Anda di halaman 1dari 159

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS DAMPAK REGULASI TENTANG PERSYARATAN


LUAS MINIMAL SETIAP KAVLING/UNIT PERUMAHAN
DI KOTA DEPOK

TESIS

HENDRO BOWO KUSUMO


1306418404

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


PROGRAM MAGISTER PERENCANAAN DAN KEBIJAKAN PUBLIK
JAKARTA
JULI 2015

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS DAMPAK REGULASI TENTANG PERSYARATAN


LUAS MINIMAL SETIAP KAVLING/UNIT PERUMAHAN
DI KOTA DEPOK

TESIS

HENDRO BOWO KUSUMO


1306418404

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh


Gelar Magister Ekonomi

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


PROGRAM MAGISTER PERENCANAAN DAN KEBIJAKAN PUBLIK
EKONOMI PERENCANAAN KOTA DAN DAERAH
JAKARTA
JULI 2015

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.
Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.
Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.
KATA PENGANTAR

Alhamdullilah saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan
dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Master Ekonomi
Program Studi Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik pada Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa tanpa bantuan
dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada
penyusunan tesis ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan tesis ini. Oleh
karena itu saya mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Nurkholis, SE, M.SE, selaku dosen pembimbing yang telah


menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam
penyusunan tesis ini;
2. Dr. Telisa Aulia Falianty selaku ketua dosen penguji dan
Dr. Djamester Simarmata, selaku anggota dosen penguji dalam sidang tesis
dan komprehensif yang telah memberikan saran dan kritik membangun untuk
terus belajar dalam mengembangkan ilmu pengetahuan;
3. Dr. Telisa Aulia Falianty, selaku Ketua Program Studi Magister Perencanaan
dan Kebijakan Publik (MPKP) FEUI beserta staf administrasi program yang
telah memberikan kemudahan dalam proses perkuliahan;
4. Kepala Pusbindiklatren KKP sebagai pemberi beasiswa, Walikota
Singkawang, Kepala BKD Kota Singkawang dan Kepala Bappeda Kota
Singkawang sebagai pimpinan yang memberikan kesempatan untuk
menempuh pendidikan di MPKP;
5. Narasumber dari Dinas Tarkim Kota Depok, BPMP2T Kota Depok, APERSI
DKI Jakarta, Forum Pengembang Kota Depok (FPKD), Pengembang
Perumahan di Kota Depok dan Masyarakat Kota Depok yang ikut
berkontribusi memberikan informasi terkait kondisi perumahan dan kebijakan
perumahan di Kota Depok;

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.
Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.
ABSTRAK

Nama : Hendro Bowo Kusumo


Program Studi : Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik
Judul : Analisis Dampak Regulasi Tentang Persyaratan Luas
Minimal Setiap Kavling/Unit Perumahan Di Kota Depok

Penelitian ini dilakukan untuk mereview regulasi tentang persyaratan luas


minimal setiap kavling/unit perumahan di Kota Depok. Penelitian ini
menggunakan metode Regulatory Impact Assesment (RIA) dengan menggunakan
AHP untuk CBA dalam kuesioner untuk menganalisis dampak kebijakan tersebut
pada saat diimplementasikan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa alternatif
kebijakan yang paling tepat dalam mengatasi permasalahan adalah dengan
meniadakan ketentuan syarat luas minimal lahan setiap/kavling perumahan di
Kota Depok. Sehingga disarankan Pemerintah Kota Depok untuk mencabut
ketentuan yang mengatur persyaratan luas minimal lahan setiap kavling/unit
perumahan 120 (seratus dua puluh) meter persegi di dalam Peraturan Daerah
Nomor 13 Tahun 2013 dan Rancangan Perda tentang RTRW Kota Depok tahun
2012-2032.

Kata Kunci : Perumahan, Analisis Dampak Regulasi, AHP

viii Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


ABSTRACT

Name : Hendro Bowo Kusumo


Course : Magister of Planning and Public Policy
Title : Regulatory Impact Analysis on Minimum Size
Requirements for Each Housing Unit in Depok City

This Study was conducted to review the regulations on minimum area


requirements of each housing unit in Depok City. This study uses Regulatory
Impact Assesment (RIA) to analyze the impact of the policy at the time of
implementation. Analysis tool used in this RIA method is using CBA obtained
from AHP questionnaire. Result of this study indicates that the most appropriate
policy alternative to overcome problems is to drop minimum land area
requirement regulation for each housing unit in Depok City. For Depok City
Government it is suggested to repeal provisions in City Regulation No. 13 of
2013 and city regulation draft concerning Depok City Spatial Plan 2012-2032
wich regulate minimum area requirement is 120 square meters for each
land/housing unit.

Keywords: Housing, Regulatory Impact Assesment, AHP

ix Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ................................................................................. i
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ................................ ii
PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................................ iii
LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................... iv
KATA PENGANTAR ............................................................................... v
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .................. vii
ABSTRAK ................................................................................................. viii
DAFTAR ISI ............................................................................................. x
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xiii
DAFTAR TABEL ..................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xv

1. PENDAHULUAN .............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1
1.2 Perumusan Masalah .................................................................... 5
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................ 6
1.4 Ruang Lingkup Penelitian........................................................... 7
1.5 Manfaat Penelitian ..................................................................... 7
1.6 Sistematika Penulisan ................................................................. 8

2. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 9


2.1 Pengembangan Tata Ruang Wilayah ........................................ 9
2.2 Teori Perencanaan Kota ............................................................ 10
2.3 Lokasi dan Penggunaan Lahan Perkotaan ................................. 11
2.3.1 Teori Penggunaan Lahan Wilayah Perkotaan …………. 12
2.3.2 Kebijakan Pengaturan Penggunaan Lahan Perkotaan ... 13
2.4 Peran Sistem Jaringan Jalan dalam Pengembangan Perkotaan . 15
2.5 Konsep Rumah .......................................................................... 16
2.6 Konsep Rumah Sehat Layak Huni ............................................ 17
2.7 Permintaan Terhadap Rumah .................................................... 19
2.8 Penawaran Perumahan ……………………………………….. 21
2.9 Konsep Backlog Perumahan ………………………………..... 22
2.10 Konsep Economic Rent ………………………………………. 23
2.11 Konsep Kuota Produksi ………………………………………. 24
2.12 Pengukuran Dampak Kebijakan dengan Metode Regulatory
Impact Assesment (RIA) ……………………………………... 25
2.12.1 Konsep Regulatory Impact Assesment (RIA) ……….... 25
2.12.2 Tahapan Pelaksanaan Regulatory Impact Assesment
(RIA) …………………………………………………... 28
2.13 Teori Analisis Biaya Manfaat (CBA) ………………………... 29
2.14 Penggunaan AHP untuk Analisis Biaya dan Manfaat ……… 33
2.15 Penelitian Terdahulu ................................................................. 35

x Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


3. METODOLOGI ................................................................................ 40
3.1 Kerangka Fikir ............................................................................ 40
3.2 Metode Analisis Data ................................................................. 41
3.2.1 Analisis Deskriptif …………………………………….... 41
3.2.2 Analisa Dampak Regulasi (RIA) ……………………….. 41
3.2.3 Langkah-langkah penerapan RIA ……………………… 43
3.2.3.1 Perumusan Masalah …………………………… 43
3.2.3.2 Perumusan Tujuan ………………………………. 44
3.2.3.3 Perumusan Alternatif ……………………………. 45
3.2.3.4 Analisis Manfaat dan Biaya …………………… 47
3.2.3.5 Analytical Hierarchy Process untuk Analisis
Biaya dan Manfaat ………………………………. 51
3.2.3.6 Konsultasi Pemangku Kepentingan (Stakeholder). 52
3.2.3.7 Strategi Implementasi …………………………… 53
3.2.3.8 Penulisan Laporan Regulatory Impact Assesment
(RIAS) …………………………………………… 54
3.3 Metode Pengumpulan Data ......................................................... 54
3.3.1 Pengumpulan Data Sekunder dan Primer .......................... 54
3.3.2 Survei dengan Kuesioner .................................................. 54
3.4 Jenis dan Sumber Data yang dibutuhkan .................................... 60

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN ........................ 62


4.1 Gambaran Umum Kota Depok ................................................... 62
4.1.1 Kondisi Geografis …………………………………….... 62
4.1.2 Pemerintahan …………………………………………… 62
4.1.3 Penduduk ……………………………………………….. 65
4.1.4 Indeks Pembangunan Manusia dan Kemiskinan ……….. 66
4.1.5 Kondisi Ekonomi Kota Depok …………………………. 68
4.1.6 Zonasi Wilayah Kota Depok …………………………… 70
4.1.7 Pola Jaringan Jalan dan Kereta Api …………………….. 71
4.2 Kondisi Perumahan dan Permukiman di Kota Depok ................ 73
4.2.1 Penggunaan Lahan Eksisting ………………………… 73
4.2.2 RTH Kota Depok ……………………………................. 74
4.2.3 Perumahan Kota Depok ……………………................... 76
4.2.4 Proyeksi Kebutuhan Rumah Berdasarkan Proporsi
Berimbang ……………………………………………… 78
4.2.5 Rencana Pengembangan Perumahan di Kota Depok …... 81
4.2.6 Perumahan Formal yang dibangun oleh developer …….. 83
4.2.7 Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan . 84
4.3 Isu Tata Ruang dan Kebijakan Perumahan di Kota Depok ...... 85

5. HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................... 89


5.1 Perumusan Masalah .................................................................... 89
5.2 Perumusan Tujuan ...................................................................... 97
5.3 Perumusan Alternatif ………………………………………… 98
5.4 Analisis Biaya dan Manfaat …………………………………… 100
5.4.1 Analisa AHP untuk Biaya dan Manfaat …………………. 100
5.5 Konsultasi Publik ……………………………………………… 114

xi Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


5.6 Strategi Implementasi ………………………………………… 115
5.7 Penulisan Regulatory Impact Analysis Statement (RIAS) …… 116

6. PENUTUP .......................................................................................... 126


6.1 Simpulan ..................................................................................... 126
6.2 Rekomendasi Kebijakan ............................................................. 128
6.3 Keterbatasan Penelitian ……………………………………….. 129

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 130


LAMPIRAN .............................................................................................. 134

xii Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1.1 Perkembangan Penduduk Kota Depok Tahun 2007 s.d
2013 ................................................................................. 2
Gambar 1.2 Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Kota Depok Tahun
2008-2012 atas dasar harga konstan tahun 2000 ………. 3
Gambar 2.1 Penentuan Lokasi Optimum Perumahan ……………….. 13
Gambar 2.2 Rente Ekonomis dalam Sewa Tanah …………………... 23
Gambar 2.3 Pembatasan Penawaran dengan Kuota ………………… 24
Gambar 2.4 Negara-Negara yang mengadopsi RIA ............................ 27
Gambar 2.5 Perubahan Costumer Surplus ........................................... 32
Gambar 3.1 Tahapan-tahapan RIA ...................................................... 40
Gambar 3.2 Langkah-langkah penerapan RIA .................................... 43
Gambar 3.3 Hirarki Sisi Manfaat ……………………………………. 57
Gambar 3.4 Hirarki Sisi Biaya ………………………………………. 58
Gambar 4.1 Peta Wilayah Kota Depok ................................................ 63
Gambar 4.2 IPM Kota Depok dan Provinsi Jawa Barat Tahun 2008-
2013 ……………………………………………………. 66
Gambar 4.3 Jumlah Penduduk Miskin (Jiwa) dan Tingkat
Kemiskinan (%) Kota Depok Tahun 2008-2012 ............. 67
Gambar 4.4 PDRB Kota Depok Tahun 2008-2012 (dalam ribuan) … 68
Gambar 4.5 Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Kota Depok tahun 67
2008-2012 ADHK 2000 ………………………………... 69
Gambar 4.6 Peta Struktur Pelayanan Kegiatan Kota Depok ………... 71
Gambar 4.7 Peta RTH Kota Depok …………………………………. 74
Gambar 5.1 Perkembangan Izin Perumahan di Kota Depok tahun
2013-2014 ……………………………………………… 101
Gambar 5.2 Gini Ratio Kota Depok tahun 2009-2012 ……………… 103
Gambar 5.3 Bobot AHP pada Hirarki sisi Manfaat …………………. 113
Gambar 5.4 Bobot AHP pada Hirarki sisi Biaya ……………………. 113

xiii Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 2.1 Kebutuhan Luas Minimum Bangunan dan Lahan untuk
Rumah Sederhana Sehat …………………………………. 17
Tabel 2.2 Parameter analisis biaya dan manfaat ................................ 32
Tabel 2.3 Incramental Effect .............................................................. 33
Tabel 2.4 Incramental Effect .............................................................. 33
Tabel 2.5 Penelitian Terdahulu …………………………………….. 37
Tabel 3.1 Jenis dan Sumber Data Penelitian ...................................... 61
Tabel 4.1 Jumlah Kelurahan, RW, dan RT di Kota Depok 2013 ....... 64
Tabel 4.2 Jumlah Penduduk, Luas Wilayah dan Kepadatan
Penduduk Menurut Kecamatan di Kota Depok, 2013 ....... 65
Tabel 4.3 Kondisi Jalan di Kota Depok Tahun 2013 ………………. 72
Tabel 4.4 Penggunaan Lahan Eksisting Kawasan Terbangun di
Kota Depok Tahun 2009 .................................................... 73
Tabel 4.5 Penggunaan Lahan Eksisting Kawasan Tidak Terbangun
di Kota Depok Tahun 2009................................................. 73
Tabel 4.6 Rencana RTH Kota Depok dalam RTRW Kota Depok
tahun 2012-2032 ................................................................. 75
Tabel 4.7 Jumlah Rumah Menurut Jenisnya di Kota Depok Tahun
2013 .................................................................................... 77
Tabel 4.8 Proyeksi Kebutuhan Rumah Berdasarkan Proporsi Rumah
Berimbang Di Kota Depok Tahun 2011-2031 …………... 80
Tabel 4.9 Luas Perumahan Formal Kota Depok Tahun 2009 ……… 83
Tabel 5.1 Simulasi RAB Rumah Dengan Tipe 54 dan Lahan Seluas
120 M2 ................................................................................ 92
Tabel 5.2 Perumusan Masalah ........................................................... 95
Tabel 5.3 Perumusan Tujuan .............................................................. 97
Tabel 5.4 Perumusan Alternatif Kebijakan ………………………… 100
Tabel 5.5 Rekapitulasi Hasil Pengolahan Biaya dan Persepsi
Responden terhadap Kebijakan Syarat Luas Setiap
Kavling Perumahan 120 m2 ............................................... 110
Tabel 5.6 Rekapitulasi Hasil Pengolahan Manfaat dan Persepsi
Responden terhadap Kebijakan Syarat Luas Setiap
Kavling Perumahan 120 M2 ............................................... 111
Tabel 5.7 Hasil Analisis Metode AHP dengan Model CBA dalam
penentuan alternatif kebijakan syarat setiap luas kavling
perumahan 120 m2 .............................................................. 112
Tabel 5.8 Regulatory Impact Assesment Statement (RIAS) ............... 117

xiv Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
Lampiran 1 Form Pedoman Wawancara Mendalam (Depth Interview) 134
Lampiran 2 Form Kuisioner AHP Untuk Analisa Biaya dan Manfaat .. 136
Lampiran 3 Rekapitulasi Olahan AHP ……………………………….. 142

xv Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Pasal 28H ayat (1) menyebutkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir
dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan
sehat. Negara bertanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia melalui
penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman agar masyarakat mampu
bertempat tinggal serta menghuni rumah yang layak dan terjangkau di dalam
lingkungan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan di seluruh wilayah
Indonesia.
Perumahan dan permukiman merupakan aspek penting dalam analisis
ekonomi wilayah dan perkotaan (Sjafrizal, 2012). Alasannya, karena perumahan
dan permukiman merupakan salah satu kegiatan utama dalam kegiatan ekonomi
wilayah perkotaan. Sesuai amanat Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2011
tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman yang menegaskan bahwa rumah
adalah salah satu kebutuhan dasar manusia dalam rangka peningkatan dan
pemerataan kesejahteraan rakyat.
Jabodetabekpunjur (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak,
dan Cianjur) merupakan salah satu kawasan strategis nasional1 di Indonesia yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2008 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). Salah satu daerah yang masuk
dalam kawasan tersebut adalah Kota Depok. Kota Depok merupakan kota yang
terletak di provinsi Jawa Barat dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) (2014), jumlah penduduk Kota
Depok pada tahun 2013 adalah sebesar 1,96 juta jiwa. Pertumbuhan penduduk

1
Kawasan strategis nasional merupakan kawasan yang pembangunannya diprioritaskan karena
memiliki pengaruh yang sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan
dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang telah
ditetapkan sebagai warisan dunia (Perpres No 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan
Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur).

1 Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


2

Kota Depok dalam kurun waktu 2007-2013 mencapai 27 persen. Hal ini
menunjukkan bahwa Kota Depok memiliki daya tarik bagi penduduk Indonesia.
Data jumlah penduduk Kota Depok per tahun mulai tahun 2007-2013 dapat dilihat
pada Gambar 1.1

Gambar 1.1. Perkembangan Penduduk Kota Depok Tahun 2007-2013


Sumber : BPS Kota Depok (2014), diolah kembali

Jumlah penduduk di Kota Depok diperkirakan akan terus bertambah


sebagai implikasi dari pembangunan pemerintah daerah maupun swasta. Dampak
pembangunan tersebut diantaranya peluang kerja baru sebagai daya tarik
masyarakat untuk bermigrasi ke Kota Depok. Faktor lain yang mempengaruhi
meningkatnya jumlah penduduk antara lain karena letak Kota Depok yang dinilai
sebagai daerah yang sangat strategis dilihat dari fungsi kota, terutama jasa,
perdagangan dan permukiman. Selain itu letak Kota Depok sebagai daerah yang
berbatasan langsung dengan Ibukota Negara yaitu Jakarta. Hal ini berkaitan
dengan harga tanah dan bangunan di Jakarta sangat tinggi membuat sebagian
masyarakat tidak dapat menjangkau harga yang tinggi, sehingga mencari alternatif
dengan mencari hunian di daerah pinggiran Kota Jakarta yang relatif masih
terjangkau, dalam hal ini Kota Depok. Hal ini menyebabkan peningkatan
permintaan terhadap perumahan dan permukiman di Kota Depok.
Peningkatan permintaan perumahan dan permukiman di Kota Depok
menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang positif. Laju pertumbuhan ekonomi

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


3

(LPE) Kota Depok pada rentang waktu Tahun 2008-2012 relatif mengalami
percepatan. Walaupun sempat mengalami perlambatan pada 2008-2009 karena
dampak krisis keuangan global. Perkembangan LPE Kota Depok dalam kurun
waktu tahun 2008-2012 dapat dilihat pada Gambar 1.2.

Gambar 1.2. Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Kota Depok


Tahun 2008-2012 atas dasar harga konstan tahun 2000
Sumber : BPS Kota Depok (2014), diolah kembali

Pada Gambar 1.2 jika dibandingkan tahun per tahun, terlihat bahwa
tingkat pertumbuhan Kota Depok lebih tinggi daripada Provinsi Jawa Barat,
contohnya pada periode tahun 2012 Pertumbuhan Provinsi Jawa Barat hanya 6,21
persen / tahun, sementara Kota Depok mengalami pertumbuhan 7,15 persen /
tahun. Artinya ekonomi Kota Depok tumbuh lebih cepat daripada Provinsi Jawa
Barat dan beberapa Kabupaten/ Kota yang ada di Jawa Barat.
LPE Kota Depok 2011-2012 sebesar 7,15 persen (yoy) disumbang secara
signifikan oleh LPE sektor bangunan/konstruksi (10,84 persen) dan sektor
keuangan, persewaan dan jasa perusahaan (5,78 persen), perdagangan-hotel-
restoran (7,24 persen), dan sektor angkutan-komunikasi (3,69 persen). Menurut
Dinas Tata Ruang dan Permukiman Kota Depok menyatakan penggunaan tanah
untuk permukiman 2006-2009 menunjukkan bahwa terjadi pembangunan rumah
seluas kurang lebih 125 ha/tahun dan data ini memperjelas mengapa sektor

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


4

bangunan/konstruksi, memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi yang cukup


signifikan.
Pertumbuhan sektor bangunan/kontruksi menyebabkan lahan yang
tersedia untuk membangun menjadi semakin terbatas, sehingga Ruang Terbuka
Hijau (RTH) di Kota Depok semakin menipis. Mengingat lahan yang tersedia di
daerah perkotaan umumnya sangat terbatas dan mekanisme pasar nyatanya tidak
selalu bekerja dengan baik, maka pengaturan penggunaan lahan oleh pemerintah
tetap perlu dilakukan untuk menjaga efisiensi penggunaan lahan dan sekaligus
untuk menjaga kualitas lingkungan hidup wilayah perkotaan (Sjafrizal, 2012).
Sesuai dengan ketentuan dalam UU Nomor 26 tahun 2007, pengaturan
penggunaan lahan daerah perkotaan secara umum dilakukan melalui penyusunan
dan penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Penyusunan tata ruang
wilayah bertujuan untuk menciptakan keserasian, keselarasan dan keseimbangan
dalam tata ruang di setiap sudut wilayah. Begitu juga dengan pengembangan
pembangunan tata ruang wilayah yang dilakukan di Kota Depok juga harus
berlandaskan kepada RTRW yang telah direncanakan dan disusun. Oleh
karenanya dalam mewujudkan keinginan tersebut, Pemerintah Kota Depok
menerbitkan kebijakan yang mengatur tentang pendirian bangunan yang
dilakukan oleh masyarakat sebagai individu atau sebagai organisasi. Pengaturan
pendirian bangunan ini dilakukan untuk membantu dalam merealisasikan
penyusunan tata ruang wilayah yang sesuai dengan perencanaan.
Melalui Peraturan Daerah (Perda) Kota Depok Nomor 13 Tahun 2013
tentang Bangunan dan Izin Mendirikan Bangunan, Pemerintah Kota Depok
berusaha menyelesaikan persoalan dalam penggunaan lahan dengan motif
meningkatkan luasan RTH dan penyelamatan lingkungan. Perda Kota Depok
Nomor 13 Tahun 2013 Pasal 2 menyebutkan bahwa Peraturan Daerah ini disusun
dengan azas: (a) Pengendalian pemanfaatan ruang; (b) Kemanfaatan, keselamatan,
keseimbangan, dan keserasian bangunan dengan lingkungannya; (c) Legalitas
Hukum; dan (d) Efisiensi pelayanan.
Namun dalam implementasinya kebijakan tersebut menuai kontra dari
masyarakat dan pengembang. Pengembang mempermasalahkan pengaturan
operasional pengembang untuk hanya membangun, menjual dan memasarkan

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


5

perumahan dengan luas tanah minimal 120 meter persegi (kompas.com, 2013).
Hal ini berdampak pada potensi penurunan penjualan rumah sebesar 20-30 persen.
Dari sisi konsumen, khususnya masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), akan
mengalami kesulitan dalam memiliki perumahan dan pemukiman karena harganya
yang semakin tinggi. Dengan kata lain, MBR tidak akan menjangkau harga rumah
yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Perda tersebut. Kebijakan
ini hanya menutup kesempatan masyarakat menengah ke bawah untuk memiliki
rumah. Hal ini disebabkan harga yang mahal, dimana harga rumah tipe 36 luas
tanah 90 meter persegi mencapai harga paling murah Rp 500 juta (republika.co.id,
2014).
Implementasi dari penetapan Perda Kota Depok Nomor 13 Tahun 2013
terutama ketentuan pasal 97 huruf (b) tentang persyaratan luas minimal lahan
setiap kavling/unit perumahan 120 meter persegi menjadi perhatian dalam
penelitian ini agar tidak menimbulkan masalah seperti masyarakat berpenghasilan
rendah (MBR) yang semakin sulit dalam kepemilikan rumah karena harga yang
semakin mahal. Kondisi ini selanjutnya akan cenderung mengakibatkan MBR
membangun perumahan dan permukiman tanpa memperhatikan ketentuan
peraturan sehingga memicu timbulnya daerah kumuh (slum areas). Hal ini
semakin mempersulit dalam menjaga kebersihan dan kenyamanan kota serta
kualitas lingkungan hidup yang baik.

1.2. Perumusan Masalah


Dengan laju pertumbuhan penduduk yang tinggi serta pertumbuhan
ekonomi yang lebih tinggi dari Provinsi Jawa Barat, kebutuhan akan perumahan
dan permukiman menjadi semakin meningkat. Akibatnya, lahan untuk RTH
semakin menipis. Oleh karena itu, Pemerintah Kota Depok mengeluarkan
kebijakan berupa Perda Nomor 13 Tahun 2013 tentang Bangunan dan Izin
Mendirikan Bangunan dengan tujuan untuk pengaturan dan pengawasan
penggunaan lahan daerah perkotaan secara terarah.
Namun dalam implementasinya terutama pasal 97 huruf (b) tentang
persyaratan minimal luas lahan setiap kavling/unit perumahan 120 meter persegi
menimbulkan masalah baik dari sisi pengembang karena menyebabkan penurunan

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


6

penjualan sampai 30 persen, demikian juga dari sisi konsumen terutama MBR
yang semakin sulit dalam mengakses rumah karena harga yang semakin mahal.
Hal tersebut merupakan permasalahan awal penelitian yang dirumuskan ke dalam
pertanyaan berikut :
1. Bagaimana permasalahan yang ada terkait dengan penerapan regulasi tentang
persyaratan luas minimal kavling/unit perumahan di Kota Depok?;
2. Siapa sajakah yang menerima manfaat dan menanggung biaya terkait dengan
penerapan regulasi tentang persyaratan luas minimal kavling/unit perumahan
di Kota Depok?;
3. Apa sajakah jenis manfaat dan biaya yang timbul akibat penerapan regulasi
tentang persyaratan luas minimal kavling/unit perumahan di Kota Depok?;
dan
4. Bagaimana alternatif kebijakan yang sebaiknya diterapkan terkait persyaratan
luas minimal kavling/unit perumahan di Kota Depok?

1.3 Tujuan Penelitian


Berdasarkan permasalahan yang diuraikan diatas, maka tujuan penelitian
ini antara lain sebagai berikut :
1. Mengetahui permasalahan-permasalahan yang ada terkait dengan penerapan
regulasi tentang persyaratan luas minimal kavling/unit perumahan di Kota
Depok;
2. Mengidentifikasi pihak-pihak yang menerima manfaat dan menanggung biaya
terkait dengan penerapan regulasi tentang persyaratan luas minimal
kavling/unit perumahan di Kota Depok;
3. Mengidentifikasi berbagai jenis manfaat dan biaya yang timbul akibat
penerapan regulasi tentang persyaratan luas minimal kavling/unit perumahan
di Kota Depok; dan
4. Menentukan alternatif kebijakan yang sebaiknya diterapkan terkait
persyaratan luas minimal kavling/unit perumahan di Kota Depok.

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


7

1.4 Ruang Lingkup Penelitian


Cakupan dari penelitian tentang analisis dampak regulasi terkait dengan
persyaratan luas minimal setiap kavling/unit perumahan di Kota Depok antara
lain;
1. Permasalahan yang dianalisis hanya terkait dengan persyaratan luas minimal
tiap kavling/unit perumahan di Kota Depok, perumahan yang dimaksud
adalah rumah tapak, baik yang diatur melalui Peraturan Daerah Kota Depok
Nomor 13 Tahun 2013 tentang Bangunan dan Izin Mendirikan Bangunan
Pasal 97 huruf b dan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang RTRW
Kota Depok tahun 2012-2032;
2. Periode penelitian dilakukan sejak diterapkannya Peraturan Daerah Kota
Depok Nomor 13 Tahun 2013 tentang Bangunan dan Izin Mendirikan
Bangunan yaitu sejak bulan Maret 2014 sampai dengan bulan April 2015; dan
3. Penelitian dilakukan untuk seluruh wilayah Kota Depok khususnya di
kawasan perumahan dan permukiman.

1.5 Manfaat Penelitian


Hasil penelitian tentang analisis dampak regulasi terkait dengan
persyaratan luas minimal setiap kavling/unit perumahan di Kota Depok
diharapkan bermanfaat antara lain:
1. Bagi penyusun kebijakan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam
mengambil keputusan terkait dengan pengaturan luas minimal setiap kavling/
unit perumahan, khususnya di Kota Depok;
2. Bagi akademik dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan terkait analisis
dampak regulasi; dan
3. Bagi masyarakat umum dapat menambah wawasan dan pengetahuan terkait
dengan alasan-alasan dan permasalahan-permasalahan yang ada mengenai
pengaturan luas minimal setiap kavling/ unit perumahan.

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


8

1.5 Sistematika Penulisan


Sistematika penulisan pada tesis ini disusun dalam 6 (enam) bab, dengan
alur sebagai berikut:
Bab 1. Pendahuluan.
Bab ini akan membahas latar belakang dilakukan penelitian, perumusan
masalah yang ada, tujuan dan manfaat dari dilakukannya penelitian,
ruang lingkup penelitian, dan dilengkapi sistematika penulisan.
Bab 2. Tinjauan Pustaka.
Bab ini merupakan uraian tentang tinjauan teoritis dan empiris landasan-
landasan teori yang menjadi dasar untuk penelitian ini yaitu teori-teori
yang relevan dan mendukung bagi tercapainya hasil penelitian yang
ilmiah.
Bab 3. Metodologi.
Bab ini menjelaskan tentang kerangka pemikiran, metode pengumpulan
data yang dilakukan, variabel dan data yang digunakan, teknik analisis
data, pengolahan data dan tahapan-tahapan dalam membuat analisis RIA.
Bab 4. Gambaran Umum Wilayah Penelitian
Bab ini menjelaskan tentang gambaran umum Kota Depok yang
mencakup: penataan ruang, penggunaan lahan dan permasalahan
persyaratan luasan minimal untuk setiap unit perumahan di Kota Depok.
Bab 5. Hasil dan Pembahasan.
Bab ini berisikan tentang hasil penelitian dan pembahasan terhadap
analisis penelitian serta analisis sesuai dengan tahapan-tahapan RIA yang
dilaksanakan.
Bab 6. Penutup.
Bab ini berisikan tentang simpulan atas pembahasan dan implikasi
kebijakan dan rekomendasi yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Kota
Depok serta keterbatasan dari penelitian ini.

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengembangan Tata Ruang Wilayah


Untuk mendukung pelaksanaan percepatan pembangunan wilayah,
diperlukan landasan utama pembangunan, yaitu: penataan, pemanfaatan dan
pengendalian tata ruang yang ditujukan untuk pelindungan fungsi ruang dan
pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang. Acuan
untuk pengembangan tata ruang wilayah nasional mengacu pada PP Nomor 26
Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN).
Adapun arah kebijakan pengembangan tata ruang wilayah nasional dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2015-2019
adalah sebagai berikut:
a. Kebijakan terkait pengembangan struktur tata ruang :
 Peningkatan akses pelayanan perkotaan dan pusat pertumbuhan ekonomi
wilayah yang merata dan berhirarki;
 Peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan jaringan prasarana
tranportasi, telekomunikasi, energi, dan sumber daya air yang terpadu dan
merata di seluruh wilayah nasional.
b. Kebijakan terkait pengembangan pola ruang:
 Pemeliharaan dan perwujudan kelestarian fungsi lingkungan hidup
 Pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat menimbulkan
kerusakan lingkungan hidup;
 Pengendalian perkembangan kegiatan budidaya agar tidak melampaui daya
dukung dan daya tampung lingkungan;
 Pelestarian dan peningkatan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup
untuk mempertahankan dan meningkatkan keseimbangan ekosistem,
melestarikan keanekaragaman hayati, mempertahankan dan meningkatkan
fungsi perlindungan kawasan, melestarikan keunikan bentang alam, dan
melestarikan warisan budaya nasional;
 Pengembangan kawasan tertinggal untuk mengurangi kesenjangan tingkat
perkembangan antarkawasan; dan

9 Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


10

 Internalisasi Rencana Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu


(RPDAST) yang sudah disahkan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah
yang bersangkutan.
Strategi yang diuraikan di atas hanya mencakup strategi untuk
pengembangan struktur ruang khususnya terkait dengan peningkatan kualitas dan
jangkauan pelayanan jaringan prasarana; dan strategi untuk pengembangan pola
ruang khususnya pengembangan kawasan lindung, dan strategi pengendalian
perkembangan kegiatan budidaya sesuai dengan daya dukung dan daya tampung
lingkungan, serta strategi untuk pelestarian dan peningkatan fungsi dan daya
dukung lingkungan hidup. Sedangkan strategi untuk pengembangan kebijakan
lainnya dipertimbangkan dalam perumusan pengembangan strategi-strategi
pengembangan kawasan strategis, daerah tertinggal, daerah perbatasan, kawasan
perkotaan, dan kawasan perdesaan (Bappenas, 2015).
Arah kebijakan pengembangan kawasan perkotaan di wilayah Jawa-Bali
diprioritaskan pada percepatan keterkaitan dan manfaat antarkota dan desa dengan
kota, melalui Penguatan Sistem Perkotaan Nasional (SPN) melalui peningkatan
efisiensi pengelolaan 5 kawasan perkotaan metropolitan (Bappenas, 2015).
Kebijakan pembangunan kawasan perkotaan di Wilayah Jawa-Bali antara
lain dengan berbagai strategi, sebagai berikut :
1. Perwujudan Sistem Perkotaan Nasional (SPN);
2. Percepatan pemenuhan Standar Pelayanan Perkotaan (SPP) untuk mewujudkan
kota layak huni yang aman dan nyaman pada kawasan metropolitan dan kota
sedang di luar pulau Jawa termasuk kawasan perbatasan, kepulauan, dan pesisir;
3. Perwujudan Kota Hijau yang Berketahanan Iklim dan Bencana;
4. Perwujudan Kota Cerdas dan Daya Saing Kota; dan
5. Peningkatan Kapasitas Tata Kelola Pembangunan Perkotaan.

2.2 Teori Perencanaan Kota


Berdasarkan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, kawasan
adalah wilayah dengan fungsi utama lindung atau budidaya (Pasal 1 butir 20). Tata
ruang merupakan suatu wujud struktural pemanfaatan ruang dan pola pemanfaatan
ruang baik direncanakan maupun tidak yang berupa tampakan bentang lahan dan

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


11

alokasi kegiatan pemanfaatan ruang. Asas penataan ruang ialah pemanfaatan ruang
bagi semua kepentingan secara terpadu, serasi, selaras, seimbang, berkelanjutan,
berdaya guna, berhasil guna, keterbukaan, persamaan, kemitraan, perlindungan
kepentingan umum, kepastian hukum, keadilan dan akuntabilitas (Pasal 2).
Penataan ruang bagi pengelolaan lingkungan hidup bukanlah karena hasil
penataan ruang dalam membuka kemungkinan mengelola lingkungan hidup,
melainkan karena kriteria mutu lingkungan hidup disertakan dalam penataan ruang.
Oleh karena itu penataan ruang berwawasan lingkungan harus diartikan sebagai
penataan ruang yang menggunakan kriteria mutu lingkungan.
Latar belakang pemanfaat lahan ialah ekonomi, sosial, budaya politik dan
keamanan. Dengan menghadapkan daya dukung lahan sebagai suatu ungkapan
penawaran pada keperluan, kepentingan dan keinginan manusia sebagai ungkapan
permintaan, maka diperoleh nilai kesesuaian lahan (Melitz,1986). Kesesuaian lahan
merujuk kepada suatu mutu lahan yang berkenaan dengan keseimbangan
permintaan dan penawaran dalam lingkup kepentingan khusus. Kesesuaian lahan
adalah kecocokan suatu jenis lahan untuk suatu macam penggunaan tertentu yang
merupakan spesifikasi kemampuan lahan. Tata ruang yang memenuhi kriteria
kesesuaian lahan dan wawasan lingkungan serta wawasan ekonomi diterapkan
secara bersama-sama untuk mencapai tujuan dalam mengoptimalkan pembangunan
suatu kawasan.

2.3 Lokasi dan Penggunaan Lahan Wilayah Perkotaan


Analisis tentang lokasi dan penggunaan lahan wilayah perkotaan adalah
konsep dasar dari Ilmu Ekonomi Perkotaan. Analisis ini didasarkan pada model
Von Thunen (1826) tentang teori lokasi kegiatan pertanian, kemudian berkembang
menjadi teori yang di ungkapkan William Alonso (1964) tentang teori penggunaan
lahan wilayah perkotaan (urban land-use).
Teori penggunaan lahan wilayah perkotaan dimulai dengan menganalisis
hubungan model Von Thunen dan Teori Penggunaan Lahan Wilayah Perkotaan
(Urban Land-Use Theory). Kemudian menganalisis Faktor Subtitusi produksi
antarwilayah perkotaan. Setelah itu penentuan lokasi kegiatan ekonomi perkotaan
(Optimal Urban Location) yang diikuti dengan penentuan lokasi optimal

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


12

perumahan pada wilayah perkotaan. Akhirnya, Density Gradient sebagai landasan


pembentuk struktur spasial sebuah wilayah perkotaan.

2.3.1 Teori Penggunaan Lahan Wilayah Perkotaan


Von Thunen (1826) dalam Sjafrizal (2012) mengungkapkan secara teoritis
penentuan lokasi optimal dalam kegiatan pertanian adalah dalam bentuk lingkaran
yang dikenal ‘Cincin Von Thunen’ (Von Thunen Ring). Sedangkan variabel utama
penentu lokasi optimal kegiatan pertanian adalah perbandingan nilai Bid-Rent
(kemampuan membayar sewa tanah) dengan sewa tanah yang di minta oleh pemilik
lahan atau biasa disebut Land-Rent.
William Alonso (1964) dan Richard F. Muth (1969) melakukan penelitian
lebih lanjut dari Model Von Thunen khusus untuk membahas kerangka pemikiran
dalam penggunaan lahan daerah perkotaan (Urban land-use) dan di kenal sebagai
Alonso-Muth Model. Dalam model ini struktur ruang masih diasumsikan dalam
Monocentric City (Kota dalam satu pusat). Variabel penentu dalam model ini
adalah Bid-rent, namun bukan hanya kegiatan pertanian saja, tetapi juga untuk
kegiatan yang banyak terdapat di wilayah perkotaan seperti industri, perdagangan,
jasa, dan perumahan. Model pemanfaatan lahan ini selanjutnya menjadi dasar
utama untuk menentukan pola Perencanaan Wilayah Perkotaan (Tata Kota) secara
baik dan efisien.
Dalam penentuan lokasi dan penggunaan lahan wilayah perkotaan, terdapat
dua bentuk pemilihan lokasi, yaitu lokasi kegiatan industri (industri location)
seperti industri pengolahan (manufacturing), perdagangan, jasa dan pertanian serta
lokasi perumahan (resedential location). Pemilihan lokasi kegiatan industri
dilakukan dengan menggunakan Teori Bid-rent, sedangkan untuk lokasi perumahan
umumnya menggunakan Model Pasar Lahan (Land Market) dari Alonso-Muth yang
diakui sebagai standar Teori Penggunaan Lahan Wilayah Perkotaan.
Penjelasan dari Teori Penggunaan Lahan Wilayah Perkotaan biasa
dijelaskan melalui grafik sebagai berikut;

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


13

Rp

E’
A’ T’

E
A T

CBD Uc U’ U Jarak

Gambar 2.1. Penentuan Lokasi Optimum Perumahan


Sumber : Sjafrizal (2012), diolah kembali

Sesuai Gambar 2.1 diatas, dalam hal ini kurva AT konstan mewakili
Marginal Transportation (Commuting) Cost (MTC), sedangkan kurva BC mewakili
Marginal Saving of Land (MSL) yang akan menurun dengan semakin jauhnya jarak
rumah dari Central Bisnis District (CBD). Berdasarkan formulasi kondisi optimal
penggunaan lahan, maka lokasi optimal perumahan (household) adalah pada titik u
dimana kurva AT berpotongan dengan kurva BC pada titik E, yaitu pada saat MTC
sama dengan MSL. Selanjutnya, seandainya MTC meningkat dari T menjadi T’,
maka titik keseimbangan (equilibrium) akan berada pada E’ dan lokasi optimal
perumahan akan bergeser menuju titik u’ yaitu lebih dekat dari CBD. Hal ini
menjelaskan mengapa pada kota besar yang harga tanahnya relatif lebih tinggi,
lokasi optimal perumahan akan cenderung berada pada pinggiran kota guna
mengurangi pengeluaran rumah tangga untuk pemilikan tanah.

