Anda di halaman 1dari 405

1

Pengantar Ilmu Sastra


orientasi penelitian sastra

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
2

SUHARIYADI

Pengantar Ilmu Sastra


orientasi penelitian sastra

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
3

PENGANTAR ILMU SASTRA


Orientasi Penelitian Sastra
Suhariyadi

Editor
Prof. Dr. Agus Wardhono

Perancang sampul
Pak Har

Diterbitkan Oleh:
CV Pustaka Ilalang Group
Jl. Airlangga No. 3 Sukodadi, Lamongan
email: pustaka_ilalang@yahoo.co.id
c.p. 081330501724

Pemeriksa Aksara
Suantoko

Cetakan 1, Februari 2014


ISBN : ........................

Didistribusikan oleh:
Laboratorium Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
UNIROW Tuban
Jl. Manunggal No. 61 Tuban
Telp. 0356 322233
Faks. 0356 322233
SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
4

DALAM DOA KITA MESTI MEMINTA

sunyi mengumandangkan adzan


angin menderit menerbarkan di setiap pintu
tubuh mengerang, jiwa mengusik
sebelum waktu tiba, keduanya bercerai.

setan tergelak memandang kita


di setiap lekuk tubuh membeku
dan mimpi belum usai, keengganan diri
tapi jiwa menggema, membangunkan hati

dalam bening air menyiram tubuh


khusuk mencipta hening, doa berbisik
dari segala yang ada, bergantung pada sabda
kita melantunkan menjadi doa
karena masih ada harap, masih ada cita

sahabat,
di setiap butir keringat
di setiap bulir air mata
ada yang tak kita mengerti maknanya
selain bergantung pada Yang Ada
dalam doa mesti diminta
dan Dia satu-satunya yang bisa, tak terkira

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
5

KATA PENGANTAR

Buku ini dibuat semata-mata untuk memenuhi ke-butuhan


mahasiswa, khususnya mahasiswa (Pendidikan) Bahasa dan Sastra
Indonesia, akan referensi untuk per-kuliahannya. Bahkan pada awalnya,
buku ini dibuat untuk dapat menjadi buku ajar bagi mahasiswa yang
mengikuti perkuliahan yang diampu penulis.
Memang persoalan kebutuhan referensi bagi maha-siswa, masih
menjadi persoalan yang belum teratasi. Banyak faktor penyebabnya, tetapi
selalu bermuara pada buku-buku yang mana yang sesuai dengan
kebutuhan dan tingkat kemampuan mahasiswa. Berbagai buku berderet di
per-pustakaan atau terpajang di toko-toko buku. Tetapi belum tentu buku-
buku tersebut relevan dengan kebutuhan dan kemampuan mereka.
Apalagi jika hal itu berkaitan dengan sumber belajar, ketika sedang
menempuh suatu perkuliahan, buku-buku yang ada mesti sesuai dengan
cakupan dan keluasan materi belajar.
Berangkat dari hal itu, buku Pengantar Ilmu Sastra; Orientasi
Penelitian Sastra ini disusun. Penyusunannya tentu mengikuti sistematika,
cakupan dan keluasan materi, dan arah pengembangan mata kuliah.
Dengan demikian, buku ini mengikuti apa yang telah direncanakan penulis
untuk per-kuliahan. Dengan begitu mahasiswa dapat mengikuti perkulihan
dengan mengacu pada isi buku ini. Tapi bukan berarti menutup pintu bagi
yang lain. Buku ini juga diharapkan dapat menjadi referensi bagi yang
membutuhkan. Apa salahnya menjadikan seperti itu. Buku, apapun bentuk
dan isinya, selalu memiliki manfaat, betapapun kecil nilai gunanya.
Buku ini juga sebentuk jawaban terhadap sebuah tantangan dari
situasi mahasiswa dan penulis sendiri sebagai seorang pengajar.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
6

Minimalnya sumber belajar, keterbatasan yang ada dalam diri mahasiswa,


dan tuntutan akan kreativitas seorang dosen, mau tidak mau mesti
disikapi dengan karya. Buku ini merupakan karya dan kekaryaan dari
penulis dalam rangka ikut serta membantu mahasiswa dan sebagai
perwujudan dari Tri Dharma Perguruan Tinggi. Dinamika yang terjadi, baik
secara internal maupun eksternal dalam suatu kegiatan pendidikan, akan
mem-pengaruhi kualitas prosesnya. Ketika ditempatkan dalam konteks
dinamika tersebut, buku ini bertujuan untuk menjadi bagian dari dinamika
tersebut.
Buku ini juga bukan semata menyediakan materi perkualiahan,
tetapi juga mengorientasikan ke arah pe-mahaman aktivitas dan kreativitas
di bidang penelitian sastra. Kegiatan penelitian menjadi penting bagi
mahasiswa yang kelak menjadi seorang sarjana. Mereka mesti memiliki
pengetahuan dan keterampilan di bidang penelitian sesuai dengan
keilmuannya. Dalam proses ke arah itu, mereka mesti diproses dan
dibelajarkan bagaimana mengadakan penelitian. Dengan begitu, kelak
mereka dapat menerapkannya di dunia kerja dan masyarakat. Dalam
kerangka itu, buku ini diharapkan dapat menjadi pedoman sederhana
bagaimana menyelenggarakan penelitian.
Penelitian bukanlah sekedar menemukan permasalah-an,
mengumpulkan data, lantas menganalisisnya. Lebih dari itu, peneliti harus
mampu mengonstruksi teori-teori dan menetapkan pendekatan untuk
mendekati obyeknya. Dalam hal yang satu itu, mahasiswa masih
mengalami kesulitan, kesemrawutan, dan kelemahan. Hal itu terlihat
ketika para mahasiswa sedang menyusun skripsi. Sementara Buku
Pedoman Penulisan Skripsi yang ada, cenderung berkutat pada positivistik.
Itu jelas sangat mengganggu keberadaan penelitian dibidang humaniora
yang lebih bersifat idiografik dan fenomenologis.
Apapun titik berangkatnya dan bagaimana pun kualitasnya, buku
yang sederhana ini tetapi memiliki landasan dan tujuan. Dan dalam proses
penciptaannya, penulis telah mendapatkan banyak masukan, kritikan, dan
saran dari semua pihak. Oleh karena itu, penulis meng-ucapkan
SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
7

penghargaan dan terima kasih setinggi-tingginya. Khususnya, penghargaan


dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada: Dr. H. Hadi Tugur, M.
Pd. selaku rektor Unirow, M.M.; Prof. Dr. Agus Wardhono, M. Pd. selaku
dekan FKIP Unirow; Dr. Usep Supriyatna sebagai teman diskusi dan ketua
Pusat Studi Sosial Budaya; Dra. Sri Yanuarsih, M. Pd. selaku ketua prodi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia; Drs. Sarujin, M. Si., Drs.
Suharsono, M. Pd. Drs. Miftahul Munir, M. Si., dan Suantoko, S. Pd. sebagai
teman diskusi; dan teman-teman sejawat yang tak mungkin saya sebut
satu per satu. Kepada teman-teman KOSTRA dan Komunitas Teater
Institut, yang tak pernah berhenti berproses, penulis mengucapkan terima
kasih atas kesabarannya menghadapi polah tingkah penulis. Dan tak lupa
ucapan terima kasih dan penghargaan kepada jaringan KOSTRA di
beberapa daerah: Aksan Takwim di Tangerang, Muhdor Al Farisi di Jakarta,
Toni Mukharom di Papua, Suaidi di Dapur Lay Out Tabloit Nusa Tuban,
Nabila di Rembang, dan semuanya.
Saran, kritik, masukan, motivasi, dan segalanya, penulis nantikan
demi kesempurnaan buku ini. Terima kasih penulis ucapkan untuk itu.

Tuban, Februari 2014


Penulis

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
8

DAFTAR ISI

Halaman Judul i
Kata Pengantar v
Daftar Isi viii

BAB1 SASTRA DAN ILMU SASTRA 11


A. Pengertian dan Cabang Ilmu Sastra 11
B. Karya Sastra: Obyek Kajian Ilmu Sastra 20
C. Ruang Lingkup Kajian Ilmu Sastra1 33

BAB 2 PARADIGMA, PENDEKATAN, TEORI,


DAN METODE 35
A. Pengertian Paradigma dan Pendekatan 35
B. Latar Belakang Pemilihan Pendekatan Sastra 43
C. Berbagai Pendekatan Sastra 53
1. Pendekatan Ekspresif 53
2. Pendekatan Mimetik 54
3. Pendekatan Pragmatik 57
4. Pendekatan Obyektif 59
5. Pendekatan Marxis 61
6. Pendekatan Fungsional 64
7. Pendekatan Sosiologis 66
8. Pendekatan Psikologis 70
9. Pendekatan Postrukturalis 72
D. Teori dan Metode 77
1. Metode Hermeneutik 82
2. Metode Formal atau Struktural 83
3. Metode Dialektik 84
4. Metode Diskriptif 87
SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
9

5. Metode Heuristik 82
6. Metode Komparatif 88
E. Teknik Pengumpulan Data 81
BAB 3 STRUKTURALISME 88
A. Pengertian Strukturalisme 99
B. Teori Formalisme 106
C. Teori Semiotik 112
D. Teori Strukturalisme Genetik 125

BAB 4 POSTRUKTURALISME 139


A. Postrukturalisme Sebagai Paradigma
Pendekatan 140
B. Teori Interaksionisme Simbolik 144
C. Teori Feminisme 147
D. Teori Dekonstruksi 161
E. Teori Poskolonial 174

BAB 5 BEBERAPA ALTERNATIF PENDEKATAN SASTRA 181


A. Pendekatan Framing 181
B. Pendekatan Sastra Sebagai Wacana
Pengetahuan 201
C. Pendekatan Analisis Wacana Kritis 237
D. Pendekatan Etnografi dalam Penelitian Sastra 269

BAB 6 PROSEDUR PENELITIAN SASTRA 299


A. Langkah Pertama: Menetapkan Obyek
Material dan Formal Penelitian 299
B. Langkah Kedua: Menyusun Rancangan
Penelitian 316
C. Langkah Ketiga: Penyusunan Landasan Teori 323

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
10

BAB 7 CITRA WANITA JAWA; TELAAH STRUKTURALISME


GENETIK PUISI “ISTRI”
KARYA DARMANTO JATMAN 326
A. Latar Belakang Masalah dan Rumusan
Masalah 326
B. Kerangka Teori 328
C. Analisis 333
D. Kesimpulan 347
BAB 8 ANALISIS SEMIOTIK DRAMA “KAPAI-KAPAI” KARYA
ARIFIN C. NOER 350
A. Latar Belakang Masalah 350
B. Rumusan Masalah 356
C. Rancangan Penelitian 357
D. Analisis 367
E. Kesimpulan 396

Daftar Pustaka 399

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
11

BAB I

SASTRA
DAN ILMU SASTRA

A. Pengertian dan Cabang Ilmu Sastra


Ilmu sastra merupakan ilmu yang menyelidiki karya
sastra, beserta gejala yang menyertainya, secara ilmiah. Di
samping teks karya sastra, juga semua peristiwa dan fakta-
fakta sosial yang berkaitan dengan keberadaan karya sastra,
pengarang, pembaca, lembaga penerbitan, media massa, dan
sebagainya, juga menjadi obyek penyelidikannya. Tidak lupa
semua hasil-hasil kritik, apresiasi, resepsi, yang dihasilkan
oleh kritikus, apresiator, atau pembacanya, dapat menjadi
obyek penyelidikan Ilmu Sastra. Dan juga, produksi dan
distribusi karya sastra sebagai komodite dapat diangkat untuk
diselidiki oleh Ilmu Sastra.
Sebagai kegiatan ilmiah, ilmu sastra tentu memiliki
seperangkat prinsip dasar yang melandasinya sebagai suatu

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
12

disiplin keilmuan. Prinsip-prinsip dasar tersebut dapat di-


jelaskan melalui definisi, obyek kajian, cabang-cabang
keilmuannya, ruang lingkup, sejarah, dan pendekatan yang
digunakan. Di samping itu, sebagai disiplin ilmiah, ilmu sastra
haruslah memenuhi syarat sistmatis dan merodologis.
Penelitian adalah suatu kegiatan atau proses sistematis untuk
memecahkan masalah dengan dukungan data sebagai landas-
an dalam mengambil kesimpulan (Wuradji dalam Jabrohim,
2012:1). Pengertian itu mengandung dua kata kunci, yaitu
sistematis dan bermetode. Sistimatis artinya, bahwa proses
penelitian dilakukan dengan prosedur yang ditetapkan secara
tertata (tersistem). Tersistem artinya, urutan kegiatan peneliti-
an haruslah menunjukkan adanya hubungan antar-kegiatan
yang dilakukan. Mana yang lebih dahulu dan mana yang
kemudian dilakukan, harus merupakan tahapan yang telah
direncanakan sesuai dengan metode yang digunakan. Tidak
bisa prosedur penelitian itu semaunya peneliti.
Sedangkan metode (Hudayat,2007:3) adalah alat yang
berfungsi untuk menyederhanakan masalah, sehingga lebih
mudah untuk dipecahkan dan dipahami. Klasifikasi,
deskripsi, komparasi, sampling, induksi dan deduksi,
eksplanasi dan interpretasi, kuantitatif dan kualitatif, dan
sebagainya adalah sejumlah metode yang sudah sangat
umum penggunaannya, baik dalam ilmu kealaman maupun
ilmu sosial, termasuk ilmu humaniora.
Penjelasan tentang prinsip-prinsip dasar ilmu sastra,
mesti dimulai dari mempertanyakan landasan penelitian
sastra yang melahirkan ilmu sastra. Perlu diketahui bahwa

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
13

lahir dan berkembangnya sebuah ilmu, didasarkan atas suatu


penelitian. Ilmu sastra juga demikian, dinamikanya ditentu-
kan oleh proses penelitian yang pernah dilakukan oleh para
ahli dan/atau peneliti sastra. Pertanyaan Pertanyaan landasan
memperoleh ilmu sastra tersebut merupakan pertanyaan
fundamental sebagaimana dalam ilmu-ilmu lain. Pertanyaan
fundamental tersebut merupakan pertanyaan filosofis
keilmuan, yang meliputi: 1) landasan ontologi, 2) landasan
epistemologi; dan 3) landasan aksiologi.
Pertama, landasan ontologi mempertanyakan obyek
kajian ilmu sastra, apa hakikat dari obyek tersebut, dan
bagaimana hubungan antara obyek tersebut dengan subyek
yang mengajinya. Hakikat karya sastra merupakan fokus yang
selalu dicari terus menerus oleh semua pihak, agar menemu-
kan konsep yang jelas. Meskipun usaha tersebut tidak se-
sederhana pertanyaan yang selalu diajukan, yaitu: Apakah
sastra itu? Upaya tersebut selalu mengalami kegagalan dan
mengundang penolakan, kritik, dan tantangan. Hal ihwal
kegagalan tersebut disebabkan oleh upaya yang ingin
memperoleh konsep universal tentang pengertian sastra.
Kedua, landasan epistemologi berusaha menjawab
bagaimana memperoleh pengetahuan yang berupa ilmu
sastra, bagaimana prosedurnya, hal-hal apa yang harus
diperhatikan agar mendapatkan pengetahuan yang benar
tentang sastra, apakah kebenaran sastra itu, dan cara dan
sarana apa yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan
yang disebut ilmu sastra itu. Jawaban-jawaban atas pertanya-
an-pertanyaan tersebut akan membimbing ke arah peng-

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
14

ungkapan epistemologi dan metode penelitian sastra.


Ketiga, landasan aksiologis mempertanyakan tentang
kegunaan atau nilai moral. Untuk apa pengetahuan yang
disebut ilmu sastra tersebut digunakan? Bagaimana kaitan
penggunaan tersebut dengan kaidah moral? Bagaimana
penentuan obyek yang ditelaah ilmu sastra berdasarkan
pilihan-pilihan moral? Sederet pertanyaan aksiologi tersebut
akan mengarahkan pengungkapan hubungan ilmu sastra dan
karya sastra sebagai obyeknya dengan nilai-nilai moral (baca:
Endraswara, 2012: 1-2).
Jawaban atas ketiga pertanyaan fundamental tersebut
akan mengungkapkan prinsip-prinsip dasar penelitian sastra
yang melahirkan ilmu sastra. Prinsip-prinsip dasar tersebut
meliputi: definisi, obyek kajian, ruang lingkup, pendekatan,
metode, prosedur, dan cabang-cabang keilmuannya. Tetapi
sebelum membicarakan tentang ketiga landasan atau prinsip
dasar ilmu sastra di atas, perlu dipahami dahulu apakah ilmu
sastra itu. Tetapi pembicaraan ketiga landasan tersebut lebih
tersirat, artinya tidak secara khusus dilakukan dalam sub-bab
atau bab tersendiri. Secara tidak langsung, bab-bab dan sub-
sub bab dalam buku ini berdasarkan pada landasan ontologi,
epistemologi, dan aksiologi Ilmu Sastra dan penelitian sastra.
Persoalan yang segera muncul ketika orang mem-
bicarakan ilmu sastra adalah apakah perbedaan sastra dan
ilmu sastra. Ketika perbedaan keduanya dapat dijelaskan,
muncul kemudian persoalan yang tak kalah rumitnya, yaitu
pertanyaan tentang apakah sastra itu? Secara sederhana
persoalan pertama dapat dijawab bahwa sastra itu karya seni,

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
15

sedangkan ilmu sastra atau bisa disebut dengan istilah studi


sastra adalah cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari
tentang karya sastra.
Berbagai pengertian ilmu sastra telah dirumuskan
secara beragam oleh pakar sastra. Dalam berbagai buku,
kamus, ensiklopedi, jurnal, dan sebagainya, para pakar sastra
mengemukakan berbagai pandangannya yang berbeda-beda.
Berikut beberapa pengertian yang pernah ada dalam wacana
pengetahuan sastra di Indonesia.
1. Dalam Pengantar Ilmu Sastra:Teori Sastra, karya Badrun
dikemukakan bahwa ilmu sastra adalah ilmu yang
menyelidiki sastra secara ilmiah. Ilmu sastra menyelidiki
karya sastra secara ilmiah (1983:11).
2. Dalam Kamus Istilah Sastra Indonesia, Eddy dikemukakan
bahwa ilmu sastra segala bentuk dan cara pendekatan
terhadap karya sastra dan gejala sastra (1991:96).
3. Dalam Kamus Sastra , Eneste mengemukakan bahwa ilmu
sastra adalah bidang keilmuan yang obyek utamanya karya
sastra (1994:47).
4. Dalam Ensiklopedia Sastra Indonesia, Hasanuddin menge-
mukakan bahwa ilmu sastra dalam bahasa Inggris dikenal
dengan istilah general literature meliputi semua pendekatan
ilmiah terhadap gejala sastra.
5. Dalam 9 Jawaban Sastra Indonesia, Mahayana mengemuka-
kan bahwa ilmu sastra ilmu yang menyelidiki kesusastraan
dengan berbagai masalahnya secara ilmiah (2003:223). Ilmu
sastra adalah ilmu yang mempelajari karya sastra (2005 :
347).

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
16

6. Dalam Pemandu di Dunia Sastra, Hartoko dan Rahmanto


menuliskan pengertian sastra sebagai berikut. Ilmu sastra
dalam bahasa Inggris general literature, meliputi semua pen-
dekatan ilmiah terhadap gejala sastra.Obyek ilmu sastra
adalah unsur kesastraan yang menyebabkan sebuah
ungkapan bahasa termasuk sastra. Di samping unsur-
unsur bahasa (struktur, gaya, fungsi politik) faktor-faktor
historiko pragmatik dan psikososial. Juga memainkan
peranan (misalnya unsur rekaan dalam komunikasi bahasa,
perkembangan antara pengertian sastra dan sebagainya).
7. Dalam Pengantar Ilmu Sastra, Luxemburg dkk. mengurai
tentang ilmu sastra. Ilmu sastra meneliti sifat-sifat yang
terdapat di dalam teks-teks sastra, lagi bagaimana teks-teks
tersebut berfungsi dalam masyarakat (1989: 2).
8. Ilmu sastra adalah pengetahuan yang menyelidiki secara
sistematis dan logis mengenai berbagai hal yang berkaitan
dengan karya sastra. Dengan adanya ilmu sastra, seseorang
dapat memepelajari dan menelaah suatu karya sastra secara
baik dan dapat dipertanggung-jawabkan (Kosasih,2008:4).
Dari berbagai pengertian di atas ilmu sastra dapat
disimpulkan ke dalam rumusan berikut ini.
1. Ilmu sastra adalah ilmu yang menyelidiki sastra secara
ilmiah.
2. Ilmu sastra adalah ilmu yang menyelidiki karya sastra
secara ilmiah.
3. Ilmu sastra adalah segala bentuk dan cara pendekatan
ilmiah terhadap karya sastra dan gejala sastra.
4. Ilmu sastra adalah sebuah telaah sistematis mengenai sastra

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
17

dan komunikasi sastra yang pada prinsipnya tidak meng-


hiraukan batas-batas antar bangsa dan antar kebudayaan.
Keempat rumusan tersebut dapat diungkapkan dalam
suatu definisi bahwa ilmu sastra adalah ilmu yang menyelidiki
karya sastra beserta gejala-gejala yang menyertainya, secara
ilmiah dan sistematis, yang pada prinsipnya tidak menghirau-
kan batas-batas antar-bangsa dan antar-kebudayaan.
Sebagaimana ilmu-ilmu yang lain, ilmu sastra memiliki
berbagai cabang ilmu, yaitu: teori sastra, sejarah sastra, kritik
sastra, dan filologi. Lebih lanjut Kosasih mengemukan pe-
ngertian beberapa cabang ilmu sastra sebagai berikut.
1. Teori sastra adalah cabang ilmu sastra yang memepelajari
prinsip-prinsip dasar sastra, seperti sifat, struktur, dan jenis
karya sastra.
2. Sejarah sastra adalah cabang ilmu sastra yang menyelidiki
sastra sejak ada hingga perkembangannya yang terakhir.
3. Kritik sastra adalah cabang ilmu sastra yang mempelajari
karya sastra dengan memberikan pertimbangan dan pe-
nilaian atas baik-buruknya, kekuatan, dan kelemahan karya
sastra.
Meskipun cabang-cabang ilmu sastra di atas dapat
berdiri sendiri sebagai sebuah kajian sastra, tetapi di antara
cabang-cabang tersebut terdapat hubungan timbal balik.
Sejarah Sastra membutuhkan bahan pengetahuan dari Teori
Sastra, seperti: unsur-unsur karya sastra, genre sastra, aliran-
aliran sastra, dan sebagainya. Begitu juga Teori Sastra mem-
butuhkan bahan-bahan hasil penelitian Sejarah Sastra, misal-
nya tentang perkembangan aliran, genre, maupun per-

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
18

kembangan teori sastra dari satu periode ke periode yang lain.


Sementara terhadap Kritik Sastra, Sejarah Sastra membutuhkan
bahan-bahan seperti nilai sebagai hasil upaya Kritik Sastra.
Sebaliknya Kritik Sastra membutuhkan hasil-hasil penelitian
Sejarah sastra, misalnya tentang pengaruh dari karya sastra
lain. Sedangkan Teori Sastra merupakan pangkal dari Kritik
Sastra, dan Kritik Sastra tidak akan berhasil tanpa adanya
landasan pengetahuan Teori Sastra.
Pembagian cabang ilmu sastra di atas didasarkan atas
model analisis yang bersifat monodisipliner. Sifat
monodisipliner,sebagaimana dikemukakan Ratna (PUSTAKA,
Volume XII, No. 1, Februar2012, hlm. 53), penelitian seolah-
olah telah memiliki batas-batas yang jelas, baik objek maupun
metodologi yang digunakan untuk memahaminya. Mono-
disiplin mengarahkan seorang peneliti tidak keluar dari
batas-batas yang telah ditentukan. Pada umumnya penelitian
terbatas sebagai semata-mata bersifat instrinsik, otonom.
Dalam kehidupan sehari-hari disebut sebagai tapal pe-
mandangan kuda. Untuk menentukan batas-batas tersebut di-
lakukan dengan menentukan ciri, paradigma masing-masing
ilmu yang disebut sebagai rumpun ilmu.
Sedangkan berdasarkan model analisis interdisipliner,
ilmu sastra dibagi cabang-cabangnya menjadi: sosiologi sastra,
psikologi sastra, filsafat sastra, dan antropologi sastra. Sifat
interdisipliner tersebut, menurut Ratna (PUSTAKA, Volume
XII, No. 1, Februar2012, hlm. 53), memerlukan keterlibatan
sejumlah disiplin ilmu lain, baik teori, metode, teknik, mau-
pun perlengkapan lain, termasuk obyeknya. Cabang ilmu

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
19

sastra interdisipliner mengaji karya sastra di dalamnya ter-


kandung unsur-unsur yang menjadi garapan disiplin ilmu
lain. Sosiologi sastra, psikologi sastra, dan antropologi sastra
jelas mengaji karya sastra yang di dalamnya terkandung
unsur-unsur sosiologi, psikologi, dan antropologi.
Pembagian cabang-cabang ilmu sastra yang lain di
dasarkan atas wilayah di mana karya sastra itu berada.
Berdasarkan hal itu, cabang-cabang ilmu sastra dibagi atas:
sastra umum, sastra khusus, dan sastra bandingan. Sastra
Umum adalah ilmu sastra yang membicarakan hal ihwal
sastra pada umumnya, terlepas dari masalah-masalah ke-
khususan dari kehidupan sastra akibat adanya corak bangsa
dan bahasa. Sastra khusus adalah ilmu sastra yang mem-
bicarakan kehidupan sastra suatu bangsa atau suatu suku
bangsa tertentu, atau sastra dengan suatu media bahasa
tertentu. Sastra perbandingan adalah ilmu sastra yang ber-
usaha menyelidiki adanya persamaan, perbedaan, dan pe-
ngaruh dari berbagai hal yang terdapat pada dua atau
beberapa sastra tertentu/sastra khusus (Halimah, FPBS
Universitas Pendidikan Nasional, Cabang Ilmu Sastra, tt.:6).
Pembagian cabang-cabang ilmu sastra di atas, jika
dikemukakan dalam bagan akan nampak sebagai berikut.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
20

Bagan 1: Cabang-Cabang Ilmu Sasatra

B. Karya Sastra: Obyek Kajian Ilmu Sastra


Obyek ilmu sastra adalah kehidupan manusia yang
sudah diabstraksikan dalam karya sastra (Budi Darma, 1990:
338). Dengan demikian, obyek utama ilmu sastra adalah karya
sastra. Sebagai obyek ilmu sastra, hakekat karya sastra mesti
dipahami sebelum memahami bagaimana ilmu sastra mengaji-
nya. Namun demikian, sebagaimana dikemukakan di awal bab
ini, mendefinisikan sastra ternyata memunculkan persoalan
yang tak kalah rumit dibandingkan dengan mendefinisikan
apa itu ilmu sastra.
Persoalan kedua yang muncul ketika membicarakan
ilmu sastra adalah tentang ―Apakah sastra itu?” Pertanyaan itu
tidak bisa dijawab sesederhana menjawab tentang “Apakah
ilmu sastra itu?”. Di samping banyaknya para ahli berusaha
SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
21

mendefinisikan sastra sesuai sudut pandang dan kebutuhan


masing-masing, kerumitan yang terjadi juga lantaran keaneka-
ragaman genre sastra yang tidak mungkin diwadahi dalam
satu pengertian. Chamamah mengatakan bahwa kerumitan itu
disebabkan oleh kehadiran istilah sastra sebagai entitas yang
memungkinkan untuk ditafsirkan dalam beragam makna dari
sudut pandang yang beraneka ragam pula (2001:9). Demikian
juga dikemukakan oleh Hudayat bahwa upaya mengungkap
konsep tentang sastra pada umumnya dipandang tidak
mudah. Hal ini disadari juga oleh para kitikus dan teori-
tis sastra. Pertanyaan yang berhubungan dengan penjelasan
tentang konsep sastra selalu muncul, tetapi selalu pula
berakhir dengan kesimpulan yang menunjukkan kegagalan-
nya. (2007: 29-30).
Teew (2003: 19) mengemukakan, sudah tentu cukup
banyak usaha yang dilakukan sepanjang masa untuk mem-
berikan batasan yang tegas atas pertanyaa “Apakah sastra itu?”,
dari berbagai pihak dan dengan pendekatan yang berbeda-
beda. Tetapi batasan mana pun yang pernah diberikan oleh
ilmuwan ternyata diserang, ditentang, disangsikan, atau
terbukti tak kesampaian karena hanya menekankan satu atau
beberapa aspek, atau ternyata hanya berlaku untuk sastra
tertentu. Adakalanya batasan yang diberikan ternyata terlalu
luas dan longgar, sehingga melingkupi banyak hal yang jelas
bukan sastra.
Terhadap kesulitan dan kerumitan dalam memberikan
definisi sastra di atas, cara yang dapat ditempuh adalah men-
jelaskan sifat-sifat khas karya sastra. Dengan cara seperti itu

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
22

diharapkan dapat menjelaskan hakekat karya sastra sebagai


obyek kajian ilmu sastra. Bagaimana pun, sebuah ilmu yang
mengaji obyeknya secara ilmiah harus memiliki landasan
ontologis. Suwardi mengemukakan, ontologi sastra akan
mempelajari hakekat dan esensi karya sastra (2012:94).
Meskipun cara seperti ini tidak serta merta menghilangkan
eksklusivitas sastra, tetapi setidaknya memberikan jembatan
antar-keberbedaan yang selama ini pernah dilakukan ilmu-
wan untuk menjawab pertanyaan: “Apakah sastra itu?”
Dalam karya sastra dikenal istilah: ‗imajinasi‘, ‗fiksi‘,
dan ‗ekspresi‘. Ketiga istilah tersebut menyarankan proses
kesadaran manusia dalam penciptaan karya sastra. Dengan
memahami ketiga istilah tersebut dapat menjadi jembatan
memahami hakekat karya sastra sebagai obyek sebuah kajian.
Istilah ‗imajinasi‘ mengandung pengertian perenungan,
penghayatan, pemikiran, dan perasaan. Di dalam imajinasi
itulah, sastrawan mengembara ke ruang kesadaran. Ia
mengarungi samudra yang luas tak bertepi dalam jiwanya.
Dalam pengembaraan itu akan ia jumpai kenangan, ingatan,
pengalaman, kilatan gambar-gambar, yang pernah masuk ke
dalam alam sadar dan bawah sadarnya. Itulah mengapa
imajinasi disebut juga dengan pembayangan. Bahasalah yang
akan mewadahi hasil imajinasi tersebut ke dalam kata, frase,
kalimat, paragraf, dan wacana, yang kemudian disebut sastra.
Sedangkan istilah ‗fiksi‘ mengandung pengertian
rekaan, khayalan, sesuatu yang tidak ada dan terjadi sungguh-
sungguh sehingga tak perlu dicari kebenarannya dalam
realitas. Ia berisi peristiwa, tokoh, dan tempat, yang kemudian

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
23

ditampung dalam bahasa naratif dan disebut dengan sastra


(wacana naratif). Itulah mengapa istilah ‗fiksi‘ bertolak
belakang dengan realitas atau faktual. Antara imajinasi dan
fiksi merupakan dua hal yang tak terpisahkan dalam suatu
rangkaian proses kesadaran manusia. Pengalaman pe-
ngembaran imajinasi seseorang akan memunculkan fiksi yang
terwadahi dengan bahasa dan disebut karya sastra. Beberapa
ahli sastra menyebutnya dengan cerita rekaan atau prosa fiksi.
Sedangkan istilah ‗ekspresi‘ mengandung pengertian
cara mengungkapkan apa yang diimajinasikan seseorang
dengan sarana bahasa. Setiap orang memiliki ekspresi yang
berbeda-beda. Setiap kreator memiliki gaya masing-masing. Ia
bersifat individual. Karena bahasa menjadi medianya, maka
ekspresi seseorang akan tampak pada penggunaan kata, frase,
kalimat, paragraf, dan wacana. Bahasa fiksi dengan demikian
merupakan hasil dari pengolahan secara kreatif, imajinatif,
dan fiktif. Dari pilihan kata hingga wacana yang lengkap,
akan memunculkan cara dan gaya bagaimana seseorang
mengungkapkan atau mengekspresikan apa yang diimajinasi-
kan dan difiksikan. Tak heran jika seseorang memiliki teknik,
kebiasaan, dan pengetahuan untuk itu.
Ketiga proses kesadaran di atas muncul lantaran
terdapat dorongan, baik dari dalam maupun luar diri
sastrawan, untuk mengungkapkan sesuatu hal dalam karya
sastra yang akan diciptakannya. Semi mengemukakan, karya
sastra lahir oleh dorongan manusia untuk mengungkap
diri tentang masalah manusia, kemanusiaan, dan semesta
(1993:1). Masalah yang mendorong lahirnya karya sastra

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
24

tersebut bersifat imajinatif, fiktif, dan ekspresif. Dan adanya


sifat imajinatif, fiktif, dan ekspresif itulah, karya sastra pada
akhirnya merupakan suatu kualitas yang unik, khas, kreatif,
dan estetis. Apa yang tidak mungkin dalam realitas, menjadi
mungkin dalam karya sastra. Apa yang tidak lumrah dalam
realitas, menjadi lumrah dalam karya sastra. Apa yang tidak
logis dalam realitas, menjadi logis dalam karya sastra. Tak
pelak lagi pembaca sastra akan menemukan wawasan atau
cara pandang yang lain ketika membaca karya sastra. Apa
yang sudah biasa dialami dalam realitas, menjadi sesuatu
yang tidak biasa dalam karya sastra. Bisa saja hal itu tidak
lazim dalam realitas dan tidak disadari sebelumnya.
Pertunjukan Uncle Tom Cabin karya Stowe, pada
akhirnya menjadi terapi bagi penontonnya, yang semuanya
kulit putih Amerika, bahwa perlakuan kulit putih terhadap
kulit hitam merupakan perbuatan yang tak adil dan tidak
sesuai dengan hakikat moral dan kemanusiaan.Jika kemudian,
para penonton merasakan simpati atas apa yang diceritakan
dalam pertunjukan tersebut, sesungguhnya terdapat kesadar-
an moral yang selama ini tidak pernah terjadi dalam realitas.
Ketika rakyat Uni Sovyet dibungkam kebebasan mengeluar-
kan pendapatnya, maka novel Boris Pasternak berjudul Doktor
Zivago menjadi medianya. Betapapun pada akhirnya Boris
Pasternak harus menerima hukuman mati, sesungguhnya ia
telah mengungkapkan sebuah kemungkinan kebenaran yang
diyakininya, yang dalam realitasnya sangat tabu di negeri itu.
Begitu juga ketika tubuh dan organ intim manusia tabu dan
vulgar secara etika untuk diungkapkan dalam realitas, para

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
25

sastrawan wanita, seperti Ayu Utami, Djenar Mahesa Ayu,


dan banyak pengarang wanita lainnya, justru mengungkap-
kannya dalam karya sastra. Begitu juga Abidah El-Khaliqie
dalam novelnya berjudul Perempuan Berkalung Surban,
mengungkapkan hal yang tak terungkapkan dalam realitas.
Itu menjadi sebuah alternasi cara pandang tentang per-
masalahan manusia dan kehidupannya. Itu menjadi sebuah
perenungan, penghayatan, pemikiran, pembayangan, dan
kreativitas pengarang dalam memandang obyek yang di-
ungkapkan dalam karya sastranya. Dan itu itu pula, pada
akhirnya akan di tangkap pembacanya untuk memperkaya
wawasannya.
Hal yang sama juga terjadi dalam novel Rafilus
karya Budi Darma. Tokoh Rafilus digambarkan seperti
terbuat dari besi, tidak bisa mati, kebal peluru, atau seperti
setan. Penggambaran tokoh Rafilus yang demikian masuk
akal dalam logika karya sastra. Dalam kenyataan sehari-
hari, hal itu tidak masuk akal. Oleh karena itu logika dalam
karya sastra dinilai dalam kaitannya dengan hakekat karya
sastra sebagai wacana imajinatif, fiktif, dan ekspresif, yang
bermuara pada bahasa sebagai medianya.
Sastra itu demokratis! Kalau ada teks bacaan yang begitu
terbuka, sehingga bermacam-macam kepentingan dan tujuan
orang memahaminya, itu adalah sastra. Dari tukang becak
hingga pejabat, dari pelajar SD hingga seorang profesor, dari
pengangguran hingga penguasaha yang super sibuk, sastra
dapat dibaca dan dipahami. Dari orang yang tak bisa tidur
hingga larut sampai seorang yang maniak membaca, karya

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
26

sastra dapat dibacanya. Dari seorang yang mencari hiburan


sampai akademisi yang ingin menambah ilmu, ia me-
nyodorkan dirinya untuk dipahami. Memang, karya sastra
menyiapkan berpuluh wajah untuk ia tampakkan sesuai
dengan siapa dan bagaimana memahaminya. Tak memandang
anak-anak atau orang tua, laki-laki atau perempuan, di
perempatan jalan atau di sembarang tempat, sastra tidak
menolak untuk dibaca dan di-pahami. Atau dapat dikatakan,
tidak ada objek yang begitu fleksibel sehingga merambah ke
mana-mana, melampaui batas-batas ruang dan waktu, kecuali
sastra. Itulah makna demokratis yang melekat dalam sastra.
Sebagai bahan bacaan, karya sastra bersifat terbuka. Ia
mau menerima siapapun dan dengan pola pikir apapun
sebagai landasan berfikir untuk memahami dirinya; di
samping berdasarkan Ilmu sastra sebagai landasan teoritis
studi sastra secara ilmiah. Karena sifat terbuka inilah, ilmu
tentang sastra menjadi multidisipliner. Ketika teori sosial
menjadi landasan berfikir untuk memahami sastra, maka
muncullah Sosiologi Sastra. Begitu juga Psikologi memberikan
proposi-proposinya untuk menjelaskan aspek kejiwaan dalam
karya sastra itu, maka muncullah Psikologi Sastra. Ilmu
politik, Komunikasi, Ekonomi, hingga gerakan-gerakan
pemikiran yang ada di masyarakat, turut pula memberikan
landasan berfikir untuk menjelaskan aspek-aspek sastra dari
kaca mata mereka. Belum lagi Studi Budaya, Antropologi,
Linguistik, Filsafat, Jurnal-istik, sampai teori tafsir agama
(kitab), menjadi pisau untuk me-mahami sastra. Tidak heran

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
27

jika kemudian proses membaca sastra ramai memenuhi ruang


publik masyarakat.
―Apa sebenarnya hakikat karya sastra sehingga ia bersifat
terbuka dan fleksibel itu?‖ Sastra merupakan dunia yang unik.
Sastra merupakan dunia fiktif yang memiliki seribu wajah.
Banyak-nya wajah yang dimunculkan sastra, sebanyak
kesadaran manusia yang membacanya. Banyaknya rupa yang
diperlihatkan sastra, sebanyak aspek-aspek kehidupan realitas
kehidupan dimana sastra itu diciptakan. Imajinasi dan realitas
adalah dua sisi mata uang yang bernama sastra. Dua wajah
bolak-balik muncul dalam proses pembacaannya. Ketika
dipandang sebagai imajinatif, sastra me-munculkan realitas
masyarakat. Ketika ditangkap sebagai realitas, ia menjilma
sebagai karya imajinatif. Dua hal yang sebenarnya ber-
tentangan, imajinasi dan realitas, justru bersama-sama hadir
dalam sastra.
Sastra juga merupakan dunia kemungkinan. Artinya,
ketika pembaca berhadapan dengan karya sastra, maka ia
berhadapan dengan kemungkinan penafsiran. Setiap pembaca
berhak atas pe-nafsirannya yang beraneka ragam terhadap
makna karya sastra. Tujuan dan harapan yang berbeda akan
mengakibatkan perbedaan penafsiran terhadap sebuah karya
sastra tertentu. Hal ini berkaitan dengan masalah sifat, fungsi
dan hakikat karya sastra. Sifat-sifat khas karya sastra
ditunjukkan oleh aspek referensialnya (acuan), fiksionalitas,
ciptaan, dan sifat imajinatifnya.
Sebagai dunia kemungkinan, karya sastra dapat meng-
hadirkan apa yang tidak mungkin terjadi dalam realitas, bisa

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
28

mungkin dalam karya sastra. Atau sebaliknya, yang mungkin


dan pasti dalam realitas, menjadi tidak mungkin dan tidak
pasti dalam karya sastra. Sebagai dunia kemungkinan, karya
sastra juga dapat meng-hadirkan peristiwa yang dianggap
logis di dalam realitas menjadi tidak logis. Atau sebaliknya,
yang tidak logis dalam realitas, men-jadi logis dalam karya
sastra.
Kualitas dunia sastra bermuara pada realitas dipandang
dari sisi imajinasi; imajinasi dipandang dari sisi realitas. Itulah
yang kemudian memunculkan dunia fiksi dalam sastra. Itu
juga yang kemudian menghadirkan realitas dalam sastra.
Karya fiksi (sastra) menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan,
khayalan, sesuatu yang tidak ada dan terjadi sungguh-
sungguh, sehingga tidak perlu dicari kebenarannya pada
dunia nyata. Karya fiksi juga memandang real-itas diluar
sebagai sumber dan sasaran diciptakannya karya sastra itu,
sehingga dalam karya sastra juga memiliki hubungan dengan
realitas di sekelilingnya (masyarakat).
Karya sastra memiliki realitas sendiri, sedangkan realitas
di luar sastra adalah realitas tersediri pula. Tapi keduanya
menyatu dalam karya sastra itu. Perbedaan antara fakta dan
fiksi, seringkali berada dalam batas yang sangat relatif.
Kadang kala begitu tipis dan sulit ditarik garis tegas. Tetapi
dalam waktu yang lain, dapat sangat jelas batas-batas itu.
Tidak sedikit karya sastra yang secara sadar mencoba meng-
angkat fakta atau peristiwa-peristiwa faktual, se-hingga ia
tampak lebih dekat pada gambaran sosiologis masyarakat.
Tetapi karya sastra tidak sekedar melaporkan realitas itu

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
29

sendiri, namun melaporkan realitas yang telah menjadi


pemikiran pengarangnya.
Bagaimana sifat demokratis, fleksibel, terbuka, dan
penuh kemungkinan itu bisa difahami dan dimanfaatkan
dalam kehidup-an ini? Itulah yang perlu kita pahami. Jangan
salah persepsi seperti zaman modern sekarang ini yang penuh
dengan ilmu pengetahuan dan teknologi memperlakukan
karya sastra secara keliru.
Zaman modern dengan faham modernismenya
cenderung mengagung-agungkan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Alhasil, manusia-manusia menjadi obyek bagi ilmu
pengetahuan dan tekno-logi itu. Sedangkan manusia itu
mempunyai jiwa dan sifat ke-manusiaannya. Seharusnya
menjadi subyek. Janganlah manusia disetir oleh ilmu penge-
tahuan dan teknologi. Manusia bisa menjadi robot. Akhirnya,
manusia mengalami dehumanismenya. Bahaya bagi masa
depan peradaban. Tanda-tanda untuk itu telah muncul.
Perang terjadi karena kecanggihan teknologi kemiliteran
manusia; Eksplorasi alam secara besar-besaran sehingga
merusak kese-imbangan alam; dampak polusi sehingga
terjadinya global warming; belum lagi pola hidup yang
berubah: konsumtif, materialis, in-dividual, seks bebas,
longgarnya hubungan sosial dan keluarga, demoralisasi,
kekerasan dan perkelahian. Inilah saatnya kita mem-perluas
wawasan dan cara pandang kita. Dunia ini tak akan mungkin
menjadi baik jika manusia hanya berkutat dengan ilmu
pengetahuan dan teknologi tanpa dilandasi dengan
humaniora dan agama. Persepsi kita tentang kesenian,

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
30

termasuk sastra, mesti ber-ubah, karena di dalam karya sastra


itu kaya akan kemungkinan dan cara pandang yang lebih
manusiawi.
Lantas bagaimana karya sastra itu memandang realitas?
Kalau karya sastra juga memiliki peranan dalam membangun
masa depan, tentunya ia memiliki cara untuk menjadikan
realitas men-jadi sumber penciptaannya. Dengan begitu, karya
sastra sangat bermanfaat bagi kehidupan. Berbagai pendapat
muncul berbeda-beda dalam menjelaskan hal itu. Dalam teori
mimesis misalnya, semenjak Plato, filsuf dari Yunani, yang
kemudian diperbaruhi muridnya, Aristoteles, hingga
sekarang, memandang karya sastra merupakan peniruan
secara kreatif dari realitas. Seni (termasuk sastra) menurut
paradigma mimetik ini, merupakan kegiatan me-niru atau
tiruan dari dunia, alam, benda, dan manusia. Karya sastra
manampilkan wajah sebagai perwujudan hubungan dinamis
yang berlanjut antara suatu seni (sastra) dengan alam semesta.
Tentunya realitas (alam semesta) yang dipikirkan dan diolah
secara kreatif oleh pengarangnya. Dengan demikian, membaca
karya sastra dengan landasan berfikir teori mimesis ini
menempatkan karya sastra itu sebagai produk peniruan
kenyataan, produk dinamis, representasi kenyataan semesta
secara fiksional, dan produk imajinasi.
Berbeda dengan teori mimesis, Strukturalisme Genetik
yang dicetuskan Lucien Goldman mengemukakan dua
pendapatnya mengenai karya sastra. Pertama, karya sastra
merupakan ekspresi pandangan dunia secara imajiner. Kedua,
dalam usahanya mengekspresikan pandangan dunia itu

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
31

pengarang menciptakan semesta tokoh-tokoh, objek-objek,


dan relasi-relasi secara imajiner. Sehingga hubungan karya
sastra dan masyarakat tak terelakkan. Tetapi hubungan
keduanya dimediasi oleh pandangan dunia (ideologi)
pengarangnya. Sebagai produk dari dunia sosial yang
senantiasa berubah-ubah, karya sastra merupakan kesatuan
dinamis yang bermakna, sebagai perwujudan nilai-nilai dan
peristiwa-peristiwa penting zamannya. Dalam istilah
Strukturalisme Genetik karya sastra menyuarakan pandangan
dunia (ideologi) subjek kolektif pengarangnya.
Seorang sosiolog, Karl Manheim memandang karya seni
(termasuk sastra) menyampaikan maknanya dalam tiga
tingkat: objectif meaning (hubungan sastra dengan dirinya
sendiri), expressif meaning (hubungan sastra dengan pencipta-
nya), dan documentary meaning (hubungan sastra dengan
konteks sosialnya). Dari sudut pandang ini, pembacaan karya
sastra mengikuti prosedur tiga tingkatan makna tersebut.
Dalam teori Semiotika, karya sastra di-pandang sebagai
sistem struktur yang terdiri atas penanda, petanda, dan sistem
yang menghubungkan keduanya. Pembacaan karya sastra
mengarah pada memaknai tanda yang bermakna real-itas
yang terkandung dalam karya sastra itu.
Banyak teori yang memberikan pandangannya tentang
karya sastra. Psikoanalitis Freud, Strukturalisme Levi Straus
dan Todorov, Cultural Materialism Richad Johnson, dan
beberapa pemikiran yang lain, berpijak pada pandangan yang
berbeda-beda. Semua itu semakin meramaikan studi sastra
dan memapankan sifat sastra yang demokratis (terbuka).

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
32

Di samping itu, dewasa ini muncul jenis atau genre


sastra baru sebagai pengaruh perkembangan masyarakat
modern. Selain puisi, prosa, dan drama, muncul jenis
cybersastra, sastra koran, dan jurnalistik sastrawi (meskipun
genre yang terakhir cenderung masuk ke wilayah genre
wacana jurnalistik). Cyber sastra menjadi ramai akhir-akhir ini
karena pengaruh perkembangan teknologi informasi
(internet). Meskipun belum banyak yang meneliti keber-adaan
cyber sastra, karena memang relative baru, genre sastra ini
mempunyai kekhas-an sendiri. Sedangkan sastra Koran,
beberapa pendapat menyama-kan dengan jurnalistik sastrawi,
keberadaannya relatif lama. Sementara jurnalistik sastrawi,
penulis cenderung membedakan dengan sastra koran,
muncul dalam wilayah disiplin ilmu komunikasi. Jurnalistik
sastrawi merupakan jenis wacana jurnalistik dengan
menggunakan bahasa ragam sastra. Di dunia akademis, sastra
koran dan jurnalistik sastrawi telah lama menjadi objek kajian
Ilmu Komunikasi. Semakin berkembangnya jenis sastra ini
menyebabkan berkembangnya pembacaan dan studi sastra.
Meluasnya kajian Ilmu Komunikasi yang mengambil sastra
sebagai objek kajian, jelas akan menggunakan teori
komunikasi sebagai landasan berfikirnya. Begitu juga ketika
penelitian sastra me-rambah ke ranah Ilmu Politik, jelas akan
membedah karya sastra dari sisi Ilmu Politik.
Keluasan aspek-aspek dan ciri-ciri karya sastra
membuka kemungkinan yang kaya dalam analisisnya.
Penelitian sastra pada akhirnya harus membuka diri atas
keluasan itu. Dalam terminologi keilmuan muncul istilah

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
33

multidisipliner untuk menggambarkan hal itu. Justru di


situlah keleluasaan seorang peneliti sastra terjamin dalam
prosesnnya. Tinggal peneliti sastra menentukan sudut pan-
dangnya yang relevan bagi dirinya sendiri dan keilmuan
sastra pada umumnya.

C. Ruang Lingkup Kajian Ilmu Sastra


Berdasarkan uraian di atas, pada akhirnya dapat
ditentukan ruang lingkup ilmu sastra. Uraian di atas telah
membuka cakrawala yang luas tentang apa saja yang termasuk
dalam kajian Ilmu sastra. Hal itu terjadi relevan dengan
hakekat karya sastra sebagai obyek kajian ilmu sastra. Karya
sastra memiliki sifat yang demokratis, penuh kemungkinan,
banyak wajah, dan sebagai sebuah wacana yang memiliki
strategi kewacanaan dan gaya penceritaan yang imajinatif,
fiktif, dan ekspresif, yang bermediakan bahasa.
Ilmu sastra mempunyai ruang lingkup kajian hampir
tak terbatas. Oleh karena itu, tidak mungkin menjelaskan
semua ruang lingkup tersebut. Ruang lingkup ilmu sastra
secara umum meliputi sebagaimana berikut ini.
1. Teori Sastra
2. Sejarah Sastra
3. Kritik Sastra
4. Sastra Bandingan
5. Strukturalisme
6. Strukturalisme Genetik
7. Semiotik
8. Sosiologi Sastra

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
34

9. Psikologi Sastra
10. Antropologi sastra
11. Postrukturalisme
Namun, demi memenuhi kebutuhan bagi pembelajar-
an, dan kecenderungan buku ini yang mengarah pada pe-
neltian sastra, maka ruang lingkup Ilmu Sastra dalam buku ini
mencakup beberapa hal berikut ini.
1. Teori Sastra, yang meliputi teori-teori di wilayah struktur-
alisme dan postrukturalisme.
2. Struktur hirarki dalam penelitian sastra: pendekatan, teori,
dan metode.
3. Beberapa pendekatan dalam penelitian sastra.
4. Beberapa alternatif pendekatan sastra multidisipliner,
seperti: analisis framing, analisis wacana kritis, etnografi,
analisis sastra dan semangat zaman.
Meskipun cakupan di atas tampak berbeda dengan apa
yang pernah dikemukakan para ahli sastra, namun jika
dipahami lebih dalam, keempat cakupan tersebut berada
dalam wilayah ruang lingkup Ilmu Sastra secara umum. Dapat
dikatakan, cakupan atau ruang lingkup ilmu sastra dalam
buku ini, semata-mata memenuhi kebutuhan akan materi
pembelajaran Ilmu Sastra.

*****

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
35

BAB 2

PARADIGMA, PENDEKATAN,
TEORI, DAN METODE

A. Pengertian Paradigma dan Pendekatan


Sebagaimana dalam ilmu-ilmu lain, Ilmu Sastra
bersifat dinamis. Sepanjang sejarahnya Ilmu Sastra dikaji,
dimodifikasi, dan dimatangkan dalam proses penelitian sastra
secara terus menerus. Oleh karena itu, penelitian sastra me-
miliki peranan yang penting dalam rangka mengembangkan
ilmu sastra.
Sebagai bentuk kegiatan ilmiah, penelitian sastra
membutuhkan landasan kerja berupa paradigma, pendekatan,
teori, dan metode. Tanpa landasan kerja yang memadai,
penelitian menjadi spekulatif dan acak, yang tidak sejalan
dengan cara berpikir sistematis. Kegiatan penelitian sastra
harus didahului dengan penetapan dan pengkonstruksian
langkah kerja yang terpadu, terfokus, dan sistematis sesuai
dengan kerangka dan strategi berpikir tertentu. Keterpaduan
SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
36

antara paradigma, pendekatan, teori, dan metode merupakan


konstruksi yang harus dirumuskan terlebih dahulu.
Secara etimologis, paradigma berasal dari bahasa
Latin, paradigma; berarti contoh, model, atau pola. Secara luas
paradima didefinisikan sebagai seperangkat keyakinan men-
dasar, pandangan dunia yang berfungsi untuk menuntun
tidakan-tindakan manusia yang disepakati bersama, baik
dalam kehidupan sehari-hari mau-pun penelitian ilmiah.
Paradigma merupakan pola atau model tentang bagaimana
sesuatu distruktur (bagian dan hubungannya) atau bagian-
bagian berfungsi. Khun dalam bukunya yang sangat terkenal,
Structure of Scientific Revolutions, mendefinisikan para-digma
ilmiah sebagai contoh yang diterima tentang praktik ilmiah
sebenarnya; contoh-contoh termasuk hukum, teori, aplikasi,
dan instrumentasi secara bersama-sama --yang menyediakan
model yang darinya muncul tradisi yang koheren dari
penelitian ilmiah (Moleong, 2006: 49). Paradigma merupakan
cara berpikir filosofis tentang realitas yang dipandang
berdasarkan keyakinan tertentu‖
Manusia selalu memandang dan memahami sesuatu
realitas berdasarkan keyakinan dan pandangan tertentu. Bila
keyakinan dan pandangan terhadap realitas tersebut secara
kolektif dimiliki dan dianut suatu masyarakat, sesungguhnya
itu merupakan sebuah paradigma. Dengan kata lain, suatu
keyakinan tentang suatu kebenaran obyek tertentu dalam
realitas dan bersifat abstrak merupakan suatu paradigma.
Dalam sejarah manusia, bermunculan paradigma, baik
se-cara evolutif maupun revolutif. Di antara paradigma itu

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
37

saling me-niadakan, melengkapi, atau menggusur paradigma


sebelumnya. Pola pikir manusia mulai tertata berdasarkan
pengetahuan yang diperoleh di masa silam dan yang diyakini
sebagai suatu ke-benaran. Hal inilah yang kemudian dalam
pemikiran modern di-gambarkan sebagai suatu paradigma.
Pada gilirannya melandasi dan menuntun manusia me-
mahami realitas. Dalam perkembangannya kemudian,
paradigma yang diikuti akan memunculkan konsep-konsep
dan proposisi-proposisi sebagai bawahan dari paradigma
tersebut. Dalam konsep keilmuan, proposisi-proposisi itu
menjadi sebuah teori. Sepanjang sejarahnya, teori tersebut
semakin me-nampakkan kematangannya akibat modivikasi
baru yang dilakukan para penganutnya. Teori-teori ini
memuat prinsip-prinsip tentang suatu objek yang dipelajari
dan dipahami manusia melalui pe-nelitian. Dengan kata lain,
teori mengungkapkan penjelasan tentang suatu objek dan
bagaimana cara manusia mendekati dan memahami objek itu
sebagai metodologis.
Menurut George Ritzer padigma adalah pandangan
yang mendasar dari ilmuwan tentang apa yang menjadi
pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh suatu cabang
ilmu pengetahuan. Paradigma membantu merumuskan
tentang apa yang harus dipelajari, persoalan-persoalan apa
yang mesti dijawab, bagaimana seharusnya menjawabnya,
serta aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam meng-
interpretasikan informasi yang dikumpulkan dalam rangka
menjawab persoalan-persoalan tersebut (Sudikan, 2014:6).
Berdasarkan rumusan tersebut, menurut Sudikan, dapat

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
38

dikemukakan bahwa dalam satu disiplin ilmu pengetahuan


dimungkinkan terdapat beberapa paradigma. Setiap ilmuwan
dimungkinkan memiliki cara pandang yang berbeda dengan
ilmuwan lainnya (2014: 7).
Mengapa setiap ilmuwan terjadi perbedaan cara
pandang? Menurut George Ritzer ada tiga faktor penyebabnya
(Alimandan dalam Sudikan, 2014: 7-8). Pertama, karena
pandangan filsafat yang mendasari pemikiran ilmuwan
tentang apa yang seharusnya menjadi substansi, dari cabang
ilmu pengetahuan yang dipelajarinya berbeda. Kedua, sebagai
konsekuensi logis dari pandangan filsafat yang berbeda, maka
teori-teori yang dibangun dan dikembangkan oleh masing-
masing (komunitas) ilmuwan itu berbeda. Ketiga, metode yang
digunakan untuk memahami substansi ilmu itu juga berbeda
di antara komunitas ilmuwan itu.
Hudayat (2007: 33) mengemukakan, bagi ilmuwan,
paradigma dianggap sebagai konsep-konsep kunci dalam
melaksanakan suatu penelitian tertentu. Paradigmalah yang
menentukan jenis-jenis ekspermen yang harus dilakukan
oleh para ilmuwan, jenis-jenis pertanyan yang harus diaju-
kan, dan jenis-jenis permasalahan yang harus dipecahkan.
Tanpa paradigma, ilmuwan tidak bisa mengumpulkan data.
Terdapat tiga hal yang mempengaruhi perbedaan para-
digma seorang ilmuwan, sebagai berikut:
1. unsur dalam diri sendiri
2. unsur luar berupa lingkungan fisik
3. unsur luar berupa penjelajahan metodologi dan teori.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
39

Di samping itu, suatu paradigma muncul karena


adanya benang merah yang menghubungkan berbagai teori
yang ada. Kesamaan pandangan dan keyakinan secara
fungdamental terhadap objek yang dikaji mengakibatkan
berbagai teori tersebut terhimpun dalam suatu paradigma.
Dengan kata lain, paradigma merupakan himpunan dari
berbagai teori yang sejalan dalam memandang obyek
kajiannya. Artinya, kesamaan sudut pandang dan konsep
yang di-pakai dalam memperlakukan dan menjelaskan obyek
tersebut menjadikan berbagai teori terhimpun dalam
paradigma yang sama.
Bisa jadi, satu teori tertentu berkembang dan
termodivikasi menjadi berbagai teori yang baru, tetapi masih
tampak kesamaan landasan fundamentalnya. Sejarah
pemikiran di Eropa menunjuk-kan berbagai pemikiran yang
berangkat dari satu sumber pemikiran yang sama. Teori
Struktural Ferdinand de Saussure tentang semio-logi bahasa
menjadi pijakan berbagai pemikiran yang muncul kemudian.
Tidak saja dalam lingkup ilmu bahasa, tetapi juga sastra,
antropologi, komunikasi, politik, dan studi-studi kebudaya-
an. Teori Marxisme memunculkan berbagai pemikiran yang
muncul kemudian, seperti teori Relasi Formatif Hegemoni
Antonio Gramsci, Strukturalisme Genetik Lucien Goldman,
Interaksionisme Simbolik Paul Ricour, Kuasa Simbolik Pierre
Bourdieu, Skeptisisme Theodor Adorno, dan seterusnya.
Terdapat benang merah yang meng-hubungkan teori-teori
tersebut ke dalam paradigma yang sama.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
40

Istilah lain yang sering ditumpangtindihkan dengan


istilah paradigma adalah pendekatan. Pendekatan identik
dengan perspektif, kerangka konseptual, atau strategi
intelektual. Oleh karena itu, dalam konteks ini digunakan
istilah pendekatan untuk menyebut istilah-istilah tersebut.
Ada berbagai pengertian yang digunakan para ilmuwan sastra
untuk menjelaskan istilah pendekatan. Berikut ini dikemuka-
kan beberapa di antara sekian pengertian yang ada.
1. Pendekatan merupakan alat untuk menangkap realita atau
fenomena sebelum dilakukan kegiatan analisis atas sebuah
karya. Dengan pendekatan, berarti seorang analis, peneliti
atau kritikus mempergunakan cara pandang, strategi
intelektual, kerangka konseptual, kerangka pemikiran,
paradigma dalam usaha memahami realita sebelum
melakukan analisis interpretatif terhadap sebuah teks puisi,
novel, drama atau lainnya (Siswantoro, 2010: 47).
2. Pendekatan adakalanya disamakan dengan metode. Lebih
lanjut, Ratna menguraikan bahwa secara etimologis,
pendekatan berasal dari kata appropio, approach, yang
diartikan sebagai jalan dan penghampiran. Pendekatan
didefinisikan sebagai cara-cara menghampiri objek,
sedangkan metode adalah cara-cara mengumpulkan,
menganalisis, dan menyajikan data. Dengan dasar
pertimbangan bahwa sebuah penelitian merupakan
kegiatan ilmiah yang tersusun secara sistematis dan
metodis, maka perlu dibedakan antara metode dengan
pendekatan (Ratna, 2011: 53-55).

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
41

3. Deddy Mulyana mengatakan istilah lain yang identik


dengan pendekatan adalah perspektif, kerangka konsep-
tual, kerangka pemikiran, strategi intelektual, paradigma,
dan teknik interpretasi (Siswantoro, 2010: 47).
Dengan demikian, paradigma dan pendekatan itu
berbeda. Agar tidak terjadi ketumpangtindihan dalam peng-
gunaan istilah tersebut, seorang ilmuwan mesti memahami
secara gamblang pengertian dan perbedaan keduanya.
Pertama, paradigma adalah wawasan (filosif) ilmuwan dalam
memandang ilmu pengetahuan yang digelutinya. Sedangkan
pendekatan adalah strategi atau perpektif dalam mendekati
dan memahami obyek penelitian. Kedua, paradigma merupa-
kan arah dan sudut pandang, sedang pendekatan merupakan
jalan untuk memahami obyek penelitian. Paradigma mem-
berikan arah ke mana seorang peneliti (ilmuwan) mesti
memahami obyek pengetahuannya, sementara pendekatan
menyediakan jalan untuk mencapai arah yang ditunjukkan
paradigma tersebut.
Acapkali pula pendekatan disamakan dengan metode.
Metode lebih konkret daripada pendekatan. Metode menurut
Hudayat sebagai alat, yang berfungsi untuk menyederhana-
kan masalah, sehingga lebih mudah untuk dipecahkan dan
dipahami. Klasifikasi, deskripsi, komparasi, sampling,
induksi dan deduksi, eksplanasi dan interpretasi, kuantita-
tif dan kualitatif, dan sebaginya adalah sejumlah metode
yang sudah sangat umum penggunaannya, baik dalam ilmu
kealaman maupun ilmu sosial, termasuk ilmu humaniora
(2007: 3). Sedangkan pendekatan mendahului metode dan

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
42

teori. Pendekatan pada dasarnya memiliki tingkat abstraksi


yang lebih tinggi, baik dengan metode maupun teori. Dalam
sebuah pendekatan dimungkinkan untuk mengoperasikan
sejumlah teori dan metode. Dalam hubungan inilah, pen-
dekatan disejajarkan dengan bidang ilmu tertentu, seperti
pendekatan sosiologi sastra, mitopoik, intrinsik dan
ekstrinsik, pendekatan objektif, ekspresif, mimetik, pragma-
tik,dan sebagainya (2007: 38).
Pendekatan penelitian ada berbagai macam, ter-
gantung sudut pandang peneliti. Beberapa ahli sastra juga
memiliki beberapa pendapat tentang jenis-jenis pendekatan.
Tanaka mengenalkan dua pendekatan, yaitu: Pendekatan
Mikro Sastra dan Pendekatan Makro Sastra. Pendekatan
Mikro Sastra artinya kajian yang menganggap bahwa
memahami karya sastra dapat berdiri sendiri tanpa bantuan
aspek lain di sekitarnya. Pendekatan Makro Sastra adalah
pemahaman sastra dengan bantuan unsur lain di luar sastra
(dalam Endraswara, 2011: 9). Dalam istilah lain, Wellek dan
Warren (1990) menggunakan istilah Pendekatan Instrinsik
dan Eksterinsik. Pendekatan Instrinsik adalah memahami
karya sastra dengan menitik beratkan pada unsur-unsur dari
dalam karya sastra, tanpa membutuhkan unsur-unsur di luar
karya sastra. Sedangkan Abrams mengenalkan empat
pendekatan sastra, yaitu: Ekspresif (menitikberatkan pada
pengarang), Mimetik (menitikberatkan pada hubungan sastra
dengan realitas), Pragmatik (menitikberatkan pada pembaca),
dan Obyektif (menitikberatkan pada karya sastra secara
otonom). Masih masih banyak pendekatan yang lain, yang

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
43

lazim digunakan oleh peneliti, seperti: pendekatan sosial,


antropoli, filsafat, psikologi, sastra bandingan, kultural studi,
dan sebagainya.

B. Latar Belakang Pemilihan Pendekatan Sastra


Paradigma secara jelas dan otomatis melekat dalam
diri ilmuwan, yang terbentuk dalam sejarah kehidupan
seseorang sebagai seorang ilmuwan. Disadari atau tidak,
paradigma merupakan suatu kecenderungan yang terjadi
dalam diri ilmuwan dalam memandang realitas. Dalam
tataran yang lebih ekstrem lagi, paradigma merupakan suatu
komitmen, prinsip, dan ideologi keilmuan yang dimiliki
seorang ilmuwan. Oleh karena itu, dalam sejarah per-
kembangan ilmu, sering terjadi konflik yang disulut oleh
paradigma yang dianut. Dalam rangka penelitian sastra, lebih
baik untuk membicarakan pendekatan sebagai suatu pilihan
dalam melandasi suatu penelitian.
Mengapa pendekatan sangat penting dalam melaku-
kan penelitian sastra? Jawaban atas pertanyaan itu menjadi
dasar pemikiran digunakannya suatu pendekatan dalam
setiap penelitian. Pentingnya pendekatan dalam suatu pe-
nelitian merupakan suatu keniscayaan. Hal itu telah terjawab
dalam bab sebelumnya. Persoalan yang kemudian muncul
adalah, mengapa yang dipilih pendekatan ini, bukan
pendekatan yang lain. Karena pendekatan, bersama dengan
teori dan metode, memberikan pedoman untuk memahami
obyek penelitian, maka menjawab pertanyaan tersebut harus

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
44

dikaitkan dengan hakikat obyeknya, yaitu karya sastra, dan


visi peneliti yang memahami obyek tersebut.
Sepanjang sejarahnya, karya sastra selalu dipandang
dari berbagai sudut pandang yang berbeda-beda. Karya sastra
memiliki sisi yang berbeda-beda yang nampak saat orang
membaca dan memahaminya. Berbagai aspek terkandung di
dalamnya sebagai sebuah substansi dan konstruksi sebuah
wacana sastra. Di samping itu, peneliti sastra sendiri sebagai
seorang ilmuwan memiliki visi masing-masing dalam
memandang karya sastra. Pengalaman dan pengaruh
lingkungan sangat berperan dalam membentuk pola pikirnya.
Hakikat karya sastra dan visi ilmuwan itulah pada akhirnya
menjadi dasar untuk menetapkan pendekatan apa yang
dipilih.
Sastra itu demokratis! Kalau ada teks bacaan yang
begitu terbuka, sehingga bermacam-macam kepentingan dan
tujuan orang memahaminya, itu adalah sastra. Dari tukang
becak hingga pejabat, dari pelajar SD hingga seorang profesor,
dari pengangguran hingga penguasaha yang super sibuk,
sastra dapat dibaca dan dipahami. Dari orang yang tak bisa
tidur sampai seorang yang maniak membaca, karya sastra
dapat dibacanya. Dari seorang yang mencari hiburan sampai
akademisi yang ingin menambah ilmu, karya sastra
menyodorkan dirinya untuk dipahami. Memang, karya sastra
menyiapkan berpuluh wajah untuk ia tampakkan sesuai
dengan siapa dan bagaimana memahaminya. Tak memandang
anak-anak atau orang tua, laki-laki atau perempuan, di
perempatan jalan atau disembarang tempat, sastra tidak

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
45

menolak untuk dibaca dan dipahami. Atau dapat dikatakan,


tidak ada objek yang begitu fleksibel sehingga merambah ke
mana-mana, melampaui batas-batas ruang dan waktu, kecuali
sastra. Itulah makna demokratis yang melekat dalam sastra.
Sebagai bahan bacaan, karya sastra bersifat terbuka. Ia
mau menerima siapapun dan dengan pola pikir apapun
sebagai landasan berfikir untuk memahami dirinya; di
samping berdasarkan Ilmu sastra sebagai landasan teoritis
studi sastra secara ilmiah. Karena sifat terbuka inilah, ilmu
tentang sastra menjadi multidisipliner. Ketika teori sosial
menjadi landasan berfikir untuk memahami sastra, maka
muncullah Sosiologi Sastra. Begitu juga Psikologi memberikan
proposi-proposinya untuk menjelaskan aspek kejiwaan dalam
karya sastra itu, maka muncullah Psikologi Sastra. Ilmu
politik, Komunikasi, Ekonomi, hingga gerakan-gerakan
pemikiran yang ada di masyarakat, turut pula memberikan
landasan berfikir untuk menjelaskan aspek-aspek sastra dari
kaca mata mereka. Belum lagi Studi Budaya, Antropologi,
Linguistik, Filsafat, Jurnalistik, sampai teori tafsir agama
(kitab), menjadi pisau untuk memahami sastra. Tidak heran
jika kemudian proses membaca sastra ramai memenuhi ruang
publik masyarakat.
―Apa sebenarnya hakikat karya sastra sehingga ia
bersifat terbuka dan fleksibel itu?‖ Sastra merupakan dunia
yang unik. Sastra merupakan dunia fiktif yang memiliki
seribu wajah. Banyaknya wajah yang dimunculkan sastra,
sebanyak kesadaran (imajinasi) manusia yang membacanya.
Banyaknya rupa yang diperlihatkan sastra, sebanyak aspek-

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
46

aspek realitas kehidupan di mana sastra itu diciptakan.


Imajinasi dan realitas adalah dua sisi dari mata uang yang
bernama sastra. Dua wajah yang bolak-balik muncul dalam
proses pembacaannya. Ketika dipandang sebagai imajinatif,
sastra memunculkan realitas masyarakat. Ketika ditangkap
sebagai realitas, ia menjilma sebagai karya imajinatif. Dua hal
yang sebenarnya bertentangan, imajinasi dan realitas, justru
bersama-sama hadir dalam sastra.
Sastra juga merupakan dunia kemungkinan. Artinya,
ketika pembaca berhadapan dengan karya sastra, maka ia
berhadapan dengan kemungkinan penafsiran. Setiap pembaca
berhak atas penafsirannya yang beraneka ragam terhadap
makna karya sastra. Tujuan dan harapan yang berbeda akan
mengakibatkan perbedaan penafsiran terhadap sebuah karya
sastra tertentu. Hal ini berkaitan dengan masalah sifat, fungsi
dan hakikat karya sastra. Sifat-sifat khas karya sastra
ditunjukkan oleh aspek referensialnya (acuan), fiksionalitas,
ciptaan, dan sifat imajinatifnya.
Sastra juga mengandung gambaran dunia kehidupan
yang serba mungkin. Sebagai dunia kemungkinan, karya
sastra dapat menghadirkan apa yang tidak mungkin terjadi
dalam realitas, bisa mungkin dalam karya sastra. Atau se-
baliknya, yang mungkin dan pasti dalam realitas, menjadi
tidak mungkin dan tidak pasti dalam karya sastra. Sebagai
dunia kemungkinan, karya sastra juga dapat menghadirkan
peristiwa yang dianggap logis di dalam realitas menjadi tidak
logis. Atau sebaliknya, yang tidak logis dalam realitas, men-
jadi logis dalam karya sastra. Sifat imajinatif dan fiktif

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
47

memungkinka untuk itu. Oleh karena itu, kebenaran dalam


karya sastra tak perlu dicari dalam kebenaran realitas.
Keduanya tidak berhubungan secara langsung, tetapi
dimediasi atau dijembatani oleh kreativitas dan ekspresivitas
pengarangnya.
Kualitas dunia sastra bermuara pada realitas di-
pandang dari sisi imajinasi; imajinasi dipandang dari sisi
realitas. Itulah yang kemudian memunculkan dunia fiksi
dalam sastra. Itu juga yang kemudian menghadirkan realitas
dalam sastra. Karya fiksi (imajinasi; sastra) menceritakan
sesuatu yang bersifat rekaan, khayalan, sesuatu yang tidak
ada dan terjadi sungguh-sungguh, sehingga tidak perlu dicari
kebenarannya pada dunia nyata. Karya fiksi juga memandang
realitas diluar sebagai sumber dan sasaran diciptakannya
karya sastra itu, sehingga dalam karya sastra juga memiliki
hubungan dengan realitas di sekelilingnya (masyarakat).
Karya sastra memiliki realitas sendiri, sedangkan
realitas di luar sastra adalah realitas tersediri pula. Tapi
keduanya menyatu dalam karya sastra itu. Dalam karya
sastra, perbedaan antara fakta dan fiksi seringkali berada
dalam batas yang sangat relatif. Kadang kala begitu tipis dan
sulit ditarik garis tegas. Tetapi dalam waktu yang lain, dapat
sangat jelas batas-batas itu. Tidak sedikit karya sastra yang
secara sadar mencoba mengangkat fakta atau peristiwa-
peristiwa faktual, sehingga ia tampak lebih dekat pada
gambaran sosiologis masyarakat. Tetapi karya sastra tidak
sekedar melaporkan realitas itu sendiri, namun melaporkan
realitas yang telah menjadi pemikiran pengarangnya.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
48

Lantas bagaimana karya sastra memandang realitas?


Kalau karya sastra juga memiliki peranan dalam membangun
masa depan, tentunya ia memiliki cara untuk menjadikan
realitas menjadi sumber penciptaannya. Dengan begitu, karya
sastra sangat bermanfaat bagi kehidupan. Berbagai pendapat
muncul berbeda-beda dalam menjelaskan hal itu. Dalam teori
mimesis misalnya, semenjak Plato, filsuf dari Yunani, yang
kemudian diperbaruhi muridnya, Aristoteles, hingga
sekarang, memandang karya sastra merupakan peniruan
secara kreatif dari realitas. Seni (termasuk sastra) menurut
paradigma mimetik ini, merupakan kegiatan meniru atau
tiruan dari dunia, alam, benda, dan manusia. Karya sastra
manampilkan wajah sebagai perwujudan hubungan dinamis
yang berlanjut antara suatu seni (sastra) dengan alam semesta.
Tentunya realitas (alam semesta) yang dipikirkan dan diolah
secara kreatif oleh pengarangnya. Dengan demikian, membaca
karya sastra dengan landasan berfikir teori mimesis ini
menempatkan karya sastra itu sebagai produk peniruan
kenyataan, produk dinamis, representasi kenyataan semesta
secara fiksional, dan produk imajinasi.
Berbeda dengan teori mimesis, Strukturalisme Genetik
yang dicetuskan Lucien Goldman mengemukakan dua
pendapatnya mengenai karya sastra. Pertama, karya sastra
merupakan ekspresi pandangan dunia secara imajiner. Kedua,
dalam usahanya mengekspresikan pandangan dunia itu
pengarang menciptakan semesta tokoh-tokoh, objek-objek,
dan relasi-relasi secara imajiner. Sehingga hubungan karya
sastra dan masyarakat tak terelakkan. Tetapi hubungan

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
49

keduanya dimediasi oleh pandangan dunia (ideologi)


pengarangnya. Sebagai produk dari dunia sosial yang
senantiasa berubah-ubah, karya sastra merupakan kesatuan
dinamis yang bermakna, sebagai perwujudan nilai-nilai dan
peristiwa-peristiwa penting zamannya. Dalam istilah
Strukturalisme Genetik karya sastra menyuarakan pandangan
dunia (ideologi) subjek kolektif pengarangnya.
Seorang sosiolog, Karl Manheim memandang karya
seni (termasuk sastra) menyampaikan maknanya dalam tiga
tingkat: objectif meaning (hubungan sastra dengan dirinya
sendiri), expressif meaning (hubungan sastra dengan pencipta-
nya), dan documentary meaning (hubungan sastra dengan
konteks sosialnya). Dari sudut pandang ini, pembacaan karya
sastra mengikuti prosedur tiga tingkatan makna tersebut.
Dalam teori Semiotika, karya sastra dipandang sebagai sistem
struktur yang terdiri atas penanda, petanda, dan sistem yang
menghubungkan keduanya. Pembacaan karya sastra meng-
arah pada memaknai tanda yang bermakna realitas yang
terkandung dalam karya sastra itu.
Banyak teori lain yang memberikan pandangannya
tentang karya sastra. Psikoanalitis Freud, Strukturalisme Levi
Straus dan Todorof, Cultural Materialism Richad Johnson, dan
beberapa pemikiran yang lain, berpijak pada pandangan yang
berbeda-beda. Semua itu semakin meramaikan studi sastra
dan memapankan sifat sastra yang demokratis (terbuka).
Di samping itu, dewasa ini muncul jenis sastra baru
sebagai pengaruh perkembangan masyarakat modern. Di
samping puisi, prosa, dan drama, muncul jenis cybersastra,

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
50

sastra Koran, dan sastra jurnalistik. Cyber sastra menjadi


ramai akhir-akhir ini karena pengaruh perkembangan
teknologi informasi (internet). Meskipun belum banyak yang
meneliti keberadaan cyber sastra, karena memang relative
baru, genre sastra ini mempunyai kekhasan sendiri.
Sedangkan sastra Koran, beberapa pendapat menyamakan
dengan sastra jurnalistik, keberadaannya relatif lama.
Sementara sastra jurnalistik, penulis cenderung membedakan
dengan sastra koran, muncul dalam ranah ilmu komunikasi.
Sastra jurnalistik merupakan jenis wacana jurnalistik dengan
menggunakan bahasa ragam sastra. Di dunia akademis, sastra
jurnalistik telah lama menjadi objek kajian disiplin Ilmu
Komunikasi. Semakin berkembangnya jenis sastra ini
menyebabkan berkembangnya pembacaan dan studi sastra.
Meluasnya kajian Ilmu Komunikasi yang mengambil sastra
sebagai objek kajian, jelas akan menggunakan teori
komunikasi sebagai landasan berfikirnya. Begitu juga ketika
penelitian sastra merambah ke ranah Ilmu Politik, jelas akan
membedah karya sastra dari sisi Ilmu Politik.
Keluasan aspek-aspek dan ciri-ciri karya sastra
membuka kemungkinan yang kaya dalam analisisnya.
Penelitian sastra pada akhirnya harus membuka diri atas
keluasan itu. Dalam terminologi keilmuan muncul istilah
multidisipliner untuk menggambarkan hal itu. Justru di
situlah keleluasaan seorang peneliti sastra terjamin dalam
prosesnnya. Tinggal peneliti sastra menentukan sudut
pandangnya yang relevan bagi dirinya sendiri dan keilmuan

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
51

sastra pada umumnya. Hal itu akan tercermin dalam pen-


dekatan yang dipilihnya.
Pada sisi yang lain, seorang peneliti memiliki
pengalaman paradigmatis dalam sejarah kehidupannya.
Pengalaman paradigmatis itulah yang mengarahkan cara
pandang ilmuwan dalam memahami hakikat karya sastra.
Hudayat mengatakan, terdapat tiga hal yang mempengaruhi
perbedaan paradigma seorang ilmuwan, yaitu: (1) unsur
dalam diri sendiri; (2) unsur luar berupa lingkungan fisik; dan
(3) unsur luar berupa penjelajahan metodologi dan teori
(Hudayat, 2007: 33). Ketiga faktor itulah yang membentuk visi
seorang ilmuwan sekaligus menjadi dasar yang penting dalam
pemilihan pendekatan dalam penelitian sastra. Kaitan antara
pengalaman paradigmatis dan hakikat karya sastra pada
akhirnya menjadi problematika yang resiprokal. Pertama,
pengalaman paradigmatis ilmuwan membangun dan
menjelaskan hakikat karya sastra sebagai obyek penelitian.
Kedua, sebaliknya, hakikat karya sastra membentuk peng-
alaman paradigmatis yang sekaligus membangun visi dan
cara pandangnya. Problematika tersebut tidak perlu menjadi
perdebatan, karena tidak saja tergantung dari sisi mana
memandangnya, tetapi juga keduanya bersama-sama meletak-
kan dasar bagi pemilihan pendekatan dalam suatu penelitian
sastra.
Secara formal, pemilihan pendekatan penelitian sastra
didasarkan atas penjelajahan teoritis yang telah ada
sebelumnya. Berbagai cara pandang terhadap sastra muncul
dan tenggelam sepanjang sejarah penelitian sastra. Ia muncul

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
52

dan berkembang bersama dengan tokoh-tokoh yang men-


cetuskannya. Ia juga muncul dan berkembang berdasarkan
landasan teori-teori yang telah ada sebelumnya. Dengan
demikian, pemilihan pendekatan boleh jadi karena adanya
benang merah yang menghubungakan antara teori-teori yang
sudah ada sebelumnya dengan penelitian sastra yang sedang
berlangsung sekarang. Realitas itulah yang menjadi dasar bagi
peneliti sekarang di dalam memilih pendekatan ke dalam
langkah kerja penelitiannya. Dan realitas semacam itu lebih
dominan dalam kegiatan penelitian sastra di Indonesia.
Adanya generalitas tak berpihak dalam pembicaraan
hakikat karya sastra sebagi obyek penelitian, dapat menjadi
dasar pemilihan pendekatan. Artinya, karya sastra dibicara-
kan secara menyeluruh dari berbagai aspeknya tanpa
mementingkan salah satunya; berbeda dengan kecenderungan
yang dilakukan para peneliti sastra penganut dan pendukung
paradigma tertentu. Teori sastra sebagai cabang ilmu sastra
menjelaskan berbagai aspek karya sastra sebagai proposisi
keilmuan yang telah teruji dan matang. Secara keilmuan
memang netralitas menjadi prasyarat eksistensi dan kualitas
suatu ilmu. Ciri-ciri dan karakteristik karya sastra dijelaskan
secara komprehensif dan holistik. Pertanyaan-pertanyaan
tentang definisi sastra, sifat-sifat khas karya sastra, unsur-
unsur karya sastra, aliran sastra, genre sastra, hingga prinsip-
prinsip dasar penciptaan karya sastra, dibahas di dalam teori
sastra. Berbagai aspek tersebut dapat menjadi dasar dipilihnya
suatu pendekatan dalam meneliti karya sastra.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
53

C. Berbagai Pendekatan Sastra


1. Pendekatan Ekspresif
Menurut Abrams (Faruk, 2012: 39-40) pendekatan
ekspresif ini menempatkan karya sastra sebagai curahan,
ucapan, dan proyeksi pikiran dan perasaan pengarang.
Pengarang sendiri menjadi pokok yang melahirkan produksi
persepsi-persepsi, pikiran-pikiran, dan perasaan-perasaan
yang dikombinasikan. Praktik analisis dengan pendekatan ini
mengarah pada penelusuran kesejatian visi pribadi pengarang
yang dalam paham struktur genetik disebut pandangan dunia.
Seringkali pendekatan ini mencari fakta-fakta tentang watak
khusus dan pengalaman-pengalaman sastrawan yang secara
sadar atau tidak telah membukakan dirinya dalam karyanya
tersebut. Dengan demikian secara konseptual dan metodo-
logis dapat diketahui bahwa pendekatan ekspresif menempat-
kan karya sastra sebagai: (1) wujud ekspresi pengarang, (2)
produk imajinasi pengarang yang bekerja dengan persepsi-
persepsi, pikiran-pikiran dan perasaan-perasaannya, (3)
produk pandangan dunia pengarang.
Secara metodis, langkah kerja yang dapat dilakukan
melalui pendekatan ini adalah:
1. memerikan sejumalah pikiran, persepsi, dan perasaan
pengarang yang hadir secara langsung atau tidak di dalam
karyanya,
2. memetakan sejumlah pikiran, persepsi, dan perasaan
pengarang yang ditemukan dalam karyanya ke dalam
beberapa kategori faktual teks berupa watak, pengalaman,
dan ideologi pengarang,

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
54

3. merujukkan data yang diperoleh pada tahap 1 dan 2 ke


dalam fakat-fakta khusus menyangkut watak, pengalaman
hidup, dan ideologi pengarang secara faktual luar teks
(data sekunder berupa data biografis),
4. membicarakan secara menyeluruh, sesuai tujuan, pandang-
an dunia pengarang dalam konteks individual maupun
sosial dengan mempertimbangkan hubungan-hubungan
teks karya sastra hasil ciptaannya dengan data biografis-
nya.
Teori-teori sastra yang dapat diambil dalam wilayah
pendekatan ekspresif ini adalah, teori-teoti psikoanalitis
seperti teori Sigmund Freud, teori-teori feminisme, teori
strukturalisme genetik dalam kaitannya dengan pandangan
dunia pengarang, dan teori-teori lain yang berkaitan dengan
proses penciptaan dan ideologi pengarang yang terkandung
dalam karya sastra.

