI mengatasi PKI
akan diperlakukan berbeda).
C. Kita hendaknya mempertimbangkan pemberian bantuan untuk pemerintah
yang murni non-komunis jika ada perubahan atmosfir karena bantuan ini
akan efektif.
D. Marshall Green Dubes AS untuk RI Memorandum Pembicaraan ashington,
15 Februari 1966, pukul 11.55-12.20
Perihal: Indonesia Partisipan:

Presiden Johnson, Wakil Menlu William P. Bundy, Dubes Marshall Green, Mr. Robert Komer. Atas
permintaan Presiden, Dubes Green membahas situasi dan tren prospektif di Indonesia,
menyertakan beberapa rekomendasi umum kebijakan AS dalam berhadapan dengan Indonesia.

258 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Dubes menegaskan, meskipun hubungan antara Indonesia dan AS masih jauh dari memuaskan,
adanya kudeta pada 1 Oktober (31 September WIB) lalu telah mendorong upaya penumpasan PKI;
merosotnya prestise internasional Peking yang diduga terlibat dalam kudeta itu; memburuknya
hubungan antara Indonesia dan Komunis Cina; goncangan bagi citra Soekarno sebagai pemimpin
'kekuatan baru' melawan dunia Barat; dan berkurangnya prestise dan dukungan bagi Soekarno di
antara rakyatnya.

Akan tetapi, Soekarno tetap menjadi Presiden dan pemimpin revoulsi. Hingga tahap tertentu, ia
berhasil memainkan kebingungan dan ketakutan lawan-lawannya dalam merebut kekuasaan. Ia
tampaknya berhasil membelokkan kembali revolusi ke arah kiri. Ia pintar dan persuasif dan
tampaknya fisiknya masih kuat.

Menurut Dubes Green, ABRI yang memimpin kelompok oposisi Soekarno, meski tak bersedia
melawan Soekarno secara terang- terangan dan frontal, sebenarnya sangat menentang hadirnya
PKI dan hubungan dengan Cina.
Kelompok oposisi juga menginginkan pemerintahan yang lebih baik. Akan tetapi, didorong oleh rasa
khawatir timbulnya kekacauan masyarakat, ABRI masih enggan dan bimbang untuk langsung
menentang Soekarno. ABRI juga mungkin ragu untuk mengemban tanggung jawab yang terlalu
besar seiring dengan terus memburuknya kondisi politik dan ekonomi Indonesia.

Dubes Green merasa bahwa hancurnya perekonomian yang kian parah, khususnya krisis atas valuta
asing bisa membuat masalah semakin menggunung dalam enam bulan mendatang atau lebih. Dari
waktu ke waktu, situasi di Indonesia akan sangat berantakan, ujarnya. Hal yang tampaknya
semakin jelas saat ini adalah kita tengah berada dalam fase transisi antara Soekarno dan
penggantinya yang belum diketahui siapa.

Dalam situasi ini, menurut Dubes AS hendaknya terus mempertahankan sikap low profile. Dubes
menyatakan ia sangat menghargai cara-cara pejabat AS mulai dari Presiden sampai pejabat di
bawahnya yang telah berusaha untuk tidak memberikan pernyataan publik tentang Indonesia.
Mempertahankan sikap seperti ini sangatlah penting karena apapun yang dikatakan atau dilakukan
AS tentang Indonesia bisa menyebabkan distorsi dan salah penafsiran. Kita akan terus dituduh
mencoba ikut campur urusan mereka, yang tentu saja tidak kita lakukan dan memang tak
seharusnya kita melakukan. Presiden menanyakan apakah semua bantuan AS ke Indonesia,
termasuk bantuan ke militer telah dihentikan.

Dubes menyatakan sudah, dan ia menyarankan agar AS tidak memberikan dulu bantuan ke
Indonesia sampai Indonesia memulai menata kembali negaranya. Ia menyebutkan bahwa Soekarno
terang-terangan menentang setiap bantuan AS ke Indonesia, dan hal ini secara diam-diam telah
disampaikan pimpinan ABRI kepada kami dan kepada Jepang. Mereka menyatakan, mereka
menentang bantuan apapun pada saat ini karena hanya akan menguntungkan Soekarno dan
Subandrio. Meski begitu, menurut Dubes kita seharusnya tetap berpikiran terbuka soal bantuan
kepada Indonesia.

Situasi bisa saja bertambah buruk dan kita bisa memberikan bantuan pangan atas dasar
kemanusiaan, juga untuk mencegah timbulnya huru-hara akibat kurang pangan dan kerusuhan yang
bisa membahayakan warga asing di Indonesia. Jika Indonesia mulai mengambil langkah-langkah
yang signifikan untuk memperbaiki pemerintahan dan arahnya, maka menurut pendapat Dubes,
kita harus siap menawarkan bantuan, bisa lewat sebuah kesepakatan konsorsium atau badan
internasional seperti Bank Pembangunan Asia (ADB). Ringkasan Tindakan Presiden menyatakan ia

259 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

menghargai observasi ini dan ia menyerahkan kepada Dubes untuk membuat detil rekomendasi
mengenai waktu dan kondisi yang memungkinkan Amerika Serikat memberikan bantuannya ke
Indonesia.

9/08/2001 01:7 WIB


Misteri CIA di Seputar G 30S (10)
Cerita Adam Malik pada Dubes AS
Penulis : Rita Uli Hutapea

detikcom - Jakarta, Sadar langkahnya selalu ditunggu, ABRI mulai menambah tenaga. Politisi sipil
yang dekat dengan Soeharto, Adam Malik mengatakan rencana terbaru ABRI pada Dubes AS.
Dijamin, ABRI akan siap bergerak.
Kejadian itu, malam di awal Maret 1966. Dalam pertemuan dengan Dubes AS Marshall Green itu,
Adam Malik menceritakan bagaimana ABRI sudah siap bergerak dengan dukungan 22 batalyon.
Menurut Adam Malik, sikap antisipastif ini dipicu tindakan Soekarno sendiri yang berniat
memberhentikan Pangkobkamtib Jenderal Soeharto.
Semula Green ragu. Soekarno bisa saja memcah ABRI dengan mengumpulkan pati ABRI lainnya.
Namun Adam Malik menjamin hal itu tak terjadi. ABRI dalam kondisi solid. Apapun, demi
mendengar ocehan ini, Dubes Green pun langsung mengirim telegram ke Washington. Berikut
ceritanya.

Telegram dari Kedutaan AS di Indonesia ke Deplu AS Jakarta, 10 Maret 1966 No. 2536
1. Menteri Adam Malik, yang tampaknya amat bersemangat, berbeda dari yang pernah
saya lihat sebelumnya, mengatakan kepada saya ketika bertemu di suatu tempat
kemarin malam, bahwa situasi kini siap meledak. ABRI katanya telah siap bergerak
setiap waktu dengan menggunakan 22 batalyon tentara yang setia kepada Jenderal
Nasution dan Soeharto di Jakarta dan sekitarnya.

2. Saya katakan padanya saya mengerti bahwa Soekarno berencana memberhentikan


Soeharto, benarkah begitu? Ia menyatakan Presiden memang berencana
memberhentikan Soeharto dan Adjie; dan Malik berharap Soekarno akan melakukan hal
itu karena langkah ini jelas akan mendorong ABRI bergerak melawan Presidium dan
membawa perubahan yang telah lama dinantikan.

3. Saya katakan bahwa dulu ketika ABRI tampaknya satu dalam tekadnya, Soekarno
mampu menggoyahkan mereka dengan memanggil semua jajaran militer termasuk
panglima-panglima wilayah dan membuat mereka setuju pada sikapnya, akibatnya para
panglima itu pun bingung menentukan bagaimana sebenarnya sikap mereka. Pekan ini
Soekarno telah mengadakan pertemuan serupa itu, apakah sejarah akan kembali
terulang?
4. Malik menjawab bahwa menurutnya hal itu tidak akan terjadi. Semua panglima sekarang
berdiri di belakang Soeharto, hanya tinggal menunggu perintah darinya. Akan tetapi,
ABRI tak akan mengambil langkah inisiatif melawan Soekarno/Subandrio karena ABRI
tak mau bersikap agresif, namun tindakan ABRI akan berbentuk serangan balas. Para
mahasiswa dan buruh akan terus berdemonstrasi sampai Soekarno/Subandrio
terprovokasi untuk mengambil tindakan yang bisa dibenarkan ABRI untuk melakukan

260 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

serangan balas. Ini bisa berupa pemecatan Soeharto atau Adjie atau Sarwo Edhie atau
Mokoginta atau ketia pasukan Cakrabirawa menembaki mahasiswa. Contoh bahwa
Soekarno amat mungkin menjadi pemicu tindakan ABRI adalah ketika ia dan Subandrio
menginspeksi Departemen Luar Negeri yang diamuk massa pada 9 Maret, Soekarno
saat itu amat marah hingga ia memerintahkan pasukan Cakrabirawa untuk menembak
mahasiswa.

5. Malik juga mengatakan, staf muda Angkatan Udara juga kini terorganisir menjadi tim
yang mendukung gerakan anti-Presidium dan merencanakan sabotase pesawat terbang
yang terlibat dalam usaha pelarian menteri-menteri kabinet sayap kiri dari Jakarta.

6. Menurut Malik, sejauh ini elemen baru yang paling penting dalam situasi ini dibanding
sejak pertemuan kami sebulan lalu adalah gerakan mahasiswa melawan Subandrio dan
menteri-menteri kabinet sayap kiri. Mahasiswa ini lebih kuat daripada semua partaidan
mampu menarik banyak simpati dan dukungan. Bahkan, gerakan anti-pemerintah yang
ada sebelumnya tak ada yang mampu menandingi besarnya dukungan terhadap
mahasiswa. Apalagi, aparat tentara dan polisi paling canggung untuk menembak
demonstran mahasiswa.

7. Terlebih lagi, serikat-serikat kerja juga mulai beraksi. Sebagian besar serikat kerja
akan mendukung mahasiswa dengan bersama-sama berunjuk rasa dan melakukan mogok
kerja yang dimulai pekan ini.

8. Saya menanyakan pada Malik apakah pemberhentian Nasution telah mendatangkan


masalah serius bagi ABRI. Menurutnya, tidak sama sekali. Nasution yang terus
mendapat dukungan di seluruh negeri, bisa bertindak lebih efektif di belakang layar
dibanding ketika ia masih di Departemen Pertahanan. Nasution dan Soeharto tetap
dekat namun lebih baik membiarkan Soeharto berada di depan. Saya tanyakan
bagaimana posisi Jenderal Machmud (Panglima Kodam V yang bertanggung jawab atas
wilayah Jakarta), kata Malik ia jelas mendukung Soeharto.
9. Akhirnya dan yang terpenting, saya tanyakan Malik tentang situasi keamanan umumnya
atas pengaruhnya pada warga Amerika dan properti milik Amerika. Saya sebutkan soal
demo mahasiswa ke kantor Subandrio sudah tentu akan mendorong Subandrio untuk
membalas atau mengalihkan perhatian. Ia tak bisa menjadikan ABRI atau mahasiswa
sebagai target sasarannya, jadi amat mungkin ia akan mengerahkan pasukannya
melawan Kedutaan kami. Hal ini sudah pernah terjadi dua kali dalam 2 minggu
belakangan. Apalagi saya punya laporan yang agak mengganggu bahwa Soekarno telah
menunjukkan kemarahannya yang bisa diarahkan ke Amerika. Ini berarti bahaya bagi
penduduk kami. Bagaimana menurut Malik?

10. Malik menjawab, memang tidak diragukan lagi Subandrio akan mencoba aksi anti-
Amerika. Akan tetapi, hal ini tak akan mendapat dukungan dari banyak elemen di sini,
dan ABRI sudah pasti akan maju melindungi warga Amerika. Menurut Malik, evakuasi
komunitas Amerika dari Jakarta tidaklah diperlukan, namun ia menyarankan agar
mereka sebisa mungkin tidak menampakkan diri, terlebih selama minggu mendatang
saat keadaan akan menjadi amat menegangkan.

11. Saya katakan pada Malik sekali lagi bahwa saya berharap adanya hubungan baru antara
pemerintahan kita, hubungan yang produktif dan bermanfaat dari sudut pandang

261 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Indonesia, dan pentingnya mencegah terjadinya aksi anti-Amerika. Jika itu sampai
terjadi, akan menganggu hubungan kita dan menghapus kesempatan untuk menjalin
kerjasama dan persahabatan yang menguntungkan. Ia menyatakan, dirinya sangat
paham maksud saya. Ia berpikiran yang sama. Menurutnya, ia kini lebih yakin bahwa
segalanya akan berjalan sesuai yang kita inginkan bersama.

12. Saya katakan pada Malik bahwa ia bebas menceritakan percakapan kami pada Nasution
dan Soeharto. Malik bilang ia akan melakukannya.

Marshall Green Dubes AS untuk RI

9/08/2001 02:3 WIB


Misteri CIA di Seputar G 30S (11)
Soekarno Nyaris Jatuh, AS Bersiap
Penulis : Rita Uli Hutapea

detikcom - Jakarta, Benar kata Adam Malik. Tanggal 11 Maret 1965, atas dasar Supersemar,
ABRI bergerak cepat. PKI dibubarkan. Tapi Soekarno belum jatuh. Meski demikian, AS sudah
menyiapkan langkah bila pemerintahan berganti. Kesiapan AS ini terungkap dalam memorandum
yang diberikan oleh Pembantu Khusus Presiden Walt Rostow kepada Presiden AS Lyndon B.
Johnson. Isinya antisipasi yang akan menyusul kejatuhan Soekarno. Berikut dokumen tersebut.

Memorandum dari Pembantu Khusus Presiden (Rostow) kepada Presiden Johnson Washington, 8
Juni 1966, pukul 14:35

Bapak Presiden: AS mengharapkan Anda membaca lampiran tulisan tentang Indonesia. Ini
merupakan ringkasan yang bagus tentang evolusi Indonesia dan kebijakan kita sejak 1 Oktober
tahun silam. Poin operasionalnya adalah: jika Soekarno turun, kita akan menghadapi isu bantuan
berikut:
Ø Tambahan bantuan darurat

Ø Penjadwalan ulang utang multilateral


Ø Bantuan berjangka panjang (terutama Eropa, Jepang, multilateral, namun mungkin juga
beberapa bilateral AS).
Ø Kemungkinan, beberapa bantuan kecil militer untuk latihan dan aktivitas sipil. Perencanaan yang
diajukan atas masalah ini sangat bagus, bahkan bagi para tokoh penting Kongres yang sudah
diberitahukan soal ini. Sejauh ini, mereka cukup simpatik. Belum ada keputusan yang diambil,
kecuali Anda berkehendak memberikan petunjuk.

Walt

9/08/2001 03:17 WIB


Misteri CIA di Seputar G 30S (12)
Pertemuan Soeharto-Dubes AS
Penulis : Rita Uli Hutapea
detikcom - Jakarta, Keberhasilan Soeharto menjadi pejabat presiden disambut gembira. Tanpa
sungkan, Soeharto pun menjalin kontak langsung dengan AS. Ia bertemu dengan Dubes AS

262 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Marshall Green, 6 Juli 1967, 3 bulan setelah ia terpilih. Berikut isi pertemuan tersebut,
sebagaimana dilaporkan Marshall Green pada Deplu AS.

Telegram dari Kedutaan AS di Indonesia ke Deplu AS Jakarta, 7 Juli 1967 No.114.


Perihal: Pertemuan dengan Soeharto Selama hampir tiga jam pertemuan dengan Soeharto kemarin
malam, saya coba menghilangkan keprihatinan Soeharto atas prospek bantuan AS untuk tahun ini
dan tahun mendatang.

Dalam percakapan juga dibahas masalah bantuan lainnya, MAP, investasi asing dan isu kebijakan
luar negeri. Pembicaraan kami mengenai Vietnam dan masalah sensitif lainnya telah dilaporkan.
Soeharto mendukung kebijakan kita atas Vietnam, dan saya menilai, masalah lain juga begitu.
Soeharto tampaknya moderat, sepaham dan obyektif.

Tujuan utama percakapan saya dengannya adalah membangun basis untuk saling bertukar
pandangan lebih sering lagi dengan orang yang sudah hampir dipastikan akan memimpin pemerintah
Indonesia di masa mendatang. Namun tidak jelas apakah saya berhasil mencapai tujuan ini. Hal ini
akan tergantung pada hasil konkrit pembicaraan kami, yakni tanggapan kita atas permintaannya.

Permintaan Soeharto untuk Dukungan AS

1. Soeharto mengawali pembicaraan dengan menjelaskan bahwa dirinya tidak


meragukan niat baik kita pada Indonesia. Ia juga mengakui komitmen kita yang
mendunia dan masalah yang dihadapi pemerintah AS dalam memperoleh bantuan
lewat Kongres. Namun, ia dengan serius mempertanyakan apakah kita telah
memberikan prioritas yang cukup tinggi untuk Indonesia, mengingat besarnya
masalah Indonesia termasuk tantangan dari kekuatan pendukung Soekarno. Bangsa
Indonesia menghadapi masalah darurat yang memerlukan langkah-langkah yang
tidak seperti biasanya, dan bantuan AS sangatlah dibutuhkan.

2. Soeharto mengatakan bahwa program kabinet Ampera dibentuk di atas ekspektasi


bantuan AS yang berkelanjutan. ―Saya menganggap AS sebagai teman terbaik
kami, namun jika saya merasa tak pasti akan bantuan Anda, maka saya akan
membuat rencana lain.‖ Soeharto tidak menyinggung apakah ia akan beralih ke
Rusia atau hal seperti itu, namun ia menyatakan dirinya akan membuat beberapa
penyesuaian besar dalam rencana anggaran pemerintah, yang akan menarik
perhatian para pendukung Soeharto dan kekuatan musuh lainnya di Indonesia.
Akibatnya pemerintah bisa saja dalam bahaya dan kerusakan bisa amat parah.
3. Posisi AS -- Saya katakan bahwa saya gembira karena ia tidak meragukan motif
kami. Saya tahu banyak rumor tidak benar yang beredar mengenai posisi kami.
Saya sudah sejak lama ingin menemui Soeharto, hanya untuk menjelaskan
kepadanya bahwa kita sepenuhnya mendukung pemerintahannya dan bahwa kita
berupaya untuk mempertahankan orde baru di bawah kepemimpinannya. Ia adalah
orang yang bisa membawa Indonesia melalui masa-masa sulitnya, dan kami
mengagumi kemoderatannya, kepraktisannya, dedikasinya akan kebutuhan rakyat,
dan keinginan untuk menyeimbangkan elemen militer dan sipil dalam pemerintah.
Saya juga menyampaikan penghargaan kita yang setinggi-tingginya atas para
penasihat tinggi urusan ekonomi dan luar negerinya. Saya katakan memang ada
perbedaan antara sesama teman tapi hal ini tak seberapa dibandingkan kerja sama
dan minat kita yang sama. Mengenai Bantuan CY'67 l1 Tentang program CY'67
263 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

kita, saya ingatkan Soeharto bahwa bantuan AS akan melibatkan PL480 dan
pinjaman impor. Saya yakin kita tak akan memaksakan PL480 yang tidak
dibutuhkan pada pemerintahannya, namun telah menjadi kesimpulan kami bahwa
kapas mentah akan dibutuhkan pada akhir tahun ini. Jika pemerintah Indonesia
tidak setuju, tentu saja masalah ini akan dibahas lebih lanjut oleh para pakar
kami. Jika beras yang dipersoalkan, saya berwenang memberitahukan padanya
bahwa kita sangat menyadari kebutuhan Indonesia, dan paling cepat pada musim
panen tahun ini, dimulai bulan ini, kami akan beritahukan apakah kami
bisa membantu.

4. Soeharto lagi-lagi mendesak - sebelumnya lewat Jenderal Sudjono dua minggu lalu
- agar kita memberikan sebanyak mungkin beras PL480 tahun kalender ini. Hal ini
sangat dibutuhkan mendesak. (Ia tidak menyebutkan kemungkinan menerima
76.000 ton butir beras yang telah disampaikan kepada Widjoyo dalam perundingan
Washington kemudian).

5. Soeharto menyatakan, ia ingin menjelaskan bahwa pemerintah Indonesia


menyambut penjualan PL480, tidak hanya beras, tapi juga kapas dan bahkan ia
akhirnya berminat akan gandum. Ia berharap bisa mengubah pola makan nasional,
dimulai dari Jakarta, sehingga roti bisa menggantikan nasi pada menu sarapan
pagi. Ia menyatakan, bahwa untuk keseimbangan CY'67, Indonesia hanya
membutuhkan beras PL480 dan pinjaman impor dolar. (No 8-13 tidak jelas)

6. Saya yakin Soeharto tidak memiliki kecurigaan apapun atas dukungan kita pada
Nasution, negara Islam ataupun omongan kosong lainnya. Kecurigaan ini tidak
diragukan lagi sudah dilebih-lebihkan oleh beberapa pejabat Soeharto, namun hal
ini sudah diatasi dalam pembicaraan terakhir saya dengan Jenderal Sudjono,
Sumitro dan Hartono. Saya bisa melihat awal sebuah pengertian dengan Soeharto,
meski saya belum bisa tahu kemana arahnya. Yang jelas, tindakan yang responsif
atas permintaan Soeharto yang masuk akal ini, akan banyak membantu mengatasi
masalah komunikasi kita dengan Soeharto.

Marshall Green

9/08/2001 04:6 WIB


Misteri CIA di Seputar G 30S (13)
US$ 325 Juta Buat Soeharto
Penulis : Rita Uli Hutapea
detikcom - Jakarta, AS menepati janjinya mendukung pemerintahan Soeharto. Begitu resmi
menjabat presiden, AS langsung menyiapkan dana bantuan dari IMF yang besarnya mencapai US$
325 juta.
Namun agaknya, AS masih berhitung pula. Dalam dokumen khusus yang disampaikan Pembantu
Presiden AS Walt Rostow kepada Presiden Lyndon B. Johnson terungkap, AS tak akan bersedia
memberikan bantuan US$ 325 juta itu mentah-mentah. Akan dibuat skema dimana AS dan
Jepang, hanya akan menyumbang sepertiga dari jumlah itu. Sisanya disokong oleh negara lain.
Berikut isi dokumen tersebut.

264 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Memorandum dari Pembantu Khusus Presiden (Rostow) kepada Presiden Johnson Washington, 18
Juni 1968, pukul 18:35

Perihal: Bantuan Untuk Indonesia Dana Moneter Internasional (IMF) menyiapkan US$ 325 juta
sesuai yang dibutuhkan Indonesia untuk bantuan luar negeri selama tahun kalender 1968.
Kami menyusun formula dimana AS dan Jepang akan menyediakan sepertiga dari kebutuhan
tersebut, dan sisanya akan disumbangkan bangsa-bangsa lain. Pemerintah Jepang tampak sedikit
lamban tahun ini, namun tampaknya mereka akan memenuhi bagian mereka sebesar US$ 110 juta.
Donatur lainnya tampaknya tak akan memberikan lebih dari US$ 80 juta kepada Indonesia.

Kebutuhan Indonesia kini menjadi amat besar. Banyak program stabilisasi yang gagal dijalankan.
Pada kuartal pertama tahun ini, laju inflasi hampir 60 persen, sebagian besar dikarenakan tidak
mencukupinya bahan pangan. Jika keadaan masih terus berlangsung sampai tahun depan,
pemerintahan dalam bahaya.
Untuk itu, IMF dan Bank Pembangunan Asia (ADB) telah menyerukan bantuan makanan ke
Indonesia, jauh melebihi angka US$ 325 juta, sebelumnya. Masalahnya, bagaimana membantu
Indonesia memenuhi kebutuhannya, termasuk bantuan makanan darurat, tanpa mengganggu
formula sepertiga tersebut (yang populer di Kongres dan terbukti ampuh menekan donatur lain
untuk melaksanakan kewajiban mereka).

Kami menawarkan 350 ribu ton (US$ 46 juta) tepung terigu untuk segera dikirimkan. Namun sulit
mengatakan berapa banyak yang bisa digunakan Indonesia selama 1968.

Untuk itu, masuk akal bila memisahkan bantuan ini dari kesepakatan mengenai bantuan kita tahun
1968 dan di luar formula sepertiga tadi. Dengan cara ini, kita bisa menawarkan US$ 156 juta
bantuan sekarang. Ini secara psikologis sangat penting untuk meningkatkan keyakinan pemerintah
Indonesia dan meyakinkan masyarakat bisnis Indonesia bahwa sumber daya akan tersedia untuk
menghindari inflasi spiral lainnya pada akhir tahun ini. Selain gandum, paket kita terdiri dari:

Ø 200.000 ton beras, senilai US$ 41 juta;

Ø 160.000 bales kapas mentah dan sejumlah 70.000 bales cotton yarn senilai US$ 44 juta;
Ø bantuan pinjaman pembangunan AID senilai US$ 25 juta

Ø totalnya US$ 110 juta, sepertiga bagian kita yang harus disediakan.

Sebagai tambahan, Bill Gaud dan Orville Freeman ingin mengatakan pada Soeharto bahwa kita
akan mempertimbangkan tambahan 100 ribu ton beras dan tambahan 80 ribu bales kapas pada
musim gugur mendatang. Ini akan sangat berarti bagi Soeharto untuk menyingkirkan
kekhawatiran akan kekurangan beras selama periode kritis Januari-Maret.

Menteri Fowler tidak keberatan dengan paket ini. Namun begitu, ia yakin kita hendaknya tetap
mendesak donatur lain untuk memberikan bantuannya. Kami menyampaikan paket tahun 1968
secara keseluruhan (supaya Anda bisa menilainya lebih baik) dan Anda sebenarnya telah
memberikan persetujuan atas paket senilai US$ 60 juta pada Januari lalu.
Yang kami minta Anda untuk memberikan persetujuannya adalah program PL-480 senilai US$ 98
juta (US$ 35 juta pada gandum, US$ 33 juta pada kapas, dan US$ 30 juta pada beras). Orang-
orang saya (Marshall Wright dan Ed Hamilton) membantu menyusun paket ini. Saya rasa ini bagus.
Bob McNamara baru saja kembali dari Indonesia dan merasa hal ini sangat penting untuk kita

265 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

laksanakan tanpa ditunda-tunda lagi. Menurutnya paket ini sangat mendesak dan penting bila
Soeharto ingin diselamatkan, dan ia yakin bahwa Soeharto memang layak diselamatkan.

Saya menyarankan Anda untuk menyetujui program PL-480 senilai US$ 98 juta, dan memberikan
wewenang pejabat kita di Jakarta untuk memberitahukan kepada Soeharto bahwa kita akan
mempertimbangkan tambahan beras dan kapas pada musim gugur mendatang.

Walt Setuju*
Tidak setuju
Hubungi saya Tanda (*) menunjukkan presiden AS sudah setuju.

9/08/2001 04:12 WIB


Misteri CIA di Seputar G 30S (14)
Korban Penumpasan PKI 105 Ribu
Penulis : Rita Uli Hutapea

detikcom - Jakarta, Buntut dari tudingan keterlibatan PKI pada G 30S, para simpatisan dan
anggota PKI diburu masyarakat dan ABRI. Beberapa pihak menyebut sebagai episode pembantaian
karena banyaknya korban. Berapa sebenarnya jumlah korban?
Ada sebuah dokumen pemerintah AS yang sedikit mengintip perihal tersebut. Angka resmi
memang tak penah disebutkan, namun seorang pejabat Deplu AS, selama 1965-1966 sempat
melakukan penelitian. Hasilnya, ia menyebut angka 105 ribu orang tewas. Di bawah ini adalah isi
dokumen tersebut.

Catatan Editorial Kedutaan AS di Jakarta memiliki keterbatasan dalam laporannya mengenai


peristiwa yang terjadi di luar Jakarta tentang kondisi yang diawali oleh adanya konflik antara PKI
di satu pihak dan ABRI serta kekuatan anti-komunis di pihak lain.

Dalam telegramnya tanggal 27 Oktober 1965, Kedutaan menyebutkan soal banyaknya laporan
tentang semakin tidak amannya keadaan dan pertumpahan darah yang kerap terjadi di Jawa
Tengah, namun tidak bisa dipastikan apakah itu disebabkan oleh gerakan PKI yang coba melakukan
sabotase.

Pada 28 Oktober, Country Team Kedutaan menganalisa situasi dan mengirimkan tanggapannya.
Meski laporan-laporan itu menekankan tentang berbahayanya situasi di Jawa Tengah, Jawa Timur,
Bandung dan Jakarta, Country Team tak bisa menyatakan apakah insiden itu merupakan aksi
komunis setempat atau sebuah permulaan dari tindakan teror dan sabotase yang terkoordinir.
Laporan Kedutaan juga menyimpulkan bahwa Indonesia tengah menuju 'periode chaos' karena PKI
memiliki kekuatan dan persenjataan yang tangguh, dan tampaknya ini diseimbangkan oleh ABRI.
Pada akhir Oktober 1965, Kedutaan mulai menerima laporan pembunuhan dan kekejaman terhadap
anggota PKI.

Pada 29 Oktober, Kedutaan mendapat laporan bahwa warga Aceh memenggal kepala anggota PKI
dan meletakkannya di tongkat di sepanjang jalan. Tubuh mereka kemudian dilemparkan ke sungai
atau laut karena rakyat Aceh tak mau tubuh mereka mengkontaminasi tanah Aceh.

Pada 8 November, Kedutaan mendapat laporan bahwa di Sumatra Utara dan Aceh, ABRI dengan
dibantu organisasi pemuda IP-KI dan elemen anti-komunis lainnya kian gencar melakukan
penumpasan dengan angka pembunuhan yang dilaporkan cukup besar.

266 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Pada 13 November, Kedutaan memiliki laporan dari kepala kepolisian setempat bahwa sekitar 50
sampai 100 orang anggota PKI dibunuh setiap malamnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur oleh
pasukan sipil anti-komunis dengan dukungan dari ABRI. Seorang misionari di Surabaya melaporkan
bahwa 3.500 anggota dan simpatisan PKI dibunuh di Kediri antara 4 dan 9 November dan
sebanyak 300 orang dibunuh di Paree, 30 kilometer sebelah barat daya Kediri.

Laporan-laporan serupa terus masuk sampai enam bulan pertama tahun 1966.

Pada airgram-nya tanggal 25 Februari 1966, Kedutaan melaporkan perkiraan angka total kematian
anggota PKI dan simpatisannya di bali mencapai 80.000 orang. Angka kematian yang tinggi itu
dipicu oleh konflik antara PKI dan Partai Nasional Indonesia (PNI), juga karena masalah pribadi
dan perseteruan kelompok yang memang kerap terjadi di sana.

Perlahan-lahan Kedutaan mulai menyadari bahwa Indonesia sedang mengalami upaya penghapusan
pengaruh PKI secara besar-besaran dan pembunuhan itu juga dipicu oleh konflik etnik dan agama.
Kedutaan tak bisa menyampaikan angka pasti berapa jumlah penduduk Indonesia yang telah
menjadi korban pembunuhan dalam kampanye melawan PKI ini. Kebenaran tak akan pernah
diketahui.

Bahkan pemerintah Indonesia sendiri tak memiliki kepastiannya. Kedutaan mengakui, "Sejujurnya
kami tidak tahu apakah angka pastinya mendekati 100.000 atau 1.000.000 tapi kami percaya, lebih
baik memberikan perkiraan yang lebih kecil, khususnya jika ditanyakan oleh media.
Pada tahun 1970, pejabat urusan luar negeri Richard Cabot Howland, seorang pejabat di Kedutaan
AS di Indonesia pada tahun 1965 dan 1966, menerbitkan sebuah artikel Studies in Intelligence.
dalam artikelnya, Howland membicarakan 3 kesalahan konsepsi yang populer saat itu: bahwa ABRI
didorong untuk melawan PKI oleh pasukan AS di Vietnam, bahwa Cina berada di balik usaha
kudeta 30 September, dan bahwa sekitar 350 ribu sampai 1,5 juta anggota PKI dibunuh sebagai
balasan atas kudeta 30 September.

Howland menjabarkan bahwa atas usahanya sendiri, ia mengumpulkan informasi dari warga
Indonesia pada tahun 1966, dan kesulitannya dalam memperoleh jawaban yang akurat dan data-
data. Menurutnya, angka kematian anggota PKI dilebih-lebihkan oleh pejabat dan warga Indonesia
untuk menunjukkan sentimen anti-PKI mereka kepada otoritas baru anti-komunis di Indonesia. Ia
menyebutkan bahwa dirinya menerima data-data dari seorang Letkol di KOTI Bagian Urusan Aksi
Sosial dan memastikan bahwa data itu akurat karena diperolehnya langsung dari laporan di
lapangan.
Menurutnya, total 50 ribu anggota PKI tewas di Pulau Jawa; 6 ribu tewas di Bali; 3 ribu tewas di
Sumatra Utara. Menurut Howland, ia agak ragu dengan metode Letkol tersebut namun bisa
menerima estimasinya, dan dengan menggabungkannya dengan data yang dia peroleh sendiri,
hasilnya sebanyak 105 ribu anggota PKI tewas.

*******
Untuk Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) Jenderal TNI George Toisutta, yang
membunuh Pahlawan Indonesia yang dimakamkan di Lubang Buaya mereka dibunuh oleh TNI
AD anda sendiri!
http://sfwarungkopi.com/?p=360
Pasukan-pasukan TNI-AD yang terlibat dalam aksi penculikan berasal dari:

267 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

* 1 regu dari Tjakrabirawa diketuai oleh LetKol Untung.


* 1 regu dari 454 Jawa Tengah diketuai oleh Major Sukino.

* 1 regu dari 530 Jawa Timur diketuai oleh Major Bambang Supeno.
* 1 regu Brigade Infantri I diketuai oleh Kolonel A. Latief
Pertemuan di Lubang Buaya dimulai pada 2:00 pagi, persiapan logistik selesai sekitar 3:00 pagi,
kemudian satu persatu mereka naik kedalam kendaraan yang telah diperintahkan. Sekitar 3:15
kira-kira selusin bus dan truk yang membawa seluruh pasukan berangkat dari Halim Perdana
Kusumah dan tiba 45 menit kemudian, didaerah kawasan Menteng, perumahan elite di Jakarta.
Mereka tiba ditarget lokasi sekitar pukul 4:00 pagi.
Penculikan terhadap Jenderal Yani: Regu penciduk untuk Jenderal Yani berangkat dari Lubang
Buaya dibawah pimpinan Letnan Satu Mukijan, menggunakan 2 Bus dan 2 Truck, dengan pasukan
sebanyak 1.5 Kompi. Melewati Jakarta Bypass, kemudian memotong jalan melalui Jalan
Rawamangun menuju Salemba, Jalan Diponegoro dan Jalan Mangunsakoro, mereka tiba dirumah
Jenderal Yani di Jalan Lembang. Pasukan dibagi menjadi 3 group, yang pertama menjaga belakang
rumah, yang kedua menjaga didepan rumah, dan group ketiga dibawah pimpinan Letnan Satu
Mukijan dan Sersan Dua Raswad, memasuki perkarangan rumah dan menghampiri rumah. Mereka
berdua menyapa pasukan penjaga bahwa mereka menyampaikan pesan penting dari Presiden
Sukarno. Melihat seragam Tjakrabirawa mereka tidak menaruh curiga sama sekali, kemudian
diikuti oleh group penyerang dengan cepatnya melucuti senjata mereka. Menjawab ketukan
dipintu, pembatu rumah tangga membuka pintu, dan secepatnya didorong kesamping. Setelah
mereka masuk kedalam rumah, group yang dipimpin oleh Sersan Raswad menjumpai anak laki
berumur 7 tahun; Eddy putra Jenderal Yani yang sedang mencari Ibunya. Eddy diminta
membangunkan Jenderal Yani, kemudian keluar mengenakan pakaian pajama, Raswad mohon agar
Jenderal Yani menemui Presiden sekarang juga. Jenderal Yani meminta tunggu untuk mandi, akan
tetapi Raswad katakan tidak perlu mandi, dan tidak perlu tukar pakaian. Karena sadar apa yang
terjadi kemudian Jenderal Yani memukul salah satu prajurid, dan masuk kedalam kamarnya
secepatnya untuk mengambil senjata,dan menutup pintu berjendela gelas dibelakangnya. Raswad
kemudian perintahkan Sersan Gijadi untuk lepaskan tembakan. Sejumlah 7 peluru menembus pintu
dan menewaskan Jenderal Yani saat itu juga. Sebagian dari group, yang terdiri dari Raswad dan
Gijadi, juga Korporal Djamari, Prajurid Kepala Dokrin, dan Prajurid Satu Sudijono, menyeret
jenasahnya keluar dan melemparkan kedalam salah satu bus yang sedang menunggu. Kemudian
mereka semua kembali melalui Jatinegara menuju Lubang Buaya, disana Mukidjan melaporkan hasil
tugasnya kepada Doel Arief.
and more
--- On Thu, 9/30/10, GELORA45 <SADAR@netvigator.com> wrote:

From: GELORA45 <SADAR@netvigator.com>


Subject: [GELORA45] Kasad: Laten Komunis Tetap Patut Diwaspadai
To: "GELORA_In" <GELORA45@yahoogroups.com>
Date: Thursday, September 30, 2010, 4:57 PM

268 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Kasad: Laten Komunis Tetap Patut Diwaspadai


Antara –
Jumat, 1 Oktober

Kirim
Kirim
via YM
Cetak

Jakarta (ANTARA) - Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) Jenderal TNI George Toisutta,
mengatakan, munculnya kebebasan yang diusung atas nama demokratisasi, termasuk kebebasan
berideologi, membuat laten komunis tetap patut diwaspadai.
"Jangan karena dalih kebebasan atau demokratisasi dan penghormatan terhadap hak azasi
manusia, kita menjadi lengah dan tidak waspada terhadap laten komunis," kata George dalam
sambutannya di acara `Tahlilan dan doa bersama Mengenang Pahlawan Revolusi yang dibasmi
dalam pemberontakan G 30 S/PKI, di Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta, Kamis.
Menurut dia, masyarakat Indonesia jangan melupakan kekejaman kaum komunis di sepanjang
sejarah bangsa Indonesia, dimana banyak pahlawan revolusi yang meninggal akibat pemberontakan
dan pengkhianatan yang dilakukan oleh PKI pada 30 September 1965 lalu.

