Anda di halaman 1dari 33

Arsitektur & Antropologi C

Arsitektur dan Antropologi pada


Ruang, Bentuk, dan Budaya
Rumah Nusantara

Rumah Adat Karo


– Siwaluh Jabu -
Kelompok 6
Najli Eka Rahmi 180406071
Ning Tyas Viviana Ningrum 180406077
Zahrah Putri Siregar 180406080
Aisyah Amini 180406082
02 RUMAH ADAT KARO
03

Rumah adat Karo dinamakan siwaluh jabu


(waluh = delapan, jabu = keluarga/ bagian
utama rumah/ ruang utama).
04

Pola perkampungan karo secara umum mengelompok


atau berbaris mengikuti alur sungai sehingga peletakan
rumah didasarkan pada aliran sungai, dimana pintu
utama atau depan menghadap kehulu sungai dan
bagian belakang atau pintu belakang rumah
menghadap ke hilir sungai.

M. Nawawiy (2004) dalam buku Raibnya Para Dewa,


mengatakan, menurut bentuk atap terdapat dua
tipologi rumah yaitu rumah biasa dan rumah Raja .
Pembagian lain adalah rumah dengan atap (Tersek)
tak bertingkat (Rumah Kurung Manik), rumah
beratap satu tingkat (Sada Tersek), dan rumah
dengan atap bertingkat dua dilengkapi dengan
menara (Anjung-anjung).

Rumah dengan atap (Tersek)


05

Berdasarkan bentuk atap,


rumah adat karo dapat dibagi
menjadi dua bagian, yaitu :
a. Rumah Sianjung-anjung
adalah rumah bermuka
dapat dibedakan empat atau lebih, yang

menjadi beberapa jenis dapat juga terdiri atas satu


Rumah Sianjung-anjung atau dua tersek dan diberi
dan ditinjau dari dua hal,
tanduk.
yaitu:
b. Rumah mecu adalah rumah
a. Bentuk Atapnya Rumah Mecu yang bentuknya sederhana,
b. Binangun (rangka) bermuka dua dan
mempunyai sepasang
tanduk.
06

Sementara menurut binangun, rumah adat


Karo pun dapat dibagi atas dua yaitu:
1. Rumah Sangka Manuk, Rumah sangka
manuk yaitu rumah yang binangunnya
dibuat dari balok saling tindih-menindih.
2. Rumah Sendi, Rumah sendi adalah
rumah yang tiang rumahnya dibuat
berdiri dan satu sama lain dihubungkan
dengan balok-balok sehingga bangunan
menjadi sendi dan kokoh.
07

RUMAH ADAT KARO


Masyarakat Karo biasanya menyebut rumah adat mereka
dengan nama Rumah adat Karo atau Siwaluh Jabu.
Siwaluh jabu, artinya satu rumah yang dihuni oleh delapan
keluarga. Rumah adat ini masih bisa terlihat di Desa Lingga, Kec
Simpang Empat dan desa-desa lainnya yang ada di Kabupaten
Karo.
Didalam rumah adat Karo ini terdapat delapan keluarga
yang tinggal dalam satu atap. Sistem kekerabatan masyarakat
Karo adalah sistem kekeluargaan yang patrilineal (garis keturunan
dari ayah) dan patriarchat (kekuasaan berada di pihak laki-laki).
Dalam pengertian masyarakat Karo, keluarga sama dengan Jabu
yang berarti satu rumah tangga, (Sitanggang, 1992).
08
09 • Siwaluh jabu memiliki bentuk yang unik dan megah. Dikatakan
“unik” karena sama sekali dibuat tanpa bantuan sebatang paku.
• Dinding rumahnya tidak berdiri tegak lurus, melainkan dengan
sudut kemiringan 120°. Megah karena memiliki dimensi yang
tinggi dan besar.
• Panjangnya sekitar 17 meter, lebarnya sekitar 12 meter, dan
tingginya sekitar 12 meter. Semua dimensi itu didukung oleh 16
tiang pondasi kayu yang hanya berdiri di atas umpak batu. Di
antara pertemuan antara tiang-tiang pondasi dan umpak batu
diberi ijuk agar kayu pondasi tetap kering serta terdapat ornament
kepala kerbau di setiap ujung rumah adat tersebut.
• Selain itu, fungsi ijuk juga sebagai halangan agar hewan melata
(ular) tidak bisa merayap melalui tiang-tiang kayu untuk
memasuki rumah. Bangunan ini simetris pada kedua porosnya,
sehingga pintu masuk pada kedua sisinya terlihat sama.
• Diujung atap rumah terdapat ornament kepala kerbau di setiap
ujung rumah adat tersebut.
10

