Anda di halaman 1dari 4

Hakikat Manusia

Oleh : Ahmad Tarajjil Ma’suq (T20192099)

Segala puji bagi Allah subhanahu wa ta’ala atas segala nikmat


yang telah dianugerahkan kepada kita, khususnya saya pribadi
sehingga saya bisa melanjutkan kuliah saya di semester dua ini dan
kembali bisa belajar guna mengembangkan studi saya khususnya di mata kuliah ini yang
sedang saya pelajari, yaitu Filsafat Pendidikan yang diampu oleh dosen Bapak Dasuki, M.Pd.
Sebelum saya menjelaskan lebih jauh dan mendalam mengenai filsafat pendidikan, maka hal
yang penting pertama yang harus diketahui adalah tentang hakikat manusia (sebagaimana
RPS yang telah ditentukan), sebab manusia sendiri adalah subjek dari pendidikan tersebut.
Telah dijelaskan pada semester sebelumnya mengenai beberapa aliran filsafat yang
menjelaskan tentang hakikat manusia. Diantara aliran-aliran tentang hakikat manusia itu,
pertama adalah Monoisme. Monoisme adalah aliran serba satu. Pada aliran ini terdapat dua
macam aliran tersendiri di dalam aliran ini, yaitu Materialisme dan Idealisme. Materalisme
adalah sebuah aliran yang meyakini bahwa asal dari sesuatu termasuk manusia itu adalah zat
atau materi. Idealisme adalah sebuah aliran yang meyakini bahwa asal dari sesuatu itu adalah
adanya sebuah ruh atau ide.
Aliran kedua yaitu Dualisme. Dualisme adalah aliran yang meyakini bahwa materi
dan ide merupakan asal dari sesuatu itu. Aliran ini meyakinkan bahwa tidak akan ada sesuatu
kalau hanya terdapat satu asal, seperti materi tapi juga butuh satu hal lain juga sebagai
penyeimbang dan penyempurna akan keberadaan sesuatu tersebut, yaitu adanya sebuah ide.
Aliran ketiga yaitu Plularisme. Plularisme adalah aliran yang meyakini bahwa realitas
atau keberadaan sesuatu itu bukan hanya berasal dari satu atau dua substansi saja, tapi dari
banyak substansi. Bukan hanya terdiri dari jasmani dan rohani saja, tapi beberapa filsuf juga
mengatakan bahwa terdapat unsur-unsur yang melekat dalam diri manusia seperti api, tanah,
udara, dan air yang merupakan unsur substansial dari segala wujud.
Aliran keempat yaitu Agnositisme. Agnositisme adalah aliran yang mengingkari akan
kemampuan manusia dalam menemukan hakikat dalam diri manusia itu sendiri. Dan aliran
selanjutnya yaitu Nihilisme. Nihilisme adalah aliran yang meyakini bahwa tidak ada unsur
realitas apapun dalam keberadaan sesuatu termasuk juga manusia.
Aliran-aliran itulah -sebagaimana telah disebutkan diatas- yang ada dan
dikembangkan dalam filsafat tentang hakikat manusia menurut konsep barat. Dan itu
tentunya berbeda sekali dengan filsafat menurut konsep Islam.
Manusia juga disebut dengan Homo Spiens (makhluk yang berakal budi, susila sebab
manusia akan dihadapkan dengan suatu tindakan yang membuat dia harus bisa memilih,
bukan hanya dengan nafsunya saja ia bisa memilih tapi juga dengan akalnya bagaimana ia
bisa memilihnya dengan tepat), Homo Religius (makhluk yang berketuhanan), Homo Faber
(makhluk yang bisa membuat benda, manusia dengan akalnya ia juga bisa berkreasi sebagai
bentuk wujud dari hasil berpikir yang diwujudkan dengan kreasi tersebut), Homo Languen
(makhluk pencipta bahasa, yang tentunya sudah banyak terdapat bahasa ciptaan dari banyak
manusia yang ada di dunia ini, dimana bahasa ini menjadi sesuatu yang urgen agar manusia
satu dengan yang lain bisa saling berinteraksi dengan baik), Homo Economicus (makhluk
butuh makan, bukan hanya sebagai penutup dari adanya rasa lapar tapi juga bagaimana ia