2.3.2 Kebijakan Pengaturan Penggunaan Lahan Perkotaan


Sebagaimana teori lokasi Von Thunen sebagai dasar analisis penggunaan
lahan daerah perkotaan (Urban Land-use) dengan Bid-rent sebagai variabel utama
dengan mekanisme pasar, namun demikian tidak berarti bahwa penggunaan lahan
tidak perlu diatur oleh pemerintah kota bersangkutan. Hal ini mengingat lahan yang
tersedia di daerah perkotaan umumnya sangat terbatas dan mekanisme pasar kadang

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


14

tidak berjalan dengan baik, maka pengaturan dalam penggunaan lahan oleh
pemerintah tetap perlu dilakukan untuk menjaga efisiensi penggunaan lahan dan
sekaligus untuk menjaga kualitas lingkungan hidup atau RTH wilayah perkotaan.
Sesuai dengan ketentuan dalam regulasi tata ruang yang berlaku untuk
daerah perkotaan, pengaturan penggunaan lahan daerah perkotaan secara umum
dilakukan melalui penyusunan dan penetapan RTRW. Termasuk dalam RTRW ini
adalah penentuan zoning yang juga dapat digunakan sebagai alat untuk pengaturan
ruang. Dokumen RTRW ini pada dasarnya berisikan tiga hal pokok, yaitu: (a)
tujuan pemanfaatan ruang, (b) struktur dan pola pemanfaatan ruang, dan (c) pola
pengendalian pemanfataan ruang. RTRW ini ditetapkan dengan Peraturan Daerah
bersangkutan atau kota setempat sehingga ketentuan di dalamnya bersifat mengikat
dan mempunyai implikasi hukum bila dilanggar.
Selain RTRW yang bersifat umum, pemerintah kota juga diwajibkan oleh
Undang-Undang untuk menyusun Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) yang
lebih bersifat rinci mencakup seluruh cabang jalan pada kota yang bersangkutan.
Bahkan pemerintah kota juga diwajibkan pula menyusun Rencana Teknik Ruang
Kota (RTRK) yang sangat rinci dan bersifat teknis yang sekaligus dapat
menggambarkan lahan yang telah dipergunakan untuk masing-masing kegiatan.
Dengan adanya ketiga dokumen perencanaan ruang tersebut akan dapat dilakukan
pengaturan dan pengawasan penggunaan lahan daerah perkotaan secara terarah.
Undang-Undang memberikan kewenangan kepada pemerintah kota untuk
dapat melakukan pengendalian dan pengawasan pelaksanaan rencana tata ruang
wilayah dengan mengatur pemberian sertifikat tanah yang dikelola oleh Dinas
Pertanahan kota bersangkutan. Selain itu, pemerintah kota juga diberikan
kewenangan untuk memberikan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang berfungsi
baik sebagai pengendalian, maupun untuk penambahan pendapatan asli daerah
(PAD) kota tersebut. Dengan demikian masyarakat yang ingin memanfaatkan
sebidang tanah untuk mendirikan bangunan harus memiliki dua surat izin yaitu
sertifikat tanah dan IMB. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat diberikan sanksi
dalam bentuk penundaan pemberian izin atau pembongkaran bangunan bilamana
konstruksi sudah selesai dilaksanakan.

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


15

Dalam penelitian ini kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Depok
dalam menjaga efisiensi penggunaan lahan dan sekaligus untuk menjaga kualitas
lingkungan hidup khususnya RTH yaitu dengan menyusun Rancangan Peraturan
Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (Raperda RTRW) tahun 2012-2032 dan
menetapkan Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2013 tentang Bangunan dan Izin
Mendirikan Bangunan.

2.4 Peran Sistem Jaringan Jalan dalam Pengembangan Perkotaan


Sistem jaringan jalan yang baik merupakan persyaratan dasar yang harus
dipenuhi untuk mendukung pertumbuhan suatu daerah perkotaan. Tentunya sistem
jaringan jalan tersebut ditetapkan dengan memperhatikan kondisi geografis dan
arah pengembangan kota bersangkutan dalam jangka panjang. Selain itu, jaringan
jalan juga perlu memperhatikan upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup
daerah perkotaan. Selain itu sistem jaringan jalan ini terkait erat dengan pola
penggunaan lahan.
Sistem jaringan jalan yang dilakukan pada suatu daerah perkotaan adalah
bertujuan untuk mendukung mobilitas barang dan penumpang antara pusat kota
(CBD) dengan kawasan industri dan jasa, perkantoran, dan kawasan perumahan dan
permukiman serta daerah pinggiran (hinterland) (Sjafrizal, 2012). Selanjutnya
sistem jaringan jalan juga bertujuan untuk menunjang fungsi kota sebagai pusat
pertumbuhan dan mendorong pemerataan pembangunan di dalam kota serta kaitan
dengan daerah belakangnya. Secara umum sistem jaringan jalan daerah perkotaan
dapat dibagi atas jalan primer dan jalan sekunder yang terhubung dengan hierarki
perkotaan.
Mengingat jaringan jalan sebagai sub-sistem dari kota, maka strategi
pengembangan jaringan jalan perlu diupayakan agar dapat mewujudkan sistem
transportasi yang efisien dan efektif sesuai fungsi dan struktur kota serta
karakteristik sosial budaya kota itu sendiri. Sebagai perbandingan kota-kota besar
di Asia seperti Bangkok, Hongkong, dan Tokyo rata-rata road ratio nya sudah
diatas 10%. Begitu pula kota besar Negara-negara maju di Eropa dengan road ratio
lebih dari 20%. Sedang di Indonesia misal Kota Jakarta rasio jalan terhadap luas
wilayah masih di kisaran 6%.

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


16

2.5 Konsep Rumah


Menurut Rykwert (1991) dalam kata rumah itu sendiri terdapat dua istilah
berbeda yang menyertainya, yaitu house dan housing. ‘house’ merupakan suatu
bangunan tempat untuk berlindung atau dengan kata lain dapat disebut sebagai
‘shelter’. Dalam hal ini rumah merupakan tempat (ruang) dengan fungsi dominan
untuk tempat tinggal. Sedangkan pengertian ‘housing’ kembali dapat dibagi
menjadi dua, yaitu housing as a noun yang berarti permukiman dan housing as a
verb yang berarti kegiatan bermukim. Housing as a noun memiliki arti sebagai
sebuah kawasan yang terdiri dari beberapa rumah yang membentuk perumahan
(neighbourhood), sedangkan housing as a verb memiliki arti sebagai hal-hal yang
terkait dengan aktivitas bertempat tinggal, yang di dalamnya bisa saja terjadi
kegiatan membangun atau menghuni.
Hal ini sesuai dengan paparan F.C. Turner (1972), dimana rumah memiliki
dua arti, pertama sebagai kata benda (produk komoditi) dan sebagai kata kerja
(proses aktivitas). Rumah sebagai kata benda artinya bahwa sebagai tempat tinggal
(lahan dan rumah) sebagai suatu bentuk hasil produksi atau komoditi, sedangkan
sebagai kata kerja artinya bahwa proses dan aktivitas manusia yang terjadi dalam
pembangunan maupun selama proses menghuninya.
Menurut Turner (1972) tiga fungsi utama rumah sebagai tempat bermukim,
yaitu:
1. Rumah sebagai penunjang identitas keluarga, yang diwujudkan pada kualitas
hunian atau perlindungan yang diberikan oleh rumah (the quality of shelter
provide by housing). Kebutuhan akan tempat tinggal dimaksudkan agar
penghuni dapat memiliki tempat berlindung;
2. Rumah sebagai penunjang kesempatan (opportunity) keluarga untuk
berkembang dalam kehidupan sosial, budaya dan ekonomi atau fungsi
pengaman keluarga. Kebutuhan berupa akses ini diterjemahkan dalam
pemenuhan kebutuhan sosial dan kemudahan ke tempat kerja guna
mendapatkan sumber penghasilan; dan
3. Rumah sebagai penunjang rasa aman dalam arti terjaminnya keadaan keluarga
di masa depan setelah mendapatkan rumah. Jaminan keamanan atas lingkungan

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


17

perumahan yang ditempati serta jaminan berupa kepemilikan rumah dan lahan
(the reform of tenure).
Ketiga fungsi rumah berbeda sesuai dengan tingkat pendapatan. Bagi
golongan berpendapatan tinggi atau menengah ke atas faktor identitas menjadi
tuntutan utama, sedangkan pada masyarakat berpenghasilan rendah atau menengah
ke bawah faktor oportunitas yang paling penting.

2.6 Konsep Rumah Sehat dan Layak Huni


Sesuai Keputusan Menteri Permukiman Prasarana Wilayah Nomor
403/KPTS/M/2002 tentang pedoman teknis pembangunan rumah sederhana sehat,
terdapat ketentuan rumah sederhana sehat (RS Sehat) dalam rangka memenuhi
persyaratan kesehatan, keamanan, dan kenyamanan untuk mencapai rumah yang
layak huni. Adapun ketentuan rumah sederhana sehat antara lain adalah :
1. Kebutuhan Minimal Masa (penampilan) dan Ruang (luar-dalam)
Rumah sederhana sehat memungkinkan penghuni untuk dapat hidup sehat, dan
menjalankan kegiatan hidup sehari-hari secara layak. Kebutuhan minimum
ruangan pada rumah sederhana sehat perlu memperhatikan beberapa ketentuan
sebagai berikut :
a. Kebutuhan luas per jiwa
b. Kebutuhan luas per kepala keluarga (KK)
c. Kebutuhan luas bangunan per kepala keluarga (KK)
d. Kebutuhan luas lahan per unit bangunan
Hal ini secara lengkap dapat dilihat seperti pada tabel dibawah ini.

Tabel 2.1. Kebutuhan Luas Minimum Bangunan dan Lahan untuk


Rumah Sederhana Sehat
Standar Luas (m2) untuk 3 Jiwa Luas (M2) untk 4 Jiwa
per Jiwa m2 Unit Lahan (L) Unit Lahan (L)
Rumah Minimal Efektif Ideal Rumah Minimal Efektif Ideal
(Ambang batas)
7,2 21,6 60 72-90 200 28,8 60 72-90 200
(Indonesia)
9,0 27,0 60 72-90 200 36,0 60 72-90 200
(Internasional)
12,0 36,0 60 ----- ----- 48,0 60 ----- -----
Sumber : Kepmenkimpraswil No. 403/KPTS/M/2002

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


18

2. Kebutuhan Kesehatan dan Kenyamanan


Rumah sebagai tempat tinggal yang memenuhi syarat kesehatan dan
kenyamanan dipengaruhi oleh 3 (tiga) aspek, yaitu pencahayaan, penghawaan,
serta suhu udara dan kelembaban dalam ruangan. Aspek-aspek tersebut
merupakan dasar atau kaidah perencanaan rumah sehat dan nyaman.
3. Kebutuhan Minimal Keamanan dan Keselamatan
Pada dasarnya bagian-bagian struktur pokok untuk bangunan rumah tinggal
sederhana adalah: pondasi, dinding (dan kerangka bangunan), atap serta lantai.
Sedangkan bagian-bagian lain seperti langit-langit, talang dan sebagainya
merupakan estetika struktur bangunan saja.
Menurut peraturan Walikota Kota Depok Nomor 40 Tahun 2013 tentang
Pedoman Pelaksanaan Program Rehabilitasi Rumah, Pemerintah Kota Depok justru
memaparkan contoh persyaratan keselamatan bangunan untuk kriteria yang layak
huni. Adapun kriteria rumah layak huni menurut Pemerintah Kota Depok adalah
sebagai berikut:
a. Memenuhi persyaratan keselamatan;
1) Ketentuan Struktur Bawah (Pondasi)
1. Pondasi harus ditempatkan pada tanah yang mantap, yaitu
ditempatkan pada tanah yang keras, dasar pondasi diletakkan lebih
dalam dari 45 cm dibawah permukaan tanah.
2. Seluruh badan pondasi harus tertanam dalam tanah.
3. Pondasi harus dihubungkan dengan balok pondasi atau sloof, baik
pada pondasi setempat maupun pondasi menerus.
4. Balok pondasi harus diangkerkan pada pondasinya, dengan jarak
angker setiap 1,50 meter dengan baja tulangan diameter 12 mm.
5. Pondasi tidak boleh diletakkan terlalu dekat dengan dinding tebing,
untuk mencegah longsor, tebing diberi dinding penahan yang terbuat
dari pasangan atau turap bambu maupun kayu.
2) Ketentuan Struktur Tengah
1. Bangunan harus menggunakan kolom sebagai rangka pemikul, dapat
terbuat dari kayu, beton bertulang, atau baja.

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


19

2. Kolom harus diangker pada balok pondasi atau ikatannya di teruskan


pada pondasinya.
3. Pada bagan akhir atau setiap kolom harus diikat dan disatukan dengan
balok keliling/ ring balok dari kayu, beton bertulang atau baja.
4. Rangka bangunan (kolom, ring balok, dan sloof) harus memiliki
hubungan yang kuat dan kokoh.
5. Kolom/ tiang kayu harus dilengkapi dengan balok pengkaku untuk
menahan gaya lateral gempa.
6. Pada rumah panggung antara tiang kayu harus diberi ikatan diagonal.
3) Ketentuan Struktur Atas
1. Rangka kuda-kuda harus kuat menahan beban atap
2. Rangka kuda-kuda harus diangker pada kedudukannya (pada kolom
atau ring balok)
3. Pada arah memanjang atap harus diperkuat dengan menambah ikatan
angin diantara rangka kuda-kuda
b. Menjamin kesehatan;
1. Kecukupan pencahayaan rumah layak huni minimal 50% dari dinding
yang berhadapan dengan ruang terbuka untuk ruang tamu dan minimal
10% dari dinding yang berhadapan dengan ruang terbuka untuk ruang
tidur.
2. Kecukupan penghawaan rumah layak huni minimal 10% dari luas lantai.
3. Penyediaan sanitasi minimal 1 kamar mandi dan jamban di dalam atau
luar ruangan bangunan rumah dan dilengkapi bangunan bawah septitank
dengan sanitasi komunal.

2.7 Permintaan terhadap rumah


Permintaan rumah merupakan awal dari analisis ekonomi perumahan,
dimana permintaan rumah pada dasarnya merupakan jumlah produk rumah diminta
pada berbagai tingkat harga. Hal ini dikarenakan adanya keinginan terhadap
konsumsi jasa rumah untuk memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga. Kebutuhan
akan rumah ditentukan oleh jumlah penduduk dan ukuran besar kecilnya keluarga.
Indonesia merupakan negara yang mempunyai jumlah penduduk yang besar,

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


20

sehingga kebutuhan akan jasa rumah ini sangat mutlak dan menentukan tingkat
kesejahteraan (welfare) masyarakat secara keseluruhan.
Awang Firdaos (1997) menjelaskan bahwa permintaan konsumen terhadap
rumah dipengaruhi oleh faktor – faktor sebagai berikut :
1. Lokasi
Keberadaan lokasi rumah, apakah dipusat di pinggir kota sangat mempengaruhi
minat konsumen dalam membeli rumah. Semakin strategis letak rumah tersebut
berarti semakin baik dan memiliki tingkat permintaan yang semakin tinggi. Jarak
menuju tempat kerja, tempat hiburan, dan fasilitas umum sebagai motif efesiensi
waktu dan biaya transportasi merupakan faktor ekonomi yang menjadi
pertimbangan konsumen di dalam memilih lokasi rumah yang dimaksud.
2. Pertambahan penduduk
Dengan alasan bahwa setiap orang memerlukan tempat tinggal sebagai tempat
berlindung, maka setiap pertambahan penduduk baik secara alami maupun non
alami (karena urbanisasi) akan meningkatkan permintaan akan rumah. Sehingga
dalam suatu keluarga apabila jumlah anggota keluarga bertambah maka
kebutuhan akan rumah ikut meningkat. Hal ini logis mengingat bahwa manusia
ingin memenuhi kebutuhan pokok keluarganya.
3. Pendapatan Konsumen
Kesanggupan seseorang di dalam memiliki rumah sangat dipengaruhi
pendapatan yang diperolehnya. Apabila pendapatan seseorang meningkat dan
kondisi perekonomian tidak terjadi resesi dan inflasi, kecenderungan untuk
memiliki rumah akan meningkat baik secara kualitas maupun kuantitas.
4. Kemudahan Mendapatkan Pinjaman
Pada pasar properti perumahan, permintaan perumahan dipengaruhi juga oleh
kebijakan pemerintah dan institusi keuangan seperti perbankan. Karakteristik
pasar properti yaitu membutuhkan dana besar, menyebabkan konsumen sangat
tergantung pada kemudahan pendanaan. Kemudahan pendanaan ini dapat berupa
fasilitas kredit pinjaman, penurunan tingkat suku bunga pinjaman, dan jangka
waktu pelunasan pinjaman. Apabila kemudahan tersebut dapat diperoleh
konsumen, dipercaya permintaan akan rumah oleh konsumen akan bertambah.

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


21

Sebaliknya jika syarat mendapatkan pinjaman sangat ketat, atau suku bunga
pinjaman yang tinggi akan menurunkan permintaan rumah oleh masyarakat.
5. Fasilitas dan Sarana Umum
Fasilitas disini meliputi fasilitas umum dan fasilitas sosial, diantaranya
infrastruktur, sarana pendidikan, kesehatan, keagamaan, sarana transportasi, dan
lain-lain. Keberadaan fasilitas tersebut membangun serta menarik minta investor
yang selanjutnya akan meningkatkan permintaan akan rumah di kawasan
tersebut.
6. Harga Pasar Rumah
Seperti dalam hal teori permintaan dan penawaran, semakin tinggi harga barang
akan mengakibatkan penurunan permintaan akan barang yang dimaksud.
Apabila harga rumah menengah naik, sementara kecenderungan memiliki rumah
dengan tingkat harga tersebut akan berkurang dan permintaan akan beralih ke
rumah dengan harga yang lebih rendah.
7. Undang-Undang atau Regulasi
Peraturan yang mengatur tentang jenis penggunaan lahan/tanah yang membatasi
hak atas tanah tersebut turut menjadi faktor yang mempengaruhi permintaan
konsumen akan rumah. Demikian juga dengan peraturan lain seperti peraturan
perpajakan (PBB dan BPHTB) turut menjadi faktor yang menjadi pertimbangan
konsumen dalam membeli rumah.

2.8 Penawaran Rumah


Penawaran produk rumah merupakan jumlah produk rumah yang dapat
ditawarkan pada masyarakat pada berbagai tingkat harga. Penawaran ini ada karena
adanya kegiatan produksi yang menghasilkan jasa dan produk rumah yang
selanjutnya dipasarkan kepada konsumen. Karena itu, determinan yang berkaitan
dengan kegiatan produksi akan berpengaruh langsung pada penawaran rumah.
Faktor penentu penawaran rumah meliputi beberapa aspek yang berkaitan
dengan kegiatan konstruksi perumahan. Faktor-faktor tersebut antara lain:
1. Harga produk perumahan
Harga produk perumahan yang bersangkutan karena bilamana harga
meningkat, maka jumlah penawaran meningkat dan menurun bila harga

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


22

menurun. Dengan kata lain, terdapat hubungan positif antara jumlah penawaran
dan harga sesuai dengan hukum penawaran (Law of Supply). Hubungan ini
didasarkan oleh tujuan utama perusahaan pembangunan perumahan
(developer) yaitu untuk maksimisasi profit.
2. Harga Bahan Bangunan
Yang dimaksud adalah harga bahan bangunan terkait yang menentukan jumlah
biaya konstruksi yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk perumahan.
Pada saat harga bahan bangunan tersebut meningkat, maka penawaran akan
berkurang karena biaya konstruksi menjadi sangat tinggi dan demikian pula
sebaliknya saat harga bahan bangunan menurun.
3. Teknologi konstruksi pembangunan
Teknologi yang dimaksud yaitu yang berkaitan dengan proses konstruksi
sehingga dapat mempengaruhi biaya produksi dan kualitas produk perumahan
yang dihasilkan.

2.9 Konsep Backlog Perumahan


Didalam membahas data perumahan Kemenpera menggunakan istilah
backlog. Dalam perspektif BPS, backlog rumah di definisikan apakah rumah yang
ditempati oleh rumah tangga mempunyai status milik sendiri, sewa, kontrak, atau
lainnya (misal rumah dinas). Sedangkan perspektif Kementerian Perumahan
Rakyat (Kemenpera), backlog rumah adalah banyaknya rumah yang layak dihuni
oleh rumah tangga (Dimyati, 2010).
Jadi pengertian backlog perumahan lebih dimaknakan kekurangan rumah,
tidak wajib ada prasarana dan sarana lingkungan tetapi dilengkapi prasarana dan
sarana lingkungan. Terminologi ‘yang dilengkapi’ dan ‘dengan atau menjadi
bagian’ akan mempunyai konsekuensi turunan yang sangat berbeda dalam
pelaksanaannya, tidak hanya terkait cost tetapi banyak masalah lainnya. Sehingga
apabila saat ini banyak keluh kesah melalui berbagai media tentang tidak
optimalnya prasarana dan sarana lingkungan di permukiman dan kurang mendapat
respons, sangat bisa dimaklumi. Pasalnya hulu dari amanat perintah di dalam
undang-undangnya demikian adanya. Tentu penulis yakin sejatinya bukan hal
tersebut alasannya, tetapi karena memang adanya prioritas penanganan oleh

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


23

pemerintah karena terbatasnya penganggaran, atau pemeliharaan prasarana dan


sarana lingkungan yang dimaksud bukan menjadi tanggungjawab pemerintah
(Dimyati, 2010).

2.10 Konsep Economic Rent


Rente ekonomis (Economic Rent) adalah selisih antara apa yang bersedia
dibayar oleh perusahaan untuk input produksi dikurangi dengan jumlah minimum
yang diperlukan untuk membeli input itu. Dalam pasar bersaing, dalam jangka
pendek maupun jangka panjang, rente ekonomis sering positif, walaupun labanya
nol (Pindyck, 2007). Namun dalam jangka panjang, dalam pasar yang bersaing,
surplus produsen yang diperoleh perusahaan dari output yang dijualnya terdiri dari
semua rente ekonomis yang dinikmati dari semua input yang langka.
Salah satu contoh faktor yang ditawarkan dengan tidak elastis adalah tanah.
Kurva penawarannya sama sekali tidak elastis karena tanah atau perumahan adalah
tetap, setidaknya untuk jangka pendek. Dengan tanah yang ditawarkan secara tidak
elastis, harganya ditentukan sepenuhnya oleh permintaan. Penjelasan rente
ekonomis dalam hal sewa tanah atau perumahan seperti di tunjukkan pada Gambar
dibawah ini.

Harga
(Dollar per
akre)
Penawaran Tanah

S2

S1 D2

D1

Jumlah Akre

Gambar 2.2. Rente Ekonomis dalam Sewa Tanah


Sumber : Pyndick Jilid 2 (2007), diolah kembali

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


24

Dalam gambar ini dijelaskan apabila penawaran tanah ternyata inelastis


sempurna, harga pasaran tanah tersebut ditentukan pada titik perpotongan dengan
kurva permintaannya. Dengan demikian, seluruh nilai tanah tersebut adalah suatu
rente ekonomis. Apabila permintaan diberikan oleh D1, rente ekonomis per akre
akan diberikan oleh S1, dan apabila permintaan naik menjadi D2, sewa per akre naik
menjadi S2.

2.11 Konsep Kuota Produksi


Selain dapat memasuki pasar dan memborong hasil produksi yang
meningkatkan permintaan total, pemerintah dapat juga meningkatkan harga barang
dengan cara mengurangi penawaran (reducing supply). Hal ini dapat dilakukan
dengan mengeluarkan kebijakan, yaitu pemerintah menetapkan kuota yang dapat
diproduksi oleh setiap perusahaan (Pyndick, 2007). Dengan menetapkan kuota yang
tepat, maka harga akan dipaksa naik ke setiap tingkat yang dikehendaki.
Salah satu kebijakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah dengan
pembatasan penggunaan lahan. Hal ini dapat dijelaskan dengan Gambar dibawah
ini.

Harga
S’ DWL

S
A
PS

D
B C

P0
E
D

Q1 Q0 Harga

Gambar 2.3. Pembatasan Penawaran dengan Kuota


Sumber : Pyndick Jilid 1 (2007), diolah kembali

Untuk mempertahankan agar harga Ps di atas pagu pasar Po, pemerintah


dapat membatasi penawaran ke Q1, dalam hal ini asumsi ada pembatasan lahan

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


25

sehingga ada penurunan output perumahan. Namun implikasinya adanya perubahan


surplus konsumen (SK) dari awalnya pada bidang A, B, dan C menjadi hanya
bidang A. Namun ada penambahan surplus konsumen (SP) yang awalnya pada
bidang D dan E menjadi B dan D. selain itu dengan adanya kebijakan kuota ini
maka akan menimbulkan DWL yaitu pada bidang C dan E.

2.12 Pengukuran Dampak Kebijakan dengan Metode Regulatory Impact


Assessment (RIA)
2.12.1 Konsep Regulatory Impact Analysis (RIA)
Pengukuran RIA dalam perumusan kebijakan publik sangat membantu
dalam mengidentifikasi biaya dan manfaat dari suatu kebijakan. Pengukuran RIA
juga berkontribusi untuk mendukung pemerintahan yang efektif dan transparan.
Pengukuran RIA telah diaplikasikan oleh negara-negara anggota OECD, tetapi
untuk negara berkembang belum diterapkan dalam perumusan kebijakannya.
RIA adalah teknik untuk meningkatkan basis empiris bagi pembuatan
keputusan yang dilakukan secara sistematis dan konsisten memeriksa dampak
potensi yang muncul dari aksi pemerintah dan mengkomunikasikan hal tersebut
kepada pembuat keputusan. Dampak potensial diidentifikasikan dengan dampak
positif (manfaat) dan dampak negatif (biaya), dan informasi disampaikan kepada
pembuat keputusan sehingga mereka dapat melihat secara utuh biaya dan manfaat
yang dihasilkan oleh suatu kebijakan (Kisckpatrick, 2001).
Secara khusus RIA telah memenuhi kriteria dari suatu pembuatan kebijakan
yang baik (OECD, 1997: 16-18 dalam Kickpatrick, 2001), yang adalah :
1. Meningkatkan pemahaman biaya dan manfaat dari kebijakan pemerintah
RIA merupakan pendekatan pembuatan keputusan yang mendasarkan pada bukti
empiris, dimana dalam pengukuran biaya dan manfaat yang sering adalah bukti
secara ekonomi.
2. Mengintegrasikan beberapa tujuan kebijakan
RIA dapat digunakan sebagai kerangka penyatuan dalam mengidentifikasi dan
membandingkan hubungan dan dampak dari perubahan suatu kebijakan
ekonomi, sosial maupun lingkungan.

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


26

3. Meningkatkan transparasi dan konsultasi


RIA dikaitkan dengan suatu proses konsultasi publik, yang memperkuat
transparansi proses RIA, menyediakan kontrol kualitas bagi analisa dampak, dan
meningkatkan informasi yang disediakan bagi pembuatan keputusan.
4. Meningkatkan akuntabilitas pemerintah
RIA dapat meningkatkan keterlibatan dan akuntabilitas dari pembuat keputusan
dengan menyampaikan informasi yang diperlukan dalam pembuatan keputusan
dan mendemonstrasikan bagaimana dampak kebijakan tersebut terhadap
masyarakat.
Analisis dampak regulasi (RIA) merupakan suatu proses yang sistematis
dalam mengidentifikasi dan menilai dampak yang diharapkan dari suatu rencana
kebijakan dengan menggunakan suatu metode analisa seperti analisa biaya manfaat.
RIA juga merupakan suatu proses pembandingan: yang didasarkan pada penentuan
pencarian tujuan kebijakan dan mengidentifikasi semua alternatif intervensi yang
dapat membantu pencapaian kebijakan. Semua alternatif kebijakan tersebut harus
diukur untuk menginformasikan kepada penentu kebijakan sehingga secara
sistematis dapat dipilih mana alternatif kebijakan yang paling efektif dan efisien
(OECD, 2008).
RIA juga dapat dikatakan sebagai pendekatan sistemik untuk menilai secara
kritis dampak positif dan negatif dari peraturan yang diusulkan dan yang ada serta
alternatif peraturan yang lain. RIA yang dilaksanakan di negara-negara OECD itu
meliputi berbagai metode. Pada intinya itu merupakan elemen penting dari
pendekatan berbasis bukti untuk pembuatan kebijakan. Analisis OECD
menunjukkan bahwa pelaksanaan RIA secara sistematis dalam kerangka yang tepat
dapat mendukung kapasitas pemerintah untuk menjamin bahwa peraturan-
peraturan efisien dan efektif dalam menghadapi dunia selalu berubah dan kompleks
(Ruky, 2009) dalam Christianti (2010).
RIA sekarang telah diadopsi oleh hampir semua anggota OECD dalam
analisa kebijakan yang dalam pelaksanaannya secara teknis dan administrasi
cenderung untuk berhasil.

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


27

Gambar 2.4 Negara-Negara yang mengadopsi RIA


Sumber : OECD, 2012

Pada tahun 1995, Dewan OECD mengeluarkan rekomendasi dalam


meningkatkan mutu peraturan pemerintah dan dalam rekomendasi tersebut
menghasilkan suatu daftar untuk menentukan penerapan peraturan. Daftar tersebut
terdiri dari sejumlah pertanyaan yang ditanyakan kepada para pembuat kebijakan
ketika mengevaluasi apakah dengan mengeluarkan peraturan tersebut dapat
menjawab masalah yang ada. Secara bersamaan, daftar pertanyaan tersebut akan
membantu pembuat kebijakan untuk memikirkan dampak peraturan yang akan
dikeluarkan apakah efektif dan efisien.
RIA merupakan suatu model untuk menganalisis dengan menggunakan
daftar pertanyaan sebagai dasar analisis. Dalam praktek penerapan RIA, dimulai
dengan suatu analisis dan pembentukan masalah yang menciptakan suatu hubungan
antara peraturan yang dibuat dengan proses-prosesnya melalui suatu evaluasi biaya
dan manfaat termasuk didalamnya sebuah pertimbangan proses bagi penerapan
pelaksanaan peraturan tersebut. RIA merupakan alat bantu dalam pengambilan
keputusan yang meliputi evaluasi kemungkinan adanya alternatif peraturan dan
pendekatan non-peraturan dengan arah keseluruhan untuk memastikan bahwa
pendekatan peraturan yang dipilih memberikan manfaat yang terbesar bagi
masyarakat.
Rekomendasi OECD untuk mengevaluasi efektifitas dan efisiensi
pembuatan keputusan terhadap suatu peraturan atau kebijakan meliputi beberapa
daftar pertanyaan yang digunakan untuk mengkaji suatu kebijakan pemerintah
(Ruky, 2009) dalam Christianti (2010), daftar pertanyaan tersebut antara lain :

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


28

1. Apakah masalah yang dikemukakan dalam kebijakan sudah didefinisikan


dengan tepat?
2. Apakah tindakan pemerintah tersebut dapat dijustifikasi untuk mengatasi
masalah?
3. Apakah kebijakan merupakan tindakan pemerintah yang terbaik?
4. Apakah ada dasar hukum untuk pengaturan ini?
5. Apakah tingkatan institusi yang ditetapkan untuk menerbitkan aturan/
kebijakan ini sudah tepat?
6. Apakah manfaat dari kebijakan sesuai dengan biayanya?
7. Apakah distribusi efek ke masyarakat sudah transparan?
8. Apakah kebijakan yang diamati sudah cukup jelas, komprehensif dan mudah
didapat?
9. Apakah semua pihak yang tertarik sudah mendapatkan kesempatan untuk
merepresentasikan pandangannya? Jika ya, apakah pandangan yang diberikan
menjadi umpan balik untuk melakukan koreksi terhadap kebijakan?
10. Bagaimana kepatuhan dapat dicapai?
Daftar pertanyaan itulah yang nantinya akan menjadi indikator dalam menilai dan
mengkaji kebijakan Perda Kota Depok Nomor 13 Tahun 2013 tentang Bangunan
dan Izin Mendirikan Bangunan Pasal 97 huruf (b).

2.12.2 Tahapan Pelaksanaan Regulatory Impact Assesment (RIA)


Proses melengkapi dokumen RIA merupakan suatu proses kebijakan masuk
akal yang diikuti oleh sejumlah tahapan. Kompleksitas dan kedalaman analisis
membutuhkan suatu penetapan kepentingan dan ukuran dari dampak
dikeluarkannya suatu kebijakan melalui checklist pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan. Menurut OECD (2008) secara ringkas beberapa tahapan RIA meliputi :
1. Pendefinisian hubungan kebijakan dengan tujuan yang ingin dicapai,
khususnya identifikasi sistematis masalah yang merupakan dasar pelaksanaan
bagi pemerintah.
2. Identifikasi dan pendefinisian seluruh peraturan dan non-peraturan yang akan
dapat mencapai tujuan kebijakan.

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


29

3. Identifikasi dan kuantifikasi dampak dari pilihan kebijakan yang


mempertimbangkan biaya, manfaat dan distribusi efek.
4. Pengembangan strategi kekuatan dan kepatutan untuk setiap pilihan kebijakan
termasuk evaluasi efektifitas dan efisiensi.
5. Pengembangan mekanisme pengawasan untuk mengevaluasi kesuksesan
usulan kebijakan dan untuk memberikan feed back informasi kedalam
pembangunan dari tanggapan terhadap peraturan di masa datang
6. Konsultasi publik yang tergabung secara sistematis menyediakan kesempatan
bagi semua stakeholder untuk berpartisipasi dalam proses pembentukan
peraturan. Hal ini memberikan informasi penting bagi biaya dan manfaat-
manfaat alternatif termasuk keefektifan suatu peraturan.
Proses analisis dampak peraturan haruslah dilakukan berulang dan terbuka
terhadap masukan dari masyarakat. Biasanya komposisi dari proses tersebut
berbentuk sederhana dan secara bertahap semakin diperkaya dengan mengadaptasi
metode analisis dampak peraturan (RIA) lainnya.
Agar RIA dapat menjadi efektif, sistem RIA harus diintegrasikan ke dalam
proses kebijakan sehingga menjadi masuk akal dan diskusi mengenai peraturan
didukung oleh informasi empiris yang membantu pembuat kebijakan dalam
mengambil keputusan. Keywort & Yarrow (2006) membantah kecenderungan yang
melihat RIA hanya sebagai sebuah dokumentasi pendamping usulan kebijakan
dalam proses pengambilan keputusan. Dalam prakteknya, RIA harus menjadi suatu
proses pertimbangan dan evaluasi alternatif kebijakan yang memberikan
sumbangan dalam meningkatkan kapasitas administrasi kebijakan.

2.13 Teori Analisis Biaya Manfaat (CBA)


Analisa Biaya dan Manfaat merupakan sebuah kerangka analitis yang
digunakan untuk mengukur manfaat (benefit) dan biaya (cost) sebuah rancangan
kebijakan. Pada dasarnya, Analisis biaya dan manfaat merupakan sebuah proses
pengambilan keputusan rasional yang biasa, fokusnya pada efisiensi ekonomis,
Analisa Biaya dan Manfaat memerlukan pandangan jangka panjang dan melibatkan
semua manfaat dan biaya yang relevan. Analisa biaya dan manfaat merupakan salah

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


30

satu langkah dalam Regulatory Impact Analysis (RIA), juga dalam daftar
pertanyaan OECD (Checklist) yang menjadi standar proses penyusunan kebijakan.
Alasan perlu diketahuinya analisa biaya dan mafaat ini yaitu dengan
berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), pilihan terhadap berbagai
kebijakan untuk tujuan tertentu menjadi semakin banyak. Masyarakat semakin
kritis, tuntutan terhadap rasionalitas sebuah kebijakan semakin tinggi. Instansi
pemerintah perlu meningkatkan kapasitasnya untuk memperbaiki kualitas
kebijakan yang dibuatnya.
Adapun langkah umum dalam melakukan analisis biaya dan manfaat ini
adalah Tentukan point of view. Biaya untuk pihak tertentu bisa menjadi benefit
untuk pihak lain. Sebagai contoh adalah pajak, dimana ditentukan tujuan yang
hendak dicapai kemudian ditentukan pilihan apa saja yang ada untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan. Ingat selalu mencantumkan do nothing (status quo) /
tidak melaksanakan apapun sebagai salah satu pilihan. Kemudian identifikasi
semua biaya dan manfaat untuk setiap pilihan. Jika tertarik dengan distributional
effect kemudian identifikasi siapa yang menanggung/menerima setiap
biaya/manfaat. Lalu tentukan jangka waktu yang relevan untuk semua biaya dan
manfaat yang teridentifikasi. Hitung nilai setiap biaya dan manfaat. Jika ada yang
bersifat intangible, lakukan kuantifikasi. Hitung present value/PV untuk setiap
biaya dan manfaat. Lakukan analisis apakah total manfaat lebih besar daripada
biaya, atau sebaliknya. Jika tertarik maka dapat melakukan analisis untuk melihat
berapa net benefit yang diterima oleh setiap pihak yang telah diidentifikasi
sebelumnya dengan melakukan analisis sensitivitas. Pada dasarnya jika terdapat
perubahan sebanyak jumlah tertentu, maka bagaimana dan berapa dampaknya.
Kemudian keputusan dapat diambil dan dapat menyusun laporan CBA.
Kemudian dilakukan identifikasi dampak dimana tidak hanya melihat
manfaat dan biaya dari sisi finansial, dan tidak selalu mudah untuk melihat potensi
dampak sebuah kebijakan, juga tidak selalu mudah menilai nilai sebenarnya suatu
potensi dampak. Beberapa teknik menghitung diantaranya.
1. Non-Market Valuation yaitu teknik menghitung manfaat/ biaya komoditas
yang tidak biasa
a. Revealed preference technique terdiri dari;

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


31

i. Travel Cost Method, biasa dipakai untuk menghitung nilai tempat


rekreasi. Nilai tempat tersebut sama dengan total biaya perjalanan yang
dikeluarkan oleh para pengunjung
ii. Hedonic Procing, biasa dipakai untuk menilai harga suatu lokasi. Nilai
lokasi dicerminkan oleh harga rumah.
b. Averted expenditure technique, biasa digunakan untuk manfaat yang
bersifat tidak langsung. Contoh: Manfaat hutan bakau (mangrove) dinilai
dari dampak badai/tsunami yang bisa di hindari.
c. Stated preference technique.
i. Contingent valuation, digunakan untuk menghitung nilai dari non exist
goods yaitu beberapa orang mau bayar untuk layanan/ produk tertentu
(yang belum ada)?
ii. Choice modelling, yaitu orang diminta memilih berbagai skenario.
Menghitung manfaat dan biaya publik misalkan untuk suatu perusahaan
(swasta), maka manfaat adalah penerimaan, dan biaya adalah pengeluaran
perusahaan. Untuk sektor publik, harga pasar seringkali tidak mencerminkan
manfaat dan biaya sosial karena adanya eksternalitas. Beberapa cara menghitung
biaya/ manfaat antara lain dengan :
1. Market price, disini dianggap dalam pasar kompetitif, harga pasar
mencerminkan marginal cost of production dan marginal value bagi
konsumen, mengabaikan ketidaksempurnaan pasar, dan data yang
dikumpulkan.
2. Adjusted market price, digunakan jika pasar tidak sempurna (kompetitif),
misalkan terdapat monopoli, pajak/ subsidi, dsb. Shadow price adalah harga
sebenarnya, jika semua komponen dipertimbangkan dan jika pasar kompetitif.
3. Consumer surplus adalah utility yang dinikmati oleh konsumen tetapi tidak
perlu dibayar oleh konsumen. Consumer surplus merupakan ukuran
kesejahteraan konsumen, dan berubah jika harga berubah. Berikut grafik
perubahan consumer surplus akibat turunnya harga.