Bangunan ini masih menggunakan struktur post and


lintel, dimana pada bagian atas bangunan (semacam
plafon) merupakan suatu penyusunan antar kayu yang
dimana balok hanya menumpu pada kolom. Namun
saat ini sudah digunakan sistem sendi pada bagian
lantai untuk mengikat balok lantainya.

Pembangunan rumah adat ini menggunakan tiga jenis


kayu, yaitu kayu ndarasi, ambertuah dan sibernaek.
Pada pemasangan tiap-tiap bagiannya tidak digunakan
paku sama sekali. Hanya menggunakan pengikatan
dengan tali ijuk untuk menyatukan tiap-tiap
bangunannya.
11

Pondasi atau palas terbuat dari batu-batuan


yang diambil dari gunung ataupun sungai.
Batu ini dugunakan sebagai pondasi dan
akan dilubangi bagian atasnya.
Batang-batang kayu yang ujungnya telah
diruncingkan, dimasukkan ke dalam
bolongan batu dan kemudian digunakan
sebagai kolom bangunan ini. Batu palas
kemudian dipendam sebagian ke dalam
tanah agar tidak mudah bergeser.
12

Pada bangunan ini dibutuhkan tangga


untuk memasukinya karena letaknya
yang berada pada ketingian dua meter
dari muka tanah. Tangga terbuat dari
bambu berdiameter kurang lebih 15 cm.
Terdapat dua buah tangga, satu di
depan dan satu dibelakang.
13

Merupakan bagian depan yang


tersusun dari rangkaian kayu
rapat (diameter kurang lebih
10-15cm). Bagian ini
merupakan tempat yang pada
siang hari digunakan untuk
menganyam bagi kaum
wanita, dan tempat pertemuan
pada malam hari. Penopang
serambi ini adalah kayu yang
memiliki diameter lebih besar.
14

Terbuat dari jenis kayu yang sama dengan kolom, yaitu kayu
ndrasi yang berbentuk papan atau lembaran. Masing-masing
papan ini diikat dengan tali retret yang terbuat dari ijuk atau
rotan.

Dinding ini tidak dibentuk lurus, namun memiliki kemiringan


sekitar 40° keluar. Dinding ruang bangunan yang miring ini
juga sebagai lambang pertemuan dunia tengah, yang
dipercaya sebagai tempat tinggal manusia dan langit sebagai
tempat para Dewa bersemayam.
15

Terbuat dari kayu yang sudah tua,


yang berupa lembar papan yang
berukuran 4x30cm. Posisinya terletak
pada sudut-sudut dinding yang
berfungsi untuk menahan dinding.
16

Pintu terbuat dari kayu yang sudah tua berupa Jendela terbuat dari papan yang berukuran
dua lembaran kayu tebal yang masing-masing
8x30 cm. Dibuat miring 40 cm keluar
berukuran 5 x 40 cm. Tinggi pintu dibuat setinggi
mengikuti kemiringan dinding. Terdapat 8
orang dewasa dengan posisi kedua pintu
menghadap ke arah timur dan barat. buah jendela. 2 di bagian depan, 2 di
belakang, dan 4 di kanan kiri bangunan.

