Diajukan untuk memenuhi salah tugas UAS mata kuliah Ilmu Tassawuf
BAB II
PEMBAHASAN
A. HAKIKAT PUASA
1. Definisi
Secara bahasa puasa berarti menahan diri dari segala sesuatu. [1] Pengertian lain
menjelaskan bahwa puasa adalah menahan diri dari sesuatu yang membatalkan, satu hari
lamanya dari terbit fajar sampai terbenam matahari dengan niat dan beberapa syarat. [2]
Sedangkan definisi puasa menurut istilah adalah menahan diri, berpantang atau
mengenalikan diri makan, minum dan bercampur dengan istri atau suami yang didahului
dengan niat dari terbit fajar sampai matahari tenggelam. Dari pengertian ini menunjukan dua
hal, pertama, menahan nafsu makan, minum dan aktivitas seksual pada siang hari, sebagai
syarat minimal puasa. Kedua, puasa harus disertai dengan niat yang ikhlas. Puasa yang
sempurna adalah meninggalkan hal-hal yang tercela dan tidak melakukan hal-hal yang
dilarang oleh agama.[3]
Puasa dalam bahasa Arab di sebut al-shaum yang berarti menahan (imsak). Sedangkan
secara terminologis, puasa adalah suatu ibadah yang diperintahkan Allah kepada hamba-Nya
yang beriman dengan cara mengendalikan diri dari syahwat makan, minum, dan hubungan
seksual serta perbuatan-perbuatan yang merusak nilai puasa pada waktu siang hari sejak terbit
fajar sampai terbenam matahari (MUI DKI Jakarta, 2006: 15).
Secara syara’, dalam kitab Fathul Qorib dijelaskan bahwa:
وشرعا امساك عن مفطر بنية خمصوصة مجيع هنار
Artinya, secara syara’, puasa adalah menahan diri dari sesuatu yang membatalkan puasa,
dengan niat tertentu, mulai dari terbitnya fajar sampai tenggelamnya matahari.
Puasa adalah rukun Islam keempat dari lima rukun Islam yang dijelaskan Rasulullah saw
dalam haditsnya
“Islam di bangun atas lima (dasar): Bersaksi tiada Tuhan yang wajib disembah selain
Allah dan Muhammad adalah utusan Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan
sholat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan melaksanakan haji ke Baitullah
bagi orang yang mampu menempuh perjalanan kesana” (H.R. Mutaffaq Alaih)[4]
2. Hikmah Puasa
Hikmah Puasa menurut al-Jurjawi Dalam Kajian Aksiologi
Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa puasa itu ternyata banyak mengandung banyak
hikmah bagi yang melakukan sesuai dengan aturan. Dalam hal ini penulis akan mencoba
mengupas persoalan puasa menurut al-Jurjawi secara kajian aksiologi.
a) Nilai Spiritual (Hubungan dengan Tuhan)
Nilai aspek spiritual adalah nilai ketuhanan yang terkandung dalam ibadah sebagai jalan
menghubungkan manusia dengan Tuhannya, sebagaimana diutarakan al-Jurjawi dalam
kitabnya Hikmah al-Tasyri Wa Falsafatuhu, mengatakan bahwa :
1. Puasa adalah sebagai salah satu bentuk terima kasih pada Allah SWT. [5] Rasa terima kasih
yang dimaksud di sini bisa dikatakan sebagai suatu bentuk rasa syukur menusia kepada
Tuhannya atas segala nikmat yang telah banyak diberikan dan tidak terhitung jumlahnya.
Rasa terima kasih tersebut dibuktikan dengan cara melaksanakan puasa.
2. Puasa sebagai ajang untuk dapat menjadikan manusia supaya lebih bertakwa, atau suatu cara
berlatih untuk selalu dapat mengerjakan segala apa yang diperintahkanNya dan mampu
menjauhi segala laranganNya dengan jalan melaksanakan puasa sesuai dengan aturan yang
ditetapkan oleh Allah dan bukan aturan yang ditetapkan manusia. Hal-hal yang terkait
dengan segala aturan pada saat manusia melaksanakan puasa, seperti diperbudak oleh
makanan dan minuman, hubungan seks dan segala perbuatan yang bersifat keji (mencuri,
berdusta, menfitnah dan sebagainya), itu semua harus dapat dijauhi dalam rangka
memperoleh suatu kenikmatan yang lebih dari hal itu.
