Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PRAKTIKUM

PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN

Disusun Oleh :

Hendra Wisnu Nugroho (1954251032)

Dosen Pengampuh :

Enny Insusanty, S.Hut., M.Si

FAKULTAS KEHUTANAN

UNIVERSITAS LANCANG KUNING

2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan
karunia-Nya saya masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan laporan ini. Tidak lupa saya
ucapkan kepada Dosen Pembimbing Enny Insusanty dan teman-teman Fakultas Kehutanan
semester enam (6) yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan ini masih banyak kekurangan, oleh
sebab itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Dan semoga
dengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan teman-teman. Aamiin.

Pekanbaru, 15 Juni 2022

Penulis
Kebakaran merupakan musibah yang bisa terjadi kapan saja dan dimana saja. Baik
kebakaran pada gedung kantor, pabrik, pusat perbelanjaan, hingga kebakaran hutan.
Kebakaran yang terjadi dapat menyebabkan kerusakan yang serius terhadap properti,
korban luka, hingga kematian. Penyebab yang paling sering diungkap adalah kerbakaran
terjadi akibat kelalaian seseorang. Namun hal ini dapat dicegah dengan mengetahui
klasifikasi atau kelas dari kebakaran. Hal ini bertujuan agar langkah mitigasi yang kita
lakukan tepat sasaran sesuai dengan media pemadam yang digunakan

1. Tipe Kebakaran dan Faktor-Faktor Penyebabnya

Pengelompokkan kebakaran menurut peraturan Menteri Tenaga Kerja dan


Transmigrasi Nomor 04/MEN/1980 Bab I Pasal 2, ayat 1 mengkalisikasikan
kebakaran menjadi 4 yaitu katagori A,B,C,D. Sedangkan National Fire Protection
Association (NFPA) menetapkan 5 katagori jenis penyebab kebakaran, yaitu kelas A,
B, C, D dan K. Bahkan beberapa Negara menetapkan tambahan klasikasi dengan
kelas E.

Klasifikasi tersebut adalah sebagai berikut :

a. Kebakaran kelas A
Kebakaran Kelas A merupakan kelas kebakaran yang dikarenakan oleh bahan-
bahan padat non-logam seperti Kertas, Plastik, Kain, Kayu, Karet dan lain
sebagainya. Jenis APAR yang cocok untuk memadamkan kebakaran Kelas A
adalah APAR jenis Cairan (Water), APAR jenis Busa (Foam) dan APAR jenis
Tepung Kimia (Dry Powder)..
b. Kebakaran kelas B
Kebakaran bahan bakar cair atau gas yang mudah terbakar.
Contoh : Kerosine, solar, premium (bensin), LPG/LNG, minyak goreng.
Alat pemadam yang dapat dipergunakan pada kebakaran tersebut adalah Tepung
pemadam (dry powder), busa (foam), air dalam bentuk spray/kabut yang halus.
c. Kebakaran Kelas C
Kebakaran instalasi listrik bertegangan. Seperti : Breaker listrik dan alat rumah
tangga lainnya yang menggunakan listrik.Alat Pemadam yang dipergunakan
adalah : Carbondioxyda (CO2), tepung kering (dry chemical). Dalam pemadaman
ini dilarang menggunakan media air.

d. Kebakaran Kelas D
Kebakaran pada benda-benda logam padat seperti : magnesum, alumunium,
natrium, kalium,dsb.
Alat pemadam yang dipergunakan adalah : pasir halus dan kering, dry powder
khusus.
e. Kebakaran kelas K
kebakaran yang disebabkan oleh bahan akibat konsentrasi lemak yang tinggi.
Kebakaran jenis ini banyak terjadi di dapur. Api yang timbul didapur dapat
dikategorikan pada api Klas B.

f. Kebakaran Kelas E
Kebakaran yang disebabkan oleh adanya hubungan arus pendek pada peralatan
elektronik. Alat pemadam yang bisa digunakan untuk memadamkan kebakaran
jenis ini dapat juga menggunakan tepung kimia kering (dry powder), akan tetapi
memiliki resiko kerusakan peralatan elektronik, karena dry powder mempunyai
sifat lengket. Lebih cocok menggunakan pemadam api berbahan clean agent

Faktor-faktor penyebab terjadinya kebakaran diantaranya ialah:

a. Faktor terjadinya kebakaran karena alam :

1) Petir (misal : sambaran petir pada bahan mudah terbakar).

2) Gempa bumi (misal: gempa bumi yang mengakibatkan terputusnya jalur gas
bahan bakar)

3) Gunung meletus (dikarenakan lava pijar yang panas membakar tumbuhan


kering disekitarnya).

4) Panas matahari (misal : panas matahari yang memantul dari kaca cembung ke
dedaunan kering di sekitarnya).

5) Dsj.

b. Faktor terjadinya kebakaran karena manusia :

1) Disengaja (pembalakan liar, balas dendam, dsj).


