Anda di halaman 1dari 246

KEARIFAN LOKAL NUSANTARA

Editor:
Edi Wiyono
Aria Yulita
Kearifan Lokal Nusantara
©2021 Perpustakaan Nasional RI
Perpustakaan Nasional RI. Data Katalog dalam Terbitan (KDT)

Kearifan Lokal Nusantara /editor, Edi Wiyono, Aria Yulita.


– Jakarta : Perpusnas Press, 2021
iv, 240 hlm,.:ilus.;21 cm.

ISBN 978-623-313-185-8
ISBN 978-623-313-186-5 (PDF)

1. Budaya Lokal – Antologi I. Edi Wiyono.II. Aria Yulita.

Penulis : Peserta Penulisan Kearifan Lokal Nusantara


Penyunting : Edi Wiyono, Aria Yulita
Penata Letak : Damaji Ratmono
Desain Sampul : Damaji Ratmono

Penerbit
Perpusnas Press
Anggota IKAPI
Jl. Salemba Raya No. 28a Jakarta
Surel : press@perpusnas.go.id
Laman : https://press.perpusnas.go.id

BUKU INI TIDAK UNTUK DIPERJUALBELIKAN

ii
Kata Pengantar
Kebudayaan memegang peranan yang sangat penting
dalam kehidupan manusia. Sebagaimana yang kita ketahui
bahwa peradaban manusia di bumi merupakan hasil dari
kebudayaan. Tercatat bahwa negara Indonesia adalah salah
satu negara yang memiliki budaya lokal terkaya di dunia. Di
sisi lain, kearifan lokal sebagai nilai luhur yang dimiliki oleh
masyarakat adat sudah mulai menunjukan gejala hampir
punah akibat dari kurangnya pelestarian dari berbagai pihak.

Untuk itu adalah tugas kita untuk dapat berkontribusi


melestarikan kearifan lokal agar tidak luntur, salah satunya
melalui media tulisan. Selain itu kita harus memperhatikan
masalah lain yang akan dihadapi oleh budaya lokal seperti
saat ini, dimana kita dapat melihat betapa masih belum
optimalnya usaha dalam menjaga dan melestarikan
budaya lokal yang terdapat di tiap-tiap daerah di Indonesia.

Menggali kearifan lokal yang tersebar di tanah air merupakan


sebuah upaya yang menarik untuk dilakukan, karena sebenarnya
masih ada kearifan lokal di tanah air kita ini yang masih belum
diketahui oleh masyarakat umum. Untuk itu, sebagai upaya
dalam menelaah lebih jauh tentang berbagai aspek kearifan
lokal yang ada di tanah air dan sekaligus melestarikan kearifan
lokal melalui tulisan, Perpusnas Press mengadakan kompetisi
menulis bagi para pustakawan di lingkungan Perpustakaan
Nasional RI dalam upaya mengenalkan budaya dan kearifan
lokal yang belum banyak diketahui oleh masyarakat.

Kisah-kisah kearifan lokal yang berhasil ditulis oleh


pustakawan Perpusnas RI dapat menambah wawasan dan
pengetahuan bagi siapapun yang membacanya. Membuat
pembaca merasakan bahwa ternyata ada banyak kearifan
lokal di tanah air ini yang belum diketahui oleh kita semua.

iii
Buku yang sekarang ada dihadapan Anda ini merupakan
buku hasil dari kegiatan penulisan Kearifan Lokal Nusantara.
Setelah melewati proses seleksi ada 22 naskah yang masuk
dan layak untuk dipilih ke dalam buku antologi ini. Mereka
datang dengan kisah yang berbeda-beda dari satu penulis
ke penulis lainnya. Ini menandakan negeri Indonesia kaya
dengan berbagai macam kearifan lokalnya. Akhirnya, semoga
buku antologi ini memberikan manfaat kepada para pembaca.

Jakarta, Mei 2021

Penerbit
Perpusnas Press

iv
Daftar Isi
Kwitang: ‘Oase’ di Kota Metropolitan
Frial Ramadhan Supratman___________________________ 1
Catatan Seorang Penjelajah: Autobiografi Moehammad
Saleh dan Kesadaran Literasi Tokoh Lokal Pariaman
1841-1922
Salamun Ababil___________________________________ 11
Kisah Penambang Belerang dan “Ojek” Troli Kawah
Ijen di Masa Pandemi Covid-19
Damaji Ratmono__________________________________ 24
Salim, Kebiasaan Kecil yang Mempunyai Peran Besar
Abdul Fatahul Alim_________________________________ 41
Bumi Raflesia, Tanah Pengasingan dengan Berbagai
Kearifan Lokal
Annisa Marwa_____________________________________ 48
Keseragaman dalam Tari Saman dan Eksistensinya di
Masa Kini
Desviana Siti Solehat_______________________________ 58
Perawatan Naskah Berdasarkan Kearifan Lokal di Situs
Kabuyutan Ciburuy Garut
Ellis Sekar Ayu____________________________________ 68
Mendendang Nada, Memakna Petuah: Melalui Lagu,
Petuah Dinikmati
Endy Santoso _____________________________________ 78
Menggali Pendidikan Karakter dan Nilai-nilai Anti
Korupsi Melalui Naskah Kuno Nusantara
Ervina Nurjanah___________________________________ 88
Batik sebagai Koleksi Local Content Perpusnas
Warisan Budaya Bangsa tang Tak Lekang Dimakan Masa
Hanita Sulistia___________________________________ 102

v
Grebeg Pancasila: Wahana Nguri-nguri Budaya
Deni Susanti_____________________________________ 113
Melacak Jejak Naskah yang Terpencar di Nusantara
Indah Purwani___________________________________ 121
Perpustakaan Bung Karno: Perpustakaan yang Ikut
Melestarikan Kearifan Lokal di Kota Patria
Hanafi __________________________________________ 134
Literasi Budaya Mistik, Pentingkah?
Dede Gumilar____________________________________ 145
Bung Karno dan Buceng Guyub: Inspirasi Menjaga Persatuan
Aji Subekti_______________________________________ 158
Menggaungkan Dengung Kentrung
Nikmahtin Megawati______________________________ 169
Menjaga Tanah Leluhur: Misteri Tujuh Keluarga di
Kampung Pitu
Indria Sari Susanti________________________________ 181
Hampir Lenyap, Budaya Gotong Royong sebagai
Warisan Budaya Tak Benda
Afdini Rihlatul Mahmudah__________________________ 191
Merendahlah dengan Sungkem
Kelik Fauzie C.____________________________________ 198
Pesan Kearifan Lokal Nusantara: Tabot Bengkulu dalam
Masa New Normal Covid-19
Edi Herwanto____________________________________ 207
Ragam Seni dan Tradisi di Lereng Sumbing Sindoro
Evi Syntariana____________________________________ 210
Sudahkah Milenial Mengenal Budaya Sunda?
Iin Suminar______________________________________ 216
Tentang Penulis__________________________________ 222
Tentang Perpusnas Press___________________________ 240

vi
Kwitang: ‘Oase’ di Kota
Metropolitan
Frial Ramadhan Supratman

Titik balik dari sejarah Kwitang terjadi ketika Habib Ali


Kwitang kembali ke Jakarta setelah melanglang buana
begitu lama untuk menuntut ilmu.

1
Ketika menyebut Blok M, Gambir, Tanah Abang, Pasar Senen,
atau Salemba, siapa pun pasti tahu lokasi tersebut. Lantas,
bagaimana dengan Kwitang? Kecuali para pencinta buku bekas,
tidak banyak yang tahu daerah tersebut, apalagi warga luar
Jakarta.
Saya ingat film “Ada Apa dengan Cinta?” mengambil
adegan di daerah ini. Ketika itu tokoh Rangga mengajak kawan
perempuannya, Cinta, untuk “berburu” buku bekas di toko buku
loak. Di sana dia menemui seorang penjual buku bekas bernama
Limbong yang diperankan oleh aktor kawakan Gito Rolies.
Adegan tersebut begitu membekas di benak saya sehingga
saat kuliah, saya juga beberapa kali mencari buku di Kwitang.
Harganya “miring” dan banyak buku langka yang sudah tidak
dijual lagi di toko buku besar. Namun, itu sekitar sepuluh tahun
yang lalu.
Saat itu saya selalu menggunakan Kopaja No.20 untuk
menyambangi Kwitang. Namun, sekarang saya lebih memilih
menggunakan ojek online, alternatif transportasi yang
diperkenalkan sekitar tujuh tahun yang lalu di ibu kota. Selain
praktis dan murah, saya bisa langsung turun di tempat tujuan.
Saya memesan ojek online menuju Jalan Kramat II. Seperti
biasa, jalan menuju Kwitang tidak selalu lancar. Di depan UI
Salemba tampak jajaran mobil, motor, hingga bemo yang
menambah kemacetan pada hari itu.
Ojek online yang saya tumpangi akhirnya berhasil menembus
kemacetan. Saya turun di depan Jalan Kramat II dan langsung
disambut oleh gerbang bertuliskan “Selamat Datang di Wilayah
Majelis Ta’lim Habib Ali Kwitang”. Jalannya tidak begitu lebar,

Kearifan Lokal Nusantara


2
suasananya ayem dan rindang untuk ukuran kota metropolitan.
Di kanan kirinya berdiri rumah-rumah yang cukup besar. Ada
kampus, kantor pemerintahan, hingga kedai kopi.
Setelah berjalan kaki sekitar 700 meter, mata saya tertuju
pada jalan yang tertutup terpal besar. Itu adalah Jalan Kembang
III. Di sana ada bangunan besar bercat putih. Arsitekturnya
seperti percampuran antara gaya Timur Tengah dan Indonesia.
Bangunan tersebut tidak lain adalah gedung Majelis Ta’lim
Alhabib Ali Alhabsyi. Saat itu suasanya cukup sepi. Hanya ada
beberapa orang yang berlalu lalang, baik berkendara maupun
berjalan kaki.
Siapa yang menyangka bahwa gedung majelis ta'lim
tersebut merupakan saksi sejarah Indonesia. Setiap hari Minggu,
orang-orang dari dalam dan luar Jabodetabek penuh sesak
berkumpul di sepanjang Jalan Kramat II hingga Jalan Kembang
Raya. Mereka bermaksud mengikuti majelis ta'lim yang dipimpin
ulama terkemuka Indonesia, Habib Ali Alhabsyi Kwitang
(1869-1968). Tidak hanya di Jakarta, nama Habib Ali Alhabsyi
Kwitang sangat masyhur di berbagai daerah. Tak terhitung
berapa banyak pejabat Indonesia yang sowan dan berkunjung
menemuinya, mulai dari presiden, menteri, gubernur, hingga
pejabat tinggi lainnya. Kwitang, kelurahan di tengah ibu kota
Jakarta ini ternyata telah menjadi magnet bagi rakyat dan para
pembesar Indonesia.
Sejarah Kwitang tidak dapat dilepaskan dari posisi strategis
kota Batavia (Jakarta pada masa kolonial Belanda) yang terletak
di persimpangan jalur perdagangan antara Samudera Hindia
dan Pasifik. Sebelum kedatangan Perusahaan Hindia Belanda
Timur (Vereenigde Oostindische Compagnie, VOC), kota ini

Kearifan Lokal Nusantara


3
bernama Jayakarta dan berada di bawah kekuasaan Kesultanan
Banten. Namun, VOC berhasil merebut sebagian tanah Jayakarta
untuk membangun benteng dan pusat perdagangan pada 1619.
Karena lokasinya yang strategis, Batavia dijadikan sebagai pusat
administrasi dari VOC.
Batavia adalah kota multikultur yang menjadi tempat
tinggal dan singgah berbagai bangsa, mulai dari Eropa, Arab,
Tionghoa, Persia, hingga India. Mereka membentuk komunitas
di kampung-kampung yang tersebar di Batavia dan wilayah
sekitarnya. Ketika itu, Kwitang merupakan bagian dari distrik
Waltevreden, Batavia, yang dipimpin oleh seorang kepala
kampung (wijkmeester). Sejak 1948, Kwitang menjadi kelurahan
yang berada di Kecamatan Senen, Jakarta. Letaknya berbatasan
dengan Jalan Prapatan, Jalan Kramat, Jalan Matraman, dan Kali
Ciliwung.
Terdapat banyak versi terkait asal usul nama “Kwitang”.
Sebagian sumber mengatakan bahwa Kwitang diambil dari
nama seorang tuan tanah Tionghoa bernama Kwik Tang Kiam.
Sebagian lagi mengatakan bahwa Kwintang diambil dari nama
tabib bernama Kwe Tang Kiam. Perdebatan ini menunjukkan
bahwa komunitas Tionghoa sudah menghuni kota ini sejak
lama. Dalam disertasinya yang berjudul “Beyond the City Wall”,
sejarawan Bondan Kanumoyoso mencatat bahwa komunitas
Tionghoa sudah menghuni kota Batavia sebelum kedatangan
orang-orang Belanda. Biasanya, orang-orang asing, seperti
Tionghoa dan Arab, memiliki pemimpin etnisnya masing-
masing yang disebut dengan Kapitan. Seiring berjalannya
waktu, Kwitang menjadi wilayah yang multikultur. Tidak hanya

Kearifan Lokal Nusantara


4
Tionghoa, komunitas Arab pun bermukim di sana, bahkan
mewarnai sejarah Kwitang.
Lantas, siapa sosok yang berperan penting dalam
membesarkan nama Kwitang? Dia adalah Habib Ali bin
Abdurahman bin Abdulllah bin Muhammad bin Husein Alhabsyi,
yang lebih dikenal dengan sebutan Habib Ali Kwitang. Dia
merupakan ulama yang lahir di Kwitang, Batavia, pada 20 April
1869. Ayahnya adalah Habib Abdurahman bin Abdullah Alhabsyi,
sedangkan ibunya adalah Nyi Salmah, seorang wanita yang
berasal dari Meester Cornelis (Jatinegara). Dalam buku biografi
Habib Ali Kwitang yang berjudul Sumur yang Tak Pernah Kering,
disebutkan bahwa ayahnya, Habib Abdurahman merupakan ipar
dari pelukis Raden Saleh (1816-1880). Sementara itu, kakeknya,
Habib Muhammad bin Husein bin Abdurrahman Alhabsyi,
berasal dari Hadramaut.
Pada awal abad ke-19, terjadi migrasi orang-orang Arab
Hadrami dari Hadramaut dalam jumlah yang besar. Teknologi
perkapalan memungkinkan mereka untuk mengarungi lautan
dari Hadramaut ke Afrika Timur, Asia Selatan, hingga Asia
Tenggara dengan melintasi Samudera Hindia. Mereka menetap
di kota-kota perdagangan di Samudera Hindia, seperti Pulau
Komoro, Zanzibar, Sri Langka, Mumbai, Singapura, Batavia
(Jakarta), Cirebon, Tegal, Surabaya, hingga Makassar. Kakek
buyut Habib Ali Kwitang adalah salah satu yang bermigrasi ke
nusantara. Awalnya, dia bermukim di Pontianak, kemudian
anaknya, Habib Abdurrahman hijrah ke Batavia dan bermukim
di Kwitang.

Kearifan Lokal Nusantara


5
Setelah ayahnya wafat, Habib Ali Kwitang dikirim oleh
ibunya untuk menuntut ilmu ke Hadramaut Yaman dan Makkah.
Di sana Habib Ali menuntut ilmu dari ulama-ulama terkemuka.
Pengalaman tersebut membentuk Habib Ali Kwitang menjadi
sosok yang alim dan berilmu.
Ketika itu, banyak murid dari nusantara yang juga menuntut
ilmu di Yaman, Makkah, Kairo, dan Istanbul. Michael Laffan
dalam karyanya yang berjudul Islamic Nationhood and Colonial
Indonesia menyebutkan bahwa murid dari nusantara (disebut
Jawi) memenuhi kelas-kelas keilmuan di Makkah hingga Kairo.
Mereka nantinya membawa ide kebangsaan dan cinta tanah
air (hubbul watan) yang menggugah gerakan kemerdekaan
Indonesia.
Saya juga pernah menemukan arsip di Istanbul, Turki, yang
menunjukkan keberangkatan murid-murid dari Jawa untuk
menuntut ilmu di Istanbul. Arsip itu membuktikan bahwa murid-
murid Jawi sudah terbiasa mengadakan pergaulan dengan
komunitas di level internasional. Dengan kata lain, meskipun
Indonesia berada di bawah jajahan kolonial Belanda ketika
itu, para santri dari Jawi tetap bebas bergerak dan melanglang
buana ke berbagai negara.
Selain menuntut ilmu di Yaman dan Makkah, Habib Ali
Kwitang juga menuntut ilmu dari para ulama terkemuka di
nusantara, seperti Habib Abdullah bin Muhsin Alatas dari
Empang, Bogor, Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Alatas
dari Pekalongan, hingga Habib Ahmad bin Muhsin Al Haddar dari
Bangil.

Kearifan Lokal Nusantara


6
Tidak dapat dipungkiri, titik balik dari sejarah Kwitang terjadi
ketika Habib Ali Kwitang kembali ke Jakarta setelah melanglang
buana begitu lama untuk menuntut ilmu. Setelah mendapatkan
izin dari guru-gurunya, Habib Ali Kwitang memberanikan diri
untuk mengajar. Kharisma, sikapnya yang santun, serta tingginya
ilmu yang dimiliki oleh Habib Ali Kwitang telah menarik murid-
murid dari berbagai daerah untuk berguru kepadanya. Ketika itu
Kwitang pun menjadi magnet bagi para penuntut ilmu. Setelah
Habib Ali Kwitang wafat pada 1968, estafet kepemimpinan
diteruskan oleh anaknya yang bernama Habib Muhammad
Kwitang. Pada tahun 1994, Habib Muhammad Kwitang wafat
dan digantikan Habib Abdurrahman Kwitang hingga hari ini.
Majelis Ta'lim Habib Ali Kwitang yang terletak di Jalan
Kembang III telah menarik berbagai ulama dan pencari ilmu
untuk datang ke sana. Menurut Abdul Qadir Umar, Majelis Ta'lim
Habib Ali Kwitang merupakan majelis talim pertama di Jakarta.
Bahkan menjadi cikal bakal kemunculan majelis lainnya di
Indonesia. Mereka berbondong-bondong untuk meneguk ilmu
dari ceramah-ceramah di Majelis Talim Alhabib Ali Alhabsyi di
Kwitang.
Terdapat beberapa momen yang membuat Kwitang
dipenuhi oleh para jemaah dari berbagai daerah. Salah satunya
adalah pengajian mingguan yang rutin dilaksanakan sejak
kepemimpinan Habib Ali Kwitang. Dalam setiap ceramahnya,
Habib Ali Kwitang mengupas berbagai persoalan kehidupan
yang dapat dipahami dengan mudah oleh para jemaah. Dalam
bukunya yang berjudul 17 Habaib Berpengaruh di Indonesia,
Abdul Qadir Umar menyatakan bahwa “majelis tersebut penuh

Kearifan Lokal Nusantara


7
dengan ilmu, nasihat, akhlak, dan perilaku yang baik serta
dipenuhi dengan rahmat.” Selain pengajian mingguan, Majelis
Majelis Ta'lim Habib Ali Kwitang juga mengadakan acara Maulid
“Akhir Khamis” yang diselenggarakan setiap hari Kamis terakhir
di bulan Rabiul Awal.
Tradisi Maulid “Akhir Khamis” ini secara tidak langsung
menjadi penghubung antara tradisi Hadramaut dengan Kwitang.
Pada awalnya, tradisi Maulid “Akhir Khamis” dilakukan seorang
ulama besar asal Hadramaut, Habib Ali Abdurrahman Alhabsyi.
Dia merupakan pengarang kitab Simthud Durar, sebuah buku
kecil yang berisi riwayat Nabi Muhammad saw. Seminggu sekali
ia membaca kitab ini di Masjid Riyadh, Kota Sayun, Hadramaut.
Habib Ali Abdurrahman Alhabsyi wafat pada tahun 1913,
sebelum Perang Dunia I berkobar. Pembacaan kitab ini kemudian
dilanjutkan oleh muridnya yang bernama Habib Muhammad
bin Idrus Alhabsyi di Jatiwangi, Majalengka. Menjelang wafat,
Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi berpesan kepada Habib
Ali Kwitang agar pembacaan kitab Simthud Durar dilanjutkan
olehnya. Sejak mendapatkan mandat tersebut, Habib Ali Kwitang
mengadakan maulid dan mulai membaca kitab Simthud Durar
pada tahun 1920. Awalnya, Maulid “Akhir Khamis” diadakan di
depan Masjid al-Makmur, Tanah Abang, kemudian dipindahkan
ke Kwitang. Hingga kini Maulid “Akhir Khamis” terus dilakukan di
Kwitang oleh penerusnya.
Habib Ali Kwitang tidak hanya meninggalkan ilmu yang
bermanfaat, tetapi juga gedung-gedung yang hingga kini dipakai
untuk majelis ilmu dan ibadah, di antaranya Masjid Ar-Riyadh
dan Madrasah Unwanul Falah. Masjid Ar-Riyadh yang berada di
Jalan Kembang VI, Kwitang, merupakan salah satu masjid tertua

Kearifan Lokal Nusantara


8
di Jakarta. Menurut Abdul Qadir Umar, masjid ini dibangun oleh
Habib Ali Kwitang pada tahun 1938 di atas tanah wakaf dari
keluarga Al-Kaf dari Hadramaut seluas 1000 meter persegi.
Menurut Ensiklopedia Jakarta, Soekarno pernah memberi
nama Baitul Ummah untuk masjid ini, meski akhirnya kembali
menggunakan nama Ar-Riyadh. Sampai saat ini, masjid Ar-
Riyadh masih dipakai untuk aktivitas sosial keagamaan, seperti
ceramah, tarawih, buka puasa bersama, hingga pesantren kilat.
Selain masjid, Madrasah Unwanul Falah menjadi bukti
autentik dari jasa Habib Ali Kwitang dalam menyebarkan
dakwah Islam di nusantara. Madrasah yang dibangun pada
1911 ini menjadi pusat pendidikan bagi murid-murid Habib Ali
Kwitang dan penerusnya. Letaknya di Jalan Kembang III, tidak
jauh dari Masjid Ar-Riyadh. Menurut Abdul Qadir Umar, banyak
ulama Betawi yang dididik di madrasah ini.
Dalam Islam, madrasah memang memainkan peran sentral
untuk mendidik generasi penerus. Sejarawan Turki, Abdulkerim
Ozaydin, mencatat bahwa Madrasah Nizamiye merupakan
madrasah pertama yang ada. Madrasih ini didirikan di Bagdad
oleh Wazir Negara Seljuk Agung, Nizam al-Mulk, pada abad ke-
11.
Merujuk pada sejarahnya, Kwitang bukan hanya kelurahan
kecil di tengah hiruk pikuk dan gemerlapnya kehidupan
metropolitan. Lebih dari itu, Kwitang merupakan wilayah yang
menghubungkan Indonesia dengan kota-kota muslim lainnya di
Samudera Hindia. Hal tersebut dibuktikan dengan serempaknya
pembacaan kitab Simthud Durar setiap Kamis terakhir bulan
Rabiul Awwal di berbagai wilayah. Lantunan bacaan Maulid

Kearifan Lokal Nusantara


9
“Akhir Khamis” bergema dari Kwitang diikuti wilayah-wilayah
lain di Samudera Hindia.
Masjid Ar-Riyadh dan Madrasah Unwanul Falah juga telah
menjadi saksi ajaran-ajaran yang dibawa oleh Habib Ali Kwitang
dan penerusnya. Menurut Habib Abdurrahman dan Prasetyo
Sudrajat, dalam biografi Habib Ali Kwitang, tercatat bahwa
Habib Ali Kwitang mengajarkan “latihan kebersihan jiwa, tasauf
mu’tabarah, dan dialog antara makhluk dengan Sang Pencipta
serta antara sesama makhluk.” Dengan demikian, Kwitang
telah menjadi pusat pendidikan untuk mengajarkan cinta pada
sesama.
Seperti yang disinggung sebelumnya, tasawuf melekat erat
dalam ajaran Habib Ali Kwitang. Dalam bukunya yang berjudul
Dari Allah Menuju Allah, Haidar Bagir mendefinisikan tasawuf
sebagai “suatu proses untuk menjadikan hati kita suci kembali.”
Dalam tasawuf, manusia diharuskan untuk membersihkan diri
dari sifat-sifat tercela agar dapat mendekatkan diri kepada Sang
Pencipta. Oleh sebab itu, nilai kemanusiaan, tauhid, kemurnian
iman, solidaritas sosial, serta akhlakul karimah diajarkan oleh
Habib Ali Kwitang dan para penerusnya. Dengan datang ke
Kwitang, para jemaah mendapatkan ilmu dan teladan yang baik.
Kwitang seakan-akan menjadi ‘oase’ bagi para pencari jalan
spiritual di ibu kota yang haus akan ajaran keagamaan yang
penuh dengan nilai cinta dan kemanusiaan.

Kearifan Lokal Nusantara


10
Catatan Seorang Penjelajah:
Autobiografi Moehammad Saleh
dan Kesadaran Literasi Tokoh
Lokal Pariaman 1841-1922
Salamun Ababil

“… bagaimana pun laparnya engkau, Nak, jangan


sekali-kali menyatakan barang orang sebagai
barangmu. Hanya dengan begini hidupmu akan
selamat, meskipun mungkin tidak kaya dan tak
memiliki banyak harta. Insya Allah, semoga orang-
orang jujur tak pernah kekurangan rahmat.”
(Saleh, 1914)

11
Budaya Alam Minangkabau
Penggalan tulisan di atas merupakan pesan dari ayah
Moehammad Saleh, seorang saudagar besar Minangkabau
asal Pariaman. Tanah kelahirannya, ranah Minangkabau, oleh
sebagian orang sering disamakan dengan wilayah Sumatra Barat
sekarang. Kenyataannya, perkembangan sejarah menunjukkan
bahwa wilayah Sumatra Barat hanyalah sebagian dari daerah
geografis Minangkabau. Sumatra Barat mengandung makna
geografis administratif, sedangkan Minangkabau mengacu
kepada makna sosial budaya. Menurut laporan pemerintah
kolonial Hindia Belanda, luas wilayah Sumatra Barat pada 1930
(bernama administratif Sumatra Westkust saat itu) adalah sekitar
49.778,10 km2 yang meliputi sebagian wilayah Riau (Kampar dan
Inderagiri), Jambi (Kerinci), dan sebagian wilayah Sumatra Utara
(Mandailing).
Dari segi ekologi, Sumatra Barat dapat dibagi menjadi dua
kawasan, yaitu kawasan pedalaman di dataran tinggi (darek) dan
kawasan pinggiran pantai (pesisir) sebagai daerah rantau orang
Minangkabau. Daerah pedalaman memiliki suasana kehidupan
bertani yang sederhana, lebih teratur, dan hidup dengan kondisi
geografis berlembah subur dengan sawah basah sebagai ciri
khasnya. Daerah pesisir, berupa dataran rendah yang dinamakan
rantau, merupakan kawasan pantai yang terdapat di antara
dua sisi pegunungan. Pantai ini menghubungkan orang-orang
Minangkabau dengan kelompok-kelompok bukan Minangkabau
di bagian barat dan timur, serta menjadi pusat rantau orang
Minangkabau setelah abad ke-20.
Perbedaan geografis tersebut mengakibatkan
berkembangnya sistem sosial dan bentuk perekonomian yang

Kearifan Lokal Nusantara


12
berbeda dari masing-masing masyarakat. Daerah pesisir yang
banyak didiami oleh para perantau dari daerah darek hidup
berdampingan dengan pendatang asing dari Cina, Arab, India,
maupun Eropa. Dampaknya adalah perkembangan keragaman
budaya dan adat istiadat dari berbagai latar belakang
kebudayaan. Meski demikian, pada dasarnya, sistem sosial,
budaya, dan ekonomi tidak begitu berbeda dengan di daerah
darek.
Memasuki periode abad ke-19, setelah perdagangan
Belanda dipusatkan di pantai barat Sumatra, aktivitas
pelayaran dan perdagangan di kota-kota pelabuhan, terutama
Padang dan Pariaman, mengalami peningkatan. Ramainya
perdagangan internasional di pantai barat Sumatra mendorong
berkembangnya perdagangan perantara, terutama untuk
menghubungkan hasil bumi dari daerah pedalaman ke daerah
pesisir. Perdagangan perantara ini biasanya merupakan
distributor dan kolektor yang menyebarkan barang-barang
konsumsi ringan hasil impor dan mengumpulkan hasil produksi
pertanian dari rakyat untuk diekspor.

Literasi di Minangkabau Menuju Abad ke-20


Dari kenyataan sosiologis tersebut, kemudian tumbuh berbagai
kebutuhan informasi. Menanggapi hal itu, setidaknya telah
terbit 53 surat kabar di ranah Minangkabau pada awal abad ke-
20.
Naldi (2008) menjelaskan kegemilangan persuratkabaran ini
ditenggarai dua faktor. Pertama, booming surat kabar merupakan
cerminan intelektualitas yang terus berkembang dalam budaya

Kearifan Lokal Nusantara


13
Minangkabau. Surat kabar, ataupun media massa dalam bentuk
lain, hingga saat ini menjadi sarana untuk menuangkan ide serta
gagasan dari hasil pikir manusia. Kedua, keragaman surat kabar
telah memperkaya sistem komunikasi yang berkembang di
budaya Minangkabau.
Sebelumnya, orang Minangkabau cenderung menyampaikan
informasi melalui kaba, suatu tradisi lisan yang secara harfiah
dapat diartikan sebagai kabar atau berita. Kaba merupakan
penceritaan suatu peristiwa oleh tukang kaba dengan diiringi
oleh alat musik saluang atau rebab. Junus (1984) menafsirkan
bahwa kaba ditujukan untuk mendidik para pendengarnya
mengenai cara hidup bermasyarakat dan berbudaya. Oleh
karena itu, kaba selalu dibuka dengan pengantar “… takarang
kaba jo pantun, untuak jadi pelajaran, guno parintang-rintang
hati” (terkarang kaba dengan pantun, untuk menjadi pelajaran,
guna perintang-rintang hati).
Jumlah penduduk yang terdidik di Minangkabau pada
awal abad ke-20 meningkat pesat. Kecakapan yang dimiliki
bukan hanya baca-tulis Melayu, melainkan penguasaan bahasa
Belanda. Menurut Graves (2007), pada tahun 1912, ada 23
sekolah swasta berlokasi di Kota Padang dengan total siswa
sebanyak 1200 orang. Pada periode yang sama, jumlah sekolah
swasta di Jawa dan Madura hanya 53 sekolah. Selain pendidikan,
berbagai infrastruktur penghubung yang telah tersedia saat
itu semakin memperluas kebutuhan informasi masyarakat.
Surat kabar pertama berbahasa Melayu di Sumatra berasal dari
Minangkabau, yaitu Pelita Ketjil, yang mula terbit pada 1886.
Di balik kegemilangan surat kabar dan literasi informasi
di Minangkabau pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-

Kearifan Lokal Nusantara


14
20, tersimpan satu pengalaman khas dari seorang tokoh asal
Pariaman, Moehammad Saleh. Ia merupakan seorang saudagar
yang semasa hidupnya telah berlayar hingga ke Aceh, tumbuh
bersama dengan tinggi gelombang laut pantai barat Sumatra.
Lalu, apa hubungan antara era kegemilangan literasi informasi
di Minangkabau dengan saudagar asal Pariaman ini?

Moehammad Saleh, rang Pariaman


Sebelum itu, marilah berkenalan dan mengakrabkan diri dengan
riwayat Moehammad Saleh. Saleh lahir pada 13 Rabiulawal 1257
H, atau 5 Mei 1841, di daerah pinggiran Pariaman. Ayah dan
ibunya bernama Peto Radjo dan Taroes. Ia merupakan anak
bungsu dari tiga orang bersaudara. Kakak pertamanya adalah
seorang lelaki bernama Jidun, sedangkan kakak keduanya
adalah seorang perempuan bernama Nursibah. Jarak usia
Saleh dengan kedua saudaranya terpaut cukup jauh, sekitar
13 tahun. Ibunya meninggal ketika melakukan persalinan anak
keempatnya. Semenjak ditinggal oleh sang ibu, Saleh bersama
saudaranya hidup dan dibesarkan oleh dua orang pembantu.
Ayah Saleh, Peto Radjo, adalah putra Pariaman keturunan
Aceh. Ia dikenal sebagai saudagar besar yang masyhur di
Pariaman sejak paruh kedua abad ke-18. Peto Radjo dikenal lihai
dalam berniaga. Dalam menjalankan usaha, ia dengan cepat
mendapat kepercayaan dari rekan usahanya. Sayangnya, Peto
Radjo mengalami kemunduran usaha ketika Saleh lahir. Dari
cerita yang disampaikan langsung oleh Peto Radjo kepada Saleh,
usahanya mengalami kemunduran karena mitra utamanya
yang berasal dari Belanda harus pulang dan tidak kembali lagi
ke Pariaman. Di sisi lain, banyak rekan bisnis Peto Radjo yang

Kearifan Lokal Nusantara


15
berutang, tetapi tidak kembali kepadanya. Selain itu, gaya hidup
Peto Radjo yang mewah juga turut membuat usahanya tidak
berjalan lancar.
Berbekal pengalaman hidup susah dan cerita dari sang
ayah, Saleh menyusun sebuah buku berisi pengalaman hidup
untuk anak-cucunya kelak. Buku tersebut ia beri judul Riwajat
Hidup dan Perasaian Saja (Sejarah Hidup dan Penderitaanku).
Buku itu ditulis oleh Saleh pada 1914, ketika usianya telah
memasuki 73 tahun. Dalam buku itu, Saleh bercerita banyak
tentang kehidupan serta lingkungan yang ia lalui.
Saleh bercerita bahwa ketika ia berusia sepuluh tahun,
kakak perempuannya, Nursibah, meminta kepada ayahnya
agar Saleh boleh tinggal dengannya untuk dapat membantu di
rumah. Lima tahun berlalu di sana, ia berkisah tentang kenangan
selama di rumah sang kakak, mulai dari bekerja sebagai kuli
hingga berusaha untuk mendapatkan akses pendidikan. Selama
tinggal di sana, ia banyak memberikan pertolongan; ia meminta
bara api kepada tetangga, mengambil air di sumur, memasak,
dan mencuci. Selanjutnya, Saleh juga membantu untuk menjaga
lepau milik mamaknya. Di saat teman seusianya telah mampu
melaksanakan salat dan membaca Al-Quran dengan benar,
Saleh masih belum bisa melakukannya. Oleh karena itu, sering ia
merasa malu dengan keadaannya. Pada akhirnya, Saleh belajar
ilmu agama pada seorang guru bernama Engku Ismail.
Ketika matahari telah naik, Saleh ikut menyeret pukat
di pantai Pariaman. Dari usaha itu ia mendapatkan upah 25

Kearifan Lokal Nusantara


16
sen. Akan tetapi, kegiatan itu dilarang oleh ayahnya. Peto
Radjo memberi nasihat bahwa kegiatan seperti itu tidak dapat
mengembangkan akal maupun budinya. Peto Radjo kemudian
menyarankan agar ia mulai berdagang, seperti apa yang ia
pernah lakukan dahulu. Ia berpesan bahwa tidak masalah bila
usahanya kecil. Selain diminta untuk mulai berdagang, Saleh
juga dipesankan untuk belajar salat dan mengaji, serta jangan
terlewat untuk belajar membaca, menulis, dan menghitung.
Saleh selalu ingat pada pesan sang ayah bahwa bila ia tak dapat
mengaji, maka ia tak dapat mendoakan ayahnya. Sementara itu,
hidup tiada sempurna bila tidak mampu membaca dan menulis.
Pesan ini selalu melekat dalam keseharian Saleh.
Dengan mengikuti nasihat sang ayah, Saleh pun mengubah
haluan menjadi penjual ikan kering. Dari seorang saudagar kaya
dan terpandang yang ia kenal, Saleh mendapat pelajaran bahwa
tujuan dunia usaha adalah untuk berhemat dan menahan hawa
nafsu. Dengan mengikuti prinsip ini, Saleh mampu menabung
dalam jumlah cukup besar per tahunnya. Ketika Saleh memasuki
usia 14 tahun, ia disarankan oleh keluarganya untuk bekerja
sebagai nakhoda. Ia diminta bekerja bersama dengan pamannya
dari pihak ayah, ikut berlayar ke Sibolga. Meskipun sebelumnya
tidak punya pengalaman berlayar, Saleh menerima tawaran
tersebut. Terlebih, ia sangat ingin untuk melihat negeri lainnya.
Dalam pengarugannya sebagai nakhoda, Saleh pernah singgah
di Air Bangis, Natal, Singkil, dan Pulau Tello.

Kearifan Lokal Nusantara


17
Gambar 1. Pelabuhan-pelabuhan yang pernah disinggahi oleh Moehammad
Saleh (Sumber: Kato, 1986.)

Pada 1867, Saleh menerima kabar bahwa ayahnya sedang


sakit keras. Beberapa minggu kemudian, sampai pula kabar
bahwa ayahnya meninggal dunia. Tak lama setelah kabar tersebut
datang, Saleh terserang malaria dan menular kepada anaknya. Di
rumah, anak kedua Saleh lahir. Serangkaian peristiwa tersebut
membuat Saleh sengsara hingga keuangannya menipis.
Pada akhir tahun 1876, usaha Saleh mendapat angin
segar. Secara kebetulan, ia bertemu dengan saudara jauhnya.
Saleh diajak untuk berdagang damar serta menjadi distributor
antara wilayah rantau dengan darek. Selain itu, Saleh juga
menebus kedai seorang teman yang sudah tidak mampu
lagi menjalankannya. Dari kedai itu Saleh banyak mendapat
keuntungan, karena rekan bisnis dari luar Minangkabau selalu
belanja di kedai miliknya. Di kedai itu Saleh menjual komoditas

Kearifan Lokal Nusantara


18
daerah dari darek, seperti bawang, kentang, ubi, dan kubis.
Usaha Saleh semakin meningkat ketika pemerintah kolonial
memberikan izin kepada pedagang umum untuk ikut berjualan
garam.
Seperti itulah usaha Saleh dalam berdagang. Pada awalnya,
ia hanya menjual ikan kering di pasar. Lambat laun, berkat
kesabaran dan kegigihannya, usahanya mulai mencakup gula
merah, beras, sayur-mayur, dan garam.
Tidak ada angka pasti berapa harta kekayaan yang dimiliki
oleh Saleh. Akan tetapi, ketika usianya memasuki 73 tahun pada
1914, ia memiliki sebuah rumah bertaman di Pariaman dengan
harga f. 1.400. Selain itu, Saleh memiliki toko di Padang Panjang
dengan nilai f. 6.000. Saleh juga memiliki 17 armada perahu
yang digunakan untuk mengangkut barang dagangan antara
Pariaman, Padang, Sibolga, dan Pagai. Semua itu ia dapatkan
berkat usahanya sendiri. Ia tidak mendapatkan bantuan dari
keluarganya, tidak pula memanfaatkan warisan adat.
Moehammad Saleh memiliki gelar Datuak Rangkayo Basa
(Datuk Orang Kaya Besar), salah seorang pedagang terkemuka
dari Minangkabau. keberhasilannya tercermin dari sifat
pengusaha yang ada dalam dirinya. Ia cerdik, pekerja keras,
hemat, dan berpengetahuan luas. Saleh meninggal di Pariaman
pada 1922 dalam usia 81 tahun.

Yang Sebenarnya Dilakukan oleh Saleh


Kilasan riwayat Moehammad Saleh tersebut dikutip dari tulisan
Tsuyoshi Kato. Pada 1986, satu esainya dalam Journal of Asian
Studies diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul

Kearifan Lokal Nusantara


19
“Rantau Pariaman: Dunia Saudagar Pesisir Minangkabau Abad
XIX”. Tulisan Kato bersumber kepada autobiografi Moehammad
Saleh yang berjudul Riwajat Hidup dan Perasaian Saja.
Menulis autobiografi, seperti apa yang dilakukan oleh Saleh,
adalah hal yang luar biasa. Pada masa itu, seperti yang dijelaskan
pada bagian awal tulisan, budaya masyarakat Minangkabau
masih condong dengan tradisi lisan bakaba. Penyampaian
informasi dan berbagai panduan hidup disebarkan secara lisan.
Bahkan ketika booming surat kabar melanda masyarakat, tidak
terdengar tulisan autobiografi yang muncul ke permukaan.
Mestika Zed (2017) menjelaskan bahwa naskah asli
autobiografi Moehammad Saleh ditulis dalam aksara Arab-Melayu
berbahahasa Minangkabau. Cucu kesayangan Moehammad
Saleh, Soetan Mahmoed Latif, mulai menyalin naskah itu ke
dalam huruf Latin pada tahun 1920-an. Pengalihaksaraan
tersebut selesai pada tahun 1933. Akhirnya, buku tersebut naik
cetak dalam jumlah terbatas pada tahun 1935, hanya untuk
keluarga besar Moehammad Saleh. Selang 30 tahun kemudian,
oleh Latif, naskah tersebut kembali dialihaksarakan, kali ini ke
dalam bahasa Indonesia.
Zed kemudian menyingkap bahwa autobiografi
Moehammad Saleh merupakan suatu dokumen unik dan langka.
Pertama, jarang sekali terdapat autobiografi seorang tokoh
yang hidup sebelum abad ke-20. Tulisan autobiografi, maupun
biografi, dari tokoh pribumi baru banyak muncul setelah
memasuki abad ke-20. Kedua, mayoritas tulisan yang ada ditulis
oleh kaum terpelajar atau yang pernah menempuh pendidikan
formal. Dengan kata lain, Saleh menuliskan pengalaman
hidupnya secara autodidak, dengan mendidik dirinya sendiri.

Kearifan Lokal Nusantara


20
Ketiga, tulisan autobiografi pada masa itu hampir semuanya
bercorak politik. Amat jarang tulisan dari perspektif selain itu,
apalagi dengan corak kehidupan dunia sosio-ekonomi bahari
seperti apa yang ditulis oleh Saleh. Keempat, tulisan Saleh
sangat kaya akan informasi yang terperinci mengenai kehidupan
masyarakat, terutama yang hidup di Pariaman dan pantai barat
Sumatra. Ia tidak hanya menceritakan dirinya sendiri, tapi ia
juga menulis hal-hal kecil yang ia alami dan ia lihat tentang
daerah yang pernah ia datangi. Terakhir, dalam tulisan Saleh
begitu banyak nasihat serta panduan hidup. Secara sederhana,
boleh jadi Zed ingin menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh
Moehammad Saleh adalah suatu local genius. Meski tidak hadir
secara melembaga, hanya dalam batasan indivu, pribadi dan
lingkungan Saleh yang saling mengait melahirkan pengalaman
yang dituangkan oleh Saleh ke dalam bentuk tulisan.
Melalui kacamata literasi, apa yang telah dilakukan
dan ditulis oleh Moehammad Saleh telah memberi arti bagi
banyak ilmu pengetahuan. Bersandar pada perspektif sejarah,
setidaknya telah ada tiga tulisan yang menerangkan berbagai
eksplanasi berdasar pada autobiografi Saleh.
Pertama, tulisan Tsuyoshi Kato (1986) yang telah disinggung
pada bagian sebelumnya. Kato menulis sejarah ekonomi,
terutama perdagangan garam di pantai barat Sumatra melalui
apa yang ditulis oleh Saleh. Autobiografi tersebut menjadi
sumber sejarah primer untuk melihat dunia maritim Pariaman
pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Relasi antara
penduduk Minangkabau dengan berbagai suku bangsa lainnya,
seperti Aceh dan Nias, serta dengan pemerintah kolonial saat itu
tergambar dengan jelas.

Kearifan Lokal Nusantara


21
Kedua, tulisan Mestika Zed (2017) yang berjudul “Saudagar
Pariaman Menerjang Ombak Membangun Maskapai: Riwayat
Muhammad Saleh Datuk Rangkayo Basa 1841-1921”. Berbekal
tulisan Saleh, Zed dapat menelusuri sejarah ketokohan seorang
individu di Pariaman. Berbagai petuah hidup orang Minangkabau,
baik yang diterima Saleh dari lingkungan sekitarnya maupun
dari pengalaman hidupnya sebagai nakhoda asal Pariaman,
terungkap dengan terang.
Yang paling baru adalah esai yang ditulis oleh Undri (2019)
dengan judul “Narasi Gempa dalam Otobiografi Moehammad
Saleh Datoek Rangkayo Basa”. Ternyata, tidak hanya kehidupan
sosial kemasyarakatan yang dapat diteropong dari autobiografi
Saleh. Lebih dari itu, berbagai peristiwa alam, termasuk
gempa dan tsunami juga tercatat dalam karya itu. Saleh
pernah mengalami bumi bergoyang (gempa) dan ombak besar
(tsunami) ketika berlayar ke Kepulauan Nias pada 1861. Sejarah
kebencanaan di wilayah pantai barat Sumatra dengan demikian
dapat ditelusuri melalui autobiografi Saleh.

Yang Sebenarnya Diwariskan oleh Saleh


Tulisan ini kemudian ingin meluaskan lagi perspektif ilmu
pengetahuan yang tergapai oleh kearifan literasi Saleh.
Berdasarkan kemampuan serta keterampilan Saleh dalam
mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan
hidupnya, apa yang dilakukan oleh Saleh dapat disebut sebagai
suatu kemajuan literasi. Tidak lazim pada masa itu seorang
nakhoda cum saudagar menuangkan pengalaman hidupnya
dalam bentuk tulisan, terlebih dengan begitu detail. Dari
berbagai nilai pengetahuan, kecerdasan, dan kebijaksanaan

Kearifan Lokal Nusantara


22
setempat, lahirlah suatu pesan kearifan lokal Nusantara melalui
magnum opus Moehammad Saleh: Riwajat Hidup dan Perasaian
Saja.
Karya monumental ini menunjukkan bahwa pernah ada
kesadaran literasi di Pariaman, satu wilayah di pesisir barat
Sumatra, dari seorang tokoh yang lahir pada pertengahan abad
ke-19. Yang ia lakukan ternyata tidak hanya menulis, tetapi
juga memberikan contoh bahwa tuangan pemikiran dalam
bentuk tulisan memang bisa menjadi abadi. Autobiografi Saleh
masih terus dibaca dan dikutip hingga saat ini. Tulisannya
telah berusia 106 tahun dan apa yang ia ceritakan telah berusia
sekitar 150 tahun. Salah satu pesan yang ditulis Saleh pada
1914 itu berbunyi begini “…(nasihat sang ayah kepada Saleh)
saya jadikan pusaka yang boleh dimiliki oleh anak cucu, turun-
temurun. Ini juga amanat sekaligus wasiat yang akan saya
tinggalkan kelak. Agak lama tahannya. Tak lapuk kena hujan, tak
lekang kena panas. Lebih lama kekalnya daripada harta benda
yang saya tinggalkan”. Lebih dari seratus tahun kemudian, yang
ditinggalkan oleh Saleh ternyata bukan hanya sebatas pesan
untuk anak cucu keturunannya, melainkan ilmu pengetahuan.