3. Puasa juga bisa menepis sifat kebinatangan yang ada pada manusia, yaitu sifat yang hanya
bergairah kepada makan dan minum serta semisalnya. Puasa bisa menjadi sebuah cara yang
bagus untuk dapat melatih manusia terutama yang beriman untuk dapat menahan diri dari
yang hanya memperturutkan nafsu belaka dan menjaga manusia dari segala perbuatan keji
yang hanya berbau sifat binatang tersebut. Sehingga nantinya akan menjadi suatu alat yang
mudah untuk mengangkat derajat manusia untuk selalu di atas dibanding dengan makhluk-
makhluk yang lain, disebabkan manusia tersebut telah memiliki jiwa yang bagus. Kejiwaan
yang bagus akan berpengaruh pada pelaksanaan ibadah, manusia tesebut akan lebih mudah ke
arah kebaikan (sifat Malaikat) daripada ke arah kejelekan (sifat binatang), disebabkan
kebiasaan latihan kejiwaan pada saat berpuasa. Pendek kata orang yang berpuasa menjadikan
hubungan manusia dengan Allah terasa lebih akrab, hal itu menjadi bukti betapa benarnya
kata-kata Allah bahwa Ia lebih dekat dengan kita daripada urat leher kita. Maka dengan jalan
berpuasa diharapkan orang akan lebih mudah memelihara, menjaga, bisa memagari dirinya
dari segala godaan keduniawian yang menyesatkan.[6]
Kesebelas ciri kehidupan mental yang sehat diatas pada dasarnya merupakan kriteria ideal,
yang bahkan seorang pribadi normal pun tidaak akan bisa diharapkan memenuhi secara
mutlak semua kriteria atau ciri tersebut. Kartini Kartono dan Jerry Andani lebih
menyederhanakan ciri-ciri kehidupan mental yang sehat sebagai berikut:
1. Integritas kejiwaan
2. Kesesuaian tingkah laku sendiri dengan tingkah laku sosial
3. Adanya kesanggupan melaksanakan tugas-tugas hidup dan tanggung jawab sosial
4. Efisien dalam menanggapi hidup[23]
Konsep lain tentang karakteristik kesehatan mental juga diungkapkan oleh Muhammad
Mahmud Menurutnya terdapat delapan macam tanda-tanda kesehatan mental, yaitu:
1. Kemampuan ketenangan dan rileks batin dalam menjalankan kewajiban, baik terhadap
dirinya, masyarakat, maupun kepada Allah SWT
2. Memadai dalam berakivitas
3. Menerima keadaan dirinya dan orang lain
4. Adanya kemampuan untuk melihat dan menjaga diri
5. Kemampuan untuk tanggung jawab, baik tanggung jawab terhadap keluarga, sosial maupun
agama.
6. Memiliki kemampuan untuk berkorban dan menebus kesalahan yang diperbuat
7. Kemampuan individu untuk membuat hubungan sosial baik yang dilandasi sikap saling
percaya maupun saling mengisi.
8. Adanya rasa kepuasan, kegembiraan dan kebahagiaan dalam mensikapi atau menerima
nikmat yang diperoleh.[24]
Menurut Nana Syaoid Sukmadinata, ada tiga komponen utama dalam kesehatan mental,
yaitu: memiliki rasa diri berharga, merasa puas akan peranan dalam kehidupannya, dan
terjalin baik dengan orang lain. Perasaan diri berharga merupakan hal yang sangat penting
dalam kesehatan mental, sebab mendasari kondisi dari komponen-komponen kesehatan
mental lainnya. Perasaan diri berharga akan memperkuat keberadaan dirinya dalam
kehidupannya. Seseorang yang tidak memiliki perasaan diri tidk berharga, tidak akan
memiliki ketenangan hidup, tidak akan memiliki harapan, banyak diliputi perasaan cemas,
ragu, hampa dan bentuk ketaktentuan lainnya.[25]
Menurut Trackers ada beberapa alasan mengapa pentingnya perasaan diri berharga,
yaitu:
1. Perasaan diri berharga merupakan landasan bagi penerimaan diri sendiri dan penerimaan diri
sendiri merupakan bekal bagi penerimaan orang lain. Seseorang memiliki rasa diri berharga
karena meraasa memiliki kondisi badan, psikis, dan perilaku yang baik dan wajar. Dengan
kondisi ini, ia berinteraksi dengan wajar pula dengan individu lainnya.
