Anda di halaman 1dari 2

ADAB BERPUASA

Puasa adalah ibadah wajib yang dibebankan kepada semua umat manusia,
tidak hanya umat Nabi Muhammad yang didambakan menjadi hamba-hamba yang
muttaqin. Untuk menemukan makna dan keberhasilan berpuasa, tentu tidak dapat
hanya memahami puasa secara lahir-fiqhiyyah (eksoteris) saja, melainkan perlu
adanya pemahaman mendalam secara maknawiyah-penghayatan (esoteris) dari
amaliyah berpuasa dan adab yang berpengaruh terhadap pahala berpuasa. Hal ini
sangat penting diperhatikan karena sangat menentukan kualitas ibadah puasa
dihadapan Allah SWT.

Setidaknya ada 6 adab berpuasa, sebagaimana di nasehatkan Imam Al-Ghazali


dalam risalahnya berjudul al-Adab fid Din dalam Majmu'ah Rasail al-Imam al-
Ghazali, sebagai berikut: 

Pertama, Thayyib al-ghida, mengonsumsi makanan yang baik. Selama berpuasa,


khususnya di bulan Ramadhan, makanan yang sebaiknya dikonsumsi adalah
makanan yang halal lagi baik (halalan thayyiban) bagi kebutuhan dan kesehatan
tubuh masing-masing. Makanan yang baik bukanlah makanan yang lezat atau
mahal, tetapi adalah makanan yang halal dan support terhadap kesehatan badan.
Meski secara ainiyah dan hukmiyah (fiqh) halal (boleh dimakan), jika
membahayakan bagi kesehatan tubuhnya, maka seseoran musti berani
mengharamkan bagi dirinya sendiri, dan tidak memakannya. Disinilah dalam makna
halalan thayyiban, kehalalan makanan bagi seseorang tidak dapat di-gebyah-uyah (-
jawa) disama-ratakan dengan orang lain.

Kedua, Tarku al-mira-i, menghindari perselisihan. Pertengkaran atau perselisihan


bisa terjadi kapan saja dan oleh siapa saja. Termasuk oleh orang yang sedang
berpuasa dan pada bulan Ramadhan. Namun bagi orang-orang yang berpuasa
sangatlah dianjurkan untuk menjaga kesucian bulan Ramadhan dengan tidak
melakukan pertengkaran. Sebagaimana pesan Rasul (diriwayatkan oleh Imam
Bukhari) : “Dan jika ada seseorang yang mengajak bertengkar atau mencela maka
katakanlah, : “ Sesungguhnya aku sedang berpuasa.”  Pernyataan “Aku sedang
berpuasa” adalah sebuah ungkapan ketidak sanggupan untuk berselisih atau
bertengkar dengan pihak lain di bulan Ramadhan.  Hal ini adalah pembelajaran luar
biasa untuk selalu menjaga perdamaian dan kerukunan bersama terutama di saat
sedang berpuasa.  

Ketiga, Mujanabatu al-Ghibat, menjauhi menggunjing orang lain. Menggunjing orang


lain di luar bulan Ramadhan saja tidak baik, apalagi selama menjalankan ibadah
puasa. Tentu dosanya lebih besar dan dapat menghilangkan pahala berpuasa itu
sendiri. Oleh karena itu setiap orang yang berpuasa perlu menyadari hal ini untuk
bersikap lebih berhati-hati dalam menjaga lisannya, agar tidak terus memproduksi
dosa yang menggerogoti bahkan menghabiskan pahala puasa. Dikarenakan  Lisan
merupakan salah satu organ manusia yang paling banyak mendatangkan dosa.
Maka semakin baik kita menjaga lisan, semakin banyak keselamatan didapatkan.
Dinasehatkan oleh Rasulullah : Salaamatu al-Insan fi hifdzi al-Lisan (Keselamatan
manusia bergantung kepada kemampuan menjaga lisan)
Keempat, Rafdlu al-Kadzib, menolak dusta. Menolak berkata dusta merupakan hal
penting dalam rangka menjaga diri dari perbuatan dosa. Dikarenakan sekali manusia
berdusta dia akan cenderung berdusta lagi untuk menutupi dusta-dusta sebelumnya.
Oleh karenanya dusta sering disebut sebagai bapak-emaknya dosa. Di saat
menjalankan ibadah puasa,  seseorang harus mampu menghindari berkata dusta
karena dusta dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan pahala berpuasa.
Rosul mengingatkan dengan sabdanya : "Takutlah kalian terhadap bulan Ramadhan
karena pada bulan ini, kebaikan dilipatkan sebagaimana dosa juga dilipat-
gandakan.”

Kelima, Tarku al-Adza, tidak menyakiti orang lain. Menyakiti orang lain baik secara
fisik maupun verbal-psikologis merupakan perbuatan tercela. Setiap perbuatan
tercela berdampak langsung terhadap kualitas ibadah puasa. Ibadah puasa yang
secara fisik telah dijalani dengan susah payah, hanyalah akan mendapatkan dahaga
dan lapar belaka, jika seseorang yang berpuasa itu tidak mampu menahan diri dari
perbuatan-perbuatan yang dapat menyakiti orang lain. Menyakiti orang lain
merupakan kezaliman dan oleh karenanya merupakan kemaksiatan dan dilarang
oleh Allah SWT.  Oleh karena itu, betapa pentingnya selalu ingat dan terus saling
mengingatkan untuk tidak terlibat dalam pemanfaatan anggota badan dalam
perbuatan-perbuatan yang dapat mendatangkan sakit hati, perendahan,
penghinaan, fitnah dan semacamnya yang menimbulkan luka/sakit hati bagi pihak
lain.

Keenam, Shaunu al-jawaarih an qaba-ih, menjaga anggota badan dari segala


macam perbuatan buruk. Di bulan Ramadhan khususnya, hendaklah dapat menjaga
anggota badan agar tidak gunakan untuk bermaksiat, melakukan hal-hal yang
dilarang oleh Allah, karena menyakiti/melanggar hak orang lain. Demikian juga
penggunaan anggota badan untuk melakukan hal-hal yang kurang bermanfaat. Nilai
kebermanfatan sebuah perbuatan badan dapat dilihat ketika suatu perbuatan itu
tidak hanya mempunyai bekas di dunia saja, melainkan berimbas kemanfataannya
lebih panjang sampai ke akhirat.
Singkatnya, jangan sampai dalam berpuasa tidak mendapatkan apa-apa selain haus
dan dahaga saja karena banyak melanggar adab berpuasa sebagaiamana
dikhawatirkan Rasululllah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan Imam Ahmad : kam min shaimin laisa lahu min shiyamihi illa al-Ju’ wa
al-Athas  (Banyak orang yang berpuasa, namun mereka tidak mendapatkan apa pun
selain dari pada lapar dan dahaga)

(Arikhah, Pengurus MUI Prov Jateng Komisi Pemberdayaan Perempuan Remaja


dan Keluarga)

Anda mungkin juga menyukai