Anda di halaman 1dari 4

GENERASI TANPA VISI DAN MISI

Ada yang lebih penting dari kontroversi ujian nasional, yaitu bagaimana
mendidik anak-anak agar memiliki etos belajar dan kerja keras. Ada
kekhawatiran yang cukup beralasan, anak-anak kita tumbuh dalam lingkungan
sekolah dan sosial yang semrawut sehingga mereka tidak memiliki visi
kebangsaan dan tidak memiliki komitmen kemanusiaan serta etos keilmuan yang
kuat. Beberapa bulan lalu saya berkunjung ke beberapa sekolah di Vietnam dan
Turki, dua negara yang rasanya tidak begitu jauh kondisinya ketimbang
Indonesia. Setelah berbincang-bincang dengan beberapa murid dan guru, ada
kesan yang mengentakkan kesadaran saya mengenai bagaimana mereka
memandang masa depan.
"Apakah Anda bangga dengan Vietnam?"
"Tentu, kami bangga dengan orangtua kami dan bangsa kami. Kami sanggup
mengalahkan tentara Amerika," jawab beberapa murid di sebuah SMA di kota
Ho Chi Min.
"Setelah tamat SMA, ke mana mau meneruskan sekolah?"
"Kalau bisa, kami mau ke Amerika, sekolah sambil bekerja di sana," tegasnya.
"Bukankah dulu Amerika pernah menyerang Vietnam dan membunuh
orangtuamu?"
"Itu telah menjadi sejarah masa lalu. Orangtua dan guru kami mengajarkan untuk
menatap masa depan. Kami mesti belajar dan bekerja keras dan melupakan masa
lalu," jawab murid dan beberapa karyawan sekolah yang saya temui. Ketika
berkunjung ke beberapa sekolah di Turki, jawaban serupa juga muncul. "Apa
yang Anda pikirkan tentang Turki dan masa depanmu sendiri?" Beberapa guru
yang umumnya muda belia menjawab, "Kami harus belajar serius dan harus siap
berkompetisi dengan negara lain, khususnya Eropa. Kalau tidak, kami tidak akan
memiliki masa depan. Bangsa kami tidak akan dihargai. Dulu kami pernah
ditakuti dunia. Kini, kami mesti bangkit dengan memajukan ilmu pengetahuan
dan ekonomi."
Etos serupa juga akan mudah dijumpai pada siswa-siswa di Jepang dan
Korea Selatan. Bahwa, sejak dini mereka sudah memiliki visi global dan tekad

Page 1
serta kesiapan mental untuk belajar dan bekerja keras agar bisa ikut berkompetisi
di bidang ilmu pengetahuan dan ekonomi dalam percaturan global.
Selain karena faktor geografis dan kulturnya, sudah tentu pendidikan yang
diterima ikut membentuk karakter mereka dalam menyikapi kecenderungan
globalisasi ilmu pengetahuan dan ekonomi yang sarat dengan persaingan.

Terninabobokan
Anak-anak kita sudah lama terninabobokan oleh berbagai slogan dan mitos yang
menipu, misalnya Indonesia sebagai negara yang kaya raya, masyarakatnya
hidup gemah ripah loh jinawi, religius, rukun, gotong royong, ramah tamah, tepo
seliro, tanahnya subur, dan sekian slogan lain yang ternyata tidak ditemui oleh
anak-anak dalam kehidupan nyata. Yang terjadi justru sebaliknya. Dunia
pendidikan karut-marut, kompetensi lulusan sekolah tidak jelas standarnya, ujian
selalu bocor demi mengejar nilai, dan ketika mencari pekerjaan pun penuh
dengan suap dan kolusi.
Mengingat proses pendidikan sampai mencari kerja yang dari hulu sampai hilir
dipenuhi tindakan koruptif dan kolutif, amat bisa dimengerti mengapa bangsa ini
habis energi, tetapi tak juga keluar dari keterpurukan.
Pendidikan kita telah gagal untuk melahirkan generasi yang memiliki visi dan
komitmen. Di antara mereka tentu ada anak-anak cerdas dan bermoral tinggi.
Namun, jangan-jangan hanya minoritas jumlahnya.
Baru-baru ini ada survei yang cukup mengagetkan. Ternyata banyak anak kita
yang sudah amat akrab dengan situs-situs porno yang diakses lewat internet,
telepon seluler, dan VCD yang dijual bebas. Belum lagi yang namanya school
bullying atau semacam premanisme.
Sebagai pendidik dan orangtua, saya amat sedih membayangkan jika bangsa ini
dikendalikan oleh mereka yang tidak memiliki visi kebangsaan dan globalisme
serta tidak memiliki komitmen moral serta tidak memiliki kompetensi keilmuan.
Ketika aktif sebagai Ketua Panitia Pengawas Pemilu, saya terkejut melihat data
pendidikan sebagian calon anggota DPR yang hanya memegang ijazah
kesetaraan paket C, bahkan ada yang palsu. Apa yang akan terjadi dengan masa

Page 2
depan bangsa dan negara jika para elite politisi tidak memiliki kompetensi
keilmuan dan keahlian yang diperlukan dalam tugasnya?

