Anda di halaman 1dari 31

4 Kompetensi Guru Profesional

Sabtu, Juli 13, 2013

Kompetensi Guru Profesional - Guru adalah salah satu unsur penting yang harus ada sesudah siswa.
Apabila seorang guru tidak punya sikap profesional maka murid yang di didik akan sulit untuk
tumbuh dan berkembang dengan baik. Hal ini karena guru adalah salah satu tumpuan bagi negara
dalam hal pendidikan. Dengan adanya guru yang profesional dan berkualitas maka akan mampu
mencetak anak bangsa yang berkualitas pula. Kunci yang harus dimiliki oleh setiap pengajar adalah
kompetensi. Kompetensi adalah seperangkat ilmu serta ketrampilan mengajar guru di dalam
menjalankan tugas profesionalnya sebagai seorang guru sehingga tujuan dari pendidikan bisa dicapai
dengan baik.

Sementara itu, standard kompetensi yang tertuang ada dalam peraturan Menteri Pendidikan
Nasional mengenai standar kualifikasi akademik serta kompetensi guru dimana peraturan tersebut
menyebutkan bahwa guru profesional harus memiliki 4 kompetensi guru profesional yaitu
kompetensi pedagogik dan kompetensi kepribadian, profesional serta kompetensi sosial.

Dari 4 kompetensi guru profesional tersebut harus dimiliki oleh seorang guru melalui pendidikan
profesi selama satu tahun. 

Berikut ini adalah penjelasannya 4 kompetensi guru profesional:

1. Kompetensi Pedagogik

Kompetensi ini menyangkut kemampuan seorang guru dalam memahami karakteristik atau
kemampuan yang dimiliki oleh murid melalui berbagai cara. Cara yang utama yaitu dengan
memahami murid melalui perkembangan kognitif murid, merancang pembelajaran dan pelaksanaan
pembelajaran serta evaluasi hasil belajar sekaligus pengembangan murid.

2. Kompetensi Kepribadian
Kompetensi kepribadian ini adalah salah satu kemampuan personal yang harus dimiliki oleh guru
profesional dengan cara mencerminkan kepribadian yang baik pada diri sendiri, bersikap bijaksana
serta arif, bersikap dewasa dan berwibawa serta mempunyai akhlak mulia untuk menjadi sauri
teladan yang baik.

3. Kompetensi Profesional

Kompetensi profesional adalah salah satu unsur yang harus dimiliki oleh guru yaitu dengan cara
menguasai materi pembelajaran secara luas dan mendalam. 

4. Kompetensi Sosial

Kompetensi sosial adalah salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang pendidik melalui
cara yang baik dalam berkomunikasi dengan murid dan seluruh tenaga kependidikan atau juga
dengan orang tua/wali peserta didik dan masyarakat sekitar.

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-


Hujuraat (6)

19 MAR

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Hujuraat (Kamar-Kamar)


Surat Madaniyyah; Surat ke 49: 18 ayat
 

“11. Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki


mengolok-olok kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih
baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan
kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan
janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan
gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah
(panggilan) yang buruk sesudah iman dan Barangsiapa yang tidak
bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.” (al-Hujuraat: 11)
Allah melarang dari  mengolok-olok  orang lain, yakni  mencela dan
menghinakan mereka. Sebagaimana yang ditegaskan dalam hadits shahih,
dari Rasulullah saw. beliau bersabda: “Kesombongan itu  adalah menolak
kebenaran dan merendahkan manusia.” Dalam riwayat lain disebutkan: “Dan
meremehkan orang lain.”

Yang dimaksud dengan hal tersebut  adalah menghinakan dan merendahkan


mereka. Hal itu sudah jelas haram. Karena terkadang orang yang dihina itu
lebih terhormat di sisi Allah dan bahkan lebih dicintai-Nya daripada orang
yang menghinakan. Oleh karena itu, Allah berfirman yang artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki
mengolok-olok kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih
baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan
kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik.” Dengan
demikian, ayat di atas memberikan larangan terhadap kaum laki-laki yang
kemudian disusul dengan larangan terhadap kaum wanita.
Dan firman Allah Ta’ala: wa laa talmizuu angfusakum (“Dan janganlah kamu
mencela dirimu  sendiri.”) artinya, dan janganlah kalian mencela orang lain.
Orang yang mengolok dan mencela orang lain, baik laki-laki maupun
perempuan, maka mereka itu sangat tercela dan terlaknat, sebagaimana yang
difirmankan oleh Allah Ta’ala: wailul likulli Humazatil lumazah (“Kecelakaan
bagi setiap pengumpat lagi pencela.”)(al-Humazah: 1).

Kata al-hamz  berarti celaan dalam bentuk perbuatan, sedangkan kata  al-lamz
berarti celaan dalam bentuk ucapan. Sebagaimana yang difirmankan Allah:
Hammaazim masysyaa-im binamiim (“Yang banyak mencela, yang kian
kemari menghambur fitnah.”)(al-Qalam: 11). Artinya mencela orang-orang
dan menghinakan mereka dengan sewenang-wenang dan berjalan kesana
kemari  untuk namimah [mengadu domba], dan adu domba itu berarti celaan
dalam bentuk ucapan. Oleh karena itu,  disini Allah  berfirman: wa laa
talmizuu angfusakum (“Dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri.”)
sebagaimana firman Allah: wa laa taqtuluu angfusakum (“Dan janganlah 
kamu  membunuh dirimu sendiri.”)(an-Nisaa’: 29) maksudnya janganlah
sebagian kalian membunuh sebagian yang lainnya.

Firman Allah: wa laa talmizuu angfusakum (“Dan janganlah kamu mencela


dirimu sendiri.”) Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Sa’id bin Jubair, Qatadah, dan
Muqatil bin Hayyan mengemukakan: “Artinya, janganlah  sebagian kalian
menikam sebagian yang lainnya.”

Firman Allah: wa laa tanaabazuu bil-alqaab (“Dan janganlah kamu panggil-


memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.”) maksudnya janganlah kalian
memanggil dengan menggunakan gelar-gelar buruk yang tidak enak didengar.

Imam Ahmad meriwayatkan dari asy-Sya’bi, ia bercerita bahwa Abu  Jubairah


bin adl-Dlahhak memberitahunya, ia bercerita: “Ayat ini: wa laa tanaabazuu
bil-alqaab (“Dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang
buruk.”) turun berkenaan dengan Bani Salamah.” Ia mengatakan: “Rasulullah
saw. pernah tiba di Madinah dan kami tidak seorangpun melainkan
mempunyai dua atau tiga nama.  Dan jika beliau memanggil salah seorang di
antara mereka dengan nama-nama tersebut, maka mereka berkata: ‘Ya
Rasulallah, sesungguhnya ia marah dengan panggilan nama tersebut.’ Maka
turunlah ayat: wa laa tanaabazuu bil-alqaab (“Dan janganlah kamu panggil-
memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.”). hadits tersebut juga
diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Musa bin Ismail, dari Wahb, dari Dawud.

Firman Allah: bi’salismul fusuuqu ba’dal iimaan (“Seburuk-buruk panggilan


ialah [panggilan] yang buruk sesudah iman.”) maksudnya, seburuk-buruk
sebutan dan nama panggilan adalah pemberian gelar dengan gelar-gelar yang
buruk. Sebagaimana orang-orang jahiliyah dulu pernah bertengkar setelah
kalian masuk Islam dan kalian memahami keburukan itu. Wa mallam yatub
(“Dan barangsiapa yang tidak bertaubat”) dari perbuatan tersebut. Fa ulaa-ika
Humudz dzaalimuun (“Maka mereka itulah orang-orang yang dzalim”).
“12. Hai
orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan),
karena sebagian dari prasangka itu dosa dan janganlah mencari-cari
keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah
seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang
sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha
Penyayang.” (al-Hujuraat: 12)
Allah Ta’ala melarang hamba-hamba-Nya yang beriman dari banyak 
prasangka, yaitu melakukan tuduhan dan  pengkhianatan terhadap keluarga
dan kaum kerabat  serta umat manusia secara keseluruhan  yang tidak pada
tempatnya, karena sebagian dari prasangka itu murni menjadi perbuatan
dosa. Oleh karena itu, jauhilah banyak prasangka sebagai suatu kewaspadaan.
Kami telah meriwayatkan dari ‘Amirul Mukminin ‘Umar bin al-Khaththab,
bahwasannya ia pernah berkata: “Janganlah kalian berprasangka terhadap
ucapan yang keluar dari saudara Mukmin-mu kecuali dengan prasangka yang
baik. Sedang engkau sendiri  mendapati adanya kemungkinan ucapan itu
mengandung kebaikan.”

Abu ‘Abdillah bin Majah  meriwayatkan, Abul Qasim bin Abi Dhamrah Nadhr
bin Muhammad bin Sulaiman al-Hamshi memberi tahu kami, ayahku
memberitahu kami, ‘Abdullah  bin Abi Qais an-Nadhari memberitahu kami,
dari ‘Abdullah bin ‘Umar, ia bercerita: “Aku pernah melihat Rasulullah saw.
melakukan thawaf mengelilingi Ka’bah  seraya berucap: ‘Sungguh indah
dirimu, sangat harum aromamu, dan sungguh agung dirimu dan agung pula
kehormatanmu. Demi Rabb yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya,
sesungguhnya kemuliaan seorang Mukmin sangat agung di sisi Allah Ta’ala
harta dan darahnya  dari dirimu [wahai Ka’bah]. Dan ia tidak  berprasangka
melaikan prasangka baik.” Hadits ini diriwayatkan sendiri oleh Ibnu Majah
dari sisi ini.
Tentang iklan-iklan ini
Beri peringkat:

Dalam sebuah hadits Rasulullah Saw bersabda “Berkatalah yang baik atau
kalau tidak bisa, sebaiknya diam.”

“Jika kita merasa sebagai seorang muslim, maka sudah kewajiban kita untuk
mengamalkan apa yang Rasulullah contohkan. Kita harus mampu
menunjukkan bahwa Islam itu agama rahmatan lil ‘alamin. Jangan sampai
kebaikan-kebaikan yang kita lakukan terhapus oleh dosa-dosa dari kata-kata
kita yg tidak baik, maka mari perbaiki kata-kata kita”,

Urgensi Pemberian Nama Kepada Bayi

Para ulama telah menegaskan kewajibannya tentang memberikan nama, bahkan mereka
telah sepakat (ijma’) tentang hal tersebut. Al-Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkata :

‫واتفقوا أن التسمية للرجال والنساء فرض‬

“Para ulama sepakat bahwasannya memberi nama kepada laki-laki dan perempuan
adalah wajib” [Maraatibul-Ijma’, hal. 153].

Nama adalah lafadh dimana seseorang dipanggil dengannya. Islam memberikan


perhatian sangat besar terhadap masalah ini, hingga Allah pun menegaskan hal ini
dalam Al-Qur’an :

‫سمًِيًّا‬
َ ‫ل‬ ْ ‫ل لَ ُه م‬
ُ ‫ِن ق َْب‬ ْ ‫ج َع‬ ْ َ‫حيَى ل‬
ْ َ‫م ن‬ ْ َ‫م ُه ي‬
ُ ‫اس‬
ْ ‫ك بِ ُغال ٍم‬
َ ‫يَا َزك َِريَّا إِنَّا نُبَِش ُِّر‬

“Wahai Zakaria, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu akan (beroleh)
seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan
orang yang serupa dengan dia” [QS. Maryam : 7].

Hingga kelak di hari kiamat, manusia akan dipanggil dengan nama yang mereka
dipanggil dengannya semasa di dunia. 

‫ "إنكم تُدعون يوم القيامة بأسمائكم وأسماء آبائكم‬:‫ قال رسول الل ّه صلى الل ّه عليه وسلم‬:‫عن أبي الدرداء قال‬
‫"فأحسنوا أسماءكم‬.

Dari Abu Dardaa’, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa


sallam :“Sesungguhnya kalian akan dipanggil pada hari kiamat dengan nama kalian dan
nama bapak-bapak kalian. Maka baguskanlah nama-nama kalian” [HR. Abu Dawud no.
4948, Ad-Daarimiy no. 2736, Al-Baihaqi 9/306, dan yang lainnya. Sanad hadits
ini dla’if karena adanya inqitha’, namun maknanya benar].

