Anda di halaman 1dari 242

Pemantauan dan Evaluasi

Program-Program Penanggulangan Kemiskinan


Buku ini tersusun atas kerjasama
BAPPENAS dan ADB TA 4762 INO - Pro Poor Planning And Budgeting
KUMPULAN BAHAN LATIHAN
Pemantauan dan Evaluasi
Program-Program Penanggulangan Kemiskinan

BA P P ENA S
Kata Pengantar
Pada tahun 2005, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Tahun 2005-2010 Pemerintah Indonesia me-
nyajikan unsur-unsur utama Rencana Penanggulangan Kemiskinan Nasional dengan disertai fokus pada tercapa-
inya upaya pengurangan kemiskinan secara signifikan melalui perluasan lapangan kerja, peningkatan pendapatan
serta peningkatan akses pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar bagi masyarakat miskin. Salah satu prioritas
lain yang ditekankan pemerintah adalah memastikan dilaksanakannya monitoring dan evaluasi terhadap seluruh pro-
gram penanggulangan kemiskinan dan melakukan penguatan kapasitas baik di tingkat nasional maupun daerah guna
melaksanakan monitoring dan evaluasi pro-rakyat miskin yang efektif.

Pemerintah Indonesia telah memenuhi komitmen tersebut dengan melakukan beberapa evaluasi yang baru-baru ini di-
laksanakan terhadap program penanggulangan kemiskinan seperti subsidi tunai kepada keluarga miskin, bantuan op-
erasional ke sekolah dasar, pembangunan infrastruktur pedesaan, kredit mikro, dan program pembangunan berbasis
masyarakat. Di samping itu, pada awal tahun 2006 BAPPENAS memutuskan untuk menerima tawaran lembaga donor
dalam peningkatan kapasitas dan pengembangan keterampilan para perumus kebijakan dan perencana program di
BAPPENAS, maupun di departemen pemerintahan lain atau di tingkat kabupaten untuk menyusun dan melaksanakan
rencana dan sistem monitoring dan evaluasi. Kegiatan ini dikenal sebagai Pro-Poor Planning abd Budgeting (P3B).

Melalui bantuan teknis dan pendanaan dari Asian Development Bank (ADB), BAPPENAS melaksanakan kegiatan
pengembangan kapasitas untuk monitoring dan evaluasi. Salah satu langkah yang diambil adalah mensponsori be-
berapa lokakarya dan program kajian monitoring dan evaluasi. Hal ini antara lain meliputi lokakarya tiga hari mengenai
“Monitoring & Evaluasi dan Perencanaan Kebijakan yang Pro-Rakyat Miskin” yang diselenggarakan di Bogor pada
tanggal 21-23 Mei 2007. Lokakarya ini diikuti oleh 24 pejabat dari BAPPENAS, Departemen Dalam Negeri, Kemen-
terian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, dan Departemen Sosial serta empat perwakilan dari tiga provinsi
(NTT, Jawa Tengah, dan Sumatera Selatan). Perwakilan daerah ini diundang guna menghadirkan pengalaman di
tingkat daerah pada pembahasan di tingkat nasional.

Tujuan lokakarya tersebut adalah memperluas pengetahuan dasar dan meningkatkan kemampuan para peserta loka-
karya agar mereka mampu:
> menyusun rencana monitoring dan evaluasi yang kemudian akan dilaksanakan oleh pihak ketiga berdasarkan
ikatan kontrak;
> melakukan kajian kritis terhadap kualitas laporan monitoring dan evaluasi yang disajikan; dan
> menggunakan temuan yang ada dalam penyusunan program pro-rakyat miskin di masa mendatang.
Tujuan lainnya adalah menyusun dan menyesuaikan paket pelatihan Monitoring dan Evaluasi yang digunakan dalam
lokakarya tersebut agar dapat digunakan di masa mendatang dalam seminar atau lokakarya Monitoring dan Evaluasi
lain di tingkat provinsi, kabupaten, atau kota.

Dengan mempertimbangkan hal itulah buku panduan ini disusun oleh Tim Bantuan Teknis P3B. Buku ini berisi seluruh
presentasi tertulis yang disajikan dalam lokakarya tersebut ditambah satu bab pendahuluan yang berisi penjelasan
umum secara singkat. Buku panduan ini akan digunakan pada sesi pelatihan monitoring dan evaluasi di masa men-
datang dengan keikutsertaan sebelas kabupaten melalui Tim Bantuan Teknis P3B.

Kami berharap bahwa berbagai tulisan yang tercakup dalam buku ini bermanfaat bagi para pelaku evalusi dan analis
program di semua tingkat pemerintahan, LSM, dan berbagai pihak yang mempunyai ketertarikan pada monitoring dan
evaluasi program penanggulangan kemiskinan.

Jakarta ,
Deputi Kemiskinan, Ketenagakerjaan dan UKM BAPPENAS

Dr. Prasetijono Widjojo MJ, MA


Daftar isi
Kata Pengantar
Prasetijono Widjojo, Deputi Kemiskinan, Ketenagakerjaan dan UKM..........................................................4

Modul 1
Pilihan Kebijakan dan Program yang Realistis
Suahasil Nazara
(Kepala Lembaga Demografi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia)...............................................10
Kemiskinan dan Kolerasinya di Indonesia ............................................................................................10
Kebijakan pengentasan kemiskin..........................................................................................................13
Kesimpulan ...........................................................................................................................................20

Modul 2
Sistem Monitoring yang Efektif dalam Strategi Penanggulangan Kemiskinan
Wenefrida Widyanti dan Sudarno Sumarto
(Lembaga Penelitian SMERU)...............................................................................................................21
1. Pendahuluan........................................................................................... ..........................................22
1.1 Posisi dan Keterkaitan Sistem Monitoring dan Evaluasi (M&E) dalam
Strategi Proyek..................................................................................................................22
1.2 Sistem Monitoring: Apa, Mengapa, dan Bagaimana?........................................................24
1.3 Persoalan Klasik Monitoring............................................................................................ . .26
1.4 Pendekatan Pengumpulan Data untuk Monitoring.............................................................26

2. Kerangka Kerja Konseptual Sistem Monitoring.................................................................................27


2.1 Apa itu Kerangka Kerja Logis (Logical Framework Approach-LFA)...................................27
2.2 Matriks Kerangka Kerja Logis (Logical Framework Matrix-LFM) sebagai Produk LFA........28
2.3 Kegunaan dan Penggunaan LFA dalam Monitoring dan Evaluasi......................................31

3. Penyusunan dan Pengembangan Sistem Monitoring dalam Strategi Penanggulangan


Kemiskinan......................................................................................................................................32

4. Contoh-contoh Sistem Monitoring dalam Strategi Penanggulangan Kemiskinan..................................35


4.1 Monitoring Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals - MDGs).........35
4.2 Penelusuran Kemiskinan di Indonesia...............................................................................36
4.3 Sistem Pemantauan Kesejahteraan oleh Masyarakat (SPKM).............................................37

5. Penutup.............................................................................................................................................40

Modul 3
Target, Indikator dan Basisdata
Profesor Mayling Oey-Gardiner Ph.D, Ismiati Farahnasy SE dan Dinar Dana Kharisma SE
(Lembaga Penelitian Insan Hitawasana Sejahtera)...............................................................................43

1. Pendahuluan.....................................................................................................................................44
1.1 Tujuan................................................................................................................................45
1.2 Asumsi ..............................................................................................................................45
1.3 Metode Pembelajaran .......................................................................................................45

2. Pokok Bahasan.................................................................................................................................46
2.1 Kebijakan Pro-Miskin..........................................................................................................46
2.2 Target dan Pengawasan Kebijakan...................................................................................46
2.3 Indikator Dalam Target.......................................................................................................48
2.3.1 Jenis Nilai Indikator.........................................................................................................48
2.3.2 Penyajian Indikator Sosial Ekonomi................................................................................53
2.3.3 Konsep Dasar Statistika – Populasi, Sampel dan Pembobotan.......................................55
2.4 Data dan Basis Data..........................................................................................................56
2.4.1 Karakteristik Data............................................................................................................56
2.4.2 Sumber Data dan Basis Data..........................................................................................58
2.5 Memilih Indikator untuk Memantau dan Menilai (Monitoring dan Evaluasi)
Perencanaan dan Pemrograman Pro-Miskin......................................................................60
2.5.1 Beberapa Prinsip Pemilihan Indikator.............................................................................60
2.5.2 Pemilihan Indikator.........................................................................................................60

3. Latihan Bertanya, Mencari Jawaban dan Menjawab, Contoh Faktor yang


Berkolerasi Dengan Kemiskinan: Pendidikan....................................................................................61
3.1 Kebijakan: Wajib Belajar 9 Tahun......................................................................................61
3.1.1 Peraturan dan Perundang-undangan tentang Wajib Belajar............................................61
3.1.2 Rencana Untuk Mencapai Kebijakan Wajib Belajar 9 Tahun...........................................63
3.1.3 Langkah-Langkah untuk Merealisasikan Rencana...........................................................64
3.2 Target Output dan Outcome...............................................................................................64
3.3 Pilihan Indikator Target Pendidikan....................................................................................65
3.4 Sumber Data......................................................................................................................65
3.5 Standar Pelayanan Minimum (SPM)...................................................................................66

CONTOH: Pedoman Standar Pelayanan Minimum Penyelenggaraan Pendidikan Sekolah Menengah


Pertama (SMP)/ MTs............................................................................................................79

Modul 4
Persyaratan dan Unsur-unsur Evaluasi yang Baik
Asep Suryahadi
(Lembaga Penelitian SMERU)..............................................................................................................78

1. Pendahuluan....................................................................................................................................80
1.1 Definisi dan Jenis-jenis Evaluasi........................................................................................80
1.2 Mengapa Perlu Evaluasi?..................................................................................................80
1.3 Perbedaan antara Monitoring dan Evaluasi.......................................................................81

2. Kerangka Konseptual Evaluasi ......................................................................................................82


2.1 Komponen-komponen Evaluasi..........................................................................................82
2.2 Proses Evaluasi.................................................................................................................82
2.3 Kriteria Penilaian dalam Evaluasi.......................................................................................83
3. Metode dan Sumber Data.................................................................................................................84
3.1 Metode Kuantitatif..............................................................................................................84
3.2 Metode Kualitatif.................................................................................................................88
3.3 Sumber Data......................................................................................................................89

4. Pembelajaran tentang Evaluasi.........................................................................................................89


4.1 Karakteristik Evaluasi yang Baik........................................................................................89
4.2 Beberapa Saran Praktis.....................................................................................................90
4.3 Beberapa Hal yang Perlu Pertimbangan.............................................................................90
4.4 Menilai Hasil Evaluasi........................................................................................................91

5. Contoh Evaluasi Program................................................................................................................91


5.1 Program Oportunidades/Progresa di Meksiko....................................................................91
5.2 Rencana Evaluasi PPK/PNPM oleh Bank Dunia................................................................93
Modul 5
Evaluasi dan Identifikasi Pelajaran yang telah Diperoleh: Pendekatan Kualitatif – Kajian Cepat
Widjajanti I. Suharyo dan Rizki Fillaili
(Lembaga Penelitian SMERU) .............................................................................................................95
1. Pendahuluan ....................................................................................................................................96

2. Kajian Cepat dalam Kerangka Monitoring dan Evaluasi....................................................................96


2.1 Kerangka Konseptual Kajian Cepat...................................................................................96
2.2 Konteks Kebutuhan Kajian Cepat.......................................................................................97
2.3 Metodologi.........................................................................................................................97

3. Contoh Kajian Cepat SMERU: Subsidi Langsung Tunai (SLT) dan Bantuan Operasional
Sekolah (BOS)..................................................................................................................................98
3.1 Subsidi Langsung Tunai (SLT)...........................................................................................98
3.2 Bantuan Operasional Sekolah (BOS)................................................................................99

4. Metode Kajian Cepat SMERU...........................................................................................................99


4.1 Kerangka Kajian Cepat Program SLT Tahap I (Studi Kasus Provinsi DKI Jakarta dan
5 Kabupaten/Kota)............................................................................................................99
4.2 Kerangka Kajian Cepat Program BOS Semester I- 2005................................................. 102

5. Temuan Utama...............................................................................................................................104
5.1 Subsidi Langsung Tunai (SLT)........................................................................................104
5.2 Bantuan Operasional Sekolah (BOS)...............................................................................107

Modul 6
Evaluasi Dampak Pendaftaran Tanah Secara Sistematik Melalui Proyek Administrasi
Pertanahan (PAP) di Indonesia dengan Menggunakan Pendekatan Kuantitatif
Wenefrida D. Widyanti
(Lembaga Penelitian SMERU) ...........................................................................................................159

1. Pendahuluan ..................................................................................................................................160
1.1 Setting Konteks ...............................................................................................................160
1.2 Tinjauan Singkat Konsep Dasar Evaluasi Dampak...........................................................162
1.3 Pertanyaan Penelitian dalam Studi Evaluasi Dampak Pelaksanaan
PAP yang Mengacu pada Konsep Dasar Evaluasi Program .............................................163

2. Metode Evaluasi Dampak Program Sertifikasi Tanah Melalui PAP..................................................164


2.1 Metode Pengumpulan Data ............................................................................................164
2.2 Metode Analisis ...............................................................................................................166

3. Hasil Studi Evaluasi Dampak Program Sertifikasi Tanah Melalui PAP.............................................167

4. Catatan Akhir..................................................................................................................................167

Daftar Pustaka...................................................................................................................................237

Modul 1.................................................................................................................................237
Modul 2.................................................................................................................................238
Modul 3.................................................................................................................................239
Modul 5.................................................................................................................................240
Modul 6.................................................................................................................................240
Modul 1

“Pilihan Kebijakan dan


Program yang Realistis”
Su a h a sil Na za ra
Kepala Institut Demografi, Universitas Indonesia
Pendahuluan
Kemiskinan merupakan masalah multidimensi karena berkaitan dengan ketidakmampuan akses secara
ekonomi, sosial, budaya, politik dan partisipasi dalam masyarakat. Kemiskinan juga memiliki arti yang
lebih luas dari sekedar lebih rendahnya tingkat pendapatan atau konsumsi seseorang dari standar
kesejahteraan terukur seperti kebutuhan kalori minimum atau garis kemiskinan. Akan tetapi kemiskinan
memiliki arti yang lebih dalam karena berkaitan juga dengan ketidakmampuan untuk mencapai aspek
diluar pendapatan (non-income factors) seperti akses kebutuhan minimum seperti kesehatan, pendidikan,
air bersih dan sanitasi. Lebih lanjut kompleksitas dari kemiskinan bukan saja berhubungan dengan
pengertian dan dimensinya saja tetapi juga berkaitan dengan metode pengukuran dan intervensi kebijakan
yang diperlukan dalam mengentaskan masalah ini.

Pada tahun 2006, masih sekitar 42 persen dari penduduk Indonesia hidup dibawah garis kemiskinan atau
memiliki konsumsi yang lebih rendah dari US $ 2 per hari (World Bank 2006). Tingginya kompleksitas dari
masalah angka kemiskinan yang dihadapi Indonesia membuat masalah pengentasan masalah ini menjadi
tidak mudah dan diperlukan komitmen bersama dari semua pihak baik pemerintah, masyarakat dan donor.
Pemerintah Indonesia sendiri telah berkomitmen untuk mengentaskan masalah kemiskinan sebagaimana
tercantum dalam stategi nasional penanggulangan kemiskinan (SNPK). Selain itu pemerintah juga
menargetkan untuk menurunkan angka kemiskinan dari 18.2 persen di tahun 2002 menjadi 8,2 persen
ditahun 2009 untuk mencapai Millenium Development Goals (MDGs) tahun 2015 (World Bank 2006).

Berkaitan dengan komitmen untuk mencapai target MDGs, satu pertanyaan yang perlu dijawab, yaitu
bentuk intervensi atau kebijakan program apa yang realistis sehingga dapat mengentaskan kemiskinan
di Indonesia. Tulisan ini dibuat untuk lebih memberi gambaran secama umum tentang kebijakan yang
berpihak terhadap orang miskin dan cukup realistis untuk diterapkan untuk kasus di Indonesia. Tulisan ini
akan dimulai dengan menjelaskan kondisi dan kolerasi dari faktor-faktor yang berkaitan dengan masalah
kemiskinan di Indonesia. Pada bagian selanjutnya akan dijelaskan mengenai kebijakan atau program
kemiskinan yang realisitis dan proses pentahapan dari kebijakan tersebut. Sebelum menarik kesimpulan
akan dianalisis dua contoh program pengentasan kemiskinan yang ada yaitu bantuan operasional sekolah
(BOS) dan bantuan tunai langsung (BLT).

Kemiskinan dan Kolerasinya di Indonesia


Indonesia sendiri telah cukup berhasil menurunkan tingkat kemiskinan selama periode tahun 1970-an
sampai dengan periode awal tahun 1990-an. Berdasarkan World Bank (2006) tercatat pada periode
tersebut poverty head count rate di Indonesia turun sampai dengan 28,6 persen. Kemudian ketika krisis
ekonomi menimpa Indonesia pada pertengahan tahun 1997, angka kemiskinan kembali meningkat dan
mencapai puncaknya pada tahun 1999 menjadi sebesar 23 persen (grafik 1). Pada periode setelah krisis
angka kemiskinan kembali menurun menjadi sebesar 16 persen ditahun 2005. Akan tetapi pada tahun
2006 angka kemiskinan kembali naik sebesar 1.75 persen. Salah satu pemicu kenaikan tingkat kemiskinan
ini adalah naiknya harga beras sebagai akibat dari larangan impor beras (World Bank 2006). Dampak
kenaikan harga beras dengan tingkat kemiskinan memang sangat erat karena beras merupakan makan
pokok bagi sebagian besar penduduk terutama bagi mereka yang kurang mampu.

Selain angka kemiskinan yang kembali naik, dimensi bukan pendapatan juga merupakan masalah
lain yang cukup rumit dalam upaya pengentasan kemiskinan. Indonesia dianggap gagal dalam upaya
penbaikan faktor-faktor bukan pendapatan terutama yang berkaitan dengan target dari MDGs (World Bank
2006). Misalnya masih tingginya tingkat malnutrisi dikalangan anak dibawah usia lima tahun, rendahnya
tingkat kesehatan ibu, rendahnya status pendidikan diantara kelompok miskin, rendahnya akses terhadap
air bersih dan sanitasi. Kemudian khusus mengenai kesehatan ibu, tercatat ada 307 kematian dari
100.000 kelahiran, dan angka ini lebih tinggi tiga kali dari angka kematian ibu saat melahirkan Vietnam
dan enam kali dari Malaysia dan China (World Bank 2006).

Grafik I. Kondisi dan trend kemiskinan di Indonesia, 1978-2006


Poverty Headcount (%)

Sumber: World Bank 2006

Seperti telah dijelaskan diawal bahwa kemiskinan merupakan masalah multidimensi sehingga
sewajarnya masalah ini memiliki korelasi dengan faktor lain. Dalam report World Bank (2006) tercatat
ada lima faktor yang dianggap berkolerasi dengan kemiskinan, yaitu pendidikan, jenis pekerjaan, gender,
akses terhadap pelayanan dasar dan infrastruktur dan lokasi geografis. Kemiskinan selalu dikaitkan
dengan ketidakmampuan dalam mencapai pendidikan tinggi. Hal ini berkaitan dengan mahalnya biaya
pendidikan itu sendiri. Walaupun upaya membebaskan uang bayaran ditingkat sekolah dasar telah
dilakukan, komponen biaya pendidikan lain yang harus dikeluarkan masih cukup tinggi misalnya uang
buku dan seragam sekolah. Biaya yang harus diperhitungkan bagi orang miskin untuk menyekolahkan
anaknya juga harus termasuk biaya kehilangan dari pendapatan (opportunity cost) jika anak mereka
bekerja di sektor informal. Mahalnya biaya pendidikan ini membuat sekolah menjadi milik sebagian
orang saja dan bukan menjadi hak dasar bagi semua penduduk.

Kolerasi kemiskinan dan pendidikan juga terlihat pada jumlah siswa yang melanjutkan sekolah dari SD
ke SMP lalu ke SMA yang relatif kecil di kuantil pengeluaran terendah atau kelompok termiskin (grafik
2). Untuk kuantil pengeluaran terendah hanya 70.5 persen yang menamatkan SMP dan 18.2 persen
yang menamatkan SMA. Hal ini tentu saja kontras dengan kelompok terkaya dalam kohort yang sama,
yaitu 90.7 persen dan 40 persen untuk yang menamatkan SMP dan SMA. Dari data tersebut juga
dapat dikatakan bahwa semakin membaiknya tingkat ekonomi yang diwakili oleh tingkat pengeluaran,
maka semakin baik tingkat pendidikannya.
Grafik 2. Kolerasi pendidikan tertinggi yang ditamatkan oleh kelompok umur 16-18 tahun
berdasarkan kelompok pengeluaran
(%)

Kemiskinan juga selalu dihubungkan dengan jenis pekerjaan tertentu. Di Indonesia kemiskinan selalu
terkait dengan sektor pekerjaan di bidang pertanian untuk daerah pedesaan dan sektor informal di
daerah perkotaan. Pada tahun 2004, 68,7 persen dari 36,10 juta orang miskin tinggal dipedasaan dan
60 persen diantaranya memiliki kegiatan utama di sektor pertanian (Sudaryanto dan Rusastra 2006).
Hal ini diperkuat oleh studi dari Suryahadi et.al (2006), yang menemukan bahwa selama periode
1984 dan 2002, baik di wilayah desa maupun kota, sektor pertanian merupakan penyebabkan utama
kemiskinan. Lebih lanjut studi ini juga menemukan bahwa sektor pertanian menyumbang lebih dari
50 persen terhadap total kemiskinan dan sangat kontras jika dibandingkan dengan sektor jasa dan
industri. Tingginya tingkat kemiskinan disektor pertanian menyebabkan kemiskinan diantara kepala
rumah tangga yang bekerja disektor pertanian menjadi lebih tinggi dibandingkan mereka yang bekerja
disektor lain.

Korelasi ketiga dari kemiskinan adalah gender. Di Indonesia sendiri sangat terasa dimensi gender
dalam kemiskinan, dimana dari beberapa indikator kemiskinan seperti tingkat buta huruf, angka
pengangguran, pekerja disektor informal, dan lain-lainya, perempuan memiliki posisi yang lebih tidak
menguntungkan dari laki-laki (ILO 2004). Kemudian Laporan Pembangunan Manusia tahun 2004
menunjukkan bahwa angka Human Development index (HDI) lebih tinggi dari angka Gender-related
Development Index (GDI) dan angka Gender Empowerment Measurement (GEM) (MDGs Report 2005).
Besarnya HDI dibandingkan dengan dua indikator kesetaraan gender menunjukkan bahwa secara
umum masih terdapat kesenjangan gender yang diikuti oleh rendahnya partisipasi dan kesempatan
perempuan di bidang politik, ekonomi, dan pengambilan keputusan. Laporan MDGs ini juga menulis
bahwa dalam perolehan angka GDI Indonesia menepati posisi ke-90 dan masih sangat tertinggal jika
dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN lainnya.

Kemudian salah satu penjelasan dari konsep kemiskinan adalah kurangnya akses terhadap berbagai
pelayanan dasar dan infrastuktur dan ini merupakan kolerasi kemiskinan yang keempat. Sistem
infrastuktur yang baik akan meningkatkan pendapatan orang miskin secara langsung dan tidak
langsung melalui penyediaan layanan kesehatan, pendidikan, transportasi, telekomunikasi, akses
energi, air dan kondisi sanitasi yang lebih baik (Sida 1996). Studi yang dilakukan oleh World Bank
(2006) mengindikasikan bahwa perbaikan infrastuktur di desa, khususnya pembangunan jalan. Studi ini
juga menegaskan bahwa infrastuktur didaerah pedesaan memerlukan lebih banyak perhatian karena
hanya 48 persen orang miskin di desa yang memiliki akses terhadap air bersih sementara akses orang
miskin di kota mencapai 78 persen.

Kolerasi yang terakhir adalah lokasi geografis. Lokasi geografis berkaitan dengan kemiskinan karena
dua hal. Pertama kondisi alam yang terukur dalam potensi kesuburan tanah dan kekayaan alam.
Kedua, Pemerataan pembangunan, baik yang berhubungan dengan pembangunan desa dan kota,
ataupun pembangunan antar provinsi. Di beberapa provinsi khususnya di daerah timur Indonesia masih
sangat tertinggal dibandingkan pembangunan
di wilayah Jawa. Berdasarkan data tahun
2004, orang yang hidup di Papua memiliki
probabilita miskin empat kali lebih besar dari
pada orang yang tinggal di daerah yang kaya
sumber daya alam lainnya seperti Kalimantan
(World Bank 2006). Kemudian dimensi bukan
pendapatan seperti rendahnya pencapaian di
bidang pendidikan dan penyediaan akses pada
pelayanan dasar di berbagai daerah terutama di
wilayah timur Indonesia mempertegas adanya
kesenjangan berdasarkan lokasi geografis.

Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan


Kunci utama dari keberhasilan suatu kebijakan atau program kemiskinan adalah perumusan yang
baik. Perumusan tersebut sangat penting karena kemiskinan merupakan masalah yang memiliki
kompleksitas tinggi sehingga diperlukan kebijakan yang sangat bergantung pada situasi dan waktu.
Dalam perumusan kebijakan secara ideal perlu dilakukan sesuai dengan pentahapan yang ada seperti
dijelaskan oleh diagram 1. Tahap pertama adalah diagnosa dan analisa kemiskinan. Pada tahap ini
akan dilakukan pengukuran tingkat kemiskinan, penargetan dan penentuan jenis kebijakan atau
program yang ingin dibuat dan hasil yang diharapkan pada tahap ini adalah dimengertinya karateristik
dan faktor yang mempengaruhi kemiskinan.

Ada dua prinsip dasar yang digunakan dalam melakukan penargetan atau menentukan kelompok
yang ingin diberi intervensi, yaitu pernargetan langsung dan penargetan berdasarkan wilayah.
Dalam penargetan langsung akan diketahui dengan jelas siapa dan dimana lokasi keluarga miskin.
Biasanya jenis penargetan ini mengalami kesulitan dalam identifikasi sehingga memerlukan survei
khusus seperti yang dilakukan pemerintah sebelum mengucurkan bantuan tunai langsung. Kemudian
penargetan berdasarkan wilayah biasanya dilakukan dengan memilih wilayah yang memiliki rata-rata
pendapatan terkecil. Masalah yang timbul dari pernargetan jenis ini adalah rawan terhadap kebocoran
atau terdapatnya orang yang tidak miskin dalam kelompok penerima bantuan. Hal ini dikarenakan
pada wilayah ini seluruh masyarakatnya dianggap miskin. Penargetan jenis ini dapat dilakukan dengan
bantuan peta kemiskinan.
Diagram 1. Proses perumusan kebijakan pengentasan kemiskinan

Dari target yang telah dipilih dapat diketahui jenis kebijakan atau program apa yang paling sesuai
dengan kebutuhan. Secara umum kebijakan atau program pengentasan kemiskinan dapat dibagi
menjadi dua kelompok besar (ADB dan Bappenas 2007). Pertama, adalah program-program yang
memang hanya diperuntukkan bagi orang miskin. Jika program jenis ini berhasil dilaksanakan maka
seluruh manfaatnya bisa dinikmati orang miskin. Program jenis ini akan sangat tergantung pada
penargetan awal untuk menghindari terjadinya salah sasaran dalam bantuan. Contoh dari program
jenis ini adalah raskin dan bantuan tunai langsung.

Kedua, adalah program-program yang diperuntukkan untuk semua orang akan tetapi jika dilaksanakan
dengan baik maka kelompok miskin akan mendapat keuntungan yang lebih banyak dari kelompok
lainnya. Contoh dari jenis program ini adalah pemberdayaan puskesmas, penyediaan obat generik
dan pembebasan uang iuran sekolah. Berdasarkan dua jenis pilihan tersebut, dapat dikatan bahwa
penargetan langsung hanya diperlukan untuk program khusus bagi orang miskin sedangkan program
bagi semua orang hanya memerlukan penargetan secara wilayah.

Setelah mengidentifikasi kunci dari masalah kemiskinan maka perumusan kebijakan berlanjut pada
tahap berikutnya yaitu menentukan tujuan, target dan indikator yang ingin dicapai. Dalam proses
perumusan kebijakan ada perbedaan definisi dari ketiganya (Poverty Reduction Strategy Workshop
2000). Tujuan adalah sasaran yang ditetapkan, misalnya tujuan dari program pengetasan kemiskinan
adalah penurunan angka kemiskinan. Indikator adalah alat pengukur kemajuan yang biasa dibagi
menjadi empat dari tahap perumusan awal sampai dengan ketika program berakhir. Keempat indikator
tersebut adalah indikator input, output, hasil dan dampak. Masing-masing indikator akan dijelaskan
pada diagram 2. Sedangkan target adalah nilai indikator yang ditetapkan untuk dicapai pada satuan
waktu tertentu. Contoh dari target adalah pemerintah Indonesia menargetkan angka kemiskinan akan
turun menjadi 8.2 persen pada tahun 2009.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan target. Pertama, tujuan yang ingin
dicapai harus menyesuaikan dengan standar di internasional. Dalam kasus penentuan tujuan program
pengentasan kemiskinan tujuan nasional harus sesuai dengan tujuan MDGs. Kedua, dalam menentukan
tujuan perlu memperhatikan distribusi pendapatan. Ketiga, tujuan ditentukan melalui proses partisipasi
semua pihak. Keempat, tujuan ditentukan dengan menentukan ukuran pencapaian atau benchmark
berdasarkan waktu yang tersedia. Kelima, dalam menentukan tujuan agar lebih tepat sasaran harus
berdasarkan pada beberapa ukuran kemiskinan berbeda. Keenam, tujuan harus dibuat secara spesifik
dengan program agar proses monitoring menjadi lebih mudah.
Kemudian ada beberapa karakteristik yang diperlukan dalam menentukan indikator yang baik (Poverty
Reduction Strategy Workshop 2000), yaitu:

1. indikator merupakan pengukuran kemajuan yang langsung, jelas dan relevan


2. Indikator memperhatikan perbedaan antar daerah, waktu dan juga sensitif terhadap perubahan
kebijakan dan program
3. Indikator tidak dapat dengan mudah untuk dimanipulasi
4. Indikator dapat diukur dengan efisien pada interval waktu yang diinginkan.

Diagram 2. Jenis Indikator

Sumber: Poverty Reduction Strategy Workshop 2000

Setelah menetukan tujuan, indikator dan target pada tahap ketiga dari perumusan kebijakan
adalah merancang dan mengimplementasikan program. Hasil yang diharapkan dalam proses
merancang program adalah peraturan, petunjuk pelaksanaan, dan petunjuk teknis. Sedangkan
tahap pengimplementasian program akan dimulai dengan sosialisasi program pada tahap awal, lalu
dilanjutkan oleh monitoring selama program berlangsung dan diakhiri oleh evaluasi ketika program
berakhir.

Ada beberapa perbedaan mendasar antara monitoring dan evaluasi. Monitoring dilakukan untuk
menyediakan informasi apakah kebijakan atau program diimplementasikan sesuai rencana dalam
upaya mencapai tujuan. Monitoring merupakan alat manajemen yang efektif karena jika dalam
pengimplementasian program berbeda dari rencana maka monitoring dapat mengidentifikasi dimana
letak masalahnya untuk kemudian dicari penyelesaiannya. Dalam banyak kasus program bantuan
monitoring seringkali dihindarkan oleh pelaksana karena monitoring dapat segera mendeteksi adanya
penyimpangan atas program.
Evaluasi berfungsi untuk melihat dampak dengan mengisolasi efek dari suatu intervensi. Pada
pelaksanaanya evaluasi memerlukan data dan metodologi yang lebih komplek dari monitoring.
Evaluasi sendiri dapat berupa dampak apakah proram mencapai tujuan awal, proses bagaimana
program dilaksanakan dan apasaja keuntungan yang diterima oleh peserta atau juga analisa biaya
dari program itu sendiri. Lalu untuk mendapatkan evaluasi yang baik diperlukan data baseline sebagai
acuan dan melakukan perencanaan evaluasi sedari awalseperti menetapkan tujuan, metodologi,
jadwal, dan pembiayaan. Kemudian metode yang paling baik dalam evaluasi adalah kombinasi dari
metode kuntitatif dan kualitatif.

Satu catatan penting mengenai monitoring dan evaluasi adalah partisipasi semua pihak karena
kegiatan ini sebenarnya merupakan tanggung jawab
bersama. Jadi dalam melaksanakan kedua kegiatan ini
perlu adanya sinergi dari semua pihak seperti departemen
terkait, penyelenggara, penerima bantuan, universitas,
masyarakat, NGO dan tentunya donor sebagai salah satu
sumber pendanaan.

Perumusan kebijakan secara tepat dalam membuat


program pengentasan kemiskinan bukan segalanya
karena program tersebut juga harus berkelanjutan. Oleh
karena itu diperlukan dua stategi untuk membuat program
menjadi berkelanjutan, yaitu strategi di sisi produksi dan
penghidupan. Sisi produksi ini menangani masalah yang
berkaitan dengan aktivitas untuk memdorong kelompok
miskin memperoleh pendapatan. Bentuk intervensi
yang dilakukan dapat berupa melibatkan mereka dalam
kegiatan produksi atau dunia kerja. Melibatkan kelompok miskin dalam kegiatan produksi bermaksud
mendorong mereka untuk membuka usaha kecil atau mikro dengan menyediakan bantuan terhadap
akses modal, pelatihan tehnologi sederhana, infrastuktur pendukung seperti jalan di daerah pedesaan,
dan mempermudah pengurusan izin usaha.

Melibatkan orang miskin pada dunia kerja dapat dilakukan dengan memberi pelatihan ketrampilan
dasar dan regulasi pasar kerja yang mendukung terutama mengenai sektor informal yang banyak
menyerap kelompok ini. Lebih lanjut mendorong usaha kecil dan menengah (UKM) juga dapat
membantu kelompok miskin lebih terlibat dalam dunia kerja. Hal ini dikarenakan UKM yang biasanya
dimiliki oleh orang yang hampir miskin punya kecenderungan untuk mempekerjakan orang miskin. Jadi
dengan mendorong UKM akan ada lebih banyak lapangan kerja bagi kelompok miskin.

Pada bagian penghidupan bagi


orang miskin dua tujuan yang dapat
dicapai. Pertama, untuk menjadi
jaring pengaman selama periode
dimana kelompok miskin masih
hidup dibawah garis kemiskinan.
Kedua, untuk memastikan bahwa
generasi mendatang bisa keluar
dari perangkap kemiskinan. Contoh
dari penghidupan bagi orang miskin
adalah perlindungan sosial dan
bantuan tunai bersyarat.
Contoh Kasus: BOS dan BLT
Setelah mempelajari proses perumusan pembuatan kebijakan dan bagaimana membuat kebijakan
tersebut menjadi berkelanjutan maka penting pula untuk membahas program pengentasan kemiskinan
yang telah ada. Dengan menganalisa program-program tersebut dapat diketahui kelemahan dan
kekuatan yang kemudian dapat menjadi pelajaran dalam merancang program yang lebih baik dimasa
depan. Dua program pengentasan kemiskinan yang akan dibahas pada bagian ini adalah bantuan
operasional sekolah (BOS) dan bantuan tunai langsung (BLT). Kedua program ini dirancang untuk
mengurangi angka kemiskinan akibat pencabuta subsidi BBM oleh pemerintah.

BOS sendiri diarahkan secara spesifik untuk siswa sekolah dasar dan menengah pertama dari rumah
tangga miskin namun bantuannya diberikan kepada sekolah. Besarnya dana yang diberikan kepada
sekolah sangat tergantung pada jumlah siswa di sekolah. Dana yang dianggarkan oleh pemerintah
untuk program ini relatif cukup besar, misalnya untuk periode bulan Juni sampai dengan desember 2005
adalah sebesar Rp. 5,3 trilyun dan pada tahun 2006 dianggarkan sebesar 11 trilyun atau meningkat
lebih dari dua kali dari tahun sebelumnya. Jumlah uang yang diterima oleh setiap siswa adalah berkisar
dari Rp. 235.000,00 – Rp. 324.500,00 per tahun (tabel 1).

Tabel 1. Target dan Alokasi Biaya Bantuan Operasional Sekolah

Target dan B i aya per Un it


Jenjang Pendi di kan
Jumlah Siswa Rp /Mur i d/Tahun
SD /M I/SDL B 28.779.709 235 .000, -
S M P/ M T s/SMPL B 10.625.816 324 .500, -
Salafiyah setingkat SD 108 .177 235 .000, -
Salafiyah setingkat SMP 114 .433 324 .500, -

Sumber: www.depkominfo.go.id/download/BOS_KOMINFO_WAPRES.ppt

Adanya perbedaan tujuan dari program BOS yang tercantum pada buku petunjuk pelaksanaan program
tahun 2005 dan 2006 membuat dualisme pemahaman terhadap program (SMERU 2006b). Pada buku
petunjuk 2005 tidak secara spesifik menyatakan bahwa BOS diperuntukkan untuk anak dari keluarga
miskin sehingga pada tahap pertama program timbul pemahaman bahwa program ini diperuntukkan
untuk menyediakan fasilitas sekolah gratis untuk semua orang. Oleh karena itu demi penyempurnaan
pada buku petunjuk 2006 secara tegas di tulis bahwa prioritas program ini adalah untuk anak dari
keluarga miskin.

Pada petunjuk BOS tertulis bahwa program memiliki monitoring dan evaluasi yang bersifat internal
dan eksternal yang bertujuan menjadi sumber informasi yang berguna untuk pengambil kebijakan
dalam memperbaiki program. Internal monitoring dan evaluasi dilakukan oleh Departemen Pendidikan
dan Departemen Agama sebagai pelaksana program di setiap daerah administrasi mulai dari tingkat
pusat sampai dengan tingkat kabupaten atau kota. Sedangkan eksternal monitoring dilaksanakan oleh
institusi pengawasan yang relevan yang meliputi:
1. Tim monitoring independent, seperti oerguruan tinggi, DPR ata tim lain yang secara khusus
dibentuk untuk itu
2. Elemen masyarakat, seperti komite sekolah, NGO dan organisasi kemasyarakatan lainnya
3. Badan pengawas, seperti BPK, BPKP, Irjen dan Bawasda
4. Unit pengaduan masyarakat diberbagai tingkat
Hasil dari kajian cepat yang dilakukan SMERU (2006b) di beberapa daerah sampel menemukan bahwa
monitoring dan evaluasi biasanya tidak mengikuti atau terlambat dari jadwal yang ditetapkan karena
adanya keterlambatan pendistribusian dana. Standarisasi hasil dari monitoring dan evaluasi tidak
dapat dilakukan karena tidak adanya kesamaan kualitas, tingkat kedalaman dan fokus studi. Kemudian
adanya banyak lembaga yang terlibat maka proses monitoring dan evaluasi selain memberi efek positif
berupa mengurangi kemungkinan korupsi juga memberikan efek negatif yaitu menyebabkan kesulitan
bagi program manager untuk berkembang dan menyesuaikan BOS dengan kondisi daerah.

Ketidakefektifan dari kegiatan monitoring dan evaluasi BOS sendiri bukan hanya bersumber dari
kesalahan dalam melakukan dua kegiatan ini tetapi juga akibat dari perumusan program yang kurang
matang. Hal ini terlihat dari berbagai kelemahan yang muncul selama proses implementasi program
seperti tidak ada verifikasi kehadiran siswa dalam penentuan besarnya jumlah uang yang dikucurkan,
tidak adanya target disetiap tahapnya seperti telah dijelaskan pada sub-bab sebelumnya dan tidak
efektifnya program sosialiasi.

Bantuan tunai langsung (BLT) bertujuan menjaga tingkat konsumsi rumah tangga miskin akibat
peningkatan 120 persen rata-rata harga BBM pada bulan Oktober 2005. Program BLT menberikan
bantuan kepada rumah tangga yang dianggap masuk kategori miskin uang sebesar Rp.100 ribu setiap
bulan yang dibayarkan setiap tiga bulan selama satu tahun. Pada tahap pertama program ini sekitar
15,5 juta rumah tangga menerima bantuan dengan total dana yang disalurkan sebesar Rp. 4,6 trilyun
(Presentasi Menteri Negara PPN/Kepala BAPPENAS 2005). Setiap rumah tangga miskin yang telah di
survei sebelumnya diberikan kartu identitas untuk mengambil bantuan di kantor pos diwilayah tinggal
mereka.

Tabel 2. Target Bantuan Tunai Langsung

Garis Kemiskinan
(orang/Bulan) Jumlah
Rp. 120.000,- 16 juta orang
4 juta RT
Rp. 150.000,- 40 juta orang
(Garis kemiskinan di sekitar ini) 10 juta RT
Rp. 175.000,- 62 juta orang
(Hampir miskin) 15.5 Juta RT

SMERU (2006a) dalam kajian cepatnya mencatat bahwa ada beberapa masalah yang timbul dalam
pelaksanaan BLT seperti adanya kesalahan dalam penargetan, masalah pendistribusian kartu
kompensasi, tidak berfungsinya institusi yang menangani opengaduan dan monitoring program,
lemahnya koordinasi, komunikasi dan sosialisasi program. Kesalahan dalam penargetan menyebabkan
terjadinya kebocoran dan tidak tercovernya rumah tangga yang benar-benar miskin. Hal ini disebabkan
oleh waktu yang sangat terbatas untuk mendesain program. Selain itu kesalahan penargetan juga
terjadi karena pendataan yang tidak tepat akibat dari kapasitas dan subjektivitas enumerator yang
berbeda-beda disetiap daerah, screening prosedur dan verifikasi yang tidak berjalan dengan baik dan
indikator kemiskinan yang tidak adaptif terhadap kondisi lokal (SMERU 2006a). Penetapan sistem
kuota pada enumerator juga membuat proses pendataan menjadi kurang tepat sasaran.

Sebagai evaluasi program BLT beberapa hal harus dilakukan seperti memperbaiki kualitas dari
administrasi program dan perencanaan dari program itu sendiri terutama yang berkaitan dengan
masalah penargetan. Dampak yang diukur dari program seperti ini seharusnya lebih mengarah pada
peningkatan akumulasi kapital terutama yang mempengaruhi mutu SDM, seperti apakah ada perbaikan
kualitas pendidikan seperti peningkatan enrollment dan absen dari siswa yang keluarganya menerima
bantuan. Lebih lanjut program seperti BLT ini sendiri sebenarnya tidak terlalu bermanfaat dimasa depan
karena menciptakan ketergantungan bagi kelompok miskin. Dalam kontek pengentasan kemiskinan
selalu lebih baik memberi umpan daripada ikan. Kemudian trend yang berkembang di dunia sendiri
lebih mengarah pada bantuan bersyarat seperti Progessa yang diberlakukan di Meksiko.

Kesimpulan
Pada tahun 2006, tingkat kemiskinan Indonesia masih jauh lebih tinggi atau lebih dua kali lebih besar
dari apa yang ditargetkan dalam MDGs, yaitu penurunan jumlah penduduk yang hidup dibawah garis
kemiskinan sebesar 7,2 persen pada tahun 2015 (MDGs Report 2005). Masih panjangnya jalan
Indonesia mencapai target pengentasan kemiskinan memerlukan usaha dan komitmen yang lebih dari
pemerintah. Bentuk-bentuk kebijakan dan program yang ada dirasakan masih kurang efektif mengatasi
kemiskinan. Kemudian dalam proses memformulasikan kebijakan diperlukan berbagai persiapan dan
pentahapan.

Pada persiapan pembuatan kebijakan diketahui bahwa ada lima faktor yang berkorelasi dengan
kemiskinan di Indonesia. Faktor-faktor ini adalah pendidikan, jenis pekerjaan, gender, akses terhadap
pelayanan dasar dan infrastruktur dan lokasi geografis. Dimana perbaikan pada faktor-faktor ini akan
memberi efek positif dalam usaha pengentasan kemiskinan, yaitu meningkatkan kesempatan pada
orang miskin untuk memperoleh pendapatan.

Secara umum proses pembuatan kebijakan dapat dibagi menjadi empat yaitu diagnosa dan analisa
kemiskinan, pembuatan tujuan kebijakan, perencanaan dan pengimplementasian kebijakan dan
monitoring dan evaluasi kebijakan. Setiap tahapan ini mempunyai peran yang penting dalam menetukan
keberhasilan suatu kebijakan. Dan ketidak efektifan satu tahap akan berakibat pada tidak tercapainya
tujuan atau malah menjadi kegagalan bagi kebijakan tersebut. Hal ini juga yang menjadi penyebab
dua program pengentasan kemiskinan yang ada seperti BOS dan BLT menjadi tidak sepenuhnya
mencapai tujuan awal. Walaupun kedua program ini tidak dapat dikatakan gagal tapi hasil yang lebih
optimal seharusnya dapat dicapai. Lebih lanjut dalam dalam usaha membuat program pengentasan
kemiskinan menjadi berkelanjuta diperlukan penekana pada dua aspek yaitu sisi produksi dan sisi
penghidupan. Dimana sisi produksi berkaitan dengan upaya melibatkan orang miskin dalam kegiatan
produksi dan dunia kerja.
Modul 2

“Sistem Monitoring yang


Efektif dalam Strategi
Penanggulangan Kemiskinan”
Wene frida Widy a n t i d a n S u d a rn o S u m a rt o
Lembaga Penelitian SMERU
Tujuan:
Setelah mengikuti pelatihan berisi modul ini, peserta diharapkan memiliki pengetahuan dan
keterampilan dasar untuk:
1. Memberikan pemahaman kepada peserta mengenai pentingnya sistem monitoring dalam perencanaan
dan implementasi program/strategi, khususnya yang terkait dengan penanggulangan/pengurangan
kemiskinan,
2. Memberikan pemahaman kepada peserta mengenai kerangka kerja (framework) sistem monitoring yang
efektif (unsur, tahapan, dan persyaratannya) dan pengimplementasiannya, dan
3. Memberikan pemahaman yang lebih baik kepada peserta mengenai sistem monitoring dalam konteks
yang lebih nyata dengan memberikan contoh-contoh konkrit sistem monitoring yang ada, seperti MDGs,
monitoring tingkat kemiskinan BPS, dan sistem pemantauan kesejahteraan oleh masyarakat.

1. Pendahuluan
Tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan, serta mengangkat harkat dan martabat
manusia. Kemiskinan merupakan bentuk ketidaksejahteraan, yang cenderung menurunkan harkat dan
martabat manusia, sehingga keberhasilan dalam mengurangi kemiskinan merupakan indikator keberhasilan
pembangunan yang terpenting. Salah satu elemen penting dalam kegiatan penanggulangan kemiskinan
adalah monitoring dan evaluasi. Kegiatan monitoring dan evaluasi (monev) ini akan membantu memberikan
pemahaman tentang persoalan kemiskinan, serta mengidentifikasi kendala-kendala dan kegiatan/intervensi
di waktu yang lalu dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Dengan demikian upaya penanggulanagn
bisa dilakukan secara lebih efektif. Monitoring pada umumnya merupakan bagian dari suatu sistem yang
mencakup evaluasi, atau lebih banyak dikenal sebagai Sistem Monitoring dan Evaluasi (M&E). Sistem M&E
tidak berdiri sendiri tetapi merupakan bagian dari suatu strategi. Pada umumnya, suatu strategi mencakup
perencanaan, pelaksanaan atau implementasi berbagai program/proyek, dan sistem M&E. Kaitan antara
sistem M&E dalam strategi suatu proyek, pemahaman mengenai apa itu sistem M&E, bagaimana menyusun
dan melaksanakannya, serta mengapa sistem M&E diperlukan, akan dibahas secara lebih rinci dalam modul
ini. Modul singkat ini hanya membahas mengenai sistem monitoring, sedangkan evaluasi akan dibahas pada
modul tersendiri. Modul singkat sistem monitoring yang efektif dalam strategi penanggulangan kemiskinan
ini dimaksudkan untuk: pertama, memberikan pemahaman kepada peserta mengenai pentingnya system
monitoring dalam perencanan dan implementasi program/strategi, khususnya program penanggulangan
kemiskinan; kedua, memberikan pemahaman kepada peserta mengenai kerangka kerja (framework) sistem
monitoring yang efektif (unsur, tahapan, dan persyaratannya) dan pelaksanaannya; ketiga, memberikan
pemahaman yang lebih baik kepada peserta mengenai sistem monitoring dalam konteks yang lebih nyata
dengan memberikan contoh-contoh konkrit system monitoring yang ada, seperti MDGs, monitoring tingkat
kemiskinan, serta pemantauan kesejahteraan oleh masyarakat.

1.1 Posisi dan Keterkaitan Sistem Monitoring dan Evaluasi (M&E)


dalam Strategi Proyek

Seperti telah disebutkan sebelumnya, sistem M&E pada umumnya tidak berdiri sendiri tetapi merupakan
bagian dari suatu sistem yang lebih luas, yaitu strategi, dalam hal ini adalah strategi penanggulangan
kemiskinan.

Gambar 1 memperlihatkan bagaimana posisi dan keterkaitan sistem M&E dalam strategi proyek.
Penentuan konsep atau rancangan strategi, seperti tujuan yang ingin dicapai dan bagaimana mencapainya
haruslah menjadi titik awal penyusunan strategi proyek. Selanjutnya, dari konsep mengenai apa tujuan dan
bagaimana cara mencapai tujuan tersebut, disusun suatu sistem M&E, detil rencana operasional program-
program, serta keluaran (output), hasil (outcome), dan dampak (impact) yang diharapkan. Penentuan
keluaran, hasil, dan dampak dari suatu strategi proyek dalam tahap perencanaan sangat penting karena
jika hal tersebut dibandingkan dengan kondisi aktual yang dicapai akan mencerminkan perubahan, yang
sekaligus merupakan ukuran keberhasilan suatu proyek. Hal tersebut merupakan fungsi pokok sistem
M&E dalam kaitannya dengan strategi proyek.

Gambar 1 juga memperlihatkan tahap-tahap sistem M&E secara rinci, yang mencakup:
(i) pengembangan sistem M&E dengan mengidentifikasi apa saja informasi yang dibutuhkan. Penyusunan
dan pengembangan sistem ini harus mengacu pada tujuan (apa yang ingin dicapai) dan cara pencapaian
(mekanisme pelaksanaan) yang ditetapkan,
(ii) pengumpulan dan manajemen informasi yang erat kaitannya dengan pengukuran indikator keluaran,
hasil, dan dampak program/proyek. Di samping itu juga perlu dilakukan pengecekan terhadap
pelaksanaan operasional di lapangan,
(iii) refleksi hal-hal kritis yang perlu diperbaiki dari para pemangku kepentingan (stakeholders). Dari data/
informasi yang dikumpulkan perlu dianalisis dan direfleksikan oleh semua pemangku kepentingan,
yang hasilnya digunakan untuk perbaikan dan pengembangan sistem M&E, dan
(iv) komunikasi dan pelaporan hasil dari pelaksanaan semua kegiatan monitoring dan evaluasi kepada para
pemangku kepentingan. Komunikasi dan pelaporan hasil tersebut semestinya dimanfaatkan sebagai
masukan baik untuk perbaikan pelaksanaan tahap-tahap berikutnya dari kegiatan program/proyek
yang sedang berjalan maupun pelaksanaan program/proyek serupa di masa yang akan datang.

Di samping itu, Gambar 1 menunjukkan bahwa perencanaan, yang mencakup tujuan dan bagaimana
mencapainya, merupakan dasar atau basis bagi penyusunan rencana operasional yang lebih rinci.
Penyusunan rencana operasional tersebut sangat penting dalam pelaksanaan atau implementasi program/
proyek karena akan menentukan keluaran, hasil, dan dampaknya. Selanjutnya, untuk mengukur tingkat
perkembangan dan pencapaian keluaran, hasil, dan dampak program/proyek terhadap tujuan yang
ditetapkan perlu adanya indikator-indikator yang relevan dan terukur. Oleh karena itu, dalam penyusunan
sistem M&E yang baik, indikator-indikator untuk setiap tahapan harus didefinisikan dengan jelas. Tambahan
pula, Gambar 1 memperlihatkan bahwa informasi yang berasal dari rencana operasional yang rinci dan
data yang dikumpulkan dari keluaran, hasil, dan dampak proyek merupakan salah satu masukan bagi
pengembangan sistem M&E. Dari informasi/data tersebut, sistem M&E diperbaiki secara terus menerus,
yang selanjutnya menjadi masukan dalam perbaikan strategi proyek (IFAD, 2002).

Gambar 1 Kaitan Sistem Monitoring dan Evaluasi (M&E) dalam Strategi Proyek
1.2 Sistem Monitoring: Apa, Mengapa, dan Bagaimana?

Sebelum membahas sistem monitoring lebih lanjut, terlebih dahulu perlu dipahami apa itu sistem monitoring,
mengapa sistem monitoring diperlukan, dan bagaimana menyusun dan melakukan sistem monitoring yang
efektif sesuai konteks, dalam hal ini penanggulangan kemiskinan.

1.2.1 Apa itu Sistem Monitoring

Sistem monitoring dapat didefinisikan sebagai suatu sistem pengumpulan data/informasi secara reguler
dan terus-menerus yang dapat menghasilkan indikator-indikator perkembangan dan pencapaian suatu
kegiatan program/proyek terhadap tujuan yang ditetapkan. Indikator-indikator tersebut diperuntukkan bagi
manajemen dan pemangku kepentingan (stakeholders) suatu program/proyek yang sedang berjalan.
Sistem monitoring mencakup penelusuran pelaksanaan sistem yang dapat dipertanggungjawabkan
terhadap target kinerja yang jelas dan konsisten, laporan kemajuan, dan identifikasi masalah.

Secara umum, sistem monitoring (dan evaluasi) terdiri dari empat komponen, yaitu: tujuan (goal),
sasaran (target), indikator (indicator), dan masukan (input). masing-masing komponen tersebut
dapat dijelaskan seperti berikut:

(i) tujuan (goal) adalah sebuah objektif (pada umumnya untuk kurun waktu yang panjang) yang ingin dicapai
oleh suatu negara atau sekelompok orang, kebanyakan dinyatakan dengan ukuran nonteknis (bersifat
kualitatif), seperti mengurangi kemiskinan dan kelaparan,

(ii) sasaran (target) adalah tingkat pencapaian yang terukur (umumnya berupa ukuran kuantitatif) yang
ingin dicapai suatu negara atau sekelompok orang pada suatu waktu tertentu, misalnya menurunkan
tingkat kemiskinan hingga setengah dari tingkat kemiskinan 1990 pada 2015,

(iii) indikator adalah alat ukur untuk melihat tingkat pencapaian output terhadap sasaran dan tujuan yang
ditetapkan, seperti persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan pada suatu waktu
tertentu, dan

(iv) aktivitas/masukan (input) adalah berbagai bentuk sumber daya dan kegiatan yang perlu dilakukan
untuk mencapai sasaran dan tujuan yang ditetapkan, misalnya program-program penanggulangan
kemiskinan.

Salah satu contoh sistem monitoring yang banyak dikenal adalah tujuan pembangunan milenium (Millenium
Development Goals-MDGs). MDGs -yang merupakan deklarasi bersama 189 negara anggota PBB pada
September 2000- mencakup 8 tujuan, 18 sasaran yang diukur dengan menggunakan 48 indikator (untuk
kebutuhan pengukuran pencapaian di tingkat regional/lokal, indikator tersebut dapat dikembangkan sesuai
kondisi lokal). Di samping itu, MDGs juga memiliki batas waktu pencapaian, yaitu 2015.

1.2.2 Apa Manfaat Monitoring?

Monitoring pada umumnya dilakukan dengan mengumpulkan data/informasi secara reguler dan terus-
menerus -yang menghasilkan indikator-indikator perkembangan dan pencapaian- sehingga hasilnya sangat
bermanfaat untuk menilai apakah sebuah program/kebijakan dijalankan sesuai rencana dan apakah tujuan
yang ditetapkan dapat dicapai. Di samping itu, indikator-indikator yang dihasilkan juga sangat membantu
dalam pengambilan keputusan yang tepat waktu dan bertanggung gugat (akuntabel), serta bermanfaat
sebagai masukan baik bagi perbaikan program/proyek yang sedang berjalan maupun pembelajaran bagi
program serupa di masa mendatang.
1.2.3 Mengapa Monitoring Diperlukan?

Dari manfaat monitoring seperti disebutkan di atas, dapat dikatakan bahwa sistem monitoring yang efektif
sangat diperlukan untuk menjawab beberapa pertanyaan, di antaranya:
(i) apakah tujuan yang ditetapkan akan (cenderung) dapat dicapai? Mengapa dan mengapa tidak?
(ii) apakah hambatan-hambatan yang ada dalam pelaksanaan/implementasi program/proyek?
(iii) apakah koordinasi yang dilakukan efektif?
(iv) apakah terdapat kesenjangan dalam implementasi, dan bagaimana mengatasinya?

Peran sistem monitoring dalam strategi penanggulangan kemiskinan dapat dijelaskan dengan Gambar 2
berikut ini. Dari alur yang ada dalam gambar tersebut, terlihat bahwa hasil monitoring dan evaluasi (monev)
akan mengarah kembali ke bagian/tahap awal strategi, atau dengan kata lain hasil monev bermanfaat untuk
membantu memberikan pemahaman kemiskinan, serta mengidentifikasi kendala-kendala dan kegiatan/
aktivitas di waktu yang lalu. Selanjutnya, prosedur tersebut akan berulang kembali pada tahapan lainnya
seperti terlihat dalam gambar.

Gambar 2 Peran Sistem Monitoring dalam Strategi Penanggulangan Kemiskinan

Sumber: Presentasi ‘Poverty Monitoring System’ oleh Francesca Bastagli & Aline Coudouel, Poverty
Reduction Group, PREM, 7 Mei 2004.

1.2.4 Bagaimana Melakukan Monitoring yang Baik dan Efektif?

Sistem monitoring yang baik dan efektif dirancang sebelum suatu program/proyek dijalankan atau dengan
kata lain terintegrasi dengan perencanaan program/proyek. Monitoring yang dilakukan (kebanyakan
dilakukan pada saat program/proyek sedang berjalan-ongoing) sebaiknya dilakukan oleh suatu tim
multisektoral yang kompeten untuk menentukan:
(i) sesuai tidaknya program yang dijalankan dengan perencanaan dan anggaran,
(ii) problem-problem yang dihadapi dan kemungkinan pemecahannya, dan
(iii) perlu tidaknya penyesuaian (adjustment) agar tujuan yang diharapkan dapat tercapai.
Selain mempertimbangkan metode dan pendekatan yang akan digunakan, monitoring yang efektif juga
harus mencakup sistem pelaporan yang terkoordinasi. Tambahan pula, perlu dipikirkan perimbangan
antara jenis dan banyaknya indikator yang digunakan, tingkat pemilahan (aggregat) indikator, serta metode,
frekuensi, waktu dan/atau periode pengumpulan data yang berdampak pada besarnya biaya monitoring
terhadap keseluruhan anggaran proyek.

1.3 Persoalan Klasik Monitoring

Selama ini sistem monitoring banyak mengalami kendala yang mengurangi keefektifan sistem tersebut,
seperti:
(i) pembagian peran dan tanggung jawab antarpelaku yang kurang jelas,
(ii) tanggung jawab tidak dialokasikan dengan jelas/secara efisien,
(iii) penegakan aturan-aturan formal lemah yang berdampak pada lemahnya koordinasi sehingga terjadi
duplikasi, persaingan, kesenjangan dan penundaan pelaksanaan tanggung jawab,
(iv) informasi kurang sahih dan tidak relevan (ketidaksesuaian antara informasi yang dibutuhkan dan
informasi yang disediakan), dan
(v) informasi sulit diperoleh, lemah dalam pelaporan, dan diseminasi yang kurang sehingga data kurang
dimanfaatkan oleh pihak-pihak terkait (Bastagli, Francesca dan Aline Coudouel, 2004).

Karena kendala-kendala tersebut di atas, hasil monitoring seringkali tidak dimanfaatkan secara optimal.
Oleh karena itu, pembentukan dan penataan kelembagaan yang baik merupakan bagian terpenting untuk
menjamin kelancaran arus informasi, yang selanjutnya sangat menentukan keberhasilan monitoring,
diseminasi, dan pemanfaatan hasilnya.

1.4 Pendekatan Pengumpulan Data untuk Monitoring

Untuk mengukur input, proses, output, hasil (outcomes), dan dampak perkembangan proyek, program,
atau strategi diperlukan indikator kinerja (performance indicators). Oleh karena itu, pengumpulan data
yang dilakukan, baik pendekatan maupun metodenya, harus mengacu pada indikator-indikator yang akan
diukur.

Sistem M&E acapkali dilihat sebagai suatu pekerjaan statistik karena terkait dengan berbagai indikator -
pada umumnya kuantitatif- yang digunakan untuk melihat pencapaian sasaran dan tujuan. Dalam praktik,
pengumpulan data untuk monitoring dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif dan/atau
kualitatif. Metode pengumpulan datanya pun bervariasi tergantung pada jenis pendekatan yang dipilih.

Untuk pendekatan kuantitatif, pengumpulan data dapat dilakukan dengan menggunakan statistik yang
tersedia baik dari hasil survei maupun sensus, pengumpulan data dengan metode survei terhadap sampel
dari populasi yang diamati baik yang bersifat khusus/berkala maupun rutin. Monitoring yang didasarkan
pada data kuantitatif pada umumnya lebih berorientasi pada hasil atau tingkat pencapaian (ukuran kinerja)
dan kurang mempertimbangkan proses. Adapun monitoring yang didasarkan pada data kualitatif -baik data
dari pengamatan lapangan, wawancara mendalam, metode partisipatoris, diskusi kelompok terarah (focus
group discussion-FGD), maupun metode-metode kualitatif lainnya- pada umumnya tidak semata-mata
berorientasi pada hasil, tetapi juga proses. Selain itu, indikator kualitatif lebih mampu menggambarkan
karakteristik yang sulit dideskripsikan dengan ukuran numerik.
Untuk memperjelas uraian di atas, Tabel 1 berikut ini menyajikan contoh indikator-indikator yang diukur
melalui pendekatan kuantitatif dan kualitatif untuk setiap elemen sistem M&E.
Tabel 1 Contoh Indikator Kuantitatif dan Kualitatif dalam Monitoring dan Evaluasi

Komponen M &E Kuantitatif Kualitatif


Pengel uaran untuk Tingkat kecukupan
Input
pendidi kan dasar kurikulum
Kua lit as kondisi mengajar
Ke l uaran Jumlah guru SD
di k elas
Tingkat partisi pasi dan putus T ingkat kepuasan metode
Hasil
sekol ah (drop -out) pengaj aran

T ingkat perubahan
Tingkat m el ek aksara
Dampak persepsi pemberdayaan
(literacy rate)
dan status kemiskinan

Sumber: Sumber: UN Development Group (2005).

Secara umum sistem monitoring diarahkan untuk menjawab efektivitas program, proyek, atau strategi.
Oleh karena itu, di samping pengumpulan data/informasi untuk mendapatkan indikator input, output, dan
hasil, sistem monitoring (dan evaluasi) perlu dilengkapi dengan cost benefit dan cost effectiveness analysis
(IBRD/The World Bank, 2004).

2. Kerangka Kerja Konseptual Sistem Monitoring


Sistem monitoring (dan evaluasi) kebanyakan dilakukan dengan menggunakan pendekatan kerangka kerja
logis (logical framework approach-LFA) yang dijelaskan berikut ini.

2.1 Apa itu Kerangka Kerja Logis (Logical Framework Approach-LFA)

LFA merupakan suatu alat bantu (tool) yang bersifat analitis bagi para perencana atau manajer
dalam:
(i) melakukan analisis situasional pada tahap penyiapan program,
(ii) menetapkan suatu hirarki logis dari tujuan yang ingin dicapai,
(iii) mengidentifikasi potensi risiko upaya pencapaian tujuan dan hasil yang berkelanjutan,
(iv) menetapkan suatu cara agar keluaran dan hasil proyek dapat dimonitor dan dievaluasi dengan baik,
(v) menyajikan rangkuman proyek dalam format yang standar, dan
(vi) memonitor dan mengkaji ulang pelaksanaan proyek (AusAid, 2003).

Dengan kata lain, LFA mencakup analisis masalah (problem analysis), analisis pemangku kepentingan
(stakeholder analysis), pengembangan suatu hirarki logis dari objektif (objective analysis), identifikasi risiko
yang mungkin terjadi, dan pemilihan strategi implementasi yang diunggulkan. Hasil pendekatan analitis
ini berupa suatu matriks yang biasa disebut matriks kerangka kerja logis (logical framework matrix-LFM).
Matriks ini merupakan rangkuman apa saja yang akan dilakukan dan bagaimana melakukannya, asumsi-
asumsi yang digunakan, dan bagaimana keluaran dan hasil dari kegiatan-kegiatan akan dimonitor dan
dievaluasi (AusAid, 2003).

LFA pada umumnya terdiri dari empat elemen utama, yaitu:


(i) masukan (inputs),
(ii) keluaran (outputs),
(iii) hasil (outcomes), dan
(iv) dampak (impact).
Secara hirarki, keempat elemen dari kerangka kerja konseptual tersebut di atas digambarkan dalam
Gambar 3. Masukan (input) berupa sumber daya, seperti sumber daya manusia, finansial, dan sarana-
sarana fisik lainnya, merupakan prasyarat pelaksanaan kegiatan-kegiatan proyek. Kegiatan-kegiatan
tersebut menghasilkan keluaran (output) berupa barang dan jasa. Untuk melihat kecukupan masukan dan
volume hasil dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan diperlukan ukuran, yaitu indikator, yang pada kedua
tahapan/fase ini menggunakan indikator antara (intermediate indicators). Dari rangkaian proses tersebut,
selanjutnya diperoleh hasil (outcomes) dan dampak (impact) yang pada umumnya baru dapat dilihat
setelah kurun waktu tertentu tergantung dari jenis proyek. Untuk mengukur dua element terakhir tersebut
digunakan indikator akhir (final indicators).

Untuk memperjelas hubungan keempat elemen tersebut di atas diberikan suatu contoh di bidang pendidikan.
Masukan dalam hal ini dapat berupa sumber daya manusia, finansial, dan fisik yang tersedia. Elemen ini
dapat diukur dengan indikator seperti nilai anggaran atau pengeluaran untuk pendidikan serta ketersediaan
sarana prasarana terkait. Keluaran dari kegiatan yang didukung oleh masukan tersebut dapat dilihat dari
banyaknya bangunan sekolah, buku pelajaran, dan perlengkapan sekolah lainnya. Adapun elemen hasil
yang menggambarkan akses, pemanfaatan, dan tingkat kepuasan pelayanan pendidikan dapat dilihat dari
indikator-indikator seperti tingkat partisipasi per jenjang pendidikan, tingkat putus sekolah, dan tingkat
melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Adapun dampak dari semua proses di atas dapat
diukur dengan menggunakan indikator akhir pada tingkatan atau cakupan yang lebih luas, misalnya tingkat
melek huruf.

Gambar 3 Kerangka Kerja Konseptual Sistem Monitoring dan Evaluasi

Sumber: World Bank (2003).

2.2 Matriks Kerangka Kerja Logis (Logical Framework Matrix-LFM)


sebagai Produk LFA

Konsep LFA tersebut selanjutnya dituangkan dalam suatu matriks kerangka kerja logis (logical framework
matrix-LFM) secara terstruktur dan sistematis dalam pengisiannya seperti ditunjukkan Tabel 2. LFM memuat
semua komponen LFA sehingga matriks tersebut juga dapat dikatakan sebagai rangkuman rancangan
proyek. Dalam pengisian sel-sel matriks tersebut digunakan dua macam kerangka pikir logis, yaitu logika
vertikal dan logika horisontal. Logika vertikal digunakan untuk mengidentifikasi proyek yang akan dijalankan,
mengklarifikasi hubungan sebab akibat (if-then causality), serta menentukan asumsi-asumsi penting yang
mendasari dan ketidakpastian/risiko yang mungkin terjadi di luar kontrol (necessary-sufficient condition).
Adapun logika horisontal mendefinisikan bagaimana tujuan/objektif yang ditetapkan dalam deskripsi
proyek dapat diukur dan bagaimana ukuran tersebut diverifikasi. Di samping itu, logika horisontal juga
membantu menentukan komponen pokok dalam monitoring dan evaluasi, seperti menentukan indikator
yang digunakan untuk mengukur perkembangan pencapaian tujuan dan means of verifications-MoV yang
mendeskripsikan dengan jelas sumber data/informasi yang dibutuhkan, metode, siapa yang bertanggung
jawab, dan waktu (frekuensi dan periode) pengumpulan datanya (AusAid, 2003).
Tabel 2 berikut ini menunjukkan struktur LFM dan urutan pengisiannya dengan menggunakan kedua logika
berpikir seperti dijelaskan sebelumnya. Pertama kali ditetapkan goal dari proyek yang akan dijalankan,
kemudian diikuti penetapan tujuan, keluaran, dan jenis aktivitas/masukan dari proyek tersebut. Dalam
menentukan aktivitas, keluaran, dan sasaran perlu dilengkapi dengan asumsi-asumsi penting yang
mendasari penetapan ketiga hal tersebut secara berturut-turut. Seperti telah disebutkan sebelumnya, baik
tujuan, sasaran, keluaran, maupun aktivitas/masukan harus disertai dengan indikator-indikator kinerja yang
terukur sesuai dengan masing-masing tahapan atau elemen LFM, termasuk bagaimana indikator diukur
(metode dan sumber data). Di samping itu, untuk memperjelas agenda aktivitas proyek perlu disusun
rencana dan jadwal kerja sesuai dengan cakupan kegiatan.

Tabel 2 Struktur Matriks Kerangka Kerja Logis (LFM) dan Urutan Pengisiannya

Means of
Verification /MoV
Deskripsi Proyek I ndi kator Ki nerj a Asumsi
(sum ber data &
m etode)
1. Goal 8. Indi kator 9. M eans of
Ver ifi cati on (MoV)
2. Purpose/ objective 10. Indikator 11 . M eans of 7. Asu m si
output Ver ification (MoV)
3. Ou tput 12. Indi kator i nput 13. M eans of 6. Asu m si
Ver ification (M oV)
4. Activities Jadwa l Rencana ker ja 5. Asumsi
Cakupan kegiatan Laporan kerja dan
keuangan

Sumber: Diadaptasi dari AusAid (2003)

Bilamana proyek yang dirancang berskala besar dan/atau memiliki cakupan yang luas, maka proyek dapat
dibagi dalam beberapa komponen atau subproyek. Untuk setiap komponen/subproyek perlu ditetapkan
objektif yang harus pula dilengkapi dengan elemen LFA lainnya seperti indikator, MoV, dan asumsi. Dalam
matriks, objektif dari tiap-tiap komponen/subproyek ditempatkan di bawah objektif proyek tersebut (pada
baris ketiga dari tabel).
Selanjutnya, Tabel 3 menyajikan tipe aktivitas M&E dan tingkat informasi yang dikumpulkan untuk tiap-tiap
elemen M&E dalam LFM.
Tabel 3 LFM dan Aktivitas Monitoring dan Evaluasi (M&E)

Hirarki logfram e T ipe aktivitas M &E T ingkat i nf or m asi

Goal Eval uasi ex-post Ha sil /dampak

Evaluasi pada saat


proyek sel esai
Purpose Ha sil /efektivitas
(completion) dan sedang
berjalan (ongoing )
Monitoring dan tinjauan
Ou tput Keluaran
(r eview)

Activi tie s Monitoring Masukan /Keluaran

Sumber: Diadaptasi dari AusAid (2003)

Untuk melengkapi gambaran jenis-jenis informasi yang dibutuhkan dalam monitoring, Tabel 4 menyajikan
contoh kebutuhan informasi monitoring, khususnya monitoring kesejahteraan dan kemiskinan. Selain
menampilkan jenis informasi dan sumber data, tabel tersebut juga menampilkan frekuensi atau periode
pengumpulan data dan tingkat pemilahannya.
Tabel 4 Contoh Kebutuhan Informasi untuk Monitoring Kesejahteraan dan Kemiskinan

Sumber informasi
Informasi yang Frekuensi/
Isu yang dibahas Pemilahan yang mungkin
diperlukan periode
diperoleh

Monitoring Input

• 1 Tinjauan
pengeluaran
publik
> Apakah Statistik
Provinsi, Data keuangan dan
pengalokasian keuangan dan Tahunan
kabupaten/kota anggaran
sumber daya anggaran
sesuai dengan
peruntukan/pe-
rencanaannya
Monitoring Keluaran (Output) Program

Apakah aktivitas Catatan


penanggulangan mengenai
kemiskinan pelayanan Provinsi,
Tahunan Catatan administratif
diimplementasikan yang tersedia, kabupaten/kota
sesuai dengan pembangunan
perencanaan? fasilitas, dll

Monitoring Penerima/Sasaran Program (Beneficiary)


• 2 Apakah
masyarakat • 3 Jarak ke • 6 Survei
• 5 Provinsi,
miskin memiliki fasilitas • 4 Tahunan ketersediaan
kabupaten/kota,
akses terhadap (rumah layanan atau
kelompok sosial
pelayanan/pro- tangga atau indikator
ekonomi
gram yang lebih komunitas) kesejahteraan
baik?
• 8 Tingkat • 11 Survei
• 10 Provinsi,
• 7 Apakah mereka penggunaan/ ketersediaan
kabupaten/kota,
menggunakan- pemanfaatan • 9 Tahunan layanan atau
kelompok sosial
nya? (misalnya indikator
ekonomi
APK/APM) kesejahteraan

• 15 Provinsi,
• 12 Apakah • 16 Survei indikator
• 13 Tingkat • 14 kabupaten/kota,
pelayanan/pro- kesejahteraan
kepuasan Tahunan kelompok sosial
gram sesuai? dan PPA
ekonomi

2.3 Kegunaan dan Penggunaan LFA dalam Monitoring dan Evaluasi

Seperti disebutkan sebelumnya, penyusunan dan pengembangan sistem M&E dengan menggunakan LFA
dirancang untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:
(i) informasi yang dibutuhkan,
(ii) alat bantu (tool) yang ada dan yang dibutuhkan,
(iii) output yang dihasilkan dan siapa yang menghasilkannya, dan
(iv) sumber daya apa saja yang dibutuhkan dalam implementasi program.
Oleh karena itu, pendekatan tersebut sangat membantu untuk mengidentifikasi data yang diperlukan, serta
menetapkan program dan kerangka kerja institusional. Dengan menggunakan LFA, kebutuhan informasi
dapat dikelompokkan menjadi empat kategori berdasarkan peruntukannya, yaitu
(i) monitoring input, dilakukan untuk memonitor sumber daya yang dibutuhkan dalam pelaksanaan program
penanggulangan kemiskinan. Data dapat diperoleh dari catatan keuangan, personil, dan material,
(ii) monitoring program, dilakukan untuk memonitor jenis dan pelaksanaan program. Data dapat diperoleh
dari catatan administratif dan data statistik terkait,
(iii) monitoring penerima program (beneficiary), dilakukan untuk memonitor ketepatan sasaran, penggunaan,
dan kesesuaian program dengan kebutuhan masyarakat miskin. Data diperoleh melalui survei atau
pengumpulan data yang spesifik,
(iv) evaluasi dampak, dilakukan untuk memonitor dampak program terhadap kondisi kesejahteraan atau
tingkat kemiskinan. Seperti halnya monitoring penerima program, data untuk evaluasi dampak diperoleh
melalui survei atau pengumpulan data yang spesifik.

