Anda di halaman 1dari 5

Ceramah/Kultum

Tingkatan Orang Berpuasa

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdullillah,alhamdulillahi rabbil alamin wassalatu wassalamu ala asrafil anbiyai wal


mursalin sayyidana Muhammadin wa ala alihi waashabihi ajmain amma ba’du

Faya ibadallah ittaqullah hakkatukati wala tamutunna illa wa antum muslimun.

Pertama-tama, marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, yang sampai
saat ini masih memberikan kita nikmat

“Berapa banyak orang yang berpuasa, namun tidak didapatkan dari puasanya itu kecuali rasa
haus dan lapar.” (HR Turmudzi)

Secara sederhana, bulan puasa adalah bulan dimana diwajibkan umat Islam (beriman) untuk
menahan lapar dan haus sepanjang hari, mulai matahari terbit hingga matahari terbenam.

Sebagaimana Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa." (QS al-Baqarah:183).

Namun membaca ayat di atas, puasa bukan sebatas menahan lapar dan haus sejak mulai
terbitnya matahari hingga terbenamnya matahari. Rasulullah pernah bersabda bahwa puasa
adalah perlindungan, dan perlindungan ini akan bisa dirasakan selama manusia bisa
memaknai nilai-nilai puasa yang dijalankannya.

Untuk bisa mengambil makna dari puasa tersebut, dipastikan setiap orang berbeda-beda, dan
tergantung dengan tingkat keimanan. Tingkat keimanan itu yang menurut sebagian besar
ulama tafsir adalah perbedaan derajat puasa itu sendiri. Maksudnya adalah kemampuan setiap
Muslim dalam menjalankan puasa.

Imam al-Ghazali dalam bukunya Ihya Ulumuddin memberikan klasifikasi puasa yang
dijalankan yakni dengan tiga tingkatan. Tingkat pertama adalah puasa umum, tingkat kedua
puasa khusus dan tingkat paling tinggi adalah puasa khusus yang lebih khusus lagi.

Tingkat puasa umum merupakan tingkatan puasa yang paling rendah, berpuasa hanya sekadar
menahan rasa lapar dan haus. Puasa ini termasuk puasa untuk orang awam. Banyak ditemui
puasa jenis ini di sekeliling kita, dimana mereka berpuasa, tetapi tetap melakukan perbuatan-
perbuatan yang dilarang Allah SWT seperti bergunjing, berbohong atau menipu hingga
korupsi.
Mengenai perkara ini, Rasulullah SAW pernah bersabda yang diriwayatkan Turmudzi
berbunyi, “Berapa banyak orang yang berpuasa, namun tidak didapatkan dari puasanya itu
kecuali hafsu dan lapar.”
Meski bergunjing, berdusta, atau menipu tidak termasuk dalam hal-hal yang membatalkan
puasa, tetapi perbuatan tercela itu termasuk bagian yang membatalkan hakikat puasa.
Puasa tingkatan kedua adalah puasa khusus. Artinya adalah berpuasa di samping menahan
lapar dan haus, juga memelihara seluruh anggota tubuh dari perbuatan maksiat atau tercela.
Puasa khusus juga diartikan berpuasa untuk menahan pendengaran, pandangan, lisan, tangan,
kaki dan seluruh anggota badan kita untuk tidak mengerjakan kemaksiatan.
Misalnya menahan telinga kita untuk tidak mendengarkan kebohongan, atau menahan
pandangan mata kita untuk tidak melihat hal-hal yang mendorong diri kita untuk berbuat
kemaksiatan, serta menahan lisan kita untuk tidak berkata bohong pada orang lain.
Berapa banyak kebohongan yang kita lakukan tanpa kita sadari baik itu bohong yang bersifat
sepele maupun besar. Tingkatan puasa ini adalah orang-orang yang shaleh. Rasulullah SAW
bersabda, “Puasa adalah perisai (tabir penghalang dari perbuatan dosa). Maka apabila
seseorang dari kamu sedang berpuasa, janganlah ia mengucapkan sesuatu yang keji dan
janganlah ia berbuat jahil.” (HR Bukhari-Muslim)
Sedangkan tingkatan puasa yang paling tinggi adalah puasa khusus yang lebih khusus.
Artinya puasa hati dari segala kehendak hina dan segala pikiran duniawi serta mencegahnya
memikirkan apa-apa yang selain Allah. Puasa level ini adalah puasanya para nabi-nabi,
shiddiqin, dan muqarrabin.
Puasa khusus yang dikhususkan juga berarti puasa hati dari memperturutkan diri untuk
memikirkan hal-hal duniawi, menahan diri dari untuk tetap istiqamah hanya memikirkan
Allah dan selalu mengingatnya, jika mendapatkan kenikmatan maka tidak pernah lupa untuk
selalu bersyukur dan jika mendapatkan musibah tidak pernah mengeluh, selain hanya berkata
"Sesungguhnya kita adalah kepunyaan Allah dan kepada-Nya kita akan kembali".
Inilah derajat tertinggi dari puasa. Kembali pada diri kita sendirilah yang bisa mengukur
sampai di derajat manakah puasa yang selama ini kita jalankan. Sudahkah puasa tersebut bisa
betul-betul terefleksikan dalam keseharian kita?

Oleh Dr HM Harry M Zein

Ceramah Tingkatan Puasa

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah,alhamdulillahi rabbilalamin wabihinasta’in ala umuridduniya waddin.

Wassalatu wassalamu ala asrafil anbiyai wal mursalin sayyidana muhammadin

Para pembaca yang budiman, hari ini kita telah memasuki sepuluh hari kedua bulan suci
Ramadhan, tentu kita sudah banyak merasakan berbagai tambahan ilmu, jika selama bulan
Ramadhan ini kita aktif mengikuti kegiatan amaliah melalui kultum, majelis ta’lim ataupun
kegiatan lain yang yang banyak diselenggarakan di bulan Ramadhan ini untuk mengetahui
apa sebenarnya tujuan puasa Ramadhan. Tujuan yang hendak dicapai dari ibadah puasa
dalam bulan Ramadhan ini ialah supaya setiap kau muslimin menjadi orang-orang yang
muttaqqin, yakni tingkat tinggi dalam keimanan dan keislaman. Siapa orang yang muttaqin
itu? Taqwa menurut Doktor Alif Abdul Fattah Ath-Thobaroh dalam bukunya menjelaskan:

“Bahwa manusia itu takut melakukan sesuatu perbuatan yang akan mendatangkan murka
Tuhannya, dan takut melakukan sesuatu yang akan membawa mudharat bagi dirinya
sendiri dan mudharat bagi orang lain.”

Apabila memakai difinisi ini, maka orang-orang yang beriman yang dicetak oleh ibadah
puasa Ramadhan ini adalah:

1. Orang-orang yang senantiasa menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang akan


mendatangkan murka Allah SWT dalam melaksanakan tugas kehidupannya sekarang ini.

2. Orang-orang yang senantiasa menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang akan


merugikan diri sendiri.

3. Orang-orang yang senantiasa menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang menyakitkan


orang lain.

Itulah manusia muttaqin yang dicetak oleh ibadah puasa yang diwajibkan Allah SWT dalam
bulan Ramadhan ini. Jadi benar bulan Ramadhan adalah seperti bulan Madrasah
Akhlakqiyah, sekolah pendidikan akhlaq, karena di dalamnya banyak pelajaran yang
bermanfaat dan sebagai tuntunan yang sangat berguna. Orang-orang yang berpuasa yang
tidak dapat mengendalikan lidahnya dan tidak pula mengendalikan diri dari perbuatan
maksiat, maka akan mendapatkan ancaman, sebagaimana hadits Rasulullah SAW yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan kotor dan perbuatan kotor yakni
perbuatan maksiat, maka Allah tidak berhajat yang bersangkutan meninggalkan makan
dan minum.”

Lebih tegas lagi sabda beliau:

“Betapa banyaknya orang yang berpuasa, yang hasilnya hanyalah lapar dan haus saja.”

Puasa Ramadhan sebagai Madrasah Akhlaqiyah, maka puasa Ramadhan itu dapat berfungsi,
menurut Afif Abdul Fatah A-Tabbaroh yaitu:

1. Tempat menempa iman seseorang, sehingga imannya akan semakin kuat dalam
menghadapi tantangan nafsu dan kebiasaan buruk yang melanggar perintah Allah SWT dan
yang akan membahayakan dirinya sendiri dan masyarakatnya.

2. Ibadah puasa dapat menanamkan rasa ikhlas kepada pelakunya. Ibadah ini tidak kelihatan
oleh orang lain, oleh karena itu jika tidak ada keikhlasan dalam menjalankannya, tentu akan
menjadi sia-sia.

3. Ibadah puasa merupakan jalan menuju kebaikan. Apabila seorang kaya melakukan puasa,
tentu akan merasakan sangat lapar dan haus. Ini tentu akan mengingatkannya kepada nasib
yang menimpa fakir dan miskin yang selalu menderita kelaparan yang tak adda batasnya.
oleh karena itu tangannya akan murah untuk memberikan bantuannya, sebab dia sendiri telah
merasakan bagaimana laparnya ketika puasa.

4. Ibadah puasa sebagai tempat latihan untuk memiliki kesabaran tingkat tinggi. Bersabar,
sukarela saat menghadapi tantangan nafsu adalah lebih utama daripada bersabar karena
paksaan. Akhirnya sabar akan meresap ke dalam jiwa orang-orang yang berpuasa.

5. Ibadah puasa adalah faktor pemersatu bagi masyarakat Islam, karena semua lapisan
masyarakat merasakan lapar dan haus yang sama. Dari perasaan inilah akan tertanam
perasaan kasih sayang sesamanya.

6. Ibadah puasa dapat menempa jiwa seseorang penuh harapan kepada Allah dan selalu dekat
kepada Allah SWT.

Untuk meningkatkan ibadah puasa kita masing-masing, maka dalam kesempatan ini kita
kutipkan pendapat Imam Al-Ghazali. Menurut beliau, pauasa itu ada tiga tingkat:

1. Shaumul ‘Aam = Puasa umum, puasanya orang awam, puasanya orang kebanyakan

Puasa pada tingkatan ini hanya tidak makan dan tidak minum serta tidak mengadakan
hubungan suami istri dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. Ini puasa tingkat
pemula. Walaupun pada tingkat ini pemula, namun sumbangannya dalam membentuk
akhlakul karimah sungguh sangat besar artinya.

Jika setiap orang Islam dapat mengendalikan yakni nafsu perut dan syahwatnya, maka
setapak demi setapak dia semakin mendekati orang-orang muttaqin.

2. Shaum khusus = Puasa khusus

Puasa pada tingkatan ini, bertambah nyata sumbangannya dalam membentuk akhlaqul
karimah. Seseorang berpuasa tidak hanya tidak makan dan tidak minum saja, tetapi
ditingkatkan pula sehingga mempuasakan mulutnya dari berbohong, mengumpat, dan lain
sebagainya. Rasulullah SAW dalam sabdanya:

“Puasa itu benteng selama tidak dirusak oleh bohong dan ghibah.”

Firman Allah SWT dalam surat Qof ayat 18:

“Tiada suatu ucapan yang diucapkan, melainkan ada didekatnya yang selalu hadir, Raqib
dan Atid.”

Seseorang yang telah berhasil dididik oleh ibadah puasa pada tingkat Shaumul Khusus ini,
senantiasa mempergunakan lisannya bertutur dipelihara dari hal-hal yang akan mendatangkan
bahaya baginya dan bagi masyarakat. Telinga dan penglihatannya dipuasakan pula.

3. Shaum Khususil = Puasa sangat khusus

Yaitu hati dan pikirannya tidak pernah terlintas untuk berbuat maksiat. Itulah orang mukmin
yang muttaqin yang berhasil dicetak oleh ibadah puasanya, hasilnya terliihat nyata dalam
praktek kehidupan bermasyarakat. Orang yang muttaqin adalah:
1. Senantiasa menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang menyebabkan datangnya murka
Allah.

2. Senantiasa menjauhkan diri dari segala sesuatu yang akan merugikan diri sendiri.

3. Senantiasa menjauhkan diri dari perbuatan yang akan merugikan masyarakat.

Oleh karena itu marilah kita tingkatkan ibadah puasa kita, sesuai dengan yang dikehendaki
oleh sariat Islam untuk menjadikan kita orang-orang yang muttaqin, bukan puasa karena
tradisi dan kebiasaan dari nenek moyang dan sekedar melepas kewajiban saja. Apabila kita
berpuasa sampai kederajat muttaqin, maka kita akan memperoleh janji Allah SWT dalam
surat At-Tholak yang artinya:

“Dan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, maka Allah akan mengadakan jalan
keluar dari segala macam kesempitan dan kesengsaraan. Dan memberi rezeki dari arah
yang tidak disangka-sangkanya.”

Demikianlah mudah-mudahan tulisan singkat ini akan ada manfaatnya untuk kita semua.
Amin

Anda mungkin juga menyukai