Keterkaitan Nama dengan Pemiliknya

Nash-nash syari’at telah menjelaskan keterkaitan nama dengan pemiliknya.


Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :

‫عن بن عمر قال قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم أسلم سالمها هللا وغفار غفر هللا لها وعصية عصت هللا‬
‫ورسوله‬

“Dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma ia berkata : Telah bersabda


Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Aslam (- nama orang -), semoga Allah
mendamaikan hidupnya; Ghifaar (- nama orang -), semoga Allah mengampuninya; dan
‘Ushayyah (- nama orang -) telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya” [HR. Al-Bukhari
no. 3513, Muslim no. 2518, Ahmad no. 4702, dan yang lainnya].

Demikian pula nama yang ada pada diri Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yaitu
Ahmad dan Muhammad; dimana dua-duanya mengandung makna ‘terpuji’. Dan
beliaushallallaahu ‘alaihi wa sallam memang mempunyai sifat-sifat terpuji dalam
‘aqidah, akhlaq, dan segala hal yang ternisbat kepada beliau.

Namun sebaliknya, kita dapat melihat beberapa musuh Allah seperti Abu Lahab yang
nama aslinya adalah ‘Abdul-‘Izza. Kunyah Abu Lahab[1] ini sangat pas dengan dirinya,
yang akhirnya ia ditempatkan ke dasar neraka, terbakar oleh lidah api yang menyala-
nyala akibat kedurhakaannya. Begitu pula dengan Abu Jahal.

Al-Imam Ibnu-Qayyim rahimahullah berkata :

‫ومن تأمل السنة وجد معاني في األسماء مرتبطة بها حتى كأن معانيها مأخوذة منها وكأن األسماء مشتقة من‬
‫ فتأمل حديث سعيد بن المسيب عن أبيه عن جده‬.‫ وإذا أردت أن تعرف تأثير األسماء في مسمياتها‬........‫معانيها‬
‫قال أتيت إلى النبي صلى هللا عليه وسلم فقال ما اسمك قلت حزن فقال أنت سهل قال ال أغير اسما سمانيه‬
‫أبي قال ابن المسيب فما زالت تلك الحزونة فينا بعد رواه البخاري في صحيحه والحزونة الغلظة‬

“Barangsiapa yang mengamati sunnah, niscaya ia akan menemukan bahwa nama-nama


yang ada berhubungan dengan pemiliknya yang seakan-akan ia memang diambil darinya
sesuai dengan karakternya…… Apabila engkau ingin  mengetahui bagaimana nama-nama
itu bisa mempengaruhi pemiliknya, maka perhatikanlah hadits Sa’id bin Al-Musayyib,
dari bapaknya, dari kakeknya, ia berkata : “Aku pernah menghadap Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam. Beliau bertanya : “Siapakah namamu ?”. Aku menjawab :
“NamakuHuzn”. Beliau bersabda : “(Gantilah), namamu menjadi Sahl (=mudah)”. Aku
berkata : “Aku tidak akan menukar nama yang telah diberikan oleh bapakku”. Ibnul-
Musayyib berkata : “Sejak saat itu, sifat kasar senantiasa ada dalam keluarga kami”.
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya. Makna al-huzuunah/huzn adalah al-
ghildhah (=kasar)” [Tuhfatul-Mauduud bi-Ahkaamil-Mauluud oleh Ibnul-Qayyim, hal. 84-
85, tahqiq : ‘Abdul-Mun’im ‘Aaniy; Daarul-Kutub Al-‘Ilmiyyah, Cet. 1/1403].

Waktu Pemberian Nama

Ada dua pendapat ternukil dalam permasalahan ini yang mempunyai landasan dalil :

1.    Dilakukan pada hari ketujuh setelah kelahirannya.

Pendapat ini didasarkan pada hadits :

‫كل غالم رهينة بعقيقته تذبح عنه يوم سابعه ويحلق ويسمى‬

”Setiap anak tergadai dengan ’aqiqahnya yang disembelih pada hari ketujuh dari
kelahirannya, dicukur (rambutnya), dan diberi nama” [HR. Abu Dawud no. 2837-
2838; At-Tirmidzi no. 1522; An-Nasa’i no. 4220; Ibnu Majah no. 3165; Ahmad
5/7,12,17,22; dan yang lainnya; shahih].

Berkata Al-Imam Al-Baghawiy rahimahullah :

‫ وبه قال مالك‬،‫ روي ذلك عن الحسن‬،‫واستحب غير واحد من أهل العلم أن ال يسمى الصبي قبل السابعة‬

“Banyak ulama berpendapat disunnahkannya untuk tidak menamai anak sebelum


hari ketujuh kelahirannya. Diriwayatkan hal itu dari Al-Hasan, dan dengannya Malik
berpendapat” [Syarhus-Sunnah, 11/269, tahqiq & takhrij : Syu’aib Al-Arna’uth; Al-
Maktab Al-Islamiy, Cet. 2/1403 H].

2.    Dilakukan pada hari pertama atau sebelum hari ketujuh dari waktu kelahirannya.

Pendapat ini didasarkan pada hadits :

‫ما ُه‬
َّ ‫َس‬
َ ‫صلى هللا عليه وسلم ف‬
َ ‫ي‬
َّ ِ‫ه ال َّنب‬ ُ ‫الم فَأَتَ ْي‬
ِ ِ‫ت ب‬ ٌ ‫ِي ُغ‬
ْ ‫ل ُولِ َد ل‬ َ ‫هللا تَ َعالَى َع ْن ُه قَا‬ ُ ‫ِى‬ َ ‫سى َرض‬ َ ‫ي ُم ْو‬ ْ ِ‫ن أَب‬ْ ‫َع‬
َّ َ‫ة َو َد َف َع ُه إِل‬
‫ي‬ ِ ‫م َر ٍة َو َد َعا لَ ُه بِ ْالبَ َر َك‬ َ ‫م َف‬
ْ ‫ح َّنك َُه بِ َت‬ َ ‫ه ْي‬
ِ ‫إِ ْب َرا‬

Dari Abi Musa radliyallaahu ta’ala ’anhu ia berkata : ”Telah lahir seorang anakku.
Maka aku membawanya ke hadapan Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam dan beliau
menamainya Ibrahiim. Maka kemudian beliau men-tahnik-nya dengan kurma dan
mendoakan barakah untuknya. Kemudian beliau menyerahkannya padaku” [HR. Al-
Bukhari no. 5467, 6198; Muslim no. 2145; dan yang lainnya].

‫ احمله حتى تأتي به النبي صلى هللا عليه‬:‫ فقال لي أبو طلحة‬.‫فولدت غالما‬...... :‫ قال‬.‫عن أنس بن مالك‬
‫ فأخذه النبي صلى هللا عليه وسلم فقال‬.‫ وبعثت معه بتمرات‬.‫ فأتى به النبي صلى هللا عليه وسلم‬.‫وسلم‬
‫ فجعلها‬.‫ ثم أخذها من فيه‬.‫ فأخذها النبي صلى هللا عليه وسلم فمضغها‬.‫ تمرات‬.‫ نعم‬:‫(أمعه شيء؟) قالوا‬
‫ وسماه عبدهللا‬،‫ ثم حنكه‬.‫في في الصبي‬.

Dari Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : ….”Maka Ummu Sulaim


melahirkan seorang bayi laki-laki. Lalu Abu Thalhah mengatakan kepada Anas :
“Bawalah bayi ini kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam”. Maka aku (Anas) bawa
bayi tersebut kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan berbekal dua butir
kurma. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengambil bayi itu sambil
bertanya :“Apakah ada makanan yang dibawa ?”. Orang-orang menjawab : “Ya, dua
butir kurma”. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengambil kurma tersebut dan
mengunyahnya. Lalu beliau ambil dari mulut beliau, kemudian beliau suapkan ke
dalam mulut bayi itu dan beliau memberinya nama ‘Abdullah” [HR. Al-Bukhari no.
5467, 6198; Muslim no. 2145; Abu Dawud no. 4951; dan yang lainnya].

Al-Imam Ath-Thahawiy rahimahullah berkata :

‫ِن‬
ْ ‫ح َة م‬َ ‫ن أَبِي طَ ْل‬ ِ ‫ه ْب‬ِ َّ‫م َوفِي َع ْب ِد الل‬ َ ‫ه إ ْب َراهِي‬ ِ ِ‫م فِي ا ْبن‬ َ َّ‫سل‬ َ ‫ه َو‬ ِ ‫صلَّى الل َُّه َعلَ ْي‬ َ ‫ه‬ ِ َّ‫سولِ الل‬ ُ ‫ِن َر‬ ْ ‫َوأَنَّ الَّذِي َكانَ م‬
َ ‫خ أَنْ يَكُونَ يَ ْو‬
‫م‬ ْ ‫س‬
َ ‫م ُي ْن‬ْ َ‫ما َع ْن ُه بِأَن َّ َها ل‬ َ ‫ح ٍد ِم ْن ُه‬ ِ ‫ُِل َوا‬ ِّ ‫ة َعلَى ك‬ ٍ ‫ل َذ ْبحِ َعقِي َق‬ َ ‫ما َوق َْب‬َ ‫ِه‬
ِ ‫سابِع‬ َ ‫ل يَ ْو ِم‬
َ ‫ما ق َْب‬َ ‫اه‬
ُ َّ‫ه إي‬
ِ ِ‫ميَت‬ِ ‫س‬ ْ َ‫ت‬
‫خالِ ُف ُه‬َ ‫ما ُي‬ َّ ‫ما َكانَ ق َْبلَ ُه ِم‬ َ
َّ ‫كانَ أ ْولَى ِم‬ َ ‫سخًا لَ ُه َف‬ ِ ‫ك َونَا‬ َ ِ‫ارئًا َعلَى َذل‬ ِ َ‫ه َكانَ ط‬ ِ ‫سابِ ِع‬َ

“Pemberian nama yang dilakukan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa


sallamkepada putranya Ibrahim dan ‘Abdullah bin Thalhah sebelum hari ketujuh dan
sebelum disembelihnya nasikah (‘aqiqah) bagi masing-masingnya, karena kedua
riwayat ini sebagai penghapus hukum (bagi riwayat yang menyebutkan penetapan
waktu tasmiyyah/pemberian nama pada hari ketujuh), maka hal ini lebih utama dari
apa-apa yang menyelisihinya” [Musykilul-Aatsaar oleh Ath-Thahawiy, 1/456].

Yang benar, waktu pemberian nama adalah fleksibel. Perkataan Ath-


Thahawirahimahullah tidaklah dapat diterima karena dua-duanya merupakan sunnah
yang tsabitdari beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Klaim mansukh tentu saja harus
diletakkan apabila masih memungkinkan untuk dijamak. Apalagi dua pendapat tersebut
tidaklah bertentangan, namun hanya menunjukkan keragaman saja. Seseorang boleh
memberikan nama pada waktu kelahirannya ataupun menundanya hingga hari ketujuh
dari kelahirannya. Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah memberikan satu bab dalamShahih-
nya – yang sekaligus menunjukkan pendapatnya dalam hal ini :

‫ه‬ َّ َ‫باب تسمية المولود غَدا َة يولَ ُد لمن لم ي‬


ِ ‫ وتحنيك‬،‫عق عنه‬

“Bab : Pemberian nama bagi bayi segera setelah kelahirannya bagi anak yang tidak
diaqiqahi, dan men-tahnik-nya”.

Al-Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkomentar atas perkataan Al-Bukhari di atas :

‫وهو جمع لطيف لم أره لغير البخاري‬

“Ini adalah cara penggabungan makna yang sangat teliti, dan belum ada yang
berpendapat seperti ini selain Al-Bukhari” [Fathul-Baariy, 9/588].

Namun, perkataan Al-Bukhari di atas juga perlu untuk dicermati kembali karena
pemberian nama setelah kelahirannya tidaklah mesti dipersyaratkan bagi anak yang
tidak diaqiqahi. Hal itu dikarenakan hadits Anas bin Malik ataupun hadits Abu
Musaradliyallaahu ‘anhuma di atas tidaklah menunjukkan hal itu. Barangkali setelah
dinamai oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam Abu Musa dan Abu Thalhah
menyembelih kambing bagi anaknya di hari ketujuh.