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


32

Price/
Ton a

b c
2000 Sa’

d e f
1000 Sa

Da

A0 Aa Ton/
Tahun

Gambar. 2.5 Perubahan Consumer Surplus


Sumber : Pengolahan data dari buku mikroekonomi (2007)

Tantangannya adalah kemampuan untuk menghitung kurva permintaan


dimana terdapat perubahan dari Sa ke Sa’
4. Menghitung intangibles, sebagai contoh adalah Value of time dimana yang
sering digunakan adalah penghasilan setelah pajak. Misalkan mengapa
penerbangan langsung dengan waktu yang lebih pendek lebih mahal
dibandingkan dengan penerbangan tidak langsung? Didapatkan Alternatif
yaitu 50% penghasilan sebelum pajak. Selain value of time ada juga Value of
life yaitu pandangan bahwa kehidupan tak ternilai harganya menyulitkan
analisis, karena setiap kebijakan/ proyek yang berpotensi meningkatkan tingkat
keselamatan atau menurunkan kematian manfaatnya juga menjadi tak ternilai.
2 (dua) cara menghitung value of life yaitu human capital approach melalui
penghasilan yang hilang, dan willingness to pay yaitu kesanggupan membayar
untuk penurunan tertentu probabilita kematian.
Komponen analisis biaya dan manfaat terdiri dari :
1. Tabel parameter, contohnya
Tabel 2.2. Parameter analisis biaya dan manfaat
Parameter-1 Pertumbuhan Penduduk 2% Pertahun
Parameter-2 Sosial Discount Rate 10% Pertahun
Parameter-3 Peningkatan harga apel 5% Pertahun
Sumber : Benefit cost analysis guide, 1998

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


33

Asumsi diatas sangat penting terutama untuk memungkinkan


dilakukannya analisis sensitivitas.
2. Tabel Incramental-effect, contohnya
Tabel 2.3. Incramental Effect
Periode
T0-T1 T1-T2 T2-T3
Kejadian
Besaran
Sumber : Benefit cost analysis guide, 1998

Kejadian dan tentu saja konsekuensinya sangat tergantung pada jenis


proyek yang sedang dievaluasi. Misalkan kesakitan untuk proyek
imunisasi, penjualan untuk proyek insentif ekspor, surat yang dikirim
untuk proyek investasi di kantor pos, dsb.
3. Tabel Hasil Penilaian
Tabel 2.4. Incramental Effect
Periode Cost Benefit Netto Netto Present
Harga Harga Value
Berlaku Konstan
Bahan Tenaga
Kerja
T0-T1 -100 -67 40 -127 -124 -113
T1-T2 -212 -34 60 -156 -148 -123
T2-T3 -455 -84 900 67 57 43
NPV -193
Sumber : Benefit cost analysis guide, 1998
Pada Konversi Penghitungan ada beberapa hal yang perlu disepakati
sejak awal yaitu jangka waktu, asumsi time of occurence kapan semua
cost dan benefit nilainya akan turun, dan unit of value yang dipakai.

2.14 Penggunaan AHP untuk Analisis Biaya dan Manfaat


The Analytic Hierarchy Process, yang selanjutnya disebut AHP, adalah
salah satu bentuk model pengambilan keputusan yang pada dasarnya berusaha
menutupi semua kekurangan dari model-model sebelumnya. Peralatan utama
model ini adalah sebuah hirarki fungsional dengan input utamanya persepsi

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


34

manusia. Dengan hirarki, suatu masalah yang kompleks dan tidak terstruktur
dipecah ke dalam kelompok-kelompoknya dan kemudian kelompok-kelompok
tersebut diatur menjadi sebuah bentuk hirarki (Bambang P.S Brodjonegoro, 1991).
Analisis biaya manfaat adalah alat tradisional untuk mengalokasikan
sumber daya diantara suatu kegiatan. Metode ini adalah metode untuk mengetahui;
1) memutuskan apakah akan melaksanakan suatu proyek tertentu; 2) memilih
aktifitas yang paling produktif dengan perbandingan manfaat/biaya tertinggi; 3)
memilih proyek yang manfaatnya bisa didistribusikan ke penduduk dengan cara
tertentu; 4) memaksimalkan total manfaat dengan diberikannya batasan seperti
anggaran; 5) Mereview kembali suatu proyek yang sudah ada untuk kemungkinan
pengurangan atau mengalokasikan kembali suatu sumber daya. (Saaty, 1980)
Menggunakan AHP untuk analisis manfaat dan biaya dapat meningkatkan
alat pengambilan yang tradisional ini. Pertama setelah membuat struktur masalah
manfaat dan biaya pada analisis hirarki, kita bisa menggunakan skala dengan
perbandingan yang setara untuk penilaian intangible, faktor-faktor non ekonomi
yang sejauh ini tidak efektif diterapkan ke dalam pembuatan keputusan. Hirarki
juga memungkinkan kita untuk membuat eksplisit, pengorbanan informasi antara
banyak kriteria untuk memilih kebijakan / proyek.
Model AHP adalah suatu model yang mampu menggabungkan faktor-
faktor kuantitatif dan kualitatif juga menggunakan persepsi yang sebenarnya
sebagai input, maka akan sangat sesuai jika analisa manfaat dan biaya coba
dipecahkan dengan model AHP. Manfaat dan biaya merupakan hal yang bertolak
belakang, jadi pemecahan masalah analisis manfaat dan biaya tidak dapat
dilakukan dalam satu hirarki. Sehingga mesti dibuat dua buah hirarki yaitu hirarki
biaya untuk suatu tindakan untuk hal-hal yang bersifat negatif dan hirarki manfaat
suatu tindakan untuk hal-hal yang bersifat positif secara terpisah.
Level pertama dari hirarki ini, sama seperti hirarki lainnya, adalah tujuan
utama atau fokus permasalahan di mana untuk hirarki sisi manfaat ditambahkan
kata manfaat atau segi positif sedangkan sisi biayanya ditambahkan kata biaya atau
sisi negatif. Untuk analisa manfaat biaya yang sederhana, di bawah level pertama
dapat langsung di letakkan level kriteria, akan tetapi untuk analisa manfaat biaya
jangka panjang dapat diletakkan tentang jangka waktu (jangka pendek, menengah

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


35

dan panjang) pada level dua. Level ketiga dari analisa manfaat biaya seperti ini
terdiri dari kriteria-kriteria yang bermanfaat bagi suatu masalah (untuk hirarki
manfaat) atau kriteria-kriteria yang merugikan bagi suatu masalah (untuk hirarki
biaya). Hubungan antara level dua dan tiga di sini dapat berupa hubungan timbal
balik karena keduanya memang dapat saling mempengaruhi (Bambang P.S
Brodjonegoro, 1991).

2.15 Penelitian Terdahulu


Studi terdahulu yang melakukan penelitian yang melihat dampak kebijakan
dengan metode Regulatory Impact Assesment (RIA) antara lain Olivia (2013)
mengenai dampak pembangunan jalan tol lingkar luar Bogor dalam mengurai
kepadatan lalu lintas di kawasan pusat kota Bogor. Dengan hasil setelah
menganalisis manfaat dan biaya masing-masing alternatif, maka alternatif yang
sebaiknya dilakukan adalah alternatif kedua dan ketiga yaitu pembangunan jalan
lingkar luar bogor (Jalan Tol Bogor Ring Road) dan pembangunan jalan lingkar
dalam Bogor (Bogor Inner Ring Road).
Selanjutnya Christianti (2010) yaitu evaluasi atas kebijakan amdal dalam
pembangunan tata ruang Kota Surakarta. Dengan hasil Peraturan Daerah Kota
Surakarta Nomor 2 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dapat
digunakan untuk mengendalikan pencemaran dampak lingkungan yang terjadi di
Wilayah Kota Surakarta sebagai akibat dari pembangunan yang dilaksanakan
dengan memperhatikan beberapa hal.
Studi lainnya oleh Ellyza (2014) yaitu evaluasi kebijakan pembangunan
pembangkit listrik tenaga hibrid (tenaga angin dan solar cell) di Pandasimo, Bantul
dengan metode Regulatory Impact Analysis. Dengan hasil memilih alternatif
melakukan kerjasama dengan pihak swasta dalam hal ini adalah PLN sebagai single
buyer energi di Indonesia adalah yang terbaik. Sehingga PLTH dapat dikelola
secara professional dan proses komersialisasinya menjadi lebih cepat namun tidak
akan memberatkan masyarakat dengan tarifnya karena peranan Pemda dan
masyarakat setempat sebagai pengendali dan kontrol sosial masih ada.
Selain itu penelitian Wicaksena (2014) tentang Analisis Implementasi
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 44/M-DAG/PER/9/2009 Tentang

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


36

Pengadaan. Distribusi dan Pengawasan Bahan Berbahaya (Studi Kasus : Kota


Makasar). Hasil penelitian dengan metode RIA menunjukkan bahwa permendag
tersebut perlu direvisi dan disempurnakan sehingga pelaksanaannya bisa lebih
efektif dan tidak terjadi penyalahgunaan, khususnya yang terkait dengan bahan
pangan.
Penelitian tentang perumahan antara lain yang dilakukan oleh Purwanti
(2012) tentang Evaluasi Kebijakan Publik Tentang Penyediaan Perumahan Bagi
Masyarakat Berpenghasilan Rendah (Studi Kasus : Kota Depok). Hasil penelitian
dengan metode evaluasi formal secara deskriptif disimpulkan bahwa belum ada
kebijakan yang jelas dan terarah mengenai penyediaan perumahan yang layak bagi
MBR yang tertuang di dalam rencana, program dan kegiatan.
Kajian lain terkait dengan evaluasi kebijakan terutama perumahan yaitu
putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 14/PUU-X/2012 tahun 2012 yang mengadili
perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan
Kawasan Permukiman terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Diputuskan Pasal 22 ayat (3) UU 1/2011, yang mengandung norma
pembatasan luas lantai rumah tunggal dan rumah deret berukuran paling sedikit 36
(tiga puluh enam) meter persegi, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Purba (2010) tentang Strategi Pembangunan Perumahan di Kota Batam
dengan metode SWOT dan AHP. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa program
pembangunan perumahan di Kota Batam memiliki kriteria lokasi, keterjangkauan
dan ketersediaan infrastruktur, sedang indikator pendukung kriteria meliputi jarak
dari tempat kerja, harga, ketersediaan fasilitas umum dan fasilitas sosial serta tipe
rumah (apakah bersusun atau tidak bersusun). Sementara kendala yang muncul
dalam pembangunan perumahan di Kota Batam dapat dikelompokkan dalam 4
(empat) bagian yang meliputi ketersediaan lahan, koordinasi antar lembaga yang
berkompeten, keterbatasan anggaran pemerintah serta peraturan yang berhubungan
dengan pembangunan perumahan.
Selanjutnya penelitian dengan metode CBA yang dilakukan Novitasari
(2014) tentang Analisis Biaya dan Manfaat Peruntukan Kawasan Jalan Pesisir
(Coastal Area) di Kabupaten Karimun. Dalam penelitiannya disimpulkan bahwa

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


37

simulasi kebijakan ketiga yaitu kerjasama swasta dan pemerintah memberikan nilai
manfaat yang lebih baik atau layak ditunjukkan dengan NPV dan BCR yang
mempunyai kelayakan.
Penelitian yang berkaitan dengan regulasi tentang perumahan antara lain
yang dilakukan oleh Schill, Michael H (2005) tentang Regulations and Housing
Development: What We Know. Dalam penelitian ini dijelaskan bahwa hambatan
dari kebijakan pemerintah terhadap perumahan terkadang berdampak pada
penurunan supply perumahan.
Selanjutnya penelitian di malaysia yang dilakukan oleh Malfezzi, Stephen
dan Mayo, Stephen K (1997) tentang Getting Housing Incentive Right: A Case
Study of the Effect of Regulation, Taxes, and Subsidies on Housing Supply in
Malaysia. Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa dampak biaya dari regulasi dan
pembatasan harga jauh lebih besar dari manfaat subidi dan pembebasan regulasi.
Setelah dibandingkan antara negara-negara seperti Amerika, Thailand dan Korea
maka negara dengan peraturan yang lebih ketat relatif memiliki persediaan rumah
yang inelastis.
Tabel 2.5 Penelitian Terdahulu
No Penulis Judul Tesis/ Jurnal Metodologi Hasil
1 Olivia (2013) Dampak Pembangunan  RIA  Peraturan Kebijakan
Jalan Tol Lingkar Luar dapat dilakanakan
Bogor Dalam Mengurai dengan berbagai
Kepadatan Lalu Lintas rekomendasi dalam
Di Kawasan Pusat Kota memperkuat
Bogor pelaksanaan
2 Christianti Evalusi Atas Kebijakan  RIA  Alternatif yang
(2010) AMDAL Dalam  Dengan sebaiknya dilakukan
Pembangunan Tata kuisoner dan adalah alternatif
Ruang Kota Surakarta Checklist kedua dan ketiga
yaitu pembangunan
jalan lingkar luar
bogor (Jalan Tol
Bogor Ring Road)
dan pembangunan
jalan lingkar dalam
Bogor (Bogor Inner
Ring Road)
3 Ellyza (2014) Evaluasi Kebijakan  RIA  Alternatif kebijakan
Pembangunan terbaik yaitu
Pembangkit Listrik melakukan kerjasama
Tenaga Hibrid (Tenaga dengan pihak swasta
dalam hal ini adalah

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


38

(Sambungan Tabel 2.5)


No Penulis Judul Tesis/ Jurnal Metodologi Hasil
Angin dan Solar Cell) di PLN sebagai single
Pandasimo, Bantul buyer energi di
Indonesia
4 Wicaseksa Analisis Implementasi  RIA  Permendag tersebut
(2014) Peraturan Menteri perlu direvisi dan
Perdagangan Nomor disempurnakan
44/M- sehingga
DAG/PER/9/2009 pelaksanaannya bisa
Tentang Pengadaan. lebih efektif dan tidak
Distribusi dan terjadi
Pengawasan Bahan penyalahgunaan,
Berbahaya (Studi Kasus khususnya yang
: Kota Makasar) terkait dengan bahan
pangan
5 Purwanti (2012) Evaluasi Kebijakan  Metode  Belum ada kebijakan
Publik Tentang Evaluasi yang jelas dan terarah
Penyediaan Perumahan Formal mengenai penyediaan
Bagi Masyarakat Secara perumahan yang
Berpenghasilan Rendah Deskriptif layak bagi MBR yang
(Studi Kasus : Kota tertuang di dalam
Depok) rencana, program dan
kegiatan
6 Mahkamah Putusan Mahkamah  Sidang MK  Diputuskan Pasal 22
Kontitusi (2012) Kontitusi Nomor ayat (3) UU 1/2011,
14/PUU-X/2012 tahun yang mengandung
2012 yang mengadili norma pembatasan
perkara Pengujian luas lantai rumah
Undang-Undang Nomor tunggal dan rumah
1 Tahun 2011 tentang deret berukuran
Perumahan dan paling sedikit 36 (tiga
Kawasan Permukiman puluh enam) meter
terhadap Undang- persegi, bertentangan
Undang Dasar Negara dengan Undang-
Republik Indonesia Undang Dasar
Tahun 1945 Negara Republik
Indonesia Tahun
1945
7 Purba (2010) Strategi Pembangunan  SWOT  Bahwa program
Perumahan di Kota  AHP pembangunan
Batam dengan metode perumahan di Kota
SWOT dan AHP Batam memiliki
kriteria lokasi,
keterjangkauan dan
ketersediaan
infrastruktur, sedang
indikator pendukung
kriteria meliputi jarak
dari tempat kerja,
harga, ketersediaan
fasilitas umum dan

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


39

(Sambungan Tabel 2.5)


No Penulis Judul Tesis/ Jurnal Metodologi Hasil
fasilitas sosial serta
tipe rumah
8 Novitasari Analisis Biaya dan  CBA  Bahwa simulasi
(2014) Manfaat Peruntukan kebijakan ketiga yaitu
Kawasan Jalan Pesisir kerjasama swasta dan
(Coastal Area) di pemerintah
Kabupaten Karimun memberikan nilai
manfaat yang lebih
baik atau layak
ditunjukkan dengan
NPV dan BCR yang
mempunyai
kelayakan
9 Schill, Michael Regulations and  Deskriptif  hambatan dari
H (2005) Housing Development: kebijakan pemerintah
What We Know terhadap perumahan
terkadang berdampak
pada penurunan
supply perumahan
10 Malfezzi, Getting Housing  A Model of  Dampak biaya dari
Stephen dan Incentive Right: A Case Cost and regulasi dan
Mayo, Stephen Study of the Effect of Benefit of pembatasan harga
K (1997) Regulation, Taxes, and Public jauh lebih besar dari
Subsidies on Housing Intervensions manfaat subidi dan
Supply in Malaysia pembebasan regulasi.
Setelah dibandingkan
antara negara-negara
seperti Amerika,
Thailand dan Korea
maka negara dengan
peraturan yang lebih
ketat relatif memiliki
persediaan rumah
yang inelastis.
Sumber : berbagai sumber (2015)

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


BAB 3
METODOLOGI

3.1 Kerangka Pikir


Pengawasan dan pengendalian tata ruang wilayah Kota Depok dilakukan
dengan menyusun Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) RTRW Kota Depok
tahun 2012-2032 dan Perda Kota Depok Nomor 13 Tahun 2013 tentang
Pembangunan dan Izin Mendirikan Bangunan. Dalam ketentuan pasal 97 huruf
(b) yang mengatur tentang pembangunan perumahan terutama persyaratan luasan
minimal setiap kavling/unit perumahan di Kota Depok.
Dampak implementasi dari regulasi diatas menyebabkan permasalahan-
permasalahan baik dari sisi pengembang maupun dari sisi konsumen atau
masyarakat. Dari sisi pengembang regulasi ini berdampak pada turunnya
penjualan perumahan sebesar 20-30 persen, sedangkan dari sisi konsumen
(masyarakat) berdampak pada keterjangkauan terhadap rumah yang semakin
menurun.
Untuk menemukan alternatif kebijakan terbaik dari regulasi yang telah
berjalan dan untuk melihat jenis, pihah-pihak, dan besaran manfaat dan biaya
dampak regulasi dengan Regulatory Impact Assesment (RIA), maka kerangka fikir
dalam penelitian menggunakan tahapan-tahapan RIA yang dibuat oleh The Asia
Foundation (2008), sebagai berikut:
Konsultasi Pemangku Kepentingan

Gambar 3.1 Tahapan-tahapan RIA


Sumber : The Asia Foundation, Analisis Dampak Regulasi (RIA), 2008, diolah kembali

40 Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


41

3.2 Metode Analisis Data


3.2.1 Analisis Deskriptif
Metode analisis deskriptif digunakan untuk menjelaskan gambaran umum
tentang lokasi penelitian. Data bersumber dari berbagai pihak pemerintah seperti
BPS Kota Depok, Depok dalam angka, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah,
Dinas Tata Ruang dan Permukiman dan Badan Penanaman Modal Pengurusan
Perizinan Terpadu (BPMP2T) Kota Depok serta survei secara langung. Setelah
mendapatkan keseluruhan data, penulis menuangkan menjadi gambaran umum
lokasi penelitian dengan menggambarkan keadaan geografis lokasi penelitian,
kondisi kependudukan dan ketenagakerjaan, kondisi sosial dan kondisi ekonomi.
Analisis ini juga menggambarkan tentang kondisi perumahan dan permukiman di
Kota Depok.

3.2.2 Analisa Dampak Regulasi (RIA)


Menurut Biro Hukum Kementerian Bappenas (2011), Regulatory Impact
Assesment (RIA) merupakan proses analisis dan pengkomunikasian secara
sistematis terhadap kebijakan, baik kebijakan yang baru maupun yang sudah ada.
Beberapa butir penting yang dapat diambil dari pengertian tersebut, yaitu :

1. Metode RIA mencakup kegiatan analisis dan pengkomunikasian;


2. Object metode RIA adalah kebijakan, baik berbentuk peraturan maupun non
peraturan;
3. Metode RIA dapat diterapkan untuk kebijakan baru maupun kebijakan yang
sudah ada.
Peraturan perundang-undangan merupakan salah satu intrumen kebijakan
dalam penyelenggaraan negara guna mendukung tercapainya tujuan berbangsa
dan bernegara serta mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Namun pada
kenyataannya, dari berbagai kajian yang telah dilakukan oleh banyak pihak, masih
ditemukan peraturan perundang-undangan baik di pusat maupun di daerah yang
isinya tidak konsisten/ saling bertentangan satu sama lain. Sehingga,
menimbulkan kebingungan bagi para pemangku kepentingan. Dengan adanya
penerapan Metode Regulatory Impact Assesment (RIA) atau Analisis Dampak
Peraturan Perundang-undangan, sebagai salah satu metode untuk menganalisis

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


42

atau mereviu peraturan perundang-undangan yang sedang berlaku atau yang akan
disusun, diharapkan dapat menghasilkan peraturan perundangan-undangan yang
lebih baik (Bappenas, 2008).
Pada tahun 2008, pada saat berlakunya UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, masih banyak peraturan yang tidak
disertai dengan naskah akademik sebagai dasar pembentukannya. Sebagian
peraturan telah dilengkapi dengan kajian, namun masih terbatas pada kajian
hukum yang belum memperhitungkan dampak peraturan perundang-undangan
yang akan dibentuk. Melalui pendekatan RIA, kajian hukum yang sudah
dilakukan tersebut dapat dilengkapi dengan analisa biaya manfaat yang akan
memperlihatkan dampak diberlakukannya peraturan perundang-undangan kepada
stakeholder terkait.
Dengan metode RIA, peraturan perundang-undangan yang ditetapkan
memiliki alasan dan telah memperhatikan alternatif-alternatif yang ada, termasuk
alternatif non peraturan perundang-undangan dan mempertimbangkan manfaat
dan biaya dari peraturan perundang-undangan. Masyarakat (stakeholder) yang
terkait dengan peraturan perundang-undangan tersebut, juga dilibatkan dalam
proses RIA. Sehingga peraturan perundang-undangan yang dibuat tidak
merugikan masyarakat (Bappenas, 2008).
RIA telah diterapkan oleh pemerintah di banyak negara, khususnya
negara-negara maju yang tergabung dalam Organisasi Kerjasama Ekonomi dan
Pembangunan (OECD) sejak dekade 1980-an. Di Indonesia sendiri, prakarsa RIA
diperkenalkan pertama kali oleh lembaga donor ADB pada awal tahun 2000 yaitu
melalui penyusunan manual RIA yang pertama. Disusul kemudian dengan
kegiatan sosialisasi dan pelatihan di berbagai departemen dan kementerian pada
tahun 2003. Sejak tahun 2004, lembaga-lembaga seperti Asia Foundation, GTZ,
dan Swisscontact telah melakukan pendampingan teknis RIA yang lebih intensif
kepada Pemerintah.

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


43

3.2.3 Langkah-langkah Penerapan RIA


Susunan langkah-langkah penerapan RIA yang dijadikan acuan dalam
melaksanakan tahapan RIA seperti terlihat pada Gambar 3.2.

Langkah-langkah Penerapan RIA

Perumusan Perumusan Perumusan Analisis Strategi


Masalah Tujuan Alternatif Manfaat dan Implementasi
Biaya

Menganalisis Menganalis Mempertimb Menganalisis Mencari


masalah is ketepatan angkan manfaat dan strategi Penulisan
yang tujuan alternatif biaya untuk implementasi
mendasar, sebuah regulasi dan seluruh untuk Laporan
pelaku dan kebijakan non regulasi alternatif melaksanaka RIA
dampaknya atau tindakan n alternatif
tindakan sehingga tindakan yang
terpilih dipilih
alternatif

Konsultasi Stakeholder
 Konsultasi antar lembaga pemerintahan
Metode RIAmencakup beberapa
Konsultasi publik langkah sebagai berikut.

Gambar 3.2 Langkah-langkah penerapan RIA


Sumber : Bappenas, 2008, diolah
3.2.3.1 Perumusan Masalah
Proses RIA dimulai dengan perumusan masalah. Berpijak pada masalah
yang terjadi, peraturan perundang-undangan yang diterbitkan menjadi tepat dan
mempunyai tujuan untuk mengatasi masalah yang benar-benar terjadi di
masyarakat. Masalah terjadi karena tidak ada kesesuaian antara apa yang terjadi
dan apa yang diharapkan oleh satu atau lebih stakeholder di dalam sistem
pemerintahan atau masyarakat. Sumber penyebab masalah dapat beragam, begitu
juga dengan dampak dari masalah tersebut, yang akan berbeda kualitas dan
kuantitasnya terhadap berbagai stakeholder (Bappenas, 2008).
Tiga hal yang perlu dibahan dalam perumusan masalah, yaitu :
1. Membahas permasalahan yang terjadi dan dialami masyarakat yang
menyebabkan perlunya dibuat sebuah peraturan perundangan;
2. Membahas perubahan yang terjadi di masyarakat, sehingga perlu dilakukan
perubahan atau revisi terhadap peraturan perundangan yang sudah ada;

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


44

3. Membahas permasalahan yang muncul yang disebabkan adanya peraturan


perundangan tersebut.
Perumusan Masalah dapat dilakukan dengan 2 (dua) metode yaitu:
1. Menjawab pertanyaan kunci dalam perumusan masalah
Untuk mengembangkan perumusan masalah dapat dilakukan dengan
menjawab lima pertanyaan kunci sebagai berikut:
a. Apa masalah yang dihadapi?
b. Apa penyebab timbulnya masalah?
c. Siapa pihak yang terkait, prilaku apa yang menyumbang, dan apa alasan
atau motivasinya?
d. Bagaimana pendapat seluruh stakeholder mengenai masalah ini?
e. Bagaimana dampak terhadap Dunia Usaha?
2. Penyusunan pohon permasalahan
Disaat menghadapi sebuah permasalahan yang lebih kompleks, Tim RIA
dituntut untuk mengidentifikasi permasalahan tersebut secara komprehensif
untuk mengetahui apa sebenarnya permasalahan yang paling mendasar, dan
apa akar penyebab permasalahan tersebut. Pendekatan yang sederhana tetapi
dapat mengetahui akar penyebab timbulnya masalah adalah dengan
melakukan penyusunan pohon permasalahan.

3.2.3.2 Perumusan Tujuan


Permasalahan yang dihadapi biasanya mempunyai cakupan yang luas.
Masalah yang pelik dan rumit tidak dapat diselesaikan hanya dengan satu
tindakan (kebijakan atau peraturan). Dalam keadaan demikian, peraturan
perundang-undangan biasanya dibuat semata-mata untuk mengatasi sebagian dari
masalah yang di hadapi. Sehingga harus dirumuskan dengan jelas tujuan atau
sasaran yang ingin dicapai oleh peraturan perundang-undangan tersebut.
Perumusan Tujuan dapat dilakukan dengan 2 (dua) metode, yaitu :
1. Menjawab pertanyaan kunci
Dalam rangka merumuskan tujuan dapat dilakukan dengan menjawab 4
(empat) pertanyaan kunci, yaitu:
a. Apakah peraturan diperlukan untuk menagani permasalahan dimaksud?

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


45

b. Bagian masalah mana yang ingin diselesaikan, dan apa tujuan yang
hendak dicapai?
c. Siapa pelaku utamanya, dan perilaku apa yang hendak kita kehendaki?
d. Apa faktor yang mendorong dan menghambat?
2. Menggunakan Pohon Tujuan
Penyusunan pohon tujuan adalah untuk mengatasi permasalahan yang telah
dirumuskan dalam pohon permasalahan. Prosedur penyusunan pohon tujuan
adalah dengan cara mengubah permasalahan menjadi tujuan untuk mengatasi
masalah, agar masalah dapat diaasi.

3.2.3.3 Perumusan Alternatif


Setelah masalah yang hendak dipecahkan dan tujuan kebijakan sudah jelas,
langkah berikutnya adalah melihat pilihan apa saja yang ada atau yang dapat
diambil untuk memecahkan masalah tersebut. Dalam perumusan alternatif ini
terdiri dari :
1. Alternatif terhadap Peraturan (non peraturan)
Selain dengan menerbitkan peraturan perundang-undangan, Pemerintah
maupun Pemerintah Daerah memiliki berbagai intrumen lain yang dapat
digunakan untuk mencapai tujuan suatu kebijakan. Intrumen non peraturan
perundang-undangan yang perlu dipertimbangkan, antara lain:
a. Perpajakan
b. Pengeluaran Pemerintah (termasuk subsidi)
c. Pinjaman dan penjaminan pinjaman
d. Tarif (user charger)
e. Kepemilikan oleh negara
f. Persuasi
g. Asuransi
2. Alternatif Bentuk Peraturan
Peraturan, secara umum, dapat dikelompokkan menjadi 5 (lima) bentuk
peraturan, yaitu:
a. Kontrol terhadap produk secara langsung
b. Kontrol terhadap masuk dan keluarnya supplier

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


46

c. Kontrol terhadap proses produksi


d. Kontrol terhadap informasi
e. Hak-hak pemasaran
3. Alternatif do nothing (Tidak melakukan tindakan apapun)
Do nothing merupakan sebuah alternatif tindakan yang harus selalu dibuat
ketika merumuskan alternatif kebijakan yang akan diusulkan berdasarkan
hasil proses RIA. Do nothing merupakan sebuah kondisi yang terjadi ketika
alternatif tindakan yang lain tidak diimplementasikan. Dengan demikian
kondisi yang terjadi berjalan tetap seperti biasanya. Untuk keperluan analisis
manfaat-biaya, kondisi do nothing ini biasa disebut kondisi baseline dimana
kondisi tersebut nantinya akan dibandingkan dengan kondisi yang terjadi jika
alternatif tindakan yang lain diimplementasikan.
4. Menyaring Alternatif
Pada tahap perumusan alternatif, gagasan dikembangkan untuk mencari
berbagai alternatif tindakan yang dapat mencapai tujuan. Pada umumnya,
jumlah alternatif yang harus dilakukan analisa manfaat-biaya, dibatasi hanya
sampai dengan 3-4 alternatif saja.
Pertanyaan kunci dalam menyaring alternatif adalah sebagai berikut:
a. Apakah legal?
b. Seberapa besar biayanya?
c. Bagaimana dampaknya terhadap masyarakat?
d. Apakah menimbulkan hambatan terhadap persaingan usaha yang sehat?
e. Bagaimanakah kemungkinan alternatif tersebut mencapai sasaran?
5. Kemungkinan jenis-jenis alternatif
Pada tahap ini, dilakukan identifikasi terhadap berbagai alternatif tindakan
untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan. Kemungkinan jenis-jenis
alternatif tindakan, yaitu :
a. Independent dan mutually exclusive
Tindakan yang bersifat independent adalah alternatif (opsi) tindakan
untuk mencapai tujuan, hanya dengan menggunakan 1 (satu) intrumen
saja. Sedangkan tindakan yang bersifat mutually exclusive adalah

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


47

alternatif tindakan untuk mencapai tujuan dengan menggunakan


kombinasi dari beberapa intrumen yang saling mendukung.
b. Tingkatan tindakan dengan cara lain.
Alternatif juga dapat berupa tingkatan tindakan atau cara lain untuk
mencapai sesuatu.

3.2.3.4 Analisis Manfaat dan Biaya


Analisis manfaat dan biaya memegang peranan penting dalam memeriksa
ulang/ mereviu suatu peraturan perundang-undangan. Tahapan ini penting, karena
hasil analisa tersebut akan dijadikan sebagai dasar utama untuk pengambilan
keputusan alternatif mana yang akan dipilih.
Langkah-langkah dalam menganalisa manfaat dan biaya adalah sebagai
berikut :
1. Melakukan Analisa Manfaat
Manfaat dari suatu peraturan perundang-undangan yang akan diusulkan
adalah berbagai kebaikan yang muncul dari penerapan peraturan perundang-
undangan tersebut. Seringkali manfaat digambarkan dalam bentuk
pengurangan atau hilangnya suatu masalah, yang menjadi dasar
dirumuskannya suatu peraturan perundang-undangan tersebut. Usulan
peraturan perundang-undangan dapat menghasilkan efek samping yang
dikehendaki ataupun tidak, yang dapat menguntungkan ataupun merugikan.
Langkah-langkah dalam menganalisa manfaat setiap alternatif solusi adalah
sebagai berikut :
a. Mengidentifikasi Manfaat
Mengidentifikasi kelebihan atau manfaat yang akan terjadi atau dirasakan
jika menerapkan masing-masing alternatif tersebut. Melakukan konsultasi
dengan pihak-pihak yang terkait dengan peraturan yang diterapkan, akan
membantu melengkapi daftar manfaat yang potensial.
b. Menetapkan penerima manfaat
Menetapkan kelompok, organisasi, dan individual penerima manfaat yang
telah diidentifikasi pada tahap sebelumya. Dengan mereviu data dari
berbagai sumber, akan dapat diperkirakan jumlah (populasi) masing-

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


48

masing kelompok penerima manfaat. Jika tidak dapat mengidentifkasi


pihak yang akan memperoleh manfaat, kemungkinan peraturan yang
direncanakan masih perlu waktu untuk mengumpulkan informasi lebih
banyak lagi sebelum meneruskan proses RIA.
c. Memutuskan Cara Mengukur Manfaat
Jika memungkinkan, manfaat yang diperoleh dari suatu peraturan
dinyatakan dengan angka. Dalam analisa, harus ditetapkan indikator-
indikator untuk masing-masing manfaat yang diidentifikasi. Masing-
masing indikator harus menggambarkan besaran masing-masing manfaat
tersebut. Perkiraan dalam bentuk angka, akan membantu pengambil
keputusan dalam menilai apakah alternatif tersebut layak atau tidak.
Jika informasi tentang indikator yang ideal tidak dapat diperoleh, maka
perlu mempertimbangkan menggunakan indikator proksi (pendekatan)
untuk memperkirakan manfaat tersebut secara tidak langsung. Proksi ini
adalah indikator yang memberikan indikasi tentang angka yang
dikehendaki, karena kedua indikator tersebut berkorelasi erat.
d. Menetapkan Data Dasar untuk Perbandingan
Untuk mengukur manfaat, harus dibandingkan perkiraan nilai masing-
masing indikator dengan peraturan dan tanpa peraturan. Dengan kata lain,
nilai manfaat adalah sama dengan indikator manfaat setelah peraturan
ditetapkan dikurangi dengan nilai indikator manfaat jika peraturan tidak
diterapkan (data dasar atau baseline). Data dasar atau baseline dapat juga
berubah dengan berjalannya waktu. Hal ini sangat tergantung pada apa
yang sedang kita analisis.
e. Memperkirakan apa yang akan terjadi
Sebelum memperkirakan bagaimana indikator yang digunakan akan
berubah, perlu dikemukakan beberapa hal yang penting untuk
diperhatikan. Rentang waktu yang dipilih harus memungkinkan untuk
disejajarkannya antara manfaat dan biaya dengan cara yang dapat
membantu pengambil keputusan.

