Anda di halaman 1dari 32

PENGERTIAN KEBAKARAN

Kebakaran merupakan salah satu bencana yang sangat sering terjadi khususnya di
daerah perkotaan padat penduduk. Kebakaran dapat mengakibatkan bencana karena
akan memusnahkan segala harta benda bahkan dapat menimbulkan korban jiwa
dalam jumlah yang besar.

Menurut Ramli (2010) menjelaskan pengertian bencana berdasarkan NFPA 1600


adalah kejadian dimana sumber daya, personal atau material yang tersedia tidak
dapat mengendalikan kejadian luar biasa tersebut yang dapat mengancam nyawa,
sumber daya fisik, dan lingkungan.

Definisi kebakaran menurut PERDA DKI No.8 Tahun 2008, adalah suatu peristiwa
atau timbulnya kejadian yang tidak terkendali yang dapat membahayakan
keselamatan jiwa maupun harta benda.

Menurut Peraturan Mentri PU No.26/PRT/M/2008, bahaya kebakaran adalah bahaya


yang diakibatkan oleh adanya ancaman potensial dan derajat terkena pancaran api
sejak awal kebakaran hingga penjalaran api yang menimbulkan asap dan gas.

Menurut NPFA, 1986 kebakaran didefinisakan sebagai suatu peristiwa oksidasi yang
melibatkan tiga unsur yaitu bahan bakar, oksigen, dan sumber energi atau panas yang
berakibat menimbulkan kerugian harta benda, cidera bahkan kematian.

BAHAYA KEBAKARAN
Bahaya kebakaran menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 26/PRT/M/2008
yaitu bahaya yang diakibatkan oleh adanya ancaman potensial dan derajat terkena pancaran
api sejak dari awal terjadi kebakaran hingga penjalaran api, asap dan gas yang ditimbulkan.

Kebakaran yang terjadi sering mengakibatkan kecelakaan yang berkelanjutan, adapun


bahaya yang disebabkan dari peristiwa kebakaran yang dihasilkan yaitu:

1. Bahaya Panas

Pada saat terjadinya kebakaran, panas yang ditimbulkan akan mengalami perpindahan
dengan berbagai cara yaitu:
a. Radiasi yaitu perpindahan panas yang memancar ke segala arah.
b. Konduksi yaitu perpindahan panas melalui benda logam (perambatan panas).
c. Konveksi yaitu perpindahan panas yang menyebabkan perbedaan tekanan udara.
d. Loncatan bunga api yaitu suatu reaksi antara energi panas dengan udara (O2).
2. Bahaya Asap

Asap berasal dari proses pembakaran yang tidak sempurna dari bahan-bahan yang
mengandung unsur karbon. Ketebalan asap tergantung dari jenis bahan yang terbakar
dan temperatur kebakaran tersebut.

3. Bahaya Ledakan

Bahaya ledakan dapat terjadi pada saat kebakaran. Jika di antara bahan-bahan yang
terbakar terdapat bahan yang mudah meledak, misalnya terdapat tabung-tabung gas
bertekanan, maka dapat terjadi ledakan.

4. Bahaya Gas

Gas beracun yang biasanya dihasilkan oleh proses kebakaran yaitu HCN, NO2, HCl dan
lain-lain. Gas beracun tersebut dapat meracuni paru-paru dan menyebabkan iritasi pada
saluran pernafasan dan mata. Sedangkan gas lain seperti CO2 dan H2S dapat mengurangi
kadar oksigen di udara.

FAKTOR- FAKTOR PENYEBAB KEBAKARAN


Penyebab terjadinya kebakaran secara umum disebabkan karena 3 faktor yaitu faktor
manusia, faktor teknis, dan faktor alam.

a. Faktor Manusia

Manusia yang kurang peduli terhadap bahaya kebakaran menjadi penyebab terjadinya
kebakaran, dalam tempat kerja faktor manusia tersebut seperti:

1) Faktor Pekerja
Pekerja yang kurang disiplin terhadap aktifitas kerja yang berpotensi menyebabkan
terjadinya kebakaran dengan tidak mengikuti prosedur saat melakukan pekerjaan
yang berisiko, menempatkan barang-barang yang mudah terbakar secara
sembarangan dan lain sebagainya.
2) Faktor Pengelola
Pengelola yang tidak memperhatikan aspek keselamatan kerja, kurangnya
pengawasan dari pengelola terhadap aktivitas pekerja, serta penerapan prosedur
kerja yang tidak baik.

b. Faktor Teknis

Kebakaran karena faktor teknis disebabkan oleh kondisi tidak aman dan membahayakan,
seperti terjadinya kenaikan suhu ditempat yang berpotensi terjadinya kebakaran, proses
pengangkutan dan penyimpana bahan-bahan kimia berbahaya yang tidak
memperhatikan petunjuk, terjadinya arus pendek pada listrik.

c. Faktor Alam

Penyebab kebakaran dari faktor alam disebabkan adanya bencana alam seperti petir,
gunung meletus, gempa bumi, dan sebagainya.

POTENSI BAHAYA KEBAKARAN


Klasifikasi kebakaran adalah penggelompokan atau pembagian kebakaran atas dasar jenis
bahan bakarnya. Pengklasifikasian ini bertujuan untuk memudahkan usaha pencegahan dan
pemadaman kebakaran. Menurut SNI 03-3989-2000 menjelaskan bahwa potensi bahaya
kebakaran dapat dikelompokan menjadi :

1. Bahaya kebakaran ringan

Merupakan bangunan yang mempunyai jumlah dan kemudahan terbakar rendah, dan
apabila terjadi kebakaran melepaskan panas rendah sehingga menjalarnya api lambat.
Adapun jenis tempat kerja tersebut adalah tempat ibadah, gedung/ruang perkantoran,
gedung/ruang pendidkan, gedung/ruang Rumah Sakit, gedung/ruang Perhotelan,
gedung/ruang Restoran, dsb.

2. Bahaya kebakaran sedang I

Merupakan bangunan yang mempunyai jumlah dan kemudahan terbakar rendah,


penimbunan yang mudah terbakar sedang bahan dengan tinggi tidak lebih dari 2,5 meter
dan apabila terjadi kebakaran melepaskan panas sedang. Adapun bangunan tersebut
adalah tempat parkir, pabrik elektronik, pabrik roti, pabrik barang bekas, pabrik
minuman, dsb.
3. Bahaya kebakaran sedang II

Merupakan bangunan yang mempunyai jumlah dan kemudahan terbakar sedang,


menimbun bahan dengan tinggi tidak lebih dari 4 meter dan apabila terjadi kebakaran
melepaskan panas sehingga menjalarnya api sedang. Adapun jenis bangunan tersebut
adalah pabrik bahan makanan, percetakan dan penerbitan, bengkel mesin, gedung
perpustakan, pabrik barang keramik, pabrik barang kulit, dsb.

4. Bahaya kebakaran sedang III

Merupakan bangunan yang mempunyai jumlah dan kemudahan terbakar tinggi, dan
apabila terjadi kebakaran melepaskan panas tinggi, sehingga menjalarnya api cepat.
Adapun jenis bangunan tersebut adalah bengkel mobil, pabrik lilin, pabrik plastik, pabrik
sabun, pabrik ban, dsb.

5. Bahaya kebakaran berat

Merupakan bangunan yang mempunyai jumlah dan kemudian terbakar tinggi,


menyimpan bahan cair. Apabila terjadi kebakaran akan melepaskan panas yang tinggi
dan penjalaran api yang cepat. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah bangunan
komersial dan bangunan industri seperti: Pabrik kimia, Pabrik kembang api, pabrik cat,
pabrik karet buatan, dsb.

