Anda di halaman 1dari 76

ADA MIGAS

DI LADANG PETANI
BOJONEGORO
Editor:
Dr. Widodo, M.Sc,
Defirentia One, SIP
Danang Wahyuhono, SIP

Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM)


Universitas Gadjah Mada, 2013
ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO
Diterbitkan sebagai Laporan Awal Studi Pengembangan Wilayah
Bojonegoro Berbasis Agro, dalam Rangka Peningkatan Kesejahteraan serta
Kesiapan Masyarakat dalam Menghadapi Industri Migas

Ketua Tim Peneliti:


Dr. Widodo, MSc

Anggota Tim Peneliti:


Ir. F. Trisakti Haryadi, MSi, PhD
Ir. Yuni Suranindyah, M.S., PhD
Eka Tarwaca Susila Putra, S.P., M.P., Ph.D
Dr. Tri Anggraini Kusumastuti, S.P., M.P.
Cuk Tri Noviandi, S.Pt
M.Anim.Sc, PhD

Asisten Peneliti dan Tim Penulis:


Defirentia One M., SIP
Danang Wahyuhono, SIP
Winata Gigih
Jumali
Himawan Akhmaddin Saputra

Editor:
Dr. Widodo, M.Sc,
Defirentia One, SIP
Danang Wahyuhono, SIP

Layout dan desain cover:


Ulin Niam

Fotografer:
Himawan A. Saputra
Winata Gigih
Jumali

ISBN : 978-602-951-805-4

Penerbit:
Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM)
Universitas Gadjah Mada, 2013
DAFTAR ISI
BAB I
CATATAN AWAL TENTANG BOJONEGORO - 5
A. Ladang Migas Internasional - 6
B. Selayang Pandang Bojonegoro - 10
C. Kultur Agraris dan Kemiskinan - 13
D. Metode Penelitian- 18

BAB II
DESA, PETANI, DAN MIGAS: SEBUAH SURVEI AWAL DI KECAMATAN
TAMBAKREJO DAN KECAMATAN PURWOSARI - 21
A. Tambakrejo: Boleh Optimis, Wajib Waspada - 23
1. Kondisi Pertanian - 23
2. Kondisi Peternakan - 27
3. Kondisi Sosial - 37
B. Purwosari: Meratas Peluang dan Tantangan - 40
1. Kondisi Pertanian - 40
2. Kondisi Peternakan - 43
3. Usaha Kecil dan Menengah - 45
4. Kondisi Sosial - 46
C. Analisis Situasi (SWOT Analysis) - 50

BAB III
STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT - 55
A. Luaran (Outcome) dan Strategi Pencapaian - 56
B. Program Kegiatan - 58

BAB IV
PENUTUP - 73
Kesimpulan - 74
Rekomendasi -75

DAFTAR PUSTAKA - 76
4

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


5

BAB I
CATATAN AWAL
TENTANG
BOJONEGORO

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


6

A. Ladang Migas
Internasional

D
alam dua dekade belakangan, Indonesia menjadi sorotan
dunia internasional karena potensi minyak dan gas (migas)
yang begitu berlimpah. Industri migas di Indonesia dapat
ditemukan di beberapa kawasan, seperti kawasan lepas pantai, hutan,
dan bahkan wilayah pedesaan. Menurut data Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi (1998), potensi migas Indonesia sebagian
besar ditemukan di kawasan lepas pantai (offshore)1, misalnya di
perairan Madu-ra, Kalimantan, dan Aceh. Sedangkan di Kabupaten
Bojonegoro, industri migas sebagian besar ditemukan di kawasan
pedesaan dan hutan, hanya sebagian kecil yang berada di kawasan
perkotaan.
Keberadaan beberapa sumur migas membentuk blok-blok migas
di Bojonegoro yang kian hari semakin berkembang jumlahnya.
Beberapa Blok migas antara lain Blok Cepu, Blok Tuban, Blok
Gundih, Blok Nona dan Blok Blora. Dalam setiap blok tersebut
terdapat beberapa lapangan migas, misalnya di Blok Cepu terdapat
lapa-ngan Banyuurip, Jambaran dan Alastuwo Barat serta Timur. Di
Blok Tuban terdapat lapangan Sukowati Pad A dan B, sedangkan di
Blok Gundih terdapat lapangan Tiung Biru. Tersebarnya beberapa
lapangan migas tersebut sudah mengindikasikan seberapa besar
kekayaan alam yang terkandung di perut bumi daerah itu. Kendati
angka pastinya masih menjadi perdebatan, namun data yang

1 “Indonesia Raksasa Maritim Masih Tertidur Lelap”, http://


indomaritimeinstitute.org/2011/03/584/, 3 Desember 2013.

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


7
dihimpun dalam Tabloid Flamma dari beberapa pihak berikut sudah
menunjukkan angka yang cukup fantastis. Analisa kandungan migas
di Blok Cepu adalah sebagai berikut : (i) menurut Drajat Wibowo
yang seorang anggota DPR RI, kandungan minyaknya sebesar 700
juta barel dan gas sebesar 3,31 kaki trilyun kubik, (ii) menurut Kwik
Kian Gie sebesar 2 Milyar barel, (iii) menurut exxon mobile sebesar
250 juta barel dengan kandungan gas yang belum bisa diperkirakan,
(iv) serta dari data yang pernah dibertakan kompas sebesar 1,1
Milyar barel di kedalam kurang dari 1.700 meter dan 11 Milyar barel
di atas kedalam 2.000 meter2.
Awal tahun 2000an, ruang publik masyarakat Bojonegoro mulai
diha-ngatkan dengan akan dimulainya pro-ses eksploitasi cadangan
migas yang begitu besar yang selanjutnya dikenal dengan Blok Cepu.
Harapan besar mulai muncul, sekalipun tak steril pula dari persoalan.
Hampir bersamaan dengan Blok Cepu, dimulai pula aktivitas awal
sumur migas di sekitar Kota Bojonegoro yang kemudian dinamai
Blok Tuban. Keberadaan dua blok migas tersebut menjadi magnet
bagi masyarakat lokal hingga internasional. Pasalnya, Bojonegoro
yang selama ini dikenal sebagai kota jati tak lama kemudian
menjadi daya tarik tersendiri bagi investor yang berkompetisi
memperebutkan kesempatan bisnis migas. Awalnya hanya sayup-
sayup terdengar, namun ditemukannya potensi migas Bojonegoro
menjadi pemberitaan yang kian menarik bagi media lokal hingga
internasional. Migas telah menjadi ikon baru Bojonegoro, hingga
media pun menjulukinya sebagai “Indonesia’s texas”.3
Kondisi sosial, ekonomi serta budaya masyarakat Bojonegoro
sedikit banyak akan terpengaruh geliat industri migas. Keberadaan
industri migas di wilayah pedesaan Bojonegoro, akan berhadapan

2 Lihat dalam Tabloid Flamma, edisi 30, Juni-Agustus 2008, Berharap Se-
jahtera Dari Semburan Minyak: Licin Minyak Blok Cepu Agar Berkah Tak
Jadi Musibah, diunduh dari http://www.ireyogya.org/id/flamma/licin-
minyak-blok-cepu.html, pada tanggal 7 April 2011
3 Lihat Davies Ed, ‘Indonesia’s Texas? Rural Java Braces for Oil Boom’,
http://www.reuters.com/article/2009/08/10/us-indonesia-oil-idUS-
TRE57903420090810, 9 Agustus 2009.

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


8
dengan kultur masyarakat agraris, sehingga rentan berakibat
pada terjadinya benturan sosial yang intensif. Hal ini disebabkan
oleh ada-nya perbedaan kondisi sosial budaya masyarakat desa
di lokasi industri migas yang ditandai dengan tingkat pendidikan
dan kemampuan ekonomi relatif rendah. Dengan kondisi sosial
ekonomi seperti itu, banyak masyarakat yang tidak mampu
mengakses manfaat langsung dari keberadaan industri migas di
wilayahnya. Tidak hanya itu, perbedaan sosial, ekonomi, dan budaya
yang terbentuk antara masyarakat lokal dengan para pendatang
cenderung memunculkan kesenjangan serta kantong-kantong
masyarakat yang eksklusif. Situasi dan kondisi sosial yang ada di
industri migas sangat berpotensi menimbulkan ketegangan sosial
baik antara masyarakat dengan pihak pendatang, masyarakat
dengan perusahaan migas, antara masyarakat yang tidak mampu
dengan masyarakat yang mampu mengakses manfaat langsung
dari perusahaan, juga antara masyarakat dengan pemerintah. Pada
akhirnya, masyarakat lokal sering hanya menjadi penonton dalam
hiruk pikuk industri migas di wilayah mereka sendiri.
Sementara itu, banyak laporan menunjukkan bahwa wilayah
Bojonegoro sebagai pemilik potensi migas terbesar, masih
menghadapi masalah kemiskinan di wilayah-wilayah berlokasinya
sumur migas. Laporan tersebut dapat dilihat pada publikasi penelitian
maupun pada situs-situs berita nasional dan internasional. Seperti
yang dilaporkan Reuters, Bojonegoro se-bagai pemilik cadangan
minyak mentah terbesar di Asia Tenggara mencapai 350 juta barel,
masih dihadapkan pada persoalan kemiskinan.4 Laporan tersebut
menegaskan bahwa terlepas dari kepemilikan cadangan minyak
yang berlimpah, Kabupaten Bojonegoro termasuk dalam peringkat
keempat kabupaten termiskin di Propinsi Jawa Timur. Fakta serupa
juga diungkap oleh media lokal, Suara Banyuurip, bahwa dari total
jumlah penduduk 1,4 juta jiwa, jumlah warga miskin mencapai
128.981 keluarga/rumah tangga miskin.5

4 Ibid.
5 Suara Banyuurip, Edisi 41 Tahun 2010, hal. 4.

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


9
Laporan ini secara sederhana menggambarkan bahwa di daerah
kaya migas sekalipun masih banyak masyarakat miskin yang
hidup tidak sejahtera. Di lain pihak, Dana Bagi Hasil (DBH) baru
diterima pasca operasional industri migas dilakukan, sementara
inflasi sudah terjadi sejak eksplorasi dilakukan. Dengan masih
banyaknya masyarakat miskin di kawasan ini, maka terjadinya inflasi
akan memicu penurunan taraf kehidupan masyarakat. Belum lagi,
kehadiran industri migas dipastikan akan memunculkan kompetisi
di antara masyarakat untuk dapat mengakses manfaat langsung.
Jika situasi tersebut tidak direspon maka dipastikan ketegangan dan
konflik sosial menjadi hal yang tidak terhindarkan. Oleh karena itu,
upaya peningkatan kesejahteraan harus segera dilakukan dengan
berbagai strategis dan upaya teknis.
Dalam konteks ini, percepatan peningkatan kesejahteraan
masyarakat serta kesiapan masyarakat terhadap kehadiran industri
menjadi hal yang urgen. Proses pembangunan masyarakat perlu
berjalan secara linier dengan pembangunan industri migas dan harus
diupayakan berjalan secara berkelanjutan. Hal tersebut berguna
untuk meningkatkan partisipasi, kapasitas, serta aksesibilitas
masyarakat dalam proses pembangunan, sehingga mereka dapat
menerima manfaat langsung dari pembangunan. Masyarakat perlu
mengenali kembali potensi-potensi yang ada di wilayahnya dan
tidak serta merta menggantungkan kemakmuran dari hasil industri
migas.

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


10

B. Selayang Pandang
Bojonegoro

M
igas dan Bojonegoro kini menjadi fokus dan lokus studi
yang makin banyak diminati para akademisi, aktivis sosial
maupun mahasiswa. Persoalan yang diangkat dan realitas
yang diungkap pun bervariasi. Salah satu di antaranya adalah studi
tentang bisnis militer di perusahaan pengeboran minyak Bojonegoro
yang merupakan laporan penelitian dari Kontras pada tahun 20046.
Lebih pada tawaran konsep pemberdayaan masyarakat di area kerja
tambang, IRE Yogyakarta juga mengambil Bojonegoro sebagai salah
satu wilayah studi, terutama dengan mengangkat kearifan lokal
sebagai dasar dari pemberdayaan masyarakat7. Mengambil lokus
desa sebagai inti dari dinamika sosial migas, studi dari Pradhikna
Yunik telah mengungkap peran Civil Society Organization (CSO)
dalam menjalankan Corporate Social Responsibility (CSR) untuk
penguatan kelembagaan desa di ring 1 migas, terutama dalam
proses perencanaan pembangunan desa8.
Secara garis besar, realitas yang hampir sama terlihat dari studi
di atas. Bojonegoro terutama di wilayah kerja migas menjadi arena
berbagai pemangku kepentingan untuk menjalankan perannya
masing-masing. Peran yang tentunya tak lepas dari berbagai

6 Laporan Penelitian Bisnis Militer di Perusahaan Pengeboran Minyak Bo-


jonegoro Jawa Timur, Kontras, Jakarta, 2004
7 Hudayana, Bambang, Koseptualisasi Pemberdayaan Masyarakat di
Wilayah Industri Tambang dan Migas Berbasis Pada Kearifan Lokal, IRE
Yogyakarta, 2011.
8 Nurhayati, Pradhikna, CSR Berbasi Community Based Development; Stdu
Tentang Program Pengembangan Kapasitas Kelembagaan Desa Bojo-
negoro di Wilayah Kerja MCL, skripsi sarjana Jurusan Manajemen dan
Kebijakan Publik Fisipol UGM, Yogyakarta 2012

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


11
kepentingan, salah satunya motif ekonomi politik. Studi awal yang
dilaksanakan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
(LPPM) Universitas Gadjah Mada ini difokuskan untuk melihat relasi
antara migas dengan dampak dan potensi untuk pengembangan
Bojonegoro sebagai lumbung pangan dan energi Indonesia.
Kabupaten Bojonegoro sendiri adalah 1 dari 38 kabupaten dan
kota di bawah administrasi Provinsi Jawa Timur. Adapun batas
wilayahnya adalah sebagai berikut; sebelah barat berbatasan dengan
Kabupaten Blora (Provinsi Jawa Tengah) dan Kabupaten Ngawi,
sebelah utara dengan Kabupaten Tuban, sebelah timur berbatasan
dengan Kabupaten Lamo-ngan, sebelah selatan berbatasan de-ngan
Kabupaten Jombang, Kabupaten Nganjuk, dan Kabupaten Madiun.
Terletak di garis Bujur Timur 112025’ dan 112009’ serta di antara
Lintang Selatan 6059 dan 7037’, Kabupaten Bojonegoro memiliki
luas wilayah 230.706 Ha (Bojonegoro Dalam Angka 2011). Dengan
wilayah yang cukup luas tersebut, penggunaan tanah di dalamnya
juga bervariasi (lihat tabel 1):