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


49

f. Menerjemahkan pada unit yang sama


Idealnya analisa manfaat dan biaya diukur dengan unit yang sama, karena
akan mempermudah untuk memutuskan apakah suatu alternatif dapat
diterapkan atau tidak. Jika manfaat total melebihi biaya total, maka
alternatif tersebut layak. Jika sebaliknya, maka alternatif tersebut tidak
layak untuk dipertimbangkan. Unit yang dipilih untuk membandingkan
manfaat dan biaya, biasanya adalah menggunakan satuan uang, tetapi tidak
mengharuskan selalu menggunakan satuan uang sebagai unit pengukuran.
g. Meringkas Hasil Analisa
Tahap akhir dalam analisa manfaat adalah meringkas hasil analisa untuk
masing-masing alternatif.
2. Melakukan Analisa Biaya
Secara sederhana, biaya didefinisikan sebagai biaya yang kita korbankan
untuk mendapatkan sesuatu. Biasanya biaya untuk mendapatkan suatu barang
adalah harga barang tersebut. Ada dua cara pandang dalam melakukan analisa
biaya, yaitu analisa biaya sederhana dilakukan dengan melihat seberapa besar
biaya yang ditimbulkan oleh suatu peraturan perundang-undangan baru,
khususnya dalam bentuk berapa besar biaya yang dikeluarkan oleh
penanggung biaya. Sedangkan cara analisa biaya komprehensif dilakukan
dengan berfikir lebih jauh tentang apa yang harus dikorbankan oleh masing-
masing penanggung biaya maupun beban biaya bagi seluruh stakeholder
penanggung biaya, seperti pemasok, karyawan, pemilik dan konsumen.
Analisa biaya digunakan untuk menghindari terjadinya perhitungan ganda.
Langkah-langkah untuk menganalisa biaya adalah:
a. Mengidentifikasi biaya akibat diterapkannya suatu peraturan perundang-
undangan;
b. Menentukan siapa yang akan menanggung biaya
Krarifikasi kepada pihak yang diperkirakan akan menanggung biaya,
apakah mereka setuju dengan yang diperkirakan, alasan kesetujuan dan
ketidaksetujuan serta apa usulan mereka.
c. Memutuskan bagaimana cara mengukur biaya

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


50

Pilih indikator untuk mengukur biaya dari tahun ke tahun selama rentang
waktu yang ditentukan.
d. Menetapkan data dasar untuk perbandingan (baseline)
Perkirakan apa yang akan terjadi terhadap berbagai indikator yang
digunakan, seandainya peraturan perundang-undangan tidak diterapkan
(keadaan status quo). Perkiraan ini akan menjadi dasar perbandingan
untuk melihat pengaruh ditetapkannya suatu peraturan perundang-
undangan. Dalam banyak kasus, keadaan sebelum ditetapkannya
peraturan perundang-undangan dapat digunakan sebagai baseline.
e. Memperkirakan apa yang akan terjadi
Prediksi bagaimana masing-masing indikator akan berubah dengan
berjalannya waktu jika peraturan perundang-undangan diterapkan.
f. Menerjemahkan ke dalam unit yang sama
Usahakan semaksimal mungkin untuk mengkonversi beberapa atau
seluruh indikator biaya yang digunakan ke dalam unit yang sama,
sehingga dapat dibandingkan.
g. Meringkas hasil yang diperoleh untuk masing-masing alternatif
Sebutkan biaya yang ditanggung, oleh siapa, kapan, dan bagaimana jika
dibandingkan dengan baseline.
3. Biaya bagi Konsumen, Produsen, dan Pemerintah
Secara umum, biaya dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu biaya
bagi konsumen, produsen (dunia usaha), dan pemerintah.
a. Biaya bagi konsumen
Banyak peraturan perundang-undangan yang mempengaruhi harga,
kualitas atau ketersediaan barang bagi konsumen.
b. Biaya bagi produsen (dunia usaha)
Suatu peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dapat berpengaruh,
baik secara langsung maupun tidak langsung, pada kemampuan
perusahaan untuk tetap beroperasi, membuat perencanaan, dan tumbuh.
c. Biaya bagi Pemerintah
Banyak alternatif peraturan perundang-undangan yang harus menuntut
Pemerintah mengalokasikan dana untuk mengimplementasikan peraturan

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


51

perundang-undangan tersebut. Dana tersebut dibutuhkan untuk menutupi


biaya administrasi, biaya pelaksanaan, dan biaya untuk perlengkapan agar
peraturan perundang-undangan tersebut dijalankan.
Cara Pengukuran Manfaat dan Biaya
Analisa manfaat dan biaya memegang peranan penting dalam memeriksa
ulang/ mereviu suatu peraturan perundang-undangan. Tahapan ini penting, karena
hasil analisanya akan menjadi dasar utama dalam mengambil keputusan mengenai
alternatif mana yang akan dipilih untuk mencapai tujuan yang sudah ditentukan.
Idealnya, pengukuran semua manfaat dan biaya dalam bentuk kuantitatif
karena mempermudah dalam melakukan analisa. Nilai manfaat dan biaya dapat
dibandingkan secara langsung, berdasarkan besaran angka kuantitatif tersebut.
Namun pada prakteknya, tidak semua manfaat dan biaya dapat dikuantifikasi.
Oleh karena itu, perpaduan antara analisa manfaat dan biaya secara kualitatif dan
kuantitatif dapat menjadi pilihan.
Namun dalam penelitian ini digunakan metode lain dalam melakukan
valuasi ekonomi yaitu dengan metode Analytical Hierarchy Process (AHP).
Metode AHP untuk biaya dan manfaat digunakan sebagai alat analisis dalam
menentukan dampak nilai biaya dan manfaat dari kebijakan, alasanya kenapa
metode AHP untuk biaya dan mafaat yang digunakan yaitu karena keterbatasan
waktu dan tenaga maka data kuantitatif untuk valuasi ekonomi sebagai analisis
biaya dan manfaat sangat sulit untuk di dapatkan sehingga peneliti menggunakan
metode alternatif untuk valuasi ekonomi dalam menganalisa biaya dan manfaat
dari diberlakukannya kebijakan tersebut dengan metode AHP.

3.2.3.5 Analytical Hierarchy Process (AHP) untuk Analisa Biaya dan Manfaat
Metode analisis data Analytical Hierarchy Process untuk analisa manfaat
dan biaya dengan analisis program Expert Choice yang merupakan Sofware
komputer untuk menentukan pilihan-pilihan dalam pengambilan keputusan
dengan multikriteria yang berdasarkan metodologi pengambilan keputusan yang
dikembangkan oleh Saaty. Pendekatan AHP untuk analisa biaya dan manfaat
sama pendekatannya yaitu bertujuan untuk mendapatkan alokasi yang optimal
dari pemanfaatan suatu sumberdaya / proyek. Pada analisa biaya dan manfaat

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


52

pemilihan alternatif dengan menghitung perbandingan manfaat/biaya tertinggi,


sedangkan dalam AHP, pemilihan alternatif dengan menangkap secara rasional
persepsi orang, karena AHP mampu mengkonversi faktor-faktor intangible (yang
tidak terukur) kedalam aturan yang biasa sehingga dapat dibandingkan.

3.2.3.6 Konsultasi Pemangku Kepentingan (Stakeholder)


Secara umum, tujuan konsultasi kepada pihak-pihak yang diperkirakan
terkait dengan suatu regulasi adalah sebagai berikut :
1. Mendalami masalah dan mengklarifikasi persepsi regulator (tim RIA);
2. Memperkaya dan mengkonfirmasi alternatif pemecahan;
3. Mendapatkan masukan untuk menyeimbangkan berbagai kepentingan
regulasi;
4. Memeriksa kerealistisan dan keakuratan perkiraan manfaat dan biaya;
5. Mendapatkan masukan mengenai apa yang akan terjadi seandainya
diterapkan;
6. Memeriksa keterkaitan dengan regulasi lain agar tidak tumpang tindih dan
kontradiksi;
7. Membangun tingkat penerimaan terhadap regulasi yang akan diterapkan;
8. Meningkatkan kredibilitas regulasi atau peraturan-peraturan.
Rencana konsultasi harus dipersiapkan secara tertulis diluar proses RIA.
Rencana ini harus dianggap sebagai dokumen yang fleksibel yang selalu dapat
diubah sesuai dengan perkembangan informasi yang diperoleh dari stakeholder.
Perencanaan konsultasi terdiri dari :
1. Identifikasi pihak yang dikonsultasi
Tim RIA harus mengidentifikasi secara terpisah kelompok yang secara
signifikan akan dipengaruhi oleh regulasi yang akan diterapkan. Kelompok
yang akan terpengaruh oleh suatu aturan biasanya dapat dikelompokkan
menjadi:
a. Pemerintah, dapat dipisahkan menjadi pemerintah pusat dan pemerintah
daerah.
b. Konsumen, dapat dibagi menjadi kelompok berdasarkan daerah yang
berbeda (misalnya kota dan desa), propinsi yang berbeda, kelompok

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


53

berdasarkan umur, bahasa, budaya, gender, tingkat pendapatan, dan lain-


lain.
c. Produsen, dapat dibagi menjadi kelompok berdasarkan skala usaha
(besar, menengah, dan kecil), importir dan eksportir, PMA dan PMDN,
jenis usaha, dan lain-lain
2. Mekanisme konsultasi
3. Identifikasi informasi yang akan dicari selama konsultasi

3.2.3.7 Strategi Implementasi


Strategi Implementasi alternatif kebijakan dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu:
1. Mekanisme Sosialisasi
Sosialisasi mengenai peraturan perundang-undangan yang akan di
implementasikan memegang peranan yang sangat penting dalam keberhasilan
implementasi sebuah peraturan perundang-undangan. Hal ini dikarenakan
kadang aturan yang telah direncanakan dengan sangat matang, pada saat
implementasi tidak sesuai dengan yang diharapkan karena minimnya proses
sosialisasi.
2. Pelaksanaan Monitoring
Keberhasilan sebuah peraturan perundang-undangan ditentukan oleh strategi
yang digunakan untuk mengimplementasikannya. Ketika sebuah peraturan
perundang-undangan diimplementasikan, diperlukan mekanisme monitoring
yang efektif untuk memonitor pelaksanaan peraturan perundang-undangan
tersebut.
3. Insentif dan Sanksi
Beberapa jenis mekanisme yang dapat digunakan untuk meningkatkan derajat
kepatuhan adalah mempertimbangkan kemungkinan penggunaan imbalan dan
insentif untuk kepatuhan secara sukarela. Selain imbalan dan insentif, strategi
untuk memaksa atau mendorong kelompok target mematuhi aturan yang akan
diterapkan adalah melalui penerapan sanksi dan pinalti.

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


54

3.2.3.8 Penulisan Laporan Regulatory Impact Assesment (RIA)


Laporan RIA atau RIA Statement (RIAS) adalah uraian mengenai hasil
penelaahan dampak peraturan perundang-undangan dari usulan peraturan
perundang-undangan yang tengah diajukan. RIAS memberikan informasi yang
lebih baik kepada Pemerintah (pengambil keputusan) maupun masyarakat.
Dengan RIAS pemerintah bisa melakukan koordinasi dalam pengambilan
keputusan. Begitu juga masyarakat dapat melakukan evaluasi terhadap usulan
peraturan perundang-undangan, menyampaikan pertanyaan dan komentar atas
peraturan perundang-undangan.

3.3 Metode Pengumpulan Data


3.3.1 Pengumpulan Data Sekunder dan Primer
Penelitian ini digunakan beberapa metode dalam pengumpulan data antara
lain dengan melakukan studi literatur dari sumber ilmiah baik text book, jurnal,
laporan kegiatan, serta karya ilmiah lain yang berkaitan dengan penelitian ini.
Sedangkan untuk mendapatkan data yang digunakan sebagai objek penelitian
dilakukan survei langsung kepada stakeholder yang telah ditentukan dan memiliki
peran dalam penyusunan Perda Kota Depok Nomor 13 Tahun 2013 dan Raperda
Kota Depok tentang RTRW Depok 2012-2032, dari survei ini diperoleh data
prime yang diperlukan.
Pengumpulan data primer dilaksanakan dengan metode wawancara, dan
penyebaran kuisioner kepada pemangku kepentingan terkait. Selain data primer,
digunakan juga data sekunder yang diperoleh dari laporan dan dokumen Dinas
Tata Ruang dan Permukiman Kota Depok, Badan Pusat Statistik (BPS) Kota
Depok, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Depok dan
Badan Penanaman Modal dan Pengurusan Perizinan Terpadu Kota Depok.

3.3.2 Survei dengan Kuesioner


Kuesioner AHP untuk Analisis Biaya dan Manfaat
Metode pengumpulan data dengan mengajukan kuesioner untuk analisis
biaya dan manfaat dilakukan dengan memberikan daftar pertanyaan kuesioner
kepada responden. Responden adalah orang yang dianggap ahli dan mengetahui

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


55

betul mengenai kebijakan Pemerintah Kota Depok terutama Perda Kota Depok
Nomor 13 Tahun 2013 tentang Bangunan dan Izin Mendirikan Bangunan, dimana
Pasal 97 huruf (b) menyatakan Rencana Tapak/Site plan mempunyai kriteria luas
minimal setiap kavling/unit perumahan minimal 120 meter persegi.
Langkah awal dari penyusunan kuisioner pada metode AHP untuk analisia
biaya dan manfaat adalah penyusunan hirarki, Penyusunan hirarki dibagi menjadi
dua yaitu hirarki dari sisi manfaat dan hirarki dari sisi biaya. Berikut adalah
penyusunan hirarki:
Manfaat
- Level Pertama (goal) : Untuk Hirarki manfaat : Manfaat kebijakan syarat
setiap luas kavling perumahan 120 m2
- Level Kedua : Kriteria-kriteria manfaat ekonomi, sosial, lingkungan
- Level ketiga : Hal-hal yang ada kaitannya dengan kriteria pada level kedua.
Manfaat yaitu untuk manfaat ekonomi ;
1. Pendapatan Investor Besar
2. PAD melalui PBB dan BPHTB
Sedangkan untuk manfaat Sosial antara lain;
1. Laju Migrasi dan Kepadatan Penduduk
2. Kelancaran Lalu Lintas
Serta untuk Lingkungan yaitu;
1. Ruang Terbuka Hijau
2. Daya Dukung Perkotaan
3. Tata Kota
- Level keempat : Alternatif tindakan/kebijakan yang diambil pemerintah
Biaya
- Level pertama (goal): Manfaat kebijakan syarat setiap luas kavling perumahan
120 m2.
- Level Kedua : Kritria-kriteria biaya ekonomi, sosial, dan lingkungan
- Level ketiga: Hal-hal yang ada kaitannya dengan kriteria pada level kedua.
Biaya yaitu untuk biaya ekonomi ;
1. Pendapatan Investor Menengah Kebawah
2. Biaya Produksi

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


56

3. PAD melalui PBB dan BPHTB


4. Biaya Pengawasan dan Pengendalian Tata Ruang
Sedangkan untuk biaya sosial yaitu ;
1. Kesenjangan Sosial
2. Backlog Perumahan
3. Ketidakpatuhan terhadap Perda
Serta untuk biaya lingkungan yaitu;
1. Lahan untuk Perumahan
2. Kesemrawutan Tata Kota
Level keempat : Alternatif tindakan/kebijakan yang diambil pemerintah

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


57

Manfaat Kebijakan Syarat Setiap Luas


Kavling Perumahan 120 m2

Ekonomi Sosial Lingkungan

Kepadatan
Penerimaan Asli Daerah (PAD)
Pendapatan Investor Besar

melalui PBB dan BPHTB

Kelancaran Lalu Lintas


dan

Ruang Terbuka Hijau

Daya Dukung Kota


Laju Migrasi

Tata Kota
Penduduk

Do Nothing with Improvement Meniadakan kebijakan syarat


setiap luas kavling perumahan
120 m2

Gambar 3.3. Hirarki Sisi Manfaat


Sumber : hasil wawancara, diolah (2015)

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


58

Biaya Kebijakan Syarat Setiap Luas


Kavling Perumahan 120 m2

Ekonomi Sosial Lingkungan

Biaya pengawasan dan pengendalian


Menengah

Penerimaan Asli Daerah (PAD)

Ketidakpatuhan terhadap Perda

Kesemrawutan Tata Kota


melalui PBB dan BPHTB

Lahan untuk perumahan


Investor

Backlog Perumahan
Kesenjangan Sosial
Biaya Produksi
Pendapatan

tata ruang
Kebawah

Do Nothing with Improvement Meniadakan kebijakan syarat


setiap luas kavling perumahan
120 m2

Gambar 3.4. Hirarki Sisi Biaya


Sumber : hasil wawancara, diolah (2015)

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


59

Setelah itu hirarki yang telah dibuat akan dibandingkan antara dua elemen
di suatu tingkat tertentu berkaitan dengan tingkat atasnya. Seluruh
perbandingannya adalah bagian dari kuisioner yang akan diisi oleh para
responden.
Prinsip comparative judgement diberlakukan di sini, hirarki tersebut akan
akan dilakukan perbandingan antara dua elemen pada suatu tingkat tertentu yang
dikaitkan dengan hal di atasnya. Untuk pemilihan responden adalah ahli yang
merupakan orang-orang berkaitan langsung dengan kebijakan persyaratan
minimal luas lahan setiap kavling/unit perumahan 120 meter persegi, antara lain :
1. Pihak Pemerintah Kota Depok, terdiri dari ; a). Dinas Tata Ruang dan
Permukiman Kota Depok, b). Badan Penanaman Modal dan Pelayanan
Perizinan Terpadu (BPMP2T) Kota Depok, dan c). Badan Pertanahan
Nasional (BPN) Kota Depok.
2. Pihak Ahli yang mengetahui tentang kebijakan syarat setiap luas kavling
perumahan 120 meter persegi, terdiri dari : a). Asosiasi Pengembang
Perumahan Seluruh Indonesia (APERSI), b). Real Estate Indonesia (REI), c).
Akademisi karena dianggap mengetahui secara teoritis tentang kebijakan
terkait perumahan di wilayah perkotaan, sehingga mengetahui mengetahui
dampak manfaat terbesar, d) Tokoh masyarakat, karena dianggap mengetahui
kondisi masyarakat kota depok dan dampak kebijakan perumahan yang
ditetapkan pemerintah Kota Depok terhadap masyarakat.
3. Pihak pengembang (developer) perumahan di Kota Depok, karena dianggap
sebagai pihak yang terkena dampak kebijakan perumahan di Kota Depok
Responden akan menterjemahkan yang ada kedalam nilai berdasarkan
pandangan masing-masing responden tersebut. Berikut adalah salah satu contoh
perbandingan yang akan diisi oleh responden:
- Berkaitan dengan manfaat kebijakan syarat setiap luas kavling perumahan 120
meter persegi, maka manakah yang memberikan manfaat terbesar?
Kolom 1 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Kolom 2
Ekonomi Sosial
Ekonomi Lingkungan
Sosial Lingkungan

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


60

Responden membandingkan persepsi berdasarkan pengetahuan,


pengalaman, dan analisa mereka antara elemen pada kolom 1 atau kolom 2
terhadap elemen pada kolom 2 atau kolom 1 dengan bobot nilai yaitu :
Perbandingan kolom 1 terhadap kolom 2 dimana, Nilai 1 diartikan elemen
pada kolom 1 sama penting dengan elemen pada kolom 2. Nilai 3 diartikan
elemen pada kolom 1 sedikit lebih penting daripada elemen pada kolom 2.
Nilai 5 diartikan elemen pada kolom 1 lebih penting daripada elemen pada
kolom 2. Nilai 7 diartikan elemen pada kolom 1 sangat lebih penting daripada
elemen pada kolom 2. Nilai 9 diartikan elemen pada kolom 1 mutlak sangat
penting daripada elemen pada kolom 2. Sedangkan untuk Perbandingan
kolom 2 terhadap kolom 1 dimana; Nilai 1 diartikan elemen pada kolom 2
sama penting dengan elemen pada kolom 1. Nilai 3 diartikan elemen pada
kolom 2 sedikit lebih penting daripada elemen pada kolom 1. Nilai 5 diartikan
elemen pada kolom 2 lebih penting daripada elemen pada kolom 1. Nilai 7
diartikan elemen pada kolom 2 sangat lebih penting daripada elemen pada
kolom 1. Nilai 9 diartikan elemen pada kolom 2 mutlak sangat penting
daripada elemen pada kolom 1. Dan untuk nilai 2, 4, 6, 8 merupakan nilai
kompromi, yaitu apabila pandangan responden berada diantara tingkatan
penilaian pada nilai-nilai diatas yang mengandung keraguan diantara tingkatan
tersebut. Bentuk lengkap kuisioner dapat dilihat di lampiran.

3.4 Jenis dan Sumber Data yang dibutuhkan


Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data primer dan sekunder.
Data primer adalah data yang diperoleh dari responden melalui wawancara
mengacu pada kuisioner yang telah dipersiapkan sebelumnya. Data sekunder
didapatkan melalui permohonan data kepihak pemerintah seperti Dinas Tata
Ruang dan Permukiman Kota Depok, Badan Pusat Satistik Kota Depok, Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Depok dan Badan Penanaman Modal
dan Pengurusan Perizinan Terpadu Kota Depok. Berikut adalah tabel rincian jenis
dan sumber data penelitian.

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


61

Tabel 3.1 Jenis dan Sumber Data Penelitian

Jenis Data Sumber Data

Data Primer 1. Wawancara langsung kepada para


pihak pengambil keputusan atau
kebijakan yang berasal dari
pemerintah, akademisi dan
asosiasi pengembang perumahan
dan permukiman.
2. Kuisioner diberikan kepada pihak
pemerintah, non pemerintah

Data Sekunder 1. Kondisi Eksisting yang ada saat


ini yang berasal dari literatur dan
dokumen dari pemerintah Kota
Depok
Rencana Tata Ruang Wilayah
Kota Depok berasal dari Bappeda
dan Dinas Tata Ruang dan
Permukiman
2. Data Eksisting Perizinan
Pembangunan Perumahan di Kota
Depok berasal dari BPMP2T dan
APERSI serta REI Kota Depok
3. Gambaran Umum lokasi
penelitian yaitu Kota Depok
diperoleh dari BPS, Bappeda Kota
Depok dan Distarkim Kota Depok.

Sumber : diolah (2015)

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


BAB 4
GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

4.1 Gambaran Umum Kota Depok


4.1.1 Kondisi Geografis
Secara geografis Kota Depok terletak pada koordinat 6o 19’ 00’’ – 6o 28’
00’’ Lintang Selatan dan 106o 43’ 00’’ – 106o 55’ 30’’ Bujur Timur. Bentang
alam Depok dari Selatan ke Utara merupakan daerah dataran rendah – perbukitan
bergelombang lemah, dengan elevasi antara 50–140 meter diatas permukaan laut
dan kemiringan lerengnya kurang dari 15 persen. Kota Depok sebagai salah satu
wilayah termuda di Jawa Barat, mempunyai luas wilayah sekitar 200.29 Km2 atau
20.029 Ha.
Wilayah Kota Depok berbatasan dengan tiga Kabupaten dan satu Provinsi.
Secara lengkap wilayah ini mempunyai batas-batas sebagai berikut:
a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Ciputat Kabupaten Tangerang
dan Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
b. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Pondokgede Kota Bekasi dan
Kecamatan Gunung Putri Kabupaten Bogor.
c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Cibinong dan Kecamatan
Bojonggede Kabupaten Bogor.
d. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Parung dan Kecamatan
Gunungsindur Kabupaten Bogor.
Letak Kota Depok sangat strategis, diapit oleh Kota Jakarta dan Kota
Bogor. Hal ini menyebabkan Kota Depok semakin tumbuh dengan pesat seiring
dengan meningkatnya perkembangan jaringan transportasi yang tersinkronisasi
secara regional dengan kota-kota lainnya.

4.1.2 Pemerintahan
Berdasarkan Surat Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor tanggal 16 Mei 1994 Nomor
135/SK.DPRD/03/1994 tentang Persetujuan Pembentukan Kotamadya Daerah
Tingkat II Depok dan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi

62 Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


63

Daerah Tingkat I Jawa Barat tanggal 7 Juli 1997 Nomor 135/Kep.Dewan


06/DPRD/1997 tentang Persetujuan Atas Pembentukan Kotamadya Dati II Depok
dan untuk lebih meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan
pemerintah, pelaksanaan pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat serta
untuk lebih meningkatkan peran aktif masyarakat, maka pembentukan Kota
Depok sebagai wilayah administratif baru di Provinsi Jawa Barat ditetapkan
dengan Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1999.

Gambar 4.1 Peta Wilayah Kota Depok


Sumber : Bappeda Kota Depok, 2014

Berdasarkan UU tersebut, dalam rangka pengembangan fungsi kotanya


sesuai dengan potensinya dan guna memenuhi kebutuhan pada masa-masa
mendatang, terutama untuk sarana dan prasarana fisik kota, serta untuk kesatuan
perencanaan, pembinaan wilayah, dan penduduk yang berbatasan dengan wilayah
Kota Administratif Depok, maka wilayah Kota Depok tidak hanya terdiri dari
wilayah Kota Administratif Depok, tetapi juga meliputi sebagian wilayah
Kabupaten Bogor lainnya, yaitu Kecamatan Limo, Kecamatan Cimanggis,
Kecamatan Sawangan dan sebagian wilayah Kecamatan Bojonggede yang terdiri
dari Desa Pondokterong, Desa Ratujaya, Desa Pondokjaya, Desa Cipayung dan
Desa Cipayung Jaya. Sehingga wilayah Kota Depok terdiri dari 6 Kecamatan.Hal

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


64

ini mengakibatkan bertambahnya beban tugas dan volume kerja dalam


penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pembinaan serta pelayanan
masyarakat di Kota Depok.
Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk, tuntutan masyarakat
akan pelayanan prima dari pemerintah dan volume kegiatan penyelenggaraan
pemerintahan pada akhir tahun 2009 Kota Depok pemekaran wilayah kecamatan
yang semula 6 kecamatan menjadi 11 kecamatan. Adapun pemekaran ini
dituangkan dalam Perda Kota Depok Nomor 8 Tahun 2007 dengan implementasai
mulai dilaksanakan tahun 2009. Wilayah yang mengalami pemekaran ada 5
kecamatan terdiri atas Kecamatan Tapos merupakan pemekaran dari Kecamatan
Cimanggis, Kecamatan Bojongsari pemekaran dari Kecamatan Sawangan,
Kecamatan Cilodong pemekaran dari Kecamatan Sukmajaya, Kecamatan
Cipayung pemekaran dari kecamatan Pancoran Mas dan Kecamatan Cinere
pemekaran dari kecamatan Limo. Kota Depok memiliki 11 kecamatan, 63
kelurahan, 887 Rukun warga (RW) dan 5.023 Rukun Tetangga (RT).

Tabel 4.1 Jumlah Kelurahan, RW, dan RT di Kota Depok, 2013


Kecamatan Jumlah RW RT
Kelurahan
Sawangan 7 76 374
Bojongsari 7 81 327
Pancoran Mas 6 106 625
Cipayung 5 52 330
Sukmajaya 6 122 882
Cilodong 5 65 358
Cimanggis 6 92 652
Tapos 7 130 641
Beji 6 75 387
Limo 4 46 234
Cinere 4 42 213
Kota Depok 63 887 5.023
Sumber: Kota Depok Dalam Angka 2014

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


65

4.1.3 Penduduk
Berdasarkan proyeksi BPS, Kota Depok pada Tahun 2013 dihuni oleh
1.962.160 jiwa, dengan seks ratio penduduk laki-laki terhadap perempuan sebesar
101,89. Laju pertumbuhan penduduk Tahun 2013 diperkirakan sebesar 3,34 persen,
menurun apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya (4,32 persen).
Pertumbuhan penduduk yang demikian tinggi ini dipengaruhi oleh tingginya
arus migrasi yang masuk ke Kota Depok, mengingat Kota Depok dinilai sebagai
daerah yang sangat strategis dilihat dari seluruh fungsi kota, terutama jasa,
perdagangan dan permukiman. Dari sisi kepadatan penduduk, kepadatan rata-rata
Kota Depok Tahun 2013 mencapai 9.797 ribu jiwa/km persegi dengan kecamatan
terpadat adalah Kecamatan Sukmajaya (14.531 ribu jiwa/km persegi) disusul
Kecamatan Beji (13.093 ribu jiwa/km persegi) dan Pancoran Mas (13.043 ribu
jiwa/km persegi). Sedangkan kepadatan terendah adalah di Kecamatan Sawangan
(5.385 ribu jiwa/km persegi) dan Bojongsari ( 6.330 ribu jiwa/km persegi).
Tabel 4.2. Jumlah Penduduk, Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk
Menurut Kecamatan di Kota Depok, 2013

Jumlah Luas Kepadatan


Kecamatan
Penduduk Wilayah Penduduk
Sawangan 139.473 26 5.385
Bojongsari 112.603 18 6.330
Pancoran Mas 237.556 18 13.043
Cipayung 144.379 12 12.414
Sukmajaya 262.145 18 14.531
Cilodong 141.106 16 8.770
Cimanggis 273.040 21 12.867
Tapos 243.984 32 7.547
Beji 187.227 14 13.093
Limo 99.319 12 8.062
Cinere 121.328 10 11.588
Kota Depok 1.962.160 200 9.787
Sumber: Kota Depok Dalam Angka, 2014
Berdasarkan usianya, proporsi usia produktif (15-64 tahun) mencapai 69,55
persen, usia muda (0-14 tahun) ada 27,58 persen, dan usia lanjut (65 tahun keatas)
mencapai 2,87 persen. Dengan demikian, angka ketergantungan/beban tanggungan
Kota Depok mencapai 43,79 persen pada Tahun 2013.

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


66

4.1.4 Indeks Pembangunan Manusia dan Kemiskinan


Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan gambaran komprehensif
mengenai tingkat pencapaian pembangunan manusia di suatu daerah sebagai
dampak dari kegiatan pembangunan yang dilakukan di daerah tersebut.
Perkembangan angka IPM memberikan indikasi peningkatan atau penurunan
kinerja pembangunan manusia pada suatu daerah. Untuk mencapai tujuan
tersebut, pemerintah daerah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan
kualitas SDM di wilayahnya, baik dari aspek fisik (kesehatan), aspek
intelektualitas (pendidikan), aspek kesejahteraan ekonomi (berdaya beli), serta
aspek moralitas (iman dan ketaqwaan) sehingga partisipasi rakyat dalam
pembangunan akan dengan sendirinya meningkat.

Indeks Pembangunan Manusia


IPM Kota Depok sebagai indikator utama keberhasilan pembangunan
daerah, pada Tahun 2013 mengalami peningkatan 0,19 poin dari tahun
sebelumnya, yaitu menjadi 80,02 poin (Tahun 2012 sebesar 79,83 poin). Nilai
IPM Kota Depok masih yang tertinggi di Provinsi Jawa Barat yang pada 2013
mencapai nilai 73,40. IPM diukur melalui 3 indikator yakni indeks pendidikan,
indeks kesehatan dan indeks daya beli. Tingginya nilai IPM Kota Depok
menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat Kota Depok relatif baik.

Gambar 4.2. IPM Kota Depok dan Provinsi Jawa Barat Tahun 2008-2013
Sumber : Bappeda Kota Depok (2014)

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


67

Bila melihat Grafik 4.1, terlihat bahwa nilai IPM Kota Depok mengalami
peningkatan yang cukup signifikan dari waktu ke waktu. Nilai IPM Kota Depok
yang pada tahun 2008 sekitar 78,22 meningkat menjadi 80,02 pada tahun 2013.
Nilai pada tahun 2013 tersebut terbilang cukup tinggi, baik dalam konteks
Provinsi Jawa Barat maupun secara nasional.

Kemiskinan
Tingkat Kemiskinan di Kota Depok dilihat dari persentase penduduk
diatas garis kemiskinan dihitung dengan menggunakan formula (100 – angka
kemiskinan) persen. Angka kemiskinan adalah persentase penduduk yang masuk
kategori miskin terhadap jumlah penduduk. Penduduk miskin dihitung
berdasarkan garis kemiskinan. Garis kemiskinan adalah nilai rupiah pengeluaran
per kapita setiap bulan untuk memenuhi standar minimum kebutuhan-kebutuhan
konsumsi pangan dan non pangan yang dibutuhkan oleh individu untuk hidup
layak.
Berdasarkan data kemiskinan perekonomian Kota Depok tahun 2008-
2012, tingkat kemiskinan Kota Depok di tahun 2011 sebesar 2,75 persen dan
tahun 2012 sebesar 2,46 persen berada jauh dibawah tingkat kemiskinan nasional
(13,33 persen) maupun provinsi Jawa Barat (10,93 persen). Artinya penduduk
diatas garis kemiskinan pada tahun 2012 mencapai 97,54 persen.

Gambar 4.3. Jumlah Penduduk Miskin (Jiwa) dan


Tingkat Kemiskinan ( persen) Kota Depok Tahun 2008-2012
Sumber : BPS Kota Depok (2014)

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


68

4.1.5. Kondisi Ekonomi Kota Depok


Kondisi ekonomi biasa digambarkan secara lebih lengkap dengan data dari
sisi supply (produksi) dan dari sisi demand (konsumsi). Karena keterbatasan data,
kondisi ekonomi Kota Depok akan dijelaskan lebih banyak dari sisi produksi, dan
hanya sebagian kecil yang dijelaskan dari sisi konsumsi.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Dari sisi produksi (supply side), dengan tolak ukur Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) pada tahun 2012 publikasi 2013, kondisi ekonomi
wilayah Kota Depok mencapai besaran kurang lebih Rp 7,45 trilyun atas dasar
harga konstan (ADHK) tahun 2000. Jika dibandingkan kondisi ekonomi Tahun
2011 publikasi 2012 (ADHK 2000) yang mencapai Rp 6,95 trilyun, maka dapat
dikatakan ekonomi wilayah Kota Depok mengalami peningkatan. Perlu diketahui
bahwa PDRB ADHK menurut ahli-ahli ekonomi adalah tolak ukur yang paling
baik untuk melihat perkembangan ekonomi suatu wilayah karena faktor inflasi
harga tidak dihitung pada indikator tersebut, sehingga menunjukkan kenaikan/
penurunan yang riil terjadi (Bappeda Kota Depok, 2014).
Perkembangan PDRB (ADHK 2000) Kota Depok dari 2008-2012 dapat
dilihat pada Gambar 4.4. pada rentang waktu 2008-2012 terjadi peningkatan
ukuran ekonomi wilayah secara berturut-turut (dalam Rupiah trilyun) 5,77; 6,13;
6,52; 6,95; dan 7,45. Data ini menunjukkan terjadinya peningkatan nilai produk
secara riil di Kota Depok. Peningkatan nilai produk bisa mengindikasikan
terjadinya penambahan investasi, menyerap tenaga kerja lebih banyak untuk
produksi, pada akhirnya berimplikasi pada meningkatnya pendapatan masyarakat.

Gambar 4.4. PDRB Kota Depok Tahun 2008-2012 (dalam ribuan)


Sumber : BPS Kota Depok 2013

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


69

Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE)


Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) suatu daerah merupakan indikator
untuk mengukur perkembangan ekonomi suatu daerah (Bappeda Kota Depok,
2014). LPE Kota Depok pada rentang waktu 2008-2012 relatif mengalami
percepatan. Hanya pada rentang Tahun 2008-2009 saja yang mengalami
perlambatan pertumbuhan. Perkembangan laju pertumbuhan ekonomi Kota Depok
dalam kurun waktu lima tahun dapat dilihat pada Gambar 4.5.

Gambar 4.5. Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Kota Depok


Tahun 2008-2012 ADHK 2000
Sumber : BPS Kota Depok 2013

Jika dibandingkan dari waktu ke waktu, terlihat bahwa pertumbuhan


ekonomi Kota Depok lebih tinggi daripada Provinsi Jawa Barat, sebagai contoh
pada tahun 2012 Kota Depok mengalami pertumbuhan 7,15 persen/ tahun,
sementara itu Provinsi Jawa Barat hanya 6,21 persen/ tahun. Ini artinya ekonomi
Kota Depok tumbuh lebih cepat daripada ekonomi Provinsi Jawa Barat dan
beberapa Kota/ Kabupaten di Jawa Barat.
LPE Kota Depok 2011-2012 sebesar 7,15 persen (yoy) disumbang secara
signifikan oleh LPE sektor bangunan/konstruksi (10,84 persen) dan sektor
keuangan, persewaan dan jasa perusahaan (5,78 persen), perdagangan-hotel-
restoran (7,24 persen), dan sektor angkutan-komunikasi (3,69 persen). Data
penggunaan tanah untuk permukiman 2006-2009 (Distarkim) menunjukkan
bahwa terjadi pembangunan rumah seluas kurang lebih 125 ha/tahun dan data ini
memperjelas mengapa sektor bangunan/konstruksi, tentu saja tidak hanya untuk
penggunaan perumahan, memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi yang

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


70

cukup signifikan. Menurunnya peran sektor primer juga dapat dijelaskan dengan
data menurunnya luas lahan pertanian yang ada di Kota Depok karena alih fungsi
penggunaannya menjadi non pertanian (terutama untuk perumahan).

4.1.6. Zonasi Wilayah Kota Depok


Penataan wilayah wajib harus mengacu pada Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) Kapubaten/Kota, dan Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten/
Kota, termasuk zonasinya. Menurut RTRW Kota Depok Tahun 2010 Terbagi
menjadi enam Struktur Pelayanan, yakni:
a. Pusat Kota (Margonda)
Pada struktur pusat kota yang berlokasi di Margonda akan difungsikan
sebagai pusat pelayanan di Kota Depok. Rencananya Margonda dirancang
sebagai pusat pelayanan pemerintahan, pusat bisnis dan konvensi, pusat
perdagangan dan komersial jasa, pusat budaya, terminal penunjang terpadu,
dan pusat pendidikan teknologi.
b. Sub Pusat Cinere
Pasa sub pusat Cinere direncanakan sebagai pelayanan kegiatan
perkantoran, perdagangan dan komersial, dan sub terminal.
c. Sub Pusat Sawangan
Sub pusat Sawangan mempunyai rencana pelayanan berupa kegiatan
perdagangan & komersial jasa, pusat agrobisnis, wisata agro & lingkungan,
dan sub terminal.
d. Sub Pusat Citayam
Pada sub pusat Citayam direncanakan sebagai pelayanan kegiatan pusat
perdagangan, jasa, dan budaya, jasa pergudangan, sub terminal, dan kawasan
pendidikan terpadu & riset.
e. Sub Pusat Jatijajar
Sub Jatijajar direncanakan sebagai pusat kegiatan perdagangan,
terminal penumpang Tipe A, Pusat pembibitan, rumah potong hewan, dan jasa
pergudangan.

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


71

f. Sub Pusat Cisalak


Sedangkan sub pusat Cisalak mempunyai struktur wilayah yang
direncanakan sebagai pusat pelayanan perdagangan grosir & eceran, pusat jasa,
dan sub terminal.

Gambar 4.6. Peta Struktur Pelayanan Kegiatan Kota Depok


Sumber: RTRW Kota Depok, 2010

4.1.7 Pola Jaringan Jalan dan Real Kereta Api


Kota Depok dalam hal ini memiliki pola jaringan jalan grid dengan 3 poros
utama utara-selatan yaitu Jalan Margonda Raya, Jalan Limo dan Jalan Raya
Bogor. Selain itu jalan lain yang menghubungkan Barat-Timur yaitu Jalan Raya
Sawangan, Jalan Raya Siliwangi, Jl. Ir. H. Djuanda yang menghubungkan
Kecamatan Cimanggis dan Sukmajaya dengan pusat Kota Depok. Adapun
jaringan jalan yang menghubungkan dengan Kota/Kabupaten lainnya antara lain
Jalan Raya Parung, Jalan Raya Bogor, Jalan Margonda dan Limo.
Sedangkan sistem jaringan rel kereta api merupakan jalur perlintasan
kereta api komuter Bogor – Jakarta dengan menempatkan stasiun di Kota Depok.
Saat ini di Kota Depok terdapat 5 stasiun Kereta Api antara lain : Stasiun Depok

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


72

Baru, Stasiun Depok Lama, Stasiun Citayam, Stasiun Pondok Cina dan Stasiun
UI.
Pola jaringan Kereta Api terkait dengan pola jaringan Kerata api yang
melintas wilayah Kota Depok merupakan bagian dari wilayah kerja Kereta Api
DAOP I Jakarta. Berdasarkan data DAOP I Jakarta (1 Juli 2008) disebutkan
bahwa Jaringan Rel Kereta Api yang melintas Kota Depok tersebut melayani
angkutan KRL Jabodetabek yang berhenti di stasiun-stasiun Kota Depok, dengan
total perjalanan adalah sebanyak 256 perjalanan/ hari (diluar perjalanan KA
dari/ke Depo Depok di Ratu Jaya Citayam).
Wilayah Kota Depok berada di antara pusat-pusat regional dan nasional,
yaitu Bandung dan Jakarta sehingga Kota Depok menjadi perlintasan sistem
transportasi regional. Data tahun 2013/2014 menunjukkan bahwa kota Depok
memiliki Jalan Nasional sepanjang 36,250 Km, Jalan Provinsi sepanjang 17,750
Km dan Jalan Kota sepanjang 476,150 Km.
Tabel 4.3. Kondisi Jalan di Kota Depok Tahun 2013
Status Jalan (Km)
Keadaan Jalan Jalan Jalan Jalan
Negara Provinsi Kab/Kota
Jenis Permukaan
Diaspal 36.25 17.75 117.35
Kerikil - - -
Tanah - - -
Lainnya (Rigid - - 358.80
Pavement)
Perkerasan Kaku/Beton - - -
JUMLAH I 36.25 17.75 476.15
Kondisi Jalan
Baik 36.25 17.75 392.56
Sedang - - -
Rusak - - 83.59
Rusak Berat - - -
JUMLAH II 36.25 17.75 476.15
Kelas Jalan
Kelas I 36.25 - -
Kelas II - 17.75 -
Kelas IIIa - - 78.62
Kelas IIIb - - 397.53
Kelas IIIc - - -
Kelas tidak dirinci - - -
JUMLAH III 36.25 17.75 476.15
Sumber : Kota Depok Dalam Angka 2013/2014

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


73

4.2 Kondisi Perumahan dan Permukiman di Kota Depok


4.2.1 Penggunaan Lahan Eksisting
Pada tahun 2009 tercatat bahwa Kawasan Tidak Terbangun masih
mendominasi penggunaan lahan di Kota Depok sebesar 61,79 persen atau
12.375,26 ha dari total luas Kota Depok. Sedangkan sisanya sebesar 32,56 persen
atau 6.522,37 ha merupakan lahan eksisting Kawasan Terbangun. Dari total
pengunaan lahan eksisting terbangun, penggunaan lahan didominasi oleh
penggunahan lahan untuk pemukiman swadaya seluas 4.300,58 ha.

