Class : 2B
Student ID : 1906945
A. Petunjuk:
1. Jawaban harap dilengkapi dengan daftar pustaka, selanjutnya digabungkan menjadi
satu, diserahkan dalam bentuk soft copy,
2. Jawaban dikumpulkan pada waktu perkuliahan landasan pedagogik tgl. 30 Maret 2020
atau kirim ke pupunnuryani@upi.edu
Istilah pedagogik berasal dari dua kata Yunani, yaitu “paedos” yang berarti
anak laki-laki dan “agogos” yang artinya mengantar, membimbing, atau
memimpin. Jadi pedagogik secara harfiah berarti pembantu anak laki-laki pada
zaman yunani kuno, yang pekerjaannya mengantarkan anak majikannya
kesekolah. Jadi bisa dikatakan bahwa pedagogik adalah seorang ahli yang
mengantarkan atau membimbing seseorang mencapai tujuan tertentu. Beberapa
ahli dalam Pendidikan juga mengemukakan pendapatnya mengenai pengertian
pedagogic Hoogveld (Sadulloh, 2020:2) mendefinisikan pedagogik ialah ilmu
yang mempelajari masalah membimbing anak ke arah tujuan tertentu, yaitu agar
kelak ia mampu secara mandiri menyelesaikan tugas hidupnya. Sehingga dengan
kata lain pedagogik ialah ilmu mendidik anak.
Berbeda dengan pendapat tersebut diatas, Langeveld (Sadulloh, 2020:2),
membedakan istilah pedagogik dan pedagogi. Pedagogik diartikan dengan ilmu
mendidik, lebih menitikberatkan kepada pemikiran, perenungan tentang
pendidikan. Suatu pemikiran bagaimana kita membimbing anak, mendidik anak.
Sedangkan pedagogi berarti pendidikan, yang lebih menekankan kepada praktik,
menyangkut kegiatan mendidik, kegiatan membimbing anak.
Bagi pendidik memahami landasan pedagogik merupakan sesuatu keharusan.
Pedagogi sendiri merupakan satu kompetensi wajib yang wajib dimiliki oleh
seorang pendidik. Dengan memahami landasan pedagogik seorang guru akan
dapat memahami karakteristik peserta didik dari berbagai aspek, memahami latar
belakang peserta didik, memahami gaya belajar dan kesulitan belajar peserta
didik, memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik, menguasai teori dan
prinsip belajar serta pembelajaran yang mendidik, mengembangkan kurikulum
yang mendorong keterlibatan peserta didik dalam pembelajaran, merancang
pembelajaran yang mendidik, melaksanakan pembelajaran yang mendidik,
mengevaluasi proses dan hasil pembelajaran.
Dalam kegiatan pembelajaran pendidik memiliki otoritas untuk mengambil
keputusan terhadap hal-hal yang terjadi di dalam kelas. Agar keputusan yang
diambil adalah keputusan yang tepat guru wajib menguasai pemahaman terhadap
landasan pedagogik dengan baik. Selain itu pemahaman yang baik terhadap
landasan pedagogic juga sangat diperlukan bagi pendidik untuk mengembangkan
potensi peserta didik secara teori dan prinsip belajar serta pembelajaran yang
mendidik. Tentu saja dengan mengembangkan kurikulum yang akan mendorong
keterlibatan peserta didik dalam pembelajaran sehingga dalam merancang
pembelajaran yang mendidik, melaksanakan pembelajaran yang mendidik dan
mengevaluasi proses dan hasil pembelajaran akan dapat dilaksanakan secara
efisien dan tepat.
a. Tujuan pendidikan
Tujuan Pendidikan merupakan sesuatu unsur pendidikan yang hendak dicapai
oleh peserta didik dalam proses Pendidikan. Tujuan pendidikan sangat penting
karena menjadi acuan tercapai tidaknya proses pendidikan yang diinginkan. Jika
proses pendidikan tidak dapat menghasilkan output sesuai tujuan pendidikan yang
telah ditentukan maka perlu adanya evaluasi dalam proses pendidikan itu sendiri.