Tabel 1 Penggunaan Tanah di Kabupaten Bojonegoro

2009 2010
No Penggunaan Tanah
Luas Area (%) Luas Area (%)
1 Tanah sawah 32,58 32,58
2 Tanah kering 22,42 22,42
3 Hutan Negara 40,15 40,15
4 Perkebunan 0,26 0,26
5 Lain-lain 4,59 4,59

Sumber : Bojonegoro Dalam Angka (BPS Kab. Bojonegoro, 2011)

Sedangkan dilihat dari topografi, wilayah Bojonegoro secara


umum berada di dataran rendah, terutama di bagian utara yaitu
sepanjang aliran Bengawan Solo, yang membentang dari bagian
barat daya yaitu Kecamatan Margomulyo sampai wilayah paling
timur, yaitu Kecamatan Baureno. Wilayah Bojonegoro bagian selatan

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


12
berada di dataran tinggi, yaitu sepanjang Gunung Pandan, Kramat
dan Gajah9.
Sampai tahun 2010, jumlah penduduk Kabupaten Bojonegoro
mencapai 1.209.973 jiwa. Dengan rincian laki-laki 598.365 jiwa dan
perempuan 611.608 jiwa yang tersebar di 28 kecamatan, 419 desa dan
11 kelurahan. Sebagian besar kultur masyarakatnya adalah Jawa seperti
di daerah Solo atau Yogyakarta. Jawa Timur sub kultur Mataraman
adalah sebutan populer termasuk di Bojonegoro. Kultur Samin adalah
warna khusus yang ada di Bojonegoro, terutama di bagian barat.
Kendati gerakan Samin terkenal dengan model pembangkangan
yang khas terhadap kebijakan pemerintah di jaman kolonial, namun
hal tersebut kurang teraktualisasi di masa kini. Dinamika sosial
masyarakat Bojonegoro cenderung kalem dalam menyikapi berbagai
kebijakan pemerintah daerah yang dirasa kurang tepat. Secara umum
demonstrasi atau model parlemen jalanan lain tidak begitu nampak
intensif terjadi. Namun keadaan yang relatif kondusif tersebut, sempat
bergejolak ketika masyarakat menunjukkan resistensinya terhadap
negara dengan aksi penjarahan hutan. Akibat yang ditimbulkan
adalah berkurangnya kuantitas area hutan produktif, yaitu hanya
tersisa 26.160 hektar dan sebesar 17.280 hektar tidak lagi produktif.

9 BPS Kab. Bojonegoro, Bojonegoro Dalam Angka 2010

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


13

C. Kultur Agraris dan


Kemiskinan

D
engan persoalan yang terjadi di sektor kehutanan, harapan
pada potensi tersebut berkurang drastis. Degradasi lahan
telah terjadi akibat penjarahan hutan. Dari Tabel 1 tentang
penggunaan lahan di atas, selain harapan pada sektor kehutanan,
pertanian beserta sektor lain yang mempunyai kaitan seperti
peternakan adalah sektor potensial. Pada tahun 2010, luas panen
tanaman padi dan palawija adalah sebagai berikut;

Tabel 2 : Luas Panen Tanaman


Padi dan Palawija (Dalam Hektare)

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


14
Gambar 1.
Peta Produksi Tanaman Padi dan Palawija
di Kab. Bojonegoro

Luasan panen tanaman padi dan palawija di atas tidak selalu berbanding
lurus dengan penghasilan atau tingkat perekonomian petani. Sekalipun
Nilai Tukar Petani mengalami kondisi yang relatif baik selama tiga tahun
ke belakang, yaitu 102,45% pada tahun 2010, 102,65% untuk tahun 2012
serta 102,50% pada tahun 201210, namun kondisi tersebut secara riil juga
diba-yangi persoalan terkait menyusutan luasan lahan untuk pertanian.

10 Suyoto, Eksploitasi Migas Untuk Kesejahteraan Berkelanjutan, dalam


Mengelola Pembangunan Daerah Penghasil Migas, Imago 2013

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


15
Kultur agraris dan kemiskinan, begitulah beberapa orang kerap
mengaitkan dua hal tersebut sebagai karakteristik sosial ekonomi
di Jawa. Kondisi ini pernah dipotret oleh seorang ilmuwan Australia,
C.L.M Penders, yang melukiskan sejarah Bojonegoro sebagai
sejarah kemiskinan, dalam bukunya Bojonegoro 1900-1942: A
Story of Endemic Poverty in North West East Java. Kondisi ini pula
yang diidentifikasi oleh tim peneliti sebagai permasalahan yang
mengemuka di sebagian wilayah Kabupaten Bojonegoro.

Gambar 2. Potret kemiskinan warga Bojonegoro

Sebagaimana sebuah kenyataan yang berlawanan dengan


keberlimpahan migas, kondisi masyarakat desa di sekitar area migas
di Bojonegoro adalah tipikal masyarakat agraris dengan budaya
kewirausahaan (entrepreneurship) yang rendah, ditambah dengan
absennya tokoh masyarakat yang mempunyai pengaruh kuat diluar
tokoh pemerintahan. Hal tersebut mengemuka ketika tim peneliti
Universitas Gadjah Mada berdiskusi dengan beberapa warga
Bojonegoro pada bulan Agustus 2013. Kondisi masyarakat seperti ini
dapat berimplikasi pada ketidakoptimalan dana investasi di masyarakat
(mismanajemen pengelolaan dana), serta kemungkinan terjadinya
chaos ketika kepemimpinan di pemerintahan mengalami krisis.
Dari hasil diskusi juga disebutkan, secara umum warga tidak
banyak yang memiliki sawah, sehingga aktivitas bertani di sawah

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


16
hanya dilakukan oleh warga yang memiliki sawah. Tanaman padi tidak
begitu menjanjikan secara ekonomis sebab biaya produksinya begitu
mahal. Hal ini disebabkan karena kondisi wilayah yang kering dan
me-ngandalkan sawah tadah hujan. Di sisi lain, banyak warga yang
memanfaatkan pekarangan rumah untuk usaha produktif, misalnya
untuk menanam pisang. Jenis pisang yang ditanam pun bervariasi
seperti pisang raja, pisang kepok, pisang susu, pisang subliro, dan
masih banyak jenis lainnya. Tanaman ini umumnya ditemukan hampir
di semua pekarangan milik warga. Kondisi tanah sangat mendukung
untuk tumbuh dan berkembangnya tanaman pisang. Sampai saat
ini pisang menjadi salah satu produk yang potensial. Potensi pisang
dimanfaatkan warga sebagai sumber penghasilan untuk mencukupi
kebutuhan hidup sehari-hari. Selain pisang, ketela pohon juga
mudah didapat di wilayah tersebut, meskipun siklus hidup dan
potensinya tidak sebaik tanaman pisang. Warga juga menanam jati
sebagai bentuk investasi. Tanaman jati dapat dijadikan komoditas
atau paling tidak digunakan sendiri untuk memenuhi kebutuhan
pembuatan meubel di rumah. Masyarakat juga memelihara berbagai
ternak antara lain kambing, ayam, dan sapi. Masyarakat beternak
ayam sebagai sumber penghasilan, sedangkan ternak kambing
umumnya untuk tabungan.
Di sisi lain, budaya dan kehidupan wirausaha (entrepreneurship)
tidak berkembang. Dengan kondisi masyarakat seperti ini, ketika
menghadapi kehadiran uang dalam jumlah besar dapat dipastikan
mereka cenderung konsumtif dan tidak mampu memanfaatkan
uang tersebut untuk investasi (dikembangkan). Hal tersebut perlu
diantisipasi sebab masyarakat begitu rentan terhadap dampak buruk
inflasi. Di bidang sosial, ketiadaan tokoh yang mempunyai pengaruh
kuat di luar tokoh pemerintah juga berdampak pada minimnya
kepemimpinan di wilayah tersebut. Kepemimpinan yang ada hanya
kepemimpinan formal (Peme-rintahan Desa). Selain itu, masyarakat
juga minim wawasan serta pengalaman dalam berorganisasi.
Kemampuan mengakses dan memanfaatkan informasi pun rendah.
Di tambah pula, minimnya skill manajemen yang dimi-liki masyarakat

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


17
menyebabkan mereka tidak siap menghadapi krisis. Situasi ini sangat
rentan ketika pemerintah mengalami krisis karena akan melahirkan
masyarakat tanpa kepemimpinan (anarki) sehingga mudah terjadi
gejolak sosial.
Mengacu pada permasalahan yang diuraikan di bagian atas,
terlihat betapa pentingnya mengembangkan kewirausahaan sejak
awal, membangun kapasitas ekonomi, dan melatih kepemimpinan.
Kesemua proses itu tentunya berdasar pada persoalan dan berbasis
pada potensi lokal yang telah dimiliki. Tujuannya agar masyarakat
mampu mengelola potensi yang ada di desanya. Ketika masyarakat
mampu memanfaatkan potensi dan asset desanya, maka
keberdayaan akan tumbuh dari dalam. Sekaligus ketika masyarakat
mampu berdaya harapannya tidak mudah pula dikuasai oleh elit-elit
tertentu yang mendominasi dan mengambil manfaat langsung dari
ketidakberdayaan masyarakat dalam hal ekonomi maupun sosial.

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


18

D. Metode Penelitian

D
alam studi ini metode penelitian yang digunakan adalah
metode kualitatif, dengan mengedepankan teknik purpo-
sive, yaitu peng-ambilan data disesuaikan dengan tujuan
dasar dari penelitian. Tujuan dasar dari penelitian ini adalah sebagai
studi awal untuk potensi pengembangan pertanian (agro) di area
kerja migas di Bojonegoro. Dengan area kerja perusahaan migas
yang tersebar di berbagai wilayah, maka pemilihan wilayah peneli-
tian dalam studi ini didasari pertimbangan tertentu.
Dipilihnya dua kecamatan, yaitu Tambakrejo dan Purwosari se-
bagai wilayah studi karena berada di wilayah ring 1 sumur migas
Tiung Biru, yang hingga tahun 2013 dua wilayah tersebut berada
dalam kondisi dinamis. Adapun sumur migas Tiung Biru dipilih seb-
agai kawasan studi karena meskipun aktivitas migas sudah berlang-
sung beberapa tahun lalu, namun solusi terhadap persoalan sosial-
ekonomi dan pengembangan desa di wilayah tersebut masih minim.
Dalam pengembangan desa area operasi migas di Kabupaten Bo-
jonegoro, sebagian besar perhatian dan program pembangunan
diarahkan ke wilayah kerja sumur migas Banyuurip yang memang
saat ini tengah menjadi harapan nasional. Sumur Tiung Biru sendiri
merupakan penghasil gas yang hingga saat ini o-perator utamanya
ada Pertamina.
Dalam penelitian ini digunakan beberapa teknik pengambilan
data. Metode pertama adalah Focus Group Discussion (FGD). Teknik
ini digunakan karena lebih efisien dan efektif untuk menarik infor-
masi dari berbagai macam sumber informasi di tengah waktu yang
terbatas. FGD dilaksanakan di Pendopo Kecamatan Tambakrejo pada

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


19

tanggal 5 Oktober 2013 yang diha-diri oleh kedua camat dari Pur-
wosari dan Tambakrejo beserta stafnya serta beberapa kepala desa
dari dua kecamatan tersebut, terutama desa-desa yang berada di
sekitar area kerja sumur Tiung Biru.
Kedua, untuk memperkuat hasil FGD, maka dilaksanakan observasi
lapangan yang dilaksanakan pada tanggal 6 Oktober 2013 dengan me-
ngunjungi desa-desa yang terdapat potensi menonjol sekaligus masih
ada persoalan dalam pengembangan potensi tersebut. Potensi yang
dimaksud adalah pertanian, terkait vegetasi tanaman yang tumbuh dan
berkembang di wilayah itu; potensi peternakan, terutama ayam, kamb-
ing, domba dan sapi; potensi UKM serta tak kalah penting dengan me-
lihat kondisi sosial di desa.
Ketiga, sekaligus dalam observasi tersebut digunakan untuk wawan-
cara dengan pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan potensi yang
ada di desa, seperti ketua dan anggota kelompok ternak, kelompok tani
serta kepala desa.
Keempat, pengambilan dan analisis data sekunder. Dalam peneli-
tian ini, data sekunder diperoleh dari data peternakan dan pertanian di
kedua wilayah kecamatan. Untuk lebih memperkuat, maka data BPS
yaitu Bojonegoro dalam angka juga banyak digunakan. Penggunaan
data sekunder untuk analisis juga banyak diambil dari berbagai media,
terutama media lokal Bojonegoro yang mempunyai fokus pemberitaan
pada isu migas dan dampak-dampak yang terjadi di desa sekitar migas.

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


20

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


21

BAB II
DESA, PETANI, DAN MIGAS:
SEBUAH STUDI AWAL DI
KECAMATAN TAMBAKREJO DAN
KECAMATAN PURWOSARI

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


22

B
ab II ini merupakan deskripsi tentang kondisi dua kecamatan
yang menjadi wilayah studi, yaitu Kecamatan Tambakrejo dan
Kecamatan Purwosari. Ketika kondisi makro dua kecamatan
tersebut mampu dijabarkan, lantas persoalan sekaligus potensi desa-
desa yang ada di dalamnya dapat terpetakan. Dari studi dua kecamatan
ini diharapkan dirumuskan solusi strategik dan rencana program yang
akan dijalankan. Dengan demikian diharapkan pula program yang
dirumuskan tidak saja berdasar nalar praktis tetapi berdasar realitas
yang mampu menjawab kebutuhan masyarakat lokal.

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


23

A. Tambakrejo: Boleh Optimis,


Wajib Waspada

T
ambakrejo merupakan salah satu kecamatan yang berada
di wilayah selatan Kabupaten Bojonegoro. Kecamatan
Tambakrejo terdiri dari 18 desa, 65 dusun, 95 RW, dan
378 RT.1 Jumlah penduduk di Kecamatan Tambakrejo 61.185
jiwa dengan komposisi 30.738 laki-laki dan 30.447 perempuan.2
Mata pencaharian masyarakat pada umumnya adalah bercocok
tanam dan beternak. Dengan kondisi wilayah hutan yang cukup luas,
masyarakat diuntungkan dengan ketersediaan pakan ternak yang
cukup, meliputi lamtoro gong, gliresyde, hijauan makanan ternak,
rumput gajah, dan setaria.
Letak geografis Kecamatan Tembakrejo, yaitu sebelah utara
berbatasan dengan Kecamatan Purwosari, Selatan dengan
Kabupaten Ngawi, Timur dengan Kecamatan Ngambon, dan
Barat dengan Kecamatan Ngraho. Luas wilayah 209.52 km² yang
merupakan wilayah kecamatan terluas di Kabupaten Bojonegoro
atau tepatnya menempati sekitar 9% dari luas wilayah Kabupaten
(2.307 km²). Berada di ketinggian 200-300 m² di atas permukaan air
laut menjadikan kecamatan ini secara umum berhawa panas.