Tabel 4.4. Penggunaan Lahan Eksisting Kawasan Terbangun


di Kota Depok Tahun 2009

No Penggunaan Lahan Luas (ha) Share

1 Pemukiman Swadaya 4,300.58 21.47


2 Permukiman Terstruktur 1,466.86 7.32
3 Industri 308.87 1.54
4 Perdagangan dan Jasa 245.55 1.23
5 Universitas Indonesia 65.36 0.33
6 Brimob 37.88 0.19
7 Militer 28.92 0.14
8 Depo KRL 23.47 0.12
9 Perkantoran Dan Jasa 22.66 0.11
10 Kawasan Rri 10.78 0.05
11 Masjid 3.73 0.02
12 Terminal 3.18 0.02
13 Gitet 2.96 0.01
14 Flyover Jl. Arh 0.82 0.00
15 Tvri Studio Alam 0.50 0.00
16 Radar Auri 0.26 0.00
Luas 6,522.378 32.56
Sumber: Hasil Interpretasi Citra Satelit, 2009,
Dinas Tata Ruang dan Permukiman Kota Depok, 2010

Tabel 4.5. Penggunaan Lahan Eksisting Kawasan Tidak Terbangun


di Kota Depok Tahun 2009

No Penggunaan Lahan Luas (ha) Share

1 Tanah Kosong 4,168.66 20.81


2 Kebun 2,411.45 12.04
3 Ladang 1,391.98 6.95
4 Sawah 1,180.29 5.89
5 Lapang Golf 362.63 1.81
6 Empang 193.51 0.97
7 Belukar 193.35 0.97

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


74

(Sambungan Tabel 4.5)

No Penggunaan Lahan Luas (ha) Share


8 Danau/Setu 114.84 0.57
9 Kuburan 104.3 0.52
10 Kawasan RRI 82.89 0.41
11 Taman Pramuka 51.08 0.26
12 Lapangan 26.58 0.13
13 Gardu Listrik PLN 22.1 0.11
14 Taman Kws Wisata Kubah Emas 15.97 0.08
15 Kolam Renang 10 0.05
16 Tahura 6.83 0.03
Luas 12,375.26 61.79
Sumber: Hasil Interpretasi Citra Satelit, 2009,
Dinas Tata Ruang dan Permukiman Kota Depok, 2010

4.2.2 RTH Kota Depok


Menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah area memanjang/jalur dan/atau
mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh
tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.

Gambar 4.7. Peta RTH Kota Depok


Sumber : Draft Raperda RTRW Kota Depok Tahun 2012-2032

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


75

Amanat UU Nomor 26 Tahun 2007 menyebutkan bahwa RTH terdiri dari


RTH publik dan RTH privat. Proporsi RTH pada wilayah kota paling sedikit 30
(tiga puluh) persen dari wilayah luas wilayah kota, terdiri dari 20 persen RTH
publik dan 10 persen RTH privat. Berdasarkan klasifikasi tersebut RTH publik di
Kota Depok pada tahun 2009 secara keseluruhan sebesar 1.787,23 Ha (8,92
persen) sedangkan RTH privat sebesar 1.472,01 Ha (7,35 persen). Melalui
Rancangan Peraturan Daerah Kota Depok tentang RTRW Depok tahun 2012-
2032, Pemerintah Kota Depok merencanakan 4.008,97 Ha (20,01 persen) lahan
RTH Publik dan 3.469,38 Ha (17.32 persen) sebagai lahan RTH Privat. Seperti
dalam tabel dibawah ini.
Tabel 4.6. Rencana RTH Kota Depok dalam RTRW
Kota Depok tahun 2012-2032
Rencana Prosentase
NO JENIS FASILITAS RTH
(Ha) ( persen)
A. RTH PUBLIK
1 RTH Taman 1.180,33 5,89
2 RTH Hutan Kota 903,96 4,51
3 Kawasan Lindung Bawahannya 7,6 0,04
4 Pulau Jalan dan Median Jalan 55,41 0,28
5 Sempadan rel kereta 84,47 0,42
6 Sempadan situ 177,81 0,89
7 Sempadan sungai 371,09 1,85
8 Sempadan jalur pipa gas 27,89 0,14
9 Jalur hijau jaringan listrik tegangan tinggi 81,81 0,41
10 Lahan pertanian pangan berkelanjutan 432,66 2,16
11 RTH Taman Pemakaman 429,02 2,14
12 RTH lapangan olahraga milik pemerintah 37,4 0,19
13 RTH halaman perkantoran milik pemerintah 219,01 1,09
LUAS RTH PUBLIK 4.008,47 20,01
B. RTH PRIVAT
14 Pekarangan rumah tinggal 3.349,45 16,72
15 RTH Kawasan Perdagangan dan Jasa 112,84 0,56
16 RTH Kawasan Perkantoran 7,09 0,04
LUAS RTH PRIVAT 3.469,38 17,32
LUAS TOTAL RTH 7.477,84 37,34
Sumber: Dinas Tata Ruang dan Permukiman Kota Depok (2015)

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


76

Rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau publik di Kota


Depok untuk 20 (dua puluh) tahun mendatang (RP3KP Wilayah Depok, 2013)
adalah sebagai berikut:
1. Mempertahankan luasan dan kualitas RTH eksisting
2. Mengembalikan fungsi kawasan-kawasan RTH yang telah berubah fungsi
3. Merehabilitasi RTH yang telah mengalami penurunan fungsi
4. Memanfaatkan lahan milik pemerintah yang tidak dimanfaatkan untuk
dijadikan RTH publik
5. Memantau penutupan vegetasi dan kondisi kawasan DAS agar lahan tidak
mengalami penurunan
6. Menyediakan alun-alun kota
7. Pengadaan lahan untuk ruang terbuka hijau
8. Mengembangkan lahan untuk ruang terbuka hijau

4.2.3 Perumahan Kota Depok


Dari sisi penggunaan lahan, Raperda Kota Depok tentang RTRW Kota
Depok 2012-2032 mencatat proporsi lahan terbangun meningkat pesat dalam 5
tahun terakhir, dari sekitar 9.299 Ha atau 46,49 persen pada tahun 2005 menjadi
sebesar 10.461,99 Ha atau sekitar 52,30 persen dari luas wilayah Kota Depok. Ini
artinya rata-rata pertumbuhan lahan terbangun mencapai 3,14 persen/ tahun.
Permukiman mendominasi peruntukan atau penggunaan lahan terbangun dengan
luas mencapai 9.540,64 Ha atau sebesar 48,57 persen dari luas lahan Kota Depok.
Kota Depok mengalami perkembangan kota yang cukup pesat dalam 5
tahun terakhir. Seiring dengan perkembangan tersebut, Kota Depok dituntut untuk
dapat melayani kebutuhan akan perumahan dan permukiman sebagai salah satu
indikator kesejahteraan masyarakat dan elemen penting dalam unsur perkotaan.
Pada tahun 2009 tingkat hunian perumahan dan permukiman di
Kecamatan Sukmajaya dan Limo merupakan daerah dengan kepadatan yang
paling tinggi. Hal ini sebagai akibat dari peran Kota Depok sebagai kawasan
permukiman bagi penduduk yang bekerja di Jakarta, sedangkan Kecamatan
Sukmajaya dan Limo merupakan daerah yang memiliki akses paling dekat dengan
Jakarta.

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


77

Kawasan permukiman tersebar di seluruh kecamatan dan umumnya


berkembangnya mengikuti pola jaringan jalan utama. Berkembangnya
permukiman di Kota Depok membawa dampak yang cukup besar terhadap
beralihnya fungsi lahan pertanian ke permukiman sehingga perlu adanya dalam
pembatasan pemberian izin untuk pengembangan perumahan terutama pada
lahan-lahan yang berfungsi sebagai sawah irigasi, selain itu pengembangan
perumahan sudah harus mengarah pada pengembangan perumahan vertikal
terutama untuk kawasan padat penduduk.
Kondisi umum perumahan Kota Depok dilakukan, dengan meninjau aspek
(Purwanti, 2012):
1. Jumlah rumah menurut jenisnya. Hal ini dilakukan untuk mengidentifikasi
karakteristik rumah yang ada di Kota Depok, sehingga dapat mengidentifikasi
bagaimana kebutuhan pengembangan perumahan di masa mendatang.
2. Tingkat hunian rumah. Hal ini dilakukan untuk mengidentifikasi seberapa
besar tingkat hunian dalam rumah, yang akan berpengaruh dalam menghitung
backlog rumah. Semakin tinggi jumlah keluarga dalam rumah, maka semakin
tinggi backlog rumah.
Berdasarkan tinjauan rumah menurut jenisnya, maka dapat diidentifikasi :
1. Sebagian besar rumah di Kota Depok adalah rumah permanen, sebesar 74,75
persen dari total jumlah rumah
2. Terdapat 4 kecamatan dengan jumlah rumah tidak permanen diatas 5 persen,
yaitu Cipayung, Cilodong, Tapos dan Cinere
Tabel 4.7. Jumlah Rumah Menurut Jenisnya di Kota Depok Tahun 2013
Tahun 2013
Kecamatan Permanen Semi Permanen Tidak Permanen
Jumlah Persentase Jumlah Persentase Jumlah Persentase
(Unit) (%) (Unit) (%) (Unit) (%)
Sawangan 17.195 76,78 5.134 22,92 67 0,30
Bojongsari 24.612 86,59 3.038 10,69 772 2,72
Pancoran
Mas 23.618 77,85 6.718 22,15 0,00 0,00
Cipayung 16.429 77,79 3.076 14,56 1.615 7,65
Sukmajaya 35.196 71,62 13.492 27,46 453 0,92
Cilodong 25.506 68,71 9.499 25,59 2.116 5,70
Cimanggis 18.438 94,80 1.012 5,20 0,00 0,00
Tapos 30.218 58,52 18.124 35,10 3.295 6,38

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


78

(Sambungan Tabel 4.7)


Tahun 2013
Kecamatan Permanen Semi Permanen Tidak Permanen
Jumlah Persentase Jumlah Persentase Jumlah Persentase
(Unit) (%) (Unit) (%) (Unit) (%)
Beji 12.708 59,87 7.596 35,79 921 4,34
Limo 17.788 94,43 911 4,84 138 0,73
Cinere 13.825 89,7 690 4,48 889 5,77
Jumlah 235.533 74,75 69.290 21,99 10.266 3,26
Sumber: Depok Dalam Angka 2013/2014
Permukiman di Kota Depok di bedakan atas 2 jenis bentuk permukiman
berdasarkan pengelola yang membangun, yaitu:
1. Permukiman swadaya, dan
2. Permukiman formal yang dibangun oleh developer
Menurut sifat kegiatannya, perumahan dapat dibedakan menjadi dua kelompok,
yaitu :
1. Perumahan yang tumbuh dan berkembang tidak tertata dalam skala ruang
yang relatif kecil atau yang lazim disebut perkampungan.
2. Perumahan yang tumbuh dan berkembang dibangun secara masal oleh
perusahaan atau lembaga pengembang dalam skala ruang yang relatif besar
dengan berbagai kelengkapan sarana sosial yang umumnya disebut komplek
perumahan.
Menurut Purwanti (2012) daerah padat yang berkembang kearah kumuh di
Kota Depok terdapat di Kampung Lio, PAL UI (Jalan Akses UI) tepatnya di
belakang pasar Pasir Gunung, sekitar Situ Rawa Besar, dibelakang kawasan
Industri Jl. Raya Bogor dan daerah Kukusan Belakang UI yang sebagian besar
merupakan daerah kost-kostan. Daerah tersebut merupakan daerah permukiman
padat tidak teratur dengan kondisi rumah yang permanen dan semi permanen serta
dengan keterbatasan sarana dan prasarana lingkungan.

4.2.4 Proyeksi Kebutuhan Rumah Berdasarkan Proporsi Berimbang


Menurut sifat kegiatannya perumahan telah dijelaskan diatas dapat
dibedakan menjadi dua kelompok. Sesuai dokumen Rencana Pembangunan dan
Pengembangan Perumahan dan Kawasan Permukiman (RP3KP) Kota Depok
tahun 2013, masing-masing kegiatan perumahan mempunyai pola sebaran
berbeda. Untuk perkampungan yang berada di sekitar pusat kota pada umumnya

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


79

menunjukkan pola sebaran menerus merapat, sedangkan di lokasi-lokasi lainnya


yang relatif jauh dari pusat kota pada umumnya mempunyai pola kluster,
sedangkan kompleks perumahan pada umumnya mempunyai pola
pengembangannya tidak menerus dan menyesuaikan terhadap luas dan bentuk
lahan yang berhasil dibebaskan. Rencana kebutuhan perumahan di lokasi
perencanaan akan berpatokan pada asumsi sebagai berikut;
1. Konsep Penyediaan Perumahan : 1 : 3 : 6
2. 1 KK : 5 Orang
3. Kavling/Rumah Besar : 300 m
4. Kavling/Rumah Menengah : 200 m
5. Kavling/Rumah Kecil : 100 m
Dalam RP3KP kebutuhan sarana hunian pada tahun 2011 di Kota Depok
pada tahun 2011 di Kota Depok dengan jumlah penduduk direncanakan sebanyak
1.517.123 jiwa dan jumlah kepala keluarga 393.675 KK, maka direncanakan
kebutuhan hunian pada tahun 2011 tersebut mencapai 102.980 unit dan kebutuhan
lahan seluas 1.545 Ha dengan perincian sebagai berikut :
1. Kavling/Rumah Besar sebanyak 10.298 unit dengan luas lahan 309 Ha
2. Kavling/Rumah Menengah sebanyak 30.894 dengan luas lahan 618 Ha
3. Kavling/Rumah Kecil sebanyak 61.788 unit dengan luas lahan 618 Ha
Berdasarkan rencana penduduk pada akhir tahun perencanaan (tahun
2032) maka diproyeksikan jumlah penduduk mencapai 3.575.161 jiwa dengan
jumlah kepala keluarga 939.915 KK membutuhkan sarana hunian sebanyak
648.220 unit rumah dengan kebutuhan lahan seluas 9.738 Ha dengan proporsi
sebagai berikut :
1. Kavling/Rumah Besar sebanyak 64.922 unit dengan luas lahan 1.948 Ha
2. Kavling/Rumah Menengah sebanyak 194.766 dengan luas lahan 3.895 Ha
3. Kavling/Rumah Kecil sebanyak 389.532 unit dengan luas lahan 3.895 Ha
Untuk rencana pengalokasian/pendistribusian kawasan perumahan akan
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1. Perumahan dengan kavling besar
 Mempunyai kualitas lingkungan yang cukup tinggi seperti kenyamanan dan
sedapat mungkin terhindar dari polusi udara maupun kebisingan

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


80

 Mempunyai hubungan erat dengan ruang terbuka hijau (open space)


ataupun tempat-tempat rekreasi lainnya
 Mempunyai akses yang tinggi terhadap jaringan jalan utama ataupun
jaringan jalan regional, sehingga memberikan kemudahan bagi penduduk
golongan ini untuk mengadakan pergerakan dengan kendaraan pribadi
2. Perumahan dengan kavling menengah
 Memberikan standar kualitas lingkungan yang relatif baik
 Dialokasikan diantara kawasan kavling besar dan kecil. Hal ini
dimaksudkan sebagai buffer (penyangga) ataupun sebagai penetral antara
kavling besar dan kecil
 Memiliki akses yang tinggi terhadap jalan-jalan utama dalam kota dan
kawasan sub pusat pelayanan kota
3. Perumahan dengan kavling kecil
 Berlokasi di daerah yang dekat dengan tempat kerja dan tempat pelayanan
umum
 Memungkinkan untuk pembangunan perumahan dengan tingkat kepadatan
yang relatif tinggi
Berikut ini disajikan proyeksi kebutuhan rumah berdasarkan proporsi rumah
berimbang tahun 2011-2031.
Tabel 4.8. Proyeksi Kebutuhan Rumah Berdasarkan Proporsi Rumah Berimbang
di Kota Depok Tahun 2011-2031
Kebutuhan Rumah (Unit) Kebutuhan Lahan (M2)
Tahun Kav. Kav. Kav. Kav.
Total Kav. Besar Kav. Kecil Total
Besar Menengah Kecil Menengah

2011 10,298 30,894 61,788 102,980 3,089,391 6,178,782 6,178,782 15,446,955

2016 22,315 66,945 133,891 223,151 6,694,534 13,389,067 13,389,067 33,472,668

2021 32,351 97,054 194,109 323,514 9,705,428 19,410,857 19,410,857 48,527,142

2026 47,204 141,612 283,223 472,039 14,161,165 28,322,330 28,322,330 70,805,825

2031 64,922 194,766 389,532 649,220 19,476,604 38,953,207 38,953,207 97,383,018


Sumber : RP3KP Kota Depok 2013

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


81

4.2.5 Rencana Pengembangan Perumahan di Kota Depok


Berdasarkan RP3KP rencana pengembangan perumahan baru di Kota
Depok dilakukan dengan pendekatan struktur tata ruang yang direncanakan yaitu
jumlah penduduk yang harus ditampung sampai dengan tahun 2011. Hal ini
dilakukan dengan mengasumsikan bahwa penduduk pada daerah perumahan yang
lama dianggap masih dapat ditampung pada wilayah tersebut. Berdasarkan
pendekatan diatas serta rencana daya tampung ruang Kota Depok, maka rencana
pengembangan perumahan di Kota Depok meliputi :
1. Pengembangan perumahan diarahkan untuk lebih mengoptimalkan lahan-
lahan kosong dengan instensitas yang lebih tinggi dengan tata letak yang lebih
teratur. Hal penting untuk dijaga adalah mengarahkan pengembangan
perumahan tersebut agar tidak membentuk perumahan dengan kepadatan
tinggi dan menimbulkan kekumuhan.
2. Pengembangan perumahan ini juga harus meengikuti peraturan yang disertai
dengan pengawasan dilapangan dengan tujuan untuk mengurangi
ketidakteraturan perkembangan perumahan. Peraturan-peraturan yang
mengikuti perkembangan perumahan antara lain Garis Sempadan Bangunan
(GSB), Koefisien Dasar Bangunan (KDB), dan Koefisien Lantai Bangunan
(KLB).
3. Mengarahkan pengembangan perumahan agar tidak berkembang secara
sporadis, diperkirakan pengembangan perumahan horizontal (rumah tapak)
harus dibatasi pada tahun 2021, hal ini disebabkan penggunaan lahan yang
masih dapat dimanfaatkan sudah tidak dapat menampung kebutuhan
perumahan. Maka perumahan akan diarahkan menjadi perumahan vertikal,
misalnya rumah susun (rusunawa, rusunami, rusuna) maupun apartemen.
Tipe-tipe perumahan yang dapat dikembangkan di Kota Depok antara lain :
1. Rumah tunggal adalah rumah dengan bangunan yang harus memiliki jarak
bebas dengan batas perpetakan atau batas pekarangan pada sisi samping dan
belakang. Peruntukan lahan rumah renggang ditujukan untuk pemanfaatan
ruang unit-unit perumahan tunggal dengan mengakomodasikan berbagai
ukuran perpetakan serta mengupayakan peningkatan kualitas lingkungan
hunian, karakter, dan suasana kehidupannya hanya boleh ditempati oleh unit-

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


82

unit hunian untuk keluarga tunggal dengan peletakan bangunan renggang, dan
juga tidak ditata secara rapat.
2. Rumah deret adalah rumah dengan bangunan yang diperbolehkan rapat
dengan batas perpetakan atau batas pekarangan pada sisi samping
3. Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu
lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara
fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan
satuan-satuan yang masing-masing dapat memiliki dan digunakan secara
terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian
bersama, benda bersama, dan tanah bersama. Penyelenggaraan rumah susun
juga bertujuan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan perumahan yang
layak dan terjangkau, terutama bagi MBR. Saat ini di Kota Depok telah
terdapat rumah susun sewa (Rusunawa), terletak di Kampung Banjar Pucung,
Kelurahan Cilangkap, Kecamatan Tapos. Rusunawa tersebut diperuntukkan
bagi para buruh ataupun anggota TNI, Polri, dan Pegawai Negeri Sipil (PNS)
dengan golongan yang rendah. Biaya sewa bervariasi antara Rp 175,000.00 –
Rp 250,000.00. Selain itu juga telah dibangun Rusunawa di lingkungan
Markas Komando Brimob Kelapa Dua sebanyak 78 twin blok rusunawa,
nantinya diharapkan dapat menampung sekitar 5.000 prajurit.
4. Kasiba Lisiba
Berdasarkan Permenpera Nomor 32 tahun 2006 tentang Petunjuk Teknis
Kawasan Siap Bangun dan Lingkungan Siap Bangun yang Berdiri Sendiri,
lokasi Kawasan Siap Bangun (Kasiba) yang akan ditetapkan mencakup lokasi
yang belum terbangun mampu menampung sekurang-kurangnya 3.000 (tiga
ribu) unit rumah, sedangkan lokasi Kasiba bagi tanah yang sudah ada
permukimannya merupakan integrasi antara pembangunan baru dan yang
sudah ada sehingga seluruhnya menampung sekurang-kurangnya 3.000 (tiga
ribu) unit rumah. Lokasi lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri (Lisiba
BS) yang akan ditetapkan mencakup lokasi yang belum terbangun yang
mampu menampung sekurang-kurangnya 1.000 unit rumah, sedangkan lokasi
Lisiba BS bagi tanah yang sudah ada permukimannya merupakan integrasi

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


83

antara pembangunan baru dan yang sudah ada sehingga seluruhnya


menampung sekurang-kurangnya 1.000 unit rumah.
Rencana kebutuhan perumahan tersebut diarahkan sebagai berikut (RP3KP Kota
Depok, 2013) :
1. Perumahan dengan kepadatan tinggi
Dikembangkan seluas 447.55 Ha atau 2.23 persen dari total luas Kota
Depok
2. Perumahan kepadatan sedang
Dikembangkan seluas 6,786.95 Ha atau 33.89 persen dari luas Kota Depok
3. Perumahan dengan kepadatan rendah
Dikembangkan seluas 5,307.38 Ha atau 26.50 persen dari total luas Kota
Depok

4.2.6 Perumahan Formal yang Dibangun oleh Pengembang


Kondisi perumahan dan permukiman di Kota Depok terus berkembang, hal
ini dapat dilihat dari banyaknya pembangunan real estate di beberapa kecamatan
di Kota Depok (Purwanti, 2012). Menurut data Distarkim Kota Depok pada tahun
2009, developer yang mengajukan Ijin Pemanfaatan Ruang (IPR) mencapai 130
developer. Jumlah luas lahan perumahan swadaya 1.112,27 Ha atau 19 persen dari
total lahan perumahan dan luas lahan perumahan formal sebesar 5.266,17 Ha atau
81 persen dari total lahan perumahan atau sekitar 26.29 persen dari total
keseluruhan luas Kota Depok. Dimana Kecamatan Cinere yang memiliki luas
perumahan formal terbesar 51,54 persen (544,32 Ha), sedangkan Kecamatan
Tapos merupakan kecamatan yang memiliki luas perumahan formal terendah
yaitu 11,18 persen (371,56 Ha).
Tabel 4.9. Luas Perumahan Formal Kota Depok Tahun 2009
Luas (Ha)
No Kecamatan %
Perumahan
Administrasi
Formal
1 Kec. Beji 651.82 1,457.12 44.73
2 Kec. Bojongsari 342.40 1,926.84 17.77
3 Kec. Cilodong 415.75 1,618.78 25.68
4 Kec. Cimanggis 566.72 2,156.45 26.28
5 Kec. Cinere 544.32 1,056.14 51.54
6 Kec. Cipayung 299.48 1,146.96 26.11

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


84

(Sambungan Tabel 4.9)

Luas (Ha)
No Kecamatan %
Perumahan
Administrasi
Formal
7 Kec. Limo 343.39 1,185.21 28.97
8 Kec. Pancoran Mas 583.21 1,803.74 32.33
9 Kec. Sawangan 481.45 2,618.38 18.39
10 Kec. Sukmajaya 666.07 1,735.35 38.38
11 Kec. Tapos 371.56 3,324.03 11.18

Kota Depok 5,266.17 20,029.00 26.29


Sumber : Peta Citra Satelit Kota Depok Tahun 2009

4.2.7 Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan


Sesuai dokumen RP3KP Kota Depok tahun 2013 rencana pengembangan
kawasan permukiman baru akan dilakukan melalui dua pendekatan yaitu
perumahan swadaya, dan perumahan oleh pengembang/pemerintah. Adapun
arahan kelembagaan dalam rangka pengembangan perumahan dan permukiman di
Kota Depok (RP3KP Kota Depok, 2013) adalah:
a. Upaya lebih meningkatkan kerjasama antara yuridiksi baik antar Kota ataupun
Kabupaten maupun Provinsi dan pusat khususnya dalam penanganan
pembangunan perumahan dan permukiman, terlebih Kota Depok kedepan
merupakan bagian Kota Metropolitan Kota Depok;
b. Upaya menempatkan kebijakan otonomi daerah bukan sebagai upaya
mengedepankan kepentingan masing-masing daerah tetapi lebih
mengembangkan kerjasama yang lebih baik dalam pelaksanaan kebijakan dan
program pembangunan perumahan dan permukiman;
c. Upaya penanganan masalah perumahan dan permukiman yang lebih antisipatif
terhadap kemungkinan terjadinya persoalan permukiman yang akan terjadi
dimasa yang akan datang seperti permukiman kumuh, pelangaran tata ruang
dan juga faktor bencana yang mungkin akan timbul;
d. Upaya meningkatkan partisipasi dan kepedulian masyarakat atau lembaga
yang ada di masyarakat. Dari arahan pengembangan kelembagaan diatas maka
perlu penguatan kelembagaan sektor perumahan dan permukiman dengan
rencana adalah sebagai berikut:
 Penyusunan strategi kelembagaan dan tata laksana bidang permukiman,

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


85

 Pembentukan Badan Kebijaksanan Pengembangan Pembangunan


Perumahan dan Permukiman Kota (BKP4K) sebagai wadah perumusan
operasionalisasi kebijakan permukiman.
Rencana pengembangan pola pembiayaan perumahan dan permukiman di
Kota Depok, disamping mengikuti pola pembiayaan yang sudah baku, juga dapat
dikembangkan dengan cara (RP3KP Kota Depok, 2013) antara lain:
a. Pinjaman kredit, apabila selama ini pola pembiayaan bersumber dari Bank
Tabungan Negara (BTN), maka kedepan Pemerintah Kota Depok dapat
mencoba melakukan kerjasama dengan Bank Pembangunan Daerah (BPD)
Kota maupun BPD Provinsi. Dimana pola pinjaman biaya pembangunan
tersebut disesuaikan dengan tingkat kemampuan pengembalian dari
masyarakat sendiri;
b. Perlu dikembangkannya suatu kegiatan usaha di bidang pembangunan
perumahan melalui kegiatan koperasi dibidang perumahan;
c. Melakukan Up Grade atau meningkatkan kapasitas kemampuan Badan
Keswadayaan Masyarakat (BKM). Sehingga dana yang selama ini hanya
digunakan untuk peningkatan ekonomi diarahkan pula bagi sumber pembiayan
pembangunan perumahan dan permukiman.

4.3 Isu Tata Ruang dan Kebijakan Perumahan di Kota Depok


Isu tentang tata ruang adalah terkait dengan regulasi baru di bidang
penataan ruang yaitu Draft Rancangan Perda RTRW Kota Depok tahun 2012-
2032, yang sarat dengan muatan dan amanat baru, antara lain tentang pengaturan
RTH, zonasi, penegakan sanksi, dan penyediaan ruang kota bagi sektor informal
dan pejalan kaki. Pengendalian tata ruang dan banjir perlu dibarengi dengan upaya
penghijauan dan pencegahan kerusakan lingkungan akibat pencemaran. Kedua
masalah ini masih merupakan isu penting dalam pembangunan perkotaan yang
cenderung ”boros” lahan sehingga tidak menyisakan pepohonan, dan menciptakan
berbagai bentuk pencemaran lingkungan (Pemkot Depok, 2012).
Mengacu kepada UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
mengamanatkan sampai dengan Tahun 2032, bahwa setiap pemerintah daerah
dapat menyediakan RTH publik sebesar 20 persen dan RTH Privat sebesar 10

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


86

persen, hal ini masih menjadi kendala di Kota Depok. Pencapaian kinerja RTH di
Kota Depok sampai dengan Tahun 2013 baru mencapai 9,05 persen RTH publik
dan 6,27 persen RTH privat. Perlu upaya keras dan komitmen yang tinggi untuk
dapat mewujudkan RTH publik mencapai 20 persen di Kota Depok. Pada
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Depok tahun
2011-2016 mengamanatkan membangun 2 lokasi RTH per tahun dan
pelaksanaannya seringkali terkendala dengan pembebasan lahan. Oleh karena itu,
pemerintah daerah perlu mendorong peran serta masyarakat dalam gerakan
penghijauan di lingkungan masing-masing yang dapat diintegrasikan dengan
gerakan pengelolaan sampah, serta mendorong sektor swasta khususnya di bidang
perumahan untuk berkontribusi dalam pengembangan RTH.
Selain itu dalam pengawasan dan pengendalian pemanfataan ruang terkait
penggunaan lahan untuk bangunan Pemerintah Kota Depok juga membuat
kebijakan melalui Perda Nomor 13 Tahun 2013 tentang Bangunan dan Izin
Mendirikan Bangunan. Tujuan utama Perda ini dibuat antara lain sesuai dengan
Perda Nomor 13 Tahun 2013 Pasal 2 ayat (2) yang menyebutkan bahwa Peraturan
daerah ini dibuat dengan tujuan :
a. Mewujudkan bangunan gedung yang fungsional dan sesuai dengan tata
bangunan gedung yang serasi dan selaras dengan lingkungannya;
b. Mewujudkan tertib penyelenggaraan bangunan gedung yang menjamin
keandalan teknis bangunan gedung dari segi keselamatan, kesehatan,
kenyamanan, dan kemudahan;
c. Mewujudkan kepastian hukum dalam penyelenggaraan bangunan gedung;
d. Memberikan pedoman bagi Pemerintah Kota dalam penerbitan Izin
Mendirikan Bangunan;
e. Memberikan pedoman bagi masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan
bangunan.

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


87

Perda Nomor 13 Tahun 2013 ini merupakan instrumen kebijakan Pemerintah Kota
Depok dalam perwujudan pembangunan perumahan dan permukiman
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, tujuan dari kebijakan ini antara lain
(okezone.com, 2013):
1. Mempertahankan dan Meningkatkan Ketersedian Ruang Terbuka Hijau
(RTH);
2. Menahan Laju Migrasi dan Kepadatan Penduduk (Urbanisasi) di Kota Depok;
3. Mengatasi masalah kemacetan dan bencana banjir.
Dalam implementasinya Perda Kota Depok Nomor 13 Tahun 2013
terutama Pasal 97 huruf (b) tentang Persyaratan minimal luas lahan setiap kavling/
unit perumahan 120 meter persegi memicu kontra di dalam masyarakat, seperti
antara lain:
1. Surat dari PT. Dinamika Alam Sejahtera (DAS) nomor 416/DIR-
DAS/VI/2014 tanggal 11 Juni 2014 yang ditujukan kepada bapak Walikota
Depok. Bahwa dengan diberlakukannya kebijakan tersebut mempengaruhi
harga rumah yang semakin mahal, sehingga mempengaruhi penjualan
perumahan PT. DAS;
2. Pengembang mengalami kerugian akibat anjloknya penjualan rumah sebesar
20-30 persen. Sementara bagi konsumen, terutama MBR, jelas tidak dapat
mengakses rumah karena harganya yang tinggi (kompas.com, 2013);
3. Surat dari REI Komisariat Bogor Raya dan sekitarnya (termasuk Kota Depok)
Nomor 01./Per ER.Per, 13/IX/2014 perihal permohonan eksekutif review atas
pasal Perda Nomor 13 Tahun 2013 tentang Bangunan dan Izin Mendirikan
Bangunan. Bahwa ketentuan Pasal 97 huruf (b) bertentangan dengan
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 014/PUU/IX/2012, serta
bertentangan dengan Peraturan Menteri Perumahan Rakyat (Permenpera)
Nomor 7 tahun 2012 tentang Perubahan Permenpera Nomor 10 tahun 2012
tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman dengan
Hunian Berimbang;
4. Surat oleh Bapak Rivalino Alberto Rugebregt, SH Nomor 01./Per.Kaj.Perd,
13/X/2014 tanggal 7 november 2014 perihal Permohonan Kajian Pelanggaran
Dugaan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Perda Kota Depok

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


88

Nomor 13 tahun 2013 tentang Bangunan dan Izin Mendirikan Bangunan.


Bahwa Perda Kota Depok Nomor 13 Tahun 2013 Pasal 97 huruf (b) telah
merampas hak MBR di Kota Depok untuk memiliki rumah, dikarenakan harga
tanah yang sangat tinggi di Kota Depok, sehingga kesempatan masyarakat
untuk memiliki rumah tinggal yang layak serta terjangkau hilang, dikarenakan
rendahnya daya beli MBR.

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


BAB 5
HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Perumusan Masalah


Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2008 Kota
Depok merupakan salah satu daerah di kawasan Jakarta, Bogor, Depok,
Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur (Jabodetabekpunjur) yang ditetapkan sebagai
kawasan strategis nasional. Kota Depok sebagaimana diketahui merupakan salah
satu kota satelit dari kota Jakarta, selain Bogor, Tangerang, dan kota lainnya
(Perpres 54, 2008).
Sebagai kota satelit, Depok merupakan tujuan migrasi penduduk baik dari
wilayah Jabodetabekounjur maupun luar wilayah tersebut. Berdasarkan data laju
pertumbuhan ekonomi (LPE) Kota Depok pada rentang waktu 2008-2012 relatif
mengalami percepatan. Bahkan pada periode tahun 2012 Kota Depok mengalami
pertumbuhan 7,15 persen/ tahun ini artinya ekonomi Kota Depok menjadi salah
satu faktor menarik bagi penduduk daerah lain untuk bermigrasi.
Pertumbuhan migrasi dari daerah lain ke Kota Depok menyebabkan
penduduk Kota Depok mengalami pertumbuhan yang signifikan. Berdasarkan data
BPS, Kota Depok pada Tahun 2013 dihuni oleh 1.962.160 jiwa atau mengalami laju
pertumbuhan penduduk sebesar 3,34 persen. Dengan luas wilayah Kota Depok sekitar
20.029 Ha, maka implikasi dari pertumbuhan penduduk sebesar 3,34 persen antara
lain kebutuhan lahan yang diperuntukkan sebagai perumahan dan permukiman
semakin meningkat. Menurut data dari dinas tata ruang dan permukiman Kota Depok
2010 bahwa penggunaan lahan sampai dengan 2009 sebesar 32,56 persen
penggunaan lahan untuk kawasan terbangun, Permukiman Swadaya mendominasi
sebesar 21,47 persen. Penggunaan lahan untuk permukiman berpotensi terus
tumbuh dengan semakin banyak penduduk yang tinggal di Kota Depok. Menurut
Murbaintoro (2009) pembangunan perumahan yang didominasi oleh hunian tapak
di suatu wilayah perkotaan, sangat berpengaruh pada ketersediaan ruang terbuka
hijau (RTH) dan pada gilirannnya akan mengabaikan konsep pembangunan
berkelanjutan.

