Edisi II
SARGA Jurnal Ilmiah Fakultas Teknik
Bulan Nopember Universitas 17 Agustus 1945 (UNTAG)
Tahun 2010 Semarang
Rekayasa Proses Pengering Endless Chain Vacuum (ECV) Sebagai Alternatif Peningkatan
Senyawa Polifenol Pada Produksi The Hijau Berkatekin Tinggi ~
Ir. Mega Kasmiyatun, MT
Pengolahan Limbah Cair Industri Tapioka Menjadi Sumber Energi Alternatif Bio-
Etanol Menggunkana Zeolit Sebagai Molecular Sieve ~
Ir. Retno Ambarwati SL,MT., Santa Monica, Yanastri Putri.D
i
MAJALAH ILMIAH TEKNIK – VOLUME XVII - EDISI 2 - BULAN NOPEMBER 2010
SARGA merupakan Jurnal Teknik yang diterbitkan oleh Fakultas Teknik Universitas 17 Agustus 1945
(UNTAG) Semarang, sebagai media publikasi ilmiah. Sajian tulisan dalam Jurnal Teknik ini dimaksudkan agar
komunikasi antar pakar ataupun insane akademik selalu terjadi dan terakomodasi, sehingga akan terwujud
perkembangan IPTEK sesuai dengan tuntutan pembangunan.
1. Tulisan merupakan naskah asli dan belum pernah dimuat atau diterbitkan pada media lain,
2. Naskah ditulis dengan tata bahasa ilmiah menggunakan bahasa Indonesia ataupun bahasa Inggris,
3. Naskah diketik rapi 1,5 spasi dengan model huruf “Times New Roman 12” atau “Arial 11”,
4. Jumlah halaman naskah minimal 15 halaman termasuk INTISARI atau ABSTRAK sekitar 200 kata,
5. Naskah dilengkapi dengan biodata penulis, yang memuat nama, tempat dan tanggal lahir, pendidikan
tertinggi (S1, S2, dan S3) serta pengalaman pekerjaan,
6. Redaksi berhak untuk menolak atau tidak menebitkan naskah yang kurang memenuhi persyaratan sebagai
tulisan ilmiah,
7. Redaksi dapat menyesuaikan, mengedit penggunaan istilah atau bahasa sepanjang tidak mengubah isi
maupun pengertiannya tanpa memberitahu penulis. Redaksi akan menghubungi penulis jika dipandang
perlu mengubah isi naskah.
Redaksi:
Pelindung: Dekan Fakultas Teknik UNTAG Semarang; Pembina: Prof.DR. Sarsintorini, SH.
Mhum: Penanggungjawab: Pembantu Dekan I FT UNTAG Semarang; Pemimpin Umum: Ir. St.
Muryanto, MEng.Sc.Ph.D.
Dewan Redaksi: Ir. FM.Roemiyanto.MS; Ir. Darwati, MSi; Ir. Loekman Mohamadi. MSc, Eko
Nursanty. ST. MT. Distributor: Novi Hendriyanto, Supardi,SH
A l a m a t : Fakultas teknik Universitas 17 Agustus 1945 Semarang
Jl. Pawiyatan Luhur, Bendan Duwur, Telp: 024-8320920 Fax: 024-8310939 Semarang.
Dari Redaksi
Pembangunan IPTEK diarahkan agar pemanfaatan, pengembangan dan
penguasaannya dapat mempercepat peningkatan kecerdasan dan kemampuan
bangsa, mempercepat proses pembaharuan, meningkatkan kualitas, harkat dan
martabat bangsa serta meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pengembangan dan
penerapan IPTEK harus didukung oleh sumberdaya manusia yang berkualitas melalui
pendidikan dan pelatihan, penataan sistim kelembagaan serta penyediaan sarana dan
prasarana yang memadai.
Majalah Ilmiah “SARGA” merupakan salah satu sarana yang disediakan bagi para
sivitas akademika Fakultas Teknik UNTAG Semarang dalam upaya mengembangkan
IPTEK, sehingga Kampus sebagai wahana kehidupan masyarakat ilmiah akan selalu
tercipta.
Majalah Ilmiah ‘SARGA” terbit dengan menanmpilkan karya-karya ilmiah yang
diangkat dari berbagai fenomena, sehingga materi yang disajikan pada terbitan kali ini
cukup bermanfaat untuk dibaca dan dijadikan referensi.
i
Daftar Isi
Dari Redaksi ............................................................................................................................................................... i
POLA TATA RUANG DESA ADAT DI BALI .......................................................................................... 1
BENTUK “ ATAP RUMAH “ PADA SENI BANGUNAN JAWA ..................................................... 10
EKSOTIKA ARSITEKTUR VERNAKULAR CINA LASEM .............................................................. 18
MEMADUKAN POTENSI KOTA DAN SEJARAH PADA MALAKA WORLD HERRITAGE .. 26
PENATAAN TATA RUANG WILAYAH PESISIR ............................................................................... 38
PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK ............................. 44
PENGARUH REJIM ALIRAN TERHADAP MODEL KOEFISIEN PINDAH MASSA PADA
PROSES EKSTRAKSI CAIR-CAIR DALAM KOLOM ISIAN............................................................. 67
REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI
ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU
BERKATEKIN TINGGI ................................................................................................................................ 81
PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAPIOKA MENJADI SUMBER ENERGI
ALTERNATIF BIO-ETANOL MENGGUNAKAN ZEOLIT SEBAGAI MOLECULAR SIEVE .. 99
ii
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
ABSTRACT
1
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
Desa Bayung Gede berdiri mana yang kaya mana yang miskin
sejak zaman pra sejarah, Asal mula karena semua masyarakatnya semua
desa Bayung Gede berasal dari kata besar wilayahnya merupakan hutan
Bayu atau Tenaga . Gede atau Besar. yang dimanfaatkan untuk perkebunan
Kemudian dapat diartikan dese oleh sulit untuk membedakan status
Bayung Gede yaitu Dengan kekuatan penduduk yang rata-rata sama.
yang besar bisa merombak hutan. Jumlah pekarangan yang ada di desa
Pada mulanya lokasi desa Bayung ini mencapai 250 pekarangan rumah.
Gede ini adalah hutan yang lebat. Dalam hal kepemilikan tanah, untuk
Kemudian orang orang asli dari tanah desa di Bayung Gede tidak
pegunungan yang selanjutnya boleh diperjualbelikan kecuali tanah
bersama sama menyusun kekuatan milik yang rata-rata letaknya berada
untuk merombak hutan menjadi diluar desa baru boleh
sebuah perkampungan. Penduduk diperjualbelikan karena tanah
yang mendiami perkampungan ini pekarangan rumah merupakan milik
kemudian sepakat menamai desa.
perkampungan ini menjadi sebuah
desa yang dinamakan desa Bayung Pola Pekarangan Desa.
