ETNOMEDIKA
Nama :
Kelas : B2
UNIVERSITAS NASIONAL
TAHUN 2020/20121
BAB I
LATAR BELAKANG
A. Latar Belakang
Beberapa dari mereka mulai belajar lebih banyak tentang jamu Hindia
untuk meningkatkan praktik mereka sendiri. Misalnya, dokter Jerman Carl Waitz
menggunakan sejumlah metode langsung untuk mencari tahu tentang pengobatan
herbal asli. Dia pergi ke pasar lokal, di mana para pedagang ingin sekali memberi
tahu dia tentang khasiat obat dari dagangan mereka. Ia juga bertanya kepada
istrinya, seorang wanita Indo-Eropa dari Semarang dan mertuanya tentang
pengobatan rumahan yang mereka gunakan, serta pasien perawatan seperti apa
yang biasa mereka terima. Dia kemudian menguji jamu pada dirinya dan
pasiennya untuk memastikan khasiat obatnya dan meminta apoteker setempat
untuk menyimpannya jika terbukti efektif. Pada tahun 1829, Waitz menerbitkan
buklet pendek berjudul Pengamatan Praktis pada Sejumlah Obat Jawa, yang
menunjukkan bahwa sejumlah resep farmasi Eropa yang umum dapat diganti
dengan jamu Indonesia. Sarannya termasuk menggunakan daun sirih sebagai agen
narkotika dan infus sebagai obat batuk terus-menerus. Ia juga merekomendasikan
infus yang dibuat dari kulit kayu pohon suren untuk demam yang terus-menerus
dan dari pohon sintok (Cinnamomum sintok Blume, dari keluarga Laurel, yang
juga termasuk kayu manis dan pohon yang menghasilkan daun salam) untuk
masalah usus.
Sikap dokter Indonesia berubah pada akhir tahun 1930-an, ketika beberapa
dari mereka, termasuk Abdul Rasyid dan Seno Sastroamijoyo, menyadari bahwa
tidak mungkin menyediakan perawatan kesehatan yang memadai untuk seluruh
penduduk jika didasarkan pada teknologi canggih, intervensi berbasis rumah sakit
dan administrasi obat-obatan impor. Sebaliknya, mereka menganjurkan inisiatif
kesehatan masyarakat yang luas yang bertujuan untuk mencegah penyakit dan
mendorong penggunaan jamu daripada hanya mengandalkan obat-obatan barat
yang mahal. Pada konferensi Persatuan Dokter Indonesia tahun 1939, dua dukun
diundang untuk berdemonstrasi. Para dokter yang hadir dalam pertemuan ini
sangat tertarik dan terkejut saat mengetahui tentang seni pengobatan Indonesia
yang hanya sedikit mereka ketahui. Dorongan untuk menggunakan jamu menjadi
lebih kuat di bawah Pendudukan Jepang, ketika obat-obatan barat langka.
Kemudian pada masa revolusi Indonesia dan setelah penyerahan kedaulatan pada
tahun 1950, ketiadaan mata uang keras memaksa dokter Indonesia untuk
menggunakan jamu sekali lagi.
Hans Pols - “European Physicians and Botanists, Indigenous Herbal Medicine in the Dutch East Indies, and
Colonial Networks of Mediation”
BAB II
DASAR TEORI
a. Ketepatan bahan. Sebab, tanaman obat terdiri dari beragam spesies yang
kadang-kadang sulit dibedakan. Ketepatan bahan sangat menentukan
tercapai atau tidaknya efek terapi yang diinginkan. Selain itu, pada satu
jenis tanaman umumnya dapat ditemukan beberapa zat aktif yang
berkhasiat dalam terapi. Rasio antara keberhasilan terapi dan efek samping
yang timbul harus menjadi pertimbangan dalam pemilihan jenis tanaman
obat yang akan digunakan dalam terapi.
b. Ketepatan dosis. Sebab, seperti halnya obat buatan pabrik, tanaman obat
juga tidak bisa dikonsumsi sembarangan. Tetap ada dosis yang harus
dipatuhi. Misalnya, mahkota dewa hanya boleh dikonsumsi dengan
perbandingan 1 buah dalam 3 gelas.
c. Ketepatan waktu penggunaan. Sebab, ketepatan waktu penggunaan obat
tradisional menentukan tercapai atau tidaknya efek yang diharapkan.
Contohnya, kunyit jika dikonsumsi saat datang bulan bisa mengurangi
nyeri haid. Namun, jika dikonsumsi pada awal masa kehamilan, berisiko
menyebabkan keguguran.
d. Ketepatan telaah Informasi. Sebab, ketidaktahuan mengenai fungsi dan
manfaat tanaman obat bisa menyebabkan obat tradisional berbalik menjadi
bahan membahayakan.
e. Ketepatan cara penggunaan. Sebab, banyak zat aktif yang berkhasiat di
dalam satu tanaman obat. Dan, setiap zat tersebut membutuhkan perlakuan
yang berbeda dalam penggunaannya. Misalnya, daun kecubung, jika
diisap seperti rokok, bisa digunakan sebagai obat asma. Namun jika
diseduh dan diminum, dapat menyebabkan keracunan atau mabuk.
f. Mengenal jenis obat tradisional. Sebab, ada tiga jenis obat tradisional,
yaitu jenis jamu, bahan ekstrak alami, dan fitofarmaka. Ketiganya
memiliki perlakuan, sifat, dan khasiat yang berbeda-beda.
g. Keamanan obat tradisional. Sebab, adakalanya obat tradisional yang
beredar sudah dicampur bahan kimiawi. Maka, perlu diperhatikan tentang
reaksi dan dosis obat tersebut serta tanggal kadaluarsanya. Dalam skala
produksi, perlunya penanganan pascapanen yang tepat guna menghasilkan
bahan yang aman dari mikroba dan aflatoksin (Sukmono, 2009).
BAB III
ANALISA JURNAL
1. Judul Jurnal :
Practical Observation on a number
2. Kata Kunci :
Pengobatan Tradisional Eropa
3. Penulis Jurnal
Hans Pols
4. Latar Belakang Masalah
Seberapa besar kekuatan penyembuhan oleh jamu
5. Tujuan Penelitian
Mengetahui sejauh mana kekutan penyembuhan oleh jamu
6. Metodologi Penelitian
Eksperimen
7. Hasil Penelitian
Jamu memiliki khasiat yang ampuh dalam pengobatan tradisional
sehingga akhirnya masyarakat eropa mempercayai kekuatan
penyembuhan yang didapat dari mengkonsumsi jamu sebagai obat
tradisional.
DAFTAR PUSTAKA
Assogbadjo A.E., Kakai R.G., Adjallala F.H., Azihou K.F, Vodohue G.F., Kyndt
T. & Codjia J.T.C. (2011).
Ethnic difference in use value and use patterns of the threatened multipurpose
scrambling shrub (Caesalpinia bonduc L.) in Benin. Journal of Medicinal Plants
Research 5(9): 15491557. Atamimi F. (1997).
https://historia.id/sains/articles/kala-sarjana-eropa-ramai-ramai-teliti-jamu-6jMka
https://www.insideindonesia.org/the-triumph-of-jamu