2. Pendekatan Mimetik
Pendekatan mimesis ini berangkat dari pemikiran
filsuf besar Yunan, yaitu Plato dan Aristoteles. Menurut Plato,
segala yang ada di dunia ini sebenarnya hanya merupakan
tiruan dari kenyataan tertinggi yang berada di dunia gagasan.
Dalam dunia gagasan itu ada manusia, dan semua manusia
yang ada di dunia ini adalah tiruan dari manusia yang berada
di dunia tersebut. Meja, pohon, anjing, dan bunga yang ada di
dunia ini sebenarnya hanyalah tiruan dari meja, pohon,
anjing, dan bunga yang berada di dunia gagasan. Oleh
karenanya, sajak yang dihasilkan seorang penyair --Plato

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
55

menggunakan kata penyair untuk sastrawan karena pada


zamannya itu semua bentuk sastra ditulis dalam karya sastra
puisi-- merupakan tiruan dari barang tiruan. Dengan kata lain
Plato mengatakan bahwa puisi membawa manusia semakin
jauh dari kenyataan tertinggi. Secara tersirat dikatakannya
bahwa sebenarnya pohon lebih dekat dengan kenyataan
tertinggi dibanding dengan sajak tentang pohon. Nilai sajak
itu pun tentunya lebih rendah dibandingkan dengan pohon,
sebab justru semakin menjauhkan manusia dari kenyataan
tertinggi (Damono, 1984: 14-15).
Teori mimesis menurut Plato di atas ditolak salah satu
muridnya, Aristoteles. Menurut Aristoteles, seni justru meng-
angkat jiwa manusia, yaitu melalui proses penyucian
(katharsis), sebab karya seni membebaskan manusia dari
nafsu yang rendah. Dalam memahami kanyataan, seni
didominasi oleh penafsiran. Karena itu seniman tidak semata-
mata meniru kenyataan, tetapi menciptakan dunianya sendiri
(Ratna, 2011: 5). Jika pandangan Plato lebih bersifat praktis,
maka Aristoteles mengedepankan proses kreativitas seniman
dalam menciptakan karya sastra. Karya sastra merupakan
hasil dari kreativitas untuk menciptakan kemungkinan-
kemungkinan baru tentang manusia dan perbuatannya. Teori
Arisoteles tersebut kemudian disebut teori Fiksionalitas.
Pemikiran Plato di atas didasarkan pada kegunaan
praktis dalam kerangka pemikirannya tentang negara
Republik yang dicita-citakan. Meskipun kemudian pemikiran
tersebut dirobohkan oleh muridnya, Aristoteles, tetapi
pemikiran Plato sebenarnya mengandung sebuah proposisi

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
56

bahwa sastra merupakan cermin masyarakat. Teori ini, yang


kemudian disebut mimetik, bersama-sama dengan pemikiran
Aristoteles (fiksionalitas), memiliki pengaruh kuat di Eropa,
khususnya pada abad ke-17 dan 18. Dasar pertimbangan
pendekatan mimesis adalah dunia pengalaman, yaitu karya
sastra itu sendiri yang tidak bisa mewakili kenyataan yang
sesungguhnya melainkan hanya sebagai peniruan kenyataan.
Luxemberg mengemukakan, kenyataan di sini dipakai dalam
arti yang seluas-luasnya, yaitu segala sesuatu yang berada di
luar karya sastra dan yang diacu oleh karya sastra, seperti
misalnya benda-benda yang dapat dilihat dan diraba, bentuk-
bentuk kemasyarakatan, perasaan, pikiran, dan sebagainya
(Faruk, 2012: 40). Melalui pandangan ini, secara hierarkis
karya seni berada di bawah kenyataan. Akan tetapi Marxis
dan sosiologi sastra memandang karya seni dianggap sebagai
dokumen sosial; karya seni sebagai refleksi dan kenyataan di
dalamnya sebagai sesuatu yang sudah ditafsirkan.
Melalui penjabaran di atas, dapat diketahui secara
konseptual dan metodologis bahwa pendekatan mimesis
menempatkan karya sastra sebagai:
a. produk peniruan kenyataan yang diwujudkan secara
dinamis,
b. representasi kenyataan semesta secara fiksional,
c. produk dinamis yang kenyataan di dalamnya tidak dapat
dihadirkan dalam cakupan yang ideal,
d. produk imajinasi yang utama dengan kesadaran tertinggi
atas kenyataan (Hudayat, 2007: 42).

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
57

Secara metodis, langkah kerja analisis melalui


pendekatan ini dapat disusun ke dalam langkah pokok, yaitu:
a. mengungkap dan mendeskripsikan data yang mengarah
pada kenyataan yang ditemukan secara tekstual,
b. menghimpun data pokok atau spesifik sebagai variabel
untuk dirujukkan ke dalam pembahasan berdasarkan
kategori tertentu, sesuai tujuan, misalnya menelusuri unsur
fiksionalitas sebagai refleksi kenyataan secara dinamis,
dsb.,
c. membicarakan hubungan spesifikasi kenyataan dalam teks
karya sastra dengan kenyataan fakta realita, dan (4)
menelusuri kesadaran tertinggi yang terkandung dalam
teks karya sastra yang berhubungan dengan kenyataan
yang direpresentasikan dalam karya sastra (Hudayat, 2007:
42).

3. Pendekatan Pragmatik
Sebagaimana pendekatan mimesis, pendekatan
pragmatik telah ada semenjak tahun 14 sebelum Masehi.
Dalam bukunya berjudul Ars Poetica, Horatius telah
meletakkan dasar-dasar pendekatan pragmatik. Melalaui
semboyannya yang terkenal, dulcet et utile, Horatius
mengemukakan bahwa karya sastra itu menghibur dan
mendidik. Meskipun demikian, menurut Ratna, secara teoritis
baru dimulai dengan lahirnya strukturalisme dinamik dengan
tokohnya Mukarovsky (Ratna, 2011: 71).
Pendekatan pragmatis menurut Abram memberikan
perhatian utama terhadap peranan pembaca. Pendekatan ini

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
58

memberikan perhatian pada pergeseran dan fungsi-fungsi


baru pembaca. Pendekatan pragmatis mempertimbangkan
implikasi pembaca melalui berbagai kompetensinya. Dengan
mempertimbangkan indikator karya sastra dan pembaca,
maka masalah-masalah yang dapat dipecahkan melalui
pendekatan pragmatis di antaranya berbagai tanggapan
masyarakat atau peneriman pembaca tertentu terhadap
sebuah karya sastra, baik dalam kerangka sinkronis maupun
diakronis (Hudayat, 2007: 43). Pendekatan pragmatik
mempertimbangkan implikasi pembaca melalui berbagai
kompetensinya. Dengan mempertimbangkan indikator karya
sastra dan pembaca, maka masalah-masalah yang dapat
dipecahkan melalaui pendekatan pragmatik, di antaranya
berbagai tanggapan masyarakat tertentu terhadap karya
sastra, baik sebagai pembaca eksplisit maupun implicit (Ratna,
2011: 72).
Segers, berkaitan dengan pendekatan pragmatik,
mengawali pembicaraannya dengan uraian seputar estetika
resepsi. Menurutnya, secara metodologis estetika resepsi
berusaha memulai arah baru dalam studi sastra karena
berpandangan bahwa sebuah teks sastra seharusnya dipelajari
(terutama) dalam kaitannya dengan reaksi pembaca. Dalam
uraiannya, Segers memetakan estetika resepsi ke dalam tiga
bagian utama, yaitu
a. konsep umum estetika resepsi,
b. penerapan praktis estetika resepsi,
c. kedudukan estetika resepsi dalam tradisi studi sastra
(Hudayat, 2007: 43).

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
59

Teori Estetika Resepsi termasuk ke dalam wilayah


pendekatan pragmatik. Teori ini memuat konsep-konsep
dasar seperti yang dikemukanan Jauss dan Iser. Kata kunci
dari konsep yang diperkenalkan Jauss adalah rezeptions und
wirkungsasthetik ―anggapan dan efek‖. Menurutnya, pembaca-
lah yang menilai, menikmati, menafsirkan, dan memahami
karya sastra. Pembaca dalam kondisi demikianlah yang
mampu menentukan nasib dan peranannya dari segi sejarah
sastra dan estetika. Resepsi sebuah karya dengan pemahaman
dan penilaiannya tidak dapat diteliti lepas dari rangka
sejarahnya seperti yang terwujud dalam horison harapan
pembaca masing-masing. Baru dalam kaitannya dengan
pembaca, karya sastra mendapat makna dan fungsinya. Tujuh
bagian penting yang menjadi dasar dari teori estetika resepsi
Jauss, yaitu:
a. pengalaman pembaca,
b. horison harapan,
c. nilai estetik,
d. semangat zaman,
e. rangkaian sastra,
f. perspektif sinkronik dan diakronik,
g. sejarah umum (Hudayat, 2007: 44).

4. Pendekatan Obyektif
Pendekatan obyektif merupakan pendekatan ter-
penting karena berkaitan dengan munculnya teori-teori sastra
modern. Teori-teori strukturalisme memiliki konsep yang
berdasarkan pada pendekatan obyektif ini. Mengutip pen-

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
60

dapat Abrams, Hudayat mengemukakan bahwa Pendekatan


objektif (memusatkan perhatian semata-mata pada unsur-
unsur, antarhubungan, dan totalitas. Pendekatan ini mengarah
pada analisis intrinsik. Konsekuensi logis yang ditimbulkan
adalah mengabaikan bahkan menolak segala unsur ekstrinsik,
seperti aspekhistoris, sosiologis, politis, dan unsur-unsur
sosiokultural lainnya, termasuk biografi. Oleh karena itulah,
pendekatan objektif juga disebut analisis otonomi (Hudayat,
2007: 48-49).
Lebih lanjut dikatakan Hudayat, pemahaman dipusat-
kan pada analisis terhadap unsur-unsur dengan memper-
timbangkan keterjalinan antarunsur di satu pihak dan unsur-
unsur dengan totalitas di pihak lain. Konsep dasar pendekatan
ini, mengutip Hawkes, adalah karya sastra merupakan sebuah
struktur yang terdiri dari bermacam-macam unsur pembentuk
struktur. Antara unsur-unsur pembentuknya ada jalinan erat
(koherensi). Tiap unsur tidak mempunyai makna dengan
sendirinya melainkan maknanya ditentukan oleh hubungan
dengan unsur-unsur lain yang terlibat dalam sebuah situasi.
Makna unsur-unsur karya sastra itu hanya dapat dipahami
sepenuhnya atas dasar tempat dan fungsi unsur itu dalam
keseluruhan karya sastra.
Secara metodologis, pendekatan ini bertujuan melihat
karya sastra sebagai sebuah sistem dan nilai yang diberikan
kepada sistem itu amat bergantung kepada nilai komponen-
komponen yang ikut terlibat di dalamnya. Analisis karya
sastra melalui pendekatan ini tergantung pada jenis sastranya.
Analisis sajak berbeda dengan analisis prosa. Analisis yang

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
61

digunakan terhadap saja misalnya penelusuran lapis norma,


mulai dari lapir bunyi sampai ke lapis metafisik. Teknik
analisisnya pun bisa diarahkan pada pembacaan heuristik
sampai ke tingkat pembacaan hermeneutik. Adapun terhadap
prosa, sesuai dengan sifat fiksi yang merupakan struktur
cerita, analisisnya diarahkan pada struktur ceritanya. Struktur
yang dimaksud dijajaki melalui unsur-unsur pembentuknya
berupa: tema, fakta cerita (tokoh, alur, dan latar), dan sarana
cerita (pusat pengisahan, konflik, gaya bahasa, dll.).
Teori-teori sastra yang dapat digunakan dalam analisis
dengan pendekatan obyektif adalah teori-teori dalam wilayah
strukturalisme, seperti naratologi Gerard Genned, teori Tata
Sastra Tsvetan Todorov, Naratologi Propp, van Luxemburg,
teori strukturalisme dinamik, dan yang lainnya.

5.Pendekatan Marxis
Pendekatan marxis dalam sosiologi sastra didasarkan
atas pemikiran Karl Marx (1818-1883) yang sering kali disebut
sebagai Materialisme Historis. Hudayat (2007: 63-65)
mengatakan bahwa marxisme tidak pernah percaya bahwa
teks maupun sistem sastra merupakan sesuatu yang otonom.
Bagi paham ini sastra merupakan suatu sistem ideologi yang
tidak dapat dilepaskan dari pertarungan kekuatan-kekuatan
sosial di dalam masyarakat dalam memperebutkan
penguasaan mereka atas sumber-sumber ekonomi yang
terdapat di dalam lingkungan sekitar mereka. Kepercayaan
yang demikian didasarkan pada anggapan bahwa dorongan-
dorongan kebutuhan material manusia mendahului dan

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
62

menentukan kesadaran manusia. Perkembangan sejarah


manusia digerakkan oleh pertarungan manusia dalam usaha
mereka memenuhi kebutuhan materialnya.
Lebih lanjut dikatakan Hudayat, menurut Marxis,
untuk memenuhi kebutuhan materialnya manusia harus
bekerja, yaitu melakukan transformasi atas alam. Untuk
melakukan transformasi atas alam, manusia membutuhkan
alat-alat produksi dan bekerja sama dengan manusia lain.
Dalam proses produksi yang demikian terbangunlah pe-
ngelompokan sosial, pembagian kerja yang didasarkan pada
tingkat penguasaan seseorang atau sekelompok orang atas
alat-alat dan sumber-sumber produksi. Pengelompokan sosial
atas dasar seperti itulah yang disebut sebagai kelas sosial.
Hubungan antarkelas sosial di dalam lingkungan produksi
tersebut adalah hubungan dominasi. Suatu kelompok me-
nguasai kelompok yang lain untuk kepentingan pemuasan
kebutuhan materialnya.
Hubungan-hubungan sosial yang terbangun dalam
proses dan lingkungan produksi di atas adalah hubungan-
hubungan antara dua kelompok sosial mendasar yang oleh
Marx disebut sebagai kelas sosial. Kelas sosial adalah
pengelompokan sosial sekaligus pembagian kerja yang
didasarkan pada pemilikan atau penguasaan atas alat-alat
produksi. Ada dua kelas sosial menurut Marx, yaitu kelas
borjuis dan proletar. Kelas borjuis memiliki sebagaian besar
alat-alat produksi, sedangkan kelas proletar hanya menguasai
sedikit alat-alat produksi. Dapat diidentifikasi, kelas borjuis
adalah kelompok pengusaha, pemilik modal, sementara kelas

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
63

proletar adalah para buruh yang fungsinya tidak begitu


signifikan dalam kegiatan dan hasil produksi.
Lebih lanjut dikemukakan Hudayat (2007: 64)Tetapi
hubungan antara kedua kelas sosial tersebut bersifat
antagonistis. Sifat hubungan semacam ini terjadinya
penguasaan dan penjajahan antara kelas sosial yang satu
terhadap kelas sosial yang lain. Marx berpendapat bahwa
kelas borjuis lebih dominan dari pada kelas proletar yang
berposisi sebagai subordinat. Dalam hubungannya dengan hal
itu, Hudayat mengemukakan, bahwa menjadi penting bagi
kelompok yang sedang melakukan reproduksi atas hubungan
sosial yang berlaku, yang menempatkan dirinya dalam posisi
kekuasaan dan kelompok lain dalam posisi sub-ordinat.
Reproduksi sosial itu dilakukan tidak hanya dalam
lingkungan produksi, melainkan dalam berbagai situs sosial
yang lainnya, dalam berbagai institusi sosial, seperti
lingkungan kehidupan keluarga, pendidikan, hukum, politik,
agama, dan kesenian. Berbagai lingkungan atau institusi sosial
yang menjadi situs reproduksi sosial yang ada di luar
lingkungan produksi itu disebut super-struktur atau struktur
permukaan, sedangkan hubungan sosial yang berlangsung
dalam lingkungan produksi disebut disebut infra-struktur
atau struktur dasar. Struktur dasar bersifat material,
sedangkan struktur permukaan bersifat ideologis.
Namun bagi paham tersebut, lebih lanjut dikatakan
Hudayat, segala aktivitas dan hasil aktivitas manusia tidak
hanya mempunyai struktur, melainkan juga mempunyai arti.
Karena itu, pemahaman terhadap karya sastra tidak dapat

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
64

hanya berhenti pada perolehan pengetahuan mengenai


strukturnya, melainkan harus dilanjutkan hingga mencapai
pengetahuan mengenai artinya. Usaha pemahaman terhadap
arti dari struktur itu berarti usaha menemukan alasan, faktor-
faktor yang menjadi penyebab dari struktur yang
besangkutan. Pertanyaan seperti ―kenapa suatu karya
mempunyai struktur yang begini, tidak begitu‖, tidak lagi
dapat dijawab hanya dengan mendasarkan diri pada karya
sastra itu sendiri, melainkan harus dengan menemukan
informasi-informasi yang berada di luar karya sastra itu.
Teori-teori sastra yang dapat digunakan dalam
menganalisis karya sastra berada dalam wilayah pendekatan
Marxis adalah teori-teori yang berada dalam paradigma
Marxisme, seperti teori strukturalisme genetik Lucien
Goldman, Teori Formasi Hegemoni Antonio Gramsci,
Interaksionisme Simbolik Paul Ricour, Kuasa Simbolik Pierre
Bourdieu, Skeptisisme Theodor Adorno, dan seterusnya.

6. Pendekatan Fungsionalis
Mengutip pendapat Paul Johnson, Faruk menge-
mukakan bahwa persoalan dasar yang dibahas dalam
pendekatan fungsionalis adalah persoalan apa yang membuat
masyarakat itu bersatu, bagaimana dasar atau landasan
keteraturan sosial itu dipertahankan, dan bagaimana
tindakan-tindakan individu-individu itu menyumbang pada
masyarakat itu secara disadari ataupun tidak. Dengan
persoalan dasar yang demikian, pendekatan fungsional
berusaha mempelajari pelembagaan-pelembagaan sosial yang

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
65

ada dalam masyarakat dan yang saling berhubungan sehingga


membentuk suatu integrasi sosial (2010: 190-191).
Dalam tulisannya berjudul Art as Institution, Albrecht
mengemukakan beberapa pandangan fungsional mengenai
seni beserta problem yang menyertainya. Pertama, persoalan
klasifikasi seni sebagai lembaga sosial. Seni sebagai lembaga
sosial relatif otonom dalam hubungannya dengan sistem
sosial, dengan integrasi masyarakat. Kedua, struktur
institusional seni. Struktur institusional seni sebagai ―sistem
campuran‖ yang berbeda dari struktur lembaga-lembaga
sosial lainnya, seperti keluarga, politik, dan eknomi. Sistem
campuran tersebut dibentuk oleh beberapa unsur berikut.
a. Sistem-sistem teknis
b. Bentuk-bentuk seni tradisional
c. Sistem-sistem pemberian dan hadiah, termasuk agen-agen
dan patron-patron, museum-museum dengan personel-
personel dan aktivitas-aktivitas khasnya, distributor,
penerbit, dealer, yang diatur oleh norma-norma dan nilai-
nilai tertentu.
d. Kritikus-kritikus seni
e. Seniman-seniman, sosialisasi dan pelatihan mereka,
peranan-peranan mereka, asosiasi karir, dan mode-mode
kreativitas.
f. Publik dan audiens dari mereka yang ―hidup‖ dalam
teater, gedung-gedung konser, museum, sampai jutaan
pemirsa TV.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
66

g. Prinsip-prinsip penilaian formal, dasar-dasar penilaian


estetik dan ekstra estetik bagi seniman-seniman, kritikus-
kritikus, dan audiens,
h. Nilai-nilai kultural yang luas yang menopang seni dalam
masyarakat, seperti asumsi mengenai fungsi keberadaban
seni, kemampuan untuk memperhalus emosi, mengatasi
prasangka, atau memproduksi solidaritas social (Faruk,
2010: 193-194).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
pendekatan fungsionalis mengarahkan penelitian pada
kelembagaan atau organisasi sosial. Dalam kaitannya dengan
penelitian sastra, pendekatan ini nampaknya dapat digunakan
dalam rangka penelitian tentang lembaga, organisasi, ataupun
komunitas yang terorganisir yang bergerak di bidang
kesusasteraan. Tentunya teori-teori sosiologi dan manajemen
dapat digunakan dalam wilayah pendekatan fungsionalis
tersebut.

7. Pendekatan Sosiologis
Mengacu pada inventarisasi yang dilakukan Ratna
tentang definisi sosiologi sastra, hubungan karya sastra
dengan masyarakat dapat dijelaskan sebagai berikut.
a. Pemahaman terhadap karya sastra dengan memper-
timbangkan aspek-aspek kemasyarakatannya.
b. Pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan
aspek-aspek kemasyarakatan yang terkandung di dalam-
nya.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
67

c. Pemahaman terhadap karya sastra sekaligus hubungannya


dengan masyarakat yang melatarbelakanginya.
d. Analisis terhadap karya sastra dengan mempertimbang-
kan seberapa jauh peranannya dalam mengubah struktur
kemasyarakatan.
e. Analisis yang berkaitan dengan manfaat karya dalam
membantu perkembangan masyarakat.
f. Analisis mengenai seberapa jauh kaitan langsung antara
unsur-unsur karya dengan unsur-unsur masyarakat.
g. Analisis mengenai seberapa jauh keterlibatan langsung
pengarang sebagai anggota masyarakat.
h. Sosiologi sastra adalah analisis institusi sastra.
i. Sosiologi sastra adalah kaitan langsung antara karya sastra
dengan masyarakat.
j. Sosiologi sastra adalah hubungan searah (positivistik)
antara sastra dengan masyarakat.
k. Sosiologi sastra adalah hubungan dwiarah (dialektik)
antara sastra dengan masyarakat.
l. Sosiologi sastra berusaha menemukan kualitas inter-
dependensi antara sastra dengan masyarakat.
m. Pemahaman yang berkaitan dengan aktivitas kreatif
sebagai semata-mata proses sosiokultural.
n. Pemahaman yang berkaitan dengan aspek-aspek penerbit-
an dan pemasaran karya.
o. Analisis yang berkaitan dengan sikap-sikap masyarakat
pembaca (Ratna, 2011: 2-3).
Berbagai pemikiran yang dihimpun Ratna di atas
dapat dipakai untuk menjelaskan mengenai pendekatan

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
68

sosiologis dalam penelitian sastra. Dari berbagai pemikiran


tersebut terdapat kesamaan bahwa proposisi tentang
hubungan antara sastra dan masyarakat tak terbantahkan.
Proposisi inilah yang kemudian memicu muncul dan
berkembangnya pendekatan sosiologis tersebut. Dan se-
panjang sejarahnya, pendekatan sosiologi dalam penelitian
sastra menjadi pendekatan yang sangat digemari. Apalagi
ketika strukturalisme mengalami stagnasi, dan munculnya
postrukturalisme, pendekatan sosiologi semakin dominan.
Hubungan antara karya sastra dengan masyarakat
sebagai landasan pendekatan sosiologis dilatarbelakngi hal-
hal berikut.
a. Sastra menampilkan gambaran kehidupan; dan kehidupan
itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Dalam pengerti-
an ini, kehidupan menyangkut hubungan antar-
masyarakat, masyarakat dengan orang-seorang, antar-
manusia, dan antarperistiwa yang terjadi dalam batin
seseorang (Damono, 1984: 1).
b. Seluruh kejadian dalam karya, bahkan juga karya-karya
yang termasuk ke dalam genre yang paling absurd pun
merupakan prototipe kejadian yang pernah dan mungkin
terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dengan ciri
kreativitas dan imajinasinya, sastra memiliki kemungkinan
yang paling luas dalam mengalihkan keragaman kejadian
alam semesta ke dalam totalitas naratif semantis, dari
kuantitas kehidupan sehari-hari ke dalam kualitas dunia
fiksional (Ratna, 2011: 35).

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
69

c. Pengarang sebagai pencipta karya adalah anggota


masyarakat. Ia hidup, dibina, dipedomani, dan dibentuk
oleh sosiokultural masyarakatnya. Dengan demikian, apa
yang dilakukan pengarang akan diwarnai dan
dipengaruhi oleh latar belakang masyarakatnya.
d. Karya sastra sebagai produk budaya, merupakan institusi
sosial. Sebagai institusi sosial, karya sastra memiliki peran
dan fungsi dalam rangka sosialisasi nilai-nilai, pendidikan,
kritik sosial, dan penilaian terhadap kenyataan
masyarakatnya.
Teori-teori yang dapat digunakan dalam penelitian
sastra dengan pendekatan sosiologis adalah teori-teori dari
disiplin sosiologi yang relevan dengan hakikat karya sastra
sebagai obyeknya. Berikut ini beberapa teori sosiologi yang
dapat menjadi alternatif bagi pendekatan sosiologis.
a. Teori Auguste Comte dan Pitirim Sorokin
b. Teori Karl Marx
c. Teori Emile Durkheim
d. Teori Max Weber
e. Teori George Simmel dan Ralf Dahrendorf
f. Teori Charles Darwin
g. Teori-teori G.H. Mead dan Charles Horton Cooley
h. Teori Talcott Parsons
i. Teori Peter L. Berger dan Thomas Luckmann
j. Teori Clifford Geertz
k. Teori-teori Feminis

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
70

8. Pendekatan Psikologis
Pendekatan psikologis pada dasarnya berhubungan
dengan tiga gejala utama, yaitu: pengarang, karya sastra dan
pembaca, dengan pertimbangan bahwa pendekatan psikologis
lebih banyak berhubungan dengan pengarang dan karya
sastra. Apabila perhatiannya ditujukan kepada pengarang
maka model penelitiannya lebih dekat dengan pendekatan
ekspresif, sebaliknya, apabila perhatiannya ditujukan pada
karya, maka model penelitiannya lebih dekat dengan
pendekatan obyektif (Ratna, 2011: 61).
Pendekatan psikologi mempunyai tiga kemungkinan
penelitian. Pertama, penelitian terhadap psikologi pengarang
sebagai tipe atau sebagai pribadi, studi ini cenderung ke arah
psikologi seni. Peneliti berusaha menangkap kondisi kejiwaan
seorang pengarang pada saat menelorkan karya sastra. Kedua,
penelitian proses kreatif dalam kaitannya dengan kejiwaan,
studi ini berhubungan pula dengan psikologi proses kreatif.
Bagaimanakah langkah-langkah psikologis ketika pengarang
mengekspresikan karya sastra menjadi focus, ketiga, penelitian
hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra.
Dalam kaitan ini studi dapat diarahkan pada teori-teori
psikologi, misalnya psikoanalisis ke dalam sebuah teks sastra,
khususnya terhadap unsur tokoh.
Teori psikologi yang kerap kali digunakan dalam
menganalisis karya sastra adalah teori psikoanalisis Sigmund
Freud. Inti pemikiran Freud, salah satunya yang sering
digunakan dalam menganalisis sastra, adalah teori tentang
dorongan kesadaran manusia. Oleh karena proses kreatif

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
71

adalah kenikmatan dan memerlukan pemuasan, maka proses


tersebut di anggap sejajar dengan libido. Meskipun demikian,
teori kepribadian menurut Freud pada umumnya di bagi
menjadi tiga sistem atau aspek, yaitu : a) Id atau Es, b) Ego
atau Ich, dan c) Super Ego atau Ueber Ich. Isi Id adalah
dorongan-dorongan primitif yang harus dipuaskan, salah
satunya adalah libido di atas id dengan demikian merupakan
kenyataan subjektif primer, dunia batin sebelum individu
memiliki pengalaman tentang dunia luar, Ego bertugas untuk
mengontrol id, sedangkan super Ego berisi kata hati.
Asumsi dasar penelitian psikologis sastra antara lain
dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama, adanya anggapan
bahwa karya sastra merupakan produk dari suatu kejiwaan
dan pemikiran pengarang yang berada pada situasi setengah
sadar atau subconcius setelah jelas baru dituangkan ke dalam
bentuk secara sadar (conscious). Antara sadar dan tak sadar
selalu mewarnai dalam proses imajinasi poengarang.
Kekuatan karya sastra dapat dilihat seberapa jauh pengarang
mampu mengungkapkan ekspresi kejiwaan yang tak sadar itu
ke dalam sebuah cipta sastra. Kedua, kajian psikologis sastra di
samping meneliti perwatakan tokoh secara psikologi, juga
aspek-aspek pemikiran dan perasaan pengarang ketika
menciptrakan karya tersebut. Seberapa jauh pengarang
mampu menggambarkan perwatakan tokoh sehingga karya
menjadi semakin hidup. Sentuhan-sentuhan emosi melalui
dialog ataupun pemilihan kata, sebenarnya merupakan
gambaran kekalutan dan kejernihan batin pencipta. Kejujuran
batin itulah yang akan menyebabkan orisinalitas karya.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
72

9. Pendekatan Postrukturalis
Munculnya pemikiran postrukturalisme sebenarnya
berangkat dari reaksi studi bahasa dan sastra, juga disiplin
ilmu lain, terhadap stagnasi strukturalisme sepanjang abad ke-
19. Paradigma dalam kurun waktu itu cenderung mereduksi
subyek dan konteks sosiokultural dalam menelaah bahasa dan
sastra. Teks bahasa dan sastra dikaji dalam kaitannya dengan
struktur formal yang secara otonom dan stabil membangun
kualitas teks tersebut. Kecenderung-an ini jelas melepaskan
hakikat bahasa dan sastra sebagai institusi sosial yang
memiliki peran dan fungsi bagi masyarakatnya. Relasi teks
dan konteks menjadi nisbi dan mewarnai setiap kajian bahasa
dan sastra pada saat itu.
Analisis sastra sebagai bagian dari studi wacana dan
ke-budayaan, semakin memperoleh tempatnya ketika muncul
gerakan yang kemudian disebut postrukturalisme. Dalam
kecenderungan studi sosial, bahasa, dan media, semenjak
munculnya gerakan pemikiran yang berlabel postrukturalisme
tersebut, berpijak dari asumsi bahwa bahasa dan sastra
merupakan wacana praktik sosial. Wacana sebagai tataran
tertinggi dari fenomena penggunaan bahasa oleh subyek,
dipandang melampaui batas-batas sistem linguistik. Hal itu
tidak terjadi pada era sebelumnya. Teeuw mengemukakan,
penelitian terhadap aspek-aspek kemasyarakat dipicu oleh
stagnasi analisis strukturalisme, analisis yang semata-mata
didasarkan atas hakikat otonomi karya. Sebaliknya, karya
sastra dapat dipahami secara lengkap hanya dengan
mengembalikannya pada latar belakang sosial yang

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
73

menghasilkannya, melalui analisis dalam ke-rangka penulis,


pembaca, dan kenyataan (1984: 152).
Postrukturalisme memang telah membuka cakrawala
yang lebih luas dalam memandang wacana bahasa sebagai
fenomena pemakaian bahasa. Katub-katub yang selama ini
tertutup, dibuka kemungkinannya untuk mengurai aspek-
aspek wacana yang lebih kaya dan membumi. Berdasarkan
hakekat interdisiplin, analisis wacana sastra pada akhirnya
membuka diri untuk menerima masukan dan dukungan dari
pemikiran dan teori disiplin di luar ke-sastraan. Teori-teori
semiotika, strukturalisme genetik, feminisme, hegemoni,
resepsi, intertekstual, orientalisme, poskolonislisme, hingga
dekonstruksi, sesungguhnya muncul berangkat dari cara
pandang melampaui disiplin ilmu sastra murni yang
mengungkung. Studi dan analisis wacana sastra pada
akhirnya memperoleh bentuknya sebagai disiplin dengan
banyak mendapatkan masukan dari para tokoh
postrukturalisme.
Michel Foucault salah satu tokoh postrukturalis,
merupakan salah satu pemikir yang memiliki peranan penting
dalam me-nyumbangkan pemikirannya terhadap studi
wacana (Eriyanto, 2001: 65). Foucault memandang wacana
atau diskursus sebagai pembicaraan tentang aturan-aturan
dan praktik-praktik yang menghasilkan pernyataan-pernyata-
an yang bermakna, pada satu rentang historis tertentu.
Wacana juga berarti sebuah mekanisme pengaturan yang
bekerja sangat rapi yang melibatkan disiplin, institusi, dan
profesionalisme. Wacana mengisolasi, mendefinisikan, mem-

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
74

produksi obyek pengetahuan (Sutrisno dan Hendar Putranto,


2005: 152).
Wacana bagi Foucault memiliki relasi dengan
kekuasaan yang datangnya dari orang yang memiliki
kekuasaan itu dan dari orang yang memiliki pemikiran
kreatif. Mereka yang memiliki kekuasaan dan pengetahuan
membangkitkan relasi kekuasaan dan penge-tahuan antara
kelompok orang yang mengangkat diri mereka dan
mengaturnya. Dengan demikian Foucault menempatkan
wacana sebagai strategi --Foucault menyebutnya ―elemen
taktis‖ —politis dan ideologis, dalam pengertiannya yang
luas, untuk mempertahan-kan dan membangun kekuasaan.
Pandangan itulah yang me-nempatkan Foucault sebagai salah
satu tokoh yang memiliki peran-an penting dalam
perkembangan teori analisis wacana (Sutrisno dan Hendar
Putranto, 2005: 150).
Foucault telah memainkan peran utama dalam per-
kembangan analisis ilmu-ilmu sosial dan kebudayaan melalui
karya teoritis dan penelitian praktis. Marianne Jorgensen dan
louise J. Phillips men-cermati Foucault sebagai sosok yang
menganut premis kon-struksionis sosial umum yang
menyatakan bahwa pengetahuan bukanlah sekedar refleksi
atas realitas, kebenaran merupakan konstruksi kewacanaan
dan rejim pengetahuan yang berbeda menentu-kan apa yang
benar dan yang salah. Lebih lanjut dikatakan Horgensen dan
louise J. Phillips, bahwa mayoritas pendekatan analisis
wacana (pen. Ilmu-ilmu sosial dan kebudayaan) kontempo-rer
mengikuti konsepsi Foucault tentang wacana, yakni sebagai

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
75

sederet pernyataan yang relatif terikat pada kaidah sehingga


me-nentukan batas-batas pada apa yang memberi makna. Di
sini wacana-wacana yang berbeda-beda berada secara
berdampingan atau saling berjuang untuk mendapatkan hak
untuk kebenaran. Batas-batas makna yang dimaksud oleh
Foucault tersebut adalah bangunan ide-ide kebenaran yang
diciptakan secara kewacanaan (Jorgensen dan Louise J.
Phillips, 2007: 25-28).
Pemikiran Foucault, dan banyak pemikir lain yang
berke-cenderungan memandang wacana tidak sekedar sebagai
sistem linguistik, sesungguhnya berangkat dari penentang-
annya terhadap dominasi pemikiran sebelumnya. Dalam
kerangka pemikiran semacam itu, menurut Horgensen dan
louise J. Phillips bahwa bahasa tidak sekedar dipandang
sebagai saluran tempat pe-ngomunikasian informasi tentang
keadaan mental utama atau perilaku atau fakta-fakta dunia
ini. Sebaliknya, bahasa merupakan ‖alat‖ yang menggerak-
kan, dan akibatnya menyusun, dunia sosial itu sendiri. Selain
itu, bahasa juga menata hubungan-hubungan dan identitas-
identitas sosial. Dalam pengertian ini, praktik kewacanaan
merupakan perjuangan-perjuangan dalam upaya untuk meng-
ubah maupun mereproduksi realitas sosial (2007: 8) .
Ratna mengemukakan, karya sastra, dengan kekayaan
jenis-nya, merupakan obyek studi wacana yang sangat kaya.
Sebagai sistem model kedua sesudah bahasa di satu pihak,
sebagai sistem komunikasi yang sangat komplek di pihak lain,
wacana dan teks dapat dianalisis dari berbagai segi. Novel,
melalui penyajian media yang cukup luas merupakan jenis

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
76

yang paling banyak menarik minat para pemerhati wacana.


Novel juga dianggap sebagai ‗tiruan‘ yang paling dekat
dengan dunia sosial (Ratna, 2006: 249).
Lebih lanjut Ratna menjelaskan bahwa analisis
postrukturalis memahami karya sastra sebagai kebenaran-
kebenaran problematik yang menunjuk pada sifat-sifat
manusia secara umum, tetapi dalam struktur kategorial.
Kemampuan postrukturalis yang terbesar adalah meng-
ungkap hegemoni pengarang sebagai pembawa ke-benaran
tunggal yang selama berabad-abad, khususnya selama abad
ke-19, menguasai analisis sastra (2006: 250-252). Di ujung
pemikiran inilah ideologi dan praktik sosial sebagai faktor
pembangun karya sastra mendapatkan tempatnya dalam
ranah studi sastra. Sosiologi sastra, Antropologi Sastra,
Cultural Studies, kemudian berlanjut pada Analisis Wacana
Kritis merambah ke dalam ilmu sastra. Dengan berbagai
konsep dan cirinya, beberapa studi interdisipliner tersebut
tidak menjadikan ilmu sastra semakin carut marut, sebaliknya,
malah menjadi ramai dan lengkap.
Di samping Mitchel Foucault, tokoh lain yang juga
memiliki peranan penting dalam meletakkan dasar bagi
postrukturalisme adalah, Ly0otard, Jacques Derrida, Jean
Baudrillard, dan sebagai-nya. Pemikiran-pemikiran mereka
tidak diuraikan secara spesifik dalam buku ini. Dalam
pembahasan tentang teori-teori dalam wilayah postruktur-
alisme berikut ini, tokoh-tokoh tersebut, dan tokoh-tokoh
yang lainnya, akan muncul dalam konteks pembahasan teori-

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
77

teori tersebut. Pada bab selanjutnya akan dibahas teori-teori di


wilayah postrukturlisme ini.

D. Teori dan Metode Penelitian Sastra


Secara genesis terdapat dua macam teori yang dipakai
dalam suatu penelitian, yaitu teori formal dan teori substantif.
Teori formal adalah teori yang sudah ada sebelumnya,
sehingga peneliti tinggal memanfaatkan dan menerapkannya.
Sedangkan teori substantif adalah teori yang ditemukan
peneliti sendiri melalui substantif data. Teori ini diperoleh
melalui manfaat, hakikat, dan abstraksi data yang diteliti.
Dalam suatu penelitian kedua macam teori tersebut dapat
digunakan. Tetapi pada umumnya, teori formal lebih sering
dipakai peneliti dari pada teori substantif. Teori formal lebih
siap pakai dan sepanjang sejarahnya telah teruji dalam
penelitian-penelitian sebelumnya. Meskipun aktivitas temuan
teori baru tidak terjadi, tetapi penggunaan teori formal tetap
akan terjadi modivikasi, penyempurnaan, dan pengembangan
yang lebih sempurna lagi terhadap teori yang digunakan itu.
Teori formal selalu mengalami pengujian sesuai dengan data-
data yang berbeda-beda.
Lepas dari perbedaan pandangan tentang penggunaan
teori, apakah teori formal atau substantif, nampaknya
penerapan teori formal dalam penelitian di Indonesia lebih
relevan. Pertama, tradisi ilmu pengetahuan di Indonesia
berasal dari teori Barat dan Eropa. Dan dalam praktiknya,
teori-teori dari Barat dan Eropa tersebut selalu mengalami
modivikasi sesuai dengan data yang ada. Kedua, untuk
menuju teori Indonesia dapat berangkat dari teori-teori yang
SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
78

berasal dari Barat dan Eropa tersebut. Dengan demikian,


dalam kerangka koherensi ilmiah suatu penelitian masih tetap
menjaga koherensinya dengan teori yang sudah ada, sambil
terus-menerus menemukan modivikasinya sesuai dengan data
dan kebutuhan akan teori Indonesia. Ketiga, penerapan teori
substantif membutuhkan waktu yang panjang dan kemampu-
an yang lebih. Sedangkan upaya untuk membangun tradisi
penelitian di Indonesia harus dimulai sejak dini; bahkan sejak
di kalangan pelajar yang nota bene masih perlu banyak
belajar.
Ketiga alasan itulah dapat dipakai sebagai dasar untuk
menerapkan teori formal dalam penelitian di Indonesia.
Menurut Ratna, teori tidak harus selalu baru secara ke-
seluruhan. Kebaruan diperlukan dalam bentuk proses, sebagai
modivikasi, cara-cara baru pada saat mempertemukan hakikat
teori dengan obyek. Secara formal, teori dan metode terbatas,
sedangkan penelitian tidak terbatas. Penggunaan teori formal
tidak dengan sendirinya menjadikan stagnasi teori, melainkan
akan menjadikan suatu teori sebelumnya semakin baru dan
sempurna. Dasar pemikiran itulah kiranya dapat dijadikan
landasan terhadap pentingnya teori-teori yang sudah ada
sebelumnya dalam suatu penelitian; termasuk penelitian
sastra. Alih-alih memenuhi koherensi teori yang ada, proses
penelitian akan menuju pada temuan teori Indonesia yang
relevan dengan obyek Indonesia.
Teori berasal dari kata theoria (bahasa Latin). Secara
etimologis berarti kontemplasi terhadap kosmos dan realitas.
Dalam tataran yang lebih luas, dalam hubungannya dengan

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
79

dunia keilmuan, teori berarti perangkat pengertian, konsep,


proposisi yang mempunyai korelasi, dan telah teruji
kebenarannya. Setiap teori dibangun oleh beberapa konsep
dan prosedur untuk sebuah penelitian. Dalam penelitian,
konsep tersebut dipergunakan atau dioperasikan ke dalam
obyek yang diteliti. sekaligus teori tersebut akan teruji
kebenarnnya. Dengan demikian, teori akan menuntun
bagaimana mendekati obyek penelitian.
Teori berfungsi untuk mengubah dan membangun
pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan. Sepanjang sejarah-
nya manusia selalau memahami fenomena kehidupannya,
baik dalam berhubugannya dengan sesamanya, maupun
alam semesta. Pemahaman terhadap fenomena kehidupan
itulah manusia melahirkan pengetahuan. Melalui kerja
penelitian yang berlandaskan suatu teori tertentu, akan
dilahirkan konsep-konsep dan proposisi-proposi. Jika ke-
mudian konsep-konsep dan proposisi-proposisi tersebut
dipergunakan dalam kerja penelitian selanjutnya dan teruji
kebenarannya, maka terbangunlah sebuah teori. Dengan
demikian, sebagaimana dikemukakan Ratna, obyek melahir-
kan teori, sebaliknya, teori memberikan berbagai kemudahan
untuk memahami obyek.
Begitu juga dalam bidang ilmu sastra. Karya sastra
sebagai obyek penelitian sastra akan melahirkan teori, yang
kemudian teori-teori tersebut akan memberikan konsep-
konsep dan cara bagaimana karya sastra itu dipahami.
Penelitian sastra akan memanfaatkan teori-teori yang sudah
ada dengan pertimbangan bahwa teori sastra merupakan hal

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
80

terpenting dalam memahami karya sastra dan telah teruji


sepanjang sejarah teori tersebut. Bahkan dalam proses peng-
gunaannya, teori selalu mengalami pembaharuan, sebuah
modivikasi, akibat hubungan antara teori dan obyek. Hal
tersebut menunjukkan bahwa suatu ilmu, ilmu sastra juga,
akan mengalami perkembangan yang cepat dan pesat.
Realitas ilmu sastra di Indonesia memperlihatkan
bahwa teori-teori sastra yang ada berasal dari para ahli Barat.
Lepas dari argumentasi sebagian ahli yang mengatakan
sebaiknya karya sastra Indonesia dipahami dengan teori sastra
Indonesia sendiri, teori-teori sastra yang ada dalam khazanah
ilmu sastra di Indonesia diadopsi dari Barat. Oleh karena itu,
memahami bagaimana teori sastra tertentu lahir dan
berkembang, mau tidak mau mesti berangkat dari kerangka
sejarah pemikiran yang ada di Barat. Mutlak diperlukan untuk
memahami sumber dibangunnya suatu teori dari teori lain,
karena sejarah perkembangan suatu teori tidak terlepas dari
teori yang sudah ada.
Sebuah teori dikatakan sahih apabila memiliki sistem
yang tertata dan padu dengan berlandaskan pada ontologi
dan epistemologi. Landasan ontologi menyatakan keberadaan
realitas obyek yang dikaji, baik material maupun formal.
Sedangkan epistemologi menyatakan cara bagaimana suatu
teori memahami realitas sebagai obyeknya. Atas dasar itu,
pemahaman suatu teori hendaknya mampu menjelaskan
obyek, konsep dasarnya, dan metodologinya.
Bagaimanakah kaitan teori dengan pendekatan dan
metode? Uraian di atas secara tidak langsung menunjukkan

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
81

bahwa setiap teori sastra telah membawa metodenya sendiri


dan menunjukkan pada wilayah paradigma atau pendekatan
mana teori tersebut terletak. Metode itulah yang akan
mengarahkan kerja penelitian sastra melalui prosedur yang
disyaratkan oleh teori. Sedangkan pendekatan atau paradigma
menyarankan cara pandang secara filosofis tentang hakikat
obyek yang dikaji. Dengan demikian, antara pendekatan atau
paradigma, teori, dan metode merupakan tiga hal yang tak
dapat dipisahkan. Pemahaman dan penggunaan suatu teori
dalam kerja penelitian sastra, tentu berlandaskan pada hirarki
tersebut.
Metode merupakan bawaan dari teori. Artinya, setiap
teori sastra telah menyertakan metode yang digunakan untuk
mendekati obyeknya. Beberapa metode yang ada dalam teori-
teori sastra tersebut antara lain: metode formal atau structural,
metode diskripsi, metode komparasi, metode dialektik,
metode heuristic, metode hermeneutic, dan sebagainya.
Seorang peneliti sastra tidak perlu membuat metode sendiri.
Teori sastra yang digunakan dalam suatu penelitian, telah
secara otomatis membawa metodenya sendiri. Strukturalisme
misalnya, membawa merode formal atau structural; Semiotika
memiliki metode heuristic dan hermenutik; dan Struktur-
alisme Genetik memiliki metode dialektik; begitu juga teori-
teori sastra yang lain. Dengan memahami teori yang
digunakan, seorang peneliti akan menangkap metode apa
yang harus digunakan dalam proses penelitian.
Sebagai alat, sama dengan teori, metode berfungsi
untuk menyederhanakan masalah, sehingga lebih mudah

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
82

untuk dipecahkan dan dipahami. Klasifikasi, deskripsi,


komparasi, sampling, induksi dan deduksi, eksplanasi dan
interpretasi, kuantitatif dan kualitatif, dan sebagainya adalah
sejumlah metode yang sudah sangat umum penggunaannya,
baik dalam ilmu kealaman maupun ilmu sosial, termasuk
ilmu humaniora. Namun demikian, sebenarnya setiap teori
telah membawa metode sendiri-sendiri. Teori Strukturalisme,
misalnya membawa metode dialektik dalam menganalisis
karya sastra. Begitu juga dengan Semiotik membawa metode
heuristik dan hermenetuik. Teori Sedang Strukturalisme
membawa metode formal atau struktural.
Dalam tulisan ini hanya diberikan beberapa metode
yang sering dipakai dalam analisis karya sastra, yaitu: metode
hermeneutik, heuristik, metode formal atau struktural,
dialektika, deskriptif, dan deskriptif komparatif,. Sehubungan
dengan jangkauan utama pembicaraan ke arah pendekatan
struktural, maka metode yang penting untuk dikemukakan
pada uraian ini menyangkut: metode hermeneutik, metode
formal, metode dialektik, dan metode deskriptif analisis.
Perbedaan masing-masing metode tampak pada uraian di
bawah ini (baca: Hudayat, 2007).

1. Metode Hermeneutik
Metode hermenutik dianggap sebagai metode ilmiah
paling tua yang sudah ada sejak zama Plato dan Aristoteles.
Mula-mula metode ini berfungsi untuk menafsirkan kitab
suci. Hermeneutik modern baru berkembang sejak abad ke-19
melalui gagasan Schleiermacher, Dilthey, Heidegger,

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
83

Gadamer, Habermas, Ricoeur, dan sebagainya. Dalam sastra


dan filsafat, hermeneutik disejajarkan dengan interpretasi,
pemahaman, verstehen, dan retroaktif. Dalam ilmuilmu sosial
juga disebut metode kualitatif, analisis isi, alamiah,
naturalistik, studi kasus, etnografi, etnometodologi, dan
fenomenologi. Metode ini ini tidak mencari makna yang benar
melainkan makna yang paling optimal. Untuk meng-
hindarkan keterbatasan proses interpretasi, peneliti harus
memiliki titik pijak yang jelas. Penafsiran terjadi karena setiap
subjek memandang objek melalui horison dan paradigma
yang berbeda-beda. Keragaman tersebut pada gilirannya
menimbulkan kekayaan makna dalam kehidupan manusia,
menambah kualitas estetika, etika, dan logika.

2. Metode Formal atau Struktural


Metode formal, atau disebut juga dengan metode
struktural, adalah analisis dengan mempertimbangkan aspek-
aspek formal, aspek-aspek bentuk yang mengarah pada
unsur-unsur karya sastra. Tujuan metode formal adalah studi
ilmiah mengenai sastra dengan memperhatikan sifat-sifat teks
yang dianggap artistik. Ciri-ciri utama metode formal adalah
analisis terhadap unsur-unsur karya sastra, kemudian mem-
pertalikan hubungan antarunsur tersebut dengan totalitasnya.
Metode ini sama dengan metode struktural yang berkembang
menjadi teori strukturalisme. Metode formal memandang
bahwa keseluruhan aktivitas kultural memiliki dan terdiri atas
unsur-unsur.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
84

3. Metode Dialektik
Mekanisme kerja metode ini adalah tesis, antitesis, dan
sintesis. Prinsip dasarnya adalah unsur yang satu tidak harus
lebur ke dalam unsur lainnya. Individualitas dipertahankan di
samping interdependensinya. Kontradiksi tidak dimaksudkan
untuk menguntungkan secara sepihak. Sintesis bukanlah hasil
yang pasti tetapi justru merupakan awal penelusuran gejala
berikutnya. Prinsip-prinsip dialektika hampir sama dengan
hermeneutik, yaitu gerak spiral eksplorasi makna yang
mengarah kepada penelusuran unsur ke dalam totalitas dan
sebaliknya. Pada metode ini, kontinuitas operasionalisasi tidak
berhenti pada level tertulis tetapi diteruskan pada jaringan
kategori sosial sebagai penjaringan makna secara lengkap.
Kontradiksi dalam dialektika dianggap sebagai energi
pemahaman objek. Metode dialektika digunakan dengan
sangat berhasil oleh Goldmann dalam struktural genetik.
Secara teoretis, setiap fakta sastra dapat dianggap sebagai tesis
kemudian diadakan negasi. Dengan adanya pengingkaran,
tesis dan antitesis seolah-olah hilang atau berubah menjadi
kualitas fakta yang lebih tinggi, yaitu sintesis itu sendiri.
Sintesis kemudian menjadi tesis kembali dan seterusnya
sehingga proses pemahaman terjadi secara terus- menerus.
Menurut strukturalisme genetik, karya sastra merupa-
kan struktur yang terbangun atas dasar bagian-bagian yang
saling bertalian dan mebentuk struktur keseluruhan karya
sastra itu. Struktur karya sastra itu hanya dapat dipahami
dengan baik dengan cara dialektik, yaitu dengan bergerak
secara bolak-balik dari bagian ke keseluruhan dan dari

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
85

keseluruhan kembali ke bagian. Gerakan bolak-balik itu


dianggap selesai jika koherensi antara keseluruhan dengan
bagian-bagiannya telah terbangun, yaitu ketika bagian-bagian
telah membentuk suatu keseluruhan dan keseluruhan telah
dapat digunakan untuk memberikan arti pada bagian-bagian.
Selesainya pekerjaan pemahaman yang demikian bukan
berarti telah selesai pula kerja pemahaman strukturalisme
genetik. Menurut paham tersebut, karya sastra sendiri
sebenarnya hanya merupakan bagian dari suatu keseluruhan
yang lebih besar, yang juga berstruktur, yaitu dunia sosial
tempat karya sastra itu berasal. Seperti pemahaman terhadap
struktur karya sastra, pemahaman terhadap struktur dunia
sosial itu pun dapat dilakukan secara dialektik, dari karya
sastra sebagai bagian dunia sosial, atau sebaliknya. Gerakan
bolak-balik itu pun baru dianggap selesai jika telah dibangun
koherensi antara struktur karya sastra dengan struktur
sosialnya. Struktur genetik menyebut usaha menemukan
struktur bagian di atas sebagai pemahaman, sedangkan
penempatan bagian itu ke dalam struktur yang lebih besar
yang menjadi sumber maknanya sebagai penjelasan. Dengan
demikian, metode strukturalisme genetik dapat disebut pula
sebagai dialektika atas pemahaman dengan penjelasan.
Adorno mengemukakan bahwa ada empat gagasan
pokok dalam metode dialektik.
a. Metode dialektika dapat memberikan suatu pemahaman
mengenai totalitas masyarakat'. Penggunaan metode ini
mencegah kekerdilan pandangan terhadap seni hanya
sebagai fakta atau masalah. Metode ini merupakan suatu

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
86

bagian kajian ilmiah yang mampu mempelajari konteks


sosial suatu fakta estetik. Di samping mendalami objek
(seni) tertentu, mereka juga harus menguji objek itu yang
ditempatkan sebagai subjek dalam masyarakat. Studi
mereka dapat terfokus pada konteks historis, dengan
melakukan observasi terhadap fenomena-fenomena serta
harapan tertentu mengenai implikasinya di masa depan.
Objek kajian metode dialektika tidak terbatas, karena
masyarakat yang satu merupakan totalitas dalam dialektika
kata.
b. Metode dialektik berorientasi pada hubungan antara
konkretisasi sejarah umum dan sejarah individual. Konteks
kajiannya bukan hanya sekedar masa lampau tetapi juga
masa depan. Masa depan memang terbuka untuk berbagai
kemungkinan, namun dia ditentukan oleh intensi-intensi
yang telah ditetapkan manusia, masyarakat, sejarah. Setiap
bidang (ilmu, politik, sejarah) selalu mengandung aspek
teleologis (tujuan, sasaran) berkenaan dengan masa depan
yang masih jauh.
c. Aspek teleologikal itu tergantung kepada perbedaan antara
hukum kebenaran yang tampak dan kebenaran esensial.
Hanya fenomena-fenomena yang tampak secara nyatalah
yang dapat dikaji secara empiris, tetapi tetap harus
dipandang dalam kerangka kebenaran esensial. Jadi aspek
teleologis memiliki identitas ganda terhadap suatu subjek:
dapat mencapai kesadaran yang benar (yang lebih tinggi),
tetapi dapat pula mencapai kesadaran yang salah (yang
lebih rendah) tergantung pada konteks yang berbeda-beda.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
87

d. Perlu diperhatikan perbedaan antara teori dan praktik,


antara objek bahasa dan metabahasa, dan antara fakta-fakta
hasil observasi dengan nilai-nilai yang dilekatkan pada
fakta itu. Subjek harus selalu menyadari posisinya dalam
masyarakat. Identitas tidak lagi terletak di antara dua
konsep, melainkan tergantung pada relasi subjek dan
objeknya, antara proses berpikir dan realitasnya (Fokkema
& Kunne-Ibsch, 1977:134-135).

4. Metode Diskripsi
Metode ini dilakukan dengan cara mendeskripsikan
fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis. Metode
ini tidak sematamata hanya menguraikan tetapi juga mem-
berikan pemahaman dan penjelasan. Metode ini dapat
diaplikasikan ke dalam beberapa jenis lainnya, misalnya
metode deskriptif komparatif atau metode deskriptif induktif.
Metode ini dapat diperoleh melalui gabungan dua metode
dengan menitikberatkan kepada metode yang lebih khas yang
sesuai dengan tujuan penelitian.

5. Metode Heuristik
Metode heuristis dipakai untuk memahami teks karya
sastra sebagai sistem struktur tanda tingkat pertama
(denotatif). Sebagai sistem struktur tanda, teks sastra merupa-
kan sistem primer. Sistem primer ini mengacu pada pemakna-
an linguistik-denotatif sebagai sistem struktur tanda tersebut.
Dengan demikian, metode heuristik dipakai untuk memaknai
pengertian kebahasaan dalam teks sastra. Bahasa yang dipakai
dalam teks sastra diberikan maknanya secara denotatif
SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
88

(makna sebenarnya). Bersama-sama dengan metode


hermeneutik, metode ini pada umumnya dipakai dalam
analisis semiotik untuk memaknai sistem struktur tanda
semiotis tingkat pertama. Sedangkan pada sistem struktur
tanda tingkat kedua dipakai metode hermeneutik.

6. Metode Komparatif
Metode ini dipakai untuk membanding karya sastra
dengan karya sastra lain, baik lisan maupun tulisan, (bisa juga
wacana non-sastra) untuk menemukan hubungan antara
keduanya, persamaan dan perbedaan, dan intertekstual.
Kerap kali suatu karya sastra mengandung wacana-wacana
lain yang sudah ada sebelumnya, baik dari wacana berjenis
sastra maupun non-sastra. Bisa juga, tanpa adanya hubungan
seseorang menangkap adanya perbedaan atau persamaan
antara dua wacana. Untuk menganalisis keduanya dipakai
metode komparatif. Dalam ilmu sastra perbandingan, apabila
yang diperbandingkan dalam satu zaman maka metode
komparatif tersebut bersifat sinkronis. Sedangkan apabila
perbandingannya mengambil dua zaman yang berbeda, maka
dipakai metode komparatif diakronis.
Berikut ini beberapa contoh hirarki landasan teoritis
yang harus dibangun dalam setiap penelitian sastra secara
ilmiah, yang meliputi: pendekatan, teori, metode, dan teknik.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
89

Pendekatan
Psikologi Sastra

Teori Psikoanalitis
Sigmund Freud

Metode Diskriptif

Simak Catat sebagai teknik pemerolehan data


Interpretasi, eksplanasi, dan eksploratif
Sebagai Teknik Analisis Data

Bagan 1: Landasan Teoritis Penelitian Psikologi Sastra

Pendekatan Sosiologi Sastra

Teori Strukturalisme Genetik

Metode Dialektik

Simak Catat sebagai teknik pemerolehan data


Bagian-Keseluruhan dan Pemahaman-Penjelasan
Sebagai Teknik Analisis Data

Bagan 2: Landasan Teoritis Penelitian Sosiologi Sastra

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
90

Pendekatan Strukturalisme

Teori Naratologi Gerar Gerad

Metode Formal/Struktural

Simak Catat sebagai teknik pemerolehan data


Analisis Diskriptif Sebagai Teknik Analisis Data

Bagan 3: Landasan Teoritis Penelitian Strukturalisme Sastra

Ketiga bagan di atas menunjukkan hirarki dalam


landasan kerja penelitian sastra. Keakuratan dan kematangan
penyusunan hirarki tersebut pada gilirannya akan member-
kan arah penelitian sastra yang sistematis dan memadai dalam
mendekati karya sastra sebagai obyeknya. Namun demikian,
landasan kerja tersebut harus relevan dengan fokus dan
tujuan penelitian. Apa dan ke mana suatu penelitian akan
memecahkan permasalahan, menjadi perhatian peneliti dalam
penyusunan hirarki tersebut. Pada tataran ini, karya sastra
sebagai obyek formal menjadi dasar dibangunnya landasan
kerja tersebut. Atau sebaliknya, obyek formal penelitian
diarahkan oleh landasan kerja itu. Tinggal bagaimana peneliti
membangunnya. Tetapi pada umumnya, landasan kerja

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
91

penelitian dibangun berdasarkan obyek formal ditentukan


sebelumnya.

E. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data merupakan syarat utama
bagi proses penelitian. Teknik pengumpulan data yang baik
dan tepat, akan menjamin kesuksesan analisis data.
Endraswara mengemukakan, data tidak datang begitu saja.
Data berasal dari fakta atau fenomena. Fakta dan fenomena
kalau asal dibaca, tidak akan menjadi data yang akurat.
Karena itu, pengumpulan data menjadi syarat utama
penelitian. Data yang berserakan, sering mentah, jika tanpa
sentuhan teknik pengumpulan yang canggih (2011: 103).
Peneliti perlu memahami karakteristik data dan
bagaimana mengumpulkannya untuk selanjutnya dianalisis.
Beberapa hal yang harus dipahami terlebih dahulu, sebelum
pengumpulan data dilakukan, adalah sebagai berikut.
1. Peneliti sastra harus mempertimbangkan bahwa penelitian
yang hendak dilakukan masuk dalam wilayah penelitian
lapangan atau kepustakaan.
2. Peneliti memahami secara gamblang tentang fokus pe-
nelitiannya, sehingga dapat menentukan data yang bagai-
mana yang dibutuhkan.
3. Peneliti memahami teknik-teknik pengumpulan data yang
selama ini ada, berikut kelemahan dan kelebihannya.
4. Peneliti memahami hakikat karya sastra sebagai obyek
penelitiannya, sekaligus memahami karakteristik data yang
ada dalam karya sastra.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
92

Ratna mengemukakan bahwa penelitian sastra pada


dasarnya memanfaatkan dua macam penelitian, yaitu
penelitian lapangan dan perpustakaan. Prosedur penelitian
lapangan ilmu sastra hampir sama dengan ilmu sosial,
keduanya memanfaatkan instrumen yang sama, dengan
sendirinya dengan metode dan teknik yang sama. Prosedur
penelitian pustaka dalam bidang sastra agak berbeda,
memiliki ciri-ciri tersendiri. Pada umumnya penelitian
perpustakaan secara khusus meneliti teks, baik lama maupun
modern (2011: 3). Penelitian sastra jenis penelitian lapangan
misalnya: penelitian pembelajaran sastra, produksi dan
pemasaran karya sastra, proses keratif pengarang, studi kasus
terhadap peristiwa yang berkaitan dengan eksistensi
kesusasteraan, penerimaan karya sastra oleh pembaca, dan
sebagainya. Sedangkan penelitian sastra jenis penelitian
kepustakaan, misalnya: struktur karya sastra, intertekstual
dan antartekstual, analisis isi, stilistika sastra, dan sebagainya,
yang bersumber dari dalam wacana sastra.
Teknik pengumpulan data untuk penelitian lapangan
dapat menggunakan teknik-teknik, seperti: observasi,
wawancara, kuesioner, dan tes, yang sering digunakan dalam
penelitian ilmu sosial. Sedangkan teknik pengumpulan data
untuk peneltian kepustakaan, dapat menggunakan teknik
pembacaan cermat dan simak catat. Kedua teknik tersebut
sering digunakan para peneliti sastra yang memfokuskan
pada kualitas karya sastra.
Pada dasarnya penelitian sastra, sebagaimana dike-
mukakan dalam bab sebelumnya, diarahkan oleh pendekatan

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
93

atau perspektif yang digunakan. Termasuk di dalamnya


teknik pengumpulan data yang bagaimana yang digunakan
seorang peneliti. Di samping itu, juga yang telah dikemukakan
di atas, penelitian sastra dapat bergerak di lapangan atau
hanya khusus memfokuskan pada teks karya sastra atau
kepustakaan lainnya. Dengan demikian, data dalam penelitian
sastra terdiri atas: data teks dan data luar teks.
Data teks ada dua, yaitu: 1) diambil dari dalam wacana
karya sastra yang menjadi obyek penelitiannya; dan 2) data
teks dari sumber kepustakaan lainnya. Data teks golongan
pertama berupa: cerita dan struktur penceritaan yang dipakai
dalam karya sastra tersebut. Sedang data teks golongan kedua
berupa: teks-teks lain sebagai pendukung analisis karya sastra,
bisa disebut juga dengan data luar teks. Pengertian yang lain,
data luar teks dapat dipahami juga sebagai sumber-sumber
data yang berasal dari lapangan, hasil dari pengamatan
(observasi), kuesioner, wawancara, dan tes. Data luar teks
dalam pengertian ini dipakai untuk fokus penelitian lapangan.
Perhatikan skema berikut.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
94

Teks Karya
Sastra: Puisi,
Prosa, atau
Drama Penelitian
Data Teks
Kepustakaan

Teks-Teks lain
Data yang relevan
Penelitian

Data Lapangan
hasil observasi,
Data Luar Penelitian
kuesioner,
Teks Lapangan
wawancara,
atau tes

Bagan 4
Klasifikasi Data Penelitian Sastra

Berdasarkan klasifikasi data di atas dapat dikemuka-


kan bahwa jenis data penelitian sastra tergantung pada fokus
penelitian dan/atau perspektifnya. Fokus tersebut dapat pada:
1) teks, 2) sastrawan, 3) masyarakat, 4) dokumen sosial,
budaya, pengetahuan, dan lain-lain, 5) persepsi dan/atau
resepsi pembaca, 5) institusi, dan lain-lain (bandingakan
Endraswara, 2011: 104). Data-data tersebut dapat berupa data
dari sumber aslinya atau disebut data primer, dan data dari
sumber yang lain (bukan sumber aslinya), bukan data asli,
atau disebut data sekunder. Fokus penelitian yang mengarah
pada teks (1) dan dokumen (4) terjadi dalam penelitian
kepustakaan, disebut dengan jenis data teks. Sedangkan fokus
pada sastrawan (2), masyarakat (3), pembaca, dan institusi (5),
terjadi dalam penelitian lapangan, disebut dengan jenis data
SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
95

luar teks. Meskipun tidak menutup kemungkinan kedua jenis


penelitian tersebut juga membutuhkan kedua jenis data
tersebut sebagai pendukung atau pelengkap.
Di samping itu, data penelitian sastra juga tergantung
pada perspektif atau pendekatan yang digunakan dalam
penelitian. Pendekatan struktural yang menekankan pada
sistem struktur yang membangun karya sastra, tentu
menggunakan data teks, tanpa melibatkan jenis data lainnya.
Struturalisme merupakan pendekatan yang melepaskan karya
sastra dari pengarang, masyarakat, dan sejarah kelahirannya.
Teks karya sastra bersifat otonom, obyektif, dan memiliki
aturan sendiri secara instrinsik, yang membangun kualitas
karya sastra. Sedangkan pendekatan intertekstual dipakai
dalam menganalisis antartekstual dan antarkewacaaan
berdasarkan data-data teks lainnya. Dengan demikian,
penelitian intertekstual menggunakan teks dan teks-teks
lainnya. Di samping itu, dapat dipergunakan juga data-data
luar teks dalam kaitannya dengan realitas masyarakat di mana
karya sastra yang dianalisis itu berada. Pendekatan sosial
sastra dapat bergerak di dalam dua wilayah, yaiu penelitian
kepustakaan dan lapangan. Dengan demikian, jenis datanya
dapat berupa teks karya sastra, teks-teks lainnya, dan data
luar teks.
Mencermati gambaran tentang jenis data di atas, maka
teknik pengumpula data dapat terdiri atas beberapa teknik
berikut ini.
1. Teknik Simak Catat; Yang dimaksud dengan teknik simak
dan catat adalah peneliti sebagai instrumen kunci

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
96

melakukan penyimakan secara cermat, terarah, dan teliti


terhadap sumber data utama, yaitu wacana karya sastra
(Subroto, 1997: 35) . Teknik pengumpulan data membaca
cermat dan/atau simak catat. Teknik ini sangat tepat untuk
digunakan mengurai wacana sastra ke dalam unsur-
unsurnya.
2. Studi kepustakan; adalah pengambilan data dari sumber-
sumber tertulis oleh peneliti sebagai instrumen kunci
beserta konteks yang mendukung.
3. Pengamatan atau Observasi; adalah studi yang disengaja dan
sistematis tentang fenomena sosial dan gejala-gejala psikis
dengan jalan pengamatan dan pencatatan. Tujuannya
adalah mengerti ciri-ciri dan luasnya signifikansi dari inter-
relasinya elemen-elemen tingkah laku manusia pada
fenomena sosial serba kompleks dalam pola-pola kulturil
tertentu (Kartono, 1980: 142). Menurut Suparlan (1997: 103)
metoda pengamatan digunakan untuk memperoleh
informasi mengenai gejala-gejala yang dalam kehidupan
sehari-hari dapat diamati. Hasil pengamatan biasanya
didiskusikan oleh si peneliti dengan warga masyarakat
yang bersangkutan untuk mengetahui makna yang
terdapat dibalik gejala-gejala tersebut.
4. Teknik Wawancara atau interview; menurut Kartono (1980:
171) interview atau wawancara adalah suatu percakapan
yang diarahkan pada suatu masalah tertentu; ini
merupakan proses tanya jawab lisan, dimana dua orang
atau lebih berhadap-hadapan secara fisik. Interview ini
dapat dipandang sebagai metoda pengumpulan data

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
97

dengan tanya jawab sepihak, yang dilakukan secara


sistematis dan berdasarkan tujuan penelitian.
5. Teknik Kuesioner atau angket; adalah sejumlah pertanyaan
tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari
responden dalam arti laporan tentang pribadinya, atau hal-
hal yang ia ketahui.

Teks Karya
Sastra:
Puisi,
Prosa, atau
Teknik
Drama
Penelitian Pengumpul
Data an Data
Kepustakaa
Teks Simak
n
Catat
Teks-Teks
lain yang
Data relevan
Peneliti
an
Observasi
Data
Lapangan
hasil Penelitian
Data Wawancar
observasi, Lapangan
Luar a
kuesioner,
Teks
wawancara
, atau tes
Kuesioner

Bagan 5
Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
98

BAB 3

STRUKTURALISME

Strukturalisme merupakan cara pandang secara


filosofis terhadap obyek atau realitas. Dengan kata lain,
strukturalisme sesungguhnya paham filsafat yang me-
mandang dunia atau realitas sebagai sistem yang terstruktur,
otonom, self-regulatif, dan obyektif. Paham yang pernah
dominan sepanjang abad XIX ini melepaskan kajiannya dari
aspek sejarah dan sosiokultural.
Jika ditempatkan dalam model pendekatan sastra, cara
pandang strukturalisme mengkaji karya sastra dari aspek
instrinsiknya. Karya sastra dianggap sebagai kualitas ter-
struktur yang terdiri atas unsur-unsur yang secara fungsional
berelasi membentuk sistem struktur dari dalam. Penelaahan
karya sastra harus sanggup membongkar dan menjelaskan
sistem struktur yang berada di balik permukaan. Unsur-unsur
karya sastra dijelaskan untuk menemukan fungsinya dalam
berhubungan dengan unsur lainnya.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
99

Strukturalisme sastra dipengaruhi oleh teori semiologi


bahasa atau struktural bahasa yang dikemukakan Ferdinand
de Saussure (Perancis). Saussure memang merupakan tokoh
peletak dasar strukturalisme, tidak saja di bidang linguistik
dan sastra, tetapi juga antropologi, kebudayan, sosial, politik,
dan sebagainya. Pemikirannya tentang semiologi bahasa
merupakan sumbangan pemikiran yang lebih modern dalam
mendekati persoalan kebudayaan.
Ide dasar strukturalisme adalah penolakannya ter-
hadap teori mimetik, ekspresif, dan historis, yang sebelumnya
telah memperoleh tempatnya dalam studi karya sastra.
Pemahaman terhadap karya sastra dapat diteliti dengan
bertumpu pada teks itu sendiri tanpa melibatkan aspek-aspek
sosial dan sejarahnya. Dan dalam perkembangannya,
strukturalisme berevolusi sehingga muncul teori-teori seperti:
Formalisme, Strukturalisme Dinamik, Semiotik, dan struktur-
alisme Genetik.

A. Strukturalisme Murn
Strukturalisme pernah dominan dalam studi bahasa,
sastra, dan budaya selama abad XIX, sebelum kemudian
banyak dikritik dan ditolak kaum postrukturalisme. Berbagai
pendapat muncul untuk menjelaskan pengertian struktural-
isme. Berikut beberapa pendapat di antaranya.
1. Strukturalisme pada dasarnya merupakan cara berfikir
tentang dunia yang terutama berhubungan dengan
tanggapan dan deskripsi struktur-struktur. Strukturalisme
sebenarnya merupakan paham filsafat yang memandang

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
100

dunia sebagai realitas berstruktur. Dunia sebagai suatu hal


yang tertib, sebagai sebuah relasi dan keharusan. Jaringan
relasi ini merupakan struktur yang bersifat otonom
(Endraswara, 2003: 49).
2. Sedangkan Sutrisno (2005: 113-114) mengatakan bahwa
strukturalisme adalah aliran pemikiran yang mencari
struktur terdalam dari realitas yang tampak kacau dan
beraneka ragam di permukaan secara ilmiah (objektif,
ketat, dan berjarak).
3. Sedangkan seorang pelopor strukturalisme, yang juga
seorang tokoh antropologi, Claude Levi-Strauss, mengata-
kan bahwa strukturalisme merupakan suatu cara mencari
realitas dalam hal-hal (benda-benda) yang saling berjalinan
antara sesamanya, bukan dalam hal-hal yang bersifat
individu (dalam Suroso dkk.,2009:80).
4. Ciri khas strukturalisme ialah pemusatan pada deskripsi
keadaan aktual obyek melalui penyelidikan, penyingkapan
sifat-sifat instrinsiknya yang tidak terikat oleh waktu dan
penetapan hubungan antara fakta atau unsur-unsur sistem
tersebut melalui penyelidikan. Strukturalisme menyingkap-
kan dan melukiskan struktur inti dari suatu obyek
(hirarkinya, kaitan timbal balik antara unsur-unsur pada
setiap tingkat) (Bagus, 1996: 1040).
5. Selain itu, (lihat Hudayat,2007:51-52 dan Suroso dkk, 2009:
80-81), sesuatu dikatakan mempunyai struktur apabila ia
membentuk suatu kesatuan yang utuh, bukan merupakan
jumlah dari bagian-bagian semata. Hubungan antarbagian
di dalam struktur tidak bersifat kuantitatif, melainkan

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
101

kualitatif. Artinya, apabila suatu bagian dihilangkan,


keutuhan sesuatu itu tidak sekedar berkurang, melainkan
rusak sama sekali. Selain itu, strukturalisme juga percaya
bahwa suatu struktur mempunyai daya transformasi dan
regulasi diri. Semua dikatakan berstruktur apabila ia dapat
melakukan perubahan, tanpa harus kehilangan keutuhan
dirinya, fungsi utama yang menjadi tujuan atau pusat
strukturasinya. Sesuatu dikatakan berstruktur apabila ia
mempunyai kemampuan untuk mengatakan kemungkinan
gangguan dan pengaruh dari luar dengan caranya sendiri.
6. Dalam wilayah ilmu sastra, menurut Hudayat, struktur-
alisme cenderung memahami karya sastra sebagai sebuah
sistem tertutup, otonom. Karena itu, strukturalisme dalam
ilmu sastra akan memperlakukan karya sastra atau
kesastraan sebagai sesuatu yang mandiri pula, sesuatu
yang berstruktur, sesuatu yang utuh, transformatif, dan
self-regulatif (2007:52). Lebih lanjut dikatakan Hudayat
(2007: 57), strukturalisme percaya bahwa sastra dapat
dipahami dan dijelaskan atas dasar sistm sastra sendiri
yang membentuk semacam kaidah-kaidah bagi penciptaan
karya sastra.
7. Jika ditempatkan dalam teori pendekatan sastra menurut
Rene Wellek dan Austin Waren (1990), strukturalisme
merupakan analisis intrinsik karya sastra. Analisis intrinsik
ingin memahami unsur-unsur dalam yang membentuk
karya sastra.
8. Sedangkan jika ditempatkan dalam teori pendekatan sastra
menurut Abrams (dalam Teew,1983), pendekatan struktur-

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
102

alisme sejajar dengan pendekatan objektif. Pendekatan


objek memusatkan perhatian semata-mata pada unsur-
unsur, antar hubungan, dan totatilitas. Pendekatan ini juga
disebut dengan analisis otonomi (dalam Hudayat,2007:48).
9. Pendekatan strukturalisme sastra menurut Maren-
Brisebach (dalam Umar Yunus, 1981: 17) memberikan tiga
pengertian dasar sebagai berikut.
a. Saling berhubungan unsur-unsur dalam sebuah karya.
b. Sesuatu yang abstrak, yang menyatukan hal-hal yang
berbeda, biasanya, bertujuan untuk mendapatkan suatu
hokum universal.
c. Sesuatu yang tidak mengenal sejarah.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa struktur-
alisme pada hakikatnya merupakan cara pandang tentang
sesuatu hal sebagai sebuah sistim struktur yang dibangun dari
relasi fungsional antar unsur-unsurnya. Sistem struktur yang
otonom dan yang memiliki regulasi sendiri dalam mengatur
kualitasnya. Struktur segala sesuatu di dalam dunia mem-
bangun dunianya sendiri, mekanisme sendiri, untuk men-
jalankan fungsi-fungsinya sendiri, terlepas dari berbagai
kemungkinan pengaruh dari luar. Sesuatu dipahami sebagai
kekuatan yang mampu membangun, mengembangkan, dan
mempertahankan dirinya sendiri dengan caranya sendiri pula.
Dalam strukturalisme konsep fungsi memegang
peranan penting. Artinya, unsur-unsur sebagai ciri khas teori
tersebut dapat berperan secara maksimal semata-mata dengan
adanya fungsi, yaitu dalam rangka menunjukkan antar-
hubungan unsur-unsur yang terlibat. Unsur tidak memiliki

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
103

arti dalam dirinya sendiri. Unsur dapat dipahami semata-mata


dalam proses antarhubungannya.
Lantas apakah yang disebut struktur? Sebagaimana
pendapat tentang strukturalisme, pendapat tentang pengerti-
an struktur juga beragam. Menurut Piaget (dalam Suroso
dkk,2009:81; lihat juga Pradopo,1999:119), pertama, sebuah
struktur harus merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh.
Artinya, bagian-bagian atau unsur-unsur yang membentuk
struktur itu tidak dapat berdiri sendiri. Unsur yang satu
dengan unsur yang lainnya harus saling berhubungan atau
saling kait-mengkait. Kedua, sebuah struktur itu berisi gagasan
transformasi, dalam arti struktur tersebut tidak statis, tetapi
dinamis. Sebuah struktur mampu melalkukan prosedur-
prosedur tranformasional, dalam arti bahan-bahan baru dapat
diolah melalui prosedur tersebut. Ketiga, sebuah struktur itu
mampu mengatur dirinya sendiri. Artinya, struktur itu tidak
memerlukan pertolongan atau bantuan dari luar dirinya
untuk mengesahkan prosedur transformasinya.
Dengan demikian, sebagaimana dikemukakan Teew,
analisis struktural pada akhirnya merupakan prioritas
pertama sebelum diterapkannya pendekatan-pendekatan
yang lainnya (1983: 61). Pengertian ini menyiratkan pemikiran
bahwa menganalisis karya sastra hendaknya diawali dengan
memahami sistim struktur yang membangun kualitas karya
sastra. Dari pemahaman tentang struktur ini berkembang ke
arah analisis aspek-aspek lain karya sastra, seperti: sosial, nilai
religius, psikologi, semiotik, dan sebagainya. Karya sastra

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
104

memang memilki banyak aspek yang bisa dikaji dengan


berbagai macam pendekatan.
Unsur-unsur yang terdapat pada ketiga jenis sastra
(prosa, puisi, dan drama) akan membutuhkan pemusatan
analisis yang berbeda pula. Unsur-unsur prosa, misalnya
mengarah pada tema, peristiwa atau kejadian, latar atau
setting, penokohan, alur, sudut pandang, dan gaya bahasa.
Unsur-unsur puisi, di antaranya tema, stilistika, imajinasi,
ritme atau irama, rima atau persajakan, diksi atau pilihan kata,
simbol, nada, dan enjambemen. Unsur-unsur (teks) drama di
antaranya tema, dialog, peristiwa, latar, penokohan, alur, dan
gaya bahasa. Selain itu, berdasarkan teori struktur tersebut,
analisis struktural karya sastra meliputi struktur global,
struktur fisik, dan struktur mental. Ketiga analisis struktural
ini lebih tepat diterapkan dalam menganalisis karya sastra
puisi, sebagaimana diterapkan oleh Rachmat Djoko Pradopo
(1999).
Faham strukturalis, secara langsung maupun tidak
langsung sebenarnya menganut pemikiran yang dikembang-
kan oleh Ferdinand de Sassure (Perancis) di awal abad ke-20,
tentang dikotomi bentuk dan makna/isi. Saussure memang
merupakan tokoh peletak dasar strukturalisme, tidak saja di
bidang linguistik dan sastra, tetapi juga antropologi, ke-
budayaan, sosial, politik, dan sebagainya. Pemikirannya
tentang semiologi bahasa merupakan sumbangan pemikiran
yang lebih modern dalam mendekati persoalan kebudayaan.
Ide dasar strukturalisme adalah penolakannya ter-
hadap teori mimetik, ekspresif, dan historis, yang sebelumnya

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
105

telah memperoleh tempatnya dalam studi karya sastra.