"Kita patut bersatu padu dan bergotong-royong untuk menutup semua celah dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara bagi kemungkinan bangkitnya komunisme di negeri
nusantara ini," tegasnya. Menurut George, komunis telah memaksakan kehendaknya yang nyata-
nyata bertentangan dengan tujuan dan cita-cita perjuangan bangsa Indonesia, yakni dengan
membangun masyarakat adil dan makmur dalam wadah NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD
1945.

Oleh karena itu, bila ada upaya untuk menghambat tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia, maka
patut ditumpas. Ia mengingatkan bahwa empat pilar yang menopang eksistensi bangsa Indonesia,
yakni NKRI, Pancasila, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika harus dijaga dan dipertahankan, oleh
karenanya patut diwaspadai terhadap upaya-upaya untuk mengubah empat pilar itu.
George menambahkan, acara tahlilan dan doa bersama ini mengandung makna yang sangat penting
karena selain sebagai sarana untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa, juga mengajak
kita semua untuk lebih memahami dan menghayati fakta sejarah peristiwa pemberontakan
G30S/PKI.

Di tempat yang sama, Panglima Kodam Jaya/Jayakarta, Mayor Jenderal Marciano Norman,
mengatakan, dengan adanya iklim kebebasan seperti saat ini dapat saja dimanfaatkan untuk
menghapuskan sejarah dan memutarbalikan fakta, sehingga membuat generasi muda bingung dan
menjadi peluang bagi bangkitnya kembali komunisme di Indonesia. Oleh karena itu, lanjut dia,
masyarakat Indonesia patut waspada terhadap kemungkinan bangkitnya kembali komunisme dalam
berbagai bentuk. "Kita harus waspada dengan kemungkinan seperti itu dengan menjunjung tinggi
dan mengamalkan nilai-nilai pancasila sebagai ideologi negara," kata Marciano. Ia menambahkan,
acara tahlilan dan doa bersama untuk mengenang pahlawan revolusi itu tidak hanya sebagai ritual
yang sering dilakukan oleh TNI, tetapi sebagai upaya menanamkan nilai kepahlawanan dalam
bentuk patriotisme yang diwariskan oleh generasi penerus bangsa.
269 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Sementara itu, Letjen Hotmangaraja Panjaitan yang merupakan anak dari pahlawan revolusi
Mayjen DI Panjaitan, mengatakan, banyak pahlawan revolusi yang telah menjadi korban keganasan
PKI pada 30 September 1965 lalu. "Namun, kami ikhlaskan pengorbanan mereka untuk menjadikan
pemicu bagi kami dan menjadi cita-cita TNI dalam memperjuangkan ideologi bangsa Indonesia,"
katanya.

Sejarawan: Gerakan 30 September Tidak Akan Terungkap


Antara - Jumat, 1 Oktober

Yogyakarta (ANTARA) - Peristiwa Gerakan 30 September 1965 tidak akan pernah terungkap
secara utuh karena seluruh tokoh kunci gerakan tersebut sudah meninggal dunia, kata sejarawan
dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Budiawan.

"Rangkaian kejadiannya memang dapat terlacak, tetapi siapa yang sesungguhnya menjadi dalang
gerakan tersebut tidak akan pernah diketahui karena sudah tidak ada tokoh kunci gerakan
tersebut yang masih hidup," katanya di Yogyakarta, Kamis.

Selain itu, menurut dia versi-versi sejarah tentang Gerakan 30 September yang diungkapkan para
ahli hanya mengungkapkan secara sepotong-sepotong dan sebagian besar tidak melalui metodologi
penelitian baku.

"Versi tunggal yang digunakan oleh rezim Orde Baru ternyata juga tidak sepenuhnya benar,
cenderung mendramatisasi fakta, bahkan berbagai pihak menganggap versi Soeharto dongeng
belaka," katanya.

Selain itu, ia mengatakan diskriminasi yang dialami oleh mantan tahanan politik Orde Baru telah
mengakibatkan beban psikologis kepada para mantan tahanan politik tersebut.
"Setelah mereka dibebaskan tidak serta merta mereka mendapatkan kebebasan yang
sesungguhnya karena pada kenyataannya mendapat stigma sangat buruk dari kalangan
masyarakat," katanya.

Ia mengatakan diskriminasi tersebut tidak hanya datang dari negara dan masyarakat, bahkan
para mantan tahanan politik Orde Baru mendapat diskriminasi dari saudara mereka.

"Situasi yang mengondisikan para mantan tahanan politik tersebut menjadi pihak yang serba
salah. Orde Baru berperan besar dalam menciptakan diskriminasi tersebut," katanya.

Menurut dia, aparatur negara tidak merasa mendiskriminasikan para mantan tahanan politik
karena merasa memiliki payung hukum yang sah untuk menempatkan para mantan tahanan politik
sebagai warga yang patut dibedakan.
"Oleh karena itu sampai saat ini para mantan tahanan politik tersebut masih menyimpan trauma
dan menanggung beban psikologis yang sangat berat," katanya.

Pancasila Hari Ini


Jumat, 1 Oktober 2010 | Editorial

Pancasila sebagai landasan hidup bernegara dan bermasyarakat itulah yang utama dikemukakan
oleh Bung Karno untuk pendirian Republik Indonesia yang merdeka. Pancasila menjadi alat
persatuan untuk melawan kekuatan anti penjajahan dan bagaimana memandang dan menjalani
270 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

hidup bernegara dan bermasyarakat. Pada pidato 1 Juni 1945 di depan BPUPKI yang kemudian
dikenal juga sebagai Hari Lahirnya Pancasila itu Bung Karno sebelum menutup pidatonya
menekankan:
jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Pancasila yang saya usulkan itu, menjadi satu realitiet, yakni
jikalau ingin hidup menjadi satu bangsa, satu nationaliteit yang merdeka, ingin hidup sebagai
anggota dunia yang merdeka, yang penuh dengan perikemanusiaan, ingin hidup di atas dasar
permusyawaratan, ingin hidup sempurna dengan sociale rechtvaardigheid, ingin hidup dengan
sejahtera dan aman, dengan Ketuhanan yang luas dan sempurna, – syarat untuk
menyelenggarakannya, ialah perjuangan, perjuangan dan sekali lagi perjuangan. Jangan mengira
bahwa dengan berdirinya negara Indonesia Merdeka itu perjuangan kita telah berakhir. Tidak!
Bahkan saya berkata: Di dalam Indonesia merdeka itu perjuangan kita harus berjalan terus,
hanya lain sifatnya dengan perjuangan sekarang, lain coraknya. Nanti kita, bersama-sama, sebagai
bangsa yang bersatu-padu, berjuang terus menyelenggarakan apa yang kita cita-citakan di dalam
Pancasila. Dan terutama di dalam zaman peperangan ini, yakinlah, insyaflah, tanamkanlah dalam
kalbu saudara-saudara, bahwa Indonesia Merdeka tidak dapat datang jika bangsa Indonesia tidak
berani mengambil resiko,- tidak berani terjun menyelami mutiara di dalam samudra yang sedalam-
dalamnya. Jikalau bangsa Indonesia tidak bersatu dan tidak menekad-mati-matian untuk mencapai
merdeka, tidaklah kemerdekaan Indonesia itu akan menjadi milik bangsa Indonesia buat selama-
lamanya, sampai ke akhir zaman! Kemerdekaan hanyalah diperdapat dan dimiliki oleh bangsa, yang
jiwanya berkobar-kobar dengan tekad "Merdeka,'merdeka atau mati"!

Sayangnya, pelaksanaan nilai-nilai Pancasila justru seringkali mengkhianati nilai-nilai yang


dikandung Pancasila itu sendiri. Di masa rejim Soeharto, Pancasila menjadi alat politik untuk
membungkam lawan-lawan politik bahkan juga rakyat yang menolak pembangunan karena
pembangunan justru memulai dengan semakin menderitakan rakyat seperti memberikan ganti rugi
yang tak sebanding atas tanah-tanah yang dipakai untuk pembangunan. Pancasila Soeharto tampak
berjalan formal sejalan dengan kekuasaannya tanpa menekankan nilai lain yang penting bagi
bangsa ini yaitu: kemanusiaan, demokrasi dan keadilan sosial. Akibatnya di masa Rejim Soeharto,
kekerasan yang berujung pada kejahatan atas kemanusiaan berlangsung bersamaan dengan
kesenjangan sosial yang makin tinggi dan pembungkaman hak-hak politik warga Negara. Ini adalah
bentuk korupsi pemikiran dan nilai Pancasila. Pancasila Soeharto ini mulai dikibarkan pada 1
Oktober 1965 yang oleh Bung Karno dinamakan sebagai gerakan satu oktober alias Gestok yang
semakin sanggup menjungkirbalikkan orientasi politik pembangunan Bung Karno dengan didahului
tindakan keji menghancurkan organisasi-organisasi pendukung Bung Karno disertai dengan
penangkapan, pembunuhan dan pemenjaraan tanpa pengadilan terhadap ribuan simpatisan komunis
dan soekarnois. Rejim Soeharto dengan cerdik menyebut 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian
Pancasila. Selama rejim Soeharto berkuasa, Pancasila yang sakti itu dijadikan tameng kekuasaan
dan dijadikan palu godam untuk membungkam perlawanan rakyat. Rejim Soeharto akhirnya
tumbang oleh perlawanan rakyat yang menuntut demokrasi dan perbaikan kesejahteraan.
Praktek hidup bernegara hari ini semakin memperlihatkan bagaimana toleransi hidup beragama
semakin surut: satu kelompok agama melarang kelompok lain untuk beribadah; Kekerasan antar
etnik atau kelompok masyarakat masih terjadi seakan kita tidak hidup dalam satu nilai
kebangsaan; Kesenjangan sosial ekonomi semakin nyata: rakyat miskin makin banyak tanpa
lapangan kerja serta jaminan kesehatan dan pendidikan yang memadai sementara konsumtivisme
dan hedonisme pun berlangsung dengan menyolok seakan melemparkan jauh-jauh semangat sila
keadilan sosial bagi seluruh rakyat; kehidupan demokrasi yang carut-marut: politik uang yang
271 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

mendorong tumbuhnya korupsi masih disertai pembungkaman bacaan dengan alasan ideologi
tertentu oleh Kejaksaan Agung, misalnya, menuntut kita sebagai anak-anak bangsa yang
melanjutkan warisan Indonesia Merdeka bertanya: masihkah kita berPancasila dalam hidup
bernegara dan bermasyarakat? Pemerintah sendiri seakan tak hadir dalam berbagai peristiwa
yang menghinakan nilai-nilai Pancasila itu…dan seakan melakukan pembiaran.

Sebagaimana Bung Karno sendiri sering mengatakan: Pancasila pada hari ini tentu tak ingin kita
ambil abunya tapi justru apinya. Api Pancasila yang menyala itu tentu untuk kemajuan dan
kesejahteraan rakyat bukan sebaliknya.
Anda dapat menanggapi Editorial kami di : redaksiberdikari@yahoo.com

http://berdikarionline.com/editorial/20101001/pancasila-hari-ini.html
<http://berdikarionline.com/editorial/20101001/pancasila-hari-ini.html>
Kalau terungkap maka mereka yang berkuasa sejak ORBA akan kehilangan kekayaannya dan bisa
diadili. Karena itu penguasa berusaha untuk tetap menutupinya.Yang jelas penguasa ada
kepentingan menutupinya dan mengulur-ulur waktu sehingga para korban lama-lama habis dan
kejahatan mereka tidak terbongkar. Kalaupun kejahatan penguasa akhirnya terbongkar, anak cucu
mereka sudah menikmati hasil perampokan ayah/kakek mereka tanpa merasa berdosa.

http://oase.kompas.com/read/2010/10/01/02283030/Gerakan.30.September.Tak.Akan.Terungk
ap-7

Gerakan 30 September Tak Akan Terungkap!


Jumat, 1 Oktober 2010 | 02:28 WIB

istimewa

ilustrasi
YOGYAKARTA, KOMPAS.com--Peristiwa Gerakan 30 September 1965 tidak akan pernah
terungkap secara utuh karena seluruh tokoh kunci gerakan tersebut sudah meninggal dunia, kata
sejarawan dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Budiawan.
"Rangkaian kejadiannya memang dapat terlacak, tetapi siapa yang sesungguhnya menjadi dalang
gerakan tersebut tidak akan pernah diketahui karena sudah tidak ada tokoh kunci gerakan
tersebut yang masih hidup," katanya di Yogyakarta, Kamis.

272 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Selain itu, menurut dia versi-versi sejarah tentang Gerakan 30 September yang diungkapkan para
ahli hanya mengungkapkan secara sepotong-sepotong dan sebagian besar tidak melalui metodologi
penelitian baku.
"Versi tunggal yang digunakan oleh rezim Orde Baru ternyata juga tidak sepenuhnya benar,
cenderung mendramatisasi fakta, bahkan berbagai pihak menganggap versi Soeharto dongeng
belaka," katanya.

Selain itu, ia mengatakan diskriminasi yang dialami oleh mantan tahanan politik Orde Baru telah
mengakibatkan beban psikologis kepada para mantan tahanan politik tersebut.

"Setelah mereka dibebaskan tidak serta merta mereka mendapatkan kebebasan yang
sesungguhnya karena pada kenyataannya mendapat stigma sangat buruk dari kalangan
masyarakat," katanya.
Ia mengatakan diskriminasi tersebut tidak hanya datang dari negara dan masyarakat, bahkan
para mantan tahanan politik Orde Baru mendapat diskriminasi dari saudara mereka.
"Situasi yang mengondisikan para mantan tahanan politik tersebut menjadi pihak yang serba
salah. Orde Baru berperan besar dalam menciptakan diskriminasi tersebut," katanya.

Menurut dia, aparatur negara tidak merasa mendiskriminasikan para mantan tahanan politik
karena merasa memiliki payung hukum yang sah untuk menempatkan para mantan tahanan politik
sebagai warga yang patut dibedakan.

"Oleh karena itu sampai saat ini para mantan tahanan politik tersebut masih menyimpan trauma
dan menanggung beban psikologis yang sangat berat," katanya.

IBRAHIM ISA - Berbagi Cerita

Jum'at, 01 Oktober 2010

------------------------------------------

BERSAMA Radio HILVERSUM Dan Radio

"SONORA" <Jakarta> MEMPERINGATI 45-Th "TRAGEDI


NASIONAL 1965"
Kemis kemarin, pas tanggal 30 September (ralat -- semestinya benar Bung Karno, -- Peristiwa itu
terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965, bukan 30 September) , bersama Jos Wibisono dari Radio
Hilversum (Radio Nederland Wereldomroep, RNW>, Radio Sonora Jakarta (yang memulai
siarannya pada bulan Agustus 1972. Kata 'Sonora' berasal dari bahasa Latin/Spanyol yang artinya
bunyi-bunyian merdu); lalu dengan Sarmaji dari Perhimpunan Dokumentasi Indonesia Amsterdam,
-- melalui cakap-cakap 'segi-tiga', kami memperingati Hari Tragedi Nasional 1965.
Tak peduli hujan rintik-rintik Sarmaji dan aku berangkat dengan kereta-api dari Amsterdam C.S
menuju Hilversum Noord. Turun di Hilversum Noord, kami jalan kaki menelusuri jalan sepeda
menuju ke kantor Radio Hilversum. Kesan Sarmaji begitu memasuki kompleks Media-Park
Hilversum: Wah, Bung, coba lihat, kantor-kantor siaran radio dan TV Nederland ini terletak
benar-benar ditengah hutan, terasing dari hiruk-pikuk kota. Hening dan sunyi. Tenteram dan aman
(!?). Aku bilang: Di kompleks inilah beberapa tahun yang lalu tokoh politik Ekstrim Kanan Belanda,
273 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Pim Fortuin, di bunuh oleh tembakan pistol asasin. Sepertinya terasing dari keramaian kota dan
'aman', tetapi seorang asasin bisa saja menyelinap menantikan sasarannya.

Di kantor RNW di situ sudah menanti, Jos Wibisono. Ia menyambut kami dengan hangat dan
gembira. Jam 4.00 sore waktu Nederland, berarti jam 10 malam di Jakarta, mulailah komunikasi
antara Hilversum dengan Jakarta, melalui RNW.

***

Acara wawancara inter-aktif kami berdua, dengan Oki dari Radio Sonora, asal-mulanya adalah
prakarsa Jos Wibisono dari RNW, Hilversum. Radio Sonora memperkenalkan dirinya sebagai
SONORA FM 92.0, Jakarta. Yang 'action' dalam acara wawancara inter-aktif ini, yaitu acara
cakap-cakap bebas dengan melibatkan para pendengar Radio Sonora, --- adalah Radio Sonora
Jakarta. Tadinya aku mengira bahwa acara wawancara radio ini adalah acaranya Radio Hilversum.
Tidak begitu. Memang idénya dari Radio Hilversum. Tetapi yang mengelola cakap-cakap dengan
pendengar Indonesia adalah Radio Sonora FM 92.0. Jadi ini 'gawénya' Radio Sonora. Menurut Jos
Wibosono, Radio Sonora banyak didengar masyarakat tidak saja di Jakarta. Pendengar yang
mengikuti siaran Radio Sonora cukup luas.

Penjelasan ini kuanggap penting! Karena bagiku pribadi, ini adalah untuk pertama kalinya
diwawancarai oleh sebuah pamancar Radio Jakarta, mengenai Peristiwa 1965. Begitu juga unuk
Sarmaji. Dan kami anggap wawancara inter-aktif dengan Jakarta yang dipandu oleh Jos Wibisono
itu, merupakan ide yang bagus dan bermanfaat dalam rangka saling informasi serta kontak
langsung dengan tanah air tercinta. Melalui acara seperti ini, kami, Sarmaji dan aku, yang oleh
Orba dicap sebagai 'orang bermasalah', dituduh ini-itu sehubungan dengan G30S, yang paspornya
sewenang-wenang dicabut oleh penguasa militer di bawah Jendral Suharto, -- bisa mendengar
langsung dari pendengar Indonesia, apa yang ingin mereka ketahui sekitar masalah tsb.

Yang lebih penting ialah bahwa kami-kami ini yang 'korban kesewenang-wenangan Orba, yang
dibikin menjadi 'stateless' bertahun-tahun lamanya di luar negeri, BISA MENJELASKAN
LANGSUNG kepada para pendengar Indonesia.
Mungkinlah, inilah ---- a.l wawancara inter-aktif seperti ini melalui radio, yang bisa memberikan
penjelasan langsung dan mengungkap kebenaran yang selama ini diputar-balik oleh rezim Orba, ---
Inilah yang ditakuti oleh para penguasa militer. Ini jelas dari pernyataan penggedé militer seperti
Jendral TNI George Toisutta , KSAD, baru-baru ini. Yang kemudian digongi oleh jendral lainnya.
Penguasa-penguasa militer itu 'mencanangkan' masyarakat jangan sampai masalah demokrasi dan
HAM, 'disalah-gunakan'. Mereka lalu menyanyikan lagu lama yang sudah usang. Mereka
mengingatkan akan 'bahaya laten Komunis'. Fikiran 'karatan' para petinggi ABRI itu keterlaluan
dangkalnya! Menunjukkan kemandulan fikiran mereka terhadap prinsip demokrasi dan HAM.
Prinsip negara hukum. Lagi pula teramat memandang rendah kesadaran dan kemampuan berfikir
kritis generasi muda sekarang ini. Sungguh, suatu penghinaan terhadap akal sehat manusia.
Ataukah ini pertanda bahwa sementara hak-hak demokrasi akan dikekang seperti zaman Orba?

Mendengar celotéhan lapuk demikian dari para jendral itu, timbullah pertanyaan: ITUKAH
'HASIL' YANG DIKATAKAN SUDAH BERLANGSUNGNYA REFORMASI DI DALAM TUBUH
ABRI? Petinggi-petinggi militer seperti itu, sungguh tidak mengerti apa makna Reformasi. Mereka
tidak mengerti bahwa yang dimaksudkan Reformasi, pertama-tama adalah perubahan dalam
fikiran. Bila hendak reformasi adalah suatu keharusan membuang jauh-jauh fikiran militer-fasis
ABRI yang berselubung 'Dwifungsi Abri". Serta dengan sungguh-sungguh berusaha mawas diri

274 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

memeriksa peranan krusial dan kriminal mereka, dalam peristiwa pembantaian masal rakyat
Indonesia yang tidak bersalah pada periode pasca Peristiwa 1965.

***
Wawancara 'segi-tiga' Radio Sonora, Radio Hilversum dan kami berdua dari fihak yang dizholimi
oleh Orba, memberikan kesan mendalam. Pendengar ternyata mengikuti perkembangan di sekitar
yang 'disebut orang terhalang pulang'. Sungguh mengharukan bahwa para pendengar itu, di satu
fihak ikut perihatin dengan nasib 'orang-orang yang terhalang pulang'. Di lain fihak mereka
menyatakan kekaguman mereka kepada orang-orang yang terhalang pulang, yang sudah mengalami
perlakuan kesewenang-wenangan sedemikian kejamnya dari rezim Orba, NAMUN SEMANGAT
NASIONAL PATRIOTIK CINTA TANAH DAN BANGSA INDONESIA masih tetap tinggi dan
terpelihara baik.
Seperti yang disampaikan oleh Jos Wibisono dari Radio Hilversum, wawancara ini lebih difokuskan
pada 'segi-segi kemanusiaan' para orang yang terhalang pulang. Tentang bagaimana keadaan
kehidupan mereka sesuah begitu lama mengalami situasi 'stateless' di luar negeri, tanpa proses
keadilan apapun.

Tetapi yang dinamakan 'segi-segi kemanusiaan' itu bila sudah menyangkut korban pelanggaran
HAM yang dilakukan oleh rezim Orba, tak terelakkan akan melibatkan masalah POLITIK. Yaitu
politik anti-demokratik dan ketiadaan hukum, diperlukkannya warga negara secara sewenang-
wenang tanpa proses pengadilan apapun. Melaksanakan atau melanggar HAM, hak-hak kemansiaan
(yang sangat menusiawi itu) adalah masalah yang paling sarat muatan politiknya!

***

Pada kesempata lain, bila dirasa perlu, bisa disinggung lagi sekitar wawancara inter-aktif segi-tiga
di Hilversum hari Kemis yang sukses dan bermanfaat itu.

Sebelum menutup tulisan ini --- baik kiranya mengingatkan pembaca bahwa: Besok tanggal 02
Okotber 2010, di Diemen, Holland akan berlangsung pertemuan Peringatan 45 Tahun Tragedi
Nasional 1965. Pertemuan tsb diselenggarakan oleh sebuah Panitia yang terdiri dari para wakil
organisasi masyarkat Indonesia di Nederland.

Petemuan dimulai pada jam 11.00 pagi di gedung "De Schakel", Burgemeester Bickerstraat 46A,
1111 CC Diemen Nederland. Undangan akan berdatangan dari Belanda, Jerman, Perancis dan
Swedia. Termasuk yang datang dari Indonesia, seperti a.l penyair dan budayawan Indonesia asal
Bali, -- Putu Oka Sukanta.
***

http://www.sinarharapan.co.id/cetak/berita/read/berdamai-dengan-sejarah/
TAJUK RENCANA

Berdamai dengan Sejarah


Tahun 1965 akan selalu diingat sebagai salah satu masa kelam dalam sejarah perjalanan
Indonesia.
Sebuah insiden yang terjadi pada dini hari 1 Oktober, saat jenazah tujuh jenderal Angkatan
Darat ditemukan di bekas sumur tua di Lubang Buaya, menjadi pembuka rentetan panjang tragedi
manusia saat itu. Jutaan kader dan simpatisan dari partai terbesar keempat hasil Pemilu 1955
275 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

(PKI) diburu sebagai pesakitan hanya karena tudingan politis bahwa partai mereka dituding
sebagai ―dalang‖ pembantaian para jenderal.

Soekarno dipaksa turun dari kekuasaannya hanya lewat selembar surat yang awalnya dicanangkan
untuk memulihkan stabilitas keamanan. Lalu ratusan ribu orang dibantai segera setelah Partai
Komunis Indonesia dinyatakan terlarang. Sementara itu, jutaan lainnya dibuang, ditahan hingga
belasan tahun, dari Bukitduri hingga Wirogunan, dari Buru hingga Plantungan, tanpa pernah
diajukan ke pengadilan.

Tahun berlalu dan lapis demi lapis fakta sejarah masa lalu terungkap saat kekuasaan yang berdiri
pasca-insiden tersebut tumbang di tahun 1998. Para korban dan pelaku, serta generasi anak-anak
mereka, perlahan mencari cara untuk menyembuhkan luka. Meski trauma tak sungguh hilang.

Sayangnya, negara–45 tahun setelah peristiwa berlalu–tetap sibuk untuk memendekkan ingatan.
Tak pernah ada pengakuan bahwa penghilangan nyawa ratusan ribu jiwa dan penahanan jutaan
warganya tanpa proses pengadilan itu pernah ada.
Langkah maju negara-negara yang pernah mengalami peristiwa sama, seperti Argentina dan Cile,
tak pernah dilirik sebagai cermin solusi untuk berdamai dengan sejarah. Di Argentina,
pemerintah mengakui periode kelam sejarah mereka saat berada di bawah kepemimpinan Junta
Militer 1976-1983.

Komisi Penyelidik Nasional untuk Penghilangan Paksa dibentuk segera setelah Junta terguling.
Mereka mencatat 8.960 korban dighilangkan secara paksa dan terdapat 340 tempat penahanan
dan penyiksaan rahasia. Laporan ini kemudian dijadikan acuan untuk menyeret para pemimpin junta
dan militer pendukungnya. Namun, presiden pasca-junta tak punya keberanian untuk menyeret
mereka dan menciptakan UU Amnesti yang memberi imunitas bagi para penjahat perang.
Beruntung Argentina memiliki Nestor Kirchner yang pada Juni 2005 membuat Mahkamah Agung
menganulir dua UU Amnesti tersebut. Proses pengadilan pun digelar dan sejumlah pemimpin junta
dijatuhi hukuman. Istrinya, Cristina Hernandez Kirchner, melanjutkan inisiatif tersebut.

Di Cile, hal serupa juga terjadi di bawah keberadaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Sementara itu, di Indonesia, percobaan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi gagal
karena UU KKR menafikan proses pengadilan. Indonesia, di usianya yang ke-65 tahun, agaknya
butuh waktu lebih panjang untuk menjadi sebuah bangsa yang dewasa. Sebuah bangsa yang berani
berdamai dengan sejarahnya. n

Kawan-kawan sekalian yb,


Barangkali banyak kawan masih ingat dengan nama nama Nani Nurani, penyanyi kebanggaan bung
Karno. Ibu Nani Nurani, sebagai seorang penyanyi Istana masa Bung Karno yang tidak mengerti
politik, ... pasca G30S tidak luput harus meringkuk dalam penjara selama belasan tahun. Setelah
di-"bebas"-kan dalam masyarakat tetap didiskriminasi, disisihkan sebagai warga Ex-TAPOL.
Sekalipun sudah mencapai usia lanjut, usia 65, tetap saja tidak berhasil dapatkan KTP seumur-
hidup. Kasus Ibu Nani menggugat adalah yang pertama dan dibantu KOMNAS HAM, akhirnya
berhasil mendapatkan KTP seumur-hidup.
Dibawah adalah DVD pertunjukkan ibu Nani Nurani saat bedah buku yang ditulisnya: "Hati Nurani
Penyanyi Kebanggaan Bung Karno" yang saya dapatkan dan saya coba upload di youtube untuk
dinikmati bersama, ... URL, link berada dibawah terbagi dalam 5 bagian.

276 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Silahkan menikmatinya, ...


Salam,

ChanCT

Bag. - 01 : http://www.youtube.com/watch?v=NPfddS6bzUA

Bag. - 02 : http://www.youtube.com/watch?v=CWGc_vK-3FA

Bag. - 03 : http://www.youtube.com/watch?v=YTyDO69YHIk

Bag. - 04 : http://www.youtube.com/watch?v=JDvZwrQuFgg

Bag. - 05 : http://www.youtube.com/watch?v=Q_dGPMOnDio
__._,_.___

Setuju dan sependapat dengan pemikiran bung Manap, juga dengan pertanyaannya yang
seharusnya bísa dijawab oleh KSAD dengan mudah jika memang ucapannya mengandung
kebenaran.

277 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Saya ulangpertanyaan itu:

"Kepada Kepala Staf Angkatan Darat yang memperingatkan "Laten Komunis tetap patut
diwaspadai" perlu dipertanyakan:"Apakah selama 45 tahun tanpa ada pengaruh idologi komunis
dalam kekuasaan negara selama ini masyarakat yang adil dan makmur dalam wadah NKRI
berdasarkan pancasila dan UUD 1945 yang dimaksudkannya sudah tercapai?

Mengapa rakyat Indonesia yang sudah bersih dari pengaruh idologi komunis masih saja begitu
miskin, begitu sengsara sekarang ini? Mengapa keadaan masyarakat Indonesia yang sudah
dibersihkan dari idologi dan pengaruh komunis itu semakin kacau balau semakin amburadul
sekarang? Padahal orang-orang komunis dengan idologi komunisnya sudah dibasmi sudah tidak
menjadi penghalang kalau mau membangun masyarakat adil dan makmur.?" Ada tambahan
pertanyaan saya atas ucapan KSAD itu :
** Ia mengingatkan bahwa empat pilar yang menopang eksistensi bangsa Indonesia, yakni NKRI,
Pancasila, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika harus dijaga dan dipertahankan, oleh karenanya
patut diwaspadai terhadap upaya-upaya untuk mengubah empat pilar itu.**

Pancasila: masih hidupkah Pancasila di Indonesia sekarang ini ? Mengapa terjadi pembakaran
gereja gereja, penganiayaan warga Kristen dan Ahmadiyah ? Dimana telah dijalankan "Keadilan
Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia" ?
Apakah keadaan sekarang ini buat rakyat Indonesia lebih adil dari masa pra orba, sewaktu Bung
Karno memimpin Republik Indonesia , dan pendukung pendukung beliau belum dibasmi habis,
dibunuh, disiksa, dipenjara sampai ke anak cindilnya?

Apakah sekarang keadaan buatseluruh rakyat lebih baik /adil dari jaman pra orba?

UUD 45, apakah masih hidup dinegara ini, atau hanya sebagai embel embel saja ?

Pasal 33 & 34 UUD 45 ( sudah dengan amandemen) mengatakan :

Pasal 33

(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang
banyak dikuasai oleh negara.

(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
* Pasal 34
(1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.

(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan
masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
(3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas
pelayanan umum yang layak.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.

278 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Apakah yang dijalankan pemerintah sekarang itu ada bau baunya dengan isi UUD 45 diatas?
Bukankah SDA dan bumi Indonesia sekarang ini berada sebagian besar ditangan modal asing ?
Apakah kekayaan alam dan bumi dikuasai negara Indonesia ?
Cobalah camkan, pasal 33 dan pasal 34 UUD '45 diatas, mana yang lebih memegang azas azas di
UUD 45 itu dalam menjalankan pemerintahan, pemerintah dibawah pimpinan Bung Karno dan
pendukung pendukungnya (termasuk orang orang marxist didalamnya) atau pemerintah orba
sampai sekarang , pemerintah reformasi ini ?

Azas Bhinneka Tunggal Ika, lebih dihikmati jaman pra orba atau jaman orba sampai sekarang ?

Atau sebenarnya, semua penguasa dan aparat aparatnya sekarang ini tidak tahu isi dari Pancasila,
UUD '45 dan Bhinneka Tunggal Ika dan hanya pandai latah mengucapkan saja ?

Diluar dari semuanya itu, kata kata NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila dan UUD '45 adalah
satu dengan kata Bung Karno ! Bung Karno adalah penggali kesemuanya itu ! Lalu bagaimana mau
berteriak menjalankan azas azas itu, bila Bung Karno masih dalan status dipenjara, dipecat secara
tidak hormat dari jabatannya dan dianggap makar terhadap RI, terhadap pemerintah yang beliau
pimpin sendiri, dan sampai sekarang belum direhabilitasi ?

Jangan lupa TAP 33 MPRS /1967 masih berklaku dan belum dicabut, bagaimana KSAD bisa bicara
tentang NKRI,UUD'45, Bhinneka Tunggal Ika, Panca Sila ? Dimana logika pidato pidato yang
hanya merupakan lips service itu ? Saya kira kita perlu merenungkan dan berusaha menjawab
pertanyaan pertayaan diatas itu ! Terutama pemerintah RI dan aparat aparatnya harus bisa
menjawabnya..

iwa
________________________________
From: S Manap <ranau12@yahoo.se>
To: GELORA45@yahoogroups.com
Sent: Fri, October 1, 2010 10:45:25 AM
Subject: SV: [GELORA45] Kasad: Laten Komunis Tetap Patut Diwaspadai
Kutipan dari ucapan Kepala Staf Angkatan Darat Jendral George Toisutta:

"Komunis telah memaksakan kehendaknya yang nyata-nyata bertentangan dengan tujuan dan cita-
cita perjuangan bangsa Indonesia yakni dengan membangun masyarakat adil dan makmur dalam
wadah NKRI berdasarkan pancasila dan UUD 1945"
Ucapan KSAD itu adalah kalimat klise yang sudah usang yang diucapkan secara berulang-ulang
oleh orang-orang militer maupun sipil bukan hanya selama Orbanya Soeharto berkuasa sampai
berdirinya pemerintah Orba jilid II sekarang ini, bahkan kata-kata itu sudah seraing kita dengar
sebelum berdirinya kekuasaan Orba, khususnya banyak diucapkan oleh orang-orang militer didikan
Amerika.

Sejak berdirinya kekuasan Orba, orang-orang komunis beserta simpatisannya juga pengikut-
pengikut Bungkarno yang bukan Komunis sudah dibasmi habis. Mereka sudah tersingkir sudah
dibunuhi, dipenjarakan, diasingkan, dianiaya, difitnah, dihujat secara habis-habisan. Hak hidup
kaum komunis dan semua kekuatan yang dicurigai bertentangan dengan penguasa Orba sudah
ditiadakan dengan paksa.

279 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

32 tahun kekuasaan Orba dan sudah 10 tahun pula kekuasaan Orba jilid ke II berjalan mulus
tanpa gangguan idologi komunis, karena orang-orang yang dinamakan komunis sudah dinajiskan
dalam masyarakat. Jika dihitung sejak 1 Oktober 1965 dalam mana secara de facto Soeharto
sudah mengambil alih kekuasaan, waktunya sudah berjalan selama 45 tahun. Berarti sudah 45
tahun pula kekuasaan negara bukan hanya tidak dipengaruhi oleh idologi komunis malahan
dibimbing oleh kata-kata dan perbuatan memfitnah dan membasmi komunis tanpa kenal batas.
Kepada Kepala Staf Angkatan Darat yang memperingatkan "Laten Komunis tetap patut
diwaspadai" perlu dipertanyakan:"Apakah selama 45 tahun tanpa ada pengaruh idologi komunis
dalam kekuasaan negara selama ini masyarakat yang adil dan makmur dalam wadah NKRI
berdasarkan pancasila dan UUD 1945 yang dimaksudkannya sudah tercapai?

Mengapa rakyat Indonesia yang sudah bersih dari pengaruh idologi komunis masih saja begitu
miskin, begitu sengsara sekarang ini? Mengapa keadaan masyarakat Indonesia yang sudah
dibersihkan dari idologi dan pengaruh komunis itu semakin kacau balau semakin amburadul
sekarang? Padahal orang-orang komunis dengan idologi komunisnya sudah dibasmi sudah tidak
menjadi penghalang kalau mau membangun masyarakat adil dan makmur.

Berhentilah memamah biak kata-kata klise bahaya laten komunis sebagai penghalang membangun
masyarakat adil dan makmur berdasarkan pancasila dan UUD 45 itu!. Apakah kata-kata usang
"bahaya laten komunis" yang dijadikan alat untuk mengenggam erat kekuasaan selama Orba
Soeharto maupun yang menamakan kaum reformis selama ini masih bisa digunakan untuk menipu
rakyat yang sudah bosan dengan kebohongan?

Komentar teman-teman atas ucapan KSAD ini diharapkan.

S.Manap.

*******

Saya forward artikel dari milis tetangga ini untuk tidak melupakan pernah terjadinya Genosida 65
- pembunuhan massal berencana tanpa proses hukum terhadap orang-orang tak bersalah, yang
diorganisir dan dipimpin tentara Angkatan Darat dibawah komando Suharto dan berakibat
jatuhnya korban lebih satu juta jiwa manusia dan ratusan ribu dipenjarakan diseluruh pelosok
Indonesia.

Semenjak dijatuhkannya kekuasaan otoriter rezim Suharto yang paling kejam dan paling korup
dalam sejarah Indonesia oleh gerakan mahasiswa pada tahun 1998, sudah banyak karya pakar
sejarah dan testimoni para Korban, yang menyingkap fakta-fakta sejarah yang digelapkan dan
membongkar kebohongan dan pemalsuan sejarah selama berkuasanya rezim militer otoriter
Suharto.
Usaha pengungkapan dan penuntasan berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang dilakukan
Suharto selama 32 tahun kekuasaannya, sedang dan akan terus diperjuangkan oleh Generasi
sekarang dan yang akan datang, demi tegaknya keadilan bagi para Korban dan untuk menjaga agar
jangan sampai kejahatan terhadap Kemanusiaan seperti yang pernah terjadi dibumi Nusantara itu
sampai terulang kembali.
Salam,

Arif Harsana

280 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

-----Original Message-----
Date: Thu, 30 Sep 2010 22:45:30 +0200
Subject: #sastra-pembebasan# Memperingati Tragedi Nasional (5):
Kebiadaban Tiada Taranya - Oleh A.Kohar Ibrahim
From: abdul kohar ibrahim <kohar_be@yahoo.fr>
To: sastra-pembebasan@yahoogroups.com

Memperingati Tragedi Nasional (5)


Kebiadaban Tiada Taranya
Oleh: A. Kohar Ibrahim

BENAR apa yang disimpulkan oleh Ben Anderson dalam wawancara yang telah diutarakan terlebih
dahulu, bahwasanya "Di mana saja di dunia, kalau mau diadakan pembantaian massal, harus
diciptakan suasana di mana orang merasa apa saja boleh. Karena calon korban sudah berbuat hal
hal di luar peri kemanusiaan". Maka demikianlah dampak dari dusta yang digencarkan dengan
mesin propaganda hitam penguasa militer Orba sejak 1 Oktober 1965 itu sedemikian dahsyat.
Yang mengobarkan teror putih di mana-mana hingga menelan korban jutaan jiwa banyaknya.
Korban yang merupakan penghinaan dan kejahatan atas manusia dan kemanusiaan yang
kebiadaban dan skalanya belum pernah terjadi dalam sejarah Indonesia. Padahal orang Indonesia
terkenal sebagai peramah, mudah senyum dan berfalsafah Pancasila?