1. Kondisi Pertanian

Potensi pertanian di Kecamatan Tambakrejo meliputi padi, jagung,


singkong, kedelai, kacang tanah, dan kacang hijau. Potensi unggulan

11 Profil Kecamatan Tambakrejo yang disampaikan oleh Camat Tambakre-


jo, Ngasiaji, S.Sos, M.Si dalam kegiatan audiensi dan Focus Group Dis-
cussion (FGD) tim peneliti UGM, 5 Oktober 2013, di Kantor Kecamatan
Tambakrejo.
12 Berdasarkan dokumen laporan yang disampaikan oleh Achmad Moe-
chid, Petugas Teknis Pelaksana Peternakan dan Perikanan Kecamatan
Tambakrejo, 5 Oktober 2013.

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


24

Gambar 3. Tanaman jagung milik warga

tanaman pangan ada tiga yaitu padi, jagung dan singkong. Dari
luasan 3305 ha lahan padi, produksi mencapai 25 ribu ton per tahun.
Ada pula potensi tanaman hortikultura seperti mangga, pisang,
cabai, tomat, dan belimbing. Selain itu, warga juga menanam
tembakau, hingga saat ini ada sekitar 48 ha tanaman tembakau.
Rata-rata lahan yang terdapat di wilayah tersebut adalah sawah
tadah hujan yaitu seluas 3305 ha. Selain itu, luasan untuk tegal
sekitar 1860 ha dan pekarangan 1464 ha. Adapun luasan hutan
secara keseluruhan mencapai 20.000 ha tapi yang digarap hanya
berkisar 5000 ha.Tanaman pangan yang dikembangkan antara lain
padi jagung kedelai dan ubi kayu.
Dari hasil Focus Group Discussion (FGD) dengan tokoh masyarakat
dan pejabat pemerintah Kecamatan Tambakrejo pada 5 Oktober
2013, diketahui bahwa ada beberapa masalah pertanian yang sering
dihadapi masyarakat. Misalnya terkait tanaman padi, ketika panen
raya, harga padi relatif rendah. Sedangkan tanaman jagung cukup
potensial, luasan area tanam jagung ketika musim kemarau hampir 80
persen luasan area tanam padi, sedangkan 20 persen sisanya adalah

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


25

Gambar 4. Potensi ubi kayu

area tanam tembakau dan kedelai. Hanya saja, sebagian besar jagung
dijual mentah dan tidak banyak masyarakat yang mampu mengolah
jagung menjadi produk olahan yang lebih bernilai jual. Jagung dari
Tambakrejo umumnya dijual ke luar daerah, misalnya ke Magetan. Di
Magetan, jagung dari Tambakrejo dibuat olahan emping jagung. Di
Tambakrejo sendiri, ada warga yang mengolah jagung, namun saat
ini pengolahannya masih sebatas menjadi cemilan marneng ( jagung
goreng).
Selain itu, potensi ubi kayu juga cukup banyak. Ubi kayu biasanya
disetor ke wilayah kecamatan lain, misalnya ke Kecamatan Margomulyo,
sebab disana terdapat pabrik tepung. Masyarakat Tambakrejo juga
mengharapkan agar diusahakan adanya pabrik tepung di wilayah
mereka. Menurut warga, pasar ubi kayu di Tambakrejo lebih luas daripada
Margomulyo, dengan potensi ubi kayu yang juga lebih besar yakni lebih
dari 350 ha. Sehingga dengan adanya pabrik tepung harapannya bisa
menambah pendapatan petani. Sebab selama ini bagi warga yang tidak
bisa mengakses ke Margomulyo, hasil penjualan ubi kayu sangat murah.
Masyarakat Tambakrejo pernah mendapatkan bantuan alat pembuat

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


26
modified cassava flour (mokaf), harapannya agar singkong bisa dibuat
tepung pengganti gandum. Namun sayangnya tidak ada contoh tepung
yang sudah jadi, sehingga tidak banyak produk olahan dari singkong
menjadi tepung tersebut.
Di Tambakrejo terdapat lahan kedelai wilis sangat luas. Seperti halnya
jagung dan ubi kayu, kedelai juga banyak dijual mentahan dan tidak
sampai dibuat produk olahan tempe atau tahu. Menurut warga, adanya
bantuan dan pelatihan kepada masyarakat untuk mengolah kedelai
sangat penting. Sehingga harapannya tidak hanya dibuat menjadi tahu
atau tempe, tetapi juga bisa dibuat kecap. Sebagian warga tertarik untuk
mengembangkan kedelai hitam “malika” yang dibudidayakan UGM
sebagai bahan kecap.
Untuk potensi pisang, aktivitas ekonominya telah mempunyai
ruang khusus di Pasar Kacangan. Transaksi pisang di pasar tersebut
cukup tinggi, yang sebagian besar merupakan produk lokal dari
Tambakrejo dan sekitarnya. Macam-macam pisang yang dijual di Pasar
Kacangan antara lain pisang raja (Rp 100 ribu per 10 sisir), pisang sobo
pipit (Rp 8 ribu per sisir), pisang kepok abang (Rp 8 ribu per sisir), dan
adapula nama lokal yang bisa menjadi trademark, yaitu pisang subliro
(susu blirik bojonegoro). Warga menyetor pisang setiap hari, tetapi
setiap hari pasaran legi pasar pisang lebih ramai dari biasanya. Pisang
yang dibawa warga ada yang dijual sendiri dan ada pula yang dibeli
oleh pengepul. Pada setiap pasaran legi, umumnya pengepul dapat
mengumpulkan 3 truk pisang untuk kemudian disetor ke luar daerah
(misal Surabaya). Dan setiap 1 truk pisang, pengepul mendapatkan
hasil sebesar Rp 30 juta.
Potensi pertanian yang cukup baik tidak bisa dilepaskan dari
ketersediaan air. Di Tambakrejo terdapat sumber pengairan berupa
waduk sebagai strategi penampungan air yang masih bersifat tadah
hujan. Terdapat dua waduk yaitu Waduk Watang yang terletak di
Desa Tambakrejo dengan luas 5 ha dan Waduk Rowo Glandang yang
terletak di Desa Gading dengan luas 6 ha. Waduk yang tidak saja untuk
pengairan, tetapi juga sarana pengembangan potensi perikanan. Selain
itu, ketersediaan air juga ditunjang adanya embung yang terdapat di

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


27
Desa Napis dengan luas 2,5 ha. Namun adanya waduk dan embung
belum cukup untuk melebihi target produksi padi, sehingga perlu ada
sistem pengairan yang lebih teknis dengan adanya irigasi yang baik.
Seperti pada umumnya di wilayah Bojonegoro, sawah di Tambakrejo
merupakan sawah tadah hujan yang mengalami satu kali masa panen.
Dengan sarana dan prasarana perairan yang lebih memadai, diharapkan
kedepan bisa dua kali panen. Dalam hal ini Pemerintah Kabupaten
Bojonegoro mempunyai program 1000 embung sampai tahun 2014.
Namun ada sedikit kendala dalam pembuatan embung. Tanah perhutani
sulit dilobi untuk pembuatan embung. Kendala lainnya, banyak embung
yang sudah dibuat, tidak berfungsi sebagaimana mestinya karena salah
penempatan atau kurang strategis.

2. Kondisi Peternakan

Selain bertani, masyarakat Tambakrejo pada umumnya juga


beternak. Potensi ternak yang terdapat kecamatan tersebut antara
lain sapi potong, kerbau, ayam buras, kambing, dan domba (lihat
Tabel 1). Hanya saja, para peternak masih mengelola ternaknya
secara tradisional. Menurut informasi dari petugas Unit Pelaksana
Teknis (UPT) Peternakan Kecamatan Tambakrejo, banyak kendala
yang dijumpai di lapangan antara lain:

1. Masalah Sumber Daya Manusia (SDM)


2. Ketrampilan (skill) beternak masih tradisional
3. Lembaga/kelompok masih pasif
4. Manajemen pengelolaan ternak
5. Permodalan.

Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bojonegoro telah


mencoba mengatasi persoalan tersebut diatas dengan berbagai
kegiatan program bantuan baik teknis maupun fisik. Bahkan
kemitraan antar sektor juga telah berjalan dengan dibentuknya
kluster sapi potong di Desa Napis dengan nama kelompok ternak

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


28
“Lembu Seto” bekerja sama dengan Bank Indonesia Cabang
Surabaya, Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya Malang dan
Pemerintah Kabupaten Bojonegoro. Adapun bantuan yang telah
diberikan kepada kelompok ternak “Lembu Seto” antara lain:

• Sewa kantor sekretariat “Lembu Seto” di Desa Napis


• Mobil pick up Panther 1 unit
• Biogas (dari Dinas Peternakan Propinsi Jawa Timur)
• Bantuan ternak sapi betina 39 ekor, jantan 1 ekor dari Dinas
Propinsi Jawa Timur
• Rumput gadjah sebanyak 33 ribu stek
• Vaksinasi AI dan SE pada ayam dan ternak sapi (Dinas Peternakan
dan Perikanan
Kabupaten Bojonegoro)
• Pembuatan kandang, bantuan dari Bank Indonesia
• Bantuan 3 ekor sapi jantan dari Bank Indonesia
• Peralatan kantor dan pembentukan KSU dari Bank Indonesia
• Diesel 7 pk dari Bank Indonesia
• Bantuan Strow Brahman 250 dosis dari Dinas Peternakan
• Bantuan sarana jalan produksi 3 km dari Dirjen Peternakan pusat
• Pembentukan kelompok ternak: peternak kecil, sedang
(kambing/domba), dan peternak besar (sapi)
• Bantuan pinjaman lunak/kredit sapi, kambing, domba dengan
masa waktu pengembalian dua tahun tanpa bunga (0%).
• Bantuan hibah lewat musrenbang desa: ternak kambing PE dan
domba Merino
• Bantuan CSR Pertamina EP Cepu di Desa Kalisumber
• Kegiatan penyelamatan sapi betina produktif di Desa Tanjung
(kelompok ternak sapi “Sekar Tanjung”) dan Desa Pengkol
(Kelompok ternak “Nusa Bakti”)
• Pemberian insentif sapi betina produktif untuk kelompok ternak
sapi “Tunas Melati Unggul” di Desa Bakalan.

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


29
Selain itu, di Kecamatan Tambakrejo sudah dikembangkan
kegiatan inseminasi buatan untuk sapi dan kambing. Jumlah
petugas inseminasi buatan di Tambakrejo ada 3 orang dengan
pembagian wilayah kerja sebagai berikut:

• Tambakrejo Timur meliputi Desa Dolokgede, Desa


Sendangrejo, Desa Turi, Desa Mulyorejo, dan Desa Kacangan
(Petugas IB: Rusharjito)
• Tambakrejo Tengah meliputi Desa Kalisumber, Desa
Malingmati, Desa Tambakrejo, Desa Bakalan, Desa
Gamongan, dan Desa Jawik (Petugas IB: Teguh Budiarto)
• Tambakrejo Barat meliputi Desa Gading, Desa Pengkol, Desa
Tanjung, Desa Sukorejo, Desa Ngrancang, Desa Napis, dan
Desa Jatimulyo (Petugas IB: Ahmad)

Gambar 5. Ternak sapi milik warga Tambakrejo

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


TABEL 3. DATA POPULASI TERNAK BESAR DAN KECIL BULAN SEPTEMBER 2013
KECAMATAN TAMBAKREJO

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


SAPI POTONG KERBAU AYAM KAMBING DOMBA
NO DESA/KELURAHAN JANTAN BETINA JANTAN BETINA RAS BURAS JANTAN BETINA JANTAN BETINA
1 JATIMULYO 345 517 - - - 1575 172 385 205 296
2 NAPIS 1610 1650 - - - 2150 245 425 189 310
3 NGRANCANG 472 535 - - - 2450 171 215 132 256
4 TURI 525 542 - - - 1725 145 185 159 225
5 MULYOREJO 315 512 - - - 2185 234 281 210 301
6 KACANGAN 147 262 - - - 2250 167 325 259 375
7 SENDANGREJO 281 274 - - - 1850 186 212 145 256
8 DOLOKGEDE 205 245 - - - 2175 142 185 157 289
9 MALINGMATI 478 729 6 21 - 3180 392 625 587 675
10 TAMBAKREJO 415 485 2 4 - 2645 247 347 181 296
11 BAKALAN 325 519 - - - 2147 234 284 274 385
12 JAWIK 190 227 - - - 2254 182 177 176 312
13 SUKOREJO 305 405 - - - 3156 225 413 241 310
14 GADING 125 215 - - - 1560 124 235 215 271
15 PENGKOL 156 289 - - - 2150 148 284 182 254
16 TANJUNG 138 212 - - - 2341 197 352 127 316
17 GAMONGAN 437 425 - - - 2750 115 245 215 325
18 KALISUMBER 464 395 - - - 2595 174 325 239 385
JUMLAH 6933 8438 8 25 0 41138 3500 5500 3893 5837
Sumber: Laporan Unit Pelaksana Teknis Peternakan dan Perikanan Kecamatan Tambakrejo, Bojonegoro
30
31
Hasil sensus pertanian pada 2011 menunjukkan populasi sapi
kurang lebih 18000 ekor.3 Ketika harga sapi melonjak, para peternak
beramai-ramai menjual sehingga jumlah sapi menurun. Saat ini
populasi sapi masih berkisar 15000an.

Gambar 6. Ternak domba milik warga di Desa Kalisumber, Kecamatan


Tambakrejo.

Karakter masyarakat Tambakrejo agak unik karena termasuk


masyarakat yang tinggal di kawasan hutan dan pola pikirnya
masih tradisional. Menggeser pola pikir masyarakat peternak dari
tradisonal menuju pola pikir yang mampu selaras dengan permintaan
pasar adalah upaya kelompok ternak yang sudah mapan. Adapun
beberapa aspek pola pikir masyarakat yang berusaha diperbaiki
adalah : Pertama, SDM karena keterbatasan tingkat pendidikan.
Kedua, kelembagaan. Kadang-kadang dalam pola pikir masyarakat
bahwa bantuan itu untuk kelompok dan tidak ada manfaat untuk
pribadi. Ketiga, aksesibilitas permodalan. Keempat, manajemen
pengelolaan ternak.
Kelompok “Lembu Seto” saat ini ditugasi mendampingi kluster

13 Berdasarkan dokumen laporan yang di-sampaikan oleh Achmad Moe-


chid, Petugas Teknis Pelaksana Peternakan dan Perikanan Kecamatan
Tambakrejo, 5 Oktober 2013.