Dari penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa LFA sebaiknya digunakan pada saat:
(i) pengidentifikasian dan penentuan aktivitas yang sesuai dengan cakupan program nasional,
(ii) penyiapan rancangan program/proyek secara sistematis dan logis,
(iii) penilaian rancangan program/proyek,
(iv) implementasi program/proyek yang disetujui, dan
(v) pengkajian perkembangan dan kinerja program/proyek.

3. Penyusunan dan Pengembangan Sistem Monitoring dalam


Strategi Penanggulangan Kemiskinan
Terdapat suatu pertanyaan terkait dengan konteks penanggulangan kemiskinan dan sistem monitoring
sebagai pengantar pembahasan bagian ini, yaitu apakah strategi penanggulangan kemiskinan yang
dijalankan efektif. Untuk menakar efektivitas suatu strategi penanggulangan kemiskinan diperlukan suatu
sistem monitoring yang mampu:
(i) melihat perkembangan kemiskinan antarwaktu dan/atau antarwilayah,
(ii) mengukur perubahan yang terjadi sebagai hasil pelaksanaan strategi program penanggulangan
kemiskinan, dan
(iii) memberikan gambaran secara menyeluruh berkaitan dengan tingkat relevansi, efektivitas, dan efisiensi
dari strategi yang dijalankan.

Dengan demikian, sistem monitoring strategi penanggulangan kemiskinan semestinya dapat digunakan,
antara lain untuk:
(i) mendukung pengambilan keputusan/kebijakan penanggulangan kemiskinan, penentuan prioritas
anggaran, serta pemutakhiran dan pengembangan strategi penanggulangan kemiskinan,
(ii) mendukung akuntabilitas pilihan-pilihan kebijakan yang diambil pemerintah serta dampaknya terhadap
kemiskinan, dan
(iii) mempromosikan dialog berdasarkan fakta (evidence-based dialogue) antara pemerintah, masyarakat
sipil, serta donor atas kebijakan dan prioritas pembangunan (Bedi et al., 2006).

Mengingat manfaat dan peran sistem M&E yang penting dalam suatu strategi, termasuk di antaranya strategi
penanggulangan kemiskinan, maka penyusunan atau perencanaan sistem tersebut harus dipersiapkan
dengan baik. Beberapa hal yang perlu dilakukan dalam penyusunan sistem M&E adalah:
(i) menentukan tujuan, mekanisme, dan informasi yang dibutuhkan untuk monitoring (dan evaluasi) kondisi
kemiskinan,
(ii) mengatur mekanisme koordinasi kelembagaan dan sistem pelaporan,
(iii) menentukan metode pengumpulan data/informasi,
(iv) menentukan pihak yang bertanggung jawab untuk mengumpulkan data, jangka waktu dan frekuensi
pengumpulan data, serta alokasi sumber daya, dan
(v) menetapkan mekanisme sharing dan diseminasi data/informasi.

Salah satu hal penting dalam penyusunan sistem monitoring adalah penetapan indikator. Indikator sebagai
tolok ukur kinerja dalam sistem monitoring perlu ditentukan pada tahap persiapan, demikian pula halnya
dengan sumber datanya. Data yang digunakan dapat berasal dari data yang telah ada sebelumnya ataupun
data yang dikumpulkan secara khusus sesuai dengan rancangan program yang akan dimonitor dan
dievaluasi. Bila data akan dikumpulkan melalui survei, terdapat beberapa hal penting perlu diperhatikan, di
antaranya, sampel dan teknik penarikan sampel (juga perlu mempertimbangkan tingkat pemilahan/agregasi
yang diharapkan), metode dan instrumen, serta frekuensi dan waktu pengumpulan data.

Di samping itu, perlu juga diperhatikan kaidah ‘SMART’ dalam penentuan atau pembentukan indikator tiap-
tiap elemen/komponen sistem monitoring dan evaluasi, yaitu
(i) specific, harus dapat mengukur perubahan kondisi sesuatu yang akan diukur secara spesifik,
(ii) measurable, terukur, dapat diagregasikan, dan memungkinkan untuk dianalisis lebih lanjut,
(iii) attainable, tidak sulit dalam pemerolehan/pengumpulan data/informasinya (terutama dari segi waktu
dan sumber daya),
(iv) relevant, terkait dengan informasi yang dibutuhkan, dan
(v) timely, tepat waktu dalam pengumpulan data dan pelaporan hasilnya.

Dalam menyusun dan/atau mengembangkan sistem monitoring dan evaluasi, terdapat beberapa hal yang
harus dihindari, seperti
(i) tujuan dan sasaran yang tidak jelas (apa saja yang diinginkan dalam rangka mencapai tujuan secara
keseluruhan dan apa saja yang ingin dilakukan),
(ii) tolok ukur kinerja yang tidak jelas, tidak konsisten, dan sering berubah-ubah,
(iii) indikator yang tidak benar/tepat sehingga menghasilkan ukuran yang tidak tepat pula,
(iv) data terlalu sulit dikumpulkan, dan
(v) kurang dilibatkannya para penerima manfaat dan pemangku kepentingan kunci.

Gambar 4 berikut ini merupakan contoh pengintegrasian sistem monitoring dan evaluasi, dalam hal ini MDGs
dalam kaitannya dengan program pembangunan nasional yang salah satu di antaranya memprioritaskan
pengurangan kemiskinan. Perencanaan pembangunan, baik jangka panjang, menengah, maupun
jangka pendek (tahunan) dilatari oleh MDGs dan konvensi internasional lainnya. Dalam agenda jangka
menengah (2004-2005), pemerintah menetapkan pengurangan kemiskinan sebagai salah satu agenda
yang diprioritaskan, yang harus diintegrasikan dalam perencanaan pembangunan baik di pusat maupun
daerah.
Gambar 4 Pengintegrasian MDGs dalam Kerangka Program Pembangunan Nasional

Di samping menyusun kerangka kerja program pembangunan nasional, yang menempatkan pengurangan
kemiskinan sebagai salah satu agenda atau prioritas utama, disusun pula suatu pengaturan kelembagaan
(institutional arrangement) dalam pelaksanaannya seperti terlihat dalam Gambar 5. Dalam bagan tersebut
terlihat bahwa Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) bertugas untuk melakukan pemantauan
(monitoring) dan pelaporan pelaksanaan penanggulangan kemiskinan. Untuk melaksanakan tugasnya,
KPK membentuk kelompok kerja (pokja) yang beranggotakan Bappenas, kementerian/lembaga terkait,
Kementerian Keuangan, BPS, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat (LSM), perguruan
tinggi, lembaga penelitian, media massa, dan masyarakat. Adapun Kementerian Negara Perencanaan
Pembangunan Nasional sebagai koordinator pokja bidang perencanaan makro bertanggung jawab untuk
melakukan monitoring dan evaluasi kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan (KPK, 2005).

Gambar 5 Pengaturan Kelembagaan dalam Sistem Monitoring dan Evaluasi


Sumber: KPK, 2005.
4 Contoh-contoh Sistem Monitoring dalam Strategi
Penanggulangan Kemiskinan
Untuk memperjelas pemahaman mengenai sistem monitoring, berikut ini diberikan
beberapa contoh sistem monitoring yang terkait dengan strategi penanggulangan
kemiskinan di Indonesia, yaitu monitoring MDGs, penelusuran kemiskinan di Indonesia,
dan Sistem Pemantauan Kesejahteraan oleh Masyarakat (SPKM).

4.1 Monitoring Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development


Goals - MDGs)

Subbagian ini tidak akan membahas semua tujuan pembangunan milenium (Millenium Development Goals-
MDGs) yang mencakup 8 butir, namun hanya membatasi pada goal pertama yang terkait langsung dengan
kemiskinan dan kelaparan. Goal pertama MDGs mencakup dua target yang akan dipilih sebagai salah satu
contoh sistem monitoring. Seperti diketahui, target pertama MDGs adalah menurunkan proporsi penduduk
miskin menjadi setengahnya dalam tahun 1990-2015 dan target kedua adalah menurunkan proporsi
penduduk yang menderita kelaparan menjadi setengahnya dalam tahun 1990-2015. Dari kedua target
tersebut, ditentukan beberapa indikator seperti ditunjukkan oleh Tabel 5. Untuk melihat tingkat pencapaian
tujuan, perlu dilakukan penghitungan indikator-indikator yang telah ditetapkan secara rutin. Dalam tabel
berikut juga disajikan sumber data yang digunakan untuk menyusun indikator yang ditetapkan.

Tabel 5 Beberapa Target dan Indikator MDGs, Sumber Data, serta Tingkat Pemilahan

Indikator Sumber Data Tingkat Pemilahan

Target 1: Menurunkan proporsi penduduk miskin menjadi setengahnya dalam tahun


1990—2015
Susenas (Kor, Modul
Nasional, Provinsi,
Proporsi penduduk di bawah garis konsumsi, Panel), Peta
Kabupaten/Kota,
kemiskinan Kemiskinan, Pendataan
Kecamatan, Desa
Sosial Ekonomi (PSE)
Susenas (Kor, Modul Nasional, Provinsi,
Kesenjangan kemiskinan
konsumsi, Panel) Kabupaten/Kota
Kontribusi kuintil pertama penduduk
Susenas (Kor, Modul Nasional, Provinsi,
(berpendapatan terendah) terhadap
konsumsi, Panel) Kabupaten/Kota
konsumsi nasional
Target 2: Menurunkan proporsi penduduk yang menderita kelaparan menjadi
setengahnya dalam tahun 1990—2015
Survei Garam Yodium Kabupaten/Kota,
Prevalensi balita kurang gizi (SGY), Peta gizi, Kecamatan, kawasan,
Surkesnas U/R

Prevalensi balita gizi baik Surkesnas Kawasan, Urban/Rural

Proporsi penduduk yang berada di Modul Konsumsi


Nasional, Provinsi
bawah garis konsumsi minimum Susenas, Panel Susenas

Sumber: Surbakti, 2007.


4.2 Penelusuran Kemiskinan di Indonesia

Penelusuran kondisi atau tingkat kemiskinan merupakan contoh lain dari sistem monitoring yang dilakukan
di Indonesia. Untuk itu, perlu dilakukan penghitungan kemiskinan antarwaktu. Di samping itu, karena
keberagaman wilayah di Indonesia, pengukuran kemiskinan tidak hanya dilakukan untuk tingkat nasional
tetapi juga untuk tingkat provinsi. Seiring dengan pelaksanaan sistem desentralisasi dan otonomi daerah
sejak 2001, karena tuntutan kebutuhan daerah, penghitungan kemiskinan juga dilakukan untuk tingkat
kabupaten/kota.

Untuk mengukur perubahan kemiskinan antarwaktu dan perbandingan tingkat kemiskinan antarwilayah,
diperlukan suatu cara pengukuran tingkat kemiskinan yang dapat dibandingkan (comparable). Mengingat
kemiskinan bersifat multidimensi, maka untuk mengukur tingkat kemiskinan diperlukan pemahaman
mengenai konsep/definisi, ukuran, dan data kemiskinan.
Berikut ini adalah beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan indikator kemiskinan, yakni
(i) Menentukan konsep kemiskinan yang akan digunakan.
(ii) Memetakan sumber data, variabel-variabel, dan metode yang digunakan untuk menyusun indikator
kemiskinan.
(iii) Identifikasi indikator yang dapat digunakan untuk menentukan/mengukur kemiskinan.
(iv) Mengukur tingkatan indikator, apakah indikator individu atau rumah tangga, indikator agregat
(berdasarkan kelompok karakteristik tertentu ataupun kewilayahan).
(v) Menyusun indeks komposit dari beberapa indikator dengan memperhatikan karakteristik indikator
(positif/negatif) dan bobot untuk setiap indikator tunggal.
Gambar 6 berikut ini menyajikan konsep dan pengukuran kemiskinan.

Gambar 6 Konsep/Definisi dan Pengukuran Kemiskinan

Di Indonesia, pendekatan pengeluaran (konsumsi) digunakan untuk menelusuri tingkat kemiskinan


antarwaktu. Kemiskinan berdasarkan konsumsi dihitung dengan menggunakan data Survei Sosial-
ekonomi Nasional (Susenas) Modul Konsumsi. Untuk mengukur kemiskinan dengan metode ini, terlebih
dahulu ditentukan garis kemiskinan (GK) yang mencakup GK makanan (GKm) dan GK nonmakanan
(GKnm). GK dihitung berdasarkan pola konsumsi penduduk/populasi rujukan (reference population)
yang dicatat secara rinci dalam data Susenas Modul Konsumsi. Selanjutnya, total konsumsi (makanan
dan nonmakanan) seseorang dibandingkan dengan GK. Jika total konsumsinya kurang dari GK, maka
dikatakan orang tersebut tergolong miskin. Tingkat kemiskinan dapat diukur baik untuk tingkat nasional,
provinsi, maupun kabupaten/kota tergantung keterwakilan sampel Susenas Modul Konsumsi. Gambar 7
berikut ini menunjukkan perkembangan kemiskinan konsumsi tingkat nasional antarwaktu.

Gambar 7 Perkembangan Kemiskinan Konsumsi Tingkat Nasional, 1976-2004

Sumber: KPK, 2005

4.3 Sistem Pemantauan Kesejahteraan oleh Masyarakat (SPKM)

Seperti telah dikemukan sebelumnya, konsumsi bukanlah satu-satunya indkator kemiskinan. Didasari
pemahaman bahwa kemiskinan bersifat multidimensi, maka kemiskinan dapat diukur dengan menggunakan
beberapa indikator, seperti pendidikan, kesehatan, dan kepemilikan aset. Untuk mendapatkan indikator
kemiskinan berdasarkan beberapa aspek, disusun suatu indeks komposit kemiskinan. Sebagai contoh,
indeks komposit kemiskinan yang disusun dari variabel-variabel kondisi atau derajat kesehatan, tingkat
pendidikan, dan kepemilikan aset dapat dituliskan dengan persamaan berikut:

Ikemiskinan = α kesehatan + β pendidikan + γ aset


Beberapa contoh indikator kesejahteraan ataupun kemiskinan multidimensi yang diukur dengan menggunakan
metode ini, di antaranya, ukuran tingkat kesejahteraan keluarga BKKBN dengan menggunakan kriteria
ambang (cut-off), indeks dengan penimbang subjektif yang ditentukan pihak tertentu (baik melalui analisis
kemiskinan partisipatif maupun pendapat sekelompok ahli) , indeks dengan penimbang objektif dengan
menggunakan metode analisis komponen utama (principal component analysis-PCA) ataupun analisis
multikoresponden (multiple correspondence analysis-MCA).

Pada 2005-2006, SMERU telah melaksanakan studi percontohan (pilot study) SPKM di empat desa, dua
di Kabupaten Cianjur dan dua lainnya di Kabupaten Demak. Dari studi ini terbukti bahwa SPKM dapat
dikembangkan di tingkat wilayah terkecil (kelurahan/desa) dan untuk cakupan yang lebih luas. Dari studi
percontohan tersebut dapat disimpulkan bahwa

(i) masyarakat dapat melakukan sendiri pemantauan atau monitoring kesejahteraan dengan
metodologi yang teruji tetapi dengan cara/metode yang sederhana,
(ii) hasil analisis dengan menggunakan PCA menghasilkan ukuran-ukuran yang dapat diterima
masyarakat (terlihat dari tingkat kesesuaian ranking/pengelompokan tingkat kesejahteraan dari
hasil analisis data dengan penilaian masyarakat melalui focus group discussion-FGD yang cukup
tinggi),
(iii) dapat digunakan sebagai basis informasi dalam benefit incidence analysis sederhana bagi
program penanggulangan kemiskinan (Tabel 6), dan
(iv) menghasilkan indikator-indikator lokal sebagai proxy indikator untuk monitoring pencapaian
MDGs (Tabel 7 dan Tabel 8) (Suryadarma et al., 2005).

Tabel 6 Basis Informasi Data SPKM dengan Penerima SLT 2005,

Jumlah keluarga
% Penerima KKB per jumlah % distribusi KKB per
Kuintil penerima KKB per
keluarga/ruta per kuintil kuintil
kuintil
Q1 205 74,55 42,01

Q2 125 44,96 25,61

Q3 78 28,26 15,98

Q4 59 21,30 12,09

Q5 21 7,58 4,30

488 35,29 100,00

Catatan: Total populasi: 1.383 keluarga/rumah tangga.


Ukuran kuintil: 275-278 keluarga/rumah tangga.
Sumber: Hastuti et al., 2006.

Tabel 7 Beberapa Indikator MDGs dan Pencapaiannya (Tingkat Nasional)

Kondisi 2002 2009 - 2010 MDGs 2015


Indikator
(Aktual) (Target) (Target)

Kesehatan

1. Proporsi anak 12-23 bulan yang


71,6 90 100
diimunisasi campak (%)
2. Angka kematian ibu (per 100.000
307 226 105
kelahiran hidup)

Pendidikan (%)

1. Angka Partisipasi Murni SD 92,7 99,6 100

2. Angka Partisipasi Murni SMP 79,5 98 100

3. Tingkat melek huruf 15-24 tahun 98,7 100

Dari indikator-indikator yang disajikan dalam Tabel 7 terlihat bahwa untuk bidang pendidikan tingkat
pencapaiannya sangat tinggi dan hampir mendekati target 2015. Namun, pencapaian di tingkat
nasional tidak serta merta merefleksikan pencapaian di tingkat provinsi dan lokal. Oleh karena itu, untuk
mendapatkan gambaran pencapaian MDGs di tingkat lokal, diperlukan penyesuaian baik jenis indikator
maupun sumber datanya). Tabel 8 berikut ini merupakan contoh pemanfaatan data SPKM sebagai proxy
indicator pencapaian MDGs di tingkat lokal.

Tabel 8w Pemanfaatan Data SPKM sebagai Indikator Proxy Pencapaian MDGs di Tingkat Lokal

Pendidikan Kesehatan
Tingkat partisipasi
Kesehatan ibu (%) Imunisasi anak (%)
(%)
Perawatan Perawatan
Imunisasi
SD SMP SMA sebelum sesudah BCG Polio MMR
lengkap
melahirkan melahirkan

RW 1 83,3 100,0 66,7 100,0 76,2 100,0 100,0 100,0 100,0

RW 2 92,0 100,0 37,5 89,5 0,0 94,7 94,7 94,7 94,7

RW 3 78,4 85,7 44,4 100,0 95,0 100,0 100,0 100,0 100,0

RW 4 68,0 66,7 14,3 100,0 100,0 100,0 46,2 38,5 30,8

RW 5 100,0 69,2 30,0 66,7 66,7 55,6 55,6 48,1 48,1

RW 6 100,0 78,6 25,0 92,0 92,0 92,0 88,0 80,0 72,0

RW 7 96,2 64,3 20,0 85,7 71,4 71,4 42,9 57,1 14,3

RW 8 100,0 76,9 22,2 52,9 35,3 35,3 47,1 17,6 5,9

RW 9 92,5 44,4 13,3 85,7 89,3 50,0 46,4 14,3 14,3


5.Penutup
Kemiskinan dan kerentanan masih merupakan persoalan utama yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Saat
ini masih terdapat hampir 40 juta penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan. Ditambah lagi
dengan hampir setengah penduduk Indonesia dikategorikan rentan, yakni mereka yang sewaktu-waktu bisa
jatuh miskin jika mengalami goncangan. Pemerintah tampaknya menyadari akan tantangan ini, sebagaimana
dituangkan dalam rencana pembangunan jangka menengah dan panjang. Dalam dokumen Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009, penanggulangan kemiskinan
ditempatkan sebagai bagian dari agenda untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Sasaran pertama dari
agenda ini adalah pengurangan kemiskinan dan pengangguran dengan target berkurangnya persentase
penduduk yang tergolong miskin dari 16,6 persen pada tahun 2004 menjadi 8,2 persen pada tahun 2009
dan berkurangnya tingkat pengangguran terbuka dari 9,5 persen pada tahun 2003 menjadi 5,1 persen pada
tahun 2009. Oleh sebab itu, semua upaya dan kebijakan yang dijalankan pemerintah, baik di bidang ekonomi,
sosial dan politik harus dilihat sejauh mana dampaknya terhadap penanggulangan kemiskinan.

Salah satu elemen penting dalam kegiatan pengurangan kemiskinan adalah monitoring dan evaluasi
(monev). Kegiatan monev ini akan membantu memberikan pemahaman tentang persoalan kemiskinan,
serta mengidentifikasi kendala-kendala dan kegiatan atau intervensi di waktu yang lalu dalam upaya
penanggulangan kemiskinan. Monitoring merupakan suatu sistem pengumpulan data/informasi secara
reguler dan terus menerus - yang menghasilkan indikator perkembangan dan pencapain - sehingga dapat
diketahui apakah program berjalan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan.
Modul singkat sistem monitoring yang efektif dalam strategi penanggulangan kemiskinan ini perlu dibaca
dengan modul-modul terkait lainnya yang telah disiapkan dalam lokakarya di Bogor pada tanggal 21-23
Mei 2007. Diharapkan modul ini (serta modul-modul lainnya) dapat meningkatkan kemampuan pemangku
kepentingan, khususnya pemerintah pusat, dalam memanfaatkan hasil monitoring dan evaluasi guna
mewujudkan penganggaran dan perencanaan yang berpihak kepada rakyat miskin dengan lebih efektif.
Modul 3

“Target, Indikator dan Basis Data”

Profesor Mayling Oey-Gardiner Ph.D, Ismiati Farahnasy SE


dan Dinar Dana Kharisma SE
Lembaga Penelitian pada Insan Hitawasana Sejahtera
Tujuan:
1. Memperkenalkan peserta pada perlunya rencana target yang ingin dicapai (agar tidak sumir), yang pada
gilirannya akan dapat dijadikan pedoman untuk memantau dan menilai pelaksanaan suatu rencana;
2. Memperkenalkan peserta pada cara menyatakan target sebagai indikator yang dapat berbentuk beragam
(angka absolut, tingkat (rate), rasio), yang pada gilirannya seharusnya ditentukan oleh sasaran rencana.
Pembahasan meliputi pemilihan alternatif indikator.
3. Memperkenalkan basis data sebagai kumpulan berbagai jenis data yang dapat diakses dengan mudah
dengan mengingat bahwa basis data dibangun untuk keperluan tertentu atau tidak ada basis data yang
akan dapat memenuhi kebutuhan semua orang.

1. Pendahuluan
Merupakan suatu keharusan bagi pengambil keputusan dan penentu kebijakan publik di tingkat pusat
maupun daerah untuk melakukan pembangunan berdasarkan perencanaan yang pada gilirannya
diarahkan oleh target berdasarkan indikator yang dibangun dalam basis data. Selama ini perencanaan
dilakukan secara sentralistik, satu model yang diterapkan untuk seluruh Nusantara kurang memperhatikan
keragaman antar wilayah. Akibatnya, banyak program yang telah dirancang tidak dapat berjalan dengan
baik karena tidak sesuai dengan keadaan di lapangan.

Mengingat adanya kebutuhan di kalangan perencana pembangunan, maka disusunlah modul ini. Modul ini
bertujuan memperkenalkan tiga pengertian penting yang seharusnya merupakan bagian inti dari kebijakan
perencanaan - TARGET, INDIKATOR dan BASIS DATA.

Target didefinisikan sebagai terjemahan tujuan perencanaan secara konkrit. Dalam merumuskan target,
ada tiga aspek penting yang harus mampu dijawab oleh pembuat kebijakan demi terarahnya target yang
akan dicapai (targeting) yaitu “Who”, “What”, dan “where”,

Who: pemerintah akan memberikan bantuan untuk “siapa”, misalnya BOS ditujukan untuk
siswa yang berasal dari keluarga miskin atau bagi seluruh siswa.
What: “apa” jenis bantuan yang akan mereka terima, contohnya bantuan yang diberikan
dalam program BOS berupa uang atau alat-alat tulis
Where: “dimana” pihak yang akan menerima bantuan tersebut berada, apakah hanya untuk
masyarakat yang ada di luar Jawa ataukah diperuntukkan bagi seluruh penduduk
Indonesia.

Adanya target dalam perencanaan, yang mampu menjawab ketiga aspek diatas, akan membantu
pelaksanaan suatu rencana secara bertahap (time series), nasional dan regional (wilayah), maupun
antar kelompok (kelompok kesejahteraan/ kuintil, jenis kelamin). Di sisi lain target memiliki fungsi
sebagai pedoman pengarah pemantauan dan penilaian (monitoring and evaluation) yang merupakan inti
pelaksanaan tatakelola yang baik (good governance). Dalam hal ini keterkaitan antara target, indikator dan
basis data adalah sebagai berikut: pegangan pemantauan dan penilaian adalah Target, yang dinyatakan
sebagai Indikator, yang dapat ditemukan dalam suatu Basisdata.

Bekal pengetahuan tentang Target, Indikator dan Basisdata diharapkan dapat menjadi pegangan akan
pentingnya perencanaan dan penjabarannya yang memiliki suatu tujuan konkrit. Dengan demikian dapat
menghindari kesumiran rencana yang hanya merupakan pernyataan ‘naik’ atau ‘turun’, misalnya rencana:
“meningkatkan angka partisipasi sekolah”, “menurunkan angka kemiskinan”, atau “menurunkan angka
pengangguran”.
1.1 Tujuan

Tujuan dari penyusunan modul ini adalah:


1. Memperkenalkan perlunya rencana target yang ingin dicapai (agar tidak sumir), yang dijadikan pedoman
untuk memantau dan menilai pelaksanaan rencana;
2. Memperkenalkan bagaimana menyatakan target sebagai indikator (angka absolut, tingkat (rate), rasio,
dsb.) yang ditentukan oleh sasaran rencana. Termasuk pembahasan tentang pemilihan alternatif
indikator.
3. Memperkenalkan basisdata sebagai kumpulan berbagai jenis data yang dapat diakses dengan mudah.
Mengingat bahwa basisdata dibangun untuk keperluan tertentu atau dengan kata lain tidak ada basisdata
yang akan dapat memenuhi kebutuhan semua orang

1.2 Asumsi

Topik mengenai ‘Kebijakan Pro-Miskin’ akan digunakan dalam modul ini sebagai ilustrasi, terutama
berkaitan dengan penentuan target, indikator, dan basisdata yang diperlukan untuk proses penyusunan
rencana. Untuk itu pembaca diasumsikan sudah memiliki pengetahuan/ pemahaman tentang pengertian
(karena sudah dibekali) dan beberapa hal berikut:
* Perencanaan kebijakan pro-miskin;
* Identifikasi rencana kebijakan yang pro-miskin; dan
* Terjemahan kebijakan perencanaan hingga pelaksanaan pada tingkatan
pemerintahan paling rendah: dari RPJM hingga RKP tahunan mampu
diterjemahkan kedalam Anggaran Pemda; dari pusat hingga daerah

1.3 Metode Pembelajaran

Salah satu metode pembelajaran yang efektif untuk memahami modul ini adalah melalui pelatihan
yang meliputi tanya-jawab, ceramah, serta latihan bertanya menggunakan salah satu contoh kebijakan
pemerintah. Karena itulah modul ini disusun sedemikian rupa untuk mendukung penyelenggaraan pelatihan
dengan topik “Target, Indikator dan Basis Data”.

Secara umum modul ini dibagi dalam dua bagian:

Pertama: pokok bahasan utama, yaitu konsep mengenai target, indikator dan basisdata.

Kedua: aplikasi dalam kebijakan pemerintah. Dalam hal ini mengambil tema ‘Kebijakan Pro-Miskin’, spesifik
pada “Kebijakan Pendidikan”. Karena itu akan dibutuhkan pula bahan bacaan berkaitan dengan
topik tersebut, antara lain:

* Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009 dari


Kementerian Negara Perencanaan dan Pembangunan Nasional, Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (BAPPENAS)

* Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2007 dari Kementerian Negara Perencanaan dan
Pembangunan Nasional, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)

* Basisdata Indikator Sosial-Ekonomi IHS yang dibuat oleh PT Insan Hitawasana


Sejahtera
2. Pokok Bahasan
2.1 Kebijakan Pro-Miskin

Sebelum membahas mengenai target, indikator, dan basisdata, perlu dilakukan inventarisasi pengertian
mengenai hal-hal yang berhubungan dengan topik kali ini, yaitu “Kebijakan Pro-Miskin”. Hal ini dilakukan
untuk mempermudah pemahaman mengenai target, indikator, dan basisdata terutama apabila dihubungkan
dengan suatu topik kebijakan tertentu.

Pengertian “Kebijakan Pro-Miskin” berarti kebijakan yang mendukung pengentasan kemiskinan. Secara
lebih spesifik kebijakan ini bertujuan untuk mendukung dan mempermudah penduduk miskin melepaskan
diri dari kemiskinan. Kebijakan ini merupakan salah satu alat untuk mencapai pertumbuhan yang pro-
miskin (pro-poor growth). Secara ekstrim, pengertian pertumbuhan pro-miskin adalah suatu kondisi di mana
pertumbuhan ekonomi yang dialami kelompok miskin bersifat positif dan lebih besar daripada pertumbuhan
ekonomi kelompok tidak miskin. Atau melalui pengertian kelompok yang lebih moderat, pertumbuhan
ekonomi penduduk miskin tidak harus selalu positif (boleh saja negatif) namun tetap harus lebih besar
daripada pertumbuhan kelompok tidak miskin.

Jenis kebijakan publik yang bisa dilakukan dalam membuat “Kebijakan Pro-Miskin” ada dua macam,
kebijakan langsung dan kebijakan tidak langsung. Kebijakan langsung adalah kebijakan yang langsung
ditujukan pada penduduk miskin, seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Keluarga Harapan,
dan lain sebagainya, yang langsung ditujukan pada keluarga miskin. Sedangkan kebijakan tidak langsung
umumnya membidik sasaran lain sebelum menyentuh tujuan utama. Misalnya industrialisasi yang bertujuan
meningkatkan pertumbuhan sektor manufaktur yang akhirnya menimbulkan trickle down effect di sektor
lain yang didominasi oleh penduduk miskin, yang identik dengan sektor pertanian.

Identifikasi Rencana dan Pelaksanaan Kebijakan yang Pro-Miskin pada topik tertentu, misalnya pendidikan,
dapat dilakukan dengan mencari informasi terperinci melalui departemen terkait, Program/ Proyek, atau
Kategori Program/ Proyek sehubungan dengan kebijakan yang berada pada topik tersebut. Sedangkan
untuk mengetahui pelaksanaannya, secara bertahap harus diketahui hal-hal sebagai berikut:

* Topik kebijakan yang akan dianalisa, rencana kebijakan, program (proyek) kebijakan
tersebut, dan anggaran.

* Cakupan pelaksanaan kebijakan tersebut, apakah nasional atau regional (sub


nasional).

2.2 Target dan Pengawasan Kebijakan

Setiap macam kebijakan, termasuk diantaranya kebijakan Pro-Miskin, membutuhkan pengawasan


terhadapnya. Pengawasan tersebut meliputi pemantauan, penilaian dan analisa dampak.

Pemantauan dan penilaian dilakukan terhadap satu kebijakan berdasarkan hasil yang diperoleh dari
pelaksanaan kebijakan tersebut. Hasil yang diperoleh dapat dibedakan menjadi dua, yang masing-masing
menjadi indikator dalam proses pemantauan dan penilaian.

Pertama Output, yakni alat pemantauan, merupakan target antara yang menunjukkan sejauh mana
kebijakan tersebut dilaksanakan. Misalnya dalam kebijakan peningkatan akses pendidikan output yang
diharapkan adalah bertambahnya jumlah sekolah.
Bagan 1. Kebijakan, Output dan Outcome (Kebijakan Pendidikan Pro-Miskin)

Kedua Outcome, yakni alat dalam penilaian atau evaluasi, merupakan target hasil dari tujuan antara -
output - yang juga merupakan tujuan kebijakan itu sendiri (menunjukkan efektifitas kebijakan tersebut).
Misalnya dalam kebijakan peningkatan akses pendidikan, outcome yang diharapkan dari bertambahnya
jumlah sekolah adalah meningkatnya angka partisipasi sekolah yang sekaligus menunjukkan adanya
perubahan yang lebih baik pada akses terhadap pendidikan.

Kedua alat tersebut, output dan outcome, biasanya diwujudkan dalam bentuk indikator tertentu (pengertian
indikator dijelaskan pada bagian selanjutnya).

Penilaian mengenai hasil kebijakan yang dilakukan berdasarkan outcome, mencakup aspek-aspek tertentu.
Secara umum aspek-aspek tersebut adalah:
* Efektivitas, sejauh mana outcome yang direncanakan dan disebutkan dalam kebijakan dapat
tercapai atau diharapkan akan tercapai.
* Efisiensi, seberapa tepat kebijakan yang dipilih dengan menggunakan sumber daya dalam
mencapai outcome selama pelaksanaan kebijakan1.
* Kebersinambungan, seberapa mampu seluruh stakeholders dalam kebijakan tersebut
(penduduk, institusi, keuangan, sumber daya alam) mampu mempertahankan outcome yang
telah dicapai. Aspek ini juga mencakup manajemen resiko yang sudah ada ataupun diharapkan
akan muncul dikemudian hari.

1 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1988), Efektif adalah ada
efeknya (akibatnya, pengaruhnya) atau berhasil guna sedangkan efisiensi didefinisikan sebagai ketepatan cara (usaha,
kerja) dalam menjalankan sesuatu dengan tidak membuang-buang waktu, tenaga dan biaya.

Analisa dampak (impact analysis) merupakan tahapan akhir setelah dilakukan analisa terhadap output
(pemantauan) dan outcome (penilaian). Analisa dampak ini seringkali disebut sebagai forward-looking
consideration, dimana analisa ini memang menyajikan perkiraan dalam jangka waktu kedepan mengenai
dampak dari kebijakan. Analisa ini dilakukan dengan memperkirakan dampak apa yang akan timbul dalam
satu jangka waktu berikutnya berdasarkan outcome yang telah dicapai saat ini.
Bagan 2

Beberapa aspek biasanya dibahas dalam analisa dampak, seperti halnya:


* Dampak terhadap Institusi. Bagaimana kebijakan tersebut akan memperbaiki, mengubah
kemampuan atau kapasitas sumber daya manusia, keuangan, serta sumber daya alam
yang ada.
* Dampak terhadap Sosial Ekonomi. Bagaimana kebijakan tersebut berdampak pada
keuntungan atau biaya ekonomi, serta bagaimana pula dampaknya pada keuntungan dan
biaya sosial.
* Dampak terhadap Lingkungan. Bagaimana dampak kebijakan tersebut terhadap
lingkungan. Apakah perubahan lingkungan akan muncul berkaitan dengan kebijakan
tersebut.
* Aspek Lain. Pembahasan dampak juga bisa mengarah pada aspek-aspek lain yang lebih
spesifik berkaitan dengan kebijakan. Misalnya dampak terhadap kemiskinan atau kondisi
politik.

Seperti halnya pemantauan dan penilaian, indikator juga diperlukan dalam analisa dampak. Secara umum
indikator yang digunakan adalah indikator outcome yang menunjukkan hasil kebijakan pada saat tersebut.
Namun indikator lain berkaitan dengan aspek yang akan dianalisa juga dibutuhkan, sehingga memungkinkan
untuk dilakukan perkiraan dampak terhadap aspek tersebut pada satu jangka waktu tertentu.

2.3 Indikator Dalam Target

Indikator dibutuhkan sebagai alat dalam proses pemantauan, penilaian, dan analisa dampak pada suatu
kebijakan. Pada sub bahasan ini akan dijelaskan jenis-jenis indikator yang digunakan dalam menyusun
target rencana kebijakan (output dan outcome). Namun sebelumnya akan dijelaskan terlebih dahulu definisi
indikator, serta pengertian spesifik pada indikator sosial ekonomi sehubungan dengan topik “Kebijakan
Pro-Miskin”.

2.3.1 Jenis Nilai Indikator


Definisi indikator adalah sesuatu yang memberi petunjuk atau keterangan tentang suatu gejala atau
keadaan. Dalam ilmu sosial (khususnya penelitian), indikator sosial-ekonomi adalah sesuatu yang dipakai
untuk :
a. menunjukkan keadaan sosial-ekonomi suatu masyarakat atau kelompok dalam masyarakat;
dan
b. mengukur perubahan keadaan sosial-ekonomi yang terjadi dalam masyarakat tersebut.
dengan mengetahui keadaan sosial ekonomi suatu masyarakat, pihak yang berkepentingan
dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat menggunakan indikator sosial ekonomi
yang tersedia untuk mendefinisikan tujuan kebijakan dan hasil suatu program. Dengan kata
lain, indikator sosial ekonomi dapat digunakan untuk menetapkan target yang mengukur
proses kemajuan mengenai apa yang ingin dicapai.

Penggunaan indikator sosial ekonomi dapat dilihat dalam “Human Development Index” (Indeks
Pembangunan Manusia)2. IPM adalah indikator pembangunan manusia yang digunakan untuk mengukur
pencapaian suatu negara dalam tiga dimensi pembangunan manusia meliputi Angka Harapan Hidup (Life
Expectancy), Capaian Pendidikan (Educational Attainment) dan standar kehidupan yang layak (Standard
of Living)3.
2 Human Development Index ada didalam “Indonesia Human Development Report” yang diterbitkan oleh UNDP,

Bappenas dan BPS.


3 IPM diukur dengan angka harapan hidup, pencapaian pendidikan dan tingkat pendapatan yang disesuaikan (h. 77,

BPS, Bappenas, UNDP).

Agar sebuah indikator sosial ekonomi dapat mengukur kondisi sosial ekonomi dan perubahan masyarakat
serta kelompok, maka indikator sosial ekonomi perlu memiliki beberapa ciri, yaitu:
a. memungkinkan melihat perubahan dari waktu ke waktu untuk suatu kelompok sehingga indikator
sosial ekonomi merupakan sejumlah angka yang mewakili jangka waktu tertentu (indikator deret
waktu);
b. memungkinkan melihat perbedaan antar daerah sehingga indikator sosial ekonomi merupakan
sejumlah angka yang mewakili beberapa daerah tertentu (indikator antar daerah);
c. memungkinkan melihat perbedaan antar sub-kelompok dalam masyarakat seperti kelompok
menurut jenis kelamin (perempuan dan laki-laki), tingkat kesejahteraan rumah tangga (kelompok
kaya-miskin), dan daerah tempat tinggal (perkotaan-perdesaan) atau antar-masyarakat seperti
masyarakat Indonesia dengan masyarakat di negara lain. Sehingga indikator sosial ekonomi
merupakan angka yang dapat menunjukkan kesenjangan antar kelompok;
d. memungkinkan melihat perbedaan antara keadaan saat ini dengan keadaan yang dicita-citakan
seperti MDG (Millenium Development Goals), sehingga indikator sosial ekonomi merupakan
angka yang menunjukkan keadaan saat ini dan keadaan yang ingin dicapai.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa indikator sosial ekonomi merupakan angka yang dapat
menunjukkan suatu keadaan, terlepas bahwa keadaan yang ditunjukkan memperlihatkan perbedaan yaitu
peningkatan, penurunan, atau perbandingan, atau keadaan yang tidak berbeda. Untuk memperlihatkan
suatu keadaan, indikator sosial ekonomi harus terdiri lebih dari sejumlah angka. Dengan lebih dari
satu angka, kita dapat membuat perbandingan. Melalui perbandinganlah kita dapat melihat apakah ada
perubahan atau tidak ada perubahan pada gejala atau keadaan yang kita amati. Tetapi semua angka yang
ditampilkan tidak akan berarti apa-apa bila kita tidak dapat membacanya atau menafsirkannya.

Sebagai petunjuk, nilai indikator terdiri dari berbagai jenis yaitu :

1. Angka Absolut
Angka absolut adalah angka yang didapat dari data yang dikumpulkan, baik yang merupakan hasil
pencacahan (frekuensi) maupun nilai sebenarnya dari objek yang diamati. Biasanya angka tersebut
menunjukkan jumlah, banyak, atau besaran objek yang sedang diamati. Satuan dari indikator angka
absolut ini sama dengan satuan objek yang diamati. Misalnya orang, km2, unit, dsb.
Contoh indikator yang bernilai angka absolut adalah:
Jumlah penduduk (jiwa), jumlah penduduk miskin (jiwa), jumlah desa (buah), jumlah rumah
tangga (buah), jarak desa dengan rumah sakit terdekat (km2), jumlah koperasi (unit), dsb.
2. Proporsi
Proporsi adalah nilai yang menunjukkan seberapa besar bagian objek yang sedang diamati dari
keseluruhan himpunan. Proporsi B adalah besarnya himpunan (B) terhadap suatu atau keseluruhan
himpunan (A).
Contoh indikator yang bernilai angka proporsi adalah:
Penduduk terdiri dari penduduk laki-laki dan perempuan. Karena laki-laki dan perempuan adalah
himpunan bagian dari penduduk, maka kita bisa menghitung proporsi penduduk laki-laki maupun
proporsi penduduk perempuan terhadap penduduk laki-laki dan perempuan

Rumus proporsi :
Proporsi B (sebagian himpunan) terhadap A (seluruh himpunan) = B / A

Tabel 1 Proporsi penduduk DKI Jakarta menurut jenis kelamin tahun 2000

Absolut Rumus Proporsi


(A) (B) (C)
Laki-laki (L) 4.211.220 L = L / (L + P) 0.51
Perempuan (P) 4.113.487 P = P / (L + P) 0.49
Laki-laki + Perempuan (L+P) 8.324.707 L+P = L+P / (L + P) 1.00

Sumber: Penduduk Indonesia, Hasil Sensus Penduduk tahun 2000, Badan Pusat Statistik (BPS), Jakarta,
2001

Interpretasi :
a. Proporsi laki-laki di DKI Jakarta pada tahun 2000 adalah 0.51
b. Proporsi perempuan di DKI Jakarta pada tahun 2000 adalah 0.49

3. Persen
Persen (%) sebenarnya adalah nilai proporsi yang dikalikan dengan 100% sehingga diperoleh angka per
seratus. Dengan demikian, nilai persen akan berkisar antara 0 hingga 100. Demikian pula jika persentase
himpunan-himpunan bagian dijumlahnya, totalnya adalah 100.

Rumus persen:
%B (sebagian himpunan) terhadap A (seluruh himpunan) = B/A x 100%

Tabel 2 Persentase penduduk DKI Jakarta menurut jenis kelamin tahun 2000

Absolut Rumus Persen


(A) (B) (C)
Laki-laki (L) 4.211.220 %L = Laki / (L + P) x 100 50.59
Perempuan (P) 4.113.487 %P = Pr / (L + P) x 100 49.41

Laki-laki + Perempuan (L+P) 8.324.707 %L+P = L+P / (L + P) x 100 100.00

Sumber: Penduduk Indonesia, Hasil Sensus Penduduk tahun 2000, Badan Pusat Statistik (BPS), Jakarta,
2001
Interpretasi :
a. Persentase penduduk laki-laki di DKI Jakarta pada tahun 2000 adalah 50.59%
b. Persentase penduduk perempuan di DKI Jakarta pada tahun 2000 adalah 49.41%
Walaupun persen memiliki pengertian yang hampir sama dengan proporsi namun persen lebih umum
digunakan daripada angka proporsi. Hal ini mungkin disebabkan oleh relatif lebih mudahnya membaca
angka persen daripada angka proporsi (desimal) saat menganalisa data. Persen berarti per seratus.
Misalnya, bayi yang diimunisasi ada 60%, berarti 60 bayi yang diimunisasi dari 100 bayi yang ada. Ini lebih
mudah membacanya daripada jika menggunakan proporsi (0.6).

4. Rasio
Rasio adalah perbandingan antara 2 himpunan (A dan B). Bedanya, dalam rasio dua himpunan yang
diperbandingkan terlepas satu sama lain. Dengan kata lain, rasio dapat dihitung bila himpunan B bukan
merupakan himpunan bagian A.

Rumus rasio :
Rasio B terhadap A = B / A

Misal, kita akan membandingkan berapa jumlah murid dengan jumlah gurunya (himpunan guru
bukan himpunan bagian dari murid atau sebaliknya. Himpunan guru dan murid saling lepas).

Tabel 3 Rasio murid/guru di SD Negeri tahun ajaran 2004/2005 di Indonesia

Absolut Rumus Rasio


(A) (B) (C)
Guru (Gr) 1.335.086
Rasio = Mr / Gr 19
Murid (Mr) 25.997.445

Sumber: Rangkuman Statisitik Persekolahan 2004/2005. Departemen Pendidikan Nasional-Badan


Penelitian dan Pengembangan Pusat Data dan Informasi Pendidikan. Jakarta, 2005

Interpretasi :
Rasio murid/guru SD Negeri tahun ajaran 2004/2005 di Indonesia adalah 19. Artinya setiap guru
SD Negeri bertanggung jawab untuk mengajar 19 orang murid di Indonesia pada tahun ajaran
2004/2005.

Rasio dapat pula dikalikan dengan faktor pengali tertentu untuk memudahkan pembacaan data saat
menganalisa. Misalnya, rasio jenis kelamin (perbandingan antara laki-laki dan perempuan, atau sebaliknya)
yang ditulis dengan rumus berikut :

Rasio jenis kelamin = Laki-laki / Perempuan x k; = faktor pengali dapat saja 100, 1000

Tabel 4 Rasio jenis kelamin penduduk DKI Jakarta tahun 2000

Absolut Rumus Rasio


(A) (B) (C)
Laki-laki (L) 4.211.220 Rasio L terhadap P
= L / P x 100 102
Perempuan (P) 4.113.487
atau
Rasio P terhadap L 98
Laki-laki + Perempuan (L+P) 8.324.707
= P / L x 100

Sumber: Penduduk Indonesia, Hasil Sensus Penduduk tahun 2000, Badan Pusat Statistik (BPS), Jakarta,
2001
Interpretasi :
Rasio laki-laki terhadap perempuan di DKI Jakarta pada tahun 2000 adalah 102. Artinya terdapat
102 orang penduduk laki-laki untuk setiap 100 orang penduduk perempuan di DKI Jakarta pada
tahun 2000. Atau, sebaliknya dapat pula dikatakan bahwa pada tahun 2000 terdapat 98 perempuan
untuk setiap 100 laki-laki.

Catatan: dalam Ilmu Demografi, rasio jenis kelamin adalah perbandingan antara banyaknya
penduduk laki-laki dengan banyaknya penduduk perempuan atau sebaliknya
perbandingan antara jumlah penduduk perempuan dan laki-laki. Jika rasio jenis kelamin
yang dinyatakan sebagai jumlah laki-laki dibanding perempuan > 100 berarti di daerah
tersebut terdapat lebih banyak penduduk laki-laki dan bila rasio jenis kelamin < 100
berarti lebih banyak penduduk perempuan.

5. Rate/ tingkat
Rate atau tingkat menunjukkan angka atau banyaknya insidensi (kejadian) selama periode tertentu,
katakan 1 tahun, dibagi dengan jumlah penduduk yang beresiko kejadian tersebut pada tengah periode
yang diukur (misalnya tengah tahun). Dalam hal ini diasumsikan bahwa kejadian yang diukur terdistribusi
secara merata sepanjang tahun.

Contoh indikator yang bernilai tingkat/ rate adalah:


Angka Kelahiran, Angka Kematian Ibu/ Bayi/ Anak.

Rumus :
Angka A = Jumlah A / Jumlah penduduk yang beresiko A pada tengah periode x k;
k=faktor pengali, 100 atau 1000

Untuk rate (tingkat), contoh yang akan disajikan adalah dengan menggunakan data Age Specific Fertility
Rate (angka kelahiran menurut kelompok umur) yaitu banyaknya kelahiran tiap seribu wanita pada
kelompok tertentu

Tabel 5 Perhitungan ASFR, DKI Jakarta 1970

Umur Penduduk ASFR tiap 1000 wanita


Kelahiran
Wanita Wanita (4) = [(3): (2)] x 1000
(3)
(1) (2)
15-19 264.960 15.840 60
20-24 208.080 41.040 197
25-29 200.880 50.400 251
30-34 163.440 49.680 304
35-39 151.200 18.000 119
40-44 110.160 7.200 65
45-49 66.960 720 11

Sumber: Dasar-Dasar Demografi, LD FEUI, 2000.

Interpretasi :
Age Specific Fertility Rate yang ada pada tabel 5, baris 1, kolom 4 menunjukkan ada 60 kelahiran
tiap seribu wanita pada kelompok umur 15-19 tahun.
Catatan :
> Nilai rate bisa lebih besar dari 100, misalnya untuk ASFR diatas ada yang mencapai
angka 251 (untuk kelompok umur 25-29)
> Ada beberapa rumus rate yang mirip dengan persen. Jika faktor pengalinya adalah
100, maka nilainya akan sama dengan nilai persen. Namun, kita tidak menyebutnya
sebagai “persen”, tetapi sebagai angka. Jika variabel penyusun indikator berhubungan
dengan usia penduduk tertentu, maka indikator tersebut “angka” bukan “persen”.

Berbagai jenis indikator yang telah disebutkan diatas merupakan jenis indikator tunggal, karena indikator
tersebut hanya menerangkan atau mengukur satu kondisi tertentu. Jenis indikator lainnya adalah indikator
komposit, yaitu ukuran yang merupakan gabungan dari beberapa indikator tunggal. Jenis indikator komposit
di antaranya adalah indeks.

6. Indikator Komposit
Indikator komposit merupakan ukuran gabungan dari beberapa indikator tunggal. Seringkali indikator
tunggal dirasakan kurang tepat untuk mengukur atau menerangkan beberapa gejala sekaligus, seperti
mengukur tingkat keberhasilan pembangunan manusia. Beberapa indikator tunggal, yaitu yang mewakili
aspek ekonomi ( pengeluaran riil perkapita yang disesuaikan), aspek pendidikan (Rata-rata lama sekolah
dan angka melek huruf) dan aspek kesehatan (Angka harapan hidup) harus dilihat secara bersama-sama
untuk melihat sejauh mana tingkat pembangunan manusianya. Karena itu, dibutuhkan ukuran baru yang
merupakan indikator pembangunan manusia dan merupakan gabungan dari beberapa indikator tunggal
tersebut. Dalam perhitungan tingkat pembangunan ini dikenal dengan indeks pembangunan manusia

Indeks Pembangunan Manusia/ IPM (Human Development Index), adalah contoh dari indikator komposit,
yang digunakan di tingkat dunia untuk memberikan informasi ringkas tentang pembangunan manusia di
tiap negara. Angka IPM berkisar antara 0-100. Dengan melihat pada angka IPM dinegara Indonesia dan
diberbagai propinsi yang lain , dapat dibandingkan keadaan pembangunan di kedua negara tersebut.
Sedangkan angka IPM untuk tahun berbeda di sebuah negara menunjukkan perubahan yang terjadi
dalam masyarakat pada negara tersebut.

Penyusunan suatu indikator komposit, termasuk menentukan indikator tunggal apa yang menyusunnya,
tergantung pada kebutuhan. Misalnya, untuk mengkur keterbelakangan manusia dapat disusun Indeks
Kemiskinan Manusia (IKM) yang mencakup tiga indikator yaitu a) penduduk yang diperkirakan tidak
berumur panjang (angka harapan hidup); b) pengetahuan (angka buta huruf penduduk usia 15 tahun
keatas); dan c) standar hidup layak (keterbatasan akses terhadap pelayanan dasar yang diukur melalui
%penduduk tanpa akses air bersih dan %penduduk yang tidak memiliki akses ke sarana kesehatan).

Namun, ada yang menjadi catatan khususnya untuk indikator tunggal (angka absolut dan rate/ tingkat)
yaitu Perbedaan tujuan program pengentasan kemiskinan dengan target angka absolut dan indikator/
tingkat adalah pada konsentrasinya. Penduduk Indonesia terkonsentrasi di Jawa, sehingga pengentasan
kemiskinan dengan target angkat absolut (jumlah penduduk miskin tertentu) cenderung pro-Jawa.
Sebaliknya jika tujuannya adalah angka atau tingkat tertentu, maka pengentasan kemiskinan tersebut
lebih pro-Luar Jawa.

2.3.2 Penyajian Indikator Sosial Ekonomi


Indikator sosial ekonomi dapat disajikan dengan bermacam-macam cara. Tabel adalah cara penyajian
yang paling umum digunakan. Selain itu indikator juga disajikan dalam bentuk grafik dan diagram. Pilihan
tampilan penyajian indikator didasari oleh kemudahan pemahaman data. Yang perlu diperhatikan adalah
judul tabel, grafik, atau diagram serta sumber data dapat memberikan informasi pada pembaca mengenai
indikator yang disajikan.
Tabel x (Sample): Persen Keluarga yang Tergolong Miskin Berdasarkan Alasan Ekonomi di dua Kategori
BKKBN Paling Rendah, menurut desa di Kecamatan Praya Barat Daya (2000)

Desa di Kecamatan Praya Barat


Pra- Sejah t era Sejahtera I Tot al
Daya

Praya Barat Daya 45.5 23.7 69.2


Motong Sapah 38.8 11 .5 49.5
Kabul 74.8 14.9 89.8
Pelam bi k 32.4 38.4 70.8
Ranggagata 43.2 25.4 68.5
Ungga 46.1 36.2 82.4
Da rek 36.6 25.6 62.2

Sumber: Penelitian Pendidikan Bermutu Bagi Anak Miskin di Tiga Kecamatan NTB, IHS 2003

Grafik x (Sample): Persen Rumah Tangga yang Memiliki Fasilitas Sanitasi Sendiri (JAWA TIMUR)

Sumber: Hasil pengolahan data Susenas 1993-2001


Diagram x (Sample): Komposisi Penduduk Kalimantan Timur, SUSENAS, 2001

Sumber: Hasil pengolahan data Susenas 2001

2.3.3 Konsep Dasar Statistika - Populasi, Sampel dan Pembobotan


Statistik dapat diartikan sebagai penduga parameter, dimana parameter disini dapat berupa rata-rata,
deviasi stándar, proporsi, dan parameter model dalam suatu persamaan regresi.

Statistika adalah suatu disiplin ilmu yang mempelajari metode pengumpulan data, menganalisis (termasuk
pendugaan parameter) dan menarik kesimpulan dari data tersebut.

Kaitan antara statistika dengan perencanaan kebijakan adalah sebagai salah satu alat untuk membantu
para pengambil keputusan dalam mengambil keputusan. Pengambilan keputusan ini umumnya didasarkan
atas informasi yang tersedia dari data sampel.

Untuk mengetahui prosedur pengambilan keputusan tersebut, terlebih dulu diperlukan pengertian dasar
tentang konsep dasarnya, diantaranya adalah tentang populasi, sampel dan pembobotan, dimana masing-
masing pengertiannya adalah :

Populasi adalah semua kumpulan dari semua unsur yang diteliti. Banyaknya pengamatan atau anggota
suatu populasi disebut ukuran populasi. Untuk menyimpulkan sesuatu dari sebuah populasi, biasanya kita
mengambil sampel dari populasi.

Sampel adalah suatu bagian dari populasi. Kalau kita menginginkan kesimpulan dari sampel terhadap
populasi menjadi sah, kita harus mendapatkan sampel yang mewakili. Kita seringkali tergoda untuk
mengambil anggota populasi yang memudahkan. Cara demikian ini dapat membawa pada kesimpulan
yang salah mengenai populasi. Untuk menghilangkan kemungkinan salah dalam mengambil kesimpulan,
kita perlu mengambil sampel acak sederhana atau sampel acak. Suatu sampel acak sederhana yang terdiri
dari n pengamatan ialah suatu sampel yang dipilih sedemikian rupa sehingga setiap himpunan bagian dari
populasi tersebut mempunyai peluang terpilih yang sama.

Setelah sampel diambil dari populasi, kita dapat membuat kesimpulan tentang populasi. Untuk menarik
kesimpulan tentang populasi, kita harus menggunakan bobot/ pembobot dalam perhitungan. Misalnya, jika
besarnya populasi 1000 orang dan besarnya sampel sebanyak 50 orang, maka bobot adalah 1000/50 yaitu
20. Berarti 1 orang dalam sampel bisa mewakili 20 orang dalam populasi, dengan asumsi sampel terambil
secara acak.
Pengambilan sampel atau sampling adalah kegiatan memilih sebagian unsur-unsur populasi dengan
maksud untuk menyimpulkan tentang karakferistik populasi secara keseluruhan. Sebuah
unsur dalam populasi adalah subjek dimana pengukuran tersebut dilakukan. Unsur-unsur ini
disebut sebagai unit penelitian atau unit pengamatan. Misalnya setiap rumah tangga di suatu
wilayah, setiap individu di sebuah organisasi, setiap pohon akasia dalam satuan hamparan
tanah dan sebagainya.

Ada beberapa alasan dilakukannya survei terbatas atau sampling, diantaranya adalah:

1. Mengurangi biaya
oleh karena data diperoleh dari sebagian kecil populasi, maka biaya akan Iebih murah daripada
sensus.
2. Efisiensi waktu
data dapat dikumpulkan dan diolah dengan Iebih cepat.
3. Efisiensi tenaga
tenaga yang diperlukan akan jauh Iebih sedikit jika dibandingkan dengan melakukan sensus.

2.4 Data dan Basis Data

Data adalah semua bentuk keterangan yang dicatat dari objek yang sedang menjadi perhatian. Ada dua
tipe dasar data: (1) data yang diperoleh dari atribut kualitatif, (2) data yang diperoleh dari besaran kuantitatif.
Variabel kualitatif adalah variabel yang nilai pengukurannya tidak dinyatakan dalam angka. Contoh: gedung
putih, bunga merah, dsb. Variabel kuantitatif adalah variabel yang nilai pengukurannya dinyatakan secara
angka atau numerik, seperfi berat badan, umur atau jumlah penduduk, dsb. Objek yang menjadi perhatian
bisa berwujud orang secara individual, rumah tangga, perusahaan, kebun, pohon, fanah, dan lain-lain.

2.4.1 Karakteristik Data


Dilihat dari rentang waktu pengumpulannya, data dapat dibedakan ke dalam:

1. Data Deret Waktu (time series data)


adalah hasil pengukuran pada satu atau lebih variabel yang pengamatannya dilakukan sepanjang
periode tertentu. Contoh penerimaan dari pajak hotel dan restoran di suatu kabupaten dari tahun
1990-1999.

2. Data Cross Section


adalah data yang tersusun dari satu atau lebih variabel yang dikumpulkan dari banyak objek pada
satu waktu tertentu. Contoh data cross section adalah banyaknya rumah tangga, banyaknya
penduduk, jumlah petani, pada suatu waktu tertentu (umumnya ditentukan oleh waktu survey).

3. Data Panel
adalah data yang diperoleh lebih dari satu kali dari obyek atau sumber data yang sama. Contoh
data panel adalah data yang diperoleh dari survei berseri yang bertujuan untuk melihat perubahan
objek atau responden “sebelum” dan “sesudah” suatu “perlakuan” atau ‘intervensi’.
Dilihat dari skala pengukurannya, data dapat dibedakan ke dalam:

1. Skala Nominal
Skala yang paling sederhana dan paling rendah kandungan informasinya dari seluruh skala
yang ada. Obyek yang diukur dengan skala nominal hanya dapat dibedakan menurut kategori
atau golongan tertentu, misalnya jenis kelamin, agama, suku bangsa, jenis pekerjaan, dan
sebagainya. Secara umum skala nominal berfungsi untuk mengidentifikasi atau menggolongkan
obyek atau kejadian. Walaupun ada obyek yang menggunakan angka sebagai pembeda satu
sama lain, tetapi angka-angka tersebut hanya untuk membedakan satu obyek dengan obyek
yang lain. Misalnya, no. telpon, no. rumah, no, paspor, dan lain-lain. Angka-angka yang ada
tidak ada artinya bila dilakukan operasi matematika (penjumlahan, pengurangan, perkalian dan
pembagian) terhadapnya. Misalnya no. rumah 31 + no. rumah 20 tidak berarfi menjadi no. rumah
51.

2. Skala Ordinal
Berfungsi untuk menunjukkan tingkat atau urutan dari suatu pengamatan berdasarkan ciri tertentu
yang diamati. Skala ini pada dasarnya menunjukkan ada tidaknya ciri yang dimiliki oleh suatu
obyek (individu) dan ciri-ciri tersebut dapat diurutkan atau dibedakan menurut tingkat terendah
sampai tertinggi.

Contoh : Pendapat tentang perlunya pelatihan penghitungan dan analisa indikator sosial-
ekonomi untuk NSD Timor Leste dapat dibedakan menurut:

Sangat tidak setuju 1


Tidak setuju 2
Ragu-ragu 3
Setuju 4
Sangat setuju 5

Kode 1 untuk pendapat sangat tidak setuju, kode 2 untuk pendapat tdak setuju, dst dikenakan
pada masing-masing kategori pendapat. Kode tersebut biasanya diberikan untuk membedakan
peringkat masing-masing kategori. Kode 5 diberikan untuk pendapat sangat setuju karena
pendapat ini dianggap sangat positif mendukung pelaksanaan pelatihan.

3. Skala Interval
Dibandingkan skala ordinal, skala interval tdak hanya dapat mengurutkan obyek dalam susunan
tertentu tetapi juga dapat mengukur jarak antar kategori. Oleh sebab itu skala interval lebih banyak
mengandung informasi dari pada skala ordinal. Tidak ada nol mutlak dalam skala pengukuran ini.
Suhu adalah contoh data yang diukur dengan skala interval.

4. Skala Rasio
Beda utama antara skala rasio dan interval adalah nilai nol. Pada skala rasio memiliki nilai mutlak
dan berfungsi sebagai nilai awal. Oleh karena itu dalam skala ini diperkenankan adanya operasi
matematik. Berdasarkan sifatnya maka skala rasio memiliki sifat paling lengkap dan mengandung
informasi paling kaya dari semua skala pengukuran. Pengukuran mengenai kecepatan, berat,
panjang, waktu, usia, jumlah penduduk merupakan contoh dari pengukuran dengan menggunakan
skala rasio.
2.4.2 Sumber Data dan Basis Data

Berhubungan dengan data berarti seseorang harus mengetahui dimana dapat memperoleh data, yaitu
sumber data. Akan lebih baik jika memungkinkan dimilikinya basisdata yang menyimpan data-data tertentu
yang telah dikumpulkan. Bagian ini akan menjelaskan mengenai sumber dan basis data.

1. Sumber Data
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, ada beberapa jenis sumber data, tergantung pula dari sisi apa kita
memerlukan data tersebut, diantaranya adalah:

a. Lembaga Pengumpul Data.


Dilihat dari lembaga pengumpul data, ada dua jenis sumber data, apakah dari pemerintah atau non-
pemerintah:
* Badan Pusat Statistik - Kementerian (pemerintah)
* Swasta - LSM (non-pemerintah)

b. Cara Pengumpulan.
Cara pengumpulan data bermacam-macam:
> Sensus apabila data diperoleh dari responden yang merupakan keseluruhan populasi
> Survey apabila data diperoleh dari responden yang merupakan sampel dari keseluruhan
populasi.
> Angket adalah media yang digunakan dalam pengumpulan data.
> Sebenarnya dan ‘Disesuaikan’, data yang disajikan sesuai dengan informasi yang diperoleh
adalah data Sebenarnya, sedangkan beberapa jenis informasi harus disesuaikan dahulu
sebelum disajikan dalam bentuk data4, data inilah yang disebut dengan data ‘Disesuaikan’.
4 Misalnya untuk data umur, cenderung mengumpul pada angka yang berakhir dengan nol atau lima, karena

responden lebih mudah menyampaikan informasi dengan cara demikian. Karena itu data dengan jenis ini harus
disesuaikan terlebih dahulu.

c. Cakupan Wilayah
Untuk data dengan cakupan nasional hanya disediakan oleh BPS, sedangkan data lain biasanya
memiliki cakupan yang lebih spesifik.

d. Kelemahan dan Keunggulan


Penggunaan dan salah penggunaan (use and mis-use) data, mengingat data memiliki nilai politik
yang tinggi.

Contoh: Sumber Data Kemiskinan:


Data kemiskinan atau data-data sosial lain yang mendukung untuk analisa kebijakan kemiskinan dapat
ditemukan dari berbagai sumber data, diantaranya:
> BPS (Pusat/ Daerah)
> BKKBN
> Askes
> Pemda / Dinas (sumber data?)

Dari sumber-sumber data tersebut bisa juga dipilih satu atau beberapa sumber data tertentu berdasarkan
metode pengumpulan data yang digunakan. Misalnya untuk data sosial dan ekonomi bisa memilih apakah
akan menggunakan Sensus (SP - 10 tahunan) atau Survey (Susenas - tahunan).

Dalam pemilihan data juga harus dipertimbangkan cakupan wilayah data tersebut, apakah terbatas pada
wilayah sendiri atau juga wilayah lain. Tentu saja hal ini dikembalikan pada keperluannya, seberapa besar
cakupan perencanaan yang akan dilakukan atau dianalisa.
Pertanyaan yang juga muncul adalah bagaimana memilih data ‘yang benar’? Jawabannya: data yang
benar ditentukan oleh kebutuhan, tidak ada data yang sesuai dapat memenuhi semua kebutuhan; contoh
BKKBN dan BPS.

2. Basis Data
Ada beberapa prinsip dalam membangun basis data:
a. Basis data dibangun untuk suatu keperluan khusus, atau basisdata tidak ada yang umum yang bisa
mencakup semua kebutuhan, sehingga tidak semua kepentingan bisa menggunakan basisdata yang
sama.
b. Basisdata hanya berguna kalau ada yang menggunakannya, ada demand akan bentuk dan jenis data
tertentu yang disimpan dalam basisdata.
c. Pertanyaan: Untuk apa dan siapa (jabatan/ orang?) penggunanya
> Kalau saya (unit saya bisa departemen kalau saya menteri, bisa dirjen, direktorat, dsb.) sekali-
kali membutuhkan suatu data, perlukah saya memiliki basisdata?
> Kalau saya sering membutuhkan data tetapi jenis data sangat beragam (misalnya dari
temperatur ke variasi bunga ke volume ekspor kopi, ke jumlah ibu hamil), apakah sebaik nya
saya memiliki sendiri basis data?
> Kalau saya sering membutuhkan data serupa untuk berbagai wilayah dan waktu, apakah saya
sebaiknya memiliki sendiri basis data?
> Kapankah sebaiknya saya memiliki basisdata?
> Bagaimana peranan sumberdaya dan dana, efisiensi?
≥ Bangun sendiri basisdata dengan segala konsekuensi sumberdaya dan dana termasuk
pemeliharaan - SDM (yang mengerti tentang kebutuhan data semua pengguna di unit
(dapat kecil/ sempit ataupun besar hingga Departemen meliputi sekian DirJen)
≥ Diserahkan pada swasta yang dapat membangun basisdata untuk memenuhi kliennya.
Di samping itu, jika suatu perusahaan swasta kurang memenuhi syarat selalu dapat
diganti (hal yang tidak mudah, kadang-kadang tidak mungkin dilakukan di pemerintah),
atau jika pada suatu waktu tertentu jasanya tidak lagi diperlukan maka tidak perlu
memperpanjang kontrak.

Basisdata indikator sosial ekonomi Insan Hitawasana Sejahtera:

> Isi: Jenis Indikator


H0000000 - INDIKATOR RUMAH TANGGA
H1000000 - Kemiskinan dan Kondisi Ekonomi RT
H1100000 – Kemiskinan
H1200000 - Keadaan ekonomi umum RT
H1210000 - Distribusi pendapatan
H2000000 - Kondisi Fisik RT
H2300000 - Kondisi Perumahan & Akses pada Pelayanan Dasar
H3000000 - Kondisi Sosial RT
H3100000 - Keaksaraan dan Pendidikan
H3200000 - Kelangsungan Hidup & Penyakit
H3300000 - Kesehatan Anak & Gizi
H3400000 - Fertilitas & Kesehatan Reproduksi
H3500000 - Penduduk & komposisi RT
H3600000 - Akses pada Informasi & Partisipasi dlm Kegiatan Sosial
H4000000 - Akses pada Kesempatan Ekonomi
H4100000 - Partisipasi Angkatan Kerja & Pengangguran
H4200000 - Status Bekerja dan Tingkat Upah
R0000000 - INDIKATOR REGIONAL
R1000000 - Pendudukan dan Lahan
R2000000 - Adanya Prasarana Dasar

S0000000 - INDIKATOR SEKTORAL


S1000000 – Pertanian
S2000000 – Industri
S3000000 - Perdagangan & Jasa

> Kelompok: Jenis Kelamin; Kota-Desa; Kuintil


> Level: Nasional, Propinsi, Kabupaten/ Kodya
> Tahun: 1993-2005

2.5 Memilih Indikator untuk Memantau dan Menilai (Monitoring dan Evaluasi)
Perencanaan dan Pemrograman Pro-Miskin

Dalam bagian ini akan dijelaskan aplikasi konsep target, indikator, dan basisdata dalam hal memilih
indikator untuk memantau dan menilai perencanaan Pro-Miskin.

2.5.1 Beberapa Prinsip Pemilihan Indikator


Ada perbedaan antara indikator untuk memantau (monitoring) dan penilaian (evaluasi), untuk jelasnya
perbedaan tersebut bisa dilihat lagi pada Bagan 1.
> Memantau: Indikator Output bisa sesuai dengan program/ proyek sebagaimana tercermin
dalam anggaran
> Menilai: Indikator Outcome sebagai hasil rencana suatu kebijakan secara umum yang diukur
oleh data yang dikumpulkan oleh lembaga independen seperti BPS

Kata Kunci - INDEPENDENSI : Pemantauan dan Evaluasi yang mendukung tatalaksana yang baik (good
governance) sebaiknya dilakukan oleh (bisa konsultan swasta, LSM, masyarakat) dan dengan peralatan
yang dibangun secara bebas nilai (value free) dan independen (misalnya bukan berdasar data Kementerian
tetapi lebih baik data BPS yang tidak memiliki kepentingan/ vested interest).

