Sidang Akhir-Rafi Riztyawan Zhafran
Sidang Akhir-Rafi Riztyawan Zhafran
Universitas Diponegoro
DISUSUN OLEH:
31 Mei 2021 RAFI RIZTYAWAN ZHAFRAN (11000117130274)
BAGIAN HUKUM ACARA
DOSEN PEMBIMBING:
Dr. Bambang Dwi Baskoro, S.H., M.Hum.
Sukinta, S.H., M.Hum.
DOSEN PENGUJI:
Dr. Irma Cahyaningtyas, S.H., M.H.
RUMUSAN
02 MASALAH
TUJUAN, MANFAAT,
DAFTAR 03 DAN SISTEMATIKA
PENELITIAN
METODE
05
PENELITIAN
HASIL PENELITIAN
06
DAN PEMBAHASAN
KESIMPULAN DAN
07
SARAN
01
LATAR
BELAKANG
1. Negara Republik Indonesia merupakan negara hukum sebagaimana yang dimuat dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945
2. Dimasukkannya Hak Asasi Manusia dalam instrumen hukum Indonesia sejak tumbangnya masa pemerintahan Presiden
Soeharto pada tahun 1998
3. Dibentuknya Pengadilan HAM untuk mengadili pelaku pelanggaran HAM yang berat berdasarkan amanat Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM
4. Namun, sampai dengan saat ini dirasa Pengadilan HAM tidak berjalan dengan efektif
5. Sejak berdirinya Pengadilan HAM, hanya tiga peristiwa yang berhasil diadili
6. Terdapat setidaknya 12 kasus yang diduga sebagai pelanggaran HAM yang berat yang masih terombang-ambing nasibnya
pada tahap penyelidikan
Oleh karena itu, penulis tertarik membahas dan menganalisis permasalahan diatas yang berjudul:
“Tinjauan Yuridis tentang Terhambatnya Upaya Penyelesaian Perkara Pelanggaran HAM yang Berat
Pada Tahap Penyelidikan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM”
02
RUMUSAN
MASALAH
1 Bagaimanakah mekanisme penyelidikan perkara pelanggaran HAM yang berat berdasarkan
2
Apa faktor-faktor yang menjadi penghambat penyelesaian perkara pelanggaran HAM yang berat pada
berat
Pemantauan Pemantauan
dianggap masih dianggap masih
kurang cukup
Dikeluarkannya surat
keputusan ketua Komnas
Hasilnya dipaparkan kembali HAM agar penyelidikan
di Sidang Paripurna dapat dilakukan
Melakukan Peninjauan
Lapangan
Melaksanakan kewenangan
berdasarkan perintah
sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 19 ayat (1) huruf g UU
Nomor 26 Tahun 2000
2. Pasca Pelaksanaan Penyelidikan Projusticia
Dalam Perkara Pelanggaran HAM yang Berat
Belum terdapat bukti permulaan yang
cukup
Dikirimkannya seluruh
Tim ad hoc menganggap Yang akan menghasilkan
laporan hasil penyelidikan Dipaparkan hasilnya di Sidang
penyelidikan yang dilakukan
kepada seluruh anggota Paripurna Komnas HAM
telah memiliki bukti
Komnas HAM
permulaan yang cukup Terdapat bukti permulaan yang cukup
4. Peristiwa Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II Jakarta Barat dan Jakarta Selatan, DKI Jakarta
6. Peristiwa Wasior 2000-2001 & Wamena 2003 Papua & Papua Barat
Dari 14 peristiwa yang telah dilakukan penyelidikan, hanya terdapat 3 peristiwa yang
sampai pada tahap pemeriksaan di Pengadilan HAM
1. Bolak-baliknya berkas penyelidikan antara
Komnas HAM dan Jaksa Agung
Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM:
“Dalam hal penyidik berpendapat bahwa hasil penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) masih kurang lengkap, penyidik segera mengembalikan hasil penyelidikan
tersebut kepada penyelidik disertai petunjuk untuk dilengkapi dan dalam waktu 30 (tiga
puluh) hari sejak tanggal diterimanya hasil penyelidikan, penyelidik wajib melengkapi
kekurangan tersebut.”
