Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesehatan kerja mutlak harus dilaksanakan di dunia kerja dan di dunia usaha oleh
semua orang yang berada di tempat kerja baik pekerja maupun pemberi kerja, jajaran
pelaksana, penyelia (supervisor) maupun manajemen, serta pekerja yang bekerja
untuk diri sendiri (self Employeed). Alasannya jelas, karena bekerja adalah bagian
dari kehidupan, dan setiap orang memerlukan pekerjaan untuk mencukupi kehidupan
dan/atau untuk aktualisasi diri, namun dalam melaksanakan pekerjaannya, berbagai
potensi bahaya (hazard atau faktor risiko) dan risiko di tempat kerja mengancam diri
pekerja sehingga dapat menimbulkan cedera atau gangguan kesehatan. Potensi
bahaya dan risiko di tempat kerja antara lain akibat sistem kerja atau proses kerja,
penggunaan mesin, alat dan bahan, yang bersumber dari keterbatasan pekerjaannya
sendiri, perilaku hidup yang tidak sehat dan perilaku kerja yang tidak selamat/aman,
buruknya lingkungan kerja, kondisi pekerjaan yang tidak ergonomik,
pengorganisasian pekerjaan dan budaya kerja yang tidak kondusif bagi keselamatan
dan kesehatan kerja (Kurniawidjaja, 2010).

Kesehatan kerja (Occupational Health) merupakan bagian dari keselamatan dan


kesehatan kerja (Occupational Safety and Health) yang bertujuan agar pekerja
selamat, sehat, produktif, sejahtera, dan berdaya saing kuat, dengan demikian
produksi dapat berjalan dan berkembang lancar berkesinambungan (Sustainable
Development) tidak terganggu oleh kejadian kecelakaan maupun pekerja.

Dalam Undang-Undang No.23 tahun 2003 tentang kesehatan pasal 23 dinyatakan


bahwa upaya Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) harus diselengarakan pada
semua tempat kerja, khususnya tempat kerja yang mempunyai risiko bahaya
kesehatan, mudah terjangkit penyakit atau mempunyai karyawan paling sedikit 10
orang. Jika memperhatikan isi dari pasal diatas maka jelaslah bahwa Rumah Sakit
(RS), puskesmas, Poli-klinik, Rumah Bersalin, Balai Kesehatan, Laboratoruim dan
Klinik Perusahaan termasuk kedalam kriteria tempat kerja dengan berbagai ancaman
bahaya yang dapat menimbulkan dampak kesehatan, tidak hanya terhadap para laku
langsung yang bekerja di RS, tetapi juga terhadap pasien maupun pengunjung RS.
Sehingga sudah seharusnya pihak pengelola RS menerapkan upaya-upaya K3 di RS
(Depkes, 2006).

Potensi bahaya di RS, selain penyakit-penyakit infeksi juga ada potensi bahaya-
bahaya lain yang mempengaruhi situasi dan kondisi di RS, yaitu kecelakaan
(peledakan, kebakaran, kecelakaaan yang berhubungan dengan instalasi listrik, dan
sumber-sumber cedera lainya), radiasi, bahan-bahan kimia. Maka dari itu, hazard dan
risikodi rumah sakit harus dikendalikan oleh seluruh staff.

B. Rumusan masalah

1. Bagaimana pengkajian asuhan keperawatan hazard dan risk di Rumah Sakit?

2. Bagaimana intervensi asuhan keperawatan hazard dan risk di Rumah Sakit?

3. Bagaimana implementasi asuhan keperawatan hazard dan risk di Rumah Sakit?

4. Bagaimana evaluasi asuhan keperawatan hazard dan risk di Rumah Sakit?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengkajian asuhan keperawatan hazard dan risk di Rumah Sakit.

2. Untuk mengetahui intervensi asuhan keperawatan hazard dan risk di Rumah Sakit.

3. Untuk mengetahui implementasi asuhan keperawatan hazard dan risk di Rumah


Sakit.

4. Untuk mengetahui evaluasi asuhan keperawatan hazard dan risk di Rumah Sakit.
BAB II
ISI
ASUHAN KEPERAWATAN PADA MANAJEMEN RISK DAN HAZARD

Konsep Identifikasi dan Evaluasi Bahaya Risiko


A. Pengertian bahaya dan risiko
Risiko : sesuatu yang berpeluang untuk terjadinya kematian, kerusakkan,
atau sakit yang dihasilkan karena bahaya.
Manajemen Risiko : organisasi yang dapat menerapkan metode
pengendalian risiko apapun sejauh metode tersebut mampu mengidentifikasi,
mengevaluasi, memilih prioritas dan mengendalikan risiko dengan melakukan
pendekatan jangka pendek dan jangka panjang.
Identifikasi bahaya dan risiko merupakan langkah awal dan penting dalam
penerapan K3. Dengan melakukan identifikasi bahaya dan risiko ditempat kerja
akan membantu dalam menyusun dan mengembangkan program K3 yang
diperlukan hal-hal yang harus diperhatikan adalah:
1. Jenis pekerjaan
2. Bahan-bahan yang digunakan
3. Mesin dan peralatan yang digunakan
4. Jumlah pekerja
5. Karakteristik bangunan dan gedung
6. Cara dan pola kerja
B. Tujuan Identifikasi Bahaya dan Risiko
1. Untuk mengetahui jenis bahaya dan risiko
2. Untuk mengetahui sumber bahaya dan risiko
3. Untuk mengetahui pekerja yang terpajan bahaya dan risiko
4. Untuk mengetahui besaran bahaya dan tingkat risiko
5. Untuk mengetahui pengendalian yang sudah dilakukan
6. Untuk mengetahui program yang diperlukan
Bagan Manajemen Risiko
A. Identifikasi Bahaya
1. Pertimbangan :
a. Kondisi dan kejadian yang dapat menimbulkan bahaya.
b. Jenis kecelakaan yang mungkin dapat terjadi.
2. Aktifitas yang digunakan dalam idenifikasi bahaya:
a. Konsultasi dengan pekerja
b. Konsultasi dengan tim K3
c. Melakukan pertimbangan
d. Melakukan savety audit
e. Melakukan pengujian
f. Evaluasi Teknis dan keilmuan
g. Analisis rekaman data
h. Mengumpulkan informasi dari desaigner, konsumen. Supplier dan
organisasi
i. Pemantauan lingkungan dan kesehatan
j. Melakukan survey terhadap karyawan

B. Cara Melakukan Identifikasi Bahaya


1. Mengidentifikasi seluruh proses/area yang ada dalam segala kegiatan.
2. Mengidentifikasi sebanyak mungkin aspek K-3 pada setiap proses/area yg
telah diidentifikasi sebelumnya.
3. Identifikasi K-3 dilakukan pada suatu proses kerja baik pada kondisi normal,
abnormal, emergency dan maintenance.

C. Kategori Besarnya Bahaya


Untuk membantu proses identifikasi bahaya dapat dikatagorikan, sbb:
1. Mechanical
2. Electrical
3. Radiation
4. Chemical
5. Fire and explosion
D. Daftar Potensi Bahaya
1. Terpleset / Jatuh
2. Jatuh dari ketinggian
3. Kejatuhan benda asing
4. Ruang untuk kepala yang kurang
5. Bahaya dari Mesin
6. Bahaya dari Kendaraan
7. Kebakaran & Ledakan
8. Zat yang terhirup
9. Zat yg mencederai Mata
10. Zat yg melukai kulit
11. Bahaya listrik
12. Radiasi
13. Getaran
14. Bising
15. Pencahayaan
16. Lingkungan terlalu Panas
17. Kegiatan Kontraktor
18. Huru hara
E. Menilai Risiko  dan Seleksi  Prioritas
Merupakan proses untuk menentukan prioritas pengendalian terhadap
tingkat risiko kecelakaan akibat kerja. Tujuannya, menentukan prioritas untuk
tindak lanjut karena tidak semua aspek bahaya potensial dapat ditindak lanjuti.
Sasaran penilaian risiko adalah: mengidentifikasi bahaya sehingga
tindakan dapat diambil untuk menghilangkan, mengurangi atau mengendalikanya
sebelum terjadi kecelakaan atau cidera atau kerusakan.
F. Metode Penilaian Risiko
1. Untuk setiap risiko :
a. Menghitung setiap insiden
b. Menghitung konsekuensi
c. Kombinasi penghitungan keduannya
2. Menggunakan rating setiap resiko, mengembangkan daftar prioritas risiko
kerja.
G. Menentukan Peluang  Besarnya Risiko
Faktor yang mempengaruhi terjadinya peluang sebuah  insiden :
1. Frekuensi situasi terjadinya
2. Berapa orang yang terpapar
3. Keterampilan dan pengalaman orang yang terkena
4. Karakteristik yang terlibat
5. Durasi paparan
6. Pengaruh posisi terhadap bahaya
7. Distraksi
8. Jumlah material atau tingkat paparan
9. Kondisi lingkungan
10. Kondisi peralatan
11. Efektivitas pengendalian yang ada
H. Menentukan Konsekuensi
Faktor yang mempengaruhi konsekuensi :
1. Potensi pada reaksi berantai
2. Konsentrasi substansi
3. Volume material
4. Kecepatan proyektil dan pergerakkan bagiannya
5. Ketinggian benda
6. Jarak pekerja dari bahaya potensial
7. Berat pekerja
8. Tingkat gaya dan energi
I. Metode Pengendalian Risiko
1. Pengendalian teknis/rekayasa yang meliputi eliminasi, subtitusi, isolasi,
ventilasi, higiene dan sanitasi
2. Pendidikan dan pelatihan
3. Pembangunan kesadaran motivasi
4. Evaluasi melalui internal audit
5. Penegakan hukum

Analisis Derajat Risiko Bahaya Kerja


Agar dapat mendahulukan pengendalian bahaya kerja yang dapat berakibat
paling buruk atau bahaya kerja yang paling sering terjadi, tahap evaluasi bahaya kerja
selanjutnya adalah menganalisis derajat risiko bahaya kerja untuk menentukan
beratnya risiko dan besarnya kemungkinan bahaya kerja yang mungkin terjadi.
Klasisfikasi berat risiko bahaya kerja yang terjadi:
1. Sangat berat (catastrophic) – dapat mengakibatkan kematian atau khancuran
seluruh property berserta fasilitas yang ada di dalamnya.
2. Berat (critical) – dapat mengakibatkan ganguan kesehtan akibat kerja yang
berat atau kerusakan property dalam skala besar.
3. Sedang (marginal) – dapat mengakibatkan gangguan kesehatan akibat kerja
yang ringan, biasanya mengakibatkan pekerja tidak dapat masuk kerja untuk
beberapa hari, atau kerusakan property dalam skala kecil.
4. Ringan (negligible) – kemungkinan tidak berpengaruh dalam kesehatan dan
keselamatan pekerja, tetapi jalas dalam kondisi yang menyalahi syarat-syarat
kesehatan kerja yang baik.
Teknik identifikasi bahaya dan risiko
Banyak teknik identifikasi yang salah satunya dapat dipilih sebagai yang paling
efektif di organisasi tertentu atau yang dapat menyediakan informasi yang dibutuhkan
dalam proses tertentu. Teknik-teknik tersebut meliputi :

1. Survei keselamatan kerja


a. Kadang dinamakan inspeksi keselamatan kerja
b. Inspeksi umum terhadap seluruh area kerja
c. Cendrung kurang rinci dibanding teknik-teknik lainnya
d. Memberikan gambaran yang menyeluruh tentang keadaan pencegahan
kecelakaan di seluruh area kerja tertentu
2. Patroli Keselamatan Kerja
a. Inspeksi terbatas pada rute yang ditentukan terlebih dahulu
b. Perlu merencanakan rute berikutnya untuk memastikan cakupan
menyeluruh atas area kerja
c. Mempersingkat waktu setiap inspeksi
3. Pengambilan Sampel Keselamatan Kerja
a. Melihat pada satu aspek kesehatan atau keselamatan kerja saja
b. Fokuskan perhatian untuk mengerjakan identifikasi lebih rinci
c. Perlu merencanakan serangkaian pengambilan sampel untuk mencakup
seluruh aspek kesehatan dan keselamatan kerja
4. Audit Keselamatan Kerja
a. Inspeksi tempat kerja dengan teliti
b. Lakukan pencarian untuk mengidentifikasi seluruh jenis bahaya
c. Jumlah seluruh jenis bahaya yang teridentifikasi harus dicatat
d. Dapat dikembangkan menjadi system peringkat untuk mengukur derajat
‘kesehatan dan keselamatan kerja’ di perusahaaan
e. Audit ulang perlu dilaksanakan untuk menilai perbaikan-perbaikan apa
saja yang sudah dilakukan
f. Bisa menyita waktu
5. Pemeriksaan Lingkungan
a. Dilakukan  berdasarkan pengukuran kosentrasi zat-zat kimia diatmosfer
b. Dapat mengidentifikasi kemungkinan bahaya terhadap kesehatan di
tempat kerja
c. Mencatat pembacaan secara berturut-turut dapat menunjukkan
peningkatan atau kebalikannya
d. Pemeriksaan dengan ‘sampel kasar’ sangat tidak akurat dan bisa sangat
mahal
e. Instrumen elektronik memang mahal namun memberikan pembacaan
tepat dan akurat
f. Insrtumen elektronik dapat digunakan terus menerus dalam jangka waktu
panjang
6. Laporan Kecelakaan
a. Dibuat setelah kecelakaan
b. Kecelakaan kecil perlu dicatat dan juga kerugian berupa kehilangan waktu
c. Informasi yang diperoleh dari laporan kecelakaan
d. Laporan harus dapat mengidentifikasi tindakan pencegaha yang perlu
dilakukan
7. Laporan Kecelakaan yang Nyaris Terjadi
a. Laporan insiden-insiden dalam keadaan  yang sedikit berbeda data
menyebabkan kecelakaan
b. Memerlukan budaya keselamatan kerja yang tepat agarefektif
8. Masukan dari Para Karyawan
a. Secara formal dapat diperoleh melalui komite keselamatan keja
b. Membutuhkan budaya ‘tidak saling menyalahkan’ untuk memberanikan
pekerja melaporkan masalah
c. Para pekerja sering lebih mengetahui dan dapat menyampaikan apa yang
perlu dilakukan
d. Perlu umpan balik ke pekerja dalam bentuk tindakan untuk
mempertahankan redibilitas manajemen
Pemilihan metode yang digunakan bergantung pada jenis dan
besarnya  potensi kerugian yang mungkin terjadi bila metode tersebut
dilaksanakan.  Penggunaan metode identifikasi yang membutuhkan waktu dan biaya
yang besar biasanya digunakan untuk bahaya yang berisiko tinggi.  Perbedaan tingkat
konsekuensi dan probabiliti suatu risiko akan memerlukan metode yang berbeda.
Untuk mengetahui besaran bahaya dan risiko tertentu diperlukan pengukuran dengan
menggunakan alat ukur menurut jenis bahaya dan risiko yang ada. 

1. Pengkajian Risiko dan Hazard dalam Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian
Pengkajian keperawatan didefinisikan sebagai pemikiran dasar dari proses
keperawatan yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi atau data tentang
klien, agar dapat mengidentifikasi, mengenali masalah – masalah, kebutuhan
kesehatan dan keperawatan klien, baik fisik, mental, sosial dan lingkungan
(Effendy, 1995 dalam Fitriyanti, 2012).

2. Contoh Risiko dan Hazard bagi Perawat saat Melakukan Pengkajian


a. Pelecehan verbal saat berkomunikasi dengan pasien dan keluarga.
b. Kekerasan fisik pada perawat ketika melakukan pengkajian.
c. Pasien dan keluarga acuh tak acuh dengan pertanyaan yang diajukan
perawat.
d. Risiko tertular penyakit dengan kontak fisik maupun udara saat
pemeriksaan fisik.
e. Perawat menjadi terlalu empati dengan keadaan pasien dan keluarganya.

Dalam mengkaji pasien, perawat harus menyadari akan adanya risiko dan
hazard yang mungkin mereka dapatkan. Berbagai macam upaya perlu
dilakukan sebagai tindakan pencegaha. Upaya – upaya tersebut dapat
dilakukan baik dari pihak manajemen rumah sakit. Berikut beberapa upaya
yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya kekerasan fisik dan verbal
pada perawat saat melakukan pengkajian :
a. Perawat harus melaporkan setiap adanya tindakan kekerasan dalam bentuk
apapun kepada pihak rumah sakit.
b. Memberikan pengertian kepada pasien agar memperlakukan sesama
manusia dengan dasar martabat dan rasa hormat.
c. Dalam melakukan kontak kepada pasien, perawat seharusnya menjadi
pendengar yang baik. Salah satu teknik pengumpulan data pada
pengkajian adalah wawancara. Saat melakukan wawancara, perawat harus
mampu menempatkan diri sebagai tempat curhat pasien sebaik mungkin.
d. Memberikan pelatihan dan pendidikan kepada perawat tentang cara
menghindari tindakan kekerasan verbal dan fisik.
e. Ketika pasien terlihat sedang dalam keadaan tidak terkontrol dan susah
untuk didekati, perawat dapat melakukan pengkajian kepada keluarga
pasien terlebih dahulu.
f. Saat mengkaji, perawat tidak boleh menyampaikan kata – kata yang
menyinggung pasien dan keluarganya.
g. Saat melakukan tindakan pemeriksaan fisik, perawat harus meminta
persetujuan dari pasien terlebih dahulu.
h. Manajemen rumah sakit perlu memfasilitasi perawat mempersiapkan diri
untuk menghadapi risiko dan hazard.
i. Manajemen harus terbuka serta tidak berusaha menutupi terhadap laporan
– laporan kekerasan fisik maupun verbal terhadap perawat.
j. Memodifikasi lingkungan yang nyaman di rumah sakit mulai dari poli,
ruangan rawat inap, sampai ke unit gawat darurat dan ruang intensif untuk
menentramkan suasana hati pasien dan keluarga.

3. Upaya mencegah dan Meminimalkan Resiko dan Hazard pada Perawat dalam
Tahap Pengkajian Berdasarkan Kasus Penyakit Akibat Kerja
a. Batasi akses ke tempat isolasi.
b. Menggunakan APD dengan benar.
c. SOP memasang APD, jangan ada sedikitpun bagian tubuh yang tidak
tertutup APD.
d. Petugas tidak boleh menyentuh wajahnya sendiri.
e. Membatasi sentuhan langsung ke pasien.
f. Cuci tangan dengan air dan sabun.
g. Bersihkan kaki dengan di semprot ketika meninggalkan ruangan tempat
melepas APD.
h. Lakukan pemeriksaan berkala pada pekerja.
i. Hindari memegang benda yang mungkin terkontaminasi.
2. Intervensi Hazard dan Risk dalam Asuhan Keperawatan

Upaya Pencegahan Kecelakaan Kerja Secara Umum

1. Upaya pencegahan kecelakaan kerja melalui pengendalian bahaya di tempat


kerja: pemantauan dan pengendalian kondisi tidak aman di tempat kerja.
2. Upaya pencegahan kecelakaan kerja melalui pembinaan dan pengawasan:
pelatihan dan pendidikan, konseling dan konsultasi, pengembangan sumber
daya atau teknologi terhadap tenaga kerja tentang penerapan K3.
3. Upaya pencegahan kecelakaan kerja melalui system manajemen: prosedur dan
aturan K3, penyedian sarana dan prasarana K3 dan pendukungnya,
penghargaan dan sanksi terhadap penerapan K3 di tempat kerja.

3. Implementasi Hazard dan Risk dalam Asuhan Keperawatan

Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh


perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi ke status
kesehatan yang lebih baik yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan
(Gordon, 1994, dalam Potter & Perry, 1997).

Tujuan dari pelaksanaan adalah membantu klien mencapai tujuan yang telah
ditetapkan, mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan, penyakit, pemulihan
kesehatan dan memfasilitasi koping.

Metode Implementasi Keperawatan

 Membantu dalam aktifitas kehidupan sehari-sehari.

 konseling

 penyuluhan

 Memberikan asuhan keperawatan langsung.

 Kompensasi untuk reaksi yang merugikan.

 Teknik tepat dalam memberikan perawatan dan menyiapkan klien untuk


prosedur.

 Mencapai tujuan perawatan.

 Mengawasi dan mengevaluasi kerja dari anggota staf lain

1. Upaya Pencegahan Kecelakaan Kerja melalui Pengendalian Bahaya di


Tempat Kerja : Pemantauan dan Pengendalian Kondisi Tidak Aman di
tempat kerja.

2. Upaya Pencegahan Kecelakaan Kerja melalui Pembinaan dan


Pengawasan: Pelatihan dan Pendidikan, konseling dan konsultasi,
pengembangan sumber daya atau teknologi terhadap tenaga kerja
tentang penerapan K3
3. Upaya Pencegahan Kecelakaan Kerja melalui sistem manajemen:
Prosedur dan Aturan K3, Penyediaan Sarana dan Prasarana K3 dan
pendukungnya, Penghargaan dan Sanksi terhadap penerapan K3
ditempat kerja

 Terdapat juga beberapa upaya pencegahan lain, antara lain :

Pelayanan kesehatan kerja diselenggarakan secara


paripurna, terdiri dari pelayanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif
yang dilaksanakan dalam suatu sistem yang terpadu.

4. Evaluasi Bahaya dan Risiko


Evaluasi risiko dilakukan sebagai tindak lanjut dari proses analisis risiko
untuk memutuskan tindakan selanjutnya (Pengendalian Risiko), Tindak lanjut dapat
berupa:
1. Apakah risiko yang ada memerlukan pengendalian.
2. Tindakan apa saja yang harus dilakukan.
3. Prioritas risiko yang akan dikendalikan.
4. Nilai risiko yang diperoleh dari hasil analisis dibandingkan dengan kriteria
yang ditetapkan tentang batasan risiko yang bisaditolerir dan tidak.
Tujuan Evaluasi Bahaya dan Risiko
1. Untuk mengetahui level dan prioritas bahaya dan risiko di tempat kerja
2. Mengetahui tindakan pengendalian/program K3 yang diperlukan
3. The purpose of risk evaluation is to make decisions, based on the outcomes of
risk analysis, about which risks need treatment and treatment priorities.
Dalam melakukan evaluasi terhadap bahaya dan risiko diperlukan kriteria untuk
menentukan prioritasTingkat risiko yang bisa di terima (tolerable risk) merupakan
salah satu kriteria yang umum digunakan dalam mengevaluasi bahaya dan risiko.
Evaluasi bahaya kerja adalah suatu proses yang dilaksanakan untuk dapat
menetapkan seberapa besar risiko bahaya kerja yang ditemukan di tempat kerja.
Pengukuran objektif dosis bahaya kerja yang diterima oleh pekerja merupakan
komponan penting pada manajemen evaluasi bahaya kerja. Akan tetapi sebaiknya
pada awal tahap ini, tindakan pengendalian pada bahaya kerja serius , yang
ditemukan pada tahap identifikasi bahaya kerja, sudah harus dilaksanakan tanpa
menunggu hasil pengukuran yang objektif.
Evaluasi dan pengelolaan risiko adalah langkah lebih lanjut dari proses
manajemen risiko. Dimana tahapan manajemen risiko sesungguhnya mulai dari
identifikasi risiko yang terdiri dari pembuatan daftar kategorisasi risiko,lalu
mendeskripsikan risiko.
Berdasarkan hasil pengukuran objektif yang telah disimpulkan, pada tahap
berikutnya dapat diperkirakan akibat yang ditimbulkan oleh bahaya kerja yang
ditemukan, besarnya kemungkinan dan frekuensi terjadinya ganguan
kesehatan.kecelakaan kerja, serta derajat pajanan bahaya kerja yang terjadi.
Selanjutnya adalah pengelolaan risiko yang terdiri dari estimasi awal risiko, yaitu
mempertimbangkan akibat yang mungkin terjadi bila risiko terjadi dengan
menggunakan system scoring misalnya cara NHS. Kemudian evaluasi terhadap risiko
yang telah diestimasi dengan toleransi  skor risiko yang disarankan oleh NHS adalah
6. Bila skornya lebih besar dari 6 mitigation cukup dimasukkan kedalam daftar risiko
saja. Namun bila skor risiko kurang dari 6 selain dimasukkan dalam daftar juga harus
dibuatkan rencana tindak lanjutnya.
Langkah berikutnya memutuskan tindakan untuk mengelola risiko. Dengan cara
memilih dan menerapkan kegiatan yang sesuai lalu mengontrol atau memodifikasi
risiko. Pilihan kegiatannya dapat berupa: mengambil kesempatan untuk kondisi ada
kemungkinan keuntungan lebih besar dibanding kerugiannya, mentoleransi risiko
secukupnya dalam level yang masih dapat ditoleransi, mentransfer risiko kepada
pihak ketiga seperti asuransi atau yang terakhir bisa dengan menghentikan aktivitas
yang menimbulkan risiko.
Eskalasi risiko terjadi bila pada proses mendefinisian dan memasukkan kedalam
register membuat terjadinya perubahan level risiko. Hal ini akan menekan manajemen
untuk mengambil tindakan yang memungkinkan, diantaranya; menerima risiko apa
adanya, merubah atau memodifikasi risiko atau menolak eskalasi risiko.
Beberapa kejadian yang mungkin menjadi risiko dalam kegiatan sehari-hari
dirumah sakit adalah adverse event dan risiko klinis. Adverse incident adalah
kejadian atau kondisi yang dapat membawa kerugian yang tidak disengaja dan tidak
diharapkan pada orang, property atau organisasi. Risiko klinis adalah kejadian yang
tidak pasti atau sekelompok kejadian yang bila itu terjadi akan memberikan efek
negative kepada layanan pasien.

Penilaian Hasil Evaluasi Bahaya Kerja


Penilaian hasil evauasi bahaya kerja merupakan hasil rangkuman peninjauan
semua factor yang mengakibatkan bahaya kerja pada manusia.penilaian ini akan
memberikan fakta dan kemungkinan ayang relevan sehingga, memudahakan
penetapan langkah berikutnya dalam pengendalian risiko bahaya kerja.
Dengan mempertimbangan criteria risiko masing-masing bahaya kerja, dapat
ditetapkan prioritas risiko bahya kerja sebagai berikut:
1. Risiko ringan: kemungkinannya kecil untuk terjadi serta akibat yang
ditimbulkannya ringan maka bahaya kerja ini dapat diabaikan.
2. Risiko sedang: kemungkinannya kecil untuk terjadi akan tetapi akibat yang
ditimbulkannya cukp berat, atau sebaliknya, maka perlu pelaksanaan
manajemen risiko khusus.
3. Risiko berat: sangat mungkin terjadi dan akan berakibat sangat buruk, maka
harus dilaksanakan penganggulangan sesegara mungkin.

CONTOH KASUS

KASUS 1
Seorang Perawat RSUD Gunung Jati Positif Difteri

 Seorang perawat di RSUD Gunung Jati, Kota Cirebon, diketahui positif


difteri pasca menangani pasien yang menderita penyakit yang sama.

CIREBON - Seorang perawat di RSUD Gunung Jati,


Kota Cirebon, diketahui positif difteri pasca menangani pasien difteri.
Berdasarkan informasi, perawat tersebut diduga tertular pasca menangani dan
melakukan tindakan awal pada pasien positif difteri tersebut, perawat yang
terkena difteri berinisial Ru dan bertugas di ruang Instalasi Gawat Darurat
(IGD) RSUD Gunung Jati. Ru diketahui merupakan perawat pertama yang
menangani pasien pertama difteri yang masuk rumah sakit tersebut.

 Hazard yang ada di kasus :

Hazard Biologis yaitu perawat tertular penyakit Difteri


dari pasien pasca menangani dan melakukan tindakan awal pada pasien positif
difteri.

 Upaya pencegahan dari Rumah Sakit/ tempat kerja:

1. RS menyediakan APD yang lengkap seperti masker, handscoon, scout dll

Alasan: meminimalisir terjadinya atau tertularnya penyakit/ infeksi


yang dapat terjadi terutama saat bekerja, APD harus selalu di gunakan sebagai
pelindung diri. Dengan kasus diatas dapat dihindari jika perawat
menggunakan APD lengkap mengingat cara penularan Difteri melalui
terpaparnya cairan ke pasien.

2. Menyediakan sarana untuk mencuci tangan atau alkohol gliserin untuk


perawat.

Alasan: Cuci tangan merupakan cara penanganan awal jika kita sudah
terlanjur terpapar cairan pasien baik pasien beresiko menularkan atau tidak
menularkan. Cuci tangan merupakan tindakan aseptic awal sebelum ke pasien
maupun setelah ke pasien.

3. RS menyediakan pemilahan tempat sampah medis dan non medis.

Alasan: Bila sampah medis dan non medis tercampur dan tidak
dikelola dengan baik akan menimbulkan penyebaran penyakit.

4. RS menyediakan SOP untuk tindakan keperawatan.

Alasan: Agar petugas/perawat menjaga konsistensi dan tingkat kinerja


petugas/perawat atau tim dalam organisasi atau unit kerja, sebagai acuan
(check list) dalam pelaksanaan kegiatan tertentu bagi sesama pekerja,
supervisor dan lain-lain dan SOP merupakan salah satu cara atau parameter
dalam meningkatkan mutu pelayanan.

 Upaya pencegahan pada Perawat:


1. Menjaga diri dari infeksi dengan mempertahankan teknik aseptic seperti
mencuci tangan, memakaiAPD, dan menggunakan alat kesehatan dalam
keadaan steril.

Alasan: Agar perawat tidak tertular penyakit dari pasien yang di


tangani meskipun pasien dari UGD dan memakai APD adalah salah satu SOP
RS

2. Perawat mematuhi Standar Operational Prosedure yang sudah ada RS dan


berhati-hati atau jangan terburu-buru dalam melakukan tindakan.

Alasan :Meskipun pasien di Ruang UGD dan pertama masuk RS,


perawat sebaiknya lebih berhati – hati atau jangan terburu-buru dalam
melakukan tindakan ke pasien dan perawat menciptakan dan menjaga
keselamatan tempat kerja supaya dalam tindakan perawat terhindar dari
tertularnya penyakit dari pasien dan pasien juga merasa aman

Kasus 2
Ribuan Perawat di Indonesia Tertular Hepatitis B

 Jakarta, HanTer - Data Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,


Kementerian Kesehatan, menunjukkan sebanyak 7.000 tenaga kesehatan
(Nakes) terinfeksi hepatitis B.

Sebanyak 4.900 di antaranya disebabkan karena tertusuk jarum suntik, dan hanya
2.200 yang terinfeksi dari populasi. Hal ini menunjukkan jika tenaga kesehatan
menjadi profesi yang paling rawan tertular hepatitis B. Penularan virus hepatitis B
terjadi dalam insiden ‘kecelakaan’. Kecelakaan berupa tertusuk jarum terjadi saat
Nakes mencoba menutup jarum suntik terutama saat selesai melakukan tindakan
seperti setelah selesai melakukan pemberian obat atau pengambilan sampel darah.
Dengan metode penutupan yang salah dan kurang hati-hati, banyak Nakes yang
akhirnya tertusuk jarum.

“Rata-rata empat dari tindakan menutup jarum suntik bekas pakai, satu
diantaranya tertusuk jarum,” Peneliti Hepatitis dari Universitas Indonesia, dr Lukman
Hakim Tarigan MMedSc, ScD, di Jakarta, kemarin.

Riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2007 menunjukkan bahwa Indonesia bagian barat
tercatat 9,4 persen atau 1 dari 10 penduduk Indonesia mengidap hepatitis B.

“Jadi total penduduk Indonesia yang mengidap virus hepatitis B ada 22,3 juta
orang, dimana separuhnya membutuhkan pengobatan. Jika tidak diobati, maka dalam
10 tahun ke depan akan berubah menjadi sirosis hati yang membutuhkan transplantasi
hati,” tandasnya. (Tryas).

 Hazard :

Terinfeksi hepatitis B akibat tertusuk jarum suntik saat menutup jarum suntik
setelah digunakan dari pasien.

 Upaya pencegaham dari Rumah Sakit/ tempat kerja:

1. Memberikan imunisasi hepatitis pada semua tenaga kesehatan yang


bekerja dan belum mendapat imunisasi hepatitis sebelumnya, terlebih pada
tenaga kesehatan yang mempunyai resiko tinggi tertular. Mereka harus
diberi perlindungan khusus misalnya dengan memberikan dalam tiga dosis
vaksinasi.Alasan: Dengan memberikan imunisasi pada semua tenaga
kesehatan dapat dapat menjadi pencegahan awal / preventif agar tenaga
kesehatan bebas tertular penyakit akibat kerja seperti tertular virus
hepatitis B, dan prinsip mencegah lebih baik dari pada mengobati.
2. Rutin mengadakan konseling dan rutin mengadakan pemeriksaan
kesehatan berkala kepada tenaga kesehatan, terutama tenaga kesehatan
yang bergelut di tempat beresiko terkena kecelakaan kerja.
Alasan: Dengan mengadakan konseling rutin dan pemeriksaan
kesehatan berkala dapat menjadi suatu pendeteksi kesehatan tenaga kerja,
konseling dapat digunakan sebagai upaya untuk memberikan edukasi
kepada tenaga kesehatan, dan pemeriksaan kesehatan berkala dapat
dilakukan sebagai upaya perlindungan kesehatan, serta pendeteksian awal
apabila terkena penularan penyakit sehingga dapat cepat tertangani /
terobati.
3. Memberikan pendidikan, pengetahuan kepada seluruh tenaga kesehatan
tentang cara menutup jarum suntik yang benar , tidak membahayakan, dan
sesuai dengan prosedur.
Alasan: pendidikan ini sangat penting diberikan kepada perawat agar
terhindar dari kecelakaan yang membahayakan kesehatan. Sehingga
apabila perawat mengetahui cara yang benar akan menjauhkan diri dari
kecelakaan terutama tertusuknya jarum suntik.
4. Menyediakan tempat sampah khusus jarum dan benda-benda tajam yang
sesuai dan praktis.
Alasan: Dengan penyediaan tempat sampah khusus jarum dapat
mempermudah kerja perawat sehingga saat perawat lalai atau terburu-buru
perawat bisa langsung membuang jarum tersebut ke tempat sampah
khusus jarum.
5. Menyediakan semua alat pelindung diri bagi tenaga kesehatan yang sesuai
dengan standart keselamatan.
Alasan: apabila tersedia semua alat pelindung diri secara lengkap
dapat meminimalkan terjadinya kecelakaan saat kerja.
6. Menyediakan lingkungan kerja yang aman dan nyaman. Seperti
kelengkapan perlengkapan kerja dll.
Alasan: Dengan lingkungan kerja yang aman dan nyama dapat
meningkatkan kinerja baik bagi tenaga kesehatan, serta tenaga kesehatan
bisa lebih focus dan berkonsentrasi saat bekerja.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Risiko adalah suatu kemungkinan terjadinya kecelakaan dan kerugian pada
periode waktu tertentu atau siklus operasi tertentu. Sedangkan tingkat risiko
merupakan perkalian antara tingkat kekerapan dan keparahan (severity) dari suatu
kejadian yang dapat menyebabkan kerugian, kecelakaan atau cedera dan sakit yang
mungkin timbul dari pemaparan suatu hazard di tempat kerja (Tarwaka, 2008 dalam
Wulandari, 2011).
Bahaya adalah suatu keadaan yang memungkinkan atau berpotensi terhadap
terjadinya kejadian kecelakaaan berupa cedera, penyakit, kematian, kerusakan atau
kemampuan melaksanakan fungsi operasional yang telah ditetapkan (Tarwaka, 2008
dalam Wulandari, 2011). Bahaya adalah segala sesuatu termasuk situasi atau tindakan
yang berpotensi menimbulkan kecelakaan atau cidera pada manusia, kerusakan atau
gangguan lainnya. Karena hadirnya bahaya maka diperlukan upaya pengendalian agar
bahaya tersebut tidak menimbulkan akibat yang merugikan (Soehatman Ramli, 2010
dalam Wulandari, 2011).
Evaluasi risiko merupakan proses membandingkan level atau tingkat risiko
yang ada dengan kriteria standar. Setelah itu tingkatan risiko yang ada untuk beberapa
hazard dibuat tingkatan prioritas manajemennya.
B. Saran
Sebaiknya staf dan seluruh pihak RS memperhatikan penuh terhadap risk dan hazard
atau bahaya yang ada di Rumah Sakit agar keselamatan staf kesehatan juga terjaga
dan meningkatkan mutu Rumah Sakit.
DAFTAR PUSTAKA

Fitriyanti, Umi. 2012. Hubungan Kemampuan Komunikasi Interpersonal Dengan


Pengkajian pada Mahasiswa Keperawatan Universitas Muhammadiyah
Semarang. Skripsi. Semarang : Universitas Muhammadiyah Semarang.

HENDRA.2010. identifikasi dan evaluasi bahaya dan


risiko.http://staff.ui.ac.id/internal/132255817 material/Sesi5IdentifikasidanEv
aluasiBahayadanRisiko.pdf. Diakses pada tanggal 25 Januari 2012 pukul
14:35 WIB.
http://jurnal-sdm.blogspot.com/2009/09/manajemen-resiko-definisi-dan-
manfaat.html. Diakses pada tanggal 18 Februari 2012. Pukul 19.00
John ridley. Kesehatan dan Keselamatan Kerja. 2008. Jakarta : Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai