Anda di halaman 1dari 82

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi


Health Professional Education Quality (HPEQ) Project
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Health Professional Education Quality (HPEQ) Project
Divisi Social Marketing

Tim Penulis: Editor Bahasa:


Irwandi Rahma Novita
Muhamad Kumbo Lasmono Preciosa Alnashava J.
Raden Ayu Wulantari
Rahma Novita Ilustrator:
Muhamad Heychael Hery Siswanto
Yogi Herdani Ristian Akbar
Suryo Boediono
Penata Letak:
Editor Substansi: Harman Mariendra
Irwandi

Diterbitkan oleh:
Health Professional Education Quality (HPEQ) Project
Cetakan Pertama, 2013
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

KATA PENGANTAR

Buku kecil yang ada di hadapan pembaca ini merupakan


pengantar untuk mengenali pembaharuan sistem penjaminan
mutu pendidikan tinggi kesehatan yang sedang berlangsung
saat ini. Kenapa buku ini disebut pengantar? Subjek yang
dibahas di dalam buku ini sesungguhnya merupakan tema yang
kompleks dan memerlukan deskripsi yang tebal. Pembaharuan
sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi kesehatan itu sendiri
juga merupakan upaya yang terjadi di setiap masa sebagai
tanggapan terhadap perubahan zaman. Buku ini membatasi diri
untuk hanya memotret pembaharuan yang terjadi ketika proyek
Health Professional Education Quality (HPEQ) Dikti berlangsung,
yaitu selama kurun waktu 2009-2014.

Secara ringan buku ini mengajak kita, terutama para pemangku


kepentingan untuk peduli dengan mutu di dalam sistem
pendidikan tinggi kesehatan. Kenapa kita harus peduli? Karena
mutu sistem pendidikan tinggi kesehatan menentukan mutu
sistem pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan yang bermutu,
termasuk juga yang adil dan merata sangat menentukan derajat
kesehatan masyarakat. Kita tahu bahwa kesehatan, setelah
pendidikan, adalah pilar penentu dari daya saing dan prasyarat
produktivitas suatu bangsa. Itu artinya mutu adalah soal nasib
dan harkat martabat bangsa.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia iii


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

Upaya penataan mutu juga berkaitan erat dengan menurunnya


kepercayaan masyarakat akan pelayanan kesehatan di Indonesia.
Saya beserta segenap profesional dan pendidik kesehatan
yang tergabung dalam HPEQ, percaya bahwa langkah pertama
untuk merebut kembali kepercayaan publik mesti dimulai dari
penataan mutu sistem pendidikan profesi kesehatan. Sebuah
sistem yang menjamin bahwa para profesional kesehatan
harus terlahir dari institusi yang juga sehat secara organisasi,
memenuhi standar nasional dan memiliki kompatibilitas dengan
standar internasional. Hanya dengan begitu, kita baru bisa
berharap melahirkan kembali social-trusted professionalism,
tenaga kesehatan professional yang mendapatkan kepercayaan
masyarakat.

Di dalam buku ini kita diajak untuk melihat deru perubahan


lingkungan strategis sistem pendidikan tinggi dan pelayanan
kesehatan. Buku ini juga mencatat bahwa perubahan ke arah
mutu yang lebih baik, sebagaimana ditunjukkan dengan
pembangunan sistem akreditasi yang lebih komprehensif dan
spesifik bagi pendidikan kesehatan, bukanlah kerja individual.
Sebaliknya ini merupakan hasil kerja publik kesehatan secara luas,
yang didiorong oleh paradigma dan sikap mental yang berdasar
pada interprofesionalitas. Wujudnya, tujuh organisasi profesi
dan tujuh asosiasi insitusi pendidikan tinggi kesehatan telah
bersepakat untuk memulai langkah besar ini dengan mendirikan
rumah penjaminan mutu bersama. Sebuah rumah untuk saling
belajar dan saling mendorong untuk meningkatkan diri dalam
mutu melalui pendirian dua lembaga penjaminan mutu

iv Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

pendidikan tinggi, yaitu Lembaga Akreditasi Mandiri Pendidikan


Tinggi Kesehatan (LAM-PTKes) dan Lembaga Pengembangan Uji
Kompetensi (LPUK).

LAM-PTKes dan LPUK memiliki dua nilai tambah dibanding


sistem akreditasi pendahulunya. Pertama, secara filosofis, kedua
lembaga tersebut lahir dari inisiasi publik dan merupakan
Lembaga Akreditasi pertama bentukan masyarakat. Sekaligus
tanda perubahan dari paradigma mutu yang pada awalnya
bersifat top down merupakan tanggung jawab pemerintah,
menjadi mutu yang bersifat social accountability, yakni tanggung
jawab institusi pendidikan dan profesi kesehatan.

Kedua, secara praktis, nilai tambah yang ditawarkan sistem


akreditasi baru ini adalah pada pembangunan berkelanjutan
kapasitas institusi program studi kesehatan. Proses akreditasi
oleh LAM-PTKes dimulai semenjak langkah pertama sampai
berakhirnya masa status akreditasi satu program studi. Tidak
hanya memotret pemenuhan standar pendidikan, sistem
akreditasi baru memberikan umpan balik hasil akreditasi
yang tepat waktu, adil dan konstruktif kepada program studi.
Sementara LPUK membangun sistem uji kompetensi yang
terstandar secara nasional dan memiliki kompatibilitas dengan
standar internasional. Uji kompetensi memberi kepastian
kapasitas profesional seseorang tenaga kesehatan yang akan
melaksanakan praktik atau upaya kesehatan. Uji kompetensi
bukan sekedar kendali mutu final inspection, melainkan juga
memberikan umpan balik bagi perbaikan institusional dan

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia v


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

instruksional satuan pendidikan tinggi kesehatan.

Akhirnya, saya ucapkan terima kasih banyak kepada tim penulis.


Semoga buku kecil ini bisa menambah khazanah pengetahuan
kita tentang sistem penjaminan mutu di pendidikan tinggi
kesehatan Indonesia. Selamat membaca.

Jakarta, 10 Mei 2013

Dr. Illah Sailah


Manager HPEQ Project
Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

vi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

DAFTAR ISI
Kata Pengantar iii
Daftar Isi vii

1. Penataan Mutu Pendidikan Tinggi Kesehatan :


Sebuah Rasionalisasi dan Konteks Strategis 1
2. Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi
Kesehatan 15
Apa Itu Mutu? 16
Mutu dan Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan
Tinggi 18
Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi Kes-
ehatan 21
3. Mengenal Lembaga Akreditasi Mandiri
Pendidikan Tinggi Kesehatan (LAM-PTKes) 29
Apa Itu LAM-PTKes? 30
Orientasi Strategis LAM-PTKes 32
Nilai Tambah LAM-PTKes 36
LAM-PTKes Sebagai Model 42
4. Mengenal Lembaga Pengembangan Uji
Kompetensi (LPUK) 45
Uji Kompetensi 46
Penguatan Sistem Uji Kompetensi 48
Lembaga Pengembangan Uji Kompetensi (LPUK) 53
5. Refleksi Seorang Pengemban Tugas: Mutu
Sebagai Jalan Hidup 59

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia vii


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

Referensi 69

Daftar Tabel

Tabel 3.1 Perbandingan Sistem Akreditasi Lama dan Baru 37


Tabel 4.1 Perbandingan Sistem Uji Kompetensi Lama
dan Baru 50

Daftar Gambar

Gambar 2.1 Pengertian Mutu Pendidikan 16


Gambar 2.2 Kerangka Upaya Peningkatan Kualitas
Kesehatan Masyarakat 23
Gambar 2.3 Pengembangan Sistem Penjaminan Mutu
Pendidikan Tinggi Kesehatan 25
Gambar 3.1 Prinsip Quality Cascade 33
Gambar 3.2 Pendidikan Interprofesional sebagai Pemicu
Kolaborasi Interprofesional di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan 34
Gambar 4.1 Piramida George Miller 54

Daftar Illustrasi

Ilustrasi 1 13
Ilustrasi 2 28
Ilustrasi 3 44

viii Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

Penataan Mutu Pendidikan


Tinggi Kesehatan:
Sebuah Rasionalisasi dan
Konteks Strategis

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 1


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

S
ekarang saatnya bagi seluruh pengandil dan pengambil
kebijakan dalam sistem pendidikan maupun pelayanan
kesehatan untuk berubah dan berbenah diri menjadikan
mutu sebagai kebutuhan (quality first) serta mengambil mutu
sebagai cara hidup dan menempatkannya sebagai bentuk
tanggung jawab sosial. Hal tersebut merupakan perubahan
dari cara berpikir dan bertindak yang sektoral kepada budaya
kerja sama lintas profesi. Hanya itu cara untuk merebut kembali
kepercayaan masyarakat Indonesia akan pelayanan kesehatan
yang lebih baik di tanah air.

Langkah pertama adalah semua pemangku kepentingan


memastikan sistem pendidikan tinggi kesehatan memenuhi dan
melampaui standar mutu yang telah ditetapkan dalam standar
pendidikan dan kompetensi lulusannya. Pada jenjang inilah
proses persiapan dan pemantapan kompetensi satu profesi
kesehatan dimulai dan dipastikan. Selain naiknya kepercayaan
masyarakat, harapannya adalah pengakuan global akan mutu
pendidikan tinggi kesehatan dan kompetensi tenaga kesehatan
Indonesia yang juga terus meningkat.

Jalan yang harus ditempuh adalah dengan memperkuat sistem


penjaminan mutu pendidikan tinggi kesehatan secara holistik.
Sebuah sistem penjaminan mutu yang memungkinkan adanya
mekanisme umpan balik (feedback) terhadap sektor pendidikan
tinggi kesehatan. Umpan balik yang dimaksud adalah yang tepat
waktu, spesifik, konstruktif, adil serta mendorong program studi
melakukan perbaikan instruksional dan institusional dalam satu

2 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

paket. Perbaikan instruksional menghasilkan pembelajaran yang


transformatif, tidak sekedar informatif dan normatif. Sementara
perbaikan institusional menghasilkan interdependensi,
interprofesional dan transprofesional.

Kenapa kita harus berubah dan kenapa harus dengan penguatan


sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi kesehatan? Karena
mutu adalah penentu nasib dan masa depan pendidikan profesi
kesehatan. Pertama, saat ini globalisasi telah menggelinding dan
nyaris tidak ada yang bisa lari dari proses ini, termasuk pendidikan
tinggi kesehatan. Dalam waktu dekat, Indonesia akan memasuki
ASEAN Community 2015. Dalam konteks ini, knowledge-
based economy menjadi penentu daya saing satu bangsa. Di
dalam lanskap ini, terjadi mobilitas profesional kesehatan
lintas negara termasuk di dalam bidang kesehatan. Terbentuk
integrasi regional dan internasional yang mensyaratkan adanya
mekanisme profesional dalam pengakuan kompetensi dan
sertifikat perguruan tinggi yang terstandar.

Termasuk di dalam konteks globalisasi itu adalah sistem


penjaminan mutu telah menjadi norma baru di dunia pendidikan
dengan berkembangnya lembaga penjaminan mutu di setiap
negara. Sebuah fenomena yang disebut David Woodhouse
(2006) sebagai revolusi mutu. Jejaring badan penjaminan
mutu di tingkat internasional, regional dan subregional tumbuh
dengan pesat dan tidak ada tempat untuk isolasi diri bagi satu
negara, semua terhubungkan. Pada tataran internasional ada
International Network of Quality Assurance Agencies in Higher

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 3


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

Education (INQAHEE, 1991) yang gencar mempromosikan praktik


baik penjaminan mutu pendidikan di dunia. Di setiap regional
ada jejaring lembaga penjaminan mutu pendidikan tinggi,
misalnya di Asia Tenggara ada AQAN (2008); Eropa dengan ENQA
(2004); Asia Pasifik dengan APQN (2003); Afrika dengan AAU;
negara-negara Karibia dengan CANQATE-nya dan sebagainya.