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


32
sapi potong di Desa Napis. Bisa dikatakan bantuan sapi untuk
kelompok tersebut cukup lancar. Dinas Peternakan Propinsi Jawa
Timur memberi bantuann sekitar 40 ekor dengan 39 betina dan
1 pejantan. Sedangkan dari Bank Indonesia, kelompok ternak
mendapatkan bantuan tiga pejantan dan sebuah mobil pick up
untuk kendaraan operasional.
Dengan bantuan dan dampingan tersebut menjadikan kelompok
Lembu Seto cukup kuat kelembagaannya. Sekretariat dan keperluan
administrasi sudah mencukupi serta ditunjang kemampuan SDM
untuk mengeoperasionalkan teknologi informasi. Koperasi serba
usaha kelompok juga telah berjalan dengan baik dan mampu
memberikan manfaat pada anggota-nya.
Potensi peternakan juga terdapat di Desa Kalisumber yang
terletak di Kecamatan Tambakrejo sebelah utara dan berbatasan
dengan Kecamatan Purwosari. Pada awalnya peternakan di Desa
Kalisumber berjalan secara tradisonal, artinya telah dimiliki dan
dikelola pribadi oleh warga di rumahnya masing-masing. Namun

Gambar 7. Ternak kambing jawa milik warga Desa Kalisumber

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


33
dengan letak wilayah desa yang berada di titik utama aktivitas
pengeboran gas Tiung Biru menjadikan kondisi sosial yang cukup
dinamis yang lantas Pertamina memberikan respon berupa
bantuan kambing dan domba pada warga namun dikelola secara
kelompok. Atas rekomendasi Dinas Peternakan dan Perikanan
Kabupaten Bojonegoro, Pertamina EP Cepu menunjuk Lembaga
Pemantau Kegiatan Publik (LPKP) untuk melakukan pendampingan
pengembangan ternak di Desa Kalisumber. Setelah itu dilanjutkan
pembentukan tiga kelompok ternak (masing-masing kelompok
terdiri dari 30 orang) yang dilakukan Pemerintah Desa Kalisumber
beserta kelompok masyarakat. Adapun bantuan yang diberikan
oleh Pertamina EP Cepu kepada tiga kelompok tersebut yaitu:

• Kelompok Ternak “Maju Jaya” mendapat bantuan 30 ekor


kambing betina dan 3 ekor pejantan Ettawa
• Kelompok Ternak “Sumber Barokah” mendapat bantuan 20 ekor
kambing betina, 10 ekor domba betina, 2 ekor pejantan Ettawa,
dan 1 ekor pejantan Domba Garut
• Kelompok Ternak “Barokah Jaya” mendapat bantuan 30 ekor
kambing betin dan 3 ekor pejantan Ettawa.

Dengan waktu pendampingan yang belum cukup lama, menjadikan


sebagian peternak masih memiliki pola pikir lama dalam mengelola
ternaknya. Jika ada kebutuhan mendesak atau tengah berada di
musim hajatan maka ternak menjadi sumber uang melalui penjualan
ternak tanpa memperhatikan umur dan tingkat produktivitasnya.
Terlepas dari persoalan pola pikir peternak yang masih
menggunakan pola lama, sisi positif juga tidak bisa dimungkiri
telah muncul dari aktivitas pendampingan di Desa Kalisumber. Para
peternak saat ini sudah mulai menggunakan kandang panggung,
tidak lagi menggunakan kandang lemprak demi menjaga kesehatan
hewan ternak. Mereka juga sudah mulai menggunakan pakan yang
terbuat dari fermentasi sehingga cukup menghemat waktu dan
biaya dalam beternak. Sampai sekarang, sudah ada 15 ekor yang
beranak dan 20 ekor bunting.

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


34

Gambar 8. salah satu kandang kambing kelompok ternak Ustan Mandiri

Kelompok ternak perlu pengetahuan dan teknis beternak


yang maju. Artinya, perlu ada teknik perawatan khusus mulai dari
pemilihan bibit, pemberian pakan, bahkan untuk pembuatan serta
perawatan kandang. Kelompok ternak “Ustan Mandiri” yang dirintis di
desa Dolokgede mencoba menerapkan sekaligus mengembangkan
teknik beternak yang lebih efektif. Berbekal pengalaman ketika
studi banding di Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada,
anggota kelompok ternak “Ustan Mandiri” mendapatkan ilmu baru
dalam memelihara ternak. Hingga sekarang kelompok ini sudah
mengembangkan hewan ternak seperti kambing, domba merino,
sapi, ayam kampung, bebek, dan lele.
Populasi ternak kambing di kelompok “Ustan Mandiri” ada sekitar
40 ekor dengan lama pemeliharaan rata-rata 4 bulan. Menurut ketua
kelompok ternak “Ustan Mandiri”, M. Ali, harga jual kambing cukup
potensial. Harga jual kambing pejantan Rp 1,5 juta, harga beli Rp
1 juta, dan ketika Idul Adha harga jualnya naik menjadi Rp 1,8 juta.
Sedangkan, harga jual kambing betina bisa mencapai selisih Rp 300
ribu dari harga beli yaitu kurang lebih Rp 1,2 juta untuk satu induk
bunting. Harga beli anakan kambing (cempe) jantan berkisar antara
Rp 300 ribu hingga Rp 500 ribu untuk setiap cempe betina berusia 3

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


35

Gambar 9. Domba merino milik kelompok ternak Ustan Mandiri


bulan. Sementara untuk cempe jantan berusia 3 bulan harga belinya
Rp 600 ribu. Hasil ternak kambing dijual di Pasar Ngambon setiap hari
pasaran legi. Peternak lebih suka menjual ternak ke pasar daripada
didatangi pembeli karena selisih harganya mencapai Rp 50 ribu-Rp 100
ribu per ekor. Hanya saja, untuk penjualannya masih menggunakan
sistem taksiran bukan dihitung per kilogram berat badan kambing.
Peternak juga mengembangkan teknologi pakan berupa
fermentasi. Bahan yang digunakan antara lain kacang giling, dedak,
katul, ampas tahu, tetes tebu, dan garam beryodium. Target ADG
1 kg/mg dan kebutuhan pakan 1,5 kg/hari/ekor. Untuk pakan
tersebut peternak mengeluarkan biaya Rp 1100/kg. Hanya saja,
untuk membuat pakan tersebut peternak masih memiliki kendala
sebab alat chooper kurang bagus sehingga gilingan yang dihasilkan
tidak bisa halus. Selain mengembangkan pakan, peternak juga
memanfaatkan kotoran kambing. Kotoran kering dibuat menjadi
pupuk kering, biasanya untuk kebutuhan sendiri. Biasanya 6 ekor
kambing menghasilkan 2 karung kotoran, dengan kapasitas 25 kg
per karung, dijual dengan harga Rp 50 ribu.
Di Tambakrejo, peternak juga mengembangkan ayam buras dan
bebek. Saat ini ada pilot projek pengembangan ternak ayam buras

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


36

Gambar 10. Ternak ayam di Desa Kacangan

dan bebek oleh Kelompok Peternak ayam Kacangan (KPK). Ada 25


orang yang tergabung dalam kelompok ternak tersebut dengan
rata-rata skala produksi 100 ekor dengan waktu pemeliharaan
sekitar 3 bulan. Peternak ayam di Desa Kacangan umumnya
membeli DOC dari Mojokerto dengan harga beli Rp 4000 per ekor.
Sedangkan untuk harga jual menurut kesepakatan kelompok adalah
Rp 30.000 per ekor. Peternak umumnya menjual kepada pedagang
yang datang kepada mereka, sebab kalau dijual di pasar hanya Rp
20 ribu-Rp 25 ribu per ekor. Dalam perawatannya, vaksin diberikan 1
kali dalam 1 minggu sesudah DOC masuk kandang. Vaksin seharga
Rp 50 ribu diberikan untuk 50 ekor ternak. Adapun pakan terdiri
dari campuran B komplex, Vitachick, dan konsentrat. Setiap 100 ekor
ayam memerlukan 2 sak (karung) dengan berat per sak 50 kg dan
harga Rp 400 ribu. Sementara untuk pakan katul seharga Rp 1500
kg dan jagung Rp 3200/kg. Untuk pakan campuran, komposisinya
terdiri atas 5 kg katul, 3 kg konsentrat, dan 2 kg jagung, diberikan
2 kali dalam sehari. Peternak ayam Desa Kacangan mengakui
bahwa mereka masih menerapkan manajemen pemeliharaan yang
sederhana. Dari DOC sampai ayam siap jual ditempatkan di kandang

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


37
yang sama. Dalam penyediaan pakan pun cenderung masih membeli
dari pasar. Hanya saja kendalanya bahwa harga pakan sangat
fluktuatif. Selain itu, ayam banyak yang mati karena terserang wabah
penyakit (plenthis).
Di Pasar Taji dekat Desa Kacangan, peternak melakukan transaksi
jual beli ayam. Setiap hari pasaran pahing, ternak yang disetor di
Pasar Taji dikirim ke luar daerah. Ternak yang dikirim mencapai 3 unit
truk dan banyak juga yang menggunakan mobil pick up. Selain yang
dikirim ke luar daerah, Pasar Taji juga mendapat kiriman ayam dari
luar kota seperti Jombang, Kertosono, dan Kediri.

3. Kondisi Sosial

Bekerjanya program pembangunan dan aktivitas ekonomi masyarakat


di desa tidak lepas dari pengaruh kondisi sosial. Sebagai daerah yang
berada di kawasan ring 1 sumur migas, kondisi sosial Kecamatan
Tambakrejo berjalan cukup dinamis. Di kawasan migas Tiung Biru,
Desa Kalisumber merupakan titik utama munculnya dinamika sosial.
Hadirnya Pertamina di desa tersebut menjadi aktor tersendiri yang
mampu bermitra, namun pada awalnya dipantik melalui kontestasi
kepentingan dengan warga. Sebagai operator gas, Pertamina
diposisikan warga sebagai pihak yang bertanggungjawab terhadap
kondisi lingkungan yang diakibatkan dari aktivitas pengeboran.
Kebisingan, debu yang berterbangan hingga mempengaruhi kondisi
kesehatan warga adalah akibat-akibat yang dijadikan warga sebagai
sumber pemantik untuk meluncurkan tuntutan.
Pada mulanya, warga menuntut Pertamina untuk membayar
ganti rugi melalui mekanisme pemberian cash money. Uang tersebut
diterimakan setiap kepala keluarga yang terdampak langsung
sebesar Rp. 500.000,- per bulan. Namun mekanisme tersebut
ditolak Pertamina, yang lantas mengundang beberapa pemangku
kepentingan di Kecamatan Tambakrejo untuk bermusyawarah.
Musyawarah yang difasilitasi pihak kecamatan yang lantas
mengundang pihak Kepolisian Sektor, warga Kalisumber dan

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


38
Pertamina sendiri. Dari hasil musayawarah itulah yang akhirnya
disepakati kompensasi yang diberikan Pertamina lebih bernilai
produktif bukan konsumtif, yaitu melalui bantuan kambing dan
domba pada warga Desa Kalisumber. Selain bantuan yang bertujuan
untuk meningkatkan ekonomi produktif warga, Pertamina juga
merespon sebatas karitatif. Misalnya dengan memperbaiki pagar
pemakaman desa. Bantuan tersebut juga merupakan respon
dari gejolak sosial yang terjadi sebelumnya, yaitu ketika ada aksi
pemblokiran jalan oleh warga Kalisumber.
Lepas dari titik utama pengeboran gas, gejolak sosial masyarakat
desa lebih redup. Tepatnya di Desa Tambakrejo dan Malingmati
tuntutan dan aksi warga tidak terlihat intensif. Meskipun keinginan
dilibatkan dalam proyek migas tetap tidak bisa diben-dung. Manfaat
dalam bentuk lain juga tetap diharapkan, yaitu berupa program
Corporate Social Responsibility (CSR) atau community development
dari perusahaan operator gas. Ketika di Desa Kalisumber ada
program bantuan kambing dan domba untuk warga, sedangkan di
Desa Malingmati dan Tambakrejo pelibatan masyarakat diwujudkan
dalam pengelolaan air dengan membentuk kelompok-kelompok
masyarakat. Lebih jauh lagi dari sumur gas Tiung Biru, tepatnya Desa-
desa di Tambakrejo sepanjang jalan poros Ngambon – Purwosari,
gejolak sosial akibat industri migas semakin redup. Desa-desa di
wilayah tersebut justru lebih dekat dengan proyek migas di sumur
Banyuurip dan Jambaran yang masuk kawasan Blok Cepu. Namun
karena secara administratif berada di satu kecamatan dengan
kawasan Tiung Biru maka dalam pembaguan ring migas masuk
kawasan tersebut.
Dominasi relasi pemerintah desa dengan warga lebih mewarnai
kondisi sosial di desa-desa sepanjang Desa Kacangan sampai
Dolokgede. Peme-rintah desa menjadi acuan dan penggerak utama
pembangunan desa. Selain kedua aktor tersebut, dinamisnya kondisi
sosial di kawasan tersebut karena dijadikan pusat aktivitas Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) Ademos. Kapasitas LSM Ademos secara
kelembagaan sejatinya telah mumpuni dan sebagian besar dige-

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


39
rakkan oleh SDM lokal desa-desa di kawasan tersebut. Namun
derajat kepentingan dalam membangun desa di kawasan tersebut
belum optimal karena konsentrasi lembaga tengah terpecah.
Lembaga Swadaya Masyarakat tersebut juga menjadi lembaga mitra
Mobile Cepu Limited (MCL) dalam menjalankan program CSR namun
dengan lokus di wilayah kecamatan lain, terutama yang menjadi area
kerja MCL. Dalam teknis perannya, selain berupaya mempengaruhi
pembuatan kebijakan di tingkat desa, program-program Ademos
telah menyentuh ekonomi produktif meskipun dengan skala yang
belum besar. Hal tersebut dibuktikan melalui pendampingan
kelompok ternak di Desa Dolokgede dan Kacangan, bahkan salah
seorang pegiatnya menjadi pendamping kelompok ternak di Desa
Kalisumber.

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


40

B. Purwosari: Meratas Peluang dan


Tantangan

K
ecamatan Purwosari berada di sebelah utara Kecamatan
Tambakrejo. Dari segi letak wilayah dan jaringan ekonomi,
sejatinya Kecamatan Purwosari lebih menjanjikan karena
sebagian wilayahnya terletak di jalan Poros utama Cepu – Surabaya
dan sebagian wilayah yang lain berada tidak terlalu jauh dari
jalan poros utama dibanding Kecamatan Tambakrejo. Kecamatan
Purwosari memiliki 12 Desa yang sebagian desa di bawah
administrasinya berada di sekitar sumur migas. Terdapat sumber
minyak di tiga sumur minyak serta potensi gas yang dikelola oleh
Pertamina EP Cepu.