Pemahaman terhadap karya sastra dapat diteliti dengan
bertumpu pada teks itu sendiri tanpa melibatkan aspek-aspek
sosial dan sejarahnya. Menurut paham strukturalisme
(Endraswara, 2008: 51) telah ―gagal‖ memahami karya sastra
sesungguhnya.
Dalam perkembangan selanjutnya strukturalisme
mengalami evolusi yang panjang dan dinamis. Dalam sejarah-
nya, strukturalisme memunculkan pandangan-pandangan
yang yang merupakan perkembangan pemikiran struktur-
alisme. Pandangan-pandangan yang muncul kemudian adalah
Teori Formalisme, Strukturalisme Dinamik, Semiotik, dan
strukturalisme Genetik. Berikut ini prinsip-prinsip keempat
teori tersebut.
Langkah yang perlu dilakukan seorang peneliti
struktural murni menurut Endraswara (2011: 52-53) adalah
sebagai berikut.
1. Membangun teori struktur sastra sesuai dengan genre
sastra yang diteliti. Struktur yang dibangun harus mampu
menggambarkan teori struktur yang handal. (pen. misalnya
struktur prosa terdiri atas bangunan antara unsur tema,
plot, seting, penokohan, sudut pandang, dan gaya bahasa.
Struktur puisi terdiri atas bangunan antara unsur-unsur
atau lapis bunyi dan arti. Sedangkan struktur drama terdiri
atas unsur-unsur: plot, tokoh, dialog, latar, konflik, dan
sebagainya. Seorang peneliti dapat menggunakan teori
struktur yang dikemukakan oleh para ahli. Misalnya
seorang peneliti dapat menggunakan teori Roman Ingarden

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
106

(untuk genre puisi) dengan Strata Norma, Luxemburg


dengan teori teks, Todorov dengan Tata Sastra, Gerard
Genette dengan teori naratologi, Levi Strauss dengan
struktur naratif, Vladimir Propp dan Thompson dengan
teori motif, Alan Dundes dengan teori struktur dongeng,
dan sebagainya).
2. Peneliti melakukan pembacaan secara cermat, mencatat
unsur-unsur struktur yang terkandung dalam bacaan itu.
Setiap unsur dimasukkan ke dalam kartu data, sehingga
memudahkan analisis.
3. Unsur tema, sebaiknya dilakukan terlebih dahulu sebelum
membahas unsur lain. Tema adalah jiwa dari karya sastra
itu, yang akan mengalir ke dalam setiap unsur. Tema harus
dikaitkan dengan dasar pemikiran atau filosofi karya secara
keseluruhan. Tema juga sering tersembunyi dan atau
terbungkus rapat pada bentuk. Karena itu, pembacaan
berulang-ulang akan membantu analisis.
4. Setelah analisis tema, baru analisis unsur-unsur lain
sebagaimana dikemukakan teori struktur yang digunakan.
5. Yang harus diingat, semua penafsiran unsur-unsur harus
dihubungkan dengan unsur lain, sehingga mewujudkan
kepaduan makna struktur.
6. Penafsiran harus dilakukan dalam kesadaran penuh akan
pentingnya keterlibatan antar unsur.

B. Teori Formalisme
Tujuan pokok formalisme (adalah studi ilmiah tentang
sastra dengan cara meneliti unsur-unsur kesastraan, puitika,

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
107

asosiasi, oposisi, dan sebagainya. Metode yang digunakan


metode formal. Metode formal menjalankan fungsinya dengan
cara merekonstruksi teks melalui pemaksimalan konsep
fungsi. Dengan jalan demikian, teks menjadi suatu kesatuan
yang terorganisasikan. Prinsip dan sarana inilah yang me-
ngarahkannya pada konsep sistem dan akhirnya ke konsep
struktur (Hudayat, 2008: 55).
Lebih lanjut dikatakan Hudayat (lihat juga
Endraswara, 2008; Sutrisno, 2005) sebagai teori modern
mengenai sastra, secara historis kelahiran formalisme dipicu
oleh paling sedikit tiga faktor. Pertama, formalisme lahir
sebagai akibat penolakannya terhadap paradigma positivisme
abad ke-19 yang memegang teguh prinsip-prinsip kausalitas;
reaksi terhadap studi biografis. Kedua, kecenderungan yang
terjadi dalam ilmu humaniora di mana terjadinya pergeseran
dari paradigma diakronis ke sinkronis. Ketiga, penolakan
terhadap pendekatan tradisional yang selalu memberikan
perhatian terhadap hubungan karya sastra dengan sejarah,
sosiologi, dan psikologi.
Bagi penganut formalis, yang dikenal sebagai para
formalis Rusia, cara sastra ditulis, bukan makna yang
terkandung di dalamnya, merupakan komponen penting
dalam sastra, yang membedakannya dari pelbagai macam
bentuk tulisan lain, seperti tulisan sejarah atau ilmiah. Bahasa
yang digunakan dalam karya sastra berbeda dengan bahasa
umum dan bahasa sehari-hari. Bahasa karya sastra dibelokkan
dari bahasa yang umum digunakan. Pembelokan dan
pembentukan inilah yang disebut sebagai bentuk. Menurut

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
108

kaum formalis, kajian sastra harus memusatkan perhatian


hanya pada dimensi bentuk sastra tersebut (Ryan, 2011: 2).
Lebih lanjut dikemukakan Ryan, bentu itu berdiri
sendiri dan bentuklah yang membuat karya sastra menjadi
―bersifat sastra‖. Bentuk tidak ‗dimotivasi‘ oleh makna.
Bentuk memiliki aturan dan sejarah sendiri yang otonom.
Oleh sebab itu, bentuk tidak memiliki hubungan dengan isi.
Yang penting dalam karya sastra bukanlah makna, tetapi
teknik, sarana, dan prosedur sastra yang digunakan oleh
penulisnya (2011: 2). Dalam mengaji karya sastra, kaum
formalis tidak memfokuskan pada makna atau isi karya sastra,
melainkan sarana teknis yang menyebabkan karya sastra
―bersifat sastra‖. Gagasan yang diungkapkan dalam karya
sastra tidaklah penting. Bagaimana karya sastra dikonstruksi-
kan, bagaimana bahasa digunakan, pencitraan apa yang
terdapat di dalamnya, merupakan obyek penting dalam
analisis sastra.
Namun demikian, tidak semua kaum formalis hanya
memfokuskan pada bentuk suatu karya sastra dalam
analisisnya. Beberapa formalais ada yang memerhatikan juga
tentang hubungan bentuk dan makna. Khususnya, hal itu
dilakukan oleh para kritikus New Critics (kritikus baru) yang
berkembang di Amerika pertengahan abad ke-20. Bentuk
sastra dihubungkan dengan isi atau makna dalam satu
kesatuan yang organik. New Criticism (Kritik Baru) merupakan
perkembangan teori formalis Rusia, yang dikembangkan di
Amerika.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
109

Para Kritikus Baru menyoroti pelbagai aspek universal


pengalaman manusia. Menurut mereka, pelbagai aspek
universal itu bersifat umum dan abstrak, kesusasteraanlah
yang membuatnya menjadi konkrit. Selain itu, pelbagai karya
sastra yang tampaknya sangat universal seringkali adalah
karya sastra yang paling religius dan idealis. Idealisme
religius inilah landasan para Kritikus Baru menulis dan
menganalisis karya sastra (Ryan, 2011: 5).
Seagai teori modern mengenai sastra, menurut Ratna
(2011: 80), kelahiran formalisme secara historis dipicu oleh
paling sedikit tiga faktor sebagai berikut.
1. Formalisme lahir sebagai akibat penolakannya terhadap
paradigma positivisme abad ke-19 yang memegang teguh
prinsip-prinsip kausalitas, dalam hubungan ini sebagai
reaksi terhadap studi biografi.
2. Kecenderungan yang terjadi dalam ilmu humaniora, di
mana terjadi pergeseran dari paradigma diakronis ke
sinkronis.
3. Penolakan terhadap pendekatan tradisional yang selalu
memberikan perhatian terhadap hubungan karya sastra
dengan sejarah, sosiologi, dan psikologi.
Tujuan pokok formalisme adalah studi iolmiah tentang
sastra, dengan cara meneliti unsur-unsur kesastraan, puitika,
asosiasi, oposisi, dan sebagainya. Metode yang digunakan
dalam menganalisis karya sastra adalah metode formal atau
struktural. Prinsip kerja formalisme itulah akhirnya formal-
isme ini lebih dekat dengan strukturalisme. Tokoh-tokoh
formalisme adalah Roman Jacobson, Mukarovsky, Rene

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
110

Wellek, dan Felik Vodicka. Tokoh-tokoh itulah yang me-


ngembangkan formalisme di Praha (Cekoslovakia) karena di
Rusia aliran ini dilarang (Ratna, 2011: 83).
Sejumlah istilah dan konsep yang secara khas
disumbangkan oleh kelompok formalisme, di antaranya:
(hakikat) kesastraan, bentuk dan isi, fabula dan sjuzet,
otomatisasi dan defamiliarisasi. Berikut dijelaskan keempat
konsep formalisme tersebut.
1. Hakikat Kesastraan (literariness) merupakan ciri-ciri umum
kelompok formalis. Menurut formalis, meskipun pada
dasarnya tidak ada perbedaan secara instrinsik antara
bahasa sastra dengan bahasa sehari-hari, tetapi dengan cara
mengadakan penyusunan kembali, dengan memper-
timbangkan fungsinya dalam struktur, maka bahasa sastra
akan berbeda dengan yang ahasa biasa. Dalam hubungan
inilah dikatakan bahwa bahasa sastra adalah bahasa yang
diciptakan, aspek-aspek kesastraan yang membuat karya
tertentu sebagai karya sastra.
2. Fabula dan Sjuzet merupakan konsep formalis yang paling
terkenal. Cerita dan penceritaan, cerita dan plot, dianggap
sebagai konsep kunci dalam membedakan karya sastra,
khususnya sastra naratif, dengan sejarah dan peristiwa
sehari-hari. Fabula adalah bahan dasar, kejadian yang
tersusun secara kronologis, oleh karena itu, fabula disebut
sebagai konstituen plot. Sjuzet mengorganisasikan ke-
seluruhan kejadian ke dalam struktur penceritaan. Dalam
struktur penceritaan itulah, kualitas karya sastra dibangun,

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
111

sebagai struktur yang diciptakan, terkandung kualitas


estetis sebuah karya sastra.
3. Otomatisasi adalah pemakaian bahasa yang sudah biasa,
otomatis. Defamiliarisasi (pengasingan) membuat yang
sudah biasa menjadi luar biasa, menjadi baru, menjadi
aneh, menyimpang. Dalam sastra naratif, defamiarisasi
biasanya diperoleh melalui mekanisme pemlotan dengan
cara mengubah susunan kejadian. Sedang otomatisasi ada
kesejajaran dengan estetika persamaan dan estetika
pertentang. Pada dasarnya evolusi sastra adalah proses
pengasingan secara terus-menerus (Ratna, 2011: 85-86).
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa
bagi formalisme yang terpenting dalam analisis adalah karya,
dalam hal ini medium bahasa dan aspek-aspek kesastraannya.
Jika pada awal kelahirannya, formalisme memfokuskan pada
bentuk, maka pada perkembangan yang terakhir, khususnya
yang dilakukan oleh para Kritikus Baru, formalisme juga
memfokuskan hubungan antara bentuk dan isi. Per-
kembangan tersebut melahirkan apa yang kemudian disebut
sebagai strukturalisme dinamik. Karena strukturalisme
berkembang melalui formalisme, maka strukturalisme
dinamik yang merupakan perkembangan dari formalisme
baru, sesungguhnya juga menyempurnakan kelemahan-
kelemahan yang terjadi dalam strukturalisme.
Scholes (dalam Ratna, 2008: 55) menjelaskan keber-
adaan strukturalisme menjadi tiga tahap, yaitu : (1) sebagai
pergeseran paradigma berpikir, (2) sebagai metode, dan (3)
sebagai teori. Lahirnya strukturalisme dinamik didasarkan

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
112

atas kelemahan-kelemahan strukturalisme. Strukturalisme


dinamik mencermati bahwa strukturalisme dinamik di-
maksudkan sebagai penyempurnaan strukturalisme yang
semata-mata memberikan intensitas terhadap struktur
intrinsik yang dengan sendirinya melupakan aspek-aspek
ekstrinsiknya.
Strukturalisme dinamik mula-mula dikemukakan oleh
Mukarovsky dan Felik Vodicka. Menurutnya, karya sastra
adalah proses komunikasi, fakta semiotik, terdiri atas tanda,
struktur, dan nilai-nilai. Karya seni adalah petanda yang
memperoleh makna dalam kesadaran pembaca. Oleh karena
itulah, karya seni harus dikembalikan pada kompetensi
penulis, masyarakat yang menghasilkannya, dan pembaca
sebagai penerima. Perbedaan unsur-unsur karya sastra untuk
jenis yang berbeda-beda terjadi akibat proses resepsi pembaca.
Setiap penilaian akan memberikan hasil yang berbeda (Ratna,
2011: 93).

C. Semiotika
Meskipun semiotik berada dalam peralihan antara
strukturalisme dengan pascastrukturalisme, tetapi kajiannya
masih kental ke dalam strukturalisme. Demikian juga, teori
ini mengambil dasar pemikiran strukturalisme dari para
peletak dasar teori structural-isme. Dua tokoh peletak dasar
semiotika tersebut adalah Ferdinand de Saussure (1857-1913)
dan Charles Sander Peirce (1839-1914). Kedua tokoh tersebut
mengembangkan ilmu semiotika secara ter-pisah dan tidak
mengenal satu sama lain. Saussure di Eropa dan Peirce di

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
113

Amerika Serikat. Latar belakang keilmuan adalah linguis-tik,


sedangkan Peirce filsafat. Saussure menyebut ilmu yang di-
kembangkannya semiologi (semiology).
Sampai saat ini, sekurang-kurangnya terdapat
sembilan macam semiotik yang kita kenal sekarang (Pateda,
dalam Sobur, 2004). Jenis -jenis semiotik ini antara lain
semiotik analitik, diskriptif, faunal zoosemiotic, kultural,
naratif, natural, normatif, sosial, struktural.
a. Semiotik analitik merupakan semiotik yang menganalisis
sistem tanda. Peirce mengatakan bahwa semiotik ber-
objekkan tanda dan menganalisisnya menjadi ide, obyek
dan makna. Ide dapat di-katakan sebagai lambang,
sedangkan makna adalah beban yang terdapat dalam
lambang yang mengacu pada obyek ter-tentu.
b. Semiotik deskriptif adalah semiotik yang memperhatikan
sistem tanda yang dapat kita alami sekarang meskipun ada
tanda yang sejak dahulu tetap seperti yang disaksikan
sekarang.
c. Semiotik faunal zoosemiotic merupakan semiotik yang khusus
memperhatikan sistem tanda yang dihasilkan oleh hewan.
d. Semiotik kultural merupakan semiotik yang khusus
menelaah sistem tanda yang ada dalam kebudayaan
masyarakat.
e. Semiotik naratif adalah semiotik yang membahas sistem
tanda dalam narasi yang berwujud mitos dan cerita lisan
(folklore).
f. Semiotik natural atau semiotik yang khusus menelaah sistem
tanda yang dihasilkan oleh alam.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
114

g. Semiotik normatif merupakan semiotik yang khusus


membahas sistem tanda yang dibuat oleh manusia yang
berwujud norma-norma.
h. Semiotik sosial merupakan semiotik yang khusus menelaah
sistem tanda yang dihasilkan oleh manusia yang berwujud
lambang, baik lambang kata maupun lambang rangkaian
kata berupa kalimat.
i. Semiotik struktural adalah semiotik yang khusus menelaah
sistem tanda yang dimanifestasikan melalui struktur
bahasa.
Semiotika berasal dari kata Yunani: semeion, yang
berarti tanda. Dalam pandangan Piliang, penjelajahan
semiotika sebagai metode kajian ke dalam berbagai cabang
keilmuan ini dimungkin-kan karena ada kecenderungan
untuk memandang berbagai wacana sosial sebagai fenomena
bahasa. Dengan kata lain, bahasa dijadi-kan model dalam
berbagai wacana sosial. Berdasarkan pan-dangan semiotika,
bila seluruh praktek sosial dapat dianggap se-bagai fenomena
bahasa, maka semuanya dapat juga dipandang sebagai tanda.
Hal ini dimungkinkan karena luasnya pengertian tanda itu
sendiri (Piliang, 1998:262).
Menurut Saussure, seperti dikutip Pradopo tanda
sebagai kesatuan dari dua bidang yang tidak dapat
dipisahkan seperti hal-nya selembar kertas. Di mana ada
tanda di sana ada sistem. Artinya, sebuah tanda (berwujud
kata atau gambar) mempunyai dua aspek yang ditangkap oleh
indra kita yang disebut dengan signifier, bidang penanda atau
bentuk dan aspek lainnya yang disebut sign-ified, bidang

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
115

petanda atau konsep atau makna. Aspek kedua ter-kandung


di dalam aspek pertama. Jadi petanda merupakan konsep atau
apa yang dipresentasikan oleh aspek pertama (2007: 54).
Semiologi menurut Saussure, didasarkan pada
anggapan bahwa selama perbuatan dan tingkah laku manusia
membawa makna atau selama berfungsi sebagai tanda, harus
ada di belakang-nya sistem perbedaan dan konvensi yang
memungkinkan makna itu. Di mana ada tanda di sana ada
sistem (Hidayat, 1998:26). Bagi de Saussure, bahasa terdiri atas
sejumlah tanda yang terdapat dalam suatu jaringan sistem
dan dapat disusun dalam sejumlah struktur. Setiap tanda
dalam jaringan itu memiliki dua sisi yang tak terpisahkan
seperti dua halaman pada selembar kertas. De Saussure
memberikan contohkata arbor dalam bahasa Latin yang
maknanya ‗pohon‘. Kata ini adalah tanda yang terdiri atas dua
segi yakni: /arbor/ dan konsep pohon. Signifiant
/arbor/disebutnya sebagai citra akustik yang mempunyai
relasi dengan konsep pohon (bukan pohon tertentu) yakni
signifie. Tidak ada hubungan langsung dan alamiah antara
penanda (signifier) dan petanda (signified). Hubungan ini
disebut hubungan yang arbitrer. Hal yang mengabsahkan
hubungan itu adalah mufakat (konvensi) …‟a body of necessary
conventions adopted by society to enable members of society to use
their language faculty (de Saussure dalam Sartini,tt:2).
Sedangkan Peirce menyebut ilmu yang dibangunnya
semiotika (semiotics). Bagi Peirce yang ahli filsafat dan logika,
penalaran manusia senantiasa dilakukan lewat tanda. Artinya,
manusia hanya dapat bernalar lewat tanda. Dalam pikirannya,

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
116

logika sama dengan semiotika dan semiotika dapat ditetapkan


pada segala macam tanda (Berger, 2000:11-22). Dalam
perkembangan selanjutnya, istilah semiotika lebih populer
daripada semiologi.
Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda
(sign), berfungsi tanda, dan produksi makna. Tanda adalah
sesuatu yang bagi seseorang berarti sesuatu yang lain. Dalam
pandangan Zoest, segala sesuatu yang dapat diamati atau
dibuat teramati dapat di-sebut tanda. Karena itu, tanda
tidaklah terbatas pada benda. Adanya peristiwa, tidak adanya
peristiwa, struktur yang ditemukan adalah sesuatu, suatu
kebiasaan, semua ini dapat disebut benda. Sebuah bendera
kecil, sebuah isyarat tangan, sebuah kata, suatu keheningan,
suatu kebiasaan makan, sebuah gejala mode, suatu gerak
syaraf, peristiwa memerahnya wajah, suatu kesukaan ter-
tentu, letak bintang tertentu, suatu sikap, setangkah bunga,
rambut uban, sikap diam membisu, gagap. Bicara cepat,
berjalan sempoyongan, menatap, api, putih, bentuk bersudut
tajam, ke-cepatan, kesabaran, kegilaan, kekhawatiran,
kelengahan semuanya itu dianggap sebagai tanda (Zoest
dalam Sartini,tt:2)
Salah satu tokoh teori semiotik yang sangat terkenal
dan pe-mikiran-pemikirannya sering dipakai di Indonesia
adalah Roland Barthes. Roland Barthes merupakan tokoh
intelektual dan filsuf Perancis yang gagasannya berada pada
fase peralihan dari fase Strukturalis dan Pascastrukturalisme.
Posisi pemikiran Barthes dalam sejarah intelektual Barat dan
Eropa ini nampak pada usahanyanya untuk mengkonvergensi

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
117

pemikiran Strukturalisme dalam linguistik, yang dikemuka-


kan oleh Ferdinand de Saussure, dengan studi kebudayaan.
Titik temu keduanya dapat dilihat dalam beberapa tema dan
terminologi yang ia pakai.
Roland Barthes (1915-1980) menerapkan model de
Saussure dalam penelitiannya tentang karya-karya sastra dan
gejala-gejala kebudayaan, seperti mode pakaian. Bagi Barthes
komponen-kom-ponen tanda penanda-petanda terdapat juga
pada tanda-tanda bukan bahasa, antara lain terdapat pada
bentuk mite yakni ke-seluruhan sistim citra dan kepercayaan
yang dibentuk masyarakat untuk mempertahankan dan
menonjolkan identitasnya. Selanjutnya Barthes menggunakan
teori signifiant-signifie yang dikembangkan menjadi teori
tentang metabahasa dan konotasi.
Salah satu bukunya yang terbaik untuk meng-
ilustrasikan pendekatan Barthes tentang studi tanda-tanda
semiotik adalah Mythologies. Dalam bukunya ini dikemuka-
kannya konsep-konsep pemikirannya tentang tanda-tanda
yang berpijak pada pemikiran Ferdinand de Saussure dan
menghubungkannya dengan krtik ideologi. Dengan demikian,
pemikiran Roland Barthes merupakan strukturalisme yang
diperluas.
Bagi Barthes komponen-komponen tanda, penanda-
petanda terdapat juga pada tanda-tanda bukan bahasa antara
lain terdapat pada bentuk mite yakni keseluruhan sistem citra
dan kepercayaan yang dibentuk masyarakat untuk mem-
pertahankan dan menonjol-kan identitasnya (de Saussure,
1988). Selanjutnya Barthes meng-gunakan teori signifiant-

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
118

signifie yang dikembangkan menjadi teori tentang metabahasa


dan konotasi.
Istilah signifiant menjadi ekspresi (E) dan signifie
menjadi isi (C). Namun Barthes mengatakan bahwa antara E
dan C harus ada relasi (R) tertentu, sehingga membentuk
tanda (sign, Sn). Konsep relasi ini membuat teori tentang tanda
lebih mungkin berkembang karena relasi ditetapkan oleh
pemakai tanda. Menurut Barthes, ekspresi dapat berkembang
dan membentuk tanda baru, sehingga ada lebih dari satu
dengan isi yang sama. Pengem-bangan ini di-sebut sebagai
gejala meta -bahasa dan membentuk apa yang disebut
kesinoniman (synonymy). Setiap tanda selalu memperoleh
pemaknaan awal yang dikenal dengan dengan istilah denotasi
dan oleh Barthes disebut sistem primer. Kemudian
pengembangannya disebut sistem sekunder. Sistem sekunder
ke arah ekspresi dise but metabahasa. Sistem sekunder ke arah
isi disebut konotasi yaitu pengembangan isi sebuah ekspresi.
Konsep konotasi ini tentunya didasari tidak hanya oleh
paham kognisi, melainkan juga oleh paham pragmatik yakni
pemakai tanda dan situasi pemahamannya.
Dalam kaitan dengan pemakai tanda, kita juga dapat
memasukkan perasaan sebagai (aspek emotif) sebagai salah
satu faktor yang membentuk konotasi. Model Barthes
demikian juga model De de Saussure tidak hanya diterapkan
pada analisis bahasa sebagai salah satu aspek kebudayaan,
tetapi juga dapat digunakan untuk menganalisis unsur-unsur
kebudayaan. Semiotik yang dikembang-kan Barthes juga
disebut dengan semiotika konotatif. Terapannya juga pada

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
119

karya sastra tidak sekadar membatasi diri pada analisis secara


semiosis, tetapi juga menerapkan pendekatan konotatif pada
berbagai gejala kemasyarakatan. Di dalam karya sastra ia
mencari arti ‘kedua‘ yang tersembunyi dari gejala struktur
tertentu Sutrisno & Hendar Putranto, 2007: 118)
Menurut Barthes, tanda-tanda dalam budaya bukanlah
sesuatu yang polos dan murni (innocent), namun sebaliknya.
Tanda-tanda justru memiliki kaitan yang kompleks dengan
reproduksi ideologi. Dalam kaitannya dengan pemikikirannya
tentang ideo-logi, Barthes mengemukakan teorinya tentang
mitos. Mitos adalah salah satu jenis sistem semiotik tingkat
dua. Dengan demikian, kaji-an semiotik terhadap teks
dikaitkan dengan konteks yang melatar-belaknginya. Hal ini
yang tidak ada dalam pemikiran structuralisme. Dalam
hubungannya dengan ini Anang Hermawan menge-
mukakan, pengkajian tentang konteks dalam pemaknaan
barang-kali merupakan sebuah kerja yang menarik. Bukan
saja karena dimensi kontekstual yang berbeda akan melahir-
kan makna yang berbeda; melainkan juga bahwa sebuah
analisis semiotika akan mampu menggali hal-hal yang
sifatnya subtle dari penggunaan bahasa seperti halnya tentang
seperangkat nilai atau bahkan ideo-logi yang tersembunyi di
balik penggunaan bahasa. Pada tingkat ini, semiotika
seringkali ditunjuk sebagai model awal dari analisis yang
mampu menampilkan bekerjanya ideologi dalam teks.
Sebagai sistem semiotik, mitos dapat diuraikan ke
dalam tiga unsur, yaitu: signifier, signified, dan sign; penanda,
petanda, dan tanda. Ketiga unsur tersebut merupakan sistem

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
120

semiotik tingkat kedua. Untuk menghasilkan sistem mitis,


sistem semiotik tingkat dua mengambil sistem semiotik
tingkat pertama (denotatif/linguistik), yang oleh Barthes terdiri
atas form, concept, dan signification.
Namun demikian, pemahaman terhadap mitos ter-
sebut ditempatkan dalam konteks sejarahnya. Mitos dalam
wacana dan media mengandaikan pengetahuan tentang
sejarah. Sistem mitos dalam konteks sejarah inilah oleh
Barthes ditempatkan dalam sistem semiotik tingkat kedua dan
dihasilkan dari sistem semiotik tingkat pertama (sistem
denotasi; sistem linguistik).
Wujud mitos dalam kajian semiotik dapat diketemu-
kan dalam ungkapan-ungkapan singkat padat penuh makna
atau maxim (contoh: ucapan seorang tokoh, atau aforisme dan
metonimi). Ungkapan-ungkapan ini mempunyai kekuatan
untuk menjadi mitos karena bentuk ungkapan ini memiliki
makna atau konsep baru. Pada tingkat semiotik tingkat
pertama, ungkapan-ungkapan tersebut (sebagai form) me-
miliki makna denotatif (linguistik) yang merujuk pada objek
(concept). Pada sistem semiotik tingkat dua, objek (concept)
pada sistem tingkat pertama diambil sebagai signifier
(penanda) yang memiliki makna (signified;petanda) yang
disebut oleh Barthes sebagai mitos. Dengan demikian, mitos
adalah sejenis metabahasa. Dan sistem mitos inilah yang yang
siap dipakai untuk aktualisasi ideologi (Sunardi, 2002: 110).
Dapat dikatakan bahwa hubungan antara signifier
(penanda) dan signified (petanda) dalam sistem semiotik
tingkat dua oleh Barthes disebut sebagai sistem mitis. Sistem

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
121

mitis ini bersifat distorsif dan intensional. Sifat distorsif


merujuk pada pengertian bahwa konsep yang dihasilkan dari
sistem linguistik (sistem semiotik tingkat pertama) meng-
asingkan makna dari tanda tingkat pertama tersebut.
Sedangkan sifat intesional menggambarkan sapaan (maksud)
yang hadir karena hadirnya suatu mitos. Artinya, mitos yang
dicptakan sesungguhnya memiliki maksud untuk sasaran
mitos tersebut; penyampai kepada penerima pesan dalam
tindak komunikasi.
Hubungan antara signifier dan signified melalui peng-
kombinasian, yang oleh Barthes disebut dengan kode. Kode
dalam terminologi sosiologuistik, ialah variasi tutur yang
memiliki bentuk khas, serta makna yang khas pula.
Sedangkan, Fungsi teks-teks yang menunjukkan pada sesuatu
(mengacu pada sesuatu) dilaksanakan berkat sejumlah kaidah,
janji, dan kaidah-kaidah alami yang merupakan dasar dan
alasan mengapa tanda-tanda itu menunjukkan pada isinya.
Tanda-tanda ini merupakan sebuah sistem yang dinamakan
kode. Kode pertama yang berlaku pada teks-teks ialah kode
bahasa yang digunakan untuk mengutarakan teks yang
bersangkutan. Kode bahasa itu dicantumkan dalam kamus
dan tata bahasa. Selain itu, teks-teks tersusun menurut kode-
kode lain yang disebut kode sekunder, karena bahasanya ialah
sebuah sistem lambang primer, yaitu bahasa. Sedangkan
struktur cerita, prinsip-prinsip drama, bentuk-bentuk
argumentasi, sistem metrik, itu semua merupakan kode-kode
sekunder yang digunakan dalam teks-teks untuk mengalihkan
arti.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
122

Barthes (2004: 106) dalam bukunya Mitologi me-


ngelompokkkan kode-kode tersebut menjadi lima kisi-kisi
kode, yakni kode hermeunetik, kode semantik, kode simbolik,
kode narasi, dan kode kultural atau kode kebudayaan. Uraian
kode-kode tersebut dijelaskan Pradopo sebagaimana berikut
ini.
a. Kode Hermeneutik, yaitu artikulasi berbagai cara pertanya-
an, teka-teki, respons, enigma, penangguhan jawaban,
akhirnya me-nuju pada jawaban. Atau dengan kata lain,
kode Hermeneutik berhubungan dengan teka-teki yang
timbul dalam sebuah wacana. Siapakah mereka? Apa yang
terjadi? Halangan apakah yang muncul? Bagaimana
tujuannya? Jawaban yang satu me-nunda jawaban yang
lain.
b. Kode semantik, yaitu kode yang mengandung konotasi
pada level penanda. Misalnya konotasi feminitas,
maskulinitas. Atau dengan kata lain kode semantik adalah
tanda-tanda yang ditata sehingga memberikan suatu
konotasi maskulin, feminim, kebangsaan, kesukuan,
loyalitas.
c. Kode simbolik, yaitu kode yang berkaitan dengan psiko-
analisis, antitesis, kemenduaan, pertentangan dua unsur,
skizofrenia.
d. Kode narasi atau proairetik yaitu kode yang mengandung
cerita, urutan, narasi atau antinarasio.
e. Kode kebudayaan atau kultural, yaitu suara-suara yang
bersifat kolektif, anonim, bawah sadar, mitos, kebijaksana-

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
123

an, pengetahuan, sejarah, moral, psikologi, sastra, seni,


legenda.
Di sisi yang lain, Roland Barthes juga mengemukakan
tentang hubungan signifier dan signified ke dalam hubungan
simbolik, paradigmatik, dan sintagmatik. Hubungan simbolik
adalah hubung-an antara tanda dengan dirinya sendiri; tanpa
kehadiran tanda-tanda yang lain. Hubungan paradigmatik
adalah hubungan antara tanda dengan tanda-tanda yang lain
yang satu kelas (genus). Sedangkan hubungan sintagmatik
adalah hubungan tanda dengan tanda-tanda yang lain, yang
mendahului atau yang hadir setelah tanda itu, secara
fungsional.
Teori semiotika menyarankan digunakannya dua
metode, yaitu heuristik dan hermeneutik. Metode heuristis
dipakai untuk me-mahami teks karya sastra sebagai sistem
struktur tanda tingkat pertama (denotatif). Sebagai sistem
struktur tanda, teks sastra merupakan sistem primer. Sistem
primer ini mengacu pada pemaknaan linguistik-denotatif
sebagai sistem struktur tanda ter-sebut. Dengan demikian,
metode heuristik dipakai untuk memaknai pengertian
kebahasaan dalam teks sastra. Bahasa yang dipakai dalam teks
sastra diberikan maknanya secara denotatif (makna
sebenarnya). Bersama-sama dengan metode hermeneutik,
metode ini pada umumnya dipakai dalam analisis semiotik
untuk me-maknai sistem struktur tanda semiotis tingkat
pertama. Sedangkan pada sistem struktur tanda tingkat kedua
dipakai metode her-meneutik.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
124

Sedangkan Metode hermenutik dianggap sebagai


metode ilmiah paling tua yang sudah ada sejak zama Plato
dan Aristoteles. Mula-mula metode ini berfungsi untuk
menafsirkan kitab suci. Hermeneutik modern baru
berkembang sejak abad ke-19 melalui gagasan Schleiermacher,
Dilthey, Heidegger, Gadamer, Habermas, Ricoeur, dan
sebagainya. Dalam sastra dan filsafat, hermeneutik disejajar-
kan dengan interpretasi, pemahaman, verstehen, dan re-
troaktif. Dalam ilmuilmu sosial juga disebut metode kualitatif,
analisis isi, alamiah, naturalistik, studi kasus, etnografi, etno-
metodologi, dan fenomenologi. Metode ini ini tidak mencari
makna yang benar melainkan makna yang paling optimal.
Untuk meng-hindarkan keterbatasan proses interpretasi,
peneliti harus memiliki titik pijak yang jelas. Penafsiran terjadi
karena setiap subjek me-mandang objek melalui horison dan
paradigma yang berbeda-beda. Keragaman tersebut pada
gilirannya menimbulkan kekayaan makna dalam kehidupan
manusia, menambah kualitas estetika, etika, dan logika.
Tokoh-tokoh lain di bidang Semiotik ini dapat
disebutkan di antaranya: Umberto Eco, Julia Kristeva, Svetan
Todorov, Charles Williams Morris, Algirdas Greimas, Yuri
Lotman, dan Louis Hjlemslev.
Langkah kerja penelitian semiotik terdiri atas dua
model pembacaan atau disebut juga dengan dua tingkat
analisi semiotis, sebagaimana berikut.
1. Analisis Semiotik Tingkat Pertama (pemaknaan linguistik;
denotatif). Pada langkah ini digunakan pembacaan dan
pemaknaan secara heuristis (baca: metode heuristik pada

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
125

sub-bab Metode Penelitian). Yang dianalisis dalam tingkat


semiotik pertama ini adalah struktur bahasa; pemaknaan
secara semantik tentang arti kata-kata, istilah, sinonim-
sinonim, unsur-unsur teks, dan tanda-tanda bahasa yang
lain.
2. Analisis Semiotik Tingkat Kedua (pemaknaan semiotik;
konotatif). Pada langkah ini digunakan pembacaan dan
pemaknaan secara hermeneutik (baca: metode hermeneutik
pada sub-bab Metode Penelitian). Pada tingkat ini
dilakukan penafsiran-penafsiran berdasarkan hasil dari
analisis semiotik tingkat pertama. Disinilah konvensi sastra
digunakan sebagai dasarnya.

D. Strukturalisme Genetik
Meskipun Strukturalisme Genetik merupakan
pendekatan dalam paradigma Sosiologi Sastra, tetapi dalam
kerangka sejarah Strukturalisme, teori ini dapat dikemukakan
untuk mengetahui sejauh mana perkembangan strukturalisme
kemudian. Strukturalisme genetik (lihat Faruk,1994:1-21) me-
rupakan gabungan antara strukturalisme dengan Marxisme.
Sebagai strukturalisme, strukturalisme genetik memahami
segala sesuatu di dalam dunia ini, termasuk karya sastra,
sebagai struktur. Karena itu, usaha strukturalisme genetik
untuk memahami karya sastra secara niscaya terarah pada
usaha untuk menemukan struktur karya itu.
Pemikiran Strukturalisme Genetik memandang karya
sastra mengungkapkan hubungannya dengan masyarakat
melalui pandangan dunia pengarang. Menurut Lucien

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
126

Goldman, tokoh Strukturalisme Genetik, hubungan antara


keduanya tidak dipahami sebagai hubungan determinasi yang
langsung, melainkan dimediasi oleh apa yang disebutnya
sebagai pandangan dunia atau ideologi (Faruk,1999:15-16).
Lebih lanjut dikatakan Faruk, sastra dan masyarakat memiliki
hubungan yang mesti dimediasi melalui pemikiran, gagasan,
dan ideologi pengarang sebagai bagian dari kolektif
masyarakatnya. Teori Strukturalisme Genetik memandang
hubungan antara sastra dan masyarakat melalui pandangan
dunia atau ideologi yang diekspresikan pengarang (1999:43).
Strukturalisme Genetik (lihat Damono, 1984: 37) me-
miliki beberapa ciri. Ciri paling utama adalah perhatiannya
terhadap keutuhan, totalitas. Totalitas dan bagian-bagiannya
bias dijelaskan dengan sebaik-baiknya hanya apabila
dipandang dari segi hubungan-hubungan yang ada antara
bagian-bagian itu. Ciri kedua, strukturalisme tidak menelaah
struktur pada permukaannya, tetapi struktur yang ada di
bawah atau dibalik kenyataan empiris. Ciri ketiga, analisis
yang dilakukan menyangkut struktur sinkronis, dan bukan
diakronis. Struktur sinkronis tidak dibentuk atau ditentukan
oleh proses historis; ia ditentukan oleh jaringan hubungan
structural yang ada. Dan cirri keempat adalah metode
pendekatan yang anti kausal. Mereka tidak percaya adanya
hokum sebab-akibat; mereka hanya meyakini hukum
perubahan bentuk.
Strukturalisme Genetik muncul sebagai akibat terabai-
kannya aspek sosial dan sejarah dalam kajian karya sastra
secara struktur-al. Meskipun peletak dasar teori ini adalah

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
127

Taine, namun dalam perkembangannya kemudian, sebagai


telaah sosiologis, dikembang-kan oleh Lucien Goldman di
Perancis. Menurut Goldman, studi strukturalisme genetic
memiliki dua kerangka dasar. Pertama, hubungan antara
makna suatu unsure dengan unsure lainnya dalam suatu
karya sastra yang sama. Kedua, hubungan keduanya
membentuk jaringan yang saling mengikat. Karena itu,
seorang pengarang tidak mungkin mempunyai pandangan
sendiri. Pada dasarnya, pengarang akan menyarankan suatu
pandangan dunia suatu kolektif (dalam Endraswara,2008:56).
Karya sastra dipandang sebagai fakta kemanusiaan, produk
subjek kolektif, dan sebagai ekspresi pandangan dunia
pengarang sebagai subjek kolektif itu. Fakta kemanusiaan,
subjek kolektif, dan pandangan dunia inilah yang memediasi
hubungan antara sastra dan masyarakatnya.
Menurut strukturalisme genetik, karya sastra merupa-
kan struktur yang terbangun atas dasar bagian-bagian yang
saling ber-talian dan membentuk struktur keseluruhan karya
sastra itu. Struktur karya sastra itu hanya dapat dipahami
dengan baik dengan cara dialektik, yaitu dengan bergerak
secara bolak-balik dari bagian ke keseluruhan dan dari
keseluruhan kembali ke bagian. Gerakan bolak-balik itu
dianggap selesai jika koherensi antara ke-seluruhan dengan
bagian-bagiannya telah terbangun, yaitu ketika bagian-bagian
telah membentuk suatu keseluruhan dan keseluruh-an telah
dapat digunakan untuk memberikan arti pada bagian-bagian.
Dengan demikian, secara metodologis, Strukturalisme Gene-

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
128

tik di dalam menelaah karya sastra menggunakan metode


dialektik (Hudayat, 2007: 171).
Meskipun pandangan Goldman menyarankan telaah-
nya ter-hadap novel sebagai karya agung yang mengungkap-
kan tema hero, namun demikian, bukan berarti Strukturalisme
Genetik harus ter-batas pada genre sastra tersebut. Puisi
sebagai salah satu genre sastra juga memiliki kualitas
penceritaan yang tak kalah sub-stansial dengan genre sastra
lainnya. Meskipun sebagai wacana, puisi memiliki
keterbatasan, tetapi jenis-jenis puisi balada atau puisi naratif
nampaknya juga dapat ditelaah secara Strukturalisme
Genetik. Puisi yang berjudul Istri karya Darmanto Jatman
merupa-kan salah satu contoh jenis puisi yang dapat ditelaah
dengan pendekatan tersebut.
Teori Strkturalisme Genetik menyarankan dalam
konsepnya suatu merode yang putar balik antara struktur
karya dan struktur sosial. Metode itu disebut dengan metode
dialektika. Penggunaan metode dialektika dalam pendekatan
Strukturalisme Genetik me-rupakan cara analisis yang dipakai
para penganut faham Marxis, sebagaimana yang dipakai
Gramsci. Dapat dikatakan, metode dia-lektika sebagai
pengejawantahan dari pendekatan strukturalisme genetik
untuk mengungkapkan pandangan dunia yang tercermin
dalam karya sastra.
Metode dialektika (Hudayat,2007; Faruk, 1999)
memper-hitungkan koherensi struktural yang bermula dan
berakhir pada teks sastra. Prinsip dasar metode dialektika
adalah mengkonkritkan fakta-fakta kemanusiaan yang abstrak

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
129

dengan jalan mengintegrasi-kannya ke dalam keseluruhan.


Metode ini mengembangkan dua pasangan konsep, yaitu
―keseluruhan-bagian‖ dan ―pemahaman-penjelasan‖. Konsep
pertama beranjak dari pemahaman bahwa se-tiap fakta atau
gagasan individual mempunyai arti hanya jika di-tempatkan
dalam keseluruhan. Sebaliknya, keseluruhan hanya dapat
dipahami dengan pengetahuan yang bertambah mengenai
fakta-fakta parsial atau yang tidak menyeluruh yang
membangun keseluruhan.
Konsep kedua, pemahaman-penjelasan, mengarah
kepada bagaimana identitas bagian dipahami dan bagaimana
makna diper-oleh melalui usaha menghubungkan makna
yang diperoleh dengan konteks keseluruhan yang lebih luas.
Pemahaman adalah usaha pendeskripsian struktur objek yang
dipelajari sedangkan penjelasan adalah usaha menggabung-
kannya ke dalam struktur yang lebih besar. Dengan kata lain,
pemahaman adalah usaha untuk mengerti identitas 13 bagian,
sedangkan penjelasan adalah usaha untuk me-ngerti makna
bagian itu dengan menempatkannya dalam ke-seluruhan yang
lebih besar (Faruk, 1999: 21).
Sejalan dengan orientasi teoritisnya, metode dialektik
meng-arahkan cara kerja penelaahan karya, yang
menyangkut: ―keseluruhan-bagian‖ dan ―pemahaman-
penjelasan‖.
1. Keseluruhan-bagian, secara struktur dijajaki hubungan ke-
seluruhan-bagian dengan mempertimbangkan unsur-unsur
in-trinsik karya kemudian dihubungkan dengan struktur di
luar karya sastra yang bertindak sebagai bagian yang turut

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
130

mem-bentuk koherensi struktur tersebut secara me-


nyeluruh; hubung-an yang dimaksud mengarah kepada
bagaimana pemahaman realita anggota-anggota kolektif
yang diceritakan dalam puisi tersebut tentang konsep istri
menurut pandangan kolektif budaya Jawa menjadi bagian
dari keseluruhan struktur yang lebih luas menyangkut
subjek kolektif.
2. Pemahaman-penjelasan, mengarah kepada penelaahan
makna atas hubungan-hubungan struktur sebagaimana
yang dipahami pada langkah pertama, kemudian
mempertalikan makna tersebut dengan sejumlah gagasan
atau pandangan dunia subjek kolektif yang terhimpun ke
dala satu gagasan yang utuh.Dalam analisis ini,
pemahaman terhadap unsur-unsur dalam puisi Istri karya
Darmanto Jatman ini didasarkan atas teori Roman Ingarden
tentang strata norma (dalam Pradopo,1999) yang terdiri
atas: lapis bunyi, lapis arti, lapis ―dunia‖, dan lapis
metafisis. Tetapi implementasi teori tersebut akan
diadaptasi ke arah kemenonjolan unsur-unsur yang ada
dalam objek analisis. Berikut ini dikemukakan contoh
aplikasi teori Strukturalisme Genetik untuk menganalisi
puisi berjudul Istri karya Darmanto Jatman.
Beberapa prinsip dalam teori Strukturalisme Genetik
menurut Hudayat (2007: 65-72) adalah sebagai berikut.

a. Karya Sastra Sebagai Fakta Kemanusiaan


Menurut strukturalisme genetik, karya sastra merupa-
kan fakta kemanusiaan bukan fakta alamiah. Bila fakta

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
131

alamiah cukup dipahami hanya sampai pada batas


strukturnya, fakta kemanusia-an harus sampai pada batas
artinya. Sebuah karya sastra tidak diciptakan begitu saja,
melainkan untuk memenuhi kebutuhan tertentu dari manusia
yang menciptakannya. Kebutuhan yang mendorong dicipta-
kannya karya sastra itu, seperti halnya segala ciptaan manusia
yang lain, adalah untuk membangun keseimbang-an dengan
lingkungan sekitarnya, baik lingkungan alamiahnya maupun
lingkungan manusiawinya.
Secara psikologis, ada dua proses dasar yang terarah
pada pembangunan keseimbangan tersebut, yaitu proses
asimilisi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyesuaian
lingkungan eksternal ke dalam skema pikiran manusia,
sedangkan akomodasi adalah pe-nyesuaian skema pikiran
manusia dengan lingkungan sekitarnya. Menurut struktur-
alisme genetik, manusia akan selalu cenderung menyesuaikan
lingkungan sekitar dengan skema pikirannya. Akan tetapi,
apabila lingkungan itu menolak atau tidak dapat disesuaikan
dengan skema pikiran itu, manusia menempuh jalan yang se-
baliknya, yaitu menyesuaikan skema pikirannya dengan
lingkungan sekitarnya tersebut. Kedua proses tersebut
menegaskan bahwa manusia memang selalu berusaha
membangun keseimbang-an dengan lingkungan sekitarnya.

b. Karya Sastra sebagai Produk Subjek Kolektif


Semua manusia berusaha membangun kseimbangan
dengan lingkungan sekitarnya dengan melakukan berbagai
tindakan. Namun, strukturalisme genetik membedakan

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
132

tindakan individual dengan tindakan kolektif. Tindakan


individual dimaksudkan hanya untuk pemenuhan kebutuhan
individual yang cenderung libidinal, sedangkan tindakan
kolektif diarahkan pada pemenuhan kebutuh-an kolektif yang
bersifat sosial. Subjek tindakan libidinal adalah individu,
sedangkan tindakan kolektif adalah kelompok sosial. Lebih
jauh, strukturalisme genetik cenderung membedakan tindak-
an kolektif yang besar dengan tindakan kolektif yang
mungkin tidak setara dengan tindakan pertama itu. Tindakan
kolektif yang besar tidak hanya terarah untuk memenuhi
kebutuhan kolektif tertentu, melainkan dapat menyebabkan
terjadinya perubahan dalam sejarah sosial secara keseluruhan.
Bahkan, tindakan kolektif yang besar itu dapat pula
berpengaruh luas, melampaui batas sosial yang darinya
tindakan tersebut berasal. Menurut strukturalisme genetik,
subjek dan tindakan kolektif yang besar tersebut adalah kelas
sosial dalam pengertian marxis yang sudah dikemukakan,
bukan kelompok sosial lain dalam pengertian yang lain.
Atas dasar perbedaan tipe-tipe tindakan di atas,
struktur-alisme genetik membedakan karya-karya kultural
yang besar dari yang minor. Karya-karya kultural yang besar,
yang di dalamnya termasuk karya-karya filsafat dan karya-
karya sastra yang besar, merupakan hasil tindakan tidak
hanya subjek kolektif, melainkan kelas sosial. Karena itu,
karya-karya itu ikut pula berperan dalam perubahan sejarah
sosial bahkan dapat melampaui batas sejarah sosialnya
sendiri. Karya yang demikian oleh strukturalisme genetik

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
133

disifatkan sebagai sebuah karya yang sekaligus bersifat


filosofis dan sosiologis.

c. Karya Sastra sebagai Ekspresi Pandangan Dunia


Sebagai produk dari tindakan kolektif yang berupa
kelas sosial di atas, karya sastra mengekspresikan kebutuhan-
kebutuhan kelas sosial yang bersangkutan, kebutuhan-
kebutuhan yang terbangun dari hubungan antara klas sosial
dengan lingkungan sekitarnya, kebutuhan-kebutuhan yang
sekaligus menyangkut usaha-usaha kelas sosial itu untuk
membangun hubungan yang seimbang antara dirinya dengan
lingkungan yang terkait.
Sebagai sekelompok manusia yang mempunyai latar
belakang yang sama, anggota-anggota dari suatu kelas sosial
mempunyai pengalaman dan cara pemahaman yang sama
mengenai lingkungan sekitarnya dan sekaligus caracara
pembangunan keseimbangan dalam hubungan dengan
lingkungan itu. Cara pemahaman dan pengalaman yang sama
itu pada gilirannya menjadi pengikat yang mempersatukan
para anggota itu menjadi suatu kelas yang sama dan sekaligus
membedakan mereka dari kelas sosial yang lain. Cara
pemahaman dan pengalaman yang demikian, oleh struktural
genetik disebut sebagai pandangan dunia.
Pandangan dunia merupakan kecenderungan mental
kolektif yang implisit yang tidak semua individu anggota
kelas sosial pemiliknya dapat menyadarinya. Hal itu terutama
disebabkan oleh kenyataan bahwa dalam masyarakat yang
kompleks setiap individu terjaring ke dalam berbagai bentuk

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
134

pengelompokan sosial, seperti kelompok profesi, kelompok


etnis, ras, pendidikan, dan sebagainya. Berbagai pe-
ngelompokan itu dapat mengaburkan pemahaman individu
mengenai kelompok sosial dirinya yang sebenarnya. Hanya
individu yang istimewa yang mampu menerobos batas-batas
aneka pengelompokan sosial tersebut dan masuk ke dalam
kesadaran kelas sosialnya sendiri. Para pemikir dan sastrawan
yang besar termasuk individu yang demikian. Karena itu,
karya-karya mereka menjadi karya-karya besar, karyakarya
yang berhasil menangkap dan mengekspresikan pandangan
dunia kelas sosialnya sehinga sekaligus dapat berfungsi
menjadi alat yang membangkitkan kesadaran kelas pada para
individu yang menjadi anggota kelas sosialnya itu.
Dalam pengertian strukturalisme genetik, pandangan
dunia merupakan skema ideologi yang menentukan struktur
atau men-strukturasikan bangunan dunia imajiner karya
sastra ataupun struktur konseptual karya filsafat yang
mengekspresikannya. Karena itu, pandangan dunia itu
menjadi konsep kunci yang tidak hanya diperlukan untuk
menjadi model struktur bagi pemahaman terhadap struktur
karya sastra atau karya filsafat yang diteliti, me-lainkan juga
menjadi mediator yang mempertalikan karya sastra sebagai
superstruktur dengan struktur sosial ekonomi yang menjadi
struktur dasarnya. Dalam pandangan strukturalisme genetik,
hubungan antara karya sastra dengan struktur dasarnya
tidaklah langsung, bersifat mimetik, melainkan secara tidak
langsung me-lalui pandangan dunia yang bersifat ideologis.
Karya sastra tidak mencerminkan apa yang disebut sebagai

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
135

perjuangan kelas, melainkan mengekspresikan suatu


pandangan dunia yang struktur-nya homolog dengan struktur
sosial ekonomi yangmenjadi dasar-nya.

d. Struktur Karya Sastra dan Struktur Sosial


Seperti sudah dikemukakan, strukturalisme genetik
merupa-kan gabungan antara strukturalisme dengan marx-
isme. Dengan demikian, seperti strukturalisme, strukturalisme
genetik mengakui eksistensi karya sastra sebagai suatu
struktur sehingga perlu di-pahami secara struktural. Namun,
ada banyak konsep mengenai struktur karya sastra seperti
berasal dari Propp, Greimas, Todorov, dan sebagainya.
Kebanyakan konsep mengenai struktur karya sastra itu
mengikuti konsep linguistik mengenai struktur formal
bahasa. Hanya beberapa di antaranya, terutama Barthes dan
Greimas yang mencoba membangun pula struktur
semantiknya dengan mendasarkan diri pada konsep-konsep
struktur semantik bahasa. Konsep strukturalisme genetik
mengenai struktur karya sastra cenderung bersifat semantik
pula, dekat dengan konsep struktur semantik Barthes ataupun
Greimas meskipun tidak persis sama. Yang tampak amat
dekat dengan konsep struktur karya sastra dari strukturalisme
genetik adalah strukturalisme Levi‘ Strauss. Dengan meng-
gunakan fonologi sebagai dasarnya, konsep strukturalisme
Levi‘Strauss ini berpusat pada konsep oposisi biner atau
oposisi berpasangan. Levi‘Strauss melihat bangunan dunia
sosial dan kultural manusia sebagai sesuatu yang
distrukturkan atas dasar prinsip binarisme, terbangun dari

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
136

seperangkat satuan yang saling beroposisi satu sama lain. Di


antara pasangan yang beroposisi itu dimungkinkan pula
adanya satuan antara yang berbeda di antara keduanya.
Telaah strukturalisme gnetik terhadap karya-karya
filsafat Pascal dan drama Racine memperlihatkan ke-
cenderungan demiki-an. Ada oposisi antara dunia ilmiah
dengan dunia sekuler. Manusia berada di antara keduanya
sehingga ia berada sekaligus dalam posisi menerima dan
menolak dunia. Struktur yang demikian, me-nurut struktur-
alisme genetik, mengekspresikan pandangan dunia tragis
yang berpikir secara dialektik, yang tidak memutlakkan bagi-
an atas nama keseluruhan atau sebaliknya. Konsep struktur
sosial strukturalisme genetik didasarkan pada teori marxis.
Atas dasar teori sosial ini jelas bahwa dunia sosial dipahami
sebagai struktur yang terbangun atas dasar dua kelas sosial
yang saling bertentang-an. Kesatuan dunia sosial terbangun
karena adanya dominasi dari satu kelas sosial terhadap kelas
sosial yang lain. Dominasi itu di-pelihara dan dipertahankan
serta bahkan diperkuat dengan menggunakan berbagai
kekuatan ideologis yang beroperasi dalam lembaga sosial
yang ada di dalam masyarakat termasuk karya sastra. Namun,
dominasi itu tidak sepenuhnya menutup peluang bagi
terjadinya perubahan sosial. Kelas-kelas yang dikuasai ber-
usaha terus-menerus pula untuk mengambil alih kekuasaan
dari kelas yang berkuasa untuk kemudian membangun suatu
struktur sosial yang baru yang sesuai dengan lingkungannya
yang baru pula.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
137

Metode Dialektik merupakan metode yang disarankan


oleh Strukturalisme Genetik. Menurut strukturalisme genetik,
karya sastra merupakan struktur yang terbangun atas dasar
bagian-bagian yang saling bertalian dan mebentuk struktur
keseluruhan karya sastra itu. Struktur karya sastra itu hanya
dapat dipahami dengan baik dengan cara dialektik, yaitu
dengan bergerak secara bolak-balik dari bagian ke
keseluruhan dan dari keseluruhan kembali ke bagian. Gerakan
bolak-balik itu dianggap selesai jika koherensi antara
keseluruhan dengan bagian-bagiannya telah ter-bangun, yaitu
ketika bagianbagian telah membentuk suatu keseluruhan dan
keseluruhan telah dapat digunakan untuk mem-berikan arti
pada bagian-bagian. Selesainya pekerjaan pemahaman yang
demikian bukan berarti telah selesai pula kerja pemahaman
strukturalisme genetik. Menurut paham tersebut, karya sastra
sendiri sebenarnya hanya merupakan bagian dari suatu ke-
seluruhan yang lebih besar, yang juga berstruktur, yaitu dunia
sosial tempat karya sastra itu berasal. Seperti pemahaman
terhadap struktur karya sastra, pemahaman terhadap struktur
dunia sosial itu pun dapat dilakukan secara dialektik, dari
karya sastra sebagai bagian dunia sosial, atau sebaliknya.
Gerakan bolak-balik itu pun baru dianggap selesai jika telah
dibangun koherensi antara struktur karya sastra dengan
struktur sosialnya. Struktur genetik menyebut usaha
menemukan struktur bagian di atas sebagai pemahaman,
sedangkan penempatan bagian itu ke dalam struktur yang
lebih besar yang menjadi sumber maknanya sebagai penjelas.
Dengan demikian, metode strukturalisme genetik dapat

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
138

disebut pula sebagai dialektika atas pemahaman dengan


penjelasan.

*****

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
139

BAB 4

POSTRUKTURALISME

Munculnya pemikiran postrukturalisme sebenarnya ber-


angkat dari reaksi studi bahasa dan sastra, juga disiplin ilmu
lain, terhadap stagnasi strukturalisme sepanjang abad ke-19.
Paradigma dalam kurun waktu itu cenderung mereduksi
subyek dan konteks sosiokultural dalam menelaah bahasa dan
sastra. Teks bahasa dan sastra dikaji dalam kaitannya dengan
struktur formal yang secara otonom dan stabil membangun
kualitas teks tersebut. Kecenderungan ini jelas melepaskan
hakikat bahasa dan sastra sebagai institusi sosial yang
memiliki peran dan fungsi bagi masyarakatnya. Relasi teks
dan konteks menjadi nisbi dan mewarnai setiap kajian bahasa
dan sastra pada saat itu.
Analisis sastra sebagai bagian dari studi wacana dan
kebudayaan, semakin memperoleh tempatnya ketika muncul
gerakan yang kemudian disebut postrukturalisme. Dalam
kecenderungan studi sosial, bahasa, dan media, semenjak
SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
140

munculnya gerakan pemikiran yang berlabel postrukturalisme


tersebut, berpijak dari asumsi bahwa bahasa dan sastra
merupakan wacana praktik sosial. Wacana sebagai tataran
tertinggi dari fenomena penggunaan bahasa oleh subyek,
dipandang melampaui batas-batas sistem linguistik. Hal itu
tidak terjadi pada era sebelumnya. Teeuw mengemukakan,
penelitian terhadap aspek-aspek kemasyarakat dipicu oleh
stagnasi analisis strukturalisme, analisis yang semata-mata
didasarkan atas hakikat otonomi karya. Sebaliknya, karya
sastra dapat dipahami secara lengkap hanya dengan
mengembalikannya pada latar belakang sosial yang meng-
hasilkannya, melalui analisis dalam kerangka penulis,
pembaca, dan kenyataan (Teew, 1984: 152).

A. Postrukturalisme Sebagai Paradigma/Pendekatan


Postrukturalisme memang telah membuka cakrawala
yang lebih luas dalam memandang wacana bahasa sebagai
fenomena pemakaian bahasa. Katub-katub yang selama ini
tertutup, dibuka kemungkinannya untuk mengurai aspek-
aspek wacana yang lebih kaya dan membumi. Berdasarkan
hakekat interdisiplin, analisis wacana sastra pada akhirnya
membuka diri untuk menerima masukan dan dukungan dari
pemikiran dan teori disiplin di luar kesastraan. Teori-teori
semiotika, strukturalisme genetik, feminisme, hegemoni,
resepsi, intertekstual, orientalisme, poskolonislisme, hingga
dekonstruksi, sesungguhnya muncul berangkat dari cara
pandang melampaui disiplin ilmu sastra murni yang
mengungkung. Studi dan analisis wacana sastra pada

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
141

akhirnya memperoleh bentuknya sebagai disiplin dengan


banyak mendapatkan masukan dari para tokoh pos-
strukturalisme.
Michel Foucault salah satu tokoh postrukturalis,
merupakan salah satu pemikir yang memiliki peranan penting
dalam menyumbangkan pemikirannya terhadap studi wacana
(Eriyanto, 2001: 65-76). Foucault memandang wacana atau
diskursus sebagai pembicaraan tentang aturan-aturan dan
praktik-praktik yang menghasilkan pernyataan-pernyataan
yang bermakna, pada satu rentang historis tertentu. Wacana
juga berarti sebuah mekanisme pengaturan yang bekerja
sangat rapi yang melibatkan disiplin, institusi, dan
profesionalisme. Wacana mengisolasi, mendefinisikan,
memproduksi obyek pengetahuan (Sutrisno dan Hendar
Putranto, 2005: 152).
Wacana bagi Foucault memiliki relasi dengan kekuasaan
yang datangnya dari orang yang memiliki kekuasaan itu dan
dari orang yang memiliki pemikiran kreatif. Mereka yang
memiliki kekuasaan dan pengetahuan membangkitkan relasi
kekuasaan dan pengetahuan antara kelompok orang yang
mengangkat diri mereka dan mengaturnya (Sutrisno dan
Hendar Putranto, 2005: 152). Dengan demikian Foucault
menempatkan wacana sebagai strategi --Foucault menyebut-
nya ―elemen taktis‖ politis dan ideologis, dalam pengertian-
nya yang luas, untuk mempertahankan dan membangun
kekuasaan. Pandangan itulah yang menempatkan Foucault
sebagai salah satu tokoh yang memiliki peranan penting
dalam perkembangan teori analisis wacana.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
142

Foucault telah memainkan peran utama dalam


perkembangan analisis ilmu-ilmu sosial dan kebudayaan
melalui karya teoritis dan penelitian praktis. Marianne
Jorgensen dan louise J. Phillips mencermati Foucault sebagai
sosok yang menganut premis konstruksionis sosial umum
yang menyatakan bahwa pengetahuan bukanlah sekedar
refleksi atas realitas, kebenaran merupakan konstruksi
kewacanaan dan rejim pengetahuan yang berbeda menentu-
kan apa yang benar dan yang salah. Lebih lanjut dikatakan
Horgensen dan louise J. Phillips, bahwa mayoritas pendekatan
analisis wacana (pen. Ilmu-ilmu sosial dan kebudayaan)
kontemporer mengikuti konsepsi Foucault tentang wacana,
yakni sebagai sederet pernyataan yang relatif terikat pada
kaidah sehingga menentukan batas-batas pada apa yang
memberi makna. Di sini wacana-wacana yang berbeda-beda
berada secara berdampingan atau saling berjuang untuk
mendapatkan hak untuk kebenaran. Batas-batas makna yang
dimaksud oleh Foucault tersebut adalah bangunan ide-ide
kebenaran yang diciptakan secara kewacanaan (Jorgensen dan
Louise J. Phillips, 2007: 25-28).
Pemikiran Foucault, dan banyak pemikir lain yang
berkecenderungan memandang wacana tidak sekedar sebagai
sistem linguistik, sesungguhnya berangkat dari penentang-
annya terhadap dominasi pemikiran sebelumnya. Dalam
kerangka pemikiran semacam itu, menurut Horgensen dan
louise J. Phillips bahwa bahasa tidak sekedar dipandang
sebagai saluran tempat pengomunikasian informasi tentang
keadaan mental utama atau perilaku atau fakta-fakta dunia

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
143

ini. Sebaliknya, bahasa merupakan ‖alat‖ yang menggerak-


kan, dan akibatnya menyusun, dunia sosial itu sendiri. Selain
itu, bahasa juga menata hubungan-hubungan dan identitas-
identitas sosial. Dalam pengertian ini, praktik kewacanaan
merupakan perjuangan-perjuangan dalam upaya untuk meng-
ubah maupun mereproduksi realitas sosial (Jorgensen dan
Louise J. Phillips, 2007: 8).
Ratna mengemukakan, karya sastra, dengan kekayaan
jenisnya, merupakan obyek studi wacana yang sangat kaya.
Sebagai sistem model kedua sesudah bahasa di satu pihak,
sebagai sistem komunikasi yang sangat komplek di pihak lain,
wacana dan teks dapat dianalisis dari berbagai segi. Novel,
melalui penyajian media yang cukup luas merupakan jenis
yang paling banyak menarik minat para pemerhati wacana.
Novel juga dianggap sebagai ‗tiruan‘ yang paling dekat
dengan dunia sosial (Ratna, 2006: 249).
Lebih lanjut Ratna menjelaskan bahwa analisis
postrukturalis memahami karya sastra sebagai kebenaran-
kebenaran problematik yang menunjuk pada sifat-sifat
manusia secara umum, tetapi dalam struktur kategorial.
Kemampuan postrukturalis yang terbesar adalah meng-
ungkap hegemoni pengarang sebagai pembawa kebenaran
tunggal yang selama berabad-abad, khususnya selama abad
ke-19, menguasai analisis sastra (Ratna, 2006: 250-252). Di
ujung pemikiran inilah ideologi dan praktik sosial sebagai
faktor pembangun karya sastra mendapatkan tempatnya
dalam ranah studi sastra. Sosiologi sastra, Antropologi Sastra,
Cultural Studies, kemudian berlanjut pada Analisis Wacana

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
144

Kritis merambah ke dalam ilmu sastra. Dengan berbagai


konsep dan cirinya, beberapa studi interdisipliner tersebut
tidak menjadikan ilmu sastra semakin carut marut, sebaliknya,
malah menjadi ramai dan lengkap.
Di samping Mitchel Foucault, tokoh lain yang juga
memiliki peranan penting dalam meletakkan dasar bagi
postrukturalisme adalah, Ly0otard, Jacques Derrida, Jean
Baudrillard, dan sebagainya. Pemikiran-pemikiran mereka
tidak diuraikan secara spesifik dalam buku ini. Dalam
pembahasan tentang teori-teori dalam wilayah postruktur-
alisme berikut ini, tokoh-tokoh tersebut, dan tokoh-tokoh
yang lainnya, akan muncul dalam konteks pembahasan teori-
teori tersebut.

B. Teori Interaksionisme Simbolik


Menurut Ritzer istilah interaksi simbolik pertama kali
dikemukakan oleh Blumer tahun 1937, sebagai reaksi terhadap
behaviorisme dan fingsionalisme struktural yang sama-sama
memusatkan perhatian pada faktor-faktor yang melahirkan
perilaku manusia, seperti norma dan rangsangan-rangsangan
eksternal. Interaksi simbolik dengan sendirinya menolak cara-
cara berpikir mekanistis, termasuk teori Freudian yang
menganggap bahwa aktor digerakkan oleh kekuatan dari
dalam seperti Id dan Ego. Oleh karena itulah, unit analisis
interaksi simbolik adalah tindakan-tindakan, bukan person
atau psike. Dalam tindakan itulah tersembunyi semua
kategori psikologis, seperti: persepsi, imajinasi, emosi, ke-
inginan, dan berbagai unsur kejiwaan lainnya. Oleh karena itu

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
145

pulalah, menurut Mead, dengan mengintroduksi visi


psikologi sosial, masyarakat seolah-olah lahir lebih dahulu
dibandingkan dengan individu, bagian diterangkan dari
sudut pandang keseluruhan, bukan sebaliknya (Ratna, 2006:
196).
Mengutip Ritzer, Ratna mengungkapkan ciri-ciri
interaksi simbolik ke dalam lima ciri dominan.
1. Berbeda dengan binatang, manusia memiliki kemam¬puan
untuk berpikir.
2. Kemampuan berpikir itu terbentuk melalui proses interaksi
sosial.
3. Dalam interaksi sosiallah manusia mempelajari arti dan
makna simbol-simbol, yang pada gilirannya akan me-
ningkatkan kemampuan berpikirnya.
4. Atas dasar penafsiran dan kondisi yang dihadapi ma¬nusia
mengubah arti dan makna simbol-simbol.
5. Pola-pola tindakan dan interaksi yang sating berhubungan
inilah yang membentuk kelompok dan masyarakat (Ratna,
2006: 185-189).
Lebih lanjut dikatakan Ratna, kemampuan manusia
untuk berpikir inilah yang melepaskan teori interaksi simbolik
dari akar behaviorismenya. individu dalam masyarakat tidak
dilihat sebagai unit yang digerakkan oleh kekuatan., baik
secara eksternal maupun internal, melainkan sebagai
representasi unit-unit yang sa¬ling berinteraksi. Menurut visi
interaksi simbolik bahasa merupakan sistem simbol yang
paling luas, kaya, dan canggih. Dalam berinteraksi manusia
tidak memberikan res¬pons secara pasif, melainkan secara

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
146

aktif dengan cara mencipta ulang dunia tempat mereka


berperanan. Dalam kaitannya dengan efek sitnbol ini
(mengutip pendapat Mead) dibedakari perilaku lahiriah dan
perilaku tersembunyi. Perilaku pertama merupakan perilaku
sesungguhnya yang dilakukan oleh sang aktor, sedangkan
perilaku yang kedua merupakan proses berpikir dengan
melibatkan simbol beserta artinya. Sasaran interaksi simbolik
adalah perilaku tersembunyi sedangkan perilaku lahiriah
pada dasarnya merupakan minat teori pertukaran atau
behaviorisme tradisional pada umumnya.
Ranah lain yang harus disasar oleh interaksi simbolik,
adalah arti aspek-aspek kultural sebagai pengalaman hidup,
seperti: karya seni secara keseluruhan, termasuk seni populer,
surat kabar, televisi, dan media massa yang lain. Mengutip
Denzin, Ratna mengemukakan, sebagai proyek multidisiplin,
dalam kerangka studi kultural, teori interaksi simbolik harus
dikaitkan dengan masalah pokoknya, yaitu bagaimana
individu yang saling berinteraksi dapat mengaitkan berbagai
pengalaman hidupnya dengan representasi kulturalnya. Teori
interaksi siinbolik tepat digunakan untuk menganalisis karya
sastra dakam kaitannya dengan kebudayaan. Konsep-konsep
interaksi disediakan oleh ilmu sosial, sedangkan konsep-
konsep tentang simbol disediakan oleh ilmu sastra. Masalah-
masalah yang dapat diangkat, misalnya, peranan-peranan
sosial, dengan memanfaatkan unsur narator dan fokalisasi.
Dalam studi kultural, sepert telah disinggung di atas, pe-ranan
teori interaksi simbolik adalah meneliti tentang hu¬bungan

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
147

antarindividu beserta pengalamannva sebagai ma¬nusia


budaya (Ratna, 2006: 201-202).
Berdasarkan uraian tentang teori Interaksi Simbolik di
atas, maka analisis terhadap karya sastra dalam konteks ini
hendak menganalisis hubungan antara pengarang, sastra dan
masyarakat sebagai perwujudan dari interaksi sosial budaya.
Dengan demikian, analisisnya akan mengarah pada
bagaimana pengalaman-pengalaman pengarang sebagai
manusia budaya direpresentasikan dalam karya sastra yang
diciptakannya itu. Hal itu sekaligus mengarahkan pada fokus
analisis kearah bagaimana penciptaan karya sastra jika
dikaitkan dengan problema masyarakat dan kebudayaannya,
termasuk di dalamnya gerak jagad kepengarangan dalam
kesusasteraan Indonesia modern. Ujung dari rumusan hasil
analisis diharapkan ke arah, bagaimana pengalaman budaya
pengarang direfleksikan ke dalam karya sastra tersebut.

C. Teori Feminisme
Dalam kaitannya dengan teori feminis, perlu dibedakan
dua istilah lain yang selalu muncul, yaitu emansipasi dan
gender. Emansipasi, dari kata emancipatio (Latin), berarti
persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan. Tetapi
dalam kenyataannya selalu dikaitkan dengan kaum
perempuan untuk menuntut persamaan hak dengan laki¬-
laki. Dalam kehidupan sehari-hari istilah yang paling di-kenal
adalah emansipasi. Sedangkan istilah ‗gender‘ didefinisikan
sebagai lawan seks. Gender bersifat psikologis kultural,
sebagai perbedaan antara maskulin-feminin, sedangkan seks
bersifat fisiologis, secara kodrati, sebagai perbedaan antara
SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
148

male-female. Masalah yang perlu diperhatikan, apabila dalam


bahasa-bahasa Eropah dikenal dua macam istilah, yaitu seks
dan gender, dalam bahasa Asia Selatan hanya dikenal istilah
jenis kelamin, sehingga terjadilah kekacauan antara gender
dan seks itu sendiri. Dengan kalimat lain, jenis kelamin
mewakili baik seks maupun gender (Ratna, 2006: 224-225).
Dalarn ilmu sosial, studi kultural khususnya, yang
menjadi masalah aktual adalah studi gender ini. Kuiturlah
sebagai praktik-praktik sosial yang menjadi penyebab utama
terjadinya perbedaan. Pada gilirannya, seseorang tidak
dilahirkan 'sebagai perempuan melainkan 'menjadi'
perempuan. Menguti pendapat David Gracidol (2003), Rantna
mengemukakan, seseorang tidak dilahirkan dengan gender,
tetapi harus mempelajari periiaku yang sesuai dengan jenis
kelaminnya. Seseorang yang lahir sebagai perempuan (seks)
tidak perlu dipermasalahkan sebab tidak seorang pun dapat
mengubah kondisi tersebut. Sebaliknya, eksistensi seseorang
menjadi perempuan tentu dapat dipermasalahkan, diterima
dengan senang hati, atau sebaliknya sama sekali ditolak
(Ratna, 2006: 225).
"Feminisme" berasal dari bahasa Perancis. Di Amerika
Serikat, feminisme dikenal sebagai "gerakan perempuan" abad
ke-19. Dalam arti, berbagai jenis kelompok yang semua
tujuannya sejalan ataupun tidak, mengarah pada "kemajuan"
posisi perempuan. Ketika istilah "feminisme" diperkenalkan
ke Amerika Serikat awal abad ke-20, hal itu hanya merujuk
pada kelompok khusus kegiatan yaitu advokasi hak asasi
perempuan. Kelompok yang menegaskan keunikan

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
149

perempuan, pengalaman misterius dari keibuan dan kemurni-


an khas perempuan. Atau disebut sebagai "romantisme
seksual". Lawannya ialah kecenderungan dominan
"rasionalisme seksual". Berseberangan dengan feminis
romantis, maka feminis rasionalis seksual berpendapat bahwa
subordinasi perempuan tak rasional bukan karena perempuan
lebih lemah daripada laki-laki, melainkan menyangkut
persamaan dasar antara perempuan dan laki-laki. Dalam
konteks kini, makna "feminnisme" abad ke-19 telah
menghilang. Sekarang, feminisme umumnya mengacu pada
semua usaha yang mencoba, tidak peduli latar belakangnya,
untuk mengakhiri subordinasi (Ratna, 2006: 226).
Teori feminis bermula dari adanya anggapan tentang
ketimpangan posisi perempuan dibandingkan laki-laki di
masyarakat. Salah satu konsep landasan gerakan feminis
adalah konsep gender. Menurut Fakih konsep gender adalah
suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun
perempuan yang dikontruksi secara sosial maupun kultural.
Atau dengan kata lain perbedaan perilaku antara laki-laki dan
perempuan yang dikontruksi secara sosial, yaitu perbedaan
yang bukan kodrat atau bukan ketentuan Tuhan melainkan
diciptakan oleh manusia (laki-laki dan perempuan) melalui
proses kultural yang panjang (Fakih, 2005: 8).
Gerakan feminisme merupakan perjuangan dalam
rangka mentransformasikan sistem dan struktur yang tidak
adil, menuju ke sistem yang adil bagi perempuan maupun
laki-laki. Hakekat feminisme adalah gerakan tranformasi

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
150

sosial dalan arti tidak melulu memperjuangkan soal


perempuan belaka.
Menurut sejarah berkembangnya, feminisme terbagi
menjadi tiga gelombang. Gerakan feminisme pertama
berkembang sejak tahun 1800 sampai sekitar tahun 1930-an.
Gelombang pertama ini secara umum memiliki tujuan untuk
meningkatkan kesamaan derajat dan hak wanita dengan pria.
Dalam hal ini menyangkut hak pilih. Gelombang kedua
dimulai pada akhir tahun 1960an. Gelombang dua merujuk
kepada ide-ide dan gerakan-gerakan liberal kaum wanita.
Gelombang ke tiga dimulai di awal tahun 1990an. Gelombang
ketiga ini merupakan kelanjutan dari gelombang kedua, dan
merupakan reaksi dari kegagalan di gelombang kedua (Fakih,
2005: 100).
Feminisme Gelombang Pertama. Bentuk awal daripada
feminisme menyangkut persamaan hak antara wanita dan
pria: dalam artian persamaan sebagai penduduk dalam
kehidupan publik dan, lebih jauhnya berhubungan dengan
persamaan status legal dalam rumah tangga. Ide ini timbul
sebagai respon daripada revolusi Amerika (1775- 1783) dan
revolusi Perancis (1789-1799), keduanya mendukung nilai-
nilai daripada kebebasan dan kesamaan hak. Feminisme
Gelombang kedua. Setelah berakhirnya perang dunia kedua,
ditandai dengan lahirnya negara-negara baru yang terbebas
dari penjajah Eropa, lahirlah Feminisme Gelombang Kedua
pada tahun 1960. Dengan puncak diikutsertakannya
perempuan dalam hak suara parlemen. Pada tahun ini
merupakan awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih dan

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
151

selanjutnya ikut mendiami ranah politik kenegaraan.