2) Kelalaian (lupa mematikan tungku pembakaran saat akan meninggalkan
rumah, dsj).

3) Kurang pengertian (membuang rokok sembarangan, merokok di dekat tempat


pengisian bahan bakar, dsj).

c. Fartor penyebab kebakaran karena binatang : tikus, kucing dan binatang


peliharaaan lainnya yang berpotensi menimbulkan kebakaran akibat terdapat
sumber api di sekitar rumah tanpa pengawasan, dsj.

Oleh karena sifat kebakaran dimana mengakibatkan banyak kerugian, maka


untuk mencegah terjadinya kebakaran dapat diupayakan langkah-langkah
sebagai berikut :

a. Mengadakan penyuluhan mengenai bahaya kebakaran dari pemerintah kepada


masyarakat.

b. Pengawasan bersama terhadap segala potensi-potensi kebakaran secara bersama-


sama saling mengingatkan.

c. Menyediakan sarana pemadam kebakaran aktif maupun pasif di area yang


berpotensi tinggi terjadi kebakaran.

2. Dasar Dasar Penyalaan Api

Kebakaran adalah sebuah fenomena yang terjadi ketika suatu bahan mencapai
temperatur kritis dan bereaksi secara kimia dengan oksigen yang menghasilkan panas,
nyala api, cahaya, asap, uap air, karbon monoksida, karbondioksida, atau produk dan
efek lain (Standar Nasional Indonesia/SNI). Kebakaran merupakan api yang tidak
terkendali dan tidak diinginkan oleh manusia. Kebakaran termasuk keadaan darurat
yang dapat menimbulkan berbagai macam kerugian mulai dari manusia, harta benda,
maupun produktivitas, dan kerugiansosial. Menurut PERMEN PU
No.26/PRT/M/2008 pasal 1, bahaya kebakaran adalah bahaya yang diakibatkan oleh
adanya ancaman potensial dan derajat terkena pancaran api sejak dari awal terjadi
kebakaran hingga penjalaran api, asap, dan gas yang ditimbulkan. Kebakaran dapat
terjadi karena adanya tiga unsur segitiga api yang saling berhubungan, yaitu adanya
bahan bakar, oksigen, dan sumber panas atau nyala. Pada umumnya kebakaran terjadi
secara tidak terduga, namun dapat di kontrol atau dicegah dengan melepaskan satu
dari tiga unsur segitiga api tersebut.Terbentuknya api adalah suatu proses reaksi
kimiawi yang menghasilkan panas, cahaya, dan berbagai hasil reaksi kimia lainnya.
Reaksi kimiawi ini disebut dengan oksidasi. Ini merupakan proses dimana molekul
oksigen bereaksi dengan unsur lain dan saling melepaskan elektron hingga terjadinya
api. Api merupakan energi yang memiliki intensitas bervariasi, memiliki cahaya, serta
panas yang bisa menimbulkan asap. Intensitas ini akan menunjukkan penyebab
terbentuknya api.

3. Teori Terjadinya Api 

a. Segitiga Api (Triangle of Fire) 


Api tidak terjadi begitu saja namun terdapat suatu proses kimiawi antara unsur
bahan bakar (fuel), oksigen (O2) dan panas yang dikenal dengan teori segitiga
api.Berdasarkan teori segitiga api, kebakaran terjadi karena adanya tiga faktor
yang menjadi unsur api, yaitu (Ramli, 2010):

Bahan bakar (fuel), meliputi bahan padat, cair, dan gas yang dapat
terbakar dan tercampur dengan oksigen dari udara. Agar api bisa menyala,
perlu ada material yang terbakar dan berperan sebagai bahan bakar. Misalnya
kayu, kertas, tisu, atau bisa juga benda cair seperti bensin, oli, minyak, dan
lain sebagainya. Lalu bagaimana terjadinya api dalam korek api?Jika
diperhatikan, memang tidak ada bahan bakar di dalam korek api bensin.
Tetapi sebenarnya, cairan yang sering disebut bensin itulah yang menjadi
bahan bakar utama.Namun korek api bensin tidak menyala karena bensin
tersebut dibakar. Melainkan karena bensin tersebut diuapkan atau diubah
menjadi benda gas yang keluar melalui selang di korek api. Kemudian
terdapat ignition atau percikan api yang membakar dan membuat apinya
menyala.Jadi dalam korek api bensin, benda gas adalah bahan bakar utama
yang menyebabkan api bisa menyala.

