PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesehatan kerja mutlak harus dilaksanakan di dunia kerja dan di dunia usaha oleh
semua orang yang berada di tempat kerja baik pekerja maupun pemberi kerja, jajaran
pelaksana, penyelia (supervisor) maupun manajemen, serta pekerja yang bekerja
untuk diri sendiri (self Employeed). Alasannya jelas, karena bekerja adalah bagian
dari kehidupan, dan setiap orang memerlukan pekerjaan untuk mencukupi kehidupan
dan/atau untuk aktualisasi diri, namun dalam melaksanakan pekerjaannya, berbagai
potensi bahaya (hazard atau faktor risiko) dan risiko di tempat kerja mengancam diri
pekerja sehingga dapat menimbulkan cedera atau gangguan kesehatan. Potensi
bahaya dan risiko di tempat kerja antara lain akibat sistem kerja atau proses kerja,
penggunaan mesin, alat dan bahan, yang bersumber dari keterbatasan pekerjaannya
sendiri, perilaku hidup yang tidak sehat dan perilaku kerja yang tidak selamat/aman,
buruknya lingkungan kerja, kondisi pekerjaan yang tidak ergonomik,
pengorganisasian pekerjaan dan budaya kerja yang tidak kondusif bagi keselamatan
dan kesehatan kerja (Kurniawidjaja, 2010).
Potensi bahaya di RS, selain penyakit-penyakit infeksi juga ada potensi bahaya-
bahaya lain yang mempengaruhi situasi dan kondisi di RS, yaitu kecelakaan
(peledakan, kebakaran, kecelakaaan yang berhubungan dengan instalasi listrik, dan
sumber-sumber cedera lainya), radiasi, bahan-bahan kimia. Maka dari itu, hazard dan
risikodi rumah sakit harus dikendalikan oleh seluruh staff.
B. Rumusan masalah
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengkajian asuhan keperawatan hazard dan risk di Rumah Sakit.
2. Untuk mengetahui intervensi asuhan keperawatan hazard dan risk di Rumah Sakit.
4. Untuk mengetahui evaluasi asuhan keperawatan hazard dan risk di Rumah Sakit.
BAB II
ISI
ASUHAN KEPERAWATAN PADA MANAJEMEN RISK DAN HAZARD
1. Pengkajian
Pengkajian keperawatan didefinisikan sebagai pemikiran dasar dari proses
keperawatan yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi atau data tentang
klien, agar dapat mengidentifikasi, mengenali masalah – masalah, kebutuhan
kesehatan dan keperawatan klien, baik fisik, mental, sosial dan lingkungan
(Effendy, 1995 dalam Fitriyanti, 2012).
Dalam mengkaji pasien, perawat harus menyadari akan adanya risiko dan
hazard yang mungkin mereka dapatkan. Berbagai macam upaya perlu
dilakukan sebagai tindakan pencegaha. Upaya – upaya tersebut dapat
dilakukan baik dari pihak manajemen rumah sakit. Berikut beberapa upaya
yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya kekerasan fisik dan verbal
pada perawat saat melakukan pengkajian :
a. Perawat harus melaporkan setiap adanya tindakan kekerasan dalam bentuk
apapun kepada pihak rumah sakit.
b. Memberikan pengertian kepada pasien agar memperlakukan sesama
manusia dengan dasar martabat dan rasa hormat.
c. Dalam melakukan kontak kepada pasien, perawat seharusnya menjadi
pendengar yang baik. Salah satu teknik pengumpulan data pada
pengkajian adalah wawancara. Saat melakukan wawancara, perawat harus
mampu menempatkan diri sebagai tempat curhat pasien sebaik mungkin.
d. Memberikan pelatihan dan pendidikan kepada perawat tentang cara
menghindari tindakan kekerasan verbal dan fisik.
e. Ketika pasien terlihat sedang dalam keadaan tidak terkontrol dan susah
untuk didekati, perawat dapat melakukan pengkajian kepada keluarga
pasien terlebih dahulu.
f. Saat mengkaji, perawat tidak boleh menyampaikan kata – kata yang
menyinggung pasien dan keluarganya.
g. Saat melakukan tindakan pemeriksaan fisik, perawat harus meminta
persetujuan dari pasien terlebih dahulu.
h. Manajemen rumah sakit perlu memfasilitasi perawat mempersiapkan diri
untuk menghadapi risiko dan hazard.
i. Manajemen harus terbuka serta tidak berusaha menutupi terhadap laporan
– laporan kekerasan fisik maupun verbal terhadap perawat.
j. Memodifikasi lingkungan yang nyaman di rumah sakit mulai dari poli,
ruangan rawat inap, sampai ke unit gawat darurat dan ruang intensif untuk
menentramkan suasana hati pasien dan keluarga.
3. Upaya mencegah dan Meminimalkan Resiko dan Hazard pada Perawat dalam
Tahap Pengkajian Berdasarkan Kasus Penyakit Akibat Kerja
a. Batasi akses ke tempat isolasi.
b. Menggunakan APD dengan benar.
c. SOP memasang APD, jangan ada sedikitpun bagian tubuh yang tidak
tertutup APD.
d. Petugas tidak boleh menyentuh wajahnya sendiri.
e. Membatasi sentuhan langsung ke pasien.
f. Cuci tangan dengan air dan sabun.
g. Bersihkan kaki dengan di semprot ketika meninggalkan ruangan tempat
melepas APD.
h. Lakukan pemeriksaan berkala pada pekerja.
i. Hindari memegang benda yang mungkin terkontaminasi.
2. Intervensi Hazard dan Risk dalam Asuhan Keperawatan
Tujuan dari pelaksanaan adalah membantu klien mencapai tujuan yang telah
ditetapkan, mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan, penyakit, pemulihan
kesehatan dan memfasilitasi koping.
konseling
penyuluhan
CONTOH KASUS
KASUS 1
Seorang Perawat RSUD Gunung Jati Positif Difteri
Alasan: Cuci tangan merupakan cara penanganan awal jika kita sudah
terlanjur terpapar cairan pasien baik pasien beresiko menularkan atau tidak
menularkan. Cuci tangan merupakan tindakan aseptic awal sebelum ke pasien
maupun setelah ke pasien.
Alasan: Bila sampah medis dan non medis tercampur dan tidak
dikelola dengan baik akan menimbulkan penyebaran penyakit.
Kasus 2
Ribuan Perawat di Indonesia Tertular Hepatitis B
Sebanyak 4.900 di antaranya disebabkan karena tertusuk jarum suntik, dan hanya
2.200 yang terinfeksi dari populasi. Hal ini menunjukkan jika tenaga kesehatan
menjadi profesi yang paling rawan tertular hepatitis B. Penularan virus hepatitis B
terjadi dalam insiden ‘kecelakaan’. Kecelakaan berupa tertusuk jarum terjadi saat
Nakes mencoba menutup jarum suntik terutama saat selesai melakukan tindakan
seperti setelah selesai melakukan pemberian obat atau pengambilan sampel darah.
Dengan metode penutupan yang salah dan kurang hati-hati, banyak Nakes yang
akhirnya tertusuk jarum.
“Rata-rata empat dari tindakan menutup jarum suntik bekas pakai, satu
diantaranya tertusuk jarum,” Peneliti Hepatitis dari Universitas Indonesia, dr Lukman
Hakim Tarigan MMedSc, ScD, di Jakarta, kemarin.
Riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2007 menunjukkan bahwa Indonesia bagian barat
tercatat 9,4 persen atau 1 dari 10 penduduk Indonesia mengidap hepatitis B.
“Jadi total penduduk Indonesia yang mengidap virus hepatitis B ada 22,3 juta
orang, dimana separuhnya membutuhkan pengobatan. Jika tidak diobati, maka dalam
10 tahun ke depan akan berubah menjadi sirosis hati yang membutuhkan transplantasi
hati,” tandasnya. (Tryas).
Hazard :
Terinfeksi hepatitis B akibat tertusuk jarum suntik saat menutup jarum suntik
setelah digunakan dari pasien.