Pendorong dari munculnya Feminisme Gelombang Kedua
datang dari pergerakan hak-hak masyarakat, dan gerakan
protes anti perang yang berlangsung pada tahun 1960 di
Amerika Utara dan melalui protes-protes sosial yang terjadi di
Eropa dan Australasia.
Feminisme Gelombang ketiga. Feminisme gelombang
ketiga dimulai di awal tahun 1990an, melalui munculnya
respons dari kegagalan yang ada pada gelombang kedua, dan
juga merupakan respons dari pukulan terhadap inisiative dan
pergerakan yang tercipta di gelombang kedua. Gelombang
ketiga melihat kesempatan untuk menantang atau meng-
hindari apa yang dipertimbangkan sebagai definisi esensia
dari feminity dari gelombang kedua, yang menurut mereka
terlalu menekankan kepada pengalaman dari wanita kulit
putih kelas menengah keatas. Sebuah interpretasi post-
structuralis daripada jender dan seksualitas merupakan pusat
dari ideologi-ideologi yang ada di gelombang ketiga. Feminis
di gelombang ketiga ini lebih fokus kepada ―mikro politik‖
dan menantang paradigma di gelombang kedua tentang apa
yang baik dan tidak untuk kaum wanita. Tokoh- tokoh
pimpinan feminisme gelombang ketiga ini yaitu: Gloria
Anzaldua, bell hooks, Chela Sandoval, Cherrie Moraga, Audre
Lorde, Maxine Hong Kingston, dan beberapa feminis kulit
hitam.
Feminisme bukanlah suatu grakan homogen yang bisa
secara mudah di identifikasi ciri-cirinya. Ada bermacam-
macam aliran utama feminisme. Pertama, Feminis Liberal. Apa

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
152

yang disebut sebagai Feminis Liberal ialah pandangan untuk


menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara
penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa
kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan
pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia -
demikian menurut mereka- punya kapasitas untuk berpikir
dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan.
Akar ketertindasan dan keterbelakngan pada perempuan ialah
karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri.
Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa
bersaing di dunia dalam kerangka "persaingan bebas" dan
punya kedudukan setara dengan lelaki (Fakih, 2005: 79).
Teori feminis liberal meyakini bahwa masyarakat telah
melanggar nilai tentang hak-hak kesataraan terhadap wanita,
terutama dengan cara mendefinisikan wanita sebagai sebuah
kelompok ketimbang sebagai individu-individu, azab ini
mengusulkan agar wanita mempunyai hak yang sama dengan
laki-laki. Gerakan utama feminism liberal tidak mengusulkan
perubahan struktur secara fundamental, melainkan memasuk-
an wanita kedalam struktur yang ada berdasarkan prinsip
kesetaraan dengan laki-laki. Aliran ini muncul sebagai kritik
terhadap teori politik liberal yang pada umumnya men-
junjung tinggi nilai otonomi, persamaan nilai moral serta
kebebasan individu, namun pada saat yang sama di anggap
mendiskriminasi kaum perempuan.
Fakih (2005: 81-90) menjelaskan inti ajaran dari
feminisme liberal antara lain:

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
153

1. mengfokuskan perlakuan wanita terhadap wanita di luar


dari pada di dalam, keluarga.
2. memperluas dalam pendidikan di anggap sebagai cara
paling efektif melakukan perubahan sosia.
3. pekerjaan-pekerjaan wanita semisal perawatan terhadap
anak dan pekerjaan rumah tangga dianggap tidak terampil
yang hanya mengandalkan tubuh, bukan pikiran rasional.
4. perjuangan harus menyentu kesataraan politik antara
wanita dan laki-laki melalui penguatan perwakilan wanita
diruang publik.
5. feminism liberal cenderung lebih sejalan dengan model
liberalism kesejahteraan atau egalitarian yang mendukung
system kesejahteraan Negara.
Tokoh aliran ini adalah Naomi Wolf, sebagai
"Feminisme Kekuatan" yang merupakan solusi. Kini
perempuan telah mempunyai kekuatan dari segi pendidikan
dan pendapatan, dan perempuan harus terus menuntut
persamaan haknya serta saatnya kini perempuan bebas
berkehendak tanpa tergantung pada lelaki.
Kedua, Feminisme Radikal. Trend ini muncul sejak
pertengahan tahun 70-an di mana aliran ini menawarkan
ideologi "perjuangan separatisme perempuan". Pada sejarah-
nya, aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau
dominasi sosial berdasar jenis kelamin di Barat pada tahun
1960an, utamanya melawan kekerasan seksual dan industri
pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki terhadap
perempuan adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang
sekarang ada. Dan gerakan ini adalah sesuai namanya yang

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
154

"radikal". Feminism ini adalah kelompok pertama yang


menganut teori konflik yang sejarahnya justru muncul sebuah
reaksi atas kultur sexism atau diskriminasi social berdasarkan
jenis kelamin di barat pada tahun 60-an, khususnya sangat
penting dalam melawan kekerasan seksual dan pornografi.
Feminisme radikal mempermasahkan, antara lain,
tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk
lesbianisme), seksisme, relasi kuasa perempuan dan lski-laki
dan dikotomi privat-publik. Mereka berjuang agar perbedaan-
perbedaan seksual laki-laki dan perempuan dihapuskan.
Bentuknya dapat berupa pemberian kesempatan pada
perempuan untuk memilih melahirkan sendiri, atau
melahirkan anak secara buatan, atau bahkan tidak melahirkan
sama sekali. Begitu juga ketergantungan anak kepada ibunya,
dan sebaliknya harus diganti dengan ketergantungan singkat
terhadap sekelompok orang dari kedua jenis kelamin.
Feminisme radikal lahir dari aktivitas dan analisis
politik mengenai hak-hak sipil dan gerakan-gerakan per-
ubahan sosial. Dan inti dari ajaran feminisme radikal yaitu:
1. the personal is political adalah selogan yang kerap di
gunakan oleh feminis radikal, maknanya : bahwa peng-
alaman-pengalaman individual wanita mengenai ketidak
adilan dan kesengsaraan wanita yang di anggap sebagai
masalah-masalah personal, pada hakekatnya adalah isu-isu
politik yang berakar pada ketidak seimbangan kekuasaan
terhadap wanita dan laki-laki.
2. memprotes exploitasi terhadap wanita dan pelaksanaan
peran sebagai isteri, ibu dan pasangan sex laki-laki serta

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
155

menganggap perkawinan sebagai bentuk formalitas


pendiskriminisasi terhadap wanita.
3. menggambarkan sexim sebagai system social yang terdiri
dari hukum, tradisi, ekonomi, pendidikan, lembaga
keagamaan, ilmu pengetahuan, bahasa media masa,
moralitas seksual, perawatan terhadap anak, pembagian
kerja dan interakasi social sehari-hari.masyarakat harus
dibah secara menyeluruh, lembaga social yang paling
funda mental, feminis liberal bukan hanya menolak
perkawnan bukan hanya dengan teori, melainkan sering
pula dalam praktek.
4. menolak system hierarkis yang bersetrata dalam garis
jender dan kelas, sebagaimana diterima oleh feminis liberal.
Ketiga, Feminisme Post-Modern. Ide Posmodern -
menurut anggapan mereka - ialah ide yang anti absolut dan
anti otoritas, gagalnya modernitas dan pemilahan secara
berbeda-beda tiap fenomena sosial karena penentangannya
pada penguniversalan pengetahuan ilmiah dan sejarah.
Mereka berpendapat bahwa gender tidak bermakna identitas
atau struktur sosial. Aliran ini memandang masalah
perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya
sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas
dan cara produksi. Teori Friedrich Engels dikembangkan
menjadi landasan aliran ini—status perempuan jatuh karena
adanya konsep kekayaaan pribadi (private property). Kegiatan
produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
sendri berubah menjadi keperluan pertukaran (exchange).
Laki-laki mengontrol produksi untuk exchange dan sebagai

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
156

konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial.


Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari
property. Sistem produksi yang berorientasi pada keuntungan
mengakibatkan terbentuknya kelas dalam masyarakat—
borjuis dan proletar. Jika kapitalisme tumbang maka struktur
masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan terhadap
perempuan dihapus.
Keempat, Feminisme Marxis. Aliran ini memandang
masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme.
Asumsinya sumber penindasan perempuan berasal dari
eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori Friedrich Engels
dikembangkan menjadi landasan aliran ini—status
perempuan jatuh karena adanya konsep kekayaaan pribadi
(private property). Kegiatan produksi yang semula bertujuan
untuk memenuhi kebutuhan sendri berubah menjadi
keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol
produksi untuk exchange dan sebagai konsekuensinya mereka
mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan
direduksi menjadi bagian dari property. Sistem produksi yang
berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya
kelas dalam masyarakat—borjuis dan proletar. Jika kapital-
isme tumbang maka struktur masyarakat dapat diperbaiki
dan penindasan terhadap perempuan dihapus.
Kelima, Feminisme postkolonial. Dasar pandangan ini
berakar di penolakan universalitas pengalaman perempuan.
Pengalaman perempuan yang hidup di negara dunia ketiga
(koloni/bekas koloni) berbeda dengan prempuan berlatar
belakang dunia pertama. Perempuan dunia ketiga me-

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
157

nanggung beban penindasan lebih berat karena selain


mengalami pendindasan berbasis gender, mereka juga
mengalami penindasan antar bangsa, suku, ras, dan agama.
Dimensi kolonialisme menjadi fokus utama feminisme
poskolonial yang pada intinya menggugat penjajahan, baik
fisik, pengetahuan, nilai-nilai, cara pandang, maupun
mentalitas masyarakat. Beverley Lindsay dalam bukunya
Comparative Perspectives on Third World Women: The Impact of
Race, Sex, and Class menyatakan, ―hubungan ketergantungan
yang didasarkan atas ras, jenis kelamin, dan kelas sedang
dikekalkan oleh institusi-institusi ekonomi, sosial, dan
pendidikan.‖
Keenam, Feminisme Anarkis. Feminisme Anarkisme
lebih bersifat sebagai suatu paham politik yang mencita-
citakan masyarakat sosialis dan menganggap negara dan laki-
laki adalah sumber permasalahan yang sesegera mungkin
harus dihancurkan.
Ketujuh, Feminisme Sosialis. Adapun langkah-langkah
analisis feminisme dapat ditempuh dengan cara meng-
identifikasi kedudukan tokoh wanita di dalam sebuah karya
sastra, seberapa penting kedudukan wanita dalam karya
sastra yang kita analisis, Apakah posisinya sebagai pihak yang
tertindas atau sebagai pihak yang menindas atau bahkan
sebagai pihak pengendali atau sebagai pihak yang
dikendalikan, kemudian meneliti tokoh laki-laki yang
berkaitan dengan tokoh perempuan, karena dengan begitu
kita akan mengetahi bagaimana kaitannya tokoh laki-laki
dengan tokoh perempuan, apakah laki-laki itu menjadi tokoh

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
158

yang tertindas atau tokoh yang dikendalikan oleh tokoh


perempuan, dengan begitu kita akan mengetahui feminisme
yang terdapat pada sebuah teks lagu. Yang terakhir adalah
dengan cara mengamati sikap penyair yang sedang kita kaji.
Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah nada dan
suasana cerita inilah yang pada umumnya mampu
mengungkapkan maksud penyair yang dituangkan ke dalam
karyanya.
Feminis sosial ini juga menganut aliran konflik,
feminisme sosialis di kenal sejak tahun 1970an, menurut
jaggar mazab ini merupakan sintesa dari pendekatan historis-
materialis Marxisme dan Engels dengan wawasan atau
gagasan ‖personal is political‖ dari kaum feminis radikal inti
dari ajaran sosialisme adalah :
1. wanita tidak di masukan dalam analisis kelas, karena
pandangan abahwa wanita tidak memiliki hubungan
khusus dengan alat-alat produksi
2. mengajarkan solusi untuk membayar wanita atas pekerja-
anya di ruman
3. kapitalisme memperkuat sexism, karena memisahkan antar
pekerjaan bergaji dengan pekerjaan rumah tangga (domestic
work) dan mendesak agar wanita melakukan pekerjaan
domestik.
Secara umum Feminisme lebih bersifat teoretis.
Feminisme lebih banyak menggali keseluruhan aspek
mengenai perempuan, menelusuri aspek-aspek kesejarahan-
nya, kiasifikasi, periodisasi, kaitannya dengan teori-teori yang
lain, sekaligus menyusunnya ke dalam suatu kerangka-

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
159

kerangka konseptual. Feminis merupakan bagiar yang tak


terpisahkan de¬ngan postmodernime dan postrukturalisme.
Pada tataran ini feminisme sudah menjadi postfeminisme
sekaligus mengadopsi konsep-konsep penting postruktur-
alisme yang dianggap sesuai untuk menyelesaikanmasalah-
masalah perempuan (Ratna, 2006: 225-226).
Feminis, dari kata femme, berarti perempuan. Kemudian
timbul gerakan feminis yang secara khusus menyediakan
konsep dan teori dalam kaitannya dengan analisis kaum
perempuan. Teori-teori yang dimaksudkan, di antaranya:
patriarki (berpusat pada garis keturunan ayah), phallocentric
(berpusat pada laki-laki), phallogocentric writing (gaya menulis
saki-laki), androtext (ditulis oleh laki-laki), gynotext (ditulis
oleh perempuan), gynocritic (kritik oleh kaum perempuan),
manusia cyborg (manusia setengah mesin), misogynia
(kebencian laki-laki terhadap perempuan, lawannya
philogynia), dan sebagainya. Dengan adanya kaitan secara
konseptual antara feminis dengan postrukturalisme, maka
sejumlah konsep postrukturalisme juga merupakan
perbendaharaan feminisme. Hubungan antara studi kultural
dengan feminis dan gender terjadi sebagai akibat kondisi
perempuan yang tersubordinasikan atas kehudayaan. Artinya,
seperti telah disinggung di atas, kebudayaanlah yang
menyebabkan perempuan dianggap sebagai memiliki
kedudukan yang lebih rendah dengan laki-laki, bukan semata-
mata kondisi biologis. Kenyataan menunjukkan bahwa
perempuan juga mampu untuk melakukan pekerjaan
sebagaimana dilakukan oleh laki-laki.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
160

Feminis, menurut Ritzer (Ratna, 2006: 231) termasuk


teori sosial kritis, teori yang melibatkan diri dalam persoalan
pokok dalam konteks sosial, politik, ekonorni, dan sejarah,
yang sedang dihadapi oleh kelompok-kelompok yang berada
dalam kondisi tertindas. Postmodernisme yang pada dasamya
sangat inters dengan permasalahan tersebut dengan sendiri-
nya sangat menopang gerakan feminis. Dalam perkembangan
selanjutnya, baik feminis maupun postmodemis merevisi
konsep-konsep modemis yang dianggap tidaksesuai dengan
perkembangan teori kontemporer, seperti: a) narasi besar,
konsep yang berifat universal, b) fondasionalisme, proses
identifikasi tertentusebagai selalu tepat, c) universalisme,
prinsip total yang mengatur dunia, d) esensialisme, pemyata-
an tentang adanya kualitas abadi yang tak berubah, dan e)
representasi, pernyataan yang (dianggap sebagai mewakili
dunia secara tepat. Sebagai gerakan sosial kritis feminis dan
postmodernisme menolak argumentasi di atas dengan
mengajukan istilah-istilah yang dianggap sebagai bermakna
penolakan, seperti: a) decentering, memindahkan makna, baik
dari pusat ke ping¬giran maupun sebaliknya, b) dekonstruksi,
makna kontradiktif sebagai akibat aktivitas pembongkaran, c)
diferance, makna melalui fokus perbedaan, d) trace jejak, efek
permutasi tanpa henti dari satu penanda ke penanda lain,
sehingga tidak ada makna yang pasti, dan e) logosentrisine,
kecenderungan berpikir dengan mencari legitimasi pada dalil
universal. Kedua teori mengakui bahwa modernitas telah
berakhir, digantikan oleh postmodernitas, yang ditandai oleh
dialektika antara empat gejala, sebagai berikut:

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
161

1. Terjadinya tahap ekspansif yang agresif dalam kapitalisme


global.
2. Melemahnya kekuasaan negara, sekaligus runtuhnva
sistem imperial lama, pecahnya blok komunis, dan bangkit-
nya politik etnis.
3. Terjadinya penetrasi teknologi yang semakin kuat yang
juga mengontrol produksi dan konsumen.
4. Bangkitnya gerakan sosial liberasionis yang didasarkan
bukan pada sistem kelas, tetapi ciri-ciri lain dari iden¬titas,
seperti: nasionalisme, ras, gender, orientasi seksual, dan
environmentalisme.

D. Teori Dekonstruksi
Teori dekonstruksi dalam ulasan ini menggunakan
uraian Ratna (2006: 250-270). Ratna banyak mengulas pe-
mikiran-pemikiran Derida sebagai tokoh dekonstruksi.
Dekonstruksi, dari akar kata de + constructio (Latin).
Pada umurnya prefiks 'de' berarti: ke bawah, pengurangan,
terlepas dari. Constructio berarti: bentuk, susunan, hal
menyusun, hal mengatur. Tadi, dekonstruksi dapat diartikan
sebagai pengurangan atau penurunan intensitas bentuk yang
sudah tersusun, sebagai bentuk yang sudah baku.
Sebagaimana sering terjadi dalam menterjemahkan istilah--
istilah asing, dengan adanya perbedaan perbendaharaan kata-
kata, maka sangat sulit untuk menemukan terjemahan yang
tepat terhadap istilah dekonstruksi tersebut. Dalam teori
kontemporer dekonstruksi sering diartikan sebagai pem-
bongkaran, perlucutan, penghancuran, penolakan, dan ber-

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
162

bagai istilah dalam kaitannya dengan penyempurnaan arti


semula.
Adanya kekurangtepatan dalam memberikan arti se-
perti di atas jelas mengakibatkan terjadinya kekeliruan dalam
memberikan makna dalam analisis, dalam hal ini analisis
dengan memanfaatkan teori dekonstruksi. Bahkan banyak di
antara para pemerhati sastra dan dengan demikian juga para
pemerhati studi kultural yang masih menaruh kecurigaan
terhadap teori dekonstruksi dan postrukturalisme pada
umumnya. Istilah pembongkaran, penghancuran, clan
penolakan diberikan arti secara leksikal sehingga karya sastra
sebagai objek benar-benar dianggap sebagai benda matt yang
slap untuk dibedah dan dipisahpisahkan sehingga terlepas
dari totalitasnya semula.
Cara yang dianggap tepat untuk memberikan arti ter-
hadap istilah dekonstruksi, demikian juga istilah-istilah lain
yang memanfaatkan prefiks'de', seperti: depsikologi, de-
personalisasi, deotomatisasi, dansebagainya, adalah dengan
mengembalikannya pada akar katanya yang semula.
Dekonstruksi dengan demikian dapat diartikan sebagai
pengurangan atau penurunan intensitas konstruksi itu sendiri.
Dalam nendekonstruksi strukturalisme, misalnya, kegiatan
yang dilakukan secara terus-menerus adalah mengurangi
intensitas oposisi biner, sehingga unsur-unsur yang dominan
tidak selalu mendominasi unsur-unsur yang lain. Sebaliknya,
unsur-unsur yang semula selalu terlupakan, terdegradasikan
dan termarginalisasikan, seperti: kelompok rninoritas,
kelompok yang lemah, kaum perempuan, tokoh-tokoh

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
163

komplementer, kawasan kumuh, pejalan kaki, dan sebagai-


nya, dapat diberikan perha tian yang memadai, bahkan secara
seimbang dan proporsional.
Benar, dalam dekonstruksi dilakukan semacam pem-
bongkaran, tetapi tujuan akhir yang hendak dicapai adalah
penyusunan kembali ke dalam tatanan dan tataran yang lebih
signifikan, sesuai dengan hakikat objek, sehingga aspek-aspek
yang dianalisis dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin.
Melalui analisis strukturalisme, tokoh-tokoh yang mem-
peroleh perhatian adalah tokoh utama. Sebaliknya, melalui
analisis postrukturalisme, setiap tokoh adalah tokoh utama
dalam peristiwanya masing-masing. Dekonstruksi dalam
hubungan ini berarti sebagai usaha untuk memberikan arti
pada kelompok yang lemah, yang selama ini kurang mem-
peroleh pengertian, bahkan diabaikan sama sekali. Tujuan
dekonstruksi tetap konstruksi, dengan sendirinya dalam
bentuk yang berbeda, konstruksi yang seimbang sekaligus
dinamis, bukan konstruksi yang statis sebagaimana
dimaksudkan dalam strukturalisme danpemahaman modern-
isme pada umumnya. Oleh karena itulah, Kristeva menjelas-
kan bahwa dekonstruksi merupakan gabungan antara hakikat
destruktif dan konstruktif.
Sebagai teori kontemporer, dengan usia yang masih
relatif muda, belum mencapai setengah abad, wajarlah apabila
kehadiran teori dekonstruksi dan postrukturalisrne pada
umumnya masih menimbulkan pro dan kontra, bahkan juga
ada kelompok yang menolak sama sekali. Lebih-lebih apabila
dikaitkan dengan argumentasi teori yang berasal dari Barat,

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
164

sehingga dianggap tidak sesuai dengan hakikat sastra dan


kebudayaan Indonesia. Di samping itu, memang teori
dekonstruksi termasuk sebagai teori yang radikal, bahkan
revolusioner sehingga agak sulit untuk masuk ke dalam
kompetensi pembaca, lebih-lebih para pembaca yang masih
memiliki cara pemikiran tradisional.
Dikaitkan dengan keberadaan studi kultural di Indo-
nesia, baik sebagai teori maupun metode, pemanfaatan teori
dekonstruksi dan postrukturalisme pada umumnya tidak
perlu dipermasalahkan lagi. Sama seperti kehadiran teori-teori
yang lain, dekonstruksi sudah ada di depan kita, sehingga
tidak rnungkin untuk menolaknya. Yang menjadi masalah
adalah bagaimana teori tersebut diaplikasikan, dimanfaatkan,
dengan tidak mengurbankan hakikat objek. Teori postruktur-
alisme dengan sendirinya sudah mengalami evaluasi selama
berabad-abad, dan dengan sendirinya juga sudah melihat
kelemahan-kelemahan teori terdahulu. Di samping itu, sebuah
teori lahir sesudah lahirnya gejala (baru) yang ternyata tidak
terdeteksi oleh teori terdahulu. Teori-teori postrukturalisme
ternyata telah melihat adanya stagnasi dalam strukturalisme
dan varian-variannya.
Dalam bidang penelitian sastra, misainya: resepsi dan
interteks, dianggap sebagai teori postrukturtalis yang sudah
terbukti kemampuannva dalam menghasilkan berbagai
kesimpulan. Kedua teori telah dimanfaatkan dalam berbagai
penelitian, baik terhadap sastra lama maupun modern.
Banyak sekali penelitian para mahasiswa yang belum
terpublikasikan, dianalisis dengan memanfaatkan teori resepsi

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
165

dan interteks. Sesuai dengan ciri-ciri umum teori pos-


strukturalisme, resepsi dan inteteks memberikan peranan
yang sangat besar pada pembaca, sehingga fungsi dan
peranan sastra dapat diungkapkan secara maksimal.
Teori-teori postrukturalisme, sejak resepsi, interteks,
feminis, postkolonial, hingga dekonstruksi, digali melalui dan
didasarkan atas pemahaman karya sastra. Wacana atau teks,
aspek bahasa pada tataran kedua, yang juga menjadi objek
terpenting dalam studi kultural, juga diadopsi melalui
kompetensi karya sastra. Dalam teori kontemporer, karya
sastra tidak semata-mata dinilai atas dasar kemampuan
kreativitas imajunasinya sebagaimana dipahami sebelumnya,
tetapi juga kemampuannya dalam membangun suatu dunia
yang sesungguhnya. Dunia karya sastra pada gilirannya
menjadi model, dianalisis dengan teori dan metode yang sama
dengan dunia yang nyata. Dalam studi kultural, keseluruhan
aspek kebudayaan yang melekat dalam karya sastra dapat
dianalisis, dan akan memberikan kesimpulan yang relatif
sama dengan analisis ilmu-ilmu sosial dan humaniora yang
lain. Perbedaannya, karya sastra menyajikannya secara tidak
langsung, sedangkan ilmu pengetahuan melalui cara
langsung. Baik ilmu pengetahuan sejarah, sosiologi, dan
antropologi, maupun karya sastra periode Balai Pustaka
menyatakan bahwa tahun 1920-an di Minangkabau
didominasi oleh kawin paksa.
Inti teori dekonstruksi Derridean pada dasamya adalah
perbedaan (differance), oleh karena ituiah, disebut sebagai teori
perbedaan. Oleh karena itu pulalah, dekonstruksi disebut

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
166

sebagai ciri utama teori postrukturalisme. Multikulturalisme,


misalnya, dalam teori kontemporer dianggap sebagai ciri
utama. Menurut Derrida, interpretasi tidak berhasil untuk
mernecahkan persoalan makna sebab interpretasi sebagai-
mana dimaksudkan oleh para filsuf dan teolog, yang ke-
mudian diintroduksi oleh Gadamer, tujuannya adalah untuk
menemukan makna yang benar. Sebaliknya, menurut Derrida,
makna yang benar tidak mungkin dan tidak perlu dicapai
sebab semua teks mendekonstruksi dirinya sendiri, sebagai-
mana makna secara harfiah, textum/textus yang diatrikan
sebagai tenunan, jaringan, susunan.
Seperti diketahui, strukturalisme, dengan varian-va-
riannya yang lahir awal abad ke-20, melalui bidang bahasa,
menganggap bahwa oposisi biner, struktur, dan totalitas
sebagai konsep kunci, sekaligus sebagai realitas tertinggi.
Penanda-petanda, ucapan-tulisan, bentuk-isi, jasmani-rohani,
baik-buruk, benar-salah, dan sebagainva, menurut teori
strukturalisme modernisme merupakan struktur yang baku
yang pada gilirannya akan membentuk suatu totalitas yang
juga bersifat baku. Sebaliknya, postrukturalisme menolak
keseluruhan makna absolut di atas dengan alasan bahwa
makna bcrubah secara terus-menerus. Berbeda dengan
argumentasi strukturalisme yang menyatakanbahwa penanda
(realitas fisikal) dan petanda (realitas suprafisikal) selalu hadir
sebagai konstruksi hierarkis, dengan konsekuensi logis selalu
memberikan prioritas pada unsur yang pertama, menurut
postrukturalisme penanda dan petanda dapat hadir secara
bersama-sama, sehingga tidak ada makna absolut. Makna

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
167

hanyalah jejak (trace) yang segera akan terhapus sebab sudah


ada kebenaran lain di belakangnya, demikian seterusnya.
Secara filosofis Derrida menjelaskan ketidakpastian makna di
atas melalui istilah differEnce/differAnce, dua kata yang
ucapannya harnpir sama tetapi cara penulisannya berbeda,
dibedakan melalui huruf ke-7. Istilah tersebut sekaligus berarti
membedakan (dengan konotasi spasial) dan menunda
(dengan konotasi temporal). Tokoh-tokoh strukturalisme
modernisme, misalnya: Ferdinand de Saussure, Noam
Chomsky, Claude Levi-Strauss, Roman Jakobson, Rene
Wellek, Robert Scholes, dan sebagainya. Tokoh-tokoh
postrukturalisme postmodemisme, di antaranya: Julia
Kristeva, Roland Barthes, Jacques Lacan, Gayatri Chakra vorty
Spivak, Michel Foucault, Jean-Francois Lyotard, Jean
Baudrillard, Jacques Derrida, dan sebagainya.
Dalam kaitannya dengan ciri-ciri 'perbaikan' seperti di
atas, perlu dijelaskan lebih jauh bahwa aspek-aspek yang
diperbaiki adalah yang berhubungan dengan keberadaan
manusia pascamodern. Masyarakat kontemporer sadar bahwa
modernisme, melalui proyek Zaman Pencerahan, dengan
memanfaatkan kemampuan rasio, telah melahirkan revolusi
dalam bidang sains dan teknologi yang sangat bermanfaat
bagi perkembangan umat manusia. Dalam bidang sosial
politik telah terjadi perubahan besar dengan lahimya
demokrasi dan kebebasan berpikir dalam segala bidang.
Dalam bidang ekonomi telah terjadi peningkatan pendapatari
negara sebagai akibat ditemukannya sumber-sumber energi
alam, peningkatan teknologi pertanian, kelautan, kehutanan,

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
168

pariwisata, dan sebagainya. Satu masalah penting yang belum


dipertirnbangkan, yang justru merupakan akibat kemajuan
peradaban manusia itu, yang dalam hal ini disebutkan sebagai
dampak negatif adalah eksploitasi yang tanpa batas sehingga
terjadi pembalikan total proposisi 'sains untuk rnanusia‘
menjadi 'manusia untuk sains'. Penggusuran, perombakan
monumen bersejarah, degradasi seni dan seniman, alih fungsi
pertanian dan kawasan wisata untuk keperluan pabrik, dan
sebagainya, merupakan sejumlah akibat negatif strukturalisme
modernisme seperti di atas.
Dekonstruksi jelas memandang sains sebagai 'alat'
yang melaluinya harkat dan martabat manusia dapat di-
tingkatkan. Sains bukanlah subjek dalam pengertian bahwa
sains secara bebas membawa manusia ke dalam perangkap.
Misa]nya, kita tidak harus menonton tayangan TV sepanjang
hari sebab TV dengan berbagai acara yang ditarnpilkannya
sangat penting dan dengan demikiari juga ikut membantu
keberhasilan instansi media massa termasuk aspek-aspek
komersialnya. Terdapat banyak kasus, baik dalam bidang
ekonomi maupun ilmu kealaman, yang pada dasarnya
lebihbanyakberakibat merugikan ma nusia yang justru
merupakan subjek. Controh spektakuler jelas orientasi pada
pemgembangan ilmu pengetahuan, seperti program senjata
nuklir, baik dengan alasan uji coba maupun melindungi diri
sendiri, sebagaimana dikembangkan oleh negara-negara maju.
Dekonstruksi merniliki kepentingan dan minat besar dalam
membelokkan dan membalikkan kecenderungan dan
paradigma modernisme di atas. Secara mudah dan praktis,

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
169

tujuan dekonstruksi adalah rnengajak kita untuk memahami


kembali hakikat manusia yang sesungguhnya. Manusia yang
dimaksudkan adalah manusia tertindas, manusia yang
termarginalisasikan, manusia yang menghuni sebagian
terbesar kawasan yang ada di bumi, manusia yang selama ini
hanya memerlukan dua kebutuhan pokok, yaitu sandang dan
pangan.
Derrida mengembangkan postrukturalisme atas dasar
strukturalisme yang berkembang di Perancis. Sementara
strukturalisme itu sendiri merupakan reaksi terhadap
hurnanisme Perancis, khususnya elsistensialisme Jean-Paul
Sartre, yang menganggap bahwa apa yang dilakukan orang
ditentukan oleh orang itu sendiri. Dalam hubungan ini Ritter
membedakan antara strukturalisme fungsional dengan
strukturalisme itu sendiri. Dalam hubungannya, apabila
strukturalisme fungsional memusatkan diri pada struktur
sosial, strukturalisme memusatkan perhatian pada bahasa.
Tokoh terpenting strukturalisme (bahasa) ini adalah
Ferdinand de Saussure, dengan konsep kunci dikotomi antara
langue dan parole. Langue didefinisikan sebagai sistem tata ba-
hasa formal dengan hukum-hukum yang relatif baku, se-
dangkan parole didefinisikan sebagai cara pengucap an
Individual, bahasa secara sub;ektif dan ideosinkratis. Di antara
bahasa formal dan individual, bahasa jenis pertamalah yang
dapat dikembangkan secara ilmiah, termasuk relevansinya
yang maksimal dalam studi kultural. Kata perempuan,
misalnya, maknanya tidak berasal dari sifat hakiki kata
tersebut, melainkan melaiui sistemhubungannya dengan laki-

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
170

laki. Atas dasar interelasi seperti itulah terbentuk hubungan


sosial, stratifikasi sosial, dan masyarakat secara keselunthan.
Sastra dan filsafat, sabagai ilmu humaniora, disamping
mempermasalahkan objek yang sama, yaitu manusia, juga
berbagi konsep yang sama, sebagi sublimasi dan obsesi
pemikiran manusia yang tertinggi. Perbedaannya, sastra
menyajikannya melalui peristiwa dan tokoh dalam konstruksi
imajinatif, filsafat menyajikannya melalui dialog dalam
konstruksi logik. Bagi karya sastra konsep yang dicapai
merupakan rnasalah sekunder, sebaliknya bagi filsafat
merupakan tujuan pokok.
Dalam teori postrukturalisme seolah-olah tidak ada
perbedaan antara filsuf dengan sastrawan, antara konsep
filsafat dengan sastra. Pertama, sebagian besar di antara para
pakar memang berasal dari Perancis, atau orang bukan
Perancis, tetapi masuk ke dalam kelompok intelektual
Perancis. Kedua, konsep-konsep postrukturalisrne pada
dasamya diuji dan didasarkan atas pemahamannya terhadap
bidang bahasa. Ketiga, alas dasar hakikatnya, sastralah yang
paling tepat dijadikan sebagai objek kajian, sekaligus
menghilangkan batas-batas antara filsafat, bahasa, dan sastra.
Dalam teori kontemporer, objek yang paling banyak dikaji
adalah wacana. Di antara para filsuf, Derridalah yang paling
banyak terlibat dalam pemahaman dunia sastra.
Dalam kaitannya dengan studi kultural, keterlibatan
disiplin lain, baik ilmu humaniora mauptu. ilmu sosial,
bahkan juga ilmu kealaman, diharapkan lebih terbuka.
Artinya, dengan memanfaatkan teori postrukturalisme dapat

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
171

dikaji aspek-aspek kebudavaan secara lebih luas, yaitu dalam


kerangka pendekatan multidisiplin. Dengan kalimat lain,
studi kultural atau kajian budaya itu sendiri tidak mungkin
melepaskan diri dari cara-cara pemahaman postrukturalisme.
Atas dasar penolakannya terhadap struktur bahasa
yang bersifat `memaksa', sehingga individu seolah-olah
dikendalikan oleh struktur bahasa, postrukturalisme, khu-
susnya menurut visi Derrida menganggap bahasa sebagai
entitas yang tidak teratur dan tidak stabil, makna tergantung
dari konteks. Menurutnya, bahasa tidak bersifat memaksa
melainkan subversif dan dekonstruktif. Tokoh-tokoh lain yang
memegang peranan dalam kaitannya dengan kelahiran
postrukiuralisme adalah Michel Foucault, Jean-Francois
Lyotard, Jean Baudrillard, Jacques Lacan, dan sebagainya.
Demikianlah teori dekonstruksi telah menjadi salah
satu teori utama yang dimanfaatkan untuk menganalisis
gejala-gejala kebudayaan kontemporer, khususnya dalam
kerangka studi kultural. Dengan kalimat lain, sebagai ciri khas
postrukturalisme; dekonstruksi, melaiui cara kerjanya yang
dikenal dengan `membongkar', dianggap sebagai salah satu
metode yang paling tepat untuk memahami pluralisme
budaya. Apabila benar bahwa masa krisis merupakan masa
untuk membangun kembali (moment of construction), sesuai
dengan pendapat Gramsci, maka pembongkaran harus diikuti
oleh pembangunan kembali, sekaligus menggantikannya
dengan cara-cara yang baru, sehingga memperoleh temuan-
temuan yang baru secara praktis dan nyata, temuan-temuan
baru yang dimaksudkan, yaitu sebagai hasil pemahaman

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
172

teori-teori strukturalisme adalah gejala-gejala kultural yang


selama jai termarginalisasikan, seperti: perempuan, novel
picisan, kawasan kumuh, pedagang kaki lima, usaha kecil,
pejalan kaki, dan kelompok-kelompok minoritas lainnya.
Dengan kalimat lain, entitas dan kelompok yang berada di
luar zone metanarasi, narasi besar, dan narasi-narasi
hegemonis lainnya.
Teori-teori postrukturalisme, dekonstruksi khususnsa
hanyalah alat, sarana intelekltual, yang melaluinya data
penelitian dapat dipecahkan secara lebih objektif. Teori-teori
tersebut telah hadir di depan kita, sebagaimana teknologi,
komunikasi, dan berbagai benda-benda keperluan praktis
lainnya. Kita tidak dapat menghindar dari pengaruhnya, dan
kita tidak perlu menghindar atau menolak sebab apabila kita
melakukan sikap itu justru akan menimbulkan masalah. Sikap
yang paling baik adalah berusaha memaharninya. Caranya
adalah membaca literatur yang berkaitan dengannya,
kemudian mencoba menemukmn kekuatan dan kelemah-
annya. Seperti telah disinggung di atas, berbagai sikap yang
menolak kehadiran sekaligus relevansi teori postrukturalisme
pada dasarnya merupakan kibat ketidaktahuan mengenai
esensi teori-teori yang dimaksudkan.
Dalam bidang sastra, manfaat teori postrukturaisrme
telah dirasakan sejak tahun 1980-an, bahkan sebelumnya.
Teori-teopri resepsi dan interteks, misalnya, sudah banyak
dilakukan oleh para mahasiswa dan telah diakui keber-
hasilannya. Demikian juga teori feminis dan gender, di
samping sudah banyak menarik minat para peneliti juga telah

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
173

mernberikan efek langsung terhadap keberadaan kaum


perempuan Indonesia. Perbaikan sistem pendidikan, kesetara-
an kedudukan antara laki-laki dengan perempuan di rumah
tangga, kedudukan perempuan dalam bidang pemerintahan,
dan sebagainya adalah beberapa contoh relevansi teori-teori
feminis. Artinya, teori feminislah yang mencoba menemukan
akar permasalahan mengapa terjadi dominasi laki-laki atas
perempuan.
Dekonstruksi, seperti disinggung di atas merupakan
salah satu teori postrukturalisme yang paling kritis dalam
memahami dinamika aspek-aspek kebudayaan. Ciri khas teori
postrukturalisme, dekonstruksi khususnya adalah menolak
mitos oposisi biner. Metanarasi, unsur-unsur dominan oposisi
biner itu sendiri, yang telah mendominasi tatanan kehidupan
manusia selama berabad-abad, yang dipertahankan oleh
strukturalisme selama hampir tiga perempat abad sejak awal
abad ke-20, didekonstruksi. Hasil sampngannya, dalam skala
besar, misalnya: otonomi daerah, otonomi kampus, kampus
ber-Badan Hukum, termasuk persamaan hak kaum
perempuan. Tidak terhitung jumlahnya dalam skala kecil,
yaitu akibat yang ditimbulkan dalam kaitannya dengan aspek
kebudayan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam karya seni,
misalnya, mulai diperhatikannya aspek-aspek yang selama ini
termarginalisasikan, seperti novel populer, novel rernaja,
sastra anak-anak, sastra lama, sastra lokal, dan berbagai
bentuk kebudayaan populer pada urnurnnya. Postruktur-
alisme menaruh perhatian besar terhadap subjek dan
kelompok minoritas.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
174

E. Teori Poskolonial
Sebagaimana dalam teori Dekonstruksi di atas, uraian
tentang teori Poskolonialisme ini juga mengacu pada uraian
Ratna (2006: 238-250. Banyak pendapat yang timbul tentang
postkolonialisme, baik di kalangan akademik maupun
masyarakat pada umumnya. Sebagaimana dengan post-
modernisme dan berbagai teori yang memanfaatkan prefiks
‗post‘, maka di samping ada yang menerima sebagai suatu
pembaharuan, tetapi ada juga yang masih ragu-ragu dan
curiga atas kemampuannya, bahkan ada juga yang menolak
dengan alasan bahwa gejala tersebut belum memenuhi syarat
seba¬gai teori baru. Terlepas dari pendapat-pendapat di atas,
sebagai bahan kajian, khususnya sebagai salah satu pegangan
bagi mahasiswa, maka perlu diberikan definisi yang bersifat
lebih mengakar, baik pada aspek historis maupun masalah
pokok yang dibicarakannya. Pertama, sebagaimana post-
srukturalisme pada umumnya yang dapat dicari akar
intelektualnya dalam (penolakannya terhadap) strukturalisme,
maka postkolonialisme dapat dicari akar historisnya dalam
kolonialisme. Meskipun demikian, postkolonialisme tidak
secara langsung menunjuk pengertian ‗sesudah‘ kolonialisme.
Ada waktu yang cukup lama, seki¬tar dua abad lebih, yaitu
antara abad ke-17 hingga paro pertama abad ke-20, sejak
dimulainya imperialisme hingga bekas-bekas koloni mem-
peroleh kemerdekaannya, barulah lahir teori postkolonial.
Masa sesudah berakhirnya kolonisasi ini pada umumnya
disebut sebagai kondisi kolonial yang dipertentangkan

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
175

dengan pemerintahan kolonial. Kedua, sebagai teori


postmodern, jelas keduanya menolak oposisi biner.
Postmodernisme menolak dikotomi antara subjek dengan
objek dalam berbagai bentuknya. Oposisi biner yang ditolak
dalam postkolonialisme adalah perbe¬daan secara diametral
antara Barat dan Timur, penjajah dan yang terjajah,
nonpribumi dari pribumi, kolonialis dan koloni.
Postkolonial jelas merupakan salah satu seksi
postmo¬dernisme. Artinya, secara teoretis postkolonialisme
dipicu oleh dan dengan demikian memanfaatkan sejumlah
konsep yang ada dalam postmodernisme. Dengan demikian
makna dasar ‗post‘ dalam postkolonialisme sama dengan
‗post‘ dalam postmodernisme, sama-sama berarti sesudah.
Perbedaannya, apabila dalam postmodernisme maka
modernitas itu seolah-olah tetap dipertahankan tetapi
diberikan makna yang baru, sebagai makna yang sudah
didekonstruksi, dalam postkolonialisme maka bentuk-bentuk
kolonial dengan berbagai variannya, bahkan dengan berbagai
akibat yang ditinggalkan harus dihilangkan.
Postmodernisme adalah kontinuitas, dalam bentuk yang
lebih signifikan, sebaliknya, postkolonialisme adalah akibat,
yaitu era sesudah kolonialisme. Dalam hubungan inilah
postkolonialisme menjadi problematis, di satu pihak, yaitu
sebagai era tertentu postkolonialisme berarti negatif, sebalik-
nya sebagai sikap kritis, sebagai teori, maka postkolonialisme
berarti positif. Dengan kalimat lain, persamaan postmodern-
isme dengan postkolonialisme terletak dalam kedudukannya
sebagai teori (kritis) sebab sebagai teori keduanya jelas

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
176

bertujuan untuk menolak oposisi biner dan dengan demikian


dikotomi Barat dan Timur, nonpribumi dan pribumi, narasi
besar dan narasi kecil, negara maju dan negara berkembang,
refleksi historis dan parodis, teks dokumenter dan inter-
tekstual, dan sebagainya. Sebaliknya, postkolonialisme se-
bagai era, orientalisme menurut definisi Said, jelas tidak sama
dengan postmodernisme, bahkan bertentangan. Oleh karena
itulah, Robert Young menyebutkan bahwa postmodernisme
merupakan pembalikan dialektis, sebagai dekonstruksi
orientalisme, sekaligus menganggap bahwa sejarah tidak
bergerak secara linier.
Atas dasar penjelasan di atas maka teori post-
kolonialisme dapat didefinisikan sebagai teori kritis yang
mencoba mengungkapkan akibat-akibat negatif yang
ditimbulkan oleh kolonialisme. Akibat-akibat yang dimaksud-
kan lebih bersifat sebagai degradasi mentalitas dibandingkan
dengan kerusakan material. Oleh karena itulah, akibat-akibat
yang dimaksudkan tidak berhenti secara serta merta sete¬lah
kolonisasi berakhir, melainkan terus berlangsung sam-pai
sekarang, bahkan mungkin hingga puluhan atau ratusan
tahun. Meskipun teori postkolonialisme dikhusus¬kan bagi
penelitian negara-negara yang secara langsung pernah
menjadi koloni, seperti Indonesia, tetapi dalam per-
kembangannya yang lebih luas, postkolonialisme dianggap
telah berpengaruh secara global. Berdasarkan pendapat
Edward Said, seorang tokoh Orientalisme, Ratna mengemuka-
kan bahwa tahun 1914 Eropa telah menguasai 85% dari planet
yang disebut bumi ini, baik sebagai dominion, persemakmur-

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
177

an, dan wilayah perlindungan, maupun sebagai tanah jajahan,


pendudukan, dan koloni itu sendiri. Menurut Said
pengalaman kolonisasi selama dua setengah abad lebih
dianggap bersifat global dan universal sehingga memiliki
dampak secara langsung, baik bagi wilayah yang dijajah
maupun bagi penjajah itu sendiri.
Sulit untuk ditentukan secara definitif kapan teori
post¬kolonial lahir, khususnya dalam kaitannya dengan
kha¬zanah sastra dan kebudayaan nasional. Pertama, secara
yuridis formal negara-negara jajahan melepaskan diri da¬lam
waktu yang berbeda-beda. Kedua, cara-cara berakhir¬nya
proses kolonisasi pun tidak sama. Ada negara-negara yang
secara formal sudah merdeka tetapi dalam kenyataannya, baik
secara ekonomis maupun kultural seolah-olah masih bersatu,
sebagai neokolonial. Pada dasarnya dalam model kedua inilah
terkandung permasalahan postkolonialisme. Apabila batasan
secara yuridis formal dapat diketahui secara relatif pasti,
Indonesia, misalnya, merdeka tahun 1945, maka model
neokolonialisme melahirkan berbagai hubungan yang sulit
diprediksi. Meskipun demikian beberapa sarjana sependapat
bahwa awal teori postkolonial ditandai dengan terbitnya
tulisan Frantz Fanon yang berjudul Black Skin, White Masks and
the Wretched of the Earth (1967). Fanon berangkat dari disiplin
psikologi dengan cara menganalisis dampak sosiopsikologis
masyarakat terjajah. Kesimpulannya, melalui dikotomi
wacana Barat dan Timur, orientalisme telah melahirkan
alienasi dan marginalisasi psikologis yang sangat dahsyat,
Barat dan Timur tidak akan bersatu, sebaliknya di antara

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
178

kedua¬nya akan melahirkan jurang pemisah yang semakin


lebar.
Negara-negara Asia Tenggara yang pernah dijajah oleh
Inggris, seperti India, merupakan kasus yang cukup mewakili.
Dengan alasan yang berbeda, Amerika Serikat dan Australia
termasuk dalam kasus yang kedua ini. Negara-negara yang
pernah dijajah oleh Perancis dan Spanyol dan yang sampai
sekarang masih menggunakan bahasa kedua penjajah tersebut
jelas menyimpan aspek-as-pek yang relevan dalam studi
postkolonialisme. Bahasa resmi negara India adalah bahasa
Inggris, pertanda bahwa India masih menerima salah satu
aspek kebudayaan bekas penjajahnya. Perlu diketahui, justru
dalam bahasalah ditanamkan keseluruhan aspek kebudayaan
dan dengan sendirinya dimensi-dimensi penindasan itu. Sulit
diramalkan apa yang akan dilakukan oleh bangsa Indonesia,
seandainya Belanda tidak bersifat kikir, artinya Belanda secara
benar-benar mengajarkan bahasa Belanda kepada bangsa
Indonesia, sebagaimana Inggris mengajarkannya kepada
India. Apakah bangsa Indonesia kemudian secara spontan
mengakui bahasa Belanda sebagai bahasa resmi, atau
sebaliknya menolaknya, tetap mengakui bahasa Melayu atau
bahasa Jawa sebagai bahasa Indonesia. Jawabannya ter-
gantung pada bangsa Indonesia sendiri, yang secara teoretis,
yaitu menurut paradigma postkolonial dapat dijelas-kan
dengan mengingat seberapa jauh mekanisme antar¬hubungan
yang sudah terjadi.
Untuk kasus Indonesia, Ratna menjelaskan bahwa
model hubungan yang dimaksudkan jelas sudah sangat luas

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
179

dan dalam. Dari segi masa penjajahan, jangka waktu tiga


setengah abad merupakan masa yang sangat berarti untuk
menanamkan berbagai pemahaman yang berkaitan dengan
Barat dan Timur. Politik devide et impera, pembodohan dengan
cara mengebiri perkembangan sistem pendidikan, proses
pemiskinan dengan cara mengeksploitasi sumber-sumber
daya alam demi penjajah semata-mata, dan sebagainya,
merupakan faktor-faktor utama mengapa Belanda berhasil
untuk menanamkan kekuasaannya sampai tiga setengah abad
dan dengan demikian bangsa Indonesia sangat lambat dalam
menanggapi akibat-akibat negatif tersebut, sebagaimana
ditunjukkan dalam teori postmodernisme. Akibat-akibat
negatif yang dimaksudkan dengan sendirinya tidak semata-
mata berupa perbedaan antara Barat dan Timur antara negara
penjajah dan negara yang dijajah sebab ciri-ciri tersebut sudah
disadarai bahkan oleh bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Yang menjadi masalah, khususnya sebagaimana ditunjukkan
oleh teori postkolonialisme adalah implikasi yang ditimbulkan
oleh narasi besar para penjajah. Barat, misalnya, telah berhasil
untuk menanamkan pemahaman bahwa sebagai bangsa
Timur, kita ‗memang‘ lemah, inferior, lebih menaruh
perhatian pada masalah-masalah spiritual, percaya pada
takhyul, lebih mengutamakan perasaan, dan sebagainya,
dengan konse¬kuensi logis secara langsung mengakui
superioritas Barat.
Sebagai teori, sebagaimana postmodernisme pada
umumnya, postkolonialisme adalah kesadaran bahwa sesudah
sekian lama terjadinya perjalanan waktu, ada ma¬salah-

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
180

masalah yang perlu dipertimbangkan, yang sebelumnya


belum disadari. Bagi bangsa Barat pun, khususnya kaum
orientalis, belum banyak yang menyadari bahwa apa yang
ditulis, baik dalam bentuk ilmu pengetahuan maupun karya
sastra, akan menimbulkan pengaruh yang begitu besar
terhadap perilaku dan proses pemikian bangsa Timur.
Semata-mata kelompok postmodernislah, yang dalam hal ini
diwakili oleh Edward Said, melalui bukunya yang berjudul
Orientalisme (1978), yang menyadari bahwa tulisan-tulisan
yang dimaksudkan mengandung nilai-nilai tersembunyi yang
pada dasarnya dapat mengevokasi secara intens perbedaan
Barat dan Timur dengan berbagai inplikasinya. Oleh karena
itulah, objek postkolonial pada umurnya adalah wacana
postkolonial, yaitu berbagai bentuk perceritaan dalam
kaitannya dengan peninggalan kolonial. Dengan kalimat lain,
wacana postkolonial di satu pihak menganalisis hubungan
Barat dan Timur sesudah bekas koloni memperoleh
kemerdekaannya ma¬sing-masing, di pihak lain juga wacana
yang terbentuk dalam diri pribumi sebagai akibat
kolonialisme. Di sinilah dibicarakan berbagai pengalaman,
seperti: penindasan, ras, gender, dan berbagai bentuk
penjajahan. Tokoh-tokoh postkolonial, selain Edward Said, di
antaranya: Frantz Fanon, Gayatri Chakravorty Spivak, Homi
Bhabha, Sara Suleri, dan sebagainya.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
181

BAB 5

BEBERAPA ALTERNATIF
PENDEKATAN SASTRA

A. Pendekatan Framing
1. Prinsip-Prinsip Analisis Framing
Di dalam ilmu komunikasi, analisis framing sebagai
metode analisis isi media tergolong baru. Namun demikian,
keberadaannya di jagad keilmuan komunikasi memiliki
banyak tokoh dan cara kerja analisis yang beragam. Dalam
metode ini terdapat analisis framing ala Erving Goffman,
Murrai Edelman, Robert M. Entman, Wiliam A. Gamson dan
Andre Modigliani, atau Elizabeth C. Hanson. Dedy Mulyana
dalam kata pengantar buku Eriyanto (2011:xv) mengemuka-
kan, analisis framing cocok digunakan untuk melihat konteks
sosial-budaya suatu wacana, khususnya hubungan antara
berita dan ideologi, yakni proses atau mekanisme mengenai
bagaimana berita membangun, mempertahankan, mere-
produksi, mengubah, dan meruntuhkan ideologi.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
182

Eriyanto dalam bukunya berjudul Analisis Framing


(2011) mengemukakan pada dasarnya framing adalah metode
untuk melihat cara bercerita (story telling) media atau
peristiwa. Cara bercerita itu tergambar pada ―cara melihat‖
terhadap realitas yang dijadikan berita. ―Cara melihat‖ itu
berpengaruh pada akhir dari konstruksi realitas. Analisis
framing adalah analisis yang dipakai untuk melihat
bagaimana media mengkonstruksirealitas. Analisis framing
juga dipakai untuk melihat bagaimana peristiwa dipahami
dan dibingai oleh media. Bagaiman peristiwa yang sama
diberitakan secara berbeda oleh media. Perbedaan itu terjadi
karena peristiwa tersebut dipahami dan dikonstruksi secara
berbeda oleh media. Ada dua esensi utama dari framing
tersebut. Pertama, bagaimana peristiwa dimaknai. Ini
berhubungan dengan bagian mana yang diliput dan mana
yang tidak diliput. Kedua, bagaimana fakta itu ditulis. Aspek
ini berhubungan dengan pemakaian kata, kalimat, dan
gambar untuk mendukung gagasan.
Lebih lanjut dikatakan Eriyanto, sebagai sebuah
metode analisis teks, analisis framing mempunyai karakter-
istik yang berbeda dibandingkan dengan analisis isi
kuantitatif. Dalam analisis isi kuantitatif, yang ditekankan
adalah isi (content) dari suatu pesan/teks komunikasi.
Sementara dalam analisis framing, yang menjadi pusat
perhatian adalah pembentukan pesan dari teks. Framing,
terutama, melihat bagaimana pesan/peristiwa dikonstruksi
oleh media. Bagaimana wartawan mengkonstruksi peristiwa
dan menyajikannya kepada khalayak pembaca.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
183

Analisis framing berkembang dalam wilayah


paradigma konstruksionis.Konsep mengenai konstruksion-
isme diperkenalkan oleh sosiolog interpretatif, Peter L. Berger.
Konstruksionisme ini melihat media, wartawan, dan berita
berdasarkan penilaian sebagaimana berikut ini.
1. Fakta/peristiwa adalah hasil konstruksi. Bagi konstruksi-
onisme, realitas itu bersifat subjektif. Realitas itu hadir
karena dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan.
Realitas tercipta lewat konstruksi, sudut pandang tertentu
dari wartawan.
2. Media adalah agen konstruksi. Dalam pandangan
konstruksionis, media bukanlah sekedar saluran yang
bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi realitas,
lengkap dengan pandangan, bias, dan pemihakannya. Di
sini media dipandang sebagai agen konstruksi sosial yang
mendefinisikan realitas.
3. Berita bukan refleksi dari realitas. Ia hanyalah konstruksi
dari realitas. Dalam pandangan konstruksionis, berita itu
ibaratnya seperti drama. Ia bukan menggambarkan
realitas, melainkan potret dari arena pertarungan antara
berbagai pihak yang berkaitan dengan peristiwa. Menurut
kaum konstruksionis, berita adalah hasil dari konstruksi
sosial yang selalu melibatkan pandangan, ideologi, dan
nilai-nilai dari wartawan atau media.
4. Berita bersifat subjektif/konstruksi atas realitas. Pandang-
an konstruksionis mempunyai penilaian yang bebeda
dalam menilai objektivitas jurnalistik. Hasil kerja jurnal-
istik tidak bisa dinilai dengan menggunakan standar yang

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
184

rigid. Hal ini karena berita adalah produk dari konstruksi


dan pemaknaan atas realitas. Pemaknaan seseorang atas
suatu realitas bisa jadi berbeda dengan orang lain, yang
tentunya menghasilkan ―realitas‖ yang berbeda pula.
Karenanya, ukuran yang baku dan standar tidak bisa
dipakai.
5. Wartawan bukan pelapoir. Ia agen konstruksi realitas.
Dalam pandangan konstruksionis, wartawan dipandang
sebagai aktor/agen konstruksi. Wartawan bukan hanya
melaporkan fakta, melainkan juga turut mendefinisikan
peristiwa, dan secara aktif membentuk peristiwa dalam
pemahaman mereka.
6. Etika, pilihan moral, dan keberpihakan wartawan adalah
bagian integral dalam produksi berita. Aspek etika, moral,
dan nilai-nilai tertentu oleh konstruksionis tidak mungkin
dihilangkan dari pemberitaan media. Wartawan bukanlah
robot yang meliput apa adanya, apa yang dilihat. Etika
dan moral yang dalam banyak hal berarti keberpihakan
pada satu kelompok atau nilai tertentu—umumnya
dilandasi oleh keyakinan tertentu—adalah bagian yang
integral dan tidak terpisahkan dalam membentuk dan
mengonstruksi realitas. Wartawan di sinoi bukanlah hanya
pelapor, karena disadari atau tidak ia menjadi partisipan
dari keragaman penafsiran dan subyektivitas dalam
publik.
7. Nilai, etika, dan pilihan moral peneliti menjadi bagian
integral dalam penelitian. Salah satu sifat dasar dari
penelitian yang bertipe konstruksionis adalah pandangan

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
185

yang menyatakan peneliti bukanlah subjek yang bebas


nilai. Pilihan etika, moral atau keberpihakan peneliti sukar
dihilangkan dalam penelitian yang berkategori konstruksi-
onis. Dengan demikian, peneliti adalah entitas dengan
berbagai nilai dan keberpihakan yang berbeda-beda.
Karenanya, bisa jadi objek penelitian yang sama akan
menghasilkan temuan yang berbeda di tangan peneliti
yang berbeda. Peneliti dengan konstruksinya masing-
masing akan menghasilkan temuan yang berbeda pula.
8. Khalayak mempunyai penafsiran tersendiri atas berita.
Khalayak dalam pandangan konstruksionis bukan dilihat
sebagai subjek yang pasif. Ia juga subjek yang aktif dalam
menafsirkan apa yang dia baca. Makna dari suatu teks
oleh pembacanya sebagai suatu praktik penandaan.
Karenanya, setiap orang bisa mempunyai pemaknaan
yang berbeda atas teks yang sama.
Analisis framing merupakan salah satu metode analisis
teks yang berada dalam kategori penelitian konstruksionis.
Ada dua karakteristik penting dari pendekatan konstruksionis
menurut Eriyanto (2011:47-51). Pertama, pendekatan
konstruksionis menekankan pada politik pemaknaan dan
proses bagaimana seseorang membuat gambaran tentang
realitas. Makna adalah suatu proses aktif yang ditafsirkan
seseorang dalam suatu pesan. Kedua, pendekatan konstruksi-
onis memandang kegiatan komunikasi sebagai proses yang
dinamis. Dengan demikian, kegiatan penelitian konstruksionis
ini harus memperhatikan konsep-konsep sebagai berikut.
1. Tujuan penelitiannya adalah merekonstruksi realitas.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
186

2. Peneliti sebagai fasilitator keragaman subyektivitas.


3. Makna suatu teks adalah hasil dari negosiasi antara teks
dan peneliti.
4. Temuan adalah interaksi antara peneliti dan objek yang
diteliti.
5. Penafsiran bagian yang tak terpisahkan dalam analisis.
6. Menekankan empati dan interaksi dialektis antara peneliti
dan teks.
7. Kualitas penelitian diukur dari otensitas dan refleksivitas
temuan.
Pada bagian yang lain Eriyanto (2011: 81-99)
menjelaskan, ada dua aspek dalam framing, yaitu memilih
fakta/realitas dan menuliskan fakta/realitas tersebut. Aspek
pertama berhubungan dengan proses pemilihan fakta yang
didasarkan atas asumsi atau perspektif. Fakta mana yang
dipilih dan fakta mana yang harus disingkirkan. Sedangkan
aspek kedua berhubungan dengan bagaimana dan dengan
perangkat apa sebuah fakta/realitas ditulis. Fakta mana yang
perlu ditonjolkan dengan penekanan sehingga mendapatkan
perhatian yang lebih besar, dan mana yang tidak.
Di samping itu, lanjut Eriyanto, analisi framing banyak
mendapatkan pengaruh dari lapangan sosiologi dan psikologi.
Dalam dimensi sosiologi, frame dilihat terutama untuk
menjelaskan bagaimana organisasi dari ruang berita dan
pembuat berita membentuk berita. Ini menempatkan media
sebagai organisasi yang kompleks yang menyertakan di
dalamnya praktik profesional. Dengan demikian, menempat-
kan berita sebagai institusi sosial. Sementara dimensi

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
187

psikologis menekankan pada strategi yang dilakukan


wartawan untuk menekankan dan membuat pesan menjadi
bermakna, lebih mencolok, dan diperhatikan publik.
Penonjolan pesan pada taraf awalnya tidak dapat dilepaskan
dari psikologi. Secara psikologis, orang cenderung me-
nyederhanakan realitas dan dunia yang kompleks itu bukan
hanya agar lebih sederhana dan dapat dipahami, melainkan
juga agar lebih mempunyai perspektif tertentu.
Salah satu fokus analisis framing adalah skema
individu. Tentang penjelasan analisis framing ini dikutip dari
Eriyanto (2011: 101-108). Seseorang akan melihat peristiwa
dan gagasan, dalam pandangan tertentu, perspektif tertentu.
Pandangan dan perspektif inilah yang menentukan bagai-
mana pesan dikonstruksi dalam bingkai atau pandangan
tertentu. Dengan demikian, semua konstruksi dan frame ini
dalam perspektif individu. Artinya, dalam perspektif
individu, frame dapat kita tempatkan dalam perspektif
bagaimana seseorang mengkonstruksi pesan. Konsep yang
dapat kita gunakan adalah skema (atau skemata) sebagaimana
berikut ini
1. Simplifikasi; realitas yang komplek dan rumit akan
disederhanakan melalui perspektif seseorang sehingga
menjadi sederhana dan bermakna. Kerangka perspektif itu
mirip sebuah skenario yang ditulis seseorang untuk
meletkkan setiap kejadian atau fenomena dalam alur cerita
yang runtut.
2. Klasifikasi; dunia ini digambarkan sebagai sesuatu yang
beraturan atas dasar klasifikasi yang dibuat. Peristiwa dan

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
188

fenomena yang kompleks akan nampak berbeda,


beraturan, dan bermakna karena ditempatkan dalam skema
klasifikasi berdasarkan jenis, ciri, dan karakteristiknya.
3. Generalisasi; skema ini berhubungan dengan skema
klasifikasi. Sekumpulan peristiwa dan manusia tidak saja
dibedakan dengan kumpulan peristiwa atau manusia lain
berdasarkan klasifikasi, tetapi juga ciri-ciri yang sama yang
melekat dalam entitas yang sama.
4. Asosiasi; skema ini menghubungkan antara satu peristiwa
dan peristiwa lain, antara seseorang dengan orang lain.
Dunia yang tampak komplek dan carut marut dibuat
beraturan dan saling berhubungan.
Ada beberapa macam skema yang akan mengorganisir
pengetahuan dan pengalaman seseorang dan mendikte
bagaimana seharusnya realitas dilihat. Bagaimana sese-
orang menggunakan struktur kognitifnya untuk me-
mandang dunia. Ada beberapa skema untuk itu, sebagai-
mana berikut ini.
1. Skema sosial; skema ini paling banyak dan sering
digunakan. Sema ini sering disebut skrip atau skenario.
Seperti halnya dalam skenario, dunia diandaikan seperti
layaknya sebuah lakon atau drama. Berbagai peristiwa,
perilaku, dan orang dimasukkan dalam skrip dan tata
aturan tertentu sedemikian rupa sehingga membentuk
suatu kesatuan. Skema sosial ini ada beberapa bentuk,
yaitu: skema peran dan skema personal.
2. Skema tekstual; skema ini berhubungan dengan skema
teks. Ini umumnya dipakai untuk menafsirkan teks. Ada

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
189

tiga bentuk skema tekstual, yaitu: genre, kode-kode, dan


gambaran umum dari media.
3. Skema Ideologis; skema ini berhubungan dengan asumsi
ideologis yang implisit terdapat dalam teks. Seseorang
akan menggunakan skema dan kepercayaan dirinya sendiri
untuk melihat dan menafsirkan relitas, di antaranya yang
ada dalam teks.

2. Alternatif Metode Analisis Framing dalam Analisis


Sastra
Meskipun metode analisis framing dipakai dalam
lapangan ilmu komunikasi, tetapi dalam konteks pe-
ngembangan studi sastra, metode tersebut dapat diujicobakan
dalam analisis sastra. Seberapa jauh metode analsis framing
ini dapat digunakan dalam menganalisis karya sastra?
Bagaimanakah penerapannya dalam analisis karya sastra
tersebut? Modivikasi yang bagaimanakah yang dapat
dikonstruksikan sehingga relevan dalam analsis karya sastra?
Pertanyaan-pertanyaan itulah yang akan menuntun peng-
analisis untuk merumuskan sebuah langkah kerja dalam
analisis sastra dengan menggunakan metode ini.
Penerapan metode analisis framing dalam analisis
sastra pada taraf awal adalah membangun landasan kerja
secara keilmuan terlebih dahulu. Landasan operasional
tersebut merupakan suatu hirarki sebagaimana dalam
penelitian pada umumnya, terdiri atas: paradigma, teori,
metode, dan teknik. Sebagai sebuah metode analisis teks,
analisis framing dalam analisis sastra tentu ditempatkan
dalam tataran metode. Sedangkan tataran paradigma,
SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
190

sebagaimana wilayah analisis framing, analisis tersebut


berada dalam wilayah paradigma konstruktivis. Sementara
teori tentu menggunakan teori-teori sastra sebagai teori
utama, sedangkan teori-teori dalam disiplin ilmu lain sebagai
komplemennya. Hal ini didasarkan atas pertimbangan, bahwa
obyek analisis adalah karya sastra dan konteks analisis
terletak dalam studi sastra. Di samping itu, penjelasan dan
pemahaman tentang karya sastra hanya dapat dipahami
melalui teori sastra. Landasan operasional analisis framing
terhadap karya sastra tersebut perlu dijelaskan terlebih dahulu
dalam konteks ilmu sastra. Dengan demikian, perlu
dimodivikasi sesuai hakikat objeknya dan kebutuhan analisis.
Karya sastra pada hakikatnya mengungkapkan dunia
fiktif sebagai hasil dari proses imajinasi pengarangnya tentang
apa yang akan diceritakan dalam karya sastra. Sebagai dunia
fiksi, fakta dalam karya sastra tidak perlu dicari kebenarannya
dalam realitas. Dalam pandangan konstruktivis, hal itu dapat
dijelaskan bahwa fakta dalam realitas karya sastra merupakan
konstruksi subyektif individu yang dipandang dari perspektif
tertentu. Dengan demikian, karya sastra mendefinisikan
realitas yang diungkapkannya melalui sudut pandang
pengarangnya. Dalam hubungannya dengan realitas, karya
sastra bukan menggambarkan realitas, melainkan potret dari
arena pertarungan antara berbagai pihak yang berkaitan
dengan peristiwa. Mengadopsi pandangan kaum konstruksi-
onis, karya sastra adalah hasil dari konstruksi sosial yang
selalu melibatkan pandangan, ideologi, dan nilai-nilai dari
pengarangnya.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
191

Di samping itu, etika, pilihan moral, dan keberpihakan


pengarang adalah bagian integral dalam produksi karya
sastra. Aspek etika, moral, dan nilai-nilai tertentu, sebagai-
mana dikemukakan oleh konstruksionis dalam membicarakan
wacana media, tidak mungkin dihilangkan dari penciptaan
karya sastra. Pengarang bukanlah robot yang memindahkan
apa adanya, apa yang dilihat dari dunia realitas yang
melingkupinya. Etika dan moral yang dalam banyak hal
berarti keberpihakan pada satu kelompok atau nilai tertentu
—umumnya dilandasi oleh keyakinan tertentu— adalah
bagian yang integral dan tidak terpisahkan dalam membentuk
dan mengonstruksi realitas dalam karya sastra. Disadari atau
tidak pengarang menjadi partisipan dari keragaman
penafsiran dan subyektivitas dalam publik. Hal ini sesuai
dengan apa yang dikemukakan Ratna bahwa, secara
sosiogenesis, di satu pihak karya sastra ditulis oleh seorang
pengarang, subyek yang dianggap sebagai asal-usul suatu
aktivitas kultural. Di pihak yang lain, meskipun dengan
hakikat imajinatif, karya sastra tidak bisa lepas dari kerangka
struktur sosialnya. Karya sastra yang dihasilkan dengan
sendirinya memiliki hubungan langsung dengan masyarakat
yang melatarbelaknginya. Sesuai dengan dinamika
masyarakat dan teks, maka bentuk dan sifat hubungan yang
terjadi bermacam-macam. Melalui antarhubungan inilah
terjadi medan-medan ideologi, baik dalam kaitannya dengan
ciri-ciri estetis maupun propagandis ideologi (Ratna,2005:384).
Dengan demikian, ada keberpihakan karya sastra terhadap
pandangan-pandangan tertentu dalam masyarakat. Dalam

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
192

pandangan konstruktivis disebut dengan aspek etika, moral,


dan nilai-nilai tertentu.
Secara ontologis, paradigma konstruktivis ini menyata-
kan bahwa realitas bersifat sosial dan karena itu akan
menumbuhkan bangunan teori atas realitas majemuk dari
masyarakatnya. Dengan demikian, tidak ada suatu realitas
yang dapat dijelaskan secara tuntas oleh suatu ilmu
pengetahuan. Realitas ada sebagai seperangkat bangunan
yang menyeluruh dan bermakna yang bersifat konfliktual dan
dialektis. Berbeda dengan positivisme yang ditolak oleh
konstruktivis, tujuan penelitian konstruktivis cenderung
menciptakan ilmu yng diekspresikan dalam bentuk pola-pola
teori, jaringan atau hubungan timbal balik sebagai hipotesis
kerja, bersifat sementara, lokal, dan spesifik (Muslih,2004:81-
82).
Dalam lapangan studi sastra, penelitian di bawah
konstruktivis dengan demikian menganggap karya sastra
beserta subtansi yang diungkapkannya sebagai realitas sosial.
Realitas sosial tersebut bersifat majemuk sehingga penelitian
terhadapnya tidak secara tuntas dan menyeluruh. Penelitia-
nnya akan menghasilkan bangunan teori substantif yang
mengabstraksi fakta-fakta sastra. Dalam kaitannya dengan hal
itu, Muslih mengemukakan suatu teori muncul berdasarkan
data-data yang ada, bukan dibuat sebelumnya, dalam bentuk
hipotesis sebagaimana dalam penelitian kuantitatif (2004:82).
Penelitian sastra secara konstruktivis cenderung tidak
menggunakan teori formal sebagaimana penelitian pada
umumnya. Muslih lebih lanjut mengemukakan, kesatuan dan

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
193

interaksi antara peneliti dan objek akan berpengaruh pada


nilai-nilai yang dianut, etika, akumulasi pengetahuan, model
pengetahuan, dan diskusi ilmiah.
Dapat dikemukakan bahwa penelitian sastra secara
konstruktivis memiliki beberapa ciri, yaitu: 1) berdasarkan
pada anggapan bahwa karya sastra beserta substansi di
dalamnya merupakan realitas sosial yang majemuk; 2)
analisisnya bersifat interpretatif, emasipasif, dialektik, dan
interaktif antara peneliti dengan karya sastra sebagai objek-
nya; 3) interaksi antara peneliti dan karya sastra melahirkan
temuan teori-teori, bukan sebaliknya didasarkan atas
konstruksi teori formal yang dibangun sebelumnya; dan 4)
tujuan penelitiannya adalah merekonstruksi realitas karya
sastra.
Dengan demikian, metode analisis framing yang di-
gunakan dalam analisis sastra secara konstruktivis ini bukan
dalam tataran sebagai sebuah teori formal, melainkan sebagai
sebuah metode. Sebagai sebuah metode, analisis framing
adalah cara memahami bagaimana karya sastra meng-
konstruksi realitas. Dalam pengertian lain, analisis framing
melihat bagaimana pengarang dan karya sastra membingkai
dan mengkonstruksi realitas yang pada gilirannya disodorkan
kepada pembacanya. Konstruksi realitas itu dipahami oleh
analisis framing melalui skema-skema yang digunakan
pengarang, seperti: simplifikasi, klasifikasi, generalisasi, dan
asosiasi. Apakah skema-skema tersebut merupakan skema
sosial, teks, ataukah ideologis? Bagaimanakah pengarang
mengembangkan bingkai-bingkai atau skema-skema tersebut

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
194

ke dalam karya sastra? Prosedur atau langkah kerja dalam


analisis sastra tercermin dalam pemahaman tentang skema-
skema tersebut. Dengan pemahaman terhadap skema-skema
yang dikembangkan pengarang dalam karya sastra, diharap-
kan dihasilkan temuan yang berupa proposisi-proposisi dan
konsep-konsep teori berdasarkan data (substantif).
Dalam analisis framing sastra ini, karya sastra merupa-
kan wujud konstruksi realitas yang dilihat dari bingkai atau
frame seorang pengarang. Artinya, melalui cerita pengarang
mengkonstruksi realitas tersebut yang dilihat berdasarkan
frame tertentu. Dengan demikian, frame-frame yang diguna-
kan pengarang dapat dipahami dengan menguak cerita
sampai ke kedalaman maknanya. Di samping itu, konstruksi
realitas itu dapat dipahami pembaca melalui cerita yang
diungkapkan. Sejauh pembaca mampu menginterpretasikan
makna cerita, hal tersebut dapat dipahami. Cerita yang terdiri
atas unsur-unsur yang bersinambungan itu pada akhirnya
memiliki dua dimensi. Pertama, cerita dalam karya sastra yang
merupakan dunia yang diungkapkan pengarang tersebut
menjadi realitas yang telah dikonstruksi berdasarkan frame
tertentu. Kedua, cerita tersebut juga mewadahi gagasan dan
pikiran pengarang sebagai wujud konstruksi terhadap realitas
berdasarkan frame tertentu. Namun demikian, karena karya
sastra maknanya terletak pada tingkat sekundernya, maka
tataran kedua dianggap konstruksi realitas yang sebenarnya,
karena gagasan dan pemikiran pengarang terletak dalam
tataran kedua tersebut. Sedangkan pada tataran pertama atau
primer, maka cerita dipandang sebagai sisi permukaan

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
195

sebagai perangkat atau elemen dari skema-skema yang


digunakan pengarang untuk melihat realitas.
Persoalan yang kemudian muncul adalah, perangkat
apakah dalam cerita sastra untuk mendukung adanya skema-
skema tersebut? Jika melihat dari hakikat karya sastra sebagai
sebuah struktur, maka skema-skema tersebut diwujudkan ke
dalam unsur-unsur yang membangun struktur internal karya
sastra. Unsur-unsur struktur cerita bersifat permukaan atau
primer sebagai ‗penanda‘ yang bermakna. Makna dibalik
struktur itulah terletak realitas yang dikonstruksi pengarang
berdasarkan frame-frame. Namun demikian, unsur-unsur
struktur tersebut bukan dalam pengertian yang pada
umumnya digunakan dalan analisis karya sastra, sebagaimana
strukturalisme, melainkan semua aspek, obyek-obyek, tokoh-
tokoh, peristiwa-peristiwa, simbol-simbol, dan sebagainya,
yang nampak di dalam karya sastra. Unsur-unsur tersebut
dapat juga berupa kata, frase, kalimat, paragraf, gambar, dan
sebagainya, yang menekankan pada strategi wacana yang
dikembangkan pengarang, bukan semata-mata sebagai unsur
wacana.

3. Model Analisis Framing Sastra


Model Analisis Framing Sastra dapat diringkas se-
bagaimana uraian berikut. Model Analisis Framing Sastra
akan berawal dari pemahaman akan fakta-fakta yang dipilih
dan diungkapkan oleh pengarang melalui struktur cerita.
Dalam hal ini, fakta-fakta tersebut adalah unsur-unsur
struktur cerita beserta bahasa yang membentuk jaringan

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
196

dalam sistem struktur sebagai sebuah strategi wacana. Fakta-


fakta inilah menjadi perangkat atau elemen bagi munculnya
skema-skema (framing) yang dipakai pengarang dalam
mengkonstruksikan realitas. Dengan demikian, realitas yang
dilihat pengarang melalui unsur-unsur cerita sebagai fakta-
fakta. Sekaligus fakta-fakta tersebut memaknakan konstruksi
realitas yang dilihat pengarang. Analisis framing sastra
selanjutnya adalah memahami skema-skema yang digunakan
pengarang tersebut. Pada tahap selanjutnya, hasil dari
pembahasan atas skema-skema yang digunakan pengarang
untuk mengkonstruksikan realitas tersebut dilihat dalam
dimensi sosiologis dan psikologis. Sebagaimana dalam teori
framing, konsep framing dapat dilihat dari dua dimensi, yaitu
sosiologi dan psikologi.
Model Analisis Framing Sastra menganalisis beberapa
aspek yang terkandung dalam karya sastra, yaitu: fakta
realitas dalam sastra, skema-skema yang digunakan pe-
ngarang untuk menjelaskan fakta-fakta tersebut, dan aspek
sosiologis dan psikologis yang mempengaruhi penggunaan
skema-skema tersebut oleh pengarang. Ketiga aspek tersebut
akan merumuskan suatu kesimpulan tentang bagaimana
pengarang mengonstruksi realitas di dalam karya sastra.
Berikut ini akan diuraikan ketiga aspek tersebut agar dapat
memberikan landasan bagi prosedur analisisnya.
Pada tahap awal yang dianalisis adalah fakta realitas
yang ada dalam karya sastra. Yang dimaksud fakta-fakta
realitas dalam konteks ini adalah unsur-unsur yang mem-
bangun struktur karya sastra sebagai refleksi dari struktur

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
197

masyarakat yang melatarbelakangi karya sastra tersebut.


Ratna mengemukakan, menurut visi sosiologi sastra, makna
karya seni terdiri atas hubungan-hubungan seimbang antara
medium dengan pesan, bentuk dengan isi, sebagai
keseimbangan totalitas artistik. Totalitas artistik tidak semata-
mata terkandung dalam struktur instrinsik, dalam ―dunia
dalam kata‖ menurut pemahaman strukturalisme, melainkan
juga memiliki ciri-ciri transformasinya dalam struktur yang
lebih luas, yaitu struktur sosial. Di samping itu, konstruksi
struktur alur, tokoh-tokoh dengan personalitasnya, berkaitan
erat dengan asumsi-asumsi sosiohistoris. Karya seni, dengan
ciri-ciri utama nilai estetisnya terjadi dalam totalitas
kehidupan manusia (2003: 75-77).
Dengan demikian, fakta-fakta realitas yang hendak
dipahami dalam karya sastra sebagaimana visi menurut
sosiologi sastra itu. Unsur-unsur karya sastra tidak dipahami
sebagai fakta realitas fiktif-imajinatif semata, melainkan
memiliki hubungan dalam konteks antarhubungan sastra
dengan masyarakatnya. Fakta-fakta realitas semacam itu
sengaja dipilih pengarang dan diungkapkan ke dalam karya
sastra yang diciptakannya. Untuk menjelaskan unsur-unsur
karya sastra sebagai fakta realitas, diperlukan interpretasi dan
refleksi dalam kaitannya dengan realitas masyarakat. Unsur-
unsur itu dapat disebut sebagai fakta realitas sejauh dapat
diketemukan hubungannya dengan realitas masyarakatnya.
Dalam pengertian lain, unsur-unsur karya sastra sebagai fakta
realitas apabila menunjukkan gambaran realitas di luar karya
sastra yang diacu. Kendala sifat fiktif-imajinatif yang melekat

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
198

dalam karya sastra bukan dikesampingkan, tetapi justru lebih


didekatkan jarak estetisnya dengan realitas masyarakatnya.
Cakrawala sosiologi sastra dapat digunakan untuk membantu
dalam analisisnya, sejauh tidak menjadi kerangka berpikir
analisisnya. Analisis Framing Sastra tetap dalam rel konstruk-
tivis yang bersifat substantif dalam kerangka berpikirnya.
Fokus analisis pada tahap awal ini adalah, (1) unsur-
unsur karya sastra apa saja yang diungkapkan dalam karya
sastra sebagai fakta-fakta realitas; (2) unsur yang mana yang
lebih ditekankan dan ditonjolkan oleh pengarang sebagai
sebuah strategi kewacanaan; dan (3) bagaimana jaringan yang
menghubungkan unsur-unsur tersebut sehingga membentuk
struktur karya sastra. Unsur-unsur tersebut terdiri atas dua
jenis, yaitu: unsur cerita dan unsur bahasa. Unsur cerita
seperti tokoh, setting, peristiwa, suasana, waktu, alur, dan
sebagainya. Sedangkan unsur bahasa dapat berupa kata, frase,
kalimat, kutipan teks, metafora, pendapat umum, jargon,
istilah teknis, dan sebagainya. Kedua unsur tersebut
diperlakukan sebagai fakta realitas karena mengacu pada
gambaran realitas di luar karya sastra.
Temuan yang hendak diraih dalam tahap awal ini
adalah, konsep sistem jaringan antar unsur-unsur dalam karya
sastra dan antara unsur-unsur tersebut dengan realitas di luar
karya sastra. Temuan ini akan menjelaskan bagaimana strategi
wacana sastra dalam kaitannya dengan realitas yang
digambarkan. Sekaligus sebagai titik berangkat analisis pada
tahap selanjutnya. Jika dibagankan akan nampak sebagai
berikut.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
199

Unsur-
sastra Unsur

Realitas
Fakta
yang
Realitas
dikonstruksi

Unsur-Unsur
Pengarang
dalam realitas

Bagan 4: Strategi Wacana Sastra

Pada tahap kedua analisis framing sastra, fokus


analisisnya mengarah pada skema-skema yang digunakan
pengarang dalam mengkonstruksikan gambaran realitas
dalam karya sastra. Skema-skema tersebut dapat
menggunakan skema dalan metode analisis framing media,
namun demikian dapat membuka ruang bagi temuan skema-
skema yang lain. Mengingat hakikat karya sastra sebagai
obyek analisis framing berbeda dengan hakikat media, maka
dimungkinkan terdapat skema-skema lain yang diketemukan
dalam analisis. Hal itulah salah satu temuan dalam analisis
framing sastra pada tahap kedua.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
200

Titik berangkat analisis tahap kedua adalah hasil-hasil


analisis tahap pertama. Tanpa tahap pertama tidak mungkin
analisis terhadap skema dapat dilakukan. Fakta-fakta realitas
yang dipilih dan diungkapkan dalam karya sastra, beserta
sistem jaringan yang membangun strukturnya, merupakan
suatu konstruksi realitas yang dilihat atau dipandang oleh
pengarang. Hal itu merupakan hasil analisis tahap pertama.
Di situlah akan diketemukan bagaimana pengarang
mengambil posisinya sebagai pemandang terhadap realitas
itu. Sekaligus hal ini mengarah pada skema-skema yang
dikembangkan oleh pengarang dalam karya sastra yang
diciptakannya. Dalam tahap ini teori skema dalam metode
analisis framing media dapat digunakan untuk memahami
dan menjelaskan skema yang dipakai oleh pengarang. Namun
demikian, dapat terjadi bahwa teori skema media tidak cukup
relevan atau kurang memadai untuk menjelaskan karya sastra
sebagai obyek analisis. Modivikasi dilakukan dalam kerangka
analisis teori substantif.
Tahap analisis ketiga adalah memahami skema-skema
konstruksi realitas yang dikembangkan pengarang secara
sosiologis dan psikologis. Dalam dimensi sosiologis, karya
sastra ditempatkan pada kedudukannya sebagai institusi
sosial. Artinya, karya sastra dijelaskan dalam hubungannya
dengan institusi sosial lainnya, pembaca, dan masyarakat
yang melatarbelaknginya. Karya sastra dalam kedudukannya
tersebut dipahami sebagai produk sosiokultural masyarakat,
bukan semata-mata produk pengarang sebagai individu.
Sedangkan dimensi psikologi analisia framing sastra

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
201

mengarah pada struktur kognitif yang melandasi terbangun-


nya skema-skema atau frame-frame yang digunakan
pengarang untuk melihat dan memandang realitas. Dalam
analisis tahap ketiga ini bantuan disiplin sosiologi dan
psikologi akan sangat membantu. Khususnya dalam hal
memberikan pengertian-pengertian dalam kaitannya dengan
konstruksi realitas yang diungkapkan pengarang dalam karya
sastra.

B. Model Analisis: Sastra sebagai Wacana Pengetahuan


1. Dasar Berpijak bagi Penelitian Sastra
Mengapa sastra selalu mengada dalam kehidupan ini?
Mengapa sastra selalu dibutuhkan sepanjang sejarah manusia?
Pertanyaan tersebut mengarah pada pembicaraan tentang
eksistensi sastra dalam kehidupan. Persoalan ‗mengada‘
(eksistensi) sastra tersebut dapat dijelaskan dari dua cara
pandang. Pertama, yaitu sastra ada karena selalu ada yang
menciptakan dan membutuhkannya. Pada mulanya sese-
orang mengenal sastra. Pengenalan terhadap karya sastra itu
pada akhirnya semakin serius, sehingga terjadi pergumulan
dan kegairahan terhadap sastra. Ada keasyikan dan dorongan
untuk itu. Pada tingkat selanjutnya akan bercabang-cabang
bentuk pergumulan dan kegairahan bersastra itu. Seseorang
bisa memilih dalam hidupnya sebagai seorang penulis sastra,
akademisi sastra, peminat baca sastra, bahkan pedagang
buku-buku sastra. Secara akumulatif, realitas bersastra ter-
sebut menjadikan sastra semakin mengada dalam kehidupan.
Kedua, dapat juga dijelaskan dengan cara pandang
berdasarkan sejarah sastra dari zaman ke zaman. Ketika
SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
202

masyarakat belum mengenal disiplin berpengetahuan dan


masih berpola pikir sederhana, sastra --baik lisan maupun
tulis—adalah pengetahuan itu sendiri. Belum ada pembagian
yang tegas antara karya seni, pengetahuan, dan hukum
tentang realitas. Sastra pada zaman ini merupakan satu-
satunya ragam pelisanan dan penulisan formal yang diakui
masyarakat. Menciptakan karya sastra dengan begitu tidak
semata-mata ekspresi berkesenian, tetapi juga bertujuan untuk
mengajarkan pengetahuan dan nilai-nilai kebenaran. Oleh
karena itu, seorang yang menciptakan sastra digologkan
sebagai cendekia, ahli, dan suci. Bahkan dalam keyakinan
mereka, karya sastra merupakan bentuk penyatuan antara
yang gaib dengan manusia. Kalau kemudian karya-karya
sastra pada zaman itu bersifat anonim, karena bersumber dari
keykinan seperti itu. Karya sastra bukan semata-mata ciptaan
manusia.
Ketika manusia berkembang dan memisahkan antara
sastra dengan pengetahuan, maka sastra menjadi wacana
tersendiri dan pengetahuan sendiri pula. Hal itu terjadi
lantaran munculnya pemikiran-pemikiran yang dilandasi oleh
suatu disiplin. Prosedur dan kriteria sebuah pengetahuan
harus didasari oleh aturan-aturan sebagaimana yang
dipikirkan manusia. Muncullah paradigma keilmuan sebagai
cara pandang terhadap kebenaran realitas. Sedangkan sastra
memiliki cara pandang sendiri yang lepas dari cara pandang
keilmuan tersebut. Bahkan sastra pada akhirnya menjadi salah
satu obyek keilmuan tersebut. Pada akhirnya lahirlah wacana
sastra yang berbeda dengan wacana pengetahuan. Dan di

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
203

dalam masyarakat sekarang bahkan muncul jenis-jenis wacana


yang beragam, seperti wacana hukum, wacana ilmiah, wacana
pembelajaran, wacana jurnalistik atau berita, dan sebagainya.
Persoalan yang muncul kemudian adalah, mengapa
seseorang mengkonstruksikan gagasan dan pikirannya ke
dalam wacana sastra, bukan dengan wacana yang lain? Dalam
perspektif kesastraan, gagasan dan pikiran seorang pengarang
dapat terwadahi oleh obyek-obyek sebagai hasil imajinasinya.
Obyek-obyek tersebut adalah peristiwa, tokoh, dan tempat
sebagai unsur karya sastra. Gagasan dan pikiran seorang
pengarang juga diekspresikan melalui bahasa yang indah dan
kreatif. Unsur obyek dan bahasa tersebut bersifat khas, unik,
fiktif, imajinatif, kreatif, dan ekspresif. Dengan demikian,
sastra dapat mengemas gagasan dan pikiran tersebut dengan
cara seperti itu, sehingga tidak saja memenuhi kebutuhan
komunikatif, tetapi juga kebutuhan ekspresivitas kreatif dan
estetik.
Dalam perspektif ekspresivitas kreatif estetik tersebut,
gagasan dan pikiran menjadi samar dan tersembunyi dibalik
unsur-unsur karya sastra. Dengan demikian, faktor
komunikasi menjadi semu dalam sastra, meskipun bukan
hilang sama sekali. Komunikasi terjadi secara interpretatif,
reflektif, dan relatif. Pesan yang terkandung dalam tindak
komunikasi sastra terletak pada sejauh mana komunikan
menginterpretasikan dan merefleksikan karya sastra, dan hal
itu berkecenderungan berbeda-beda antara orang yang satu
dengan yang lain. Dalam perspektif ini, gagasan dan pikiran
dalam sastra menjadi multi interpretable. Di samping itu,

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
204

gagasan dan pikiran tersebut memperoleh makna yang


semakin kaya dari sisi pembacanya.
Dalam perspektif penciptaan, gagasan dan pemikiran
pengarang merupakan hasil dari refleksinya terhadap
peristiwa yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Pada tataran
ini, gagasan dan pikiran tersebut tidak dalam pengertiannya
yang empiris, fisikal, dan informatif. Peristiwa yang diamati
dan dialami pengarang mungkin bersifat biasa saja, tetapi
dengan kepekaan pengarang peristiwa tersebut dikuak makna
terdalamnya. Bisa terjadi peristiwa yang logis dan lumrah
dalam realitas menjadi tidak logis dan lumrah dalam karya
sastra. Demikian sebaliknya. Hal itu terjadi lantarasan
terdapat gagasan dan pikiran sebagai hasil refleksi terhadap
peristiwa yang setiap hari terjadi tanpa pernah dipikirkan dan
disadari orang yang melakukannya. Dalam karya sastra
gagasan dan pikiran bukan semata-mata apa yang dirasional-
kan pengarang, tetapi lebih dari itu, sebagai sebuah refleksi.
Sebagai sebuah refleksi, gagasan dan pikiran tersebut ter-
kandung penghayatan, perenungan, pemikiran, sikap,
keyakinan, bahkan ideologi yang sengaja disamarkan.
Di ujung pemikiran di atas muncul adanya ideologi
sebagai gagasan dan pikiran yang terkandung dalam sastra.
Sepanjang sejarahnya, karya sastra memang tidak pernah
lepas dari ideologi. Melalui karya sastra, pengarang sengaja
menyamarkan ideologi di balik unsur-unsur yang diceritakan.
Dalam konteks ini, ideologi tersembunyi tersebut tidak saja
sebagai suatu strategi yang bersifat hegemonis, tetapi unsur-
unsur yang menyembunyikan ideologi tersebut dipahami

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
205

sebagai model atau skema alternatif terhadap realitas. Model


atau skema kehidupan tersebut merupakan dunia kemungkin-
an bagi realitas. Gagasan dan pemikiran pengarang dalam
sastra dimodelkan dan diskemakan melalui unsur-unsur
sastra sebagai alternatif bagi model dan skema kehidupan
dalam realitas.
Kembali kepada pertanyaan di muka, mengapa
seseorang mengkonstruksikan gagasan dan pikirannya ke
dalam wacana sastra, bukan dengan wacana yang lain?
Penjelasan di atas dapat disimpulkan sebagai jawaban atas
pertanyaan tersebut.
a. Sastra mampu mengemas gagasan dan pikiran tersebut
dengan cara khas, unik, fiktif, imajinatif, kreatif, dan
ekspresif, sehingga tidak saja memenuhi kebutuhan
komunikatif, tetapi juga kebutuhan ekspresivitas kreatif
dan estetik.
b. Dalam sastra gagasan dan pikiran memperoleh makna
yang semakin kaya dari sisi pembacanya. Hal itu disebab-
kan karena gagasan dan pikiran seseorang tersebut bersigat
multi interpretabel; banyak penafsiran.
c. Dalam karya sastra gagasan dan pikiran bukan semata-
mata apa yang dirasionalkan seseorang, tetapi lebih dari
itu, sebagai sebuah refleksi terhadap peristiwa yang terjadi
dalam realitas.
d. Gagasan dan pemikiran seseorang dalam sastra dimodel-
kan dan diskemakan melalui unsur-unsur sastra sebagai
alternatif bagi model dan skema kehidupan dalam realitas.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
206

Keempat hal tersebut sekaligus menjadi titik awal bagi


pembicaraan tentang karya sastra sebagai sebuah wacana
pemikiran. Dalam pengertian lain, karya sastra merupakan
wacana pengetahuan tentang gagasan dan pemikiran tentang
hakikat kebenaran dan kehidupan. Cara pandang terhadap
karya sastra sebagai wacana pengetahuan didasarkan atas
asumsi bahwa karya sastra mengangkat persoalan manusia
dan kemanusiaan, baik secara lokal maupun universal. Secara
lokal, bahwa karya sastra mengungkapkan problema yang
berkaitan dengan konteks dunia sekitar yang melatar-
belakanginya. Sedangkan secara universal, bahwa karya sastra
mengungkapkan problema manusia pada umumnya. Peng-
ungkapan problema manusia dan kemanusiaan tersebut
disikapi, dikritisi, dinilai dengan sudut pandang seorang
intelektual. Penuangannya melalui siasat sastra, yaitu
imajinasi, fiksi, dan ekspresi estetis.
Pengungkapan problema manusia dan kemanusiaan,
baik secara lokal maupun universal, merupakan gagasan dan
pemikiran pengarang. Jika kembali pada pembicaraan di
muka, maka gagasan dan pemikiran tersebut diungkapkan
melalui model dan skema sebagai strategi kewacanaan. Model
dan skema tersebut merupakan bangunan struktur yang
terdiri atas unsur-unsur yang berelasi. Dan dibalik bangunan
struktur itulah terdapat gagasan dan pemikiran yang
melandasinya. Dengan demikian, memperlakukan karya
sastra sebagai wacana pengetahuan akan menguak landasan
bangunan strukturnya. Pemahaman itulah yang terlebih

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
207

dahulu harus dilakukan sebelum memahami mengenai


pengetahuan yang tertuang di dalam karya sastra.
Dunia fiktif dan imajinatif yang diungkapkan dalam
karya sastra bukan dengan sendirinya mereduksi karya sastra
sebagai wacana pengetahuan. Justru dengan fiksi dan
imajinasi itulah karya sastra mampu membangun dirinya
sebagai wacana pengetahuan yang khas yang berbeda dengan
wacana pengetahuan yang lain. Fiksi dan imajinasi
menciptakan dunia kemungkinan bagi dunia realitas. Dunia
kemungkinan merupakan hasil dari penerapan cara pandang
yang bertolak belakang dengan realitas demi realitas sebagai
tandingannya itu. Dunia kemungkinan merupakan bentuk
dari penyikapan, penilaian, kekritisan, perenungan, peng-
hayatan, dan pembayangan sesuai dengan gagasan dan
pemikiran pengarangnya. Karya sastra dalam tataran itu
diperlakukan salah satu referensi kehidupan. Karya sastra
tidak semata-mata sebagai karya seni, tetapi juga sebagai
wacana yang bermanfaat bagi kehidupan masyarakatnya.
Karya sastra dalam kedudukannya yang demikian itu,
merupakan konsekuensi dari peran dan fungsinya sebagai
institusi sosial. Fungsi dan peran sebagai intitusi sosial
melekat sepanjang sejarah sastra dan masyarakatnya. Peran
dan fungsi sosial karya sastra adalah media sosialisasi nilai-
nilai kemanusiaan, kebenaran, dan kehidupan. Untuk
mencapai hal itu karya sastra harus menempatkan dirinya
sebagai bagian dari kehidupan dan kebutuhan masyarakat-
nya. Di sisi yang lain, karya sastra juga mesti mengembannya
dengan mengungkapkan gagasan dan pemikiran yang ber-

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
208

manfaat bagi masyarakatnya. Dunia kemungkinan yang


tertuang di dalam karya sastra dengan begitu merupakan
gagasan dan pemikiran pengarang yang diamanatkan kepada
masyarakat
Di samping itu, eksistensi pengarang sepanjang
sejarahnya adalah seorang intelektual. Sebelum ilmu
pengetahuan muncul dan mengklaim atas kebenaran terhadap
realitas, karya sastra sudah terlebih dahulu menempatkan
dirinya sebagai klaim kebenaran dan pengetahuan
masyarakatnya. Karya sastra pada waktu itu sebagai sumber
pengetahuan yang mempedomani dan mengarahkan
masyarakat mengkonsepsikan hakikat kehidupan dan
kebenaran. Pengarangnya merupakan kelas cendekiawan
yang dihormati dan dihargai sebagai manusia yang memiliki
pengetahuan yang lebih. Ketika regimitas kekuasaan kerajaan
muncul, pengarang merupakan bagian dari regimitas itu. Ia
diperlakukan sebagai orang suci, berpengetahuan, dan
mampu mendidik masyarakat tentang etika, moral, dan
spiritual masyarakat. Dalam perkembangan kemudian, ketika
ilmu pengetahuan muncul dan regimitas kerajaan digantikan
oleh konsep negara modern, karya sastra tidak serta merta
kehilangan eksistensinya sebagai wacana pengetahuan.
Meskipun karya sastra dan pengarangnya mengalami
perubahan juga, seiring dengan perkembangan masyarakat-
nya, tetapi eksistensi karya sastra dan pengarangnya tetap
menduduki posisi sebagai kelas intelektual dan terpelajar.
Kedudukan karya sastra dan pengarangnya dalam
ranah intelektualitas masyarakat membuktikan bahwa

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
209

keduanya memiliki peranan dan latar belakang keintelek-


tualan. Dengan begitu kedudukan itu sejajar dengan
kelompok ilmuwan dan akademisi. Pemetaan tersebut bukan
semata-mata didasari oleh latar belakang pengarangnya,
tetapi juga kualitas karya sastra yang diciptakannya.
Hubungan karya sastra dengan pengarangnya tidak terbatas
pada hubungan penciptaan, tetapi juga hubungan dalam
konteks mediasi antara pengarang dengan masyarakatnya
melalui karya sastra. Pengertian ini secara tepat diwadahi oleh
Horace dengan jargonnya, dulce et utile; menghibur dan
mendidik. Seorang filsuf Yunani, Aristoteles, juga
mengemukakan bahwa karya sastra sebagai chatarsis;
penyucian batin atas nafsu-nafsu.
Eksistensi karya sastra dengan demikian sebagai
sumber referensi tentang kebenaran dan kehidupan, manusia
dan kemanusiaannya, bagi masyarakat. Kedudukan tersebut
tidak mungkin muncul tanpa memandang kualitas karya
sastra, latar belakang pengarangnya, dan dinamika sejarah
dan masyarakatnya yang melatarbelakanginya. Sekaligus
kedudukan tersebut menempatkan karya sastra sebagai salah
satu wacana pengetahuan. Jika demikian, persoalan yang
muncul kemudian adalah, bagaimana analisis karya sastra
menempatkan dirinya terhadap karya sastra sebagai wacana
pengetahuan sebagai obyek analisisnya. Persoalan ini
mengarahkan analisis karya sastra kepada cara pandang yang
relevan. Cara pandang apakah yang dapat digunakan untuk
menganalisis karya sastra sebagai wacana pengetahuan?
Teori-teori formal yang ada selama ini sesungguhnya telah

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
210

mengarah ke sana, meskipun secara implisit. Justru yang


dibutuhkan adalah teori-teori substantif yang secara eksplisit
dan tegas mengabstraksikan fakta-fakta pengetahuan yang
terkandung dalam karya sastra.
Salah satu fokus analisis yang dapat dipilih berdasar-
kan realitas sastra sebagai wacana pengetahuan di atas adalah,
gagasan dan pemikiran pengarang sebagai penyikapan ter-
hadap suara zaman. Fokus tersebut diletakkan dalam konteks
dinamika perubahan masyarakat. Di dalam konteks dinamika
perubahan masyarakat itulah, karya sastra sebagai wacana
pengetahuan menempatkan dirinya ke dalam arus perubahan
tersebut. Bagaimanakah substansi dan abstraksi fakta-fakta
sosiokultural diekspresikan ke dalam karya sastra melalui
sikap dan pandangan pengarangnya. Pemikiran tentang sastra
dan eksistensinya di atas dapat menjadi dasar pemikirannya.

2. Konsep Dasar
Signifikansi sastra Indonesia modern dapat dipetakan
melalui reaksi karya sastra dalam menyuarakan semangat
zaman yang melatarbelakanginya. Pemetaan semacam itu
sekaligus dapat menjelaskan peranan sastra Indonesia me-
motret, mendokumentasi, dan menyikapi apa yang terjadi di
masyarakatnya. Suatu topik yang jarang dibicarakan sehingga
seolah kesusastraan Indonesia modern kurang memiliki peran
dan fungsi sosial. Pembicaraan cenderung terfragmentasi dan
dilatarbelakangi kebutuhan analisis dan penganalisis semata;
bukan bertujuan untuk kesusastraan Indonesia.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
211

Sebagai kajian awal, tulisan ini bertujuan membuka


lapangan bagi penelitian lebih lanjut tentang hal tersebut.
Konsekuensinya, penelitian akan melakukan pengulangan
yang pernah terjadi, karena sebenarnya topik tersebut telah
dibicarakan beberapa kalangan. Namun demikian, hal itu
dapat disikapi secara berbeda dengan menempatkannya
dalam kerangka perkembangan dan kacamata teori yang
komprehensi dan substantif. Landasan kajian semacam itu
nampaknya selama ini juga kurang menunjukkan adanya
penelitian yang komprehensif. Paling tidak, memiliki wilayah
obyek material dalam rentang sejarah perkembangan ke-
budayaan masyarakat, dan wilayah obyek formal yang
meliputi berbagai aspek sesuai dengan realitas yang ada.
Kajian semacam itu juga bukan semata menghilangkan
hakikat karya sastra sebagai karya seni dan meletakkannya
dalam kerangka sejarah umum. Pemenuhan kebutuhan kajian
yang komprehensif justru harus menyentuh pada persoalan
karakteristik dan konvensi kesastraan sebagai suatu
perkembangan sikap budaya dan kreativitas dari karya sastra
dan sastrawannya. Sikap budaya dan kreativitas bersastra
sepanjang sejarahnya selalu mencerminkan reaksi terhadap
realitas yang ada. Justru kajian semacam itu harus
memusatkan perhatian pada aspek intrinsik ke arah
ekstrinsik.
Yang hendak menjadi fokus kajian tersebut adalah
merumuskan sebuah peta perkembangan karya sastra dalam
kaitannya dengan sikap budaya dan kreativitas dalam
kesusastraan Indonesia modern untuk mereaksi keadaan

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
212

zamannya. Sebagai peta perkembangan mesti harus


memahami benang merah yang menghubungkan fragmen-
fragmen dalam bersastra. Bukan sebaliknya, justru memotong-
motong sebagaimana yang pernah dilakukan dalam kajian-
kajian sebelumnya. Kesinambungan tersebut mutlak
dilakukan agar dapat dipahami dinamika kesusastraan itu
sendiri dan sosiokultural masyarakat yang direaksi.
Landasan kerja yang dipakai dalam prosedur kajian-
nya berpijak pada asumsi dasar sebagai berikut.
a. Sebagai karya seni, karya sastra merupakan wujud ekspresi
pengarang sebagai individu dan anggota masyarakat.
Dalam dua ujung posisi pengarang tersebut, di satu ujung
terletak suatu sikap yang kreatif dan imajinatif, dan di
ujung yang lain terletak sikap hidup dan budaya sebagai
perwujudan status pengarang sebagai kelompok intelektual
masyarakat. Di antara dua ujung tersebut, karya sastra
muncul dalam khazanah budaya masyarakatnya sebagai
suatu produk budaya.
b. Karya sastra merupakan media komunikasi yang berisi
pemikiran, penghayatan, perenungan, pergulatan, penilai-
an, dan kritik sosial. Tataran ini menempatkan karya sastra,
sebagaimana wacana pengetahuan yang lain, sebagai
substansi dan abstraksi fakta-fakta sosiokultural yang
diekspresikan melalui sikap dan pandangan hidup
pengarangnya. Pada gilirannya disodorkan pengarang
kepada masyarakat untuk difahami, diapresiasi, ditanggap-
i, dan dikritisi. Betapapun imajinatif dan fiktifnya, karya
sastra tetap akan terjalin dalam konteks komunikasi dan

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
213

interaksi sosialnya. Dalam teori resepsi terdapat horizon


penerimaan sebagai pijakan bagi pembaca untuk merespon
karya sastra.
c. Sepanjang sejarahnya, masyarakat memiliki dinamika yang
semakin kompleks, baik kompleksitas kebutuhan, aspek
kehidupan, mental dan semangat zaman, dan kompleksitas
budayannya. Dinamika tersebut membawa perubahan pola
hidup ke arah positif dan negatif. Setiap periode zaman
memiliki situasi dan kondisi yang berbeda-beda, meskipun
batas-batasnya sangat sulit untuk ditentukan. Perkembang-
an masyarakat dan kebudayaannya cenderung evolutif dari
pada revolutif. Realitas semacam itulah yang direaksai dan
disikapi sastrawan melalui karya sastra yang dicipta-
kannya.
d. Ekspresivitas karya sastra merupakan wujud penyikapan
terhadap dampak dari dinamika masyarakat dan
kebudayaannya. Karya sastra dalam hal ini mengambil
peran sebagai pengetahuan tentang kehidupan. Sebagai
pengetahuan, karya sastra berisi nilai-nilai hidup yang
dapat digunakan sebagai referensi masyarakat. Melalui
obyek-obyek yang diceritakan, sebagai unsur sistem
struktur, penyikapan terhadap dinamika masyarakat dan
kebudayaannya disuarakan. Di samping sebagai substansi
pengetahuan yang dikandung, penyikapan tersebut
merupakan landasan pemikiran dari bangunan struktur
karya sastra. Dengan demikian, terdapat pola segitiga
dalam kaitannya dengan hal tersebut: sikap budaya -
struktur karya - landasan pemikiran bangunan struktur.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
214

Keempat asumsi dasar di atas kiranya dapat melandasi


penyusunan landasan operasional penelitian sastra yang
mengambil obyek formal sikap sastrawan dalam karya sastra
dalam menyuarakan semangat zaman. Terdapat lima konsep
dasar yang dapat digunakan sebagai pedomannya, yaitu:
subyek intelektual, fakta struktural sastra, proyeksi sosio-
kultural dan semangat zaman, fakta relasional, dan sinkronik-
diakronik.

a. Pengarang sebagai Subyek Intelektual


Pengarang sebagai subyek intelektual merupakan
obyek formal penelitian sastra yang hendak memahami reaksi
sastrawan terhadap semangat zaman yang melatar-
belakanginya, yang tercermin dalam karya sastra yang
diciptakannya. Sedangkan pengertian subyek intelektual
adalah pemikiran sastrawan yang terkandung dalam karya
sastra sebagai wujud penyikapan dan reaksi terhadap
semangat zaman yang melatarbelakanginya. Dalam konteks
ini disebut dengan istilah sikap budaya. Melalui obyek yang
diceritakan, baik tokoh, peristiwa, maupun unsur-unsur lain
yang terkandung dalam struktur karya sastra, sastrawan
menyembunyikan pemikiran-pemikirannya di balik unsur-
unsur tersebut. Dengan demikian, sistem struktur karya sastra
tidak sekedar pola hubungan antra unsur-unsurnya, tetapi
juga ada landasan pemikiran yang membingkainya. Inilah
yang disebut di muka sebagai pola segitiga.
Pengarang sebagai subyek intelektual memiliki dua
dimensi, yaitu: dimensi realitas dan dimensi fiksional.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
215

Dimensi realitas menunjuk pada posisi pengarang sebagai


anggota masyarakat yang berstatus sosial kelompok
intelektual. Banyak istilah yang dapat digunakan untuk
menyebut kelompok sosial tersebut, yaitu: kelompok
terpelajar, cendekiawan, budayawan, penulis, dan seniman.
Status ini diperoleh seseorang atas usahanya memproduksi
budaya dan pengetahuan, yang secara konsisten dan
professional dilakukannya; termasuk di dalamnya komitmen
hidup. Sedangkan subyek intelektual dimensi fiksional
menunjuk pada intelektualitas yang terkandung dalam karya
sastra. Pemikiran, sikap, pandangan, dan indeologi, yang
disembunyikan melalui unsur-unsur struktur karya sastra
merupakan wujud adanya subyek yang berbicara; dalam hal
ini pengarangnya.
Subyek intelektual dimensi realitas dibentuk oleh
pengalaman dan sejarah hidup pengarang di dalam
masyarakat. Dalam pengalaman dan sejarah hidupnya,
pengarang mengalami peristiwa, pendewasaan, pematangan,
pendidikan, dan pengaruh, baik dari individu lain dan
kolektivnya, institusi sosial, perkembangan dan kondisi
zaman, kebutuhan dan kepentingan, konflik sosial, dan
sebagainya. Secara psikologis, proses pengalaman tersebut
membentuk kepribadian dan orientasi hidup pengarang.
Di samping itu, proses pengalaman tersebut juga
membentuk pola pikir dan pandangan pengarang terhadap
lingkungannya. Adanya cakrawala berpikir yang dibentuk
oleh pengalaman hidup itu. Penyikapan, tanggapan, dan dan
reaksi pengarang terhadap kehidupan dan dunia sekitarnya,

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
216

pada akhirnya akan dibingkai ke dalam cakrawala berpikir-


nya itu. Cakrawala berpikir pengarang dilatarbelakangi oleh
ideologi, ras dan suku, agama, status sosial, dan psikolgisnya.
Pada gilirannya, subyek intelektual dimensi realitas
tersebut mengalami strukturasi, baik disadari maupun tidak,
ke dalam diri subyek intelektual dimensi fiksional. Strukturasi
adalah pembayangan dari sikap dan pemikiran subyek
intelektual realitas (pengarang) yang terkandung dalam karya
sastra dan sebagai landasan pemikiran bangunan struktur
karya sastra itu. Dengan demikian, strukturasi itu dapat
diidentifikasi melalui unsur-unsur yang membentuk sistem
struktur karya sastra. Pola segi tiga yang dikemukakan di atas
pada akhirnya terdiri atas relasi subyek intelektual realitas,
subyek intelektual fiksional, dan struktur sastra. Jika
digambarkan dalam bagan berbentuk sebagaimana berikut ini.

struktur sastra

subyek subyek
intelektual intelektual
realitas fiksional

Bagan 5:
Pola Segitiga Relasi Subyek Intelektual dengan Karya Sastra

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
217

Persoalannya adalah, unsur-unsur yang mana dalam


struktur karya sastra yang menggambarkan strukturasi
subyek intelektual dimensi realitas? Unsur-unsur itulah yang
harus dipahami terlebih dahulu sebelum memahami semua
hal tentang subyek intelektual tersebut. Sekaligus, akan
mengarahkan pada penjeleasan terhadap fokus penelitian ini.

b. Fakta Struktur Sastra


Dalam kerangka penelitian ini, struktur karya sastra
tidak sebagaimana umumnya dalam penelitian struktural
sastra yang pernah ada sebelumnya. Yang dimaksud dengan
struktur di sini merujuk pada strategi kewacanaan, yaitu
model dan skema, yang diciptakan dan dipakai pengarang
dalam karya sastra. Dengan demikian, strategi kewacanaan
adalah model dan skema yang digunakan pengarang untuk
mengungkapkan ceritanya melalui simbol-simbol, gambar-
gambar, obyek-obyek, dan tanda-tanda yang berhubungan
membentuk sistem struktur karya sastra.
Pada dasarnya memahami karya sastra dihadapkan
pada model dan skema tertentu. Model atau skema tersebut
menunjukkan garis-garis hubungan antara unsur-unsur dalam
sistem struktur wacana sastra. Model merupakan kerangka di
mana unsur-unsur yang ada ditempatkan di dalamnya.
Kerangka tersebut berupa domain pemikiran yang
memandang dan memperlakukan obyek-obyek yang
diceritakan sebagai sebuah unsur struktur. Domain pemikiran
tersebut dapat berupa konsep-konsep, seperti keperempuan-
an, sosial budaya, aliran-aliran, gerakan pemikiran, dan

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
218

sebagainya, yang dipakai untuk menggambarkan dimensi


unsur-unsur tersebut. Sedangkan skema adalah pola atau
patron hubungan antara unsur yang yang satu dengan unsur
yang lain; antara model yang satu dengan model yang lain.
Dengan demikian, dalam struktur karya sastra terdapat
berbagai model dan skema yang digunakan pengarang untuk
membangun struktur karya sastra yang diciptakannya.
Unsur-unsur karya sastra sesungguhnya dihubungkan
oleh model kewacanaan tersebut. Unsur-unsur yang
menempati kerangka atau model yang sama, jelas memiliki
hubungan kemaknaan yang sama. Unsur-unsur tersebut
berhubungan dalam domain pemikiran yang sama. Ia
dipahami, diperlakukan, digambarkan, dan dijelaskan oleh
domain pemikiran tersebut. Dengan demikian, pemaham
terhadap unsur-unsur tersebut tidak dapat dilepaskan dari
domain pemikiran yang ada. Cara pandang yang dipakai
untuk menganalisis unsur-unsur tersebut menggunakan
konsep-konsep dari domain pemikiran tertentu. Dengan
penjelasan seperti itu, dapat dirumuskan pemikiran yang
digunakan pengarang untuk melandasi bangunan struktur
karya sastranya.
Hubungan unsur-unsur yang membentuk struktur
karya sastra juga terjadi karena adanya skema yang
mempolakan. Pola-pola hubungan tersebut dapat berupa
komparasi, korelasi, degradasi, dan ilustrasi. Keempat istilah
tersebut sangat penting untuk menjelaskan hubungan antara
unsur yang satu dengan unsur yang lain, sekaligus dipahami
skema dan sistem yang mengatur struktur karya sastra

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
219

tersebut. Sebagai sebuah sistem, struktur karya sastra


memiliki aturan-aturan yang mengatur dan mengikat
relasional unsur-unsur tersebut membentuk suatu sistem
struktur tertentu.
Pola komparasi atau perbandingan terjadi apabila
hubungan antara unsur yang satu di dasarkan atas
perbandingannya dengan unsur yang lain. Unsur yang satu
dijelaskan dan dipahami berdasarkan perbandingannya
dengan unsur yang lain dan sebaliknya. Pola perbandingan
akan menjelaskan bagaimana seorang pengarang
memperlakukan dan menggambarkan suatu unsur dengan
menganggapnya sebagai sesuatu. Hal tersebut akan meng-
arahkan pada metafor, ironi, antitese, tamsil, dan sebagainya,
yang bernilai rasa tertentu. Perbandingan atau komparasi
selalu muncul untuk mewadahi nilai emotif dan sugestif
tertentu yang tidak mampu diwadahi oleh cara penggambar-
an langsung. Dengan demikian, tercipta kategori nilai yang
dilekatkan pengarang terhadap suatu unsur tertentu.
Pola korelasi atau pengaruh terjadi apabila suatu unsur
dijelaskan berdasarkan adanya pengaruh dari atau terhadap
unsur yang lain. Hubungan ini menunjukkan suatu gambaran
adanya ketidakmandirian suatu unsur tanpa adanya unsur
yang lain. Tak ada unsur tertentu tanpa kehadiran unsur yang
lain yang berhubungan secara korelatif. Dengan begitu dapat
dipahami dasar pemikiran yang melandasi munculnya unsur-
unsur tersebut dalam sistem struktur yang dibangun
pengarangnya. Landasan pemikiran tersebut mencerminkan
pemikiran pengarangnya.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
220

Pola degradasi terjadi karena adanya hubungan yang


dilandasi oleh perbedaan dan keterpecahan suatu unsur
terhadap unsur yang lain. Hubungan tersebut dapat disebut
sebagai hubungan semu. Keterpecahan dan keberbedaan
antarunsur tersebut dilatarbelakangi oleh penguasaan suatu
unsur terhadap unsur yang lain. Ada hubungan unsur yang
dominan terhadap unsur yang tersubordinasi; atas-bawah,
lelaki-perempuan, putih-hitam, majikan-buruh, atau kategori
oposisi biner yang lain. Pola hubungan degradasi memang
berkategorial oposisi biner. Dengan memahami adanya pola
hubungan degradasi itu dapat terlihat cara pandang yang
dipakai pengarang dalam menggambarkan hubungan unsur-
unsur yang diceritakannya. Pada gilirannya, akan dipahami
pemikiran yang melandasi bangunan struktur yang diciptakan
pengarangnya.
Sedangkan pola hubungan ilustrasi adalah hubungan
penggambaran. Unsur yang satu merupakan penggambaran
terhadap unsur yang lain, atau sebaliknya. Pola hubungan
ilustrasi ini umumnya digunakan pengarang untuk
menggambarkan suatu unsur karya sastra. Bisa disebut
sebagai pola konvensional. Pengarang cenderung mengguna-
kan pola ini karena secara langsung dapat menjelaskan suatu
unsur tertentu melalui pelukisan unsur yang lain. Dengan
demikian, hubungan suatu unsur didasarkan atas peng-
gambaran keadaan atau suasana unsur yang lain. Dalam
konteks penelitian ini unsur ilustrasi kurang memberikan
pemahaman terhadap landasan pemikiran yang dipakai

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
221

pengarang untuk membangun struktur karyanya. Oleh karena


itulah, pola ini diletakkan di bawah pola-pola yang lain.
Dengan memahami skema struktur cerita di atas, akan
dipahami pula kerangka berpikir yang dipakai pengarang
sebagai landasan berpikir dalam membangun ceritanya. Jika
disederhanakan, hubungan unsur-unsur tersebut dipandang
sebagai hubungan subyek-obyek. Hubungan subyek-obyek
tersebut berdasarkan perbandingan (komparasi), pengaruh
(korelasi), keterpecahan atau keberbedaan (degradasi), atau
penggambaran (ilustrasi). Unsur yang satu sebagai subyek
terhadap unsur yang lain sebagai obyeknya.
Namun demikian, yang perlu dipahami adalah
keempat pola hubungan tersebut tidak dalam pengertiannya
yang eksplisit. Penganalisis perlu menemukan benang merah
antara unsur yang satu dengan unsur yang lain sehingga
dapat dijelaskan skemanya. Berdasarkan petunjuk, baik
tersirat maupun tersurat, yang ada dalam teks, hubungan
tersebut dapat diidentivikasi. Diperlukan kecermatan dan
ketelitian penganalisis untuk menemukan hal itu. Di samping
itu, ada yang perlu diingat juga, bahwa di samping terdapat
skema hubungan antarunsur-unsur yang berbeda, juga
terdapat skema hubungan obyek-obyek yang diceritakan
dalam kategori unsur yang sama. Dengan demikian, ada
skema kecil di dalam skema besar; skema bawahan di dalam
skema atasan. Begitu pula dengan model, terdapat model
bawahan (bagian) di dalam model atasan (besar).
Kerumitan dan kekayaan struktur karya sastra dengan
demikian terletak pada kualitas dan kuantitas model dan

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
222

skema. Kalau digambarkan terdapat banyak garis-garis yang


menghubungan unsur yang satu dengan unsur yang lain;
obyek yang satu dengan obyek yang lain dalam unsur yang
sama; model yang satu dengan model yang lain; dan sub-
model yang satu dengan sub-model yang lain dalam kategori
model yang sama. Demikian sebaliknya, kesederhanaan
sebuah karya terletak pada kesederhanaan model dan
skemanya. Hal ini juga dapat menjadikan kriteria sebuah
karya sastra yang representatif untuk penelitian dalam
konteks tulisan ini.
Model dan skema di atas pada gilirannya akan
mengarah pada sebuah gambaran proyeksi tentang
sosiokultural yang disikapi pengarang dengan sikap dan
pemikiran tertentu. Pada tataran ini, analisis struktural
(instrinsik) bergerak ke arah analisis ekstrinsik. Domain-
domain pemikiran (model) dan landasan hubungan unsur
dalam struktur (skema) akan merujuk pada suatu tematik
tertentu. Jika kembali pada asumsi dasar yang melandasi
operasional penelitian ini, maka secara tematis karya sastra
mengungkapkan ekspresi, komunikasi, dan pengetahuan
tentang dinamika masyarakat dan kebudayaannya. Namun
demikian, hal itu hanyalah suatu gambaran proyeksi dari
masyarakat dan semangat zaman yang melatarbelakangi
karya sastra itu.

c. Proyeksi Sosiokultural Dan Semangat Zaman


Yang dimaksud dengan proyeksi adalah gambaran
secara tematis mengenai apa yang diungkapkan dalam karya

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
223

sastra di balik bangunan strukturnya. Dalam konteks


penelitian ini gambaran secara tematis tersebut adalah
dinamika sosiokultural dan semangat zaman yang disikapi
dan disuarakan pengarang sebagai bentuk strukturasi subyek
intelektual realitas. Kalau dalam tataran struktur, karya sastra
ditempatkan dalam suatu strategi kewacanaan yang terdiri
atas model dan skema, maka dalam tataran ini karya sastra
ditempatkan dalam pola segitiga yang telah dikemukakan di
muka. Pada tahap ini analisis telah bergerak ke arah ekstrinsik
berdasarkan analisis struktur (instrinsik).
Berdasarkan analisis struktur karya sastra ditemukan
domain-domain pemikiran (analisis model) dan landasan
pemikiran yang melandasi bangunan strukturnya (analisis
skema). Memperhatikan asumsi dasar yang melandasi
penelitian ini, maka domain pemikiran dan landasan
bangunan struktur tersebut merupakan gambaran tematis dari
karya sastra sebagai ekspresi pengarang terhadap lingkungan
sekitarnya, media komunikasi dengan masyarakatnya, dan
nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra sebagai
wacana pengetahuan masyarakat. Hal itulah dalam penelitian
ini disebut sebagai proyeksi sosiokultural dan semangat
zaman yang disuarakan dan disikapi pengarang.
Pengarang sebagai subyek intelektual realitas memiliki
sikap dan pandangan (cakrawala berpikir) terhadap dinamika
masyarakat dan kebudayaannya. Pada gilirannya, hal tersebut
distrukturasi ke dalam karya sastra. Kehadiran pengarang
dalam teks pada akhirnya bersifat fiksional, karena cakrawala
berpikir mengenai lingkungan sekitarnya tersebut telah

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
224

mengalami pengimajinasian. Oleh karena itu, pengarang


diposisikan sebagai subyek intelektual fiksional. Pola segitiga
dalam tahap analisis ini pada akhirnya menjadi sebagaimana
berikut ini.

struktur sastra
Proyeksi sosiokultural
dan semangat zaman

subyek intelektual realitas subyek intelektual fiksional

Bagan 6:
Pola Segitiga Subyek intelektual dan
proyeksi sosiokultural dan Semangat Zaman

Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa cakrawala


berpikir pengarang dilatarbelakangi oleh ideologi, ras dan
suku, agama, semangat zaman, dan status sosial. Pandangan
dan sikap pengarang terhadap dinamika masyarakatnya, yang
kemudian distrukturasi ke dalam karya sastra, dengan
sendirinya akan dipengaruhi juga oleh latar belakang
cakrawala berpikir tersebut. Dalam analisis struktur karya
sastra, hal itu mewujud ke dalam domain-domain pemikiran
dan landasan bangunan struktur, dan disebut sebagai

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
225

proyeksi sosiokultural dan semangat zaman. Analisisnya akan


mengarah pada aspek ekstrinsik karya sastra.
Ada fakta relasional antara sosiokultural dan semangat
zaman yang melatarbelakangi pengarang dan karya sastranya
dengan sosiokultural dan semangat zaman yang diproyeksi-
kan ke dalam karya sastra. Penelitian ini tidak mempersoalkan
apakah fakta relasional tersebut bersifat langsung atau tidak
langsung. Hal utama yang dipersoalkan adalah analisisnya
harus mampu mengidentivikasi fakta relasional tersebut.

d. Fakta Relasional
Fakta relasional menunjuk pada relasi teks–subyek
intelektual-konteks dalam kerangka pola segitiga. Teks memiliki
sistem struktur yang dibangun berdasarkan domain dan
landasan pemikiran sebagai strukturasi dan sekaligus
proyeksi sosiokultural dan semangat zaman. Subyek
intelektual merupakan pengarang yang memiliki cakrawala
berpikir sebagai bentukan dari masyarakatnya. Sedangkan
konteks memiliki dimensi ganda, yaitu: latar belakang yang
membentuk pengarang sebagai subyek intelektual dan
sekaligus sebagai obyek yang disikapi dan disuarakan ke
dalam karya sastra. Hubungan karya sastra sebagai teks
dengan pengarang sebagai subyek intelektual merupakan
hubungan proyeksi. Sedangkan hubungan pengarang sebagai
subyek intelektual dengan konteks masyarakat berwajah
ganda. Di satu wajah hubungannya bersifat realis sehingga
pengarang berposisi sebagai subyek intelektual realitas, dan di

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
226

wajah yang lain hubungannya bersifat fiksional sehingga


pengarang berposisi sebagai subyek intelektual fiksional.
Jika disederhanakan ke dalam bagan teks–subyek
intelektual-konteks akan nampak sebagai berikut.

STRUKTUR
KARYA SASTRA
DOMAIN
PEMIKIRAN
PENGARANG
DAN LANDASAN LATAR
BANGUNAN SEBAGAI SUBYEK
BELAKANG
STRUKTUR MASYARAKAT INTELEKTUAL

SOSIOKULTURAL
DAN SEMANGAT
ZAMAN

Bagan 7:
Teks–Subyek Intelektual-Konteks

Hubungan karya sastra dengan subyek intelektual


(pengarang) terjadi karena adanya strukturasi dan proyeksi
sosiokultural dan semangat zaman yang hendak disuarakan
dalam karya sastra. Hubungan tersebut bersifat fiksional, oleh
karena itu pengarang sebagai subyek intelektual fiksional.
Namun demikian, proyeksi dan strukturasi tersebut tidak
akan pernah terjadi tanpa adanya sikap dan pandangan
pengarang terhadap lingkungan sekitarnya. Lingkungan
SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
227

sekitar tersebut adalah kondisi sosiokultural dan semangat


zaman sebagai akibat dinamika yang terjadi dalam
masyarakat. Oleh karena itu, pengarang berposisi sebagai
subyek intelektual realitas.
Bagaimanakah seorang pengarang mengkonstruksikan
pemikirannya tentang konteks sosiokultural dan semangat
zaman dalam karya sastranya? Pertanyaan inilah yang hendak
dijelaskan dalam rangka memahami fakta relasional dalam
karya sastra. Pada taraf awal telah terjadi pengkonstruksian
fakta sosial tersebut ke dalam diri pengarang sebagai
perwujudan dari penyikapan terhadap fakta sosial itu. Pada
taraf ini telah terjadi relasi dalam konteks realitas. Karenanya
pengarang bertindak sebagai subyek intelektual realitas.
Pengarang mencoba membingkai apa yang diamati, dialami,
ataupun dirasakan dalam dunia sekitar dengan cakrawala
berpikirnya. Cakrawala berpikir ini bukan murni milik
pengarang, melainkan hasil bentukan dunia sekitarnya itu.
Meskipun fakta relasional ini lebih dulu terjadi dalam
hubungannya dengan penciptaan karya sastra, tetapi dalam
konteks penelitian ini menduduki tahap akhir.
Konstruksi fakta sosial di atas bukan dengan
sendirinya langsung diwadahi dalam karya sastra. Melalui
proses pengimajinasian terjadi pengkonstruksian atas hasil
pengkonstruksian dalam relasi awal tersebut. Pengkonstruksi-
an tahap kedua ini disebut dengan strukturasi atau
pembayangan. Melalui obyek-obyek atau unsur-unsur cerita,
strukturasi tersebut diwujudkan ke dalam sistem struktur
sastra. Tepatnya, melandasibangunan struktur karya sastra.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
228

Pada taraf ini terjadi fakta relasional kedua antara pengarang


dengan dunia fiksional tersebut. Karenanya, pengarang
berposisi sebagai subyek intelektual fiksional. Kalau dalam
fakta relasional awal dilandasi oleh cakrawala berpikir yang
dimiliki pengarang, maka dalam fakta relasional kedua ini
dilandasi oleh pengimajinasian. Oleh karena itu, fakta
relasional kedua ini juga dapat dipahami sebagai relasi antara
hasil konstruksi pertama dengan unsur-unsur yang hadir
dalam karya sastra dengan mediasi imajinasi.
Fakta relasional ketiga terjadi dalam sistem struktur
karya sastra. Unsur-unsur cerita saling berhubungan dalam
kerangka (model) dan skema membentuk sistem struktur.
Namun demikian, yang utama dalam penelitian ini bukanlah
semata-mata fakta relasional itu. Fakta relasional tersebut
hanyalah bersifat permukaan. Yang utama adalah domain
pemikiran yang mewadahi unsur-unsur tersebut (model) dan
landasan pemikiran yang menjadi dasar hubungan antara
unsur-unsur tersebut (skema). Dapat dikatakan, fakta
relasional ketiga ini hanya jembatan untuk memahami
pemikiran-pemikiran atau strukturasi sebagai hasil adanya
fakta relasional kedua.
Pemahaman terhadap ketiga fakta relasional tersebut
bertujuan untuk memahami alur pengkonstruksian pemikiran
subyek intelektual, baik subyek intelektual realitas maupun
fiksional. Tetapi dalam penelitian ini, analisis terhadap fakta
relasional terjadi kebalikannya, yaitu: fakta relasional dalam
sistem struktur (fakta relasional ketiga), fakta relasional

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
229

strukturasi atau pembayangan (fakta relasional kedua), dan


fakta relasional dalam realitas (fakta relasional pertama).

e. Sinkronik Diakronik
Penelitian ini sesungguhnya diletakkan ke dalam
konteks peta perkembangan karya sastra dalam menyuarakan
semangat zamannya. Sekaligus, juga diletakkan pada
dinamika perkembangan sosiokultural masyarakat yang
melatarbelakangi karya sastra itu. Dengan begitu memper-
lakukan karya sastra dalam peran dan fungsinya sebagai
bentuk ekspresi pengarang sebagai subyek intelektual, sebagai
media komunikasi dengan masyarakatnya, dan sebagai
pengetahuan yang berisi nilai-nilai yang bermanfaat bagi
kehidupan. Hanya dengan cara itulah karya sastra akan
menempati posisi yang sejajar dengan wacana pengetahuan
lainnya. Memperlakukan karya sastra hanya semata-mata
sebagai karya seni, justru akan menjauhkan karya sastra dari
pembaca dan masyarakatnya.
Dengan demikian, penelitian ini bersifat diakronis.
Pengertian diakronis bukan hendak memperbandingkan
antara periode yang satu dengan periode yang lain, tetapi
memahami garis perkembangan dari waktu ke waktu. Garis
perkembangan tersebut akan nampak dalam dua wilayah.
Pertama, garis perkembangan tersebut dalam kaitannya
dengan reaksi dan penyikapan pengarang dan karya sastranya
terhadap suara zaman yang melatarbelakanginya. Bentuk-
bentuk pemikiran yang bagaimanakah yang melandasi
pemikiran pengarang dalam menyikapi dan mereaksi apa

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
230

yang terjadi dalam masyarakatnya dari zaman ke zaman.


Kedua, garis perkembangan tersebut dalam kaitannya dengan
perkembangan suara zaman dari waktu ke waktu dalam
konteks dinamika perkembangan sosiokultural masyarakat.
Pada wilayah yang pertama akan dirumuskan sebuah
pemetaan peran dan fungsi pengarang dan karya sastra
terhadap masyarakatnya. Sedangkan pada wilayah kedua
akan dirumuskan fakta-fakta suara zaman yang terekam
dalam Wacana karya sastra. Pada wilayah inilah
sesungguhnya hakikat karya sastra sebagai pengetahuan
memperoleh tempatnya.
Namun demikian, penelitian ini juga dapat bersifat
sinkronis. Pertimbangan yang dapat digunakan adalah
adanya keterbatasan penelitian atau dapat juga karena
memenuhi kebutuhan penelitian. Menempatkan penelitian ini
secara diakronis jelas akan memakan waktu dan wilayah
obyek penelitian yang luas. Keterbatasan penelitian acap kali
dialami peneliti untuk mengadakan penelitian secara
diakronik, apalagi dalam periode perkembangan yang
panjang. Di samping itu, karena kebutuhan penelitian hanya
ingin memahami peran dan fungsi karya sastra dalam periode
tertentu, maka penelitian secara sinkronik dapat dilakukan.
Jika pilihan sinkronik dilakukan, ada beberapa hal yang mesti
diperhatikan. Pertama, penelitian secara sinkronik hendaknya
memiliki obyek yang representatif bagi zamannya. Penetapan
obyek penelitian secara terbatas tidaklah berarti apa-apa bagi
perkembangan kesusastraan itu sendiri. Penelitian ini bukan
semata-mata untuk memenuhi kebutuhan peneliti, tetapi

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
231

didedikasikan bagi karya sastra itu sendiri, baik sebagai media


ekspresi, komunikasi, maupun pengetahuan.
Kedua, penelitian sinkronik hendaknya mengambil
periode yang memiliki isu pergerakan pemikiran yang
penting pada zaman itu. Pengertian ini bukan berarti
menganggap bahwa dalam periode yang lain tidak terjadi isu
pergerakan pemikiran yang penting, melainkan dalam
beberapa periode, tentu terdapat satu periode yang memiliki
arus pergerakan pemikiran yang lebih dari periode yang lain.
Meskipun hal itu bersifat relatif, tetapi peneliti memiliki
argumentasi untuk menjelaskannya. Menempatkan penelitian
ini dalam satu periode yang memiliki isu pergerakan
pemikiran yang penting, akan lebih memberikan jawaban atas
persoalan seberapa jauh karya sastra dan pengarangnya
terlibat dalam arus pergerakan pemikiran dalam masyarakat-
nya.
Kedua pertimbangan itulah hendaknya menjadi per-
hatian peneliti jika memilih penelitian ini secara sinkronik.
Tetapi sebagai rekomendasi hendaknya penelitian diakronik
lebih diutamakan dari pada sinkronik. Dalam penelitian
diakronik itulah akan memperoleh manfaat ganda dalam hasil
penelitiannya, yaitu menyusun sebuah pemetaan peran dan
fungsi karya sastra terhadap masyarakatnya, seiring dengan
dinamika perkembangan sosiokultural masyarakat, dan
kedua, memahami suara zaman yang terekam dalam karya
sastra.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
232

2. Metode Analisis
Meskipun secara implisit telah terkandung dalam
penjelasan di atas, tetapi agar memperoleh kejelasan berikut
ini akan dikemukakan metode yang bagaimanakah yang
dipakai dalam penelitian ini. Jika menyarikan apa yang
dikemukakan di atas, metode dalam penelitian ini cenderung
lebih dekat dengan metode analisis isi. Menurut Vredenbreght
(dalam Ratna, 2011: 48), analisis isi terutama berhubungan
dengan isi komunikasi, baik secara verbal, dalam bentuk
bahasa, maupun nonverbal, seperti arsitektur, pakaian, alat
rumah tangga, dan media elektronik. Dalam ilmu sosial, isi
yang dimaksudkan berupa masalah-masalah sosial, ekonomi,
dan politik, termasuk propaganda. Jadi, keseluruhan isi dan
pesan komunikasi dalam kehidupan manusia. Tetapi dalam
karya sastra, isi yang dimaksudkan adalah pesan-pesan, yang
dengan sendirinya sesuai dengan hakikat sastra.
Lebih lanjut dikatakan Vredenbreght dalam Ratna,
metode analisis isi terdiri atas dua macam, yaitu isi laten dan
isi komunikasi. Isi laten adalah isi yang terkendung dalam
dokumen dan naskah, sedangkan isi komunikasi adalah pesan
yang terkandung sebagai akibat komunikasi yang terjadi. Isi
laten adalah isi sebagaimana dimaksudkan oleh penulis,
sedangkan isi komunikasi adalah sebagaimana terwujud
dalam hubungan naskah dengan konsumen. Obyek formal
metode analisis ini adalah isi komunikasi. Analisis terhadap
isi laten akan menghasilkan arti, sedangkan analisis terhadap
isi komunikasi akan menghasilkan makna. Oleh karena itulah,
metode analisis isi dilakukan dalam dokumen-dokumen yang

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
233

padat isi. Peneliti menekankan bagaimana memaknakan isi


komunikasi, memaknakan isi interaksi simbolik yang terjadi
dalam peristiwa komunikasi.
Metode analisis isi sebagaimana dikemukakan di atas,
nampak lebih dekat dengan landasan operasional yang
dimaksudkan dalam penelitian ini. Asumsi dasar yang
dikemukakan terdahulu bahwa karya sastra merupakan
media ekspresi pengarang, media komunikasi, dan media
pengetahuan, telah menunjukkan metode analisis isi sebagai
cara yang dipakai untuk memahami obyek penelitian ini.
Namun demikian, apa yang dikemukakan Vredenbreght di
atas perlu diterjemahkan dengan meletakkannya pada
prosedur penelitian yang disarankan dalam kerangka berpikir
penelitian ini.
Sebagaimana yang dijelaskan dalam kerangka berpikir
penelitian ini, yang terdiri atas lima konsep dasar di atas,
prosedur analisis akan bergerak dari analisis instrinsik ke arah
ekstrinsik. Berikut ini prosedur yang disarankan dalam
penelitian ini.
1) Analisis ini berangkat dari titik awal pada analisis model
dan skema yang membangun sistem struktur karya sastra.
Namun demikian, yang terpenting bukanlah pada sistem
struktur itu tetapi domain pemikiran dan landasan
pemikiran subyek intelektual fiksional yang membangun
hubungan unsur-unsur dalam membentuk sistem struktur.
Inilah yang disebut isi laten sebagaimana disebut oleh
Vredenbreght di atas.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
234

2) Isi laten di atas merupakan pemikiran sebagai sebuah


pesan yang bermakna dalam relasinya dengan gambaran
sosiokultural dan suara zaman yang diproyeksikan dalam
karya sastra. Dengan demikian, dalam tahap kedua ini, isi
laten dijelaskan dalam kaitannya dengan proyeksi
sosiokultural dan suara zaman yang hendak disampaikan
subyek intelektual fiksional kepada pembaca. Tahap ini
merupakan jembatan ke arah analisis isi komunikasi
sebagaimana dimaksud oleh Vredenbreght.
3) Hasil analisis pada tahap kedua di atas akan mengarahkan
dalam kaitannya dengan pengarang sebagai subyek
intelektual realitas. Tujuannya untuk memahami
cakrawala pemikiran yang bagaimanakah yang dipakai
pengarang dan keadaan sosiokultural dan suara zaman
yang bagaimanakah yang disikapi dan direaksi pengarang
dengan cakrawala tersebut. Keduanya akan merumuskan
sebuah pemahaman tentang isi pesan komunikasi yang
terkandung dalam karya sastra tersebut. Dalam tataran
inilah wilayah analisis isi akan mengarah pada aspek
ekstrinsik karya sastra; khususnya berkaitan dengan
pembaca dan masyarakat yang melatarbelakangi karya
sastra itu. Di sini peneliti membutuhkan bantuan wacana
pengetahuan lain dan teori-teori sosial budaya untuk
mendukung analisis. Dengan demikian, analisis pada
tahap ini menyatakan sifat multidimensional dalam
kerangka berpikir penelitian ini.
4) Berdasarkan alur pergerakan analisis di atas, analisis
penelitian ini diakhiri pada titik di mana karya sastra

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
235

memiliki peran dan fungsinya sebagai media ekpresi,


komunikasi, dan pengetahuan. Peran dan fungsi karya
sastra terhadap masyarakatnya mewujud pada pemikiran
dan penyikapan terhadap suara zaman dalam konteks
dinamika perkembangan masyarakat. Dengan demikian,
ada pesan yang hendak disampaikan dalam karya sastra
tentang apa yang terjadi dalam dinamika terseut.

3. Penelitian ini dalam Konteks Teori-Teori yang ada


Di manakah penelitian ini diletakkan dalam konteks
teori-teori yang telah ada sebelumnya? Dengan kata lain, teori-
teori apakah yang kiranya berkaitan dengan kerangka berpikir
dalam penelitian ini? Hal itu berhubungan dengan sifat
koheren yang harus dipenuhi dalam setiap penelitian ilmiah.
Kaitan penelitian ini dengan teori-teori yang telah ada
sebelumnya, sesungguhnya secara implisit telah ter-
identivikasi dalam asumsi dan konsep dasar yang melandasi
penelitian ini. Teori-teori dalam wilayah sosiologi, psikologi,
studi budaya, komunikasi, dan yang terutama teori sastra,
memiliki peranan yang penting sebagai pendukung penelitian
ini. Persoalannya adalah, teori apakah dalam wilayah disiplin
ilmu tersebut yang dapat digunakan dalam penelitian ini?
Jawaban tersebut dapat diketemukan dalam asumsi dan
konsep dasar penelitian ini.
Teori-teori yang menjelaskan tentang hubungan saling
menentukan antara karya sastra dengan masyarakat, memliki
peran yang tidak mungkin diabaikan dalam penelitian ini.
Teori Louis de Bonald, Alan Swingewood, A.F. Foukes, dan

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
236

Andreas Teuw, dapat menjadi alternatif sebagai teori


pendukung analisis dalam penelitian ini. Teori-teori tersebut
dalam wilayah disiplin sosiologi. Teori-teori sosiologi
memiliki peranan yang sangat penting mengingat obyek
formal penelitian ini adalah kaitan karya sastra dengan
kondisi sosiokultural dan suara zaman. Oleh karena itu, teori-
teori tersebut dapat diperpanjang ke arah teori-teori dalam
tradisi Marxis, seperti teori Hegemoni Antonio Gramsci,
Strukturalisme Genetik Lucien Goldman, atau teori yang
dikemukakan oleh George Lukacs (baca: Ratna, 2003; Faruk,
2010; dan Damono, 1984).
Di samping itu, teori-teori dalam wilayah disiplin
psikologi memiliki peranan dalam kaitannya dengan aspek
genesis karya sastra dan proses kejiwaan dari pengarang
sebagai penghasil karya sastra. Penelitian ini juga
menyarankan adanya proses berpikir dan pembentukan
cakrawala berpikir pengarang yang dibentuk oleh lingkungan
sekitarnya. Teori-teori psikologi menempatkan peranannya
dalam kaitannya dengan hal tersebut. Dapat dikemukakan
sebagai alternatifnya adalah teori psikoanalitis Sigmund Freud
tentang kepribadian manusia.
Sedangkan teori-teori dalam studi budaya juga tak
kalah pentingnya dalam mendukung analisis penelitian ini.
Pada umumnya studi budaya menggunakan teori-teori dalam
wilayah postrukturalisme, seperti: intertekstual, feminism,
poskolonial, dekonstruksi, teori dialogis, interaksionisme
simbolik, dan sebagainya. Arus pergerakan pemikiran zaman
yang disuarakan dalam karya sastra jelas bersentuhan dengan

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
237

dinamika kebudayaan dalam masyarakat. Di samping itu,


penelitian ini diletakkan pada konteks dinamika perkembang-
an sosikultural masyarakat. Oleh karena itu, studi budaya
dengan teori-teori postrukturalisme tak mungkin diabaikan.
Bahkan dalam sejarah pemikiran dunia, munculnya sebuah
teori didorong oleh pergerakan pemikiran dan dinamika
kebudayaan masyarakat.
Namun demikian, teori-teori sastra tetap menjadi teori
utama dalam penelitian ini. Teori strukturalisme, naratologi,
intertekstual sastra, dan resepsi sastra, menjadi teori yang
memiliki peranan sangat penting dan utama dalam penelitian
ini. Sedangkan teori-teori dalam wilayah disiplin ilmu lain
sebagai teori komplemen. Demikian juga teori-teori dalam
ilmu komunikasi seperti analisis Wacana kritis dapat mem-
berikan sumbangannya dalam hubungannya dengan strategi
kewacanaan. Dengan demikian, penelitian ini ditempatkan
dalam wilayah kajian multidisipliner.

C. Model Analisis Wacana Kritis


Dalam rangka pengembangan penelitian sastra, ber-
ikut ini penulis kemukakan suatu alternatif pendekatan yang
kiranya dapat dipakai menganalisis karya sastra. Meskipun
Analisis Wacana Kritis relatif lama masuk ke Indonesia, tetapi
cenderung dipakai dalam analisis media. Sedangkan dalam
analisis sastra, Analisis Wacana Kritis belum banyak diguna-
kan. Pengalaman peneliti menggunakan teori dan metode
Analisis Wacana Kritis ini, memperoleh temuan yang sangat

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
238

berharga bahwa pendekatan tersebut nampaknya dapat


dipakai sebagai alternatif analisis dalam studi sastra.
Munculnya analisis wacana sebenarnya berangkat dari
reaksi studi bahasa dan sastra, juga disiplin ilmu lain,
terhadap stagnasi strukturalisme sepanjang abad ke-19.
Paradigma dalam kurun waktu itu cenderung mereduksi
subyek dan konteks sosiokultural dalam menelaah bahasa dan
sastra. Teks bahasa dan sastra dikaji dalam kaitannya dengan
struktur formal yang secara otonom dan stabil membangun
kualitas teks tersebut. Kecenderungan ini jelas melepaskan
hakikat bahasa dan sastra sebagai institusi sosial yang
memiliki peran dan fungsi bagi masyarakatnya. Relasi teks
dan konteks menjadi nisbi dan mewarnai setiap kajian bahasa
dan sastra pada saat itu.
Analisis wacana sebagai bagian dari studi linguistik
dan kebudayaan, semakin memperoleh tempatnya ketika
muncul gerakan yang kemudian disebut postrukturalisme.
Dalam kecenderungan studi sosial, bahasa, dan media,
semenjak munculnya gerakan pemikiran yang berlabel
postrukturalisme tersebut, berangkat dari asumsi bahwa
bahasa dan sastra merupakan wacana praktik sosial. Wacana
sebagai tataran tertinggi dari fenomena penggunaan bahasa
oleh subyek, dipandang melampaui batas-batas sistem
linguistik. Hal itu tidak terjadi pada era sebelumnya. Teeuw
mengemukakan, penelitian terhadap aspek-aspek ke-
masyarakatan dipicu oleh stagnasi analisis strukturalisme,
analisis yang semata-mata didasarkan atas hakikat otonomi
karya. Sebaliknya, karya sastra dapat dipahami secara lengkap

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
239

hanya dengan mengembalikannya pada latar belakang sosial


yang menghasilkannya, melalui analisis dalam kerangka
penulis, pembaca, dan kenyataan (Teew, 1984: 152).
Postrukturalisme memang telah membuka cakrawala
yang lebih luas dalam memandang wacana bahasa sebagai
fenomena pemakaian bahasa. Katub-katub yang selama ini
tertutup, dibuka kemungkinannya untuk mengurai aspek-
aspek wacana yang lebih kaya dan membumi. Berdasarkan
hakekat interdisiplin, analisis wacana akhirnya membuka diri
untuk menerima masukan dan dukungan dari pemikiran dan
teori disiplin di luar kebahasaan. Teori-teoti Semiotika,
strukturalisme genetik, resepsi, intertekstual, hingga
dekonstruksi, sesungguhnya muncul berangkat dari cara
pandang melampaui disiplin linguistik dan sastra murni yang
mengungkung. Kesadaran yang terwadahi ke dalam
feminisme, orientalisme, dan poskolonialisme, juga akibat
gerak pemikiran yang menerabas batas secara interdisipliner
itu. Studi dan analisis wacana pada akhirnya memperoleh
bentuknya sebagai disiplin dengan banyak mendapatkan
masukan dari para tokoh postrukturalisme.
Michel Foucault (Eriyanto, 2001: 65-76), salah satu
tokoh postrukturalis, merupakan salah satu pemikir yang
memiliki peranan penting dalam menyumbangkan
pemikirannya terhadap studi wacana. Foucault memandang
wacana atau diskursus sebagai pembicaraan tentang aturan-
aturan dan praktik-praktik yang menghasilkan pernyataan-
pernyataan yang bermakna, pada satu rentang historis
tertentu. Wacana juga berarti sebuah mekanisme pengaturan

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
240

yang bekerja sangat rapi yang melibatkan disiplin, institusi,


dan profesionalisme. Wacana mengisolasi, mendefinisikan,
memproduksi obyek pengetahuan. Wacana bagi Foucault
memiliki relasi dengan kekuasaan yang datangnya dari orang
yang memiliki kekuasaan itu dan dari orang yang memiliki
pemikiran kreatif. Mereka yang memiliki kekuasaan dan
pengetahuan membangkitkan relasi kekuasaan dan penge-
tahuan antara kelompok orang yang mengangkat diri mereka
dan mengaturnya (Sutrisno dan Hendar Putranto, 2005: 152).
Dengan demikian Foucault menempatkan wacana sebagai
strategi --Foucault menyebutnya ―elemen taktis‖—politis dan
ideologis, dalam pengertiannya yang luas, untuk memper-
tahankan dan membangun kekuasaan. Pandangan itulah yang
menempatkan Foucault sebagai salah satu tokoh yang
memiliki peranan penting dalam perkembangan teori analisis
wacana.
Foucault telah memainkan peran utama dalam per-
kembangan analisis wacana melalui karya teoritis dan
penelitian praktis. Marianne Jorgensen dan louise J. Phillips
mencermati Foucault sebagai sosok yang menganut premis
konstruksionis sosial umum yang menyatakan bahwa
pengetahuan bukanlah sekedar refleksi atas realitas,
kebenaran merupakan konstruksi kewacanaan dan rejim
pengetahuan yang berbeda menentukan apa yang benar dan
yang salah. Lebih lanjut dikatakan Horgensen dan louise J.
Phillips, bahwa mayoritas pendekatan analisis wacana
kontemporer mengikuti konsepsi Foucault tentang wacana,
yakni sebagai sederet pernyataan yang relatif terikat pada

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
241

kaidah sehingga menentukan batas-batas pada apa yang


memberi makna. Di sini wacana-wacana yang berbeda-beda
berada secara berdampingan atau saling berjuang untuk
mendapatkan hak untuk kebenaran. Batas-batas makna yang
dimaksud oleh Foucault tersebut adalah bangunan ide-ide
kebenaran yang diciptakan secara kewacanaan (Jorgensen dan
Louise J. Phillips, 2007: 25-28).
Pemikiran Foucault, dan banyak pemikir lain yang
berkecenderungan memandang wacana tidak sekedar sebagai
sistem linguistik, sesungguhnya berangkat dari penentang-
annya terhadap dominasi pemikiran sebelumnya. Dalam
kerangka pemikiran semacam itu, menurut Horgensen dan
louise J. Phillips bahwa bahasa tidak sekedar dipandang
sebagai saluran tempat pengomunikasian informasi tentang
keadaan mental utama atau perilaku atau fakta-fakta dunia
ini. Sebaliknya, bahasa merupakan ‖alat‖ yang menggerak-
kan, dan akibatnya menyusun, dunia sosial itu sendiri. Selain
itu, bahasa juga menata hubungan-hubungan dan identitas-
identitas sosial. Dalam pengertian ini, praktik kewacanaan
merupakan perjuangan-perjuangan dalam upaya untuk
mengubah maupun mereproduksi realitas sosial (Jorgensen
dan Louise J. Phillips, 2007: 8).
Dalam perkembangan kemudian, beberapa tokoh
muncul dengan membawa analisis wacana dalam perspektif
yang sama, meskipun memiliki model analisis yang beragam.
Roger Fowler, Robert Hodge, Gunther Kress, dan Tony Trew
dengan pendekatan Critical Linguistik-nya; Theo van
Leeuwen yang meneliti bagaimana suatu kelompok atau

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
242

seseorang dimarginalisasikan posisinya dalam suatu wacana;


Sara Mils yang menitikberatkan pada wacana feminism, Teun
A van Dijk dengan kognisi sosialnya; hingga Norman
Fairclough dengan model perubahan sosial. Belum lagi nama-
nama seperti Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe yang
mencoba menggabungkan dua tradisi teoritis utama, yaitu
Marxisme dan Strukturalisme, dalam kajian terhadap wacana
dan teori penciptaan wacana (Darma, 2009: 84). Berbagai
tokoh dengan berbagai model dan titik pusat perhatiannya
tersebut disamakan dalam paradigma yang sama, yaitu
paradigma kritis.
Eriyanto mengemukakan paradigma kritis merupakan
suatu paradigma berpikir yang melihat pesan sebagai
pertarungan kekuasaan, sehingga teks sebagai bentuk
dominasi dan hegemoni satu kelompok kepada kelompok
yang lain. Wacana dengan demikian adalah suatu alat
representasi di mana satu kelompok yang dominan
memarginalisasikan posisi kelompok yang tidak dominan
(Eriyanto, 2001: 18). Dikatakan Eriyanto, analisis wacana
dalam paradigma ini menekankan pada konstelasi kekuatan
yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna.
Individu tidak dianggap sebagai subyek yang netral yang bisa
menafsirkan secara bebas sesuai dengan pikirannya, karena
sangat berhubungan dan dipengaruhi oleh kekuatan sosial
yang ada dalam masyarakat (2001: 6).
Studi wacana berparadigma kritis disebut Critical
Discours Analysis atau Analisis Wacana Kritis (AWK). Tokoh
yang mengemuka dan penting dalam AWK adalah Norman

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
243

Fairloug dan Teun van Dijk. Model AWK kedua tokoh ini
banyak dipakai para peneliti, paling tidak di Indonesia, di
berbagai disiplin seperti komunikasi, sosial, budaya, bahasa,
dan pada akhirnya berkembang dalam disiplin ilmu sastra.
Meskipun kehadiran AWK ke dalam studi sastra belum
banyak mendapatkan respon positif, tetapi hal itu sudah
dicoba dalam beberapa kajian sastra meskipun dalam skala
kecil.
Analisis Wacana Kritis adalah sebuah upaya atau
proses (penguraian) untuk memberi penjelasan dari sebuah
teks (sebagai realitas sosial) yang mau atau sedang dikaji oleh
seseorang atau kelompok dominan yang berkecenderungan
mempunyai tujuan tertentu (Darma, 2009: 49). Menurut
Fairclough dan Vodak, analisis wacana kritis melihat wacana -
-pemakaian bahasa dalam tuturan dan tulisan—sebagai
bentuk dari praktik sosial. Menggambarkan wacana sebagai
praktik sosial menyebabkan sebuah hubungan dialektis di
antara peristiwa diskursif tertentu dengan situasi, institusi,
dan struktur sosial yang membentuknya. Dengan demikian,
AWK mengambil peranannya sebagai studi atas wacana,
sebagaimana juga dikemukakan Fairclough (Eriyanto, 2001: 7)
dalam dimensi wacana sebagai teks, praktif diskursif, dan
praktik sosial.
Mengikuti alur pemikiran tentang analisis wacana
(kritis) di atas, dan juga kecenderungan mutakhir yang terjadi
dalam studi sastra ke arah kajian kebudayaan dan cultural
studies, maka metode AWK disambut baik untuk diterapkan
dalam penelitian sastra. Dalam kata pengantar buku Eriyanto

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
244

―Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media‖ (2001),


Hidayat mengatakan, amatlah salah anggapan umum yang
menganggap analisis wacana hanya merupakan bidang kajian
bagi mereka yang berlatar belakang Ilmu komunikasi. Analisis
wacana bisa menjadi kajian dalam bidang-bidang ilmu lain –
khususnya dalam lingkup ilmu-ilmu sosial, humaniora, dan
susastra. Karakteristik CDA (Analisis Wacana Kritis) yang
menekankan sifat holistik dan kontekstual, juga menjadi-
kannya sebagai metode serta teori yang penting bagi kajian-
kajian multidisiplin (Eriyanto, 2001: xiii).
Ratna mengemukakan, karya sastra, dengan kekayaan
jenisnya, merupakan obyek studi wacana yang sangat kaya.
Sebagai sistem model kedua sesudah bahasa di satu pihak,
sebagai sistem komunikasi yang sangat komplek di pihak lain,
wacana dan teks dapat dianalisis dari berbagai segi. Novel,
melalui penyajian media yang cukup luas merupakan jenis
yang paling banyak menarik minat para pemerhati wacana.
Novel juga dianggap sebagai ‗tiruan‘ yang paling dekat
dengan dunia social (Ratna, 2006: 249).
Lebih lanjut Ratna menjelaskan bahwa analisis wacana
postrukturalis memahami karya sastra sebagai kebenaran-
kebenaran problematik yang menunjuk pada sifat-sifat
manusia secara umum, tetapi dalam struktur kategorial.
Kemampuan postrukturalis yang terbesar adalah meng-
ungkap hegemoni pengarang sebagai pembawa kebenaran
tunggal yang selama berabad-abad, khususnya selama abad
ke-19, menguasai analisis sastra (Ratna, 2006: 250-252). Di
ujung pemikiran inilah ideologi dan praktik sosial sebagai

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
245

faktor pembangun karya sastra mendapatkan tempatnya


dalam ranah studi sastra. Sosiologi sastra, Antropologi Sastra,
Cultural Studies, kemudian berlanjut pada Analisis Wacana
Kritis merambah ke dalam ilmu sastra. Dengan berbagai
konsep dan cirinya, beberapa studi interdisipliner tersebut
tidak menjadikan ilmu sastra semakin carut marut, sebaliknya,
malah menjadi ramai dan lengkap.
Kalau selama ini AWK di Indonesia, lebih banyak
digunakan untuk menganalis wacana media dalam disiplin
Ilmu Komunikasi, tetapi kenyataan dan pemahaman para
akademis dan ilmuwan sastra tidak bisa memungkiri, bahwa
karya sastra merupakan bentuk wacana sebagai fenomena
penggunaan bahasa secara kreatif dan imajinatif, dan itu
membuka cakrawala ke arah analisis wacana. Di ujung lain,
apabila dicermati, AWK sesungguhnya bergerak ke dalam
pusaran pemikiran seperti itu. Model AWK yang dikemuka-
kan Norman Fairclough misalnya, terbuka untuk dipakai
dalam menelaah karya sastra dalam konteks perubahan
masyarakat. Oleh karena itu, melihat peluang AWK dan
kecenderungan mutakhir dalam studi sastra, tak ada salahnya
jika menjadikan AWK menjadi salah satu alternatif menelaah
karya sastra.

1. Bagian Satu: Paradigma Analisis Wacana Kritis


Seperti dialami oleh semua cabang kajian dalam ilmu-
ilmu kemanusiaan (human sciences), pendekatan analisis
wacana juga terpilah berdasarkan paradigma kajian yang
mendasarinya. Menurut Mohammad A.S. Hikam, secara

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
246

umum ada tiga paradigm kajian yang berkembang dan saling


bersaing dalam ilmu-ilmu kemanusiaan. Masing-masing
adalah analisis wacana positivisme (positivist discourse
analysis), analisis wacana interpretivisme (interpretivist
discourse analysis), dan analisis wacana kritisisme (critical
discourse analysis) (Eriyanto. 2001: 4).
Bersandar pada paradigma positivisme, bahasa dilihat
sebagai jembatan antara manusia dengan objek di luar dirinya.
Terkait dengan analisis wacana, para peneliti bahasa tidak
perlu mengetahui makna-makna atau nilai subjektif yang
mendasari suatu pernyataan. Analisis wacana positivistik
memperhatikan dan mengutamakan pemenuhan seperangkat
kaidah sintaksis dan semantik. Kebenaran semantik dan
ketepatan sintaksis menjadi takaran utama dalam aliran ini.
Karena itu, analisis wacana positivistik diarahkan pada
penggambaran tata-aturan kalimat dan paragraf beserta
kepaduan makna yang diasumsikan berlaku umum.
Bagaimana kalimat yang baik harus disusun? Bagaimana
paragraf yang baik harus ditulis? Bagaimana pula wacana
yang baik harus dikembangkan? Bertolak dari masalah-
masalah ini, kohesi dan koherensi menjadi tolok-ukur utama
dalam setiap analisis wacana positivistik. Penganjur
paradigma interpretivisme menolak pemisahan manusia
sebagai subjek dengan objek. Bahasa tidak dapat dipahami
terkecuali dengan memperhatikan subjek pelakunya. Subjek
manusia diyakini mampu mengendalikan maksud-maksud
tertentu dalam tindak berwacana. Karena itu, setiap
pernyataan pada hakikatnya adalah tindak penciptaan makna.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
247

Dalam perspektif ini pula berkembang teori tindak tutur, serta


keberlakuan kaidah-kaidah kejasama dalam percakapan.
Analisis wacana dimaksudkan untuk mengungkap maksud-
maksud dan makna-makna tertentu dari subjek. Dalam
perspektif ini, bila berkehendak memahami suatu wacana,
maka tidak ada jalan masuk lain kecuali pengkaji mampu
mengembangkan empati terhadap subjek pelaku wacana.
Penganjur paradigma kritisisme menilai bahwa baik
paradigma positivisme maupun paradigma interpretivisme
tidak peka terhadap proses produksi dan reproduksi makna.
Kedua paradigma tersebut mengabaikan kehadiran unsur
kekuasaan dan kepentingan dalam setiap praktik berwacana.
Karena itu, alih-alih mengkaji ketepatan tata-bahasa menurut
tradisi positivisme atau proses penafsiran sebagaimana tradisi
interpretivisme, paradigma kritisisme justru memberi bobot
lebih besar terhadap pengaruh kehadiran kepentingan dan
jejaring kekuasaan dalam proses produksi dan reproduksi
makna suatu wacana. Baik sebagai subjek maupun objek
praktik wacana, individu tidak terbebas dari kepentingan
ideologik dan jejaring kekuasaan.
Paradigma kritisisme dalam linguistic (Darma, 2009:
45-46) memiliki pokok-pokok pikiran berikut ini. Pertama,
pilihan bahasa dan kendala non-linguistik. Pilihan bahasa
dibuat menurut seperangkat kendala-kendala politis, sosial,
kultural, dan ideologi. Implikasinya adalah masyarakat dapat
dimanipulasi dan diatur dalam aturan yang baik. Penilaian
peranan dan status bawahan serta atasan dilakukan dengan
system strategi-strategi social yang melibatkan aspek-aspek

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
248

kekuasaan, aturan, subordinat, solidaritas, antagonism,


kohesi, kesenangan, dan sebagainya, yang semuanya
merupakan bagian integral dari system control masyarakat.
Jadi, pilihan bahasa bukan menjadi pilihan individu, tetapi
diproduksi oleh interaksi actual dan komunikatif yang
ditentukan secara ideologis dan dimotivasi secara politis.
Kedua, teks sebagai realisasi modus wacana di mana di
dalamnya terjadi lebih dari satu modus. Sebuah teks bukan
hanya karya individual. Teks dihasilkan mungkin saja karya
orang lain yang semuanya berakar pada kondisi social, politis,
ekonomi, dan ideologis yang terletak dari control pengarang-
nya. Dengan demikian, kajian bahasa pada hakikatnya
merupakan kajian kewacanaan yang bersifat historis. Sistem
bahasa merupakan bagian integral dari struktur dan proses
social. Kajian terhadap teks bahasa bukan hanya untuk kajian
teks itu sendiri, tetapi merupakan kajian kewacanaan dengan
mengikutsertakan dimensi politis, ideologis, dan cultural
tentang bagaimana masyarakat dan institusi membangun
makna melalui teks.
Ketiga, bahasa sebagai alat untuk mengkategorikan
realitas kehidupan. Dalam menghadapi kehidupannya yang
kompleks, manusia melakukan proses kategorisasi, sebagai
strategi umum untuk mengatur dunianya. Menurut Fowler
(dalam Darma, 2009: 46) bahasa merupakan medium efisien
dalam pengkodean kateori-kategori social. Struktur bahasa
yang dipilih dalam komunikasi tertentu menghasilkan
jaringan makna tertentu yang mendorong kea rah perspektif
yang sedang dihadirkan oleh komunikasi itu. Jaringan makna

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
249

merupakan teori atau ideologi penuturnya yang bukan


merupakan kategori alamiah, tetapi lebih merupakan kategori
cultural.
Keempat, penyusunan teks tak lepas dari kberadaan
konteks. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan teks tak
lepas dari keberadaan konteks, kedua aspek ini tak dapat
dipisahkan. Menurut Fowler dalam penyusunan teks tidak
hanya membuat kalimat-kalimat dengan makna-makna
individu yang dimilikinya serta kaidah bagi struktur-struktur
ekspresi makna yang memungkinkan, tetapi teks kalimat-
kalimat itu dihungkan juga satu dengan yang lainnya melalui
jaringan yang kompleks dari pertalian-pertalian yang
melibatkan sejumlah bagian struktur yang berbeda, seperti
kata, pronominal, penghilangan sintaksis, dan sebagainya
(Darma, 2009: 46).
Kelima, pemahaman akan keberadaan makna sosial.
Halliday mengatakan bahwa bahasa memiliki fungsi peng-
alaman atau ideasional. Dalam hal ini ada dua pemaknaan
yang dapat dimasuki penutur, yaitu makna alamiah dan
makna sosial. Makna alamiah lebih bersifat universal, dalam
arti semua manusia secara biologis dilengkapi alat untuk
membuat diskriminasi dan klasifikasi. Sebaliknya makna
social merefleksikan organisasi masyarakat dan hubungannya
dengan lingkungan. Makna sosial dihasilkan dari konstruksi
sosial realitas (Darma, 2009: 47).
Prinsip-prinsip itulah yang melandasi kajian kebahasa-
an sebagai kajian proses-proses komunikatif dan kultural.
Cara pandang inilah yang mengarahkan analisis wacana kritis

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
250

mengungkap tabir yang menyelubungi praktik-praktik sosial


di balik struktur teks yang dipilih oleh pengarang. Dengan
demikian, Analisis Wacana Kritis berada dalam wilayah
paradigma Kritis.