Tinggi pintu kira-kira 1,5 m hal ini membuat orang yang masuk ke dalam
harus menundukkan kepala dan jendela ukuran nya lebih kecil. Pintu
mempunyai daun jendela tunggal.
17

Penutup atap rumah adat karo ini terbuat dari


ijuk yang bersusun-susun sehingga mencapai
tebal 20 cm. Rangkanya sendiri terbuat dari
bambu yang di belah sebesar 1 x 3 cm dan di
ikat dengan rotan dengan jarak antar bambu 4
cm. Fungsi utama dari bentuk ujung atap yang
menonjol ini adalah untuk memungkinkan asap
keluar dari tungku dalam rumah.
18
1. Padi-padiken tapak rumah, Para keluarga mencari dan memutuskan letak pendirian rumah ini. Kemudian diadakan acara
adat padi-padiken tapak rumah. Tujuan dari acara adat ini adalah untuk mengetahui apakah letak yang dipilih mendatangkan
kebaikan atau malapetaka.
2. Ngempak, Para keluarga beserta guru si baso menentukan tanggal yang baik untuk pencarian kayu-kayu di hutan. Biasanya,
guru si baso juga ikut dalam pemilihan kayu yang baik untuk pendirian siwaluh jabu.
3. Ngerintak Kayu, Setelah penebangan kayu, maka para anggota keluarga membagikan sirih kepada setiap warga
desanya.Pembagian sirih ini adalah suatu bentuk permohonan dari keluarga untuk membantu mereka membawa kayu-kayu
tersebut ke tengah desa.
4. Pebelit-belitken, Para anggota keluarga, rakut sitelu, dan tukang-tukang yang akan mengerjakan berkumpul di
rumah kalimbubu si pemilik rumah. Topik pembicaraannya adalah gaji para tukang, lama pendirian, dan apa yang menjadi
tanggung jawab pemilik rumah.
5. Mahat, Para tukang melakukan pembersihan kayu dan mahat (membuat lubang). Mula-mula tukang ahli memberi pentunjuk,
lalu dilajutkan oleh guru si baso dan dilanjutkan oleh pengerja lainnya
6. Ngampeken Tekang, Setelah proses pendirian pondasi dan pendirian tiang di atas pondasi, maka pekerjaan para tukang
dianggap setengah jadi. Tahapan pun dilanjutkan dengan ngampeken tekang. Tujuan dari tahap ini adalah menghimbau para
anggota keluarga dan penduduk desa untuk membantu para tukang memasangkan balok kayu di atas tiang-tiang tersebut.
7. Ngampeken Ayo, TTahapan pun dilanjutkan dengan pemasangan ayo. Ayo adalah bagian depan dari atau rumah adat Karo.
Biasanya terbuat dari anyaman bambu berbentuk segitiga dan diberi corak tersendiri dengan cat.
8. Memasang Tanduk, Siwaluh jabu tidak akan lengkap tanpa pemasangan tanduk kerbau di puncak atapnya. Pemasangan ini
biasanya dilakukan oleh tukang di malam hari.Sambil memasang, tukang tersebut mengucapkan kata-kata yang tidak boleh
dilupakan. Kata-katanya berbunyi demikian: Adi muas kam, minemken ku lawit simbelang. Adi melihe kam, nggagat kam ku
deleng si meratah.
19
20 Setiap bagian dalam rumah adat Karo
”Siwaluh Jabu” dalam pembagian tata
ruangnya, secara umum, rumah Siwaluh
Jabu terdiri dari satu ruangan besar terbuka
dengan ruang-ruang dibatasi oleh papan
kayu yang terletak berseberangan.
Secara garis besar rumah adat ini terdiri dari
jabu jahe (hilir) dan jabu hilir (hulu). Ruang
dalam rumah Siwaluh Jabu tidak memiliki
pembatas yang membatasi setiap ruang
yang ada, akan tetapi dibatasi oleh
pembatas tak kasat mata yaitu adat-istiadat
yang kuat. Dengan demikian ruang pada
Siwaluh Jabu memiliki nama dan aturan
siapa saja yang harus menempati ruang
tersebut.
21 Rumah adat Karo dibagi menjadi ruang sebagai berikut:
1. Jabu no. satu dinamakan jabu bena kayu sebagai tempat pemimpin yang
memberi keputusan atas segala permasalahan yang ada di rumah adat.
2. Jabu no. dua disebut jabu ujung kayu sebagai tempat anak beru dari jabu benah
kayu dan tugas penghuninya adalah menyampaikan nasihat kepada semua
penghuni.
3. Jabu leper bena kayu sebagai jabu ketiga yaitu tempat saudara dari penghuni
jabu benah kayu, tugas penghuninya menyampaikan berita yang didapat dari
luar rumah.
4. Jabu nomor empat disebut jabu leper ujung kayu dan dihuni oleh kalimbubu.
5. Jabu kelima sebagai tempat kedudukan anak beru menteri yang disebut jabu
sedapurka bena kayu yang mempunyai tugas mendengar segala pembicaraan
dan keputusan dalam musyawarah di dalam rumah adat.