Akan tetapi, sejak dimulainya Tragedi Nasional dengan 6 jenderal dan 1 perwira sebagai korban
pertikaian antara kaum militer (tentara) telah terjadi gerakan perburuan, penangkapan,
penyiksaan dan pembunuhan secara besar-besaran yang dilakukan oleh pasukan-pasukan
bersenjata resmi maupun non-resmi tapi yang selaras komando dan lindungan militer.

Sedemikian rupa kebiadabannya sampai para algojo menelantarkan begitu saja para korbannya,
jika tidak dipajang di tempat umum! Dalam kaitan ini, bahkan Bung Karno pernah memprotes ulang
dalam pidato-pidatonya dipertengahan Desember 1965. Setelah mendapat laporan adanya
"...jenazah-jenazah dari Pemuda Rakyat, BTI, orang-orang PKI, atau simpatisan PKI disembelih,
dibunuh, kemudian dibiarkan saja di pinggir jalan, di bawah pohon, di hanyutkan, dan tidak ada
yang mengurusnya." (Kompas 3.10.94). Namun apa daya, suara Presiden Sukarno sudah tak
memiliki kekuatan lagi untuk menghentikan teror putih yang sedang merajalela.

Dalam pada itu, dari sejumlah bahan yang menarik dan penting untuk disimak, ada yang berupa
penjelasan yang diberikan oleh saksi-mata sekaligus korban kebiadaban dari teror putih yang
dilancarkan tahun-tahun 1965-1966. Yakni dari seorang kader PKI bernama Ruslan Widjajasastra.
Dalam mana digambarkan suasana teror ketika itu:
"Di dalam rapat-rapat umum secara terang-terangan massa didorong untuk menjalankan tindakan-
tindakan teror. Misalnya dalam rapat-rapat umum pembicara berteriak-teriak: 'untuk setiap
jenderal diganti dengan 100.000 komunis'. Sebagai akibat dari kampanye jahat yang tidak
bertanggungjawab itu telah timbul tindakan-tindakan biadab terhadap anggota-anggota PKI dan
khususnya anggota-anggota Gerwani telah mengalami perlakuan-perlakuan yang sadis," kata Ruslan
Widjajasastra di depan sidang Mahmilub 22 Juni 1974. "Apa akibatnya sudah diduga", katanya
melanjutkan: "Di bawah perlindungan alat-alat negara, yang tanpa persetujuan dari atasannya
yang anti-komunis tidak mungkin mereka berani bertindak, maka kelompok pendukung jenderal-
jenderal kanan AD mulai mengganas di mana-mana. Ratusan ribu komunis dan non-komunis, laki-

281 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

laki, wanita, pemuda, ya -- bahkan anak-anak telah menjadi mangsa kebiadaban luarbiasa.
Perlakuan-perlakuan sadis, siksaan-siksaan tak terperikan di luar batas perikemanusiaan
menyertai pembunuhan-pembunuhan massal.
Satu keluarga dibunuh habis (ayah dan anak-anaknya); seorang ibu baru melahirkan -- dibunuh;
seorang wanita dengan menggendong anaknya dibunuh di pinggir kali dan banyak korban lainnya
telah dihabisi nyawanya di situ juga, maksud para algojonya supaya tidak perlu menggali lubang
kubur. Di Jatim orang digantung di pepohonan, kepala orang dipamerkan di pasar-pasar atau
disandarkan di pohon di pinggir jalan, ada yang dibunuh secara pelan-pelan dengan memotongi
anggota badannya satu demi satu; orang tua dipaksa melihat anaknya dibunuh sebelum dirinya
sendiri dihabisi nyawanya. Di Jogya korban-korban diharuskan terjun ke dalam satu parit yang
terkenal dengan nama luweng di pantai selatan Jogya. Di satu penjara pasuskan-pasuskan
pemerintah yang luarbiasa anti-komunisnya memerintahkan tahanan-tahanan terjun dari suatu
platform dengan kepala di bawah, dan bahwa masih ada diantara korban-korban itu yang tetap
hidup adalah suatu keajaiban belaka.

Kemaluan laki-laki dipotong sebagai bukti untuk menentukan jumlah uang yang harus dibayar
kepada algojo. Bahwa pembantaian terhadap kaum komunis dan non-komunis bukannya suatu ekses
biasa, tetapi suatu perbuatan yang sedar dan berencana dapat dilihat dari bahwa di mana-mana
di seluruh tanahair yang menjadi sasaran pembunuhan adalah, di samping massa biasa adalah
pemimpin-pemimpin PKI setempat sampai ke desa-desa, pemimpin organisasi-organisasi
revolusioner dan juga anggota lembaga-lembaga pemerintah daerah (DPRD-BPH), juga bisa dilihat
dari sistim bon-bonan terhadap orang yang sudah ditahan yang biasanya dianggap anggota PKI
yang penting dan tak jarang bon-bonan ini melalui tawar-menawar tentang jumlah uang yang harus
dibayar untuk membeli jiwa orang yang hendak dijadikan korban yang dilakukan antara penguasa
militer setempat dengan pihak reaksi. Masih banyak lagi bentuk-bentuk pembunuhan yang sadis.
Di banyak tempat korban-korban dimasukkan sungai atau laut dengan diberi batu (bandul
pemberat) sehingga dapat tenggelam sampai ke dasar. Tetapi banyak juga yang sesudah dibunuh
dilemparkan begitu saja di sungai-sungai seperti Bengawan Solo, Kali Brantas, Musi dll;
dilemparkan ke jurang-jurang. Bahwa ada kesengajaan untuk membunuh bisa juga dilihat dari
mereka yang tanpa proses pengadilan telah ditembak oleh penguasa militer setempat; bisa dilihat
dari nasib tahanan-tahanan yang sudah ada dalam tahanan pemerintah waktu itu."
Ruslan Widjajasastra yang sebagai tokoh komunis itu, dalam Pembelaan di depan Mahmilub,
seterusnya menjelaskan bagaimana perlakuan tak berperikemanusiaan terhadap tapol di penjara-
penjara. Siksaan yang berujung pada pembunuhan yang sangat keji adalah berupa pencabutan
nyawa tapol secara perlahan-lahan. Dengan hanya memberikan mereka makanan yang sangat minim,
lantas hampir tidak sama sekali. Hingga dalam waktu beberapa hari atau minggu para tapol itu
mati kelaparan. Hal itu terjadi di penjara Salemba. Dan apa yang terjadi di sana, juga ada
penggambaran yang gamblang dari salah seorang eks-tapol bernama S. Boediardjo, seperti
diungkapkan dalam artikel pengalamannya yang dimuat dalam majalah "Arena" (1993-94). Selain di
penjara Salemba, Ruslan Widjajasastra juga memberikan contoh di tempat-tempat lainnya.
Seperti di Sumatera Selatan, dimana tapol hanya diberi 40 butir jagung untuk selama 24 jam dan
akibatnya 90% tahanan mati. Dengan jalan begitulah banyak tahanan di berbagai penjara atau
tempat tahanan di Jawa dll kepulauan menjadi mati kelaparan.

"Sebagai akibat dari keganasan teror itu, yang dilakukan atau di bawah lindungan atau langsung
juga oleh pasukan-pasukan tertentu dari pemerintah, di berbagai tempat telah terjadi bahwa

282 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

seluruh kader setempat mati terbunuh, ada yang separo terbunuh. Kita mencatat pembunuhan
yang paling besar misalnya di Jatim, Jateng dan Bali", demikian antara lain kesaksian sekaligus
pembelaan Ruslan Widjajasastra, yang dapat disimak dalam majalah Kreasi nomor 17 1994.
Apa yang diungkapkan oleh Ruslan Widjajasastra itu bisa dicocokkan dengan pemberitaan media
massa yang dihegemoni penguasa Orba, dengan beragam ilustrasinya. Seperti foto-foto
penggorokan leher korban oleh para algojo, mayat-mayat yang bergelimpangan di tepi kali
Brantas, lubang kuburan besar yang digali oleh dan untuk para korban; bagaimana pula truk-truk
militer dalam melakukan operasi mautnya: sang komandan RPKAD Kolonel Sarwo Edhie di lapangan
dan lain sebagainya lagi. Semuanya selaras dengan pengakuan komandan tertinggi Jenderal
Suharto dalam otobiografinya.

Demikianlah sekalipun hanya sekedar seberkas contoh terbatas namun telah menunjukkan dengan
jelas-tegas bagaimana suatu kebiadaban yang tiada taranya telah terjadi di bumi Indonesia. Di
Nusantara yang terkenal dengan penduduknya yang peramah lagi mudah senyum dan berfilsafah
Pancasila.

Dengan cara biadab sedemikian itulah rupanya upaya merebut dan mempertahankan kekuasaan
oleh kaum militer dilaksanakan? Seperti yang dinyatakan oleh Jenderal A.H. Nasution pada 14
Maret 1966. Bahwa "dalam penyelesaian G.30.S. dipandang penting, supaya atas keyakinan kita
dengan 'bantuan Tuhan' juga, maka dalam MPRS yang saya pimpin kita tetapkan syarat-syarat
jadi Presiden dan anggota DPR yaitu:

1. Bertakwa kepada Allah SWT;

2. Setia pada Pancasila dan UUD'45."

Kemudian Nasution juga menegaskan untuk "membela kejujuran, kebenaran dan keadilan,
berdasarkan takwa pada Allah SWT." (Kompas 1 Oktober 1994).

Jika ditelaah fakta-fakta dan kejadian yang sebenarnya, maka sudah sampai sedemikian itulah
teror propaganda hitam berbalut kata-kata mulia dan simbol-simbol suci-murni! Teror yang
dampak nistanya sedemikian dahsyat berupa tragedi nasional itu. Setelah pembasmian PKI dan
kaum demokrat lainnya, maka Bung Karno pun dijadikan sasaran empuk untuk ditumbangkan
sejadinya dengan pengabsahan yang direkayasa berdasarkan propaganda hitam. Di dalam sidang-
sidang institusi seperti MPRS.

Siapa yang sesungguhnya harus mempertanggungjawabkan semua kebiadaban sedemikian rupa itu?
***
Catatan :

Naskah Memperingati Tragedi Nasional disusun September 2002 ; disiar beberapa media masa
cetak & online, antara lain Harian Sijori Pos, SwaraTv, ABE-Kreasi Multiply Site dan lainnya lagi.
Meskipun soal yang jadi persoalannya sudah sekian lama tapi isi hakikinya masih belum
terselesaikan. Perjuangan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan masih diperlukan.
Sejak masa era reformasi, tentulah kian tambah naskah tersiar sekaitan Tragedi Nasional;
serangkaian naskah yang saya susun ini kiranya bias melengkapi bahan pertimbangan yang
tersediakan.
Siar ulang Facebook, ABE-Kreasi Multiply Site dan lainnya lagi 30 September 2010.
Biodata A.Kohar Ibrahim: http://16j42.multiply.com/journal/item/517/
Kumpulan Kumpulan Tulisan: http://16j42.multiply.com/journal/item/494/
283 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Ilustrasi : Kulitmuka Majalah ARENA n° 1 1990 Editor : A.Kohar Ibrahim -


Penerbit Stichting ISDM Culemborg Nederland.

Tulisan ini juga disajikan dalam website http://umarsaid.free.fr yang sampai sekarang sudah
dikunjungi lebih dari 650 490 kali = = = = = = = = = =

Lanjutkan Revolusi Dengan Berpegang Pada Ajaran Bung Karno


Di bawah adalah kutipan sebuah artikel dari Berdikari Online, website PRD (Partai Rakyat
Demokratik), yang bertanggal 1 Oktober 2010. Artikel tersebut selengkapnya tampil sebagai
berikut :

"Berikut ini disajikan wawancara tertulis Berdikari Online dengan wartawan senior, A. Umar Said,
yang sekarang tinggal sebagai pensiunan di Paris, dalam rangka mengenang Peristiwa 30
September 1965. Wawancara singkat dengannya yang sekarang berusia 82 tahun (lahir 26
Oktober 1928) ini merupakan sekelumit dari pendapat seorang di antara mereka yang mengalami
masa-masa jaman Presiden Sukarno sebelum peristiwa 1965 itu.

Ia meninggalkan Indonesia 2 minggu sebelum terjadinya peristiwa 30 September 1965 untuk


menghadiri konferensi International Organisation of Journalists yang diadakan di Santiago (Chili,
Amerika Latin). Kemudian ia terpaksa tinggal di Peking dan bekerja di Sekretariat Persatuan
Wartawan Asia-Afrika sampai tahun 1973.

Dalam tahun 1974 ia pindah ke Prancis sebagai political refugee, dan hidup sederhana sambil
melakukan berbagai kegiatan.
===
Hari ini adalah 45 tahun peristiwa ―Gerakan 30 September‖. Sebagai salah satu dari sekian
banyak orang Indonesia di luar negeri yang terhalang pulang, bagaimana perasaan anda?
Setelah 45 tahun sejak terjadinya peristiwa 30 September 1965, dan terpaksa hidup di luar
tanahair karena dihalang-halangi pulang oleh kekuasaan Suharto, maka saya masih sedih dan
marah kalau ingat kepada peristiwa itu. Merasa sedih karena saya ingat kepada banyak kawan-
kawan saya yang dibunuh secara biadab atau dipenjarakan atau dibuang ke pulau Buru. Saya
mempunyai banyak kawan dekat atau sahabat kental di berbagai kalangan, sebelum terjadinya
peristiwa 30 September itu. Karena saya waktu itu menjadi Pemimpin Redaksi Harian Ekonomi
Nasional di Jakarta, merangkap Bendahara di PWI Pusat dan juga bendahara Persatuan
Wartawan Asia-Afrika. Saya juga dipilih sebagai bendahara KIAPMA, Konferensi Internasional
Anti Pangkalan Militer Asing, yang diadakan di Jakarta dan dibuka oleh Presiden Sukarno di
Hotel Indonesia.

Karena saya bekerja sebagai wartawan di Jakarta, maka saya mempunyai banyak kenalan, sahabat
dan kawan terdekat di kalangan pemerintahan, partai politik, organisasi massa di tingkat nasional.
Di antara mereka itu banyak yang ditangkapi, dipenjarakan, bahkan banyak yang dibunuh, tanpa
diketahui liang kuburnya. Kenalan, sahabat dan kawan saya itu adalah teman-teman seperjuangan
saya dalam mendukung berbagai politik dan ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno.
Saya masih ingat bahwa sebagian terbesar di antara mereka kebanyakan adalah pemimpin atau
tokoh-tokoh atau aktivis-aktivis terkemuka di bidang mereka masing-masing. Mereka ditangkapi
atau dibunuh karena menjadi anggota PKI, atau simpatisan PKI, atau pendukung Bung Karno. Jadi,

284 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

mereka dianggap musuh oleh Suharto karena berhaluan kiri, menyokong ajaran-ajaran
revolusioner Bung Karno yang pada pokoknya anti-kapitalisme, anti-kolonialisme, anti-imperialisme
dan pro-sosialisme.
Saya sedih kalau mengingat mereka, karena mereka pada umumnya orang-orang yang mau
berjuang secara tulus untuk kepentingan rakyat banyak, terutama rakyat miskin. Mereka pada
umumnya adalah orang-orang yang jujur, tidak korupsi, mau bekerja keras untuk kepentingan
rakyat, dan menyokong Bung Karno. Orang-orang macam ini sekarang ini sulit sekali ditemukan.

Jika memperhatikan perkembangan situasi di tanah air akhir-akhir ini, dengan begitu banyak
persoalan seperti ekonomi, politik, sosial, dan budaya, bagaimana pendapat anda sebagai orang
berdarah Indonesia?

Terus terang, saya sangat prihatin bahwa situasi negara dan bangsa kita dewasa ini makin
menjauh sekali dari tujuan proklamasi 17 Agustus 45. Kebobrokan, kerusakan, kebejatan moral
kelihatan makin menyeluruh di tubuh bangsa, terutama sekali di kalangan atasan, baik di bidang
eksekutif, legislatif, maupun judikatif, dan juga di kalangan masyarakat dan kalangan swasta.

Rejim militer Orde Baru di bawah Suharto sudah membikin kerusakan-kerusakan besar sekali di
bidang jiwa bangsa, dengan memalsu Pancasila, melecehkan Bhinneka Tunggal Ika, merusak
persatuan bangsa dengan Ketetapan MPRS no 25/1966 yang melarang kegiatan PKI beserta
ormas-ormasnya, dan dengan memusuhi ajaran-ajaran Bung Karno.
Kerusakan jiwa bangsa yang dibikin Suharto dan para jenderalnya ini merupakan sumber utama
dari berbagai macam kerusakan-kerusakan lainnya, yang berbagai hasilnya kita saksikan dewasa
ini, antara lain dengan meluasnya pertentangan atau permusuhan antar agama, kerusuhan antar-
etnik. Ini adalah pengkhianatan kepada Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.

Situasi negara dan bangsa kita yang seperti dewasa ini pastilah tidak diinginkan oleh para pejuang
untuk kemerdekaan, baik yang sudah dibuang ke kamp pengasingan di Boven Digul, yang ikut dalam
pembrontakan melawan penjajahan Belanda dalam tahun 1926, maupun yang ikut berjuang selama
masa revolusi Agustus 1945.
Negara kita yang kaya raya dengan sumber alam, dewasa ini dihuni oleh rakyat yang sebagian
terbesar adalah rakyat miskin, dan dikuras terus oleh modal raksasa asing dalam sistem neo-
liberal yang dianut oleh pemerintahan SBY.

Sebagai orang yang pernah hidup di jaman Bung Karno, apa perbandingan paling penting dengan
jaman sekarang ini?
Sebagai orang yang pernah hidup di jaman Bung Karno, saya melihat banyak sekali perbedaan
antara jaman itu dengan jaman Suharto dan jaman pemerintahan-pemerintahan sesudahnya,
sampai dengan pemerintahan SBY sekarang. Perbandingan antara jaman Bung Karno dengan jaman
Suharto adalah seperti siang dan malam.

Jaman Bung Karno adalah jaman « revolusi rakyat belum selesai » di bawah pimpinannya
berdasarkan ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno, antara lain Manifesto Politik (Manipol),
Nasakom, Trisaksi, Panca Azimat Revolusi, TAVIP (Tahun Vivere Pericoloso), yang semuanya
berjiwa persatuan bangsa, anti-kapitalisme, anti-kolonialisme, dan anti-imperialisme. Bahkan, Bung
Karno juga menganjurkan perjuangan untuk sosialisme di Indonesia.

285 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Sedangkan jaman Suhato adalah kebalikannya sama sekali ( atau bertolak belakang), yang
sebagian terbesar masih diteruskan sampai sekarang. Jaman Suharto adalah jaman kontra-
revolusi, yang melawan seluruh ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno, bersekongkol dengan
imperialisme, menentang sosialisme, anti-demokrasi, dan yang sekaligus juga korup, penuh KKN
dan pelanggaran HAM berat dan besar.

Kalau jaman Bung Karno terkenal dengan politiknya yang tercakup di dalam Trisakti (bebas-aktif
dalam politik, berdikari dalam ekonomi, berkepribadian dalam kebudayaan), maka jaman Suharto
yang dilanjutkan oleh berbagai pemerintahan sesudahnya, termasuk pemerintahan SBY sekarang,
adalah juga kebalikannya.

Negara Republik Indonesia sekarang ini tidak berdaulat penuh dalam politik, sehingga terasa
lemah menghadapi Malaysia dan tekanan-tekanan kekuatan bangsa-bangsa lain, termasuk dalam
masalah-masalah ekonomi. Dalam bidang ekonomi negara kita berada DALAM cengkeraman modal-
modal raksasa asing, sehingga praktis Indonesia menjadi negara jajahan kembali.
Apa pesan anda terhadap rakyat Indonesia saat ini?

Saya tidak berani memberi pesan apa-apa kepada rakyat Indonesia, selain menganjurkan seluruh
bangsa untuk mendengarkan (dan melaksanakan) pesan Bung Karno yang terdapat dalam berbagai
macam ajaran-ajaran revolusionernya. Jiwa atau sari-pati ajaran-ajaran revolusionernya untuk
meneruskan revolusi yang belum selesai, revolusi untuk menjebol dan membangun, adalah justru
masih relevan sekali untuk menghadapi berbagai masalah besar bangsa kita sekarang.

Sari pati atau jiwa ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno untuk terus-menerus melanjutan
revolusi sama sekali bukanlah suatu anjuran yang sudah kedaluwarsa, atau suatu slogan yang hanya
bagus dan cocok untuk masa lalu, melainkan suatu jalan yang perlu ditempuh oleh rakyat dalam
menghadapi persoalan-persoalan parah dewasa ini, termasuk menghadapi neo-liberalisme.

Seperti sudah ditunjukkan oleh pengalaman berpuluh-puluh tahun sesudah berdirinya Orde Baru
sampai sekarang, jalan lain menuju masyarakat adil dan makmur tidak ada, kecuali jalan ajaran-
ajaran revolusioner Bung Karno » (Selesai)

Wawancara dengan Ibu Rusiyati


Ketika beliau berusia 76 Tahun
Pada tanggal 15 dan 16 November 1998 di Belanda

Oleh Kerry Brogan


Disunting oleh MiRa

Ibu Rusiyati, lahir tahun 1922, adalah salah satu bekas Tahanan Politik yang pernah bekerja
sebagai wartawan sejak tahun 1954 di Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN), The National
News Agency ‗ANTARA‘, Jakarta. Ketika terjadi peristiwa G30S tahun 1965, beliau ditangkap
dari tempat kerjanya dan dipenjara selama 13 tahun tanpa proses pengadilan. Sejak saat itu Ibu
Rusiyati dipisahkan dari enam anaknya, dimana anak tertua, perempuan, baru berusia 15 tahun dan
anak bungsunya berumur 5 bulan.

Di waktu yang sama, suaminya sedang berada di China dalam rangka kunjungan resmi menghadiri
ulang tahun kemerdekaan Republik Rakyat China. Kehadiran kunjungannya di China mewakili
‗Generasi Angkatan 1945′ dari delegasi Indonesia, yang dipimpin oleh ketua MPRS Chaerul Saleh

286 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

(Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara). Sejak saat itu suaminya tidak dapat kembali ke
tanah airnya, di pengasingan sampai akhir hidupnya dala usia 67 tahun (1986).

Kisah Hidup Ibu Rusiyati


Saya ditangkap oleh militer pada hari jum‘at, tanggal 15 oktober 1965, di Kantor Pusat Berita
‗ANTARA‘. Saya masih ingat waktu itu tanggal satu Oktober 1965 siang hari, kantor kami dan
beberapa kantor berita harian ibukota lainnya sudah kena pelarangan terbit oleh KODAM V
JAYA. Sedangkan bulletin ANTARA terbitan siang hari ketika itu sudah memuat berita mengenai
GESTOK (Gerakan Satu Oktober). Bulletin ANTARA merupakan pusat sumber berita nasional di
Indonesia yang terbit dua kali sehari, yaitu pagi dan siang hari.

Pada tanggal 1 Oktober 1965, malamnya pelarangan terbit berlaku untuk semua koran harian yang
terbit di Ibu Kota, kecuali koran Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha yang memang diterbitkan
oleh pihak militer. Harian Kompas misalnya telah siap cetak malam itu terpaksa membatalkan
penerbitan dan baru boleh muncul kembali tanggal 6 Oktober 1965.
Surat Perintah Pangdam VI/Jaya (No. 01/Drt/10/1965) yang dikeluarkan oleh Mayjen Umar
Wirahadikusumah berbunyi, ‖Dalam rangka mengamankan pemberitaan yang simpang siur mengenai
peristiwa pengkhianatan oleh apa yang dinamakan Komando Gerakan 30 September/Dewan
Revolusi, perlu adanya tindakan-tindakan penguasaan terhadap media-media pemberitaan‖.

Surat perintah itu ditujukan kepada Panglima Daerah Kepolisian VII/Jaya untuk 1) Segera
menguasai semua perusahaan percetakan, 2) Melarang setiap penerbitan jang berupa apa pun
tanpa izin Pepelrada Jaja c.q. Pangdak VII/Jaya, 3) Khusus terhadap percetakan ‖Berita Yudha‖
yang terletak di Gang Gelap Kota dan Percetakan Harian ‖Angkatan Bersenjata‖ di Petojo supaja
diadakan pengamanan physik (pos penjagaan) untuk dapatnya percetakan tersebut berjalan
lancar.‖

Larangan terbit semua koran itu, meskipun hanya diberlakukan selama lima hari, sangat
menentukan karena informasi ketika itu dikuasai dan dimonopoli oleh pihak militer. Apa yang
diberitakan oleh dua suratkabar tentara, yaitu Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha, serta
dinas informasi ABRI yang memasok suratkabar-suratkabar tersebut telah memberitakan proses
kejadian harus disesuaikan dengan sumber informasi yang berpihak pada militer Angkatan Darat .
Ketakutan akan dibredel kembali menyebabkan semua media massa hanya menulis atau mengutip
pemberitaan sesuai keinginan pemerintah/pihak keamanan.

Kampanye tentang keganasan komunis dengan gencar dilakukan oleh kedua harian militer
tersebut, Berita Yudha Minggu 11 Oktober 1965 memberitakan bahwa tubuh para jenderal itu
telah dirusak, ‖Mata dicungkil dan sementara itu ada yang dipotong kemaluan mereka‖. Sementara
itu, sukarelawan-sukarelawan Gerwani melakukan hubungan tidak senonoh dengan mayat para
Jenderal itu. Padahal menurut visum dokter tidaklah demikian. Para korban itu meninggal dengan
luka-luka karena tembakan atau terbentur dinding sumur di Lubang Buaya. Saskia Wieringa
mencatat bahwa koran Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha menyiarkan kampanye sadis sejenis
ini secara teratur sampai bulan Desember 1965.
Informasi (atau lebih tepat disinformasi) itulah antara lain yang menyulut kemarahan rakyat dan
akhirnya melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap mereka yang dicurigai sebagai anggota
PKI.

287 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Sejak pelarangan terbit diberlakukan para pegawai dari bagian redaksi maupun bagian
administrasi setiap harinya tetap masuk kantor, begitupun dengan saya. Kehadiran kami di kantor
dengan maksud tetap siap untuk segera menerbitkan bulletin bilamana pelarangan terbit dicabut
kembali.
Tanggal 8 oktober kantor kami didatangi oleh Letnan Kolonel (LetKol) Noor Nasution dari
Palembang. Dia menyatakan bahwa kedatangannya atas tugas untuk memimpin Pusat Kantor
Berita ANTARA. Kami sangat heran terhadap penugasan dirinya sebagai pemimpin kami. Dan sejak
sa‘at itu Pusat Berita ANTARA dibawah pimpinan seorang militer.
Tanggal 11 oktober bulletin ANTARA terbit kembali. Waktu itu saya sebenarnya masih menjabat
wakil ketua Desk Dalam Negeri tapi dalam proses penerbitan bulletin tidak dilibatkan. Biar
bagaimanapun saya setiap harinya tetap masuk kantor.
Tanggal 15 oktober gedung kantor ANTARA dikepung oleh pasukan militer dari Komando Daerah
Militer jakarta, disingkat KODAM Jaya. 26 pegawai kantor ditangkap dengan cara satu persatu
dipanggil namanya untuk berkumpul di ruang redaksi. Mereka yang dipanggil untuk ditangkap, yaitu
pimpinan umum redaksi bernama Soeroto serta lainnya yang menduduki posisi ketua dan wakil
ketua dari redaksi afdeling Desk Dalam Negeri, Ekonomi, Luar negeri maupun Newsagency.
Disamping itu ada satu orang dari bagian administrasi, berfungsi sebagai ketua bagian ketik,
bernama Tini juga diikut sertakan. Dari mereka ternyata hanya dua perempuan, yaitu saya dan
Tini yang tertangkap. Saya dengar bahwa tanggal 14 november masih dilakukan pembersihan lagi
dibagian Afdeling Luar Negeri dengan 14 orang menjadi korban penangkapan.

Siang harinya kami diangkut dengan mobil militer menuju kompleks KODAM V Jaya . Sesampainya
di kompleks tersebut kami disuruh turun dari mobil untuk berjalan menuju ke salah satu gedung
bernama Penyelidikan Khusus (LIDIKUS).

KANTOR CORPS POLISI MILITER (CPM)

Keesokan pagi harinya, 16/10/1965, kami dipanggil oleh pimpinan LIDIKUS, Letnan Adil, untuk
berkumpul di ruangan besar. Dikatakannya bahwa tempat gedung LIDIKUS kurang memadai buat
kami dan untuk itu akan dipindahkan ke tempat yang lebih baik. Dia tidak menyebutkan nama
tempatnya tapi ternyata pada siang harinya kami diangkut dengan mobil militer menuju kantor
Corps Polisi Militer (CPM) di Jalan Guntur. Sesampainya di CPM-Gundur segera diadakan
pemeriksaan barang-barang yang kami bawa. Pada waktu itu saya hanya membawa tas berisi kartu
pers, kartu izin masuk istana, surat undangan untuk pertemuan ‗Angkatan 45′ dan uang. Tas
beserta isinya dan jam tangan yang saya pakai disita. Saya dan Tini dipisahkan dari rombongan
laki-laki kemudian disuruh berjalan menuju ruangan gang panjang, corridor, yang lebarnya kurang
lebih 2 meter. Didalam corridor tersebut ada 2 meja dan 2 kursi.
Pada tengah malam ketika saya dan Tini sedang tidur nyenyak di atas meja, saya dibangunkan oleh
seorang berpakaian militer. Saya dibawa melalui corridor menuju ke ruangan lain. Ruangannya
besar dan disitu sudah ada 3 orang berpakaian militer sedang di interogasi oleh satu orang
militer. Mereka duduk di barisan belakang, sementara itu saya disuruh duduk di barisan paling
depan supaya berjauhan dengan 3 orang tersebut.
Dalam proses interogasi, dia mengajukan pertanyaan-pertanyaan khusus mengenai suami saya.
Saya menjawab bahwa suami saya sa‘at ini berada di RRT dalam rangka kunjungan resmi sebagai
wakil generasi Angkatan ‗45 bersama delegasi MPRS, pimpinan Chaerul Saleh. Disamping itu suami
saya juga anggota SOBSI (Sentral Organisasi Seluruh Indonesia). Dalam interogasi dia tidak
288 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

mengajukan pertanyaan yang berhubungan dengan fungsi kerja saya di ANTARA. Bahkan juga
tidak menyinggung masalah penerbitan bulletin terbitan 1Oktober - siang hari, yang memuat
berita mengenai peristiwa GESTOK (Gerakan Satu Oktober). Setelah melalui proses interogasi
cukup lama, lantas saya dikembalikan ke tempat semula. Sementara itu Tini kelihatannya sudah
tidur nyenyak sedangkan perasaan dan pikiranku hanya terpancang pada anak-anakku karena tidak
mengetahui keberadaan saya. Saya berusaha untuk bisa tidur tapi kekhawatiran terhadap anak
bungsuku yang masih membutuhkan ASI (Air Susu Ibu) sangat saya rasakan.

Keesokan pagi harinya saya dan Tini dipanggil untuk kembali ke tempat ruangan dimana kami
kemarin harinya diterima. Kami berdua disuruh duduk dan tidak lama kemudian rombongan laki-
laki datang dari arah ruangan lain memasuki ruangan dimana kami sedang duduk. Lantas mereka
disuruh duduk diatas lantai dengan masing-masing kedua tangannya ditaruh dibelakang kepala.
Saya sangat kaget dan cemas karena para militer tersebut memperlakukan mereka kasar bahkan
bajunya pun sudah penuh dengan lumuran darah dan juga tidak bersepatu. Mereka menceritakan
pengalamannya bahwa malam harinya ketika mereka sedang tidur nyenyak tiba-tiba masuk
sekelompok orang berpakaian hitam secara mendadak dan langsung memukuli serta menyiksanya
sambil berteriak-teriak ―Komunis‖.

Kompleks KODAM V Jaya (17 oktober - Desember 1965)

A. Gedung LIDIKUS - kompleks KODAM V Jaya


Dari kantor CPM-Guntur ternyata kami dibawa kembali ke Kompleks KODAM V Jaya untuk
langsung menuju ke gedung LIDIKUS. Kami dipisahkan dari rombongan rekan laki-laki
kemudian dibawa kembali menuju kamar, dengan ukuran 4X5 meter, yang sebelumnya pernah
kami tiduri. Kami tidur di atas lantai dengan dilapisi tikar. Saya tidak tahu lagi sudah berapa
lama kami terisolasi dalam gedung tersebut tapi yang jelas setiap malam saya selalu
terbangun dari tidur karena mendengar serombongan orang diturunkan dari mobil truk
dengan disertai teriakan dan jeritan.

Setiap harinya kami diijinkan untuk pergi ke kamar kecil. Suatu kali ketika saya jalan menuju
kamar kecil, saya berpapasan dengan salah seorang laki-laki berbaju putih. Lantas saya
bertanya, ―anda dari mana?‖ Dia menjawab bahwa dia ditangkap dari stasion Kereta Api
Gambir. Dengan begitu saya menjadi punya kesimpulan bahwa setiap hari selalu ada razzia
atau pengontrolan serta penangkapan terhadap orang-orang yang dicurigai bahkan dianggap
orang komunis.
Disamping itu kami juga mendapat jatah makan satu kali sehari tapi makanannya hanya bisa
diambil di ruangan lain dan tentunya ini juga berlaku untuk para penghuni lainnya. Setiap
kami pergi untuk mengambil makanan, itu sangat dirasakan sekali kalau penghuni gedung
LIDIKUS semakin hari bertambah dan anehnya penghuni yang perempuan hanya tetap kami
berdua.
B. Gedung kedua - kompleks KODAM V Jaya

Suatu kali kami berdua dipindah ke gedung lain tapi masih tetap didalam kompleks KODAM V
Jaya. Mengenai rekan laki-laki lainnya, kami sudah tidak tau lagi nasibnya. Gedung yang kami
tuju sangat mendapat penjagaan ketat dan bersenjata. Ketika kami memasuki ruangan,
ternyata disitu sudah ada tawanan para pimpinan perempuan, antara lain ketua umum
GERWANI; Umi Sardjono, pimpinan pusat BTI (Barisan Tani Indonesia); Dahliar dan tiga
anggota perempuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) seperti Mudikdio, Salawati Daud dan
289 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Kartinah. Ke 5 tokoh perempuan tersebut ditangkap ketika Konferensi Internasional Anti


Pangkalan Militer Asing (KIAPMA) sedang berlangsung, yang diadakan di Senayan tanggal 17
Oktober 1965. Masih ada seorang perempuan lain dimana sebelumnya tidak pernah saya
kenal. Kelakuannya agak aneh karena setiap malam hari berteriak-teriak dan siang harinya
ngomong tidak karuan bahkan terkadang tertawa sendiri tanpa sebab.

Kami tidur dengan menggunakan veldbed (Fielbed). Sore harinya ruangan kami dikunjungi oleh
seorang Letnan. Dia mendatangi saya dan mengatakan bahwa Kolonel Latief juga berada
dalam gedung yang sama tapi diruangan lain. Kolonel Latief adalah tokoh dituduh sebagai
salah satu dalang gerakan 30 September. Ketika itu saya tidak menanggapi secara serius
karena pikiran dan perasaan saya tetap pada keluargaku. Untuk itu saya coba memberanikan
diri minta tolong supaya diberitahukan ke keluarga mengenai keberadaan saya. Ternyata dia
menyanggupinya bahkan juga menawarkan kami semua untuk bisa dibawakan keperluan lainnya
dari rumah. Kami semua menanggapi dengan senang hati dan tentunya pesananku yang utama
sikat gigi, odol, handuk, pakaian, sisir rambut, sabun cuci dan sabun mandi. Begitu pula dengan
pesanan Ibu-ibu lainnya. Misalnya Ibu Salawati Daud memesan supaya gigi palsunya jangan
lupa dibawakan.

Keesokan harinya Letnan yang baik itu datang keruangan kami dengan membawa pesanan
keperluan kami. Pada suatu hari perempuan yang bersikap aneh itu diambil dari ruangan kami
untuk selanjutnya kami tidak mengetahui nasibnya.
Sekitar 3 hari kemudian, saya dan Tini dibawa kembali menuju gedung LIDIKUS. Lima Ibu-
ibu lainnya juga diikut sertakan bersama kami. Pada waktu yang sama saya mendapat surat
pemecatan sebagai pegawai ANTARA dan juga dicantumkan pernyataan tidak berhak
menerima tunjangan hari tua.

Bukit Duri- Desember 1965

A. Penjara Narapidana G30S sampai TAPOL G30S

Bulan desember 1965 saya, Tini dan 5 ibu-ibu lainnya dipindahkan ke penjara Bukit Duri,
yang letaknya di Kampung Melayu. Dengan pemindahan ini saya merasa bahwa penahanan
terhadap kami akan berlangsung lama. Ibu Umi Sardjono, sebelum pemindahan, telah
mengajukan permohonan kepada komandan LIDIKUS Letnan Adil agar kami di Bukit Duri
diperkenankan untuk dijenguk oleh keluarga.

Penjara Bukit Duri adalah penjara berdinding beton bekas peninggalan kolonial Belanda tapi
sejak terjadi G30S dipakai selain sebagai tempat penjara perempuan narapidana kriminal
juga untuk tempat tahanan politik - perempuan disebut Narapidana G30S.
Untuk memasuki ruangan ―Narapidana G30S‖ harus melalui beberapa pintu lapisan. Lapisan
pintu pertama dan ke dua terbuat dari besi baja dan kayu tebal. Pintu ke tiga terbuat dari
kawat besi dan pintu ke empat merupakan pintu terakhir terbuat dari jeruji besi dan baja
tebal.