Kearifan Lokal Nusantara


23
Kisah Penambang Belerang dan
“Ojek” Troli Kawah Ijen di Masa
Pandemi Covid-19
Damaji Ratmono

Selain dikenal dengan julukan “Sunrise of Java”, Kawah


Ijen juga menyimpan fenoma alam yang unik, yaitu blue
fire atau api biru.

24
Gambar 1. Penambang Belerang Kawah Ijen
(Sumber: Dokumentasi pribadi Oktober 2020)

Siapa yang tidak mengenal Kawah Ijen? Destinasi di


Banyuwangi yang menjadi primadona wisatawan ini memiliki
fenomena api biru atau blue fire yang hanya ada dua di
dunia—satu lagi terdapat di Finlandia. Namun, tidak banyak
yang tahu bahwa Kawah Ijen juga memiliki kisah tentang para
penambang belerang. Setiap hari mereka harus bertaruh nyawa
dengan bahaya racun belerang yang sangat mematikan dan
merusak kesehatan. Selain itu, ada kisah para “ojek” troli yang
menawarkan tenaganya untuk membantu wisatawan mendaki
Kawah Ijen.
Pada awal Oktober 2020, saya berkesempatan untuk
berkunjung ke Kawah Ijen dan menyaksikan sendiri kondisi
pariwisata di sana, termasuk aktivitas para penambang dan
“ojek” troli. Salah satu kearifan lokal warga setempat yang
telah dilakukan bertahun-tahun guna menyambung hidup dan
menghidupi keluarga mereka.

Kearifan Lokal Nusantara


25
Kawah Ijen Go Internasional
Sesungguhnya Kawah Ijen Banyuwangi tidak dapat dipisahkan
dari Maurice dan Katia. Dua ahli geologi dan vulkanologi dari
Perancis inilah yang telah memperkenalkan Kawah Ijen ke
kancah internasional.

Gambar 2. Maurice Krafft dan Katia melakukan penelitian di Kawah Ijen pada
tahun 1971 (Sumber: http://tourbanyuwangi.com)

Pada tahun 1971, mereka melakukan riset terkait Kawah Ijen.


Mulai dari sejarah, sifat letusan, komposisi kimia danau kawah,
hingga aliran sungai limpahan danau kawah yang mengalir ke
Sungai Banyupahit. Hasil penelitian mereka dipublikasikan
sebagai buku berjudul A l’assaut des volcans, islande, Indonesie,
diterbitkan oleh Presses de la Cite, Paris, pada tahun 1975
(http://tourbanyuwangi.com).
Berkat buku ini, dunia internasional semakin aware
terhadap Kawah Ijen. Semenjak itu wisatawan mancanegara,
khususnya wisatawan Prancis, sering datang ke Kawah Ijen.
Oleh karena itu, tak heran jika banyak penambang belerang di
Kawah Ijen yang mahir berbahasa Prancis.
Namun, tahukah Anda bahwa Kawah Ijen telah lebih dulu
dikenal oleh bangsa Eropa jauh sebelum diperkenalkan oleh

Kearifan Lokal Nusantara


26
Maurice dan Katia? Kawa Ijen mulai dikenal bangsa Eropa ada
tahun 1770, ketika VOC Belanda menduduki Banyuwangi dan
mendirikan benteng “Utrecht”, sekitar 48 km arah tenggara dari
Kawah Ijen.

Gambar 3. Benteng “Utrecht” Banyuwangi Tahun 1915


(Sumber: Photo kitlv.nl)

Menurut Bosch (1858), pada tahun 1786, penambangan


belerang di Kawah Ijen mulai dilakukan sebagai bahan mesiu
guna kebutuhan perang. Tiga tahun kemudian, tepatnya
tahun 1789, Clemens de Harris, komandan benteng Utrecht
Banyuwangi, pun mengunjungi Kawah Ijen (Oudgast, 1820).
Diikuti oleh Jean-Baptiste Louis Claude Théodore Leschenault
La Tour, seorang ahli botani dan ahli burung dari Perancis yang
mengunjungi dan mengobservasi kawasan Kawah Ijen pada
tahun 1805 (Leschenault (de la Tour, 1858).
Mengacu pada catatan sejarah tersebut, sejak pendudukan
Prancis, Kawah Ijen telah dijadikan objek observasi, penelitian,
dan eksplorasi di berbagai bidang keilmuan. Baik di bidang
geologi, vulkanologi, tambang dan mineral, botani, maupun
biologi.

Kearifan Lokal Nusantara


27
Kawah Ijen yang Fenomenal

Gambar 4. Blue Fire Kawah Ijen (Sumber: Flickr/fakta news)


Selain dikenal dengan julukan “Sunrise of Java”, Kawah
Ijen juga menyimpan fenoma alam yang unik, yaitu blue fire atau
api biru. Meski disebut api biru, bukan berarti api yang muncul
berwarna biru. Fenomena ini muncul akibat gas belerang
berkuantitas tinggi dengan tekanan dan suhu yang tinggi pula
(mencapai 600 derajat celcius). Kemudian, oksigen yang ada di
udara terpantik oleh panas lava sehingga belerang akan langsung
terbakar dan menghasilkan warna biru. Belerang yang terbakar
di Kawah Ijen ini muncul dalam jumlah tinggi dan mengalir
melalui batuan sehingga terlihat seperti lava berwarna biru.
Warna biru ini hanya bisa dilihat pada malam hari, sedangkan di
siang hari api akan berwarna kekuning-kuningan (https://www.
goodnewsfromindonesia.id).

Gambar 5. Kawasan hutan di Kawah Ijen (Sumber: dokumentasi pribadi


Oktober 2020)

Kearifan Lokal Nusantara


28
Selain blue fire, pemandangan hutan yang menakjubkan
akan menyegarkan mata kita ketika mendaki dan menuruni
Kawah Ijen. Menurut informasi dari Balai Besar Konservasi
Sumber Daya Alam Jawa Timur atau bbksdajatim, kawasan hutan
pegunungan Ijen ditunjuk sebagai cagar alam berdasarkan Surat
Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda No.46 tanggal 9
Oktober 1920 Stbl No.736 dengan luas 2.560 ha. Selanjutnya,
terbitlah Surat Keputusan Menteri Pertanian No.1017/Kpts-
II/Um/12/1981 tanggal 10 Desember 1981 yang menetapkan
sebagian dari kawasan Cagar Alam Kawah Ijen seluas 92 ha
menjadi Taman Wisata Alam Kawah Ijen, sedangkan sisanya
seluas 2.468 ha tetap sebagai cagar alam.
Adapun potensi flora di Cagar Alam Kawah Ijen cukup
melimpah, bbksda Jatim membaginya berdasarkan ketinggian
dari permukaan laut, yaitu sebagai berikut.
1. Montane rain forest (hutan hujan pegunungan), yakni daerah
dengan ketinggian 700–1000 mdpl.
Daerah yang dominan di kawasan Cagar Alam Kawah Ijen
adalah peralihan antara hutan hujan pegunungan dengan
hutan hujan sub alpin. Adapun vegetasi yang ditemui
di daerah ini, antara lain pohon dari famili Fagaceae,
Magnoliaceae, Ericaceae, Hamamelidaceae, dan Coniferae.
2. High montane rain forest (hutan hujan pegunungan tinggi),
yakni daerah ketinggian 1.000–2.500 mdpl
Daerah yang berada di ketinggian ini merupakan peralihan
antara hutan hujan pegunungan dengan hutan hujan
sub alpin. Jenis vegetasi yang ditemui di daerah ini, yaitu
Compositae (Eidelweiss) dan Ericaceae (Vaccinium).

Kearifan Lokal Nusantara


29
3. Sub alpin rain forest (hutan hujan sub alpin), yakni daerah
ketinggian 2.500–4.000 mdpl.
Vegetasi yang dominan pada daerah tersebut adalah
tumbuhan semak dan perdu, mengingat kondisi lingkungan
yang kurang mendukung dan semakin besarnya pengaruh
gas senyawa belerang.

Gambar 6. Tanaman perdu di sekitar kawah (Sumber: Dokumentasi pribadi


Oktober 2020)

Adapun fauna yang dapat dijumpai di kawasan Cagar Alam


Kawah Ijen. antara lain macan kumbang/tutul (Panthera pardus),
kucing hutan/macan rembah (Felis bengalensis), ajag (Cuon
alpinus), lutung jawa (Trachypithecus auratus), tupai terbang
(Petaurista elegan), tupai tanah (Lariscus insignis), tupai pohon
(Scuridae), kijang (Muntiacus muntjak), jelarang (Ratufa bicolor),

Kearifan Lokal Nusantara


30
babi hutan (Sus verrucosus), banteng (Bos javanicus), garangan
(Herpectes javanicus), dan luwak (Paradoxurus hermaproditus).
Selain itu, terdapat 107 jenis burung yang 21 jenis di
antaranya merupakan jenis endemik, antara lain walik
kepala ungu (Ptylinopus porphyreus), cekaka jawa (Halcyon
cyanoventris), sepah gunung (Pericrocotus miniatus), cucak
gunung (Pycnonotus bimaculatus), kipasan bukit (Rhipidura
euryura), dan ayam hutan hijau (gallus varius). (https://
bbksdajatim.org/cagar-alam-kawah-ijen)

Wisatawan Kawah Ijen di Masa Normal dan Masa


Pandemi Covid-19
Kawah Ijen merupakan salah satu primadona bagi para
wisatawan, baik asing maupun domestik. Selain untuk
menikmati keindahan alamnya, tak sedikit dari mereka yang
berkunjung untuk tujuan penelitian dan pendidikan.
Selama tahun 2016 saja, sejak Januari hingga November
2016, kunjungan mencapai 154.565 wisatawan, terdiri atas
150.298 wisatawan domestik dan 4.267 wisatawan mancanegara.
Umumnya, wisatawan asing melakukan kunjungan pada bulan
Agustus dan Oktober, didominasi oleh wisatawan dari Belanda
dan Perancis.
Sebelum pandemi mengguncang dunia, jumlah wisatawan
Kawah Ijen relatif meningkat setiap tahunnya. Namun, sejak
Maret 2020, pengunjung Kawah Ijen menurun drastis, bahkan
sempat sepi total. Menurut Kepala Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata (Disbudpar) Banyuwangi, Muhammad Yanuar
Bramuda, di kantornya, Kamis 12 Maret 2020, jumlah wisatawan

Kearifan Lokal Nusantara


31
mancanegara yang datang ke Banyuwangi selama Februari 2020
turun 60 persen dibanding Februari 2019.

Gambar 7. Kawasan Kawah Ijen yang Sepi dari wisatawan akibat dari
pandemi virus Covid-19 (Sumber: Dokumentasi pribadi Oktober 2020)

Dalam catatannya, jumlah warga negara asing yang


menginap di berbagai hotel di Banyuwangi selama Februari
2019 mencapai 3.783 orang, sedangkan wisatawan domestik
mencapai 53.799 orang. Namun, akibat pandemi Covid-19,
jumlah tersebut menurun 60 persen di bulan Februari 2020.
Meski begitu, seiring dengan diberlakukannya “New
Normal”, jumlah pengunjung Kawah Ijen kembali mengalami
peningkatan dibandingkan bulan Maret 2020, begitu pula
dengan tingkat hunian hotel dan tempat wisata lainnya.
Perlu diingat, ketika berwisata ke Kawah Ijen, ada beberapa
hal yang perlu disiapkan. Pertama, perbekalan materi berupa
uang, makanan, air minum, dan perlengkapan mendaki, seperti
sepatu gunung, masker, topi, jas hujan, dan ransel. Kedua,
siapkan kekuatan fisik dan kesehatan karena jalur pendakian
menuju kawah cukup jauh serta diliputi oleh udara dingin, angin
kencang, dan bau belerang yang menyengat, cukup berbahaya
bagi kesehatan.

Kearifan Lokal Nusantara


32
Kearifan Lokal Masyarakat Kawah Ijen
Kearifan lokal  merupakan bagian dari budaya yang tidak dapat
dipisahkan dar suatu masyarakat, biasanya diwariskan secara
turun-temurun melalui cerita dari mulut ke mulut. Kearifan lokal
dapat pula berbentuk suatu pengetahuan yang ditemukan oleh
masyarakat lokal berdasarkan pengalaman yang diintegrasikan
dengan budaya dan keadaan alam setempat.
Mengacu pada hal tersebut, budaya tambang belerang
dan ojek troli di Kawah Ijen merupakan suatu kearifan lokal,
mengingat hal tersebut telah berlangsung selama bertahun-
tahun dan dilakukan secara turun-temurun oleh masyarakat
setempat. Melalui profesi tersebut, mereka memanfaatkan
sumber daya alam setempat untuk menyambung hidup dan
menghidupi keluarga.

Gambar 8. Penambang belerang Kawah Ijen (Sumber: https://www.flickr.


com)

Seyogianya penambang belerang merupakan profesi


yang cukup mengancam kesehatan. Bertahun-tahun lamanya
mereka akrab ganasnya racun asam di kawah belerang. Saya
menyaksikan sendiri bagaimana mereka turun naik ke kawah

Kearifan Lokal Nusantara


33
demi menambang belerang. Tanpa peralatan memadai, hasil
tambang belerang seberat 65–70 kg mereka pikul di atas pundak
mereka ke atas bibir kawah.
Tidak sebanding memang, hasil tambang belerang
kemudian dijual dengan harga Rp1500 kilogram ke sebuah
pengepul di pos patulding. Menurut salah seorang penambang,
dalam sehari ia bisa mengantongi uang hingga Rp250.000, jika
belerang yang diangkut mencapai 200 kilogram. Penghasilan
tersebut belum dipotong untuk kebutuhan makan, minum, dan
operasional lainnya (https://radarbanyuwangi.jawapos.com).

Gambar 9. Penulis dan penambang belerang (Sumber: Dokumentasi pribadi


Oktober 2020)

Cendera Mata dari Belerang, Oleh-oleh Khas


Kawah Ijen
Selain dijual ke pengepul, ternyata belerang dapat juga
dijadikan sebuah cendera mata. Kreativitas ini dilakukan untuk
menaikkan citra dan harga belerang. Seiring meningkatnya
jumlah wisatawan, baik mancanegara maupun domestik,
semakin meningkat pula perekonomian masyarakat setempat.

Kearifan Lokal Nusantara


34
Hal ini ditandai dengan banyaknya warung dan toko yang
menjual aksesori, perlengkapan mendaki, oleh-oleh khas Kawah
Ijen, serta cendera mata dari belerang. Adapun harga dari setiap
cendera mata bervariasi, berkisar antara Rp5000-10.000. Masih
sangat terjangkau kan?
Cendera mata dari belerang merupakan inovasi di Kawah
Ijen. Ide tersebut berawal dari seruan Bupati Banyuwangi,
Abdullah Azar Anas, kepada para penambang. Ia meminta agar
para penambang membuat sesuatu yang menarik dan kreatif
sehingga menarik minat wisatawan sekaligus menjadi tambahan
penghasilan bagi mereka.

Gambar 10. Penambang dan cendera mata yang dijual dari bahan belerang.
(Sumber: www.banyuwangitravelmurah.com)

Gambar 11.Wisatawan sedang membeli cendera mata dari penambang


(Sumber: elora tour & adventure)

Kearifan Lokal Nusantara


35
Awal Mula Penambangan Belerang di Kawah Ijen

Gambar 12. Penulis, penambang belerang, dan hasil tambang.


(Sumber: Dokumentasi pribadi Oktober 2020)

Lantas, kapan dan bagaimana awalnya penambangan


belerang bisa menjadi kegiatan yang menopang perekonomian
masyarakat di kawasan Kawah Ijen? Menurut Kurniawan (dalam
Khairul Anwar, 2015), penambangan belerang awalnya hanya
ada di Gunung Welirang yang dikelola oleh koperasi raksa
di Prigen. Sayangnya, kualitas sumber belerang di gunung
tersebut kurang bagus dan hanya menghasilkan sedikit
belerang. Kemudian, seorang pengusaha belerang berinisiatif
untuk mencari belerang di tempat lain. Akhirnya, ditemukanlah
sumber belerang berkualitas baik, yakni Gunung Ijen.
Masih menurut Kurniawan, penambangan belerang di
Kawah Ijen dimulai pada tahun 1968. Penambangan tersebut
awalnya dilakukan oleh seorang penambang dari Malang.
Kemudian, pada tahun 1970, penambangan dilakukan oleh CV
Argomulyo—yang kemudian berganti nama menjadi PT Candi
Ngrimbi. Perusahaan ini merupakan satu-satunya pengelola
penambangan belerang di Gunung Ijen dan telah mendapatkan
izin resmi dari pemerintah Banyuwangi. Oleh karena itu, hasil
tambang dari Kawah Ijen ditampung oleh PT Candi Ngrimbi.

Kearifan Lokal Nusantara


36
“Ojek” Troli Kawah Ijen

Gambar 13. Ojek Troli Kawah Ijen (Sumber: Dokumentasi pribadi Oktober
2020)

Hal menarik lain dari Kawah Ijen selain penambang belerang


dan blue fire adalah keberadaan ojek troli. Sedikit bercerita,
ketika saya dan beberapa pendaki memulai pendakian ke
kawah sekitar pukul dua dini hari, dari pos patulding sampai
kawah, para ojek troli dengan setia menemani kami. Mereka
adalah warga setempat yang kesehariannya berprofesi sebagai
penambang. Dari pos awal, mereka membawa troli kosong.
Dengan sabar, mereka menawarkan troli dan menunggu para
pendaki yang lelah menghampiri mereka.
Awalnya, saya kira tidak akan ada yang berkenan
menggunakan jasa mereka karena tarifnya cukup mahal,
yaitu sekitar 800 ribu sampai 1,5 juta rupiah pergi pulang (PP).
Harga yang tidak masuk akal, saya pikir. Ternyata dugaan saya
keliru, ternyata di tengah perjalanan ada beberapa pendaki
yang kelelahan dan tidak sanggup lagi mendaki. Namun, rasa
penasaran dan keinginan kuat mereka untuk sampai ke kawah
membuat mereka rela merogoh kocek untuk menggunkan jasa
ojek troli. Ketika saya coba tanya, tarif yang merek tawarkan
kala itu sekitar 700 ribu rupiah pergi pulang, harganya turun

Kearifan Lokal Nusantara


37
mengingat pendakian sudah setengah jalan.

Gambar 14. Ojek troli dan para wisatawan pendaki Kawah Ijen
(Sumber: Dokumentasi pribadi Oktober 2020)

Gambar 15. Penulis mencoba untuk mendorong troli belerang


(Sumber: Dokumentasi pribadi Oktober 2020)

Bagaimana ojek troli bisa ada di Kawah Ijen? Menurut


Didik, pemandu saya menuju kawah, awalnya troli-troli yang
ada di Kawah Ijen itu dimaksudkan untuk meringankan beban
kerja para penambang belerang. Ide troli tersebut muncul dari

Kearifan Lokal Nusantara


38
seorang investor Ijen, mengingat penggunaan motor atau
mobil tidak memungkinkan karena medan yang berat. Selain
itu, penggunaan kendaraan akan merusak fasilitas jalan dan
mengurangi kenyamanan para pendaki.

Gambar 16. Troli untuk mengangkut belerang.


(Sumber: https://radarbanyuwangi.jawapos.com)

Namun, seiring berjalannya waktu, karena tuntutan


kebutuhan hidup, para penambang “nyambi” sebagai tukang
dorong troli bagi wisatawan yang naik turun ke Kawah Ijen.
Biasanya, satu penumpang akan ditarik oleh 3-6 orang. Troli
untuk ojek ini dbuat dengan memodifikasi troli yang sudah ada
dengan menggunakan bahan stainless steel. Troli ini memakai
sistem matic, tromol rodanya memakai sparepart baru sepeda
motor.

Kearifan Lokal Nusantara


39
Referensi:
Khairul Anwar.20015.Identifikasi Bahaya, Penilaian Risiko Dan
Pengendalian Risiko Pada Pekerjaan Tambang Belerang
(Studi pada Pekerja Tambang Belerang di Taman Wisata Alam
Kawah Ijen). Bagian Kesehatan Lingkungan Dan Kesehatan
Keselamatan Kerja Fakultas Kesehatan Masyarakat.
Universitas Jember
travel.detik.com
https://radarbanyuwangi.jawapos.com
https://www.bbc.com/indonesia
https://bbksdajatim.org
https://republika.co.id/berita/nasional/daerah/16/12/29
https://www.goodnewsfromindonesia.id
http://tourbanyuwangi.com
http://tourbanyuwangi.com
nusadaily.com

Kearifan Lokal Nusantara


40
Salim, Kebiasaan Kecil yang
Mempunyai Peran Besar
Abdul Fatahul Alim

Seiring luasnya pergaulan, budaya salim mulai tidak


tampak, misalnya di lingkungan kampus dan dunia kerja,
di mana kondisinya semakin dinamis dan cenderung
bersifat individualis.

41
Kisah Klasik
Teringat kala itu, tahun 1992 ketika usiaku masih 5 tahun,
duduk di bangku taman kanak-kanak. Sebelum meninggalkan
rumah, aku selalu diajarkan orang tuaku untuk pamit dan salim
(cium tangan) kepada mereka. Tak pernah aku pikirkan apakah
tangan ayah ibuku lembut atau kasar, wangi layaknya tangan
raja atau malah bau kunyit karena habis mengulek, tetap saja
aku cium dengan suka cita dan perasaan yang bebas. Mereka
membalasnya dengan mencium keningku, bahkan tak jarang
mencium pipi kanan kiri sembari mendoakanku. Sesampainya
di sekolah, guru sudah menungguku dan beberapa teman yang
datang bersamaan di depan gerbang. Mereka merapikan barisan
kami dan menyodorkan tangannya, hendak memberi ajaran
agar salim juga kepada mereka.
Peristiwa itu terus dilakukan setiap hari oleh guru TK
hingga SD, sungguh pemandangan yang sejuk meskipun
bukan di area kebun raya. Tidak pernah terlontar kata bosan
dari mulut mereka ataupun dari kami yang masih senang-
senangnya bermain. Lambat laun aku menyadari, meskipun
tidak sepenuhnya mengerti saat itu, bahwa melalui salim, para
guru ingin keberadaannya dihormati layaknya orang tua kami di
rumah. Sebatas itu saja.

Gambar 1. Ilustrasi salim kepada guru.


(Sumber: https://www.sekolahdasar.net)

Kearifan Lokal Nusantara


42
Peristiwa macam itu kembali terulang sampai aku duduk di
bangku SMA. Meskipun intensitasnya tidak sesering sewaktu TK
ataupun SD, guru yang berbeda kerap memeragakan hal serupa.
Beberapa dari kami, karena sudah masuk usia baligh, kerap
menunjukkan sisi kenakalan kepada guru, melewati mereka
begitu saja sambil cengengesan. Untungnya itu bukan aku.
Seiring luasnya pergaulan, budaya salim mulai tidak
tampak, misalnya di lingkungan kampus dan dunia kerja, di
mana kondisinya semakin dinamis dan cenderung bersifat
individualis.

Perubahan Zaman
Semenjak pandemi Covid-19 melanda, kondisi sosial pun
berubah. Segala aktivitas yang berkaitan dengan interaksi
dibatasi guna mencegah penularan virus lebih besar. Misalnya,
proses kegiatan belajar mengajar menjadi proses pembelajaran
jarak jauh. Para pendidik dan orang tua siswa, yang belum
pernah mengalami hal ini sebelumnya, “dipaksa” melakukan
kegiatan belajar mengajar sang anak secara mandiri melalui
sistem daring.
Perubahan kondisi ini dikhawatirkan dapat memengaruhi
nilai sosial kultural yang sudah lama terbentuk di masyarakat.
Pada akhirnya, bukan tidak mungkin, dapat menggerus budaya
salim yang membutuhkan kontak fisik dalam penerapannya.
Bagaimana pun kesehatan adalah yang utama. Namun, melihat
kehidupan normal baru ini, di tengah tren gaya hidup modern
dan ancaman neoliberalisme, hal tersebut harus menjadi
perhatian bagi para pendidik, termasuk orang tua.

Kearifan Lokal Nusantara


43
Selain itu. tidak dapat dipungkiri bahwa gejala hilangnya
moral dan tidak acuh terhadap pribadi yang semestinya
dihormati mulai menjangkiti masyarakat. Hampir setiap
hari berita menginformasikan berbagai hal, mulai dari kasus
pertikaian anak dengan orang tuanya sampai pemukulan
murid terhadap gurunya. Masih ingat kasus seorang anak yang
menggugat orang tuanya ke pengadilan karena warisan? Ya,
kasus ini menjadi sorotan dan menuai banyak komentar negatif
dari berbagai kalangan. Anehnya, dalam tiga tahun terakhir,
kasus yang sama terulang kembali.

Gambar 2. Kasus anak menggugat orang tua kandung kembali terjadi


beberapa tahun terakhir (Sumber: Dokumentasi pribadi)

Lalu, apa hubungannya salim dengan beberapa kejadian


memilukan yang tidak pantas dicontoh itu? Namun, sebelum
menjawab pertanyaan tersebut, mari kita bahas beberapa
peristiwa menarik di dunia tentang salim.

Salim, Bentuk Kearifan Lokal yang Menjadi


Identitas Bangsa
Salim merupakan kearifan lokal yang sudah menjadi identitas
dan kepribadian bangsa Indonesia. Kebiasaan ini kerap menjadi
sorotan ketika diterapkan di dunia internasional. Contohnya,
sikap seorang atlet taekwondo Indonesia usai pertandingan.
Mereka tidak sungkan menghampiri para wasit dan pelatih

Kearifan Lokal Nusantara


44
lawan yang berasal dari negara lain untuk mencium tangan
mereka.
Meski begitu, tidak dapat dipungkiri, kebiasan salim cukup
mengagetkan bagi warna negara lain. Seperti pengakuan dari
pemain Persija Jakarta berkebangsaan Italia, Marco Motta
pada saat menerima cium tangan dari pemain yang lebih muda
di ajang uji coba, tepatnya 23 Februari 2020 lalu. Ia sampai
mengabadikan kejadian itu di Instagram pribadinya. “Sebagai
orang barat, gerakan ini sangat mengejutkan saya karena tidak
lazim dalam budaya kami. Tapi sekarang saya sudah tahu dan
saya menyukainya,” terang Motta.
Peristiwa menarik lainnya terjadi pada tim Indonesia U-12
di turnamen sepak bola Danone Nations Cup tahun 2017 lalu.
Mereka kerap mencium tangan atau salim pada orang yang
dianggap lebih tua. Tak ayal sikap ini diapresiasi oleh warga
negara lain setelah makna di baliknya tersibak. Bahkan seorang
pemain anak asing sempat tertangkap kamera meniru sikap
salim kepada pemain Indonesia, padahal usia mereka sebaya.

Gambar 3. Seorang pemain asing menirukan salim (Sumber: brilio.net)

Selain Indonesia, Eropa dan Amerika juga mengenal tradisi


cium tangan, tetapi tidak ditujukan khusus kepada yang lebih

Kearifan Lokal Nusantara


45
tua/dituakan. Cium tangan dalam tradisi mereka lebih ditujukan
pada wanita pujaan hati sebagai rasa hormat dan kagum sebagai
lawan jenis. Kentalnya tradisi salim di Indonesia merupakan
bukti bahwa budaya luar tak mampu memengaruhi jati diri
bangsa.

Salim, Kebiasaan Kecil yang Mempunyai Peran


Besar
Mengutip informasi dari laman Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, budaya salim perlu diterapkan sejak dini untuk
menanamkan perilaku baik pada anak, baik dalam tumbuh
kembang, sisi motorik (fisik), aktivitas sosial, maupun tolok ukur
kepercayaan diri.
Kemendikbud menjelaskan empat manfaat kebiasaan
salim bagi tumbuh kembang anak. Pertama, menumbuhkan
rasa hormat anak terhadap orang yang lebih tua/dituakan. Dari
kegiatan ini, anak-anak juga belajar tentang apa yang boleh dan
tidak boleh dilakukan kepada orang yang lebih tua.
Kedua, menambah kedekatan antara anak dan orang tua.
Menurut sebuah penelitian, anak yang sedari kecil memiliki
kedekatan baik dengan orang tuanya akan lebih mudah bergaul,
percaya diri, dan memiliki hubungan sosial yang sehat saat
menginjak usia remaja.
Ketiga, mengetahui kondisi tubuh anak. Salim adalah
kegiatan yang membutuhkan kontak fisik, memungkinkan
orang tua atau guru untuk mendeteksi perubahan suhu yang
tidak biasa pada anak.

Kearifan Lokal Nusantara


46
Keempat, meningkatkan perkembangan psikososial, yakni
perkembangan yang berkaitan dengan emosi seseorang dalam
berhubungan dengan orang lain. Salim dapat menunjang
psikososial anak ke arah yang lebih baik. Anak-anak yang terbiasa
dengan salim akan cenderung memiliki sikap yang mandiri dan
selalu percaya diri.
Artinya, salim mempunyai peranan besar terhadap perilaku
dan pembawaan seseorang. Salim merupakan perwujudan
dari rasa peduli terhadap sesama, khususnya kepada orang
tua. Melalui salim diharapkan para generasi muda mampu
menerapkan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal sejak dini
sehingga meresap ke dalam jiwa membentuk pribadi yang
ramah, penuh sopan santun, dan percaya diri. ***

Kearifan Lokal Nusantara


47
Bumi Raflesia, Tanah
Pengasingan dengan Berbagai
Kearifan Lokal
Annisa Marwa

Rumah kediaman Soekarno ini menjadi saksi bahwa


pemimpin besar Indonesia pernah mendiami Bumi
Raflesia.

48
Siapa yang tidak tahu Bengkulu? Provinsi yang terletak di Barat
Daya Pulau Sumatra ini dikenal dengan sebutan Bumi Raflesia.
Namun, tidak banyak yang tahu bahwa Bengkulu merupakan
tanah kelahiran Ibu Fatmawati, sekaligus menjadi salah satu
tempat pengasingan Ir. Soerkarno. Mengesampingkan fakta
sejarah tersebut, siapa yang menyangka bahwa Bumi Raflesia
menyimpan berbagai pesona kearifan lokal yang sangat sayang
untuk dilewatkan. Mulai dari batik, pakaian adat, hingga
kesenian.

Batik Besurek, Kebanggaan Masyarakat


Bengkulu
Batik besurek adalah kain bermotif kaligrafi Arab yang menjadi
ciri khas Bengkulu. Secara harfiah, bersurek berasal dari kata
surek yang berarti “surat/tulisan” ditambah imbuhan ber-.
Dengan demikian, batik bersurek berarti kain yang dipenuhi
tulisan.
Sejarah batik besurek belum diketahui secara pasti, tetapi
beberapa literatur menginformasikan bahwa kemunculan batik
ini berawal dari pengasingan Sentot Alibasya. Pada mulanya
batik ini digunakan untuk acara adat, seperti topi pengantin pria
dalam acara lahiran, penutup kain jenazah, hiasan pada ayunan
cukur bayi, dan sampiran pada bilik pengantin. Namun, saat ini
penggunaan batik besurek lebih universal.
Terdapat tujuh motif dasar batik besurek, yakni motif
kaligrafi Arab, rembulan dan kaligrafi Arab, kaligrafi Arab-
kembang melati, kaligrafi Arab-burung kuau, pohon hayat-
burung kuau–kaligrafi Arab, kaligrafi Arab–kembang cengkih–

Kearifan Lokal Nusantara


49
kembang cempaka, dan kaligrafi Arab–relung paku–burung
punai.
Adapun gaya batik besurek dibagi menjadi tiga, yakni
gaya klasik, modern, dan gabungan. Pada gaya klasik, batik
besurek cenderung mengangkat motif yang erat dengan makna
simbolik, seperti motif kaligrafi-burung kuau. Motif yang ditulis
menggunakan kaligrafi Arab dan disusun menyerupai seekor
burung ini mengandung arti bahwa roh nenek moyang sedang
melayang menuju surga. Selain itu, motif ini juga dapat berarti
kesucian bagi anak yang baru lahir. Batik besurek jenis ini biasa
digunakan pada gendongan bayi dan kain jenazah.
Pada gaya modern, batik besurek bercorak belakang dan
ditutupi motif kaligrafi, pohon hayat, dan bunga raflesia dengan
cara ditebar tidak teratur. Batik ini dikerjakan dengan cara
printing, tidak lagi dicanting.
Sementara itu, gaya gabungan batik besurek merupakan
perpaduan antara gaya klasik dan gaya modern. Umumnya,
motif yang digunakan adalah geometris, bunga melati, bunga
kuau, dan bentuk modern lainnya.
Saat ini batik besurek menjadi kebanggaan masyarakat
Bengkulu karena menjadi sebuah corak atau ciri dari Bumi
Raflesia.

Tabot, Ritual Keagamaan yang Berkembang


Menjadi Festival Kebudayaan
Tabot merupakan upacara yang dilakukan masyarakat Bengkulu
untuk mengenang kematian cucu Rasulullah saw., Husein bin

Kearifan Lokal Nusantara


50
Ali bin Abi Thalib. Tradisi ini dibawa oleh pekerja Islam Syiah
dari Madras dan Bengali di India Selatan yang datang bersama
tantara Inggris untuk membangun banteng Malborough di
Bengkulu.
Tradisi tabot dibagi menjadi dua tujuan, yakni ritual dan
nonritual. Aspek ritual hanya dijalankan oleh masyarakat yang
keluarganya turun-temurun melaksanakan tabot. Sementara
itu, tujuan nonritual dilaksanakan untuk melestarikan budaya
yang ada.
Jika Anda ingin melihat tradisi tabot secara langsung, silakan
berkunjung ke Bengkulu pada tanggal 1-10 Muharram. Lantas,
bagaimana perwujudan tabot? Umumnya tabot berbentuk tugu
seperti rumah-rumahan, menyerupai masjid dengan atap warna-
warni. Sekilas terlihat sederhana, tetapi sebenarnya tabot tidak
bisa dibuat secara asal. Permbuatannya harus berdasar pada
pakem-pakem yang disepakati keluarga tabot.
Dalam melaksanakan upacara tabot, ada beberapa
peralatan yang harus disiapkan. Pertama, kelengkapan alat
tabot. Kedua, kenduri dan sesaji. Ketiga, perlengkapan musik
tabot (dol dan tessa). Keempat, perlengkapan lainnya, seperti
bendera merah putih, bendera putih, tombak bermata ganda,
dan duplikat pedang zulfikar (pedang Rasulullah).
Dalam perkembangannya, keluarga tabot dibagi menjadi
dua, yakni keluarga tabot tradisional dan keluarga tabot
nontradisional. Keluarga tabot tradisional adalah keluarga tabot
yang mempertahankan tradisi dari luar. Sebaliknya, keluarga
tabot nontradisional adalah keluarga tabot yang menganggap

Kearifan Lokal Nusantara


51
tabot sebagai kearifan lokal budaya untuk kepentingan
pariwisata di Provinsi Bengkulu.
Pada era reformasi, prosesi ritual upacara tabot terbagi
menjadi sembilan tahapan, yaitu mengambil tanah, duduk
penja, menjara, meradai, arak penja, arak serban, gam atau
masa tenang, arak gendang, dan tabot tebuang.
Pada awalnya, tabot hanyalah upacara ritual keagamaan,
tetapi kini tabot berkembang menjadi festival kebudayaan.
Sebagai festival, tabot memiliki sejumlah kegiatan penunjang,
antara lain aneka lomba khas tabot, bazar, pameran, serta
malam pesona tabot. Tertarikkah Anda menjadi bagian dari
festival ini?

Tari Beruji Doll, Perpaduan Tari dan Ketangkasan


Beruji Doll merupakan seni pertunjukan yang menggunakan
doll sebagai alat musiknya. Doll dibuat dari kayu yang dilubangi
bagian tengahnya dan dibalut dengan kulit lembu. Hal ini yang
membedakan doll dengan alat musik pukul lainnya.
Tari kreasi Beruji Doll dimainkan oleh lima sampai dengan
delapan perempuan. Musik yang mengiringi tarian ini adalah
musik Melayu yang dipadukan dengan suara doll tamatan (suara
doll kegembiraan). Dahulu tari ini hanya dipentaskan pada
upacara tabot, tetapi saat ini tari Beruji juga dipentaskan untuk
penyambutan tamu dan berbagai acara kebudayaan lainnya.
Dengan kata lain, Beruji Doll merupakan sebuah perpaduan
antara gerakan tari yag begitu indah dan ketangkasan bermain
doll. Sungguh sayang untuk melewatkan pertunjukan ini!

Kearifan Lokal Nusantara


52
Tari Bubu, Gambaran Nelayan Bumi Raflesia
Bengkulu dan pantai adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan
mengingat Provinsi Bengkulu memiliki garis pantai yang sangat
panjang. Di pantai inilah para nelayan Bumi Raflesia mencari
penghasilan dengan menangkap ikan. Salah satu alat yang
populer digunakan oleh para nelayan adalah bubu, yakni alat
pancing tradisional berbentuk tabung yang terbuat dari bambu.
Biasanya, para nelayan memasang bubu di sore hari menjelang
malam. Dari budaya inilah kemudian lahir tari Bubu.
Jumlah penari Bubu biasanya disesuaikan dengan ukuran
panggung, tetapi selalu dalam jumlah genap. Tarian ini bisa
dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan. Adapun kostum
yang digunakan para penari adalah baju kurung berwarna
kontras yang dibalut songket emas. Pada bagian kepala, penari
perempuan memakai siger, sedangkan penari laki-laki memakai
songket yang tentu warna dipadu padankan dengan baju kurung
penari.
Tarian yang menggunakan bubu sebagai properti dan
didominasi oleh gerakan nelayan menangkapikan ini biasa
dipentaskan dengan diiringi musik tradisional dan modern.
Secara garis besar, tarian ini berupaya menggambarkan
kerekatan hubungan antara masyarakat Bengkulu dengan
bahari (laut).

Adat Masyarakat Bengkulu


Suku Rejang dan Serawai memiliki cara yang cukup unik untuk
menjaga kearifan lokal. Di antaranya, proses bercocok tanam
suku Rejang, pemetaan wilayah hutan suku Rejang dan Serawai,

Kearifan Lokal Nusantara


53
pengolahan rawa untuk usaha tani, subak (perairan), serta adat
cuci kampung.
Proses bercocok tanam suku Rejang dimulai dari memilih
tanah berladang, membuka lahan, hingga prosesi ritual
pembukaan lahan.
Dalam pemetaan wilayah hutan, suku Rejang memiliki
pemetaan zona sendiri, yakni imbo lem (hutan dalam), imbo u’ai
(hutan muda), dan pinggea imbo (hutan pinggiran). Sementara
itu, suku Serawai mengembangkan pembukaan lahan celako
humo (cacat humo) yang memiliki tujuh pantangan. Mereka
percaya jika pantangan ini dilanggar akan berakibat pada alam
dan penunggunya. Tujuh pantangan tersebut adalah sepelancar
perahu, kijang ngulangi tai, macan merunggu, sepit panggang,
bapak menunggu anak, dan nunggu sangkup.
Sementara itu, dalam pengolahan rawa untuk usaha tani,
petani memilih lahan tanjung (dekat dengan sungai). Wilayah
tersebut mendapat kiriman lumpur yang subur, ditandai dengan
warna hitam dan ditumbuhi tumbuhan air.
Adapun subak adalah upaya masyarakat bersama sama
memelihara bendungan dan saluran irigasi. Terakhir, adat suci
kampung adalah upacara ritual tolak bala agar warga kampung
terhindar dari bencana. Cuci kampung ini dilakukan ketika
seseorang ketahuan telah berzina. Tujuannya ritual ini agar
masyarakat kampung terhindar dari bala.

Kearifan Lokal Nusantara


54
Benteng Malborough, Benteng Pertahanan yang
Menjadi Pusat Perdagangan dan Tempat Wisata
Banteng Malborough—masyarakat Bengkulu biasa menyebutnya
banteng “malabro”—dibangun pada tahun 1714-1719 oleh East
India Company (EIC) di bawah kepemimpinan Jenderal Josef
Collin. Benteng ini dibangun di atas bukit buatan menghadap
kota Bengkulu.
Benteng seluas lebih kurang 4000 m2 awalnya ditujukan
sebagai banteng pertahanan. Namun, seiring perkembangan
zaman, banteng ini beralih fungsi menjadi pusat perdagangan.
Bahkan, saat ini Banteng Malborough dialihfungsikan menjadi
tempat wisata.
Karena Benteng Malborough berada tak jauh dengan
pantai Tapak Paderi, wisata yang terbentuk adalah wisata
sejarah dan alam. Benteng ini memiliki beberapa bagian yang
ditawarkan kepada para wisatawan, antara lain area banteng
secara keseluruhan, gerbang utama yang tak luput menjadi
spot selfie bagi wisatawan, area dalam banteng (ruang kantor,
ruang tahanan, dan gudang senjata), bastion (sudut penjagaan),
halaman tengah, meriam, parit pertahanan, dan pantai Tapak
Paderi. Hingga saat ini banteng Malborough berada di bawah
pengawasan Pembinaan dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah
dan Purbakala Bengkulu.

Kearifan Lokal Nusantara


55
Danau Dendam Tak Sudah
Danau Dendam Tak Sudah memiliki hubungan erat dengan
folklor mengenai sepasang kekasih yang tak direstui. Ialah Esi
dan Buyung. Cinta mereka terganjal restu orang tua Buyung
yang telah menjodohkannya dengan anak Pak Lurah. Siapa yang
menyangka bahwa pada akhirnya Buyung bersedia menikah
dengan gadis pilihan orang tuanya. Pada hari pernikahan, kedua
pengantin diarak keliling dari kampung ke kampung. Esi yang
merasa sangat sakit hati menangis tiada henti. Rasa dendam
pada Buyung pun menyelimuti hatinya. Ketika melewati
kampung Esi, terjadi hal yang aneh. Linangan air mata Esi yang
begitu deras dan tak kunjung henti akhirnya menenggelamkan
dirinya, penduduk kampung, dan arak-arakan pengantin. Air
mata Esi kemudian dikenal sebagai Danau Dendam Tak Sudah.
Danau dengan nama unik ini memiliki luas sekitar 577
hektare. Kondisinya sangat asri karena dikelilingi hutan
rimbun dan bukit-bukit. Daya tarik lainnya, danau ini memiliki
tumbuhan endemik, seperti anggrek pensil (Vanda Hookeriana),
yang hanya tumbuh di kawasan danau. Terdapat pula spesies
hewan langka yang mendiami danau ini, yakni utung dan kera
ekor panjang.

Bunga Rafflesia Arnoldi, Ciri ?


Tampaknya sudah menjadi pengetahuan umum bahwa julukan
Bengkulu diambil dari nama bunga satu ini. Bunga yang menjadi
kebanggaan masyarakat Bengkulu ini ditemukan pada Tahun
1818 oleh Thomas Stanford Rafles. Kemudian, pada tahun 1993,

Kearifan Lokal Nusantara


56
bunga ini dinyatakan sebagai tanaman nasional dengan status
konservasi “punah”.
Lantas apa yang unik dari bunga ini? Bunga berukuran besar
ini sangat unik karena mampu mekar tanpa batang dan daun.
Bunga ini hanya dilengkapi dengan haustorium, jaringan seperti
akar untuk menghisap sari makanan. Hal yang paling khas dari
bunga ini adalah berbau busuk seperti bangkai. Tujuannya
adalah mengundang serangga, sumber makanannya, mengingat
bunga ini tidak melakukan fotosintesis atau menyerap inang.

Rumah Pengasingan Bung Karno


Tahukah Anda, sejak tahun 1938-1942, Presiden Soekarno
pernah diasingkan ke Bengkulu? Saat itu Bengkulu dipilih
sebagai lokasi pengasingan karena aksesnya dinilai rumit.
Selama pengasingan, Soekarno tinggal di rumah pengusaha
Tionghoa, Tan Eng Cien yang bekerja untuk Belanda sebagai
penyalur sembako.
Rumah yang didominasi kayu ini berlokasi di Jalan Jeruk
yang telah berganti nama menjadi Jalan Soekarno-Hatta,
Kelurahan Anggut Atas, Kecamatan Gading Cempaka, Kota
Bengkulu. Saat ini, rumah pengasingan Bung Karno menjadi
salah satu objek wisata pada hari libur dan akhir pekan.
Rumah kediaman Soekarno ini menjadi saksi bahwa
pemimpin besar Indonesia pernah mendiami Bumi Raflesia.

Kearifan Lokal Nusantara


57
Keseragaman dalam Tari Saman
dan Eksistensinya di Masa Kini
Desviana Siti Solehat

Selain masyarakat Aceh, mungkin tidak banyak yang


tahu bahwa Tari Saman dikenal juga dengan Tari Tangan
Seribu.

58
Di atas panggung, sekelompok pemuda duduk berlutut dalam
satu barisan sambil menggerakkan tangan dengan berbagai
variasi. Gerakan tangan yang kadang lemah gemulai, tetapi pada
kali yang lain bergerak cepat, diikuti goyangan badan ke depan,
belakang, atau samping. Goyangan badan dan gelengan kepala
seolah dihempaskan ke kiri, kanan, atas, bawah, diputar-putar,
dan seterusnya. Gerakan berlanjut dengan selang-seling diikuti
variasi lainnya.
Siapa yang tak kenal dengan Tari Saman?, rasanya jika
mendengar kata Aceh, kita akan langsung terbayang tarian
tradisional yang satu ini. Ya, Tari Saman dengan kekhasan
gerakan dan iramanya berhasil memukau dan menarik decak
kagum penontonnya. Melihat tarian ini, baik secara langsung
maupun melalui media, seakan membawa kita terhanyut dan
terkagum-kagum dengan kekompakan penarinya.
Selain masyarakat Aceh, mungkin tidak banyak yang tahu
bahwa Tari Saman dikenal juga dengan Tari Tangan Seribu. Tari
ini merupakan salah satu kesenian tradisional yang berasal dari
Kabupaten Gayo Lues. Seiring berjalannya waktu, tarian ini
meluas ke berbagai daerah di Aceh, seluruh Indonesia, bahkan
mancanegara. Tarian ini kemudian diakui oleh UNESCO pada
tanggal 24 November 2011 dan menjadi salah satu warisan
budaya.
Di daerah asalnya, Saman bukan hanya seni penghibur
masyarakat, lebih dari itu, Saman merupakan bagian dari
kehidupan masyarakatnya. Sebagai budaya, nilai-nilai yang
terdapat di dalam Saman akan selalu dihayati oleh masyarakat,
baik nilai agama maupun adat.