Kemudian, WHO juga membentuk task force internasional untuk


akreditasi pendidikan kedokteran, World Federation for Medical
Education (WFME) pada 1972 yang menjadi organisasi payung
bagi 6 asosiasi kedokteran tingkat regional termasuk di dalamnya
South East Asia Regional Association of the World Federation for
Medical Education (SEARAME). WFME merupakan organisasi
dunia bagi kedokteran yang bermimpi untuk mendorong
kualitas kedokteran menjadi lebih baik melalui pengembangan
standar pendidikan; promosi akreditasi; database; publikasi dan
kerja sama antara pendidikan kedokteran di seluruh dunia.

Selain itu, World Health Organization (WHO) mencatat bahwa


dunia, termasuk Indonesia, sedang menghadapi persoalan
sistem pelayanan kesehatan yang makin fokus pada pelayanan
kuratif spesialistik, pengendalian penyakit berjangka pendek,
bersifat komersil dan cenderung tak terkendali. Akibatnya
biaya kesehatan menjadi mahal. Di samping itu, dunia sedang
menghadapi penyakit infeksi baru akibat pencemaran
lingkungan dan perilaku yang tidak sehat, di mana terus
mengancam kesehatan nasional dan global, seperti Severe Acute
Respiratory Syndrome (SARS), Flu Burung (Avian Influenza), Flu
Babi (Swine Influenza) dan sebagainya.
4 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

Penyakit-penyakit yang memerlukan perubahan paradigma


penanganan kesehatan yang holistik. Hal ini diperparah juga
dengan transisi demografi dan transisi epidemiologi.

Menyikapi perubahan dunia seperti ini, pada 2010, 20 pemuka


profesi dan akademisi kesehatan dari berbagai negara sepakat
membentuk Global Independent Commission on Education
of Health Professionals for 21st Century. Setelah satu tahun
melakukan riset, mereka melihat pendidikan profesi kesehatan
di dunia belum menjawab perubahan ini. Ini dikarenakan
profesi kesehatan itu sendiri masih berkutat dengan persoalan-
persoalan semisal ketidaksesuaian kompetensi lulusan dengan
kebutuhan individu pasien dan masyarakat; lemahnya kerja sama
antara profesi kesehatan; paradigma yang lebih berorientasi
kepada pelayanan medik/pengobatan, bukan paradigma sehat
yang berorientasi kepada manusia sebagai subjek, yaitu sebagai
produsen kesehatan; pelayanan kesehatan yang hanya bersifat
episodik dan orientasi yang lebih condong ke pelayanan rumah
sakit dari pada pelayanan kesehatan dasar. Menurut komisi
global ini, setiap upaya perbaikan terhadap kondisi ini selalu
mengalami titik buntu karena faktor tribalism of the professional,
yaitu kecenderungan dari profesi tertentu untuk bergerak sendiri
bahkan berkompetisi dengan yang lainnya.

Komisi yang diketuai oleh Julio Fraenk dari Harvard School of


Public Health, Boston USA dan Lincoln Chen Presiden dari China
Medical Board, Cambridge USA, mengusulkan satu perubahan
orientasi strategis pengembangan pendidikan profesi
kesehatan di seluruh dunia. Hal mendasar yang mereka gariskan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 5
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

pertama adalah antara sistem pendidikan dan sistem kesehatan


memiliki hubungan yang erat. Untuk memberikan dampak
kepada kualitas sistem kesehatan, subsistem pendidikan
profesi kesehatan harus melakukan reformasi instruksional dan
institusional sekaligus, dengan dua hasil yaitu pembelajaran
transformatif (transformative learning) dan saling keterkaitan
dalam pendidikan (interdependent in education).

Transformatif sebagai buah dari reformasi instruksional adalah


pembelajaran yang mengembangkan sifat-sifat kepemimpinan
dan menghasilkan pelaku-pelaku perubahan. Pembelajaran
yang bukan sekedar penguasaan pengetahuan dan skill
untuk melahirkan tenaga ahli semata seperti pada informative
learning dan bukan juga sekedar mensosialisasikan nilai-nilai
dengan tujuan mencetak tenaga profesional seperti formative
learning. Sementara interdependent sebagai buah dari reformasi
institusional ditunjukkan oleh tiga perubahan mendasar, yaitu
dari sistem yang terisolasi kepada sistem pendidikan dan
sistem kesehatan yang harmonis; dari institusi yang berdiri
sendiri kepada institusi yang membangun jaringan, aliansi, dan
konsorsium; dan terakhir dari insitusi dengan cakrawala pendek
kepada institusi dengan horizon luas yaitu memanfaatkan
kekayaan isi, sumber daya dan inovasi pendidikan global.

Bagaimana dengan kondisi keindonesiaan? Indonesia


merupakan negara kepulauan yang sangat luas. Memiliki
penduduk terbanyak ke-4 dunia dengan ragam latar belakang
sosial budaya. Pelayanan kesehatan bergerak di dua arah
berbeda, sebagian masyarakat masih sangat memerlukan
6 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

pelayanan dasar, sementara yang lain sudah memerlukan


pelayanan kesehatan yang canggih. Sementara itu teknologi
belum menjadi pemungkin bagi meningkatnya akses dan mutu
pelayanan kesehatan itu sendiri. Sebaran tenaga kesehatan juga
tidak merata di seluruh Indonesia dan tentu kita tidak ingin pada
2015 saat ASEAN Community dimulai, pusat layanan kesehatan
di daerah-daerah diisi oleh tenaga kesehatan dari negara Asia
Tenggara lainnya. Ini semua membutuhkan sistem pelayanan
kesehatan yang kompleks.

Menurut kajian Equity in Asia-Pacific Health System (Equitap),


sebuah jejaring grup peneliti kesehatan di regional Asia Pasifik,
dalam laporan tahun 2005, Indonesia berada di peringkat
terbawah dalam pemanfaatan rumah sakit dan fasilitas
pelayanan kesehatan formal. Kendati secara faktual dalam satu
dekade terakhir di Indonesia telah terjadi peningkatan ekspansi
atau pertumbuhan pembangunan fasilitas pelayanan kesehatan,
seperti bertambahnya jumlah rumah sakit, puskesmas, pustu, dsb.
Akan tetapi peningkatan fasilitas pelayanan kesehatan belum
diikuti dengan kualitas pelayanan kesehatan. Terjadi penurunan
kepercayaan masyarakat karena lemahnya sistem pengawasan
pelayanan kesehatan, kompetensi profesional tenaga kesehatan
dan perilaku pengusaha rumah sakit itu sendiri.

Pengawasan yang dilakukan melalui akreditasi rumah sakit belum


banyak menyentuh kualitas pelayanan medik, asuhan perawatan,
dsb. Selanjutnya, kompetensi dan perilaku profesional tenaga
kesehatan juga belum sesuai harapan seperti tertuang pada
standar kompetensi, kode etik dan penyelenggaraan praktik atau
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 7
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

asuhan kesehatan yang baik pada masing-masing profesi. Kerja


sama lintas profesi dan komunikasi dengan rekan sejawat masih
lemah; kepentingan pasien belum menjadi prioritas utama;
kemampuan berkomunikasi dan keengganan untuk dikontrol
oleh pihak lain, termasuk rekan sejawat masih terlihat. Hal lain
yang memengaruhi kualitas layanan adalah cara berpikir dan
perilaku pengusaha rumah sakit yang masih lebih berorientasi
pengembalian modal dan keuntungan. Tentu cara berpikir
dan kondisi pasien juga ikut memberi andil terhadap kualitas
pelayanan kesehatan yang diberikan. Selain itu belum ada studi
yang komprehensif berapa besar medical error, rasionalitas
terapi, kejadian menyimpang, dan juga perilaku pasien yang
dapat dijadikan tonggak untuk perbaikan mutu pada masa-masa
yang akan datang.

Terkait dengan konstelasi ini, sudah ada upaya reformasi hukum


dalam pengaturan sistem pendidikan dan kesehatan yang
berorientasi kepada mutu. Ini dapat dilihat dari lahirnya Undang-
Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran,
Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen,
diikuti dengan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan. Termasuk Undang-Undang No. 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menata sistem kesehatan
secara komprehensif. Legislasi yang terakhir hadir adalah UU No.
12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang mengatur secara
komprehensif sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi.
Legislasi ini memperkenalkan akreditasi dan sertifikasi individual
sebagai satu bentuk penjaminan mutu. Akreditasi menjamin
8 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

akreditasi institusi, sementara jaminan akan kualitas


profesionalitas dosen yang akan mengajar, dokter yang akan
memberikan layanan kesehatan melalui sertifikasi individual
setelah uji kompetensi.

Undang-Undang Praktik Kedokteran, terlepas dari kekurangannya,


merupakan terobosan untuk menata dan mengatur praktik
dokter dan dokter gigi yang lebih bermutu secara komprehensif.
Menurut undang-undang ini, pengendalian mutu dokter dan
dokter gigi sudah harus dimulai dari pendidikannya, praktik
kedokteran hanya ada setelah sertifikasi kompetensi, ada
registrasi dan izin praktik, dan harus ada pembinaan profesional
yang berkelanjutan. Sebagai lanjutannya adalah tersusunnya
Standar Pendidikan Dokter dan Standar Kompetensi Dokter
Indonesia pada tahun 2006 yang diikuti dengan dimulainya uji
kompetensi oleh dua profesi kedokteran, dokter dan dokter gigi,
pada 2007. Dua standar tersebut juga telah disempurnakan pada
2012. Kurikulum Berbasis Kompetensi juga mulai diterapkan,
walaupun dengan kualitas penerapan yang beragam di seluruh
institusi pendidikan kedokteran di Indonesia.

Di luar itu, pemerintah pada 2012 juga mengeluarkan Kerangka


Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) yang mengatur kualitas
kompetensi lulusan pendidikan tinggi formal disejajarkan
dengan kompetensi yang didapat dari jalur pendidikan informal
dan nonformal. KKNI menjadi basis paling pokok dalam
penetapan kompetensi lulusan baik jalur akademik, vokasional
maupun pendidikan profesi. Pada tahun 2012 sudah disusun

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 9


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

KKNI empat profesi kesehatan, yakni kedokteran, kedokteran


gigi, perawat dan bidan.

Bagaimana posisi pendidikan tinggi kesehatan Indonesia


sebagai lembaga yang menghasilkan tenaga profesional
kesehatan di dalam konstelasi ini? Terjadi pertumbuhan jumlah
satuan pendidikan tinggi kesehatan yang cukup signifikan tapi
belum diikuti dengan mutu yang terstandar. Data tahun 2010
menunjukkan dari 1737 satuan pendidikan tinggi kesehatan
hanya 535 yang terakreditasi dan 1202 tidak terakreditasi. Ini
artinya lebih dari separuh atau 69 persen prodi tidak layak atau
minimal tidak jelas status mutunya. Hampir 80 persen institusi
perawat tidak memiliki status akreditasi, sementara bidan hampir
72 persen institusi prodi juga dengan status tidak terakreditasi.

Sementara itu untuk tenaga medis, kedokteran 65 persen sudah


terakreditasi, tetapi masih ada kurang lebih 35 persen fakultas
kedokteran yang beroperasi tanpa status akreditasi. Selanjutnya,
kedokteran gigi, 56 persennya sudah terakreditasi dan lagi-lagi
masih ada 44 persen tanpa kejelasan tingkat kelayakan untuk
melaksanakan proses belajar dan mengajar.

Sementara itu untuk pendidikan spesialis belum ada akreditasi


yang dilakukan. Kalaupun sudah dilakukan, tidak dengan
instrumen yang valid dan reliabel. Baru pada 2008 ada
Memorandum of Understanding (MoU) antara BAN-PT dan KKI
untuk membuat dan merumuskan instrumen yang spesifik untuk
menjaga konsistensi dan kesesuaian dengan standar pendidikan
kedokteran. Akan tetapi pelaksanaannya selalu tidak mudah dan
10 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

tidak secepat yang direncanakan.