Sesampainya kami diruangan ―Narapidana G30S‖, saya merasakan hirupan udara kotor,
lembab dan berbau sangat tidak enak. Penghuninya kebanyakan anak-anak perempuan
berumur antara 14 - 16 tahun. Yang termuda dipanggil gendut, karena badannya gemuk
sedangkan nama sebenarnya Sukiyah. Anak berumur 14 tahun itu mengerti politik apa?
Sepengetahuan saya mereka itu ditangkap di Lubang Buaya kemudian dibawa ke CPM atau

290 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

rumah tahanan militer lainnya. Setelah itu mereka dibawa ke penjara Bukit Duri. Tidak lama
kemudian ruangan ―Narapidana G30S‖ namanya dirubah menjadi ruangan golongan TAPOL
G30S. Ruangan kami memang terpisah dari golongan ―Narapidana Kriminal‖.
Para penjaga penjara kelihatannya berasal dari Corps Polisi Militer (CPM). Jadi kesimpulan
ku bahwa masalah penjara dibawah komando langsung dari militer KODAM V Jaya. Hanya
mengenai urusan makanan ditangani oleh pengurus staf penjara Bukit Duri. Makanan yang
kami dapat setiap harinya, yaitu nasi dengan sayur tapi kuahnya berwarna hitam.

Kami ditempatkan di sel-kamar dengan berukuran berbeda. Saya sendiri tidur di sel-kamar
yang letaknya di pintu masuk untuk menuju ke sel-sel kamar lainnya. Sel-kamar tersebut
berdinding beton, ukurannya 2X1,5 meter dimana pintu masuknya ada lobang karena
berfungsi sebagai tempat untuk menyampaikan sepiring nasi dan semangkok sayur. Tempat
tidurnya terbuat dari beton dan hanya dilapisi tikar. Sel-kamarnya sangat lembab dan
dingin karena tidak ada ventilasi. Memang didalam sel-kamar tersebut ada jendela kecil
dari kaca yang letaknya diatas tempat tidur-beton, tapi berfungsi hanya untuk sedikit
dapet penerangan dari luar. Jadi dengan kondisi sel-kamar seperti itu mengakibatkan
kondisi kesehatan saya tidak bagus, seperti penyakit reumatik dan sesak nafas.

B. Kehidupan di penjara Bukit Duri

Suasana awal kedatangan kami di penjara Bukit Duri terasa sangat tegang. Beberapa dari
para penghuni anak-anak terkadang berteriak-teriak, bicara sendirian atau menangis yang
menyayat hati saya. Memang kami semua mengalami nasib sama karena setiap hari sel-
kamar selalu dalam keadan terkunci. Kami hanya diperkenankan dua kali sehari untuk pergi
ke kamar mandi atau ke kamar kecil. Itupun dilakukan dengan cara berkelompok pada pagi
dan sore hari.

Awal tahun 1967 saya didatangi ibu Polwan (Polisi wanita) dan memberitahukan bahwa ibu
saya pernah datang ke penjara dengan tujuan untuk minta ketemu dengan saya tapi dia
tidak di ijinkan untuk bertemu. Ibu berpesan supaya saya tidak usah mengkhawatirkan
keadaan anak-anakku karena beliaulah yang mengurusnya dengan didampingi seorang
pembantu yang setia. Setelah mendengar pesan tersebut, saya menjadi terharu serta
mengucapkan banyak terima kasih kepada ibuku. Tidak berapa lama kemudian saya
diperkenankan untuk menerima makanan dari keluarga, itu terjadi untuk setiap satu bulan
sekali, dan kiriman makanan tersebut datangnya dari ibuku.
Akhir tahun 1967 untuk pertama kali saya diperkenankan bertemu dengan keluarga. Pada
sa‘at itu saya sangat gembira bisa bertemu dengan ibu dan anak-anakku. Dengan rasa
gembira saya berjalan dari sel-kamar menuju ruangan pertemuan. Dari kejauhan saya
melihat ibu sedang menggendong anak bungsuku yang sudah berusia 2 tahun. Sesampainya di
ruang pertemuan saya mencoba untuk memeluk anak bungsuku tapi saya hanya bisa
merasakan sentuhan jari tangannya yang halus dan mungil. Keinginan untuk memeluk serta
mencium pipinya yang lembut tidak dapat kurasakan karena dibatasi oleh jeruji besi. Biar
bagaimanapun hati saya tetap senang walaupun kesempatan pertemuan hanya diperbolehkan
berlangsung sampai 10 menit. Sejak sa‘at itu pertemuan saya dengan keluarga dilakukan 1
kali sebulan.

Karena sel-kamar saya letaknya persis dipintu masuk untuk ke sel-kamar lainnya, jadi saya
sering melihat melalui lobang pintu orang yang keluar dan masuk blok sel-kamar tersebut.

291 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Dengan begitu saya mengikuti proses penambahan penghuni penjara dan ternyata
kebanyakan mereka pindahan dari berbagai rumah tahanan militer lainnya, misalnya Ibu
Suwardiningsih pindahan dari Palembang, Ibu Sundari pindahan dari Bengkulu. Ibu-ibu
pendatang baru itu mengalami isolasi ketat dan ditempatkan di blok baru bernama blok A.
Setelah itu saya baru mengerti bahwa TAPOL G30S terbagi atas 3 bagian, yaitu blok
kategori A sampai kategori C. Blok kategori A dilihat sebagai kategori berat dan tempatnya
terpisah dengan blok kategori lainnya. Pemisahan tersebut dilapisi dengan kayu tebal.
Penghuni blok kategori A antara lain, Dokter Sumiarsih dikenal sebagai dokter yang ramah
dan baik karena suka menolong orang-orang sakit, Sri Ambar, Dr Sutanti Aidit dan ny.
Nyoto.

Pertengahan tahun 1970 Carmel Budiardjo, orang Inggris, masuk di penjara Bukit Duri.
Saya sangat kaget dan marah karena kenapa perempuan asing juga ditangkap dan dimasukan
ke penjara? Sebelum peristiwa G30S saya sering melihat Carmel di Deparlu (Departemen
Luar Negri). Ketika itu saya bekerja di ANTARA.

C. Perubahan dalam penjara

Proses perjalanan kehidupan saya dipenjara tidak bisa ku hitung dengan cara penghitungan
hari, bulan dan tahun tapi suasana kehidupannya tetap kami alami dengan melalui proses
perubahan. Militer dari KODAM V Jaya yang mengontrol dan mengurus kami pada akhirnya
mempunyai ruangan kantor tersendiri. Untuk itu golongan TAPOL mempunyai Komandan Blok
yang disingkat DANBLOK. Kantor DANBLOK berfungsi sebagai penghubung antara TAPOL
dengan penguasa militer di penjara. Tujuan pokoknya ialah untuk mengontrol dan
melaporkan kepada pihak yang berwajib bilamana TAPOL dalam keadaan sakit keras atau
kecelakaan. Sebelumnya memang selalu ada pengawasan dua orang perempuan dari
kepolisian tapi pengawasan tersebut tidak bisa dilakukan pada malam hari.

Disamping itu peranan DANBLOK juga dibutuhkan untuk penanganan secara langsung dari
militer dalam urusan makanan. Misalnya diadakan pembagian kerja secara bergantian untuk
memasak sedangkan para penjaga militer bertugas untuk belanja ke pasar. Kemudian hari
beberapa TAPOL secara bergantian pernah mendapat kepercayaan untuk pergi belanja
dengan didampingi pengawalan militer.

Pembiayaan kebutuhan hidup di penjara sebagian didapat dari hasil penjualan barang-barang
kerajinan tangan menyulam. Sulaman yang kami buat, seperti taplak meja lengkap dengan
serbetnya, seprei beserta sarung bantalnya, saputangan dan pakaian dengan motief bagus
dan indah. Sementara itu pegawai penjara menjualkannya ke luar penjara lalu hasil dari
penjualan dibelikan bahan-bahan baru keperluan kerajinan tangan dan bahan makanan
sebagai penambah gizi supaya bertahan hidup sehat.

D. Pengontrolan dan interogasi


Kehidupan didalam penjara tidak lepas dari pengontrolan ketat dan interogasi. Pengontrolan
dilakukan oleh satuan militer angkatan darat dalam jumlah banyak, yang datang dari luar
penjara. Mereka menginstruksi para TAPOL keluar dari sel-kamar masing-masing untuk
berbaris dan kemudian disuruh berhitung. Sementara itu sebagian dari rombongan kesatuan
militer lainnya masuk ke dalam tiap sel-kamar dan memeriksa semua isi dalam sel-kamar
tersebut. Suatu kali mereka menemui kertas-kertas tua didalam buku agama. Memang
kehidupan kami dipenjara tanpa secarik kertas, bolpoin ataupun alat tulis lainnya. Buku

292 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

bacaan yang diperbolehkan hanya terbatas pada buku-buku agama. Karena saya beragama
islam maka buku bacaan kitab Al qur‘an. Pengontrolan dilakukan cukup sering jadi didalam
penjarapun masih ada penggeledahan.
Interogasi dilakukan dengan cara satu persatu dipanggil untuk menghadap. Biasanya
dilakukan pada malam hari sewaktu kami sedang tidur nyenyak. Dalam interogasi pertama
terhadap saya ditangani oleh seorang kapten dari Angkatan Darat. Pertanyaan pertama
yang diajukan a.l. ‖ Apakah anda sudah mengetahui bahwa anda termasuk golongan A?‖
Lantas saya menjawab: ‖ Saya belum mengetahui hal itu, lagi pula saya belum mengerti
mengenai pembedaan kategori antara golongan A, B dan seterusnya.‖ Rupanya pertanyaan
saya dianggap sebagai pertanyaan lucu lalu dia menerangkan bahwa golongan A termasuk
kategori berat untuk dihadapkan ke proses pengadilan dengan vonis hukuman seumur hidup
atau hukuman mati, sedangkan golongan C termasuk kategori paling ringan serta tidak perlu
melalui proses pengadilan. Selanjutnya saya bertanya kembali mengenai diri saya yang
termasuk kategori berat dengan golongan A. Penjelasannya adalah bahwa D.P Karim (Ketua
PWI Pusat, Persatuan Wartawan Indonesia) juga termasuk kategori berat dengan golongan
A. Lantas saya menjelaskan mengenai diri saya yang bekerja sebagai wartawan di ANTARA
serta hubungannya dengan PWI sebagai organisasi Persatuan Wartawan yang berfungsi
melindungi hak kerja wartawan. Untuk itu bagi orang bekerja sebagai wartawan dengan
sendirinya ingin juga menjadi anggota PWI. Jadi saya di PWI hanya sebagai anggota biasa
karena status pekerjaan saya sebagai wartawan dengan demikian hubungannya dengan
pekerjaan dalam organisasi persatuan Wartawan sama sekali tidak ada. Kemudian Bapak
kapten menyatakan bahwa saya memang tergolong dalam kategori B dan kedatangannya
khusus untuk mengecek segala sesuatu yang diperlukan.

Interogasi ke dua saya berhadapan dengan seorang Letnan dari ALRI (Angkatan Laut
Republik Indonesia). Rupanya dia pernah juga menginterogasi saya sewaktu saya masih
berada di LIDIKUS. Setelah interogasi kedua, saya tidak tahu lagi sampai berapa kali saya
musti berhadapan dengan Letnan tersebut dan yang jelas prosesnya cukup lama serta
pertanyaannyapun sangat teliti. Tini juga untuk beberapa kali di interogasi tapi ditangani
oleh militer dari Angkatan Darat. Berapa lama kemudian Tini dibebaskan karena ternyata
yang dicari bukannya dia yaitu seorang gadis lain bernama Hartinah bekerja sebagai
sekretaris Direksi.

Sekitar tahun 1966 saya dipanggil kembali untuk datang keruang interogasi. Kali ini saya
tidak berhadapan dengan Letnan-ALRI melainkan dengan beberapa ibu-ibu cantik
berpakaian bagus, kemudian saya dipersilahkan untuk duduk. Dengan ramah mereka secara
bergantian mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Dikemudian hari saya dengar bahwa mereka
itu adalah para ahli Psychology yang bekerja men-screaning para TAPOL untuk menilai
sampai seberapa jauh tahanan politik kena pengaruh ideologi Komunis.

E. Golongan C dan keputusan mendadak


Masa interogasi saya rupanya sudah selesai sama sekali karena menurut petugas militer
saya termasuk kategori golongan C dan diberitakan bahwa tidak lama lagi akan dibebaskan.
Akhir tahun 1968 suasana penjara Bukit Duri mengalami ketegangan dan sebab dari
perubahan suasana tersebut tidak saya ketahui secara jelas. Kami mengalami pengontrolan
ketat dan kesempatan secara bergantian untuk pergi belanja ke luar penjara ditiadakan.

293 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Pertemuan dengan keluarga untuk sementara tidak diijinkan jadi kami hanya bisa menerima
kiriman makanan dari keluarga.

Sekitar tahun 70 an ada berita lain mengabarkan bahwa TAPOL-laki laki golongan B akan
diberangkatkan ke pulau Buru. Tidak lama kemudian diberitakan kembali bahwa TAPOL-
Perempuan golongan B juga akan diberangkatkan ke Plantungan. Dijelaskan bahwa
Plantungan merupakan tempat di pegunungan, letaknya tidak jauh dari kota Semarang.
Plantungan dinilai sebagai tempat penjara terbuka dan lebih baik dari penjara Bukit Duri.
Sementera itu saya tetap sibuk mempersiapkan diri untuk menunggu waktu pembebasan
saya. Biarpun suasana ketegangan dalam penjara masih belum pulih tapi saya tetap coba
untuk mempunyai rasa kegembiraan serta pengharapan besar untuk bisa berkumpul kembali
bersama anak-anakku.
Suatu kali kami dikunjungi oleh komandan dari penjara Salemba. Saya mempertanyakan diri
mengenai kedatangan komandan tersebut ke penjara Bukit Duri. Tidak berapa lama
kemudian keputusan untuk diberangkatkan ke Plantungan tiba waktunya. Ternyata saya
beserta 2 orang golongan C lainnya juga diikut sertakan bersama golongan B. Kami
diberangkatkan pada subuh pagi jam 4.

Plantungan periode 1971 – 1975

A. Berkenalan dengan lokasi pengasingan Perjalanan cukup melelahkan, akhirnya kami sampai
juga di Plantungan dimana tempat jaman pendudukan Kolonial Belanda dipakai sebagai
tempat pengasingan orang-orang berpenyakit lepra. Memang letaknya sangat terpencil dan
dikelilingi pegunungan.

Kedatangan kami diterima oleh Komandan Prayogo bersama stafnya di kantor komandan.
Setelah itu kami dibawa ke salah satu tempat tidak berjauhan dengan kantor tersebut.
Kesan pertama ketika kami datang, yaitu udara sejuk bisa memberikan rasa nyaman. Tapi
sa‘at itu perasaan saya hanya tertuju pada anak-anakku yang belum mengetahui keberadaan
ibunya di pengasingan Plantungan. Akhirnya saya merasa lelah dan tertidur pulas.
Esok pagi harinya kami mulai berkenalan dengan lokasi dimana sebelumnya tidak pernah
disentuh oleh kehidupan lingkungan manusia. Kami yang didatangkan dari Jawa tengah dan
Jakarta merupakan rombongan pertama sebagai penghuni lokasi Pelantungan. Memang sejak
berakhirnya penjajahan Belanda lokasi tersebut menjadi tempat penghuni binatang liar
seperti ular berbisa, kelabang dan binatang berbisa lainnya. Dikatakannya bahwa dalam
kompleks Blok sebelum kedatangan kami sudah dibersihkan oleh ahli pengusir ular tapi
ternyata masih ditemukan satu ular. Begitu juga dengan lokasi sekitarnya masih ditemukan
beberapa binatang berbisa lainnya.
B. Kehidupan di pengasingan Plantungan

Kehidupan di pengasingan Plantungan kami diharuskan menggarap tanah untuk menanam


sayuran dan pohon bunga, pekerjaan dalam rumah seperti membersihkan kompleks blok,
kantor komandan dan memasak untuk penghuni Plantungan. Untuk urusan kesehatan
ditangani oleh dokter Sumiarsih dibantu Ibu Ratih. Praktek kerja untuk penanganan
kesehatan tidak hanya terbatas buat penghuni lokasi tapi juga diperbolehkan melayani
penduduk desa sekitar pegunungan. Dokter ramah itu kemudian dikenal dengan sebutan
‗Dokter baik dari kompleks TAPOL‘ dan pasiennya pun banyak. Saya sendiri ditugaskan oleh
komandan Prayogo untuk pemeliharaan Taman Plantungan.
294 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Disamping itu kami tetap perlu dan diperbolehkan mencari nafkah dengan membuat
pekerjaan tangan menyulam untuk membeli bahan makanan sebagai tambahan gizi dan
keperluan bahan-bahan pekerjaan tangan menyulam.
Tidak seperti halnya di Penjara Bukit Duri, ternyata tempat pengasingan yang terpencil itu
mendapat perhatian dari Internasional. Suatu kali kami di kunjungi oleh tamu para
wartawan dari Belanda dimana waktu itu sedang mengikuti perjalanan kunjungan Ratu
Juliana dan suaminya dalam kunjungan di Indonesia tahun 1971. Kami diperkenankan untuk
menemui kunjungan para tamu tersebut. Merekapun diperbolehkan untuk mengadakan
‗percakapan secara bebas‘ dengan beberapa TAPOL tapi saya sendiri tidak keluar dari blok
karena saya harus menunggu salah seorang TAPOL dari Jawa Barat, berumur 67 tahun,
yang sedang sakit. Tiba-tiba salah satu dari wartawan Belanda tersebut datang
menghampiri blok kami dan setahu saya dia tidak membawa foto kamera. Lantas kami
terlibat dalam percakapan dengan menggunakan bahasa Belanda. Pembicaraan hanya
mengenai masalah umum karena masing-masing tahu bahwa tidak diperkenankan
membicarakan masalah politik. Dalam percakapan ternyata dia dapat mengenali pengalaman
fungsi pekerjaan saya sebagai wartawan tapi untungnya dia tidak sampai mengetahui latar
belakang pengalaman pekerjaan saya di Surabaya pada zaman penjajahan Belanda sebagai
wartawan ―Soerabaya Handelsblad‖
C. Kunjungan wakil International Red Cross dan pemindahan ke penjara Bulu
Untuk ke dua kalinya penjara pengasingan Plantungan dikunjungi oleh tamu asing dan kali ini
kunjungan dari seorang Dokter sebagai wakil dari International Red Cross. Namanya saya
lupa walaupun pada waktu itu saya diijinkan hadir dalam pertemuan dengannya. Pertemuan
diadakan di ruang tamu-besar, dan yang hadir tidak hanya kami bersama dokter tersebut
tapi juga komandan Mayor Prayogo beserta para petugas lainnya. Selama dalam pertemuan
bapak komandan dan para petugasnya duduk terpisah tapi tidak berjauhan dengan kami.
Sepertinya komandan tersebut memberikan kelonggaran kapada kami yang duduk bergabung
dengan tamunya. Dalam percakapan antara kami diawali dengan pembicaraan secara umum
tapi dia juga menanyakan mengenai beberapa kebutuhan se hari-hari, seperti obat-obatan,
kasur, sendal dan lain-lain yang pernah dikirimkannya. Memang kami menjawab dengan jujur
dan seadanya bahwa kami belum menerima kiriman-kiriman tersebut. Selanjutnya suasana
pertemuan tetap santai dan kadang-kadang kami tertawa sukaria.

Satu hari setelah kunjungan pertemuan, bapak komandan menunjukan sikap tidak senang
terhadap kami bahkan kadang menunjukan sikap marahnya. Kami mulai merasa bahwa hasil
pertemuannya rupanya tidak memberi kepuasan terhadapnya. Tiba tiba dia mengadakan
pengontrolan ke semua blok. Sa‘at beliau mendatangi dokter Sumiarsih, terlihat menunjukan
sikap marahnya. Bapak komandan langsung mengeluarkan peringatan-peringatan keras, serta
menuduh Dokter Sumiarsih memberi pernyataan hal-hal tidak benar kepada tamunya.
Setelah itu kami dipanggil untuk berkumpul di Aula, dan di tempat itu bapak komandan
masih tetap mencurahkan kemarahannya kepada kami. Sekali lagi dengan nada kemarahan-
nya dia menuduh dr. Sumiarsih, dra. Murtiningroem dan saya yang berasal dari Jakarta
sebagai dalang memberi informasi tidak benar kapada wakil International Red Cross.
Selanjutnya dinyatakan bahwa ada keputusan mengenai pemindahan sebanyak 45 orang ke
penjara Bulu-Semarang. Kemudian pemindahan dilakukan pada akhir tahun 1975.

295 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Bulu - Semarang periode 1975 – 1978


A. Serah terima dan isolasi

Suasana dalam perjalanan menuju Semarang agak tegang karena bapak Komandan masih
kelihatan marah, sedangkan kami masih belum ada bayangan maupun gambaran mengenai
nasib yang akan kami hadapi nanti di penjara Bulu-Semarang.

Setibanya di penjara Bulu kami diterima oleh ibu pimpinan penjara, yaitu seorang sarjana
Hukum, yang penampilannya kelihatan anggun. Rombongan kami disambut oleh upacara serah
terima, lalu kemudian dinyatakan oleh komandan Mayor Prayogo bahwa penyerahan
rombongan sebanyak 45 orang tersebut adalah termasuk kategori golongan keras. Setelah
upacara penyerahan selesai, lantas kami digiring ketempat gedung ruangan yang sudah
dipersiapkan.
Saya merasa heran sekali ketika kami berjalan melalui halaman penjara, terlihat pagar
tembok mengelilingi gedung yang akan kami tinggali. Untuk memasuki ruangan besar, kami
berjalan melalui sepasang pintu terbuat dari besi tebal. Perasaan saya sa‘at itu, sepertinya
kami berada di penjara dalam penjara karena gedung yang kami tinggali sebenarnya
terpisah dengan gedung penjara Bulu beserta penghuninya.

Gedung tempat tinggal kami letaknya memang berada dihalaman penjara Bulu, namun masih
ada tiga tembok, yang mengelilingi ruangan tempat kami untuk tidur. Tempat tidurnya
terbuat dari papan dan dilapisi tikar. Hanya pegawai penjara datang mengontrol kami,
selebihnya kami tidak diperbolehkan berhubungan dengan siapapun. Bahkan para petugas
pembina rohanipun (kaum agamawan) tidak datang mengunjungi kami. Saya merasa khawatir
karena ternyata kami dimasukan dalam ruang isolasi. Ketika itu pikiran saya hanya tertuju
pada anak-anakku.

Proses isolasi tidak dapat kuhitung dengan jari karena kami tidak mengetahui lagi
pembedaan antara siang hari dan malam hari. Kamipun tidak diijinkan untuk menerima
maupun mengirim surat kepada siapapun juga. Suatu ketika saya dipanggil untuk menghadap
ibu kepala penjara. Dengan rasa tidak menentu saya berjalan dengan didampingi pengawal.
Ketika saya menemuinya ternyata sikap ibu tersebut baik-baik saja bahkan menunjukan
keramahannya sehingga rasa menjadi tenang kembali. Kemudian dia bilang bahwa ada
kiriman ‗pos-tercatat‘ buat saya, untuk itu saya diminta untuk membubuhi tandatangan.
Saya mengira kiriman pos-tercatat tersebut dari anak-anak saya, tapi ternyata kirimannya
berasal dari Hongkong yang nama pengirimnya saya tidak tahu. Setelah itu saya
berkesimpulan bahwa surat tersebut berasal dari seorang, yang memperhatikan masalah
Hak Azazi Manusia di Indonesia. Tentunya saya juga sangat gembira karena ini menandakan
bahwa keberadaan kami sudah diketahui oleh Internasional. Untuk itu saya sangat senang
serta mengucapkan rasa terimakasih biarpun kiriman pos-tercatat tersebut tidak sempat
sampai ketangan saya.

B. Perubahan dan kunjungan di penjara Bulu


Rupanya cuaca di penjara Bulu sudah mulai terang, ketika para pembina rohani mulai
mengunjungi kami. Setelah itu kami diperbolehkan mengerjakan pekerjaan tangan menyulam
bahkan hasil dari pekerjaan kami bisa di jual ke luar tembok penjara oleh para ibu petugas.
Perubahan di penjara semakin baik setelah beberapa fasilitas seperti penyediaan mesin
jahit untuk bisa kami gunakan.
296 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Disamping itu penjara Bulu di kunjungi tamu dari International Red Cross, kali ini kami
juga di perkenankan untuk menemuinya. Suasana dalam pertemuan ternyata bisa lebih
leluasa begitupun percakapannya dengan dr Sumiarsih. Tidak lama kemudian kami dapat
kunjungan 2 wanita dari KOWAD (Korps Wanita Angkatan Darat) yang pernah bertugas di
Plantungan. Dalam pertemuannya mereka tidak menunjukan sikap marah, sehingga dalam
pertemuannya sangat memberikan perasaan lebih tenang.

Suasana dan kondisi di penjara menjadi lebih baik dengan adanya kunjungan dari kolonel
Taswar Akib. Karena kunjungannya mempunyai tugas untuk menangani dan menyelesaikan
masalah TAPOL golongan B. Beberapa lama kemudian, setelah kolonel tersebut mengunjungi
kami, maka perubahan kehidupan di penjara semakin membaik, seperti kiriman sebuah
televisi. Dengan adanya televisi di penjara, berarti menunjukan adanya perkembangan
menjadi lebih positif, juga dengan begitu kami paling sedikit bisa mendapat gambaran
mengenai kehidupan di luar tembok penjara. Saya ingat betul pada waktu itu tahun 1977.
Akhir tahun 1977 penjara Bulu dikunjungi oleh seorang ibu yang tidak berpakaian militer.
Sa‘at beliau menemui saya sikapnya menunjukan seperti mengenali saya, sedangkan saya
merasa sebelumnya tidak pernah berkenalan dengan ibu tersebut. Beliau mempernalkan diri
sebagai pegawai Departemen Penerangan dan mengatakan bahwa sebelum peristiwa G30S
beliau pernah melihat saya di Istana Merdeka. Lalu saya menjawab: ‗kemungkinan itu benar
karena saya dulu menjabat sebagai wakil kepala Desk Dalam Negeri di Pusat Kantor Berita
Antara, jadi saya punya kartu ijin masuk istana karena sehubungan dengan tugas kerja saya
sebagai wartawan. Kadang saya ke Istana juga sifatnya menggantikan tugas rekan saya,
yang berhalangan dalam menangani berita-berita istana. Disamping itu saya juga ditugaskan
menangani berita luar negeri, untuk itu saya juga setiap hari harus pergi ke Departemen
Luar Negeri.

Dibebaskan

Kunjungan kolonel Taswar Akib ke penjara Bulu dilakukan untuk beberapa kali. Setelah itu kami
merasakan bahwa cuaca dalam penjara semakin cerah dan gembira. Karena tiba sa‘atnya
rombongan pertama dibebaskan untuk kembali kekeluarganya di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa
Barat dan Jakarta. Mengenai jumlahnya saya tidak ingat dan yang jelas saya belum termasuk
dalam rombongan tersebut. Biar gimana pun juga, saya sudah merasa gembira karena pembebasan
tersebut berarti akan dilanjutkan dengan pembebasan untuk semua TAPOL.

Tahun 1978, untuk pertama kali saya menghitung masa dikurung dalam penjara. Saya sama sekali
tidak dapat menggambarkan keadaan kehidupan di luar penjara, karena 13 tahun berada di tempat
pengasingan. Tapi pada sa‘at itu hanya sekejap saja diliputi pikiran demikian. Saya dan ibu-ibu
lainnya lebih sering mencurahkan rasa kegembiraan bilamana kami berkumpul kembali dengan
keluarga. Hampir 100% pembicaraan kami mengenai gambaran perkembangan dan perubahan
kehidupan anak-anak kami, umpamanya mengenai anaknya yang sudah menikah sehingga kami bisa
merasakan menggendong cucu pertamanya. Ada pula yang mengira anaknya sudah menyelesaikan
sekolah dan sudah bekerja. Masih banyak lagi bayangan-bayangan yang diperkirakan mengenai
perkembangan anggota keluarganya.

Yang ditunggu-tunggu datang juga! Pembebasan bagi kami semua pada akhirnya diumumkan! Luar
biasa! Lama sudah kami hidup terisolasi dalam penderitaan disatu ruangan dengan ibu-ibu dari
berbagai tempat di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jakarta dan juga dari Irian Barat.

297 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Ke Jakarta

Pada hari dan jam yang ditentukan, kami diberangkatkan untuk dibawa menuju ke satu tempat di
Semarang. Saya tidak tahu persis nama tempat tersebut, dugaan saya adalah kantor KODAM -
Semarang. Sesampainya di kantor tersebut langsung diadakan pembagian dalam kelompok. Saya
termasuk dalam kelompok kecil dipisahkan dari rombongan besar. Pada waktu itu saya merasa
betul-betul panik. Beberapa dari kami dipisah sesuai asal dari berbagai daerah, serta dipindahkan
ke suatu ruangan kecil. Hari berikutnya kami masih tetap menghuni tempat ruangan kecil
tersebut. Tidak dapat saya uraikan kegelisahan saya pada waktu itu, karena sebelumnya tidak
pernah ada pemberitahuan maupun penjelasan apapun dari pihak yang berwajib. Hari berikutnya
masing-masing kelompok diberangkatkan dan dikawal untuk dibawa ketempat yang dituju. Saya
termasuk dari kelompok kecil berjumlah 3 orang, yaitu saya dan 2 orang lainnya untuk siap
diberangkatkan. Keberangkatan kami dikawal oleh seorang bapak berpakaian militer menuju ke
Jakarta.

Sesampainya di Jakarta, kami di jemput oleh seorang militer dengan mobil Jib-Militer kemudian
dibawa menuju gedung KODAM V Jaya. Sesampainya di gedung tersebut, kami diperingatkan
supaya menuggu di mobil, sementara itu bapak militer turun dari mobil, dan tak lama kemudian
kembali sambil memberi tahu pada kami, bahwa akan langsung dibawa ke penjara Salemba.
Rupanya sudah diberitahu sebelumnya karena ketika kami sampai di penjara Salemba, dan turun
dari mobil, lalu kami disambut oleh para Bapak dan Ibu. Disitu sudah tersedia minuman yang
disediakan buat kami. Sementara itu para keluarga sudah hadir karena masing-masing telah
menunggu untuk menjemput kami. Rasa gembira tidak bisa saya lukiskan, yang jelas pertemuan
kami dengan keluarga penuh dengan kehangatan. Pertemuan ini terjadi sekitar bulan agustus 1978.

PULANG

Saya dan anak-anak langsung pulang menuju rumah keluarga di daerah Tebet, yaitu di kompleks
perumahan Wartawan dari usaha PWI, Persatuan Wartawan Indonesia. Memang jauh sebelum
peristiwa G30S daerah Tebet masih berupa daerah perkebunan bebas. Disitu masih banyak pohon
buah-buahan. Waktu itu kami masih tinggal dirumah sewa di daerah Salemba-Jakarta Barat.

Di sepanjang perjalanan menuju rumah, saya melihat ke arah kiri dan ke kanan tapi saya sudah
tidak lagi dapat mengenali sekitar daerah tersebut. Terasa benar betapa lamanya saya telah
meninggalkan Jakarta, karena disamping itu Jakara juga merupakan kota kenangan sangat
berharga buat saya. Terlintas daya ingatanku pada Hari Proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia tanggal 17 agustus 1945. Ketika itu saya masih sekolah di salah satu universitas
Jakarta. Terlintas penglihatan ingatanku masih terpaku pada masa lalu, padahal sa‘at itu saya
sedang berada dimasa kini.

Tidak lama kemudian sampailah kami di daerah kompleks perumahan wartawan serta berhenti
dimuka pintu rumah. Begitu masuk rumah saya disambut oleh ibu saya yang usianya sudah senja,
lantas saya memeluknya sambil mengucapkan beribu-ribu terimakasih karena beliaulah yang
selama 13 tahun melindungi dan membesarkan anak-anakku. Begitu pula saya memeluk anak-anakku
dan tanpa terasa airmataku berlinang karena gembira dan terharu. Si bungsu yang ku tinggalkan
13 tahun lalu di usia 5 bulan, sudah kelas satu SMP (Sekolah Menengah Pertama). Pertemuan kami
berlangsung dalam suasana akrap dengan tangisan dan tawa karena gembira. Tiba saat makan
bersama sekeluarga dalam suasana penuh cinta kasih. Mulailah masing-masing dari anak-anakku

298 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

menceritakan pengalaman, dan ada pula yang sifatnya bertanya. Malam pertama penuh kenangan
sangat indah, berkumpul kembali dengan keluarga tercinta.

Sekembali saya di rumah memang disambut sangat hangat oleh anak-anak yang telah dewasa. Anak
tertua saya umurnya sudah mencapai 28 tahun, sedangkan ibu saya kelihatan mulai sakitan. Saya
baru menyadarinya bahwa sudah sekian lama kami dipisahkan, dimana dalam proses perpisahan
selama 13 tahun lamanya ternyata anak tertua dipaksakan oleh situasi dan kondisinya untuk
dibebani tanggung jawab besar. Beban berat tidak hanya dipaksa untuk perperan sebagai Ayah
maupun Ibu, tapi pula untuk membiayai hidup keluarga, serta membesarkan adik-adiknya. Ibu saya
dengan setia mendampingi, melindungi dan mendidik anak-anakku. Saya sangat terharu dan bangga
terhadap anak-anak yang pada akhirnya dapat berhasil melindungi, mendidik dan membesarkan
dirinya dalam pendampingan Ibuku.
Di rumah saya mencoba membiasakan diri untuk membaca koran harian yang memakai huruf latin
karena selama di dalam penjara, saya terbiasa membaca huruf Arab. Usaha mengenal anak-
anakku, para tetangga dan lingkungan terdekat berjalan lancar, bahkan dalam waktu singkat saya
sudah ikut serta kegiatan seperti arisan para Ibu-ibu di Kompleks kami. Yang paling terpenting
buat saya ialah secara intensif belajar mengenal anak-anakku yang sudah besar dan mendewasa.

Kartu Penduduk

Esok harinya saya pergi ke KODIM (Komando Disrik Militer) karena sebelumnya telah disarankan
oleh militer dari KODAM-Jakarta untuk mengunjungi Kantor KODIM. Sesampainya saya di
kantor KODIM suasana ruangan sangat sepi; saya satu-satunya tamu ketika itu, dan disitu yang
bertugas hanya seorang Bapak Militer. Sebenarnya saya tidak mengetahui maksud dari kunjungan
wajib saya ke Kantor KODIM karena sebelumya tidak ada penjelasan. Ternyata kedatangan saya
dimaksudkan untuk diberi Kartu Penduduk, yang rupanya segala sesuatunya telah dipersiapkan
terlebih dahulu dan diatur rapi.

Bapak Militer tersebut tidak memerlukan keterangan-keterangan lebih lanjut mengenai diri saya,
maka tidak lama kemudian Kartu Penduduk sudah diberikan kepada saya. Dengan senang hati saya
pulang kerumah, tapi setelah sampai dirumah saya perhatikan kartu penduduk tersebut terlihat
tanda kode dengan huruf ET. Hanya seketika saya kaget dan heran sekali mengenai pencantuman
kode ET, yang adalah singkatan dari Ex- TAPOL. Saya langsung merasa serta berpikir mengenai
status baru saya sebagai seorang warga negara Republik Indonesia, yang mana status sipilnya di
diskriminasi oleh pemerintah Orde Baru. Hal ini karena pengalaman saya pernah dihukum penjara
selama 13 tahun tanpa proses pengadilan. Tapi setelah itu saya mencoba untuk langsung menutup
pikiran dan perasaan saya, serta melihat kemasa depan, bagaimana pengalaman hidup nantinya
dalam masyarakat bangsa Indonesia periode Orde Baru.
http://sastrapembebasan.wordpress.com/
http://tamanhaikumiryanti.blogspot.com/
Information about KUDETA 65/ Coup d'etat '65, click: http://www.progind.net/

Putri Pahlawan Revolusi Bertemu Anak Tokoh PKI


Liputan 6 - Sabtu, 2 Oktober
Liputan6.com, Jakarta: Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober 2010 menjadi momentum bagi anak-
anak dari tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) bertemu dengan putra-putri para Pahlawan

299 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Revolusi. Mereka bersilaturahmi di Gedung Nusantara V MPR/DPR Jakarta. Putra bungsu mantan
Presiden Soeharto, Hutomo Mandala Putra, hadir dalam pertemuan tersebut.

Dengan pertemuan tersebut, mereka berharap konflik masa lalu tak berlanjut di masa mendatang.
Namun, sempat ada keraguan dari panitia untuk bisa mengumpulkan semuanya dalam satu tempat.
Soalnya, pascaperistiwa berdarah 30 September 1965, anak-anak tokoh PKI seperti tak
mendapat tempat di negeri ini.

"Masing-masing penuh tanda tanya yang saya tahu. Di batin kita pun ada tanda tanya. Saya berdoa
tadi malam, semoga semuanya lancar pada hari ini. Tidak ada yang mengganggu," kata Amelia Yani,
putri Ahmad Yani, yang juga menjadi ketua panitia silaturahmi.

Putra tokoh PKI Aidit, Ilham Aidit, berharap mendapat sesuatu yang positif adanya pertemuan
seperti ini. "Acara ini merupakan awal dari semuanya. Kita mulai melakukan silaturahmi, mulai
membuka hati, dan mulai ngobrol. Ini perlu didukung oleh lembaga tinggi negara lainnya," ujar
Ilham Aidit.
Upaya rekonsiliasi bisa menjadi momentum untuk meluruskan sejarah. Dengan suksesnya
silaturahmi dan rekonsiliasi diharapkan konflik masa lalu tak lagi diwariskan kepada generasi
mendatang.