bisa bertahan hidup), makhluk individu (dimana manusia memiliki dunianya sendiri,
tujuannya sendiri, masing-masing sadar akan eksistensinya untuk menjadi diri sendiri), dan
makhluk sosial (dimana untuk memperkuat eksistensinya ia sebagai makhluk individu, ia
juga mempunyai hidup bersama dan tujuan hidup yang sama juga dengan sesama, sehingga
tokoh Aristoteles menyebutnya makhluk sosial atau bermasyarakat).
Adapun hakikat manusia menurut konsep Islam, bahwa manusia itu adalah ciptaan,
tentunya ada yang menciptakan yaitu Allah subhanahu wa ta’ala. Jadi jelas sekali bahwa
manusia itu ada karena diciptakan oleh sang pencipta (disebut dengan Kreasionisme)
bukanlah manusia itu ada karena adanya evolusi (disebut dengan Evolusionisme),
sebagaimana yang dikembangkan oleh barat.
Kemudian apa hakikat manusia itu menurut konsep Islam ?. Terdapat beberapa
konsep tentang hakikat dan makna manusia yang disebutkan dalam Al Qur’an : Banu Adam,
An Nas, Al Insan, dan Al Basyar. Manusia dinyatakan sebagai Banu adam, yang berarti anak-
anak dari atau keturunan Nabi Adam alaihis salam yang diyakini sebagai orang pertama yang
Allah ciptakan ke bumi. Mengapa disebut demikian ? manusia itu berasal dari orang satu
yaitu Nabi Adam, kemudian diciptakanlah seorang Hawa yang diambil tulang rusuknya yang
kiri, kemudian keduanya melakukan hubungan dan melahirkan seorang anak bahkan
beberapa. Jadi di sini bisa difahami bahwa manusia memiliki potensi untuk mempunyai
sebuah keturunan dengan adanya hubungan yang saling mengikat antara dua jenis manusia
laki-laki dan perempuan. Konsep Banu Adam ini berhubungan erat dengan konsep yang
kedua, yaitu Al Basyar.
Al Basyar secara etimologi arabnya berarti Al Mulamasah, yaitu persentuhan kulit
antara dua jenis kelamin. Jadi hubungan konsep ini dengan sebelumnya yaitu manusia bisa
memberikan keturunan apabila ada persentuhan secara biologis. Makna al Basyar ini
merupakan makhluk yang memiliki sifat kemanusiannya yang terbatas, seperti makan,
minum, seks, keamanan, kebahagiaan dan lain semacamnya. Al Basyar ditujukan kepada
semua manusia tanpa terkecuali, kepada orang biasa maupun kepada utusannya. Hanya saja
kalau utusan itu, mereka diberikan wahyu, sedangkan manusia umunya tidak diberikan
wahyu.
Al Insan dari akar katanya berasal dari kata Nasiya yang berarti lupa. Ini
menunjukkan keterkaitan manusia akan kesadarannya bahwa dengan sifat lupa yang
dimilikinya, ia akan menyadari bahwa betapa lemahnya manusia dan Allah lah yang maha
sempurna. Jadi konsep ini menunjukkan bagaimana kemampuan akal, akal itu bekerja. dan
tentunya dari sekian banyak manusia, berbeda pula tingkat kerja ingat mereka.
An Nas secara umum dalam Al Qur’an disebutkan dengan fungsi manusia sebagai
makhluk sosial. Dalam bahasa Arab sendiri, kata An nas itu adalah kalimat mufrod secara
lafadz namun memiliki arti jamak atau banyak yang meliputi berbagai orang di dalamnya.
Dalam suroh Al Hujurat ayat 13 disebutkan bahwa Allah SWT itu menciptakan kalian
manusia dari jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang keduanya nanti ada saling menjalin
hubungan dan memberikan keturunan, menjadikan kalian manusia itu bersuku-suku dan
berbangsa-bangsa, supaya mereka bisa saling mengenal satu sama lain, jadi bisa bisa saling
berinteraksi social. Dan diawal redaksi ayat tersebut, Allah menyebutnya dengan kata An
Nas. Berikut redaksi ayatnya :

