TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Teori Dasar Kebakaran
2.1.1. Definisi Kebakaran
Menurut dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional
(DK3N), kebakaran adalah suatu peristiwa bencana yang berasal dari
api yang tidak dikehendaki yang dapat menimbulkan kerugian, baik
kerugian meteri (berupa harta benda, bangunan fisik, deposit/asuransi,
fasilitas sarana dan prasarana, dan lain-lain) maupun kerugian non materi
(rasa takut, shock, ketakutan, dan lain-lain) hingga kehilangan nyawa
atau cacat tubuh yang ditimbulkan oleh kebakaran tersebut.
Kebakaran terjadi dari reaksi oksigen akibat terpapar oleh panas dan
terdapatnya bahan bakar yang dapat munculnya api. Api yang yang cepat
menyebar ke benda lain yang mudah terbakar menjadikan api semakin besar
dan sulit untuk dikendalikan. Dengan demikian api tersebut dapat menjadi
ancaman bagi keselamatan manusia, lingkungan dan asset pada suatu
perusahaan.
2.1.2. Teori Munculnya Api
Secara sederhana susunan kimiawi dalam proses kebakaran dapat
digambarkan dengan istilah “Segitiga Api”. Teori segitiga api ini
menjelaskan bahwa untuk dapat berlangsungnya proses nyala api diperlukan
3 unsur pokok, yaitu: bahan yang terbakar (fuel), oksigen yang cukup dari
bahan oksidator, dan panas yang cukup (Materi Pengawasan K3
Penanggunalngan Kebakaran Depnakertrans, 2008).
Berdasarkan teori segitiga api tersebut, maka apabila unsur diatas
bertemu maka akan terjadi api. Namum, apabila salah satu unsur tersebut
tidak ada atau tidak berada pada keseimbangan yang cukup, maka api tidak
akan terjadi. Prinsip segitiga api dipakai sebagai dasar untuk mencegah
kebakaran (mencegah agar api idak terjadi) dan penanggulangan api yakni
memadamkan api yang dapat dicegah (Juwita, 2007).
Selain teori segitiga api juga terdapat teori lain yang menjelaskan
tentang proses terciptanya api. Teori tersebut adalah teori “Tethrahedron
Api”. Teori tethrahedron of fire ini didasarkan bahwa panas pembakaran
yang normal akan timbul nyala, reaksi kimia yang terjadi menghasilkan
beberapa zat hasil pembakaran seperti CO, CO2, SO2, asap dan gas
(Fatmawati, 2009). Berdasarkan teori tersebut dijelaskan ada 4 unsur yang
diperlukan untuk proses nyala api, yaitu: oksigen, panas, bahan bakar dan
rantai reaksi. Perbedaan teori tethrahedron api dengan segitiga api adalah
pada rantai reaksi. Rantai reaksi adalah peritiwa dimana ketiga unsur tersebut
saling bereaksi secara kimiawi. Sehingga dalam teori tethrahedron api tiga
unsur tersebut tidak akan dapat memunculkan api jika tidak berada dalam
satu rantai reaksi yang sama.
1. UV Flame Detektor
Flame Detector dengan teknologi ultraviolet mampu merespon
radiasi dengan kisaran spektral mulai dari 180 hingga 260 nanometer.
Kemampuan respon teknologi UV tergolong sangat cepat, begitu pula
tingkat sensitivitas yang sangat baik dalam range 0 sampai 50 kaki.
Teknologi UV memiliki respon sensitif terhadap lampu halogen, busur
pengelasan, serta petir dan muatan-muatan listrik lainnya.
2. UV/IR Flame Detektor
Detektor dual band dibuat saat sensor infrared diintegrasi oleh
sensor optik ultraviolet. Detektor dual band tersebut bersifat sensitif baik
terhadap radiasi yang berasal dari ultraviolet maupun radiasi infrared
yang dihasilkan oleh pancaran percikan api. Kombinasi dari UV dan IR
tersebut memiliki tingkatan kekebalan lebih tinggi selama UV detector
beroperasi dalam respon yang berkecepatan moderat. Teknologi ini
sangat tepat untuk digunakan di segala lokasi baik lokasi terbuka atau
outdoor dan lokasi tertutup atau indoor.
3. Multi-Spectrum IR Flame Detektor (MSIR)
Detektor Flame dengan teknologi ini memanfaatkan secara multipel
daerah spektral IR dengan tujuan meningkatkan tingkat diferensiasi dari
radiasi sumber api maupun sumber non api. Teknologi Flame
Detector dengan Multi-Spectrum IR ini sangat tepat untuk area atau
lokasi-lokasi yang memungkinkan terjadi risiko kebakaran yang
menimbulkan asap. Teknologi ini memiliki sistem operasi berkecepatan
sedang karena memiliki kemampuan menjangkau jarak sampai dengan
200 kaki dari sumber percikan api, indoor ataupun outdoor. Multi-
Spectrum IR memiliki tingkat kekebalan yang cenderung tinggi terhadap
radiasi yang berasal dari IR akibat adanya sengatan panas matahari,
percikan akibat aktivitas pengelasan, adanya muatan listrik, hingga
pemicu berupa material bersifat panas lainnya.
4. Visual Flame Imaging Detektor
Teknologi Flame Detektor yang terakhir ini memanfaatkan
beberapa perangkat CCD image sensors yang umumnya diaplikasikan
pada kamera sirkuit tertutup, serta algoritma pendeteksi api untuk
menentukan keberadaan percikan api kebakaran sungguhan. Dengan
adanya algoritma, maka gambar video yang didapat dari komponen CCD
mampu diproses dan akan dihasilkan analisis mengenai bentuk serta
perkembangan api kebakaran sehingga akan dapat dibedakan sumber api
dan sumber non api. Teknologi tidak sama bila dibandingkan dengan tiga
teknologi yang sebelumnya. Visual Flame Imaging juga bekerja dengan
tidak bergantung terhadap gejala yang mendeteksi terjadinya kebakaran
seperti adanya cahaya api, emisi karbondioksida, dan sebagainya.
Mengingat karakteristik tersebut, teknologi ini akan mungkin digunakan
hanya pada lokasi-lokasi yang di dalamnya memang telah biasa terdapat
aktivitas pembakaran demi menghindari terjadinya isu alarm palsu atau
keliru.