KLASIFIKASI KEBAKARAN
Klasifikasi kebakaran merupakan penggolongan jenis bahan yang terbakar.
Dengan adanya pengklasifikasian tersebut dapat mempermudah dalam pemilihan media
pemadaman yang dipergunakan untuk memadamkan kebakaran.
Klasifikasi kebakaran juga berguna untuk menentukan sarana proteksi kebakaran untuk
menjamin keselamatan nyawa tim pemadam kebakaran.
Selain dapat mempermudah memadamkan api, metode dan pengetahuan akan pentingnya
alat yang digunakan serta prosedur yang dilakukan ketika pra dan pasca kebakaran apabila
terjadi bencana kebakaran.

Dalam klasifikasi ini ada beberapa yang digunakan, baik dari luar muapun lokal dalam negeri.
Seperti yang di gunakan Amerika menggunakan klasifikasi National Fire Protection
Assciation untuk menetapkan lebel yang digunakan oleh personel darurat dengan cepat dan
mudah mengidentifikasi risiko yang ditimbulkan dari material berbahaya. Label ini berguna
untuk menentukan peralatan khusu yang harus digunakan, prosedur yang harus dilakukan,
atau pencegahan apabila terjadi situasi darurat.
Berikut klasifikasi kebakaran :
1. Klasifikasi Kebakaran menurut NFPA

Menurut National Fire Protection Assciation (NFPA, 1986), setiap kebakaran memiliki
tingkat kebakaranya sesuai dengan sumber serta kejadian kebakaran tersebut.
Tingkat kebakaran ini merujuk pada klasifikasi internasional menurut NFPA.

Kelas Kebakaran Bahan pemadam


Kelas A Bahan padat (kayu, kertas, Air, uap air, busa, CO2,
(padat non logam) kain) serbuk kering, cairan
kimia
Kelas B Metana, amoniak, solar Serbuk kimia kering,
(Gas/uap/cairan) CO2
Kelas C Arus pendek Serbuk kimia kering,
(Listrik) uap air, CO2
Kelas D Alumunium, tembaga, besi, Serbuk kimia sodium
(Logam) baja klorida, grafit
Kelas E Bahan-bahan radioaktif Belum diketahui secara
(Radioaktif) spesifik
Kelas K Lemak dan minyak masakan Cairan kimia, CO2
(Bahan masakan)

2. Klasifikasi kebakaran di Indonesia

Pada umumnya, kelas atau klasifikasi api kebakaran dibagi beberapa kelas.

 Kelas yang pertama diberi level kelas A yang khusus untuk api kebakaran akibat
bahan-bahan yang sangat mudah terbakar seperti plastik, kayu, kardus, serta
kertas
 Kelas kedua atau kelas B merupakan kelas kebakaran yang melibatkan bahan cair
atau liquid mudah terbakar yang sangat baik dalam memicu api. Bahan bahan
liquid yang termasuk di dalamnya adalah sejenis bahan bakar seperti bensin
sampai minyak tanah
 Kelas ketiga atau kelas C yang menjadi klasifikasi ketiga yaitu api kebakaran
meliputi kebakaran akibat flambe gas atau gas yang peka terhadap api sehingga
mudah terbakar. Gas ini merupakan zat kimiawi berupa metana, propana dan gas
butana.
 Sementara untuk api kebakaran yang disebabkan oleh flambe metal atau logam
seperti natrium dan kalium dan sejenis titanium dan magnesium. Sehingga di
golongkan klasifikasi api kebakaran kelas D.
Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Per -04/ MEN/1980,
tanggal 14 April 1980 Kebakaran dapat diklasifikasikan seperti berikut :

Kelas Jenis Alat pemadaman Contoh

Kelas A Bahan Padat bukan Air sebagai alat Kebakaran dengan


logam pemadaman pokok bahan bakar padat
bukan logam
Kelas B Bahan cair dan gas Jenis basa sebagai alat Kebakaran dengan
mudah terbakar pemadaman pokok bahan bakar cair atau
gas mudah terbakar

Kelas C Listrik Dry chemical, CO2, gas Kebakaran instalasi


hallon bertegangan

Kelas D Bahan logam Bubuk kimia kering (dry Kebakaran dengan


sand), bubuk pryme) bahan bakar logam
MEKANISME DASAR PERAMBATAN API DALAM BANGUNAN

Kebakaran terjadi dari percikan api, api dapat cepat membesar dengan cepat atau secara
perlahan-lahan tergantung pada situasi dan kondisi yang mendukung, seperti jenis bahan
yang terbakar, suplai oksigen yang panas dan tinggi. Fase ini disebut pertumbuhan api
(growth stage).

Api dengan singkat dapat berkobar besar, tetapi dapat juga berkembang perlahan. Pada saat
ini api menuju tahap sempurna dengan temperatur mencapai (1000 oF). Selanjutnya jika
kondisi mendukung, maka api akan berkembang menuju puncaknya. Semua bahan bakar
yang ada akan dilahap dan kobaran api akan membumbung tinggi.

Setelah mencapai puncaknya, dan bahan bakar mulai menipis api akan menurun
intensitasnya yang disebut dengan fase pelapukan api (decay). Api mulai membentuk bara –
bara, dan produksi asap semakin meningkat karena kebakaran tidak lagi sempurna.

Temperatur kebakaran mulai menurun. Ruangan akan dipenuhi oleh gas – gas hasil
kebakaran yang siap meledak atau tersambar ulang atau disebut back draft. Terjadi letupan
letupan kecil di beberapa tempat. Udara panas didalam juga mendorong aliran oksigen
masuk ke daerah kebakaran karena tekanan udara lebih rendah dibanding tekanan udara
luar. Namun secara perlahan dan pasti, api akan berhenti total setelah semua bahan yang
terbakar musnah.

Proses pemadam paling efektif dilakukan pada fase pertumbuhan. Yang mana apabila Api
masih kecil dapat dipadamkan dengan APAR (Alat Pemadam Api Ringan) atau alat pemadam
sederhana seperti karung basah, ember air, dan lainnya. Akan tetapi, jika api telah berkobar
besar, kebakaran akan sulit dimatikan dan memerlukan upaya dan alat yang lebih handal baik
kualitas dan kuantitasnya.
METODE PEMADAMAN
Pemadaman kebakaran adalah adalah suatu metode untuk mengendalikan atau
menghentikan api dengan prinsip merusak atau menghilangkan beberapa unsur dalam
proses nyala api. Pemadam kebakaran dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu:

a. Pendindingan (cooling)
Memadamkan api dengan air

b. Mengisolasi oksigen (smootheing)


Memadamkan api dengan cara membatasi atau mengurangi oksigen yaitu dengan
menutup bahan bakar dari udara

c. Menghentikan suplay bahan bakar (starvation)


Memadamkan api dengan memindahkan bahan bakar dapat dilakukan dengan cara
menutup atau membuka katup aliran bahan bakar, namun cara ini sulit untuk dilakukan.

d. Memecahkan rantai reaksi (breaking chain reaction)


Memadamkan api dengan memecahkan rantai reaksi dapat dilakukan dengan
menggunakan APAR (Alat Pemadam Kebakaran Api RIngan) dengan bahan seperti bubuk
kimia kering dan hidrokarbon yang akan menghentikan reaksi kimia.

IDENTIFIKASI RESIKO BAHAYA KEBAKARAN


Resiko merupakan kombinasi dari kemungkinan dan keparahan dari suatu kejadian.
Besarnya risiko ditentukan oleh berbagai faktor, seperti besarnya paparan, lokasi, pengguna,
serta kerentanan unsur yang terlibat.
Identifikasi dan penilaian risiko kebakaran (fire risk assessment) merupakan langkah awal
yang perlu dilakukan.