6. Jabu nomor enam disebut jabu sedapurka ujung kayu, tempat dari saudara jabu
kalimbubu bena kayu. Dia dianggap sebagai pemberi ketenteraman seluruh
penghuni.
7. Jabu ketujuh sebagai tempat dukun yang mengatur segala yang berhubungan
dengan ritual dan kepercayaan yang disebut jabu sedapurka leper bena kayu,
8. Jabu terakhir disebut jabu sedapurka leper ujung kayu yang bertugas membantu
penghuni jabu bena kayu menjamu tamu
• Adapun nama-nama • Papan : lantai • Awit : penopang ture
22 • Para Tuhur : tempat pengeringa • Pintu mbelang/labah : pintu
peralatan/ bagian dari rumah • Para Tengah : tempat gantungan • Pintu Perik/tingkap : jendela
adat adalah sebagai berikut : ukat • Bendi-bendi : pegangan tangan di pintu rumah
• Palas : pondasi dari batu • Para Kudin : tempat kudi • Eruk-eruk : kunci rumah
• Permanan : ijuk antara palas • Para ndegeng : tempat • Teh-teh tanduk : kudin taneh, tempat air di bawah tanduk
dengan benangan Pesembahan • Ret-ret : pengikat dinding rumah yang berbentuk
• Benangan : tiang yang banyaknya • Para Layar : tempat cecak/kadal
enam buah mengeringkan kayu api • Cambang-cambang : takal singa, patung singa di sudut
• Pandak : tiang penahan lantai • Bal-bal : tanda kerin rumah
rumah banyaknya enam buah • Papan Tonggal : jalan di tengah • Jujungan derpih : pengikat derpih bagian atas
• Send : pengikat benangan dan rumah • Tekang : di atas benangan 3 buah
pandak rumah menjadi sendi • Melen-Melan : penahan Dinding • Buang para : penahan lantai para
• Gulang-gulang : kayu sebesar (derpih) • Jangka : tangga ke bubungan rumah
pergelangan tangan • Tula-Tula : sandaran rusuk • Raris : penahan ijuk
• Dapur : dapur • Derpih : dinding Rumah • Beligan : bambu tempat mengikatkan ijuk
• Daliken : tungku • Kiten (Kite-Kite) Kucing : • Kalempu : ijuk yang digulung sebagai dasar atap rumah
• Kalang Papan : penahan papan tempat tegaknya tunjuk langit • Tarum : atap rumah dari ijuk
lantai • Tunjuk Langit : penahan rabung • Tersek : patung rumah kecil di atas rumah
• Kembing lebah : papan penutup rumah • Sangka Manuk : balok-balok sebagai dasar rumah di atas
labah • Rancang : tander rusuk pala
• Labah : pintu • Ongkilen : melentikkan atap
• Dangulen : tangga ke pintu • Perampu : tempat perongkil
masuk rumah • Alo Angin : penahan angina
• Apit : penjepit kelempa
• Rabung : penutup atap
• Ayo-ayo : anyaman (bayu-bayu)
pada muka rumah
• Tanduk : tanduk rumah
• Redan para : tangga ke para
• Redan Ture : tangga ke beranda
rumah
• Ture : beranda rumah dari
bamboo
• Benangan Ture : penahan ture
23 • Struktur bangunan rumah adat karo terbagi atas tiga
bagian, yaitu atap sebagian dunia atas, badan rumah
sebagai dunia tengah dan kaki sebagai dunia bawah,
yang dalam bahasa karo disebut dibata atas, dibata
tengah, dan dibata teruh (allah atas, allah tengah dan
allah bawah).
• Pembagian anatomi rumah adat karo menggambarkan
dunia atas tempat yang disucikan, dunia tengah tempat
keduniawian, dan dunia bawah tempat kejahatan
sehingga layak untuk tempat binatang peliharaan, yang
dalam kepercayaan suku Karo disukai oleh Tuhan
banua koling. Penguasa yang jahat dipuja dan dihormati
agar tidak menganggu kehidupan manusia.
• Orang Karo jaman dulu percaya akan adanya “penjaga
kampung” dalam wujud bukan manusia. Sosok
misterius yang menjaga kampung ini bersemayam
dalam wujud garam (sira) yang diletakkan dalam
sebuah wadah di bagian langit-langit Siwaluh Jabu
Mbelin. Garam ini dipercaya dapat memberikan
gambaran baik atau buruk bagi warga Kampung Dokan
sebelum melakukan sesuatu.
• Dalam pembangunan rumah adat, hal yang terpenting
adalah prosesnya yang sakral dibandingkan segi
fisiknya. Hal ini tampak mulai dari penentuan
tapak/lahan, pemilihan kayu di hutan, hari baik untuk
pendirian rumah, pemasangan atap sampai memasuki
rumah. Semuanya dilakukan melalui upacara-upacara
ritual dengan kerbau sebagai korban. Upacara-upacara
ini menunjukkan kepercayaan yang besar orang Karo
akan kekuasaan yang melebihi kekuatan manusia.
24

