Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Leukemia atau yang dikenal sebagai kanker darah merupakan keganasan

yang menyerang jaringan pembentuk darah atau yang dikenal sebagai sumsum

tulang (Keene, 2018). Leukemia dapat menyerang semua jenis usia dengan

insidensi yang paling sering terjadi adalah pada anak (WHO, 2015).

Dari semua jenis kanker pada anak-anak, leukemia merupakan jenis

kanker yang terjadi sekitar 29% pada anak-anak yang berusia 0-14 tahun (ACS,

2018). Sebagian besar leukemia yang dialami oleh anak adalah yaitu leukemia

limfoblasitk akut (LLA) (Emadi & Karp, 2017). Leukemia limfoblastik akut

(LLA) merupakan bentuk leukemia yang paling lazim dan paling umum dijumpai

pada anak yaitu terhitung sekitar 74% (ACS, 2018).

Prevalensi Leukemia dari seluruh negara ditemukan sebanyak 2,4% kasus

baru dan 3,2% kasus kematian yang terjadi di tahun 2018 (Global Cancer

Statistic, 2018). Data dari American Cancer Society (ACS) menunjukkan bahwa di

Amerika Serikat kejadian leukemia pada tahun 2016 sampai 2017 mengalami

peningkatan, sedangkan pada tahun 2018 terjadi sedikit penurunan, dan

diperkirakan pada tahun 2019 akan terjadi peningkatan kembali. Pada tahun 2016

terdapat sekitar 60.140 kasus baru dan 24.500 kasus kematian, terjadi peningkatan

pada tahun 2017 yaitu 62.130 kasus baru dan 24.500 kasus kematian, sedangkan

pada tahun 2018 mengalami sedikit penurunan sekitar 60.300 kasus baru dan

24.370 kasus kematian. (ACS, 2016, 2017, 2018). Diperkirakan 61.780 kasus baru

1
2

leukemia akan didiagnosis dan diperkirakan 22.840 kasus kematian leukemia

akan terjadi di AS pada tahun 2019 (American Cancer Society, 2019).

Di Indonesia, kasus baru dan kasus kematian akibat leukemia cenderung

meningkat setiap tahunnya, dimana pada tahun 2010 terdapat 19 kasus baru dan

31 kasus kematian, pada tahun 2011 tidak terjadi peningkatan kasus baru yaitu

tetap pada angka 19 kasus baru, namun terjadi peningkatan kasus kematian

menjadi 35 kasus, pada tahun 2012 terjadi peningkatan kasus baru dan kematian

menjadi 23 kasus baru dan 42 kasus kematian, dan tahun 2013 terjadi peningkatan

lagi menjadi 30 kasus baru dan 55 kasus kematian (Riskesdas, 2013). Pada tahun

2014 mengalami peningkatan kembali menjadi 46 kasus leukemia (Kemenkes,

2015). Sumatera Barat merupakan provinsi yang memiliki prevalensi 2,47%

dengan penyakit kanker kedua terbanyak setelah provinsi Yogyakarta 4,9%

(Riskesdas, 2018). Kota Padang, khususnya di RSUP Dr. M. Djamil Padang

menunjukan bahwa terjadi peningkatan kasus leukemia lympoblastic akut (LLA)

pada anak yang berusia 0-14 tahun dari tahun 2016-2018. Pada tahun 2016

tercatat 51 kasus anak penderita LLA, lalu terjadi peningkatan pada tahun 2017

yaitu tercatat 89 kasus anak penderita LLA, dan terjadi peningkatan kembali pada

tahun 2018, yaitu tercatat sebanyak 144 anak penderita LLA (Data Rekam Medik

Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. M. Djamil Padang, 2016, 2017, 2018).
3
 Ciri-Ciri dan Gejala Leukemia
Pada awalnya, leukemia sering kali tidak menimbulkan tanda-tanda. Gejala baru muncul
ketika sel kanker sudah semakin banyak dan mulai menyerang sel tubuh. Gejala yang
muncul pun bervariasi, tergantung jenis leukemia yang diderita. Namun, secara umum
ciri-ciri penderita leukemia adalah:

 Demam dan menggigil.
 Tubuh terasa lelah dan rasa lelah tidak hilang meski sudah beristirahat.
 Berat badan turun drastis.
 Gejala anemia.
 Bintik merah pada kulit.
 Mimisan.
 Tubuh mudah memar.
 Keringan berlebihan (terutama pada malam hari).
 Mudah terkena infeksi.
 Muncul benjolan di leher akibat pembengkakan kelenjar getah bening.
 Perut terasa tidak nyaman akibat organ hati dan limpa membengkak.