SISTEM PROTEKSI KEBAKARAN


Definisi sistem proteksi kebakaran pada bangunan gedung dan lingkungan menurut
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 26/PRT/M/2008 tentang persyaratan teknis sistem
proteksi kebakaran pada bangunan gedung dan lingkungan adalah sistem yang terdiri atas
peralatan, kelengkapan dan sarana, baik yang terpasang maupun pada bangunan yang
digunakan baik untuk tujuan sistem proteksi aktif, sistem proteksi pasif, maupun cara – cara
pengelolaan dalam rangka melindungi bangunan dan lingkungannya terhadap bahaya
kebakaran.
Sistem proteksi kebakaran digunakan untuk mendeteksi dan memadamkan kebakaran sedini
mungkin dengan menggunakan peralatan yang digerakkan secara manual dan otomatis.
Menurut Pd-T–11–2005–C tentang Pemeriksaan Keselamatan Kebakaran Gedung,
komponen utilitas antara lain:

A. KELENGKAPAN TAPAK

Kelengkapan tapak dapat didefenisikan sebagai kelengkapan komponen dan tata letak
bangunan terhadap lingkungan sekitar dikaitkan dengan bahaya kebakaran dan upaya
pemadaman. Komponen kelengkapan tapak meliputi sumber air, jalan lingkungan, jarak
antar bangunan dan hidran halaman (Kepmen PU No.10/KPTS/2000).

- Sumber air
Sumber air merupakan sumber yang meyediakan pasokan air yang akan
dipergunakan sebagai media pemadaman kebakaran pada bangunan gedung.
Menurut Kepmen PU No.02/KPTS/1985 bahwa sumber air lingkungan dapat berupa
sumur arthesis, reservoir/tangki penampungan air untuk kebakaran. Sumber air
dilingkungan memiliki peran penting dalam upaya penanggulangan dan pemadaman
kebakaran.

- Jalan lingkungan
Untuk melakukan proteksi terhadap meluasnya kebakaran dan memudahkan operasi
pemadaman, maka di dalam lingkungan bangunan gedung harus tersedia jalan
lingkungan dengan pekerasan agar dapat dilalui oleh kendaraan pemadam
kebakaran (peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.26/PRT/M/2008).Jalan Akses
Pemadam Kebakaran yang dipersyaratkan adalah:
a) Jalan akses pemadam kebakaran yang telah disetujui harus disediakan pada
setiap fasilitas, bangunan gedung, atau bagian bangunan gedung setelah selesai
dibangun atau direlokasi.
b) Jalan akses pemadam kebakaran meliputi jalan kendaraan, jalan untuk pemadam
kebakaran, jalan ke tempat parkir, atau kombinasi jalan-jalan tersebut.

Di setiap bagian dari bangunan gedung hunian di mana ketinggian lantai hunian
tertinggi diukur dari rata-rata tanah tidak melebihi 10 meter, maka tidak
dipersyaratkan adanya lapis perkerasan, kecuali diperlukan area operasional dengan
lebar 4 meter sepanjang sisi bangunan gedung tempat bukaan akses diletakkan,
asalkan ruangan operasional tersebut dapat dicapai pada jarak 45 meter dari jalur
masuk mobil pemadam kebakaran.
Dalam tiap bagian dari bangunan gedung (selain bangunan gedung kelas 1, 2 dan 3),
perkerasan harus ditempatkan sedemikian rupa agar dapat langsung mencapai bukaan
akses pemadam kebakaran pada bangunan gedung. Perkerasan tersebut harus dapat
mengakomodasi jalan masuk dan manuver mobil pemadam, snorkel, mobil pompa dan
mobil tangga dan platform hidrolik serta mempunyai spesifikasi sebagai berikut :

1. Lebar minimum lapis perkerasan 6 meter dan panjang minimum 15 meter. Bagian-
bagian lain dari jalur masuk yang digunakan untuk lewat mobil pemadam kebakaran
lebarnya tidak boleh kurang dari 4 meter.
2. Lapis perkerasan harus ditempatkan sedemikian agar tepi terdekat tidak boleh
kurang dari 2 meter atau lebih dari 10 meter dari pusat posisi akses pemadam
kebakaran diukur secara horizontal.
3. Lapis perkerasan harus dibuat sedatar mungkin dengan kemiringan tidak boleh lebih
dari 1 : 8,3.
4. Jalan umum boleh digunakan sebagai lapisan perkerasan asalkan lokasi jalan tersebut
sesuai dengan persyaratan jarak dari bukaan akses pemadam kebakaran.
5. Lapis perkerasan harus selalu dalam keadaan bebas rintangan dari bagian lain
bangunan gedung, pepohonan, tanaman atau lain tidak boleh menghambat jalur
antara perkerasan dengan bukaan akses pemadam kebakaran.
6. Lapis perkerasan harus dibuat dari metal, paving blok, atau lapisan yang diperkuat
agar dapat menyangga beban peralatan pemadam kebakaran. Persyaratan
perkerasan untuk melayani bangunan gedung yang ketinggian lantai huniannya
melebihi 24 meter harus dikonstruksi untuk menahan beban statis mobil pemadam
kebakaran seberat 44 ton dengan beban plat kaki (jack).

7. Lapis perkerasan dan jalur akses tidak boleh melebihi 46 m dan bila melebihi 46 m
harus diberi fasilitas belokan.
8. Radius terluar dari belokan pada jalur masuk tidak boleh kurang dari 10,5 m dan
harus memenuhi persyaratan.
9. Tinggi
ruang
bebas di atas lapis perkerasan atau jalur masuk mobil pemadam minimum 4,5 meter
untuk dapat dilalui peralatan pemadam tersebut.

- Jarak antar bangunan


Untuk melakukan proteksi terhadap meluasnya kebakaran, harus disediakan jalur
akses mobil pemadam kebakaran dan ditentukan jarak minimum antar bangunan
gedung dengan memperhatikan.

Jarak antar bangunan Tinggi bangunan gedung Jarak minimum antar


No (m) bangunan gedung (m)
1. s.d. 8 3
2. >8 s.d 14 >3 s.d. 6
3. >14 s.d. 40 >6 s.d. 8
4. >40 >8

a. Sarana penyelamatan

Menurut Peraturan Menteri No.26/PRT/M/2008, setiap bangunan gedung harus


dilengkapi dengan sarana evakuasi yang dapat digunakan oleh penghuni bangunan,
sehingga memiliki waktu yang cukup untuk meyelamatkan diri dengan aman tanpa
terlambat hal-hal yang diakibatkan oleh keadaan darurat. Sarana penyelamatan adalah
sarana yang dipersiapkan untuk dipergunakan oleh penghuni maupun petugas pemadam
kebakaran dalam upaya penyelamatan jiwa manusia maupun harta benda bila terjadi
kebakaran pada suatu bangunan gedung dan lingkungan. Adapun tujuan dari sarana
penyelamtan adalah untuk mencegah terjadinya kecelakaan atau luka pada waktu
melakukan evakuasi pada saat keadaan darurat. Sarana penyelamatan jiwa terdiri dari
tangga darurat, pintu darurat, tanda petunjuk arah, saran jalan keluar, penerangan
darurat, dan pengendaliaan asap.
 Tangga Darurat

Merupakan tempat yang paling aman untuk evakuasi penghuni dan harus bebas dari
gas panas dan gas beracun. Oleh sebab itu tangga darurat harus direncanakan khusus
untuk penyelamtan bila terjadi kebakaran. Berikut ini syarat perencanaan tangga
darurat menurut peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 45/PRT/M/2007 dan SNI
03-1746-2000 yaitu :
c) Setiap bangunan gedung negara yang bertingkat lebih dari 3 lantai, harus
mempunyai tangga darurat/penyelamatan minimal 2 buah dengan jarak
maksimum 30 m (bila menggunakan sprinkler jarak bisa 1,5 kali yaitu 45m).
d) Tangga darurat/penyelamatan harus dilengkapi dengan pintu tahan api,
minimum 2 jam, dengan arah pembukaan ke tangga dan dapat menutup secara
otomatis dan dilengkapi kipas penekan/pendorong udara yang dipasang diatas
udara pendorong akan keluar melalui grill disetiap lantai yang terdapat di dinding
tangga darurat dekat pintu darurat untuk memberi tekanan positif.
e) Tangga darurat/penyelamatan yang terletak di dalam bangunan harus
dipisahkan dari ruang-ruang lain dengan pintu tahan api dan bebas asap,
pencapaian mudah, serta jarak pencapaian maksimum 45 m dan minimal 9 m.
f) Lebar tangga darurat/penyelamatan minimum adalah 1,20 m.
g) Tangga darurat/penyelamatan tidak boleh berbentuk tangga melingkar vertikal,
exit pada lantai dasar langsung kearah luar.

