Anda di halaman 1dari 7

BAB 6

PEMBAHASAN

Bab berikut merupakan pembahasan dari hasil penelitian yang terkait dengan jarak dan

waktu tempuh oleh PSC 119 Kota Banjarmasin yang terdiri dari jarak tempuh, waktu

tempuh, jumlah kejadian, peta titik kejadian pada ArcGis dan titik jejaring PSC 119.

keterbatasan yang ditemukan pada penelitian ini.

6.1 jarak tempuh

Penelitian ini menemukan bahwa setelah dihitung jarak tempuh dari titik posko yang

beralamat Jl. Rantauan Darat RSUD Sultan suriansyah dari 105 titik lokasi kejadian yang

terjadi dari 5 kecamatan yaitu kecamatan Banjarmasin utara, kecamatan Banjarmasin

selatan, kecamatan Banjarmasin timur, kecamatan Banjarmasin barat dan kecamatan

Banjarmasin tengah. Menurut peneliti bahwa dari 105 titik kejadian jarak yang paling

minimum 0.9 Km, jarak yang ditempuh dengan rata-rata 3.7123 Km, dan sedangkan jarak

yang paling maksimum 9.74 Km. menurut peneliti jarak maksimum yaitu 9.74 Km

berlokasikan di kecamatan Banjarmasin utara untuk menuju kelokasi tersebut harus melalui

3 kecamatan yang berada dikota Banjarmasin dengan jarak tersebut maka akan sangat

berpengaruh untuk waktu pertolongan serta dalam memberikan penanganan dilayanan

Kesehatan.

Berdasarkan hasil wawancara dengan petugas PSC 119 Tn. H mengatakan bahwa dalam

menuju tempat panggilan lokasi kejadian jarak salah penghambat. Serta jarak yang sering

ditempuh terlalu jauh sehingga sangat berpengaruh terhadap waktu tempuh yang dicapai.

Semakin jauh jarak yang ditempuh maka akan semakin lama waktu tempuh yang dicapai.

Hasil penelitian tersebut didukung oleh Rosjidi (2019) berpendapat bahwa jarak lebih dari 10

Km mempunyai kecendrungan sering terlambat menuju kerumah sakit serta dalam


memberikan pertolongan pertama di fasilitas layanan Kesehatan. Seperti yang disebutkan

sebelumnya oleh Mussi (2014) menyatakan bahwa jarak salah satu faktor yang

berpengaruh terhadap keterlambatan penanganan. Serta jauhnya jarak yang ditempuh

maka akan menimbulkan masalah waktu tempuh untuk memperoleh pemberian

penanganan difasilitas layanan Kesehatan lebih lama. Penelitian Pusponegoro (2012)

menjelaskan bahwa jarak tempuh merupakan salah satu faktor yang menjadi pertimbangan

dalam merujuk pasien. Penelitian Ginting and Barus (2018) Menyatakan bahwa Waktu dapat

dikaitkan dengan jarak tempuh, semakin pendek jarak tempuh maka semakin singkat waktu

yang di butuhkan untuk menempuh jarak tersebut. faktor yang mempengaruhi dalam

pertolongan gawat darurat menuju lokasi kejadian antara lain cuaca, kemacetan dan akses

jalan yang terlalu banyak pemukiman (Vincent-Lambert and Mottershaw, 2018).

Menurut Penelitian Marie Crandal (2013) menyatakan bahwa dalam jangkauan kurang dari

8 Km dari pusat trauma angka kematian lebih rendah dengan total 6,43 % sedangkan jarak

tempuh lebih dari 8 Km dari pusat trauma mengalami peningkatan kematian dengan total

7,14% semakin jauh jarak yang ditempuh menuju kelokasi kejadian maka akan berpengaruh

dalam memberikan pertolongan pertama serta kelangsungan hidup. Hal ini selaras dengan

penelitian Wahlin et al., (2018) didapatkan hasil bahwa semakin panjang jarak yang

ditempuh maka akan merugikan bagi pihak emergency medical service maupun pasien dan

semakin pendek jarak yang ditempuh pada pasien dengan kegawat daruratan medis trauma

yang mengancam nyawa, maka semakin meningkat pula kualitas hidup pasien untuk

bertahan hidup.

6.2 Waktu Tempuh

Hasil penelitian ini menemukan bahwa setelah dilakukan perhitungan menggunakan rumus

t = s / v * 60 Dengan Kecepatan kendaraan maksimum 40 km/Jam pada jalan biasa

didapatkan hasil bahwa waktu tempuh dari 105 titik lokasi kejadian waktu minimum 0.14
menit, waktu yang telah ditempuh rata-rata didapatkan 5, 5685 Menit dan sedangkan waktu

maksimum yang telah ditempuh 14.61 menit. Total 27 titik lokasi kejadian dari 105 titik yang

tersebar dari 5 kecamatan telah lebih dari standrar internasional yang telah ditetapkan.