Ada berbagai macam tujuan Pendidikan.
Tujuan Pendidikan nasional itu sendiri tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003
mengenai system pendidikan nasional pasal 3, diterangkan bahwa tujuan
pendidikan adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab. Hal ini menunjukan bahwa kurikulum yang
disusun harus membuat pendidik melakukan kegiatan pembelajaran yang
mengarahkan peserta didik mencapai tujuan pendidikan nasional sehingga proses
pendidikan berjalan dengan sukses.
b. Isi pendidikan/kurikulum
Pengertian kurikulum tercantum dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat (19) yang berbunyi: Kurikulum
adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Dalam undang-undang
itu dijelaskan bahwa kurikulum merupakan pedoman dalam kegiatan
pembelajaran. Kurikulum berfungsi sebagai pedoman dalam pelaksanaan kegiatan
pendidikan di sekolah bagi pihak-pihak yang terkait, baik secara langsung maupun
tidak langsung, seperti pihak guru, kepala sekolah, pengawas, orang tua,
masyarakat dan pihak siswa itu sendiri. Sehingga setiap kegiatan pembelajaran
haruslah berdasar atau sesuai dengan kurrikulum. Jika penyelenggaraan sudah
dilakukan sesuai dengan kurikulum yang berlaku maka diharapkan peserta didik
dapat mencapai tujuan pendidikan dengan efektif dan sukses. Maka dari itu, dalam
proses pendidikan, pendidik wajib memahami kurikulum dengan baik agar proses
pengajaran berlangsung sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Pendidik harus
memahami kurikulum yang sedang digunakan karena kurikulum ini selalu
berubah guna menyesuaikan kebutuhan di eranya serta menyesuaikan tujuan
pendidikan yang diinginkan.
c. Hakekat anak
Pendidik harus memahami siapa peserta didiknya. Untuk itu pendidik harus
memahami hakikat anak. Pemahaman mengenai hakekat anak sangat
mempengaruhi keputusan-keputusan yang berkaitan dengan pedagogik oleh
seorang guru atau pendidik. Musthafa (2010), mengatakan bahwa anak adalah
anak, bukan miniature orang dewasa. Pendidik tidak boleh memberikan perlakuan
yang sama terhadap anak dengan orang dewasa.
Selaras dengan hal tersebut, Dra. Widarmi D. Wijana, M.M. mengungkapkan
bahwa anak merupakan seorang manusia atau individu yang memiliki pola
perkembangan dan kebutuhan masing-masing yang berbeda dengan orang dewasa.
Pada dasarnya anak memiliki pola perkembangan yang bersifat umum yang sama
dan terjadi pada setiap anak. Namun, ritme perkembangan pada setiap anak
berbeda satu sama lainnya. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya anak bersifat
individual. Sehingga dapat dikatakan bahwa anak adalah anak dan bukan manusia
dewasa dalam bentuk kecil. Dari penjelasan tersebut diatas, maka sudah jelas
wajib bagi pendidik untuk memahami landasan pedagogic guna memahami
hakikat anak, bahwa anak memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda antara satu
dengan yang lainnya, sehingga perlakuannya pun harus dibedakan sesuai
karakteristik masing-masing individu. Pendidik yang mampu memahami hakikat
anak akan mampu melaksanakan proses pendidikan dengan lebih baik dan efektif
karena dapat mengontrol kegiatan pembelajaran dengan lebih baik.
e. Situasi pendidikan
Situasi pendidikan merupakan kondisi yang ditandai dengan adanya sejumlah
kandungan pokok yang terdapat pada kegiatan pendidikan pendidikan, yaitu
adanya peserta didik, pendidik, dan tujuan pendidikan yang ketiganya terintegrasi
melalui proses pembelajaran. Menurut Uyoh Sadulloh (2010:111), situasi
pendidikan ialah situasi yang diciptakan di mana pendidik melakukan interaksi
kepada anak didik untuk mencapai tujuan tertentu dan dilaksanakan dengan penuh
kesadaran dan kewaspadaan. Di sini akan terjadi proses interaksi belajar-mengajar
antara guru-siswa untuk mencapai suatu tujuan pembelajaran yang telah
ditetapkan sebelumnya.
Peranan situasi pendidikan ini amatlah penting karena di sinilah terjadi proses
transfer ilmu dan nilai dari guru ke siswa. Situasi pendidikan juga dapat berarti
latar atau tempat di mana berlangsungnya pendidikan yang dibedakan menjadi
pendidikan informal, formal, dan non-formal.
b. Realisme
Filsafat realisme merupakan kebalikan dari idealisme. Jika idealisme kebenaran
tertingginya adalah ide, dan ruh maka realisme lebih berpegang pada adanya bukti
fisik. Dalam pandangan realisme kebenaran tidak hanya ada dalam alam ide tetapi
juga harus ada dalamalam nyata. Contohnya bagaimana kursi itu ada karena ada
yang membuatnya, begitu juga dengan adanya alam yang berarti ada yang
membuat.
Dalam perspektif epistemologi aliran realisme pendidikan dalam realisme
adalah proses ilmiah yang ditujukan pada hal-hal yang beraneka ragam persoalan
pendidikan seperti mengenai realitas peserta didik, pendidik, dan isi pendidikan,
strategi dan lain sebagainya yang dapat digunakan oleh seseorang atau
sekelompok orang sebagai dasar utama dalam menyelenggarakan kegiatan
pendidikan.
Pendidikan yang didasari oleh realisme bertujuan agar peserta didik menjadi
manusia bijaksana secara intelektual yang dapat memiliki hubungan serasi dengan
lingkungan fisik maupun sosial. Implikasi pandangan realisme menurut Sadulloh
(2003: 42) adalah sebagai berikut:
1. Tujuan pendidikannya membentuk individu yang dapat menyelesaikan diri
dalam masyarakat dan memilki tanggung jawab pada masyarakat.
2. Kedudukan peserta didik ialah memperoleh intruksi dan harus menguasai
pengetahuan. Disiplin mental dan moral diperlukan dalam setiap jenjang
pendidikan.
3. Peran guru adalah menguasai materi, memiliki keterampilan dalam
pedagogi untuk mencapai tujuan pendidikan.
4. Kurikulum yang dikembangkan bersifat konfrehensif yaitu memuat semua
pengetahuan yang penting. Kurikulum realis menghasilkan pengetahuan
yang luas dan praktis.
5. Metode yang dilaksanakan didasari oleh keyakinan bahwa senua
pembelajaran tergantung pada pengalaman. Oleh karenanya pengalaman
langsung dan bervariasi perlu dilaksanakan oleh peserta didik. Metode
penyampaian harus logis dan didukung oleh pengetahuan psikologis.
c. Pragmatisme
Pragmatisme berasal dari bahasa Yunani: pragma, artinya yang dikerjakan,
yang dilakukan, perbuatan, tindakan. Pragmatisme adalah aliran dari filsafat yang
berpandangan bahwa kriteria kebenaran sesuatu adalah apakah sesuatu itu
memiliki kegunaan bagi kehidupan nyata oleh sebab itu kebenaran sifatnya
menjadi relative tidak mutlak. Mungkin sesuatu konsep atau peraturan sama
sekali tidak memberikan kegunaan bagi masyarakat tertentu, tetapi berguna bagi
masyarakat yang lain. Maka konsep itu dinyatakan benar oleh masyarakat yang
kedua.
Menurut Tafsir (1990) penganut pragmatisme menaruh perhatian pada
praktek. Mereka memandang hidup manusia sebagai suatu perjuangan untuk
hidup yang berlangsung terus-menerus yang di dalamnya terpenting adalah
konsekuensi-konsekuensi yang bersifat praktis. Konsekuensi-konsekuensi yang
bersifat praktis tersebut erat hubunganya dengan makna dan kebenaran.
