Anda di halaman 1dari 3

Zona Nyaman

By Opay

"Penghargaan terbesar dalam hidup ditemukan di luar zona nyamanmu. Jalani saja. Ketakutan
dan risiko adalah prasyarat jika kamu ingin menikmati kehidupan yang sukses dan bertualang."
- Jack Canfield (American motivator)

"Yakin kamu mau berhenti kerja sekarang Al?"setengah tidak percaya pria berkaca mata itu
serius menatapku dari balik bingkai berwarna cokelat.
"Seriuslah mas, aku malah udah nyerahin surat pengunduran diriku ke bagian HRD siang tadi"
jawabku dengan santainya sambil menyeruput kopi panas sepanas situasi diantara aku dan
mas Bram saat ini.
"Sebenarnya apa sih yang membuat kamu mengambil tindakan nekad begini?" Cecarnya lagi
masih berharap aku mengubah keputusanku disaat-saat terakhir. Di luar, matahari terlihat
bersinar terik, untung saja saat ini kami berada di sebuah ruangan berAC dalam kafe yang
terletak di sebelah kantor kakak laki-lakiku satu-satunya itu.

"Nda ada apa-apa mas, aku hanya menginginkan perubahan dalam hidupku, salah satunya
dengan cara berhenti dari tempat aku bekerja sekarang" Jawabku dengan mantap.
"Lantas setelah berhenti kerja kamu mau apa? Pindah ke perusahaan lain?" Dengan tatapan
menyelidik mas Bram terus saja menghujamiku dengan pertanyaan-pertanyaannya.
"Aku ga ada rencana untuk jadi karyawan di perusahaan lain mas, satu hal yang aku ambil
pelajarannya dari pengalamanku bekerja menjadi karyawan di perusahaan selama bertahun-
tahun adalah aku sudah kehilangan banyak waktu berhargaku bersama keluarga, sekarang aku
sadar mas setinggi apapun pencapaianku di karir tidak sebanding dengan keluargaku, aku ingin
punya lebih banyak waktu dengan istri dan anak-anakku, kelak di akhirat pun yang harus aku
pertanggungjawabkan yang paling utama adalah keluargaku bukan karirku" Dengan penuh
percaya diri mengutip perkataan seorang motivator yang videonya aku tonton beberapa kali di
youtube aku pun akhirnya melontarkan argumenku kepada mas Bram dengan harapan dia
segera menyudahi proses interogasi ini, bukan karena aku merasa tidak nyaman dengan
pandangan-pandangan mas Bram, aku dapat memahami bahwa sebagai seorang kakak
tentunya dia mengharapkan yang terbaik untuk adik-adiknya, sebenarnya bukan hanya mas
Bram yang berpendapat bahwa keputusanku untuk berhenti dari perusahaan aku bekerja
sekarang adalah suatu kesalahan besar, bahkan hampir sebagian besar orang akan
berpendapat sama, punya karir cemerlang dengan gaji fantastis, belum lagi fasilitas-fasilitas
yang diberikan, rumah, kendaraan pribadi, perjalanan di dalam negeri maupun ke luar negeri,
dan seabrek bonus-bonus lainnya.

Aku sendiri pun takjub dengan keberanianku, entah ada angin apa yang membuat aku jadi
begini, maaf ku ralat bukan angin tapi lebih tepatnya hidayah, ya sepertinya hidayah Allah lah
yang memunculkan keberanianku sekarang. Berawal dari keisenganku mengklik sebuah tautan
video ceramah seorang ustad kondang, sebenarnya isi ceramahnya saat itu sudah sering aku
dengar dari para penceramah yang lain namun entah mengapa saat itu terasa ada sesuatu
yang hangat menjalar ke dalam hatiku, mengetuk alam bawah sadarku untuk mencari lebih
lanjut mengenai topik yang dibahas dalam ceramah tersebut. "Allah menjamin rezeki semua
makhluknya, bahkan Allah telah menyiapkan 8 pintu rezeki yang kesemuanya itu tercantum di
dalam Al Quran". Dari kedelapan pintu tersebut tidak ada satu pun yang menyebutkan bahwa
rezeki itu diperoleh karena bekerja di perusahaan, yang ada adalah bahwa rezeki itu diperoleh
karena usaha, dan bekerja di perusahaan itu hanya salah satu bentuk usaha, masih ada usaha-
usaha yang lainnya, berniaga misalnya.