Syarat Materiil Belum terpenuhinya bukti permulaan yang
cukup
- Adanya tindakan Pra Penyidikan yang dilakukan oleh Jaksa Agung selaku penyidik
Pasal 1 angka 10 Peraturan Jaksa Agung Nomor Per-017/A/JA/07/2014 tentang Perubahan atas Peraturan Jaksa
Agung Nomor Per-039/A/JA/10/2010 tentang Tata Kelola Administrasi dan Teknis Penanganan Perkara Tindak
Pidana Khusus:
“Pra Penyidikan adalah tindakan Jaksa yang ditunjuk untuk mengikuti perkembangan penyelidikan Komnas HAM
dalam perkara pelanggaran HAM yang Berat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan HAM menurut cara yang diatur dalam Peraturan Jaksa Agung ini.”
“Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik - Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “bukti
untuk mencari dan menemukan ada tidaknya suatu permulaan yang cukup” adalah bukti permulaan
peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran hak untuk menduga adanya tindak pidana bahwa
asasi manusia yang berat guna ditindaklanjuti dengan seseorang yang karena perbuatannya atau
penyidikan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut
Undang-Undang ini.” diduga sebagai pelaku pelanggaran hak asasi
manusia yang berat.
- ……..
- ……..
Hal ini membuat ‘titik fokus’ dari penyelidikan perkara pelanggaran HAM yang berat menjadi tidak konsisten atau
inkonsisten. Padahal dalam hal menentukan pelaku atau tersangka merupakan ruang lingkup yang diampuh oleh
Penyidik.
Frasa “Bukti Permulaan yang Cukup” menimbulkan ambiguitas karena
dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
tidak tercantum maknanya secara eksplisit
Menurut Yahya Harahap, makna bukti permulaan yang cukup merujuk dan
harus sesuai pada ketentuan minimal dua alat bukti sebagaimana yang
tertuang dalam Pasal 183 KUHAP
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana
benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Upaya yang dapat dilakukan ialah:
- Adanya penegasan terkait dengan tujuan penyelidikan perkara pelanggaran HAM yang
berat
- Merevisi Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
- Dilakukannya kesepakatan antara Komnas HAM selaku penyelidik dan Jaksa Agung
selaku penyidik
Mekanisme penyelidikan perkara pelanggaran HAM yang berat berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM diawali dengan tahapan Pra Pelaksanaan Penyelidikan. Kemudian, dilanjutkan dengan tahapan
Pelaksanaan Penyelidikan dan diakhiri dengan tahapan Pasca Pelaksanaan Penyelidikan. Pada tahapan Pasca Pelaksanaan
Penyelidikan ini, setelah penyelidik beranggapan bahwa sudah terdapat bukti permulaan yang cukup, maka penyelidik
menyerahkan hasil penyelidikan kepada Jaksa Agung selaku penyidik. Kemudian, Jaksa Agung mempelajari hasil tersebut yang
nantinya akan menghasilkan dua keputusan, yakni hasil penyelidikan masih kurang lengkap dan hasil penyelidikan sudah
lengkap.
Faktor-faktor yang menjadi penghambat upaya penyelesaian perkara pelanggaran HAM yang berat ialah bolak-baliknya berkas
penyelidikan antara Komnas HAM dan Jaksa Agung dan Inkonsistensi Tujuan Penyelidikan dan Ambiguitas Frasa Bukti
Permulaan yang Cukup Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Adapun upaya-upaya yang
dapat dilakukan ialah merevisi Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, mengupayakan dilakukannya
tindakan Pra Penyidikan oleh Jaksa Agung, dan dilakukannya pertemuan intensif antara kedua lembaga. Kemudian, untuk
upaya terkait dengan ambiguitasnya frasa bukti permulaan yang cukup tersebut adalah harus ditegaskan sebagai dua alat
bukti yang sah. upaya ini dapat dilakukan dengan merevisi Undang-Undang a quo atau dapat dilakukan dengan adanya
kesepakatan antara Komnas HAM dan Jaksa Agung.
Saran
Dilakukannya dekonstruksi terkait dengan hubungan antara Komnas HAM selaku penyelidik dan
Jaksa Agung selaku penyidik.
Mendorong pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam mengusulkan
perubahan atas Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang memuat
substansi bahwa diberikannya wewenang penyidikan dan penuntutan kepada Komnas HAM atau
setidak-tidaknya diberikan wewenang penyidikan.
TERIMA KASIH