Latar belakang
Kegiatan belanja adalah kegiatan yang dilakukan oleh individu atau kelompok
untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan hidup mulai dari kebutuhan primer,
sekunder, maupun kebutuhan tersier. Namun dengan berkembangnya zaman dimana era
globalisasi telah menyebar kini belanja bukan hanya kegiatan membeli suatu kebutuhan
namun juga kegiatan untuk melepaskan emosi-emosi negatif dalam diri dan belanja bagi
sebagian orang merupakan kegiatan untuk mencari kesenangan dan kepuasan. Banyak
dari masyarakat yang mengatakan bahwa “belanja merupakan terapi tersendiri”, terapi
sendiri adalah salah satu penanganan untuk mengobati seseorang yang sakit, jadi dengan
pernyataan yang demikian sebagian orang menganggap bahwa belanja adalah obat bagi
Perilaku belanja yang tidak sehat ini diistilahkan dengan pembelian kompulsif
adalah perilaku abnormal dimana seseorang menyibukkan diri dengan berbelanja atau
dorongan untuk membeli suatu barang yang tidak tertahankan, menganggu dan tidak
barang diluar kemampuan belanjanya1. Konsumtifitas ini terjadi pada semua kalangan
dan terjadi pada semua rentang usia dan tidak memandang jenis kelamin. Kebanyakan
pelaku dari compulsive buying ini adalah perempuan, dan terjadi pada rentang usia antara
18 hingga 25 tahun dan rentang usia ini dikategorikan pada dewasa awal. Diperkuat
dengan penelitian yang dilakukan oleh Gwin pada usia 18 hingga 25 tahun merupakan
usia yang memiliki kecenderungan yang tinggi untuk melakukan pembelian kompulsif
1
Ratih Kumalasari, “Kecenderungan Perilaku Compulsive Buying pada Remaja Akhir di Samarinda”, Ejournal
Psikologi Fisip Unmul (2016) ISSN 2477-2674, 363
dengan persentase sebesar 52% dari 447 respondennya 2. Aspek-aspek dari compulsive
mengarah pada kecenderungan individu untuk berbelanja secara berlebihan dan disebut
dorongan yang terdapat dalam diri individu, kesenangan, tindakan berulang, dan
impulsivitas dalam berbelanja serta pola dalam berbelanja; 3) Feeling (joy) about
shopping and spending, merupakan perilaku yang ditunjukkan pada keadaan dimana
yang menggambarkan masalah yang muncul hasil dari perilaku berbelanja yang
dilakukan individu; 5) Post-purchased guilt, yakni aspek yang ditandai dengan adanya
perasan menyesal dan rasa malu yang dialami individu setelah melakukan pembelian
secara berlebihan.
menurut UU. No.12 tahun 2012 adalah peserta didik pada jenjang pendidikan tinggi
dengan rentang usia dari 18 tahun hingga 25 tahun4. Pada umum nya mahasiswa tidak
dituntut untuk berseragam seperti masa sekolah menengah dulu sehingga dengan begitu
dengan lingkungan baru yakni lingkungan kampus yang notabene nya banyak bertemu
dengan orang dari luar daerah nya membuat mahasiswa terpengaruh dalam tren fashion.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Adil Abdillah dengan hasil penelitiannya yang
menunjukan bahwa mahasiswa lebih tertarik pada tren fashion dan cenderung ingin
2
Titin Ekowati, “Compulsive Buying: Tinjauan Pemasar Dan Psikolog”. Jurnal Manajemen dan Bisnis no.1.
universitas Muhammadiyah Purworejo. 2009.
3
Shelvyana Rhajani Ekasari, “Hubungan Antara Self Esteem dengan Compulsive Buying Pada Mahasiswa Dewasa
Awal Universitas Mercu Buana Yogyakarta”, Skripsi. 12.
4
Santrock, John W. “Life Span Development Jilid 2“ (PT. Gelora Aksara Pratama: Erlangga, 2012), 6.
menjadi pusat perhatian dari tren tersebut, terdapat hasil yang signifikan positif terhadap
mahasiswa5. Selain pakaian aksesoris lain seperti sepatu, tas, hijab, perhiasan, skincare
dan juga makeup juga menjadi incaran bagi seseorang yang kompulsif.
berada pada tahapan akhir atau sedang dalam penyusunan skripsi sebagai syarat
kelulusan starata satu (S1) memiliki semangat dan motivasi yang tinggi diawal
seiring dengan hambatan juga kesulitan yang dihadapi saat sedang penyusunan skripsi.
dan juga psikologis yang diakibatkan karena persepsi akan peristiwa-peristiwa fisik
maupun psikologis6. Pada pra penelitian yang peneliti lakukan terdapat sebanyak 15
mahasiswa di fakultas ushuluddin dan dakwah (FUDA) IAIN Kediri yang merupakan
mahasiswa dalam tahap pengerjaan skripsi dan juga sebagai pengguna aktif dari shopee
paylater dari aplikasi shopee, mereka mengaku bahwa pengerjaan skripsi merupakan hal
yang cukup memberatkan dan tidak sedikit dari mereka mengalami stress selama
pengerjaannya. Sehingga mereka mencoba untuk menyalurkan stress dan juga beban
mereka dengan cara bertemu dengan teman, bermain game dan juga berbelanja.