Menurut peneliti waktu yang telah didapatkan terlalu jauh dengan standar internasional yang

telah ditetapkan 8 menit untuk memberikan penanganan pre hospital serta mendapatkan

layanan Kesehatan sangat diperlukan waktu tempuh yang sesuai standar agar dapat

mencegah angka kecacatan dan angka kematian. faktor yang mempengaruhi waktu tempuh

untuk menuju lokasi kejadian antara lain jarak, kecepatan dan serta ruas jalan yang

ditempuh.

Hasil penelitian ini didukung oleh Nehme (2016) menyatakan bahwa ada beberapa faktor

yang mempengaruhi waktu tempuh dalam pre hospital antara lain  jarak ke tempat kejadian,

peningkatan kasus, hari kerja dan keahlian ambulans. Hasil yang serupa tersebut didukung

oleh penelitian Setyarini (2020) yang berjudul Influence Factors of Emergency Medical

Services (EMS) Prehospital Time Interval Variety: A Systematic Review menyatakan bahwa

ada faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi yaitu waktu transportasi, waktu

ketempat kejadian, lingkungan ( alam dan non alam), infrastruktur dan sumber daya

manusia. Standar internasional yang telah ditetapkan membutuhkan waktu 8 menit untuk

menuju lokasi kejadian (Estember, Isip and Misal, 2019).

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh B Brown (2016) yang berjudul Not All

Prehospital Time is Equal: Influence of Scene Time on Mortality menyatakan bahwa

kematian akan semakin meningkat apabila waktu tempuh yang dicapai semakin tinggi dan

semakin rendahnya waktu tempuh yang dicapai maka tingkat hidup seseorang semakin

meningkat untuk pre hospital. Sedangkan dalam penelitian Tensley (2019) menyatakan

bahwa pasien yang mengalami trauma dalam akses yang sangat sulit ditempuh maka dalam

pemberian pertolongan pre hospital akan lebih lama dan semakin rendahnya waktu tempuh

maka akan lebih cepat dalam melakukan pemberian pertolongan pre hospital. waktu
tempuh ambulans dalam menangani setiap kejadian gawat darurat sebagai upaya untuk

meningkatkan kualitas layanan kepada pasien terutama lagi karena hal ini menyangkut

keselamatan dan jiwa pasien (Singgih et al., 1996).

6.3 jumlah kejadian kecamatan kota Banjarmasin

Hasil penelitian ini menemukan bahwa jumlah kejadian yang terjadi disetiap kecamatan

kota Banjarmasin. Jumlah kejadian didominasi pada daerah kecamatan Banjarmasin

selatan dengan jumlah kejadian 28 dibandingkan daerah Banjarmasin dengan jumlah

kejadian paling sedikit 12 kejadian. Menurut peneliti banjarmasin selatan adalah salah

satu kecamatan yang tingkat kependudukan paling tinggi dari 5 kecamatan yang ada

dikota banjarmasin

Menurut RPIJM kota banjarmasin pada tahun 2012 untuk kecamatan banjarmasin

selatan merupakan kecamatan dengan luas 3.826,00 Ha diantara 5 kecamatan serta

memiliki kepadatan penduduk terbanyak 51.175 jiwa. Tingginya jumlah penduduk di

Kecamatan Banjarmasin Selatan terjadi karena terpusatnya aktivitas penduduk, dimana

aktivitas pelabuhan dan pusat perdagangan/jasa terletak di kecamatan ini.

6.4 kasus kejadian yang ditangani PSC 199

Hasil penelitian ini menemukan bahwa kasus kejadian yang terjadi dari bulan januari-

maret 2020 yang telah ditangani oleh pihak PSC 119. Jenis kasus yang sering terjadi

yaitu kecelakaan lalu lintas dengan jumlah 36 disusul oleh kasus kejadian yang paling

sedikit terjadi yaitu henti jantung, demam dan hambatan mobilitas fisik dengan jumlah

kejadian 1. Menurut peneliti kejadian KLL adalah kejadian yang sering terjadi dalam 3

bulan terakhir dikarenakan daerah kota Banjarmasin memiliki kepadatan penduduk serta

sering melanggar aturan lalu lintas yang ada dan ruas jalan yang tidak terlalu besar

menjadikan salah satu faktor terjadinya KLL diwilayah kota Banjarmasin.