"Kita harus mendukung kegiatan mereka. Karena mereka mempunyai prinsip bahwa mereka ingin
menghentikan konflik dan tidak ingin mewariskan konflik kepada generasi yang akan datang," kata
Asvi Warman, sejarahwan.(ULF)

Dimuat pada Koran

Tempo, 2 Oktober 2010

SUHARTO, G30S & PAHLAWAN NASIONAL


Oleh Asvi Warman Adam

Setahun sebelum lengser, tahun 1997, Suharto sempat mengangkat tiga orang jenderal termasuk
dirinya sendirinya menjadi jenderal besar (bintang lima). Sudirman berjasa sebagai bapak perang
kemerdekaan, Nasution peletak dwifungsi ABRI, sedangkan Suharto ―berhasil menyelamatkan
negara dan bangsa dari ancaman G30S/PKI‖.
Setelah tanggal 1 Oktober 1965 dalam tempo beberapa bulan terjadi pembunuhan massal yang
mencapai 500.000 jiwa. Jumlah sebanyak sebanyak itu tidak mungkin hanya disebabkan oleh
konflik horizontal di tengah masyarakat. Yang jelas semuanya diawali dengan operasi militer.
Lantas siapa yang memerintahkan ?

Apakah seseorang dapat dianggap menyelamatkan bangsa bila korban yang jatuh demikian luar
biasa jumlahnya ? Presiden Sukarno marah sekali mendengar berita ini, ia memerintahkan supaya
pembantaian ini dihentikan. Tetapi siapa yang mendengar suara seorang pemimpin tua yang sudah
digerus kekuasaannya. Kalau bukan Sukarno lalu siapa yang bertanggungjawab terhadap tragedi
nasional ini ?

―Kudeta merangkak‖ yang merupakan uraian post factum terhadap rangkaian peristiwa sejak
meletus G30S sampai keluarnya Supersemar (Surat Perintah 11 Maret) 1966 bertentangan

300 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

dengan klausul ―menyelamatkan negara dan bangsa‖. Karena ini jelas kepentingan untuk meraih
kekuasaan tertinggi, walaupun itu dikerjakan secara seksama dengan penuh perhitungan.

Tulisan ini tidak menggugat gelar Jenderal Besar yang telah dianugerahkan Suharto kepada
dirinya sendiri. Itu einmalig dan bintang itu silakan dibawa ke tempat peristirahatan yang
terakhir di puncak sebuah bukit. Yang menjadi persoalan adalah ketika nama Suharto lolos seleksi
administratif pemberian gelar pahlawan nasional. Dari 30 orang calon, 19 lolos termasuk putra
Kemusuk ini. Sebanyak 13 orang anggota tim yang dibentuk oleh Departemen Sosial termasuk
sejarawan dari Pusat Sejarah TNI akan mengkaji. Selepas ini berkasnya dikirimkan kepada
sekretariat Negara dan dinilai oleh Dewan Gelar dan Tanda Jasa. Dewan ini terdiri dari tujuh
orang yakni Menkopolkam Djoko Sujanto selaku ketua, Hayono Sujono sebagai wakil ketua, dengan
anggota TB Silalahi, Juwono Sudarsono, Quraish Shihab, Edi Sedyawati dan Jimly Asshidiqie.
Dari tujuh anggota dewan, mayoritas sebanyak empat orang pernah menjadi duduk di kabinet
sebagai pembantu Presiden Suharto. Hajono Sujono pernah menjadi Menko Kesra semasa Orde
Baru dan sampai sekarang masih memimpin sebuah yayasan yang didirikan Suharto.
Melihat kondisi di atas, maka bisa diprediksi pemberian gelar pahlawan nasional kepada Jenderal
Suharto tinggal selangkah lagi.

Pertanyaannya apakah Suharto layak ? Gelar pahlawan nasional merupakan gelar tertinggi di
negara ini yang abadi (dalam prakteknya tidak pernah dicabut). Tokoh yang berjasa sangat besar
dalam membela bangsa dan negara, mengorbankan jiwa raganya demi tanah air serta menjadi
contoh teladan bagi masyarakat, berhak memperoleh status terhormat itu.

Suharto memang berkuasa sangat lama, karena itu ia sempat membangun secara fisik negara ini.
Entah berapa gedung yang telah dibuat, berapa panjang jalan yang dibangun, terlepas dari berapa
persen proyek itu dikorupsi, namun hasil pembangunan itu memang kongkret. Namun berapa pula
kerugian yang telah diderita masyarakat yang tergusur, dirampas tanahnya atau dibeli paksa
dengan murah, demi pembangunan.

Politik regional memang berhasil, ASEAN adalah model kerjasama wilayah yang dapat meredam
konflik dan memberi peluang kepada masing-masing negara untuk menyelenggarakan pemerintahan
dengan aman. Walaupun rasa ―aman‖ justeru diperoleh dengan melakukan represi terhadap
kekuataan kritis yang ada di tengah rakyat. Kebebasan pers dipasung dan hak asasi manusia
dilanggar. Mengenai yang terakhir ini sejarah mencatat setelah pembantaian massal pasca G30S,
terjadi pembuangan paksa ke pulau Buru yang memakan korban lebih dari 10 ribu selama sekitar
10 tahun (1969-1979), pembunuhan misterius tahun 1980-an, kasus Tanjung Priok, Talangsari
Lampung, penyerbuan kantor PDIP di Jalan Diponegero tanggal 27 Juli 1996, belum lagi operasi
militer yang terjadi di Aceh, Papua (dan Timor Timur sebelum lepas dari pangkuan ibu pertiwi).
Semuanya terjadi ketika berjalan rezim yang dipimpin Jenderal Suharto.

Sang proklamator Sukarno diangkat sebagai pahlawan nasional tahun 1986, 16 tahun setelah
wafat tahun 1970. Suharto meninggal tahun 2008. Apakah ia perlu segera dinobatkan menjadi
pahlawan nasional ? Kalau pengadilan HAM berat tidak dapat lagi dilakukan, maka minimal Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi harus bekerja. Proses ini berjalan lamban karena ketidakseriusan
pemerintah dan DPR. Akhirnya Undang-Undang KKR yang sudah jadi itu pun dirubuhkan oleh
Mahkamah Konstitusi semasa dipimpin Jimly Asshidiqie. Kini RUU itu sudah dibuat kembali oleh
Kementerian Hukum dan HAM dan diserahkan kepada Sekretariat Negara. Hendaknya pemerintah
tidak menunda lagi dan segera meneruskan kepada DPR agar diproses kembali menjadi Undang-
Undang. Sebuah perjalanan yang panjang dan teramat panjang bagi sebuah pengungkapan
301 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

kebenaran. Menurut hemat saya, pemberian gelar kepada Suharto seyogianya baru diproses
setelah dilakukan upaya pencarian kebenaran oleh KKR. Sebab sekali terlanjur menghadiahi
seseorang gelar pahlawan nasional itu tidak bisa dicabut. Ironis bila pahlawan nasional adalah
sekaligus pelaku pelanggaran HAM Berat. (Dr Asvi Warman Adam, ahli peneliti utama LIPI)

Quo vadis Dahlan Iskan ? Apa byar-pet seperti PLN juga ???
________________________________
From: Edy Loekmono <esloekwwjd@yahoo.com>
To: GELORA45@yahoogroups.com
Sent: Sat, October 2, 2010 11:38:23 AM
Subject: Re: [GELORA45]

Penulisan berita Jawa Pos yang tendensius


Jawa Pos sedang menangguk di air keruh. Stigma yang telah 32 tahun di ukir rezim
fasis Suharto dengan pelanggaran HAM yang berat belum sempat diungkap didepan
pengadilan. Para korban lebih memilih diam dan memang sebagian juga sudah tidak
bisa berbicara karena telah bersatu dengan tanah. Dan filsafat Jawa mengatakan
bahwa diam itu emas. Tetapi ternyata disalah mengerti dan dimanipulasi bahwa
diam berarti benar benar salah.
Seandainya para korban fasisme Suharto ingin mengadu, mengadu kemana dan kepada
siapa? Bukankah seluruh masyarakat dan system pemerintahan di Indonesia telah
memberi judgment bahwa Bung Karno, PNI kiri dan PKI beserta lembaga terkait
adalah pihak yang salah. Dan telah di vonis diluar pengadilan sebagai
pemberontak dan pengkhianat bangsa dan Pancasila. Justru mengherankan bahwa Bung
Karno sebagai pencetus Pancasila di tuduh sebagai pengkhianat Pancasila!!!!
Bukankah terbalik bahwa yang menuduh Bung Karno sebagai Pengkhianat dialah yang
sebenarnya Pengkhianat?

Selama belum ada Pengadilan yang adil maka stigma bahwa Bung Karno dan
pendukungnya baik PNI kiri maupun PKI beserta lembaga terkait tetap akan menjadi
PEMBERONTAK dan PENGKHIANAT Bangsa Indonesia. Sekarang ini jelas masih terasa
bahwa para pendukung fasis Suharto masih berkuasa dan tetap berusaha mengusung
agenda Suharto menjadi Pahlawan, Bapak Pembangunan. Mereka ini masih diatas
angin sehingga masih bisa memberi impresi kepada rakyat Indonesia bahwa Suharto
benar dan Bung Karno dan PKI salah.

Kalau memberi judgment bahwa PKI salah maka otomatis judgment berlaku bahwa Bung
Karno salah karena dialah pencetus NASAKOM. Itulah sebabnya Bung Karno tidak
pernah di restorasi nama baiknya. Sejarah yagn ditulis dibengkokkan kalau bisa
Bung Karno hanya sebatas Proklamator (artinya yang membaca kertas
Proklamasi).Tidak disinggung lagi bahwa Bung Karno sebagai penggali Pancasila.
Karena saking phoby nya maka gelar penggali Pancasila mungkin diberikan kepada
Moh.Yamin saja yang dianggap neutral dalam hal ini.

Setelah 45 tahun banyak orang sudah mulai uzhur dan melupakan karena tuntutan
302 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

nafkah jauh lebih prioritas. Gambar masa lalu mulai pudar. Tetapi badut-badut
politikus yang memang senang dengan akrobat politik mulai menampak wajah
manisnya guna menarik simpaty masa. Salah satu contoh, siapakah yang tidak kenal
Tomy Suharto? Yang ketika jaya-jayanya Suharto turut mempraktekkan bisnis kotor.
Adakah yang masih ingat "masalah cengkeh?" Tentang Golkar, pada masa awalnya
tidak dimasukkan sebagai Partai politik namun wajah aslinya mulai nampak sebagai
bagian dari mesin penggilas fasis Suharto. Apakah rakyat masih bisa ingat ketika
Pemilu demi Pemilu Golkar selalu diatas angin? Siapakah dibelakang kekuatan ini
tidak lain dari para pembiak Dwi Fungsi ABRI. Fasisme jilid kedua akan muncul
kembali mungkin mulai dari Golkar yang akan mengusung putra mahkota jadi Wapres
dan ketua Golkar menjadi RI satu. Klik penguasa akan disekitar penguasa fasis
karena mereka telah mempelajari trik adu domba dan mempunyai backing militer dan
kedok agama.

Kasihan Indonesiaku. Para wartawan yang sekedar mencari sesuap nasi ingin
menyenangkan hati para penguasa dan takut di breidel, maka lebih mudah
lelantunkan lagu lama katimbang mengemukakan kebenaran. Segala sesuatu yang
dikatakan oleh Penguasa adalah kebenaran. Haram hukumnya kalau menentang.
Kata-kata Raja adalah hukum. Filsafat ini masih berlaku dikalangan masyarakat
Indonesia yang sangat dipengaruhi oleh kebudayaan kerajaan. Apa yang pernah di
KATA KEN dan di TEKAN KEN oleh Suharto jangan sekali-kali dibantah dan harus
diikuti. Ini seperti suatu sihir. Circle kekuasaan begitu kuatnya sehingga siapa
saja yang menentang pasti sirna atau di eliminir dari peredaran. Karena itu
MANTRA ini harus dipatahkan. Mantra bahwa Bung Karno dan PKI sebagai pecundang
harus dipatahkan. Kalau tidak maka bangsa ini tidak pernah bisa mengalami
rekonsiliasi menyeluruh. Kita tidak ingin melihat pembalasan kembali yang
akibatnya jauh lebih mengerikan. Mau tidak mau, suka atau tidak suka harus
diadakan pembeberan fakta apa itu G 30 S. Versi penguasa belum tentu versi
sesuai fakta karena semua bisa dimanipluasi demi kelanggengan penguasa.Seorang
menteri Mendikbudnas Nugroho Notosusanto telah mengubah sejarah dengan mengganti
buku pedoman pendidikan demi utuhnya persekongkolan fasisme. Bukan hari lahirnya
Pancasila yang penting tetapi Hari Kesaktian Pancasila yang dianggap lebih
penting. Ini menggeser peran Bung Karno sebagai pencetus Pancasila dan
digantikan Suharto sebagai yang mengaku menyelamatkan Pancasila dari tangan
pemberontak dan pengkhianat sehingga ditetapkan hari kesaktian Pancasila.
Mulailah dilakukan Penataran P4 (Pedoman, Penghayatan dan Pengamalan Pancasila).
Ini suatu brain washing yang berhasil ditanamkan bahwa PKI adalah pecundang dan
Suharto adalah pahlawan. Lagu ini didengungkan selama 45 tahun. Harus ada
kemauan secara nasional untuk merevisi sejarah nasional NKRI.

Bung Karno pernah berkata "JasMerah" artinya Jangan sekali-kali meninggalkan


sejarah. Kita semua adalah pelaku sejarah. Jangan sekali-kali sejarah kita
dimanipluasi orang lain demi kepentingan mereka saja. Negara ini adalah negara
seluruh anak bangsa dan masing-masing punya hak sama dimata hukum. Karena itu
HUKUM harus berlaku.

303 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Meluruskan berita yang tendesius dari wartawan atau kuli tinta harus dibalas
dengan tulisan dan fakta benar dan lurus di harian yang sama atau yang lain
untuk memberi pembelajaran massa. Rakyat Indonesia yang sudah mulai melek huruf
yang walaupun satu buta dan satu melek tetap perlu melihat dan mendengar
kebenaran, maka dengan demikian MANTRA lagu lama yang sumbang bisa di counter.

Akhirulkalam, Selamat Hari Raya Bebas G 30 S. Ketika masih muda saya harus
mengurus surat bebas G 30 S /PKI dari mulai RT/RW, kelurahan, Kecamatan, dan
Kepolisian.Sekarang saya harus mempunya keberanian bahwa memang saya telah bebas
bukan karena sepucuk surat bebas tetapi memang saya bebas dari MANTRA yang
didengungkan oleh Suharto dan para begundalnya.
SELAMAT HARI RAYA BEBAS G 30 S.

--- On Fri, 10/1/10, samashutama widjaja <smwidjaja2004@yahoo.com> wrote:

>From: samashutama widjaja <smwidjaja2004@yahoo.com>


>Subject: [GELORA45] Penulisan berita Jawa Pos yang tendensius
>To: GELORA45@yahoogroups.com
>Date: Friday, October 1, 2010, 6:11 PM
>
>
>
>Harian Jawa Pos Surabaya yang terbit 2 Oktober 2010 memuat berita yang berjudul
>"Keluarga Tragedi 65 Kubur Konflik" (halaman 1 bersambung halaman 19),setelah
>saya baca,sebagai seorang yang memperhatikan sejarah bangsa kita dan sebagai
>orang yang hidup dijamannya(meski tidak ikut terlibat didalam
>permasalahannya),merasa cara penulisan berita tersebut memanipulir fakta sejarah
>dan sangat bertendensius.
>1.Dalam memaparkan kata-kata Catherine Panjaitan tertulis "Pasukan Cakrabirawa
>suruhan Aidit",
> dan dalam menulis cerita Ilham terdapat kata-kata "pembantaian tujuh perwira
>TNI yang dikomandoi
>
> ayahnya".Ini menunjukkan bahwa si wartawan selain buta ilmu sejarah juga
>berniat jahat.
> Setelah 45 tahun berlalu,sedikit banyak telah terkuak apa sebenarnya yang
>terjadi.Analisa Ben Anderson
>
> yang dipublikasikan tahun 1971(terkenal sebagai Cornell Paper),bahwa G30S
>adalah konflik didalam
>
> Angkatan Bersenjata,sampai sekarang belum terbentahkan,dan siapa sebenarnya
>penyusun sekenarionya
>
> masih belum terkuak.Maka cara penulisan berita Jawa Pos ini adalah sangat
>bertentangan dengan etika

304 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

> ilmu sejarah dan sangat tidak ilmiah,lebih-lebih sangat tendensius.


>2.Judul disambungan berita ini pada halaman 19:"Wakili Soeharto,Tommy minta
>maaf".Sebagai seorang
>
> jurnalis saya anggap ini manupulasi 100%.Di dalam berita jelas ditulis si
>wartawan sendiri:"Saya atas
>
> nama pribadi dan keluarga mohon maaf lahir dan batin",maka perlu ditelaah
>mohon maaf dalam kontek
>
> apa,apa karena masih dalam suasana Idul Fitri?Padahal kontek beritanya jelas
>adalah tragedi 65.
>Timbul pertanyaan:Apa sebenarnya motif cara penulisan Jawa Pos ini?Apa memang
>Jawa Pos senantiasa bergaya jurnalis akrobat?
>
Kontra-Kudeta Yang Dirancang Gagal
http://berdikarionline.com/opini/20100929/kontra-kudeta-yang-dirancang-gagal.html

Rabu, 29 September 2010 | 23:38 WIB

Opini
Oleh : Rudi Hartono

TIDAK seperti biasanya ketika Bung Karno menyampaikan pidato. Ketika berpidato di hadapan
Musyawarah Nasional Teknik (Munastek), di Istora Senayan, pada malam 30 September 1965,
Bung Karno tiba-tiba berhenti dan meninggalkan podium, dan selang beberapa menit kemudian,
Bung Karno muncul kembali dan menceritakan ―Mahabharata‖, yaitu soal perang saudara Kurawa
dan Pandawa.

Ada yang mengatakan, Bung Karno saat itu sedang sakit dan pergi ke belakang untuk mendapat
suntikan dari tim dokternya. Sementara versi lain menyebutkan, Bung Karno diminta untuk
menerima sebuah informasi yang sangat penting. Apa itu? Semua masih tidak diketahui.
Pada malam itu, yang telah memutar-balikkan haluan ekonomi, politik, dan kebudayaan Indonesia
sampai sekarang ini, telah terjadi gerakan yang disebut ―Gerakan 30 September‖, demikian
pemimpin gerakan ini menamai gerakannya melalui siaran RRI pada pagi hari 1 Oktober.

305 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Sekarang ini, segala hal mengenai ―gerakan 30 September‖ masih merupakan sesuatu yang gelap
dan menyimpan misteris, meskipun ada banyak sejarahwan dan akademisi yang berusaha membuat
―terang‖ kejadian ini.
Saya hanya hendak menjelaskan satu hal, bahwa gerakan kudeta sebetulnya bukanlah pada malam
30 september itu, tetapi sudah dirancang dan dijalankan berulang kali dan kejadian pada 30
September hanya merupakan satu bagian dari rangkaian rencana kudeta tersebut.

Konteks Yang Lebih Luas

Dalam rapat pimpinan AD di Jakarta pada 28 Mei 1965, Soekarno telah mengatakan: ― Mereka
akan melakukan serangan terbatas terhadap Indonesia. Dan mereka punya teman-teman di sini‖.
Maksud Soekarno adalah kekuatan imperialisme, khususnya AS dan Inggris yang sudah lama
mengincar untuk melikuidasi kekuasannya.
Ya, sejak gejolak revolusi agustus 1945 mulai menggugurkan banyak kepentingan kolonialis, kaum
imperialis mulai menyadari, bahwa mereka bisa kehilangan apa yang disebutnya ―permata asia‖
kapan saja. Karena itu, mereka mulai melibatkan diri dalam usaha-usaha merebut kembali
Indonesia dari pengaruh kebangkitan gerakan revolusioner, yang sejak awal memang sangat anti-
kolonial.

Untuk itu, pada tahun 1947, Bank Dunia telah memberi pinjaman sebesar 195 juta dolar ke
Belanda, yang sebagian besar dipergunakan untuk menggempur Republik Indonesia. Setahun
berikutnya, pada September 1948, tangan imperialis AS dinyatakan terlibat dalam menyokong
sebuah proposal untuk membasmi ―kaum merah‖ di Indonesia.

Di akhir tahun 1950-an, terutama setelah Soekarno sukses membawa revolusi Indonesia semakin
ke kiri, intervensi AS semakin memuncak. H. W. Brands menulis dalam ―Journal of American
History‖, bahwa AS telah mengambil bagian dalam upaya ―coup‖ yang gagal terhadap Soekarno
tahun 1958.

―Sukarno berhasil menggagalkan pemberontakan di Sumatera (PRRI) yang dibantu oleh CIA
dengan 300 orang tentara Amerika, Filipina dan Tiongkok Nasionalis, lengkap dengan pesawat
udara transport dan Bomber B-26,‖ kata Brands.

Prof. George McT. Kahin dari Cornell University (AS) mengakui betapa jelas campur tangan
pemerintah Amerika Serikat dalam soal-soal politik Indonesia, karena kekhawatiran Washington
tentang kemungkinan Indonesia jatuh ke tangan komunis.
Pendek kata, pihak imperialis dan kekuatan sayap kanan di dalam negeri tidak pernah berhenti
untuk mencari segala usaha melikuidasi pemerintahan Soekarno.

Kontra Kudeta
Menjelang tahun 1965, di Indonesia telah tersebar desas-desus akan terjadinya perebutan
kekuasaan negara, yang konon dipersiapkan oleh apa yang disebut ―dewan jenderal‖, sebuah group
dari sekelompok pimpinan tentara yang tidak segaris dengan politik Bung Karno. Ada yang
mengatakan, isu ini berasal dari Waperdam/Menlu/Kepala Badan Pusat Intelijen (BPI) Subandrio,
dan kemudian tersebar hingga Soekarno dan PKI.
Berhembusnya isu seperti ini adalah sah dalam konteks saat itu, terlepas apakah itu benar atau
tidak, mengingat bahwa situasi politik benar-benar sudah pada ―titik didihnya‖ dan segala
kemungkinan bisa terjadi.
306 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Soekarno, berdasarkan kesaksian ajudannya, Bambang Widjanarko, terus mendapatkan pasokan


informasi mengenai kebenaran ―dewan jenderal‖ itu, dan memerintahkan pasukan pengawalnya
untuk langkah-langkah antisipasi untuk mengamankan keselamatan Presiden kalau muncul situasi
berbahaya.
Mungkin saja, itulah yang ditangkap oleh salah seorang komandan pasukan pengamanan presiden,
Kolonel Untung, dan diterjemahkan dalam sebuah upaya untuk menjalankan operasi ―kontra-
kudeta‖ terhadap dewan Jenderal.

Karena penjelasan ini pula, maka menjadi masuk akal bagi saya, seorang perwira berkarier
cemerlang seperti Brigjend Supardjo harus mendukung gerakan ini, meskipun dia hanya
berpartisipasi Cuma tiga hari dalam gerakan ini.

Setelah melakukan penculikan terhadap para Jenderal, pimpinan Gerakan 30 September telah
berusaha meminta kepada Bung Karno, untuk mendukung aksinya menyingkirkan jenderal-jenderal
yang berusaha menjatuhkan beliau. Namun, pada saat disodori surat pernyataan dukungan oleh
Brigjend Soepardjo, maka Bung Karno telah menolaknya.

Bung Karno telah mengambil tindakan sendiri, yaitu memberhentikan gerakan kedua belah pihak
(dengan keterangan kalau perang saudara berkobar, maka yang untung adalah nekolim). Dengan
―absennya‖ dukungan Bung Karno, maka boleh jadi ini yang menjadi penyebab kenapa Gerakan 30
September tidak memperlihatkan ―semangat menyerang‖ lanjutan, atau setidaknya mengantisipasi
serangan balik Soeharto-Nasution.

Kalaupun ada upaya disinformasi mengenai ―dewan jenderal‖, maka ini bisa dianggap sebagai
rangkaian usaha untuk menciptakan ―jebakan‖, yang nantinya dapat dipergunakan untuk
menjalankan tindakan tertentu.

“Kudeta Yang Dirancang Gagal”

Setelah membaca dokumen Brigjend Supardjo tentang ― Beberapa Pendapat Yang Mempengaruhi
Gagalnya G-30-S Dipandang Dari Sudut Militer‖, saya mendapatkan kesan bahwa memang ada
pihak dalam gerakan ini yang merancang supaya gerakan ini mengalami kegagalan. Namun, untuk
menjelaskan siapa orang itu, saya belum bisa untuk memastikannya.

Dalam dokumen Brigjend Supardjo disebutkan, menjelang pelaksanaan operasi ini, ternyata masih
banyak yang hal yang belum terselesaikan, misalnya, persiapan pasukan belum jelas, beberapa
perwira mengundurkan diri, penentuan sasaran dan gambaran pelaksanaan aksi belum jelas, dan
masih banyak lagi.
Sejak awal, menurut Brigjend Supardjo, didalam gerakan ini sudah timbul ―keragu-raguan‖, namun
segera ditimpa dengan semboyan ―apa boleh buat, kita tidak bisa mundur lagi.‖ Demikian pula
dengan kenyataan-kenyataan yang terjadi paska pelaksanaan gerakan, yang kacau balau dan tidak
sesuai dengan rencana.

Supardjo menulis, ―strategi yang dianut gerakan secara keseluruhan adalah semacam strategi
―bakar petasan‖; maksudnya, jika sumbunya dibakar di Jakarta, maka mercon-merconnya dengan
sendirinya mengikuti di daerah.
Pada kenyataannya, tahap persiapan dan penggambaran umum gerakan tidak mencerminkan
―obsesi‖ tersebut, bahkan kacau-balau saat dipraktekkan di lapangan. Sumbu yang terbakar bukan
memicu mercon di daerah, melainkan membakar ―tangan dan badan sendiri‖.

307 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Menurut saya, ada pihak-pihak dalam gerakan ini yang memang merancang ―gerakan untuk
mengalami kegagalan‖, dan selanjutnya menjadi dalih untuk mendiskreditkan kelompok-kelompok
politik tertentu.
Ada benarnya juga, setelah melihat rangkaian upaya kudeta terhadap Bung Karno sejak akhir
1950-an, bahwa ―kontra-kudeta yang dirancang gagal ini‖ dimaksudkan untuk menciptakan dalih
guna melumpuhkan Soekarno. Sebab, dengan menghancurkan PKI yang menjadi sekutu paling loyal
Bung Karno dalam melawan imperialisme, maka pemerintahan Soekarno kehilangan kaki
―penyangganya‖.
Bukankah ―Gerakan 30 September‖ telah menjadi alasan yang cukup kuat, dan sangat ditunggu-
tunggu oleh kekuatan kanan saat itu, untuk mengobarkan kampanye anti-komunis dan mencari
segala macam cara untuk melibatkan Soekarno dalam kasus tersebut, sebagai jalan untuk
mengakhiri ―pemerintahan anti-imperialis‖ ini.
Bukankah fakta menunjukkan, bahwa, meskipun Soekarno tidak cukup bukti untuk dilibatkan dalam
―G.30.S‖, tetapi sayap kanan yang dikomandoi Soeharto terus mencari usaha untuk menjerat
―proklamator bangsa ini‖, hingga mengasingkannya pada suatu tempat dan membiarkannya mati
perlahan di sana.

Pertanyaan-pertanyaan itu perlu dijawab!

MENGENANG 45 TAHUN TRAGEDI KEMANUSIAAN INDONESIA


(Bagian 1)
Setiap tahun, bulan September adalah satu bulan yang tidak bisa dilupakan begitu saja bagi
bangsa dan rakyat Indonesia. Karena, akhir bulan ini, dan awal Oktober membuat berbagai
kalangan di Indonesia teringat kembali kepada tragedi kemanusiaan 45 tahun yang lalu yaitu
dibunuhnya 6 Jenderal Angkatan Darat oleh kaum militer yang tergabung dalam Gerakan 30
September, yang menjadi alasan dan membuka kesempatan buat Jenderal Suharto menghabisi
orang-orang komunis dan golongan kiri pendukung Bung Karno. Suharto dengan licik dan tipu daya
memanipulasi keadaan dan melakukan kejahatan kemanusiaan yang tiada taranya, hingga
memuluskan jalan bagi nya buat mengambil dan merebut kekuasaan Presiden RI dari tangan Bung
Karno.bahkan secara perlahan membunuhnya. Semua itu dilakukan Suharto dengan alas an
"menumpas G30S"

Semenjak 1 Oktober 1965, Angkatan Darat dan Suharto melakukan kejahatan kemanusiaan
dengan melakukan genosida, pembunuhan besar-besaran terhadap jutaan orang yang tidak
bersalah, yang tidak berdosa apa-apa sama sekali. Di Jakarta, Jateng, Jatim, Bali, Aceh,
Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara
dan tempat-tempat lainnya di seluruh Indonesia, buminya bersimbah darah orang-orang yang
dibunuh secara kejam dan biadab karena dituduh komunis atau ada indikasi dengan komunis, dan
diberi cap sebagai "terlibat langsung maupun tidak langsung dengan G30S" yang diembel-embeli
dengan kata "PKI" di belakangnya.

Indonesia tercinta dibanjiri oleh darah dari orang-orang tak bersalah, darah bangsa Indonesia
sendiri, di mana segolongan manusia yang mengaku beragama dan berkebudayaan menjadi algojo-
algojo barbar dan bertindak melebihi serigala buas atas sesamanya sebangsa dan se tanah air.

308 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Pembunuhan besar-besaran yang dilakukan dengan pimpinan, atau pengarahan, atau hasutan
militer di bawah Jenderal Suharto dalam tahun-tahun 1965-1966 itu merupakan kejahatan yang
luar biasa besarnya terhadap peri kemanusiaan dan merupakan aib besar serta dosa maha-berat,
dan tidak bisa dilupakan begitu saja, sebab, mereka yang dibunuh ini kebanyakan adalah anggota
atau simpatisan PKI dan berbagai organisasi massa buruh, tani, nelayan, prajurit, pegawai negeri,
wanita, pemuda, mahasiswa, pelajar, pengusaha dan berbagai kalangan masyarakat lainnya, yang
jumlahnya tidak kurang dari 3 juta nyawa. Pengakuan Mantan Komandan RPKAD Kol. Sarwo Edhi
Wibowo sendiri didepan Komisi Pencari Fakta, bahwa dia sendiri dan 400 orang anak buahnya-
anggota RPKAD- telah membunuh 3 juta orang komunis. Hal ini dilakukannya ketika RPKAD
dibawah pimpinannya melakukan operasi pembunuhan atas orang-orang kiri di Jakarta, Jawa
Tengah, Jawa Timur dan Bali, mulai Oktober 65 - Januari 1966.
(Hasil investigasi yang dilakukan oleh Tim Pencari Fakta, lebih dikenal sebagai Komisi Lima yang
dipimpin oleh Menteri Dalam Negeri sat itu, Mayjen Dr. Soemarno, dengan angota-anggota
Moejoko (Polri), Oei Tjoe Tat SH, Mayjen. Achmadi (ex. Brigade XVII/TP) dan seorang lagi dari
tokoh Islam, menyebut bahwa jumlah korban pembunuhan yang dilakukan atas perintah Soeharto
sekitar 500 ribu orang. Bahkan menurut pengakuan mendiang Letnan Jenderal Sarwo Edhie
Wibowo kepada Permadi SH, jumlahnya mencapai sekitar tiga juta orang. "Itu yang ia suruh bunuh
dan ia bunuh sendiri" kata sumber ini.
(http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1998/08/26/0011.html)

Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan begitu kejam tanpa perikemanusiaan. Di Sumatra,


terutama Aceh, para korban dipenggal dan kepalanya ditancapkan diatas sepotong kayu/bambu
dan dipajangkan disepanjang tepi jalan untuk tontonan. Di Sumut, para wanita diperkosa beramai-
ramai kemudian tubuhnya dicincang dan dibuang ke kali. Di Sumbar, korban dalam keadaan hidup,
diikat dan ditarik oleh dua buah pedati/kereta lembu, hingga tubuh dan kepala bercerai berai.

Di Painan, Sumbar, seorang gadis SMP, yang melindungi ayahnya yang dituduh PKI oleh pihak
militer, ditangkap dan dimasukkan kedalam karung, diikat kemudian dilempar ke sungai dan
meronta-ronta di dalam karung sampai menghembuskan napas terakhirnya. Di Jawa, kepala atau
leher korban yang dalam keadaan masih hidup, diikat ke sebatang pohon, dan kakinya diikat
kesebuah truk kemudian truk dijalankan hingga tubuh korban hancur berkecai. Di Surakarta, para
korban diikat berjejer diatas rel kereta-api dimalam hari untuk dilindas hancur oleh keretapi
yang datang melaju. Bahkan, diceritakan, bahwa yang melakukan hal itu konon adalah pihak
punggawa dalam keraton. Di Timor Barat, korban dipancung didepan anak dan istri hingga
darahnya memercik membasahi sekujur tubuh anak dan istri yang menjadi histeria. Di Bali, para
korban yang diambil dari dalam tahanan dibunuh dan tubuh serta bagian tubuhnya dicincang,
dipotong-potong.
Sungguh, perbuatan-perbuatan biadab yang pasti saja direstui dan juga dianjurkan secara diam-
diam oleh Suharto, (karena tiada pencegahan dari Suharto), telah menelan sangat banyak korban
bangsa Indonesia yang tak bersalah, tak melawan dan tak bersenjata, di tangan militer Angkatan
Darat dan gerombolan milisia pendukung Suharto. Demikian banyaknya korban pembunuhan itu,
sampai-sampai Bertrand Russel, pemikir besar Liberalisme, menyatakan "Dalam empat bulan,
manusia yang dibunuh di Indonesia, lima kali dari jumlah korban perang Vietnam selama 12 tahun"
("In four months, five times as many people died in Indonesia as in Vietnam in twelve years")

309 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

(Perang Urat Syaraf.Kompas 9 Pebruari 2001). Dia menyebut bahwa pembunuhan massal ini
sebagai hal yang amat mengerikan yang mustahil bisa dilakukan oleh "manusia".

Di samping itu juga telah ditahan atau dipenjarakan hampir 2 juta orang yang juga sudah terbukti
dengan jelas tidak bersalah apa-apa sama sekali dalam jangka waktu yang berbeda-beda, yang
ditahan sampai puluhan atau belasan tahun, di setiap kota dan pelosok tanah air, di antaranya 12
ribu orang dibuang dan dikerjapaksakan membuka lahan, hutan belantara di Pulau Buru, di bagian
Timur Kepulauan Indonesia untuk kepentingan penguasa militer. Dan disebabkan kerja paksa di
hutan belantara itu, banyak yang mati karena malaria, busung, disentri dan kurang makan Dan
yang masih hidup, setelah bertahun-tahun, para tahanan yang ratusan ribu itu dikeluarkan dari
tahanan begitu saja tanpa proses pengadilan. Tanpa adanya proses hukum dan pengadilan atas
mereka ini, jelas membuktikan bahwa mereka semua tidak bersalah. . Mereka dilepas dari tahanan
begitu saja setelah meringkuk belasan tahun, seperti ayam yang lama dikurung dan dikeluarkan
dari kandangnya untuk mencari makan.
Disebabkan oleh pembunuhan massal dan pemenjaraan jutaan orang-orang yang umumnya adalah
pendukung Bung Karno itu, maka puluhan juta istri para korban kekejaman Suharto/Ordebaru ini
(beserta anak-anak mereka) terpaksa hidup dalam kesengsaraan atau penderitaan yang
berkepanjangan, dikucilkan oleh pemerintahan militer yang berkuasa. Bahkan, banyak di antara
mereka yang sampai sekarang , walaupun presiden sudah silih-berganti, masih tetap menderita
akibat tindakan militer warisan Suharto itu. Banyak orangtua yang pernah ditahan oleh rezim
Militer, takut mendekat kepada anak-anaknya yang telah menjadi manusia dewasa, demi menjaga
jangan sampai mereka menjadi korban intimidasi dan pengucilan masyarakat yang sudah begitu
lama diracuni ordebaru.. Dan tidak sedikit anak-anak yang takut dan tidak mengakui orangtua
mereka, karena orangtuanya pernah menjadi tapol rejim Suharto ataupun simpatisan komunis.
Kebudayaan bangsa Indonesia menjadi rusak karena politik "bersih lingkungan", suatu politik
meneruskan pembunuhan massal tanpa bedil seperti yang tercantum dalam Peraturan Mendagri
Amir Mahmud No: 32/1981, yang diskriminatif dan tidak manusiawi, yang membatasi dan melarang
semua kegiatan dan gerak orang-orang kiri, pengikut Bung Karno yang dianggap "tidak bersih".
"Karenanya, memperingati tragedi 1965 adalah perlu sekali. Sebab, menurut agama apapun di
dunia ini dan juga menurut nalar yang beradab, membunuh hanya satu orang yang tidak bersalah
saja sudah merupakan kejahatan yang mengandung dosa berat dan juga harus dihukum, maka
mengapa justru pembunuhan jutaan orang tidak bersalah itu didiamkan saja? Siapa-siapa sajakah
yang melakukan pembunuhan atau menyuruh bunuh begitu banyak orang itu? Dan siapa sajakah
yang harus bertanggung-jawab terhadap pemenjaraan begitu banyak orang tidak bersalah belasan
tahun lamanya itu? Semua ini juga merupakan aib besar sekali bagi bangsa, yang dibikin oleh
Suharto beserta para pendukungnya" (silahkan baca: Suharto bersama Orde Barunya adalah Najis
Bangsa. http://umarsaid.free.fr/))
Tentang Peristiwa dinihari 1 Oktober 1965, rasanya perlu dilakukan pencerahan, refreshing,
mengingat kembali apa yang terjadi yang merupakan titik tolak garis mundur dan kehancuran
bangsa. Sebagaimana diucapkan oleh Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng, menurut
Rakyat Merdeka Minggu, 01 Oktober 2006 di Jakarta. "Pengungkapan kembali tentang apa yang
terjadi saat itu memang perlu, Meski begitu, sejarah, terutama penggambaran suasana pada saat
itu, memang layak direnungkan. Sebab, peristiwa itu diyakini sebagai salah satu titik balik
pemerintahan Indonesia". Sadar atau tidak sadar, jubir Kepresidenan ini juga mengakui bahwa
kejadian Peristiwa 1965 sebagai titik balik pemerintah Indonesia.

310 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Apa dan bagaimana Peristiwa 1965 itu, mari sedikit kita telusuri kembali , agar ingatan dan pikiran
senantriasa segar akan sejarah yang telah melanda bumi persada 45 tahun yang lalu, yang
mengakibatkan, kerusakan dan kemunduran bangsa sampai sekarang.
Pada subuh dinihari 1 Oktober 1965, sekelompok perwira muda Angkatan Darat seperti Letkol.
Untung, Kolonel A. Latief dan Brigjen Supardjo, melalui suatu gerakan yang mereka beri nama
Gerakan 30 September, bertindak melakukan penculikan dan penangkapan terhadap para perwira
tinggi Angkatan Darat yang mereka duga tergabung dalam organisasi "dewan jenderal" yang akan
melakukan kudeta terhadap Presiden Soekarno. Penangkapan dan penculikan yang katanya untuk
menghadapkan para jenderal kepada Presiden Sukarno itu, ternyata berakir dengan pembunuhan
para Jenderal, yang jenazahnya dibuang di sumur tua yang disebut Lubang Buaya . Enam Jenderal
dan seorang Perwira menengah menjadi korban di malam naas itu. Hal ini, semua mahkluk yang
bernama manusia di Indonesia tahu, karena selama 32 tahun pihak Orba Suharto mencekokkan
kepada bangsa Indonesia-dari anak taman kanak-kanak sampai kakek-kakek- bahwa G30S yang
katanya di dalangi oleh PKI, melakukan pemberontakan dan membunuh enam jenderal Indonesia.
Semua suratkabar dilarang terbit. Radio, TV, sk.Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha yang
dikuasai militer Suharto bicara tentang kebiadaban dan kekejaman G30S dan meyiarkan segala
fitnah dan rekayasa rejim Suharto. Bahkan Orba sengaja membuat sepesial film untuk itu,
tentang kekejaman, kebiadaban dan para para korban yang "bersimbah darah" yang setiap saat
selama Suharto berkuasa diputar, dipertonton dan dijejalkan kepada publik, sehingga lama
kelamaan, karena diputar terus-terusan, publik yang apatis dan masa bodohb dan mengganggap
bahwa apa yang dipertunjukkan dan ditayangkan itu "sebagai benar".

Namun, apakah yang dipropagandakan oleh Orba itu sesuatu hal yang benar, ataukah suatu taktik
politik berupa fitnah dan rekayasa untuk memancing kemarahan rakyat, guna memudahkan
Suharto dan pihak Angkatan Darat melakukan kudeta terhadap kekuasaan Presiden Indonesia
Bung Karno?

Tidak banyak orang yang tahu, bahkan tidak pernah disiarkan atau diberitahukan kepada umum
bahwa menjelang 30 September 1965 telah datang ke Jakarta, Batalyon dari Jawa Timur, Jawa
Tengah untuk mendukung gerakan yang bakal dilangsungkan pada malam harinya. Begitu juga
Batalyon Kujang Siliwangi dari Bandung.

Siapakah yang memanggil kesatuan militer dari Jatim, Jateng dan Jabar ini ke Jakarta? Apakah
Letkol Untung Samsuri yang hanyalah Komandan Batalyon I Pasukan Pengawal Presiden,
Cakrabirawa, yang menjadi Ketua G30S serta Kolonel A. Latief yang hanyalah Komandan Brigade
Infantri 1 Kodam V Jaya? Apakah mereka berdua yang memanggil Batalyon itu? Apakah mereka
berdua begitu berkuasa hingga bisa memanggil Batalyon dari Diponegoro dan Brawijaya dengan
peralatan siap tempur ke Jakarta? Sudah pasti, tidak! Yang memanggil Batalyon dari Jatim dan
Jateng untuk mendukung Gerakan 30 September serta Batalyon RPKAD dari Bandung yang
kemudian digunakanuntuk menumpas Batalyon yang mendukung G30S adalah Panglima Komando
Strategi Angkatan Darat (Pangkostrad), yaitu Mayor Jenderal Angkatan Darat Suharto! Jenderal
Suharto yang memanggil kesatuan militer itu untuk membantu G30S itu, sekaligus memanggil
Batalyon untuk menumpas G30S. Persis seperti pemain catur yang mempersiapkan dua pion yang
berlawanan dan bermain di kedua sisi. Dua pion (biji catur) yang berlawanan, untuk saling
menghabisi, namun satu pemainnya! Disinilah kelicikan Suharto!

Selaku Panglima Kostrad, Soeharto memberi perintah dengan telegram No. T.220/9 pada tanggal
15 September 1965 dan mengulanginya lagi dengan radiogram No. T.239/9 tanggal 21 September
311 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

1965 kepada Yon 530 Brawijaya Jawa Timur dan Yon 454 Banteng Raider Diponegoro Jawa
Tengah untuk datang ke Jakarta dengan kelengkapan tempur penuh. Ketika datang ke Kostrad
diterima oleh Soeharto dan juga dilakukan inspeksi pasukan pada tanggal29 September 1965.
Sedangkan Yon 328 Siliwangi datang dengan tanpa peluru. Tanggal 30 September 1965 jam 17.00
Yon 454 diperintahkan ke Lubang Buaya untuk bergabung dengan pasukan lainnya guna melakukan
gerakan pada malam harinya.

Pemanggilan pasukan ini sesuai dengan janji dan ucapan Suharto kepada Letkol Untung. Sebelum
"gerakan" itu melancarkan aksinya, Letkol. Untung yang tidak asing bagi Soeharto, mendatanginya
dan melaporkan rencananya. Soeharto mengatakan sikap itu sudah benar. "Bagus kalau kamu punya
rencana begitu. Sikat saja, jangan ragu-ragu". Kalau perlu bantuan pasukan akan saya bantu.
Dalam waktu secepatnya akan saya datangkan pasukan dari Jawa Timur dan Jawa Tengah"
Kolonel A. Latief dalam kesaksiannya kemudian mengatakan bahwa dia mengunjungi Suharto di
kediamannya di Jl Agus Salim, Jakarta dan membicarakan soal gerakan, tanggal 18 September 65,
tanggal 28 September 65. Dan pada 29 September 65 antara jam 9-10 pagi A. Latief menemui
Jenderal Suharto di RSPAD untuk mematangkan rencana. Dan pada 30 September 65 , jam 11.00
malam hari, Kolonel Latief mengunjungi Jenderal Soeharto lagi di RSPAD Gatot Subroto untuk
melaporkan situasi "gerakan" yang bakal dimulai empat jam lagi. .

Melihat situasi dan pertemuan Kolonel A. Latief dan Jenderal Suharto sedemikian, lantas
bagaimana dan sampai di mana "kedudukan" Jenderal Suharto dalam G30S? Melihat situasi yang
demikian, maka tidak bisa dibantah bahwa Jenderal Suharto mengetahui rencana sebelumnya dan
memberikan bantuan militer kepada G30S untuk melaksanakan gerakannya. Dus, menurut
standard hukum Orba, Suharto mengetahui dan terlibat langsung dengan G30S! Dan sekali lagi,
menurut jatah hukuman Orba, yang mengetahui dan terlibat langsung dengan G30S, yaitu
Suharto, harus dihukum mati!

Dan seperti apa yang dilaporkan Kolonel A. Latief kepada Jenderal Suharto, maka dinihari 1
Oktober 1965, berlakulah penculikan dan pembunuhan atas 6 orang jenderal Angkatan Darat.
Pagi harinya, sebelum orang tahu apa yang terjadi, sebelum ada pemeriksaan, penyelidikan dan lain
sebagainya, mendengar berita tentang diculiknya para jenderal kanan Angkatan Darat itu, Yoga
Sugama yang tahun 50-an pernah dikirim oleh Zulkifli Lubis mengikuti pendidikan Intel pada MI-6
Inggris, pada pagi hari 1 Oktober 65 itu, mengaku lebih dahulu sampai di Kostrad. Sebagai
Asisten I Kostrad/Intelijen, atas kejadian pagi subuh 1 Oktober itu, serta merta Yoga Sugama
dan disokong oleh Ali Murtopo begitu saja mengatakan bahwa "hal itu pasti perbuatan PKI".

Selanjutnya, kalangan militer di bawah koordinasi Pangkostrad Mayjen. Soeharto melakukan


gerakan penumpasan sambil memperkenalkan "teorinya" tentang keberadaan PKI sebagai dalang
G30S. Isu keterlibatan PKI sebagai aktor utama G30S yang dikembangkan Soeharto ternyata
mampu menumbuhkan simpati dan dukungan kuat masyarakat terhadap gerakan penumpasan yang
dipimpinnya, apalagi setelah semua suratkabar dilarang terbit sejak 1 Oktober itu, kecuali koran
militer yaitu Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata yang merupakan terompet militer untuk
menebar luaskan teori, rekayasa serta fitnah yang diciptakan. Jam malam diberlakukan dari 6
sore sampai 6 pagi atas perintah Pangdam Jaya Letjen Umar Wirahadikusumah.

Para pengikut Soeharto membuat rekayasa tentang keberadaan anggota-anggota Gerwani dan
Pemuda Rakyat di Lubang Buaya jauh sebelum peristiwa, karena tempat itu adalah tempat latihan
Sukarelawan Ganyang Malaysia, namun ditutup sejak 26 September 1965. Dan ditebarkanlah isu

312 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

dan fitnah bahwa anggota-anggota Gerwani dan Pemuda Rakyat menyiksa para jenderal sebelum
dibunuh di Lubang Buaya.

"Sejak 4 Oktober 1965, ketika dilakukan pengangkatan jenazah para jenderal di Lubang Buaya,
maka disiapkanlah skenario yang telah digodok dalam badan intelijen militer untuk melakukan
propaganda hitam terhadap PKI dimulai dengan pidato fitnah Jenderal Soeharto tentang
penyiksaan kejam dan biadab, Lubang Buaya sebagai wilayah AURI. Hari-hari selanjutnya dipenuhi
dengan dongeng horor fitnah keji tentang perempuan Gerwani yang menari telanjang sambil
menyilet kemaluan para jenderal dan mencungkil matanya. Ini semua bertentangan dengan hasil
visum dokter yang dilakukan atas perintah Jenderal Soeharto sendiri yang diserahkan kepadanya
pada 5 Oktober 1965. Kampanye hitam terhadap PKI terus-menerus dilakukan secara
berkesinambungan oleh dua koran AD Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha, RRI dan TVRI
yang juga telah dikuasai AD, sedang koran-koran lain diberangus. Ketika sejumlah koran lain
diperkenankan terbit, semuanya harus mengikuti irama dan pokok arahan AD. Seperti disebutkan
dalam studi Dr. Saskia Eleonora Wieringa, mungkin tak ada rekayasa lebih berhasil untuk
menanamkan kebencian masyarakat daripada pencitraan Gerwani (gerakan perempuan kiri) yang
dimanipulasi sebagai "pelacur bejat moral". Kampanye ini benar-benar efektif dengan memasuki
dimensi moral religiositas manusia Jawa, khususnya kaum adat dan agama. ( Harsutejo: Jejak
Hitam Soeharto, Sejarah Gelap G30S dan Sekitar G30S http://kontak.club.fr/index.htm)
Rakyat dihasut dan dipaksa memamah biak segala cekokkan fitnah dan rekayasa pihak militer
Suharto melalui surat-kabar militer.. Rakyat tidak sempat berpikir bahwa kekuatan Batalyon
Militer yang mendukung G30S dan kekuatan Batalyon Militer yang menghancurkan G30S itu
adalah Batalyon Militer yang datang dan hadir di Jakarta pada 30 September 1965 karena
dipanggil pertelegram oleh Pangkostrad Mayjen. Suharto. Lantas, dalam hal ini, di mana dan
bagaimana kedudukan Suharto di dalam G30S? Tidakkah sesugguhnya bahwa dia bermuka dua,
atau berlayar diatas dua buah perahu? Atau seperti ditulis diatas , pemain catur yang
menggunakan dua pion yang berlawanan?
Namun, fitnah dan rekayasa yang dilancarkan Angkatan Darat dengan menanamkan kebencian,
mengalahkan segala pikiran sehat. Para pengikut dan kaum milisia yang tergabung dalam segala
macam bentuk Komando Aksi di bawah naungan Angkatan Darat dan Angkatan 66 yang dibiayai
oleh kedutaan AS di Jakarta dengan jatah 5000 nasi bungkus setiap harinya dengan mengenakan
jaket kuning, berdemonstasi mendongkel Bung Karno dan mengharu birukan kota Jakarta, bahkan
menjalar sampai keseluruh pelosok tanah air.

Api menyala. Darahpun tumpah. Ketika kemarahan dan kebencian sudah meluas, pembunuhan
massal diorganisir dan terjadi secara sangat sistematis, seiring dengan pergerakan RPKAD. Di
Jakarta-begitu juga di seluruh pelosok tanah air- rumah dan gedung-gedung yang diduga milik
anggota atau simpatisan komunis dirusak dan dibakar. Orang-orang yang dituduh komunis,
ditangkap dan diarak oleh demonstran, dan dalam keadaan tak berdaya, di tengah-tengah massa
demonstran, korban ditusuk dan dibunuh dengan pedang sedang pihak militer hanya melihat dan
menonton. (Lihat film dokumen Australia Broad Casting: Riding The Tiger).
Peristiwa pembantaian di Jawa Timur diungkapkan Soekarno dalam pidato di depan Himpunan
Mahasiswa Islam di Bogor 18 Desember 1965. Soekarno mengatakan pembunuhan itu dilakukan
dengan sadis, orang bahkan tidak berani menguburkan korban. "Awas kalau kau berani ngrumat
jenazah, engkau akan dibunuh. Jenazah itu diklelerkan saja di bawah pohon, di pinggir sungai,
dilempar bagai bangkai anjing yang sudah mati."
313 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Setiap tokoh baik dalam dan luar negeri berbicara mengenai jumlah korban pembunuhan massal
yang dibiarkan dan dijadikan alasan Suharto menghancurkan G30S itu. Setiap tokoh memberikan
data dan analisa. Namun si jago jagal Jenderal Suharto, bungkam tidak berkomentar mengenai
begitu banyaknya korban bangsa Indonesia yang dibunuh, bakan dia sendiri memerintahkan
Kolonel Jasir Hadibroto untuk "membereskan", memburu dan membunuh Ketua PKI D.N.Aidit.

MENGENANG 45 TAHUN TRAGEDI KEMANUSIAAN INDONESIA


(Bagian 2)
Sampai matinya karena kerusakan otak (gila?-pen) dan mesti dirawat oleh 40 orang dokter ahli,
Suharto tetap bungkam atas pembunuhan massal terhadap bangsa Indonesia yang dijadikannya
alasan menghancurkan G30S, dan melakukan kudeta merangkak memreteli kekuasaan Presiden R.I.
Bung Karno.
Tiga puluh dua tahun selama kekuasaan Suharto, rakyat dipaksa dan dijejali dengan sejarah
plintiran, ditipu dan diperbodoh melalui sejarah ciptaan dan karangan penjilat-penjilat Suharto.
Sekarang, setelah 65 tahun semenjak kejadian genosida bangsa Indonesia tahun 1965/1966 itu,
keadaan rakyat dan bangsa Indonesia tidak ada perobahan. Sisa-sisa kaum milisia Orba yang
bertindak semaunya, masih berkeliaran di mana-mana dan tampil dengan berkedokkan organisasi
agama, pancasila dll., melakukan terror terhadap rakyat. Kehidupan rakyat makin hari makin
bertambah sengsara. Diperkirakan, 60% rakyat Indonesia adalah melarat, berpendapatan di
bawah minimum. Sedang sebagian menjadi kaya raya melewati batas. Politikus, Kapitalis, Pejabat
dan para Menteri Pemerintah, kekayaannya makin hari makin gendut dan melambung . Indonesia
jauh melencong dari yang dicita-citakan oleh founding fathers/mothers dan pejuang
kemerdekaan.

Kekayaan Indonesia dijarah dan dibagi-bagi oleh dan untuk para penguasa. Rakyat makin
dilupakan, dianggap seolah-olah sampah yang tak tahu apa-apa, terutama mereka yang semenjak
tahun 1965 menjadi korban fitnah dan rekayasa Suharto, yang keluarganya dibunuh, ditahan
belasan tahun, dibuang, dicabut kewarganegaraannya dan dikucilkan dari masyarakat dan dibatasi
ruang hidupnya. Mereka dianggap sebagai manusia berpenyakit kusta, harus dijauhi dan dianggap
sebagai pariah.
Setelah 65 tahun, mereka satu persatu meninggal dunia dalam kepapaan, dalam kemelaratan,
tanpa sedikitpun perhatian dari pemerintah tentang nasibnya. Bahkan keturunan dan sanak
saudara mereka sampai sekarang masih hidup menderita karena politik diskriminasi Pemerintah.
Janji-janji perhatian, rekonsiliasi dan rehabilitasi cumalah lip-service, cuma hiasan bibir.
Semboyan "dari rakyat untuk rakyat" hanyalah sekedar coretan di atas kertas. Tidak heran kalau
ada seorang ibu dengan 2 anaknya rela bunuh diri karena tidak bisa membayar "hutang" yang cuma
kurang dari 2 dollar. Beginilah kenyataan Indonesia kita sekarang!
Setelah Suharto si raja fitnah dan rekayasa ditumbangkan oleh para pemuda dan mahasiswa yang
heroik, dan KH Abdurrahman Wahid menjadi Presiden RI dalam Era Reformasi, nampak sedikit
cahaya terang menyinari bumi persada. Pertama-tama sekali, beliau yang adalah Ketua dan
sesepuh Nahdhatul Ulama (NU) berani meminta maaf kepada semua korban Suharto/Ordebaru,
orang-orang komunis yang dibantai, dimana NU dan anggota-anggotanya ikut arahan Suharto
menumpahkan darah orang-orang yang tak bersalah yaitu golongan progresip yang dituduh
komunis. Keberanian Gus Dur meminta maaf kepada para korban ini sangat dipujikan. Bukan itu

314 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

saja, bahkan Gus Dur berusaha untuk menghapus peraturan-peraturan Pemerintah atau MPR yang
salah kaprah, dibuat-buat oleh rezim Suharto, guna menopang dan menjadikan Suharto sebagai
penguasa di Indonesia, seperti TAP MPRS No: XXV/MPR/1966. Banyak usaha-usaha baik lainnya
yang dilakukan Gus Dur. Akan tetapi, karena hal ini, pihak lawan politiknya tidak suka, terutama
Golkar dan cecunguk Ordebaru yang masihberkuasa di pemerintahan dan MPR. Gus Dur didongkel
dan dijatuhkan. Dinaikkanlah wakil Presiden Megawati Sukarnaputri menjadi Presiden. Pihak
reaksioner, pembela-pembela Suharto/orba berasumsi bahwa Mega bisa didikte, dan tidak akan
berbuat hal-hal yang mereka tidak sukai. Asumsi dan harapan mereka ternyata memang betul
karena Mega tidak bisa berbuat banyak. Bahkan sebagai presiden, "tidak sempat" memulihkan
nama baik Bung Karno, ayahnya, yang dengan sengaja sudah ditumpuki najis oleh Suharto. Mega
gagal dan rakyat kecewa. Akibatnya, dalam pemilu 1999, Mega tidak terpilih. SBY yang pernah
menjadi menterinya Mega dan keluar karena disebut sebagai anak kecil oleh suami Mega, dan juga
sebagai Menteri yang dipecat Gus Dur, menang Pemilu dan jadi Presiden! Dia tampil sebagai idola!
Rakyat meletakkan harapan kepada Presiden SBY, seorang militer yang gagah, ganteng dan
dianggap berwibawa dan bisa membela rakyat. Sebagai Presiden, SBY mulai mengumbar kata-kata
dan janji manis.

Tahun 1984, Eks . Komandan RPKAD Letjen. Sarwo Eddi Wibowo, pernah bertemu dengan Ilham
Aidit, putra bungsu D.N. Aidit, Ketua PKI, di puncak Gunung Tangkubanperahu Jabar. Saat itu,
kepada Ilham, Sarwo Edhi berkata mengenai pembunuhan yang dilakukannnya, bahwa dirinya
hanya melaksanakan tugas dan kewajiban pada 1965 silam yang diyakininya benar. Tapi setelah
peristiwa itu, kata Ilham, Sarwo sadar bahwa yang dilakukannya itu salah. Ilham terpana. Sarwo
mengulurkan tangan, dan tangan Ilham gemetar. Mereka bersalaman, dan berpelukan.

Perkataan, pernyataan dan uluran tangan Sarwo Edhi Wibowo kepada Ilham Aidit ini jelas
merupakan expressi, pernyataan "menyesal" dari Sarwo Edhi atas "perbuatannya" membunuhi
manusia seenaknya.

Akan tetapi, kendatipun Sarwo Edhi Wibowo "menyesal" dan menyatakan "sadar bahwa yang
dilakukannya itu salah", apakah kasus pembantaian tiga juta manusia itu bisa dianggap selesai
dengan "permintaan maaf" Sarwo Edhi Wibowo kepada Ilham?

Kasus G-30-S-1965, bukanlah kasus antar-personal. Bukanlah kasus Sarwo Edhi dan Ilham Aidit,
tetapi adalah masalah bangsa dan negara, yang harus diselesaikan secara kenegaraan pula.

Sebelum pemilihan presiden putaran terakhir pada tahun 2004, Ilham mengikuti silaturahmi yang
digagas oleh dai kondang Aa Gym, dan bertemu dengan calon presiden Susilo "SBY" Bambang
Yudhoyono.
Dalam pertemuan itu Ilham membisiki SBY tentang pertemuannya dengan Sarwo Edhi Wibowo
(yang adalah bapak mertua SBY), pada 1981 dan 1984 silam. SBY memberi respons positif.
"Dengan tangannya yang besar, dia (SBY) memegang paha kiri saya dan dia bilang kita harus
menyelesaikan masa lalu, namun dengan cara yang arif," kata Ilham. Ketika itu, SBY yang berbaju
batik dan berpeci diapit oleh Aa Gym yang bersorban dan Ilham mengenakan kemeja lengan
panjang. (Silahkan baca tulisan wartawan Bersihar Lubis: Pertemuan Sarwo Edhie-Ilham Aidit)
Pada permulaan kekuasaannya, Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudoyono, rakyat merasa
mempunyai harapan karena ucapan beliau yang akan "mensejahterakan eks. tahanan politik",
bahkan berkunjung ke Pulau Buru tempat 12.000 tapol dikerjapaksakan, diromushakan, dirodikan
oleh rejim Suharto untuk membuka hutan belantara menjadi perkebunan/ladang padi.. Akan tetapi
315 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

sayang, sampai para eks tapol Pulau Buru pada mati satu persatu seperti Pramudya Ananta Toer,
Oei Hay Djoen dll., ucapan Presiden SBY pada 1 Oktober 2006 itu tidak pernah terlaksana.

Seharusnya, momentum," permintaan maaf" Sarwo Edhi Wibowo kepada Ilham Aidit, bisa menjadi
contoh dan pendorong buat SBY melakukan rekonsiliasi para korban rejim Suharto yang jutaan
jumlahnya. Namun, sayang, SBY sebagai penguasa, nampaknya tidak punya keberanian untuk itu.
Terlalu lembek dan mengikut arus para pendukung dan pembelaOrba Suharto.Bahkan kemudian
tindakannya menjadi berbalik 180 derajat, kembali mengikuti pola pikiran dan membela Suharto
dengan mengatakan bahwa membicarakan masalah yang berkaitan dengan G30S/1965 sebagai hal
"yang tidak produktif" dan rakyat supaya jangan terjebak dengan hal itu. (Silahkan baca RM-
Online 1/10/2006).

Betapa sedih dan kecewanya jutaan Rakyat akan penyataan SBY itu. Membicarakan mengenai
derita 20 juta sanak keluarga korban rejim Suharto sebagai "tidak produktif". Nampak dan jelas
sekali bahwa Presiden dan Pemerintah, cenderung untuk nelupakan begitu saja, menghilangkan dan
menghapus sejarah yang terjadi atas bangsa dan tanah air Indonesia. Rakyat, bukan saja kecewa
dengan SBy, namun juga menjadi takut karena menganggap bahwa SBY dan Suharto adalah satu!

Yang lebih jelek lagi, dalam mengungkapkan masalah HAM, dua tahun yang lalu ada mantan
jenderal yang juga coba menghilangkan sejarah dengan mengatakan bahwa "tak ada jenderal yang
bunuh rakyatnya". Kalau boleh kita bertanya, bagaimana dengan pengakuan Jenderal Sarwo Edhi
Wibowo yang telah membunuh 3 juta jiwa? Bahkan lebih munafik lagi, ada juga Mantan Jenderal
terkenal yang juga beriktikad menghilangkan sejarah dengan mengatakan bahwa di Indonesia
tidak ada Genosida. "Kasus pelanggaran HAM berat seperti pembunuhan massal, termasuk
genocida itu seperti yang terjadi di Rwanda, Kambodja dan Nazi Jerman". Sang Mantan Jenderal
terkenal ini jelas sekali menutup mata dan menyembunyikan serta menghilangkan fakta sejarah
Pembunuhan Massal atau Genosida yang terjadi di Indonesia pada tahun 65/66. Sedangkan
Bertrand Russel, pemikir besar liberalisme, menyebut pembunuhan massal ini sebagai hal yang
amat mengerikan: "Dalam empat bulan, manusia yang dibunuh di Indonesia, lima kali dari jumlah
korban perang Vietnam selama 12 tahun." (Perang Urat Syaraf.Kompas, 9 Februari 2001). Dan
tidak ketinggalan, bahkan, Presiden Amerika Serikat Barack Obama yang dibanggakan bangsa
Indonesia karena beliau pernah dibesarkan dan bersekolah di Indonesia, mengatakan: "According
to estimates, between 500.000 and one million people were slaughtered during the purge, with
750.000 others imprisoned or forced to exile.".

Nah, bagaimana mantan Jenderal terkenal Indonesia itu menanggapi pernyataan Barack Obama
ini?
Telah banyak ditulis buku-buku, baik oleh sarjana-sarjana luar maupun dalam negeri yang
menceritakan tentang hal-hal yang berkaitan dengan Peristiwa Tragedi Nasional 1965/di
Indonesia. Ratusan, bahkan ribuan tulisan dan artikel telah muncul mengenai derita dan aniaya
yang menimpa bangsa dan tanah air di bawah rejim Suharto/Orba dan Peristiwa Pembantaian
Masal 1965. Puluhan buku hasil penelitian dan studi telah ditulis oleh banyak pakar dan
cendekiawan luar dan dalam negeri, mengenai Peristiwa 1965, kudeta Jendral Suharto,
penggulingan Presiden Sukarno dan Genosida 1965 . Baik dalam bentuk artikel, wawancara, prosa
ataupun puisi yang menggambarkan tentang derita dan sengsara rakyat dalam Peristiwa 1965.
Para sarjana dari Amerika, Belanda dan Kanada seperti Prof. Br. Ben Anderson , Dr. Mc. Vey,
Lambert Giebel, John Hughes, Dr. Henk Schulte Nordholt dan banyak lagi lainnya, semua menulis

316 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

tentang Tragedi Nasional 1965 di Indonesia. Tak ketinggalan juga Prof. John Roosa yang menulis
buku: "Dalih Pembunuhan Massal-G30S dan Kudeta Suharto" yang merupakan panduan penting
untuk generasi muda Indonesia untuk mengerti tentang Kudeta Suharto, yang coba ditutupi dan
disembunyikan oleh para pendukung dan pengikut Suharto yang masih duduk di lembaga-lembaga
pemerintahan dan kejaksaan sampai sekarang. Bahkan, seorang penulis Indonesia, Harsutejo juga
pada 2003 telah berhasil menulis dan menerbitkan hasil penelitiannya yang berjudul : "G30S --
Sejarah yang Digelapkan" -- Tangan Berdarah CIA dan Rejim Suharto".

Begitu banyaknya buku dan tulisan yang membukakan kepada bangsa dan generasi muda Indonesia
tentang Peristiwa Tragedi Nasional dan Kudeta Suharto, sampai-sampai sebuah lembaga
dokumentasi penting di Amsterdam Negeri Belanda, "Perkumpulan Dokumentasi Indonesia ", di
bawah asuhan Saudara Sarmaji (seorang yang paspor Indonesianya dicabut Suharto), telah
berhasil menyusun sebuah perpustakaan dan koleksi yang jumlahnya tidak kurang dari 231
(duaratus tigapuluh satu) judul buku dan dokumen mengenai "Gerakan 30 September 1965 dan
Dampaknya". (dari: Catatan Ibrahim Isa, Negeri Belanda)

Juga tidak bisa dilupakan segala usaha dan jerih payah Saudari Cyntha, yang ayahnya Dr.
Wirantaprawira mendapat tugas belajar di Eropah Timur (1963-1968), namun kemudian paspornya
dicabut oleh rejim Suharto hingga hampir 47 tahun terpaksa "kelayaban" di mancanegara.
Sebagai generasi muda yang lahir tahun 1983 dan hidup di luar Indonesia, Cyntha telah berhasil
mengumpulkan tulisan-tulisan mengenai "Gerakan Satu Oktober 1965" (Coupd´État ´65), yang
telah disusunnya sebagai sebuah e-Book dengan judul "Menguak Tabir Peristiwa 1 Oktober 1965 -
Mencari Keadilan ("Lifting the Curtain on the Coup of October 1st 1965 - Suing for the Justice")
Ini bisa dilihat dan dibaca dengan mengklik situs: http://www.wirantaprawira.net/pakorba/

Namun, dengan jumlah buku dan dokumen yang begitu, masih terasa belum mencukupi. Indonesia
telah terlalu lama dicekoki dengan sejarah dan plintiran fakta oleh rejim Suharto. Sepertiga abad
lamanya, setiap hari bangsa kita dijejali dongeng dan cerita rekayasaciptaan rejim Orba, sehingga
menjadi muak dan apatis dan akhirnya menjadi masa bodoh dan sebagian menganggap bahwa
semua cerita itu sebagai suatu yang benar. Generasi muda Indonesia, pewaris-pewaris masa depan
bangsa dan negara, perlu lebih banyak mengetahui, perlu lebih banyak bahan dan dokumentasi
untuk dipelajari guna menelanjangi Pemerintah sekarang dan para pejabatnya yang cenderung
untuk menghilangkan dan menghapus secara diam-diam sejarah Tragedi Nasional 1965, tentang
Pembunuhan Massal dan Kudeta Suharto.

Kita berterimakasih kepada Penerbit Ultimus Bandung yang pada 1 Agustus 2010 telah
menerbitkan sebuah buku kecil yang berjudul "Mengorek Abu Sejarah Hitam Indonesia". Buku
setebal 256 halaman ini yang diberi kata pengantar oleh Prof. Jakob Sumardjo, berisi kumpulan
informasi dan tulisan dari para ahli sejarah dan penulis-penulis lainnya sekitar 'sejarah hitam'
yang coba disembunyikan, dihilangkan dan dihapus atau ibarat "abu" yang coba disiram , coba
dimusnahkan oleh pihak penguasa. Dan abu sejarah hitam yang berserakan di mana-mana ini,
dikumpulkan menjadi satu catatan yang berkesinambungan dan dijadikan buku, agar menjadi
pegangan dan panduan kaum muda Indonesia.
Di samping menceritakan secara urutan-kronologis-tentang sejarah hitam Indonesia dari masa
sesudah Proklamasi Kemerdekaan sampai kepada wafatnya Bung Karno karena sengaja dibunuh
secara perlahan oleh Suharto, buku ini memuat sebagian kecil (lebih dari seribu nama) Daftar
Korban Genosida 1965-1968, yaitu nama para /tapol yang ditahan dan dihilangkan, dibunuh tanpa
proses hukum oleh penguasa militer, di Jabar, Jateng, Jatim, Bali, Jogyakarta dan Sumut,
317 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Sumbar, Riau serta Daftar Pemerkosaan Perempuan di Indonesia tahun 66-67 yang dilakukan oleh
Penguasa dan kakitangannya. Daftar ini diperoleh dari Bagian Data Lembaga Perjuangan
Rehabilitasi Korban Rejim Orde Baru (LPR-KROB), yang merupakan sebagian kecil dari Daftar
Genosida 65 yang oleh LPRKROB telah diserahkan kepada Komnas HAM. Setiap orang dianjurkan
untuk mendapatkan buku kecil ini sebagai pegangan guna membantah omongan yang mengatakan
"tidak ada jenderal yang membunuh rakyatnya" atau omongan yang mengatakan bahwa "genosida
itu cuma terjadi di Rwanda, Kambodja dan Nazi Jerman" tanpa menyinggung sedikitpun tentang
Pembunuhan Massal 3 juta orang di Indonesia oleh rejim Suharto. Bagi sanak saudara keluarga
para korban, mungkin bisa menemukan nama ayah, ibu, saudara atau kakeknya dalam Daftar
Genosida dan Perkosaan yang terlampir dalam buku tersebut.

Menurut Harian Sinar Harapan tanggal 10 Maret 2004, Ketua Komnas HAM Abdul Hakim Garuda
Nusantara telah mengucapkan pernyataan yang antara lain menyebutkan bahwa : "Perlu diteliti
siapa aktor dan berapa jumlah korban pembantaian 1965. Negara telah membiarkan korban
selama puluhan tahun tanpa proses pengadilan, maka negara harus minta maaf dan memberikan
keadilan pada korban".

Dan Ifdhal Kasim Ketua Komisi Nasional (Komnas) HAM dalam mimbar bebas untuk memperingati
Hari HAM se-Dunia di Kantor Komnas HAM, Jalan Latuharhary, Jakarta (Kamis, 10/12/2009).
menilai "kebijakan SBY tidak serius dalam menuntaskan kasus pelanggaran hak asasi manusia
(HAM) di Indonesia". Jadi, nampaknya, selama masih Presiden Indonesia adalah SBY, mungkinkah
bakal ada penyelidikan dan pemeriksaan atas drakula-drakula yang menumpahkan banyak darah
bangsa Indonesia dalam Pembunuhan Massal 1965? Rasanya jauh panggang dari api, karena
mbahnya drakula, si pembunuh manusia yang terbesar jumlahnya adalah Komandan RPKAD, Letnan
Jenderal Sarwo Edhi Wibowo, yang adalah bapak mertua SBY sendiri! "Jangan Sekali-kali
Melupakan Sejarah" kata Bung Karno! Karenanya, tanpa ada keberanian SBY melakukan gebrakan,
sebagai pimpinan negara untuk meminta maaf atas kejahatan kemanusiaan yang dilakukan
pemerintahan rejim Suharto, dan melakukan rekonsiliasi atas para korban rejim Suharto, rasanya
sulit bagi rakyat yang telah menderita selama 45 tahun untuk mengakui SBY sebagai pemimpin
mereka; Tidak bakal ada arti samasekali bagi rakyat yang menderita, karena mereka akan
menganggap Suharto dan SBY sami mawon!

Hendaknya, SBY berani belajar akan keberanian Paus John Paul II yang meminta maaf kepada
Dunia karena keikutsertaan Katolik atas Nazi Hitker; berani belajar atas keberanian Perdana
Menteri Australia Kevin Rudd yang meminta maaf atas perilaku pemerintahan masa lalu yang
melakukan "stolen generation atas" anak-anak Aborigin Australia; berani belajar atas keberanian
Perdana Menteri Inggris Gordon Brown, yang meminta maaf atas kesalahan pemerintahan masa
lalu yang menculik anak-anak Inggris dan membuangnya - mentransmigrasikannya- ke Australia.
Alangkah bagusnya kalau SBY mencontoh keberanian pemimpin-pemimpin dunia tersebut.
Mengingat semuanya itu, patutlah kiranya sama-sama kita hargai dan kita dukung segala usaha dan
kegiatan yang dilakukan oleh berbagai kalangan dan golongan seperti LPR-KROB, YPKP, Pakorba,
Komnas HAM, Kontras, dan organisasi-organisasi Kemanusiaan lainnya, baik di dalam maupun
luarnegeri, yang selalu menyegarkan ingatan bangsa kita kepada tragedi besar yang telah
menimbulkan begitu banyak korban. Apa yang dilakukan oleh organisasi-organisasi tersebut diatas
itu sangatlah perlu dan juga mulia bagi keseluruhan bangsa, termasuk bagi anak cucu kita di
kemudian hari. "Jangan sekali-kali melupakan sejarah", pesan pemimpin kita Bung Karno.

318 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Para korban rejim militer Suharto yang begitu banyak itu - terutama sekali yang dari golongan
kiri dan pendukung politik Bung Karno - sudah terlalu lama, semenjak 1965, mendapat berbagai
perlakuan yang melanggar HAM dari penguasa bahkan juga dari sebagian masyarakat. Mereka itu
berhak menuntut dan berjuang bersama-sama untuk memperoleh hak mereka sebagai
warganegara yang lain atau direhabilitasi sepenuhnya.

