Anda di halaman 1dari 6

Allahuakbar 9x.

Khutbah pertama:
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah.

Tenggelamnya matahari kemarin sore menandakan berakhirnya bulan


ramadhan, berpisahlah kita dengan bulan yg diagungkan Allah SWT, disisi lain
kita merasa senang, kesenangan itu kita ungkapkan dalam ucapan
takbir, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar , tapi di tengah
kesenangan itu, terbayang wajah orang-orang yang dulu pernah berkesan
dalam hidup kita, kita hadir di atas bumi Allah ini bukan kebetulan melainkan
didahului orang-orang sebelum kita.

Kita dilahirkan dari rahim seorang ibu, 9 bulan 10 hari kita berada dalam
kandungan, andai masih ada mereka, dapat kita cium tangannya, kita peluk
tubuhnya yang rapuh, tapi tak semua seberuntung itu, banyak dari mereka
yang sudah mendahului kita, terbayang wajah mereka di pelupuk mata kita,
tak ada kata yg lain yang dapat kita ucapkan selain:

Allahummagfirlana zunubana, waliwalidayyna warkhamhumma


kamarobbayani shagira

Dia, laki-laki yang selama ini menjadi tulang punggung keluarga, mencari
nafkah yang halal demi sesuap nasi yang halal untuk istri dan anaknya, dia
kerahkan semua tenaga dan pikirannya untuk kelurganya. Andai ia masih
hidup, dapat kita peluk tubuhnya yang rapuh, namun sebagiannya sudah
meninggalkan kita, Rabbana – ampunkanlah
– Waliwalidaina, Waliummahatina,  ayahanda kami, ibunda
kami, rabbanagfirlana dzunuubana waliwalidayyna warhamhuma kama
rabbayani soghiro, sebagaimana mereka menyayangi kami sewaktu kami
kecil, maka, balaslah itu ya Allah.

Tidak ada yang bisa membalas semua itu selain Allah SWT, larut dalam
kesedihan, tidak ada yang bisa menghapus kesedihan itu selain lafadz Allahu
Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, besar kesedihan kami ya Allah, tapi
lebih besar kasih sayangmu ya Allah, sempit terasa dada kami ya Allah tapi,
hanya engkau saja yang dapat melapangkannya ya Allah.

Dengan lafadz Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar, dalam lautan


takbir, maka semua menjadi laut, semua menjadi bening, semua menjadi
bersih, semuanya diserahkan kepadamu ya Allah.

Berapa kali sholat, doa, tidak terwujud karena kita, berapa kali ibadah mereka
tidak jadi karena tangis kita sewaktu kecil, hari ini, apa yang bisa kita
balaskan kepada mereka, orang-orang yang telah berbuat baik kepada kita,
tak ada ungkapan yang bisa kita sampaikan selain doa, maka panjatkanlah
doa, ungkapkan permintaan ampunan, maaf kepada Allah SWT. Di hari yang
baik, bulan yang mulia yang diagungkan Allah SWT, yang dimuliakan oleh
Rasul SAW, maka pada hari ini kami menyampaikan setidaknya ada 3 wasiat
penting yang dapat kita ambil dari khutbah ini.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah.

Idul Fitri tiba ketika umat Islam menjalankan ibadah wajib puasa Ramadhan
selama satu bulan penuh. Sepanjang bulan suci tersebut, mereka menahan
lapar, haus, hubungan seks, dan hal-hal lain yang membatalkan puasa mulai
dari terbit fajar hingga matahari terbenam. Secara bahasa, shaum (puasa)
memang bersinonim dengan imsâk yang artinya menahan. Ramadhan
merupakan arena kita berlatih menahan diri dari segala macam godaan
material yang bisa membuat kita lupa diri. Proses latihan tersebut diwujudkan
dalam bentuk larangan terhadap hal-hal yang sebelumnya halal, seperti
makan dan minum. Inilah proses penempaan diri. Targetnya: bila manusia
menahan diri dari yang halal-halal saja mampu, apalagi menahan diri dari
yang haram-haram. Puasa itu ibarat pekan ujian nasional bagi siswa sekolah.
Selama seminggu itu para murid digembleng untuk belajar lebih serius,
mengurangi jam bermain, dan menghindari hal-hal lain yang bisa
mengganggu hasil ujian tersebut. Ramadhan tentu lebih dari sekadar latihan.
Ia wahana penempaan diri sekaligus saat-saat dilimpahkannya rahmat
(rahmah), ampunan (maghfirah), dan pembebasan dari api neraka (itqun
minan nâr). Aktivitas ibadah sunnah diganjar senilai ibadah wajib, sementara
ibadah wajib membuahkan pahala berlipat-lipat. Selayak siswa sekolah yang
mendapatkan rapor selepas melewati masa-masa krusial ujian, demikian pula
orang-orang yang berpuasa. Setelah melewati momen-momen penting
sebulan penuh, umat Islam pun berhak mendapatkan hasilnya. Apa hasil itu?
Jawabannya tak lain adalah predikat “takwa”, sebagaimana terdapat di al-
Baqarah ayat 183:

Yaa ayyuhal laziina aamanuu kutiba 'alaikumus Siyaamu kamaa kutiba


'alal laziina min qablikum la'allakum tattaquun

"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana


diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa."

Takwa merupakan standar paling tinggi tingkat kemuliaan manusia. Seberapa


tinggi derajat mulia manusia tergantung pada seberapa tinggi takwanya. Inna
akramakum ‘indallâhi atqâkum. Dalam konteks puasa Ramadhan, tentu takwa
tak bisa digapai dengan sebatas menahan lapar dan dahaga. Ada yang lebih
substansial yang perlu ditahan, yakni tergantungnya manusia kepada hal-hal
selain Allah, termasuk hawa nafsu. Orang yang berpuasa dengan sungguh-
sungguh akan mencegah dirinya dari segala macam perbuatan tercela
semacam mengubar syahwat, berbohong, bergunjing, merendahkan orang
lain, riya’, menyakiti pihak lain, dan lain sebagainya. Tanpa itu, puasa kita
mungkin sah secara fiqih, tapi belum tentu berharga di mata Allah subhanahu
wata’ala. Rasulullah sendiri pernah bersabda:

‫وع‬
ُ ‫ج‬ُ ‫ه إِاَّل ا ْل‬
ِ ‫صيَا ِم‬ ْ ‫س لَ ُه ِم‬
ِ ‫ن‬ َ ‫م لَ ْي‬
ٍ ِ‫صائ‬
َ ‫ن‬ ْ ‫َك‬
ْ ‫م ِم‬

Artinya: “Banyak orang yang berpuasa, namun ia tak mendapatkan apa pun
dari puasanya selain rasa lapar saja.” (HR Imam Ahmad)

Jamaah shalat Idul Fitri hafidhakumullah, Karena puasa sudah kita lewati dan
tak ada jaminan kita bakal bertemu Ramadhan lagi, pertanyaan yang lebih
relevan bukan saja

“kemenangan atas apa yang sedang kita Idul Fitri?”

tapi juga “apa tanda-tanda kita telah mencapai kemenangan?”. Jangan-


jangan kita seperti yang disabdakan Nabi, termasuk golongan yang sekadar
mendapatkan lapar dan dahaga, tanpa pahala? Jika standar capaian tertinggi
puasa adalah takwa, maka tanda-tanda bahwa kita sukses melewati
Ramadhan pun tak lepas dari ciri-ciri muttaqîn (orang-orang yang bertakwa).
Semakin tinggi kualitas takwa kita, indikasi semakin tinggi pula kesuksean kita
berpuasa. Demikian juga sebaliknya, semakin hilang kualitas takwa dalam diri
kita, pertanda semakin gagal kita sepanjang Ramadhan. Lantas, apa saja ciri-
ciri orang bertakwa? Ada beberapa ayat Al-Qur’an yang menjelaskan ciri-ciri
orang takwa. Salah satu ayatnya terdapat dalam Surat Ali Imran:

Allaziina yunfiquuna fissarraaa'i waddarraaa'i wal kaazimiinal ghaiza wal


aafiina 'anin-naas; wallaahu yuhibbul muhsiniin

(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya) pada saat sarrâ’ (senang)


dan pada saat dlarrâ’ (susah), dan orang-orang yang menahan amarahnya
dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat
kebajikan.” (QS Ali Imran: 134)

Jamaah shalat Idul Fitri hafidhakumullah,

Ayat tersebut memaparkan tiga sifat yang menjadi ciri orang bertakwa.

Pertama, gemar menyedekahkan sebagian hartanya dalam kondisi senang


ataupun sulit. Orang bertakwa tidak akan sibuk hanya memikirkan diri sendiri.
Ia mesti berjiwa sosial, menaruh empati kepada sesama, serta rela berkorban
untuk orang lain dalam setiap keadaan. Bahkan, ia tidak hanya suka memberi
kepada orang yang dicintainya, tapi juga kepada orang-orang memang
membutuhkan. Dalam konteks Ramadhan dan Idul Fitri, sifat takwa pertama
ini sebenarnya sudah mulai didorong oleh Islam melalui ajaran zakat fitrah.
Zakat fitrah merupakan simbol bahwa “rapor kelulusan” puasa harus ditandai
dengan mengorbankan sebagian kekayaan kita dan menaruh kepedulian
kepada mereka yang lemah. Ayat tersebut menggunakan fi’il mudhari’
yunfiqûna yang bermakna aktivitas itu berlangsung konstan/terus-menerus.
Dari sini, dapat dipahami bahwa zakat fitrah hanyalah awal atau “pancingan”
bagi segenap kepedulian sosial tanpa henti pada bulan-bulan berikutnya.

Ciri kedua orang bertakwa adalah mampu menahan amarah. Marah


merupakan gejala manusiawi. Tapi orang-orang yang bertakwa tidak akan
mengumbar marah begitu saja. Al-kâdhim (orang yang menahan) serumpun
kata dengan al-kadhîmah (termos). Kedua-duanya mempunyai fungsi
membendung: yang pertama membendung amarah, yang kedua
membendung air panas. Selayak termos, orang bertakwa semestinya mampu
menyembunyikan panas di dadanya sehingg orang-orang di sekitarnya tidak
tahu bahwa ia sedang marah. Bisa jadi ia tetap marah, namun ketakwaan
mencegahnya melampiaskan itu karena tahu mudarat yang bakal ditimbulkan.
Termos hanya menuangkan air panas pada saat yang jelas maslahatnya dan
betul-betul dibutuhkan. Patutlah pada kesempatan lebaran ini, umat Islam
mengontrol emosinya sebaik mungkin. Mencegah amarah menguasai dirinya,
dan bersikap kepada orang-orang pernah membuatnya marah secara wajar
dan biasa-biasa saja. Ramadhan semestinya telah melatih orang untuk
berlapang dada, bijak sana, dan tetap sejuk menghadapi situasi sepanas apa
pun.

Ciri ketiga orang bertakwa adalah memaafkan kesalahan orang lain.


Sepanjang Ramadhan, umat Islam paling dianjurkan memperbanyak
permohonan maaf kepada Allah dengan membaca:

Allahumma innaka 'afuwwun tuhibbul 'afwan fa'fu 'anni”

“Wahai Tuhan, Engkau Maha Pengampun, menyukai orang yang minta


ampunan, ampunilah aku.”

Kata ‘afw (maaf) diulang tiga kali dalam kalimat tersebut, menunjukkan
bahwa manusia memohon dengan sangat serius ampunan dari Allah SWT.
Memohon ampun merupakan bukti kerendahan diri di hadapan-Nya sebagai
hamba yang banyak kesalahan dan tak suci. Cara ini, bila dipraktikkan dengan
penuh pengahayatan, sebenarnya melatih orang selama Ramadhan tentang
pentingnya maaf. Bila diri kita sendiri saja tak mungkin suci dari kesalahan,
alasan apa yang kita tidak mau memaafkan kesalahan orang lain?

Maaf merupakan sesuatu yang singkat  namun bisa terasa sangat berat
karena persoalan ego, gengsi, dan unsur-unsur nafsu lainnya. Amatlah arif
ulama-ulama di Tanah Air yang menciptakan tradisi bersilaturahim dan saling
memaafkan di momen lebaran. Sempurnalah, ketika kita usai membersihkan
diri dari kesalahan-kesalahan kepada Allah, selanjutnya kita saling memaafkan
kesalahan masing-masing di antara manusia. Sudah berapa kali puasa kita
lewati sepanjang kita hidup? Sudahkah ciri-ciri sukses Ramadhan tersebut
melekat dalam diri kita? Wallahu a’lam bish shawab.
KHUTBAH KE 2

Anda mungkin juga menyukai