1. Kondisi Pertanian

Kondisi pertanian di Purwosari diuntungkan dengan lokasi wilayah


yang dekat sungai, menjadikan pertanian di Purwosari lebih baik
dibandingkan dengan yang lain. Tanaman padi bisa panen sampai
dua kali karena ada jalur irigasi dari waduk. Tapi untuk tahun ini
waduk yang ada tidak berfungsi. Di Desa Pelem misalnya, kekeringan
menjadi persoalan dalam bertanam padi. Hal ini dikarenakan
waduk yang ada belum memberikan manfaat signifikan pada
pemenuhan kebutuhan irigasi. Berbeda dengan sawah yang berada
di sekitar aliran sungai, kecenderungannya sawah-sawah tersebut
memperoleh pengairan yang lebih baik. Menurut keterangan UPT
Pertanian dan Peternakan Kecamatan Purwosari, untuk tanaman
jagung tidak berhasil panen pada tahun 2013 ini, sehingga petani
mengalami kerugian. Hal ini disebabkan banyaknya pengeluaran
petani selama penanaman jagung. Harga beli benih mencapai Rp 70

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


41

Gambar 10. Komoditas pertanian musim kemarau

ribu per kilo, sedangkan untuk pengelolaannya tentu membutuhkan


biaya yang tidak sedikit. Begitu pula tanaman kedelai, petani juga
mengalami gagal panen. Kondisi kering dan terbatasnya air tersebut
menyebabkan warga juga tidak berani menanam padi.
Pertanian di Kecamatan Purwosari merupakan pertanian sawah
tadah hujan, sehingga perairan untuk kebutuhan irigasi banyak
mengandalkan dari tampungan air hujan, terutama saat musim
penghujan. Menurut warga setempat, sebagian besar lahan yang
dimanfaatkan warga untuk pertanian adalah lahan Perhutani.
Beberapa desa di Kecamatan Purwosari memang dialiri oleh anakan
sungai dengan membuat chek dam, namun pada musim kemarau
kondisinya mengalami kekeringan. Dengan demikian masyarakat
tidak dapat mengandalkan sepenuhnya pada pengairan air sungai
maupun sumur. Terutama saat musim kemarau tiba, kebutuhan irigasi
sangat sulit dipenuhi, termasuk kebutuhan sehari - hari masyarakat.
Pada musim kemarau tiba, warga beralih pada cocok tanam
jagung hibrida, kacang hijau, dan kedelai. Hal ini disebabkan
karena ketersediaan air yang sangat terbatas. Bahkan dari warga
menyebutkan bahwa petani di sana hanya dapat satu kali panen
jika musim kemarau. Berdasarkan keterangan salah satu tokoh Desa

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


42

Gambar 11. Sumur tampungan air di salah satu sawah milik warga

Kuniran, disebutkan bahwa di desa tersebut ada potensi pertanian


yang akan dikembangkan, yakni tanaman tembakau. Dimana warga
diminta untuk mengerjakan tembakau yang nantinya akan disetor
kepada PT. Sampoerna. Sistem pertanian dengan model plasma
memang menguntungkan dari segi operasional, akan tetapi dalam
hal pemasaran, para petani tidak bisa menentukan harga pasar.
Untuk pengairan, meskipun ada program pemerintah untuk
pembuatan embung, bagi mereka tidak terlalu bisa menjadi solusi.
Hal ini dikarenakan syarat yang ditetapkan dari pemerintah sangat
sulit diterapkan karena membutuhkan arena yang luas, 70 x 80 m
dengan kedalaman 3 m, padahal kepemilihan lahan petani sangatlah
terbatas. Beberapa warga bahkan mengharapkan solusinya agar
dibuatkan check dam. Sehingga air yang dialirkan dari sungai bisa
ditampung di tandon-tandon untuk kemudian dialirkan ke sawah.
Selain check dam, para petani juga membuat sumur tampungan air
untuk menyimpan ketersediaan air pada saat musim penghujan,
sehingga saat musim kemarau tiba, sawah masih mempunyai
cadangan air hujan yang berada di sekitaran sumur – sumur tersebut.
Salah satu rekomendasi yang disampaikan oleh warga disini adalah
pengadaan sumur sawah (doker) dengan kedalaman 6 m, tiap 10
m, untuk pengendalian ketersediaan air bagi tanaman, semacam
tabungan air di sawah.

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


43
Di Kecamatan Purwosari sudah terbentuk kelembagaan
pertanian berupa kelompok tani, akan tetapi keberadaannya kurang
aktif karena masih sebatas koordinasi penyediaan pupuk. Sehingga
secara kelembagaan dinilai masih belum bagus, peran kelompok
masih sebatas memfasilitasi pupuk. Pengadaan pupuk kompos yang
diolah kelompok tani sudah ada, tapi belum maksimal. Kendala lain
yang dihadapi oleh petani dalam sektor pertanian ini adalah adanya
hama yang masih sering mengganggu.

2. Kondisi Peternakan

Sebagaimana kultur masyarakat pedesaan, beternak adalah


bagian dari hidup dan kekayaan yang dimiliki warga. Di Kecamatan
Purwosari terdapat aktivitas peternakan, yang sebagian besar dimiliki
dan dikelola warga secara individu. Kelembagaan berupa kelompok
ternak yang diharapkan mampu menjadi ruang bagi peternak untuk
belajar bersama dan saling menjalin hubungan mutual belum ada
di Purwosari. Artinya, warga masih menerapkan cara tradisional
untuk memelihara ternak, sekedar ternak rumahan. Meskipun ada
pula kelompok Plasma, tetapi tidak terlalu berkembang. Menurut

Gambar 12. Peternakan sapi rumahan

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


44
penuturan warga, kalau dibandingkan Kecamatan Purwosari
dulunya Kecamatan Tambakrejo tertinggal. Tapi untuk saat ini,
perkembangan kelompok pertanian dan peternakan mungkin jauh
lebih baik di Kecamatan Tambakrejo dibandingkan Kecamatan
Purwosari. Sebenarnya ada banyak kelompok ternak maupun tani
di Purwosari, tetapi tidak berkembang baik seperti di Kecamatan
Tambakrejo. Hal ini kemudian menyebabkan bantuan-bantuan
yang masuk juga banyak ke Kecamatan Tambakrejo karena memiliki
kelompok-kelompok petani dan peternak.
Di Desa Kuniran terdapat potensi ayam buras sebanyak 7.000
ekor yang dikembangkan dengan sistem plasma. Artinya, ada
yang bertindak sebagai pemilik modal (bekerjasama dengan
perorangan) yang akan membeli hasil panen hasil dengan harga
yang tergantung dari kesepakatan. Sementara di Desa Ngrejeng
terdapat potensi ternak bebek sekitar 2.000 ekor. Di Purwosari saat
ini juga dikembangkan teknik penggemukan ayam kampung. Para
peternak belajar dari peternak di Desa Kacangan.
Potensi peternakan yang ada di Desa Kuniran adalah sapi,
kambing, dan ayam potong. Ternak sapi dan kambing pada
umumnya masih dilakukan secara perorangan. Bahkan beberapa

Gambar 13. Salah satu kandang peternakan ayam potong

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


45
warga hanya memelihara sapi dan kambing milik orang lain dengan
sistem bagi hasil. Ternak ayam sudah dikembangkan di 2 lokasi milik
perorangan yakni milik Pak Habib dan Pak Suparmin, yang kemudian
disetor ke pihak Inti sebagai mitra kerjanya. Selain itu di desa ini juga
pernah terdapat proyek sapi yang dilakukan secara berkelompok
dengan sistem bagi hasil, namun masih belum berhasil. Berdasarkan
keterangan dari Pak Suharto, warga Desa Kuniran juga pernah ada
yang melakukan budidaya lele menggunakan kolam terpal. Namun
pada akhirnya karena masalah ketersediaan air yang kurang dan
mahalnya pelet, budidaya ikan lele sudah tidak berjalan lagi. Padahal
budidaya lele tersebut diyakini memiliki prospek yang tinggi dengan
penanganan yang relative lebih mudah.

3. Usaha Kecil dan Menengah

Adanya usaha kecil dan menengah juga menunjang perekonomian


masyarakat di Kecamatan Purwosari. Selain berjualan produk jadi di
pasar, naluri bisnis masyarakat juga disalurkan melalui usaha kecil dan
menengah. Misalnya di Desa Gapluk dan Kuniran, masyarakat banyak
yang membuat ledre. Namun mereka tidak menjual/ memasarkan
ledre sendiri, melainkan disetor ke pengepul untuk kemudian dijual
melalui toko besar. Masyarakat di Desa Gapluk dan Kuniran membuat
ledre tetapi pengemasan dan pemasarannya di Padangan.
Harga ledre pun bervariasi. Untuk rasa original (pisang), ledre
dari produsen dijual ke pengepul seharga Rp 2500 per bungkus,
1 bungkus isi 15 batang. Sementara untuk variasi rasa lain seperti
nangka, melon, strawberry, kacang hijau dan keju harga jualnya
Rp 3500 per bungkus. Warga pembuat ledre di Desa Gapluk rata-
rata dapat menghasilkan 30 bungkus per hari. Namun pembuatan
tersebut masih berdasarkan pesanan, belum ada kontinuitas atas
inisiatif pribadi. Harga jual ledre setelah di setor ke sentra oleh-oleh
Padangan berkisar Rp 13 ribu - Rp 15 ribu per kotaknya (satu kotak
berisi 2 bungkus). Terlihat bahwa terdapat selisih pendapatan yang
cukup signifikan antara produsen dengan pengepul.

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


46
Hingga saat ini, ada sekitar 70 rumah tangga yang memproduksi
ledre di Desa Gapluk dan Kuniran. Usaha mereka masih masih
terbilang usaha rumahan, bukan usaha kelompok. Melihat dari
pengalaman selama ini, ketika mereka dibentuk kelompok kemudian
diajari pengemasan, kemungkinan akan menjadi wadah berkreasi,
berbisnis, sekaligus belajar untuk peningkatan pendapatan.
Kendala para produsen ledre ini juga diikuti oleh permasalahan
persaingan usaha. Misalnya dalam pemasaran langsung, produsen
ledre yang mencoba memasarkan langsung produknya justru tidak
laku. Alasannya, toko-toko tidak mau menerima produk selain
yang berasal dari pengepul “X” yang menjadi langganan di Desa
Padangan. Menurut warga, pengusaha-pengusaha yang sudah
terbiasa mengirim itu menuntut (memblokir) agar setoran dari
pembuat ledre yang tidak menggunakan kemasan mereka agar
jangan diterima. Dari sini terlihat bahwa meskipun sebenarnya
setiap orang di Bojonegoro berhak mengakses pasar ledre, namun
ada dominasi elit (pengusaha) yang menguasai pasaran ledre.
Jika kita cermati, sebenarnya masalahnya bukan soal pesanan,
karena ledre telah menjadi icon Bojonegoro. Masalahnya adalah
kesenjangan pendapatan antara produsen dan pengusaha/pengepul.
Dengan demikian persoalan adalah bagaimana membuat para
produsen ledre di desa-desa itu mendapatkan pendapatan yang fair
dari hasil ledrenya. Dalam hal ini diperlukan alternatif strategi. Pertama,
bagaimana mengembangkan potensi lain selain pisang di daerah
itu. Kedua, kaitannya dengan membuka akses pasar, penting untuk
mencoba mendatangkan pembeli ke daerah itu, misalnya konsep
yang sudah berhasil selama ini adalah dengan menjadikan wilayah
berpotensi sebagai desa wisata. Dengan begitu keuntungannya,
warga yang memproduksi ledre dapat memasarkan secara langsung.
Ketiga, adanya koperasi menjadi penting dalam hal peningkatan
kapasitas dan ketrampilan warga dalam berorganisasi, berkreasi, dan
berbisnis secara lebih fair dan di sisi lain juga menguntungkan.
Selain Industri ledre, di Desa Gapluk juga ada yang mempunyai
unit usaha berupa pembuatan konsentrat untuk pakan ternak,

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


47

Gambar 14. Industri rumah tangga ledre pisang

akan tetapi selama ini masih bekerjasama dengan Holcim sebagai


penyedia bahan baku berupa katul, padahal sesungguhnya
masyarakat sudah mampu untuk mempuat konsentrat sendiri jika
ada bahan baku, serta ketersediaan modal yang cukup. Hal ini bisa
menunjang kegiatan peternakan sapi dan kambing. Kemudian ada
juga yang mempunyai usaha pabrik kerupuk, dan sudah cukup
maju serta didanai oleh salah satu bank untuk mengembangkan
usahanya. Pabrik tersebut mampu menampung beberapa pekerja
sehingga membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat.

4. Kondisi Sosial

Secara umum, kehidupan sosial di Kecamatan Purwosari cukup


kondusif. Namun demikian, hadirnya aktivitas migas juga memberikan
pengaruh tersendiri. Aktivitas sumur Tiung Biru di Desa Kalisumber
yang masuk Kecamatan Tambakrejo yang berbatasan langsung
dengan Desa Kuniran di wilayah Purwosari, membuat dampak sosial
yang tercipta dari industri migas juga melebar dan masuk wilayah
Kecamatan Purowosari. Aktivitas migas yang berupa gerak mobil
tangki yang lalu lalang dirasakan semakin intensif di masyarakat mulai

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


48

Gambar 15. Salah satu kondisi rumah warga

dari Desa Purwosari (terkenal dengan sebutan Tobo), masuk Desa


Gapluk hingga Kuniran. Demikian halnya dengan aktivitas lain, semisal
proses pengeboran. Adanya potensi migas yang hadir di tengah
kehidupan masyarakat dan dampak langsung yang tercipta di sisi
lain, menjadikan harapan dan persoalan bercampur menjadi satu dan
memunculkan tuntutan masyarakat. Dengan adanya dinamika yang
muncul di tengah masyarakat, menjadikan operator gas di Tiung Biru
tidak bisa berdiam diri. Respon yang diberikan selain bersifat karitatif
atau bantuan langsung, juga dalam bentuk fisik, yaitu pembangunan
infrastruktur jalan. Kini kondisi infrastruktur jalan cukup baik untuk
dilalui. Sedikit banyak dampak pada arus ekonomi masyarakat dari
Pasar Tobo sebagai sentra ekonomi tersambung lancar dengan
wilayah lain yang berada di bagian selatan, sampai pusat Kecamatan
Tambakrejo. Namun perbaikan fisik dirasakan masih parsial bagi
masyarakat. Harapan ideal akan pembangunan masyarakat yang
berkelanjutan belum dijalankan. Tepatnya pembangunan masyarakat
yang berbasis pada potensi yang telah terdapat di desa dan berada di
tengah kehidupan masyarakat sehari-hari.
Kondisi sosial suatu tempat tidak bisa dikesampingkan dari
peran aktor yang beraktivitas di dalamnya. Dominasi peran aktor

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


49
pemerintah baik secara institusi maupun individu lebih mewarnai
kehidupan sosial di Purwosari. Pengembangan potensi peternakan
dan pertanian menjadi domain utama dari Unit Pelaksana Teknis
kecamatan. Selain itu kepala desa beserta perangkatnya masih
menjadi penggerak utama pembangunan desa. Menarik dalam
hal ini, kepala desa selain dapat berperan selaku representasi dari
lembaga, juga aktor kuat yang dapat menguasi berbagai akses,
terutama akses langsung terhadap aktivitas migas. Contohnya
menjadi kontraktor dalam proyek migas, atau menjadi penyedia
mobil tangki untuk angkut muat limbah migas. Kondisi tersebut
memang tidak terjadi di sebagian besar desa, seperti di kawasan
sumur migas yang masuk area Blok Cepu.