Adapun implikasi pragmatisme dalam pendidikan (Sadulloh: 2003: 56) adalah
sebagai berikut:
1. Tujuan pendidikannya menggunakan pengalaman sebagai alat
menyelesaikan hal-hal baru dalam kehidupan pribadi maupun
kehidupan masyarakat.
2. Kurikulum dirancang dengan menggunakan pengalaman yang telah
diuji namun dapat diubah kalau diperlukan.
3. Minat dan kebutuhan peserta didik diperhitungkan dalam penyusunan
kurikulum.
4. Fungsi guru adalah mengarahkan pengalaman belajar perserta didik
tanpa terlalu mencampuri minat dan kebutuhannya.
Dari implikasi tersebut dapat diuraikan bahwa tujuan pendidikan dalam
pragmatisme disusun berdasarkan pengalaman dengan tujuan utama agar peserta
didik mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan yang terjadi di dalam
masyarakat. Kurrikulumnya bersifat flexible karena menyesuaikan dengan
kebutuhan di eranya. Jika kurrikulum yang sedang dipakai sudah tidak relevan
lagi maka perlu diadakan perubahan kurrikulum sesuai kebutuhan pada masanya.
Metode pendidikan dalam ajaran pragmatisme lebih mengutamakan
penggunaan metode pemecahan masalah (problem solving method) serta metode
penyelidikan dan penemuan (inquiri and discovery method). Peranan guru dan
siswa dalam pragmatisme adalah mengutamakan manfaat praktis dari proses
pendidikan yang dilakukan. Peranan guru bukan “menuangkan” pengetahuanya
kepada siswa. Setiap apa yang dipelajari oleh siswa haruslah sesuai dengan
kebutuhan, minat dan masalah pribadinya. Pragmatisme menghendaki agar siswa
dalam menghadapi suatu pemasalahan, hendaknya dapat merekonstruksi
lingkungan untuk memecahkan kebutuhan yang dirasakannya.
d. Pancasila
Filsafat Pancasila telah disepakati sebagai filsafat yang paling sesuai bagi
bangsa Indonesia. Menurut Ruslan Abdul Gani, Pancasila dikatakan sebahai
filsafat, karena Pancasila merupakan hasil permenungan jiwa yang mendalam
yang dilakukan oleh the founding father kita, yang dituangkan dalam suatu sistem.
Filsafat Pancasila secara umum adalah hasil berpikir/pemikiran yang sedalam-
dalamnya dari bangsa Indonesia yang dianggap, dipercaya dan diyakini sebagai
sesuatu (kenyataan, norma-norma, nilai-nilai) yang paling benar, paling adil,
paling bijaksana, paling baik dan paling sesuai bagi bangsa Indonesia.
Menurut Pancasila, hakikat manusia adalah monopluralis, yaitu hakikat
manusia yang memiliki unsur pokok susunan kodrat yang terdiri atas raga dan
jiwa. Hakikat raga manusia memiliki unsur fisis anorganis, vegetatif, dan animal.
Hakikat jiwa memiliki unsur akal, rasa, kehendak yang merupakan potensi sebagai
sumber daya cipta manusia yang melahirkan pengetahuan yang benar, berdasarkan
pemikiran memoris, reseptif, kritis dan kreatif. Selain itu, potensi atau daya
tersebut mampu meresapkan pengetahuan dan menstranformasikan pengetahuan
dalam demontrasi, imajinasi, asosiasi, analogi, refleksi, intuisi, inspirasi dan
ilham. Wasitaatmaja (2018: 114) menjelaskan bahwa secara epistemologis
kajian Pancasila sebagai filsafat dimaksudkan sebagai upaya untuk mencari
hakikat Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan.
Aksiologi Pancasila mengandung arti bahwa kita membahas tentang filsafat
nilai Pancasila. Secara aksiologis, bangsa Indonesia merupakan pendukung nilai-
nilai Pancasila, yaitu bangsa yang berketuhanan, yang berkemanusiaan, yang
berpersatuan, yang berkerakyatan dan berkeadilan sosial. Pengakuan, penerimaan
dan pernghargaan atas nilainilai Pancasila itu nampak dalam sikap, tingkah laku,
dan perbuatan bangsa Indonesia sehingga mencerminkan sifat khas sebagai
Manusia Indonesia.