Belum lagi menyebut bagaimana tumpang tindih peran,


proses dan perbedaan instrumen akreditasi antara BAN-PT dan
Pusdiknakes Kemkes dalam mengakreditasi satuan pendidikan
kesehatan seperti Poltekkes di bawah binaan Kemkes. Disepakati
bahwa Poltekkes negeri diakreditasi oleh Kementerian Kesehatan
sementara swasta oleh BAN-PT dan tidak ada persamaan
pendekatan dan instrumen di antara dua institusi ini, tidak ada
kesesuaian dengan standar internasional dalam mengakreditasi,
tidak ada akuntabilitas dan transparansi kepada publik. Ini
merupakan kondisi sebelum Undang-Undang No. 12 Tahun
2012 tentang Pendidikan Tinggi lahir dan keadaan sebelum atau
ketika proyek penataan mutu pendidikan tinggi kesehatan oleh
HPEQ-Dikti Project dimulai.

Uji kompetensi sebagai saringan kedua penjaminan mutu


pendidikan tinggi kesehatan sebelum calon tenaga kesehatan
terjun melakukan praktik dan upaya kesehatan juga baru
dimulai pada 2007 oleh dua profesi, yaitu dokter dan dokter
gigi. Sementara profesi lain sama sekali belum melakukan. Uji
kompetensi baru dilakukan sejak 2007 oleh dua profesi medis
yaitu kedokteran dan kedokteran gigi dengan hasil yang belum
memuaskan. memuaskan. AIPKI menyebutkan pada tahun
ketika dimulainya uji kompetensi itu, hanya 50 persen mahasiswa
yang lulus, walaupun masih ada perdebatan tentang standar
setting dan ambang batas kelulusan. Dengan kondisi sistem
pendidikan tinggi kesehatan dan sistem pelayanan kesehatan
seperti itu, bagaimana derajat kesehatan masyarakat? Kualitas
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 11
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

kesehatan masyarakat Indonesia dalam beberapa hal mengalami


tren kenaikan, tapi beberapa indikator menurun. Angka rata-rata
harapan hidup meningkat dari 60 tahun pada 1986 menjadi 69
tahun pada 2007, angka kematian bayi menurun drastis dari
110 per 1000, angka kelahiran pada awal-awal 1980-an menjadi
hanya 34 orang dari 1000 angka kelahiran pada 2007. Akan tetapi
angka kematian ibu melahirkan dan angka malnutrisi masih
bergerak pelan dan Indonesia relatif jauh tertinggal dengan
kemajuan yang dicapai negara ASEAN lainnya.

HPEQ hadir dalam semangat dan kontinum pengembangan


mutu ini. HPEQ mengambil lesson learned dari apa yang telah
berlalu. Praktik UKDI, UKDGI dan sebagainya diteruskan untuk
dikembangkan lebih baik lagi dan diteruskan ke profesi lain untuk
juga mengikuti. Oleh karena itu terdapat tiga agenda dan output
besar yang sedang dikerjakan oleh HPEQ, yaitu pembentukan
Lembaga Akreditasi Mandiri Pendidikan Tinggi Kesehatan
(LAM-PTKes), Lembaga Pengembangan Uji Kompetensi (LPUK),
dan sedang dikembangkan juga Program Hibah Kompetensi
Pendidikan Dokter, yakni sebuah program kemitraan antara
fakultas kedokteran untuk saling mengampu dalam peningkatan
status kualitas kelembagaan.

12 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 13


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

14 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

Sistem Penjaminan Mutu


Pendidikan Tinggi Kesehatan

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 15


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

Apa Itu Mutu?

M
utu adalah suatu konsep yang tidak mudah didefinisikan.
Setiap definisi dari mutu akan menghasilkan suatu
konsekuensi yang berbeda berkaitan dengan standar
dan indikator yang akan dipakai. Setidaknya, sampai saat ini
pengertian mutu dalam pendidikan tinggi berkisar antara
empat kutub yang geraknya sirkuler tanpa henti, seperti yang
dijelaskan Dirk van Damme dalam salah satu dokumen UNESCO
tentang akreditasi pendidikan tinggi. Keempat kutub tersebut
yaitu excellence standards, fitness for purpose, basic standard, dan
consumer satisfaction, seperti terlihat dari gambar di bawah ini.

Gambar 2.1 Pengertian Mutu Pendidikan


Sumber : Standards and Indicators in Institusional and Program
Accreditation in Higher Education : A Conceptual Frameworks (2004)

16 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

Sebagaimana ditunjukkan oleh panah yang melingkar dalam


Gambar 2.1, dominasi dari suatu pandangan mutu tertentu saling
berganti dengan berjalannya waktu. Pada awalnya, ketika jumlah
perguruan tinggi masih sedikit dan belum tumbuh secara masif
(mass higher education) seperti sekarang, mutu sama dengan
standar tertinggi/prima (excellence standard). Mutu berkaitan
dengan derajat kesulitan kurikulum/mata kuliah serta tingkat
keseriusan tes/evaluasi peserta didiknya. Mutu dalam pengertian
ini identik dengan distinctiveness, exclusivity, dan excellence.
Semua ingin menjadi nomor satu. Semakin sedikit mahasiswa
yang sukses/lulus dianggap semakin bermutu tinggi.

Ketika pertumbuhan jumlah perguruan tinggi berkembang


pesat dan tidak lagi menjadi institusi yang elit, paradigma mutu
pendidikan tinggi juga berubah. Awal tahun 1980-an sampai
dengan awal 1990-an terjadi pergeseran dari mutu sebagai
standar prima menuju ke orientasi internal institusi, di mana
mutu dipahami sebagai fitness for purpose. Pada pengertian
ini mutu dimaknai secara relatif sesuai dengan pemahaman
dan kebutuhan institusi, yaitu tercapainya visi, misi dan tujuan
internal satuan pendidikan/program studi dengan pemanfaatan
sumber daya pendidikan yang dimiliki secara efisien.

Hegemoni pandangan kedua juga tidak bertahan lama karena


kurangnya perhatian pada standar minimal dan kurang
terjawabnya ekspektasi pemangku kepentingan. Mulai akhir
tahun 1990-an terjadi pergeseran pemahaman mutu ke orientasi
Standar Minimal atau Dasar. Mutu dipahami sebagai pemenuhan

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 17


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

standar minimal (basic standard) pendidikan yang telah


ditetapkan, biasanya dalam regulasi. Ini identik dengan akreditasi
yang dianggap sebagai mekanisme untuk memproteksi standar
minimal tersebut.

Dengan semakin berpengaruhnya kekuatan pasar terhadap


pendidikan tinggi, maka berkembanglah pandangan mutu yang
berorientasi kepada konsumen. Dalam hal ini, Orientasi Eksternal
Institusi (Externally Relative Orientation) berbeda dengan
orientasi kepada Standar Minimal atau Dasar yang lebih absolut.
Pandangan ini relatif lebih berorientasi kepada pemangku
kepentingan dan komunitas di luar program studi atau institusi
pendidikan. Tidak lama lagi ke depannya, orientasi ke Standar
Prima akan timbul kembali sejalan dengan semakin sengitnya
persaingan di tingkat global (UNESCO, 2004). Selain itu tentu
masih banyak lagi cara lain mendefinisikan mutu.

Mutu dan Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi

Dalam dunia pendidikan tinggi di Indonesia, tidak ada defenisi


mutu yang secara eksplisit disebut dan ditulis. Akan tetapi secara
implisit pengertian mutu yang diadopsi dan dipakai dalam
pengembangan pendidikan tinggi dapat dipahami dari berbagai
dokumen kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang
ada. Mutu dipahami sebagai pemenuhan Standar Nasional
Pendidikan termasuk Standar Nasional Pendidikan Tinggi yang
dianggap sebagai standar minimal. Selain itu, mutu juga dilihat
sebagai peningkatan mutu yang terus menerus di internal

18 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

satuan pendidikan tinggi, di mana satu satuan pendidikan tinggi


dianggap bermutu jika dapat menunjukkan peningkatan mutu
institusinya secara terus menerus. Pada saat yang sama mutu
juga dipahami sebagai penyelarasan antara dunia pendidikan
dan dunia kerja dengan mendorong satuan pendidikan untuk
menghasilkan lulusan dengan kompetensi yang sesuai dengan
kebutuhan pengguna. Terakhir mutu juga dimengerti sebagai
upaya untuk mendorong satuan pendidikan tinggi menuju
pencapaian excellence standards seperti kebijakan perguruan
tinggi bertaraf internasional, publikasi internasional dan
sebagainya.

Setelah Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem


Pendidikan Nasional memperkenalkan delapan Standar Nasional
Pendidikan yang kemudian dielaborasi lebih lanjut ke dalam
Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan, pemerintah melalui Undang-Undang No.
12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menyusun Standar
Nasional Pendidikan Tinggi, yaitu delapan standar nasional
pendidikan ditambah dengan tiga standar tentang tridarma.
Standar dipahami sebagai ketentuan minimal kelayakan sebuah
satuan pendidikan atau program studi untuk menjalankan
fungsinya. Penetapan standar ini dipandang sebagai bentuk
jaminan atau perlindungan negara terhadap masyarakat untuk
mendapatkan pendidikan yang berkualitas.

Penetapan standar ini menjadi basis pengendalian dan


penjaminan mutu pendidikan tinggi. Sistem penjaminan mutu
pendidikan tinggi, menurut Undang-Undang Dikti digagas selain
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 19
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

untuk memastikan terpenuhinya standar juga harus memberikan


kontribusi kepada peningkatan mutu pendidikan tinggi secara
terencana dan berkelanjutan. Kebijakan penjaminan mutu
melalui Undang-Undang Pendidikan Tinggi untuk memenuhi
dan melampaui standar ini sesungguhnya menegaskan dan
melanjutkan amanah UU No. 20 Tahun 2003 serta PP No. 19 Tahun
2005. Ini sekaligus memberikan kepastian hukum terhadap
kebijakan Dikti selama ini tentang peningkatan mutu pendidikan
tinggi yang sifatnya hanya inspirasional, seperti tertuang dalam
buku Sistem Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi (SPM PT) dan
termasuk dokumen perencanaan strategis Dikti, mulai dari
Kerangka Pengembangan Perguruan Tinggi Jangka Panjang (KPPT
JP) sampai Higher Education Long Term Strategy (HELTS).

Berbeda dari dokumen kebijakan lama seperti tertuang dan


termaktub dalam buku SPM PT, sistem penjaminan mutu
pendidikan tinggi dalam Undang-Undang Pendidikan Tinggi
hanya dibagi menjadi dua: (a) Sistem Penjaminan Mutu Internal
yang harus dikembangkan oleh satuan pendidikan, (b) Sistem
Penjaminan Mutu Eksternal yang dilakukan melalui akreditasi.
Membaca undang-undang ini secara seksama, pengembangan
Sistem Penjaminan Mutu Internal sekarang menjadi mandatori,
bukan lagi sebagai “pelengkap” dari Sistem Penjaminan Mutu
Pendidikan Tinggi. Membaca ruh dari undang-undang ini,
hal lain yang juga paling mendasar adalah pada subsistem
Penjaminan Mutu Eksternal di mana terjadi reformasi yang cukup
mendasar, yaitu pembagian peran antara BAN-PT dan LAM PT
dalam melakukan akreditasi. Kini BAN-PT tidak lagi melakukan
akreditasi program studi. Peranannya menjadi dua, pertama,
20 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

mengembangkan sistem akreditasi pendidikan tinggi dan


mengakreditasi institusi perguruan tinggi. Sementara peranan
untuk mengakreditasi program studi digantikan oleh Lembaga
Akreditasi Mandiri.

Salah satu prinsip mutu terpenting adalah berbicara/berencana


berbasiskan data. Sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi
harus berbasiskan kepada rujukan data yang sama secara
nasional yaitu Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDPT). Satuan
pendidikan harus melaporkan secara rutin kepada pusat data
ini tentang perkembangan dirinya. PDPT merupakan cermin
diri perguruan/program studi untuk melihat kemajuan diri
dalam memenuhi dan melampaui Standar Nasional Pendidikan
Tinggi. PDPT merupakan jendela bagi masyarakat yang memiliki
kepentingan untuk melihat, menilai dan memilih satu perguruan
tinggi dengan pasti. Jadi, PDPT bukan saja bentuk ketaatan yang
berkarakter vertikal melainkan juga menjadi bentuk akuntabilitas
sosial perguruan tinggi.

Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi Kesehatan

Program studi pendidikan tinggi kesehatan termasuk program


studi terbanyak yang diselenggarakan oleh PTN maupun PTS
setelah program studi bidang kependidikan, hukum, dan teknik.
Di satu sisi hal ini menggembirakan karena terangkatnya Angka
Partisipasi Kasar (APK) pendidikan tinggi Indonesia. Namun di
sisi lain rekayasa pembangunan pendidikan tinggi kesehatan
melalui peningkatan ekspansi dan akses pendidikan ini belum
diikuti dengan ketaatan kepada standar mutu pendidikan. Hal
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 21
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

ini bisa dilihat dari status akreditasi dan hasil uji kompetensi
lulusan yang sudah pernah dilakukan. Profil mutu perguruan
tinggi dan lulusan tenaga kesehatan Indonesia belum sesuai
standar minimal yang telah ditetapkan. Dalam konteks ini,
penataan sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi kesehatan
menjadi sesuatu hal yang sangat mendesak untuk dibuat dan
diimplementasikan secara konsisten

Berdasarkan penelaahan terhadap dokumen yuridis terkait


dengan sistem pendidikan nasional; standar nasional pendidikan;
praktik kedokteran; kesehatan; registrasi tenaga kesehatan, maka
dua hal besar yang menjadi kerangka dasar penataan sistem
penjaminan mutu pendidikan tinggi kesehatan yang berdampak
kepada peningkatan kualitas kesehatan masyarakat yaitu,
akreditasi dan sertifikasi individual.

22 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

Gambar 2.2 Kerangka Upaya Peningkatan Kualitas Kesehatan Masyarakat


Sumber: Naskah Akademik Sistem Akreditasi Program Studi Pendidikan
Kesehatan (2010)

Sudah menjadi norma dan konsensus dunia pendidikan


bahwa akreditasi merupakan salah satu cara penjaminan mutu
pendidikan. Modalitas penjaminan mutu eksternal ini melihat dan
memastikan satu sistem pendidikan yang diakreditasi (masukan,
proses dan luarannya) sesuai dengan standar. Jauh sebelum
lahirnya Undang-Undang Pendidikan Tinggi, tujuh Asosiasi
Institusi Pendidikan dan tujuh Organisasi Profesi kesehatan telah
membuat kesepakatan untuk mendirikan sebuah Lembaga
Akreditasi Mandiri Pendidikan Tinggi Kesehatan (LAM-PTKes).
Lembaga ini akan melakukan akreditasi pada seluruh program
studi kesehatan dengan terlebih dahulu dimulai dari tujuh
program studi, yaitu kedokteran, kedokteran gigi, keperawatan,
kebidanan, farmasi dan kesehatan masyarakat. LAM yang
didirikan oleh organisasi profesi dan asosiasi institusi pendidikan
kesehatan ini diinisiasi untuk menjawab kekurangan akreditasi

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 23


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

yang selama ini dilakukan oleh BAN-PT, terutama dalam


pemenuhan instrumen spesifik yang bisa memotret kekhasan
profesi kesehatan. Di samping itu hal ini juga membantu negara
dalam mengakselerasi akreditasi program studi yang mengalami
backlog pada tahun 2011. Batas waktu yang diberikan oleh PP
No. 19 Tahun 2005 kepada seluruh satuan dan program studi
memiliki status terakreditasi. Konsensus dan ikhtiar untuk
bersama-sama atau lazim juga disebut interprofesional dalam
akreditasi ini adalah yang pertama di dunia.

Sertifikasi individual merupakan instrumen lain dalam


penjaminan mutu pendidikan, termasuk pendidikan tinggi
kesehatan. Tenaga pendidik/dosen yang menjalankan fungsi
tridarmanya haruslah seorang dosen profesional (lihat UU No. 14
Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen) yang dibuktikan dengan
sertifikasi dosen. Sementara itu, para calon profesional yang akan
melakukan upaya kesehatan harus memiliki sertifikat kompetensi
setelah melewati uji kompetensi (lihat UU Praktik Kedokteran No.
29 Tahun 2004 dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 1796 Tahun
2011). Hal terakhir ini menjadi salah satu titik perhatian proyek
HPEQ, yaitu dengan penguatan sistem uji kompetensi melalui
pendirian Lembaga Pengembangan Uji Kompetensi (LPUK). Ini
dilakukan agar sistem uji kompetensi terstandar secara nasional
serta memiliki kompatibilitas dengan standar. LPUK juga lahir
dan tumbuh dari konsensus bersama beberapa OP dan AIP.
Praktik, baik uji kompetensi kedokteran dan kedokteran gigi,
adalah inspirasi penting yang ingin diikuti oleh prodi/profesi
kesehatan lain.

24 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

Gambar 2.3 Pengembangan Sistem Penjaminan Mutu


Pendidikan Tinggi Kesehatan

Gambar di atas menceritakan bahwa sistem penjaminan mutu


pendidikan tinggi kesehatan melibatkan seluruh pengandil
dan pengambil kebijakan yang relevan. Sebuah keterlibatan
yang melintasi kementerian, profesi dan asosiasi institusi
pendidikan tinggi kesehatan. Terbangunnya keyakinan
bersama, bahwa antara sistem pendidikan dan sistem pelayanan
memiliki keterikatan yang tidak bisa dipisahkan, memudahkan
terbangunnya konsensus, kepedulian dan keterlibatan
ini. Hubungan di antara unsur dan aktor di ranah quality
regulation, quality assurance dan quality culture/implementor
adalah hubungan yang resiprokal, saling menguatkan. Seperti
dijelaskan dalam UU Pendidikan Tinggi bahwa salah satu bagian
terpenting dan harus ada dalam sistem penjaminan mutu adalah
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI). SPMI pendidikan tinggi

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 25


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

kesehatan harus berperan menjadi katalisator, pendorong


dan penjamin terjadinya peningkatan mutu di internal satuan
pendidikan/program studi. Serta menjadikan mutu sebagai
budaya, bukan sekedar pemenuhan standar nasional semata.
Peran organisasi profesi yang bekerja sama dengan asosiasi
institusi pendidikan tinggi kesehatan dalam tataran regulasi,
penjaminan dan penyemaian budaya mutu di internal program
studi sangat penting dan menentukan.

Hal paling penting, seperti yang dengan sangat baik dijelaskan


dalam Naskah Akademik Program Studi Kesehatan, bahwa
masyarakatlah yang menjadi alasan utama keberadaan sistem
penjaminan mutu kesehatan. Hubungan antara individu
dan masyarakat dengan tenaga profesi kesehatan harus
dibangun dengan profesionalisme yang tinggi berdasarkan
kepercayaan (social-trusted professionalism). Model profesional
ini telah berlangsung ribuan tahun sejak profesi kesehatan mulai
dikenal. Berdasarkan prinsip tersebut, tenaga kesehatan harus
memberikan pelayanan yang berkualitas kepada siapa pun dan
di mana pun.

Upaya penguatan Sistem Penjaminan Mutu PTKes melalui


proyek HPEQ tidak berhenti hanya pada penyiapan lembaga
formal seperti halnya LAM-PTKes dan LPUK saja, tapi jauh di
atas itu, yaitu pembangunan kapasitas dan penyiapan substansi.
Pertama, memfasilitasi benchmarking nasional dan internasional
untuk melihat bagaimana dinamika serta apa yang bisa diadopsi
dari sistem penjaminan mutu yang terjadi di negara-negara maju.

26 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

Kedua, OP dan AIP harus bersama-sama mendefinisikan serta


menyusun standar pendidikan standar kompetensinya masing-
masing. Dokumen ini menjadi pegangan dan basis dalam
melakukan upaya penjaminan mutu. Ketiga, masing-masing
profesi menyusun Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia,
learning outcome pendidikan tingginya. Keempat, tentu hal
terpenting adalah rumusan instrumen/borang yang lebih
spesifik menjawab keunikan pendidikan masing-masing profesi.
Termasuk juga penyusunan berbagai kebijakan regulasi yang
akan mengikat komitmen penjaminan mutu bersama. Penataan
dan penajaman dokumen standar harus diletakkan secara
dinamis mengikuti gerak zaman yang terus berubah.

Akhirnya, seperti yang telah dijabarkan mengenai sistem


penjaminan mutu yang dimengerti secara komprehensif,
membudayakan mutu sebagai totalitas cara hidup dan cara
pandang yang dimiliki melalui proses pembelajaran, bukanlah hal
yang mustahil. Hal ini dikarenakan keterlibatan aktif semua pihak
akan menentukan hasil akhir ini semua. Landasan yang kokoh
yang menjadi fondasi utama mutu harus menjadi komitmen
yang terinternalisasi, bukan sekedar sifat kepatuhan semu
yang dipaksakan dari luar. Semua ini memuat nilai-nilai dasar
dalam wujud kebersamaan melewati sekat-sekat profesi dan
jenjang birokratis, demi terwujudnya sebuah penyelenggaraan
pendidikan kesehatan yang bermutu global yang nantinya
mampu menciptakan insan-insan yang akan memberikan
pelayanan kesehatan prima kepada masyarakat.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 27


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

28 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

Mengenal Lembaga Akreditasi Mandiri


Pendidikan Tinggi Kesehatan
(LAM-PTKes)

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 29


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

Apa itu LAM-PTKes?

T
iga tahun sebelum Undang-Undang Dikti yang secara
tegas memberi ruang pada peran serta masyarakat dalam
upaya penjaminan mutu pendidikan tinggi, LAM-PTKes
telah mulai dirintis. Perintisannya didorong oleh kebutuhan akan
suatu model atau instrumen akreditasi yang bisa menjawab
kebutuhan akreditasi pendidikan tinggi kesehatan yang sangat
spesifik. Di luar itu, amanah UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun
2005 tentang Sistem Pendidikan Nasional, memberi ruang bagi
peran serta publik untuk melakukan akreditasi secara mandiri
selain yang dilakukan oleh BAN-PT.

Realisasi atas semangat tersebut diwujudkan dengan kegiatan


penataan mutu pendidikan tinggi kesehatan melalui Project
HPEQ-Dikti. Tepatnya pada 22 Desember 2011, 7 Organisasi
Profesi1 (OP) dan Asosiasi Institusi Pendidikan2 (AIP) kesehatan
bersepakat untuk mendirikan LAM-PTKes. Adapun mereka yang
bersepakat meliputi tujuh OP, yaitu IDI, PDGI , IBI, PPNI, PERSAGI,
IAKMI, dan IAI. Sedangkan tujuh AIP meliputi: AIPKI, AFDOKGI,
AIPKIND AIPNI, AIPGI, AIPTKMI, dan APTFI.

Upaya publik kesehatan untuk ikut berperan serta dalam upaya


penjaminan mutu pendidikan tinggi kesehatan kian mendapat
dorongan dengan lahirnya UU Dikti No. 12 Tahun 2012. Dalam
Undang-Undang No. 12 diatur secara lebih komprehensif
tentang sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi, di mana

30 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

mandat akreditasi dipisah secara tegas antara BAN-PT dengan


LAM-PT. Undang-undang ini adalah payung hukum bagi
eksistensi LAM-PTKes.

LAM-PTKes adalah bagian dari Sistem Penjaminan Mutu


Eksternal (SPME) dan merupakan LAM bentukan masyarakat
yang pertama. Selain memastikan program studi untuk
mencapai standar nasional pendidikan tinggi, LAM-PTKes juga
berfungsi mendorong program studi kesehatan untuk terus
meningkatkan kualitas (Continuous Quality Improvement). Tepat
di sinilah nilai tambah dari LAM-PTKes dibandingkan dengan
akreditasi sebelumnya. Bila akreditasi sebelumnya hanya sekedar
“memotret” kualitas pendidikan tanpa tindak lanjut, LAM-PTKes
melangkah lebih jauh dengan menjadikan hasil dari penilaian
sebagai umpan balik untuk pengembang institusi yang dinilai.