Mereka juga berhak sepenuhnya - dan sudah seharusnya pula - untuk menuntut diperbaikinya
kesalahan-kesalahan yang begitu besar dan ditebusnya dosa-dosa berat yang sudah dilakukan
begitu lama oleh Orde Baru beserta para penerusnya. Diperbaikinya kesalahan dan ditebusnya
dosa-dosa terhadap para korban itu akan mendatangkan kebaikan bagi kehidupan bangsa, yang
sampai sekarang masih tercabik-cabik, atau tersayat-sayat, sehingga melukai Pancasila dan
merusak Bhinneka Tunggal Ika. (silahkan baca tulisan A.Umar Said, Paris dalam Mengenang
peristiwa 30 September 1965 dengan judul "Korban rejim Suharto berhak dan harus menuntut
keadilan !".- http://umarsaid.free.fr/)
Kawan-kawan para korban rejim Suharto, di manapun berada, baik yang belum maupun yang sudah
tergabung dalam organisasi apapun jua, dalam mengenang, mengheningkan cipta dan memperingati
45 tahun Peristiwa Tragedi Bangsa 1965 ini, mari bersatu teguh dan harus menggunakan hak kita
sebagai bangsa Indonesia, menuntut keadilan kepada Pemerintah yang berkuasa! Jangan sampai
tertipu dengan usaha-usaha licik para penerus rejim Orba (baca Suara Pembaruan 23/9/2010)
yang ingin mengangkat Suharto sebagai "Pahlawan Nasional". Tuntaskan terlebih dahulu masalah
Peristiwa 1965 dan Pembunuhan Massal 3 juta manusia tahun 1965/1966 itu, masalah Pembunuhan
perlahan-lahan terhadap Bung Karno, Bapak Bangsa dan Pemimpin Revolusi Indonesia dan Kudeta
merangkak Suharto, Cabut TAP No. XXV/MPR/1966 dan TAP XXXIII/MPR/1967, perjelas
kebenaran sejarah Indonesia yang digelapkan selama ini, baru kemudian dipikirkan, apakah pantas
untuk menganugerahi "koruptor/maling besar, penyelundup kawakan, penjahat kemanusian
terbesar abad 20, sersan KNIL (serdadu kolonialis Belanda) yang jadi penguasa Indonesia dan
mengangkangi Indonesia selama sepertiga abad lamanya , menjadi "pahlawan nasional"?.
"Jika Suharto pahlawan nasional, maka semua koruptor dan perusak negara Indonesia ini, yang tak
lain adalah anak anak didik dan anak anak kesayangan Suharto, adalah putera putera bangsa yang
berjasa ! Karena mereka ini adalah produk dari orba selama Suharto berkuasa memerintah
Indonesia .Jika Suharto pahlawan nasional , maka sebagai konsekwensi Bung Karno adalah
dianggap penghianat Republik Indonesia , bukan pendiri dan proklamator RI, bukan penggali
Pancasila, bukan pemimpin Revolusi Indonesia, bukan ketua BPPKI dan bukan salah satu perancang
UUD 1945 . Dan Bung Karno adalah seorang berstatus tahanan atau pesakitan yang masih
dipenjara-rumahkan ! Kenyataan lebih biadab lagi, Bung Karno telah dibunuh perlahan perlahan
oleh rejim Suharto !

Konsekwensinya? Indonesia bukanlah lagi Republik Indonesia yang lahir dari Revolusi Agustus
1945 yang telah dibayar dengan waktu, pikiran, tenaga dan jiwa para founding mothers dan
fathers kita selama periode dari tahun 1928 (Sumpah Pemuda) sampai Revolusi 1945 !"
(Iwamardi-Jerman)
Mengangkat Suharto menjadi 'pahlawan nasional' adalah merupakan sebuah lelucon, dagelan-jawa
yang tidak lucu, yang bukannya membuat rakyat tertawa dan gembira tetapi muntah!!!

YTTaher

319 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Australia-30 September 2010.

Von: Barisan Merahputih


Datum: 03.10.2010 04:25:37
An: wahana-news@yahoogroups.com; GELORA45@yahoogroups.com; aswi
w.Adam; Hinu Endro Sayono
Cc: inti-net@yahoogroups.com; Dian Su; Marco Polo
Betreff: Bls: [wahana-news] Suharto, G30S dan Pahlawan Nasional

Bung Dr.Aswi Warman Adam yth.,

Secara Konstitusionil dapat diartikan, bahwa ketika Tragedi Nasional September 1965
berlangsung dan sampai dengan Penetapan MPRS yang menurunkan Presiden Soekarno dari
Jabatannya sebagai Presiden R.I., teoretis, poor teoretis dari segi ke Tatanegaraan di R.I.
Presiden Soekarno dan Panglima Tertinggi TNI ikut bertanggungjawab atas Tragedi Nasional
yang membawa Jutaan Korban Manusia. Sekali lagi,hanya poor teoretis, dari segi ke
Tatanegaraan di R.I. bisa dilihat demikian. Para Mentri dari NASAKOM, terutama dari
Agama/NU, yang memihak Militer melancarkan teror dan dengan demikian memberikan peluang
buat Militer merebut kekuasaan Negara dan merubah Haluan Negara, ikut bertanggungjawab atas
Tragedi Nasional tsb. Dan inilah kelihaan CIA dan seluruh Aparat Rahasia NATO dalam
mengorganisasi coup d'Etat di R.I., dengan sangat lihay mereka bisa mempergunakan TNI
sedemikian rupa,yang baru saja "bertempur" melawan Imperialisme Belanda (NATO) di Irian
Barat,also Patriotisme Nasional R.I. yang berkobar-kobar dan dalam waktu yang pendek bisa
membalik, melakasanakan kepentingan AS & Co., dengan melakukan pembunuhan Massal atas
Jutaan Warganegara R.I dengan Legal, dan CIA menempatkan Orang-Orang mereka dalam
kekuasaan Negara R.I.

Tentu Bung Dr. Aswi Warman Adam akan bertanya, "dimana tanggungjawab Pimpinan PKI, sebagai
salahsatu unsur NASAKOM". Menurut saya, Para Pimpinan Partai Komunis Indonesia ( PKI ),
terutama Anggota Politbiro CC PKI,bertanggungjawab terutama kedalam, kepada Anggota-
Anggota Partai dan Anggota-Anggota Ormas, yang berhubungan atau dekat dengan PKI ketika itu,
yang dijagal tanpa perlawanan apapun, dijagal ditempat tidur oleh Pasukan TNI AD dan Pemuda
NU/ANSOR dibawah Komando Letkol Sarwo Edhie.

Seyogiyanya Politbiro CC PKI mempunyai waktu. minimum 48 Jam (keadaan darurat ), hari
berikutnya setelah 30 September1965,ketika itu konflik dalam Militer sedang berjalan, untuk
merumuskan dengan tepat situasi Nasional yang sedang berjalan,merumuskan kontradiksi pokok
dalam skala nasional,dan memberikan Apelasi kepada Massa Rakyat luas, bahwa "Negara dalam
Bahaya" dan memberikan Komando kepada semua Anggota-Anggota Partai untuk berlawan dan
perlawanan tsb. akan bisa membantu Bung Karno, yang ketika itu sedang berada dalam Tahanan
para Jendral ABRI/TNI dibawah Komando Jendral Suharto. Saya yakin, seluruh kekuatan NAS
dan KOM sangat kecewa atas sikap "Penyerahan" Pimpinan Politbiro PKI ketika itu kepada
keadaan yang berlangsung, dan dalam waktu yangsama bersembunyi dibelakang punggung Bung
Karno, yang juga tidak bisa berabuat apapun, hubungan dengan Rakyat Indonesia diputus oleh
Jendral Suharto, dan yang membawa akibat yang fatal sampai hari, 45 Tahun berjalan.
Justru itu, konstatasi Bung Dr. Aswi Warman Adam, adanya "konflik horizontal ditengah
Masyarakat",tidak sesuai dengan keadaan yang sesungguhnya, yang ada yalah pembunuhan massal,

320 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

poor pembunuhan Manusia, tanpa perlawan apapun, Anggota-Anggota PKI ketika itu kehilangan
orientasi, tidak berbuat apapun.

45 Tahun para Jendral Dwi Fungsi ABRI/TNI menguasai kekuasaan Negara R.I., dengan diselingin
oleh Habibie, Gus Dur, Megawati Soekarnoputri, tiga Presiden R.I. yang tidak mampu merubah
mekhanisme kekuasaan Orde Baru para Jendral Dwi Fungsi TNI, dan experiment "Reformasi"
gagal total, ketika Jendral Susilo Bambang Yudhoyono berhasil kembali mengkonsolidasi kekuasan
Militer dalam Pemerintahan, baik di Pusat maupun di Daerah, dari Provinsi sampai kekelurahan,
dikuasai oleh Komandan Territorium dan Business TNI, bagian penting dari Dwi Fungsi TNI,
berjalan marak, diluar kontrol Exekutive, Yudikative maupun Legislative.

Hirukpikuk yang berjalan kini, mengenai Titel Pahlawan Nasional untuk Suharto, dan dibarengi
dengan kesibukan usaha Presiden SBY untuk mempromosi Iparnya Mayjen TNI Pramono Edhie
Wibowo, Panglima Kostrad ( Putra Jendral Sarwo Edhie Wibowo, penjagal Warganegara R.I
),sebagai Capres 2014, dapat dilihat mekhanisme Orde Baru para Jendral Dwi Fungsi TNI,
berada diatas kekuasaan Negara, dan Negara dan Bangsa Indonesia dijadikan booty-Hakmilik
Militer, sebagai hasil perampasan.

Justru itu, Republik Indonesia membutuhkan sebuah Pemerintahan R.I. yang mampu
mempertahankan Identitas Nasional sebagai Negara dan Bangsa Merdeka dan Berdaulat,
Pemerintahan yang mampu membentuk Perekonomian Nasional, memobilisasi dan memproteksi
seluruh Resource TanahAir, Bangsa dan Negeri, etc. untuk kepentingan Kemajuan Perekonomian
Nasional, Pemerintahan yang mampun membentuk Keamanan dan Pertahanan Nasional, keDalam
dan keLuar, sebagai syarat dari Negara Merdeka dan Bangsa Merdeka, Pemerintahan yang
mampu membela Hak Hak Kewarganegaraan Warganegaranya. Hanya dengan Pemerintahan R.I.
yang seperti itu akan bisa dibangun "State-Building" dan bisa membentuk "Nation-Building",
dalam satu wadah NKRI,tanpa konflik Ethnis yang kini terjadi hampir diseluruh Wilayah R.I.

Inilah respondse dari Tulisan Bung yang menyangkut masalah Perkembangan Negara dan Bangsa
Indonesia, 45 Tahun terakhir.
Salam

Dr.Alexander Tjaniago

Apropos: kalau mungkin, sampaikan Salam buat Pak Arbi Sanit, dan terimakasih, terakhir sering
saya temukan Tulisan-Tulisan dari Rekan-Rekan di LIPI, yang cukup menarik.
Apa perbedaan dari Indonesia sebelum 1965 dan sesudahnya? pertanyaan ini saya lontarkan dalam
kaitannya dengan pelarangan ajaran komunisme di Indonesia. Perlu diingat kembali bahwa
kebebasan berpendapat di Indonesia dijamin secara lisan maupun tulisan dalam Undang-Undang
Dasar 1945 maka pelarangan sedemikian tentunya melanggar atau dengan kata lain seolah
mengesampingkan UUD negara yang wajib dipatuhi oleh semua pihak tanpa kecuali. Kalau
sekarang komunisme dilarang di Indonesia, apakah sebelum tahun 1965 Pancasila dan UUD 1945
yang dianut oleh Indonesia berbeda?
Kalau bangsa Indonesia saat ini ditanya mengapa anda menentang ajaran komunisme, kemungkinan
besar tentu tidak dapat menjawab pertanyaan itu, kecuali mengatakan hal-hal klise yang sudah
kita sering dengar selama perjalanan rezim Orde Baru terutama dalam penataran P4 (ideologisasi
Pancasila versi Soeharto - beruntunglah generasi sekarang yang tidak perlu lagi mengikuti
penataran ini), yakni komunisme itu ateistis, anti-ketuhanan. Atau, kemungkinan yang paling nyata
321 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

adalah kemungkinan dia (rakyat) takut berbeda pendapat, padahal ia harus menyanyikan lagu yang
sama, nyanyian "Anti-komunisme". Jadilah orang Indonesia naif karena menentang komunisme
tanpa memahami perihal dan ajaran seutuhnya dari komunisme. Jadi agar rakyat Indonesia secara
keseluruhan tidak naif, komunisme di Indonesia perlu dipelajari. Karena ajaran komunisme
bukanlah merupakan makhluk menakutkan yang berwujud seperti setan atau jin. Sekolah-sekolah,
setidaknya mulai sekolah menengah atas saya kira perlu mengenalinya, dan bukan berarti untuk
kemudian menganutnya, melainkan untuk menolaknya secara sadar, maksudnya membuktikan
bagaimana ideologi ini berfungsi didalam praktiknya. Menurut pendapat saya, dengan mengenal
ajaran komunisme bangsa Indonesia justru akan memperkuat kedudukan Pancasila sebagai dasar
filsafat negara - saya percaya akan hal ini. Modal utama bagi penentangan komunisme adalah
kemakmuran rakyat. Kenapa? Karena dilihat dari sejarahnyapun ajaran dan ideologi Komunis
memang sangat menarik bagi rakyat jelata yang miskin. Hal itu bukan saja terlihat dan terasa
jelas dari propaganda ajarannya, tetapi juga karena tindakan-tindakan nyata untuk mencukupi
kebutuhan material mereka terutama memenuhi kesejahteraan rakyat seperti sekolah gratis,
kesehatan dijamin negara, pekerjaan yang layak dll. Kita ambil contoh misalnya Cina. Rakyat Cina
berjumlah lebih dari 1 milyar. Kita tak pernah dengar kelaparan dan ketelanjangan di Cina. Karena
komunisme di sana mampu memenuhi janji memakmurkan rakyatnya, untuk itulah alasannya kenapa
komunisme di Cina laku sampai hari ini. Namun, supaya tetap laku, komunisme Cina
meliberalisasikan komunismenya, seperti misalnya merebaknya kebebasan beragama dan
beribadah diseluruh dataran Cina. Jadi komunisme asli tidak ada lagi - mungkin hanya di Korea
Utara. Untuk itulah selama negara dapat memakmurkan rakyat, siapapun sebenarnya tidak perlu
takut akan bahaya laten komunisme. Justru malah kita harus mampu menjinakkan komunisme
menjadi "makhluk" baru yang bersahabat dengan kita yang bukan penganut komunisme. Dunia kita
dewasa ini bukan lagi dunianya Stalin atau Mao Zedong, namun telah menjadi zaman pendekatan
globalisasi. Yang harus dilakukan sekarang di Indonesia adalah mencabut Tap MPRS Nomor
XXV/MPRS/1966 tentang pelarangan PKI dan Ajaran Marxisme-Leninisme karena Tap ini jelas-
jelas tidak menghormati HAM dan sebagai bangsa yang besar dan lahir batin menjunjung tinggi
Pancasila sudah seharusnya menghilangkan perbedaan-perbedaan yang lahir dan tumbuh dalam
masyarakat.

salam hangat
Teddy

Bung Chan & Bung Yap yb.,

Ikut nimbrung. Saya salah seorang korban rejim Orba/Suharto, yang sampai kini 48 tahun
terpaksa "kelayaban" di Mancanegara, bukan merasa dendam kepafa rejim Orba/suharto, tapi
mencari dan menuntut keadilan. Situasi jaman sekarang sudah beda dengan tahun 60 - 70han,
dimana sumber informasi dimonopoli oleh Suharto dan AD-nya. Orang bodohpun jadi tahu, latar
belakang peristiwa GESTOK 1965 tsb (lihat http://www.wirantaprawira.net/pakorba/ dan pijit
Rubrik "Lifting the Curtain on the Coup of October 1st 1965 – Suing for the Justice"). Sebagai
korban "We can forgive - but not forget!" Kita mau rekonsiliasi, tapi pelaku termasuk dalang-
dalangnya yang masih barcokol (AD) masih tetap menakut-nakuti dengan "Bahaya laten komunisme
di Indonesia!" Bayi baru lahirpun di Indonesia, bilamana mereka mau menuntut keadilan dari
Pemerintah, bisa dianggap anak komunis! Selama Militer dan Dwifungsinya di Indonesia masih
berkuasa (sampai sekarang) - Tomy akan tetap tersenyum dan Bapaknya akan dijadikan Pahlawan

322 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

!!!!!
Salam damai,

Willy
-------Originalmeldung-------
Von: ChanCT
Datum: 03.10.2010 09:12:51
An: Tionghoa-Net
Betreff: [temu_eropa] Re: Umbar Senyum, Tommy Kagetkan Peserta Silaturahmi Nasional
Bung Yap yb,

Hahaa, senang bisa menarik bung untuk bersuara memberi komentar, setelah agak lama
tenggelam. Masih saja sibuk dengan kerjaannya, masih berada di Lampung perkebunan Kelapa
Sawit, ya?
Bagaimanapun juga masalah bunuh membunuh, bentrok-berdarah yang selama ini (kecil maupun
besar) terjadi dalam sejarah perjalanan bangsa, jangan dibiarkan lewat begitu saja. Tentu bukan
untuk diteruskan baku-hantam deengan jatuh korban yang lebih besar dan dahsyat, ... tapi
bagaimana bisa diakhiri dengan baik. Tidak berlanjut menimpa anak cucu kita lagi. Untuk itu
harus bisa secara baik mengungkap apa masalah sesungguhnya, dan, ... menjathukan HUKUMAN
pada orang-orang yang harus bertanggungjawab. Jadi, bukan sebaliknya deengan tetap
membiarkan masalah sesungguhnya tetap tertutup kabut tebal, dan tiada orang yang harus
bertanggungjawab atas peristiwa-berlumuran darah itu.

Pertanyaan saya: "Memangnya siapa yang membunuh siapa???", kemudian "Lalu siapa pula yang
anak pahlawan dan siapa pula yang anak penghianat???", tentu tidak bisa dirubah menjadi
pertanyaan yang bung ajukan: "Apakah menurut terori Bung Chan, para Pahlawan Revolusi tidak
dibunuh?" Ataupun "Apakah menurut teori bung Chan, para Pahlawan Revolusi bukan dibunuh oleh
pasukan Tjakrabirawa dan tentara pro-PKI?"

Maksud saya, peristiwa G30S yang telah menelan begitu banyak korban jiwa, baik dibunuhnya 6
jenderal + 1 Perwira tanpa proses HUKUM yang kemudian dinobatkan jadi pahlawan, maupun
jutaan rakyat tidak berdosa yang dibantai juga tanpa melalui proses HUKUM, ... adalah satu
aksi/tindakan dimana orang yang sama yang harus bertanggungjawab. Sungguh sangat prihatin dan
sedih sekali melihat ketidak mampuan aparat keamanan dan HUKUM dinegeri ini yang sampai
sekarang belum juga berhasil menjernihkan masalah, menyeret kedapan pengadilan tokoh yang
harus bertanggungjawab.

Aksi penculikan 7 jenderal yang dituduh Dewan Jenderal disubuh 1 Oktober 65 itu, yang kemudian
dibunuh dan dibuang di lubang Buaya. Jelas dilakukan oleh grup dari Yon 454 dan Yon 530 yang
didatangkan sendiri oleh jenderal Soeharto, dan anehnya pasukan didatangkan ke Jakarta untuk
peringati Hari Angkatan Perang 5 Oktober, dengan perintah perlengkapan siap-tempur. Menjadi
lebih aneh lagi, justru pasukan ini pula yang bertugas menumpas sepasukan yang jalankan G30S
itu, ...
Kemudian juga patut mendapatkan kejelasan lebih lanjut, penculikan 7 jenderal yang pada awalnya
hanya dimaksudkan untuk dihadapkan pada Presiden Soekarno sebagai Pangti, kenapa seketika
berubah menjadi "dibunuh" saja semua? Siapa sesungguhnya yang merubah dan menurunkan
PERINTAH BUNUH saja!

323 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Kenyataan selanjutnya yang lebih-lebih kejam dan sangat tidak manusiawi, adalah pengejaran,
penangkapan dan pembantaian massal yang terjadi terhadap jutaan rakyat tidak berdosa, yang
dituduh komunis dan pengikut bung Karno, dan praktis semua dilakukan juga tanpa proses HUKUM
yang benar! Lalu, siapa sesungguhnya yang harus bertanggungjawab atas terjadinya pembunuhan
massal, penangkapan dan pembuangan ratusan ribu orang sampai belasan tahun lamanya? Sedang
belasan sampai puluhan juta keluarga, istri, suami, sanak-saudara dan anak-anak dikucilkan dari
masyarakat dengan stempel "tidak bersih lingkungan , begitu banyak warga tidak berdosa harus
hidup sebagai pesakitan, lebih jelek statusnya dari warga klas-kambing, dan penderaitaan itu
berlangsung sampai sekarang setelah lewat 45 tahun. Sungguh sangat menyedihkan, ternyata
tidak seorangpun dinegeri ini yang bisa menggugat, siapa yang harus bertanggung jawab.

Itulah pertanyaan saya yang mendasar, siapa membunuh siapa? Kalau diungkap benar masalah
pembunuhan saat G30S itu, baik pembunuhan atas 7 jenderal maupun jutaan rakyat tak berdosa,
kita tarik keatas sampai mengkerucut pada seorang saja, bukan mustahil jenderal Soeharto itulah
satu-satunya orang yang harus bertanggungjawab penuh atas kejadian bunuh-membunuh ketika
itu.

Bagaimana bisa begitu?

Coba perhatikan baik-baik, Jenderal Soeharto sebagai Panglima KOSTRAD sekalipun tahu lebih
dahulu adanya rencana penculikan atas 7 jenderal dari Dewan Jenderal, tapi dia tidak lapor pada
atasannya jenderal Yani, juga tidak lakukan tindakan mencegah bahkan membiarkan rencana itu
berlangsung. Jadi, pembunuhan atas 7 jenderal itu, jenderal Soeharto tidak akan lolos juga harus
bertanggungjawab penuh.

Dan jelas, sesaat setelah G30S, di tgl. 2 Oktober 1965 itu, hakekat kekuasaan sudah berada
ditangan jenderal Soeharto. Presiden Soekarno sekalipun formal tetap menjabat Presiden RI,
sudah tidak bisa berperan sebagai Presiden, Pnaglima Tertinggi TNI lagi. Dimana jenderal
Soeharto membangkang dan menentang pengangkatan jenderal Pranoto sebagai pengganti
jenderal Yani. Dan, kalau diperhatikan pembunuhan massal terjadi dimulai setelah pasukan RPKAD,
dibawah pimpinan LetKol. Sarwo Eddie sampai di daerah Minggu ke-3 Oktober 65 di Jateng,
pertengahan Nopember 65 di Jatim dan Desember di Bali, ... menunjukkan dengan jelas bahwa
pembunuhan massal itu terjadi secara terorganisasi, setelah pasukan RPKAD sampai didaerah
membangkitkan kemarahan warga setempat untuk bunuhi orang-orang sesuai daftar nama yang
diberikan. Jadi adanya gerak aparat militer saat itu, tentu tidak luput dari sepengetahuan bahkan
perintah jenderal Soeharto sendiri. Jadi, tidak salah mengatakan jenderal Soeharto jugalah
orang yang paling harus bertanggungjawab atas terjadinya bunuh-membunuh yang sangat tidak
manusiawi itu.
Situasi memang lebih sangat menyedihkan dan memprihatinkan, karena kenyataan sudah lewat 45
tahun, sekalipun Pemerintah RI telah berganti 4 Presiden, tapi aparat HUKUM belum juga
berhasil mengungkap masalah Pelanggaran HAM-berat yang terjadi. Mengapa? Karena Pemerintah
yang berkuasa sampai saat ini tidak bebas dari bayang-bayang ORBA, pengaruh kuat jenderal
Soeharto. Belum lagi melihat kenyataan pahit, dimana badan HUKUM sudah tidak bersih dan adil
lagi, sudah kemasukan mafia dan terjadi manipulasi kasus. Dalam keadaan demikian, bagaimana
bisa memproses kasus pelanggaran HAM-BERAT jenderal Soeharto? Kasus Korupsi besar yang
dilakukan Soeharto saja, terpental balik hanya dengan mudahnya di nyatakan, bukti-bukti akurat
masih belum cukup dan dalam keadaan sakit! Sudahlah, tapi saya yakin pada satu saat, bangsa

324 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Indonesia akan bangkit dan sadar untuk menggugat dan menyelesaikan sendiri masalah
pelanggaran HAM-BERAT ini, yang telah menodai hitam jalannya sejarah bangsa ini.

Mengapa pula tidak berhasil menuntut di Mahkamah internasional? Lha, kalau diperhatikan
keberhasilan jenderal Soeharto naik kesinggasana kekuasaan dengan lebih dahulu membasmi
komunis di Indonesia itu, tidak lepas dari CIA-AS. Bagaimana bisa menuntut ke Mahkamah
Internasional, kan sama saja menyeret CIA-AS ke mahkamah Internasional, ...

Nah, sementara sekian saja jawaban saya.

Salam,
ChanCT

----- 原始郵件-----
寄件者: ouwehoer
收件者: tionghoa-net@yahoogroups.com
傳送日期: 2010年10月3日 4:47
主旨: [t-net] Re: Umbar Senyum, Tommy Kagetkan Peserta Silaturahmi Nasional

Bung Chan Yth,

Menarik sekali pertanyaan Bung Chan: "Memangnya siapa yang membunuh siapa???"

"Lalu siapa pula yang anak pahlawan dan siapa pula yang anak penghianat???"

Apakah menurut teori Bung Chan, para Pahlawan Revolusi tidak dibunuh? Apakah menurut teori
Bung Chan, para Pahlawan Revolusi bukan dibunuh oleh pasukan Tjakrabirawa dan tentara pro-
PKI?

Seandainya teori Bung Chan dkk adalah benar, bahwa Jenderal Soeharto telah melakukan
pelanggaran HAM-berat, mengapa selama 45 tahun tidak satupun manusia atau lembaga, apalagi
Negara, yang mengajukan perkara kejahatan Pak Harto di Mahkamah Internasional di Den Hague?

Jangankan persepsi dunia, setelah 12 tahun lengsernya rezim Orde Baru, persepsi bangsa
Indonesia pun tidak menuntut Pak Harto harus bertanggung jawab atas pelanggaran HAM berat.
Kalaupun ada yang berkoar-koar itu hanya segelintir musuh pendendam Orde
Baru ....

Best regards, yhg.

-------------------
"ChanCT" <SADAR@...> wrote:
Memangnya siapa yang membunuh siapa???

Lalu siapa pula yang anak pahlawan dan siapa pula yang anak penghianat???
Pertengkaran orang-tua kedua belah pihak tidak seharusnya diturunkan kepada anak masing-
masing, ... sebagaimana juga dosa/kesalahan orang tua tidak seharusnya ditanggung juga pada
anak keturunannya. Anak turunan mereka yang jelas tidak bersangkutan dengan pertengkaran
orang-tua masing-masing boleh saja duduk bersama, ... bisa saja terjadi. Itu tidak masalah.

Tapi yang namanya dosa/kesalahan yang telah dilakukan seseorang tidak bias dibiarkan lalu begitu
saja, seperti tidak pernah terjadi apa-apa, ... apalagi telah menelan begitu banyak nyawa manusia,
telah membuat jutaan manusia menderita lahir dan bathin. Satu pelanggaran HAM-berat tidak
325 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

bias dilewatkan begitu saja! Sekalipun jenderal Soeharto yang harus bertanggungjawab penuh
sudah masuk kubur, masalahnya tetap harus diungkap dimana dan bagaimana kesalahannya.
Bagaimanapun juga harus lebih dahulu dipertanggungjawabkan dan diselesaikan
secara HUKUM, menjernihkan masalah yang terjadi apa dan dimana kesalahannya.
Salam,
ChanCT

Von: gustafd
Datum: 04.10.2010 05:48:30
An: wahana-news@yahoogroups.com
Catatan kecil:

Hadir juga di acara Silaturahmi Nasional itu Svetlana, anaknya Nyoto. Poppy bukan anaknya DN
Aidit, melainkan anaknya Murad Aidit, adik DN Aidit.
Sangat benar bahwa kongko-kongko anak-anak korban tak berdosa dengan anak-anak pendosa ini
tidak boleh serta merta dianggap sudah selesai urusan masa lalu, dan dalam harmoni sejati
melangkah bersama ke masa depan. Tanpa pengungkapan yang tulus dan tuntas mengenai tragedi
nasional 1965 (G30S) tidak mungkin ada harmoni sejati yang mulus. Tuntutan pengungkapan
APA-MENGAPA dan SIAPA G30S sama sekali tidak ada dasar pikiran dendam, melainkan semata-
mata untuk mengungkapkan kebenaran. Kendati sudah sangat banyak kesaksian, tulisan maupun
lisan, dari para korban maupun pakar-pakar dalam negeri maupun luar negeri yang memaparkan
fakta-fakta nyata maupun analisis yang benar mengenai G30S, sebagian masyarakat Indonesia,
terutama para jenderal dan keturunan serta garis komandonya, berikut para birokrat dan
keturunannya tidak mengalami pencerahan untuk mampu melihat sejarah diluar kacamata kuda
mereka, sehingga tetap terpaku pada "kebenaran" versi Suharto dan rezimnya.

Saya sangat bangga melihat siswa-siswa SMA Negeri 45 dan SMA Negeri 13 Jakarta yang hadir
dan entusias ingin mengetahui fakta-fakta dari tuturan korban-korban G30S pada acara "Pekan
Melawan Lupa" di Komnas HAM tanggal 30 September yang baru lalu. Lima dari sekitar 50 siswa
yang hadir itu "mengerubuti" saya dengan rasa ingin tahu dan pertanyaan-pertanyaan yang
sangat terarah pada saat rehat. Tiga dari lima siswa/siswi itu berjilbab. Pertanyaan mereka
berkisar bukan saja pada kebiadaban di tahun 1965-1970an, melainkan juga pada penguasa-
penguasa negeri pasca Suharto.

Kalau dapat dilakukan acara serupa ini untuk semua SMA dan SMP di seluruh Nusantara maka
menurut hemat saya wktu yang dibutuhkan untuk memulihkan kecerdasan anak bangsa menuju
pemulihan martabat bangsa Indonesia akan lebih pendek. Perlu banyak prakarsa untuk itu, bukan
saja dari Komnas HAM. (gustaf dupe)
Von: gustafd
Datum: 04.10.2010 05:48:30
An: wahana-news@yahoogroups.com
Betreff: Re: [wahana-news] Suharto, G30S dan Pahlawan Nasional
Catatan kecil:

Pada Tragedi Nasional 1965 itu TIDAK ADA konflik horisontal, melainkan PEMBANTAIAN
MASSAL terhadap rakyat pendukung Presiden Sukarno yang kebanyakan adalah kader-kader PKI.

326 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Jumlah korban pembantaian pada bulan-bulan pertama pasca G30S yang terdata oleh tim pimpinan
Menteri Oey Tjoe Tat yang ditunjuk oleh Presiden Sukarno memang sekitar 500,000 orang.
Sampai akhir 1970an jumlah korban pembantaian mencapai jutaan nyawa. Tidak ada data resmi
karena tidak ada tim pencari fakta lagi yang dibentuk setelah Tim Oey Tjoe Tat. (gustaf dupe)
Von: iwamardi
Datum: 04.10.2010 07:54:49
An: GELORA45@yahoogroups.com; temu_eropa@yahoogroups.com; RKB
Betreff: [temu_eropa] Kemiripan dan Perbedaan => dalam rangka memperingati kejahatan
kudeta 1965/1966

Persamaan dan perbedaan Indonesia dan negeri negeri Amerika Latin


(AL). (memperingati dampak peristiwa berdarah 1965 dan problem jalan keluar )

Jika kita perhatikan situasi dan kondisi negeri negeri Amerika Latin (AL) dengan Indonesia, maka
banyak sekali persamaan dan juga perbedaan, tetapi secara umum, kemiripan kemiripannya lebih
menonjol dari perbedaan yang ada.

Pada dasarnya, Indonesia dan negeri negeri AL adalah negeri negeri yang disebut negeri sedang
berkembang (developing countries), satu terminologi penghalus yang diberikan oleh negeri negeri
maju , yang dulunya mereka sebut negeri terbelakang (under developed countries) , yang GNP nya
masih jauh dibawah GNP negeri negeri maju, terutama di barat. Sebagai ciri negeri berkembang
ini adalah, bila negeri ltu mempunyai resourse alam yang besar, maka ekonomi dan politik negeri
itu akan menjadi korban acak acakan, oblok oblokan dan campurtangan licik dari tangan tangan
kotor dan berdarah imperialisme dan kolonialisme sejak abad ke 16 maupun abad ke 20 dan
sampai sekarang abad ke 21 ini dalam upaya mereka untuk tetap langgeng dan lestari menyedot
kekayaan alam seperti vampire menyedot darah korbannya dan menghisap tenaga kerja yang
sangat murah, sehingga mereka dibarat bisa hidup makmur dan menimbun kekayaan hasil
penyedotan dan penindasan negeri negeri dunia ketiga sampai kempis.

Siapa yang melawan dan menentang perbuatan nista mereka niscaya akan segera dan selalu
dipojokkan dengan mengecap mereka sebagai teroris dan komunis, manusia manusia yang harus
dihapuskan dari muka dunia. Kata "komunis" dijadikan kata umpatan , kata stigmatisasi bagi
seseorang untuk mengucilkan dan membinasakan orang orang yang menganggap keadilan masih
harus dipertahankan dalam hubungan antar manusia di masyarakat. Bahkan orang orang tak tahu
apa apa, bila diinginkan untuk dibinasakan, maka dengan gampang dicap "komunis", selesai sudah,
boleh dibunuh.

Dengan upaya licik, kaum imperialis dan kolonialis ini menggunakan orang orang setempat yang
mereka sogok jasmani dan rochaninya dan menjadikan mereka menjadi OKB (Orang Kaya Baru)
dan sekaligus menjadi kacung kacung setia mereka dalam usaha terus menindas negeri jajahannya
dan menghisap SDA dan SDM negeri tersebut sampai ludes. Inilah ciri pokok politik mereka
terhadap negeri jajahan atau 1/2 jajahan mereka.

Tak aneh juga, dalam perjalanan sejarah negeri negeri AL dan Indonesia, terbentuk bermacam
macam pemerintahan yang menjadi perpanjangan tangan kaum penghisap SDA dan SDM asing ini
yang biasanya berbentuk Junta (rejim) militer dimana mana didunia ini. Usaha mengganti

327 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

kekuasaan yang anti rakyat setempat itu dengan pemerintahan yang demokratis dan pro rakyat,
biasanya kandas karena adanya intervensi yang tidak tahu malu dari imperialis dan kolonialis
melalui agen agen rahasia mereka , terutama imperialis Amerika dan Inggris (misal : pemerintah
yang syah dari Allende di Chili yang diganti oleh Pinochet, kacung militernya imperialis Amerika
dan jangan lupa pemerintah syah Bung Karno yang dbunuh pelan pelan dan digantikannya dengan
budak imperialis Suharto sejak tahun 1965/1966 ) !

Fasisme

Selain Eropa sebelum PD II, maka Amerika Latin adalah gudangnya fasisme dan diktatur militer.

Elemen elemen (bagian penyebab) pandangan dunia fasisme di Amerika Latin (menurut Spitta,
pejabat DAAD** di Mexico) adalah:

1. Tradisionisme Katholik yang berasal dari Spanyol.


2. Nasionalisme ( Peng artian yang berlebihan dari nasionalisme)
3. Kultus (pemujaan) atas Militer sebagai ideailisme pendidikan

4. Rasísme

5. Antikomunisme

** DAAD = Deutscher Akademischer Austausch Dienst = Dinas Pertukaran Akademi Jerman.

Untuk Indonesia, sepertinya tidak ada dasar dasar itu , mengingat tradisi suku suku bangsa
Indonesia sejak dulu hidup berdasarkan gotong royong, hidup bersama damai diantara macam
macam kepercayaan dan agama, saling menolong diantara mereka. Tradisi agama yang
fundamentalis baik islam (Wahabi) maupun kristen tidak menonjol seperti di AL, nasionalisme
sempit (chauvinisme) bukanlah tradisi bangsa Indonesia, kultus atas aturan militer, rasisme dan
antikomunisme, semuanya adalah asing buat rakyat Indonesia.

Mungkin karena hal hal itulah, maka usaha imperialis USA dan Inggris untuk menjadikan Indonesia
(setelah merdeka) sebagai sapi perahan mereka dengan mendirikan rejim militer di Indonesia
selalu gagal, hal ini juga karena politik Bung Karno yang tepat dalam memberikan arah Revolusi
Indonesia sejak merdeka, 17 Agustus 1945 dan dalam memberikan pendidikan karakter dan
kebangsaan yang tak kenal lelah dari beliau. Tetapi setelah adanya coup d'etat Suharto
1965/1966 , dengan me rekayasa menggunakan dalih dalih penipuan akan kekejaman kaum komunis
membunuh para pahlawan dan menyiksa mereka dilubang buaya, kemudian menyebarkan bahwa
komunis = anti agama islam, menyebarkan chauvinisme, bahwa keturunan Tionghoa adalah
penyebab kekacauan ekonomi sehingga berakibat rasisme yang timbul di Indonesia, dan kemudian
penyebaran tiap hari berita atau suara anti komunisme secara histeris, maka klop, terciptalah
syarat syarat untuk membentuk rejim fasis militer di Indonesia , periode 1965/66 sampai 1998 !
Syarat syarat yang tertulis diatas terdiri dari 5 butir, yang disimpulkan oleh Spitta, pejabat
DAAD Mexico itu telah dari tidak ada menjadi ada !

Degan begitu sempurnalah sudah syarat syarat dan alasan kaum neoimperilis untuk membentuk
junta militer di Indonesia tahun 1965/1966 bagi Suharto & Co. yang bisa berumur 32 tahun , jauh
lebih lama dari rejim militer manapun didunia !
Untuk membangun dan membentuk dan mempertahankan pemerintahan rejim dikatatur orba
Suharto ini , tak segan segan para militer dan ekonom ekonom Indonesia ini membunuh, menyiksa

328 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

dan menindas bangsanya sendiri, orang orang tidak bersalah dengan mengecap mereka komunis
atau simpatisan komunis ! Satu bentuk sablon yang diterima dari tuan tuan mereka kaum
neoimperialis, cara menyisihkan lawan lawan politik mereka yaitu dengan menyebarkan teror lahir
dan bathin, physisk dan psychik terhadap rakyat Indonesia, agar selalu serba ketakutan!
Perbuatan biadab yang tak ada taranya dalam sejarah bangsa indonesia ini !

Kemiripan

Selain mempunyai resource kekayaan alam dan tenaga kerja yang murah, Indonesia mirip sekali
dengan negeri negeri AL dalam sejarahnya, yang sejak lama (abad ke 16-17) menjadi koloni negeri
negeri Eropa. Persamaan yang paling pokok adalah bahwa negeri negeri itu merupakan negeri
kaya raya akan resource alam yang berlimpah limpah. Kesamaan lainnya juga, bahwa kaum
intelektil mereka kebanyakan dididik di USA, juga calon calon perwira dan pimpinan Angkatan
Perang , kebanyakan adalah didikan dan lulusan USA.
Maka sudah menjadi jargon umum dinegeri negeri Indonesia dan AL selama periode diktator
militer, bahwa secara simbolis yang berkuasa adalah Westpoint dan Berkeley Mafia, Westpoint
adalah tempat US Military Academy, sedangkan Berkeley adalah tempat Universitas, dimana para
calon calon ekonom digembleng.