Al-Imam Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata :

‫إن التسمية لما كانت حقيقتها تعريف الشيء المسمى ألنه إذا وجد وهو مجهول االسم لم يكن له ما يقع تعريفه‬
‫به فجاز تعريفه يوم وجوده وجاز تأخير التعريف إلى ثالثة أيام وجاز إلى يوم العقيقة عنه ويجوز قبل ذلك وبعده‬
‫واألمر فيه واسع‬

“Sesungguhnya tasmiyyah (pemberian nama) iu pada hakekatnya berfungsi untuk


menunjukkan identitas penyandang nama, karena jika ia didapati tanpa nama berarti
tidak memiliki identitas yang dengannya ia bisa dikenali. Oleh karena itu, identitasnya
boleh diberikan pada hari kelahirannya, boleh juga ditunda pada hari ketiga, atau pada
hari aqiqahnya. Boleh juga sebelum atau sesudah hari ‘aqiqahnya. Oleh karena itu,
perkara ini adalah luas/lapang” [Tuhfatul-Mauduud, hal. 79].

Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata :

‫وأما التسمية فإن كان االسم قد أعد من قبل الوالدة فلتكن التسمية عند الوالدة ألن النبي صلى هللا عليه وعلى‬
‫آله وسلم دخل على أهله ذات يوم وقال ولد لي الليلة ولد وسميته إبراهيم وإن كانت التسمية لم تعد فلتكن في‬
‫اليوم السابع عند ذبح العقيقة وينبغي لإلنسان أن يحسن اسم ابنه واسم ابنته وأحب األسماء إلى هللا أعني‬
‫أسماء الذكور عبد هللا وعبد الرحمن‬

“Adapun perkara pemberian nama (tasmiyyah), apabila nama anak telah dipersiapkan
sebelum kelahirannya, hendaklah pemberian nama dilakukan pada hari kelahirannya.
Hal itu dikarenakan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa ‘alaa aalihi wa sallam pernah masuk ke
rumah istrinya pada suatu hari, dan bersabda : “Pada suatu malam aku dianugerahi
seorang anak laki-laki dan aku namai ia dengan Ibrahim”. Namun bila nama tersebut
belum dipersiapkan (sebelum kelahiran), hendaklah ia menamai anak itu pada hari
ketujuh saat penyembelihan hewan ‘aqiqah. Sudah sepatutnya bagi seseorang untuk
membaikkan dalam pemberian nama bagi anak-anaknya. Nama paling dicintai oleh Allah
– yaitu bagi anak laki-laki – adalah ‘Abdullah dan ‘Abdurrahman” [Fataawaa Nuur ‘alad-
Darb, juz 8].

Faktor-Faktor Penting ketika Memilih dan Memberikan Nama

1.      Nama tersebut diambil dari nama-nama orang shalih dari kalangan para nabi, rasul,
dan orang shalih lainnya. Maksudnya untuk mendekatkan diri kepada
Allah ta’aladengan cara mencintai dan menghidupkan nama mereka, serta
melaksanakan apa yang dicintai Allah dengan memilih nama-nama para wali-Nya
yang telah membawa agama-Nya.

2.      Nama yang singkat, hurufnya sedikit, serta mudah diucapkan dan dihapal.
3.      Maknanya bagus, sesuai dengan kondisi orangnya, derajat, agama, dan
martabatnya.

Nama-Nama yang Paling Baik

Apabila diurutkan, nama-nama yang paling baik dan disunnahkan untuk diberikan
kepada anak Adam berdasarkan nash adalah :

1.      ‘Abdullah dan ‘Abdurrahman.

Nama ini adalah nama yang paling dicintai oleh Allah ta’ala berdasarkan hadits :

‫ إن أحب أسمائكم إلى هللا عبد هللا وعبد الرحمن‬: ‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬: ‫عن ابن عمر قال‬

Dari Ibnu ‘Umar ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa


sallam : “Sesungguhnya nama yang paling dicintai oleh Allah adalah ‘Abdullah dan
‘Abdurrahman” [HR. Muslim no. 2132, Abu Dawud no. 4949, At-Tirmidzi no. 2833,
Al-Haakim no. 7719, Al-Baihaqi dalam Al-Kubraa 9/309, dan yang lainnya].

Di kalangan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam terdapat sekitar 300 orang


yang bernama ‘Abdullah.

2.      Nama yang menunjukkan penghambaan diri terhadap salah satu nama-nama Allah,
seperti ‘Abdul-‘Aziz, ‘Abdul-Malik, ‘Abdurrahiim, dan yang lainnya.

Al-Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkata :

‫واتفقوا على استحسان االسماء المضافة الى هللا عز وجل كعبد الرحمن وما أشبه ذلك‬

“Para ulama sepakat tentang baiknya nama-nama yang disandarkan kepada


Allah‘azza wa jalla seperti ‘Abdurrahman dan yang serupa dengannya”.

3.      Nama para Nabi dan Rasul, sebab mereka adalah orang-orang yang menjadi pilihan
Allah agar menjadi panutan bagi manusia.

‫ سماني النبي صلى هللا عليه وسلم يوسف‬: ‫ يوسف بن عبد هللا بن سالم رضي هللا عنهما قال‬  ‫عن‬
‫وأقعدني على حجره ومسح على رأسي‬

Dari Yusuf bin ‘Abdillah bin Salaam radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :


“Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam menamaiku Yusuf, mendudukkanku di
pangkuannya, dan mengusap-usap kepalaku” [HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul-
Mufrad no. 838; shahih].

‫ فسميته باسم أبي‬.‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم "ولد لي الليلة غالم‬:‫عن أنس بن مالك قال‬
‫إبراهيم‬

Dari Anas bin Maalik ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa


sallam : “Pada suatu malam aku dianugerahi seorang anak laki-laki dan aku namai
ia dengan nama bapakku, Ibrahim” [HR. Muslim no. 2315, Ibnu Hibban no. 2902,
dan yang lainnya].
)‫قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم (تسموا باسمي وال تكنوا بكنيتي‬..... :‫عن أنس قال‬.

Dari Anas ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa


sallam :“Pakailah nama dengan namaku (yaitu : Muhammad), namun jangan
berkunyah dengan kunyahku” [HR. Al-Bukhari no. 2120, 2121, 3537; Muslim no.
2131; Ibnu Majah no. 3737; dan yang lainnya].

Tanbih !!

Sebagian orang ada yang memakruhkan untuk menamai anak-anak mereka dengan
nama para nabi dengan dasar atsar berikut :

‫ " ال تسموا أحداً باسم نبي‬: ‫" عن أمير المؤمنين عمر بن الخطاب رضي هللا عنه قال‬

Dari Amiirul-Mukminiin ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :


“Janganlah kalian menamai seorang pun dengan nama para nabi” [HR. Thabaraniy -
lihat Fathul-Baariy, 10/572].

Al-Haafidh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan :

‫ لئال يسبب أحد المسمى بذلك فأراد تعظيم االسم يبتذل في ذلك‬،‫وإنما كره عمر ذلك‬

“Hanya saja ‘Umar membenci hal tersebut (penamaan dengan nama Nabi), agar
seseorang tidak mencaci pemilik nama tersebut. Ia bermaksud untuk
mengagungkan nama para Nabi supaya tidak dihinakan” [Fathul-Baariy, 10/579]

Al-Imam Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata :

‫قال أبو بكر بن أبي شيبة في باب ما يكره من األسماء حدثنا الفضل بن دكين عن أبي جلدة عن أبي العالية‬
‫تفعلون شرا من ذلك تسمون أوالدكم أسماء األنبياء ثم تلعنونهم وأصرح من ذلك ما حكاه أبو القاسم‬
‫السهيلي في الروض فقال وكان من مذهب عمر بن الخطاب كراهة التسمي بأسماء األنبياء‬

“Telah berkata Abu Bakr bin Abi Syaibah dalam Baab Nama-Nama yang
Dibenci/Dimakruhkan : Telah menceritakan kepada kami Al-Fadhl bin Dakiin, dari
Jildah, dari Abul-‘Aaliyah : “Kalian melakukan hal yang lebih buruk dari itu. Kalian
telah menamai anak-anak kalian dengan nama para nabi, namun kemudian kalian
melaknatnya”. Dan yang lebih jelas dari hal itu adalah apa yang dihikayatkan oleh
Abul-Qaasim As-Suhailiy dalam kitab Ar-Raudl, ia berkata : Di antara madzhab
‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu adalah memakruhkan nama para nabi”
[Tuhfatul-Mauduud, hal. 89].

Kemudian beliau rahimahullah menjelaskan alasan ‘Umar :

‫وصاحب هذا القول قصد صيانة أسمائهم عن االبتذال‬

“Pemilik perkataan ini (yaitu ‘Umar) bertujuan untuk menjaga nama para nabi dari
penghinaan”.

Apa yang dilakukan ‘Umar ini bukanlah hujjah dalam melarang pemakaian nama
para nabi dan rasul. Karena telah shahih hadits-hadits sebagaimana di atas tentang
kebolehannya.
4.      Nama orang-orang shalih dari kalangan kaum muslimin.

‫ (إنهم كانوا يسمون بأنبيائهم والصالحين‬: ‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬:‫عن المغيرة بن شعبة قال‬
)‫قبلهم‬.

Dari Syu’bah bin Al-Mughiirah ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu


‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya mereka dahulu memakai nama para nabi dan
orang-orang shalih sebelum mereka” [HR. Muslim no. 2135].

Dalam hal ini, para shahabat adalah penghulu orang-orang shalih setelah para nabi
dan rasul bagi kaum muslimin. Berbeda dengan kaum Syi’ah Rafidlah yang
membenci mereka, dan bahkan melarang menamai anak-anak mereka dengan
nama Khulafaur-Rasyidin selain ‘Ali bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhum.

Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ‘anhu pernah menegaskan tentang hal ini :

‫إن هللا نظر في قلوب العباد فوجد قلب محمد صلى هللا عليه وسلم خير قلوب العباد فاصطفاه لنفسه فابتعثه‬
‫برسالته ثم نظر في قلوب العباد بعد قلب محمد فوجد قلوب أصحابه خير قلوب العباد فجعلهم وزراء نبيه‬
‫يقاتلون على دينه‬

“Sesungguhnya Allah melihat hati hamba-hamba-Nya dan Allah mendapati hati Nabi


Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah sebaik-baik hati manusia. Maka
Allah pilih Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagai utusan-Nya. Allah
memberikan kepadanya risalah, kemudian Allah melihat dari seluruh hati hamba-
hamba-Nya setelah Nabi-Nya, maka didapati bahwa hati para shahabat merupakan
hati yang paling baik sesudahnya. Maka Allah jadikan mereka sebagai pendamping
Nabi-Nya yang mereka berperang atas agama-Nya.” [HR. Ahmad 1/379 no. 3600;
hasan].

Shahabat paling utama adalah Abu Bakr, kemudian ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali.

Dan inilah shahabat Az-Zubair bin Al-‘Awwaam radliyallaahu ‘anhu yang menamai


anak-anaknya – yang berjumlah sembilan orang – dengan nam-nama
sebagiansyuhadaa’ Badr : ‘Abdullah, Al-Mundzir, ‘Urwah, Hamzah, Ja’far, Mush’ab,
‘Ubaidah, Khaalid, dan ‘Umar.

5.      Nama yang mengandung kebaikan dan sesuai dengan sifat yang sesuai dengan
orangnya.

‫ وأصدقها حارث وهمام‬... : ‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬: ‫عن أبي وهب الجشمي قال‬

Dari Abu Wahb Al-Jusyamiy ia berkata : Telahbersabda Rasulullah shallallaahu


‘alaihi wa sallam : “…..Nama yang paling benar adalah Haarits dan Hamaam” [HR.
Abu Dawud no. 4950 dan Ahmad 3/345 no. 19054; shahih – lihat
selengkapnyatakhrij hadits ini dalam Silsilah Ash-Shahiihah no. 904 dan 1040].

Nama-Nama yang Dimakruhkan
Makruh seseorang memberikan nama dengan :

1.      Nama yang mengandung arti keberkahan atau yang menimbulkan rasa optimistis.

Fungsinya agar tidak menimbulkan ganjalan hati ketika mereka dipanggil sementara
itu yang bersangkutan tidak berada di tempat, sehingga akan dijawab : “Tidak ada”.

Misalnya nama : Aflah (=beruntung), Naafi’ (=bermanfaat), Rabaah (=keuntungan),


Yasaar (=kemudahan), dan lain-lain.