89 Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


90

Mengingat lahan di wilayah perkotaan terbatas maka perlu diatur melalui


kebijakan pemerintah, kebijakan dimaksud untuk mengantisipasi market failure
pada mekanisme pasar yang terjadi pada penggunaan lahan perkotaan. Kebijakan
yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Depok dalam menjaga efisiensi penggunaan
lahan dan sekaligus untuk menjaga kualitas lingkungan hidup khususnya Ruang
Terbuka Hijau (RTH) yaitu dengan menyusun Rancangan Peraturan Daerah
Rencana Tata Ruang Wilayah (Raperda RTRW) Kota Depok tahun 2012-2032
dan menetapkan Peraturan Daerah (Perda) Kota Depok Nomor 13 Tahun 2013
tentang Bangunan dan Izin Mendirikan Bangunan.
Perda Kota Depok Nomor 13 Tahun 2013 tentang bangunan dan izin
mendirikan bangunan ini sesuai dengan pasal 173 mulai berlaku pada bulan maret
2014, setelah peneliti melakukan konfirmasi kepada kepala Dinas Tata Ruang dan
Permukiman Kota Depok yaitu ibu Kania, Perda tersebut efektif berlaku untuk
pengurusan perizinan per tanggal 1 april 2014.
Dalam implementasi peraturan daerah tersebut terdapat beberapa
permasalahan yang terjadi diantaranya sesuai dengan Surat dari PT. Dinamika
Alam Sejahtera (DAS) nomor 416/DIR-DAS/VI/2014 tanggal 11 Juni 2014 yang
ditujukan kepada bapak Walikota Depok. Terdapat hal-hal yang menjadi
permasalahan akibat dampak diberlakukannya Perda Nomot 13 tahun 2013,
khususnya yang berkaitan dengan Pasal 97 huruf (b), tentang pengesahan rencana
tapak/siteplan.
Bahwa kriteria/persyaratan rencana tapak/siteplan sebagaimana dimaksud
pada Pasal 97 huruf (b) dimana “Luas minimum setiap kavling/unit perumahan
minimal 120 (seratus dua puluh) meter persegi”, adalah hal yang sangat
merugikan/memberatkan dalam mengembangkan lahan-lahan pengembang,
dengan alasan-alasan antara lain sebagai berikut:
a. Saat ini kami membangun unit-unit rumah dengan luas lahan maksimal 90
(sembilan puluh) meter persegi, dimana unit-unit yang dibangun tersebut
disesuaikan dengan kemampuan/ daya beli dari konsumen, sehingga dengan
demikian bilamana luas kavling minimal adalah 120 (seratus dua puluh) meter
persegi, maka harga jual unit rumah-rumah tersebut akan sangat tinggi

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


91

sehingga dapat berpengaruh terhadap kemampuan/ daya beli dari para


konsumen kami;
b. Bahwa sebagian besar konsumen kami adalah end user dan pembeliannya
melalui fasilitas Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dari Bank, sehingga
bilamana harga jual unit rumah tersebut sangat tinggi tentunya konsumen
tersebut akan memilih alternatif membeli diluar wilayah Kota Depok;
c. Kota-kota lain yang wilayahnya berbatasan/ berdekatan dengan Kota Depok
tidak menerapkan aturan/ ketentuan tentang luas kavling minimal 120 (seratus
dua puluh) meter persegi, sehingga dimungkinkan perusahaan-perusahaan
pengembang di Kota Depok akan mengalihkan investasinya ke kota-kota lain.
Selain itu hasil wawancara langsung kepada pihak-pihak seperti Dinas
Tata Ruang dan Permukiman Kota Depok, BPMP2T Kota Depok, APERSI DKI
Jakarta, REI DKI Jakarta, Forum Pengembang Perumahan Kota Depok (FPKD),
Pengembang perumahan Kota Depok, dan masyarakat Kota Depok, maka
masalah-masalah akibat dampak dari implementasi Perda Kota Depok Nomor 13
Tahun 2013 Pasal 97 huruf (b) antara lain adalah :
1. Akses masyarakat Kota Depok dengan penghasilan menengah ke bawah
terhadap rumah sederhana dan terjangkau semakin sulit.
Hal ini diakibatkan dengan ketentuan Pasal 97 huruf (b) pengembang
diwajibkan membangun perumahan dengan kavling seluas 120 meter persegi,
artinya dengan ukuran tanah kavling tersebut maka pengembang akan
memaksimalkan porsi penggunaan lahan sebagai bangunan atau sesuai
ketentuan lahan terbangun dan tidak terbangun pada setiap kavling sebesar
masing-masing 60 persen terbangun dan 40 persen tidak terbangun. Sesuai
wawancara dengan salah satu pengembang dari PT. Relife Reality Indonesia
yaitu Bapak Azhari dan Bapak Yusuf dari Perumahan Green River View maka
keduanya menyatakan senada bahwa tipe rumah terkecil dengan ukuran lahan
120 meter persegi adalah rumah tipe 54.
Berdasarkan software simulasi kredit untuk menghitung kredit perumahan
(KPR), misal kita akan membangun rumah sederhana 1 lantai dengan ukuran 6
m x 9 m pada tanah persegi panjang dengan ukuran 8 m x 15 m, rumah ini
dibangun pada suatu daerah di Kota Depok, dengan NJOP Rp 1.500.000/m2

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


92

dan Harga Bangunan Rp. 2.500.000/ m2, dengan data ini maka kita dapat
menghitung perkiraan biaya bangunan yang dibutuhkan untuk membangun
rumah tersebut seperti dalam tabel di bawah ini. (simulasikredit.com, 2015).
Tabel 5.1 Simulasi RAB Rumah Dengan Tipe 54
dan Lahan Seluas 120 M2
Uraian Jumlah Harga Satuan (Rp) Total (Rp)

Harga Lahan (Tanah) 120 1,500,000.00 180,000,000.00

Harga Bangunan 54 2,500,000.00 135,000,000.00

Total RAB 315,000,000.00


Sumber : diolah (2015)
Dari tabel diatas dapat dilihat harga rumah tipe 54/120 yaitu sebesar Rp. 315
Juta dengan mengasumsikan bahwa harga dasar ini digunakan untuk
pengajuan kredit melalui sistem KPR dengan asumsi Tenor 10 Tahun (120
bulan), Bunga 11 persen/tahun (0.92 persen/bulan) maka dapat dihitung
apabila maksimal angsuran selama 10 tahun/ 120 bulan adalah;
DP 20 persen (315,000,000.00 * 20 persen) Rp 63,000,000.00
KPR (Harga Rumah - DP 20 persen) Rp 252,000,000.00
Angsuran Bulanan (KPR/ 120 Bulan) Rp 3,471,300.28

Jadi angsuran per bulan untuk rumah tipe 54 dengan harga Rp. 315 Juta
sebesar 3,471 Juta per bulan. Apabila ketentuan pengajuan KPR adalah 30
persen dari penghasilan maka Rp 3,471 Juta merupakan 30 persen dari total
penghasilan, dengan kata lain masyarakat yang mengajukan kredit perumahan
dengan harga tersebut adalah masyarakat yang berpenghasilan minimal Rp. 12
Juta/bulan. Sedangkan masyarakat Kota Depok tidak semuanya mempunyai
penghasilan diatas 10 Juta Rupiah. Menurut data PDRB perkapita Kota Depok
yang dihitung dari PDRB atas dasar harga konstan pada tahun 2012 Rp
4,055,466,00, hal ini menunjukkan bahwa tidak semua penduduk atau
masyarakat Kota Depok yang dapat menjangkau harga rumah dengan
ketentuan kavling 120 meter persegi.
2. Sesuai dengan wawancara dengan Ketua Forum Pengembang Kota Depok
(FPKD) dan sekaligus pengembang salah satu perumahan di Kota Depok yaitu

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


93

Bapak Safari maka masalah yang muncul dari pemberlakuan ketentuan Pasal
97 huruf (b) antara lain bagi pengembang perumahan di Kota Depok
mendapatkan kesulitan dalam melakukan usaha terutama di daerah terpencil.
Misal dengan harga rumah mencapai 500 Juta, penjualan akan mengalami
kesulitan karena untuk daerah-daerah terpencil segmentasi pasar masih di
kisaran harga Rp. 250 Juta kebawah, akibatnya pengembang kesulitan dalam
menjual rumah dengan harga Rp. 500 Juta. Dampak lain, perputaran uang
menjadi overheat karena biaya tetap atau operasional kantor pengembang
harus terus ditanggung sementara penjualan rumah dengan harga relatif lebih
mahal menjadi lebih lama. Pengembang dalam hal ini akan berpotensi
kehilangan peluang bisnis akibat waktu pemasaran yang menjadi lama, potensi
kehilangan keuntungan yang akan datang karena modal tidak cepat kembali
(BEP) sehingga untuk memulai proyek perumahan baru menjadi terhambat.
3. Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), sesuai dengan surat dari bapak
Rivalino Alberto Rugrebet, SH nomor. 01./Per.Kaj, 13/X/2014 tanggal 7
november 2014 perihal Permohonan Kajian Pelanggaran Dugaan Pelanggaran
Hak Asasi Manusia dalam Perda Kota Depok Nomor 13 Tahun 2013 tentang
Bangunan dan Izin Mendirikan Bangunan.
Dalam surat diatas menyatakan bahwa Perda Nomor 13 Tahun 2013 tentang
Bangunan dan IMB. Pasal 97 huruf (b) terindikasi melanggar Hak Asasi
Manusia yaitu dikarenakan pasal ini membatasi hak seseorang untuk dapat
memiliki rumah, sedangkan dalam Pasal 40 UU Nomor 39 tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia, berbunyi: “Setiap orang berhak bertempat tinggal dan
berkehidupan yang layak”, jelas dengan adanya pembatasan luas kavling
minimal 120 meter, telah merampas hak masyarakat berpenghasilan rendah di
Kota Depok untuk memiliki rumah, dikarenakan harga tanah yang sangat
tinggi di Kota Depok, sehingga kesempatan masyarakat untuk memiliki rumah
tinggal yang layak serta terjangkau akan hilang, dikarenakan rendahnya daya
beli masyarakat berpenghasilan rendah.
Dalam pelaksanaan kebijakan terkait penataan ruang terutama perumahan
di wilayah perkotaan memang akan sering berhadapan dengan trade-off antara
kebutuhan perumahan dan lingkungan. Menurut Murbaintoro (2009)

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


94

pembangunan perumahan yang didominasi oleh hunian tapak disuatu wilayah


perkotaan, sangat berpengaruh pada ketersediaan ruang terbuka hijau (RTH),
namun terkadang pemerintah kabupaten/kota juga mengeluarkan kebijakan yang
pada gilirannya tidak memperhatikan kesejahteraan masyarakat.
Terkait dengan Perda Nomor 13 tahun 2013 Pasal 97 huruf b, memang
bertujuan untuk mempertahankan bahkan menambah ruang terbuka hijau (RTH)
di Kota Depok baik dari RTH publik maupun RTH privat sesuai amanat UU
Nomor 26 Tahun 2007. Namun dengan adanya Pasal 97 huruf (b) Perda Nomor
13 Tahun 2013 yang membuat batasan Luas lahan setiap kavling/unit perumahan
120 meter persegi, yang diberlakukan untuk pembangunan perumahan di seluruh
Kota Depok. Ketentuan ini menimbulkan permasalahan-permasalahan seperti :
1. Masyarakat Kota Depok berpenghasilan menengah kebawah atau kelompok
MBR sulit memiliki rumah;
2. Kenaikan harga rumah sederhana lebih tinggi dari kenaikan pendapatan;
3. Daya beli MBR yang stagnan namun harga rumah meningkat sehingga tidak
terjangkau kelompok MBR;
4. Menciptakan efek domino yang menghambat terbitnya ijin mendirikan
bangunan (IMB), dan segala fasilitas subsidi atau pembiayaan perumahan;
5. Memicu pertambahan backlog atau defisit perumahan;
6. Memicu meluasnya kawasan permukiman kumuh; dan
7. Melanggar pemenuhan HAM atas rumah.
Dari uraian diatas yang diperoleh baik dari data sekunder, studi literatur
serta komunikasi melalui wawancara mendalam dengan stakeholder terkait, maka
diperoleh permasalahan sebagai dampak implementasi atau pelaksanaan kebijakan
persyaratan batas luas setiap kavling/ unit perumahan 120 meter persegi yang di
berlakukan di Kota Depok per 1 april 2014, hal ini dapat dilihat melalui tabel
dibawah ini :

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


95

Tabel 5.2 Perumusan Masalah


Kasus : Perda Kota Depok Nomor 13 Tahun 2013 tentang Bangunan dan
Izin Mendirikan Bangunan Pasal 97 huruf (b) “Luas minimal
setiap kavling/ unit perumahan minimal 120 (seratus dua puluh)
meter persegi”.
1 Masalah Masyarakat Kota Depok berpenghasilan menengah
ke bawah atau kelompok MBR sulit memiliki
rumah

2 Penyebab a. Kebijakan pemerintah daerah yang tidak pro


masyarakat berpenghasilan menengah
kebawah
b. Pengembang (developer) membangun
perumahan dengan tipe besar dengan harga
jual mahal
c. Daya beli masyarakat yang menurun akibat
harga perumahan yang semakin mahal

3 Pihak-pihak terkaita. Pemerintah Daerah


b. Pengembang (developer)
c. Masyarakat
a. Prilaku yang Pemerintah :
menyumbang 1. Inkonsistensi pembuat kebijakan (pemerintah)
dalam perencanaan tata ruang perkotaan
2. Kebijakan pemerintah yang seakan
memberikan izin kepada pengembang untuk
membangun perumahan tipe besar
Pengembang (developer)
1. Pengembang membangun tipe rumah besar
dengan harga mahal tanpa memikirkan MBR
Masyarakat
1. Masyarakat berpenghasilan menengah
kebawah masih membutuhkan rumah tipe
kecil sesuai daya beli

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


96

(Sambungan Tabel 5.2)


b. Motivasi 1. Pemerintah
a. Menganggap telah melaksanakan penataan
ruang kota sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan
b. Menganggap masyarakat Kota Depok
dapat menjalankan kebijakan atau mampu
membeli rumah dengan tipe besar
c. Menganggap seluruh pengembang
perumahan dapat menjalankan kebijakan
sesuai peraturan daerah
2. Pengembang
a. Menganggap mendapatkan izin untuk
membangun perumahan besar dengan
harga yang mahal
b. Berfikiran bahwa rumah tipe besar akan
dapat di beli konsumen
3. Masyarakat
a. Masyarakat berfikiran bahwa memiliki
rumah merupakan suatu hal yang penting

4 Persepsi stakeholder a. Pemerintah tidak melihat hal ini sebagai suatu


masalah (Hal terpenting adalah daya dukung
Kota Depok terutama RTH)
b. Pengembang perumahan dengan modal besar
(investor besar) menganggap tidak ada
masalah
c. Pengembang perumahan dengan modal kecil
(investor menengah kebawah) menganggap ini
masalah serius
d. APERSI, REI, FPKD menganggap ini
masalah serius
e. Masyarakat menganggap ini masalah apabila
perumahan yang tersedia di Kota Depok
harganya tidak ada yang dapat dijangkau
Sumber : Hasil Wawancara (2015)

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


97

5.2. Perumusan Tujuan


Dalam Bab 3 telah dijelaskan dalam tahapan RIA setelah perumusan
masalah maka langkah selanjutnya yang dilakukan adalah dengan membuat
perumusan tujuan. Hal ini bertujuan untuk merumuskan dengan jelas tujuan dan
sasaran yang ingin dicapai oleh alternatif kebijakan yang akan dipilih.
Berdasarkan uraian masalah-masalah diatas, disusunlah suatu tujuan sesuai hasil
wawancara dan telah dikonsultasikan dengan stakeholder seperti Dinas Tarkim
Kota Depok, BPMP2T Kota Depok, BPN Kota Depok, APERSI, FPKD dan
masyarakat yang disajikan seperti pada Tabel 5.3 dibawah ini.
Tabel 5.3 Perumusan Tujuan
Kasus : Perda Kota Depok Nomor 13 Tahun 2013 tentang Bangunan dan
Izin Mendirikan Bangunan Pasal 97 huruf (b) “Luas minimal
setiap kavling/ unit perumahan minimal 120 (seratus dua puluh)
meter persegi”.
Perumusan Tujuan
1 Bagian masalah yang Masyarakat berpenghasilan menengah kebawah
ingin diselesaikan atau kelompok MBR sulit memiliki rumah
2 Tujuan yang ingin a. Pengembang perumahan membangun dan
dicapai menjual perumahan tipe kecil yang terjangkau
masyarakat berpenghasilan menengah kebawah
b. Pengembang mengurus perizinan perumahan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku
c. Masyarakat tidak membangun rumah kumuh
d. Lingkungan terutama RTH di wilayah Kota
Depok terjaga
3 Pelaku dan Perilaku
a. Pelaku Utama Pemerintah Kota Depok, Pengembang
(key players) (Developer), dan Masyarakat Kota Depok
b. Perilaku yang 1. Pemerintah Kota Depok merevisi ketentuan
diinginkan syarat luas minimal setiap kavling perumahan
120 meter persegi
2. Pengembang membangun perumahan sesuai
ketentuan dan terjangkau masyarakat
3. Masyarakat tidak membangun rumah kumuh
4. Ketentuan RTH tidak di langgar
4 Faktor faktor yang mendorong dan menghambat
a. Pihak yang dapat Pemerintah Kota Depok, APERSI, FPKD,
membantu Masyarakat
b. Pihak yang dapat Pemerintah Kota Depok, Pengembang yang nakal
menghambat (tidak mengurus perizinan perumahan) tapi untuk
di jual
c. Faktor pendukung 1. Rumah layak huni lebih terjangkau
2. Tata kota teratur

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


98

(Sambungan Tabel 5.3)


3. Kebutuhan perumahan terpenuhi
4. Lingkungan terjaga (RTH)
d. Faktor Pengembang yang masih mengurus rumah
penghambat komersil dengan izin rumah hunian pribadi (tidak
sesuai ketentuan)
Sumber : Hasil Wawancara (2015)

5.3. Perumusan Alternatif


Untuk mengatasi permasalahan tersebut dan mencapai tujuan yang telah
dirumuskan, maka beberapa alternatif (pilihan-pilihan) tindakan sebagai berikut:
1. Do nothing (tidak melakukan apapun)
Do nothing (tidak melakukan apapun) merupakan suatu alternatif yang harus
selalu dibuat dan merupakan suatu kondisi yang terjadi pada saat alternatif
lain tidak di implementasikan. Dengan demikian, kondisi yang terjadi tetap
berjalan seperti biasanya. Pada Analisa Manfaat dan Biaya, kondisi ini disebut
dengan kondisi baseline.
Untuk permasalahan tersebut diatas, Pemerintah Kota Depok tidak melakukan
tindakan apapun untuk mengatasi permasalahan tersebut dan kondisi berjalan
tetap seperti biasanya.
2. Do nothing with improvement
Do nothing with improvement merupakan suatu alternatif kebijakan dimana
implementasi aturan terutama ketentuan pasal 97 huruf (b) tetap dilaksanakan
dengan beberapa tambahan penyesuaian yang bersifat tambahan bagi
ketentuan dimaksud, hasil wawancara dengan APERSI dan beberapa
pengembang perumahan di Kota Depok penyesuaian yang diinginkan antara
lain penambahan sistem zonasi, dimana ketentuan luas setiap kavling
perumahan 120 meter persegi tersebut diberlakukan untuk zonasi dengan
intensitas tinggi, sedangkan untuk zonasi yang bersifat intensitas sedang dan
rendah di perbolehkan untuk membangun perumahan dengan luas minimal
kavling dibawah 120 meter persegi.
Berdasarkan Dokumen Rencana Pembangunan dan Pengembangan
Perumahan dan Kawasan Permukiman (RP3KP) Kota Depok 2013 Zonasi
Rencana kebutuhan perumahan di Kota Depok terdiri dari :

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


99

a. Perumahan dengan kepadatan tinggi


Dikembangkan seluas 447,55 Ha atau 2,23 persen dari total luas Kota
Depok, meliputi Kelurahan Beji Timur, Kelurahan Beji, Kelurahan Kemiri
Muka, Kelurahan Pancoran Mas. Untuk daerah tersebut ketentuan luas
setiap kavling perumahan 120 m2 masih memungkinkan, walaupun bentuk
perumahan yang akan diterapkan adalah pembangunan rumah susun
sederhana bertinggi maupun apartemen.
b. Perumahan kepadatan sedang
Dikembangkan seluas 6.786,95 Ha atau 33.89 persen dari total luas Kota
Depok.
c. Perumahan kepadatan rendah
Dikembangkan seluas 5,307.38 Ha atau 26.50 persen dari total luas Kota
Depok.
3. Meniadakan/menghapus/mencabut kebijakan syarat luas minimal setiap
kavling/unit perumahan minimal 120 (seratus dua puluh) meter persegi
Meniadakan/menghapus/mencabut ketentuan syarat luas minimal setiap
kavling/ unit perumahan minimal 120 (seratus dua puluh) meter persegi
merupakan alternatif dimana revisi dilakukan terhadap Perda Nomor 13 tahun
2013 namun hanya terhadap pasal 97 huruf (b) sehingga pengembang
(developer) perumahan dapat membangun perumahan dengan kavling
dibawah 120 meter persegi.
Dengan melaksanakan alternatif kebijakan ini maka diharapkan masyarakat
berpenghasilan menengah kebawah atau masyarakat berpenghasilan rendah
(MBR) dapat memiliki rumah karena pembangunan perumahan dengan luas
setiap kavling/unit perumahan dibawah 120 meter persegi maka harga jual
rumah masih bisa terjangkau oleh masyarakat.
Namun dalam penelitian ini, peneliti hanya menggunakan alternatif kebijakan 2
dan 3, hal ini dikarenakan antara alternatif 1 dan 2 sebenarnya hampir sama yaitu
do nothing namun dalam survey dilapangan alternatif 2 lebih mungkin untuk
dilakukan karena hanya menambah beberapa penjelasan atau ketentuan sesuai
wawancara dan konsultasi dengan stakeholder yaitu dengan menambahkan
ketentuan zonasi dalam pemberlakuan Pasal 97 huruf (b) tersebut.

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


100

Tabel 5.4 Perumusan Alternatif Kebijakan


Alternatif 1 Do nothing with improvement
Alternatif 2 Meniadakan/menghapuskan ketentuan syarat luas lahan
setiap kavling/unit perumahan 120 meter persegi

5.4. Analisa Biaya dan Manfaat


Analisa biaya manfaat merupakan salah satu tahapan dari metode RIA,
dalam analisis ini dihitung dengan membandingkan antara berapa besar kerugian
atau biaya yang dikeluarkan dengan keuntungan atau manfaat yang diperoleh dari
implementasi suatu kebijakan. Namun dalam penelitian ini, karena keterbatasan
tenaga dan waktu serta sulitnya mendapatkan data-data sebagai baseline baik
secara akuntansi maupun secara ekonomi maka peneliti dalam melakukan valuasi
ekonomi menggunakan metode Analisa AHP untuk Biaya dan Manfaat sebagai
metode untuk analisa Biaya dan Manfaat dalam tahapan dari metode RIA.

5.4.1 Analisa AHP untuk Biaya dan Manfaat


Berdasarkan hasil pengolahan data kuisioner yang telah diisi oleh para
responden, penentu prioritas kebijakan syarat luas setiap kavling perumahan 120
meter persegi yang dilakukan dengan metode Analitical Hierarki Process (AHP),
adapun hirarki yang dibuat seperti dijelaskan pada Bab 3 sebelumnya telah
dilakukan konsultasi kepada stakeholder terutama Dinas Tarkim Kota Depok dan
APERSI DKI Jakarta untuk mendapatkan persetujuan mereka dan kejelasan dari
hirarki tersebut.
Hasil Pengisian Hirarki Sisi Biaya
Hasil dari pengisian kuesioner hirarki sisi biaya menunjukkan antara lain sebagai
berikut :
a. Untuk biaya terbesar terdapat pada kategori ekonomi hal ini di tunjukkan
dengan bobot 0.601 hal ini menjelaskan bahwa dampak dari kebijakan syarat
luas setiap kavling/unit perumahan 120 meter persegi memberikan dampak
biaya terbesar dari sisi kategori ekonomi. Kriteria dalam kategori ekonomi
dijelaskan antara lain :

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


101

 PAD melalui PBB dan BPHTB mendapatkan bobot tertinggi yaitu 0.422
yang menjelaskan persepsi responden bahwa dengan adanya kebijakan
tersebut maka potensi daerah kehilangan penerimaan asli daerah (PAD)
melalui PBB dan BPHTB. Sesuai data yang di dapatkan dari BPMP2T
periode tahun 2013-2014 yaitu kondisi sebelum dan sesudah kebijakan ini
diberlakukan seperti pada Grafik dibawah ini.

Gambar 5.1 Perkembangan Izin Perumahan di Kota Depok


tahun 2013-2014
Sumber : BPMP2T Kota Depok, 2015

Dalam Gambar 5.1 ini menjelaskan bahwa walaupun izin perumahan


sempat meningkat periode Februari 2014 namun karena implementasi
Perda Kota Depok 13 Tahun 2013 pada maret 2014 menyebabkan izin
perumahan di Kota Depok menurun, hal ini berimplikasi pada penurunan
potensi PAD melalui PBB dan BPHTB.
 Selanjutnya biaya dari kategori ekonomi yaitu kriteria pendapatan investor
menengah kebawah sebesar 0.296, ini artinya persepsi responden dampak
biaya terbesar ke 2 akibat pemberlakuan kebijakan yaitu turunnya
pendapatan investor menengah ke bawah. Hal ini sesuai dengan
wawancara maupun uraian masalah diatas yaitu pengembang perumahan
di Kota Depok dengan modal menengah ke bawah akan mengalami
kerugian dari turunnya penjualan perumahan karena segmen pasar
perumahan di Kota Depok masih pada kisaran 250 Juta kebawah atau
dengan kavling dibawah 90 meter persegi. Menurut bapak Yusuf dari

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


102

perumahan Green River View menjelaskan dampak dari implementasi


kebijakan ini menyebabkan pengembang membangun perumahan tipe
besar dengan ketentuan kavling 120 meter persegi, namun hal ini
berdampak pada penurunan penjualan khususnya perumahan tipe besar
sebesar 70 persen.
 Biaya produksi merupakan peringkat ke 3 dari kategori ekonomi dengan
bobot sebesar 0.206, hal ini menjelaskan bahwa responden mempunyai
persepsi dampak dari kategori ekonomi yaitu meningkatnya biaya
produksi dalam membangun perumahan oleh pengembang perumahan.
Dengan kavling 120 meter persegi menurut Bapak Azhari dari Relief
Group menyatakan bahwa dengan ketentuan tersebut maka pilihan untuk
membangun adalah perumahan dengan tipe rumah 50 meter persegi dan
tanah 120 meter persegi (50/120) namun implikasinya pengembang akan
mengeluarkan biaya produksi yang lebih besar di banding dengan
membangun perumahan tipe yang lebih kecil.
 Yang terakhir dari kategori ekonomi yaitu kriteria biaya pengawasan dan
pengendalian tata ruang dengan bobot 0.076, artinya persepsi responden
terhadap dampak meningkatnya biaya pengawasan dan pengendalian tata
ruang menjadi prioritas terakhir dari kategori ekonomi. Wawancara
dengan bapak Safari ketua FPKD menyatakan apabila tujuan dari
implementasi Perda Kota Depok Nomor 13 tahun 2013 ini yaitu
mempertahankan dan meningkatkan RTH di wilayah Kota Depok maka
agar dapat memastikan setiap perizinan perumahan sesuai dengan Perda
maka biaya pengawasan dan pengendalian tata ruang akan meningkat.
b. Prioritas ke 2 yang memberikan dampak biaya terbesar yaitu kategori sosial
dengan bobot 0.230, dengan kriteria kesenjangan sosial dengan bobot 0.480,
backlog perumahan 0.348, dan ketidakpatuhan terhadap perda 0.173. hal ini
menjelaskan bahwa biaya terbesar dari dampak sosial dari implementasi
kebijakan syarat minimal luas lahan setiap kavling/unit perumahan 120 meter
persegi yaitu meningkatnya kesenjangan sosial yang terjadi di Kota Depok.
Lebih rinci dapat dijelaskan sebagai berikut:

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


103

 Meningkatnya kesenjangan sosial menurut persepsi responden menjadi


dampak negatif terbesar dari implementasi kebijakan tersebut dengan
bobot 0.480. Hal ini dapat dijelaskan karena dengan kebijakan tersebut
maka harga jual perumahan akan meningkat sehingga MBR tidak akan
dapat memiliki rumah, dengan kata lain masyarakat depok yang dapat
memiliki rumah adalah masyarakat yang mempunyai penghasilan diatas
Rp 15 Juta Rupiah. Sesuai data dari BPS Kota Depok 2014 bahwa dari
periode tahun 2009-2012 seperti Gambar di bawah ini.

Gambar 5.2 Gini Ratio Kota Depok tahun 2009-2012


Sumber : Kota Depok Dalam Angka, 2013

Dari Gambar 5.2 dapat dijelaskan bahwa walaupun ketimpangan


pendapatan di Kota Depok termasuk dalam kategori ketimpangan moderat,
dengan nilai gini ratio sebesar 0.398417 namun dalam kurun waktu 4
tahun terus mengalami kenaikan sehingga pemerintah daerah harus
memikirkan bagaimana kebijakan yang dikeluarkan tidak semakin memicu
kesenjangan yang terjadi di Kota Depok.
 Backlog perumahan mendapatkan bobot 0.348, artinya persepsi responden
terhadap biaya terbesar kategori sosial setelah kesenjangan sosial adalah
meningkatnya backlog perumahan di Kota Depok.
Dijelaskan pada Bab 4 sebelumnya bahwa sesuai RP3KP Kota Depok
tahun 2013 proyeksi kebutuhan rumah di Kota Depok pada tahun 2011
sebanyak 102,980 unit rumah dan lahan seluas 15,446,955 meter persegi.
Namun dampak kebijakan Pasal 97 huruf (b) Perda Kota Depok Nomor 13
tahun 2013 menyebabkan penyediaan rumah di Kota Depok tidak dapat

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


104

memenuhi kebutuhan rumah masyarakat Kota Depok bahkan proyeksi


tahun 2016 kebutuhan rumah mencapai 223.151 unit rumah atau
meningkat sebesar 116.69 persen dari tahun 2011. Namun dalam
penelitian ini, peneliti tidak dapat mendapatkan data persis backlog
perumahan di Kota Depok maka hanya proyeksi kebutuhan rumah di Kota
Depok dari periode tahun 2011-2031 yang bisa disajikan.
Namun dalam rangka memenuhi kebutuhan perumahan dan permukiman
yang semakin meningkat dari tahun ke tahun, dan trade-off dengan
keterbatasan lahan di Kota Depok, serta pembangunan perumahan yang
berkelanjutan maka perumahan vertikal menjadi solusi alternatif untuk
dapat mempertahankan ketersediaan RTH disatu pihak dan pemenuhan
kebutuhan rumah bagi masyarakat di lain pihak (Murbaintoro, 2009).
 Ketidakpatuhan terhadap perda mendapatkan bobot sebesar 0.173, artinya
dampak dari implementasi kebijakan tersebut memberikan dampak
biaya/negatif dengan adanya pengembang-pengembang di Kota Depok
yang sudah mempunyai lahan, namun untuk menghindari ketentuan
tersebut maka perizinan yang diajukan ke BPN dan BPMP2T dengan
menggunakan perizinan rumah swadaya. Sesuai dengan wawancara
dengan pengembang dan Dinas Tarkim bahwa memang ada pengembang
yang mengajukan izin yang seharusnya izin perumahan namun faktanya
izin yang diajukan adalah izin rumah swadaya. Hal ini dapat dilakukan
karena sesuai ketentuan pasal 89 ayat (2) Perda Kota Depok Nomor 13
tahun 2013 dimana pengajuan izin perorangan diperbolehkan sampai
dengan kavling ke 4 (empat) masih belum wajib membuat Rencana Tapak
(Siteplan) sehingga tidak wajib juga memenuhi ketentuan 60 persen efektif
kavling dan 40 persen untuk prasarana, sarana dan utilitas (PSU).
Hal ini menimbulkan potensi kerugian bagi Pemerintah Daerah dan
masyarakat, karena dengan ketidakpatuhan pengembang “nakal” ini maka
potensi PAD akan berkurang dan RTH yang harusnya tersedia dari PSU
tidak dapat tercapai.

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


105

c. Kategori lingkungan mendapatkan bobot persepsi dampak negatif (biaya)


terbesar dari responden sebesar 0.169, artinya dampak dari implementasi
terhadap kategori lingkungan yang paling kecil dibandingkan kategori
ekonomi dan sosial. Kategori lingkungan yang mendapatkan bobot prioritas
pertama yaitu kriteria lahan untuk perumahan sebesar 0.562 diikuti
kesemrawutan tata kota sebesar 0.438. penjelasan lebih rinci sebagai berikut:
 Lahan untuk perumahan mendapatkan bobot 0.562, artinya kebutuhan
lahan untuk perumahan yang diproyeksikan meningkat dengan
meningkatnya kebutuhan akan rumah oleh penduduk Kota Depok bukan
merupakan dampak biaya terbesar menurut persepsi responden.
 Kesemrawutan tata kota mendapatkan bobot 0.438, artinya implementasi
kebijakan tersebut berdampak pada lingkungan dengan kriteria
kesemrawutan tata kota, hal ini dikarenakan kebutuhan MBR terhadap
perumahan menyebabkan masyarakat akhirnya membangun rumah tanpa
mengikuti ketentuan pembangunan rumah sehingga tata kota yang
diharapkan tidak dapat tercapai.

Hasil Pengisian Hirarki Sisi Positif (Manfaat)


Hasil pengisian kuesioner oleh responden untuk hirarki sisi manfaat
menunjukkan hasil sebagai berikut :
a. Untuk kategori ekonomi mendapatkan bobot 0.269 sehingga kategori secara
ekonomi menempati prioritas ke 3 (tiga) dibandingkan sosial dan lingkungan,
artinya persepsi responden terhadap manfaat terbesar dampak implementasi
kebijakan Pasal 97 huruf (b) yaitu Luas lahan setiap kavling/unit perumahan
120 meter persegi bukan terhadap kategori ekonomi. Kriteria-kriteria manfaat
kategori ekonomi antara lain :
 Pendapatan investor besar mendapatkan bobot 0.686, artinya manfaat
terpenting dari kategori ekonomi adalah meningkatkan pendapatan
investor besar hal ini sesuai dengan wawancara dengan beberapa
pengembang yaitu dengan Bapak Azhari dari Relief Group dimana dengan
kebijakan luas setiap kavling/unit perumahan 120 meter persegi maka
untuk pengembang perumahan dengan modal besar tidak masalah karena

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


106

mereka memang menjual rumah dengan segmentasi pasar dengan harga


diatas 1 milyar rupiah. Artinya dengan adanya kebijakan tersebut para
pengembang besar diasumsikan mendapatkan restu dari pemerintah daerah
(Kota Depok) untuk dapat membangun perumahan dengan tipe diatas
50/120 dan harga jual yang tinggi sehingga pendapatan mereka akan
meningkat.
 PAD melalui PBB dan BPHTB mendapatkan bobot 0.314, artinya apabila
dibandingkan dengan dampak manfaat meningkatnya pendapatan investor
besar dampak manfaat meningkatnya PAD oleh responden menjadi
prioritas ke 2. Hal ini dikarenakan implikasi kebijakan tersebut berdampak
pada pembangunan tipe rumah besar akan serta merta meningkatkan
pendapatan pajak melalui PBB dan BPHTB.
b. Kategori sosial mendapatkan bobot 0.343, artinya persepsi responden
mengenai dampak positif (manfaat) kebijakan terhadap kategori sosial lebih
penting dari kategori ekonomi. Rincian dampak kategori sosial antara lain :
 Laju migrasi dan kepadatan penduduk dengan bobot 0.503. artinya
dampak terpenting dari kategori sosial yaitu menekan laju migrasi dan
kepadatan penduduk di Kota Depok. Hal ini sesuai dengan hasil
wawancara dengan Kepala Dinas Tarkim Kota Depok yang menyebutkan
bahwa dengan ketentuan kavling 120 meter persegi maka perumahan yang
dibangun oleh pengembang harga jualnya tinggi sehingga menghambat
penduduk luar untuk membeli perumahan di Kota Depok.
 Kelancaran lalu lintas dengan bobot 0.497, artinya dampak positif dari
kategori sosial selanjutnya yaitu meningkatkan kelancaran lalu lintas di
Kota Depok yang dirasakan sudah semakin macet, hal ini berkaitan
dengan kategori migrasi penduduk yang diharapkan dapat di tekan dengan
adanya kebijakan tersebut sehingga kemacetan yang sudah ada tidak
semakin parah.
c. Kategori lingkungan mendapatkan bobot 0.388, untuk dampak positif/manfaat
kategori lingkungan menjadi dampak terpenting dari kebijakan syarat luas
setiap kavling/unit perumahan 120 meter persegi. Rincian kategori lingkungan
sebagai berikut :

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


107

 Kategori ruang terbuka hijau (RTH) mendapatkan bobot 0.401, kategori


RTH menjadi dampak manfaat terpenting dibandingkan kategori daya
dukung kota dan tata kota. Artinya dampak terpenting dari kebijakan
sesuai dengan yang diinginkan oleh Pemerintah Kota Depok, dimana
kebijakan Perda Kota Depok nomor 13 Tahun 2013 memang bertujuan
untuk mempertahankan dan meningkatkan RTH Kota Depok agar sesuai
dengan ketentuan UU nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
dimana RTH untuk kawasan kota minimal sebesar 30 persen.
 Kategori daya dukung perkotaan dengan bobot 0.221, derajat kepentingan
dampak manfaat dari kategori lingkungan untuk menjaga daya dukung
perkotaan sesuai dengan dokumen RP3KP Kota Depok tahun 2013 bahwa
daya dukung perkotaan dan daya tampung wilayah Kota Depok bahwa
kawasan perumahan kepadatan tinggi akan dikembangkan seluas 447.55
Ha atau 2.23 persen dari total luas Kota Depok, kawasana kepadatan
sedang seluas 6,786.95 Ha atau 33.89 persen dari total luas Kota Depok,
dan kawasan perumahan kepadatan rendah seluas 5,307.38 Ha atau 26.50
persen dari total luas Kota Depok. Dengan kebijakan tersebut diharapkan
oleh Pemerintah Kota Depok dapat menahan penggunaan lahan sebagai
kawasan perumahan karena kawasan budidaya yang tersisa adalah 16.52
persen dari total luas Kota Depok atau kurang lebih 3.307.73 Ha.
 Kategori tata kota mendapatkan bobot 0.378, artinya persepsi responden
untuk dampak manfaat dari kebijakan terhadap kategori tata kota masih
dibawah kategori RTH. Namun pemerintah Kota Depok mengharapkan
dengan adanya kebijakan tersebut penataan ruang kota akan lebih efektif.
Kesimpulan dari hirarki sisi negatif atau biaya yaitu dampak negatif yang
dianggap paling penting atau berdampak terbesar yaitu kategori ekonomi dimana
PAD melalui PBB dan BPHTB merupakan dampak ekonomi terbesar. Hal ini
berkaitan dengan dampak kebijakan terhadap kenaikan harga jual rumah di Kota
Depok, sesuai wawancara dengan pengembang perumahan di Kota Depok dimana
beberapa pengembang masih bisa mengikuti ketentuan di Kota Depok dengan
membangun rumah tipe besar dan harga jual yang tinggi namun tidak diikuti
dengan daya beli masyarakat Kota Depok sehingga banyak perumahan yang

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


108

sudah dibangun akan mengalami kesulitan dalam penjualan. Hal ini akan
menghilangkan potensi PAD melalui PBB dan BPHTB.
Dampak negatif terbesar lainnya yaitu pendapatan investor menengah
kebawah, artinya investor dengan modal kecil akan kesulitan dalam hal penjualan
seperti dijelaskan diatas apabila diasumsikan pengembang perumahan di Kota
Depok mampu membangun perumahan sesuai ketentuan, namun dari sisi
penjualan akan lebih susah karena menurut wawancara dengan beberapa
pengembang di Kota Depok menjual rumah dengan tipe kecil relatif lebih mudah
dari pada menjual rumah dengan tipe besar.
Untuk dampak biaya terbesar kategori sosial, kesenjangan sosial
dianggap dampak terbesar. Arti dari meningkatnya kesenjangan sosial disini
berkaitan dengan harga jual rumah di Kota Depok yang semakin mahal sehingga
masyarakat yang mampun memiliki rumah merupakan masyarakat yang mampu,
sedangkan untuk MBR akses memiliki rumah akan semakin sulit. Hal ini akan
menimbulkan kesenjangan antara masyarakat Kota Depok yang sudah memiliki
rumah dan yang belum memiliki rumah. Dampak biaya/negatif lainnya yang
cukup penting/besar adalah backlog perumahan. Daya beli masyarakat Kota
Depok yang menurun terhadap harga rumah yang semakin mahal menyebabkan
MBR semakin sulit untuk mendapatkan rumah. Padahal kebutuhan masyarakat
Kota Depok sampai tahun 2011 mencapai 102,980 unit perumahan, apabila
ketersediaan rumah yang ada di Kota Depok merupakan rumah tipe 50/120
dengan harga diatas Rp. 300 Juta maka backlog perumahan terutama untuk
kelompok MBR tidak dapat dipenuhi.
Kesemrawutan tata kota tampaknya bukan masalah lingkungan paling
serius dari adanya kebijakan luas setiap kavling/unit perumahan 120 meter persegi
melainkan lahan untuk perumahan. Artinya lahan untuk perumahan akan semakin
berkurang dari tahun ke tahun namun dengan harganya yang semakin tinggi akan
mendorong masyarakat Kota Depok dalam kelompok MBR untuk migrasi ke luar
Kota Depok.
Dari hasil hirarki manfaat menunjukkan bahwa responden merasakan
manfaat dampak dari kebijakan persyaratan luas setiap kavling/unit perumahan
120 meter persegi lebih secara lingkungan terutama dapat mempertahankan dan