Kearifan Lokal Nusantara


59
Saman sudah diperkenalkan dan diajarkan sejak dini dalam
masyarakat Aceh. Selanjutnya, pada tahap anak-anak, mereka
mencari bentuk Saman dengan belajar dan berlatih. Demikian
juga di kalangan pemuda, mereka selalu berlatih. Selain itu,
orang tua terus berupaya memperhatikan keberlangsungannya
agar tetap terjaga. Oleh karena itu, nilai-nilai yang terkandung
dalam Saman terus mengakar dalam diri masyarakat.
Berdasarkan bentuknya, Saman dapat dibedakan menjadi
beberapa jenis, antara lain Saman jejunten, Saman ngerje, Saman
enjik, Saman bepukes, Saman festival, dan bejamu Saman.
Bahkan, saking populernya, Saman sampai di pertandingkan.
Saman jejunten merupakan sarana hiburan sehari-hari dan
ajang latihan bagi pemula. Adapun Saman yang dipertunjukan
dalam pesta pernikahan disebut Saman ngerje. Sementara
itu, Saman enjik dilakukan dalam mengisi waktu luang ketika
ada kegiatan tertentu seperti menggirik padi. Bahkan Saman
menjadi sebuah label dari pesta rakyat yang disebut bejamu
Saman. Artinya, Saman tidak terlepas dari kehidupan sehari-
hari masyarakatnya.
Tari Saman diwariskan secara turun-temurun dan memiliki
kaidah-kaidah (sumpen) yang mendasar dan menyatu dalam
tarian. Hal inilah yang membuat Tari Saman spesial dan menjadi
bagian dari jati diri masyarakat Aceh. Dengan memahami
sumpen, keberadaan Tari Saman akan terus lestari, bahkan di
tengah pesatnya perkembangan zaman.
Sesuai kaidah, penari Saman adalah laki-laki, tidak
dibenarkan jika penarinya perempuan. Jumlah penari harus
ganjil untuk menjaga keseimbangan penari yang berada di
sayap kiri dan kanan. Posisi penari duduk berlutut dan berjajar

Kearifan Lokal Nusantara


60
dalam satu barisan dengan saling bertemu bahu. Kostum yang
digunakan menutup aurat, dilengkapi dengan baju kantong,
celana panjang motif kerawang, kain sarung sebatas lutut yang
dibordir, dan aksesori lainnya untuk memperindah tampilan.
Kostum ini dikenakan secara seragam dalam satu grup. Pun jika
ada sedikit perbedaan, hanyalah variasi saja, tidak membedakan
peran dan status dalam posisinya sebagai penari.
Dalam praktiknya, penari Saman berperan memadukan
unsur seni tari dan suara sekaligus, artinya gerak dan nyanyian
tidak dapat dipisahkan. Saman tidak menggunakan alat musik
untuk menghasilkan irama, tetapi melalui gerakan bertepuk
tangan (tepok), memukul dada dan paha, serta suara hasil
gesekan ibu jari dan jari tengah (krecek). Nyanyian terdiri atas
rengum (suara bergumam), dering (nyanyian penghayatan),
redet (nyanyian seseorang), saur (nyanyian bersama mengikuti
yang dinyanyikan redet), dan dilengkapi dengan sek (nyanyian
dengan nada melengking). Ketika melakukan Tari Saman, tidak
ada jeda/berhenti walaupun sesaat, gerakan cukup cepat dan
begitu terkoordinasi.
Isi nyanyian dalam Tari Saman adalah hal-hal yang positif.
Diawali dengan penghayatan nilai-nilai agama, penghambaan
kepada Allah Swt dan Nabi Muhammad saw., dilanjutkan dengan
pesan-pesan untuk kemajuan.
Adapun tujuan akhir dari Tari Saman adalah menjalin tali
silaturahmi dan persaudaraan (berisenen), senada dengan
fungsinya sebagai media dakwah dan informasi. Hal ini bisa
dicermati mulai dari dering “mmm oi lesa, oi lesa, lesalam
alaikum, sigenyan nyan e lallah, mmm oi lesa”. Pengucapan
salam ini didasarkan pada pemberian salam dalam agama

Kearifan Lokal Nusantara


61
Islam. Juga, dapat dicermati dalam dering lainnya “nyan e lalah”
yang berarti diucapkan dan dihayati illallah. Kata illallah berasal
dari la illahaillallah, tiada Tuhan kecuali Allah. Biasanya, tarian
ini ditampilkan untuk dalam acara Maulid Nabi Muhammad saw.
dengan mempergunakan bahasa Arab dan Gayo.
Selain media dakwah, Tari Saman juga berfungsi sebagai
jati diri rakyat Gayo dan bangsa Indonesia pada umumnya.
Tari Saman juga memiliki fungsi pendidikan, mengingat
tarian ini merupakan ajang belajar dan berlatih sehingga para
penari bisa saling berbaur satu sama lain. Saman pun menjadi
alat pemersatu masyarakat karena dapat mempererat dan
menyambung tali silaturahmi.
Para penari diberi tanggung jawab sebagai pelestari
budaya. Artinya, mereka perlu menguasai dan memegang teguh
nilai kebenaran, kebijaksanaan, dan menekan kesombongan.
Selain itu, mereka perlu menegakkan disiplin, meyakini budaya
sendiri memiliki nilai yang tinggi tanpa harus meniru budaya
lain (mandiri), kreatif dalam menciptakan kreasi baru tanpa
meninggalkan sumber aslinya, memiliki kemampuan daya
saing yang tinggi (kompetitif), serta mampu menghasilkan
karya yang bermutu dan dapat dipertanggungjawabkan. Semua
itu ditunjang dengan sistem norma yang ketat berupa adat.
Pemahaman penari akan hal ini menjadi jiwa atas terciptanya
karya yang mampu memukau penonton, tanpa meninggalkan
filosofi dan makna dari tarian itu sendiri.
Terakhir adalah fungsi hiburan. Gerakan Saman yang
bervariasi sangat memikat penontonnya. Ditambah lagi, ketika
gerakan berselang-seling dengan cepat, sepintas terlihat seperti
seakan-akan bisa berbenturan, meskipun hal tersebut tidak

Kearifan Lokal Nusantara


62
akan terjadi. Semakin cepat gerakan, semakin bermakna tarian.
Jika dilihat sekilas, gerakan yang dipertontonkan
dalam Saman merupakan gerakan yang biasa karena hanya
menggerakkan badan, tangan, dan kepala secara berulang-
ulang. Nilai seni dalam Saman baru telihat bilamana dilakukan
oleh banyak orang dengan jumlah ganjil. Semakin banyak orang,
semakin menambah keindahannya. Alasannya, semakin banyak
orang yang menarikan Saman dalam sebuah tim, semakin besar
pula kekompakan yang dimiliki tim tesebut. Bila ada gerakan
dari salah satu anggotanya rusak, maka bisa memengaruhi
yang lainnya. Minimal, mengurangi keindahan Saman di mata
penontonnya.

Gambar 1. Pertunjukan Tari Saman (Sumber: hikayatbanda.com)

Ketika berada dalam satu tim, para penari memiliki perannya


masing-masing. Komandan kelompok (pemangkat) berada
di posisi paling tengah. Tugasnya adalah mengoordinasikan
semua gerak dan nyanyian. Dua orang pembantu atau
pendamping utama dari pemangkat disebut pengapit. Posisinya
berada di samping kiri dan kanan pemangkat. Tugasnya
menyeimbangkan gerakan yang telah dilakukan pemangkat,

Kearifan Lokal Nusantara


63
termasuk mengingatkan pemangkat ketika melakukan gerakan
yang tidak sesuai dengan gerakan yang direncanakan semula
melalui nyanyian atau melalui sek. Penari yang berada di sebelah
kiri dan kanan pengapit sampai yang berada sebelum paling
pinggir disebut penyepit. Di antara penyepit inilah terdapat
seorang dengan suara merdu yang berfungsi sebagai pelantun.
Penari yang berada paling pinggir di sisi kiri dan kanan disebut
penupang atau penamat jejerum. Di samping mengikuti gerak
yang dikoordinasikan penangkat, penupang harus bisa bertahan
bila ada hempasan gerak dari pemain lainnya.
Dalam perjalanannya, eksistensi Saman tidak selalu berjalan
dengan mulus. Saman pernah dilarang untuk ditampilkan pada
masa pendudukan Belanda. Saat itu Saman dinilai memiliki
aura magis yang dikhawatirkan dapat membangkitkan rasa
kepahlawanan dan fanatisme tinggi untuk melawan Belanda.
Pada waktu itu, ketika bermain Saman, mereka meletakkan
pedang, tombak, dan hal lainnya di hadapan mereka. Walaupun
sempat terhenti untuk beberapa saat, hal tersebut sama sekali
tidak berpengaruh terhadap esensi dan eksistensi Saman.
Hambatan lain kemudian muncul karena waktu latihan
Saman yang terlalu intens, sampai larut malam bahkan
menjelang subuh. Akibatnya, penari melupakan hal-hal penting,
seperti melalaikan salat Subuh, tidak bersemangat bekerja,
hingga sejumlah pekerjaan terbengkalai. Oleh karena itu,
muncul larangan dari orang tua kepada anak laki-laki mereka
untuk mengikuti kegiatan ini. Menyikapi permasalahan tersebut,
tokoh adat dan agama di Gayo Lues mulai menyosialisasikan
agar latihan Saman berakhir sebelum tengah malam.
Dewasa ini, akibat arus globalisasi yang begitu besar,

Kearifan Lokal Nusantara


64
minat sejumlah anak dan generasi muda untuk berlatih
Saman mulai menurun. Yang menjadi kontroversi, sejumlah
pertunjukan Saman dilakukan dengan penggabungan antara
laki-laki dan perempuan. Hal ini sangat bertentangan dengan
nilai asal yang diajarkan, yakni ajaran Islam yang kental dianut
masyarakat Aceh. Sangat disayangkan jika kegiatan tersebut
mengatasnamakan Saman yang berasal dari Aceh. Akibatnya,
tarian yang dipertunjukan itu hanya sekadar hiburan semu
tanpa makna.
Adapula yang mempertunjukan tarian seperti Saman
dengan wanita sebagai penarinya. Pada tahun 2018 ketika
Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games, ada sebuah tarian
yang dipertunjukkan, yakni Tari Ratoeh Jeroe. Tarian ini sekilas
mirip dengan Saman, tetapi ada perbedaan di antara keduanya.
Jika mengacu pada kaidah Tari Saman yang berasal dari Gayo
Lues, dapat dipastikan bahwa Tari Saman dilakukan oleh penari
laki-laki dalam jumlah ganjil. Sementara itu, Tari Ratoeh Jeroe
dilakukan oleh penari perempuan dalam jumlah genap. Saman
tidak menggunakan iringan musik, sedangkan Ratoeh Jeroe
menggunakan alat musik rapai, semacam rebana. Syair dari
Saman menggunakan bahasa Gayo, sedangkan Ratoeh Jero
menggunakan bahasa Aceh. Namun, kedua tarian ini sama-sama
menonjolkan kekompakan, sopan santun, dan keagamaan.
Keindahan pada gerak dan nyanyian Saman telah merambah
ke luar daerah, bahkan mancanegara. Penghayatan terhadap
ajaran agama Islam secara terbuka dan lantunan nyanyian yang
berisi agama dihayati secara nyata. Sejak dahulu, kebutuhan
akan hiburan belum pernah tergeser dalam kehidupan manusia.
Saman tidak hanya terikat dengan hal-hal berbau keagamaan,

Kearifan Lokal Nusantara


65
tetapi juga menjadi seni pertunjukan yang menghibur masyarakat
dan memberikan kegembiraan. Misalnya, ditampilkan
pada acara festival, hiburan dalam berbagai acara penting
kenegaraan, bahkan pesta pernikahan. Selain itu, pertunjukan
Saman juga dapat meningkatkan peluang pasar. Maksudnya,
ketika Saman dipertunjukkan di suatu lokasi, masyarakat dapat
memanfaatkannya sebagai sarana untuk berjualan makanan,
minuman, hasil pertanian, hingga kerajinan.
Keseragaman formasi dan ketepatan waktu adalah suatu
keharusan dalam menampilkan Tari Saman. Para penari dituntut
untuk memiliki konsentrasi tinggi dan latihan yang serius.
Dalam ketradisionalannya, diperlukan improvisasi, sehingga
dapat menghiasi keindahan tarian. Harmonisasi dan sinergisitas
pada tarian ini menjadi ciri khas dan daya tarik bagi penonton.
Hebatnya lagi, tarian ini tak hanya mengedepankan seni tari,
tetapi juga seni suara. Pada kondisi tertentu, nyanyian dapat
memengaruhi gerak. Nyanyian sedih dapat memperlambat
gerak, sebaliknya, nyanyian gembira dapat berpengaruh pada
gerak bedan yang bergoyang dengan meriah. Tari Saman
menjadi salah satu contoh keberhasilan budaya tradisional
menembus dunia. Terbukti, keberadaan Tari Saman sebagai
salah satu wujud kearifan lokal bangsa Indonesia tidak tergerus
oleh waktu dan tetap eksis hingga saat ini.
Dalam dunia informasi, melestarikan budaya melalui bahan
pustaka sangat penting adanya. Dengan banyaknya sumber
bacaan mengenai kesenian atau budaya yang mengandung nilai
kearifan lokal, generasi mendatang tidak akan kesulitan dalam
mencari informasi dan mempraktikkan kebudayaan tersebut.
Dengan begitu, budaya lokal akan tetap eksis dan tak lekang

Kearifan Lokal Nusantara


66
dimakan waktu.
Berkaitan dengan hal tersebut, perpustakaan memegang
peranan penting dalam pelestarian budaya bangsa. Hal
ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 43 tahun 2007
tentang Perpustakaan pada pasal 22 ayat 2, bahwa pemerintah
provinsi dan pemerintah kabupaten/kota menyelenggarakan
perpustakaan umum daerah yang koleksinya mendukung
pelestarian hasil budaya dan memfasilitasi terwujudnya
masyarakat pembelajar sepanjang hayat.
Dengan ini, kearifan lokal akan tetap terjaga, mampu
mempertahankan nilai lokal dan tidak tergerus oleh modernitas.
Artinya, peran perpustakaan bukan hanya mempertahankan
sumber bacaan, melainkan menjadi rujukan literatur dalam
mempertahankan budaya bangsa. Hal tersebut dapat
diwujudkan oleh perpustakaan melalui berbagai acara literasi
kebudayaan, seminar, atau bekerja sama dengan instansi
atau pihak terkait untuk mengadakan pameran. Tari Saman
merupakan contoh bagaimana budaya bangsa disadari sebagai
kekayaan yang diakui dunia.

Referensi:
Republik Indonesia. (2007). Undang-Undang No.43 Tahun 2007
tentang Perpustakaan. Jakarta.
Salam, Ridhwan Abd. (2012). Tari Saman. Bekasi: Wahana Bina
Prestasi.

Kearifan Lokal Nusantara


67
Perawatan Naskah Berdasarkan
Kearifan Lokal di Situs Kabuyutan
Ciburuy Garut
Ellis Sekar Ayu

Juru kunci Kabuyutan Ciburuy menggunakan bahan-


bahan tradisional yang terbukti efektif dalam
melestarikan naskah lontar dan benda-benda pusaka.

68
Pernahkah Anda mendengar tentang Situs Kabuyutan Ciburuy?
Situs ini terletak Desa Pamalayan, Kecamatan Bayongbong,
Kabupaten Garut. Untuk sampai ke situs tersebut, kami harus
melewati jalan kecil yang hanya bisa dilalui satu mobil dengan
kondisi jalan yang kurang baik. Jika mobil kami berpapasan
dengan mobil lain dari arah berlawanan, salah satunya harus
menepi agar mobil yang lain dapat lewat.
Situs Kabuyutan Ciburuy merupakan sebuah kompleks
bangunan dengan luas lebih kurang satu hektare, terdiri atas
enam bagian utama yang antarbagiannya saling dipisahkan
dan dikelilingi oleh pagar bambu. Pada setiap bagian terdapat
bangunan/rumah dari kikis (anyaman pagar bambu) dan kayu
atau bambu untuk tiang-tiangnya.
Bagian pertama, yaitu rumah adat yang bernama
padaleman, sebuah rumah panggung kecil tempat menyimpan
benda pusaka dan naskah Sunda kuno yang terbuat dari daun
lontar dan nipah. Bagian kedua, yaitu bumi patamon, rumah
panggung setinggi lebih kurang setengah meter dari tanah,
tempat menerima tamu dan tempat tinggal keluarga juru kunci.
Bumi patamon terdiri atas empat ruangan, yaitu ruang teras,
ruang tamu, ruang tidur, dan dapur. Bagian ketiga, yaitu leuit,
tempat menyimpan bahan makanan, terutama padi. Bagian
keempat, yaitu saung lisung, tempat penyimpanan alat untuk
menumbuk padi yang terbuat dari batu. Bagian kelima adalah
pangalihan, sebuah pos ronda tradisional. Bagian keenam
adalah pangsolatan, terdiri atas hamparan batu pipih besar dan
sebuah tempat wudu tradisional.

Kearifan Lokal Nusantara


69
Renovasi bumi patamon dan bagian lain di situs ini tidak
bisa dilakukan sembarangan. Ada pakem-pakem yang telah
ditetapkan oleh para leluhur dan harus seizin dirjen kebudayaan.
Sebagai informasi, Kabuyutan Ciburuy ditetapkan sebagai
suatu situs pada tahun 1982 oleh Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan RI, ditandai dengan adanya batu prasasti situs
kabuyutan yang terletak bagian luar padaleman.

Gambar 1. Batu prasasti situs kabuyutan.(Sumber: Dokumentasi pribadi)

Karena mendapat tugas dari kantor dalam rangka


pendaftaran, verifikasi, dan penghargaan naskah kuno, kami
mengunjugi kunci Situs Kabuyutan Ciburuy, yakni Ujang. Dialah
yang selama ini menyimpan, menjaga, dan merawat naskah.
Kami menominasikan Bapak Ujang sebagai salah satu penerima
penghargaan kategori Pelestari Naskah.
Saat itu kami ditemani oleh Mohamad Ilham, kandidat
doktor dari Universitas Padjadjaran yang sering melakukan
penelitian di Situs Kabuyutan Ciburuy, dan Tien Wartini, kerabat
juru kunci (kuncen) Situs Kabuyutan Ciburuy. Peranan Tien
Wartini saat itu sangat penting. Alasannya, kami tidak bisa
mengakses (melihat dan memeriksa) naskah secara langsung
apabila tidak didampingi kerabat juru kunci. Sebagai informasi,
naskah dan benda pusaka Situs Kabuyutan Ciburuy hanya dapat

Kearifan Lokal Nusantara


70
dilihat langsung pada bulan Muharam, selain hari itu, naskah
hanya bisa dilihat dalam bentuk digital melalui komputer yang
tersedia di bumi patamon. Menurut Ujang, kegiatan digitalisasi
naskah Sunda kuno Situs Kabuyutan Ciburuy telah dilakukan
sejak tahun 2009 atas kerja sama Universitas Padjadjaran
(Indonesia) dan La Rochelle University (Prancis), termasuk
pengadaan komputer untuk mengakses file digitalnya. Bentuk
digital beberapa di situs ini dapat dilihat di secara daring berkat
kerja sama dengan British Library.

Gambar 2. Bersama juru kunci dan pendamping


(Sumber: Dokumentasi pribadi)

Nana Suryana—biasa dipanggil Ujang—merupakan juru


kunci ke-149 yang bertugas menyimpan, menjaga, dan merawat
naskah, benda pusaka, dan Situs Kabuyutan Ciburuy beserta
tradisinya. Pemilihan juru kunci tidak hanya didasarkan pada
garis keturunan, tetapi calon juga harus mendapat ilham atau
mimpi menjadi juru kunci.
Menurut Ujang, Kabuyutan Ciburuy merupakan situs
peninggalan zaman Prabu Siliwangi. Pada masa Prabu Kian
Santang, kabuyutan ini merupakan arena bertarung para jawara
yang kemudian berubah menjadi tempat kegiatan keagamaan
dan scriptorium (tempat membuat naskah).

Kearifan Lokal Nusantara


71
Berdasarkan pengamatan dan pemeriksaan terkait sudut
pandang bahasa, aksara, bahan, dan isi teks, naskah-naskah
di Situs Kabuyutan Ciburuy berasal dari periode pra Islam di
Jawa Barat. Naskah tersebut diperkirakan berasal dari abad
ke-15—17, yaitu masa Kerajaan Sunda Padjadjaran hingga awal
perkembangan Islam di Tatar Sunda. Artinya, diperkirakan
naskah sudah berumur lebih dari 400 tahun.
Padaleman merupakan bagian terluas dari situs kabuyutan
dengan rumah panggung yang kecil. Untuk mencapai padaleman
kita harus melewati tanah/kebun yang luas dengan rimbunan
pepohonan. Keadaan padaleman cukup baik. Sayangnya, ada
beberapa lubang pada atap yang terbuat dari sirap . Lubang
tersebut tampak ditambal dengan asbes. Selain itu, sejumlah
kabel listrik tampak terkelupas sehingga berbahaya. Untungnya,
apabila tidak ada orang, kabel listrik tersebut dicabut.
Apabila tidak digunakan, lampu di dalam ruangan
padaleman selalu dipadamkan sehingga keadaan ruangan
cenderung gelap. Kondisi ini sangat baik untuk penyimpanan
naskah yang berasal dari bahan organik karena terlindung
dari cahaya yang dapat menyebabkan kerusakan. Ketika kami
melakukan pengukuran intensitas cahaya menggunakan lux
meter, hasilnya menunjukkan bahwa saat lampu padam,
intensitas cahanya adalah 40 lux, sedangkan saat lampu
menyala adalah 258 lux.
Lantai rumah panggung terbuat dari kayu, tampak ada dua
bagian yang berlubang karena lapuk. Ruangan rumah panggung
dalam keadaan bersih karena rutin dibersihkan seminggu dua
kali. Ketika diukur dengan termohygrometer, suhu ruangan
menunjukkan 23,1 0C, sedangkan kelembabannya 64,5%.

Kearifan Lokal Nusantara


72
Adapun rentang suhu optimal untuk tempat penyimpanan
bahan perpustakaan adalah 21–24 0C. Artinya, suhu ruangan
tersebut masih ideal. Sementara itu kelembaban yang optimal
untuk penyimpanan bahan perpustakaan adalah 45–60%.
Sayangnya, kelembaban ruangan berada di atas rentang
tersebut. Padahal, kelembaban yang tinggi menyebabkan jamur
mudah menyerang bahan perpustakaan.

Gambar 3. Bumi Padaleman (Sumber: Dokumentasi pribadi)

Untuk mencapai pintu rumah panggung padaleman yang


kecil, kami menaiki undakan kayu yang agak goyah, tingginya
sekitar satu meter. Ruangan rumah panggung padaleman hanya
ada satu. Begitu masuk, akan langsung tampak tungku/pawon
di sudut kiri dan di atasnya terdapat pago.
Pago merupakan tempat kecil yang terdapat di bawah
plafon/atap rumah, biasanya terbuat dari kayu atau bambu,
berfungsi sebagai tempat penyimpanan barang. Di atas pago
terdapat tiga buah peti, terdiri atas satu peti besar, satu peti
sedang, dan satu peti kecil tempat penyimpanan benda pusaka
dan naskah kuno. Peti naskah terbuat dari kayu yang diukir, satu
peti besar berwarna cokelat tua dan dua peti lainnya berwarna
cokelat kemerahan. Ketiga peti tersebut tampak terawat, tidak
ada debu tebal atau sarang laba-laba yang menempel.

Kearifan Lokal Nusantara


73
Gambar 4. Tiga buah peti naskah yang disimpan di atas pago. (Sumber:
Dokumentasi pribadi)

Sebelum menurunkan peti naskah, juru kunci melakukan


ritual dengan membakar kemenyan di dalam tungku/pawon
dan berdoa secara Islam. Selesai berdoa, juru kunci menurunkan
peti berukuran besar. Di dalamnya terdapat gulungan besar
kain, delapan macam benda pusaka yang terbuat dari logam,
dan daun kelapa yang hampir mengering. Benda pusaka
tersebut, antara lain berupa trisula kecil, mata tombak, dan
lonceng. Adapun gulungan besar ternyata berisi sebelas naskah
yang digulung dengan tujuh lapis kain putih berukuran 1 x 1 m.
Naskah tersebut terdiri atas delapan buah lontar tanpa kotak
dan tiga koropak lontar dengan kotak.
Naskah-naskah tersebut masih lengkap dan ditulis dengan
aksara Sunda Kuno dan aksara Buda dengan menggunakan
b ahasa Sunda Kuno, Jawa Kuno, dan Sansekerta. Secara
umum, naskah lontar dalam peti pertama dalam kondisi yang
baik, bersih, tulisan jelas terbaca, lembaran tidak berlubang,
dan tidak berjamur. Sementar aitu, benda-benda logamnya pun
tidak berkarat.

Kearifan Lokal Nusantara


74
Kerusakan yang dijumpai hanyalah kerusakan yang sangat
kecil dan jumlahnya sedikit, yaitu adanya robek dan ada
sedikit bagian yang hilang di sudut lembaran lontar. Selain itu,
ada sedikit bekas gigitan tikus pada dua buah kotak. Menurut
Ujang, bekas gigitan tikus itu sudah ada sebelum naskah dirawat
olehnya.

Gambar 5. Peti besar berisi naskah dan benda pusaka logam (Sumber:
Dokumentasi pribadi)

Sementara itu, peti kedua hanya berisi gulungan naskah


lontar yang dibungkus tujuh lapis kain putih dan daun kelapa
yang sudah hampir mengering. Di dalam bungkusan kain
tersebut terdapat delapan naskah yang terdiri atas enam
naskah lontar dan dua naskah gebang. Naskah-naskah tersebut
berkondisi baik, bersih, tulisan jelas terbaca, tidak dijumpai
lubang-lubang kecil atau memanjang bekas gigitan serangga,
dan tidak berjamur. Kerusakan yang dijumpai hanyalah sedikit
robek, sedikit bagian yang hilang di sudut lembaran lontar, dan
keropak-keropak tanpa kotak diikat dengan karet gelang.

Kearifan Lokal Nusantara


75
Gambar 6. Peti sedang berisi naskah lontar dan gebang (Sumber:
Dokumentasi pribadi)

Adapun peti ketiga berisi delapan naskah lontar yang


dibungkus tujuh lapis kain putih dan daun kelapa yang sudah
hampir mengering. Kondisi naskah tidak jauh berbeda dengan
dua peti sebelumnya. Naskah lontar dalam kondisi yang baik,
bersih, tulisan jelas terbaca, tidak dijumpai lubang-lubang kecil
atau memanjang bekas gigitan serangga, dan tidak berjamur.
Kerusakan yang dijumpai hanyalah robek dan ada sedikit bagian
yang hilang di sudut lembaran lontar.

Gambar 7. Naskah lontar pada peti kecil (Sumber: Dokumentasi pribadi)

Menurut penuturan Ujang Suryana, peti-peti naskah


dibersihkan secara rutin tiga bulan sekali. Sementara itu,
perawatan terhadap naskah dan benda-benda pusaka dilakukan
setahun sekali pada tanggal 1 Muharam.

Kearifan Lokal Nusantara


76
Untuk mencegah datangnya rayap dan serangga lainnya,
peti-peti dan koropak (kotak) naskah lontar diolesi dengan
campuran 75 gram kamper yang ditumbuk halus dengan dua
liter minyak tanah. Pemberian minyak kemiri pada lembaran-
lembaran lontar bertujuan agar tulisan pada naskah lontar tetap
jelas sehingga mudah dibaca. Untuk merawat benda pusaka
yang terbuat dari logam, digunakan campuran dua buah air
kelapa muda dan air perasan 7–9 buah jeruk nipis. Pemberian
daun kelapa muda/janur—yang tampak sudah mengering ketika
peti dibuka—bertujuan agar naskah dan benda pusaka tidak
ditumbuhi jamur.
Nyatanya, perawatan naskah lontar dan benda pusaka
menggunakan bahan-bahan tradisional terbukti efektif.
Memasukkan naskah ke peti dan membungkusnya dengan
kain putih efektif melindungi lembaran lontar dari debu.
Pemberian minyak kemiri terbukti efektif membuat tulisan
terlihat jelas. Pemberian janur atau daun kelapa muda pada
kotak naskah lontar terbukti efektif mencegah serangan jamur.
Terakhir, pemberian campuran kamfer dan minyak tanah pada
peti juga terbukti efektif mencegah serangan rayap. Hanya saja,
penggunaan karet untuk mengikat lontar sebaiknya diganti
dengan benang kasur atau benang katun, mengingat seiring
waktu gelang karet akan lumer dan akan meninggalkan noda
membekas pada naskah.

Gambar 8. Penggunaan karet gelang untuk mengikat naskah (Sumber:


Dokumentasi pribadi)

Kearifan Lokal Nusantara


77
Mendendang Nada, Memakna
Petuah: Melalui Lagu, Petuah
Dinikmati
Endy Santoso

Lagu merupakan sarana pembelajaran pelaksanaan


petuah secara pungkas.

78
Pernahkah Anda memberi atau diberi suatu petuah? Petuah
selalu dimaknai sebagai sesuatu yang sakral, ketat, dan penuh
aturan antara benar dan salah. Petuah dideskripsikan sebagai
keputusan atau pendapat mufti (tentang masalah agama)
dan fatwa. Petuah juga dipahami sebagai nasihat orang alim;
pelajaran (nasihat) yang baik. Selalu dicitrakan bahwa petuah
disampaikan oleh orang–orang tua yang bijaksana dan sudah
menjalani banyak peristiwa hidup. Namun, apakah petuah akan
terus dipahami sebagai sesuatu yang jauh dari keseharian?
Apakah kesenian bisa dijadikan sarana penyampaian petuah
yang asyik untuk generasi muda? Bagaimana kemudian lagu
menjadi penyampai petuah?
Sejarah mencatat lagu kerap menjadi pilihan dalam
penyebaran petuah. Melalui tembang Jawa, pesan orang tua
tersampaikan. Bagi orang Jawa, beberapa generasi dikidungkan
lagu Tak Lelo Lelo le dung, anakku sing ngganteng/ayu dhewe. Hal
tersebut menunjukan bahwa pada masa lampau, lagu menjadi
sarana pembelajaran pelaksanaan petuah secara pungkas.
Apakah penyampaian petuah melalui lagu pada masa kini
masih terus terjadi? Jawabannya ya, masih terus terjadi. Melalui
lagu, proses internalisasi petuah terus terjadi, tidak peduli
seberapa kuno dan canggihnya media.
Coba kita dengarkan lagu berikut ini:
Everything has changed
It all happened for a reason
Down from the first stage
It isn’t something we fought for

Kearifan Lokal Nusantara


79
Never wanted this kind of pain
Turned myself so cold and heartless
But one thing you should know
‘Kowe ra iso mlayu saka kesalahan
Ajining diri ana ing lathi’
Weird Genius
”Lathi” merupakan salah satu lagu yang popular di kalangan
muda masa kini. Lagu yang menceritakan tentang toxic (racun)
dalan sebuah hubungan percintaan ini terus mengisi berbagai
tangga lagu. “Lathi” kian populer sertelah muncul berbagai
video #LathiChallange yang memperlihatkan beberapa
langkah merias wajah dengan latar lagu tersebut. Salah satu
#LathiChallenge yang sukses mencuri perhatian dilakukan oleh
Jharna Bhagwani. Beauty vlogger satu ini dianggap sukses
menampilkan karakter lagu “Lathi” yang kemudian diikuti oleh
banyak orang.

Gambar 1. #LathiChallange yang trending di media sosial


(Sumber: https://today.line.me/id)

Kearifan Lokal Nusantara


80
Banyak yang mengira bahwa “Lathi” bukanlah lagu ciptaan
anak bangsa. Padahal secara musikal, lagu ini kental dengan
budaya Indonesia. Dalam lagu bernuasa modern ini, terdengar
jelas kolaborasi musik gamelan. Selain itu, kekayaan budaya
bangsa ditampilkan pula dalam video klipnya. Tanpa disadari,
petuah Jawa dalam syair lagu tersebut telah menyentuh generasi
muda tanpa kesan menasihati. Semua unsur budaya Indonesia
disampaikan dengan apik oleh grup musik Weird Genius yang
beranggotakan Eka Gustiwana, Reza “Arap” Oktovian, dan
Gerard Liu.
Lirik berbahasa Jawa dalam lagu tersebut: ‘Kowe ra iso
mlayu saka kesalahan Ajining diri ana ing lathi’ mengandung
petuah yang sangat dalam. Secara sederhana, nasihat tersebut
mengingatkan bahwa kita tidak akan bisa lari dari kesalahan.
Kehormatan jiwa ada pada lidah (tuturan). Tanpa disadari, hal
ini merupakan petuah yang sering disampaikan orang tua pada
masa lampau. Nasihat orang tua untuk menjaga tuturan sering
kali menggunakan istilah ini.
Apakah kemudian penyampaian petuah harus bersifat kuno
dan kental dengan unsur mistik? Tidak selamanya. Pertuah juga
dapat disampaikan dengan untaian kata sederhana yang mudah
diingat. Cobalah untuk membaca kutipan lagu berikut ini. Boleh
jadi, tanpa disadari Anda membaca sembari bersenandung.
Ingat pesan ibu
Pakai maskermu
Cuci tangan pakai sabun
Jangan sampai tertular

Kearifan Lokal Nusantara


81
Ingat selalu pesan ibu
Jaga jarakmu
Hindari kerumunan
Jaga keluargamu
(Padi Reborn, 2020)
Lagu “Ingat Pesan Ibu” akhir–akhir ini menjadi pengingat
yang nyaman dibanding penyampaian protokol kesehatan yang
bersifat imperatif atau memerintah. Lirik dan nada yang riang
mengingatkan kita akan hangatnya pesan orang tua untuk terus
menggunakan masker, mencuci tangan, menjaga jarak, dan
menghindari kerumunan. Melalui lagu ini, Satgas Penanganan
Covid-19 telah menggunakan pendekatan budaya, khususnya
media musik, sebagai sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat
akan pentingnya mematuhi protokol kesehatan. Kebiasaan
baru berupaya ditanamkan demi menekan angka penularan
Covid-19. Sama seperti cinta, pesan ibu harus terus dipupuk,
disampaikan, diresapi, dipahami, dan dilaksanakan.
Kedua lagu tersebut adalah contoh nyata penyampaian
petuah dewasa ini. Meskipun berbeda genre, “Lathi” dan
“Ingat Pesan Ibu” sama-sama memberikan petuah berupa
knowledge yang hidup di masyarakat tanpa banyak memerintah.
Petuah tersebut mampu diterima masyarakat dengan mudah
karena disampaikan melalui media kesenian dan menyajikan
keindahan.

Petuah sebagai Knowledge


Knowledge dapat dipahami sebagai penggabungan dari
pengalaman, nilai, informal kontekstual, dan pandangan pakar

Kearifan Lokal Nusantara


82
untuk mengevaluasi dan menyatukan pengalaman baru dan
informasi. Pada dasarnya, knowledge diterapkan dalam pikiran
sang pemilik pengetahuan (manusia).
Pada definisi yang berbeda, knowledge dipahami sebagai
informasi yang mengubah sesuatu atau seseorang. Hal ini dapat
terjadi ketika suatu informasi menjadi dasar dalam bertindak
atau ketika informasi tersebut meningkatkan kemampuan
seseorang atau institusi untuk mengambil tindakan yang
berbeda atau tindakan yang lebih efektif.
Dalam keilmuan Knowledge Management, knowledge dapat
dibagi menjadi dua jenis, yaitu tacit knowledge dan explicit
knowledge. Klasifikasi yang pertama, tacit knowledge, yaitu
pengetahuan yang dimiliki seseorang dan sangat sulit untuk
diinformasikan, dikomunikasikan, atau dibagi dengan orang
lain. Pemahaman yang melekat dalam knowledge individu
tersebut masih bersifat subjektif, dikategorikan sebagai intuisi
dan dugaan. Dimensi kedua dari tacit knowledge adalah
dimensi kognitif, terdiri atas kepercayaan, persepsi, idealisme,
nilai nilai, emosi, dan mental model. Dimensi ini tidak mudah
diartikulasikan.
Klasifikasi kedua, yaitu explicit knowledge, dapat
diekspresikan dalam bentuk data, formula ilmu pengetahuan,
spesifikasi produk, manual-manual, prinsip-prinsip universal.
Knowledge ini senantiasa siap untuk ditransfer kepada orang
lain secara formal dan sistematik. Hakikatnya, pengetahuan
yang dimiliki oleh individu jauh lebih banyak daripada apa
yang dapat individu tersebut jelaskan secara verbal atau
tertulis. Berdasarkan hal ini, petuah dipahami sebagai sebuah
tacit knowledge dari lagu–lagu yang dinyanyikan. Sementara

Kearifan Lokal Nusantara


83
itu, explicit knowledge mengacu pada keseharian yang telah
melaksanakan

SECI sebagai bentuk Knowledge Conversion


sebuah Petuah
Bagaimana petuah sebagai knowledge dapat ditransferkan
kepada anggota budaya? Model Knowledge Conversion SECI
(Sosialisasi–Eksternalisasi–Kombinasi–Internalisasi)kerap
dianggap sebagai model yang tepat untuk memperlihatkan
bagaimana pengetahuan itu berpindah. Melalui model ini,
petuah sebagai knowledge diciptakan secara terus-menerus,
terjadi interaksi dinamis antara tacit knowledge dengan
explicit knowledge sebagai sebuah petuah yang hidup terus di
masyarakat. Seperti dijelaskan pada gambar berikut:

Gambar 2. Interaksi dinamis antara tacit knowledge dengan explicit


knowledge. (Sumber: Nonaka, 1994; Nonaka et al, 2000 (dalam Tseng, 2010))

1. Sosialisasi (Tacit to Tacit) Petuah dalam Lagu


Proses ini memungkinkan tacit knowledge diubah melalui
interaksi individu. Individu dapat memperoleh tacit knowledge
tanpa bahasa. Pengalaman keseharian yang diterima oleh
pembuat lagu, menjadikan lagu ini mempunyai knowledge yang

Kearifan Lokal Nusantara


84
didasarkan pada kesepakatan pembuat lagu.
Proses seleksi secara kognitif dalam pikiran penulis
memengaruhi penggunaan diksi sebagai bentuk keindahan,
pilihan petuah, serta makna dan nada. Hal itu berlangsung
selama proses kreatif. Pada dasarnya, dalam menciptakan karya
seni, seniman tidak akan lepas dari budaya, termasuk dalam
penciptaan lagu.
2. Eksternalisasi (Tacit to Explicit) Petuah dalam Lagu
Sharing knowledge dalam proses eksternalisasi dilakukan
dari tacit to explicit. Bisa dengan menuliskan know-how dan
pengalaman yang didapatkan dalam bentuk artikel atau buku.
Dalam proses transfer petuah sebagai knowledge melalui media
lagu, petuah berusaha disampaikan dengan cara yang baru
sehingga tidak akan dinilai sebagai sesuatu yang kaku. Dengan
begitu, petuah dapat dinikmati oleh khalayak umum.
3. Kombinasi (Combination) (Explicit to Explicit) Petuah
dalam Lagu
Sharing knowledge dalam proses kombinasi dilakukan dari
explicit to explicit. Pada tahap ini, explicit knowledge yang
ada dimanfaatkan untuk diimplementasikan menjadi explicit
knowledge lain. Proses ini berguna untuk meningkatkan
kemampuan dan produktivitas.
Nada, pilihan kata, penekanan, dan berbagai keindahan
lain dalam sebuah lagulah yang membuatnya diterima oleh
masyarakat. Alasannya, pendengar lagu tidak serta merta
sengaja mencari petuah atau knowledge yang ditawarkan dalam
sebuah lagu. Melalui nada, syair, dan berbagai keindahannyalah
masyarakat menerima lagu tersebut. Terkadang masyarakat ikut

Kearifan Lokal Nusantara


85
berdendang, menghafalkan lirik, dan kemudian membenarkan
apa yang disampaikan dalam lirik lagu tersebut. Bentuk transfer
pengetahuan ini adalah bentuk kombinasi dalam proses
knowledge sharing.
4. Internalisasi (Explicit to Tacit) Petuah dalam Lagu
Sharing knowledge dari explicit to tacit dikenal dengan istilah
learning by doing. Terjadi pemahaman dan penyerapan explicit
knowledge menjadi tacit knowledge yang dimiliki oleh individu.
Knowledge dalam bentuk tacit ditindaklanjuti dan yang
diinternalisasi sebagian besar adalah pengalaman.
Proses internalisasi petuah dalam lagu kerap kali tidak
disadari oleh penggunanya. Petuah yang terus berulang dalam
lagu menjadi penuntun kehidupan. Menjadi suatu pedoman
mengenai benar dan salah, baik atau buruk boleh atau tidak
boleh. Proses internalisasi ini akan memberikan pengaruh besar
pada sikap, tindakan, dan pikiran manusia yang mengetahui,
memiliki, dan mengamalkan knowledge yang dimiliki.
5. Bagaimana Petuah Menjadi Knowledge di Masa Kini
Dewasa ini, petuah menjadi knowledge melalui berbagai
hal yang ditemui sehari–hari. Petuah disampaikan terus-
menurus melalui proses sosialisasi–eksternalisasi–kombinasi–
internalisasi. Contohnya adalah Bhineka Tunggal Ika. Petuah
ini terus digaungkan melalui kesenian dan keseharian. Pada
akhirnya, makna Bhineka Tunggal Ika tumbuh dan berkembang
di masyarakat.
Sungguh menyenangkan ketika kita mendengar lagu yang
sarat makna, sarat petuah, tanpa sedikitpun merasa dinasihati.
Petuah kini hadir dalam lagu, dalam kesenian, dan dalam

Kearifan Lokal Nusantara


86
keseharian. Semoga petuah–petuah bijak dapat terus hidup dan
berkembang dalam masyarakat.

Referensi:
Dalkir, K. and J Liebowitz, 2011. Knowledge Management in
Theory and Practice, 2nd Edn. The MIT Press Cambridge,
Massachusetts, ISBN:978-0-262-01505-0
https://tirto.id/lirik-lagu-ingat-pesan-ibu-by-padi-reborn-
kampanye-lawan-covid-19-f6nX(diakses pada tanggal 8
Desember 2020)
https://today.line.me/id/v2/article/6nG6wn (diakses pada
tanggal 8 Desember 2020)
https://www.kompas.com/hype/read/2020/06/18/090026666/
weird-genius-jelaskan-makna-lagu-lathi-hingga-alasan-
pilih-sara-fajira?page=all (diakses pada tanggal 8 Desember
2020)
Sangkala (2007), Knowledge management, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, Indonesia.

Kearifan Lokal Nusantara


87
Menggali Pendidikan Karakter
dan Nilai-nilai Anti Korupsi
Melalui Naskah Kuno Nusantara
Ervina Nurjanah

Bangsa Indonesia sudah lama mengenal sistem


pendidikan karakter, diawali dengan nasihat tutur
yang diberikan secara turun-temurun dari generasi ke
generasi.

88
Setiap tahunnya, tanggal 9 Desember diperingati sebagai Hari
Anti Korupsi Sedunia (HAKORDIA). Namun, menjadi ironi bagi
bangsa ini karena menjelang peringatannya di tahun 2020,
Indonesia justru dihadiahi dua kasus korupsi yang dilakukan
oleh pejabat negeri ini.
Minggu, 6 Desember 2020 masyarakat kembali dibuat gaduh
dengan berita penangkapan Menteri Sosial, Juliari P. Batubara.
Ia ditetapkan sebagai tersangka dugaan tindak pidana korupsi di
Kementerian Sosial terkait program bantuan sosial penanganan
Covid-19.
Pandemi Covid-19 yang menjangkit Indonesia sejak awal
tahun 2020 terasa sangat berat, tidak sedikit yang kehilangan
lapangan pekerjaan dan kesulitan untuk mencari mata
pencaharian baru. Anehnya, di masa sulit seperti ini bantuan
sosial justru dijadikan sasaran korupsi pejabat.1 Tidak heran
jika masyarakat bereaksi cukup keras dalam menanggapi kasus
tersebut. Kolom komentar akun berita di media sosial dibanjiri
oleh tanggapan keras masyarakat yang merasa kecewa dengan
kejadian ini.
Berita senada sebelumnya juga telah menjadi buah
bibir di masyarakat. Rabu, 25 November 2020, tersiar berita
penangkapan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy
Prabowo yang diduga terlibat kasus korupsi dalam penetapan
izin ekspor benih lobster. Edhy yang saat itu baru saja tiba di
Bandara Soekarno Hatta usai kunjungan kerjanya ke Amerika
Serikat langsung diboyong oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) untuk diperiksa.
1 Mohammad Bernie, “Kronologi & Siasat Mensos Juliari Bancakan Bansos Corona,”
tirto.id, accessed December 9, 2020, https://tirto.id/kronologi-siasat-mensos-juliari-
bancakan-bansos-corona-f7NK.

Kearifan Lokal Nusantara


89
Sebenarnya, kasus korupsi bukan lagi hal yang asing di
Indonesia. Sebelumnya sudah tercatat banyak kasus korupsi
yang menyebabkan kerugian fantastis, seperti kasus korupsi
yang menjerat PT Asuransi Jiwasraya, PT Asbri, Bank Century,
PT Pelindo II, Kotawaringin Timur, BLBI, E-KTP, Hambalang dan
masih banyak lagi.2 KPK secara berkala melakukan rekapitulasi
tindak pidana korupsi sebagai laporan kinerja dalam melakukan
penindakan. Rekapitulasi ini selanjutnya dilaporkan dan
diperbaharui secara berkala.
Dikutip dari laman website kpk.go.id, tercatat 1075 total
kasus tindak pidana korupsi berdasarkan jenis instansinya dari
tahun 2004 sampai dengan Juni 2020. Adapun jenis instansi yang
dimaksud adalah DPR dan DPRD, kementerian/lembaga, BUMN/
BUMD, komisi, pemerintah provinsi, dan pemkab/pemkot.3
Sayangnya, tersangka dan terdakwa yang terjerat kasus korupsi
ini justru orang-orang berpendidikan tinggi, bahkan kebanyakan
merupakan lulusan dari universitas ternama.
Sebagai bentuk keprihatinan atas maraknya kasus
korupsi yang terjadi di Indonesia, pada tanggal 8-9 November
2011 diselenggarakan International Conference on Character
Education yang bertempat di Universitas Negeri Yogyakarta.
Konferensi ini dihadiri oleh perwakilan dari enam negara,
yaitu Australia, Malaysia, Amerika Serikat, Belanda, Iran, dan
Indonesia. Dalam konferensi ini, dibahas perkembangan dan
strategi dalam menerapkan pendidikan karakter, salah satunya
2 Kompas Cyber Media, “Selain Jiwasraya, Berikut Kasus Korupsi Terbesar di Indonesia
Halaman all,” KOMPAS.com, accessed November 27, 2020, https://www.kompas.
com/tren/read/2020/01/17/070300165/selain-jiwasraya-berikut-kasus-korupsi-
terbesar-di-indonesia.
3 Super User, “Statistik TPK Berdasarkan Instansi,” accessed November 27, 2020,
https://www.kpk.go.id/id/statistik/penindakan/tpk-berdasarkan-instansi.