1
IDI (Ikatan Dokter Indonesia); PDGI (Perhimpunan Dokter Gigi Indonesia); IBI
(Ikatan Bidan Indonesia); PPNI (Persatuan Perawat Nasional Indonesia); PERSAGI
(Persatuan Ahli Gizi Indonesia); IAKMI (Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia);
IAI (Ikatan Apoteker Indonesia).
2
AIPKI (Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia); AFDOKGI (Asosiasi
Fakultas Kedokteran Gigi Indonesia); AIPKIND (Asosiasi Institusi Pendidikan
Kebidanan Indonesia); AIPNI (Asosiasi Institusi Pendidikan Ners Indonesia); AIPGI
(Asosiasi Institusi Pendidikan Gizi Indonesia); AIPTKMI (Asosiasi Institusi Pendidikan
Tinggi Kesehatan Masyarakat Indonesia); APTFI (Asosiasi Pendidikan Tinggi Farmasi
Indonesia).

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 31


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

Orientasi Strategis LAM-PTKes

LAM-PTKes yang dibentuk oleh pemangku kepentingan yang


berasal dari tujuh AIP dan tujuh OP memiliki nilai-nilai orientasi
strategis. Nilai-nilai ini terjabar dalam bentuk visi, nilai dasar,
misi, dan prinsip dasar. Visi LAM-PTKes adalah “Terjaminnya
mutu pendidikan tinggi kesehatan yang berstandar global”.
Sedangkan nilai dasarnya mengacu pada falsafah “Amanah dan
mandiri”. Demi tercapainya visi tersebut maka misi LAM-PTKes
yaitu “Terselenggaranya akreditasi nasional pendidikan tinggi
kesehatan secara berkelanjutan (sustainable) yang dipercaya
oleh semua pemangku kepentingan”.

Dalam rangka menjalankan visi dan misinya, LAM-PTKes berpijak


pada lima prinsip dasar sistem akreditasi yang dijelaskan dalam
Laporan Task Force LAM-PTKes 2011-2012 (hal. 4-10) dan Naskah
Akademik Sistem Akreditasi Prodi Pendidikan Kesehatan (hal. 5-8),
yaitu:

1. Prinsip Continuous Quality Improvement (CQI). Untuk


membudayakan mutu di dalam prodi dibutuhkan prinsip
CQI. Prinsip ini memastikan akreditasi yang dilakukan
LAM-PTKes mendorong prodi untuk meningkatkan
kualitas dirinya. Prodi diharapkan tidak hanya puas
mencapai standar, tapi juga mampu melampauinya.
Prinsip ini mendorong prodi terus melakukan evaluasi
diri dan perbaikan untuk mencapai kualitas yang
berkelanjutan.

32 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

2. Prinsip Quality Cascade. Prinsip ini menjelaskan ada


keterkaitan antara kualitas pendidikan kesehatan dengan
kualitas pelayanan kesehatan di masyarakat. Kualitas
pendidikan kesehatan akan mempengaruhi kualitas
kesehatan masyarakat. Kualitas sistem pendidikan
kesehatan ditentukan oleh kualitas institusi, lulusan

Gambar 3.1 Prinsip Quality Cascade


Sumber: Naskah Akademik Sistem Akreditasi Program Studi
Pendidikan Kesehatan (2010)

dan praktik. Kualitas institusi ditingkatkan melalui


sistem akreditasi. Kualitas institusi akan memengaruhi
kualitas lulusan. Kualitas lulusan ditingkatkan melalui
sistem sertifikasi. Kualitas lulusan akan mempengaruhi
kualitas praktik. Kualitas praktik ditingkatkan melalui
sistem pengembangan profesional berkelanjutan yang
dilakukan oleh AIP dan OP. Kegagalan dalam menjaga

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 33


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

kualitas baik institusi, lulusan maupun praktik akan


menyebabkan kegagalan upaya pencapaian kualitas
pelayanan kesehatan di mata masyarakat.
3. Prinsip Conceptualization, Production dan Usability
(CPU). Prinsip ini sangat terkait dengan prinsip Quality
Cascade. Conceptualization maksudnya adalah
prodi harus memiliki visi misi yang berorientasi pada
dinamika kebutuhan kesehatan masyarakat. Dalam
konseptualisasi, prodi memberikan gambaran tentang
tenaga kesehatan profesional seperti apa yang harus
dihasilkan untuk menjawab masalah kesehatan yang ada
di masyarakat. Prodi menghasilkan lulusan (production)
yang mampu berdedikasi seumur hidupnya terhadap
permasalahan kesehatan yang ada di masyarakat.
Prinsip ini harus tercermin dari input, proses pendidikan
dan output lulusan yang dihasilkan oleh prodi. Prodi
harus menjamin penggunaan (usability) lulusan dalam
melayani masyarakat. Prodi juga memikirkan lulusan akan
ditempatkan di mana sesuai dengan kebutuhan (misal
daerah tertinggal, perbatasan atau terpencil). Ketiga
prinsip ini harus berjalan secara bersamaan sebagai
bentuk akuntabilitas publik.
4. Sistem akreditasi harus dibangun dengan kepercayaan
(trustworthy). Sistem akreditasi LAM-PTKes harus dapat
dipercaya oleh semua pemangku kepentingan kesehatan
yang terdiri dari institusi pendidikan, organisasi profesi,
pemerintah, masyarakat pengguna, mahasiswa dan
masyarakat internasional. Hanya dengan melibatkan

34 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

semua pihak (stakeholder) dan proses akreditasi yang


transparan, kepercayaan yang utuh bisa didapatkan.
5. Pendidikan interprofesional sebagai landasan
kolaborasi interprofesional. Poin penting dari kolaborasi
interprofesional adalah sinergi dan kreasi. Kolaborasi ini
dapat terealisasi jika dua orang atau lebih dari profesi
kesehatan yang berbeda berinteraksi untuk menghasilkan
pemahaman bersama yang tidak akan mungkin terjadi
jika mereka bekerja sendiri-sendiri. Diagnosis yang
menyeluruh atas suatu masalah kesehatan, hanya
dimungkinkan oleh suatu pendekatan interdisipliner
(interkolaborasi profesional kesehatan). Oleh karena
itu, sebagaimana dijelaskan dalam skema Gambar 3.2,
upaya peningkatan kesehatan masyarakat memerlukan
pertama-tama budaya kolaborasi antarprofesional
yang telah dimulai semenjak dalam proses pendidikan.
Pendidikan interprofesional diharapkan dapat memicu
kolaborasi interprofesional di pelayanan kesehatan yang
nantinya dapat pula meningkatkan mutu pelayanan
kesehatan masyarakat.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 35


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

Gambar 3.2 Pendidikan Interprofesional sebagai Pemicu Kolaborasi


Interprofesional di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Sumber: Laporan Task Force LAM-PTKes 2011-2012 (2012)

Nilai Tambah LAM-PTKes

Sejalan dengan lima prinsip dasar sistem akreditasi yang telah


dijelaskan sebelumnya, LAM-PTKes membawa perubahan
mendasar dalam sistem akreditasi prodi seperti tergambar dalam
matriks di berikut ini.

36 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

Tabel 3.1 Perbandingan Sistem Akreditasi Lama dan Baru

Parameter Sistem Lama Sistem Baru

SDM t Tim asesor t Tim asesor dan


t Mendikbud fasilitator
sebagai t Rapat Anggota
pengambil sebagai
kebijakan utama pengambil
t Tim majelis kebijakan utama
sebagai t Badan pelaksana
pengambil sebagai
keputusan pengambil
kebijakan
akreditasi

Material t Generik dengan t Pengemban-


(Instrumen) suplemen dan gan instrumen
spesifik untuk akreditasi
beberapa pro- berbasis standar
gram pendidi- pendidikan dan
kan standar kom-
t Database untuk petensi yang
data akredi- spesifik untuk
tasi masih belum setiap jenis prodi
valid dan bidang ilmu

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 37


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

t Pengembangan
PDPT kesehatan
yang menjadi
warehouse data
yang valid untuk
mengisi instru-
men

Metode t Penilaian secara t Penilaian


sumatif dengan me-
t Paper-based dan tode hybrid:
IT-based serta formatif dan
memanfaatkan sumatif (dengan
PDPT yang men- proporsi formatif
dukung SPMI lebih besar)
dan SPME t Implementasi
t Masa berlaku konsep Concep-
akreditasi 5 tualization,
tahun Productivity dan
Usability dari
LAM yang
mendorong
dilaksanakannya
SPMI

38 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

t Prinsip resource
sharing untuk
penggunaan
data dasar dan
asesor akreditasi
t Masa berlaku
akreditasi 5-7
tahun

Pembiayaan t Berdasarkan t Berdasarkan unit


anggaran per cost
line item t Bersumber dari :
t Bersumber dari 1. masyarakat
pemerintah profesi,
yang berasal 2. institusi pen-
dari anggaran didikan tinggi
Balitbang Kem- kesehatan,
dikbud 3. pemerintah,
4. sumber-sum-
ber lain

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 39


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

Pengukuran t Surveillance, bila t Tim fasilitator


(Monitoring ada keluhan memonitor,
& Evaluasi) (complaint), mengevaluasi
laporan, dan dan mengem-
banding selama bangkan secara
menggunakan berkelanjutan,
metode sumatif untuk mening-
t Pengawasan katkan kualitas
lembaga dilaku- akreditasi dan
kan oleh Inspek- melayani pen-
torat Jenderal gaduan
t Pengawasan
lembaga dilaku-
kan oleh Majelis
Pemangku
Kepentingan
melalui komite
yang dibentuk

Sumber: Draft Buku LAM-PTKes (2012)

40 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

Nilai tambah yang ditawarkan LAM-PTKes dari sisi modal sosial


adalah tumbuhnya rasa saling percaya (trustworthy) di antara
profesi kesehatan untuk menjalin kerja sama lintas profesi,
karena lembaga dibangun berdasarkan konsensus dan keinginan
kuat untuk saling belajar. Modal ini memudahkan untuk
mengembangkan interprofessional education di setiap program
studi kesehatan serta menjadi prakondisi untuk mewujudkan
kolaborasi profesi di sistem pelayanan nantinya. Dari sisi SDM
ada fasilitator selain asesor dan validator. Sebelum dan setelah
proses akreditasi oleh asesor, fasilitator berfungsi membimbing
prodi untuk melakukan proses dan menindaklanjuti hasil
akreditasi untuk perbaikan kualitas diri terus menerus. Jadi,
LAM-PTKes nantinya tidak hanya mengeluarkan surat keputusan
tentang status akreditasi tapi juga rekomendasi pembinaan
program studi, di mana sesungguhnya sejak awal proses
akreditasi sudah dimulai. LAM-PTKes menawarkan nilai tambah
pada sisi pengembangan kapasitas ini. Akreditasi bukan sekedar
alat untuk kontrol mutu, melainkan juga lebih penting lagi
sebagai media peningkatan mutu. Selain itu karena setiap prodi
kesehatan memiliki kebutuhan, standar pendidikan dan standar
kompetensi yang spesifik, maka LAM-PTKes mengembangkan
instrumen akreditasi yang spesifik pula. Selanjutnya metode
hybrid, kombinasi antara formatif dan sumatif menjadi nilai
tambah lainnya dari LAM-PTKes, dimana porsi formatif lebih
banyak.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 41


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

LAM-PTKes Sebagai Model

Mengingat amanat UU Pendidikan Tinggi yang mendorong


lahirnya LAM di berbagai prodi, LAM-PTKes sebagai LAM
pertama bentukan masyarakat tentu tidak akan menjadi satu-
satunya LAM di masa mendatang. Pengalaman LAM-PTKes akan
menjadi rujukan bagi berbagai LAM lainnya. Karena itu, penting
untuk mencatat pengalaman upaya pendirian LAM. Pengalaman
tersebut mengilhami perumusan langkah-langkah yang harus
ditempuh untuk mendirikan LAM bentukan masyarakat. Secara
prosedural berikut langkah-langkah tersebut:
1. Menyusun grand design
2. Menyusun balanced score card
3. Menyusun struktur organisasi
4. Menyusun tupoksi berdasarkan struktur organisasi
5. Menyusun rancangan proses bisnis
6. Menyusun model bisnis
7. Pembentukan Majelis Pemangku Kepentingan LAM-PTKes
8. Menyusun panduan dan melakukan uji coba proses bisnis
LAM-PTKes
9. Melakukan exercise biaya uji coba proses bisnis
10. Merumuskan AD/ART organisasi serta mengurus status
badan hukum lembaga.