 Pintu Darurat

Pintu darurat atau pintu kebakaran merupakan pintu yang langsung menuju tangga
kebakaran dan hanya digunakan sebagai jalan keluar untuk usaha penyelamatan jiwa
manusia apabila terjadi kebakaran. Menurut NFPA 101, pint darurat tidak boleh
terhalang dan tidak boleh terkunci serta harus berhubungan langsung dengan jalan
penghubung, tangga atau halaman luar. Daun pintu darurat ini harus membuka
keluar dan jika tertutup maka tidak bisa dibuka dari luar (self closing door). Berikut
adalah persyaratan yang harus dipenuhi menurut peraturan Menteri Pekerjaan
Umum No. 45/PRT/M/2007 dan SNI 03-1746-200 yaitu :
a. Setiap bangunan gedung negara yang bertingkat lebih dari 3 lantai harus
dilengkapi dengan pintu darurat minimal 2 buah.
b. Lebar pintu darurat minimum 100 cm dan dilengkapi dengan tuas atau
tungkai pembuka pintu yang berada diluar ruang tangga (kecuali tangga yang
berada di lantai dasar, berada di dalam ruang tangga).
c. Jarak pintu darurat maksimum dalam radius/jarak capai 25 meter dari setiap
titik posisi orang dalam satu blok bangunan gedung.
d. Pintu harus tahan terhadap api sekurang-kurangnya dua jam.
e. Pintu harus dilengkapi dengan alat penutup otomatis, tanda peringatan
(TANGGA DARURAT–TUTUP KEMBALI), dicat dengan warna merah dan
dilengkapi dengan minimal tiga engsel.
f. Pintu dapat dilengkapi dengan kaca tahan api minimal 1m2 dan diletakkan di
setengah bagian atas dari daun pintu.

 Tanda Penunjuk Arah / EXIT

Tanda keluar atau panah penunjuk arah harus ditempatkan pada persimpangan
koridor, jalan ke luar menuju ruang tangga darurat, balkon atau teras dan pintu
menuju tangga darurat. Tanda jalan keluar yang jelas akan memudahkan dan
mempercepat proses evakuasi karena menghilangkan keraguaan penghuni gedung
pada saat terjadinya peristiwa kebakaran (NFPA 101).
Ukuran tanda arah yang bertuliskan “EKSIT’ atau kata lain yang cocok, dengan huruf
yang mudah dilihat, tingginya minimal 15 cm, tebal huruf minimal 2 cm. Kata “EKSIT”
harus mempunyai lebar huruf minimal 5 cm kecuali huruf “I” dan jarak minimum
antar huruf minimum 1 cm. Tanda arah yang lebih besar dibuat dengan lebar, tebal
dan jarak huruf yang proportional dengan tingginya.

Tanda arah yang diterangi dari dalam memiliki kondisi pencahayaan normal (300
Lux) dan darurat (10 Lux) dengan jarak baca minimum 30 m.Tanda arah yang
diterangi dari luar tingkat pencahayaannya harus minimal 50 Lux dan perbandingan
kontrasnya minimal 0,5.
Indikator arah harus ditempatkan di luar tulisan “EKSIT (EXIT)”,minimal 1 cm dari
setiap huruf, dan harus dimungkinkan menyatu atau terpisah dari papan tanda arah.
Harus terlihat sebagai tanda arah pada jarak minimum 12 m pada tingkat
pencahayaan rata-rata 300 Lux dalam kondisi normal dan 10 Lux dalam kondisi
darurat di lantai.

Lokasi Pemasangan tanda petunjuk menurut SNI 03-6574-2001 adalah :

(a) Arah menuju tempat yang aman harus diberi tanda arah dengan tanda arah yang
disetujui, di lokasi yang mudah dibaca dari segala arah jalan.
(b) Pada setiap pintu menuju tangga yang aman, harus dipasang tanda “EKSIT
(EKSIT)” diatas gagang pintu setinggi 150 cm dari permukaan lantai terhadap
garis tengah tanda arah.

(c) Jalan masuk ketempat aman harus diberi tanda arah pada lokasi yang mudah
dibaca dari semua arah, bila jalan menuju tempat tersebut tidak mudah terlihat
oleh penghuninya.
 Sarana Jalan Keluar / Koridor

Sarana jalan keluar adalah jalan yang tidak terputus atau terhalang menuju jalan
umum, termasuk didalamnya pintu penghubung, jalan penghubung, ruangan
penghubung, tangga terlindung, tangga kedap asap, pintu jalan keluar dan halaman
luar. Sedangkan jalan keluar adalah jalan yang diamankan dari ancaman bahaya
kebakaran dengan dinding, lantai, plafon dan pintu jalan keluar yang tahan api.

Sarana jalan keluar menurut SNI 03-1746-2000 harus dirancang untuk mendapatkan
tinggi ruangan minimal 2,3 m (7 ft, 6 inci) dengan bagian tojolan dari langit-langit
sedikitnya 2 m (6 ft, 8 inci) tinggi nominal di atas lantai finishing. Tinggi ruangan
diatas tangga harus minimal 2 m (6 ft, 8 inci) dan harus diukur vertikal dari ujung
anak tangga ke bidang sejajar dengan kemiringan tangga.

Menurut peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 26 / PRT / M / 2008, sarana


jalan keluar harus memiliki persyaratan sebagai berikut:
 Lebar koridor bersih minimum 1,80 m.
 Koridor harus dilengkapi dengan tanda-tanda penunjuk yang menunjukan arah
ke pintu darurat atau arah keluar.
 Koridor harus bebas dari barang-barang yang dapat mengganggu kelancaran
evakuasi.
 Jarak setiap titik dalam koridor ke pintu darurat atau arah keluar yang terdekat
tidak boleh lebih dari 25 m.
 Panjang gang buntu maksimal 15 m apabila dilengkapi dengan sprinkler dan 9 m
tanpa sprinkler.

 Pencahayaan Darurat

Pencahayaan darurat pada sarana jalan keluar harus terus menerus menyala selama
penghuni membutuhkan sarana jalan keluar. Pencahayaan buatan yang dioperasikan
sebagai pencahayaan darurat dipasang pada tempat-tempat tertentu dan dalam
jangka waktu tertentu sesuai kebutuhan untuk menjaga pencahayaan sampai ke
tingkat minimum yang ditentukan.

Ketentuan teknis menurut SNI 03-6574-2001 adalah setiap lampu darurat harus
bekerja secara otomatis dan mempunyai tingkat pencahayaan yang cukup untuk
evakuasi yang aman (minimal 10 Lux di ukur pada lantai). Jika mempunyai sistem
terpusat, satu daya cadangan dan kontrol otomatisnya harus dilindungi dari
kerusakan karena api dengan konstruksi penutup yang mempunyai Tingkat
Ketahanan Api (TKA) tidak kurang dari 1 jam. Lampu darurat yang digunakan harus
sesuai dengan standar yang berlaku.
Identifikasi lampu darurat menurut SNI 03-6574-2001 adalah :
(a) Diameter simbol minimum 10 mm.
(b) Simbol harus diletakkan di tempat yang mudah dilihat.
(c) Simbol tidak boleh diletakkan pada diffuser lampu darurat atau tutup plafon yang
dapat dibuka.

Lokasi pemasangan pencahayaan darurat sesuai dengan standar adalah sebagai


berikut:

1 Lampu darurat dipasang pada tangga-tangga, gang, koridor, ram, lif, jalan
lorong menuju tempat aman, dan jalur menuju jalan umum.
2 Sepanjang jalan kearah koridor, lobi dan jalan keluar dengan jarak langsung
dari titik masuk gang, lobi atau jalan keluar melebihi 13 meter.

Jangka waktu uji fungsi peralatan lampu darurat yang menggunakan sistem
tenaga batterai harus dilakukan pada setiap 30 hari, selama 30 detik. Uji
tahunan harus dilakukan dengan waktu uji selama 1½ jam. Peralatan harus
beroperasi penuh selama jangka waktu pengujian.

 Pengendalian Asap

Perambatan asap disebabkan oleh perbedaan tekanan karena adanya perbedaan suhu
ruangan dan dampak timbunan asap yang mencari jalan keluar. Asap dapat tersedot
melalui lubang vertikal pada bangunan seperti ruang tangga, shaft, atau atrium dan
menjalar secara horizontal. Perambatan asap dapat menyebabkan terjadinya pemanasan
lebih awal sebelum api menjalar ke tempat itu sehingga memicu timbulnya titik api baru.
Selain itu, asap yang ditimbulkan menghalangi petugas pemadam kebakaran dalam
menemukan titik permasalahannya.

Pengendalian asap dapat dilakukan dengan beberapa cara (Depnaker ILO 1987) yaitu:
o Melemahkan (dilution) yaitu dengan cara memberikan ventilasi untuk memasukan
udara segar dari luar dan memberikan saluran asap. Jendela dan pintu yang dapat
dibuka sebanding dengan 10% luas lantai.
o Menghabiskan (exhaust) yaitu memberikan peralatan mekanis untuk
mengendorkan/menyedot asap dan terintegrasi dengan sistem tata udara.
o Membatasi yaitu memasang sarana penghambat asap untuk mencegah menjalarnya
asap ke suatu daerah.

o Tekanan udara
yaitu tempat-
tempat jalur pelarian seperti koridor dan ruang tangga harus bebas dari asap dan gas
dengan cara memberikan tekanan udara.
Persyaratan pengendalian asap pada bangunan tinggi yang mempunyai atrium di
dalamnya adalah :

 Pintu keluar yang berada pada sekeliling atrium harus menggunakan pintu tahan api.
 Bangunan dengan fungsi hotel, apartemen dan asrama hanya boleh mempunyai
atrium maksimal 110 m² dan dilengkapi dengan pintu keluar yang tidak menuju
atrium.
 Adanya pemisahan vertikal, sehingga lubang atrium maksimal terbuka setinggi tiga
lantai.
 Pemisahan vertikal ini berlaku pula bagi ruang pertemuan dengan kapasitas 300
orang atau lebih dan perkantoran yang berada di bawah apartemen, hotel, atau
asrama.
 Mezanin dibuat dengan bahan yang tahan api sekurang-kurangnya 2 jam.
 Ruangan yang bersebelahan dengan mezanin dibuat dengan bahan tahan api
sekurang-kurangnya satu jam.
 Jarak dari lantai dasar ke lantai mezanin minimal 2,2 meter.
 Mezanin tidak boleh terdiri dari dua lantai. 10 % dari luas mezanin dapat ditutup
(misalnya untuk kamar kecil, ruang utilitas dan kompartemen).
 Ruang mesanin yang tertutup harus mempunyai dua pintu keluar. Jarak tempuh antar
pintu keluar maksimum adalah 35 meter.

B. SISTEM PROTEKSI AKTIF

Sistem proteksi kebakaran aktif adalah sarana proteksi kebakaran yang harus digerakkan
dengan sesuatu untuk berfungsi memadamkan kebakaran. Sebagai contoh, hidran
pemadam harus dioperasikan oleh personil untuk dapat menyemprotkan api. Sprinkler
otomatis yang ada di gedung dan bangunan juga harus digerakkan oleh sistem
otomatisnya untuk dapat bekerja jika terjadi kebakaran.

Sistem proteksi kebakaran aktif adalah sistem proteksi kebakaran yang secara lengkap
terdiri atas sistem pendeteksian kebakaran baik manual ataupun otomatis, sistem
pemadam kebakaran berbasis air seperti springkler, pipa tegak, dan slang kebakaran,
serta pemadam kebakaran berbasis bahan kimia, seperti APAR dan pemadam khusus.
(Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 26/PRT/M/2008) Kriteria penilaian komponen
sistem proteki aktif berdasarkan Pd-T-11-2005-C sebagai berikut:

a) Deteksi dan alarm


Deteksi dan alarm merupakan alat yang digunakan untuk memberi tanda bahaya (alert)
bila terjadi potensi kebakaran atau kebocoran gas. Cara kerja alat tersebut dengan
mendeteksi potensi-potensi kebakaran seperti gumpalan asap (smoke detector),
temperatur tinggi (heat detector), dan adanya gas yang berbahaya (gas detector).
SNI 03-3989-2000 tentang sistem deteksi dan alarm kebakaran menjelaskan detektor
kebakaran adalah alat yang dirancang untuk mendeteksi adanya kebakaran dan
mengawali suatu tindakan. Detektor dibagi menjadi 4 macam yaitu :

 Alat Deteksi Asap (Smoke Detector)

Alat ini mempunyai kepekatan yang tinggi dan akan menyalakan alarm bila
tedapat asap diruangan tempat alat ini dipasang. Karena kepekatannya, alat
deteksi ini akan langsung aktif bila terdapat asap rokok.

Asap deteksi asap memberi sinyal ke alarm bahaya dengan cara mendeteksi
adanya asap yang berasal dari nyala api yang tidak terkendali. Prinsip kerja alat
tersebut berdasarkan 2 hal :

a. Prinsip Ionisasi
Pada tipe ini cara mendeteksi asap menggunakan elemen radioaktif
dan dua eletroda (positif dan negative), cara kerjanya adalah sebagai
berikut :

Dalam kondisi normal, antara kedua elektroda timbul suatu medan


listrik. Elemen radioaktif memancarkan radiasi kearah medan listrik
antara 2 elektroda sehingga terjadi proses Ionisasi, maka akibatnya
akan terjadi aliran listrik antara 2 elektroda tersebut, aliran listrik ini
masih kecil dan lemah sekali. Bila antara elektroda tercemar oleh gas-
gas atau asap kebarakan maka aliran listrik akan membesar sehingga
menonaktifkan rangkaian elektronisme. Akibatnya lampu indicator
akan memberikan tanda bahaya disertai bunyi alarm bahaya.

b. Prinsip Photo Elektrik


Alat deteksi tipe ini menggunakan bahan bersifat photo elektrik yang
sangat peka sekali terhadap cahaya. Cara kerjanya adalah sebagai
berikut :
Dalam keadaan normal, bahan photo elektrik mendapat cahaya dari
lampu kecil yang menyala, sehingga bahan tersebut mengeluarkan
arus listrik. Arus listrik yang berasal dari bahan photo elektrik
tersebut digunakan untuk membuka suatu saklar elektronik.
Bila ada asap yang masuk, maka cahaya akan terhalang dan bahan
photo elektrik berhenti mengeluarkan arus listrik. Akibatnya saklar
elektronik yang tadinya membuka menjadi menutup.
Menutupnya saklar elektronik akan mengakibatkan suatu rangkaian
penghasil pulsa listrik yang kemudian di teruskan ke lampu indicator
dan mengakibatkan tanda alarm berbunyi.
 Alat Deteksi Panas (Heat Detector)

Prinsip dasarnya, jika temperature di sekitar pendeteksi naik lebih tinggi diatas
nilai ambang batas yang ditetapkan dan kemudian akan memicu alarm. Alat
pendeteksi panas di bagi menjadi dua klasifikasi besar yaitu :

a. Pendeteksi panas temperature tetap (Fixed Heat Detector)


Detector ini bekerja terhadap batas panas tertentu. Metodenya
didasarkan pada gaya renggang suatu spiral dan kotak metal yang
disangga oleh suatu campuran logam, maka campuran logam tersebut
akan meleleh, dan spiral akan menekan kontak metal dan
menyebabkan rangkaian tertutup. Alat ini bukanah jenis yang dapat
digunakan kembali, ketika diaktifasi, maka alat harus diganti.

b. Pendeteksi kelambatan panas (Rate-of-Rise Heat Detector)


Pendeteksi pelambatan panas biasanya disebut R-O-R merupakan
detector yang bereaksi terhadap kenaikan temperatur di sekitar
pendeteksi secara mendadak dari kondisi batas normal. Prinsip
kerjanya, ketika temperature naik dan tekanan udara di dalam
ruangan bertambah lebih cepat lalu keluar melalui lubang yang
dikalibrasi yang menyebabkan diafragma tertekan dan kontak
elektrik terhubung yang menyebabkan rangkaian menjadi tertutup.
Alat pendeteksi jenis ini dapat digunakan kembali jika kondisi sudah
normal.

c. Alat Deteksi Nyala Api (Flame Detector)


Api mengeluarkan radiasi sinar inframerah dan ultraviolet,
keberadaan sinar ini dapat dideteksi oleh sensor yang terpasang
dalam detector. Sesuai dengan fungsinya, detector ini terbagi atas
beberapa jenis yaitu :
 Detektor inframerah (Infrared Detector)
 Detektor UV (Ultra Violet Detector)
 Detektor foto elektrik (Photo Electric Detector)

 Alarm Kebakaran

Menurut NFPA 72, alarm dibagi menjadi dua yaitu, alarm yang bekerja dengan
manual yang bisa ditekan melalui tombol dalam kotak alarm (break glass), ada
juga sistem alarm yang diaktifkan oleh sistem detector. Ketika detector
mendeteksi adanya api, maka detector secara otomatis akan segera mengaktifkan
alarm. Alarm kebakaran ada berbagai macam antara lain :
o Bel, merupakan alarm yang akan bordering jika terjadi kebarakan, dapat
difungsikan secara manual atau dikoneksi dengan sistem deteksi
kebarakarn. Suara bel agak terbatas, sehingga sesuai ditempatkan dalam
ruangan terbatas seperti kantor.
o Sirine, fungsi sama denga bel, naum jenis suara yang dikeluarkan berupa
sirine. Sirine mengeluarkan suara yang lebih keras sehingga sesuai di
gunakan di tempat kerja yang luas seperti pabrik.
o Horn, horn juga berupa suara yang cukup keras namun lebih rendah
dibanding sirine.
o Pengeras suara, dalam suatu bangunan yang luas dimana penghuni tidak
dapat mengetahui keadaan darurat secara cepat, perlu dipasang jaringan
pengeras suara yang dilengkapi dengan penguatnya (pre-amplifier).

 Springkler

Springkler merupakan sistem yang digunakan untuk memadamkan kebakaran ketika


terjadi kebakaran disebuah bangunan, springkler secara otomatis menyala jika ada
api yang menyebabkan kebakaran.

Menurut PerMen PU RI No.26/PRT/M/2008, sprinkler adalah alat pemancaran air


untuk pemadam kebakaran yang mempunyai tudung berbentuk detector pada ujung
mulut pancarnya, sehingga air dapat memancar ke semua arah secara merata.

Menurut National Fire Protection Association (NFPA) 13 sistem sprinkler dibagi


beberapa jenis yaitu :

o Dry pipe sistem, menggunakan sistem sprinkler otomatis yang disambungkan dengan
sistem perpipaannya mengandung udara atau nitrogen bertekan yang bila terjadi
kebakaran akan membuka dry pipe value.
o Wet pipe sistem, sistem sprinkler yang bekerja secara otomatis tergabung dengan
sistem pipa yang berisi air dan terhubung dengan suplai air.
o Deluge sistem, menggunakan kepala sprinkler terbuka disambungkan dengan sistem
perpipaan yang dihubungkan ke suplai air melalui suatu value. Ketika value dibuka,
air akan mengalir ke dalam sistem perpipaan dan keluarkan dari seluruh sprinkler
yang ada.
o Preaction sistem, sistem sprinkler yang bekerja secara otomatis yang disambungkan
dengan sistem pipa udara yang bertekanan atau tidak. Penggerak sistem deteksi
membuka katup yang membuat air dapat mengalir ke sistem pipa sprinkler.
o Combined dry pipe-preaction, sistem sprinkler yang bekerja secara otomatis dan
terhubung dengan sistem yang mengandung air di bawah tekanan yang dilengkapi
dengan sistem deteksi yang terhubung ada satu area dengan sprinkler.
Menurut SNI 03-3989-2000, sistem sprinkler dibagi menjadi dua macam yaitu sprinkler
berdasarkan arah pancaran dan sprinkler berdasarkan kepekaan terhadap suhu. Berikut
klasifikasi kepala sprinkler :

 Berdasarkan arah pancaran


2. Pancaran ke atas
3. Pancaran ke bawah
4. Pancaran ke arah dinding
5. Berdasarkan kepekaan terhadap suhu

 Warna segel
1. Warna putih : temperatur 93oC
2. Warna biru : temperatur 141oC
3. Warna kuning : temperatur 181oC
4. Warna merah : temperatur 227oC
5. Tidak berwarna : temperatur 68oC atau 74oC

 Warna cairan dalam tabung gelas


1. Warna jingga : temperatur 57oC
2. Warna merah : temperatur 68oC
3. Warna kuning : temperatur 79oC
4. Warna hijau : temperatur 93oC
5. Warna biru : temperatur 141oC
6. Warna ungu : temperatur 181oC
7. Warna hitam : temperatur 227oC atau 260oC

 Hidran gedung

Hidran merupakan alat yang dihungkan dengan sumber air melalui jaringan pipa
yang berguna untuk mengalirkan air yang dibutuhkan untuk pemadaman
kebakaran.

Menurut NFPA 14, instalasi hidran kebakaran adalah suatu sistem pemadam
kebakaran yang menggunakan media pemadam air bertekanan yang dialirkan
melalui pipa – pipa dan selang kebakaran. Sistem ini terdiri dari sistem
persediaan air, pompa perpipaan, kopling outlet dan inlet, selang, dan nozzle. Ada
beberapa klasifikasi hidran yaitu :

a. Berdasarkan jenis dan penempatan hidran:


 Hidran gedung, adalah hidran yang terletak di dalam bangunan atau
gedung dan instalasi serta peralatannya disediakan serta dipasang, dalam
bangunan gedung tersebut.
 Hidran halaman, adalah hidran yang terletak di luar bangunan atau
gedung dan instalasi serta peralatannya disediakan serta di pasang di
lingkungan gedung tersebut.
 Berdasarkan besar ukuran pipa hidran yang di pakai
Hidran kelas 1 : menggunakan ukuran selang 2,5"
Hidran kelas II : menggunakan ukuran selang 1,5"
Hidran kelas III : ukuran sistem gabungan kelas I dan II

 Alat pemadam api ringan (APAR)

APAR adalah alat yang digunakan untuk memadamkan api atau mengendalikan
kebakaran kecil.

APAR adalah alat pemadam api ringan, mudah dibawa serta dipindahkan yang
dapat digunakan untuk memadamkan api pada awal kebakaran. APAR dapat
dikelompokkan dalam beberapa jenis yaitu cair, tepung kering, dan jenis
karbondioksida. (NFPA 10).

 Alat dengan media pemadaman air


Sifat air dalam memadamkan kebakaran adalah mengambil panas dan sangat
tepat untuk memadamkan bahan padat yang terbakar karena dapat
menembus sampai bagian dalam.

 Alat pemadam serbuk kimia kering


Sifat serbuk kimia ini tidak beracun tetapi dapat menyebabkan sesak nafas
dan mata menjadi kering. Ukuran serbuk sangat halus mempunyai berat jenis
0,91. Makin halus serbuk kimia kering, makin luas permukaan yang dapat
ditutupi.

 Karbondiaksida (CO2)
Media pemadaman api CO2 di dalam tabung harus dalam keadaan fase cair
bertekanan tinggi. CO2dapat memadamkan api dari kelas B, dan C.

 Alat pemadam media busa


Dapat digunakan untuk memadamkan kebakaran api kelas A dan akan lebih
efisien untuk memadamkan api kelas B tetapi berbahaya bila digunakan
untuk memadamkan api kelas C.

 Siames connection

Siames connection adalah sejenis komponen fire fighting yang bentuknya mirip
seperti fitting pipa dan biasa dipasang diatas tanah pada halam luar. Fungsi dari
siames connection ialah sebagai komponen penghubung untuk menghubungkan
selang dari mobil pemadam kebakaran dengan tujuan menyuntikkan pasokan air
dari dalam kebakaran yang berada diluar gedung utuk kemudian dipompa
menuju ke seluruh jaringan pipa fire fighting yang ada di dalam gedung.

 Sistem pengendali asap

Sistem pengendali asap merupakan sistem yang bertujuan untuk menghalangi


asap yang masuk ke dalam sumur tangga, sarana jalan keluar, daerah tempat
berlindung dan juga menghalangi perpindahan asap dari zona asap untuk
memproteksi jiwa dan mengurangi kerugian harta benda.

 Pembuangan asap

Pembuangan asap merupahan peralatan ventilasi dan pengkondisian udara


secara normal menyediakan sarana untuk memasok, menghisap balik dan
menghisap buang udara dari suatu tuangan yang dikondisikan.

 Lift kebakaran

Lift kebakaran digunakan untuk penanggulangan saat terjadi kebakaran,


sekurang-kurangnya ada satu buah lift yang disebut sebagai lift kebakaran atau
lift darurat (emergency lift).

 Listrik darurat

Listrik darurat merupakan pasokan daya listrik yang digunakan dalam keadaan
darurat untuk menghidupkan alat-alat seperti pencayahaan darurat, lift
kebakaran dan lain-lain jika pasokan listrik utama dari PLN mati. Listrik darurat
menggunakan sumber tanaga listrik dari baterai, generator dan lain-lain.

 Ruang pengendali operasi

Ruang pengendali operasi merupakan ruangan untuk melakukan tindakan


pengendalian kebakaran dan pengarahan selama berlangsungnya operasi
penanggulangan kebakaran atau penanganan kondisi darurat lainnya dan
melengkapi sarana alat pengendali, panel kontrol, telepon, mebel, peralatan dan
sarana lainnya yang diperlukan dalam penanganan kondisi kebakaran.
 Cahaya darurat dan petunjuk arah

Cahaya darurat merupakan alat yang dipasang didalam gedung berupa lampu
yang bertujuan untuk memberikan informasi kepada penghuni gedung jika ada
keadaan daruat seperti kebakaran. Sedangkan petunjuk arah dipasang untuk
mempermudah penghuni untuk keluar dari gedung dalam keadaan darurat
dengan adanya petunjuk arah penghuni tidak lagi bingung untuk keluar dari
dalam gedung.

C. SISTEM PROTEKSI FASIF

Sistem proteksi kebakaran pasif adalah sistem perlindungan terhadap kebakaran yang
dilakasanakan dengan melakukan pengaturan terhadap komponen bangunan gedung
dari aspek arsitektur dan struktur bangunan sehingga dapat melindungi penghuni dan
benda dari kerusakan fisik saat terjadi kebakaran.

Sistem proteksi pasif berperan dalam pengaturan pemakaian bahan bangunan dan
interior bangunan dalam upaya menguranggi intensitas kebakaran serta menunjang
terhadap tersedianya sarana jalan keluar yang aman terhadap kebakaran untuk
melakukan proses evakuasi. Sistem proteksi pasif terdiri dari kelengkapan tapak, sistem
proteksi pasif dan sarana penyelamatan.

Sistem proteksi pasif dapat didefenisikan sebagai sistem perlindungan terhadap


kebakaran yang dilaksanakan dengan melakukan pengaturan tehadap komponen
bangunan gedung dari aspek arsitektur dan struktur, sehingga dapat melindungi
penghuni dan benda dari kerusakan fisik saat terjadi kebakaran (Kepmen PU No.
10/KPTS/2000). Perencanaan struktur berkaitan dengan kemampuan bangunan untuk
tetap stabil pada saat terjadi kebakaran, sedangkan perencanaan konstruksi berkaitan
dengan jenis material yang digunakan. Material yang mempunyai daya tahan yang lebih
baik terhadap api, maka akan lebih baik pula terhadap pencegahan penjalaran api,
pengisolasian serta memberi waktu yang cukup untuk pengevakuasian penghuni. Sistem
proteksi pasif terdiri dari konstruksi tahan api dan kompartemen.

 Konstruksi Tahan Api

Bahan bangunan yang digunakan untuk unsur bangunan harus memenuhi persyaratan
pengujian sifat bakar dan sifat penjalaran api pada permukaan sesuai ketentuan yang
berlaku tentang bahan bangunan. Bahan bangunan yang dibentuk menjadi komponen
bangunan (dinding, kolom dan balok) harus memenuhi persyaratan pengujian sifat
ketahanan api yang dinyatakan dalam waktu (30, 60, 120, 180, 240) menit. Hal yang
harus diperhatikan adalah pemilihan material bangunan yang memperhatikan sifat
penjalaran dan penyebaran material, kemampuan terbakarnya suatu material dan sifat
penyalaan material bila terbakar. Selain itu, harus memmpunyai kemampuan struktur
dari komponen-komponen struktur seperti rangka atap, lantai, kolom dan balok (tulang-
tulang kekuatan pada bangunan). Perencanaan yang optimal dari hal tersebut adalah
untuk menimalkan kerusakan pada bangunan, mencegah penjalaran kebakaran dan
melindungi penghuni yaitu dengan memberikan waktu yang cukup dalam melakukan
evakuasi.

Menurut SNI 03-1736-2000, ketahanannya terhadap api tipe konstruksi, yaitu:

Tipe A

Konstruksi yang unsur struktur pembentuknya tahan api dan mampu menahan
secara struktural terhadap beban bangunan. Pada konstruksi ini terdapat komponen
pemisah pembentuk kompartemen untuk mencegah penjalaran api ke dan dari
ruangan bersebelahan dan dinding yang mampu mencegah penjalaran panas pada
dinding bangunan yang bersebelahan.

Tipe B

Konstruksi yang elemen struktur pembentuk kompartemen penahan api mampu


mencegah penjalaran kebakaran ke ruang-ruang bersebelahan di dalam bangunan,
dan dinding luar mampu mencegah penjalaran kebakaran dari luar bangunan.

MEDIA PEMADAMAN KEBAKARAN


Ketepatan memilih media pemadaman merupakan salah satu factor yang sangat menentukan
keberhasilan dalam melakukan pemadaman kebakaran. Dengan ketepatan pemilihan media
pemadam yang sesuai terhadap kelas kebakaran tertentu, maka akan dapat dicapai
pemadaman kebakaran yang efektif dan efisien.

Media pemadaman jenis padat :

 Pasir dan tanah

Fungsi utamanya adalah membatasi kebakaran, namun untuk kebakaran kecil


dapat dipergunakan untuk menutupi permukaan bahan bakar yang terbakar
sehingga memisahkan udara dari proses nyala yang terjadi, dengan demikian
nyalanya akan padam.
 Tepung Kimia

Cara kerja secara fisik yaitu dengan mengadakan pemisahan atau penyelimutan
bahan bakar. Sehingga tidak terjadi pencampuran oksigen dengan uap bahan
bakar. Cara kerja secara kimiawi yaitu dengan memutus rantai reaksi
pembakaran dimana partikel-partikel tepung kimia tersebut akan menyerap
radikal hidroksil dari api. Menurut kelas kebakaran, tepung kimia dibagi sebagai
berikut :

 Tepung kimia biasa (regular)


Kebakaran yang dipadamkan adalah kebakaran cairan, gas, dan listrik.
 Tepung kimia serbaguna (multipurpose)
Tepung ini sangat efektif untuk memadamkan kebakaran kelas A, B, C.
bahan baku tepung kimia multipurpose adalah tepung Amonium
Phoshate dan kalium sulfat
 Tepung kimia kering (khusus)
Tepung kimia kering atau dry powder untuk memadamkan kebakaran
logam.

Media pemadam jenis cair :

 Air,

Dalam pemadaman kebakaran, air adalah media pemadam yang paling banyak
dipergunakan, hal ini dikarenakan air mempunyai beberapa keuntungan antara
lain mudah di dapat dalam jumlah banyak, mudah disimpan, dialirkan, dan
mempunyai daya mengembang yang besar dan daya untuk penguapan yang
tertinggi.
Air mempunyai daya penyerap panas yang cukup tinggi, dalam hal ini berfungsi
sebagai pendingin. Panas yang dapat diserap air dari 15oC sampai menjadi uap
100oC adalah 622 kcal/kg. Air yang terkena panas berubah menjadi uap dan uap
tersebutlah yang menyelimuti bahan bakar yang terbakar. Dalam penyelimutan
ini cukup efektif, karena dari 1 liter air akan berubah menjadi uap sebanyak 1670
liter uap air.

 Busa

Berdasarkan kelas kebakaran, maka busa dibagi menjadi beberapa bagian, antara
lain :
 Busa regular, yaitu busa yang hanya mampu memadamkan bahan – bahan
yang berasal dari Hydrocarbon atau bahan-bahan cair bukan pelarut
(solvent).
 Busa serbaguna (all purpose foam), busa ini dapat memadamkan
kebakaran yang berasal dari cairan pelarut seperti alcohol, eter, dll.
 Berdasarkan cara terjadinya, maka busa dibagi menjadi :
 Busa kimia, busa ini terjadi karena adanya proses kimia, yaitu
pencampuran dari bahan pembuat busa dengan air sehingga membentuk
larutan busa.

Media pemadam jenis gas

Media pemadam jenis gas akan memadamkan api dengan cara pendingin (cooling)
dan penyelimutan (dilusi). Berbagai gas dapat dipergunakan untuk pemadam api,
namun gas CO2 dan N2 yang paling banyak di pergunakan.

Gas N2 lebih banyak dipergunakan sebagai dtenaga dorong kimia pada alat pemadam
api ringan (APAR) ataupun dilarutkan (sebagai pendorong) dalam halon. Gas CO2
sangat efektif di udara. Keunggulan gas CO2 adalah bersih, murah, mudah didapat,
tidak beracun. Sedangkan kerugiannya adalah wadahnya yang berat, tidak efektif
untuk area terbuka, kurang cocok untuk kebakaran kelas A, pada konsentrasi tinggi
berbahaya bagi pernapasan.

Media Pemadam Jenis Cairan Mudah Terbakar

Media pemadam ini bekerja dengan cara memutuskan rantai reaksi pembakaran dan
mendesak udara atau memisahkan zat asam. Nama umum media ini adalah Halon
atau Halogenated Hyrocarbon, yaitu suatu ikatan methan dan halogen (iodium, flour,
chlor, brom).

Keunggulan pemadaman dengan halon adaah bersih dan daya pemadamannya sangat
tinggi dibandingkan dengan media pemadam lain. Halon juga memiliki kelemahan
yaitu tidak efektif untuk kebakaran di area terbuka dan beracun.
PROSEDUR TANGGAP DARURAT
Prosedur tanggap darurat adalah tata laksana minimal yang harus diikuti dalam rangka
pencegahan dan penaggulangan kebakaran. Dengan mengikuti ketentuan tersebut
diharapkan tidak terjadi kebakaran atau kebakaran dapat diminimalkan. Adapun ketentuan
prosedur tanggap darurat adalah sebagai berikut :

 Prosedur tanggap darurat harus dimiliki oleh setiap bangunan gedung, khususnya
bangunan gedung umum, perhotelan, perkantoran, pusat belanja, dan rumah sakit.

 Setiap bangunan gedung harus memiliki kelengkapan prosedur tanggap darurat,


antara lain mengenai : pemberitahuan awal, pemadam kebakaran manual,
pelaksanaan evakuasi, pemeriksaan dan pemeliharaan peralatan proteksi kebakaran.

 Prosedur tanggap darurat dapat diganti atau disempurnakan sesuai dengan kondisi
saat ini dan antisipasi untuk kondisi yang akan datang.

 Prosedur tanggap darurat harus dikoordinasikan dengan instansi pemadam


kebakaran (KepMen PU No.11/KPTS/2000).
TEORI API
Defenisi dari Api menurut National Fire Protection Associantion (NFPA, 1986) adalah suatu
massa zat yang sedang berpijar yang dihasilkan dalam proses kimia oksidasi yang
berlangsung dengan cepat dan disertai pelepasan energi atau panas. Timbulnya api ini
sendiri disebabkan oleh adanya sumber panas yang berasal dari berbagai bentuk energi yang
dapat menjadi sumber penyulutan dalam segitiga api. Contoh sumber panas sebagai berikut:
1. Bunga api listrik dan busur listrik
2. Listrik statis
3. Reaksi kimia
4. Gesekan (friction)
5. Pemadatan (compression)
6. Api terbuka (Open Flame)
7. Pembakaran spontan (Spontaneous Combustion)
8. Petir (Lightning)
9. Sinar matahari

Api tidak terjadi begitu saja tetapi merupakan suatu proses kimiawi antara uap bahan bakar
dengan oksigen dan bantuan panas. Teori ini dikenal dengan segitiga api (fire triangle).
Menurut suratmo (1985) kebakaran terjadi karena adanya tiga faktor yang menjadi unsur
api yaitu:

1. bahan bakar (Fuel), yaitu unsur bahan


bakar baik padat, cair, atau gas yang
dapat terbakar yang bercampur
dengan oksigen dari udara.
2. Sumber panas (Heat), yaitu yang
merupakan pemicu kebakaran dengan
energi yang cukup untuk menyalakan
campuran antara bahan dan oksigen
dari udara.
3. Oksigen, terkadang dalam udara. Tanpa
adanya atau oksigen, maka proses
kebakaran tidak dapat terjadi.

Kebakaran dapat terjadi jika ketika unsur api tersebut saling bereaksi satu dengan yang
lainnya. Tanpa adanya salah satu unsur tersebut, api tidak dapat terjadi. Bahkan masih ada
unsur keempat yang disebut reaksi berantai, karena tanpa adanya reaksi pembakaran maka
api tidak akan menyala terus-menerus. Keempat unsur api ini sering disebut juga fire tetra
hedron.
Pada proses penyalaan, api mengalami empat tahapan. Mulai dari tahap permulaan hingga
menjadi besar, berikut penjelasanya:

a. Incipien stage (Tahap permulaan)


Pada tahap ini tidak terlihat adanya asap, lidah api, atau panas, tetapi terbentuk partikel
pembakaran dalam jumlah yang signifikan selama periode tertentu.

b. Smoldering stage (Tahap membara)


Partikel pembakaran telah bertambah, membentuk apa yang kita lihat sebagai “asap”.
Masih belum ada nyala api atau panas yang signifikan.

c. Flame Stage
Tercapai titik nyala, dan mulai terbentuk lidah api. Jumlah asap mulai berkurang,
sedangkan panas meningkat.

d. Heat stage
Pada tahap ini terbentuk panas, lidah api, asap, dan gas beracun dalam jumlah besar.
Transisi dari flame stage ke heat stage biasanya sangat cepat, seolah olah menjadi satu
dalam fase sendiri

Anda mungkin juga menyukai