Kearifan Lokal Nusantara


90
dengan membangun karakter yang multikultur dengan dasar
kearifan lokal yang dimiliki.4
Pendidikan karakter dan nilai moral pada dasarnya sudah
ada sejak lama. Nilai-nilai tersebut tersimpan dalam budaya
masyarakat. Jika kita gali dan pahami, hal ini bisa menjadi salah
satu kekuatan transformasional untuk meningkatkan kualitas
dan daya saing sumber daya manusia di Indonesia. Kearifan
lokal dapat berupa hasil pemikiran dan produk budaya manusia,
yang digunakan sebagai tuntunan dalam berperilaku, bersikap,
dan bermasyarakat.
Kearifan lokal dapat digali dari suatu daerah tertentu.
Bentuknya sangat luas, bisa jadi berupa pemikiran, sikap,
tindakan berbahasa, seni, dan karya sastra yang mengandung
nilai-nilai filsafat. Selain itu, dapat pula berupa artefak
budaya dan tindakan sosial bermasyarakat. Kearifan lokal ini
paling tidak merupakan sebuah konsep yang terbentuk dari
pengalaman panjang yang digunakan sebagai petunjuk dalam
berperilaku. Sifatnya tidak terlepas dari lingkungan pemiliknya.
Kearifan lokal juga bersifat dinamis, terbuka, dan senantiasa
menyesuaikan dengan zamannya.
Geertz (1973) dalam gagasannya menyatakan, “Local
wisdom is a part of culture. Local wisdom is traditional culture
element that deeply rooted in human life and community that
related with human resources, source of culture, economic,
security and laws. Local wisdom can be viewed as a tradition
that related with farming activities livestock, build house, etc.

4 Kompas Cyber Media, “Enam Negara Ikuti Konferensi Pendidikan Karakter,”


KOMPAS.com, accessed November 27, 2020, https://edukasi.kompas.com/
read/2011/11/04/16321758/enam.negara.ikuti.konferensi.pendidikan.karakter.

Kearifan Lokal Nusantara


91
Local wisdom appears to be simple, but often is elaborate,
comprehensive, diverse. It is adapted to local, cultural, and
environmental conditions. It is dynamic and flexible. It is tuned to
needs of local people. It corresponds with quality and quantity of
available resources, and it copes well with change”. 5
Dari pendapat tersebut jelas bahwa kearifan lokal
merupakan budaya kontekstual yang bersumber dari kehidupan
manusia. Kearifan lokal adalah bagian dari budaya, berupa
unsur budaya tradisional yang mengakar kuat dalam kehidupan
manusia. Hal ini terkait dengan sumber daya manusia, ekonomi,
keamanan, hukum, dan berbagai aspek kehidupan lainya.
Kearifan lokal dapat dilihat sebagai tradisi yang berkaitan dengan
beragam aspek, tampak sederhana, komprehensif, dan sangat
beragam. Hal ini disesuaikan dengan kondisi lokal, budaya, dan
lingkungan. Kearifan lokal juga bersifat dinamis dan fleksibel,
menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat setempat, baik
dari sisi kesesuaian dengan kualitas dan kuantitas sumber daya
yang tersedia maupun perubahan lingkungan yang terjadi.
Salah satu bentuk kearifan lokal berupa pemikiran dan
gagasan mengenai sikap, perilaku dan kehidupan sosial
bermasyarakat dapat kita jumpai pada naskah Amanat
Galunggung. Sekumpulan naskah ini ditemukan di daerah
Kabuyutan Ciburuy, Kabupaten Garut. Naskah tersebut
merupakan salah satu naskah kuno peninggalan suku Sunda.
Naskah ini diperkirakan ditulis pada abad ke-16 atau sekitar
tahun 1518. Medianya adalah daun lontar dan nipah sebanyak

5 Wagiran Wagiran, “Pengembangan Karakter Berbasis Kearifan Lokal Hamemayu


Hayuning Bawana (Identifikasi Nilai-Nilai Karakter Berbasis Budaya),” Jurnal
Pendidikan Karakter 0, no. 3 (2012), https://doi.org/10.21831/jpk.v0i3.1249.

Kearifan Lokal Nusantara


92
6 lembar, terdiri atas 13 halaman, ditulis menggunakan bahasa
dan aksara Sunda Kuna. Saat ini naskah tersebut disimpan
di Perpustakaan Nasional Jakarta, dengan nomor kode MSA
(Manuschrift Soenda A) Kropak 632.
Nama Amanat Galunggung sendiri diberikan oleh seorang
filolog bernama Saleh Danasasmita yang telah mentranskripsi
dan menerjemahkan naskah tersebut. Naskah tersebut kemudian
dituangkan dalam kajiannya yang berjudul “Sewaka Darma,
Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung”.6
Naskah Amanat Galunggung berisi nasihat-nasihat
Rakeyan Darmasiksa kepada putra dan keturunannya. Rakeyan
Darmasiksa merupakan seorang Raja Sunda yang diperkirakan
memerintah sampai abad ke-13 atau berkisar antara tahun 1175–
1297 M. Adapun naskah ini baru ditulis pada abad ke 16. Artinya,
dapat dipastikan jika naskah ini merupakan hasil transliterasi
dari nasihat tutur yang disampaikan secara turun-temurun.
Secara umum, naskah Amanat Galunggung berisi pemikiran
filosofis berkaitan dengan etika yang seharusnya dimiliki dan
dilaksanakan oleh pemimpin negara dan masyarakat, serta
nasihat-nasihat untuk menjadi manusia yang baik dan berbudi
luhur.
Naskah Amanat Galunggung memuat banyak nasihat,
pedoman hidup, dan ajaran yang bersifat keagamaan. Di
dalamnya tertuang norma-norma dan nilai-nilai moral yang
perlu dimiliki demi mewujudkan kehidupan yang damai

6 Ngatawi El-Zastrouw, “Menuju Sosiologi Nusantara: Analisa Sosiologis Ajaran Ki


Ageng Suryomentaram Dan Amanat Galunggung,” Islam Nusantara:Journal for
Study of Islamic History and Culture 1, no. 1 (July 30, 2020): 89–144, https://doi.
org/10.47776/islamnusantara.v1i1.46.

Kearifan Lokal Nusantara


93
dan sejahtera. Selain itu, naskah Amanat Galunggung juga
membahas beberapa hal. Pertama, apa kita harus menghargai
para leluhur dan orang-orang terdahulu yang telah meletakan
ajaran dan nilai-nilai luhur?. Kedua, bagaimana kita harus
berbakti kepada keluarga dan berbuat baik terhadap sesama?.
Selain itu, naskah Amanat Galunggung juga memuat nilai-nilai
kepemimpinan yang dianggap baik dan harus dimiliki oleh raja
dan keturunannya pada masa itu, di antaranya berbunyi “Jagat
daranandi sang rama, jagat kreta di sang resi, jagat palangka di
sang prabu” (Sang Rama (tokoh masyarakat) bertanggung jawab
atas kemakmuran hidup; Sang Resi (cerdik pandai, berilmu),
bertanggung jawab atas kesejahteraan; Sang Prabu (birokrat)
bertanggung jawab atas kelancaran pemerintahan). “Haywa
paala-ala palungguhan, haywa paalaala pameunang, haywa
paalaala demakan, apan pada pawitanya, pada mulianya, maka
pada mulianya, ku ulah ku sabda, (ku) ambek”, (Jangan berebut
kedudukan, jangan berebut penghasilan, jangan berebut
hadiah, karena sama asal-usulnya, sama mulianya. Oleh karena
itu bersama-samalah berbuat kemuliaan dengan perbuatan,
dengan ucapan, dan dengan itikad).7
Menilik penggalan isi dari naskah Amanat Galunggung
tersebut, dapat diketahui bahwa tatanan masyarakat Sunda pada
masa itu telah mengenal pembagian tugas dan wewenang dari
seorang pemimpin. Pembagian kekuasaan yang dikelompokan
ke dalam tiga unsur tersebut menjadi kunci keberlangsungan
roda pemerintahan jika seluruhnya dapat bekerja secara sinergis.
Pada dasarnya, nilai-nilai yang terkandung dalam naskah
Amanat Galunggung berisi pesan moral dan pendidikan karakter
7 El-Zastrouw.

Kearifan Lokal Nusantara


94
yang telah dilakukan secara turun-temurun. Di dalamnya
disebutkan mengenai perilaku apa saja yang harus dilakukan dan
apa saja yang tidak boleh dilakukan demi mencapai kehidupan
yang mulia sebagai manusia.
Jika kita gali lebih dalam, naskah tersebut menyatakan
bahwa salah satu perbuatan yang dilarang untuk dilakukan
adalah berebut kedudukan, berebut penghasilan, dan berebut
hadiah. Jika kita telaah lebih jauh, pada masa sekarang nasihat
tersebut sebenarnya masih relevan. Hal yang disebutkan dalam
naskah tersebut menjadi indikasi tindak pidana korupsi jika kita
komparasi dengan keadaan pada masa kini.
Definisi korupsi secara gamblang telah dijelaskan dalam 13
buah pasal yang dimuat dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No.
20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Adapun jenis tindak pidana korupsi dapat dikelompokkan
dalam beberapa kategori, yaitu merugikan keuangan negara,
suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan,
perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan,
dan gratifikasi.8
Komisi Pemberantasan Korupsi bersama dengan para
pakar telah melakukan kajian dan identifikasi mengenai nilai-
nilai dasar anti korupsi yang menghasilkan sembilan nilai anti
korupsi, yaitu jujur, peduli, mandiri, disiplin, tanggung jawab,
kerja keras, sederhana, berani, dan adil.9

8 Komisi Pemberantasan Korupsi, Memahami Untuk Membasmi: Panduan Untuk


Memahami Tindak Pidana Korupsi (Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2006).
9 Tim Penulis Komisi Pemberantasan Korupsi, Anti Korupsi: Modul Pendidikan Dan
Pelatihan Prajabatan Golongan I/II Dan III (Jakarta: Lembaga Administrasi Negara,
2015).

Kearifan Lokal Nusantara


95
Nilai-nilai tersebut kemudian juga dituangkan dalam
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2017
tentang Penguatan Pendidikan Karakter, yang menyatakan
bahwa Penguatan Pendidikan Karakter dilaksanakan dengan
menerapkan nilai-nilai pancasila meliputi nilai-nilai religius, jujur,
toleran, disiplin, bekerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa
ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai
prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli
lingkungan, peduli sosial, dan bertanggungjawab.10
Hal tersebut pada dasarnya selaras dengan ajaran yang
tertuang dalam Naskah Amanat Galunggung, yang di dalamnya
memuat nasihat yang berbunyi:
“Mulah pabwang pasalahan paksa, mulah pakeudeukeudeu,
asing ra(m)pés, cara purih, turutan mulah keudeu di tineung di
manéh, isos-iseukeun carékna patikrama, mulah munuh tanpa
dwasa, mulah ngarampas tanpa dwasa, mulah midukaan tanpa
dwasa, mulah nenget a(s)tri sama astri, mulah nenget hulun
sama hulun. Di tineung di manéh hamo ngadéngé carék i(n)
dung lawan bapa, hamo ngadéngé carék na patikrama wwang
keudeuanakéh, Dina uran sakabéh, tuha kalawan anwam, mulah
majar kwanta, mulah majar lak(s)ana, mulah madahkeun pada
janma, mulah sabda ngapus. Bwat si mumulan, si ngeudeuhan, si
banteuleu, dungkuk peruk, supenan, jangkelék, rahéké, mémélé,
brahhélé, sélér twalér, hantiwalér, tan bria, kuciwa, rwahaka,
jangjangka, juhara, hanteu di kabisa, luhya mumulan, mo teu(ng)
teuing, manggahang, barang-hual, nica mreswala, kumutuk
pregutu, surahana, sewekeng, pwapwarosé, téréh kasimwatan,

10 Presiden Republik Indonesia, “Peraturan Presiden Republik Indonesia,” Pub. L. No.


Nomor 87 (2017).

Kearifan Lokal Nusantara


96
téréh kapidéngé, mwa teteg di carék wahidan, sulit rusit, rawa-
ja papa. mumulan sangkana réya kahayang, hanteu di imah di
manéh, ménta twah ka sakalih, ménta guna ka sakalih. Hanteu
dibéré ksel hatinya, jadi nelu(h), pamalina iya dwakan iya
jangjitan ngaranya, kajajadiyana na urang hiri paywagya di nu
bener. Na gusti, na panghulu, na wiku sakabéh salah paké, na
raja sabwana salah paké, beuki awor-awur tanpa wastu ikang
bwana”.11
“Jangan bentrok karena berselisih maksud, jangan saling
berkeras, hendaknya rukun dalam tingkah laku dan tujuan.
Ikuti, jangan hanya berkeras pada keinginan diri sendiri saja.
Jangan membunuh yang tidak berdosa, jangan merampas
hak orang lain, jangan menyakiti yang tidak bersalah, jangan
saling mencurigai. Berkeras kepada keinginan sendiri, tidak
mendengar nasihat ibu dan bapak, tidak mengindahkan ajaran
patikrama, itulah contoh orang yang keras kepala. Bagi kita
semua, tua dan muda, jangan berkata dengan berteriak, jangan
berkata menyindir, menjelekkan sesama orang, dan berkata
mengada-ada. Perlu diketahui bahwa yang menghuni neraka
adalah arwah pemalas, keras kepala, pandir, pemenung, pemalu,
mudah tersinggung, lamban, kurang semangat, gemar tiduran,
lengah, tidak tertib, mudah lupa, tidak punya keberanian,
mudah kecewa, keterlaluan, sok jagoan, mudah mengeluh,
malas, tidak bersungguh-sungguh, pembantah, selalu berdusta,
bersungut-sungut, menggerutu, mudah bosan, segan mengalah,
ambisius, mudah terpengaruh, mudah percaya omongan orang,
tidak teguh memegang amanat, sulit, rumit mengesalkan, aib

11 “Isi Naskah: Amanat Galunggung | Sejarah Tatar Pasundan,” accessed December


10, 2020, http://sejarahtatarpasundan.blogspot.com/2018/10/isi-naskah-amanat-
galunggung.html?m=1.

Kearifan Lokal Nusantara


97
dan nista. Orang pemalas tetapi banyak keinginan yang tidak
tersedia dirumahnya lalu meminta belas kasihan pada orang
lain. Bila tidak diberi maka kesal hatinya. Orang pemalas seperti
air di daun talas, plin plan namanya. Kesemrawutan dunia ini
karena salah tindak para orang terkemuka, penguasa, para
cerdik pandai, orang kaya, semuanya salah bertindak termasuk
para raja di seluruh dunia”.12
Berdasarkan isi dari naskah tersebut, dapat diketahui
bahwa pendidikan karakter sebenarnya bukanlah hal yang baru.
Bangsa Indonesia sudah lama mengenal sistem pendidikan
karakter, diawali dengan nasihat tutur yang diberikan secara
turun-temurun dari generasi ke generasi. Salah satunya seperti
yang tertuang dalan naskah Amanat Galunggung. Secara tersirat,
amanat yang terkandung dalam naskah tersebut memuat
komponen yang hampir sama dengan nilai-nilai pendidikan yang
dimuat dalam nilai-nilai dasar anti korupsi KPK dan nilai-nilai
yang tertuang dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter.
Artinya, usaha untuk memahami dan menggali kearifan lokal
menjadi penting sebagai upaya untuk memetakan pemahaman
mengenai konsep dasar dalam berperilaku dan berpikir secara
komprehensif sebagai pijakan dalam menghadapi berbagai
tantangan dan perubahan sosiokultural.
Pendidikan karakter yang didasarkan pada kearifan
lokal menjadi penting karena di dalamnya terdapat proses
pengembangan diri, internalisasi, dan penghayatan terhadap

12 Yeni Wijayanti, “Nilai-Nilai Moral dalam Naskah Amanat Galunggung untuk


Pendidikan Karakter,” Jurnal Wahana Pendidikan 5, no. 4 (November 1, 2019): 94–
100, https://doi.org/10.25157/wa.v5i4.1552.

Kearifan Lokal Nusantara


98
nilai-nilai dalam pergaulan di masyarakat. Pola interaksi yang
dilakukan akan mampu memberikan corak atau warna tertentu
yang menjadi ciri khas bagi negara multikultural, seperti
Indonesia. Dengan demikian, hal tersebut dapat dijadikan
sebagai kekuatan yang transformasional guna meningkatkan
kualitas dan daya saing sumber daya manusianya.
Pendidikan karakter dan penanaman nilai-nilai dasar anti
korupsi saat ini dijadikan sebagai salah satu upaya preventif
dalam menekan kasus korupsi di Indonesia. Tindak pidana
korupsi pada dasarnya merupakan permasalahan yang berkaitan
dengan moralitas dan integritas seseorang. Dengan memberikan
pendidikan karakter dan menanamkan nilai-nilai anti korupsi
sejak dini, diharapkan dapat membentuk sumber daya manusia
yang unggul dan berintegritas agar dapat berkontribusi untuk
pembangunan negeri ini.

Referensi:
Bernie, Mohammad. “Kronologi & Siasat Mensos Juliari
Bancakan Bansos Corona.” tirto.id. Accessed December
9, 2020. https://tirto.id/kronologi-siasat-mensos-juliari-
bancakan-bansos-corona-f7NK.
El-Zastrouw, Ngatawi. “Menuju Sosiologi Nusantara: Analisa
Sosiologis Ajaran Ki Ageng Suryomentaram Dan Amanat
Galunggung.” ISLAM NUSANTARA:Journal for Study of Islamic
History and Culture 1, no. 1 (July 30, 2020): 89–144. https://
doi.org/10.47776/islamnusantara.v1i1.46.
“Isi Naskah: Amanat Galunggung | Sejarah Tatar Pasundan.”
Accessed December 10, 2020. http://sejarahtatarpasundan.

Kearifan Lokal Nusantara


99
blogspot.com/2018/10/isi-naskah-amanat-galunggung.
html?m=1.
Komisi Pemberantasan Korupsi. Memahami Untuk Membasmi:
Panduan Untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi. Jakarta:
Komisi Pemberantasan Korupsi, 2006.
Media, Kompas Cyber. “Enam Negara Ikuti Konferensi Pendidikan
Karakter.” KOMPAS.com. Accessed November 27, 2020.
https://edukasi.kompas.com/read/2011/11/04/16321758/
enam.negara.ikuti.konferensi.pendidikan.karakter.
———. “Selain Jiwasraya, Berikut Kasus Korupsi Terbesar
di Indonesia Halaman all.” KOMPAS.com. Accessed
November 27, 2020. https://www.kompas.com/tren/
read/2020/01/17/070300165/selain-jiwasraya-berikut-
kasus-korupsi-terbesar-di-indonesia.
Presiden Republik Indonesia. Peraturan Presiden Republik
Indonesia, Pub. L. No. Nomor 87 (2017).
Tim Penulis Komisi Pemberantasan Korupsi. Anti Korupsi: Modul
Pendidikan Dan Pelatihan Prajabatan Golongan I/II Dan III.
Jakarta: Lembaga Administrasi Negara, 2015.
User, Super. “Statistik TPK Berdasarkan Instansi.” Accessed
November 27, 2020. https://www.kpk.go.id/id/statistik/
penindakan/tpk-berdasarkan-instansi.
Wagiran, Wagiran. “Pengembangan Karakter Berbasis Kearifan
Lokal Hamemayu Hayuning Bawana (Identifikasi Nilai-Nilai
Karakter Berbasis Budaya).” Jurnal Pendidikan Karakter 0,
no. 3 (2012). https://doi.org/10.21831/jpk.v0i3.1249.

Kearifan Lokal Nusantara


100
Wijayanti, Yeni. “Nilai-Nilai Moral dalam Naskah Amanat
Galunggung untuk Pendidikan Karakter.” Jurnal Wahana
Pendidikan 5, no. 4 (November 1, 2019): 94–100. https://doi.
org/10.25157/wa.v5i4.1552.

Kearifan Lokal Nusantara


101
Batik sebagai Koleksi Local
Content Perpusnas
Warisan Budaya Bangsa tang Tak
Lekang Dimakan Masa
Hanita Sulistia

Batik merupakan koleksi local content Perpusnas, yaitu


koleksi yang mengandung informasi mengenai entitas
lokal.

102
Perpustakaan erat kaitannya dengan kebudayaan dan
masyarakat. Dapat dikatakan bahwa perpustakaan merupakan
produk kebudayaan yang dibuat untuk melayani masyarakat.
Kebudayaan bersifat abstrak. Perwujudan kebudayaan adalah
semua hal yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang
berakal, baik berbentuk fisik maupun nonfisik.
Fungsi kultural perpustakaan adalah sebagai tempat
menyimpan khazanah budaya bangsa, yakni suatu cara hidup
yang berkembang dan dimiliki bersama oleh suatu kelompok
yang diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk
dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan
politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan dan
karya seni. Itulah sebabnya antara abad ke-17 hingga ke-20 di
Jawa muncul pengaruh budaya India, Tiongkok, Eropa maupun
Jepang. Hal ini wajar karena pengaruh budaya asing dapat
memperkaya budaya Indonesia.
Dalam Undang-Undang No. 43 Tahun 2007 tentang
perpustakaan Pasal 21 ayat 3 poin a disebutkan bahwa
Perpustakaan Nasional mengembangkan koleksi nasional
untuk melestarikan budaya bangsa. Perpustakaan Nasional RI
menyimpan berbagai koleksi, baik yang tercetak maupun yang
tidak tercetak. Salah satu koleksi hasil budaya bangsa adalah
koleksi tentang batik
Batik merupakan koleksi local content Perpusnas, yaitu
koleksi yang mengandung informasi mengenai entitas lokal
(perorangan, institusi, kegiatan, geografi, dan budaya). Koleksi
local content ini berkaitan dengan kebudayaan dan keadaan
lingkungan sosial dari suatu daerah. Pengetahuan mengenai
local content dari suatu daerah merupakan hal yang perlu

Kearifan Lokal Nusantara


103
disosialisasikan kepada pemustaka/pengguna perpustakaan
agar mereka dapat mengenal budaya setempat. Selanjutnya,
keberadaan Perpusnas juga dapat digunakan sebagai wadah
untuk melestarikan kebudayaan daerah agar tidak lekang
dimakan masa. Berikut akan penulis bahas tentang batik, proses
pembuatannya, dan perkembangannya.
Batik adalah kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan
telah menjadi bagian dari budaya Indonesia. Batik dipercaya
sudah ada sejak zaman kerajaan Majapahit dan menjadi sangat
popular di akhir abad ke-18. Batik merupakan salah satu bentuk
ekspresi kesenian tradisi kian hari semakin menampakkan jejak
keberagamannya dalam khazanah kebudayaan Indonesia. Batik
sebagai seni tradisi merupakan ekspresi kultur dari kreativitas
individual dan kolektif yang lahir dari kristalisasi pengalaman
manusia hingga pada akhirnya membentuk identitas
kepribadian. Kiranya batik sebagai salah satu jenis tekstil
tidak dapat dipisahkan dari ekspresi budaya suatu masyarakat
pendukungnya. Ia tumbuh dan berkembang di bumi Indonesia
sebagai manifestasi dari kekayaan budaya daerah-daerah
perbatikan, seperti Solo, Yogyakarta, Pekalongan, Cirebon,
Indramayu, Madura, Lasem, dan Sukoharjo.
Batik sebagai sebuah karya seni, bukan sekadar nilai kain-
kain yang bernoktahkan keragaman motif, hiasan, dengan
pewarnaan dan teknik yang khas. Lebih jauh lagi, ragam
hias dan pewarnaan yang dituangkan pada batik merupakan
refleksi estetis dan berkesenian masyarakat pendukungnya.
Batik sebagai salah satu seni tradisional Indonesia menyimpan
konsep artistik yang tidak dibuat semata-mata untuk keindahan.
Batik dapat menjadi pilihan busana sehari-hari, untuk keperluan

Kearifan Lokal Nusantara


104
upacara, adat, tradisi, kepercayaan, agama, bahkan status sosial.
Batik bukan saja indah, tetapi juga bermakna. Indahnya bukan
hanya sebagai pemuas mata, melainkan melebur dengan nilai-
nilai moral, adat, tabu, agama, dan lain sebagainya.
Pada mulanya, membatik adalah tradisi turun-temurun
sehingga kadang suatu motif dapat dikenali berasal dari
keluarga tertentu. Beberapa motif batik dapat menunjukkan
status seseorang dan mempunyai arti simbolis dan penuh nilai
spiritual. Bahkan sampai saat ini ada beberapa motif batik
tadisional hanya dipakai oleh keluarga Kraton Yogyakarta dan
Surakarta.
Bahan baku yang paling tepat untuk pembuatan batik
adalah kain yang terbuat dari serat alami kapas, sutera, dan
rayon. Pembuatan batik juga menggunakan bahan pembantu
berupa malam atau “lilin batik” sebagai bahan perintang
dan pewarna. Dalam proses pembatikan, malam “lilin batik”
digunakan untuk menutup hiasan sehingga membebaskannya
dari bahan pewarna ketika dilakukan proses pencelupan.
Ada tiga jenis lilin batik, yaitu lilin klowong untuk nglowong
dan ngisen-iseni, lilin tembokan untuk nembok, dan lilin biron
untuk mbironi. Masing-masing lilin batik digunakan sesuai
dengan tahap pembatikan, yaitu nglowong dan ngisen-iseni,
nembok, dan mbironi.
Umumnya batik tradisional diproses dengan menggunakan
warna biru indigo dan soga dengan tahapan sebagai berikut.
1. Mbathik, yaitu membuat mori dengan menempelkan lilin
batik dengan menggunakan canthing tulis.

Kearifan Lokal Nusantara


105
2. Nembok, yaitu menutup bagian pola-pola yang dibiarkan
tetap berwarna putih dengan lilin batik.
3. Medel, yaitu mencelup mori yang sudah diberi lilin batik ke
dalam warna biru.
4. Ngerok atau nggirah, yaitu menghilangkan lilin dari bagian-
bagian yang akan diberi warna soga (cokelat).
5. Mbironi, yaitu menutup bagian-bagian yang akan tetap
berwarna biru dan tempat-tempat yang terdapat cecek.
6. Nyoga, yaitu mencelup mori ke dalam larutan soga.
7. Nglorod, yaitu menghilangkan lilin batik dengan air
mendidih. Tahap ini sekaligus merupakan tahap terakhir
dari proses batik tradisional.
Wajah batik nusantara terbentuk bukan saja dari budaya
internal suku-suku yang hidup di kawasan negeri kita, tetapi juga
akibat berbagai keterlibatan bangsa lain. Di antaranya pengaruh
budaya bangsa Cina, India, Arab hingga kedatangan bangsa-
bangsa Eropa, khususnya pada masa penjajahan Belanda dalam
kurun waktu yang panjang dan diakhiri pendudukan Jepang
yang sekalipun dalam waktu yang tidak terlalu panjang, tetapi
sempat menorehkan pengaruh yang cukup membekas hingga
kini.
Saat zaman kemerdekaan, batik pun memasuki babak baru
dalam perkembangannya. Pada masa itulah muncul istilah Batik
Djawa Baroe yang merupakan evolusi dari Batik Jawa Hokokai,
di mana motifnya masih menyertakan unsur-unsur ornamen
batik klasik yang berasal dari keraton dan hiasan bunga-bunga
dalam ornamen modern. Tekanan kehidupan yang diakibatkan
pendudukan Jepang beralih menjadi semangat nasionalisme
kebangsaan Indonesia.

Kearifan Lokal Nusantara


106
Kesulitan pasokan bahan baku batik sedikit demi
sedikit dapat diatasi dengan berdirinya Gabungan Koperasi
Batik Indonesia (GKBI) pada tanggal 18 September 1948 di
Yogyakarta. Koperasi ini merupakan gabungan dari koperasi-
koperasi batik di beberapa daerah pembatikan, seperti Yogya,
Solo, Ponorogo, serta Tulungagung. Gerakan Perkoperasian
saat itu dimotori oleh Bung Hatta yang berhasil meningkatkan
efisiensi kerja para pengusaha batik. Empat tahun kemudian,
kantor GKBI dipindahkan ke Jakarta dan anggotanya sudah
meningkat menjadi 21 orang. Keberadaan GKBI yang didukung
oleh Direktorat Perdagangan RI telah mengatur tata niaga mori
serta bahan-bahan batik yang lain sehingga tidak dimonopoli
suatu kalangan saja. Dengan berfungsinya koperasi maka bisa
memperpendek mata rantai perdagangan antara produsen dan
konsumen. Pada tahun 1956, GKBI mendirikan pabrik mori di
Nedari, Yogyakarta.
Dari sisi perkembangan motif batik, setelah pergerakan
revolusi mulai memasuki babak yang lebih stabil, pada tahun
1950 Bung Karno mulai memikirkan munculnya batik nasional.
Beberapa orang seniman batik dimintanya untuk menciptakan
batik nasional Indonesia. Mereka yang ditugasi Bung Karno
untuk mengembangkan batik Indonesia, di antaranya KRT.
Hardjonagoro, Iwan Tirta, dan Saridjah Niung Bintang Soedibjo
(Ibu Soed). Selain ketiga tokoh tersebut, seniman-seniman
batik sekaligus kolektor serta perancang adibusana yang
mengembangkan batik nasional, antara lain Asmoro Damais,
Josephine Komara, Abdul Kadir Mohamad, serta keluarga
Oei Soe Tjoen. Pada periode itu, pengembangan batik telah
memasuki unsur penggabungan dengan teknik menghias

Kearifan Lokal Nusantara


107
anyaman (desain pertenunan) serta bordir (sulaman) sehingga
lahirlah istilah Adi Wastra dengan memunculkan berbagai
potensi tekstil tradisional Indonesia.
Batik Indonesia lebih istimewa bila dibandingkan dengan
batik dari negara lain karena setiap motifnya mengandung
makna filosofi yang mendalam. Selembar kain batik dengan
goresan lukisan yang indah dan rumit mampu menggambarkan
kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Itulah yang
menjadikan batik sebagai karya seni yang sangat unik. Keunikan
tersebut terdapat dalam proses pembuatan, makna filosofi
yang terkandung di dalam motifnya, juga etika dan tata cara
pemakaiannya.
Dalam sehelai kain batik, ada filosofi yang dapat kita
jadikan sebagai pelajaran. Pertama, keuletan dan ketekunan
para pembatik. Untuk menghasilkan kain batik yang cantik
dan menawan, diperlukan sebuah proses yang panjang
penuh dengan kesabaran, ketelitian, dan keahlian dalam
membuatnya. Jika diaplikasikan dalam kehidupan sehari-
hari, dapat dianalogikan bahwa keberhasilan dapat diperoleh
melalui proses panjang dengan segala perjuangan, keuletan,
dan kesabaran. Kedua, adanya keberagaman motif menjadikan
batik semakin indah dan menawan. Jika digambarkan dalam
kehidupan bermasyarakat, keberagaman yang ada menjadikan
kehidupan ini semakin harmonis. Ketiga, dalam sehelai kain
batik mencerminkan kepribadian bangsa Indonesia. Alasannya,
batik menunjukkan budaya luhur warisan bangsa yang hanya
dimiliki oleh bangsa Indonesia.
Motif batik yang ada di Indonesia cukup beragam. Setiap
daerah asal produksi batik memiliki motif khas tersendiri.

Kearifan Lokal Nusantara


108
Akulturasi budaya antardaerah pun mampu melahirkan motif-
motif baru, yang tentunya makin menambah keragaman motif
batik nusantara. Selain itu, perkembangan motif batik juga
dipengaruhi oleh selera konsumen yang menuntut modernitas.
Hal inilah yang mendorong para desainer tekstil dan desainer
fashion melakukan pengembangan pola motif baru. Melalui
kreativitas para desainer, batik makin berkembang hingga
menjadi trend setter dunia tekstil.
Perpusnas juga terus melestarikan batik sebagai koleksi
local content dalam berbagai wujud, baik secara cetak maupun
noncetak. Upaya tersebut dilakukan demi menghindari
hilangnya nilai informasi terkait kebudayaan daerah. Selain itu,
bertujuan untuk memudahkan masyarakat dalam mengakses
pengetahuan local secara luas. Yang dapat dilakukan
perpustakaan dalam melestarikan koleksi local content adalah
mengumpulkan semua data terkait budaya setempat dan
menyebarkannya kepada masyarakat.
Untuk melestarikan koleksi batik di Perpusnas, penulis
membuat Panduan Pustaka (Pathfinder) yang menghimpun
berbagai judul koleksi batik dari berbagai sumber, seperti buku,
koleksi referensi, jurnal, majalah, tesis, laporan penelitian,
gambar, dan bentuk mikro. Masing-masing judul koleksi
batik tersebut diuraikan deskripsi fisiknya, diberi penjelasan/
cakupan isi dari setiap judul dan pada bagian akhir diberi nomor
klasifikasi serta lokasi di mana tempat koleksi tersebut berada.
Panduan Pustaka (Pathfinder) ini diharapkan dapat
membantu pemustaka/pengguna yang melakukan pencarian
koleksi terkait dengan batik. Pada dasarnya, Pathfinder
ditujukan sebagai sarana penemuan informasi, mempermudah

Kearifan Lokal Nusantara


109
pemahaman akan pengetahuan atau informasi diperpustakaan,
mengetahui subjek tertentu, memperluas pengetahuan
pemustaka, memudahkan mengetahui bibliografi koleksi, dan
mempermudah pengambilan keputusan.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, dalam membuat
pathfinder tentang koleksi batik, pustakawan dapat
menggunakan semua rujukan koleksi yang dimiliki oleh
perpustakaan agar informasi yang terhimpun dapat
dimanfaatkan oleh pemustaka dengan sebaik-baiknya.
Harapannya, koleksi tentang batik yang ada di Perpusnas dapat
dimanfaatkan oleh pemustaka dengan baik dan benar, koleksi
perpustakaan tentang batik dapat dikenali oleh pemustaka
dengan segala keanekaragamannya secara dalam dan luas,
pustakawan dapat merealisasikan tugas, fungsi dan tujuan
perpustakaan, membantu pemustaka untuk mengambil
manfaat yang sebesar-besarnya dari koleksi batik yang ada di
perpusnas, informasi dapat ditemukan dengan cepat, tepat
dan sesuai kebutuhan serta pemustaka memiliki kemampuan
berliterasi.
Hal lain yang dilakukan Perpusnas dalam memperkenalkan
batik adalah membawa buku-buku tentang batik di ajang
pameran, baik dalam negeri maupun luar negeri. Seperti yang
pernah dilakukan pada ajang pameran di kegiatan CONSAL
(Congress of Southeast Asian Librarians), kongres pustakawan se-
Asia Tenggara yang diadakan setiap tiga tahun sekali. Kegiatan
ini diselenggarakan secara bergilir di setiap negara anggota
ASEAN, seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand,
Filipina, Kamboja, Vietnam, Laos, dan Brunei Darussalam. Pada
CONSAL tahun 2012 di Bali, saya ikut serta dalam kegiatan

Kearifan Lokal Nusantara


110
pameran Perpusnas dengan membawa koleksi buku-buku,
majalah, dan artikel surat kabar yang membahas tentang batik.
Selain itu, dipamerkan kain-kain batik dari beberapa daerah di
Indonesia. Dari pameran tersebut, tampak antusiasme peserta
kongres dari negara lain terhadap koleksi batik Indonesia.
Koleksi buku tentang batik yang dimiliki oleh Perpusnas
cukup banyak. Jika saya perhatikan, masing-masing buku
yang membahas tentang batik ini mempunyai karakter yang
beragam, walaupun kadang mengambil lokus yang sama, tetapi
isi bahasan tetap saling memperkaya antara satu dengan yang
lainnya. Beberapa buku ditulis dalam upaya melestarikan
budaya batik, seperti yang dituangkan pada bagian belakang
buku.
Untuk memotivasi generasi muda serta melestarikan budaya
batik, Perpusnas bersama Sekolah Darurat Kartini asuhan ibu
guru kembar, Rossy dan Rian, juga pernah menggelar workshop
membatik di ruang Budaya Nusantara pada tahun 2019 yang
lalu. Rossy, sapaan akrab Sri Rossiyati mengatakan bahwa
pelatihan membatik yang diikuti puluhan peserta dari berbagai
wilayah dan profesi bertujuan untuk melestarikan warisan
budaya Indonesia. Selain itu, bertujuan untuk mendorong
generasi muda agar mengetahui cara membuat batik, mulai dari
menggambar, mencanting, hingga proses pewarnaan. Kegiatan
workshop membatik ini juga merupakan bagian dari peran
Perpusnas berbasis inklusi sosial. Dengan belajar membatik,
masyarakat umum diharapkan memiliki kemampuan membatik
sehingga dapat melestarikan keberadaan batik.
Demikianlah, batik Indonesia yang tak lekang dimakan
masa. Dunia telah mengakui batik sebagai produk unggulan asli

Kearifan Lokal Nusantara


111
Indonesia. Hal ini hendaknya memupuk semangat kita dalam
mengembangkan dan melestarikan batik. Kreativitas dan ide
inovatif sangat dibutuhkan untuk memberikan pencerahan
dalam dunia batik Indonesia. Inovasi motif-motif batik akan
memberikan suasana baru dalam dunia batik Indonesia.
Aplikasi batik dalam desain busana modern juga menjadi hal
yang menarik untuk dikenalkan kepada para kawula muda. Oleh
karena itu, para desainer diharapkan mampu mengolah batik
menjadi desain busana yang menawan. Intinya, sebagai bangsa
Indonesia, jangan pernah berpaling dari batik, wajah Indonesia
dalam lekuk-lekuk filosofi seni leluhur yang tergambar dalam
sehelai kain.

Daftar Pustaka
Herawati, Nanik. 2010. Pesona batik. Klaten: Pariwara
Jusmail. 2011. Melestarikan Budaya Batik Nusantara. Depok:
Arya Duta
Undang-Undang No.43 tahun 2007 tentang Perpustakaan
Wikarsih, Wiwin. 2010. Cantik Menawan dengan Batik. Klaten:
Saka Mitra Kompetisi

Kearifan Lokal Nusantara


112
Grebeg Pancasila:
Wahana Nguri-nguri Budaya
Deni Susanti

Embrio lahirnya Grebeg Pancasila berawal dari


kegelisahan para budayawan di Blitar atas ketiadaan
penghargaan kepada Bung Karno, sosok yang
melahirkan Pancasila, pondasi bangsa Indonesia.

113
Kota Blitar yang dikenal sebagai Kota Proklamator adalah
tempat disemayamkan Bung Karno, ideolog dan pemikir besar
yang dikagumi dunia. Namun, tahukah Anda bahwa kota yang
berada di kaki Gunung Kelud ini memiliki wisata budaya yang
tidak kalah terkenal? Wisata budaya tersebut adalah Grebeg
Pancasila.
Grebeg Pancasila rutin dilaksanakan pada tanggal 1
Juni untuk memperingati hari lahirnya Pancasila. Kegiatan
ini merupakan upaya pemerintah untuk mengajak bangsa
Indonesia, khususnya masyarakat Kota Blitar, untuk mengenang
dan menghayati nilai-nilai luhur Pancasila. Dengan mengamalkan
Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, diharapkan kedamaian
dapat terwujud. Artinya, tidak akan ada lagi pengotak-kotakkan
manusia berdasarkan suku, agama, profesi, status sosial, atau
ekonomi. Dengan begitu, bangsa Indonesia tidak akan mudah
hanyut dalam berbagai gelombang kehidupan.  
Kegiatan Grebeg Pancasila diisi dengan kenduri
Pancasila yang disertai dengan doa-doa. Harapannya, Pancasila
tetap langgeng sebagai dasar negara Republik Indonesia serta
meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan bangsa. Karena
Grebeg Pancasila rutin dilaksanakan setiap tahun, kegiatan
ini diharapkan dapat menarik minat wisatawan. Selain itu,
kegiatan ini diharapkan mampu menyatukan masyarakat Blitar,
mengingat pelaksanaannya yang melibatkan berbagai lapisan
masyarakat.
Embrio lahirnya Grebeg Pancasila berawal dari kegelisahan
para budayawan di Blitar atas ketiadaan penghargaan kepada
Bung Karno, sosok yang melahirkan Pancasila, pondasi bangsa
Indonesia. Adalah Bagus Putu Parto, seorang seniman asal kota

Kearifan Lokal Nusantara


114
Blitar, yang menggagas pengemasan peringatan hari pancasila
dalam bentuk upacara budaya. Melalui upacara budaya ini, para
seniman dari berbagai latar belakang mengemas dan menggarap
secara kreatif momen peringatan Hari Lahirnya Pancasila yang
kemudian dikenal dengan Grebeg Pancasila.
Pembakuan Grebeg Pancasila dilakukan melalui seminar
yang diikuti oleh 12 orang pakar dan pelaku budaya, kepala
kelurahan se-kota Blitar, guru kesenian SMA se-kota Blitar, 5 LSM,
pengurus DKKB, serta 3 tokoh masyarakat. Seminar tersebut
dilaksanakan pada Kamis, 2 April 2004 di Balai Kusuma Wicitra.
Adapun perumusan hasil dilaksanakan pada hari Selasa, 4 dan
11 Mei 2004 di Aula Dinas Inkompar Kota Blitar. Dalam seminar
tersebut, Pengageng Pareniah Keraton Surakarta Hadiningrat,
Drs. GPH Dipa Kusuma, yang diwakili KRHAT Winarnodipuro
dan KRT Bowodipuro serta budayawan Djati Kusumo bertindak
sebagai narasumber.
Konsep awalnya, Grebeg Pancasila dibagi menjadi tiga ritus
budaya, yakni upacara budaya, kirab gunungan lima, dan kenduri
Pancasila (slametan dan doa bersama lintas agama) di Makam
Bung Karno. Saat pertama kali dilaksanakan, ada sejumlah
sosok yang telah menyukseskan Grebeg Pancasila, antara lain
sebagai berikut. Susanto W.S. dan Bagus Putu Parto sebagai
penata laku. Ki Wandono sebagai penggarap iringan gamelan.
Ki Sugito sebagai penembang mocopat Hari Lahirnya Pancasila.
Suwardjo sebagai pembaca teks Pancasila. Jontor Siswanto
dan para model dari Delavega Modelling Club sebagai pengibar
bendera. Ki Sukowiyono sebagai penata tari. Susanto W.S.
sebagai pembaca naskah gara-gara. Lik Hir dan Jayeng Sutrisno
sebagai pembuat gunungan limo yang menggambarkan lima

Kearifan Lokal Nusantara


115
sila pancasila. Ki Mujiono sebagai komandan upacara. Pratignyo
sebagai pembina upacara.
Rangkaian Grebeg Pancasila dimulai pada tanggal 31 Mei
pukul 19.00 melalui pelaksanaan bedholan grebeg. Acara ini
berupa ritus arak-arakan lambang negara dan perlengkapan
upacara. Dimulai dari rumah dinas Wali Kota Blitar di Jalan
Sudanco Supriyadi No. 18 menuju kantor Wali Kota Blitar di
Jalan Merdeka No. 1. Arak-arakan tersebut dilakukan oleh
pasukan Bregada Siji, Bregada Enem, dan Bregada Patang Puluh
Lima. Nama bregada tersebut diambil dari penggalan hari lahir
pancasila, yaitu tanggal 1, bulan 6, dan tahun 45.
Dalam arak-arakan tersebut, benda-benda yang
diikutsertakan, antara lain patung Garuda, foto Soekarno,
bendera merah putih, serta teks pancasila dan teks pidato
Bung Karno tanggal 1 Juni 1945 di depan Sidang BPUPKI. Tiga
Pusaka Nagari, yaitu bendera merah putih, teks Pancasila,
dan teks pidato Bung Karno dimasukkan ke dalam kotak kecil.
Adapun patung burung garuda ditempelkan di papan hitam,
sedangkan foto Bung Karno dibawa seperti biasa. Para prajurit
mulai berjalan membelah jalanan kota yang dipadati penonton.
Alunan gamelan mengiringi langkah mereka. Setelah sampai,
Lima Pusaka Nagari diletakkan di meja kayu yang telah diisi
sesaji berupa buceng kerep, pisang setandan, kelapa, jajanan
pasar, dan sejumlah lilin.
Setelah serah terima pusaka, dilanjutkan prosesi malam
Tirakatan untuk keselamatan negara. Sekelompok orang
berpakaian adat kejawen dan surjan, yakni memakai beskap,
kain, dan belangkon, tampak duduk melingkar. Saat itu

Kearifan Lokal Nusantara


116
dibacakan tembang-tembang yang bernuansa doa kelanggengan
bumi nusantara.
Malam tirakatan dalam acara kenduri tidak hanya ditujukan
untuk yang beragama Islam, tetapi semua penganut agama
berkumpul untuk mendoakan Bung Karno dan keselamatan
bangsa. Setelah acara tirakatan, lima tumpeng raksasa dikirab
dari Alun-alun kota Blitar menuju Makam Bung Karno. Lima
tumpeng ini menggambarkan kelima sila dalam pancasila. Di
belakang arak-arakan tumpeng, ada barisan lampion yang ikut
menyemarakkan acara malam itu. Lampion-lampion tersebut
beraneka rupa, mulai dari lampion bergambar burung garuda,
lambang Pancasila, wajah Bung Karno, hingga lampion replika
ikan koi.
Acara puncak peringatan Grebeg Pancasila dimulai pada
tanggal 1 Juni, yakni pelaksanaan upacara budaya di alun-alun.
Sebelum upacara dimulai, alunan gamelan mengiringi lagu
“Gending Bumi Pertiwi” karya Ki Narto Sabdo, lagu kesukaan
Bung Karno semasa hidupnya.
Upacara budaya adalah upacara peringatan kelahiran
Pancasila, di dalamnya terdapat tari-tarian, gamelan,
tetembangan, dan pidato para pemimpin. Upacara ini menjadi
produk budaya Blitar karena kekhasannya. Dalam upacara
ini, pejabat dan pegawai negeri memakai jas Soekarno look
berwarna krem, sedangkan peserta lainnya menggunakan
pakaian tradisional Jawa.
Upacara budaya ini diawali dengan Ladrang Grebeg
Pancasila, kemudian Ketawang Ibu Pertiwi, disusul masuknya
gunungan lima yang dibawa oleh bregada siji, bregada enem,

Kearifan Lokal Nusantara


117
dan bregada patang puluh lima yang diiringi dengan iringan
gendhing lancaran bala Pancasila. Selain gunungan lima,
ada hampir seratus gunungan lain yang berjajar mengikuti
upacara budaya. Selanjutnya, Sabda Kawedhar, amanat Grebeg
Pancasila yang dibacakan oleh pembina upacara, yaitu Wali Kota
Blitar. Berakhirnya pembacaan pidato ini menandai selesainya
upacara budaya.
Acara selanjutnya adalah kirab gunungan lima menuju
makam Bung Karno. Tumpeng diarak beramai-ramai oleh
hampir seluruh masyarakat Blitar. Gunungan tersebut berisi
ontong (jantung pisang), kacang panjang, bawang merah,
bawang putih, jeruk, cabai merah, dan wortel.
Ontong atau jantung pisang yang melambangan ketulusan.
Kacang panjang, yang pasti akan mengikuti lanjarannya
(patokannya), melambangkan undang-undang. Bawang putih
digambarkan sebagai ibu, sedangkan bawang merah sebagai
ayah. Wortel dimaknai sebagai kebudayaan luar negeri yang
dapat diterima oleh budaya Indonesia. Sementara itu, tumpeng
mengingatkan kita akan kembali ke sang pencipta. Gunungan
lima memiliki arti simbol moh limo. Artinya, kita tidak boleh
melakukan yang limo, yaitu madon, mabuk, main, madat, maling
(main perempuan, bermabuk-mabukan, berjudi, menggunakan
narkoba, dan mencuri).
Saat rombongan kirab memasuki area makam Bung Karno,
mereka disambut dengan gamelan yang bertalu-talu. Gunungan
lima melewati Gerbang Makam, lalu merapat di depan Pusara
Bung Karno. Bregada siji, bregada enem, dan bregada patang
puluh lima dengan khidmat berbaris di tepi pusara. Secara
simbolik, gunungan lima diserahkan kepada Bupati Blitar.

Kearifan Lokal Nusantara


118
Mereka lalu berdoa untuk keselamatan bangsa dan mendoakan
Bung Karno agar mendapat tempat yang terbaik di sisi Allah Swt.
Setelah selesai, gunungan lima kembali dibawa keluar dari
gerbang makam. Masyarakat langsung menyerbu dan berebut isi
Gunungan Lima. Ada yang melompat, memanjat, dan berseru-
seru ramai untuk mendapatkan buah dan sayur-sayuran. Ngalap
berkah itulah yang dipahami masyarakat jika mendapatkan
sayuran dari gunungan lima. Ngalap berkah ialah ritus di mana
lima gunungan itu dianggap membawa bala keselamatan bagi
yang mengambilnya.
Acara penutupannya adalah kenduri Pancasila. Puluhan
tumpeng berjajar rapi di bawah tenda sepanjang pinggir kolam
perenungan area Perpustakaan Proklamator Bung Karno.
Kenduri diawali dengan ujub, prakata berbahasa Jawa Kuno,
yang disampaikan juru kunci makam Bung Karno. Beliau lalu
memimpin doa. Setelah itu, dilanjutkan dengan makan tumpeng
bersama. Tumpeng adalah nasi kuning beserta lauknya yang
disajikan dalam bentuk kerucut. Pejabat dan masyarakat
berbaur menikmati tumpeng sebagai wujud rasa syukur kepada
Tuhan Yang Maha Esa.
Sebagai informasi, Kompleks Makam Bung Karno masih
satu area dengan Perpustakaan Proklamator Bung Karno. Di
perpustakaan inilah tersimpan Koleksi Khusus Bung Karno, terdiri
atas koleksi tentang Pancasila sebanyak 477 judul, tepatnya 791
eksemplar. Selain itu, perpustakaan ini juga menyimpan pidato
Bung Karno mengenai lahirnya Pancasila 1 Juni 1945.
Keberadaan Perpustakaan Proklamator Bung Karno
melengkapi area wisata Makam Bung Karno. Setelah mengikuti

Kearifan Lokal Nusantara


119
rangkaian Grebeg pancasila, masyarakat bisa mengunjungi
perpustakaan ini untuk mempelajari makna Pancasila bagi
kehidupan.
Jelaslah ada banyak nilai luhur Grebek Pancasila yang bisa
kita ambil, antara lain nilai gotong royong, nasionalisme, dan
religius. Nilai gotong-royong tercermin dalam kebersamaan
masyarakat saat membuat tumpeng, mengikuti upacara
budaya, dan kirab gunungan. Nilai nasionalisme tercermin
melalui pembuatan lampion dengan tema Pancasila. Sementara
itu, nilai religius tercermin dalam doa bersama untuk memohon
keselamatan dan kerukunan bangsa.
Pada akhirnya, Grebeg Pancasila diharapkan menjadi wisata
budaya unggulan dan dapat menjadi pengukuhan Pancasila
sekaligus momentum yang bermakna bagi Indonesia.

Kearifan Lokal Nusantara


120
Melacak Jejak Naskah yang
Terpencar di Nusantara
Indah Purwani

Sekitar 700 dari 80.000 koleksi naskah naskah kuno


Indonesia tersimpan di Staatsbibliothek zu Berlin.

121
Menggali jejak sukma negara bisa dilakukan dengan berburu
naskah nusantara. Sayangnya, hal tersebut tidak mudah,
mengingat keberadaan naskah yang terpencar dari Sabang
sampai Merauke. Hal yang lebih disayangkan, naskah kuno
Indonesia lebih banyak tersimpan di Staatsbibliothek zu Berlin,
yakni sekitar 700 dari 80.000 koleksi naskah (Bisnis.com.1987).
Tahukah Anda bahwa Staatsbibliothek zu Berlin juga menyimpan
bagian dari kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular yang di
dalamnya ada teks asli “Bhineka Tunggal Ika”?
Banyak keunikan dan cerita ketika melacak keberadaan
naskah nusantara di wilayah Indonesia. Contohnya, ketika
kami berada di Nusa Tenggara Barat, Dr. Djalaludin, seorang
filolog lombok, menginformasikan bahwa naskah-naskah kuno
di Lombok baru diketahui setelah Badan Arkeologi Nasional
melakukan penelitian pada tahun 1986. Dari hasil penelitian
tersebut, ditemukan sekitar 186 eksemplar naskah dengan
kondisi cukup memprihatinkan.
Yang cukup unik, proses pengambilan naskah kuno di
Lombok harus mengikuti persyaratan tertentu yang ditetapkan
pemilik naskah. Hal ini berkaitan dengan adat-istiadat
masyarakat setempat yang masih mempercayai unsur keramat
pada naskah. Akibatnya, sangat sulit bagi orang luar untuk
melihat atau menyentuh secara langsung naskah tersebut.
Agar naskah kuno bisa dikeluarkan dari tempat
penyimpanan, orang yang berkepentingan melihat naskah
tersebut harus menyediakan semacam sesaji, seperti gula,
kopi, bahkan ada yang meminta seekor sapi atau kambing. Hal
yang disayangkan, banyak naskah yang hilang dengan alasan
dipinjam pihak keluarga, tetapi tidak dikembalikan lagi. Secara

Kearifan Lokal Nusantara


122
umum, naskah-naskah di Lombok berkisar masalah ajaran nilai
luhur.

Gambar 1. Naskah Lombok (Sumber: Dokumentasi pribadi)

Cerita di Balik Naskah “Museum Prabu Geusan


Ulun” Sumedang
Pernahkah Anda mengunjungi Museum Geusan Ulun? Museum
yang terletak di tengah-tengah Kota Sumedang ini dikelola oleh
Yayasan Pangeran Sumedang sejak tahun 1955. Museum Geusan
Ulun mengoleksi benda-benda bersejarah dan pusaka dari
leluhur Sumedang. Selain itu, museum ini juga memiliki cukup
banyak koleksi naskah kuno dan buku langka.
Secara umum, naskah/manuskrip yang ada di museum ini
berisi tentang adat dan kebudayaan di Jawa Barat yang saat
ini sudah mulai luntur. Naskah kuno yang dimiliki Museum
Geusan Ulun berjumlah 38 eksemplar. Koleksi tersebut
merupakan peninggalan para leluhur Sumedang, seperti R.
Ating Natadikusumah, R.A Martanegara, R. Radjaningrat, dan
R. Djamusnawilaga. Naskah-naskah tersebut umumnya ditulis
dengan bahasa Jawa kuno dengan aksara Arab pegon. Saat
ini, beberapa koleksi tersebut sudah didigitalkan, di antaranya
sebagai berikut:

Kearifan Lokal Nusantara


123
1. Babad Sumedang
2. Kitab Waruga Jagat
3. Naskah Prabu Siliwangi
4. Wawacan Suluh Dua Pandita
5. Manakib Syech Abdul Kodir Jaelani
6. Wawacan Angling Darma
7. Kitab Nasihat
8. Wawacan Panganten Tujuh
9. Wawacan Pandita Sawang
10. Riwayat Nabu Yusuf as. Putra Nabi Yakub as.
11. Al-Qur’an Tulisan Tangan
12. Wawacan Syech Abul Qodir Jaelani
13. Nasihat Dua
14. Wawacan Nur Buat
15. Wawacan Amir Hamzah
16. Riwayat Tentang Abdullah
17. Rukun Syahadat
18. Tafsir Surat Tabarok
19. Hikayat Syech Abdul Qodir Jaelani
20. Tauhid Aqoid
21. Carios Babad Awak Salira/Pribadi Rasa Pangarsa Sorangan
22. Kitab Paririmbon
23. Mazhab Imam Syafi’i
Naskah-naskah tersebut umumnya ditulis dalam aksara
Arab dengan bahasa Sunda atau Jawa, berisi tentang ajaran

Kearifan Lokal Nusantara


124
Islam, serta ditulis dalam media kertas daluwang, kertas Eropa,
atau kertas folio bergaris.
Dari berbagai koleksi yang ada, salah satu naskah yang
cukup menarik adalah “Kitab Waruga Jagat”. Dari kolofonnya,
naskah ini selesai disalin oleh Raden Panji Suryawijaya pada
tahun 1866. Naskah ini ditulis pada kertas dari kulit pohon “sae”,
sejenis daluwang. Ditulis dengan aksara Arab berbahasa Jawa-
Sunda. Isinya menjelaskan tentang silsilah orang yang pernah
berkuasa di tanah Sunda, dihubungkan dengan para ulama yang
berpengaruh dalam penyebaran Islam di bagian barat Jawa.

Gambar 2. Koleksi naskah di Museum Prabu Geusan Ulun Sumedang


(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Menjajaki Naskah Daerah Kuningan Jawa Barat


Perjalanan Tim Verifikasi sampai di daerah Cigugur-Kuningan
Jawa Barat. Kami bertemu dengan Pangeran Djatikusumah,
cucu sekaligus penerus ajaran Kiai Madrais. Berdasarkan
informasi darinya, sewaktu kecil, Kiai Madrais bernama Taswan.
Setelah dewasa, namanya berganti menjadi Sadewa Alibassa
Wijayakusuma Ningrat atau Pangeran Surya Nata. Namun,
pada perkembangan berikutnya, ia justru lebih dikenal dengan
sebutan Pangeran Madrais atau Kiai Madrais.

Kearifan Lokal Nusantara


125
Saat berusia 10 tahun, Kiai Madrais bekerja pada Kuwu
Sagarahiang sebagai penggembala kerbau. Baru sekitar tahun
1840, nama Kiai Madrais mulai dikenal di Cigugur. Pada masa itu,
Ki Madrais sering berkelana keluar masuk Cigugur hingga akhirnya
menetap di sana. Di desa inilah Kiai Madrais mendirikan pesantren.
Kepada santri-santrinya, dia selalu mengingatkan untuk lebih
menghargai cara dan ciri kebangsaan sendiri (Djawa Sunda).
Kiai Madrais dikenal oleh masyarakat awam dan kalangan
pesantren sebagai sosok yang mengajarkan tuntunan hidup (Jati
Sunda). Ajaran tersebut oleh Pemerintah Hindia Belanda hingga
rezim Orde Baru disebut dengan Ajaran Djawa Sunda (ADS),
kependekan dari “andjawat lan andjawab roh susun-susun kang
den tunda” atau memilih dan menyaring roh kehidupan alam
untuk menyempurnakan menjadi roh insan.
Dituturkan Djatikusumah, sebagai pemimpin umat, Kiai
Madrais dikenal memiliki cara pandang yang sangat luas dalam
wawasan kebangsaan dan kemanusiaan. Hal tersebut disalurkan
melalui ajaran yang menyangkut “cara dan ciri bangsa” yang
meliputi rupa, aksara, adat, dan budaya, serta “cara dan ciri
manusia” yang meliputi welas asih (cinta kasih), tata krama
(aturan berperilaku), undak-usuk (etika bersikap), budi daya-
daya budi (kreativitas dan sopan santun berbahasa), wiwaha
yuda na raga (sikap bijak dan penuh pertimbangan). Tuntunan
hidup Madraisme ini dianggap berbahaya oleh kolonial Belanda
karena dinilai mampu membakar semangat patriotisme dan
nasionalisme.
Pemilik koleksi naskah yang kami temui merupakan
generasi ke-4 dari Pangeran Madrais, yaitu Emmy Ratna
Gumilang Damiasih. Naskah-naskah koleksinya berisi tentang

Kearifan Lokal Nusantara


126
berbagai perjuangan Pangeran Madrais. Mulai dari tradisi tanam
bawang ketika berada dalam penjara di Papua hingga peristiwa
Tambun Bekasi untuk mempertahankan tanah air pada masa
pendudukan Belanda tahun 1869.
Naskah milik keluarga ini sempat berpindah-pindah dari
satu tempat ke tempat lain. Salah satunya ketika peristiwa
pemberontakan DI/TII. Karena saat itu naskah-naskah warisan
Pangeran Madrais berusaha dibakar oleh pemberontak DI/
TII, naskah pun dititipkan kepada salah satu keluarga. Setelah
situasi kondusif, naskah-naskah tersebut kembali disimpan di
Paseban Tri Panca Tunggal. Kemudian, pada tahun 2006-2011
naskah-naskah tersebut dipindahkan ke Jakarta karena Paseban
Tri Panca Tunggal mengalami renovasi.
Naskah-naskah tersebut umumnya berbahasa Sunda,
Melayu, dan Jawa. Adapun aksara yang digunakan adalah
gabungan aksara Jawa Barat, Lampung, dan Karo. Sebagian
besar naskahnya berisi tentang perjuangan Pangeran Madrais
yang penulisannya dilakukan selama dalam penjara.
Naskah-naskah tersebut sudah banyak ditransliterasi ke
dalam bentuk buku dan dialihmediakan dalam format digital
oleh sejumlah lembaga. Pada tahun 2017, British Library
mendigitalkan 30.000 halaman naskah koleksi Pangeran Madrais
yang dikelola Yayasan Paseban Tri Panca Tunggal. British Library
mendigitalkan naskah-naskah tersebut tidak lama setelah tim
Perpusnas RI memverifikasi naskah tersebut pada tahun yang
sama. Kemudian, pada tahun 2018 Dreamsea juga mendigitalkan
1500 halaman naskah peninggalan Pangeran Madrais. Paseban
Tri Panca Tunggal selaku pengelola mendapatkan salinan data
naskah yang telah didigitalisasi.

Kearifan Lokal Nusantara


127
Naskah Pangeran Madrais ditulis pada berbagai media,
antara lain kertas folio bergaris, kertas Eropa, dan kertas
daluwang. Menurut penuturan pewaris sekaligus pengelola,
ketika Pangeran Madrais berada dipenjara di Merauke, ia
menulis menggunakan alang-alang rumput karena kehabisan
kertas. Sayangnya, meskipun pihak keluarga sudah mencari
naskah yang dimaksud hingga ke Papua, naskah tersebut belum
ditemukan sampai sekarang.
Semua koleksi saat ini tersimpan dalam ruangan tersendiri
di dalam rumah yang berada diarea Cigugur-Kuningan (Jawa
Barat)

Gambar 3. Koleksi Naskah Pangeran Madrais Cigugur-Kuningan (Sumber:


Dokumentasi Pribadi)

Berlabuh di Pulau Maluku


Di Desa Kaiatetu, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah,
tepatnya di kediaman Husein Hatuwe, tersimpan 50 eksemplar
kuno. Dari penuturan Hatuwe, sebenarnya masih ada satu peti
kayu naskah kuno yang ia miliki, tetapi tidak dapat diperlihatkan
karena merupakan rahasia keluarga. Naskah-naskah kuno
tersebut ditulis di atas kertas Eropa menggunakan aksara Arab
dan Jawi. Adapun bahasa yang digunakan adalah Arab dan

Kearifan Lokal Nusantara


128
Melayu. Secara umum, naskah-naskah tersebut mencakup
naskah Al-Quran, hadis, doa, hikayat, khotbah, dan primbon.

Gambar 4. Koleksi Naskah Husein Hatuwe (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Di dalam Masjid Wapauwe tersimpan dua mushaf Al-


Quran yang masih lengkap, diperkirakan menjadi mushaf
tertua di Indonesia yang ditulis tangan oleh Imam Muhammad
Arikulapessy dan selesai pada tahun 1550.
Pada umumnya, naskah berupa lembaran kertas dalam
bentuk gulungan, tetapi ada juga yang berbentuk buku terjilid.
Naskah-naskah kuno koleksi Hatuwe ini dapat diakses oleh
masyarakat umum yang telah mendapat izin dari pihak pemilik.
Koleksi Hatuwe bahkan sudah pernah dipamerkan dalam ajang
pameran naskah, di antaranya Festival Istiqlal pada tahun 1991.

Gambar 5. Naskah dipamerkan di Festival Istiqlal (1991)


(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Kearifan Lokal Nusantara


129
Sayangnya, perawatan naskah-naskah kuno tersebut masih
sangat sederhana, hanya menggunakan cengkeh yang ditebar di
antara naskah untuk mencegah serangga. Adapun penggantian
cengkeh hanya dilakukan setiap tahun sesuai dengan waktu
panen.

Naskah Raja Negeri Siri-Sori Islam


Rumah besar yang terletak di Jalan Said Perintah No.1 Negeri
Siri Sori Islam di Pulau Saparua dahulu kala merupakan istana
Raja, dimana Raja adalah gelar adat dari tokoh di desa tersebut.
Naskah-naskah yang masih tersimpan di dalam rumah besar
tersebut merupakan peninggalan almarhum ayahanda dari
pewaris naskah yaitu Bapak Eddy Pattisahusiwa. Naskah-naskah
yang ada tersimpan disana diperkirakan berasal dari abad ke-
17 s.d 20 dan sebagian besar naskah itu ditulis dalam bahasa
Belanda.
Naskah-naskah kuno di kediaman beliau berjumlah sekitar
33 naskah (naskah bertulisan tangan). Salah satu naskah berupa
buku induk atau register tanah wilayah Negeri Siri Sori Islam.
Selain 33 eksemplar naskah kuno tersebut ada 4 buah arsip
kuno ketikan mesin ketik, berhuruf latin, berbahasa Belanda.
Masyarakat negeri Siri Sori Islam boleh mengakses buku register
tanah karena saat ini hanya Raja Siri Sori Islam yang memilikinya.
Naskah-naskah kuno tersebut, antara lain sebagai berikut.
1. Buku induk register tanah Negeri Siri Sori Islam, berisi nomor
register dan batas-batas tanah.
2. Surat jual beli tanah di Makkah yang dibeli oleh leluhur/
buyut Eddy Pattisahusiwa tahun 1212 H (1600 M). Naskah

Kearifan Lokal Nusantara


130
ini beraksara dan berbahasa Arab. Naskah aslinya tersimpan
di rumah Eddy Pattisahusiwa di Jakarta. Saat ini tanah
tersebut sudah terkena perluasan Masjidil Haram.
3. SK Pengangkatan Raja Siri Sori Islam ke-III oleh Kolonial
Belanda pada tahun 1830 dan tahun 1850 dengan stempel
asli Belanda.
4. Peta tanah pada tahun 1936.
5. Peta batas-batas tanah Raja Siri Sori Islam di Ambon,
Maluku.

Gambar 6. Sertifikat Tanah dan Register tanah wilayah Negeri Siri Sori Islam
(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Naskah-naskah tersebut mengalami kerusakan cukup


mengkhawatirkan. Sebagian besar naskah kuno rusak dan
hanya satu dua yang sudah direstorasi dengan bantuan dari
Perpustakaan Nasional pada tahun 2012.
Umumnya, naskah-naskah kuno yang ditulis di atas kertas
Eropa tersebut dijadikan satu dan disimpan di kotak pelindung
yang merupakan bantuan dari Perpusnas RI. Kemudian, kotak
tersebut disimpan di lemari-lemari kayu yang ada di ruang
tengah tanpa perawatan sama sekali. Selain itu, pemilik naskah
juga tidak dapat membaca bagian naskah yang berbahasa
Belanda sehingga isinya belum diketahui.

Kearifan Lokal Nusantara


131
Gambar 7. Lemari tempat menyimpan naskah dan portepel sarana
penyimpan naskah (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Pada dasarnya, tidak sembarangan orang dapat melihat atau


memanfaatkan naskah-naskah. Sebuah keberuntungan karena
Tim Verifikasi bertemu langsung dengan Eddy Pattisahusiwa saat
berlayar sehingga kami dipersilakan melihat naskah miliknya.
Menurut pengakuan Pattisahusiwa, naskah-naskah miliknya
belum pernah ditransliterasi Meski begitu, Pattisahusiwa sangat
mengharapkan proses transliterasi mengingat sebagian besar
naskahnya berbahasa Belanda.
Dari perjalanan kami melacak jejak naskah kuno di sebagian
wilayah nusantara, dapat disimpulkan bahwa koleksi naskah
yang dihasilkan oleh tokoh-tokoh di masa lampau sangatlah
beragam. Ribuan naskah tersebut tersebar di berbagai wilayah
di Nusantara, sebagian hilang tidak jelas rimbanya, sebagian
tercecer bagian-bagiannya, dan sebagian lagi berada di luar
negeri. Menyikapi hal tersebut, kiranya diperlukan kebijakan dan
ketegasan dari pemerintah agar naskah-naskah tersebut bisa
dilacak keberadaannya, diverifikasi, dan dijaga keberadannya.
Hal ini merupakan upaya agar tidak terjadi lagi aksi jual beli
naskah ke pihak asing. Ingat, naskah kuno adalah kekayaan
bangsa.

Kearifan Lokal Nusantara


132
Referensi:
Antara.2017. “700 Naskah Kuno Asal Indonesia Tersimpan di
Staatsbibliothek zu Berlin”. Bisnis .com
Gilang, Dwiangga . 2019 “La Galigo naskah Kuno Bugis yang
Melanglang Buana Hingga International “ https;//
energibangsa.id/diunduh pada 29 Juli 2019
Indah, Purwani & Resmini. 2018 Pemetaan Koleksi Naskah
Mataram-Lombok (Laporan)
Indah, Purwani, dkk. 2018 Hasil kegiatan Pendaftaran,Verifikasi
dan Pemberian Penghargaan Naskah Kuno di Provinsi
Daerah Jawa Provinsi Maluku (Laporan)
Indah, Purwani, dkk. 2019.Hasil kegiatan Pendaftaran,Verifikasi
dan Pemberian Penghargaan Naskah Kuno di Provinsi
Daerah Jawa Barat. (Laporan)
Republika.co.id. 2010 “Naskah Kuno Islam Nusantara Ternyata
Begitu Berserakan” https;//serbasejarah.wordpress.com/
diunduh pada 29 Juli 2019

Kearifan Lokal Nusantara


133
Perpustakaan Bung Karno:
Perpustakaan yang Ikut
Melestarikan Kearifan Lokal di
Kota Patria
Hanafi

“Bung Karno untuk Indonesia.”


Segala bentuk nasionalisme dan kearifan lokal dapat
dilestarikan dengan cara memperingati hari penting
sejarah Indonesia.

134
Kota Blitar memiliki beberapa sebutan: Kota Patria, Proklamator,
Peta, dan Koi. Disebut Kota Peta (Pembela Tanah Air) karena
kota Blitar terkenal dengan salah satu pahlawannya, Shodanco
Supriyadi yang memberontak melawan penjajah Jepang.
Kota ini juga disebut sebagai Kota Merah Putih. Hal tersebut
dikarenakan semua gedung instansi yang dicat dengan warna
merah putih.
Kota Blitar terletak di antara dua kota yang cukup besar,
yakni Kediri dan Malang. Kota ini terkenal dengan suasana
yang tenang dan damai. Selain itu, tempat ini juga cocok untuk
berlibur karena terdapat banyak peninggalan bersejarah. Sebut
saja Candi Penataran yang merupakan candi termegah di Jawa
Timur. Ada juga Istana Gebang yang merupakan kediaman
keluarga Bung Karno. Di sana banyak terdapat peninggalan-
peninggalan keluarga Bung Karno. Wisata alam di kota tersebut
pun tidak kalah indah. Di pesisir selatan, terdapat banyak wisata
pantai, seperti Tambak, Serang, dan Peh Pulo. Untuk wisata
pegunungan, dapat ditemukan Kebun Teh Sirah Kencong dan
Wisata Hutan Pinus Loji Gunung Kelud. Tak kalah ramainya, di
Kota Blitar terdapat wisata edukasi, seperti Wisata Kampung
Coklat, Kebun Belimbing Karangsari, Kebun Kopi Karanganyar,
Fish Garden, Blitar Park, dan sebagainya. Dalam wisata kuliner,
Blitar juga tak kalah melimpah dibandingkan kota lain, baik
yang tradisional maupun yang kekinian. Banyak wisatawan yang
tentu saja memburu kuliner tradisionalnya.
Wisatawan maupun warga lokal sudah tidak asing lagi
dengan sarapan pagi, Pecel Mbok Bari. Pecel ini disajikan dalam
sepiring nasi dan sayuran yang dibaurkan dengan sambal
kacang. Ada juga masakan ikan uceng, es drop, dan es pleret.

Kearifan Lokal Nusantara


135
Sebagai oleh-olehnya, terdapat wajik kletik, opak gambir, dan
kue geti yang dapat dibawa pulang.
Terdapat beberapa rombongan wisatawan yang ketika baru
tiba, lalu bergegas mandi untuk pergi ke makam Bung Karno.
Betul, alasan lain yang menjadikan kota ini terkenal, yaitu
karena adanya persemayaman salah satu proklamator sekaligus
presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno. Bahkan, sebelum
makam dibuka, banyak peziarah yang sudah menunggu di
depan gerbang. Peziarah tersebut datang dari berbagai macam
agama, suku, dan bangsa.
Beberapa peziarah banyak berfoto di relief yang terletak di
sepanjang jalan antara perpustakaan dan makam Bung Karno.
Relief yang terbuat dari perunggu tersebut menggambarkan
biografi singkat Bung Karno. Selain relief, patung Bung Karno
yang sedang duduk sambil memegang buku pun merupakan
tempat favorit peziarah untuk berfoto.
Keberadaan makam sang Proklamator menjadi berkah bagi
penduduk di sekitar makam. Banyak yang menggantungkan
kehidupannya dari tempat tersebut. Ada yang menjadi tukang
becak, penyewa penginapan untuk para peziarah, penjual
souvenir, penjual bunga, penjual oleh-oleh, tukang parkir, dan
pedagang makanan. Wisata religi ke makam Sang Proklamator
ini biasanya merupakan satu rangkaian wisata Wali Songo.
Namun, tidak jarang pula yang memang mengkhususkan wisata
ke makam Bung Karno, Istana Gebang, dan Perpustakaan
Proklamator Bung Karno.
Perpustakaan Bung Karno yang terletak di Jalan Kalasan
no.1 Kota Blitar ini diresmikan pada 3 Juli 2004 oleh Presiden

Kearifan Lokal Nusantara


136
Megawati Soekarnoputri. Arsitektur perpustakaan ini bergaya
semi klasik modern. Keberadaan UPT Perpustakaan Proklamator
Bung Karno ini sangatlah strategis.
Untuk menuju ke perpustakaan, maupun makam Bung
Karno, wisatawan yang menggunakan pesawat dapat turun di
Malang atau Surabaya, kemudian dilanjutkan menggunakan
kereta api atau bus. Sesampainya di Blitar, perjalanan dapat
diteruskan menggunakan tranportasi online, bemo, atau
becak. Untuk pengunjung yang datang secara rombongan dan
menggunakan bus pariwisata atau mobil pribadi, pengunjung
dapat memarkirkan kendaraannya di PIPP (Pusat Informasi
Pariwisata dan Perdagangan), kemudian pengunjung dapat
menggunakan becak atau berjalan kaki untuk menuju ke makam
dan perpustakaan.
Demi melayani pemustaka dan pengunjung, perpustakaan
ini buka setiap hari. Bahkan, pada saat hari libur nasional,
layanan memorabilia tetap dibuka. Pada layanan memorabilia,
ditampilkan foto, lukisan, dan artefak Bung Karno. Begitu juga di
layanan koleksi Bung Karno yang banyak menampilkan koleksi
Bung Karno dan pahlawan lainnya.
Dari beberapa koleksi yang berada di layanan memorabilia,
terdapat satu lukisan yang membuat wisatawan penasaran dan
ingin membuktikan sebuah rumor. Pasalnya, rumor ini sudah
banyak diliput oleh media massa, baik elektronik maupun cetak.
Rumor lukisan itu bahkan pernah diliput oleh pelawak, Tukul
Arwana. Lukisan yang dimaksud merupakan lukisan Bung Karno,
karya I.B. Said yang dibuat pada tahun 2001. Lukisan tersebut
dirumorkan bisa berdetak di bagian jantungnya. Berdasarkan
pengalaman penulis saat memandu, memang banyak para

Kearifan Lokal Nusantara


137
pengunjung yang terlihat senang, kagum, hingga tidak percaya
atas apa yang disaksikannya. Menurut mereka, rumor tersebut
memang benar adanya dan memecahkan rasa penasarannya.
Namun, pustakawan nampaknya harus bisa menjelaskan bahwa
lukisan itu berdetak karena kecerdasan sang pelukis, baik
dalam teknik melukis maupun dalam bahan media lukis yang
digunakan.
Di layanan memorabilia juga terdapat koleksi berupa dua
benda pusaka yang setiap tahunnya dilakukan jamasan, yaitu
Gong Kiai Jimat dan Keris Sekar Jagat. Konon benda pusaka
tersebut milik Bung Karno. Jamasan ini bertujuan untuk
melestarikan budaya. Masih di dalam Perpustakaan Proklamator
Bung Karno, para wisatawan juga dapat meminta pustakawan
melakukan story telling dan melakukan pemutaran film.
Pada tahun 2019, jumlah pengunjung perpustakaan
mencapai 626.399 orang. Jumlah kunjungan terbanyak, terjadi
pada saat hari libur dan cuti bersama. Semua rombongan
akan dilayani, tetapi untuk menghindari waktu kunjungan yang
bertabrakan karena keterbatasan tempat dan pustakawan,
pengunjung rombongan atau komunitas dapat mengirimkan
surat terlebih dahulu perihal pemanduan, pemutaran film, dan
story telling.
Wisatawan atau peziarah tidak hanya terwarisi abunya,
tetapi juga apinya. Api di sini diartikan sebagai rasa semangat
nasionalisme dengan cara menghargai jasa para pahlawan
dan mengisi kemerdekaan. Sebagai salah satu perpustakaan
yang mengobarkan semangat nasionalisme, UPT Perpustakaan
Proklamator Bung Karno di sepanjang tahunnya mempersiapkan
agenda.

Kearifan Lokal Nusantara


138
Tanggal 1 April merupakan hari kelahiran Kota Blitar. Pada
hari istimewa tersebut, para ASN melakukan upacara di alun-
alun. Siang harinya, dilakukan pawai dengan pesertanya yang
terdiri atas berbagai macam dinas dan instansi vertikal, termasuk
UPT Perpustakaan Proklamator Bung Karno. Para peserta pawai
sudah jauh-jauh hari mempersiapkan penampilannya sebab
nantinya, pertunjukkan tersebut dilakukan di depan panggung
walikota. Ada yang menampilkan reog, tarian-tarian tradisional,
bahkan peragaan kostum wayang, badut, dan pakaian-pakaian
karnaval semacam Jember Carnival. Para masyarakat sangat
menantikan pawai ini. Kemeriahannya disebut-sebut mirip
dengan karnaval di luar negeri, tetapi masih dengan kearifan lokal
Blitar yang sangat terasa sekali. Terdapat beberapa peserta yang
membawa kentongan–pada jaman dahulu dipakai untuk alat
komunikasi–yang dijadikan musik untuk dinikmati masyarakat.
Dengan banyaknya peserta dan kegiatan pawai, acara yang
dimulai pukul satu siang, baru bisa berakhir menjelang magrib.
Masih dalam rangkaian hari jadi Kota Blitar, pemerintah
menyelenggarakan pameran selama satu minggu yang bertempat
di alun-alun Kota Blitar. Ratusan stand siap menjajakan makanan
khas Blitar, antara lain permen gulali, tiwul, dan es pleret. Anak-
anak ‘zaman gadget’ seperti sekarang ini, perlu dikenalkan
kembali dengan permainan-permainan tradisional. Pada salah
satu kegiatan bernama Pameran Jadul, diadakan lomba-lomba
permainan jadul yang dapat dimainkan oleh anak-anak, seperti
dakon (congkak) dan gobak sodor. Selain itu, terdapat juga para
penjual yang menjajakan permainan zaman dahulu. Terlihat
wajah wisatawan yang tampak bahagia saat mengunjungi
Pameran Jadul karena selain terdapat permainan, juga terdapat

Kearifan Lokal Nusantara


139
makanan, pakaian, dan pernak pernik zaman dulu yang sudah
jarang ditemui di zaman sekarang, seakan-akan menjadi mesin
waktu ke masa lalu, sehingga mereka dapat bernostalgia. Pada
puncak acara, biasanya dilakukan pesta kembang api.
Begitu pun yang terjadi di Perpustakaan Proklamator Bung
Karno ketika melaksanakan perayaan hari jadi Kota Blitar.
Dalam perpustakaan tersebut, dilakukan pameran buku, foto-
foto, dan pernak pernik Bung Karno. Perpustakaan Proklamator
Bung Karno, juga biasanya melakukan kegiatan-kegiatan
bertema nasionalisme dan kearifan lokal yang ada di Blitar.
Kegiatan tersebut, antara lain lomba menghafal biografi Bung
Karno, seminar dan dialog kebangsaan, safari ke sekolah untuk
bimbingan pemustaka dan menyebarkan literasi Bung Karno,
bedah buku Bung Karno, serta perpustakaan keliling dengan
disertai layanan story telling bung karno.
Amphitheater di perpustakaan Bung Karno merupakan
tempat yang biasa digunakan untuk menggelar kegiatan pentas
teater seni budaya, dapat berupa seni tari, seni musik, seni
wayang, dan seni pertunjukan. Selain itu, amphitheater juga
biasa dilakukan untuk kegiatan bedah buku bertajuk Pustaka dan
Kebangsaan yang membahas sejarah pustaka dan kebangsaan
Indonesia dalam meningkatkan budaya baca. Dengan adanya
kegiatan yang dilakukan di amphitheater tersebut, diharapkan
kualitas seni budaya di Blitar akan semakin meningkat. Warga
Blitar diharapkan dapat melestarikan budayanya sendiri
sehingga dapat membantu peningkatan sektor wisata.

Kearifan Lokal Nusantara


140
Kegiatan berinklusi sosial merupakan salah satu kegiatan
yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat sekitar
perpustakaan. Pada tahun 2020, Perpustakaan Proklamator
Bung Karno menyelenggarakan beberapa kegiatan bertema
inklusi sosial, antara lain story telling, penulisan karya tulis
yang mengundang novelis ternama, Kirana Kejora, serta Literasi
Mustika Rasa.
Dua bulan selanjutnya, yaitu tanggal 1 Juni, masyarakat
Indonesia merayakan Hari Pancasila, begitu pula yang dilakukan
masyarakat Blitar. Masyarakat Blitar menghias kendaraan
pawai dengan lampu dan lampion pada malam harinya untuk
melakukan kegiatan pawai lampion sebagai peringatan Hari
Lahir Pancasila. Esok harinya, diadakan Grebeg Pancasila.
Kegiatan ini mirip dengan Grebeg Maulid yang diadakan di
keraton Yogyakarta. Terdapat lima ritual Grebeg Pancasila.
Pada tanggal 31 Mei pukul 19.00–21.00 diadakan Bedol Pusaka
Negeri, bernama Kirab Pusaka Negeri yang dilakukan dari Balai
Kusuma Wicitra (rumah dinas walikota) ke balai kota untuk
disemayamkan. Di belakang Kirab Pusaka Negeri, terdapat arak-
arakan pawai lampion dari instansi dan masyarakat.
UPT Perpustakaan Bung Karno pun selalu ikut dalam
rombongan dan berpartisipasi. Tanggal 1 Juni pukul 08.00-
09.30, dilakukan upacara budaya yang bertempat di alun-alun.
Diikuti oleh pegawai pemerintah dan pelajar kota Blitar. Tidak
mau ketinggalan, Perpustakaan Proklamator Bung Karno pun
ikut serta.

Kearifan Lokal Nusantara


141
Gambar 1. Upacara budaya hari lahir pancasila (Sumber : Dokumentasi
pribadi)

Para pegawai menggunakan pakaian dengan tema Soekarno


Looks, sedangkan masyarakatnya memakai baju lawas.
Penggunaan pakaian lawas dimaksudkan untuk melestarikan
busana zaman dahulu yang mulai tergerus oleh modernisasi
serta untuk menjunjung tinggi kearifan lokal. Begitu juga
penggunaan pakaian bertema Soekarno yang menggambarkan
kecintaan terhadap presiden pertama RI tersebut. Dalam
upacara, dilakukan pembacaan sejarah Pancasila. Hal tersebut
dilakukan sebagai bentuk pengingat, bentuk penghargaan
kepada para pahlawan, juga bentuk pengharapan agar Pancasila
dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Selanjutnya, pada pukul 09.30–11.00, dilakukan Kirab
Gunungan Lima yang dimulai dari alun-alun menuju makam
Bung karno. Jumlah lima pada nama Kirab Gunungan Lima
menggambarkan lima dasar negara. Pada jam yang sama
pula, dilakukan kegiatan kenduri Pancasila di makam dan
perpustakaan Bung Karno. Kegiatan diisi dengan pengajian dan
tumpengan makan bersama. Nasi tumpeng direpresentasikan

Kearifan Lokal Nusantara


142
sebagai hubungan antara Tuhan dengan manusia serta
manusia dengan sesamanya. Manusia memahami konsep
ketuhanan sebagai sesuatu yang besar dan tinggi serta berada
di puncak. Demikianlah makna dari bentuk nasi tumpeng yang
menjulang tinggi, sedangkan isian tumpeng yang diletakkan
secara horizontal melambangkan hubungan manusia dengan
sesamanya.
Bulan Juni merupakan bulan yang cukup bersejarah,
khususnya bagi masyarakat Blitar. Pada tanggal 6 Juni, tepat
lima hari setelah perayaan Hari Pancasila, masyarakat Blitar
giliran merayakan hari lahir Bung Karno. Masyarakat berlomba-
lomba membuat tumpeng untuk dibawa ke sepanjang jalan
makam. Begitu juga pada tanggal 21 Juni yang merupakan
hari wafatnya Bung Karno atau disebut haul Bung Karno. Masih
terdapat banyak lagi upacara kearifan lokal kota Blitar, seperti
hari lahir kota Blitar, peringatan PETA, dan pawai kebangsaan.

Gambar 2. Perpustakaan Bung Karno ikut memeriahkan Pawai Kebangsaan


HUT RI (Sumber : Dokumentasi pribadi)

Kearifan Lokal Nusantara


143
Masyarakat Blitar, termasuk pegawai Perpustakaan
Proklamator Bung Karno, diharapkan dapat terus melestarikan
kearifan lokal. Dengan kearifan lokal yang ada di Blitar dan
keberadaaan Perpustakaan Proklamator Bung Karno dengan
segala kegiatannya itu, semoga dapat menjadi bentuk inspirasi
dan contoh bahwa rasa nasionalisme dan toleransi dapat
dipupuk dan dilestarikan. Seperti tulisan “Bung Karno untuk
Indonesia” pada gedung Perpustakaan Proklamator Bung Karno
yang diharapkan menjadi kearifan lokal yang menjunjung tinggi
gotong royong, kebersamaan, persatuan, dan keagamaan, serta
dapat diterapkan dalam memperkokoh identitas dan jati diri
bangsa.

Kearifan Lokal Nusantara


144
Literasi Budaya Mistik,
Pentingkah?
Dede Gumilar

“Kalau sudah saatnya akan terjadi pada diriku.


Menderita, kasmaran, jatuh cinta, telanjur sakit. Aku
harus mengeluh kepada siapa? Siang dan malam, yang
kupuja jangan lupakan. Janjinya kuharap tak diingkari”
sungguh penggalan doa yang indah dalam lantunan
“Lingsir Wengi”.

145
Dulu saya dan teman-teman takut dengan hal ini. Tepatnya saat
masa SMA.
Agenda kami adalah menginap di salah satu rumah kami
pada malam Jumat. Malam yang konon lebih menakutkan
daripada malam lainnya dalam satu pekan. Apalagi ketika
memasuki malam Jumat Kliwon. Namun, bukan karena alasan
itu saja kami memilih menginap bersama di malam tersebut.
Salah satu radio memutarkan sebuah program yang menakutkan
dan membuat kami penasaran. Nama program tersebut adalah
“Nightmare Side” yang dalam Bahasa Indonesia diartikan sisi
mimpi buruk.
“Nightmare Side” merupakan sebuah program di salah
satu stasiun radio Bandung, yaitu Ardan Radio. Siaran yang
menceritakan kisah-kisah mistik yang beredar di masyarakat.
Dibumbui dengan lagu-lagu dan suara yang terkesan mistik
membuat nuansa lebih horor. “Lingsir Wengi” diputarkan pada
opening program. Ditambah dengan teriakan tawa kuntilanak
yang membuat suasana menjadi semakin mistik dan horor.
“Lingsir Wengi” banyak dikenal masyarakat sebagai
nyanyian yang mengandung nuansa mistik. Namun, apakah
benar aslinya seperti itu? Dari segi bahasa, lingsir wengi berasal
dari bahasa Jawa yang dalam bahasa Indonesia memiliki arti
menjelang malam. Menggunakan bahasa Jawa karena tidak
lepas dari kisah perjalanan Raden Mas Said–lebih dikenal
sebagai Sunan Kalijaga. Salah satu daerah dakwahnya berada di
Kesultanan Demak yang berada di kawasan daerah Jawa.
Yah, benar, “Lingsir Wengi” sejatinya adalah tembang
yang dibuat oleh Sunan Kalijaga. Seperti yang kita tahu, para

Kearifan Lokal Nusantara


146
Wali Songo menggunakan cara-cara yang beragam dalam
mengembangkan dakwah dan menyebarkan agama Islam.
Menurut Nur Amin Fattah dalam buku Kesaktian dan Tarekat
Sunan Kalijaga karya Rusydie Anwar (2018), para Wali Songo
yang menyebarkan agama Islam di Jawa terbagi ke dalam dua
golongan, yaitu golongan Islam ‘putihan’ yang mengutamakan
kemurnian dalam menjalankan Islam dan tidak berkompromi
dengan kebudayaan masyarakat yang ada. Dalam pandangan
golongan ini, kepercayaan, ritual, dan budaya di masyarakat
harus dikikis, sehingga ajaran Islam secara murni harus diamalkan
sesuai dengan Alquran dan Hadis. Golongan ini beranggotakan
Sunan Ampel, Sunan Drajat, dan Sunan Giri sebagai pemimpin
yang dikenal sangat tegas dalam mengajarkan agama.
Masih dalam buku yang sama, dijelaskan bahwa golongan
kedua disebut sebagai golongan ‘abangan’ yang memiliki
beberapa pendirian, yaitu (1) membiarkan adat istiadat yang
sudah mengakar lama di masyarakat dan sulit diubah. Untuk
mengubah adat tersebut dapat dilakukan dengan cara yang halus
dan perlahan-lahan; (2) adat yang menyimpang dari ajaran Islam
meskipun gampang diubah, adat itu dihilangkan; (3) mengikuti
adat istiadat di masyarakat dari belakang, sambil mempengaruhi
mereka sedikit demi sedikit; (4) menghindari pertentangan dan
konfrontasi dengan masyarakat agar masyarakat tidak menjauh
dari syiar agama. Golongan ini beranggotakan Sunan Kudus,
Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Gunung Jati, dan Sunan
Kalijaga sebagai pemimpinnya. Salah satu modifikasi Sunan
Kalijaga dalam berdakwah adalah menggunakan kesenian
sebagai sarana seperti tembang “Lingsir Wengi”.

Kearifan Lokal Nusantara


147
Bukan hanya tembang “Lingsir Wengi”, adapun kesenian
lain yang menjadi sarana, seperti wayang kulit, sudah ada sejak
zaman sebelum Sunan Kalijaga memodifikasi dari wayang
gambar manusia menjadi gambar lain yang lebih mirip sebagai
bentuk karikatur. Sunan Kalijaga konon dikenal sebagai orang
yang pandai mendalang. Kegiatan mendalang ini dilakukan
di masjid Demak setelah salat Jumat dengan tujuan sebagai
media dakwah. Sunan Kalijaga juga diyakini banyak berperan
dalam tata kota di Jawa, seperti istana, alun-alun, dan masjid
dekat kabupaten yang setiap bagiannya memiliki makna filosofi
penting. Selain pada tata kota, Sunan kalijaga juga memberikan
makna pada alat-alat pertanian, seperti luku dan pacul yang
sangat erat dengan masyarakat yang notabenenya merupakan
seorang petani. Bedug adalah prakarsa Sunan Kalijaga untuk
memanggil masyarakat agar berangkat ke masjid. Di sisi lain
juga ada grebeg, yaitu upacara keagamaan untuk memperingati
kelahiran Nabi Muhammad Saw..
Tentunya, selain seni budaya di atas, ada juga tembang-
tembang yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga, seperti tembang
“Dandanggula”, “Lir-ilir”, kidung “Rumekso Ing Wengi”, dan
“Lingsir Wengi”. Diceritakan juga sebuah kisah dalam buku
Sunan Kalijaga karya Umar Hasyim (1982) bahwa dalam suatu
musyawarah, para wali telah sepakat memertahankan gamelan
dan seni Jawa lainnya sebagai salah satu alat dakwah. Hal
tersebut dikarenakan orang Jawa sangat menggemarinya.
Kemudian musyawarah ditutup dengan keputusan bahwa para
wali hendaknya menciptakan lagu-lagu tembang Jawa.
Tembang-tembang merupakan budaya yang sudah ada
sehingga dapat dijadikan sebagai sarana dakwah. Setiap

Kearifan Lokal Nusantara


148
tembang yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga memiliki
makna penyebaran agama Islam. Tembang “Dandanggula”
menggambarkan kehidupan manusia yang mencapai
kebahagiaan atas suatu keinginan. Kidung “Rumekso Ing Wengi”
yang konon harus dibaca setiap selesai salat malam dengan
harapan dihindarkan dari malapetaka seperti santet. “Lir-ilir”
yang konon sering dinyanyikan anak-anak sambil bermain di
malam hari menjadi tembang yang sarat makna.
Tembang yang cukup dikenal oleh masyarakat adalah
“Lingsir Wengi”. Namun, masyarakat lebih mengenalnya dengan
lagu yang bernuansa mistik atau horor. Dilihat dari liriknya,
“Lingsir Wengi” tidak memiliki kata-kata yang mistik atau horor,
justru mengandung kata cinta dan doa.
Lirik “Lingsir Wengi” oleh Sunan Kalijaga:

Kearifan Lokal Nusantara


149
Bahasa Jawa: Bahasa Indonesia

“Lingsir Wengi” (Saat menjelang tengah


malam)
Sepi durung biso nendro
(Sepi tidak bisa tidur)
Kagodho mring wewayang
(Tergoda bayanganmu)
Kang ngreridhu ati
(Di dalam hatiku)
Kawitane
(Permulaannya)
Mung sembrono njur kulino
(Hanya bercanda kemudian
Ra ngiro yen bakal nuwuhke
biasa)
tresno
(Tidak mengira akan jadi
cinta)
Nanging duh tibane aku
dewe kang nemahi
(Kalau sudah saatnya akan
Nandang bronto
terjadi pada diriku)
Kadung loro
(Menderita kasmaran/jatuh
Sambat-sambat sopo cinta)
Rino wengi (Telanjur sakit)
Sing tak puji ojo lali (Aku harus mengeluh kepada
Janjine mugo biso tak ugemi siapa)
(Siang dan malam)
(Yang kupuja jangan
lupakan)
(Janjinya kuharap tak
diingkari)
Seperti halnya kidung “Rumekso Ing Wengi”, kidung “Lingsir
Wengi” juga bertujuan dihindarkan dari malapetaka. Selain itu,
liriknya mengandung cinta dan doa. Konon dibacakan pada
malam hari karena kebiasaan masyarakat Jawa pada masa itu
yang jarang tidur untuk melaksanakan salat dan ibadah.

Kearifan Lokal Nusantara


150
Dilansir dari   ibtimes.id, Miftah Firdaus Zein mengatakan
“Lingsir Wengi”   (saat menjelang tengah malam) merupakan
salah satu lagu gending jawa yang menggunakan tembang
macapat yang terdiri atas sebelas pakem. Salah satunya adalah
pakem durma yang dilantunkan dengan tempo yang pelan. Masuk
melalui perasaan yang lembut dan dengan pembawaannya yang
menyayat hati pendengarnya. Mungkin lantunan pelan melalui
perasaan yang lembut ini bisa menjadi pembawa unsur mistik.
Namun, apakah benar penyebab nuansa mistik pada kidung
“Lingsir Wengi” adalah karena pakem durma?
“Lingsir Wengi” mulai banyak dikenal sebagai lagu dengan
nuansa mistik dan horor hingga dikaitkan dengan lagu pemanggil
setan pada tahun 2006. Lagu “Lingsir Wengi” dinyanyikan dalam
film “Kuntilanak” yang pertama. Film “Kuntilanak” tersebut
dirilis pada tahun 2006. Merupakan karya Rizal Mantovani dan
dibintangi oleh Julie Estelle, Evan Sanders, dan Ratu Felisha.
Dalam film tersebut, lagu “Lingsir Wengi” dinyanyikan untuk
memanggil setan. Film “Kuntilanak” (2006) telah berhasil
mengumpulkan lebih dari sejuta penonton hingga dibuat trilogi.
Dilansir dari kompas.com film horor “Kuntilanak 2” berhasil
meraup 1.145.670 penonton selama libur Lebaran tahun 2019.
Pada tahun 2006, setelah muncul film “Kuntilanak” inilah,
“Lingsir Wengi” mulai lebih dikenal masyarakat. Film yang
populer pada kala itu membuat “Lingsir Wengi” terkesan mistis
dan horor daripada makna-makna doa dan ibadah seperti yang
diciptakan oleh Sunan Kalijaga.
Tentunya ada perbedaan lirik antara “Lingsir Wengi” dari
film kuntilanak 2006 dengan kidung “Lingsir Wengi” ciptaan
Sunan Kalijaga.

Kearifan Lokal Nusantara


151
Lirik lagu “Lingsir Wengi” pada film Kuntilanak 2006
Bahasa Jawa: Bahasa Indonesia:

“Lingsir Wengi” sliramu Menjelang malam bayangmu


tumeking sirno mulai sirna
Ojo tangi nggonmu guling Jangan bangun dari
tempatmu tidur/beranjak
Awas jo ngetoro
Awas jangan sampai terlihat
Aku lagi bang wingo wingo
Aku sedang dalam keadaan
Jin setan kang tak utusi
gusar
Dadyo sebarang
Jin dan setan telah ku utus
Wojo lelayu sebet
Jadilah apa pun
namun jangan membawa
maut
Lagu “Lingsir Wengi” juga dinyanyikan oleh mendiang
Didi Kempot, Sang Maestro Campursari. Penyanyi yang diberi
julukan The Godfather of Broken Heart ini merilis lagu “Lingsir
Wengi” pada tahun 2016 dan dimuat dalam album  Ketaman
Asmoro. “Lingsir Wengi” yang dinyanyikan oleh sang maestro ini
diciptakan oleh Sukap Jiman seorang penulis lagu paruh baya
yang tinggal di Sukoharjo.
“Saya sebenarnya mempunyai empat belas karya lagu, tapi
yang paling terkenal, ya, ‘Lingsir Wengi’. Lagu itu saya buat pada
tahun 1995. Namun, viralnya pada tahun 2000. Dulu lagunya
dibawakan oleh beberapa penyanyi lokal, seperti Wuryanti,
Ani Suyanti, Agus Zakaria, Didi Kempot, Nurhana,” dilansir dari
kumparan.com.

Kearifan Lokal Nusantara


152
Lagu “Lingsir Wengi” yang dibuatnya menceritakan seorang
anak muda yang sedang jatuh cinta, lalu pada malam harinya, Ia
terngiang-ngiang oleh gadis pujaannya. Ketika ditanya mengenai
lagu “Lingsir Wengi” yang sedang hangat diperbincangkan
karena dianggap dapat digunakan untuk memanggil makhluk
halus, Sukap membantahnya. Dengan tegas Ia menjelaskan jika
lagu “Lingsir Wengi” mistis itu bukan darinya, tetapi lagu itu
merupakan tembang Jawa yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga
(kumparan.com)
Lirik lagu “Lingsir Wengi” karya Sukap Jiman:
(Sumber: Musixmatch)
“Lingsir Wengi”
Sepi durung bisa nendra
Kagodha mring wewayang
Ngerindhu ati
Kawitane
Mung sembrana njur kulina
Ra ngira yen bakal nuwuhke tresna
Nanging duh tibane
Aku dhewe kang nemahi
Nandang branta
Kadung lara
Sambat sambat sapa
Rina wengi
Sing tak puji ojo lali
Janjine muga bisa tak ugemi
Kawitane mung sembrana njur kulina
Ra ngira yen bakal nuwuhke tresna
Nanging duh tibane

Kearifan Lokal Nusantara


153
Aku dhewe kang nemahi
Nandang branta
Kadung lara
Sambat sambat sapa
Rina wengi
Sing tak puji ojo lali
Janjine muga bisa tak ugemi
Janjine muga bisa tak ug

Lagu “Lingsir Wengi” memiliki beberapa makna, tergantung


dari pandangan tiap orang dan perubahan zaman. Kidung “Lingsir
Wengi” yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga bermakna doa. Lagu
“Lingsir Wengi” yang dinyanyikan pada film “Kuntilanak” (2006)
bermakna mistik dan pemanggilan setan. Sementara, lagu yang
dibuat oleh Sukap Jiman dan dinyanyikan oleh The Godfather of
Broken Heart, bermakna seorang anak muda yang sedang jatuh
cinta, lalu pada malam harinya, Ia terngiang-ngiang oleh gadis
pujaannya. Maka dari itu diperlukan, literasi kebudayaan yang
baik untuk tetap menjaga identitas dan menjaga kearifan lokal
dari zaman ke zaman.
World Economic Forum pada tahun 2015, menyepakati
bahwa terdapat enam literasi dasar, yaitu literasi baca tulis,
literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial,
dan literasi budaya dan kewargaan. Literasi kebudayaan tercakup
ke dalam salah satu literasi dasar yang harus dimiliki setiap
warga negara. Literasi kebudayaan merupakan kemampuan
dalam memahami dan menyikapi kebudayaan Indonesia
sebagai identitas bangsa sehingga sangat penting menerapkan
literasi kebudayaan. Salah satunya dengan menyikapi persoalan
“Lingsir Wengi” di atas.

Kearifan Lokal Nusantara


154
Literasi kebudayaan yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga
pada saat itu adalah dengan tetap menjaga kearifan lokal atau
budaya lokal melalui dakwah yang digunakan sebagai sarana
penyebaran agama Islam. Sunan Kalijaga mampu memodifikasi
kebudayaan yang ada pada masyarakat Jawa pada masa itu
dengan menyisipkan dakwah dan ajaran agama Islam. Tak
hanya itu, Sunan Kalijaga juga membuat budaya-budaya baru
yang penuh dengan makna kehidupan dan ketuhanan seperti
doa.
Sunan Kalijaga mengajarkan bahwa untuk mengingatkan
dan mendidik, bisa dilakukan dengan cara halus dan beradaptasi
dengan keadaan masyarakat tanpa kehilangan jati dirinya
sebagai pengemban dakwah dan penyebar ajaran agama Islam.
Ini merupakan cara yang sangat strategis dalam mengajak
masyarakat untuk saling mengingatkan pada kebaikan dan
ibadah kepada Allah SWT..
Sukap Jiman membuat lirik lagu yang terinspirasai dari
“Lingsir Wengi” ciptaan Sunan Kalijaga. Namun, metodenya
dimodifikasi, dari tembang ke lagu-lagu popular pada zamannya.
Modifikasi tersebut mengubah makna “Lingsir Wengi” ciptaan
Sunan Kalijaga, tetapi dapat mengingatkan kita tentang adanya
“Lingsir Wengi” ciptaan Sunan Kalijaga. Dilihat dari pernyataan
Sukap Jiman yang mengetahui adanya tembang “Lingsir Wengi”
ciptaan Sunan Kalijaga.
“Lingsir Wengi” pada film  “Kuntilanak” (2006) mungkin
bisa menjadi penyebab perubahan makna “Lingsir Wengi”
dari doa ke nuansa mistis dan horor atau pemanggilan setan.
Namun, sisi positifnya, “Lingsir Wengi” menjadi lebih banyak
dikenal oleh masyarakat. Mungkin akan lebih baik jika pada

Kearifan Lokal Nusantara


155
film-film berikutnya dimunculkan kidung “Lingsir Wengi” yang
sesuai dengan ciptaan Sunan Kalijaga, baik itu dari sisi lirik
maupun makna dan pembawaannya. Hal ini juga bisa menjadi
anti klimaks dari “Lingsir Wengi” nuansa mistik dan horor ke
“Lingsir Wengi” yang bermakna doa. Sehingga masyarakat
lebih mengetahui dan memahami jati diri dari “Lingsir Wengi”
sebenarnya yang dibuat oleh Sunan Kalijaga.
Literasi kebudayaan sebenarnya sudah dilakukan oleh
Sunan Kalijaga, Sukap Jiman, dan film “Kuntilanak” dengan
caranya masing-masing. Namun, yang perlu dilakukan adalah
menampilkan identitas lainnya, khususnya identitas awalnya
sehingga kebudayaan-kebudayaan yang ada di Indonesia
akan terus abadi dan dikenal oleh masyarakat luas karena
diperkenalkan secara terus-menerus. Meskipun ada sedikit
modifikasi, yang perlu ditekankan adalah menjaga kebudayaan
dan identitas kebudayaan sebelumnya dengan memperkenalkan
dan memberikan pemahaman kepada masyarakat.

Referensi
Umar Hasyim. (1982). Sunan Kalijaga.Menara. Kudus: Jakarta.
Rusydie Anwar. (2018). Kesaktian dan Tarekat Sunan Kalijaga.
Araska:Yogyakarta.
Munawar J. Khaelany. (2018). Sunan Kalijaga Guru Suci Orang
Jawa. Araska:Yogyakarta.
https://ibtimes.id/sunan-kalijaga-dan-lingsir-wengi-yang-
disalahartikan/ di akses tanggal 9 Desember 2020

Kearifan Lokal Nusantara


156
https://kumparan.com/dukun-millennial/kisah-dibalik-
nyanyian-seram-lagu-lingsir-wengi-1tAIyI6YWMF/full di
akses tanggal 9 Desember 2020
https://www.tabloidbintang.com/film-tv-musik/kabar/
read/89874/film-kuntilanak-akan-dibuat-lagi-ini-penjelas-
an-sutradara-rizal-mantovani di akses tanggal 9 Desember
2020
https://entertainment.kompas.com/
read/2019/06/15/083350310/film-kuntilanak-2-tem-
bus-1-juta-penonton di akses tanggal 9 Desember 2020

Kearifan Lokal Nusantara


157
Bung Karno dan Buceng Guyub:
Inspirasi Menjaga Persatuan
Aji Subekti

Buceng guyub tidak hanya sekadar kerajinan tangan


manusia, menyusun makanan berbentuk kerucut
terbalik, tetapi juga banyak pelajaran yang diambil
untuk dijalankan di kehidupan sehari-sehari seperti
saling berbagi, gotong royong, dan kebersamaan.

158
Eling opo ora buceng guyub kae? ‘ingat tidak, dengan buceng
guyub itu?’
Begitu pesan Eyang Pramu kepada Bung Karno. Eyang
Pramu merupakan salah satu tokoh masyarakat di Blitar. Ia
merupakan guru dari Bung Karno. Bung Karno setiap ke Blitar,
seringkali “menghilang” karena berkunjung ke guru-gurunya;
Eyang Pramu, Eyang Kartowibowo, dan Mbah Amad Kasan
Bendo. Hal itu terus Bung Karno lakukan walaupun sudah
menjadi presiden.

Gambar 1. Foto Eyang Pramu (Sumber: Dokumentasi pribadi)

Ki Amang Pramu, cucu dari Eyang Pramu menceritakan


kenangannya bertemu dengan Bung Karno. Menurutnya,
Bung Karno sering mendapatkan petuah-petuah dari sesepuh
(paranporo), seperti Eyang Pramu untuk membuat keputusan
dalam permasalahan negara. Ki Amang memberikan contoh,
yaitu ketika peristiwa pemilu tahun 1955 yang membuat
terpecahnya rakyat Indonesia. Bung Karno merasa pemilu itu
membuat rakyatnya menjadi terpecah. Akhirnya, Ia menemui
paranporo ‘gurunya’ untuk meminta pangestunipun ‘restunya’,
serta minta doanya. Bung Karno meminta saran bagaimana
negara itu tetap bersatu. Walaupun nanti partainya Bung Karno
(PNI) memenangkan prioritas kedua atau ketiga, tetap yang

Kearifan Lokal Nusantara


159
utama adalah menjaga keutuhan bangsa ini. Eyang Pramu
berpesan kepada Bung Karno. Eling tho gus marang buceng
guyub kae? ‘ingat tidak, dengan buceng guyub itu?’.
Buceng ‘tumpengan’ merupakan nasi kerucut kecil yang
berisi lalapan, lauk-pauk, dan urap. Ditaruh di atas daun
pisang untuk dimakan bersama setelah selesai acara. Bisa
juga diartikan sebagai akronim dari nyebuto sing kenceng
marang gustine, maka digambarkan nasi berbentuk kerucut
terbalik mengarah kepada yang Maha Tunggal. Nyebut di sini
dimaknai dengan ingat dan selalu berdzikir kepada Tuhan.
Dalam proses nyebut ini, harus dilakukan dengan kenceng, yang
artinya harus dengan istiqomah–tidak terputus-putus. Wujud
buceng berbentuk kerucut dengan bagian bawah yang lebar
melambangkan keimanan yang kokoh, sedangkan bagian atas
yang semakin mengerucut menandakan kefokusan seseorang
dalam mencapai suatu harapan. Bahan baku buceng terbuat
dari beras ketan putih dan disajikan tanpa lauk-pauk. Adapun
guyub, berarti harmoni, rukun, atau bersatu.
Jenis buceng ada banyak macamnya, seperti kelahiran,
kematian, mendirikan rumah, dan lainnya. Biasanya diadakan
saat hajatan atau terlaksananya suatu kegiatan sebagai wujud
rasa syukur atau dalam istilah lain adalah slametan. Dalam
konteks ini, kita bisa melihat bahwa bangsa Indonesia adalah
masyarakat yang guyub dan suka berkumpul. Terbukti dengan
banyaknya kegiatan atau acara selametan sejak seseorang
itu masih dalam kandungan sampai beberapa tahun dari
kematiannya.

Kearifan Lokal Nusantara


160
Buceng guyub yang dilaksanakan oleh pemerintah, biasanya
berupa upacara-upacara atau pawai untuk mengiringi buceng
tersebut. Pada saat pelaksanaan pawai, warga mengenakan
pakaian tertentu yang dipercaya sebagai pakaian yang dikenakan
oleh para putri, prajurit, ataupun panglima Kerajaan Majapahit.
Upacara tradisional dan pawai ini mengusung dua pesan utama,
yaitu selalu ingat dan bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa
dan tidak melupakan jasa para leluhur. Acara makan bersama
merupakan salah satu sarana untuk menggalang kerukunan
dalam kehidupan bermasyarakat.
Kegiatan buceng guyub tidak hanya dilakukan pada
peristiwa yang berkenaan dengan siklus hidup manusia, tetapi
juga kegiatan lain, seperti bersih desa. Kegiatan bersih desa
rutin dilakukan di kelurahan Sananwetan, Blitar. Salah satunya,
yaitu Kirab Buceng Guyub yang berisi hasil bumi dari Rukun
Warga (RW) se-Kelurahan Sananwetan. Kegiatan ini merupakan
kegiatan pawai buceng dari masing-masing RW yang berkeliling
kelurahan dengan menunjukkan kebolehan warganya, dapat
berupa kostum, produk, dan kesenian. Selain itu, kegiatan
ini dilakukan sebagai wujud kekompakan dan kerukunan
masyarakat di Kelurahan Sananwetan dengan latar belakang
warganya yang heterogen. Diharapkan kegiatan ini menjadi
agenda tahunan dan salah satu destinasi wisata di Blitar yang
dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Kearifan Lokal Nusantara


161
Gambar 2. Wujud dari buceng (Kiri atas). Pawai Buceng Guyub di kelurahan
Sananwetan Blitar (kanan atas). Buceng atau tumpengan berjumlah 1001
buah dalam acara Haul Bung Karno ke-48 tahun 2018 (bawah) (Sumber:
Website Pemerintah Kota Blitar)

Buceng guyub bisa dikatakan sebagai wujud dari budaya


material. Ini merupakan hasil kerajinan tangan dan hasil karya
yang dicipta untuk memenuhi keperluan masyarakat sesuai
dengan perubahan dan perkembangan zaman. Budaya material
mempunyai peranan yang wajar dan realistik dalam kehidupan
sehari-hari. Karyanya yakni suatu peninggalan yang diwariskan
dari generasi ke generasi. Karya tersebut merupakan sumber
ekonomi yang dapat memperbaiki status ekonomi pengeluaran.
Di samping itu, hasil karya itu juga mempunyai kepentingan
simbolis, seperti memberikan perlambangan identitas budaya,
citra, dan bangsa.
Budaya material sebagai sarana, artinya inti dari buceng–
baik bucengan kematian, kelahiran, atau buceng untuk

Kearifan Lokal Nusantara


162
mendirikan rumah, dan lainnya–dapat menjadikan warga guyub
(rukun). Buceng diadakan sebagai rasa terima kasih terhadap
keluarga, tetangga, dan saudara-saudara yang telah membantu
mendoakan suatu hajat. Nasehat Eyang Pramu kepada Bung
Karno bisa diartikan bahwa kegiatan apa pun yang dilakukan
haruslah berakhir dengan persatuan atau guyub. Begitu pun
dengan Pemilu 1955, pemilu pertama yang dilakukan oleh
Bangsa Indonesia. Pemilu ini dilaksanakan sebanyak dua kali.
Pertama, pada 29 September 1955 untuk memilih anggota-
anggota DPR dan yang kedua pada tanggal 15 Desember 1955
untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante. Pemilu ini
sering dikatakan sebagai pemilu Indonesia paling demokratis
karena diikuti 29 partai dan perseorangan. Dewan Konstituante
bertujuan untuk membentuk UUD baru pengganti UUDS 1950.
Inilah yang dikhawatirkan oleh Bung Karno. Banyaknya partai
berisiko membuat rakyat menjadi terpecah.
Buceng guyub memberikan identitas budaya Indonesia
yaitu gotong royong. Nilai itulah yang membuat buceng
guyub juga menjadi salah satu inspirasi Bung Karno pada nilai
kesatuan dan persatuan bangsa. Oleh karena itu dalam proses
penyelenggaraan dan pembuatan buceng guyub, terdapat nilai
yang penting untuk menjaga persatuan dan kesatuan negara
yaitu gotong royong. Bahkan, Bung Karno memasukkan nilai
gotong royong ini menjadi perasan ekasila dari Pancasila.
Menurut Dewantara (2017), Bung Karno menemukan esensi
manusia Indonesia ada dalam gotong-royong. Muatan natura
manusia Indonesia yang penuh kegotongroyongan menjadikan
pidato Bung Karno ini bernilai filosofis dan sekaligus menarik
untuk didengar. Inilah kecerdasan Bung Karno. Selain memiliki

Kearifan Lokal Nusantara


163
makna simbolis, gotong royong yang diusung Bung Karno
mempunyai arti kebersamaan dan semangat kekeluargaan di
antara kemajemukan suku, agama, ras, budaya, kepercayaan,
paham, dan golongan. Gotong royong berisi semangat kerja
sama dan bahu membahu dalam mewujudkan Indonesia yang
lebih baik bagi semua warga.
Bung Karno gandrung ‘suka’ dengan persatuan. Oleh karena
itu, ketika ada peristiwa yang membuat perpecahan bangsa,
Bung Karno sangat khawatir dan sedih. Melihat banyaknya
gerakan antipenjajahan yang terpecah saat itu, Bung Karno mulai
menganalisis pentingnya persatuan. Tahun 1926, Bung Karno
mulai menerbitkan serangkaian artikel yang menganjurkan
setiap golongan agar bersatu memeroleh kemerdekaan. Ia
juga menyampaikan bahwa hanya persatuanlah yang dapat
menyelamatkan Negara. Dengan persatuan, maka negara
dapat memperoleh kekuatan ketahanan politik (politieke
weebaarheid), ketahanan militer (militaire weerbaarheid), dan
ketahanan ekonomi (economische weerbaarheid).
Dasar negara yang bisa mempersatukan itu semua adalah
Pancasila. Negara Republik Indonesia memeluk beberapa
macam agama dan satu-satunya dasar Negara yang bisa
mempersatukan rakyat Indonesia adalah Pancasila. Bahkan,
kalimat di bawah cengkraman burung Garuda, Pancasila
juga mempunyai makna persatuan yaitu Bhineka Tunggal
Ika. Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika adalah satu kesatuan.
Bhineka Tunggal Ika tidak hanya berlaku untuk kita di Indonesia
saja, tetapi berlaku untuk seluruh kemanusiaan di muka bumi
ini. Mpu Tantular mengatakan dalam arti pokoknya bahwa

Kearifan Lokal Nusantara


164
seluruh kemanusiaan ini meski berbeda-beda corak dan warna
pada hakikatnya adalah tunggal.
Persatuan dalam memaknai buceng guyub juga perlu
dilakukan di angkatan perang Indonesia. Dalam pidato HUT
Angkatan Perang yang Ke-13, Bung Karno menyampaikan supaya
mempertebal tekad untuk mempertahankan segala kesatuan
bangsa, agar tidak berpecah belah. Setiap anggota Angkatan
Perang Republik Indonesia harus setia kepada Saptamarga-
nya. Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Angkatan Darat. Tiga
angkatan ini sebenarnya adalah Tri Eka Murti, tiga tapi satu. Oleh
karena itu, ketiga angkatan ini bekerja satu sama lain dalam
mempertahankan kejayaan dan cita-cita NKRI.
Demikianlah pengaruh nasihat Eyang Pramu kepada
Bung Karno tentang makna dari buceng guyub. Cerita singkat
tadi menandakan bahwa sosok pribadi Bung Karno adalah
pembelajar yang tekun. Ia tidak menunggu guru untuk datang
ke tempatnya, akan tetapi Ia yang mencari dan mendatangi para
sesepuh atau tokoh masyarakat untuk mendapatkan pelajaran,
nasihat, doa, dan keberkahan.
Buceng guyub yang dijelaskan oleh Eyang Pramu tidak
hanya sekadar kerajinan tangan dan makanan berbentuk
kerucut terbalik, tetapi juga banyak pelajaran yang dapat untuk
kehidupan sehari-sehari. Pengaruh buceng guyub terhadap
kehidupan sosial masyarakat adalah saling berbagi, gotong
royong, dan kebersamaan. Kebersamaan dalam buceng guyub
ialah tanpa memandang derajat seseorang, baik tinggi maupun
rendah. Saat ini, semakin jarang ditemui lingkungan masyarakat
yang masih memiliki nilai-nilai saling berbagi, kebersamaan,

Kearifan Lokal Nusantara


165
dan gotong royong terutama bagi masyarakat yang tinggal di
daerah perkotaan.
Tahun 2020 merupakan ujian bagi seluruh dunia untuk
bergotong royong melawan pandemi Covid-19. Makna dan
implementasi dari nilai buceng guyub pada tahun ini seharusnya
tidak menurun, walaupun terdapat pembatasan-pembatasan
sosial. Tentu kegiatan buceng guyub tidak bisa lagi dilakukan
dengan pawai beramai-ramai. Akan tetapi bisa menyesuaikan
dan menaati protokol kesehatan. Jika nilai buceng guyub
ini digabungkan dengan konsep Tri Sakti yang disebutkan
Bung Karno, sepertinya bangsa Indonesia, bahkan dunia bisa
mengatasi pandemi ini.
Contoh konsep Tri Sakti yang pertama ialah berdaulat di
bidang politik yang berarti merdeka taat atau patuh. Merdeka
yang bertanggung jawab. Jika merdeka diartikan sebagai
kebebasan dalam politik, negeri ini akan kacau karena tidak
adanya batasan dalam berpolitik. Kemudian harus taat terhadap
keputusan politik, seperti menaati protokol kesehatan.
Konsep yang kedua, yaitu berdikari di bidang ekonomi
yang berarti masyarakat harus ikhlas dan sukarela bergotong-
royong, bahu membahu saling membantu. Tidak hanya
menunggu bantuan dari pemerintah. Seperti bergotong-royong
menghadapi pandemi ini dengan cara mematuhi protokol
kesehatan.
Kemudian yang terakhir berkepribadian berbudaya,
memiliki arti budaya bersih, bukan hanya cuci tangan dengan
bersih, tetapi yang terpenting adalah adanya rasa tanggung

Kearifan Lokal Nusantara


166
jawab atas kesehatan diri sendiri dengan budaya bersih. Tangan
harus bersih dari segala hal seperti virus dan korupsi.
Itulah beberapa contoh konsep Tri Sakti. Jika konsep ini
dijalankan oleh seluruh rakyat Indonesia dengan ikhlas, maka
permasalahan Covid-19 akan terselesaikan.
Dengan demikian setiap individu dalam suatu masyarakat
selalu berusaha dengan cara berbeda-beda meningkatkan
pengetahuan dan keterampilannya agar produk budaya
digunakan untuk memiliki rasa persatuan, gotong royong,
bahkan untuk mempertahankan hidup. Oleh karena itu,
penggunaan produk budaya tergantung pada tingkat kesadaran
terhadap objek yang diciptakan, apakah ia bermanfaat atau
tidak. Di setiap material budaya, pasti mempunyai memori,
yaitu suatu hasil dari proses budaya, seperti mengenang akan
sesuatu untuk selalu dapat diingat. Sesuatu yang ada atau
terjadi di masa lalu, diingat ataupun dikenang pada masa
sekarang maupun masa depan. Memori juga merupakan cara
untuk menunjukkan eksistensi manusia masa lalu pada masa
sekarang dan masa depan.
Begitu pun dengan tradisi buceng guyub yang diharapkan
bisa menjadi kenangan di masa lalu, juga bisa menunjukkan
eksistensinya di masa sekarang dan masa yang akan datang.
Supaya memori tersebut tidaklah hilang bersamaan dengan
meninggalnya seseorang, maka perpustakaan perlu merekam,
mengemas ulang, dan menyebarluaskannya dalam berbagai
media yang menarik, sehingga kelestarian pengetahuan
tentang budaya tetap terjaga. Apalagi di era digital seperti ini
tentu menjadi tantangan bagi perpustakaan dalam merekam

Kearifan Lokal Nusantara


167
pengetahuan lokal untuk dilestarikan dan disebarluaskan.
Akhirnya, di era digital ini bisa menjadikan perpustakaan seperti
perkataan salah satu tokoh kartun di film “Fantastic Four”, yaitu
“all our history, our science, our KNOWLEDGE... its all here”

Referensi
Dewantara, Agustinus W. (2017) “Alangkah hebatnya negara
gotong royong (Indonesia dalam kacamata Soekarno).
Jakarta: PT Kanisius
Tim Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI
(2018). Ensiklopedia Islam Nusantara. Jakarta: Kementerian
Agama RI
Sukarno (1958). Pidato PJM Presiden pada Pembukaan Perguruan
Tinggi Udayana pada tanggal 29 September 1958 di Bali
-------------------Perintah Harian PJM Presiden/Panglima Tertinggi
pada Angkatan Perang yang Ke XIII di lapangan terbang
Kamayoran, Jakarta, 5 Oktober 1958

Kearifan Lokal Nusantara


168
MenggaungkanDengungKentrung
Nikmahtin Megawati

Kentrung merupakan seni tradisional untuk


mengobarkan rasa saling berbagi, diskusi, musyawarah,
empati, dan toleransi. Wajar jika dengungannya perlu
dilestarikan melalui tanggung jawab kita semua.

169
Gambar 1. Kesenian Kentrung
(Sumber: https://www.museum-mputantular.com)

Wanita tunanetra yang tersenyum cerah dengan tutur kata sopan


dan masih sigap itu memainkan kendang dan berperan sebagai
dalang. Penduduk mengenalnya sebagai Mbah Surati. Sembari
mempersilakan siapapun dengan nyaman menonton Kentrung
Bate yang dimainkan bersama kedua rekannya, yaitu Mbah Setri
(penabuh timplung/kentheng) dan Mbah Wiji (penabuh terbang
besar) di halaman depan rumahnya. Dalam rangka merajut
harapan pegiat seni Kentrung yang terhitung jari dan macetnya
regenerasi tidak memupus semangat, mereka memperkenalkan
Kentrung Bate pada generasi masa kini.
“Saya sedih para generasi muda tidak mau belajar ngentrung.
Beragam alasannya. Padahal, dengan ikhlas saya mau mengajari
sehingga ke depannya akan ada penerus kesenian Kentrung,”
ungkapkan Mbah Surati pada tim tubanliterasi.id sebelum
akhirnya beliau tutup usia pada 30 Juni 2014 lalu. Kecintaannya
pada Kentrung Bate yang merupakan kesenian lokal asli Tuban
ternyata belum mampu membawanya menikmati kejayaan
Kentrung oleh generasi masa kini hingga akhir hayatnya. Sempat

Kearifan Lokal Nusantara


170
berjaya pada era 1970-an, terutama pertunjukan Kentrung
Bate saat malam pasaran (legi, pahing, pon, wage, dan kliwon),
tetapi ternyata kesenian tersebut masih asing, khususnya pada
generasi muda sebagai pemegang ujung kemajuan peradaban.
Kentrung Bate itulah yang mengawali lahirnya kesenian
Kentrung yang akhirnya meluas di area Jawa Timur dan Jawa
Tengah. Kesenian yang dibawa oleh Kyai Basiman dari Desa
Bate, Kecamatan Bangilan, Kabupaten Tuban pada tahun 1930-
an ini awalnya merupakan media penyebaran agama Islam dan
kritik sindiran pada era penjajahan Belanda. Keberlanjutannya
berubah menjadi media hiburan dan pendidikan bagi
masyarakat. Sebagaimana juga disampaikan oleh mbah Surati,
kata Kentrung berasal dari kata ngre’ken ‘menghitung’ dan
ngantrung ‘berangan-angan/berimajinasi’ sehingga maknanya
adalah menghitung suatu peristiwa dengan angan-angan.
Ada juga yang mengaitkannya dengan bunyi instrumen yang
dihasilkan dari alat musik terbang atau rebana yang berbunyi
trung… trung.
Seni tutur dengan khas guyonan seperti Kentrung Bate
dapat dibawakan oleh dua atau empat orang pemain yang
terdiri atas dalang (pencerita dan pemain musik) dan panjak
(pemain musik). Alat musik yang menggunakan tabuh timplung
(kentheng) dan terbang atau rebana tersebut kian bertambah
unik karena dalangnya harus seorang wanita. Kisah yang
diceritakan juga beragam, mulai dari para rasul, nabi, khalifah
terkenal, ataupun cerita lokal seperti Sarahwulan, Angling
Dharma, Dewi Pertimah, dan lainnya. Kisah tersebut disajikan
dalam penuturan bahasa kawi (bahasa Jawa kuno).

Kearifan Lokal Nusantara


171
Kentrung Bate telah tercatat sebagai warisan budaya oleh
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI sejak 2016. Pernah
diadakan promosi melalui pertunjukan kesenian rakyat, acara-
acara penting pemerintahan, sedekah bumi, dan hajatan.
Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri
handayani ‘di depan memberi teladan, di tengah membangun
kemauan, di belakang memberi dorongan dan pengaruh’. Buah
pikiran Ki Hajar Dewantara tersebut harus terlaksana oleh para
peminat dan pegiat seni, serta pemerintah ranah birokrasi
sekaligus kontribusi generasi masa kini yang berani berinovasi.

Gambar 2. Pementasan Kentrung Djos Jember (Sumber : https://jatim.


tribunnews.com/)

Sambil berlinang air mata, gadis yang sedang jatuh cinta


itu nekat pergi dari rumah untuk menepati janji lelaki pujaan
hatinya. “Ampon mbok ijinkan kawulo pergi,” ujar Sarahwulan
sembari menggenggam beberapa pakaian terbungkus jarik
dengan pandangan penuh kecemasan. “Mau jadi apa kamu tak
nurut orang tua, bocah wadon kudu punya harga diri,” tegas
Nyi Wardansili kepada anak gadisnya yang ingin pergi mencari
kekasihnya, Juwarsah.

Kearifan Lokal Nusantara


172
Begitulah sepenggal kisah Kentrung Bate percintaan
Sarahwulan dan Juwarsah yang cukup terkenal yang dikisahkan
oleh Mbah Surati tiap pementasan Kentrung Bate bersama
rekan-rekannya, sebagaimana yang dilansir pada media sripari.
com oleh Teguh Budi Utomo, sang pegiat budaya dan sastra
ritual di Tuban.
Seperti yang dipaparkan oleh Suripan Sadi Hutomo dalam
karyanya yang melegenda “Cerita Kentrung Sarahwulan di
Tuban” bahwa cerita yang dibawakan dalam Kentrung bukan
hanya bertujuan menghibur lewat kisah fiksinya, tetapi juga
mengandung pasemon atau lambang kehidupan manusia. Hal
ini berdampak pada hidup masyarakat Jawa dalam berbagai
keperluan.
Salah satunya pada acara tingkeban ‘upacara hamil tujuh
bulanan’. Kentrung akan menyajikan kisah seputar Nabi Musa,
Nabi Yusuf, dan kisah sejenisnya. Tujuannya tak lain adalah untuk
menanamkan perjuangan lahir dan batin orang tua ketika nanti
membimbing anaknya. Memberikan keteladanan pengendalian
diri bagi siapapun bahwa kekuatan doa pada Tuhan Yang Maha
Esa adalah sebaik-baiknya penolong setelah berupaya. Nilai
lain yang terkandung dalam pertunjukkan kentrung, yaitu nilai
kesabaran dan perjuangan.
Inilah alasan Kentrung termasuk kearifan lokal yang tak
berwujud atau intangible karena secara langsung dan tidak
langsung, kegiatannya mengandung petuah dan nasihat-nasihat
sang dalang secara turun-temurun. Kisah yang diceritakan
pada penonton, mengandung pakem yang kontekstual sesuai
tujuan pertunjukan penyelenggaranya. Cerita yang dikisahkan

Kearifan Lokal Nusantara


173
memberikan wujud terjalinnya kedekatan secara alami,
keteladanan yang menyentuh hati, makna kehidupan seragam
yang disepakati, dan mampu mengintegrasi budaya asli dan
luar tanpa mencederai kemurnian kearifan lokal yang terdapat
dalam tradisi seni Kentrung.
Kesedihan Mbah Surati, sang dalang Kentrung Bate yang
hingga akhir hayatnya belum sempat merasakan kejayaan
Kentrung, memang merupakan realitas yang tidak asing dihadapi
oleh para seniman tradisional. Kentrung sebagai tradisi turun-
temurun memang kalah peminat dengan seni hiburan modern,
seperti film, sinetron, talkshow, aktivitas variatif di media
sosial, dan media hiburan lainnya yang dengan gampangnya
mudah diakses pada era internet of things. Rasionalisasi dan
teknikalisasi menjadikan seni modern sebagai komoditas yang
berjalan sesuai laku pasar dan dukungan kapitalisme global.
Hal ini justru menunjukkan posisi seni tradisional menjadi
unggul karena memegang kokoh kemurnian budaya yang
komitmen menjaga kearifan lokal bangsa. Wajar apabila fokus
utama regenerasi digaungkan oleh para seniman tradisional, tak
terkecuali Kentrung. Kearifan lokal nusantara memang tumbuh
dari budaya asli masyarakat yang selanjutnya patut dilestarikan
sebagai identitas bangsa secara global.
Keramaian peserta dari beragam daerah dan usia dengan
muka berseri-seri tampak tak sabar menanti workshop kesenian
tradisional Kentrung pada 15-16 Juni 2011 yang diadakan oleh
Taman Budaya Jawa Timur. “Kentrung termasuk kesenian yang
terancam punah dan tokoh Kentrung juga susah dicari di masa
sekarang. Maka, melalui workshop kesenian tradisional Kentrung
inilah akan dibentuk enam grup dan disebar pada enam daerah,

Kearifan Lokal Nusantara


174
yaitu Trenggalek, Jombang, Sumenep, Surabaya, Sidoarjo, dan
Jember, sehingga kebangkitan seni makin terarah dan muncul
dalang-dalang baru Kentrung, pewaris kebudayaan masa
depan,” ujar Sukatno (Kepala Taman Budaya Dinas Pariwisata
Jawa Timur) pada Tempo, 19 Juni 2011.
Kesenian lokal tentu akan hilang arah, tetapi juga kian
terarah. Riuh tepuk tangan kala video pertunjukan seni
Kentrung ditampilkan pada Konferensi Universal Academic
Cluster International di Bangkok, Thailand pada Maret 2017
silam menjadi salah satu awal tunas baru tersebut. “Kami ingin
menunjukkan bahwa seni Kentrung adalah peluang budaya
yang integratif bagi generasi masa kini karena mengasah
keterampilan lisan, tertulis, maupun pendengaran”, itulah yang
disampaikan Prof. Dr. Syukur Ghazali, M.Pd dan rekannya setelah
berhasil mempresentasikan makalah yang berjudul “Javanese
Traditional Theater Kentrung as a Teaching Media for Integrative
Language to Enhance Students Writing-Speaking-Listening
Skills” saat ditemui pada 11 April 2017 oleh media Surya.
“Kentrung perlu dikenal anak muda. Cerita-cerita lama perlu
disadari bahwa dengan mendongeng, berkomunikasi bebas dan
spontan dengan penonton, bersahut dan serunya ber-parikan
harus selalu dilestarikan sebagai ciri khas seni Kentrung yang
harus dijaga,” jelas Yayak Priasmara yang masih rapi dengan jas
hitam sembari tersenyum manis setelah selesai pentas bersama
Kluntrang Kluntrung yang tak lain, ialah komunitas Kentrung
baru yang dibentuknya di Malang sebagaimana yang dilansir
oleh gelaran.id pada 10 Agustus 2017. Alumni Universitas
Negeri Malang tersebut ternyata juga merupakan salah satu
pendiri UKM Blero di kampusnya yang fokus melestarikan seni

Kearifan Lokal Nusantara


175
Kentrung. Adapun komunitas Kentrung baru di Malang yang
diberi nama Kluntrang Kluntrung ‘mengembara’ merupakan
penyesuaiannya dengan filosofi dalang Kentrung yang akan
selalu mengembara dan berkisah sesuai tujuan pertunjukan
dan kapan Ia berada. Sekaligus juga mendirikan Sanggar Seni
Gedhang Godhog di Tulungagung, tanah kelahirannya.
Apabila sisi global dan benih-benih kebangkitan lokal
mulai banyak bermunculan, maka generasi masa kini juga perlu
berkontribusi sama dan UKM Blero menunjukkan komitmen
tersebut. “Harapannya dengan adanya pertunjukan Operet
Kentrung yang mengusung tema “Youtube” ini maka akan jadi
pembelajaran menarik bagi generasi masa kini sehingga muncul
regenerasi baru sesuai peminatan mereka dan makin dikenal
oleh publik,” ungkap Cintya Wahyuningtias (Bendahara Umum
UKM Blero) saat bersama rekannya yang begitu bersemangat
memandu acara dengan turut mengundang tokoh youtuber
populer Indonesia, yaitu Atta Halilintar dan Ria Ricis pada 27
April 2019 di depan gedung A2 Universitas Negeri Malang.
Kondisi kebangkitan yang sama juga ditunjukkan oleh seni
Kentrung Jember. “Budaya tradisional penting untuk diolah
kekinian sehingga bertahan dan mudah dikenal lebih luas
mulai dari lokal, nasional, dan internasional,” jelas Rudi Budi
Prakoso Jaka Putra (Kepala Seksi Data dan Statistik Diskominfo
Pemkab Jember) yang antusias dan tersenyum cerah saat
mengapresiasi kemenangan Kentrung Djos Jember, pasca
berhasil mendapatkan juara kesatu dalam acara Jatim Kominfo
Festival (JKF) yang diadakan pada 2 Oktober 2019 yang digelar di
GOR Ki’Mageti Kabupaten Magetan.

Kearifan Lokal Nusantara


176
Bagaikan angin segar yang seolah menerpa, semoga di atas
sana Mbah Surati kembali tersenyum cerah karena meskipun
telah tiada, kini dengung Kentrung mulai tergerak oleh generasi
masa kini yang juga dulu diimpikannya. Berbicara tentang
kepedulian pada warisan budaya maka juga tidak terlepas
dengan kegiatan World Heritage Camp Indonesia atau lebih
dikenal bimbingan teknis generasi muda cinta warisan dunia
oleh Kemendikbud yang telah dimulai sejak 2016. Program
perpanjangan dari World Heritage Education Programme
dari UNESCO ini akan dijalankan dengan konsep pembinaan
generasi muda Indonesia agar kian perhatian dan terlibat dalam
perlindungan warisan budaya maupun alam bangsa secara
berkelanjutan. Hal ini sesuai dengan Indonesia, sebagai salah
satu negara peratifikasi Konvensi 1972 tentang Perlindungan
Warisan Dunia Alam dan Budaya (Convention Concerning the
Protection of the World Cultural and Natural Heritage). Sejumlah
empat puluh generasi muda yang terdiri atas 32 orang dari
Indonesia dan delapan orang dari negara anggota ASEAN.
Warisan budaya dunia yang telah diakui oleh UNESCO
memang memeroleh kemudahan berupa dukungan ekonomi
yang otomatis mengalir demi kemajuan warisan budaya
tersebut, tingkat edukasi yang kian diperhatikan publik, dan
biaya pelestarian dari UNESCO untuk komitmen konservasinya
sebagaimana yang dipaparkan oleh Kama Pradipta (Direktur
Sosial Budaya dan Organisasi Internasional Negara Berkembang
dari Kemlu RI) saat ditemui oleh tim liputan 6 pada 18 Desember
2019 lalu. Realitanya seni Kentrung belum termasuk dalam
warisan budaya tak benda yang diakui oleh UNESCO, masih

Kearifan Lokal Nusantara


177
sebatas terdata di Kemendikbud sejak 2016 sehingga belum
memperoleh beberapa kemudahan tersebut.
Pada dasarnya, regenerasi penting terlaksana untuk
melestarikan warisan budaya dan menjaga amanah kearifan
lokal yang harus terjaga. Berdasarkan konsep yang dipaparkan
oleh Drs. I Made Purna, M.Si. dalam artikelnya yang berjudul
“Pelestarian Warisan Budaya Tak Benda” maka pelestarian
yang berlaku pada warisan budaya tak benda bermakna
mempertahankan kelangsungannya sehingga adaptasi dan
inovasi menjadi kunci untuk mampu bertahan pada pesatnya
perkembangan di masyarakat.
Dalam memahami warisan budaya tak benda, juga penting
untuk mulai mengubah pola perspektif pada semua pihak
bahwasanya jika Kentrung dan seni tradisional lainnya dimaknai
sebatas tradisi turun-temurun maka akan menimbulkan kesan
kaku dan kuno sehingga berdampak kurang sinergis dengan
perkembangan masyarakat. Padahal tradisi yang bertemu
perubahan bisa menimbulkan wujud akulturasi dan asimilasi
budaya dengan tetap eksis mengiringi perkembangan di
masyarakat.
Puncaknya pada pelestarian warisan budaya tak benda
secara berkelanjutan bukan kisah masa lalu yang terus
diceritakan namun fokus utamanya adalah mengemas ulang
nilai-nilai sejarah tersebut agar dihidupkan sepanjang masa pada
pertunjukan seni tradisional yang ditampilkan, begitu pula yang
diharapkan pada seni Kentrung. Nantinya hasil dari pelestarian
warisan budaya tak benda berupa kualitas produk budaya yang
benar-benar tersampaikan dan diteladani oleh masyarakat,
nilai-nilai yang dipegang teguh sebagai pengendalian, pemikiran

Kearifan Lokal Nusantara


178
yang berkontribusi mendukung objek budaya tersebut, barulah
kegiatan pelestarian yang kian optimal melalui pengembangan
riset dan kajian secara berkelanjutan.
Konsep ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa,
tut wuri handayani ‘di depan memberi teladan, di tengah
membangun kemauan, di belakang memberi dorongan dan
pengaruh’, oleh Ki Hajar Dewantara pada akhirnya sesuai dengan
realitas yang terjadi. Ing ngarsa sung tuladha ‘di depan memberi
teladan’ dipegang oleh pemerintah atau ranah birokrasi melalui
perluasan kegiatan World Heritage Camp Indonesia yang fokus
pada warisan budaya tak benda yang belum diakui oleh UNESCO.
Ing madya mangun karsa ‘di tengah membangun kemauan’,
dipegang oleh para pegiat seni tradisional melalui upayanya
yang terbuka mengikuti selera generasi masa kini namun tetap
sesuai kemurnian asli kesenian Kentrung sehingga lambat laun
dapat sinergis dengan peminatan publik, sedangkan tut wuri
handayani ‘di belakang memberi dorongan dan pengaruh’,
dipegang oleh para generasi muda yang berawal dari tertarik,
peduli, barulah kemudian berani berinovasi dan berkolaborasi
sehingga mampu beradaptasi dan mengintegrasikan eksistensi
seni kentrung baik lokal, nasional, dan internasional kedepannya
melalui media baru yang pesat perkembangannya.
Menggaungkan dengung Kentrung sebagai warisan budaya
tak benda sejak 2016 oleh Kemendikbud sekaligus mendalami
beberapa nilai kearifan lokal yang diembannya seperti
terbentuknya kedekatan komunikasi dan emosional melalui
kisah yang dituturkan secara langsung antara dalang dan
penontonnya, sebagaimana kini dapat disebut saling berempati
dan sharing. Keseragaman pandangan untuk meneladani

Kearifan Lokal Nusantara


179
nilai-nilai kontekstual dan menyentuh hati dari cerita yang
tersampaikan atau kini dikenal dengan musyawarah atau
diskusi. Adapun aspek keterbukaan pemikiran dan sikap untuk
menerima perbedaan budaya yang ditemui, akrab disebut
toleransi di masa kini. Semua nilai kearifan lokal tersebut
diwariskan melalui seni Kentrung sehingga wajar dengungnya
harus kian digaungkan dan itu merupakan tanggung jawab kita
semua.

Kearifan Lokal Nusantara


180
Menjaga Tanah Leluhur: Misteri
Tujuh Keluarga di Kampung Pitu
Indria Sari Susanti

Manusia dituntut untuk mampu mengikuti


perkembangan zaman. Namun, melestarikan dan
menghargai budaya para leluhur yang telah ada
sebelumnya tetap harus dilakukan. Salah satu caranya
adalah dengan mempelajari sejarah.

181
Kearifan lokal yang dipengaruhi oleh budaya dasar dari
komunitas tertentu merupakan hubungan yang harmonis
antara manusia, alam, dan lingkungan di suatu daerah.
Fenomena globalisasi dan modernisasi yang universal mampu
menciptakan homogenitas budaya. Akan tetapi, hal ini tidak
mampu menghilangkan kesakralan dari suatu kearifan lokal
yang dikenal masyarakat dan telah menjadi acuan kehidupan
mereka secara turun-temurun. Setiap kearifan lokal memiliki
analogi yang sama, yaitu berkembang berdasarkan etnis dan
ilmu pengetahuannya. Koentjaraningrat (2009) menyatakan
bahwa kearifan lokal melewati proses panjang dari awal
kemunculannya. Setiap fenomena atau ekspresi budaya selalu
didasarkan pada gagasan, proposisi, nilai, norma, perilaku
masyarakat dan artefak.
Manusia terbiasa hidup dalam sebuah komunitas, yakni
sekumpulan individu yang terhubung satu sama lain melalui
satu atribut atau lebih. Unsur manusia, keyakinan, preferensi,
kebutuhan, risiko, sumber daya, dan sejumlah kondisi lainnya di
masyarakat, menciptakan identitas peserta dan memengaruhi
tingkat interaksi di antara mereka. Segmen tertentu dari sebuah
kelompok disatukan oleh aturan dan norma yang ada.
Komunitas merupakan wadah yang bisa menyatukan
orang-orang untuk saling mengadvokasi dan mendukung
dalam perjuangan mengatasi ancaman kehidupannya.
Seorang Peneliti Boonpanya (2006) mengatakan bahwa
sejarah dan evolusi masyarakat lokal dalam sebuah komunitas
memiliki budayanya sendiri. Hal ini disebabkan oleh miniatur
masyarakat dalam sebuah sistem pengelolaan sumber daya,
sistem kesehatan, sistem pendidikan, sistem pemerintahan,

Kearifan Lokal Nusantara


182
dan sistem ekonomi yang dijalankan. Tujuan masyarakat lokal
hanya sebatas untuk menciptakan keluarga yang mandiri dan
mampu beradaptasi. Orang-orang di komunitas hidup bersama
dengan saling memberi dan membantu tanpa pamrih. Mereka
semua menganggap sebagai satu kesatuan keluarga di dalam
komunitas. Mereka membagikan sebagian apa yang dimiliki
untuk memastikan kelangsungan hidup berkeluarga dan
bermasyarakat.
Pada awal dibentuknya pemerintahan, Daerah Istimewa
Yogyakarta dikenal sebagai provinsi tertua kedua di Indonesia.
Provinsi yang memiliki otonomi khusus ini berstatus istimewa
karena berbagai warisannya, berasal dari sejarah yang terbentuk
sebelum kemerdekaan terjadi.
Keistimewaan Yogyakarta tampak dari sejarah
pembentukannya. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 dijelaskan
mengenai batas teritorial Yogyakarta di Indonesia, proses
kemerdekaan, serta bukti sejarah yang bisa dijadikan gambaran
perjuangan. Bentuk pemerintahan Yogyakarta juga sangat
unik, yakni gabungan dari kesultanan dan paku alam setingkat
provinsi, berbentuk kerajaan di bawah wilayah Republik
Indonesia. Yogyakarta juga dipimpin oleh seorang sultan dan
adipati yang bertakhta sesuai dengan ketentuan kerajaan.
Daerah Istimewa Yogyakarta dikenal memiliki banyak
lokasi pariwisata yang menarik untuk dipelajari dan dikunjungi.
Salah satunya adalah Nglanggeran yang berada di Gunung
Kidul. Menariknya, di sana juga terdapat sebuah desa bernama
Kampung Pitu. Siapa yang menyangka bahwa Pemerintah
Yogyakarta melalui Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta akan
gencar mempromosikan keunikannya?

Kearifan Lokal Nusantara


183
Jenis wisata yang diusung Kampung Pitu adalah wisata
budaya, desa wisata, dan wisata bahari. Dikisahkan bahwa
Kampung Pitu ditemukan oleh seorang Abdi Dalem Keraton
Yogyakarta, saat itu kondisinya masih kosong tak berpenghuni.
Abdi Dalem yang datang ke tempat ini menemukan pohon kinah
gadung wulung yang di dalamnya terdapat keris sakti. Semenjak
itu, disampaikan bahwa barangsiapa yang berkeinginan dan
mampu menjaga pohon serta keris di dalamnya, dia dapat
tinggal di tanah tersebut beserta keturunannya. Sampai saat ini,
amanat itu tetap dijaga oleh penduduk yang tinggal di Kampung
Pitu.
Kampung Pitu berdiri sejak tahun 1400-an dengan hanya
empat juru kunci sampai sekarang. Artinya, ada juru kunci yang
berusia hingga 200 tahun dan dianggap sakti mandraguna.
Seperti desa pada umumnya, keindahan alam Kampung Pitu
belum banyak terjamah oleh masyarakat luar. Lokasinya berada
di atas tanah seluas lebih kurang 7 hektare dengan ketinggian
740 meter di atas permukaan laut.
Sayangnya, keterbatasan akses karena topografi
pegunungan membuat masyarakat luar kesulitan untuk
mengunjungi Kampung Pitu. Akibatnya, masyarakat Kampung
Pitu kurang mendapatkan perhatian dan memilih tetap tinggal
di tanah leluhurnya. Kesulitan akses untuk berinteraksi dengan
lingkungan luar juga menyebabkan kurangnya ketertarikan
dari masyarakat untuk pindah. Selain itu, keyakinan mendalam
untuk meneruskan tradisi leluhur membuat mereka teguh
melestarikan adat istiadat secara turun-temurun.
Hal yang menarik, desa ini hanya dihuni oleh tujuh kepala
keluarga, tidak lebih dari 30 orang. Menurut salah satu warga,

Kearifan Lokal Nusantara


184
Kampung Pitu ini merupakan lahan yang bertuah. Sebenarnya,
tidak ada peraturan tertulis mengenai berapa jumlah keluarga
yang boleh tinggal di sana. Namun, secara adat, hanya tujuh
keluarga yang bisa tinggal.
Dalam sejarahnya, hanya sedikit orang yang sanggup tinggal
di sana. Banyak hal buruk yang terjadi ketika jumlah keluarga
yang tinggal lebih dari tujuh keluarga, seperti bencana alam,
meninggal dunia, atau memilih pergi dengan sendirinya dengan
alasan-alasan tertentu. Hal ini pun terjadi ketika kurang dari
tujuh keluarga yang tinggal, tidak lama kemudian akan kembali
terisi dengan keluarga baru. Sebetulnya, tujuh keluarga tersebut
merupakan keluarga, mengingat mereka merupakan keturunan
Eyang Iro Kromo, sesepuh pendiri dari Kampung Pitu.
Setiap keluarga rata-rata menduduki tanah seluas satu
hektare. Budaya dan kepatuhan pada adat yang ada membuat
Kampung Pitu bebas dari polusi udara. Lingkungannya terjaga
dengan baik, bahkan polusi suara pun tidak ditemukan.
Penduduknya berprofesi sebagai petani dan mengolah
perkebunan yang ada. Sejauh mata memandang, hanya tampak
deretan pepohonan, jarang sekali bangunan, kecuali rumah-
rumah penduduk yang jumlahnya pun sangat sedikit.
Sebagian besar rumah yang ada di desa ini memiliki rupa
seperti rumah adat Jawa yang berbentuk limasan, walaupun
sudah banyak perubahan karena perkembangan zaman.
Awalnya, rumah di Kampung Pitu berdinding kayu dan hanya
berlantaikan tanah. Secara ekonomi, penduduk Kampung Pitu
tidak bisa dikatakan sejahtera walaupun sumber daya alamnya
melimpah. Keterbatasan dalam menjual hasil bumi karena
lokasi karena sulitnya akses menjadi salah satu penyebabnya.

Kearifan Lokal Nusantara


185
Cerita lain yang menarik dari desa ini berkaitan dengan
sumber mata air di salah satu sudut desa. Menurut cerita leluhur,
mata air ini merupakan tempat memandikan kuda gaib (jaran
sembrani) yang biasa dijadikan kendaraan oleh para bidadari.
Mata air tersebut dikenal dengan sebutan Bekas Tlogo Guyangan.
Alkisah, Jaran Sembrani turun dari langit ke bumi untuk
mandi. Bekas injakan Jaran Sembrani itu terdapat pada batu-
batu yang terserak di mata air. Saat ini sumber mata air tersebut
digunakan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,
seperti mengairi sawah dan mencukupi kebutuhan air minum.
Saat ini keadaannya pun sudah berubah karena tertutup lumpur
di area persawahan.
Warga Kampung Pitu beragama Islam dengan tetap
menjalankan ajaran Jawa dalam melaksanakan ibadahnya.
Berbicara masalah budaya, pemanfaatan budaya secara masif 
telah menjadi media dakwah penyebaran Islam sejak dahulu.
Berbagai metode dan model dakwah dalam berbagai konsep
penyebaran Islam semakin terlihat dengan adanya istilah
“pribumisasi Islam” dan “Islam nusantara”. Ini merupakan
sebuah konsep baru yang digagas oleh K.H. Abdurrahman Wahid
(Gus Dur) pada tahun 1980-an (Faishol, 2014). Berdasarkan
konsep ini, ajaran Islam diakomodasikan dengan cara yang
lebih normatif di mana agama itu berasal dari Tuhan dengan
partisipasi kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa
menghilangkan identitas satu sama lain. Dengan demikian, baik
agama maupun kebudayaan akan memberikan warna yang baru
sesuai dengan kehidupan penganutnya.
Konsep ini adalah suatu upaya dalam meminimalisasi dan
menghindari timbulnya konflik dengan budaya asal yang ada di

Kearifan Lokal Nusantara


186
masyarakat, bahkan sebagai sarana untuk islamisasi. Semuanya
tentu kembali pada pribadi masing-masing, karena agama
adalah hubungan seorang hamba dengan penciptanya.
Mitos selalu menjadi tolak ukur penduduk dalam
menjalankan aktivitasnya. Setiap penduduk hidup
berdampingan dengan damai dan tidak banyak konflik,
mungkin kekerabatan dan luasnya jarak antara yang satu
dengan lainnya menjadi salah satu penyebab keadaan baik
ini. Beberapa generasi muda berusaha melakukan kompromi
dengan kebiasaan yang ada di desanya. Meskipun tidak jarang
tergoda untuk melanggar pantangan adat, mereka tetap ingat
akan konsekuensi yang harus ditanggung berdasarkan cerita-
cerita dan mitos yang diceritakan oleh para leluhurnya. Para
antropolog yang mempelajari budaya berbasis kekerabatan
tradisional, secara universal telah sering mengklaim bahwa
leluhur yang telah meninggal masih dapat memengaruhi dan
dipengaruhi oleh keturunan mereka yang masih hidup.
Dalam budaya seperti itu, setiap generasi tidak hanya
mengomunikasikan penerimaan mereka atas klaim tersebut,
tetapi juga berpartisipasi dalam bentuk pengorbanan tradisional
dan ritual lain. Tujuannya untuk menunjukkan penghormatan
terhadap leluhur dan kesediaan menerima pengaruh tersebut
dengan mengikuti pola perilaku tradisional yang dilarang. Hal
ini biasanya diberi label pemujaan leluhur dan dideskripsikan
sebagai religius. Alasannya, klaim yang dibuat tentang tindakan
yang bersifat supernatural dalam arti tidak dapat diverifikasi
oleh indra. Menuruti leluhur berpotensi menjadi sangat penting
ketika melakukan penjelasan evolusioner tentang agama dan
budaya yang ada di masyarakat, karena keberadaannya yang

Kearifan Lokal Nusantara


187
terlihat di mana-mana dan termasuk kehadirannya di antara
manusia (Clark, 2016).
Setiap anggota keluarga yang hidup di desa ini menjunjung
tinggi budaya yang sudah ada dan dipercaya selama bertahun-
tahun, yaitu kesakralan dari angka tujuh yang tertanam dalam
nama kampungnya. Folklor tersebut membuat keadaan ini
semakin dipercaya oleh masyarakat sekitar.
Gunung Nglanggeran dianggap sebagai kepala gunung
merapi dan dinilai sakral karena tidak semua orang bisa dan
bertahan tinggal di sana. Kampung Pitu juga dianggap sebagai
pusat semesta yang harus dijaga keseimbangannya. Walaupun
tidak tampak secara harfiah, nilai-nilai sejarah dari Kampung
Pitu ini sangat terasa
Alkisah, ketika ada keluarga yang ingin tinggal dan menjadi
keluarga ke delapan di Kampung Pitu, seluruh penduduk akan
mengingatkan keadaan dan kepercayaan yang ada di sana.
Namun, jika orang itu tetap memaksa, tiba-tiba akan muncul
musibah, yaitu kematian dari kepala keluarganya. Ini terjadi
pada waktu yang berbeda dalam beberapa dekade hingga pada
akhirnya tidak ada lagi yang mencoba untuk tinggal. Hal yang
membuat menggidik adalah ketika satu keluarga memiliki anak
lebih dari dua orang, terkadang ada yang tiba-tiba meninggal
dan penduduk sudah biasa dengan keadaan itu. Masalah-
masalah tersebut saling berhubungan dan memengaruhi satu
sama lain dengan cara yang sangat sulit untuk dipahami dengan
akal sehat manusia.
Sampai hari ini, pengetahuan yang ada dan kearifan lokal
mendukung masyarakat dengan baik dan menawarkan banyak

Kearifan Lokal Nusantara


188
solusi yang layak untuk dipertimbangkan walaupun tetap
dalam pemahaman spiritual yang terkesan tidak nyata. Salah
satu kemungkinannya adalah memulihkan dan menyesuaikan
kearifan tradisional dengan situasi saat ini. Caranya adalah
dengan berkonsultasi kepada tetua daerah yang bijak dan
mendorong partisipasi kelompok untuk mengimplementasikan
solusinya.
Kampung Pitu adalah salah satu contoh di mana kearifan
lokal masih dijaga kuat oleh masyarakat yang terlibat di
dalamnya. Ada banyak kebaikan dari sikap ini yang bisa
kita ambil, salah satunya adalah lingkungan yang terjaga
keasliannya. Sikap kekerabatan yang sangat kental dan menjaga
tanah leluhur menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
keyakinan mereka terhadap nilai-nilai yang sudah diajarkan
para tetua desa.

Referensi
Aida, Nur Rohmi. (2019). Di Nglanggeran Gunungkidul, Ada
Kampung Unik yang Hanya Dihuni 7 KK https://travel.
kompas.com/read/2019/06/12/134200927/di-nglanggeran-
gunungkidul-ada-kampung-unik-yang-hanya-dihuni-7-
kk?page=all.
Boonpanya, B. (2006). Concepts of Local
Culture. Bangkok: Duean Tula Printing
Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi.
Jakarta: Rineka Cipta, revised edition.

Kearifan Lokal Nusantara


189
Clark, Kyle J. and Palmer, Craig T. (2016). Ancestor Worship.
https://www.researchgate.net/publication/312640057_
Ancestor_Worship diakses Desember 2020.
Drs. Abdullah Faishol, M.Hum dan Dr. Syamsul Bakri, M.Ag.
(2014). Islam dan Budaya Jawa. Pusat Pengembangan
Bahasa (PPB) IAIN Surakarta-ELSAB
Mungmachon, Roikhwanphut. (2012). Knowledge and Local
Wisdom: Community Treasure. International Journal of
Humanities and Social Science Vol. 2 No. 13; July 2012
Nariswari, Fitria and Yoesoef, Muhammad. (2019). Misteri
Lembah Hantu. https://www.researchgate.net/
publication/336987158_MISTERI_LEMBAH_HANTU_
HORROR_NOVEL_AND_VIOLENCE_IN_FAMILY_RELATION
Rofiq, Muhammad Rozzaq. (2020) Legenda Kampung Pitu. http://
gunungapipurba.com/posts/detail/legenda-kampung-pitu
diakses Desember 2020.
Sudadi. (2019). Misteri Puncak Kampung Pitu. https://www.
nglanggeran-patuk.desa.id/first/artikel/948-Misteri-Puncak-
Kampung-Pitu diakses Desember 2020
Zamor, Riche C. (2020). What Is Community and Why Is It
Important?. https://www.ikedacenter.org/thinkers-themes/
themes/community/what-is-community-responses diakses
Desember 2020

Kearifan Lokal Nusantara


190
Hampir Lenyap, Budaya Gotong
Royong sebagai Warisan Budaya
Tak Benda
Afdini Rihlatul Mahmudah

Budaya gotong royong yang menjadi karakteristik


masyarakat Indonesia sejak dahulu perlahan memudar
dan hilang ditelan zaman. Salah satu warisan tak benda
ini, sejatinya perlu untuk ditumbuhkan kembali dalam
kehidupan bermasyarakat dan diwariskan kepada lintas
generasi selanjutnya. Kita yang saat ini menjadi orang
tua adalah orang yang perlu menanamkan kembali
budaya gotong royong kepada anak cucu kita.

191
Sebuah bangsa sangat erat kaitannya dengan budaya yang
diwariskan secara turun-temurun. Harry Roesli dalam tulisannya
menyebutkan, kebudayaan adalah keseluruhan cara berpikir
atau mindset, bersikap, berperilaku dari soal-soal kecil dan
sepele sampai dengan soal-soal besar dan serius atau grand
narrative (Sedyawati, 2003). Warisan budaya tak benda adalah
warisan budaya yang bersifat abstrak, seperti konsep dan
teknologi, maupun yang berlalu dan hilang dalam waktu, seperti
musik, tari, upacara, serta berbagai perilaku terstruktur lainnya.
Karena sifatnya yang tak benda atau intangible, warisan budaya
jenis ini seringkali hilang tidak diketahui.
Kategori warisan tak benda menurut organisasi PBB UNESCO
ada 14 jenis, meliputi bahasa, naskah kuno, senjata tradisional,
pakaian adat, kerajinan tradisional, kain tradisional, teknologi
tradisional, arsitektur tradisional, kearifan lokal, permainan
tradisional, kuliner tradisional, tradisi lisan, upacara/ritual-ritual
dan seni tradisi (Antara, 2012). Beragam wujud warisan budaya
lokal memberikan kita kesempatan untuk mempelajari kearifan
lokal dalam mengatasi masalah-masalah yang dihadapi di masa
lalu. Akan tetapi, kearifan lokal tersebut seringkali diabaikan,
dianggap tidak ada relevansinya dengan masa sekarang apalagi
masa depan. Dampaknya adalah banyak warisan budaya yang
lapuk dimakan usia, terlantar, terabaikan, bahkan dilecehkan
keberadaannya.
Kearifan lokal sering juga disebut sebagai kebijakan setempat
(local wisdom), pengetahuan setempat (local knowledge) atau
kecerdasan setempat (local genius). Secara umum, kearifan
lokal diartikan sebagai pandangan hidup dan pengetahuan
serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang

Kearifan Lokal Nusantara


192
dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai
masalah dalam memenuhi kebutuhan mereka yang meliputi
seluruh aspek kehidupan seperti agama, ilmu pengetahuan,
ekonomi, teknologi, organisasi sosial, bahasa, dan kesenian.
Dapat juga berupa tradisi, petatah-petitih atau semboyan hidup.
Nilai-nilai positif dari kearifan lokal merupakan potensi dan
modal dasar dalam pembentukan jati diri dan karakter bangsa.
Untuk itu, diperlukan inventarisasi, kodifikasi, dan revitalisasi
nilai-nilai kearifan lokal dengan cara menghidupkan kembali
dan menempatkannya di dalam konteks sekarang. Nilai-nilai itu
dapat dilihat dari tradisi berbagai etnis (lisan dan tulis), seperti
budaya gotong royong, disiplin, tepat waktu, demokrasi, saling
menghormati, dan toleransi.
Satu hal yang menarik tentang budaya masyarakat
Indonesia, selain dikenal sebagai bangsa yang ramah,
masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang suka
bergotong royong. Khususnya, di pelosok-pelosok perdesaan
Indonesia, budaya gotong royong sudah mendarah daging pada
sebagian besar masyarakatnya.
Bangsa Indonesia dapat berkembang menjadi bangsa yang
besar melalui semangat bergotong royong dari masyarakatnya.
Gotong royong merupakan orientasi nilai budaya yang menjadi
dasar dalam hubungan manusia dengan sesamanya, yaitu rasa
saling ketergantungan manusia kepada sesamanya. Namun,
dengan derasnya arus modernisasi sekarang ini, budaya gotong
royong mulai memudar. Lambat laun tapi pasti masyarakat
Indonesia mulai kehilangan kepribadiannya sebagai bangsa
yang kaya akan budaya gotong royong.

Kearifan Lokal Nusantara


193
Adapun contoh kecil budaya gotong royong pada masyarakat
pedesaan di antaranya mengelola lahan pertanian. Hakikatnya,
pengelolaan lahan pertanian memerlukan banyak tenaga, mulai
dari mencangkul tanah, menanam benih, mengatur saluran air,
memberi pupuk hingga masa panen tiba mereka menanamnya
secara bersama. Akan tetapi, seiring perkembangan zaman yang
kian modern, masyarakat Indonesia pada saat ini cenderung
individualistis dan materialistis.
Sebagaimana diketahui, budaya gotong royong merupakan
suatu budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Sesuai dengan zaman dan perkembangannya, budaya tersebut
beradaptasi atau diadaptasikan dengan kebutuhan masyarakat
setempat. Sangat jelas kiranya bahwa kepemilikan budaya
tersebut bersifat kolektif dan tidak mungkin berupa perorangan
atau individual. Permasalahannya adalah tanpa ada kearifan
lokal dari masyarakat setempat, budaya gotong royong mungkin
sudah sirna (hilang).
Berdasarkan studi empiris tentang Huyula, salah satu desa
di Kecamatan Mootilango, Kabupaten Gorontalo yang dilakukan
oleh Rasid Yunus dan dituangkan dalam bukunya yang berjudul
“Nilai-nilai kearifan lokal (local genius) sebagai penguat karakter
bangsa”, beliau menyimpulkan bahwa masyarakat Desa Huyula
masih kental melakukan gotong royong dalam beberapa kegiatan
seperti kegiatan dalam bentuk Ambu yaitu kegiatan Jumat
Bersih dimana pemerintah kecamatan dan staf kantor camat
serta masyarakat setiap hari jumat membersihkan selokan air.
Kegiatan pembangunan kantor kelurahan juga dilakukan melalui
gotong royong masyarakat, baik dalam bentuk pengadaan
bahan bangunan maupun bergotong royong dalam membangun

Kearifan Lokal Nusantara


194
kantor kelurahan tersebut. Selain itu, seluruh kecamatan di Kota
Gorontalo melaksanakan gotong royong membersihkan masjid-
masjid guna memperingati hari besar Islam, seperti Maulid Nabi
Muhammad saw., Isra Mi’raj, Hari Raya Idul Fitri, dan Hari Raya
Idul Adha.
Tanpa disadari gotong royong juga dilakukan saat ada
keluarga atau kerabat yang mengalami kedukaan, kegiatan
tersebut dinamakan Hileiya, yaitu dengan memberikan sejumlah
uang melalui ibu-ibu PKK kepada keluarga yang berduka.
Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dengan bergotong
royong tersebut merupakan sebuah proses melestarikan nilai-
nilai kearifan lokal sebagai upaya untuk membangun karakter
bangsa.
Wakil Presiden Indonesia kesebelas, Boediono menyatakan
bahwa kelima sila dalam Pancasila hanya memiliki satu asas,
yakni asas gotong royong. Namun, asas ini nilainya kian terhimpit
zaman. Menurut Boediono, gotong-royong adalah semangat
kebersamaan sosial khas Indonesia dan merupakan roh bangsa.
“Gotong royong menjadi bagian dari jati diri kita dan wajib kita
lestarikan,” ujarnya. Namun, Boediono mengakui bahwa tidaklah
mudah melestarikan semangat gotong royong di tengah-tengah
kehidupan yang semakin individual dan kompetitif. Salah satu
upaya yang dapat dilakukan adalah menyelenggarakan “Bulan
Bakti Gotong Royong”, di mana masyarakat melakukan kegiatan
di lingkungan mereka secara bergotong royong. Namun,
semua itu sangat bergantung pada keberhasilan menanamkan
semangat ini kepada generasi muda (Alfian, 2013).
Gotong royong sebagai warisan budaya tak benda juga
menjadi salah satu nilai positif dalam kehidupan masyarakat

Kearifan Lokal Nusantara


195
Betawi. Hal tersebut bisa diamati dalam berbagai kegiatan
masyarakat Betawi, terutama ketika mereka sedang punya hajat
(acara). Umumnya, dalam setiap hajatan, mereka melakukan
apa yang disebut dengan istilah “nyambut” atau “sambatan”.
Mereka memberi bantuan, baik berupa bahan makanan maupun
uang, untuk membantu pelaksanaan acara (hajatan). Nilai
budaya tersebut adalah salah satu contoh gotong royong dan
kekeluargaan dalam masyarakat Betawi. Mereka tidak meminta
imbalan karena menyadari bahwa suatu saat nanti mereka juga
akan dibantu oleh para tetangga ketika mengalami kesulitan.
Sayangnya, mengingat etnis Betawi berada di Jakarta yang
banyak didatangi oleh etnis lainnya, dikhawatirkan ketahanan
budaya lokalnya akan terkikis. Apalagi dengan pembangunan
dan pengembangan kota Jakarta yang semakin gencar, banyak
etnis Betawi yang tergusur ke daerah-daerah perbatasan
Jakarta. Untuk itu diperlukan strategi penguatan budaya lokal
Betawi sebagai salah satu dasar pembentukan jati diri dan
karakter bangsa, salah satunya melalui pendidikan (formal dan
informal).
Seyogianya, masyarakat yang terbiasa bergotong royong
dan saling tolong menolong dapat terus melestarikan kearifan
lokal sesuai dengan identitas yang dimiliki bangsa Indonesia.
Ketika bangsa lain yang hanya sedikit memiliki warisan budaya
lokal berusaha keras untuk melestarikannya demi sebuah
identitas, maka sungguh sangat disayangkan jika bangsa
Indonesia yang memiliki banyak warisan budaya lokal lantas
mengabaikan pelestariannya.

Kearifan Lokal Nusantara


196
Referensi
Alfian, Magdalia. (2013). Potensi kearifan lokal dalam
pembentukan jatidiri dan karakter bangsa. Dipresentasikan
pada The 5th ICSSIS (International Conference on Indonesian
Studies). Yogyakarta, 13-14 Juni 2013.
Antara. (2012). Kemendikbud sosialisasi pencatatan warisan
budaya tak benda. http://www.antarabengkulu.com/
berita/8156/kemendikbud-sosialiasi-pencatatan-warisan-
budaya-tak-benda.
Kompas. (2013). Ajarkan gotong royong. https://tekno.kompas.
com/read/2013/05/31/02362185/ajarkan.gotong.royong
Sedyawati, Edi. (2003). Warisan budaya takbenda: masalahnya
kini di Indonesia. Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan
dan Budaya, Lembaga Penelitian Universitas Indonesia.
Yunus, Rasyid. (2014). Nilai-nilai kearifan lokal (local genius)
sebagai penguat karakter bangsa: studi empiris tentang
Huyula. Yogyakarta: Deepublish.

Kearifan Lokal Nusantara


197
Merendahlah dengan Sungkem
Kelik Fauzie C.

Dengan tradisi Sungkem, seorang anak dinilai telah


berani mengakui kesalahan dan akan merasa menjadi
pribadi yang lebih baik di masa depan, terutama di
masa pandemi saat ini.

198
Gambar 1. Prosesi Sungkeman (sumber: dokumentasi pribadi)

Lebaran tahun ini terasa begitu berbeda bagi sebagian besar


masyarakat negeri ini, tidak terlintas sedikit pun dalam benak
masing-masing individu di tahun 2020 ini akan berlebaran
dengan cara “yang tidak biasa”. Ya, Sang Pencipta telah
memberikan ujian kepada seluruh manusia di muka bumi ini
dengan adanya virus ganas yang bernama Covid-19.
Seluruh tatanan kehidupan bernegara dan bermasyarakat
berubah. Kebiasaan hidup sehari-hari masyarakat pun ikut
berubah. Menggunakan masker, mencuci tangan dengan sabun,
dan menjaga pola hidup sehat telah menjadi kebiasaan baru
yang perlu dilakukan untuk mengurangi tingkat penyebaran
virus ini. Adaptasi kebiasaan baru ini (3M) bukanlah hal yang
lazim dilakukan sebelum pandemi datang, akan tetapi dilakukan
untuk mencegah penyebaran virus ini.
Di tengah mewabahnya virus ini, tentu saja semua hal yang
bertujuan untuk memerangi virus ini menjadi hal yang wajib
dilakukan sambil menunggu ketersediaan vaksin yang hingga
saat ini belum ditemukan. Bagi sebagian besar individu, pandemi
ini terasa begitu memukul telak seluruh aspek kehidupan.

Kearifan Lokal Nusantara


199
Aspek ekonomi begitu terpuruk dan mayoritas negara di
dunia terancam masuk ke jurang resesi ekonomi. Gelombang
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) semakin meningkat di
tengah mengganasnya virus Covid-19. Beberapa perusahaan
telah terang-terangan mengakui bahwa mereka di ambang
kebangkrutan. Tingkat konsumsi masyarakat semakin menurun
dan lain hal sebagainya.
Namun, di tengah keadaan yang tidak menentu dan
serba genting seperti saat ini, masih terdapat beberapa pihak
yang memanfaatkan keadaan dengan cara-cara yang tidak
manusiawi. Perlahan tapi pasti, semangat untuk mematuhi
protokol kesehatan 3M mulai tumbuh dalam individu masing-
masing. Keinginan untuk menyudahi penyebaran dan memulai
kehidupan normal yang sesungguhnya sebelum virus ini muncul
mulai tumbuh. Ya, kami semua ingin berlebaran seperti sedia
kala, dan ingin semua kehidupan normal seperti beberapa
waktu terakhir.
Bagi sebagian besar masyarakat negeri ini, berlebaran identik
dengan pulang ke kampung halaman, kembali dari perantauan
setelah sekian tahun bekerja keras untuk menggapai impian
kehidupan yang lebih baik demi secercah harapan di masa
depan. Memohon maaf kepada kedua orang tua, berkumpul
dengan sanak saudara, saling berbagi cerita mengenai kerasnya
hidup di perantauan dan masih banyak lagi momen indah yang
sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata.
Ratusan kilometer ditempuh kaum perantau. Biaya
yang tidak sedikit telah dipersiapkan jauh-jauh hari. Tenaga
dan waktu sudah dipersiapkan untuk perjalanan jauh dan
bermacet ria karena kepadatan kendaraan yang selalu overload

Kearifan Lokal Nusantara


200
dan tumpah ruah di ruas jalan negeri ini. Semua itu terbayar
lunas dengan duduk bersimpuh di depan kedua orang tua,
menundukkan kepala sambil menggenggam erat tangan beliau
serta mengucap “Mohon maaf bapak, mohon maaf ibu untuk
segala kesalahan anakmu ini. Terima kasih untuk doa yang selalu
engkau panjatkan siang dan malam agar anakmu ini diberikan
keselamatan dunia dan akhirat”.
Tak terasa air mata menetes. Rasa haru menyelimuti
seluruh relung jiwa bercampur rasa bahagia ketika kedua orang
tua memeluk dan mengucapkan kata-kata indah yang membuat
seluruh hati ini bergetar dan membuat kita mengingat begitu
banyaknya jasa beliau dalam kehidupan kita. Duduk bersimpuh
dianalogikan bahwa setinggi apa pun jabatan kita, sebanyak apa
pun harta benda kita, kita tetap harus merendah dan membumi
untuk mengakui segala kesalahan terhadap kedua orang
tua maupun orang yang lebih tua. Tanpa kita sadari, memori
ingatan kita akan kembali dalam beberapa kurun waktu ke
belakang. Kita akan dihadapkan dengan jelas tentang memori
saat kita pernah membuat hati kedua orang terluka atas ucapan
atau tindakan yang pernah kita lakukan, atau tentang harapan
yang diamanahkan kedua orang tua kita yang belum mampu
kita capai. Dalam beberapa saat memori tersebut terlintas
dan membuat kita seolah ingin menebus berbagai kesalahan
dan semangat untuk memenuhi harapan yang diamanahkan
menjadi semakin kuat. Berbagai memori yang begitu banyak
terlintas seolah seperti membangkitkan semangat baru untuk
terus bekerja lebih giat demi masa depan orang terkasih.
Dalam tradisi masyarakat Jawa, dikenal istilah yang begitu
populer untuk merepresentasikan bentuk penghormatan, tanda

Kearifan Lokal Nusantara


201
bakti, atau rasa terima kasih. “Sungkem” dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai sujud sebagai tanda
bakti dan hormat. Tradisi sungkem ini dilakukan oleh orang
yang lebih muda kepada orang yang lebih tua (tidak terbatas
kepada orang tua kandung). Budaya ini telah secara turun-
temurun diwariskan lintas generasi sebagai wujud kearifan lokal
masyarakat Jawa pada khususnya.
Dalam tata cara pernikahan adat Jawa, kedua mempelai
melakukan prosesi “sungkeman”. Maknanya, sebelum
mengarungi kehidupan berumah tangga, kedua mempelai
memohon maaf kepada kedua orang tua atas segala kesalahan
sekaligus memohon restu agar kehidupan rumah tangga
mempelai senantiasa diberikan keberkahan serta keharmonisan.
Seiring diberikannya ampunan dan doa restu dari kedua orang
tua, dapat diartikan bahwa kedua mempelai telah lepas dari
tanggung jawab kedua orang tua yang selama ini membesarkan
dan mendidiknya. Tanggung jawab beralih kepada mempelai
pria untuk membina dan memenuhi tanggung jawab kepada
mempelai wanita yang selama ini tanggung jawabnya tersebut
ada kepada kedua orang tua.
Selain itu, tradisi sungkem juga dilakukan pada saat hari
raya Idul Fitri. Rumah sanak saudara menjadi tempat tujuan
utama untuk memelihara tali silaturahmi. Sungkem menjadi
hal utama untuk dilakukan setelah sanak saudara berkumpul,
memohon maaf dan saling memaafkan. Setelah hati menjadi
sejuk karena telah mendapatkan maaf dari orang terkasih, maka
suasana kekeluargaan menjadi semakin luar biasa sehingga
memunculkan keengganan untuk kembali ke tanah perantauan.
Namun, roda kehidupan masih harus tetap berjalan. Semua

Kearifan Lokal Nusantara


202
rasa tentang kerinduan, sementara harus dinomorduakan
dan kembali ke tanah perantauan. Orang tua, sanak saudara,
dan teman sepermainan di masa kecil harus ditinggalkan
sementara. Dengan harapan yang masih sama untuk lebaran
tahun berikutnya.
Dalam era milenial seperti saat ini, penggunaan teknologi
begitu mendominasi hampir seluruh aspek kehidupan manusia
sebagai makhluk sosial. Waktu berputar begitu cepat. Dalam
waktu 24 jam dimulai dari memulai kehidupan baru (bangun
tidur), kita sudah disibukkan oleh pesan elektronik yang
masuk ke gawai kita dan menggugah rasa keingintahuan kita
untuk membuka pesan tersemat tersebut. Pesan elektronik
dan beragam aplikasi sosial seolah membawa kita semakin
menjauh dari esensi kehidupan sosial yang sebenarnya. Kaum
milenial lebih banyak menghabiskan waktu untuk berselancar
dan bersosialisasi di dunia maya. Penggunaan teknologi yang
berkembang sedemikian pesat ini tentunya harus disikapi secara
bijak oleh setiap individu.
Dalam setiap perkembangan zaman, pengaruh positif dan
negatif membutuhkan penanganan masing-masing sebagai
wujud pengendalian diri. Dampak negatif dari degradasi moral
yang disebabkan oleh pengaruh negatif teknologi begitu mudah
kita jumpai, baik dari berbagai media ataupun dalam kehidupan
sehari-hari. Mulai pudarnya rasa saling hormat menghormati,
menurunnya rasa kasih sayang terhadap sesama, begitu
mudahnya sumpah serapah terucap dan berbagai kata yang
kurang pantas untuk diucapkan begitu lazim dan jamak ditemui
dalam kehidupan sosial dalam era saat ini.

Kearifan Lokal Nusantara


203
Ego semua orang berpangkal dan bermuara pada satu
kata yang sangat simpel, tetapi berdampak sangat besar dalam
kehidupan individu seseorang. Semakin tinggi ego yang dimiliki
suatu individu akan semakin rentan timbulnya konflik. Individu
yang memiliki rasa ego tinggi cenderung akan merasa paling
benar. Komunikasi antar individu yang kurang menghargai
lawan bicara cenderung sukar untuk mengakui kesalahan dan
mengucap kata maaf. Apabila kembali ke esensi sungkem, maka
kita akan diajarkan untuk menghilangkan atau setidaknya
mengurangi ego yang melekat.
Duduk bersimpuh sambil menundukkan kepala serta
mengucapkan maaf, sejatinya dapat diartikan sebagai sikap
membuang ego dan berani mengakui kesalahan yang kita
lakukan baik yang kita sadari ataupun tidak disadari. Kata ajaib
maaf akan mampu memperbaiki hubungan sosial yang sempat
retak karena satu dan lain hal. Kata maaf mampu untuk merajut
kembali silaturahmi yang telah sekian lama terputus. Kata maaf
dapat mengembalikan tawa dan canda yang telah lama hilang.
Kata maaf akan membuka kembali pintu-pintu rezeki dan
keberkahan. Kata maaf akan menghadirkan rida Ilahi dalam
diri kita serta akan membawa kedamaian dan kesejukan hati.
Dengan hati yang sejuk, damai serta diiringi rida Ilahi maka akan
semakin menumbuhkan rasa kasih sayang terhadap sesama,
maupun ringan tangan dalam memberikan pertolongan bagi
yang membutuhkan.
Semua kembali lagi kepada keikhlasan hati kita masing-
masing sebagai individu. Keikhlasan untuk menghilangkan
ego yang terlanjur menjerat dengan berbagai embel-embel
kekayaan, jabatan, tingkat pendidikan, strata sosial dalam

Kearifan Lokal Nusantara


204
masyarakat ataupun banyak hal lainnya. Setidaknya para leluhur
dan orang-orang tua kita telah mengajarkan hal yang sangat luar
biasa yang wajib kita terapkan dan jaga.
“Sungkem” sebagai bentuk kearifan lokal yang mempunyai
esensi tetap merendah dan menghilangkan ego dengan
mengharap rida Ilahi. Sejatinya sebagai makhluk individu dan
makhluk sosial, manusia memiliki kewajiban untuk saling
menjaga hubungan baik antar individu terlepas dari status
sosial yang dimiliki. Seringkali strata sosial menjadi batas
yang seakan memisahkan untuk saling menempatkan kodrat
sebagai individu yang menghargai sesama. Kekayaan, jabatan,
tingkat pendidikan, dan strata sosial serta hal lain yang bersifat
duniawi hanyalah kebahagiaan semu yang bersifat sementara.
Semua itu dapat hilang dengan sekejap apabila dikehendaki
oleh Sang Pencipta. Namun, kekayaan dan kebahagiaan yang
sesungguhnya adalah kekayaan hati yang bisa menempatkan
segala sesuatunya dengan penuh rasa syukur. Kebahagiaan yang
hakiki adalah ketika mampu bersyukur dengan apa yang telah
dimiliki dan menyeimbangkan antara hal duniawi dan ukhrawi.
Dengan hati yang telah memaafkan dan penuh keikhlasan untuk
saling menghargai dan menghormati sesama individu, maka
tidak berlebihan rasanya apabila rida Ilahi akan datang kepada
setiap individu yang mengharap rida-Nya. Rida yang bersumber
dari Ilahi, orang tua dan sesama individu akan memberikan
ketenangan hati maupun jiwa serta akan menjadikan suatu
individu bermanfaat bagi individu lainnya.
Pada akhirnya tradisi sungkem ini mengejawantahkan
kepada setiap individu agar membuka hati untuk saling
memaafkan, melepaskan ego, menghargai antar sesama

Kearifan Lokal Nusantara


205
individu, mengingatkan bahwa manusia tidak akan pernah
terlepas dari kesalahan, serta menjadi individu yang memberikan
manfaat bagi individu lainnya.
Alangkah baiknya apabila nantinya kita mewariskan
tradisi ini kepada anak cucu kita. Generasi selanjutnya akan
secara turun-temurun mewariskannya seperti yang kita alami
saat ini. Bagaimana pun tradisi ini mengajarkan bahwasannya
semua hal harus disikapi dengan hati yang legowo (ikhlas) serta
penuh dengan rasa syukur. Rasa syukur atas segala nikmat dan
karunia yang telah diberikan Sang Pencipta hingga saat ini
yang terkadang kita lupakan karena terlalu sibuk mengejar hal
duniawi.
Mohon ampuni kami, Ya Rabbi! Sekiranya saat ini kami
terlalu banyak meminta dan selalu merasa kurang atas nikmat
yang telah diberikan. Tumbuhkan rasa syukur dalam hati dan
jiwa kami agar kami selalu ingat betapa besar nikmat yang
Engkau berikan selama ini.

Kearifan Lokal Nusantara


206
Pesan Kearifan Lokal Nusantara:
Tabot Bengkulu dalam Masa New
Normal Covid-19
Edi Herwanto

Di masa pandemi ini, pelaksanaan Festival Tabot


Bengkulu tetap perlu dilakukan guna menjaga
kelestarian budaya, tetapi dengan menerapkan protokol
kesehatan.

207
Sungguh dirindukan. ritual tahunan yang dilakukan setahun
sekali pada bulan Muharram ini harus vakum selama pandemi.
Ya, ritual tersebut adalah Tabot, ritual yang umumnya diikuti
oleh warga keturunan India dan Melayu pribumi ini dimaksudkan
untuk memperingati meninggalnya cucu Nabi Muhammad
saw., Hasan dan Husain. Karena unik dan menarik, sejak tahun
1991 pemerintah provinsi Bengkulu menjadikan ritual tersebut
sebagai perayaan tahunan.
Tabot merupakan salah satu dari enam tradisi unik dan
menarik di Indonesia saat perayaan tahun baru Islam. Menurut
catatan sejarah, acara tahunan ini pernah ditiadakan pada tahun
1960-1970 karena adanya wabah demam panas. Tampaknya hal
tersebut kembali terulang, Tabot sempat ditiadakan akibat virus
Covid-19, meski durasinya tidak lama.
Di masa awal pandemi Covid-19, perayaan tahunan tersebut
tidak dilaksanakan karena aturan dari pemerintah. Namun,
saat new normal ini, Tabot kembali diselenggarakan, tentunya
dengan memperhatikan penerapan protokol kesehatan. Dalam
penyelenggaraannya, keluarga Tabot beserta para pemangku
adat dan panitia perayaan tidak henti-hentinya menggalakkan
patuh pada protokol kesehatan demi menjaga nama baik
keluarga Tabot dan masyarakat sekitar.
Ritual Tabot merupakan kebudayaan yang menunjukkan
kerukunan warga setempat. Melalui agenda ini, tercipta kerja
sama untuk hidup berdampingan di kalangan masyarakat, mulai
dari nelayan, petani, guru, hingga pekerja buruh. Walaupun
berbeda suku dan bahasa, mereka tetap menggunakan bahasa
Melayu sebagai bahasa pengantar di wilayah Bengkulu dan
sekitarnya. Sementara itu, bahasa Indonesia digunakan saat

Kearifan Lokal Nusantara


208
bekerja, bersekolah, mengajar, serta dalam kegiatan keagamaan
dalam menunjang persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Sebagai kilas balik, perayaan Tabot tahun 2019 adalah
perayaan terakhir sebelum pandemi menghantam negeri
ini. Perayaan di tahun tersebut termasuk ramai dan berjalan
lancar, walaupun sedikit ada penurunan jumlah pengunjung.
Sementara itu, pada tahun 2020, saat pandemi merebak,
perayaan Tabot mengalami penurunan yang cukup signifikan.
Saat itu perayaan cukup sepi karena ada perubahan sistem
jalur jalan raya sebagai upaya penanganan mobilisasi para
wisatawan. Kepolisian, TNI dan Satuan Gabungan bekerja siang
dan malam dibantu organisasi kepemudaan daerah setempat
berupaya mengamankan protokol kesehatan serta aturan yang
ada. Saat itu banyak warga yang berjalan kaki danmemarkirkan
kendaraannya jauh dari lokasi Tabot Besanding.
Pada akhirnya, kita hanya bisa berharap agar pandemi ini
segera berakhir. Normallah bangsaku, jayalah Indonesiaku!
Marilah kita bersatu melawan Covid-19 di negara yang kita
cintai ini. Harapannya satu, di tahun yang akan datang Tabot
dapat berjalan seperti sediakala, penuh kemegahan. Ini tentang
kearifan lokal nusantara, berlian yang harus kita jaga.

Kearifan Lokal Nusantara


209
Ragam Seni dan Tradisi di Lereng
Sumbing Sindoro
Evi Syntariana

Temanggung, kabupaten di lereng Gunung Sumbing dan


Sindoro ini memiliki sejumlah tradisi yang perlu dijaga
dan dilestarikan, sebuah kearifan lokal yang menjadi jati
diri bangsa.

210
Siapa yang tak mengenal Indonesia? Negara kesatuan berbentuk
kepulauan ini terletak di jalur pelayaran niaga antarbenua.
Kondisi geografis ini sangat berpengaruh pada heterogenitas
budaya di Indonesia. Akibatnya, terbentuk beragam pandangan
hidup, perilaku sosial, dan sistem kepercayaan serta berbagai
ragam budaya, suku bangsa, ras, etnis, agama, maupun bahasa
daerah.
Setiap daerah di Indonesia memiliki tradisi khas yang
diwariskan turun-temurun. Wonosobo, misalnya, memiliki
tradisi pemotongan rambut gimbal yang sangat populer di
kalangan masyarakat. Pemotongan rambut gimbal di Dieng
Wonosobo merupakan upacara pemotongan (cukur) rambut
pada anak-anak berambut gimbal (gembel) yang dilakukan oleh
masyarakat di daerah Dataran Tinggi Dieng (Dieng Plateau),
Jawa Tengah. Ruwatan ini hanya dapat dilakukan setelah
orang tua memenuhi permintaan. Selain itu, ada pula sekaten
di Yogyakarta, rangkaian kegiatan tahunan yang umumnya
diadakan umat Islam sebagai peringatan hari kelahiran Nabi
Muhammad saw.
Mungkin belum banyak yang tahu bahwa Temanggung juga
memiliki budaya dan tradisi tak kalah uniknya dengan daerah
lain. Kabupaten di lereng Gunung Sumbing dan Sindoro ini
memiliki sejumlah tradisi, antara lain Nyadran, Jumat Pahingan,
Kuda Lumping (Jaran Kepang), Warokan, dan ritual wiwitan
panen tembakau.

Kearifan Lokal Nusantara


211
Nyandran
Nyadran adalah serangkaian upacara yang dilakukan oleh
masyarakat Jawa sebagai ungkapan rasa syukur dan doa kepada
Tuhan YME agar panen tahun tersebut mendapat hasil yang
memuaskan. Nyadran biasanya dilaksanakan pada hari ke-10
bulan Rajab atau saat datangnya bulan Syaban.
Setiap desa di Temanggung memiliki tradisi Nyadran
yang berbeda-beda dengan ciri khas dan sesuai kepercayaan
masing-masing. Di Dukuh Ngropoh Kranggan, misalnya, ketika
Nyadran, setiap keluarga membawa tumpengan nasi putih
lengkap dengan lauk pauknya dan jajanan pasar untuk dibawa
ke makam. Setelah warga berkumpul di suatu makam, acara
dilakukan dengan memanjat doa dengan melantunkan ayat-
ayat suci bersama untuk para leluhur. Doa dipimpin oleh kiai
setempat ataupun orang yang dituakan. Selesai melantunkan
ayat-ayat suci, warga dipersilakan untuk menyantap makanan
yang dibawa dan saling berbagi satu sama lain. Selain itu, dalam
tradisi Nyadran di Dukuh Ngropoh, wayangan wajib digelar.
Adapun dalang yang menggelarnya harus harus turun-temurun.
Jika tidak, masyarakat meyakini akan terjadi pageblug atau
gagal panen.
Lain lagi di desa Demangan Temanggung, Nyadran dilakukan
dengan membawa makanan yang diletakkan dalam tenong,
yakni bakul bundar yang terbuat dari anyaman bambu. Tenong
berisi nasi putih lengkap dengan lauk pauk, seperti ingkung
dan jajanan pasar. Hal yang perlu diingat, saat memasak sajian
tersebut, warga dilarang untuk mencicipi karena dipercaya
mendatangkan malapetaka. Dari rumah masing-masing, warga
Demangan berjalan beriringan mengusung tenong di kepalanya

Kearifan Lokal Nusantara


212
menuju kompleks makam Kiai Demang, leluhur dusun tersebut.
Setelah warga berkumpul, acara dimulai dengan doa dan
dilanjutkan dengan makan bersama.
Sayangnya, saat ini unsur budaya dalam Nyandran
mulai luntur, terutama di kalangan masyarakat modern dan
intelektual. Di Kelurahan Kowangan, misalnya, Nyadran tetap
dilakukan, tetapi bukan di area pemakaman, melainkan di salah
satu rumah atau pekarangan warga. Setelah warga berkumpul
dengan membawa berbagai makanan, tanpa syarat apa pun,
mereka melakukan doa untuk kebaikan bersama, dilanjutkan
makan bersama.

Jumat Pahingan
Jumat Pahingan merupakan tradisi religi unik di Desa Menggoro,
Kecamatan Tembarak, Kabupaten Temanggung. Setiap Jumat
Pahing, masyarakat, secara perorangan maupun kelompok,
melakukan ziarah dan mujahadah di Masjid Menggoro yang
dibangun pada zaman Sunan Kalijaga (1272 M). Selain itu,
pengunjung juga melakukan penaburan bunga setaman yang
dicampur injet (kapur yang dikasih air) dan uang receh di
kawasan masjid.

Kuda Lumping dan Warokan


Kuda lumping di Temanggung tumbuh subur dengan munculnya
kelompok-kelompok atau komunitas di kecamatan. Kuda
Lumping atau Jaran Kepang merupakan tarian tradisional
yang menampilkan sekelompok prajurit dengan menggunakan

Kearifan Lokal Nusantara


213
properti menyerupai kuda yang terbuat dari bambu yang dihiasi
rambut terbuat dari plastik dan sejenisnya yang dikepang.
Tarian ini dilakukan secara berkelompok dan diiringi musik
tradisional, seperti gong, bonang (kenong), saron, dan kendang.
Selain itu, dapat pula ditambahkan drum, kecrek, piano, dan
sebagainya. Tarian Kuda Lumping tidak hanya diiringi musik,
tetapi juga diiringi mantra-mantra untuk mengundang makhluk
gaib.
Penari Kuda Lumping akan dirias sedemikian rupa
sehingga terlihat ‘’sangar’’ dilengkapi dengan rambut palsu dan
kerincingan. Saat penari beraksi, ia akan mengalami kesurupan.
Hal inilah yang menjadi keunikan dan daya tarik bagi penonton.
Saat kesurupan, sudah lumrah jika penari melakukan hal-hal
yang aneh, seperti memakan kaca, memakan bunga, mengupas
kulit kelapa dengan gigi, menari-nari, hingga berekspresi seperti
kelakuan binatang. Untuk menyadarkan penari, diperlukan
seorang penimbul (pawang) dan sesajen berupa kemenyan.
Berbeda dengan Kuda Lumping, Warokan tidak
menggunakan properti, seperti kuda buatan, dan bisa dilakukan
oleh semua kalangan: laki-laki, perempuan, maupun anak-anak.
Penari dilengkapi kostum jarik dan dirias hingga terlihat gagah
perkasa, menggambarkan seorang prajurit. Biasanya, tarian ini
ditampilkan sebelum tarian Kuda Lumping.

Tradisi Wiwitan Tembakau


Selain terkenal dengan tradisi dan keseniannya, Temanggung
juga dikenal dengan tembakaunya. Tembakau yang dihasilkan di
daerah ini merupakan salah satu tembakau terbaik dan dipercaya

Kearifan Lokal Nusantara


214
untuk menyuplai salah satu pabrik terbesar di Indonesia.
Menjelang masa penanaman tembakau, para petani akan
melaksanakan tradisi Wiwitan. Oleh sebagian masyarakat
di Lereng Gunung Sumbing dan Sindoro, selamatan wiwit
tembakau ini disebut tradisi among tebal. Tradisi wiwitan ini
dimaksudkan sebagai kegiatan mujahadah atau doa bersama
untuk kelancaran dan keberkahan petani agar hasil panen
bagus dan memiliki harga tinggi Wiwitan dilakukan dengan cara
melantunkan doa-doa dan membawa berbagai makanan untuk
dimakan bersama.
Dalam ritual dan tradisi tersebut, terkandung banyak
kearifan lokal, antara lain kegotongroyongan, kebersamaan,
kerukunan, dan mencintai alam semesta. Hal tersebut
yang perlu dijaga dan dilestarikan agar bisa diperkenalkan,
setidaknya diceritakan, kepada anak cucu nanti. Nak, inilah
corak kebudayaan kita, jati diri bangsa!

Kearifan Lokal Nusantara


215
Sudahkah Milenial Mengenal
Budaya Sunda?
Iin Suminar

Penerapan prinsip budaya Sunda “someah hade ka


semah” dan “akur jeung dulur, ngajaga lembur, panceug
dina galur” dapat menciptakan masyarakat yang “silih
asih, silih asah, silih asuh”.

216
Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya. Salah
satu yang unik dan kuat karakternya adalah budaya Sunda, yang
berasal dari sebelah barat pulau Jawa. Ciri khas dari kebudayaan
Sunda mencerminkan kepribadian yang dikenal dengan
kesantunan, kelembutan, serta keramahan dalam bertutur kata
dan bersikap.
Selama ini prinsip budaya Sunda telah diwariskan secara
turun-temurun, baik secara verbal maupun melalui berbagai
media Salah satu ciri budaya Sunda yang harus dipertahankan
(di-mumule) dan harus dikenalkan kepada generasi milenial
adalah “someah hade ka semah”. Someah artinya ramah atau
sopan, Hade ka semah artinya bersikap baik terhadap tamu.
Dalam arti luas, istilah ini dapat diartikan sebagai prinsip orang
Sunda yang selalu tersenyum ketika menghadapi tamu. Selain
itu, pemilik rumah juga harus susuguh (menyajikan) makanan
kepada tamu.
Setali tiga uang dengan peribahasa “someah hade ka semah”,
pesan kearifan lokal juga tercermin dari prinsip “akur jeung
dulur”. Artinya, orang Sunda selalu rukun dengan siapa saja,
saling menolong, dan menjaga hubungan baik dengan siapa
pun. Selain itu, prinsip “ngajaga lembur” juga perlu diterapkan.
Artinya, menjaga wilayah Sunda tetap dimiliki Jawa Barat.
Prinsip lainnya adalah “panceug dina galur”. Artinya, orang
Sunda harus taat pada pemerintah dan aturan yang berlaku di
Indonesia.
Adapun prinsip yang terakhir adalah adalah “silih asah,
silih asih, silih asuh” yang mempunyai makna istimewa. Prinsip
ini bermaksud baik dalam berhubungan antarindividu yang
mengajarkan sikap satu kesatuan. Apabila dijiwai dengan benar,

Kearifan Lokal Nusantara


217
berpotensi membentuk masyarakat yang kuat, bersatu, dan
sejahtera.
Arti dari silih asah yaitu saling mengasah, menajamkan,
atau memintarkan satu sama lain dengan ilmu pengetahuan
yang dimiliki; berbagi wawasan dan saling memotivasi
untuk kemajuan bersama. Dengan begitu, masyarakat dapat
meningkatkan kualitas berpikir sehingga mampu menghadapi
segala rintangan dan masalah yang ada. Hal ini juga dapat
menjadi pondasi untuk menguatkan budaya bangsa. Unsur dari
silih asah adalah adanya semangat dan kemauan, sabar, mampu
mengendalikan diri, keterbukaan, berkelanjutan, kreativitas,
proaktif, kejujuran, mau berjuang, memiliki kualitas diri, dan
kemampuan berkomunikasi.
Silih asih artinya saling menyayangi atau mengasihi dan
mengungkapkan rasa atau perilaku yang memperlihatkan
silih pikanyaah, silih pikaasih, silih pikaheman. Rasa saling
mengasihi atau menyayangi ini bukan dalam konteks sebagai
pasangan, tetapi dalam jangkauan yang lebih luas. Hal ini dapat
memperkuat hubungan antarmasyarakat karena kasih sayang
merupakan akar dari perilaku umat manusia dan merupakan
inti dari ajaran agama. Unsur dari silih asih adalah kerja lahir
dan batin, aktif, adanya dedikasi dan disiplin, dan menunjukkan
intrinsik dari pribadi manusia.
Silih asuh artinya saling memelihara, membimbing,
mengasuh, mendidik, dan saling menjaga yang dibarengi
rasa cinta dan kasih sayang. Bisa juga diartikan sebagai saling
menitipkan diri, saling menghormati, saling tanggung yang
akhinya menimbulkan rasa tenang. Apabila hal ini dilakukan

Kearifan Lokal Nusantara


218
dan dapat membudaya, kita bisa melihat arti menjadi manusia,
yang pada dasarnya tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain.
Adapun unsur silih asuh adalah kesederajatan, menghargai,
keikhlasan, regenerasi, penghomatan, pengakuan, kejernihan
hati, tanggung jawab, dan rasa kebersamaan. Hakikatnya
adalah mewujudkan hak asasi manusia untuk mengikuti kodrat
manusia itu sendiri.
Prinsip di atas mempunyai kesan yang mendalam karena
bermakna universal dan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Apabila dijaga dan dilestarikan akan menjadi ciri khas dan
kebanggaan bangsa yang bisa diwariskan turun-temurun.
Dengan begitu, seberapa besar pun gempuran dan hadangan
budaya asing, prinsip hidup ini tetap dapat kokoh.
Hakikatnya, budaya ini bisa dijadikan sebagai metode
pemberdayaan masyarakat karena di dalamnya terkandung nilai
moral dan kebaikan. Selain itu, hal ini mampu mengarahkan
agar masyarakat Sunda semakin teratur, dinamis, dan
harmonis. Puncaknya, mampu memperkuat ikatan emosional
yang telah dikembangkan dalam tradisi masyarakat. Dengan
begitu, diharapkan konflik dan kericuhan antarkelompok dapat
diredam.
Sayangnya, saat ini budaya Sunda hampir hilang akibat
akulturasi budaya global. Anggapan bahwa budaya asing lebih
“hebat” menyebabkan masyarakat cuek dan memandang
sebelah mata budaya lokal.
Lantas, bagaimana cara generasi milenial melestarikan
budaya Sunda?

Kearifan Lokal Nusantara


219
Mau Belajar dan Mengajarkan Budaya Sunda
Hal utama yang perlu ditanamkan adalah adanya keinginan
untuk tahu. Mempelajari budaya seyogyanya dapat dilakukan
dengan berbagai cara, seperti bertanya langsung kepada
ahlinya, mengamati, hingga mengikuti seminar atau workshop.
Setelah itu, bagilah pengetahuan tentang budaya Sunda
yang dimiliki dengan keluarga atau rekan. Tidak ada salahnya
menyampaikan ilmu secara santai sembari ngopi di waktu senja.

Ikut Berpartisipasi dalam Gelaran Budaya


Terlibat langsung dalam kegiatan pagelaran atau sekadar
berpartisipasi sebagai pengunjung merupakan bentuk apresiasi.
Selain itu, ikut serta dalam komunitas pemerhati budaya atau
memberi atensi terhadap gelaran budaya juga merupakan salah
satu cara untuk melestarikan budaya bangsa ini.

Mencintai Budaya Sunda dan Mempraktikannya


dalam Keseharian
Banyak cara mencintai budaya, salah satunya dengan
mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya,
menggunakan bahasa Sunda saat berkomunikasi di lingkungan
keluarga.

Memiliki Rasa Bangga


Generasi milenial harus memiliki rasa bangga terhadap budaya
bangsa, mengingat hal ini merupakan aset negara yang tak
ternilai harganya. Kebanggaan tersebut dapat ditunjukkan

Kearifan Lokal Nusantara


220
dengan cara yang sederhana. Misalnya, senang menggunakan
dan mengembangkan produk-produk lokal dan mau
memperkenalkannya kepada bangsa lain sebagai identitas diri.

Menunjukkan Budaya pada Dunia


Menunjukkan dan mengenalkan budaya pada dunia bukan
sesuatu yang mustahil pada era teknologi ini. Melalui fitur post
dan share media sosial, budaya bangsa dapat ditunjukkan dan
dikenalkan dengan jangkauan yang luas. Bukan hanya dapat
dilihat oleh bangsa sendiri, tetapi juga mampu menjangkau
pengguna mancanegara. Harapannya, semakin banyak yang
tahu, mengenal, dan mencintai budaya bangsa, eksistensi
kebudayaan nasional, khususnya budaya Sunda, akan terjaga.
Pada akhirnya, penerapan prinsip budaya Sunda “someah
hade ka semah” dan “akur jeung dulur, ngajaga lembur, panceug
dina galur” dapat menciptakan masyarakat yang “silih asih, silih
asah, silih asuh”.

Kearifan Lokal Nusantara


221
Tentang Penulis

Frial Ramadhan Supratman merupakan


pustakawan di Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia. Gelar sarjana (S. Hum)
didapatkannya dari Jurusan Ilmu Sejarah,
Universitas Indonesia (UI). Pada tahun 2016,
ia mendapatkan gelar master of arts (M.A.)
dalam bidang ilmu sejarah dari Universitas
Istanbul, Turki.
Pendidikan informal yang pernah diikutinya, antara lain
kursus bahasa Turki modern di İstanbul Üniversitesi Dil Merkezi
dan kursus bahasa Turki Usmani di Kübbealtı Vakfı, Istanbul,
Turki.
Penghargaan yang pernah diterimanya adalah Ibn Khaldun
Social Sciences Scholarship dari Yurtdışı Türkler ve Akraba
Topluluklar Bakanlığı, Turki. Adapun bidang yang menjadi
ketertarikannya adalah sejarah global, sejarah internasional,
sejarah perpustakaan, dan analisis konten perpustakaan.
Beberapa tulisannya sudah dimuat dalam berbagai jurnal
ilmiah dan media massa, seperti Studia Islamika, Aljami’ah
Journal of Islamic Studies, Afkaruna Journal of Islamic Studies,
Jurnal Sejarah, Jurnal Tamaddun, Jurnal Al-Tsaqafa, Jurnal
Kajian Informasi dan Perpustakaan, Record and Library Journal,
Kompas, IBTimes, Islami.co, Fajar Cirebon, dan Bandung Expres.

Kearifan Lokal Nusantara


222
Selain itu, ia pernah meresensi buku di berbagai jurnal ilmiah
dan media, seperti Lembaran Sejarah UGM, Jurnal Sejarah, dan
Koran Jakarta.
Ia pernah tampil presentasi dalam konferensi internasional
dan nasional, baik dalam bidang ilmu sejarah maupun ilmu
perpustakaan, antara lain di International Congress on Ottoman
Studies (Sakarya University, 2015), International Conference on
Social and Political Science (UIN Jakarta, 2015), International
Seminar on History (UI, 2015), Seminar Nasional Sejarah
(Kemendikbud RI, 2019), dan Seminar Kajian Kepustakawanan
untuk Jurnal Ilmiah (Undip, 2020). Bidang yang sedang menjadi
minat penelitiannya sekarang dalam bidang sejarah adalah
Perang Dunia I (1914-1918), Perang Dunia II (1939-1945), sejarah
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan sejarah diplomasi
Indonesia pada masa Sukarno. Dalam bidang kepustakawanan,
ia tertarik dalam melakukan analisis terhadap konten koleksi
perpustakaan, khususnya koleksi-koleksi langka.

Salamun Ababil, menyelesaikan pendidikan


dasar hingga menengah di kota kelahirannya,
Padang. Saat kecil, ia gemar membaca
tentang informasi berbagai negara di dunia,
terutama Eropa. Kegemaran tersebut terus
berlanjut hingga membuatnya memilih
untuk kuliah di program studi ilmu sejarah.
Pendidikan sarjananya selesai pada tahun
2015 di Universitas Padjadjaran dengan tema penelitian “Sejarah
Kependudukan Indonesia dari Orde Baru hingga Reformasi”.
Sejak mengenyam bangku kuliah, ia menaruh perhatian pada

Kearifan Lokal Nusantara


223
subjek ekologi dan demografi. Ia meyakini bahwa bidang
lingkungan dan kependudukan merupakan fundamen yang
penting untuk kehidupan manusia saat ini hingga nanti.
Pada 2019, ia bergabung dengan Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia sebagai pustakawan. Ia memulai tugas
di layanan foto, peta, dan lukisan. Selama bertugas di sana,
ia telah menyelesaikan katalog foto dengan tema Sejarah
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Ketika perayaan
kemerdekaan Republik Indonesia ke-75, ia menjadi pembicara
dalam diskusi sejarah yang berjudul “Dunia Fotografi pada Masa
Awal Kemerdekaan Republik Indonesia”.
Saat ini ia bertugas di layanan penelusuran informasi.
Risetnya di bidang sejarah tetap ia teruskan. Saat ini ia sedang
melakukan penelitian tentang pengelolaan dan perubahan
lingkungan di utara Jakarta.

Damaji Ratmono, lahir di Jakarta, 6 Agustus


1979. Saat ini ia berprofesi sebagai
pustakawan ahli muda di Perpustakaan
Nasional RI. Pernah ditugaskan di
perpustakaan Ombudsman RI pada tahun
2018-2020. Saat ini ia bekerja di subbagian
penerbitan pada Biro Hukum, Organisasi,
Kerja Sama, dan Humas Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia.
Untuk berkontak lebih lanjut dapat melalui e-mail
ratmonoke@gmail.com.

Kearifan Lokal Nusantara


224
Abdul Fatahul Alim, lahir di Jakarta, 2
September 1987. Ia merupakan anak kandung
dari pasangan Bapak Sanwawi (alm.) dan Ibu
Mustamiroh, sebagai anak ke empat dari lima
bersaudara. Saat ini ia bertempat tinggal di
daerah Karawaci-Tangerang. Ia menempuh
pendidikan sarjana di Fakultas Ilmu Budaya
Jurusan Sastra Arab Universitas Indonesia,
Depok dengan tahun lulus 2009.
Sejak kuliah, ia memiliki beberapa pengalaman organisasi,
mulai dari anggota ROHIS FIB UI tahun 2006, anggota SENAT
(BEM) FIB UI tahun 2006, anggota BURSA Asrama UI tahun 2006,
Ketua Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMProdi) Sastra
Arab tahun 2007, anggota BEM UI periode 2008, hingga pendiri
organisasi bela diri Taekwondo, TALENTA Club tahun 2008.
Pengalaman kepanitiaan juga pernah ia emban, di antaranya
Steering Commitee Festival Sahara Program Studi Sastra Arab UI
tahun 2007 dan Ketua Olimpiade UI tahun 2008.
Saat ini ia aktif sebagai pustakawan di Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia di Jakarta. Jabatan yang
diemban sejak tahun 2019 ini membuatnya semangat dalam
menghasilkan karya tulis, buah hasil pemikiran sendiri. Satu
buku yang sudah dihasilkan sejauh ini adalah buku alih aksara
dan terjemahan dari sumber naskah kuno Al-Ḥikam al-‘Aṭā’iyyah
karangan Syekh Ibnu ‘Athaillah (rahimahullah) yang terbit tahun
2020.
Ia memiliki motto hidup, di mana bumi dipijak di situ langit
dijunjung, di mana aku hidup di situ aku memberikan kontribusi.
Ia dapat dihubungi melalui Instagram @dulfatahlim, e-mail
fatah.dul5@gmail.com.
Kearifan Lokal Nusantara
225
Annisa Marwa, lahir di Bengkulu 14 Februari
1995. Anak pertama dari empat bersaudara.
Kini bekerja di Perpustakaan Nasional RI
Unit Biro Perencanaan dan Keuangan,
Subtansi Perencanaan di Penyusunan
Program dan Anggaran sebagai perencana
ahli pertama.

Desviana Siti Solehat adalah anak kedua


dari tiga bersaudara. Ia lahir pada tanggal
13 Desember 1994 di Bandung, Jawa Barat
dari pasangan Dedi Sunardi dan Icah. Ia
menyelesaikan pendidikan sarjana di
Program Studi Perpustakaan dan Informasi,
Jurusan Kurikulum dan Teknologi
Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan,
Universitas Pendidikan Indonesia.
Semasa kuliah, penulis aktif di Badan Eksekutif Mahasiswa
Keluarga Mahasiswa Perpustakaan dan Informasi (BEM KEMA
PERINFO). Pada tahun 2012-2013, ia bergabung sebagai anggota
Departemen Pengembangan Sumber Daya Organisasi (PSDO).
Kemudian, pada tahun 2013-2014, ia menjabat sebagai Ketua
Bidang Kaderisasi Departemen PSDO. Pada tahun 2014-2015,
ia menjabat sebagai Kepala Departemen PSDO. Selain itu, ia
juga pernah menjadi anggota di Dewan Perwakilan Mahasiswa
Keluarga Mahasiswa Perpustakaan dan Informasi (DPM KEMA

Kearifan Lokal Nusantara


226
PERPUSINFO) pada tahun 2015-2016.
Setelah menyelesaikan studi S-1, ia bekerja sebagai
pustakawan di Yayasan Fathul Huda Bandung (2017-2018).
Saat ini ia menjabat sebagai pustakawan ahli pertama di
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Saat ini penulis
ditempatkan di Kelompok Monograf Tertutup, Pusat Jasa
Informasi Perpustakaan, dan Pengelolaan Naskah Nusantara.

Ellis Sekar Ayu, pustakawan ahli madya di


Perpustakaan Nasional. Bekerja sebagai
konservator di subbid perawatan dan
perbaikan BP sejak tahun 1999 sampai
tahun 2017. Sejak bulan Januari 2018, ia
menjadi pustakawan di subbid perawatan
dan perbaikan bahan pustaka.
Pernah menyusun bahan ajar diklat
pelestarian BP dengan materi pelajaran analisis kebutuhan
pelestarian tahun 2009. Kemudian, pada tahun 2019, ia kembali
diberi kesempatan menyusun bahan ajar diklat pelestarian fisk
bahan perpustakaan dengan materi pelatihan perbaikan bahan
perpustakaan kertas.
Bersama M. Kodir, ia menyusun bahan ajar diklat
perjenjangan pustakawan ahli muda tahun 2019 dengan materi
pelajaran pelestarian koleksi perpustakaan. Selain menulis
bahan ajar, bersama Made Ayu Wirayati dan Aris Riyadi, ia juga
menyusun buku pedoman teknis pembasmian serangga dan
biota di perpustakaan (2013) dan buku pedoman pelestarian

Kearifan Lokal Nusantara


227
bahan pustaka (konservasi kuratif bahan pustakaan media
kertas) (2014). Karena mendapat bantuan biaya penelitian dari
Pusat Pengembangan Pustakawan, pada tahun 2018, ia dan
Imam Supangat melakukan kajian survey tingkat keasaman buku
langka pasca deasidifikasi kering (non-aqueous deasidification)
di Perpustakaan Nasional.

Endy Santoso lahir di Situbondo, 28 Januari


1986. Seorang yang tidak pernah berhenti
untuk terus belajar tentang segala hal. Saat
ini mengabdikan diri di Pusat Analisis
Perpustakaan dan Pengembangan Budaya
Baca–Perpustakaan Nasional RI.
Selalu berusaha sebanyak mungkin
menebar kebaikan. Setidaknya mulai dari
senyum, salam, sapa. Saat ini sedang menyelesaikan tanggung
jawab pendidikan magister Ilmu Perpustakaan dan Informasi
di Universitas Indonesia. Senang membaca dan mempunyai
perhatian besar terhadap pembudayaan kegemaran membaca
melalui perpustakaan di Indonesia. Pernah menjadi koordinator
Pembudayaan Kegemaran Membaca melalui kegiatan Duta
Baca Indonesia.
Melalui penulisan mengenai transfer knowledge, berusaha
untuk mengaplikasikan ilmu yang telah didapatkan pada
masa pendidikan terhadap keadaan realitas yang terjadi di
masyarakat. Suka membaca tentang apa saja. Selalu berusaha
untuk tidak ketinggalan informasi mengenai apa pun. Namun
akhirnya sering ridak perduli dengan keadaan politik yang

Kearifan Lokal Nusantara


228
sedang terjadi. Selalu mendukung perubahan yang memberikan
kebaikan pada banyak hal.
Sering tertarik pada ilmu–ilmu populer yang membahas
mengenai kehidupan yang berubah pada masa kini. Sudah
menuntaskan buku dengan tema Disrupsi khususnya karya Prof
Renald Kasali, dan saat ini sedang menyelesaikan buku–buku
karya Yuval Noah Hariri: antara lain: Sapiens, Homo Deus dan
21 Lesson. Selain itu disela waktu gemar membaca buku–buku
puisi karya Joko Pinurbo dan lainnya.
Menulis tentang petuah orang tua ini tentu mengingatkan
kita pada hangatnya pesan Ibu. Ibu mengingatkan banyak hal.
Tak hanya tentang 3M, tapi tentang segala hal di dunia ada peran
Ibu disana. Jagalah kesehatan, terus bahagia, dan menjadi
berarti bagi sesama. Salam damai.
Dapat dihubungi melalui FB/IG: Endy Santoso/@endy.
santoso. Atau melalui eimail: endy_santos86@yahoo.co.id. atau
endysantos86@gmail.com

Ervina Nurjanah, lahir di Tasikmalaya, 19


Januari 1994. Alumnus pada program studi
S1 Ilmu Perpustakaan, Fakultas Ilmu
Komunikasi, Universitas Padjadjaran dan
meraih gelar sarjana pada tahun 2017. Saat
ini merupakan Pustakawan Ahli Pertama
yang ditempatkan pada unit kerja Pusat
Bibliografi dan Pengolahan Bahan
Perpustakaan, di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
mulai Februari 2019. Sebelumnya pernah bekerja sebagai

Kearifan Lokal Nusantara


229
general administrator di Bank Indonesia sejak tahun 2017-2019.
Semasa kuliah aktif dalam beberapa organisasi, di antaranya
tahun 2015-2017 menjadi Instruktur Laboratorium Informasi di
Fakultas Ilmu Komunikasi UNPAD, tahun 2015-2016 menjadi
Kepala Divisi Keilmuan pada Himpunan Mahasiswa Ilmu
Perpustakaan UNPAD, tahun 2013-2016 menjadi staf Penelitian
dan Pengembangan di Lembaga Penerbitan Pers Mahasiswa
(LPPM) dJatinangor, dan tahun 2013-2015 menjadi staf Human
Resource Development HIMAKA FIKOM UNPAD.
Pada tahun 2017 telah menulis artikel yang berjudul
Hubungan Literasi Digital dengan Kualitas Penggunaan
E-Resources yang diterbitkan pada Jurnal Lentera Pustaka
Vol. 3 No. 2 (2017). Tahun 2016 menjadi pemenang pertama
Library Concept Competition, Liblicious Epicentrum Padjadjaran
Communication Festival 2016 dengan mengusung proposal
berjudul Makerspace Library Solusi Meningkatkan Partisipasi
Masyarakat dalam Kegiatan Ekonomi Kreatif di Indonesia. Tahun
2015 menjadi penulis terpilih pada lomba menulis kategori puisi
dan cerita pendek yang diselenggarakan oleh Ellunar Publisher.

Hanita Sulistia, lahir di Jakarta, 18 Mei


1971. Pustakawan Ahli Madya yang sehari-
hari bertugas pada Pusat Jasa Informasi
Perpustakaan dan Pengelolaan Naskah
Nusantara (Pujasintara) di Kelompok
Layanan Monograf Tertutup. Ia merupakan
lulusan Fakultas Ilmu Komunikasi Jurusan
Ilmu Perpustakaan Universitas Padjajaran

Kearifan Lokal Nusantara


230
Bandung. Selama 25 tahun menjadi pustakawan, ia telah
mengikuti berbagai diklat, di antaranya Diklat Pengatalogan
Berbasis INDOMARC, Diklat Penulisan Karya Ilmiah, Diklat
Layanan, dan Diklat Tim Penilai Jabatan Fungsional Pustakawan.
Saat ini ia bertempat tinggal di Perumahan Puri Bukit Depok
Blok O6 No.12 Sasak Panjang Tajur Halang Bogor.

Deni Susanti, lahir di Trenggalek, 18 November 1982.


Menamatkan pendidikan dasar hingga menengah atas di kota
kelahiran. Memperoleh gelar sarjana Administrasi Negara
dari Universitas Kadiri tahun 2006. Saat ini bekerja sebagai
Pustakawan Ahli Muda pada UPT Perpustakaan Proklamator
Bung Karno. Sehari-hari bertugas di Kelompok Kerja Pengkajian
Bahan Pustaka Perpustakaan Proklamator Bung Karno. Antologi
Inspirasi Penggerak Literasi merupakan antologi pertamanya
bersama 20 penggerak literasi dari berbagai penjuru nusantara,
diterbitkan oleh Azyan Publishing tahun 2020.

Indah Purwani, lahir di Surabaya pada


tanggal 6 September 1962. Ia
menyelesaiakan studi D-2 Program Studi
Teknisi Perpustakaan di Universitas
Airlangga Surabaya pada tahun 1985.
Setelah itu, melanjutkan studi S1-Ilmu
Perpustakaan di Universitas Padjajaran
Bandung. Saat ini ia berstatus sebagai
pustakawan ahli madya di Perpustakaan Nasional RI. Selama
menjadi pustawan, ia telah melakukan sejumlah kegiatan, di

Kearifan Lokal Nusantara


231
antaranya melakukan kegiatan penyuluhan dan bintek tentang
penjilidan bahan perpustakaan di berbagai kota dan luar daerah
serta menjadi pengajar bidang pelestarian di Pusdiklat
Perpustakaan Nasional RI (2010-sekarang) Selain itu, ia juga
aktif menulis artikel tentang ilmu perpustakaan dan preservasi
di media terbitan Perpustakaan Nasional RI “Media Pustakawan
“ dan “Visi Pustaka” (2008-sekarang).

Hanafi, lahir di Sleman pada tanggal 4 Mei


1984. Ia menyelesaikan program sarjana
ilmu perpustakaan di UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta pada tahun 2006. Mulai
mengabdi sebagai pustakawan muda di
Perpustakaan Proklamator Bung Karno
sejak tahun 2009. Tahun 2009-2012
ditempatkan di layanan referensi. Tahun
2013 ditempatkan di pengolahan bahan pustaka UPT.
Perpustakaan Proklamator Bung Karno. Kemudian, sejak tahun
2014 sampai sekarang ditenpatkan di layanan keanggotaan.
Sebelum menjadi pustakawan Perpusnas RI, ia sempat
menjadi pustakawan di STIKES Surya Global di Yogyakarta (2007-
2008). Kemudian, pada tahun 2008- 2009, ia bekerja sebagai
medical representative di perusahan farmasi Landson Pertiwi
Agung di Jakarta.
Selain sibuk sebagai pustakawan, sebagai seorang ayah
dari dua putri, pada malam hari sering membiasakan untuk
story telling. Kebiasaan ini merupakan salah satu bonding dan
menanamkan moral kepada anak. Karena tugas mengasuh

Kearifan Lokal Nusantara


232
merupakan kewajiban orang tuanya.
Ia telah menetaskan sejumlah karya tulis populer,
antara lain: “Menumbuhkan Minat Baca dan Pendidikan
Karakter pada Anak Melalui Bercerita (Story Telling)” (Buletin
Bung Karno,2017), “Pendidikan Pemustaka dalam Upaya
Memaksimalkan Pemanfaatan Koleksi di UPT. Perpustakaan
Proklamator Bung Karno” (Buletin Bung Karno, 2018), “UPT.
Perpustakaan Proklamator Bung Karno Menjadi Sumber Belajar
bagi Pelajar Home Schooling” (Madika, 2019), “Layanan Koleksi
Memorabilia UPT Perpustakaan Proklamator Bung Karno Blitar
Sebagai Wisata Edukasi Sejarah Bung Karno” (Madika, 2019),
“Memaksimalkan Media Sosial sebagai Sarana Promosi UPT.
Perpustakaan Proklamator Bung Karno” (Perpusnas Press,
2020). Dari beberapa tulisannya diharapkan dapat menginspirasi
pembaca dan merupakan wujud cinta terhadap lembaganya.
Karena melalui tulisan merupakan bentuk promosi lembaga.
Penulis dapat dihubungi melalui Iinstagram: @hanafi.1984 dan
e-mail: hans.blitarian12@gmail.com.

Dede Gumilar, lahir di Bandung tahun 1993.


Menyelesaikan pendidikan sarjana ilmu
perpustakaan. Sebelum menjadi
Pustawakawan di Perpusnas RI, ia
merupakan pendidik di sekolah dasar dan
sekolah menengah kejuruan. Belajar dan
berbagi adalah hal yang selalu ia usahakan.
Ia mencoba berbagi pandangan dan melihat
pandangan dari sudut yang lain yang positif. Ia percaya, jika

Kearifan Lokal Nusantara


233
Allah Swt. menciptakan semua dengan arti dan manfaatnya, ia
tinggal mencari hikmah di setiap kejadian. Ia dapat dihubungi
melalui e-mail dedegum321@gmail.com.

Aji Subekti lahir di Jakarta, pada 23 Oktober


1986. Ia memperoleh gelar sarjana di
Program Ilmu Perpustakaan, Universitas
Indonesia, pada tahun 2008. Kemudian,
pada tagun 2017 ia menyelesaikan gelar
masternya di jurusan yang sama. Saat ini ia
merupakan pustakawan muda di
Perpustakaan Proklamator Bung Karno,
Blitar. Minat penelitiannya meliputi layanan perpustakaan,
sejarah, dan studi sosial-budaya. Beberapa karya ilmiahnya
yang terbit setahun terakhir ini adalah “Analisis Kebutuhan
Pencarian Informasi Ibu dengan Kelahiran Anak Pertama Periode
Postpartum: Studi Kasus WhatsApp Group Zona Mama”, di Jurnal
BACA: Jurnal Dokumentasi dan Informasi, PDII LIPI, tahun 2019.
Artikel ilmiah berjudul “Usaha Perpustakaan Proklamator Bung
Karno dalam Merekam Sejarah Lisan untuk Melestarikan
Pengetahuan tentang Sukarno (1901–1970): Penerapan Sejarah
Lisan dalam Merekam Pengetahuan Sosok Marhaen di Bandung”,
dimuat dalam jurnal Visi Pustaka Perpustakaan Nasional RI,
tahun 2019. “Pentingnya Kosakata Terkendali dalam Era Digital”,
dimuat dalam Buletin Perpustakaan Proklamator Bung Karno,
pada tahun 2019. Pernah menjadi salah satu penyusun buku
Sukarnologi: Sosialisme Sukarno (2018) dan Sukarnologi:
Religiusitas Sukarno (2019) yang diterbitkan oleh Perpustakaan
Proklamator Bung Karno. Korespodensi dapat melalui nomor
ponsel +6285691801258 dan e-mail: abekti@gmail.com
Kearifan Lokal Nusantara
234
Nikmahtin Megawati, akrab disapa Mega.
Berasal dari kota Tuban, Jawa Timur. Hobi
membaca, menulis, dan menonton
pertunjukan seni budaya. Museum dan
galeri seni selalu jadi tujuan destinasi wisata
favorit. Saat ini berusia 26 tahun dan
berprofesi sebagai pustakawan terampil di
Perpustakaan Nasional. Kalimat
penyemangat andalannya adalah “tingkatan tertinggi
kepedulian adalah berkontribusi positif dan memberi solusi
pada lingkungan”.
Pernah menempuh pendidikan D3 Teknisi Perpustakaan
di Universitas Airlangga dan sempat bergabung dengan tim
majalah jurusan bernama Papyrus. Saat ini tergabung dalam
komunitas menulis di instansi bernama PELITA.

Indria Sari Susanti, lahir di kota Bogor. Mengenyam studi S-1


di Universitas Padjadjaran dan melanjutkan studi magister
di Universitas Indonesia. Ia merupakan ibu dari empat orang
anak. Hobinya adalah membaca, kegemaran ini memberinya
keuntungan untuk bisa mempelajari berbagai hal dari apa yang
ia baca. Membaca menjadi semacam relaksasi baginya karena
bisa membangun imajinasi dan kepekaan. Selain membaca,
ia gemar berekreasi, mengunjungi tempat-tempat baru,
menyicipi kuliner khas daerahnya, melihat keindahan alam, dan
berbelanja. Baginya, rekreasi merupakan cara lain yang untuk

Kearifan Lokal Nusantara


235
menghilangkan kepenatan pada rutinitas.
Selama 10 tahun ia bekerja di bidang swasta, mulai dari
LSM yang bergerak di bidang lingkungan dan memperhatikan
kehidupan primata di Indonesia hingga berpindah ke media
cetak. Saat ini ia mengabdikan diri di Perpustakaan Nasional RI
pada Pusat Preservasi dan Alih Media Bahan Pustaka.

Afdini Rihlatul Mahmudah, lahir di Jakarta,


24 November 1986. Ia menyelesaikan
pendidikan dasar dan menengah di
Tangerang, kemudian menempuh
pendidikan S-1 Jurusan Biologi pada
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam Universitas Negeri Jakarta tahun
2005–2010. Ia menyelesaikan pendidikan
magister Ilmu Perpustakaan pada Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Indonesia pada tahun 2016. Ia merupakan
pustakawan yang bertugas di Direktorat Deposit dan
Pengembangan Koleksi Perpustakaan, Perpustakaan Nasional
RI.
Ia pernah melakukan pengembangan profesi menulis artikel
ilmiah dalam bidang perpustakaan, informasi, dan kearsipan
bersama rekan pustakawan maupun rekan seperjuangan saat
menempuh pendidikan S-2, yang diterbitkan dalam prosiding
dan beberapa jurnal ilmiah, antara lain berjudul “Peran
Pustakawan dalam Memenuhi Kebutuhan Belajar-Mengajar
Siswa Memanfaatkan Perpustakaan Sekolah” yang diterbitakan

Kearifan Lokal Nusantara


236
dalam Prosiding Semiloka Nasional Kepustakawanan Indonesia
2015. Kemudian, artikel berjudul “Urgensi dan Integritas Arsip
dalam Konteks Kebangsaan dan Kesadaran Sejarah” diterbitkan
dalam Jurnal Lentera Pustaka Volume 2, Nomor 1 Juni 2016. Artikel
berjudul “Proses Seleksi Koleksi Perpustakaan bagi Pengguna
Disabilitas” diterbitkan dalam jurnal Media Pustakawan Volume
23, Nomor 2 Juni 2016. Artikel berjudul “Pengalaman Mahasiswa
dalam Melakukan Wirausaha Informasi: Sebuah Penelitian
Grounded Theory” dan “Penerapan Knowledge Management:
Oral History Penanganan Arsip Bencana Topan Haiyan di
Filipina” diterbitkan dalam Jurnal BACA LIPI Volume 37, Nomor
2 Desember 2016. Ia dapat dihubungi melalui e-mail: afdinirm@
gmail.com

Kelik Fauzie C., merupakan anak pertama


dari dua bersaudara. Ia lahir pada tanggal
21 April 1984 di kota Semarang Jawa Tengah.
Ia menyelesaikan studi S-1 Jurusan Teknik
Sipil di Universitas Diponegoro. Saat ini
bertugas sebagai auditor di Inspektorat
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
Ia bercita-cita untuk terus memberikan
sumbangsih positif bagi negeri ini lewat tenaga, pikiran, dan ide-
ide yang bertujuan untuk berubah ke arah yang lebih baik..

Kearifan Lokal Nusantara


237
Edi Herwanto, lahir di Bengkulu, 7 Maret
1978. Ia menyelesaikan studi D-3 Ilmu
Perpustakaan di Universitas Negeri
Bengkulu. Kemudian melanjutkan studi S-1
Ilmu Perpustakaan di Universitas Terbuka
UPPBJ Malang. Pernah bekerja di bidang
kelistrikan (1999-2001), kemudian bekerja di
Suzuki Indomobil-Sumsel (2002-2004). Saat
ini ia menjabat sebagai Pustakawan Ahli Pertama di Layanan
Koleksi Anak/UPT.PPBK. Untuk berkorespondensi, ia dapat
dihubungi melalui e-mail edi_herwanto783@yahoo.com/
abangoke783@gmail.com atau melalui nomor WhatsApp
082231116628.

Evi Syntariana, seorang ibu satu anak yang


mempunyai hobi memasak. Lahir pada
tanggal 22 Maret 1991 di Kabupaten
Temanggung. Setelah menyelesaikan
sekolah menengah atas, ia melanjutkan
kuliah di Universitas Terbuka UPBJJ
Semarang, jurusan ilmu perpustakaan, pada
tahun 2010. Awal kariernya dimulai dari
tenaga honorer sebagai pustakawan di SDN 3 Candimulyo Kedu
Temanggung selama satu tahun, kemudian pustakawan di SMAN
1 Pringsurat selama hampir 5 tahun. Saat ini ia merupakan
pustakawan di Pusat Bibliografi dan Pengolahan Bahan
Perpustakaan, Perpustakaan Nasional RI.

Kearifan Lokal Nusantara


238
Iin Suminar, lahir di Bandung, 24 Juni 1985.
Lulusan Akuntansi Politeknik Pos Indonesia
tahun 2007. Saat ini menjabat sebagai
auditor terampil di Inspektorat Perpustakaan
Nasional.

Kearifan Lokal Nusantara


239
Tentang Perpusnas PRESS

P
erpusnas PRESS adalah Lembaga Penerbit Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia yang didirikan berdasarkan
Surat Keputusan Kepala Perpustakaan Nasional Republik
Indonesia Nomor 167 Tahun 2019 tanggal 23 Juli 2019 tentang
Pembentukan Penerbit Perpustakaan Nasional dan Tim
Penerbit Perpustakaan Nasional. Tugas Perpusnas PRESS adalah
menerbitkan karya tulis dan publikasi di bidang Perpustakaan
dan Kepustakawanan. Perpusnas Press tercatat sebagai anggota
Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) No.573/DKI/2019 tanggal 1
Agustus 2019.
Arah Perpusnas PRESS adalah menjadi Penerbit
Publikasi Perpustakaan Nasional bidang perpustakaan dan
kepustakawanan yang berkualitas dan unggul. Perpusnas PRESS
dilandasi tujuan untuk 1) Melaksanakan penerbitan dan publikasi
bidang perpustakaan dan kepustakawanan baik cetak maupun
elektronik; 2) Meningkatkan kuantitas dan kualitas terbitan
bidang perpustakaan dan kepustakawanan; 3) Meningkatkan
kapasitas dan kapabilitas penerbitan dan pengelolaannya;
4) Mengoptimalkan pemanfaatan teknologi informasi untuk
mendukung publikasi penerbitan; dan 5). Menjadi mitra bagi
penulis untuk menghasilkan karya tulis bidang perpustakaan
dan kepustakawanan.
Perpusnas PRESS mengundang pustakawan khususnya
dan masyarakat pada umumnya yang memiliki gagasan dan
pemikiran tentang perpustakaan, kepustakawanan dan bidang
lainnya yang relevan dengan kebijakan Perpustakaan Nasional
untuk dapat menuangkannya dalam tulisan sehingga dapat
dibukukan dan diterbitkan.

240

Anda mungkin juga menyukai