Masalah pembelian kompulsif atau compulsive buying ini juga terjadi pada
masyarakat kota Kediri tidak terkecuali pada mahasiswa IAIN Kediri. Karena IAIN
5
Adil Abdillah, “Pengaruh Sifat Psikologis Konsumen Terhadap Pembelian Kompulsif”, Jurnal Studi Manajemen
Universitas Mayjen Sungkono Mojokerto.
6
Stefanin Baptis Seto dkk, “Hubungan Motivasi Terhadap Tingkat Stress Mahasiswa dalam Menulis Tugas Akhir
(skripsi)”, Jurnal Basicedu Vol. 4 No. 3Universitas Flores Nusa Tenggara Timur. (2020). 733.
Kediri merupakan kampus berkembang yang dimana mahasiswa semestinya
Namun tidak sedikit mahasiswa yang mengalami masalah dalam proses penyelesaian
studi tersebut. Banyak mahasiswa yang terpengaruh oleh lingkungan sekitar untuk
melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan seperti mengikuti setiap tren fashion
fakultas Ushuluddin dan Dakwah (FUDA) IAIN Kediri didapatkan informasi: perilaku
compulsive buying yang terjadi pada FUDA kebanykan mengenai produk fashion yakni
pakaian, hijab tas, dan bodycare/skincare. Kebanyakan fashion yang mereka peroleh
berasal dari instagram, facebook dan aplikasi e-commerces seperti shopee. kebanyakan
dari mahasiswa ini melakukan perilaku compulsive buying atas dasar gengsi yang tinggi
dan merasa ketinggalan jaman jika tidak mengikuti trend terbaru yang sedang beredar.
Subjek yang diambil dalam penelitian ini adalah mahasiswa yang berada ditingkat
akhir dimana sesuai dengan tahapan perkembangan di fase dewasa awal dimana manusia
sudah mulai mampu berfikir realistik dan dapat membedakan mana yang merupakan
kebutuhan dan mana yang merupakan keinginan dan tentunya dalam proses mengerjakan
proposal ataupun skripsi dan pengguna aktif shopeepay later dan juga pemilihan
mahasiswa IAIN Kediri terbilang unik dan baru karena dilihat dari latar belakang
pendidikan kampus yang islami apakah terdapat perilaku compulsive buying dan juga
spend, keenam mahasiswa tersebut mengaku bahwa mereka sering berbelanja, mereka
mengaku bahwa setidaknya dalam sebulan dapat berbelanja paling sedikit 4 kali dalam
sebulan, dan terkadang melakukan pembelanjaan berlebihan pada saat mereka sedang ada
masalah atau merasa sedih akan suatu hal. Pada aspek compulsion/drive to spend, keenam
mahasiswa tersebut terkadang merasa tergoda untuk berbelanja dan membeli barang-
barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan hanya untuk sekedar mengobati perasaan tidak
nyaman yang mereka rasakan. Selanjutnya pada aspek feeling (joy) about shopping and
spending, keenam mahasiswa tersebut berpendapat bahwa mereka merasa senang selam
melakukan kegiatan berbelanja entah pada offline store maupun online store, mereka juga
merasa bahwa masalah ataupun perasaan tidak nyaman yang sedang mereka hadapi
seakan-akan menghilang sekejap karena mereka melakukan kegiata yang mereka sukai
mengungkapkan bahwa setelah melakukan pembelanjaan ada saja masalah baru yang
jika pernah berhutang pada temannya sendiri atau memanfaatkan secara berlebihan fitur
shopee paylater yang ditawarkan oleh pihak shopee hingga tidak dapat membayar di
akhir bulan. Uang yang mereka dapat dari kiriman bulanan orang tua atau uang gajian
sebulan sering kali habis tidak tepat pada waktunya karena sering berbelanja yang tidak
sesuai dengan kebutuhannya. Aspek yang terakhir yakni post-purchased guilt, keenam
mahasiswa mengaku bahwa mereka selalu merasa bersalah setelah berbelanja secara
berlebihan bahkan disaat keadaan keuangan sedang pas-pasan atau cenderung tidak ada
uang sehingga mengharuskan mereka untuk meminta tambahan uang lagi kepada
orangtua atau bahkan hingga berhutang untuk menutupi kekurangan yang ada. Sehingga
berdasarkan dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa 6 dari 15 mahasiswa yang
adalah faktor internal (neuroticsm, dan psikologis). Dan faktor eksternal (teman sebaya,
keluarga, dan media massa). Kemajuan teknologi juga membawa dampak pada perilaku
konsumtif masyarakat di dunia tidak terkecuali di Indonesia, salah satu dari berkembang
nya teknologi adalah tumbuh dan berkembangnya online marketplace atau e-commerces
yang dapat di akses dengan mudah melalui website ataupun melalui layar smartphone.
Salah satu hasil dari berkembangnya teknologi adalah dengan muncul dan
berbelanja online yakni aplikasi Shopee. Shopee menggandeng fintech shopee paylater
yang menggunakan sistem P2P lending dibawah fintech legal naungan PT. Lentera Dan
Nusantara yang menawarkan pinjaman dana tanpa jaminan kepada pengguna aktif shopee
yang mendaftarkan dirinya di fitur shopee paylater. Kini fitur shopee paylater semakin
populer karena penawaran nya yang menurut sebagian orang sangat menggiurkan dan
membawa kemudahan dengan teks linenya yaitu “ sistem bayar nanti” dimana seseorang
dapat berbelanja terlebih dulu dan dapat dibayar dibulan berikutnya. Mayoritas pengguna
nya adalah orang-orang yang menanti gajihan bagi pekerja atau bagi mahasiswa yang
sedang menunggu transferan dari orangtua namun harus ada barang atau kebutuhan
7
Siti Hadijah. Aplikasi Layanan Pay Later Makin Diminati, Yuk Cek Keuntungan dan Kerugiannya. Diakses
melalui https://www.cermati.com/artikel/aplikasi-layanan-pay-later-makindiminati-yuk-cek-keuntungan-dan-
kerugiannya. Diakses pada senin, 8 Februari 2021 Pukul 14:14 WIB.
Penggunaan fitur paylater terkesan memudahkan, Namun dibalik kemudahan
tersebut terdapat resiko yang harus penggunanya pahami. Salah satu keuntungan
penggunaan shopee paylater adalah proses pendaftaran yang tidak ribet dan tidak adanya
minimum transaksi. Dengan limit yang telah ditentukan dan diberikan di awal aktivasi
pengguna dapat menggunakannya meskipun dalam sekali habis. Namun dalam proses
transaksinya terdapat biaya penangganan dalam satu kali transaksi, biaya yang
penagganannya sebesar satu persen dikali dengan jumlah pembayaran dan jika terjadi
keterlambatan pembayaran makan akan dikenakan biaya dendan sebesar lima persen
Dengan mudahnya penggunaan dari shopee paylater ini, jelas sangat membuat
penggunanya tidak terkecuali mahasiswa tergoda dengan penawaran yang telah diberikan
oleh pihak shopee. Namun dengan adanya fitur paylater ini dapat menimbulkan perilaku
konsumtif hingga pada tingkat kompulsif bagi seseorang yang tidak dapat mengkontrol
keinginan untuk berbelanjanya sehingga dapat berdampak pada masalah finansial yakni
hutang.
Menurut hasil wawancara pra penelitian yang dilakukan oleh peneliti bahwa
narasumber merasakan manfaat dari adanya shopee paylater karena mereka dapat
berbelanja untuk memenuhi kebutuhannya walaupun sedang tidak memiliki uang dan
dapat dibayar diakhir bulan bahkan dapat dicicil hingga enam kali. Namun sebagian
merasakan bahwa mereka menjadi konsumtif karena adanya fitur ini dan cenderung akan
berbelanja jika mulai kelelahan dengan penyusunan skripsinya bahkan jika terdapat
masalah dengan pekerjaan, pasangan ataupun dengan kuliahnya mereka akan berbelanja,
yang awalnya hanya membuka aplikasi shopee mulai tertarik untuk membeli dan
Berdasarkan uraian diatas, terdapat kesan bahwa pola perilaku konsumtif dapat
semakin meningkat hingga menjadi perilaku yang kompulsif. Perilaku ini didominasi
oleh kaum wanita walaupun tidak menutup kemungkinan bagi kaum pria. Sehingga
berdasarkan uraian latar belakang diatas mendorong penulis untuk meneliti mengenai
Akhir Di IAIN Kediri” untuk mengetahui lebih lanjut dan memahami latar belakang,
bentuk-bentuk dari perilaku, serta dampak yang ditimbulkan akibat pemakaian shopee