2. Sesorang yang memiliki rasa diri berharga, memiliki bayangan diri yang positif, merasa
berguna dan dibutuhkan oleh orang lain. Perasaan ini bukan saja penting bagi keberadaan
dirinya tetapi juga bagi interaksi dengan orang lain.[26]
Sementara itu organisasi kesehatan dunia (WHO) 1959 memberika kriteria jiwa atau mental
yang sehat adalah sebagai berikut[27]
1. Dapat menyesuaikan secara konstruktif pada kenyataan, meskipun kenyataan itu buruk
baginya.
2. Memperoleh kepuasan dari hasil jerih payah usahannya.
3. Merasa lebih puas memberi daripada menerima.
4. Secara relatif bebas dari rasa tegang dan cemas
5. Berhubungan dengan orang lain secara tolong menolong dan saling memuaskan
6. Menerima kekecewaan untuk dipakainya sebagai pelajaran di kemudian hari.
7. Menjuruskan rasa permusuhan kepada penyelesaian yang kreatif dan konstruktif
8. Mempunyai rasa kasih sayang yang besar.
Berkaitan dengan pendapat di atas, Garious (dalam Najati, 2003:3) memberikan indikator
tentang kematangan emosional, sebagai berikut:
“Individu disebut memiliki kematangan emosional apabila individu mampu menerima
kenyataan yang berkaitan dengan kemampuan dan potensi kepribadiannya, mampu
menikmati hubungan-hubungan sosialnya baik di dalam maupun di luar keluarga, mampu
bersikap positif terhadap kehidupan, sanggup menghadapi situasi yang tidak diperkirakan,
berani dan mampu mengemban tanggung jawab, teguh dan konsisten, mampu mewujudkan
keseimbangan dan keharmonisan di antara berbagai tuntutan kebutuhan dan motivasi
kehidupan, memiliki perhatian yang seimbang terhadap berbagai macam kegiatan intelektual,
kerja, hiburan, dan sosial, memiliki pendangan hidup yang kuat dan integral”.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa orang yang memiliki kematangan emosional
adalah orang yang tidak banyak menggantungkan diri pada bimbingan dan kendali orang lain,
melainkan lebih mendasarkan diri pada kemampuan, kemauan dan kekuatannya sendiri.
1. Kemampuan menerima realitas.
Adanya perbedaan antara dorongan, keinginan, dan ambisi di satu pihak, serta peluang dan
kemampuan di pihak lainnya, adalah hal yang bisa terjadi. Bagi orang yang memiliki
kemampuan untuk menerima realitas sudah pasti akan memperlihatkan perilaku yang
mencerminkan kemampuan dalam memecahkan masalah, yakni dengan segera menerima
tanggung jawab, menyesuaikan diri dengan lingkungannya, bersifat terbuka dalam menerima
pengalaman dan gagasan baru, membuat tujuan-tujuan yang realistis, serta melakukan yang
terbaik sampai merasa puas atas hasil usahanya tersebut.
2. Hidup bersama dan bekerja sama dengan orang lain.
Yakni memiliki kemampuan dan kemauan untuk mempertimbangkan minat dan keinginan
orang lain dalam tindakan-tindakan sosialnya, mampu menemukan dan memanfaatkan
perbedaan-perbedaan pandangan dengan orang lain, serta mempunyai tanggung jawab sosial
serta merasa bertanggung jawab terhadap nasib orang lain.
A. SIMPULAN
1. Aspek-aspek pengendalian diri yang ada dalam ibadah puasa adalah sebagai berikut:
a. Puasa untuk meredam amarah atau kesehatan emosional
b. Puasa melatih kesabaran
c. Puasa meningkatkan kecerdasan emosional
d. Puasa untuk membentuk kematangan diri (konsistensi dan kejujuran)
DAFTAR PUSTAKA
Jejen Musfah, Risalah Puasa, Menjadikan Bulan Ramadhan Sebagai Bulan Penuh Pahala, (Yogyakarta :
Hijrah, 2004),
H. Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam (Jakarta: Attahiriyah, 1954)
Jalaludin Rakhmat, Madrasah Ruhaniah Berguru pada Ilahi di Bulan Suci, (Bandung: Mizan Media Utama,
2005),
H. Ubaidillah Saiful Akhyar, Dahsyatnya Terapi Puasa (Jakarta: Nakhlah Pustaka, 2007) hlm.21
Syekh Ali Ahmad Al-Jujawi, Hikmah al-Tasyri Wa Falsafatuhu, terj, Hadi Mulyo, CV Asyifa, Semarang
1992, Jilid I,
Zakiah Drajat, Puasa Meningkatkan Kesehatan Mental, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1989)
Darajat, Puasa meningkatkan Kesehatan Mental
Utsman Ibn Hasan Ibn Ahmad al-Syakir, Darroh al-Nashihin, Indonesia : Dar al-Ihya al-Kutub
al-‘Arabiyyah, ttp,
Utsman al-syakir, Durroh al-Nashihin,
Darajat, Puasa Meningkatkan Kesehatan Mental,
Moh. Ardani, Al-Qur’an dan Sufisme Mangkunegaran IV, (Yogyakarta : Bina Bhakti Waqaf, 1995)
Yusak Burhanuddin. Kesehatan Mental,( Bandung: Pustaka Setia, 1998)
Sururin. Op Cit
Dr.Zakiah Darajat, Kesehatan Mental, (Jakarta: Gunung Agung, 1983),
Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam, Op.Cit,
Kartini Kartono dan Jenny Andari, Hygiene Mental dan Kesehatan Mental Dalam Islam (Bandung: Mandar
Maju, 1989),
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-nuansa Psiokologi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, cet 1,
2001)
Naana Syaoid Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan (Bndung: Remaja Rosdakarya,
2003)
[1] Jejen Musfah, Risalah Puasa, Menjadikan Bulan Ramadhan Sebagai Bulan Penuh Pahala, (Yogyakarta :
Hijrah, 2004), hlm.22
[2] H. Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam (Jakarta: Attahiriyah, 1954) hlm.216
[3] Jalaludin Rakhmat, Madrasah Ruhaniah Berguru pada Ilahi di Bulan Suci, (Bandung: Mizan Media Utama,
2005), hlm.33
[4] H. Ubaidillah Saiful Akhyar, Dahsyatnya Terapi Puasa (Jakarta: Nakhlah Pustaka, 2007) hlm.21
[5] Syekh Ali Ahmad Al-Jujawi, Hikmah al-Tasyri Wa Falsafatuhu, terj, Hadi Mulyo, CV Asyifa,
Semarang 1992, Jilid I, hlm 185
[6] Ibid hal 186
[7] Ibid hlm 191
[8] Ibid., hlm 192
[9] Ibid., hlm 197
[10] Zakiah Drajat, Puasa Meningkatkan Kesehatan Mental, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1989), hal
26
[11] Darajat, Puasa meningkatkan Kesehatan Mental, hal.30
[12] Utsman Ibn Hasan Ibn Ahmad al-Syakir, Darroh al-Nashihin, Indonesia : Dar al-Ihya al-Kutub
al-‘Arabiyyah, ttp, hal 13
[13] Darajat, Puasa Meningkatkan Kesehatan Mental, hal.28
[14] Utsman al-syakir, Durroh al-Nashihin, hal 31
[15] Darajat, Puasa Meningkakan Kesehatan Mental, hal 32
[16] Darajat, Puasa Meningkatkan Kesehatan Mental, hal 20
[17] Moh. Ardani, Al-Qur’an dan Sufisme Mangkunegaran IV, (Yogyakarta : Bina Bhakti Waqaf, 1995)
hlm.287
[18] Yusak Burhanuddin. Kesehatan Mental,( Bandung: Pustaka Setia, 1998),hlm.9
[19] Sururin. Op Cit , hal. 142
[20] Dr.Zakiah Darajat, Kesehatan Mental, (Jakarta: Gunung Agung, 1983), hlm 13
[21] Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam, Op.Cit, hlm 133
[22] Kartini Kartono dan Jenny Andari, Hygiene Mental dan Kesehatan Mental Dalam Islam (Bandung:
Mandar Maju, 1989), hlm 7
[23] Ibid., hlm 8-10
[24] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-nuansa Psiokologi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, cet 1,
2001) hlm 133
[25] Naana Syaoid Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan (Bndung: Remaja
Rosdakarya, 2003) hlm 148
[26] Ibid., hlm 149
[27] Dadang Hawari, hlm 12-13