Anda di halaman 1dari 7

Perilaku Compulsive Buying Pada Self-Esteem Dewasa Awal

Lingga Jasmine Azhari 1, Aisyah Ramadhani2


1
Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka
Email: jasmineelingga@gmail.com
2
Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka
Email: aisyah_ramadhani@uhamka.ac.id

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji gambaran self-esteem pada perilaku compulsive buying
di masa dewasa awal dan juga untuk mengetahui bagaimana perilaku compulsive buyer pada
dewasa awal. Penelitian ini juga bertujuan untuk menemukan faktor apa saja yang mempengaruhi
self-esteem pada pelaku compulsive buying di usia dewasa awal. Penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan metode wawancara. Subyek penelitian adalah mahasiswi.

Kata Kunci: Self-esteem, compulsive buying, dewasa awal.

ABSTRACT
This study aims to examine the description of self-esteem in compulsive buying behavior in early
adulthood and also to find out how compulsive buying behavior is in early adulthood. This study
also aims to find out what factors influence self-esteem in compulsive buying in early adulthood.
This research was conducted using the interview method. The research subjects were female
students.
A. PENDAHULUAN
Membeli atau berbelanja merupakan hal yang wajar bagi individu, namun ada terkadang
kegiatan belanja tidak direncanakan dan kegiatan tersebut dilakukan secara berulang-ulang. Saat
ini, berbelanja telah menjadi mode kehidupan masyarakat modern. Terbukti dengan waktu dan
upaya yang dilakukan oleh konsumen. Berbelanja tidak lagi hanya untuk mendapatkan produk
tetapi juga merupakan kegiatan yang dilakukan untuk memuaskan motivasi dan pribadi.

Dalam kebanyakan kasus, individu yang melakukan pembelian terpaksa atau compulsive
buying memiliki persepsi diri yang negatif, seperti percaya bahwa banyak orang yang tidak
menyukainya dan merasa dirinya tidak diterima oleh teman-temannya. Tiara (dalam Hidayati,
2001) yang menyatakan bahwa individu yang memiliki rasa percaya diri dan self-esteem yang
rendah cenderung membeli barang baru.

Faber dan O’Guin (1989) juga menyatakan bahwa pelanggan kompulsif sering melakukan
pembelian sebagai kompensasi atas situasi yang tidak menyenangkan mereka dan juga sebagai
akibat dari harga diri yang rendah. Ketika seseorang berulang kali membeli sesuatu untuk
memenuhi keinginan mereka, hal itu disebut berbelanja secara kompulsif. Kecanduan ini akhirnya
dapat menyebabkan masalah kesehatan psikologis secara tidak langsung. Selain itu, mereka
merasa terdorong untuk berbelanja setiap kali, tanpa memikirkan akibat atau konsekuensi yang
akan mereka alami. Mereka sering membeli sesuatu yang tidak mereka butuhkan dan tidak
memperhatikan keuangan mereka, memaksakan cara lain untuk mendapatkan apa yang mereka
inginkan.

B. KAJIAN TEORI

Compulsive Buying

Berdasarkan teori yang ditulis oleh Edwards 1992 (dalam Moore, 2009), perilaku compulsive
buying adalah perilaku manusia yang mengambil keputusan membeli suatu barang tidak hanya
dikarenakan oleh kebutuhan diri, tetapi juga dalam rangka untuk memuaskan keinginannya yang
dilakukan secara berlebihan, menahun dan berulang-ulang sebagai perwakilan dari pemikiran
negatif atau untuk mengurangi perasaan sedih.
Tindakan berulang seperti itu mengarah pada perilaku yang disebut pembelian yang kompulsif
atau compulsive buying. Jika seseorang memiliki perilaku belanja kompulsif, maka ketika
dihadapkan pada kejadian yang tidak menyenangkan atau negatif, mereka akan melakukan
aktivitas atau berbelanja untuk mengurangi perasaan tidak menyenangkan tersebut. Terjadinya
compulsive buying dikarenakan mereka ingin melupakan kejadian kejadian yang tidak membuat
diri seseorang senang dengan berbelanja sebagai pemicu kebahagiaannya kembali (Kukar-Kinney
et al., 2016). Mereka seringkali disibukkan dengan pikiran untuk membeli sesuatu secara berulang
dan perilaku pembelian untuk mengurangi perasaan yang negatif seperti stres dan juga kecemasan.
(Ridgway et al., 2008; Y. Zheng et al., 2020).
Compulsive buying, oleh para peneliti yang lebih dulu tidak dijelaskan secara tetap, sehingga
Faber dan O’Guinn (1989) menuliskan pengertian compulsive buying terdapat dua kriteria:

1) compulsive buying yang terjadi secara berulang-ulang, dan


2) compulsive buying yang dapat menimbulkan masalah bagi orang yang mengalaminya.