2.5.2 Pemilihan Indikator


Seperti yang telah dijelaskan diawal, jenis indikator untuk target dan rencana bisa merupakan jumlah
absolut ataupun angka dan rasio:

1. Jumlah absolut
> Jumlah orang miskin yang akan dikurangi
> Jumlah orang/ rumah tangga yang akan diberi BLT;
> Jumlah sekolah yang akan dibangun;
> Jumlah anak yang akan diimunisasi
Contoh di atas bisa menjadi pegangan untuk indikator Output, sebagai pegangan waktu
melakukan monitoring program atau proyek dan mampu menjawab pertanyaan:
> apakah jumlah orang miskin yang diberi BLT sesuai dengan jumlah yang direncanakan
menurut anggaran;
> apakah jumlah sekolah yang dijanjikan akan dibangun memang dibangun

2. Angka dan Rasio (Rates & Ratios)


> Angka Kemiskinan (biasanya dinyatakan dalam persen atau persen orang/ rumah tangga
hidup di bawah garis kemiskinan) akan diturunkan menjadi separoh
> Angka Partisipasi Sekolah (biasanya dinyatakan dalam persen, persen anak sekolah dibanding
dengan anak yang mungkin sekolah) akan mencapai 95%
> Angka Kematian Bayi (dinyatakan per 1.000 bayi dilahirkan hidup, jumlah bayi yang lahir hidup
kemudian meninggal dalam satu tahun dibagi jumlah bayi yang lahir hidup selama tahun yang
sama) akan menjadi separoh
> Angka Pengangguran (yaitu persen penganggur dibanding dengan angkatan kerja, yang
terdiri dari pekerja + penganggur) akan menjadi 5%.
Berbagai indikator diatas merupakan beberapa contoh Outcome Indicators, bukan Output
Indicators.

3.Latihan Bertanya, Mencari Jawaban dan Menjawab, Contoh


Faktor yang Berkorelasi Dengan Kemiskinan: Pendidikan
3.1 Kebijakan: Wajib Belajar 9 Tahun
Dari laporan Bank Dunia salah satu faktor yang berkorelasi dengan kemiskinan adalah pendidikan. Untuk
itu, pendidikan menjadi isu khusus yang akan diangkat dalam pelatihan ini. Kemiskinan selalu dikaitkan
dengan ketidak mampuan dalam mencapai pendidikan tinggi. Hal ini berkaitan dengan mahalnya biaya
pendidikan itu sendiri. Berbagai upaya memang telah dilakukan pemerintah untuk membebaskan dari
beban biaya pendidikan yang semakin tinggi namun tetap saja pendidikan masih menjadi sesuatu yang
sulit untuk diraih oleh penduduk miskin. Untuk itu, dalam pelatihan ini, akan dibahas kebijakan wajib belajar
mulai dari perencanaan hingga contoh yang menunjukkan korelasi antara kemiskinan dan pendidikan,
yaitu kebijakan wajib belajar 9 tahun.

3.1.1 Peraturan dan Perundang-undangan tentang Wajib Belajar


Rencana wajib belajar dapat dilihat dalam beberapa peraturan dan perundangan-undangan antara lain
UUD 1945 pasal 31 ayat 1 dan 2, UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SNP),
RPJMN (Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional), RKP (Rencana Kerja Pemerintah) ,
APBN (Anggaran Pengeluaran Belanja Negara) dan APBD (Anggaran Pengeluaran Belanja Daerah).

Isi Peraturan yang Mengatur Kebijakan Wajib Belajar:


Adapun bunyi dari berbagai peraturan dan perundang-undangan yang mengatur tentang wajib belajar,
adalah :
1. Pada pasal 31 amandemen UUD 1945 ayat 1 disebutkan, “setiap warga negara berhak mendapat
pendidikan.”, dan dalam ayat (2) ditegaskan kembali bahwa “Setiap warga negara wajib mengikuti
pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.”
2. Dalam beberapa pasal di Undang-Undang no 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
disebutkan bahwa:
> “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang
bermutu” (Pasal 5 ayat 1)
> “Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib
mengikuti pendidikan dasar” (Pasal 6 ayat 1)
> “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan
serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara
tanpa diskriminasi” (Pasal 11 ayat 1)
> “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya anggaran guna
terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai
dengan lima belas tahun” (Pasal 11 ayat 2)
3. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) disebutkan kegiatan pokok
Program Wajib Belajar yang meliputi :
> Penyediaan sarana dan prasarana pendidikan yang berkualitas
> Penyediaan berbagai alternatif layanan pendidikan dasar baik melalui jalur formal
maupun non formal
> Peningkatan kembali upaya penarikan kembali peserta didik putus sekolah jenjang SD/
MI/ Paket A dan SMP/ MTs/ Paket B dan lulusan SD/ MI/ Paket A yang tidak
melanjutkan ke dalam sistem pendidikan
> Pengembangan kurikulum nasinal dan lokal yang disesuaikan dengan perkembangan
ilmu pengetahuan, teknologi, budaya dan seni
> Penyediaan materi pendidikan, media pengajaran dan teknologi pendidikan
> Pembinaan minat, bakat dan kreativitas peserta didik dengan memberi perhatian pada
anak yang memiliki potensi kecerdasan bakat istimewa
> Penerapan manajemen berbasis sekolah yang memberi wewenang dan
tanggungjawab pada satuan pendidikan
> Penyediaan informasi pendidikan yang memadai
> Peningkatan partisipasi masyarakat baik dalam penyelenggaraan, pembiayaan,
maupun dalam pengelolaan pembangunan
> Pengembangan kebijakan, melakukan perencanaan, monitoring, evaluasi, dan
pengawasan pelaksanaan.

4. Sedangkan dalam Rancangan Kebijakan Pemerintah (RKP), beberapa kegiatan pokok untuk
program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun, meliputi :
> Penyediaan bantuan operasional sekolah (BOS) jenjang SD/ Sederajat dan SMP/
Sederajat,
> Rehabilitasi SD/ SDLB dan SMP/ SMPLB,
> Penyelenggaraan pendidikan alternatif,
> Penyelenggaraan pendidikan inklusif,
> Pembangunan sarana dan prasarana,
> Penyediaan beasiswa (retrieval, transisi dan bagi anak yang belum pernah sekolah),
> Pembinaan kelembagaan,
> Penyediaan informasi pendidikan dasar,
> Peningkatan partisipasi masyarakat,
> Pengembangan manajemen pendidikan dasar,
> Penyelenggaraan akreditasi satuan pendidikan serta
> Penilaian dan evaluasi hasil belajar

5. Dalam Instruksi Presiden Nomor 5/2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan
Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Penuntasan Buta Aksara, Presiden
menginstruksikan kepada beberapa menteri dan pejabat propinsi (Menteri Koordinator Bidang
Kesejahteraan Rakyat, Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan,
Menteri Agama, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Kepala Badan Pusat Statistik, Para
Gubernur dan Para Walikota) untuk:

Pertama: mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai dengan tugas, fungsi dan
kewenangan masing-masing untuk melaksanakan Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan
Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara, dengan:
> Meningkatkan persentase didik sekolah dasar/ madrasah ibtidaiyah/ pendidikan yang
sederajat terhadap penduduk usia 7-12 tahun atau angka partisipasi murni (APM)
sekurang-kurangnya menjadi 95% pada akhir tahun 2008;
> Meningkatkan persentase didik sekolah dasar/ madrasah ibtidaiyah/ pendidikan yang
sederajat terhadap penduduk usia 7-12 tahun atau angka partisipasi kasar (APK)
sekurang-kurangnya menjadi 95% pada akhir tahun 2008;
> Menurunkan persentase penduduk buta aksara usia 15 tahun ke atas sekurang-
kurangnya menjadi 5% pada akhir tahun 2009.

Kedua: tugas khusus yang diminta oleh Presiden kepada pejabat negara dan pejabat propinsi
> APBN dan APBD: Dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional pasal 49 dinyatakan “Dana pendidikan selain gaji pendidik dan
biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 persen dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara pada sektor pendidikan dan minimal 20 persen dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah”.

3.1.2 Rencana Untuk Mencapai Kebijakan Wajib Belajar 9 Tahun


Secara umum, pemerintah memiliki target akan menuntaskan program wajib belajar pada tahun 2008/2009.
Demi terlaksananya program wajib belajar 9 tahun, pemerintah membuat perencanaan demi tercapainya
target yang akan diraih.

Rencana adalah rancangan tentang sesuatu yang akan dikerjakan. Dalam rangka menuntaskan wajib
belajar 9 tahun yang bermutu pada tahun 2008/2009, pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan
Nasional Direktorat pembinaan SMP, menetapkan tiga strategi, yaitu5:

1. Peningkatan Akses dan Perluasan Pendidikan


Beberapa langkah yang akan ditempuh untuk menetapkan target ini:
> Mengoptimalkan daya tampung sekolah yang tersedia baik pada SMP negeri maupun
swasta
> Membangun unit sekolah baru (USB) dan ruang kelas baru (RKB) bagi daerah yang
membutuhkan (2006= 452 USB; 9,000 RKB)
> Mengembangkan pendidikan dasar terpadu (SD-SMP satu atap) di daerah-daerah
terpencil kepulauan dan terisolasi (2006= 800 unit)
> Memberdayakan SMP Terbuka, kelas jauh/ filial, program wajar 9 tahun di ponpes
salafiyah)
> Menyediakan beasiswa (reguler, retrieval, transisi) bagi anak didik dari keluarga tidak
mampu.

2. Peningkatan Mutu, Relevansi dan Daya Saing


Beberapa hal yang akan dilakukan untuk mencapai peningkatan mutu, relevansi dan daya
saing adalah:
> Pemenuhan kebutuhan fasilitas belajar, buku dan alat pembelajaran minimal; termasuk
rehabilitasi SMP yang rusak
> Penataan dan standarisasi sistem pembiayaan pendidikan minimal (mis. BOS, school
grant, dsb)
> Peningkatan proses pembelajaran yang efektif (berbasis kompetensi, pembelajaran
kontekstual, dan pendidikan kecakapan hidup)
> Pelaksanaan kompetisi akademik dan non akademik tingkat lokal, nasional dan
internasional.
> Pembenahan manajemen dan kepemimpinan sekolah melalui program manajemen
berbasis sekolah
> Pelaksanaan akreditasi sekolah untuk menentukan tingkat kelayakan SMP negeri dan
swasta.
3. Peningkatan tata kelola (governance) dan akuntabilitas publik
Adapun rencana yang akan ditempuh pemerintah untuk meningkatkan tata kelola (governance)
dan akuntabilitas publik adalah:
> Menekan jumlah anak mengulang dan putus sekolah melalui: BOS, beasiswa,
pemenuhan kondisi minimal untuk belajar, dan peningkatan efektivitas pembelajaran;
> Memberdayakan dan meningkatkan efektivitas manajemen pendidikan (infor-masi,
perencanaan, penyelenggaraan, monitoring, dan evaluasi) di semua tingkatan
manajemen: pusat, propinsi, dan kabupaten/ kota;
> Meningkatkan pengawasan pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan SMP agar
sesuai dengan sistem prosedur dan target yang ditetapkan
> Meningkatkan peranserta semua komponen masyarakat dalam penyelenggaraan
pendidikan, khususnya penuntasan wajib belajar 9 tahun.

5 Departemen Pendidikan Nasional (2006). Tuntas Belajar 9 Tahun di tahun 2008/2009: Sebuah angan

angankah atau kenyataan. http://www.dikdasmen.org.

3.1.3 Langkah-Langkah untuk Merealisasikan Rencana


Langkah yang dapat ditempuh oleh pemerintah untuk mencapai berbagai rencana yang diuraikan diatas
dengan:
> Sistem informasi manajemen Direktorat Pembinaan SMP harus segera jadi dan berfungsi
> Mengoptimalkan semua resources yang ada guna mendukung action plan.
> Personil di Direktorat Pembinaan SMP diharapkan untuk rajin turun ke lapangan dalam rangka
mengidentif ikasi secara sungguh - sunguh.
> Menjelang tahun ajaran baru agardiadakankampanye atau sosialisasi Wajib Belajar 9 Tahun
(mulai bulan Maret sampai dengan awal Juli 2006).
> Setiap propinsi diharapkan mempunyai SK/ instruksi tentang Wajib Belajar 9 Tahun.
Semua yang akan dilakukan dapat diwujudkan dalam berbagai jenis program maupun proyek
yang mampu mendorong tercapainya target penuntasan wajib belajar 9 tahun. Perbedaan
antara program dan proyek pada intinya hanya terpaut pada masalah waktu. Umumnya,
program membutuhkan rentang waktu yang jauh lebih lama dibandingkan proyek.

Namun, langkah yang akan ditempuh oleh pemerintah diatas masih abstrak. Untuk itu, Direktorat Pembinaan
SMP membentuk 3 kelompok kerja yang ditugaskan membuat petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk
teknis (juknis).

Pihak yang akan dilibatkan dalam berbagai perencanaan ini adalah Departemen Pendidikan Nasional dan
Departemen agama sebagai instansi pelaksana kebijakan wajib belajar di Indonesia.

Definisi Wajib Belajar 9 Tahun:


Definisi wajib belajar 9 tahun dapat dirujuk menurut pasal 6 ayat 1 UU Sistem Pendidikan Nasional No.
20 tahun 2003 “Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti
pendidikan dasar”. Artinya yang berhak mengikuti wajib belajar 9 tahun adalah mereka yang berusia 7-15
tahun diharapkan bisa menuntaskan pendidikan dasar yang meliputi SD-SMP.

3.2 Target Output dan Outcome


Target didefinisikan sebagai nilai indikator yang telah ditetapkan untuk dicapai dalam jangka waktu tertentu.
Untuk mencapai semua target tersebut, pemerintah mengacu pada berbagai jenis indikator yang telah
ditetapkan nilainya oleh pemerintah sebagai acuan kesuksesan program yang akan dilaksanakan.
Pemerintah menetapkan target pencapaian wajib belajar ke dalam dua targetan yaitu target output dan
target outcome.
Contoh: Dalam Kebijakan Wajib Belajar, yang menjadi target output adalah membangun 452 Unit Sekolah
Baru (USB). Sedangkan target outcome-nya Angka Partisipasi Kasar (APK) dapat mencapai 95
persen pada tahun 2008. Dalam proses pemantauan, pemerintah perlu merujuk serangkaian
target output yang telah dicapai. Sedangkan, untuk penilaian, pemerintah merujuk pada target
outcome yang telah dicapai.

Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Dalam Negeri,
Menteri Keuangan, Menteri Agama, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Kepala Badan Pusat
Statistik, Para Gubernur dan Para Walikota Pihak yang ditegaskan bertanggung jawab (berdasarkan
Instruksi Presiden no. 5 tahun 2006) dalam keberhasilan kebijakan wajib belajar. Untuk itu, semua yang
disebutkan dalam INPRES no. 5 tahun 2006 merupakan pihak yang paling berkepentingan untuk tahu
target apa atau yang mana telah berhasil dicapai.

3.3 Pilihan Indikator Target Pendidikan


Ada beberapa variabel yang bisa menjadi indikator kesukseskan kebijakan wajib belajar, yaitu:

1. Angka Partisipasi Kasar


> Jumlah anak bersekolah pada suatu tingkat pendidikan tertentu (terlepas umurnya) dibagi
jumlah anak usia sekolah tingkat sesuai (APK bisa melebihi 100%)
> APK-SD =Jumlah anak sekolah tingkat SD dibagi anak usia SD

2. Angka Partisipas Murni


> Jumlah anak bersekolah pada tingkat pendidikan sesuai dengan umur dibagi jumlah anak usia
sekolah tingkat sesuai (APM tidak bisa melebihi 100%)
> APM-SD = Jumlah anak usia SD dan sekolah tingkat SD dibagi jumlah anak usia SD

3. Angka Partisipasi Sekolah


> Jumlah anak usia sekolah tingkat pendidikan tertentu yang bersekolah (terlepas tingkat
pendidikannya) dibagi jumlah anak usia sekolah tingkat sesuai (APU tidak bisa melebihi 100%).
> APS SD = Jumlah anak usia SD yang bersekolah dibagi jumlah anak usia SD
Berbagai indikator diatas, apakah termasuk indikator output atau indikator outcome? Dapat
dipastikan Jenis indikator diatas merupakan outcome karena mengukur hasil baik secara
kualitas maupun kuantitas dari output yang ada.

3.4 Sumber Data


Dilihat dari sumbernya, data yang digunakan untuk menilai kesuksesan program wajib belajar dapat dilihat
dari beberapa sisi, yaitu:

1. Lembaga Pengumpul Data


Untuk menganalisa kebijakan wajib belajar dapat menggunakan data:
> Susenas (Survey Sosial Ekonomi Nasional) dari BPS
> Rangkuman Statistik Persekolahan dari Departemen Pendidikan Nasional.
> Statistik Pendidikan Islam dari Departemen Agama

2. Cara Pengumpulan
Data Susenas dari BPS menggunakan metode survey yaitu data yang diperoleh dari responden
yang merupakan sampel dari keseluruhan populasi.

3. Cakupan Wilayah
Dari segi cakupan wilayah, data Susenas yang digunakan memiliki cakupan nasional.
3.5 Standar Pelayanan Minimum (SPM)
Standar Pelayanan Minimum idealnya mampu menerjemahkan apa saja langkah yang akan dilakukan
untuk meraih target yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Standar Pelayanan Minimum (SPM) digunakan
sebagai sarana kontrol dari berbagai rencana yang telah ditetapkan pemerintah (baik pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah). Untuk itu, Standar Pelayanan Minimum (SPM) harus mampu menjawab
beberapa poin yang terkait dengan perencanaan, target apa yang ingin dicapai (baik itu target yang bersifat
ouput maupun outcome), indikator yang menjadi acuan keberhasilan dan sumber data. Dalam modul ini
akan disajikan contoh Standar Pelayanan Minimum (SPM) dibidang pendidikan.

Dalam RPP Pengelolaan dan Pendanaan Pendidikan pada pasal 109 ayat 1 dinyatakan Pengelolaan
satuan pendidikan anak usia dini, dasar dan menengah dilaksanakan berdasarkan Standar Pelayanan
Minimum (SPM) dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/ madrasah. SPM akan dikembangkan oleh
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan Minimum
dapat dilihat dalam peraturan menteri.

Untuk mengetahui apakah pelayanan yang telah diberikan oleh pemerintah sudah mampu memenuhi
keinginan publik maka dibuatlah standar pelayanan Minimum (SPM). Dalam Peraturan Pemerintah nomor
19 tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 59 ayat 1 dinyatakan bahwa pemerintah
daerah menyusun rencana kerja tahunan bidang pendidikan dari program wajib belajar hingga program
pemenuhan Standar Pelayanan Minimum bidang Pendidikan. Selanjutnya, pada pasal 60 juga dinyatakan
bahwa pemerintah menyusun rencana kerja tahunan bidang pendidikan dengan memprioritaskan program
diantaranya program wajib belajar dan pemenuhan Standar Pelayanan Minimum bidang Pendidikan.

Mengacu pada pasal ini maka dibuatlah Pedoman Standar Pelayanan Minimum untuk berbagai tingkatan
pendidikan yang berbeda-beda, yaitu: Standar Pelayanan Minimum Penyelenggaraan Pendidikan Taman
Kanak-Kanak (TK), Sekolah Dasar (SD)/ MI, Sekolah Menengah Pertama (SMP)/ Mts, Pendidikan
Khusus. Adapun point yang terdapat dalam Pedoman Standar Pelayanan Minimum meliputi: Tujuan
Penyelenggaraan Pendidikan, Standar Kompetensi Peserta Didik, Kurikulum (program pembelajaran),
Peserta didik, Ketenagaan, Sarana dan Prasarana, Organisasi, Pembiayaan, Peran serta masyarakat,
manajemen sekolah dan indikator keberhasilan. Sebagai contoh untuk dikritisi akan diuraikan berbagai
point dari SPM di tingkat SMP atau setara (sumber: www.depdiknas.go.id).

Contoh: Pedoman Standar Pelayanan Minimum Penyelenggaraan Pendidikan


Sekolah Menengah Pertama (SMP)/ MTs6
6 Contoh SPM yang disajikan dalam modul ini diambil dari www.depdiknas.go.id

A. Tujuan Penyelenggaraan Sekolah Menengah Pertama


Pendidikan di Sekolah Menengah Pertama (SMP) memberikan bekal kemampuan (kompetensi) yang
merupakan perluasan serta peningkatan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh di Sekolah Dasar
(SD), untuk mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat dan warga negara
sesuai dengan perkembangannya mempersiapkan peserta didik untuk hidup dalam masyarakat dan atau
mengikuti jenjang pendidikan selanjutnya.

B. Standar Kompetensi Peserta Didik


Tamatan Sekolah Menengah Pertama/ Madrasah Tsanawiyah mempunyai kemampuan untuk:
1. Meyakini, memahami, dan menjalankan ajaran agama dalam kehidupan;
2. Memahami dan menjalankan hak dan kewajiban untuk berkarya secara produktif, kompetitif, dan
memanfaatkan lingkungan secara bertanggung jawab;
3. Berfikir logis, kritis, inovatif, memecahkan masalah, serta berkomunikasi lisan, dan tulis secara
kontekstual melalui berbagai media termasuk teknologi informasi;
4. Menjaga kesehatan dan kebugaran jasmani;
5. Berpartisipasi aktif dalam kehidupan sebagai cerminan rasa cinta dan bangga terhadap bangsa
dan tanah air.

C. Kurikulum
1. Struktur Kurikulum :
1) Pendidikan Agama;
2) Pendidikan Kewarganegaraan;
3) Bahasa Indonesia;
4) Bahasa Inggris;
5) Matematika;
6) Ilmu Pengetahuan Alam;
7) Ilmu Pengetahuan Sosial;
8) Seni Budaya;
9) Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan;
10) Keterampilan/ Teknologi Informasi dan Komunikasi.

2. Kurikulum Muatan Lokal :


a. Wajib : Pendidikan Lingkungan Kehidupan Jakarta (PLKJ)
b. Pilihan :
1) Tata Boga;
2) Tata Busana;
3) Tata Graha;
4) Elektronika;
5) Pertanian/ Peternakan/ Perikanan;
6) Industri Kecil;
7) Keterampilan Jasa;
8) Pendidikan Teknologi Dasar (PTD).

3. Pengembangan Diri
a. Bimbingan dan Konseling
b. Ekstrakurikuler:
1) PMR;
2) Paskibra;
3) UKS;
4) Pramuka;
5) Kelompok Ilmiah Remaja dsb.

4. Materi Pengajaran
Materi pengajaran SMP mengacu kepada kurikulum yang berlaku, baik kurikulum yang bersifat nasional
maupun lokal. Kurikulum muatan lokal dikembangkan sesuai dengan kebutuhan Pemerintah Provinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

5. Strategi Belajar Mengajar


A. Lama Pendidikan.
Pendidikan di SMP berlangsung selama 3 tahun, terdiri atas kelas VII
sampai dengan kelas IX, sedangkan program akselerasi berlangsung
selama 2 tahun.
B. Alokasi Waktu.
Minggu efektif untuk pelaksanaan program pendidikan adalah minimal 36 minggu/
tahun. Jumlah jam belajar efektif sebanyak 1.088/1.216 jam/ tahun atau 32 jam
pelajaran/ minggu. Satu jam pelajaran adalah 40 menit, termasuk didalamnya termasuk
kegiatan penilaian. Alokasi waktu untuk kurikulum nasional 32 jam pelajaran/ minggu,
sedangkan alokasi waktu untuk kurikulum lokal maksimum 4 jam pelajaran/ minggu.

C. Sistem Pembelajaran.
1. Kegiatan pembelajaran diarahkan untuk mengembangkan kemampuan intelektual,
emosional, fisik dan sosial serta kemampuan penyesuaian sosial peserta didik secara
utuh;
2. Kegiatan pembelajaran menggunakan sistem guru mata pelajaran;
3. Memanfaatkan berbagai sarana penunjang di sekolah seperti perpustakaan,
laboratorium, alat peraga, lingkungan alam dan budaya serta nara sumber dari
masyarakat;
4. Dalam rangka mempersiapkan peserta didik untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan
menengah atau memasuki lapangan kerja, perlu diusahakan pengembangan sikap
berani berpendapat dan kemandirian dalam mengambil keputusan, serta Pendidikan
Keterampilan;
5. Pembelajaran tambahan dapat diberikan kepada peserta didik, baik yang akan
melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah maupun yang akan mencari lapangan
kerja sesuai dengan minat dan kemampuannya serta memperhatikan keadaan dan
kebutuhan lingkungan.
6. Bahasa pengantar di SMP menggunakan Bahasa Indonesia. Bahasa Inggris atau
Bahasa Asing lainnya dapat digunakan sebagai media komunikasi di sekolah minimal
1 hari dalam seminggu.
7. Untuk mengetahui tingkat kemajuan dan keberhasilan pembelajaran dilakukan
penilaian secara berkelanjutan melalui tugas, ulangan harian, ulangan tengah
semester, ulangan akhir semester, ulangan kenaikan kelas, dan ujian akhir. Penilaian
dengan menggunakan stadar nasional dapat dilakukan dalam rangka mengetahui
mutu hasil belajar peserta didik.
8. Program bimbingan ditujukan untuk membantu peserta didik dalam memecahkan
masalah yang berkaitan dengan pendidikannya, meningkatkan prestasi peserta didik,
menyiapkan peserta didik untuk melanjutkan ke jenjang selanjutnya, atau menyiapkan
untuk bekerja. Bimbingan belajar dapat juga diberikan kepada peserta didik yang
memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa. Untuk melayani peserta didik
tersebut, sekolah dapat menyelenggarakan program akselerasi.

D. Peserta Didik
1. Daya tampung. Jumlah peserta didik dalam satu kelas/ rombongan belajar di SMP
minimal 20 orang dan maksimal 40 orang.
2. Persyaratan sebagai peserta didik. Untuk dapat diterima sebagai peserta didik di SMP:
a. Memiliki Ijazah atau surat keterangan yang berpenghargaan sama dengan
Ijazah SD/ MI yang sederajat;
b. Usia setinggi-tingginya 18 tahun;
c. Lulus seleksi jika daya tampung sekolah terbatas.
3. Pakaian peserta didik. Dalam mengikuti pembelajaran, peserta didik pada prinsipnya
memakai seragam. Pakaian seragam peserta didik SMP secara nasional putih/
biru. Namun sekolah dapat menetapkan pakaian seragam lainnya sesuai dengan
kebutuhan, setelah bermusyawarah dengan Badan Peranserta Masyarakat/ Komite
Sekolah.
4. Unit kegiatan peserta didik. Pada intinya sekolah perlu menyediakan fasilitas untuk
mendorong berdirinya organisasi dan kegiatan peserta didik dalam menumbuhkan
bakat dan minat, misalnya :
a. Kegiatan OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah);
b. Kegiatan PMR (Palang Merah Remaja);
c. Kegiatan UKS (Usaha Kesehatan Sekolah);
d. Kegiatan pramuka;
e. Kegiatan paskibra;
f. Kegiatan Latihan Dasar Kepemimpinan;
g. Kegiatan pesantren kilat/ kegiatan keagamaan;
h. Klub berbagai cabang olahraga;
i. Klub berbagai cabang seni;
E. Ketenagaan
1. Jenis Ketenagaan:
a. Kepala Sekolah;
b. Wakil Kepala Sekolah;
c. Staf Pimpinan;
d. Tata Usaha;
e. Guru Mata Pelajaran;
f. Guru Pembimbing;
g. Laboran;
h. Pustakawan;
i. Penjaga sekolah/ petugas keamanan;
j. Petugas Kebersihan.

2. Persyaratan
a. Kepala Sekolah
1) Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
2) Sehat Jasmani dan Rohani;
3) Berijazah serendah-rendahnya S1 Lembaga Pendidikan tenaga
Kependidikan (LPTK) atau non-LPTK dengan Akta IV;
4) Berpengalaman mengajar atau membimbing sekurang-kurangnya 8
tahun sejak diangkat menjadi calon Pegawai Negeri Sipil;
5) Golongan kepangkatan sekurang-kurangnya Penata Tk.I (III/d);
6) Pernah menjabat sebagai wakil kepala sekolah;
7) Lulus seleksi calon kepala sekolah;
8) Usia maksimal 54 tahun;
9) Memiliki sikap dan kemampuan dasar profesional dan manajerial :
a) Memiliki visi dan misi kependidikan yang jelas dan terarah;
b) Memiliki jiwa kepemimpinan;
c) Menguasai manajemen sekolah;
d) Memiliki komitmen terhadap tugasnya;
e) Memiliki rasa tanggungjawab yang besar;
f ) Berdisiplin dalam pengertian yang luas;
g) Mampu berkomunikasi dan bekerjasama dengan pembina pendidikan,
Badan Peranserta Masyarakat/ Komite Sekolah, dan Stakeholders.
b. Wakil Kepala Sekolah
1) Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
2) Sehat Jasmani dan Rohani;
3) Menguasai manajemen pendidikan dan kurikulum;
4) Berijazah S1 Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) atau
S1 non- LPTK dengan minimal Akta IV ;
5) Berpengalaman mengajar atau membimbing sekurang-kurangnya 5
tahun sejak diangkat menjadi pegawai negeri sipil;
6) Pangkat/Golongan sekurang-kurangnya Penata Muda TingkatI (III/b);
7) Pernah menjadi staf Pimpinan (urusan);
8) Maksimal berumur 50 tahun;
9) Mampu berkomunikasi dan bekerjasama dengan baik.
c. Staf pimpinan/urusan
1) Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
2) Sehat Jasmani dan Rohani;
3) Berijazah S1 Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) atau
S1 non- LPTK dengan minimal Akta IV;
4) Berpengalaman mengajar minimal 5 tahun;
5) Golongan sekurang-kurangnya III/a;
6) Pernah menjadi wali kelas;
7) Mampu berkomunikasi dan bekerjasama dengan baik.
d. Guru
1) Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
2) Sehat Jasmani dan Rohani;
3) Berijazah S1 LPTK dan non-LPTK dengan Akta IV sesuai dengan
bidang studi yang menjadi tanggung jawabnya;
4) Berbudi pekerti luhur;
5) Memiliki kemampuan dasar dan sikap antara lain:
a) menguasai kurikulum yang berlaku;
b) menguasai materi pelajaran;
c) menguasai metode pembelajaran;
d) menguasai teknik evaluasi;
e) memiliki komitmen terhadap tugasnya;
f) disiplin dalam pengertian yang luas;
g) mampu merencanakan program kerja guru;
6) Guru pendidikan agama harus beragama sesuai dengan mata
pelajaran yang diajarkan dengan agama peserta didik;
7) Mampu berkomunikasi dan bekerjasama dengan baik.
e. Kepala Tata Usaha.
1) Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
2) Sehat Jasmani dan Rohani;
3) Berijazah minimal D-III;
4) Menguasai manajemen;
5) Memiliki keterampilan mengoperasikan computer;
6) Lulus seleksi calon kepala Tata Usaha;
7) Golongan minimal II/d;
8) Masa kerja minimal 5 tahun;
9) Mampu berkomunikasi dan bekerjasama dengan baik.
3. Jam Wajib Mengajar :
a. Guru mata pelajaran : 24 jam/ minggu
b. Guru pembimbing : 160 siswa
c. Staf pimpinan : 18 jam/ minggu
d. Wakil kepala sekolah : 12 jam/ minggu
e. Guru inti : 12 jam
f. Kepala sekolah : 6 jam
4. Perhitungan Kebutuhan Guru/Tenaga Kependidikan di SMP
a. Guru mata pelajaran = ∑RBxw / ∑JWM
Keterangan :
∑RB = Jumlah rombongan belajar
W = alokasi waktu seluruh mata pelajaran perminggu
∑JWM = jumlah jam wajib belajar bagi guru mata pelajaran
b. Guru pembimbing
c. Laboran
d. Tata Usaha
e. Pustakawan Setiap sekolah memiliki sekurang-kurangnya 1 (satu) orang
pustakawan yang telah mempunyai STTPL.

F. Sarana dan Prasarana


1. Lahan
a. Jenis lahan yang digunakan untuk SMP antara lain :
b. Lahan terbangun adalah lahan yang diatasnya terdapat bangunan;
c. Lahan terbuka adalah lahan yang belum ada bangunan diatasnya, termasuk
taman, plaza, selasar dan lapangan;
d. Lahan kegiatan praktik adalah lahan yang dipergunakan untuk pelaksanaan
kegiatan praktik;
e. Lahan pengembangan adalah lahan yang diperuntukkan bagi kebutuhan
pengembangan sesuai dengan kebutuhan.
2. Ruang
Secara umum, jenis ruang ditinjau dari fungsinya dapat dikelompokkan dalam ruang
pendidikan, ruang administrasi dan ruang penunjang.
a. Ruang pendidikan
Ruang pendidikan berfungsi untuk menampung pembelajaran teori dan praktik
antara lain :
1) ruang teori;
2) ruang laboratorium;
3) ruang olahraga;
4) ruang perpustakaan;
5) ruang kesenian;
6) ruang keterampilan;
7) ruang media.
b. Ruang administrasi
Ruang administrasi berfungsi untuk melaksanakan berbagai kegiatan kantor/
administrasi, terdiri atas :
1) ruang kepala sekolah;
2) ruang wakil kepala sekolah;
3) ruang guru;
4) ruang tata usaha;
5) ruang reproduksi/penggandaan.
c. Ruang penunjang
Ruang penunjang berfungsi untuk menampung kegiatan yang mendukung
kegiatan pembelajaran, antara lain :
1) ruang ibadah;
2) ruang koperasi sekolah;
3) ruang OSIS, Pramuka, PMR;
4) ruang bimbingan dan konseling;
5) ruang serbaguna/umum;
6) ruang kamar mandi/ WC;
7) ruang UKS dan lain-lain.
3. Perabot Secara umum, perabot sekolah mendukung 3 fungsi utama, yaitu fungsi pendidikan,
fungsi administrasi dan fungsi penunjang. Jenis perabot sekolah dikelompokkan sebagai
perabot pendidikan, perabot administrasi, dan perabot penunjang.
4. Alat dan Media Pendidikan - Setiap SMP memiliki sekurang-kurangnya alat dan media
pendidikan, antara lain :
a. alat peraga/praktik mata pelajaran sains;
b. alat peraga/praktik mata pelajaran ilmu sosial;
c. alat peraga/praktik mata pelajaran matematika;
d. alat peraga/praktik mata pelajaran keterampilan;
e. media pembelajaran lainnya.
5. Buku - Setiap SMP menyediakan :
a. buku pelajaran pokok (guru dan siswa);
b. buku pelajaran pelengkap;
c. buku bacaan;
d. buku sumber.
Untuk mendukung pelaksanaan pembelajaran digunakan buku pelajaran
dan sarana/alat belajar yang sesuai dengan tujuan dan kompetensi yang akan
dicapai dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.

Peserta didik dapat menggunakan buku pelajaran yang disediakan sekolah baik buku
dari pemerintah maupun buku yang diterbitkan oleh penerbit non pemerintah yang
sesuai dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.

G. Organisasi
1. Susunan organisasi SMP terdiri atas :
a. Kepala Sekolah;
b. Wakil Kepala Sekolah;
c. Staf Pimpinan;
d. Tata Usaha Sekolah;
e. Unit Laboratorium;
f. Unit Perpustakaan;
g. Dewan Guru.

2. Bagan Organisasi SMP

Badan Peran serta Masyara kat Kepa la Sekolah


Komite Sekolah Wakil Ke pala Sekolah Staf Pimpinan

Unit Labora torium Tata U saha


Unit Perp ustakaa n
Dewa n Guru

Sumber: www.depdiknas.go.id
H. Pembiayaan
1. Sumber Pembiayaan Pembiayaan penyelenggaraan pendidikan dapat bersumber dari :
a. Pemerintah Pusat seperti BOS untuk Sekolah Negeri dan Swasta;
b. Pemerintah daerah yang menyediakan anggaran bagi SMP Negeri;
c. Dana dari masyarakat orang tua murid/ dunia usaha diupayakan untuk
membiayai peningkatan mutu pendidikan bagi Sekolah Negeri SSN/Koalisi dan
Sekolah Swasta;
d. Sumber lain, misalnya hibah, pinjaman sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
e. Sumbangan tidak mengikat.
2. Komponen Pembiayaan Komponen yang perlu dibiayai antara lain :
a. Kegiatan teknis edukatif untuk proses pembelajaran (kurikuler dan ekstra
kurikuler) dan kegiatan evaluasi hasil belajar;
b. Kegiatan penunjang untuk optimalisasi ruang belajar dan kegiatan
pengembangan diri;
c. Perawatan sarana pendidikan (gedung, perabot, alat peraga, dan media);
d. Perawatan kegiatan penunjang (lingkungan sekolah);
e. Kesejahteraan guru dan pegawai sekolah;
f. Biaya daya dan jasa (listrik, telepon, air dan lain-lain);
g. Program khusus yang mengacu pada peningkatan mutu sekolah;
h. Program peningkatan kualitas guru/ karyawan (SDM).
3. Satuan Pembiayaan
Satuan biaya dapat dihitung berdasarkan biaya satuan tetap (fixed cost) pada satuan
sekolah pertahun dengan standar biaya yang sama dan biaya satuan tidak tetap (variable
cost) yang dihitung berdasarkan jumlah peserta didik, lokasi sekolah, dan program
kegiatan sekolah yang sesuai dengan jenis dan komponen pembiayaan yang relevan.
4. Penentuan Pembiayaan
Penentuan biaya yang dibebankan pada masyarakat/orang tua peserta didik ditentukan
berdasarkan persetujuan pemerintah daerah atas usul dari kepala sekolah bersama
Badan Peranserta Masyarakat/Komite Sekolah.
5. Pengelolaan Pembiayaan
Pengelolaan pembiayaan pendidikan dilakukan secara transparan dan dapat
dipertanggungjawabkan penggunaannya secara berkala/ setiap tahun kepada Badan
Peran serta Masyarakat (Komite Sekolah/ Dewan Sekolah) dan Pemerintah Daerah.
6. Rencana Anggaran Penerimaan dan Belanja Sekolah (RAPBS)
Setiap satuan pendidikan wajib menyusun RAPBS. Dalam penyusunan RAPBS
melibatkan stakeholders (tokoh masyarakat dan semua pihak yang berkepentingan
terhadap sekolah). Sumber-sumber pembiayaan dan penggunaannya transparan dan
akuntabel.
7. Pemeriksaan Pembiayaan
Setiap pemasukan dan pengeluaran diaudit secara berkala.
8. Pelaporan Pembiayaan
Setiap pelaporan dilaksanakan secara tertib dan teratur (berkala)

I. Peran Serta Masyarakat


Peran serta masyarakat diperlukan agar kondisi sekolah dapat memenuhi sekurang-
kurangnya standar minimal dan peningkatan mutu pendidikan dapat tercapai. Pada setiap
sekolah dibentuk organisasi seperti Badan Peranserta Masyarakat/ Komite Sekolah atau
organisasi lainnya yang bertujuan :
1. Membantu kelancaran penyelenggaraan pendidikan di sekolah;
2. Memelihara, meningkatkan dan mengembangkan sekolah;
3. Memantau, mengawasi dan mengevaluasi penyelenggaraan pendidikan di sekolah;
4. Menjadi penghubung antara sekolah dan masyarakat;
5. Memberikan kontribusi pemikiran untuk peningkatan mutu pendidikan.

J. Manajemen Sekolah
1. Setiap SMP menerapkan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Dalam
sistem ini kepala sekolah bersama dewan guru dan warga sekolah lainnya secara
mandiri, transparan dan bertanggung jawab melaksanakan program sekolah untuk
mencapai visi, misi dan target mutu yang diamanatkan oleh masyarakat dan semua
pihak yang berkepentingan terhadap pendidikan di sekolah. (stakeholders).
2. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka setiap semester/ tahun :
a. Melakukan evaluasi diri (self assesment);
b. Merumuskan visi, misi dan target mutu; merencanakan program kegiatan
sekolah;
c. Melaksanakan program yang ditetapkan;
d. Memonitor dan mengawasi pelaksanaan program;
e. Merumuskan target peningkatan mutu;
f. Melaporkan kemajuan yang dicapai kepada orang tua, masyarakat dan
pemerintah (stakeholders).
3.Untuk tercapainya program, maka dilakukan :
a. Pemantauan dan pengawasan internal dan eksternal;
b. Transparansi manajemen;
c. Akuntabilitas.
4. Penilaian sekolah Penilaian sekolah dilakukan untuk mengetahui tingkat efisiensi dan
efektivitas penyelenggaraan pendidikan, pelaksanaan kurikulum dan penilaian kinerja
sekolah sebagai satu kesatuan. Penilaian sekolah dapat bersifat nasional (pemerintah
pusat), lokal (pemerintah daerah), internal (sekolah masing-masing) sesuai dengan
tujuan.

K Indikator Keberhasilan
Untuk mengetahui apakah Standar Pelayanan Minimal (SPM) ini telah diterapkan dengan
baik dan benar, diperlukan suatu indikator keberhasilan. Dalam indikator keberhasilan ini
tertuang berbagai indikator dan ukuran ketercapaian minimal sesuai dengan komponen
yang ada di dalam SPM. Indikator keberhasilan tersebut secara rinci sebagaimana matriks
berikut :

Matrik Indikator Keberhasilan Standar Pelayanan Minimal (Spm) Provinsi Dki


Jakarta Penyelenggaraan Sekolah Menengah Pertama (Smp)
Sumber: www.depdiknas.go.id
Keterangan: P = Pemerintah Pusat
PR = Pemerintah Provinsi
K = Pemerintah Kabupaten/ Kota
S = Sekolah

L. Penutup
Hal-hal yang belum diatur dalam Standar Pelayanan Minimal (SPM) ini diserahkan kepada
sekolah sesuai dengan prinsip Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Kepala sekolah bersama
dewan guru, warga sekolah dan komite sekolah secara transparan bertanggung jawab
melaksanakan visi, misi dan program sekolah yang diamanatkan oleh masyarakat dan seluruh
pihak yang berkepentingan (stakeholders).

Dari contoh standar pelayanan Minimum yang disajikan, SPM dari Departemen Pendidikan
Nasional masih bersifat global karena capaian yang ingin diraih kurang dapat dipahami dengan
jelas. Hal ini dapat dilihat dalam Matrik Indikator Keberhasilan Standar Pelayanan Minimum
(SPM) Propinsi DKI Jakarta penyelenggaraan Sekolah Menengah Pertama. Dalam matriks
tersebut ada komponen SPM dengan indikator Angka Partisipasi Kasar (APK), Angka Partisipasi
Murni (APM). Ketercapaian minimum yang ingin diraih, untuk APK diharapkan “meningkat” dan
untuk APM juga “meningkat”. Namun tidak dideskripsikan APK dan APM “meningkat” sebanyak
berapa persen.
Modul 4

“Persyaratan dan Unsur-unsur


Evaluasi yang Baik”

Asep Suryahadi
Lembaga Penelitian SMERU
Tujuan
Setelah mengikuti pelatihan berisi modul ini, peserta diharapkan memiliki pengetahuan dan keterampilan
dasar untuk:
1. mempersiapkan unsur-unsur utama usulan atau rencana evaluasi yang akan dikontrakkan
kepada pihak ketiga,

2. menilai secara kritis kualitas laporan evaluasi yang diterima dari pihak ketiga, dan

3. menggunakan temuan-temuan hasil evaluasi untuk perbaikan program di masa yang akan
datang.

1. Pendahuluan
1.1 Definisi dan Jenis-jenis Evaluasi

Definisi Evaluasi
Evaluasi adalah suatu proses untuk membuat penilaian secara sistematik mengenai suatu kebijakan,
program, proyek, atau kegiatan berdasarkan informasi dan hasil analisis dibandingkan terhadap
relevansi, keefektifan biaya, dan keberhasilannya untuk keperluan pemangku kepentingan.

Jenis-jenis Evaluasi Menurut Waktu Pelaksanaan


• Evaluasi formatif:
– Dilaksanakan pada waktu pelaksanaan program
– Bertujuan memperbaiki pelaksanaan program
– Temuan utama berupa masalah-masalah dalam pelaksanaan program.
• Evaluasi summatif:
– Dilaksanakan pada saat pelaksanaan program sudah selesai
– Bertujuan untuk menilai hasil pelaksanaan program
– Temuan utama berupa capaian-capaian dari pelaksanaan program.

Jenis-jenis Evaluasi Menurut Tujuan


• Evaluasi proses: Mengkaji bagaimana program berjalan dengan fokus pada masalah
penyampaian pelayanan (service delivery).
• Evaluasi biaya-manfaat: Mengkaji biaya program relatif terhadap alternatif penggunaan
sumberdaya dan manfaat dari program.
• Evaluasi dampak: Mengkaji apakah program memberikan pengaruh yang diinginkan terhadap
individu, rumahtangga, masyarakat, dan kelembagaan.

1.2 Mengapa Perlu Evaluasi?

Setiap tahun dilaksanakan berbagai program, sebagian diantaranya memakan biaya yang besar, tetapi
hasil yang sebenarnya dari program-program tersebut seringkali tidak diketahui. Akibatnya muncul
pertanyaan-pertanyaan yang seringkali tidak terjawab:
• Apakah desain program-program tersebut sudah tepat? Jawaban dari pertanyaan ini akan
memberikan pembelajaran untuk penyusunan desain suatu program di masa yang akan
datang.
• Apakah sumberdaya yang tersedia telah digunakan secara efisien? Jawaban dari pertanyaan
ini akan memberikan gambaran mengenai akuntabilitas penggunaan dana publik dalam suatu
program.
• Apakah hasil yang dicapai telah sesuai dengan yang diharapkan? Jawaban dari pertanyaan
ini akan memberikan landasan bagi pengambilan keputusan mengenai apakah suatu program
akan dilanjutkan, dan kalau dilajutkan apakah desainnya akan diperbaiki.

Untuk dapat memberikan jawaban yang tepat terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka perlu
dilakukan evaluasi terhadap program-program yang telah dijalankan.

Berdasarkan tujuannya, alasan-alasan mengapa suatu program perlu dievaluasi dapat dikelompokkan
menjadi:
• Alasan Ekonomi
– Memperbaiki desain dan keefektifan program
– Realokasi sumberdaya dari program yang kurang ke yang lebih efektif
• Alasan Sosial
– Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas
• Alasan Politik
– Meningkatkan kredibilitas pengambilan keputusan
Dalam kenyataannya evaluasi terhadap suatu program yang telah dijalankan jarang dilakukan. Alasan
yang sering diajukan oleh pelaksana program mengapa mereka enggan melakukan evaluasi adalah:
• Biaya evaluasi mahal.
• Evaluasi menghabiskan banyak waktu.
• Secara teknis, evaluasi sulit dilakukan.
• Temuan evaluasi sering bersifat politis.
• Laporan evaluasi sering terlambat.
Namun, alasan yang lebih penting adalah banyak pelaksana program yang takut bahwa program
mereka akan dinilai gagal.

1.3 Perbedaan antara Monitoring dan Evaluasi

Evaluasi seringkali dianggap sama atau satu paket dengan monitoring. Sebenarnya terdapat perbedaan-
perbedaan penting antara evaluasi dengan monitoring dalam aspek-aspek tujuan, fokus, cakupan, dan
waktu pelaksanaan keduanya. Tabel 1 memberikan gambaran ringkas mengenai perbedaan antara
evaluasi dan monitoring.

Tabel 1. Perbedaan antara Monitoring dan Evaluasi


Aspek Monitoring Evaluasi
Tujuan Menilai kemajuan dalam Memberikan gambaran pada suatu
pelaksanaan program yang sedang waktu tertentu mengenai suatu
berjalan program
Fokus – Akuntabilitas • Akuntabilitas
penyampaian input penggunaan
program sumberdaya
– Dasar untuk aksi • Pembelajaran
perbaikan tentang hal-hal
– Penilaian yang dapat
keberlanjutan dilakukan lebih
program baik di masa yang
akan datang
Cakupan – Apakah • Relevansi
pelaksanaan sesuai • Keberhasilan
dengan rencana? • Keefekifan biaya
– Apakah terdapat • Pembelajaran
penyimpangan?
– Apakah
penyimpangan
tersebut dapat
dibenarkan?
Waktu Dilaksanakan terus-menerus atau Umumnya dilaksanakan pada
pelaksanaan secara berkala selama program pertengahan dan akhir program
berjalan
2. Kerangka Konseptual Evaluasi
2.1 Komponen-komponen Evaluasi

Evaluasi yang baik dari suatu program menuntut beberapa persyaratan. Komponen-komponen yang
perlu ada agar evaluasi dapat berjalan dengan baik dan mencapai hasil yang diinginkan adalah:
• Evaluasi menjadi bagian integral dari desain program. Artinya kegiatan evaluasi merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan program secara keseluruhan, sehingga kegiatan
evaluasi bukan merupakan kegiatan “baru” di luar program yang keberadaannya dipaksakan
oleh pihak luar.
• Evaluasi direncanakan dengan baik sejak awal. Karena kegiatan evaluasi sudah ada dalam
desain program, maka waktu dan bentuk kegiatan pelaksanaan evaluasi sudah dapat
diperkirakan sejak awal. Dengan demikian kegiatan ini dapat direncanakan dengan baik dan
matang, sehingga pelaksanaannya pun tidak bersifat dadakan dan terburu-buru.
• Pelaksanaan evaluasi mendapat dukungan dari seluruh pemangku kepentingan. Ini penting
agar pelaksanaan kegiatan evaluasi dapat berjalan lancar dan memperoleh hasil sesuai
dengan tujuannya. Tanpa adanya dukungan dari seluruh pemangku kepentingan, akan sulit
bagi pelaksana kegiatan evaluasi untuk mengumpulkan seluruh data dan informasi yang
diperlukan.
• Evaluasi menjadi bagian dari tanggung jawab pemimpin program. Ini berarti bahwa keberhasilan
pelaksanaan evaluasi menjadi tanggung jawab pemimpin program, sehingga dia akan
memastikan kerjasama pelaksana seluruh pelaksana program untuk membantu kelancaran
pelaksanaan kegiatan evaluasi. Hal ini juga akan membantu penerapan hasil evaluasi bagi
perbaikan desain dan pelaksanaan program.
• Evaluasi memperoleh alokasi sumber daya yang memadai. Pelaksanaan kegiatan evaluasi
yang baik sangat memerlukan sumber daya manusia yang handal dan sumber daya pendukung
yang mencukupi. Ini seringkali berarti bahwa biaya pelaksanaan kegiatan evaluasi tidak
murah. Tanpa alokasi sumber daya yang memadai, besar kemungkinan kegiatan evaluasi
yang dilaksanakan tidak memberikan hasil yang baik.

2.2 Proses Evaluasi


Dalam pelaksanaan evaluasi, terdapat beberapa tahap pekerjaan yang perlu dilakukan. Untuk
memperoleh hasil evaluasi yang efektif, penting untuk memastikan bahwa setiap tahap pekerjaan ini
dilaksanakan dengan benar.

• Menentukan tujuan evaluasi. Sebuah evaluasi perlu memiliki tujuan yang jelas. Misalnya
untuk memperbaiki desain program atau untuk mengukur dampak. Tujuan evaluasi yang jelas
akan membantu dalam penyusunan desain evaluasi yang sesuai. Dalam menentukan tujuan
evaluasi, perlu mempertimbangkan berbagai konteks yang relevan, baik berkaitan dengan
tujuan program itu sendiri maupun tujuan kebijakan yang lebih luas.
• Menyusun desain evaluasi yang kredibel. Tahap ini terdiri dari beberapa langkah: (i) menentukan
indikator dan tolok ukur yang akan digunakan dalam evaluasi untuk mengukur keberhasilan
program; (ii) menentukan metode analisis yang akan digunakan dalam evaluasi dan kebutuhan
data, termasuk cara pengumpulannya; (iii) menentukan jadwal pelaksanaan kegiatan evaluasi;
dan (iv) menghitung perkiaraan biaya yang diperlukan untuk melaksanakan seluruh kegiatan
evaluasi.
• Mendiskusikan rencana evaluasi. Pihak-pihak yang pertama kali perlu diajak berdiskusi
mengenai rencana evaluasi adalah penyandang dana program dan pelaksana program.
Mereka perlu dilibatkan sejak awal agar dapat membantu pelaksanaan evaluasi dan tidak
justru sebaliknya menghambat kegiatan ini. Di samping itu perlu juga mendiskusikan rencana
evaluasi, terutama rencana desain evaluasi, dengan ahli evaluasi yang berkompeten untuk
memperoleh masukan mengenai hal-hal yang perlu diperbaiki dari rencana desain evaluasi
yang telah disusun.
• Menentukan pelaku evaluasi. Setelah rencana evaluasi mendapat persetujuan dari berbagai
pihak yang berkepentingan, langkah selanjutnya adalah memilih orang atau lembaga yang akan
ditugaskan untuk melakukan evaluasi. Pelaku evaluasi dari bersifat internal, yaitu berasal dari
pelaksana program sendiri, ataupun eksternal, yaitu pihak luar atau independen. Keuntungan
apabila evaluasi dilakukan secara internal adalah pelaku evaluasi sudah mengenal dengan
baik mengenai seluk-beluk program yang akan dievaluasi, tetapi kelemahannya adalah
kemungkinan adanya pertentangan kepentingan (conflict of interest) antara keinginan untuk
melakukan evaluasi secara objektif dengan keinginan agar program dinilai berhasil. Apabila
pelaku evaluasi dipilih dari eksternal, maka penting untuk mengetahui keahlian, objektivitas,
pengalaman dari orang atau lembaga yang akan dikontrak untuk melakukan evaluasi.
• Melaksanakan evaluasi. Kegiatan inti dalam evaluasi adalah pengumpulan dan analisis data
serta penulisan laporan evaluasi. Oleh karena itu, pengawasan kualitas data dan analisis sangat
krusial untuk memperoleh kualitas evaluasi yang baik. Dalam penulisan laporan, penting untuk
memperhatikan kaidah-kaidah penulisan ilmiah agar dihasilkan suatu laporan evaluasi yang
baik, baik dilihat dari segi substansi maupun tata bahasa.
• Mendiseminasikan hasil evaluasi. Laporan evaluasi umumnya bersifat teknis, sehingga mungkin
sulit dimengerti oleh orang awam. Agar hasil evaluasi dapat digunakan seoptimal mungkin,
perlu dibuat versi ringkas dari laporan yang berfokus pada temuan utama dan menggunakan
bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti oleh umum. Dalam penulisan laporan evaluasi,
penulis perlu bersifat adaptif terhadap umpan balik (feedback) yang diberikan oleh berbagai
pihak.
• Menggunakan hasil evaluasi. Tergantung dari temuannya, hasil evaluasi dapat memberikan
rekomendasi berupa tuntutan perubahan, baik dalam pelaksanaan atau bahkan dalam desain
program. Merupakan hal yang alamiah apabila pelaksana program berkeberatan dengan
tuntutan perubahan tersebut. Tetapi perlu diingat bahwa perubahan tidak sama dengan
ancaman. Perubahan yang disarankan adalah untuk membuat program menjadi lebih efektif
dalam upaya mencapai tujuan-tujuannya. Lebih dari itu, hasil evaluasi juga memberikan
pembelajaran bagi organisasi pelaksana program secara keseluruhan agar pelaksanaan
program-program di masa depan dapat menjadi lebih baik. Pembelajaran dari hasil evaluasi
juga akan sangat berguna bagi penyusunan program atau kebijakan baru.

2.3 Kriteria Penilaian dalam Evaluasi


Penilaian terhadap pelaksanaan dan hasil suatu program yang dilakukan dalam evaluasi perlu didasarkan
pada kriteria-kriteria yang jelas dan objektif. Ini penting untuk menghindarkan ketidaksepakatan atau
penolakan terhadap hasil evaluasi yang telah dilaksanakan. Terdapat beberapa kriterai penialaian
yang umum digunakan dalam evaluasi:

• Relevansi (relevance): Apakah tujuan program mendukung tujuan kebijakan?


• Keefektifan (effectiveness): Apakah tujuan program dapat tercapai?
• Efisiensi (efficiency): Apakah tujuan program tercapai dengan biaya paling rendah?
• Hasil (outcomes): Apakah indikator-indikator tujuan program membaik?
• Dampak (impact): Apakah indikator-indikator tujuan kebijakan membaik?
• Keberlanjutan (sustainability): Apakah perbaikan indikator-indikator terus berlanjut setelah
program selesai?

3. Metode dan Sumber Data


Metode yang digunakan dalam evaluasi dapat berupa metode kuantitatif maupun metode kualitatif.
Metode kuantitatif terutama diperlukan untuk mengukur dampak suatu program. Metode kualitatif
terutama untuk mencari penjelasan dari pelaksanaan program yang terjadi di lapangan. Oleh karena
itu, evaluasi yang lengkap biasanya menggunakan kombinasi metode kuantitatif dan kualitatif.

3.1 Metode Kuantitatif


Desain
• Desain eksperimental: Alokasi intervensi secara acak (random)
• Desain kuasi-eksperimental: Menggunakan berbagai metode ekonometrik, seperti
– pencocokan (matching)
– selisih ganda (double difference), dan
– variabel instrumen (instrumental variable).

Pengukuran Dampak
Dampak adalah perbedaan antara indikator hasil dengan program dan indikator hasil tanpa program.
Tetapi, kita tidak dapat melihat seseorang atau sesuatu dalam keadaan yang berbeda pada saat
bersamaan. Jadi, meskipun indikator hasil setelah program dapat diamati, indikator hasil tanpa
program, yang biasa disebut kontra-fakta (counter-factual), tidak dapat diamati.

Misalkan kita mengamati nilai suatu indikator sebelum sebuah program dijalankan. Pada Gambar 1
hal ini diilustrasikan dengan nilai indikator Y0 pada waktu t = 0.

Gambar 1

Kemudian nilai indikator tersebut meningkat setelah program dijalankan. Pada Gambar 2, hal ini
diilustrasikan dengan nilai indikator Y1 pada waktu t = 1.
Gambar 2

Hal ini tidak otomatis berarti bahwa selisih nilai tsb merupakan dampak dari program karena ada kontra-
fakta. Pada Gambar 3, kontra-fakta nilai indikator ini diilustrasikan dengan Y1*, yaitu nilai indikator yang
akan terjadi seandainya program tidak dijalankan. Dalam kenyataan, nilai kontra-fakta ini seringkali
tidak teramati.

Gambar 3

Dengan demikian, dampak program adalah selisih antara nilai indikator setelah program dengan
kontra-fakta. Pada Gambar 4, dampak suatu program diukur sebagai selisih antara Y1 dengan Y1*.

Gambar 4
Pengukuran Kontra-fakta

Karena kontra-fakta seringkali tidak teramati, pengukuran nilai kontra-fakta menjadi sulit dilakukan.
Untuk mengukur kontra-fakta, tidak cukup hanya dengan mengandalkan:

• Perbandingan sebelum-setelah (before-after), yaitu perbandingan nilai indikator sebelum


program dijalankan dengan nilai indikator setelah program dijalankan. Hal-hal lain di luar
program dapat terjadi sehingga perbandingan menjadi tidak valid.

• Perbandingan dengan/tanpa (with/without), yaitu perbandingan nilai indikator antara penerima


program (program beneficiary) dengan mereka yang bukan penerima program. Perbedaan
antara kedua kelompok ini dapat muncul karena alasan-alasan di luar program sehingga
perbandingan juga tidak valid.

Untuk mengukur kontra-fakta secara tepat, diperlukan suatu kelompok pembanding (control group)
yang setara dan terpercaya, yaitu kelompok bukan penerima program yang memiliki karakteristik yang
persis sama dengan kelompok penerima program.

Metode Estimasi
Untuk memperoleh kelompok pembanding ini dan mengukur kontra-fakta, sehingga pengukuran
dampak dapat dilakukan, terdapat beberapa metode yang dapat digunakan:

• Pengacakan (randomization). Dalam metode ini, penerima atau peserta program dipilih secara
acak, sehingga hanya sampel acak yang berpartisipasi dalam program. Selama penentuan
benar-benar acak, kelompok pembanding yang didapat dari pengacakan akan menghasilkan
kontra-fakta, sehingga dampak dapat terlihat dari nilai estimasi. Pengacakan adalah cara yang
paling ideal dan merupakan acuan untuk metoda non-eksperimental. Metode identifikasi dalam
pengacakan juga lebih transparan dibandingkan dengan metode-metode lain. Kesulitannya
adalah seringkali tidak mungkin untuk memilih peserta program secara acak.

• Pencocokan (matching). Dalam metode ini, peserta program dicocokkan dengan non-peserta
berdasarkan kemiripan dari karakteristik yang dapat diamati. Metode ini mengasumsikan
tidak ada bias pemilihan yang diakibatkan oleh heterogenitas yang tak teramati. Oleh karena
itu, keabsahan metode ini sangat tergantung kepada kualitas data. Pencocokan yang tepat
akan menghasilkan kelompok pembanding yang terpercaya untuk mengukur kontra-fakta dan
dampak program.

• Pencocokan nilai-kedekatan (propensity-score matching). Dalam metode ini, pencocokan


dilakukan berdasarkan kemungkinan partisipasi dalam program. Idealnya pencocokan
antara peserta dan non-peserta program dilakukan dengan menggunakan seluruh variabel
X, yaitu karakteristik peserta dan non-peserta program yang dapat diamati. Tetapi, hal ini
dalam praktek sangat sulit dilakukan karena jumlah variabel X sangat besar. Oleh karena itu,
dilakukan pencocokan berdasarkan nilai kedekatan dengan mengestimasi suatu model probit
kemungkinan partisipasi dalam program:

Asumsinya adalah partisipasi tidak tergantung dari hasil berdasarkan kondisi X. Jika tidak bias
berdasarkan X berarti tidak bias berdasarkan P(X).

Dari hasil estimasi dihitung nilai kedekatan (propensity score) untuk setiap peserta dan bukan
peserta berdasarkan nilai ramalan P(X). Kemudian untuk setiap peserta dipilih seorang non-
peserta yang memiliki nilai kedekatan yang hampir sama. Pada akhirnya akan terbentuk
suatu kelompok pembanding yang memiliki kemungkinan yang sama dengan peserta untuk
berpartisipasi dalam program. Artinya kelompok pembanding ini dapat dikatakan memiliki
karakteristik yang sama dengan peserta program, sehingga nilai kontra-fakta dan dampak
dapat dihitung.

• Selisih-dalam-selisih/Selisih ganda (Difference-in-difference/Double difference). Dalam metode


ini, data awal (baseline) calon partisipan dan non-partisipan dikumpulkan sebelum program
dimulai. Data dikumpulkan lagi pada akhir program untuk kedua kelompok ini. Kemudian untuk
masing-masing kelompok, nilai data setelah program dikurangi dengan nilai data awal. Setelah
itu kurangkan kedua selisih (ini asal istilah selisih-dalam-selisih). Nilai ini merupakan perkiraan
dampak program. Alternatif lain untuk mengestimasi dampak adalah dengan menggunakan
regresi dengan variabel 0/1 untuk mengidentifikasi partisipan. Metode ini ini menghilangkan
bias pemilihan yang tidak berubah karena waktu dan bersifat aditif.

Bias pemilihan (selection bias) terjadi apabila kelompok pembanding yang dipilih sebenarnya memiliki
karakteristik yang berbeda dari peserta program. Pada Gambar 5, hal ini diilustrasikan dengan nilai
awal yang berbeda antara peserta program dengan non-peserta.

Gambar 5

Apabila bias yang terjadi bersifat aditif dan tidak berubah dengan waktu, metode s-d-s dapat mengatasi
persoalan ini dan dampak program dapat dihitung tanpa terpengaruh oleh bias yang ada. Hal ini
diilustrasikan pada Gambar 6 dengan perbedaan nilai indikator antara peserta program dengan non-
peserta yang sama pada saat t = 0 dan t = 1.

Gambar 6
Tetapi metode s-d-s akan gagal jika bias yang terjadi perubahan seiring dengan waktu, sehingga
kelompok pembanding memiliki pola yang berbeda dengan peserta program. Pada Gambar 7 hal ini
diilustrasikan dengan perbedaan nilai indikator antara peserta program dengan nonpeserta berbeda
pada saat t = 0 dan t = 1.

Gambar 7

• Selisih ganda dengan pencocokan (double-difference with matching). Pencocokan membantu


mengontrol bias yang berubah seiring waktu dalam s-d-s. Dalam metode ini, terlebih dahulu
dilakukan pencocokan nilai partisipan dan non-partisipan berdasarkan karakteristik yang dapat
diamati. Setelah itu baru di lakukan selisih ganda. Hal ini akan mengoreksi heterogenitas yang
dapat diamati pada keadaan awal yang akan mempengaruhi perubahan-perubahan seiring
waktu.

• Variabel instrumen (instrumental variable). Dalam metode ini dilakukan identifikasi variasi
eksternal menggunakan variabel ketiga. Tujuan akhir adalah mengestimasi dampak dengan
suatu model dimana nilai akhir indikator (Yi) dipengaruhi oleh partisipasi dalam program (Di).

Regresi hasil:

D = 0,1 adalah partisipasi dalam program, yang bersifat tidak acak.

Apabila dapat diidentifikasi beberapa variabel instrumen (Z), yaitu variabel-variabel yang
mempengaruhi partisipasi tetapi tidak mempengaruhi hasil berdasarkan partisipasi, maka hal
ini dapat mengidentifikasi variasi eksternal hasil yang diakibatkan oleh program.

Regresi partisipasi:

3.2 Metode Kualitatif


• Metode evaluasi kualitatif berfokus pada memahami proses, tingkah laku, dan kondisi
sebagaimana dipersepsikan oleh individu atau kelompok. Metode ini memberikan pemahaman
mengenai bagaimana rumah tangga atau masyarakat dipengaruhi oleh program. Untuk dapat
melaksanakan metode ini dengan baik, diperlukan pemahaman mengenai norma-norma dan
praktek-praktek sosial budaya masyarakat lokal serta pesan-pesan non-verbal mereka agar
tidak terjadi salah interpretasi.
• Karena inti evaluasi adalah estimasi kontra-fakta, umumnya metode kualitatif digunakan secara
terintegrasi dengan metode kuantitatif.

• Terdapat beberapa teknik pengumpulan informasi yang biasa digunakan dalam evaluasi
dengan metode kualitatif, seperti

> wawancara mendalam (indepth interview),


> diskusi kelompok terarah (focus group discussion atau FGD),
> pengamatan (observation),
> sejarah hidup (life history),
> ranking kesejahteraan (wealth ranking), dan
> pemetaan masyarakat (community mapping).

3.3 Sumber Data


Data yang digunakan dalam evaluasi dapat berupa data primer ataupun data sekunder. Data primer
adalah data yang dikumpulkan sendiri oleh pelaku evaluasi. Data sekunder adalah data yang
dikumpulkan oleh pihak lain, baik yang masih berupa data mentah maupun data yang sudah diolah.

• Contoh data primer:

– Data hasil survei


– Data hasil pengamatan
– Data hasil wawancara mendalam
– Data yang diperoleh dari diskusi kelompok terarah (FGD) dengan berbagai pemangku
kepentingan.

• Contoh data sekunder

– Data Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) yang dikumpulkan oleh Badan Pusat
Statistik (BPS)
– Data Sakernas (Survei Tenaga Kerja Nasional) yang dikumpulkan oleh BPS
– Data Podes (Potensi Desa) yang dikumpulkan oleh BPS
– dll.

4. Pembelajaran tentang Evaluasi


Pengalaman dari pelaksanaan berbagai evaluasi telah memberikan pembelajaran (lessons learned)
mengenai praktik-praktik terbaik (best practices) tentang bagaimana melaksanakan evaluasi secara
efektif untuk memperoleh hasil yang baik. Pelaksanaan evaluasi menuntut dukungan sumber daya
yang mencukupi. Oleh karena itu perlu diupayakan agar kegiatan evaluasi yang dilaksanakan bersifat
efektif dilihat dari biaya dibandingkan dengan hasilnya (cost effective).

4.1 Karakteristik Evaluasi yang Baik


Sebuah evaluasi yang baik memiliki beberapa karakteristik yang membedakannya dari evaluasi yang
dilaksanakan hanya sekedar formalitas untuk memenuhi ketentuan saja. Pengetahuan mengenai
karakteristik evaluasi yang baik bermanfaat bagi mereka yang ingin melaksanakan suatu evaluasi
secara serius. Sebuah evaluasi yang baik memiliki karakteristik sebagai berikut:
• Strategis, yaitu memberikan prioritas terhadap program-program yang penting, besar, atau
bermasalah.
• Terfokus, yaitu memusatkan perhatian pada persoalan-persoalan yang penting bagi pengambil
kebijakan.
• Kredibel, yaitu hasilnya dapat dipercaya
• Tepat waktu, yaitu temuannya dapat digunakan untuk meredesain dan memperbaiki
pelaksanaan program
• Bermanfaat, yaitu hasilnya dapat digunakan untuk:
> menilai kelayakan dan efektifitas program;
> membantu memaksimalkan kegunaan sumberdaya yang terbatas;
> memberikan input untuk desain program yang akan datang.

4.2 Beberapa Saran Praktis


Dalam menyusun sebuah evaluasi, beberapa saran praktis berikut ini akan berguna untuk memperoleh
hasil yang diinginkan dengan biaya yang efisien. Penting untuk diingat bahwa setiap program memiliki
keunikan tersendiri, sehingga tidak disarankan untuk mencangkokan begitu saja desain evaluasi dari
program lain.

• Setiap program memerlukan evaluasi yang berbeda, tentukan prioritas.


• Susun desain evaluasi dengan memperhitungkan keterbatasan sumber daya.
• Bila perlu, lakukan percontohan sebelum melakukan evaluasi skala besar.
• Apabila diperlukan, bekerjasamalah dengan pihak lain.

4.3 Beberapa Hal yang Perlu Pertimbangan


Terdapat beberapa hal yang perlu dipertimbangkan secara matang dalam melaksanakan evaluasi.
Kesalahan dalam menentukan atau memilih salah satu aspek ini dapat mengakibatkan evaluasi yang
dijalankan tidak dapat mencapai hasil yang diinginkan atau terjadinya pemborosan biaya yang tidak
perlu.

• Waktu pelaksanaan evaluasi: Memilih waktu yang tepat untuk melaksanakan evaluasi kadang-
kadang sulit untuk dilakukan. Apabila tujuan evaluasi adalah untuk memperbaiki desain dan
pelaksanaan program, evaluasi harus dilaksanakan pada saat program masih berjalan. Apabila
tujuan evaluasi adalah untuk mengukur dampak program, maka kadang-kadang diperlukan
waktu yang cukup lama dari akhir program sampai kemunculan dampak. Tetapi apabila evaluasi
dilaksanakan lama setelah program berakhir, akan sulit bagi responden untuk mengingat detail
pelaksanaan program.
• Biaya pelaksanaan evaluasi: Kegiatan evaluasi dapat memakan biaya yang cukup besar.
Oleh karena itu pelaksanaan evaluasi sebaiknya hanya dilaksakan jika manfaat yang dapat
diperoleh dari hasil evaluasi akan lebih besar dari biayanya.
• Pertimbangan etika: Kadang-kadang untuk memperoleh hasil evaluasi yang menggambarkan
keadaan yang sebenarnya perlu menggali informasi yang bersifat sensitif atau rahasia. Dalam
hal ini integritas pelaku evaluasi untuk memegang teguh prinsip-prinsip kejujuran, objektifitas,
dan kerahasiaan sangat diperlukan.
• Kelayakan politis: Keputusan untuk melanjutkan ataupun menghentikan suatu program dapat
memiliki dampak politis. Hal ini harus dipertimbangkan sejak awal dalam perencanaan evaluasi,
khususnya berkaitan dengan keberlanjutan program setelah diperoleh hasil evaluasi.
4.4 Menilai Hasil Evaluasi
Ketika pemilik atau pelaksana suatu program mengontrak pihak ketiga untuk melakukan sebuah
evaluasi, apa yang perlu dilihat dari laporan evaluasi yang diterima dari pihak ketiga tersebut? Terdapat
beberapa kriteria untuk menilai apakah sebuah laporan evaluasi memiliki nilai yang baik atau tidak.

• Memenuhi kebutuhan dan persyaratan yang telah ditentukan dalam kerangka acuan (terms of
reference atau TOR).
• Cakupan yang relevan dan realistik untuk memperoleh gambaran yang mewakili mengenai
keseluruhan pelaksanaan program dan penerima manfa’at program.
• Metode yang layak (feasible) dan memenuhi persyaratan dari segi ilmiah.
• Data yang dapat dipercaya dan akurat.
• Analisis yang layak dan tepat.
• Penarikan kesimpulan yang sahih (valid) dan berdasarkan logika.
• Penyampaian yang jelas dengan menggunakan bahasa yang benar dan baik serta pemilihan
kata-kata yang tepat dan lugas.

5. Contoh Evaluasi Program


Pengalaman merupakan guru yang berharga. Walaupun setiap program memiliki keunikan tersendiri
dan oleh karenanya setiap evaluasi akan berbeda dari yang lain, tetap penting untuk belajar dari
berbagai evaluasi yang telah dilaksanakan. Hal ini akan memberikan pelajaran yang sangat berharga
tentang bagaimana sebaiknya melaksanakan evaluasi dan kesalahan-kesalahan apa yang perlu
dihindari untuk memperoleh hasil yang baik. Dalam Bab ini pertama akan diberikan contoh suatu
program evaluasi yang telah pernah dilakanakan dan dinilai merupakan sebuah evaluasi yang baik oleh
banyak pihak serta kedua sebuah rencana evaluasi yang akan dilaksanakan untuk sebuah program
besar di negeri ini.