Gede. Pola pemukiman Desa Bayung
Desa Bayung Gede terletak Gede terpusat pada poros jalan
sekitar 30 kilo meter dari kota utama desa yang berada di tengah
Denpasar. Termasuk dalam tengah desa, dimana fungsi jalan ini
kecamatan Kintamani, dan terlihat jelas sebagai pengikat dari
berkabupaten di Bangli. Bayung Gede lingkumgan desa. Jalan utama ini
termasuk salah satu desa dimana berpotongan dengan jalan raya
kondisi dan adat istiadatnya masih menuju gunung Kintamani. Pada kiri
sangat kuat mempertahankan tata nilai kanan jalan utama terdapat lorong-
tradisionalnya. Desa Bayung Gede lorong yang merupakan jalan
merupakan satu komplek perumahan lingkungan pemukiman yang sedikit
yang berdiri diatas tanah seluas 1034 melengkung. Pada sisi jalan ini
ha. terdapat pintu pintu masuk menuju
Pada mulanya desa ini halaman rumah penduduk.
sebagian kemudian setelah dirombak Orientasi utama lingkungan
banyak masyarakatnya. Dalam desa ini adalah puri Puseh dan balai
perkembangannya Bayung Gede desa yang terletak di kanan dan kiri
POLA TATA RUANG DESA ADAT DI BALI
2
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
jalan utama menuju perkampungan. pusat desa. Di Balai Desa ini pun
Dan tempat ini pula yang menjadi terdapat sebuah kantor kelurahan
pusat lingkungan seperti pada pusat yang menjadi ternpat pelayanan
desa. Dibeberapa bagian lain dari kependudukan baai masyarakat
desa ini terdapat sarana seperti pada Bayung Gede.
pusat desa namun tidak seramai
Kepala desa Bayung Gede Fungsi dari pusat lingkungan atau Bale
mempunyai sebutan Perbekel atau Banjar desa Bayung Gede ini adalah :
kepala dusun yang mempunyai tugas - Wadah komunikasi bagi
mengatur desa dengan peraturan adat masyarakat
yang berlaku pada desa tradisional di
Bali.
POLA TATA RUANG DESA ADAT DI BALI
3
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
4
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
5
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
- Sekolah
2. BANGUNAN BALE. Didesa Bayung Gede
- Bale Desa terdapat dua bangunan
Berorientasi kemuka dan sekolahan yaitu SDN
membentuk atap limasan ini Bayung Gede dan SMUN 1
berfungsi sebagai tempat Kintamani.
berkumpulnya warga desa bila - Kantor Kelurahan
sedang mengadakan rapat desa. Sebuah bangunan
Juga sebagai tempat menerima dengan model yang sederhana
tamu dari luar desa untuk urusan terletak di ujung desa atau
pemerintahan. pintu masuk desa. Kepala desa
- Bale Agung atau lurah desa ini adalah I
Fungsinya hampir sama dengan Wayan Polos.Bangunan ini
bale desa namun bale agung ini merupakan pusat
cenderung untuk kegiatan adat pemerintahan dan pelayanan
atau keagamaan. Juga sebagai terhadap masyarakat dalam
tempat untuk upacara Sasih pengurusan surat surat atau
Nasa atau upacara KTP.
penghormatan terhadap hasil - Puskesmas
pananen. Puskesmas merupakan tempat
pelayanan kesehatan dari
3. BANGUNAN PERUMAHAN. pemerintah bagi masyarakat
Bangunan perumahan terletak desa.
memanjang kearah kangin kauh . - Pemandian
Sepanjang lorong sempit ini terletak Aliran air melalui pancuran
bangunan perumahan penduduk yang terletak di belakang desa
yang tertata berjajar rapi. Namun dan digunakan oleh
lorong jalan ini sedikit melengkung masyarakat sekitar. Dibedakan
sehingga ujung yang satu dengan menjadi 2 kelompok, yaitu
lainya tidak terlihat. Rumah yang untuk pria dan wanita. Bagi
satu dengan yang lain saling perumahan yang telah memiliki
bertolak belakang menghadap kamar mandi sendiri
lorong didepanya .Arah selatan pemandian merupakan milik
desa lebih padat perumahannya. pribadi, biasanya bangunan ini
4. BANGUNAN UMUM.
POLA TATA RUANG DESA ADAT DI BALI
6
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
7
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
8
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
9
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
ABSTRAKSI
Bentuk rumah dengan puncak yang rata atau datar banyak sekali
macamnya. Misalnya : bentuk joglo, bentuk limasan, bentuk kampung,
bentuk panggang pe dan lain-lainnya. Bentuk-bentuk atap yang
didasarkan pada puncak yang lancip atau puncak yang rata juga
menggambarkan dunianya orang Jawa. Disini yakni dunia batiniah
dan dunia badaniah yang dilambangkan pada bentuk atap
bangunan.Maka dari itu dengan melihat bentuk atap, kita bisa
menyebutkan apa guna dari masing-masing bangunan tersebut.
10
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
11
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
12
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
.
Bentuk “ K A M P U N G A N “. atap seperti yang diletakkan di
Yang disebut bentuk tenga-tengah belahan dari
atap Kampung yaitu : bentuk bentuk atap tajug. ( lihat
BENTUK “ ATAP RUMAH “ PADA SENI BANGUNAN JAWA
13
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
PRALAMBANGNYA “ BENTUK
ATAP “.
BENTUK “ ATAP RUMAH “ PADA SENI BANGUNAN JAWA
14
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
15
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
16
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
Melambangkan hidup
badaniah yang bersifat
pribadi keluarga.
Panggang Pe
Juga melambangkan
hidup badaniah.
Kepustakaan :
1. Arya Ronald, Manusia dan
Rumah Jawa
2. Galih Widjil Pangarsa,
Merah Putih Arsitektur
Nusantara
3. Josef Prijotomo, Arsitektur
Jawa
4. Suchianto Aly : Ngawangun
Ki Nusantara
17
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
Abstrak
Daerah pantai Utara Jawa Tengah sejak abad VIII telah berperan sebagai
bandar perdagangan internasional, oleh karena itu dengan terbentuknya
permukiman Pecinan di daerah pesisir utara pulau Jawa maka terjadi pula
akulturasi budaya Cina dengan budaya setempat. Demikian pula dengan
perkembangan arsitekturnya, yang pada awalnya arsitektur rumah tinggal
masyarakat pesisir utara hanya didominasi dengan arsitektur tradisional Jawa,
maka dengan terbentuknya permukiman Pecinan tersebut ternyata juga
memberi warna pada arsitektur rumah tinggalnya.
Kecamatan Lasem adalah salah satu kota tua di pesisir utara pulau Jawa
yang dikunjungi bangsa cina pada awal kedatangannya hal ini dapat diketahui
dari sejarah kedatangan maupun sejarah pemberontakan masyarakat cina di
mana Lasem merupakan benteng pertahanan terakhir dari masyarakat Cina
sebelum ditumpas Kumpeni pada tahun 1743. Ramainya perdagangan di
Lasem dengan pelabuhan dagangnya pada jaman Kolonial tidak terlepas dari
peran masyarakat Cina yang sudah cukup lama bermukim di Lasem.
18
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
Keindahan arsitektur vernakular Cina modern bak gadis desa yang lugu,
terlihat pada desain atap yang itulah ungkapan untuk Lasem.
melengkung dengan ujung seperti Sayang pesona klasik ini sekarang
ekor walet. Keindahan lain adalah sudah mulai memudar karena adanya
bentuk struktur kayu yang diekspose peristiwa G30SPKI dan penerapan
serta simbolisasi yang tersirat pada Inpres no 14 tahun 1967. Pada era
ukiran di bangunan ibadahnya. reformasi Presiden Abdurahman
Cantik, klasik dan sederhana serta Wahid mencabut Inpres no 14 tahun
terjaga dari coreng moreng make-up 1967, walaupun demikian Le Petit
EKSOTIKA ARSITEKTUR VERNAKULAR CINA LASEM
19
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
Chinois (Cina kecil) ini belum bisa dibandingkan kelenteng yang ada di
memancarkan pesonanya seperti Semarang dan sebuah kelenteng
dahulu kala. simbol persahabatan serta
nasionalisme dalam melawan
Bangunan Arsitektur Vernakular Cina
penjajah Belanda.
Bangunan tradisional Cina yang ada
di Lasem yaitu rumah tinggal, Kelenteng Cu An kiong yang terletak
kelenteng, gerbang/Pailous dan di jalan Dasun no 19, klenteng ini
makam. Seperti halnya di Semarang, sudah ada sejak abad 16. Selain
Kelenteng Cu An Kiong.
Sumber : Data lapangan
20
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
21
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
Bentuk denah L
Sumber Ronald G. Knapp, 1989
22
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
23
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
Membatik.
Sumber : Data lapangan
24
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
25
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
Abstrak :
World Herritage City adalah sebuah Situs Warisan Dunia UNESCO
dimana dia berupa tempat (seperti hutan, gunung, danau, gurun,
monumen , bangunan , kompleks, atau kota ) yang terdaftar oleh PBB
United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization
(UNESCO) khusus budaya atau fisik penting. Daftar ini dikelola oleh
Program Warisan Dunia internasional yang dikelola oleh UNESCO
Komite Warisan Dunia , terdiri dari 21 negara yang dipilih oleh Majelis
Umum untuk jangka waktu empat- tahun an.
26
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
27
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
Gambar 3 : Daftar Negara yang memiliki lebih dari 10 World Herritage Site
28
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
29
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
Sejarah Malacca
Sebelum kedatangan Sultan
Gambar 6 : Peta kota Malaka pertama, Malaka adalah sebuah
Malaka ( Melayu : Melaka, dijuluki desa nelayan sederhana yang dihuni
Negara Historis atau Negeri oleh Melayu lokal. Malaka didirikan
Bersejarah di kalangan penduduk oleh Parameswara , Raja terakhir
setempat) adalah negara bagian dari Singapura (Singapura hari ini)
terkecil ketiga negara Malaysia , setelah Majapahit serangan di 1377.
setelah Perlis dan Penang. Terletak Ia menemukan jalan ke Malaka c.
di wilayah selatan dari Semenanjung 1400 di mana ia menemukan sebuah
Melayu , di Selat Malaka, berbatasan pelabuhan yang baik diakses di
dengan Negeri Sembilan di utara dan semua musim dan pada titik
negara bagian Johor selatan. tersempit terletak strategis dari Selat
Ibukotanya adalah Kota Malaka. Malaka. Karena lokasinya yang
Pusat kota bersejarah ini telah strategis, Malaka adalah titik berhenti
terdaftar sebagai UNESCO Situs penting bagi Zheng He. Untuk
Warisan Dunia sejak 7 Juli 2008. meningkatkan hubungan, Hang Li Po
, diduga seorang putri dari Ming
MEMADUKAN POTENSI KOTA DAN SEJARAH PADA MALAKA WORLD HERRITAGE
30
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
31
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
32
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
St. John's Fort: direkonstruksi oleh pada waktu itu, ancaman terhadap
Belanda pada kuartal ketiga abad Malaka terutama dari pedalaman
ke-18, meriam di benteng ke dalam laut.
menunjuk ke arah daratan karena
33
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
34
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
35
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
36
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
Daftar Pustaka
World Heritage List, UNESCO World De Witt, Dennis (2007). History of the
Heritage Sites official sites. Dutch in Malaysia. Malaysia: Nutmeg
De Witt, Dennis (2010). Melaka from the Publishing. ISBN 9789834351908.
Top. Malaysia: Nutmeg Publishing. "Popular History of Thailand" by M.L.
ISBN 9789834351922. Manich Jumsai, C.B.E., M.A
37
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
ABSTRAK
Tidak beda dengan wilayah daratan, wilayah pesisir pun juga mempunyai
berbagai masalah seperti memiliki karakteristik open acces, multi use, dan
rentan terhadap kerusakan serta perusakan dimana pengelolaanya
mensyaratkan perlunya landasan keterpaduan.
Sebagai salah satu unsur pembentuk ruang wilayah, keterpaduan pengelolaan
wilayah pesisir tersebut dapat diselenggarakan dengan memanfaatkan
instrument penataan ruang, baik pada tingkat Nasional, Propinsi, Kabupaten
maupun Kota.
Adapun tata ruang di wilayah pesisir dimaksudkan untuk memanfaatkan ruang
secara harmonis dan optimal dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi,
mensejahterakan rakyat dan melindungi ekosistem laut dan pesisir.
38
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
39
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
dan mahluk hidup lainnya hidup dan perhubungan laut dan alur pelayaran
melakukan kegiatan serta dan yang paling utama adalah (vi)
memelihara kelangsungan hidupnya. kegiatan konservasi laut dan pesisir
Dalam konteks ini, wilayah pesisir seperti mangrove, terumbu karang
dapat dipandang sebagai salah satu dan biota laut lainnya.
unsur pembentuk ruang wilayah. 2. Selain itu, terdapat pula potensi
konflik kewenangan (jurisdictional
III. ISSUE dan pemasalahan conflict) dalam pengelolaan dan
pengelolaan wilayah pesisir pemanfaatan wilayah pesisir.
1. Potensi konflik kepentingan (conflict Kondisi ini muncul sebagi
of interest) dan tumpang tindih konsekuensi tidak berhimpitnya
antar sektor dan stakeholders pembagian kewenangan yang
lainnya dalam pengelolaan dan terbagi menurut administrasi
pemanfaatan wilayah pesisir. pemerintah provinsi dan
Kondisi ini muncul sebagai kabupaten/kota dengan kepentingan
konsekuensi beragamnya seumber wilayah pesisir tersebut yang
daya pesisir yang ada serta seringkali lintas wilayah otonom.
karakteristik wilayah pesisir yang 3. Sebagai “interface” antara
“open acces” sehingga mendorong ekosistem darat dan laut, wilayah
wilayah pesisir telah menjadi salah pesisir (coastal areas) memiliki
satu lokasi utama bagi kegiatan- keterkaitan antara lahan atas
kegiatan beberapa sector (daratan) dan laut. Dengan
pembangunan (multi-use). Dalam keterkaitan kawasan tersebut, maka
hal ini, konflik kepentingan tidak pengelolaan kawasan di pesisir, laut
hanya terjadi antar “users”, yakni dan pulau-pulau kecil tidak terlepas
sektoral dalam pemerintahan dan dari pengelolaan lingkungan yang
juga masyarakat setempat dan pihak dilakukan di kedua wilayah tersbut.
swasta, namun juga antar Berbagai dampak lingkungan yang
penggunaan antara lain (i) perikanan terjadi pada wilayah pesisir
budidaya maupun tangkapan (ii) merupakan akibat dari dampak yang
pariwisata bahari dan pantai (iii) ditimbulkan oleh kegiatan
industry maritime seperti perkapalan pembangunan yang dilaksanakan di
(iv) pertambangan , sperti minyak, daratan, seperti pertanian,
gas, timah dan galian lainnya; (v)
40
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
41
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
42
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
Biodata Penulis
Ir. Sumarwanto, MT, lahir di
Semarang tanggal 20 Februari 1952.
Pendidikan yang diselesaikannya
adalah S.1 di Universitas Diponegoro
Semarang, dan S.2 di Universitas
DAFTAR PUSTAKA Diponegoro Semarang bidang Studi
BKTRN, Proceeding Seminar Urban Design. Bekerja sebagi dosen
Nasional : Pengaruh Global di Program Studi Arsitektur Fakultas
Teknik Universitas 17 Agustus 1945
Warming terhadap Pesisir dan
Semarang, dengan jabatan akademik
Pulau-Pulau Kecil ditinjau dari
Lektor, mengajar pada mata kuliah
kenaikan permukaan air laut Perancangan Arsitektur, Tata Ruang
dan banjir, Jakarta, 30-31 Luar dan Kota dan Permukiman.
Oktober 2002.
Dokumen Badan Koordinasi
Tata Ruang Nasional (BKTRN)
tentang Rumusan Pokok-Pokok
Hasil RAKERNAS-BKTRN,
Surabaya, 14 Juli 2003.
Dirjen Penataan Ruang –
Depkimpraswil, Antisipasi
Dampak Pemanasan Global
dari Aspek Teknis Penataan
Ruang, Makalah pada Seminar
Nasional tentang Pengaruh
Global Warming, terhadap
PENATAAN TATA RUANG WILAYAH PESISIR
43
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
ABSTRAKSI
Gambaran umum pentingnya keberadaan Ruang Terbuka Hijau dan
Hutan/ Taman Kota bagi perkembangan wilayah perkotaan.
Tahapan berikutnya adalah untuk mengetahui pentingnya keberadaan
Ruang Terbuka Hijau dan Hutan/ Taman Kota di Kota yang
bersangkutan. Analisa yang dilakukan adalah dengan mengkaji
perkembangan kota yang bersangkutan yang terjadi saat ini terutama
dampak yang ditimbulkan terkait dengan penurunan kualitas
lingkungan. Dari tahapan ini dilakukan juga kajian mengenai
keberadaan ruang hijau kota saat ini dan arahan kebijakan Tata Ruang
terhadap ruang terbuka hijau dikota yang bersangkutan.
44
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
45
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
Diagram 1.
Pola Pikir Proses Perencanaan Desain Hutan/ Taman Kota dan Ruang Publik Perkotaan
46
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
membangun/mengembangkan hutan/
taman kota adalah: 2). Tahap Pembentukan Kelembagaan
aspek yang perlu diteliti meliputi: pengelolaan hutan/ taman kota sangat
Bahan informasi yang dibutuhkan lainnya. Dalam hal ini Walikota atau
a). Data fisik (letak, wilayah, tanah, dan pengembangan hutan/ taman kota
c). Keadaan lingkungan (lokasi oleh tim pembina yang terdiri dari Dinas
47
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
48
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
49
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
50
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
51
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
52
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
53
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
54
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
55
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
56
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
57
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
58
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
59
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
60
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
61
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
62
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
utama yang harus diperhatikan RTH luas minimal, dan RTH privat
yaitu: merupakan RTH pendukung dan
(a) Luas RTH minimum yang penambah nilai rasio terutama dalam
diperlukan dalam suatu wilayah meningkatkan nilai dan kualitas
perkotaan ditentukan secara lingkungan dan kultural kota.
komposit oleh tiga komponen (b) Lokasi lahan kota yang
berikut ini, yaitu: potensial dan tersedia untuk RTH
1) Kapasitas atau daya (c) Sruktur dan pola RTH yang akan
dukung alami wilayah dikembangkan (bentuk,
2) Kebutuhan per kapita konfigurasi, dan distribusi)
(kenyamanan, kesehatan, (d) Seleksi tanaman sesuai
dan bentuk pelayanan kepentingan dan tujuan
lainnya) pembangunan kota.
3) Arah dan tujuan Standart kebutuhan RTH diatas
pembangunan kota berlaku umum di wilayah perkotaan,
RTH berluas minimum merupakan dengan luasan RTH minimal yang
RTH berfungsi ekologis yang dibutuhkan di wilayah perkotaan.
berlokasi, berukuran, dan berbentuk Perhitungan diatas berdasarkan
pasti, yang melingkup RTH publik kebutuhan per unit lingkungan dan
dan RTH privat. Dalam suatu wilayah jenis ruang terbuka yang dibutuhkan
perkotaan maka RTH publik harus serta lokasinya.
berukuran sama atau lebih luas dari
63
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
Tabel 2
STANDART RTH: KRITERIA UNIT UNIT LINGKUNGAN
Tabel 3.
KEBUTUHAN AKAN RTH
64
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
attitudes), semua terpadu sebagai udara, air, tanah dan suara, banjir,
salah satu komponen pendukung kebakaran, dan krisis air bersih,
pengembangan lingkungan hidup berakibat penurunan kualitas
(Haeruman, et.al.1980). kesehatan, produktivitas, dan kinerja
Manusia akan selalu memandang, warga kota.
bahwa sumber daya itu akan Perencanaan tata ruang kota selalu
menghasilkan barang dan jasa tertinggal dengan laju kebutuhan fisik
berupa materi, informasi, dan energi, dan psikis penduduk yang semakin
dalam siklusnya masing-masing, meningkat, baik dalam jumlah
termasuk perhitungan antara daya maupun kualitas. Ekspansi ruang
dukung atau kemampuan asimilasi kota ke segala penjuru tanpa
serta dampak negatif lingkungan. terkendali. Penanganan masalah
Sekarang, tergantung pada diri kita lingkungan hidup kota, termasuk
masing-masing, bagaimana eksistensi RTH, masih bersifat parsial
menyadari eksistensi sumberdaya itu dan temporal.
dan pemanfaatannya, terutama di
lingkungan perkotaan, sehingga j). Analisa Arsitektur
dapat bermanfaat bagi kehidupan Secara arsitektural RTH dapat
warga kota secara berkelanjutan. meningkatkan nilai keindahan
Dilihat dari sebuah unit sosial terkecil dan kenyamanan kota melalui
yaitu keluarga, maka ruang luar yang keberadaan taman-taman
ada sebenarnya dapat dimanfaatkan kota, kebun-kebun bunga, dan
secara optimal, dengan tanaman pot jalur-jalur hijau dijalan-jalan
bunga, buah, sayuran, apotik hidup kota.
minimal untuk kebutuhan keluarga. Berdasarkan PP Nomor 63
Kota akan selalu menghadapi Tahun 2002 Tentang Hutan
perobahan akibat akselerasi Kota Pasal 14 dan 15 tentang
pembangunan secara menyeluruh, type dan bentuk hutan kota
sehingga terjadi degradasi kualitas dengan fungsi yang ditetapkan
fungsi alami lingkungan. Kemacetan dalam Rencana Tata Ruang
lalu-lintas yang semakin parah di Wilayah Perkotaan atau
seluruh bagian kota, pencemaran
65
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
Rencana Tata Ruang Wilayah World”, John Wiley & Sons, New
adalah: York.
Tipe hutan kota antara lain: Direktorat Pembinaan Jalan Kota
a. tipe kawasan permukiman; (1992), “Petunjuk Praktis
b. tipe kawasan industri; Penataan Penghijauan Jalan
c. tipe rekreasi; dan Lingkungannya” Direktorat
d. tipe pelestarian plasma Jenderal Bina Marga.
nutfah; Ir M. Robinson (1993), ”Urban
e. tipe perlindungan; dan Planning Methods and
f. tipe pengamanan. Techniques”, Human Settlement
Bentuk hutan kota antara lain: Development, Asian Institute of
a. jalur; Technology, Bangkok.
b. mengelompok; dan Melville C. Branch (1985),
c. menyebar. ”Comprehensive City
Planning; Introduction and
DAFTAR PUSTAKA Explanation”, The Planners
Press of The American Planning
Anthony J. Catanese, dkk (1989), Association, Chicago.
”Pengantar Sejarah Menno S. dan Mustamin Alwi (1991),
Perencanaan Perkotaan, ”Antroplogi Perkotaan”,
sebuah kumpulan karangan Rajawali Pers, Jakarta.
(terjemahan)”, Intermatra, Paul D. Spreiregen (1981), ”Urban
Bandung. Design; The Architecture of
Arthur B. Gallion dan Simon Eisener Towns and Cities”,Robert E.
(1992), ”Pengantar Kreiger Publishing Company,
Perancangan Kota, Desain dan Florida.
Perencanaan Kota Rob Krier (1991), ”Urban Space”,
(terjemahan)”, Penerbit Erlangga, Academy Editions, London.
Jakarta.
Diana Conyer and Peter Hills (1984),
”An Introduction to
Development in the Third
66
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
Priyono Kusumo
email : priyo330@yahoo.com
Abstrak
67
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
campuran cair tersebut. Agar proses pindah massa yang dinyatakan dalam
pemisahan berlangsung dengan besaran koefisien pindah massa.
cepat dan sempurna, kontak antara Besaran koefisien pindah massa
kedua cairan tersebut harus intim tersebut akan menggambarkan
yaitu memiliki luas area permukaan mudah tidaknya senyawa yang akan
kontak sangat luas serta hambatan diekstraksi (solute) berpindah dari
perpindahan massa antar fasa cair- salah satu cairan ke cairan yang
cair sangat rendah. Hal ini dapat lainnya.
dicapai bila salah satu cairan
terdispersi di dalam cairan yang Tinjauan Pustaka
lainnya. Cairan yang terdispersi Ekstraksi cair-cair atau
dalam bentuk tetesan disebut fasa ekstraksi solven adalah ekstraksi dari
terdispersi, sedangkan cairan yang larutan fasa cair dengan
lainnya yang mendispersi disebut menggunakan pelarut fasa cair lain
fasa kontinyu. sebagai media pemisah. Secara
Dinamika tetesan tersebut sederhana peristiwa ekstraksi cair-
sangat berpengaruh terhadap cair dapat digambarkan dalam skema
besarnya luas area permukaan sebagai berikut:
kontak serta besarnya hambatan
Pelarut II Ekstrak
Rafinat
PENGARUH REJIM ALIRAN TERHADAP MODEL KOEFISIEN PINDAH MASSA PADA PROSES EKSTRAKSI CAIR-CAIR DALAM KOLOM ISIAN
68
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
Larutan/fasa Ekstrak
kontinyu
Pelarut/fasa
terdispersi
Rafinat
Gambar 2. Ekstraksi Cair-Cair dalam Kolom Isian
PENGARUH REJIM ALIRAN TERHADAP MODEL KOEFISIEN PINDAH MASSA PADA PROSES EKSTRAKSI CAIR-CAIR DALAM KOLOM ISIAN
69
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
Cd
Cc
Z
Cci Z+? z
Fasa Terdispersi
Uc Ud
Ccout Cdin
70
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
Laju alir masuk – laju alir keluar + laju perpindahan massa = akumulasi (2.)
dCc
AU cCc z AU cCc z z kc a(Cc Cci )dZ Az (3.)
dt
dC c
Apabila sistem mencapai keadaan tunak maka akumulasi atau 0 , dievaluasi untuk Δz -> 0
dt
kc ai Cc Cci
diperoleh persamaan dCc
Uc
(4.) dz
Perssamaan (4) merupakan dari luas pindah massa (ai) dan
persamaan yang menggambarkan koefisien pindah massa (kc). Dengan
perubahan konsentrasi zat terlarut di cara yang sama untuk fasa
fasa kontinyu sepanjang kolom z. terdispersi dapat dituliskan
Laju perpindahan massa tergantung
kd ai Cdi Cd
dCd
Ud
(5.) dz
Apabila persamaan (5) ini diintegrasikan maka akan dapat diperoleh tinggi kolom Z
cdin
U dCd
(6.)
Z d
kd ai C
Cdout di Cd
PENGARUH REJIM ALIRAN TERHADAP MODEL KOEFISIEN PINDAH MASSA PADA PROSES EKSTRAKSI CAIR-CAIR DALAM KOLOM ISIAN
71
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
PENGARUH REJIM ALIRAN TERHADAP MODEL KOEFISIEN PINDAH MASSA PADA PROSES EKSTRAKSI CAIR-CAIR DALAM KOLOM ISIAN
72
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
3d
Kroning dan Brink (KB) Garner Foord Tayeban (GFT)
k d 17,9Dd
Shc 0,45 126 1,8Re
0, 5
S c
0, 5
Handlos dan Baron
Sirkulasi 10 < Re < (HB) Higbie
200 4 DcU
kc
0,00375.U dc
kd
d
1
c
Rose Kintner (RK)
k d 0,45Dd Garner – Tayeban (GT)
0, 5
PENGARUH REJIM ALIRAN TERHADAP MODEL KOEFISIEN PINDAH MASSA PADA PROSES EKSTRAKSI CAIR-CAIR DALAM KOLOM ISIAN
73
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
PENGARUH REJIM ALIRAN TERHADAP MODEL KOEFISIEN PINDAH MASSA PADA PROSES EKSTRAKSI CAIR-CAIR DALAM KOLOM ISIAN
74
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
0.0850
0.0800
0.0750
0.0700
kc cm/s
0.0650
0.0600
0.0550
0.0500
0.0450
0.0400
Gambar 4. Pengaruh laju alir fasa kontinyu dan fasa terdispersi terhadap koefisien pindah
massa fasa kontinyu kc
Koefisien perpindahan massa kontak yang terjadi. Pengaruh laju alir
fasa kontinyu diambil dari model yang kedua fasa dalam peristiwa pindah
dikembangkan oleh Garner Foord massa fasa kontinyu disampaikan
Tayeban dengan penghertian bahwa dalam Gambar 4.
di dalam kolom isian fasa kontinyu Koefisien pindah massa fasa
akan mengalir mememenuhi kolom kontinyu lebih dominan dipengaruhi
beserta isiannya dan mengalir oleh laju alir fasa kontinyu.
kebawah. Selama dalam perjalanan Perubahan laju alir kedua fasa
mengalir kebawah dalam kolom menyebabkan perubahan pada
bertemu dengan fasa terdispersi yang koefisien pindah massanya.
mengalir naik dengan bentuk tetes- Perubahan yang terjadi senantiasa
tetes fasa terdispersi. Saat sama (berimpit). Keadaan ini
bertemunya fasa kontinyu dan fasa disebabkan pada fasa terdispersi
dispersi disitulah terjadinya tidak atau sedikit sekali mengandung
perpindahan massa. Perpindahan sat yang bisa berpindah dari fasa
massa dari fasa terdispersi ke fasa terdispersi ke fasa kontinyu.
kontinyu dipengaruhi oleh waktu
PENGARUH REJIM ALIRAN TERHADAP MODEL KOEFISIEN PINDAH MASSA PADA PROSES EKSTRAKSI CAIR-CAIR DALAM KOLOM ISIAN
75
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
0.0222
0.0220
0.0218
0.0216
kd cm/s
0.0214
0.0212
0.0210
0.0208
0.0206
Gambar 5. Pengaruh laju alir fasa kontinyu dan fasa terdispersi terhadap koefisien pindah
massa fasa terdispersi kd
PENGARUH REJIM ALIRAN TERHADAP MODEL KOEFISIEN PINDAH MASSA PADA PROSES EKSTRAKSI CAIR-CAIR DALAM KOLOM ISIAN
76
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
PENGARUH REJIM ALIRAN TERHADAP MODEL KOEFISIEN PINDAH MASSA PADA PROSES EKSTRAKSI CAIR-CAIR DALAM KOLOM ISIAN
77
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
0.0250
0.0240
0.0230
0.0220
0.0210
Kod cm/s
0.0200
0.0190
0.0180
0.0170
0.0160
Gambar 6. Pengaruh laju alir fasa kontinyu dan fasa terdispersi terhadap koefisien pindah
massa keseluruhan Kod
4.00
3.50
3.00
Zhitung/Znyata
2.50
2.00
1.50
1.00
0.50
0.00
0 0.02 0.04 0.06
K(od)
Re = 35 ; Run 1, 4, 7 Re = 70 ; Run 1, 4, 7 Re = 175 ; Run 1, 4, 7
Re = 350 ; Run 1, 4, 7 model Re = 35 model Re = 70
model Re = 175 model Re = 350
78
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
PENGARUH REJIM ALIRAN TERHADAP MODEL KOEFISIEN PINDAH MASSA PADA PROSES EKSTRAKSI CAIR-CAIR DALAM KOLOM ISIAN
79
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
c = fasa kontinu.
d = fasa dispersi.
Z = tinggi kolom, m
Bn = konstanta model kronig-brink.
g = percepatan gravitasi.
Daftar Pustaka
Laddha, G.S. , Degaleesan, T.E.
“Transport Phenomena ini Liquid
Extraction”, Mc Graw Hill, New York,
1978.
Mansyur, Y. dan Hervianto, B.C.
“Hidrodinamika Kolom Isian untuk
Proses Ekstraksi Cair-Cair”,
Thesis ITB, 2004.
Putranto, Aditya, “Kajian
Hidrodinamika Ekstraksi Cair-Cair
pada kolom Isian”, Thesis ITB,
2004.
Treyball, “Liquid-liquid Extraction”, Mc
Graw Hill, New York, 1950.
Treyball, “Mass Transfer Operations”,
Mc Graw Hill, New York, 1980
PENGARUH REJIM ALIRAN TERHADAP MODEL KOEFISIEN PINDAH MASSA PADA PROSES EKSTRAKSI CAIR-CAIR DALAM KOLOM ISIAN
80
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
Mega Kasmiyatun
Program Studi Teknik Kimia Fakultas Teknik Untag Semarang
Jl. Pawiyatan Luhur, Bendan Dhuwur Semarang, tilp. (024)8310920
ABSTRAK
Katekin (C6H6O2) dalam teh adalah komponen utama yang menentukan mutu, baik
cita rasa, kenampakan, maupun warna air seduhan. Katekin merupakan kerabat
tanin terkondensasi yang sering disebut polifenol, mempunyai manfaat bagi
kesehatan manusia. Untuk menghasilkan teh hijau dengan kadar katekin tinggi perlu
proses pengeringan pada suhu rendah supaya senyawa polifenol tidah berubah
menjadi theaflavin dan isomer-isomernya. Jenis pengering Endless Chain Vacuum
(ECV) merupakan alat yang dapat dipakai untuk tujuan ini. Tujuan penelitian ini
adalah: (1) Membuat rancang bangun alat pengering ECV yang dapat mereduksi
kandungan air, menginaktivasi enzimatis, dan menghindari peristiwa epimerisasi
katekin untuk produksi teh hijau berkatekin tinggi; (2) Uji eksperimetal alat pengering
ECV untuk mengkaji pengaruh temperatur, laju alir udara panas, dan waktu tinggal
terhadap kandungan air dan katekin dalam teh hijau yang dihasilkan; dan (3)
Menyusun model empirik laju pengeringan dari pengering ECV. Langkah penelitian
meliputi: Perancangan dan pabrikasi alat pengering ECV; Uji eksperimental alat
pengering untuk mengetahui seberapa jauh kinerja pengering EVC melalui
pengkajian pengaruh temperatur, laju alir udara panas, dan waktu tinggal terhadap
kandungan air dan katekin yang dihasilkan; pemodelan dan uji model. Hasilnya
menunjukkan bahwa rancang bangun alat pengering ECV mampu mengeringkan teh
hijau dengan kadar katekin 14,57%. Temperatur dan lajualir udara pengering
berpengaruh pada kurve laju pengeringan atau waktu pengeringan, sedangkan waktu
tinggal berpengaruh pada proses pengeringan ECV dan hasil katekin yang didapat.
Disamping itu, dihasilkan model matematis yang menunjukkan hubungan antara
berat daun teh sebagai fungsi waktu pengeringan, dimana dari uji validasi model
menunjukkan tingkat ketepatan yang cukup baik.
81
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU
BERKATEKIN TINGGI
82
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
ini membuka peluang bagi industri teh terbatas, tidak cocok untuk bahan
Indonesia untuk memproduksi teh yang mudah menggumpal (lengket),
hijau berkatekin tinggi sebagai bahan dan produk teh hijau yang dihasilkan
baku preparat katekin dan functional memiliki kadar air relatif tinggi. Kadar
food yang mulai populer air yang masih tinggi ini,
pemakaiannya dewasa ini. memungkinkan terjadinya proses
Pengolahan teh hijau pada prinsipnya oksidasi enzimatik polifenol, yang
dilakukan dengan menginaktifkan mengakibatkan kadar katekin teh hijau
enzim polifenol oksidase, yaitu dengan yang dihasilkan relatif rendah. Untuk
cara steaming (pemberian uap panas) itu perlu dicari alternatif jenis
dan cara panning (penggarangan). pengering lain, yaitu dengan
Teknologi inaktivasi enzim polifenol menggunakan Endless Chain Pressure
dengan pemberian uap panas lebih (ECP) Drier.
banyak memiliki keunggulan. Studi fundamental tentang ECP telah
Meskipun demikian, untuk dilakukan pada skala laboratorium
menghasilkan teh hijau yang siap dengan kajian perpindahan panas dan
dikonsumsi dengan kadar katekin massa. Hasil telaah menunjukkan
tinggi dan kadar air sekitar 2 – 3%, bahwa ECP sangat potensial dalam
masih diperlukan tahapan proses menginaktifkan enzim polifenol
lanjut yaitu pengeringan, di mana oksidase dan mereduksi kandungan
selain mengurangi kadar air juga untuk air, sehingga dihasilkan teh hijau
menghentikan proses oksidasi berkatekin tinggi (Utami dkk., 2005;
enzimatik polifenol apabila masih Setiawan dkk., 2007). Meskipun
terdapat enzim yang masih aktif (Utami demikian, ternyata masih ada masalah
dkk., 2005). yaitu terjadinya peristiwa epimerisasi
Selama ini untuk pengolahan teh hijau, katekin menjadi isomer-isomer seperti
menggunakan jenis pengering produk intermediet theaflavin dan
fluidized bed drier (FBD). Pengering ini degradasi termal katekin. Hal ini terjadi
masih bersifat konvensional, karena karena temperatur pengering yang
memerlukan kecepatan udara relatif tinggi, sehingga menyebabkan
pengering cukup tinggi (0,5 – 0,75 senyawa-senyawa polifenol berubah
m/s), ukuran dan densitas bahan menjadi theaflavin dan isomer-
REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU
BERKATEKIN TINGGI
83
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU
BERKATEKIN TINGGI
84
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
(2)
2
2
2
Mt Me 8 D L .t 1 9D L .t 1 25D L .t
e e e ..........
Mo Me 2 9 25
(7)
REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU
BERKATEKIN TINGGI
85
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
Suku yang dominan dari Pers (7) Perancangan dan pabrikasi prototipe
adalah suku pertama. Suku-suku lain pengering ECV.
hanya akan berpengaruh pada nilai t Uji eksperimental alat pengering ECV
yang sangat kecil, [ 4Dt 0,1 ] (Mc- Pengembangan model empirik dan
2
L
validasi model
Cabe, et al., 1993). Dengan demikian,
hampir seluruh nilai t Persamaan 16
dapat disederhanakan menjadi,
Mt Me 8
2 e k .t Perancangan dan Pabrikasi
Mo Me
pengering ECV.
(8)
Perancangan dan pabrikasi alat
pengering ECV dikerjakan di
Workshop Teknik Mesin UNDIP
Semarang. (Gambar 1). Rangkaian
(18)
alat pengering yang digunakan untuk
dengan :
proses inaktivasi enzim polifenol
k = D(/L)2
oksidase dan de-epimerisasi katekin.
(9)
Rangkaian alat ini terdiri dari
Persamaan (8) diselesaikan dengan
pengering dengan pompa vakum, yang
cara numerik dan dapat digunakan
dilengkapi dengan termokopel,
untuk menghitung nilai difusivitas
manometer yang terhubung dengan
massa D.
komputer dan alat pencatat waktu.
II. EKSPERIMENTAL
2.1 Kerangka Penelitian
Penelitian tentang inaktivasi enzim
polifenol oksidase dan studi de-
epimeriasasi katekin melalui proses
pengering untuk menghasilkan teh
hijau berkatekin tinggi diinvestigasi
baik secara eksperimen maupun
pemodelan, meliputi :
REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU
BERKATEKIN TINGGI
86
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU
BERKATEKIN TINGGI
87
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU
BERKATEKIN TINGGI
88
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
lama pengeringan, kadar air teh hijau adalah berat air (kg) yang diuapkan
semakin menurun. Hal ini terjadi, setiap satuan waktu (jam), setiap
karena semakin lama waktu satuan luas (m2). Gambar 3
pengeringan menyebabkan kontak menunjukkan hasil kurve laju
udara panas dengan teh hijau lebih pengeringan dari daun teh hijau pada
lama, sehingga laju perpindahan suhu 80, 85, dan 90 oC, dengan laju
panas meningkat, akibatnya air yang alir udara tetap sebesar 15 liter/menit.
berada dalam daun teh relatif banyak Ketiga kurve tersebut mempunyai pola
yang menguap. Begitu pula dengan yang sama yaitu mempunyai constant
suhu pengeringan, semakin besar drying rate dan falling drying rate
suhu menyebabkan persentase kadar periods. Makin tinggi temperatur
air semakin menurun. Hal ini sesuai pengeringan, makin besar harga laju
pernyataan Leniger dkk (1975), yang pengeringan konstan, makin pendek
menyebutkan bahwa laju pengeringan periodenya, dan makin besar harga
teh dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu critical moisture content nya. Hal ini
suhu, kelembaban dan kecepatan dapat dipahami karena makin tinggi
aliran udara. suhu media pengering maka lebih
kalor atau panas sensibel yang
60 dikandungnya, sehingga lebih banyak
50 80 oC
panas yang dipindahkan ke bahan
Kadar air (%)
85 oC
40
90 oC
30 basah untuk menguapkan airnya
20
10 (sebanyak panas latennya). Akibatnya
0
0 10 20 30 40 50 60 harga laju pengeringannya menjadi
Waktu Pengeringan (menit)
besar.
Gambar 2. Grafik perubahan kadar air
terhadap waktu pada berbagai suhu 80 oC 85 oC 90 oC
4
Laju pengeringan
3
(kg/jam.m2)
REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU
BERKATEKIN TINGGI
89
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
Laju pengeringan
ketiga temperatur percobaan. 3
(kg/jam.m2)
Perbedaan kurve laju pengeringan 2
o o
untuk suhu 80 C dan 85 C cukup 1
REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU
BERKATEKIN TINGGI
90
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
12
air keseimbangan bahan (%bk), kadar
8
REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU
BERKATEKIN TINGGI
91
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
Tabel 2. Model matematika laju pengering-an teh hijau dengan pengering ECV
tipe ECP drier Hasil pengujian dapat pengering ECV, sehingga dapat
model
V. KESIMPULAN
100 6,12 Tepat 0,94 ECV dan hasil katekin yang didapat.
REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU
BERKATEKIN TINGGI
92
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU
BERKATEKIN TINGGI
93
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU
BERKATEKIN TINGGI
94
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
Gregory, R., & Bendall, D. 1966. The Legros, R., Millington, M. A., & Clift, R.
purification and some properties of 1994. Drying of tobacco particles in
polyphenol oxidase from tea. a mobilized bed. Drying
Biochem. J. 101. 569-581. Technology, 12(3). 517-544.
Hall, C. W. 1971. Farm drying crops. Lievense, L. C., Verbeek, M. A. M.,
The Avi Publ. Comp., Inc. Westport. Taekema, T., Meerdink, G., & Riet,
Connecticut. K. V. 1992. Modelling the
Hanna, O. T., dan Sandal, O.C. 1995. inactivation of Lactobacillus
Computational methods in chemical Plantarum during a drying process.
engineering. Prentice Hall. New Chemical Engineering Science,
Jersey. 47(1). 87-97.
Incropera, F. P., & DeWitt, D.I. 1990. Luyben, K. Ch. A. M., Liou, J. K., &
Fundamentals of heat and mass Bruin, S. 1982. Enzyme
transfer. New York. Wiley. degradation during drying.
Kerkhof, P. J. A. M. & Schoeber, W. J. Biotechnology and Bioengineering,
A. H. 1974. Theoretical modelling XXIV. 533-552.
of the drying behaviour of droplets Martens, M., Scheerlinck, N., Belie, N.
in spray driers. In Advances in D., & Baerdemaeker, J. D. 2001.
Preconcentration and Dehydration Numerical model for the combined
of Foods, ed. A. Spicer, Applied simulation of heat transfer and
Science Publishers. London. 349- enzyme inactivation kinetics in
97. cylindrical vegetables. Journal of
Kerkhof, P. J. A. M., & Coumans, W. J. Food Engineering, 47. 185-193.
1990. Drying of foods: Transferring McCabe, W. L., Smith, C. S., &
inside insights to outside outlooks. Harriott, P. 1993. Unit operation of
Paper Prensented at the 7th Int. chemical engineering. Mc. Graw-
Drying Symp., Praque. Hill. Int. Book Co.
Kieviet, F. 1997. Modelling quality in Meerdink, G. 1993. Drying of liquid
spray drying. PhD Thesis. food droplets: Enzyme inactivation
Eindhoven University of and multicomponent diffusion. PhD
Technology. The Netherlands. Thesis. Agricultural University
Wageningen. The Netherlands.
REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU
BERKATEKIN TINGGI
95
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU
BERKATEKIN TINGGI
96
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU
BERKATEKIN TINGGI
97
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU
BERKATEKIN TINGGI
98
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
Abstrak
Pada industri Tapioka yang banyak terdapat di daerah Pati Jawa Tengah,
selama ini air dari proses pengendapan langsung dialirkan ke selokan yang
selanjutnya mengalir ke sungai. Padahal dengan masih adanya
kandungan pati yang terdapat di dalam limbah cair tersebut, seharusnya
dapat diolah kembali menjadi produk yang lebih bermanfaat , salah
satunya adalah Bioetanol, yang mempunyai nilai ekonomis dan juga dapat
menjadikannya sebagai salah satu sumber energi alternatif.
Pengolahan limbah cair Tapioka menjadi bioetanol dilakukan pada
berbagai kadar gula dengan cara memfermentasi limbah yang telah
disterilkan dengan bantuan khamir atau yeast di dalam alat fermentor.
Hasilfermentasi selanjutnya dipisahkan dari residu dengan cara destilasi I
pada suhu 100o C. Bioetanol hasil destilasi ini selanjutnya ditingkatkan
kadarnya dengan destilasi menggunakan alat HETP yang berlangsung
pada suhu 80o C. Untuk meningkatkan kadar alkohol yang diperoleh
selanjutnya dilakukan proses dehidrasi menggunakan zeolit.
Dari hasil penelitian pengolahan limbah cair tapioka dari hasil
fermentasi dan destilasi I diperoleh bioetanol dengan kadar tertinggi 35 %
yang diperoleh dari limbah dengan kadar gula 17 %. Sedangkan dari
pemurnian lebih lanjut terhadap bioetanol tersebut dengan destilasi
menggunakan alat HETP diperoleh peningkatan bioetanol dari 35%
menjadi 93 %. Dengan pemurnian lebih lanjut terhadap bioetanol hasil
dengan cara dehidrasi menggunakan zeolit diperoleh bioetanol dengan
kadar 97 %.
PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAPIOKA MENJADI SUMBER ENERGI ALTERNATIF BIO-ETANOL MENGGUNAKAN ZEOLIT SEBAGAI MOLECULAR SIEVE
99
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAPIOKA MENJADI SUMBER ENERGI ALTERNATIF BIO-ETANOL MENGGUNAKAN ZEOLIT SEBAGAI MOLECULAR SIEVE
100
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAPIOKA MENJADI SUMBER ENERGI ALTERNATIF BIO-ETANOL MENGGUNAKAN ZEOLIT SEBAGAI MOLECULAR SIEVE
101
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAPIOKA MENJADI SUMBER ENERGI ALTERNATIF BIO-ETANOL MENGGUNAKAN ZEOLIT SEBAGAI MOLECULAR SIEVE
102
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAPIOKA MENJADI SUMBER ENERGI ALTERNATIF BIO-ETANOL MENGGUNAKAN ZEOLIT SEBAGAI MOLECULAR SIEVE
103
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAPIOKA MENJADI SUMBER ENERGI ALTERNATIF BIO-ETANOL MENGGUNAKAN ZEOLIT SEBAGAI MOLECULAR SIEVE
104
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
mudah melepas kation dan diganti Alat Destilasi dari bahan gelas
sebagai katalis untuk mengubah Alat ukur kadar gula dan alat ukur
PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAPIOKA MENJADI SUMBER ENERGI ALTERNATIF BIO-ETANOL MENGGUNAKAN ZEOLIT SEBAGAI MOLECULAR SIEVE
105
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAPIOKA MENJADI SUMBER ENERGI ALTERNATIF BIO-ETANOL MENGGUNAKAN ZEOLIT SEBAGAI MOLECULAR SIEVE
106
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
% I 35
30
DESTILASI I
25
% 20
Series1
Series2
15
11 2 10
5
14 3 0
1 2 3 4 5 6 7
KADAR GULA AIR LIMBAH
16 15
17 35 Gambar 1. Grafik Hubungan
Kadar Gula dengan Kadar
18 14 Alkohol
20 4
23 2
PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAPIOKA MENJADI SUMBER ENERGI ALTERNATIF BIO-ETANOL MENGGUNAKAN ZEOLIT SEBAGAI MOLECULAR SIEVE
107
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
Tabel 2. Hasil Destilasi II dengan HETP GRAFIK HASIL DESTILASI II DENGAN HETP
80
DESTILASI II
0
3 21 1 2 3 4 5
KADAR ALKOHOL HASIL DESTILASI I
4 24
Gambar 2
14 93
15 93
30 93
108
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
350
HASIL DESTILASI II
KADAR ALKOHOL
300
250
200 Series1
150 Series2
100
50
0
1 2 3 4 5
WAKTU DEHIDRASI MENIT
PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAPIOKA MENJADI SUMBER ENERGI ALTERNATIF BIO-ETANOL MENGGUNAKAN ZEOLIT SEBAGAI MOLECULAR SIEVE
109
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAPIOKA MENJADI SUMBER ENERGI ALTERNATIF BIO-ETANOL MENGGUNAKAN ZEOLIT SEBAGAI MOLECULAR SIEVE
110
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAPIOKA MENJADI SUMBER ENERGI ALTERNATIF BIO-ETANOL MENGGUNAKAN ZEOLIT SEBAGAI MOLECULAR SIEVE
111