b. Sumber panas (heat), yaitu pemicu kebakaran dengan energi yang cukup untuk
menyalakan campuran antara bahan bakar dan oksigen dari udara. Selain
oksigen dan bahan bakar, unsur api dalam segitiga api yang berikutnya adalah
panas atau suhu panas. Panas bisa didapatkan dari banyak hal. Tetapi yang
paling utama adalah karena pergesekan atau gaya gesek yang dihasilkan oleh 2
benda secara terus menerus dalam waktu lama.Orang pada jaman dulu
menciptakan suhu panas dengan cara menggesek 2 bilah ranting dan
menggunakan dedaunan kering sebagai bahan bakarnya. Dengan begitu, suhu
panas akan membakar fuel berkat adanya oksigen di sekitarnya.Selain itu, suhu
panas ini juga bisa dipengaruhi oleh faktor lain. Misalnya cuaca, iklim, reaksi
nuklir, dan masih banyak lagi.
c. Oksigen, yaitu proses kebakaran tidak terjadi tanpa adanya udara atau oksigen.
Unsur yang paling utama dalam menciptakan api adalah oksigen. Karena
faktanya, api tidak akan bisa menyala tanpa ada oksigen yang dibakar.Seperti
yang Anda semua ketahui, bumi merupakan satu-satunya planet saat ini yang
dipenuhi oleh O2 atau oksigen di dalam udaranya. Sedangkan agar api bisa
menyala, hanya dibutuhkan sekitar 15% oksigen di udara. Itulah mengapa api
sangat mudah menyala di bumi.Sedangkan di luar angkasa, api tidak bisa
menyala karena tidak ada oksigen yang bisa terbakar dan menciptakan oksidasi.

Proses fotosintesa : CO2 + H2O + Energi matahari _ (C6H10O6) + O2

Proses pembakaran: (C6H10O6)n + O2 + panas penyalaan _ CO2 + H2O +


panas (Bahan bakar) (oksigen) (panas/sumber penyulut)

Dalam proses fotosintesa energi terpusat secara perlahan-lahan, sedangkan


dalam proses pembakaran energi dilepaskan dengan cepat. Dalam proses
pembakaran, panas penyalaan dianggap sebagai katalisator untuk memulai dan
memelihara proses terjadinya kebakaran (Davis, 1973). Oleh karena itu sarat
terjadinya kebakaran atau nyalanya api pertama, harus tersedia bahan bakar
yang dapat terbakar. Selain itu, kedua harus menghasilkan panas yang cukup
yang digunakan untuk menaikkan suhu bahan bakar hingga ke titik penyalaan.
Dan akhirnya, harus terdapat udara yang cukup untuk menyuplai oksigen yang
diperlukan. Oksigen diperlukan untuk menjaga proses pembakaran agar tetap
berjalan dan untuk mempertahankan suplai panas yang cukup sehingga
memungkinkan terjadinya penyalaan bahan bakar yang sulit terbakar. Selain
teori segitiga api yang menjadi dasar terbentuknya api, pada perkembangan
selanjutnya, ditemukan bahwa selain ketiga komponen ada lagi komponen
keempat dalam proses pembakaran yang dibutuhkan oleh proses pembakaran
untuk mendukung kesinambungannya dan juga untuk bertambah besar, yaitu
rantai reaksi kimia antara bahan bakar dengan bahan pengoksidasi/oksidator.
Sehingga dengan demikian segitiga api tadi dengan adanya faktor rantai reaksi
kimia, yang juga termasuk komponen pembakaran, berubah menjadi satu
bangun tiga dimensi segitiga piramida (tetrahedron). Seiring dengan
menyalanya api, molekul bahan bakar juga berkurang berubah menjadi molekul
yang lebih sederhana. Dengan berlanjutnya proses pembakaran, naiknya
temperatur menyebabkan oksigen tambahan terserap ke area nyala api. Lebih
banyak molekul bahan bakar akan terpecah, bergabung ke rantai reaksi,
mencapai titik nyalanya, mulai menyala, menyebabkan naiknya temperatur,
menyerap oksigen tambahan, dan melanjutkan rantai reaksi. Proses rantai reaksi
ini akan berlanjut sampai seluruh substansi/bahan yang terkait mencapai area
yang lebih dingin dinyala api. Selama tersedia bahan bakar dan oksigen dalam
jumlah yang cukup, dan selama temperatur mendukung, reaksi rantai akan
meningkatkan reaksi pembakaran.

d. . Bidang Empat Api (Tetrahedron of Fire) 

Kebakaran dapat juga terjadi karena ada tambahan unsur keempat yaitu
reaksi berantai pada pembakaran sehingga dimensi segitiga api menjadi model
baru yang disebut dengan bidang empat api atau yang sering disebut
juga Tetrahedron of Fire. Berdasarkan teori bidang empat api, terdapat empat
proses penyalaan api mulai dari tahap permulaan hingga menjadi besar, yaitu
(Ramli, 2010):
1. Incipien Stage (Tahap Permulaan). Pada tahap ini tidak terlihat adanya asap,
lidah api atau panas, tetapi terbentuk partikel pembakaran dalam jumlah yang
signifikan  selama periode tertentu.
2. Smoldering Stage ( Tahap Membara). Partikel pembakaran telah bertambah
membentuk apa yang kita lihat sebagai asap. Masih belum ada nyala api atau
panas yang signifikan. 
3. Flame Stage. Tercapai titik nyala dan mulai terbentuk lidah api. Jumlah asap
mulai berkurang sedangkan panas meningkat. 
4. Heat Stage. Pada tahap ini terbentuk panas, lidah api, asap dan gas beracun
dalam jumlah besar. Transisi dari flame stage ke heat stage biasanya sangat
cepat seolah-olah menjadi satu dalam fase sendiri.

4. Tahap-tahap Kebakaran

Proses terjadinya kebakaran pada gedung atau ruang tertutup terbagi menjadi lima
tahap, yaitu sebagai berikut (Tanubrata, 2006):

a. Tahap Penyalaan 
Tahap ini ditandai dengan munculnya api dalam ruangan. Proses timbulnya
api dalam ruangan ini disebabkan oleh adanya energi panas yang mengenai material
yang dapat terbakar dalam ruang, misalnya: ledakan kompor, tabung gas, hubungan
singkat arus listrik, puntung rokok membara, dll. Akibat dan gejala yang
ditimbulkannya masih relatif kecil sehingga kejadian pada tahap ini seringkali tidak
diketahui.

b. Tahap Pertumbuhan (Growth Period) 


Setelah tahap penyalaan, api mulai berkembang sebagai fungsi dari bahan
bakar, dengan sedikit atau tanpa pengaruh dari ruangan. Udara yang ada di dalam
ruangan masih cukup untuk mensuplai pembakaran. Jika material yang terbakar
masih cukup banyak dan pertumbuhan api berlangsung terus, sehingga
menyebabkan temperatur ruangan naik. Keadaan demikian ini disebut api
dikendalikan bahan bakar. Pada tahap ini api masih teralokasi dan temperatur
ruangan masih relatif rendah, di bawah 300 derajat C. Tahap pertumbuhan ini
merupakan tahap yang paling baik untuk evakuasi penghuni dan sensor-sensor
pencegah kebakaran harus sudah bekerja. Asap dan gas-gas beracun masih sedikit,
sehingga ruangan masih cukup aman bagi tindakan evakuasi. Upaya pengendalian
kebakaran sebaiknya dilakukan pada tahap ini, oleh karena selepas flashover api
susah dikendalikan.

c. Tahap Flashover 

Flashover secara umum didefinisikan sebagai masa transisi antara tahap


pertumbuhan dengan tahap pembakaran penuh. Proses berlangsungnya sendiri
sangat cepat, berkisar 300-600 derajat C. Munculnya flashover disebabkan oleh
adanya ketidakstabilan panas di dalam ruangan.Beberapa kriteria kapan terjadinya
flashover yaitu:

1. Saat lidah api (flame) menyentuh langit-langit.


2. Saat lidah api (flame) mulai menjulur keluar bukaan. 
3. Saat temperatur lapis atas ruangan mencapai 300-600 derajat C.
4. Saat timbul tingkat radiasi kritis pada lantai ruangan yang besarnya 2 cm2.

Ketika flashover tercapai, yang sebelumnya terbakar sebagian mendadak


dan serentak terbakar seluruhnya. Jadi flashover adalah kondisi batas dimulainya
kebakaran total dalam ruangan. Kecepatan pembakaran naik secara cepat sehingga
api sukar dikendalikan. Oleh karena itu perkiraan kapan terjadinya flshover sangat
penting dalam pengkajian perilaku kebakaran dalam ruangan.

d. Tahap Pembakaran Penuh (Fully Developed Fire) 


Pada tahap ini kalor yang dilepaskan (heat release) adalah yang paling
besar, karena kebakaran terjadi di seluruh ruangan. Seluruh material dalam ruang
terbakar, sehingga temperatur dalam ruang menjadi sangat tinggi, mencapai 1200
derajat C. Pada tahap ini perkembangan api sangat dipengaruhi oleh dimensi dan
bentuk ruangan, terutama lebar bukaan, karena udara dalam ruangan sendiri sudah
tidak mampu menyuplai pembakaran sepenuhnya. Kondisi demikian biasa disebut
sebagai api yang dikendalikan oleh ventilasi. Akibat yang mungkin timbul adalah
rusaknya elemen-elemen akibat thermal stress, kerusakan pada komponen struktur
pendukung, kemudian runtuhnya bangunan.
e. Tahap Surut (Decay) 

Tahap surut tercapai bila material terbakar sudah habis dan temperatur
ruangan berangsur turun. Selain penurunan temperatur, ciri lain tahap ini adalah
turunnya laju pembakaran. Pada tahap ini perkembangan api kembali sebagai
fungsi dari material yang terbakar. Semakin menyusut bahan-bahan yang dapat
terbakar dalam ruangan semakin api surut.

5. Klasifikasi dan sifat-sifat bahan bakar hutan

Manajemen bahan bakar adalah tindakan atau praktek yang ditujukan untuk
mengurangi kemudahan bahan bakar untuk terbakar (fuel flammability) dan
mengurangi kesulitan dalam pemadaman kebakaran hutan. Manajemen bahan bakar
dapat dilakukan secara mekanik, kimiawi, biologi atau dengan menggunakan api.
Perlakuan bahan bakar adalah setiap manipulasi bahan bakar agar bahan bakar itu
tidak mudah terbakar, dengan cara pemotongan, penyerpihan, penghancuran,
penumpukan dan pembakaran. Manajemen bahan bakar mempunyai tujuan yang
bermacam-macam, yaitu:

a. Untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan. Sebagai contoh, kalau terjadi


kebakaran lahan di luar kawasan hutan, apinya tidak bisa menjalar ke dalam
kawasan hutan karena dihambat oleh suatu jalur isolasi, sehingga kawasan hutan
tersebut terhindar dari kebakaran. Sebaliknya, bila kebakaran terjadi di dalam
kawasan hutan, maka apinya tidak bisa menjalar keluar kawasan hutan dan
bagian-bagian hutan lainnya, karena ada jalur isolasi.
b. Untuk memperlambat penjalaran api kebakaran hutan. Sebagai contoh, bila salah
satu atau beberapa karakteristik atau sifat bahan bakarnya diubah (misalnya
kekompakannya atau kadar airnya ditingkatkan), maka penjalaran apinya akan
dapat diperlambat. Api yang menjalar lambat akan lebih mudah dipadamkan.
c. Untuk mengurangi lama waktu terjadinya kebakaran. Misalnya karena jumlah
bahan bakar per satuan luasnya telah dikurangi, maka kebakarannya tidak
berlangsung lama dan apinya akan cepat padam, atau hanya terjadi bara api
sedikit saja.
d. Untuk mengurangi banyaknya asap yang timbul. Misalnya karena bahan bakarnya
telah dikurangi, maka kebakarannya tidak berlangsung lama dan dengan demikian
jumlah asap yang dihasilkan juga sedikit.
e. Untuk menciptakan lingkungan yang tidak terlalu panas pada saat operasi
pemadaman kebakaran. Misalnya karena bahan bakarnya telah diurangi, maka
intensitas panas api kebakaran tang terjadi rendah, sehingga para petugas tidak
terlalu ‘kepanasan’ sewaktu bekerja memadamkan api.
f. Untuk mempermudah operasi pemadaman kebakaran. Misalnya bila dalam
kawasan hutan tersedia jalur isolasi bahan bakar, para petugas pemadaman akan
lebih mudah untuk didatangkan ke lokasi kebakaran. Terdapat beberapa hal yang
dapat dilakukan dalam memanajemen bahan bakar yaitu, melakukan modifikasi,
pengurangan dan isolasi bahan bakar
6. Modifikasi Bahan Bakar

Modifikasi bahan bakar merupakan usaha untuk merubah satu atau beberapa
macam karakteristik bahan bakar. Tujuannya adalah agar bahan bakar tidak mudah
erbakar, atau kalau terjadi kebakaran penjalaran apinya lambat, sehingga mudah
dipadamkan. Bahan bakar dapat dimodifikasi dengan berbagai cara. Berikut ini adalah
contoh-contoh cara modifikasi bahan bakar dan karakteristik bahan bakar yang
dirubahnya:

a. Memotong-motong dahan dan ranting pohon yang berupa limbah penebangan


menjadi potongan-potongan yang lebih kecil dan pendek. Pada penebangan
pohon di areal pengusahaan hutan (HPH), kayu yang dimanfaatkan hanya bagian
batang bebas cabang sedangkan bagian tajuknya yang terdiri dari dahan besar,
dahan kecil, ranting-ranting dan daunnya ditinggalkan di hutan. Dari bagian tajuk
ini hanya daunnya yang akan cepat gugur ke lantai hutan dan akan cepat
terdekomposisi sedangkan dahan dan rantingnya akan lambat jatuh. Pada musim
kemarau, bagian tajuk ini akan menjadi bahan bakar kering yang berbahaya.
Dengan cara memotong-motong dahan dan ranting, kekompakan bahan bakar
ditingkatkan dan potongan dahan dan ranting ini akan tergeletak di lantai hutan
sehingga akan cepat terdekomposisi. Bila potongan-potongan kayu tadi dapat
dikeluarkan dari hutan untuk dimanfaatkan, misalnya untuk kayu pertukangan
atau kayu bakar, maka tindakan ini sekaligus merupakan usaha pengurangan
bahan bakar.
b. Merubah kayu limbah penebangan menjadi serpih (chip) dengan menggunakan
mesin pembuat serpih yang dapat dipindah-pindahkan (portable chipper). Serpih
yang dihasilkan dapat ditebarkan di lantai hutan secara merata. Di sini yang
diubah adalah kekompakan dan ukuran bahan bakar. Bila serpih kayu ini dapat
dijual atau dimanfaatkan untuk pembuatan bubur kayu (pulp), maka tindakan ini
sekaligus merupakan usaha pengurangan bahan bakar.
c. Merubah kayu-kayu limbah penebangan menjadi tepung kayu (seperti bubuk
gergaji), dengan menggunakan mesin penghancur kayu (powder machine).
Serbuk yang dihasilkan dapat ditebarkan di lantai hutan sehingga akan cepat
terdekomposisi. Tindakan ini tergolong usaha merubah ukuran bahan bakar.
d. Menebas tumbuhan bawah di lantai hutan secara periodik, dilakukan pada musim
hujan. Tindakan ini tergolong usaha merubah kekompakan bahan bakar. Bila
tidak ditebas, dpat pula dilakukan penggilasan dengan menggunakan silinder besi
yang ditarik traktor atau dengan mesin giling. Penggilasan ini sekaligus dapat
memutus kontinuitas vertikal bahan bakar.
e. Menggilas padang alang-alang dengan silinder besi yang ditarik traktor atau
mesin giling, sehingga kekompakannya ditingkatkan.
f. Melakukan penyiangan tanaman selebar 1 meter di sepanjang larikan tanaman
hutan (HTI/strip weeding). Tindakan ini tergolong usaha memutus
kesinambungan bahan bakar atau sebaran horisontalnya.
g. Melakukan pemangkasan cabang pohon pada tanaman HTI. Dahan/cabang bagian
bawah dipangkas untuk memutuas kontinuitas vertikal bahan bakar.
h. Menyiram bahan bakar permukaan di sepanjang jalur (misalnya di jalan hutan)
yang rawan kebakaran, dilakukan secara periodik pada musim kemarau, sehingga
kadar airnya meningkat
7. Pengurangan Bahan Bakar

Pengurangan bahan bakar hutan dilakukan dengan tujuan agar bahan bakar
hutan berkurang jumlahnya, sehingga bila terjadi kebakaran hutan, besarnya nyala
api, kecepatan penjalaran dan lamanya kebakaran dapat dikurangi. Bahan bakar yang
biasa dikurangi jumlahnya adalah bahan bakar permukaan yang termasuk bahan bakar
ringan, baik berupa serasah, tumbuhan bawah maupun limbah penebangan.
Pengurangan bahan bakar dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:

a. Memanfaatkan kayu-kayu penebangan untuk berbagai keperluan, mislanya untuk


kayu pertukangan, kayu serpih, kayu bakar dan arang kayu.
b. Memepercepat proses dekomposisi serasah dengan menggunakan organisme
perombak serasah , misalnya dengan jamur perombak.
c. Melakukan pembakaran terkendali di lantai hutan.

8. Isolasi Bahan Bakar

Isolasi bahan bakar adalah kegiatan memisahkan suatu kawasan hutan


(sebagai suatu hamparan bahan bakar) dari kawasan di luarnya (sebagai hamparan
bahan bakar lain) dan atau membagi kawasan hutan tersebut menjadi bagian-bagian
kawasan hutan (bagian hamparan bahan bakar) yang lebih kecil, oleh suatu penyekat
yang disebut jalur isolasi. Jalur isolasi adalah suatu jalur dengan lebar tertentu, baik
berupa jalur terbuka (gundul) maupun bervegetasi, yang memisahkan bagian hutan
tertentu ke bagian hutan lainnya, atau dengan areal di luar kawasan hutan. Tujuan
utama isolasi bahan bakar adalah untuk menghambat penjalaran api kebakaran dan
luas kawasan hutan ke dalam kawasan hutan dan sebaliknya, dan dari bagian kawasan
hutan (blok/petak) tertentu ke bagian kawasan hutan (blok/petak) lainnya. Jalur isolasi
ini berfungsi pula sebagai tempat awal operasi pemadaman bila terjadi kebakaran
hutan, terutama bila jalur isolasi ini dikombinasikan dengan jalan hutan atau jalur
bersih lainnya. Jalur isolasi terdiri dari jalur isolasi alami dan jalur isolasi buatan.
Jalur isolasi alami misalnya adalah alur sungai, sempadan sungai (lebar 100 m di kiri
dan kanan sepanjang sungai besar atau 50 m sepanjang kiri-kanan sungai kecil).
Kawasan lindung lain selain sempadan sungai dan punggung bukit. Jalur isolasi
buatan terdiri dari jalur yang sudah ada, yang dirancang dengan tujuan bukan sebagi
jalur isolasi tetapi dapat didayagunakan sebagai jalur isolasi (jalan huan, alur batas
petak, jalan umum yang melintasi kawasan hutan), dan jalur isolasi khusus yang
sengaja dibuat. Ada 3 macam jalur isolasi khusus yang dapat dibuat, yaitu sekat bakar
(fire breaks), sekar bahan bakar (fuel breaks) dan jalur hijau (green belt).

Salah satu faktor yang berperan dalam kebakaran hutan adalah bahan bakar.
Selain itu faktor-faktor yang berperan yang masih dekat hubungannya dengan bahan
bakar adalah jenis vegetasi dan kerapatan tanaman. Jenis vegetasi dan kerapatan untuk
jenis hutan tropis terjadi proses siklus makanan yang tetap, dimana jika kondisi stabil
tanpa ada kegiatan penebangan maka proses dekomposisi dapat berjalan dengan
normal sehingga serasah, ranting dan lainnya mengalami proses pembusukan alami
untuk sumber makanan kembali bagi tanaman. Sehingga tingkat kerawanan kebakaran
pada hutan tropis sangat kecil sekali. Akan tetapi kedua hal tersebut akan menjadi
potensi bahan bakar yang besar pada kondisi yang tidak stabil dan ekstrim untuk
terjadinya kebakaran hutan kalau ada sumber penyulut api. Semua material yang
tumbuh di hutan komposisi kimianya tersusun dari selulosa, hemiselulosa, lignin, zat
ekstraktif dan mineral. Selulosa (C6H10O5)n adalah komponen yang paling dominan
dalam jaringan tanaman berupa karbohidrat seperti tepung glukosida. Hemiselulosa
adalah karbohidrat polisakarida dengan panjang rantai yang lebih pendek dari pada
selulosa yang didapatkan di dalam asosiasi dengan selulosa di dalam dinding sel
tanaman. 50 – 70% dari sebagian besar jaringan tanaman terdiri dari selulosa dan
hemiselulosa, sedangkan dalam material yang hidup, lignin mengandung 15 – 35%
dari berat ranting.

Berdasarkan tingkatan atau susunan secara vertikal, bahan bakar dapat


diklasifikasikan menjadi tiga bagian, yaitu :

a. Bahan bakar atas Semua bahan bakar hijau (hidup) dan mati yang terdapat di
kanopi hutan, meliputi cabang ranting dan mahkota pohon serta semak belukar
yang tinggi.
b. Bahan bakar permukaan Semua bahan yang dapat terbakar di atau dekar
permuaan tanah, meliputi daundaun kering, rumput, batang, ranting belukar dan
bahan organik yang terdapat di lantai hutan atau permukaan tanah.
c. Bahan bakar bawah Semua bahan yang dapat terbakar yang terdapat di bawah
permukaan tanah, meliputi bonggol akar, batubara, akar-akar tanaman dan
pembusukan bahanbahan kayu lainnya. Selain tipe bahan bakar , karakteristik
bahan bakar yang mempengaruhi mudah atau tidaknya terbakar adalah ukuran
bahan bakar, susunan bahan bakar, jumlah bahan bakar , kekompakan bahan
bakar dan kondisi bahan bakar.

Ukuran Bahan Bakar :


a. Bahan Bakar ringan
Yang tergolong bahan bakar ringan (light fuels) atau bahan bakar halus
(fine fuels) adalah ranting, daun, rumput, dahan-dahan kecil, daun jarum
pinus, dan lain-lain. Bahan bakar halus akan mudah menyerap air tetapi akan
cepat pula melepaskannya (cepat basah, tetapi cepat kering). Bahan bakar
ringan seperti rumput-rumput yang kering, hanya memerlukan panas yang
sedikit untuk mulai terbakar. Bila rumput mulai terbakar, maka rumput itu
akan terbakar dengan cepat. Oleh karena itu bahan baker halus sering
digolongkan sebagai bahan bakar yang cepat terbakar.
b. Bahan Bakar Berat
Bahan bakar berat (heavy fuels) atau bahan bakar kasar (coarse fuels),
merupakan bahan bakar berukuran besar, misalnya dolok, tunggak pohon,
pohon berdiri, dan lainlain. Bahan bakar kasar biasanya akan lambat menyerap
air tetapi juga akan lambat melepaskannya (lambat basah dan lambat kering).
Bahan bakar kasar akan memerlukan panas yang lebih banyak untuk mulai
terbakar, dibandingkan dengan bahan bakar halus. Oleh karena itu bahan bakar
kasar akan lebih lambat terbakar, namun bila sudah terbakar akan sulit
dipadamkan.

Susunan Bahan Bakar :

Letak potongan-potongan bahan bakar yang satu dengan lainnya di dalam


hutan akan sangat mempengaruhi perilaku api. Penyusunan bahan bakar akan
berpengaruh terhadap :

a. Laju pemasokan oksigen untuk reaksi pembakaran


b. Laju penguapan air dari bahan bakar
c. Tingkat pemindahan panas melalui radiasi dan konduksi
d. Arah penjalaran api
e. Laju pembakaran dan penjalaran

Penyusunan bahan bakar menggambarkan sebaran (distribusi) semua


potongan bahan bakar yang dapat terbakar pada bidang horizontal dan vertikal.
Penyusunan bahan bakar juga sekaligus menggambarkan kesinambungan
(kontinuitas) bahan bakar ke arah horizontal dan vertikal. Reaksi pembakaran
akan berlangsung paling baik bila bahan bakar cukup tersebar untuk memberi
kesempatan pemasokan oksigen ke zona nyala, tetapi cukup rapat, agar terjadi
pemindahan panas yang efisien.

