Anda di halaman 1dari 8

A.

Latar belakang

Kegiatan belanja adalah kegiatan yang dilakukan oleh individu atau kelompok

untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan hidup mulai dari kebutuhan primer,

sekunder, maupun kebutuhan tersier. Namun dengan berkembangnya zaman dimana era

globalisasi telah menyebar kini belanja bukan hanya kegiatan membeli suatu kebutuhan

namun juga kegiatan untuk melepaskan emosi-emosi negatif dalam diri dan belanja bagi

sebagian orang merupakan kegiatan untuk mencari kesenangan dan kepuasan. Banyak

dari masyarakat yang mengatakan bahwa “belanja merupakan terapi tersendiri”, terapi

sendiri adalah salah satu penanganan untuk mengobati seseorang yang sakit, jadi dengan

pernyataan yang demikian sebagian orang menganggap bahwa belanja adalah obat bagi

mereka yang tidak sehat.

Perilaku belanja yang tidak sehat ini diistilahkan dengan pembelian kompulsif

atau compulsive buying, menurut Elizabeth A. Edwards (1993) pembelian kompulsif

adalah perilaku abnormal dimana seseorang menyibukkan diri dengan berbelanja atau

dorongan untuk membeli suatu barang yang tidak tertahankan, menganggu dan tidak

terkendali, sehingga membuat kebiasaan belanja baru, berulang-ulang dan pembelian

barang diluar kemampuan belanjanya1. Konsumtifitas ini terjadi pada semua kalangan

dan terjadi pada semua rentang usia dan tidak memandang jenis kelamin. Kebanyakan

pelaku dari compulsive buying ini adalah perempuan, dan terjadi pada rentang usia antara

18 hingga 25 tahun dan rentang usia ini dikategorikan pada dewasa awal. Diperkuat

dengan penelitian yang dilakukan oleh Gwin pada usia 18 hingga 25 tahun merupakan

usia yang memiliki kecenderungan yang tinggi untuk melakukan pembelian kompulsif
1
Ratih Kumalasari, “Kecenderungan Perilaku Compulsive Buying pada Remaja Akhir di Samarinda”, Ejournal
Psikologi Fisip Unmul (2016) ISSN 2477-2674, 363
dengan persentase sebesar 52% dari 447 respondennya 2. Aspek-aspek dari compulsive

buying menurut Edwards yaitu3: 1) Tendency to spend, merupakan kondisi yang

mengarah pada kecenderungan individu untuk berbelanja secara berlebihan dan disebut

sebagai periode berbelanja; 2) Compulsion/ drive to spend, merupakan penjelasan dari

dorongan yang terdapat dalam diri individu, kesenangan, tindakan berulang, dan

impulsivitas dalam berbelanja serta pola dalam berbelanja; 3) Feeling (joy) about

shopping and spending, merupakan perilaku yang ditunjukkan pada keadaan dimana

individu menikmati aktivitas berbelanja dan membeli; 4) Dysfunctional spending, aspek

yang menggambarkan masalah yang muncul hasil dari perilaku berbelanja yang

dilakukan individu; 5) Post-purchased guilt, yakni aspek yang ditandai dengan adanya

perasan menyesal dan rasa malu yang dialami individu setelah melakukan pembelian

secara berlebihan.

Penelitian ini dilakukan pada mahasiswa tingkat akhir, mahasiswa sendiri

menurut UU. No.12 tahun 2012 adalah peserta didik pada jenjang pendidikan tinggi

dengan rentang usia dari 18 tahun hingga 25 tahun4. Pada umum nya mahasiswa tidak

dituntut untuk berseragam seperti masa sekolah menengah dulu sehingga dengan begitu

setiap mahasiswa dapat mengepresikan tampilan mereka, ditambah dengan penyesuaian

dengan lingkungan baru yakni lingkungan kampus yang notabene nya banyak bertemu

dengan orang dari luar daerah nya membuat mahasiswa terpengaruh dalam tren fashion.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Adil Abdillah dengan hasil penelitiannya yang