)٣١: ‫ (الحجرات‬.‫ اآلية‬... ‫ إنا خلقناكم من ذكر وأنثى وجعلناكم شعوبا وقبآئل لتعارفوا‬،‫يآأيها الناس‬

Disebutkan dalam wahyu Allah subhanahu wa ta’ala yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, yaitu Al Qur’an dalam surah Adz-Dzariyat ayat 56:

)٦٥ : ‫ (الذريات‬.‫وما خلقت الجن واإلنس إال ليعبدون‬


Artinya : “ Tidaklah aku ciptakan jin dan manusia selain untuk menyembah kepada-Ku”
Maka dari itu, manusia juga disebut sebagai Homo Religius (sebagaimana barat
menyebutnya), sebab ia adalah makhluk yang berketuhanan. Manusia adalah makhluk yang
paling sempurna diatara makhluk-makhluk yang lain. Berbeda dengan malaikat, dimana
mereka hanya dianugerahkan berupa akal, tidak dengan nafsu. Begitu juga hewan, ia hanya
dianugerahkan nafsu, dan tidak dengan akal., tapi manusia, ia diciptakan dengan
dianugerahkan berupa akal dan nafsu. Maka hal ini yang membedakan dengan hewan atau
binatang. Manusia sebetulnya dikatakan sebagai hayawan dan disifati dengan kata nathiq
yang berarti hewan yang berakal, sebaliknya binatang itu dikatakan sebagai hayawan ghairu
nathiq, yang berarti hewan yang tak berakal. Maka inilah diantara fungsi akal yang dimiliki
manusia sebagai keseimbangan diri, sebagai pengendali nafsu ketika nafsu tidak bisa
dikendalikan yaitu ketika sampai pada nafsu Ammarah, dimana nafsu itu terbagi menjadi tiga
: Muthmainnah (yang selalu mengajak kebaikan), Lawwamah (kadang mengajak kebaikan
dan kejelekan) dan Ammarah (yang selalu mengajak pada kejelakan).
Adapun kaitannya dengan dianugerahkannya manusia berupa sebuah akal selain
nafsu, yaitu mengenai tugas manusia sendiri mengapa ia diciptakan oleh Allah subhanahu wa
ta’ala, -(sebagaimana wahyu yang telah disebutkan diatas)- yaitu untuk menyembah. Diambil
dari kata “‫”ليعبدون‬. Asal kata ini adalah ‫ عبد‬berarti menyembah, beribadah atau mengabdi.

Maka dari itu manusia itu dalam Islam disebut dengan kata Abdullah, hamba Allah. Namun
sebutan atau gelar tidak akan didapatkan bagi manusia yang sudah sampai pada hakikatnya,
yaitu senantiasa beribadah, menyembah atau mengabdi kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Disebutkan juga dalam Al Qur’an surah Al Baqarah ayat 30 :

،‫ قالوا أتجعل فيها من يفسد فيها ويسفك الدماء‬،‫وإذ قال ربك للمآلئكة إني جاعل في األرض خليفة‬
)١٣ : ‫ (البقرة‬.‫ قال إني أعلم ما ال تعلمون‬،‫ونحن نسبح بحمدك ونقدس لك‬
Artinya : “ Ingatlah ketika tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘sesungguhnya aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi’. Mereka berkata, ‘mengapa engkau
hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal, kami senantiasa bertasbih dengan memuji engkau dan
menyucikan engkau’. Tuhan berfirman, ‘sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kalian
ketahui”.
Ayat diatas mengatakan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala hendak menjadikan
manusia itu sebagai seorang khalifah, atau Khalifatullah. Kata Khalifah sendiri bisa berarti
mengganti atau memimpin. Ini merupakan tugas kedua -setelah ia menjadi Abdullah-, yang
dibebankan kepada manusia untuk memimpin akan kehidupan di bumi, mengelolanya agar
menjadi baik dan aman dan memanfaatkan semesta ini, sebagai salah satu tugas
kekhalifahannya. Tentunya harus dibekali dengan ilmu dan akal mereka yang sudah Allah
anugerahkan kepada mereka.

Anda mungkin juga menyukai