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


50

C. Analisis SWOT

D
alam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat
Kabupaten Bojonegoro khususnya di Kecamatan Tambakrejo
dan Purwosari dalam era industri migas, perlu dilakukan
analisis situasi terhadap kondisi saat ini dan kemungkinan
perubahannya ke depan. Analisis mencakup dimensi internal dan
dimensi eksternal. Analisis terhadap dimensi internal ditujukan untuk
mengenali kekuatan dan kelemahan yang dimiliki masyarakat di
area industri migas, sedangkan analisis terhadap dimensi eksternal
untuk mengidentifikasi peluang dan ancaman yang berpotensi
sebagai penyebab kegagalan tercapainya kesejahteraan masyarakat
di sekitar area industri migas.

1. Analisis Internal Kekuatan:

Kecamatan Tambakrejo dan Purwosari mempunyai banyak kekuatan


yang menjadi modal dasar untuk pengembangan wilayah. Beberapa
kekuatan itu adalah sebagai berikut :

1. Lahan pertanian dan hutan yang luas

Wilayah Kecamatan Tambakrejo dan Purwosari secara umum


mempunyai luas areal hutan dan pertanian yang relatif luas dengan
kondisi lahan yang cukup subur. Hal ini menjadi modalitas utama
untuk pengembangan budidaya berbagai jenis tanaman pangan
dan produksi ternak.

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


51
2. Kemampuan produksi berbagai jenis tanaman pangan

Didukung kondisi lahan pertanian yang luas dan relatif subur,


Kecamatan Tambakrejo dan Purwosari mempunyai kemampuan
budidaya dan produksi berbagai jenis tanaman pangan, se-perti padi,
jagung, kedelai, ubi kayu dan berbagai jenis tanaman hortikultura
seperti pisang dan mangga.

3. Sentra produksi pisang dan ledre

Bojonegoro dikenal sebagai sentra produksi berbagai jenis tanaman


pisang seperti pisang raja, kepok dan jenis pisang khas Bojonegoro
Subliro. Potensi sebagai sentra produksi pisang dan didukung dengan
tradisi produksi Ledre memungkinkan pengembangan Industri Kecil
dan Menengah (UKM) berbasis pisang dan produk hortikultura lain.

4. Kemampuan produksi ternak

Masyarakat Kecamatan Tambakrejo dan Purwosari sudah mempunyai


tradisi budidaya ternak khususnya sapi, kambing dan ayam. Hal
ini akan membantu dalam hal pengembangan peternakan di dua
wilayah ini.

5. Kelembagaan

Kelompok tani dan kelompok ternak sudah mulai terbentuk di


wilayah Kecamatan Tambakrejo dan Purwosari. Budaya berkoperasi
juga sudah ada di masyarakat. Potensi ini bisa menjadi dasar
pengembangan kelembagaan dalam rangka emberdayaan
masyarakat.

Kelemahan:

1. Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang masih rendah dalam

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


52
hal kewirausahaan dan ketrampilan teknis budidaya tanaman
pangan dan ternak.
2. Kelembagaan yang masih terbatas untuk pengembangan
pertanian, peternakan dan kewirausahaan.
3. Keterbatasan sumber pendanaan dan akses pasar.
4. Keterbatasan sarana dan prasarana produksi pertanian.
5. Keterbatasan sumber daya air untuk produksi pertanian dan
peternakan.

2. Analisis EksternalPeluang:

Sebagai daerah penghasil migas, Kecamatan Tambakrejo dan


Purwosari mempunyai berbagai peluang yang dapat dimanfaatkan
untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat, diantaranya:

1. Industri migas membuka akses pasar

Industri eksplorasi migas di Kecamatan Tambakrejo dan Purwosari


merupakan pasar potensial bagi produk hasil pertanian, peternakan
dan hasil UKM lainnya. Dengan adanya industri migas maka
kebutuhan akan terpenuhinya bahan pangan bagi pelaku dan
pekerja industri migas akan semakin meningkat.

2. Industri migas memacu perkembangan kota

Seiring dengan kedatangan tenaga kerja dari berbagai penjuru dunia dan
masuknya investor untuk memenuhi berbagai kebutuhan pendatang,
maka daerah di sekitar industri migas akan bergerak menjadi kota
modern. Hal ini merupakan peluang bagi masyarakat untuk terlibat
sebagai produsen berbagai kebutuhan pangan, penginapan dan jasa
yang dapat meningkatkan pendapatan.

3. Industri migas akan menggerakan ekonomi

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


53
Dengan asumsi bahwa industri migas akan meningkatkan jumlah
uang yang beredar di daerah sekitarnya, maka ekonomi akan
bergerak dan memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk
terlibat dan mendapatkan tambahan pendapatan.
Ancaman:

Terlepas dari berbagai peluang yang ada, kemunculan industri


migas akan menimbulkan berbagai ancaman yang sekiranya
tidak diantisipasi dapat menimbulkan gejolak sosial. Diantara dari
berbagai ancaman itu adalah:

1. Produk hasil pertanian didatangkan dari daerah/negara lain


2. Produk lokal kalah bersaing dengan produk lain
3. Teradinya marjinalisasi masyarakat lokal
4. Sengketa masalah pertanahan, persaingan tidak sehat dan konflik
social

Berdasarkan analisa situasi internal dan eksternal di atas,


dan mening-katkan kesiapan masyarakat di area industri migas,
diperlukan beberapa strategi umum yang ditampilkan pada Tabel 4.

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


54

Tabel 4. Matrik Analisa Situasi (SWOT Analysis) dan Strategi mengatasinya

Kekuatan: Kelemahan:
 Memiliki wilayah hutan yang  SDM kurang memadai (rendahnya
luas pengetahuan dan ketrampilan
Internal  Kemampuan produksi teknis)
tanaman pangan seperti  Lemahnya kelembagaan pertanian
jagung, padi, kedelai dan ubi dan kewirausahaan (kelompok tani
kayu belum optimal)
 Sentra produksi berbagai  Kekurangan modal dan monopoli
jenis pisang dan ledre akses pasar oleh pengepul
 Potensi produksi ternak (sapi,  Lemahnya inovasi dan diversifikasi
kerbau, ayam buras, kambing, produk olahan
Eksternal dan domba )  Sarana dan prasarana pertanian
 Kelompok tani dan peternak terbatas
sudah terbentuk  Lemahnya jiwa seni, kreatifitas dan
 Terdapat Koperasi Serba kepemimpinan
Usaha
Peluang: Strategi Strategi
 Industri migas merupakan 1) Peningkatan produksi dan 1) Peningkatan kualitas SDM melalui
pasar potensial bagi produk kualitas produk unggulan pelatihan kepemimpinan, seni
hasil pertanian dan Bojonegoro (padi, jagung, dan kreatifitas, kewirausahaan
peternakan kedelai, pisang, daging ayam, dan teknis budidaya tanaman dan
 Wilayah di sekitar area daging kambing, telur). ternak.
migas menjadi kota industri 2) Diversifikasi produk olahan 2) Optimalisasi peran organisasi
dan modern pangan dan non-pangan kepemudaan, LSM, Kelompok
 Peningkatan jumlah uang sehingga meningkatkan nilai Tani dan Ternak, Kelompok
yang beredar di sekitar area jual. Kesenian, dan Kelompok Wanita
industri migas 3) Peningkatan kapasitas untuk membangun kreativitas dan
 Industri migas akan ekonomi melalui pelatihan inovasi di masyarakat.
menggerakan sektor kewirausahaan bagi 3) Pemberdayaan pelaku UKM
ekonomi lain masyarakat dan generasi produsen Ledre melalui modal
muda. bergilir dan peningkatan akses
4) Penguatan kelembagaan pasar.
untuk pelaku usah kecil dan 4) Pemberdayaan pelaku UKM Batik
menengah. Bojonegoro

Ancaman: Strategi Strategi


 Produk hasil pertanian 1) Peningkatan dan adanya 1) Peningkatan inovasi dan
didatangkan dari jaminan kualitas produk lokal industri kreatif.
daerah/negara lain asli Bojonegoro. 2) Melatih dan memunculkan
 Produk asal Bojonegoro 2) Pemasaran intensif dan pemimpin di sektor non formal
kalah bersaing dengan branding produk Bojonegoro. (usahawan, industriawan,
produk impor 3) Pembekalan dalam bidang budayawan) untuk membantu
 Masyarakat terpinggirkan kewirausahaan dan membantu memecahkan
 Konflik sosial kepemimpinan persoalan sosial yang muncul.

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


55

BAB III
STRATEGI PEMBERDAYAAN
MASYARAKAT

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


56

A. Luaran (outcome) dan


Strategi Pencapaian

B
erdasarkan analisis situasi (SWOT analysis), strategi
pemberdayaan masyarakat difokuskan pada: (1) peningkatan
kapasitas ekonomi masyarakat dalam rangka peningkatan
kemandirian sosial dan ekonomi, dan (2) terbangunnya
kepemimpinan yang kuat pada masyarakat lokal di area sekitar
industri migas. Peningkatan kapasitas ekonomi, dan juga
pertumbuhan kepemimpinan yang kuat, bersama-sama akan
dilakukan melalui berbagai program kegiatan berbasis pada kondisi
empiris yang eksis (existing condition) dan ada di masyarakat lokal.
Program ini akan menghasilkan luaran sebagai berikut:

1. Pada level mikro luaran yang diharapkan adalah:

• Terbentuknya kelompok-kelompok wirausaha untuk


penguatan kapasitas personal dan pengorganisasian
masyarakat,
• Masyarakat memiliki skill kepemimpinan dan kewirau-
sahaan sebagai modal pemanfaatan potensi lokal untuk
meningkatkan kesejahteraan,
• Adanya peta unggulan (komoditas) lokal di masing-masing
kecamatan,
• Meningkatnya nilai ekonomis produk lokal sehingga dapat
meningkatkan sumber pendapatan masyarakat.
• Masyarakat menjadi penyedia kebutuhan pokok dan
sekunder (beras, sayuran, buah – buahan, daging, susu,
ikan, dll) untuk konsumsi sehari – hari bagi karyawan dan

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


57
pelaku industi di daerah pengeboran migas,
• Terbentuknya kelembagaan di bidang pertanian, peterna-
kan, wirausaha, lembaga sosial, dan kepemudaan
• Pendampingan kelompok masyarakat dalam pengem-
bangan potensi desa oleh KKN PPM UGM

2. Pada level makro, luaran yang diharapkan adalah:

• Rancangan kebijakan untuk pembangunan berkelanjutan.


• Pemberdayaan masyarakat berbasis Research and Commu-
nity Development.

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


58

B. Program Kegiatan

P
elaksanaan program percepatan peningkatan kesejahteraan
dan kesiapan masyarakat terhadap kehadiran industri migas di
Kecamatan Tambakrejo dan Purwosari ini mencakup beberapa
program kegiatan sebagai berikut:

1. Penerjunan Tim Kuliah Kerja Nyata (KKN) – Pembelajaran


Pemberdayaan Masyarakat (PPM) UGM Berbasis Agro

Melihat potensi agro yang strategis untuk dikembangkan namun dalam


realitasnya tidak sedikit persoalan yang dialami masyarakat dalam
pengembangan potensi tersebut, maka strategi pendampingan menjadi
hal urgen untuk dijalankan. Dalam jangka pendek pendampingan
masyarakat dilakukan melalui penerjunan tim KKN-PPM UGM, terutama
periode Juli-Agustus 2014, yang selanjutnya akan dijalankan secara
berkelanjutan di tahun-tahun berikutnya. Sekalipun bersifat periodik
dengan jangka waktu yang terbatas, namun pendampingan melalui
KKN-PPM UGM tetap dirasa penting, terutama sebagai ruang transfer
pengetahuan dari mahasiswa ke masyarakat, sekaligus sebaliknya dari
masyarakat ke mahasiswa. Artinya, Pendampingan melalui KKN-PPM
UGM tersebut diharapkan membawa kebermanfaatan bagi kedua
pihak. Berdasar pada potensi yang sudah terpetakan maka mahasiswa
yang akan diterjunkan berasal dari latar belakang dan keahlian studi
agro, yaitu pertanian, peternakan, Teknologi Pertanian, Perikanan dan
kehutanan. Sekaligus adanya kondisi sosial yang dinamis di sekitar
sumur migas Tiung Biru, maka mahasiswa dari kluster ilmu sosial
humaniora juga akan diterjunkan pula. Penerjunan mahasiswa dari
sosial humaniora dapat memperkuat proses pendampingan kelompok
dan mengorganisir masyarakat dalam mengoptimalkan potensinya.

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


59
Tujuan Kegiatan Bagi Desa dan Masyarakat :

a. Pemetaan lanjutan potensi desa di sekitar sumur migas


Tiung Biru
b. Pendampingan kelompok masyarakat yang sudah terbentuk
c. Optimalisasi potensi agro melalui melalui pendampingan
sekaligus transfer ilmu yang efektif

Tujuan Kegiatan Bagi Mahasiswa dan Pengembangan


Pengetahuan :

a. Ruang aplikasi ilmu yang diperoleh di dalam kampus


b. Pembelajaran pemberdayaan masyarakat
c. Mempersiapkan mahasiswa agar memilki kesiapan ketika
terjun di dunia praktis sekaligus mengasah rasa keberpihakan
pada masyarakat lokal.
d. Diseminasi pengetahuan dan lesson learned dalam
bentuk buku dari pengalaman mahasiswa selama proses
pendampingan masyarakat.

Sedangkan dalam jangka panjang dan tidak dibatasi periode waktu


tertentu, maka pendampingan dijalankan melalui kemitraan pihak UGM
dengan pemerintah Daerah Kabupaten Bojonegoro maupun melalui
pelibatan organisasi masyarakat sipil lokal dalam mengelola potensi
agro di dua kecamatan tersebut. Adapun potensi agro maupun potensi
lokal lain di desa sekitar Sumur Tiung Biru di Kecamatan Tambakrejo dan
Purwosari yang dikembangkan melalui penerjunan mahasiswa KKN-PPM
UGM maupun pendampingan intesif lainnya adalah sebagai berikut :

2. Pelatihan Pembibitan dan Penggemukan Kambing

Ternak kambing potong adalah salah satu jenis ternak yang dipelihara
sebagian masyarakat di Kecamatan Tambakrejo dan Purwosari. Jenis
ternak ini relatif terjangkau harganya bagi masyarakat pedesaan dan

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


60
lebih mudah pemeliharaannya dibandingkan dengan ternak sapi.
Dengan semakin berkembangnya wilayah Kecamatan Tambakrejo dan
Purwosari sebagai konsekuensi dari imbas industri migas, terbuka pasar
yang sangat besar bagi masyarakat untuk mensuplai kebutuhan daging
khususnya dari kambing potong. Dengan demikian, program pelatihan
pembibitan dan penggemukan kambing akan sangat relevan dengan
peluang yang ada. Selama ini, sistem pemeliharaan dan pengaturan
perkawinan belum dilakukan secara baik, sehingga bibit yang dihasilkan
cenderung mempunyai kualitas yang rendah. Dengan adanya program
ini diharapkan dapat memenuhi permintaan bibit ternak dan di sisi lain
meningkatkan kualitas ternak kambing yang dihasilkan.