menunjukan bahwa mahasiswa lebih tertarik pada tren fashion dan cenderung ingin
2
Titin Ekowati, “Compulsive Buying: Tinjauan Pemasar Dan Psikolog”. Jurnal Manajemen dan Bisnis no.1.
universitas Muhammadiyah Purworejo. 2009.
3
Shelvyana Rhajani Ekasari, “Hubungan Antara Self Esteem dengan Compulsive Buying Pada Mahasiswa Dewasa
Awal Universitas Mercu Buana Yogyakarta”, Skripsi. 12.
4
Santrock, John W. “Life Span Development Jilid 2“ (PT. Gelora Aksara Pratama: Erlangga, 2012), 6.
menjadi pusat perhatian dari tren tersebut, terdapat hasil yang signifikan positif terhadap

pembelian kompulsif dengan ketertarikan fashion terutama produk pakaian pada

mahasiswa5. Selain pakaian aksesoris lain seperti sepatu, tas, hijab, perhiasan, skincare

dan juga makeup juga menjadi incaran bagi seseorang yang kompulsif.

Mahasiswa ditingkat akhir merupakan mahasiswa dalam proses penyusunan

skripsi dimana pengerjaannya dilakukan secara individual. Kebanyakan mahasiswa yang

berada pada tahapan akhir atau sedang dalam penyusunan skripsi sebagai syarat

kelulusan starata satu (S1) memiliki semangat dan motivasi yang tinggi diawal

pengerjaan namun dalam perjalanannya motivasi belajar pada mahasiswa menurun

seiring dengan hambatan juga kesulitan yang dihadapi saat sedang penyusunan skripsi.

Menurut Lazarus mengatakan stres merupakan ancaman terhadap gangguan fisik

dan juga psikologis yang diakibatkan karena persepsi akan peristiwa-peristiwa fisik

maupun psikologis6. Pada pra penelitian yang peneliti lakukan terdapat sebanyak 15

mahasiswa di fakultas ushuluddin dan dakwah (FUDA) IAIN Kediri yang merupakan

mahasiswa dalam tahap pengerjaan skripsi dan juga sebagai pengguna aktif dari shopee

paylater dari aplikasi shopee, mereka mengaku bahwa pengerjaan skripsi merupakan hal

yang cukup memberatkan dan tidak sedikit dari mereka mengalami stress selama

pengerjaannya. Sehingga mereka mencoba untuk menyalurkan stress dan juga beban

mereka dengan cara bertemu dengan teman, bermain game dan juga berbelanja.

Masalah pembelian kompulsif atau compulsive buying ini juga terjadi pada

masyarakat kota Kediri tidak terkecuali pada mahasiswa IAIN Kediri. Karena IAIN

5
Adil Abdillah, “Pengaruh Sifat Psikologis Konsumen Terhadap Pembelian Kompulsif”, Jurnal Studi Manajemen
Universitas Mayjen Sungkono Mojokerto.
6
Stefanin Baptis Seto dkk, “Hubungan Motivasi Terhadap Tingkat Stress Mahasiswa dalam Menulis Tugas Akhir
(skripsi)”, Jurnal Basicedu Vol. 4 No. 3Universitas Flores Nusa Tenggara Timur. (2020). 733.
Kediri merupakan kampus berkembang yang dimana mahasiswa semestinya

berkewajiban untuk menuntut ilmu dan segera menyelesaikan kewajiban studinya.

Namun tidak sedikit mahasiswa yang mengalami masalah dalam proses penyelesaian

studi tersebut. Banyak mahasiswa yang terpengaruh oleh lingkungan sekitar untuk

melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan seperti mengikuti setiap tren fashion

yang sedang hits dikalangannya.

Berdasarkan hasil wawancara yang peneliti lakukan dengan beberapa mahasiswa

fakultas Ushuluddin dan Dakwah (FUDA) IAIN Kediri didapatkan informasi: perilaku

compulsive buying yang terjadi pada FUDA kebanykan mengenai produk fashion yakni

pakaian, hijab tas, dan bodycare/skincare. Kebanyakan fashion yang mereka peroleh

berasal dari instagram, facebook dan aplikasi e-commerces seperti shopee. kebanyakan

dari mahasiswa ini melakukan perilaku compulsive buying atas dasar gengsi yang tinggi

dan merasa ketinggalan jaman jika tidak mengikuti trend terbaru yang sedang beredar.