Hal itu sebagaimana tercantum dalam sebuah hadits shahih :

،‫ سبحان هللا‬:‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم (أحب الكالم إلى هللا أربع‬:‫ قال‬.‫عن سمرة بن جندب‬
‫ وال‬،‫ وال نجيحا‬،‫ وال رباحا‬،‫ وال تسمين غالمك يسارا‬.‫ ال يضرك بأيهن بدأت‬.‫ وهللا أكبر‬،‫ وال إله إال هللا‬،‫والحمد هلل‬
)‫ ال‬:‫ فيقول‬.‫ أثم هو؟ فال يكون‬:‫ فإنك تقول‬،‫أفلح‬.

Dari Samurah bin Jundub ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi


wa sallam : “Perkataan yang paling dicintai oleh Allah ada empat : Subhaanallaah,
alhamdulillah, laa ilaaha illallaah, dan allaahu akbar. Tidak masalah yang mana di
antara kalimat itu akan engkau mulai. Dan janganlah engkau namai anakmu dengan
Yasaar, Rabaah, Najiih, dan Aflah. Sebab, engkau nanti akan bertanya : ‘Apakah ia
ada di tempat ?’. Jika ternyata tidak ada, maka akan dijawab : ‘Tidak ada’” [HR.
Muslim no. 2137; Ahmad 5/10 no. 20119, 5/21 20257; dan Al-Baihaqi dalam Al-
Kubraa 9/306].

Maksud hadits ini adalah jika orang tersebut bernama Rabaah (=beruntung), lantas
ada seseorang yang mencarinya : “Apakah Rabaah ada di rumah ?”. Jika tidak ada,
maka akan dijawab : “Rabaah tidak ada di rumah” ( = keberuntungan tidak ada di
rumah). Oleh sebab itulah nama ini dimakruhkan.

‫ وكان‬.‫ فحول رسول هللا صلى هللا عليه وسلم اسمها جويرية‬.‫ كانت جويرية اسمها برة‬:‫ قال‬.‫عن ابن عباس‬
‫ خرج من عند برة‬:‫يكره أن يقال‬

Dari Ibnu ‘Abbas ia berkata : “Dulunya Juwairiyyah bernama Barrah (=kebaikan).


Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menggantinya dengan Juwairiyyah.
Beliau tidak suka jika dikatakan : “Beliau telah keluar dari Barrah (=kebaikan)[2]”
[HR. Muslim no. 2140].

Catatan : Nama Barrah ini juga tidak diperbolehkan karena


mengandung tazkiyyahterhadap diri sendiri sebagaimana akan dijelaskan pada
nomor 2.

Al-Imam Ibnu Qayyim berkata :

‫وفي معنى هذا مبارك ومفلح وخير وسرور ونعمة وما أشبه ذلك فإن المعنى الذي كره له النبي صلى هللا‬
‫عليه وسلم التسمية بتلك األربع موجود فيها فانه يقال أعندك خير أعندك سرور أعندك نعمة فيقول ال‬
‫فتشمئز القلوب من ذلك وتتطير به وتدخل في باب المنطق المكروه‬
“Yang termasuk dalam makna ini, seperti nama Mubaarak, Muflih, Khair, Suruur,
Ni’mah, dan yang sejenisnya. Makna yang tidak disukai Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam pada empat nama itu juga terkandung dalam nama-nama di atas. Apabila
ditanyakan : ‘Apakah Khair (=kebaikan) ada bersamamu ?. Apakah Suruur
(=kebahagiaan) ada bersamamu ?. Apakah Ni’mah (=nikmat) ada bersamamu ?’.
Jika dijawab : ‘Tidak ada’ – tentu saja jawaban tersebut mengandung kesan yang
sangat tidak baik. Terkesan seperti ucapan sial, dan bahkan termasuk dalam
katagori ucapan yang tidak disukai” [Tuhfatul-Mauduud, hal. 82].

2.      Nama yang mengandung tazkiyyah (pujian) terhadap diri sendiri.

Misalnya nama : Barrah (=wanita yang baik dan berbakti) dan Mubaarak (=orang
yang diberkahi) – padahal boleh jadi ia tidak seperti itu.

‫ فسماها رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬،‫ تزكي نفسها‬:‫ فقيل‬،‫ أن زينب كان اسمها برة‬: ‫عن أبي هريرة‬
‫زينب‬.

Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Zainab dulu bernama Barrah.


Maka pernah dikatakan padanya : “Ia telah men-tazkiyyah-i (menganggap suci)
dirinya sendiri”. Maka Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam merubah namanya
menjadi Zainab [HR. Al-Bukhari no. 6192, Muslim no. 2141, Ibnu Majah no. 3732,
Ibnu Hibbaan no. 5830, dan yang lainnya].

Termasuk dalam hal ini adalah nama Iman – sebagaimana banyak dipakai oleh
orang Indonesia.[3]

Allah ta’ala telah berfirman :

‫ن اتَّقَى‬
ِ ‫م‬ ُ َ‫ه َو أَ ْعل‬
َ ِ‫م ب‬ ُ ‫ُم‬ َ ‫فَال ُت َز ُّكوا أَ ْن ُف‬
ْ ‫سك‬

“Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui
tentang orang yang bertakwa” [QS. An-Najm : 32].

3.      Nama yang berhubungan dengan hawa nafsu.

Nama ini biasanya banyak diberikan kepada anak-anak perempuan, seperti :


Ahlaam (=impian), Ariij (=harum semerbak), ‘Abiir (=bau harum/parfum), Ghaadah
(=gadis yang lembut), Fitnah (=yang mempunyai daya tarik), Nihaad (=gadis yang
montok buah dadanya), Wishaal (=berhubungan badan), Faatin (=mempesona),
Syaadiyah, Syaadiy (=biduanita), dan yang lainnya.

4.      Nama yang mengandung kesan jelek, baik dalam lafadh ataupun makna.

Misalnya nama : Harb (=perang), Murrah (=pahit), Kalb (=anjing), Hayyah (=ular),
Jahsy (=kasar), Baghal (=keledai), dan yang lainnya.

Al-Imam Ath-Thabari rahimahullah berkata :

‫ ولو كانت‬.‫ وال باسم معناه السب‬،‫ وال باسم يقتضي التزكية له‬،‫ال تنبغي التسمية باسم قبيح المعنى‬
‫ لكن وجه الكراهة أن يسمع سامع باالسم‬،‫األسماء إنما هي أعالم لألشخاص ال يقصد بها حقيقة الصفة‬
‫ فلذلك كان صلى هللا عليه وسلم يحول االسم إلى ما إذا دعي به صاحبه كان‬،‫فيظن أنه صفة للمسمى‬
‫ وقد غير رسول هللا صلى هللا عليه وسلم عدة أسماء‬،‫صدقا‬،

“Tidak sepantasnya memberikan nama dengan nama yang mengandung makna


buruk, nama mengandung tazkiyyah (pujian) terhadap diri sendiri, dan nama yang
mengandung celaan – sekalipun hanya sekedar untuk pengenal bagi seseorang,
tidak dimaksudkan untuk hakekatnya. Tetap saja ada sisi kemakruhannya, yaitu
ketika nama itu disebutkan dan orang yang mendengarkan mengira bahwa sifat
tersebut memang ada pada si pemilik nama. Oleh karena itu Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam pernah mengganti nama-nama tersebut dengan nama yang sesuai
dengan orangnya” [Fathul-Baariy 10/577 – lihat pula Silsilah Ash-Shahiihah 1/427].

Ada riwayat yang menyebutkan bahwa ‘Umar bin Al-Khaththab radliyallaahu


‘anhupernah berkomentar terhadap seseorang yang bernama Khabbiyyah (yang
mengandung makna “menyembunyikan barang”) bin Kunaaz (yang mengandung
makna “mengumpulkan barang/harta”) : “Kami tidak mempunyai hajat dengannya,
karena dia telah ‘menyembunyikan barang’ dan bapaknya telah ‘mengumpulkannya’
– sebagaimana terdapat dalam kitab Al-Mu’talafu wal-Mukhtalaf 4/1965 oleh Ad-
Daaruquthniy.

5.      Nama orang-orang fasiq, seperti para pelawak, pelukis/pematung, pemusik, dan


yang sejenisnya.

6.      Nama yang menunjukkan dosa dan maksiat.

Misalnya nama : Dhaalim bin Sarraaq (=orang lalim anaknya pencuri). Ada sebuah
riwayat bahwasannya ‘Utsmaan bin Abil-‘Ash penah membatalkan pelantikan
seorang pejabatnya saat mengetahui bahwa ia mempunyai nama itu. Hal itu
sebagaimana terdapat dalam kitab Al-Ma’rifah wat-Taariikh 3/201 oleh Al-Fasawiy.

7.      Nama orang-orang yang dhalim/sewenang-wenang dan diktator.

Misalnya nama : Fir’aun, Qaaruun, Haamaan, Abrahah, dan yang lainnya.

8.      Nama dengan kata benda, atau mashdar dan shifat musyabbah (yang menunjukkan


paling) yang disandarkan kepada diin (agama) atau Islaam.

Misalnya nama : Nuuruddiin (=cahaya agama), Dliyaa’uddin (=penerang agama),


atau Saiful-Islam (=pedang Islam). Hal ini disebabkan besarnya kedudukan
katadien dan Islaam dalam syari’at. Menggabungkan sebuah nama dengan dua kata
ini mengarah pada klaim dusta. Oleh sebab itu sebagian ulama mengharamkan[4],
namun jumhur mengatakan makruh.

Adalah An-Nawawi rahmahullahu ta’ala membenci laqab (julukan) Muhyiddin yang


disandarkan kepada. Begitu pula Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullaahu
ta’ala yang membenci laqab : Taqiyyuddin, dimana beliau berkata : {‫لكن أهلي لقبوني‬
‫“ }بذلك فاشتهر‬Namun keluargaku lah yang memberi laqab kepadaku, yang dengan
itu menjadi masyhur”.

Nama jenis ini juga termasuk nama yang mengandung tazkiyyah terhadap diri


sendiri sebagaimana dijelaskan pada nmor 2 di atas.

9.      Nama yang terdiri dari dua kata dobel.

Misalnya nama : Muhammad Ahmad, Muhammad Sa’iid, dan yang lainnya.


Penamaan seperti ini tidak dikenal dari ulama salaf, dimana hal ini hanya muncul
dari kalangan orang-orang belakangan.

10.   Nama-nama malaikat.

Sebagian ulama membenci penamaan seseorang dengannama-nama malaikat,


seperti Jibriil, Miikaaiil, Israafiil. Adapun menamakan anak perempuan dengan nama
malaikat, maka sangat jelas keharamannya. Sebab, hal itu menyerupai orang-orang
musyrikin yang meyakini baha para malaikat itu adalah anak-anak perempuan
Allah ta’ala.

11.   Nama surat-surat yang ada dalam Al-Qur’an.

Misalnya nama : Yaasiin dan Thaahaa. Adapun yang disebutkan oleh sebagian orang
awam bahwa Yaasiin dan Thaahaa termasuk nama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam, maka ini adalahkeyakinan yang keliru. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh
Ibnul-Qayyim rahimahullah dalam Tuhfatul-Mauduud hal. 88.

12.   Nama orang-orang ‘Ajam yang sulit diucapkan oleh lisan orang ‘Arab.

Misalnya nama : Niifiin, Dony, Bambang, dan lain-lain.

Nama-Nama yang Diharamkan

Diharamkan bagi seseorang memberikan nama dengan :

1.      Nama yang mengandung penghambaan kepada selain Allah.

Para ulama telah sepakat tentang keharamannya.

‫وسمع النبي صلى هللا عليه وسلم يسمون رجال منهم عبد الحجر‬.... : ‫عن هانئ بن يزيد رضي هللا عنه‬
) ‫ ( ال أنت عبد هللا‬: ‫ عبد الحجر قال‬: ‫ ( ما اسمك ؟ ) قال‬: ‫فقال النبي صلى هللا عليه وسلم‬

Dari Haani bin Yaziid radliyallaahu ‘anhu : “…Nabi shallallaahu ‘alaihi wa


sallammendengar mereka memanggil salah seorang di antara mereka dengan nama
‘Abdul-Hajar (=hamba batu). Lalu Nabi shalallaahu ‘alaihi wa
sallam bertanya :“Siapakah namamu ?”. Laki-laki itu menjawab : “’Abdul-Hajar”.
Beliau bersabda :“Gantilah namamu dengan ‘Abdullah (=hamba Allah)” [Al-Adabul-
Mufrad no. 811; shahih].
Dari sini muncul kekeliruan dalam menisbatkan penghambaan terhadap nama-nama
yang dianggap sebagai nama Allah, padahal bukan nama Allah; seperti : ‘Abdul-
Mu’iz, ‘Abdus-Sattar, ‘Abdul-Ma’buud, dan yang lainnya.

2.      Nama-nama Allah.

Seperti memberi nama dengan nama : Ar-Rahmaan, Al-Khaaliq, Al-‘Aziiz, Ar-Rahiim,


dan yang semisalnya.

Allah ta’ala berfirman :

‫سمًِيًّا‬
َ ‫م لَ ُه‬
ُ َ‫ل تَ ْعل‬
ْ ‫ه‬
َ

“Apakah engkau mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patutu
disembah)” [QS. Maryam : 65].

Yaitu tidak seorang pun yang berhak menyandang nama yang serupa dengan
namanya, yaitu Ar-Rahmaan [lihat Tafsir Al-Qurthubiy 11/130].

Masih dalam riwayat Haani bin Yaziid radliyallaahu ‘anhu sebagaimana di atas :

: ‫فسمعهم النبي صلى هللا عليه وسلم وهم يكنونه بأبي الحكم فدعاه النبي صلى هللا عليه وسلم فقال‬
‫ ال ولكن قومي إذا اختلفوا في شيء أتوني‬: ‫( إن هللا هو الحكم وإليه الحكم فلم تكنيت بأبي الحكم ؟ ) قال‬
‫ لي شريح‬: ‫ ( مالك من الولد ؟ ) قلت‬: ‫ ( ما أحسن هذا ) ثم قال‬: ‫فحكمت بينهم فرضي كال الفريقين قال‬
) ‫ ( فأنت أبو شريح‬: ‫ شريح قال‬: ‫ ( فمن أكبرهم ؟ ) قلت‬: ‫ قال‬، ‫ ومسلم بنو هانئ‬، ‫وعبد هللا‬

“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendengar ada di antara mereka yang


berkunyah Abul-Hakam. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memanggilnya dan
bersabda : “Sesungguhnya Allah itu adalah Al-Hakam, dan Dial ah yang berhak
menetapkan hukum. Apakah engkau berkunyah Abul-Hakam ?”. Ia menjawab :
“Tidak. Namun kaumku bila berselisih pada satu permasalahan, mereka
mendatangiku. Kemudian aku menghukumi apa yang mereka perselisihkan itu, dan
akhirnya mereka ridla dengan keputusanku itu. Beliau bersabda : “Betapa baik apa
yang kamu lakukan itu”. Beliau melanjutkan : “Apakah engkau memiliki anak ?”.
Aku menjawab : “Ada tiga orang : Syuraih, ‘Abdullah, dan Muslim - Bani Haani”.
Beliau bertanya : “Siapa yang paling besar/tua di antara mereka ?”. Aku
menjawab : Syuraih”. Beliau bersabda : “Gantilah kunyahmu dengan Abu Syuraih”.

3.      Nama Malikul-Muluk, Sulthaanus-Salaathiin, dan Syaahin Syaah.

)‫ عن النبي صلى هللا عليه وسلم قال (إن أخنع اسم عند هللا رجل تسمى ملك األمالك‬،‫عن أبي هريرة‬
)‫زاد ابن أبي شيبة في روايته (ال مالك إال هللا عز وجل‬.
‫ مثل شاهان شاه‬:‫ قال سفيان‬:‫قال األشعثي‬.

Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau


bersabda : “Sesungguhnya nama yang paling hina di sisi Allah adalah Malikul-
Amlaak (=Raja Diraja)”.

Pada riwayat Ibnu Abi Syaibah terdapat tambahan : “Tidak ada Raja selain Allah”.
Al-A’masy berkata : “Hal yang semisal dengan itu adalah nama Syaahaan-Syaah”
[HR. Al-Bukhari no. 6205-6206, Muslim no. 2143, dan yang lainnya].

4.      Nama Sayyidun-Naas, Sayyidul-Kul, Sittul-Kul, dan yang sejenisnya.

Hal yang sama, diharamkan pula memberi nama dengan nama Sayyidu Waladi
Adam untuk selain Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

5.      Nama berhala yang disembah selain Allah.

Misalnya nama : Latta, ‘Uzza, Manath, Isaaf, Naailah, Hubal, Buddha, Syiwa, dan
yang lainnya.

6.      Nama orang-orang Arab yang merupakan ciri khas orang kafir.

Misalnya nama : Petrus, Pieter, Georgeus, George, Paulus, dan yang semisal.
Menamakan seseorang dengan nama-nama ini merupakan perbuatan mem-bebek
dan tasyabbuh terhadap kuffar.

‫عن بن عمر قال قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم ومن تشبه بقوم فهو منهم‬

Dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhaa ia berkata : Telah bersabda


Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Dan barangsiapa menyerupai suatu
kaum, maka ia termasuk kaum tersebut” [HR. Ahmad 2/50 no. 5114-5115, 2/92 no.
5667].

7.      Nama-nama iblis, jin, dan syaithan.

Misalnya nama : Khinzab, ‘Ifrit, dan semisalnya.

Sangat Dianjurkan untuk Merubah/Mengganti Nama-Nama yang Buruk

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyenangi nama-nama yang bagus/baik dan


membenci nama-nama yang buruk. Termasuk sunnah dalam hal ini adalah merubah
nama-nama yang buruk dan diganti dengan nama-nama yang bagus/baik.

)‫ وقال (أنت جميلة‬،‫عن ابن عمر؛ أن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم غير اسم عاصية‬.

Dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa


sallam pernah mengganti nama ‘Aashiyyah (=pelaku maksiat), dan bersabda :“Namamu
Jamiilah (indah)” [HR. Muslim no. 2139].

‫ فقال‬،‫ أن رجال ً يقال له أصرم كان في النفر الذين أتوا رسول الل ّه صلى الل ّه عليه وسلم‬: ٍّ‫عن أسامة بن أخدرٍي‬
‫ "بل أنت زرعة‬:‫ قال‬،‫ أنا أصرم‬:‫ "ما اسمك؟" قال‬:‫"رسول الل ّه صلى الل ّه عليه وسلم‬.

Dari Usamah bin Akhdariy : Bahwasannya seorang laki-laki bernama Ashram (=tandus)
dan ia termasuk salah seorang yang datang menghadap Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam. Lalu Rasululah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bertanya : “Siapakah
namamu ?”. Ia menjawab : “Ashram”. Maka beliau bersabda : “Gantilah namamu
dengan Zur’ah (=subur)” [HR. Abu Dawud 4954 dan Al-Haakim no. 7729, ; shahih].

‫ لما ولد الحسن سميته حربا فجاء رسول هللا صلى هللا عليه‬: ‫عن هانئ بن هانئ عن على رضي هللا عنه قال‬
‫وسلم فقال أروني ابني ما سميتموه قال قلت حربا قال بل هو حسن فلما ولد الحسين سميته حربا فجاء رسول‬
‫هللا صلى هللا عليه وسلم فقال أروني ابني ما سميتموه قال قلت حربا قال بل هو حسين فلما ولد الثالث سميته‬
‫حربا فجاء النبي صلى هللا عليه وسلم فقال أروني ابني ما سميتموه قلت حربا قال بل هو محسن قال سميتهم‬
‫بأسماء ولد هارون شبر وشبير ومشبر‬

Dari Haani’ bin Haani’, dari ‘Ali radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Ketika Al-Hasan lahir,
aku member nama Harb. Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang dan
bersabda : “Coba bawa kemari cucuku, dan siapakah namanya ?”. Aku berkata : “Harb”.
Beliau bersabda : “Gantilah namanya Hasan”. Ketika Al-Husain lahir, aku pun kembali
menamainya Harb. Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang dan
bersabda : “Coba bawa kemari cucuku, dan siapakah namanya ?”. Aku berkata : “Harb”.
Beliau bersabda : “Gantilah namanya Husain”. Ketika anakku yang ketiga lahir, kembali
aku namakan Harb. Kemudian Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang dan
bersabda :“Coba bawa kemari cucuku, dan siapakah namanya ?”. Aku berkata : “Harb”.
Beliau bersabda : “Gantilah namanya Muhsin”. Beliau meneruskan : “Sesungguhnya aku
memberi nama mereka dengan nama anak-anak Harun, yaitu Syabbar, Syabiir, dan
Musyabbir” [HR. Ahmad 1/98 no. 769, Haakim no. 4773, Al-Baihaqi 6/166, dan yang
lainnya; hasan].

Al-Imam Abu Dawud rahimahullah berkata :

‫وغيَّر النبي صلى الل ّه عليه وسلم اسم العاص وعزيز وعتلة وشيطان والحكم وغراب وحباب وشهاب فسماه‬
‫ وشعب الضاللة‬،‫ وأرضاً تسمى َع ِف َر َة سماها خضرة‬،‫ وسمى المضطجع المنبعث‬،ً‫ وسمى حرباً سلما‬،ً‫هشاما‬
‫ وسمى بني مغوية بني رشدة‬،‫الِزنية سماهم بني الرشدة‬
ِّ ‫ وبنو‬،‫سماه شعب الهدى‬.
‫ تركت أسانيدها لالختصار‬:‫قال أبو داود‬.

“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengubah nama Al-‘Aash, ‘Aziiz, ‘Atlah, Syaithaan,


Al-Hakam, Ghuraab, Hubaab, dan Syihaab dan menggantinya dengan nama Hisyaam.
Beliau mengganti nama Harb menjadi Silm dan Al-Mudlthaji’ menjadi Al-Munba’its.
Begitu pula beliau mengganti nama tempat di muka bumi yang bernama ‘Afirah menjadi
Khadlirah, Syi’abudl-Dlalaalah menjadi Syi’abul-Hudaa, Banu Az-Zinyah menjadi Banu
Ar-Risydah, dan Banu Mughwiyyah menjadi Banu Rusydah”. Abu Dawud berkata : Aku
buang sanad-sanadnya untuk memperingkas” [Shahih Sunan Abi Daawud 3/217;
Maktabah Al-Ma’aarif, Cet. 1/1419 H].

Larangan Memberikan Laqab (Gelar) yang Jelek

Allah ta’ala berfirman :
‫ن‬
َّ ‫خ ْي ًرا ِم ْن ُه‬ َّ ‫سى أَنْ يَك‬
َ ‫ُن‬ َ ‫ِسا ٍء َع‬ َ ‫ِن ن‬ ْ ‫اء م‬ٌ ‫ِس‬َ ‫م َوال ن‬ َ ‫سى أَنْ يَكُو ُنوا‬
ْ ‫خ ْي ًرا ِم ْن ُه‬ َ ‫ِن َق ْو ٍم َع‬
ْ ‫َوم م‬ٌ ‫خ ْر ق‬ َ ‫س‬ َ ‫يَا أَيُّ َها الَّذ‬
ْ َ‫ِين آ َم ُنوا ال ي‬
َ‫ِمون‬
ُ ‫م الظ َّال‬ُ ‫ه‬ َ ‫ب ف َُأولَ ِئ‬
ُ ‫ك‬ ْ ‫م يَ ُت‬ْ َ‫ن ل‬ْ ‫مانِ َو َم‬
َ ‫سوقُ بَ ْع َد اإلي‬ ُ ‫م ا ْل ُف‬ُ ‫االس‬
ْ ‫ْس‬
َ ‫ب بِئ‬ ِ ‫ُم َوال تَ َنابَ ُزوا بِاأل ْلقَا‬
ْ ‫سك‬ َ ‫َوال تَ ْلم ُِزوا أَ ْن ُف‬

“Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain
(karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-
olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh
jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok)
dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil
dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk
sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang
yang dhalim” [QS. Al-Hujuraat : 11].