• Bagian dalam siwaluh jabu baik yang digunakan oleh rakyat biasa (Derip) maupun oleh
bangsawan tidak memiliki pembatas fisik yang memisahkan antara ruang satu
keluarga dan keluarga lainnya.
• Pemisah antara ruang yang berhadapan hanya dapur yang digunakan oleh setiap dua
keluarga yang berdekatan. Dengan demikian bangunan ini sepintas hanya terdiri dari
satu ruang besar yang ditempati oleh delapan keluarga, yang masing-masing
menempati daerah yang berukuran kurang lebih 4,00 x 4,00 m, sehingga merekan
dapat saling melihat.
• Meskipun setiap ruang ditempati oleh satu keluarga, namun pada dasarnya semua
ruang dapat digunakan untuk berbagai fungsi secara komunal tergantung dari
aktifitas yang sedang dilakukan, seperti untuk tempat makan, temapat tidur,
menerima tamu, dan lain sebagainya. Denah Aksonometri
Rumah Siwaluh Jabu
• Namun pada kenyataannya terdapat pembatas psikologis dan kultural yang sangat
tegas diantara ruang tersebut yang disertai dengan berbagai macam tabu yang
berlaku diantara keluarga sesuai dengan keyakinan dan adat.
25
26

ORNAMEN BERDASARKAN BUDAYA

ATAP
A. ORNAMEN KEPALA KERBAU
B. LUKISAN
C. ORNAMEN " PENGERET - RET "

DINDING
A. ORNAMEN " PENGERET-RET"
B. ORNAMEN MOTIF " EMBUN
SEKAWITEN"

DINDING
A. MOTIF "CUPING-CUPING"
27

Masyarakat Karo menganggap kerbau sebagai Di Tanah Karo, kerbau digunakan sebagai sarana transportasi, untuk
simbol kemakmuran. Pada masa lampau, membantu mengolah lahan pertanian, dan kotorannya dapat dijadikan
kebanyakan penilaian serta transaksi selalu pupuk. Tak hanya itu, hewan ini juga dikonsumsi dan digunakan sebagai
diputuskan berdasarkan pada nilai kerbau. Selain hewan kurban pada upacara adat baik itu pernikahan maupun kematian,
itu, dalam membedakan status sosial seseorang ornamen kepala kerbau yang terdapat pada ujung atap rumah adat
dapat dinilai berdasarkan jumlah kerbau yang siwaluh jabu ini memiliki makna sebagai tolak bala. Masyarakat Karo
dimilikinya mempercayai apa bila ornament kepala kerbau tersebut berada pada
ujung atap rumah mereka maka mereka akan terlindungi dari hal mistis.
28

LUKISAN PADA ATAP RUMAH


SIWALUH JABU
Warna yang terdapat pada lukisan atap rumah memiliki makna
marga silima, dimana setiap warna memiliki makna dan arti
tersendiri. Warna yang terdapat di depan atap yaitu merah,
kuning, hitam, hijau, dan putih. Setiap warna melambangkan
dasar marga orang karo yaitu, Karo–karo, Ginting, Tarigan,
Sembiring dan Perangin–angin.