2. Bagian Kedua: Pendekatan Analisis Wacana Kritis


Sebagaimana dikatakan sebelumnya bahwa analisis
wacana yang berparadigma kritis disebut Analisis Wacana
Kritis atau Critic Discourse Analilysisi. Tulisan ini akan
mengemukakan salah satu model Analisis Wacana Kritis
(AWK) yang dikemukakan Norman Fairclough. Dari beberapa
model Analisis Wacana Kritis yang selama ini ada, dapat
dikelompokkan ke dalam lima pendekatan (Eriyanto, 2001: 15-
17).

a. Analisis Bahasa Kritis (Critical Linguistics)


Cricitical Linguistics ini dibangun oleh sekolompok
pengajar di Universitas East Anglia pada tahun 1970-an.
Pendekatan wacana yang dipakai banyak dipengaruhi oleh
teori sistematik tentang bahasa yang diperkenalkan oleh
Halliday. Hampir mirip dengan French Discourse Analysis,
Critical Linguistics memusatkan analisis pada bahasa dan
menghubungkannya dengan ideologi. Bedanya Critical
linguistics lebih konkret melihat gramatika. Inti dari gagasan
Critical Linguistics adalah melihat bagaimana gramatica bahasa
membawa posisi dan makna ideology tertentu. Dengan kata
lain, aspek ideologi diamati dengan melihat pilihan bahasa
dan struktur tata bahasa yang dipakai.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
251

b. Analisis Wacana Pendekatan Prancis (French Discourse


Analysis)
Pendekatan ini banyak dipengaruhi oleh teori ideology
Althuser dan teori wacana Foucault. Dalam pandangan
pendekatan ini, bahasa dan ideologi bertemu pada pemakaian
bahasa, dan materialisasi bahasa pada ideologi. Keduanya,
kata yang digunakan dan makna dari kata-kata yang
menunjukkan posisi seseorang dalam kelas tertentu. Bahasa
adalah medan pertarungan melalui mana berbagai kelompok
dan kelas social berusaha menanamkan keyakinan dan
pemahamannya.

c. Pendekatan Kognisi Sosial (Socio Cognitive Approach)


Pendekatan social ini dikembangkan oleh pengajar di
Universitas Amsterdam, Belanda, dengan tokoh utamanya
Teun A. van Dijk. Dalam kurun waktu yang lama sejak 1980-
an meneliti berita-berita di surat kabar Eropa terutama untuk
melihat bagaimana kelompok minoritas ditampilkan. Titik
perhatian van Dijk adalah pada masalah etnis, rasialisme, dan
pengungsi. Pendekatan van Dijk ini disebut kognisi social
karena van Dijk melihat factor kognisi sebagai elemen penting
dalam produksi wacana. Dari analisis teks misalnya, dapat
diketahui bahwa wacana cenderung memarjinalkan kelompok
minoritas dalam pembicaraan public. Akan tetapi, menurut
van Dijk, wcana semacam ini hanya tumbuh dalam suasana
kognisi pembuat teks yang memang berpandangan cenderung
memarginalkan kelompok minoritas.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
252

d. Pendekatan Perubahan Sosial (Sosialcultural Change


Approach)
Analisis wacana ini terutama memusatkan perhatian
pada bagaimana wacana dan perubahan social. Fairclough
banyak dipengaruhi oleh Foucault dan pemikiran inter-
tekstual Julia Kristeva dan Bakhtin. Wacana di sini dipandang
sebagai praktik social. Dengan memandang wacana sebagai
praktik social, ada hubungan dialektis antara praktik diskursif
tersebut dengan identitas dan relasi sosial. Wacana juga
melekat dalam situasi, institusi, dan kelas social tertentu.
Memaknai wacana demikian, menolong menjelaskan bagai-
mana wacana dapat memproduksi dan mereproduksi status
quo dan mentransformasikannya. Dalam pendekatan inilah
penelitian ini berada.

e. Pendekatan Wacana Sejarah (Discourse Historical


Approaches)
Analisis wacana ini dikembangkan oleh sekelompok
pengajar di Viena di bawah Ruth Wodak. Wodak dan
koleganya terutama dipengaruhi oleh pemikiran dari sekolah
Frankfurt, khususnya Jurgen Habermas. Penelitiannya
terutama ditujukan untuk menunjukkan bagaimana wacana
seksisme, antisemit, realism dalam media dan masyarakat
kontemporer. Wacana di sini disebut historis menurut Wodak
dkk., analisis wacana harus menyertakan konteks sejarah
bagaimana wacana tentang suatu kelompok atau komunitas
digambarkan.
Di antara pendektan-pendekatan yang berbeda dalam
AWK di atas, dapat diidentifikasi lima ciri umum, sebagai-
SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
253

mana dikemukakan Fairclough dan Vodak (Jorgensen dan


Louise J. Phillips, 2007: 115-120). Lima ciri tersebut me-
mungkinkan pendekatan-pendekatan tersebut digolongkan
dalam gerakan yang sama.

a. Sifat Struktur dan Proses Kultural dan Sosial Merupakan


Sebagian Linguistik Kewacanaan
Praktik-praktik kewacanaan dipandang sebagai
bentuk penting praktik social yang memberikan kontribusi
bagi penyusunan dunia social yang mencakup hubungan-
hubungan dan identitas-identitas social. Sebagian terbentuk
melalui praktik-praktik kewacanaan dalam kehidupan sehari-
hari. Di situlah terjadi perubahan dan reproduksi cultural dan
social. Tujuan analisis wacana kritis adalah menjelaskan
dimensi linguistic-kewacanaan fenomena social dan cultural
dan proses perubahan dalam modernitas terkini.

b. Wacana itu Tersusun dan Bersifat Konstitutif


Bagi wacana kritis, wacana merupakan bentuk praktik
social yang menyusun dunia social dan disusun oleh praktik-
praktik social lain. Sebagai praktik social, wacana berada
dalam hubungan dialektik dengan dimensi-dimensi social
yang lain. Wacana tidak hanya memberikan kontribusi pada
pembentukan dan pembentukan kembali struktur social
namun merefleksikan pembentukan dan pembentukan
kembali struktur tersebut.

c. Penggunaan Bahasa Hendaknya Dianalisis Secara Empiris dalam


Konteks Sosialnya
SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
254

Analisis wacana kritis menggarap, analisis tekstual


linguistik yang konkret atas penggunaan bahasa dalam
interaksi sosial.

d. Penelitian Kritis
Oleh sebab itu, analisis wacana kritis tidak bisa
dianggap sebagai pendekatan yang secara politik netral,
namun sebagai pendekatan kritis yang secara politik
ditujukan bagi timbulnya perubahan sosial. Atas nama
emansipasi, pendekatan analisis wacana kritis memihak pada
kelompok-kelompok sosial tertindas. Pengritik bertujuan
menguak peran praktik kewacanaan dalam melestarikan
hubungan kekuasaan yang tak setara dengan tujuan
mempercepat hasil analisis wacana kritis untuk
memperjuangkan tercapainya perubahan sosial yang radikal.
Di manakah posisi teori AWK Norman Fairclough dan
apa konsep-konsep yang memberikan kerangka bagi
penelitian analisis wacana kritis, merupakan dua hal yang
harus dibicarakan manakala akan menggunakannya dalam
suatu analisis wacana. Berikut ini akan dipaparkan kerangka
yang penting dari model AWK Norman Faiclough yang
relevan bagi kepentingan penelitian ini. Dalam pembicaraan
ini akan digunakan penjelasan Jorgensen dan Louise J. Phillips
(2007) dan dilengkapi dengan penjelasan Eriyanto (2001).
Fairclough telah mengonstruk kerangka yang penting untuk
menganalisis wacana sebagai praktik sosial. Kerangka
Faiclough berisi sederet konsep yang berbeda yang saling

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
255

berkaitan satu sama lain dalam model tiga dimensi yang


kompleks.
Pendekatan Fairclough intinya menyatakan bahwa
wacana merupakan bentuk penting praktik social yang
memproduksi dan mengubah pengetahuan, identitas dan
hubungan social yang mencakup hubungan kekuasaan dan
sekaligus dibentuk oleh struktur dan praktik social yang lain.
Oleh karena itu, wacana memiliki hubungan dialektik dengan
dimensi-dimensi social lain. Fairclough memahami struktur
social sebagai hubungan sosial di masyarakat secara
keseluruhan dan di lembaga-lembaga khusus dan yang terdiri
atas unsure-unsur kewacanaan dan non-kewacanaan
(Jorgensen dan Louise J. Phillips, 2007: 122-123).
Pendekatan Fairclough merupakan bentuk wacana
analisis yang beorientasi pada teks dan yang berusaha
menyatukan tiga tradisi, yaitu: (1) analisis tekstual yang terinci
di bidang linguistic; (2) analisis makro-sosiologis praktik
social; dan (3) tradisi interpretative dan mikro-sosiologis
dalam sosiologi, di mana kehidupan sehari-hari diperlakukan
sebagai produk tindakan orang-orang. Analisis teks
digunakan untuk memperoleh wawasan tentang bagaimana
proses kewacanaan beroperasi secara linguistic dalam teks-
teks khusus. Tetapi analisis teks belum memadai untuk
menganalisis wacana dan menjelaskan hubungan antara
wacana dengan struktur social dan proses cultural dari
masyarakat. Untuk itu diperlukan perspektif interdisipliner
yang menggabungkan analisis teks dan social. Disinilah tradisi
interpretative memberikan pemahaman tentang bagaimana

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
256

masyarakat secara aktif menciptakan dunia yang terikat pada


kaidah dalam praktik sehari-hari (Jorgensen dan Louise J.
Phillips, 2007: 123-124).
Pemahaman tentang wacana sebagai sesuatu yang
bersifat konstitutif dan tersusun merupakan unsur utama teori
Fairclough. Fairclough beranggapan bahwa hubungan antara
praktik kewacanaan dan struktur sosial sebagai sesuatu yang
kompleks dan beragam sepanjang waktu. Dinilah letak
perbedaan teori Fairclough dengan pendekatan-pendekatan
lain dan menandai posisinya dalam pendekatan perubahan
sosial.

3. Bagian Tiga: Teori, Metode, dan Model Tiga Dimensi


Nurman Fairclough
Fairclough (Jorgensen dan Louise J. Phillips, 2007: 125-
133).menerapkan konsep wacana dengan menggunakan tiga
hal yang berbeda. Pertama, dalam pengertian paling abstrak,
wacana mengacu pada penggunaan bahasa sebagai praktik
social. Kedua, wacana dipahami sebagai jenis bahasa yang
digunakan dalam suatu bidang khusus. Ketiga, dalam
penggunaan paling konkrit, wacana digunakan sebagai suatu
kata benda yang bisa dihitung yang mengacu pada cara
bertutur yang memberikan makna yang berasal dari
pengalaman-pengalaman yang dipetik dari perspektif
tertentu. Pada pengertian terakhir ini, konsep tersebut
mengacu pada wacana apapun yang bisa dibedakan dari
wacana-wacana lain misalnya wacana feminis, wacana neo-
liberal, wacana Marxis, wacana konsumen, atau wacana
environmentalis.
SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
257

Setiap peristiwa penggunaan bahasa merupakan


peristiwa komunikatif yang terdiri atas: (1) teks; (2) praktik
kewacanaan (termasuk pemroduksian dan pengonsumsian
teks); dan (3) praktik sosial. Jika digambarkan dalam suatu
bagan Nampak sebagaimana gambar berikut.

Pemroduksian teks

Teks

Praktik Kewacanaan

Praktik Sosial

Bagan 7: Model Tiga Dimensi Fairclough

Bagan di atas merupakan model analisis Fairclough


yang merupakan kerangka analisis yang digunakan untuk
penelitian empiris tentang komunikasi dan masyarakat. Ketiga
dimensi tersebut semuanya hendaknya dicakup dalam analisis
wacana khusus dalam peristiwa komunikatif. Analisis
tersebut hendaknya dipusatkan pada: (1) ciri-ciri linguistic
teks tersebut; (2) proses yang berhubungan dengan
SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
258

pemroduksian dan pengonsumsian teks itu (praktik


kewacanaan); dan (3) praktik social yang lebih luas yang
mencakup peristiwa komunikatif (praktik social).

1) Dimensi Teks dalam AWK Fairclough


Analisis teks dipusatkan pada ciri-ciri formal (seperti
kosakata, tatabahasa, sintaksis dan koherensi kalimat) dan
dari situlah diwujudkan wacana dan aliran secara linguistis.
Jorgensen dan Louise J. Phillips menjelaskan aliran wacana
merupakan penggunaan khusus bahasa yang berpartisipasi
dalam dan menyusun bagian praktik social tertentu, misalnya
aliran wawancara, aliran berita, atau aliran iklan (pen. Dapat
dimasukkan di dalamnya aliran narasi/sastra). Sedangkan
tatanan wacana merupakan konfigurasi semua jenis wacana
yang digunakan dalam lembaga atau bidang social (Jorgensen
dan Louise J. Phillips, 2007: 126).
Eriyanto dalam hubungannya dengan analisis teks ini
mengemukakan tentang order of discourse, sebagai bentuk
praktik diskursif dari komunitas pemakai bahasa. Bisa
dikatakan bahwa order of discourse merupakan tipe diskursif
yang memunculkan struktur wacana dan pemakian bahasa
yang berbeda-beda dalam peristiwa komunikatif. Oleh karena
itu, dalam tahap analisis teks ini perlu dikaji dahulu tentang
order of discourse ini untuk menentukan bentuk-bentuk teks
yang dipilih oleh pemakai.
Fairclough melihat teks dalam berbagai tingkatan.
Sebuah teks bukan hanya menampilkan bagaimana suatu
obyek digambarkan, tetapi juga bagaimana hubungan

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
259

antarobyejk didefinisikan. Eriyanto mengemukakan tiga


elemen dasar dalam model Fairclough, yaitu: representasi,
relasi, dan identitas (Eriyanto, 2001: 289). Representasi pada
dasarnya ingin melihat bagaimana seseorang, kelompok,
tindakan, kegiatan ditampilkan dalam teks. Menurut
Fairclough ketika sesuatu ditampilkan, pada dasarnya
pemakai bahasa dihadapkan paling tidak dua pilihan, yaitu
pada tingkat kosakata dan pada tingkat gramatika. Kosa kata
apa yang dipakai untuk menampilkan dan menggambarkan
sesuatu, yang menunjukkan bagaimana sesuatu tersebut
dimasukkan dalam satu set kategori. Sedangkan dalam
tingkat gramatika mengarah pada, apakah sesuatu itu
ditampilkan dalam suatu tindakan ataukah suatu peristiwa.
Pilihan kosakata dalam suatu teks sangat menentukan
karena berhubungan dengan pertanyaan bagaimana realitas
ditandakan dalam bahasa dan bagaimana bahasa itu
memunculkan realitas bentukan tersebut.Pilihan kata akan
menimbulkan asosiasi tertentu pada realitas yang diacu.
Pilihan kata ini juga dapat dilihat dari pemakaian metafora
yang dipakai. Menurut Fairclough, pilihan pada metafora
merupakan kunci bagaimana realitas ditampilkan dan
dibedakan dengan yang lain. Metafora dalam hal ini bukan
hanya persoalan keindahan literer, tetapi juga bisa
menentukan apakah realitas itu dimaknai dan dikategorikan
sebagai positif atau negative. Dengan demikian, pilihan kata
oleh pemakai bahasa akan mengabstraksikan realitas pada set
kategori tertentu.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
260

Sedangkan dalam tataran gramatika (tata bahasa),


analisis teks dapat diterjemahkan, bagaimanakah penggunaan
gramatika dalam teks di dalam menampilkan atau
menggambarkan apa yang akan dibicarakan. Eriyanto
menyebutkan sebagai tata susunan tata bahasa yang terdiri
atas: peristiwa, keadaan, dan proses mental sebagai
perwujudan tindakan pemakai bahasa.
Persoalan utama dalam representasi adalah bagaimana
realitas atau obyek tersebut ditampilkan. Dalam konteks
penelitian ini dapat dirumuskan, bagaimana ideologi tersebut
meresap ke dalam praktik kerja dalam kaitannya dengan
bahasa yang dipakai dalam novel Cala Ibi karya Nukila Amal.
Eriyanto mengemukakan dua level, yaitu: memilih fakta
(perspektif) dan menuliskan fakta (penyajian dan
pengungkapan di dalam teks). Fakta dalam novel Cala Ibi
dipahami sebagai fakta subyektif; kreatif dan imajinatif.
Tetapi kehadirannya di dalam karya sastra senantiasa bertolak
dari kerangka pemahaman sesuai dengan rekonstruksi
hubungan-hubungan sosial. Artinya, prototype tokoh-tokoh
dan kejadian dalam struktur imajiner merupakan tipifikasi
status dan peranan kesemestaan sosial. Dalam hubungan
inilah struktur dunia rekaan dianggap seirama dengan mode-
mode pemikiran dan sistem pengetahuan sosial.
Lebih lanjut dikatakan Eriyanto (2001: 118-120), proses
pemilihan fakta dipahami sebagai praktik representasi. Yakni
bagaimana dengan cara dan strategi tertentu wacana
mendefinisikan realitas. Pemroduksi wacana cenderung
memilih fakta tertentu dan membuang fakta yang lain, dengan

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
261

demikian realitas hadir secara ―bentukan‖ tertentu kepada


khalayak. Akibatnya, terjadi proses legitimasi dan
delegitimasi.
Sedangkan penulisan fakta berhubungan dengan pemakaian
bahaa dalam menuliskan realitas ―bentukan‖ tersebut kepada
khalayak. Bagaimanakah kata-kata mengarahkan logika
tertentu untuk memahami suatu persoalan. Hal ini merujuk
pada konsep-konsep yang terkandung dalam kata-kata itu.
Bahasalah yang akan menciptakan realitasnya sendiri, karena
konsepsi dan abstraksi pikiran yang berusaha mengkode
tanda. Kode-kode inilah yang harus diungkapkan jika
menganalisis wacana sebagai representasi ideologi.
Dengan demikian, dalam representasi atas pemilihan
dan penulisan fakta dengan bahasa, dapat terjadi
misrepresentasi (penggambaran secara buruk), marjinalisasi,
dan deligitimasi. Hal-hal inilah yang akan dianalisis dalam
novel Cala Ibi dalam dimensi struktur mikro (teks).

2) Dimensi Praktik Kewacanaan dalam AWK Fairclough


Dalam dimensi ini AWK Fairclough memusatkan
perhatian pada bagaimana produksi dan konsumsi teks. Teks
dibentuk lewat suatu praktik diskursus, yang menentukan
bagaimana teks tersebut diproduksai. Berkaitan dengan obyek
penelitian ini, yaitu novel Cala Ibi sebagai wacana narasi
sastra, analisis dalam dimensi praktik kewacanaan ini
merujuk pada apa yang dikemuakan Jorgensen dan louise J.
Phillips, melacak jalinan antartekstual atau antarkewacanaan
yang ditansformasikan ke dalam teks.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
262

Antarkewacanaan terjadi bila aliran dan Wacana yang


berbeda diartikulasikan bersama-sama dalam suatu peristiwa
komunikatif. Melalui artikulasi wacana baru, batas-batasnya
berubah. Praktik kewacanaan kreatif tempat digabungkannya
jenis-jenis Wacana dengan cara yang baru dan kompleks –
dalam ―campuran antarkewacanaan‖ baru—merupakan suatu
tanda dan daya dorong kea rah perubahan kewacanaan dan
juga perubahan sosiokultural (Jorgensen dan Louise J. Phillips,
2007: 137).
Fairclough mengatakan, suatu teks bisa dipandang
sebagai hubungan dalam rantai intertekstual. Artinya, se-
rangkaian teks tempat masing-masing teks memasukkan
unsure-unsur yang berasal dari teks atau teks-teks lain.
Firclough memandangnya sebagai suatu pengejawantahan
stabilitas dan daya ubah ekstrem bahasa. Hal itu sebagai tanda
stabilitas dan ketidakstabilan, kontinuitas dan perubahan.
Perubahan diciptakan dengan mengandalkan wacana-wacana
yang ada dengan cara baru, namun kemungkinan terjadinya
perubahan itu dibatasi oleh hubungan kekuasaan (hegemoni)
(Jorgensen dan Louise J. Phillips, 2007: 137).
Tidak ada kesepadanan dalam beberapa wacana yang
ada dalam masyarakat. Terdapat Wacana yang dominan dan
tandingan dalam relasi kekuasaan. Di sinilah konsepsi-
konsepsi ideologi muncul sebagai konsekuensi praktik
kewacanaan. Bagaimanakah novel Cala Ibi mengkonsepsikan
ideologi sebagai praktik kewacanaan di tengah-tengah
berbagai wacana yang ada di masyarakat Indonesia?
Pertanyaan inilah focus analisis dalam penelitian ini dalam

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
263

dimensi struktur meso (praktik kewacanaan). Dengan


demikian, memandang novel ini sebagai wacana ideologi
sebagai konstruksi makna yang memberikan kontribusi bagi
pemroduksian, pereproduksian, dan transformasi hubungan-
hubungan dominasi.

3) Dimensi Praktik Sosial dalam AWK Fairclough


Dalam dimensi ini, menurut Fairclough (Jorgensen dan
Louise J. Phillips, 2007: 157-158), analisis diletakkan pada hal-
hal berikut. Pertama, hendaknya dilakukan eksplorasi hubung-
an antara praktik kewacanaan dan tatanan Wacana; termasuk
di dalamnya, jenis jaringan wacana manakah praktik
kewacanaan itu.Kedua, memetakan hubungan kultural, sosial.
Dan nonwacana dan struktur yang menyusun konteks lebih
luas praktik kewacanaan itu –matriks wacana. Perlu
digunakan teori-teori social dan budaya untuk menjelaskan
hal tersebut. Dengan demikian, dalam dimensi ini membutuh-
kan panduan trans-disiplin teori-teori lain.
Dalam dimensi inilah akan dirumuskan kesimpulan-
kesimpulan dalam kaitannya dengan relasi wacana novel Cala
Ibi dengan perubahan-perubahan dan konsekuensi ideologis,
politik, dan sosial.

4. Bagian Empat: Teori-Teori Pendukung Analisis Wacana


Kritis
Sebagaimana yang terjadi dalam model AWK Norman
Fairclough yang mendapatkan masukan dari teori-teori lain,
maka dalam penelitian sastra AWK juga membutuhkan
dukungan teori-teori yang lain dalam analisisnya. Paling tidak
SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
264

terdapat tiga alasan teori-teori pendukung ini sangat penting


kehadirannya dalam penelitian sastra. Pertama, Pendekatan
Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough diarahkan untuk
menganalis teks media, sedangkan obyek penelitian ini adalah
teks sastra. Terdapat perbedaan yang mendasar antara ciri-ciri
teks media dengan teks sastra. Kedua, karena penelitian ini
memiliki obyeks teks sastra, maka diperlukan teori-teori yang
mampu menjelaskan prinsip-prinsip dan ciri-ciri teks sastra.
Dalam hal ini, teori-teori sastra memegang peranan penting
untuk itu. Ketiga, Analisis Wacana Kritis Norman Faiclough
sendiri menyarankan perlunya teori-teori budaya dalam
kerangka penelitian perspektif ganda. Melakukan analisis
kritis senantiasa melibatkan panduan trans-disiplin teori-teori
yang berbeda.
Teori-teori teks, sastra, dan budaya tentunya meng-
ambil peranan penting dalam penelitian ini. Oleh karena itu,
Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough dalam penelitian
telah mengalami modivikasi sesuai dengan ciri-ciri obyek dan
kebutuhan analisis. Pertama, karena mengambil obyek karya
sastra, dengan sendirinya, analisis dan pemahaman struktur
teks sastra hanya dapat dijelaskan dengan menggunakan teori
teks dan teori sastra. Dalam tataran analisis struktur mikro,
teori-teori teks dan sastra sangat diperlukan kehadirannya.
Dalam level struktur mikro, teori-teori teks dan sastra yang
dapat digunakan adalah teori-teori dalam wilayah naratologi
Kedua, penciptaan karya sastra sebagai bagian dari
produk budaya, tentu memerlukan referensi yang memadai
untuk menjelaskan aspek-aspek yang berkenaan dengan hal

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
265

tersebut. Konteks dunia kepengarangan dan latar belakang


pengarang membutuhkan referensi dari pemikiran para
pengamat, kritikus, dan ahli sastra, khususnya kesusastraan
Indonesia modern. Termasuk di dalamnya teori intertekstual
sastra sangat penting juga digunakan. Pada tataran analisis
struktur meso, semua itu sangat diperlukan.
Ketiga, dalam tataran analisis makro, yang meng-
analisis hubungan wacana sastra dengan praktik-praktik
sosiokultural masyarakat, tentunya membutuhkan teori-teori
budaya. Pada tataran analisis makro ini dapat digunakan
konsep-konsep pemikiran Cultural Studi dan teori-teori yang
relevan dalam Cultural Studi itu, yaitu teori-teori
postrukturalisme, seperti: Teori Hegemoni, Teori Feminisme,
Poskolonialisme, intertekstual, Interaksionismes Simbolik, dan
Teori Dekonstruksi. Teori-teori tersebut berelaborasi untuk
menjelaskan praktik-praktik sosial budaya yang dimainkan
oleh wacana sastra sebagai obyek penelitian. Penggunaan
teori-teori dalam wilayah postrukturalisme relevan dengan
AWK yang kehadirannya dalam keilmuan bersinambung
dengan postrukturalisme dan posmodernisme.

5. Bagian Kelima: Teknik Analisis Wacana Kritis Sastra


Pemahaman terhadap teori dan metodologi AWK di
atas, dapat dirumuskan bagaimana metode dan teknik dalam
mendekati karya sastra. Untuk pembahasan ini tentunya perlu
pembagian ke dalam: (1) Sumber dan Jenis Data; (2) Teknik
Pengumpulan Data; (3) Teknik Analisis Data; dan (4) Prosedur
Penelitian. Keempat hal tersebut kiranya dapat diterapkan

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
266

apabila akan menganalisis karya sastra (baca: novel) dengan


menggunakan pendekatan Analisis Wacana Kritis.

a. Data dan Teknik Pemerolehan Data


Data dalam penelitian sastra dengan AWK sebagai
pendekatannya terdiri atas data teks dan data luar teks. Data
teks diambil dari dalam wacana novel yang dianalisis sebagai
fakta linguistik untuk dianalisis dalam kerangka dimensi
struktur mikro. Data teks ini berupa: cerita dan struktur
penceritaan yang dipakai dalam novel tersebut. Sedangkan
data luar teks berupa wacana atau teks lain yang dipakai
pengarang untuk membangun wacana sastra. Data luar teks
tersebut dipakai untuk menganalisis bagaimana wacana sastra
tersebut diproduksi pada dimensi kedua (struktur meso).
Teori intertekstual dipakai dalam menganalisis antartekstual
dan antarkewacaaan berdasarkan data-data luar teks tersebut.
Di samping itu, dipergunakan juga data-data luar teks yang
lain dalam kaitannya dengan realitas masyarakat di mana
karya sastra yang dianalisis itu berada. Praktik-praktik
sosiokultural apakah yang terjadi pada masa itu. Data tersebut
dipakai dalam analisis tataran makro.
Berdasarkan dua jenis data tersebut, maka
pemerolehan data tersebut menggunakan dua teknik. Pertama,
untuk memperoleh data teks digunakan teknik pembacaan
cermat, pencatatan data, dan pengkategorian data sesuai
dengan focus penelitian. Kedua, teknik pustaka untuk
memperoleh data luar teks. Yang dimaksud dengan teknik
simak dan catat menurut Subroto (1997: 35) ialah peneliti

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
267

sebagai instrumen kunci melakukan penyimakan secara


cermat, terarah, dan teliti terhadap sumber data utama, yaitu
wacana karya sastra. Sedangkan teknik pustaka adalah
pengambilan data dari sumber-sumber tertulis oleh peneliti
sebagai instrumen kunci beserta konteks yang mendukung.

b. Teknik Analisis Data


Teknik analisis data dalam penelitian sastra dengan
pendekatan AWK ini terdiri atas tiga tataran, sebagaimana
Model Tiga Dimensi AWK Norman Fairclough.
1) Tataran struktur mikro menggunakan teknik analisis
diskripsi atas teks. Di sini, teks dijelaskan tanpa
dihubungkan dengan aspek lain. Untuk mendukung
analisis dalam tataran ini disarankan menggunakan teori-
teori naratologi.
2) Tataran struktur meso menggunakan teknik analisis
interpretasi, yaitu menafsirkan teks dihubungkan dengan
praktik wacana yang dilakukan. Teks dianalisis dalam
hubungannya dengan proses produksi teks melalaui relasi
yang hendak dibangun dalam teks. Praktik kewacanaan
dalam analisis ini mengarah pada relasi antarteks atau
disebut intertekstual dan konteks kepengarangan
sezaman.
3) Tataran struktur makro menggunakan teknik eksplanasi,
bertujuan untuk mencari penjelasan atas hasil-hasil
penafsiran pada tataran kedua. Teknik analisis ini
berusaha menghubungkan praktik kewacanaan dengan

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
268

praktik-praktik sosiokultural di mana obyek penelitian itu


berada.

c. Prosedur Penelitian
Berdasarkan kerangka kerja Fairclough yang ter-
modivikasi, maka kerangka kerja dalam penelitian ini terdiri
dari enam fase sebagaimana berikut ini.
a) Pemilihan Masalah Penelitian dan Rumusannya
b) Pencatatan Data Primer (dalam teks) dan Pengumpulan
Data Sekunder (luar teks)
c) Analisis Data, terdiri atas tiga tahap analisi.
(1) Struktur mikro: struktur teks; bagaimana wacana di-
aktifkan secara tekstual. Dalam analisis struktur teks ini
dipergunakan teori-teori naratologi sebagai pendukung-
nya.
(2) Struktur meso: praktik kewacanaan; analisis ini dipusat-
kan pada bagaimana teks diproduksi, meliputi: (1)
uraian tema yang diangkat, (2) intertekstualitas, konteks
kepengarangan dan (4) konteks kepengarangan
kesusasteraan Indonesia sezaman.
(3) Struktur Makro: praktik sosial; analsis ini dipusatkan
pada eksplorasi hubungan antara praktik kewacanaan
dengan konteks sosiokultural yang lebih luas. Dalam
pembahasan dicari hubungan-hubungan antara apa
yang dikemukakan dalam obyek dengan situasi yang
berkembang di masyarakat pada saat novel itu
diciptakan. Sehingga, ujung analisisnya diharapkan
dapat menemukan ideologi yang direpresentasikan
dalam wacana novel sebagai praktik sosikultural
SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
269

masyarakat. Dalam tataran ini, teori-teori yang relevan


dalam Culturak Studi, seperti feminisme, poskolonial,
dekonstruksi, hegemoni, dan pokok-pokok pikiran
posmodernisme, digunakan sebagai pisau bedahnya.
Dengan demikian, kehadiran teori-teori dan referensi
yang relevan sangat penting dalam analisis ini.Yang
diupayakan untuk dijawab adalah pertanyaan-pertanyaan
tentang perubahan dan konsekuensi-konsekuensi ideologi
dalam obyek penelitian.
Hasil-hasil penelitian ini diharapkan, sebagaimana
tujuan analisis wacana kritis, dapat mempromosikan wacana
lebih bebas dalam rangka memajukan demokratisasi
masyarakat (Indonesia) ke depan. Keanekaragaman wacana
jelas terjadi dalam masyarakat. Tidak ada wacana tunggal
dalam masyarakat yang menerapkan demokrasi sebagai
ideologi bermasyarakat dan bernegara.

D. Etnografi dalam Penelitian Sastra Lisan


1. Prinsip-Prinsip Dasar Etnografi
Spradley dalam bukunya berjudul Metode Etnografi
(2007) sangat gamblang dan sistematis menjelaskan tentang
empat tipe analisis etnografi, yaitu analisis domain, analisis
taksonomik, analisis komponen, dan analisis tema. Empat tipe
analisis tersebut menempatkan metode etnografi yang
dikemukakan Spradley itu dikenal sebagai Etnografi Baru.
Etnografi baru berusaha menemukan keunikan dari
masyarakat yang ditelitinya. Keunikan itu terletak pada
persepsi dan organisasi pikiran masyarakat atas fenomena

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
270

material yang ada di sekelilingnya. Bukan fenomena material


yang menjadi fokus kajian, melainkan persepsi dan struktur
pikiran terhadap fenomea material tersebut, yang dihadapi-
nya sehari-hari.
Menurut Spradley etnografi merupakan pekerjaan
mendeskripsikan suatu kebudayaan. Tujuannya, untuk me-
mahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang
penduduk asli, sebagaimana dikemukakan Bronislaw
Malinowski. Bronislaw Malinowski (dalam Spradley,2007:4)
mengemukakan bahwa tujuan etnografi adalah memahami
sudut pandang penduduk asli, hubungannya dengan
kehidupan, untuk mendapatkan pandangannya mengenai
dunia. Dengan demikian, etnografi bukan semata mempelajari
masyarakat, tetapi juga belajar dari masyarakat.
Mempelajari sekaligus belajar dari masyarakat.
Kalimat tersebut menjadi pedoman yang harus selalu diingat
oleh seorang etnograf. Ada dua hal yang terkandung dalam
ungkapan kalimat tersebut. Pertama, tidak seperti kajian-kajian
pada umumnya di mana peneliti dan obyek yang diteliti
terdapat jarak, di dalam etnografi seorang etnograf masuk
menjadi bagian dari masyarakat dan menggunakan sudut
pandang penduduk asli untuk memplajari masyarakat
tersebut. Kedua, seorang etnograf yang menggunakan sudut
pandang penduduk asli dimungkinkan manakala ia belajar
menjadi bagian dari masyarakat tersebut.
Spradley mengemukakan, inti etnografi adalah upaya
untuk memperhatikan makna-makna tindakan dari kejadian
yang menimpa orang yang ingin ia pahami. Beberapa makna

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
271

tersebut terekspresi secara langsung dalam bahasa, dan di


antara makna yang diterima, banyak disampaikan hanya
secara tidak langsung melalui kata-kata dan perbuatan.
Namun demikian, setiap masyarakat tetap menggunakan
sistem makna yang kompleks untuk mengatur tingkah
lakunya, untuk memahami dirinya sendiri dan orang lain,
serta untuk memahami dunia tempat mereka hidup. Sistem
makna inilah merupakan kebudayaan masyarakat tersebut.
Oleh karena itu, etnografi hendak mempelajari sistem makna
yang disebut dengan kebudayaan suatu masyarakat. Etnografi
tentunya menggunakan teori kebudayaan untuk
mempelajarinya.

a. Kebudayaan sebagai Fokus dan Tujuan Etnografi


Terdapat berbagai definisi dan perspektif untuk
memandang kebudayaan. Tetapi bagi etnografi, pengertian
kebudayaan dikonsepsikan sesuai dengan tujuannya: ―untuk
memahami sudut pandang penduduk asli‖. Pengertian
kebudayaan yang sesuai untuk itu menurut Spradley adalah,
menunjuk pada pengatahuan yang diperoleh, yang digunakan orang
untuk menginterpretasikan pengalaman dan melahirkan tingkah
laku sosial. Dengan demikian, kebudayaan yang dipelajari
etnografi bukanlah kebudayaan dalam arti material, tetapi
kognitif (organisasi atau struktur pikiran). Peristiwa, tingkah
laku, dan dunia tempat hidup suatu masyarakat bukanlah
menjadi fokus kajian, melainkan apa yang ada dalam pikiran
masyarakat; sistem organisasi pikiran apakah yang menuntun
masyarakat tersebut menafsirkan dan berperi laku dan
memandang dunia tempat mereka hidup.
SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
272

Pengertian kebudayaan dalam sudut pandang etno-


grafi adalah sebagai suatu simbol yang mempunyai makna.
Konsep ini memiliki persamaan dengan pandangan teori
Interaksionisme Simbolik, yaitu suatu teori yang berusaha
menjelaskan tingkah laku manusia dalam kaitannya dengan
makna. Teori ini memiliki tiga premis sebagai landasan
teorinya.
1) Manusia melakukan berbagai hal atas dasar makna yang
diberikan oleh berbagai hal itu kepada mereka. Artinya,
orang bertidak memiliki makna dibalik tindakan itu.
2) Makna dari berbagai hal itu berasal dari, atau muncul dari
interasi sosial seseorang dengan orang lain.
3) Makna ditangani atau dimodivikasi melalui suatu proses
penafsiran yang digunakan orang dalam kaitannya dengan
berbagai hal yang dihadapi orang tersebut. Orang bukanlah
robot yang dikendalikan oleh kebudayaannya, melainkan
menggunakan, menginterpretasikan, dan mendefinisikan
kebudayaannya itu untuk situasi yang terjadi dalam
tindakan orang itu.
Menurut Spradley, kebudayaan dengan demikian di-
pandang sebagai suatu peta yang dalam kehidupan sehari-
hari manusia merujuk pada peta itu. Sebagai sebuah peta,
kebudayaan mengemukakan prinsip-prinsip untuk digunakan
dalam menginterpretasikan dan memberikan respon terhadap
suatu kejadian. Etnografi menurut teori Interaksionisme
Simbolik perlu secara cermat mempelajari makna. Untuk itu
etnografi membutuhkan teori mengenai makna dan
metodologis khusus yang dirancang untuk menyelidiki

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
273

makna. Etnografi menggunakan berbagai pendekatan yang


berbeda dalam antropologi dan sosiologi.
Kebudayaan dengan demikian tidak dapat diamati
secara langsung, melainkan menyelami alam pikiran
masyarakatnya. Etnografer melihat dan mendengar kemudian
membuat kesimpulan tentang hal yang diketahui orang.
Kesimpulan itu dibuat berdasarkan tiga sumber, yaitu: (1) dari
yang dikatakan orang; (2) dari cara orang yang bertindak; dan
(3) dari berbagai artefak yang digunakan orang. Pada mulanya
kesimpulan itu hanya merupakan hipotesis mengenai hal
yang diketahui orang. Oleh karena itu, kesimpulan tersebut
harus diuji secara berulang-ulang sampai etnografer memiliki
kepastian bahwa orang-orang itu sama-sama memiliki sistem
makna budaya yang khsus. Kesimpulan akhir yang diperoleh
merupakan sebuah deskripsi budaya. Kemudian, etnografer
mengevaluasi dan menguji ketepatan deskripsi itu.
Pengevaluasian dan pengujian dilakukan dengan jalan
menggunakan statetemn etnografi dalam diskripsi tersebut ke
dalam kondisi masyarakat itu. Deskripsi etnografi tersebut
merupakan pengetahuan mengenai sistem budaya suatu
masyarakat.
Apa yang dikemukakan oleh Spradley di atas dapat
disimpulan dalam beberapa pernyataan berikut.
1) Etnografi menggunakan sudut pandang penduduk asli
untuk mempelajari sistem kebudayaan suatu masyarakat.
2) Kebudayaan dalam pandangan etnografi bukanlah apa
yang dilihat dan didengar (secara material), tetapi alam
pikiran mereka (secara kognitif).

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
274

3) Sistem kebudayaan dipandang sebagai sistem makna atau


peta yang mengandung prinsip-prinsip untuk digunakan
dalam menginterpretasikan dan memberikan respon
terhadap suatu kejadian.
4) Prose kerja penelitian etnografi berdasarkan sumber data
yang berupa: apa yang dikatakan orang, apa yang dilaku-
kan orang, dan artefak yang digunakan orang.
5) Tujuan etnografi adalah mendiskripsikan sistem ke-
budayaan dari sudut pandang penduduk asli. Oleh karena
itu, masyarakat yang diteliti adalah objek sekaligus subjek
penelitian.
6) Hasil penelitian etnografi adalah diskripsi kebudayaan
sebagai sebuah pengetahuan mengenai makna, prinsip,
dan peta yang dirujuk oleh masyarakat untuk meng-
interpretasikan kondisi tindakan yang dihadapi setiap
hari.
Dalam konteks keilmuan, etnografi menawarkan suatu
strategi yang sangat baik untuk menemukan grounded theory.
Grounded teori disebut juga dengan teori substantif adalah
teori didasarkan atas data empiris; suatu teori yang
dirumuskan berdasarkan abstraksi data-data penelitian.
Etnografi bukan menggunakan teori-teori formal, yaitu teori-
teori yang sudah tersedia sebelumnya. Seorang etnografer
ketika terjun ke dalam masyarakat tidak membawa cara
pandang tertentu, karena penelitian etnografi hanya
menggunakan satu cara pandang, yaitu yang dimiliki oleh
penduduk asli dari masyarakat yang akan diteliti. Ketiadaan
teori untuk menemukan teori.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
275

Salah satu strategi etnografi yang sering digunakan


adalah wawancara etnografis. Wawancara etnografis
merupakan suatu strategi untuk membuat orang berbicara
mengenai hal yang mereka ketahui. Sedangkan prosedur
penelitiannya disebut oleh Spradley sebagai ―Alur Penelitian
Maju Bertahap‖ (The Developmental Research Sequence).

b. Langkah Kerja Penelitian Etnografi


Langkah kerja penelitian etnografi disebut sebagai
―Alur Penelitian Maju Bertahap‖ (The Developmental Research
Sequence). Sebagaimana dijelaskan Spradley dalam bukunya
Metode Etnografi (2007), tulisan ini mengemukakan satu
strategi penelitian etnografi yang disebut sebagai Strategi
Wawancara Etnografis. Strategi ini menggunakan wawancara
sebagai sumber datanya. Sebagaimana dalam penelitian pada
umumnya, wawancara dilakukan terhadap seorang informan.
Namun demikian, terdapat aturan untuk menetapkan
informan yang tepat dan relevan bagi penelitian etnografi.
Secar garis besar, ―Alur Penelitian Maju Bertahap‖ tersebut,
yang dalam buku ini telah diadaptasi untuk peneliti pemula,
dapat diskemakan sebagai berikut.
1) Menetapkan Obyek, Fokus Penelitian, dan merancang
penelitian
2) Menetapkan informan
3) Mewawancara Informan
4) Membuat Catatan Etnografis
5) Melakukan Analisis Hasil Wawancara

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
276

6) Menarik Kesimpulan dari hasil Analisis Wawancara dan


menjadikannya sebuah hipotesis
7) Menguji hipotesis
8) Membuat deskripsi etnografis sebagai kesimpulan akhir

c. Menetapkan Subjek, Objek Penelitian, dan Merancang


Penelitian
Sebagaimana dalam penelitian pada umumnya, pe-
nelitian etnografi diawali dengan menetapkan subjek, objek
sebagai fokus penelitian, dan merancang penelitian. Subjek
penelitian, sebagaimana dikemukakan di muka adalah
masyarakat pemilik kebudayaan di mana penelitian etnografi
akan dilakukan. Sedangkan objek atau fokus penelitian
etnografi adalah aspek kebudayaan suatu masyarakat yang
akan dipelajari dan dikaji secara etnografis. Keduanya
sesungguhnya dapat dikatakan sebagai objek penelitian, yaitu
objek formal dan meterial. Fokus penelitian hendaknya
menunjuk pada satu fenomena tindakan masyarakat sebagai
peristiwa kultural, yang secara bersama-sama dilakukan
dalam masyarakat itu. Namun demikian, yang akan dituju
bukanlah peristiwa yang tampak, tetapi sistem makna di balik
permukaan peristiwa tersebut. Artinya, fokus penelitian
menunjuk pada alam pikiran atau organisasi pikiran yang
melandasi masyarakat dalam bertindak dalam peristiwa
kultural tersebut. Bagaimanakah sistem makna yang
digunakan masyarakat untuk menginterpretasikan dan
mendefinisikan situasi tindakannya dalam konteks interaksi
sosial.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
277

Hal lain yang perlu dilakukan sebelum terjun ke


lapangan adalah, seorang etnografer perlu merancang pe-
nelitian. Dalam penelitian pada umumnya disebut dengan
desain penelitian. Rancangan penelitian inilah yang akan
menjadi pedoman bagi peneliti dalam melakukan penelitian di
lapangan. Tentunya rancangan tersebut harus sesuai dengan
konsep-konsep dasar metode etnografi. Di muka telah
dikemukakan beberapa konsep dasar metode etnografi.
Konsep-konsep dasar metode etnografi tersebut dituangkan
ke dalam rancangan penelitian yang meliputi: obyek dan
sumber data, metode, teknik, dan prosedur penelitian. Obyek
telah dijelaskan di atas, sedangkan sumber data dalam
etnografi terdiri atas tiga macam, yaitu: (1) dari yang
dikatakan orang; (2) dari cara orang yang bertindak; dan (3)
dari berbagai artefak yang digunakan orang. Ketiga sumber
data tersebut akan menentukan metode dan teknik yang akan
dipakai untuk menggali data penelitian. Dari sumber data (1)
diterapkan metode wawancara; dari sumber data (2)
diterapkan metode observasi; dan dari sumber data (3)
diterapkan metode observasi dan dokumentasi. Dengan
demikian, teknik pemerolehan data didasarkan pada sumber
data mana yang digunakan.
Sedangkan hal yang berhubungan dengan bagunan
teori yang digunakan, studi etnografi menggunakan gounded
theory, sebagaimana dikemukan di muka. Gounded theory
merupakan teori yang didasarkan atau disusun dari
kumpulan data dalam suatu penelitian. Dengan demikian,
bangunan teori dalam studi etnografi disusun dalam proses

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
278

penelitian berdasarkan data-data yang dihimpun, bukan


menggunakan teori yang sudah ada. Teori semacam itu
disebut juga dengan teori substantif. Oleh karena itu, model
penelitian etnografi bersifat induktif.

d. Menetapkan Informan
Sebagaimana dikemukan di bagian awal, tulisan
tentang model penelitian etnografi ini menggunakan strategi
wawancara etnografi. Dengan demikian, sumber data yang
digunakan adalah apa yang dikatakan orang, sehingga
metode penelitian yang digunakan adalah wawancara.
Wawancara etnografi merupakan upaya menggali data dari
informan. Namun demikian, ada beberapa aturan yang harus
dilakukan etnografer untuk menetapkan informan yang
bagaimana yang layak sebagai sumber data.
Spradley mengemukakan, bahwa meskipun hampir
semua orang dapat menjadi informan, tetapi tidak setiap
orang dapat menjadi informan yang baik dan layak. Ada lima
syarat minimal bagi seorang informan yang baik dan layak
badi penelitian etnografi, sebagaimana berikut ini.
a. Enkulturasi penuh; informan yang baik adalah yang
mengetahui secara baik budayanya tanpa harus
memikirkannya. Informan semacam ini melakukan segala
hal secara otomatis berdasarkan pengalamannya. Salah
satu cara untuk memperkirakan seberapa dalam seseorang
telah mempelajari suatu suasana budaya adalah dengan
menentukan rentang waktu (lamanya) orang itu dalam
situasi budaya itu. Seorang yang telah 25 tahun tinggal di

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
279

masyarakat tertentu misalkan, lebih baik dari pada orang


yang baru 5 tahun. Seorang yang telah menjadi
gelandangan 5 tahun lebih baik dari pada seorang yang
baru menjadi gelandangan. Syarat inilah yang dipakai
sebagai salah satu kriteria menetapkan seorang informan.
b. Keterlibatan langsung. Seorang yang telah terenkulturasi
penuh dapat saja bukan seorang informan yang baik
apabila telah meninggalkan atau tidak terlibat lagi dalam
suasana budaya. Oleh karena itu, seorang yang baik untuk
menjadi informan apabila masih terlibat langsung dalam
suasana budaya itu. Seorang yang telah 15 tahun menjadi
gelandangan atau menjadi pawang di suatu masyarakat
misalkan, tetapi karena profesi itu tidak lagi dilakukan, ia
sesungguhnya telah mengalami ketidak-terlibatan
langsung. Ia mungkin telah melupakan detil-detilnya,
sehingga yang diingat hanya garis besarnya saja. Dengan
begitu, orang tersebut meskipun telah terenkulturasi,
tetapi tidak baik menjadi informan karena sudah tidak
terlibay langsung lagi.
c. Suasana budaya yang tidak dikenal. Syarat ini
sesungguhnya berkaitan dengan hubungan antara etno-
grafer sendiri dengan informan. Artinya, ada hubungan
yang sangat produktif antara seorang etnografer dengan
informannya. Hubungan produktif tersebut kadangkala
tidak terjadi kalau antara kedua sama-sama telah
mengenal kebudayaan itu. Seorang informan akan enggan
menjawab pertanyaan etnografer karena menganggap
percuma saja pertanyaan itu dijawab lantaran etnografer-

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
280

nya sudah mengenal apa yang ditanyakan itu. Bahkan


kadangkala informan beranggapan kalau etnografer
menguji mereka. Oleh karena itu, wawancara etnografi
akan terjadi dalam hubungan yang produktif apabila
etnografer tidak mengenal budaya yang akan ditanya
kepada informan. Dengan demikian, etnografer tidak
terenkulturasi penuh dan informan terenkulturasi penuh.
d. Cukup waktu. Karena wawancara etnografis selalau
diselingi dengan analisis hasil wawancara yang cerman,
maka dibutuhkan beberapa kali wawancara. Untuk itu,
perlu kiranya diperkirakan apakah seorang calon
informan mempunyai cukup waktu untuk berpartisipasi.
Apabila terjadi permasalahan dalam kaitan dengan
ketercukupan waktu wawancara, salah satu cara yang bisa
digunakan adalah informan ganda. Informan ganda
merupakan seorang yang direkomendasikan oleh
informan lain yang mempunyai permasalahan dalam
waktu wawancara.
e. Non-Analitik. Informan yang baik sesuai dengan kriteria
ini adalah, informan yang menggunakan perspektif
penduduk asli untuk menganalisis dan
menginterpretasikan berbagai kejadian atau tindakan
sebagaimana yang ditanyakan oleh etnografer. Sedangkan
apabila seorang informan menggunakan perspektif teori
atau ilmu tertentu untuk menganalisis dan menjelaskan
tingkah laku atau tindakan yang ditanyakan oleh seorang
etnografer, maka ia bukan seorang informan yang baik.
Oleh karena itu, seorang informan yang pandai dalam

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
281

ilmu dapat belajar menjawab pertanyaan dengan cara non-


analitik. Ia harus meninggalkan latar belakang keilmuan-
nya untuk menganalisis dan menjelaskan tindakan atau
suasana budaya yang ditanyakan oleh etnografer.
Kelima kriteria di atas merupakan kriteria minimal.
Seorang etnografer dapat menggunakan kriteria lain, tetapi
tetap juga menggunakan kelima kriteria tersebut, sebagai
tambahan. Keterpenuhan lima kriteria tersebut selanjutnya
penelitian dapat dilaksanakan. Informan yang mana yang
relevan dengan lima kriteria tersebut. Dalam penelitian
etnografi terdapat informan utama dan informan tambahan
atau pun informan ganda.

e. Mewawancarai informan
Spradley mengemukakan bahwa wawancara etnografis
merupakan jenis peristiwa percakapan yang khusus. Artinya,
peristiwa wawancara etnografis berlangsung dalam konteks
persahabatan, menggunakan sudut pandang penduduk asli,
dan memperhatikan tujuan etnografis dan pertanyaan etno-
grafis. Tujuan etnografis beserta penjelasannya harus di-
berikan sejak awal wawancara dilaksanakan agar wawancara
dapat terarah. Seorang informan harus mengetahui persis apa
tujuan wawancara dan apa yang harus dilakukan pada saat
wawancara beserta alat-alat apa yang akan digunakan dalam
wawancara, misalnya perekaman, demontrasi atau perminta-
an untuk memperagakan, dan pencatatan. Satu hal yang
terpenting adalah, penjelasan bahasa asli. Seorang etnografer
harus mendorong informan menggunakan cara yang sama

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
282

ketika mereka berbicara dengan orang lain dalam suasana


budaya mereka sendiri, termasuk bahasa aslinya.
Sedangkan dalam kaitannya dengan wawancara
etnografis, seorang etnografer harus menguasai bentuk-
bentuk pertanyaan etnografis dan menerapkannya ke dalam
wawancaranya. Bentuk-bentuk wawancara etnografis terdiri
atas sebagaimana berikut ini.
a. Pertanyaan deskripsi. Tipe pertanyaan ini memungkinkan
seseorang mengumpulkan satu sampel yang terjadi dalam
bahasa informan. Bisanya pertanyaan deskripsi berupa
pertanyaan tentang apa saja yang dilakukan informan
dalam realitas sehari-hari. Apa yang dilakukan hendaknya
dalam hubungannya dengan apa yang hendak dipelajari
etnografer terhadap informannya.
b. Pertanyaan struktural. Pertanyaan jenis ini memungkin-
kan etnografer untuk menemukan informasi mengenai
domain unsur-unsur dasar dalam pengetahuan budaya
seorang informan. Bagaimana seorang informan meng-
organisir pengetahuannya tentang apa saja yang
dilakukan setiap harinya.
c. Pertanyaan kontras. Pertanyaan tipe ini memungkinkan
etnografer menemukan berbagai hal yang dimaksudkan
oleh informan dengan berbagai istilah yang digunakan
dalam bahasa aslinya. Biasanya pertanyaan tipe ini
menanyakan tentang perbedaan tentang sesuatu hal
dengan hal lain yang terkandung dalam jawaban informan
yang disampaikan sebelumnya.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
283

Tipe-tipe pertanyaan itulah yang perlu diterapkan


dalam wawancara etnografis. Dengan tipe-tipe pertanyaan
tersebut dapat mengarahkan jawaban-jawaban informan
secara terarah sesuai dengan tujuan wawancara.

f. Membuat Catatan Etnografis


Catatan etnografis terdiri atas tiga macam, yaitu:
laporan ringkas, laporan yang diperluas, jurnal penelitian
lapangan, dan analisis dan interpretasi. Pertama, semua
catatan yang dilakukan selama wawancara adalah laporan
ringkas. Kedua, laporan yang diperluas merupakan laporan
yang ditulis secara detil berdasarkan catatan dalam laporan
ringkas dan hal-hal yang diingat kembali berbagai hal yang
tidak tercatat selama wawancara. Oleh karena itu, laporan
yang diperluas segera ditulis setelah wawancara selesai.
Menunggu terlalau lama akan mengakibatkan etnografe
melupakan hal-hal yang sebenarnya sangat penting yang
tidak sempat dicatat ketika wawancara berlangsung. Ketiga,
jurnal penelitian lapangan seperti buku harian yang memuat
semua hal yang terjadi pada saat penelitian berlangsung. Oleh
karena itu, jurnal perlu dicatat berdasarkan tanggal. Keempat,
catatan analisis dan interpretasi sesungguhnya etnografi akhir
tentang budaya yang dipelajari dalam suatu penelitian.
Catatan inilah sebagai deskripsi makna budaya yang diteliti
secara etnografi.
Namun demikian catatan analisis dan interpretasi itu
masih dalam tarf hipotetis, sehingga perlu dibuktikan atau
diuji ketepatannya. Pengujiannya dilakukan dengan

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
284

diterapkan di lapangan, apakah hasil analisis dan


interpretasinya tersebut telah menunjukkan ketetapannya di
lapangan. Di dalam proses ini bisa terjadi terjadi penambahan
dan penyempurnaan terhadap catatan analisis dan interpretasi
tersebut. Bisa juga hasil analisis dan interpretasi tersebut
dikonfirmasikan kepada seseorang di dalam masyarakat yang
diteliti tentang kebenaran apa yang diungkapkan dalam
catatan tersebut. Hasil dari pembuktian dan pengujian itu
merupakan temuan dari penelitian etnografi.

g. Menulis suatu Etnografi


Apa yang dihasilkan dalan penelitian etnografi?
Penelitian etnografi menghasilkan etnografi. Dalam pengerti-
an ini etnografi adalah deskripsi tentang sistem budaya yang
diacu atau dirujuk oleh masyarakat dalam menginterpretasi-
kan dan mendefinisikan peristiwa kultural di dalam
masyarakat. Sebagai suatu sistem, semua anggota masyarakat
sama-sama memiliki alam pikir yang sama tentang suatu
tindakan atau peristiwa kultural yang diteliti. Deskripsi inilah
yang menjadi hasil dalam penelitian etnografi. Ada beberapa
langkah yang dapat dilakukan untuk menulis deskripsi
etnografi tersebut.
a. Memilih khalayak, Seorang etnografer harus menentukan
untuk siapakah deskripsi etnografi yang akan ditulis itu.
Menulis untuk sebuah jurnal ilmiah atau laporan
penelitian ilmiah, jelas berbeda dengan apabila tulisan
tersebut untuk dibaca masyarakat umum. Jurnal ilmiah
dan laporan penelitian ilmiah memiliki aturan tersendiri.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
285

Demikian juga apabila tulisan deskripsi etnografi untuk


majalah atau koran, jelas berbeda dengan bentuk buku
yang akan dibaca oleh pelajar atau mahasiswa. Seorang
etnografer harus selalu mengingat untuk siapa dan untuk
apa tulisan deskripsi etnografi itu akan dibuat.
b. Memilih tesis. Tesis merupakan tema-tema yang akan
ditulis dalam tulisan deskripsi etnografi. Tema-tema
tersebut diperoleh selama penelitian berlangsung. Dengan
demikian, menulis deskripsi etnografi terbagi atas tesis-
tesis atau tema-tema tersebut. Ada satu tema utama dan
beberapa tema bawahan. Tesis biasanya diungkapkan
dalam bentuk rumusan yang berisi petunjuk atau instruksi
untuk melaksanakan aktivitas-aktivitas atau tindakan
dalam kehidupan sehari-hari. Tentunya aktivitas dan
tindakan dalam kaitannya dengan sistem budaya yang
diteliti.
c. Membuat topik dan garis besar. Topik dan garis besar
sesungguhnya semacam kerangka tulisan yang berisi
tentang tesis-tesis yang akan diuraikan dalam tulisan.
d. Menulis Naskah. Tahap ini adalah pengembangan garis
besar menjadi uraian berdasarkan catatan analisis dan
interpretasi yang telah dibuat sebelumnya. Lihat jenis
catatan lapangan.
e. Merevisi dan mengedit. Sebelum menjadi deskripsi
etnografi yang final, perlu dilakukan pemeriksaan dan
revisi bagian mana yang harus dirubah, disempurnakan,
ditambahi berdasarakan catatan penelitian di lapangan.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
286

f. Menuliskan pengantar dan kesimpulan. Pada tahap ini


tulisan yang telah direvisi dan diedit diberikan pengatar
dan kesimpulan.

2. Etnografi dalam Penelitian Sastra Lisan


a. Dasar Pemikiran
Sebagai produk budaya, sastra lisan dapat menjadi
obyek bagi kajian etnografi. Dalam kerangka teori Spradley,
penelitian etnografi terhadap sastra lisan mengarah pada alam
pikiran masyarakat pemilik dan pendukung sastra lisan
tersebut. Bagaimana alam pikir mereka melihat dan
mendefinisikan sastra lisannya sebagai landasan untuk
bertindak dalam kaitannya dengan sastra lisan yang dimiliki
dan didukungnya itu? Sistem makna apakah yang melandasi
tindakan dan peristiwa kultural yang dilakukan masyarakat
setiap hari dalam kaitannya dengan sastra lisan yang
dimilikinya itu? Pertanyaan itulah yang menjadi fokus
penelitiannya, bukan terfokus pada sastra lisan itu. Sastra
lisan hanyalah simbol, ritual-ritual yang ada hanyalah fakta
permukaan, tetapi yang terpenting adalah organisasi pikiran
masyaraktnya yang melandasi tindakan dan peristiwa
kultural itu.
Sastra lisan dalam konteks ini digolongkan dalam
folklore lisan sebagaimana dikemukakan Dananjaya (1994:21).
Folklore lisan adalah folklore yang bentuknya memang murni
lisan. Bentuk-bentuk folklore yang termasuk ke dalam
kelompok lisan ini antara lain: (1) bahasa rakyat (folk speech)
seperti logat, julukan, pangkat tradisional, dan titel

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
287

kebangsawanan, (2) ungkapan tradisional seperti peribaqhasa,


pepatah, dan pemeo; (3) pertanyaan tradisional, seperti teks-
teks; (d) puisis rakyat, seperti pantun, gurindam, dan syair; (e)
cerita prosa rakyat, seperti mite, legenda, dan dongeng; dan (f)
nyanyian rakyat. Sastra lisan merupakan puisi rakyat dan
cerita prosa rakyat dalam jenis-jenis folklore lisan tersebut.
Definisi folklore secara keseluruhan adalah sebagian
kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan
turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara
tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan
maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat
pembantu pengingat (Dananjaya, 1994: 2). Lebih lanjut
dikatakan Dananjaya, mengutip pendapat Jan Harold, folklore
digolongkan ke dalam tiga kelompok besar berdasarkan
tipenya: (1) folklore lisan (verbal folklore); (2) folklore sebagian
lisan (partly verbal folklore); dan (3) folklore bukan lisan (non
verbal folklore) (1994: 21).
Penelitian etnografi terhadap sastra lisan dapat
berobjekkan puisi rakyat atau cerita prosa rakyat. Namun
demikian, penelitiannya diarahkan kepada bagaimana
masyarakat mendefinisikan sastra lisan itu dalam alam pikir
mereka untuk melandasi tindakan sehari-harinya. Tindakan
yang dimaksud adalah peristiwa-peristiwa atau aktivitas-
aktivitas kultural, baik dalam bentuk ritual tradisional,
keagamaan, maupun adat dan tradisi lainnya. Sukatman
menggolongan sastra lisan itu ke dalam tradisi lisan (2009:3).
Sedangkan ciri-ciri tradisi lisan menurut Dananjaya meliputi:
(1) penyebaran dan pewarisannya biasa dilakukan dengan

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
288

lisan, yakni dari mulut ke mulut; (2) bersifat tradisional, yakni


berbentuk relatif atau standard; (3) bersifat anonim; (4)
mempunyai varian atay versi yang berbeda; (5) mempunyai
pola bentuk; (6) mempunyai kegunaan bagi kolektif tertentu;
(7) menjadi miliki bersama suatu kolektif; dan (8) bersifat
polos dan lugu sehingga sering terasa kasar atau terlalu sopan
(dalam Sukatman,2009:5).
Menurut William R. Bascom, bahwa secara umum
tradisi lisan mempunyai empat fungsi penting. Pertama, tradisi
lisan berfungsi sebagai sistem proyeksi (cerminan) angan-
angan suatu kolektif. Kedua, tradisi lisan berfungsi sebagai alat
legitimasi pranata-pranata kebudayaan. Ketiga, tradisi lisan
berfungsi sebagai alat pendidikan. Dan, keempat, tradisi lisan
berfungsi sebagai alat pemaksa atau pengontrol agar norma-
norma masyarakat selalu dipatuhi anggota kolektifnya (dalam
Sukatman, 2009: 7-8). Sastra lisan sebagai bagian dari tradisi
lisan juga memiliki fungsi-fungsi tersebut. Sastra lisan dengan
demikian bukan semata sebagai karya seni, tetapi juga sebagai
nilai-nilai yang mengatur kehidupan sosial masyarakatnya.
Dalam keempat fungsinya itulah, sastra lisan dapat
menjadi obyek bagi penelitian etnografi. Bagaimanakah sastra
lisan yang dimiliki oleh suatu masyarakat memiliki makna
dalam alam pikir setiap anggota masyarakat itu.
Bagaimanakah sastra lisan mampu menjadi sistem makna
yang melandasi, mengontrol, melegitimasi, dan mengatur
tindakan-tindakan setiap anggota masyarakatnya. Bagaimana-
kah organisasi pikiran setiap anggota masyarakat yang
terkonstruksi oleh substansi sastra lisan yang dimilikinya.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
289

Masyarakat Indonesia memiliki tradisi lisan yang kaya dan


penting dalam mengatur kehidupan masyarakat. Sastra lisan
tersebut membentuk pola pikir, tindakan, dan kesadaran
masyarakat dalam berinteraksi dengan Tuhan, alam sekitar,
dan sesamanya. Sastra lisan semenjak dulu telah melandasi
hidup masyarakat dalam hubungan sarwa tersebut.
Fenomena dan noumena masyarakat dalam kaitannya
dengan sastra lisan itulah yang menandai wilayah bagi
penelitian etnografi. Fenomena adalah dunia yang terlihat,
konkrit, fisikal, empiris, dan rasional, sedangkan noumena
adalah dunia abstrak, tak terlihat, gaib, dan tak rasional.
Keduanya melingkari keberadaan sastra lisan sebagai warisan
budaya masa lalu yang diwariskan secara turun-temurun.
Keduanya menjadi wilayah kajian ilmu-ilmu sosial seperti:
antropologi budaya, bahasa, filsafat, sastra, dan ekologi
budaya. Di dalamnya etnografi menjadi bagiannya sebagai
metode analisisnya. Pertanyaannya adalah, bagaimana
implementasi metode etnografi dalam penelitian sastra lisan?
Strategi dan model analisis etnografi beragam
bentuknya. Dalam tulisan ini, sekali lagi, menggunakan
strategi dan model yang dikemukakan oleh James P. Spradley
(2007). Spradley menyebutnya sebagai strategi Wawancara
Etnografi. Strategi ini bertumpu pada apa yang dikatakan
orang, atau dalam istilah penelitian lapangan disebut
informan. Melalui informan yang baik dan sudut pandang
penduduk asli, diharapkan penelitian etnografi mengasilkan
diskripsi etnografis tentang kebudayaan suatu masyarakat.
Sastra lisan sebagai bagian kebudayaan yang memiliki fungsi

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
290

melampaui fungsi dalam konteks kebahasaan dan kesastraan,


dapat menjadi fokus penelitian. Namun, yang diteliti bukan
sastra lisan itu sendiri, tetapi suasana budaya yang
melingkupinya. Suasana budaya merupakan tindakan yang
berlandaskan pada pola pemikiran dalam kaitannya dengan
sastra lisan tersebut.
Penelitian etnografi terhadap sastra lisan
sesungguhnya memiliki tujuan ganda. Pertama, meng-
inventarisasi dan mendikripsikan sastra lisan dalam rangka
pendokumentasian dan pelestarian sastra dan kearifan lokal.
Kedua, mendikripsikan kebudayaan lokal dalam rangka
pembangunan nasional.

b. Model Analisis Etnografi terhadap Sastra Lisan


Pada bagian awal tulisan ini telah dikemukakan
prinsip-prinsip dasar bagi analisis etnografi dengan
mengambil strategi Wawancara Etnografi dan Alur Penelitian
Maju Bertahap. Strategi dan prosedur penelitian etnografi
Spradley itulah yang akan diacu untuk merumuskan sebuah
model penelitian etnografi terhadap sastra lisan. Beberapa
prinsip yang bisa dan relevan diambil dari pemikiran
Spradley untuk penelitian sastra lisan adalah sebagai berikut.
a. Hasil akhir dari penelitian etnografi adalah suatu deskripsi
verbal mengenai situasi budaya yang dipelari.
b. Sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang
penduduk asli.
c. Sumber data utama adalah informan dan didukung oleh
data yang berupa apa yang dilihat dan artefak.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
291

d. Metode wawancara merupakan metode utama untuk


menggali data dari informan tentang suasana budaya yang
hendak dipelajari.
e. Prosedur penelitiannya menggunakan Alur Penelitian Maju
Bertahap, yang terdiri atas: menetapkan informan,
mewawancarai informan, membuat catatan etnografis,
melakukan analisis wawancara, membuat analisis domain,
membuat analisis komponen, menemukan tema-tema
budaya, dan diakhiri dengan menulis suatu etnografi.
Kelima prinsip tersebut dapat digunakan sebagai
ancangan bagi penelitian etnografi terhadap sastra lisan.
Namun demikian, perlu diadakan modivikasi sesuai dengan
kebutuhan analisis dan hakikat obyek penelitian. Model
analisisnya akan berupa rangkaian analisis termodivikasi
sebagaimana skema berikut ini.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
292

Menentukan subyek dan obyek penelitian

Membuat rancangan penelitian

Menetapkan informan

Melakukan wawancara

Deskripsi sastra lisan Suasana budaya

Melakukan analisis hasil wawancara

Membuat Kesimpulan

Bagan 8
Model Analisis Etnografi Spradley Termodivikasi
terhadap Sastra Lisan

c. Menentukan Subyek dan Obyek Penelitian


Subyek penelitian adalah masyarakat di mana suatu
sastra lisan berada. Dalam kasus-kasus tertentu, wilayah
subyek penelitian hanya terbatas pada suatu lingkungan
tertentu sebagai bagian dari suatu masyarakat. Cerita prosa
rakyat berbentuk mite atau legenda tentang suatu tempat
keramat atau makam misalnya, penyebarannya hanya terbatas
di lingkungan sekitar tempat itu, tidak sampai menyebar ke
SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
293

wilayah yang lebih luas. Radius penyebarannya hanya


terbatas tidak sampai satu komunitas desa. Banyak contoh
dalam masyarakat di Indonesia, satu desa memiliki banyak
tempat semacam itu dengan cerita rakyat yang berbeda-beda.
Dalam kasus seperti ini penentuan subyek penelitiannya
hanya terbatas pada masyarakat di lingkungan sekitarnya.
Sedangkan obyek penelitiannya adalah sastra lisan dan
suasana budaya yang berkaitan dengan sastra lisan tersebut.
Suasana budaya yang dimaksud adalah, alam pikiran
masyarakat yang digunakan untuk memahami, meng-
konstruksi, dan mendefinisikan tindakan-tindakan mereka
dalam kaitannya dengan sastra lisan tersebut. Sastra lisan
sebagai obyek penelitian diarahkan untuk menginventarisasi
dan mendiskripsikan sastra lisan tersebut dalam rangka
menemukan satu versi cerita yang relatif sama. Namun
demikian, penelitiannya bukan berorientasi sebagaimana
proses penelitian dalam filologi, meskipun hal itu terbuka
untuk dilakukan. Sedangkan suasana budaya sebagai obyek
penelitian merupakan obyek utama dalam penelitian
etnografi, yaitu sebuah deskripsi etnografi mengenai
kebudayaan lokal suatu masyarakat.

d. Membuat Rancangan Penelitian


Setiap penelitian pada umumnya diawali dengan
menyusun rancangan penelitian atau disebut dengan desain
penelitian. Tujuannya, memberikan pedoman dan arah yang
jelas bagi peneliti dalam melaksanakan proses penelitiannya.
Rancangan penelitian meliputi bangunan teori, metode, dan

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
294

teknik pemerolehan data dan analis data, dan prosedur


penelitian. Sebagaimana dikemukakan Spradley, bangunan
teori dalam penelitian etnografi adalah grounded theory, yaitu
teori berdasarkan sekumpulan data. Dalam istilah lain disebut
sebagai teori substantif, yaitu teori sebagai hasil abstraksi data
dalam proses penelitian (baca: Ratna,2011). Oleh karena itu,
seorang peneliti dituntut menganlisis secermat mungkin
terhadap data-data yang telah dikumpulkannya dan
membangun konsep-konsep dan proposisi-proposisi sebagai
sebuah teori berdasarkan data (substantif). Meskipun hal itu
sulit dan memakan waktu, kemungkinan untuk itu tetap ada,
baik sebagai proses pembelajaran maupun pembentukan
pengalaman penelitian.
Metode dalam penelitian etnografi dengan strategi
Wawancara Etnografi, sebagaimana dikemukakan Spradley,
jelas menggunakan metode wawancara. Pertanyaan dalam
metode wawancara etnografi terdiri atas: pertanyaan
dekriptif, struktural, dan kontras. Hasil-hasil wawancara
tersebut dicatat dan direkan dalam catatan atau dokumentasi
lapangan yang berupa: laporan, jurnal, catatan analisis dan
interpretasi, rekan audio, video, dan sebagainya. Dokumen
inilah tidak boleh diabaikan oleh peneliti, karena melalui
dokumen itulah data-data akan dihimpun dan diolah. Hal-hal
yang menyangkut pencatatan dan perekaman itulah perlu
direncanakan secara cermat agar semua data dapat dihimpun
secara lengkap dan tepat. Cara pencatatan dan perekaman itu
disebut dengan teknik pengumpulan data yang relevan
dengan metode wawancara yang digunakan. Sedangkan

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
295

teknik analisis data berupa interpretasi dan dekripsi setiap


aspek atau domain. Dengan demikian, sistematika analisis
data akan tercapai berdasarkan tema-tema, aspek-aspek, atau
domain-domain tentang fokus penelitian.
Yang tak kalah penting adalah merencanakan prosedur
penelitian. Prosedur penelitian berupa langkah-langkah yang
harus dilalui dalam proses penelitian. Bagan tentang model
penelitian etnografi di atas sebenarnya telah mencerminkan
langkah-langkah apa yang harus dilakukan dalam proses
penelitian tersebut.

e. Menetapkan Informan
Penetapan seorang informan juga sangat penting
dalam proses penelitian. Dari informan itulah data penelitian
diperoleh. Informan dalam penelitian ini terdiri atas informan
utama dan informan-informan lain sebagai pendukung atau
pelengkap. Bahkan dalam konteks pendeskripsian dan peng-
inventarisasian satu versi sastra lisan dibutuhkan beberapa
informan untuk dibandingkan satu sama lain sehingga dapat
ditentukan satu versi yang sama. Dalam penelitian filologi
dikenal dengan metode stema. Namun demikian, dalam
penelitian ini bukan bertujuan menemukan hyperchetyp dan
archetyp sebagaimana dalam kerja filologi. Oleh karena itu,
proses pendeskripsian dan inventariasi tidak semendalam
kerja filologi tersebut.
Penetapan seorang informan menurut Spradley ber-
dasarkan pertimbangan-pertimbangan yang telah dikemuka-
kan terdahulu. Peneliti dapat mengunakannya untuk

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
296

menetapkan mana calon informan yang baik dan mana yang


tidak.

f. Melakukan Wawancara
Banyak teknik wawancara yang dapat dilakukan
dalam penelitian. Namun demikian, dalam wawancara
etnografi teknik wawancara dapat menggunakan sistem snow
ball (bola salju). Artinya, wawancara dimulai dari satu
pertanyaan dan jawaban atas pertanyaan itu memunculkan
pertanyaan-pertanyaan lainnya hingga semua aspek yang
dibutuhkan terpenuhi. Wawancara etnografi memiliki waktu
yang panjang dan berulang-ulang. Setiap satu kali wawancara
akan dianalisis dan diinterpretasikan, yang selanjutnya akan
dilengkapi dan direncanakan wawancara selanjutnya.
Pembagian waktu wawancara dapat menggunakan tipe-tipe
wawancara etnografi yang telah dikemukakan di muka.
Wawancara pertama diawali dengan bentuk-bentuk
pertanyaan diskripsi, dilanjutkan wawancara selanjutnya
dengan tipe pertanyaan struktural dan kontras. Masing-
masing tipe pertanyaan tersebut dilakukan lebih dari sekali.
Itulah kenapa wawancara dilakukan dalam jangka waktu
yang lama dan berulang-ulang sehingga terkumpul data yang
lengkap.

g. Melakukan Analisis Wawancara


Sebagaimana dikemukakan di atas, setiap kali
wawancara selesai dilakukan, peneliti melakukan analisis
hasil wawancara. Analisis tersebut bertujuan untuk
mengetahui apakah data-data yang terkumpul dalam
SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
297

wawancara tadi telah memenuhi tujuan dan konsep


wawancara. Oleh karena itu, sebelum dilakukan wawancara,
peneliti merumuskan hal-hal apakah yang hendak dicapai
dalam wawancara tersebut. Apabila dirasa data-data masih
ada kekurangan, dicatat sebagai bahan wawancara selanjut-
nya. Di samping itu, analisis tersebut diarahkan untuk
menemukan konsep-konsep dan proposisi-proposisi sebagai
temuan penelitian. Secara akumulatif dalam setiap hasil
wawancara, temuan tersebut akan melahirkan teori
berdasarkan data. Dan setiap wawancara, sistem snow ball
menjadi model wawancara.
Analisis hasil wawancara bertujuan untuk menemukan
makna budaya dalam kaitannya dengan sastra lisan. Analisis
tersebut dinamakan analisis etnografis. Yang hendak dicapai
dalam analisis etnografi adalah struktur pengetahuan budaya
informan sebagai bagian dari pengetahuan budaya
keseluruhan; masyarakat. Analisis etnografi memiliki urutan
atau sistematika berikut ini.
1. Memilih masalah; masalah penelitian etnografi adalah apa
makna budaya yang digunakan oleh masyarakat untuk
mengatur tingkah laku dan menginterpretasikan peng-
alamannya. Dapat disempitkan berdasarkan aspek-aspek
pengalaman budaya masyarakat.
2. Mengumpulkan data kebudayaan; data kebudayaan di-
peroleh dari hasil wawancara maupun data-data yang lain
yang terkumpul dari sumber data yang lain.
3. Menganalisis data kebudayaan; yang dilakukan dalam
tahap ini adalah menemukan simbol-simbol budaya;

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
298

biasanya digunakan istilah asli penduduk setempat; serta


mencari hubungan antara simbol-simbol tersebut.
4. Menuliskan etnografi; tahapan ini, dalam konteks peneliti-
an etnografi terhadap sastra lisan, dilakukan dalam tahap
membuat kesimpulan berikut ini.

h. Membuat Kesimpulan
Jika dirasa telah menemukan simbol-simbol budaya
dan diketemukan pula hubungan-hubungannya, selanjutnya
dilakukan interpretasi makna-makna simbol tersebut. Makna-
makna simbol-simbol budaya itulah yang kemudian disebut
dengan makna (pengalaman) budaya suatu masyarakat.
Makna-makna simbol tersebut kemudian dituangkan ke
dalam tulisan etnografis. Tulisan etnografi adalah deskripsi
tentang makna-makna budaya masyarakat yang digunakan
untuk menginterpretasikan dan mendefinisikan sastra lisan
sebagai landasan tindakan dan aktivitas budaya masyarakat
itu.Tulisan etnografis tersebut di dasarkan atas aspek-aspek
pengalaman atau aktivitas budaya masyarakat dalam
kaitannya dengan sastra lisan. Selanjutnya dirumuskan
sebuah kesimpulan dan temuan yang berupa konsep-konsep
dan proposisi-proposisi sebagai teori berdasarkan data (teori
grounded atau sustantif).

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
299

BAB 6

PROSEDUR
PENELITIAN SASTRA

A. Langkah Pertama: Menetapkan Obyek Material dan


Formal Penelitian
Langkah pertama yang harus dilakukan dalam setiap
penelitian sastra adalah menentukan karya sastra apakah yang
akan dijadikan obyek material penelitian; dan permasalahan
apakah yang akan menjadi fokus penelitian (obyek formal).
Penentuan obyek penelitian berkaitan dengan karakteristik
genre sastra, sedangkan fokus penelitian berkaitan dengan
ciri-ciri menonjol atau dominan dalam karya sastra tersebut.
Dua hal itulah yang akan dibahas dalam bagian pertama ini.
Walaupun semua karya dapat menjadi obyek penelitian
sastra, tetapi tidak setiap karya sastra itu mampu memenuhi
kebutuhan, tujuan, latar belakang, keterbatasan, dan
pandangan peneliti. Hubungan karya sastra sebagai obyek
dengan peneliti penuh dengan problema. Di Samping karya
sastra memiliki karakteristik berdasarkan genrenya, masing-
masing karya sastra memiliki ciri-ciri menonjol yang berbeda
SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
300

satu sama lain. Di pihak lain, peneliti sendiri memiliki


kebutuhan, tujuan, latar belakang, keterbatasan, dan
pandangan terhadap karya sastra yang hendak ditetapkan
sebagai obyek material penelitian. Kebersinambungan
keduanya menjadi pendorong dilakukannya suatu penentuan
karya sastra sebagai obyek penelitian dan permasalahan
apakah yang hendak diteliti sebagai obyek formal penelitian.
Hampir tidak ada penelitian sastra yang tidak memper-
timbangkan terhadap obyeknya dan diri peneliti sendiri.
Dewasa ini genre sastra semakin berkembang. Di
samping genre puisi, cerpen, novelet, novel, roman, prosa liris,
dan drama, terdapat juga genre cerpen yang pendek, cerpen
yang panjang, cyber sastra, dan sastra Koran atau sastra
jurnalistik. Semua genre tersebut memiliki karakteristik yang
berbeda-beda. Karakteristik tersebut dapat dilatarbelakangi
oleh bahasa, struktur, isi, maupun jumlah halaman. Genre
puisi jelas memiliki ciri bahasa dan struktur yang berbeda
dengan prosa. Cerpen, novelette, novel, dan roman jelas
berbeda dalam isi dan jumlah halaman. Begitu juga dengan
genre drama bila dibandingkan dengan puisi dan prosa.
Karakteristik berdasarkan genre lebih bersifat umum.
Di samping dilatarbelakangi oleh konvensi yang mengatur
dan mempedomaninya, juga dilatarbelakangi oleh zaman atau
angkatan. Namun demikian, terdapat karakteristik yang
relatif tetap dalam setiap zaman. Puisi lebih bersifat padat,
prosa lebih menjabarkan, dan drama bersifat dialogis. Hal
itulah yang menjadi sifat dasar dari karya sastra berdasarkan
genrenya. Karakteristik yang bersifat dasar inilah yang

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
301

melahirkan prinsip-prinsip dasar sebagai konvensi dan teori


sastra. Di samping itu, karakteristik juga didasarkan atas
zaman atau angkatan. Pereodisasi sastra ditentukan oleh
konvensi yang khas setiap periode tertentu. Kesamaan ciri
dalam setiap zaman itulah yang menjadi dasar untuk
mengelompokkan karya sastra dan pengarangnya pada
periode yang sama. Konvensi sastra yang khas berdasarkan
zaman atau angkatan tersebut juga melahirkan prinsip-prinsip
dasar dan teori sastra. Prinip-prinsip dasar dan teori sastra
sesungguhnya merupakan proposisi-proposisi yang dalam
sejarah penelitian sastra selalu teruji. Pada gilirannya akan
menjadi landasan bagi penelitian sastra selanjutnya.
Terdapat juga karakteristik secara individual.
Karakteristik ini dimiliki masing-masing karya sastra. Suatu
karya sastra memiliki perberbedaan dibandingkan dengan
karya sastra lain, meski dalam genre yang sama. Puisi-puisi
karya Amir Hamzah, jelas berbeda dengan puisi-puisi karya
Chairil Anwar, Rendra, Taufik Ismail, Sutardji Choulsum
Bachri. Demikian juga novel-novel A. A. Navis jelas berbeda
dengan karya Muchtar Lubis, Iwan Simatupang, Putu Wijaya,
Seno Gumira Adjidarma, Ayu Utami, atau Nukila Amal.
Perbedaan secara individual tersebut dilatarbelakangi oleh
gaya penceritaan dan visi masing-masing pengarangnya.
Roman karya Sutan Takdir Alisyahbana dan Abdul Muis, di
samping memiliki persamaan, sama-sama bergenre roman
dan satu zaman yang sama, memiliki gaya penceritaan dan
visi atau pandangan yang berbeda terhadap obyek yang

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
302

diceritakan. Hal itu disebabkan karena style dan sikap hidup


yang berbeda antara kedua pengarang tersebut.
Dalam genre puisi dikenal istilah puisi mbeling, puisi
konkrit, puisi mantra, puisi auditorium, puisi perlawanan,
puisi epigram, puisi lirik, puisi naratif, balada, dan seterusnya.
Jika disambung lebih jauh lagi, sebelum munculnya puisi-
puisi tersebut, dalam sastra lama terdapat jenis: mantra,
pantun, gurindam, seloka, terzina, soneta, syair, dan
sebagainya. Jenis-jenis puisi tersebut memiliki karakteristik
bentuk dan style yang berbeda-beda. Terdapat prinsip atau
karakteristik dasar yang sama selama karya sastra itu disebut
bergenre puisi. Tetapi sekaligus memiliki karakteristik
individual di antara puisi-puisi dalam golongan yang sama.
Hal itu juga didasarkan atau style yang berbeda-beda di
antara pengarangnya.
Keanekaragaman genre sastra semakin bertambah
panjang dengan penggolongan: sastra anak, sastra remaja,
sastra serius, sastra pop, sastra agamis, sastra detektif, sastra
psikologis, dan sebagainya. Penggolongan tersebut
didasarkan pada aspek pembaca, kualitas, dan tematisnya.
Kehadirannya dalam jagad kesusasteraan Indonesia juga
diperhitungan oleh kritikus, pengamat, ahli, dan peneliti
sastra. Bahkan dewasa ini sastra anak mulai banyak
diperbincangkan dan dijadikan obyek penelitian sastra. Sastra
anak dan golongan sastra yang lain, memiliki karakteristik
yang khas, baik ciri umum maupun ciri masing-masing karya
sastra tersebut.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
303

Gambaran di atas menunjukkan bahwa wilayah obyek


penelitian sastra sangat luas dari segi genre. Seorang peneliti
memiliki keluasan dan keleluasan untuk menjadikan genre
karya sastra tersebut sebagai obyek penelitiannya. Dalam
sejarah penelitian sastra Indonesia, dapat disimak di awal
perkembangannya, bahwa kritikus dan peneliti sastra banyak
berkutat memperbincangkan karakteristik suatu karya
berdasarkan genrenya. Hal itu bertujuan untuk merumuskan
prinsip-prinsip dan karakteristik yang membedakan antara
genre yang satu dengan genre yang lain; pengarang yang satu
dengan pengarang yang lain; dan perkembangan dan/atau
perbedaan antara periode yang satu dengan lain. HB Yassin
misalkan, hampir sepanjang hidupnya berkutat dengan
kepenyairan Chairil Anwar, lantaran puisi-puisinya memiliki
kekhasan dibandingkan dengan sebelumnya.
Namun demikian, keluasan genre sastra di atas belum
menjamin suatu penelitian sastra telah secara matang
menetapkan obyeknya. Keanekaragaman karya sastra tersebut
hanya menunjukkan wilayah obyek yang luas dan beragam
jenisnya. Penelitian sastra juga harus memperhatikan ciri yang
dominan yang dimiliki karya sastra tersebut. Di atas telah
disinggung bahwa gaya penceritaan dan visi pengarang
menjadikan suatu karya sastra berbeda dengan yang lain.
Artinya, setiap karya memiliki karakteristik individual, di
samping karakteristik umum sebagai suatu genre tertentu.
Karakteristik individual itulah yang menjadi ciri yang
dominan atau menonjol yang dimiliki karya sastra. Dalam
penelitian sastra hal itu akan menjadi fokus atau obyek formal

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
304

penelitian. Penelitian sastra hendaknya mampu mengungkap-


kan ciri-ciri yang menonjol dalam setiap karya sastra yang
diteliti.
Jika di dalam penelitian lapangan dilakukan survey
terlebih dahulu sebelum menetapkan fokus penelitiannya,
maka di dalam penelitian sastra perlu dilakukan proses
pembacaan terlebih dahulu sebelum merancang suatu
penelitian. Kegiatan awal tersebut juga perlu didukung oleh
wacana-wacana yang berkembang seputar karya sastra yang
akan ditetapkan sebagai obyeknya. Meskipun hal ini tidak
mutlak dilakukan, tetapi kehadirannya memiliki peranan
yang penting. Tujuan proses pembacaan awal tersebut adalah
memahami ciri yang menonjol dan dominan dalam karya
sastra tersebut. Sekaligus hal itu menjadi focus yang hendak
diteliti. Fokus penelitian akan menentukan landasan teori dan
metodologi yang digunakan.
Berdasarkan dikotomi bentuk dan isi, penonjolan suatu
karya sastra dapat terletak pada struktur, bahasa, maupun
kandungan tematisnya. Struktur dan bahasa dapat mengacu
pada bentuk, sedangkan tematis mengacu pada isi. Dengan
demikian, fokus penelitian sastra dapat mengarah pada ketiga
wilayah tersebut. Struktur karya sastra dapat menjadi ciri
menonjol dalam suatu karya sastra apabila unsur-unsur yang
membentuk struktur tersebut memiliki kekhasan, berbeda
dengan karya-karya yang lain. Struktur cerita merupakan
manifestasi dari gaya penceritaan atau naratif dari
pengarangnya. Dan gaya penceritaan atau naratif tersebut
ditentukan oleh kreativitas dan kemampuan yang dimiliki

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
305

pengarang. Karena kreativitas dan kemampuan pengarang


berbeda-beda, maka gaya penceritaan di antara para
pengarang juga berbeda-beda.
Namun demikian, gaya penceritaan bukan hanya
dicerminkan oleh struktur cerita yang dibangun pengarang-
nya, tetapi juga bahasa yang digunakan. Dari segi gaya
bahasa, masing-masing pengarang juga memiliki perbedaan.
Keduanya bersifat individual. Bahasa dalam sastra bukan
sekedar mewadahi suatu pengertian, tetapi juga mewadahi
apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dihayati oleh seorang
pengarang. Bahasa menjadi tanda, simbol, dan bentuk
kelisanan yang menandai suatu makna melampaui makna
dalam sistem bahasa. Bahasa menjadi sarana puitika dan
literer dalam wacana sastra. Apalagi jika pemahaman bahasa
ditujukan pada genre puisi. Kata-kata yang dipilih penyair
bukan semata-mata mengungkapkan makna puisi, tapi juga
mampu memberikan efek emosional atau perasaan penyair-
nya.
Kata-kata yang dipilih dalam puisi haruslah mampu
mengungkapkan gambaran perasaan dan suasana batin
penyair ketika puisi itu ditulis. Di sinilah nilai puitika akan
menjadi penentu kualitas puisi yang diciptakan penyairnya.
Bagaimanakah bahasa dalam puisi bisa mengejawantahkan
apa yang dipikirkan, dirasakan, dan diimajinasi penyairnya?
Puisi menggunakan sarana puitika yang dimiliki dalam
khazanah bahasa untuk itu. Sarana puitika yang dimaksud
adalah kata, ungkapan, imaji, dan gaya bahasa. Seorang
penyair akan memilih, menciptakan, dan menata sarana

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
306

puitika itu agar mampu menyampaikan perasaan dan


imajinasinya ke dalam puisi. Itu bersifat khas; berbeda atara
penyair yang satu dengan yang lain. Orang menyebutnya
sebagai style.
Marilah kita mencermati puisi berikut.

Padamu Jua

Habis kikis
Hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu
Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu.
…………………

Amir Hamzah

Bandingkan dengan puisi Chairil Anwar, Darmanto


Jatman, dan Sutarji Choulsum Bachri berikut ini.

Selamat Tinggal

Aku berkata
Ini muka penuh luka
Siapa Punya?

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
307

Kudengar seru menderu


- dalam hatiku?
Apa hanya angin lalu?

Chairil Anwar

Istri

-- istri mesti digemateni


Ia sumber berkah dan rejeki
(Towikromo, Tambran, Pundong, Bantul)

Istri sangat penting untuk ngurus kita


Menyapu pekarangan
Memasak di dapur
Mencuci di sumur
Mengirim rantang ke sawah
Dan ngeroki kita kalau kita masuk angin
Ya, istri sangat penting untuk kita.

Darmanto Jatman

SEPISAUPI

Sepisau luka sepisau duri


Sepisau dosa sepukau sepi
Sepisau duka serisau diri
Sepisau sepi sepisau nyanyi

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
308

Sepisapa sepisaupi
Sepisapanya sepisaupi
Sepisanya sepikau sepi
Sepisaupa sepisaupi
Sepikul diri keranjang duri
……………..

Sutarji Choulsum B.
Keempat puisi di atas berbeda style-nya. Perbedaan itu
dapat dilihat pada penataan dan penciptaan sarana
retorikanya. Baik kata-kata yang dipilih, ungkapan, imaji, dan
gaya bahasanya. Karena memang, dalam hal style tak ada
yang sama di antara para penyair. Ia khas dan pribadi milik
penyair. Tapi penyair keempat puisi itu sama dalam hal
kesadarannya untuk menggunakan sarana puitika yang
mampu mewadahi perasaan, pemikiran, dan imajinasinya.
Dalam puisi Padamu Jua, Amir hamzah sangat tertib
dan selektif dalam memilih kata-katanya. Ia memilih kata-kata
yang memiliki persamaan bunyi (persajakan) agar puisinya itu
menimbulkan irama sebagaimana sebuah orkestra yang
melantunkan lagu bernada syahdu. Pasangan kata-kata: Habis
– kikis, hilang – terbang, kembali – seperti, padamu – dahulu,
kaulah – kandil – kemerlap, pelita – jendela, kemerlap – gelap,
pulang – perlahan, dan Sabar – setia – selalu, menimbulkan
irama ketika puisi itu dibaca. Sekaligus, pembaca akan
mampu merasakan irama dan nada perasaan penyairnya
ketika menulis puisi itu. Perasaan syahdu penyairnya mampu
dimunculkan oleh kata-kata yang dipilih. Begitu juga imaji

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
309

kinetik/gerak dan imaji visual yang diciptakan Amir Hamzah


berikut: Segala cintaku hilang terbang (imaji kinetik/gerak)
dan Kaulah kandil kemerlap, Pelita jendela di malam gelap,
Melambai pulang perlahan (imaji visual). Imaji atau
pencitraan yang dicipta mampu mengkonkritkan perasaan
dan batin penyair yang abstrak. Imaji atau citra memang
berfungsi untuk mengkonkritkan apa yang diabstraksikan
(diimajinasikan/dirasakan) penyair ketika mencipta puisinya.
Berbeda dengan puisi Chairil Anwar yang cenderung
atau terkesan tidak terlalu memusingkan pilihan kata-katanya.
Kata-kata yang dipilih sebagaimana kata-kata yang dipakai
sehari-hari. Tidak ada kata-kata klise dalam puisinya yang
berjudul Selamat Tinggal itu. Memang itulah style khas dari
kepenyairan Chairil Anwar. Hal itu terlihat juga dalam puisi-
puisinya yang lain. Tetapi bukan berarti Cairil tidak menata
dan memilih kata-kata yang ada dalam puisi tersebut.
Meskipun kata-kata terkesan biasa, tetapi Chairil tetap
memilih kata-kata itu sebagai sarana puitika untuk mewadahi
perasaan dan emosinya. Baris Aku berkaca/ Ini muka penuh
luka/Siapa punya?//, mengandung simbol dan emosi
sebagaimana yang dirasakannya ketika mencipta puisi
tersebut. Kata berkaca dan muka penuh luka menggambarkan
introspeksi (mawas diri) atas kejelekan dan dosa-dosa yang
pernah dia lakukan. Baris: /Ini muka penuh luka/ memuncul-
kan imaji visual yang menjijikkan dan perasaan menderita
yang dialami aku lirik (penyairnya?). Imaji tersebut mampu
mengkonkritkan (membuat nyata) perasaan Chairil yang
hanya bisa dirasakan oleh dirinya secara abstrak.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
310

Style atau gaya Darmanto Jatman berbeda pula. Puisi


yang berjudul Istri sangat bernuansa Jawa. Sebagai orang Jawa
yang juga tinggal di Jawa Tengah (Semarang), puisinya itu
mengalirkan sikap dan nada ke-jawa-annya. Baris puisinya:
/Istri mesti digemateni/ia sumber berkah dan rejeki// …/mengirim
rantang ke sawah/dan negeroki kita kalau kita masuk angin/, terasa
dekat dengan suasana kehidupan masyarakat Jawa. Kata
digemateni (gemati), berkah, rejeki, rantang, sawah, dan
ngeroki, merupakan kata-kata yang lazim dijumpai dalam
kosa kata bahasa Jawa. Style yang dipilih Darmanto Jatman
semacam itu sangat relevan dengan makna dan pesan yang
akan disampaikan lewat puisinya itu. Penyair dalam puisinya
itu ingin mengungkapkan pandangannya tentang peran dan
kedudukan istri berdasarkan pandangan hidup sebagai orang
Jawa. Lain jadinya apabila konsep istri (wanita) Jawa
diungkapkan dengan gaya yang berbeda. Dengan demikian,
ada kesengajaan penyairnya untuk membangun nada dan
menata sarana putika yang bernuansa Jawa untuk
mengungkapkan tema ke-jawa-an itu.
Demikian juga dalam prosa, terdapat gaya bahasa
yang berbeda-beda pula dalam setiap pengarang. Memahami
gaya bahasa yang dipakai dalam novel-novel Putu Wijaya
akan diemukan betapa pengarang yang satu ini menyukai
kalimat-kalimat yang pendek. Lain lagi gaya bahasa yang
dipakai seorang Nukila Amal dalam cerpen Laluba dan novel
Cala Ibi. Pengarang wanita yang satu ini cenderung me-
nyimpangi kaidah kelaziman bahasa dan terkesan bermain-

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
311

main. Berikut ini kutipan teks karya kedua pengarang


tersebut.

Perempuan itu sudah mau berteriak lagi. Dargo


terpaksa memberinya sebotol. Bir itu cepat sekali
mempermak dia. Setelah menuangkannya segelas ke perut, ia
segera memiliki semangat lagi. Ia menjadi girang. “Aku
sudah tua dan membosankan,” katanya. Semua bilang aku
sudah tua dan membosankan. Tapi aku tahu semuanya.
Nanti akan datang juga waktunya. Tirtoatmojo akan ingat
lagi kepadaku. Sebelum ia mati, aku akan diberikannya, apa
saja yang aku perlukan. Biar joni kembali, ia tak akan dapat
apa-apa. Aku yang akan dapat….

Putu Wijaya, Pabrik (2005).

Tubuhnya kini berdiri tegak, kedua kakinya menjejak


tanah rambutnya berkibaran oleh angin. Bola matanya
hampir hitam hampir cokelat tua hampir tanah. Kedua mata
itu lalu mengatup, merasakan tibanya sesuatu. Ada yang
diam-diam datang dari tanah di bawah kakinya. Ujaran,
serupa bisikan, merasuk masuk dari telapak kaki, naik kian
gaduh ke seluruh tubuh dan melepas pekik di ubun-ubun.
Tubuhnya lalu terasa begitu penuh: penuh tanah penuh
danau penuh hutan penuh gunung penuh bumi. Ia tanah,
punya begitu banyak untuk diberi, dihidupi, tanpa
mengharap balas budi.... Ada berkah ataukah kutukan bagi
negeri itu, hanya ia seorang yang tahu.

Nukila Amal, Cala Ibi (2003).

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
312

Kedua pengarang tersebut tidak saja dibedakan oleh


usia dan pengalamannya, tetapi juga kecenderungan bahasa
yang dipergunakan dalam karya sastra yang diciptakan itu.
Penggunaan bahasa Putu Wijaya cenderung singkat, padat,
dan tak mau berleha-leha dengan gaya bahasa. Membaca
novel Pabrik, juga novel-novelnya yang lain, pembaca seolah
dipaksa denga irama dan tempo yang cepat dan melompat-
lompat; tak berbasa-basi lagi. Dan itu jauh berbeda dalam
bahasa yang digunakan Nukila Amal dalam novelnya
berjudul Cala Ibi, sama dengan cerpen-cerpennya. Pengarang
wanita ini justru menarik perhatian para peneliti dan
pengamat sastra karena penggunaan bahasanya yang penuh
metafora, gaya bahasa, rima, dan pembentukan kata yang tak
lazim. Oleh karena itu, banyak pengamat mengatakan novel
Nukila Amal merupakan prosa yang puitis.
Berbeda juga jika dibandingkan dengan pengarang
yang lain. Dalam karya yang muncul lebih baru, Agus Noor di
tahun 2010 menerbitkan kumpulan cerpennya berjudul
Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia. Salah satu cerpennya
dalam buku itu, Empat Cerita Buat Cinta, memiliki aliran
bahasa yang jauh berbeda dari kedua pengarang di atas.

Pada mulanya adalah sebutir air mata. Saat itu


Tuhan begitu sedih dan kesepian hingga meneteskan sebutir
air mata. Dari sebutir air mata sejernih putih telur itulah
tercipta semesta, hamparan kabut, langit lakmus yang belum
dihuni bintang-bintang, mahkluk-mahkluk gaib, pepohonan
dan sungai-sungai madu. Kemudian, pada hari ke tujuh

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
313

barulah terbit cahaya. Dari sebutir air mata itu pula muncul
sepasang manusia pertama…..

Agus Noor, “Empat Cerita Buat Cinta”


(dalam “Sepotong Bibir Paling Indah di
Dunia”, 2010).

Bahasa dalam cerpen Agus Noor di atas terasa


mengalir runtut. Meskipun terdapat gaya bahasa yang sengaja
dihadirkan, tetapi kehadirannya tidak sekedar menempel
sebagai sebuah perbandingan saja, melainkan menjadi bagian
tak terpisahkan dari aliran kalimat dalam wacana secara utuh.
Jauh berbeda gaya penggunaan bahasa Agus Noor dengan
Putu Wijaya yang terkenal pendek dan cepat, dan Nukila
Amal yang cenderung puitis dan penuh rima. Ketiganya
menunjukkan bagaimana gaya bahasa pengarang bersifat
individual.
Struktur penceritaan dan gaya bahasa yang khas dapat
menjadi karakteristik yang menonjol dan dominan dalam
suatu karya sastra. Dan ini dapat menjadi fokus penelitian
sastra. Namun demikian, kadang kala struktur penceritaan
dan bahasa tidak sebegitu dominan jika dibandingkan dengan
aspek yang lain. Banyak karya sastra yang justru memiliki
kemenonjolan dalam tematik yang diungkapkan. Novel Oka
Rusmini berjudul Tarian Bumi misalkan, justru
kemenonjolannya terletak pada pendobrakan terhadap adat
perkawinan Bali yang cenderung tidak adil terhadap
perempuan. Suara feminisme nampaknya relevan menjadi
perhatian utama dalam memperbincangkan novel ini.
SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
314

Dalam tataran tematik dan isi, karya sastra menjadi


media bagi pengarang untuk menyampaikan pemikiran,
pandangan, perenungan, penghayatan, dan penyikapan
tentang obyek yang diungkapkan. Penelitian yang berfokus
pada tematik dan isi, hendaknya sampai pada penjelasan
tentang hal-hal tersebut. Dalam bahasa yang lain, diperlukan
kekritisan dan kedalaman pemahaman untuk menentukan
apa yang diungkapkan dan bagaimana pengarang
mengungkapkannya, merupakan dua hal yang penting.
Berpijak pada kedua pertanyaan itu, penelitian sastra akan
mampu menyingkap apa yang tak terlihat. Teori dan
metodologi yang relevan akan menuntun peneliti bagaimana
mencapai ke arah itu.
Apa yang diungkapkan dalam langkah pertama untuk
suatu penelitian sastra ini, kiranya dapat dipahami bahwa
penentuan obyek penelitian tidak sekedar memilih karya
sastra apa yang hendak diteliti, tetapi tak kalah pentingnya
adalah focus penelitian. Setiap karya sastra secara individual
memiliki karakteristik yang khas. Kekhasan itu bisa terletak
pada gaya penceritaan, gaya bahasa, atau isi dan tematiknya.
Mutlak diperlukan untuk pemahaman awal, di manakah letak
penonjolan dan sesuatu yang dominan dalam karya sastra itu.
Dengan proses pembacaan awal, peneliti hendaknya mampu
menentukan hal itu untuk dapat merancang penelitian yang
akan dilakukan lebih lanjut. Hal itu dapat diungkapkan dalam
skema berikut.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
315

Karya sastra yang akan diteliti

Proses Pembacaan Awal

Temuan Kekhasan/Kemenonjolan

Penetapan Fokus Penelitian

Bagan 9
Penetapan Obyek Penelitian

Sampai pada ujung alur pemikiran ini sesungguhnya


seorang peneliti telah mengawali kegiatannya dalam penentu-
an obyek penelitiannya. Namun demikian, diperlukan
argumentasi yang lain yang menegaskan penentuan obyek
dan focus penelitian tersebut. Apa yang dilakukan di atas
pada akhirnya kembali ke dalam diri peneliti. Peneliti
hendaknya memiliki argumentasi untuk menjelaskan, meng-
apa obyek dan fokus penelitian tersebut penting dilakukan.
Tanpa itu, peneliti tidak memiliki tujuan dan alasan. Tujuan
penelitian jelas mengacu pada pemahaman tentang fokus
penelitian. Sedangkan argumentasi tentang pentingnya
penelitian tersebut, mengacu pada kebutuhan, pandangan,
keyakinan, dan pemikiran peneliti. Semua itu akan mengarah
pada langkah selanjutnya, sebagaimana akan dibahas pada
bab berikut.
SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
316

B. Langkah Kedua: Menyusun Rancangan Penelitian


Penetapan karya sastra sebagai obyek sekaligus pe-
nentuan fokus penelitian sebagai subyek penelitian, akan
memudahkan penyusunan rancangan penelitian. Dalam
langkah kedua ini dilakukan perencanaan langkah-langkah
yang relevan bagi suatu penelitian sastra secara ilmiah. Alur
kegiatan penelitian sastra akan tampak pada rancangan
penelitian ini. Sebelum penelitian dilakukan perlu dibangun
suatu rancangan sebaik-baiknya agar peneliti memiliki
pedoman bagaimana prosedur penelitian itu harus dilakukan.
Lebih dari itu, agar proses penelitian dapat dipertanggung-
jawabkan secara ilmiah. Istilah lain untuk menyebut
rancangan itu adalah desain penelitian. Setiap penelitian wajib
memiliki desain penelitian. Tanpa itu, alur penelitian sastra
akan ngawur dan hasil-hasilnya tak bermanfaat apa-apa.
Bagaimana penelitian sastra dilakukan? Pertanyaan
inilah yang harus dijawab untuk membangun rancangan atau
desain penelitian. Persoalan inilah yang perlu disadari dalam
setiap mengadakan penelitian sastra. Seorang peneliti dituntut
memahami dan menentukan urutan logik struktur kegiatan
penelitian ilmiah. Sebagaimana dijelaskan dalam bab
sebelumnya, urutan logik struktur kegiatan penelitian ilmiah
tersebut meliputi: Pendekatan, Teori, Metode, dan Teknik.
Sebelum menentukan teori dan metode apakah yang dipakai
dalam penelitian sastra, peneliti menetapkan cara pandang
yang digunakan terhadap bahan dan tujuan kajiannya. Cara
pandang mendasar ini disebut pendekatan kajian.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
317

Pendekatan adalah pandangan mendasar mengenai


pokok persoalan, tujuan, dan sifat dasar bahan telaah (karya
sastra). Dalam suatu pendekatan inilah terkandung sejumlah
teori. Dalam suatu teori terkandung sejumlah metode. Dalam
suatu metode terkandung sejumlah teknik. Sedangkan dalam
suatu teknik terkandung sejumlah cara dan piranti. Untuk
lebih jelaskan dapat dibaca pada bab sebelumnya. Jika
digambarkan dalam skema akan nampak sebagai berikut.

PENDEKATAN

TEORI

METODE

TEKNIK

Bagan 10
Struktur Kegiatan Penelitian Sastra

Kedudukan pendekatan lebih umum dan abstrak


dalam struktur kegiatan penelitian, karena ia merupakan
kerangka logis dari teori. Bagi ilmuwan, pendekatan di-
anggap sebagai konsep-konsep kunci dalam melaksanakan
suatu penelitian tertentu. Pendekatanlah yang menentukan
jenis-jenis eksperimen yang harus dilakukan oleh para
SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
318

ilmuwan, jenis-jenis pertanyan yang harus diajukan, dan jenis-


jenis permasalahan yang harus dipecahkan. Tanpa pendekat-
an, ilmuwan tidak bisa mengumpulkan data.
Dalam proses keilmuan, pendekatan memegang
peranan yang penting. Fungsi pendekatan adalah memberikan
kerangka, mengarahkan, bahkan menguji konsistensi dalam
proses keilmuan. Secara umum, pendekatan diartikan sebagai
seperangkat kepercayaan atau keyakinan dasar yang
menentukan seseorang dalam bertindak pada kehidupan
sehari-hari. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
pendekatan merupakan cara pandang bagaimana suatu
penelitian atau kajian sastra dilakukan.
Mengacu pada uraian di atas, peneliti sastra dapat
menentukan di dalam wilayah pendekatan apakah penelitian
yang akan dilakukan. Dalam sejarah perkembangan kajian
sastra dapat diketahui berbagai pendekatan silih berganti
mendominasi zaman. Dapat disebutkan di sini: pendekatan
mimetik, ekspresif, pragmatik, obyektif, strukturalisme,
sosiologi sastra, psikologi sastra, filsafat sastra, marxisme,
teori kritis, kultural studi, hingga postrukturalisme. Dalam
konteks keilmuan pada umumnya dikenal pendekatan
kuantitatif dan kualitatif.
Di dalam masing-masing wilayah pendekatan itulah
terhimpun berbagai teori. Di bawah pendekatan pragmatik
terletak Teori Respon reader dan Estetika Reseptif. Di dalam
pendekatan Strukturalisme misalnya, terhimpun teori
Naratologi, Strukturalisme Dinamik, Formalisme, Struktural-
isme Genetik, Semiotik, dan sebagainya. Sedangkan di dalam

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
319

wilayah Postrukturalisme terhimpun teori Feminisme,


Poskolonialisme, Intertekstual, Dekonstruksi, dan seterusnya.
Begitu juga dalam wilayah pendekatan yang lain, terhimpun
berbagai teori yang dapat digunakan sebagai landasan
penelitian sastra. Dalam wilayah pendekatan interdisipliner
seperti Psikologi Sastra, Sosiologi Sastra, Dan Filsafat Sastra,
dapat digunakan teori-teori yang berasal dari disiplin ilmu
lain yang bergabung di dalamnya.
Dan di bawah teori terdapat metode untuk mendekati
karya sastra sebagai obyeknya. Setiap teori pada dasarnya
telah membawa metodenya sendiri-sendiri. Naratologi
membawa metode formal atau struktural; Strukturalisme
Genetik dan teori-teori di bawah paradigma marxisme
membawa metode dialektik; Semiotik membawa metode
heuristik dan hermeneutik; teori-teori filsafat pada umumnya
membawa metode interpretatif atau hermeneutik; dan
seterusnya. Diperlukan pemaham terhadap teori yang dipakai
untuk menemukan metode yang dibawanya. Peneliti sastra
tidak perlu menentukan metodenya sendiri.
Dan di bawah metode terdapat teknik atu langkah-
langkah mengumpulkan dan menganalisis data beserta piranti
yang dibutuhkannya. Teknik simak catat misalkan sering
dipakai para peneliti sastra untuk memperoleh data.
Sedangkan teknik analisis data pada umumnya telah dituntun
oleh metode yang dipakai. Peneliti sastra dapat merumuskan
kedua teknik tersebut ke dalam prosedur atau langkah-
langkah penelitian.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
320

Uraian di atas menyimpulkan tentang pentingnya


komponen-komponen yang harus ada dalam setiap penelitian
sastra.
1. Pendekatan, sebagai cara pandang terhadap karya sastra
yang akan dipahami dan dianalisis. Keyakinan, kepercaya-
an, dan pandangan-pandangan dasar tentang hakikat karya
sastra menandai pendekatan apa yang dipakai.
2. Teori, sebagai landasan berpikir dalam memahami karya
sastra. Teori mengandung konsep-konsep dan proposisi-
proposisi yang telah teruji tentang aspek-aspek karya sastra
sebagai obyek penelitian.
3. Metode, sebagai cara bagaimana karya sastra sebagai obyek
penelitian dipahami dan dijelaskan. Dalam metode
dirumuskan kerangka kerja yang digunakan dalam
mendekati obyek.
4. Teknik, merupakan instrumen atau alat untuk memperoleh
data primer dalam suatu penelitian. Dalam penelitian
sastra, teknik yang sering dipakai adalah teknik simak dan
catat.
Konstruksi hirarkis keilmuan dalam rancangan
penelitian sastra di atas menunjukkan adanya kesinambungan
antara pendekatan, teori, metode, dan teknik. Seorang peneliti
harus mensinkronkan keempat komponen tersebut dalam satu
wilayah yang sama. Teori Strukturalisme Genetik misalnya
merupakan wilayah Sosiologi Sastra, bisa juga dimasukkan
dalam wilayah Strukturalisme lanjut, dan telah membawa
metodenya sendiri, yaitu metode dialektik. Sedangkan teknik
Pemahaman dan Penjelasan merupakan dua rangkaian kerja

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
321

analisis yang disarankan oleh metode dialektik itu. Sementara


teknik Simak-Catat merupakan teknik pemerolehan data yang
sudah lazim di gunakan dalam penelitian sastra untuk studi
teks.
Demikianlah konstruksi hirarkis keilmuan yang harus
disusun dan dibangun dalam setiap penelitian sastra.
Keempat komponen tersebut harus sinkron (relevan).
Konstruksi tersebut berada dalam bangunan rancangan atau
desain penelitian. Pemahaman lebih lanjut dari referensi-
referensi yang ada akan semakin memperjelas pemahaman
tentang hal tersebut.

C. Langkah Ketiga: Penyusunan Landasan Teori


Langkah pertama dan kedua sebagaimana dikemuka-
kan terdahulu, memberikan arah yang jelas bagi setiap
penelitian sastra. Dengan pemahaman sebaik-baiknya tentang
karya sastra yang ditetapkan sebagai obyek penelitian dan
penyusunan bangunan rancangan penelitian yang relevan
dengan obyek tersebut, maka proses penelitian dituntun pada
jalur yang benar. Paling tidak proses penelitian akan dapat
dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Bahkan diakui oleh
para peneliti yang telah berpengalaman, kedua hal tersebut
akan memberikan kemudahan dalam proses penelitiannya.
Tetapi yang tak kalah pentingnya adalah merumuskan
konsep-konsep dan proposisi-proposisi tentang variable
penelitian. Lazim dalam laporan penelitian ilmiah, hal itu
disebut dengan landasan teori atau kerangka berpikir yang
tertuang dalam bab II. Kalau teori dalam rancangan penelitian

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
322

memberikan arah dan prinsip-prinsip bagaimana mendekati


obyek penelitian, sedangkan teori dalam bagian ini
menjelaskan pengertian-pengertian yang terkandung dalam
rumusan masalah dan tujuan penelitian. Berikut ini sekedar
gambaran tentang hal tersebut yang pernah penulis lakukan
dalam penelitian terhadap novel Arok Dedes karya Pramudya
Ananta Toer dengan menggunakan pendekatan Sosiologi
Sastra.

Judul Penelitian :
APLIKASI TEORI HEGEMONI ANTONIO GRAMSCI DALAM
KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA TERHADAP NOVEL AROK DEDES
KARYA PRAMUDYA ANANTA TOER

Fokus Penelitian :
Ideologi yang sengaja disamarkan dalam novel Cala Ibi
karya Nukila Amal

Rumusan Masalah :
Ideologi apakah yang sengaja disamarkan pengarang
dalam novel Cala Ibi karya Nukila Amal

Desain Penelitian :
Pendekatan : Sosiologi Sastra
Teori : Teori Hegemoni Antonio Gramsci
Metode : Dialektik

Kerangka Berpikir/Landasan Teori :


Konsep-konsep tentang Ideologi
SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
323

Konsep-konsep tentang ideologi dalam sastra


Gambaran jagad kepengarangan dalam kesusasteraan
Indonesia
Konteks sosiokultural yang melatarbelakangi penciptaan
karya sastra pada masa novel Arok Dedes karya Pramudya
Ananta Toer

Dari gambaran di atas terlihat bahwa kerangka


berpikir atau landasan teori menjelaskan konsep-konsep yang
terkandung dalam fokus dan rumusan masalah penelitian.
Berdasarkan pendapat para ahli dan wacana pengetahuan
yang ada, akan diperoleh konsep-konsep tersebut. Hal itu
akan memberikan landasan untuk memahami permasalahan
yang hendak dicari jawabannya dalam proses penelitian. Pada
gilirannya dapat menghasilkan asumsi-asumsi yang dapat
digunakan untuk memecahkan permasalahan dan mencapai
tujuan yang telah direncanakan.
Oleh karena itu, kerangka berpikir atau landasan teori
dibangun dengan mempertimbangkan hubungan-hubungan
antara konsep-konsep dan proposisi-proposisi yang
menjelaskan secara operasional sesuai dengan tujuan
penelitian. Dalam penelitian kuantitatif, kerangka berpikir
atau landasan teori digunakan untuk menyusun hipotesis
sebagai jawaban sementara atas rumusan masalah. Tetapi
dalam penelitian sastra yang cenderung kualitatif-idiografik,
kerangka berpikir atau landasan teori tersebut digunakan
sebagai landasan pemahaman tentang konsep-konsep yang
dipakai untuk memecahkan masalah dan mencapai tujuan

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
324

penelitian. Oleh karena itu, diperlukan pemilihan teori secara


cermat berdasarkan studi kepustakaan. Buku, penelitian lain,
jurnal, dan wacana pengetahuan yang relevan dengan tujuan
dan rumusan masalah sangat diperlukan.
Kebiasaan yang terjadi pada peneliti pemula adalah,
penggunaan konsep-konsep dan proposisi yang tidak
berhubungan dengan tujuan dan rumusan masalah, sehingga
kehadirannya tidak ada manfaatnya. Paling banter hanya
untuk mempertebal laporan penelitian, karena mereka
beranggapan bahwa semakin tebal semakin berkualitas.
Anggapan semacam itu sesungguhnya kurang tepat. Cara
tepat yang bisa dilakukan adalah membagi rumusan masalah
menjadi sub-sub bagian (variabel). Sub-sub bagian ini
nantinya akan menjadi sub-sub bab dalam landasan teori.
Berdasarkan sub-sub bagian itulah dicari dan dipilih konsep-
konsep dan proposisi-proposisi beradasarkan studi
kepustakaan. Perhatikan rumusan masalah dan tujuan
penelitian dalam contoh berikut.
Rumusan masalah dan tujuan penelitian di atas
menyarankan pendekatan, teori, metode, dan prosedur
penganalisisan karya sastra sebagai obyek material dan
formalnya. Obyek material adalah karya sastra genre novel
berjudul Arok Dedes karya Pramudya Ananta Toer. Sedangkan
obyek formalnya adalah tersurat dalam rumusan masalah dan
tujuan penelitian, yaitu ideologi yang disamarkan dalam
novel tersebut. Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan
penelitian tersebut dapat ditentukan konsep-konsep dan

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
325

proposisi teori yang dijadikan landasan dan kerangka


berpikirnya, yaitu:
1. konsep-konsep tentang ideologi;
2. konsep-konsep tentang ideologi dalam sastra;
3. gambaran jagad kepengarangan dalam kesusasteraan
indonesia;
4. konteks sosiokultural yang melatarbelakangi penciptaan
karya sastra pada masa novel Arok Dedes karya Pramudya
Ananta Toer tercipta.
Berdasarkan sub-sub tersebut dapat disusun landasan
teori yang dapat dijadikan landasan pemahaman untuk
menjawab rumusan masalah dan tujuan penelitian. Penjelasan
tentang sub-sub bab tersebut bersumber pada kepustakaan
yang ada atau dari pendapat para ahli. Secara metodologis
juga mengarahkan pada langkah-langkah penganalisisan teks
novel sebagai obyek penelitian.

*****

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
326

BAB 7

CITRA WANITA JAWA


Telaah Strukturalisme Genetik Puisi “Istri”
Karya Darmanto Jatman

A. Latar Belakang dan Rumusan Masalah


Membaca puisi yang berjudul Istri, tentunya tidak akan
lepas dari konteks sejarah yang melatarbelakanginya.
Darmanto Jatman sebagai penulisnya menyadari bahwa
sebagai anggota masyarakat, ia harus manyuarakan kondisi,
semangat, dan nilai-nilai sosial zamannya. Sapardi Joko
Damono mengemukakan, sastra menampilkan gambaran
kehidupan; dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan
sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan menyangkut
hubungan antarmasyarakat, masyarakat dengan orang-
seorang, antarmanusia, dan antarperistiwa yang terjadi dalam
batin seseorang. (1984:1). Sedangkan Ratna (2003:77)
menjelaskan hubungan seniman dan masyarakat merupakan
pola interaksi sosial sebagaimana pola-pola hubungan sosial
SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
327

lainnya. Dengan interaksi sosial inilah struktur sosial


ditentukan, selain melalui perangkat sistim simbolis, sistim
peranan dan harapan, yang kemudian dikonstruksikan ke
dalam pola-pola institusionalisasi. Hubungan sosial di atas
menjelaskan genesis karya sastra.
Dari sudut pandang yang lain, sastra dan masyarakat
memiliki hubungan yang mesti dimediasi melalui pemikiran,
gagasan, dan ideologi pengarang sebagai bagian dari kolektif
masyarakatnya. Teori Strukturalisme Genetik memandang
hubungan antara sastra dan masyarakat melalui pandangan
dunia atau ideologi yang diekspresikan pengarang (Faruk,
1999: 43). Dengan begitu, hubungan keduannya bukan
semata-mata hubungan material, tetapi dalam kerangka peran
sastra sebagai dokumen dan media komunikasi sosial.
Sedangkan Semiotik memandangnya sebagai bentuk
komunikasi sosial yang terdiri dari tanda dan maknanya
(Sunardi, 2002).
Bagi Darmanto Jatman, Istri merupakan bentuk
komunikasi dengan masyarakatnya melalui medium konvensi
sastra (puisi). Istri menjadi suara penyairnya tentang nilai-nilai
sosial budaya yang melingkupinya, yaitu sosial budaya Jawa.
Ungkapan khas seorang sastrawan (penyair) dalam
memandang hidup dan kehidupannya. Secara tidak langsung
menyuarakan gagasan, pikiran, dan ideologi Darmanto
Jatman tentang bagaimana memandang kehidupan sosial
masyarakat saat karyanya itu diciptakan. Hal itu meng-
konotasikan (sebagai tanda) suatu makna yang melampaui
batas-batas tekstual dalam sistem bahasa.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
328

Oleh karena itu, dalam kerangka teori Sosiologi Sastra,


kajian puisi yang berjudul Istri ini harus ditempatkan dalam
hubungannya dengan aspek-aspek sosialnya. Hubungan Istri
sebagai karya sastra dengan aspek-aspek sosialnya itu
berdasarkan asumsi bahwa hubungan keduanya menjadi
dasar penciptaan (ekspresi) penyairnya. Pada sudut pandang
ini, puisi Istri merupakan hasil dari interaksi sosial yang
diejawantahkan melalui peranan dan harapan penyairnya dan
sistim simbolik dalam tataran wacana sastra. Dalam sudut
pandang teori Strukturalisme Genetik, puisi ini merupakan
dokumen pandangan dunia penyairnya sebagai subjek
kolektif (lihat Faruk, 1999; Hudayat, 2007; Damono, 1984; lihat
juga Ratna, 2003). Pada sudut pandang yang kedua inilah,
penulis akan menelaah puisi yang berjudul Istri karya
Darmanto Jatman tersebut.
Telaah secara Strukturalisme Genetik ini hendak
mengungkapkan permasalahan: ―Bagaimanakah ideologi atau
pandangan dunia pengarang sebagai subjek kolektif tercermin
dalam puisi berjudul Istri karya Darmanto Jatman‖.

B. Kerangka Teori
Dalam paradigma Sosiologi Sastra terhimpun beberapa
teori tentang sosial sastra. Salah satu teori tersebut adalah
Strukturalisme Genetik. Teori inilah yang dipakai dalam
menganalisis karya puisi berjudul Istri karya Darmanto
Jatman. Teori dan pendekatan ini membawa metode
dialektika dalam implementasinya terhadap analisis karya

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
329

sastra. Berikut ini diuraikan teori Strukturalisme Genetik dan


metode dialektikanya.

1. Strukturalisme Genetik
Strukturalisme Genetik muncul sebagai akibat
terabaikannya aspek sosial dan sejarah dalam kajian karya
sastra secara struktural. Meskipun peletak dasar teori ini
adalah Taine, namun dalam perkembangannya kemudian,
sebagai telaah sosiologis, dikembangkan oleh Lucien Goldman
di Perancis. Menurut Goldman, studi strukturalisme genetic
memiliki dua kerangka dasar. Pertama, hubungan antara
makna suatu unsure dengan unsure lainnya dalam suatu
karya sastra yang sama. Kedua, hubungan keduanya
membentuk jaringan yang saling mengikat. Karena itu,
seorang pengarang tidak mungkin mempunyai pandangan
sendiri. Pada dasarnya, pengarang akan menyarankan suatu
pandangan dunia suatu kolektif (dalam Endraswara,2008:56).
Karya sastra dipandang sebagai fakta kemanusiaan, produk
subjek kolektif, dan sebagai ekspresi pandangan dunia
pengarang sebagai subjek kolektif itu. Fakta kemanusiaan,
subjek kolektif, dan pandangan dunia inilah yang memediasi
hubungan antara sastra dan masyarakatnya.
Menurut strukturalisme genetik (Hudayat, 2007: 71),
karya sastra merupakan struktur yang terbangun atas dasar
bagian-bagian yang saling bertalian dan membentuk struktur
keseluruhan karya sastra itu. Struktur karya sastra itu hanya
dapat dipahami dengan baik dengan cara dialektik, yaitu
dengan bergerak secara bolak-balik dari bagian ke
keseluruhan dan dari keseluruhan kembali ke bagian. Gerakan
SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
330

bolak-balik itu dianggap selesai jika koherensi antara


keseluruhan dengan bagian-bagiannya telah terbangun, yaitu
ketika bagian-bagian telah membentuk suatu keseluruhan dan
keseluruhan telah dapat digunakan untuk memberikan arti
pada bagian-bagian. Dengan demikian, secara metodologis,
Strukturalisme Genetik di dalam menelaah karya sastra
menggunakan metode dialektik.
Meskipun pandangan Goldman menyarankan telaahnya
terhadap novel sebagai karya agung yang mengungkapkan
tema hero (Faruk, 1999), namun demikian, bukan berarti
Strukturalisme Genetik harus terbatas pada genre sastra
tersebut. Puisi sebagai salah satu genre sastra juga memiliki
kualitas penceritaan yang tak kalah substansial dengan genre
sastra lainnya. Meskipun sebagai wacana, puisi memiliki
keterbatasan, tetapi jenis-jenis puisi balada atau puisi naratif
nampaknya juga dapat ditelaah secara Strukturalisme
Genetik. Puisi yang berjudul Istri karya Darmanto Jatman
merupakan salah satu contoh jenis puisi yang dapat ditelaah
dengan pendekatan tersebut.

2. Metode Dialektik
Teori Strkturalisme Genetik menyarankan dalam
konsepnya suatu merode yang putar balik antara struktur
karya dan struktur social. Metode itu disebut dengan metode
dialektika. Penggunaan metode dialektika dalam pendekatan
Strukturalisme Genetik merupakan cara analisis yang dipakai
para penganut faham Marxis, sebagaimana yang dipakai
Gramsci. Dapat dikatakan, metode dialektika sebagai

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
331

pengejawantahan dari pendekatan strukturalisme genetik


untuk mengungkapkan pandangan dunia yang tercermin
dalam karya sastra.
. Metode dialektika (lihat Hudayat, 2007; dan Faruk,
1999) memperhitungkan koherensi struktural yang bermula
dan berakhir pada teks sastra. Prinsip dasar metode dialektika
adalah mengkonkritkan fakta-fakta kemanusiaan yang abstrak
dengan jalan mengintergrasikannya ke dalam keseluruhan.
Metode ini mengembangkan dua pasangan konsep, yaitu
―keseluruhan-bagian‖ dan ―pemahaman-penjelasan‖. Konsep
pertama beranjak dari pemahaman bahwa setiap fakta atau
gagasan individual mempunyai arti hanya jika ditempatkan
dalam keseluruhan. Sebaliknya, keseluruhan hanya dapat
dipahami dengan pengetahuan yang bertambah mengenai
fakta-fakta parsial atau yang tidak menyeluruh yang
membangun keseluruhan.
Konsep kedua, pemahaman-penjelasan, mengarah ke-
pada bagaimana identitas bagian dipahami dan bagaimana
makna diperoleh melalui usaha menghubungkan makna yang
diperoleh dengan konteks keseluruhan yang lebih luas.
Pemahaman adalah usaha pendeskripsian struktur objek yang
dipelajari sedangkan penjelasan adalah usaha menggabung-
kannya ke dalam struktur yang lebih besar. Dengan kata lain,
pemahaman adalah usaha untuk mengerti identitas 13 bagian,
sedangkan penjelasan adalah usaha untukmengerti makna
bagian itu dengan menempatkannya dalam keseluruhan yang
lebih besar (Faruk, 1994: 21).

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
332

Sejalan dengan orientasi teoritisnya, metode dialektik


mengarahkan cara kerja penelaahan karya. Dalam penelitian
ini yang mengarahkan kajiannya kepada masalah sosial dalam
karya sastra (puisi Istri karya Darmanto Jatman) menyangkut:
―keseluruhan-bagian‖ dan ―pemahamanpenjelasan‖:
a. keseluruhan-bagian, secara struktur dijajaki hubungan
keseluruhan-bagian dengan mempertimbangkan unsur-
unsur intrinsik karya kemudian dihubungkan dengan
struktur di luar karya sastra yang bertindak sebagai bagian
yang turut membentuk koherensi struktur tersebut secara
menyeluruh; hubungan yang dimaksud mengarah kepada
bagaimana pemahaman realita anggota-anggota kolektif
yang diceritakan dalam puisi tersebut tentang konsep istri
menurut pandangan kolektif budaya Jawa menjadi bagian
dari keseluruhan struktur yang lebih luas menyangkut
subjek kolektif.
b. pemahaman-penjelasan, mengarah kepada penelaahan
makna atas hubungan-hubungan struktur sebagaimana
yang dipahami pada langkah pertama, kemudian
mempertalikan makna tersebut dengan sejumlah gagasan
atau pandangan dunia subjek kolektif yang terhimpun ke
dala satu gagasan yang utuh (Ampera, 2006: 13).
Dalam analisis ini, pemahaman terhadap unsur-unsur
dalam puisi Istri karya Darmanto Jatman ini didasarkan atas
teori Roman Ingarden tentang strata norma (dalam Pradopo,
1999) yang terdiri atas: lapis bunyi, lapis arti, lapis ―dunia‖,
dan lapis metafisis. Tetapi implementasi teori tersebut akan

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
333

diadaptasi ke arah kemenonjolan unsur-unsur yang ada dalam


objek analisis.

C. Analisis
1. Struktur Puisi Istri karya Darmanto Jatman
Puisi merupakan sebuah struktur yang kompleks, maka
untuk memahaminya perlu dianalisis sehingga dapat
diketahui bagian-bagian serta jalinannya secara nyata
(Pradopo, 1999: 14). Struktur puisi merupakan suatu sistim
keseluruhan yang terdiri atas bagian-bagian yang secara
fungsional berhubungan dalam membentuk kualitas karya
sastra puisi. Roman Ingarden menganalisis norma-norma
puisi sebagai strata (lapis) puisi yang terdiri atas: lapis bunyi,
lapis arti, lapis dunia, dan lapis metafisis (dalam Pradopo,
1999: 14-15). Keempat strata norma puisi tersebut merupakan
unsur-unsur yang secara implisit dan eksplisit terdapat dalam
puisi sebagai suatu struktur. Strata norma inilah yang dipakai
di dalam ,menjelaskan struktur puisi Istri karya Darmanto
jatman berikut ini. Dalam aplikasinya mengalami perubahan
sebagai adaptasi konsep teoritis dalam analisis ini.

a. Lapis Bunyi Puisi Istri Karya Darmanto Jatman


Lapis bunyi dalam puisi merupakan satuan-satuan
bunyi khusus dan istimewa yang mengandung arti dan
membangungan kualitas puisi sebagai karya seni. Satuan-
satuan bunyi yang dimaksud adalah dalam konvensi bahasa
(lihat Pradopo, 1999). Namun dalam analisis ini, lapis bunyi
lebih diarahkan untuk mengemukakan sistem bunyi dalam
kata. Dengan demikian, teori Roman Ingarden diadaptasi
SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
334

dengan pertimbangan bahwa puisi yang berjudul Istri karya


Darmanto Jatman lebih kental dalam tataran kata bukan
fonem sebagaimana yang dimaksud oleh Roman Ingarden
tersebut.
Pada tataran strata permukaan (lapis bunyi) yang
pertama kali ditangkap dalam pembacaan puisi Istri ini adalah
penggunaan kata-kata dalam bahasa Jawa. Campur kode
bahasa Jawa tersebut sengaja diciptakan pengarang untuk
memberikan efek keindahan yang sekaligus koheren dengan
subjek matter puisi ini, yaitu citra istri menurut konsep budaya
Jawa. Kata-kata bahasa Jawa tersebut adalah: digemateni,
ngeroki, sisihan, tetimbang, sigaraningg nyawa, madep manteb,
Gemati, nastiti, ngati-ati. Di samping itu, pengarang juga
menghadirkan unsur-unsur tokoh dalam cerita tradisional
Jawa pewayangan dan legenda, yaitu: Harjuna, Subadra,
Arimbi, Bima, Tetuka, Sawitri, Setyawan, dan Dewi Sri.
Campur kode bahasa Jawa dalam puisi ini tidak hanya
dalam tataran kata, tetapi juga dalam tataran sintaksis. Baris-
baris dalam puisi ini diungkapkan ke dalam kalimat-kalimat
dengan struktur bahasa Jawa: /kalau kita mau jual palawija/, /
kalau kita lapar dan mau makan/, / Ah. Lihatlah. Ia menjadi sama
penting dengan kerbau, luku, sawah, dan pohon kelapa//.
Penggunaan kalimat bahasa Indonesia semacam ini sangat
lazim terjadi dalam masyarakat Jawa. Penggalan puisi berikut
ini semakin memperjelas bagaimana pengarang sengaja
menghadirkan warna Jawa dalam penggunaan bahasa.

- Isteri mesti digemateni


Ia sumber berkah dan rejeki,
SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
335

(Towikromo, Tambran, Pundong, Bantul)

Isteri sangat penting untuk ngurus kita


Menyapu pekarangan
Memasak di dapur
Mencuci di sumur
Mengirim rantang ke sawah
Dan ngeroki kita kalau kita masuk angin
Ya. Isteri sangat penting untuk kita

...…………….

Ia sisihan kita,
kalau kita pergi kondangan
Ia tetimbangan kita,
kalau kita mau jual palawija
.........................

Warna Jawa yang sengaja diciptakan pengarang


menunjukkan latar sosial budaya puisi tersebut. Aspek latar
ini merupakan unsur yang secara fungsional mendukung
unsur lain dalam membentuk keseluruhan puisi.

b. Lapis Arti Puisi Istri


Karya Darmanto Jatman
Keseluruhan sajak yang terdiri atas baris dan bait
mengandung makna atau arti tertentu. Dengan demikian,
makna atau arti puisi tersebut terangkum dalam satuan-
satiuan baris dalam membentuk bait. Inilah yang oleh teori
SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
336

Roman Ingarden disebut sebagai lapis arti (units of meaning).


Oleh karena itu, untuk mengungkapkan unsur ini akan
dikemukakan bait perbait yang kemudian terjalin ke dalam
keseluruhan.
Bait pertama. Bait ini sebagai prolog tentang mengapa
seorang laki-laki harus mencintai istrinya dengan tulus. /Isteri
mesti digemateni/ Ia sumber berkah dan rejeki/. Istrilah yang
menjadi sumber berkah dan rejeki bagi rumah tangga.
Bait Kedua. Bait ini mengungkapkan peranan dan
tanggung jawab istri bagi suaminya.

..................
Isteri sangat penting untuk ngurus kita
Menyapu pekarangan
Memasak di dapur
Mencuci di sumur
Mengirim rantang ke sawah
Dan ngeroki kita kalau kita masuk angin
Ya. Isteri sangat penting untuk kita
.................

Tugas dan tanggung jawab istri bagi suami adalah mengurus


suami dalam hal membersihkan rumah, memasak, mencuci,
menyediakan makan, dan menjaga suami dalam keadaan
sakit. Tugas dan tanggung jawab istri menurut puisi ini sangat
penting dalam menjalin hubungan dengan suaminya.
Bait Ketiga. Bait ini mengungkapkan kedudukan seorang
istri dalam hubungannya dengan suami. Menurut puisi ini

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
337

istri merupakan pasangan, pertimbangan, teman, belahan


jiwa, dan bahkan istri adalah kekuatan bagi suami.

...................
Ia sisihan kita,
kalau kita pergi kondangan
Ia tetimbangan kita,
kalau kita mau jual palawija
Ia teman belakang kita,
kalau kita lapar dan mau makan
Ia sigaraningg nyawa kita,
kalau kita
Ia sakti kita !
..................

Bait Keempat. Istri dalam bait ini dianalogikan dengan


/kerbau, luku, sawah, dan pohon kelapa/ yang tak pernah merasa
capai dalam melayani suami, melainkan selalu penuh syukur
dalam menjalani hidupnya.. Istri juga dianalogikan dengan
/ayam, itik, kambing, atau jagung/ yang menjaga benih dan
anak-anak dengan sungguh-sungguh. Tetapi semua itu baru
muncul dalam kesadaran laki-laki /ketika kita (pen. Laki-laki)
mulai melupakannya/. Ketaksadaran laki-laki tentang
pentingnya seorang istri dianalogikan:

...........................
Seperti lidah ia di mulut kita
tak terasa
Seperti jantung ia di dada kita
SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
338

tak teraba
...........................

Bait Kelima. Oleh karena itu, aku lirik dalam puisi ini
memperingatkan pembacanya agar waspada. Seorang suami
haruslah: / Tetap,madep, manteb/ Gemati, nastiti, ngati-
ati/.........(konsisten, jujur, mantab, setia, awas, dan hati-hati)
terhadap istrinya.

.....................
Supaya kita mandiri –
perkasa dan pinter ngatur hidup
Tak tergantung tengkulak, pak dukuh, bekel atau lurah
Seperti Subrada bagi Arjuna
makin jelita ia di antara maru-marunya
Seperti Arimbi bagi Bima
jadilah ia jelita ketika melahirkan jabang tetuka
Seperti Sawitri bagi Setyawan
Ia memelihara nyawa kita dari malapetaka.

Itu semua diharapkan aku lirik agar seorang istri tetap setia,
pandai, dan kuat seperti Sumbadra terhadap suaminya
(Arjuna), Arimbi terhadap suaminya (Bima), atau seperti
Sawitri terhadap Setyawan. Seorang istri adalah penjaga
suami dari mala petaka.
Bait Keenam. Aku lirik dalam bait keenam ini
menyampaikan pesannya agar suami menghormati istrinya
seperti (orang-orang Jawa dulu) menghormati Dewi Sri.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
339

Perumpamaan seorang istri dengan Dewi Sri ini


menempatkan seorang istri pada kedudukan yang tinggi.
Dewi Sri dalam mitologi Jawa adalah seorang tokoh dewa
wanita yang memiliki tugas untuk membuat subur bumi ini.
Dalam cerita Jawa ini dikisahkan bahwa bumi ini begitu subur
dengan tanamannya karena kehadiran Dewi Sri yang
membawa benih padi untuk disebarkan ke permukaan bumi.
Saat itulah manusia tidak pernah kekurangan bahan makanan.
Cerita ini menggambarkan kepercayaan dan keyakinan
masyarakat Jawa tentang betapa luhur dan berjasanya Dewi
Sri ini. Inilah perumpamaan bagi seorang istri yang harus
selalu dihormati suaminya.
Berdasarkan pemaknaan bait-perbait di atas dapat
dikemukakan makna keseluruhan puisi ini. Secara
keseluruhan puisi Istri karya Darmanto Jatman ini memiliki
makna tentang betapa penting dan luhurnya seorang istri bagi
suami dan keluarga. Seorang istri menurut puisi ini memiliki
kedudukan yang tinggi dalam hubungannya dengan suami. Ia
tidak saja sebagai seorang yang mengurus rumah tangga dan
mencintai suaminya, tetapi juga ia lambang bagi kekuatan,
kesetiaan, cinta, kedamaian, dan kesuburan. Dengan
demikian, puisi ini menempatkan kedudukan seorang istri
begitu tinggi menurut pandangan aku lirik.

c. Lapis Dunia Puisi Istri Karya Darmanto Jatman


Berdasarkan pemahaman tentang strata bunyi (kata) dan
makna atau arti di atas, akhirnya dapat dipahami tentang
―dunia‖, yang menurut Roman Ingarden, dipandang dari titik

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
340

pandang yang tak perlu dinyatakan, yang terkandung di


dalamnya. (dalam Wellek dalam Pradopo,1999:15). Lapis
―dunia‖ ini berupa: latar, pelaku, objek-objek dan dunia
pengarang.
―Dunia‖ yang digambarkan dalam puisi ini adalah
―dunia‖ sosial budaya Jawa menurut persepsi pengarangnya.
Secara geografis, pengarang secara eksplisit menunjuk daerah
Bantul; salah satu kabupaten di wilayah provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta dalam peta kebudayaan
Indonesia merupakan pusat kebudayaan dan pemerintahan
Jawa pada masa lalu. Oleh karena itulah, sampai sekarang
Yogyakarta menjadi pusat pariwisata budaya Jawa yang
masih eksis. Keadaan yang demikianlah yang dipakai
pengarang sebagai latar untuk mengungkapkan subjek matter
puisinya.
Latar sosial budaya Jawa yang digambarkan dalam puisi
ini semakin jelas dengan pengambilan nama-nama tokoh
pewayangan dan cerita mitologi Jawa sebagai tradisi
masyarakat Jawa. Peristiwa-peristiwa dan idiom masyarakat
jawa pedalaman juga tergambar dalam puisi ini melalui
simbol-simbol di bidang pertanian, seperti sawah, cangkul,
ayam, itik, kerbau, jagung, luku, dan pohon kelapa. Kata
simbol tersebut begitu akrab dalam kehidupan masyarakat
bawah di Jawa.
Dengan demikian, puisi ini mengungkapkan pandangan
berdasarkan konsep sosial budaya Jawa tentang peran dan
kedudukan seorang istri. Inilah yang disebut dalam teori

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
341

Roman Indarden sebagai ―dunia‖ yang secara implisit


terkandung dalam puisi berjudul Istri karya Darmanto Jatman.

d. Lapis Metafisis Puisi Istri Karya Darmanto Jatman


Puisi Istri Karya Darmanto Jatman mengungkapkan
kesadaran seorang laki-laki terhadap pentingnya seorang
wanita dalam kehidupannya. Kesadaran tersebut muncul
sebagai hasil perenungan, penghayatan, dan pemikirannya
tentang persoalan realitas wanita Jawa tersebut. Betapa
penting dan tingginya kedudukan wanita disadarinya ketika
ia mulai melupakannya. Sangat persuasif pengungkapan
kesadaran tersebut dalam bahasa yang bercampur kode Jawa.
Sebagai orang Jawa, Darmanto Jatman tumbuh dan
berkembang di tengah-tengah persoalan masyarakat Jawa.
Nilai kesukuan ini membawanya ke dalam perenungan
tentang nilai-nilai filosofis masyarakatnya. Sekaligus,
pandangan-pandangan terhadap tematis juga berangkat dari
konteks sosial masyarakatnya. Dengan demikian, pengarang
berusaha mengungkapkan hakikat wanita Jawa menurut visi
sebagai seorang Jawa.

2. Konsep Sosial Budaya Jawa tentang Istri


Peran dan kedudukan wanita Jawa pada masa lalu
dikungkung oleh mitos dan dominasi laki-laki yang tidak
berpihak pada wanita. Tokoh feminisme Jawa pada abad XIX,
R.A. Kartini, merupakan suatu contoh betapa berat
perjuangan para wanita Jawa pada waktu itu memperoleh
kedudukan dan perannya yang emansipasif. Eksistensi wanita

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
342

Jawa pada masa itu, dan masa-masa sesudahnya, hanyalah


terbatas pada dapur (memasak), sumur (mencuci), dan kasur
(melayani suami). Adagium wanita Jawa yang terasa tidak
mengenakkan dan menjadi wacana masyarakat adalah ‖yen
awan dadi theklek, yen bengi dadi lemek” (kalau siang jadi jadi
sandal, kalau malam jadi selimut). Sebuah referensi tentang
realitas wanita Jawa pada masa lalu yang sangat menyentuh
adalah buku Kartini yang berjudul Habis Gelap Terbitlah Siang
(1989).
Selain itu, dalam kitab Jawa masa lalu yang
mengungkapkan gambaran wanita Jawa adalah Serat Centini.
Salah satu kitab carik yang begitu terkenal dalam masyarakat
Jawa ini melambangkan wanita Jawa ibarat lima jari tangan.
Ibarat Jempol (ibu jari), istri harus pol (maksimal) mengabdi
kepada suami. Ibarat jari telunjuk, istri harus menuruti segala
perintah suami. Ibarat Panunggul (jari tengah), istri harus
mengunggulkan suami bagaimana pun keadaannya. Ibarat jari
manis, istri harus selalu bersikap manis. Dan, ibarat jejenthik
(kelingking), istri harus selalu hati-hati, teliti, rajin, dan
terampil melayani suami.
Demikian juga dalam Serat Yadnyasusila (dalam Dito
Anurogo, www.kabarindonesia.com, 2007) diungkapkan tiga
hal yang harus dimiliki oleh wanita Jawa. Pertama, merak ati
atau mrak ati, artinya wanita harus membina kemanisan
dengan mempercantik diri dalam hal busana, wajah, bicara,
dan sikap. Kedua, gemati, artinya siap untuk merawat,
mengasuh, dan mendidik anak-anaknya, mengatur rumah
tangga, melayani suami penuh kasih sayang dan

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
343

ketulusannya. Ketiga, luluh, artinya mampu selalu


menyenangkan hati suami, selalu menyediakan waktu untuk
suami dan anak-anaknya, sabar, dan iklas.
Sebuah penelitian tentang wajah wanita Jawa di daerah
Bantul, sama dengan latar puisi Istri yang dianalisis dalam
tulisan ini, yang dilakukan oleh Cristina S. Handayani dan
Ardhian Novianto (2004) menunjukkan realitas yang relatif
sama dengan yang diungkapkan dalam naskah Jawa di atas.
Dalam penelitian itu dikekemukakan secara rinci tentang
gambaran wanita Jawa. Pertama, wanita Jawa sebagai konco
wingking (teman belakang) sekaligus sigaraning nyawa (garwa;
belahan jiwa). Kedua, ciri karakter yang menonjol pada wanita
Jawa adalah sabar, sumeleh, dan sumarah. Ketiga, strategi
memangku dan pengabdian total kepada keluarga merupakan
cara diplomasi untuk mempengaruhi keputusan publik.
Wacana tentang wanita Jawa yang diungkapkan dalam
kitab Jawa dan biografi yang ditulis oleh Kartini, dan temuan
yang didapat dalam penelitian Cristina S. Handayani dan
Ardhian Novianto di atas, mewakili konsep istri (wanita)
dalam konteks sosial budaya Jawa. Gambaran semacam itu
sekaligus merupakan fakta kemanusiaan wanita Jawa dalam
realitas sehari-hari. Namun demikian, konsep tentang wanita
Jawa tersebut akan menimbulkan sikap dan orientasi yang
mendua, tergantung sudut pandang yang dipakai. Di satu
pihak, konsep tersebut akan menempatkan wanita Jawa dalam
peran dan kedudukannya sebagai pembantu laki-laki.
Sedangkan di pihak lain, konsep tersebut menempatkan

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
344

betapa penting peran dan kedudukan wanita di dalam


keluarga.
Fakta kemanusiaan wanita Jawa semacam itulah yang
disikapi pengarang dalam puisi Istri karya Darmanto Jatman.
Pengarang dalam proses penciptaan puisinya itu mengangkat
persoalan yang sama dari sudut pandang yang dipilih. Dari
analisis atas unsur-unsur puisi tersebut dapat dipahami
bagaimana pengarang menempatkan istri (Jawa) pada
kedudukan yang lebih tinggi dan penting. Seorang istri bagi
pengarang adalah lambing kesabaran, kesetiaan, kesuburan,
kedamaian, dan cita kasih. Ia tidak saja dipahami secara
pragmatis sebagai komponen penting dalam keluarga, tetapi
juga dipandang secara spiritual dan metafisis. Nilai-nilai yang
melekat pada wanita jawa, menurut pandangan pengarang,
adalah nilai kemanusiaan, kehormatan, dan filosofis.
Lambang-lambang dan pencitraan yang dipilih pengarang
dalam puisi itu.menggambarkan secara jelas tentang hal
tersebut.
Dengan demikian, pengarang mengambil konsep dan
realitas wanita Jawa sebagai unsur luar yang turut
membangun karya puisinya itu. Konsep dan realitas wanita
Jawa tersebut di pandang dari sikap dan kesadaran sosial
sebagai seorang Jawa. Pandangan seorang Jawa yang
manakah yang dipakai pengarang dalam mengungkapkan
persoalan wanita Jawa dalam puisinya itu?

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
345

3. Pandangan Dunia Pengarang dalam Puisi Istri


Dalam pandangan teori Strukturalisme Genetik, karya
sastra mengungkapkan pandangan dunia pengarang yang
mewakili kelas atau kelompok sosial tertentu. Pandangan
dunia menurut Faruk, merupakan istilah yang merujuk
kepada kompleks menyeluruh dari gagasan-gagasan, aspirasi-
aspirasi, dan perasaan-perasaan yang menghubungkan secara
bersama-sama anggota-anggota suatu kelompok sosial
tertentu dan yang mempertentangkannya dengan kelompok-
kelompok sosial yang lain. (1994: 15-16).
Dalam implentasinya, kajian Strukturalisme Genetik
haruslah sampai pada pemahaman tentang kelas atau
golongan sosial yang mana yang diwakiliki pengarang. Dalam
kaitannya dengan konsep wanita Jawa sebagai subjek
fokalisasi dalam puisi istri ini, pandangan dunia yang
dimaksud akan ditempatkan dalam konteks pandangan
masyarakat tentang hal tersebut.
Puisi Istri merepresentasikan pandangan tentang wanita
Jawa yang diungkapkan pengarangnya. Apabila dicermati
representasi yang ditunjukkan tersebut tampak bahwa
pengarang memiliki koherensi dengan konsep sosial budaya
masyarakat Jawa di mana dia berasal. Wanita Jawa masih
dipandang sebagaimana konsep sosial budaya memandang-
nya. Dengan demikian, pengarang berpijak pada nilai tradisi
yang berlangsung. Dengan kata lain, pengarang mewakili
masyarakat yang masih berpegang teguh pada nilai-nilai
tradisional tentang wanita Jawa. Oleh karena itu, simbol,

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
346

lambang, imaji, dan diksi dalam puisi begitu lekat dan kental
dengan suasana tradisi masyarakat Jawa.
Namun demikian, sikap tradisional yang dipegang oleh
pengarang bukanlah semata-mata kaku dan tertutup, melain-
kan sikap tradisional yang rasional dan terbuka. Ciri
pandangan semacam ini melekat pada golongan masyarakat
Jawa priyayi terpelajar. Golongan atau kelas sosial ini
terbentuk karena mobilitas sosial. Suatu golongan masyarakat
Jawa kelas atas yang terbentuk karena tingkat pendidikan
yang lebih tinggi dari kebanyakan. Oleh karena itu, ciri khas
golongan sosial ini lebih terbuka dan rasional dalam
menghadapi problema kehidupan. Berbeda dengan kelas
priyayi tradisional yang terbentuk karena status ―darah biru”
(bangsawan) dan kedudukannya dalam sistim pemerintahan
feodal (lihat Sartono Kartodirjo, dkk., 1993).. Kelas ini
cenderung kaku dan mempertahankan hubungan sosial
berdasarkan patron-klien dengan kelas sosial di bawahnya..
Jika dikaitkan dengan latar belakang biografi Darmanto
Jatman sebagai pengarang puisi ini, tampak keterkaitan yang
relatif pasti dengan kelas sosial yang tercermin dalam puisi
ini. Sebagai seorang Guru Besar di sebuah perguruan tinggi
dan penulis yang telah mapan di dalam sejarah kesusasteraan
Indonesia, Darmanto Jatman memperoleh kedudukan
sosialnya sebagai seorang pendidik dan intelektual terpelajar.
Dalam struktur sosial masyarakat Jawa, kedudukan Darmanto
Jatman tersebut tergolong dalam kelas priyayi. Dalam konteks
perkembangan modern, golongan ini kemudian disebut
priyayi terpelajar.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
347

Pandangan dunia pengarang sebagai subjek kolektif


priyayi terpelajar yang tercermin dalam puisi istri ini dapat
memberikan gambaran adanya perkembangan dan pergeseran
dalam masyarakat Jawa. Perkembangan dan pergeseran ini
tampak pada munculnya kelas sosial baru, kelas priyayi
terpelajar, sebagai dampak perkembangan modern
masyarakat di bidang pendidikan. Dengan kata lain, pen-
didikan ternyata telah membawa akibat terbentuknya kelas
sosial priyayi yang lebih baru dan rasional. Belum ada istilah
yang tepat untuk menyebut kelas sosial ini selain priyayi
terpelajar, sekaligus membedakan dengan priyayi tradisional.

D. Simpulan
Simpulan yang dapat dirumuskan berdasarkan analisis
Strukturalisme Genetik terhadap puisi Istri karya Darmanto
Jatman adalah sebagai berikut.
1. Sebagai fakta kemanusiaan, puisi berjudul Istri karya
Darmanto Jatman mengungkapkan citra wanita Jawa yang
dipandang dan disikapi secara rasional oleh pengarang-
nya. Pengarang tidak sekedar menempatkan citra wanita
Jawa sebagai suatu mitos (mitos pengukuhan), tetapi juga
dipandang dalam perspekstif yang lebih rasional dan
terbuka. Sebagai mitos, citra wanita Jawa menurut konsep
budaya Jawa hanya terbatas pada peran dan tanggung
jawabnya. Tetapi dalam puisi ini, fakta kemanusiaan
tersebut mendapatkan pemahaman dan interpretasi yang
lebih baru sesuai dengan pandangan dan ideologi
pengarang.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
348

2. Pandangan dunia dan ideologi pengarang yang tercermin


dalam puisi ini adalah sikap keterbukaan dan rasional
dalam memandang wanita (istri) jawa. Wanita Jawa
sebagai seorang istri memperoleh kedudukannya yang
lebih tinggi bila dibandingkan dengan konsep budaya
masyarakat yang melahirkan nilai-nilai tersebut. Dengan
demikian, ada pemaknaan yang lebih baru dan modern
terhadap citra wanita Jawa dalam puisi ini. Dalam konsep
teori Strukturalisme Genetik, pandangan dunia dan
ideologi tersebut bukanlah cermin dari subjek individual
pengarang, tetapi cermin subjek kolektif yang diwakili
pengarangnya.
3. Subjek kolektif kelas atau golongan sosial yang diwakili
pengarang dalam puisi Istri adalah kelas atau golongan
priyayi terpelajar. Golongan sosial ini muncul sebagai
akibat mobilitas sosial (pendidikan) modern. Oleh karena
itu, di dalam memandang dan memaknai hakikat wanita
Jawa lebih rasional dan terbuka sebagai cirri khas
golongan sosial ini. Citra wanita Jawa tidak semata-mata
dipandang sebagai pengukuhan mitos yang sudah ada
sebelumnya, tetapi menciptakan mitos yang baru yang
lebih rasional. Wanita memperoleh kedudukannya yang
tinggi menurut pandangan dunia dan ideologi golongan
priyayi terpelajar ini.
4. Implementasi teori Strukturalis Genetik dalam analisis
karya sastra (puisi) sebagaimana dalam tulisan ini ternyata
memiliki keluasan dalam hasil. Teori ini tidak hanya
memahami pandangan dunia yang dicerminkan dalam

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
349

suatu karya sastra, melainkan juga untuk memahami


perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam konteks
sosial masyarakat di mana karya sastra tersebut berada.
Dengan demikian, implementasinya dapat meluas ke arah
studi kultural secara umum.

*****

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
350

BAB 8

ANALISIS SEMIOTIK
DRAMA KAPAI-KAPAI KARYA ARIFIN C. NOER

A. Latar Belakang Masalah


Naskah drama Kapai-Kapai karya Arifin C. Noer muncul
dalam khazanah kesusasteraan Indonesia, bertepatan dengan
terjadinya konstelasi politik Indonesia, yaitu tumbangnya
Orde Lama dan munculnya Orde Baru. Sebagai konteks
sosiokultural, bukan tidak mungkin karya ini mengungkap-
kan isu sosial yang berkembang dalam situasi seperti itu.
Dalam paradigma sosiologi sastra, fakta objektif menjadi
sumber kreativitas penciptaan karya sastra. Fakta imajiner
merupakan pembiasan secara kreatif dari realitas masyarakat.
Ratna mengemukakan, pada dasarnya, seluruh kejadian
dalam karya, bahkan juga karya-karya yang termasuk ke
dalam genre yang paling absurd pun merupakan prototipe
kejadian yang pernah dan mungkin terjadi dalam kehidupan
sehari-hari. Dengan ciri kreativitas dan imajinasinya, sastra
memiliki kemungkinan yang paling luas dalam mengalihkan

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
351

keragaman kejadian alam semesta ke dalam totalitas naratif


semantis, dari kuantitas kehidupan sehari-hari ke dalam
kualitas dunia fiksional (2003: 35).
Sapardi Joko Damono mengemukakan, sastra me-
nampilkan gambaran kehidupan; dan kehidupan itu sendiri
adalah suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidup-
an menyangkut hubungan antarmasyarakat, masyarakat
dengan orang-seorang, antarmanusia, dan antarperistiwa
yang terjadi dalam batin seseorang. (1984: 1). Gambaran
kehidupan dalam karya sastra merupakan perwujudan dari
hubungan yang tidak terpisahkan antara sastra dengan
masyarakat. Sekaligus, hal itu merupakan perwujudan dari
peran karya sastra sebagai institusi sosial. Sebagai institusi
sosial, karya sastra bukan semata-mata karena diciptakan oleh
masyarakat, tetapi adanya dimensi sosial yang melekat pada
karya sastra itu. Karya sastra bukan hanya dibangun oleh
struktur formalnya, melainkan juga struktur sosial. Tokoh dan
penokohannya, peristiwa yang diceritakan, bahasa sebagai
medium, dan nilai-nilai yang terkandung dalam pesan dan
amanat karya sastra, merupakan bias kualitas dan kuantitas
struktur sosial.
Keterlibatan karya sastra dengan struktur sosial, ter-
masuk medium bahasa dengan peralatan struktur instrinsik-
nya, sesungguhnya merupakan keterlibatan secara tidak
langsung, keterlibatan konseptual (Ratna, 2003: 91). Selalu
terdapat jarak estetis dalam hubungan antara karya sastra
dengan masyarakat. Sedekat apapun karya sastra dengan
struktur sosialnya, selalu terjadi proses fiksionalisasi dan

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
352

imajinasi. Fiksionalisasi dan imajinasi merupakan ciri utama


karya sastra. Kedua aspek tersebut menjadi syarat utama
sebuah wacana disebut sastra. Dengan demikian, di satu pihak
karya sastra terlibat dalam persoalan-persoalan sosial
masyarakat, di lain pihak, karya sastra menampilkan
fenomena fiksional dan imajinatif. Dua kutup yang
berseberangan inilah memunculkan jarak estetis. Hubungan
struktur karya sastra dengan struktur sosial dengan demikian
memerlukan mediasi yang menjembatani keduanya.
Dalam konsep teori semiotik, wacana sastra
merupakan sistem struktur tanda yang terdiri antas penanda
(signifier) dan petanda (signified). Model Semiotika Roland
Barthes, salah seorang tokoh teori semiotik, tidak hanya
diterapkan pada analisis bahasa sebagai salah satu aspek
kebudayaan, tetapi juga dapat digunakan untuk menganalisis
unsur-unsur kebudayaan. Semiotik yang dikembangkan
Barthes juga disebut dengan semiotika konotatif. Terapannya
pada karya sastra tidak sekadar membatasi diri pada analisis
secara semiosis, tetapi juga menerapkan pendekatan konotatif
pada berbagai gejala kemasyarakatan. Di dalam karya sastra ia
mencari arti ‘kedua‘ yang tersembunyi dari gejala struktur
tertentu (Zoest, 1993: 4). Dalam kerangka teori semiotik
tersebut, dimensi sosial dan fiksional-imajinatif sastra dapat
ditempatkan sebagai sistem struktur tanda semiotik.
Bagaimana karya sastra menghadirkan sistem tanda semiotik
sebagai reproduksi struktur sosial masyarakat yang
melatarbelakanginya.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
353

Dengan demikian, jalur pemahaman naskah Kapai-


Kapai membuka wilayah paradigma sosiologi sastra. Bagi
Arifin C. Noer, Kapai-kapai merupakan bentuk komunikasi
dengan masyarakatnya melalui medium konvensi sastra
(drama). Kapai-Kapai menjadi suara Arifin C. Noer tentang
betapa buruknya kondisi Abu, tokoh sentral Kapai-kapai,
dalam memandang hidup dan kehidupannya. Secara tidak
langsung menyuarakan gagasan, pikiran, dan ideologi Arifin
C. Noer tentang bagaimana memandang kehidupan sosial
masyarakat saat karyanya itu diciptakan. Hal itu
mengkonotasikan (sebagai tanda) suatu makna yang
melampaui batas-batas tekstual dalam sistem bahasa.
Kondisi kemiskinan dan penderitaan yang dialami
tokoh utama dalam karya ini, tidak saja dilatarbelakangi
kebodohan dalam menyikapi hidup dan kehidupannya, tetapi
juga kondisi sosial masyarakat yang menghimpitnya.
Keterlenaan Abu dalam mimpi-mimpinya, minimnya
pemahaman religiusitas, kebodohan dalam berfikir dan
bersikap, dan keadaan zamannya yang tidak menguntungkan
bagi status sosial seperti Abu, menjadi latar belakang
ketidakkuasanya tokoh utama ini mengatasi keadaanya itu.
Jika kemudian Abu menemui ajalnya dalam keadaan seperti
itu, nampaknya pembaca harus tergelitik untuk respek pada
substansi pemikiran, gagasan, dan pandangan Arifin C. Noer
sebagai pengarangnya.
Kapai-Kapai karya Arifin C. Noer ini merupakan naskah
drama bergaya surealis yang sarat dengan simbol-simbol.
Secara semiotik, simbol-simbol tersebut merupakan struktur

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
354

hirarki sistem tanda yang dihadirkan pengarangnya untuk


mengungkapkan pemikiran, gagasan, dan pandangannya
secara konotatif. Simbol-simbol tersebut mengandung makna
sebagai mitos dalam konteks sosial masyarakat Indonesia. Di
sinilah peranan teori semiotik Roland Barthes tentang mitos
sebagai sistem tanda, sangat penting. Dengan demikian, kajian
terhadap naskah Kapai-kapai ini harus membongkar dan
memaknai simbol-simbol tersebut sebagai struktur sistem
tanda terlebih dahulu agar dengan mudah dapat difahami
pemikiran, gagasan, dan pandangan sosial (dunia)
pengarangnya.
Dalam kerangka Semiotik, apa yang diungkapkan
dalam Kapai-Kapai menunjuk pada seperangkat tanda-tanda
yang saling berhubungan untuk membentuk kualitasnya
sebagai karya sastra. Roland Barthes, sebagai salah satu
pelopor teori semiotik, mengemukakan, sebagai sistem
semiotik, seperangkat tanda-tanda tersebut adalah
signification, yang merupakan kesatuan antara bentuk dan
konsep. Strukturnya sama dengan tanda yang merupakan
kesatuan antara signifier dan signified. Oleh karena itu,
pemahamannya meliputi identifikasi ketiga unsur-unsur hal
tersebut (Sunardi, 1999).
Jika demikian, jalur pemahaman karya sastra (naskah
drama Kapai-Kapai) tidak berhenti pada konsep yang
memaknai dalam kerangka sistem linguistik, tetapi juga dalam
sistem struktur tanda semiotik. Analisis linguistik terhadap
wacana/teks perlu ditindaklanjuti untuk memahami tanda-
tanda yang bermakna konotatif.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
355

Teori semiotik sesungguhnya berangkat dari landasan


berfikir strukturalisme.Lebih tepatnya dikatakan bahwa
semiotik muncul sebagai reaksi terhadap strukturalisme.
Sebagai gerakan intelektual, teori ini tidak puas terhadap
pemikiran strukturalisme murni yang mengesamping aspek
eksternal karya sastra, yaitu: masyarakat, pengarang, dan
pembacanya (baca: Sunardi, 1999; Hudayat, 2007; dan Barthes,
2004). Teori Semiotik memiliki pijakan dalam memandang
karya sastra sebagai sistem yang menyeluruh yang
memanifestasikan sistem struktur, baik secara linguistik
maupun semiotik.
Bagi Barthes, tanda simbolik memenuhi kebutuhan
manusia akan pengalaman metafisis, otentisitas, kemutlakan,
dan keabadian. Pribadi yang kaya dengan tanda-tanda
simbolik akan merasa solid, dan masyarakat yang disatukan
dengan hubungan simbolik mempererat atau menyatukan
keanekaragaman. Kesadaran simbolik berguna untuk meng-
integrasikan antara yang lahir dan yang batin, tampak dan
tidak tampak, permukaan dan dasar. (Sunardi, 2002). Namun
demikian, hubungan simbolik juga menyarankan hubungan
paradigmatik (hubungan dalam genus atau kelas yang sama;
in absentia) dan sintagmatik (hubungan fungsional antara
tanda-tanda tersebut).
Hal itulah yang kemudian menjadi kerangka teori dalam
menganalisis naskah drama Kapai-Kapai karya Arifien C. Noer.
Keanekaragaman dan variasi dalam teori semiotik yang
selama ini ada, memungkinkan untuk memilih teori semiotika
Roland Barthes sebagai salah satu varian. Dalam kerangka

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
356

penelitian yang ada sebelumnya, penelitian terhadap naskah


Kapai-Kapai tidak banyak dilakukan. Tetapi dalam konteks
penggarapan pertunjukan teater, naskah ini telah banyak
dilakukan oleh komunitas teater Indonesia ( salah satunya
adalah penulis sebagai sutradara, 2007). Salah satu penelitian
ilmiah terhadap karya ini adalah, Semangat „Dérision‟ dalam
Drama Kontemporer: Telaah Bandingan Dua Lakon "Kapai-Kapai"
Karya arifin C Noer dan "Badak-Badak" Karya Eugène Ionesco
(Disertasi Talha Bachmid, Fakultas Pascasarjana UI Jakarta,
2007).
Naskah drama ini memang memiliki daya tarik untuk
difahami, baik dalam bentuk penelitian maupun proses
pertunjukkan teater. Dalam konteks penelitian sebelumnya,
tulisan ini memiliki perbedaan dalam dua hal. Pertama, tulisan
ini berusaha untuk menyesuaikan dengan gaya dan
karakteristik objek analisis. Dengan menyadari bahwa sebagai
objek analisis, naskah drama Kapai-Kapai sarat dengan simbol,
tanda, ungkapan, idiom, dan mitos dengan gaya ugkapan
yang surealis, maka pemahamannya harus mampu
mengungkapkan makna dan konsep di balik permukaannya
yang eksplisit itu. Kedua, relevan denga teori semiotik Barthes,
kajian ini berusaha mengungkap tabir sistem mitis dan
ideologis di dalam karya sastra ini berkaitan dengan
sosiokultural masyarakat Indonesia.

B. Rumusan Masalah
Problematika kemiskinan yang diangkat dalam naskah
drama Kapai-Kapai ini merupakan fakta kemanusian yang
dipandang dari sudut keterhubungannya dengan struktur
SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
357

sosial. Sebagai struktur sistem tanda semiotik, bagaimanakah


naskah Kapai-kapai ini menghadirkan struktur tanda-tanda
untuk mengungkapkan makna secara primer (linguistik) dan
makna sekunder (konotatif; semiotik). Hal inilah yang menjadi
fokus kajian ini. Spesifikasi permasalahan ini dapat
dikemukakan sebagai berikut.
1. Bagaimanakah sistem struktur tanda semiotik yang
terkandung dalam naskah Kapai-Kapai karya Arifien C.
Noer?
a. Sistem Struktur Tanda Semiotik Tingkat Pertama
(denotatif;sistem linguistik).
b. Sistem Struktur Tanda Semiotik Tingkat Kedua
(konotatif; sistem semiotik).
2. Sebagaimana teori semiotik Barthes, bagaimana tanda-
tanda dalam naskah Kapai-Kapai tersebut bertindak sebagai
mitos?
3. Bagaimana mitos tersebut menyediakan fungsinya untuk
mengungkap dan membenarkan atau menolak nilai-nilai
dominan yang ada dalam masyarakat?

C. Rancangan Penelitian
1. Paradigma Penelitian
Meskipun semiotik berada dalam peralihan antara
strukturalisme dengan pascastrukturalisme, tetapi kajiannya
masih kental ke dalam strukturalisme. Demikian juga, teori
ini mengambil dasar pemikiran strukturalisme dari para
peletak dasar teori strukturalisme. Dengan demikian, pe-
nelitian ini berada dalam wilayah paradigma strukturalisme.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
358

Strukturalisme pada dasarnya merupakan cara berfikir


tentang dunia yang terutama berhubungan dengan tanggapan
dan deskripsi struktur-struktur. Strukturalisme sebenarnya
merupakan paham filsafat yang memandang dunia sebagai
realitas berstruktur. Dunia sebagai suatu hal yang tertib,
sebagai sebuah relasi dan keharusan. Jaringan relasi ini
merupakan struktur yang bersifat otonom (Endraswara, 2003:
49). Sedangkan Sutrisno (2005: 113-114) mengatakan bahwa
strukturalisme adalah aliran pemikiran yang mencari struktur
terdalam dari realitas yang tampak kacau dan beraneka ragam
di permukaan secara ilmiah (objektif, ketat, dan berjarak).
Sedangkan seorang pelopor strukturalisme, yang juga seorang
tokoh antropologi, Claude Levi-Strauss, mengatakan bahwa
strukturalisme merupakan suatu cara mencari realitas dalam
hal-hal (benda-benda) yang saling berjalinan antara
sesamanya, bukan dalam hal-hal yang bersifat individu
(dalam Suroso dkk., 2009: 80).
Ciri khas strukturalisme ialah pemusatan pada deskripsi
keadaan aktual obyek melalui penyelidikan, penyingkapan
sifat-sifat instrinsiknya yang tidak terikat oleh waktu dan
penetapan hubungan antara fakta atau unsur-unsur sistem
tersebut melalui penyelidikan. Strukturalisme menyingkapkan
dan melukiskan struktur inti dari suatu obyek (hirarkinya,
kaitan timbal balik antara unsur-unsur pada setiap tingkat)
(Bagus, 1996: 1040)
Selain itu, (lihat Hudayat, 2007 dan Suroso dkk, 2009),
sesuatu dikatakan mempunyai struktur apabila ia membentuk
suatu kesatuan yang utuh, bukan merupakan jumlah dari

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
359

bagian-bagian semata. Hubungan antarbagian di dalam


struktur tidak bersifat kuantitatif, melainkan kualitatif.
Artinya, apabila suatu bagian dihilangkan, keutuhan sesuatu
itu tidak sekedar berkurang, melainkan rusak sama sekali.
Selain itu, strukturalisme juga percaya bahwa suatu struktur
mempunyai daya transformasi dan regulasi diri. Semua
dikatakan berstruktur apabila ia dapat melakukan perubahan,
tanpa harus kehilangan keutuhan dirinya, fungsi utama yang
menjadi tujuan atau pusat strukturasinya. Sesuatu dikatakan
berstruktur apabila ia mempunyai kemampuan untuk
mengatakan kemungkinan gangguan dan pengaruh dari luar
dengan caranya sendiri.
Keseluruhan pengertian tersebut menunjukkan bahwa
strukturalisme pada hakikatnya merupakan cara pandang
tentang sesuatu hal sebagai sebuah sistim struktur yang
dibangun dari relasi fungsional antar unsur-unsurnya. Sistem
struktur yang otonom dan yang memiliki regulasi sendiri
dalam mengatur kualitasnya. Struktur segala sesuatu di dalam
dunia membangun dunianya sendiri, mekanisme sendiri,
untuk menjalankan fungsi-fungsinya sendiri, terlepas dari
berbagai kemungkinan pengaruh dari luar. Sesuatu dipahami
sebagai kekuatan yang mampu membangun, mengembang-
kan, dan mempertahankan dirinya sendiri dengan caranya
sendiri pula.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
360

2. Teori Semiotika Roland Barthes


Teori yang digunakan sebagai landasan pemahaman
dalam penelitian ini adalah Teori Semiotika yang dikemuka-
kan oleh Roland Barthes.
Barthes merupakan tokoh intelektual dan filsuf Perancis
yang gagasannya berada pada fase peralihan dari fase
Strukturalis dan Pascastrukturalisme. Posisi pemikiran
Barthes dalam sejarah intelektual Barat dan Eropa ini nampak
pada usahanyanya untuk mengkonvergensi pemikiran
Strukturalisme dalam linguistik, yang dikemukakan oleh
Ferdinand de Saussure, dengan studi kebudayaan. Titik temu
keduanya dapat dilihat dalam beberapa tema dan terminologi
yang ia pakai (Sutrisno & Putranto,2005)
1. Langue/parole: distingsi yang dicetuskan oleh Sassure ini
tidak hanya dapat dipakai dalam fenomena liuistik tetapi
juga dalam konteks semiotik.
2. Signifier/signified: distingsi Sausserian tentang benda atau
konsep yang dihadirkan melalui ―yang ditandakan‖
(signified), dan tanda yang menghadirkan (signifier/
petanda) bagi Barthes merupakan sesuatu yang esensial
dalam sistem penandaan (sign system).
3. Syntagm dan system yang pertama mengacu pada cara
bagaimana tanda-tanda disusun melintasi waktu dalam
satu susunan. Oleh karenanya, setiap bagian dalam hal ini
mengambil nilai terhadap lawannya, sementara yang
kedua yakni sistem, mengacu pada perlawanannya yang
bisa diganti atau kadang dilihat sebagai paradigma.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
361

4. Denotation dan connotation: keduanya mengacu ‖pada


tatanan makna kata‖ (orders of signification). Yang pertama
pda makna kata lugas atau literal, dalam arti menjelaskan
sesuatu sebagaimana adanya (denotasi). Yang lain
menggunakan arti kiasan (konotasi), dan dalam arti
tertentu melibatkan semacam meta bahasa. Denotasi
berada dalam tingkatan proses yang lebih rendah.
Roland Barthes (1915 - 1980) menerapkan model De de
Saussure dalam penelitiannya tentang karya-karya sastra dan
gejala-gejala kebudayaan, seperti mode pakaian. Bagi Barthes
komponen-komponen tanda penanda-petanda terdapat juga
pada tanda-tanda bukan bahasa, antara lain terdapat pada
bentuk mite yakni keseluruhan sistem citra dan kepercayaan
yang dibentuk masyarakat untuk mempertahankan dan
menonjolkan identitasnya. Selanjutnya Barthes menggunakan
teori signifiant - signifie yang dikembangkan menjadi teori
tentang metabahasa dan konotasi (baca: Sunardi, 2002;
Barthes, 2004).
Istilah signifiant menjadi ekspresi (E) dan signifie menjadi
isi (C). Namun Barthes mengatakan bahwa antara E dan C
harus ada relasi (R) tertentu, sehingga membentuk tanda.
Konsep relasi ini membuat teori tentang tanda lebih mungkin
berkembang karena relasi ditetapkan oleh pemakai tanda.
Menurut Barthes, ekspresi dapat berkembang dan membentuk
tanda baru, sehingga ada lebih dari satu dengan isi yang sama.
Pengembangan ini disebut sebagai gejala metabahasa dan
membentuk apa yang disebut kesinoniman (synonymy). Setiap
tanda selalu memperoleh pemaknaan awal yang dikenal

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
362

dengan dengan istilah denotasi dan oleh Barthes disebut


sistem primer. Pengembangannya disebut sistem sekunder.
Sistem sekunder ke arah ekspresi disebut metabahasa dan
bersifat konotatif. Konsep konotasi ini tentunya didasari tidak
hanya oleh paham kognisi, melainkan juga oleh paham
pragmatik yakni pemakai tanda dan situasi pemahamannya.
Dalam kaitan dengan pemakai tanda, kita juga dapat
memasukkan perasaan sebagai aspek emotif sebagai salah
satu faktor yang membentuk konotasi. Model Barthes,
demikian juga model De de Saussure, tidak hanya diterapkan
pada analisis bahasa sebagai salah satu aspek kebudayaan,
tetapi juga dapat digunakan untuk menganalisis unsur-unsur
kebudayaan. Semiotik yang dikembangkan Barthes juga
disebut dengan semiotika konotatif. Terapannya juga pada
karya sastra tidak sekadar membatasi diri pada analisis secara
semiosis, tetapi juga menerapkan pendekatan konotatif pada
berbagai gejala kemasyarakatan. Di dalam karya sastra ia
mencari arti ‘kedua‘ yang tersembunyi dari gejala struktur
tertentu (Zoest, 1993:4).
Salah satu bukunya yang terbaik untuk mengilustrasi-
kan pendekatan Barthes tentang studi tanda-tanda semiotik
adalah Mythologies. Dalam bukunya ini dikemukakannya
konsep-konsep pemikirannya tentang tanda-tanda yang
berpijak pada pemikiran Ferdinand de Saussure dan
menghubungkannya dengan krtik ideologi (Sunardi,2002).
Dengan demikian, pemikiran Roland Barthes merupakan
strukturalisme yang diperluas.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
363

Menurut Barthes, tanda-tanda dalam budaya bukanlah


sesuatu yang polos dan murni (innocent), namun sebaliknya.
Tanda-tanda justru memiliki kaitan yang kompleks dengan
reproduksi ideologi (Sutrisno & Putranto, 2005: 118). Dalam
kaitannya dengan pemikikirannya tentang ideologi, Barthes
mengemukakan teorinya tentang mitos. Mitos adalah salah
satu jenis sistem semiotik tingkat dua (Sunardi, 2002). Dengan
demikian, kajian semiotik terhadap teks dikaitkan dengan
konteks yang melatarbelakanginya.
Anang Hermawan mengemukakan, pengkajian
tentang konteks dalam pemaknaan barangkali merupakan
sebuah kerja yang menarik. Bukan saja karena dimensi
kontekstual yang berbeda akan melahirkan makna yang
berbeda; melainkan juga bahwa sebuah analisis semiotika
akan mampu menggali hal-hal yang sifatnya subtle dari
penggunaan bahasa seperti halnya tentang seperangkat nilai
atau bahkan ideologi yang tersembunyi di balik penggunaan
bahasa. Pada tingkat ini, semiotika seringkali ditunjuk sebagai
model awal dari analisis yang mampu menampilkan
bekerjanya ideologi dalam teks (2008, Mitos dan Bahasa Media:
Mengenal Semiotika Roland Barthes http://abunavis.wordpress.
com)
Sebagai sistem semiotik, mitos dapat diuraikan ke dalam
tiga unsur, yaitu: signifier, signified, dan sign. Ketiga unsur
tersebut merupakan sistem semiotik tingkat kedua. Untuk
menghasilkan sistem mitis, sistem semiotik tingkat dua
mengambil sistem semiotik tingkat pertama (denotatif/

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
364

linguistik), yang oleh Barthes terdiri atas form, concept, dan


signification.
Namun demikian, pemahaman terhadap mitos tersebut
ditempatkan dalam konteks sejarahnya. Mitos dalam wacana
dan media mengandaikan pengetahuan tentang sejarah.
Sistem mitos dalam konteks sejarah inilah oleh Barthes
ditempatkan dalam sistem semiotik tingkat kedua dan
dihasilkan dari sistem semiotik tingkat pertama (sistem
denotasi; linguistik).
Wujud mitos dalam kajian semiotik dapat diketemukan
dalam ungkapan-ungkapan singkat padat penuh makna atau
maxim (contoh: ucapan seorang tokoh, atau aforisme dan
metonimi). Ungkapan-ungkapan ini mempunyai kekuatan
untuk menjadi mitos karena bentuk ungkapan ini memiliki
makna atau konsep baru. Pada tingkat semiotik tingkat
pertama, ungkapan-ungkapan tersebut (sebagai form)
memiliki makna denotatif (linguistik) yang merujuk pada
objek (concept). Pada sistem semiotik tingkat dua, objek
(concept) pada sistem tingkat pertama diambil sebagai signifier
(penanda) yang memiliki makna (signified;petanda) yang
disebut oleh Barthes sebagai mitos. Dengan demikian, mitos
adalah sejenis metabahasa (Sunardi, 2002: 110). Dan sistem
mitos inilah yang yang siap dipakai untuk aktualisasi ideologi.
Dapat dikatakan bahwa hubungan antara signifier
(penanda) dan signified (petanda) dalam sistem semiotik
tingkat dua oleh Barthes disebut sebagai sistem mitis. Sistem
mitis ini bersifat distorsif dan intensional. Sifat distorsif
merujuk pada pengertian bahwa konsep yang dihasilkan dari

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
365

sistem linguistik (sistem semiotik tingkat pertama)


mengasingkan makna dari tanda tingkat pertama tersebut.
Sedangkan sifat intesional menggambarkan sapaan (maksud)
yang hadir karena hadirnya suatu mitos. Artinya, mitos yang
dicptakan sesungguhnya memiliki maksud untuk sasaran
mitos tersebut; penyampai kepada penerima pesan dalam
tindak komunikasi.
Hubungan antara signifier dan signified melalui
pengkombinasian, yang oleh Barthes disebut dengan kode.
Kode menurut Poedjosoedarmo, dalam terminologi
sosiologuistik, ialah variasi tutur yang memiliki bentuk khas,
serta makna yang khas pula (1986: 27). Sedangkan menurut
Jacobson, Fungsi teks-teks yang menunjukkan pada sesuatu
(mengacu pada sesuatu) dilaksanakan berkat sejumlah kaidah,
janji, dan kaidah-kaidah alami yang merupakan dasar dan
alasan mengapa tanda-tanda itu menunjukkan pada isinya.
Tanda-tanda ini merupakan sebuah sistem yang dinamakan
kode (dalam Hartoko, 1992: 92). Kode pertama yang berlaku
pada teks-teks ialah kode bahasa yang digunakan untuk
mengutarakan teks yang bersangkutan sebagai sistem
lambang primer. Kode bahasa itu dicantumkan dalam kamus
dan tata bahasa. Selain itu, teks-teks tersusun menurut kode-
kode lain yang disebut kode sekunder. Struktur cerita,
prinsip-prinsip drama, bentuk-bentuk argumentasi, sistem
metrik, itu semua merupakan kode-kode sekunder yang
digunakan dalam teks-teks untuk mengalihkan arti.
Di sisi yang lain, Roland Barthes juga mengemukakan
tentang hubungan signifier dan signified ke dalam hubungan

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
366

simbolik, paradigmatik, dan sintagmatik. Hubungan simbolik


adalah hubungan antara tanda dengan dirinya sendiri; tanpa
kehadiran tanda-tanda yang lain. Hubungan paradigmatik
adalah hubungan antara tanda dengan tanda-tanda yang lain
yang satu kelas (genus). Sedangkan hubungan sintagmatik
adalah hubungan tanda dengan tanda-tanda yang lain, yang
mendahului atau yang hadir setelah tanda itu, secara
fungsional (Sunardi, 2002).

3. Metode dan Teknik


Sebagaimana disarankan oleh teori Semiotik, metode
dalam penelitian ini menggunakan metode heuristik dan
hermeneutik. Metode heuristik dipakai untuk memahami teks
karya sastra sebagai sistem struktur tanda tingkat pertama
(denotatif). Sebagai sistem struktur tanda, teks sastra
merupakan sistem primer. Sistem primer ini mengacu pada
pemaknaan linguistik-denotatif sebagai sistem struktur tanda
tersebut. Dengan demikian, metode heuristik dipakai untuk
memaknai pengertian kebahasaan dalam teks sastra. Bahasa
yang dipakai dalam teks sastra diberikan maknanya secara
denotatif (makna sebenarnya).
Sedangkan metode hermeneutik digunakan untuk
menganalisis sistem struktur tanda semiotik tingkat kedua
(konotatif). Metode ini dianggap sebagai metode ilmiah paling
tua yang sudah ada sejak zama Plato dan Aristoteles. Mula-
mula metode ini berfungsi untuk menafsirkan kitab suci.
Hermeneutik modern baru berkembang sejak abad ke-19
melalui gagasan Schleiermacher, Dilthey, Heidegger,
Gadamer, Habermas, Ricoeur, dan sebagainya. Dalam sastra
SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
367

dan filsafat, hermeneutik disejajarkan dengan interpretasi,


pemahaman, verstehen, dan retroaktif. Dalam ilmuilmu sosial
juga disebut metode kualitatif, analisis isi, alamiah,
naturalistik, studi kasus, etnografi, etnometodologi, dan
fenomenologi. Metode ini ini tidak mencari makna yang benar
melainkan makna yang paling optimal.
Adapun teknik pemerolehan data yang digunakan
dalam penelitian ini mengarah pada simak catat dan analisis
data menggunakan diskripsi interpretatif dan eksploratif.
analsis ini dipusatkan pada eksplorasi hubungan antara
makna tanda semiotik tingkat pertama dengan konteks
sosiokultural yang lebih luas. Dalam pembahasan dicari
hubungan-hubungan antara apa yang dikemukakan dalam
obyek dengan situasi yang berkembang di masyarakat pada
saat novel itu diciptakan. Sehingga, ujung analisisnya
diharapkan dapat menemukan makna semiotis tingkat kedua
sebagai makna konseptual.

D. Analisis
Berdasarkan kerangka teori di atas, analisis semiotik
terdiri atas dua tahap, yaitu tahap analisis sistem struktur
tanda semiotik tingkat pertama (denotatif/linguistik) dan
tahap analisis sistem struktur tanda tingkat kedua
(konotatif/semiotik). Pada tahap pertama dilakukan pem-
bacaan teks sastra secara heuristik untuk menemukan makna
linguistik. Oleh Barthes pemaknaan pada tahap ini merupa-
kan sistem lambang primer (teks sebagai bahasa). Sedangkan
pada tahap kedua dilakukan pembacaan hermeneutik untuk
menemukan makna konseptual (konotatif) sebagaimana yang
SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
368

diisyaratkan oleh teori semiotik. Tahap ini pemaknaan kode-


kode sekunder dilakukan berdasarkan sistem lambang/kode
primer. Oleh Barthes sistem struktur tanda tingkat kedua
(primer) ini disebut juga dengan sistem primer. Pemaknaan
secara konotatif ini ingin menghadirkan mitos dibalik
hubungan tanda-tanda, di mana konsep pada sistem primer
(tingkat pertama) menjadi penanda pada sistem sekunder
(tingkat kedua).

1. Sistem Struktur Tanda Semiotik


Tingkat Pertama
Pada sub-bab ini akan dianalisis secara heuristik
terhadap naskah Kapai-Kapai karya Arifin C. Noer. Secara
semiotis, setiap tanda selalu memperoleh pemaknaan awal
yang disebut dengan sistem primer. Sebagaimana yang
diungkapkan dalam teori semiotik Barthes, tanda-tanda yang
terkandung dalam teks merupakan simbol yang bermakna
(form-consept). Berikut ini analisis terhadap tanda-tanda yang
terkandung dalam teks drama Kapai-Kapai karya Arifin C.
Noer.

a. Unsur Penokohan
Sebagai Tanda Semiotik
Apabila dikelompokkan berdasarkan kategori penokoh-
an, sebagaimana yang dikemukakan dalam teori sastra (lihat
Waluyo, Herman J., 1994;, Burhan, 2000; dan Tarigan, Henry
Guntur, 1982), teks drama Kapai-Kapai karya Arifin C. Noer ini
memiliki tiga kategori. Pertama, tokoh sentral-protagonis yang
meliputi: Abu, Iyem, dan Gelandangan. Kedua, tokoh sentral-
SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
369

antagonis yang meliputi: Emak, Majikan, dan Kelam. Ketiga,


tokoh tambahan yang meliputi: Bulan, Bel, Robot gelandang-
an, Burung, Katak, Rumput, Embun, Air, Batu, Jangkerik,
Kambing, Pohon, dan kakek. Berikut ini analisis ketiga jenis
penokohan tersebut.

1) Tokoh Sentral-Protagonis
Dari ketiga tokoh sentral-protagonis, tokoh Abu
memegang perananan yang sangat penting dalam
keseluruhan cerita. Tokoh ini merupakan tokoh utama di
mana cerita dan adegan dalam naskah ini mengarah pada
dirinya. Sedangkan Iyem dan gelandangan memiliki peranan
yang penting dalam kaitannya dengan tokoh Abu. Hubungan
ketiganya menyarankan hubungan paradigmatis; ketiga tokoh
tersebut memiliki kelas yang sama sebagaimana kelas tokoh
Abu.
Abu adalah seorang pesuruh kantor pada sebuah pabrik.
Sebagai seorang pesuruh, ia tempat umpatan, hinaan,
lemparan kesalahan, dan perlakuan yang tidak adil dari
majikannya.

1. Yang Kelam : Ini adalah tahun 1930 dan bukan tahun


1919. Kau harus segera mengenakan
pakaian pesuruhmu. (Keluar)

Setelah ia mengenakan pakaiannya sebagai pesuruh


kantor, terdengar gemuruh suara
pabrik.
Majikan : Abu!
SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
370

Abu : Hamba, Tuan


Majikan : Abu!
Abu : Hamba, Tuan
Majikan : Abu!
Abu : Hamba, Tuan
Majikan : Abu!
Abu : Hamba, Tuan
Majikan : Abu!
Abu : Hamba, Tuan
Majikan : Abu!
Abu : Hamba, Tuan
Majikan : Abu!
Abu : Hamba, Tuan
Majikan : Bangsat kamu! Kerja sudah hampir tiga
tahun masih saja kamu melakukan
kesalahan yang sama. Lebih bodoh kamu
daripada kerbau! (Keluari)
Suara-suara hilang
Ia tersedu menangis (p.9-10)

2. Majikan : Abu!
Abu : (Diam)
Majikan : Anjing!
Abu : Ya, Tuan.
Majikan : Anjing!
Abu : Ya, Tuan.
Majikan : Anjing!
Abu : Ya, Tuan.
Majikan : Anjing!

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
371

Abu : Ya, Tuan.


Abu merangkak
Majikan : Ini pesangonmu! Keluar! Hancur
perusahaan! (p.45)

3. Abu : Dulu waktu saya masih bekerja di


Percetakan betul-betul saya sial. Hampir
setiap jam saya kena marah.
Bel : Kenapa begitu?
Abu : Tuan saya dulu mempunyai mulut yang
lebar tapi suaranya seperti cicit tikus.
Setiap dia memanggil saya selalu seperti
tersumbat lehernya. Karenanya setiap
kali ia hanya menghasilkan suara yang
hanya bisa didengar setan. Tentu saja
sangat kerap terjadi saya tidak segera
mendengar panggilannya dan akhirnya
dia marah-marah. Padahal kalau dia
tahu diri, satu-satunya yang patut
dimarahi adalah lehernya. (p.50)

Sebagai pesuruh, Abu juga harus tunduk pada semua


perlakuan yang dibebankan padanya dari majikannya.
Kutipan berikut menggambarkan bagaimana sosok Abu
sebagai pesuruh yang harus taat dan tunduk pada perintah
majikan.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
372

Gemuruh mesin
Sebuah Kantor
Pekerja-pekerja
Suara-suara Bel
Majikan II : Jadi kau adalah……….
Abu : Ya, Tuan.
Majikan II : Kau jangan lupa. Kau adalah………..
Abu : Saya, Tua.
Majikan II : Apapun yang terjadi kau adalah…….
Abu : Saya, Tuan.
Majikan : Siapa namamu?
Abu : Abu, Tuan.
Majikan II : Bukan. Kau adalah…….
Abu : Saya, Tuan.
Majikan II : Hafalkan itu.
Abu : Saya, Tuan.
Majikan II : Bagaimana?
Abu : ………..
Majikan : bagus. Berapa jumlahnya?
Abu : Dua pendek satu panjang. (p.47-48)

Dalam kedudukan sosial sebagai seorang pesuruh, Abu


dan keluarganya tergolong berstatus ekonomi di bawah garis
kemiskinan. Ia harus mengalami kehidupan bersama Iyem,
istrinya, dalam penderitaan karena kemiskinannya itu.

Iyem : Kau jangan diam saja kayak


sandal dobol.
SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
373

Abu : Ada apa?


Iyem : Kau betul-betul sandal dobol. Hujan
begini deras. Air sudah sampai lutut.
Rumah ini seperti tak beratap. Wahai,
mana pula langit? Ini bukan lagi bocor.
Ya Tuhan. Dengan apa mesti kita
hentikan hujan jahanam ini? Terlalu
banyak musuh kita. Di darat. Di udara.
Tuhan. Tuhan
Abu : ……………
Iyem : Ya Tuhan. Dosa apa lagi? Tidak perlu
menunggu satu jam untuk melihat
banjir dalam rumah ini. Ya Tuhan apa-
apaan ini? Amben ini sangat buruk,
akan Kaulempar ke mana? Kauombang-
ambingkan kursi dekil ini. Nek, nek, di
mana kau? Ya Tuhan. Dan ini, gombal-
gombal ini. Pakaian buruk ini.
Bagiannya yang mana lagi yang akan
Kausobek? (p.34-35).

Karena kemiskinannya itu pula ia dan istrinya merasa-


kan kelaparan yang luar biasa. Bahkan dalam kasih sayangnya
sebagai seorang ayah dan ibu, mereka harus tega membunuh
orok yang baru lahir.

Abu : Kita harus tahan. Setidaknya satu hari


lagi. Anggap saja puasa.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
374

Iyem : Ini hari yang kelima. Lapar. Lapar.


Lapar. Lapar. Lapar.
Abu : Jangan dihitung
Iyem : Kaki saya mulai bengkak.
Abu : Nek. Nek.
Iyem : Kek. Kek.
Abu : Mereka pun tak akan dapat menolong.
Iyem : Kita bunuh saja.
Abu ; Kelinci yang malang.
Iyem : Kita bunuh saja.
Abu : Matanya.
Iyem : Jangan tatap. Kita bunuh saja. Kita
bunuh saja.
Abu : Orok itu akan mati juga.
Iyem : Tapi secara perlahan.
Abu : Anakku yang malang, semoga kau yang
terakhir.
Iyem : Tapi dia lahir juga. (p.52-53)

Sosok Abu, di samping sebagai orang berstatus sosial


rendah dan ekonomi bawah, adalah tokoh yang bodoh. Dalam
keadaan yang serba tertindas dan menderita, Abu ter-
kungkung oleh mimpi-mimpi dan harapannya. Dalam naskah
drama ini diceritakan bagaimana Abu terobsesi pada
mimpinya menjadi seorang pangeran rupawan sebagaimana
dongeng emak (halaman 7-14); menjadi seorang kesatria yang
gagah berani melawan jin penculik putri cina (halaman 37-40);
dan menjadi Ali Baba (pen. tokoh pahlawan dalam dongeng
masyarakat Parsi) yang ingin menggapai ujung dunia
SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
375

(halaman 40-44). Mimpi-mimpi dan harapannya untuk


memperoleh Cermin Tipu Daya. Dengan Cermin Tipu Daya
itulah ia akan kaya raya, berkuasa, dan menjadi seorang
kesatria (halaman 13-14, 30, 36, 42). Oleh karena itulah, Abu
bersama Iyem sebagai seorang gelandangan yang
mengembara dalam penderitaan untuk mencapai ujung dunia
(halaman 66-70)..

Abu : Kalau begitu kita harus bergegas.


Segera.
Iyem : Ke mana?
Abu : Ikut saja. Pasti gembira.
Iyem : Jauhnya.
Abu : Tidak begitu.
Iyem : Ke mana?
Abu : Ikut saja.
Iyem : Saya ingin tahu ke mana?
Abu : Ikut saja.
Iyem : Ke mana?
Abu : Ikut saja.
Iyem : Ke mana?
Abu : Ke ujung dunia.
Iyem : Buat apa?
Abu : Menjumpai Nabi Sulaeman.
Iyem : Apa perlunya.
Abu : Membeli sesuatu
Iyem : Apa?
Abu : Cermin Tipu Daya. (p.62-63)

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
376

Abu adalah juga seorang yang jauh dari nilai-nilai


agama. Melalui tokoh Kakek, Abu mendapatkan nasehat
tentang hakikat kehidupan sebagai manusia yang beragama.
Konsep Tuhan, neraka, surga, kematian, dan ujung waktu
dunia, disampaikan Kakek kepada Abu (halaman 28-31).
Abu dan Iyem merupakan sosok manusia yang
mengalami penderitaan sepanjang hidupnya. Melalui tokoh
Yang Kelam dan pasukannya, kedua tokoh ini mengalami
siksaan (halaman 59-61 dan 63). Dalam alur diceritakan kedua
tokoh tersebut mengalami kegelandangan sebagaimana tokoh-
tokoh gelandangan. Tokoh yang terakhir ini merupakan sosok
masyarakat bawah yang hidup di sut-sudut kota tanpa tempat
tinggal, pekerjaan, dan mengalami penderitaan (halaman 72-
75). Pada akhirnya, Abu dan Iyem mengalami hal yang sama
sebagaimana tokoh gelandangan ini. Oleh karena itu,
hubungan ketiganya merupakan hubungan dalam kelas yang
sama (paradigmatik).

2) Tokoh Sentral-Antagonis
Tokoh sentral-antagonis dalam naskah Kapai-Kapai karya
Arifin C. Noer terdiri atas: Emak, Majikan, dan Yang Kelam.
Ketiga tokoh ini adalah penentang terhadap tokoh Abu dan
Iyem. Emak dan Yang Kelam merupakan tokoh surealis.
Kehadirannya dalam cerita tidak dapat diidentivikasi secara
konkrit. Sedangkan Majikan merupakan tokoh realis; seorang
tokoh yang dapat diidentivikasi secara konkrit sebagai
majikan tempat Abu bekerja. Secara fungsional, ketiga tokoh
ini memiliki peranan yang sama sebagai penyebab pen-

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
377

deritaan yang dialami tokoh protagonis. Oleh karena itu,


dalam kerangka teori semiotik hubungan ketiganya merupa-
kan hubungan sintagmatik.
Emak adalah tokoh yang berperan sebagai seorang yang
mengungkung Abu dalam mimpi-mimpi dan harapannya
tentang Cermin Tipu Daya, Pangeran yang tampan dan kaya,
Kesatria yang gagah berani, dan Ujung Dunia tempat Cermin
Tipu Daya itu berada. Melalui dongeng, Emak membangkit-
kan semangat Abu tentang mimpi-mimpi dan harapan yang
kosong itu (halaman 7-9, 11-14, dan 35-45).

Abu : Aku sedikitpun tak goyah oleh pukulan-


pukulan sang waktu.
Emak : Kau tahu berkat apa?
Abu : Berkat emak.
Emak : Tidak begitu. Kau harus
menyebutnya berkat harapan.
Duet : Ya berkah harapan, sekali lagi berkah
harapan. Hanya harapan, peganglah
selalu harapan. Obat mujarab bagi
seluruh anggata keluarga. Sekali lagi
jangan lupa: harapan.
Abu : Sekarang mak berikan barang-barang
yang berguna itu. Kemudaanku tak
sabar lagi untuk meloncat lari meraih
ujung dunia. Segera sekali itu
kuperlukan Cermin Tipu Daya.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
378

Emak : O, tentu. Tentu. Tapi jangan terlalu


bernafsu, nanti hilang separuh
tenagamu dihisap nafsumu sendiri.
Abu : Baik, kususun kembali irama
nafasku.
Emak : Yakinilah, ini yang pertama kali. Bahwa
kau adalah seorang pangeran. Tepat
seperti apa titah Tuhan.
Abu : Saya seorang pangeran?
Emak : Yakinilah.
Abu : Saya ingat sekarang. Dulu mendiang
ibuku pernah mengatakan, bahwa ketika
beliau akan melahirkan saya, beliau
bermimpi bertemu seekor macan.
Emak : Jelas sesungguhnya kau seorang
pangeran. Pejamkan matamu.
Abu : Baik, mata saya akan tahan berpejam
sampai segalanya menjadi jelas.
Emak : Sampai kau melihat dalam berpejam.
Sampai kau menyaksikan apa-apa yang
tak pernah kau raih.
Abu : Saya akan berpejam. (p.40-41)

Emak merupakan tokoh yang terus-menerus membuai


Abu dengan dongeng-dongengnya. Eksistensi tokoh ini
begitu kuat tertanam pada diri tokoh Abu dengan mimpi-
mimpi dan harapan. Dengan demikian, Emak merupakan
sosok yang begitu dekat dengan mimpi dan harapan Abu.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
379

Tidak ada Emak tanpa mimpi dan harapan Abu, begitu


sebaliknya, tak ada mimpi dan harapan Abu tanpa tokoh
Emak ini. Dapat dikatakan, Emak merupakan mimpi dan
harapan Abu. Oleh karena itulah, tokoh ini bersifat surealis
dan abstrak.
Berbeda dengan tokoh Emak, tokoh Majikan merupakan
tokoh yang konkrit dan realis. Ia adalah majikan Abu. Secara
denotatif, tokoh ini digambarkan sebagai tokoh yang kasar,
suka memerintah, menghina, mengumpat, dan memperlaku-
kan tokoh utama secara tidak adil.

1. Majikan : Abu!
Abu : Hamba, Tuan
Majikan : Bangsat kamu! Kerja sudah hampir tiga
tahun masih saja kamu melakukan
kesalahan yang sama. Lebih bodoh kamu
daripada kerbau! (Keluari)
Suara-suara hilang
Ia tersedu menangis (p.9-10)

2. Majikan : Abu!
Abu : (Diam)
Majikan : Anjing!
Abu : Ya, Tuan.
Majikan : Anjing!
Abu : Ya, Tuan.
Majikan : Anjing!
Abu : Ya, Tuan.
SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
380

Majikan : Anjing!
Abu : Ya, Tuan.
Abu merangkak
Majikan : Ini pesangonmu! Keluar! Hancur
perusahaan! (p.45)

3. Abu : Dulu waktu saya masih bekerja di


Percetakan betul-betul saya sial. Hampir
setiap jam saya kena marah.
Bel : Kenapa begitu?
Abu : Tuan saya dulu mempunyai mulut yang
lebar tapi suaranya seperti cicit tikus.
Setiap dia memanggil saya selalu seperti
tersumbat lehernya. Karenanya setiap
kali ia hanya menghasilkan suara yang
hanya bisa didengar setan. Tentu saja
sangat kerap terjadi saya tidak segera
mendengar panggilannya dan akhirnya
dia marah-marah. Padahal kalau dia
tahu diri, satu-satunya yang patut
dimarahi adalah lehernya. (p.50)

Tokoh Majikan ini merupakan sumber penderitaan bagi


Abu, di samping karena kemiskinan dan kebodohannya.
Karakter dan sikap majikan yang cenderung memerintah,
menghina, mengumpat, dan memperlakukan Abu seenaknya,
menjadikan tokoh ini merupakan tokoh antagonis.
Sedangkan tokoh Yang Kelam dapat difahami sebagai
waktu yang kelam. Peranan yang dimiliki tokoh ini, di
SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
381

samping sebagai penyiksa Abu dan Iyem, ia adalah narator


yang mengungkapkan perjalanan waktu kehidupan tokoh
Abu dan Iyem.

1. Yang Kelam : Ini adalah tahun 1930 dan bukan tahun


1919. Kau harus segera mengenakan
pakaian pesuruhmu. (p.9)

Yang Kelam bersama pasukannya memukul lonceng keras


sekali di telinga keduanya. Arus waktu deras melanda
keduanya. Iyem melahirkan dan seterusnya. Abu terputar
dalam roda kerja rutinnya (p.25)

2. Yang Kelam : Ini adalah tahun 1941. Ini bukan tahun


1919. Dia dilahirkan di Salam, 6 km,
dari kota Solo. Dia dibesarkan di
Semarang. Kemudian ia pindah ke
Cirebon. Kemudian ia pindah ke Jakarta.
Kemudian akan mati pada tahun 1980
(p.26).

3. Yang Kelam : Ini adalah tahun 1960. Ini bukan tahun


1919. Dia akan mati pada tahun 1980.
Sudah waktunya kerut ditambah pada
dahinya (p.35).

Nama Yang Kelam bila diterjemahkan secara harfiah


berarti ‗hitam‘ atau ‗gelap‘. Dikaitkan dengan perannya
SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
382

sebagai narator waktu kehidupan Abu di atas, dapat dimaknai


sebagai perjalan waktu yang gelap dan hitam. Dari sudut
pandang karakter tokoh ini, bisa difahami bahwa Yang Kelam
adalah sosok yang egois (halaman 17-18), beringas (halaman
59-61 dan 63), kasar, dan penyiksa (halaman 59-61). Di
samping itu, sebagaimana tokoh Emak, tokoh ini lebih bersifat
surealis dan abstrak. Ia tidak dapat difahami sebagai manusia
yang realis dan konkrit. Peranan yang dibawa lebih mengarah
pada salah satu sumber penderitaan Abu dan Iyem dalam
perjalanan hidupnya.

3) Tokoh Tambahan
Tokoh tambahan dalam naskah drama ini meliputi:
Bulan, Bel, Robot gelandangan, Burung, Katak, Rumput,
Embun, Air, Batu, Jangkerik, Kambing, Pohon, dan Kakek.
Keseluruhan tokoh tambahan ini keberadaannya dalam cerita
sebagai pendukung tokoh utama (Abu dan Iyem). Tokoh-
tokoh tambahan seperti: Burung, Katak, Rumput, Embun, Air,
Batu, Jangkerik, Kambing, dan Pohon, mewakili alam yang
berfungsi mendukung gambaran betapa tokoh utama
mengalami ketersesatan di dalam perjalanannya mencari
ujung dunia. Sedangkan Bel dan robot gelandangan
mendukung gambaran rutinitas kerja Abu sehari-hari.
Tokoh Bulan dan Kakek memiliki peranan yang relatif
penting dibandingkan dengan tokoh tambahan lainnya. Bulan
divisualkan sebagai seorang wanita yang lembut dan
pengayom bagi Abu dan Iyem. Dalam penderitaan dan
mimpi-harapan yang kosong, Bulan masih memberikan jalan

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
383

bagi keduanya untuk menikmati sisa-sisa kehidupan mereka,


yaitu sex. Sementara Kakek adalah tokoh pendukung Abu
yang memberikan nasehat akan pentingnya agama dalam
kehidupan tokoh utama ini. Hanyalah agama yang
memberikan petunjuk dan pedoman bagi Abu dalam mencari
kebahagiaan, baik di dunia maupun di akherat. Justru, selama
ini Abu jauh dari nilai-nilai agama,
Keseluruhan tokoh tambahan di atas, dalam
keseluruhan cerita, mendukung dalam memberikan gambaran
betapa Abu telah teralienasi dari kehidupannya sebagai
manusia. Ketersesatan menempuh hidup, rutinitas kerja
seperti mesin dan robot, keterasingan dari nilai-nilai agama,
dan sifat-sifat kebinatangan (sex) sebagai satu-satunya yang
masih tersisa dalam hidup Abu, merupakan fungsi peran yang
dimiliki oleh tokoh tambahan ini. Oleh karena itu,
sebagaimana kategori tokoh protagonis, kategori tokoh
tambahan ini berhubungan secara sintagmatis.

b. Unsur Tema Sebagai Tanda Semiotik


Tema utama dalam naskah Kapai-Kapai karya Arifin C.
Noer ini adalah penderitaan hidup manusia karena mengejar
mimpi-mimpi dan harapan semu. Kenyataan ini digambarkan
oleh tokoh Abu yang merupakan representasi dari sosok
manusia pada umumnya. Abu berusaha mencapai
kebahagiaan dengan berbagai cara, bahkan dengan cara yang
tak masuk akal, yakni mengejar mimpi-mimpi serta ilusi yang
tak berujung. Meski setiap manusia memiliki mimpi, namun
mimpi yang tak pasti bukanlah sesuatu yang harus dikejar

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
384

sampai ke ujung dunia. Karena terus mimpi dan terus


berusaha mengejarnya, kondisi Abu jadi tak karuan.
Compang-camping dan tak terurus. Kondisi Abu semakin tak
menentu dan teralienasi dari kehidupannya. Abu mudah
terpengaruh karena dalam dirinya sendiri hampa oleh
pedoman hidup maupun agama. Abu yang mengejar
kebahagiaan sejati lewat Cermin Tipu Daya ini, pada akhirnya
takluk oleh kenyataan bahwa hidup sebenarnya tak hanya
sekedar mengejar mimpi dan ilusi. Abu sengsara dan
akhirnya meninggal dengan sia-sia.
Sebagai naskah drama yang panjang dan padat dengan
peristiwa yang dialami tokoh utama, tema utama di atas
dirajut oleh tema-tema minor. Beberapa tema minor yang
dapat diambil dari naskah drama ini meliputi: kemiskinan,
tradisi kerja yang menghimpit, kegelandangan, ketersesatan
hidup, mimpi, harapan, dan ambisi hidup, kebodohan,
alienasi, dan kematian yang sia-sia. Semua tema minor
tersebut terjalin ke dalam cerita tentang penderitaan manusia
mengejar mimpi-mimpi dan harapan yang semu. Tema-tema
minor ini terasosiasikan oleh tema utama. Oleh karena itu,
hubungan tema utama dan tema minor merupakan hubungan
asosiatif (simbolik).
Sebagai pegawai rendahan (pesuruh dan buruh pabrik),
kehidupan Abu memiliki keterbatasan dalam status
ekonominya. Kemiskinan seakan menjadi kata kunci bagi
kelas sosial rendah, sebagaimana Abu. Hari-hari yang dilalui
Abu dengan istrinya, Iyem, terpuruk dalam situasi yang
demikian. Tempat tinggal yang tak layak dan rasa lapar yang

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
385

menggerogoti, menjadi simbol kehidupan Abu dan Iyem. Di


sisi yang lain, sebagai pesuruh dan buruh pabrik, Abu
merupakan tempat pelampiasan dan perlakuan semena-mena
sang Majikan. Penderitaan karena kemiskinan, semakin
bertambah ketika di tempat kerja, sang Majikan bersikap kasar
dan memperlakukan Abu seenaknya. Penderitaan Abu seakan
tak berakhir.
Abu adalah seorang yang bodoh dan jauh dari pedoman
hidup (agama). Oleh karena itu, keterpurukan dan penderita-
an karena ekonomi dan sosial, mengakibatkan jalan yang
dipilih sangat tidak rasional. Abu, dan juga Iyem, memilih
hidup untuk mengejar mimpi dan harapan yang semu. Cermin
Tipu Daya di ujung dunia, milik Nabi Sulaiman, harus ia
dapatkan. Kebahagian, kekayaan, kekuatan, dan kekuasaan
akan dia peroleh jika mampu mendapatkannya. Kehidupan
Abu adalah sebuah perjalanan panjang untuk memperoleh
simbol kebahagian, kekayaan, kekuatan, dan kekuasaan itu.
Kehidupan yang demikian yang dipilih Abu; sebuah
kegelandangan, ketersesatan, dan keterasingan dari hidup
yang realistis.
Tak ada yang tersisa dalam hidup Abu, kecuali sifat
kebinatangan (libido; sex) sebagai satu-satunya hiburan dan
kenikmatan dalam hidup.

Bulan : Ya Abu, hanya syahwatlah hiburan sejati.


Teguk saja itu. Itu akan menyehatkan.
………………..
Seribu Bulan :
Menyatu dalam nafas rembulan
SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
386

Menghisap nafas harum rembulan


Goyangkan goyangkan buah rembulan

Goyangkan goyangkan buah rembulan


Pejamkan pejamkan mata rembulan
Cecerkan cecerkan peluh rembulan (p.58-59),

Di ujung pengejaran mimpi dan harapan yang sia-sia


itulah, kemiskinan, tradisi kerja yang menghimpit, ke-
gelandangan, ketersesatan hidup, mimpi, harapan, dan ambisi
hidup, kebodohan, alienasi,dan kematian yang dia peroleh.
Sebuah pilihan hidup yang tak rasional.

c. Unsur Adegan (Alur)


Sebagai Tanda Semiotik
Alu cerita dalam naskah drama ini dijalin berdasarkan
adegan-adegan dari awal sampai akhir. Sebagai bangunan
struktur instrinsik, adegan-adegan dalam karya ini menunjuk-
kan struktur alur yang tidak teratur. Satu alur dipotong
dengan munculnya adegan lainnya, begitu terus, sehingga
muncul kesan terjadinya ketidakteraturan alur. Alur tentang
dongeng Emak, misalnya, dipotong oleh adegan kerja Abu
sebagai pesuruh kantor dan adegan mimpi Abu sebagai
pangeran, baru kemudian kembali kepada alur dongeng Emak
(p 7-21). Demikian juga terjadi dalam gerakan alur selanjut-
nya yang terpenggal dengan masuknya adegan yang lain.
Ketidakteraturan struktur alur di atas semakin tampak
pada bagian kedua (p. 27-46). Enam adegan dalam bagian
SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
387

kedua ini, mengungkapkan peristiwa berbeda yang tidak


memiliki kesinambungan sebab akibat (kronologis) sebagai-
mana prinsip-prinsip alur. Adegan kebingungan Abu mencari
ujung dunia, dialog Kakek dan Abu tentang hakikat hidup,
tempat tinggal Abu yang tergenang air hujan, dongeng Raja
Jin menculik Putri Cina, Bayangan perjalan Abu ke ujung
dunia, hinaan dan perlakuan kasar Majikan kepada Abu, dan
adegan kesedihan Iyem yang hamil, merupakan serentetan
adegan yang terjalin menjadi pergerakan alur yang tidak
teratur tersebut.
Ketidakteraturan alur bukan tidak sengaja dilakukan
oleh pengarangnya. Ada dua hal yang menarik dan kuat
secara dramatic dari ketidakteraturan bangunan alur karya
ini. Pertama, ketidakteraturan bangunan struktur alur tersebut
mendukung makna cerita (tema). Ketidakteraturan kehidupan
tokoh utama dalam menjalani hidup dan keadaan dunia
tempat tokoh utama hidup, diwadahi oleh struktur alur yang
tidak teratur juga. Dalam pengertian yang lain, ketidak-
teraturan dalam isi cerita dikemas dalam ketidakteraturan
bentuk. Kedua, adegan-adegan yang diselipkan dalam alur
pokok cukup memimbulkan dan mendukung intensitas
peristiwa atau cerita. Adegan dongeng Emak yang bersifat
verbal, didukung oleh visualisasi adegan mimpi Abu menjadi
pangeran. Adegan penderitaan Abu atas perlakuan Majikan
yang kasar dan menghina, mendukung alur pokok tentang
penderitaan hidup Abu yang miskin. Begitu pula dengan
gerak alur selanjutnya.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
388

Ketidakteraturan alur tersebut merupakan ciri khas yang


dimiliki oleh karya sastra ini dalam konteks hubungan
sintagmatik. Sebagai tanda dalam teori semiotik, hubungan
sintagmatik antara adegan yang satu dengan adegan yang lain
dalam alur cerita, menunjukkan hubungan yang sama-sama
hadir dalam ketidakteraturannya.

d. Unsur Dialog Sebagai Tanda Semiotik


Ciri khusus naskah drama Kapai-Kapai karya Arifin C.
Noer adalah penggunaan bahasa, khususnya dalam dialog
(pelisanan). Arifin C. Noer dalam karyanya ini telah
mensubversi kebakuan bahasa Indonesia dengan menampil-
kan bentuk-bentuk kelisanan yang ada di masyarakat.

Iyem : Monyong kau! Laki macam apa


kau? Kerbau? Babi?
Abu : Jam berapa yem?
Iyem : Jam berapa? Bedug sampai coblos
dipalu orang juga kau masih enak-
enak ngorok. Apa kau tidak mau
kerja?
Abu : Bukan begitu
Iyem : Baik, kalau kamu mau enak- enak
ngorok, biar saya yang kerja. Apa
dikira tidak bisa? Saya kira, saya
masih cukup montok untuk
melipat seribu kepala lelaki hidung
belang di ketiak saya.
Abu : Kau jangan bicara sekasar itu.
SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
389

Iyem : Kau lebih kasar lagi. Tidur sama


istri kamu masih mimpi yang tidak-
tidak. Tuh lihat tikar basah begitu.
Kalau kau sudah bosan dengan saya
bilang saja terusterang.Jangan
sembunyi-sembunyi. Ayo, kau mimpi
dengan siapa? Dengan si Ijah yang
pantatnya gede itu? Bangsat! Tak
tau diri.
Abu : Mimpi?
Iyem : Jangan main lenong. Memang
saya sudah peot, memang saya sudah
reot. Habis manis sepah dibuang.
Abu : Jangan bicara begitu.
Iyem : Memangnya begitu.
Abu : Tidak seperti yang kamu bayangkan.
Iyem : Memangnya begitu. (p.22)

Penggunaan bahasa di dalam kutipan di atas, juga


dalam dialog-dialog yang lain yang diucapkan Abu dan Iyem,
menunjukkan bentuk kelisanan yang mencerminkan
masyarakat kelas bawah. Penggunaan bahasa seperti di atas
tidak dijumpai dalam penggunaan bahasa Indonesia resmi.
Pemanfaatan bentuk-bentuk kelisanan seperti ini untuk
mendukung karakteristik tokoh yang berdialog. Berbeda
dengan penggunaan bentuk kelisanan dalam dialog tokoh
lain, seperti Emak, Kakek, atau yang lain, penggunaan bahasa
baku diterapkan.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
390

Emak : Ketika prajurit-prajurit dengan tombak-


tombaknya mengepung istana cahaya itu,
sang pangeran rupawan menyelinap
diantara pokok-pokok puspa, sementara air
dalam kolam berkilau mengandung
cahaya purnama.Adapun sang putri jelita,
dengan debaran jantung dalam dadanya
yang baru tumbuh, melambaikan
setangan sutranya di balik tirai merjan,
di jendela yang sedang mulai ditutup oleh
dayang-dayangnya. Melentik air dari
matanya bagai butir-butir mutiara. Dan
sang pangeran, nak? Duhai seratus ujung
tombak yang tajam berkilat membidik pada
satu arah, purnama diangkasa berker
wajahnya lantaran cemas, air kolam pun
seketika membeku, segala bunga pucat lesi
mengatupkan kelopaknya, dan sang putri,
nak? Malam itu marasa lega hatinya dari
tindihan kecemasan. Ia pun mimpi yang
sangat panjang, dimana seribu
bulan menyelimuti kedua tubuh yang
indah itu penuh cahaya (p.7).

Dialog Emak dalam kutipan di atas terlihat kebakuan


dalam penggunaan bahasa Indonesia. Sangat berbeda bahasa
dalam dialog Abu dan Iyem. Tidak ada satu pun usaha
pengarang untuk menampilkan bentuk kelisanan masyarakat

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
391

ataupun dialek sosial. Netralitas penggunaan bahasa dalam


dialog Emak di atas sengaja dilakukan pengarang untuk
mendukung karakterisasi tokoh ini sebagai tokoh surealis
(non-realis).
Selain itu, Arifin C. Noer juga memasukan unsur pantun
dan lenong Betawi sebagai bentuk kelisanan lokal. Dialog
yang berisi pantun dan adegan lenong Betawi mencitrakan
Jika dicermati, terdapat dua ragam bahasa yang dipakai
pengarang dalam karya ini, yaitu ragam tak-resmi, nampak
pada dialog Abu dan Iyem, dan ragam resmi, nampak dalam
dialog Emak, Kakek, Majikan, dan yang lainnya. Pembedaan
ragam tersebut berdasarkan dukungan dan gambaran
karakter tokoh yang diceritakan.

2. Sistem Struktur Tanda Semiotik Tingkat Kedua


Sebagaimana dikemukakan dalam bab terdahulu, bahwa
pada sistem semiotik tingkat dua, objek (concept) pada sistem
tingkat pertama diambil sebagai signifier (penanda) yang
memiliki makna (signified;petanda) yang disebut oleh Barthes
sebagai mitos. Dengan demikian, mitos adalah sejenis
metabahasa (Sunardi, 2002: 110). Dan sistem mitos inilah yang
yang siap dipakai untuk aktualisasi ideologi. Bagaimana
sistem struktur tanda tingkat kedua dalam naskah Kapai-Kapai
karya Arifine C. Noer membangun mitos? Mitos apakah yang
ingin dikemukakan dalam karya sastra ini? Bagaimana
ideologi yang tercermin dalam mitos tersebut? Serangkaian
pertanyaan inilah yang ingin dirumuskan jawabannya dalam
sub-bab ini.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
392

Kehidupan manusia, dan dengan sendirnya hubungan


antar manusia, dikuasai oleh mitos-mitos. Sikap kita terhadap
sesuatu ditentukan oleh mitos yang ada dalam diri kita. Mitos
ini menyebabkan kita menyukainya atau membencinya
(Yunus, 1981: 84). Pada gilirannya mitos memedomani
pandangan, tindakan, dan berpikir seseorang terhadap
peristiwa atau fenomena dalam lehidupannya. Prasangka dan
keputusan seseorang untuk memilih dan menilai semua hal di
lingkungannya didasarkan pada isi mitos itu. Lebih lanjut
Yunus mengemukakan bahwa mitos akan menyebabkan kita
mempunyai prasangka tertentu terhadap sesuatu hal yang
dinyatakan dalam mitos. Hanya melalui persentuhan diri kita
dengan hal tertentu tadi, kita dapat mengetahui kebenaran
ataukah kesalahan dari mitos (1981: 84).
Naskah Kapai-Kapai karya Arifin C. Noer mengungkap-
kan persoalan manusia yang memilih dan dituntun oleh suatu
mitos karena himpitan mitos-mitos yang lainnya. Seseorang
dengan status sosial dan ekonomi rendah mencipatakan
kondisi kemiskinan dalam kehidupannya. Ini merupakan
sebuah mitos. Gambaran mitos tersebut dihadapi tokoh utama
dalam menjalani hidup sehari-hari. Gambaran sebaliknya
akan berbunyi, jika tokoh utama memiliki status sosial yang
tinggi dengan begitu menciptakan status ekonomi yang tinggi
juga, maka dia akan menjalani kehidupan yang kaya. Tapi
tokoh utama bukan dalam mitos yang kedua. Dengan begitu,
seseorang yang menjalani kehidupannya dalam situasi mitos
pertama haruslah menyikapinya untuk membebaskan diri

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
393

dari apa yang dinyatakan dalam mitos tersebut, yaitu


kemiskinan.
Tokoh utama dalam naskah drama Kapai-Kapai ini
terhimpit oleh mitos-mitos yang ada sebagai akibat mitos
tentang status sosial dan ekonomi yang rendah. Kemiskinan
merupakan keadaan di mana seseorang mengalami
penderitaan hidup. Tempat tinggal yang tak layak, rasa lapar
berkepanjangan, dan tidak ada jaminan hidup layak bagi
generasi selanjutnya, merupakan mitos yang disebabkan mitos
tentang kemiskinan. Status sosial yang rendah, sebagai
pesuruh atau buruh sebagaimana tokoh utama dalam karya
sastra ini, merupakan posisi kemartabatan manusia yang
rendah pula, sehingga dapat diumpat, dihina, dan
diperlakukan secara tidak adil oleh pemiliknya (majikan).
Mitos-mitos inilah yang dihadapi tokoh utama dalam karya
sastra ini.
Dalam keadaan sebagaimana mitos mengungkapkan
tentang hal itu, seseorang mesti menyikapi untuk melepaskan
diri dari mitos tersebut. Banyak pilihan hidup yang bisa
diambil seseorang, tergantung bagaimana kemampuan orang
itu. Sebagaimana tokoh utama dalam, karya sastra ini, dia
adalah seorang yang bodoh dan lugu. Karena kebodohan dan
keringnya sandaran hidup sebagai pedoman (agama), dia
memilih sikap untuk tergantung pada harapan dan mimpi.
Dengan begitu, dia mengalami ketersesatan, pada gilirannya,
akan menjalani kehidupan yang teralienasi dari realitas. Ini
adalah sebuah mitos yang dipilih untuk menuntun seseorang
menjalani kehidupan agar terlepas dari mitos kemiskinan.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
394

Mitos untuk melepas mitos yang lain: kebodohan dan jauh


dari agama akan mengakibatkan ketersesatan.
Manusia yang tersesat adalah manusia yang terasing
dari dunia realitas. Ini adalah sikap hidup kegelandangan.
Tidak punya arah dan pedoman yang benar. Ia terombang-
ambingkan keadaan. Ia tak punya sikap dan kemandirian
dalam menjalani hidup. Ia dilambangkan sebagai robot
gelandangan. Ujung dari semua ini adalah kematian dan
kesia-siaan hidup. Sebuah ‘kapai-kapai‘ dalam kehidupan
manusia; bergerak (gerak kehidupan) seolah dapat
menyentuhnya (meraih tujuan hidup). Dan semua itu adalah
mitos yang lain.
Tiga mitos yang dapat ditangkap dalam naskah drama
Kapai-Kapai karya Arifin C. Noer melalui analisis sistem
struktur tanda semiotik tingkat kedua. Pertama, status sosial
dan ekonomi yang rendah membawa kemiskinan dan
kemartabatan yang rendah pula. Kedua, kemiskinan akan
membawa penderitaan hidup seseorang. Ketiga, kebodohan
dan tidak punya pedoman hidup akan mengalami
ketersesatan dan keterasingan hidup. Ketiga mitos inilah
sebagai makna (konsep; gagasan; pemikiran) yang
membangun sistem struktur tanda semiotik karya sastra ini.
Apakah mitos-mitos di atas merupakan realitas struktur
sosial masyarakat Indonesia di mana karya sastra ini lahir?
Ketika karya sastra dipandang sebagai institusi sosial, dan
hubungan karya sastra dan struktur sosial merupakan
hubungan jaringan peran sosial (baca Ratna, 2003), maka
realitas mitos tersebut merupakan realitas sosial yang

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
395

dipandang dari kaca mata kreativitas imajinasi. Boleh jadi


pembiasan realitas sosial dalam karya sastra merupakan
produk rasional dan pengamatan terhadap lingkungan
masyarakatnya. Dengan demikian, mitos-mitos tersebut
merupakan keadaan sosial masyarakat Indonesia yang
dipandang dan diamati secara kreatif, imajinatif, dan ideologis
pengarangnya.
Menurut Barthes, Mekanisme kerja mitos dalam suatu
ideologi adalah apa yang disebut Barthes sebagai naturalisasi
sejarah. Suatu mitos akan menampilkan gambaran dunia yang
seolah terberi begitu saja alias alamiah. Nilai ideologis dari
mitos muncul ketika mitos tersebut menyediakan fungsinya
untuk mengungkap dan membenarkan nilai-nilai dominan
yang ada dalam masyarakat (Anang Hermawan, 2007,
http://abunavis. wordpress.com). Dalam konteks pemikiran
barthes tersebut, mitos-mitos dalam karya Arifin C. Noer itu
mengindikasikan gambaran masyarakat Indonesia. Sebagai
mitos, apa yang diungkapkan dalam naskah Kapai-Kapai
memberikan pandangan hidup (ideologi) yang salah dalam
menyikapi hidup. Pengarang dalam hal ini, mengambil posisi
pada pandangan hidup yang berseberangan dengan tokoh
utama. Posisi yang demikian jika ditempatkan dalam konteks
sosial masyarakat Indonesia, ketika karya sastra ini
diciptakan, sangat relevan jika karya sastra ini dipandang
dalam fungsinya sebagai pembenaran mitos yang berlangsung
di masyarakat. Umar Yunus (1981:84) menyebutnya sebagai
suatu mitos pengukuhan (myth of concern).

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
396

Sebagaimana yang dikemukakan pada bagian lain


tulisan ini, karya sastra ini lahir dalam situasi konstelasi
politik yang terjadi dalam masyarakat Indonesia. Konstelasi
politik membawa kondisi kemiskinan, represi dan dominasi
kekuasaan, dan rendahnya tingkat intelektual masyarakat
Indonesia. Dalam konteks sosiokultural seperti ini, benang
merah yang menghubungkan keduanya sangat jelas difahami
dan dimaknai dari dalam teks. Ideologi yang menjadi
landasan filosofis pengarangnya pun sangat relevan. Hal ini
membuktikan betapa peka dan rasional pengarang mengambil
peran dalam jaringan struktur sosial. Sekaligus memapankan
proposisi yang tentang hubungan karya sastra dan struktur
sosial.

E. Simpulan
Beberapa simpulan yang dapat ditarik dari analisis
semiotik terhadap naskah Kapai-Kapai karya Arifin C. Noer
adalah sebagai berikut.
1. Naskah drama Kapai-Kapai karya Arifin C. Noer
merupakan sistem struktur tanda semiotik yang dibangun
atas hubungan antar-form di satu pihak dan hubungan
anatara form dan consept yang diwakili. Hubungan tanda-
tanda yang dibangun tersebut, menunjukkan ketiga
hubungan yang disarankan dalam kerangka teori semiotik
Roland Barthes: simbolik, paradigmatik, dan sintagmatik.
Ketiganya hadir menjadi suatu sistem struktur lambang
primer yang bermakna. Tokoh-tokoh yang diceritakan
dalam karya ini mengelompok dalam tiga kategori,

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
397

kelompok protagonis, antagonis, dan tambahan. Pe-


ngelompokan ketiga kategori tokoh ini didasarkan pada
hubungan asosiatif dan sintagmatik. Masing tokoh dalam
kategori protagonis berhubungan secara asosiatif, sedang-
kan kategori tokoh antagonis dan tambahan berhubungan
secara sintagmatis.
2. Secara tematis, Naskah drama ini memiliki tema utama
penderitaan hidup manusia karena mengejar mimpi-
mimpi dan harapan semu. Tema utama ini merupakan
jalinan tema-tema minor: kemiskinan, tradisi kerja yang
menghimpit, kegelandangan, ketersesatan hidup, mimpi,
harapan, dan ambisi hidup, kebodohan, alienasi,dan
kematian. Jalinan hubungan antara tema utama dengan
tema minor tersebut merupakan hubungan paradigmatik.
Tema utama dapat tertangkap melalui pemaknaan
linguistik (tingkat pertama) yang menyarankan hubungan
in-absentia dengan tema-tema minor.
3. Sebagai sistem mitis dalam kerangka teori semiotik,
naskah drama Kapai-Kapai karya Arifin C. Noer sebagai
sistem struktur tanda semiotik dibangun atas mitos-mitos:
a. status sosial dan ekonomi yang rendah membawa
kemiskinan dan kemartabatan yang rendah pula;
b. kemiskinan akan membawa penderitaan hidup se-
seorang;
c. kebodohan dan tidak punya pedoman hidup akan
mengalami ketersesatan dan keterasingan hidup.
4. Mitos-mitos tersebut mengungkapkan pandangan hidup
(ideologi) yang dipegang pengarang dalam menyikapi

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
398

dan memandang realitas kehidupan masyarakat


Indonesia. Konteks sosial masyarakat Indonesia yang
masih belum beranjak dari kemiskinan, represi dan
dominasi kekuasaan kelas atas, dan rendahnya intelektual
masyarakat, menjadi benang merah yang terhubung ke
dalam karya sastra tersebut. Dalam situasi seperti ini,
diperlukan mitos pembenaran atau pengukuhan terhadap
mitos yang selama ini berlangsung di dalam masyarakat.
Sekaligus, sebagai konsekuensi adanya fungsi sosial sastra
terhadap masyarakatnya.

*****

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
399

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Anurogo, Dito. 2007. Tipe Wanita Jawa Ideal Menurut Kamasutra


Jawa. www.kabarindonesia.com, unduh 23 Maret 2010.
Barker, Chris. 2006. Cultural Studies, Teori dan Praktik. Bantul:
Kreasi Wacana.
Barthes, Roland. 2004. Mitologi, (Terj. Nurhadi & Sihabul
Millah), Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Damonoi, Sapardi Djoko. 1977. Sosiologi Sastra, Sebuah
Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa.
Darma, Yoee Aliah. 2009. Analisis Wacana Kritis. Bandung:
Yrama Widya.
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian sastra:
Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta:
Pustaka Widyatama.
--------- 2011. Metodologi Penelitian Sastra; Epistemologi, Model,
Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: CAPS.
............... 2012. Filsafat Sastra. Yogyakarta: Layar Kata.
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media.
Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara
SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
400

Foulcher, Keith dan Tony Day (ed). 2008. Sastra Indonesia


Modern Kritik Postkolonial. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia dan KITLV.
Jorgensen, Marianne W. dan Louise J. Phillips. 2007. Analisis
Wacana Teori dan Metode. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Halliday, M. A. K. dan Ruqaiya Hasan. Bahasa, Konteks, dan
Teks, Aspek-Aspek Bahasa dalam Pandangan Semiotik
Sosial, terjemahan Asruddin Barori Tou. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press.
Harjana, Andre. 1981. Kritik Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta:
Gramedia.
Escarpit Robert.2008. Sosiologi Sastra. Diterjemahkan oleh Ida
Sundari Husen. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Faruk. 1999. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Fakultas
Sastra Universitas Gajah Mada.
Handayani, Christina S. dan Ardhian Novianto. 2004. Kuasa
Wanita Jawa. Yogyakarta: LKiS.
Harras, Kholid dan Yetty Mulyati (ed). 2003. Tegak Lurus
Dengan langit, Potret Keterasingan Manusia Modern, 25
Naskah Terbaik Lomba Mengulas Karya Sastra Tahun 2002.
Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan
Menengah Departemen Pendidikan Nasional.
Harras, Kholid dan Yetty Mulyati (ed). 2003. Tegak Lurus
Dengan langit, Potret Keterasingan Manusia Modern, 25
Naskah Terbaik Lomba Mengulas Karya Sastra Tahun 2002.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
401

Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan


Menengah Departemen Pendidikan Nasional.
Hermawan, Anang. 2007. Mitos Dan Bahasa Media Mengenal
Semiotika Roland Barthes.
http://abunavis.wordpress.com.
Hudayat, Asep. 1999. Metode Penelitian Sastra. Bandung:
Unpad.
Jatman, Darmanto. 1980. Ki Blakasuta Bla Bla. Semarang: Karya
Aksara.
Kartodirdjo, Sartono dan Suhardjo Hatmosuprobo. 1993.
Perkembangan Peradaban Priyayi. Yogyakarta: Gama
Press.
Kartono. K. (1980). Pengantar Metodologi Research Sosial.
Bandung: Penerbit Alumni.
Lechte, John. 2001. 50 Filsuf Kontemporer Dari strukturalisme
sampai Postmodernitas. Yogyakarta: Kanisius.
Luxemburg, Jan van (dkk). 1992. Pengantar Ilmu Sastra.
Jakarta: Gramedia.
Moleong, Lexy J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya Bandung.
Mahayana, Maman S. 2005. Sembilan Jawaban Sastra Indonesia
Sebuah Orientasi Kritik. Jakarta: Bening.
Mudyahardjo, Redja. 2002. Filsafat ilmu Pendidikan. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya Bandung.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
402

Muslih, Mohammad. 2006. Filsafat Ilmu, Kajian atas Asumsi


Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan.
Yogyakarta:Belukar.
Nurgiyantoro, Burhan. 2002. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta:
Gajah Mada
………... . 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta:
Gama Media.
Pradopo, Rachmat Djoko.2007.Beberapa Teori Sastra, Metode
Krtitik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelangi.
.............. 1994. Prinsip-prinsip Kritik Sastra Indonesia.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
............... 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan
Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
................ 2005. Sastra dan Cltural Studies, Representasi Fiksi dan
Fakta, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
............... 2007. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rokhman, Arif.dkk. 2003. Sastra Interdisipliner, Menyandingka
Sastra dan Ilmu Sosial. Yogyakarta: Penerbit Qalam.
Rosidi, Sakban. 2007. Analisis Wacana Kritis Sebagai Paradigma
Kajian Wacana, Makalah pada Sekolah Bahasa,
Universitas Islam Negeri Malang, 15 Desember 2007.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
403

Ryan, Michael. 2011. Teori Sastra, Sebuah Pengantar Praktis.


Yogyakarta: Jalasutra.
Santoso, Riyadi. 2003. Semiotika Sosial, Pandangan terhadap
Bahasa. Surabaya: Pustaka Eureka dan JP Press
Surabaya.
Sarup, Madan. 2008. Postrukturalisme dan Posmodernisme.
Yogyakarta: Jalasutra.
Saussure, F. 1988, Course in General Linguistics (terjemahan),
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Semi, Atar. 1984. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa.
Srinati, Dominic. 2009. Popular Culture. Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media.
Subroto, D. Edi. dkk. 1997, Telaah Linguistik atas Novel Tirai
Menurun Karya n. h. Dini, Jakarta: Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa.
Supaat, I Lathief. 2008. Eksistensialisme-Mistisisme Religius.
Lamongan: Pustaka Ilalang.
Sunardi, ST. 2002. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Kanal.
Suroso dkk. 2009. Kritik Sastra, Teori, Metodologi, dan
Aplikasi. Yogyakarta: Elmatera Publising.
Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto. 2005. Teori-Teori
Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
Tarigan, Henry Guntur. 1983. Prinsip-prinsip Dasar Sastra.
Bandung: Angkasa.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
404

Teeuw, A. 1983. Tergantung pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya.


Teew, Andreas. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka
Jaya.
Todorov, Tzvetan. 1985. Tata Sastra, terjemahan Okke K. S.
Zaimar dkk. Jakarta: Jambatan.
Wellek, Rene & Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan.
Jakarta: PT Gramedia.
Wijana, I Dewa Putu dan Muhamad Rohmadi. 2010. Analisis
Wacana Pragmatik, Kajian Teori dan Analisis. Surakarta:
Yuma Pustaka.
Wikipedia Indonesia, ―Kesultanan Ternate‖,
http://id.wikepedia.org/wiki/ Kesulatanan_Ternate,
diunduh 13 Oktober 2010.
Yunus, Umar. 1981. Mitos dan Komunikasi. Jakarta: Sh.
Zoest, Aart van & Sujiman, Panuti, & (Ed.). 1993., Serbaserbi
Semiotika, Jakarta: Gramedia.

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra
405

BIODATA PENULIS

Suhariyadi, lahir di Tuban, sebuah kota kecil yang tak


pernah ditinggalkan hanya untuk bisa makan. Sebagai
seorang dosen sastra, dia kerap menulis untuk
memenuhi hasratnya yang menggebu. Beberapa puisi,
beberapa cerpen, beberapa artikel dan esei
kebudayaan, beberapa naskah drama, pernah ia tulis.
Beberapa tulisannya pernah dimuat di koran, jurnal,
dan majalah. Tak sedikit pula yang cuma ngendon di
laptopnya. Beberapa kali menjadi juri dan pengamat lomba sastra dan teater.
Beberapa kali juga menjadi sutradara pertunjukan teater. Beberapa kali
sekedar membantu-bantu sebagai crew artistik pertunjukan teater teman-
teman sedaerahnya. Tak kerap, kadang-kadang diminta menjadi nara
sumber dialog sastra dan teater. Di samping menulis karena kesukaan, dia
juga sebagai penulis tetap di beberapa majalah lokal Tuban. Bukunya yang
telah diterbitkan adalah, PuisiPuisi (2007), Sekitar Masalah Bahasa dan
Sastra (2007), Handout Kuliah Dramaturgi (2009), Antologi Cerpen
Kotaku Perempuan (2011), Antologi Cerpen Anak Pekat (2011), Penelitian
Sastra (2012), Penulisan Kreatif (2012), dan beberapa buku diterbitkan
bersama teman-temannya, antara lain: Sehelai Waktu (bersama beberapa
penyair Jawa Timur, 2011), Mimpi Kecil (Kata Pengantar; 2011), Novel
Sariwala (2012), dan Produksi Film (2013). Hasil penelitiannya di
antaranya dibiayai oleh Direktorat Pendidikan Tinggi. Saat ini sedang
menulis novel sejarahnya berjudul Ranggalawe yang seolah sulit untuk bisa
selesai.

Nama : SUHARIYADI
Pekerjaan : Staf Pengajar UNIROW Tuban
Alamat Kantor : Kampus UNIROW, Jl. Manunggal 61 Tuban
Telp. 0356 322233
Alamat Rumah : Perumahan Gedongombo E-25 RT 06/ RW 07
Kec. Semanding – Kab. Tuban
Seluler : 082142483537
E-mail : suhariyadi@gmail.com

SUHARIYADI
Pengantar Ilmu Sastra

Anda mungkin juga menyukai