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


109

meningkatkan ketersediaan RTH di Kota Depok, sesuai dengan tujuan utama


implementasi dari Perda Kota Depok Nomor 13 tahun 2013 ini yaitu untuk
mempertahankan potensi RTH di Kota Depok. Pernyataan ini sejalan dengan hasil
wawancara dengan stakeholder dan sejalan dengan dipilihnya dampak lingkungan
sebagai dampak manfaat terbesar dari kebijakan tersebut. Begitu juga dampak
terbesar pada kategori lingkungan, RTH merupakan dampak terbesar yang dipilih
oleh responden.
Dampak manfaat terbesar selanjutnya yaitu sosial, dimana yang dipilih
menjadi dampak manfaat terbesar adalah laju migrasi dan kepadatan penduduk.
Artinya dengan adanya kebijakan tersebut diharapkan laju migrasi penduduk dari
luar Kota Depok dapat ditekan karena untuk memiliki rumah di Kota Depok akan
semakin sulit, implikasinya kepadatan penduduk di Kota Depok dapat
dikendalikan. Namun hasil wawancara terhadap stakeholder ada yang tidak
sependapat dengan pernyataan diatas karena dengan harga rumah yang tinggi di
Kota Depok yang semakin tergeser adalah masyarakat lokal terutama kelompok
MBR sedangkan migrasi tetap dapat terjadi karena walaupun harga rumah sudah
semakin tinggi namun relatif lebih rendah dari Kota Jakarta sehingga masyarakat
Jakarta masih mungkin untuk migrasi ke Kota Depok. Dampak manfaat terbesar
sosial lainnya yaitu kelancaran lalu lintas. Dimana dengan adanya kebijakan
persyaratan luas lahan ini merupakan dampak tidak langsung apabila laju migrasi
dan kepadatan penduduk dapat terkendali maka diharapkan arus kepadatan lalu
lintas juga dapat dikendalikan atau setidaknya menahan lalu lintas tidak
mengalami kemacetan yang semakin parah.
Sedangkan dampak manfaat kategori ekonomi dianggap responden bukan
yang terpenting baik itu pendapatan investor besar dan PAD melalui PBB dan
BPHTB. Hal ini mungkin terkait dengan tujuan utama dari kebijakan ini antara
lain untuk keberlanjutan lingkungan dengan mempertahankan dan meningkatkan
RTH sesuai dengan amanat UU nomor 26 tahun 2007. Jadi dampak manfaat untuk
meningkatkan pendapatan investor besar dan meningkatkan PAD melalui PBB
dan BPHTB bukan menjadi pilihan manfaat oleh respoonden.
Setelah menganalisa dampak-dampak biaya dan manfaat yang ditimbulkan
oleh adanya kebijakan persyaratan luas lahan minimal setiap kavling/unit

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


110

perumahan 120 meter persegi maka langkah berikut, dan yang paling penting
adalah meniadakan persyaratan/ketentuan luas lahan minimal setiap kavling/unit
perumahan 120 meter persegi yang paling tepat untuk di pertimbangkan menjadi
alternatif kebijakan terbaik. Alternatif kebijakan do nothing with improvement
mendapatkan prioritas tertinggi untuk hirarki manfaat, begitu juga untuk hirarki
dari sisi biaya do nothing with improvement mendapatkan prioritas tertinggi di sisi
biaya. Artinya memang implementasi dari kebijakan tersebut dapat memberikan
manfaat terbesar namun sekaligus juga menyebabkan biaya yang besar apabila
kebijakan tersebut tetap dilaksanakan. Agar tidak menimbulkan kebingungan
maka dilakukan rasio antara biaya dan manfaat. Dari hasil rasio maka alternatif
kebijakan yang dipilih adalah meniadakan/menghapus persyaratan luas lahan
setiap kavling/unit perumahan 120 meter persegi sebagai alternatif terbaik dalam
mengantisipasi dampak biaya dan manfaat di masa yang akan datang. Hal ini
dikarenakan walapun dampak manfaat alternatif 2 yaitu meniadakan/menghapus
kebijakan persyaratan luas lahan tersebut bukan menjadi prioritas tertinggi namun
dampak biaya yang ditimbulkan dari pilihan alternatif 2 ini juga lebih kecil dari
dampak biaya yang ditimbulkan alternatif 1. Artinya dampak manfaat dari
alternatif 1 sekaligus juga menyebabkan dampak biaya terbesar, sedangkan
alternatif 2 walaupun dampak manfaat tidak sebesar alternatif 1 namun dampak
biayanya juga kecil sehingga karena rasio manfaat masih lebih besar dari biaya
menyebabkan alternatif 1 menjadi alternatif kebijakan terbaik sebagai solusi
dalam mengatasi permasalahan.
Berikut rekapitulasi hasil pengolahan biaya dan manfaat persepsi
responden dengan hasil seperti pada Tabel 5.5 dan 5.6 berikut;
Tabel 5.5 Rekapitulasi Hasil Pengolahan Biaya dan Persepsi Responden
terhadap Kebijakan Syarat Luas Setiap Kavling Perumahan 120 m2
No Komponen Alternatif Kebijakan Bobot Prioritas
Peruntukan
1 Do nothing with improvement 0,617 1
2 Meniadakan ketentuan 0,383 2
Komponen Aspek
1 Ekonomi 0,601 1
2 Sosial 0,230 2
3 Lingkungan 0,169 3

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


111

(Sambungan Tabel 5.5)


No Komponen Alternatif Kebijakan Bobot Prioritas
Peruntukan
Komponen Kriteria
1 Ekonomi
Pendapatan Investor Menengah ke 0,296 2
Bawah
Biaya produksi 0,206 3
PAD melalui PBB dan BPHTB 0,422 1
Biaya pengawasan dan pengendalian 0,076 4
2 Sosial
Kesenjangan sosial 0,480 1
Backlog perumahan 0,348 2
Ketidakpatuhan terhadap perda 0,173 3
3 Lingkungan
Lahan untuk perumahan 0,562 1
Kesemerawutan Kota 0,438 2
Sumber: Pengolahan Data Primer dengan Software Expert Choice 2000

Tabel 5.6 Rekapitulasi Hasil Pengolahan Manfaat dan Persepsi Responden


terhadap Kebijakan Syarat Luas Setiap Kavling Perumahan 120 m2
No Komponen Alternatif Kebijakan Bobot Prioritas
Peruntukan
1 Do Nothing With Improvement 0,522 1
2 Meniadakan Ketentuan 0,478 2
Komponen Aspek
1 Ekonomi 0,269 3
2 Sosial 0,343 2
3 Lingkungan 0,388 1
Komponen Kriteria
1 Ekonomi
Pendapatan Investor Besar 0,686 1
PAD melalui PBB dan BPHTB 0,314 2
2 Sosial
Laju Migrasi dan Kepadatan 0,503 1
Penduduk
Kelancaran Lalu Lintas 0,497 2
3 Lingkungan
Ruang Terbuka Hijau 0,401 1
Daya Dukung Perkotaan 0,221 3
Tata Kota 0,378 2
Sumber: Pengolahan Data Primer dengan Software Expert Choice 2000

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


112

Tabel 5.7 Hasil Analisis Metode AHP dengan Model CBA dalam penentuan
alternatif kebijakan syarat setiap luas kavling perumahan 120 m2
Analitical Hierarchy Process B/C
No Prioritas Kebijakan
Benefit Cost Ratio
1 Do nothing with improvement 0.522 0.617 0.846
2 Meniadakan ketentuan 0.478 0.383 1.248
Sumber: Pengolahan Data Primer Program Expert Choice 2000

Jika kita melihat pada tabel tersebut maka dapat disimpulkan dari hasil
analisis AHP untuk manfaat dan biaya kebijakan prioritas kebijakan persyaratan
setiap luas kavling/unit perumahan 120 m2 alternatif yang lebih baik adalah
dengan meniadakan/menghapus persyaratan setiap luas kavling/unit perumahan
120 m2 dengan nilai B/C terbesar adalah 1.248, yaitu dengan hasil ini
menghasilkan skenario optimal karena B/C > 1. Sedangkan alternatif do nothing
with improvement memberikan nilai manfaat yang lebih kecil dengan
perbandingan B/C sebesar 0,846, dan karena B/C < 1 maka alternatif kebijakan do
nothing with improvement tidak menjadi prioritas.

Gambar Hirarki AHP untuk Analisis Biaya Manfaat


Berikut digambarkan hasil bobot pada hirarki AHP untuk analisis biaya
manfaat yang diberikan kepada responden berupa kuisioner dengan kerangka
seperti gambar hirarki berikut ini.

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


113

Gambar 5.3 Bobot AHP pada Hirarki Sisi Manfaat


Sumber : Pengolahan data menggunakan microsoft excel 2013 dan
expert choice 2000

Gambar 5.4 Bobot AHP pada Hirarki Sisi Biaya


Sumber : Pengolahan data menggunakan microsoft excel 2013 dan
expert choice 2000

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


114

5.5. Konsultasi Publik


Untuk melengkapi bahan kajian dalam menetapkan alternatif kebijakan
yang sebaiknya diterapkan terkait persyaratan luas minimal kavling/unit
perumahan di Kota Depok, peneliti melakukan wawancara dengan beberapa
pihak, yaitu Dinas Tata Ruang dan Permukiman Kota Depok (Ibu Drs. Kania
Parwanti, M.Si selaku Kepala Dinas Tarkim, Ibu Nani Zara, ST selaku Kepala
Bidang Pemanfaatan Ruang dinas Tarkim, dan Ibu Putri Mirnasari selaku Kasi
Pemetaan dinas Tarkim), Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan
Terpadu (BPMP2T) Kota Depok (Bapak Iskandar Zulkarnaen, S.Kom selaku
Kasubbag Pelayanan Informasi dan Pengaduan Masyarakat BPMP2T), Ketua
DPRD Kota Depok (Bapak Hendrik Tangke Allo, S.Sos), Ketua Forum
Pengembang Kota Depok (FPKD) (Bapak Ahmad Safari), Ketua Komunitas
Tangan di Atas (TDA) Properti Kota Depok (Bapak Ahmad Yani Hasyim, A.Md),
Sekretaris Eksekutif APERSI DPD DKI Jakarta (Bapak Hari Susandi, SE),
Pengembang perumahan di Kota Depok, dan masyarakat Kota Depok.
Namun karena keterbatasan waktu dan tenaga, penulis tidak dapat
melakukan konsultasi publik dalam setiap tahapan dari metode RIA tersebut.
Untuk konsultasi publik dengan para pengembang perumahan dan masyarakat
hanya dilakukan pada satu waktu saja. Dari wawancara dengan para stakeholder
tersebut, untuk pihak dari pemerintahan dalam hal ini Dinas Tarkim dan BPMP2T
lebih memilih alternatif kebijakan 1 yaitu do nothing with improvement, dengan
alasan bahwa untuk merevisi Peraturan Daerah memerlukan waktu dan biaya
tambahan. Dan tujuan awal Perda Nomor 13 Tahun 2013 ini terutama ketentuan
syarat setiap luas kavling perumahan 120 meter persegi itu antara lain :
1. Menahan laju migrasi dan menahan kepadatan penduduk di Kota Depok;
2. Mengendalikan kemacetan yang semakin parah di Kota Depok; dan
3. Mempertahankan dan menambah Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Depok
Sementara hasil wawancara dengan Ketua DPRD, APERSI, Komunitas
TDA Properti Kota Depok, FPKD, pengembang, dan masyarakat lebih menyetujui
alternatif kebijakan 2 yaitu merevisi ketentuan dengan meniadakan (menghapus)
ketentuan syarat setiap luas kavling perumahan 120 meter persegi. Alasannya
karena kebijakan ini berdampak pada meningkatnya harga perumahan di wilayah

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


115

Kota Depok dan implikasinya masyarakat menengah ke bawah atau masyarakat


berpenghasilan rendah (MBR) tidak dapat memiliki rumah.

5.6. Strategi Implementasi


Strategi implementasi diperlukan untuk mengimplementasikan tindakan
alternatif yang dipilih yaitu meniadakan/menghapus/mencabut ketentuan yang
mengatur tentang Persyaratan luas lahan setiap kavling/unit perumahan 120 meter
persegi yang tertuang dalam Pasal 97 huruf (b) Peraturan Daerah Kota Depok
Nomor 13 Tahun 2013 dan Raperda tentang RTRW Kota Depok tahun 2012-
2032.
Hasil wawancara dengan Ketua DPRD Kota Depok (Bapak Hendrik
Tangke Allo) menyatakan bahwa untuk merevisi ketentuan pasal 97 huruf (b)
tersebut harus melalui tahapan adanya aduan dari masyarakat yang terkena
dampak dari pemberlakuan kebijakan dimaksud.
Setelah adanya laporan dari masyarakat, selanjutnya sebagai dasar indikasi
gejolak dalam masyarakat maka DPRD Kota Depok akan membentuk pansus
dalam mengkaji permasalahan tersebut serta mengusulkan pembahasan revisi
Perda Kota Depok nomor 13 tahun 2013 terutama pasal 97 huruf (b), revisi ini
diperlukan untuk menyempurnakan subtansi Perda sebelumnya serta memberi
kepastian hukum dalam penyelenggaraan perumahan bagi masyarakat Kota
Depok dan penyelenggaraan IMB agar sesuai dengan tata ruang dan bangunan.
Tujuan Perda Kota Depok Nomor 13 tahun 2013 dan Raperda RTRW
Kota Depok tahun 2012-2032 yaitu untuk pengawasan, dan pengendalian
penggunaan lahan di Kota Depok. Diharapkan dengan kebijakan tersebut dapat
melaksanakan pengendalian pembangunan perumahan dan permukiman yang
berwawasan lingkungan, dengan RTH sebagai indikator utama pembangunan
berkelanjutan berwawasan lingkungan.
Sesuai dengan pembahasan diatas bahwa kebijakan persyaratan luas
minimal lahan setiap kavling/unit perumahan 120 meter persegi bukan menjadi
pilihan terbaik, bahkan hasil analisis diatas menunjukkan ketentuan tersebut untuk
dihapus/dicabut. Namun langkah-langkah lain dapat dilaksanakan oleh
Pemerintah Kota Depok untuk meningkatkan besaran RTH, antara lain dengan :

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


116

1. Meningkatkan besaran RTH melalui pengaturan dalam Perda Kota Depok


tentang Penyediaan dan Penyerahan PSU dimana awalnya setiap pengembang
kawasan perumahan, perdagangan dan industri wajib menyediakan Ruang
Terbuka Hijau (RTH) minimal sebesar 15 persen dapat ditingkatkan menjadi
20 persen dari 40 persen ketentuan pemanfaatan ruang untuk PSU.
2. Pemerintah Kota Depok dapat meningkatkan anggaran dalam APBD untuk
pembelian tanah/lahan yang akan digunakan sebagai kebijakan penambahan
taman kota.
3. Model pembangunan perumahan secara vertikal akan membantu dalam
memenuhi kebutuhan rumah dan sekaligus menjaga kualitas lingkungan
hidup. Namun perumahan vertikal yang dimaksud bukan apartemen dengan
harga yang tinggi, namun rumah susun sewa bersubsidi yang dapat terjangkau
oleh masyarakat.
4. Tindakan yang tegas dan konkrit dari aparat terkait sangat diperlukan dalam
menjalankan aturan dan regulasi yang sudah dibuat. Selain itu, pengembang
harus juga mengubah orientasi berfikir. Bukan hanya terfokus kepada
keuntungan materi semata, melainkan juga dampak kepentingan publik juga
harus difikirkan.

5.7. Penulisan Regulatory Impact Assesment Statement (RIAS)


Laporan RIA atau RIA Statement adalah uraian mengenai penelaahan
dampak peraturan perundang-undangan dari usulan peraturan perundang-
undangan yang tengah diajukan. RIAS memberikan informasi yang lebih baik
kepada Pemerintah (Pengambil Keputusan) maupun masyarakat. Dengan RIAS,
Pemerintah dapat melakukan koordinasi dalam pengambilan keputusan.
Untuk permasalahan diatas, berikut adalah Hasil Kajian RIA yang
disajikan dalam Laporan RIA (RIAS).

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


117

Tabel 5.8 Regulatory Impact Assesment Statement (RIAS)

Kajian terhadap Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 13 Tahun 2013 tentang
Bangunan dan Izin Mendirikan Bangunan

I. Latar Belakang

Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28H
ayat (1) menyebutkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Perumahan dan pemukiman merupakan aspek penting dalam analisis ekonomi
wilayah dan perkotaan (Sjafrizal, 2012). Alasannya, karena perumahan dan
pemukiman merupakan salah satu kegiatan utama dalam kegiatan ekonomi wilayah
perkotaan. Sesuai amanat Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2011 tentang
Perumahan dan Kawasan Permukiman yang menegaskan bahwa rumah adalah salah
satu kebutuhan dasar manusia dalam rangka peningkatan dan pemerataan
kesejahteraan rakyat.

Kota Depok merupakan salah satu daerah kawasan strategis nasional di Indonesia
yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2008 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). Kota Depok merupakan kota
yang terletak di provinsi Jawa Barat dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) (2014), jumlah penduduk Kota Depok
pada tahun 2013 adalah sebesar 1,96 juta jiwa. Hal ini menjadi salah satu faktor
peningkatan permintaan terhadap perumahan dan pemukiman di Kota Depok.

Pertumbuhan sektor bangunan/kontruksi menyebabkan lahan yang tersedia untuk


membangun menjadi semakin terbatas, sehingga Ruang Terbuka Hijau (RTH) di
Kota Depok semakin menipis. Mengingat lahan yang tersedia di daerah perkotaan
umumnya sangat terbatas dan mekanisme pasar nyatanya tidak selalu bekerja dengan
baik, maka pengaturan penggunaan lahan oleh pemerintah tetap perlu dilakukan
untuk menjaga efisiensi penggunaan lahan dan sekaligus untuk menjaga kualitas
lingkungan hidup wilayah perkotaan (Sjafrizal, 2012).

Melalui Peraturan Daerah (Perda) Kota Depok Nomor 13 Tahun 2013 tentang
Bangunan dan Izin Mendirikan Bangunan, Pemerintah Kota Depok berusaha
menyelesaikan persoalan dalam penggunaan lahan dengan motif meningkatkan
luasan RTH dan penyelamatan lingkungan. Aturan tersebut bertujuan untuk
menyelamatkan RTH serta menyelamatkan Kota Depok dari serbuan warga
pendatang atau urbanisasi (okezone.com, 2013).

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


118

(Sambungan Tabel 5.8)

Namun dalam implementasinya kebijakan tersebut menuai kontra dari masyarakat


dan pengembang. Pengembang mempermasalahkan pengaturan operasional
pengembang untuk hanya membangun, menjual dan memasarkan perumahan dengan
luas tanah minimal 120 meter persegi (kompas.com, 2013). Hal ini berdampak pada
potensi penurunan penjualan rumah sebesar 20-30 persen. Dari sisi konsumen,
khususnya masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), akan mengalami kesulitan
dalam memiliki perumahan dan pemukiman karena harganya yang semakin tinggi.
Dengan kata lain, MBR tidak akan menjangkau harga rumah yang sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan dalam Perda tersebut. Kebijakan ini hanya menutup
kesempatan masyarakat menengah ke bawah untuk memiliki rumah. Hal ini
disebabkan harga yang mahal, dimana harga rumah tipe 36 luas tanah 90 meter
persegi mencapai harga paling murah Rp 500 juta (republika.co.id, 2014).

II. Perumusan Masalah

Berdasarkan hasil penelitian atas fakta-fakta dilapangan, permasalahan pokok yang


terjadi yaitu Masyarakat Kota Depok berpenghasilan menengah ke bawah atau
kelompok MBR sulit memiliki rumah. Beberapa permasalahan khusus adalah
sebagai berikut:
1. Kenaikan harga rumah sederhana lebih tinggi dari kenaikan pendapatan;
2. Daya beli MBR yang stagnan namun harga rumah meningkat sehingga tidak
terjangkau kelompok MBR;
3. Menciptakan efek domino yang menghambat terbitnya ijin mendirikan bangunan
(IMB), dan segala fasilitas subsidi atau pembiayaan perumahan;
4. Memicu pertambahan backlog atau defisit perumahan;
5. Memicu meluasnya kawasan permukiman kumuh; dan
6. Melanggar pemenuhan HAM atas rumah.

III. Perumusan Tujuan


Secara umum tujuan yang ingin dicapai adalah Masyarakat Kota Depok
berpenghasilan menengah ke bawah atau kelompok MBR mudah memiliki
rumah. Sedangkan tujuan khususnya adalah :
1. Kenaikan harga rumah sederhana dapat ditahan;
2. Kelompok MBR dapat menjangkau harga perumahan;
3. Menciptakan efek yang memperlancar terbitnya ijin mendirikan bangunan (IMB),

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


119

(Sambungan Tabel 5.8)


dan segala fasilitas subsidi atau pembiayaan perumahan;
4. Mengurangi backlog atau defisit perumahan;
5. Mengurangi kawasan permukiman kumuh; dan
6. Tidak melanggar pemenuhan HAM atas rumah.

IV. Alternatif Kebijakan


1. Do nothing (tidak melakukan apapun);
Untuk permasalahan tersebut diatas, Pemerintah Kota Depok tidak melakukan
tindakan apapun untuk mengatasi permasalahan tersebut dan kondisi berjalan
tetap seperti biasanya.
2. Do nothing with improvement;
alternatif kebijakan dimana implementasi aturan terutama ketentuan pasal 97
huruf (b) tetap dilaksanakan dengan beberapa tambahan penyesuaian yang
bersifat tambahan bagi ketentuan dimaksud, hasil wawancara dengan APERSI
dan beberapa pengembang perumahan di Kota Depok penyesuaian yang
diinginkan antara lain penambahan sistem zonasi, dimana ketentuan luas setiap
kavling perumahan 120 meter persegi tersebut diberlakukan untuk zonasi dengan
intensitas tinggi, sedangkan untuk zonasi yang bersifat intensitas sedang dan
rendah di perbolehkan untuk membangun perumahan dengan luas minimal
kavling dibawah 120 meter persegi.
3. Meniadakan/menghapus/mencabut ketentuan Pasal 97 huruf (b) Perda Kota
Depok nomor 13 tahun 2013 tentang Bangunan dan Izin Mendirikan Bangunan.
Dengan melaksanakan alternatif kebijakan ini maka diharapkan masyarakat
berpenghasilan menengah kebawah atau masyarakat berpenghasilan rendah
(MBR) dapat memiliki rumah karena pembangunan perumahan dengan luas
setiap kavling/unit perumahan dibawah 120 meter persegi maka harga jual rumah
masih bisa terjangkau oleh masyarakat.
Namun dalam penelitian ini alternatif yang digunakan adalah alternatif 2 dan
alternatif 3, hal ini dikarenakan antara alternatif 1 dan 2 sebenarnya hampir sama
yaitu do nothing namun dalam survey dilapangan alternatif 2 lebih mungkin untuk
dilaksanakan karena dengan menambah beberapa penjelasan atau ketentuan sebagai
solusi sesuai wawancara dan konsultasi dengan stakeholder yaitu dengan
menambahkan ketentuan zonasi dalam pemberlakuan Pasal 97 huruf (b) tersebut.

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


120

(Sambungan Tabel 5.8)


V. Analisis Manfaat dan Biaya
Analisa manfaat dan biaya adalah perhitungan keuntungan dan kerugian yang akan
diterima dari masing-masing alternatif tindakan, yaitu dengan kondisi sekarang
(sebelum perubahan) dengan rencana perubahan. Namun dalam penelitian ini, karena
keterbatasan tenaga dan waktu serta sulitnya mendapatkan data-data sebagai baseline
baik secara akuntansi maupun secara ekonomi maka peneliti menggunakan metode
Analisa AHP untuk Biaya dan Manfaat sebagai metode untuk analisa Biaya dan
Manfaat dalam tahapan dari metode RIA.
Berdasarkan hasil pengolahan data kuesioner yang telah diisi oleh para responden,
maka dapat disajikan rekapitulasi hasil pengolahan biaya dan manfaat persepsi
responden dengan hasil seperti pada Tabel berikut;

Tabel Rekapitulasi Hasil Pengolahan Biaya dan Persepsi Responden


terhadap Kebijakan Syarat Luas Setiap Kavling Perumahan 120 m2
No Komponen Alternatif Kebijakan Bobot Prioritas
Peruntukan
1 Do nothing with improvement 0,617 1
2 Meniadakan ketentuan 0,383 2
Komponen Aspek
1 Ekonomi 0,601 1
2 Sosial 0,230 2
3 Lingkungan 0,169 3
Komponen Kriteria
1 Ekonomi
Pendapatan Investor Menengah ke Bawah 0,296 2
Biaya produksi 0,206 3
PAD melalui PBB dan BPHTB 0,422 1
Biaya pengawasan dan pengendalian 0,076 4
2 Sosial
Kesenjangan sosial 0,480 1
Backlog perumahan 0,348 2
Ketidakpatuhan terhadap perda 0,173 3
3 Lingkungan
Lahan untuk perumahan 0,562 1
Kesemerawutan Kota 0,438 2
Sumber: Pengolahan Data Primer dengan Software Expert Choice 2000

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa alternatif kebijakan Do nothing with
improvement (alternatif 1) memberikan dampak biaya terbesar daripada alternatif
kebijakan meniadakan/menghapus/mencabut ketentuan persyaratan luas minimal
setiap kavling/unit perumahan 120 meter persegi (alternatif 2) dengan bobot alternatif

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


121

(Sambungan Tabel 5.8)


1 sebesar 0.617 dibanding dengan nilai alternatif 2 sebesar 0.383. Kategori yang
menjadi prioritas dampak biaya alternatif 1 adalah aspek/kategori ekonomi dengan
bobot 0.601 diikuti oleh kategori sosial kemudian lingkungan masing-masing dengan
bobot 0.230 dan 0.169. hal ini menjelaskan bahwa dampak biaya terbesar dari
implementasi kebijakan persyaratan luas minimal setiap kavling/unit perumahan 120
meter persegi adalah kategori ekonomi. pada kategori ekonomi kriteria yang dipilih
sebagai dampak terbesar dari implementasi kebijakan adalah kriteria PAD melalui
PBB dan BPHTB dengan bobot 0.422 diikuti kriteria lainnya yaitu pendapatan
investor menengah kebawah, biaya produksi dan terakhir biaya pengawasan dan
pengendalian tata kota dengan masing-masing bobot sebesar 0.296, 0.206, dan 0.076.
Dalam kategori sosial, kriteria kesenjangan sosial dianggap mempunyai dampak
terbesar dari kategori sosial diikuti backlog perumahan dan ketidakpatuhan terhadap
perda. Bobot dari kriteria kesenjangan sosial adalah 0.480, sedangkan kriteria
backlog perumahan dan ketidakpatuhan terhadap perda mendapat bobot masing-
masing 0.348 dan 0.173. Artinya kriteria kesenjangan sosial merupakan dampak
biaya terbesar yang akan timbul dari kategori sosial apabila kebijakan luas kavling
dilaksanakan. Dalam kategori lingkungan menimbulkan dampak biaya paling kecil
menurut hasil kuesioner dibandingkan kategori ekonomi dan sosial. Kriteria lahan
untuk perumahan menjadi dampak biaya terbesar dalam kategori lingkungan
selanjutnya kriteria kesemrawutan tata kota dengan bobot masing-masing 0.562 dan
0.438.
Tabel Rekapitulasi Hasil Pengolahan Manfaat dan Persepsi Responden
terhadap Kebijakan Syarat Luas Setiap Kavling Perumahan 120 m2
No Komponen Alternatif Kebijakan Bobot Prioritas
Peruntukan
1 Do Nothing With Improvement 0,522 1
2 Meniadakan Ketentuan 0,478 2
Komponen Aspek
1 Ekonomi 0,269 3
2 Sosial 0,343 2
3 Lingkungan 0,388 1
Komponen Kriteria
1 Ekonomi
Pendapatan Investor Besar 0,686 1
PAD melalui PBB dan BPHTB 0,314 2
2 Sosial
Laju Migrasi dan Kepadatan Penduduk 0,503 1
Kelancaran Lalu Lintas 0,497 2

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


122

(Sambungan Tabel 5.8)


No Komponen Alternatif Kebijakan Bobot Prioritas
Peruntukan

3 Lingkungan
Ruang Terbuka Hijau 0,401 1
Daya Dukung Perkotaan 0,221 3
Tata Kota 0,378 2
Sumber: Pengolahan Data Primer dengan Software Expert Choice 2000

Dari tabel diatas terlihat yang memberikan dampak manfaat terbesar kebijakan
persyaratan luas minimal setiap kavling/unit perumahan 120 meter persegi adalah
alternatif 1 (Do nothing with improvement) dengan bobot 0.522 dibandingkan dengan
alternatif 2 (meniadakan/menghapus/mencabut ketentuan persyaratan luas minimal
setiap kavling/unit perumahan 120 meter persegi) dengan bobot 0.478. Kategori
lingkungan merupakan kategori yang mendapatkan dampak manfaat terbesar dengan
bobot 0.388 selanjutnya diikuti dengan kategori sosial kemudian kategori ekonomi.
hal ini menjelaskan bahwa implementasi dari kebijakan ini bertujuan untuk
pengendalian lingkungan terutama RTH di Kota Depok. Hal ini sesuai dengan hasil
isian hirarki kategori lingkungan untuk kriteria RTH yang mendapatkan bobot 0.401,
yang merupakan prioritas pertama dibandingkan dengan kriteria tata kota dan kriteria
daya dukung perkotaan dengan bobot masing-masing 0.378 dan 0.221. Pada aspek
sosial kriteria yang mendapatkan penilaian dampak manfaat terbesar adalah laju
migrasi dan kepadatan penduduk dengan bobot 0.503 selanjutnya diikuti kelancaran
lalu lintas dengan bobot 0.497. Artinya manfaat implementasi kategori sosial dari
kebijakan kavling 120 meter persegi ini diharapkan dapat menahan laju migrasi dan
kepadatan penduduk di Kota Depok. Pada kategori ekonomi kriteria pendapatan
investor besar dimana mendapatkan bobot 0.686 diikuti dengan kriteria PAD melalui
PBB dan BPHTB dengan bobot 0.314. Hal ini menunjukkan bahwa untuk kategori
ekonomi peningkatan pendapatan investor besar dianggap yang mendapatkan dampak
manfaat terbesar dibandingkan dengan peningkatan PAD.

Setelah menganalisa dampak-dampak biaya dan manfaat yang ditimbulkan oleh


adanya kebijakan persyaratan luas minimal setiap kavling/unit perumahan 120 meter
persegi maka langkah berikut menjadi sangat penting yaitu penentuan alternatif
kebijakan mana yang paling tepat. Alternatif 1 (Do nothing with improvement)
mendapatkan prioritas tertinggi baik dari dampak biaya maupun dari dampak manfaat
apabila dibandingkan dengan alternatif 2 (meniadakan/menghapus/mencabut
ketentuan persyaratan luas minimal setiap kavling/unit perumahan 120 meter

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


123

(Sambungan Tabel 5.8)


persegi). Namun untuk menilai kelayakan dan tidak menimbulkan kebingungan maka
perlu dilakukan rasio antara sisi biaya dan manfaat. Hasil dari rasio antara sisi biaya
dan manfaat seperti pada Tabel dibawah ini.

Tabel Hasil Analisis Metode AHP dengan Model CBA dalam penentuan
alternatif kebijakan syarat setiap luas kavling perumahan 120 m2
Analitical Hierarchy Process B/C
No Prioritas Kebijakan
Benefit Cost Ratio
1 Do nothing with improvement 0.522 0.617 0.846
2 Meniadakan ketentuan 0.478 0.383 1.248
Sumber: Pengolahan Data Primer Program Expert Choice 2000

Jika kita melihat pada tabel tersebut didapatkan hasil analisis AHP untuk manfaat dan
biaya didapatkan bahwa prioritas alternatif kebijakan
meniadakan/menghapus/menhapus ketentuan persyaratan luas minimal setiap
kavling/unit perumahan 120 meter persegi dengan nilai B/C terbesar adalah 1.248,
dengan hasil ini menghasilkan skenario optimal karena B/C > 1. Sedangkan alternatif
kebijakan Do nothing with improvement walaupun memberikan dampak manfaat
lebih besar dari alternatif 2 namun dampak biaya juga lebih besar dengan
perbandingan B/C sebesar 0.846, dan karena B/C < 1 maka alternatif kebijakan Do
nothing with improvement tidak menjadi prioritas. Artinya walaupun alternatif 1
mempunyai manfaat yang lebih besar namun biaya yang ditimbulkan juga lebih besar
dari manfaatnya. Sedangkan alternatif 2 dengan manfaat yang lebih kecil dari
alternatif 1 namun biaya yang ditimbulkan juga jauh lebih kecil, sehingga manfaatnya
dianggap lebih besar dari biaya. Kesimpulannya alternatif kebijakan yang lebih baik
untuk dilaksanakan adalah dengan alternatif 2 yaitu dengan
meniadakan/menghapus/mencabut ketentuan Pasal 97 huruf (b) Perda Kota Depok
nomor 13 Tahun 2013 mengenai persyaratan luas minimal lahan setiap kavling/unit
perumahan 120 meter persegi.

VI. Konsultasi Publik

Untuk melengkapi bahan kajian dalam menetapkan alternatif kebijakan yang


sebaiknya diterapkan terkait persyaratan luas minimal kavling/unit perumahan di
Kota Depok, peneliti melakukan wawancara dengan beberapa pihak, yaitu Dinas Tata
Ruang dan Permukiman Kota Depok (Ibu Drs. Kania Parwanti, M.Si selaku Kepala
Dinas Tarkim, Ibu Nani Zara, ST selaku Kepala Bidang Pemanfaatan Ruang dinas
Tarkim, dan Ibu Putri Mirnasari selaku Kasi Pemetaan dinas Tarkim), Badan
Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPMP2T) Kota Depok (Bapak

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


124

(Sambungan Tabel 5.8)


Iskandar Zulkarnaen, S.Kom selaku Kasubbag Pelayanan Informasi dan Pengaduan
Masyarakat BPMP2T), Ketua DPRD Kota Depok (Bapak Hendrik Tangke Allo,
S.Sos), Ketua Forum Pengembang Kota Depok (FPKD) (Bapak Ahmad Safari),
Ketua Komunitas Tangan di Atas (TDA) Properti Kota Depok (Bapak Ahmad Yani
Hasyim, A.Md), Sekretaris Eksekutif APERSI DPD DKI Jakarta (Bapak Hari
Susandi, SE), Pengembang perumahan di Kota Depok, dan masyarakat Kota Depok.

Namun karena keterbatasan waktu dan tenaga, penulis tidak dapat melakukan
konsultasi publik dalam setiap tahapan dari metode RIA tersebut. Untuk konsultasi
publik dengan para pengembang perumahan dan masyarakat hanya dilakukan pada
satu waktu saja.

VII. Strategi Implementasi

Strategi implementasi diperlukan untuk mengimplementasikan tindakan alternatif


yang dipilih berupa merevisi ketentuan yang tertuang dalam dalam Pasal 97 huruf
(b) Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 13 Tahun 2013 serta draft Rancangan
Peraturan Daerah tentang RTRW Kota Depok 2012-2032 yang mengatur tentang
Persyaratan luas lahan setiap kavling/ unit perumahan 120 meter persegi. Hasil
wawancara dengan Ketua DPRD Kota Depok (Bapak Hendrik Tangke Allo)
menyatakan bahwa untuk merevisi ketentuan pasal 97 huruf (b) tersebut harus
melalui tahapan adanya aduan dari masyarakat yang terkena dampak dari
pemberlakuan kebijakan dimaksud, sebagai dasar untuk menindaklanjuti dengan
membentuk pansus dan mengusulkan pembahasan revisi.

Sesuai dengan pembahasan diatas bahwa kebijakan persyaratan luas minimal lahan
setiap kavling/unit perumahan 120 meter persegi bukan menjadi pilihan terbaik,
bahkan hasil analisis diatas menunjukkan ketentuan tersebut untuk dihapus/dicabut.
Namun langkah-langkah lain dapat dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Depok untuk
meningkatkan besaran RTH, antara lain dengan :
1. Meningkatkan besaran RTH dalam Perda Kota Depok tentang Penyediaan dan
Penyerahan PSU dimana awalnya setiap pengembang kawasan perumahan,
perdagangan dan industri wajib menyediakan Ruang Terbuka Hijau (RTH)
minimal sebesar 15 persen dapat ditingkatkan menjadi 20 persen dari 40 persen
ketentuan pemanfaatan ruang untuk PSU.
2. Pemerintah Kota Depok dapat meningkatkan anggaran dalam APBD untuk
pembelian tanah/lahan yang akan digunakan sebagai kebijakan penambahan

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


125

(Sambungan Tabel 5.8)


taman kota.
3. Model pembangunan perumahan secara vertikal akan membantu dalam
memenuhi kebutuhan rumah dan sekaligus menjaga kualitas lingkungan hidup.
Namun perumahan vertikal yang dimaksud bukan apartemen dengan harga yang
tinggi, namun rumah susun sewa bersubsidi yang dapat terjangkau oleh
masyarakat.
4. Tindakan yang tegas dan konkrit dari aparat terkait sangat diperlukan dalam
menjalankan aturan dan regulasi yang sudah dibuat. Selain itu, pengembang
harus juga mengubah orientasi berfikir. Bukan hanya terfokus kepada
keuntungan materi semata, melainkan juga dampak kepentingan publik juga
harus difikirkan.

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


BAB 6
PENUTUP

6.1 Simpulan
Pertumbuhan populasi penduduk kota menunjukkan kecenderungan
meningkatkan kebutuhan rumah bagi masyarakat, dilain pihak dengan
meningkatnya kawasan terbangun melalui pembangunan perumahan akan
mengurangi RTH. Perda Kota Depok Nomor 13 tahun 2013 tentang Bangunan
dan Izin Mendirikan Bangunan Pasal 97 huruf (b) merupakan salah satu kebijakan
pemerintah daerah dalam mengatasi permasalahan potensi berkurangnya RTH.
Namun dalam implementasinya ketentuan Pasal 97 huruf (b) tersebut
menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat sehingga perlu adanya
pertimbangan bagi Pemerintah Kota Depok untuk memberikan alternatif
kebijakan terbaik berkaitan dengan kebijakan perumahan di Kota Depok.
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan seperti dibawah ini :
1. Permasalahan yang ada terkait dengan penerapan regulasi/kebijakan tentang
persyaratan luas minimum kavling/unit perumahan di Kota Depok adalah
Masyarakat Kota Depok berpenghasilan menengah kebawah atau kelompok
MBR sulit memiliki rumah dengan permasalahan khusus antara lain:
a. Kenaikan harga rumah sederhana lebih tinggi dari kenaikan pendapatan;
b. Daya beli MBR yang stagnan namun harga rumah meningkat sehingga
tidak terjangkau kelompok MBR;
c. Menciptakan efek domino yang menghambat terbitnya ijin mendirikan
bangunan (IMB), dan segala fasilitas subsidi atau pembiayaan perumahan;
d. Memicu pertambahan backlog atau defisit perumahan;
e. Memicu meluasnya kawasan permukiman kumuh; dan
f. Melanggar pemenuhan HAM atas rumah.
2. Dari tahapan RIA dan hasil wawancara dengan para responden maka pihak-
pihak yang menerima manfaat dan menanggung biaya terkait dengan
penerapan regulasi tentang persyaratan luas minimal kavling/unit perumahan
di Kota Depok antara lain adalah pemerintah dalam hal ini Pemerintah Kota
Depok, pengembang perumahan di Kota Depok, masyarakat Kota Depok.

126 Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


127

3. Jenis-jenis manfaat yang timbul dari dampak penerapan regulasi tentang


persyaratan luas minimal kavling/unit perumahan di Kota Depok dibagi
menjadi tiga aspek/kategori yaitu untuk kategori ekonomi manfaatnya antara
lain meningkatnya Pendapatan investor besar, meningkatnya potensi
penerimaan asli daerah (PAD) melalui PBB dan BPHTB. Kategori sosial
manfaat yang diterima antara lain menahan laju migrasi dan kepadatan
penduduk, serta kelancaran lalu lintas. Pada kategori lingkungan jenis
manfaatnya antara lain meningkatkan RTH terutama melalui RTH privat, daya
dukung perkotaan, dan keteraturan tata kota. Jenis-jenis biaya yang timbul
dampak dari implementasi kebijakan tersebut juga dibagi menjadi 3 kategori
ekonomi, sosial dan lingkungan. Kategori ekonomi dampak implementasi
regulasi tersebut antara lain adalah turunnya pendapatan investor menengah
kebawah, meningkatnya biaya produksi, karena harus memproduksi rumah
dengan tipe lebih besar, penurunan potensi PAD melalui PBB dan BPHTB,
biaya pengawasan dan pengendalian tata ruang, ini merupakan biaya yang
harus dikeluarkan Pemerintah Kota Depok agar dapat selalu mengawasi
pembangunan khususnya perumahan apakah sudah sesuai dengan ketentuan
yang berlaku. Pada kategori sosial jenis biaya yang akan timbul antara lain
timbulnya kesenjangan sosial, meningkatnya backlog perumahan, munculnya
pihak-pihak yang tidak patuh terhadap perda. Sedangkan untuk kategori
lingkungan jenis biaya yang harus ditanggung antara lain meningkatnya harga
lahan untuk perumahan, dan kesemrawutan tata kota, akibat masyarakat yang
tidak dapat menjangkau perumahan komersil namun mempunyai keinginan
memiliki rumah akhirnya membangun perumahan-perumahan kumuh yang
tidak sesuai ketentuan yang berlaku.
4. Hasil perhitungan AHP untuk analisis biaya manfaat didapatkan alternatif
kebijakan yang paling tepat untuk kebijakan persyaratan luas minimal setiap
kavling/unit perumahan 120 meter persegi adalah dengan
meniadakan/menghapus/mencabut ketentuan persyaratan luas minimal setiap
kavling/unit perumahan 120 meter persegi dengan nilai B/C terbesar adalah
1.248. Dimana yang memenuhi kelayakan adalah jika B/C > 1. Sedangkan
alternatif kebijakan Do nothing with improvement hanya mendapatkan nilai

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


128

B/C < 1 yaitu 0.712 sehingga alternatif kebijakan Do nothing with


improvement tidak layak. Kesimpulannya, kebijakan pemerintah yang perlu
diterapkan berdasarkan tahapan RIA melalui hasil pengolahan AHP untuk
analisis biaya dan manfaat adalah dengan meniadakan/menghapus/mencabut
ketentuan persyaratan luas minimal setiap kavling/unit perumahan 120 meter
persegi.

6.2 Rekomendasi Kebijakan


Rekomendasi kebijakan yang diberikan kepada pembuat kebijakan untuk
ketentuan Pasal 97 huruf (b) Perda Kota Depok Nomor 13 tahun 2013 tentang
Bangunan dan Izin Mendirikan Bangunan yang mengatur tentang persyaratan
rencana tapak/siteplan luas minimal lahan setiap kavling/unit perumahan 120
meter persegi, adalah sebagai berikut :
1. Pemerintah hendaknya dalam membuat kebijakan/regulasi harus ada
keseimbangan dalam keikutsertaan para pemangku kepentingan (stakeholder)
terkait perumahan, sehingga dalam implementasinya tidak menimbulkan
masalah-masalah baru serta memiliki manfaat lebih besar dari biaya.
2. Pemerintah Kota Depok dalam menyusun kebijakan terkait perumahan
hendaknya mempertimbangkan regulasi yang sama di daerah-daerah lain yang
cenderung tidak mengatur luasan minimal untuk setiap kavling perumahan.
3. Pemerintah Kota Depok dapat meniadakan regulasi tentang persyaratan luas
minimal lahan setiap kavling/unit perumahan 120 (seratus dua puluh) meter
persegi yang diatur dalam Perda Nomor 13 Tahun 2013 tentang Bangunan dan
Izin Mendirikan Bangunan, dan Raperda Kota Depok tentang RTRW Depok
tahun 2012-2032, serta peraturan-peraturan lainnya yang mengatur perumahan
di Kota Depok; dan
4. Pengembang perumahan juga harus mengubah orientasi berfikir, bukan hanya
terfokus kepada keuntungan materi semata, melainkan juga dampak
kepentingan publik juga harus difikirkan.

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


129

6.3 Keterbatasan Penelitian

Penulis menyadari bahwa dalam penelitian ini masih terdapat banyak


kelemahan, baik secara teknis, kelengkapan dokumen maupun karena adanya
keterbatasan tenaga dan waktu. Keterbatasan penelitian ini antara lain :
a. Penelitian yang dilakukan belum sepenuhnya didukung dengan data-data
kuantitatif yang memadai sehingga sulit untuk mengukur valuasi ekonomi
kuantitatif dari implementasi regulasi tentang persyaratan luas lahan minimal
setiap kavling/unit perumahan di Kota Depok;
b. Kebijakan baru diberlakukan kurang lebih 1 (satu) tahun, sehingga belum
terasa cukup signifikan biaya dan manfaatnya;
c. Penelitian ini belum membahas keterkaitan antar variabel-variabel dalam
hirarki, sehingga kedepan perlu penelitian lebih lanjut yang meneliti
keterkaitan antar variabel dalam hirarki dengan Analytical Network Process
(ANP).

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


DAFTAR PUSTAKA

Awang Firdaos (1997). Permintaan Dan Penawaran Perumahan. Jakarta :


Valuestate,Vol. 007.
Bappeda Kota Depok (2013). Rencana Pembangunan dan Pengembangan
Perumahan dan Kawasan Permukiman (RP3KP). Depok : Bappeda Kota
Depok
Bappeda Kota Depok (2014). Evaluasi Pelaksanaan RKPD Tahun 2013 Sampai
Dengan Triwulan II 2014 dan Capaian Kinerja Penyelenggaraan
Pemerintah. Depok : Bappeda Kota Depok.
Bappenas (2008). Pedoman Penerapan Regulatory Impact Assesment (RIA).
Jakarta : Bappenas.
Bappenas (2015). Buku III Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) 2015-2019. Jakarta : Bappenas.
BPS Kota Depok (2014). Kota Depok Dalam Angka 2014. Depok : BPS.
Brodjonegoro, Bambang P S. (1992). AHP. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Pusat Antar Universitas-Studi Ekonomi. Jakarta : Universitas
Indonesia.
Christianti, Carolina Vivien (2010). Evaluasi atas Kebijakan Amdal dalam
Pembangunan Tata Ruang Kota Surakarta. Tesis Fakultas Ekonomi
Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik. Depok :
Universitas Indonesia.
Dimyati, Muh. (2010). Mengatasi Backlog Perumahan Bagi Masyarakat
Perkotaan. http://penataanruang.pu.go.id/bulletin/index.asp (diakses pada
20 Mei 2015)
Indonesia, R. (2007). Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan
Ruang. Jakarta.
---------. (2011). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2011 tentang
Perumahan dan Kawasan Permukiman. Jakarta
Jhingan, M. L. (2012). Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Jakarta :
Penerbit Raja Grafindo Persada.

130 Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


131

[Kepmen Kimpraswil] (2002). Keputusan Menteri Permukiman Prasarana


Wilayah Nomor 403/KPTS/M/2002 tentang Pedoman Teknis
Pembangunan Rumah Sederhana Sehat. Jakarta : Kementerian Kimpraswil
RI.
Kirkpatrik, Colin dan Parker, David (2003). Regulatory Impact Assesment :
Developing its Potential for use in Developing Countries. Manchester :
Working Paper Series. Paper No. 56. University Of Manchester.
Kompas.com (2013). Pengembang Kontra Walikota.
http://properti.kompas.com/index.php/read/2013/11/02/1713145/Pengemb
ang.Kontra.Wali.Kota. (diakses 4 februari 2015)
Kuncoro, Mudrajad, (1997). Ekonomi Pembangunan : Teori, Masalah dan
Kebijakan. Yogyakarta : UPP AMP YKPN.
Malfezzi, Stephen dan Mayo, Stephen. K (1997). Getting Housing Incentives
Rights: A Case Study of the Effect of Regulation, Taxes, and Subsidies on
Housing Supply in Malaysia. Wisconsin : Land Economics, Vol. 73, No. 3
pp. 372-391.
Murbaintoro, Tito. Ma’arif, Syamsul. Sutjahyo, Surjono H. dan Saleh, Iskandar
(2009). Model Pengembangan Hunian Vertikal Menuju Pembangunan
Perumahan Berkelanjutan. Jakarta : Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2.
OECD (2008). Introductory Handbook of Undertaking Regulatory Impact
Analysis (RIA). http://www.oecd.org/gov/regulatory-policy/44789472.pdf.
(diakses tanggal 05 februari 2015).
Okezone.com (2013). Luas Tanah Dibatasi, Pemda Depok Selamatkan RTH.
http://economy.okezone.com/read/2013/01/24/475/751219/luas-tanah-
dibatasi-pemda-depok-selamatkan-rth. (diakses 4 februari 2015).
Pemerintah Kota Depok (2012). Naskah Akademik: Tentang Penyediaan dan
Penyerahan Prasarana, Sarana, dan Utilitas oleh Pengembang di Kota
Depok. Depok : Pemkot Depok.
Pindyck, Robert S. dan Rubinfield, Daniel L (2007). Mikroekonomi Edisi Keenam
Jilid 1 dan 2. Jakarta : PT. Indeks.

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


132

Rahardjo, P. dan Manurung, M. (2008). Pengantar Ilmu Ekonomi (Mikroekonomi


dan Makroekonomi). Edisi ketiga. Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Jakarta :
Universitas Indonesia.
Republika.co.id (2013). Perda RTRW Bikin Bisnis Properti di Depok ‘Mati Suri’.
http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/14/09/11/nbpynz-perda-
rtrw-bikin-bisnis-properti-di-depok-mati-suri. (diakses 5 februari 2015)
Rykwert, Joseph. (1991). Social Research: An International Quarterly
Home: A Place In The World, Paris : Vol. 58, No. 1 (Spring 1991) : 51-62.
Newschool.
Saaty, Thomas. L (1991). Pengambilan Keputusan bagi Para Pemimpin. Jakarta :
PT. Pustaka Binaman Pressindo.
Schill, Michael. H (2005). Regulation and Housing Development: What We
Know. Cityscope: A Journal of Policy Development and Research, Los
Angeles : Volume 8, Number 1.
Sjafrizal (2012). Ekonomi Wilayah dan Perkotaan. Jakarta : Raja Grafindo
Persada.
The Asia Foundation (2008). Pedoman Penerapan Regulatory Impact Assesment
(RIA). Jakarta : The Asia Foundation.
Turner, J.F.C dan Fitcher R. (1972). Freedom to Build. Dweller Control of The
Housing Process. Newyork : Macmillan.
[PerPres]. (2008) Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2008 tentang Penataan
Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur.
Jakarta.
[PerMen]. (2010). Peraturan Mendagri RI No. 32 Tahun 2010 Tentang Pedoman
Pemberian Izin Mendirikan Bangunan. Jakarta
[Perda]. (2013). Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 13 Tahun 2013 tentang
Bangunan dan Izin Mendirikan Bangunan. Depok
--------. (2013). Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 14 Tahun 2013 tentang
Penyerahan Prasarana, Sarana dan Utilitas Perumahan dan Permukiman
oleh Pengembang di Kota Depok. Depok

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


133

[Perwal]. (2013). Peraturan Walikota Depok Nomor 14 Tahun 2013 tentang Tata
Cara Pengajuan Izin Pemanfaatan Ruang dan Rencana Tapak (Side Plan).
Depok
[Perwal]. (2014). Peraturan Walikota Depok Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Arahan Pemanfaatan Ruang, Pola Ruang, Penetapan dan Perhitungan
Koefisien Dasar Bangunan dan Koefisien Lantai Bangunan. Depok

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


Lampiran 1

UNIVERSITAS INDONESIA

PEDOMAN WAWANCARA

ANALISIS DAMPAK REGULASI TENTANG PERSYARATAN LUAS


MINIMAL SETIAP KAVLING/UNIT PERUMAHAN DI KOTA DEPOK

PENGANTAR
Wawancara ini digunakan sebagai bahan tesis mengenai “Analisis Dampak Regulasi
Tentang Persyaratan Luas Minimal Setiap Kavling/Unit Perumahan Di Kota
Depok”. Oleh karena itu, dengan ini kami berharap akan kesediaan dan kerja sama dari
Bapak/Ibu untuk bersedia meluangkan waktu dalam memberikan berbagai jawaban
atas pertanyaan dan data/informasi yang terkait dan dibutuhkan.

 Kebijakan yang dimaksud sebagai regulasi disini adalah Peraturan


Daerah Kota Depok Nomor 13 Tahun 2013 tentang Bangunan dan Izin
Mendirikan Bangunan
 Kebijakan yang jadi objek penelitian terutama Perda Kota Depok
Nomor 13 Tahun 2013 Pasal 97 huruf (b) yaitu “Luas minimal setiap
kavling/unit perumahan minimal 120 (seratus dua puluh) meter
persegi”.

I. Data Responden
Nama :
Umur :
Alamat :
Instansi :
Pendidikan Terakhir :

134 Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


135

Lanjutan

II. Pertanyaan

a. Bagaimana latar belakang munculnya kebijakan Perda Nomor 13 Tahun


2013 & Raperda Kota Depok tentang RTRW Depok tahun 2012-2032)?
Jelaskan
b. Bagaimana kondisi eksisting perumahan setelah kebijakan tersebut
dilaksanakan? Jelaskan
c. Bagaimana permasalahan-permasalahan terkait pelaksanaan kebijakan
persyaratan luas minimal lahan setiap kavling/unit perumahan di Kota
Depok? Jelaskan
d. Sebutkan siapa saja yang menerima manfaat dan jenis manfaat apa saja
yang berkaitan dengan implementasi dari kebijakan persyaratan luas
minimal lahan setiap kavling/unit perumahan di Kota Depok? Jelaskan
e. Sebutkan siapa saja yang menanggung biaya dan jenis biaya apa saja yang
berkaitan dengan implementasi dari kebijakan persyaratan luas minimal
lahan setiap kavling/unit perumahan di Kota Depok? Jelaskan
f. Alternatif kebijakan apa yang sebaiknya dilakukan pemerintah terkait
kebijakan persyaratan luas minimal lahan setiap kavling/unit perumahan di
Kota Depok? Jelaskan

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


136

Lampiran 2

UNIVERSITAS INDONESIA
Daftar Kuesioner Model Analytical Hierarchy Process (AHP)

Nama :
Umur :
Alamat :
Instansi :
Pendidikan Terakhir :

Petunjuk pengisian kuesioner :

Pengambil keputusan (responden) menterjemahkan seluruh persepsi dan informasi yang tersedia ke dalam perbandingan sepasang elemen, dengan menggunakan skala sebagai berikut:
Skala Perbandingan Numerik Definisi Verbal Keterangan
Dua elemen yang memberikan peran sama penting/besar
1 Sama penting ( equal importance )
terhadap tujuan
Pengalaman dan judgement bahwa sebuah elemen agak
3 Sedikit lebih penting ( moderate importance )
mendekati/diyakini agak lebih dibandingkan yang lain

Pengalaman dan judgement bahwa sebuah elemen lebih


5 Lebih penting (essential or strong importance)
mendekati/diyakini lebih dibandingkan yang lain
Pengalaman dan judgement bahwa sebuah elemen
sangat kuat mendekati/diyakini dibandingkan yang lain
7 Sangat lebih penting (very strong importance)
dan dominasinya terlihat nyata dalam keadaan
sebenarnya
Fakta bahwa sebuah elemen mendekati/diyakini lebih
9 Mutlak sangat penting (extreme importance) daripada elemen yang lain dan berada pada
kemungkinan yang tertinggi
Bila kompromi diperlukan antara dua penilaian. Artinya
2,4,6,8 Merupakan angka kompromi jika ragu – ragu memilih skala, misalkan 7 dan 9 maka
nilai antara dapat digunakan yaitu 8.

- Proses penilaian antara dua elemen berlaku aksioma reciprocal, artinya jika elemen i dinilai 3 kali lebih penting dibanding elemen j, maka elemen j harus 1/3 kali lebih penting dari
elemen i.
- Jika elemen pada kolom sebelah kiri (kolom 1) lebih penting dibandingkan elemen pada kolom sebelah kanan (kolom 2), maka nilai perbandingan dituliskan pada bagian sebelah kiri, dan

Universitas Indonesia
Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.
sebaliknya
137

Lanjutan
Kuisioner Manfaat

Berikan tanda (v) pada persepsi/pilihan Bapak/Ibu atas pertanyaan-pertanyaan dibawah ini dengan berpedoman pada petunjuk pengisian kuesioner
2
- Berkaitan dengan manfaat kebijakan syarat setiap luas kavling perumahan 120 m , maka manakah yang memberikan manfaat terbesar?
Kolom 1 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Kolom 2
Ekonomi Sosial
Ekonomi Lingkungan
Sosial Lingkungan

- Berkaitan dengan manfaat dari sisi ekonomi kebijakan syarat setiap luas kavling perumahan 120 m2, maka manakah yang memberikan manfaat terbesar?
Kolom 1 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Kolom 2
Pendapatan Investor Besar PAD melalui PBB dan BPHTB

- Berkaitan dengan manfaat dari sisi sosial kebijakan syarat setiap luas kavling perumahan 120 m2, maka manakah yang memberikan manfaat terbesar?
Kolom 1 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Kolom 2
Laju Migrasi dan Kepadatan Penduduk Kelancaran Lalu Lintas

- Berkaitan dengan manfaat dari sisi lingkungan kebijakan syarat setiap luas kavling perumahan 120 m2, maka manakah yang memberikan manfaat terbesar?
Kolom 1 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Kolom 2
Ruang Terbuka Hijau Daya Dukung Perkotaan
Ruang Terbuka Hijau Tata Kota
Daya Dukung Perkotaan Tata Kota

- Berkaitan dengan manfaat sisi ekonomi yaitu Pendapatan Investor Besar , maka kebijakan apakah yang sebaiknya diterapkan terkait syarat setiap luas kavling perumahan 120 m2?
Kolom 1 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Kolom 2
Do Nothing With Improvement Meniadakan syarat setiap luas kavling
perumahan 120 m2

- Berkaitan dengan manfaat sisi ekonomi yaitu PAD melalui PBB dan BPHTB, maka kebijakan apakah yang sebaiknya diterapkan terkait syarat setiap luas kavling perumahan 120 m2?
Kolom 1 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Kolom 2
Do Nothing With Improvement Meniadakan syarat setiap luas kavling
perumahan 120 m2

Universitas Indonesia
Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.
138

Lanjutan

- Berkaitan dengan manfaat sisi sosial yaitu Laju Migrasi dan Kepadatan Penduduk, maka kebijakan apakah yang sebaiknya diterapkan terkait syarat setiap luas kavling
2
perumahan 120 m ?
Kolom 1 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Kolom 2
Do Nothing With Improvement Meniadakan syarat setiap luas kavling
2
perumahan 120 m

- Berkaitan dengan manfaat sisi sosial yaitu Kelancaran Lalu Lintas , maka kebijakan apakah yang sebaiknya diterapkan terkait syarat setiap luas kavling perumahan 120 m2?
Kolom 1 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Kolom 2
Do Nothing With Improvement Meniadakan syarat setiap luas kavling
perumahan 120 m2

2
- Berkaitan dengan manfaat sisi lingkungan yaitu Ruang Terbuka Hijau, maka kebijakan apakah yang sebaiknya diterapkan terkait syarat setiap luas kavling perumahan 120 m ?
Kolom 1 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Kolom 2
Do Nothing With Improvement Meniadakan syarat setiap luas kavling
perumahan 120 m2

- Berkaitan dengan manfaat sisi lingkungan yaitu Daya Dukung Perkotaan, maka kebijakan apakah yang sebaiknya diterapkan terkait syarat setiap luas kavling perumahan 120 m2?
Kolom 1 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Kolom 2
Do Nothing With Improvement Meniadakan syarat setiap luas kavling
perumahan 120 m2

- Berkaitan dengan manfaat sisi lingkungan yaitu Tata Kota, maka kebijakan apakah yang sebaiknya diterapkan terkait syarat setiap luas kavling perumahan 120 m2?
Kolom 1 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Kolom 2
Do Nothing With Improvement Meniadakan syarat setiap luas kavling
perumahan 120 m2

Universitas Indonesia
Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.
139

Lanjutan

Kuisioner Biaya

2
- Berkaitan dengan biaya kebijakan syarat setiap luas kavling perumahan 120 m , maka manakah yang memberikan biaya terbesar?
Kolom 1 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Kolom 2
Ekonomi Sosial
Ekonomi Lingkungan
Sosial Lingkungan

2
- Berkaitan dengan biaya dari sisi ekonomi kebijakan syarat setiap luas kavling perumahan 120 m , maka manakah yang memberikan biaya terbesar?
Kolom 1 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Kolom 2
Pendapatan Investor Menengah Kebawah Biaya Produksi

Pendapatan Investor Menengah Kebawah PAD melalui PBB dan BPHTB

Pendapatan Investor Menengah Kebawah Biaya Pengawasan dan Pengendalian Tata


Ruang
Biaya Produksi PAD melalui PBB dan BPHTB
Biaya Produksi Biaya Pengawasan dan Pengendalian Tata
Ruang
PAD melalui PBB dan BPHTB Biaya Pengawasan dan Pengendalian Tata
Ruang

- Berkaitan dengan biaya dari sisi sosial kebijakan syarat setiap luas kavling perumahan 120 m2, maka manakah yang memberikan biaya terbesar?
Kolom 1 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Kolom 2
Kesenjangan Sosial Backlog Perumahan
Kesenjangan Sosial Ketidakpatuhan terhadap Perda
Backlog Perumahan Ketidakpatuhan terhadap Perda

- Berkaitan dengan biaya dari sisi lingkungan kebijakan syarat setiap luas kavling perumahan 120 m2, maka manakah yang memberikan biaya terbesar?
Kolom 1 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Kolom 2
Lahan untuk Perumahan Kesemerawutan Tata Kota

Universitas Indonesia
Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.
140

Lanjutan

- Berkaitan dengan biaya sisi ekonomi yaitu Pendapatan Investor Menengah Kebawah, maka kebijakan manakah yang memberikan biaya terbesar pada syarat setiap luas kavling
2
perumahan 120 m ?
Kolom 1 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Kolom 2
Do Nothing With Improvement Meniadakan syarat setiap luas kavling
2
perumahan 120 m

- Berkaitan dengan biaya sisi ekonomi yaitu Biaya Produksi, maka kebijakan manakah yang memberikan biaya terbesar pada syarat setiap luas kavling perumahan 120 m2?
Kolom 1 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Kolom 2
Do Nothing With Improvement Meniadakan syarat setiap luas kavling
perumahan 120 m2

- Berkaitan dengan biaya sisi ekonomi yaitu PAD melalui PBB dan BPHTB , maka kebijakan manakah yang memberikan biaya terbesar pada syarat setiap luas kavling
perumahan 120 m2?
Kolom 1 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Kolom 2
Do Nothing With Improvement Meniadakan syarat setiap luas kavling
perumahan 120 m2

- Berkaitan dengan biaya sisi ekonomi yaitu Biaya Pengawasan dan Pengendalian Tata Ruang , maka kebijakan manakah yang memberikan biaya terbesar pada syarat
setiap luas kavling perumahan 120 m2?
Kolom 1 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Kolom 2
Do Nothing With Improvement Meniadakan syarat setiap luas kavling
perumahan 120 m2

- Berkaitan dengan biaya sisi sosial yaitu Kesenjangan Sosial, maka kebijakan manakah yang memberikan biaya terbesar pada syarat setiap luas kavling perumahan 120 m2?
Kolom 1 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Kolom 2
Do Nothing With Improvement Meniadakan syarat setiap luas kavling
perumahan 120 m2

- Berkaitan dengan biaya sisi sosial yaitu Backlog Perumahan, maka kebijakan manakah yang memberikan biaya terbesar pada syarat setiap luas kavling perumahan 120 m2?
Kolom 1 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Kolom 2
Do Nothing With Improvement Meniadakan syarat setiap luas kavling
2
perumahan 120 m

Universitas Indonesia
Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.
141

Lanjutan

- Berkaitan dengan biaya sisi sosial yaitu Ketidakpatuhan terhadap Perda, maka kebijakan manakah yang memberikan biaya terbesar pada syarat setiap luas kavling
2
perumahan 120 m ?
Kolom 1 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Kolom 2
Do Nothing With Improvement Meniadakan syarat setiap luas kavling
2
perumahan 120 m

- Berkaitan dengan biaya sisi lingkungan yaitu luasan Lahan untuk Perumahan, maka kebijakan manakah yang memberikan biaya terbesar pada syarat setiap luas kavling
2
perumahan 120 m ?
Kolom 1 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Kolom 2
Do Nothing With Improvement Meniadakan syarat setiap luas kavling
2
perumahan 120 m

- Berkaitan dengan biaya sisi lingkungan yaitu kesemerawutan tata kota, maka kebijakan manakah yang memberikan biaya terbesar pada syarat setiap luas kavling
perumahan 120 m2?
Kolom 1 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Kolom 2
Do Nothing With Improvement Meniadakan syarat setiap luas kavling
perumahan 120 m2

Depok, 2015

(_______________________________________)

Universitas Indonesia
Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.
142

Lampiran 3
TABEL HASIL HIRARKI

Manfaat kebijakan syarat setiap luas kavling perumahan 120 m2


Dinas
Masyarakat Masyarakat Masyarakat Masyarakat Masyarakat Pengembang Pengembang Pengembang Pengembang APERSI LSM BPMP2T BPN DPRD Akademisi Rata-Rata Keterangan
Tarkim
Ekonomi 0.481 0.279 0.149 0.178 0.105 0.487 0.649 0.487 0.490 0.105 0.105 0.072 0.455 0.066 0.105 0.091 0.269 (3)
Sosial 0.114 0.072 0.066 0.070 0.637 0.435 0.072 0.435 0.451 0.258 0.258 0.649 0.091 0.785 0.637 0.455 0.343 (2) Do Nothing with improvement
Lingkungan 0.405 0.649 0.785 0.751 0.258 0.078 0.279 0.078 0.059 0.637 0.637 0.279 0.455 0.149 0.258 0.455 0.388 (1) Benefit 0.522
Cost 0.617
Ekonomi B/C 0.846
Pendapatan Inv Besar 0.833 0.833 0.900 0.900 0.875 0.167 0.833 0.167 0.167 0.875 0.750 0.900 0.167 0.900 0.833 0.875 0.686 (1) B/C < 1 (Tidak Layak)
PAD 0.167 0.167 0.100 0.100 0.125 0.833 0.167 0.833 0.833 0.125 0.250 0.100 0.833 0.100 0.167 0.125 0.314 (2)
Meniadakan ketentuan
Pendapatan Inv Besar Benefit 0.478
Do Nothing With Imp 0.250 0.250 0.900 0.833 0.833 0.125 0.833 0.125 0.100 0.833 0.875 0.100 0.833 0.900 0.833 0.833 0.591 (1) Cost 0.383
Ditiadakan 0.750 0.750 0.100 0.167 0.167 0.875 0.167 0.875 0.900 0.167 0.125 0.900 0.167 0.100 0.167 0.167 0.409 (2) B/C 1.248
B/C > 1 (Layak)
PAD
Do Nothing With Imp 0.250 0.250 0.100 0.100 0.125 0.167 0.833 0.167 0.100 0.100 0.100 0.100 0.833 0.100 0.167 0.125 0.226 (2)
Ditiadakan 0.750 0.750 0.900 0.900 0.875 0.833 0.167 0.833 0.900 0.900 0.900 0.900 0.167 0.900 0.833 0.875 0.774 (1)

Sosial
Laju Migrasi 0.833 0.833 0.100 0.100 0.250 0.750 0.833 0.750 0.500 0.500 0.100 0.900 0.167 0.100 0.833 0.500 0.503 (1)
Lalu Lintas 0.167 0.167 0.900 0.900 0.750 0.250 0.167 0.250 0.500 0.500 0.900 0.100 0.833 0.900 0.167 0.500 0.497 (2)

Laju Migrasi
Do Nothing With Imp 0.167 0.167 0.500 0.833 0.750 0.167 0.833 0.167 0.125 0.500 0.500 0.833 0.833 0.500 0.833 0.500 0.513 (1)
Ditiadakan 0.833 0.833 0.500 0.167 0.250 0.833 0.167 0.833 0.875 0.500 0.500 0.167 0.167 0.500 0.167 0.500 0.487 (2)

Lalu Lintas
Do Nothing With Imp 0.167 0.167 0.500 0.500 0.750 0.167 0.833 0.167 0.125 0.500 0.500 0.833 0.833 0.500 0.833 0.500 0.492 (2)
Ditiadakan 0.833 0.833 0.500 0.500 0.250 0.833 0.167 0.833 0.875 0.500 0.500 0.167 0.167 0.500 0.167 0.500 0.508 (1)

Lingkungan
Ruang Terbuka Hijau 0.258 0.258 0.066 0.333 0.637 0.600 0.279 0.107 0.405 0.333 0.669 0.649 0.481 0.055 0.649 0.637 0.401 (1)
Daya Dukung Kota 0.105 0.105 0.785 0.333 0.105 0.200 0.072 0.637 0.114 0.333 0.088 0.072 0.115 0.290 0.072 0.105 0.221 (3)
Tata Kota 0.637 0.637 0.149 0.333 0.258 0.200 0.649 0.258 0.481 0.333 0.243 0.279 0.405 0.655 0.279 0.258 0.378 (2)

Ruang Terbuka Hijau


Do Nothing With Imp 0.167 0.167 0.500 0.833 0.750 0.833 0.833 0.833 0.833 0.750 0.500 0.833 0.833 0.500 0.833 0.750 0.672 (1)
Ditiadakan 0.833 0.833 0.500 0.167 0.250 0.167 0.167 0.167 0.167 0.250 0.500 0.167 0.167 0.500 0.167 0.250 0.328 (2)

Daya Dukung Kota


Do Nothing With Imp 0.167 0.167 0.750 0.500 0.750 0.833 0.833 0.833 0.833 0.500 0.500 0.833 0.833 0.500 0.833 0.500 0.635 (1)
Ditiadakan 0.833 0.833 0.250 0.500 0.250 0.167 0.167 0.167 0.167 0.500 0.500 0.167 0.167 0.500 0.167 0.500 0.365 (2)

Tata Kota
Do Nothing With Imp 0.167 0.167 0.500 0.500 0.750 0.833 0.833 0.833 0.833 0.500 0.500 0.833 0.833 0.500 0.500 0.500 0.599 (1)
Ditiadakan 0.833 0.833 0.500 0.500 0.250 0.167 0.167 0.167 0.167 0.500 0.500 0.167 0.167 0.500 0.500 0.500 0.401 (2)

Summary
Do Nothing With Imp 0.209 0.192 0.677 0.597 0.750 0.163 0.833 0.216 0.157 0.557 0.512 0.784 0.833 0.512 0.784 0.571 0.522 (1)
Ditiadakan 0.791 0.808 0.323 0.403 0.250 0.837 0.167 0.784 0.843 0.443 0.488 0.216 0.167 0.488 0.216 0.429 0.478 (2)

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.


143

Lanjutan
2
Biaya k+A16ebijakan syarat setiap luas kavling perumahan 120 m
Dinas
Masyarakat Masyarakat Masyarakat Masyarakat Masyarakat Pengembang Pengembang Pengembang Pengembang APERSI LSM BPMP2T BPN DPRD Akademisi Rata-Rata Keterangan
Tarkim
Ekonomi 0.279 0.279 0.785 0.785 0.637 0.637 0.105 0.659 0.731 0.637 0.637 0.649 0.637 0.785 0.659 0.714 0.601 (1)
Sosial 0.649 0.649 0.066 0.149 0.105 0.105 0.637 0.156 0.081 0.258 0.258 0.072 0.105 0.066 0.185 0.143 0.230 (2)
Lingkungan 0.072 0.072 0.149 0.066 0.258 0.258 0.258 0.185 0.188 0.105 0.105 0.279 0.258 0.149 0.156 0.143 0.169 (3)

Ekonomi
Pendapatan Inv 0.208 0.208 0.460 0.423 0.235 0.075 0.271 0.209 0.209 0.167 0.368 0.501 0.278 0.299 0.411 0.417 0.296 (2)
Biaya Produksi 0.208 0.208 0.068 0.146 0.063 0.508 0.064 0.643 0.643 0.072 0.169 0.095 0.159 0.050 0.113 0.083 0.206 (3)
PAD 0.487 0.487 0.393 0.379 0.640 0.265 0.544 0.097 0.097 0.689 0.368 0.364 0.514 0.595 0.411 0.417 0.422 (1)
Biaya Pengawasan 0.096 0.096 0.079 0.052 0.063 0.151 0.122 0.051 0.051 0.072 0.096 0.040 0.050 0.056 0.064 0.083 0.076 (4)

Pendapatan Inv
Do Nothing With Imp 0.250 0.250 0.900 0.833 0.833 0.167 0.833 0.167 0.167 0.900 0.750 0.900 0.833 0.900 0.833 0.875 0.649 (1)
Ditiadakan 0.750 0.750 0.100 0.167 0.167 0.833 0.167 0.833 0.833 0.100 0.250 0.100 0.167 0.100 0.167 0.125 0.351 (2)

Biaya Produksi
Do Nothing With Imp 0.250 0.250 0.900 0.833 0.500 0.167 0.833 0.167 0.125 0.900 0.750 0.900 0.833 0.900 0.833 0.875 0.626 (1)
Ditiadakan 0.750 0.750 0.100 0.167 0.500 0.833 0.167 0.833 0.875 0.100 0.250 0.100 0.167 0.100 0.167 0.125 0.374 (2)

PAD
Do Nothing With Imp 0.250 0.250 0.900 0.833 0.833 0.167 0.833 0.167 0.125 0.900 0.750 0.900 0.833 0.900 0.833 0.875 0.647 (1)
Ditiadakan 0.750 0.750 0.100 0.167 0.167 0.833 0.167 0.833 0.875 0.100 0.250 0.100 0.167 0.100 0.167 0.125 0.353 (2)

Biaya Pengawasan
Do Nothing With Imp 0.250 0.250 0.500 0.500 0.500 0.167 0.833 0.167 0.125 0.500 0.500 0.167 0.833 0.500 0.500 0.500 0.424 (2)
Ditiadakan 0.750 0.750 0.500 0.500 0.500 0.833 0.167 0.833 0.875 0.500 0.500 0.833 0.167 0.500 0.500 0.500 0.576 (1)

Sosial
Kesenjangan Sosial 0.258 0.258 0.455 0.188 0.188 0.637 0.258 0.637 0.731 0.818 0.200 0.785 0.637 0.818 0.149 0.659 0.480 (1)
Backlog Perumahan 0.637 0.637 0.455 0.731 0.731 0.105 0.105 0.105 0.081 0.091 0.600 0.149 0.105 0.091 0.785 0.156 0.348 (2)
Ketidakpatuhan 0.105 0.105 0.091 0.081 0.081 0.258 0.637 0.258 0.188 0.091 0.200 0.066 0.258 0.091 0.066 0.185 0.173 (3)

Kesenjangan Sosial
Do Nothing With Imp 0.167 0.167 0.900 0.833 0.833 0.167 0.833 0.167 0.125 0.900 0.750 0.900 0.833 0.900 0.833 0.875 0.636 (1)
Ditiadakan 0.833 0.833 0.100 0.167 0.167 0.833 0.167 0.833 0.875 0.100 0.250 0.100 0.167 0.100 0.167 0.125 0.364 (2)

Backlog Perumahan
Do Nothing With Imp 0.167 0.167 0.900 0.833 0.833 0.167 0.833 0.167 0.125 0.900 0.750 0.900 0.833 0.900 0.833 0.875 0.636 (1)
Ditiadakan 0.833 0.833 0.100 0.167 0.167 0.833 0.167 0.833 0.875 0.100 0.250 0.100 0.167 0.100 0.167 0.125 0.364 (2)

Ketidakpatuhan
Do Nothing With Imp 0.167 0.167 0.500 0.500 0.500 0.167 0.833 0.167 0.125 0.500 0.500 0.500 0.833 0.500 0.500 0.500 0.435 (2)
Ditiadakan 0.833 0.833 0.500 0.500 0.500 0.833 0.167 0.833 0.875 0.500 0.500 0.500 0.167 0.500 0.500 0.500 0.565 (1)

Lingkungan
Lahan utk perumahan 0.750 0.750 0.833 0.167 0.167 0.167 0.167 0.167 0.167 0.900 0.750 0.900 0.833 0.900 0.875 0.500 0.562 (1)
Kesemerawutan Kota 0.250 0.250 0.167 0.833 0.833 0.833 0.833 0.833 0.833 0.100 0.250 0.100 0.167 0.100 0.125 0.500 0.438 (2)

Lahan utk perumahan


Do Nothing With Imp 0.167 0.167 0.833 0.833 0.833 0.167 0.833 0.167 0.125 0.500 0.750 0.900 0.833 0.900 0.833 0.500 0.584 (1)
Ditiadakan 0.833 0.833 0.167 0.167 0.167 0.833 0.167 0.833 0.875 0.500 0.250 0.100 0.167 0.100 0.167 0.500 0.416 (2)

Kesemerawutan Kota
Do Nothing With Imp 0.167 0.167 0.500 0.500 0.750 0.833 0.833 0.833 0.875 0.500 0.500 0.100 0.833 0.500 0.500 0.500 0.556 (1)
Ditiadakan 0.833 0.833 0.500 0.500 0.250 0.167 0.167 0.167 0.125 0.500 0.500 0.900 0.167 0.500 0.500 0.500 0.444 (2)

Summary
Do Nothing With Imp 0.192 0.192 0.702 0.778 0.770 0.310 0.833 0.270 0.248 0.790 0.701 0.854 0.833 0.855 0.794 0.747 0.617 (1)
Ditiadakan 0.808 0.808 0.298 0.222 0.230 0.690 0.167 0.730 0.752 0.210 0.299 0.146 0.167 0.145 0.206 0.253 0.383 (2)

Universitas Indonesia

Analisis dampak..., Hendro Bowo Kusumo, FEB UI, 2015.

Anda mungkin juga menyukai