Jadi bisa dikatakan perilaku compulsive buying itu adalah penawar ataupun obat untuk
mengatasi perasaan buruk.
Faktor Compulsive buying
Dittmar (2005) menyatakan bahwa terdapat tiga fitur inti dari perilaku compulsive buying,
yaitu :

1) Pembeli yang compulsif memiliki hasrat yang tidak dapat ditahan atau irresistible untuk
membeli atau mendapatkan sesuatu, dan
2) Pembeli yang compulsif tidak dapat mengontrol perilaku pembeliannya,
3) Compulsive buyer akan terus membeli terlalu banyak barang yang kadang-kadang tidak
dibutuhkan tanpa mempertimbangkan akibatnya pada kehidupan pribadi, sosial, pekerjaan, atau
masalah keuangan.
Luo, Gu, Wang, dan Zhou (2018) membagi faktor penyebab online compulsive buying
menjadi dua, yakni faktor eksternal dan faktor internal.
1. Faktor eksternal berkait dengan cara belanja di internet membuat pelanggan nyaman dan
puas karena proses belanja menjadi mudah, tidak ada batasan tempat dan waktu, dan
banyak pilihan pembayaran yang tersedia. Selain itu, hal-hal seperti pengalaman
multimedia yang baik, deskripsi produk yang menarik, gambar yang menarik, dan tata letak
menu yang rapi dapat membuat pelanggan senang dan mengganggu sistem pengendalian
diri di situs jual beli e-commerce.
2. Faktor internal terdiri dari emosi negatif, yaitu keyakinan pelanggan bahwa berbelanja
dapat membantu mengurangi perasaan buruk yang mereka alami. Ada kemungkinan bahwa
perasaan seperti kecemasan, depresi, kesepian, dan bosan akan berkurang sebagai akibat
dari rangsangan yang dirasakan saat berbelanja. Selain itu, materialisme, atau nilai-nilai
materialistik, sangat mempengaruhi cara kita menilai diri kita sendiri, dan low self esteem
yaitu saat konsumen yang memiliki harga diri yang rendah cenderung membandingkan
produk yang dibeli oleh orang lain sehingga merasa harus memenuhi hasrat untuk membeli
barang tersebut.

Self-esteem

Menurut Guidon dalam buku miliknya ”Self-esteem Across The Lifespoin issues and
Interventions” menyebutkan self-esteem adalah sikap, komponen evaluasi diri sendiri,
penilaian tempat afektif yang diciptakan dan dirawat sebagai hasil dari kesadaran kompetensi
dan umpan balik dari luar. Self-esteem ialah harga diri, atau sering disebut sebagai pencapaian
individu pada diri mereka, mencakup penggunaan seseorang atas kemampuan mereka,
kepercayaan diri, dan harga diri. Secara keseluruhan, harga diri adalah cara seseorang
memperlakukan dirinya sendiri. (Santrock, 2011).

Secara singkat, self-esteem adalah personal judgement tentang perasaan penting atau
bermakna yang ditunjukkan dalam persepsi seseorang terhadap dirinya sendiri. Harga diri
dapat didefinisikan sebagai sejauh mana seseorang menganggap dirinya sebagai orang yang
memiliki kemampuan, kepentingan, nilai, dan keterampilan. Self-esteem yang tinggi
menunjukkan perilaku seperti, percaya diri, puas dengan karakternya dan orang-orang yang
memiliki self-esteem rendah akan menunjukkan harga diri yang rendah sehingga mereka tidak
mau bisa beradaptasi dengan lingkungan sosial. (Blyth dan Trager, 1983).

Aspek Self-esteem
Menurut Coopersmith (1967:38-41) terdapat aspek yang terkandung pada self-esteem,
yaitu power (kekuatan/kekuasaan), Significance (keberartian), Virtue (kebajikan), Competence
(kemampuan). Coopersmith (1967:37-41) mengemukakan dimensi yang terkandung dalam self
esteem menjadi empat komponen, yaitu:
a. Power (kekuasaan), kemampuan untuk mempengaruhi dan mengontrol orang lain
(Coopersmith, 1967: 37). Kemampuan seseorang untuk mempengaruhi tindakan dengan
mengontrol perilaku mereka sendiri dan orang lain dikenal sebagai sukses di bidang
kekuasaan.
b. Significance (keberartian), Significance diartikan sebagai menerima, memperhatikan,
dan mencintai orang lain. Cinta kasih, kepedulian, dan kepedulian yang ditunjukkan oleh
orang lain adalah cara untuk mengukur keberhasilan dalam suatu bidang penting.
c. Virtue (kebajikan), Virtue merupakan kepatuhan terhadap standar etika dan moral.
Kriteria kebajikan menentukan bidang kebajikan. Orang yang mengikuti kode moral dan
etika agama yang diterima dan diinternalisasi menghubungkan sikap mereka dengan
keberhasilan mencapai tujuan "lebih tinggi". (Coopersmith, 1967: 41).
d. Competence (kemampuan), merupakan kepatuhan terhadap standar etika dan moral.
Kriteria kebajikan menentukan bidang kebajikan. Orang yang mengikuti kode moral dan
etika agama yang diterima dan diinternalisasi menghubungkan sikap mereka dengan
keberhasilan mencapai tujuan "lebih tinggi".