Mutlak perlu
Ujian sekolah itu mutlak diperlukan karena bisa mendorong para siswa belajar
lebih serius dan juga berguna untuk mengukur keberhasilan proses belajar.
Apakah ujian nasional sebagai satu-satunya penentu kelulusan siswa ataukah
digabung dengan ujian akhir sekolah, sah-sah saja diperdebatkan.
Namun, yang kurang diperhatikan adalah bagaimana membentuk kultur sekolah
(school culture) yang memiliki komitmen untuk memelihara nilai-nilai unggul
(living values) yang menjadi spirit, acuan, dan iklim kehidupan bagi guru, murid,
maupun karyawan sekolah. Sebuah komunitas sekolah seharusnya merupakan
learning society yang setia menjaga dan menghidupkan nilai-nilai unggul dalam
kehidupan sehari-hari, sehingga sekolah merupakan lembaga katalisator yang
mampu memfasilitasi siswa menemukan dan mengembangkan bakat dan
minatnya dengan disertai nilai-nilai moral yang luhur.
Kini, kesan yang mengemuka tentang sekolah bagai pusat kursus tanpa standar
kompetensi dan moral yang jelas sehingga ketika memasuki perguruan tinggi
pun tidak menunjukkan keterampilan belajar (learning skill) serta komitmen
moral yang jelas untuk membangun masa depan mereka sendiri.
Padahal, usia anak-anak SMP dan SMA merupakan tahapan formative years
yang amat berpengaruh dalam menjalani hidup berikutnya. Pada usia inilah
pembentukan karakter seharusnya memperoleh perhatian serius, antara lain
militansi cinta ilmu, komitmen terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan kebangsaan,
serta tertantang untuk hidup mandiri.
Merebaknya kecurangan dalam ujian, kecenderungan menitipkan harga diri pada
ijazah, titel, dan nebeng pada prestasi orangtua, semua ini menunjukkan
terjadinya krisis kepribadian pada anak-anak kita. Hal ini juga mengindikasikan
gagalnya pendidikan kita dalam arti luas, baik dalam lingkungan sekolah,
keluarga, maupun masyarakat. Jika kondisi ini tidak memperoleh perhatian dan
perbaikan serius, segera, dan mendasar, kita semua layak pesimistis melihat
nasib Indonesia di masa depan karena baik yang memimpin maupun yang

Page 3
dipimpin sama-sama tidak memiliki kompetensi dan integritas untuk memajukan
bangsa.
Semasa Orde Baru, masyarakat telanjur dimanjakan dengan gaya hidup
konsumtif dan tidak memiliki etos kerja keras. Kini tiba-tiba kita semua
kelimpungan ketika tersadar, semua kemewahan itu dibiayai dengan utang luar
negeri dan hasil eksploitasi kekayaan alam. Ketika situasi politik, ekonomi, dan
bencana alam mengajak kita harus hidup prihatin dan bersiap menghadapi
tantangan persaingan global, pemerintah dan masyarakat kebingungan.
Kedaulatan dan kebanggaan sebagai warga Indonesia rapuh.
Prediksi ke depan akan semakin suram jika anak-anak kita tidak memperoleh
pendidikan yang bermutu, baik dalam hal ilmu pengetahuan, keterampilan,
pembentukan karakter, maupun wawasan kebangsaan serta kemanusiaan.
Ketika dunia merayakan pesta sepak bola sebagai simbol identitas dan
kebanggaan serta persahabatan antarnegara, kita tengah galau menghadapi
sekian banyak musibah alam dan kontroversi ujian nasional, padahal standar
kelulusan yang diterapkan hanya minimal.
Komaruddin Hidayat : Pembina Sekolah Madania/
Anggota BSNP

Perintah :
Berikan tanggapan yang bersifat analisis dan berisi solusi sebanyak empat
paragraf. Pertanyaan berikut sebagai acuan tanggapan, dapat
dikembangkan dengan 5w + 1h. Tulisan jelas, rapi dan bersih. (Mengapa
generasi Indonesia dikatakan tidak memilki visi dan misi? Apakah benar
demikian? Apakah ada yang salah dengan proses belajar dan pembelajaran?
Bagaimana seharusnya? )

Page 4

Anda mungkin juga menyukai