Subjek yang diambil dalam penelitian ini adalah mahasiswa yang berada ditingkat

akhir dimana sesuai dengan tahapan perkembangan di fase dewasa awal dimana manusia

sudah mulai mampu berfikir realistik dan dapat membedakan mana yang merupakan

kebutuhan dan mana yang merupakan keinginan dan tentunya dalam proses mengerjakan

proposal ataupun skripsi dan pengguna aktif shopeepay later dan juga pemilihan

mahasiswa IAIN Kediri terbilang unik dan baru karena dilihat dari latar belakang

pendidikan kampus yang islami apakah terdapat perilaku compulsive buying dan juga

penggunaan shopee paylater didalamnya yang dirasa bertentangan dengan pandangan

ajaran agama islam yakni perbuatan boros dan riba.


Dari hasil wawancara diperoleh terdapat sebanyak 6 dari 15 orang mahasiswa

menunjukkan gejala-gejala perilaku dari compulsive buying. Pada aspek tendency to

spend, keenam mahasiswa tersebut mengaku bahwa mereka sering berbelanja, mereka

mengaku bahwa setidaknya dalam sebulan dapat berbelanja paling sedikit 4 kali dalam

sebulan, dan terkadang melakukan pembelanjaan berlebihan pada saat mereka sedang ada

masalah atau merasa sedih akan suatu hal. Pada aspek compulsion/drive to spend, keenam

mahasiswa tersebut terkadang merasa tergoda untuk berbelanja dan membeli barang-

barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan hanya untuk sekedar mengobati perasaan tidak

nyaman yang mereka rasakan. Selanjutnya pada aspek feeling (joy) about shopping and

spending, keenam mahasiswa tersebut berpendapat bahwa mereka merasa senang selam

melakukan kegiatan berbelanja entah pada offline store maupun online store, mereka juga

merasa bahwa masalah ataupun perasaan tidak nyaman yang sedang mereka hadapi

seakan-akan menghilang sekejap karena mereka melakukan kegiata yang mereka sukai

yakni berbelanja. Pada aspek dysfuncitional spending, keenam mahasiswa

mengungkapkan bahwa setelah melakukan pembelanjaan ada saja masalah baru yang

muncul terutama setelah melakukan pembelanjaan yang berlebihan. Mereka mengaku

jika pernah berhutang pada temannya sendiri atau memanfaatkan secara berlebihan fitur

shopee paylater yang ditawarkan oleh pihak shopee hingga tidak dapat membayar di

akhir bulan. Uang yang mereka dapat dari kiriman bulanan orang tua atau uang gajian

sebulan sering kali habis tidak tepat pada waktunya karena sering berbelanja yang tidak

sesuai dengan kebutuhannya. Aspek yang terakhir yakni post-purchased guilt, keenam

mahasiswa mengaku bahwa mereka selalu merasa bersalah setelah berbelanja secara

berlebihan bahkan disaat keadaan keuangan sedang pas-pasan atau cenderung tidak ada
uang sehingga mengharuskan mereka untuk meminta tambahan uang lagi kepada

orangtua atau bahkan hingga berhutang untuk menutupi kekurangan yang ada. Sehingga

berdasarkan dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa 6 dari 15 mahasiswa yang

peneliti wawancara menunjukan gejala kecenderungan perilaku compulsive buying.

Sedangkan Faktor-faktor penyebab dari terjadinya perilaku compulsive buying

adalah faktor internal (neuroticsm, dan psikologis). Dan faktor eksternal (teman sebaya,

keluarga, dan media massa). Kemajuan teknologi juga membawa dampak pada perilaku

konsumtif masyarakat di dunia tidak terkecuali di Indonesia, salah satu dari berkembang

nya teknologi adalah tumbuh dan berkembangnya online marketplace atau e-commerces

yang dapat di akses dengan mudah melalui website ataupun melalui layar smartphone.