Berdasarkan hasil wawancara dengan petugas PSC 119 Tn. H didapatkan data bahwa

untuk kejadian KLL dikota banjarmasin sendiri memang sangat sering terjadi dikarenakan

bahwa kota banjarmasin yang sangat banyak kendaraan sepeda bermotor serta sering

sekali tidak mentaati peraturan lalu lintas yang ada disekitar kota banjarmasin.

Hal ini selaras dalam penelitian Rahmi (2019) menyatakan bahwa Penyebab kecelakaan

yang terjadi dikota Banjarmasin didominasi oleh pelanggaran lalu-lintas, kurangnya

kesadaran untuk berkendara secara bijak dan tertib serta penuh tanggung jawab dan

kecepatan berkendeara diluar batas maksimal yang sudah ditentukan mengakibatkan

kecelakaan lalu lintas sering terjadi untuk wilayah kota Banjarmasin sendiri. Hal ini

diperkuat penelitian yang dilakukan oleh Azzizirahman (2015) yang berjudul faktor

penyebab kecelakaan lalu lintas pada daerah rawan kecelakann Banjarmasin tengah

kota Banjarmasin menyatakan bahwa kecelakaan lalu lintas sering pada saat hari libur

sehingga jalan akan menjadi padat serta ada beberapa faktor yang memicu kecelakaan

lalu lintas antara lain sering terjadianya pelanggaran lalu lintas seperti lampu sepeda

motor yang tidak bernayala danm faktor dari ruas jalan yang ada diwilayah kota

Banjarmasin.

6.5 Titik Jejaring PSC 119 Kota Banjarmasin

Hasil penelitian ini menemukan bahwa dari 105 titik kejadian lokasi yang telah tersebar

dari 5 kecamatan yang ada dikota Banjarmasin bahwa ada 27 titik lokasi yang melebihi

standar waktu tempuh yaitu dengan standar 8 menit. Menurut peneliti posko PSC 119

kota Banjarmasin hanya memiliki satu buah posko PSC 119 Oleh karena itu tidak

mungkin bisa melayani seluruh area tersebut dengan standar waktu yang ada. Penambahan

titik PSC bisa efektif jika disusun sesuai perencanaan yaitu dengan menaruh titik jejaring

yang tersebar. Waktu tempuh 8 menit sangat efektif untuk memberikan pertolongan pertama

kepada korban yang membutuhkan maka dari itu sangat diperlukan titik jejaring sehingga

sangat efektif untuk meningkatkan layanan pertolongan pertama. Data yang didapatkan

diPSC 119 kota banjarmasin untuk titik jejaring PSC tersendiri belum mempunyai serta tidak

ada kerja sama antara PSC 119 kota banajrmasin dengan pihak pelayanan kesehatanan
maka dari itu untuk PSC sangat membutuhkan jejaring untuk mencapai seluruh area yang

ada dikota banjarmasin.

Hal ini selaras dengan penelitian Bradley (1998) yang berjudul An Assessment of

Emergency Response Vehicle Pre-Deployment Using GIS Identification of High-Accident

Density Locations menyatakan bahwa penentuan lokasi fasilitas layanan gawat darurat

sangat efektif untuk mengurangi waktu tempuh serta sangat berpengaruh terhadap

pertolongan pertama dalam kecelakaan lalu lintas untuk mengurai jumlah kematian. Hal ini

diperkuat dalam penelitian Oktaviani (2013) menyatakan bahwa penempatan lokasi ambulan

yang diletakan pada lokasi yang tertentu berpengaruh terhadap durasi waktu untuk

pertolongan. Selaras dengan penelitian Mamoud (2016) menyatakan bahwa memindahkan

lokasi stasiun ambulan ketempat lokasi permintaan gawat darurat akan sangat efektif dalam

mengurangi waktu untuk menuju lokasi pertolongan. Sebelum ditentukan stasiun ambulan

waktu yang didapatkan 10 menit untuk menuju lokasi permintaan pertolongan dan setelah

ditentukan lokasi stasiun ambulan waktu yang telah tercapai 5 menit.

Penelitian lain sejalan yang dilakukan oleh Peleg Dkk (2004) memanfaatkan data kejadian

lalu lintas tingkat kabupaten serta menetapkan kecepatan ambulans yang bervariasi dengan

menggunakan poligon yang ada diArcGIS didapatkan hasil bahwa Sebelum menggunakan

model ArcGIS waktu yang didapatkan yaitu 9,2 menit dan 12,3 menit. setelah dilakukannya

menggunakan model ArcGIS 94% panggilan memenuhi kriteria dengan waktu 8 menit.

Waktu 8 menit menunjukan bahwa emergency medical services sangat efektif untuk

melakukan pertolongan serta berpotensi untuk meningkatkan kelangsungan hidup.

Anda mungkin juga menyukai