Gejala yang lebih berat dapat dialami penderita apabila sel kanker menyumbat pembuluh
darah organ tertentu. Gejala yang dapat muncul meliputi:

 Sakit kepala hebat


 Mual dan muntah
 Otot hilang kendali
 Nyeri tulang
 Linglung
 Kejang

Segera periksakan diri ke dokter jika muncul gejala, seperti demam berulang dan
berkepanjangan atau mimisan. Gejala leukemia sering kali menyerupai gejala penyakit
infeksi lain, misalnya flu. Pemeriksaan perlu dilakukan untuk mendeteksi dini
kemungkinan kanker dan mencegah perkembangan penyakit.
Jika Anda seorang perokok aktif dan sulit menghentikan kebiasaan merokok, maka
konsultasikan dengan dokter terkait langkah-langkah yang dapat Anda lakukan
untuk berhenti merokok. Merokok merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan
risiko leukemia.
Pengobatan leukemia membutuhkan waktu yang cukup panjang. Rutin berkonsultasi
dengan dokter selama pengobatan, bahkan hingga selesai pengobatan. Hal ini dilakukan
agar perkembangan penyakit selalu terpantau oleh dokter.

 Penyebab Leukemia
Penyakit leukemia disebabkan oleh kelainan sel darah putih di dalam tubuh dan tumbuh
secara tidak terkendali. Belum diketahui penyebab pasti dari perubahan yang terjadi,
namun beberapa faktor berikut ini diduga dapat meningkatkan risiko terkena leukemia.
Faktor risiko yang dimaksud meliputi:

 Memiliki anggota keluarga yang pernah menderita leukemia.


 Menderita kelainan genetika, seperti Down Syndrome.
 Menderita kelainan darah, seperti sindrom mielodisplasia.
 Memiliki kebiasaan merokok.
4
 Pernah menjalani pengobatan kanker dengan kemoterapi atau radioterapi.
 Bekerja di lingkungan yang terpapar bahan kimia, misalnya benzena.

 Jenis Leukemia
Leukemia dapat bersifat kronis dan akut. Pada leukemia kronis, sel kanker berkembang
secara perlahan dan gejala awal yang muncul biasanya tergolong sangat ringan.
Sementara pada leukemia akut, perkembangan sel kanker terjadi sangat cepat dan gejala
yang muncul dapat memburuk dalam waktu singkat. Leukemia akut lebih berbahaya
dibandingkan leukemia kronis.
Berdasarkan jenis sel darah putih yang terlibat, leukemia terbagi menjadi empat jenis
utama, yaitu:
Leukemia limfoblastik akut
Acute lymphoblastic leukemia (ALL) atau leukemia limfoblastik akut terjadi ketika
sumsum tulang terlalu banyak memproduksi sel darah putih jenis limfosit yang belum
matang atau limfoblas.
Leukemia limfositik kronis
Chronic lymphocytic leukemia (CLL) atau leukemia limfositik kronis terjadi ketika
sumsum tulang terlalu banyak memproduksi limfosit yang tidak normal dan secara
perlahan menyebabkan kanker.
Leukemia mieloblastik akut
Acute myeloblastic leukemia (AML) atau leukemia mieloblastik akut terjadi ketika
sumsum tulang terlalu banyak memproduksi sel mieloid yang tidak matang atau
mieloblas.
Leukemia mielositik kronis
Chronic myelocytic leukemia (CML) atau leukemia mielositik kronis terjadi ketika
sumsum tulang tidak mampu memproduksi sel mieloid yang matang.
Selain keempat jenis leukemia di atas, ada beberapa jenis leukemia lain yang jarang
terjadi, di antaranya:

 Leukemia sel rambut (hairy cell leukemia).


 Leukemia mielomonositik kronis (chronic myelomonocytic leukemia).
 Leukemia promielositik akut (promyelocytic acute leukemia).
 Leukemia limfositik granular besar (large granular lymphocytic leukemia).
 Juvenile myelomonocytic leukemia, yaitu jenis leukemia mielomonositik yang
menyerang anak usia di bawah 6 tahun.