Tujuan Kegiatan

Kegiatan pelatihan pembibitan dan penggemukan ternak kambing


bertujuan untuk:

a. Meningkatkan populasi ternak kambing khususnya di


Kabupaten Bojonegoro
b. Menyediakan bibit ternak berkualitas untuk memenuhi
kebutuhan pasar
c. Menyediakan lapangan pekerjaan bagi peternak melalui
pola kemitraan

3. Pengembangan Agro-forestry Berbasis Pisang – Jati

Pada tahap awal pengembangan, tipe pisang yang akan


dikembangkan adalah pisang penghasil buah dengan nilai ekonomis
cukup tinggi yaitu pisang kepok kuning, raja dan mas. Faktor
lainnya yang mendukung pemilihan ketiga jenis pisang tersebut
adalah ketahanannya yang cukup tinggi terhadap penyakit serta
produktivitasnya yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis pisang
lainnya. Di samping itu, batang semu (bonggol) dari ketiga jenis
pisang tersebut menghasilkan serat dengan kualitas terbaik sehingga

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


61
sekaligus juga dapat digunakan sebagai bahan baku pengembangan
industri kerajinan tangan. Kondisi tersebut secara langsung akan
memunculkan peluang bagi berkembangnya sentra industri kecil dan
menengah kerajinan tangan berbahan baku serat bonggol pisang.
Kegiatan demplot dan pengembangan kawasan agroforestry
jati-pisang diimplementasikan menggunakan pendekatan sekolah
lapangan, dengan fokus pada program pemupukan dan pengendalian
organisme pengganggu tanaman untuk menggenjot produksi dan
kualitas pisang yang dihasilkan oleh petani. Petani agroforestry yang
merupakan peserta kegiatan sekolah lapangan dibagi menjadi dua
kelompok berdasarkan kepada lokasi kecamatan yaitu kelompok
Purwosari dan Tambakrejo. Masing-masing kelompok didampingi
oleh tim pendamping dari LPPM UGM secara intensif. Petani
dilibatkan secara aktif dalam setiap kegiatan sekolah lapangan untuk
meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan mereka terkait dengan
teknis baku pengelolaan/budidaya pisang dan jati.

Tujuan Kegiatan:

a. Membangun dan menumbuhkan kesadaran petani mengenai


peluang intensifikasi pemanfaatan lahan di antara tegakan
jati untuk pengembangan komoditas pisang Menggunakan
pendekatan agroforestry,
b. Meningkatkan produktivitas pertanaman pisang di Kabupaten
Bojonegoro,
c. Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani di
Kawasan Area Migas,
d. Memperbaiki kelembagaan petani dalam pengelolaan
kawasan agroforestry,
e. Menjalin kerjasama antar pemangku kepentingan (stakeholder)
dalam pengembangan komoditas pisang di bawah tegakan
jati dengan model agroforestry,
f. Menjamin ’supply-chain’ produk pisang beserta turunannya
baik secara kuantitas maupun kualitas.

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


62
4. Diversifikasi Produk Olahan Pisang

Pisang merupakan salah satu komoditas hasil pertanian yang banyak


tumbuh di pedesaan, termasuk di Kabupaten Bojonegoro. Ada banyak
jenis pisang yang dibudidayakan masyarakat, misalnya pisang raja,
ambon, kepok, susu, saba, uter, dan lainnya. Meskipun kabupaten
Bojonegoro telah dikenal sebagai daerah produsen Ledre yang
menyerap produksi pisang lokal, terutama pisang raja, tentunya tidak
akan mampu menyerap seluruh produksi pisang di daerah tersebut,
terutama produksi pisang yang bernilai ekonomi rendah seperti
pisang Uter yang ada bijinya. Oleh karena itu, perlu upaya untuk
memaksimalkan pemberdayaan potensi pisang lokal selain pisang raja
menjadi suatu produk olahan baru yang bernilai ekonomis tinggi.
Ledre adalah makanan khas Bojonegoro yang sudah tidak asing lagi,
bahkan Ledre bisa dianggap sebagai salah satu ikon kota bojonegoro.
Ledre adalah kue berbentuk gulung atau roll yang dibuat dari bahan
utama tepung beras ketan, santan kelapa, gula pasir, vanilli, garam
dengan aroma khas buah pisang raja. Makanan ini sangat tepat untuk
teman minum teh, sajian tamu atau untuk oleh-oleh. Selain pisang raja,
ledre juga bisa dibuat dari berbagai jenis pisang lainnya misalnya pisang
saba, pisang hijau, pisang susu, dll. Namun demikian, aroma ledre yang
terbaik adalah dari buah pisang raja.
Salah satu produk olahan pisang yang cukup banyak dikena
masyarakat adalah Sale. Pengembangan produk Sale diharapkan
mampu menjadi pendamping Ledre yang sudah dikenal masyarakat.
Produk yang akan dikembangkan tersebut adalah Sale Pisang Stick,
Sale Pisang Gulung, atau Sale Pisang dengan variasi bentuk lainnya.
Meskipun sale bukan merupakan produk baru, tetapi dengan inovasi
baru diharapkan mampu menjadi produk unggulan kedua setelah
Ledre. Dengan berkembangnya produk olahan sale di Bojonegoro,
diharapkan sentra produksi sale yang selama ini ada di Jawa Barat
saja, maka kedepan juga ada di Jawa Timur yaitu Bojonegoro.

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


63
5. Pelatihan usaha peternakan kambing Peranakan Ettawa (PE)

Kambing PE dikenal sebagai kambing penghasil susu disamping


juga sebagai sumber daging. Menurut Knights and Garcia (1997),
jenis kambing ini mampu memproduksi susu 900 gram/hari, dengan
masa laktasi 120 hari. Puncak dari produksi susu kambing PE dicapai
6 sampai 8 minggu setelah beranak, dan mencapai produksi konstan
selama 3 bulan sebelum akhirnya produksi semakin berkurang
dengan laju 3,5% per minggu (Badamana dkk., 1990 cit. AFRC, 1998).
Kambing PE mampu memanfaatkan vegetasi secara efisien untuk
berproduksi, sehingga bermanfaat untuk peternak di pedesaan.
Beberapa usaha untuk pemberdayaan peternak kambing PE, salah
satunya adalah dengan model penggaduhan.Penggaduhan secara
bergulir merupakan salah satu pola pengembangan ternak kambing
di kelompok untuk membantu keberlanjutan usaha (sustainability).
Hasil penelitian pada kelompok peternak wanita menunjukkan
bahwa penggaduhan kambing bermanfaat untuk meningkatkan
produktivitas ternak, menambah pengetahuan dan pendapatan
peternak (Kustantinahet al., 2004). Menurut Jaya (2007) induk
kambing di kelompok peternak pada umumnya dipelihara sampai
beranak kelima atau keenam. Dengan asumsi rata-rata kelahiran
anak 1,5 dan jarak beranak 8 bulan maka keuntungan yang diperoleh
dari gaduhan ini setelah 26 bulan sebanyak 6 ekor anak kambing.
Jika 2 ekor anakan dikembalikan ke donor atau digilirkan ke peternak
lain (revolving), maka peternak akan mendapatkan 4 ekor anakan
plus ternak induk. Apabila dijual pada umur lepas sapih dengan
harga rata-rata Rp. 1.000.000/ekor, maka peternak mendapatkan
keuntungan penjualan kambing sebesar Rp.4.000.000,- selama 26
bulan. Di samping itu tambahan pendapatan dapat diperoleh dari
penjualan susu kambing dan kotoran ternak.

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


64
Tujuan Kegiatan:

a. Mendukung pengembangan usaha ternak kambing PE di


daerah Bojonegoro dengan skema penggaduhan.
b. Meningkatkan efisiensi pengelolaan ternak kambing PE
melalui pembangunan kandang kelompok ternak (koloni)
kambing PE.
c. Meningkatkan pendapatan peternak kambing PE melalui
skema pembelian dan pemasaran susu segar kambing PE
oleh mitra.

6. Budidaya Jati Unggul

Berkembangnya hutan rakyat (HR) yaitu unit lahan yang dikelola


menyerupai ekosistem hutan secara personal/individual di luar
kawasan hutan negara, merupakan fenomena menarik di beberapa
wilayah, khususnya di Pulau Jawa. Secara ekologis, pembangunan
hutan rakyat dapat membantu meningkatkan kualitas lingkungan
seiring dengan rusaknya ekosistem hutan negara. Secara ekonomis,
nilai kayu yang tinggi dan kestabilan tanaman kayu terhadap
ketidakpastian iklim menyebabkan budidaya kayu merupakan
alternatif yang sangat menarik bagi petani saat ini. Pengelolaan
hutan rakyat biasanya masih tradisional yang dicirikan oleh orientasi
pengelolaan jangka pendek, dan tidak optimal. Hal ini disebabkan
oleh masih lemahnya pengetahuan petani tentang silvikultur.
Sebagai misal, pengaturan komposisi tegakan tidak dilakukan
dengan baik karena pengetahuan tentang kompetisi antar tanaman
masih kurang. Sistem tebang juga belum disesuaikan dengan daur
optimal dari setiap jenis kayu yang ditanam. Dengan berkembangnya
ilmu silvikultur, maka telah dilakukan penelitian tentang pemuliaan
tanaman kayu yang memiliki pertumbuhan yang lebih cepat dan
produktivitas tinggi. Bibit tanaman kayu yang unggul, khususnya
jati, ini bisa dikenalkan kepada petani hutan rakyat pada daerah-
daerah yang cocok secara ekologi. Di samping itu dukungan ilmu

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


65
agroforestry dapat diterapkan dengan tepat untuk mengombinasikan
tanaman kayu dengan tanaman semusim sesuai dengan kondisi
lingkungan mikro yang diciptakan oleh tegakan/hutan tersebut.
Melalui program ini akan dilakukan kegiatan peningkatan kualitas
tegakan hutan rakyat melalui budidaya jati uggul dan pengelolaan
agroforestry yang optimal pada hutan rakyat di Kab. Bojonegoro,
untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dalam jangka pendek
dan kesejahteraan masyarakat dalam jangka panjang.

Tujuan Kegiatan:

a. Pengenalan budidaya jati unggul pada hutan rakyat,


b. Pembudidayaan tanaman semusim pada hutan rakyat secara
tepat waktu,
c. Pemeliharaan tegakan hutan rakyat yang sudah ada dengan
penerapan teknik silvikultur yang tepat,

7. Penerapan Sistem Pertanian Terpadu Dengan Input Teknologi

Pertanian tradisional ramah lingkungan mulai dilirik kembali oleh


masyarakat. Perlahan namun pasti, kesadaran untuk kembali ke
alam semakin meningkat. Penggunaan pupuk dan pestisida kimiawi
menjadikan hama justru meningkat dan makin kebal, lahan pertanian
makin tandus dank eras, belum lagi residu yang mengendap di
dalam bahan hasil pertanian yang sangat tidak sehat bagi tubuh.
Kesemuanya menjadi alas an bagi para petani untuk kembali kealam
dan pertanian ramah lingkungan.
Selanjutnya, masayarakat mulai melirik untuk menerapkan
pertanian terpadu yang memanfaatkan setiap perputaran lahan,
pengelohan lahan, pemeliharaan, pemanenan serta pemanfaatan
limbah menjadi kegiatan yang bermanfaat, artinya tidak ada barang
yang tidak berguna, semuanya dari lahan pertanian dan akan kembali
lagi ke lahan pertanian. Dengan demikian, petani lebih kreatif untuk
melakukan penanganan pra panen sampai pasca panen.

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


66
Dalam program ini, akan dilakukan kombinasi antara pertanian
terpadu dengan system tradisional kemudian diberikan input
energy berupa teknologi guna meningkatkan hasil panen. Salah
satunya dengan penggunaan mulsa plastik pada tanaman sayuran,
penggunaaan pupuk kompos dari hasil peternakan ayam dan
kambing, serta pembenahan system irigasi dengan pemanenan air
pada musim penghujan agar bisa dimaksimalkan penggunaannya
pada musim kemarau, selain itu juga bisa dikembangkan budidaya
tanaman padi dengan metode System of Rice Intensification (SRI).
Penggunaan mulsa plastik sangat efektif untuk meningkatkan
hasil panen, pengendalian hama serta mengurangi penguapan
air irigas. Sedangkan metode SRI mampu menghemat proses
pengolahan, perawatan serta pemupukan dan irigasi. Sedangkan
untuk pengendalian air irigasi, bisa dilakukan upaya pemanenan
air hujan dengan membuat embung kecil serta sumur doker (bis)
sebagai tampungan air.

8. Pelatihan dan Magang Budidaya Ternak Ayam

Kebutuhan akan daging ayam bagi masyarakat cukup tinggi, terlebih


saat kedatangan industri migas, serta adanya berbagai rumah
makan di wilayah sekitar. Sejauh ini, baru ada dua peternakan ayam
pedaging dengan sistem plasma. Kedepan, diharapkan peternak
ayam lebih mandiri dalam mengelola peternakannya dalam hal
pemodalan dan pemasaran, dikarenakan dengan system plasma
ini, peternak tidak bisa menentukan harga jual ayam disaat panen
sehingga kesejahteraan peternak belum bisa meningkat.
Dengan program ini, akan dilakukan proses pendampingan
kepada masyarakat untuk memanfaatkan waktu luang (senggang)
sebagai petani serta adanya lahan kosong di pekarangan tersebut
agar bisa dimanfaatkan untuk kegiatan peternakan ayam keluarga.
Dan jika memungkinkan, maka bisa juga di kembangkan sebagai
peternakan besar oleh kelompok ternak ayam. Dikarenakan secara
teknis masyarakat sudah memahami prosesnya, maka hanya

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


67
dibutuhkan input teknologi dalam perawatan dan peningkatan
hasil. Dengan demikian, masyarakat di sekitar lokasi pengeboran
migas bisa berdaya dan meningkatkan taraf hidup seiring dengan
peningkatan pendapatan. Artinya keberadaan migas memberikan
kemanfaatan bagi masyarakat.

9. Pengembangan Budidaya Ikan Sistem Resirkulasi

Dalam budidaya ikan, air merupakan komponen penting dalam


menentukan keberhasilan usaha perikanan. Bagi usaha perikanan
yang berlokasi di dekat sumber air, pengadaan air baik kualitas
maupun kuantitas bukanlah merupakan suatu masalah yang serius.
Namun, masalah pengadaan air sering terjadi pada usaha-usaha
perikanan yang berada di daerah tandus atau daerah yang jauh dari
sumber mata air. Untuk menghindari penggunaan biaya yang terlalu
tinggi dalam pengadaan air, maka dibutuhkan suatu sistem budidaya
yang dapat menggunakan air dengan sehemat mungkin. Salah
satu alternatif pemecahan masalah yang telah digunakan adalah
budidaya ikan dengan sistem resirkulasi, yaitu sistem budidaya
ikan yang ikan yang memanfaatkan air kolam secara berulang-
ulang sehingga dapat menghemat pemakaian air. Selain itu, agar
tidak membahayakan kehidupan ikan karena penurunan kualitas air,
sebelum air dipergunakan kembali air harus disaring terlebih dahulu
supaya sisa makanan dan kotoran hasil metabolisme akan terbuang.
Dengan demikian, kualitas air akan tetap terjaga dalam kondisi yang
memadai untuk kehidupan ikan. Dalam hal ini, pembudidayaan
ikan dapat menggunakan kolam semi permanen maupun kolam
permanen. Secara garis besar, bahan-bahan yang diperlukan bagi
usaha budidaya ikan dengan sistem resirkulasi adalah beberapa
buah bak, pompa (water pump), dan pipa paralon. Bak dapat dibuat
dari bahan beton, plastik, fiber-glass maupun bahan-bahan lain,
tergantung pada biaya yang tersedia. Jika pembuatan kolam semi
permanen maupun permanen relatif mahal, maka pembudidaya
dapat membuat kolam dengan terpal. Yang dimaksud dengan kolam

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


68
terpal adalah bentuk kolam yang terbuat dari bahan terpal dan tidak
tembus air. Jika dibandingkan dengan kolam semen maka kolam
ikan terpal relatif sangat murah dari segi harganya, sangat mudah
dan cepat dalam pemasangannya.

Tujuan Kegiatan :

a. Mengembangkan potensi perikanan budidaya dalam


masyarakat,
b. Mengenalkan masyarakat pada pengembangan budidaya
ikan berbasis sistem resirkulasi,
c. Mengembangkan sistem budidaya ikan yang tepat dan
efisien.

10. Optimalisasi usaha batik sebagai sarana pengembangan


kemampuan kewirausahaan

Selain menyimpan potensi agro berupa pertanian dan peternakan,


potensi kreasi masyarakat juga muncul dengan usaha batik, baik
yang dijalankan perseorangan maupun kelompok. Dalam beberapa
tahun terakhir, masyarakat dengan diorganisir pemerintah daerah
menginisiasi dan mengembangkan usaha batik bermotif lokal
Bojonegoro, seperti daun tembakau, jati, padi, thengul, salak dan
lain sebagainya. Masyarakat biasa meyebutnya dan lantas menjadi
brand image dengan nama “batik Jonegoroan”.
Pengembangan dan pendampingan usaha batik telah mulai massif
dijalankan. Ada perajin yang mampu mandiri hingga tidak memerlukan
pendampingan, namun ada pula perajin atau kelompok perajin
yang masih dalam dampingan pemerintah daerah maupun sektor
swasta. Terutama di desa-desa sekitar sumur migas, corporate social
responsibility (CSR) dari perusahaan operator migas menjadi stimulant
bagi proses pengambangan usaha batik. Dalam pelaksanaanya
perusahaan bermitra dengan lembaga swadaya masyarakat lokal
dalam menjalankan proses pengembangan dan pendampingan.

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


69
Pendampingan yang dijalankan nampak telah komprehensif mulai
dari proses produksi, promosi hingga pencarian dan perluasan pasar.
Dengan kondisi tersebut, satu sisi menjadi modal yang cukup
baik dalam proses pendampingan yang akan dijalankan melalui
KKN mahasiswa maupun bentuk pendampingan yang lain,
sedangkan di sisi lain tentu kegiatan pendampingan yang akan
dijalankan tidak bermaksud mengambil alih proses pengembangan
dan pendampingan usaha batik yang telah dijalankan, namun
lebih untuk memperkuat dan menyasar pada kelompok atau
desa di sekitar migas yang ada potensi namun belum ada proses
pengembangan dan pendampingan yang efektif. Nilai penting
dalam hal ini dan hubungannya dengan upaya ketidaktergantungan
pada migas, adalah usaha batik sebagai wujud dari pengembangan
kewirausahaan masyarakat desa. Maka selain pelestarian potensi
lokal, pengembangan dan pendampingan usaha batik diharapkan
mampu mendorong terciptanya peluang kerja hingga kemandirian
dan peningkatan taraf ekonomi masyarakat desa.

Tujuan kegiatan :

a. Aspek Kognitif :

- Menanamkan dan memperkuat jiwa kewirausahaan


masyarakat desa, termasuk untuk tidak semata tergantung
pada sektor primer dan migas
- Sharing perkembangan aspek pasar yang menjadikan
perajin/pengusaha harus tanggap

b. Aspek teknis :

- Pendampingan dalam proses produksi, terutama tata letak


peralatan produksi yang menjamin efektifitas dan efisiensi.
- Pengembangan motif yang marketable namun tidak
meninggalkan motif khas Bojonegoro

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


70
- Pencarian dan perluasan aspek pasar dengan promosi
intensif terutama melalui media daring.

11.
Penguatan Kelembagaan Lokal (Kelompok Tani/Ternak,
LSM, Kelompok Wanita, UKM)

Pelaksanaan berbagai kegiatan di atas, tentu tidak bisa dilepaskan


dari kerangka kelembagaan lokal. Masyarakat menjalankan perannya
dan berinteraksi antar individu seprofesi dalam kelembagaan lokal.
Sekaligus di dalamnya sebagai ruang bertukar pikiran, saling
bekerjasama untuk memecahkan persoalan hingga mencapai tujuan
bersama. Kelembagaan yang terdapat di masyarakat baik dalam
bentuk kelembagaan formal yang berwujud kelompok-kelompok
masyarakat, seperti kelompok petani, peternak, UKM maupun
kelembagaan informal berupa tata aturan dan nilai-nilai lokal yang
masih dipahami dan dijalankan masyarakat. Kelembagaan informal
tersebut mewujud dalam semangat gotong royong dan bentuk-
bentuk modal sosial lainnya.
Namun dalam kondisi riil, kelembagaan tersebut ada yang berjalan
baik namun ada pula yang stagnan. Selain ada pendampingan
intensif, lembaga yang berjalan baik dikarenakan keswadayaan dan
partisipasi masyarakat anggotanya yang tinggi. Bagi lembaga yang
stagnan, wadah kelembagaan hanya dimaknai formalitas, apalagi
kelembagaan yang diintrodusir dari negara, hanya semata dibentuk
untuk menerima bantuan namun di luar itu tidak ada proses
penguatan kapasitas kelembagaan berkelanjutan.
Di dua kecamatan sebagai lokasi studi, kelembagaan lokal
mewujud pada kelompok petani yang lantas beberapa kelompok
membentuk gapoktan, kelompok peternak, hingga kelembagaan
formal besar seperti LSM lokal dan koperasi. Proses pembentukan
kelompok-kelompok tersebut juga didasari bermacam latar belakang.
Ada yang murni keswadayaan masyarakat, sebagai sambutan atas
dikucurkannya program CSR, hingga kelompok yang dibentuk oleh
pemerintah. Berjalannya kelembagaan lokal tersebut juga dalam

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


71
kondisi yang beranekaragam. Terdapat kelompok ternak yang mampu
menjalankan kegiatan dengan teratur, mulai proses penciptaan
pangan hingga pencarian berbagai macam bantuan bahkan sudah
dapat menjalankan koperasi. Namun di sisi lain, terdapat pula
kelompok yang baru berkembang dan ada pendampingan dari
kelompok lain yang sudah maju, serta terdapat pula kelompok yang
tidak berkembang dengan partisipasi masyarakat sebatas formalitas.
Dengan kondisi tersebut maka penguatan kelembagaan lokal
menjadi hal urgen untuk dijalankan dan tentunya terintegrasi dengan
pengembangan potensi agro maupun UKM yang ada. Bagi pihak
luar, terutama mahasiswa maupun pihak pendamping lain, sasaran
penguatan kapasitas kelembagaan dapat dijalankan langsung
pada kelompok, maupun pendamping dari pihak luar bertindak
sebagai aktor intermediary yang menghubungkan dan memperkuat
pendampingan antara kelompok/lembaga yang sudah berkembang
dengan kelompok/lembanga yang belum berkembang. Dengan
demikian menjadikan lembaga lokal yang sudah maju sebagai TOT.
Misalnya menjadikan LSM lokal sebagai mitra pendamping untuk
penguatan kelembagaan kelompok. Dengan kapasitas kelambagaan
yang berbeda-beda di setiap kelompok maka upayan penguatan
kapasitasnya pun juga berbeda.

Tujuan Kegiatan :

Bagi lembaga yang belum berkembang :

- Penguatan kelembagaan mulai dari identifikasi persoalan


dan potensi
- Penanaman jiwa kewirausahaan
- Intensifikasi dan diversifikasi produk agro maupun UKM
melalui pengetahuan dan perangkat teknologi
- Tertib administrasi dan ssitem kerjasama dalam internal
kelompok/lembaga
- Penguatan jejaring dan pencarian aspek pasar

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


72
Bagi lembaga yang sudah berkembang :

- Penguatan jejaring baik antar lembaga lokal maupun pihak


lain, seperti pemerintah, akademisi, dan sektor pasar
- Intensifikasi dan diversifikasi produk agro dan UKM melalalui
pengetahuan dan perangkat teknologi
- Perluasan aspek pasar

Ketika penguatan kelembagaan dasar sudah dapat dijalankan,


sekaligus sebagai ruang kedaulatan ekonomi bagi anggota
kelompok, maka dapat berlanjut pada inisiasi pembentukan koperasi.
Serta tidak kalah urgen, selain pada pendampingan dan penguatan
berbagai kelompok, pendampingan dan penguatan kelembagaan
formal juga dipandang urgen pada lembaga usaha desa yang di
sebagian desa sudah terbentuk, yaitu BUMDes. BUMDes sebagai
wujud formal usaha desa yang berperan dalam meningkatkan
pendapatan asli desa maupun berperan sosial untuk distribusi dan
redistribusi sumber daya desa untuk masyarakat, seperti sumber
daya air.

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


73

BAB IV
PENUTUP

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


74
A. Kesimpulan

Dengan ditemukannya dan dieksploitasinya beberapa sumur migas,


Kabupaten Bojonegoro khususnya wilayah Kecamatan Tambakrejo
dan Purwosari berpotensi besar sebagai daerah industri baru. Hal ini
berimplikasi pada peningkatan pergerakan uang di kedua wilayah
tersebut yang idealnya akan mampu menggerakkan ekonomi
setempat. Dengan kondisi seperti ini, perlu adanya pendampingan
proses transformasi dari kultur masyarakat agraris dan miskin menjadi
masyarakat industri yang penuh inovasi dan krea-tifitas, mempunyai
jiwa kewirausahaan dan kepemimpinan. Dengan demikian, strategi
yang perlu dilakukan untuk menyiapkan masyarakat dalam era
industri migas adalah: (1) peningkatan kapasitas ekonomi melalui
berbagai pelatihan dan magang dalam hal teknis budidaya dan
pengelolaan dana, (2) peningkatan karakter kewirausahaan dengan
pelatihan usaha kecil dan menengah di berbagai komoditas lokal
unggulan, dan (3) terbentuknya jiwa kepemimpinan di masyarakat
melalui berbagai kelompok, LSM, dan organisasi lain.

B. Rekomendasi

1. Program peningkatan kesejahte-raan idealnya fokus pada


peningkatan kemampuan dan pengetahuan masyarakat untuk
mengolah komoditas lokal menjadi produk dengan nilai tambah
ekonomis.
2. Program kegiatan pemberdayaan masyarakat dilaksanakan
berbasis pada budaya dan kebiasaan yang ada di masyarakat. Hal
tersebut dimaksudkan untuk menghindari inisiasi kegiatan baru
yang dikhawatirkan sullit diterima oleh masyarakat dan tidak
relevan dengan kultur setempat. Dengan demikian, kebiasaan
yang sudah ada dalam masyarakat (terutama yang mendukung
sumber penghasilan) perlu untuk dikembangkan dan didampingi.
3. Pelatihan SDM dalam hal kewirausahaan, kepemimpinan dan seni
diberikan kepada kelompok-kelompok yang sudah terbentuk

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


75
sebelumnya. Kelompok yang sudah terbentuk sebelumnya lebih
mudah untuk diorganisir dan mengorganisir diri sebab dipastikan
sudah terbentuk modal sosial yang kuat di antara mereka.

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO


76

DAFTAR PUSTAKA

BPS Kab. Bojoengoro. 2011. Kabupaten Bojonegoro Dalam Angka 2011.

Davies Ed, ‘Indonesia’s Texas? Rural Java Braces for Oil Boom’, http://
www.reuters.com/article/2009/08/10/us-indonesia-oil-
idUSTRE57903420090810, 9 Agustus 2009

Hudayana, Bambang. 2011. Konseptualisasi Pemberdayaan Masyarakat


Di Wilayah Industri Tambang dan Migas Berbasis Pada Kearifan
Lokal, IRE Insight Working Paper. Yogyakarta: IRE & The Asia
Foundation

Indonesia Raksasa Maritim Masih Tertidur Lelap, http://


indomaritimeinstitute.org/2011/03/584/, 3 Desember 2013.

Nurhayati, Pradhikna Yunik. 2012. CSR berbasis Community Bassed


Development; Studi Tentang Program Pengembangan
Kapasitas Kelembagaan Desa Bojonegoro di Wilayah Kerja
MCL, skripsi sarjana. Yogyakarta: JMKP Fisipol UGM

Suara Banyuurip, Edisi 41 Tahun 2010, hal. 4.

Suyoto. 2013. Eksploitasi Migas Untuk Kesejahteraan Berkelanjutan,


dalam One, Defirentia dan Danang Wahyuhono (Eds),
Mengelola Pembangunan Daerah Penghasil Migas.
Bojonegoro: Ikatan Mahasiswa Bojonegoro – Yogyakarta.

Tim Penelitian Bisnis Militer Bojonegoro. 2004. Laporan Penelitian


Bisnis Militer di Perusahaan Pengeboran Minyak Bojonegoro
Jawa Timur. Jakarta: Kontras

Tabloid Flamma, edisi 30, Juni-Agustus 2008, Berharap Sejahtera Dari


Semburan Minyak: Licin Minyak Blok Cepu Agar Berkah Tak Jadi
Musibah, diunduh dari http://www.ireyogya.org/id/flamma/
licin-minyak-blok-cepu.html, pada tanggal 7 April 2011

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO

Anda mungkin juga menyukai