9. Jumlah Bahan Bakar :

Banyaknya bahan bakar terutama bahan bakar halus, yang tersedia untuk
reaksi pembakaran akan mempengaruhi waktu tinggal (residence time) api dan pada
akhirnya mempengaruhi pula perilaku api dan efek yang ditimbulkannya. Jumlah
bahan bakar hutan biasanya dinyatakan dalam satuan berat. Jumlah bahan bakar per
luas areal hutan (ton/ha) disebut muatan bahan bakar (fuel loading), dinyatakan dalam
berat kering oven. Cara pengukurannya bervariasi mulai dari penaksiran secara kasar
sampai dengan pengukuran intensif melalui cara penarikan contoh. Cara yang lebih
teliti adalah dengan membuat beberapa buah contoh berukuran 1 m x 1 m. semua
bahan bakar permukaan dari petak itu diambil dan ditimbang, kemudian dikering-
tanurkan dan ditimbang lagi. Dengan cara ini, selain berat bahan bakar kering tanur
(oven), juga sekaligus dapat ditentukan kadar airnya.

Kekompakan Bahan Bakar :

Kekompakan bahan bakar adalah bagaimana bahan bakar tersebut tersusun,


apakah padat, sedang, atau tidak padat. Dengan kata lain berhubungan dengan
porositas tumpukan bahan bakar. Dalam hal ini pengaruh dari suplai oksigen sangat
besar.

Kondisi Bahan Bakar :

a. Kadar air bahan bakar


Kadar air bahan bakar akan menentukan mudah-tidaknya bahan bakar
untuk terbakar. Kemudahan untuk tersulut dan terbakar, laju penjalaran api, proses
terjadinya api lompat dan intensitas api, dipengaruhi oleh kadar air bahan bakar.
Variabel utama yang mengontrol kadar air bahan bakar pada bahan bakar mati
adalah curah hujan, kelembaban relatif dan suhu. Angin dan penyinaran matahari
merupakan faktor penting pada pengeringan bahan bakar, dimana pengaruhnya
pada perubahan suhu bahan bakar dan suhu dan kelembaban relatif pada udara
yang berbatasan langsung dengan permukaan bahan bakar. Sehingga suhu bahan
bakar adalah juga merupakan salah satu faktor yang menentukan kemudahannya
untuk terbakar dan tingkat terbakarnya. Suhu dicapai dengan penyerapan radiasi
matahari secara langsung dan konduksi dari lingkungan termasuk udara yang
meliputinya. Suhu udara merupakan faktor yang selalu berubah dan
mempengaruhi suhu bahan bakar serta kemudahannya untuk terbakar (Chandler
et. al., 1983).
b. Kondisi lain bahan bakar hutan
Kondisi lain bahan bakar hutan yang cukup penting adalah kandungan zat
minyak (resin) pada kayu dan kulit pohon. Resin mudah terbakar bila ada sumber
api. Beberapa jenis pohon yang mengandung resin mudah terbakar pada kulitnya,
misalnya pohon damar, meranti, keruing dan kapur. Pohon pinus mengandung
resin paling banyak pada bagian kayunya.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.indonesiasafetycenter.org/fire-safety/klasifikasi-jenis-penyebab-kebakaran

https://damkar.bandaacehkota.go.id/2020/07/13/faktor-penyebab-kebakaran-dan-upaya-
pencegahan-kebakaran/

https://www.kompas.com/sains/read/2021/07/06/204600423/apa-itu-teori-segitiga-api?
page=all#:~:text=Terbentuknya%20api%20adalah%20suatu%20proses,melepaskan
%20elektron%20hingga%20terjadinya%20api.

https://www.mjs-quickfire.com/post/mengetahui-pengertian-dari-teori-segitiga-api/

Ramli, Soehatman. 2010. Petunjuk Praktis Manajemen Kebakaran (fire management).


Jakarta: Dian Rakyat.

Triasbudi, Heny. 1998. Dalam Sifat-Sifat dan Dinamika Api. Jakarta: Direktorat Pengolahan
PERTAMINA.

https://www.kajianpustaka.com/2018/11/teori-api-dan-tahapan-kebakaran-dan-
cara-pemadaman.html

https://wahyukdephut.files.wordpress.com/2009/10/bagaimana-kebakaran-hutan-terjadi1.pdf
Brown, A.A. dan K.P. Davis. 1973. Fire Forest Control and Used. McGraw-ill Books
Company. New York.

Chandler, C., D. Cheney., P. Thomas., L. Trabaud., and D. Williams. 1983.Fire in Forestry:


Forest Fire Behaviour and Effects. Volume I. John Wiley and Sons. New York. 450p

Anda mungkin juga menyukai