C. METODE

Adapun pada penelitian ini menggunakan setting alamiah yang mana peneliti akan
berinteraksi secara langsung dengan partisipan. Sebuah penelitian membutuhkan setting
penelitian untuk menentukan fokus penelitian, setting penelitian harus ditentukan sejak awal
penelitian. Setting penelitian merupakan lokasi penelitian yang menggambarkan fokus
penelitian.

Ruang lingkup pada penelitian ini yaitu mengkaji dan membahas mengenai Perilaku
Compulsive buying pada Self-esteem Dewasa Awal, mencari tahu bagaimana gambaran
compulsive buying pada masa dewasa awal, serta faktor apa saja yang mempengaruhi self-
esteem pada pelaku compulsive buying di usia dewasa awal. Penelitian ini terdiri dari satu
responden yang merupakan mahasiswi berusia 20 tahun yang senang berbelanja, lalu juga
digunakan metode triangulasi agar memverifikasi jawaban subjek. Triangulasi merupakan
salah satu teman dekat dari subjek yang mengetahui perilaku subjek selama ia berteman.
Peneliti menggunakan pedoman wawancara.
D. HASIL DAN PEMBAHASAN
Subjek dalam penelitian ini mempunyai alasan dan pendapatnya dalam fenomena
perilakunya yaitu, “compulsive buying pada self-esteem pada dewasa awal.” Subjek
berpendapat bahwa dirinya, yang seringkali merasa self esteem nya rendah dapat
mempengaruhi perilakunya terutama belanja yang berlebihan untuk kesenangan dirinya,
compulsive buying. Faktor-faktor lainnya pun berpengaruh untuk subjek yang merasa
bahwa dirinya adalah compulsive buyer.

E. KESIMPULAN

Menurut peneliti, subjek mempunyai self-esteem yang rendah dikarenakan subjek tidak
percaya akan dirinya dan barang yang ia miliki seperti pada teori bahwa tingkat kepercayaan
diri seseorang adalah ukuran seberapa baik mereka melihat diri mereka sebagai individu yang
mampu, menarik, berharga, dan mampu. Harga diri tinggi menunjukkan perilaku yang
menerima dirinya apa adanya, percaya diri, dan puas dengan karakter dan kemampuan dirinya.
Sebaliknya, orang yang memiliki harga diri rendah akan menunjukkan perhargaan buruk
terhadap dirinya sehingga tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya.

F. SARAN

Saran dari peneliti untuk subjek penelitian ini adalah, jika sedang merasa tidak memiliki
self-esteem yang tinggi coba untuk melakukan kegiatan-kegiatan positif yang bisa menaikkan
self-esteem seperti, membaca buku, menulis journal, ataupun bersih-bersih kos karena lebih
bermanfaat dibandingkan dengan berbelanja untuk melampiaskannya, karena itu yang
menyebabkan perilaku subjek menjadi compulsive saat berbelanja. Subjek juga disarankan
untuk membuat tabungan per-hari, karena subjek tinggal sendiri di kos, lebih baik ia menabung
untuk biaya kepentingan darurat dibandingkan ia harus compulsive membeli barang-barang
yang kurang berguna untuk dirinya.

Saran untuk peneliti selanjutnya adalah bisa menggunakan subjek dan triangulasi banyak
lagi untuk kevalidan data yang akan diteliti dan memperluas jangka observasi yang dilakukan, juga
dihimbau agar melakukan penelitian dengan jangka waktu yang lebih lama untuk mendapatkan
kevalidan data yang lebih mendetail.
Daftar Pustaka

Faber, Ronald J ; and Thomas C O’Guinn (1989),”Compulsive buying : A Phenomenological


Exploration,” Journal of Consumer Research, 16 (September), 147-157.

Faber, Ronald J ; and Thomas O’Guinn (1992), “A Clinical Screener for Compulsive buying,”
Journal of Consumer Research, December, 459- 469.

Ditmar, Helga. (2005). Compulsive buying – a Growing Concern? An Examination of Gender,


Age, and Endorsement of Materialistic Values As Predictors. The British Psychological Society,
pp. 96, 467-491

Engel, J., Blackwell, Miniard. (1995). Consumer Behavior. Eight Edt. Florida. The Dryden
Press.

Vilanty, R., & Sumaryanti, I. U. (2019). Hubungan Self Esteem dengan Perilaku Compulsive
buying pada Mahasiswa Universitas X di Kota Bandung yang Berbelanja secara Online.
Prosiding Psikologi, 311-317.

Coopersmith, S. (1967). The Antecedent of Self Esteem. San Fransisco: W.H. Freeman &
Company

Kukar-Kinney, M., Scheinbaum, A. C., & Schaefers, T. (2016). Compulsive buying in online
daily deal settings: An investigation of motivations and contextual elements. Journal of Business
Research, 69(2), 691–699. https://doi.org/10.1016/j.jbusres.2015.08.021

Anda mungkin juga menyukai