Dalam kaitannya antara filsafat Pancasila dengan filsafat pendidikan, dalam
filsafat Pancasila pendidikan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertangung jawab. Isi/kurikulum hendaknya
memperhatikan: a) peningkatan iman dan takwa; b) peningkatan akhlak mulia; c)
peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik; d) keragaman potensi
daerah dan lingkungan; e) tuntutan pembangunan daerah dan nasional; f) tuntutan
dunia kerja; g) perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; h) agama; I)
dinamika perkembangan global; dan J) persatuan nasional dan nilai-nilai
kebangsaan. Praktek pendidikan hendaknya diselenggarakan dengan mengunakan
multi metode dengan tetap mengutamakan prinsip cara belajar siswa aktif.
Peranan pendidik dan peserta didik tersurat dan tersirat dalam semboyan “ing
ngarso sung tulodo”, “ing madya mangun karso”, dan” tut wuri handayani”.
Adapun orientasi pendidikannya meliputi fungsi konservasi dan kreasi.
4. Coba analisis apa mungkin filsafat lain selain filsafat pancasila diterapkan
pada pendidikan di Indonesia? Beri contoh penerapannya
5. Ada beberapa konsep pendidikan dari kajian historis yang berpengaruh baik
langsung maupun tidak langsung ke dalam sistem pendidikan nasional kita.
Coba jelskan dari masing-masing periode dalam peranannya mengubah
wajah dunia pendidikan?
Sistem pendidikan nasional kita tidak bisa terlepas dari sejarah, nilai-nilai luhur
bangsa dan juga praktik-praktik pendidikan di tanah Indonesia pada masa lalu.
Dibawah ini saya uraikan priode dan tahapan perkembangan pendidikan dapat
dijabarkan sebagai berikut:
Dari uraian historis dan priode tentang perkembangan pendidikan diatas maka
dapat dipahami bahwa sistem pendidikan yang kita miliki sekarang adalah hasil
perkembangan pendidikan yang tumbuh dalam sejarah pengalaman bangsa kita
pada masa yang telah lalu (Nasution, 2008: v). Selain itu, secara historis konsep
pendidikan telah mengalami beberapa fase perkembangan mulai dari konsep
pendidikan yang berorientasi pada budaya, agama, sampai kepada pendidikan
yang berorientasi pada cita- cita nasional.
a) Religi
Manusia memiliki sifat hakiki sebagai makhluk beragama (homo religius),
yaitu makhluk yang mempunyai fitrah untuk memahami nilai-nilai kebenaran
yang bersumber dari agama, serta sekaligus menjadikan kebenaran agama itu
sebagai rujukan (referensi) sikap dan perilakunya. Maka dengan hakikat dasar
manusia memilki sifat untuk mengakui adanya pencipta maka landasan religious
menjadi sangat penting dalam pelaksanaan pendidikan. Hal tersebut diperkuat
dengan pernyatan para ilmuan besar seperti yang diangkapkan Albert
Einstein,“Religion without science is blind. Science without religion is Lame”
bahwa agama tanpa ilmu adalah buta dan ilmu tanpa agama adalah lumpuh”
pernyataan tersebut membuktikan bahwa kedudukan agama sebagai salah satu
landasan dalam pendidikan adalah sebuah keniscayaan.
Implementasi religi dalam tujuan Pendidikan, dalam penerapannya dalam
kurikulum nilai religi memiliki tempat penting dalam kompetensi dasar yang
penting untuk mennetukan tujuan pembelajaran. Lebih jauh lagi Pendidikan
diharapkan mampu menanamkan nilai religius pada diri manusia, dalam artian
manusia tersebut mampu hidup sesuai dengan keyakinan serta kepercayaan yang
dianutnya sehingga apapun yang dilakukannya selalu berlandaskan kepada agama
yang dianutnya.
b) Etika
Nilai-nilai bagi pembentukan kepribadian dan watak peserta didik sangat
ditentukan oleh proses yang mengintegrasikan antara aspek pengajaran,
pengamalan, dan pembiasaan, serta pengalaman sehari-hari yang dialami peserta
didik, baik di sekolah, keluarga, dan lingkungan masyarakat. Keterpaduan,
konsistensi, dan sinkronisasi antara nilai-nilai yang diterima peserta didik dari
pengajaran yang diberikan guru didepan kelas.
Etika dalam pendidikan dapat disimpulkan sebagai suatu proses mendidik,
memelihara, membentuk dan memberikan latihan mental dan fisik tentang etika
dan kecerdasan berpikir baik yang bersifat formal maupun informal, sehingga
menghasilkan manusia berbudaya tinggi untuk melaksanakan tugas kewajiban
bertanggung jawab dalam masyarakat. Etika harus ditanamkan sejak dini, baik
dari lingkungan, keluarga dan sekolah. Agar anak dapat berkembang dengan etika
dan moral yang baik dan sesuai dengan ajaran agama.
Berbicara mengenai tujuan pendidikan, jelas bahwa pendidikan itu sendiri
bukan hanya tentang nilai pengetahuan saja tetapi nilai etika yang didalamnya
mencakup kepribadian, karakter serta nilai nilai yang lain juga merupakan hal
utama yang harus ditanamkan. Jelas kaitannya antara etika dengan tujuan
pendidikan itu sendiri dimana pada dasarnya pendidikan bertujuan untuk
menciptakan manusia yang beretika.
c) Yuridis
Landasan yuridis pendidikan Indonesia adalah seperangkat konsep peraturan
perundang-undangan yang menjadi titik tolak system pendidikan Indonesia, yang
menurut Undang-Undang Dasar 1945 meliputi, Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia, Ketetapan MPR, Undang-Undang Peraturan Pemerintah pengganti
undang-undang, peraturan pemerintah, Keputusan Presiden, peraturan pelaksanaan
lainnya, seperti peraturan Menteri, Instruksi Menteri, dan lain-lain. Maka landasan
yuridis menjadi penting karena menjadi sebuah perangkat hukum untuk dijadikan
pedoman dalam penyelenggaran sistem pendidikan yang dilakukan.
Berkaitan dengan implementasi nya dalam tujuan pendidikan, jelas
bahwasannya pendidikan merupakan suatu usaha untuk mencapai tujuan negara
itu sendiri berdasarkan landasan yudridis bangsa indonesia sepertihalnya pada
pembukaan UUD 1945 yang jelas mengatakan tujuan pertama bangsa Indonesia
adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Jelas kaitannya antara tujuan Pendidikan
dengan landasan yuridis itu sendiri dimana pendidikan merupakan suatu upaya
yang bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa khususnya warga negara
itu sendiri.
d) Sosial Kultural
Manusia hakikatnya adalah makhluk bermasyarakat dan berbudaya, dan
masyarakat menuntut setiap individu mampu hidup demikian. Namun karena
manusia tidak secara otomatis mampu hidup bermasyarakat dan berbudaya, maka
masyarakat melakukan pendidikan atau sosialisi (socialization) dan atau
enkulturasi (enculturation). Dengan demikian diharapkan setiap individu mampu
hidup bermasyarakat dan berbudaya sehingga tidak terjadi penyimpangan tingkah
laku terhadap sistem nilai dan norma masyarakat. Individu maupun masyarakat
sebagai suatu kesatuan individu-individu mempunyai berbagai kebutuhan. untuk
memenuhi berbagai kebutuhan tersebut masyarakat membangun atau mempunyai
pranata sosial. Salah satu diantaranya adalah pranata pendidikan. Pendidikan
merupakan pranata sosial yang berfungsi melaksanakan sosialisasi atau
enkulturasi. Terdapat hubungan antara pendidikan dengan masyarakat dan
kebudayaannya. Kebudayaan menentukan arah, isi dan proses pendidikan
(sosialisasi atau enkulturasi). Sedangkan pendidikan memilki fungsi konservasi
dan atau fungsi kreasi (perubahan, inovasi) bagi masyarakat dan kebudayaannya.
Sehingga jelas bahwasannya implementasinya terhadap tujuan Pendidikan
memang sudah terealisasi dengan terencan.
Dalam perspektif budaya, tujuan pendidikan dimaksudkan untuk menciptakan
insan Indonesia yang berbudaya, bangga akan kebudayaan dan mampu
merefleksikan kebudayaan itu di tengah pergaulan dunia sebagai kepribadian
bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun
2003 tentang tujuan Pendidikan nasional.
e) Sosial Ekonomi
Pendidikan sangat berperan dalam pembangunan, baik itu dalam
pembangunan sumber daya manusia, ekonomi, sosial, dan bahkan masih lebih
banyak lagi peranan pendidikan dalam pembangunan masyarakat, bangsa, dan
Negara. Sumanto (2008) menjelaskan bahwa sumber daya manusia yang
dilengkapi dengan keterampilan serta kemampuan untuk berusaha sendiri
merupakan modal utama bagi teciptanya pembangunan, Oleh karena itu,
pendidikan bisa dijadikan scbagai investasi untuk mendapatkan modal bagi
pembangunan tersebut.
Manusia secara lahiriah tidak akan pernah terlepas dari ketergantungan akan
ekonomi. Dalam memenuhi hajat hidupnya, manusia selalu mengandalkan
kekuatan ekonomi. Bahkan ekonomi menjadi faktor penentu kesejahteraan sebuah
bangsa. Para ahli atau ekonom menyatakan bahwa dengan ekonomi saja tidak
cukup untuk mensejahterakan sebuah bangsa. Maka dipandang perlu adanya
sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni agar mampu mengolah kekayaan
negara menjadi prospek ekonomi yang tinggi yang itu tentu diperuntukan bagi
kesejahteraan bangsanya. Bahkan sumber daya manusia dikatakan sebagai
investasi ekonomi jangka panjang. Pendidikan mempunyai peranan penting dalam
hal ini. Dengan pendidikan, potensi ekonomi sebuah bangsa akan dapat
dimanfaatkan. Maka ekonomi dan pendidikan adalah sebuah mata rantai yang
tidak ada ruang putusnya.
Dalam perspekstif sosio-ekonomi, tujuan pendidikan menjadi faktor penentu
kemajuan bangsa di masa depan dan salah satu bentuk investasi modal manusia
dalam pembangunan ekonomi sebuah negara. Lebih jauh lagi, implementasi
terhadap socio-ekonomi dalam tujuan pendidikan sudah terlaksana dengan
diadakanya berbagai mata pelajaran yang mendukung untuk terciptanya
wirausahawan baru yang nantinya bukan orang yang hanya mengandalkan untuk
medapatkan pekerjaan tetapi dial ah yang membuka lawangan pekerjaan terhadap
masyarakat disekitarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Musthafa, B. (2010). Five Pillars of Teaching English to Young Learners in Indonesia. Paper
presented in The 57th Teflin International Conference Bandung 1-3- 2010
Indonesian University of Education.
Sugandhi. (2012). Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Raja Grafindo Persada. hal. 5-6.
Tafsir, A. (2004). Filsafat Umum, Akal dan Hati sejak Thales sampai Capra. Bandung:
Remaja Rosdakarya. hal. 144
Fajar, Kusuma. 2010. Pendidikan Menurut Aliran Filsafat Idealisme dan Realisme dan
Implikasinya dalam Pendidikan Luar Sekolah.
http://fajarkusuma.student.umm.ac.id/2010/02/05/pendidikan-menurut-aliran-
filsafat-idealisme-dan-realisme-implikasinya-dalam-pendidikan-luar-sekolah
%C2%0plsataukses. (diakases 29 Maret 2020).