 Diagnosis Leukemia
Dokter akan menanyakan gejala yang dialami penderita dan melakukan pemeriksaan
fisik. Melalui pemeriksaan fisik, dokter dapat mendeteksi tanda-tanda leukemia yang
muncul, seperti memar pada kulit, kulit pucat akibat anemia, serta pembengkakan
kelenjar getah bening, hati, dan limpa.
Meski demikian, diagnosis leukemia belum dapat dipastikan hanya dengan pemeriksaan
fisik. Karena itu, dokter akan melakukan pemeriksaan lanjutan untuk memastikan
diagnosis dan jenis leukemia yang dialami penderita. Jenis pemeriksaan yang dilakukan,
meliputi:
Tes darah
5
Tes hitung darah lengkap dilakukan untuk mengetahui jumlah sel darah merah, sel darah
putih, dan trombosit. Dokter dapat menduga penderita mengalami leukemia jika jumlah
sel darah merah atau trombosit rendah dan bentuk sel darah tidak normal.
Aspirasi sumsum tulang
Prosedur aspirasi sumsum tulang dilakukan melalui pengambilan sampel jaringan
sumsum tulang belakang dari tulang pinggul dengan menggunakan jarum panjang dan
tipis. Sampel ini kemudian diperiksa di laboratorium untuk mendeteksi sel-sel kanker.
Selain tes diagnosis di atas, dokter juga akan melakukan pemeriksaan lanjutan lain untuk
memeriksa kelainan organ akibat leukemia. Jenis tes yang dapat dilakukan adalah:

 Tes pemindaian, misalnya USG, CT scan, dan MRI.


 Lumbal pungsi.
 Tes fungsi hati.
 Biopsi limpa.

 Pengobatan Leukemia
Dokter spesialis hematologi onkologi (dokter spesialis darah dan kanker) akan
menentukan jenis pengobatan yang dilakukan berdasarkan jenis leukemia dan kondisi
pasien secara keseluruhan. Berikut ini beberapa metode pengobatan untuk mengatasi
leukemia:

 Kemoterapi, yaitu metode pengobatan dengan menggunakan obat-obatan untuk


membunuh sel kanker. Obat dapat berbentuk tablet minum atau suntik infus.
 Terapi imun atau imunoterapi, yaitu pemberian obat-obatan untuk meningkatkan
sistem kekebalan tubuh dan membantu tubuh melawan sel kanker. Jenis obat yang
digunakan, misalnya interferon.
 Terapi target, yaitu penggunaan obat-obatan untuk menghambat produksi protein
yang digunakan sel kanker untuk berkembang. Contoh jenis obat yang bisa
digunakan adalah penghambat protein kinase, seperti imatinib.
 Radioterapi, yaitu metode pengobatan untuk menghancurkan dan menghentikan
pertumbuhan sel kanker dengan menggunakan sinar radiasi berkekuatan tinggi.
 Transplantasi sumsum tulang, yaitu prosedur penggantian sumsum tulang yang
rusak dengan sumsum tulang yang sehat.

Terkadang, prosedur operasi juga dilakukan untuk mengangkat organ limpa


(splenectomy) yang membesar. Organ limpa yang membesar dapat memperburuk gejala
leukemia yang dialami penderita.

 Komplikasi Leukemia
Leukemia dapat menyebabkan komplikasi jika penanganan tidak segera dilakukan.
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi adalah:

 Perdarahan pada organ tubuh, seperti otak atau paru-paru.


 Tubuh rentan terhadap infeksi.Risiko munculnya jenis kanker darah lain,
misalnya limfoma.

Komplikasi juga dapat terjadi akibat tindakan pengobatan yang dilakukan. Berikut ini
beberapa komplikasi akibat pengobatan leukemia:

 Graft versus host disease, yaitu komplikasi dari transplantasi sumsum tulang.
6
 Anemia hemolitik.
 Tumor lysis syndrome (sindrom lisis tumor).
 Gangguan fungsi ginjal.
 Infertilitas.
 Sel kanker muncul kembali setelah penderita menjalani pengobatan.

Anak-anak penderita leukemia juga berisiko mengalami komplikasi akibat pengobatan


yang dilakukan. Jenis komplikasi yang dapat terjadi meliputi gangguan sistem saraf pusat,
gangguan tumbuh kembang, dan katarak.

 Pencegahan Leukemia
Belum ada cara yang efektif untuk mencegah leukemia hingga saat ini. Namun, ada
beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menurunkan risiko Anda terkena leukemia, di
antaranya:

 Melakukan olahraga secara teratur.


 Menghentikan kebiasaan merokok.
 Menggunakan alat pelindung diri, terutama jika Anda bekerja di lingkungan yang
rentan terpapar bahan kimia, seperti benzena.

Penatalaksanaan leukemia

meliputi kemoterapi, radioterpi, transplantasi sumsum tulang dan steroid. Masing-

masing terapi memiliki dampak yang berbeda-beda terhadap kesehatan dan

perkembangan pasien selanjutnya, oleh karena itu dampak setiap terapi harus

dikenali untuk memungkingkan akses informasi pengobatan (Whitaker & Green,

2014). Terapi yang dinilai sangat efektif untuk leukemia adalah kemoterapi.

Kemoterapi dinilai efektif dalam pengobatan kanker, menjaga dan menahan penyebaran

sel kanker, memperlambat pertumbuhan sel kanker, membunuh sel kanker yang

menyebar ke bagian tubuh lainnya dan mengurangi gejala yang disebabkan oleh kanker

(ACS, 2018). Kemoterapi untuk penderita leukemia terbagi atas tiga tahap, yaitu tahap

induksi, konsolidasi, dan maintenance (Wong et al, 2009).

Pengobatan dengan kemoterapi telah berhasil menaikkan angka kesembuhan

pada penderita leukemia tetapi memiliki gejala bagi fisik maupun psikologis pada anak.

Pada penelitian Nurgali, Jagoe & Abalo (2018) gejala fisik yang ditimbulkan akibat

kemoterapi ialah mual, munttidah, mukositis, gangguan gastrointestinal, anoreksia,


7
malabsorpsi, penurunan berat badan, anemia, kelelahan dan peningkatan resiko

sepsis. Kemoterapi juga memiliki dampak signifikan pada status psikologis pasien yaitu

harga diri yang rendah pada anak- anak (Sherief, 2015). Pasien yang hidup dengan

kanker stadium lanjut mengalami gejala psikologis yaitu, kecemasan, gejala depresi,

dan keputusasaan (Bail et al,

2018).

Gejala fisiologis yang tidak ditangani secara tepat dapat mempengaruhi

psikologis pasien, yang mana gejala fisiologis yang timbul akibat kemoterapi dapat

menimbulkan stres bagi pasien (Djoerban, 2014). Hal ini dibuktikan dengan Penelitian

Mcculloch, Hemsley & Kelly (2018) mengatakan bahwa gejala-gejala fisiologis yang

dialami pasien selama kemoterapi seperti nyeri, mukositis, mual, muntah, perubahan

berat badan, kekurangan nutrisi, kelelahan, gangguan tidur

dapat menimbulkan gejala psikologis yang akan terjadi seperti perasaan sedih,

depresi, cemas, takut, dan khawatir akan terjadi gejala yang lebih parah selama

perawatan mereka. Oleh karena itu, perlu adanya penanganan terhadap gejala

fisiologis kemoterapi terlebih dahulu untuk mengurangi gejala psikologis yang

akan terjadi.

Dalam praktik keperawatan anak, pendekatan asuhan keperawatan yang

diterapkan berdasarkan Family-Centered Care (perawatan berpusat pada

keluarga). Sebagaimana yang didefinisikan oleh Association for the Care of

Children’s Health, FCC difilosofikan sebagai pemberi perawatan yang melibatkan

peran penting dari keluarga. Orang tua secara bertahap semakin terlibat dalam

perawatan anak di rumah sakit. Peran yang didapatkan keluarga dalam perawatan

terpadu memperoleh pengakuan, sehingga fokus saat ini adalah pemberian

perawatan kesehatan pada anak bergeser dari berpusat pada anak menjadi model

yang berpusat pada keluarga (Hill, Kna & Santacroce, 2017). Selama menjalani

perawatan, pada umumnya anak selalu didampingi oleh orangtuanya, dan yang
8
paling sering ialah didampingi oleh ibu. Figur seorang ibu sangat penting dalam

membantu proses penyembuhan saat menghadapi gejala yang ditimbulkan akibat

kemoterapi seperti gangguan fisik, psikologis dan sosial anak. Apabila masalah

tidak teratasi, maka hal ini akan menghambat proses perawatan anak dan

kesembuhan anak itu sendiri (Wong et al, 2009).

Di China, praktek keluarga dalam menemani anak yang sakit adalah hal

yang lumrah terjadi, penelitian Kong (2010) tentang keluarga dengan anak-anak

yang dirawat di rumah sakit menjelaskan bahwa keluarga setidaknya sudah

mampu memberikan asuhan keperawatan dasar seperti makan, dan lain-lain.

Begitupun fenomena yang terjadi di Indonesia, orang tua merasa memiliki

kewajiban untuk merawat anaknya yang sakit. Keluarga memiliki peran penting

dalam integrasi perawatan, karena ketika melihat anaknya sakit keluarga terutama

seorang ibu akan turut merasakan hal yang sama, sehingga keluarga akan

melakukan segala upaya dalam perawatan kesehatan bagi anggota keluarganya

yang sakit (Friedman, 2014). Hal tersebut dibuktikan dengan penelitian

(Novrianda, Yetti & Agustini, 2015) dengan mayoritas responden berada pada

kelompok usia toddler dan pra sekolah, yang mana pada usia tersebut anak hanya

percaya kepada orang terdekatnya saja, sehingga orang tua terutama ibu

senantiasa berada di samping anaknya dan memberikan perawatan pada anaknya

secara mandiri seperti memandikan, mengganti pakaian, membantu anak saat

buang air besar dan kecil.

Fenomena tersebut juga dibuktikan dengan penelitian kualitatif yang

dilakukan di rumah sakit Jordan oleh Abdelkader, Arabiat, & Abushaikha (2013).

Pada studi ini, sang ibu menemani anaknya yang dirawat di rumah sakit, sehingga

ibu mengesampingkan berbagai perannya dalam keluarga untuk menghabiskan

waktunya di rumah sakit serta menyediakan perawatan pragmatis dan psikologis

untuk anak-anaknya. Sejalan dengan penelitian tersebut, dalam penelitian

kualitatif Maria, et al. (2014) menjelaskan bahwa ibu sangat berperan besar dalam
9
menjaga kesehatan anaknya. Ibu dengan anak menderita leukemia harus terus

membawa anaknya untuk melakukan kontrol ke rumah sakit. Untuk itu, ibu yang

bertanggung jawab untuk membawa anak kontrol sesuai dengan jadwal dan ibu
juga yang mengetahui tanda-tanda kekambuhan penyakit anaknya. Anak dengan

leukemia tidak pernah lepas dari perhatian orang tua khususnya oleh seorang ibu.

Beberapa penelitian-penelitian kualitatif yang sudah dilakukan di

Indonesia terkait peran orang tua terhadap leukemia pada anak diantaranya

penelitian yang dilakukan oleh Anggraini (2013) tentang pengalaman orang tua

melakukan perawatan lanjutan di rumah pada anak penderita LLA, menghasilkan

6 tema, yaitu pemahaman ibu tentang cara perawatan pada anak, ibu bekerja keras

dalam merawat anak, membutuhkan dukungan, timbul respon psikologis terhadap

kondisi anak, memiliki beban dalam perawatan anak, manajemen penyelesaian

masalah dan harapan ibu untuk masa depan anak. Penelitian Maria (2014) terkait

pengalaman ibu dalam merawat anak dengan leukemia menghasilkan 4 tema

diantaranya yaitu respon pertama kali seperti respon emosional, sikap selama

perawatan, dukungan yang diperoleh dan dampak penyakit. Selanjutnya penelitian

Putri (2015) tentang dukungan orang tua yang memiliki anak dengan leukemia

usia 6-12 tahun menghasilkan 5 tema, yaitu upaya orang tua dalam mengatasi

masalah leukemia pada anak, dukungan pembiayaan, informasi yang dimiliki oleh

orang tua, dukungan emosional orang tua, dan dukungan sosial untuk anak.

Tidak hanya terbatas pada penelitian kualitatif, penelitian kuantitatif yang

dilakukan oleh Ranailla, et al. (2016) terkait dampak kemoterapi pada anak

menurut orang tua di rumah cinta bandung menggambarkan bahwa dampak yang

terjadi pada anak setelah kemoterapi diantaranya dampak terhadap fisik yang

paling mengganggu yaitu kehilangan nafsu makan, mual dan muntah. Selain

dampak fisik yang ditimbulkan, dampak psikologis juga dianggap orang tua
sebagai dampak yang paling berat seperti perubahan suasana hati dan mudah

marah. Sejalan dengan penelitian Herfiana (2017) terkait dampak fisiologis kemoterapi

pada anak dengan leukemia didapatkan kesimpulan pada penelitian ini yaitu dampak

fisiologis yang sering terjadi pada anak yang menjalani kemoterapi di RSUD Moewardi

yaitu alopesia, sariawan, mual dan muntah, serta demam.

Dari beberapa pemaparan hasil penelitian diaas, terlihat bahwa keluarga

terutama ibu yang memiliki anak dengan leukemia, akan mengalami pengalaman

bervariasi baik suka maupun duka yang didapatkan selama mendampingi anaknya.

Penelitian sebelumnya telah membuktikan bahwa telah ada deskripsi atau persentase

terkait gejala fisiologis dan psikologis akibat kemoterapi srta pengalaman orang tua

dalam merawat anak dengan leukemia yang menjalani kemoterapi, seperti

pengalaman dalam berespon terhadap penyakit anak, beban ekonomi, sumber dukungan,

dan dampak penyakit. Namun, belum ada penelitian terkait pengalaman ibu yang

merupakan orang terdekat dari anak yang mengalami LLA dalam mengatasi gejala

fisiologis akibat kemoterapi.

Sebagai data awal penelitian, peneliti telah melakukan studi pendahuluan pada

tanggal 15 April 2019 di poliklinik anak RSUP Dr. M. Djamil Padang melalui

wawancara langsung ke 6 orang ibu yang sedang mendampingi anaknya. Hasil

wawancara dari orang tua dengan anak yang menderita LLA didapatkan bahwa 2 dari 6

orang ibu anaknya berada pada fase induksi dan 4 lainnya berada pada fase

maintenance. Didapatkan 2 ibu mampu menangani gejala yang ditimbulkan akibat

kemoterapi. Namun 2 ibu lainnya belum mampu mengatasi gejala tersebut. Tiga dari

empat orang ibu pada fase maintenance mengatakan


bahwa mengatasi gejala fisiologis lebih berat daripada gejala psikologis yang

dirasakan anaknya setelah menjalani kemoterapi. Pada studi pendahuluan ini ditemukan

bahwa gejala-gejala fisiologis terjadi setelah anak mendapatkan kemoterapi sampai pada

fase maintenance seperti mual, muntah, alopesia, sariawan, kelelahan serta kurangnya

nafsu makan.

Dilihat dari studi pendahuluan didapatkan pengalaman dari bu ada yang

mampu dan belum mampu dalam mengatasi gejala fisiologis. Melalui wawancara

peneliti mengeksplor tindakan-tindakan apa saa yang dilakukan oleh ibu dalam

mengatasi gejala fisiologis kemoterapi pada anak penderita LLA. Oleh karena itu,

peneliti ingin meneliti lebih lanjut terkait pengalaman ibu dalam mengatasi gejala

fisiologis kemoterapi dari anak penderita LLA serta hambatan yang diperoleh

pada saat mengatasi gejala fisiologis kemoterapi tersebut. Penelitian yang akan

dilakukan berbentuk penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi.

Dengan menggunakan metode kualitatif peneliti dapat menggali data yang lebih

lengkap, mendalam dan mendapatkan jawaban yang tepat terhadap gambaran

pengalaman ibu dalam mengatasi gejala fisiologis akibat kemoterapi pada anak

penderita LLA.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis merumuskan masalah

penelitian ini adalah bagaimana pengalaman ibu dalam mengatasi gejala

fisiologis kemoterapi pada anak dengan leukemia?


C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mendeskripsikan dan menginterpretasikan secara mendalam

mengenai pengalaman ibu dalam mengatasi gejala fisiologis kemoterapi

pada anak dengan leukemia

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui arti dan makna pengalaman ibu tentang gejala fisiologis

dari kemoterapi yang dialami anak dengan leukemia

b. Mengetahui bagaimana pengalaman ibu dalam memberikan

perawatan terhadap gejala fisiologis kemoterapi pada anak dengan

leukemia

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Pelayanan Kesehatan

Dengan hasil penelitian ini, institusi pelayanan keperawatan mampu

memahami sejauh mana ibu mengatasi gejala fisiologis kemoterapi,

sehingga dapat meningkatkan kerjasama antara ibu dengan perawat dalam

mengatasi gejala fisiologis kemoterapi pada anak dengan leukemia.

2. Bagi Keilmuan Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi khazanah keilmuan

serta bahan masukan atau informasi dalam bidang keperawatan anak untuk

memberikan intervensi terhadap anak dengan leukemia terkait penanganan

gejala fisiologis kemoterapi.


3. Bagi penelitian selanjutnya

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi dan

pembanding untuk penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan

pengalaman orang tua dalam mengatasi gejala fisiologis kemoterapi pada

anak dengan leukemia.


15

Anda mungkin juga menyukai