Anda di halaman 1dari 5

Bahasa Indonesia Pudar di generasi Milenial

Bahasa menunjukan bangsa, itulah kata bijak yang sejak lama tertanam dalam benak kita.
Namun bagaimana sekarang? Di era milenial seperti saat ini salah satu kelemahan orang
indonesia untuk bersaing dengan orang luar negeri adalah karena bahasa.

Keinginan mempersiapkan anak memasuki era globalisasi tentu diperbolehkan, Namun jika
itu mengorbankan jati diri bangsa apa gunanya?

Seiring berjalannya waktu keinginan belajar bahasa asing justru membuat bahasa indonesia
terpinggirkan, Banyak anak usia sekolah terutama kaum milenial yang tinggal di kota besar
terlihat gagap berbahasa indonesia, Banyak diantara mereka yang bahkan lebih fasih
berbahasa asing. Kehidupan dan interaksi anak muda milenial pun tak lepas dari
"Kontaminasi bahasa" penggunaan istilah-istilah yang entah dari mana asalnya semakin
menghilangkan wujud asli bahasa Indonesia. Bahasa bukan hanya sekedar alat komunikasi,
bahasa bukan sekedar tutur kata. Bahasa turut menggambarkan budaya dan jati diri sebuah
bangsa, Itulah mengapa di bahasa indonesia terdapat perbedaan kala berbicara dengan teman
sebaya , orang yang lebih tua, bahkan ayah dan ibu kita.

Setiap generasi muda telah hidup pada era yang berbeda, dalam artian bahwa setiap anak
muda digital jarang tersentuh pembelajaran berbahasa Indonesia. Ia menyatakan kondisi
itulah yang membuat konsep berbahasa mereka cenderung berbeda ketimbang generasi era
sebelumnya.

Sumber: https://www.kompasiana.com/sitinurhabibah/5c244e846ddcae0ab303c4e8/bahasa-
indonesia-pudar-di-generasi-milenial?page=2

Bahasa Indonesia Pudar di Generasi Millennial


Bahasa menunjukkan bangsa. Itulah kata bijak yang sejak lama tertanam dalam benak kita.
Bahasa kita adalah Bahasa Indonesia, bahasa yang bukan hanya menjadi kebanggaan dan
identitas, tapi juga alat persatuan yang sangat berjasa dalam sejarah Indonesia. Namun
bagaimana sekarang? Di era millennial seperti saat ini masihkah ada kebanggaan
menggunakan bahasa Indonesia? 
Salah satu kelemahan orang Indonesia untuk bersaing dengan orang luar negeri adalah
bahasa. Kultur Indonesia yang tidak menggunakan bahasa asing sebagai bahasa pengantar
membuat sebagian besar rakyat Indonesia hanya bisa berbahasa Indonesia. Kesadaran itulah
yang kini mulai disadari. Keinginan belajar dan menggunakan bahasa asing mulai tumbuh.
Namun seiring waktu keinginan belajar bahasa asing justru membuat bahasa Indonesia
terpinggirkan. Banyak anak usia sekolah, terutama kaum millennial yang tinggal di kota
besar, yang terlihat gagap berbahasa Indonesia. Banyak diantara mereka yang bahkan lebih
fasih berbahasa asing daripada bahasa sendiri. Mengapa ini bisa terjadi?
Keinginan mempersiapkan anak memasuki era globalisasi tentu boleh-boleh saja. Namun jika
itu mengorbankan jati diri bangsa apalah gunannya. Saat ini semakin banyak ditemui orang
tua yang tidak lagi menggunakan bahasa Indonesia saat bertinteraksi dengan anaknya. Bukan
menggunakan bahasa daerah, melainkan Inggris, Prancis, Mandarin, Korea dan sebagainya,
yang pasti bukan bahasa Indonesia. Mereka berdalih, nantinya anak mereka pasti bisa
berbahasa Indonesia dengan sendirinya.

Namun yang terjadi tidak seperti yang diperkirakan. Anak-anak justru semakin asing dengan
bahasa lokal. Menjamurnya sekolah bilingual memperparah kondisi ini. Beberapa sekolah
yang berlabel ‘Sekolah Internasional’ bahkan menggunakan bahasa asing sebagai bahasa
pengantar kegiatan belajar mengajar. Bahasa Indonesia hanya menjadi salah satu mata
pelajaran yang diajarkan hanya beberapa jam dalam seminggu.
Kehidupan dan interaksi anak muda millennial pun tak lepas dari ‘kontaminasi bahasa’.
Penggunaan istilah-istilah yang entah dari mana asalnya semakin menghilangkan wujud asli
bahasa Indonesia. ‘Bahasa gaul’ memang sudah dikenal sejak lama. Istilah bokap nyokap
untuk menggantikan bapak ibu. Bro dan sis menggantikan panggilan kakak. Siaran televisi
yang ‘Jakarta sentris’ membuat banyak anak di luar Jakarta makin akrab dengan loe gue
sebagai pengganti aku kamu. 
Di era millennial saat ini, bahasa Indonesia banyak tercampur dengan bahasa asing. ‘Kids
jaman now’ menggantikan istilah remaja masa kini. ‘Woles’ yang menggantikan santai,
konon diambil dari kata slow yang diucapkan terbalik. Serta masih banyak istilah-istilah yang
sebelumnya tidak dikenal .
Bahasa bukan hanya sekedar alat komunikasi, bahasa bukan sekedar tutur kata. Bahasa turut
menggambarkan budaya dan jati diri sebuah bangsa. Itulah mengapa di bahasa Indonesia
terdapat perbedaan kala berbicara dengan teman sebaya, orang yang lebih tua, bahkan orang
tua, ayah dan ibu kita. Budaya Indonesia memang mengajarkan sopan santun, khususnya
kepada orang tua. Panggilan romo, bopo, ayah, aji, ibu, biyung, inang, adalah wujud
penghomatan kepada orang tua. Apa jadinya jika panggilan itu diganti bokap dan nyokap.
Nilai-nilai kesopanan yang lebih terlihat pada bahasa daerah yang jumlahnya sangat banyak.
Pada bahasa jawa terdapat tingkatan kromo inggil, kromo madya, dan ngoko. Bahasa daerah
lain pun lebih kurang sama. Ini bukti bahwa sopan santun dan tata karma adalah identitas
bangsa Indonesia.
Apa jadinya jika tata karma itu perlahan menghilang. Mungkin nantinya akan makin lazim
kita mendengar seorang anak berkata kepada ibunya, ‘woles keles nyokap, gue bentar lagi
just wake up’.  

Sumber: https://www.watyutink.com/topik/humaniora/Bahasa-Indonesia-Pudar-di-Generasi-
Millennial
Kemendikbud: Sistem Zonasi PPDB Efektif Walaupun Ada Catatan
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) RI Ari Santoso menilai sistem zonasi
dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2018 efektif membuat anak-anak Indonesia
bisa bersekolah. Namun, ia mengakui, masih ada beberapa catatan untuk perbaikan dan
evaluasi.

“Ada bagian-bagian dan catatan-catatan yang perlu kita evaluasi lagi dan koordinasikan lagi,”
kata Ari saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (17/7).

Dia menyebutkan, beberapa catatan itu antara lain seperti minimnya jumlah sekolah yang ada
di sebuah daerah. Kendati demikian, dia menilai, hal itu telah diselesaikan oleh pemerintah
daerah setempat agar anak tetap dapat bersekolah.

Dia menambahkan, Kemendikbud saat ini masih mengumpulkan laporan mengenai


pelaksanaan PPDB di berbagai daerah. Hal itu guna mengevaluasi dan memperbaiki
pelaksanaan penerimaan siswa baru pada tahun berikutnya.

“Kalau saya lihat sih memang masih perlu kita adakan koordinasi lagi. Permasalahan masih
kita inventaris dan itu sedang kita kumpulkan,” jelasnya.

Terkait efektivitas, ia berpendapat, pemerintah daerah berhasil menerjemahkan aturan zonasi


yang dibuat oleh Kemendikbud. Ia menilai hal ini menjadi hal yang baik karena pemerintah
daerah menggunakan aturan itu sebagai petunjuk teknis PPDB.

Selain itu, menurutnya, penerapan sistem zonasi PPDB ini juga berhasil mewujudkan tujuan
adanya peraturan ini. Tujuan PPDB dengan sistem zonasi, yakni keadilan dan 

Ia mengatakan, setiap siswa itu punya hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang
berkualitas. Tidak hanya anak-anak yang pinter saja yang dapat sekolah berkualitas. 

“Sehingga, kalau tes PPDB itu pakai tes UN, pasti kan nanti yang pinter ngumpul semua di
situ,” kata dia.

Pada gilirannya, ia mengatakan, sistem zonasi ini dapat meniadakan sekolah favorit di
masing-masing daerah. Dengan cara ini, ia menambahkan, tujuan untuk meratakan siswa ke
sekolah-sekolah yang ada di masing-masing daerahnya bisa terwujud.

“Sebab, semua anak dapat bersekolah dan bisa mendapatkan sekolah yang memiliki kualitas
baik,” kata dia. 

Sumber: https://www.republika.co.id/berita/pendidikan/eduaction/18/07/18/pc1fbx428-
kemendikbud-sistem-zonasi-ppdb-efektif-walaupun-ada-catatan
Sistem Zonasi PPDB Disebut Tidak Efektif di Daerah
VIVA – Gubernur Banten, Wahidin Halim, mengatakan sistem zonasi pada proses
Penerimaan Peserta Didik Baru atau PPDB tingkat Sekolah Menengah Atas tidak efektif
diterapkan di daerah.

Menurutnya, aturan baru dari Pemerintah Pusat atau Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan itu, tidak melihat kondisi fasilitas sekolah yang ada di daerah.

"Aturannya bisa dibilang tidak efektif, karena pihak Kementerian tidak melihat kesanggupan
fasilitas dari daerah. Seperti di Banten saja, masih banyak sekolah yang kurang dan ini
membuat kita agak kebingungan juga," katanya di Tangerang, Jumat, 28 Juni 2019.

Adanya sistem tersebut mengakibatkan banyak peserta didik yang tidak tertampung lantaran,
masih kurangnya fasilitas sekolah. Akan hal itu, pihaknya melakukan berbagai kebijakan
guna mampu menampung para peserta didik. Baik itu penambahan ruang kelas ataupun solusi
oper sekolah.

Nantinya, akan kita bangun sekolah lagi khususnya pada wilayah perumahan dan pesisir.
Ataupun sistem oper sekolah, hal ini sedang kita kaji," ujarnya.

Kendati demikian, ia menyetujui adanya tujuan zonasi untuk membantu pemerataan


pembagian pelajar, yang mana tidak semua siswa pintar di sekolah favorit atau
menghilangkan istilah sekolah favorit.

"Tujuannya tentu setuju dan sangat bagus, namun belum bisa diterapkan di semua daerah
yang belum memiliki fasilitas yang cukup. Maka dari itu, belum efektif aturan ini
diterapkan." [mus] 

Sumber: https://www.viva.co.id/berita/metro/1161045-sistem-zonasi-ppdb-disebut-tidak-
efektif-di-daerah

Anda mungkin juga menyukai