Selain langkah yang sifatnya prosedural, nilai dan semangat


dari LAM bentukan masyarakat harus mengacu pada dinamika
kebutuhan masyarakat. Seiring dengan perubahan paradigma
mutu yang diusung oleh UU Dikti Tahun 2012, tanggung

42 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

jawab mutu bukan lagi bersifat vertikal (dari penyelenggara


pendidikan pada pemerintah), melainkan horizontal (dari
penyelenggara pendidikan pada masyarakat luas). Sifat
horizontal ini menekankan pada pentingnya mutu sebagai
kebutuhan internal prodi demi menyesuaikan dengan dinamika
kebutuhan masyarakat. Karena itu sebagai bagian dari Sistem
Penjaminan Mutu Eksternal (SPME), LAM harus mendorong prodi
untuk mengembangkan dirinya melalui peningkatan mutu yang
berkelanjutan. Berdasarkan prinsip itulah sebuah LAM idealnya
dijalankan.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 43


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

44 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

Mengenal Lembaga Pengembangan


Uji Kompetensi (LPUK)

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 45


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

K
etersediaan layanan kesehatan yang berkualitas adalah
kebutuhan yang sangat mendesak sebagai bentuk
akuntabilitas sosial dan perlindungan negara terhadap
masyarakat. Salah satu faktor yang menentukan kualitas
pelayanan itu adalah kompetensi tenaga kesehatan. Saat
ini ketimpangan kompetensi atau kualitas tenaga kesehatan
terjadi karena beragamnya jenis dan kualitas sistem pendidikan
tinggi kesehatan. Selain itu penjaminan pemenuhan standar
kompetensi profesi kesehatan melalui uji kompetensi yang
sudah dimulai oleh profesi kedokteran dan kedokteran gigi sejak
2007 belum diikuti oleh profesi lain.

Untuk melengkapi usaha dalam mengontrol kualitas tersebut,


Lembaga Pengembangan Uji Kompetensi (LPUK) hadir
sebagai lembaga mandiri yang bertanggung jawab terhadap
pengembangan uji kompetensi tenaga profesional kesehatan
yang diakui secara nasional, regional dan internasional serta
memiliki mekanisme penjaminan mutu internal. Lembaga ini
terdiri dari berbagai unsur mulai dari asosiasi institusi pendidikan,
organisasi profesi, perwakilan masyarakat yang relevan, serta
pemerintah, baik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
maupun Kementerian Kesehatan yang bekerja sama dalam
penyelenggaraan uji kompetensi.

Uji Kompetensi

Berbicara mengenai LPUK, sangat perlu kiranya membahas apa


itu uji kompetensi. Uji kompetensi dalam hal ini adalah ujian

46 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

yang dilaksanakan pada tahap akhir pendidikan yang mencakup


proses pengukuran pengetahuan, keterampilan, dan perilaku
peserta didik pada perguruan tinggi kesehatan.

Landasan hukum yang digunakan sebagai pedoman


melaksanakan uji kompetensi bagi seluruh peserta didik yang
diluluskan dari sebuah institusi pendidikan diatur dalam Undang-
Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional pasal 61. Undang-undang ini menegaskan
bahwa sertifikat kompetensi sebagai pengakuan terhadap
kompetensi untuk melakukan pekerjaan tertentu setelah lulus
uji kompetensi. Selanjutnya Undang-Undang Republik Indonesia
No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran mengatur dan
menyebutkan bahwa ujian dan sertifikasi kompetensi sebagai
syarat untuk pengurusan surat tanda registrasi dokter dan dokter
gigi. Landasan hukum uji kompetensi bagi tenaga kesehatan,
selain dokter dan dokter gigi, diatur melalui Peraturan Menteri
Kesehatan No. 1796 Tahun 2011 tentang Registrasi Tenaga
Kesehatan.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 2012 tentang


Pendidikan Tinggi juga mengatur tentang sertifikat profesi
dan sertifikat kompetensi yang memperkuat keberadaan uji
kompetensi ini. Landasan hukum yang dikemukakan tersebut,
ditambah dengan landasan hukum lainnya yang relevan,
menunjukkan bahwa uji kompetensi bagi seluruh peserta didik
termasuk peserta program pendidikan calon tenaga profesi
kesehatan wajib dilakukan. Khusus untuk tenaga kesehatan

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 47


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

dan tenaga medik ditambah dengan kewajiban teregistrasi


yang salah satu syaratnya adalah memiliki sertifikat kompetensi.
Untuk mendapatkan sertifikat uji kompetensi peserta diharuskan
lulus uji kompetensi sesuai standar kompetensi profesi masing-
masing.

Dilihat dari sejarahnya, uji kompetensi telah diterapkan


pada dokter dan dokter gigi yang dimulai sejak tahun 2007
sebagai amanah dari UU Praktik Kedokteran. Sedangkan untuk
tenaga kesehatan lain, uji kompetensi sedang dikembangkan
khususnya tenaga keperawatan dan kebidanan. Sejak tahun
2007 tersebut, masing-masing profesi yakni dokter dan dokter
gigi, melaksanakan uji kompetensi setiap 3 bulan dengan jadwal
yang telah ditentukan sejak satu 1 tahun sebelumnya.

Penguatan Sistem Uji Kompetensi

Sebagai penguatan sistem uji kompetensi yang telah berjalan


dan tentunya sebagai penjaminan mutu lulusan pendidikan
tinggi khususnya pendidikan tinggi kedokteran secara merata,
maka dikeluarkan Surat Edaran Dirjen Dikti No. 88/E/DT/2013.
Dalam surat edaran tersebut uji kompetensi menjadi bagian dari
proses evaluasi pembelajaran yang terintegrasi dalam sistem
pendidikan, sehingga pelaksanaan uji kompetensi dilaksanakan
sebelum kelulusan peserta didik dan oleh sebabnya pembiayaan
uji kompetensi merupakan bagian dari pembiayaan pendidikan.
Uji kompetensi sebagai exit exam tersebut dilakukan dengan
mempertimbangkan beberapa hal, yaitu pentingnya academic

48 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

professional environment; peran uji kompetensi sebagai feedback


mutu proses pembelajaran; dan untuk mendukung integrasi
sistem pendidikan-pelayanan.

Selain itu sejak pertengahan tahun 2011 telah disusun rancangan


Peraturan Bersama (PB) antara Kementerian Kesehatan dan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terkait uji kompetensi
bagi peserta didik pada perguruan tinggi bidang kesehatan
di luar dokter dan dokter gigi. Untuk pengaturan detail teknis
pelaksanaan uji kompetensi bagi tenaga kesehatan akan
ditindaklanjuti dalam Perjanjian Kerja Sama antara Kepala Badan
Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia
Kesehatan (BPPSDMKes) dan Dirjen Dikti.

Sistem uji kompetensi yang sekarang sedang dikembangkan


oleh Komponen 2 Proyek HPEQ dan LPUK mencakup metode
pengembangan soal, metode penelaahan soal, hingga mutu
analisis soal ujian. Dengan perbaikan pada sistem uji kompetensi
ini, diharapkan mutu lulusan institusi dapat lebih terjamin dan
sesuai dengan standar kompetensi yang telah ditetapkan. Untuk
lebih jelasnya, berikut tabel perbandingan sistem uji kompetensi
lama dan baru:

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 49


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

Tabel 4.1 Perbandingan Sistem Uji Kompetensi Lama dan Baru

Parameter Sistem Lama Sistem Baru

SDM Kualitas penulis Penulis soal, peng-


soal, pengkaji soal, kaji soal, koordina-
pengawas uji dan tor CBT & OSCE,
juri tidak standar pengawas uji dan
juri lebih kredibel
melalui pelatihan
sesuai standar
nasional

Material t Soal uji belum t Penyusunan soal


(Soal Ujian) terstandar berbasis blue
t Blue print uji print masing-
kompetensi masing profesi
untuk dokter oleh penulis soal
dan dokter gigi yang sudah
belum sempur- dilatih dan ter-
na, sedangkan standar
untuk bidang
kesehatan lain
masih belum
tersusun

50 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

t Penyusunan
blue print sesuai
standar kompe-
tensi masing-
masing profesi
dan dibutuhkan
aliansi strategis
antarmasyarakat
profesi untuk
menyepakati
blue print yang
disusun oleh
panel expert.

Metode t Metode uji t Pengemban-


belum sesuai gan metode uji
dengan standar sesuai standar
kompetensi pendidikan dan
t Pelaksanaan uji standar kompe-
belum ter- tensi masing-
standar masing profesi
t Penentuan NBL
belum menggu-
nakan metode
standar setting
yang tepat

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 51


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

t Penyusunan
dan penerapan
pedoman pelak-
sanaan uji yang
berstandar na-
sional, termasuk
pengelolaan
bank soal yang
kredibel
t Divisi R & D
pada LPUK yang
updated dengan
perkembangan
metode as-
sessment, serta
menguatkan
kapasitas juri
yang terstandar

Pembiayaan Pembiayaan untuk t Pembiayaan un-


pelaksanaan ujian tuk pelaksanaan
dari peserta uji ujian:
kompetensi t Terintegrasi
pada biaya pen-
didikan (uji kom-
petensi sebagai
exit exam)

52 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

t Berasal dari
peserta uji kom-
petensi (untuk
retaker) *dalam
pembahasan

Pengukuran Pengawasan Pengawasan lemba-


(Monitoring lembaga dilakukan ga dilakukan oleh
& Evaluasi) oleh kolegium dan Dewan Pengawas
asosiasi institusi melalui komite
pendidikan yang dibentuk

Sumber: Draft Buku LPUK (2012)

Lembaga Pengembangan Uji Kompetensi (LPUK)

Demi memaksimalkan fungsi uji kompetensi sebagai alat


menjaga mutu lulusan tenaga kesehatan dan upaya untuk terus
mengembangkannya, maka HPEQ Project Dikti mendirikan
LPUK dengan dukungan berbagai pemangku kepentingan.
Dalam Rancangan Naskah Akademik LPUK dijelaskan bahwa
LPUK ialah lembaga ujian nasional mandiri berbadan hukum
yang bertanggung jawab terhadap pengembangan strategi,
metodologi serta perangkat uji dalam mengevaluasi kompetensi
peserta didik institusi pendidikan dokter, dokter gigi, perawat
dan bidan serta tidak menutup kemungkinan profesi kesehatan
lain untuk bergabung di dalamnya.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 53


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

Dalam hal metode pelaksanaan ujian, LPUK mengembangkan


bentuk ujian berbasis komputer atau Computer Based Test (CBT)
untuk mengevaluasi ranah pengetahuan, dan ujian keterampilan
klinik atau Objective Structured Clinical Examination (OSCE).
Metode pelaksanaan ujian ini secara teoretis dan metodologis
mengacu kepada model atau taksonomi pengetahuan dan
keterampilan mengenai assessment dalam pendidikan profesi
kesehatan, yaitu Piramida Miller.

Gambar 4.1 Piramida George Miller


Sumber : Assessment in Health Professions Education (2009: 4)

Secara sistematis metode uji kompetensi dapat disesuaikan


dengan Piramida Miller tersebut dan digambarkan dengan suatu
tingkatan kompetensi tertentu. Seperti tertuang dalam Naskah
Akademik LPUK, penyesuaian dari Piramida Miller tersebut dapat
dilihat sebagai berikut: pertama, untuk kompetensi yang bersifat
knowledge dapat diuji dengan pilihan ganda (Multiple Choice

54 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

Question/MCQ). Kedua, untuk menilai kompetensi tingkatan


knows how dapat diuji dengan metode MCQ yang fokusnya
menanyakan tentang penerapan konsep pada penanganan
pasien di bidang kesehatan yang penting untuk praktik sehari-
hari. Ketiga, untuk menilai kompetensi tingkat shows how, dapat
diuji dengan Objective Structure Clinical Examination (OSCE) yang
merupakan metode uji untuk menilai kemampuan keterampilan
klinik dan komunikasi. Terakhir yaitu untuk menilai kompetensi
tingkat does yang dapat dilakukan dengan menilai kompetensi
tenaga kesehatan sehari-hari dengan menggunakan metode
portofolio, Direct Observational Procedural Skill atau 360 degree
evaluation. Pelaksanaan uji kompetensi dokter dan dokter gigi
saat ini dilakukan dengan 2 metode, pertama yaitu MCQ dalam
bentuk Computer Based Test (CBT) setelah melalui perjalanan
panjang dari Paper Based Test (PBT) pada tahap awal pelaksanaan
uji kompetensi, dan yang kedua ialah OSCE. Selain itu, reliabilitas
dan keabsahan soal ujian juga difasilitasi LPUK melalui
mekanisme sistem bank soal (Item Bank Networking System).

Secara umum LPUK memiliki peran pelayanan dan akademik. Di


sisi pelayanan, LPUK bekerja sama dengan institusi pendidikan
tenaga kesehatan dalam menyusun dan mengembangkan
ujian nasional kompetensi tenaga kesehatan bagi lulusan di
tiap profesi, sesuai dengan standar kompetensi nasional profesi.
Masing-masing profesi menjadi narasumber dalam penentuan
dan penetapan substansi ujian yang terdiri dari pengembangan
blue print dan pengelolaan soal sampai dengan standar kelulusan
dari peserta ujian serta ditunjang oleh teknologi informasi. Di sisi

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 55


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

akademik, LPUK berperan dalam memajukan penyelenggaraan


ujian pada masing-masing profesi tenaga kesehatan di Indonesia
melalui penelitian di bidang assessment.

Pada fase awal pengembangan, LPUK dimulai dengan


pembentukan berbagai lembaga uji kompetensi untuk tenaga
kesehatan seperti Komite Bersama Uji Kompetensi Dokter
Indonesia (KB UKDI) dan Kolegium Dokter Gigi Indonesia (KDGI)
yang telah terbentuk sejak tahun 2007, serta Komite Nasional Uji
Kompetensi Perawat (KNUKP), berbagai Majelis Tinggi Kesehatan
Provinsi (MTKP) yang telah melaksanakan uji kompetensi di
provinsi masing-masing atau komite lain yang dibentuk khusus
untuk menyiapkan dan melaksanakan uji kompetensi.

Sejak tahun 2011, Health Professional Education Quality


(HPEQ) Project yang berjalan di bawah Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi dengan mendapatkan bantuan dana dari
Bank Dunia dimulai. Melalui proyek ini terjadi percepatan
pencapaian kegiatan pembentukan LPUK. Profesi kesehatan
yang terlibat pada tahap awal terdiri dari dokter, dokter gigi,
perawat dan bidan. Dengan komunikasi dan kerja sama dengan
MTKI, diharapkan LPUK bisa membantu pengembangan uji
kompetensi untuk tenaga kesehatan lain. Sebagai salah satu
dasar pengembangannya, telah dilaksanakan studi banding ke
berbagai lembaga yang sejenis di luar negeri seperti NBME untuk
profesi dokter dan NCSBN untuk perawat. Hasil dari kunjungan
ini menjadi salah satu sumber informasi dalam pengelolaan
lembaga yang lebih profesional. LPUK juga diharapkan

56 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

memperoleh standar mutu dari organisasi penjaminan


mutu baik nasional maupun internasional sehingga akan
membuka kesempatan melakukan kolaborasi dengan
lembaga yang sama secara regional maupun internasional.
HPEQ Project berlangsung selama 2011-2014. Selanjutnya
LPUK diharapkan bisa menjadi suatu lembaga mandiri yang
berkelanjutan dengan meneruskan program yang telah
berlangsung serta melakukan berbagai pengembangan
sistem ujian.

Upaya peningkatan kualitas kesehatan masyarakat salah


satunya ialah melalui sertifikasi individual. Oleh karenanya,
dengan adanya LPUK sebagai lembaga pengembang uji
kompetensi yang merupakan salah satu dari sertifikasi
individual tersebut, diharapkan dapat mendorong
peningkatan kualitas pendidikan, menghasilkan tenaga
kesehatan yang berkualitas dan pada akhirnya meningkatkan
kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia. Sejak tahun 2011,
HPEQ dimulai dan melalui ini terjadi percepatan pencapaian
kegiatan pembentukan LPUK. Diharapkan setelah HPEQ
Project selesai, LPUK menjadi suatu lembaga mandiri yang
berkelanjutan dengan meneruskan program yang telah
berlangsung sebelumnya dan terus melakukan peningkatan
ke arah yang lebih baik.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 57


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

58 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

Refleksi Seorang Pengemban Tugas:


Mutu Sebagai Jalan Hidup

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 59


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

P
ada 5 April 2013 tim penyusun buku saku menemui
Sekretaris Eksekutif Proyek HPEQ, Dr. dr. Arsitawati Puji
Raharjo, MAHM di kantor HPEQ, Gedung Victoria, Blok M,
Jakarta Selatan. Ibu Arsita, sapaan wanita yang juga seorang
dosen di Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas
Airlangga ini, menyediakan waktunya untuk menjawab beberapa
pertanyaan dalam sebuah wawancara singkat dengan kami.
Beliau berbagi refleksi terkait upaya penataan sistem pendidikan
tinggi kesehatan yang berujung pada penguatan mutu institusi
dan lulusan dari pendidikan tinggi kesehatan yang tengah
dilakukannya melalui program-program HPEQ. Lebih spesifiknya,
merefleksikan filosofi dasar dari pendirian Lembaga Akreditasi
Mandiri Pendidikan Tinggi Kesehatan (LAM PTKes) dan Lembaga
Pengembangan Uji Kompetensi (LPUK).

Secara sederhana bagaimana kita mestinya memahami mutu?

Kita sebagai organisme hidup secara naluriah sebenarnya


telah memiliki naluri untuk melakukan self evaluation. Setiap
hari ketika akan keluar untuk bekerja ataupun kuliah, kita akan
mempertanyakan penampilan kita sendiri. Apakah rambut kita
sudah cukup disisir dengan rapi atau belum? Baju apa yang
pantas untuk digunakan? Dan banyak lainnya. Kita sering kali
bercermin pada apa yang orang katakan mengenai kualitas diri
kita. Berdasarkan itulah kita mengevaluasi diri, menentukan apa
yang harus diubah dan apa yang tidak. Pada dasarnya setiap hari
sebagai manusia kita menjaga mutu kita. Prinsip sederhana ini
yang sebenarnya kita ingin terapkan pada prodi-prodi kesehatan,

60 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

yaitu self evaluation. Tapi kan itu ilustrasi untuk indvidu, jika
kita bicara sekelompok massa maka indikatornya lain. Pada
prinsipnya ada sistem penjaminan mutu internal di dalam setiap
prodi yang harusnya dikerjakan.

Apalagi kita bicara dalam konteks perguruan tinggi. Ciri yang


membedakan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti)
dengan dasar dan menengah adalah tujuannya. Jika pada
pendidikan dasar dan menengah sifatnya masih mengarahkan,
maka pada perguruan tinggi karakter pendidikannya
mengembangkan jati diri manusia. Jadi dia punya otonomi.
Konsekuensinya, prodi punya tanggung jawab atas dirinya
sendiri. Supaya mudah, kerap kali saya menganalogikannnya
dengan pernikahan. Jika sudah berani nikah maka harus berani
dan siap menafkahi. Inilah dasar dari filosofi otonomi perguruan
tinggi. Jadi setiap penyelenggara program studi secara natural
harus menjadikan prinsip ini sebagai karakternya.

Jika pada dasarnya mutu adalah self evaluation, lalu mengapa


dibutuhkan pihak ketiga, sebagaimana yang biasa dilakukan
dengan akreditasi?

Sebagai manusia kita tahu, mengandalkan motivasi saja


untuk terus meningkatkan kualitas dirinya tidaklah cukup. Kita
perlu diingatkan oleh orang lain, biasanya orang tua, guru,
dll. Begitu juga halnya dengan prodi. Faktanya hingga kini,
banyak dari perguruan tinggi tidak menjalankan mekanisme
self evaluation yang semestinya integral dengan karakter dan

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 61


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

tujuan pendidikannya. Indikasinya, banyak perguruan tinggi


yang tidak mengisi data Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI)
yang diminta Direktorat Perguruan Tinggi (Dikti). Bahkan Dikti
harus mensosialisasikan cara mengisi data SPMI pada prodi-
prodi. Tepat di sinilah arti penting perlunya pihak ketiga. BAN-
PT itu pada dasarnya pihak ketiga yang melihat apakah prodi
telah melakukan indikator-indikator yang secara standar umum
diakui pemerintah dan masyarakat profesi. Sebagai sebentuk
triangulasi atas kinerja internal prodi dalam menjaga mutu.

HPEQ dalam konteks ini, mengusulkan LAM-PTKes sebagai


pihak ketiga yang independen. Kenapa harus independen?

Kalau kita buat sekolah dan kita sendiri yang menilai sekolah itu
bagus atau tidak, rasanya akan sulit untuk bersikap adil. Pada
kasus ini misalnya, pemerintah yang buat prodi, mengeluarkan
izin, dan membiayainya, lalu pemerintah juga yang menilai,
tentu akan malu rasanya bila harus bilang prodi tersebut tidak
bagus. Poinnya adalah untuk menghindari konflik kepentingan.

Lebih jauh lagi tanggung jawab pendidik dan profesional


kesehatan bukanlah pada pemerintah, melainkan pada publik dan
masyarakat lebih luas. Social accountability adalah global demand
dewasa ini. Jadi, logikanya bukan lagi bekerja untuk pemerintah
yang memberikan dana. Gaji yang diberikan pemerintah adalah
uang rakyat dan karena itu kita mesti memberikan yang terbaik
pada masyarakat. Karena itu pula, transparency pada publik
adalah tanggung jawab profesional. Nilai inilah yang hendak

62 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

diusung oleh LAM-PTKes. Dalam praktiknya nanti LAM-PTKes


mengusung dua nilai utama, yaitu mandiri dan amanah.

Usul kemandirian LAM-PTKes berarti juga memberi ruang


pada profesi untuk berperan dalam pendidikan tenaga
kesehatan. Pada praktiknya, bagaimana LAM berkontribusi
bagi tumbuhnya professional society?

Saya menemukan ternyata pakar-pakar saya itu, antara lain


dokter, dokter gigi, perawat dan bidan, punya organisasi. Tapi
bagaimana mereka berperan saya tidak menemukan bentuknya
di Indonesia. Yang saya tahu, individu-individu yang dikenal
oleh pejabat diminta membantu, tetapi sebagai personal bukan
organisasi. Sebagai organisasi, seolah tidak ada rekognisinya.
Saya belajar juga dari Undang-Undang Praktik Kedokteran,
satu-satunya undang-undang yang berani menyebut Asosiasi
Institusi Pendidikan dan Ikatan Dokter Indonesia. Menurut saya,
Undang-Undang Praktik Kedokteran (UPK) terlepas dari segala
kelemahannya dan keterbatasan, dia punya ketegasan bahwa
organisasi dari komunitas pakar perlu diangkat dan diberi
tempat.

Apalagi saya belajar hasil benchmarking dari beberapa LAM yang


ada di luar negeri. Di luar negeri pendirian LAM sepenuhnya
diinisiasi oleh organisasi profesi. Karena apa? Karena kekuatan
mutunya tumbuh dari diri organisasi. Nah, karena itu saya
kemudian menganalogikan profesi-profesi kita itu sebagai
manusia, sebagai living organism. Analoginya begini, kalau

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 63


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

saya sudah memutuskan diri saya seperti ini, maka saya punya
dua tugas dalam kehidupan saya, mutu dan regenerasi. Kalau
saya sudah memilih Pak Puji Raharjo jadi suami saya, tugas saya
tinggal dua, menjaga mutu dan regenerasi anakku. Begitu juga
dengan profesi. Jika saya memilih jadi dokter, maka saya harus
jadi dokter yang bermutu dan melakukan pewarisan nilai-nilai
mutu kedokteran pada generasi berikutnya. Untuk menjalankan
tugas itu, profesional perlu mendapat tempat mencurahkan
atensi, pikiran dan kerjanya.