‫رسول هللا‬
ُ َ ‫ َق ِد‬: ‫قال‬  ) ِ‫( َوال تَ َنابَ ُزوا بِاأل ْلقَاب‬  - ‫ في بنى سلمة‬- ‫زلت‬
‫م َعلي َنا‬ ْ َ‫ فينا ن‬: ‫عن أبي جبيرة بن الضحاك قال‬
) ‫ ( يَا فُالن‬: ‫قول‬
ُ َ‫بي صلى هللا عليه وسلم ي‬ ُ ‫ج َعل ال َّن‬ َ ‫ل إال لَه اس‬
َ ‫ َف‬، ِ‫مان‬ ٌ ‫ج‬
ُ ‫وليس ِم َّنا َر‬
َ ‫صلى هللا عليه وسلم‬
‫ِنه‬
ُ ‫َب م‬
ُ ‫فَيقولُونَ يا رسول هللا إِنَّ ُه يَغض‬

Dari Abu Jubairah bin Adl-Dlahhaak ia berkata : “Firman Allah ta’ala : walaa tanaabazuu


bil-alqaab turun kepada kami dan Bani Salamah”. Ia kembali berkata : “Ketika
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengunjungi kami, tidaklah seorang pun di
antara kami melainkan mempunyai dua nama. Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallambersabda : “Wahai Fulan”. Maka mereka berkata : “Wahai Rasulullah,
sesungguhnya ia marah (dipanggil dengan nama itu”[5] [HR. Al-Bukhari dalam Al-
Adabul-Mufrad no. 330, Abu Dawud no. 4962, Ibnu Majah no. 3741, dan yang lainnya;
shahih].

Haram hukumnya memberikan laqab (gelar) yang buruk dan saling memanggil


dengannya. Jika laqab tersebut mengandung pujian (yang tidak berlebihan) dan orang
tersebut menyukainya, maka diperbolehkan. Ini dapat dibuktikan dari perbuatan
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang memberikan laqab (gelar) kepada
beberapa orang shahabat, seperti Amiinul-Ummah kepada Abu ‘Ubaidah, Dzul-
Janaahainkepada Ja’far bin Abi Thaalib, dan yang lainnya radliyallaahu ‘anhum.

Al-Imam An-Nawawiy rahimahullah berkata :

،‫ واألعرج‬،‫ واألعمى‬،‫واألجلح‬ ،‫ سواء كان له صفة؛ كاألعمش‬،‫اإلنسان بما يكره‬ ِ ‫واتفق العلماء على تحريم تلقيب‬
،‫ والزمن‬،‫ واألقطع‬،‫ واألثرم‬،‫ واألشتر‬،‫ واألفطس‬،‫ واألزرق‬،‫م‬
ّ ‫ واألص‬،‫ واألحدب‬،‫ واألصفر‬،‫ واألشج‬،‫ واألبرص‬،‫واألحول‬
‫ واتفقوا على جواز ذكره بذلك على جهة التعريف‬.‫ أو كان صفة ألبيه أو ألمه أو غير ذلك مما يَكره‬،‫ل‬
ّ ‫ واألش‬،‫والمقعد‬
.‫لمن ال يعرفه إال بذلك‬

“Para ulama sepakat diharamkannya memberikan laqab (gelar) pada seseorang dengan


gelar yang ia benci, baik gelar tersebut diambil dari sifatnya seperti : Al-A’masy (si
rabun), Al-Ajlah (si botak), Al-A’maa (si buta), Al-A’raj (si pincang), Al-Ahwal (si
juling),Al-Abrash (yang mengidap penyakit kusta), Al-Asyaj (yang kepalanya luka), Al-
Ashfar(si kuning), Al-Ahdab (si bungkuk), Al-Asham (si bisu), Al-Azraq (si biru), Al-
Afthasy (si pesek), Al-Asytar (si cacat), Al-Asyram (si sumbing), Al-Aqtha’ (si
buntung), Az-Zaman(si pengidap penyakit yang tidak akan sembuh), Al-Maq’ad (yang
selalu duduk), dan Al-Asyal (si lumpuh); atau menjulukinya dengan sifat ibu atau
bapaknya atau julukan lainnya yang tidak ia senangi. Namun para ulama sepakat
tentang kebolehan memberikan laqab (julukan) seperti itu jika seseorang tidak dikenal
melainkan denganlaqab tersebut” [Al-Adzkaar oleh An-Nawawiy, 2/342; Maktabah
Nizaari Mushthafa Al-Baaz, Cet. 1/1417 H].

Memberi Kunyah kepada Anak Kecil

Diperbolehkan memberikan kunyah kepada anak keci, sebagaimana tertera dalam hadits


:

‫عن أنس بن مالك قال كان رسول هللا صلى هللا عليه وسلم أحسن الناس خلقا وكان لي أخ يقال له أبو عمير قال‬
‫أحسبه قال كان فطيما قال فكان إذا جاء رسول هللا صلى هللا عليه وسلم فرآه قال أبا عمير ما فعل النغير قال‬
‫فكان يلعب به‬

Dari Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa


sallam adalah orang yang paling baik akhlaqnya. Dan aku mempunyai saudara laki-laki
yang dipanggil Abu ‘Umair yang aku kira waktu itu sedang disapih. Apabila
Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam datang dan melihatnya, beliau
menyapanya : “Wahai Abu ‘Umair, apa yang terjadi pada An-Nughair (si burung pipit
kecil) ?”. Waktu itu ia sedang bermain dengan nughair” [HR. Al-Bukhari no. 6129,6203;
Muslim no. 2150; Abu Dawud no. 4969; At-Tirmidzi no. 333,1989; Ibnu Majah no. 3720;
Ibnu Hibbaan no. 2308, 2506; dan yang lainnya].

Boleh Ber-Kunyah Walaupun Belum/Tidak Mempunyai Anak

Mari kita simak hadits Shuhaib berikut ini :

‫ و انتميت‬, ‫ اكتنيت و ليس لك ولد‬ : ‫ و ما هن ? قال‬: ‫ لوال خصال ثالث فيك ! قال‬, ‫ أي رجل أنت‬: ‫قال عمر لصهيب‬
‫ فإن رسول هللا‬, ‫ اكتنيت و لم يولد لك‬: ‫ أما قولك‬: ‫ قال‬. ‫ و فيك سرف في الطعام‬, ‫إلى العرب و أنت من الروم‬
. ‫ و أنت رجل من الروم‬, ‫ انتميت إلى العرب و لست منهم‬: ‫ و أما قولك‬, ‫ وسلم كناني أبا يحيى‬ ‫صلى هللا عليه‬
‫ فيك سرف‬: ‫ و أما قولك‬, ‫عرفت نسبي‬ ‫فإني رجل من النمر بن قاسط فسبتني الروم من الموصل بعد إذ أنا غالم‬
‫ خياركم من أطعم الطعام‬: ‫عليه وسلم يقول‬ ‫ فإني سمعت رسول هللا صلى هللا‬, ‫في الطعام‬

 ‘Umar pernah berkata kepada Shuhaib : “Engkau adalah laki-laki yang sempurna, jika
saja tidak ada tiga hal pada dirimu”. Shuhaib berkata : “Apakah itu ?”. ‘Umar
menjawab : “(1) Engkau memakai kunyah padahal engkau tidak mempunyai anak, (2)
engkau menggolongkan diri ke dalam bangsa ‘Arab padahal engkau orang Romawi, dan
(3) padamu ada kelebihan makanan”. Shuhaib berkata : “Adapun ucapanmu - engkau
memakai kunyah padahal engkau tidak mempunyai anak - , sesungguhnya
Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam memberiku kunyah Abu Yahyaa. Adapun
ucapanmu – engkau menggolongkan diri ke dalam bangsa ‘Arab padahal engkau orang
Romawi - , maka sebenarnya aku laki-laki dari An-Namr bin Qaasith. Lalu orang Rowawi
dari Al-Mushil menawanku, ketika itu aku adalah anak kecil yang telah tahu nasabku.
Adapun ucapanmu – padamu ada kelebihan makanan - , maka aku telah mendengar
Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sebaik-baik kalian adalah orang
yang memberi makanan” [HR. Ibnu Majah no. 3738, Ahmad 6/16 no. 23971, Al-Haakim
no. 5701, dan yang lainnya – lihat Silsilah Ash-Shahiihah 1/109-111 no. 44].

Setelah membawakan hadits ini Asy-Syaikh Al-Albani berkata :

‫ أن النبي صلى هللا عليه وسلم كنى‬ ‫ بل قد صح في البخاري و غيره‬, ‫ لمن لم يكن له ولد‬, ‫مشروعية االكتناء‬
‫ و قد هجر‬. " ‫ هذا سنا يا أم خالد‬, ‫هذا سنا يا أم خالد‬ : ‫طفلة صغيرة حينما كساها ثوبا جميال فقال لها‬
‫ فقلما تجد من يكتني منهم و لو كان له‬, ‫منهم هذه السنة العربية اإلسالمية‬ ‫المسلمون السيما األعاجم‬
‫ و‬, ‫ و البيك‬, ‫ األفندي‬: ‫مثل‬ ,‫ و أقاموا مقام هذه السنة ألقابا مبتدعة‬ ? ‫ فكيف من ال ولد له‬, ‫من األوالد‬ ‫طائفة‬
‫ يدخل بعضه أو كله في باب التزكية المنهي عنها في أحاديث‬ ‫ و نحو ذلك مما‬, ‫ أو األستاذ‬, ‫ ثم السيد‬, ‫الباشا‬
‫ فليتنبه لهذا‬. ‫ كثيرة‬.

“Disyari’atkannya berkunyah bagi orang yang belum memiliki anak. Bahkan telah shahih
dalam kitab Shahih Al-Bukhari dan selainnya bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam memberi kunyah pada gadis kecil ketika beliau memakaikan baju kepadanya.
Beliau berkata kepada anak itu : “Ini bagus wahai Ummu Khaalid, ini bagus wahai
Ummu Khaalid”. Kaum muslimin, terlebih lagi orang-orang ajam (non-‘Arab) dari
kalangan mereka telah meninggalkan sunnah ‘Arabiyyah Islamiyyah ini. Maka jarang
sekali engkau dapatkan dari mereka yang memakai kunyah walaupun ia memiliki banyak
anak. Lalu bagaimana lagi keadaannya orang yang tidak mempunyai anak ? (tentu lebih
jauh dari ber-kunyah). Mereka menggantikan tempat sunnah ini dengan gelar-gelar
yang mereka ada-adakan seperti Al-Affandi, Al-Beik, Al-Baasyaa, As-Sayyid, Al-Ustadz,
dan yang semisalnya dari gelar-gelar yang sebagian atau seluruhnya masuk dalam
bab tazkiyyah yangdilarang dalam banyak hadits. Maka perhatikanlah ini !!” [Silsilah
Ash-Shahiihah, 1/110-111].

Catatan : Khusus dua gelar – yaitu Al-Ustadz dan As-Sayyid – yang disebutkan Asy-
Syaikh Al-Albani di atas memerlukan perincian. Untuk gelar Al-Ustadz, apabila ini
diberikan kepada yang berhak sebagai satu penghormatan, maka tidak mengapa.
Banyak nukilan dari ulama salaf tentang ini. Misalnya saja Al-Imam Ibnu
Khuzaimahrahimahullah dalam Shahih-nya no. 312 mengatakan :

‫أخبرنا أبو طاهر‬ ‫األستاذ أبو عثمان إسماعيل بن عبد الرحمن الصابوني‬ ‫أخبرنا‬.....


“Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Ustaadz Abu ‘Utsmaan Ismaa’iil bin ‘Abdirrahman
Ash-Shaabuuniy : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Thaahir….”.

Al-Imam An-Nawawiy berkata dalam Syarh Shahih Muslim :

‫وفيه قول األستاذ أبي إسحاق االسفرايني الذي قدمناه في الفصول أنه ال يحتج به‬،

“Dan di padanya terdapat perkataan Al-Ustaadz Abu Ishaaq Al-Isfiraayiniy yang telah


kami sebutkan terdahulu dalam Al-Fushuul bahwasannya ia tidak berhujjah dengannya”.

Dan masih banyak yang lainnya.

Adapun tentang gelar As-Sayyid, maka akan dibahas pada uraian selanjutnya insya
Allah.

Ber-kunyah dengan Abul-Qaasim

Tentang pemakaian kunyah Abul-Qasim, terjadi khilaf di antara ulama’.

1.      Asy-Syafi’iyyah dan Adh-Dhahiriyyah berpendapat tidak bolehnya berkunyah Abul-


Qaasim secara mutlak, baik nama orang yang bersangkutan Muhammad, Ahmad,
atau yang lainnya. Hal ini didasarkan oleh sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

‫تسموا باسمي وال تكنوا بكنيتي‬

“Pakailah nama dengan namaku dan jangan kalian berkunyah dengan


kunyahku”[HR. Al-Bukhari no. 2120,2121,3537; Muslim no. 2131; Abu Dawud no.
4965; At-Tirmidzi no. 2841; Ibnu Majah no. 3736; Al-Baihaqi dalam Al-
Kabiir 9/388; dan yang lainnya].

2.      Sebagian ulama salaf berpendapat bahwa larangan menggunakan kunyah Abul-


Qaasim hanyalah khusus bagi mereka yang bernama Muhammad atau Ahmad saja.
Bagi yang tidak bernama ini, maka boleh baginya ber-kunyah Abul-Qaasim. Hal ini
didasarkan oleh sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :

‫ ومن تكنى بكنيتي فال يتسمى باسمي‬،‫من تسمى باسمي فال يتكنى بكنيتي‬

“Barangsiapa memiliki nama seperti namaku, maka jangan berkunyah dengan


kunyahku. Dan barangsiapa yang berkunyah dengan kunyahku, maka jangan ia
memakai namaku” [HR. Abu Dawud no. 4966; Ahmad 2/455 no. 9863, 3/313 no.
14396; dan Al-Baihaqi dalam Al-Kubraa 9/309].

Hadits ini munkar. Hadits ini diriwayatkan oleh Jaabir dan Abu Hurairahradliyallaahu
‘anhuma. Dari jalan Jaabir, maka status riwayatnya adalah munkar.Cacatnya ada
pada Abuz-Zubair, ia seorang mudallis yang meriwayatkan secara‘an’anah. Selain
itu, ia telah menyalahi tiga perawi tsiqah lainnya. Adapun dari Abu Hurairah, maka
ia lemah karena kelemahan Syariik. Ia seorang yang jelek hafalannya (sayyi’ul-
hifdhiy).

Kesimpulannya, hadits ini adalah dla’if sehingga tidak bisa dipakai untuk


berdalil.Wallaahu ‘alam.

‫ ال تجمعوا بين اسمي وكنيتي فإني أنا أبو القاسم هللا‬: ‫عن أبي هريرة عن النبي صلى هللا عليه وسلم قال‬
‫عز وجل يعطي وأنا أقسم‬

Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau


bersabda :“Janganlah kalian mengumpulkan antara namaku dan kunyahku. Karena
sesungguhnya akulah Abul-Qasim. Allah ‘azza wa jalla lah yang memberi dan akulah
yang membagi” [HR. Ahmad 2/433 no. 9596; Ibnu Hibban no. 5814, 5817; dan
yang lainnya – shahih].

Hadits ini memberikan mafhum bahwa jika tidak mengumpulkan antara nama


dankunyah adalah diperbolehkan.

3.      Malikiyyah dan jumhur ulama mengatakan kebolehannya secara mutlak. Adapun


larangan dalam hadits telah mansukh dengan dalil sabda Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam :

‫ما الذي أحل اسمي وحرم كنيتي أو ما الذي حرم كنيتي وأحل اسمي‬

“Apakah gerangan yang membolehkan memakai namaku, namun mengharamkan


kunyahku ?” [HR. Abu Dawud no. 4968; Ahmad 6/135 no. 25084, 6/209 no. 25788;
Al-Baihaqi dalam Al-Kubraa 9/310,

Namun hadits ini adalah dla’if munkar. Cacatnya terletak pada perawi Muhammad
bin ‘Imraan Al-Hajabiy. Tidaklah ia diketahui melainkan dari hadits ini
saja.Nakarah (pengingkaran) akan riwayat ini juga ditegaskan oleh Adz-Dzahabiy
dalamAl-Miizaan 3/673.  Di sini ia menyelisihi riwayat Muhammad bin ‘Abdirrahman
Al-Hajabiy. Lihat takhrij Asy-Syaikh Al-Arna’uth dalam Musnad Al-Imam
Ahmad41/490-491.

Mereka juga berpendapat bahwa kunyah Abul-Qaasim ini telah masyhur dan ada


semenjak dahulu tanpa adanya pengingkaran.

4.      Ibnu Jarir yang berpendapat bahwa hadits tersebut tidak mansukh, namun


pelarangan yang terkandung dalam hadits hanyalah berderajat makruh saja. (bukan
haram).

5.      Sebagian ulama berpendapat bahwa larangan itu hanya berlaku di jaman


Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam saja. Adapun setelah beliau wafat, maka boleh
berkunyah dengan Abul-Qaasim. Mereka berdalil dengan riwayat :

‫عن أنس بن مالك رضى هللا تعالى عنه قال كان النبي صلى هللا عليه وسلم في السوق فقال رجل يا أبا‬
‫القاسم فالتفت إليه النبي صلى هللا عليه وسلم فقال إنما دعوت هذا فقال النبي صلى هللا عليه وسلم‬
‫سموا باسمي وال تكنوا بكنيتي‬
Dari Anas ia berkata : Pernah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berada di pasar.
Tiba-tiba ada seorang laki-laki yang memanggil : ‘Hai, Abul-Qaasim !’.
Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam menoleh kepadanya. Ia pun berkata kepada beliau
: ‘Sesungguhnya aku hanya bermaksud memanggil orang ini’. Maka
Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Pakailah namaku, namun jangan
berkunyah dengan kunyahku” [HR. Al-Bukhari no. 2120, 2121; Muslim no. 2131;
Ibnu Majah no. 3737, Al-Baihaqi dalam Al-Kubraa 9/308-309; dan yang lainnya].

Tarjih :

Yang terkuat di sini – wallaahu a’lam – adalah pendapat kedua yang mengatakan
haramnya berkunyah Abul-Qaasim bagi orang yang bernama Muhammad atau Ahmad.
Hal ini didukung oleh hadits :

‫عن جابر بن عبد هللا أن رجال من األنصار ولد له غالم فأراد أن يسميه محمدا فأتى النبي صلى هللا عليه وسلم‬
‫فسأله فقال أحسنت األنصار سموا باسمي وال تكتنوا بكنيتي‬

Jabir berkata : Lahir anak laki-laki dari seorang Anshar lalu ia beri nama Muhammad.
Maka berkata Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Alangkah bagusnya orang-orang
Anshar. Mereka menamakan dengan namaku dan tidak berkunyah dengan kunyahku.
Hanya saja aku adalah Qaasim (pembagi), aku membagi diantara kalian. Maka berilah
nama dengan namaku dan janganlah berkunyah dengan kunyahku” [HR. Muslim no.
2133].

Diperkuat lagi oleh hadits ‘Ali radliyallaahu ‘anhu :

‫ يا رسول هللا أرأيت إن ولد لي بعدك أسميه محمدا وأكنيه بكنيتك قال نعم قال‬: ‫عن علي بن أبي طالب أنه قال‬
‫فكانت رخصة لي‬

Dari ‘Ali bin Abi Thaalib ia berkata : “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika lahir
seorang anak laki-laki bagiku setelah engkau wafat yang aku namai ia dengan
Muhammad dan aku beri ia  kunyah  dengan kunyah-mu ?. Beliau menjawab : “Ya,
boleh”. ‘Ali berkata : “Hal itu merupakan rukhshah bagiku”. [HR. Abu Dawud no. 4967,
At-Tirmidzi no. 2843, Al-Baihaqi dalam Al-Kabiir 3/309, Abu Ya’la no. 303, dan yang
lainnya; shahih].

Perkataan ‘Ali : “Hal itu merupakan rukhshah bagiku” mengandung faedah bahwa asal
keharaman bagi apa yang ‘Ali minta ijin dengannya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam; yaitu memberi nama Muhammad dan memberikan kunyah Abul-Qaasim
(kunyah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam) kepada anaknya. Hal ini selaras dengan
hadits : “Janganlah kalian mengumpulkan antara namaku dan kunyahku”.
Ini merupakan pendapat pertengahan di antara pendapat-pendapat yang disebutkan di
atas.

Adapun perkataan ‘Ali : { ‫}بعدك‬ “setelah engkau wafat” ; mengandung faedah bahwa


larangan ber-kunyah dengan Abul-Qaasim bagi orang yang bernama Muhammad/Ahmad
hingga saat ini (tidak terbatas pada waktu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam saja).

Hukum Memberi Nama Sayyid

،‫ أنت سيدنا‬:‫ انطلقت في وفد بني عامر إلى رسول الل ّه صلى الل ّه عليه وسلم فقلنا‬:‫ قال أبي‬:‫مطِرف قال‬ ِّ ‫عن‬
‫ وال‬، ‫ "قولوا بقولكم أو بعض قولكم‬:‫ فقال‬،ً‫ وأفضلنا فضال ً وأعظمنا طَ ْوال‬:‫"السيِيِّد الل ّه [تبارك وتعالى]" قلنا‬
َّ :‫فقال‬
‫"يستجرينكم الشيطان‬.

Dari Mutharrif, ia berkata : Telah berkata bapakku : Aku dan Bani ‘Aamir pergi
menghadap Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Kami berkata kepada beliau :
“Engkau adalah Sayyid kami”. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “As-
Sayyid itu hanyalah Allah tabaaraka wa ta’aalaa”. Kami berkata : “Kami hanyalah ingin
mengutamakan dan mengagungkan orang yang memang punya keutamaan”.
Beliaushallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Katakanlah dengan ucapanmu atau
sebagian ucapanmu itu. Namun janganlah sampai kalian jadikan syaithan sebagai
penolongnya”[HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul-Mufrad no. 211; Abu Dawud no. 4806;
Ahmad no. 4/24 16350, 4/25 no. 16359; An-Nasa’iy dalam Al-Kubraa no. 10076; Ibnu
‘Asaakir 4/71; dan Adl-Dliyaa’ no. 444 – shahih].

Sebagian ulama menggunakan hadits di atas sebagai dalil tidak diperbolehkannya


penggunaan kata Sayyid secara mutlak. Namun pendapat ini perlu ditinjau kembali,
karena ada beberapa riwayat yang menunjukkan diperbolehkannya
menyebut Sayyidkepada seseorang. Diantaranya :

‫ بعث رسول هللا‬،‫ هو ابن معاذ‬،‫ لما نزلت بنو قريظة على حكم سعد‬:‫عن أبي سعيد الخدري رضي هللا عنه قال‬
‫ (قوموا‬:‫ فلما دنا قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬،‫ فجاء على حمار‬،‫ وكان قريبا منه‬،‫صلى هللا عليه وسلم‬
)‫إلى سيدكم‬

Dari Abu Sa’id Al-Khudriy radliyallaahu ‘anhu : Ketika Banu Quraidhah menyerahkan


penetapan hukum kepada Sa’d bin Mu’adz, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallammengutusnya agar menghadap kepada beliau, dimana posisinya tidak jauh dari
beliau. Sa’d pun datang dengan mengendarai keledai. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam bersabda : “Berdirilah menuju Sayyid kalian…” [HR. Al-Bukhari no. 3043;
Muslim no. 1768; Abu Dawud no. 5215; dan Ahmad 3/22 no. 11184 3/71 no. 11698].
‫ وهو يقبل‬،‫ والحسن بن علي إلى جنبه‬،‫ رأيت رسول هللا صلى هللا عليه وسلم على المنبر‬: ‫عن أبي بكرة قال‬
‫ ولعل هللا أن يصلح به بين فئتين عظيمتين من‬،‫ (إن ابني هذا سيد‬:‫ ويقول‬،‫على الناس مرة وعليه أخرى‬
)‫المسلمين‬.

Dari Abu Bakrah ia berkata : Aku pernah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa


sallam berdiri di atas mimbar, sedangkan Al-Hasan berada di sampingnya. Beliau
menghadap kepada orang-orang sekali, dan di kali lain beliau menghadap kepada Al-
Hasan. Hingga beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya anakku
ini adalah Sayyid (pemimpin). Semoga melalui perantaraannya Allah akan mendamaikan
dua kelompok besar kaum muslimin” [HR. Al-Bukhari no. 2704 dan Ahmad 5/44 no.
20466, 5/51 20535]

Cara mengkompromikan hadits-hadits di atas adalah membawa dalil pelarangan


memberikan/menggunakan nama Sayyid apabila menggunakan alif dan laam (yaitu As-
Sayyid), namun diperbolehkan jika tidak menggunakan alif-laam (yaitu Sayyid) jika
disandarkan kepada kaum tertentu atau negara tertentu. Seperti : Sayyidul-
Qaum,Sayyid Ahli Balad, dan yang lainnya. Panggilan As-Sayyid (dengan alif laam)
hanya khusus diperuntukkan kepada Allah. Wallaahu a’lam.

Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata ketika menjelaskan QS. Aali ‘Imraan ayat


39 :

‫…ففيه داللة على جواز تسمية اإلنسان سيدا كما يجوز أن يسمى عزيزا أو كريما‬

“Ayat di atas menunjukkan diperbolehkannya menamakan seseorang dengan Sayyid


sebagaimana diperbolehkan untuk memberikan nama ‘Aziiz, Kariim,….” [Tafsir Al-
Qurthubiy, 4/77, tahqiq : Hisyaam Samiir Al-Bukhariy; Daar ‘Aalamil-Kutub, Cet. Thn.
1423 H].

Kebolehan ini ditambahkan syarat, jika memang orang tersebut layak dan pantas
menerima nama/julukan tersebut. Dilarang memberikan gelar atau memanggil orang
fasiq, penggemar maksiat, atau ahli bid’ah.

‫ ( ال تقولوا للمنافق سيد‬: ‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬: ‫عن عبد هللا بن بريدة عن أبيه رضي هللا عنه قال‬
) ‫ن فإنه إن يك سيدكم فقد أسخطتم ربكم عز وجل‬

Dari ‘Abdullah bin Buraidah, dari bapaknya radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah


bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Janganlah kalian memanggil orang
munafiq dengan panggilan Sayyid (tuan). Karena sekalipun ia seorang tuan kalian
(dalam hal-hal urusan dunia), tapi kalian telah membuat marah Rabb kalian ‘azza wa
jalla” [HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul-Mufrad no. 760, Abu Dawud no. 4977, dan
Ahmad 5/346-347; shahih].
Memberi Nama atau Memanggil kepada Seseorang/Anak dengan Nama Allah
Seperti Kariim, ‘Aziiz, Lathiif, dan yang Semisal

Berikut penjelasan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah :

‫التسمي بأسماء هللا عز وجل يكون على وجهين الوجه األول أن يحلى بال أو يقصد باالسم ما دل عليه من صفة‬
‫ففي هذه الحال ال يسمى به غير هللا كما لو سميت أحداً بالعزيز والسيد والحكيم وما أشبه ذلك فإن هذا ال‬
‫يسمى به غير هللا ألن أل هذه تدل على لمح األصل وهو المعنى الذي تضمنه هذا االسم وكذلك إذا قصد باالسم‬
‫وإن لم يكن محال بال إذا قصد باالسم معنى الصفة فإنه ال يسمى به ولهذا غير النبي صلى هللا وسلم كنية أبي‬
‫الحكم التي تكنى بها ألن أصحابه يتحاكمون إليه فقال النبي عليه الصالة والسالم إن هللا هو الحكم وإليه الحكم‬
‫ثم كناه بأكبر أبنائه شريح كناه بأبي شريح فدل ذلك على أنه إذا تسمى أحد باسم من أسماء هللا مالحظا بذلك‬
‫معنى الصفة التي تضمنها هذا االسم فإنه يمنع ألن هذه التسمية تكون مطابقة تماما ألسماء هللا سبحانه‬
‫وتعالى أما الوجه الثاني فهو أن يتسمى باسم غير محال بال وال مقصود وال مقصود به معنى الصفة فهذا ال بأس‬
‫به مثل الحكم وحكيم ومن أسماء بعض الصحابة حكيم بن حزام الذي قال له النبي عليه الصالة والسالم ال تبع ما‬
‫ليس عندك وهذا دليل على إنه إذا لم يقصد باالسم معنى الصفة فإنه ال بأس به لكن في مثل جبار ال ينبغي أن‬
‫يتسمى به وإن كان لم يالحظ الصفة وذلك ألنه قد يؤثر في نفس المسمى فيكون معه جبروت وعلو واستكبار‬
‫على الخلق فمثل هذه األشياء التي قد تؤثر على صاحبها ينبغي لإلنسان أن يتجنبها وهللا أعلم‬.

“Memberi nama dengan nama Allah ‘azza wa jalla memiliki dua sisi :

Pertama, Penyebutan nama dengan menggunakan huruf alif dan laam atau bertujuan


dengan pemberian nama itu untuk menunjukkan sifat yang terkandung dalam nama
tersebut; maka yang demikian tidak diperbolehkan diberikan kepada selain Allah. Seperti
halnya engkau memberikan nama kepada seseorang dengan nama Al-‘Aziiz, As-Sayyid,
Al-Hakiim, dan yang seruap dengan itu. Lasannya karena dengan adanya
penambahan Alif dan Laam berarti menunjukkan kepada asal dari makna yang
terkandung dalam nama tersebut.

Begitu juga jika bertujuan untuk menunjukkan sifat, walaupun tidak menggunakan alif
laam. Nama seperti ini tidak boleh diberikan kepada selain Allah. Oleh karena itu
Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mengganti kunyah Abul-Hakam karena teman-
temannya selalu meminta putusan hukum kepadanya. Nabi ‘alaihish-shalaatu was-
salaam : “Sesungguhnya Allah adalah Al-Hakam dan hanya Dia-lah yang berhak
enetapkan hukum”. Kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wa
sallam memberinya kunyahdengan nama anaknya yang paling besar yang bernama
Syuraih. Ini menunjukkan apabila seseorang memiliki nama dengan salah satu nama
Allah yang mengandung makna sifat (sengaja disesuaikan dengan sifat, pekerjaan, atau
keadaan), maka hal itu dilarang oleh syari’at. Sebab, dengan begitu ada kesan
mencocok-cocokkan (berusaha menyesuaikan) antara nama dengan penyandaran.

Kedua, menamai dengan nama-nama Allah tanpa didahului oleh huruf alif dan laam,


serta tidak bermaksud menyesuaikan dengan makna sifat yang terkandung dalam nama
tersebut. Hal ini diperbolehkan seperti nama : Al-Hakam dan Hakiim. Di antara shahabat
ada yang benama Hakiim bin Hizaam, salah seorang shahabat yang Rasulullah ‘alaihish-
shalaatu was-salaam pernah berkata kepadanya : “Janganlah engkau menjual sesuatu
yang bukan milikmu”. Hadits tersebut menunjukkan bolehnya memakai nama tersebut
selama penamaan itu tidak bermaksud untuk menetapkan makna sifat yang terkadung
di dalamnya. Tetapi, ada nama Allah lainnya yang tidak pantas untuk dijadikan sebagai
nama manusia seperti Jabbar, meskipun tidak bermaksud untuk menetapkan makna
sifat yang terkandung dalam nama tersebut. Karena bisa jadi nama itu mempengaruhi
diri orangnya sehingga dirinya menjadi orang yang sombong, angkuh, dan takabbur
terhadap orang lain. Oleh karena itu, sepantasnya seorang muslim tidak memakai nama
seperti ini. Wallaahu a’lam [Fataawaa Nuur ‘alad-Darb, juz 1].

Apa yang dijelaskan oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin tentang kebolehan menggunakan
nama Allah jika tanpa di awali alif dan laam dikuatkan oleh firman Allah ta’ala :

‫ِيم‬
ٌ ‫ِين َر ُءوفٌ َرح‬ ْ ‫يص َعلَ ْيك‬
ُ ‫ُم بِا ْل‬
َ ‫م ْؤ ِمن‬ ٌ ‫ح ِر‬
َ ‫ُّم‬ ِ ‫يز َعلَ ْي‬
ْ ‫ه َما َعنِت‬ ٌ ‫ُم َع ِز‬ ِ ‫ِن أَ ْن ُف‬
ْ ‫سك‬ ْ ‫ول م‬
ٌ ‫س‬ُ ‫ُم َر‬ َ ‫لَق َْد‬
ْ ‫جا َءك‬

“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa
olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu,
amat belas kasihan (Rauf) lagi penyayang (Rahiim) terhadap orang-orang mukmin” [QS.
At-Taubah : 128].

Pada ayat di atas Allah ta’ala telah menisbatkan sebagian nama-Nya – sekaligus sifat-


Nya – kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu Rauf dan Rahiim (dengan
tanpa huruf alif dan laam).

Wallaahu ta’ala a’lam.

Selesai ditulis oleh Abul-Jauzaa’ di Ciomas Permai, Rabi’uts-Tsaniy 1430 – dikumpulkan dari beberapa sumber
(Ibnul-Qayyim, Bakr Abu Zaid, Ahmad Al-‘Isawiy, Ibnu ‘Utsaimin, Salim Asy-Syibliy, Muhammad Khalifah
Ar-Rabbah, dll).

[1]     Lahab  artinya adalah lidah api.

[2]     Yaitu setelah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam  mengunjungi rumahnya atau memberikan


giliran hari kepadanya.

[3]     Al-Imam Al-Ajurriy rahimahullah  menuliskan dalam kitabnya :

‫ نعوذ باهلل من‬، ‫ ال على جهة الشك‬، ‫ االستثناء في اإليمان‬: ‫من صفة أهل الحق ممن ذكرنا من أهل العلم‬
‫ ال يدري أهو ممن يستحق حقيقة‬، ‫ ولكن خوف التزكية ألنفسهم من االستكمال لإليمان‬، ‫الشك في اإليمان‬
‫ آمنت باهلل ومالئكته وكتبه‬: ‫ أمؤمن أنت ؟ قال‬: ‫ وذلك أن أهل العلم من أهل الحق إذا سئلوا‬، ‫اإليمان أم ال‬
‫ وإنما االستثناء‬، ‫ والمصدق به في قلبه مؤمن‬، ‫ والناطق بهذا‬، ‫ وأشباه هذا‬، ‫ورسله واليوم اآلخر والجنة والنار‬
‫في اإليمان اليدرى أهو ممن يستوجب مانعت هللا عز وجل به المؤمنين من حقيقة اإليمان أم ال؟ هذا طريق‬
، ‫ ال يكون في القول‬، ‫ عندهم أن االستثناء في األعمال‬، ‫الصحابة رضي هللا عنهم والتابعين لهم بإحسان‬
‫ والناس عندهم على الظاهر‬، ‫والتصديق بالقلب ؟ وإنما االستثناء في األعمال الموجبة لحقيقة اإليمان‬
‫ وبه تجري أحكام ملة اإلسالم‬، ‫ وبه يتناكحون‬، ‫ به يتوارثون‬، ‫مؤمنون‬

“Di antara sifat Ahlul-Haq dari para ulama yang telah kami sebutkan adalah bahwa dibolehkan
pengecualian dalam iman tetapi bukan untuk keraguan, na’udzubillah. Akan tetapi ber-
istitsna’(pengecualian) dalam iman tidak lain adalah untuk menghindari, jangan sampai
mengaku dirinya sampai pada puncak kesempurnaan iman, padahal belum tentu apakah ia
sampai kepadanya atau belum. Para ahli ilmu dari ahlul-haq manakala ditanya : ‘Mukminkah
engkau ?’; mereka akan menjawab : ‘Aku beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, para Rasul, hari akhir, surga, neraka dan sejenisnya’. Orang yang meyakini
ini dan meyakininya dengan hati, maka dia adalah mukmin. Pengecualian dalam iman hanya
boleh disampaikan manakala ia tidak mengetahui apakah ia termasuk ke dalam golongan
orang yang disifati Allah sebagai mukmin yang memiliki hakikat iman yang sebenar-benarnya
atau tidak. Ini adalah jalan yang ditempuh shahabat radliyallaahu ‘anhum dan oleh tabi’in
(yang mengikuti mereka) dengan penuh kebaikan. Mereka berpendapat bahwa istitsna’ bukan
dalam ucapan dan keyakinan dalam hati, tetapi pada amal yang mengantarkan si hamba
kepada hakikat iman. Dan menurut mereka, orang itu pada lahirnya beriman, dengannya
mereka saling mewaris, dan dengannya mereka saling menikah, serta dengannya berlaku-
hukum-hukum Islam” [Asy-Syari’ah oleh Al-Imam Al-Ajurry hal. 102].

[4]     Lihat penjelasan (syarh) Ibnu ‘Allaan terhadap kitab Al-Adzkaar (6/130).

[5]     Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak sengaja dan tidak mengetahui jika panggilan itu
merupakan yang dibenci oleh orang tersebut.

Anda mungkin juga menyukai