5.1 Program Oportunidades/Progresa di Meksiko


Program ini merupakan sebuah program besar di Meksiko yang mencakup seluruh daerah perdesaan
dan daerah miskin di perkotaan. Pada tahun 2004 jumlah peserta program ini mencapai sekitar 5 juta
keluarga atau 25 juta individu. Anggarannya pada tahun tersebut senilai US$ 2,5 milyar, setara dengan
0,3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) negara tersebut.

Deskripsi Program
• Komponen pendidikan
– Bantuan dana pendidikan untuk keluarga dengan syarat 85 persen kehadiran di
sekolah
– Perbaikan sekolah dan kualitas pendidikan
• Komponen Kesehatan dan Gizi
– Penyediaan pelayanan kesehatan primer
– Bantuan dana pangan
– Suplemen gizi untuk anak
– Perbaikan sarana pelayanan kesehatan
Pentargetan
• Tahap1: Pentargetan geografis
– Mengidentifikasi desa-desa miskin dengan menggunakan data sensus
• Tahap2: Pentargetan rumahtangga
– Sensus rumahtangga di desa-desa miskin untuk mengumpulkan data sosio-demografi
dan karakteristik rumah
– Identifikasi rumahtangga miskin dengan analisis diskriminan di tingkat wilayah dengan
menggunakan data pendapatan, aset, dan komposisi demografi

Desain Evaluasi
• Desain experimental: Awal pelaksanaan program diacak pada tingkat desa
• Sampel 506 desa
– 320 desa perlakuan
– 186 desa kontrol
• Mencakup 24,077 rumahtangga
– 78 persen peserta program
– Metode: Selisih ganda (data dikumpulkan sebelum dan setelah program berjalan)

Sumber Data
• Survei rumahtangga
• Survei sekolah dan klinik
• Data administrasi sekolah dan klinik
• Survei gizi anak
• Ujian kemampuan murid
• Verifikasi tanda terima pembayaran

Topik-topik Evaluasi
• Ketepatan pentargetan
• Dampak terhadap kemiskinan
• Partisipasi sekolah
• Kehadiran di sekolah
• Pekerja anak
• Nilai ujian sekolah
• Tingkat kesehatan
• Penggunaan sarana pelayanan kesehatan
• Status gizi anak
• Konsumsi rumahtangga
• Kualitas asupan gizi rumahtangga
• Pelaksanaan program
• Analisis biaya
• Status perempuan
• Penawaran tenaga kerja
• Transfer di dalam rumahtangga

Beberapa Temuan Evaluasi


• Metode pentargetan umumnya akurat (kekurangcakupan atau undercoverage hanya sekitar 7
persen)
• Terdapat beberapa keterlambatan dalam distribusi manfaat
• Kenaikan partisipasi sekolah untuk anak laki-laki (8 persen) dan terutama perempuan (14
persen)
• Kenaikan tingkat kesehatan masyarakat
• Perbaikan kuantitas dan kualitas konsumsi rumahtangga
• Pengurangan kemiskinan secara signifikan
• Biaya administrasi 8,2 persen dari total biaya

Kontribusi dari Hasil Evaluasi


• Program dilajutkan dan diperbaiki
– Walaupun terjadi pergantian pemerintahan, program tetap dilanjutkan
– Mekanisme pentargetan dilengkapi dengan swa-pilih (self selection)

• Program diperluas
– Cakupan ditambah daerah miskin perkotaan
– Manfaat diperluas ke sekolah persiapan
– Komponen program dilengkapi dengan kredit mikro, perbaikan rumah, pendidikan
orang dewasa, dan asuransi sosial.

5.2 Rencana Evaluasi PPK/PNPM oleh Bank Dunia


Program Pembangunan Kecamatan (PPK) dan Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan
(P2KP) merupakan program pembangunan berbasis masyarakat (community driven development atau
CDD). Program dilaksanakan dalam bentuk pemberian hibah kepada masyarakat di tingkat kecamatan
dan penggunaannya ditentukan oleh masyarakat sendiri. Mulai tahun 2007, PPK dan P2KP digabung
dan dikembangkan menjadi Program Nasional Pembangunan Masyarakat (PNPM). Program ini
direncankan akan memiliki cakupan nasional pada tahun 2009.

Bank Dunia telah merencanakan untuk melakukan evaluasi terhadap program ini. Terdapat beberapa
permasalahan yang dihadapi untuk melakukan evaluasi terhadap program PPK/PNPM. Pertama,
program ini tidak memiliki data awal (baseline). Kedua, pemilihan kecamatan peserta tidak bersifat
acak. Ketiga, terdapat banyak program CDD lain yang memiliki skala dan pendekatan serupa seperti
ACCESS, CERD, CLGS, dan P2D.

Tujuan Evaluasi
• Mengukur secara kuantitatif dampak PPK/PNPM terhadap kemiskinan, kesempatan kerja,
tata-kelola pemerintahan, dan modal sosial
• Menggunakan pendekatan kuasi-eksperimental dengan pendekatan pencocokan dan selisih
ganda

Desain Evaluasi dan Sumber Data


• Susenas 2002 digunakan sebagai baseline dan kerangka sampel untuk memilih kelompok
perlakuan (KDP1, KDP2) dan kontrol (Non-KDP, Non-CDD)
• Tahun 2007 dilakukan survei kembali terhadap sampel Susenas 2002 yang terpilih (data panel)
untuk mengukur dampak KDP
• Tahun 2009 dilakukan survei kembali terhadap sampel yang sama untuk mengukur dampak
PNPM. Kontrol adalah kecamatan yang baru mulai melaksanakan PNPM pada tahun 2009
• Pengukuran dampak dilakukan dengan menggunakan metode selisih ganda.
Modul 5

“Evaluasi dan Identifikasi Pelajaran


yang telah Diperoleh: Pendekatan
Kualitatif – Kajian Cepat”

Widjajanti I. Suharyo dan Rizki Fillaili


Lembaga Penelitian SMERU
Tujuan
Setelah mengikuti pelatihan berisi modul ini, peserta diharapkan memiliki pengetahuan dan keterampilan
dasar untuk

1. memberikan pemahaman kepada peserta kaitan antara pemahaman teoritis dan praktik sistem
monitoring dan evaluasi, dan

2. memberikan contoh pelaksanaan evaluasi –khususnya dengan menggunakan pendekatan


kualitatif kajian cepat– secara menyeluruh, dari tahap persiapan, analisis dan penyajian hasil,
hingga penulisan laporan.

1. Pendahuluan
Saat ini, kegiatan monitoring dan evaluasi semakin mendapatkan perhatian dan dilihat sebagai bagian
yang penting dan tidak terpisahkan dari pelaksanaan sebuah proyek atau program. Alasan utama yang
mendasari pentingnya dilakukan kegiatan monitoring-evaluasi, adalah para manager proyek atau program
dan juga para pemangku kepentingan lainnya (termasuk lembaga pemberi dana) perlu mengetahui tentang
jalannya suatu proyek/program, apakah sudah berjalan sesuai dengan rencana, dan apakah sudah
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Melalui kegiatan monitoring dan evaluasi, akan diperoleh informasi
yang bermanfaat bagi perbaikan program, selain juga dapat menjadi bahan pembelajaran bagi proyek/
program sejenis di masa yang akan datang.

Salah satu metode yang banyak digunakan dalam kegiatan monitoring dan evaluasi sebuah proyek/
program adalah metode kajian cepat (rapid assessment). Tulisan ini secara khusus akan membahas
tentang pengertian kajian cepat, metodologi kajian cepat, serta dua contoh kasus penerapan metode kajian
cepat dalam memonitor program pemerintah yaitu Subsidi Langsung Tunai (SLT) dan Bantuan Operasional
Sekolah (BOS).

2. Kajian Cepat dalam Kerangka Monitoring dan Evaluasi

2.1 Kerangka Konseptual Kajian Cepat


Kajian cepat adalah salah satu teknik pengumpulan data yang bertujuan untuk memahami kondisi
yang kompleks (yang seringkali belum diketahui betul faktor-faktor yang mempengaruhi kompleksitas
persoalannya), untuk mencari faktor-faktor yang mendukung atau menghambat suatu permasalahan
dalam waktu singkat secara cepat, melalui interaksi yang intensif antara pengumpulan data/informasi serta
kegiatan analisis.

Kajian cepat dapat digunakan baik dalam kegiatan monitoring, maupun evaluasi sebuah program. Dalam
kegiatan monitoring, tujuan dilakukannya kajian cepat adalah untuk memberikan informasi tentang program;
apakah sudah berjalan sesuai dengan rencana, selain itu hasilnya juga dapat digunakan sebagai masukan
bagi perbaikan program yang sedang berjalan, atau dapat menjadi bahan pembelajaran bagi pelaksanaan
program sejenis berikutnya di masa yang akan datang. Sementara dalam kerangka kegiatan evaluasi,
kajian cepat biasanya dilakukan pada evaluasi formatif, yaitu evaluasi yang dilaksanakan pada saat program
masih berjalan. Tujuannya adalah untuk memperoleh informasi berkaitan dengan pelaksanaan program,
terutama untuk perbaikan mekanisme pelaksanaan berdasarkan berdasarkan temuan-temuan utama,
yang pada umummnya mencakup tentang masalah-masalah yang timbul dalam pelaksanaan program.
2.2 Konteks Kebutuhan Kajian Cepat
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, kajian cepat merupakan salah satu bentuk monitoring dan
evaluasi program atau kebijakan. Meskipun biasanya kajian cepat tidak dilakukan secara rutin, namun
kajian ini seringkali sangat diperlukan oleh para pengambil kebijakan khususnya dalam kondisi di mana

1. sistem monitoring-evaluasi yang ada, tidak atau belum berjalan dengan baik. Beberapa program
tidak memiliki sistem monitoring-evaluasi yang memadai, atau bahkan belum tersedia petunjuk
pelaksanaannya,
2. masukan dari monev internal terlalu lama, sehingga diperlukan kajian cepat yang dilakukan oleh
lembaga lain/pihak external;
3. masukan dari monev internal diragukan independensinya karena adanya kecenderungan melaporkan
hal-hal yang baik saja, dan
4. diperlukan masukan dalam waktu singkat dan berorientasi pada penyelesaian masalah dan perbaikan
program.

2.3 Metodologi
Karena kajian harus dilaksanakan secara cepat, maka diperlukan peneliti dengan kemampuan pemahaman
permasalahan dan analisis yang memadai, sehingga proses analisis sudah dapat dilakukan bersamaan
dengan proses pengambilan data/informasi. Baik pengumpulan data maupun analisis dilakukan secara
terpadu dengan pendekatan:

1. Kuantitatif (khususnya melalui survei terbatas dan pengolahan data-data sekunder yang sudah
tersedia);
2. Kualitatif (melalui wawancara mendalam terhadap para informan kunci dan pemangku kepentingan
terkait, biasanya dengan menggunakan pedoman pertanyaan yang cukup luwes untuk menstimulir
diskusi, observasi dan juga melalui wawancara dengan kelompok masyarakat);
3. Partisipatoris (melalui diskusi kelompok terarah – FGD, dengan beberapa alat bantu dan pertanyaan-
pertanyaan kunci, yang diarahkan untuk identifikasi persoalan sekaligus mencari alternatif solusi).
Dalam tekhnik kajian cepat, pengumpulan data melalui FGD mempunyai peranan yang sangat
penting dan harus dirancang secara baik agar dapat mengakomodasikan pendapat berbagai
pemangku kepentingan, khususnya golongan-golongan minoritas atau inferior (termasuk: golongan
miskin dan perempuan). Jika dirancang dan dilaksanakan dengan baik, FGD dapat menjadi forum
yang memfasilitasi tumbuhnya pemahaman dan pengertian akan kompleksitas persoalan dalam
pelaksanaan sebuah progran, sekaligus dapat menghasilkan kesepakatan tentang peranan yang
dapat dilakukan oleh berbagai pemangku kepentingan untuk menghadapi persoalan-persoalan
tersebut. Karena sifatnya yang interaktif dan terbuka, hasil FGD dapat langsung disampaikan
kepada pihak-pihak yang berkepentingan (misalnya: pemerintah daerah atau pengelola program
di berbagai tingkatan).

Kajian cepat memiliki beberapa kekuatan dan kelemahan. Kekuatannya antara lain adalah biaya
kajian yang relatif rendah karena dilakukan dalam waktu yang cukup singkat. Singkatnya waktu
kajian menjadi hal yang utama, karena salah satu tujuan kajian ini adalah untuk memberikan
informasi dan masukan tentang pelaksanaan program yang sedang berjalan. Selain itu, kajian
cepat juga bersifat fleksibel dalam pengertian terdapat kemungkinan untuk menggali hal-hal yang
baru yang terkait dengan program/kegiatan. Sementara kelemahan kajian terutama menyangkut
kesulitan untuk melakukan generalisasi karena sifat kajian yang kasuistis dan dilakukan di wilayah-
wilayah terpilih. Namun demikian, saat ini metodologi kajian cepat telah berkembang sehingga
hasil kajiannya dapat menghasilkan informasi yang lebih komprehensif dan dapat digunakan
untuk rekomendasi kebijakan dalam skala yang lebih luas.
Bagan 1. Metodologi Kajian Cepat

Pemahaman Program

(?)

Metode
Pengumpulan I. Kuantitatif
Data Analisis
(Data Collection) II. Kuantitatif

3. Contoh Kajian Cepat SMERU: Subsidi Langsung Tunai (SLT)


dan Bantuan Operasional Sekolah (BOS)

3.1 Subsidi Langsung Tunai (SLT)

Konteks Program
Pada 1 Oktober 2005, pemerintah menetapkan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dalam rangka
mengurangi beban subsidi. Kenaikan harga BBM ini menambah beban hidup masyarakat. Mereka tidak
hanya menghadapi kenaikan harga BBM, tetapi juga kenaikan berantai berbagai harga barang dan jasa
kebutuhan sehari-hari. Berbagai kenaikan tersebut menyebabkan penurunan daya beli masyarakat,
terlebih rumah tangga miskin. Untuk mengurangi beban tersebut, pada 10 September 2005 pemerintah
mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 12 Tahun 2005 tentang Pelaksanaan Bantuan Langsung
Tunai kepada Rumah Tangga Miskin. Melalui program yang kemudian dikenal sebagai “Subsidi Langsung
Tunai” (SLT) ini pemerintah menyediakan dana bantuan bagi sekitar 15,5 juta rumah tangga miskin.
Besarnya dana adalah Rp100.000 per keluarga per bulan dan diberikan setiap tiga bulan. Pada penyaluran
tahap pertama yang direalisasikan sejak 1 Oktober 2005 pemerintah menyediakan dana sebesar Rp4,6
triliun.

Inpres Nomer 12 Tahun 2005 tentang pelaksanaan program SLT, lebih lanjut mengatur peran lembaga-
lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program:

- Departemen Sosial, sebagai penanggung jawab program membuat peraturan pelaksanaan; juklak
(petunjuk pelaksanaan) dan juknis (petunjuk teknis)
- PT. POS; bertanggung jawab menyalurkan dana tunai ke masyarakat melalui kantor cabangnya di
seluruh Indonesia. Sementara penyaluran dana ke PT POS dilakukan melalui rekening BRI.
- Depdagri melakukan fungsi pengawasan, dan penanganan pengaduan masyarakat.
- BPS memegang peranan dalam pendataan rumah tangga miskin, penentuan target dan
pendistribusian kartu kompensasi BBM (KKB) yang harus dibawa pada saat pengambilan dana di
kantor POS.

3.2 Bantuan Operasional Sekolah (BOS)

Konteks Program
Pada prinsipnya program BOS dicetuskan sebagai upaya untuk meningkatkan akses masyarakat,
khususnya siswa dari keluarga miskin atau kurang mampu, terhadap pendidikan yang berkualitas dalam
rangka penuntasan wajib belajar sembilan tahun. Program ini merupakan respon akan adanya adanya
kekhawatiran bahwa peningkatan harga BBM, yang mengakibatkan turunnya daya beli masyarakat, juga
akan berdampak negatif terhadap akses masyarakat miskin untuk mendapat pendidikan serta menghambat
pencapaian Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajardikdas) Sembilan Tahun.

Menurut Buku Petunjuk Pelaksanaan 2005, tujuan program BOS adalah untuk memberikan bantuan
kepada sekolah dalam rangka membebaskan iuran siswa, tetapi sekolah tetap dapat mempertahankan
mutu pelayanan pendidikan kepada masyarakat. Sementara menurut Buku Panduan 2006, program
Bantuan Operasional Sekolah (BOS) bertujuan untuk membebaskan biaya pendidikan bagi siswa tidak
mampu dan meringankan bagi siswa yang lain, agar mereka memperoleh layanan pendidikan dasar yang
lebih bermutu sampai tamat dalam rangka penuntasan wajib belajar 9 tahun”.

Berbeda dengan Program Kompensasi Pengurangan Subsidi BBM (PKPS-BBM) bidang Pendidikan
sebelumnya yang diberikan dalam bentuk beasiswa (Bantuan Khusus Murid – BKM) kepada siswa yang
dianggap miskin, BOS diberikan kepada sekolah dan dikelola oleh sekolah mulai Juli 2005. Dana BOS
dialokasikan berdasarkan jumlah murid, dengan perhitungan Rp235.000 per murid per tahun untuk tingkat
SD dan Rp324.500 per murid per tahun untuk tingkat SMP.

4. Metode Kajian Cepat SMERU

4.1 Kerangka Kajian Cepat Program SLT Tahap I (Studi Kasus Provinsi DKI Jakarta
dan 5 Kabupaten/Kota)

Tujuan Kajian Cepat


Secara umum, tujuan kajian cepat Program SLT adalah untuk memperoleh gambaran mengenai pelaksanaan
SLT, yaitu untuk penyempurnaan penyaluran tahap berikutnya sekaligus untuk memberikan indikasi awal
mengenai dampak program dalam kehidupan rumah tangga penerima.

Secara spesifik, tujuan kajian cepat ini adalah untuk

- memantau tahapan pelaksanaan SLT mulai dari mekanisme penentuan rumah tangga miskin
penerima SLT; pelaksanaan pengumpulan dan pengolahan data, verifikasi data, distribusi KKB,
sosialisasi program, peran dari institusi yang terlibat, serta mekanisme penyaluran dana,
- memantau ketepatan jumlah dana yang diterima dan penggunaannya oleh rumah tangga,
- memantau mekanisme penanganan pengaduan dan konflik, dan
- mengetahui tentang indikasi awal dampak program terhadap upaya penanggulangan kemiskinan
serta tingkat kepuasan masyarakat terhadap program SLT.
Kajian cepat mengenai SLT ini meliputi dua studi kasus, yaitu Studi Kasus Provinsi DKI Jakarta dan studi
kasus 5 Kabupaten/Kota. Kedua studi kasus tersebut menerapkan metodologi yang sedikit berbeda. Pada
studi kasus Provinsi DKI Jakarta, penekanannya adalah pada pendekatan kualitatif, sementara pada studi
kasus 5 kabupaten/kota, menggunakan gabungan beberapa pendekatan yaitu kuantitatif, kualitatif dan
partisipatoris. Tabel berikut menyajikan secara rinci metodologi kajian cepat untuk kedua studi kasus.

Tabel 1. Metodologi Kajian Cepat (Pengumpulan dan Analisis Data)

SLT Studi Kasus: Jakarta SLT Studi Kasus: 5 Kabupaten/Kota

Pendekatan: Kualitatif Pendekatan: Kualitatif, Kuantitatif dan


partisipatoris
Metode Pengumpulan Data: Metode Pengumpulan Data:
Wawancara Mendalam (menggunakan - Kualitatif: Wawancara Mendalam
pedoman pertanyaan) (dengan pedoman pertanyaan)
- Partisipatoris: FGD (dengan alat
bantu/tools yang sesuai kebutu
han)
- Kuantitatif: Kuesioner (PSE 05 –
untuk pengulangan pendataan
terbatas) dan analisis data
sekunder dengan menggunakan
basis data kemiskinan: BPS dan
SMERU.

M etode A nalisis Data: M etode A nalisis Data:


• Kualitatif • Kualitatif dan partisipatoris:
Tematik kategorisasi hasil wawancara Analisis isi FGD dan kategorisasi hasil
mendalam; untuk mengetahui proses wawancara mendalam; untuk mengetahui
pelaksanaan dan persepsi/pendapat proses pelaksanaan, persepsi/pendapat,
informan mengenai program SLT. serta tingkat kepuasan informan, terhadap
program SLT.

• Kuantitatif:
- Analisis Korelasi (hasil pemetaan
kemiskinan BPS terhadap rumah tangga
penerima KKB Tahap I dan pendaftar
susulan)
- Analisis benefit incidence: menggunakan
basis data CBMS (kasus Demak)
- Analisis kesesuaian

Lokasi K ajian:
1 Jakarta Barat (Kec. Tambora dan Lokasi K ajian:
K ec. A ngke) 1 Prov. Sumatera Utara (K ab. Tapanuli
2 Jakarta Utara (K ec. Cilincing dan Tengah)
K ec. K oja) 2 Prov. Jawa Barat (Kab. Cianjur)
3 Prov. Jawa Tengah (K ab. Demak)
4 Prov. Nusa Tenggara Barat (Kab.
Bima)
5 Prov. Maluku Utara (K ota Ternate)
Lanjutan Tabel 1

SLT Studi Kasus: Jakarta SLT Studi Kasus: 5 Kabupaten/Kota

Informan Wawancara M endalam: Informan Wawancara M endalam:


K otamadya K otamadya
1. Pemda (2) 1 Pemda/Bappeda (8)
2. BPS (2) 2 BPS (5)
3. K antor Pos (1) 3 K antor Pos (5)
4 BK KB N (5)
5 M edia Lokal (5)
6 Ornop (5)
K ecamatan K ecamatan
1. Camat dan Staf (4) 1. Camat dan Staf (9)
2. BPS (4) 2. BPS/M antri Statistik (9)
3. K antor Pos (3) 3. K antor Pos (7)

K elur ahan K elur ahan


1 Lurah (4) 1 Lurah/K epala Desa (10)
2 K etua RW (8) 2 K etua RW/Dusun (11)
3 K etua RT (16) 3 K etua RT (19)
4 Pencacah (8) 4 Pencacah (15)

Rumah tangga Rumah tangga


1. Peneri ma SL T (80) 1. Peneri ma SL T (93)
2. Bukan penerima (32) 2. Bukan penerima (37)

Peserta FGD:
FG D K abupa ten (5)
BPS, kantor pos, pemda, Bappeda, BK KB N,
media lokal, ornop dan perguruan tinggi)

FG D Desa/k elur ahan (10)


Staf desa/kelurahan, ketua
RW/RT/dusun/lingkungan, pencacah, tokoh
agama dan tokoh masyarakat

FG D M asyar akat /Rum ah T angga


Peneri ma (12)

M etode Samp lin g: M etode Samp lin g:


• Dipilih 2 kotamadya di Jakarta yang • Dipilih wilayah dengan karakteristik
memiliki angka proporsi kemiskinan yang berbeda: wil ayah yang pelaksanaan
yang tertinggi. SL T relatif lancar dan wilayah yang
pelaksanaannya yang tidak lancar/tidak
kondusif ( berdasarkan berbagai sumber
Lanjutan Tabel 1

SLT Studi Kasus: Jakarta SLT Studi Kasus: 5 Kabupaten/Kota

• Dipilih kecamatan di tiap kotamadya • Dipilih daerah penelitian SMERU


(berdasarkan tingkat kemiskinan dan (kabupaten/kota): dengan pertimbangan
banyaknya penerima KK B) ketersediaan basel inedata kemiskinan
• Di tiap kecamatandipilih 4 RT; sebagai pembanding dengan data BPS
dengan pertimbangan: banyaknya rumah • Dipilih kelurahan di tiap kabupaten
tangga yang menerima SL T (berdasarkan kondusif/ tidak kondusif dan
konsentrasi rumah tangga penerima SL T)
• Di tingkat desa: dipilih 2 dusun dan 2 RT

4.2 Kerangka Kajian Cepat Program BOS Semester I- 2005

Tujuan Kajian Cepat


Secara umum, tujuan kajian cepat Program BOS di 10 kabupaten/kota di lima provinsi adalah untuk
mengetahui pelaksanaan BOS pada semester pertama 2005/2006, sebagai bahan pembelajaran bagi
perencanaan dan perbaikan pelaksanaan program. Tujuan kajian cepat secara lebih spesifik adalah untuk
mempelajari rancangan dan pelaksanaan program, di tingkat pusat dan daerah. Kajian di tingkat pusat
diarahkan untuk melihat:

a. Kerangka pelaksanaan dan peraturan-peraturan pelaksanaan program


b. Sosialisasi dan transparansi informasi
c. Bagaimana cakupan program atau persentase sekolah yang menerima BOS;
d. Berapa besar dana yang ditransfer dan ke mana (daerah, jenis atau tipe sekolah) dana tersebut
disalurkan.

Kajian terhadap pelaksanaan program di daerah diarahkan untuk melihat

a. Sosialisasi dan transparansi informasi


b. Mengapa sekolah bersedia menerima atau menolak Program BOS;
c. Kebocoran
d. Pemanfaatan dana: Bagaimana sekolah menggunakan dana, Apakah penggunaan tersebut
sesuai dengan ketentuan dalam petunjuk pelaksanaan (juklak) program; Jika tidak, mengapa hal
itu terjadi;
e. Transparansi keuangan
f. Permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan program dan mengapa permasalahan tersebut
timbul;
g. Langkah ke depan: Bagaimana seharusnya program disempurnakan menurut pendapat masyarakat,
pemerintah daerah (pemda) dan sekolah.

Metodologi
Pengumpulan data pada kajian cepat pelaksanaan program BOS ini dilakukan selama 3 minggu
(Februari-Maret 2006) dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Instrumen utama yang digunakan
adalah wawancara mendalam dan kelompok diskusi terarah (FGD). Berikut perincian metodologi yang
digunakan:

1. Wawancara mendalam

Bertujuan untuk mendapatkan informasi rinci mengenai pelaksanaan program di berbagai


tingkatan yang menyangkut antara lain tentang penargetan, pendataan, alokasi dana, masalah
kelembagaan, dampak program serta tingkat kepuasan para pemangku kepentingan terhadap
pelaksanaan Program BOS. Wawancara mendalam ini dilakukan dengan menggunakan
pedoman pertanyaan semi terstruktur (terlampir).

Informan yang diwawancarai, antara lain:

> Di tingkat pusat: satuan kerja (satker) pusat yang berkedudukan di Depdiknas, Direktorat
Mapenda di Depag, dan beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang telah melakukan
pemantauan Program BOS;

> Di tingkat provinsi: satker provinsi yang berkedudukan di dinas pendidikan, Bagian Mapenda di
Kanwil Depag, bagian-bagian yang relevan di dinas pendidikan, Bappeda, lembaga keuangan
yang ditunjuk sebagai penyalur dana BOS, media massa lokal, dan LSM yang melakukan
pemantauan atau mengamati pelaksanaan Program BOS;

> Di tingkat kabupaten/kota: satker kabupaten/kota yang berkedudukan di dinas pendidikan,


Bagian Mapenda dan Bagian Pondok Pesantren di Kandepag, unit kerja pemerintah daerah
yang relevan seperti Bappeda, dewan pendidikan, kantor cabang lembaga keuangan yang
menjadi penyalur dana BOS, lembaga keuangan tempat sekolah membuka rekening, media
massa lokal, LSM dan organisasi massa yang melakukan pemantauan atau mengamati
pelaksanaan Program BOS;

> Di tingkat sekolah: kepala sekolah dan bendahara Program BOS, komite sekolah, yayasan
pengelola sekolah untuk sekolah swasta, dua orang guru, yaitu guru tetap dan guru tidak
tetap, tiga orangtua murid, yaitu satu orang dari golongan ekonomi menengah dan dua orang
dari golongan kurang mampu, dan tambahan satu orangtua yang anaknya putus sekolah di
usia SD atau SMP yang tinggal di sekitar sekolah sampel. Ketika mewawancarai orangtua
siswa, siswa yang bersangkutan diusahakan hadir dan terlibat dalam wawancara. Jumlah
sekolah per kabupaten yang didatangi adalah sebanyak 3-4 sekolah penerima dan 1 sekolah
non-penerima BOS.

2. Diskusi kelompok terarah (Focus Group Discussion – FGD)

FGD bertujuan untuk menggali persepsi kolektif mengenai pelaksanaan dan manfaat Program
BOS. FGD dilakukan di semua kabupaten/kota sampel, masing-masing dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu FGD untuk para stakeholder (pemangku kepentingan) di tingkat kabupaten/
kota (FGD Lembaga) dan FGD untuk kepala sekolah dan komite sekolah (FGD Sekolah). FGD
Lembaga dihadiri oleh manajer satker, staf dinas pendidikan, staf kantor Depag, beberapa kepala
UPTD, staf Bappeda, wakil dari dewan pendidikan, wartawan dari media lokal, beberapa aktivis
LSM, dan wakil dari DPRD. Sementara itu, FGD Sekolah dihadiri oleh kepala sekolah, komite
sekolah, dan pengurus yayasan dari sekolah sampel dan dari beberapa sekolah bukan sampel
yang dipilih. Dalam setiap FGD, peserta diminta untuk menuliskan berbagai permasalahan dalam
setiap tahapan pelaksanaan BOS serta mendiskusikan alternatif solusinya. Setelah itu, peserta
diminta memberikan penilaian mengenai tingkat kepuasan untuk setiap tahapan pelaksanaan
BOS dan juga tentang tingkat manfaat Program BOS bagi masyarakat miskin (Panduan FGD
terlampir). Secara total dilakukan 20 FGD, dengan perincian 10 FGD dengan lembaga di tingkat
kota/kabupaten dan 10 FGD dengan pihak sekolah atau komite sekolah.

5. Temuan Utama
Bagian ini secara khusus memaparkan tentang temuan Kajian Cepat terhadap pelaksanaan kedua program
tersebut. Temuan-temuan ini menjawab tujuan kajian cepat, yaitu memperoleh informasi mengenai
pelaksanaan program, memberikan indikasi awal dampak program, memberikan masukan bagi perbaikan
pelaksanaan program serta memberikan bahan pembelajaran bagi pelaksanaan program sejenis di masa
yang akan datang.

5.1 Subsidi Langsung Tunai (SLT)


Proses Pelaksanaan
Hasil pemantauan kajian cepat pada studi kasus 2 (5 kabupaten/kota) menunjukkan adanya beberapa
masalah yang muncul selama pelaksanaan program, diantaranya berkaitan dengan tidak ditemukannya juklak/
juknis pelaksanaan program, yang ada hanya petunjuk pelaksanaan pendataan RTM dan pendistribusian
KKB. Terbatasnya sosialisasi, hanya tentang rencana pendataan RTM. Akibatnya pelaksanaan program
bervariasi (menyangkut pencacahan, penyaluran, waktu pelaksanaan, kriteria keluarga miskin) Temuan
lainnya menyoroti masalah pendataan (ditemukan kasus dimana verifikasi hasil pendataan tidak dilakukan
secara konsisten, kuesioner rumah tangga terkadang diisi sendiri oleh pencacah dan tidak semua
pertanyaan ditanyakan kepada rumah tangga ybs), dan ketepatan sasaran. Untuk ketepatan sasaran ini
dilakukan 3 macam analisis yaitu, analisis korelasi, analisis benefit incidence dan analisis kesesuaian. Di
tingkat rumah tangga, tingkat kesalahan target (mistargeting) relatif rendah, ditemukan adanya keluarga
yang mampu yang menjadi penerima (leakage) dan rumahtangga miskin yang belum menjadi penerima
(undercoverage). Hasil Analisis Korelasi menunjukkan bahwa alokasi penargetan wilayah (geographic
targeting) program SLT di tingkat kecamatan cukup baik: daerah yang jumlah penduduk miskinnya lebih
banyak mendapat KKB yang relatih lebih banyak juga. Sementara hasil Analisis Benefit Incidence yang
dilakukan untuk Kasus Demak (Desa Jungpasir dan Kelurahan Kedondong) menunjukkan:

Desa Jungpasir: kelompok miskin dan hampir miskin (Q1 dan Q2) hanya menerima 54,7% dari
seluruh KKB yang diterima Desa Jungpasir. Artinya, terdapat kesalahan penargetan sekitar 45,3%.
Hasil analisis juga menunjukkan adanya kekurangcakupan (undercoverage) karena hanya 48,4%
rumah tangga miskin (Q1) dan 42,9% hampir miskin (Q2) di wilayah tersebut yang menerima KKB.

Kelurahan Kedondong: tingkat ketepatan sasaran lebih baik daripada di Desa Jungpasir. Kelompok
miskin dan hampir miskin (Q1 dan Q2) menerima sekitar 65,6% dari seluruh KKB di kelurahan tersebut.
Artinya, terdapat kesalahan penargetan sekitar 34,4%. Dari sisi cakupan, masih terdapat rumah tangga
layak yang tidak tercakup karena rumah tangga miskin (Q1) menerima KKB hanya 74,6% dan hampir
miskin (Q2) 45%.

Terakhir, hasil Analisis Kesesuaian Pengisian PSE05.RT dan proses penetapan sasaran oleh BPS dan
SMERU menunjukkan bahwa tingkat kesesuaian isian antar variabel dan wilayah (hasil pencacahan BPS
dan SMERU) bervariasi, namun secara keseluruhan cukup tinggi yaitu 78,3%. Untuk beberapa variabel,
tingkat kesesuaian isian relatif rendah, seperti luas lantai (40,9%), lapangan pekerjaan (50,5%) dan jumlah
anggota rumah tangga (53,8%). Hal ini diduga karena perbedaan persepsi dalam pengelompokan lapangan
usaha oleh masing-masing petugas serta penggunaan konsep rumah tangga dan keluarga yang tidak
diterapkan secara tegas.
Kajian cepat ini juga melihat pada aspek pengaduan dan penyelesaian masalah. Berbagai bentuk
ketidakpuasan masyarakat yang muncul terhadap pelaksanaan SLT mulai dari keluhan, protes,
demonstrasi, ancaman kepada aparat hingga pengrusakan sarana (kantor pos, kantor kelurahan,dll). Cara
penyelesaian masalah tersebut (kasuistis) diantaranya melalui pemberian penjelasan langsung kepada
masyarakat mengenai kriteria rumah tangga penerima SLT; ada rumah tangga penerima yang bersedia
membagi dengan kepada rumah tangga miskin lainnya; pendaftaran susulan bagi rumah tangga yang
merasa berhak.

Sementara untuk aspek kelembagaan, dilihat masih lemah dalam hal koordinasi dan komunikasi antar
lembaga terkait di tingkat pusat dan kabupaten/kota, serta keberadaan program pemantauan yang masih
bersifat parsial, belum menyeluruh dan hanya untuk kepentingan masing-masing lembaga pelaksana.

Indikasi Dampak Program


Walaupun kajian cepat ini dilakukan pada saat program masih berjalan, namun hasil wawancara mendalam
dengan rumah tangga penerima SLT bisa memberikan indikasi awal tentang dampak dari program tersebut,
yang terlihat dari pola penggunaan uang rumah tangga. Dari 89 responden rumah tangga penerima yang
dapat diidentifikasi penggunaan dana SLTnya, 90% di antaranya menggunakan dana SLT untuk kebutuhan
konsumsi (makanan terutama beras), sekitar 23,6% menggunakan dana tersebut untuk membayar utang
kepada tetangga, pemilik warung, atau pihak lain yang memberi pinjaman untuk menutupi kebutuhan
konsumsi sehari-hari. Sedangkan rumah tangga yang memanfaatkan dana untuk biaya sekolah dan biaya
berobat relatif kecil, secara total masing-masing hanya 14,6% dan 11,2%. Menurut rumah tangga penerima,
manfaat program ini dapat dirasakan secara lebih merata, karena dapat dinikmati pula oleh orang miskin
yang lanjut usia, cacat, dan pelaut. (kelompok ini tidak bisa menikmati manfaat program jika diganti dengan
program padat karya).

Tabel 2 . Persentase Penggunaan Dana SLT oleh Rumah Tangga Penerima

Jenis Tapanuli
Cianjur Demak Bima Ternate Total
Penggunaan Tengah
Pakaian 22,2 42,1 17,6 6,7 20,0 22,5
Konsumsi 72,2 100,0 100,0 93,3 85,0 89,9
Biaya sekolah 27,8 10,5 5,9 13,3 15,0 14,6
Biaya berobat 22,2 5,3 17,6 0,0 10,0 11,2
Bayar hutang 11,1 52,6 17,6 40,0 0,0 23,6
Modal usaha 5,6 21,1 0,0 33,3 30,0 18,0
Perbaikan rumah 11,1 5,3 0,0 0,0 15,0 6,7
Lainnya 16,7 52,6 0,0 26,7 30,0 25,8
Jumlah
18 19 17 15 20 89
responden
Catatan: Satu rumah tangga penerima menggunakan dana SLT untuk satu atau lebih penggunaan

Tingkat Kepuasan terhadap program


Tingkat kepuasan rumah tangga penerima dan aparat pemerintah terhadap program SLT diperoleh
melalui diskusi kelompok (FGD). Melalui pedoman dan alat bantu yang telah dipersiapkan sebelumnya
(lihat lampiran), peneliti dapat menggali mengenai tingkat kepuasan pada beberapa aspek terkait yaitu
penetapan dan ketepatan sasaran, sosialisasi, pembagian kartu, pencairan dana, penanganan masalah
dan kelembagaan. Secara umum tingkat kepuasan penerima terhadap pelaksanaan SLT paling tinggi
dibanding tingkat kepuasan aparat/tokoh desa/kelurahan dan aparat kabupaten/kota. Di tingkat penerima,
kurangnya sosialisasi merupakan aspek yang dirasakan paling kurang memuaskan terutama informasi
tentang kriteria rumah tangga penerima. Sementara, aspek penetapan dan ketepatan sasaran dinilai
cukup baik dan memuaskan. Sedangkan di tingkat aparat kelurahan dan kabupaten, pencairan dana dan
pembagian KKB merupakan aspek yang paling memuaskan, sedangkan sosialisasi dinilai paling kurang
memuaskan.

Gambar 2. Tingkat Kepuasan terhadap Pelaksanaan Program SLT

Kesimpulan Umum
Dari hasil kajian cepat ini diperoleh beberapa masukan/rekomendasi yang dapat dipergunakan untuk
perbaikan pelaksanaan program di masa yang akan datang, di antaranya:

o koordinasi antar lembaga pelaksana dan pemangku kepentingan lainnya di tingkat pusat dan daerah
perlu lebih ditingkatkan,
o perlu dibuat pedoman umum pelaksanaan program dan dokumen terkait lainnya dan harus disebarkan
dan dipastikan diterima oleh setiap pemda kabupaten/kota dan instansi terkait,
o nama rumah tangga penerima SLT termasuk hasil pendataan susulan, perlu dipublikasikan di tempat
umum dan diberikan ke pemda (bisa digunakan untuk program pengentasan kemiskinan lainnya),
o variabel penentu kemiskinan kurang sensitif dalam menangkap kondisi sosial ekonomi rumah tangga
yang sesungguhnya, sehingga jumlah variabel perlu ditambah dengan mempertimbangkan variabel
kemiskinan lokal,
o penentuan cut off point sebaiknya berbeda untuk tiap kabupaten, karena kondisi kemiskinan di tiap
kabupaten berbeda-beda,
o perlu diciptakan program pemantauan yang bersifat menyeluruh dan terpadu untuk memantau
penyimpangan pelaksanaan,
o KKB rumah tangga yang tidak layak mendapat SLT harus segera dibatalkan oleh Posko, dan
o pemerintah pusat harus mendorong pelaksanaan sosialisasi program kepada masyarakat melalui
berbagai jalur. Materi ditujukan terutama pada tujuan program, kriteria penerima program,keberadaan
dan fungsi posko.
5.2 Bantuan Operasional Sekolah (BOS)

Proses Pelaksanaan
Dari hasil kajian cepat, diperoleh informasi yang rinci mengenai proses pelaksanaan, yang melingkupi aspek
penargetan, pendataan, alokasi, sosialisasi, penyaluran dan pemanfaatan dana, aspek kelembagaan serta
komponen monitoring, evaluasi dan penanganan pengaduan. Penjabaran lebih lengkap mengenai aspek-
aspek di atas dapat dilihat di bagian lampiran, namun secara umum, hasil pemantauan terhadap proses
perencanaan adalah sbb:

- Secara umum, Program BOS cenderung dilaksanakan sebagai subsidi umum, namun banyak
pihak menilai bahwa Program BOS tetap bermanfaat bagi masyarakat miskin, meskipun hanya
sedikit sekolah yang memberikan bantuan khusus bagi siswa miskin.

- Sistem pendataan dan verifikasi data jumlah siswa yang dilaksanakan pada awal pelaksanaan
program masih kurang baik, khususnya karena lemahnya sistem informasi pendidikan yang
ada sebelumnya dan sempitnya waktu persiapan program sehingga tidak memungkinkan untuk
dilakukannya pendataan secara memadai.

- Terdapat kritik terhadap formula penentuan alokasi yang dianggap kurang adil bagi sekolah yang
mempunyai jumlah siswa sedikit, memiliki banyak guru honorer, memiliki banyak siswa miskin, dan
berlokasi di tempat terpencil.

- Kegiatan sosialisasi program, baik untuk seluruh jajaran pelaksana maupun masyarakat dinilai
lemah, antara lain disebabkan oleh pelaksanaan sosialisasi yang terlambat, singkatnya waktunya,
materi yang terlalu umum, dan pelaksanaannya cenderung sekadar formalitas. Akibatnya informasi
tentang tujuan program simpang siur dan informasi dari sekolah ke orang tua sangat sedikit dan
kebanyakan baru disampaikan setelah semester 1.

- Mekanisme penyaluran dana telah sesuai dengan alur yang ditetapkan dalam juklak, pada umumnya
berjalan lancar dan dana diterima secara utuh. Namun demikian, penunjukan lembaga penyalur
bervariasi antar provinsi, ada yang kurang mengutamakan kemudahan akses sekolah. Ditemukan
pula adanya penyaluran yang terlambat, sehingga dirasakan sangat mengganggu aktivitas belajar
mengajar.

- Dalam hal penyerapan dan pemanfaatan dana, untuk dana semester I sebagian besar sudah
terserap. Dari pihak sekolah, ditemukan bahwa sebagian besar sekolah belum bisa menyusun
RAPBS dengan baik. Untuk realisasinya, ternyata penggunaan dana tersebut tidak selalu sesuai
dengan RAPBS dan ketentian dalam juklak. Realisasi penggunaan dana BOS yang terbesar
adalah untuk pembayaran honor guru, kegiatan belajar-mengajar, pembelian alat tulis kantor, dan
pembelian buku pelajaran pokok.

- Kebanyakan sekolah ternyata menemui kesulitan dalam menyusun laporan. Pada saat kajian
berlangsung, belum ada kompilasi laporan kabupaten dan provinsi, karena terlambat.

- Mekanisme monitoring internal dinilai sangat lemah, hanya bersifat formalitas dan diragukan
efektivitasnya. Sementara monitoring eksternal terlalu terbuka dan banyak disalahgunakan.

- Penanganan pengaduan kurang transparan, masyarakat umum kurang bisa mengakses fasilitas
pengaduan di satker pusat.

- Dari aspek kelembagaan ditemukan bahwa pelaksanaan ‘joint-management” kurang efektif dan
di beberapa tempat kurang harmonis. lain itu komite sekolah dan dewan pendidikan dirasa juga
kurang berperan dalam membantu pelaksanaan program BOS.
Dampak dan Tingkat Kepuasan terhadap Pelaksanaan Program
Hasil kajian cepat ini belum bisa melakukan evaluasi dampak secara optimal, namun sudah dapat
memberikan indikasi tentang dampak program. Secara umum, Program BOS meningkatkan penerimaan
sekolah sehingga memungkinkan perbaikan kegiatan belajar-mengajar dan berpotensi meningkatkan
akses masyarakat, termasuk masyarakat miskin, terhadap pendidikan. Meskipun data kuantitatif belum
tersedia, hasil analisis kualitatif melalui wawancara dan FGD memberikan indikasi adanya dampak positif
dari Program BOS terhadap partisipasi pendidikan. Ada indikasi bahwa Program BOS meningkatkan
motivasi belajar siswa dari keluarga miskin karena tidak ada kekhawatiran akan ditagih tunggakan iuran
sekolah dan lebih terpenuhinya perlengkapan sekolah. Namun manfaat Program BOS bagi pencegahan
putus sekolah (DO), khususnya di tingkat SMP, tampaknya masih sedikit karena kebanyakan orangtua
yang mempunyai anak DO (beberapa di antaranya baru putus sekolah pada TA 2005/2006) tidak
mengetahui adanya Program BOS di sekolah anaknya. Sekolah juga kurang menyadari bahwa Program
BOS ditujukan untuk mencegah putus sekolah karena hal itu kurang ditekankan dalam sosialisasi maupun
dalam perjanjian penerimaan bantuan. Masalah putus sekolah di tingkat SMP juga tidak semata-mata
disebabkan ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga karena faktor-faktor lain seperti kenakalan siswa dan
adanya daya tarik untuk bekerja.

Manfaat program BOS dirasakan oleh berbagai pihak. Bagi pihak sekolah, program BOS meningkatkan
kegiatan peningkatan kualitas guru, penerimaan guru, meningkatkan ketersediaan peralatan dan bahan
ajar, kegiatan ekstrakurikuler, dan pelajaran tambahan. Sementara bagi murid/orangtua murid, adanya BOS
mengurangi biaya sekolah; iuran sekolah berkurang/gratis, biaya buku pelajaran berkurang, biaya/uang
ujian, ekstrakurikuler, dan pelajaran tambahan berkurang. Khusus bagi murid miskin, peserta FGD menilai
bahwa program BOS bermanfaat bagi masyarakat miskin, motivasi siswa miskin untuk tetap bersekolah
menjadi meningkat.

Melalui berbagai FGD, secara umum berbagai pemangku kepentingan di bidang pendidikan dan sekolah
menilai bahwa pelaksanaan program kurang memuaskan. Skor rata-rata dari seluruh FGD (N=20) untuk
ketujuh tahapan pelaksanaan program berkisar antara 5,4 – 6,6 (0-sangat tidak puas, 10 sangat puas).
Di antara berbagai tahapan pelaksanaan, sosialisasi dianggap paling tidak memuaskan, diikuti oleh
penanganan pengaduan, penyaluran dana, serta pelaporan dan monev. Sementara itu, dalam wawancara
mendalam, sebagian besar orangtua murid menyatakan cukup puas terhadap program ini karena mendapat
keringanan biaya sekolah. Bahkan, sebagian besar orangtua yang anaknya pernah mendapat BKM,
cenderung lebih menyukai Program BOS.
Gambar 3 Tingkat Kepuasan Stakeholders dan Sekolah (Semua FGD)

Gambar 4 Tingkat Kepuasan Stakeholders Kabupaten dan Kota

Gambar 5 Tingkat Kepuasan Sekolah


Selain indikasi dampak, kajian cepat ini juga mengidentifikasi beberapa hal negatif dari adanya program
BOS ini, yaitu di antaranya;

- Tersitanya waktu mengajar terutama pada guru-guru yang menjadi bendahara BOS.

- Tersitanya perhatian kepala sekolah terhadap kegiatan belajar mengajar.

- Sekolah melakukan rekayasa terhadap pelaporan penggunaan dana

- Berkurangnya partisipasi orang tua siswa/masyarakat

- Rencana alokasi APBD bidang pendidikan setelah adanya BOS: 6 kabupaten/kota tetap; 2
kabupaten/kota meningkat; 2 kota berkurang

Kesimpulan dan Rekomendasi


Secara umum, hasil kajian cepat ini memperlihatkan bahwa Program BOS sangat membantu penyelenggaraan
kegiatan belajar-mengajar di sekolah, dan dalam batas-batas tertentu telah mengurangi beban biaya
pendidikan yang ditanggung orangtua murid. Meskipun dampak program belum dapat dievaluasi secara
mendalam, hasil kajian ini memperlihatkan potensi pemanfaatan program dalam meningkatkan akses
masyarakat, khususnya masyarakat miskin, terhadap pendidikan yang lebih bermutu. Walaupun demikian,
kajian ini juga menemukan beberapa permasalahan yang cenderung mengurangi efektivitas program
atau menyebabkan kurang optimalnya manfaat program bagi peningkatan akses masyarakat, khususnya
masyarakat miskin, terhadap pendidikan yang berkualitas. Agar manfaat program dapat lebih optimal,
masih dibutuhkan berbagai penyempurnaan konsep dan teknis pelaksanaan program, serta dukungan
bagi peningkatan kualitas pelaksanaan semua tahapan program. Hasil kajian ini juga memperlihatkan
posisi strategis sekolah sebagai ujung tombak pelaksanaan program sehingga peningkatan kapasitas
kelembagaan sekolah, baik dalam bidang administrasi maupun mekanisme kontrol internal (check and
balances) juga akan sangat menentukan efektivitas program.

Dengan mempertimbangkan manfaat yang telah terwujud dan potensi manfaat program di masa depan,
disarankan agar Program BOS terus dilanjutkan dengan berbagai penyempurnaan konseptual dan teknis,
di antaranya:

• BOS perlu dilanjutkan dengan beberapa perbaikan konseptual dan teknis

• Peran BOS dalam pembiayaan pendidikan perlu dipertegas agar tidak mengurangi partisipasi
publik – perlu persamaan persepsi antarpelaku

• Perbaikan sistem dan mekanisme pendataan siswa

• Perbaikan sistem pelaporan dan monev, agar menjamin akuntabilitas publik secara luas dan
mencegah penyalahgunaan monev eksternal
Lampiran
Lampiran SLT-1. Pedoman Pertanyaan SLT - Jakarta

Pedoman Pertanyaan
Program Cash Transfer 2005

A. Organisasi Pelaksana
1. Berapa target sasaran cash transfer di wilayah ini? Berapa rencana realisasi untuk tahap pertama?
Berapa yang telah direalisir? Bagaimana proses penentuan jatah dan jumlah target sasaran untuk
setiap wilayah?
2. Apa peran atau sejauh mana keterlibatan Pemda dalam program ini?
3. Lembaga atau instansi apa saja yang dilibatkan? Apa peran mereka?
4. Apa kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan program sampai saat ini? Apa upaya yang telah
dilakukan?
5. Apakah ada inisiatif yang telah dilakukan selama ini? Apa dampaknya?
6. Langkah apa saja yang telah dilakukan dalam mengatasi kesalahan target sasaran? Seberapa
besar kesalahannya? Apakah jumlah target sasaran menjadi bertambah/berkurang? Seberapa
besar?

B. Pelaksana Pendataan
1. Siapa yang bertanggung jawab dalam melakukan pendataan di tingkat desa?
2. Siapa yang melakukan proses pendataan di lapangan? Berapa orang?
3. Bagaimana kriteria dan cara memilih tenaga pelaksana lapangan? Apa rata-rata tingkat
pendidikan mereka? Apakah ada insentif untuk mereka?
4. Bagaimana menurut pendapat anda tentang pendataan tersebut?
5. Apakah ada (akan ada) pendataan susulan? Kapan dilakukan? Apakah (akan) bertambah/
berkurang? Mengapa? Jelaskan!
6. Apakah ada pemantauan/monitoring terhadap proses pendataan yang dilakukan?

C. Targeting:
1. Berapa jumlah target penerima berdasarkan pendataan?
2. Bagaimana tahapan proses pendataan dilakukan? Berapa tahap dan berapa lama? Tahapannya
apa saja? Kapan pelaksanaan pendataan dilakukan?
3. Apa saja kriteria yang digunakan untuk menentukan keluarga miskin pada saat pendataan awal?
4. Siapa yang menentukan kriteria tersebut? Mengapa?
5. Mengapa menggunakan kriteria tersebut?
6. Apakah penggunaan kriteria tersebut menurut anda sudah tepat? Mengapa?

D. Sosialisasi
1. Apakah pernah ada pemberitahuan tentang adanya program cash transfer? Dari siapa? Kapan?
Dimana? Bagaimana caranya? Apa saja yang dijelaskan?
2. Bagaimana tanggapan masyarakat terhadap sosialisasi tersebut?
3. Apakah sosialisasi/pemberitahuan tersebut dinilai sudah cukup dan dapat dimengerti? Apakah
sudah menjangkau seluruh pelosok desa atau menjangkau semua orang?
4. Kalau belum, bagaimana sosialisasi seharusnya dilakukan?
E. Kartu Kompensasi BBM
1. Siapa yang membuat/menerbitkan kartu identitas penerima?
2. Bagaimana data/kartu tersebut dikirimkan kepada pihak Kantor Pos?
3. Bagaimana mendistribusikan kartu tersebut ke target sasaran/penerima?
4. Apakah ada dana yang dibebankan kepada masyarakat untuk mendapatkan kartu tersebut?
Siapa yang menentukan? Berapa? Untuk apa? Bagaimana tanggapan anda?
5. Apakah nama-nama calon penerima diumumkan secara luas kepada masyarakat desa/RW/RT?
Diumumkan dimana saja?
6. Bagaimana tanggapan anda? Dan bagaimana tanggapan masyarakaat terhadap pengumuman
tersebut?

F. System Delivery
F. 1. Depkeu ke Kantor Pos

1. Kapan dana dikirim dari Depkeu/KPKN ke BRI dan Kantor Pos? Bagaimana prosesnya?
2. Berapa lama proses sampai dana ada di Kantos Pos Cabang atau Kantor Pos di tingkat
kecamatan/desa?
3. Adakah kesulitan dari Kantor Pos untuk mengambil dana tersebut? Jelaskan !
4. Apakah ada insetif yang diterima BRI atau Kantor Pos karena pelayanan tersebut?
5. Bagaimana penilaian anda tentang system delivery semacam ini? Apa kelebihan dan
kekurangannya?
6. Apa usulan untuk memperbaiki system delivery ini?

F.2 Dari Kantor Pos ke Penerima

1. Apa syarat untuk mengambil dana tersebut? Apa yang diperlukan sebagai tanda bukti
pengambilan dana selain kartu?
2. Siapa yang bisa mengambil dana tersebut? Apakah harus kepala keluarga atau dapat diwakilkan
ke aparat desa?
3. Bagaimana periode pengambilan dana?
4. Dimana dana tersebut bisa diambil?
5. Apa kesulitan dalam pengambilan dana?
6. Apakah dana tersebut diterima secara utuh?
7. Kalau tidak, siapa yang melakukan pemotongan? Berapa besar potongannya?
8. Digunakan untuk apa potongan tersebut?
9. Apakah keputusan pemotongan tersebut telah disetujui sebelumnya oleh ybs? Apakah ada
sanksi jika tidak mengikuti keputusan tersebut?

G. Using of Money
1. Adakah syarat yang ditentukan oleh desa/petugas dalam penggunaan dana ?
2. Dana tersebut (rencananya) digunakan untuk apa saja?
3. Apakah jumlah dana tersebut dinilai memadai? Kalau tidak, berapa jumlah dana yang dinilai
memadai?
4. Apakah dana tersebut dinilai sangat membantu? Kalau ya dalam hal apa? Kalau tidak mengapa?
5. Apakah ada dana yang dipergunakan untuk membiayai sekolah anak, pengobatan, atau usaha
produktif? Seberapa besar? Jelaskan!
H. Complaint Resolusion (Mekanisme Pengaduan)
1. Kemana atau kepada siapa anda dapat melakukan komplain?
2. Apakah anda (orang lain) pernah melakukan komplain? Komplain tentang apa?
3. Apakah komplain tersebut telah diproses? Bagaimana hasilnya?
4. Bagaimana pendapat anda (mereka) terhadap tanggapan atas komplain tersebut?

I. Usulan/saran
1. Bagaimana pelaksanaan program ini menurut pendapat anda? Apa yang dinilai sudah baik dan
apa saja yang masih kurang? Mengapa?
2. Apa usulan anda untuk memperbaiki program ini?

Daftar Responden dan Jenis Pertanyaan untuk Responden

No . Nama Sumber /
Responden A B C D E F1 F2 G H I J
A Kotamadya
Pemda
Dinas Sosia l
Kantor Pos Kotamadya
B PS

B Kecamat an
Camat/Kaur Sosial
Kantor Pos
Mantri Statistik
Kantor Pos

C De sa
Kepala Kel urahan
Pelaksana Pendataan di
desa
RT/ RW
LSM/ Tokoh Masyarakat
(sepanja ng m ereka
terlibat dalam proses
pendataan)

D Target & Non Target


Sasaran
Target penerima miski n
Target penerima tidak
miskin
Non Target Penerima
Pedoman Pertanyaan
Keluarga Penerima Bantuan

A. Data keluarga
1. Berapa jumlah anggota rumah tangga ini?
2. Berapa jumlah anak yang masih sekolah? Apakah ada yang masih sekolah di SD/ SMP? Apakah
ada yang drop out? Mengapa? Kapan?
3. Siapa saja yang telah bekerja? Apa jenis pekerjaannya? Berapa besar penghasilan rumah tangga?
Siapa saja yang memberi kontribusi? Berapa banyak?
4. Status tempat tinggal (kontrak, menempati lahan orang lain, pemilik, lainnya). Kalau kontrak berapa
besar kontrak per bulan?
5. Bagaimana cara ibu/bapak menutupi kebutuhan hidup selama ini apabila mengalami kekurangan?
6. Adakah bantuan dari pemerintah atau pihak lain yang biasa ibu/bapak terima selama 1 tahun terakhir
ini? Apa saja , dari mana, dan dalam bentuk apa? Sekarang masih diterima atau tidak? Kalau ada
yang tidak, mengapa?

B. Pendataan
1. Apakah keluarga ibu/ mendapatkan bantuan tunai kompensasi BBM? Mengapa keluarga ibu/
bapak memperolehnya?
2. Dalam satu rumah tangga, berapa orang yang mendapatkan? Kalau lebih dari satu, mengapa
bisa memperoleh lebih dari satu?
3. Apakah anda pernah didata? Kalau ya, siapa yang mendata? Apa saja yang didata? Berapa kali
dilakukan pendataan? Kalau tidak, bagaimana anda dapat menjadi penerima?
4. Dari mana ibu/bapak mengetahui bahwa telah terpilih? Siapa yang memberitahu?

C. Kartu Kompensasi BBM


1. Siapa yang menyerahkan kartu identitas penerima? Dimana? Bagaimana caranya?
2. Apakah ada dana yang dibebankan kepada ibu/bpk untuk mendapatkan kartu tersebut? Siapa
yang menentukan? Berapa besar? Untuk apa? Bagaimana tanggapan anda?
3. Apakah nama-nama calon penerima diumumkan secara luas kepada masyarakat desa/RW/RT?
Diumumkan dimana saja?
4. Bagaimana tanggapan anda? Dan bagaimana tanggapan masyarakat terhadap pengumuman
tersebut? (tidak semua)

D. Sosialisasi
1. Apakah pernah ada pemberitahuan tentang adanya program cash transfer? Dari siapa? Kapan?
Dimana? Bagaimana caranya? Apa saja yang dijelaskan?
2. Apakah sosialisasi /pemberitahuan tersebut dinilai sudah cukup dan dapat dimengerti? Apakah
sudah menjangkau seluruh pelosok desa atau menjangkau semua orang?
3. Kalau belum, bagaimana sosialisasi seharusnya dilakukan?

E. Penerimaan Dana
1. Apa syarat untuk mengambil dana tersebut? Apa yang diperlukan sebagai tanda bukti pengambilan
dana selain kartu?
2. Siapa yang bisa mengambil dana tersebut? Apakah harus kepala keluarga atau dapat diwakilkan
ke aparat desa?
3. Bagaimana periode pengambilan dana?
4. Dimana dana tersebut bisa diambil?
5. Apa kesulitan dalam pengambilan dana?
6. Apakah dana tersebut diterima secara utuh?
7. Kalau tidak, siapa yang melakukan pemotongan? Berapa besar potongannya? Digunakan untuk
apa potongan tersebut?
8. Apakah pemotongan tersebut tersebut telah disetujui sebelumnya oleh ybs? Apakah ada sanksi
jika tidak mengikuti pemotongan tersebut?

F. Penggunaan Dana
1. Adakah anjuran dalam menggunaan dana tersebut? Dari siapa? Apakah anjuran tersebut anda
ikuti?
2. Dana tersebut (rencananya) digunakan untuk apa saja?
3. Apakah jumlah dana tersebut dinilai memadai? Kalau tidak, berapa jumlah dana yang dinilai
memadai?
4. Apakah dana tersebut dinilai membantu? Kalau ya dalam hal apa? Kalau tidak mengapa?
5. Apakah ada dana yang dipergunakan untuk membiayai sekolah anak, pengobatan, atau usaha
produktif? Seberapa besar? Jelaskan!

G. Complaint Resolusion (Mekanisme Pengaduan)


1. Kemana atau kepada siapa anda pergi jika ingin melakukan komplain?
2. Apakah anda pernah melakukan komplain? Komplain tentang apa?
3. Apakah komplain tersebut telah diproses? Bagaimana hasilnya?
4. Bagaimana pendapat anda tentang tanggapan atas komplain tersebut?

H. Usulan/saran
1. Bagaimana pelaksanaan program disini menurut pendapat anda?
2. Apa yang dinilai sudah baik? Apa yang dinilai belum baik atau masih kurang? Mengapa?
3. Apa usulan anda untuk memperbaiki program ini?
Pedoman Pertanyaan
Keluarga Miskin Non Penerima Bantuan

A. Data keluarga
1. Berapa jumlah anggota rumah tangga ini?
2. Berapa jumlah anak yang masih sekolah? Apakah ada yang masih sekolah di SD/ SMP? Apakah
ada yang drop out? Mengapa? Kapan?
3. Siapa saja yang telah bekerja? Apa jenis pekerjaannya? Berapa besar penghasilan rumah
tangga? Siapa saja yang memberi kontribusi? Berapa banyak?
4. Status tempat tinggal (kontrak, menempati lahan org lain, pemilik, lainnya). Kalau kontrak berapa
besar kontrak per bulan?
5. Bagaimana cara ibu/bapak menutupi kebutuhan hidup selama ini apabila mengalami kekurangan?
6. Adakah bantuan dari pemerintah atau pihak lain yang biasa ibu/bapak terima selama satu tahun
terakhir ini? Apa saja , dari mana, dan dalam bentuk apa? Sekarang masih diterima atau tidak?
Kalau ada yang tidak, mengapa?

B. Tanggapan tentang Cash Tranfer


1. Apakah keluarga ibu/bapak mengetahui adanya bantuan dana tunai untuk keluarga miskin?
Darimana ibu/bapak memperoleh informasi tersebut?
2. Apakah ibu/bapak pernah ikut pendataan keluarga miskin ketika ada pendataan? Jika pernah,
mengapa keluarga ibu/bapak tidak memperoleh dana bantuan tersebut?
3. Apa yang ibu lakukan ketika mengetahui keluarga ibu tidak memperoleh? Bagaimana hasilnya?
4. Adakah janji bahwa keluarga ibu/bapak akan dimasukan dalam data untuk tahap ke dua?
Siapakah yang pernah menjanjikan?
5. Apa pendapat ibu/bapak mengenai pembagian dana tunai subsisi BBM ini? Apa alasan ibu/
bapak berpendapat demikian?
6. Bentuk bantuan seperti apa yang diperlukan rakyat miskin menghadapi kenaikan BBM?
7. Bagaimana cara ibu/bapak menutupi kebutuhan hidup selama ini?
8. Apakah ibu/bapak mengetahui bahwa ada keluarga miskin namun tidak mendapatkan bantuan
tunai? Atau sebaliknya, keluarga mampu tetapi mendapatkan bantuan ini? Mengapa hal itu bisa
terjadi?
9. Menurut ibu/bapak, bagaimana supaya hal-hal tersebut tidak terjadi? Apa saran-saran ibu/bapak
untuk memperbaiki program ini?
Lampiran SLT- 2. Pedoman Isian FGD – SLT 5 Kab/Kota

PEDOMAN ISIAN FGD


Kajian Cepat Pelaksanaan Subsidi Langsung Tunai

Desa :
Kelompok :

Hari/Tanggal : ………………
Waktu : ……………..
Jumlah peserta : ……………… Pria: ….. Wanita: ….
Fasilitator : 1. ……………..
2. ….………….
3. ……………..

DISKUSI REKOMENDASI

Ha l M asal ah/kend al a yang di hadapi U sul an/reko m endasi

1. ………

kelembagaan 2. ………

3. ………

Identifikasi penerima BLT

Pembagian kartu BLT


kepada penerima

Pembagian dana BLT

Sosialisasi program BLT

Penyelesaian
masalah/keluhan
HASIL SKALA TINGKAT KEPUASAN

I. Tingkat : Kabupaten

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Penetapan sasaran

Ketepatan sasaran

Pembagian kartu
SLT kepada
penerima

Cara pencairan dana

Sosialisasi program

Penanganan dan
penyelesaian
masalah

CATATAN :
________________________________________________________________________________
________________________________________________________________________________

HASIL SKALA TINGKAT KEPUASAN

II. Tingkat : Desa

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Penetapan sasaran

Ketepatan sasaran

Pembagian kartu
SLT kepada
penerima

Cara pencairan dana

Sosialisasi program

Penanganan dan
penyelesaian
masalah

CATATAN
________________________________________________________________________________
________________________________________________________________________________
HASIL SKALA TINGKAT KEPUASAN

Penerima SLT

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Sosialisasi program

Ketepatan sasaran

Penanganan &
Penyelesaian
masalah
Cara mengambil
dana SLT

Jumlah dana SLT

Frekuensi
pengambilan dana
SLT

CATATAN :
________________________________________________________________________________
________________________________________________________________________________
Lampiran SLT-3. Laporan FGD – Kabupaten Bima

LAPORAN FGD TINGKAT KABUPATEN

Kabupaten : Bima
Kelompok : Pemangku Kepentingan Kabupaten
Hari/Tanggal : Kamis, 1 Desember 2005
Waktu : 09.30 – 15.00
Jumlah Peserta : 9 Pria: 9 Wanita : -
Fasilitator : Robert Justin Sodo
Co-fasilitator : Syaikhu Usman
Notulen : Syahbudin Hadid

DISKUSI REKOMENDASI

Hal Masalah/kendala yang dihadapi Usulan/rekomendasi

Pendataan 1. Persoalan serius yang terjadi dilapangan 1. Di daerah terdapat banyak


antara lain: minimnya kapasitas para lembaga yang menangani
pencacah, wawancara yang tidak kemiskinan. Mereka memiliki data-
utuh dan terkesan dilakukan secara data kemiskinan. Sumber data
serampangan, banyaknya KK miskin ini dapat dipakai sebagai bahan
yang tidak tercover dalam pendataan, tambahan penentuan peneima.
akurasi data yang kurang tepat, tidak Semua terkoordinasi di bawah
adanya indikator lokal yang dipakai, dll satu badan di kabupaten yang
2. Di lapangan BPS terkesan jalan sendiri melibatkan semua pihak. KPKD
dimana seharusnya yang kompoten di yang selama ini menjadi wadah
LS adalah ketua RT sehingga ketika penanganan msalah kemiskinan
orang miskin yang akan didata namun dapat diberdayakan kembali.
tidak berada di rumah namun tidak 2. kita ingin mencoba sesuaikan
tercover, para KK yang tak terdata berbagai indicator semua lembaga
tersebut mengadu pada pemda namun sehingga kabupaten bima memiliki
tidak mendapatkan indicator sesuai dengan tingkat
3. Anggaran pelatihan bagi para KSK/ kemiskinan daerah. tidak tertutup
PKSK dan para pencacah di lapangan kemungkinan nanti penerima BLT
juga sangat terbatas adalah keputusan KPKD.
3. Angka pra KS dan KS1 diklariffikasi
dengan 11 indikator dengan
memanfaatkan tenaga kader, hasil
dari proses kalrifikasi tersebut
memunculkan standar kemiskinan
ncoki – wara.
Lanjutan

Hal Masalah/kendala yang dihadapi Usulan/rekomendasi

4. Hal yang dapat dilakukan pada


saat kegiatan pendataan adalah
daftar KK miskin disuatu desa
setelah dilakukan pendataan
nama-nama KK miskin harus di
temple di kantor desa sehingga
masayrakat lainnya bisa menilai
secara bersamaan

Pembagian 1. sampai saat ini masih ada 3 desa Pemerintah dihimbau agar segera
Kartu yang masih bermasalah, karena menindaklanjuti persoalan ini ke
tuntutan dari masyarakat. Tuntutan pusat melalui instansi terkait agar
tersebut menginginkan pembagian ada pemberlakuan khusus mengingat
dana kopensasi bersamaan dengan banyaknya penerima KKB yang tidak
yang terdata berikutnya. Staf BPS dapat mencairkan dananya pada
menjelaskan bahwa kecil kemungkinan tahap pertama. Tindak lanjut ini
pada tahap kedua, dana tahap I dapat juga perlu dikoordinasi dengan BPS
dicairkan. Tidak ada aturan bahwa setempat.
bantuan tahap pertama dapat diambil
sekaligus pada tahap ke dua

Pencairan 1. terlambatnya pencairan dana di Perlu adanya koordinasi yang


Dana kecamatan tersebut terkait dengan terpadu antara pihak pos dan aparat
kesiapan dan jaminan keamanan dari kecamatan/desa dan juga aparat
pihak kecamatan setempat, hal ini lebih keamanan (polisi).
diakibatkan oleh adanya gejolak ditingkat
masyarakat karena ketimpangan atas Pihak pos berkomitmen untuk mengatur
proses pendataan ulang jadwal penyaluran dana agar
2. Pencairan yang dilakukan sekaligus prosesnya dapat berlangsung aman,
selama sehari di setiap kecamatan nyaman dan tidak menimbulkan efek
menimbulkan persoalan tersendiri. negatif
Antrian dan desak-desakan akibat
ribuan KK miskin yang langsung
mendatangi kantor pos pada saat
yang sama berakibat negatif baik bagi
kantor pos maupun penerima. Bagi
para penerima, desak-desakan pada
saat antri (khususnya bagi lansia)
menimbulkan ketidaknyamanan. Selain
itu mereka juga harus menunggu
berjam-jam menanti giliran.
Lanjutan

Hal Masalah/kendala yang dihadapi Usulan/rekomendasi

Di pihak pos, kesalahan penyobekan


kupon yang ada pada kartu dapat saja
terjadi karena kelelahan melayani
ribuan orang yang datang pada saat
bersamaan

Sosialisasi 1. Sosialisasi ditingkat pemda juga memang


tidak dilakukan. Pada tingkat operasioal
program ini hariusnya tidak diserahkan
pada lembaga tertentu seperti BPS
namun harus ada tim terpadu karena hal
ini berkaitan dengan data dan persoalan
social (bukan teknis semata).
Munculnya persoalan terkait BLT ini
diakibatkan oleh kurangnya pemahaman
masyarakat terhadap indicator
kemiskinan. Dalam hal ini diperlukan
sosialisasi di tingkat masyarakat dengan
melibatkan aparat desa setempat.
untuk sosialisasi;

Penyelesaian Di banyak tempat di Bima muncul gejolak 1. Perlu segera dilakukan koordinasi
Masalah sosial pasca pembagian KKB. Selain itu, antara Bappeda, BPS, Pos,
aduan baik dari masyarakat atau aparat dan lembaga terkait lainnya
terkait khususnya desa banyak diterima dalam rangka pembentukan
BPS dan Pemda (Bappeda). Selain itu, tim pengendali yang akan
beberapa instansi lain seperti kantor pos, langsung dibawah kendali wakil
polisi, pers, kecamatan, dll juga sering kali bupati. Disarankan agar tim
menerima banyak pengaduan atau protes. KPKD yang telah terbentuk dan
Persoalannya kemudian adalah bagaimana berpengalaman dalam mengelola
semua aduan-aduan ini ditindaklanjuti? masalah kemiskinan dapat
Siapa yang harus mengelola dan diberdayakan demi efisiensi dan
mengorganisir aduan tersebut? Langkah2 efektivitas program BLT. Tim ini
apa yang harus dilakukan pada saat terjadi juga akan segera membentuk
gejolak? Bagaimana proses penanganan tim pengaduan baik di tingkat
pengaduan di tingkat kecamatan dan desa kabupaten, kecamatan dan tingkat
?Semua ini menjadi masalah yang harus desa.
segera ditangani 2. Upaya penegakan hokum
hendaknya juga mendapat
perhatian serius. INi penting agar
dapat memberikan efek jera.
Lanjutan

3. Pada KKB hendaknya tercantum


sanksi yang dapat diterapkan
bilamana penerima KKB tersebut
tidak layak mendapatkan
bantuan.
Kelembagaan 1. Belum terlibatnya unsur pemda Tidak Di daerah sudah memiliki KPKD, KPKD
adanya sinergisitas dari lembaga sudah memiliki angka kemiskinan,
terkait. ketika unsure pemerintah daerah
2. Wakil Bappeda mengakui adanya didalamnya semua unsure terlibat tapi
miskomunikasi antara pusat dan kenapa BPS tidak menginformasikan
daerah. Sifat surat dari pusat sangat ke kita. Selain itu beberapa unsure
mendesak apalagi surat tersebut terkait belum dilibatkan
kami tidak pernah melihat. Pemda Pemerintah pusat hendaknya
kelihatannya tidak tanggap, setelah memberikan otoritas penuh kepada
ada persoalan baru ada koordinasi daerah dalam mengatur pelaksanaan
program. Keleluasan ini dapat
berbentuk seprti penentuan kuota,
mekanisme pendataan, dll.