Di satu sisi beberapa dari kita tidak mengerti perannya sebagai


bagian dari professional society. Karena itu professional society
ini mesti diangkat perannya dan diingatkan tugasnya dalam
kehidupan ini, setidaknya dalam bernegara. Namun di sisi lain,
banyak yang peduli tapi tidak dapat tempat, kelompok kedua ini
lebih banyak dari yang pertama. Sampai ada istilah pengamat.
Pengamat itu adalah professional society yang ingin mencurahkan
atensinya pada kehidupan bernegara, tapi tidak punya channel.

Nah, itulah mengapa ketika memulai LAM, saya memilih untuk


mengumpulkan para profesional dan memberi ruang seluas-
luasnya bagi mereka untuk mengambil peran. Konsep dan
inisiatifnya tumbuh bersama dalam diskusi bukan hasil instruksi.
Ternyata di luar sana sudah banyak orang yang berpikir sama
dengan saya, namun tidak ada yang menyatukan. Jadi begitu ada
yang memberi kesempatan, mereka bersatu sendiri, tergugah
sendiri. Kesepakatan 14 organisasi untuk mendirikan LAM itu
sudah dimulai sebelum ada UU Perguruan Tinggi Tahun 2012,

64 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

banyak bagian dari UU ini termasuk soal kemandirian terinspirasi


oleh kerja task force LAM. Itu esensi kenapa akhirnya LAM itu
desainnya seperti ini. Jadi kenapa kita dan saya sungguh bangga
pada LAM ini.

Inisiasi lain HPEQ, selain LAM-PTKes adalah LPUK (Lembaga


Pengembangan Uji Kompetensi). Terkait LPUK, banyak pihak
yang menilai standar nasional uji kompetensi itu tidak adil.
Pasalnya, ini mengabaikan kenyataan bahwa perbedaan
fasilitas yang mencolok antara satu daerah dan daerah lainnya.
Apa pendapat Ibu?

Ini terkait erat dengan pengertian menjadi profesional. Saya


ingin menjawabnya begini, mereka yang telah memilih
menempuh pendidikan dokter atau membuka prodi semenjak
awal adalah orang yang sadar akan tanggung jawabnya. Mereka
juga adalah para profesional atau calon profesional kesehatan.
Bagi saya menjadi profesional berarti menjadi bermartabat
(dignity). Seorang profesional tahu betul konsekuensi, implikasi,
dan resiko dari setiap tindakan dan pilihannya. Berani menjadi
profesional kesehatan berarti juga harus berani untuk terus
menerus meningkatkan mutu. Berani mendirikan prodi berarti
juga berani meningkatkan sarananya untuk bermutu. Itu
konsekuensi. Begitulah harusnya menurut saya, kita melihat uji
kompetensi.

Terlebih itu standar nasional yang dimaksud dalam uji kompetensi


adalah standar minimal yang mesti dicapai, rasanya dalam hidup

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 65


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

ini kita perlu itu. Apalagi ini berkaitan dengan sebuah profesi
seperti kesehatan, yang setiap hari dihadapkan pada tanggung
jawab hidup dan mati pasien. Dalam pengertian inilah saya
melihat uji kompetensi sebagai bagian dari social accountability
profesi kesehatan pada masyarakat.

Secara sistemik, sebagai bagian dari sistem pejaminan mutu, uji


kompetensi berperan untuk menyaring mutu lulusan sekaligus
sebagai saringan kedua setelah akreditasi. Uji kompetensi
bisa jadi feedback bagi kurikulum ataupun proses pendidikan.
Tidak selamanya institusi yang baik akan selalu menghasilkan
individu yang bermutu, begitu juga sebaliknya. Pada dasarnya
setiap orang punya motivasi dan kemampuan yang berbeda.
Atas alasan tersebut, saya tidak melihat standar nasional uji
kompetensi tidak adil bagi siapa pun, sebaliknya merupakan
konsekuensi logis yang harus dijalani dari setiap orang yang
memilih profesi ini.

Meskipun demikian, saya paham bahwa LPUK ini erat kaitannya


dengan dignity. Jika subjek dari LAM adalah prodi, maka
subjek LPUK adalah Individu. It is slightly different. Prodi itu
kan sekelompok sumber daya. Baik itu sumber daya manusia,
material, atau uang. Intinya sekelompok, sekumpulan. Nah, kalau
uji kompetensi itu subjeknya the student alone. Sehingga jika
sebuah prodi dinyatakan tidak lulus akreditasi, bebannya dibagi
oleh kelompok. Sebaliknya jika tidak lulus uji kompetensi maka
bebannya sepenuhnya di pundak satu orang. Itulah mengapa
saya mengawal uji kompetensi agar jadi exit exam. Menjadi

66 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

bagian dari proses pendidikan.

Pada awalnya uji kompetensi dilakukan setelah seorang


mahasiswa lulus. Sebagai syarat mendapat STR. Sehingga jika
ada mereka yang tidak lulus uji kompetensi jadi terlantar. Sudah
dokter tapi tidak bisa praktik. Itu kan tidak adil. Dengan masuk
dalam rangkaian proses pendidikan, mereka yang tidak lulus
dikembalikan pada prodinya. Prodinya harus bertanggung jawab
untuk membekali mahasiswanya kompetensi yang dibutuhkan
untuk berpraktik. Alhamdulilah gagasan uji kompetensi sebagai
exit exam, sudah diputuskan lewat putusan bersama Kementerian
Kesehatan dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Pertanyaan terakhir, sudah sampai mana proses mendirikan


LAM dan LPUK?

Jika kita andaikan mendirikan LAM dan LPUK itu seperti halnya
menanam sebuah pohon. Tadinya saya mengharapkan tahun
2009 dalam benak saya, saya sudah bisa punya pohon. Tapi
pelan-pelan setelah saya memahami betul, ternyata lahan yang
saya kerjakan bawahnya keropos. Ini persis dengan kejadian
ketika saya membangun rumah beberapa tahun lalu. Di atas
sebuah petak tanah di pekarangan rumah, saya menanam
pohon. Namun pohon yang saya tanam selalu mati. Lalu saya
minta seseorang menggali tanah tersebut. Ternyata di dalamnya
banyak sekali rongsokan sisa pembangunan rumah. Sehingga
tidak heran saya selalu gagal menanam pohon. Pada akhirnya,
saya dan keluarga harus mengeluarkan ongkos yang besar untuk

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 67


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

mengeluarkan sisa-sisa besi dan kayu bekas yang ada di bawah


tanah pekarangan. Exactly the same with us now. Yang saya punya
itu semacam soil yang terlihat fine, ketika kita lihat ke dalam
ternyata masih perlu diperbaiki.

Pengalaman hidup saya sehari-hari ternyata terjadi juga dalam


kehidupan bernegara. Apa yang saya lakukan hingga saat ini
adalah menyuburkan tanah tempat di mana LAM dan LPUK
akan berdiri nantinya. Prosesnya seperti halnya mengangkat
rongsokan dari dalam tanah. Karena itu butuh waktu, tenaga, dan
dana yang besar dan pastinya tidak mudah. Meski jauh melesat
dari harapan awal saya untuk segera punya pohon, saya tahu
saya harus bersabar. Saya memilih menebar benih ketimbang
menanam pohon yang sudah jadi. Saya percaya pohon yang
kuat, hanya dimungkinkan oleh akar-akar yang tertancap kuat di
dalam tanah.

Saya tidak ingin visi dan misi HPEQ hanya berumur sepanjang
umur proyek. Saya ingin punya produk yang sustainable. Sebab,
ini bukan soal saya, ini soal regenerasi sebagai tanggung jawab
sejarah profesi. Tidak masalah peranan saya sampai titik ini, yang
penting saya sudah menyiapkan lahan yang tepat dan pupuk
yang bagus untuk menumbuhkan LAM dan LPUK. Saya percaya
Tuhan akan berikan tugas pada orang lain untuk menjalankannya.
Apa yang penting bagi saya saat ini adalah memberikan nilai
pada setiap keputusan kita.

68 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

REFERENSI

Downing, Steven M. and Rachel Yudkowsky. 2009. Assessment in


Health Professions Education. New York: Routledge

Frank J, Chen L, Bhuta ZA, et al. 2010. Health Professionals for a New
Century, Transforming Education to Strengthen Health Systems
in an Interdependent World. The Lancet (online), Volume
376, Issue 9756, hal 1923-1958, http://www.thelancet.com/
journals/lancet/article/PIIS0140-6736(10)618545/fulltext?_
eventId=login

Soejitno, Soedarmono. 2012. Laporan Kesatu, Laporan Kedua,


Laporan Ketiga dan Laporan Keempat, Technical Assistance
for Developing Business Plan LAM-PTKes. Jakarta: Health
Professional Education Quality Project

Sunarto, Kamanto. 2012. Lesson Learnt tentang Keorganisasian


Akreditasi di Dalam dan di Luar Negeri. Makalah disampaikan
pada Seminar dan Lokakarya Sistem Akreditasi Nasional
Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi, Hotel Santosa
Senggigi, Bali, 16-18 Desember

Woollard, Robert F. 2010. Strengthening Policies and Procedures for


Accreditation, First Stage Report. Jakarta: Health Professional
Education Quality Project

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 69


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

________________. 2010. Social Accountability and Accreditation


in the Future of Medical Education. A paper developed for The
Commission on Education of Health Professionals for the 21st
Century

Van Damme, Dirk. 2004. Standards and Indicators in Institutional


and Programme Accreditation in Higher Education: A
Conceptual Framework and a Proposal, dalam, L. Vlasceanu
and L. C. Barrows, eds. Indicators for Institutional and
Programme Accreditation in Higher/Tertiary Education, hal.
125-157. Bucharest: UNESCO-CEPES

Draft Buku Lembaga Akreditasi Mandiri Pendidikan Tinggi


Kesehatan Indonesia, 2012, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Health
Professional Education Quality Project. Health Professional
Education Quality Project

Draft Buku Lembaga Pengembangan Uji Kompetensi, 2012,


Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi, Health Professional Education
Quality Project

Laporan Capaian Task Force LAM-PTKes Periode 2011-2012:


Audiensi Dirjen, 2012, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Health
Professional Education Quality Project

70 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

Naskah Akademik Sistem Akreditasi Program Studi Pendidikan


Kesehatan, 2010, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Health Professional
Education Quality Project

Panduan Objective Structured Clinical Examination (OSCE), 2011,


Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi, Health Professional Education
Quality Project

Panduan Penyelenggaran Computer Based Test (CBT), 2011,


Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi, Health Professional Education
Quality Project

Rancangan Naskah Akademik Lembaga Pengembangan Uji


Kompetensi (LPUK), 2012, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Health
Professional Education Quality Project

Sistem Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi (SPM-PT), 2010,


Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 71


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

Undang-Undang dan Peraturan Lainnya

Keputusan Konsil Kedokteran No. 20/KKI/KEP/IX/2006 tentang


Pengesahan Standar Pendidikan Profesi Dokter. Konsil
Kedokteran Indonesia. Jakarta

Keputusan Konsil Kedokteran No. 21A/KKI/Kep/IX/2006 tentang


Pengesahan Standar Kompetensi Dokter. Konsil Kedokteran
Indonesia. Jakarta

Peraturan Konsil Kedokteran No. 1 Tahun 2005 tentang Registrasi


Dokter dan Dokter Gigi. Konsil Kedokteran Indonesia. Jakarta

Peraturan Menteri Kesehatan No. 1796/MENKES/PER/VIII/2011


tentang Registrasi Tenaga Kesehatan. Berita Negara RI Tahun
2011, No. 603. Jakarta

Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar


Nasional Pendidikan. Lembaran Negara RI Tahun 2005, No.
41. Sekretariat Negara. Jakarta

Rancangan Peraturan Bersama Menteri Kesehatan RI dan Menteri


Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Surat Edaran Dirjen Dikti No. 88/E/DT/2013. Direktorat Jenderal


Pendidikan Tinggi. Jakarta

72 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia


MENGENAL SISTEM PENJAMINAN
MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.


Lembaran Negara RI Tahun 2012, No. 158. Sekretariat Negara.
Jakarta

Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan


Nasional. Lembaran Negara RI Tahun 2003, No. 78. Sekretariat
Negara. Jakarta

Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.


Lembaran Negara RI Tahun 2004, No. 116. Sekretariat Negara.
Jakarta

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 73

Anda mungkin juga menyukai