"Mau dikasih makan apa anak-anakmu nanti Al?"


"Bagaimana kamu membayar biaya sekolah mereka kelak?" Dengan suara sudah mulai
melembut mas Bram kembali menanyaiku
"Hufffttt.... " Sambil menarik napas mengumpulkan segenap keyakinanku yang hampir saja
terkoyak-koyak aku mencoba menyusun kalimat pembelaan diri bak seorang pengacara yang
sedang bersiap untuk menghadapi sidang.
"Mas, sekali ini aza tolong percaya aku! Keputusanku kali ini sudah aku pertimbangkan dengan
masak-masak, segala resikonya pun sudah aku persiapkan dengan sebaik mungkin"
"Aku ingin mencoba keluar dari zona nyaman yang saat ini aku tinggali untuk mencapai sesuatu
yang lebih besar, kalau pun diperjalanannya nanti aku menemui berbagai hambatan tidak apa,
itu hanyalah sebuah proses yang harus aku jalani sebelum aku menjadi orang sukses yang
sebenarnya, sukses di usaha yang akan aku lakukan maupun sukses dalam mendidik
keluargaku. Aku yakin aku bisa mas, tolong jangan runtuhkan keyakinan yang sudah susah
payah aku bangun ini, Allah bersama prasangka hambaNya, aku yakin Allah akan
membersamaiku karena niatku tulus ingin menjadi orang yang lebih baik" dengan mata
berkaca-kaca sambil menahan bulir air mata yang hampir saja lolos kalau tidak mengingat saat
ini kami sedang berada di tempat umum akhirnya aku mengungkapkan isi hatiku kepada mas
Bram.

"Baiklah Al kalau memang keputusanmu sudah bulat, mas juga tidak bisa berbuat apa-apa
selain mendoakan semoga Allah mewujudkan semua mimpi-mimpimu" sambil tersenyum tipis
akhirnya mas Bram mengakui kekalahannya dalam perang argumentasi kali ini, dia sadar
bahwa adiknya sekarang bukan lagi seorang anak kecil yang mudah terintimidasi, adiknya
sekarang adalah seorang pria dewasa dengan pemikiran matang yang telah ditempa berbagai
pengalaman hidup.

"Mas bangga padamu de, mas bangga karena ternyata keyakinanmu pada Gusti Allah
sedemikian besarnya sehingga kamu berani keluar dari zona nyaman yang sudah kamu tinggali
selama bertahun-tahun, andai mas juga punya keyakinan sebesar itu" Sorot mata sendu terlihat
dibalik bingkai berwarna cokelat itu.

"Setiap orang punya jalannya masing-masing mas, aku yakin mas pun insyaAllah akan
mendapatkan hidayah sehingga bisa memiliki keyakinan sebesar aku seperti sekarang ini"
Ujarku dengan nada datar berusaha untuk tidak sok menggurui kakak laki-lakiku satu-satunya
itu.

"Satu hal lagi yang ingin aku minta dari mas Bram"
"Apa de? " Tanya mas Bram dengan wajah penasaran
"Tolong mas Bram jangan peluk aku sekarang, karena aku tau kebiasaan mas kalau dalam
situasi seperti ini pasti suka peluk orang sembarangan, sebagai seorang laki-laki dewasa aku
risih lho mas" Jawabku dengan ekspresi dibuat selucu mungkin untuk segera mencairkan
suasana.
"Ha… Ha… Ha… Dasar kamu de bisa-bisanya melucu di saat seperti ini" Akhirnya mas Bram
pun tersenyum mendengar permintaanku yang konyol.
"Ya udah de karena aku ga boleh peluk kamu jadi aku jewer aza telingamu ya! " Lanjutnya lagi
sambil berusaha meraih telingaku.
"Eit.. enak aza" Dengan spontan aku pun menghindar, kemudian kami tertawa tergelak
bersama, alhamdulillah hati kami kembali menghangat sehangat cuaca di luar ruangan ini.

Anda mungkin juga menyukai