Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Teori Dasar Kebakaran
2.1.1. Definisi Kebakaran
Menurut dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional
(DK3N), kebakaran adalah suatu peristiwa bencana yang berasal dari
api yang tidak dikehendaki yang dapat menimbulkan kerugian, baik
kerugian meteri (berupa harta benda, bangunan fisik, deposit/asuransi,
fasilitas sarana dan prasarana, dan lain-lain) maupun kerugian non materi
(rasa takut, shock, ketakutan, dan lain-lain) hingga kehilangan nyawa
atau cacat tubuh yang ditimbulkan oleh kebakaran tersebut.
Kebakaran terjadi dari reaksi oksigen akibat terpapar oleh panas dan
terdapatnya bahan bakar yang dapat munculnya api. Api yang yang cepat
menyebar ke benda lain yang mudah terbakar menjadikan api semakin besar
dan sulit untuk dikendalikan. Dengan demikian api tersebut dapat menjadi
ancaman bagi keselamatan manusia, lingkungan dan asset pada suatu
perusahaan.
2.1.2. Teori Munculnya Api
Secara sederhana susunan kimiawi dalam proses kebakaran dapat
digambarkan dengan istilah “Segitiga Api”. Teori segitiga api ini
menjelaskan bahwa untuk dapat berlangsungnya proses nyala api diperlukan
3 unsur pokok, yaitu: bahan yang terbakar (fuel), oksigen yang cukup dari
bahan oksidator, dan panas yang cukup (Materi Pengawasan K3
Penanggunalngan Kebakaran Depnakertrans, 2008).
Berdasarkan teori segitiga api tersebut, maka apabila unsur diatas
bertemu maka akan terjadi api. Namum, apabila salah satu unsur tersebut
tidak ada atau tidak berada pada keseimbangan yang cukup, maka api tidak
akan terjadi. Prinsip segitiga api dipakai sebagai dasar untuk mencegah
kebakaran (mencegah agar api idak terjadi) dan penanggulangan api yakni
memadamkan api yang dapat dicegah (Juwita, 2007).
Selain teori segitiga api juga terdapat teori lain yang menjelaskan
tentang proses terciptanya api. Teori tersebut adalah teori “Tethrahedron
Api”. Teori tethrahedron of fire ini didasarkan bahwa panas pembakaran
yang normal akan timbul nyala, reaksi kimia yang terjadi menghasilkan
beberapa zat hasil pembakaran seperti CO, CO2, SO2, asap dan gas
(Fatmawati, 2009). Berdasarkan teori tersebut dijelaskan ada 4 unsur yang
diperlukan untuk proses nyala api, yaitu: oksigen, panas, bahan bakar dan
rantai reaksi. Perbedaan teori tethrahedron api dengan segitiga api adalah
pada rantai reaksi. Rantai reaksi adalah peritiwa dimana ketiga unsur tersebut
saling bereaksi secara kimiawi. Sehingga dalam teori tethrahedron api tiga
unsur tersebut tidak akan dapat memunculkan api jika tidak berada dalam
satu rantai reaksi yang sama.

2.2. Klasifikasi Kebakaran


Klasifikasi kebaran merupakan penggolongan kebakaran atas dasar jenis bahan
bakarnya.