Warna merah melambangkan marga Karo – karo Hitam


melambangkan marga Sembiring,
Hijau melambangkan marga Perangin – angin, Kuning
melambangkan marga Ginting,
Putih melambangkan marga Tarigan.
29
ORNAMEN " PENGERET-RET" PADA ATAP DAN
DINDING

DERPIH

Pengikat derpih (dinding), dan penolak bala atau roh-roh jahat.

PENGERET-RET CICAK

Dua kepalanya yang memiliki bentuk dan ukuran yang sama merupakan simbol
kejujuran masyarakat Karo, yaitu satu kata dengan perbuatan. Dua sisi kepala itu
sering dimaknai sebagai pertalian kekerabatan, atau lambang persatuan dan
lambang penyelesaian masalah dalam kehidupan sosial (runggu erbahan sada arih)
30

EMBUN SIKAWITEN
Embun sikawiten mengandung arti kemakmuran dengan adanya
pengertian embun beriring. Fungsinya tidak mengandung unsur mistis,
tetapi hanya sebagai hiasan. Ornamen ini dibuat secara berulang-ulang
untuk menghiasi bidang melenmelen. Pada ujung ikal terdapat hiasan
cekili kambing dan tulak paku sebagai unsur hiasan. Perpaduan sulur
dengan cekili kambing ini disebut embun sikawiten. Kedua ornamen ini
dibuat mendampingi motif Tapak Raja Sulaiman sebagai penambah
keindahan. Sering dipergunakan seniman sebagai hiasan pembagi
bidang simetris. Ornamen ini dianggap sebagai simbol keindahan,
kemakmuran dan tidak mengandung unsur mistik, tetapi hanya
berfungsi sebagai hiasan.
31

Cuping-cuping dalam bahasa Karo berarti kuping atau telinga.


Bentuk motif Cuping-cuping seperti daun telinga dan berfungsi
untuk mendengar. Bahan yang digunakan untuk membuat Cuping-
cuping adalah sekeping papan dengan bidang ± 40 cm. Cuping-
cuping dilekatkan pada keempat sudut rumah.

Beberapa makna simbolik dari Cuping-cuping antara lain penghuni


rumah punya pendengaran yang tajam, untuk mendengar suara-
suara jahat dari luar rumah. Makna lainnya adalah pemilik rumah
harus pandai menyaring beritaberita atau ucapan-ucapan orang
yang didengar.
32
KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan teori tersebut dapat disimpulkan bahwa rumah adat bukan
hanya tempat berlindung, tetapi rumah adat juga memiliki makna dan arti dari setiap
sudut maupun proses pembuatannya. Setiap daerah di Nusantara memiliki ciri khas
sendiri. Nilai seni yang dimiliki rumah adat karo ini berasal dari ornamen-ornamen
yang terdapat di dalam maupun di luar bangunan rumah adat karo dan dapat dijakan
pedoman hidup masyarakat karo dalam berbudaya saat ini.
Berikut keunikan Rumah Siwaluh Jabu :
• Rumah Siwaluh Jabu memiliki konstruksi yang tidak mempunyai penyambung.
• Struktur bangunan rumah adat karo terbagi atas tiga bagian : Atap bagian dunia
atas (suci), badan rumah sebagai dunia tengah dan kaki sebagai dunia
bawah(tempat kejahatan).
• Bagian material rumah adat ini rata-rata menggunakan material alami.
• Setiap ruangan memaksimalkan fungsi ruangan.
• Memiliki 8-10 kepala keluarga dalam 1 rumah.
• Penentuan pembangunan rumah adat karo berdasarkan musyawarah
31

TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai