Anda di halaman 1dari 18

Hubungan antara Mood dengan Perfectionism-Consumer Decision Making

pada Perempuan Paruh Baya di Department Store

Chandra Halim
Fakultas Psikologi Universitas Ciputra Surabaya

1
Cicilia Larasati Rembulan *
Fakultas Psikologi Universitas Ciputra Surabaya

Abstract. The aim of this research is to examine the relation between mood and perfectionism-consumer
decision making among middle aged-women. Using Consumer Style Inventory developed by Sproles dan
Kendall (Bandara, 2014) and Brief Mood Introspection Scale (BMIS) constructed by Mayer dan Gaschke
(1988) to 105 respondents, we revealed that the null hypothesis was rejected. The present research give
empirical evidence of significant relationship between mood and perfectionism-consumer decision making
among middle-aged women in a department store.

Keywords: perfectionism, mood, middle-aged women.

Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara mood dengan perfectionism-consumer
decision making pada perempuan paruh baya di department store. Pengukuran tentang perfeksionisme
dilakukan dengan alat ukur Consumer Style Inventory yang disusun oleh Sproles dan Kendall (Bandara, 2014),
Sedangkan pada skala mood, peneliti menggunakan skala brief mood introspection scale (BMIS) yang disusun
oleh Mayer dan Gaschke (1988). Setelah melakukan uji hipotesis pada 105 responden, penelitian ini
menunjukkan bahwa hipotesis null dalam penelitian ini ditolak. Artinya, terdapat hubungan antara mood
dengan perfectionism-consumer decision making pada perempuan paruh baya di department store.

Keywords: perfeksionisme, mood, paruh baya

1
Korespondensi: Cicilia Larasati Rembulan. Fakultas Psikologi Universitas Ciputra Surabaya. UC Town,
CitraLand, Surabaya, 60219. email: crembulan@ciputra.ac.id

46
Perilaku konsumen merupakan tindakan keputusan seseorang. Kognisi membantu
memperoleh, mengkonsumsi, seseorang dalam menggabungkan hasil
menghabiskan produk atau jasa secara yang akan diperoleh dengan kemungkinan
langsung (Umar, 2005). Perilaku ini yang dimiliki untuk memperoleh hasil
dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti tersebut (Brighetti, Ottaviani, Nucifora &
usia dan jenis kelamin. Usia menentukan Borlimi, 2011), sehingga keputusan dapat
kebutuhan dan minat seseorang dalam diambil secara tepat. Namun, kognisi dan
membeli barang (Noel, 2009). Lansia perilaku seseorang dipengaruhi oleh
membeli barang yang berkaitan dengan kemampuan otaknya. Bagian otak yang
kesehatan dan anak-anak membeli barang berbeda akan memberikan respon kognisi
yang berkaitan dengan kesenangan dirinya dan perilaku yang berbeda pula (Hart,
(Noel, 2009). Berkaitan dengan jenis 2016). Laki-laki memiliki kemampuan otak
kelamin, perempuan lebih memperhatikan yang berbeda dengan perempuan. Laki-laki
kepentingan orang lain dibanding laki-laki. cenderung hanya menggunakan otak bagian
Menurut Noel (2009), laki-laki tertarik kiri dalam berpikir, sedangkan perempuan
dengan promosi barang yang berkaitan melibatkan kedua bagian otaknya
dengan dirinya sendiri, sedangkan (Bastable, 2008). Otak kiri berkaitan
perempuan tertarik dengan promosi yang dengan kemampuan untuk berpikir secara
berkaitan dengan diri sendiri dan orang logis, sedangkan otak kanan berkaitan
lain. Pemahaman tersebut membuat usia dengan kemampuan untuk berpikir secara
dan jenis kelamin memiliki peran penting holistik dan menggabungkan satu informasi
dalam menentukan perilaku konsumennya. dengan yang lainnya (Bastable, 2006).
Pemahaman tersebut menunjukan bahwa
Decision making yang dilalui konsumen perempuan memiliki kemampuan lebih
terdiri dari 5 tahapan (Engel, Kolat, & baik dalam mengolah dan memproses
Blackwell dalam Suelin, 2010). Tahap awal informasi yang dimilikinya. Kemampuan
akan diawali dengan adanya permasalahan, tersebut nantinya akan mempengaruhi
berupa kebutuhan yang tidak terpenuhi. keputusan pembeliannya.
Kemudian konsumen akan mencari
alternatif untuk memecahkan Perempuan lebih mempedulikan
permasalahannya. Setelah itu mereka akan konsekuensi dari suatu tindakan daripada
mengevaluasi alternatif yang tersedia laki-laki (Sans de Acedo Lizárraga, Sans
sebelum pada akhirnya menetapkan de Acedo Baquedano, & Elawar, 2007).
keputusannya dan melakukan pembelian. Mereka lebih mempertimbangkan risiko
Setelah melakukan pembelian, konsumen yang diperoleh dalam mengambil
akan melakukan evaluasi terhadap keputusan; khususnya dalam hal rekreasi,
pembelian. Konsumen akan merasa puas kesehatan, dan berjudi (Slovic dalam
apabila barang atau jasa sesuai dengan Harris, Jenkins, & Glaser, 2006).
Pemahaman tersebut juga nampak dengan
tujuan yang diharapkan, dan merasa tidak
adanya fenomena, di mana perempuan
sesuai atau dissonance, apabila produk atau
cenderung membaca label yang tertera
jasa tidak sesuai dengan tujuan yang
pada produk sebelum melakukan
diharapkan (Suelin, 2010). Kognisi pembelian (Robbins, 2009) dan berusaha
memiliki peran penting dalam pengambilan mencari informasi mengenai produk secara

47
lebih mendalam dibanding laki-laki pembelian dapat dilakukan dengan
(Bakshi, Tanpa Tahun). Mereka tidak ingin mengetahui consumer decision making
keliru dalam membuat keputusan style-nya (Bandara, 2014). Consumer
pembelian, dan dapat mendapatkan barang decision making style merupakan
dengan kualitas terbaik. Setelah ini karakteristik orientasi mental konsumen
pembahasan penelitian akan difokuskan dalam melakukan keputusan pembelian
pada perempuan. (Sproles & Kendall dalam Bakewell &
Mitchell, 2003). Menurut Sproles dan
Kemampuan seseorang untuk mengambil Kendall dalam Samantha (2015), tipe ini
keputusan berkaitan dengan kemampuan terdiri dari 8 macam, yaitu : Price atau
untuk bernalar secara induktif. Menurut value consciousness, perfectionism, brand
Santrock (2012), penalaran induktif consciousness, novelity atau fashion
merupakan kemampuan untuk mengenali consciousness, habitual atau brand loyal,
dan memahami sejumlah pola dan relasi recreational atau shopping consciousness,
yang terdapat dalam sebuah masalah dan impulsive atau careless, dan confused by
menggunakan pemahaman tersebut untuk choice. Namun dalam penelitian ini
memecahkan permasalahan yang ada. peneliti lebih memfokuskan pada
Dalam pembelian barang, seseorang perfectionism.
dengan penalaran induktif yang baik akan
memiliki kemampuan untuk mengolah Perfectionism atau yang sering disebut
informasi yang dimiliki dan juga dengan high quality conscious
menggunakannya untuk memutuskan consumer decision making merupakan
produk terbaik yang ingin dibelinya. konsumen yang memperhatikan kualitas
Namun kemampuan tersebut mengalami suatu produk dalam berbelanja (Sproles &
penurunan pada usia paruh baya (Santrock, Kendall dalam Bakewell & Mitchell,
2012). 2003). Konsumen ini akan berusaha untuk
mencari produk dengan kualitas terbaik.
Usia paruh baya dialami ketika seseorang Menurut Jahanshahi, Gashti, Mirmadi,
berusia 35 hingga 64 tahun (Coon & Nawaser, dan Kakhsar (2011) kualitas
Mitterer, 2013). Pada masa ini, pendapatan produk berkaitan dengan kepuasan
finansial mereka lebih baik dibandingkan pembeliannya. Konsumen yang
pada masa dewasa awal. Mereka mencapai mendapatkan produk atau jasa yang
puncak, baik dalam karir maupun berkualitas akan memiliki tingkat kepuasan
penghasilannya (Santrock, 2012). yang lebih tinggi dibandingkan mereka
Walaupun mereka telah mencapai puncak yang memperoleh kualitas biasa saja.
dalam pekerjaan, namun mereka juga
adalah sandwich generation. Sandwich Perasaan puas atas pembelian menjadi
generation merupakan keadaan di mana salah satu komponen dalam life event
seseorang bertanggung jawab untuk positif, yang nantinya dapat meningkatkan
merawat anak dan orang tuanya (Rathus, kesejahteraan dirinya (Diener, 1984).
2011). Orang paruh baya membutuhkan Konsumen nantinya akan mengalami
usaha lebih untuk merawat dan membiayai peningkatan kesejahteraan dirinya atas
kehidupan keluarganya tersebut, sehingga perasaan puas yang diperoleh pada saat
pengeluaran uang harus dilakukan seefektif melakukan pembelian yang sesuai.
mungkin. Kepuasan juga akan mempengaruhi
loyalitas pembelian konsumen di toko
Pemahaman mengenai hal yang mendasari tersebut (Jahanshahi et al., 2011). Mereka
seseorang dalam melakukan keputusan yang merasa puas akan mengulangi

47
pembeliannya di toko tersebut, yang lansia. Pada studi tersebut ditemukan
nantinya dapat meningkatkan bahwa pengambilan keputusan berisiko
penjualannya. ditemukan lebih tinggi pada lansia dengan
mood positif. Sedangkan pada remaja,
Evaluasi kualitas produk atau layanan oleh pengambilan keputusan berisiko bersifat
konsumen dilakukan setelah mereka rendah pada saat berada di mood negatif.
melakukan pembelian atau berada pada
tahap post purchase evaluation (Jobber Penelitian akan dilakukan di department
dalam Bakshi, Tanpa Tahun). Konsumen store x Surabaya. Pemahaman tersebut
yang mendapatkan kualitas barang yang dilakukan untuk melanjutkan penelitian
buruk akan menurunkan kepuasannya dan Kurniawan dan Kunto (2013), yang
mengurangi kemungkinannya membeli meneliti mengenai pembelian impulsivitas
produk tersebut. Adanya perfectionism – di department store x. Menurut Sproles
consumer decision making atau PCDM dan Kendall (dalam Bakewell dan
akan membantu konsumen menemukan Mitchell, 2003), impulsivitas merupakan
kualitas terbaik dalam berbelanja hingga salah satu dimensi dari consumer decision
meningkatkan kepuasannya. Pemahaman making style. Penelitian ini diharapkan
tersebut membuat PCDM diperlukan bagi mampu memberikan kebaruan dalam
konsumen saat berbelanja. keilmuan, serta meningkatkan pemahaman
department store x akan konsumen dengan
Seseorang dengan perfectionism akan PCDM.
berjuang untuk memperoleh hasil yang
terbaik pada setiap kegiatannya; serta Rumusan Masalah
memeriksa dan mengulangi tindakan yang
dilakukan (Shafran, Egan & Wade, 2010). Apakah ada hubungan antara mood dengan
Adanya kedua sifat itu memungkinkan perfectionism - consumer decision making
mereka untuk memperoleh barang dengan perempuan paruh baya di department store
kualitas terbaik dalam berbelanja. Namun, x Surabaya?
seseorang dengan perfectionism
membutuhkan waktu yang lama untuk Tujuan
melakukan kegiatannya (Walters, 2004),
atau yang dalam hal ini adalah berbelanja. Tujuan dari adanya penelitian ini adalah
Menurut Hoyer dan Maclnnis (2009), untuk mengetahui hubungan antara mood
waktu yang singkat membuat seseorang dengan perfectionism - consumer decision
kurang mampu untuk memproses informasi making perempuan paruh baya di
dengan sistematis. Mereka membutuhkan department store x Surabaya.
waktu yang lebih lama untuk melakukan
pertimbangan pembeliannya. Keberhasilan Hipotesis
dalam mencapai tujuan akan memberikan
kepuasan tersendiri pada dirinya (Walters, Hipotesis dalam penelitian ini adalah :
2004). H0: Tidak ada hubungan antara mood
dengan perfectionism - consumer decision
Subjek dalam penelitian ini adalah making perempuan paruh baya.
perempuan paruh baya. Hal tersebut
dilakukan untuk memberikan kebaruan H1: Ada hubungan antara mood dengan
dibanding penelitian mood positif dan perfectionism - consumer decision making
negatif dengan decision making oleh Chou, perempuan paruh baya.
Lee, dan Ho (2007), pada remaja dan
METODE

48
seberapa besar PCDM dalam diri
Penelitian dilakukan dengan menggunakan seseorang saat berbelanja.
studi kuantitatif dengan desain
korelasional. Peneliti akan melakukan Adanya pemahaman tersebut membuat
penelitian dengan membagikan skala pada semakin tinggi skor total yang diperoleh,
konsumen perempuan di department store maka mereka akan semakin teliti, berhati-
x usia paruh baya. penelitian dengan hati dan berusaha untuk memperoleh
membagikan skala pada konsumen produk dengan kualitas terbaik
perempuan di department store x usia dalam berbelanja.
paruh baya.
Mood adalah kondisi emosional yang
Perfectionism - consumer decision making terdapat dalam diri seseorang dan dapat
atau PCDM merupakan dependent berubah seiring waktu. Dalam penelitian
variable. Dependent variable merupakan ini, mood merupakan independent
variabel yang hasilnya dipengaruhi oleh variable. Independent variable akan
independent variable (Carter, 2010), atau menentukan perubahan dari dependent
yang dalam hal ini adalah mood. variable dan hasilnya tidak terpengaruh
oleh variabel tersebut (Bungin, 2011).
PCDM berkaitan dengan karakteristik Menurut Watson dan Tellegen dalam
konsumen yang teliti dan berhati – hati Mayer dan Gaschke (1988) dimensi mood
dalam berbelanja untuk mendapatkan terdiri dari 4 pasang dimensi. Dalam satu
kualitas terbaik. Mereka ingin pasang terdiri dari komponen mood yang
mendapatkan barang dengan kualitas saling bertentangan, dan setiap pasangnya
terbaik. Mereka merasa tidak puas saat berbeda dengan pasangan yang lain (Mayer
mendapat barang yang cukup baik (Sproles & Gaschke, 1988). Dalam penelitian ini
& Kendall dalam Bakewell dan Mitchell, dimensi yang digunakan adalah pleasant-
2003). unpleasant atau yang dapat disebut pula
dengan mood positif dan mood negatif.
PCDM merupakan terjemahan dari jumlah
beberapa aitem pada skala Consumer Style Dimensi tersebut terdiri dari beberapa
Inventory yang disusun oleh Sproles dan komponen yang menyertainya (Mayer dan
Kendall (Bandara, 2014). Dalam skala Gaschke, 1988). Saat komponen mood
tersebut, PCDM merupakan data nominal, negatif lebih dominan dalam diri
atau bertujuan untuk membedakan sifat seseorang, maka orang tersebut sedang
yang satu dengan lainnya (Azwar, 2012). berada dalam mood negatif, dan
Namun, dalam penelitian ini peneliti sebaliknya. Keadaan tersebut membuat
melakukan modifikasi dengan semakin tinggi skor total yang diperoleh,
menggunakan aitem yang menggambarkan maka mood dalam diri orang tersebut
PCDM saja dan mengabaikan dimensi adalah pleasant, sedangkan semakin
yang lainnya. Pemahaman tersebut rendah skor total yang diperolah, maka
membuat mood dalam diri orang tersebut adalah
unpleasant (Drace et al., 2009).
PCDM merupakan variabel yang tergolong Pengukuran mood berada pada tingkat
jenis interval. Data interval merupakan interval. Hal ini berarti orang dengan skor
data pengukuran jenjang kualitatif yang mood positif 4 tidak berarti 2 kali lebih
memiliki jarak yang selalu sama dan tidak baik dengan mereka dengan skor mood
memiliki titik nol (Azwar, 2012). Hasil positif 2. Selain itu, salah satu ciri data
yang diperoleh akan menunjukkan interval adalah tidak memiliki nol mutlak

49
(Azwar, 2012). Seseorang dengan skor 0 Pada aitem favourable, pilihan sangat
tidak berarti bahwa dirinya tidak memiliki setuju akan bernilai 5 dan aitem sangat
mood sama sekali, sehingga pengukuran tidak setuju akan bernilai 1. Sedangkan
mood berada pada tingkat interval. pada aitem unfavourble, aitem sangat
setuju akan bernilai 1 dan sangat tidak
Pengumpulan data penelitian dilakukan setuju akan bernilai 5. Penilaian dilakukan
dengan menggunakan metode survei. dengan menjumlah skor yang diperoleh.
Pengukuran PCDM didasarkan pada
modifikasi skala consumer style inventory Skala Mood
(CSI) dari Sproles dan Kendall (dalam
Mokhlis dan Salleh, 2009). Sedangkan Penyusunan skala mood disusun
pada skala mood, peneliti menggunakan berdasarkan terjemahan dari 16 aitem pada
skala brief mood introspection scale skala BMIS milik Mayer dan Gaschke.
(BMIS) yang disusun oleh Mayer dan Dalam skala ini, aitem yang sama dapat
Gaschke (1988). Peneliti membagikan digunakan untuk mengukur dimensi yang
skala PCDM dan BMIS yang nantinya berbeda. Namun, tidak semua dimensi
akan diisi oleh responden, dan hasilnya akan diujikan dalam penelitian ini. Peneliti
akan digunakan dalam melakukan uji memutuskan untuk hanya menggunakan
korelasinya. dimensi pertama saja, yaitu pleasant dan
unpleasant. Berikut ini adalah deskripsi
Skala PCDM mengenai distribusi skala mood yang
digunakan.
Skala pengukuran disusun berdasarkan
8 aitem perfectionism dalam CSI milik Pengambilan keputusan tersebut didasarkan
Sproles dan Kendall. Penyusunan pada pengamatan peneliti bahwa dimensi
dilakukan dengan menerjemahkan dan tersebut telah mengukur keseluruhan dari
memodifikasi hingga terbentuk 16 aitem. komponen emosi yang terdapat dalam
Delapan aitem merupakan hasil mood. Selain itu, komponen pleasant juga
terjemahan, dan sisanya merupakan terbentuk dari emosi positif dan unpleasant
modifikasi dengan menambahkannya yang terbentuk dari komponen negatif.
berdasar pemahaman yang dimiliki Adanya pemahaman tersebut membuat
sebelumnya. peneliti menganggap bahwa pengukuran
pada dimensi pleasant dan unpleasant
Pada skala tersebut, pengukuran dilakukan
cukup untuk memahami keadaan mood
menggunakan skala Likert dengan 5
yang dialami seseorang dalam melakukan
pilihan jawaban, yaitu : sangat setuju,
setuju, netral, tidak setuju, dan sangat tidak keputusan pembeliannya. Penelitian dengan
setuju. Pilihan sangat setuju diberikan mengambil satu dari keempat dimensi
apabila aitem tersebut sangat sesuai tersebut juga dilakukan oleh Mayer,
dengan diri responden, pilihan setuju Gaschke, Braverman, dan Evans (1992).
diberikan apabila aitem sesuai dengan diri Dalam penelitian tersebut mereka
responden, pilihan netral apabila aitem menggunakan dimensi pleasant dan
bersifat netral dalam diri responden, unpleasant untuk mengetahui hubungan
pilihan tidak setuju diberikan apabila aitem mood dalam penilaian yang dilakukan
tidak sesuai dengan diri responden, dan seseorang.
pilihan sangat tidak setuju diberikan
apabila aitem sangat tidak sesuai dengan Skor pada skala ini menggunakan pilihan
diri responden. SS, S, TS, dan STS. Skor SS diberikan

50
apabila responden sangat setuju dengan menghilangkan beberapa biodata yang
aitem yang diberikan dan STS apabila tidak diperlukan, seperti : pertimbangan
sangat tidak setuju dengan aitem yang utama belanja, tingkat keyakinan
diberikan. Proses skoring didasarkan pada pembelian, dan jenis pembayaran.
penggunaan BMIS dalam penelitian
Mayer, Gaschke, Braverman, dan Evans Perbaikan skala PCDM dilakukan dengan
(1992). Dalam penelitian tersebut, pilihan mengubah kata yang susah dipahami.
SS akan bernilai 4 dan STS akan bernilai 1. Perubahan aitem skala PCDM ditunjukan
Skor total pada dimensi pleasant nantinya pada tabel 3.3. Perubahan kata tetap
akan dikurangkan dengan skor total pada disesuaikan dengan maksud kata pada
dimensi unpleasant untuk mengetahui skala aslinya (bahasa Inggris). Pada skala
keadaan mood dalam dirinya (Drace, BMIS, responden mengalami kesulitan
Desrichard, Shepperd & Hoorens, 2009). dalam menjawab karena tidak adanya
Apabila skor hasil pengurangan yang pilihan jawaban netral.
diperoleh semakin tinggi, maka mood
dalam diri orang tersebut adalah pleasant, Namun peneliti tetap mempertahankan
sedangkan apabila skor yang diperoleh pilihan jawaban tersebut dengan alasan
semakin rendah, maka mood dalam diri menyesuaikan dengan skala asli BMIS.
orang tersebut adalah unpleasant (Drace et Adanya uji bahasa tersebut membuat skala
al., 2009). yang digunakan sesuai dengan
karakteristik sampel penelitian, yaitu
Proses uji bahasa dilakukan pada 10 orang perempuan paruh baya.
paruh baya, yang dilakukan pada tanggal
21 hingga 30 Oktober 2015. Lima orang Validitas merupakan keadaan di mana alat
diantaranya merupakan orang dengan ukur mengukur apa yang ingin diukur oleh
ekonomi menengah ke bawah, dan sisanya peneliti (Carter, 2010). Pengujian validitas
merupakan orang dengan ekonomi dilakukan dengan uji korelasi produk
menengah ke atas. Pengujian dilakukan momen Pearson, dengan menggunakan
dengan meminta responden untuk mengisi bantuan program R 2.13.1. Sebuah aitem
skala yang disusun sebelumnya. akan dikatakan valid apabila memiliki
Responden yang kesulitan dalam membaca koefisien validitas di atas 0,3 (Azwar,
akan dibantu dengan membacakan 2013). Sedangkan reliabilitas merupakan
pertanyaan yang terdapat dalam skala. konsistensi hasil yang diperoleh dari suatu
Pengujian juga dilakukan dengan alat ukur dalam satu keadaan maupun
menanyakan kata yang susah untuk keadaan lain (Carter, 2010). Pengujian
dipahami atau menyinggung dirinya saat reliabilitas dilakukan menggunakan uji
dibaca. alpha cronbach dengan bantuan program R
2.13.1. Sebuah alat ukur akan dikatakan
Berdasarkan pada masukan yang diperoleh reliabel apabila memiliki koefisien
dari 10 partisipan, peneliti memutuskan reliabilitas di atas 0,9 (Azwar, 2013).
untuk melakukan perubahan pada beberapa
bagian. Pada bagian biodata, ditemukan Pengujian reliabilitas dilakukan pada 105
bahwa subyek mengalami kebingungan responden yang digunakan pada penelitian
dalam memahami maksud dari kata ini. Pada pengujian reliabilitas skala
‘belanja’. Keadaan tersebut membuat PCDM, diperoleh nilai koefisien sebesar
peneliti mengubah kata dan susunan skala 0,8263. Sedangkan pada skala BMIS,
agar lebih mudah dipahami akan jenis diperoleh nilai keofisien reliabilitas sebesar
belanja yang ditanyakan. Peneliti juga 0,8424. Kedua nilai tersebut berada di

51
bawah 0,9, sehingga menurut Azwar (2013) yang juga dilakukan di department
(2013) kedua skala tersebut tidak reliabel. store x cabang y. Y merupakan salah satu
Namun menurut Rasli (2006), sebuah skala mall di Surabaya Barat, di mana menurut
dinyatakan reliabel apabila memiliki peneliti penduduknya memiliki status
koefisien reliabilitas di atas 0,7. ekonomi menengah ke atas. Hal ini sesuai
Pemahaman tersebut membuat, baik skala dengan karakteristik perfectionism yang
PCDM maupun BMIS, keduanya membeli barang dengan harga mahal
merupakan skala yang reliabel untuk (Theodoridis & Vassou, 2014).
digunakan dalam penelitian. Banyaknya jumlah konsumen dalam
department store x membuat penelitian
Peneliti juga melakukan uji validitas dilakukan dengan menggunakan sampel.
dengan menggunakan 105 responden yang Sampel adalah bagian dari populasi
digunakan dalam penelitian. Pada (Supranto, 2000). Responden atau sampel
pengujian validitas skala PCDM, seluruh yang akan digunakan berjumlah 100 orang.
aitem memiliki koefisien di atas 0,3, Jumlah responden tersebut diberikan
sehingga dapat dikatakan bahwa 16 aitem dengan asumsi bahwa semakin banyak
yang digunakan valid. Sedangkan pada sampel maka hasil yang diperoleh akan
pengujian validitas skala BMIS, terdapat 1 semakin representatif, atau
aitem yang memiliki koefisien di bawah menggambarkan keadaan sebenarnya dari
0,3. Koefisien pada aitem nomor 1 skala populasi (Nursalam, 2008).
BMIS hanya mencapai 0,254863. Namun
menurut Lodico dalam Bahri dan Zamzam Pengambilan sampel ada yang bersifat
(2014), aitem dinyatakan valid saat random dan non random. Pada
memiliki koefisien di atas pengambilan secara non random, atau yang
0,25. Berdasarkan pemahaman tersebut, sering disebut dengan non probability
maka aitem nomor 1 skala BMIS tersebut sampling, setiap anggota populasi tidak
masih valid untuk digunakan dalam memiliki peluang yang sama untuk
penelitian. dijadikan sampel (Supranto, 2000). Salah
satu metode non probability sampling
Berdasarkan pada pengamatan peneliti, adalah accidental sampling, di mana
departement store x merupakan sampel diambil pada setiap orang yang
perusahaan ritel yang menyediakan ditemui dan sesuai dengan karakteristik
pakaian, aksesoris, dan perlengkapan yang ditetapkan (Bungin, 2007).
kecantikan. Pihak department store x
melakukan manipulasi atmosfer dan Dalam penelitian ini, peneliti akan
memberikan promosi kepada memberikan skala pada konsumen yang
konsumennya, yang nantinya dapat ditemui dan bersedia mengisinya pada
menyebabkan terjadinya peningkatan waktu dan hari tertentu. Peneliti
emosi, dan membuat konsumen membagikan skala pada konsumen yang
melakukan pembelian impulsif selesai berbelanja atau memilih barang di
(Kurniawan & Kunto, 2013). department store x. Penelitian dengan
accidental sampling dapat digunakan saat
Department store x memiliki beberapa sampel yang digunakan adalah orang yang
cabang, namun peneliti memutuskan sibuk, tidak ingin diganggu, atau kurang
untuk menggunakan cabang y sebagai bersedia menjadi responden (Bungin,
populasi. Pertimbangan tersebut 2007). Berdasarkan pada pengamatan
dilakukan untuk melanjutkan penelitian peneliti, orang yang sedang berada di mall
sebelumnya oleh Kurniawan & Kunto kurang bersedia meluangkan waktunya

52
untuk mengisi skala, sehingga dari skala PCDM. Skor total tersebut
pengambilan sampel dengan metode nantinya akan diuji korelasinya skor
tersebut dapat digunakan. Adanya BMIS, yang telah dikurangkan antara
pengambilan sampel lokasi secara non mood pleasant dengan unpleasant-nya,
random membuat hasil yang diperoleh dengan menggunakan Pearson product
tidak dapat digeneralisasikan ke populasi moment. Adanya pengujian tersebut akan
awal (Faherty, 2008), yaitu konsumen memungkinkan peneliti untuk memahami
perempuan usia paruh baya di department hubungan antara PCDM dengan mood.
store x cabang y di Surabaya.
Koefisien korelasi yang bergerak dari skor
Proses analisa data dilakukan setelah -1 hingga +1 (Nursalam, 2008). Korelasi
peneliti memperoleh skala yang yang mendekati -1 menunjukkan adanya
sebelumnya telah diisi oleh respondennya. hubungan negatif, atau kenaikan salah satu
Dalam hal ini peneliti melakukan dua variabel disertai dengan penurunan
macam analisa data, secara deskriptif dan variabel yang lain. Korelasi yang
inferensial. Statistik deskriptif melibatkan mendekati +1 menunjukkan adanya
aktivitas pengumpulan, analisa, dan hubungan positif, atau kenaikan salah satu
penyajian data dalam bentuk narasi, tabel, variabel disertai dengan kenaikan variabel
atau grafik (Chandra, 1995). Analisa secara yang lain. Selain itu hubungan positif juga
deskriptif dilakukan dengan menghitung dapat dinyatakan dengan penurunan salah
jumlah responden berdasarkan pada usia, satu variabel disertai dengan penurunan
tempat tinggal, dan data demografis variabel yang lain. Saat koefisien yang
lainnya. Sedangkan analisa inferensial diperoleh bernilai 0, maka hal tersebut
melibatkan pengujian hipotesis penelitian menunjukkan tidak adanya hubungan pada
yang dimiliki secara statistik, serta kedua variabel tersebut (Carter, 2010).
mengetahui sejauh mana konsep tersebut
dapat diterapkan dalam populasinya Pengujian non parametrik dilakukan saat
(Chandra, 1995). Analisa secara inferensial data yang diperoleh berupa ordinal atau
dilakukan dengan menganalisa data yang nominal (Santoso, 2010b), atau tidak
diperoleh dari skala BMIS dan PCDM terdistribusi normal (Nisfiannoor, 2009).
dengan menggunakan bantuan program R Menurut Bungin (2011), data nominal
2.13.1. Proses analisa secara inferensial merupakan data yang terpisah secara
dibagi menjadi dua bagian, yaitu: kategori, dan ordinal merupakan data yang
parametrik dan non parametrik. memiliki urutan tertentu. Pengujian non
parametrik akan dilakukan dengan
Pengujian parametrik dilakukan apabila menggunakan uji korelasi Spearman Rank,
data yang diperoleh berupa interval atau dengan bantuan program R 2.13.1.
rasio (Santoso, 2010b), dan telah Pengujian dengan Spearman
terdistribusi secara normal (Nisfiannoor, memungkinkan peneliti untuk memperoleh
2009). Menurut Bungin (2011), data data hubungan, di mana variabel berada
interval merupakan data yang memiliki dalam bentuk urutan atau rank (Weinberg
jarak yang sama, sedangkan data rasio & Abramowitz, 2002). Hasil dalam
merupakan data yang memiliki nilai nol perhitungan ini tidak dapat menjawab
mutlak. Pengujian secara parametrik akan hipotesis penelitian kecuali skor variabel
dilakukan dengan menggunakan uji yang satu identik dengan variabel yang
korelasi Pearson product moment, dengan lainnya (Weinberg & Abramowitz, 2002).
bantuan program R 2.13.1. Sebelumnya,
peneliti menjumlah skor yang diperoleh

53
Pengujian normalitas data dilakukan pengujian skala BMIS, menunjukkan
dengan menggunakan uji ShapiroWilk bahwa data tidak terdistribusi secara normal
dengan bantuan program R 2.13.1. Uji (pvalue : 0,004344; p < 0,05). Adanya
normalitas dilakukan untuk mengetahui distribusi yang tidak normal pada salah satu
apakah data telah terdistribusi secara variabel penelitian membuat pengujian
normal, atau memiliki grafik dengan hipotesis dilakukan secara non parametrik.
bentuk seperti lonceng (Santoso, 2010a).
Menurut Marques de Sa (2007), uji Pengujian dilakukan non parametrik
Shapiro-Wilk merupakan pengujian yang dilakukan menggunakan Spearman Rank,
dilakukan untuk mengukur jarak antara dengan bantuan program R.13.1. Hasil
suatu skor dengan skor simetris. Uji pengujian menunjukan adanya hubungan
Shapiro-Wilk memiliki kemampuan yang antara mood dengan PCDM (rho :
baik untuk menggambarkan normalitas 0.3975204; pvalue : 2.681e-05; p < 0,05).
data, khususnya saat sampel yang dimiliki Nilai pvalue yang berada di bawah 0.05
besar atau lebih dari 50 (Marques de Sa, menunjukkan bahwa pengujian tersebut
2007). Dalam penelitian ini, uji normalitas signifikan. Signifikansi menunjukkan
akan dilakukan pada skor total BMIS dan bahwa hasil tersebut tidak terjadi karena
PCDM yang diperoleh dari penelitian ini. kebetulan (Wade & Tavris, 2007).
Apabila hasil yang diperoleh di atas 0,05; Pemahaman tersebut membuat kedua
maka data telah terdistribusi secara variabel memang secara akurat saling
normal, sedangkan apabila hasil yang berhubungan satu dengan yang lainnya.
diperoleh di bawah 0,05; maka data belum Koefisien korelasi yang berada di antara
terdistribusi secara normal (Santoso, 0.3 hingga 0.49 menunjukan adanya
2010a). hubungan positif yang bersifat sedang
(Bungin, 2011). Pemahaman tersebut
HASIL DAN DISKUSI berarti bahwa semakin tinggi skor mood
maka akan semakin tinggi pula PCDM-
Total skala yang dibagikan kepada nya, dan sebaliknya. Namun pengujian
responden berjumlah 127 buah, namun secara non parametrik membuat
hanya 105 di antaranya yang dapat kesimpulan hasil pengujian bersifat lemah
digunakan. Gugurnya skala disebabkan (Santoso, 2010b), sehingga belum
karena terbatasnya waktu pengisian, usia menggambarkan keadaan yang
responden yang berada di bawah 35 tahun sesungguhnya terjadi.
atau di atas 64 tahun, serta adanya
pengisian skala BMIS atau PCDM yang Penelitian dilakukan untuk mengetahui
terlewatkan. hubungan antara mood dengan
perfectionism consumer decision making
Peneliti menggunakan pengujian normalitas pada perempuan paruh baya. Pengujian
pada distribusi skor PCDM dan BMIS dilakukan secara non parametrik karena
sebelum melakukan pengujian hipotesis. data pada skala BMIS tidak terdistribusi
Data dinyatakan terdistribusi normal normal. Pengujian dilakukan menggunakan
apabila memiliki p-value di atas 0.05 Spearman Rank dengan bantuan program R
(Santoso, 2010a). Pengujian normalitas 2.13.1. Hasil pengujian menunjukkan
dilakukan menggunakan uji Shapiro-Wilk adanya hubungan antara mood dengan
dengan bantuan program R 2.13.1. Hasil perfectionism - consumer decision making
pengujian pada skala PCDM menunjukkan (rho : 0.3975204; pvalue : 2.681e-05; p <
bahwa data terdistribusi secara normal (p- 0,05). Namun pengujian secara non
value : 0,7544; p < 0,05). Namun, hasil dari parametrik membuat korelasi bersifat
54
lemah (Santoso, 2010b), sehingga belum mengurangi PCDM dalam
dapat digunakan untuk menggambarkan pembeliannya.
keadaan yang sesungguhnya.
Menurut Pol dan Thomas (1997) status
Hasil penelitian berbeda dinyatakan oleh pekerjaan seseorang dapat menentukan
Wilson (2016), di mana seseorang akan keputusan pembeliannya. Mereka yang
mampu menggabungkan, mampu bekerja memiliki keputusan pembelian
memproses informasi lebih baik, dan lebih yang berbeda dengan yang tidak bekerja.
berhati – hati dalam membuat keputusan Pendapat ini didukung oleh hasil tabulasi
saat berada dalam mood negatif. Seseorang silang yang menunjukkan bahwa status
dengan mood negatif akan memandang pekerjaan seseorang berasosiasi dengan
segala sesuatunya menjadi lebih negatif, PCDM. Responden yang bekerja memiliki
sehingga lebih berhati – hati dalam PCDM yang lebih tinggi dibandingkan
membuat keputusan (Wilson, 2016). dengan mereka yang tidak bekerja.
Pendapat serupa juga dinyatakan oleh
Boyd (2010) yang Menurut Torres, De’Freitas, dan Yatham
mengganggap bahwa mood positif akan (2008), pekerjaan seseorang berhubungan
membuat seseorang memandang peristiwa erat dengan fungsi kognisinya. Menurut
atau pengalaman di sekitarnya menjadi Dickerson (dalam Torres, De’Frietas &
lebih positif. Keadaan ini membuat Yatham, 2008), seseorang yang bekerja
konsumen lebih mudah terpengaruhi oleh memiliki kemampuan memori kerja dan
persuasi penjual (Boyd, 2010) dan atensi lebih baik dibandingkan dengan
menurunkan PCDM-nya. Pendapat yang tidak bekerja. Menurut
berbeda dinyatakan oleh Yap dan Constantinidou (2008), atensi berkaitan
Yazdanifard (2014), di mana mood positif dengan kemampuan seseorang memproses
lebih memungkinkan seseorang untuk informasi sensori di lingkungan. Informasi
mengingat informasi dan membuat sensori dapat membantu seseorang dalam
penilaian yang lebih terbuka. Mereka tidak memilih dan membandingkan barang
hanya berfokus pada satu aspek saja, dalam berbelanja. Sedangkan memori kerja
sehingga keputusan pembelian yang dibuat berkaitan dengan kemampuan seseorang
dapat menjadi lebih teliti. untuk menyimpan informasi yang
dibutuhkan untuk membuat pertimbangan
Pemahaman serupa juga dinyatakan oleh dan menyelesaikan masalah (Baddeley
Gabbott dan Hogg (1998) di mana dalam Constantinidou, 2008), atau yang
seseorang dengan mood positif lebih dalam hal ini penyelesaian permasalahan
mampu untuk mengingat, memproses belanja melalui PCDM. Adanya
informasi, dan membuat keputusan lebih pemahaman tersebut membuat mereka
baik dibanding orang dengan mood negatif. yang bekerja memiliki kemampuan kognisi
Menurut Block-Lieb, Weiner, Cantone & lebih baik, yang nantinya membuat dirinya
Holtje (2009), orang pada mood negatif lebih PCDM dalam berbelanja.
cenderung berbelanja untuk memperbaiki
moodnya. Pembelian barang dilakukan Temuan dari penelitian ini bertentangan
untuk meningkatkan mood-nya agar dengan pemahaman di atas yang
menjadi lebih positif. Keadaan tersebut menunjukan adanya asosiasi antara
menunjukan bahwa mood negatif akan pendapatan dengan PCDM. Tidak adanya
membuat seseorang kurang teliti dalam asosiasi antara pendapatan dengan PCDM
membuat keputusan pembelian, dan dapat disebabkan karena tidak seluruh
responden bersedia menunjukkan jumlah

55
pendapatan mereka sebenarnya. Pada maka akan semakin tinggi pula PCDM-
pengisian kuesioner, khususnya yang nya. Penelitian ini juga melakukan analisa
dibacakan oleh peneliti, beberapa dari tambahan pada faktor lain yang diduga
mereka memilih jawaban yang berada di memiliki asosiasi dengan PCDM, seperti
tengah atau berada pada range paling pekerjaan, pendidikan, lama belanja, usia,
rendah. Mereka tidak bersedia menjawab dan pendapatan.
sesuai keadaan pendapatan mereka
sesungguhnya. Keadaan ini membuat hasil Hasil analisa menunjukkan bahwa
yang diperoleh belum dapat pekerjaan, pendidikan, dan lama belanja
menggambarkan keadaan mereka yang memiliki indikasi asosiasi dengan PCDM.
sebenarnya. Selain itu, persepsi konsumen Berdasarkan pekerjaannya, responden yang
terhadap barang nampaknya juga bekerja memiliki PCDM yang lebih tinggi
berpengaruh pada pembeliannya. dibandingkan dengan yang tidak bekerja.
Berdasarkan pendidikannya, semakin
Konsumen dengan PCDM tinggi akan tinggi pendidikan maka akan semakin
membeli barang dengan harga tinggi untuk tinggi pula PCDM. Berdasarkan lama
medapatkan kualitas terbaik (Theodoridis belanja, semakin cepat waktu seseorang
& Vassou, 2014). Namun orang menengah dalam berbelanja, maka akan semakin
ke atas memiliki persepsi harga tinggi atau tinggi pula PCDMnya. Sedangkan usia dan
mahal yang berbeda dengan orang penghasilan diduga tidak berasosiasi
menengah bawah. Persepsi merupakan dengan PCDM. Usia yang semakin
proses pemaknaan informasi sensori oleh bertambah dan penghasilan yang semakin
otak (Wade & Tavris, 2007). Seseorang besar tidak mempengaruhi PCDM
dengan tingkat ekonomi menengah ke atas seseorang dalam berbelanja.
akan mempersepsikan harga barang, misal
kurang dari 500.000, sebagai harga yang Keterbatasan dari penelitian ini adalah
tidak terlalu mahal, sedangkan mereka tidak normalnya distribusi pada skor
dengan tingkat ekonomi menengah ke BMIS. Ketidaknormalan tersebut membuat
bawah akan mempersepsikan harga pengujian dilakukan secara non
tersebut mahal dan memiliki kualitas baik. parametrik, dan membuat hasilnya tidak
Keadaan tersebut membuat mereka dengan dapat menggambarkan keadaan populasi
penghasilan menengah ke bawah juga secara keseluruhan. Ketidaknormalan pada
dapat melakukan pembelian PCDM. Pada skor BMIS dapat terjadi mengingat jumlah
skala responden yang digunakan hanya 105
Sproles dan Kendall (dalam Mokhlis dan orang. Sedangkan pengunjung keseluruhan
Salleh, 2009), pendapatan tidak termasuk yang terdapat di department store x lebih
dalam indikator dan aitem perfectionism. dari jumlah tersebut. Masih banyak
Pemahaman tersebut membuat pendapatan responden yang tidak bersedia untuk
tidak berasosiasi dengan PCDM. mengisi, serta tidak mendapat kesempatan
mengisi karena pemberian kuesioner yang
SIMPULAN dilakukan pada beberapa titik di
department store x dan hanya pada hari
Hasil penelitian menunjukan adanya weekday saja. Keadaan tersebut membuat
hubungan antara mood dengan penambahan jumlah responden pada
perfectionism – consumer decision making penelitian selanjutnya diperlukan untuk
atau PCDM (rho : 0.3975204; p-value: meningkatkan normalitas dari distribusi
2.681e-05; p < 0,05). Semakin tinggi skor skor BMIS.
mood atau semakin positif mood seseorang

56
Keterbatasan lain dari penelitian ini adalah International Journal of Retail and Distribution
kurangnya pengukuran dari faktor Management. 31 (2). 95 – 106.
psikologis yang mempengaruhi keputusan
Bakshi, S. (Tanpa Tahun). Impact of gender in
pembelian konsumen. Faktor psikologis
consumer purchase behavior. Abhinav Journal.
tersebut dapat berupa motivasi, persepsi, 1 (9). 1 – 8.
pembelajaran, belief, dan attitude (Lamb,
Hair, & McDaniel, 2011). Peneliti Bandara, W. W. M. C. (2014). Consumer
memutuskan untuk tidak meneliti lebih decision making styles and local brand biasness
dalam mengenai faktor tersebut karena : Exploration in Czech Republic. Journal of
pengukuran pada faktor psikologis Competitiveness. 6 (1). 3 – 7.
membutuhkan cara khusus untuk
Banerjee, S. & Saha, S. (2012). Impulse buying
melakukannya. Pengukuran membutuhkan
behavior in retail store : Triggering the senses.
adanya skala yang telah teruji validitas dan Asia Pacific Journal of Marketing and
reliabilitasnya, serta metode atau perlakuan Management. 1 (2). 2319-2836.
khusus dalam penelitiannya.
Bastable, S. B. (2006). Essentials of patient
REFERENSI education. Massachusetts : Jones and Barlett.

Bastable, S. B. (2008). Nurse as educator :


Alfred, O. (2013). Influence of price and
quality on consumer purchase on mobile phone Principles of teaching and learning for nursing
in the Kumasi Metropolis in Ghana : A practice (3rd Ed). Massachusetts: Jones and
Barlett.
comparative study. European Journal of
Business and Management, vol. 5, no. 1, hh.
Batool, S., Ahmed, M. A., Umer, M. & Zahid,
179 – 198.
Z. (2015). Impact of consumer innovativeness
on consumer style : A case of Pakistan.
Alwisol. (2012). Psikologi kepribadian (Edisi
International Journal of Business and
revisi). Cetakan XII. Yogyakarta : Umm Press.
Management Invention. 4 (2). 19 – 28.
Andrews, D. M., Burns, L. R. & Dueling, J. K.
Block-Lieb, S., Wiener, R. L., Cantone, J. A. &
(2014). Positive perfectionism : Seeking the
Holje, M. (2009). The limits of enhanced
healthy should or should we. Open Journal of
disclosure in bankruptcy law : Anticipated and
Social Sciences, no. 2, hh. 27 – 34.
experienced emotion. In R. Brubaker & R.
Lawless (Ed). A debtor world :
Archiniegas, D. B. (2013). Emotion. In D. B.
Archiniegas, C. A. Anderson & C. M. Filley Interdisciplinary of perspective on an Indebted
Global Society. New York : Oxford University
(Ed). Behavioral Psychology and Psychiatry.
Press.
Cambridge : Cambridge University Press.
Boone, L. E. & Kurtz, D. L. (2007).
Azwar, S. (2012). Dasar-dasar psikometri.
Cetakan XI. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Contemporary business (Alih Bahasa : A. A.
Yulianto & Krista). Jakarta : Salemba Empat.
Azwar, S. (2013). Penyusunan skala psikologi
Boyd, C. V. J. (2010). Consumer psychology.
(2nd Ed). Cetakan IV. Yogyakarta : Pustaka
Berkshire : Open University Press.
Pelajar.
Breckler, S., Olson, J., & Wiggnis, E. (2006).
Bahri, S. & Zamzam, F. (2014). Model
Social psychology alive. California : Thompson
penelitian kuantitatif berbasis SEM-Amos.
Learning.
Yogyakarta : Deepublish.

Bakewell, C., & Mitchell, V. W. (2003). Brighetti, G., Ottaviani, C., Nucifora, V. &
Borlimi, R. (2011). Decision making :
Generation Y female decision making styles.
Psychological perspective. In C. Lucarelli & G.
Brighetti (Ed). Risk tolerance in financial

57
decision making. Hampshire : Palgrave elusive effect. British Journal of Social
Macmillan. Psychology. 48. 579 – 599.

Budiarto, E. (2001). Biostatistika untuk Durmas, Y. & Tasdemir, A. (2014). A


kedokteran dan kesehatan masyarakat. Jakarta : theoretical approach to the influence of social
EGC. class on consumer behavior. American
International Journal of Social Science. 3 (3).
Bungin, B. (2011). Metodologi penelitian 187 – 191.
kuantitatif : Komunikasi, ekonomi, dan
kebijakan politik serta ilmu sosial lainnya (2nd Eastman, J. K., Iyer, R., Thomas, S. P. (2013).
Ed). Cetakan XI. Jakarta : Kencana. The impact of status consumption on shopping
styles : An exploratory look at the millennial
Carter, D. C. (2010). Quantitative generation. Marketing Management Journal. 23
psychological research : The complete student (1). 57 – 73.
companion (3rd Ed). New York : Psychology
Press. Elvin, M. (2004). Financial risk taking : An
introduction to the psychology of trading and
Chandra, B. (1995). Pengantar statistik behavior finance. West Sussex : John Wiley
kesehatan. Jakarta : EGC. and Sons.

Chou, K. L., Lee, T. M. C., & Ho, A. H. Y. Faherty, V. E. (2008). Compassionate statistic :
(2007). Does mood state change risk taking Applied quantitative analysis for social services
tendency in older adults. Psychology and (with exercise and instruction in SPSS).
Aging. 22 (2). 310 – 318. Thousand Oaks : Sage Publications.

Clark, A. V. (2005). Cause, role, and influence Gabbott, M. & Hogg, G. (1998). Consumers
of mood state. New York : Nova Biomedical and services. Hoboken : John Wiley and Sons.
Books.
Goetz, C. G. (2007). Textbook of Clinical
Constantinidou, F. (2008). Neuropsychological Neurology (3rd Ed). Philadelphia : Saunders.
and psychological rehabilitation after TBI. In
G. J. Murrey & D. Starzinki (Ed). Forensic Harris, C. R., Jenkins, M., dan Glaser, D.
Evaluation of Traumatic Brain Injury : A (2006). Gender differences in risk assessment :
Handbook for Clinicians and Attorneys. New Why do woman take fewer risk than man.
York : CRC Press. Journal of Judgement and Decision Making. 1
(1). 48 – 63.
Coon, D. & Mitterer, J. O. (2013). Introduction
to psychology : Gateway to mind and behavior. Hart, J. (2016). The neurobiology of cognition
Belmont : Cengage Learning. and behavior. New York : Oxford University
Press.
Cote, S. (2011). How social class shapes
thoughts and actions in organizations. Research Hedge, J. W. & Borman, W. C. (2012). The
in Organizational Behavior. 31. 43 – 71. Oxford handbook of work and aging. New
York : Oxford University Press.
Craighead, W. E. & Nemeroff, C. B. (2004).
The concise corsini encyclopedia of psychology Hoyer, W. D. & Maclnnis, D. J. (2010).
and behavioral science (3rd ed). Hoboken : Consumer behavior (5th ed). Aberdeen :
John Wiley & Sons. Cengage Learning.

Diener, E. (1984). Subjective well-being. Jahanshahi, A. A., Gashti, M. A. H., Mirmadi,


Psychological Bulletin. 95 (3). 542 – 575. S. A., Nawaser, K. & Kakhsar, S. M. S. (2011).
Study the effects of customer service and
Drace, S., Desrichard, O., Shepperd, J. A. & product quality on customer satisfaction and
Hoorens, V. (2009). Does mood really loyalty. International Journal of Humanities
influence comparative optimism? Tracking an and Social Science. 1 (7). 253 – 260.

58
impulsive buying : The moderating role of
Jayaweera, S. K. (2015). Signal processing for buying impulsiveness trait. Seoul Journal of
cognitive radios. Hoboken : John Wiley & Business. 14 (2). 67-92.
Sons.
Lewis, P. A., Critchley, H. D., Smith, A. P. &
Jisana, T. K. (2014). Consumer behavior Dolan, R. J. (2005). Brain mechanism for mood
models : An overview. Sai Om Journal of congruent memory facilitation. NeuroImage.
Commerce and Management. 1 (5). 34 – 43. (25). 1214 – 1223.

Kaufmann, G. (2003). The effect of mood on Lin, Chien-Huang, Sun, Ya-Chun, Chuang,
creativity in the innovative process. In L. V. Shih-Chieh & Su, Hung-Jen. (2008). Time
Shavinina. The International Handbook on pressure and the compromise and attraction
Innovation. Oxford : Elsevier Science. effects in choice. Advanced in Consumer
Research. 35. 348 – 352.
Kazmi, S. H. H. (2007). Marketing
management : Text and cases (5th Ed). New Lucey, B. M. & Dowling, M. (2005). The role
Delhi : Excel Books. of feeling in investor decision making. Journal
of Economic Surveys. 19 (2). 211 – 237.
Kohli, M. & Kunemund, H. (2005). The midlife
generation in the family : Patterns of exchange Marques de Sa, J. P. (2007). Applied statistics :
and support. In S. L. Willis & M. Martin (Ed). Using SPSS, STATISTICA, MATLAB, and R.
Middle adulthood : A lifespan perspective. Berlin : Springer.
London : Sage Publication.
Martin, L. L. (2012). Mood as input : A
Kurniawan, D. & Kunto, Y. S. (2013). configural view of mood effect. In L. L. Martin
Pengaruh promosi dan store atmosphere & G. L. Clore (Ed). Theories of Mood and
terhadap impulse buying dengan shopping Cognition : A User’s Guidebook. New York :
emotion sebagai variabel interventing studi Psychology Press.
kasus di Matahari Department Store cabang
Supermall Surabaya. Jurnal Managemen Matthews, G., Deary, I. J. & Whiteman, M. C.
Pemasaran Petra. 1 (2). 1 – 8. (2010). Personality traits (3rd Ed). Cetakan IV.
Cambridge : University Press.
Lancester, G. & Massingham L. (2011).
Essentials of marketing management. New Mayer, J. D. & Gaschke, Y. N. (1988). The
York : Routledge. experience and meta-experience of mood.
Journal of Personality and Social Psychology.
Lamb, C. W., Hair, J. F., & McDaniel, C. 55 (1). 102 – 111.
(2011). Essentials of marketing (7th Ed). Ohio :
Cengage Learning. Mayer, J. D., Gaschke, Y. N., Braverman, D.
L., & Evans, T. W. (1992). Mood congruent
Lamb, C. W., Hair, J. F., McDaniel, C., Faria, judgement is a general effect. Journal of
A. J., & Wellington, W. J. (2012). Marketing Personality and Social Psychology. 63 (1). 119
(5th Ed). Ontario : Nelson Education. – 132.

Lane, A. M. (2007). Mood and human Mancini, T. & Bastianoni, P. (2001).


performance : conceptual, mesurament, and Correspondence analysis of everyday life
applied issues. New York : Nova Science experience. In H. Brandstatter & A. Eliasz (Ed).
Publisher. Situations and emotions : An ecological
approach. New York : Oxford University
Lantos, G. P. (2015). Consumer behavior in Press.
Action : Real-life applications for marketing
managers. New York : Routledge. McInerney, D. M. (2014). Educational
psychology : Constructing learning (6th Ed).
Lee, G. Y. & Yi, Y. (2008). The effects of Frenchs Forest : Pearson.
shopping emotion and perceived risk in

59
Michman, R. D., Mazze, E. M. & Greco, A. J. Perleth, C., Schatz, P & Monks, F. J. (2000).
(2003). Lifestyle marketing : Reaching the new Early identification of high ability. In K. A.
American customer. Westport : Praeger. Heller, F. J. Monks, R. J. Sternberg & R. F.
Subotnik. International Handbook of Gifted
Mokhlis, L. & Salleh, H. F. (2009). Decision and Talent (2nd Ed). Oxford : Elsevier Science.
making styles of young Malay, Chinese, and
Indian consumers in Malaysia. Asian Social Pol, L. G. & Thomas, R. K. (1997).
Science. 5 (12). 50 – 59. Demography for business decision making.
London : Quorum Books.
Mulyono, F. (2012). Faktor demografis dalam
perilaku pembelian impulsif. Jurnal Pride, W. M. & Ferrell, O. C. (2012).
Administrasi Bisnis. 8 (1). 88 – 105. Marketing (17th Ed). Mason : Cengage
Learning.
Nisfiannoor, M. (2009). Pendekatan statistika
modern untuk ilmu sosial. Jakarta : Salemba Pujiati, S. A. & Rusliah, N. (Tanpa Tahun).
Humanika. Penggunaan R dalam psikologi. Berbagi.NET
Academic Publisher.
Noel, H. (2009). Basic marketing 01 :
Consumer behavior. Lausanne : AVA. Ramli, C. (2012). Pembuatan aplikasi sistem
penunjang pengambilan keputusan atau sewa
Nursalam. (2008). Konsep dan penerapan rumah dengan metode Prometee. Universitas
metodologi penelitian ilmu keperawatan : Surabaya, Surabaya.
Pedoman skripsi, tesis, dan instrument
keperawatan (2nd Ed). Jakarta : Salemba Rasli, A. (2006). Data analysis and
Medika. interpretation : A handbook of postgraduate
social scientist. Skudai : Universiti Teknologi
O’Keefe, D. J. (2015). Persuasion : Theory and Malaysia.
research (3rd Ed). Los Angeles : Sage
Publications. Rathus, S. A. (2011). Psychology : Concepts
and connections (9th Ed). Belmont :
Ozuem, W. & Bowen, G. (2016). Competitive Wadsworth.
social media marketing strategy. Hershey : IGI
Global. Reisberg, D. & Hertel, P. (2004). Memory and
emotion : Series in affective science. New York
Panduwinata, F., Desanti, R. I. & Yulisna. : Oxford University Press.
(2011). Aplikasi penunjang pengambilan
keputusan untuk pembelian barang pada UD. Robbins, R. H. (2009). Cultural anthropology :
Naga Waja. The 13th Industrial Electronics A problem based approach (5th Ed). California
Seminar, Indonesia. : Wadsworth.

Papalia, D. E., Olds, S. W. & Feldman, R. D. Robbins, S.P., Judge, T.A., Odendaal, A., &
(2003). Human development (9th Ed). New Roodt, G. (2009). Organisational behavior :
York : McGraw-Hill. Global and Southern African perspectives (2nd
Ed). Cape Town : Prentice Hall.
Papalia, D. E., Sterns, H. L., Feldman, R. D. &
Camp, C. J. (2007). Adult development and Rogelberg, S. G. (2007). Encyclopedia of
aging (3rd Ed). New York : McGraw-Hill. industrial and organizational psychology (2nd
Ed). London : Sage Publication.
Pedro de Magalhaes, J. (2006). Species
selection in comparative studies of aging and Sadocks, B. J. & Sadocks, V. A. (2007).
antiaging research. In P. M. Conn (Ed). Kaplan and Sadocks synopsis of psychiatry :
Handbook of Model for Human Aging. San Behavioral sciences or clinical psychiatry (9th
Diego : Elsevier Academic Press. Ed). Philadelphia : Lippincott William &
Wilkins.

60
Sans de Acedo Lizárraga, M. L., Sans de Acedo Smith, E. E. & Kosslyn, S. M. (2014).
Baquedano, M. T., & Elawar, M. C. (2007). Psikologi kognitif : Pikiran dan otak (Alih
Factors that affects decision making : Gender Bahasa : H. S. Prajitno & S. M. Soetjipto).
and age differences. International Journal of Cetakan 1. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Psychology and Psychological Therapy. 7 (3).
381 – 391. Suelin, C. (2010). Understanding consumer
purchase behavior in the Japanese personal
Santoso, S. (2010). Statistik multivariat : grooming sector. Journal of Yasar University.
Konsep dan aplikasi dengan SPSS. Jakarta : 17 (5). 2821-2831.
Elex Media Komputindo.
Supranto, J. (2000). Statistik : Teori dan
Santoso, S. (2010). Statistik parametrik : aplikasi (6th Ed). Jilid I. Jakarta : Erlangga.
Konsep dan aplikasi dengan SPSS. Jakarta :
Elex Media Komputindo. Susanto, A. B. (2009). Super leadership :
Leading others to lead. Jakarta : Gramedia
Santrock, J. W. (2012). Life span development Pustaka Utama.
(13th Ed), (Alih Bahasa : B. Widyasinta). Jilid
II. Jakarta : Erlangga. Susanto, H. (2008). Hak-hak konsumen jika
dirugikan. Cetakan 1. Jakarta : Transmedia
Schiffman, L., Bednall, D., O’Cass, A., Pustaka.
Paladino, A., Ward, S., Kanuk, L. (2010).
Consumer behavior (4th Ed). Melbourne : Svenson, O. (2003). Cambridge series of
Person Education Australia. judgment and decision making : Emerging
perspective on judgment and decision research.
Schuler, P. A. (2000). Voices of perfectionism : In S. L. Schneider & J. Shanteau (Ed).
Perfectionistic gifted adolescents in a rural Cambridge : Cambridge University Press.
middle school. Connecticut : University of
Connecticut. Szymanski, J. (2011). The perfectionist’s
handbook : Take risk, invite criticism, and
Shaffer, D. R. & Kipp, K. (2010). make the most of your mistake. Hoboken : John
Developmental psychology : Childhood and Wiley & Sons.
Adolescence (8th Ed). Belmont : Wadsworth.
Tang, Chao-Ying & Ding, Xue-Chen. (2013).
Shafran, R., Egan, S. & Wade, T. (2010). Stress, mood, and creativity of R & D. In X.
Overcoming perfectionism : A self guide help Chen & Y. M. Sun. International Conference
using cognitive behavioral techniques. London on Industrial Engineering and Managerial
: Constable & Robinson. Science. Pennsylvania : DEStech.

Shiv, B. & Fedorikhin, A. (1999). Heart and Thayer, R. E. (1989). The biopsychology of
mind in conflict : the interplay of affect and mood and arousal. New York : Oxford
cognition in consumer decision making. University Press.
Journal of Consumer Research. 26 (3). 278 –
292. Theodoridis, P. & Vassou, S. (2014). Exploring
luxury consumer behavior. In B. Berghaus, G.
Siswosoediro, H. S. & Dian, V. (2008). M. Stewens & S. Reinecke (Ed). The
Mengurus surat kependudukan : Identitas diri. Management of Luxury : A Practitioner’s
Cetakan I. Jakarta : Transmedia Pustaka. Handbook. London : Kogan Page.

Slyne, K. & Tolin, D. F. (2014). The Torres, I. J., De’Frietas, C. M. & Yatham, L. N.
neurobiology of hoarding disorder. In R. O. (2008). Cognition and functional outcome in
Frost & G. Steketee (Ed). The Oxford bipolar disorder. In J. F. Goldberg & K. E.
Handbook of Hoarding and Acquiring. New Burdick (Ed). Cognitive Dysfunction in Bipolar
York : Oxford University Press. Disorder : A Guide for Clinicians. Washington
DC : American Psychiatric Publishing.

61
Tsiotsou, R. (2006). The role of perceived Wang, Ying-Xu & Ruhe, G. (2007). The
product quality and overall satisfaction on cognitive process of decision making.
purchase intention. International Journal of International Journal of Cognitive Informatics
Consumer Studies. 30 (2). 207 – 217. and Natural Intelligence. 1 (2). 73 – 85.

Umar. H. (2005). Riset pemasaran dan perilaku Walters, R. P. (2004). The perfectionism trap
konsumen. Cetakan IV. Jakarta : Gramedia and how to escape. Lithgow : High Ground
Pustaka Utama. Press.

Universitas Ciputra. (2013). Pedoman Weinberg, S. L. & Abramowitz, S. P. (2002).


penulisan skripsi : Fakultas psikologi (2nd Ed). The analysis for the behavioral sciences using
Universitas Ciputa. SPSS. Cambridge : Cambridge University
Press.
Vermeulen, P. A. M. & Curseu, P. L. (2008).
Entrepreneurial strategic decision making : A Weiner, I. B., Schinka, W. A., Felicer, W.F.
cognitive perspective. Cheltenham : Edward (2003). Handbook of psychology : Research
Elgar. methods in psychology. Hoboken : John Wiley
& Sons.
Vries, M., Holland, R. W., Corneille, O.,
Rondeel, E. & Witteman, C. L. M. (2010). Winebrenner, S. & Brulles, D. (2008). The
Mood effects on dominated choices : Positive cluster grouping handbook : How to challenge
mood induces departures from logical rules. gifted students and improve achievement for
Journal of Behavioral Decision Making. 25 (1). all. Minnesota : Free Spirit.
74 – 81.
Yap, Wai-San & Yazdanifard, R. (2014). How
Wade, C. & Tavris, C. (2007). Psikologi (9th consumer decision process differ from
Ed) (Alih Bahasa : B. Widyasinta). Jilid I. youngster to older consumer generation. Global
Jakarta : Erlangga. Journal of Commerce and Management
Perspective. 3 (2). 39 – 43.
Waheed, A., Mahasan, S. S. & Sandhu, M. A.
(2014). Factor that affects consumer buying Yoon, C., Cole, C. A. & Lee, M. P. (2009).
behavior : An analysis of some selected factors. Consumer decision making and aging : current
Middle East Journal of Scientific Research. 19 knowledge and future directions. Journal of
(5). 636 – 641. Consumer Psychology. 19. 2 – 16.

62

Anda mungkin juga menyukai