2.2.1. Klasifikasi Kebakaran Mennurut NFPA


NFPA (National Fire Protection Association) adalah suatu lembaga swasta
yang khusus menangani di bidang penanggulangan kebakaran di Amerika
Serikat. Menurut NFPA, kebakaran dapat diklasifikasikan menjadi 4 kelas,
yaitu:
1. Kelas A
Yaitu bahan padat kecuali logam. Kelas ini mempunyai ciri-ciri
kebakaran yang meninggalkan arang atau abu. Unsur bahan yang
terbakar biasanya mengandung karbon. Misalnya: kertas, kayu, tekstil,
plastik, karet, busa, dan lain-lain yang sejenis dengan itu. Aplikasi
media pemadam yang cocok adalah bahan jenis basah yaitu air.
Karena prinsip kerja air dalam memadamkan api adalah menyerap
kalor/ panas dan menembus sampai bagian dalam.
2. Kelas B
Yaitu kebakaran cair dan gas yang mudah terbakar. Kelas ini terdiri dari
unsur bahan yang mengandung hidrokarbon dari produk minyak bumi
dan turunan kimianya. Misalnya: bensin, aspal, minyak, alkohol, gas
LPG, dan lain- lain sejenis dengan itu. Aplikasi media pemadam yang
cocok untuk bahan cair adalah jenis busa. Prinsip kerja busa dalam
memadamkan api adalah menutup permukaan cairan yang mengapung
pada permukaan. Aplikasi media pemadam yang cocok untuk bahan gas
adalah jenis bahan pemadam yang bekerja atas dasar substitusi
oksigen dan atau memutuskan reaksi berantai yaitu jenis tepung kimia
kering atau CO2.
3. Kelas C
Yaitu kebakaran listrik yang bertegangan. Misalnya: peralatan rumah
tangga, trafo, komputer, televisi, radio, panel listrik, transmisi listrik,
dan lain-lain. Aplikasi media pemadam yang cocok untuk kelas C adalah
jenis bahan kering yaitu tepung kimia atau CO2.
4. Kelas D
Pada prinsipnya semua bahan dapat terbakar tak terkecuali benda dari
jenis logam, hanya saja tergantung pada nilai titik nyalanya.
Misalnya: potassium, sodium, aluminium, magnesium, calcium, zinc,
dan lain-lain. Bahan pemadam untuk kebakaran untuk kebakaran
logam tidak dapat menggunakan air dan bahan pemadam seperti pada
umumnya. Karena hal tersebut justru dapat menumbulkan bahaya.
Maka harus dirancang secara khusus media pamadam yang prinsip
kerjanya adalah menutup permukaan bahan yang terbakar dengan cara
menimbun. Diperlukan pemadam kebakaran khusus (misal, Metal-X,
foam) untuk memadamkan kebakaran jenis ini.

2.3. Klasifikasi Gedung Berdasarkan Potensi Bahaya Kebakaran


Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor Kep. 186/MEN/1999 tentang
unit penanggulangan kebakaran, klasifikasi hunian atau jenis usaha ditinjau dari
potensi bahaya kebakaran dibagi dalam tingkatan kategori sebagai berikut :

1. Bahaya Kebakaran Ringan


Bahaya kebakaran pada tempat dimana terdapat bahan-bahan yang mempunyai
nilai kemudahan terbakar rendah dan apabila terjadi kebakaran melepaskan panas
rendah, sehingga menjalarnya api lambat. Yang termasuk pada klasifikasi ini
adalah: tempat beribadah, perpustakaan, rumah makan, hotel, rumah sakit,
penjara, perkantoran.
2. Bahaya Kebakaran Sedang Kelompok I
Bahaya kebakaran pada tempat dimana terdapat bahan-bahan yang mempunyai
nilai kemudahan terbakar sedang, penimbunan bahan mudah terbakar dengan
tidak lebih dari 2,5 meter dan apabila terjadi kebakaran melepaskan panas sedang,
sehingga api menjalar sedang. Yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah tempat
parker, pabrik roti, pabrik minuman, dll.
3. Bahaya Kebakaran Sedang Kelompok II
Bahaya kebakaran pada tempat dimana terdapat bahan-bahan yang mempunyai
nilai kemdahan terbakar sedang, penimbunan bahan mudah terbakar dengan tinggi
lebih dari 4 meter dan apabila terjadi kebakaran melepaskan panas sedang,
sehingga menjalar api sedang. Yang termasuk kedalam klasifikasi bahaya
kebakaran ini yaitu: penggilingan gandum, pabrik bahan makanan, pabrik kimia,
dll.
4. Bahaya Kebakaran Sedang Kelompok III
Bahaya kebakaran pada tempat dimana terdapat bahan-bahan yang mempunyai
nilai kemudahan terbakar tinggi dan apabila terjadi kebakaran melepaskan panas
tinggi, sehingga menjalarnya api cepat. Yang termasuk kedalam klasifikasasi
bahaya kebakaran ini yaitu : pabrik ban, bengkel mobil, pabrik kertas, dll.
5. Bahaya Kebakaran Berat
Bahaya kebakaran pada tempat dimana terdapat bahan-bahan yang mempunyai
nilai kemudahan terbakar tinggi dan apabila terjadi kebakaran melepaskan panas
sangat tinggi dan menjalarnya api cepat. Yang termasuk kedalam klasifikasi
bahaya kebakaran ini yaitu : pabrik kimia, pabrik bahan peledak, pabrik cat.

2.4. Sarana Pendeteksi dan Peringatan Kebakaran


Sistem proteksi kebakaran aktif, merupakan system perlindungan terhadap
kebakaran yang dilaksanakan dengan mempergunakan perlatan yang dapat bekerja
secara ototmatis maupun manual, digunakan oleh penghuni atau petugas pemadam
kebakaran dalam melaksanakan operasi pemadaman kebakaran. Yang termasuk dalam
system kebakaran aktif yaitu alarm (audible dan visible), deteksi/detector (panas,
asap, nyala), alat pemadam api ringan (APAR), hydrant dan springkler (Fatmawati,
2009).

2.4.1. Fire Alarm


Sistem yang dibangun dengan tujuan untuk mendeteksi adanya gejala
kebakaran pada sebuah gedung atau kantor. Dalam sebuah system fire alarm, terdapat
beberapa komponen utama yang merupakan dasar penggerak sister tersebut. Salah
satunya adalah alat pendeteksi. Jenis – jenis system fire alarm :
a. Non Addressable System : terdapat komponen Main Control Fire Alarm
(MCFA) yakni alat yang berfungsi menerima sinyal dari detector. Non
Addressable System menggunakan MCFA dan detector yang bersifat
konvensional. System ini menerima sinyal langsung dari semua detector
dan tidak ada alamat langsung dimana lokasi detector yang menerima
sinyal. System ini terbilang cukup sederhana dalam instalasinya. Biasanya
digunakan dalam gedung berskala kecil seperti perumahan atau pertokoan.
b. Semi Addressable System : menggunakan MCFA Addressable, tapi masih
menggunakan detector yang bersifat konvensional.
c. Full Addressable System : menggunakan MCFA dan detector yang
sepenuhnya bersifat addressable. Tentunya system ini merupakan system
yang mempermudah proses pendeteksian kebakaran.
2.4.2. Detector
Detektor adalah pengindera kebakaran atau dan penyampaian isyarat
sedini mungkin agar dapat menanggulangi kebakaran sehingga tidak
menimbulkan kerugian yang lebih besar, baik harta benda maupun
lingkungan.
Untuk kepentingan standart ini, detector kebakaran otomatik
diklasifikasikan sesuai dengan jenisnya.

2.5. Klasifikasi Detector


Untuk kepentingan standart ini, detector kebakaran otomatis diklasifikasin
sesauai dengan jenisnya. Ada beberapa jenis detector.
2.5.1. Heat Detector
Merupakam sebuah alat pemindai panas yang bekerja dengan cara
memindai suhu ruangan. Alat ini merupakan salah satu bagian paling penting
dalam system pemadam kebakaran bangunan yang umumnya terdiri dari
hydrant, sprinkler, fire alarm, dsb.
Alat pendeteksi panas ini terhubung langsung dengan alarm pemadam
kebakaran. Sehingga terjadi indikasi kebakaran, maka alat akan langsung
mentransfer sinyal ke alarm dan control panel. Alat pendeteksi kebakaran ini
bekerja dengan cara memindai suhu ruangan selama 24 jam. Cara kerjanya
mirip dengan thermometer karena memang ada thermometer di dalamnya.
Namun ketika ada indikasi kebakaran atau titik api, maka alat
pemindai panas ini akan mengirimkan sinyal. Indikasi kebakaran yang didapat
juga bisa dalam banyak bentuk, misalnya :
a. Terjadi peningkatan suhu hingga lebih dari 100% dari suhu normal
b. Suhu di dalam ruangan mencapai batas suhu maksimal yang sudah
ditentukan
c. Terdeteksinya api dalam sensor photoelectric

Berdasarkan cara kerjanya, Heat Detector dibagi menjadi 2 jenis :

1. System Rate of Rise Detector (ROR)


Merupakan alat pemindai suhu yang akan mengirimkan sinyal ketika
ada lonjakan suhu dalam jumlah tinggi dari normal. Alat ini menggunakan
system thermocouple atau thermistor yang sangat sensitive terhadap suhu
dan api. Sehingga dalam 1 menit, Heat Detector tipe ROR bisa
mengidentifikasi kenaikan uhu dari 12 – 15℃
Selain itu, detector ini juga bisa mengidentifikasi dan bekerja di bawah
suhu api normal yaitu sekitar 136.4℉ atau 58℃. Jadi tope pendeteksi
kebakaran ini lebih cocok jika digunakan ri tempat bersuhu normal seperti
di dapur, kamar tidur, ruang perkantoran. Berikut keunggulan dari ROR :
a. Memanfaatkan teknologi thermocouple dan thermistor yang
responsive dengan panas. Thermocouple untuk mendeteksi
respondari suhu sekitar dan thermistor untuk mendeteksi arus
konveksi dan radiasi
b. Menggunakan equalizer udara paduan untuk menghindari
kelembaban dan menstabilkan fungsi ventilasi.
c. Perangkat ini sepenuhnya disegel yang berfungsinya agar tidak
terpengaruh oleh kelembababn, debu atau serangga.
2. System Fixed Detector
Kebalikan dari system Rate of Rise, alat ini bekerja dengan cara
memindai suhu ruangan dan membandingkannya dengan suhu maksimal
yang tercatat di dalam system
Misalnya ketika suhu di ruangan tersebut adalah 40℃, yang mana
sudah terdeteksi sebagai indikasi kebakaran pada System Rate of Rise.
Tetapi jika suhu maksimal yang tercatat dalam System Fixed Detector
adalah 50℃, maka alarm tidak akan bunyi karena sinyal dari detector
tidak dikirimkan.
Oleh karena itu, kebanyakan system pendteksi kebakaran ini
ditempatkan di ruangan yang memang suhunya panas meskipun dalam
keadaan normal. Misalnya ruang bawah tanah atau basement, ruangan
yang dipenuhi mesin atau ruang beruap. Berikut keunggulan dari Fixed
Detector:
a. Memiliki perangkat pelindung untuk menghindari respon yang
tidak disengaja yang disebabkan oleh distorsi dan benturan
b. Perangkat ini sepenuhnya disegel yang fungsinya agar tidak
terpengaruh oleh kelembaban, debu atau serangga
c. Telah melewati control kualitas yang ketat melalui pengujian
berulan otomatis dan telah dikalibrasi secara otomatis di bawah
kondisi suhu dan kelembaban yang stabil.
2.5.2. Smoke Detector
Alat sejenis sensor yang dapat mendeteksi adanya segumpalan
asap. Smoke Detector sangat berguna untuk rumah tangga, kantor,
sekolah dan industry untuk mendeteksi secara dini adanya segumpalan
asap yang berasal dari kerusakan – kerusakan mesin ataupun api
sehingga dapat menghindari terjadinya bencana kebakaran yang lebih
besar.
Smoke Detector pada dasarnya adalah salah satu komponen
dari sebuah Fire Alarm System atau sistem pendeteksian kebakaran,
sistem Pendeteksian Kebakaran pada umumnya terdiri dari beberapa
komponen utama yaitu Detector Devices (Perangkat
Detector), Control Panel (Panel Kendali), Notification
Devices (Perangkat Notifikasi) dan Power Supply (Pencatu Daya).
Berdasarkan prinsip pendeteksinya, Smoke Detector dapat dibagi menjadi :
1. Photoelectric Smoke Detector
Photoelectric Smoke Detector atau Detektor Asap Fotolistrik adalah
jenis Smoke Detector yang menggunakan cahaya untuk mendeteksi adanya
gumpalan asap. Sinar Cahaya yang berbentuk denyutan dari lampu LED
dengan optiknya akan dipancarkan secara garis lurus ke bagian tertentu
pada chamber atau ruang hitam yang terdapat di perangkat detektor.
Sebuah sensor foto (PHOTOCELL) yang juga dilengkapi lensa optik
diletakan di posisi bagian bawah dasar vertikal. Sensor Foto ini akan
menghasilkan arus apabila terkena cahaya. Pada saat tidak ada asap, sinar
cahaya LED akan menembak secara garis lurus dan tidak akan menyinari
sensor foto yang terletak di bawah sinar tersebut. Namun apabila terjadi
kebakaran dan asapnya memasuki ruang atau chamber detektor maka
cahayanya akan berbelok dan diarahkan ke sensor foto (Photocell)
sehingga mengaktifkan sinyal alarm.
2. Ionization Smoke Detector
Sejumlah kecil bahan redioaktif mengionisasi udara pada sebuah
chamber yang terbuka terhadap ambien udara. Sejumlah arus kecil yang
telah diperhitungkan diperbolehkan mengalir pada udara terionisasi
tersebut. Apabila terdapat sejumlah partikel akibat kebakaran yang
memasuki chamber, partikel-partikel tersebut akan mengganggu gerakan
ion biasa (mengganggu ion yang gerakan normal) sehingga arus turun
menjadi lebih rendah maka sinyal alarm akan segera diaktifkan.
3. Projected Beam Smoke Detector
Projected Beam Smoke Detector bekerja berdasarkan prinsip
pengaburan cahaya yang terdiri dari sebuah lensa dan pemancar
(pemancar), penerima cahaya (receiver) dan reflektor cahaya (Light
Reflector). Pada kondisi normal, Pemancar cahaya memancarkan sinar
cahaya tidak terlihat dan diterima oleh penerima (receiver). Penerima atau
Receiver dikalibrasi pada tingkat kepekaan tertentu berdasarkan persentase
dari seluruh kondisi pengaburan. Ketika ada asap yang mengaburkan sinar
tersebut, sinyal alarm akan diaktifkan.

4. Aspirating Smoke Detector


Aspirating Smoke Detector atau Detektor Asap Aspiratif adalah
Detektor Asap yang sensor cahayanya sangat sensitif atau Nephelameter.
Smoke Detector jenis ini bekerja secara dinamis menarik sampel udara
untuk mendeteksi ada atau tidaknya kontaminasi tambahan udara  melalui
jaringan pipa ke chamber atau ruang sensor. Komponen-komponen utama
Aspirating Smoke Detector adalah Jaringan pipa kecil, Filter partikel,
ruang sensor, sumber cahaya yang terfokus dan penerima cahaya yang
sensitif. Ketika asap memasuki ruang sensor di sepanjar jalur sinar,
beberapa cahaya akan tersebar dan dikaburkan oleh partikel-partikel asap
sehingga dapat dideteksi oleh sensor cahaya yang sensitif tersebut dan
memicu pengaktifan sinyal alarm.
5. Video Smoke Detector
Video Smoke Detector (VSD) adalah jenis detektor asap yang
beroperasi berdasarkan pada analisis komputer dari gambar video yang
disediakan oleh kamera video standar (CCTV). Komponen-komponen
utama Sistem Pendeteksi Asap Video atau Video Smoke Detector (VSD)
ini adalah satu atau lebih kamera video, komputer dan perangkat lunak
untuk menganalisis sinyal video. Komputer akan menggunakan perangkat
lunak tertentu untuk mengidentifikasi gerakan dan pola asap yang unik.
Sinyal unik ini diidentifikasi dan memicu alarm yang aktif.
2.5.3. Flame Detector

Salah satu detektor yang memiliki fungsi terpenting adalah detektor


api atau yang biasa disebut dengan Flame Detector yang mampu
mengaktifkan alarm bila mendeteksi adanya percikan api yang berisiko
menyebabkan bencana kebakaran. Namun, saat memilih Flame Detector,
pengguna diharuskan telah benar-benar paham atas prinsip dari alat detektor
tersebut dan meninjaunya demi mendapatkan Flame Detector yang sesuai
dengan aktivitas di dalam lokasi dan tingkat kebutuhannya, serta bagaimana
konsekuensi risiko yang mungkin terjadi.

Prinsip Flame Detektor tersebut menggunakan metode optik yang


bekerja seperti UV (ultraviolet) dan IR (infrared), pencitraan visual api, serta
spektroskopi yang berfungsi untuk mengidentifikasi percikan api atau flame.
Reaksi intens bahan yang memicu kebakaran dapat ditandai dari UV,
terlihatnya emisi karbondioksida, dan radiasi dari infrared. Flame Detector
juga mampu membedakan antara False Alarm atau peringatan palsu dengan
api kebakaran sungguhan melalui komponen sistem yang dirancang dengan
fungsi mendeteksi adanya penyerapan cahaya yang terjadi pada gelombang
tertentu.

Berdasarkan prinsip kerjanya, Flame Detector terbadi menjadi :

1. UV Flame Detektor
Flame Detector dengan teknologi ultraviolet mampu merespon
radiasi dengan kisaran spektral mulai dari 180 hingga 260 nanometer.
Kemampuan respon teknologi UV tergolong sangat cepat, begitu pula
tingkat sensitivitas yang sangat baik dalam range 0 sampai 50 kaki.
Teknologi UV memiliki respon sensitif terhadap lampu halogen, busur
pengelasan, serta petir dan muatan-muatan listrik lainnya.
2. UV/IR Flame Detektor
Detektor dual band dibuat saat sensor infrared diintegrasi oleh
sensor optik ultraviolet. Detektor dual band tersebut bersifat sensitif baik
terhadap radiasi yang berasal dari ultraviolet maupun radiasi infrared
yang dihasilkan oleh pancaran percikan api. Kombinasi dari UV dan IR
tersebut memiliki tingkatan kekebalan lebih tinggi selama UV detector
beroperasi dalam respon yang berkecepatan moderat. Teknologi ini
sangat tepat untuk digunakan di segala lokasi baik lokasi terbuka atau
outdoor dan lokasi tertutup atau indoor.
3. Multi-Spectrum IR Flame Detektor (MSIR)
Detektor Flame dengan teknologi ini memanfaatkan secara multipel
daerah spektral IR dengan tujuan meningkatkan tingkat diferensiasi dari
radiasi sumber api maupun sumber non api. Teknologi Flame
Detector dengan Multi-Spectrum IR ini sangat tepat untuk area atau
lokasi-lokasi yang memungkinkan terjadi risiko kebakaran yang
menimbulkan asap. Teknologi ini memiliki sistem operasi berkecepatan
sedang karena memiliki kemampuan menjangkau jarak sampai dengan
200 kaki dari sumber percikan api, indoor ataupun outdoor. Multi-
Spectrum IR memiliki tingkat kekebalan yang cenderung tinggi terhadap
radiasi yang berasal dari IR akibat adanya sengatan panas matahari,
percikan akibat aktivitas pengelasan, adanya muatan listrik, hingga
pemicu berupa material bersifat panas lainnya.
4. Visual Flame Imaging Detektor
Teknologi Flame Detektor yang terakhir ini memanfaatkan
beberapa perangkat CCD image sensors yang umumnya diaplikasikan
pada kamera sirkuit tertutup, serta algoritma pendeteksi api untuk
menentukan keberadaan percikan api kebakaran sungguhan. Dengan
adanya algoritma, maka gambar video yang didapat dari komponen CCD
mampu diproses dan akan dihasilkan analisis mengenai bentuk serta
perkembangan api kebakaran sehingga akan dapat dibedakan sumber api
dan sumber non api. Teknologi tidak sama bila dibandingkan dengan tiga
teknologi yang sebelumnya. Visual Flame Imaging juga bekerja dengan
tidak bergantung terhadap gejala yang mendeteksi terjadinya kebakaran
seperti adanya cahaya api, emisi karbondioksida, dan sebagainya.
Mengingat karakteristik tersebut, teknologi ini akan mungkin digunakan
hanya pada lokasi-lokasi yang di dalamnya memang telah biasa terdapat
aktivitas pembakaran demi menghindari terjadinya isu alarm palsu atau
keliru.

2.5.4. Gas Detector


Untuk menguji keberadaan gas yang berbahaya dapat dilakukan
dengan menggunakan peralatan yang bisa menguji dan mendeteksi
kadar gas berbahaya. Alat pendeteksi tersebut adalah berupa Gas
Detector. Fungsi dari gas detector untuk mendeteksi atau mengetahui
keberadaan gas-gas di udara serta mengukur konsentrasi atau kadar gas
di udara. Yang dapat di ukur gas atau uap udara adalah; Karbon
Monoksida (CO), Hidrokarbon (HC), Karbon dioksida (CO2),
Hidrogen Sulfida (H2S), oksigen (O2). Beberapa jenis Gas Detector :
1. Toxic Gas Detector
Tipe ini alat ini untuk Mendeteksi adanya gas-gas yang
berbahaya dan beracun di lingkungan sekitar kita
Tipe Toxic Gas Detector adalah;
a. Tube Detector, alat deteksi Kapsul
b. Deteksi Badge
c. Deteksi Portable (Bisa di bawa)
d. Fixed system, yang di pasang secara permanen
2. Tipe Oxygen Analyzer
Oxygen Analyzer adalah suatu alat yang di pergunakan untuk
mengukur konsentrasi oxigen dalam suatu lokasi. Tujuan nya
adalah untuk melindungi pekerja akibat dari kekurangan oxigen,
lebih lagi pada aktifitas pekerjaan confined space. Pengujian
dilakukan pada saat sebelum memasuki kedalam vessel atau ruang
yang tidak terdapat sirkulasi udara dan berisi nitrogen atau gas inert
3. Tipe Combustible / Flammable, Gas Detector (Explosimeter)
Pada jenis ini dapat mendeteksi dan mengukur kandungan gas atau
uap suatu zat yang mudah terbakar atau menyala di udara. Hasil
Pengukuran pada Explosimeter dalam persen (%) di bawah LEL
(Lower Explosivity Limit). Serta dapat dilihat pada meter dalam
bentuk skala persentase yang di tunjukkan mulai 0% sampai
dengan 100% LEL
Explosimeter ada dua (2) jenis: 
a. Portable System
b. Fixed System
Tujuan Kalibrasi Peralatan gas detector;
 Dengan dilakukannya kalibrasi maka dapat diketahui sensor masih berfungsi dengan
baik
 Kalibrasi dilakukan untuk mengatur ulang pembacaan dengan menggunakan gas
standard
 Dilakukan kalibrasi secara periodik 
 Peralatan gas detector yang dibeli mempunyai karakteristik tersendiri, ada baik
nya untuk kalibrasi peralatan tersebut harus mengikuti petunjuk yang dikeluarkan oleh
pabrik pembuatnya
 Gas detector sebaiknya dilakukan kalibrasi sebelum dipergunakan, agar diketahui
alat  tersebut dapat berfungsi dengan baik.

Anda mungkin juga menyukai