HASIL SKALA TINGKAT KEPUASAN

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Rata-rata

Penetapan sasaran

Ketepatan sasaran
√√√√ √√ √
√ √√ √√√√
Pembagian kartu SLT
kepada penerima

√√√√√
Cara pencairan dana

Sosialisasi

√ √ √
Penanganan dan
penyelesaian masalah

Catatan:
1. Tidak Puas : warna merah
2. Biasa : warna kuning
3. Puas : warna hijau
Lampiran SLT- 4. Laporan FGD Tingkat Desa (Kelompok Penerima)

LAPORAN FGD TINGKAT DESA

Desa : Nunggi
Kelompok : Responden
Hari/Tanggal : Selasa 29 November 2005
Waktu : 16.30 – 17.30
Jumlah Peserta : 8 orang Pria : 7 Wanita : 1
Fasilitator : Syahbudin Hadid.
Asisten Fasilitator : Syaikhu Usman
Notulen : R.Justin Sodo

DISKUSI REKOMENDASI

Hal Masalah/kendala yang dihadapi Usulan/rekomendasi


1. Petugas mendatangi para penerima 1. Petugas diharapkan agar
Pendataan namun tidak banyak mengajukan secara terbuka menjelaskan
pertanyaan. maksud pendataan
2. Petugas tidak menjelaskan maksud 2. Petugas harus mendatangi
pendataan dan ini membingungkan langsung dan melakukan
para penerima wawancara dengan didamping
3. Aparat desa tidak diikutsertakan ketua RT
bahkan ada yang tidak tahu 3. Sebaiknya anggota
4. ada peserta yang mengaku tidak masyarakat lain yang juga
ditanya dirumahnya miskin segera didaftar untuk
5. Mereka mengaku sedih karena banyak menghindari kecemburuan di
kerabat mereka yang juga miskin tapi antara mereka
tidak menerima dana ini.

1. Pembagian kartu berjalan lancar dan 1. Perlu keterlibatan aparat


Pembagian tidak ada persoalan serius desa dalam pembagian kartu.
Kartu 2. Kartu ada yang dibagi langsung dan Hal ini bertujuan agar dapat
ada yang melewati kepala desa. menghindari perbenturan
Pembagian langsung dilakukan secara dengan masyarakat miskin lain
diam-diam khawatir masyarakat lain yang tidak menerima BLT.
akan cemburu. 2. Pembagian kartu sebaiknya
3. Petugas menjelaskan tujuan secara terbuka di tempat umum
penerimaan kartu tersbut agar mendapatkan penjelasan
yang sama.

1. Pada saat pencairan dana, para penerima 1. Pencairan sebaiknya dilakukan


Pencairan berdesak-desakan dan ini menimbulkan di kantor desa oleh pegawai
Dana kerusakan (kursi) fasilitas kantor kantor pos agar mereka tidak
kecamatan yang dipakai sebagai tempat perlu mengeluarkan biaya lagi
pencairan dana. Perlu koordinasi yang baik diantara
pihak terkait
Lanjutan

Hal Masalah/kendala yang dihadapi Usulan/rekomendasi

2. Penundaan pencairan akibat tidak adanya


koordinasi yang baik antara aparat kecamatan
dan kantor menyebabkan kerugian material
bagi penerima yang telah mengeluarkan biaya
untuk mendatangi kantor pos.

Pemerintah perlu melakukan


sosialisasi karena tidak adanya
Isu ini tidak dibahas karena sosialisasi tidak sosialiasi mengakibatkan
Sosialisasi
dilakukan. kebingungan di tingkat bawah
tentang maksud dan tujuan
program.

Meski banyak hal yang menjadi aduan masyarakat


terutama menyangkut daftar tambahan atau Mereka mengharapkan
Penyelesaian mereka yang dianggap sangat miskin namum agar segera dibentuk tim
Masalah tidak menerima BLT . Mereka umumnya tidak tahu penanganan pengaduan
ke mana harus mengadu. khusus.

Tidak dibahas karena para peserta tidak paham


Kelembagaan
tentang mekanisme program (akibat tidak adanya
sosialisasi).

Hasil Skala Tingkat Kepuasan dari 8 peserta

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
VV
Penetapan Sasaran V V VV
VV
Ketepatan Sasaran VV VVV VV V
VV
Pembagian Kartu V VV VV
V
VV
Pencairan Dana V VV V
VV
Sosialisasi VV V V VVVV
Penanganan Masalah V V V VVVV V
Lampiran SLT- 5. Ringkasan Eksekutif SLT Jakarta

RINGKASAN

Pada 1 Oktober 2005, pemerintah menetapkan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri.
Kenaikan ini memperberat beban hidup masyarakat, terutama kelompok miskin. Untuk mengurangi beban
tersebut, pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden No. 12/2005 tentang pemberian subsidi langsung
tunai (SLT) kepada rumah tangga miskin. Besarnya bantuan Rp100.000 per rumah tangga per bulan
dan diberikan setiap tiga bulan. Rumah tangga miskin didefinisikan sebagai mereka yang mempunyai
pengeluaran per kapita per bulan Rp175.000 atau kurang. Mereka diidentifikasi oleh Badan Pusat Statistik
(BPS) dengan menggunakan metode uji pendekatan kemampuan (proxy means testing). Pendistribusian
dana bantuan ke rumah tangga miskin dilaksanakan oleh PT Pos Indonesia.

Belajar dari pengalaman di masa lalu, pelaksanaan penyaluran dana kompensasi subsidi BBM selalu
dihadapkan pada berbagai permasalahan. Karena itu, diperlukan evaluasi dini terhadap pelaksanaan
Program SLT guna mencari jalan keluar dari berbagai permasalahan dan kelemahan teknis di lapangan.
Untuk itu, Lembaga Penelitian SMERU melakukan penelitian cepat (rapid appraisal) di Provinsi Daerah
Khusus Ibukota (DKI) Jakarta pada 12-14 Oktober 2005.

Dalam pelaksanaan program ini tidak ditemukan adanya acuan atau pedoman umum yang berisi penjelasan
menyeluruh tentang program bagi semua pihak yang berkepentingan. Acuan yang tersedia hanya berupa
buku petunjuk parsial seperti petunjuk pendataan rumah tangga miskin dan petunjuk pendistribusian kartu
kompensasi BBM (KKB) yang persebarannya cenderung terbatas di kalangan internal BPS. Akibatnya,
terdapat perbedaan pemahaman antarpihak terkait tentang pelaksanaan program.

Instansi yang berperan dalam pelaksanaan Program SLT adalah Departemen Sosial, BPS, dan PT Pos
Indonesia. Pemerintah daerah (pemda) pada awalnya tidak dilibatkan secara serius. Namun, dengan
perkembangan pelaksanaan program pihak pemda pun sering diminta membantu proses pencairan dana
dalam rangka meredam gejolak sosial. Selain itu, untuk mengorganisasi pengaduan masyarakat sekaligus
memantau pelaksanaan program, Pemprov DKI Jakarta membentuk pos koordinasi (posko) yang disebut
Tim Unit Pengaduan Masyarakat dan Pemantauan (UPMP).

Di DKI Jakarta, kegiatan sosialisasi program secara formal dan menyeluruh bagi pihak terkait di luar
lembaga pelaksana nyaris tidak pernah dilakukan. Sosialisasi formal hanya terbatas tentang rencana
kegiatan Pendataan Sosial Ekonomi Penduduk 2005 (PSE05) yang dalam praktiknya merupakan pendataan
keluarga/rumah tangga miskin. Sosialisasi formal untuk masyarakat luas pun tidak dilakukan. Banyak pihak
mengeluhkan kurangnya sosialisasi program. Sebagai contoh, kriteria penerima SLT tidak disosialisasikan
secara terbuka dan instansi pemerintah di tingkat kelurahan dan kecamatan secara resmi tidak mengetahui
besarnya target dan realisasi di daerahnya. Kurangnya sosialisasi program menyebabkan aparat kecamatan,
kelurahan, ketua rukun warga (RW), dan ketua rukun tetangga (RT) tidak dapat membantu menjelaskan
program kepada masyarakat yang bertanya atau mengadu.

Menurut buku Pelaksanaan Pendataan Rumah Tangga Miskin 2005, pendataan rumah tangga miskin
diselenggarakan sejak 15 Agustus hingga 15 September 2005. Dalam praktik, waktu pelaksanaan
pendataan bervariasi, misalnya, ditemukan adanya kontrak kerja pencacah yang dimulai pada 8 Agustus
2005. Pendataan dilakukan oleh BPS dengan dibantu pencacah yang terdiri dari petugas lapangan keluarga
berencana (PLKB), kader BKKBN, anggota karang taruna, pegawai kelurahan, serta pencacah lainnya
yang ditunjuk BPS. Pencacah mendapat pelatihan sehari mengenai tata cara pendataan dan penjelasan
ringkas tentang berbagai formulir yang akan digunakan dalam pendataan.

Proses penjaringan keluarga/rumah tangga miskin secara umum berlangsung sebagai berikut: 1) pencacah
meminta daftar keluarga/rumah tangga miskin kepada ketua RT yang kemudian dilengkapi dengan daftar
keluarga/rumah tangga miskin dari sumber lain dan dilakukan observasi langsung ke masing-masing
rumah untuk menilai layak tidaknya diajukan sebagai keluarga/rumah tangga yang diduga miskin; 2) daftar
yang sudah dinilai diserahkan kepada petugas BPS untuk dilakukan verifikasi secara kasat mata guna
menentukan keluarga/rumah tangga yang layak untuk didata sebagai keluarga/rumah tangga miskin;
3) pencacah menerima daftar keluarga/rumah tangga layak didata yang kemudian dicacah dengan
menggunakan formulir PSE05.RT; 4) formulir yang sudah terisi diserahkan ke BPS provinsi untuk di-entry
dan hasilnya dikirim ke BPS Pusat untuk dilakukan penghitungan skor dalam rangka penetapan keluarga/
rumah tangga sasaran Program SLT.

Ditemukan indikasi bahwa tidak semua prosedur pendataan tersebut diikuti. Petugas BPS tidak
melaksanakan verifikasi kasat mata secara menyeluruh, melainkan hanya beberapa keluarga/rumah
tangga saja. Terdapat pencacah yang tidak menghubungi ketua RT untuk membuat daftar keluarga/rumah
tangga miskin awal dan ada juga pencacah yang meminta orang lain melakukan tugasnya. Pengisian
formulir PSE05.RT secara langsung dari rumah ke rumah hanya dilakukan terhadap sebagian kecil rumah
tangga. Pertanyaan yang diajukan kepada keluarga/rumah tangga pun tidak lengkap, kebanyakan hanya
dua hingga tiga variabel pertanyaan, seperti pekerjaan, status kepemilikan rumah, dan banyaknya anak
yang sekolah. Hal ini menguatkan adanya indikasi bahwa BPS telah menetapkan “kuota jumlah penerima”
untuk setiap wilayah hingga tingkat RT sebelum pendataan dilaksanakan.

Secara umum, penerima SLT di Provinsi DKI Jakarta adalah keluarga/rumah tangga miskin. Namun, di satu
sisi masih banyak laporan adanya keluarga/rumah tangga yang sama miskinnya tetapi tidak mendapatkan
SLT (undercoverage). Di sisi lain, ditemukan juga beberapa keluarga/rumah tangga mampu yang menerima
SLT (leakage).

Sebagian besar keluarga/rumah tangga penerima mencairkan dana pada 1 Oktober 2005. Umumnya
pelaksanaan penyaluran dana berjalan lancar dan penerima mengambil dana SLT secara langsung dengan
membawa serta KKB tanpa perlu bukti diri. Perkecualian ditemukan di Kelurahan Kalibaru. Para ketua RT
di kelurahan ini menganjurkan penerima untuk membawa kartu tanda penduduk (KTP). Dana diterima
di kantor pos secara utuh tanpa potongan. Beberapa kasus pemotongan dana hanya ditemui di tingkat
masyarakat dan sifatnya sukarela.

Tidak ada ketentuan yang mengatur penggunaan dana SLT. Artinya, penerima dapat menggunakan
dana untuk keperluan apa pun. Dalam kenyataannya, umumnya penerima menggunakan dana SLT
untuk membeli beras dan minyak tanah, membayar listrik dan biaya kontrak rumah, serta melunasi utang.
Selain itu, ada juga beberapa penerima yang menggunakan dana untuk biaya kesehatan dan sekolah.
Hanya sedikit yang memanfaatkan dana untuk modal usaha. Pada saat tim peneliti melakukan kunjungan
lapangan, dana tersebut umumnya telah habis digunakan.

Penerima mengaku senang memperoleh dana SLT, namun banyak yang menilai bahwa jumlah dana yang
diterima terlalu minim. Jumlah bantuan yang mereka anggap memadai adalah Rp150.000–Rp200.000
per bulan. Dasar perhitungan mereka adalah kenaikan pengeluaran harian rumah tangga setelah adanya
kenaikan harga BBM.

Setelah pembagian KKB dan pencairan dana, banyak anggota masyarakat mengajukan keberatan karena
tidak memperoleh SLT. Padahal mereka telah didata atau selama ini termasuk keluarga/rumah tangga
miskin dalam program penanggulangan kemiskinan lainnya, seperti Program Beras untuk Keluarga Miskin
(Raskin). Mereka datang ke berbagai lembaga, mulai dari ketua RT/RW, kantor kelurahan, kecamatan,
kotamadya, hingga BPS. Oleh karena itu, pada 4 Oktober 2005, Gubernur DKI mengeluarkan surat
keputusan tentang pembentukan posko guna mengorganisasi jalur pengaduan masyarakat. Namun, posko
yang dibentuk ini tidak berwewenang untuk menyelesaikan pengaduan. Posko hanya bertugas menampung
pengaduan yang umumnya berupa permohonan untuk didaftar sebagai penerima atau meminta dilakukan
pendataan ulang. Semua bentuk pengaduan tersebut kemudian dilaporkan ke instansi atasannya.
Lampiran SLT- 6. Ringkasan Eksekuti SLT 5 Kab/Kota

RINGKASAN EKSEKUTIF
Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada 1 Oktober 2005 menambah beban hidup masyarakat.
Untuk mengurangi beban tersebut, pemerintah melaksanakan Subsidi Langsung Tunai (SLT) kepada rumah
tangga miskin yang diidentifikasi oleh BPS dengan menggunakan metode uji pendekatan kemampuan
(proxy-means testing). Setiap rumah tangga menerima Rp100.000 per bulan yang diberikan tiga bulan
sekali. Pada pencairan tahap pertama yang direalisasikan sejak 1 Oktober 2005, pemerintah menyediakan
dana sebesar Rp4,6 triliun bagi sekitar 15,5 juta rumah tangga. Penyaluran dana dilaksanakan oleh PT Pos
Indonesia melalui kantor cabangnya.

Laporan ini ditulis berdasarkan hasil kajian cepat (rapid appraisal) SMERU atas pelaksanaan SLT pada 22
November-3 Desember 2005 di lima kabupaten/kota. Kajian ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran
aktual pelaksanaan SLT tahap pertama untuk dijadikan bahan pembelajaran bagi perbaikan penyaluran
tahap berikutnya.

Studi ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan melakukan wawancara mendalam terhadap 93 rumah
tangga penerima, 30 rumah tangga bukan penerima, dan berbagai informan kunci di berbagai tingkat
pemerintahan. Selain itu, dilakukan lima FGD aparat/tokoh kabupaten/kota, 10 FGD aparat/tokoh desa/
kelurahan, dan 12 FGD rumah tangga penerima. Analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif yang
dilengkapi dengan analisis kuantitatif terhadap data penargetan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terbatasnya waktu membuat pelaksanaan SLT terkesan ”dipaksakan”
dan turut memengaruhi keberhasilan pelaksanaan masing-masing tahapan dan keseluruhan program.

Dalam penargetan, ditemui adanya kesalahan sasaran (mistargeting) meskipun dalam tingkat yang relatif
rendah. Hal ini terindikasi dari adanya rumah tangga tidak miskin yang menjadi penerima SLT (leakage)
dan rumah tangga miskin yang belum menjadi penerima (undercoverage).

Beberapa faktor yang diperkirakan melatarbelakangi kesalahan sasaran adalah: 1) tidak meratanya
kapasitas pencacah dan tidak ditunjang oleh pelatihan dan bimbingan yang memadai; 2) cukup tingginya
subyektivitas pencacah dan ketua SLS (Satuan Lingkungan Setempat); 3) prosedur penyaringan rumah
tangga miskin tidak dilakukan secara seksama; 4) pencacah tidak selalu mendatangi rumah tangga yang
dicacah; 5) terdapat indikasi adanya penjatahan jumlah rumah tangga target sampai di tingkat RT; 6)
indikator kemiskinan yang digunakan kurang sensitif dalam menangkap kondisi sosial ekonomi rumah
tangga secara utuh; 7) terdapat pilihan jawaban yang tidak lengkap; 8) konsep keluarga dan rumah tangga
sebagai unit penerima SLT tidak ditetapkan secara tegas.

Analisis kuantitatif menunjukkan bahwa: 1) alokasi penargetan kewilayahan cukup baik (korelasi dengan
jumlah penduduk miskin 65,8%), artinya kecamatan yang jumlah penduduk miskinnya lebih banyak mendapat
KKB yang lebih banyak; 2) penargetan di tingkat rumah tangga menunjukkan hasil yang bervariasi; 3)
pengecekan terhadap isian formulir rumah tangga responden menunjukkan tingkat kesesuaian yang tinggi
(78,3%) tetapi bervariasi antarvariabel dan antarwilayah; dan 4) simulasi terhadap hasil pendataan ulang
responden menunjukan bahwa titik potong (cut-off point) 0,2 yang digunakan BPS untuk menetapkan target
terlalu rendah sehingga rumah tangga yang kurang layak dapat menjadi penerima; 5) terdapat indikasi
kurang selektifnya pendaftaran rumah tangga susulan.

Rumah tangga penerima SLT diberi kartu identitas berupa KKB (Kartu Kompensasi BBM). Penyerahan
KKB kepada rumah tangga penerima bervariasi antarwilayah. Ada yang diserahkan oleh petugas BPS,
ada juga yang melalui pemda setempat atau pencacah. Cara penyerahannya pun berbeda-beda, ada yang
dilakukan dari rumah ke rumah, ada juga yang secara kolektif dengan mengumpulkan penerima di lokasi
tertentu.
Permasalahan yang muncul dalam pendistribusian KKB antara lain: 1) ketidakcocokan identitas penerima
dengan data yang tercantum dalam KKB; 2) kasus penundaan pendistribusian KKB atas permintaan
masyarakat; 3) kasus pungutan uang transpor oleh petugas distribusi kepada penerima; 4) beberapa KKB
yang dibatalkan/ditahan belum diserahkan kepada BPS; 5) informasi tentang KKB yang dibatalkan tidak
selalu diketahui oleh kantor pos.

Dalam pencairan dana SLT ditemukan beberapa hambatan, antara lain: 1) minimnya jumlah petugas
di setiap kantor pos; 2) penerima yang tinggal jauh harus mengeluarkan biaya transpor yang cukup
memberatkan; 3) kecenderungan penerima mengambil dana pada hari pertama pencairan menyebabkan
antrean panjang; 4) tidak jelasnya dana operasional menjadi alasan tidak dilakukannya pelayanan keliling
atau penyediaan pos pelayanan tambahan di beberapa daerah.

Penunjukan PT Pos Indonesia sebagai pelaksana pencairan dana SLT dinilai tepat oleh banyak kalangan
karena berpengalaman luas dalam melayani transfer dana masyarakat, kantornya terdapat di sebagian
besar kecamatan, dan dinilai relatif bersih dari kasus penyelewengan. Di beberapa daerah yang proses
pencairannya berjalan lancar, kantor pos melakukan beberapa hal, yaitu: 1) menetapkan jadwal pencairan
yang disosialisasikan dengan baik; 2) melakukan koordinasi dengan aparat setempat; 3) menambah pos
atau loket pembayaran, atau melakukan jemput bola untuk wilayah yang relatif jauh.

Penerima umumnya mengambil dana SLT secara langsung, kecuali yang sakit atau jompo. Sebagian besar
penerima mengambil dana hanya dengan menunjukkan KKB. Terdapat juga wilayah yang mensyaratkan
adanya bukti diri (KTP) yang tidak selalu dimiliki oleh penerima. Kondisi ini, dimanfaatkan oleh sebagian
aparat desa/kelurahan untuk menarik biaya pembuatan bukti diri yang lebih mahal.

Penerima memperoleh dana dari kantor pos dalam jumlah penuh Rp300.000. Pungutan terjadi di tingkat
masyarakat, baik sukarela maupun tidak, antara lain untuk aparat desa/kelurahan, pencacah, ketua RT,
atau rumah tangga miskin lain yang tidak menerima SLT. Penerima umumnya menggunakan dana untuk
keperluan konsumsi, hanya sebagian kecil yang menggunakan untuk membayar hutang, biaya berobat,
keperluan anak sekolah, tambahan modal, atau disimpan.

Berbagai permasalahan tentang penargetan dan penyaluran muncul terkait dengan lemahnya sosialisasi
program. Lemahnya sosialisasi terjadi di semua tahapan pelaksanaan mulai dari proses pendataan
hingga mekanisme pengaduan. Sosialisasi kepada masyarakat bisa dikatakan tidak dilakukan. Meskipun
sosialisasi untuk jajaran pemda dilakukan, namun agak terlambat dan informasinya hanya tentang rencana
pendataan. Hal ini diperparah dengan tidak tersedianya petunjuk pelaksanaan program yang menyeluruh di
tingkat pemda. Bahkan beberapa surat terkait SLT dari pemerintah pusat yang sebenarnya dapat dijadikan
dasar hukum pemda setempat, seperti Inpres, SK Menko Kesra dan SK Mendagri, terlambat datang atau
bahkan tidak diterima.

Minimnya sosialisasi pada tahap pendataan memang mengurangi munculnya moral hazard dalam
penentuan target. Namun kurangnya sosialisasi secara menyeluruh justru mendorong munculnya salah
persepsi dan kecemburuan sosial.

Secara kelembagaan, di daerah tidak ada yang merasa bertanggung jawab untuk melakukan sosialisasi.
Sedangkan Menkominfo sebagai penanggung jawab sosialisasi nasional, hanya melakukan sosialisasi
melalui media cetak dan media elektronik yang hanya dapat diakses oleh kalangan tertentu. Upaya
penyebaran brosur tentang kriteria rumah tangga miskin pun, selain datangnya terlambat (21 Nopember
2005), jumlahnya terbatas, juga kurang informatif bagi masyarakat umum.

Selain itu, kelembagaan yang menangani pengaduan dan pemantauan program juga tidak berjalan di semua
wilayah meskipun terdapat Surat Mendagri No. 541/2475/SJ dan Surat Menko Kesra No. B.244/Menko/
Kesra/IX/2005. Posko SLT hanya ditemukan di Demak dan Ternate, itupun hanya di tingkat kabupaten/
kota. Keberadaan posko dan mekanisme pengaduan yang tersedia juga tidak diinformasikan secara luas
kepada masyarakat sehingga terjadi variasi jalur pengaduan.
Adanya mistargeting yang diperparah dengan sosialisasi yang tidak memadai, khususnya tentang kriteria
target dan tujuan program, telah memicu munculnya ketidakpuasan masyarakat. Ketidakpuasan masyarakat
diungkapkan dalam berbagai bentuk, mulai dari keluhan, protes atau demonstrasi, melakukan ancaman,
hingga pengrusakan. Pengaduan yang berbentuk aksi protes dan ancaman biasanya ditangani oleh kepala
desa/lurah dibantu oleh aparat keamanan/kepolisian. Di beberapa daerah aparat pemda kabupaten/kota
dan kecamatan serta BPS juga ikut turun tangan. Aksi protes dan ancaman dapat diredam dengan: 1)
dibukanya pendaftaran susulan bagi masyarakat yang merasa berhak; 2) adanya kesediaan penerima
SLT untuk membagi sebagian dana kepada rumah tangga miskin lainnya; 3) ada pejabat yang menjanjikan
bahwa pendaftar susulan akan menerima SLT pada tahap berikutnya.

Secara umum, koordinasi dan komunikasi pelaksanaan SLT dinilai lemah. Indikasinya: 1) dokumen dari
pusat tentang SLT terlambat atau bahkan tidak diterima pemda; 2) pendataan rumah tangga miskin dilakukan
sebelum Inpres No. 12 Tahun 2005 keluar; 3) rakor tingkat menteri Bidang Kesra (16 September 2005)
kurang tepat dalam menafsirkan Inpres tersebut, yakni tugas Depdagri sebagai koordinator pelaksanaan
dan pengawasan berubah menjadi pengawasan dan penanganan pengaduan. Oleh karenanya, salah
satu fungsi pemda sebagai kepanjangan tangan Depdagri untuk mengkoordinasikan pelaksanaan SLT
tidak dilakukan dan pemda merasa tidak dilibatkan secara resmi dalam pelaksanaan SLT. Pemda juga
mempertanyakan komitmen pemerintah pusat atas pelaksanaan politik desentralisasi dan otonomi daerah
karena SLT bersifat sentralistik dan dilaksanakan oleh institusi yang juga sentralistik (BPS dan PT Pos
Indonesia).

Sifat ketertutupan proses pendataan dan penetapan penerima SLT dirasakan bertentangan dengan proses
demokratisasi yang tengah dibangun. Dalam kaitan ini terdapat konflik antara larangan BPS mempublikasikan
identitas responden (UU No. 16 Tahun 1997 tentang statistik) dengan kebutuhan demokrasi untuk
mengkonsultasikan calon penerima SLT dengan publik lokal. Ketika hasil pendataan rumah tangga miskin
menimbulkan keresahan sosial politik barulah pemerintah pusat secara serius meminta pemda melakukan
langkah-langkah “pengamanan”, antara lain melalui instruksi pembentukan posko pengaduan. Dalam hal ini
pemda terposisikan seolah-olah sebagai “pemadam kebakaran” (trouble-shooter).

Kesederhanaan birokrasi penyelenggaraan program SLT yang diserahkan kepada BPS dan Kantor Pos
secara keseluruhan merupakan kunci keefisienan pelaksanaan program ini. Persoalan kemudian muncul
lebih karena kedua pelaksana tersebut adalah instansi yang para karyawannya biasa bekerja dengan
pendekatan teknis, sementara kemiskinan merupakan persoalan yang mengandung sosial, ekonomi, dan
politik, dan memerlukan pendekatan yang komprehensif.

Hasil FGD menunjukkan bahwa secara umum tingkat kepuasan penerima terhadap pelaksanaan SLT adalah
paling tinggi dibanding tingkat kepuasan aparat/tokoh desa/kelurahan dan kabupaten/kota. Hal ini dapat
dimengerti karena penerima merupakan kelompok yang diuntungkan oleh keberadaan program. Baik, penerima
maupun aparat/tokoh di tingkat desa/kelurahan dan kabupaten/kota menilai sosialisasi merupakan aspek yang
paling tidak memuaskan. Sedangkan cara pencairan dana dan pembagian KKB merupakan aspek yang paling
memuaskan. Hasil wawancara mendalam terhadap 30 rumah tangga bukan penerima juga menunjukkan
tingkat kepuasan yang tidak jauh berbeda.

Terdapat perbedaan penilaian terhadap keberadaan SLT. Sebagian aparat kurang setuju karena
menganggapnya sebagai “program yang hanya memberi ikan, bukannya kail”. Sebagian aparat lainnya
setuju sepanjang pelaksanaannya tepat sasaran. Sementara masyarakat penerima merasa terbantu
dengan keberadaan SLT dan mereka menilai keberadaan program tidak memengaruhi etos kerja.

Dengan latar belakang temuan tersebut, berikut adalah beberapa usulan kebijakan untuk pelaksanaan
pencairan tahap berikutnya:

1. BPS dan kantor pos tetap menjadi pelaksana utama SLT di lapangan. Kedua lembaga ini selain
bertanggung jawab kepada instansi atasannya, disarankan juga berkoordinasi atau melaporkan
kegiatannya kepada bupati/walikota di masing-masing wilayah kerjanya.
2. Depdagri perlu menugaskan pemda kabupaten/kota untuk mengkoordinasikan seluruh kegiatan
pelaksanaan dan pengawasan SLT sesuai Inpres No. 12 Tahun 2005. Dalam rangka melakukan tugas
tersebut pemda segera membentuk pos koordinasi (posko) terpadu di semua tingkat pemerintahan
(kabupaten/kota, kecamatan, dan desa/kelurahan) yang melibatkan BPS, kantor pos, dan kepolisian.

3. Tugas pemda dilaksanakan dalam kerangka kegiatan rutin penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Biaya operasional penyelenggarananya dibebankan pada APBD, khusus bagi daerah miskin
disediakan melalui dana alokasi khusus (DAK).

4. Penggunaan konsep keluarga atau rumah tangga miskin harus dipilih secara tegas. Paling tidak,
pada wilayah yang sama digunakan konsep yang seragam.

5. KKB rumah tangga yang tidak layak menerima SLT harus segera dibatalkan oleh posko. Bagi
rumah tangga yang menolak pembatalannya, dapat dilakukan pemblokiran dana di kantor pos.

6. KKB yang dibatalkan harus segera diserahkan kepada BPS kabupaten/kota, dan diinformasikan
kepada kantor pos untuk menghindari penyalahgunaan atau pencairan dana oleh mereka yang
tidak berhak.

7. Segera dilakukan verifikasi oleh posko terhadap rumah tangga penerima susulan. Pelaksanaan
coklit (pencocokan dan penelitian) sebaiknya dilakukan dari rumah ke rumah. Apabila waktu tidak
memungkinkan, dapat dilakukan melalui musyawarah di tingkat desa/kelurahan.

8. Penyaluran KKB rumah tangga penerima susulan oleh posko harus sesuai dengan petunjuk
pendistribusian KKB dari BPS.

9. Nama rumah tangga penerima SLT termasuk hasil pendataan susulan, perlu dipublikasikan di
tempat umum di tingkat SLS. Dalam rangka validasi ketepatan penargetan, masyarakat diberi
kesempatan untuk menyampaikan keberatannya ke posko terdekat dalam waktu tertentu.

10. Dalam rangka memperbaiki sistem koordinasi dan komunikasi, semua dokumen yang dikeluarkan pemerintah
pusat harus dipastikan diterima oleh setiap pemda kabupaten/kota.

11. Pemerintah pusat harus mendorong pelaksanaan sosialisasi program kepada masyarakat melalui
berbagai jalur, yaitu pemerintah daerah, berbagai media elektronik dan cetak, penyebaran brosur
yang lebih informatif, komunikatif, dan tersebar. Materi sosialisasi terutama ditekankan pada tujuan
program, kriteria penerima program, keberadaan dan fungsi posko.

12. Kantor pos perlu membuat jadwal pencairan dana SLT untuk setiap desa/kelurahan secara lengkap
dan jelas, serta diinformasikan secara luas.

13. Kantor pos perlu fleksibel dalam menyalurkan dana seperti menyediakan pos keliling atau membuka
pos pelayanan di tingkat desa/kelurahan.

14. Perlu dipertimbangkan pemberlakuan persyaratan bukti diri seperti KTP saat pencairan dana untuk
tujuan meminimalkan penyimpangan. Untuk itu, perlu didukung oleh kebijakan pembuatan KTP
yang mudah, murah atau gratis.

15. Perlu penegakan hukum yang tegas terhadap setiap bentuk pelanggaran program, seperti pemalsuan
informasi dan pungutan terhadap penerima. Pemberian sanksi dan pemberitaannya akan memberikan
efek jera terhadap masyarakat dan aparat lain.
Lampiran BOS-1. Pedoman Pertanyaan Guru

KAJIAN CEPAT PROGRAM PKPS-BBM BIDANG PENDIDIKAN BANTUAN


OPERASIONAL SEKOLAH (BOS) 2006

Pedoman Pertanyaan

Guru di Sekolah Penerima BOS

A. Sosialisasi kepada Guru:


1. Apakah pernah ada pemberitahuan tentang adanya program BOS? Dari siapa? Kapan? Dimana?
Bagaimana bentuk sosialisasi tersebut? (Menggunakan media apa saja?) Berapa kali? Apa saja
yang dijelaskan?
2. Proses sosialisasi tersebut melibatkan siapa saja?
3. Apakah sekolah mendapatkan juklak dan/atau juknis program BOS?
4. Apakah sosialisasi/pemberitahuan tersebut dinilai sudah cukup dan dapat dimengerti?
5. Kalau belum, bagaimana sosialisasi seharusnya dilakukan? (Bagaimana seharusnya bentuk
sosialisasi, materi, frekuensi, dll?)

B. Sosialisasi kepada orang tua/murid:


1. Apakah sekolah mensosialisasikan program ini kepada orang tua/murid?
2. Apakah guru dilibatkan dalam sosialisasi ini?
3. Kepada siapa saja program ini disosialisasikan? (seluruh/sebagian orang tua, seluruh/sebagian
murid, dll)
4. Bagaimana bentuk sosialisasi yang diberikan? (Menggunakan media apa saja: pertemuan,
pemberitahuan melalui surat, pengumuman melalui mesjid/gereja/…., pamflet, spanduk, majalah
dinding/papan tulis, dll?) Berapa kali? Apa saja yang dijelaskan?
5. Bagaimana reaksi orang tua/ murid mengenai program tersebut?
6. Pendapat? Saran?

C. Keputusan sebagai penerima BOS:


1. Apakah guru dilibatkan dalam pengambilan keputusan untuk menerima dana BOS?
2. Siapa saja yang dilibatkan dalam pengambilan keputusan? Mengapa/alasan keputusan tersebut
diambil? Bagaimana proses pengambilan keputusan? Apakah keputusan merupakan hasil
kesepakatan bersama? Apakah ada yang tidak setuju? Bagaimana penyelesaiannya? Siapa paling
berperan dalam pengambilan keputusan?
3. Apakah responden mengetahui kriteria/dasar penentuan dan prosedur penerima? Jika ya, apa dan
bagaimana?
4. Apakah responden mengetahui adanya surat perjanjian pemberian bantuan antara kepala sekolah
dan manager PKPS-BBM Kab/Kota? Apakah responden mengetahui kewajiban/konsekuensi
sebagai penerima BOS?
5. Apakah responden mengetahui ada sekolah yang menolak menjadi penerima BOS? Apa responden
mengetahui alasan mereka menolak?
6. Pendapat? Saran?

D. Keuangan Sekolah:
1. Apakah sekolah memiliki RAPBS rutin sebelum adanya BOS? Jika ya, sejak kapan? Jika tidak
mengapa? Bagaimana pengaturan APBS selama ini?
2. Siapa saja yang terlibat dalam penyusunan RAPBS?
3. Komponen apa saja yang dimasukan dalam RAPBS? Darimana saja pendapatan sekolah yang
digunakan untuk biaya operasional sekolah?
4. Apakah dana BOS dialokasikan secara terpisah atau termasuk bagian dari anggaran sekolah
secara keseluruhan? (Apakah dana tersebut masuk dalam pos penerimaan di RAPBS?)
5. Apakah ada perubahan dalam pengelolaan RAPBS setelah adanya program BOS?
6. Apakah RAPBS bisa diketahui oleh masyarakat (guru, orangtua, dll)?

E. Penggunaan dana:
1. Apakah responden terlibat dalam pengambilan keputusan mengenai penggunaan dana? Jika ya,
sejauh mana keterlibatan responden?
2. Siapa saja (guru, komite, orang tua murid) yang terlibat dalam pengambilan keputusan penggunaan
dana?
3. Bagaimana mekanisme pengambilan keputusan tentang penggunaan dana? Apakah ada
kesepakatan bersama? Apakah ada yang tidak setuju? Bagaimana penyelesaiannya?
4. Siapa pengelola dana BOS? (Misalnya melakukan transaksi pembayaran, dll)
5. Bagaimana pengaruh BOS terhadap guru? (kualitas, kesejahteraan)
6. Apakah ada siswa miskin disekolah ini? Bagaimana sekolah menentukan kriteria murid miskin/non
miskin?
7. Apakah sekolah membebaskan iuran sekolah seluruh siswa miskin yang ada disekolah ini setelah
adanya BOS?
8. Apakah iuran sekolah untuk murid non miskin juga dikurangi/dibebaskan setelah adanya BOS?
9. Menurut pengetahuan responden, dana BOS digunakan untuk apa saja? Jelaskan!
10. Pendapat? Saran?

F. Sistem pelaporan dan monitoring:


1. Apakah sekolah melaporkan penggunaan dana BOS? Kepada siapa laporan itu diberikan? Kapan
laporan itu disampaikan?
2. Bagaimana tanggapan responden terhadap system pelaporan yang dilaksanakan?

G. Hasil dan manfaat program:


1. Apakah dampak dari penggunaan dana terhadap kualitas pendidikan yang disediakan sekolah
ini? (Misalnya terhadap jam belajar, penambahan fasilitas, ketersediaan buku, ranking sekolah,
prestasi siswa, dll).
2. Bagaimana dampak BOS terhadap tingkat drop out dan akses masyarakat terhadap sekolah?

H. Pengaduan dan penyelesaian masalah:


1. Apakah responden pernah mendengar atau mengetahui adanya permasalahan atau penyimpangan
terkait pelaksanaan program BOS? Apa saja permasalahan yang muncul tersebut? Apakah
responden mengetahui bagaimana penyelesaian masalah tsb?
2. Apakah responden mengetahui kemana masyarakat melakukan pengaduan jika mereka merasa
tidak puas?
3. Bagaimana mekanisme pengaduannya?
4. Bagaimana pendapat responden tentang mekanisme pengaduan tersebut? Apakah sudah tepat?
Bagaimana seharusnya?
5. Apakah responden mengetahui kasus pengaduan yang terjadi dilingkungan responden? Apakah
responden mengetahui bagaimana penyelesaian masalah tsb?
I. Usulan/saran:
1. Program apa saja yang pernah dilaksanakan disekolah ini? Bagaimana program tersebut jika
dibandingkan dengan program BOS? (Lebih baik/buruk?) Mengapa?
2. Bagaimana pelaksanaan program BOS menurut pendapat anda? (Apakah program BOS
membantu untuk meningkatkan akses pendidikan bagi siswa miskin dan mengembangkan kualitas
pendidikan?) Apa yang dinilai sudah baik dan apa saja yang masih kurang? Mengapa?
3. Apa usulan anda untuk memperbaiki program ini?
Lampiran BOS-2. Pedoman Pertanyaan Komite Sekolah

KAJIAN CEPAT PROGRAM PKPS-BBM BIDANG PENDIDIKAN BANTUAN


OPERASIONAL SEKOLAH (BOS) 2006

Pedoman Pertanyaan

Komite Sekolah Penerima BOS

A. Sosialisasi kepada komite sekolah:


1. Apakah pernah ada pemberitahuan tentang adanya program BOS? Dari siapa? Kapan? Dimana?
Bagaimana bentuk sosialisasi tersebut? (Menggunakan media apa saja?) Berapa kali? Apa saja
yang dijelaskan?
2. Proses sosialisasi tersebut melibatkan siapa saja?
3. Apakah sekolah mendapatkan juklak dan/atau juknis program BOS?
4. Apakah sosialisasi/pemberitahuan tersebut dinilai sudah cukup dan dapat dimengerti?
5. Kalau belum, bagaimana sosialisasi seharusnya dilakukan? (Bagaimana seharusnya bentuk
sosialisasi, materi, frekuensi, dll?)

B. Sosialisasi kepada orang tua/murid:


1. Apakah sekolah mensosialisasikan program ini kepada orang tua/murid?
2. Apakah komite sekolah dilibatkan dalam sosialisasi ini?
3. Kepada siapa saja program ini disosialisasikan? (seluruh/sebagian orang tua, seluruh/sebagian
murid, dll)
4. Bagaimana bentuk sosialisasi yang diberikan? (Menggunakan media apa saja?) Berapa kali? Apa
saja yang dijelaskan?
5. Bagaimana reaksi orang tua/ murid mengenai program tersebut?
6. Pendapat? Saran?

C. Keputusan sebagai penerima BOS:


1. Apakah komite sekolah dilibatkan dalam pengambilan keputusan untuk menerima dana BOS?
2. Siapa saja yang dilibatkan dalam pengambilan keputusan? Mengapa/alasan keputusan tersebut
diambil? Bagaimana proses pengambilan keputusan? Apakah keputusan merupakan hasil
kesepakatan bersama? Apakah ada yang tidak setuju? Bagaimana penyelesaiannya? Siapa paling
berperan dalam pengambilan keputusan?
3. Apakah responden mengetahui kriteria/dasar penentuan dan prosedur penerima? Jika ya, apa dan
bagaimana?
4. Apakah responden mengetahui adanya surat perjanjian pemberian bantuan antara kepala sekolah
dan manager PKPS-BBM Kab/Kota? Apakah responden mengetahui kewajiban/konsekuensi
sebagai penerima BOS?
5. Apakah responden mengetahui ada sekolah yang menolak menerima BOS? Apa responden
mengetahui alasan mereka menolak?
6. Pendapat? Saran?

D. Keuangan Sekolah:
1. Apakah sekolah memiliki RAPBS rutin sebelum adanya BOS? Jika ya, sejak kapan? Jika tidak
mengapa? Bagaimana pengaturan APBS selama ini?
2. Siapa saja yang terlibat dalam penyusunan RAPBS?
3. Komponen apa saja yang dimasukan dalam RAPBS? Darimana saja pendapatan sekolah yang
digunakan untuk biaya operasional sekolah?
4. Apakah dana BOS dialokasikan secara terpisah atau termasuk bagian dari anggaran sekolah
secara keseluruhan? (Apakah dana tersebut masuk dalam pos penerimaan di RAPBS?)
5. Apakah ada perubahan dalam pengelolaan RAPBS setelah adanya program BOS?
6. Apakah RAPBS bisa diketahui oleh masyarakat (guru, orangtua, dll)?
7. Apakah sekolah memiliki rekening sekolah? Sejak kapan? Atas nama siapa rekening tersebut?
Untuk keperluan apa saja rekening tersebut dibuat?

E. Penyaluran dana:
1. Siapa lembaga penyalur BOS?
2. Kemana dana BOS dikirimkan? Atas nama siapa?
3. Kapan sekolah menerima dana BOS?
4. Apakah dana diterima tepat waktu? Jika tidak, kenapa?
5. Berapa jumlah dana BOS yang diterima?
6. Apakah dana yang diterima sesuai dengan jumlah murid sekolah yang ada/diajukan? Jika tidak,
kenapa?
7. Apakah dana tersebut diterima secara utuh?
8. Apakah ada biaya administrasi? Siapa yang mengenakan biaya tsb? Berapa jumlahnya? Untuk
apa?

F. Pengambilan Dana:
1. Bagaimana proses pengambilan dana? Siapa saja yang mengambil dana?
2. Apakah ada syarat pengambilan dana BOS dari lembaga penyalur?
3. Apakah ada syarat pengambilan dana BOS dari lembaga non penyalur (Misalnya dinas setempat,
KCD atau pihak lainnya)
4. Bagaimana periode pengambilan dana?
5. Apakah ada masalah dengan pengambilan dana? (Misalnya tempat/lokasi, uang transport, teknis
pengambilan, dll)
6. Pendapat? Saran?

G. Penggunaan dana:
1. Apakah komite sekolah terlibat dalam pengambilan keputusan mengenai penggunaan dana? Jika
ya, sejauh mana keterlibatan komite sekolah dalam pengambilan keputusan tersebut?
2. Siapa saja yang terlibat dalam pengambilan keputusan untuk penggunaan dana?
3. Bagaimana mekanisme yang digunakan untuk memutuskan penggunaan dana? Apakah ada
kesepakatan bersama? Apakah ada yang tidak setuju? Bagaimana penyelesaiannya?
4. Siapa pengelola dana BOS? (Misalnya melakukan transaksi pembayaran, dll)
5. Apakah dengan adanya dana tersebut berpengaruh terhadap kesejahteraan guru? (Apakah ada
perubahan fasilitas/uang kesejahteraan yang diberikan kepada guru setelah adanya program BOS
seperti tambahan uang transport, honor, dll?)
6. Apakah ada siswa miskin disekolah ini? Apakah sekolah membebaskan iuran sekolah seluruh
siswa miskin yang ada disekolah ini?
7. Bagaimana sekolah menentukan kriteria murid miskin/non miskin?
8. Apakah iuran sekolah untuk murid non miskin juga dikurangi/dibebaskan?
9. Selain digunakan untuk mengurangi/membebaskan iuran sekolah, dana BOS digunakan untuk
apa saja? Apa alasannya? (lihat daftar rincian penggunaan BOS)
10. Pendapat? Saran?

H. Sistem pelaporan dan monitoring:


1. Bagaimana bentuk pertanggungjawaban dana yang diberikan? Kepada siapa? Apakah ada laporan
keuangan?
2. Kapan laporan pertanggungjawaban keuangan tersebut disampaikan?
3. Apakah sekolah melakukan monitoring terhadap program BOS (Monitoring internal) dan bagaimana
hasilnya?
a. Apakah ada perubahan dalam tingkat partisipasi dari siswa miskin dibandingkan sebelum
ada BOS?
b. Apakah ada sistem yang memonitor kualitas pendidikan? Apa saja indikator untuk menilai
kualitas pendidikan?
c. Apakah sekolah melaporkan hasil program BOS disekolah ini? Kepada siapa laporan itu
diberikan?

I. Hasil dan manfaat program:


Apakah dampak dari penggunaan dana terhadap kualitas pendidikan yang disediakan sekolah ini? (Misalnya
terhadap jam belajar, penambahan fasilitas, ketersediaan buku, ranking sekolah, prestasi siswa, dll)

J. Pengaduan dan penyelesaian masalah:


1. Apakah responden pernah mendengar atau mengetahui adanya permasalahan atau penyimpangan
terkait pelaksanaan program BOS? Apa saja permasalahan yang muncul tersebut? Apakah
responden mengetahui bagaimana penyelesaian masalah tsb?
2. Apakah responden mengetahui kemana masyarakat melakukan pengaduan jika mereka merasa
tidak puas?
3. Bagaimana mekanisme pengaduannya?
4. Bagaimana pendapat responden tentang mekanisme pengaduan tersebut? Apakah sudah tepat?
Bagaimana seharusnya?
5. Apakah responden mengetahui kasus pengaduan yang terjadi dilingkungan responden? Apakah
responden mengetahui bagaimana penyelesaian masalah tsb?

K. Usulan/saran:
1. Program apa saja yang pernah dilaksanakan disekolah ini? Bagaimana program tersebut jika
dibandingkan dengan program BOS? (Lebih baik/buruk?) Mengapa?
2. Bagaimana pelaksanaan program BOS menurut pendapat anda? Apa yang dinilai sudah baik
dan apa saja yang masih kurang? (Apakah program BOS membantu untuk meningkatkan akses
pendidikan bagi siswa miskin dan mengembangkan kualitas pendidikan?) Mengapa?
3. Apa usulan anda untuk memperbaiki program BOS?
Lampiran BOS- 3. Pedoman Pertanyaan Orang Tua Murid

KAJIAN CEPAT PROGRAM PKPS-BBM BIDANG PENDIDIKAN BANTUAN


OPERASIONAL SEKOLAH (BOS) 2006

Pedoman Pertanyaan

Orangtua Murid Sekolah Penerima BOS

Peneliti yang hadir: ____________________________________________


Pewawancara: ___________________________

Pencatat hasil wawancara: ____________________________

Tanggal wawancara: ___________________ Waktu: ______s/d_______

Tempat wawancara: ____________________________________________

Pihak lain yang hadir: ___________________________________________

Data Responden

Nama: _________________

Umur:_____tahun

Jenis kelamin:______

Hubungan responden dengan murid penerima bantuan: _______________

Pendidikan:______________________

Jenis Pekerjaan:_________________

Alamat:_____________________________________________________________

Kategori Murid: (1) M_nonBKM; (2) M-BKM; (3) TM-nonBKM; (4) TM_BKM

Data keluarga
1. Berapa jumlah anggota rumah tangga ini?

2. Berapa jumlah anak yang masih sekolah? Apakah ada yang masih sekolah di SD/ SMP? Apakah ada
usia SD (7 – 12), SMP (13 – 15) yang drop out? Mengapa? Kapan?

3. Siapa saja yang telah bekerja? Apa jenis pekerjaannya?

4. Berapa besar penghasilan rumah tangga ? Siapa saja yang memberi kontribusi?

5. Adakah bantuan dari pemerintah atau pihak lain yang biasa ibu/bapak terima selama 1 tahun terakhir
ini (BKM, Raskin, SLT, kartu sehat, pinjaman bergulir, dll)? Apa saja, dari mana, dan dalam bentuk
apa? Sekarang masih diterima atau tidak? Kalau ada yang tidak, mengapa?
INGAT!!! BOS dianggarkan mulai Juli 2005; BOS dicairkan mulai September/
Oktober 2005

A. Sosialisasi dan Pemahaman tentang Program BOS

1. Dari mana ibu/bapak pertama kali mengetahui tentang program BOS?

2. Apakah pernah ada pemberitahuan/sosialisasi tentang program BOS? Dari siapa? Kapan?
Dimana? Bagaimana caranya? Apa saja yang dijelaskan?

3. Apakah ibu/bapak pernah diundang oleh pihak sekolah dan mendapatkan penjelasan tentang
program BOS? Kapan? Apa saja yang dijelaskan?

4. Apakah sosialisasi /pemberitahuan tersebut dinilai sudah cukup dan dapat dimengerti? Apakah
sudah menjangkau semua orangtua murid penerima program?

5. Kalau belum, bagaimana sosialisasi seharusnya dilakukan?

6. Apa yang diharapkan ibu/bapak dari program BOS? Apakah sesuai dengan kenyataan?

B. Partisipasi dan Transparansi

1. Apakah ibu/bapak mengetahui berapa besar dana BOS yang diterima sekolah?

2. Apakah ibu/bapak mengetahui berapa besar dana BOS yang dialokasikan untuk setiap murid?

3. Apakah ibu/bapak mengetahui digunakan untuk apa saja dana BOS yang diterima oleh sekolah?
Darimana ibu/bapak mengetahuinya?

4. Siapa saja yang berperan dalam memutuskan pengalokasian dana BOS tersebut?

5. Apakah ibu/bapak pernah diundang oleh sekolah dalam rangka menyusun Rencana Anggaran
Penerimaan dan Belanja Sekolah (RAPBS)? Sejauh mana keterlibatan ibu/bapak dalam
penyusunan RAPBS tersebut?

6. Menurut pendapat ibu/bapak tepatkah penggunaan dana BOS tersebut? Mengapa? Sebaiknya
bagaimana?

7. Apakah ada penyimpangan dalam penggunaan dana BOS? Jika ada, bagaimana bentuk
penyimpangan tersebut? Dari mana mengetahuinya? Bagaimana reaksi guru/komite/orang tua?

C. Manfaat BOS bagi Orangtua dan Murid

1. Apakah ibu/bapak merasakan manfaat dari adanya program BOS? Apa saja manfaatnya?
2. Apakah setelah adanya BOS biaya sekolah anak dan pungutan lainnya berkurang? Jika ya, biaya dan
pungutan apa saja dan berapa besarnya? Biaya atau pungutan apa saja yang dinilai memberatkan?
Mengapa?

Isi tabel di bawah ini, rinci jenis dan besarnya biaya sekolah sebelum dan setelah ada BOS! Jika
rumah tangga memiliki anak yang bersekolah di SD dan atau SLTP lebih dari satu orang (di luar murid
sekolah sampel), tanyakan masing-masing untuk satu anak yang duduk di kelas tertinggi! Untuk murid
sekolah sample harus murid kelas 4,5,6 SD atau 8,9 SMP.
Nama SD/sederajat:___________________ Kelas: 4 / 5 / 6 (lingkari)

TA 2005/2006
TA Keterangan
Jenis Biaya/Pungutan Periode
No. 2004/2005 (1) sekolah
Sekolah Bayar Setelah BOS
(Rp) Sebelum (2) pribadi
BOS (Rp) (Rp)
1. SPP
2. BP3/Komite
3. Uang buku Pelajaran
Lembar Kerja
4.
Siswa/LKS
5. Uang pendaftaran
6. Uang Ujian akhir
7. Uang ujian semester
8. Ekstrakurikuler
9. Uang Bangunan
10. Uang masuk
11. Uang rekreasi
12. Uang perpisahan
13. Baju Seragam
14. Uang transpor
15.
16
17

Nama SLTP/sederajat:____________________ Kelas: 8/9

TA TA 2005/2006 Keterangan
Jenis Biaya/Pungutan Perioda
No. 2004/2005 Sebelum Setelah BOS (1) sekolah
Sekolah Bayar
(Rp) BOS (Rp) (Rp) (2) pribadi
1. SPP
2. BP3/Komite
3. Uang buku Pelajaran
Lembar Kerja
4.
Siswa/LKS
5. Uang pendaftaran
6. Uang Ujian akhir
7. Uang ujian semester
8. Ekstrakurikuler
9. Uang Bangunan
10. Uang masuk
11. Uang rekreasi
12. Uang perpisahan
13. Baju Seragam
14. Uang transpor
15.
16
17
4. Apakah dari dana BOS ada yang diterima orangtua atau murid dalam bentuk tunai? Berapa?
Untuk apa?

5. Menurut pendapat ibu/bapak, apakah ada perubahan dalam proses belajar mengajar anak di
sekolah setelah adanya BOS? Apa saja bentuk perobahan tersebut? Bagaimana implikasinya
terhadap kualitas pendidikan anak-anak ibu/bapak?

6. Adakah perobahan jumlah dan jenis fasilitas sekolah setelah adanya BOS? Fasilitas apa saja dan
berapa banyak?

7. Bagaimana tingkat kehadiran guru di sekolah setelah adanya BOS?

8. Bagaimana pengaruh program BOS terhadap kelangsungan sekolah bagi anak yang berasal dari
keluarga miskin di tempat tinggal ibu/bapak?

9. Apakah keberadaan BOS mempengaruhi keputusan ibu/bapak untuk kelangsungan sekolah


anak?

10. Apakah keberadaan program BOS mempengaruhi kesadaran masyarakat dalam berkontribusi
terhadap masalah pendidikan?

D. Pengaduan dan penyelesaian masalah


1. Apakah ibu/bapak pernah mendengar atau mengetahui adanya permasalahan atau penyimpangan
terkait pelaksanaan program BOS? Apa saja permasalahan yang muncul tersebut?

2. Apakah ibu/bapak sendiri pernah menyampaikan permasalahan atau pengaduan terkait program
BOS? Permasalahan tentang apa?

3. Apakah pada saat menyampaikan pengaduan mengalami kesulitan? Apa saja kesulitan yang
dihadapi?

4. Kemana atau kepada siapa ibu/bapak pergi untuk menyampaikan pengaduan tersebut? Bagaimana
tanggapan atas pengaduan tersebut? Berapa lama pengaduan ditanggapi? Apakah pengaduan
tersebut telah diproses? Bagaimana hasilnya?

5. Bagaimana menurut pendapat ibu/bapak tentang sistem dan prosedur penanganan terhadap
masalah atau komplain? Apakah sudah tepat? Bagaimana seharusnya?

6. Apakah ibu/bapak memiliki permasalahan terkait dengan program BOS, yang dirasakan tidak perlu
diadukan? Apa saja? Jelaskan!

E. Usulan/saran

1. Bagaimana pendapat ibu/bapak terhadap pelaksanaan program BOS secara keseluruhan?


Apakah benar meningkatkan akses anak-anak dari keluarga miskin untuk bersekolah dan dapat
meningkatkan mutu pendidikan?

2. Selain BOS, program/bantuan apa saja yang diterima anak bapak/ibu

a. Beasiswa BKM: kapan, berapa besarnya, bagaimana manfaatnya dibandingkan dengan program
BOS?

b. Beasiswa lain: dari mana, berapa besarnya , apakah masih terima, bagaimana manfaatnya
dibandingkan dengan program BOS?

c. Bantuan lainnya, apa saja, kapan, apakah masih terima, dari mana, bentuknya apa, perbandingan
dengan BOS?
3. Aspek apa saja dari program BOS ini yang dinilai sudah baik? Apa yang dinilai belum baik atau
masih kurang? Mengapa?

4. Apa usulan ibu/bapak untuk memperbaiki program BOS?


Lampiran BOS- 4. Panduan FGD

PANDUAN FGD EVALUASI PROGRAM BOS

Setelah melakukan wawancara di tingkat kabupaten/kota dan di tingkat sekolah, masing-masing tim
menyelenggarakan 2 FGD di setiap kabupaten/kota, yaitu:
1. FGD dengan stakeholders kabupaten (FGD Kabupaten)
2. FGD dengan kepala sekolah dan komite sekolag (FGD Sekolah)

Secara umum FGD ini ditujukan untuk menggali persepsi peserta FGD mengenai kinerja pelaksanaan
program BOS dan alternatif penyempurnaan program di masa yang akan datang. Disamping itu, FGD
juga ditujukan untuk mendorong komunikasi lintas pelaku dalam pelaksanaan program.

Secara khusus, FGD akan mendiskusikan:


1. Kinerja pelaksanaan program BOS, yaitu:
a) permasalahan apa yang muncul dalam pelaksanaan program,
b) alternatif dan rekomendasi untuk mengatasi masalah tersebut, dan
c) tingkat kepuasaan terhadap pelaksanaan program;
2. Manfaat program BOS bagi peningkatan akses masyarakat miskin terhadap pendidikan dasar,
yaitu:
a) keunggulan dan kelemahan program (dibandingkan program yang lalu – beasiswa) dalam
meningkatkan akses masyarakat miskin untuk mendapatkan pendidikan tingkat dasar (SD dan
SMP)
b) tingkat manfaat program BOS bagi peningkatan akses masyarakat miskin terhadap pendidikan
dasar

Peserta FGD berjumlah antara 8-12, antara lain terdiri dari:


A. FGD Kabupaten:

1. Pemda – Asisten Bidang Kesra


2. Bappeda – Bidang Sosial-Budaya
3. Dinas Pendidikan
4. Kandep Agama
5. Tim PKPS BBM
6. DPRD yang membidangi sektor pendidikan
7. Dewan Pendidikan
8. Kepala cabang dinas pendidikan kecamatan atau penilik sekolah
8. LSM yang relevan
9. Ormas, Organisasi Keagamaan, Organisasi Profesi yang relevan (misalnya: Muhammadiyah,
NU, Gereja, PGRI, BMPS-Badan Musyawarah Perwakilan Sekolah Swasta, dsb.)
10. Media Masa Lokal

B. FGD Sekolah:

1. Kepala Sekolah dari sekolah sampel (diutamakan) dan non-sampel penerima BOS (5 orang)
2. Wakil komite sekolah (orang tua) dari sekolah sampel (diutamakan) dan non-sampel penerima
BOS (5 orang)
3. Tokoh masyarakat yang memahami dan menaruh perhatian pada pendidikan
Proses pelaksanaan FGD:
1. Pembukaan: Fasilitator memberikan penjelasan mengenai:
a. Tujuan diskusi, yaitu “mendapatkan masukan dari peserta mengenai Program BOS, sebagai
masukan untuk penyempurnaan program di masa yang akan datang”;
b. Topik yang akan didiskusikan dan waktu yang dibutuhkan;
c. Tata cara diskusi dan alat/perlengkapan yang akan digunakan, dengan menekankan pada aspek
partisipasi semua peserta dan keterbukaan.
2. Diskusi permasalahan dan alternatif solusi:
• Diskusi dimulai dengan meminta peserta untuk menuliskan permasalahan-permasalahan yang
dihadapi dalam pelaksanaan program BOS dan menempelkan di sticky cloth;
• Kelompok-kelompokkan jawaban yang sejenis, diskusikan dan perdalam permasalahan yang
dikemukakan, sampai ada kesepakatan kelompok mengenai permasalahan utama berdasarkan
tingkat permasalahan. (catatan: gali isu-isu berdasarkan daftar tahapan pada butir 3 di
bawah!);
• Minta peserta untuk menuliskan alternatif untuk mengatasi permasalahan tersebut (yang sudah
didiskusikan) dan menempelkan di sticky cloth;
• Diskusikan dan perdalam alternatif yang dikemukakan sampai dicapai kesepakatan.
3. Penilaian tingkat kepuasan terhadap pelaksanaan program:
• Bagikan form penilaian tingkat kepuasan
• Minta peserta untuk memberi penilaian tingkat kepuasan pada form tersebut terhadap:
a. Sosialisasi program: cara/metode, waktu, bahan-bahan (pedoman/juklak/juknis/leaflet)
b. Proses seleksi, alokasi dan verifikasi: ketepatan, transparansi
c. Penyaluran dana: cara penyaluran; waktu penyaluran
d. Pemanfaatan dana: ketepatan alokasi dana, transparansi penggunaan
e. Pengaduan dan penanganan masalah
f. Sistem pelaporan: beban waktu, kesederhanaan isi laporan
g. Sistem monitoring: internal sekolah; internal program; eksternal
h. Kelembagaan (ketepatan instansi yang terlibat dalam pengelolaan program)
Dalam skala 0 (sangat tidak puas) sampai 10 (sangat puas) – Jika tidak tahu bisa dikosongkan
• Lihat kecenderungan umum yang dihasilkan dan diskusikan sampai tercapai kesepakatan
4. Diskusi manfaat program bagi masyarakat miskin:
• Minta pendapat peserta mengenai kelebihan dan kekurangan dari program BOS, dibandingkan
program yang lalu (khususnya program Beasiswa -BKM) bagi masyarakat masyarakat miskin;
• Minta mereka menuliskan kelebihan dan kekurangan di kertas dengan warna yang berbeda;
• Kelompok-kelompokkan jawabannya dan diskusikan urutan berdasarkan tingkatan kekuatan
dan kelemahannya.
5. Penilaian tingkat manfaat program bagi masyarakat miskin:
• Minta penilaian peserta terhadap manfaat program BOS bagi masyarakat miskin, dalam rangka
meningkatkan akses terhadap pendidikan dasar (9 tahun) – dalam skala 0 (tidak ada manfaatnya)
sampai 10 (sangat bermanfaat).

Pembagian tugas dalam FGD:


1. Fasilitator: Memimpin jalannya diskusi
2. Asisten Fasilitator: Membantu fasilitator untuk membagikan alat-alat dan memancing pendalaman
isu
3. Notulen 1: Mencatat hasil diskusi, khususnya hasil akhir yang dituliskan peserta diskusi.
4. Notulen 2: Mencatat jalannya diskusi dan pendapat-pendapat yang dikemukakan selama diskusi.

Perlengkapan yang dibutuhkan:


1. Sticky cloth, selotip kertas dan paku payung (atau pin)
2. Kertas metaplan beberapa warna, ukuran dan Spidol
Lampiran BOS- 5. Laporan FGD Tingkat Kabupaten

LAPORAN FGD
DISKUSI PROGRAM BOS

Kabupaten : Lebak
Jenis FGD : FGD Kabupaten
Hari/Tanggal : Senin, 27 Pebruari 2006
Waktu : 14.05 – 15.55
Tempat : Aula Dinas Pendidikan Kabupaten Lebak
Jumlah peserta : 14 Pria: 13 Wanita: 1
Fasilitator : 1. Sri Budiati .…………………..; 3. …….……………..

A. Masalah dan Alternatif Solusi Penyempurnaan Program BOS

Hal Masalah/kendala yang dihadapi Usulan/rekomendasi

1. Alokasi dan - Besarnya dana yang dialokasikan tidak - Dilakukan verifikasi data
Pengelolaan sesuai dengan data sekolah - Ketentuan mengenai
Dana BOS - Ketentuan jenis penggunaan dana tidak penggunaan dana lebih
(penetapan persis sesuai dengan kebutuhan sekolah. fleksibel dan disesuaikan
besarnya dana, Ada sekolah yang masih butuh untuk dengan kebutuhan nyata
penyaluran dan infrastruktur. sekolah
penggunaan - Waktu penyaluran tidak tentu. Menimbulkan - Adanya kepastian waktu
dana). kesulitan dan ketidakpastian. penyaluran dana.
- Masalah pembayaran pajak masih - Tersedianya dana
simpangsiur. operasional yang memadai.
- Tidak tersedianya dana operasional yang
sifatnya taktis di tingkat dinas (operasional
UPTD) dan sekolah (transport guru untuk
pembelian barang), sehingga mengambil
dari dana BOS.
- Sebagian sekolah yang penerimaannya
berkurang karena adanya dana BOS
mengalami kesulitan untuk memnuhi
kebutuhan sekolah.

2. Sumber Kendala wilayah: - Benar-benar harus melibatkan


Daya Manusia - Letak geografis yang luas dan sulit dewan guru dan komite
(terkait langsung SDM di sekolah: sekolah, terutama di tingkat
dengan masalah - Sebagian kepala sekolah tidak terbuka SD masih banyak yang
partisipasi dan dengan guru. abaikan peran komite
transparansi) - RAPBS dibuat secxara terburu-buru sekolah.
- Penggunaan jasa pribadi untuk pembuatan - Penyelenggaraan pelatihan
RAPBS. tentang pembuatan RAPBS
Partisipasi: dengan melibatkan pihak
- Turunnya kesadaran masyarakat untuk sekolah (kepala dan
berpartisipasi dalam pembangunan bendahara) serta komite
pendidikan sekolah.
- Penyususnan RAPBS tidak
dilakukan secara terburu-
buru.
Hal Masalah/kendala yang dihadapi Usulan/rekomendasi

3. Sosialisasi - Adanya himbauan bupati bahwa sekolah - Semua pihak yang terkait
harus membebaskan pungutan sekolah dengan pendidikan harus
sehingga pihak sekolah walaupun masih dilibatkan dalam sosialisasi.
membutuhkan tambahan biaya operasional - Penyelenggaraan sosialisasi
tidak berani memungut biaya karena ada dibawah satu komando
khawatir ada sanksi. yang terkoordinir dan
- Iklan tentang BOS memalui televisi tidak terjadwal.
tapat. Masyarakat menganggap program
BOS adalah sekolah gratis.

4. Moinitoring - Pelaksanaan monitoring tidak terkoordinis - Preningkatan peranan tim


dan Evaluasi dan tidak terjadwal dengan baik. monitoring di setiap tingkatan
- Hasil monitiring tidak dijadikan bahan untuk
mengoreksi pelaksanaan di lapangan

5. Keberadaan - Seringkali sekolah didatangi oknum terutama - Adanya ketegasan dan


oknum yang mengatasnamakan pers dan LSM keberanian dari pihak sekolah
memanfaatkan untuk tidak memberikan dana
BOS kepada oknum.
- Pelibatan aktif penegak
hukum untuk cegah
munculnya oknum.
Mengenai kelembagaan, pengelolaan dana BOS melalui joint manajement sudah tepat, perlu peningkatan
komitmen dari pihak yang dilibatkan.Manfaat Program BOS bagi Masyarakat Miskin

Kekuatan (+) Kelemahan (-) Upaya atasi kelemahan

- Orangtua merasa - Ketergantungan orangtua dan - Orang tua tetap diminta


terbantu dan sekolah ah dalam pembiayaan berkontribusi dalam
diringankan dari beban pendidikan semakin besar pembiayaan pendidikan
biaya sekolah - Partisipasi masyarakat dan anak-anaknya dengan
- Menumbuhkan budaya gotongroyong dalam mempertimbangkan
rasa optimisme pengelolaan pendidikan klasifikasi kemampuan
orangtua untuk tetap melemah. masyarakat.
mempertahankan - Tidak adil, orangtua yang kaya - Dikembangkan sistem
anak-anaknya dapat diperlakukan sama dengan yang sibsidi silang. Bagi
mengenyak pendidikan miskin. orangtua yang mampu
SD dan SMP tetap dibebani SPP
- Anak-anak dapat sesuai kemampuannya
memperoleh pelayanan disamping adanya dana
pendidikan yang lebih BOP.
meningkat dengan - Sekolah diberi
lebih banyaknya kewenangan penuh
kegiatan dan sarana dalam mengelola
KBM di sekolah dana BOS dengan
- Mengurangi angka memprioritaskan siswa
drop out peserta didik miskin.
- Meningkatkan angka
partisipasi melanjutkan
ke tingkat SMP

Tingkat Manfaat Program BOS bagi Masyarakat Miskin

Rata- Kesepa-
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
rata katan

Tingkat
manfaat dalam
meningkatkan
akses
- - - - - - 3 - - 11 - 8,4
pendidikan
dasar bagi
masyarakat
miskin

Catatan: Peserta diskusi yang menilai tingkat manfaat program BOS bagi masyarakat miskin 6
adalah berasal dari KTP, Bawasda dan Kepala UPTD Dinas Pendidikan Kecamatan.
Lampiran BOS- 6 Laporan FGD Sekolah

Kabupaten/Kota : Kabupaten Lebak

Jenis FGD : FGD Sekolah


Hari/Tanggal : Selasa 28 Februari 2006
Waktu : Pk.14.30-16.15
Tempat : SDN Muara Ciujung Timur 4&12 Jl. Ir H Djuanda No 111
Telp. (0252) 201663
Jumlah peserta : orang Pria: orang Wanita: orang
Fasilitator : Nina Toyamah

A. Masalah dan Alternatif Solusi Penyempurnaan Program BOS

No Hal Masalah/kendala yang dihadapi Usulan/rekomendasi

1 Penggunaan 1. penyusunan RAPBS tidak ssesuai dengan 1. ada kelonggaran dalam


dana kebutuhan penggunaan dana sesuai
2. sekolah harus mendukung program kebutuhan yang bisa
pemerintah daerah sementara dana BOS dipertanggungjawabkan
bukan untuk itu 2. harus ada sosialisasi dari
3. jenis dan waktu penggunaan dana sering kantor pajak
tidak sesuai RAPBS 3. aturan penggunaan dana
4. adanya dana operasional sekolah yang untuk salafiyah dibedakan
lebih tinggi, seperti pajak, materai, oknum 4. dana BOS dialokasikan
5. sulitnya membeli barang untuk rehab untuk pembuatan buku
karena kurangnnya dana dari BOS paket agar sama/seragam
6. dana operasional sekolah lebih tinggi dari
dana BOS
7. penggunaan dana terpaku pada anggaran
8. alokasi RAPBS tidak sesuai penggunaan
dana

2 Penyaluran 1. pencairan dana BOS terlambat sementara 1. penghitungan dana bos


dana kegiatan penyelenggaraan di MTsN dihitung berdasarkan
dibiayai oleh BOS, dan siswa gratis jumlah rombel (rombongan
2. pencairan dana BOS belum tepat waktu belajar) jika dibandingkan
3. pencairan dana BOS lambat dengan per siswa seperti
4. penyaluran dana BOS harus tiap bulan sekarang
2. ada aturan di pusat tentang
pengalihan jumlah alokasi
mutasi anak

3 Sosialisasi 1. sosialisasi BOS sulit diterima oleh guru dan 1. pelibatan aparat dalam
orang tua siswa penyuluhan penyadaran
2. ada kesalahan penyampaian sosialisasi masyarakat
lewat media TV 2. masih diperlukan
3. pemahaman yang belum sesuai antara sosialisasi lewat media TV
orang tua dan sekolah untuk pelurusan sosialisasi
4. kurangnya sosialisasi kepada masyarakat tentang sasaran dana
5. kurangnya sosialisasi oleh Tim Satker BOS
PKPS BBM tingkat Kabupaten 3. ada tim sosialisasi dari
Kabupaten/Kecamatan
yang langsung ke
masyarakat
No Hal Masalah/kendala yang dihadapi Usulan/rekomendasi
4 Pelaporan 1. di beberapa sekolah tidak ada TV sehingga 1. aturan pelaporan harus
menyita waktu guru untuk mengajar pasti dan ada follow up
2. laporan tidak dievaluasi (tidak 2. kejelasan dalam aturan
ditindaklanjuti) pajak
3. bidang administrasi untuk laporan
pertanggungjawaban
4. pelaporan harus simple
5. dana BOS masih terkena pajak
6. pelaporan rumit
7. penyusunan RAPBS pada waktu awal yang
menyulitkan

5 Akurasi data 1. akurasi data tidak valid 1. penerapan subsidi silang


2. data yang diajukan tidak sesuai dengan dengan memprioritaskan
jumlah murid bagi orang miskin
3. ada nuansa ketidakadilan 2. verifikasi data harus benar-
benar dilakukan

6 Partisipasi 1. melemahnya partisipasi masyarakat untuk


pembiayaan sekolah
2. kurang memotivasi etos kerja orang tua
siswa
3. mendidik wali murid yang mampu mengikuti
yang tidak mampu
4. wali murid menjadi pasif

7 Monitoring dan 1. tim monitoring belum sepaham 1. pengawasan harus


Evaluasi 2. cara dan materi monitoring belum sepaham dilakukan secara akurat

8 Kelembagaan 1. diharapkan perpanjangan tangan ke daerah


2. kekakuan dalam kewenangan mangalihkan
jumlah murid dari yang lebih ke yang
kurang

3. Skala Tingkat Kepuasan Pelaksanaan Program BOS


Kett:
Kesepa-
Aspek yang dinilai 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Rata-rata (tidak
katan
mengisi)

Sosialisasi (cara/ 4 4 1 1 3 4.8


metode, waktu dan
bahan)

Seleksi dan alokasi 1 1 2 3 4 1 1 5.8


(ketepatan dan
transparansi)

Penyaluran dan 2 4 2 1 3 1 5.4


penyerapan dana
(cara dan waktu)

Pemanfaatan dana 1 2 4 4 2 6.3


(ketepatan dan
transparansi)
Kett:
Kesepa-
Aspek yang dinilai 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Rata-rata (tidak
katan
mengisi)
5.6
Pengaduan dan
penanganan masalah

1 1 1 1 5 4
5.8
Pelaporan
(beban waktu dan
kesederhanaan
pelaporan)
1 1 4 3 1 3
6.2
Kelembagaan
(ketepatan lembaga,
kinerja, koordinasi
dan pembagian
kewenangan)

1 1 1 4 3 3
6.6
Monev
1 4 5 1 2

Catatan:
Manfaat Program BOS bagi Masyarakat Miskin

Kelebihan (+) Kelemahan (-) Cara Atasi Kelemahan


- adanya keringanan - masyarakat merasa - sosialisasi yang jelas pada
biaya bagi siswa tidak ikut memiliki media massa dan orang tua
- apalagi jumlah sekolah - ada aturan main yang jelas
anggaran operasional - mempertajam koreksi dalam berbagai aspek:
sekolah yang dan kritik terhadap sasaran, alokasi dana, dan
sebelumnya lebih keuangan sekolah lain-lain
rendah dengan adanya - bagi masyarakat mampu
dana BOS, sekolah ikut-ikutan miskin
tersebut diuntungkan - selalu bergantung pada
- tingkat penyalahgunaan bantuan
dana diperkecil - kurang akurat pendataan
- anak bisa sekolah tanpa - masyarakat miskin
bayar merasa tidak adil
- merasa terbantu
- adanya keringanan - setiap pelaporan/
biaya yang menyeluruh penggunaan harus
cakupannya lebih disertai dengan bukti-
banyak untuk orang bukti. Penggunaannya
miskin terikat dengan
- beruntung karena tidak peraturan.
memikirkan biaya - repot, kalau anggaran
- anak tidak terbebani operasional sekolah
biaya, karena sudah lebih tinggi dengan
ditanggung oleh ”BOS” adanya dana BOS,
- bisa membantu biaya sementara sosialisasi
bagi masyarakat miskin kepada masyarakat
- masyarakat miskin tidak minim.
dibebani biaya sekolah - sekolah menyiasati
- bisa membiayai anak- dana BOS, karena
anak yang kurang tidak fleksibel
mampu sehingga anak penggunaannya, repot!!
tidak terlalu memikirkan
biaya sekolah
- BOS lebih transparan
ke masyarakat
- anak merasa lebih
tenang dalam belajar,
karena tidak minder lagi

Tingkat Manfaat Program BOS bagi Masyarakat Miskin


Rata- Kesepa-
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
rata katan

Tingkat manfaat dalam


meningkatkan akses pendidikan 4 1 6 1 7 7
dasar bagi masyarakat miskin
Lampiran BOS – 7.

RINGKASAN
Pada Maret dan Oktober 2005, Pemerintah Indonesia mengurangi subsidi bahan bakar minyak (BBM)
dan merealokasikan sebagian dananya untuk Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang mulai
dilaksanakan pada Juli 2005. Program yang diberikan untuk sekolah-sekolah tingkat SD dan SMP ini
dimaksudkan untuk mengurangi beban masyarakat, khususnya masyarakat miskin, dalam membiayai
pendidikan setelah kenaikan harga BBM. Berbeda dengan Program Kompensasi Pengurangan Subsidi
BBM (PKPS-BBM) bidang Pendidikan sebelumnya yang diberikan dalam bentuk beasiswa (Bantuan
Khusus Murid – BKM) kepada siswa yang dianggap miskin, BOS diberikan kepada sekolah. Dana BOS
dialokasikan berdasarkan jumlah murid, dengan perhitungan Rp235.000 per murid per tahun untuk tingkat
SD dan Rp324.500 per murid per tahun untuk tingkat SMP. Alokasi APBN untuk dana BOS periode Juli–
Desember 2005 sebesar 5,136 triliun rupiah, atau meningkat sekitar delapan kali lipat dibanding anggaran
BKM untuk SD dan SMP periode Januari-Juni 2005.

Laporan ini ditulis berdasarkan kajian cepat Lembaga Penelitian SMERU dalam usaha memahami
pelaksanaan Program BOS, guna menjadi bahan pembelajaran dalam perencanaan dan penyempurnaan
pelaksanaan program. Kajian ini dilakukan pada Februari-Mei 2006. Kajian lapangan dilaksanakan selama
sekitar tiga minggu pada Februari-Maret 2006 di 10 kabupaten/kota sampel yang tersebar di lima provinsi,
yaitu Kabupaten Tapanuli Utara dan Kota Pematang Siantar di Sumatera Utara, Kabupaten Lebak dan
Kota Cilegon di Banten, Kabupaten Malang dan Kota Pasuruan di Jawa Timur, Kabupaten Minahasa Utara
dan Kota Manado di Sulawesi Utara, dan Kabupaten Lombok Tengah dan Kota Mataram di Nusa Tenggara
Barat (NTB). Metode kajian menggunakan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data dan informasi
dilakukan melalui wawancara mendalam dan diskusi terarah (focus group discussion–FGD). Wawancara
dilakukan dengan berbagai lembaga pelaksana program di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota dan
sekolah, termasuk komite sekolah, guru dan orang tua murid. FGD dilaksanakan di semua kabupaten/
kota sampel dan dibedakan menjadi dua jenis, yaitu FGD dengan para pemangku kepentingan di bidang
pendidikan di tingkat kabupaten/kota, dan FGD dengan beberapa kepala sekolah dan komite sekolah.
Berbagai informasi penunjang juga dikumpulkan melalui wawancara dengan lembaga-lembaga lain yang
turut mengamati pelaksanaan Program BOS.

Ringkasan hasil kajian terhadap pelaksanaan Program BOS pada semester pertama 2005/2006 adalah
sebagai berikut:

1. Penargetan, Pendataan dan Alokasi

Secara umum, Program BOS cenderung dilaksanakan sebagai subsidi umum. Hal ini terjadi karena
Program BOS memiliki cakupan yang luas dan merata, baik dilihat dari jumlah sekolah maupun jumlah
siswa. Sekolah yang menolak Program BOS hanya sebagian kecil saja dan umumnya sekolah yang relatif
kaya. Keputusan untuk menolak Program BOS dilakukan secara sepihak oleh pengelola sekolah, tanpa
bermusyawarah dengan orang tua murid. Siswa yang menjadi sasaran BOS adalah seluruh siswa baik
dari keluarga miskin maupun tidak miskin. Oleh karenanya, banyak pihak menilai bahwa Program BOS
bermanfaat bagi masyarakat miskin, meskipun hanya sedikit sekolah yang memberikan bantuan khusus
bagi siswa miskin.

Sistem pendataan yang dilaksanakan pada awal pelaksanaan program masih kurang baik, khususnya
karena lemahnya sistem informasi pendidikan yang ada sebelumnya dan sempitnya waktu persiapan
program sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukannya pendataan secara memadai. Lemahnya
proses pendataan ini menyebabkan terjadinya perbedaan antara data jumlah murid yang digunakan
untuk menetapkan alokasi dengan jumlah murid yang sebenarnya. Walaupun demikian, fleksibilitas dan
kewenangan yang diberikan kepada satker provinsi untuk menyesuaikan besarnya alokasi dana untuk
kabupaten/kota dan sekolah-sekolah di wilayahnya ternyata sangat membantu pendistribusian dana
secara lebih baik.

Dalam hal pengalokasian dana, kajian ini menangkap beberapa kritik terhadap formula yang digunakan.
Formula penentuan alokasi dianggap kurang adil bagi sekolah yang mempunyai jumlah siswa sedikit, memiliki
banyak guru honor, memiliki banyak siswa miskin, dan berlokasi di tempat terpencil. Penentuan alokasi
berdasarkan jumlah siswa juga dinilai tidak cocok untuk diterapkan di salafiyah karena penyelenggaraan
pendidikan di salafiyah bersifat informal dan tidak mengikat sehingga jumlah siswanya sering berubah.

2. Sosialisasi

Kegiatan sosialisasi program baik untuk seluruh jajaran pelaksana maupun masyarakat dinilai lemah.
Kelemahan itu antara lain disebabkan pelaksanaan sosialisasi terlambat, waktunya singkat, materinya
terlalu umum, bahan serta alatnya kurang lengkap, peserta pada setiap kegiatan terlalu banyak, dan
pelaksanaannya cenderung sekedar formalitas. Dalam beberapa kasus, kelemahan tersebut diperparah
oleh terbatasnya dana, khususnya untuk daerah yang berwilayah luas. Akibatnya, banyak pengelola program
yang kurang memahami juklak dan juknis, sehingga terdapat perbedaan penafsiran para pengelola atas
isi juklak dan juknis tersebut. Keadaan ini pada gilirannya membingungkan pelaksana di tingkat bawah.
Tidak konsistennya penjelasan yang disampaikan kepada pelaksana program dengan penjelasan yang
disampaikan melalui media massa dan pihak-pihak lain di luar pelaksana program kepada masyarakat
umum, khususnya mengenai pembebasan biaya pendidikan, juga membingungkan masyarakat dan
cenderung memicu kesalahpahaman antara sekolah dan orang tua murid.

3. Penyaluran Dana

Umumnya penyaluran dana telah dilakukan sesuai dengan alur yang ditetapkan dalam juklak. Kebijakan
untuk menyalurkan dana BOS langsung ke rekening sekolah dinilai cukup tepat karena pada umumnya
berjalan lancar dan dana diterima secara utuh. Namun keterlambatan penyaluran dana, bahkan pada
semester dua TA 2005/2006, membuat banyak sekolah mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan
operasionalnya dan menunda pembayaran guru honor, atau terpaksa berhutang ke berbagai pihak. Selain
itu, terdapat beberapa perbedaan mekanisme penyaluran dana BOS, cara penunjukan lembaga penyalur,
dan kebijakan lain berkenaan dengan pengaturan rekening sekolah, yang pada akhirnya memengaruhi
kinerja penyaluran dana. Di kebanyakan provinsi penunjukan lembaga penyalur tidak dilakukan secara
terbuka. Di beberapa provinsi, penunjukan lembaga penyalur dan pembatasan tempat sekolah membuka
rekening tidak mempertimbangkan kemudahan layanan dan aksesibilitas sekolah. Hal ini cenderung
menambah beban biaya dan waktu bagi sekolah dalam mencairkan dana.

4. Penyerapan dan Pemanfaatan Dana

Pada saat kajian ini dilaksanakan, sebagian besar (hampir 99%) dana BOS untuk periode Juli-Desember
2005 sudah diterima sekolah. Sisa dana BOS yang masih ada di rekening satker provinsi (sekitar 1%)
berasal dari kelebihan alokasi beberapa sekolah penerima BOS dan dana yang tidak diambil oleh sekolah-
sekolah yang menolak BOS.
Ada beberapa persoalan dalam pengelolaan dana BOS oleh sekolah, yaitu berkaitan dengan kapasitas
sekolah dalam penyusunan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS), dan
pengaturan pengambilan serta penggunaan dana. Di banyak sekolah, peran kepala sekolah dalam
memutuskan penggunaan dana BOS dan penyusunan RAPBS sangat dominan. Di beberapa provinsi,
satker membuat persyaratan tambahan untuk pencairan dana dari rekening sekolah, dengan alasan untuk
keperluan pengawasan. Persyaratan tersebut menambah birokrasi prosedur pencairan dana. Selain itu,
banyak sekolah menghadapi masalah ketidakjelasan ketentuan tentang bunga tabungan dan rumitnya
prosedur pembayaran pajak atas penggunaan dana BOS.

Penilaian berbagai pihak terhadap ketentuan 11 jenis penggunaan dana yang tercantum juklak 2005,
berbeda-beda. Namun umumnya menganggap ketentuan tersebut cenderung terlalu terbatas karena
tidak dapat mengakomodasi seluruh kebutuhan sekolah. Oleh karenanya, realisasi penggunaan dana
BOS tidak selalu sesuai dengan RAPBS dan ketentuan 11 jenis penggunaan. Berdasarkan laporan
pertanggungjawaban dana BOS di sekolah-sekolah sampel, realisasi penggunaan dana BOS yang
terbesar adalah untuk pembayaran honor guru, kegiatan belajar mengajar, pembelian alat tulis kantor, dan
pembelian buku pelajaran pokok.

5. Pelaporan

Pada saat kajian ini dilaksanakan, laporan yang sudah tersedia adalah: laporan penerima bantuan,
khususnya mengenai pengalokasian dana dan data jumlah siswa serta jumlah sekolah penerima BOS,
dan laporan persiapan program yang meliputi kegiatan-kegiatan sosialisasi. Laporan hasil monitoring
dan evaluasi dan laporan penggunaan/pemanfaatan bantuan dari kabupaten/kota ke provinsi belum ada.
Pelaporan penggunaan dana seharusnya dilakukan secara berjenjang dari sekolah ke satker kabupaten/
kota, dan rekapitulasinya diserahkan ke satker provinsi. Untuk madrasah, laporan harus dikirim ke satker
kabupaten/kota dan ke Kantor Departemen Agama. Cara ini dinilai mengurangi arti kesepakatan pendekatan
joint management antara dinas pendidikan dan jajaran Departemen Agama dalam pengelolaan program.

Pada umumnya, sekolah mengalami kesulitan dalam penyusunan laporan pertanggungjawaban


penggunaan dana, karena keterbatasan kemampuan dan fasilitas serta adanya upaya untuk mengatur
agar laporan sesuai dengan ketentuan penggunaan dana dalam juklak. Di hampir semua sekolah, laporan
pertanggungjawaban penggunaan dana hanya disampaikan ke satker kabupaten/kota tanpa disampaikan
kepada orang tua murid sehingga mengabaikan unsur transparansi dan akuntabilitas kepada publik.

6. Monitoring, Evaluasi dan Penanganan Pengaduan


Secara umum terdapat beberapa kelemahan dalam sistem dan pelaksanaan monitoring dan evaluasi
(monev) yang telah dibangun untuk mengamankan Program BOS. Kualitas pelaksanaan monev internal
masih dipertanyakan dan lebih terkesan dilaksanakan sebagai formalitas saja. Sedangkan monev eksternal
justru terlalu terbuka karena dapat dilakukan oleh banyak pihak, termasuk pihak-pihak yang kurang
kompeten dan kurang bertanggungjawab. Di samping itu juga belum ada sistem yang dapat mensinergikan
monev internal dan eksternal agar hasilnya dapat secara efektif mengawal dan memberi masukan untuk
perbaikan program secara berkelanjutan. Banyak pihak mempertanyakan efektivitas kegiatan monev
internal maupun eksternal, karena minimnya umpan balik yang dapat memperbaiki pelaksanaan program.
Bahkan, kegiatan monev di beberapa daerah justru dimanfaatkan untuk mengambil keuntungan pribadi
pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.

Kelemahan dalam sistem monev juga berdampak pada lemahnya sistem penanganan pengaduan, yang
menjadi salah satu tugas monev internal dan eksternal. Sistem penerimaan dan penanganan pengaduan
masih belum terorganisir dengan baik, walaupun banyak pihak yang telah ikut berperan serta. Kurang
efektifnya sistem penanganan pengaduan antara lain disebabkan kurangnya sosialisasi mengenai saluran
pengaduan, adanya potensi konflik kepentingan karena status lembaga monitoring melekat pada satker,
dan sulitnya mengakses fasilitas email dan telepon yang tersedia. Akibatnya, jumlah pengaduan mengenai
pelaksanaan Program BOS tergolong sedikit. Pengungkapan dugaan penyimpangan pelaksanaan program
lebih banyak disampaikan oleh media lokal dan lembaga swadaya masyarakat, tanpa ada jaminan tindak
lanjutnya. Selain oleh unit satker, penanganan pengaduan di beberapa daerah juga mendapat perhatian dari
instansi lain, seperti DPRD dan Badan Pengawas Daerah (Bawasda). Umumnya penyelesaian pengaduan
dilakukan oleh lembaga tempat mengadu, tetapi baik pengaduan maupun proses penanganannya tidak
didokumentasikan secara tertulis. Format-format pendokumentasian pengaduan tidak digunakan.

7. Kelembagaan

Penerapan prinsip joint management terkesan dipaksakan. Status urusan pendidikan (sekolah umum) yang
otonom dan urusan agama (madrasah dan salafiyah) yang vertikal, membuat hubungan kelembagaan
kurang harmonis dan pelaksanaan joint management kurang efektif. Permasalahan yang muncul antara
lain adalah kurangnya koordinasi, keluhan terhadap ketimpangan distribusi peran dan tanggung jawab,
serta keluhan dalam pengelolaan dana sosialisasi dan monev. Struktur satker yang dibentuk tanpa
mempertimbangkan kompetensi personil dan perbandingan jumlah sekolah dan madrasah menyulitkan
pembagian kerja diantara personil satker yang berasal dari dua instansi yang berbeda. Instansi pendidikan
cenderung mendominasi pengelolaan program, yang dalam pelaksanaannya mengikutsertakan instansi
tingkat kecamatan (UPTD), khususnya di daerah kabupaten. UPTD berperan sebagai perantara antara
sekolah dan satker serta menjadi pendamping sekolah dalam melaksanakan program. Namun, peran
penting UPTD ini tidak didukung dengan pemahaman program yang memadai dan secara kelembagaan
unit ini tidak masuk dalam struktur satker.

Umumnya, komite sekolah belum berfungsi sebagai mitra kerja sekolah dalam mengelola BOS. Komite
sekolah hanya berperan dalam menandatangani RAPBS untuk memenuhi persyaratan penerimaan dana
BOS. Dewan pendidikan umumnya juga hanya menjadi “stempel” satker. Dewan pendidikan cenderung
bersifat elitis dan hanya di beberapa daerah cukup memberikan perhatian terhadap isu yang terjadi di
sekolah dan komite sekolah.

8. Dampak dan Tingkat Kepuasan terhadap Pelaksanaan Program


Secara umum, Program BOS meningkatkan penerimaan sekolah sehingga memungkinkan perbaikan
kegiatan belajar mengajar dan berpotensi meningkatkan akses masyarakat, termasuk masyarakat miskin,
terhadap pendidikan. Dengan dana BOS, antara lain sekolah dapat meningkatkan: ketersediaan sarana
dan prasarana belajar-mengajar, pendapatan guru (guru honor, guru kontrak, dan guru tetap), kegiatan
ekstrakurikuler, pelajaran tambahan, dan mutu guru. Namun administrasi pelaksanaan program di tingkat
sekolah terlalu banyak menyita waktu dan perhatian kepala sekolah, yang peranannya sangat krusial dalam
manajemen kegiatan belajar-mengajar sehingga dikhawatirkan justru akan berdampak negatif terhadap
kegiatan belajar-mengajar.

Meskipun data kuantitatif belum tersedia, hasil analisis kualitatif melalui wawancara dan FGD memberikan
indikasi adanya dampak positif dari Program BOS terhadap partisipasi pendidikan. Ada indikasi bahwa
Program BOS meningkatkan motivasi belajar siswa dari keluarga miskin karena tidak ada kekhawatiran
akan ditagih tunggakan iuran sekolah dan lebih terpenuhinya perlengkapan sekolah. Namun manfaat
Program BOS bagi pencegahan putus sekolah (DO), khususnya di tingkat SMP, tampaknya masih lemah
karena kebanyakan orang tua yang mempunyai anak DO (beberapa di antaranya baru putus sekolah
pada TA 2005/2006) tidak mengetahui adanya Program BOS di sekolah anaknya. Sekolah juga kurang
menyadari bahwa Program BOS ditujukan untuk mencegah putus sekolah karena hal itu kurang ditekankan
dalam sosialisasi maupun dalam perjanjian penerimaan bantuan. Masalah putus sekolah di tingkat SMP
juga tidak semata-mata disebabkan ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga karena faktor-faktor lain seperti
kenakalan siswa dan adanya daya tarik untuk bekerja.

Di satu sisi, penurunan atau bahkan pembebasan iuran sekolah bisa dianggap sebagai dampak positif
yang sesuai dengan tujuan program, tetapi di sisi lain, muncul kekhawatiran bahwa bantuan ini justru
mengurangi keswadayaan masyarakat dan partisipasi berbagai pihak lain dalam pembiayaan pendidikan.
Reaksi pemerintah daerah dengan adanya BOS berbeda-beda karena perubahan alokasi anggaran
pendidikan dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Dari 10 kabupaten/kota sampel, hanya dua kota
yang cenderung menurunkan alokasi anggaran pendidikannya setelah ada BOS. Keberadaan Program
BOS juga memengaruhi perencanaan program-program bidang pendidikan yang dicanangkan pemda,
dan cukup banyak yang merencanakan dan melaksanakan program yang secara tidak langsung akan
menunjang efektivitas BOS, seperti pemberian insentif kepada guru tetap dan peningkatan kapasitas
manajemen sekolah.

Melalui berbagai FGD, secara umum berbagai pemangku kepentingan di bidang pendidikan dan sekolah
menilai bahwa pelaksanaan program kurang memuaskan. Skor rata-rata dari seluruh FGD (N=20) untuk
ketujuh tahapan pelaksanaan program berkisar antara 5,4 – 6,6 (0-sangat tidak puas, 10 sangat puas).
Di antara berbagai tahapan pelaksanaan, sosialisasi dianggap paling tidak memuaskan, diikuti oleh
penanganan pengaduan, penyaluran dana, serta pelaporan dan monev. Sedangkan dalam wawancara
mendalam, sebagian besar orangtua murid menyatakan cukup puas terhadap program ini karena mendapat
keringanan biaya sekolah. Bahkan, sebagian besar orang tua yang anaknya pernah mendapat BKM,
cenderung lebih menyukai Program BOS.

9. Rekomendasi

Secara umum, hasil kajian cepat ini memperlihatkan bahwa Program BOS sangat membantu
penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar di sekolah, dan dalam batas-batas tertentu telah mengurangi
beban biaya pendidikan yang ditanggung orang tua murid. Dengan mempertimbangkan manfaat yang
telah terwujud dan potensi manfaat program di masa depan, disarankan agar Program BOS terus
dilanjutkan dengan berbagai penyempurnaan konseptual dan teknis agar manfaat program dapat lebih
optimal. Hasil kajian ini juga memperlihatkan posisi strategis sekolah sebagai ujung tombak pelaksanaan
program, sehingga peningkatan kapasitas kelembagaan sekolah, baik dalam bidang administrasi maupun
mekanisme kontrol internal (check and balances), akan sangat menentukan efektivitas program.

Program BOS yang sedang berjalan saat ini cenderung ambivalen dalam hal penentuan apakah program
ditujukan untuk memberikan subsidi umum atau subsidi kepada siswa miskin saja. Keputusan lebih
banyak di serahkan kepada sekolah sehingga menimbulkan kebingungan. Oleh karenanya, dibutuhkan
keberanian politis untuk memperjelas posisi Program BOS dalam pembiayaan pendidikan. Jika program
ditujukan untuk subsidi umum dalam rangka pemenuhan hak semua warga negara untuk mendapat
pendidikan yang layak, disarankan menempatkan Program BOS sebagai bantuan dari pemerintah untuk
pelaksanaan pelayanan dasar minimum pendidikan. Namun, jika program ditujukan untuk memberikan
subsidi bagi siswa miskin, program harus mengadopsi mekanisme penargetan yang lebih jelas, baik melalui
penargetan wilayah dan sekolah atau melalui penargetan individu. Jika dilakukan melalui penargetan
individu sebaiknya penentuannya tidak dilakukan hanya oleh sekolah, tetapi oleh petugas yang bersifat
independen. Seperti yang dilakukan pada pemberian subsidi bersyarat, keluarga miskin dapat diberi
kartu untuk mendapatkan pendidikan gratis dan kemudian sekolah akan menagih biaya pendidikan siswa
tersebut kepada pemerintah.
Mengenai mekanisme pengelolaan program, dalam kondisi keterbatasan kualitas pendataan maupun
kemampuan mengelola program di semua tingkatan, mekanisme dekonsentrasi dinilai sudah tepat.
Namun, dalam jangka menengah perlu dipikirkan dan dipersiapkan pengalihan mekanisme pengelolaan
dari dekonsentrasi menjadi dana alokasi khusus (DAK) sehingga program dapat dikelola daerah dan daerah
akan berkewajiban untuk memberikan kontribusi nyata dalam pelaksanaan program. Dalam kaitan ini, perlu
juga dipertimbangkan untuk mendesentralisasikan urusan madrasah sehingga daerah akan memberikan
perhatian yang sama kepada madrasah, namun Departemen Agama dapat tetap memberikan bantuan-
bantuan khusus.

Selain itu, tiga hal utama yang perlu disempurnakan dalam teknis pelaksanaan program adalah:

1. Kesamaan persepsi mengenai tujuan dan sasaran program yang akan menjadi landasan bagi
pelaksanaan program, mulai dari tahap sosialisasi, pelaksanaan, sampai monitoring dan evaluasi.
Agar tidak membingungkan masyarakat dan pelaksana program, tujuan dan sasaran program
harus dikemukakan apa adanya, tanpa intervensi pihak lain yang muncul karena alasan-alasan
politis. Ada dua hal yang perlu mendapat penekanan, yaitu: (i) bahwa Program BOS hanya untuk
memenuhi pelayanan minimum pendidikan sehingga dalam rangka peningkatan mutu pendidikan
tidak menutup partisipasi dan kontribusi masyarakat; dan (ii) sasaran utama program adalah untuk
membebaskan biaya pendidikan bagi masyarakat miskin sehingga tidak terjadi putus sekolah.

2. Adanya sistem pendataan yang menjadi dasar dalam menentukan alokasi dana bagi sekolah.
Sistem yang diperlukan meliputi patokan data murid yang dijadikan dasar penghitungan alokasi,
mekanisme pendataan, dan mekanisme penyesuaian dengan data terbaru sehingga perbedaan
antara alokasi dan kebutuhan riil dapat diminimalisir. Data jumlah murid yang disarankan adalah
data bulan Agustus, dengan pertimbangan jumlah murid relatif sudah stabil. Sistem pendataan ini
juga harus menjamin keakuratan dan tranparansi data.

3. Sistem pelaporan, monitoring dan evaluasi yang menjamin akuntabilitas publik yang lebih luas.
Mekanisme pelaporan ke satker kabupaten/kota, provinsi dan pusat yang sudah ditetapkan saat
ini, perlu ditambah dengan sistem pelaporan kepada publik melalui media sederhana yang tersedia
di sekolah, seperti menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada komite sekolah dan
menempelkan ringkasan rencana dan laporan keuangan sekolah di lingkungan sekolah. Dalam
kaitan dengan monitoring dan evaluasi, dianggap perlu untuk mengatur kembali sistemnya agar
monev eksternal dapat dilakukan dengan lebih efektif dan efisien, tanpa mengganggu kegiatan
belajar-mengajar di sekolah.
Modul 6

“Evaluasi Dampak Pendaftaran Tanah


Secara Sistematik Melalui Proyek
Administrasi Pertanahan (PAP) di
Indonesia dengan Menggunakan
Pendekatan Kuantitatif”
Wenefrida D. Widyanti
Lembaga Penelitian SMERU
Tujuan

Setelah mengikuti pelatihan berisi modul ini, peserta diharapkan memiliki pengetahuan dan keterampilan
dasar untuk

1. memberikan pemahaman kepada peserta kaitan antara pemahaman teoritis dan praktik sistem
monitoring dan evaluasi, dan

2. memberikan contoh pelaksanaan evaluasi, khususnya evaluasi dampak, secara menyeluruh dari
tahap persiapan, analisis dan penyajian hasil, serta penulisan laporan dengan menggunakan
pendekatan kuantitatif.

1. Pendahuluan

Monitoring dan evaluasi merupakan bagian yang terintegrasi dari suatu program, proyek, atau strategi.
Seperti telah dijelaskan baik dalam materi monitoring maupun evaluasi, sistem monitoring dan evaluasi
(monev) semestinya disusun secara rinci pada tahap perencanaan program, proyek, atau strategi dengan
mengacu pada tujuan dan sasaran yang ditetapkan. Dengan demikian, monev akan sangat bermanfaat
sebagai masukan bagi perbaikan dan pengembangan program, proyek, atau strategi serta meningkatkan
tingkat efektivitas dan efisiensinya.

Monitoring dan evaluasi merupakan hal yang berbeda, tetapi saling terkait antara satu dengan lainnya.
Monitoring dilakukan untuk menyediakan informasi yang dapat menjawab apakah program ataupun
kebijakan dilaksanakan sesuai dengan rencana dan atau/ketentuan dalam upaya mencapai tujuan. Dengan
kata lain, monitoring dapat disebut sebagai suatu alat manajemen agar suatu program atau kebijakan dapat
dilaksanakan secara efektif dan efisien. Adapun evaluasi dilakukan untuk melihat tingkat keberhasilan dan
dampak suatu program, proyek, atau intervensi. Pengukuran dampak program, proyek, atau intervensi
dapat dilakukan dengan baik bilamana tersedia informasi basis (baseline information) atau kelompok
kontrol.

Dalam praktik, baik monitoring maupun evaluasi dapat dilakukan melalui pendekatan kuantitatif dan/
atau kualitatif. Namun demikian, fokus pembahasan tulisan ini adalah evaluasi dampak program dengan
pendekatan kuantitatif, khususnya dalam konteks pendaftaran tanah secara sistematik melalui Proyek
Administrasi Pertanahan (PAP) di Indonesia.

1.1 Setting Konteks


Untuk melakukan evaluasi dengan baik, pemahaman konteks program atau proyek yang akan dilakukan
merupakan prasyarat utama. Oleh karena itu, pembahasan ini akan diawali dengan pemaparan secara
singkat gambaran umum Proyek Administrasi Pertanahan (PAP) di Indonesia yang akan dilanjutkan dengan
pemaparan tentang studi evaluasi dampak PAP.

1.1.1 Gambaran Umum Proyek Administrasi Pertanahan (PAP) di Indonesia


Proyek Administrasi Pertanahan Indonesia (PAP) merupakan program percepatan registrasi hak
kepemilikan tanah –yang diprakarsai Bank Dunia– melalui pemberian bantuan teknis dan bantuan
lainnya kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN). Di samping itu, PAP juga merupakan suatu tinjauan
administrasi tanah dalam konteks hukum dan kebijakan. Melalui program ini, sertifikasi tanah dilakukan
secara sistematis dan dirancang agar pelayanan yang diberikan menjadi lebih murah, lebih cepat, dan
lebih sederhana dibandingkan program pendaftaran tanah sproradis yang dilakukan oleh BPN.

Program sertifikasi tanah secara sistematis melalui Proyek Administrasi Pertanahan (PAP) bertujuan
untuk

(i) meningkatkan kepastian kepemilikan tanah,


(ii) mengurangi konflik tanah,
(iii) mendorong efisiensi pasar tanah,
(iv) mempermudah akses ke kredit (sebagai kolateral), dan
(v) menyediakan insentif bagi investasi tanah jangka panjang dan tata guna tanah yang
berkelanjutan.

Produk utama PAP adalah sebuah buku daftar kepemilikan tanah dari Kantor Pertanahan Daerah (sebagai
bagian dari Pendaftaran Tanah Nasional) yang disimpan BPN dan sertifikat tanah yang diberikan kepada
pemiliknya. Pada umumnya, sertifikat ini merupakan sertifikat hak milik, kecuali di Daerah Khusus Ibukota
Jakarta yang memberikan sertifikat hanya sebatas bukti kepemilikan hak guna bangunan.

Proyek perintis PAP mulai dilaksanakan pada 1994/1995. Setelah program berjalan selama dua tahun,
pada 1996/1997 sertifikasi tanah secara sistematis tersebut mulai diperbesar skala atau cakupannya
dengan fokus Provinsi Jawa Barat. Selanjutnya, pendaftaran tanah dengan metode PAP dilakukan di
lima provinsi, yaitu DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Pada 1999,
sertifikasi PAP diperluas ke wilayah-wilayah luar Jawa dengan proyek percontohan di Kota Palembang
(Sumatera Selatan) dan Kota Medan (Sumatera Utara).

1.1.2 Gambaran Umum Studi Evaluasi Dampak Pelaksanaan PAP


Dalam laporan studi evaluasi dampak pendaftaran tanah secara sistematik melalui PAP (SMERU, 2002)
dijelaskan bahwa untuk melihat dampak PAP, pada September dan Oktober 1999, Bank Dunia melakukan
Social Assesment terhadap program tersebut untuk mendapatkan masukan bagi evaluasi jangka menengah.
Social Assesment dilaksanakan dengan menggunakan metodologi penelitian partisipatoris, yaitu menggali
pendapat para penerima program sertifikasi tanah tentang pelaksanaan PAP dan dampaknya (Hardjono,
1999). Selanjutnya, karena PAP telah diperluas cakupannya, atas permintaan Kantor Bank Dunia Jakarta
SMERU melakukan studi evaluasi dampak sertifikasi tanah secara sistematis melalui PAP pada Januari
hingga Mei 2002.

Tujuan studi tersebut adalah untuk (i) mengetahui dampak sosial dan ekonomi dari program sertifikasi
tanah secara sistematis melalui PAP; (ii) menilai bagaimana proses pelaksanaan sertifikasi tanah sistematis
melalui PAP telah mempengaruhi hasil; dan (iii) mempertimbangkan berbagai kesimpulan kebijakan dan
implikasinya bagi pengembangan kebijakan selanjutnya.

Dalam studi ini, SMERU melakukan pengumpulan data –baik melalui survei dengan menggunakan
kuesioner maupun wawancara mendalam dengan menggunakan pedoman wawancara – dan analisis
dengan mengukur perubahan-perubahan dari indikator-indikator tertentu untuk melihat dampak program
terhadap para penerima manfaat program. Survei kuantitatif dilakukan terhadap sejumlah rumah tangga
sampel peserta PAP (penerima manfaat program) maupun nonpeserta PAP (disebut juga kelompok
kontrol). Adapun wawancara mendalam dilakukan dengan beberapa informan kunci di tiap-tiap wilayah,
yang meliputi kepala BPN tingkat kabupaten/kota dan stafnya, pejabat setempat (bupati/walikota dan
camat), lurah/kepala desa dan stafnya, kepala dusun, ketua RW dan RT, tokoh masyarakat, staf organisasi
nonpemerintah (Ornop), serta bank dan lembaga pemberi kredit lainnya. Pengumpulan informasi dengan
metode wawancara mendalam dilakukan dengan menggunakan pedoman pertanyaan.
1.2 Tinjauan Singkat Konsep Dasar Evaluasi Dampak
Sebelum melanjutkan pembahasan mengenai studi evaluasi dampak pendaftaran tanah secara sistematik
melalui PAP, perlu disegarkan kembali pemahaman tentang konsep dasar evaluasi program dan hal-hal
terkait lainnya. Berawal dari pemahaman konsep atau definisi, evaluasi adalah suatu proses untuk membuat
penilaian secara sistematik mengenai suatu kebijakan, program, proyek, atau kegiatan berdasarkan
informasi dan hasil analisis, dibandingkan terhadap relevansi, keefektifan biaya dan keberhasilannya untuk
keperluan pemangku kepentingan (Suryahadi, 2007).

Menurut tujuan, evaluasi dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu evaluasi proses, evaluasi biaya-manfaat, dan
evaluasi dampak. Evaluasi proses mengkaji bagaimana program berjalan dengan fokus pada masalah
penyampaian pelayanan (service delivery), sedangkan evaluasi biaya-manfaat mengkaji biaya program
relatif terhadap alternatif penggunaan sumber daya dan manfaat program. Adapun evaluasi dampak
mengkaji apakah suatu intervensi –proyek, program, ataupun kebijakan– memberikan pengaruh –baik
positif maupun negatif– terhadap individu, rumah tangga, lembaga, lingkungan, dan masyarakat.

Seperti terlihat pada judul, contoh studi yang diangkat dalam bahasan ini adalah evaluasi dampak. Evaluasi
dampak dapat membantu memberikan pemahaman yang lebih baik tentang pengaruh intervensi proyek,
program, atau kebijakan terhadap tingkat kesejahteraan. Evaluasi tersebut dapat dilakukan dengan cara
mengisolasi pengaruh suatu program atau kebijakan, misalnya dengan memilah antara kelompok sasaran
dan kelompok kontrol, mengukur perubahan yang terjadi dalam periode sebelum—sesudah intervensi,
atau dengan kajian cepat melalui penelitian partisipatoris (IBRD/The World Bank, 2004).

Evaluasi dampak, seperti halnya dalam studi ini, dapat digunakan untuk

(i) mengukur hasil dan dampak suatu aktivitas (proyek, program, atau kebijakan) yang dipisahkan
dari pengaruh-pengaruh eksternal lainnya,
(ii) membantu mengklarifikasi apakah biaya aktivitas tersebut masuk akal,
(iii) memberikan informasi untuk pengambilan keputusan apakah suatu proyek, program, atau
kebijakan akan diperluas, dimodifikasi, atau dihapuskan,
(iv) memberikan pembelajaran bagi perbaikan atau pengembangan desain dan manajemen
kegiatan di masa mendatang,
(v) membandingkan tingkat efektivitas dari intervensi alternatif lainnya, dan
(vi) memperkuat akuntabilitas hasil (IBRD/The World Bank, 2004).

Menurut waktu pelaksanaannya, evaluasi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu evaluasi formatif (dilaksanakan
pada saat program berjalan) dan evaluasi summatif (dilaksanakan pada saat program selesai). Pada
umumnya, evaluasi summatif bertujuan untuk menilai hasil pelaksanaan program berdasarkan temuan-
temuan yang berupa capaian-capaian dari pelaksanaan program. Studi yang diangkat sebagai contoh
sekaligus pokok bahasan dalam materi ini merupakan evaluasi summatif karena dilaksanakan pada saat
program selesai.

Dampak dapat diukur dari besarnya perbedaan antara indikator hasil dengan program dan indikator hasil
tanpa program. Namun, dalam praktik, kita tidak dapat melihat seseorang atau sesuatu dalam keadaan
yang berbeda pada saat bersamaan. Oleh karena itu, meskipun indikator hasil dengan (setelah) program
dapat diamati, indikator hasil tanpa program –yang biasa disebut kontra-fakta (counter-factual) – tidak
dapat diamati. Untuk itu, pengukuran kontra-fakta perlu dilakukan dengan menggunakan kelompok
pembanding (control group) yang setara dan terpecaya. Pengukuran kontra-fakta ini tidak cukup apabila
hanya mengandalkan (i) perbandingan sebelum-setelah (before-after) dan (ii) perbandingan dengan/tanpa
(with/without) (Suryahadi, 2007). Bagaimana pengukuran dampak dilakukan digambarkan dalam Gambar
1 berikut.
Gambar 1 Pengukuran Dampak yang Merupakan Selisih antara Nilai Indikator Setelah Program dengan
Kontra-Fakta

Metode pengukuran dampak seperti ditunjukkan dalam Gambar 1 akan digunakan dalam analisis studi
evaluasi dampak pelaksanaan PAP ini. Dengan mengacu pada metode pengukuran dampak seperti
tersebut di atas, rancangan studi, seperti pengambilan sampel dan penyusunan instrumen diarahkan agar
dapat menjawab pertanyaan penelitian serta mengukur dampak program. Penjelasan lebih lanjut mengenai
kaitan konsep dasar evaluasi dampak dan rancangan studi ini akan dijelaskan pada subbagian berikut.

1.3 Pertanyaan Penelitian dalam Studi Evaluasi Dampak Pelaksanaan PAP yang
Mengacu pada Konsep Dasar Evaluasi Program
Seperti telah disebutkan sebelumnya, subbagian ini menjelaskan bagaimana studi evaluasi dampak
pelaksanaan PAP dirancang agar sesuai dengan konsep dasar evaluasi dampak serta mampu menjawab
pertanyaan-pertanyaan penelitian. Dalam merumuskan pertanyaan penelitian ini, tujuan program sertifikasi
tanah secara sistematik melalui PAP merupakan acuan utama. Pertanyaan-pertanyaan penelitian yang
ingin dijawab dari studi ini adalah seperti berikut.

(i) Di wilayah-wilayah PAP, kelompok mana yang memperoleh manfaat dari program sertifikasi tanah
dan kelompok mana yang tidak memperoleh manfaat? Bagaimana pemilihan wilayah mempengaruhi
target program?

(ii) Apa manfaat program sertifikasi tanah bagi mereka yang ikut serta dalam program, seperti peningkatan
kepastian kepemilikan tanah, pengembangan pasar tanah, adanya insentif bagi investasi tanah,
peningkatan akses terhadap kredit? Apakah program ini menyebabkan kerugian bagi penerima
manfaat program, seperti kenaikan biaya bagi pemilik tanah karena adanya berbagai pajak dan
pungutan?

(iii) Apakah program ini berdampak pada nilai tanah? Apakah dampak tersebut berbeda antara pemilik
tanah yang miskin dan yang kaya dan antara laki-laki dan perempuan?

(iv) Apa dampak sosial dan ekonomi PAP yang lebih luas menurut para pemangku kepentingan
(stakeholders)?

(v) Apakah dampak PAP berbeda menurut gender, misalnya, apakah perempuan memperoleh manfaat
dari program ini atau justru mengalami dampak negatif? Sejauh mana nama perempuan secara
formal dimasukkan dalam sertifikat PAP? Apa yang terjadi dengan tanah yang diwarisi perempuan
secara perorangan dari keluarga mereka? Apakah tanah tersebut tetap atas nama si perempuan
ataukah dialihkan ke nama suaminya?

Selanjutnya, rumusan pertanyaan-pertanyaan penelitian akan dijadikan dasar bagi penyusunan variabel-
variabel dalam instrumen penelitian, yaitu daftar pertanyaan terstruktur (kuesioner) serta pertimbangan
dalam pemilihan tingkat pemilihan/agregasi analisis data.

2. Metode Evaluasi Dampak Program Sertifikasi Tanah


Melalui PAP

Berdasarkan pemahaman konsep analisis evaluasi dampak serta tujuan studi, disusun suatu rancangan
penelitian yang mencakup metode pengumpulan data dan analisis data. Terdapat dua komponen utama
pengumpulan data yang harus diarahkan agar dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian yang
didefinisikan, yaitu penarikan/pengambilan serta pemilihan sampel dan penyusunan instrumen penelitian.
Metode pengumpulan data dan metode analisis yang digunakan dalam evaluasi dampak program sertifikasi
tanah melalui PAP akan dibahas berikut ini.

2.1 Metode Pengumpulan Data


Dalam studi evaluasi dampak program sertifikasi tanah secara sistematik melalui PAP digunakan
kombinasi dua pendekatan penelitian, yaitu pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Namun, tulisan ini akan
lebih menitikberatkan pada pendekatan kuantitatif dengan tidak mengesampingkan temuan-temuan dari
studi kualitatif. Pengumpulan data kuantitatif dilakukan dengan metode survei dengan menggunakan daftar
pertanyaan (kuesioner) terstruktur sebagai instrumen penelitian.

Pemahaman konsep dan rancangan program PAP sangat penting dalam penyusunan rancangan studi ini.
Kaitan antara konsep dan rancangan program PAP dengan rancangan studi evaluasi dampak program
sertifikasi tanah melalui PAP dapat dijelaskan seperti berikut.

(i) Alasan pemilihan lokasi PAP dan realisasinya sangat erat kaitannya dan mendasari penarikan/
pengambilan sampel studi.

(ii) Tujuan PAP sangat erat kaitannya dengan perumusan pertanyaan-pertanyaan penelitian dan
sekaligus merupakan hipotesis yang akan diuji dalam analisis dampak program.

(iii) Waktu pelaksanaan PAP mendasari pemilihan wilayah sampel (kabupaten/kota yang sudah
pelaksanaan PAP dalam kurun waktu yang relatif lama, yaitu periode 1996/1997–1998/1999)
dan analisis dampak studi (komponen waktu dalam pengukuran perubahan).

(iv) Prosedur dan persyaratan keikutsertaan dalam PAP merupakan patokan dalam evaluasi
proses.

Dengan demikian, rancangan studi evaluasi dampak sertifikasi tanah melalui PAP, baik pengumpulan
data maupun analisisnya, harus mengacu pada konsep dan rancangan program PAP. Penjelasan rinci
mengenai metode pengumpulan data kuantitatif –khususnya metode penarikan/pengambilan sampel
(sampling method) dan penyusunan instrumen penelitian– serta metode analisis dampak yang digunakan
dalam studi ini dijelaskan dalam dua subbagian berikut.
2.1.1 Sampling
Seperti telah disebutkan sebelumnya, rancangan penarikan/pengambilan sampel survei studi evaluasi
dampak program sertifikasi tanah melalui PAP ini didasari oleh alasan pemilihan lokasi pelaksanaan PAP
dan realisasi penerbitan (jumlah) sertifikat tanah melalui PAP. Penjelasan mengenai mekanisme pemilihan
wilayah penelitian dan kriteria sampel dijelaskan berikut ini.

Wilayah Sampel
Dengan menggunakan data dari BPN Pusat, dipilih 14 kabupaten/kota sampel penelitian secara proporsional.
Pemilihan kabupaten/kota tersebut didasarkan pada jumlah sertifikat PAP yang telah dikeluarkan dan tahun
sertifikasi (lihat Lampiran 1). Selanjutnya, dipilih kecamatan-kecamatan sampel secara purposif. Dalam
mengidentifikasi kecamatan, dibedakan antara daerah perkotaan, perdesaan, dan semi perkotaan, yaitu
daerah yang dekat dengan batas area perkotaan tetapi masih mempertahankan karakteristik perdesaan.
Di kecamatan yang terpilih, dipilih kelurahan dan desa1 secara purposif pula, yang memiliki tipe daerah
yang sama dengan kecamatan (daerah perdesaan, semi perkotaan, dan perkotaan). Desa-desa yang
tercakup dalam Social Assessment 1999 tidak dipilih dalam studi ini. Mekanisme dan kriteria wilayah/lokasi
penelitian dijelaskan secara rinci dalam Lampiran 2. Sebagai tambahan dari 14 lokasi survei tersebut di
atas, dilakukan juga penelitian kualitatif di Nagari Tigo Jangko di Kecamatan Lintau Buo, Kabupaten Tanah
Datar, Sumatera Barat, untuk melihat dan memahami perkembangan pelaksanaan proyek percontohan
pemetaan tanah ulayat yang didukung oleh PAP.

Responden
Terdapat dua kelompok responden dalam sampel studi ini, yaitu responden penerima manfaat PAP
(peserta PAP) dan responden kontrol (nonpeserta PAP). Kelompok kontrol terdiri dari pemilik tanah yang
sebenarnya layak untuk mendapatkan sertifikat tetapi tidak bisa mendapatkannya karena PAP tidak
dilaksanakan di wilayah tersebut. Kelompok kontrol diambil dari wilayah permukiman tetangga yang –
berdasarkan penilaian peneliti– memiliki karakteristik demografi, ekonomi, dan tata guna tanah yang mirip
dengan karakteristik kelompok peserta PAP. Dicakupnya kelompok kontrol dalam studi ini dimaksudkan
agar perubahan-perubahan yang merupakan dampak PAP, seperti nilai tanah, dapat diperhitungkan
dengan lebih baik. Penjelasan rinci mengenai mekanisme dan kriteria responden sampel tersedia dalam
Lampiran 3.

Penelitian lapangan dengan metode survei dalam studi ini mencakup sekitar 1.596 responden rumah
tangga yang dipilih secara acak dari desa/kelurahan sampel dengan komposisi 1.004 rumah tangga yang
menerima sertifikat tanah melalui PAP (peserta PAP), 84 rumah tangga tinggal di wilayah PAP tetapi tidak
berpartisipasi dalam PAP sekalipun layak mendapat sertifikat tanah melalui PAP (bukan peserta PAP),
dan 508 rumah tangga yang tidak mengajukan sertifikat tanah melalui PAP karena proyek PAP tidak
menjangkau daerah tempat tinggal mereka atau yang disebut kelompok kontrol. Di setiap wilayah dari 14
kabupaten/kota lokasi survei, dipilih sekitar 112 rumah tangga sampel. Di samping itu, di setiap wilayah
survei juga diwawancarai beberapa informan kunci. Informan kunci meliputi kepala BPN tingkat kabupaten/
kota dan stafnya, pejabat setempat (bupati/walikota dan camat), lurah/kepala desa dan stafnya, kepala
dusun, ketua RW dan RT (yang lama dan yang baru), tokoh masyarakat, staf Ornop, serta pihak bank dan
lembaga pemberi kredit lainnya.

2.1.2 Instrumen
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian yang dirumuskan, disusun daftar pertanyaan (kuesioner)
terstruktur sebagai instrumen survei. Karena responden penelitian ini terdiri dari dua kelompok utama, yaitu
kelompok penerima manfaat PAP (peserta PAP) dan kelompok kontrol (nonpeserta PAP), maka instrumen
penelitian juga dibedakan menjadi dua sesuai dengan peruntukannya. Namun, untuk mengukur progam
dampak terhadap kontra-fakta, struktur pertanyaan untuk kelompok responden kontrol dibuat sama dengan
pertanyaan untuk peserta PAP, kecuali pertanyaan-pertanyaan yang tidak relevan untuk nonpeserta, seperti
prosedur dan persyaratan pengurusan sertifikat tanah melalui PAP. Daftar pertanyaan untuk peserta dan
nonpeserta PAP disajikan dalam Lampiran 4 dan Lampiran 5.

Secara umum, pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner dikelompokkan menjadi lima bagian pokok, yaitu

(i) pertanyaan mengenai karakteristik responden dan karakteristik rumah tangga,


(ii) pertanyaan mengenai persiapan dan pelaksanaan sertifikasi tanah melalui PAP (sosialisasi
dan prosedur),
(iii) pertanyaan mengenai kepemilikan tanah (semua bidang/persil tanah yang dimiliki rumah
tangga),
(iv) pertanyaan mengenai tanah yang disertifikasi melalui PAP (persyaratan, prosedur sertifikasi
PAP dan kendala-kendala yang dihadapi, biaya), dan
(v) dampak (sosial-ekonomi) terhadap persil/bidang yang disertifikatkan melalui PAP.

Dengan mengacu pada pertanyaan penelitian, variabel-variabel atau pertanyaan-pertanyaan dalam


kuesioner diarahkan agar dapat digunakan untuk menyusun indikator-indikator analisis dampak program,
termasuk kontra-fakta. Di samping itu, tingkat pemilahan/agregasi analisis harus juga dipertimbangkan
dalam penyusunan instrumen penelitian, seperti pemilahan menurut jenis kelamin (laki-laki dan perempuan)
dan pemilihan menurut jenis wilayah (perkotaan, semi perkotaan, perdesaan).

2.2 Metode Analisis


Langkah awal analisis dilakukan dengan menyusun indikator-indikator yang didasarkan pada pertanyaan-
pertanyaan penelitian. Selanjutnya, dihitung dampak PAP untuk tiap-tiap indikator-indikator tersebut
dengan cara membandingkan perubahan-perubahan nilai indikator yang dihasilkan kelompok peserta
dengan kelompok nonpeserta (kontrol). Perbedaan atau perubahan yang terjadi antarwaktu, yaitu sebelum
PAP dan sesudah PAP untuk tiap-tiap kelompok responden perlu dihitung terlebih dahulu. Selanjutnya,
dihitung selisih perubahan masing-masing indikator dari kedua kelompok responden, dan disebut sebagai
dampak program.

Dengan demikian, dampak program adalah selisih antara nilai indikator setelah program dengan kontra-
fakta yang dapat dituliskan dengan persamaan berikut ini.

di mana, i = indikator yang diukur,


t1 = waktu setelah pelaksanaan PAP (pada saat survei)
t0 = waktu awal pelaksanaan PAP.

Hasil analisis evaluasi dampak dalam studi ini disajikan dengan menggunakan statistik deskriptif sederhana,
seperti rata-rata dan proporsi untuk tiap-tiap kelompok responden. Selanjutnya, selisih perubahan tiap-tiap
indikator antara kedua kelompok responden dihitung, dan diartikan sebagai dampak. Tabel-tabel yang
merupakan keluaran dari analisis dampak dalam studi ini disajikan dalam Lampiran 6.
3. Hasil Studi Evaluasi Dampak Program Sertifikasi Tanah
Melalui PAP
Dari pelaksanaan studi evaluasi dampak program sertifikasi tanah secara sistematik melalui PAP disusun
suatu laporan lengkap yang mencakup latar belakang penelitian (termasuk di dalamnya konsep dan
rancangan PAP), tujuan studi, metodologi penarikan/pengambilan sampel, hasil studi yang dirumuskan
sesuai dengan pertanyaan-pertanyaan penelitian, serta implikasi kebijakan dan rekomendasi yang
didasarkan pada hasil evaluasi program. Sesuatu yang perlu ditekankan dalam penyajian hasil studi
evaluasi ini adalah perumusan hasil yang harus disesuaikan dengan pertanyaan-pertanyaan penelitian
yang disusun pada tahap awal studi. Dengan demikian, para pemangku kepentingan dapat dengan mudah
memahami kaitan antara tujuan penelitian, pertanyaan penelitian dan hasil analisis sebagai jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan tersebut, yang selanjutnya dapat dengan mudah pula dikaitkan dengan usulan
kebijakan atau rekomendasi.

Di samping laporan lengkap, tersedia pula laporan ringkas hasil studi evaluasi dampak program sertifikasi
tanah secara sistematik melalui PAP yang disajikan Lampiran 7. Laporan singkat tersebut juga mencakup
latar belakang serta metodologi penelitian sehingga semua proses dalam studi evaluasi dampak PAP ini
dapat dipahami secara utuh dari tahap persiapan/perancangan hingga penyajian hasil dan perumusan
usulan kebijakan dan rekomendasi.

4. Catatan Akhir
Sebuah pertanyaan yang selalu muncul apabila suatu proyek, program, atau kebijakan selesai dilaksanakan
adalah apakah proyek, program, atau kebijakan itu efektif, mencapai sasaran atau tujuan, dan bermanfaat
bagi penerima program. Lebih lanjut, pertanyaan tersebut juga dapat dikembangkan dengan apakah proyek,
program, atau kebijakan yang dijalankan berpengaruh –tidak hanya terhadap penerima manfaat– tetapi
juga pada tingkat kesejahteraan masyarakat luas? Untuk menjawab pertanyaaan-pertanyaan tersebut,
diperlukan suatu kajian evaluasi dampak. Evaluasi dampak dapat dilakukan baik menggunakan pendekatan
kuantitatif maupun kualitatif. Evaluasi yang dilakukan dengan menggunakan kombinasi kedua pendekatan
tersebut akan memberikan gambaran yang lebih baik dan komprehensif bagi para pemangku kepentingan,
yang selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk perbaikan program atau strategi.

Hal penting lainnya yang perlu diperhatikan dalam evaluasi dampak adalah waktu pelaksanaan evaluasi.
Evaluasi dampak tidak dapat dilakukan dalam jangka waktu yang singkat setelah suatu proyek, program, atau
kebijakan selesai dilaksanakan. Batasan waktu kapan evaluasi dampak program sebaiknya dilaksanakan
tidak dapat ditentukan dengan pasti dan sangat tergantung pada jenis program. Sebagai contoh, studi
evaluasi dampak sosial-ekonomi sertifikasi tanah secara sistematis melalui PAP ini tidak dapat dilakukan
dalam waktu singkat –seperti 3 hingga 6 bulan– setelah program dijalankan, tetapi setidaknya satu tahun
atau bahkan lebih setelah program selesai.

Pemahaman yang baik tentang konsep dan rancangan proyek, program, atau kebijakan yang akan dievaluasi
merupakan hal yang penting karena hal tersebut mendasari penyusunan rancangan studi evaluasi yang
akan dilakukan dan sekaligus merupakan kunci keberhasilan suatu evaluasi. Di samping itu, evaluasi
sebaiknya tidak hanya dilakukan oleh pelaksana atau empunya program, melainkan juga pihak eksternal
dan bersifat independen agar hasilnya tidak bias. Tambahan lagi, agar hasil evaluasi dapat benar-benar
dimanfaatkan bagi perbaikan dan pengembangan program atau strategi, penyajian hasil evaluasi yang
sistematis dan dilengkapi dengan usulan kebijakan atau rekomendasi hendaknya disebarluaskan dengan
cara dan media yang sesuai khususnya bagi para pembuat kebijakan.
Lampiran 1

Pemilihan Wilayah Penelitian


Jumlah sertifikat yang Jumlah
% sertifikat kabupaten/ Wilayah penelitian
diterbitkan
yang telah kota di (kabupaten/kota)
Provinsi 1996/1997—2000
diterbitkan mana PAP
di provinsi dilaksanakan Evaluasi Evaluasi
Target Realisasi
*) PAP 1999 PAP 2002
Jawa Barat 783.000 811.831 43,2 14 4 5
Jawa Tengah 457.000 465.321 24,8 15 2 3
Jawa Timur 252.000 258.083 13,7 10 1 2
DI Yogyakarta 162.000 170.580 9,1 3 1 1
DKI Jakarta 175.000 157.153 8,4 5 1 1
Sumatera
11.000 11.028 0,6 1 - 1
Selatan **)
Sumatera Utara
16.000 4.934 0,2 1 - 1
**)
Total 1.856.000 1.878.930 100,0 49 9 14
% 100,0 101,2 28,6
Wilayah tambahan:
Sumatera Barat ***)
1 (tanah ulayat)

Catatan:
*) Jumlah kabupaten: 37, jumlah kota: 12.
**) Sumatera Selatan dan Sumatera Selatan diikutsertakan dalam penelitian meskipun
sertifikasi PAP di wilayah ini baru dimulai pada 1999/2000 karena studi ini dimaksudkan
untuk mengidentifikasi isu khusus yang ada di wilayah ini. Jumlah wilayah penelitian tidak
seluruhnya proporsional terhadap jumlah sertifikat yang telah diterbitkan.
***) Satu wilayah di Sumatera Barat dimasukkan sebagai wilayah penelitian (kualitatif) karena
studi ini juga dimaksudkan untuk menangkap isu proyek perintis pemetaan tanah ulayat.

Kriteria pemilihan wilayah penelitian:


- Proporsi jumlah sertipikat yang telah diterbitkan dari 1996/97 hingga 2000.
- Tahun sertifikasi.
- Lokasi: wilayah perkotaan, semi perkotaan, dan perdesaan.
- Tidak termasuk desa/kelurahan yang ikut serta dalam Social Assessment tahun 1999
Lampiran 2

Pedoman Pemilihan Lokasi Penelitian

A. Tingkat Provinsi
Semua provinsi yang telah melaksanakan PAP, yaitu Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta,
Jawa Timur, Sumatera Selatan, dan Sumatera Utara.

B. Tingkat Kabupaten/Kota
Sebanyak 14 kabupaten/kota di tujuh provinsi yang telah melaksanakan PAP.
Jumlah kabupaten/kota per provinsi: proporsional berdasarkan jumlah sertifikat PAP yang telah
diterbitkan.

Provinsi Jumlah kabupaten/kota


Jawa Barat 5
DKI Jakarta 1
Jawa Tengah 3
DI Yogyakarta 1
Jawa Timur 2
Sumatera Selatan 1
Sumatera Utara 2

Kriteria pemilihan kabupaten/kota adalah seperti berikut.

• Telah melaksanakan PAP.;


• Kondisi wilayah kabupaten/kota: perkotaan (urban), semi perkotaan (semi urban), dan perdesaan
(rural).
• Kabupaten/kota dengan tahun pelaksanaan PAP yang agak lama (1996/1997—1998/1999) agar
dampak PAP lebih terlihat.
• Kabupaten/kota dengan realisasi PAP terbesar di masing-masing provinsi.
• Tambahan: Tanah Nagari Tigo Jangko, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat untuk melihat
pelaksanaan PAP di tanah adat.

C. Tingkat Kecamatan
Satu kecamatan per kabupaten/kota, dengan kriteria sebagai berikut.

• Telah melaksanakan PAP.


• Mewakili kondisi kabupaten/kota sampel (urban, semi-urban, dan rural).
• Kecamatan dengan realisasi PAP terbesar di tingkat kabupaten sampel.
• Tahun penerbitan sertifikat PAP yang agak lama (1996/1997—1998/1999).
• Tidak termasuk kecamatan sampel studi sebelumnya (November 1999) .
• Tidak termasuk kecamatan sampel studi Universitas Gadjah Mada.
• Tidak termasuk kecamatan Pilot PAP.
Tingkat kelurahan/desa

Satu desa/kelurahan sampel per kecamatan sampel, dengan kriteria sebagai berikut.

(i) Telah melaksanakan PAP.


(ii) Mewakili kondisi kabupaten/kota sampel (urban, semi-urban, dan rural).
(iii) Desa/kelurahan dengan realisasi PAP terbesar di kecamatan sampel (terbesar dari desa/kelurahan
yang mewakili kondisi kabupaten/kota sampel).
(iv) Tahun penerbitan sertifikat PAP yang agak lama (1996/1997—1998/1999)
(v) Tidak termasuk kelurahan/desa sampel studi sebelumnya (November 1999).
(vi) Tidak termasuk kelurahan/desa sampel studi Universitas Gadjah Mada.
(vii) Tidak termasuk kelurahan/desa Pilot PAP.

D. Wilayah Kontrol
Kriteria desa/kelurahan kontrol adalah sebagai berikut.
(i) Terletak di atau berdekatan dengan desa/kelurahan sampel **),
(ii) Bersebelahan dengan atau terletak di antara lokasi peserta PAP.
(iii) Mempunyai karakteristik sosial-ekonomi-geografi yang relatif sama dengan peserta PAP.
**) Apabila tidak memungkinkan untuk memperoleh responden kontrol dari desa/kelurahan sampel (peserta
PAP), diperbolehkan menambah satu desa/kelurahan lain di kecamatan yang bersangkutan yang belum
melaksanakan PAP.

E. Tingkat RW/Dusun dan Tingkat RT


Jumlah RW per desa/kelurahan sampel: 50% dari jumlah RW yang sudah melaksanakan PAP di
desa/kelurahan tersebut (3—5 RW) dengan lokasi yang tersebar. Jumlah RT per RW: 3 RT yang telah
melaksanakan PAP dengan lokasi yang tersebar.

Lokasi Sampel Studi PAP

Provinsi, jumlah kab/kota


Kabupaten/Kota Kategori wilayah
sampel
Kota Bandung Urban
Kab. Karawang Rural
Jawa Barat (5) Kab. Bogor Peri urban
Kab. Bekasi Peri urban
Kab. Tangerang Peri urban
DKI Jakarta (1) Jakarta Selatan Urban
Kota Semarang Urban
Jawa Tengah (3) Kab. Pekalongan Peri urban
Kab.Karanganyar Rural
DI. Yogya (1) Kab. Sleman Peri urban
Kab. Gresik Peri urban
Jawa Timur (2)
Kab. Malang Rural
Sumsel (1) Kota Palembang Urban
Sumut (1) Kota Medan Urban
Jumlah: Urban: 5; Peri Urban: 6; Rural: 3
Lampiran 3

PEDOMAN PEMILIHAN RESPONDEN

Responden terdiri dari responden peserta PAP dan responden nonpeserta PAP atau kontrol.

Responden adalah rumah tangga bukan individu. Rumah tangga adalah seorang atau sekelompok
orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik (rumah) dan makan dari satu dapur
(kebutuhan sehari-hari dikelola bersama atau menjadi satu).

Responden Peserta PAP adalah

- rumah tangga yang berdomisili di desa/kelurahan sample, dan


- anggotanya tercantum (pernah tercantum) dalam sertifikat PAP dari tanah yang berlokasi di
desa/kelurahan yang bersangkutan (minimal satu bidang) baik yang sampai saat ini masih
dimiliki maupun sudah dijual.

* Informasi tentang responden peserta PAP ini dapat diperoleh dari informan kunci (staf BPN, lurah/kepala
desa)

Responden kontrol terdiri dari A dan B, yaitu:

Kontrol A:
- Rumah tangga yang berdomisili di desa/kelurahan sampel;
- Mempunyai tanah di desa/kelurahan sampel yang mendapat kesempatan untuk disertifikatkan
melalui PAP tetapi tidak dimanfaatkan atau dimanfaatkan tetapi sertifikat PAP tidak diperoleh karena
berbagai alasan (surat tidak lengkap, tidak tersedia biaya,dll);
- Tidak mempunyai tanah yang bersertifikat (hak milik, hak pakai, Hak Guna Bangunan —HGB,
Hak Guna Usaha—HGU) di desa sampel (utamakan yang sama sekali tidak mempunyai tanah
bersertifikat di mana pun) baik yang diperoleh melalui PAP maupun program lainnya, seperti
PRONA, pendaftaran sporadis, pendaftaran ‘swadaya’, dan lain-lain.

Kontrol B:
- Rumah tangga yang berdomisili di desa/kelurahan sampel (apabila tidak memungkinkan diambil
dari desa lain non-PAP);
- Mempunyai tanah yang tidak bersertifikat di desa/kelurahan domisili
- Seluruh tanah miliknya yang berlokasi di desa/kelurahan domisili tidak mendapat kesempatan untuk
menjadi peserta PAP dan sampai saat ini semua tanah tersebut belum bersertifikat (masih girik,
Letter C, atau akta jual beli);
- Tidak mempunyai tanah yang bersertifikat (hak milik, Hak Guna Bangunan —HGB, hak pakai,
Hak Guna Usaha—HGU) di desa sampel (utamakan yang sama sekali tidak mempunyai tanah
bersertifikat di mana pun) baik yang diperoleh melalui PAP maupun program lainnya, seperti
PRONA, pendaftran sporadis, pendaftaran ‘swadaya’, dan lain-lain.

Jumlah responden
• Jumlah responden adalah 110 orang per desa/kelurahan, terdiri dari:
o minimal 1/3 responden peserta PAP (40 responden);
o maksimal 1/3 responden Kontrol A; dan
o 1/3 Responden Kontrol B (35 responden).
(Karena kemungkinan memperoleh kontrol B sangat kecil, bilamana kriteria sampel untuk
kelompok ini tidak ditemukan di desa/kelurahan maka sampel tipe ini dapat diabaikan)
ð Responden Peserta PAP (>40) + Kontrol A = 2/3 x 110 (75)
ð Responden Peserta PAP + Kontrol A + Kontrol B (35) = 110.

Responden dipilih secara random di setiap RT, dengan cara:


- Dipilih secara random dari daftar peserta PAP (yang mempunyai kesempatan) di tingkat RT
- Menentukan satu rumah sebagai patokan responden awal (misal dekat rumah ketua RT), kemudian
datangi rumah dengan selisih dua rumah: rumah ke-1, rumah ke-4, rumah ke-7, rumah ke-10,
– dst.

Daftar Informan Kunci

Tingkat kabupaten/kota

• Staf BPN/Dinas Agraria yang menangani PAP


• Staf Bidang Ekonomi Pemda
• NGO yang benar-benar memahami issue pertanahan dan PAP

Tingkat kecamatan

• Camat/Staf
• Lembaga keuangan formal yang paling banyak dimanfaatkan oleh responden atau masyarakat desa/
kelurahan setempat, seperti BRI Unit, BUKP, BPR, dan Koperasi

Tingkat kelurahan desa

• Lurah/Kepala Desa dan Staf;


• Kepala Dusun/Ketua RW;
• Ketua RT;
• Kaum elit kelurahan/desa (pemilik tanah terluas);
• Perantara/Calo tanah;
• Mereka yang membeli tanah bersertifikat PAP (berdasarkan informasi dari pemilik tanah
sebelumnya).
Lampiran 4
RAHASIA Edited:

EVALUASI DAMPAK PENDAFTARAN TANAH SISTEMATIK/


PROYEK ADMINISTRASI PERTANAHAN (PAP)

KUESIONER – PESERTA PAP

KATEGORI RESPONDEN:
A
B
C

A. KETERANGAN RESPONDEN
( __ ) D KI ( __ ) J awa Barat
( __ ) J awa T im ur ( __ ) J awa T engah
01. Propinsi
( __ ) D IY ( __ ) S umatera Utara
( __ ) S umatera Selatan

02. Kabupaten/Kota *)

03. Keca matan

04. Desa/Kelurahan *)

05. Daerah Perkotaan - 1 Pedesaan - 2 Semi urban - 3

06. RT /RW/Dusun / /
Nomo r Ur ut Rum ah
07. _____________ (diisi supervisor )
Ta ngga Responden

(1) _ ______________________________
a. Nama Responden
(2) _ ______________________________

08. b. Um ur (1) _ ____ tahun (2) _ ____ tahun (1) (2)

(1) Laki-laki - 1 Perempuan - 2


c. Jenis K elami n (1) (2)
(2) Laki-laki - 1 Perempuan - 2

Status R esponden dalam (1) _ ______________________________ (1) (2)


09.
rumah tangga (2) _______________________________
Kode: Status Respo nden dalam r umah tan gga:
1 Kepala keluarga 5. C ucu
2 Istri/suami 6. Orang tua/mertua
3 Anak 7. Famili lain
4. Menantu 8. La innya

B. KETERANGAN PEWAWAN CARA


01. Nama Pewawanc ara

02. Hari dan Tan ggal W awancara

03. Kesan tentang wawancara


I. KARAKTERISTIK RUMAH TANGGA
Kepala Keluarga:
1 Nama : ……….…………………………
b. Um ur : ……. .…. tahun b. ___ ___
c. Jenis k elamin : Laki-laki - 1 Peremp uan - 2 c. ___
d. Status p erkawinan : Belum/Tidak Me nikah 1 d. ___
Me nikah 2
Cerai mati 3
Cerai hidup 4
e. Pendidikan terakhir : e. ___
Tidak seko lah 1
Tidak tamat SD/sederajat 2
Tamat SD/sede rajat 3
SLTP/sederajat 4
SMU /sederajat 5
Diploma /Ak ademi 6
Universitas 7
f. Lapangan usaha pekerjaan utama : ……………………………….………… f. ___ ___ ___
……………………………… ………………. (diisi editor)
(diuraikan dengan jelas)
Jumlah an ggota rumah ta ngga : …………. . oran g ___ ___

Kondisi rumah:

a. Jenis ( bahan) atap terluas: a. ___


Beton 1 Asbes 5
Genteng 2 Ijuk 6
Sirap 3 Daun-daunan 7
Seng 4 Lainnya 8

b. Jenis d inding terluas: b. ___


Tembok 1 Bambu 3
Kayu 2 Lainnya 4

c. Jenis lantai terluas: c. ___


Marmer/keramik/teraso 1 Bambu 5
Ubin (tegel) 2 Tanah 6
Plester/semen 3 Lainnya 7
Kayu/papan 4
5. Indikator Ke seja hteraa n:
a. Sumber penera ngan utama: a. ___
Listrik 1 Lampu tempel/pelita 3
Petromaks 2 Lainnya, sebutkan: ……………………………… . 4

b. Jenis ba han bakar u tama yang digunakan untuk mem asa k: b. ___
Gas 1 Kayu bakar/arang 3
Minyak t anah 2 Lainnya, sebutkan: ………………… .. 4

c. Sumber air untuk minum d an memasa k: c. ___


Air minum dalam kem asan 1 Sumur tak terlindung/mata air 4
Leding/air yang dimurnikan 2 Air sungai/air hujan 5
Sumur pompa/terlindung 3 Lainnya, sebutkan ……………… .. 6

d. Sumber air untuk mandi, cuci dan ka kus: d. ___


Leding 1 Air sungai/air hujan 4
Sumur pompa/terlindung 2 Lainnya, sebutkan ……………… .. 5
Sumur tak terlindung/mata air 3

e. Baran g berhar ga/a sset yang dimiliki:


(1) Radio/tape rec order Ya - 1 Tidak - 2 e.1. ___
(2) Tele visi Ya - 1 Tidak - 2 e.2. ___
(3) Video/CD/VCD /LD Player Ya - 1 Tidak - 2 e.3. ___
(4) Tele pon/Hand Phone Ya - 1 Tidak - 2 e.4. ___
(5) Kulkas Ya - 1 Tidak - 2 e.5. ___
(6) Sepeda Ya - 1 Tidak - 2 e.6. ___
(7) Sepeda motor Ya - 1 Tidak - 2 e.7. ___
(8) Mo bil Ya - 1 Tidak - 2 e.8. ___

6. Perkiraa n total pengeluaran ru tin R umah Tangga per b ulan:


a. To tal: Rp. ..……………. (apabila tidak terjawab tan yakan rincian nya!) Rp __ __ __ __ _ _ __ __ __
b. R incian:

No. Jenis Peng eluaran Biaya/bulan ( Rp)

1. Ma kanan dan m inuman ___ ___ ___ ___ _ __ ___ ___


2. Pendidikan ___ ___ ___ ___ _ __ ___ ___
3. Keseha tan ___ ___ ___ ___ _ __ ___ ___
4. Tr ansportasi ___ ___ ___ ___ _ __ ___ ___
5. Lai nnya ………………………………… .. ___ ___ ___ ___ _ __ ___ ___

9. Jum lah Pengeluaran ___ ___ _ __ ___ ___ ___ _ __ ___


II. PERSIAPAN DAN PELAKSANAAN SERTIFIKASI PAP
7. Apakah Ba pak/Ibu m endapat kesemp atan u ntuk m enjadi peserta PAP ?
Ya, alasan: … …… …………………………… …………………..……… 1
Tidak, alasan: … ………… …………………………… ………………… 2
a. ___
a. Jika y a, apakah Bapak/ibu ikut menjadi pe serta PAP?
Ya, alasan: … …… …………………………… ………….…… …… 1
Tidak, alasan: … ………… …………………………… …………… 2

b. Apakah Ba pak/ibu sudah me ndapa tkan sertifikat PA P? b. ___


Ya, alasan: … …… …………………………… …………………… 1
Tidak, alasan: … ………… …………………………… …………… 2

8. Siapa yang memb erikan informasi tentang P AP? (jawaban b isa lebih dari satu) ___ ___
Pengurus RT 1 (isikan jumlah skor
Pengurus RW /Kepala Lingkungan 2 dari item terpilih)
Kepala Dusun/Dukuh 4
Kepala Desa/Lur ah 8
Saudara/teman/tetangga 16
Lainnya, sebutkan: …… …………………………… .. 32

9. Bagaim ana cara memp eroleh inform asi tentang PAP tersebut? (jawaban bisa ___ ___
lebih dari sa tu) (isikan jumlah skor
Pertemuan/rapat 1 dari item terpilih)
Dialog/ngobro l secara informal 2
Me mbaca pengumuman 4
Lainnya, sebutkan: …… …………………………… ………. 8

10. Apabila me lalui pengumuman ,

a. Dalam bentuk apa? (jawaban bisa lebih dari satu) a. ___ _ __


Pengumum an 1 (isikan jumlah s kor
Spanduk 2
dari item terpilih)
Bro sur/selebaran 4
Lainnya, sebutkan: …… …………………………… …… 8

b. Ditempatkan d i mana pengumum an tersebut? (jawaban b isa lebih dari satu)


b. ___ ___
Di kantor desa/kelurahan 1
(isikan jumlah skor
Di jalan 2
dari item terpilih)
Di pos-pos jaga RT/RW /Lingkungan 4
Lainnya, sebutkan: …… …………………………… ……….. 8
11. Apabila melalui pertemu an/penyuluhan,
a. Siapa yang diundang ? a. ___
Kepala keluarg a 1
Istri/suami 2
Anak laki-laki 3
Anak perempuan 4
Me nantu laki-laki 5
Me nantu perempuan 6
Lainnya, sebutkan: …… ………………………… 7

b. Siapa yang hadir? b.___


Kepala keluarg a 1
Istri/suami 2
Anak laki-laki 3
Anak perempuan 4
Me nantu laki-laki 5
Me nantu perempuan 6
Lainnya, sebutkan: …… ………………………… 7

c. Berapa kali m enghadiri pertem uan/penyuluhan tersebut?


c. ___
Satu kali 1 Tiga kali 3
Dua kali 2 Lainnya, sebutkan:………………. 4

d. Di mana penyuluhan diselenggarakan?


(1) P ertama di…... ...……………………………………………
d.1. ___
(2) K edua di…. ........……………………………………………
d.2. ___
(3) K etiga di… .........……………………………………………
d.3. ___

Piliha n jawab an un tuk d( 1) – d (3):


1 Rumah P engurus RT
2 Rumah P engurus RW
3 Rumah Kepala D usun/Dukuh
4 Balai/Kantor Desa/Kelurahan
5 Seko lah
6 Me sjid
7 Lainnya, sebutkan: ………………………………………………

12. Apakah informa si yang diperoleh sebelum proses sertifikasi sudah cukup
lengkap? ___
Lengkap 1
Belum/tidak lengkap 2
Tidak tahu 3
13. Apakah terdapat Panitia Khusus/Lokal (sebagai mediator Tim ___
Ajudikasi dengan masyarakat) dalam pelaksanaan sertifikasi PAP
tersebut (di luar Tim Ajudikasi)?
Ya,
- di tingkat R T 1
- di tingkat RW 2
- desa/kelurahan 3
- lainnya, sebutkan ……………...………… 4
Tidak 5
Tidak tahu 6
14. Kalau y a, siapa yang m enunjuk anggota Panitia Khusus/Lokal tersebut? ___
Kepala Desa/Lur ah 1 BPN /Kantor Pertanahan 3
Camat 2 Lainnya, sebutkan: ………………… 4

15. Bagaim ana proses pengurusan sertifikat P AP d ilakukan? ___


Kolektif 1
Sendiri-sendiri 2

a. Jika kolektif, siapa yang mengkoordinir? a. ___


RT 1
RW 2
Kepala dusun 3
Kepala Desa/Lur ah 4
Lainnya, sebutkan: …………………………… 5

b. Jika sendiri-sendiri, siapa yang mengurus permo honan sertifikat melalui PAP ?
b. ___ ___ ___
(jawaban boleh l ebih dari satu)
Kepala keluarga 1 (isikan jumlah s kor

Istri/suami 2 dari item terpilih)

Anak laki-laki 4
Anak perempuan 8
Menantu laki-laki 16
Me nantu perempuan 32
Lainnya, sebutkan: …… ………………(dibedakan L /P) 64
16. Bagaimana prosedur pendaf taran PAP sampai dengan sertifikat sele sai? Jelaskan berda sarka n
tahapannya!

Tahap an Penjelasan
I ……………. .……………………………………………………………………………
II
……………. .……………………………………………………………………………
III
……………. .…………… ………………………………………………………………
IV
……………. .……………………………………………………………………………
V
……………. .……………………………………………………………………………

17. Jika saudara adalah seorang pere m pua n (janda atau belum menikah, yang
memiliki bidang/persil tanah), apa kah memperoleh perlakuan yang berbeda
dibanding p ihak lainnya dalam pros es pem buatan s ertifikasi P AP? ___
Ya
- Ad a d iskriminasi, jelaskan: ……………………………. 1
….................................................................................
- Ad a p enolakan, jelaskan: ……………………………… . 2
.................................................................................…
Tidak 3
Tidak tahu 4

18 Jika saudara adalah seorang WNI keturuna n (yang mempunyai bidang/persil


tanah), apakah memp eroleh perlakuan yang berbeda dibanding pihak lainnya
dalam pr oses pemb uatan sertifikasi PAP ? ___
Ya
- Ad a d iskriminasi, jelaskan: ……………………………. 1
….................................................................................
- Ad a p enolakan, jelaskan: ……………………………… . 2
.................................................................................…
Tidak 3
Tidak tahu 4

19. Apakah di lokasi P AP pernah ada PR ONA sebelumn ya? ___


Ya 1
Tidak 2
Tidak tahu 3

a. Jika ya, kapan? Tahun: …………… ___ ___ ___ ___


b. B erapa biayanya? Rp. ……… ……….. Rp __ _ _ __ __ __ _ _ __ __
III. KEPEMILIKAN TANAH
(Seluruh tanah yang masih dimiliki dan dijual sejak/setelah PAP, baik yang digarap
sendiri maupun digarap orang lain b )

Luas Sertifikasi
Status
No. Nama Persil Penggunaan Kapan Alasan Tdk Alasan Atas
Persil Ya/ As al Persil Atas N ama
Persil a) Lokal m_ Caranya Disertifikat Nama
b) Tdk
(thn) Kan
(301) (302) (303) (304) (305) (306) (307) (308) (309) (310) (311) (312) (313)
20 21 22 23 24 25 26 27 28
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

 Untuk pengisian Tabel di atas, lihat daftar pertanyaan pada halaman berikut (no.
20 – 28)

Konversi satuan luas…................…….. = …............……….. m_ = ……………………


ha

Catatan:
1 Nama persil diisi sesuai dengan nama yang biasa digunakan responden, biasanya
nama blok atau desa/kelurahan di mana persil miliknya berada. Jika lokasinya
diluar kecamatan atau kabupaten, tulislah nama kecamatan dan kabupaten
dimaksud!
Status: (1) dimiliki sebelum PAP (2) dimiliki sejak/setelah PAP (3) dijual
setelah PAP (4) lainnya, sebutkan;
PERTANYAAN UNTUK PENGISIAN BLOK/TABEL III:

20. Luas persil terlebih dahulu diisi dengan satuan lokal, tanyakan konversinya ke m2 atau ha.

21. Apa jenis tanah atau penggunaan dari bidang/persil tanah ini (saat ini)?
Perumahan/pekarangan 1
Sawah 2
Tegal/ladang 3
Lainnya, sebutkan: ………………………………… 4

22. Apakah bidang/persil tanah tersebut telah bersertifikat?


Ya 1 Tidak 2

23. Kalau tanah tersebut telah bersertifikat, kapan dilakukan pensertifikatan? Tahun: ………………

24. Dengan cara apa pensertifikatan atas bidang/persil tanah tersebut?


PAP 1 Prona 3
Sporadis/individual 2 Lainnya, sebutkan: …………………… 4

25. Mengapa bidang/persil tanah tersebut tidak disertifikatkan? (jawaban bisa lebih dari satu)
Tidak ada program 1 Masih terikat dengan keluarga. 8
Tidak ada biaya/biayanya mahal 2 Sedang dalam sengketa 16
Sudah merasa aman 4 Lainnya, sebutkan: …………………………. 32

26. Darimana asal bidang/persil tanah tersebut?


Warisan orang tua suami 1
Warisan orang tua istri 2
Pemberian/hibah dari orang tua suami 3
Pemberian/hibah dari orang tua istri 4
Dibeli suami sebelum menikah 5
Dibeli istri sebelum menikah 6
Dibeli suami setelah menikah 7
Dibeli istri setelah menikah 8
Dibeli berdua suami dan istri setelah menikah 9
Lainnya, sebutkan: …………………………………..10

27. Atas nama siapa bidang/persil tanah tersebut (saat ini)?


Kepala keluarga 1 Menantu Perempuan 6
Istri/suami 2 Cucu laki-laki 7
Anak Laki-laki 3 Cucu Perempuan 8
Anak Perempuan 4 Lainnya, sebutkan: …………………………. 9
Menantu Laki-laki 5

28. Apa alasannya atas nama tersebut? ……………………….………………

Catatan:
1) Blok IV (pertanyaan no. 29-44) diulang untuk setiap persil PAP
2) Blok V (pertanyaan no. 45-72) ditanyakan sekali untuk seluruh persil PAP
3) Blok VI (pertanyaan no. 73-98) ditanyakan sekali untuk seluruh persil non PAP
Nomor Persil: 1 – 2 – 3 – 4 – 5 – 6 – 7 – 8 – 9 – 10 (lingkari sesuai nomor persil!)

IV. TANAH YANG DISERTIFIKASI MELALUI PAP


29. Dokumen/bukti-bukti/surat-surat yang dipersiapkan untuk sertifikasi PAP? (boleh
lebih dari satu)
a. ___
a. Akta jual beli Ya - 1 Tidak - 2
b. ___
b. Girik/Letter C/Letter D Ya - 1 Tidak - 2
c. ___
c. Tanda Lunas PBB Ya - 1 Tidak - 2
d. ___
d. Photocopy KTP Ya - 1 Tidak - 2
e. ___
e. Photocopy KK Ya - 1 Tidak - 2
f. ___
f. Surat Balik Nama Ya - 1 Tidak - 2
g. ___
g. Surat Waris Ya - 1 Tidak - 2
h. ___
h. Akta Kematian Ya - 1 Tidak - 2
i. Surat Keterangan Kepala Desa/Lurah
i. ___
tentang hak atas tanah Ya - 1 Tidak - 2
j. ___
j. Lainnya, sebutkan: ………………………… Ya - 1 Tidak - 2

30. Apakah ada hambatan dalam pelaksanaan sertifikasi tanah melalui PAP ini?
a. ___
a. Dalam penyediaan dokumen:
Ya, sebutkan: ……………………………………………………… 1
Tidak, sebutkan: …………………………………………………… 2

b. ___
b. Dalam pembayaran
Ya, sebutkan: ……………………………………………………… 1
Tidak, sebutkan: …………………………………………………… 2

c.___
c. Dalam proses pelaksanaan sertifikasi PAP
Ya, sebutkan: ……………………………………………………… 1
Tidak, sebutkan: …………………………………………………… 2

d. ___
d. Lainnya, sebutkan: …………………………………………………………..
Ya, sebutkan: ……………………………………………………… 1
Tidak, sebutkan: …………………………………………………… 2

31. Berapa lama proses pembuatan sertifikat melalui PAP (sejak penyerahan persyaratan/
___
dokumen sampai dengan sertifikat jadi)
Satu bulan 1
Dua bulan 2
Tiga bulan 3
Lainnya, sebutkan: …………… bulan 4

32. Apakah pada saat pelaksanaan PAP bidang/persil tanah tersebut mengalami
___
sengketa?
Ya 1
Tidak 2
Kalau ya (ada sengketa):
33. a. Dalam bentuk apa sengketa tersebut? a. ___
Pembagian warisan 1
Penentuan batas 2
Perebutan hak atas tanah 3
Lainnya, sebutkan: …………………………………… 4

b. Bagaimana proses penyelesaiannya sehingga dapat ikut PAP? b. ___


Musyawarah dengan yang bersangkutan 1
Melibatkan pihak ketiga (RT/RW, lainnya: ………………) 2
Melalui jalur hukum/pengadilan 3
Lainnya, sebutkan: ……………………………………………… 4

34. Apakah pernah ada kekeliruan dalam penerbitan sertifikat? ___


Ya 1 Tidak 2

a. Jika ada, apa jenis kekeliruannya? a. ___


Kesalahan ukuran 1
Kesalahan nama 2
Kesalahan lokasi 3
Lainnya, sebutkan: ………………………………… 4

b. Apakah kekeliruan tersebut telah diperbaiki? b. ___


Ya 1 Tidak 2

c. Jika terdapat kekeliruan di atas, bagaimana penyelesaian tersebut dilakukan? c. ___


Mendatangi panitia ajudikasi 1
Mendatangi BPN 2
Lainnya, sebutkan: ………………………………… 3

d. Berapa lama perbaikan tersebut dilakukan? d. ___ ___ hari


………………. hari/minggu/bulan *) *)coret satuan waktu yang tidak sesuai d. ___ ___ minggu
d. ___ ___ bulan
(isikan sesuai
satuan waktu)
d. Apakah ada biaya yang diperlukan untuk perbaikan tersebut? d. ___
Ada, sebutkan: Rp. ……………………… 1 Rp __ __ __ __ __ __
__ __
Tidak ada 2
___
35. Apakah ukuran tanah yang tertera di sertifikat sesuai dengan luas tanah yang
Bapak/Ibu miliki?
Sesuai 1
Tidak sesuai 2
Lainnya, sebutkan: ………………………………. 3
a. Kalau (pernah) tidak sesuai, apa yang Bapak/Ibu lakukan? a. ___
Tidak mengajukan keberatan 1
Mengajukan keberatan/protes ke Kepala Dusun/Dukuh 2
Mengajukan keberatan/protes ke Kepala Desa/Kelurahan 3
Mengajukan keberatan/protes ke BPN 4
Lainnya, sebutkan: ………………………………. 5

b. Kalau mengajukan keberatan, bagaimana hasilnya? b. ___


Ditanggapi dan dipenuhi 1
Ditanggapi tetapi tidak dipenuhi 2
Tidak ditanggapi 3
Lainnya, sebutkan: ………………………………. 4

c. Apabila keberatan Bapak/ibu tidak ditanggapi, mengapa?


Karena: ………………………………………………………………
………………………………………………………………

d. Kalau (pernah) tidak sesuai, tetapi tidak mengajukan keberatan/protes, mengapa?


Karena: ……………………………………………………………….
………………………………………………………………

36 Berapa total dan perincian biaya yang dikeluarkan untuk mengurus sertifikasi PAP?
a. Total: Rp. ……………………………. ___ ___ ___ ___ ___ ___ ___
b. Perincian:
1. Biaya sertifikat Rp. ………………….
2. Biaya lainnya (total rincian a s.d. h): Rp. ………………….
a. Biaya pembuatan Surat Keterangan Lurah Rp. ………………….
(SK Bebas Sengketa)
b. Biaya photocopy Rp. ………………….
c. Biaya membuat KTP Rp. ………………….
d. Biaya transport Rp. ………………….
e. Biaya materai Rp. ………………….
f. Biaya patok/batas Rp. ………………….
g. Biaya Balik/Ganti Nama Rp. ………………….
h. Biaya …………………………………. Rp. ………………….
3. Total biaya (rincian b.1 dan b.2) Rp. ………………….
___ ___ ___ ___ ___ ___ ___

___
37. Darimana biaya untuk sertifikasi PAP tersebut diperoleh?
Uang sendiri/tabungan 1
Menjual aset : ……………………….……………… 2
Bantuan anak 3
Meminjam dari saudara 4
Meminjam dari tetangga 5
Lainnya, sebutkan: …………………………… 6
___
38. Apakah biaya total proses sertifikasi PAP memberatkan?
Ya 1 Tidak 2

a. ___
39. a. Kalau biaya sertifikat lebih tinggi dari itu (36.b.1), apakah sanggup membayar?
Sanggup, sebesar Rp ………………………… 1 Rp __ __ __ __ __ __ __
Tidak, berapa kesanggupannya? Rp ……………. 2 Rp __ __ __ __ __ __ __
b. ___
b. Kalau biaya total lebih tinggi dari itu (36.a), apakah sanggup membayar?
Sanggup, sebesar Rp ………………………… 1 Rp __ __ __ __ __ __ __
Tidak, berapa kesanggupannya? Rp ……………. 2 Rp __ __ __ __ __ __ __
___
40. Bagaimana sebaiknya biaya sertifikasi ditentukan? (jawaban boleh lebih dari satu)
(isikan jumlah skor
Berdasarkan luas lahan yang disertifikatkan 1
jawaban)
Nilai lahan yang akan disertifikatkan 2
Lainnya, sebutkan: …………………………… 3

___
41. Apakah setelah mendapat sertifikat masih ada biaya/uang yang harus dikeluarkan (di
luar biaya no. 36)?
Ya 1 Tidak 2

42. Kalau ya (masih ada biaya/uang yang harus dikeluarkan):


a. Berapa? Rp. ……………………………….. Rp __ __ __ __ __ __ __
(Tuliskan total dari semua pengeluaran di rincian 42.b)
b. ___ ___
b. Kepada siapa? (tuliskan semua biaya lain yang masih harus dikeluarkan)
(isikan jumlah skor
RT 1 Rp __ __ __ __ __ __
jawaban)
RW 2 Rp __ __ __ __ __ __
Kepala Desa/Lurah 4 Rp __ __ __ __ __ __
Lainnya, sebutkan: ………………… 8 Rp __ __ __ __ __ __
c. Untuk keperluan ……………………………………………………….

43. Apakah setelah ada PAP pernah ada yang terkena pembebasan tanah karena proyek
___
pemerintah/swasta?
Ya 1 Tidak 2

44. Kalau ya (ada yang terkena pembebasan tanah),


a. Apa nama proyek tersebut? ……………………………………..……………..
b. ___ ___ ___ ___
b. Kapan proyek tersebut dilakukan? Tahun …………………
c. ___ ___ ___ ___
c. Berapa bidang/persil lahan bersertifikat yang terkena proyek? …………… persil
d. ___ ___ ___ ___
d. Berapa bidang/persil lahan tidak bersertifikat yang terkena proyek? …….. persil

V. DAMPAK SERTIFIKASI PAP TERHADAP PERSIL YANG DISERTIFIKATKAN


___ ___
45. Jawaban untuk Blok V diwakili oleh persil nomor: ………
(Persil yang diberi perlakuan atau nilai totalnya tertinggi)
___
46. Apakah sertifikasi PAP yang dimiliki bermanfaat bagi Bapak/ibu?

Ya, jelaskan: ………………………………………………………..… 1

Tidak, jelaskan: ………………………………………………………. 2

47. Apakah manfaat PAP yang Bapak/ibu peroleh sesuai dengan jerih payah (biaya dan
___
waktu) yang dikeluarkan?

Ya, jelaskan: ………………………………………………………..… 1

Tidak, jelaskan: ………………………………………………………. 2


___
48. a. Apakah harga tanah ini meningkat setelah mendapat sertifikat?
Ya 1 Tidak 2

b. Berapa harga persil tanah Bapak/Ibu sebelum bersertifikat dan setelah


bersertifikat?
a. Sebelum ada sertifikat Rp. …………….. /m2 Rp __ __ __ __ __ __ __
b. Saat ini Rp. ……………/m2 Rp __ __ __ __ __ __ __

49. Apakah setelah sertifikasi PAP terjadi perubahan tagihan Pajak Bumi dan Bangunan
___
yang mencolok?
Ya 1 Tidak 2

50. Kalau ya (terjadi perubahan tagihan Pajak Bumi dan Bangunan yang mencolok):
___
a. Apa penyebab utamanya?
PAP 1
Otonomi 2
Lainnya, sebutkan: …………………………. 3

b. Berapa besar jumlah tagihan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)?


1. Sebelum PAP Rp. ……………. ………. __ __ __ __ __ __ __ __ __
2. Setelah PAP Rp ………………….….. __ __ __ __ __ __ __ __ __
3. Saat ini Rp. ….……………….…. __ __ __ __ __ __ __ __ __

51. Apakah setelah sertifikasi PAP terjadi perubahan iuran desa yang mencolok?
___
Ya 1 Tidak 2

52. Kalau ya (terjadi perubahan iuran desa yang mencolok):


a. ___
a. Apa penyebab yang utamanya?
PAP 1
Otonomi 2
Lainnya, sebutkan: 3
b. ___
b. Bagaimana besar jumlah tagihan iuran desa?
1. Sebelum PAP Rp. ……………. …………… __ __ __ __ __ __ __ __
2. Setelah PAP Rp …………………………… __ __ __ __ __ __ __ __
3. Saat ini Rp. ….………………………. __ __ __ __ __ __ __ __
___
53. Apakah dengan adanya sertifikat PAP timbul pungutan-pungutan baru?
Ya 1 Tidak 2

54. Kalau ya, pungutan apa dan berapa besarnya?


a. Pungutan: …………………………………………………
b. Besarnya: Rp …………………… Rp __ __ __ __ __ __ __ __

55. Sebelum ada sertifikat, apakah tanah tersebut pernah diagunkan untuk mendapatkan
___
kredit?
Ya 1 Tidak 2

___
56. Kalau ya (pernah diagunkan untuk mendapatkan kredit), diagunkan ke mana?
Bank, sebutkan: Bank ……………………………… 1
Rentenir/bank keliling 2
Lainnya, sebutkan: …………………………………. 3
___
57. Apakah setelah ada sertifikat PAP ini pernah diagunkan?
Pernah 1 Tidak/belum pernah 2

58. Kalau pernah,


a. Diagunkan ke mana? a. ___
Bank, sebutkan: Bank ……………………………… 1
Rentenir/Bank keliling 2
Lainnya,sebutkan:…………………………………. 3

b. ___
b. Apakah dicatatkan/dilaporkan ke BPN?
Ya 1 Tidak 2

c. Digunakan untuk apa kredit tersebut? c. ___


Usaha tani 1
Modal usaha non pertanian (sebutkan: ………………...) 2
Membuat rumah 3
Perbaikan rumah 4
Investasi, sebutkan: ………………………………………. 5
Lainnya, sebutkan: ………………………………………… 6
___
59. Sebelum ada sertifikat, apakah tanah tersebut pernah digadaikan?
Pernah 1 Tidak pernah 2

60. Kalau pernah, digadaikan ke mana? ___


Perum Pegadaian 1
Rentenir/bank keliling 2
Perorangan 3
Lainnya, sebutkan: ………………………… 4

___
61. Apakah setelah ada sertifikat PAP tanah ini pernah digadaikan?
Pernah 1 Tidak/belum pernah 2
62. Kalau pernah,
a. ___
a. Digadaikan ke mana?
Perum Pegadaian 1
Rentenir/bank keliling 2
Perorangan 3
Lainnya, sebutkan: ………………………… 4

b. ___
b. Apakah dicatatkan/dilaporkan ke BPN?
Ya 1 Tidak 2

c. Digunakan untuk apa gadai tersebut? c. ___


Usaha tani 1
Modal usaha non pertanian (sebutkan: ……………………) 2
Membuat rumah 3
Perbaikan rumah 4
Investasi, sebutkan: ……………………………………….. 5
Lainnya, sebutkan: ……………………………………….. 6

___
63. Apakah ada peningkatan kualitas/manfaat pada bidang tanah tersebut?
Ada 1 Tidak ada 2

___
64. Kalau ada, bagaimana bentuknya?
Membangun atau memperbaiki rumah 1
Menambah kamar/lantai 2
Membangun atau memperbaiki pagar 3
Membuat atau memperbaiki irigasi 4
Lainnya, sebutkan: ………………………………. 5

65. Apa alasan peningkatan kualitas/manfaat atas tanah tersebut?


…………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………

___
66. Apakah setelah memperoleh sertifikasi PAP, persil tanah tersebut dijual?
Ya 1 Tidak 2
67. Kalau ya (persil tanah dijual),
a. ___
a. Kepada siapa?
Orang desa/kelurahan setempat 1
Orang desa/kelurahan tetangga 2
Orang kota 3
Lainnnya, sebutkan: ……………………………… 4

b. ___
b. Kapan tanah tersebut dijual? Tahun ………………

c. Berapa harga jual tanah tersebut?


1. Harga total Rp. …………………… Rp __ __ __ __ __ __ __
2
2. Harga per m Rp.…………………… Rp __ __ __ __ __ __ __

d. ___
d. Bagaimana proses penjualan tersebut dilakukan?
Di bawah tangan 1
Dengan akta jual beli dari PPAT 2
Dengan akta jual beli dari Camat 3

e. ___
e. Apabila dengan akta jual beli, apakah sudah dibalik nama di BPN?
Ya, ke mana dilaporkan? ……………………………. 1
Tidak 2
Tidak relevan 3

f. Kenapa dijual? Jelaskan!


……………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………

g. Kalau dijual dibawah tangan, bagaimana proses penjualannya?


Uraian: …………………………………………………………………..
………………………..………………………………………….

Apakah setelah ada sertifikat PAP pernah ada yang berminat membeli tanah ___
68.
tersebut?
Ada 1 Tidak 2

69. Kalau ada, a. ___


a. Siapa yang berminat membeli tanah tersebut?
Orang desa/kelurahan setempat 1
Orang dari desa/kelurahan tetangga 2
Orang kota (urban) 3
Lainnya, sebutkan: ………………………… 4

b. Berapa harga tanah per m2 yang diinginkan oleh pembeli? b. ___


Rp. …………… /m2 Rp __ __ __ __ __ __ __ __
c. Kenapa tidak jadi dijual?
Harga dari pembeli terlalu murah 1 c. ___
Tidak berminat untuk menjual 2
Lainnya, sebutkan; ………………………… 3

70. Apakah ada keinginan untuk menjual tanah tersebut? ___


Ada, alasannya: ………………………………………… 1
Tidak ada, alasannya: …………………………………. 2

71. Kalau ada keinginan untuk menjual tanah tersebut, berapa harga tanah per m2 yang
diinginkan?
Harga tanah yang diinginkan pemilik tanah: Rp. ………………… per m2 __ __ __ __ __ __

72. Kalau tidak dijual, apakah ada rencana penggunaan tanah ini? ___
Ada rencana perubahan penggunaan, yaitu: ……………………… 1
Tidak/belum ada rencana 2

VI. DAMPAK SERTIFIKASI PAP TERHADAP PERSIL YANG TIDAK DISERTIFIKATKAN


___ ___
73. Jawaban untuk Blok VI diwakili oleh persil nomor: ………
(Persil yang diberi perlakuan atau nilai totalnya tertinggi)

___
74. a. Apakah harga tanah ini meningkat setelah ada program PAP?
Ya 1 Tidak 2

b. Berapa harga persil tanah Bapak/ibu sebelum ada PAP dan saat ini? (*)
a. Sebelum ada sertifikat Rp. …………….. /m2 Rp __ __ __ __ __ __ __
b. Saat ini Rp. ………….../m2 Rp __ __ __ __ __ __ __

75. Apakah setelah ada program PAP di lokasi lain terjadi perubahan tagihan Pajak
___
Bumi dan Bangunan yang mencolok di lokasi ini? (*)
Ya 1 Tidak 2

76. Kalau ya (terjadi perubahan tagihan Pajak Bumi dan Bangunan yang mencolok):
a. ___
a. Apa penyebab utamanya?
PAP 1
Otonomi 2
Lainnya, sebutkan: …………………………. 3

b. Berapa besar jumlah tagihan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)?


Sebelum PAP Rp. ……………. ………. __ __ __ __ __ __ __ __ __
Setelah PAP Rp ………………….….. __ __ __ __ __ __ __ __ __
Saat ini Rp. ….……………….…. __ __ __ __ __ __ __ __ __
___
77. Apakah setelah program PAP di lokasi lain terjadi perubahan iuran desa yang
mencolok di lokasi ini? (*)
Ya 1 Tidak 2
78. Kalau ya (terjadi perubahan iuran desa yang mencolok):
a. ___
a. Apa penyebab yang utamanya?
PAP 1
Otonomi 2
Lainnya, sebutkan: ……………………………………. 3

b. Bagaimana besar jumlah tagihan iuran desa?


1. Sebelum PAP Rp. ……………. …………… __ __ __ __ __ __ __ __
2. Setelah PAP Rp …………………………... __ __ __ __ __ __ __ __
3. Saat ini Rp. ….………………………. __ __ __ __ __ __ __ __

___
79. Apakah dengan adanya program PAP di lokasi lain menimbulkan pungutan-pungutan
baru di lokasi ini? (*)
Ya 1 Tidak 2

80. Kalau ya, pungutan apa dan berapa besarnya?


a. Pungutan: …………………………………………………
b. Besarnya: Rp …………………… __ __ __ __ __ __ __ __

81. Sebelum ada program PAP di lokasi lain, apakah tanah Bapak/ibu pernah diagunkan
___
untuk mendapatkan kredit? (*)
Ya 1 Tidak 2
___
82. Kalau ya (pernah diagunkan untuk mendapatkan kredit), diagunkan kemana?
Bank, sebutkan: Bank ………………………………..........1
Rentenir/bank keliling....................................................2
Lainnya, sebutkan: ………………………………….........3
___
83. Apakah setelah ada program PAP di lokasi lain, tanah Bapak/Ibu pernah
diagunkan?(*)
Pernah 1 Tidak/belum pernah 2
a. ___
84. Kalau pernah,
a. Diagunkan ke mana?
Bank, sebutkan: Bank ……………………………….....1
Rentenir/Bank keliling...............................................2
Lainnya, sebutkan: …………………………………. ...3

b. ___
b. Apakah dicatatkan/dilaporkan ke BPN?
Ya 1 Tidak 2

c. Digunakan untuk apa kredit tersebut? c. ___


Usaha tani 1
Modal usaha non pertanian 2
Membuat rumah 3
Perbaikan rumah 4
Investasi, sebutkan: ………………………………… 5
Lainnya, sebutkan: …………………………………. 6
___
85. Sebelum ada program PAP di lokasi lain, apakah tanah Bapak/ibu pernah digadaikan?
(*)
Pernah 1 Tidak pernah 2

___
86. Kalau pernah, digadaikan ke mana?
Perum. Pegadaian 1
Rentenir/bank keliling 2
Perorangan 3
Lainnya, sebutkan: ………………………… 4
___
87. Setelah ada program PAP di lokasi lain, apakah tanah Bapak/ibu pernah
digadaikan?(*)
Pernah 1 Tidak/belum pernah 2

88. Kalau pernah,


a. ___
a. Digadaikan ke mana?
Perum. Pegadaian 1
Rentenir/bank keliling 2
Perorangan 3
Lainnya, sebutkan: ………………………… 4

b. ___
b. Apakah dicatatkan/dilaporkan ke BPN?
Ya 1 Tidak 2

c. ___
c. Digunakan untuk apa gadai tersebut?
Usaha tani 1
Modal usaha non pertanian 2
Membuat rumah 3
Perbaikan rumah 4
Investasi, sebutkan: ………………………………… 5
Lainnya, sebutkan: …………………………………. 6

___
89. Setelah ada program PAP di lokasi lain, apakah ada peningkatan kualitas/manfaat
pada bidang tanah Bapak/ibu?
Ada 1 Tidak ada 2

___
90. Kalau ada, bagaimana bentuknya?
Membangun atau memperbaiki rumah 1
Menambah kamar/lantai 2
Membangun atau memperbaiki pagar 3
Membuat atau memperbaiki irigasi 4
Lainnya, sebutkan: ………………………………. 5
91. Apa alasan melakukan peningkatan kualitas atas tanah tersebut?
…………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………

___
92. Setelah ada program PAP di lokasi lain, apakah persil tanah Bapak/ibu dijual? (*)
Ya 1 Tidak 2

93. Kalau ya (persil tanah dijual),


a. ___
a. Kepada siapa?
Orang desa/kelurahan setempat 1
Orang desa/kelurahan tetangga 2
Orang kota 3
Lainnnya, sebutkan: ……………………………… 4

b. ___ ___ ___ ___


b. Kapan tanah tersebut dijual? Tahun ………………

c. Berapa harga jual tanah tersebut?


1. Harga total Rp. …………………… Rp __ __ __ __ __ __ __
2. Harga per m2 Rp.…………………… Rp __ __ __ __ __ __ __

d. ___
d. Bagaimana proses penjualan tersebut dilakukan?
Di bawah tangan 1
Dengan akta jual beli dari PPAT/Camat 2

e. Apabila dengan akta jual beli, apakah sudah dibalik nama di BPN?
e. ___
Ya, ke mana dilaporkan? ……………………………. 1
Tidak 2
Tidak relevan 3

f. Kenapa dijual? Jelaskan!


……………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………

g. Kalau dijual dibawah tangan, bagaimana proses penjualannya?


Uraian: …………………………………………………………………..
………………………..………………………………………….
………………………..………………………………………….
………………………..………………………………………….
………………………..………………………………………….
___
94. Setelah ada program PAP di lokasi lain, apakah pernah ada yang berminat membeli
tanah tersebut? (*)
Ada 1 Tidak 2

95. Kalau ada,


a. ___
a. Siapa yang berminat membeli tanah tersebut?
Orang desa/kelurahan setempat 1
Orang dari desa/kelurahan tetangga 2
Orang kota 3
Lainnya, sebutkan: ………………………… 4

b. Berapa harga tanah per m2 yang diinginkan oleh pembeli?


Rp. …………… /m2 Rp __ __ __ __ __ __ __ __

c. ___
c. Kenapa tidak jadi dijual?
Harga dari pembeli terlalu murah 1
Tidak berminat untuk menjual 2
Lainnya, sebutkan; ………………………… 3

___
96. Apakah ada keinginan untuk menjual tanah tersebut?
Ada, alasannya: ………………………………………… 1
Tidak ada, alasannya: …………………………………. 2

97. Kalau ada keinginan untuk menjual tanah tersebut, berapa harga tanah per m2 yang
diinginkan?
Harga tanah yang diinginkan pemilik tanah: Rp. ………………… per m2 __ __ __ __ __ __

98. Kalau tidak dijual, apakah ada rencana penggunaan tanah ini? ___

Ada rencana perubahan penggunaan, yaitu: ……………………… 1


Tidak/belum ada rencana 2

VII. LAIN-LAIN
99. Apakah sertifikasi PAP di wilayah ini berpengaruh (misalnya harga ikut naik)
___
terhadap tanah di wilayah sekitar yang tidak ada PAP?
Tidak berpengaruh 1
Berpengaruh 2
Tidak tahu 3
Lainnya, sebutkan: ……………………………….…. 4
100. Komentar secara umum tentang PAP:
…..…………………………………………………………………….…………
……………
…..………………………………………………………………………………
…………….
…..………………………………………………………………………………
…………….
…..…………………………………………………………………
101. Usulan:
…..…………………………………………………………………….………………………
…..…………………………………………………………………………………………….
…..…………………………………………………………………………………………….
…..…………………………………………………………………………………………….
…..…………………………………………………………………………………………….
…..…………………………………………………………………………………………….
VIII. CATATAN
Lampiran 5

KONTROL
RAHASIA Edited:

Evaluasi Dampak Pendaftaran Tanah Sistematik/ Proyek Administrasi


Pertanahan (Pap)
KUESIONER – KONTROL

DOMISILI DAN ATAU PERSIL RESPONDEN: KATEGORI RESPONDEN: A


Di lokasi PAP tetapi tidak ikut PAP 1 B
Di luar lokasi PAP 2 C

A. KETERANGAN RESPONDEN
( __ ) D KI ( __ ) J awa Barat
( __ ) J awa T im ur ( __ ) J awa T engah
01. Propinsi
( __ ) D IY ( __ ) S umatera Utara
( __ ) S umatera Selatan

02. Kabupaten/Kota *)

03. Keca matan

04. Desa/Kelurahan *)

05. Daerah Perkotaan - 1 Pedesaan - 2 Semi urban - 3

06. RT /RW/Dusun / /
Nomo r Ur ut Rum ah
07. _____________ (diisi supervisor )
Ta ngga Responden

(1) _ ______________________________
a. Nama Responden
(2) _ ______________________________

08. b. Um ur (1) _ ____ tahun (2) _ ____ tahun (1) (2)

(1) Laki-laki - 1 Perempuan - 2


c. Jenis K elami n (1) (2)
(2) Laki-laki - 1 Perempuan - 2

Status R esponden dalam (1) _ ______________________________ (1) (2)


09.
rumah tangga (2) _______________________________
Kode: Status Respo nden dalam r umah tan gga:
1 Kepala keluarga 5. C ucu
2 Istri/suami 6. Orang tua/mertua
3 Anak 7. Famili lain
4. Menantu 8. La innya

B. KETERANGAN PEWAWAN CARA


01. Nama Pewawanc ara

02. Hari dan Tan ggal W awancara

03. Kesan tentang wawancara


I. KARAKTERISTIK RUMAH TANGGA
1. Kepala Keluarga:
b. Nama : ……….…………………………
b. Umur : ……..…. tahun b. ___ ___
c. Jenis kelamin : Laki-laki - 1 Perempuan - 2 c. ___
d. Status perkawinan : Belum/Tidak Menikah d. ___
1
Menikah 2
Cerai mati 3
Cerai hidup 4 e. ___
e. Pendidikan terakhir :
Tidak sekolah
1
Tidak tamat SD/sederajat 2
Tamat SD/sederajat 3
SLTP/sederajat 4
SMU/sederajat 5
Diploma/Akademi 6 f. ___ ___ ___
Universitas 7 (diisi editor)
f. Lapangan usaha pekerjaan utama : ……………………………….…………
……………………………………………….
(diuraikan dengan jelas)
2. Jumlah anggota rumah tangga : ………….. orang ___ ___

3. Kondisi rumah:

a. Jenis (bahan) atap terluas: a. ___


Beton 1 Asbes 5
Genteng 2 Ijuk 6
Sirap 3 Daun-daunan 7
Seng 4 Lainnya 8

b. Jenis dinding terluas: b. ___


Tembok 1 Bambu 3
Kayu 2 Lainnya 4

c. Jenis lantai terluas: c. ___


Marmer/keramik/teraso 1 Bambu 5
Ubin (tegel) 2 Tanah 6
Plester/semen 3 Lainnya 7
Kayu/papan
4
4. Luas Lantai Rumah: ………………. m2 ___ ___ ___
5. Indikator Kesejahteraan:
a. ___
a. Sumber penerangan utama:
Listrik 1 Lampu tempel/pelita 3
Petromaks 2 Lainnya, sebutkan: ………………………………. 4.

b. ___
b. Jenis bahan bakar utama yang digunakan untuk memasak:
Gas 1 Kayu bakar/arang 3
Minyak tanah 2 Lainnya, sebutkan: ………………….. 4

c. ___
c. Sumber air untuk minum dan memasak:
Air minum dalam kemasan 1 Sumur tak terlindung/mata air 4
Leding/air yang dimurnikan 2 Air sungai/air hujan 5
Sumur pompa/terlindung 3 Lainnya, sebutkan ……………….. 6

d. ___
d. Sumber air untuk mandi, cuci dan kakus:
Leding 1 Air sungai/air hujan 4
Sumur pompa/terlindung 2 Lainnya, sebutkan ……………….. 5
Sumur tak terlindung/mata air 3

e.1. ___
e. Barang berharga/asset yang dimiliki:
e.2. ___
(1) Radio/tape recorder Ya - 1 Tidak -2
e.3. ___
(2) Televisi Ya - 1 Tidak -2
e.4. ___
(3) Video/CD/VCD/LD Player Ya - 1 Tidak -2
e.5. ___
(4) Telepon/Hand Phone Ya - 1 Tidak -2
e.6. ___
(5) Kulkas Ya - 1 Tidak -2
e.7. ___
(6) Sepeda Ya - 1 Tidak -2
e.8. ___
(7) Sepeda motor Ya - 1 Tidak -2
(8) Mobil Ya - 1 Tidak -2

6. Perkiraan total pengeluaran rutin Rumah Tangga per bulan:


a. Total: Rp. ..……………. (apabila tidak terjawab tanyakan rinciannya!) Rp __ __ __ __ __ __ __ __
b. Rincian:

No. Jenis Pengeluaran Biaya/bulan (Rp)

1. Makanan dan minuman ___ ___ ___ ___ ___ ___ ___
2. Pendidikan ___ ___ ___ ___ ___ ___ ___
3. Kesehatan ___ ___ ___ ___ ___ ___ ___
4. Transportasi ___ ___ ___ ___ ___ ___ ___
5. Lainnya ………………………………….. ___ ___ ___ ___ ___ ___ ___

9. Jumlah Pengeluaran ___ ___ ___ ___ ___ ___ ___ ___
II. PERSIAPAN DAN PELAKSANAAN SERTIFIKASI PAP
___
7. Apakah Bapak/Ibu mendapat kesempatan untuk menjadi peserta PAP?
Ya, alasan: ……………………………………………………………… 1
Tidak, alasan: …………………………………………………………… 2

a. Jika ya, apakah Bapak/ibu ikut menjadi peserta PAP? a. ___


Ya, alasan: …………………………………………………………
1
Tidak, alasan: ………………………………………………………
b. ___
2

b. Apakah Bapak/ibu sudah mendapatkan sertifikat PAP? *


Ya 1
Tidak, alasan: …………………………………………………… 2
___ ___
8. Siapa yang memberikan informasi tentang PAP? (jawaban bisa lebih dari satu)
(isikan jumlah skor
Pengurus RT 1
dari item terpilih)
Pengurus RW/Kepala Lingkungan 2
Kepala Dusun/Dukuh 4
Kepala Desa/Lurah 8
Saudara/teman/tetangga 16
Lainnya, sebutkan: ………………………………….. 32

___ ___
9. Bagaimana cara memperoleh informasi tentang PAP tersebut? (jawaban bisa lebih
(isikan jumlah skor
dari satu)
dari item terpilih)
Pertemuan/rapat 1

Dialog/ngobrol secara informal 2

Membaca pengumuman 4
Lainnya, sebutkan: …………………………………………. 8

10. Apabila melalui pengumuman,

a. ___ ___
a. Dalam bentuk apa? (jawaban bisa lebih dari satu)
(isikan jumlah skor
Pengumuman 1
dari item terpilih)
Spanduk 2
Brosur/selebaran 4
Lainnya, sebutkan: ……………………………………… 8

b. ___ ___
b. Ditempatkan di mana pengumuman tersebut? (jawaban bisa lebih dari satu)
(isikan jumlah skor
Di kantor desa/kelurahan 1
dari item terpilih)
Di jalan 2
Di pos-pos jaga RT/RW/Lingkungan 4
Lainnya, sebutkan: ………………………………………….. 8
11. Apabila melalui pertemuan/penyuluhan,
a. Siapa yang diundang? a. ___
Kepala keluarga 1
Istri/suami 2
Anak laki-laki 3
Anak perempuan 4
Menantu laki-laki 5
Menantu perempuan 6
Lainnya, sebutkan: ……………………………… 7

b. Siapa yang hadir? b.___


Kepala keluarga 1
Istri/suami 2
Anak laki-laki 3
Anak perempuan 4
Menantu laki-laki 5
Menantu perempuan 6
Lainnya, sebutkan: ……………………………… 7

c. Berapa kali menghadiri pertemuan/penyuluhan tersebut? c. ___


Satu kali 1 Tiga kali 3
Dua kali 2 Lainnya, sebutkan:………………. 4

d. Di mana penyuluhan diselenggarakan?


(1) Pertama di…......…………………………………………… d.1. ___
(2) Kedua di….........…………………………………………… d.2. ___
(3) Ketiga di….........…………………………………………… d.3. ___

Pilihan jawaban untuk d(1) – d(3):


1. Rumah Pengurus RT
2. Rumah Pengurus RW
3. Rumah Kepala Dusun/Dukuh
4. Balai/Kantor Desa/Kelurahan
5. Sekolah
6. Mesjid
7. Lainnya, sebutkan: ………………………………………………

Keterangan: Pertanyaan nomor 12 s.d. 19 tidak ditanyakan


III. KEPEMILIKAN TANAH
(Seluruh tanah yang masih dimiliki dan dijual sejak/setelah PAP, baik yang digarap
sendiri maupun digarap orang lain b )

Luas Sertifikasi
Status
No. Nama Persil Penggunaan Kapan Alasan Tdk Alasan Atas
Persil Ya/ As al Persil Atas N ama
Persil a) Lokal m_ Caranya Disertifikat Nama
b) Tdk
(thn) Kan
(301) (302) (303) (304) (305) (306) (307) (308) (309) (310) (311) (312) (313)
20 21 22 23 24 25 26 27 28
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

 Untuk pengisian Tabel di atas, lihat daftar pertanyaan pada halaman berikut (no.
20 – 28)

Konversi satuan luas…................…….. = …............……….. m_ = ……………………


ha

Catatan:
1 Nama persil diisi sesuai dengan nama yang biasa digunakan responden, biasanya
nama blok atau desa/kelurahan di mana persil miliknya berada. Jika lokasinya
diluar kecamatan atau kabupaten, tulislah nama kecamatan dan kabupaten
dimaksud!
Status: (1) dimiliki sebelum PAP (2) dimiliki sejak/setelah PAP (3) dijual
setelah PAP (4) lainnya, sebutkan;
PERTANYAAN UNTUK PENGISIAN BLOK/TABEL III:

20. Luas persil terlebih dahulu diisi dengan satuan lokal, tanyakan konversinya ke m2 atau ha.

21. Apa jenis tanah atau penggunaan dari bidang/persil tanah ini (saat ini)?
Perumahan/pekarangan 1
Sawah 2
Tegal/ladang 3
Lainnya, sebutkan: ………………………………… 4

22. Apakah bidang/persil tanah tersebut telah bersertifikat?


Ya 1 Tidak 2

23. Kalau tanah tersebut telah bersertifikat, kapan dilakukan pensertifikatan? Tahun: ………………

24. Dengan cara apa pensertifikatan atas bidang/persil tanah tersebut?


PAP 1 Prona 3
Sporadis/individual 2 Lainnya, sebutkan: …………………… 4

25. Mengapa bidang/persil tanah tersebut tidak disertifikatkan? (jawaban bisa lebih dari satu)
Tidak ada program 1 Masih terikat dengan keluarga. 8
Tidak ada biaya/biayanya mahal 2 Sedang dalam sengketa 16
Sudah merasa aman 4 Lainnya, sebutkan: …………………………. 32

26. Dari mana asal bidang/persil tanah tersebut?


Warisan orang tua suami 1
Warisan orang tua istri 2
Pemberian/hibah dari orang tua suami 3
Pemberian/hibah dari orang tua istri 4
Dibeli suami sebelum menikah 5
Dibeli istri sebelum menikah 6
Dibeli suami setelah menikah 7
Dibeli istri setelah menikah 8
Dibeli berdua suami dan istri setelah menikah 9
Lainnya, sebutkan: …………………………………..10

27. Atas nama siapa bidang/persil tanah tersebut (saat ini)?


Kepala keluarga 1 Menantu Perempuan 6
Istri/suami 2 Cucu laki-laki 7
Anak Laki-laki 3 Cucu Perempuan 8
Anak Perempuan 4 Lainnya, sebutkan: …………………………. 9
Menantu Laki-laki 5

28. Apa alasannya atas nama tersebut? ……………………….………………

IV. TANAH YANG DISERTIFIKASI MELALUI PAP

Pertanyaan Nomor 29 s/d 44 tidak ditanyakan

V. DAMPAK SERTIFIKASI PAP TERHADAP PERSIL YANG DISERTIFIKATKAN


Pertanyaan Nomor 45 s/d 72 tidak ditanyakan

VI. DAMPAK SERTIFIKASI PAP TERHADAP PERSIL YANG TIDAK DISERTIFIKATKAN


___ ___
73. Jawaban untuk Blok VI diwakili oleh persil nomor: …………..
(Persil yang diberi perlakuan atau nilainya tertinggi)

74. ___
a. Apakah harga tanah ini meningkat setelah ada program PAP?
Ya 1 Tidak 2

b. Berapa harga persil tanah Bapak/ibu sebelum ada PAP dan saat ini? (*)
a. Sebelum ada sertifikat Rp. …………….. /m2 Rp __ __ __ __ __ __ __
b. Saat ini Rp. ………….../m2 Rp __ __ __ __ __ __ __

75. Apakah setelah ada program PAP di lokasi lain terjadi perubahan tagihan Pajak
___
Bumi dan Bangunan yang mencolok di lokasi ini? (*)
Ya 1 Tidak 2

76. Kalau ya (terjadi perubahan tagihan Pajak Bumi dan Bangunan yang mencolok):
a. ___
a. Apa penyebab utamanya?
PAP 1
Otonomi 2
Lainnya, sebutkan: …………………………. 3

b. Berapa besar jumlah tagihan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)?


Sebelum PAP Rp. ……………. ………. __ __ __ __ __ __ __ __ __
Setelah PAP Rp ………………….….. __ __ __ __ __ __ __ __ __
Saat ini Rp. ….……………….…. __ __ __ __ __ __ __ __ __

___
77. Apakah setelah program PAP di lokasi lain terjadi perubahan iuran desa yang
mencolok di lokasi ini? (*)
Ya 1 Tidak 2

78. Kalau ya (terjadi perubahan iuran desa yang mencolok):


a. ___
a. Apa penyebab yang utamanya?
PAP 1
Otonomi 2
Lainnya, sebutkan: ……………………………………. 3

b. ___
b. Bagaimana besar jumlah tagihan iuran desa?
1. Sebelum PAP Rp. ……………. …………… __ __ __ __ __ __ __ __
2. Setelah PAP Rp …………………………… __ __ __ __ __ __ __ __
3. Saat ini Rp. ….………………………. __ __ __ __ __ __ __ __

___
79. Apakah dengan adanya program PAP di lokasi lain menimbulkan pungutan-pungutan
baru di lokasi ini? (*)

Ya 1 Tidak 2
80. Kalau ya, pungutan apa dan berapa besarnya?
a. Pungutan: …………………………………………………
b. Besarnya: Rp …………………… __ __ __ __ __ __ __ __

81. Sebelum ada program PAP di lokasi lain, apakah tanah Bapak/Ibu pernah diagunkan
___
untuk mendapatkan kredit? (*)
Ya 1 Tidak 2

___
82. Kalau ya (pernah diagunkan untuk mendapatkan kredit), diagunkan ke mana?
Bank, sebutkan: Bank ……………………………… 1
Rentenir/bank keliling 2
Lainnya, sebutkan: …………………………………. 3

___
83. Apakah setelah ada program PAP di lokasi lain, tanah Bapak/Ibu pernah
diagunkan?(*)
Pernah 1 Tidak/belum pernah 2

84. Kalau pernah,


a. ___
a. Diagunkan ke mana?
Bank, sebutkan: Bank ……………………………… 1
Rentenir/Bank keliling 2
Lainnya, sebutkan: …………………………………. 3

b. ___
b. Apakah dicatatkan/dilaporkan ke BPN?
Ya 1 Tidak 2

c. ___
c. Digunakan untuk apa kredit tersebut?
Usaha tani 1
Modal usaha non pertanian 2
Membuat rumah 3
Perbaikan rumah 4
Investasi, sebutkan: ………………………………… 5
Lainnya, sebutkan: …………………………………. 6
___
85. Sebelum ada program PAP di lokasi lain, apakah tanah Bapak/ibu pernah digadaikan?
(*)
Pernah 1 Tidak pernah 2

___
86. Kalau pernah, digadaikan ke mana?
Perum. Pegadaian 1
Rentenir/bank keliling 2
Perorangan 3
Lainnya, sebutkan: ………………………… 4
___
87. Setelah ada program PAP di lokasi lain, apakah tanah Bapak/Ibu pernah
digadaikan?(*)
Pernah 1 Tidak/belum pernah 2

88. Kalau pernah,


a. ___
a. Digadaikan ke mana?
Perum. Pegadaian 1
Rentenir/bank keliling 2
Perorangan 3
Lainnya, sebutkan: ………………………… 4

b. ___
b. Apakah dicatatkan/dilaporkan ke BPN?
Ya 1 Tidak 2

c. ___
c. Digunakan untuk apa gadai tersebut?
Usaha tani 1
Modal usaha non pertanian 2
Membuat rumah 3
Perbaikan rumah 4
Investasi, sebutkan: ………………………………… 5
Lainnya, sebutkan: …………………………………. 6

___
89. Setelah ada program PAP di lokasi lain, apakah ada peningkatan kualitas/manfaat
pada bidang tanah Bapak/ibu?
Ada 1 Tidak ada 2
___
90. Kalau ada, bagaimana bentuknya?
Membangun atau memperbaiki rumah 1
Menambah kamar/lantai 2
Membangun atau memperbaiki pagar 3
Membuat atau memperbaiki irigasi 4
Lainnya, sebutkan: ………………………………. 5

91. Apa alasan melakukan peningkatan kualitas atas tanah tersebut?


…………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………

___
92. Setelah ada program PAP di lokasi lain, apakah persil tanah Bapak/ibu dijual? (*)
Ya 1 Tidak 2
93. Kalau ya (persil tanah dijual),
a. ___
a. Kepada siapa?
Orang desa/kelurahan setempat 1
Orang desa/kelurahan tetangga 2
Orang kota 3
Lainnnya, sebutkan: ……………………………… 4

b. ___ ___ ___ ___


b. Kapan tanah tersebut dijual? Tahun ………………

c. Berapa harga jual tanah tersebut?


1. Harga total Rp. …………………… Rp __ __ __ __ __ __ __
2
2. Harga per m Rp.…………………… Rp __ __ __ __ __ __ __

d. ___
d. Bagaimana proses penjualan tersebut dilakukan?
Di bawah tangan 1
Dengan akta jual beli dari PPAT/Camat 2

e. ___
e. Apabila dengan akta jual beli, apakah sudah dibalik nama di BPN?
Ya, ke mana dilaporkan? ……………………………. 1
Tidak 2
Tidak relevan 3

f. Kenapa dijual? Jelaskan!


……………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………

g. Kalau dijual di bawah tangan, bagaimana proses penjualannya?


Uraian: …………………………………………………………………..
………………………..………………………………………….

Setelah ada program PAP di lokasi lain, apakah pernah ada yang berminat ___
94.
membeli tanah tersebut? (*)
Ada 1 Tidak 2
95. Kalau ada,
a. ___
a. Siapa yang berminat membeli tanah tersebut?
Orang desa/kelurahan setempat 1
Orang dari desa/kelurahan tetangga 2
Orang kota 3
Lainnya, sebutkan: ………………………… 4

b. Berapa harga tanah per m2 yang diinginkan oleh pembeli?


Rp. …………… /m2 Rp __ __ __ __ __ __ __ __

c. ___
c. Kenapa tidak jadi dijual?
Harga dari pembeli terlalu murah 1
Tidak berminat untuk menjual 2
Lainnya, sebutkan; ………………………… 3

___
96. Apakah ada keinginan untuk menjual tanah tersebut?
Ada, alasannya: ………………………………………… 1
Tidak ada, alasannya: …………………………………. 2

97. Kalau ada keinginan untuk menjual tanah tersebut, berapa harga tanah per m2 yang
diinginkan?
__ __ __ __ __ __
Harga tanah yang diinginkan pemilik tanah: Rp. ………………… per m2

___
98. Kalau tidak dijual, apakah ada rencana penggunaan tanah ini?
Ada rencana perubahan penggunaan, yaitu: ……………………… 1
Tidak/belum ada rencana 2

VII. LAIN-LAIN
99. Apakah sertifikasi PAP di wilayah lain berpengaruh (misalnya harga ikut naik)
___
terhadap tanah di wilayah ini? (*)
Tidak berpengaruh 1
Berpengaruh 2
Tidak tahu 3
Lainnya, sebutkan: ……………………………….…. 4

100. Komentar secara umum tentang PAP:


…..…………………………………………………………………….………………………
…..…………………………………………………………………………………………….
…..…………………………………………………………………………………………….
…..…………………………………………………………………………………………….
…..…………………………………………………………………………………………….
101. Usulan:
…..…………………………………………………………………….………………………
…..…………………………………………………………………………………………….
…..…………………………………………………………………………………………….
…..…………………………………………………………………………………………….
…..…………………………………………………………………………………………….

VIII. CATATAN
Tabel 1. Pemilihan Wilayah Survei Evaluasi Dampak Pendaftaran Tanah Sistematik melalui PAP

Jumlah sertifikat yang % dari


Jumlah Wilayah
telah diterbitkan sertifikat
kabupaten/kota penelitian
Provinsi 1996/97 – 2000 yang diterbit-
dimana PAP (kabupaten/
Target Realisasi kan di setiap dilaksanakan* Kota)
provinsi
Jawa Barat 783,000 811,831 43.2 14 5
Jawa Tengah 457,000 465,321 24.8 15 3
Jawa Timur 252,000 258,083 13.7 10 2
DI. Yogyakarta 162,000 170,580 9.1 3 1
DKI Jakarta 175,000 157,153 8.4 5 1
Sumatera Selatan** 11,000 11,028 0.6 1 1
Sumatera Utara** 16,000 4,934 0.2 1 1
Total 1,856,000 1,878,930 100.00 49 14
100.0 % 101.2 % 28.6%
Wilayah Penelitian Tambahan:
Sumatera Barat***
1
(tanah ulayat)
* Jumlah kabupaten: 37
Jumlah kota: 12

** Sumatera Selatan dan Sumatera Utara diikutsertakan walaupun pelaksanaan sertifikasi PAP baru dimulai
1999/2000 untuk melihat permasalahan khusus di wilayah ini. Sementara itu, jumlah wilayah penelitian tidak
sepenuhnya proporsional dari jumlah sertifikat yang telah diterbitkan.

*** Satu area di Sumatera Barat yang diikutsertakan dalam penelitian untuk laporan khusus tentang pelaksanaan
suatu proyek percontohan pemetaan tanah komunal (ulayat).
Peserta / Tahun
Provinsi No Kabupaten/Kota Kecamatan Kelurahan/Desa Jenis Wilayah
kontrol Sertifikasi
Peserta Kiara Condong Kelurahan Babakan Sari Perkotaan 1997/1998
1 Kota Bandung
Kontrol Bandung Wetan Kelurahan Taman Sari
Peserta Desa Margasari Perdesaan 1996/1998
2 Kabupaten Karawang Klari
Kontrol Desa Darawolong
Jawa Barat Peserta Sukmajaya Kelurahan Sukamaju Semi-Perkotaan 1997/1999
3 Kota Depok
Kontrol Cimanggis Kelurahan Jatijajar
Peserta Setu Desa Burangkeng Semi-Perkotaan 1996/1997
4 Kabupaten Bekasi
Kontrol Cibitung Desa Mekarwangi
Peserta Desa Saga Semi-Perkotaan 1997/1999
5 Kabupaten Tangerang Balaraja
Kontrol Desa Tobat
Peserta Jagakarsa Kelurahan Jagakarsa Perkotaan 1997/1999
DKI Jakarta 6 Kota Jakarta Selatan
Kontrol Kelurahan Ciganjur
Peserta Nglian Kelurahan Purwoyoso Perkotaan 1997/1998
7 Kota Semarang
Kontrol Candi Sari Kelurahan Candi
Peserta Bojong Desa Wiroditan Semi-Perkotaan 1999/2000
Jawa Tengah 8 Kabupaten Pekalongan
Kontrol Desa Bojong Minggir
Peserta Karangpandan Desa Gerdu Perdesaan 1998/1999
9 Kabupaten Karanganyar
Kontrol Matesih Desa Girilayu
Peserta Godean Desa Sidoluhur Semi-Perkotaan 1997/1999
DI. Yogyakarta 10 Kabupaten Sleman
Kontrol Gamping Desa Banyuraden
Peserta Sidayu Desa Mriyunan Semi-Perkotaan 1998/1999
11 Kabupaten Gresik
Kontrol Desa Purwodadi
Jawa Timur
Peserta Pakis Desa Bunut Wetan Perdesaan 1998/1999
12 Kabupaten Malang
Kontrol Desa Sumber Kradenan
Peserta Seberang Ulu I Kelurahan 5 Ulu Perkotaan 2000
Sumatera Selatan 13 Kota Palembang
Kontrol Kelurahan 5 Ulu
Peserta Medan Area Kelurahan Kota Matsum 1 Perkotaan 1999/2000
Sumatera Utara 14 Kota Medan
Kontrol Kelurahan Pasar Merah Timur
Tabel 2. Lokasi Wilayah Penelitian Evaluasi Dampak Sertifikasi Tanah Secara Sistematik Melalui PAP
Tabel 3. Responden Menurut Kabupaten/Kota dan Provinsi

Kabupaten/Kota, Peserta PAP Non-Peserta Kelompok Kontrol


Provinsi Jumlah % Jumlah % Jumlah %
Jakarta Selatan 76 7.6 0 0 35 6.9
DKI Jakarta 76 7.6 0 0 35 6.9

Karawang 75 7.5 2 2.4 37 7.3


Bekasi 71 7.1 7 8.4 37 7.3
Tangerang 68 6.8 7 8.4 36 7.1
Bandung 75 7.5 0 0 35 6.9
Depok 76 7.6 0 0 35 6.9
Jawa Barat 365 36.3 16 19.3 180 35.5

Karanganyar 76 7.6 3 3.61 35 6.9


Pekalongan 60 6.0 14 16.87 36 7.1
Semarang 74 7.4 0 0 35 6.9
Jawa Tengah 210 20.9 16 19.28 106 20.9

Sleman 74 7.4 2 2.4 37 7.3


DI. Yogyakarta 74 7.4 2 2.4 37 7.3

Malang 67 6.7 11 13.25 40 7.9


Gresik 75 7.5 2 2.41 37 7.3
Jawa Timur 142 14.1 13 15.7 77 15.2

Palembang 81 8.1 18 21.7 36 7.1


Sumatera Selatan 81 8.1 18 21.7 36 7.1

Medan 56 5.6 17 20.5 36 7.1


Sumatera Utara 56 5.6 17 20.5 36 7.1
Total 1004 100 84 100 508 100

Tabel 4. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Wilayah


Rasio Kontrol
Kelompok
Peserta PAP Non-Peserta terhadap
Jenis Wilayah Kontrol
Peserta
Jumlah % Jumlah % Jumlah % %
Perkotaan 362 36.1 35 42.2 177 34.9 48.9
Semi-Perkotaan 424 42.2 32 38.5 218 43.0 51.6
Perdesaan 218 21.7 16 19.3 112 22.1 51.8

Total 1004 100 84 100 508 100 50.7


Tabel 5. Rata-rata Jumlah dan Luas Bidang Tanah menurut Provinsi

Peserta PAP Non-Peserta Kelompok Kontrol


(n=1004) (n =84) (n=508)
Rata- Rata- Rata-
Provinsi Rata-rata Rata-rata Rata-rata
rata luas rata luas rata luas
jumlah jumlah jumlah
bidang bidang bidang
bidang bidang bidang
tanah tanah tanah
tanah tanah tanah
(m2) (m2) (m2)
DKI Jakarta 1.4 365.0 - - 1.4 513.1
Jawa 1.7 1,332.1 1.6 1,810.1 1.8 2,184.8
Jawa Tengah 1.9 1,886.6 1.5 1,661.7 1.4 973.8
DI Yogyakarta 2.9 2,217.2 5.0 7,202.5 2.0 1,695.9
Jawa Timur 1.6 1,967.0 1.6 1,971.6 1.6 2,512.7
Sumatera Selatan 1.2 275.1 1.0 123.4 1.0 141.3
Sumatera Utara 1.3 218.5 1.1 236.0 1.0 211.8

Total 1.7 1,382.5 1.4 1,255.4 1.5 1,520.0

Tabel 6. Rata-rata Jumlah dan Luas Tanah Berdasarkan Jenis Wilayah dan

Penggunaan Lahan

Peserta PAP Non-Peserta Kelompok Kontrol


(n=1004) (n =84) (n=508)
Jenis Wilayah/ Rata- Rata- Rata- Rata- Rata-
Rata-rata
Penggunaan Lahan rata rata luas rata rata luas rata luas
jumlah
jumlah bidang jumlah bidang bidang
bidang
bidang tanah bidang tanah tanah
tanah
tanah (m2) tanah (m2) (m2)
Perkotaan
- Perumahan/
1.20 229.1 1.06 178.1 1.05 197.1
pekarangan
- Sawah 0.01 8.6 - - 0.01 1.1
- Tegal/ladang 0.03 12.2 - - 0.02 9.6
- Lain-lain 0.05 12.7 - - 0.03 5.2
Semi-Perkotaan
- Perumahan/
1.40 975.2 1.31 1,013.3 1.20 688.3
pekarangan
- Sawah 0.38 626.1 0.28 532.9 0.35 612.9
- Tegal/ladang 0.13 100.3 0.03 15.6 0.13 221.4
- Lain-lain 0.06 119.0 - - 0.07 423.9
Perdesaan
- Perumahan/
1.23 751.6 1.12 805.3 1.13 708.7
pekarangan
- Sawah 0.39 867.5 0.24 760.0 0.38 1,528.9
- Tegal/ladang 0.34 758.6 0.47 1,331.4 0.24 533.0
- Lain-lain 0.02 6.3 - - 0.01 1.7
Total 1.73 1,382.5 1.4 1,255.4 1.63 1,233.6
Tabel 7. Rata-rata Jumlah Bidang dan Luas Tanah yang Bersertifikat PAP
Menurut Penggunaan Lahan (n = 1004)

Jumlah bidang tanah Bidang Tanah yang Rasio


yang dimiliki responden bersertifikat PAP (%)
Penggunaan Lahan Rata-rata
Rata-rata Rata-rata Rata-rata Jumlah Luas
jumlah
luas bidang jumlah luas bidang bidang bidang
bidang
tanah (m2) bidang tanah tanah (m2) tanah tanah (m2)
tanah
Perkotaan
- Perumahan/pekarangan 1.20 229.1 1.14 217.8 95.2 95.1
- Sawah 0.01 8.6 0.00 0.0 00.0 00.0
- Tegal/ladang 0.03 12.2 0.02 8.6 63.6 70.6
- Lain-lain 0.05 12.7 0.02 6.0 41.2 46.8
1.29 262.6 1.18 232.4
Semi-Perkotaan
- Perumahan/pekarangan 1.40 975.2 1.30 855.2 92.6 87.7
- Sawah 0.38 626.1 0.25 355.1 66.8 56.7
- Tegal/ladang 0.13 100.3 0.09 79.7 75.5 79.5
- Lain-lain 0.06 119.0 0.05 20.0 76.6 16.8
1.97 1,820.6 1.69 1,310.0
Perdesaan
- Perumahan/pekarangan 1.23 751.6 1.17 670.9 95.5 89.3
- Sawah 0.39 867.5 0.33 652.6 82.6 75.2
- Tegal/ladang 0.34 758.6 0.31 682.7 91.9 90.0
- Lain-lain 0.02 6.3 0.01 2.1 40.0 33.7
1.98 2,384.0 1.82 2,008.3
TOTAL 1.73 1,382.5 1.63 1,233.6 94.5 89.2

Tabel 8. Rata-rata Jumlah dan Luas Bidang Tanah yang Bersertifikat PAP Menurut Provinsi (n =
1004)
Rasio bidang tanah
Bidang Tanah bersertifikat PAP
Bidang Tanah Total
Bersertifikat PAP terhadap bidang tanah
total
Provinsi Rata- Rata- Rata-
Rata-rata Luas
rata rata luas rata luas Jumlah
jumlah bidang
jumlah bidang bidang bidang
bidang tanah
bidang tanah tanah tanah
tanah (m2)
tanah (m2) (m2)
DKI Jakarta 1.41 365.0 1.33 343.9 94.4 94.2
Jawa Barat 1.66 1,332.1 1.49 1,092.6 89.8 82.0
Jawa Tengah 1.95 1,886.6 1.71 1,649.8 88.0 87.4
DI. Yogyakarta 2.86 2,217.2 2.54 1,882.6 88.7 84.9
Jawa Timur 1.64 1,967.0 1.41 958.0 85.8 48.7
Sumatera Selatan 1.19 275.1 1.06 244.2 89.6 88.8
Sumatera Utara 1.27 218.5 1.14 193.7 90.1 88.7
Total 1.73 1,382.5 1.63 1,233.6 94.4 89.2
Tabel 9. Sumber Informasi tentang PAP Berdasarkan Jenis Wilayah

Perkotaan Perdesaa n Semi-per kotaan


Sumber Informasi Peserta Non-Peserta Peserta Non-Peserta Peserta Non-Peserta
(%)
Pengurus RT 72,7 37,1 55,9 40,6 43.6 41,2
Pengurus RW 29,8 14,3 12,0 6,3 13.3 0,0
Kepala Dusun 0,6 0,0 23,3 37,5 47.7 35,3
Kepala Desa/Lurah 11,3 11,4 21,0 3,1 21.6 5,9
Saudara/teman/tetangga 8,3 42,9 9,7 25,0 14.2 23,5
Lainnya 8,8 11,4 11,8 3,1 5.5 5,9
Jumlah rumah tangga sampel 362 35 424 32 218 17

Tabel 10. Cara memperoleh Informasi tentang PAP Berdasarkan Jenis Wilayah

Perkotaan Perdesaa n Semi- Perkotaan Total


Sumber Informasi Peserta Non-Peser ta Peserta Non-Peserta Peserta Non-Peserta Peserta Non-Peserta
(%)
Pertemuan Formal 59,7 8,6 58,5 25,0 48,2 35,3 56,7 20,3

Informal: melalui masyarakat 47,5 82,9 42,7 53,1 42,2 64,7 44,3 67,9

Membaca pengumuman 9,4 2,9 12,0 9,4 5,5 5,9 9,7 6,0
Lainnya 12,4 0,0 17,5 18,8 22,0 5,9 16,6 8,4

Jumlah rumah tangga sampel 362 35 424 32 218 17 1.004 84

Tabel 11. Rumah Tangga yang Diundang dan Hadir dalam Pertemuan Formal Berdasarkan Jenis
Wilayah

Perkotaan Perdesaa n Semi-Perkotaa n


Mereka yang diundang
Yang
dan hadir dalam Yang diundang Yang hadir Yang hadir Yang diundang Yang hadir
diundang
pertemuan formal
(%)
Kepala keluarga 93,9 83,1 92,9 84,8 95,2 91,4
Pasangan (suami/istri) 2,4 9,4 6,1 8,6 - 0,9
Anak laki-laki 1,4 3,8 0,4 3,7 2,9 4,8
Anak perempuan - 0,5 - - -
Menantu laki-laki - 0,9 - 0,4 - 0,9
Lain-lain 2,4 2,4 1,2 2,5 1,9 1,9

Tabel 12. Koordinator Pelaksanaan Kolektif Dalam Pengurusan Sertifikat

Wilaya h
Koordinator
Perkotaan Semi-Perkotaa n Perdesaa n
Pelaksana K olektif
%
RT 76,3 72,4 35,2
RW 19,8 8,3 4,4
Kepa la Dusun 1,9 10,9 56,0
Kep. De sa/Lura h - 4,7 -
Lainnya 1,9 3,6 4,4
N 362 218 424
Tabel 13. Rata-rata Biaya Pembuatan Sertifikat melalui PAP untuk Setiap Bidang Tanah Berdasarkan
Jenis Wilayah dan Propinsi

Biaya Sertifikat (Rp) Biaya Total (Rp)


Jenis Wilayah/ % (A) terhadap (B)
(A) (B)
Propinsi Jumlah Rata-rata Jumlah Rata-rata Jumlah Rata-rata
Persil (Rp) Persil (Rp) Pesil (%)
1. Jenis Wilayah
a. Perkotaan 85 16.706 414 40.978 85 49.2
b. Semi Perkotaan 256 15.316 706 36.712 256 66.4
c. Perdesaan 180 8.547 393 25.885 177 34.4

2. Propinsi
a. DKI Jakarta 43 14.605 98 37.100 43 46,8
b. Jawa Barat 209 14.022 531 41.283 209 58,5
c. Jawa Tengah 148 9.895 356 29.923 145 36,9
d. DI Yogyakarta 75 11.613 186 17.280 75 66,4
e. Jawa Timur 16 23.594 199 37.654 16 59,8
f. Sumatera Utara 3 43.333 59 62.619 3 49,7
g. Sumatera Selatan 27 17.704 84 29.107 27 59,2

Total Observasi 521 13.204 1.513 35.067 518 52.7

Tabel 14. Perbedaan Rata-rata Biaya Sertifikat dengan Tarif Resmi Berdasarkan Jenis Wilayah1)

Biaya Sertifikat Biaya Total


Tarif Rata-rata Rata-rata
Jenis Wilayah Resmi Perbedaan Perbedaan
(Rp)a) Rp terhadap tarif Rp terhadap tarif
resmi resmi
1. Perkotaan 11.500 16.706 1,5 kali 40.978 3,6 kali
2.Semi-Perkotaan 2) 11.500 15.316 1,3 kali 36.712 3,2 kali
3. Perdesaan 2.500 8.547 3,4 kali 25.885 10,4 kali

Catatan: 1. Dianggap seluruh bidang tanah merupakan tanah milik adat.