Maka untuk menguasai resource alam yang luar biasa itu, kaum neoimperialis USA (bukan kaum
progresif dan rakyat USA umumnya !) mempersiapkan manusia manusia dari negeri setempat
untuk menjadi penguasa dan ahli ekonomi negeri negeri masing masing , yang menuruti kehendak
kaum neoimperialis ini. Hasil usaha mereka yang dipersiapkan berpuluh puluh tahun ini kita lihat
sendiri: di Indonesia, selama 32 tahun + 12 tahun sampai sekarang, USA dan modal asing
lainnya dengan aman dan tenang telah dan terus mengeduk dan menyedot kekayaan alam menurut
pola yang mereka ingini tanpa adanya gangguan apapun. Perusahaan perusahaan seperti Freeport
dan lain lainnya, secara leluasa mengeduk dengan aman kekayaan alam Indonesia tanpa adanya
perlawanan dari pihak Indonesia.

Begitupun dinegeri negeri AL, semua mengalami nasib sama seperti Indonesia,
Chili,Venezuela,Mexico,Ecuador,Peru,Argentina,Brasilia ,Bolivia dan lain lainnya, hampir semua
negeri negeri di AL ! Blue print ( atau lebih baik sablon atau resep) nya gampang saja : Diktatur
Militer plus para "pakar" ekonomi titik !

Di Indonesia: Suharto + (Emil Salim, Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana dll.) adalah resep mujarab
untuk Indonesia yang pada pokoknya masih prinsip mereka berjalan terus sampai sekarang,
dimana neo imperialis dunia masih dengan tenang tenang menyedot kekayaan alam Indonesia, hal
yang sangat bertolak belakang dengan pasal 33 UUD 1945 !
Prinsip dan resep neoimperialis ini juga "berhasil" dengan "sukses" dijalankan di AL sampai detik
dimana di Venezuela ada Chavez, di Bolivia ada Morales, di Ecuador ada Correa, di Argentina ada
suami-isteri Kirchner, di Brasilia ada Lula da Silva dan lain lainnya.....
Perbedaan

Mereka mereka ini, para pemimpin AL, walau kebanyakan ( tidak semua !) adalah juga hasil cetakan
sekolah militer atau ekonomi USA, achirnya mempunyai pikiran dan jiwa yang bersih dari sifat
serigala yang serakah, mempunyai jiwa, rasa dan pikiran yang patriotis, otaknya berjalan dan
berani memikir sendiri, mengapa negeri dan rakyat mereka tetap atau makin terbelakang, makin
melarat, sedangkan kekayaan alam negeri mereka sangat berimpah limpah.

329 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Dalam waktu yang relatif singkat, mereka bisa menyimpulkan, bahwa kaum neo imperialislah yang
menjadi penyabab keterpurukan, keterbelakangan dan kesengsaraan rakyat dan negara mereka !

Tindakan tindakan drastis mereka lakukan : pengembalian kekuasaan atas sumber kekayaan alam
dan kedaulatan atas negeri mereka rampas dan kembalikan ketangan negeri dan rakyat masing
masing.

Perusahaan perusahaan dan modal asing tidak lagi leluasa semaunya menyedot kekayaan alam dan
mengatur ekonomi mereka, kesejahteraan rakyat setempat menjadi perhatian utama dari
kebijaksanaan pemerintah. Semuanya ditata dan diatur kembali dengan aturan yang
menguntungkan rakyat setempat. Dan semua ini dilakukan oleh pemerintahan yang dipimpin oleh
orang orang patriotis yang memunyai rasa cinta terhadap tanah air mereka ! Baik orang orang
yang memang dari semula melawan beradanya dominasi modal asing maupun oleh orang orang
didikan USA tetapi yang patriotis dan berpikiran jernih, tidak kotor !
Perombakan besar besaran ini terjadi di AL saat ini, tetapi mengapa, di Indonesia tidak ???
Mengapa para "pemimpin" Indonesia tetap mempunyai pikiran kotor yang membusuk, yakni hanya
berlomba memikirkan kepentingan sendiri dan para kroni mereka ? Mengapa di Indonesia seakan
berlaku hukum inertia (kekekalan) energi seperti di ilmu Fisika ?

Jadi bagaimana penyelesaian problem keterpurukan bangsa dan negara Indonesia ini ?

Saya mengambil jawaban atas pertanyaan ini dari sebab bahwa rakyat Indonesia terlalu
mencekam kebudayaan feodalisme jauh lebih hebat dari rakyat rakyat negeri AL. Kebudayaan
yang "nuwun sendiko" , "sumonggo kerso" *) atau kebudayaan ABS **) yang sangat berracun dan
sangat mudah kemasukan propaganda palsu dari atas.

Misalnya semua propaganda palsu rejim orba sampai rejim reformasi ini, yang semuanya pada
dasarnya mengabdi kepentingan modal asing dan para penguasa, kepanjangan (sambungan) tangan
kaum neoimperialis modal asing !

Sedang para elite politik dan militer Indonesia sedang kemaruk(mumpung) berfoya foya diatas
kemelaratan dan kesengsaraan rakyat Indonesia, tradisi yang ditinggalkan rejim orba dan sukar
dihilangkan dari otak mereka.

Sebab sebab lain atau perbedaan perbedaan lain antara rakyat dan sikon Indonesia dan AL saya
belum bisa menemukan !

Mungkin ada dari para pembaca yang bisa memberipencerahan atau pendapat tambahan ?
Saya sangat menunggunya. Terima kasih sebelumnya !
*) nuwun sendiko = menurut ucapan(kata) tuan --> ucapan meng"ya"kan kawula terhadap tuannya.
sumonggo kerso = terserah maunya tuan
**) ABS = asal bapak senang
salam

iwamardi

330 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

.
Bersama Hakim-Hakim Mahkamah Konstitusi RI: Dr. Hamdan Zoelva, SH., MH (kiri) dan Dr. H.M. Akil Mochtar, SH, MH (kedua dari kanan
disamping Dr. Willy R. Wirantaprawira, LL.M.) Frankfurt, Jerman 01.10.2010

Mahfud MD : Negara Seakan Tidak Hadir


Negara seakan tidak hadir. Demikian penilaian Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD,
menggambarkan berlarut-larutnya berbagai kasus kekerasan di negeri ini. Penegakan hukum, yang
diharapkan menjadi penyelesai konflik di masyarakat, justru memunculkan ketidakadilan.

Ketidakadilan itu bukan cuma terjadi pada perlakuan aparat penegak hukum kepada masyarakat
dan penguasa/pengusaha, melainkan juga pada putusan pengadilan. Tidak sedikit rakyat kecil, yang
terpaksa melakukan tindak pidana, dihukum lebih berat dibandingkan pelaku korupsi yang jelas
merugikan negara.
Sosiolog hukum dari Universitas Islam Indonesia (UII), Suparman Marzuki, dari Yogyakarta,
Minggu (3/10), mengakui, maraknya kekerasan massa belakangan ini disebabkan akumulasi
kekecewaan rakyat atas tidak berjalannya penegakan hukum formal. Orang lalu mencari jalan
sendiri karena jalan hukum di negeri ini tak menyelesaikan persoalan. ‖Jalan penyelesaian institusi
penegakan hukum justru memunculkan masalah baru, ketidakadilan baru, kekerasan baru,‖
katanya.

Kekecewaan itu kian menumpuk karena selain mengalami ketidakadilan dalam bidang hukum, kata
Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Masdar Farid Mas‘udi, rakyat juga didera

331 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

kesulitan ekonomi. Tingkat pengangguran dan kemiskinan di negeri ini sampai kini masih tinggi.
Masalah itu tidak bisa diselesaikan dalam waktu singkat, tetapi harus ada langkah nyata yang
dilakukan pemerintah.
Bahkan, ketidakadilan itu semakin terasa jika sinyalemen dari Kepala Badan Pertanahan Nasional
(BPN) Joyo Winoto benar adanya. Saat berkunjung ke Redaksi Kompas, pekan lalu, Joyo
memperkirakan 56 persen aset negeri ini dikuasai oleh hanya 0,2 persen penduduk. ‖Data ini
memang masih bisa dikaji lagi,‖ katanya saat itu.

Namun, BPN memang mencatat penguasaan petani terhadap lahan di negeri ini semakin merosot.
Di sisi lain, ada 7,3 juta hektar tanah milik perusahaan yang justru ditelantarkan.

Kondisi ini, kata sosiolog William Chang, menimbulkan frustrasi sosial di masyarakat (Kompas,
1/10). Kondisinya kian memburuk karena penyelenggara negara bukan memperbaiki, malah
berperilaku koruptif yang memperburuk keadaan.
‖Pejabat publik yang koruptif, kotor, destruktif, dan tak memiliki komitmen memperjuangkan
rakyat harus dicopot. Pemimpin harus tegas dan berani mengganti mereka dengan yang bersih,
memiliki integritas, serta bersedia berkorban demi perbaikan bangsa,‖ imbuh William.

Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar Akbar Tandjung mengakui, kekerasan yang terjadi
belakangan ini disebabkan oleh keresahan di masyarakat. Faktor pemicunya amat beragam.
‖Konflik tidak mungkin dihindari sehingga harus dikelola agar jangan sampai mengganggu sendi-
sendi kehidupan bersama,‖ katanya.

Pertobatan elite
Mahfud mengaku heran kasus kekerasan di negeri ini bisa berlarut-larut. Ia mencontohkan
sejumlah warga Ahmadiyah di Mataram, Nusa Tenggara Barat, yang sampai kini masih mengungsi.
‖Ini hak asasi orang. Bayangkan kalau Anda yang diperlakukan seperti itu, diusir dari rumah
sendiri. Keluar takut. Seakan-akan negara tak ada di situ,‖ katanya.
Ia menduga berlarut-larutnya penanganan kekerasan di masyarakat dikarenakan tak adanya
ketegasan aparat penegak hukum, padahal aturannya jelas.
Marzuki meminta pemerintah membenahi institusi penegakan hukum, seperti Kejaksaan dan Polri,
serta kultur di dalamnya. Polri sebagai gerbang peradilan pidana masih didominasi kultur
militeristik dan kekuasaan.

‖Transformasi kultural polisi sangat lamban. Semua persoalan diatasi dengan kekerasan, dengan
cara menangkap dan membungkam. Hal semacam ini harus dibenahi. Penyelesaian harus dengan
memerhatikan konteks dan variabelnya,‖ katanya.

Sebaliknya, Masdar menilai penegakan hukum dan pertobatan elite dari perilaku yang melukai hati
rakyat menjadi solusi jangka pendek yang harus segera dilakukan untuk mengatasi kekerasan
akhir-akhir ini. Tanpa kedua hal itu, dikhawatirkan rakyat makin frustrasi sehingga kekerasan
meluas dan sulit diatasi.
Menurut Masdar, akar kekerasan yang merebak akhir-akhir ini ada tiga hal, meliputi kesulitan
ekonomi yang makin mengimpit rakyat, melemahnya keteladanan dari elite, serta penegakan hukum
yang lemah.

332 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

‖Ketika sebagian rakyat hidup susah, pada saat yang sama rakyat justru melihat banyak pejabat
menyalahgunakan wewenang, korupsi, dan memperkaya dirinya, tanpa memerhatikan rakyat yang
seharusnya dilayani. Ini diperparah dengan penegakan hukum yang lemah dan melukai rasa
keadilan rakyat,‖ katanya.
Untuk mengatasi masalah itu, butuh usaha keras dari berbagai pihak dan waktu lama. Karena itu,
yang paling bisa segera dilakukan adalah menindak tegas pelaku kerusuhan dan perubahan watak
kepemimpinan di antara elite bangsa. Semua elite politik dan pemerintahan memperbaiki diri
dengan pertobatan nasional.
‖Semua pejabat publik harus beristigfar dan bertobat. Sadar hidup ini tak selamanya. Mereka
harus menyadari, Tuhan yang mereka sebut-sebut dalam sumpah dan janji akan meminta
pertanggungjawaban,‖ kata Masdar.
Ia mengingatkan lagi, ‖Pejabat publik diberi kewenangan dan digaji oleh rakyat bukan untuk
membohongi dan melukai hati rakyat. Mereka harus melindungi hak dan melayani rakyat.‖
Senada, William pun mengatakan, ‖Perlu dilakukan pembersihan total pejabat di tingkat pusat
hingga daerah. Penduduk Indonesia lebih dari 230 juta jiwa dan banyak putra bangsa yang bersih
dan memiliki integritas.‖

Kesejahteraan rakyat
Ketua DPR Marzuki Alie mengajak pemerintah, dunia usaha, dan komponen bangsa lainnya bersama
DPR dan lembaga lainnya mempercepat terwujudnya kesejahteraan rakyat. Itu penting untuk
mencegah terjadi frustrasi sosial di masyarakat dan menghilangkan kekerasan yang merebak
selama ini.

Kesejahteraan rakyat dapat diwujudkan dengan perbaikan ekonomi dengan penciptaan sebanyak-
banyaknya lapangan kerja dan penegakan hukum. ‖Sekarang adalah bagaimana mempercepat
tercapainya kesejahteraan rakyat dengan mengatasi kemiskinan dan meminimalisasi pengangguran.
Tak ada cara lain kecuali meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar-besarnya dengan diikuti
pemerataan yang adil-adilnya,‖ kata Marzuki Alie.
Menurut Marzuki Alie, hal itu bukan hanya kewajiban pemerintah dan DPR, melainkan juga
tanggung jawab dunia usaha dan masyarakat lainnya, apalagi selama ini masih banyak potensi
bangsa, termasuk kaum muda, yang terabaikan. (ato/nwo/ana/har/why/tra)

sumber : Harian Kompas


Von: awind
Datum: 04.10.2010 11:35:39
An: nasional-list@yahoogroups.com
Betreff: [nasional-list] Mengakhiri Dendam Sejarah
Yang lebih penting ialah Pemerintah/Penguasa seharusnya mengakui bahwa sejak bung Karno
digulingkan telah terjadi kekerasan negara atas warganya. Untuk itu penguasa/pemerintah harus
minta maaf kepada warganya yang telah menjadi korban kekerasan negara tersebut. Apa yang
terjadi sampai dewasa ini ialah penguasa/pemerintah tidak mau mengakui bahwa negara telah
melakukan kekerasan terhadap warganya. Jerman sewaktu Nazi berkuasa sampai dewasa ini bila
dijumpai dan dibuktikan seseorang pada saat Nazi berkuasa ikut melakukan kejahatan yang luar
biasa masih tetap terus diadili.Istilah ke daluwarsa atas kejahatan negara atas warganya tidak
333 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

ada. Kita jangan terus mengelak misalnya dengan mengatakan bahwa itu kan Jerman, kita kan
lain Indonesia. Masalah kemanusiaan di mana-mana sama apakah itu di Eropa, di Afrika dls.
berlaku sama. Karena itu terhadap setiap pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan itu harus
diadili.
http://www.balipost.com/mediadetail.php?module=detailrubrik&kid=2&id=4387

» Surat Pembaca

04 Oktober 2010 | BP

Mengakhiri Dendam Sejarah


Membaca berita Bali Post edisi Kamis, 30 September 2010 kita bisa bersama mengambil pelajaran
dari keluarga Pahlawan Revolusi dengan keluarga PKI untuk mengakhiri konflik yang telah terjadi
pada masa orangtuanya. Memang dendam sejarah itu sulit dilupakan, tetapi kedua belah pihak
mampu untuk berdamai. Peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang telah berlangsung 45 tahun
silam sampai saat ini masih menjadi misteri.
Ketika sejarah menjadi alat legitimasi kekuasaan banyak hal yang mungkin mengalami distorsi. Ada
fakta sejarah yang ditutupi, sebaliknya ada pula yang ditonjolkan melebihi porsi yang sebenarnya.
Mungkin kita sudah ketahui bersama pada masa pemerintahan Orde Baru sejarah dikendalikan
sedemikian rupa yang sudah tentu untuk meligitimasi, dan membangun kekuasaannya.

Sejak runtuhnya rezim Soeharto banyak rakyat kecil, pelaku, dan saksi sejarah tragedi G-30-S
1965 menggugat kebenaran Buku Putih Gerakan 30 September: Pemberontakan Partai Komunis
Indonesia, dan film tragedi G-30-S/PKI (versi Orba) yang diputar setiap tahun. Mereka pun
mengeluarkan buku baru, sehingga sejarah pun menjadi polemik yang dulunya seragam kini
beragam.

Khrouchtchev mengakui bahwa sejarawan adalah ''satu kelompok yang bisa mempertanyakan
legitimasi penguasa''. Lebih lanjut E.H.Carr mengatakan, sejarah itu merupakan dialektika antara
masa lampau dengan masa sekarang, dialog yang tidak berkesudahan antara sejarawan dengan
sumber yang dimilikinya. Bila ditemukan fakta baru, sejarah itu bisa mengalami revisi. Jadi tidak
ada tulisan/buku sejarah yang final. Dalam kasus G-30-S 1965 pun sebetulnya tidak ada
interpretasi akhir dan tunggal terhadap peristiwa tersebut.
Kita yang hidup di zaman sekarang hendaknya bisa mengambil hikmah/pelajaran apa yang
dilakukan oleh keluarga Pahlawan Revolusi dengan keluarga mantan anggota PKI beberapa hari
yang lalu untuk mengakhiri konflik yang pernah terjadi di masa lampau lewat silaturahmi. Jadi
generasi sekarang bila memiliki permasalahan hendaknya jangan terus memelihara dendam
sejarah tersebut yang tidak akan kunjung berakhir, semakin membesar masalah, dan tidak baik
dalam menjaga keutuhan NKRI yang kita cintai bersama.

I Kadek Widya Wirawan, S.Pd.


Br. Pacung, Desa/Kec. Baturiti, Kab. Tabanan

334 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

http://internasional.rakyatmerdeka.co.id/news.php?id=5489
Putu Oka: Kabarnya, SBY Mau Juga Berbicara Soal Peristiwa 1965
Senin, 04 Oktober 2010 , 10:24:00 WIB

PUTU OKA SUKANTA


RMOL. PADA waktu rehat dalam acara Peringatan 45 Tahun Tragedi Nasional 1965, yang digelar
di Diemen, Belanda, Sabtu (2/10), sastrawan juga aktivis kemanusiaan yang pernah diasingkan ke
Pulau Buru oleh rezim Orde Baru, Putu Oka Sukanta berkesempatan diwawancarai oleh A.Supardi
Adiwidjaya, koresponden Rakyat Merdeka dan Rakyat Merdeka Online di Belanda. Berikut ini
petikannya.

Suatu kenyataan, sudah 45 tahun kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 tidak dituntaskan.
Bagaimana pendapat anda?
Saya berharap bahwa pemerintah mau membuka mata lebih lebar, mau mendengarkan suara hati
orang-orang yang sempat menjadi korban tragedi kemanusiaan 1965-66. Yaitu mungkin dengan
mengakui, bahwa negara memang pernah melakukan kekerasan terhadap rakyatnya. Dan sekarang
diharapkan juga, pemerintah bisa menindak lanjuti untuk mengembalikan hak-hak mereka yang
sudah tersempat terkoyak-koyak akibat peristiwa tersebut.

Mantan Presiden Gus Dur sudah sempat memulai mencoba menyelesaikan persoalan apa yang
disebut orang-orang terhalang pulang di luar negeri, karena dicabut paspornya. Tapi ternyata
usaha beliau itu gagal. Komentar anda?

Iya, Gus Dur memang adalah salah satu Presiden Republik Indonesia yang berusaha untuk
menyelesaikan atau merintis jalan penyelesaian masalah ini. Di Indonesia ini kan anehnya, setiap
pergantian penguasa, mereka membawa ide-ide baru, policy (kebijakan) baru, sehingga apa yang
sudah pernah dirintis oleh orang yang lebih dahulu itu menjadi macet. Sehingga upaya untuk
dilakukannya suatu apa itu rehabilitasi atau kemudahan untuk menyelesaikan masalah-masalah
bagi teman-teman yang terhalang pulang bisa dimulai lagi.

Dalam situasi kondisi politik sekarang ini di Indonesia, mereka yang menjadi korban dari peristiwa
Gerakan Tigapuluh September (G30S) tahun 1965, boleh dibilang sampai saat ini masih saja
diperlakukan sebagai layaknya warganegara kelas dua. Pandangan anda?

Sampai saat sekarang ini masih ada dua keputusan dan instruksi pemerintah Indonesia yang
mengganjal upaya-upaya untuk mendudukan warganegaranya secara equal. Yaitu TAP MPRS No.
XXV tahun 1966 dan juga Instruksi Menteri Dalam Negeri tahun 1981 No.30. Kalau ada kebijakan
penguasa mencabut regulasi tersebut, saya sangat optimis bahwa masalah masyarakat kelas satu
dan masyarakat kelas dua akan bisa teratasi.

Bagaimana, menurut anda, apakah mungkin pemerintah saat ini berkeinginan mencabut regulasi
tersebut?
Saya dengar suara-suara burung, Pak SBY mau juga berbicara tentang peristiwa 1965, tapi sampai
saat sekarang belum muncul realisasi dari suara-suara burung itu.

Khusus mengenai TAP MPRS No.XXV tahun 1966, apakah mungkin penguasa sekarang ini
berkeinginan untuk mencabutnya?

335 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Sekarang kan kita melihat, mencoba memetakan kenapa pembedaan warganegara Indonesia ini
terjadi. Kan karena adanya aturan-aturan yang melegalkan orang memperlakukan pembedaan dan
perbedaan terhadap warganegara Indonesia. Dari sudut pandang kami, kedua peraturan atau
keputusan itulah salah satu sumber yang menyebabkan terjadinya pembedaan dan perbedaan
terhadap warganegara Indonesia.

Kasad (Kepala Staf Angkatan Darat) RI sekarang ini melontarkan lagi apa yang disebut bahaya
laten komunis atau seperti diberitakan di koran: Laten Komunis Tetap Patut Diwaspdai. Komentar
anda?
Ya, saya melihat kan karena tidak adanya perubahan watak kekuasaan dari zaman pemerintahan
Suharto sampai sekarang. Sehingga kata komunis tetap menjadi kambing hitam dalam segala
macam keterbelakangan yang terjadi di Indonesia. Ya pejabat-pejabat militer atau sipil siapapun
juga saya harapkan supaya wawasan berfikirnya diperkaya dengan mencoba melihat fakta-fakta
sejarah yang disembunyikan oleh kekuasaan Orde Baru. Hanya dengan kesadaran dan goodwill
(keinginan baik) untuk melihat situasi Indonesia itu melalui data-data sejarah, maka saya
harapkan dia akan berubah pikirannya.

Dalam rangka apa kedatangan anda ke Eropa ini?

Saya diundang ke Eropa terutama ke Paris untuk presentasi mengenai dunia kepengarangan saya,
dan juga memutar film-film dokumenter yang saya buat dengan tema besar ―Dampak Sosial
Tragedi Kemanusiaan 1965-66 di Indonesia‖. Jadi, saya diundang untuk berkunjung ke beberapa
negara oleh Universitas, oleh kelompok-kelompok masyarakat untuk berdialog dan
mempresentasikan karya-karya saya.

Konkretnya, siapa yang mengundang?

Misalnya, di London saya diundang oleh London University, yang pengunjungnya sebagian besar
peneliti-peneliti study Indonesia. Kemudian, saya di Aachen diundang oleh masyarakt Indonesia
dan masyarakat Jerman, di Koln - oleh para peneliti. Demikian juga di Berlin saya diundang oleh
para peneliti Indonesia. Dan di Leiden pada Minggu (3/10), saya akan bicara di antara mahasiswa-
mahasiswa Indonesia.

Menurut rencana, beberapa hari lagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan mengadakan
kunjungan resmi ke Negeri Belanda. Apa harapan anda kepada Beliau?

Ya, saya harapkan Presiden membuka hatinya untuk mendengarkan keluhan-keluhan, penderitaan-
penderitaan dan harapan-harapan dari ―teman-teman yang terhalang pulang‖. [wid]

DOKUMENTASI BURU
Dukumen terbaik dan paling berharga yang seharusnya ditinggalkan oleh seorang pejuang sejati
pembela rakyat adalah kalau dia meninggalkan pesan sebelum dia mati ialah bahwa rakyat Indonesia
harus berjuang mengangkat senjata untuk merebut kekuasaan ke tangan rakyat dengan jalan
revolusi kekerasan yang harus disiapkan dari sekarang. Tidak ada hal lain yang lebih berharga dari itu
yang bisa ditinggalkan oleh seorang pejuang dan pembela rakyat, apalagi pejuang dan pembela
rakyat itu telah teruji dalam penjara dan buangan dengan bermacam siksaan musuh dan penghinaan
musuh yang tak terbilangkan banyaknya. Tapi bila yang ditinggalkan sebagai dokumentasi dan pesan
cumalah pengalaman disiksa, pengalaman dihina, pengalaman penderitaan-pendertiaan lainnya
tanpa meninggalkan pesan kongkrit dan revolusioner seperti yang disebutkan dia atas, maka semua
336 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

dokumen yang berlumuran air mata dan penuh drama dan tragedi itu cumalah barang mati, tak
berguna untuk rakyat dan biarpun akan di simpan di KITLV-Leiden, maka semua dokumen tsb akan
cuma bersanding dengan puluhan jilid surat-surat Ajip Rosidi yang juga sedang berangsur lapuk di
kantor KITLV-Leiden.
Beberapa orang bekas pengarang dan seniman LEKRA sedang aktif membikin banyak film-film, buku-
buku, tulisan-tulisan, ceramah-ceramah hingga ke luar negeri yang isinya penuh dengan pengalaman
penderitaan, pengalaman disiksa oleh rezim orba-suharto, pengalaman "perjuangan untuk
hidup"tapi semuanya hanya dengan satu pesan: DAMAI, DAMAI, DAMAI...........TANPA DENDAM,
TANPA BEBAN UNTUK DIRI SENDIRI dan menyerahkan sepenuhnya pada generasi baru untuk
menjalankan pesan damai mereka terhadap musuh. Generasi tua mereka akan segra punah bersama
penderitaan-penderitaan yang pernah mereka alami (sekarang pada umumnya sudah memiliki mobil
dan rumah sendiri yang dianggap biasa, bukan kekayaan tapi masih tetap merasa menderita miskin
meskipun sudah sebagai pengusaha yang berhasil). Tapi rakyat miskin dan tertindas serta terhisap
yang dulu pernah mereka ingin bela dengan revolusi tidak pernah satu detikpun menerima
kehidupan yang agak cukup dan bahkan tetap saja miskin papa yang telah berabad-abad dan
penderitaan mereka tidak bisa dibandingkan dengan pendertian 13 tahun di pulau Buru maupun
dalam penjara-penjara. Penderitaan rakyat sudah berabad abad, tanpa istirahat, tanpa putus-
putusnya hingga detik ini.
Orang-orang Lekra tidak mampu membela ideologi organisasinya sendiri dan hanya berhasil
membela nasib perseorangan mereka sendiri-sendiri dan yang berhasil maupun yang gagal,
berlomba-lomba mencemoohkan Partai, mengejek komunisme, mengejek sosialisme dengan
berbagai cara dan berusaha memperbaiki dan memanipulasi riwayat bekas kekomunisan mereka
sebagai riwayat yang mereka gambarkan sebagai terpaksa, di bawa-bawa si Anu, merasa tertipu,
belum mengerti politik, masih naif dan segala macam yang menyalahkan faktor luar demi mereduksi
"dosa"kekomunisan mereka untuk dimaafkan oleh orba. Oey Hay Djoen,salah seorang bekas tokoh
besar Lekra dalam pengakuannya dalam film "CIDURIAN 19" yang juga adalah alamat rumahnya,
yang di masa belia saya cukup sering ke sana bersama abang saya Sobron Aidit (saya sendiri tidak
pernah jadi anggota Lekra) mengatakan bahwa di rumahnya yang di Cidurian 19 itu adalah juga
tempat ngobrol-ngobrol Ketua PKI dan Oloan Hutapea sambil minum-minum bir(semacam
discotheek masa itu). Sungguh pahit bagi para anak-anak Ketua PKI sekarang ini yang masa kecil
mereka tidak pernah mendapatkan perhatian orang tua mereka barang semenitpun karena
kesibukan ayah mereka mengurusi Partai dan urusan negara tapi menurut Oey Hay Djoen, Ketua PKI
bersantai santai minum bir dan ngobrol-ngobrol santai di rumahnya yang di Cidurian 19 itu. Sampah-
sampah sarap dan dahak kental jompo sekarat seperti inilah yang ditinggalkan para bekas sebagian
besar para seniman besar Lekra: DAMAI, DAMAI, DAMAI, buang komunisme dan lupakan Partai dan
jauhkan diri dari pikiran untuk berevolusi dan melawan musuh!
Rhoma Aria Dwi Yuliantri, seorang wanita mungil berjilbab dari latar belakang Muslim bersama
temannya Muhidin Dahlan telah mebela Lekra mati-matian, dengan kesungguhan luar biasa, dengan
ketekunan ilmiah yang mengagumkan kawan dan lawan dan melahirkan buku tebal "LEKRA TIDAK
MEMBAKAR BUKU" dan buku-buku lainnya lagi. Dalam sebuah pertemuan sastra yang di
selenggarkan oleh PASAR MALAM di Paris baru-baru ini saya bertanya padanya di depan publik
apakah pelarangan bukunya oleh Pemerintah penerus orba sekarang ini tidak dihadapinya dengan
penggerakan massa untuk memprotes pelarangan bukunya itu. Rhoma menjawab cepat dan spontan
bahwa katanya, saya tidak punya massa Oom, saya hanya punya dua orang tua saya saja. Dalam hati
saya bertanya: Mana orang Lekra? Mana massa revolusioner? dan saya tidak bertanya massanya
Partai sosdem karena itu sama sekali tidak bisa diharapkan. Tapi yang pertama-tama patut

337 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

diharapkan adalah bekas-bekas orang Lekra yang dibela secara politik dan ideologis oleh Rhoma yang
kurus dan kecil mungil. Sedangkan buku John Roosa(CIA "merah") : "dalih pembunuhan massal" yang
juga dilarang, banyak dibela kaum sosdem karena memang berisikan anti komunis dengan cara
mengadu domba intern PKI.
Saya ketika itu berpikir tentang judul buku Rhoma yang "LEKRA TIDAK MEMBAKAR BUKU" menjadi: "
"LEKRA MEMANG TIDAK MEMBAKAR BUKU TAPI HANYA MENGHANCURKAN SEMANGAT
REVOLUSIONER" dengan idelogi Pasifis mereka dan anjuran anjurannya yang anti dendam terhadap
musuh.
Sekali lagi saya ulangi, rakyat Indonesia tidak memerlukan peninggalan atau dokumen atau bukti-
bukti kekejaman musuh, hal itu sudah tak perlu diulang-ulang karena rakyat jauh lebih mengetahui
dan merasakannya langsung setiap hari dan rakyat hanya ingin tahu: APA YANG KALIAN KATAKAN
YANG HARUS KAMI PERBUAT SEBELUM KALIAN PADA MATI SEMUANYA?
Kalau hanya anjuran perdamian dengan musuh dan perdamaian dengan diri sendiri, berdamailah
kalian dalam kuburan kalian yang akan datang.
ASAHAN.

----- Original Message -----


From: djoko sri moeljono
To: RumahKitaBersama@yahoogroups.com
Cc: sastra-pembebasan@yahoogroups.com
Sent: Monday, October 04, 2010 6:19 AM
Subject: #sastra-pembebasan# DOKUMENTASI BURU
Memang kadang saya berfikir : siapa yang akan menyimpan sebagai dokumentasi kalau saya sudah
meninggal? Kalau oleh keluarga kan hanya disimpan sampai bulukan Saya juga menyimpan sebuah
buku tulis dimana almarhum ayah menuliskan kisahnya saat dibawa dengan Gerbong Maut tahun
1947 dari dari buku tulis ini saya bisa sebar luaskan isinya lewat milis ini.Menyangkut foto-foto dan
karftupos saya?
Kalau disimpan di Indonesia oleh Yayasan,bisa-bisa dibakar FPI atau FAK (Front Anti KOmunis)maka
hilanglah barang bukti sedang di Eropa orang bisa menyaksikan sisa-sisa holocaust dizaman Nazi
Hitler.
Bangsa Indonesia memang sangat lemah dalam merawat dan menyimpan dokumen,kalah sama
orang-orang Tionghoa yang membuat kronik segala peristiwa dan disimpan di Kelenteng
(Semarang,dokumen-dokumen disita pemerintah Hindia Belanda entah berapa gerobak dan diangkut
ke negeri Belanda) KITLV di Leiden memang bersedia merawat dan salah satu wakil
nya sudah datang menemui saya dua bulan lalu. Kalau disimpan di Leiden,siapa mau melihat harus ke
Belanda
________________________________
From: ati gustiati <hatiku_rumahku@yahoo.com>
To: RumahKitaBersama@yahoogroups.com
Cc: sastra-pembebasan@yahoogroups.com
Sent: Monday, October 4, 2010 6:07:59
Subject: Re: [RumahKita] GERAKAN MELAWAN LUPA
Ini moment paling penting pak Djok, berpeluang membuktikan dokumentasi masa
pembuangan kepada publik, kalau saya melihatnya saya paling bisa mewek aja....saya tidak punya

338 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

kenangan apapun dari ayah saya, dulu ada kerangka rotan berbentuk seekor udang yg dibuat ayah
dalam masa beliau dipenjara utk saya, entah kemana kenang2an itu pun hilang dalam masa
perpindahan hidup saya yg tiada hentinya.
Sejarah Indonesia masih seperti ribuan puzzles yg harus di sambung2 utk dijadikan sebuah gambar yg
nyata, seperti ribuan titik yg harus di hubung2 kan agar menjadi untaian yg bisa di mengerti, tidak
mudah utk mengerti kejujuran sejarah yg sebenarnya bila tak hidup didalam nya, kebohongan dan
rekayasa pemerintah demikian rapihnya di pentaskan utk ditanamkan dibenak rakyat Indonesia,
biarlah mereka generasi muda akan melihat dan menyaksikan sendiri sepak terjang dan kecurangan
pemerintah kita, biarlah waktu yg akan memberikan jawaban yg selama ini masih samar2 dibenak
rakyat ttg tragedy kehidupan yg nyata terjadi di thn '65.
salam
omie
________________________________
From: djoko sri moeljono <moel_38@yahoo.com>
To: Rumah Kita Bersama <RumahKitaBersama@yahoogroups.com>
Cc: sastra-pembebasan@yahoogroups.com; widodo soewardo <widodo@magcime.cu>;
IWAMARDI
Beberapa hari sebelum tanggal 30 September 2010 saya dapat kiriman sms dari seorang bernama
Suroso yang berniat pinjam beberapa artefak (peninggalan) dari Buru. Kepada Suroso inilah saya
pinjamakan bebe rapa lembar kartupos dan foto dan benda-benda tsb fipamerkan di Univ.Katholik
Atmajaya,Univ.Indonesia Depok, Komnas HAM dan rencananya terakhir di Pusat Perfilman Usmar
Ismail jl.Rasuna Said Kuningan tanggal 04 Oktober depan.
Saya menyempatkan diri menyaksikan pameran di Komnas HAM Kamis 30 September 2010.
Beberapa kartupos yang saya terima selama di Buru dan dikirim oleh keluarga di Malang di
pamerkan dalam bentuk foto copy diperbesar agar jelas. Juga foto-foto diperbesar.
Dan pada saat saya hadir ke Komnas HAM tema peringatan Tragedi 30 September yang dipilih
Gerakan Melawan Lupa adalah : Generasi Muda membahas masa lalu.
Hadir beberapa mantan tapol yang umumnya sudah sepuh,termasuk ibu-ibu. Dalam pertemuan
dengan generasi muda yang terdiri dari anak-anak sekolah SMA kelas 2 dan 3,jelas sekali terasa
bahwa mereka tidak tahu apa itu peristiwa G-30-S dan masih ada siswa yang bertanya : benar tidak
pak kalau dulu Gerwani menyiksa jendral?
Saya hanya bisa bilang : jendral yang ditembak dirumah, kalau dibawa ke Lubang Buaya berarti
sudah meninggal (memang tidak semua ditembak di rumah).
Masuk akal tidak : Gerwani menyiksa jenazah? Kalau jendral masih hidup disiksa je las logis,tetapi
jenazah?
Semua itu bohong besar,dusta besar yang sengaja disebarluaskan agar rakyat marah Karena itu
pembunuhan besar-besaran di Jawa Tengah,Jawa Timur dan Bali didasar balas dendam : satu jendral
harus ditebus sekian ribu anggota PKI atau orang komunis.
Generasi muda harus melek,harus tahu bahwa mereka dibohongi selama 32 tahun.
Mereka menanyakan apa kerja kami di Buru?
Apakah disediakan rumah oleh pemerintah? Setelah bebas dari Buru apakah ada tekanan dari
pemerintah (mereka melihat KTP yang diberi tanda ET- ex tapol).

339 | P a g e
Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

Gerakan melawan lupa memang hanya bisa menjangkau sasaran terbatas,tetapi paling tidak
mengingatkan masyarakat bahwa bangsa Indonesia dibodohi pemerintahnya sendiri selama 32
tahun.
Anak-anak muda SMA mengajukan banyak sekali pertanyaan dan karena saya tidak bisa menjawab
pada haritu karena ditunggu pekerjaan di kantor,saya tinggalkan alamat email atau mereka boleh
bertanya lewat facebook Pesan saya pada mereka : belajar,belajar dan belajar. Baca,baca dan baca!
Jadilah warga Indonesia generasi baru yang tahu sejarah bangsanya dengan benar karena ada
kurun waktu yang gelap,hitam
Pengumpulan Data ditutup tanggal 04.10.2010 jam 18:00 sore

Cyntha Wirantaprawira

340 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai