Anda di halaman 1dari 12

TUGAS KELOMPOK

ETNOMEDIKA

Nama :

 Aini Robbiyanthy (205401446002)

 Anisa Ura (205401446148)

 Inka Okta Kurniya (205401446026)

 Tengku Rita Cholidah (205401446159)

Kelas : B2

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI DIV BIDAN PENDIDIK

UNIVERSITAS NASIONAL

TAHUN 2020/20121
BAB I

LATAR BELAKANG

A. Latar Belakang

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 15


Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Tradisional
Komplementer, pengobatan tradisional adalah pengobatan dan/atau perawatan
dengan cara obat, dan pengobatannya mengacu kepada pengalaman, keterampilan
turun temurun, atau pendidikan pelatihan serta diterapkan sesuai dengan norma
yang berlaku dimasyarakat.

WHO Mendefinisikan Pengobatan Tradisional sebagai jumlah total


pengetahuan, keterampilan, dan praktek-praktek yang berdasarkan pada teori-teori
keyakinan, dan pengalaman masyarakat yang mempunyai adat budaya yang
berbeda, baik dijelaskan atau tidak, digunakan dalam pemeliharaan kesehatan
serta dalam pencegahan, diagnosa, perbaikan atau pengobatan penyakit secara
fisik dan juga mental.

Obat Tradisional diterima dengan baik hampir di seluruh negara di dunia,


baik negara berkembang maupun negara maju (Fauziah, 2015). WHO
merekomendasikan penggunaan obat tradisional termasuk herbal dalam
pemeliharaan kesehatan masyarakat, pencegahan dan pengobatan penyakit,
terutama untuk penyakit kronis, degenerative dan kanker. Data statistik WHO
menyebutkan negara-negara di Afrika, Asia dan Amerika Latin menggunakan
obat tradisional sebagai pelengkap pengobatan primer yang mereka terima.
Berdasarkan hasil survei The National Health Interview Survei (NHIS), pengguna
obat tradisional di Amerika serikat bahkan mencapai 19% pada tahun 2002
( Gardiner, et al., 2007)
B. Jurnal yang di ambil

Perdagangan jamu dan rempah-rempah, yang dimulai pada abad keenam


belas, membuat makanan orang Eropa jauh lebih enak. Itu juga memberi para
dokter zat-zat yang dapat mereka gunakan dalam pengobatan penyakit. Nyatanya,
Renaisans pengobatan Eropa pada abad ketujuh belas sebagian besar didasarkan
pada jamu dan rempah-rempah serta wawasan medis dari tabib tradisional dari
India dan kepulauan Indonesia.

Selama periode eksplorasi dan kolonisasi, dokter menjadi penasaran


dengan cara pengobatan penyakit dan penyakit. Pada tahun 1619, tujuh tahun
setelah Perusahaan Hindia Timur Belanda menguasai nusantara, Jacobus Bontius
diangkat sebagai tabib kota Batavia. Dia sangat terkesan dengan kemampuan
penyembuh lokal untuk menyembuhkan berbagai kondisi, khususnya disentri dan
keluhan usus lainnya, dan dia menyelidiki pengetahuan medis setempat. Lebih
dari lima dekade kemudian, Hermann Boerhaave, profesor botani dan kedokteran
di Universitas Leyden, menggunakan kebun raya, yang menumbuhkan tanaman
obat Asia, untuk mendukung pengajarannya. Dalam kombinasi dengan metode
pengajaran klinisnya, dia mendorong Leyden ke pusat pendidikan kedokteran
pada saat itu.

Sementara itu, para dokter di Hindia Belanda mulai mempelajari


pengobatan asli juga. Sejumlah kecil dokter dipekerjakan untuk merawat tentara
yang sakit ketika pemerintah Belanda mengambil alih pemerintahan Hindia
setelah Perusahaan Hindia Belanda dinyatakan bangkrut pada tahun 1798.
Pelatihan mereka tidak mempersiapkan mereka untuk menangani keluhan medis
umum di daerah tropis , termasuk berbagai keluhan usus, malaria dan infeksi
tropis pada kulit, tulang dan persendian yang dikenal dengan frambusia. Pada saat
yang sama, banyak obat yang mereka gunakan untuk meresepkan di Eropa tidak
tersedia di koloni. Jika tersedia, harganya sangat mahal, rusak saat tiba atau tidak
memiliki potensi apa pun setelah perjalanan panjang. Apalagi, Penelitian medis
baru dari Paris dan kemudian Jerman membuat banyak dokter meragukan
keefektifan intervensi mereka, termasuk pertumpahan darah, lintah dan
penggunaan senyawa merkuri yang murah hati. Tidaklah mengherankan jika para
dokter Eropa merasakan persaingan yang kuat dengan penyembuh lokal, yang
tampaknya berhasil dalam menangani keluhan tropis yang paling umum.

Beberapa dari mereka mulai belajar lebih banyak tentang jamu Hindia
untuk meningkatkan praktik mereka sendiri. Misalnya, dokter Jerman Carl Waitz
menggunakan sejumlah metode langsung untuk mencari tahu tentang pengobatan
herbal asli. Dia pergi ke pasar lokal, di mana para pedagang ingin sekali memberi
tahu dia tentang khasiat obat dari dagangan mereka. Ia juga bertanya kepada
istrinya, seorang wanita Indo-Eropa dari Semarang dan mertuanya tentang
pengobatan rumahan yang mereka gunakan, serta pasien perawatan seperti apa
yang biasa mereka terima. Dia kemudian menguji jamu pada dirinya dan
pasiennya untuk memastikan khasiat obatnya dan meminta apoteker setempat
untuk menyimpannya jika terbukti efektif. Pada tahun 1829, Waitz menerbitkan
buklet pendek berjudul Pengamatan Praktis pada Sejumlah Obat Jawa, yang
menunjukkan bahwa sejumlah resep farmasi Eropa yang umum dapat diganti
dengan jamu Indonesia. Sarannya termasuk menggunakan daun sirih sebagai agen
narkotika dan infus sebagai obat batuk terus-menerus. Ia juga merekomendasikan
infus yang dibuat dari kulit kayu pohon suren untuk demam yang terus-menerus
dan dari pohon sintok (Cinnamomum sintok Blume, dari keluarga Laurel, yang
juga termasuk kayu manis dan pohon yang menghasilkan daun salam) untuk
masalah usus.

Ketertarikan dengan pengobatan lokal meningkat semakin lama Belanda


tinggal di Hindia Timur. Pada tahun 1850, sebuah taman obat didirikan di rumah
sakit militer Weltevreden dekat Batavia (sekarang Rumah Sakit Gatot Subroto)
oleh kepala kesehatan sipil, Geerlof Wassink. Dia meminta beberapa dokter yang
bekerja di layanan kesehatan untuk bereksperimen dengan obat-obatan herbal dan
menerbitkan hasilnya di Jurnal Medis Hindia Belanda, di mana dia adalah
editornya. Publikasi lain yang mencatat jamu Indonesia adalah Materia Indica,
buku setebal 900 halaman oleh dokter terkemuka Cornelis L. van der Burg.
Adolphe G. Vorderman mengunjungi pasar lokal dan bercakap-cakap dengan
wanita yang mempraktikkan jamu. Dia juga mengunjungi apotek yang dikelola
Tiongkok, yang menyimpan bahan-bahan yang digunakan oleh tabib pribumi dan
tabib Tiongkok.

Pada tahun 1892, apoteker Willem Gerbrand Boorsma diangkat sebagai


direktur laboratorium farmakologi di kebun raya Buitenzorg (sekarang Kebun
Raya di Bogor). Boorsma berharap penyelidikan ilmiah tanaman obat akan
mengurangi ketidakpercayaan antara orang Indonesia dan Belanda, dan akan
membawa masuknya pengobatan asli ke dalam bidang pengobatan rasional.
Melalui eksperimen farmakologis, ia berusaha mengisolasi bahan aktif dalam
tanaman obat (upaya ini telah berhasil dalam kasus morfin, kina, dan koka).
Untuk menemukan tanaman untuk penelitiannya, Boorsma sangat ingin
mengetahui tanaman mana yang digunakan oleh penyembuh pribumi. Ia juga
mengunjungi pasar dan apoteker serta membaca panduan jamu. Banyak artikelnya
muncul pada tahun-tahun berikutnya. Setelah pensiun ke Belanda, dia menyadari
bahwa pencarian bahan aktif mungkin tidak terlalu membuahkan hasil.
Sebaliknya, ia berpendapat bahwa kekuatan penyembuhan dari olahan jamu
terletak pada totalitas bahan, bukan dalam satu bahan, dan harus dikonsumsi
bersamaan.

Namun minat dokter dan apoteker Eropa terhadap jamu Indonesia


menurun secara signifikan setelah tahun 1900, setelah beberapa penemuan baru
dan terobosan teknologi telah dilakukan, seperti teori kuman Pasteur, pembedahan
a-septik dan mesin sinar-X. Ketika pengobatan barat tampaknya berhasil, dokter
tidak lagi mencari alternatif. Sebaliknya, mereka ingin menyebarkan wawasan
medis barat ke Timur.

Sebelum 1940, orang Indonesia yang ingin menjadi dokter bersekolah di


sekolah kedokteran di Batavia dan Surabaya. Sebagian besar siswa ini pernah
bersekolah di sekolah menengah Eropa dan berasal dari rumah yang
menggunakan bahasa Belanda. Mereka menganggap pengetahuan barat jauh lebih
unggul daripada keyakinan primitif timur dan berharap menerapkan penemuan
medis barat untuk meningkatkan kesehatan penduduk Indonesia. Baik lembaga-
lembaga ini, maupun para siswanya, tidak terlalu tertarik dengan jamu, yang
menurut mereka didasarkan pada dongeng dan takhayul para istri tua. Sementara
itu, sebagian besar penduduk Hindia terus berkonsultasi dengan dukun atau
wanita Indo-Eropa yang terkenal dengan ilmu jamu. Karena hanya ada sedikit
dokter Eropa, sebagian besar perawatan medis diberikan di rumah. Di wilayah
terluar (yakni di luar Jawa) dan di pedesaan, tidak ada alternatif lain. Di sana,
sebagian besar obat diproduksi dan diaplikasikan di dalam negeri, terbuat dari
tanaman yang mudah diperoleh dari kebun atau di pasar dan dikelola oleh
perempuan.

Sikap dokter Indonesia berubah pada akhir tahun 1930-an, ketika beberapa
dari mereka, termasuk Abdul Rasyid dan Seno Sastroamijoyo, menyadari bahwa
tidak mungkin menyediakan perawatan kesehatan yang memadai untuk seluruh
penduduk jika didasarkan pada teknologi canggih, intervensi berbasis rumah sakit
dan administrasi obat-obatan impor. Sebaliknya, mereka menganjurkan inisiatif
kesehatan masyarakat yang luas yang bertujuan untuk mencegah penyakit dan
mendorong penggunaan jamu daripada hanya mengandalkan obat-obatan barat
yang mahal. Pada konferensi Persatuan Dokter Indonesia tahun 1939, dua dukun
diundang untuk berdemonstrasi. Para dokter yang hadir dalam pertemuan ini
sangat tertarik dan terkejut saat mengetahui tentang seni pengobatan Indonesia
yang hanya sedikit mereka ketahui. Dorongan untuk menggunakan jamu menjadi
lebih kuat di bawah Pendudukan Jepang, ketika obat-obatan barat langka.
Kemudian pada masa revolusi Indonesia dan setelah penyerahan kedaulatan pada
tahun 1950, ketiadaan mata uang keras memaksa dokter Indonesia untuk
menggunakan jamu sekali lagi.

Di Indonesia , dokter yang bekerja di rumah sakit swasta masih belum


menganggap jamu sebagai obat yang sah. Tetapi bagi rata-rata orang Indonesia,
sangat sedikit yang berubah selama beberapa ratus tahun terakhir. Perawatan
kesehatan gaya barat jarang digunakan oleh orang Indonesia yang kurang mampu,
sedangkan pengobatan barat sulit dijangkau karena harganya yang mahal. Tak
heran jika jamu menjadi sepopuler dulu.

Hans Pols - “European Physicians and Botanists, Indigenous Herbal Medicine in the Dutch East Indies, and
Colonial Networks of Mediation”

BAB II
DASAR TEORI

1. Pengertian obat tradisional


Obat tradisional sejak zaman dahulu memainkan peran penting
dalam menjaga kesehatan, mempertahankan stamina dan mengobati
penyakit. Oleh karena itu obat tradisional masih berakar kuat dalam
kehidupan masyarakat hingga saat ini (Soedibyo, 1998). Menurut Undang-
Undang RI No. 23 (1992) obat tradisional didefinisikan sebagai bahan
atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan
mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut yang
secara turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan
pengalaman.
Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM RI, 2005)
mengelompokkan obat tradisional menjadi 3 jenis, yaitu jamu, obat herbal
terstandar dan fitofarmaka.
Jamu adalah obat tradisional yang berisi seluruh bahan tanaman
yang menjadi penyusun jamu tersebut. Jamu disajikan dalam bentuk
serbuk, seduhan, pil atau cairan. Jamu harus memenuhi standar keamanan
dan standar mutu, tetapi tidak memerlukan pembuktian ilmiah sampai uji
klinis, cukup dengan bukti empiris. Obat herbal terstandar merupakan obat
tradisional yang disajikan dari hasil ekstraksi atau penyarian bahan alam,
baik tanaman obat, hewan, maupun mineral. Fitofarmaka merupakan obat
tradisional yang dapat disejajarkan dengan obat moderen. Proses
pembuatan fitofarmaka telah terstandarisasi yang didukung oleh bukti
ilmiah sampai uji klinis pada manusia. Pembuatannya diperlukan peralatan
berteknologi moderen, tenaga ahli dan biaya yang tidak sedikit (Sinaga,
2008).
Berdasarkan penggunaan dan pengakuan obat tradisional pada
sistem pelayanan kesehatan, menurut WHO ada 3 sistem yang dianut oleh
negara-negara di dunia, yaitu:
a. Sistem integratif.
Secara resmi obat tradisional diakui dan telah diintegrasikan
dalam sistem pelayanan kesehatan nasional. Ini berarti obat
tradisional telah menjadi komponen dari kebijakan obat
nasional, ada sistem registrasi produk dan regulasi. Obat
tradisional digunakan di rumah sakit dan sistem asuransi
kesehatan, ada penelitian dan pengembangan serta pendidikan
tentang obat tradisional. Negara yang menganut sistem
integratif ini antara lain ialah RRC, Korea Utara dan Vietnam.
b. Sistem inklusif.
Mengakui obat tradisional tetapi belum mengintegrasikan pada
sistem pelayanan kesehatan. Sistem inklusif ini dianut oleh
negara sedang berkembang seperti Nigeria dan Mali maupun
negara maju seperti Kanada dan Inggris. Dewasa ini Indonesia
juga tergolong negara yang menganut sistem inklusif karena
penggunaan obat tradisional belum diintegrasikan dalam sistem
pelayanan kesehatan nasional. Demikian pula sistem asuransi
kesehatan di Indonesia menolak klaim penggunaan obat
tradisional.
c. Sistem toleran.
Sistem pelayanan kesehatan berbasis kedokteran modern tetapi
penggunaan beberapa obat tradisional tidak dilarang oleh
undang-undang.
2. Penggunaan obat tradisional
Penggunaan obat tradisional sebagai alternatif layanan kesehatan
tentu sangat tepat menimbang kenyataan semakin melambungnya biaya
kesehatan seiring dengan kondisi perekonomian bangsa Indonesia yang
hingga kini belum menentu (Wijayakusuma, 2000).
Belakangan penggunaan obat tradisional kian meningkat. Hal ini
dilatarbelakangi oleh beberapa hal, seperti kecenderungan global untuk
kembali ke alam juga faktor promosi melalui media masa yang kian
gencar. Selain itu minimnya fasilitas kesehatan di daerah terpencil serta
mahal atau tidak tersedianya obat moderen membuat masyarakat lebih
memilih menggunakan obat tradisional (Dewoto, 2007).
Kesalahan persepsi yang paling sering terjadi dimasyarakat adalah
bahwa obat tradisional itu aman. Padahal kenyataannya, meskipun obat
tradisional aman, masih mungkin terjadi potensi toksik (Gitawati &
Handayani, 2008).

Dalam penggunaan obat tradisional juga memiliki aturan-aturan yang


harus diperhatikan agar terhindar dari bahaya toksik, baik dalam pembuatannya
maupun penggunaannya, yaitu sebagai berikut ;

a. Ketepatan bahan. Sebab, tanaman obat terdiri dari beragam spesies yang
kadang-kadang sulit dibedakan. Ketepatan bahan sangat menentukan
tercapai atau tidaknya efek terapi yang diinginkan. Selain itu, pada satu
jenis tanaman umumnya dapat ditemukan beberapa zat aktif yang
berkhasiat dalam terapi. Rasio antara keberhasilan terapi dan efek samping
yang timbul harus menjadi pertimbangan dalam pemilihan jenis tanaman
obat yang akan digunakan dalam terapi.
b. Ketepatan dosis. Sebab, seperti halnya obat buatan pabrik, tanaman obat
juga tidak bisa dikonsumsi sembarangan. Tetap ada dosis yang harus
dipatuhi. Misalnya, mahkota dewa hanya boleh dikonsumsi dengan
perbandingan 1 buah dalam 3 gelas.
c. Ketepatan waktu penggunaan. Sebab, ketepatan waktu penggunaan obat
tradisional menentukan tercapai atau tidaknya efek yang diharapkan.
Contohnya, kunyit jika dikonsumsi saat datang bulan bisa mengurangi
nyeri haid. Namun, jika dikonsumsi pada awal masa kehamilan, berisiko
menyebabkan keguguran.
d. Ketepatan telaah Informasi. Sebab, ketidaktahuan mengenai fungsi dan
manfaat tanaman obat bisa menyebabkan obat tradisional berbalik menjadi
bahan membahayakan.
e. Ketepatan cara penggunaan. Sebab, banyak zat aktif yang berkhasiat di
dalam satu tanaman obat. Dan, setiap zat tersebut membutuhkan perlakuan
yang berbeda dalam penggunaannya. Misalnya, daun kecubung, jika
diisap seperti rokok, bisa digunakan sebagai obat asma. Namun jika
diseduh dan diminum, dapat menyebabkan keracunan atau mabuk.
f. Mengenal jenis obat tradisional. Sebab, ada tiga jenis obat tradisional,
yaitu jenis jamu, bahan ekstrak alami, dan fitofarmaka. Ketiganya
memiliki perlakuan, sifat, dan khasiat yang berbeda-beda.
g. Keamanan obat tradisional. Sebab, adakalanya obat tradisional yang
beredar sudah dicampur bahan kimiawi. Maka, perlu diperhatikan tentang
reaksi dan dosis obat tersebut serta tanggal kadaluarsanya. Dalam skala
produksi, perlunya penanganan pascapanen yang tepat guna menghasilkan
bahan yang aman dari mikroba dan aflatoksin (Sukmono, 2009).
BAB III
ANALISA JURNAL

1. Judul Jurnal :
Practical Observation on a number
2. Kata Kunci :
Pengobatan Tradisional Eropa
3. Penulis Jurnal
Hans Pols
4. Latar Belakang Masalah
Seberapa besar kekuatan penyembuhan oleh jamu
5. Tujuan Penelitian
Mengetahui sejauh mana kekutan penyembuhan oleh jamu
6. Metodologi Penelitian
Eksperimen
7. Hasil Penelitian
Jamu memiliki khasiat yang ampuh dalam pengobatan tradisional
sehingga akhirnya masyarakat eropa mempercayai kekuatan
penyembuhan yang didapat dari mengkonsumsi jamu sebagai obat
tradisional.
DAFTAR PUSTAKA

Assogbadjo A.E., Kakai R.G., Adjallala F.H., Azihou K.F, Vodohue G.F., Kyndt
T. & Codjia J.T.C. (2011).

Ethnic difference in use value and use patterns of the threatened multipurpose
scrambling shrub (Caesalpinia bonduc L.) in Benin. Journal of Medicinal Plants
Research 5(9): 15491557. Atamimi F. (1997).

https://historia.id/sains/articles/kala-sarjana-eropa-ramai-ramai-teliti-jamu-6jMka

https://www.insideindonesia.org/the-triumph-of-jamu

Anda mungkin juga menyukai