2. Tarif resmi di wilayah semi-urban disamakan dengan wilayah urban/perkotaan.

Sumber: a) BPN, Petujuk Kerja Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematik, 1997.


Tabel 15. Alasan Tidak Menjadi Peserta PAP Walaupun Mendapat Kesempatan

Alasan tidak mensertifikatkan tanahnya N %


Konflik dengan keluarga atau petugas ukur/BPN 6 11,3
Kurang persyaratan 8 15,1
Kurang/tidak ada informasi 2 3,8
Mengganggap tidak bermanfaat 3 5,7
Sudah merasa cukup 1 1,9
Tanah belum dibagikan 7 13,2
Terlambat mendaftar 2 3,8
Tidak ada biaya 12 22,6
Tidak ada ditempat 7 13,2
Lain-lain 5 9,4
Total 53 100,0

Tabel 16. Alasan Responden Menyatakan PAP Bermanfaat (n=1004)

Jenis Alasan Persentase (%)


Kepemilikan kuat secara hukum 46,4
Merasa aman 24,6
Dapat dijaminkan 19,6
Mudah dijual 2,3
Harga tanah meningkat 1,8
Lainnya 5,4

Tabel 17. Rata-rata Peningkatan Pajak Bumi Bangunan Sebelum dan Sesudah PAP Berdasarkan
Jenis Wilayah

Tanah Bersertifikat PAP Kontrol Selisih


Jenis Wilayah Rata-rata N Rata-rata (%) N Rata-rata
(%) %
Perkotaan 118,3 70 62,5 14 55,8
Semi -Perkotaan 83,1 112 69,8 56 13,3
Perdesaan 73,8 29 33,6 21 40,2

Total 93,5 211 60,3 91 33,2


Tabel 18. Persentase Rumah Tangga yang Mengagunkan Tanahnya untuk Mendapatkan Kredit

Catatan:
a) Total rumah tangga PAP = 1,002 karena ada 2 rumahtangga memilih persil yang bukan bersertifikat
PAP (Total rumahtangga peserta PAP = 1.004).
b) Dua rumahtangga peserta PAP (dari 1.002a)) tidak memberikan informasi besar pengeluaran
rumahtangga per bulan
c) Satu rumahtangga Kontrol tidak memberikan informasi besar pengeluaran rumahtangga per bulan.
d) Kuintil pengeluaran rumahtangga per kapita dihitung di tingkat kecamatan

Tabel 19. Nama-Nama di Sertifikat PAP Berdasarkan Asal Perolehan Tanah

Note: * LTM = Laki-laki tidak menikah (bujangan atau duda)


PTM = Perempuan tidak menikah (bujangan atau janda)
** persentase asal tanah
Tabel 20. Nama-nama pada Sertifikat PAP Berdasarkan Asal Pemilikan Tanah dan Jenis Wilayah

Jumlah Nama-nama pada sertifikat PAP (%)


Asal perolehan tanah Suami + Lain-
sertifikat Suami Istri
istri lain
PERKOTAAN
1. Warisan dari orang tua suami 107 66.4 7.5 0.0 26.2
2. Warisan dari orang tua istri 61 6.6 63.9 0.0 29.5
3. Dibeli oleh suami sebelum nikah 17 58.8 0.0 0.0 41.2
4. Dibeli oleh istri sebelum nikah 3 33.3 66.7 0.0 0.0
5. Dibeli oleh suami setelah nikah 131 81.7 13.0 0.8 4.6
6. Dibeli oleh istri setelah nikah 12 0.0 83.3 0.0 16.7
7. Dibeli bersama oleh suami dan istri setelah
91 76.9 14.3 3.3 5.5
nikah
Subtotal 234 75.6 17.1 1.7 5.6
8. Lain-lain 4 75.0 0.0 0.0 25.0
Total 426 62.4 20.9 0.9 15.7

SEMI PERKOTAAN
1. Warisan dari orang tua suami 371 77.1 1.4 0.0 21.6
2. Warisan dari orang tua istri 157 5.1 82.8 0.0 12.1
3. Dibeli oleh suami sebelum nikah 11 81.8 18.2 0.0 0.0
4. Dibeli oleh istri sebelum nikah 2 0.0 100.0 0.0 0.0
5. Dibeli oleh suami setelah nikah 80 72.5 6.3 1.3 20.0
6. Dibeli oleh istri setelah nikah 4 0.0 100.0 0.0 0.0
7. Dibeli bersama oleh suami dan istri setelah
92 67.4 17.4 4.4 10.9
nikah
Subtotal 176 68.2 14.2 2.8 14.8
8. Lain-lain 2 0.0 0.0 0.0 100.0
Total 719 58.8 22.8 0.7 17.7

PERDESAAN
1. Warisan dari orang tua suami 219 74.0 3.2 0.0 22.8
2. Warisan dari orang tua istri 71 7.0 80.3 0.0 12.7
3. Dibeli oleh suami sebelum nikah 5 80.0 20.0 0.0 0.0
4. Dibeli oleh istri sebelum nikah - - - - -
5. Dibeli oleh suami setelah nikah 42 81.0 7.1 2.4 9.5
6. Dibeli oleh istri setelah nikah 6 66.7 33.3 0.0 0.0
7. Dibeli bersama oleh suami dan istri setelah
54 66.7 20.4 0.0 13.0
nikah
Subtotal 102 72.6 15.7 1.0 10.8
8. Lain-lain - - - - -
Total 397 61.7 20.4 0.3 17.6
Tabel 21. Rata-rata Jumlah Bidang Tanah yang Disertifikatkan melalui PAP Berdasarkan Kuintil

Sertifikat PAP
Total tanah (n=1.004) Proporsi (%)
(n=1.004)
Kuintil Luas Luas
Jumlah Jumlah Luas Tanah Jumlah
Tanah Tanah
Persil Persil (m2) Persil
(m2) (m2)
Kuintil 1 1,5 478.1 1.4 478.9 94.5 100.0
Kuintil 2 1,6 590.8 1.6 555.6 98.2 94.0
Kuintil 3 1,7 517.7 1.7 505.6 99.4 97.7
Kuintil 4 1,7 509.6 1.6 437.8 92.9 85.9
Kuintil 1 1,7 713.9 1.9 534.2 91.3 74.8

Tabel 22. Jumlah Persil Tanah yang Mengalami Peningkatan/Perbaikan Tanah Setelah Ada PAP,
Berdasarkan Jenis Wilayah

Peserta PAP
Kontrol Selisih
Tanah Tanah PAP (%)
Jenis Wilayah PAP
Peningkatan/ PAP vs
Jumlah Proporsi Jumlah Peningkatan/ Proporsi Kontrol
perbaikan
Persil (%) Persil perbaikan tanah (%)
tanah
Perkotaan 362 76 21,0 177 31 17,5 3,5
Semi Perkotaan 422 97 23,0 219 43 19,6 3,4
Rural 218 60 27,5 112 17 15,2 12,3
Total 1.002 a) 233 23,3 508 91 17,9 5,3

Catatan: a) Total persil tanah PAP = 1.002 karena ada 2 rumah tangga peserta PAP memilih persil yang
bukan bersertifikat.

Tabel 23. Jumlah Persil Tanah yang Mengalami Peningkatan/Perbaikan Tanah Setelah PAP,
Berdasarkan Kuintil Pengeluaran Rumah Tangga per Kapita

Peserta PAP
Tanah Kontrol Selisih
Kuintil Tanah PAP (%)
PAP
Pengeluaran Peningkatan/ Peningkatan/ PAP vs
Jumlah Proporsi Jumlah Proporsi
perbaikan perbaikan Kontrol
Persil (%) Persil (%)
tanah tanah
Kuintil 1 192 30 15,6 92 17 18,5 -2,9
Kuintil 2 198 33 16,7 100 10 10,0 6,7
Kuintil 3 200 56 28,0 102 19 18,6 9,4
Kuintil 4 200 54 27,0 100 19 19,0 8,0
Kuintil 5 210 60 28,6 113 25 22,1 6,4
1) 2)
Total 1.000 233 23,3 507 90 17,8 5,5
Catatan: Kuintil pengeluaran rumahtangga per kapita dihitung di tingkat kecamatan.
1) Dua rumahtangga peserta PAP (dari 1.002 a)) tidak memberikan informasi besar pengeluaran rumah tangga
perbulan.
2) Satu rumahtangga konntrol tidak memberikan informasi besar pengeluaran rumahtangga per bulan.
Tabel 24. Jumlah Persil Tanah yang Dijual Setelah Ada PAP
Berdasarkan Jenis Wilayah

Peserta PAP
Tanah Kontrol Selisih (%)
Jenis Tanah PAP
PAP PAP vs
Wilayah
Jumlah Persil Proporsi Jumlah Persil Proporsi Kontrol
Persil Dijual (%) Persil Dijual (%)
Perkotaan 362 8 2,2 177 1 0,6 1,6
Semi Perkotaan 422 21 5,0 219 7 3,2 1,8
Perdesaan 218 8 3,7 112 2 1,8 1,9
a)
Total 1.002 37 3,7 508 10 2,0 1,7

Catatan:
a)
Total persil tanah PAP = 1,002 karena ada 2 rumahtangga peserta PAP memilih persil yang bukan
bersertifikat PAP untuk menjawab pertanyaan Blok V (Total rumahtangga peserta PAP = 1,004).

Tabel 25. Jumlah Persil Tanah yang Dijual Setelah Ada PAP
Berdasarkan Kuintil Pengeluaran Rumahtangga Per Kapita

Catatan:
a) Total persil tanah PAP = 1,002 karena ada 2 rumahtangga peserta PAP memilih persil yang bukan
bersertifikat PAP untuk menjawab pertanyaan Blok V (Total rumahtangga peserta PAP = 1,004).
Tabel 26. Jumlah Persil Tanah yang Dijual Setelah Ada PAP
Berdasarkan Jenis Penggunaan Tanah

Peserta PAP Kontrol


Tanah PAP Selisih (%)
Jenis
PAP vs
Penggunaan Jumlah Persil Proporsi Jumlah Persil Proporsi
Kontrol
Persil Dijual Dijual (%) Persil Dijual Dijual (%)
Rumah/
947 32 3,4 465 6 1,3 2,1
Perkarangan
Sawah 34 2 5,9 22 2 9,1 -3,2
Tegal/Ladang 17 2 11,8 10 1 10,0 1,8
Lainnya 4 1 25,0 11 1 9,1 15,9
Total 1.002a) 37 3,7 508 10 2,0 1,7

Tabel 27. Rata-rata Peningkatan Harga Tanah Sebelum dan Sesudah ada PAP
Berdasarkan Jenis Wilayah

Tanah Bersertifikat PAP Kontrol


Selisih
Jenis Wilayah Rata-rata Rata-rata
N N (%)
(%) (%)
Perkotaan 228,6 213 95,4 36 133,2
Semi Perkotaan 181,9 282 149,1 133 32,8
Perdesaan 208,2 139 143,6 47 64,6
Total 203,4 634 138,9 216 64,5

Tabel 28. Kesanggupan Responden Membayar Biaya Sertifikat


Melebihi Biaya yang Berlaku Saat Itu

Biaya Sertifikat Biaya Total Selisih


Uraian Jumlah Jumlah
(Rp) (Rp) (Rp)
Responden Responden
Sanggup 594 52.352 675 89.399 37.047
(78,9%) (75,6%)
Tidak Sanggup 159 24.589 218 41.468 16.879
(21,1%) (24,4%)
Total 753 893
(100,0%) (100,0)
Lampiran 7
Evaluasi Dampak Pendaftaran Tanah Sistematik Proyek
Administrasi Pertanahan (Pap)

RINGKASAN

1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang dan Tujuan
Sejak tahun 1994/1995 Proyek Administrasi Pertanahan (PAP) telah mendukung program percepatan
pendaftaran hak atas tanah, bantuan teknis serta bantuan lain kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Sasaran program ini adalah untuk meningkatkan kepastian kepemilikan, mengurangi sengketa tanah,
mengembangkan efisiensi pasar tanah, memudahkan akses terhadap kredit dengan sertifikat tanah
sebagai agunan, serta sebagai insentif bagi investasi jangka panjang di bidang tanah dan tata guna tanah
yang berkelanjutan.

Ringkasan ini menyajikan temuan-temuan dari survei “Evaluasi Dampak Pendaftaran Tanah Sistematik “
atau “An Impact Evaluation of Systematic Land Titling” melalui PAP (IE-SLT), yang dilaksanakan antara
bulan Januari hingga April 2002, atas permintaan Bank Dunia, Jakarta.

Tujuan umum survei adalah untuk:

(i) mengevaluasi dampak ekonomi dan sosial pendaftaran tanah sistematik melalui PAP;
(ii) mengevaluasi proses pelaksanaan pendaftaran tanah sistematik dan hasil yang dicapai; dan
(iii) merumuskan kebijakan dan implikasinya untuk pengembangan kebijakan selanjutnya.

1.2 Metodologi Penelitian


Lokasi penelitian ditentukan secara purposive. Berdasarkan jumlah sertifikat yang diterbitkan PAP dan tahun
diterbitkannya sertifikat (lihat Tabel 1) dipilih 14 kabupaten/kota secara proporsional. Kemudian, dipilih
kecamatan dan kelurahan/desa sebagai lokasi penelitian (Tabel 2) berdasarkan karakteristik perkotaan,
perdesaan atau semi-perkotaan.

Secara keseluruhan, penelitian ini melibatkan 1.596 responden (Tabel 3 dan 4) yang ditentukan secara
random. Dari jumlah ini, 1.004 orang menerima sertifikat tanah melalui PAP (peserta PAP). Sebanyak 84
orang bukan peserta PAP, sekalipun program ini dilaksanakan di wilayah mereka (non-peserta). Sisanya
508 orang adalah responden kontrol, yaitu pemilik tanah yang tidak bisa memperoleh sertifikat tanah karena
PAP tidak dilaksanakan di wilayah mereka. Kelompok ini diambil dari kelurahan/desa di sekitar wilayah
studi yang secara demografis, sosio-ekonomis, dan tata guna lahannya memiliki karakteristik yang mirip
dengan wilayah kelompok yang diteliti. Tabel 4 hingga 8 memberikan informasi tentang responden survei.

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan survei kuantitatif dengan menggunakan kuesioner.
Survei ini dilengkapi dengan informasi kualitatif melalui wawancara mendalam terhadap para informan
kunci, yang meliputi staf BPN di semua tingkat, aparat pemerintah daerah, tokoh masyarakat, staf bank,
dan LSM.

Di luar studi di 14 kabupaten/kota, dilakukan pengamatan kualitatif tambahan di Nagari Tigo Jangko,
Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Tujuan kunjungan ini adalah untuk mengamati sebuah pilot
project pemetaan lahan komunal yang didukung oleh Bank Dunia untuk memetakan tanah ulayat di wilayah
tersebut.
2. Hasil Studi
2.1 Pemilihan Wilayah Penelitian dan Penentuan Sasaran Program
Kecamatan dan kelurahan/desa lokasi pelaksanaan PAP ditentukan oleh Kantor Pertanahan tingkat
kabupaten, berdasarkan kebijakan BPN mengenai wilayah prioritas. Prioritas diberikan kepada wilayah-
wilayah yang:

> maksimal 30% persil tanah sudah bersertifikat;


> wilayah pengembangan perkotaan dengan tingkat pembangunan yang tinggi;
> intensitas jual beli tanah yang tinggi;
> persil tanah yang tidak bersertifikat tidak tersebar luas;
> mayoritas merupakan keluarga berpenghasilan rendah; dan
> tersedia peta dasar kelurahan/desa.

Hasil survei menunjukkan bahwa prioritas pemilihan wilayah tersebut telah diikuti. Kriteria khusus setempat
yang cukup bervariasi, kadang-kadang ditambahkan, misalnya tidak adanya sengketa tanah dan prioritas
tanah darat. Secara keseluruhan, penentuan sasaran wilayah proyek diarahkan pada area semi-perkotaan
di mana proses urbanisasi sedang berlangsung secara cepat, bahkan di wilayah yang tidak mengalami
kenaikan transaksi jual-beli tanah (misalnya di wilayah survey di Bekasi). Pada semua lokasi survei terjadi
kecenderungan yang mengarah pada lokasi-lokasi dengan mayoritas rumah tangga yang kurang sejahtera
secara ekonomi. Sebagai contoh, kebanyakan desa-desa PAP di salah satu kecamatan Jawa Tengah
sebelumnya telah dimasukkan dalam program pemerintah untuk penanggulangan kemiskinan di ”Desa
Tertinggal” (IDT).

Di beberapa desa kontrol yang dipilih dalam survei ini, aparat setempat meminta agar desa mereka tidak
dimasukkan dalam PAP karena khawatir bahwa pendapatan desa dari transaksi tanah akan turun.

2.2 Sosialisasi PAP


Sosialisasi PAP dilakukan di tingkat RT, dan secara keseluruhan dilakukan dengan baik. Aparat desa
tingkat bawah yang tidak menerima gaji (ketua RT/RW) memainkan peran yang sangat besar dalam
sosialisasi (Tabel 9). Hasil survei menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara wilayah perkotaan,
semi-perkotaan dan perdesaan dalam sosialisasi PAP. Lebih dari 90% responden menyatakan bahwa
mereka telah menerima informasi yang cukup tentang persyaratan yang harus dipenuhi. Akan tetapi,
hanya setengah dari responden yang mengetahui PAP dari pertemuan formal (Tabel 10). Responden lain
memperoleh informasi secara informal dari mulut ke mulut. Kelompok non-peserta, kebanyakan mendengar
tentang PAP dari warga yang lain. Dalam pertemuan formal, hampir selalu kepala keluarga (berdasarkan
hasil survei 93.4% adalah pria) yang diundang (Tabel 11). Suami istri diundang hanya ditemukan dalam
beberapa kasus.

Brosur, spanduk dan jenis pengumuman cetak lainnya relatif tidak signifikan peranannya dalam sosialisasi
PAP karena biasanya diletakkan atau dipasang di kantor kelurahan/desa dimana hanya sedikit orang yang
bisa melihatnya. Meskipun sebagian besar masyarakat mengetahui PAP sebelum pelaksanaan dimulai,
namun sejumlah responden di Bandung, Bekasi, Tangerang dan Malang mengatakan bahwa mereka baru
mengetahui ketika petugas datang untuk mengukur tanah mereka. Hal ini karena saat sosialisasi orang-
orang yang berkepentingan sedang tidak ada di rumah atau tinggal di dusun yang terpencil. Di beberapa
tempat (Tangerang dan Palembang) sebagian orang mengatakan bahwa mereka tidak menghadiri
pertemuan karena mereka tidak yakin program sertifikasi akan berhasil. Beberapa responden juga percaya
bahwa sosialisasi sengaja dibatasi oleh penguasa desa karena jumlah sertifikat yang dialokasikan kurang
dari jumlah persil tanah.
2.3 Persyaratan Calon Peserta PAP
Secara umum, survei tidak menemukan bukti bahwa persyaratan sertifikasi PAP menguntungkan atau
merugikan kelompok tertentu dalam masyarakat. Penduduk di wilayah perdesaan dan semi-perkotaan
lebih mudah untuk memenuhi persyaratan dasar dari bukti kepemilikan tanah dibandingkan penduduk
di wilayah urban (75% banding 40%). Alasannya adalah, apabila surat tanah hilang, aparat di wilayah
perdesaan dapat menelusuri asal-usul kepemilikan dengan menggunakan catatan tanah yang tersedia di
kantor desa sehingga dapat menyediakan salinannya. Hal ini tidak terjadi di wilayah perkotaan karena asal
usul tanah sering berasal dari transaksi jual beli dimana bukti kepemilikan biasanya dalam bentuk akte jual
beli atau nota pembelian, dan bukti semacam ini lebih sulit untuk ditelusuri apabila ada tuntutan dari pihak
lain.

Terdapat fleksibilitas yang cukup besar dalam pemenuhan persyaratan dokumen pelengkap seperti kartu
pengenal, surat wasiat yang menunjukkan pembagian tanah warisan, surat kematian, surat pernyataan
kepemilikan tanah yang dibeli yang tercatat di kantor kelurahan, dan sebagainya. Meskipun demikian,
pembuatan dokumen pelengkap ini dikenakan biaya sehingga menyebabkan kenaikan biaya sertifikasi.

Seperti dalam sosialisasi, Ketua RT memainkan peranan penting dalam membantu masyarakat dalam
menyiapkan dokumen dan menyerahkan permohonan sertifikat (Tabel 12). Sekitar 97% dari keseluruhan
responden, tanpa memandang dari wilayah perkotaan, semi-perkotaan dan perdesaan, mengatakan bahwa
mereka tidak mengalami masalah dalam memenuhi persyaratan.

2.4 Penanganan Sengketa dan Kesalahan pada Sertifikat


Dari 1.542 persil tanah yang memperoleh sertifikat PAP, terdapat 2% sengketa yang semuanya telah dapat
diselesaikan. Kebanyakan sengketa tersebut terjadi di wilayah semi-perkotaan, yaitu sengketa mengenai
batas antara persil-persil yang berdekatan, serta perselisihan mengenai pembagian tanah warisan diantara
ahli waris. Beberapa kasus sengketa muncul karena tanah telah didaftarkan atas nama yang berbeda atau
karena adanya pengakuan ganda atas tanah yang sama. Sengketa biasanya diselesaikan di lingkungan
komunitas atau keluarga yang bersangkutan, sering kali dengan bantuan RT atau petugas kelurahan
lainnya, berhubung calon penerima sertifikat menyadari bahwa sertifikat tidak akan diberikan jika sengketa
masih belum selesai.

Delapan persen responden mengeluhkan adanya kesalahan pada sertifikat yang mereka terima.
Kebanyakan dari kesalahan ini (64%) berupa kesalahan pengukuran2, sementara 18% dari sertifikat yang
“tidak benar” menunjukkan lokasi persil yang salah, 12% mencantumkan nama dan stempel yang salah.
Dua pertiga responden dalam kategori ini tidak melakukan apa pun untuk membetulkan kesalahan yang
terjadi, karena mereka tidak menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang penting.

2.5 Biaya Sertifikat

Kebanyakan responden peserta PAP mengalami kesulitan untuk mengingat dengan tepat berapa jumlah
uang yang telah dikeluarkan untuk mendapatkan sertifikat PAP. Akibatnya, hanya 521 dari 1.004 peserta
PAP yang memberikan informasi biaya secara terperinci. Biaya pembuatan sertifikat dapat dibagi ke dalam
tiga kategori: biaya sertifikat, biaya total mencakup biaya sertifikat ditambah ongkos dokumen pelengkap,
dan biaya-biaya yang harus dikeluarkan ketika sertifikat siap untuk diambil atau biaya paska sertifikat
(Tabel 13).

Biaya sertifikat rata-rata adalah Rp13.204 atau hanya 53% dari total pengeluaran untuk sertifikat. Biaya
sertifikat yang dikeluarkan responden berkisar antara nol hingga Rp100.000, dan lebih mahal di wilayah
perkotaan dan semi-perkotaan ketimbang di wilayah perdesaan. Biaya tertinggi terjadi di Medan, sedangkan
terrendah di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Walaupun demikian, variasi biaya tidak hanya terjadi di tingkat
propinsi tetapi juga di tingkat RT dan RW, di desa atau kelurahan yang sama. Kondisi ini khususnya terjadi di
Jawa Barat dan Jakarta. Sementara itu ada beberapa kasus di mana orang yang sangat miskin, khususnya
para janda, tidak dikenakan biaya sama sekali karena subsidi silang dari masyarakat. Beberapa kasus juga
menyebutkan bahwa aparat desa tidak mengeluarkan sepeser pun untuk memperoleh sertifikat karena
pungutan tambahan yang dikenakan di tingkat desa bisa menutup biaya yang harus mereka bayarkan
ke BPN. Tidak ada bukti bahwa biaya resmi Rp2.500 per persil yang ditetapkan oleh BPN di wilayah
perdesaan diikuti. Mayoritas responden dan bahkan para informan kunci tidak menyadari perbedaan ini,
dimana seharusnya biaya sertifikat di wilayah perdesaan jauh lebih murah dari Rp11.500 yang ditetapkan
untuk wilayah perkotaan (Tabel 14). Sama halnya, kebanyakan responden tidak menyadari bahwa sejak
tahun 2000 sertifikat PAP tidak dikenakan biaya sama sekali.

Biaya-biaya untuk dokumen pelengkap yang dijelaskan dalam bagian 2.3 di atas relatif tinggi di semua
wilayah. Selain biaya untuk KTP dan sebagainya, biaya-biaya ini mencakup berbagai kontribusi untuk
tujuan-tujuan yang tidak ada kaitannya dengan PAP, seperti perbaikan jalan (di Depok) dan pembangunan
balai pertemuan kecamatan (di Gresik). Jadi angka rata-rata Rp13.204 per sertifikat menjadi Rp35.067
dengan adanya biaya-biaya tambahan tersebut. Tidak dapat diketahui secara persis berapa biaya yang
dibayarkan responden yang benar-benar untuk BPN.

Sekitar 10% dari responden mengatakan bahwa mereka telah membayar ongkos tambahan ketika
sertifikat telah selesai, tetapi pembayaran ini biasanya dilakukan secara sukarela. Sebagai contoh, banyak
dari penerima program ini membayar sejumlah kecil uang kepada ketua RT sebagai penghargaan atas
bantuannya. Akan tetapi, di Jakarta Selatan dan Depok, sertifikat lengkap diserahterimakan kepada peserta
program ini dalam sebuah map yang disiapkan secara khusus, dengan biaya Rp10.000 hingga Rp12.500.
Biaya paska sertifikasi ini menyebabkan biaya total menjadi sebesar Rp36.449 per sertifikat.

Sebanyak 94% penerima PAP membayar biaya sertifikasi dari uang tabungan mereka sendiri. Hanya 0,7%
yang terpaksa menjual harta benda miliknya untuk membayar biaya sertifikasi. Kebanyakan responden
mengatakan bahwa mereka tidak keberatan dengan biaya resmi pembuatan sertifikat atau bahkan
biaya-biaya tambahan, karena biaya tersebut lebih kecil dibandingkan biaya pembuatan sertifikat secara
sporadis, apalagi proses PAP tidak sulit. Sekalipun demikian, sebagian peserta merasa bahwa aparat desa
telah menyalahgunakan uang dan semestinya harus lebih transparan dalam hal tujuan dari biaya-biaya
tambahan yang dikenakan.

2.6 Non-peserta PAP


Di hampir semua lokasi survei di mana PAP dilaksanakan, ada beberapa orang yang tidak mendapatkan
sertifikat tanah. Dari 84 responden non peserta PAP, sekitar 15,1% mengatakan bahwa mereka tidak
memiliki kesempatan untuk ikut serta dalam PAP karena mereka tidak dapat melengkapi persyaratan.
Alasan paling umum yang dikemukakan kelompok non-peserta adalah karena pada saat itu tidak memiliki
cukup uang (Tabel 15). Alasan lainnya adalah adanya konflik batas tanah dengan saudara atau petugas
pengukur, tanah warisan yang belum dibagi diantara ahli waris, kurangnya informasi, tidak ada manfaat
dengan memiliki sertifikat, pada saat itu sedang tidak ada di rumah, atau terlambat membuat aplikasi.
Menurut para informan kunci, banyak yang sebenarnya bisa memperoleh sertifikat tetapi tidak menjadi
peserta karena pemiliknya tinggal di tempat lain dan tidak bisa dihubungi pada saat itu.

Penjelasan lebih jauh yang cukup penting diberikan oleh aparat desa di suatu wilayah semi-perkotaan.
Beberapa orang yang memiliki persil tanah yang relatif luas menolak mensertifikatkan tanahnya melalui
PAP. Hal ini karena mereka menganggap bahwa apabila mereka akan menjual sebagian tanah bersertifikat,
mereka akan kesulitan dan harus mengeluarkan biaya yang lebih besar untuk pemecahan sertifikat.
3 Dampak Ekonomi dan Sosial dari PAP
3.1 Metodologi yang Dipakai untuk Mengevaluasi Dampak
Pendekatan metodologis yang digunakan untuk mengevaluasi dampak PAP adalah dengan membandingkan
perubahan-perubahan dari - utama pada responden atau persil tanah di wilayah PAP dengan perubahan-
perubahan terkait pada responden kontrol, dengan menggunakan metode “different in different“ atau
“perbedaan dalam perbedaan”. Metode ini dimaksudkan untuk mengisolasi perubahan yang dipengaruhi
PAP dari pengaruh faktor-faktor lainnya.

3.2 Manfaat bagi Peserta


Manfaat sertifikat. Mayoritas peserta (94,7%) mengatakan bahwa curahan waktu, tenaga, dan biaya yang
dikeluarkan untuk mendapatkan sertifikat melalui PAP adalah kecil dibandingkan dengan kegunaan dari
sertifikat tersebut. Lebih dari separuh responden merasa bahwa sertifikat tersebut akan sangat bermanfaat,
sementara 39% menyatakan bahwa biaya murah dan prosesnya mudah. Dalam mengungkapkan jawabannya
ini, responden membandingkannya dengan kesulitan, uang dan waktu yang harus diperhitungkan untuk
memperoleh sertifikat melalui program sporadis. Biaya rata-rata sertifikat PAP adalah Rp36.449 (lihat
Bagian 2.5 di atas) sementara untuk mendapatkan sertifikat melalui pendaftaran sporadis memerlukan
biaya paling tidak Rp1.000.000. Mayoritas responden (58%) memperoleh sertifikat mereka dalam dua
bulan sejak penyerahan dokumen, sementara 36% mengatakan bahwa waktu yang dibutuhkan adalah tiga
bulan. Waktu yang diperlukan melalui pendaftaran tanah secara sporadis lebih dari satu tahun.

Kepastian kepemilikan. Hampir 70% responden percaya bahwa mereka sekarang memiliki kepastian
kepemilikan yang lebih besar dengan memegang sebuah sertifikat tanah yang mengakui hak kepemilikan
mereka (Tabel 16). Meskipun demikian sulit untuk mengaitkan keyakinan mereka dengan kemungkinan
tanah mereka digusur oleh proyek pemerintah atau proyek lainnya yang membutuhkan lahan. Hal ini karena
di semua lokasi survei, termasuk di wilayah kontrol, survei menemukan bahwa tingkat pembebasan tanah
sangat kecil dalam beberapa tahun belakangan ini. Kondisi ini mencerminkan situasi ekonomi Indonesia,
yang dalam beberapa tahun belakangan ini tidak mendukung investasi dalam proyek konstruksi skala
besar. Sekalipun demikian, banyak responden yakin bahwa posisi tawar-menawar mereka akan jauh lebih
kuat seandainya pemerintah memutuskan untuk membuat proyek pembangunan baru atau jika lokasi
industri yang sekarang ada ingin memperluas lokasi.

Pajak dan retribusi. Memiliki sebuah sertifikat tanah tidak secara otomatis mempengaruhi Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB), karena yang disebut terakhir ini ditangani oleh Kantor Perpajakan (KPPBB). Akan tetapi,
data survei (Tabel 17) menunjukkan bahwa dalam persepsi responden, PAP akan menyebabkan PBB naik
hingga rata-rata 33,2%. Kenaikan tertinggi adalah di wilayah perkotaan, sementara kenaikan terendah di
wilayah semi-perkotaan. Berkaitan dengan retribusi desa dan pungutan lain, responden mengakui tidak
ada peningkatan retribusi di desa dan tidak ada pungutan baru yang dibuat karena adanya sertifikat PAP.

Akses terhadap kredit. Dengan perluasan pendaftaran tanah melalui PAP, secara keseluruhan terjadi
peningkatan 12,8% kredit dengan sertifikat PAP sebagai agunan (Tabel 18). Angka ini diperoleh dengan
membandingkan perbedaan persentase responden yang mengagunkan tanah sebelum dan sesudah
mendapatkan sertifikat PAP pada responden peserta PAP dan kontrol. Peningkatan tertinggi adalah di
wilayah perdesaan (28,4%), diikuti wilayah semi-perkotaan (13,4%) dan perkotaan (2,5%). Temuan ini
sesuai dengan data dan informasi kualitatif yang diperoleh dari dua unit Bank Rakyat Indonesia (BRI) di
Jawa Timur. Jumlah pinjaman dari kedua bank tersebut telah meningkat sejak PAP dilaksanakan. Staf bank
mengatakan bahwa kebanyakan dari peningkatan disebabkan oleh PAP karena kebanyakan dari pinjaman
tergantung pada sertifikat tanah yang berasal dari PAP.

Analisis berdasarkan pengeluaran bulanan per kapita per rumah tangga menunjukkan pola kurva U dalam
penggunaan sertifikat PAP untuk mendapatkan kredit (Tabel 18). Angka tertinggi (15,2%) ditemui diantara
responden dalam Kuintil 13, sedangkan yang terendah pada Kuintil 3 (9%) dan tertinggi kedua pada Kuintil
5 (14,7%). Hal ini menunjukkan bahwa mereka yang berpendapatan terendah lebih berkecenderungan
menggunakan sertifikat tanah untuk mendapatkan kredit.

3.3 Dampak Sosial yang Berbeda


Gender. Untuk mengetahui apakah ada kelompok di dalam komunitas yang tidak memperoleh manfaat dari
PAP, survei mengamati dampak PAP terhadap kelompok perempuan. Ketika ditanyakan apakah pemilik
tanah perempuan diperlakukan secara berbeda denga laki-laki selama proses PAP, mayoritas (89,7%)
responden laki-laki dan perempuan menyatakan tidak ada diskriminasi. Fakta bahwa undangan menghadiri
pertemuan selama pelaksanaan program ditujukan kepada kepala keluarga adalah sesuatu yang lazim di
Indonesia dan dalam persepsi responden bukanlah suatu diskriminasi. Apabila kepala keluarga adalah
perempuan, mereka biasanya tetap diundang dalam pertemuan tetapi cenderung menyuruh anaknya laki-
laki atau anggota keluarganya yang laki-laki untuk mewakilinya dalam pertemuan-pertemuan tersebut.

Dari sertifikat PAP yang diterbitkan, 45,4% adalah untuk persil tanah yang diwarisi dari keluarga pihak
suami, sedangkan 18,8% adalah untuk tanah yang diwarisi dari keluarga pihak istri, dan 35,8% untuk tanah
yang telah dibeli. Tabel 19 memberikan rincian nama-nama sertifikat.

Data survei menunjukkan kecenderungan yang kuat untuk mencantumkan nama suami pada tanah yang
dibeli bersama oleh suami istri setelah menikah. Nama suami dipakai sebanyak 70,9% kasus, sementara
nama istri hanya 16,9%, dan 3% mencantumkan nama suami dan istri. Kecenderungan ini semakin besar
di wilayah perkotaan dibandingkan di wilayah perdesaan (Tabel 20). Alasan yang diberikan oleh mayoritas
(86%) responden terhadap kecenderungan ini adalah karena nama yang ditulis dalam sertifikat merupakan
keputusan bersama antara suami dan istri. Akan tetapi para petugas BPN menyatakan bahwa mereka
menggunakan nama yang tercantum dalam akte jual beli atau akte waris dalam menyiapkan sertifikat PAP
untuk tanah yang dibeli.

Hanya sekitar 10,5% perempuan yang mengurus langsung aplikasi dan dokumen pelengkap untuk
pembuatan sertifikat atas namanya. Perempuan yang lainnya meminta suami, anak atau menantu
atau orangtua/mertua untuk mewakilinya. Akan tetapi, kebanyakan perempuan menyelesaikan sendiri
sertifikatnya karena Tim Ajudikasi menekankan bahwa pengambilan sertifikat harus dilakukan oleh orang
yang namanya tercantum pada sertifikat.

Perbedaan antara kaya dan miskin. Dalam upaya mengidentifikasi perbedaan antara kaya dan miskin
dalam pemberian sertifikat tanah PAP, survei mengumpulkan data pengeluaran rumah tangga bulanan
sebagai pengganti penghasilan. Data dikelompokkan dalam Kuintil. Proporsi rata-rata jumlah persil tanah
yang disertifikatkan melalui PAP pada semua Kuintil adalah lebih besar dari 90% (Tabel 21). Hal ini
mengindikasikan bahwa pendaftaran tanah sistematik menyentuh semua lapisan masyarakat.

Sebagaimana yang ditunjukkan dalam Bagian 2.1 di atas, BPN memberikan prioritas pendaftaran tanah
bagi desa-desa dan masyarakat yang termasuk dalam tingkatan sosial ekonomi yang rendah. Dalam
menafsirkan temuan-temuan survei, harus diingat bahwa sementara terdapat gradasi alami tertentu
dari posisi ekonomi secara relatif, gradasi diantara responden survei sangat tipis, sehingga sulit untuk
mengganggap responden Kuintil 1 sebagai ”miskin” dan responden Kuintil 5 sebagai ”kaya”. Selain dari
hal ini, adalah fakta bahwa kebanyakan responden hanya bisa memberikan perkiraan yang sangat umum
mengenai pengeluaran bulanan mereka.

Partisipasi kelompok etnis. Berdasarkan informasi kualitatif, di lokasi penelitian terdapat WNI keturunan,
yaitu di Karawang, Bekasi, Depok, Palembang, dan Medan. Mereka diminta melengkapi syarat tambahan
berupa surat keterangan kewarganegaraan ketika menyerahkan aplikasi PAP. Karena hanya sedikit
responden WNI keturunan dalam survei maka hanya 899 responden yang menjawab kuesioner tentang
diskriminasi etnis. Dari responden yang menjawab tersebut, 50,7% menyatakan tidak tahu apakah hal
tersebut terjadi, sementara sekitar 47,6% responden menyatakan tidak ada diskriminasi.
4 Dampak Sosio-ekonomi PAP yang Lebih Luas
4.1 Peningkatan/Perbaikan Tanah (investment in land)
Dalam hal ini yang dimaksud dengan ‘investment in land’ investasi adalah upaya perbaikan yang akan
meningkatkan produktivitas tanah atau meningkatkan nilai atau harga tanah. Dampak sertifikasi PAP terhadap
peningkatan/perbaikan tanah (investment in land) diperkirakan mencapai sekitar 5,3%. Dampak tertinggi
(12,3%) ditemui di wilayah perdesaan (Tabel 22 dan 23), diikuti wilayah perkotaan dan semi-perkotaan dengan
berturut-turut pengaruhnya sekitar 3,5% dan 3,4%. Kebanyakan upaya peningkatan/perbaikan tanah yang
tercatat adalah membangun atau memperbaiki rumah, namun dalam beberapa kasus juga terjadi adanya
perubahan dalam pemanfaatan tanah, misalnya dari areal sawah menjadi rumah.

4.2 Perubahan Pasar Tanah


Jual beli tanah. Sertifikasi tanah secara sistematik melalui PAP telah berdampak pada kenaikan 1,7%
jumlah transaksi tanah di lokasi penelitian (Tabel 24). Di wilayah perkotaan penjualan tanah meningkat
empat kali lipat, sementara di wilayah semi-perkotaan naik dua kali lipat. Hal ini terjadi pada responden
yang masuk dalam Kuintil 2, 3, dan 4 menurut pengeluaran per kapita per bulan (Tabel 25) yang menjual
tanahnya setelah mendapatkan sertifikasi PAP (berturut-turut 6.1%, 5.6%, dan 1%). Responden pada
Kuintil 1 dan 5 tampaknya berdampak negatif. Artinya, terdapat lebih sedikit responden yang menjual
tanahnya setelah PAP daripada sebelum PAP. Jenis tanah yang paling sering dijual (Tabel 26) adalah
rumah (2,1%), diikuti oleh tanah non-irigasi (1,8%). Demikian pula, efek terhadap sawah beririgasi adalah
negatif.

Nilai atau harga tanah yang diperkirakan. Banyak responden tidak penah mengetahui atau tidak dapat
mengingat harga atau nilai tanah miliknya beberapa tahun yang lalu. Hanya mereka yang telah menjual atau
mengagunkan tanahnya, atau yang merencanakan akan melakukan kedua hal ini yang mengetahui dengan
pasti kecenderungan harga tanah. Oleh karena itu, hanya sekitar 63,3% peserta PAP dan 42,5% kelompok
kontrol menjawab pertanyaan ini. Berdasarkan perbandingan kenaikan harga menurut persepsi kelompok
peserta PAP dan kontrol, maka nilai/harga tanah telah meningkat rata-rata 64,6% sebagai dampak sertifikat
PAP. Kenaikan tertinggi (133,2%) terjadi di wilayah perkotaan (Tabel 27).

Menurut persepsi kurang dari 30% peserta PAP, sertifikasi tanah PAP telah memberikan dampak terhadap
nilai tanah di sekitar wilayah pelaksanaan PAP. Namun demikian, sekitar 40,6% responden menyatakan
bahwa sertifikasi tanah melalui PAP tidak mempunyai dampak terhadap nilai/harga tanah, sementara
29,7% menyatakan bahwa mereka tidak tahu. Sebanyak 70% dari dua kategori yang terakhir disebut
diatas menyatakan bahwa banyak faktor lainnya diluar pemilikan sertifikat tanah yang mempengaruhi nilai/
harga tanah.

Efek lainnya. Informan kunci menyatakan ada dua aspek tambahan dari dampak lebih luas sertifikasi
PAP. Pertama, pendirian kantor-kantor notaris PPAT baru di kota kecamatan-kecamatan dimana
sertifikasi PAP dilaksanakan (lima kantor di Tangerang, satu di Bekasi, dan satu di Sleman). Hal ini berarti
bahwa kini kebutuhan adanya jasa pelayanan notarial semakin meningkat. Kedua, terjadi penurunan
pemasukan pendapatan kecamatan dan desa. kedua aspek ini saling berkaitan karena transaksi tanah
semakin banyak ditangani oleh notaris daripada melalui kepala desa/lurah dan camat. Walaupun masih
dimungkinkan untuk memperoleh setifikat tanah melalui camat yang juga adalah petugas PPAT (Pejabat
Pembuat Akte Tanah), namun masyarakat lebih memilih mengurus sertifikat tanah melalui PPAT karena
biayanya dianggap lebih murah. Efek ini sangat dirasakan di desa-desa yang tidak mempunyai sumber
pemasukan pendapatan lokal lainnya kecuali dari transaksi jual beli tanah.
4.3 Mendorong Pendaftaran Tanah Secara Sporadik
Salah satu akibat pelaksanaan PAP terhadap desa-desa dan kelurahan disekitar wilayah pelaksanaan PAP
adalah timbulnya kesadaran masyarakat yang lebih tinggi mengenai manfaat sertifikasi. Namun, tidak ada
indikasi bahwa PAP telah mendorong peningkatan pendaftaran tanah secara sporadis, yaitu pendaftaran
tanah untuk pertama kalinya atas keinginan pemilik tanah.

Biaya pendaftaran tanah secara sporadis ditetapkan oleh Kantor BPN ditingkat kabupaten. Komponen
biaya terbesar adalah untuk pengukuran dan pemetaan tanah. Biaya pembuatan sertifikat sporadis sangat
tinggi. Seorang responden di Gresik, misalnya, berkata bahwa beberapa bulan sebelum pelaksanaan
PAP ia membayar Rp4 juta untuk mengurus sertifikat tanah seluas 420 m2 dan sekitar Rp16 juta untuk
sebidang tanah seluas 4,2 hektar melalui proses pendaftaran secara sporadik4. Waktu yang dibutuhkan
untuk mengurus kedua sertifikat ini satu setengah tahun.

Untuk alasan diatas banyak anggota masyarakat berusaha untuk membuat sistem pendaftaran tanah secara
swadaya yang biayanya sedikit agak lebih mahal daripada jika melalui PAP, namun masih jauh lebih murah
daripada jika melalui pendaftaran secara sporadis. Rencana kelompok ini yang didasarkan pada keinginan
untuk memperoleh biaya yang relatif murah yang akan dilakukan dengan cara pengukuran dan pemetaan
sejumlah persil yang berdekatan satu sama lain pada waktu yang sama dan pengajuannya dilakukan
secara kolektif. Di beberapa tempat yang berdekatan dengan wilayah pelaksanaan PAP yang terjadi justru
sebaliknya. Mereka menunggu “putaran” pelaksanaan PAP yang berikutnya, sehingga akibatnya jumlah
mereka yang melakukan pendaftaran secara sporadis benar-benar merosot.

Sekitar 92% responden berkata bahwa biaya sertifikasi melalui PAP tidak membebani rumah tangga
mereka. Sebagian besar (78,9%) merasa bahwa jika biaya sertifikasi harus dinaikkan, sebaiknya tidak lebih
dari Rp50.000 atau biaya total Rp90.000 yang termasuk biaya-biaya lain (Tabel 28). Jumlah ini jauh lebih
rendah daripada jumlah yang disebutkan oleh peserta kelompok kontrol yang akan melakukan sertifikasi
swadaya dengan usulan biaya Rp150.000 (di Banyuraden, Kabupaten Sleman), dan Rp350.000 di Ciganjur
(Jakarta Selatan). Dari informasi kualitatif disebutkan bahwa banyak yang merasa bahwa biaya sertifikasi
seharusnya dikaitkan dengan luasnya persil tanah, sementara yang lain mengusulkan agar menetapkan
beberapa lapis atau strata biaya yang menunjukkan lokasi tanah, kedekatan dengan sarana transportasi,
dan faktor-faktor lainnya yang disebut di atas.

Ringkasan Temuan Kunjungan ke Nagari Tigo Jangko, Sumatra Barat


Latar belakang. Pada November 1999 Bank Dunia setuju untuk membantu Kanwil BPN di Sumatera
Barat melakukan suatu proyek percontohan pemetaan tanah komunal. Tujuan proyek ini adalah agar
batas-batas suatu nagari (suatu wilayah tanah yang dimiliki oleh komunitas adat) dapat dipetakan melalui
prosedur partisipatoris penetapan batas tanah ulayat oleh masyarakat adat setempat. Nagari Tigo Jangko
dipilih karena nagari ini adalah wilayah tanah adat yang tertua, dan cukup luas wilayahnya sehingga dapat
mengidentifikasi 1500 persil tanah dan masyarakat setempat juga mendukung proyek ini. Selain itu wilayah
tersebut tidak pernah mengalami masalah dengan pelaksanaan Prona (kegiatan sertifikasi dan pemetaan
tanah secara nasional yang telah diadakan sebelum PAP). Fakta bahwa Pejabat Kantor Pertanahan yang
bertanggungjawab atas pelaksanaan proyek percontohan ini berasal dari Tigo Jangko mungkin juga ikut
berperan dalam penentuan lokasi ini.

Pengukuran dan Pemetaan. Penelitian SMERU mengkonfirmasikan bahwa pelaksanaan proyek


percontohan ini memang ternyata berbeda dengan yang semula direncanakan, karena menggunakan
pendekatan ajudikasi sistematik (PAP) standar yang telah dilaksanakan di beberapa propinsi di Jawa. Alih-
alih melakukan identifikasi batas tanah ulayat, ternyata Kanwil BPN melakukan pemetaan dan pengukuran
persil-persil tanah didalam wilayah pemukiman. Hasilnya adalah Peta Dasar Teknis sekitar 1.505 persil
tanah. Salinannya disimpan di kantor BPN di Jakarta dan di Kanwil propinsi serta Kantor Pertanahan
kabupaten, dan belum disampaikan kepada petugas desa dan pemangku kepentingan (stakeholder)
lainnya.
Sikap Masyarakat. Menurut Kanwil BPN di tingkat propinsi, pemetaan batas-batas nagari dan tanah ulayat
hanya dapat dilakukan bila persil-persil tanah yang ada semuanya telah diukur dan dipetakan. Sekitar
kurang dari 30% kepala keluarga adat (ninik-mamak dalam masyarakat matriakat) tidak menyetujui adanya
kegiatan pengukuran, pemetaan, apalagi sertifikasi pada saat kegiatan ini disosialisasikan. Mereka yang
keberatan atas kegiatan ini berpendapat bahwa jika sertifikat dikeluarkan, maka tanah ulayat akan dapat
diperjual-belikan atau dipergunakan sebagai agunan bank oleh anggota keluarga (terutama oleh para
keponakan) tanpa sepengetahuan para ninik mamak. Dengan demikian lambat-laun tanah keluarga akan
habis. Sebaliknya, alasan yang diberikan oleh para keponakan yang menolak sertifikasi tanah ulayat adalah
adanya perselisihan tanah dalam keluarga karena ninik mamak menjual tanah keluarga tanpa sepengetahuan
mereka. Mereka mengkhawatirkan bahwa jika sertifikat atas nama kepemilikan perorangan dikeluarkan maka
akan menyebabkan timbulnya pembagian tanah komunal yang tidak adil.

Konsekuensi sosialisasi PAP yang tidak tepat. Pada saat sosialisasi PAP dilakukan pada bulan September
2000, anggota masyarakat dijanjikan bahwa mereka akan memperoleh sertifikat tanah tanpa biaya dengan
bantuan dana dari Bank Dunia. Materi sosialisasi ini tanpa sepengetahuan pihak Bank Dunia. Karena
adanya janji tersebut, mereka yang masih mendukung pelaksanaan perdaftaran tanah secara sistematik
hingga saat ini masih menunggu terbitnya sertifikat PAP yang dijanjikan. Hingga saat SMERU mengunjungi
lokasi penelitian pada bulan April 2002 belum ada sertifikat yang diterbitkan melalui pendaftaran sistematik
sebagai tindak lanjut dari kegiatan pemetaan. Alasan yang diberikan oleh Kanwil BPN Sumatera Barat
dan Kantor Pertanahan Kabupaten Tanah Datar adalah mereka menunggu konformasi dari Kantor BPN
Pusat mengenai kelanjutan pendanaan dari Bank Dunia. Akibat informasi yang tidak tepat ini masyarakat
bertanya-tanya mengenai keterlibatan Bank Dunia. Salah satu anggota masyarakat bahkan menyatakan
bahwa beberapa anggota masyarakat curiga Bank Dunia berniat akan menjual tanah ulayat setelah
kegiatan pemetaan dan sertifikasi selesai. Menurut Bank Dunia, proyek telah selesai pada pihaknya telah
tahun 2001 sesuai tahun anggaran yang berlaku.

Pendaftaran tanah secara sporadis. Sejumlah kecil penduduk yang ingin memperoleh modal dari bank
untuk kegiatan usahanya dengan sertifikat tanah sebagai agunan kredit bank beberapa tahun yang lalu
telah mendaftarkan tanah miliknya melalui program pendaftaran tanah secara sporadis. Namun, umumnya
masyarakat tidak berusaha memperoleh sertifikat tanah melalui program sporadis karena mereka yakin
bahwa tak ada orang lain yang akan menggugat tanahnya. Ketika Prona dilaksanakan, memang tidak
ada masalah atau penolakan atas program ini karena kebanyakan tanah yang didaftarkan adalah tanah
milik perorangan (pusako rendah), bukan milik komunal. Data akurat tentang jumlah sertifikat Prona yang
diterbitkan di wilayah ini tidak diperoleh tetapi menurut informan sekitar 300 sertifikat Prona telah diterbitkan
dari beberapa kali pelaksanaan. Sekitar 30% kredit yang dikeluarkan oleh Cabang BRI terdekat dengan
wilayah studi diberikan dengan agunan sertifikat tanah, sementara selebihnya dengan agunan dokumen
pemilikan barang, misalnya surat sepeda motor. Karena banyak muncul kasus gugatan/sengketa tanah,
kini pihak bank menolak dokumen tanah sebagai jaminan kecuali sertifikat tanah.

Kesimpulan. Faktor utama yang mendorong masyarakat Nagari Tigo Jangko untuk memiliki sertifikat
tampaknya adalah kebutuhan untuk mempunyai agunan yang diterima BRI. Permintaan tentang hal ini
cukup tinggi. Bila masyarakat dapat menggunakan bentuk agunan lainnya untuk mendapat kredit bank
mungkin mereka tidak akan begitu tertarik untuk memperoleh sertifikat tanah perorangan.

Masalah muncul karena ada kesalahpahaman mendasar mengenai maksud Bank Dunia mendukung
proyek percontohan untuk pemetaan batas tanah komunal, juga karena adanya informasi yang tidak benar
yang diberikan kepada masyarakat. Sertifikasi sejumlah bidang tanah melalui Prona sedikitnya menjelaskan
penerimaan masyarakat mengenai informasi yang tidak benar tersebut.

Perlu dicatat bahwa wilayah khusus Nagari Tigo Jangko adalah bagian dari suatu masyarakat matrilineal
tradisional. Permasalahan yang ada di nagari ini tidak selalu sama dengan tanah ulayat di wilayah-wilayah
lainnya.
5. Kesimpulan Kebijakan dan Implikasi terhadap Pengembangan
Kebijakan Lebih Lanjut
Jika PAP akan dilanjutkan dalam bentuk seperti yang saat ini, sejumlah implikasi membutuhkan
pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut.

Implikasi berdasarkan data survei


1. Prioritas penetapan target harus tetap diberikan kepada pemilik tanah dari masyarakat dengan tingkatan
sosial-ekonomi bawah.

2. Kebijakan mengenai biaya pembuatan sertifikat perlu ditinjau kembali dan perlu mempertimbangkan
hal-hal berikut ini:

- Fakta bahwa banyak masyarakat perkotaan dan masyarakat semi-perkotaan mampu dan bersedia
membayar biaya sertifikasi tanah melalui PAP lebih tinggi daripada biaya yang dikenakan saat
ini, dengan syarat proses pengurusannya tetap mudah, cepat, dan biayanya tidak seperti biaya
pendaftaran secara sporadis.

- Ukuran setiap persil tanah dan peruntukannya, meskipun hal ini akan membutuhkan cara
penghitungan biaya yang lebih canggih daripada yang sedang berlaku saat ini, yang hanya
membedakan antara wilayah perkotaan dan wilayah perdesaan.

- Kemungkinan melakukan pendaftaran tanah secara swadaya berdasarkan situasi setempat, tanpa
harus membuat peraturan yang diberlakukan di seluruh propinsi.

3. Dalam proses pelaksanaan PAP masih ada peluang untuk mengembangkan beberapa aspek:
- Ketika melakukan sosialisasi program masyarakat harus menerima informasi selengkapnya
dan harus ada transparansi mengenai semua aspek sertifikasi tanah, terutama mengenai biaya
sertifikasi dan biaya-biaya untuk kelengkapan lainnya di tingkat desa.

- Sosialisasi program harus dilaksanakan dengan cara terencana dan di wilayah-wilayah yang
menjadi target prioritas, termasuk di wilayah yang cukup terpencil dari kantor desa.

- Data fisik dan data yuridis mengenai persil tanah yang dihasilkan dari sertifikasi harus disebar-
luaskan di semua tingkat sekurang-kurangnya satu bulan sebelum sertifikat diterbitkan, serta
tidak terbatas pada pengumuman tertulis yang ditempel di kantor desa.

- Diperlukan ketepatan dan ketelitian lebih tinggi ketika melakukan pengukuran dan pemetaan tanah
untuk mengurangi pengaduan dan keluhan mengenai kesalahan pengukuran di sertifikat tanah.

- Setelah sertifikasi tanah PAP di masing-masing wilayah selesai, data mengenai kepemilikan tanah
harus diteruskan ke dinas-dinas pemerintah terkait, termasuk kantor perpajakan, kantor kabupaten/
kota, kecamatan, dan desa. Hal ini demi tertib administrasi di bidang tanah.

4. BPN dan Kantor Pertanahan daerah harus bekerja lebih erat dengan dinas pemerintah yang
bertanggungjawab atas Pajak Bumi dan Bangunan (KPPBB). Upaya berikut ini akan memberi
beberapa manfaat tertentu:
- Dengan melakukan pemutakhiran data di dinas PBB untuk menyesuaikan ukuran persil yang
tertera di sertifikat tanah, akan meningkatan kepercayaan terhadap kantor perpajakan dan kantor
pertanahan.
- Sistem pengadministrasian PAP akan memberi dasar yang kuat bagi BPN untuk mengembangkan
sistem baru biaya pensertifikatan tanah dan memasukkan tataguna lahan dan lokasi, seperti yang
selama ini dilakukan kantor PBB.

5. Perlu mempertimbangkan pemberian imbal jasa bagi para Ketua RT, RW, dan Kepala Dusun yang
terlibat sebagai penghargaan atas peranan mereka dalam pelaksanaan PAP. Petugas desa ini tidak
menerima gaji dan bukan anggota Tim Ajudikasi, namun mereka menangani sebagian besar tugas
sosialisasi dan tugas administratif yang berkaitan dengan PAP di tingkat masyarakat.
6. Mengenai Nagari Tigo Jangko di Sumatra Barat, Bank Dunia perlu mengklarifikasi ulang tentang
keputusannya mengakhiri proyek percontohan pemetaan batas nagari pada tahun 2001. Terbukti
Kanwil BPN Sumatera Barat masih mengharapkan berita tentang kelanjutan proyek tersebut.

Pengamatan Umum Berdasarkan Informasi Lapangan:


7. Program ini tidak dapat diterapkan secara seragam di semua wilayah di Indonesia, terutama di luar
Pulau Jawa.

8. PAP dalam bentuknya seperti saat ini tidak dapat diharapkan dapat menjadi suatu instrumen yang dapat
digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah pertanahan yang bersifat khusus. Misalnya pada
tanah yang dianggap sebagai tanah negara, juga di wilayah dimana terdapat hak khusus kepemilikan
tanah masih diakui, seperti di Medan ditemui tanah pemberian Kesultanan Deli.

9. Bila PAP diharapkan akan dapat memberikan kontribusi yang besar dalam memberikan kepastian hak
kepemilikan, maka perlu dirancang cara untuk memberi sertifikat bagi persil-persil yang lokasinya masuk
dalam kategori sebagai tanah negara; bila hak milik tanah tidak dapat diberikan, setidaknya hak guna
bangunan atau hak pakai diberikan kepada mereka yang telah tinggal di atas persil tersebut selama
beberapa tahun. Pengambilan kebijakan seperti ini akan membutuhkan dukungan besar dari instansi
pemerintah lainnya.

6. Rekomendasi

PAP telah memberikan dampak positif terhadap berbagai aspek. Meskipun demikian, apabila PAP akan
dilanjutkan terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu

1. Program PAP tidak dapat diterapkan secara seragam di semua daerah. Untuk daerah tertentu yang
unsur adatnya masih kental (kasus tanah adat di Sumatera Barat, tanah kesultanan di Yogyakarta),
perlu didahului program lain atau ditetapkan desain yang khusus.

2. Target PAP sebaiknya lebih ditujukan pada tanah adat yang bersifat individual, sedangkan untuk tanah
negara perlu pengkajian lebih lanjut. Perlu diprioritaskan pada masyarakat miskin di wilayah semi urban
dan rural, mengingat dampak PAP terhadap akses kredit di kedua daerah ini cukup tinggi sehingga
diharapkan dapat meningkatkan kondisi sosial ekonomi mereka. Selain itu, di daerah semi urban
terjadi sengketa tanah yang paling banyak, dengan PAP diharapkan dapat melindungi masyarakat dari
permainan para spekulan.

3. Sosialisasi perlu ditingkatkan jangkauannya sampai ke seluruh masyarakat yang menjadi sasaran
program. Di samping itu, diperlukan transparansi tentang program, meliputi biaya, persyaratan dan
prosesnya, yang dapat disampaikan melalui pemasangan spanduk/poster/brosur di tempat strategis.

4. Persyaratan PAP harus lebih dipertegas sesuai dengan ketentuan, terutama menyangkut bukti hak atas
tanah untuk mencegah terjadinya sengketa di masa datang. Apabila persyaratan tidak bisa dipenuhi
maka harus mengacu pada peraturan yang berlaku.

5. Pengumuman data fisik dan data yuridis tanah yang biasanya hanya diumumkan di depan kantor
kelurahan/desa dan base camp tim ajudikasi hendaknya disebarkan secara lebih luas.

6. Perlu peningkatan ketelitian dan ketepatan pengukuran melalui peningkatan kualitas juru ukur dan
peralatan.

7. Berdasarkan temuan, sebagian besar responden membayar lebih tinggi dari ketentuan, bahkan
bersedia membayar lebih tinggi lagi. Oleh karena itu, apabila PAP akan dilanjutkan biayanya dapat
ditingkatkan dalam batas yang wajar, sehingga bisa menjangkau jumlah bidang tanah (masyarakat)
yang lebih banyak.
8. Perlu adanya tindak lanjut pasca PAP dalam bentuk penyebaran hasil pendataan kepada instansi terkait
seperti kades/lurah, camat, kantor perpajakan, dll, sehingga tujuan perbaikan administrasi pertanahan
bisa lebih tercapai.

Footnotes

1. Kelurahan adalah unit pemerintahan di bawah suatu kecamatan di wilayah perkotaan, sementara desa
adalah unit pemerintahan di bawah kecamatan di wilayah perdesaan.
2. Yang dapat diketahui dengan membandingkan ukuran tanah pada bukti kepemilikan sebelumnya dan
surat tagihan PBB.
3. Kuintil 1= kelompok per kapita pengeluaran per bulan terendah (termiskin) dan Kuintil 5 = kelompok
pengeluaran per kapita per bulan tertinggi (terkaya).
4. Di Nagari Tigo Jangko, biaya pendaftaran tanah secara sporadis berkisar Rp800.000 – Rp1,6 juta.
Daftar Pustaka:

Modul 1
ILO, 2004, ‘Gender and Poverty’, A Series of Policy Recommendations Decent Work and Poverty
Reduction in Indonesia.

Pelaksanaan Penyaluran Program Kompensasi Pengurangan Subsidi BBM bidang Pendidikan,


(www.depkominfo.go.id/download/BOS_KOMINFO_WAPRES.ppt )

Poverty Reduction Strategies Workshop, 2000, Poverty Monitoring and evaluation for poverty
reduction strategies, Ulaanbaatar,
(http://siteresources.worldbank.org/INTPRS1/Resources/Presentations/pmeprsnt.pdf)

Presentasi Menteri Negara PPN/Kepala BAPPENAS, 2005, ‘Subsidi Langsung Tunai (SLT) Kepada
Rumah Tangga Miskin,
(www.depkominfo.go.id/download/01_Cash_Transfer_8___formatted_humas.ppt )

Sida, 1996, Promoting Sustainable Livelihoods. Stockholm: Swedish International Co-operation


Development Agency.

Sudaryanto, T. dan Rusastra, I.W., 2006, ‘Kebijakan Strategis Usaha Pertanian dalam Rangka
Peningkatan Produksi dan Pengentasan Kemiskinan’, Jurnal Litbang Pertanian, 25(4), Pusat Analisis
Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.

Suryahadi, A., Surydarma, D., dan Sumarto, S., 2006, ‘Economic Growth and Poverty Reduction in
Indonesia: The Effects of Location and Sectoral Componentsof Growth, Working Paper, Lembaga
Penelitian SMERU, Jakarta.

Tim Smeru, 2006a, ‘A Rapid Appraisal of The Implementation of the 2005 Direct Cash Transfer
Program in Indonesia: A Case Studyin Five Kabupaten/Kota’, Research Report, Lembaga Penelitian
SMERU, Jakarta.

Tim Smeru, 2006b, ‘A Rapid Appraisal of The PKPS-BBM Education Sector: School Operational
Assistance (BOS)’, Research Report, Lembaga Penelitian SMERU, Jakarta.

The World Bank, 2006, ‘Making the New Indonesia work for the poor’, The World Bank.

UNDP, 2005, ‘The Indonesia MDG Report 2005’, (http://undp.or.id/pubs/imdg2005/)


Modul 2:
AusAID (2003). AusGUIDElines: The Logical Framework Approach. AusAID,
Last updated 20th June 2003

Bappenas-UN (2004). “Indonesia: Progress Report on the Millenium Development Goals”.


Bappenas, Jakarta

Bastagli, Francesca dan Aline Coudouel (2004). Poverty Monitoring System. Presentasi,
Poverty Reduction Group, PREM, 7 Mei 2004

Bedi, Tara, Aline Coudouel, Marcus Cox, Markus Goldstein, and Nigel Thornton (2006). “Beyond the
Numbers: Understanding the Institutions for Monitoring Poverty Reduction Strategies”. The International
Bank for Reconstruction and Development (IBRD)/The World Bank, Washington D.C.

Hastuti, Nina Toyamah, Syaikhu Usman, Bambang Sulaksono, Sri Budiyati, Wenefrida Dwi Widyanti,
Meuthia Rosfadhila, Hariyanti Sadaly, Sufiet Erlita, R. Justin Sodo, Sami Bazzi, dan Sudarno Sumarto
(2006). Kajian Cepat Pelaksanaan subsidi Langsung Tunai Tahun 2005 di Indonesia: Studi Kasus di Lima
Kabupaten/Kota. Laporan Penelitian. Lembaga Penelitian SMERU, Jakarta.

IBRD/The World Bank (2004). Monitoring & Evaluation: Some Tools, Methods, and Approaches.
The World Bank, Washington D.C.

Independent Evaluation Group (IEG) - The World Bank. Impact Evaluation-The Experience of the
Independent Evaluation Group of the World Bank. IEG-The World Bank, Washington D.C.

International Fund for Agriculture Development-IFAD (2002). Managing for Impact in Rural Development:
A guide for Project M & E. IFAD, Rome

Komite Penanggulangan Kemiskinan/KPK (2005). Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan/SNPK.


KPK, Jakarta

Surbakti, Soedarti (Koord.) (2007). “Upaya Pemantauan dan Evaluasi Program Pelayanan Sosial Ibu dan
Anak melalui Indikator Pembangunan Milenium di Indonesia”. BPS- Unicef-CIDA, Jakarta

Suryadarma, Daniel, Akhmadi, Hastuti, dan Nina Toyamah (2005). Ukuran Objektif Kesejahteraan
Keluarga untuk Penargetan Kemiskinan: Hasil Uji Coba Sistem Pemantauan Kesejahteraan oleh
Masyarakat di Indonesia. Laporan Penelitian. Lembaga Penelitian SMERU, Jakarta.

UN Development Group (2005). “Indicators for Policy Management: A Practical Guide for Enhancing the
Statistical Capacity of Policy Makers for Effective Monitoring of the MDGs at the Country Level”. UN,
New York

UNDP (2005). “How to Guide MDG-Based National Development Strategies”. Poverty Reduction Group-
Bureau for Development Policy, New York.
Modul 3
Asian Development Bank (ADB) (February 2006). “Indonesia: Health and Nutrition Sector
Development Program” , Performance Evaluation Report.

Asian Development Bank (ADB) (January 2006). Guidelines for Preparing Performance Evaluation
Reports for Public Sector Operations.

BPS (Desember 2001). Penduduk Indonesia, Hasil Sensus Penduduk Tahun 2000. Jakarta.

BPS-Statistic, BAPPENAS and UNDP (October 2001). Indonesia Human Development Report:
Toward a new concensus, Democracy and Human Development in Indonesia.

Depdiknas (Desember 2005). Rangkuman Statisitik Persekolahan 2004/2005. Jakarta

Dinas Pendidikan DKI Jakarta (2005). Pedoman Standar Pelayanan Minimal (SPM) Penyelenggaraan
Pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP)/MTs. www.dikdasdki.go.id/download/kebijakan/
standarpelayananminimal2.pdf

Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (2000). Dasar-dasar Demografi.

Suleeman, Evelyn, et. al.(Mei-Juni 2004). Penghitungan dan Analisa Indikator Sosial Ekonomi. Insan
Hitawasana Sejahtera and National Statistic Directorate

United Nations Population Fund (1993). Basic Tools, Readings in Population Research Methodology
vol. 1.

United Nations Population Fund (1993). Mortality Research, Readings in Population Research
Methodology vol. 2.

United Nations Population Fund (1993). Fertility, Readings in Population Research Methodology vol.
3.

United Nations Population Fund (1993). Nuptiality, Migration, Household and Family Research,
Readings in Population Research Methodology vol. 4.

United Nations Population Fund (1993). Population Models, Projection and Estimates, Readings in
Population Research Methodology vol. 5.

United Nations Population Fund (1993). Advanced Basic Tools, Readings in Population Research
Methodology vol. 6.

United Nations Population Fund (1993). Contraception and Family Planning, Readings in Population
Research Methodology vol. 7.

United Nations Population Fund (1993). Environment and Economy, Readings in Population
Research Methodology vol. 8.
Modul 5
Methods of Rapid Evaluation and Assessment, Evaluator’s Call 31 July 2007, http://www.ifpri.org/
themes/mp18/techguid/tg06.pdf - diakses 29 September 2007

Hastuti, Syaikhu Usman, Bambang Sulaksono, Sri Budiyati, Wenefrida Dwi Widyanti, Rizki Fil-
laili, Daniel Suryadarma, Meuthia Rosfadhila, Hariyanti Sadaly, Sufiet Erlita, dan Sudarno Sumarto
(2006). Kajian Cepat Pelaksanaan subsidi Langsung Tunai Tahun 2005 di Indonesia: Studi Kasus di
Provinsi DKI Jakarta. Laporan Penelitian. Lembaga Penelitian SMERU, Jakarta.

Hastuti, Nina Toyamah, Syaikhu Usman, Bambang Sulaksono, Sri Budiyati, Wenefrida Dwi Widyanti,
Meuthia Rosfadhila, Hariyanti Sadaly, Sufiet Erlita, R. Justin Sodo, Sami Bazzi, dan Sudarno Sumar-
to (2006). Kajian Cepat Pelaksanaan subsidi Langsung Tunai Tahun 2005 di Indonesia: Studi Kasus
di Lima Kabupaten/Kota. Laporan Penelitian. Lembaga Penelitian SMERU, Jakarta.

Widjajanti I. Soeharyo, Hastuti, Syaikhu Usman, Nina Toyamah, Bambang Sulaksono, Sri Budiyati,
Wenefrida Dwi Widyanti, Meuthia Rosfadhila, R. Justin Sodo, Sami Bazzi dan Sudarno Sumarto
(2006). Kajian Cepat PKPS-BBM Bidang Pendidikan (Bantuan Operasional Sekolah (BOS) 2005.
Laporan Penelitian. Lembaga Penelitian SMERU, Jakarta

Modul 6
Hardjono, Joan (1999). A Social Assessment of the Land Certificate Program, Indonesian Land
Administration Project. Kantor Bank Dunia, Jakarta

IBRD/The World Bank (2004). Monitoring & Evaluation: Some Tools, Methods, and Approaches. The
World Bank, Washington D.C.

International Fund for Agriculture Development-IFAD (2002). Managing for Impact in Rural
Development: A guide for Project M & E. IFAD, Rome

Komite Penanggulangan Kemiskinan/KPK (2005). Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan/


SNPK. KPK, Jakarta

SMERU (2002). Evaluasi Dampak Pendaftaran Tanah Secara Sistematik Melalui PAP. Laporan
Penelitian. Lembaga Penelitian SMERU, Jakarta

Suryahadi, Asep (2007). Persyaratan dan Unsur-unsur Evaluasi yang Baik. Materi presentasi yang
disampaikan dalam “Program Pengembangan Kapasitas Perencanaan Kebnijakan, Monitoring dan
Evaluasi Program-program yang Berpihak Kepada Kaum Miskin”, Bogor, 22 Mei 2007.

Anda mungkin juga menyukai