Salah satu hasil dari berkembangnya teknologi adalah dengan muncul dan

berkembangnya aplikasi-aplikasi untuk memudahkan kehidupan manusia seperti aplikasi

berbelanja online yakni aplikasi Shopee. Shopee menggandeng fintech shopee paylater

yang menggunakan sistem P2P lending dibawah fintech legal naungan PT. Lentera Dan

Nusantara yang menawarkan pinjaman dana tanpa jaminan kepada pengguna aktif shopee

yang mendaftarkan dirinya di fitur shopee paylater. Kini fitur shopee paylater semakin

populer karena penawaran nya yang menurut sebagian orang sangat menggiurkan dan

membawa kemudahan dengan teks linenya yaitu “ sistem bayar nanti” dimana seseorang

dapat berbelanja terlebih dulu dan dapat dibayar dibulan berikutnya. Mayoritas pengguna

nya adalah orang-orang yang menanti gajihan bagi pekerja atau bagi mahasiswa yang

sedang menunggu transferan dari orangtua namun harus ada barang atau kebutuhan

bahkan barang keinginan yang harus dipenuhi dengan cepat7.

7
Siti Hadijah. Aplikasi Layanan Pay Later Makin Diminati, Yuk Cek Keuntungan dan Kerugiannya. Diakses
melalui https://www.cermati.com/artikel/aplikasi-layanan-pay-later-makindiminati-yuk-cek-keuntungan-dan-
kerugiannya. Diakses pada senin, 8 Februari 2021 Pukul 14:14 WIB.
Penggunaan fitur paylater terkesan memudahkan, Namun dibalik kemudahan

tersebut terdapat resiko yang harus penggunanya pahami. Salah satu keuntungan

penggunaan shopee paylater adalah proses pendaftaran yang tidak ribet dan tidak adanya

minimum transaksi. Dengan limit yang telah ditentukan dan diberikan di awal aktivasi

pengguna dapat menggunakannya meskipun dalam sekali habis. Namun dalam proses

transaksinya terdapat biaya penangganan dalam satu kali transaksi, biaya yang

penagganannya sebesar satu persen dikali dengan jumlah pembayaran dan jika terjadi

keterlambatan pembayaran makan akan dikenakan biaya dendan sebesar lima persen

dikali jumlah transaksi.

Dengan mudahnya penggunaan dari shopee paylater ini, jelas sangat membuat

penggunanya tidak terkecuali mahasiswa tergoda dengan penawaran yang telah diberikan

oleh pihak shopee. Namun dengan adanya fitur paylater ini dapat menimbulkan perilaku

konsumtif hingga pada tingkat kompulsif bagi seseorang yang tidak dapat mengkontrol

keinginan untuk berbelanjanya sehingga dapat berdampak pada masalah finansial yakni

hutang.

Menurut hasil wawancara pra penelitian yang dilakukan oleh peneliti bahwa

narasumber merasakan manfaat dari adanya shopee paylater karena mereka dapat

berbelanja untuk memenuhi kebutuhannya walaupun sedang tidak memiliki uang dan

dapat dibayar diakhir bulan bahkan dapat dicicil hingga enam kali. Namun sebagian

merasakan bahwa mereka menjadi konsumtif karena adanya fitur ini dan cenderung akan

berbelanja jika mulai kelelahan dengan penyusunan skripsinya bahkan jika terdapat

masalah dengan pekerjaan, pasangan ataupun dengan kuliahnya mereka akan berbelanja,
yang awalnya hanya membuka aplikasi shopee mulai tertarik untuk membeli dan

akhirnya menggunakan fitur shopee paylater berkali-kali.

Berdasarkan uraian diatas, terdapat kesan bahwa pola perilaku konsumtif dapat

semakin meningkat hingga menjadi perilaku yang kompulsif. Perilaku ini didominasi

oleh kaum wanita walaupun tidak menutup kemungkinan bagi kaum pria. Sehingga

berdasarkan uraian latar belakang diatas mendorong penulis untuk meneliti mengenai

“Perilaku Compulsive Buying Pengguna Shopee Paylater Pada Mahasiswa Tingkat

Akhir Di IAIN Kediri” untuk mengetahui lebih lanjut dan memahami latar belakang,

bentuk-bentuk dari perilaku, serta dampak yang ditimbulkan akibat pemakaian shopee

paylater pada mahasiswa IAIN Kediri.

Anda mungkin juga menyukai