Anda di halaman 1dari 156

TESIS

MODEL IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGOPERASIAN


PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA UNTIA
KOTA MAKASSAR PROVINSI SULAWESI SELATAN

IMPLEMENTATION MODEL OF FISHERY PORT


OPERATION POLICIES (PPN) UNTIA MAKASSAR CITY,
SOUTH SULAWESI

MUH. IKRAMULLAH AKMAL


P0800216007

PROGRAM MAGISTER ADMINISTRASI PEMBANGUNAN


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
TESIS

MODEL IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGOPERASIAN


PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA UNTIA
KOTA MAKASSAR PROVINSI SULAWESI SELATAN

IMPLEMENTATION MODEL OF FISHERY PORT


OPERATION POLICIES (PPN) UNTIA MAKASSAR CITY,
SOUTH SULAWESI

Sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Magister

Disusun dan diajukan oleh

MUH. IKRAMULLAH AKMAL


P0800216007

PROGRAM MAGISTER ADMINISTRASI PEMBANGUNAN


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018

i
ii
DAFTAR ISI Halaman

HALAMAN JUDUL i
LEMBAR PENGESAHAN ii
DAFTAR ISI iii
ABSTRAK v
ABSTRACT vi
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS vii
KATA PENGANTAR viii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 9
C. Tujuan Penelitian 9
D. Manfaat Penelitian 10
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kebijakan Publik 11
B. Implementasi Kebijakan 17
C. Teori-teori Implementasi 18
D. Pelabuhan 33
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan 56
F. Kerangka Konsep 59
BAB III. METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian 60
B. Lokasi Penelitian 60
C. Fokus Penelitian 61
D. Jenis dan Sumber Data 65
E. Teknik Pengumpulan Data 66
F. Teknik Analisis Data 67
G. Faliditas Temuan 69
BAB IV. DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
A. Gambaran Umum Kota Makassar 71
B. Gambaran Umum PPN Untia 89

iii
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian 93
B. Pembahasan Hasil Penelitian 115
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 130
B. Saran-saran 133
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................... 139
Lampiran-lampiran ......................................................................... 142

iv
ABSTRAK

Muh. Ikramullah Akmal, Model Implementasi Kebijakan Pengoperasian


Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Untia Kota Makassar Provinsi
Sulawesi Selatan (dibawah bimbingan Haselman dan Hasniati).
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis
Stadar-standar dan tujuan kebijakan; Sumberdaya yang digunakan;
Komunikasi antar organisasi; Karakteristik organisasi pelaksana; Sikap
para pelaksana; Lingkungan sosial, ekonomi dan politik dalam
pengoprasian Pelabuhan Perikanan Unitia Kota Makassar.
Penelitian ini didesain dengan menggunakan kualitatif. Pilihan
desain kualitatif ini sesuai dengan sifat permasalahan penelitian yang
dilakukan yaitu penelitian implementasi kebijakan . Hal ini sejalan dengan
permasalahan penelitian ketika kita ingin memahami bagaimana suatu
proses yang kompleks terjadi dan atau karena topiknya relatif baru topik
belum pernah dialamatkan kepada suatu sampel tertentu seperti
Pelabuhan Perikanan Untia Kota Makassar.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi kebijakan
pengoperasian Pelabuhan Perikanan Untia Kota Makassar, belum
berjalan sebagaimana mestinya dan masih jauh dari harapan.
Keseluruhan variabel yang diteliti, ternyata tidak satu pun variabel yang
mendukung secara baik dalam upaya mewujudkan pengeloaan pelabuhan
sebagaimana yang diharapkan. Hal ini dikarenakan belum nampak
keseriusan pihak Kementerian Kelautan dan Perikanan terutama pada
pengisian jabatan berdasarkan struktur yang ada, belum tersedianya
petunjuk operasional, masih terdapatnya infrastruktur yang diperlukan
belum tersedia serta belum dikoordinasikannya Pelabuhan Perikanan
Nusantara Untia pada Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara,
menyebabkan nomenklatur belum ada sehingga penganggaran belum
dapat disusun sesuai kebutuhan. Dengan demikian maka untuk
mengoptimalkan pengoperasian Pelabuhan Perikanan Nusantara Untia
Kota Makassar, perlu keseriusan Kementerian Kelautan dan Perikanan
sebagai penanggung jawab kegiatan guna melengkapi seluruh
infrastruktur yang diperlukan.

Kata kunci : Model implementasi kebijakan, pelabuhan perikanan untia,


kebijakan pengoperasian pelabuhan.

v
ABSTRACT

vi
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Muh. Ikramullah Akmal

Nomor Pokok Mahasiswa : P0800216007

Program Studi : Administrasi Pembangunan

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar
benar merupakan hasil karya saya sendiri dan bukan merupakan tulisan
atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat
dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini hasil karya orang
lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Makassar,23 Juli 2018

Yang menyatakan,

Muh. Ikramullah Akmal


P0800216007

vii
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Rabbil Alamin, Segala Puji bagi Allah yang telah

memberikan kesempatan, kesehatan, petunjuk dan bimbingan kepada

penulis sehingga tesis ini dapat disusun sebagai prasyarat memperoleh

gelar magister pada Administrasi Pembangunan, Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Universitas Hasanuddin.

Penelitian ini menganalisis model implementasi kebiajakan

pengoperasian Pelabuhan Perikanan Nasional Untia Kota Makassar

berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor:

74/KEPMEN-KP/ 2016 tentang Pengelolaan Pelabuhan Perikanan

Nusantara Untia Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan. Proses

implementasi program dimaksud tersebut diatas, dianalisis berdasarkan

dari 6 (enam) variabel yang ditawarkan oleh Van Meter dan Van Horn

(1975).

Penulis menyadari bahwa tesis ini tentu masih jauh dari

kesempurnaan, namun atas dasar kesabaran dan kerja keras yang

melibatkan banyak pihak, sehingga penulis berhasil mewujudkan harapan

untuk menyelesaikan sebuah tesis yang diharapkan dapat bermanfaat

untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan implementasi kebijakan

pusat yang dilaksanakan di daerah.

Untuk itu melalui kesempatan berharga ini, izinkan penulis

menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi tingginya

kepada Bapak Prof. Dr. Haselman, M.Si, selaku Pembimbing Ketua dan

Ibu Dr. Hj. Hasniati, M.Si, selaku Pembimbing Anggota yang telah

viii
meluangkan waktu dan pikirannya dalam membimbing penulis mulai dari

penyusunan proposal, hingga tersusunnya tesis ini hingga layak untuk

diujikan.

Selanjutnya ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi

tingginya terkhusus penulis sampaikan kepada Ayah Saya; Prof. Dr. H.

Muhammad Akmal Ibrahim, M.Si dan Mama saya Dr. Hj. Andi Aslinda,

M.Si, atas curahan kasih sayang, perhatian dan dorongan baik moril

maupun materil kepada penulis. Kepada kakak saya tersayang

Almarhuma Tri Yayuk Pratiwi Akmal dan Kepada adik saya tercinta

Muhammad Imadudin Akmal, S.Ak; dan Muhammad Ichlasul Akmal, saya

juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi

tingginya atas kerjasama dan saling pengertiannya selama ini.

Pada kesempatan yang berbahagia ini izinkan pula saya

menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada masing-masing:

1) Prof. Dr. Hj. Dwia Ariestina Pulubuhu, MA (Rektor Universitas

Hasanuddin) atas dukungan dan fasilitas yang disediakan selama

mengikuti program pendidikan Magister. .

2) Prof. Dr. Andi Alimuddin Unde, M.Si (Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Universitas Hasanuddin); Dr. Hj. Hasniati, M.Si (Ketua

Departemen Ilmu Administrasi Negara Fisip Universitas Hasanuddin);

Dr. H. Muhammad Yunus, MA (Ketua Program Studi Magister

Administrasi Pembangunan Universitas Hasanuddin), beserta staf

dosen dan staf administrasi yang telah banyak memberi perhatian,

dukungan dan fasilitas selama menjadi mahasiswa.

ix
3) Kepada Tim Penguji yang telah ditugaskan oleh Dekan Fisip

Universitas Hasanuddin masing masing; Prof. Dr. H. Baharuddin, M.Si;

Dr. Hj. Hamsinah, M.Si dan Dr. Badu Achmad, M.Si atas segala

masukan penyempurnaan tesis ini.

4) Rekan-rekan Mahasiswa Program Magister S2 Ilmu Administrasi

Pembangunan Angkatan 2016/2017 yang tidak dapat dipisahkan satu

sama lain yang selama ini memberikan sumbang saran dan

persahabatan yang tulus dan terbina selama ini.

5) Kepada Pimpinan Pelabuhan Perikanan Nusantara Untia Kota

Makassar beserta jajarannya atas pelayanan yang diberikan selama

melaksanakan penelitian di PPN Untia Makassar.

6) Kepada semua pihak yang telah memberikan perhatian bantuan dan

doanya kepada penulis yang tidak dapat penulis sebut satu persatu.

Harapan menyertai semoga semua perhatian, dukungan dan doa

yang telah diberikan dapat menjadi amal ibadah di sisi Allah Rabbul

Alamin.

Makassar, 21 Juli 2018

Penulis,

Muh. Ikramullah Akmal


P0800216007

x
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai negara kepulauan (archipelagic state) terbesar di dunia,

Indonesia memiliki potensi sumber daya ikan yang melimpah sebagai

modal bagi pembangunan ekonomi nasional. Pembangunan perikanan

sebagai bagian dari pembangunan ekonomi nasional mempunyai tujuan

antara lain untuk meningkatkan taraf hidup serta kesejahteraan nelayan

dan petani ikan. Potensi sumber daya ikan di perairan Indonesia cukup

besar untuk memberikan kontribusi yang signifikan dalam mencapai tujuan

pembangunan nasional.

Sebagaimana visi pembangunan nasional Tahun 2005–2025

adalah Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur. Visi

pembangunan nasional tersebut dapat diwujudkan melalui salah satu misi

pembangunan nasional yang menitik beratkan pada sektor kelautan yaitu

mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju,

kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional. Terjemahan implementasi

dari misi ini adalah menumbuhkan wawasan bahari bagi masyarakat dan

pemerintah agar pembangunan Indonesia berorientasi kelautan,

meningkatkan kapasitas sumber daya manusia yang berwawasan

kelautan melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

kelautan, mengelola wilayah laut nasional untuk mempertahankan

kedaulatan dan kemakmuran, dan membangun ekonomi kelautan secara

1
terpadu dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber kekayaan laut

secara berkelanjutan.

Pelabuhan perikanan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 2004 tentang perikanan sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 adalah tempat yang

terdiri atas daratan dan perairan di sekitarnya dengan batas-batas tertentu

sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis

perikanan yang digunakan sebagai tempat kapal perikanan bersandar,

berlabuh dan/atau bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan fasilitas

keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang perikanan.Berdasarkan

peraturan menteri kelautan dan perikanan nomor: per.16/men/2006

tentang pelabuhan perikanan, pelabuhan perikanan di Indonesia terbagi

menjadi 4 kategori utama yaitu PPS (Pelabuhan Perikanan Samudera),

PPN (Pelabuhan Perikanan Nusantara), PPP (Pelabuhan Perikanan

Pantai), dan PPI (Pangkalan Pendaratan Ikan).

Keberadaan pelabuhan perikanan sangat diperlukan guna

menunjang aktivitas perikanan dalam kegiatan pemanfaatan dan

pengelolaan sumber daya ikan mulai dari kegiatan praproduksi, produksi,

pengolahan, pemasaran ikan dan pengawasan sumber daya ikan.

Pelabuhan perikanan memiliki fungsi yang sangat strategis yang

mencakup fungsi pemerintahan dan fungsi ekonomi.

Dalam Rencana Induk Pelabuhan Perikanan Nasional, Wilayah

Pengelolaan Perikanan Negara Rupublik Indonesia (WPPNRI) sesuai

dengan Peraturan Meteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia

2
Nomor 18/PERMEN-KP/2014 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan

Negara Republik Indonesia, di bagi atas 11 (sebelas) WPPNRI yang

antara lain, WPP-RI 571 meliputi perairan Selat Malaka dan Laut

Andaman, WPP-RI 572 meliputi perairan Samudera Hindia sebelah Barat

Sumatera dan Selat Sunda, WPP-RI 573 meliputi perairan Samudera

Hindia sebelah Selatan Jawa hingga sebelah Selatan Nusa Tenggara,

Laut Sawu, dan Laut Timor bagian Barat, WPP-RI 711 meliputi perairan

Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut China Selatan, WPP-RI 712

meliputi perairan Laut Jawa, WPP-RI 713 meliputi perairan Selat

Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali, WPP-RI 714 Meliputi

perairan Teluk Tolo dan Laut Banda, WPP-RI 715 meliputi perairan Teluk

Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram dan Teluk Berau,

WPP-RI 716 meliputi perairan Laut Sulawesi dan sebelah Utara Pulau

Halmahera, WPP-RI 717 meliputi perairan Teluk Cenderawasih dan

Samudera Pasifik, WPP-RI 718 meliputi perairan Laut Aru, Laut Arafuru,

dan Laut Timor bagian Timur.

Potensi atau ketersediaan sumberdaya ikan disuatu perairan

menjadi pertimbangan utama pembangunan atau pengembangan

pelabuhan perikanan. Potensi sumber daya ikan menentukan kapasitas

penangkapan atau jumlah kapal perikanan pada suatu perairan dan pada

akhirnya menentukan kapasitas pelabuhan yang dibangun atau di

kembangkan untuk melayaninya.

Pelabuhan Perikanan Nusantara Untia Makassar yang akan

menjadi lokasi dalam penelitian ini berada pada WPPNRI 713. Perairan

3
selat Makassar merupakan wilayah yang memiliki karakteristik habitat

yang sangat spesifik dengan kompleksitas masalah relative tinggi dalam

hal pengelolaan sumber daya perikanan, untuk itu yang menjadi

permasalahan potensial yaitu kelangkaan informasi di wilayah ini akan

merupakan kendala dalam menyusun informasi yang menyeluruh bagi

pengembangan penangkapan ikan dan usaha perikanan yang baru.

Dalam hal ini wilayah pengelolaan perairan Selat Makasar, meliputi

perairan bagian paling utara yaitu perairan laut Tarakan dan Nunukan

sampai dengan bagian paling selatan yang terletak di bagian perairan

barat Sulawesi Selatan di selat Makasar sampai dengan perairan laut

Flores.

Potensi sumber daya ikan di wilayah tersebut berdasarkan

Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor

KEP.45/MEN/2011 tentang Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan di

Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Penetapan

estimasi potensi sumber daya ikan di WPPNRI 713 didominasi oleh ikan

pelagis kecil yang mencapai 605,400 ton, sedangkan produksi terkecil

adalah lobster.

Saat ini WPPNRI 713 dengan potensi perikanan yang sangat

berlimpah belum didukung dengan pelabuhan perikanan dengan fasilitas

yang memadai, seperti halnya PPI Paotere di Makassar yang dirasa

sudah sangat padat, dermaga yang sempit, kumuh, dan fasilitas yang

sangat minim. Selain itu juga untuk mengantisipasi hasil dari perikanan

tangkap yang melimpahdan hanya didukung pelabuhan perikanan

4
berkelas D. Sehingga dengan demikian diperlukan Pelabuhan Perikanan

Nusantara (PPN) di WPPNRI 713 Makassar.

Untuk menjawab permasalahan yang disebutkan diatas, maka

dikeluarkan lah Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik

Indonesia Nomot 74/KEPMEN-KP/2006 tantang Pengelolaan Pelabuhan

Perikanan Unita, Makassar, Provinsi selawesi Selatan dan pada tanggal

26 November 2016 oleh Presiden Republik Indonesia (Joko Widodo)

Pelabuhan perikanan ini merupkan yang terbesar kedua setelah PPS

Bitung di Indonesia. Spesifikasi yang harus dimiliki oleh sebuah pelabuhan

Perikanan Nusantara adalah mampu melayani kapal perikanan yang

melakukan kegiatan perikanan diperairan Indonesia dan ZEEI, memiliki

fasilitas tambat labuh untuk kapal perikanan berukuran sekurang

kurangnya 30 GT, panjang dermaga sekurang-kurangnya 150 m, dengan

kedalaman kolam sekurang-kurangnya minus 3 m, mampu menampung

kapal perikanan sekurang-kurangnya 75 unit atau jumlah keseluruhan

sekurang-kurangnya 2.250 GT, dan memanfaatkan dan mengelola lahan

sekurang-kurangnya 10 ha. Adapun Kriteria operasional yaitu terdapat

aktivitas bongkar muat ikan dan pemasaran hasil perikanan rata-rata 30

ton per hari, dan terdapat industri pengolahan ikan dan industri penunjang

lainnya. Pengembangan Pelabuhan Untia juga diharapkan menjadi sentra

produksi perikanan yang terhubung dengan pelabuhan perikanan lain di

Sulawesi Selatan, yaitu Pelabuhan Perikanan (PP) Cempae, PP

Maccinibajji, PP Kalibone, PP Potere, PP Beba, PP Labuang, PP

5
Barombong, PP Boddia, PP Lonrae, PP Birea, PP Bentenge, PP Kajang,

PP Tongke-tongke, dan PP Lappa.

Dari hasil pengamatan awal yag penulis lakukan di wilayah PPN

Untia, ditemukan betapa megahnya bangunan Pelabuhan Perikanan

Nusantara (PPN) yang baru saja diresmikan oleh Presiden Joko Widodo.

Apabila dibandingkan Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) yang berada di

Paotere; PPN Untia telah didukung oleh berbagai fasilitas yang terbilang

lengkap dan modern yang antara lain: Tersedianya dermaga dengan

panjang 152 meter dan lebar 8 meter, serta fasilitas breakwater sepanjang

540 meter sebagai fasilitas pokok. Selain itu, Turap sepanjang 326,9

meter dan jalan kompleks dengan panjang 1.350 meter persegi dan lebar

20 meter persegi serta kolam pelabuhan yang besar juga menjadi

keunggulan. Tidak hanya itu, PPN Untia juga memiliki fasilitas fungsional

diantaranya: Tempat perbaikan jaring, instalasi air bersih, kantor

administrasi pelabuhan, instalasi listrik dan tempat pemasaran ikan yang

luas, dan bahkan telah menarik minat Investor dari Rusia dan (Blackspace

Resources) yang akan membangun unit pengolahan ikan dan cold storage

dengan kapasitas 300 ton bekerjasama dengan BUMN Perikanan (Perum

Perindo). Berdasarkan informasi yang dihimpun oleh antaranews, bahwa

ternyata Negara Rusia sudah menyiapkan anggaran kurang lebih Rp2,6

triliun untuk mendukung opersional PPN Untia sebagai wujud kerjasama

tersebut. (antaranews.com)

Namun dibalik kemegahan Pelabuhan Perikanan Nusantara Untia

Makassaryang telah menghabiskan dana Rp 300 Miliar, ternyata memiliki

6
sederetan permasalahan yang antara lain: Bahwa sejak di resmikan oleh

Presiden Republik Indonesia pada tanggal, 16 November 2016 yang lalu,

hingga saat ini belum signifikan aktifitas pengoperasian pelabuhan untia,

padahal lazimnya suatu pengresmian dilakukan sebagai permulaan

beroperasinya suatu institusi/lembaga/oragnisas. Hal ini dapat diikuti

sambutan pengresmian Presiden Joko Widodo yang telah menitip pesan

agar “Pelabuhan Perikanan Untia menjadi Sentra Ekonomi Nelayan”

(kompas.com/2016/11/26), namun sampai saat ini belum terlihat aktifitas

sebagai sebuah pelabuhan perikanan yang bertaraf nasional, justru pintu

masuk pelabuhan masih sering ditemukan terkunci rapat rapat.

Selain itu permasalahan lain yang muncul adalah para nelayan dan

pedagang yang masih enggan untuk pindah kepelabuhan baru, dengan

alasan mereka telah nyaman dengan situasi di PPI Paotere. Nilai historis

sebagai Pelabuhan Pendaratan Ikan tertua di Makassar juga menambah

kayakinan mereka untuk terus berada di PPI Paotere. Selanjutnya para

stakeholder dalam hal ini Kementrian Kelautan dan Perikanan, Gubernur

Sulawesi Selatan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Provinsi Sulawesi

Selatan, Pertamina, eksportir perikanan, pengusaha perikanan, pemilik

kapal, kelompok kelompok nelayan dan pihak keamanan, belum

menunjukkan langkah langkah konkrit untuk mengefektifkan

pengoperasian Pelabuhan Perikanan Nasional Untia Kota Makassar.

Berangkat dari permasalahan umum yang dikemukakan diatas,

maka secara khusus permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini

7
terkait Pelabuhan Perikanan Nusantara Untia Kota Makassar adalah

sebagai berikut:

1. Tidak tersedianya regulasi yang memadai dari Pemerintah dalam hal

ini Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia terkait

pengoperasian PPN Untian, hal ini terlihat aktifitas di PPN Untia belum

memadai untuk suatu pelabuhan nusantara, selain itu juga belum

memiliki struktur yang jelas.

2. Penempatan lokasi PPN Untia Makassar, dinilai oleh banyak kalangan

sebagai pelabuhan yang tidak strategis, selain dangkal juga

banyaknya pelabuhan perikanan yang berada disekitar PPN Untia.

3. Masih buruknnya Infrasturktur Jalan untuk mencapai pelabuhan untia.

4. Belum tertariknya masyarakat dan nelayan untuk melakukan

perdagangan di Pelabuhan Untia.

5. Masih enggannya Investor untuk membangun industri di PPN Untia

Makassar.

6. Organisasi pelaksana pelabuhan belum utuh dikarenakan masih

bersifat pembantuan.

7. Belum jelasnya anggaran pengelolaan pelabuhan perikanan nasional

Untia

Berangkat dari uraia diatas, maka penelitian ini tepat menggunakan

pendekatan Van Meter and Van Horn (1975) yang mengemukakan bahwa

suatu model dasar yang mencakup enam variabel yang membentuk

kinerja kebijakan. Model ini menjelaskan bahwa kinerja kebijakan

dipengaruhi oleh beberapa variabel yang saling berkaitan, variable-

8
variabel tersebut yaitu: Sejauh mana standar-standar dan tujuan-tujuan

kebijakan direalisasikan; Sumberdaya yang digunakan; Komunikasi antar

organisasi dan aktivitas penguatan; Karakteristik organisasi pelaksana;

Kondisi-kondisi ekonomi, sosial, dan politik; dan Sikap para pelaksana.

Model implementasi Van Meter and Van Horn memetakan variabel-

variabel implementasi yang memudahkan kita dalam memotret tentang

siapa yang bertanggung jawab atas apa. Model ini sangat memadai untuk

menjelaskan tentang kebijakan top-down, yakni kebijakan pemerintah

pusat yang diimplementasikan di daerah.

B. Rumusan Masalah

Berdasar dari permasalahan penelitian tersebut diatas, maka

permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan dalam bentuk

pertanyaan penelitian yaitu Mengapa Model Implementasi Kebijakan

Pengoperasian Pelabuhan Nusantara Untia Kota Makassar pasca

diresmikannya oleh Bapak Presiden Republik Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah penelitian tersebut diatas, maka tujuan

penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan menganalisis Model

Implementasi Kebijakan Pengoperasian Pelabuhan Nusantara Untia Kota

Makassar dengan menggunakan teori Van Meter dan Van Horn (1975)

9
D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini mempunyai manfaat teoritis, metodologis dan praktis.

Dari aspek teoritis, penelitian ini memberikan kontribusi bagi literatur teori

kebijakan publik dalam studi administrasi publik. Oleh karena dewasa ini,

teori dan praktek administrasi publik sudah bergeser semakin jauh dari

konsep hierarchically-controlled menuju bentuk bentuk yang lebih terbuka.

Dari aspek metodologis karena melembagakan cara melakukan

penelitian benar. Ilmuwan menjelaskan sesuatu fenomena dengan

menggunakan teori. Pertanyaan-pertanyaan yang dapat dijawab melalui

metode pengujian dan konfirmasi ilmiah merupakan satu-satunya

pertanyaan yang dapat dipertanggung-jawabkan, dan jawaban-jawaban

yang benar hanya datang dari metode-metode seperti itu.

Selanjutnya aspek praktis, studi ini memberikan kontribusi berupa

informasi yang didukung oleh bukti-bukti yang kuat kepada pemerintah

terkait dengan Model implementasi suatu kebijakan top-down, yakni

kebijakan pemerintah pusat yang diimplementasikan di daerah.

10
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kebijakan Publik

Kebijakan publik adalah kebijakan pada sektor publik. Sektor publik

adalah porsi dari ekonomi yang mencakup seluruh level pemerintahan dan

perusahaan-perusahaan yang dikendalikan oleh pemerintah. Dikecualikan

dari sektor publik adalah perusahaan privat, organisasi voluntir dan

rumahtangga (Bevir, 2007).

Di sektor privat juga ada kebijakan tetapi bukan kebijakan publik.

Schneider and Ingram (Kraft and Furlong, 2004) menyatakan bahwa

kebijakan pada sektor publik dibuat oleh pemerintah dan para pejabat

publik serta warganegara yang diwakilinya. Para aktor ini membuat pilihan

apakah melakukan atau tidak melakukan sesuatu berkenaan dengan

masalah publik. Pilihan untuk tidak melakukan sesuatu berkenaan dengan

masalah publik tertentu oleh para analis disebut sebagai nonpolicies.

Menurut Kraft and Furlong (2004), nonpolicies adalah kejadian di mana

pemerintah mengabaikan sesuatu masalah atau memilih untuk tidak

menghadapi masalah itu, dan bahkan membolehkan swasta atau

kekuatan-kekuatan pasar untuk menghadapinya.

Definisi kebijakan publik menurut Dye (1978; 2001) adalah”apapun

yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan”.

Berdasarkan definisi tersebut, kebijakan publik mencakup bukan hanya

11
tindakan pemerintah tetapi juga tidak bertindaknya pemerintah. Definisi

kebijakan publik yang memasukkan ”tidak bertindaknya pemerintah”

dikemukakan juga oleh Kraft and Furlong (2004). Jadi, apabila pemerintah

memilih untuk melakukan sesuatu, maka tentunya ada tujuan, karena

kebijakan publik merupakan tindakan pemerintah. Sebaliknya apabila

pemerintah memilih untuk tidak melakukan sesuatu, inipun merupakan

kebijakan publik yang tentunya juga ada tujuannya dan implikasinya.

Anderson (1990) mendefinisikan kebijakan publik sebagai

kebijakan-kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-

pejabat pemerintah. Suatu kebijakan publik terdiri dari cara-cara atau pola-

pola tindakan yang berorientasi tujuan yang dikembangkan dan

dilaksanakan oleh pejabat pemerintahan. Dalam definisi di atas

terkandung makna bahwa kebijakan publik timbul melalui serangkaian

proses. Sedangkan pengertian proses adalah serangkaian tindakan yang

secara definitif berkaitan dengan tujuan. Artinya, kebijakan publik tidak

timbul secara mendadak, melainkan melalui suatu proses tertentu yang

berkaitan dengan tujuan-tujuan kebijakan. Proses yang dilalui oleh

kebijakan publik merupakan suatu rangkaian yang saling berkaitan, yang

setiap tahap dalam rangkaian prosesnya akan mempengaruhi tahap-tahap

lainnya.

Wilson (2006) menyatakan bahwa elemen yang lazim dalam

definisi kebijakan publik adalah ”suatu proses atau rangkaian atau pola

dari aktivitas atau keputusan-keputusan pemerintahan yang didesain

untuk memecahkan beberapa masalah publik. Kebijakan publik adalah

12
pernyataan-pernyataan atau tindakan-tindakan otoritatif pemerintah yang

merefleksikan apa yang pemerintah putuskan untuk berbuat atau tidak

berbuat serta apa yang secara aktual mereka perbuat. Kebijakan publik

merefleksikan maksud, tujuan-tujuan, dan nilai-nilai dari pemerintah.

Kebijakan publik datang dari seluruh entitas pemerintahan pada semua

level: legislatif, kehakiman, agen birokrasi, dan kantor eksekutif pada level

nasional, lokal, dan negara bagian.

Kraft and Furlong (2004) menyatakan bahwa kebijakan publik

adalah berkenaan dengan tujuan-tujuan dan sarana kebijakan yang

disahkan secara formal, dan juga regulasi serta praktek-praktek dari

agensi-agensi yang mengimplementasikan program. Ekspresi legal

kebijakan publik dapat berupa hukum, statuta, legislasi, perintah eksekutif,

regulasi, dan putusan pengadilan.

Islamy (1997) menyatakan bahwa kebijakan negara harus

mempunyai implikasi sebagai berikut:

(1) Kebijakan negara itu dalam bentuk perdananya berupa penetapan


tindakan-tindakan pemerintah.
(2) Kebijakan negara ini tidak cukup hanya dinyatakan tetapi
dilaksanakan dalam bentuk nyata.
(3) Kebijakan negara baik untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan
sesuatu itu mempunyai dan dilandasi dengan maksud dan tujuan
tertentu.
(4) Kebijakan negara itu harus senantiasa ditujukan bagi kepentingan
seluruh anggota masyarakat.

Berdasarkan uraian tersebut disimpulkan bahwa kebijakan publik

adalah pilihan carabertindak maupun tidak bertindak dari pemerintah

13
untuk merespons masalah-masalah publik. Kebijakan publik dibuat secara

sengaja dan bertujuan. Kebijakan publik tertuang dalam hukum, statuta,

legislasi, perintah eksekutif dan regulasi.

Parsons (2005) menyatakan bahwa kebijakan publik berfokus pada

publik beserta masalah-masalahnya. Kebijakan publik berfokus pada

bagaimana isu dan masalah publik didefinisikan dan dikonstruksi, dan

bagaimana isu dan masalah tersebut ditempatkan ke dalam agenda politik

dan kebijakan. Selain itu, kebijakan publik menaruh perhatian pada

bagaimana dan mengapa serta atas pengaruh apa pemerintah

mengembangkan cara-cara bertindak dan tidak bertindak tertentu.

Berdasarkan pendapat tersebut, kebijakan publik dikembangkan sebagai

respons terhadap masalah-masalah publik, sedangkan proses-proses

kebijakan berlokus pada institusi pemerintahan.

Kebijakan publik adalah dimensi paling penting dari pemerintahan.

Kebijakan publik meningkatkan kualitas kehidupan dalam banyak cara,

dan membuat kenyamanan-kenyamanan modern menjadi mungkin.

Melalui kebijakan publik, pemerintah menawarkan uang untuk riset dalam

rangka pengembangan teknologi baru, untuk seni dan kemanusiaan, dan

penyembuhan penyakit. Melalui kebijakan, pemerintah menyediakan area

dan fasilitas rekreasi dan perparkiran, perpustakaan dan museum,

melindungi kesehatan dan keselamatan kerja, melindungi anak dari

eksploitasi, menjamin keamanan dan keterjaminan pangan, dan

sebagainya. Pemerintah menjaga stabilitas ekonomi melalui regulasi

supply uang dan mempertahankan praktek bisnis yang wajar, menjaga

14
keamanan deposito dan menyediakan keamanan dalam industri

perbankan (Wilson, 2006). Kita membutuhkan kebijakan publik untuk

penegakan hukum, tatanan dan keadilan; mencegah kerugian pasar yang

tidak diinginkan; siklus bisnis atau krisis ekonomi; disorganisasi pasar;

praktek bisnis yang wajar; perlindungan konsumen; penyediaan barang-

barang publik atau barang-barang kolektif; dan redistribusi (Wilson, 2006).

Kraft and Furlong (2004) mengemukakan bahwa ada tiga alasan

utama mengapa pemerintah perlu mengintervensi untuk menyelesaikan

permasalahan sosial dengan membuat kebijakan publik, yaitu:

(1) Alasan politis: publik dan pembuat kebijakan dapat memutuskan

bahwa pemerintah harus mengintervensi untuk menyelesaikan

masalah publik karena ada pergeseran dalam opini publik ataupun

tekanan dari gerakan sosial yang menghendaki tindakan pemerintah.

(2) Alasan moral atau etis: tanpa tekanan publik pemerintah dapat juga

melakukan tindakan yang dianggap benar. Anggota-anggota kelompok

kepentingan mungkin tidak menginginkan adanya penderitaan karena

kelaparan, kemiskinan, atau pelanggaran hak-hak asasi manusia di

dalam maupun di luar negeri, dan menginginkan agar pemerintah

melakukan tindakan berkenaan dengan hal tersebut.

(3) Kegagalan ekonomi dan pasar: intervensi pemerintah diperlukan

karena selalu ada kondisi di mana pasar privat tidak efisien atau gagal.

Kegagalan ekonomi dan pasar daat berbentuk monopoli dan oligopoli,

eksternalitas, kegagalan informasi, dan ketidakmampuan menyediakan

barang-barang publik atau barang kolektif.

15
Abidin (2004) membedakan kebijakan publik ke dalam tiga

tingkatan, yaitu kebijakan umum, kebijakan pelaksanaan, dan kebijakan

teknis. Kebijakan umum adalah kebijakan yang menjadi pedoman atau

petunjuk pelaksanaan baik yang bersifat positif ataupun yang bersifat

negatif yang meliputi keseluruhan wilayah atau instansi yang

bersangkutan. Kebijakan pelaksanaan adalah kebijakan yang

menjabarkan kebijakan umum. Kebijakan teknis adalah kebijakan

operasional yang berada di bawah kebijakan pelaksanaan.

Nugroho D. (2004) membagi kebijakan publik menjadi dua

bagian,yakni: (1) kebijakan dalam bentuk peraturan-peraturan pemerintah

yang tertulis dalam bentuk peraturan perundangan, dan (2) peraturan-

peraturan yang tidak tertulis namun disepakati, yaitu yang disebut

konvensi. Selanjutnya Nugroho mengemukakan bahwa di Indonesia

struktur kebijakan publik tersusun menjadi tiga level. Pertama, kebijakan

publik tertinggi, yang dibuat oleh lembaga legislatif. Ketetapan-ketetapan

MPR termasuk dalam kategori ini. Kedua, kebijakan publik yang dibuat

bersama oleh legislatif dan eksekutif. Produknya adalah Undang-undang

di tingkat nasional, Peraturan Daerah (Perda) di tingkat daerah provinsi

dan kabupaten/kota. Di sini juga termasuk Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-undang (Perpu). Ketiga, kebijakan yang dibuat oleh

eksekutif saja. Termasuk di sini adalah Peraturan Pemerintah, Keputusan

Presiden, Keputusan Menteri/Ketua Lembaga, Peraturan Menteri, Instruksi

Menteri, Surat Edaran Menteri/ Ketua Lembaga, dan sebagainya. Di

tingkat daerah ada Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota,

16
Instruksi Gubernur/Bupati/ Walikota, dan berbagai peraturan pelaksanaan

lainnya.

Berdasarkan penjelasan tersebut maka kebijakan publik selalu

berorientasi masalah. Tidak akan ada kebijakan publik kalau tidak ada

masalah publik. Pemerintah mengembangkan kebijakan publik karena

alasan politis, moral/etis, atau karena kegagalan mekanisme pasar.

Kebijakan publik terdapat di seluruh level pemerintahan, mulai dari level

nasional (pusat) sampai level daerah. Kebijakan publik dituangkan dalam

berbagai pernyataan otoritatif dari pejabat publik di seluruh level

pemerintahan tersebut.

B. Implementasi Kebijakan

Implementasi seringkali digunakan sebagai suatu istilah tunggal

tanpa obyek. Sebenarnya, obyek dari kata implementasi adalah kebijakan

(Pressman and Wildavsky, 1973). Kebijakan harus ada lebih dahulu, baru

kemudian menyusul implementasi, dan yang diimplementasikan adalah

kebijakan. Pada umumnya implementasi mengikuti teorema formulasi dan

keputusan tersebut. Sangat jarang ditemukan keputusan yang bersifat

swalaksana atau self-executing (Hill & Hupe, 2002).

Para teoritisi telah mendefinisikan konsep implementasi dengan

berbagai cara sejak konsep tersebut dipopulerkan oleh Pressman and

Wildavsky di tahun 1973. Literatur kebijakan publik penuh dengan definisi

yang beragam tentang implementasi, mulai dari definisi yang tegas dan

jelas sampai yang kabur. Bahkan, kebanyakan definisi implementasi

17
menekankan aktivitas struktural internal organisasi atau instansi

pelaksana, padahal implementasi berlangsung dalam suatu konteks yang

dinamis dan mencakup beragam aktor dengan beragam kepentingan.

Definisi implementasi dalam penelitian ini mengacu kepada

Bowman (2005) yakni “meletakkan tujuan-tujuan dari para policy adopters

ke dalam berbagai tindakan usaha untuk mencapai hasil-hasil yang

diinginkan”. Definisi ini sangat tepat untuk menggambarkan implementasi

sebagai proses yang tidak terpisah dari perubahan-perubahan kebijakan.

Dalam proses implementasi, kebijakan akan terus dibentuk, dalam

implementasi terdapat subproses pembuatan kebijakan (Hill and Hupe,

2002). Proses implementasi dimulai dari pasasi peraturan perundang-

undangan, diikuti dengan keputusan-keputusan dari instansi pelaksana

tentang output-output kebijakan, kepatuhan kelompok sasaran terhadap

keputusan-keputusan dari instansi pelaksana tersebut, dampak aktual

baik yang diinginkan maupun yang tidak diinginkan, dampak yang

dipahami oleh instansi pelaksana, dan akhirnya revisi penting ataupun

revisi awal dari peraturan perundang-undangan tersebut.

C. Teori-teori Implementasi

Literatur implementasi mengalami perkembangan yang pesat.

Sejak konsep tersebut dipopulerkan oleh Pressman & Wildavsky di tahun

1973, literatur implementasi telah berkembang melewati tiga generasi.

Penelitian-penelitian implementasi generasi pertama berlangsung antara

awal 1970an sampai 1980an, generasi kedua dari 1980an sampai

18
1990an, dan generasi ketiga dari 1990an sampai sekarang (Paudel,

2009). Berikut uraian tentang masing-masing generasi penelitian tersebut.

1. Generasi Pertama Studi Implementasi

Penelitian implementasi generasi pertamadisebut juga “a cog in the

administrative machine”, suatu gigi roda dalam mesin administratif

(Brynard,2005). Penelitian implementasi generasi pertama berfokus pada

bagaimana suatu keputusan otoritatif dilaksanakan, baik pada suatu lokasi

tunggal maupun pada berbagai situs (Goggin et al.,1990). Generasi

pertama ini ditandai dengan studi-studi pendahuluan yang pada umumnya

tidak berbasis teoritis. Penelitian-penelitian generasi pertama pada

prinsipnya mengikuti pendekatan model rasional, yakni, kebijakan

meletakkan tujuan, sedangkan penelitian implementasi adalah berkenaan

dengan pertimbangan tentang apa yang membuat pencapaian tujuan-

tujuan tersebut menjadi sulit.

Studi yang dilakukan Pressman and Wildavsky (1973) tentang

program-program pemerintah federal yang diimplementasikan di Oakland,

Amerika Serikat, diakui sebagai contoh utama dari penelitian generasi

pertama (Hill & Hupe, 2002; Paudel, 2009). Pressman danWildavsky

seringkali disebut sebagai the founding fathers dari penelitian

implementasi (Paudel, 2009).

2. Generasi Kedua Studi Implementasi

Studi implementasi generasi kedua berfokus pada penjelasan dan

analisis tentang hubungan-hubungan antara kebijakan dan praktek.

19
Penelitian generasi kedua mengajarkan tentang pentingnya periode

waktu, yakni pada periode waktu mana dan pada titik kesejarahan mana

implementasi berlangsung. Implementasi dapat bervariasi dari waktu ke

waktu dan dapat berbeda menurut kebijakan dan unit-unit pemerintahan

(Goggin et al., 1990).

Penelitian implementasi generasi kedua berfokus pada penjelasan

tentang keberhasilan atau kegagalan implementasi dengan menggunakan

model eksplisit maupun implisit tentang proses implementasi (Goggin, et

al., 1990). Penelitian generasi kedua terlibat dalam pengembangan

kerangka analitik dan secara perlahan-lahan mengarah pada suatu

konfrontasi antara perspektif top-down dan bottom-up. Masing-masing

perspektif ini bersandar pada asumsi yang berbeda mengenai sifat

hubungan antar-organisasi.

a. Perspektif Top-Down

Perspektif top-down disebut juga pemetaan ke depan (forward

mapping), atau pendekatan terprogram (Imperial, 2001). Model sistem dari

Meter and Horn (1975), model proses dari Edwards III (1980), model

proses dari Sabatier dan Mazmanian (1980), dan model proses

administratif dari Grindle (1980) merupakan tipikal dari perspektif

implementasi top-down.

1) Model Sistem dari Donald. S Van Meter and Carl E Van Horn

Meter and Horn (1975) mengemukakan suatu model dasar yang

mencakup enam variabel yang membentuk keterkaitan antara kebijakan

20
dengan kinerja. Dalam model ini, variabel terikat adalah kinerja, yang

didefinisikan sebagai tingkat sejauh mana standar-standar dan tujuan-

tujuan kebijakan direalisasikan. Adapun variabel-variabel yang

membentuk keterkaitan antara kebijakan dengan kinerja tersebut adalah:

standar dan tujuan, sumber daya; komunikasi antar organisasi dan

aktivitas penguatan; karakteristik organisasi pelaksana;kondisi-kondisi

ekonomi, sosial, dan politik; dansikap para pelaksana.Faktor-faktor

tersebut selain terkait dengan kinerja kebijakan, juga saling berkaitan satu

dengan yang lainnya.

Model implementasi Meter and Horn memetakan variabel-variabel

implementasi yang memudahkan kita dalam memotret tentang siapa yang

bertanggung jawab atas apa. Model ini sangat memadai untuk

menjelaskan tentang kebijakan top-down, yakni kebijakan pemerintah

pusat yang diimplementasikan di daerah.

2) Model Proses Implementasi dari George C Edwards III

Model Edwards III (1980) mempertimbangkan empat faktor kritis

atau variabel di dalam mengimplementasikan kebijakan publik, yaitu:

komunikasi, sumber daya, sikap atau sikap, dan struktur birokrasi. Faktor-

faktor internal organisasi ini berpengaruh secara langsung terhadap

implementasi, tetapi juga saling tergantung satu dengan yang lainnya

(Edwards III, 1980.)

Model implementasi dari Edwards III menggunakan faktor yang

berfokus di dalam struktur pemerintahan untuk menjelaskan proses

21
implementasi. Penekanan pada proses ini dilandasi asumsi bahwa kalau

para implementor mengikuti sepenuhnya standar pelaksanaan yang telah

ditentukan oleh pembuat kebijakan maka dengan sendirinya output dan

outcomeskebijakan yang diinginkan akan tercapai. Kenyataan

menunjukkan bahwa kebanyakan kebijakan yang dibuat pemerintah tidak

pernah sempurna, dan tidak bebas dari kekuatan-kekuatan sosial,

ekonomi dan politik yang melingkupinya.

3) Model proses dari Daniel A. Mazmanian and Paul A. Sabatier

Model Sabatier and Mazmanian mempertimbangkan kondisi-kondisi

yang menghambat ataupun mendorong keberhasilan implementasi, yang

mencakup karakteristik masalah, daya dukung peraturan, faktor non

peraturan. Model ini memandang implementasi sebagai output dan

outcomes (Sabatier and Mazmanian, 1986).

Model Sabatier berusaha mengukur keberhasilan implementasi dari

segi kesesuaian output kebijakan dan kesesuaian dampak aktual

kebijakan. Keunggulan model ini adalah kompleksitas dan kejelasan

pemetaan variabel-variabel implementasi sehingga dapat menghasilkan

pemahaman yang sangat luas tentang mengapa output dan dampak

implementasi kebijakan bervariasi dari satu ke lain kebijakan atau dari

satu ke lain lokasi. Keterbatasan model Sabatier adalah sebagian dari

variabel yang dicakup tidak kontekstual yaitu variabel karakteristik

masalah yang dianggap sebagai suatu kelompok variabel prediktor.

22
Variabel ini lebih tepat dipotret ketika kita menjelaskan formulasi

kebijakan, bukan implementasi kebijakan.

4) Politik-Administratif dari Merilee S.Grindle

Model politik-administratif Grindle (1980) berasumsi bahwa tugas

implementasi adalah menetapkan suatu mata rantai yang memungkinkan

arah kebijakan umum direalisasikan sebagai suatu hasil dari aktifitas

pemerintahan (Grindle, 1980). Dalam hal ini, kebijakan pemerintah

diterjemahkan ke dalam program tindakan guna mencapai tujuan yang

dinyatakan dalam kebijakan tersebut. Program tindakan itu sendiri dapat

dijabarkan lagi ke dalam proyek-proyek spesifik yang mudah

dilaksanakan. Kebijakan adalah pernyataan arah, tujuan, dan sarana yang

bersifat luas dan umum. Proses implementasi hanya dapat dimulai apabila

arah kebijakan umum dan tujuan sudah dinyatakan secara spesifik,

program tindakan sudah didesain, dan dana telah dialokasikan untuk

pelaksanaannya.

Model implementasi Grindle (1980) mencakup dua kelompok faktor

yang secara potensial dapat menyebabkan implementasi kebijakan

berhasil atau gagal, yaitu: muatan kebijakan (policy content) dan Isi

Kebijakan. Variabel terikat di dalam model adalah outcomes kebijakan

namun tetap mempertimbangkan struktur implementasi yaitu dengan

mempertanyakan tentang apakah program dan proyek dilaksanakan

sesuai rencana.

23
Model Grindle menyajikan struktur kebijakan yang desentralistik, di

mana ada ruang bagi aparat pelaksana untuk menjabarkan kebijakan

melalui perumusan program dan kegiatan. Dengan demikian model ini

lebih komprehensif dibandingkan dengan kedua model yang telah

dijelaskan sebelumnya.Keterbatasan dari model Grindle adalah kriteria

tentang keberhasilan implementasi, yakni dampak, relatif sulit diidentifikasi

dalam jangka pendek. Perubahan-perubahan pada individu maupun

masyarakat yang ditimbulkan oleh suatu kebijakan pada umumnya baru

dapat diidentifikasi setelah periode waktu yang panjang.

5) Kesimpulan dari Model-modelTop-Down

Model-model top-down berasumsi bahwa tujuan-tujuan kebijakan

dispesifikasi oleh para pembuat kebijakan dan bahwa masalah-masalah

implementasi dapat diminimalisasi dengan cara memprogramkan secara

eksplisit prosedur implementasi. kebijakan menurut perspektif top-down

merepresentasikan pandangan-pandangan pembuat kebijakan.

Keberhasilan implementasi seringkali dilihat dari derajat sejauh mana

tindakan-tindakan pejabat pelaksana dan kelompok sasaran bersesuaian

dengan tujuan-tujuan yang dinyatakan dalam keputusan otoritatif.

Skenario pendekatan top-down dapat diringkaskan sebagai berikut:

[We] began with a vision: If a domain of tasks can be mapped to a


formal logic, and if that logic orders the behavior of a large and complex
organization, then that organization becomes a decision machine whose
operations are entirely unambiguous and whose output occasions no
surprise. To create such an organization is a monumental feat, requiring
an intelligence of the order of Laplace‟s demon; or, as Madison might have
put it, “So perfect a system is not for men (Landau and Stout, 1979).

24
Perspektif top-down dikritik antara lain sebagai berikut. Pertama,

implementasi dilihat semata-mata sebagai proses administratif dan

mengabaikan atau mengeliminasi aspek-aspek politik. Kenyataannya,

bahasa kebijakan seringkali samar, multi-tafsir, dan multi-tujuan. Kedua,

penekanan eksklusif pada penyusun statuta, aktor kunci adalah pembuat

kebijakan, sedangkan implementer harus dikontrol dengan ketat. Ketiga,

pendekatan top-down mengabaikan realitas modifikasi kebijakan atau

distorsi di tangan para implementer (Paudel, 2009). Kritikan-kritikan

tersebut mengarah pada munculnya perspektif bottom-up.

Dari berbagai teori Implemetnasi yang dikemukakan diatas maka

peneliti menggunakan teori Implemetasi Meter and Horn memetakan

variabel-variabel implementasi yang memudahkan kita dalam memotret

tentang siapa yang bertanggung jawab atas apa. Model ini sangat

memadai untuk menjelaskan tentang kebijakan top-down, yakni kebijakan

pemerintah pusat yang diimplementasikan di daerah.

Teori model pendekatan implementasi kebijakan yang dirumuskan

Van Meter dan Van Horn disebut dengan A Model of the Policy

Implementation (1975). Proses implementasi ini merupakan sebuah

abstraksi atau performansi suatu pengejewantahan kebijakan yang pada

dasarnya secara sengaja dilakukan untuk meraih kinerja implementasi

kebijakan yang tinggi yang berlangsung dalam hubungan berbagai

variabel. Model ini mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan

secara linear dari keputusan politik, pelaksana dan kinerja kebijakan

25
publik. Model ini menjelaskan bahwa kinerja kebijakan dipengaruhi oleh

beberapa variabel yang saling berkaitan, variable-variabel tersebut yaitu:

1. Standar dan sasaran kebijakan/ukuran dan tujuan kebijakan

2. Sumber daya

3. Karakteristik organisasi pelaksana

4. Sikap para pelaksana

5. Komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan

pelaksanaan

6. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik

Secara rinci variabel-variabel implementasi kebijakan publik model

Van Meter dan Van Horn dijelaskan sebagai berikut:

1) Standar dan sasaran kebijakan / ukuran dan tujuan kebijakan

Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat

keberhasilannya dari ukuran dan tujuan kebijakan yang bersifat realistis

dengan sosio-kultur yang ada di level pelaksana kebijakan. Ketika ukuran

dan dan sasaran kebijakan terlalu ideal (utopis), maka akan sulit

direalisasikan (Agustino, 2006). Van Meter dan Van Horn (dalam

Sulaeman, 1998) mengemukakan untuk mengukur kinerja implementasi

kebijakan tentunya menegaskan standar dan sasaran tertentu yang harus

dicapai oleh para pelaksana kebijakan, kinerja kebijakan pada dasarnya

merupakan penilaian atas tingkat ketercapaian standar dan sasaran

tersebut.

Pemahaman tentang maksud umum dari suatu standar dan tujuan

kebijakan adalah penting. Implementasi kebijakan yang berhasil, bisa jadi

26
gagal (frustated) ketika para pelaksana (officials), tidak sepenuhnya

menyadari terhadap standar dan tujuan kebijakan. Standar dan tujuan

kebijakan memiliki hubungan erat dengan disposisi para pelaksana

(implementors). Arah disposisi para pelaksana (implementors) terhadap

standar dan tujuan kebijakan juga merupakan hal yang “crucial”.

Implementors mungkin bisa jadi gagal dalam melaksanakan kebijakan,

dikarenakan mereka menolak atau tidak mengerti apa yang menjadi

tujuan suatu kebijakan (Van Mater dan Van Horn, 1974).

2) Sumber daya

Keberhasilan implementasi kebijakan sangat tergantung dari

kemampuan memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Manusia

merupakan sumber daya yang terpenting dalam menentukan keberhasilan

suatu implementasi kebijakan. Setiap tahap implementasi menuntut

adanya sumber daya manusia yang berkualitas sesuai dengan pekerjaan

yang diisyaratkan oleh kebijakan yang telah ditetapkan secara apolitik.

Selain sumber daya manusia, sumber daya finansial dan waktu menjadi

perhitungan penting dalam keberhasilan implementasi kebijakan.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Derthicks (dalam Van Mater dan

Van Horn, 1974) bahwa: ”New town study suggest that the limited supply

of federal incentives was a major contributor to the failure of the program”.

Van Mater dan Van Horn menegaskan bahwa:”Sumber daya

kebijakan (policy resources) tidak kalah pentingnya dengan komunikasi.

Sumber daya kebijakan ini harus juga tersedia dalam rangka untuk

27
memperlancar administrasi implementasi suatu kebijakan. Sumber daya

ini terdiri atas dana atau insentif lain yang dapat memperlancar

pelaksanaan (implementasi) suatu kebijakan. Kurangnya atau terbatasnya

dana atau insentif lain dalam implementasi kebijakan, adalah merupakan

sumbangan besar terhadap gagalnya implementasi kebijakan.”

3) Karakteristik organisasi pelaksana

Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal

dan organisasi informal yang akan terlibat dalam pengimplementasian

kebijakan. Hal ini penting karena kinerja implementasi kebijakan akan

sangat dipengaruhi oleh ciri yang tepat serta cocok dengan para agen

pelaksananya. Hal ini berkaitan dengan konteks kebijakan yang akan

dilaksanakan pada beberapa kebijakan dituntut pelaksana kebijakan yang

ketat dan displin. Pada konteks lain diperlukan agen pelaksana yang

demokratis dan persuasif. Selaian itu, cakupan atau luas wilayah menjadi

pertimbangan penting dalam menentukan agen pelaksana kebijakan.

Menurut Edward III, 2 (buah) karakteristik utama dari struktur

birokrasi adalah prosedur-prosedur kerja standar (SOP = Standard

Operating Procedures) dan fragmentasi.

a. Standard Operating Procedures (SOP). SOP dikembangkan sebagai

respon internal terhadap keterbatasan waktu dan sumber daya dari

pelaksana dan keinginan untuk keseragaman dalam bekerjanya

organisasi-organisasi yang kompleks dan tersebar luas. SOP yang

bersifat rutin didesain untuk situasi tipikal di masa lalu mungkin

28
mengambat perubahan dalam kebijakan karena tidak sesuai dengan

situasi atau program baru. SOP sangat mungkin menghalangi

implementasi kebijakan-kebijakan baru yang membutuhkan cara-cara

kerja baru atau tipe-tipe personil baru untuk mengimplementasikan

kebijakan. Semakin besar kebijakan membutuhkan perubahan dalam

cara-cara yang rutin dari suatu organisasi, semakin besar probabilitas

SOP menghambat implementasi (Edward III, 1980).

b. Fragmentasi. Fragmentasi berasal terutama dari tekanan-tekanan di

luar unit-unit birokrasi, seperti komite-komite legislatif, kelompok-

kelompok kepentingan, pejabat-pejabat eksekutif, konstitusi Negara

dan sifat kebijakan yang mempengaruhi organisasi birokrasi publik.

Fragmentasi adalah penyebaran tanggung jawab terhadap suatu

wilayah kebijakan di antara beberapa unit organisasi. “fragmentation is

the dispersion of responsibility for a policy area among several

organizational units.” (Edward III, 1980). Semakin banyak aktor-aktor

dan badan-badan yang terlibat dalam suatu kebijakan tertentu dan

semakin saling berkaitan keputusan-keputusan mereka, semakin kecil

kemungkinan keberhasilan implementasi. Edward menyatakan bahwa

secara umum, semakin koordinasi dibutuhkan untuk

mengimplementasikan suatu kebijakan, semakin kecil peluang untuk

berhasil (Edward III, 1980).

4) Komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan

pelaksanaan.

29
Agar kebijakan publik bisa dilaksanakan dengan efektif, menurut

Van Horn dan Van Mater (dalam Widodo 1974) apa yang menjadi standar

tujuan harus dipahami oleh para individu (implementors). Yang

bertanggung jawab atas pencapaian standar dan tujuan kebijakan, karena

itu standar dan tujuan harus dikomunikasikan kepada para pelaksana.

Komunikasi dalam kerangka penyampaian informasi kepada para

pelaksana kebijakan tentang apa menjadi standar dan tujuan harus

konsisten dan seragam (consistency and uniformity) dari berbagai sumber

informasi.

Jika tidak ada kejelasan dan konsistensi serta keseragaman

terhadap suatu standar dan tujuan kebijakan, maka yang menjadi standar

dan tujuan kebijakan sulit untuk bisa dicapai. Dengan kejelasan itu, para

pelaksana kebijakan dapat mengetahui apa yang diharapkan darinya dan

tahu apa yang harus dilakukan. Dalam suatu organisasi publik,

pemerintah daerah misalnya, komunikasi sering merupakan proses yang

sulit dan komplek. Proses pentransferan berita kebawah di dalam

organisasi atau dari suatu organisasi ke organisasi lain, dan ke

komunikator lain, sering mengalami ganguan (distortion) baik yang

disengaja maupun tidak. Jika sumber komunikasi berbeda memberikan

interprestasi yang tidak sama (inconsistent) terhadap suatu standar dan

tujuan, atau sumber informasi sama memberikan interprestasi yang penuh

dengan pertentangan (conflicting), maka pada suatu saat pelaksana

kebijakan akan menemukan suatu kejadian yang lebih sulit untuk

melaksanakan suatu kebijakan secara intensif.

30
Dengan demikian, prospek implementasi kebijakan yang efektif,

sangat ditentukan oleh komunikasi kepada para pelaksana kebijakan

secara akurat dan konsisten (accuracy and consistency) (Van Mater dan

Varn Horn, dalam Widodo 1974). Disamping itu, koordinasi merupakan

mekanisme yang ampuh dalam implementasi kebijakan. Semakin baik

koordinasi komunikasi di antara pihak-pihak yang terlibat dalam

implementasi kebijakan, maka kesalahan akan semakin kecil, demikian

sebaliknya.

5) Disposisi atau sikap para pelaksana

Menurut pendapat Van Metter dan Van Horn dalam Agustinus

(2006): ”sikap penerimaan atau penolakan dari agen pelaksana kebijakan

sangat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan implementasi

kebijakan publik. Hal ini sangat mungkin terjadi karena kebijakan yang

dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat yang mengenal

betul permasalahan dan persoalan yang mereka rasakan. Tetapi

kebijakan publik biasanya bersifat top down yang sangat mungkin para

pengambil keputusan tidak mengetahui bahkan tak mampu menyentuh

kebutuhan, keinginan atau permasalahan yang harus diselesaikan”.

Sikap mereka itu dipengaruhi oleh pendangannya terhadap suatu

kebijakan dan cara melihat pengaruh kebijakan itu terhadap kepentingan-

kepentingan organisasinya dan kepentingan-kepentingan pribadinya. Van

Mater dan Van Horn (1974) menjelaskan disposisi bahwa implementasi

kebijakan diawali penyaringan (befiltered) lebih dahulu melalui persepsi

31
dari pelaksana (implementors) dalam batas mana kebijakan itu

dilaksanakan. Terdapat tiga macam elemen respon yang dapat

mempengaruhi kemampuan dan kemauannya untuk melaksanakan suatu

kebijakan, antara lain terdiri dari pertama, pengetahuan (cognition),

pemahaman dan pendalaman (comprehension and understanding)

terhadap kebijakan, kedua, arah respon mereka apakah menerima, netral

atau menolak (acceptance, neutrality, and rejection), dan ketiga, intensitas

terhadap kebijakan.

Pemahaman tentang maksud umum dari suatu standar dan tujuan

kebijakan adalah penting. Karena, bagaimanapun juga implementasi

kebijakan yang berhasil, bisa jadi gagal (frustated) ketika para pelaksana

(officials), tidak sepenuhnya menyadari terhadap standar dan tujuan

kebijakan. Arah disposisi para pelaksana (implementors) terhadap standar

dan tujuan kebijakan. Arah disposisi para pelaksana (implementors)

terhadap standar dan tujuan kebijakan juga merupakan hal yang “crucial”.

Implementors mungkin bisa jadi gagal dalam melaksanakan kebijakan,

dikarenakan mereka menolak apa yang menjadi tujuan suatu kebijakan

(Van Mater dan Van Horn, 1975).

Sebaliknya, penerimaan yang menyebar dan mendalam terhadap

standar dan tujuan kebijakan diantara mereka yang bertanggung jawab

untuk melaksanakan kebijakan tersebut, adalah merupakan suatu potensi

yang besar terhadap keberhasilan implementasi kebijakan (Kaufman

dalam Van Mater dan Van Horn, 1974). Pada akhirnya, intesitas disposisi

para pelaksana (implementors) dapat mempengaruhi pelaksana

32
(performance) kebijakan. Kurangnya atau terbatasnya intensitas disposisi

ini, akan bisa menyebabkan gagalnya implementasi kebijakan.

6) Lingkungan sosial, ekonomi dan politik

Hal terakhir yang perlu diperhatikan guna menilai kinerja

implementasi kebijakan adalah sejauh mana lingkungan eksternal turut

mendorong keberhasilan kebijakan publik. Lingkungan sosial, ekonomi

dan politik yang tidak kondusif dapat menjadi sumber masalah dari

kegagalan kinerja implementasi kebijakan. Karena itu, upaya implementasi

kebijakan mensyaratkan kondisi lingkungan eksternal yang kondusif.

D. Pelabuhan

1. Pengertian

Pengertian pelabuhan secara umum adalah sebuah fasilitas di

ujung samudera, sungai, atau danau untuk menerima kapal dan

memindahkan barang kargo maupun penumpang ke dalamnya.

Pelabuhan biasanya memiliki alat-alat yang dirancang khusus untuk

memuat dan membongkar muatan kapal-kapal yang berlabuh. Crane dan

gudang berpendingin juga disediakan oleh pihak pengelola maupun pihak

swasta yang berkepentingan. Sering pula disekitarnya dibangun fasilitas

penunjang seperti pengalengan dan pemrosesan barang.

Peraturan Pemerintah RI No.69 Tahun 2001 mengatur tentang

pelabuhan dan fungsi serta penyelengaraannya. Pelabuhan juga dapat di

definisikan sebagai daerah perairan yang terlindung dari gelombang laut

33
dan di lengkapi dengan fasilitas terminal meliputi :Dermaga, tempat di

mana kapal dapat bertambat untuk bongkar muat barang., crane, untuk

melaksanakan kegiatan bongkar muat barang, gudang laut (transito),

tempat untuk menyimpan muatan dari kapal atau yang akan di pindah ke

kapal.Pelabuhan juga merupakan suatu pintu gerbang untuk masuk ke

suatu daerah tertentu dan sebagai prasarana penghubung antar daerah,

antar pulau, bahkan antar negara. (Triatmodjo, 2009).

2. Pelabuhan Perikanan

Pelabuhan perikanan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan

perairan di sekitarnya dengan batas batas tertentu sebagai tempat

kegiatan pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis perikanan yang

digunakan sebagai tempat kapal perikanan bersandar, berlabuh, dan /atau

bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan

pelayaran dan kegiatan penunjang perikanan.

Pelabuhan perikanan mempunyai fungsi pemerintahan dan

pengusahaan guna mendukung kegiatan yang berhubungan dengan

pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai

dari pra produksi, produksi, pengolahan sampai dengan

pemasaran.Fungsi pelabuhan perikanan dapat berupa :pelayanan tambat

dan labuh kapal perikanan, pelayanan bongkar muat, pelayanan

pembinaan mutu dan pengolahan hasil perikanan, pemasaran dan

distribusi ikan, pengumpulan data tangkapan dan hasil perikanan, tempat

pelaksanaan penyuluhan dan pengembangan masyarakat perikanan,

pelaksanaan kegiatan operasional kapal perikanan, tempat pelaksanaan

34
pengawasan dan pengendalian sumber daya ikan, pelaksanaan

kesyahbandaran, tempat pelaksanaan fungsi karantina ikan, publikasi

hasil pelayanan sandar dan labuh kapal perikanan dan kapal pengawas

kapal perikanan, tempat publikasi hasil riset kelautan dan perikanan,

pemantauan wilayah pesisir dan wisata bahari; dan / atau,

pengendalian lingkungan.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor:

PER.16/MEN/2006 tentang Pelabuhan Perikanan, Pelabuhan Perikanan

dibagi menjadi 4 kategori utama yaitu:

2.1. PPS (Pelabuhan Perikanan Samudera)

Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS), dikenal juga sebagai

pelabuhan kelas A atau kelas I. Pelabuhan perikanan ini khusus dirancang

untuk melayani kapal yang berukuran > 60 GT.

Pelabuhan ini dapat menampung 100 kapal atau total 6000 GT

sekaligus, atau dapat pula melayani kapal perikanan yang beroperasi di

perairan lepas pantai, ZEE, dan perairan internasional. Jumlah ikan yang

didaratkan sekitar 40.000 per tahun dan juga memberikan pelayanan

untuk ekspor.

Selain itu juga tersedia tanah untuk industri perikanan. Perum

Prasarana Perikanan Samudera adalah badan yang bertanggung jawab

atas pelabuhan ini. Fungsi dari Perum Prasarana Perikanan Samudera

adalah untuk; (1) Meningkatkan pendapatan masyarakat nelayan melalui

penyediaan dan perbaikan sarana dan prasarana pelabuhan perikanan

samudera, (2) mengembangkan wiraswasta perikanan serta untuk

35
memasang atau mendorong industri perikanan untuk memasarkan hasil

perikanan, (3) Memperkenalkan dan mengembangkan teknologi hasil

perikanan dan sistem rantai dingin dalam perdagangan dan industri di

bidang perikanan.

Terdapat beberapa fasilitas-fasilitas dalam pelabuhan perikanan

samudera, antara lain:

a. Pelindung:

- Breakwater panjang

- Revetment panjang

- Groin panjang

b. Tambat / labuh

- Dermaga panjang

- Jetty panjang

c. Perairan

- Alur pelayaran panjang

- Kolam pelabuhan luas

d. Penghubung

- Jalan panjang

- Jembatan panjang

- Drainase terbuka panjang

- Drainase tertutup panjang

e. Pembatas lahan

- Pagar keliling panjang.

36
2.2. PPN (Pelabuhan Perikanan Nusantara)

Pelabuhan Perikanan Nusantara atau dikenal juga sebagai

pelabuhan perikanan tipe B, atau kelas II. Pelabuhan ini dirancang

terutama untuk kapal perikanan berukuran 15-16 GT sekaligus.

Pelabuhan ini juga melayani kapal perikanan yang beroperasi di perairan

ZEE Indonesia dan perairan nasional. Jumlah ikan yang didaratkan sekitar

40-50 ton per hari atau 8.000- 15.000 ton per tahun.

Terdapat beberapa fasilitas-fasilitas dalam pelabuhan perikanan

nusantara antara lain:

a. Pelindung

- Breakwater panjang

- Revetment panjang

- Groin panjang

b.. Tambat / labuh

- Dermaga panjang

- Jetty panjang

c. Perairan

- Alur pelayaran panjang

- Kolam pelabuhan luas

d. Penghubung

- Jalan panjang

- Jembatan panjang

- Drainase terbuka panjang

- Drainase tertutup panjang

37
e. Pembatas lahan

- Pagar keliling panjang.

2.3. PPP (Pelabuhan Perikanan Pantai)

Pelabuhan Perikanan Pantai disebut juga pelabuhan taraf C atau

kelas II. Pelabuhan ini dirancang untuk melayani kapal perikanan yang

berukuran 5-15 GT. Pelabuhan ini dapat menampung 50 kapal atau 500

GT sekaligus. Pelabuhan ini juga melayani kapal perikanan yang

beroperasi di perairan pantai.

Terdapat beberapa fasilitas-fasilitas dalam pelabuhan perikanan pantai,

terdiri atas:

a. Pelindung, Breakwater panjang, Revetment panjang

- Groin panjang

b. Tambat / labuh

- Dermaga panjang

- Jetty panjang

c. Perairan

- Alur pelayaran panjang

- Kolam pelabuhan luas

d. Penghubung

- Jalan panjang

- Jembatan panjang

- Drainase terbuka panjang

- Drainase tertutup panjang

e. Pembatas lahan

38
- Pagar keliling panjang.

2.4. PPI (Pangkalan Pendaratan Ikan)

Pangkalan pendaratan ikan pada umumnya adalah pelabuhan kecil

yan umumnya dikelola oleh Daerah ataupun yang diusahakan oleh pihak

nelayanjuga para bisnis sekalipun itu adalah para pemilik kapal (koperasi

dan paguyuban). PPI biasanya berskala kecil pada suatu perairan pantai.

Sifat dari pangkalan ini adalah :

a. Melayani kapal sampai dengan yang berukuran 10 GT.

b. Jumlah ikan yang didaratkan setiap hari sekitar 10 ton atau 2000 ton

per tahun

c. Melayani kapal perikanan yang beroperasi di periran pantai.

Pelabuhan tersebut dikategorikan menurut kapasitas dan kemampuan

masing-masing pelabuhan untuk menangani kapal yang datang dan pergi

serta letak dan posisi pelabuhan. Nomor Kriteria Pelabuhan Perikanan

PPS, PPN, PPP, PPI dengan identitas sebagai berikut:

a. Daerah operasional kapal ikan yang dilayani Wilayah laut teritorial,

Zona Ekonomi Ekslusif (ZEEI) dan perairan internasional Perairan

ZEEI dan laut teritorial perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut

teritorial, wilayah ZEEI Perairan pedalaman dan perairan kepulauan.

b. Fasilitas tambat/labuh kapal >60 GT 30-60 GT 10-30 GT 3-10 GT.

c. Panjang dermaga dan Kedalaman kolam >300 m dan >3 m 150-300

m dan >3 m 100-150 m dan >2 m 50-100 m dan >2 m.

d. Kapasitas menampung Kapal >6000 GT (ekivalen dengan 100 buah

kapal berukuran 60 GT) >2250 GT (ekivalen dengan 75 buah kapal

39
berukuran 30 GT) >300 GT (ekivalen dengan 30 buah kapal

berukuran 10 GT) >60 GT (ekivalen dengan 20 buah kapal berukuran

3 GT).

e. Volume ikan yang didaratkan rata-rata 60 ton/hari rata-rata 30

ton/harif. Luas lahan >30 Ha 15-30 Ha 5-15 Ha 2-5 Ha.

g. Fasilitas pembinaan mutu hasil perikanan.

h. Ekspor ikan.

i. Tata ruang (zonasi) pengolahan/pengembangan industri perikanan.

3. Klasifikasi dan jenis Pelabuhan Perikanan :

Ditinjau dari aspek teknis, berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan

dan Perikanan No. 16 tahun 2006. Klasifikasi pelabuhan perikanan

adalah :

a. Pelabuhan Perikanan Samudra (PPS) melayani kapal perikanan yang

melakukan kegiatan perikanan di laut teritorial, Zone Ekonomi

Eksklusif Indonesia, dan laut lepas, memiliki fasilitas tambat labuh

untuk kapal perikanan berukuran se kurang – kurangnya 60 GT,

panjang dermaga se kurang – kurangnya 300 m , dengan kedalaman

kolam sekurang – kurangnya minus 3 m, mampu menampung

sekurang – kurangnya 100 kapal perikanan atau jumlah keseluruhan

sekurang – kurangnya 6.000 GT kapal perikanan sekaligus, Ikan yang

didaratkan sebagian untuk tujuan exspor, terdapat industri perikanan.

b. Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN), melayani kapal perikanan

yang melakukan kegiatan, perikanan dilaut teritorial dan Zona

Ekonomi Eksklusif Indonesia, memiliki fasilitas tambat labuh untuk

40
kapal perikanan, berukuran sekurang – kurangnya 30 GT, panjang

dermaga sekurang – kurangnya 150 m, kedalaman kolam sekurang –

kurangnya minus 3 m, mampu menampung sekurang – kurangnya 75

kapal perikanan atau jumlah keseluruhan sekurang kurangnya 2.250

GT Kapal perikanan sekali gus, terdapat industri perikanan.

c. Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP), melayani kapal perikanan yang

melakukan kegiatan di perairan pedalaman, perairan kepulauan dan

laut territorial, memilik fasilitas tambat labuh untuk kapal perikanan

Berukuran sekurang – kurangnya 10 GT, panjang dermaga sekurang

– kurangnya 100 m, dengan kedalaman kolam sekurang – kurangnya

minus 2m, mampu menampung sekurang – kurangnya 30 kapal

perikanan atau jumlah keseluruhan sekurang – kurangnya 300 GT

kapal perikanan sekaligus.

d. Pusat Pendaratan Ikan (PPI), melayani kapal perikanan yang

melakukan kegiatan perikanan di perairan pedalaman dan perairan

kepulauan, memiliki fasilitas tambat labuh untuk kapal perikanan

berukuran sekurang-kurangnya 3 GT, panjang dermaga sekurang-

kurangnya 50m, dengan kedalaman kolam minus 2 m, mampu

menampung sekurang-kurangnya 60 GT kapal perikanan sekaligus.

4. Peranan Pelabuhan Perikanan

Pada hakekatnya pelabuhan perikanan merupakan basis utama

kegiatan industri perikanan tangkap yang harus dapat menjamin

suksesnya aktivitas usaha perikanan tangkapdi laut. Pelabuhan perikanan

berperan sebagai terminal yang menghubungkan kegiatan usaha di laut

41
dan di darat ke dalam suatu sistem usaha dan berdayaguna tinggi.

Aktivitas unit penangkapan ikan di laut, keberangkatannya dari pelabuhan

harus dilengkapi dengan bahan bakar, perbekalan makanan, es dan lain-

lain secukupnya. Informasi tentang data harga dari kebutuhan ikan di

pelabuhan perlu dikomunikasikan dengan cepat d a r i pelabuhan ke kapal

di laut. Setelah selesai melakukan pekerjaan di laut kapal akan kembali

dan masuk ke pelabuhan untuk membongkar dan menjual ikan hasil

tangkapan.

Undang-Undang No. 9 tahun 1985 menyebutkan bahwa pelabuhan

perikanan sebagai sarana penunjang untuk meningkatkan produksi dan

sesuai dengan sifatnya sebagai suatu lingkungan kerja mempunyai fungsi

sebagai berikut :(1) pusat pengembangan masyarakat nelayan, (2) tempat

berlabuh kapal perikanan, (3) tempat pendaratan ikan hasil tangkapan, (4)

tempat untuk memperlancar kegiatan-kegiatan kapal perikanan, (5) pusat

pemasaran dan distribusi ikan hasil tangkapan, (6) pusat pelaksana

pembinaan mutu hasil perikanan, serta (7) pusat pelaksana penyuluhan

dan pengumpulan data perikanan.

Merujuk kepada fungsi-fungsi pelabuhan perikanan tersebut, maka

pelabuhan perikanan menduduki posisi yang strategis dalam upaya

peningkatan produksi perikanan laut yang berimplikasi pada peningkatan

pendapatan negara, pemerintah daerah maupun masyarakat

nelayanmaupun dalam upaya pemberdayaan masyarakat nelayan

sehingga mereka mampu berusaha mandiri.

42
Pembangunan pelabuhan perikanan dimaksudkan untuk menjadi

penggerak utama perekonomian masyarakat nelayan sehingga

berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi wilayah dan kesejahteraan

masyarakat nelayan. Untuk maksud tersebut, maka pengembangan

pelabuhan perikanan harus didasarkan pada; (1) Resouces based yaitu

adanya ketersediaan sumberdaya ikan secara berkesinambungan, (2)

market oriented yaitu bahwa hasil tangkapan yang didaratkan haruslah

memiliki nilai ekonomi penting dan industri pengolahan yang memberikan

nilai tambah (added value) yang besar, (3)community based development

yaitu pelibatan masyarakat dalam proses perencanaan dan

pemanfaatannya sehingga memberikan manfaat yang sebesar-besarnya

bagi masyarakat khususnya stakeholder perikanan, (4) keterkaitan antar

sector dimana keberadaan pelabuhan perikanan harus memberikan

multiplier effect secara lintas sector, lintas wilayah dan lintas pelaku bagi

pengembangan industri yang terkait baik industri hulu maupun hilir

sehingga keberadaannya akan mampu mendorong pertumbuhan industri

perikanan yang bermanfaat bagi peningkatan devisa negara (lewat

komoditas ekspornya), alternatif saluran baru bagi produksi perikanan

yang selama ini masih didominasi oleh pemasaran ikan segar dan

memberikan insentif bagi masuknya investasi modal swasta ke dalam

sector perikanan.

Sebagai pusat aktifitas ekonomi perikanan, pelabuhan perikanan

selayaknya mampu men-generate pendapatan untuk pelabuhan itu sendiri

yang berasal dari pemberian pelayanan jasa pelabuhan perikanan.

43
Imbalan pelayanan jasa ini dapat berasal dari penggunaan fasilitas, jasa

dan barang yang dihasilkan pelabuhan perikanan. Di samping itu

pelabuhan perikanan pun dapat mengenerate pendapatan masyarakat

nelayan dan sekitar pelabuhan yang terbuka peluang usahanya akibat

adanya aktifitas di pelabuhan.

Pelabuhan perikanan sebagai pusat kehidupan masyarakat

nelayan dan pusat kegiatan industri perikanan, memiliki beberapa

peranan, yakni : (1). Peranan pelabuhan perikanan yang berkaitan dengan

aktifitas produksi, antara lain ;Tempat mendaratkan hasil tangkapan

perikanan, Tempat untuk persiapan operasi penangkapan

(mempersiapkan alat, bahan bakar, perbaikan alat tangkap, ataupun

kapal) tempat berlabuh kapal perikanan. (2). Sebagai pusat distribusi,

peranan pelabuhan perikanan yang berkaitan dengan aktivitas distribusi

antara lain :Tempat transaksi jual beli ikan., Sebagai terminal untuk

mendistribusikan ikan, Sebagai terminal ikan hasil laut. (3) Sebagai pusat

kegiatan masyarakat nelayan, pelabuhan perikanan yang berkaitan

dengan aktivitas ini antara lain sebagai pusat :Kehidupan nelayan,

Pengembangan ekonomi masyarakat nelayan, Lalu lintas jaringan

informasi antara nelayan dengan pihak luar.

5. Imbalan Jasa Pemakaian Fasilitas

Aturan/penentuan imbalan jasa pemakaian fasilitas ini mengacu

pada SK Direktur Jenderal Perikanan No. KU.440/D5.1779/93 tentang

Petunjuk Teknis Pelaksanaan Imbalan Jasa Penggunaan Fasilitas, Jasa

dan Barang yang dihasilkan Pelabuhan Perikanan:

44
5.1. Jasa Tambat Labuh

Tambat

a. Kapal dikatakan bertambat apabila bersandar atau mengikatkan tali di

tempat tertentu untuk melakukan kegiatan bongkar hasil tangkapan.

b. Waktu tambat dihitung selama kapal membongkar hasil tangkapan di

dermaga atau ditempat tambat yang lain

c. Uang tambat adalah imbalan jasa bagi kapal yang bersandar di tempat

tambat yang dihitung berdasarkan etmal (1 etmal = 24 jam)

d. Fasilitas tambat berupa jembatan/jetty, dermaga bongkar, tepian atau

bagian tepi baik sungai maupun pantai

e. Tubuh kapal lain

Labuh

a. Kapal dikatakan berlabuh apabila setelah membongkar hasil

tangkapan, kapal bersandar atau mengikat tali di tempat tertentu yang

bukan tempat bongkar, untuk beristirahat dan menunggu

keberangkatan ke laut atau yang menunggu naik dock atau dalam

keadaan floating repair

b. Waktu labuh adalah waktu yang dihitung sesudah kapal selesai

membongkar sampai keberangkatannya kembali ke laut (waktu sejak

kapal bersandar di dermaga sampai berangkat kembali ke laut

dikurangi dengan waktu tambat)

c. Uang labuh adalah jasa sebagai pengganti akibat pemakaian kolam

pelabuhan atau tempat berlabuh lainnya yang dihitung berdasarkan

etmal

45
d. Tempat berlabuh merupakan kolam pelabuhan atau tempat yang

dibangun khusus untuk berlabuh.

Ketentuan Lain

a. Kapal non perikanan yang akan tambat labuh harus seizing Kepala

Pelabuhan dengan tariff sesuai tariff pokok

b. Apabila kapal hanya melakukan tambat untuk mengisi perbekalan

melaut dapat dibebaskan dari biaya tambat dengan catatan tidak lebih

dari 6 jam

c. Kapal perikanan untuk keperluan rekreasi/olah raga dikenakan sesuai

tariff

d. Kapal yang menetap atau melakukan kegiatan tetap di pelabuhan dapat

menggunakan system labuh langganan dan dibayar di muka sebanyak

50 % dari jumlah biaya labuh selama sebulan

e. Kapal perikanan, kapal latih dan kapal-kapal pemerintah sejenis yang

tidak diusahakan mendapat keringanan 50 % dari tariff pokok

f. Kapal patroli, kapal bea cukai, kapal perang dan kapal-kapal sejenis

yang tidak diusahakan dibebaskan dari biaya tambat labuh.

5.2. Pengadaan Es

Harga es ditetapkan berdasarkan perhitungan biaya produksi,

dengan catatan bahwa harga tersebut tidak melebihi harga es local.

5.3. Pengadaan Air

a. Pengadaan air tawar diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan kapal,

pencucian ikan, pengolahan hasil, gudang ikan, warung, fasilitas umum

dan lain-lain.

46
b. Sumber air tawar adalah sumur bor dan PAM

c. Perhitungan tariff didasarkan pada biaya pengusahaan air tersebut

5.4 Jasa Sewa Cool Room

a. Jangka waktu penyimpanan komoditi hasil perikanan di dalam cool

room diperhitungkan sekurang-kurangnya satu hari dan untuk

penyimpanan kurang dari satu hari diperhitungkan satu hari.

b. Keterlambatan pengambilan ikan dari batas waktu penyimpanan yang

disebabkan kelalaian dari pemakai jasa, dikenakan biaya tambahan

sebesar waktu keterlambatan.

c. Batas waktu maksimum untuk setiap komoditi, ditentukan sesuai

dengan nilai jual komoditi. Apabila penyewa tidak sanggup lagi

memenuhi kewajiban membayar sewa sesuai dengan batas waktu

penyimpanan yang telah disepakati, maka Kepala Pelabuhan

Perikanan tidak bertanggungjawab atas keberadaan komoditi tersebut

dan berhak melakukan pelelangan untuk menggantikan sewanya.

d. Harga sewa ditentukan berdasarkan perhitungan biaya operasional

5.5. Jasa Alat-alat, Slipway dan Bengkel

a. Sewa Alat. Ketentuan tariff didasarkan pada :

- jenis alat, waktu dan satuan pemakaian

- perhitungan jam pemakaian dimulai dari pemberangkatan alat-alat

dari tempat penyimpanan, selama penggunaan alat sampai kembali

ke tempat penyimpanan

- Selama dalam masa sewa, apabila terdapat kerusakan alat yang

disewa, penyewa harus mengganti kerusakan tersebut.

47
b. Jasa Penggunaan Slipway/Dock

- Ongkos satu kali naik dan turun kapal dihitung per ton

- Ongkos slipway selama kapal di atas galangan dihitung selama masa

perbaikan dengan satuan ton (dalam hal ini dipakai GT kapal) per

etmal

- Biaya perbaikan kapal ditentukan berdasarkan kerusakan kapal,

penggatian suku cadang dan ongkos perbaikan

- Secara keseluruhan sewa slipway dan ongkos perbaikan kapal tidak

boleh melebihi tarip di luar pelabuhan

c. Jasa Penggunaan bengkel

- Tarip untuk bengkel ditentukan berdasarkan kerusakan, penggatian

suku cadang dan ongkos perbaikan,

- untuk perbaikan kerusakan peralatan dan mesin pelabuhan biaya

perbaikan dikenakan dengan mengurangi anggaran Unit pelabuhan,

- imbalan jasa bengkel di pelabuhan tidak boleh lebih tinggi dari tarip di

luar pelabuhan.

5.6. Sewa Pemakaian Listrik

Imbalan jasa pemakaian listrik dibedakan atas dua jenis yaitu :

- listrik yang berasal dari PLN dengan imbalan pemakaian ditetapkan

sebesar biaya PLN ditambah biaya eksploitasi sebesar 10 %

- listrik yang berasal dari generator milik pelabuhan dengan imbalan jasa

ditetapkan oleh SK Menteri

48
5.7. Sewa Tanah dan Bangunan

- Sewa tanah dan bangunan yang dipakai untuk kebutuhan yang sifatnya

menetap, taripnya dihitung dalam m2 per tahun dilakukan berdasarkan

Surat Perjanjian

- Sewa tanah yang dipakai untuk kebutuhan sementara (perbaikan atau

penjemuran jarring, penumpukan barang) taripnya dihitung dalam m2

per etmal

5.8. Jasa Pas Masuk Pelabuhan Perikanan

a. Ketentuan Tarip Masuk

- Pas masuk harian dikenakan bagi setiap orang/pihak dan kendaraan

(termasuk pengemudinya) yang akan memasuki wilayah pelabuhan

- Pas masuk langganan dikenakan bagi orang/pihak yang melakukan

kegiatan tetap di pelabuhan.

b. Ketentuan bagi nelayan setempat

- Bagi nelayan setempat dibebaskan dari bea pas masuk pelabuhan

dengan ketentuan mempunyai dan menunjukkan Kartu Pengenal

kepada petugas yang berwenang.

- Bagi nelayan yang tidak menetap dikenakan bea pas masuk

pelabuhan seperti pengunjung lain.

c. Ketentuan bagi bakul pedagang ikan

- Bakul ikan tetap dikenakan pas masuk berupa pas langganan yang

dibayar di muka untuk setiap bulannya.

49
- Bagi bakul tidak tetap dikenakan pas masuk berupa pas seperti

pengunjung biasa.

d. Ketentuan bagi pengunjung

- Pengunjung yang tidak bersifat dinas dikenakan pas masuk.

- Kunjungan dinas atau tamu-tamu resmi harus sepengetahuan petugas

keamanan dan seizin Kepala Pelabuhan.

6. Peredaran Uang

Pelabuhan perikanan merupakan tempat berkumpulnya seluruh

aktifitas ekonomi masyarakat perikanan mulai dari aktifitas produksi

(penangkapan), pengolahan, perbekalan, perbaikan maupun aktifitas lain

yang berkaitan dengan aktifitas perikanan tersebut. Oleh karena itu

peredaran uang di pelabuhan berlangsung antar pelaku-pelaku usaha

yang bergerak pada aktifitas-aktifitas tersebut. Stakeholder yang terlibat

dalam aktifitas di pelabuhan perikanan diantaranya adalah pengelola

pelabuhan perikanan, nelayan, pedagang ikan, pengusaha pengolahan,

pengusaha bahan perbekalan, pengusaha perbengkelan dan pengusaha

transportasi.

Nelayan mengalirkan dananya kepada pengusaha perbekalan

dalam bentuk pembelian bahan perbekalan melaut seperti bahan bakar,

es, alat penangkapan dan kepada pengusaha perbengkelan sebagai

imbalan atas perbaikan unit penangkapan. Bakul mengalirkan dananya

kepada nelayan dalam bentuk pembelian hasil tangkapan, pengusaha

transportasi untuk jasa angkutannya dan kepada pengusaha perbekalan

50
dalam bentuk pembelian es untuk penanganan ikan hasil pembeliannya.

Pengusaha pengolahan mengalirkan dananya kepada pedagang ikan

dalam bentuk pembelian bahan baku industrinya berupa ikan, pengusaha

perbekalan dalam bentuk pembelian bahan yang akan digunakan dalam

proses produksi seperti bahan bakar dan es dan kepada pengusaha

transportasi sebagai imbalan atas jasa untuk mendistribusikan produk

yang dihasilkan kepada konsumennya ke semua pelaku usaha tersebut

mengalirkan dananya kepada pihak pengelola pelabuhan perikanan yang

merupakan imbalan jasa bagi penggunaan fasilitas, barang dan pelayanan

yang disediakan pihak pengelola.

7. Pengembangan Pelabuhan Perikanan

Hingga tahun 2008 telah dibangun 966 pelabuhan perikanan dan

pangkalan pendaratan ikan, yang terdiri dari 6 PPS, 13 PPN, 45 PPN dan

901 PPI. Sebagian besar pelabuhan perikanan dan pangkalan pendaratan

ikan dibangun di Indonesia Bagian Barat dengan 673 (69,67%), Indonesia

Bagian Tengah sebanyak 208 (21,53%), dan sebagian Indonesia Bagian

Timur sebanyak 85 buah (8,8%). Dengan panjang garis pantai yang

mencapai 95.181 km dan besarnya sumberdaya ikan yang dimiliki,

idealnya Indonesia membutuhkan tidak kurang dari 3.000 pelabuhan

perikanan, atau 30 km terdapat satu pelabuhan perikanan atau pangkalan

pendaratan ikan. dengan rasio ideal tersebut, setidaknya Indonesia

mendekati Jepang yang memiliki rasio satu pelabuhan perikanan setiap

11 km, atau melebihi Thailand yang memiliki rasio satu pelabuhan

perikanan setiap 50 km. Namun pemerintah terkendala oleh keterbatasan

51
anggaran untuk membiayai pembangunan pelabuhan perikanan dan

pangkalan pendaratan ikan. Karena itu, Direktorat Jenderal Perikanan

Tangkap mendorong sektor swasta untuk berpartisipasi dalam

pembangunan pelabuhan perikanan. Walhasil, pada pertengahan tahun

2008 telah beroperasi dua pelabuhan perikanan swasta, yaitu Barelang

dan Telaga Punggur.

Pelabuhan perikanan juga menyediakan BBM untuk keperluan para

nelayan. Subsidi yang selama ini diberikan tetap dipertahankan. Dengan

jatah 25 kilo liter saat ini, kebutuhan nelayan kecil sudah tercukupi. Bagi

nelayan besar, kekurangannya harus dipenuhi dengan harga industri.

Aktivitas pengolahan secara modern maupun tradisional di pelabuhan

perikanan dilakukan untuk menghasilkan nilai tambah produk dan

sekaligus mencegah ikan menjadi rusak/busuk. Sedangkan aktivitas

pemasaran dilakukan dengan mengumpulkan hasil tangkapan dari

berbagai tempat untuk selanjutnya didistribusikan ke pasar-pasar.

Pelabuhan perikanan juga memfasilitasi ekspor ikan bernilai ekonomi

tinggi ke beberbagai negara. Di samping kegiatan produksi dan kegiatan

hilir lainnya, kegiatan pelabuhan perikanan juga menyangkut penawaran

dan pengadaan input (kegiatan hulu). Pelabuhan perikanan menyediakan

faktor masukan yang diperlukan nelayan, termasuk kapal penangkap ikan

beserta peralatannya, umpan dan bahan-bahan lain untuk kegiatan

penangkapan ikan. pengembangan pelabuahan perikanan beserta

fasilitas pendukungnya merupakan aktivitas hulu dalam produksi

52
perikanan. Untuk mendukung dan membuat industri perikanan lebih

menguntungkan, kegiatan hulu dan hilir harus dipadukan.

Produksi perikanan tangkap umumnya sebagian besar dipasarkan

di dalam negeri dalam bentuk produk segar dan olahan. Sedangkan

sebagian lagi di ekspor. Pemasaran hasil perikanan tangkap meliputi ikan

segar, ikan beku, dan ikan kering/asin, ikan pindang, ikan asap, dan ikan

hasil olahan lainnya. Untuk memenuhi kebutuhan pasar lokal dilakukan

pemasaran antar Kabupaten, sedangkan untuk kebutuhan luar daerah

dilakukan pemasaran antar provinsi. Kondisi pasar ikan perlu

disempurnakan sebagai suatu tempat perdagangan yang layak, antara

lain dalam hal kebersihan dan kesehatan. Serta dilengkapi dengan unit

pendingin dan pabrik es. Pengembangan model pasar ikan modern dan

higienis di pelabuhan perikanan dapat memberikan nilai tambah, sehingga

membantu meningkatkan kesejahteraan nelayan. Dengan

memberdayakan fasilitas yang ada, seperti kolam pemancingan dan

taman bermain, diharapkan nilai tambah akan semakin meningkat. Nilai

tambah tersebut, yang sebelumnya dinikmati pedagang perantara, akan

bisa dinikmati sendiri oleh nelayan. Sudah ada beberapa lokasi yang akan

dikembangkan menjadi pasar higienis. Keberadaan pelabuhan perikanan

juga memberikan dampak terhadap pertumbuhan ekonomi dan

penyerapan tenaga kerja, terutama untuk masyarakat sekitar, sehingga

sangat membantu pencapain program Pro Poor, Pro Job dan Pro Growth.

Pada tahun 2007, di 813 pelabuhan perikanan yang telah

dibangun,uang beredar mencapai Rp. 9,3 Triliun per tahun, dan serapan

53
tenaga kerja sekitar 175.000 orang. Banyak investasi yang ditanamkan

disana, seperti pembangunan industri pengolahan yang jumlahnya

mencapai sekitar 360 perusahaan. Dalam pengembangan dan

pembangunan pelabuhan perikanan, peran serta dan dukungan

pemerintah daerah (provinsi/kota/kabuaten) sangat diperlukan,

diantaranya dalam hal studi dan detail desain/review, penyiapan lahan,

peraturan daerah tentang RUTR pengembangan pelabuhan perikanan,

dukungan prasarana wilayah (jalan akses, air bersih, dan lain-lain),

sharing pendanaan pembangunan, pengalokasian dana operasional dan

pemeliharanperizinan usaha yang kondusif, harmonisasi tata hubungan

kerja di lingkungan pelabuhan perikanan, dukungan lintas sektoral lainnya

8. Pelabuhan Lingkar Luar

Dalam tahun 2009 telah direncanakan penetapan 25 lokasi prioritas

pembangunan pelabuhan perikanan UPT Daerah, yaitu Labuan Haji

(NAD), Nipah Panjang (Jambi), Pulau Baii (Bengkulu), Bengkunat

(Lampung), Labuan (Banten), Cikidang (Jawa Barat), Tasik Agung dan

Tegal Sari (Jawa Tengah), Glagah (DIY), Mayangan dan Pondok Dadap

(Jawa Timiur), Teluk Awang(NTB), Oeba (NTT), Kuala Mempawah

(Kalimantan Barat), Batanjung (Kalimantan tengah), Sei Lili (Kalimantan

Timur), Amurang dan Dagho (Sulawesi Utara), Kwandang ( Gorontalo),

Donggala (Sulawesi Tengah), Untia (Sulawesi Selatan), Pasar Wajo

(Sulawesi Tenggara), Merauke (Papua), Tanjung Balai Karimun (Riau

Kepulauan), dan Lantora (Sumatera Barat).

54
Terkait dengan kedaulatan dan harga diri bangsa, setidaknya ada

dua hal yang ingin diperhatikan, yaitu pemberdayaan pulau-pulau kecil

(PPK) terluar dan pemberantasan IUU fishing PPK terluar tidak hanya

berkenaan dengan nilai ekonomi suatu pulau, akan tetapi lebih dari itu,

mengenai kedaulatan negara, karena merupakan titik garis pangkal

batasan Wilayah Indonesia dengan negra tetangga. Dalam rangka

optimalisasi pemanfaatan sumberday ikan dan menciptkan pusat

pertumbuhan baru di wilayah lingkar luar Indonesia, saat ini sedang

dikembangkan 25 pelabuhan perikanan lingkar luar. Di bagian paling utara

ada Nunukan. Di bagian paling selatan ada Pengambengan di Bali.

Sedangkan di bagian ujung barat ada Lampulo. Pelabuhan-pelabuhan

perikanan tersebut diproyeksikan akan memberikan manfaat ekonomi

langsung sekitar Rp. 4 Triliun per tahun dan meneka aktivitas IUU fishing

sebesar 35%, sehingga dapat memberikan manfaat tidak langsung

sebesar Rp. 1,02 triliun per tahun. Pelabuhan Perikanan Lingkar Luar

akan melayani kapal-kapal yang beroperasi baik di ZEEI maupun di laut

lepas sehingga dekat dengan tempat pendaratan ikan. ekspor perikanan

juga dapat berbasis pada pelabuhan di titik-titik terluar tersebut.

Penanggulangan IUU fishing, disamping sebgai tempat berlindung

ketika cuaca di laut sedang tidak bersahabat, salah satu peran pelabuhan

perikanan adalah untuk penanggulangan IUU fishing. Pemerintah telah

menetapkan 5 pelabuhan perikanan – PPS Kendari, PPS Jakarta, PPS

Bungusdan pelabuhan Benoa – untuk melaksanakan program Port State

Measures (PSM). Setiap kapal yang teridentifikasi melakukan IUU

55
fishingtidak akan diperkenankan menggunakan fasilitas pelabuhan

perikanan. Secara Internasional, penyiapan pelabuhan-pelabuhan

perikanan untuk menangkal IUU fishing telah di bahas di Bangkok oleh

negar-negara yang tergabung dalam Komisi Perikanan Asia-Pasifik

(APFIC). Ada pula pertemuan di Roma yang di koordinasikan oleh Badan

Pangan Dunia, yang membahas kesepakatan untuk langkah-langkah yang

diperlukan. Kelima lokasi tersebut sangat strategis dan menjadi perintis.

Pelabuhan Bitung yang menghadap ke Laut Sulawesi dan Samudera

Pasifik serta berbatsan dengan Filipina, misalnya, disiapkan untuk

mencegah adanya IUU fishing dari arah tersebut. PSM di Jakarta

merupakan pusat kegiatan nasional. Sedangkan penetapan Pelabuhan

Benoa sebagai PSM karena pelabuhan perikanan tersebut menghadap ke

Samudera Hindia, sehingga strategis untuk menangkap pelaku IUU

fishing.

E. Penelitian Terdahulu yang Relevan

Judul Nama Hasil Penelitian Relevansi Perbeda


Penelitian Peneliti an
1. Implementasi Djati Hasil penelitian Penelitian Perbedaan
KebijakanSiste Harsono menunjukkan ini dalam
m Informasi (2009) bahwa terdapat mememiliki penelitian
dan beberapa hal kesamaan ini tidak
ManajemenPe yang menurut pada focus berfokus
rtanahanan peneliti perlu yakni sama- pada
Nasional dalam sama pelabuhan
(Simtanas)di pelaksanaan melihat perikanan.
Kantor kebijakan progam
Pertanahan Simtanas di Kab. pusat yang
Kabupaten Jepara yaitu di
Jepara masalah implementa
kemampuan sikan
SDM dan Sapras didaerah

56
Judul Nama Hasil Penelitian Relevansi Perbeda
Penelitian Peneliti an
2. Implementasi Mahardik implementasi Penelitian Perbedaan
Ekspor di a Yudha ekspor di ini memiliki pada
Pelabuhan Setiawan pelabuhan lokus yang penelitian
Tanjung Emas Universit tersebut sama pada sebelumny
Semarang as dilaksanakan pelabuhan a berfokus
Dari Perspektif Muhamm dengan pedoman pada
Pelayanan adiyah sop (standard implement
Publik Surakarta operational asi ekspor
Tahun procedure). pada peti
2014. terbangunnya kemas dan
kaidah-kaidah penelitian
atau prosedur- ini
prosedur baku berfokus
pelayanan yang pada
memihak publik implement
serta standar asi
kualitas minimal kebijakan
yang semestinya pengopera
diketahui publik sian
sehingga lebih pelabuhan
jelas dalam perikanan
rincian tugas- Nusantara
tugas organisasi Unita.
pelayanan publik
secara lengkap.
implementasi
ekspor di
pelabuhan
tanjung emas
semarang
meliputi: proses
ekspor,
penerapan
metode ekspor
dengan sop,
kendala teknis
pihak bea cukai,
kendala teknis
yang dihadapi
eksportir, dan
waktu yang
dibutuhkan untuk
menyiapkan
dokumen ekspor.

57
Judul Nama Hasil Penelitian Relevansi Perbeda
Penelitian Peneliti an
3. Implementasi Armey Implementasi kedua Pada
Kebijakan Yudha kebijakan penelitian ini penelitian
Program Purwitasa dilakukan sedah sama-sama sebelumny
Jamersal Di ri berjalan dengan memiliki a berfokus
Kabupaten Universit baik hanya masih focus pada pada
Lebak Provinsi as ada hambatan implemen evektivitas
Banten Tahun Indonesia terkait kendala tasi implement
2011 2012 seperti laporan ke Program asi dan
dinas kesehatan faktor-
provinsi, faktor yang
rendahnya tarif, mempenga
ketersediaan ruhinya
fasilitas, sebagian sedangkan
bidan desa yang penelitian
tidak ada di ini
tempat dan memotret
geografis implement
asi
kebijakan
dengan
mengguna
kan teori
Van Mater
4. Analisis Misroji hasil penelitian ini Kedua Perbedaan
Faktor-faktor Universit dapat menjadi penelitian ini terpadapat
yang as Esa gambaran bagi sama- sama pada teori.
mempengaruh Unggul diskominfo kota menganalisi Penelitian
i Implementasi Jakarta depok untuk s faktor- sebelumny
Kebijakan 2014 memperbaiki faktor yang a
Penyebaran faktor sikap mempengar mengguna
Informasi seperti komitmen uhi kan
Publik para pegawainya implementa implement
mengenai untuk si kebijakan asi Edward
Depok Cyber menyukseskan publik III dan
City Pada program depok peneliti an
Diskominfo cyber city ini
Kota Depok mengguna
kan teori
Van Mater
dan Van
Horm yang
juga
memotret
Aspek
Ekosospol.

58
F. Kerangka Pikir

Berdasarkan penelusuran kepustakaan sebagaimana digambarkan

terdahulu, penelitian ini menggunakan Model implementasi dari Van Meter

dan Van Horn, mengingat bahwa suatu model dasar yang mencakup

enam variabel yang membentuk kinerja kebijakan. Variabel yang

dimaksud adalah standar-standar dan tujuan-tujuan kebijakan;

Sumberdaya yang digunakan; Komunikasi antar organisasi dan aktivitas

penguatan; Karakteristik organisasi pelaksana;Sikap para pelaksana, dan

Kondisi-kondisisocial ekonomi, dan politik masyarakat. Pemetaasn

variabel-variabel implementasi oleh Meter dan Horn memudahkan kita

dalam memotret tentang siapa yang bertanggung jawab atas apa. Model

ini sangat memadai untuk menjelaskan tentang kebijakan yang bersifat

top-down. Berikut diagram kerangka pikir penelitian ini seperti dibawah ini:

Komunikasi Antar
Organisasi dan
Kegiatan Pelaksanan
Mo
Ukuran dan
del
Sasaran
Imp
lem
ent Karakteristik Badan Sikap PPN Untia
asi Pelaksanan Pelaksana Makassar
Keb Sumber
ijak Daya
an
Lingkungan, Sosial,
Ekonomi dan Politik

Model Implementasi Kebijakan

59
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain kualitatif. Karakteristik penelitian

kualitatif menurut Stake (2010) adalah menekankan interpretasi personal,

memperlakukan fenomena secara holistik, eksistensial dan konstruktif,

dan didasarkan pada asumsi bahwa fenomena terkait dengan banyak

tindakan dan bahwa untuk memahaminya membutuhkan jangkauan

konteks yang lebih luas. Yin (2011) menyatakan bahwa sekarang ini

penelitian kualitatif telah menjadi suatu bentuk penelitian mainstream

dalam banyak bidang akademik dan profesional.

Pilihan desain kualitatif ini disesuaikan dengan sifat permasalahan

penelitian. Hal ini sebagaimana ditegaskan (Imperial, 2001) bahwa

pendekatan kualitatif seringkali direkomendasikan ketika kita ingin

memahami bagaimana suatu proses yang kompleks seperti kolaborasi

terjadi. Selain itu, penelitian kualitatif sangat bermanfaat ketika peneliti

tidak memahami variabel penting yang harus diuji, umpamanya karena

topiknya relatif baru, topik belum pernah dialamatkan kepada suatu

sampel tertentu atau kelompok orang tertentu, atau teori-teori yang ada

tidak diterapkan pada sampel atau kelompok tertentu yang akan diteliti.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini berlokasi di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN)

Untia Kota Makassar, dengan pertimbangan bahwa Pelabuhan Perikanan

60
Nusantara (PPN) Untia adalah pelabuhan pertama berkelas B di WPPNRI,

yang sampai saat ini belum beroperasi secara maksimal pasca

pengresmian oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal, 26

Nopember 2016.

Penelitian ini menitik beratkan pada model implementasi kebijakan

Top-down yakni kebijakan pemerintah pusat yang diimplementasikan di

daerah seperti PPN Untia Kota Makassar.

C. Fokus Penelitian

Meter and Horn (1975) mengemukakan suatu model dasar yang

mencakup enam variabel yang membentuk keterkaitan antara kebijakan

dengan kinerja. Dalam model ini, variabel terikat adalah kinerja, yang

didefinisikan sebagai tingkat sejauh mana standar-standar dan tujuan-

tujuan kebijakan direalisasikan. Model implementasi Meter and Horn

memetakan variabel-variabel implementasi yang memudahkan kita dalam

memotret tentang siapa yang bertanggung jawab atas apa. Model ini

sangat memadai untuk menjelaskan tentang kebijakan top-down, yakni

kebijakan pemerintah pusat yang diimplementasikan di daerah.

Penelitian ini berfokus pada 6 (enam) variabel yang ditawarkan oleh

Van Meter dan Van Horn dalam model implementasi kebijakan yang terdiri

atas:

(1) Standar dan Tujuan Kebijakan

Standar kebijakan menunjuk pada pernyataan spesifik tentang

siapa yang bertanggungjawab untuk melaksanakan apa, bagaimana

61
prosedurnya, dan apa outputnya. Tujuan menunjuk pada keadaan

yang dikehendaki pada masa yang akan datang yang senantiasa

dikejar agar dapat direalisasikan. Standar-standar dan tujuan-tujuan

ini dijabarkan dalam keputusan kebijakan, pernyataan pembuat

kebijakan, dokumen regulasi dan garis-garis pedoman program.

Aspek terpenting dari standar dan tujuan kebijakan adalah

kejelasannya. Seringkali terjadi, standar-standar dan tujuan-tujuan

kebijakan sulit untuk diidentifikasi dan diukur. Hal ini dapat bersumber

dari keluasan dan kerumitan program, atau sifat tujuannya yang

berjangka sangat jauh ke depan, atau pembuat kebijakan secara

sengaja menggulirkan standar dan tujuan yang mendua arti dan

kontradiktif.

(2) Sumber daya (keuangan)

Setiap kebijakan perlu menyatakan dengan tegas penyediaan

sumber daya (keuangan)yang memungkinkan pelaksanaannya, dan

mengupayakan pengalokasiannya secara konsisten. Sumber daya

(keuangan)ini terutama mencakup dana atau insentif lain yang dapat

mendorong atau memfasilitasi implementasinya secara efektif.

Menurut Van Meter and Van Horn, keterbatasan pasokan dana

merupakan kontributor utama bagi kegagalan implementasi program di

daerah. Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa

untuk mencapai kinerja kebijakan yang optimal diperlukan ketegasan

tentang penyediaan sumber daya, terutama dana, dan

pengalokasiannya secara konsisten.

62
(3) Aktifitas Komunikasi Antar Organisasi dan Penguatan

Implementasi yang efektif mensyaratkan agar standar-standar

dan tujuan-tujuan kebijakan dipahami oleh individu-individu yang

memangku tanggung jawab untuk pencapaiannya. Pemahaman ini

akan sangat tergantung pada bagaimana standar-standar dan tujuan-

tujuan kebijakan itu dikomunikasikan kepada para implementor. Tetapi,

komunikasi di dalam dan antar organisasi adalah suatu proses yang

rumit dan sulit.

(4) Karakteristik Organisasi Pelaksana

Komponen ini mencakup fitur-fitur struktural formal organisasi

dan atribut-atribut informal dari personilnya. Van Meter and Van Horn

(1975) mengemukakan bahwa ada sejumlah karakteristik yang dapat

menghambat kapasitas organisasi untuk mengimplementasikan

kebijakan, yaitu:

(a) Kompetensi dan ukuran dari staf organisasi.

(b) Derajat kontrol hirarkis dari keputusan-keputusan subunit dan

proses-proses di dalam organisasi pelaksana.

(c) Sumber daya politik dari organisasi pelaksana (misalnya dukungan

dari legislator eksekutif).

(d) Vitalitas organisasi.

(e) Derajat keterbukaan komunikasi dalam organisasi (yakni jejaring

komunikasi yang bebas secara horisontal dan vertikal, dan

kebebasan berkomunikasi dengan perorangan di luar organisasi).

63
(f) Keterkaitan formal dan informal organisasi dengan badan

pembuatan keputusan atau badan penegak kebijakan.

(5) Sikap Aparat Pelaksana

Sikap aparat pelaksana dimaksudkan bahwa standar dan

tujuan, sumber-sumber daya, komunikasi antar organisasi dan aktifitas

penguatan, karakteristik organisasi pelaksana,dan kondisi ekonomi,

sosial, dan politik harus disaring melalui persepsi para implementor.

Sehubungan dengan itu, ada tiga elemen dari respons para

implementor yang dapat mempengaruhi kemampuan dan kemauannya

untuk melaksanakan kebijakan, yaitu: kognisi (penguasaan dan

pemahaman) terhadap kebijakan, arah respons terhadap kebijakan

(penerimaan, netral, penolakan), dan intensitas dari respons tersebut.

(6) Kondisi Ekonomi, Sosial, dan Politik

Van Meter & Van Horn (1975) menganjurkan beberapa

pertanyaan yang perlu dipertimbangkan berkenaan dengan pengaruh-

pengaruhyang dapat muncul dari lingkungan ekonomi, sosial, dan

politik terhadap jurisdiksi atau organisasi di mana implementasi

kebijakan berlangsung, yaitu:

(a) Apakah sumber daya ekonomi yang tersedia di dalam jurisdiksi

atau organisasi yang mengimplementasikan kebijakan memadai

untuk mendukung keberhasilan implementasi?

(b) Sejauh mana (dan bagaimana) kondisi-kondisi sosial dan ekonomi

terpengaruh oleh implementasi kebijakan?

64
(c) Bagaimana sifat pendapat publik; seberapa menonjol isu-isu

kebijakan yang terkait?

(d) Apakah para elit menyenangi atau menentang implementasi

kebijakan?

(e) Bagaimana karakter partisan dari jurisdiksi atau organisasi yang

mengimplementasikan kebijakan; apakah menentang atau

mendukung kebijakan?

(f) Sejauh mana kelompok kepentingan dimobilisasi untuk mendukung

atau menentang kebijakan?

D. Jenis dan Sumber Data

Secara umum jenis dan sumberdata yang diperlukan dalam

penelitian ini terdiri atas:

1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh oleh peneliti, berasal dari

sumber-sumber tidak tertulis berupa informasi atau data lapangan

yang berkenaan dengan masalah penelitian yang umumnya

ditemukan melalui wawancara mendalam (depth interview) dengan

informan.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang berkenaan dengan dokumen,

peraturan dan perundang-undangan atau data lain yang sifatnya

tertulis dan berkaitan dengan permasalahan penelitian.

65
E. Teknik Pengumpulan Data

Studi ini menggunakan teknik pengumpulan data dari berbagai

sumber yaitu: (1) Arsip dan dokumen program/kegiatan; (2) Interview

dengan informan terpilih (stakeholder) yang sudah barang tentu

mengetahui permasalahan yang diteliti, dan (3) observasi langsung

kepada kantor administratisi Pelabuhan Perikanan Nusantara Untia (4)

Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan dan (5) Dinas

Kelautan dan Perikanan Kota Makassar dan Kementerian Kelautan dan

Perikanan di Jakarta.

Informan dalam penelitian ini ditentukan secara purposive yakni

mereka yang terlibat langsung dalam aktivitas kebijakan, sumber daya

yang digunakan, organisasi pelaksana, sikap yang ditunjukkan para

pelaksana, komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan

pelaksanaann serta lingkungan sosial, ekonomi dan politik dalam

mengimplementasikan kebijakan di PPN Untia Kota Makassar.

Sesuai permasalahan penelitian ini, maka informan dalam

penelitian ini terdiri atas:

1. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan.

2. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Makassar

3. Kepala UPTD TPI Paotere

4. Kepala Pengelola PPN Untia

5. LSM Pemerhati PPN Untia

6. BUMN (Perindo)

7. Pengusaha perikanan di Sulawesi Selatan.

66
F. Teknik Analisis Data

Setelah data tersedia yang diperoleh dari lapangan, penulis

pertama-tama membuat rangkuman data, memberikannya kode-kode

tertentu, merumuskannya menjadi tema-tema tertentu yang bermakna,

mengelompokkannya ke dalam kelas-kelas konstruk yang sesuai, dan

menyajikannya dalam suatu narasi atau bentuk penyajian kualitatif

lainnya. Kegiatan-kegiatan tersebut penulis lakukan sedini mungkin, setiap

saat setelah ada data yang diperoleh.

Penulis tidak menunggu sampai seluruh data terkumpul baru

melakukan analisis sebagaimana yang dilakukan dalam penelitian-

penelitian kuantitatif. Kegiatan peneliti kualitatif dituntut untuk lebih banyak

menverifikasi dan mengelompokkan data agar sedapat mungkin dapat

membantu mempercepat penulisan laporan hasil penelitian,

Setiap tahap akan melibatkan konfirmasi data yang ada, mencari

kasus-kasus yang bertentangan, menindak lanjuti temuan, dan cek silang

hasilnya dengan subyek. Tahap terakhir dari analisis data adalah

membuat kesimpulan dan verifikasi dengan melibatkan proses interpretasi

dari data dan informasi yang tersaji. Kesimpulan penelitian akan mengalir

mulai dari kesimpulan awal yang belum jelas dan relatif longgar, kemudian

bergerak menjadi lebih mengakar dengan kokoh setelah melalui proses

verifikasi, yang secara berulang-ulang diuji kebenaran dan kekokohannya

serta kecocokannya selama penelitian berlangsung.

67
Aktifitas dalam analisis data dilakukan antara lain:

1. Data Reduction (Reduksi Data)

Reduksi data yaitu proses pemilihan, pemusatan perhatian pada

penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang

muncul dari catatan di lapangan. Dalam reduksi data peneliti

menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak

perlu dan mengorganisasikan data dengan cara sedemikian rupa

sehingga kesimpulan akhirnya dapat ditarik dan diverivikasikan oleh

peneliti.

2. Data Dispalay (Penyajian Data)

Penyajian data adalah menyajikan sekumpulan informasi tersusun

yang memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan

pengambilan tindakan. Penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk

uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart dan

sejenisnya. Dengan medisplaykan data maka akan mempermudah

untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya

berdasarkan apa yang telah dipahami dari data tersebut. Dalam

penyajian data, peneliti mengumpulkan informasi yang tersusun yang

memberikan dasar pijakan kepada peneliti untuk melakukan suatu

pembahasan dan pengambilan kesimpulan. Penyajian ini kemudian

untuk menggabungkan informasi yang tersusun dalam bentuk yang

terpadu sehingga mudah diamati apa yang sedang terjadi kemudian

menentukan penarikan kesimpulan secara benar.

68
3. Conclusion Drawing/ Verification (Menarik Kesimpulan)

Penarikan kesimpulan adalah suatu kegiatan dari konfigurasi yang

utuh. Kesimpulan juga diverifikasi oleh peneliti selama penelitian

berlangsung. Verifikasi ini mungkin sesingkat pemikiran kembali yang

melintas dalam pemikiran peneliti pada suatu tinjauan ulang pada

catatan lapangan atau melihat salinan suatu temuan yang disimpan

dalam perangkat data yang lain.

G. Validasi Temuan Penelitian

Penulis perlu menjaga validitas temuan penelitian sebagai wujud

tanggung jawab akademik. Untuk memperoleh temuan penelitian yang

valid, penulis menempuh langkah-langkah sebagai berikut:

1. Trianggulasi data dengan pengecekan validitas pada penelitian ini.

Trianggulasi dilakukan dengan menerapkan beberapa teknik

pengumpulan data yaitu wawancara, observasi dan dokumentasi

untuk mencegah data bias. Dalam penelitian ini, peneliti

mengumpulkan informasi, keterangan dan data dari berbagai sumber

yang berkenaan dengan subyek penelitian, baik melalui wawancara

dan maupun observasi yang dilakukan ditempat penelitian.

2. member-checking, peneliti melakukan pengecekan data yang

didapatkan kepada pemberi data dengan tujuan untuk memastikan

bahwa data yang diperoleh itu valid.

3. Melakukan pengamatan berulang dilokasi penelitian dalam waktu

yang didak lama sampai mendapatkan jawaban yang sama dari

69
berbagai informan atau dengan kata lain melakukan deskripsi yang

kaya dan padat (rich and thick description) tentang hasi penelitian.

4. Menetapkan pola partisipatoris, informan kunci dan informan lainnya

diminta partisipasinya dalam menyukseskan penelitian ini. Partisipasi

yang dimaksud adalah ikut memberikan saran agar peneliti dapat

menambah informasinya melalui orang-orang tertentu yang lebih kaya

akan pengetahuannya tentang subyek yang diteliti dan menunjukkan

orang yang tepat. Selain itu juga dapat memberikan dorongan dan

strategi kepada peneliti untuk memudahkan jalannya penelitian.

70
BAB IV

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

A. Gambaran Umum Kota Makassar

Gambaran umum Kota Makassar, mencakup sejarah, batas dan

luas wilayah, lingkungan, kondisi fisik, struktur ekonomi perkotaan dan

keunggulan serta keunikal local, selain itu Gambaran umum Pelabuhan

Perikanan Nusantara Untia Makassar yang mencakup Potensi

Sumberdaya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia

(WPP 173).

1. Sejarah Kota Makassar

Kota dan bandar Makassar awalnya berada di muara Sungai Tallo

dengan pelabuhan niaga kecil di wilayah tersebut (abad XV). Mulanya

bandar Tallo berada dibawah Kerajaan Siang di sekitar Pangkajene.

Tetapi pada pertengahan abad XVI, Kerajaan Tallo dan Kerajaan Gowa

bersatu dan melepaskan diri dari Kerajaan Siang, bahkan menyerang dan

menaklukkan kerajaan-kerajaan sekitarnya. Kemudian pada abad XVI

Kerajaan Gowa dan Tallo dipindahkan ke muara Sungai Jene‟berang. Hal

ini disebabkan terjadinya pendangkalan di hulu Sungai Tallo sebagai

akibat dari tingginya kegiatan pertanian di daerah tersebut. Di muara

Sungai Jene‟berang dilakukan pembangunan kawasan istana oleh para

ningrat Gowa-Tallo yang kemudian membangun pertahanan Benteng

Somba Opu, yang untuk selanjutnya seratus tahun kemudian menjadi

wilayah inti Kota Makassar.

71
Selain Benteng Somba Opu, pada masa pemerintahan Kerajaan

Gowa XVI, didirikan pula Benteng Rotterdam yang berada di bagian utara.

Pada masa pemerintahan Kerajaan Gowa terjadi peningkatan aktifitas

pada sektor perdagangan lokal, regional dan Internasional, sektor politik

serta sektor pembangunan fisik. Hal ini merupakan masa dimana puncak

kejayaan bagi Kerajaan Gowa. Namun selanjutnya dengan adanya

Perjanjian Bungaya menghantarkan Kerajaan Gowa pada awal

keruntuhan. Komoditi ekspor utama Makassar adalah beras yang dapat

ditukar dengan rempah-rempah di Maluku maupun barang-barang

manufaktur asal Timur Tengah, India dan Cina di Nusantara Barat. Dari

laporan Saudagar Portugal maupun catatan-catatan Lontara setempat,

diketahui bahwa peranan penting Saudagar Melayu dalam

perdagangannya yang berdasarkan pertukaran surplus pertanian dengan

barang-barang impor itu.

Dengan menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil disekitarnya, yang

pada umumnya berbasis agraris pula, maka Makassar meningkatkan

produksi komoditi itu dengan berarti, bahkan, dalam menyerang kerajaan-

kerajaan kecil lainnya, para ningrat Makassar bukan hanya menguasai

kawasan pertanian lawan-lawannya itu, akan tetapi berusaha pula untuk

membujuk dan memaksa para saudagar setempat agar berpindah ke

Makassar, sehingga kegiatan perdagangan semakin terkonsentrasi di

bandar niaga baru itu.

Dalam kurun waktu hanya seabad, Makassar menjadi salah satu

Kota niaga terkemuka dunia yang dihuni lebih 100.000 jiwa (dan dengan

72
ini termasuk ke-20 kota terbesar dunia. Pada zaman itu jumlah penduduk

Amsterdam, kota terbesar musuh utamanya, baru mencapai sekitar

20.000 jiwa) yang bersifat kosmopolitan dan multikultural, serta menjadi

salah satu kota terpenting di Asia. 4 (empat) kota penting yaitu Ayyutia,

Malacca, Batavia, dan Makassar). Perkembangan bandar Makasar yang

demikian pesat itu, berkat hubungannya dengan perubahan-perubahan

pada tatanan perdagangan internasional masa itu.

Pada abad ke-17, Makassar berhasil memperluas kekuasaannya

ke sebagian besar Indonesia Timur dengan menaklukkan Pulau Selayar

dan sekitarnya, kerajaan-kerajaan Wolio di Buton, Bima di Sumbawa,

Banggai dan Gorontalo di Sulawesi bagian Timur dan Utara serta

mengadakan perjanjian dengan kerajaan-kerajaan di Seram dan pulau-

pulau lain di Maluku. Selain itu, juga meningkatkan hubungan

perdagangan dan diplomatik dengan Kerajaan Otoman, Timur Tengah

dan kerajaan-kerajaan Islam lainnya di Indonesia Barat. Selanjutnya di

abad ke-18, intensitas perdagangan yang terus meningkat, bukan hanya

rempah-rempah yang diperdagangkan tetapi juga hasil-hasil laut dan

hutan.

Hal tersebut mendorong aktivitas kemaritiman masyarakat kota dan

kawasan Makassar. Utamanya yang bermukim di sekitar Kepulauan

Spermonde, mereka mulai menspesialisasikan kegiatannya sebagai

pencari teripang yang merupakan komoditi utama yang dicari oleh

saudagar yang berasal dari Cina. Bahkan di pertengahan abad ke-18,

para nelayan/pelaut Sulawesi secara rutin berlayar hingga pantai utara

73
Australia, dimana mereka tiga sampai empat bulan lamanya membuka

puluhan lokasi pengolahan teripang.

Sampai sekarang, hasil laut masih merupakan salah satu mata

pencaharian utama bagi penduduk pulau-pulau dalam wilayah Kota

Makassar. Abad ke-19, Makassar dijuluki sebagai "Kota kecil terindah di

seluruh Hindia-Belanda" (Joseph Conrad, seorang penulis Inggris–

Polandia terkenal) dan menjadi salah satu „port of call‟ utama bagi baik

para pelaut-pedagang Eropa, India, dan Arab dalam pemburuan hasil-

hasil hutan yang amat laku di pasaran dunia maupun perahu-perahu

pribumi yang beroperasi di antara Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan

Maluku.

Pada abad ke-20, Makassar menjadi pusat pemerintahan kolonial

Indonesia Timur. Tiga setengah dasawarsa Neerlandica, kedamaian di

bawah pemerintahan kolonial itu adalah masa tanpa perang paling lama

yang pernah dialami Sulawesi Selatan dan sebagai akibatnya, ekonomi

berkembang dengan pesat. Penduduk Makassar dalam kurun waktu itu

meningkat sebanyak tiga kali lipat, dan wilayah kota diperluas ke semua

penjuru. Dideklarasikan sebagai Kota Madya pada tahun 1906, Makassar

tahun 1920-an adalah kota besar kedua di luar Jawa yang

membanggakan dirinya dengan sembilan perwakilan asing, sederetan

panjang toko di tengah kota yang menjual barang-barang mutakhir dari

seluruh dunia dan kehidupan sosial-budaya yang dinamis dan

kosmopolitan. Kini Kota Makassar terus berbenah diri menjadi sebuah

Kota Dunia yang berperan tidak hanya sebagai pusat perdagangan dan

74
jasa tetapi juga sebagai pusat kegiatan industri, pusat kegiatan

pemerintahan, pusat kegiatan eduentertainment, pusat pelayanan

pendidikan dan kesehatan, simpul jasa angkutan barang dan penumpang

baik darat, laut maupun udara.

Untuk mewujudkan semuanya, maka dilakukan pembangunan

sarana prasarana publik yang lebih baru dan berkualitas, mulai dari

pembangunan Menara Balai Kota, Pelataran ”Waterfront” Losari, gedung

Graha Pena, Revitalisasi Lapangan Karebosi, Peningkatan Akses Jalan

Tol Sutami, Pembangunan Menara Kalla, Family Entertainment Center

“Trans Studio” hingga pembangunan Centerpoint of Indonesia yang

didalamnya terdapat satu simbol negara, yaitu pembangunan Wisma

Negara RI. Semuanya itu menjadi ikon baru dan perubahan bagi Kota

Makassar, yang secara branding menjadikan Makassar dalam pencitraan

ruang “kelas dunia” yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Sebagai kota

yang terlahir dan menjadi bagian dari peradaban dunia, Kota Makassar

mempunyai peran yang cukup penting dalam satu lingkup lingkungan

pergaulan global.

1. Letak Geografis

Kota Makassar yang merupakan Ibukota Provinsi Sulawesi Selatan

secara geografis memiliki posisi strategis karena berada pada

persimpangan jalur lintas, baik dari arah utara ke selatan maupun dari

arah barat ke timur. Dengan posisi ini Kota Makassar berpotensi besar

menjadi Ruang Tamu Indonesia Timur. Kota Makassar berada dalam titik

koordinat 119° 18‟ 30,18" sampai dengan 119°32'31,03" BT dan 5°00'

75
30,18" sampai dengan 5°14‟ 6,49" LS serta terletak di Pantai Barat Pulau

Sulawesi.

2. Batas dan luas wilayah

Secara administratif, Kota Makassar terbagi dalam 14 wilayah

kecamatan dengan 142 kelurahan, dengan batas-batas wilayah

administratif sebagai berikut:

 Sebelah Utara : Kabupaten Maros

 Sebelah Selatan: Kabupaten Gowa

 Sebelah Timur : Kabupaten Gowa dan Maros

 Sebelah Barat : Selat Makassar

Di bagian utara kota terdiri dari Kecamatan Biringkanaya,

Kecamatan Tamalanrea, Kecamatan Tallo, dan Kecamatan Ujung Tanah.

Di bagian selatan terdiri dari Kecamatan Tamalate dan Kecamatan

Rappocini. Di bagian Timur terdiri dari Kecamatan Manggala dan

Kecamatan Panakkukang. Di bagian barat terdiri dari Kecamatan Wajo,

Kecamatan Bontoala, Kecamatan Ujung Pandang, Kecamatan Makassar,

Kecamatan Mamajang, dan Kecamatan Mariso. Wilayah Kota Makassar

terdiri dari 14 kecamatan dan 143 kelurahan. Diantara kecamatan-

kecamatan tersebut, terdapat 7 (tujuh) kecamatan yang berbatasan

dengan pantai yakni Kecamatan Mariso, Tamalanrea, Wajo, Ujung Tanah,

Tallo, dan Biringkanaya. Wilayah daratan terluas adalah Kecamatan

Biringkanaya (48,22 km2) sedangkan yang terkecil adalah Kecamatan

Mariso (1,82 km2). Untuk jelasnya dapat dilihat table luas wilayah kota

Makassar sebagai berikut:

76
Luas Kota Makassar Berdasarkan Luas Wilayah
menurut Kecamatan

NO KECAMATAN LUAS (KM2) PERSENTASE(%)


1 Mariso 1,82 1,04
2 Mamajang 2,25 1,28
3 Tamalate 20,21 11,50
4 Rappocini 9,23 5,25
5 Makassar 2,52 1,43
6 Ujung Pandang 2,63 1,50
7 Wajo 1,99 1,13
8 Bontoala 2,10 1,19
9 Ujung Tanah 5,94 3,38
10 Tallo 5,83 3,32
11 Panakukang 17,05 9,70
12 Manggala 24,14 13,72
13 Biringkanaya 48,22 27,43
14 Tamalanrea 31,84 18,12
Jumlah 175,77 100,00
Sumber : Makassar dalam angka tahun 2010

3. Lingkungan Fisik

Kondisi lingkungan fisik Kota Makassar dapat dilihat pada beberapa

faktor, meliputi :

a. Keadaan Iklim

Kota Makassar termasuk daerah yang beriklim sedang hingga tropis.

Suhu udara rata-rata Kota Makassar dalam 10 tahun terakhir

berkisar antara 24,5°C sampai 28,9°C dengan intensitas curah hujan

yang bervariasi. Intensitas curah hujan tertinggi berlangsung antara

bulan November hingga Februari. Tingginya intensitas curah hujan

menyebabkan timbulnya genangan air di sejumlah wilayah kota ini.

Selain itu, kurangnya daerah resapan dan drainase yang tidak

berfungsi dengan baik memicu timbulnya bencana banjir.

b. Topografi

77
Berdasarkan topografinya, Kota Makassar memiliki ciri-ciri sebagai

berikut: tanah relatif datar, bergelombang, berbukit dan berada pada

ketinggian 0–25 m di atas permukaan laut dengan tingkat kemiringan

lereng berada pada kemiringan 0-15%. Sementara itu, dilihat dari

klasifikasi kelerengannya, menunjukkan bahwa kemiringan 0-

2%=85%; 2-3%=10%; 3-15%=5%. Hal ini memungkinkan Kota

Makassar berpotensi pada pengembanganpermukiman,

perdagangan, jasa, industri, rekreasi, pelabuhan laut, dan fasilitas

penunjang lainnya.

c. Geologi dan Struktur Batuan

Wilayah Kota Makassar terbagi dalam berbagai morfologi bentuk

lahan. Satuan-satuan morfologi bentuk lahan yang terdapat di Kota

Makassar dikelompokkan menjadi dua yaitu:

1) Satuan morfologi dataran aluvial pantai; dan

2) Satuan morfologi perbukitan bergelombang.

Kedua satuan morfologi diatas dikontrol oleh batuan, struktur, dan

formasi geologi yang ada di wilayah Kota Makassar dan sekitarnya.

Secara geologis Kota Makassar terbentuk daribatuan hasil letusan

gunung apidan endapan dari angkutan sedimen Sungai Jeneberang

dan Sungai Tallo. Sedangkan struktur batuan yang terdapat di kota

ini dapat dilihat dari batuan hasil letusan gunung api dan endapan

aluvial pantai dan sungai. Struktur batuan ini penyebarannya dapat

dilihat sampai ke wilayah Bulurokeng, Daya, dan Biringkanaya.Selain

itu, terdapat juga tiga jenis batuan lainnya seperti breksi dan

78
konglomerat yang merupakan batuan berkomponen kasar dari jenis

batuan beku, andesit, basaltik,batu apung, dan gamping.

d. Hidrologi

Kondisi hidrologi Kota Makassar dipengaruhi oleh 2 (dua) sungai

besar yang bermuara di pantai sebelah barat kota. Sungai

Jene‟berang yang bermuara di sebelah selatan dan Sungai Tallo

yang bermuara di sebelah utara.Sungai Je‟neberang misalnya,

mengalir melintasi wilayah Kabupaten Gowa dan bermuara di bagian

Selatan Kota Makassar merupakan sungai dengan kapasitas sedang

(debit air 1-2 m3/detik).Sedangkan Sungai Tallo dan Pampang yang

bermuara di bagian Utara Makassar adalah sungai dengan kapasitas

rendah berdebit kira-kira hanya mencapai 0-5 m3/detik di musim

kemarau. Selain itu, dipengaruhi juga oleh sistem hidrologi saluran

perkotaan, yakni kanal-kanal yang hulunya didalam kota dan

bermuara di laut.

e. Ekosistem

Keanekaragaman hayati yang ada di Kota Makassar berpengaruh

terhadap dinamika perubahan bentang alam khususnya garis pantai

di kota ini. Keanekaragaman hayati ini terdiri atas ekosistem

mangrove, terumbu karang, padang lamun, dan rumput laut.

Ekosistem-ekosistem tersebar hingga ke 11 (sebelas) pulau dan

gusung-gusung yang ada di kota ini. Berikut gambaran kondisi

keanekaragaman hayati yang ada di Kota Makassar.

79
f. Kondisi Oseanografi Perairan

1) Pasang Surut

Pasang surut yang terjadi di perairan pantai Makassar merupakan

bagian dari pasang surut di Selat Makassar.Gelombang pasang

surut di perairan pantai Makassar merambat dari selatan ke utara

saat air pasang dan kembali ke selatan saat air surut.Tipe pasang

surut Kota Makassar adalah campuran, condong ke harian

tunggaldengan bentuk topografi dasar laut landai.

2) Arus

Secara umum, arus di Selat Makassar mengalir ke Selatan

sepanjang tahun.Aliran arus ini dialihkan ke Timur sepanjang

Pantai Barat Daya Sulawesi selama musim hujan.Pada musim

kemarau, arus tersebut dialihkan ke barat karena ada arus balik

dari Paparan Sunda.Di paparan yang dangkal dari Kepulauan

Spermonde arus mengalir relatif keras ke arah selatan pada

musim hujan dan melemah ke arah barat daya pada musim

kemarau. Sedangkan dari hasil simulasi kecepatan arus susur

pantai menunjukan bahwa kecepatan arus susur pantai sebagian

besar berada pada interval 0,051 sampai 0,10 m/det (76,79%)

kemudian pada interval 0,11 m/det sampai 0,15 m/det (22,32%)

dan sebagian kecil terjadi pada kecepatan lebih besar dari 2 m/det

(15,6%).

80
3) Gelombang/ombak

Kondisi gelombang di perairan Kota Makassar dipengaruhi oleh

angin yang bertiup melalui Selat Makassar dan membentuk pola

sesuai dengan arah angin. Arah gelombang cenderung dari arah

Barat, Barat Laut, dan Barat Daya kemudian terefraksi hingga

sepanjang pantai bahkan sampai pada muara Sungai Tallo

dengan tegak lurus arah normal pantai. Pada saat musim barat,

perairan Makassar khususnya menerima hempasan ombak yang

terbangkit oleh hembusan angin yang dominan dari arah barat

daya, barat, dan barat laut. Ombak yang terbangkit oleh angin

yang datangnya dari arah barat dan barat daya akan menginduksi

arus susur pantai ke arah utara, sebaliknya ombak yang terbangkit

oleh angin yang datangnya dari barat laut akan menginduksi arus

susur pantai ke arah selatan hingga mempengaruhi kondisi muara

Sungai Jeneberang yang berada di bagian selatan dari Pantai

Losari Makassar.

4) Kondisi Oseanografi Kimia

Kualitas perairan di Kota Makassar dipengaruhi oleh

buangan/limbah yang dihasilkan dari uraian bahan organik yang

berasal dari aktivitas masyarakat perkotaan seperti limbah rumah

sakit, rumah tangga, perhotelan, industri, perkantoran, dan

pedagang kaki lima.Limbah-limbah ini disalurkan melalui kanal-

kanal atau saluran dan melalui sungai-sungai yang bermuara ke

pesisir sebelah barat Kota Makassar.Tidak adanya penanganan

81
limbah yang dibuang mempengaruhi kondisi kualitas perairan

sehingga mengakibatkan tingginya tingkat pencemaran air yang

nantinya dapat mengancam kestabilan ekosistempesisir.

g. Kondisi Kualitas Udara

Pesatnya perkembangan Kota Makassar sebagai Kota Metropolitan

di Kawasan Timur Indonesia yang didalamnya terjadi berbagai

aktivitas dapat memberikan tekanan terhadap kualitas udara di

kotaMakassar. Penyumbang buangan diudara diantaranya berasal

dari emisi kendaraan bermotor, industri, dan pembakaran-

pembakaran lainnya. Partikel sumber pencemar diudara yang

merupakan sisa hasil pembakaran, diantaranya: karbon monoksida

(CO), Sulfur Dioksida (SiO2), Hidrogen Sulfida (H2S) timah hitam

(Pb), nitrogen dioksida (NO2), dan debu. Pada beberapa titik,

kualitas udara yang dihirup menunjukkan telah melampaui ambang

baku mutu yang ditetapkan. Kondisi kualitas udara di Makassar

dibeberapa titik tersebut tergolong tercemar contohnya di kawasan

pusat perbelanjaan dan daerah padat lalu lintas.Tingginya

pergerakan dan kepadatan kendaraan bermotor serta kurangnya

ruang terbuka hijau menjadi simpul utama pencemaran udara di Kota

Makassar.

4. Struktur Ekonomi

a. Kelautan dan Perikanan

Sektor kelautan merupakan salah satu andalan perikanan

tangkap/laut di wilayah Kota Makassar. Dengan luas wilayah

82
perairan laut 944,06 km2, serta didukung oleh sumber daya manusia

yang bermukim di daerah pesisir dan bermata pencaharian sebagai

nelayan mampu memberikan hasil tangkapan di tahun 2008 sebesar

15.550 ton. Jika dibandingkan dengan tahun 2007, hasil ini

mengalami penurunan sebesar 0,44% dari 15.691 ton. Selain dari

perikanan laut, sektor lain yang juga penting adalah perikanan darat

(tambak). Di sektor ini, jumlah produksi perikanan yang dihasilkan

sebesar 512,30 ton di tahun 2008 dan 453,20 di tahun 2009 (Tabel

1-12). Luas areal kawasan tambak yang ada di Kota Makassar yakni

2354,183 ha.

Produksi Sektor Kelautan dan Perikanan dari Tahun 2006 – 2008

Tahun Perikanan Laut Perikanan Darat Jumlah

2008 15.550,00 512,30 16.062,30

2007 15.619,10 453,20 16.072,30

2006 20.338,00 712,10 21.051,10

Sumber: Makassar Dalam Angka, 2009

b. Pertambangan dan Penggalian

Sektor pertambangan dan penggalian bukan merupakan bagian

yang signifikan dalam geliat pembangunan ekonomi dari Kota

Makassar.Sektor ini merupakan penyumbang PDRB terkecil

walaupun sektor ini secara riil dari tahun ke tahun menunjukkan

peningkatan, akan tetapi angkanya tidak terlalu jauh berbeda. Salah

satu kontributor sektor ini untuk wilayah Kota Makassar adalah

83
penggalian pasir di Sungai Jeneberang, yang termasuk tambang

galian kelas C seperti pasir, batu dan sirtu.

c. Perindustrian

Sektor perindustrian khususnya industri pengolahan merupakan

penyumbang PDRB kedua setelah perdagangan, hotel, dan restoran

yaitu sebesar 22,24% per 2008. Pusat industri pengolahan ini berada

di sebelah utara kota yakni Kawasan Industri Makassar (KIMA).

Sedangkan perusahaan industri di Kota Makassar tahun 2008

sebanyak 18 buah dengan jumlah tenaga kerja sebanyak 306 orang.

Nilai hasil industri besar/sedang pada tahun 2008 sebesar Rp

217.074.096.000,- dengan nilai tambah atas harga pasar sebesar Rp

160.068.434.000.

d. Energi Listrik dan Air bersih

Pasokan energi listrik di Kota Makassar dipasok oleh PLN melalui

pembangkit-pembangkit listrik yang ada di kotaMakassar, di

antaranya PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) di Kecamatan

Panakkukang, PLTG (Pembangkit Listrik Tenaga Gas) di Kecamatan

Tallo dan PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga Diesel) di Kecamatan

Ujung Tanah. Total energi listrik yang dihasilkan dari ketiga

pembangkit adalah sebesar 203,88 MW. Guna memenuhi pasokan

listrik, PLN juga menyuplai dari Pembangkit Listrik Tenaga Air

(PLTA) dari Bakaru, Kabupaten Pinrang dan Pembangkit Listrik

Tenaga Gas (PLTG) Pompanua, Kabupaten Wajo. Setiap tahun

kebutuhan listrik mengalami peningkatan, baik untuk kebutuhan

84
rumah tangga maupun untuk industri sehingga diharapkan PLN

wilayah VII Kota Makassar harus merespon peningkatan kebutuhan

tersebut.Pemenuhan air bersih juga ikut mempengaruhi dinamika

kebutuhan masyarakat perkotaan dan pesisir serta perencanaan

pembangunan. Untuk sumber air bersih umumnya didapatkan dari

Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), sumur bor maupun sumur

tradisional, sertadari beberapa developer yang menyediakan sarana

air bersih. Kebutuhan air bersih sebagai kebutuhan primer

masyarakat melayani mulai skala rumah tangga hingga industri,

pemerintah, dan bisnis.

Hingga tahun 2008 PDAM telah menjangkau 140.457 jiwa pelanggan

berdasarkan kategori pelanggan dengan rincian rumah tangga 81%,

bisnis 9%, industri 1%, pemerintah 5%, dan sosial 4% (Gambar 1-8),

dengan pasokan air baku di Kota Makassar diperoleh dari Dam Bili-

bili, Lekopancing, dan Longstrorage Jene‟berang dengan

pendistribusian melalui pemompaan sistem tertutup yang

menggunakan pipa berdiameter 50 – 1000 mm dan panjang pipa

keseluruhan 2.701.233,45 m, yang ditunjang dengan 5 Jaringan

Instalasi Pengolahan Air (IPA) yakni IPA Ratulangi, IPA Panaikang,

IPA Antang, IPA Maccini Sombala, dan IPA Somba Opu. Sedangkan

ketersedian air bersih di pulau-pulau dalam wilayah di Kota

Makassar, dari 11 pulau dan 1 gusung, hanya 4 pulau yang memiliki

sumber air bersih yang berasal dari sumur tawar dan selebihnya air

asin atau tidak ada sama sekali.

85
e. Perhubungan dan Komunikasi

Perkembangan sektor perhubungan khususnya panjang jalan di Kota

Makassar pada tahun 2008 yaitu sepanjang 1.593,46 km. Panjang

jalan tersebut diklasifikasikan menurut kondisi jalan menjadi empat

bagian yaitu baik, sedang, rusak ringan, dan rusak berat.

Berdasarkan jenis permukaannya, pada tahun 2008 terdapat 66,94

% jalan aspal, 33,06% permukaan jalan berupa kerikil, dan sisanya

masih berupa tanah (Tabel 1-14). Prioritas pengembangan

penyediaan sarana jalan yang diterapkan pada Kota Makassar

diarahkan terhadap pembangunan jalan arteri primer, arteri

sekunder, kolektor primer, kolektor sekunder, lokal primer, dan lokal

sekunder termasuk peningkatan pelebaran jalan. Sedangkan untuk

sarana perhubungan laut masih memegang peranan penting alat

transportasi alternatif bagi penumpang dan barang yang digunakan

oleh masyarakat dari dan ke Kota Makassar serta masyarakat yang

bermukim di pulau-pulau kecil.Ini dikarenakan kondisi alam Kota

Makassar yang sebagian besar wilayahnya terletak di daerah pantai

dan sebagian besar komoditi ekspor-impor diangkut melalui kapal-

kapal angkutan barang.Armada laut yang beroperasi saat ini

ditunjang oleh 2 (dua) pelabuhan besar yaitu Pelabuhan Soekarno-

Hatta dan Pelabuhan Paotere serta dermaga kecil yakni Dermaga

Kayu Bangkoang yang merupakan tempat transit kapal-kapal kecil

yang beroperasi antar pulau.

86
5. Keunggulan dan Keunikan Lokal

Kota Makassar merupakan kota yang telah lama dikenal oleh

masyarakat dunia sebagai pusat perdagangan, yang secara

signifikan mempengaruhi pengembangan pembangunan

perekonomian Indonesia Timur. Berikut ini beberapa keunggulan dan

keunikan lokal yang dimiliki oleh Kota Makassar yaitu:

a. Pintu Gerbang Utama Timur Indonesia

Berdasarkan posisi geografisnya yang terletak di titik sentral Negara

Kepulauan Republik Indonesia (NKRI), Kota Makassar merupakan

penghubung antara Kawasan Barat dan Kawasan Timur Indonesia,

sehingga menjadikan Kota ini sebagai the Centerpoint of Indonesia

yang juga sekaligus menjadi “main gate” bagi wilayah timur

Indonesia ataupun sebaliknya. Selain itu, kota ini berbatasan

langsung dengan Selat Makassar sebagai jalur pelayaran alternatif

(ALKI) yang mampu menunjang percepatan alur lintas barang dan

jasa.

Gambar 4.1: Nilai Strategis Letak dan Posisi Makassar dalam


Wilayah Nusantara

87
Ada beberapa peran yang memberikan keunggulan dan kelebihan

kota ini dalam letak dan posisinya sebagai pintu gerbang Indonesia

Timur sekaligus sebagai The Centerpoint of Indonesia. Diantaranya

yaitu: menjadi pusat produksi, distribusi, dan supplay Indonesia yang

mampu mendorong percepatan pembangunan dua kali lebih cepat.

Hal tersebut didukung oleh letak dan posisi SulSel yang berada di

titik „epicentrum‟ Indonesia dengan jarak tempuh 3 jam dibandingkan

jarak dari Jakarta ke KTI yang ditempuh dalam waktu 5 jam (teori

aksesibilitas).

Dengan demikian jika ditinjau dari letak dan posisinya, Makassar

yang merupakan ibukota Provinsi Sulawesi Selatan memiliki nilai

strategis yang tinggi dan berpotensi menjadi pusat produksi dan

distribusi barang paling ekonomisdan paling cepat dalam mendorong

kemajuan perekonomian Indonesia Timur.

b. Hub Port Agropolitan

Makassar memiliki positioningyang cukup penting dalam kendali

sebagai hub port agropolitan Indonesia, dimana poin keunggulan ini

dikarenakan akses Makassar ke sumber bahan baku relatif dekat dan

tersedianya dukungan infrastrukturyang memadai untuk satu

kegiatan export-import.Positioning ini juga dimaksudkan sebagai

langkah kongkrit bagi Makassar untuk bisa bersaing dalam satu

persaingan global.

88
c. Hub Air port Ikan Segar

Potensi Makassar dengan segala kelebihan sumber daya alam dan

sumber daya buatan yang dimiliki termasuk salah satu diantaranya

yaitu hadirnya Bandara Internasional Sultan Hasanuddin memberi

dampak pengaruh yang cukup besar terhadap nilai positioning Kota

Makassar. Sebagai daerah maritim yang kaya dengan sumber daya

ikan, positioning sebagai hub Air port “ikan segar” menjadikan daerah

ini pilihan yang sangat menarik sebagai salah satu pusat pengekspor

ikan segar yang cukup potensial.

B. Gambaran Umum PPN Untia

Pelabuhan Perikanan Nusantara Untia Makassar merupakan

bagian dari perairan selat Makassar (WPP-RI 173) yang dilatar belakangi

oleh potensi perikanan di sekitar selat Makassar sebagai embrio

dibangunnya Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Untia pada tahun

2006 dengan bersumber dana berasal dari anggaran sharing antara

APBN maupun APBD Provinsi/Kota yang menelan anggaran lebih dari

200 Milyar.

Pelabuhan ini dapat menampung kapal perikanan berukuran 15-

16 GT sekaligus. Pelabuhan ini juga melayani kapal perikanan yang

beroperasi di perairan ZEE Indonesia dan perairan nasional. Jumlah ikan

yang didaratkan sekitar 40-50 ton per hari atau 8.000- 15.000 ton per

tahun. Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Untia Kota Makassar

merupakan pelabuhan kebanggaan masyarakat Kota Makassar ini

berlokasi Jl. Salodong, Kelurahan Untia, Kec. Biringkanaya Kota

89
Makassar, tepatnya berada pada kawasan pengembangan yang

berdampingan dengan kompleks Kampus Politeknik Ilmu Pelayaran

Makassar (PIP) dan Akademi Teknik dan Keselamatan Penerbangan

Makassar (ATKP). Selain itu lokasi pelabuhan juga tidak jauh dari

Kawasan Wisata Mangrove Untia yang sepanjang garis pantai, tumbuh

subur hutan mangrove Indah menghampar, menjadi daya tarik wisata

bagi siapapun yang melihatnya. serta Kawasan Industri Makassar (Kima)

dan dekat dengan pelabuhan umum untuk ekspor. Karena itu,

pengembangan Pelabuhan Untia diharapkan menjadi sentra produksi

perikanan yang terhubung dengan pelabuhan perikanan lain di Sulawesi

Selatan, yaitu Pelabuhan Perikanan (PP) Cempae, PP Maccinibajji, PP

Kalibone, PP Potere, PP Beba, PP Labuang, PP Barombong, PP Boddia,

PP Lonrae, PP Birea, PP Bentenge, PP Kajang, PP Tongke-tongke, dan

PP Lappa. Pelabuhan perikanan Nusantara Untia Makassar merupakan

yang terbesar kedua yang dapat menampung 500 kapal setiap harinya

setelah Pelabuhan Perikanan Samudera ( PPS ) Bitung di Sulawesi

Utara.

Diawal pembangunannya Pelabuhan Perikanan Nusantara

(PPN) Untia berlokasi dikawasan Barombong kota makassar, sesuai

dengan Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Ujung

Pandang No. 925/S.kep/552.3/97 tanggal 25 Februari 1997 tentang

Peruntukan tanah pembangunan pelabuhan perikanan seluas 40 Ha di

Kelurahan Barombong Tamalate Kotamadya Daerah Tingkat II Ujung

Pandang. Didaerah tersebut sebenarnya sangat strategis dekat dengan

90
Kabupaten Takalar yakni kecamatan galesong yang merupakan

penghasil perikanan, dengan aktivitas nelayan yang cukup padat namun

sesuai denga RTRW wilayah barombong merupakan lokasi wisata

sehingga diterbitkan Keputusan Walikota Makassar tentang Peruntukan

Tanah Pembangunan Pelabuhan Perikanan Nusantara Seluas 38 HA di

Kelurahan Untia Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar. Untuk

memindahkan pelabuhan perikanan dengan memperhatikan hasil study

kelayakan, Study Master Plan dan detail desain dari Direktorat

Prasarana Perikanan Tangkap atas rencana pembangunan Pelabuhan

Perikanan Nasantara Kelurahan Untia Kecamatan Biringkanaya Kota

Makassar. Pelabuhan Untia adalah pelabuhan terbesar kedua di

Indonesia. Pelabuhan Untia adalah pelabuhan perikanan yang sudah

lama direncanakan. Pelabuhan senilai Rp 364 miliar ini, dirintis

pembangunannya sejak 10 tahun lalu, tahun 2006.

Pada tahun 2006, PT. Arun Prakarsa Inforindo baru mampu

menyelesaikan pembangunan causeway pelabuhan sepanjang 460

meter dan trestial dermaga sepanjang 125 meter. Alokasi dana

pembangunan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)

yang terserap selama empat tahun baru Rp 17 miliar. Rencana

pengoperasian Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Untia pada tahun

2013 pun terancam berantakan akibat proses pembangunan yang

lamban. Saat itu Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad.

Menyatakan bahwa, pengembangan pelabuhan perikanan termasuk

dalam program outer ring fishing port yang diprioritaskan oleh

91
Kementerian Kelautan dan Perikanan. Pengembangan pelabuhan

perikanan di Kawasan Timur Indonesia yang jumlah ikannya melimpah

diharapkan mampu meningkatkan perekonomian nelayan. Sayangnya,

pelabuhan yang begitu diharapkan oleh masyarakat Sulawesi Selatan

belum dapat dioperasikan pada tahun 2013 yang lalu.

Kemeteria Kelautan dan Perikanan kembali memberi perhatian

kepada Pelabuhan Perikanan Nusantara Untia pada tahun 2014 dengan

dibangunnya berbagai fasilitas pelabuhan dan pada tanggal tanggal 26

November 2016 telah diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia

(Joko Widodo).

92
BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Model implementasi Van Meter & Van Horn (1975) yang digunakan

dalam penelitian ini, secara jelas memetakan dimensi implementasi

menjadi tiga bagian, yaitu kebijakan itu sendiri, konteks implementasi, dan

kinerja. Standar dan tujuan serta sumber daya termasuk ke dalam dimensi

kebijakan. Sedangkan kinerja merupakan dimensi yang menunjukkan

tingkat sejauh mana standar-standar dan tujuan-tujuan kebijakan

direalisasikan. Adapun faktor-faktor komunikasi antar organisasi dan

aktifitas penguatan, karakteristik organisasi pelaksana, kondisi ekonomi,

sosial, dan politik, serta sikap pelaksana merupakan dimensi kontekstual

yang menentukan kinerja.

Pemetaan dimensi-dimensi implementasi sebagaimana disebutkan

diatas, dapat memudahkan penulis di dalam memotret tentang siapa yang

bertanggung jawab atas apa. Misalnya, ketika kita menemukan bahwa

dimensi-dimensi kebijakan tidak optimal, maka proses revisi kebijakan

akan mengarah pada pemerintah pusat. Model ini sangat memadai untuk

menjelaskan tentang kebijakan pemerintah yang diimplementasikan di

daerah, seperti halnya kebijakan pengoperasian pelabuhan nusantara

untia Kota Makassar. Kebijakan pengoperasian pelabuhan untia, dibuat

oleh pemerintah pusat namun diimplementasikan di daerah. Dalam

konteks kebijakan yang bersifat multi tingkat ini interaksi antara variabel-

93
variabel yang berada di bawah kontrol pemerintah pusat dengan variabel-

variabel yang berada di bawah kontrol pemerintah daerah akan turut

menentukan kinerja kebijakan yang diimplementasikan.

Berdasarkan hasil penelitian model implementasi kebijakan

pengoperasian Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Untia Kota

Makassar, maka dapat dideskrepsikan sebagai berikut:

1. Stadar-standar dan tujuan kebijakan

Salah satu indikator kinerja implementasi kebijakan dapat

diukur dari tingkat keberhasilannya dalam mencapai ukuran dan

tujuan kebijakan yang bersifat realistis dengan sosio-kultur yang ada

di level pelaksana kebijakan. Ketika ukuran dan dan sasaran

kebijakan terlalu ideal (utopis), maka akan sulit direalisasikan

(Agustino, 2006). Van Meter dan Van Horn mengemukakan bahwa

untuk mengukur kinerja implementasi kebijakan tentunya menegaskan

standar dan sasaran tertentu yang harus dicapai oleh para pelaksana

kebijakan, sementara kinerja kebijakan pada dasarnya merupakan

penilaian atas tingkat ketercapaian standar dan sasaran tersebut.

Pemahaman tentang maksud umum dari suatu standar dan

tujuan kebijakan adalah penting. Implementasi kebijakan yang

berhasil, bisa jadi gagal (frustated) ketika para pelaksana (officials)

tidak sepenuhnya menyadari pentingnya standar dan tujuan kebijakan.

Standar dan tujuan kebijakan memiliki hubungan erat dengan disposisi

para pelaksana (implementors). Arah disposisi para pelaksana

(implementors) terhadap standar dan tujuan kebijakan juga merupakan

94
hal yang “crucial”. Implementors mungkin bisa jadi gagal dalam

melaksanakan kebijakan, dikarenakan mereka menolak atau tidak

mengerti apa yang menjadi tujuan suatu kebijakan (Van Mater dan Van

Horn, 1975).

Terkait dengan standar yang digunkan dalam pengelolaan PPN

Untia mengacu pada Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan

Nomor: 74/KEPMEN-KP/ 2016 tentang Pengelolaan Pelabuhan

Perikanan Untia Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan dengan

tugas pokok dan fungsi sebagai berikut:

a. Menyusun rencana anggaran, pemantauan, dan evaluasi

pelabuhan perikanan;

b. Pelaksanaan pengaturan keberangkatan, kedatangan, dan

keberadaan kapal di pelabuhan perikanan;

c. Pelaksanaan pelayanan penerbitansurat tanda bukti lapor

kedatangan, dan keberangkatan kapal perikanan;

d. Pelaksanaan pemerikasaan log book;

e. Pelaksanaan pelayanan penerbitan surat persetujuan berlayar;

f. Pelaksanaan pemberian sertifikat Hasil tangkapan Ikan;

g. Pelaksanaan pengawsan pengisian bahan bakar;

h. Pelaksanaan pembangunan, pengembangan, pemerliharaan,

pendayagunaan dan pengawasan serta pengendalian sarana dan

prasarana;

i. Pelaksanaan fasilitasi penyuluhan, pengawasan, dan

pengendalian sumberdaya ikan, perkarantinaan ikan, publikasi

95
hasil penelitian, pemantauan wilayah pesisir, wisata bahari,

pembinaan mutu serta pengelolaan pemasaran dan distribusi hasil

perikanan;

j. Pelayanan jasa, pemanfaatan lahan dan fasilitas usaha;

k. Pelaksanaan pengumpulan data, informasi dan publikasi.

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa standar yang

dugunakan dalam mengelola PPN Untia sebagaimana disebutkan

diatas, sudah cukup jelas dan hal ini diakui oleh informan Kepala

Pelabuhan Untia yang mengatakan bahwa:

“Kami sudah memahami aturan yang ada, semua suda jelas


standar yang akan digunakan dan kami bisa menterjemahkan,
namun belum bisa optimal karena belum ada regulasi yang
mengatur secara khusus terkait strategi pencapaian standar dan
sasaran. Disamping itu sumberdaya pendukung seperti
penyempurnaan fasilitas pelabuhan belum seluruhnya siap.”
(Hasil wawancara, 20 April 2018)

Pelabuhan perikanan mempunyai fungsi strategis mencakup

fungsi pemerintahan dan fungsi pengusahaan yang mempunyai

dampak terhadap pengembangan perekonomian wilayah berupa

peningkatan nilai tambah, efesiensi, produktifitas usaha perikanan

tangkap, dan penyerapan tenaga kerja. Selain itu dapat menjadi

tonggak dalam mempertahankan kedaulatan dan pertahanan wilayah

Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pelabuhan Perikanan adalah

tempat yang terdiri atas daratan dan perairan disekitarnya dengan

batas batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan

kegiatan sistem bisnis perikanan yang digunakan sebagai tempat

kapal perikanan bersandar, berlabuh dan/atau bongkar muat ikan

96
yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan

penunjang perikanan. Apa bila kedua fungsi sudah berjalan dengan

baik, maka pelabuhan pelabuhan perikanan akan berdaya guna

sebagai pusat aktivitas industralisasi kelautan perikanan yang

tentunya akan memberikan dampak pada peningkatan pertumbuhan

ekonomi domestik dan pengentasan kemiskinan.

Untuk mewujudkan pelabuhan perikanan yang dapat

menunjang aktivitas perikanan diperlukan suatu pembangunan,

pengembangan dan pengelolaan pelabuhan perikanan yang

terencana, baik yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah

daerah Provinsi /Kabupaten/Kota, dan Badan Usaha Milik Negara dan

atau swasta, dengan memperhatikan daya dukung sumberdaya ikan

di masing-masing Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik

Indonesia (WPPN-RI).

Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah melalui Kementrian

Kelautan dan Perikanan mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor:

18/PERMEN-KP/2014 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan

Negara Indoensia dengan membagi zonasi penangkapan ikan yang

merupakan wilayah pengelolaan perikanan untuk penangkapan ikan,

pembudidaya ikan, konservasi, penelitian dan pengembangan

perikanan meliputi perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut

teritorial, zona tambahan, dan zona Ekonomi ekslusif, sehigga setiap

zona tersebut memerlukan sebuah pelabuhan yang dapan menunjang

kegiatan perikanan didaerah tersebut. Adapun wilayah penangkapan

97
ikan bagi pelabuhan perikanan untia melayani WPP 713 yang meliputi:

Selat Makassar, Teluk Bone, dan Laut Flores.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa baik standar-standar/

tujuan kebijakan maupun sasaran kebijakan para implementor sudah

memahami, dan memiliki semangat serta komitmen yang kuat untuk

mewujudkan tujuan tujuan kebijakan. Sasaran kebijakan yang

dimaksud disini adalah diharapkan pelabuhan perikanan sebagai

tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis perikanan

dan sebagai tempat kapal perikanan bersandar, berlabuh dan/ atau

bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan

pelayaran dan kegiatan penunjang perikanan. Hal ini terungkap dari

hasil wawancara dengan Kepala Pelabuhan Perikanan Nusantara

Untia yang menyebutkan bahwa:

“Kami disini bersama rekan rekan kerja sudah siap


mengimplemen tasikan seluruh kebijakan yang telah dikeluarkan
oleh atasan, baik dalam bentuk peraturan maupun dalam bentuk
arahan langsung dari pusat untuk pengoperasian pelabuhan ini,
namun kami masih serba kekurangan mulai dari akses jalan
masuk, sarana dan prasarana pelabuhan, air bersih, kesadaran
nelayan juga belum mendukung sampai pada pelabuhan ini
masih dangkal untuk standar pelabuhan perikanan
nusantara”.(Hasil wawancara tanggal, 4 Mei 2018)

Berangkat dari pernyataan informan diatas menunjukkan belum

adanya kesiapan memadai yang dimiliki pelabuhan perikanan yang

bertaraf nusantara itu, baik sebelum diresmikan maupun sesudah

diresmikan oleh Bapak Presiden Republik Indonesia. Pada hal secara

teoritis disebutkan bahwa standar dan tujuan kebijakan memiliki

hubungan erat dengan disposisi para pelaksana (implementors). Arah

98
disposisi para pelaksana (implementors) terhadap standar dan tujuan

kebijakan juga merupakan hal yang perlu mendapat perhatian untuk

dioptimalkan.

Dengan demikian maka untuk mengoptimalkan pengoprasian

pelabuahan ini diperlukan keseriusan Kementerian Kelautan dalam hal

ini Dirjen Perikanan Tangkap sebagai penanggungjawab

pengoperasian pelabuhan ini, dan bukan merupakan bagian dari

tanggungjawab Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi sulawesi

selatan, maupun Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Makassar.

2. Sumberdaya

Keberhasilan implementasi kebijakan sangat tergantung dari

kemampuan memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Sumberdaya

Keuangan merupakan sumberdaya penting dalam menentukan

keberhasilan suatu implementasi kebijakan. Setiap tahap

implementasi menuntut adanya dukungan anggaran yang memadai

sesuai dengan allokasi anggaran yang direncanakan.

Sumber daya kebijakan (policy resources) tidak kalah

pentingnya dengan komunikasi. Sumber daya kebijakan ini harus juga

tersedia dalam rangka untuk memperlancar administrasi implementasi

suatu kebijakan. Sumber daya ini terdiri atas dana atau insentif lain

yang dapat memperlancar pelaksanaan (implementasi) suatu

kebijakan. Kurangnya atau terbatasnya dana atau insentif lain dalam

implementasi kebijakan, adalah merupakan sumbangan besar

terhadap gagalnya implementasi kebijakan.”

99
Dalam pengimplementasian kebijakan pengoperasian

pelabuhan perikanan nusantara untia; Hasil penelitiam menunjukkan

bahwa sampai saat ini proses implementasi kebijakan pengoperasia

pelabuhan dimaksud belum ditunjang oleh sumberdaya kebijakan

yang memadai seperti sumberdaya keuangan yang hanya mendapat

allokasi biaya operasional sebesar Rp. 1.000.000.000,- ( satu milyar

rupiah) untuk satu tahun. Hal ini diakui oleh pelaksana tata usaha

pelabuhan yang menyebutkan:

“Kalau mau jujur, pelabuhan perikanan ini belum ada nama yang
sesuai, apakah itu pelabuhan nusantara atau pelabuhan
samudra. Pelabuhan ini belum bisa disebutkan sebagai
pelabuhan nusantara. Kenapa? Karena pelabuhan ini belum
tercatat pada Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara
Republik Indonesia. Buktinya sampai hari ini belum jelas
strukturnya termasuk personalia yang akan menduduki struktur
yang ada. Pantaslah kalau pelabuhan ini hanya mendapat
allokasi dana 1 Milyar satu tahun dari Kementeria Kelautan dan
Perikanan. Angka ini sangat kecil dan tidak rasional untuk
membiayai operasional pelabuhan yang sebesar di Untia ini”.
(Hasil Wawancara tanggal, 4 Mei 2018)
Apabila dibandingkan dengan PPN yang suda beroperasi seperti

Pelabuhan Ratu di Suka Bumi Jawa Barat anggaran untuk biaya

operasional telah mencapai 5 Milyar rupiah. Sedangkan anggaran

yang diperuntukkan untuk biaya operasional Pelabuhan Perikanan

Untia sebesar 1 Milyar rupiah, angka ini hanya cukup untuk membiayai

Gaji, jasa pengadaan air bersih, listrik, pemeliharaan pelabuhan dan

operasional kantor termasuk perjalanan dinas. Berikut pernyataan

informan sebagai berikut:

Selanjutnya beliau katakan bahwa “ Kalau pelabuhan ini sudah


tercatat pada KEMENPAN RI, itu artinya allokasi APBN sudah
dapat diajukan oleh Pelabuhan melalui Kementeria Kelautan dan
Perikanan untuk rencana anggaran tahunan. Selain itu

100
Sumberdaya Manusia yang akan ditempatkan di pelabuhan ini
sudah jelas orangnya, posisisnya dimana dan gaji beserta
tunjangannya suda jelas. ya kita tunggu saja.
(Hasil wawancara tanggal, 15 Mei 2018)

Selain sumberdaya finansial, yang tidak kalah pentingnya

dalam implementasi kebijakan adalah sumberdaya pendukung seperti

lokasi pelabuhan, dan fasilitas pendukung yang dimiliki; Lokasi

pelabuhan perikanan ini sesungguhnya sangat strategis karena dekat

dengan Kawasan Industri Makassar (KIMA), dekat dengan Pelabuhan

Laut Sukarno Hatta serta dekat pula denga Pelabuhan Udara Sultan

Hasanuddin. Namun demikian berbagai kendala masih diperhadapkan

seperti akses jalan menuju pelabuhan perikanan untia sangat tidak

mendukung atau dengan kata lain rusak berat. Akibat dari rusaknya

akses jalan masuk ke pelabuhan menyebabkan matinya aktifitas jual

beli ikan di pelabuhan ini. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh

pelaksana pelabuhan bahwa:

“Dulu sudah pernah ada jual beli di pelabuhan untia ini, tetapi
banyak penjual ikan dan pengunjung yang jatuh dan terluka
karena jalannya becek dan berlubang, akhirnya mereka pada
tidak mau datang lagi dan kami sebagai pelaksanan pelabuhan
tida mau ambil resiko. Andaikan jalanan masuk ke pelabuhan
untia ini mulus, Masyarakat banyak tertarik berbelanja di
Pelabuhan untia, karena sambil berbelanja, juga bisa menikmati
obyek wisata yang ada disekitar pelabuhan.” (Hasil Wawancara
tanggal, 15 Mei 2018)

101
Gambar 5.1. Kondisi jalan masuk Pelabuhan Untia

Sumberdaya pendukung yang dianggap masih sangat

memprihatinkan sebagai suatu pelabuhan perikanan nusantara adalah

belum tersedianya Cold Storege (mesin pendingin ikan), padahal

dalam sebuah pelabuhan perikanan tersedianya cold storage adalah

faktor utama, karena akan menyulitkan nelayan dalam menyegarkan

hasil tangkapan, hal ini juga yang membuat nelayan enggan untuk

melakukan pendaratan ikan di pelabuhan untia. Pada tanggal 17 April

2018 lalu Ditjen Perikanan Tangnkap telah meresmikan Cold Storage

berkapasitas

30 ton sebagai jawaban atas permasalahan sulitnya nelayan

mengelola hasil tangkapannya sebelum dipasarkan dan atau diekspor

ke luar negeri.

102
Gambar 5.2. Cold Storage Pelabuhan Untia

Sumberdaya pendukung lainnya yang tidak kalah pentingnya

adalah sumber air bersih. Fakta dilapangan menunjukkan bahwa

sampai saat ini air bersih belum tersedia, sehingga upntuk memenuhi

kebutuhan air bersih pelabuhan perikanan harus dipasok dari luar

yang membutuhkan biaya ekstra, tentu ini menjadi penghambat

terimplementasinya kebijakan pengoperasian pelabuhan perikanan

nusantara untia, terutama dalam melakukan aktifitas perikanan

dikawasan pelabuhan. Ini diakui oleh manajemen pelabuhan

perikanan untia dengan keterangan bahwa:

“Sejak dibangunnya pelabuhan perikanan ini, hingga sekarang,


belum ditemukan sumber air bersih, pihak pelabuhan telah
melakukan pemboran, namun hasilnya tetap asin. Inilah yang
kemudian menjadi permasalahan utama sehingga sulit
dioperasikan secara maksimal. Bagaimana caranya
memaksimalkan pengoperasian pelabuhan, untuk menjual ikan
saja sulit, nelayan pada tidak mau mendaratkan perahunya disini
dengan alasan tidak ada air untuk membersihkan hasil
tangkapan, apa lagi banyak pelabuhan disekitar kita yang

103
memang lebih kecil tapi lengkap fasilitasnya seperti pelabuhan
paotere, beba dan maros.” (Hasil Wawancara tanggal, 15 Mei
2018

Hal lain juga belum tersedianya stasiun pengisian bahan bakar

untuk kapal nelayan, padahal dalam rancangan awal bahwa kapal

yang akan sandar dan melakukan pendaratan ikan di pelabuhan

perikanan nusantara untia adalah kapal dengan ukuran besar.

Tentunya akan memerlukan bahan bakar solar yang tidak sedikit

jumlahnya, namun sampai saat ini belum juga ada tanda tanda dari

pertamina untuk membuka stasiun pengisian bahan bakar di pelabuha

untia.

3. Komunikasi antar organisasi

Agar kebijakan publik bisa dilaksanakan dengan efektif,

menurut Van Horn dan Van Mater bahwa apa yang menjadi standar

tujuan harus dipahami oleh para individu (implementors) yang

bertanggung jawab atas pencapaian standar dan tujuan kebijakan,

karena itu standar dan tujuan harus dikomunikasikan kepada para

pelaksana. Komunikasi dalam kerangka penyampaian informasi

kepada para pelaksana kebijakan tentang apa menjadi standar dan

tujuan harus konsisten dan seragam (consistency and uniformity) dari

berbagai sumber informasi. Jika tidak ada kejelasan dan konsistensi

serta keseragaman terhadap suatu standar dan tujuan kebijakan,

maka yang menjadi standar dan tujuan kebijakan sulit untuk bisa

dicapai. Dengan kejelasan itu, para pelaksana kebijakan dapat

mengetahui apa yang diharapkan darinya dan tahu apa yang harus

104
dilakukan. Dalam suatu organisasi publik, pemerintah daerah

misalnya, komunikasi sering merupakan proses yang sulit dan

komplek. Proses pentransferan berita kebawah di dalam organisasi

atau dari suatu organisasi ke organisasi lain, dan ke komunikator lain,

sering mengalami ganguan (distortion) baik yang disengaja maupun

tidak. Jika sumber komunikasi berbeda memberikan interprestasi yang

tidak sama (inconsistent) terhadap suatu standar dan tujuan, atau

sumber informasi sama memberikan interprestasi yang penuh dengan

pertentangan (conflicting), maka pada suatu saat pelaksana kebijakan

akan menemukan suatu kejadian yang lebih sulit untuk melaksanakan

suatu kebijakan secara intensif.

Implementasi yang berhasil seringkali mensyaratkan

mekanisme dan prosedur kelembagaan untuk menjamin bahwa para

implementor akan bertindak dalam cara-cara yang selaras dengan

standar-standar dan tujuan-tujuan kebijakan. Termasuk di sini antara

lain standar personalia: rekrutmen dan seleksi, penugasan dan

relokasi, pengembangan dan promosi, dan pada akhirnya pemecatan.

Dalam konteks hubungan antar organisasi atau antar

pemerintahan, dipelukan nasehat/arahan teknis dan asistensi, dimana

pejabat pada level yang lebih tinggi memfasilitasi implementasi dengan

membantu para bawahan dalam menafsirkan peraturan-peraturan dan

garis-garis pedoman, menstruktur respons terhadap inisiatif (usulan)

kegiatan, dan menyediakan sumber daya (keuangan) fisik dan teknis

yang diperlukan untuk melaksanakan suatu kebijakan.

105
Hasil penelitian menunjukkan bahwa upaya

mengimlementasikan kebijakan pemerintah terkait pengoperasian

pelabuhan perikanan untia pada konteks komunikasi antar organisasi,

belum berjalan sebagaimana yang diharapkan, hal ini dapat

ditunjukkan bahwa arahan teknis yang diharapkan bersumber dari

pusat/kementerian kelautan dan perikanan terkait pengoperasian

pelabuhan perikanan untia belum tersedia, baik berupa

tertulis/dokumen maupun isi koordinasi. Berikut penjelasan informan

yang menyebutkan bahwa:

“Kami ditugaskan disini diawal pengoperasian pelabuhan


perikanan ini pasca pengresmian oleh Bapak Presiden, bulum
pernah kami menerima petunjuk operasional baik tertulis
maupun diundang untuk mendapat penjelasan terkait pelabuhan
ini. Jadi kami disini hanya bisa memahami standar-standar
tujuan dan sasaran pelabuhan perikanan untia ini dari Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan yang kami baca dan pedomani.
(belum ada petunjuk teknis)”.(Hasil Wawancara tanggal, 15 Mei
2018)

Selain itu komunikasi antar oraganisasi dalam konteks

koordinasi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi

Selatan, Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Makassar serta pihak

terkait lainnya, belum berjalan dan bahkan mereka tidak mau tahu lagi

setelah pelabuhan perikanan ini selesai diresmikan. Penjelasan

informan yang peneliti peroleh dari lapangan menyebutkan bahwa:

„Karena pelabuhan perikanan ini dikelola oleh pusat, sementara


kami disini belum definitip (masih diperbantukan) sehingga
komunikasi antar organisasi melalui koordinasi belum dapat kami
lakukan, baik ditingkat provinsi maupun kota. Jadi kalau saudara
peneliti mengatakan bahwa kenapa dinas kelautan dan
perikanan tidak bisa menjelaskan Bagaimana pelabuhan
perikanan ini dioperasikan, bagaimana keterlibatan dinas
perikanan dan kelautan, tentu mereka menjawab kurang

106
mengetahui. Saya mengerti kalau jawabannya seperti itu Karen
memang kita masih baru dan penuh keterbatasan. (Hasil
Wawancara tanggal, 15 Mei 2018)

Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa untuk

dapat mencapai kinerja kebijakan yang optimal, para pejabat pada

level atas perlu mengkomunikasikan secara efektif standar-standar

dan tujuan-tujuan kebijakan, dan memberikan penguatan dalam bentuk

penjelasan tentang mekanisme-mekanisme dan prosedur-prosedur,

serta pemberian bantuan teknis oleh pejabat yang berwenang.

4. Karakteristik organisasi pelaksana

Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi

formal dan organisasi informal yang akan terlibat dalam

pengimplementasian kebijakan. Hal ini penting karena kinerja

implementasi kebijakan akan sangat dipengaruhi oleh ciri yang tepat

serta cocok dengan para agen pelaksananya. Hal ini berkaitan

dengan konteks kebijakan pengoperasian pelabuhan perikanan untia

yang akan dilaksanakan. Beberapa kebijakan dituntut pelaksana

kebijakan yang ketat dan displin, sementara pada konteks lain

diperlukan agen pelaksana yang demokratis dan persuasif.

Karakteristik organisasi pelaksana pengoprasian pelabuhan

perikanan nusantara unita, ditandai dengan dikeluarkannya

Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia

Nomor: 74/KEPMEN-KP/ 2016 tentang Pengelolaan Pelabuhan

Perikanan Untia Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan.

Berdasarkan Permen tersebut, Pelabuhan perikanan untia telah

107
memiliki struktur dan standar operasional prosedur (SOP) yang

ditetapkan oleh kementerian. Adapun tugas pokok dan fungsinya

adalah menyusun rencana anggaran, pemantauan, dan evaluasi

pelabuhan perikanan, pelaksanaan pengaturan keberangkatan,

kedatangan, dan keberadaan kapal di pelabuhan perikanan,

pelaksanaan pelayanan penerbitan surat tanda bukti lapor

kedatangan, dan keberangkatan kapal perikanan, pelaksanaan

pemerikasaan log book, pelaksanaan pelayanan penerbitan surat

persetujuan berlayar, pelaksanaan pemberian sertifikat hasil

tangkapan Ikan, pelaksanaan pengawsan pengisian bahan bakar,

pelaksanaan pembangunan, pengembangan, pemerliharaan,

pendayagunaan dan pengawasan serta pengendalian sarana dan

prasarana, pelaksanaan fasilitasi penyuluhan, pengawasan, dan

pengendalian sumberdaya ikan, perkarantinaan ikan, publikasi hasil

penelitian, pemantauan wilayah pesisir, wisata bahari, pembinaan

mutu serta pengelolaan pemasaran dan distribusi hasil perikanan,

pelayanan jasa, pemanfaatan lahan dan fasilitas usaha, pelaksanaan

pengumpulan data, informasi dan publikasi.

Beberapa tugas pokok dan fungsi yang menjadi tanggung

jawab pelabuhan perikanan nusantara untia sebagaimana disebutkan

diatas, belum ada yang berjalan maksimal, semua masih uji coba. Hal

ini sebagaimana dijelaskan informan pengelola sebagai berikut:

“Karena pelabuhan ini ditangani langsung oleh Kementrian


Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, sehingga semua
ketentuan yang ada diatur dalam surat keputus. Kita disini hanya
menjalankan”. Selanjutnya mengenai pelaporan Kelapa

108
pelabuhan perikanan untia menyampaikan secara berkala
kepada Direktur Jenderal Perikanan Tangkap melalui direktur
Pelabuhan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan”.
(Hasil Wawancara tanggal, 18 Mei 2018)

Manusia merupakan sumberdaya yang terpenting dalam

menentukan keberhasilan suatu implementasi kebijakan. Setiap tahap

implementasi menuntut adanya sumber daya manusia yang

berkualitas sesuai dengan pekerjaan yang diisyaratkan oleh kebijakan

yang telah ditetapkan secara politik.

Sumberdaya manusia dalam pengoprasian pelabuhan

perikanan untia secara factual masih jauh dari cukup dan status

pegawai yang ada saat ini merupakan pegawai pusat yang

diperbantukan, sehingga tidak dapat berkonsentrasi penuh dalam

pengoperasian pelabuhan. Status pegawai yang ada umumnya

pinjaman dari berbagai pelabuhan perikanan dari daerah lain yang di

tempatkan untuk sementra di pelabuhan untia, seperti kepala

pelabuhan yang ditugaskan di untia, sebenarnya berasal dari

pelabuhan perikanan nusantara kendari. Untuk memberikan

pelayanan sesuai tupoksi pelabuhan perikanan nusantara untia

makassar sampai saat ini hanya berjumlah 4 (empat) orang staf

Pegawai Negeri Sipil dengan karakteristik satu orang sudah

mendekati pensiun, satu orang dari PPN Ambon dan satu orang lagi

dari PPN Kendari.

Melihat kondisi seperti ini. Tidaklah mengherankan jika PPN

Untia belum mampu beroperasi dengan struktur organisasi yang

sangat sederhana seperti dalam tabel sebagai berikut:

109
Tabel Struktur Organisasi Pelabuhan Untia Makassar

No Nama / NIP Pangkat/ Instansi Jabatan Dalam


Golongan Asal Penugasan
1 2 3 4 5
1 Andi Mannojengi, Penata Pelabuhan Penanggung
S,St.Pi, M.Si Tk I Perikanan Jawab
197504172002121002 III/d Samudera Pengelolaan
Kendari Pelabuhan
2 Uton Muctar Kartiwa. Penata Direktorat Pelaksana
S.pi III/C Pelabuhan Teknis
19780709 2006021002 Perikanan Operasional
Pelabuhan dan
Kesyahbandaran
3 Muhammad Asriadi, Penata Pelabuhan Pelaksana Tata
A.Md.Pi Muda Tk.I Perikanan Usaha
19830410 2005021001 III/a Ambon
4 Masri Mallaena, A.Md Penata Dinas Pelaksana
19591225 1982021009 III/C Kelautan Operasional
dan Pelabuhan dan
Perikanan Kesyahbadaran
Sul-Sel
Sumber: Kantor Pelabuhan Untia Makassar.

Karakteristik organisasi pelaksana pengoperasian pelabuhan

perikanan nusantara untia, terlihat masih sangat sederhana, dan

belum memenuhi syarat untuk dapat diandalkan dapat

mengoperasikan pelabuhan perikanan sebesar pelabuhan untia. Perlu

perhatian dari pemerintah pusat untuk mengoptimalkan pelabuhan

perikanan nusantara untia yang telah menelan biaya ratusan milyar

rupiah.

5. Sikap para pelaksana

Sikap penerimaan atau penolakan dari agen pelaksana

kebijakan sangat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan

implementasi kebijakan publik. Hal ini sangat mungkin terjadi karena

kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat

110
yang mengenal betul permasalahan dan persoalan yang mereka

rasakan. Tetapi kebijakan publik biasanya bersifat top down yang

sangat mungkin para pengambil keputusan tidak mengetahui bahkan

tak mampu menyentuh kebutuhan, keinginan atau permasalahan yang

harus diselesaikan.

Sikap mereka itu dipengaruhi oleh pendangannya terhadap

suatu kebijakan dan cara melihat pengaruh kebijakan itu terhadap

kepentingan-kepentingan organisasinya dan kepentingan-kepentingan

pribadinya. Van Mater dan Van Horn (1974) menjelaskan disposisi

bahwa implementasi kebijakan diawali penyaringan (befiltered) lebih

dahulu melalui persepsi dari pelaksana (implementors) dalam batas

mana kebijakan itu dilaksanakan. Terdapat tiga macam elemen

respon yang dapat mempengaruhi kemampuan dan kemauannya

untuk melaksanakan suatu kebijakan, antara lain terdiri dari pertama,

pengetahuan (cognition), pemahaman dan pendalaman

(comprehension and understanding) terhadap kebijakan, kedua, arah

respon mereka apakah menerima, netral atau menolak (acceptance,

neutrality, and rejection), dan ketiga, intensitas terhadap kebijakan.

Pemahaman tentang maksud umum dari suatu standar dan

tujuan kebijakan adalah penting. Karena, bagaimanapun juga

implementasi kebijakan yang berhasil, bisa jadi gagal (frustated) ketika

para pelaksana (officials), tidak sepenuhnya menyadari terhadap

standar dan tujuan kebijakan. Arah disposisi para pelaksana

(implementors) terhadap standar dan tujuan kebijakan juga

111
merupakan hal yang “crucial”. Implementors mungkin bisa jadi gagal

dalam melaksanakan kebijakan, dikarenakan mereka menolak apa

yang menjadi tujuan suatu kebijakan.

Sebaliknya, penerimaan yang menyebar dan mendalam

terhadap standar dan tujuan kebijakan diantara mereka yang

bertanggung jawab untuk melaksanakan kebijakan tersebut,

merupakan potensi yang besar terhadap keberhasilan implementasi

kebijakan yang pada akhirnya, intesitas disposisi para pelaksana

(implementors) dapat mempengaruhi pelaksana (performance)

kebijakan. Kurangnya atau terbatasnya intensitas disposisi ini, akan

bisa menyebabkan gagalnya implementasi kebijakan.

Dalam pengimplementasian kebijakan pengoperasian

pelabuhan perikanan nusantara untia, sikap para pelaksana memiliki

pandangan yang sangat positip terhadap standar dan tujuan

kebijakan, baik dari segi pengetahuan yang mereka miliki,

pemahamannya terhadap tujuan pengoperasian pelabuhan perikanan

dan pendalamannya terhadap kebijakan yang ada. Hal ini terungkap

pada saat peneliti mencoba menanyakan sikap para pelaksana

Iimplementor) terhadap pekerjaan yang mereka tekuni saat ini di

pelabuhan perikanan untia, beliau menjelaskan:

„Kalau kami disini, berdasarkan pengetahuan dan pengalaman


selama ini, bahwa untuk mengoperasikan pelabuhan perikanan
tidak terlalu sulit, namun disini masih banyak sumberdaya
pendukung yang belum siap dijalankan, seperti air bersih,
jalanan yang rusak, tempat pendinginan ikan termasuk
sumberdaya manusiannya yang masih sangat terbatas. Namun
demikian, semua yang tertuang didalam standar dan tujuan
kebijakan pengoperasian pelabuhan perikanan khsusnya di untia

112
ini, berpulang ke pusat, kami siap saja menjalankan. (Hasil
Wawancara tanggal, 18 Mei 2018)

Berdasarkan pernyataan para pengelola tersebut sebagai

informan dalam penelitian ini, dapat dikatakan bahwa sikap para

pelaksana (implementor) kebijakan pengoperasian pelabuhan

perikanan untia cukup menguasai dan memahami tugasnya dan

bahkan senang dan optimis, hanya saja untuk saat ini pelabuhan

belum siap dijalankan maksimal. Masih perlu keseriusan pihak

kementerian kelautan dan perikanan dalam mewujudkan pelabuhan

perikanan nusantara yang sesungguhnya. Karena menurut pengelola

yang sempat diwawancarai menyebutkan kalau pelabuhan perikanan

untia ini belum termasuk pelabuhan nusantara, sebetulnya masih

berstatus pelabuhan perintis.

6. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik.

Hal terakhir yang perlu diperhatikan guna menilai kinerja

implementasi kebijakan adalah sejauh mana lingkungan eksternal

turut mendorong keberhasilan kebijakan publik. Lingkungan sosial,

ekonomi dan politik yang tidak kondusif dapat menjadi sumber

masalah dari kegagalan kinerja implementasi kebijakan. Karena itu,

upaya implementasi kebijakan mensyaratkan kondisi lingkungan

eksternal yang kondusif.

Sumber daya ekonomi yang tersedia dalam pengelolaan

pelabuhan perikanan untia sudah lebih dari cukup, hanya saja untuk

mengoptimalkan sumberdaya ekonomi dimaksud seperti sarana dan

113
prasarana memiliki keterkaitan antara satu dengan lainnya, sehingga

masih diperlukan sumberdaya ekonomi pendukung kearah

pengoperasian pelabuhan perikanan untia seperti pengakuan para

implementor kebiajakan.

Selanjutnya untuk kondisi kondisi sosial ekonomi belum dapat

diukur secara signifikan terhadap keberadaan pelabuhan perikanan

untian dalam hubungannya dengan masyarakat setempat maupun

terhadap para nelayan. Berdasarkan hasil lapangan ditemukan

pernyataan informan yang menyebutkan bahwa:

„Begini pak, saya tidak terlalu yakin kalau pelabuhan ini bisa
berkembang cepat, karena tidak ada penduduk disini, kita datang
disini kalau ada pejabat datang, baru jalannya lagi jelek sekali.
Kalau kami disini mauji membantu pelabuhan ini, tapi
bagaimana caranya? Kalau saya pa‟ bikinki kegiatan yang bisa
penduduk disekitar disini datang untuk beraktifitas, sambil
menunggu pelabuhan ini dikunjungi oleh orang luar. Kalau
masyarakat disini bisa mencari penghidupan disini pasti mereka
pada mau datang membeli dan menjual serta bisa membantu
pihak pelabuhan seperti ikut menjaga dan membersihkan.
(Hasil Wawancara dengan tokoh masyarakat tanggal, 18 Mei
2018)

Selain itu masih banyak nelayan yang belum mengetahui kalau

telah dibangun pelabuhan perikanan nusantara untia yang jauh lebih

baik dan lebih modern jika di bandingkan dengan semua pelabuhan

perikanan di Sulawesi Selatan.

Hal lain yang ikut mempengaruhi kinerja kebiajakn publik

adalah dari aspek poilitik, bagaimana keterlibatan politik dalam

mendukung implementasi kebijakan pengoperasian pelabuhan untia.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa para elit politik tidak

mempersoalkan pelabuhan perikanan yang dikelolah oleh Kementeria

114
kelautan dan perikanan yang ada di Untia, malah DPR ikut mendorong

percepatan pengoperasian pelabuhan perikanan untia, agar dapat

sejajar dengan pelabuhan perikanan nusantara yang ada di Kendari.

Selain itu tokoh masyarakat yang ada di sekitar pelabuhan, cukup

memberi apresiasi, hanya saja akses jalan masuk menuju pelabuhan

belum kunjung diperbaiki. Dengan demikian maka baik tokoh

masyarakat maupun anggota DPR kesemuanya dapat menerima

keberadaan pelabuhan perikanan untia dan memberi dukungan

terhadap pengimplementasian kebijakan pengopersian pelabuhan

agar dapat berkontribusi terhadap perekonomian daerah secara

keseluruhan.

B. Pembahasan Hasil Penelitian

Model yang digunakan dalam penelitian ini untuk menjelaskan

implementasi kebijakan pengoperasian pelabuhan perikanan untia

Makassar adalah model Van Meter and Van Horn (1975). Model Van

Meter & Van Horn memenuhi kriteria mengenai kejelasan konseptual dan

fokus pada kinerja dari para implementor.

Model implementasi Van Meter & Van Horn ini, relatif sederhana

tetapi secara akurat memetakan variabel implementasi menjadi tiga

bagian, yaitu kebijakan itu sendiri, konteks implementasi, dan kinerja.

Kesederhanaan dan kejelasan peta kontekstual seperti ini memudahkan di

dalam mempelajari secara lebih mendalam terkait dimensi-dimensi dan

indikator implementasi.

115
Berpedoman pada model tersebut di atas serta hasil penelitian ini,

maka dimensi-dimensi yang terkait dengan kinerja implementasi program

pengoperasian pelabuhan perikanan nusantara untia dapat dijelaskan

sebagai berikut.

1. Stadar-standar dan tujuan kebijakan

Pemahaman tentang maksud umum dari suatu standar dan

tujuan kebijakan adalah penting. Implementasi kebijakan yang

berhasil, bisa jadi gagal (frustated) ketika para pelaksana (officials)

tidak sepenuhnya menyadari pentingnya standar dan tujuan kebijakan.

Terkait dengan standar yang digunkan dalam pengelolaan PPN

Untia mengacu pada Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan

Nomor: 74/KEPMEN-KP/ 2016 tentang Pengelolaan Pelabuhan

Perikanan Untia Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa standar yang dugunakan

dalam mengelola pelabuhan perikanan nusantara untia sebagaimana

disebutkan diatas, sudah cukup jelas dengan fungsi strategis yang

mencakup fungsi pemerintahan dan fungsi pengusahaan dan dapat

memberi dampak terhadap pengembangan perekonomian wilayah

berupa peningkatan nilai tambah, efesiensi, produktifitas usaha

perikanan tangkap, dan penyerapan tenaga kerja.

Pelabuhan perikanan adalah tempat yang terdiri atas daratan

dan perairan disekitarnya dengan batas batas tertentu sebagai tempat

kegiatan pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis perikanan yang

digunakan sebagai tempat kapal perikanan bersandar, berlabuh

116
dan/atau bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan fasilitas

keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang perikanan. Apa bila

kedua fungsi sudah berjalan dengan baik, maka pelabuhan pelabuhan

perikanan akan berdaya guna sebagai pusat aktivitas industralisasi

kelautan perikanan yang tentunya akan memberikan dampak pada

peningkatan pertumbuhan ekonomi domestik dan pengentasan

kemiskinan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa baik standar-standar/

tujuan kebijakan maupun sasaran kebijakan, para implementor sudah

memahami, dan memiliki semangat serta komitmen yang kuat untuk

mewujudkan tujuan tujuan kebijakan. Sasaran kebijakan yang

dimaksud disini adalah diharapkan pelabuhan perikanan sebagai

tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis perikanan

dan sebagai tempat kapal perikanan bersandar, berlabuh dan/ atau

bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan

pelayaran dan kegiatan penunjang perikanan.

Dibalik standar dan sasaran kebijakan yang akan dicapai dalam

proses implementasi, terdapat permasalahan yang timbul sebagai

akibat belum adanya kesiapan memadai yang dimiliki pelabuhan

perikanan yang bertaraf nusantara itu, baik sebelum diresmikan

maupun sesudah diresmikan oleh Bapak Presiden Republik

Indonesia. Pada hal secara teoritis disebutkan bahwa standar dan

tujuan kebijakan memiliki hubungan erat dengan disposisi para

pelaksana (implementors).

117
Dengan demikian maka untuk mengoptimalkan pengoprasian

pelabuahan ini diperlukan keseriusan Kementerian Kelautan dan

Perikanan dalam hal ini Ditjen Perikanan Tangkap sebagai

penanggungjawab pengoperasian pelabuhan ini dalam hal pengadaan

sumberdaya pendukung untuk mensinergikan seluruh fasilitas yang

sudah tersedia.

2. Sumberdaya

Keberhasilan implementasi kebijakan sangat tergantung dari

kemampuan menyiapkan dan pemanfaatkan sumberdaya financial.

Sumberdaya financial merupakan sumberdaya penting dalam

menentukan keberhasilan suatu implementasi kebijakan. Setiap tahap

implementasi menuntut adanya dukungan anggaran yang memadai

sesuai dengan allokasi anggaran yang direncanakan.

Sumber daya kebijakan ini harus juga tersedia dalam rangka

untuk memperlancar administrasi implementasi suatu kebijakan.

Sumber daya ini terdiri atas dana atau insentif lain yang dapat

memperlancar pelaksanaan (implementasi) suatu kebijakan.

Kurangnya atau terbatasnya dana atau insentif lain dalam

implementasi kebijakan, merupakan sumbangan besar terhadap

gagalnya suatu implementasi kebijakan.

Hasil penelitiam menunjukkan bahwa proses implementasi

kebijakan pengoperasian pelabuhan dimaksud belum ditunjang oleh

sumberdaya kebijakan yang memadai seperti sumberdaya keuangan

yang hanya mendapat allokasi biaya operasional sebesar Rp.

118
1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) untuk satu tahun. Kalau

pelabuhan ini hanya mendapat allokasi dana 1 Milyar satu tahun dari

Kementeria Kelautan dan Perikanan, angka ini sangat kecil dan tidak

rasional untuk membiayai operasional pelabuhan yang sebesar di

Untia ini”.

Selain sumberdaya financial, yang tidak kalah pentingnya

dalam implementasi kebijakan adalah sumberdaya pendukung seperti

lokasi pelabuhan, dan fasilitas pendukung yang dimiliki; Lokasi

pelabuhan perikanan ini sesungguhnya sangat strategis karena dekat

dengan Kawasan Industri Makassar (KIMA), dekat dengan Pelabuhan

Laut Sukarno Hatta serta dekat pula denga Pelabuhan Udara Sultan

Hasanuddin. Namun demikian berbagai kendala masih diperhadapkan

seperti akses jalan menuju pelabuhan perikanan untia sangat tidak

mendukung atau dengan kata lain rusak berat. Akibat dari rusaknya

akses jalan masuk ke pelabuhan menyebabkan matinya aktifitas jual

beli ikan di pelabuhan ini.

Sumberdaya pendukung yang dianggap masih sangat

memprihatinkan sebagai suatu pelabuhan perikanan nusantara adalah

belum tersedianya Cold Storege (mesin pendingin ikan), padahal

dalam sebuah pelabuhan perikanan tersedianya cold storage adalah

faktor utama, karena akan menyulitkan nelayan dalam menyegarkan

hasil tangkapan, hal ini juga yang membuat nelayan enggan untuk

melakukan pendaratan ikan di pelabuhan untia. Pada tanggal 17 April

2018 lalu Ditjen Perikanan Tangnkap telah meresmikan Cold Storage

119
berkapasitas 30 ton sebagai jawaban atas permasalahan sulitnya

nelayan mengelola hasil tangkapannya sebelum dipasarkan dan atau

diekspor ke luar negeri.

Sumberdaya pendukung lainnya yang perlu mendapat

perhatian adalah sumber air bersih. Fakta dilapangan menunjukkan

bahwa sampai saat ini air bersih belum tersedia, sehingga untuk

memenuhi kebutuhan air bersih pelabuhan perikanan harus dipasok

dari luar yang membutuhkan biaya ekstra, tentu ini menjadi

penghambat terimplementasinya kebijakan pengoperasian pelabuhan

perikanan nusantara untia, terutama dalam melakukan aktifitas

perikanan dikawasan pelabuhan.

Hal lain juga belum tersedianya stasiun pengisian bahan bakar

untuk kapal nelayan, padahal dalam rancangan awal bahwa kapal

yang akan sandar dan melakukan pendaratan ikan di pelabuhan

perikanan nusantara untia adalah kapal dengan ukuran besar.

Tentunya akan memerlukan bahan bakar solar yang tidak sedikit

jumlahnya, namun sampai saat ini belum juga ada tanda tanda dari

pertamina untuk membuka stasiun pengisian bahan bakar di pelabuha

untia.

3. Komunikasi antar organisasi

Agar kebijakan publik bisa dilaksanakan dengan efektif,

menurut Van Horn dan Van Mater bahwa apa yang menjadi standar

tujuan harus dipahami oleh para individu (implementors) yang

bertanggung jawab atas pencapaian standar dan tujuan kebijakan,

120
karena itu standar dan tujuan harus dikomunikasikan kepada para

pelaksana. Komunikasi dalam kerangka penyampaian informasi

kepada para pelaksana kebijakan tentang apa menjadi standar dan

tujuan harus konsisten dan seragam (consistency and uniformity) dari

berbagai sumber informasi. Jika tidak ada kejelasan dan konsistensi

serta keseragaman terhadap suatu standar dan tujuan kebijakan,

maka yang menjadi standar dan tujuan kebijakan sulit untuk bisa

dicapai. Dengan kejelasan itu, para pelaksana kebijakan dapat

mengetahui apa yang diharapkan darinya dan tahu apa yang harus

dilakukan. Dalam suatu organisasi publik, pemerintah daerah

misalnya, komunikasi sering merupakan proses yang sulit dan

komplek. Proses pentransferan berita kebawah di dalam organisasi

atau dari suatu organisasi ke organisasi lain, dan ke komunikator lain,

sering mengalami ganguan (distortion) baik yang disengaja maupun

tidak. Jika sumber komunikasi berbeda memberikan interprestasi yang

tidak sama (inconsistent) terhadap suatu standar dan tujuan, atau

sumber informasi sama memberikan interprestasi yang penuh dengan

pertentangan (conflicting), maka pada suatu saat pelaksana kebijakan

akan menemukan suatu kejadian yang lebih sulit untuk melaksanakan

suatu kebijakan secara intensif.

Komunikasi internal terkait mekanisme dan prosedur

kelembagaan untuk menjamin para implementor akan bertindak dalam

cara-cara yang selaras dengan standar-standar dan tujuan-tujuan

pengoperasian pelabuhan belum terlaksana dengan baik, oleh karena

121
sumberdaya implementor saja secara structural belum terpenuhi

sesuai dengan deskripsi jabatan yang harus dijalankan, komunikasi

organisasi belum berjalan sebagaimana yang diharapkan, yang

memahami standard an tujuan kebijakan baru sampai pada petugas

structural yang ada.

Dalam konteks hubungan antar organisasi atau antar

pemerintahan, dipelukan nasehat/arahan teknis dan asistensi, dimana

pejabat pada level yang lebih tinggi memfasilitasi implementasi dengan

membantu para bawahan dalam menafsirkan peraturan-peraturan dan

garis-garis pedoman, menstruktur respons terhadap inisiatif (usulan)

kegiatan, dan menyediakan sumber daya (keuangan) fisik dan teknis

yang diperlukan untuk melaksanakan suatu kebijakan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa upaya

mengimlementasikan kebijakan pemerintah terkait pengoperasian

pelabuhan perikanan untia pada konteks komunikasi antar organisasi,

belum berjalan sebagaimana yang diharapkan, hal ini dapat

ditunjukkan bahwa arahan teknis yang diharapkan bersumber dari

pusat/kementerian kelautan dan perikanan terkait pengoperasian

pelabuhan perikanan untia belum tersedia, baik berupa

tertulis/dokumen maupun isi koordinasi. Selanjutnya koordinasi dengan

Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan, Dinas

Kelautan dan Perikanan Kota Makassar serta pihak terkait lainnya,

juga belum berjalan dan bahkan mereka tidak mau tahu lagi setelah

pelabuhan perikanan ini selesai diresmikan.

122
Berdasarkan pembahasan tersebut di atas dapat dipahami

bahwa untuk dapat mencapai kinerja kebijakan yang optimal, para

pejabat pada level atas perlu mengkomunikasikan secara efektif

standar-standar dan tujuan-tujuan kebijakan, dan memberikan

penguatan dalam bentuk penjelasan tentang mekanisme-mekanisme

dan prosedur-prosedur, serta pemberian bantuan teknis oleh pejabat

yang berwenang.

4. Karakteristik organisasi pelaksana

Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi

formal dan organisasi informal yang akan terlibat dalam

pengimplementasian kebijakan. Hal ini penting karena kinerja

implementasi kebijakan akan sangat dipengaruhi oleh ciri yang tepat

serta cocok dengan para agen pelaksananya. Hal ini berkaitan

dengan konteks kebijakan pengoperasian pelabuhan perikanan untia

yang akan dilaksanakan. Beberapa kebijakan dituntut pelaksana

kebijakan yang ketat dan displin, sementara pada konteks lain

diperlukan agen pelaksana yang demokratis dan persuasif.

Karakteristik organisasi pelaksana pengoprasian pelabuhan

perikanan nusantara unita, ditandai dengan dikeluarkannya

Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia

Nomor: 74/KEPMEN-KP/ 2016 tentang Pengelolaan Pelabuhan

Perikanan Untia Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan.

Berdasarkan Permen tersebut, Pelabuhan perikanan untia telah

memiliki struktur dan standar operasional prosedur (SOP) yang

123
ditetapkan oleh kementerian. Adapun tugas pokok dan fungsinya

adalah menyusun rencana anggaran, pemantauan, dan evaluasi

pelabuhan perikanan, pelaksanaan pengaturan keberangkatan,

kedatangan, dan keberadaan kapal di pelabuhan perikanan,

pelaksanaan pelayanan penerbitan surat tanda bukti lapor

kedatangan, dan keberangkatan kapal perikanan, pelaksanaan

pemerikasaan log book, pelaksanaan pelayanan penerbitan surat

persetujuan berlayar, pelaksanaan pemberian sertifikat hasil

tangkapan Ikan, pelaksanaan pengawsan pengisian bahan bakar,

pelaksanaan pembangunan, pengembangan, pemerliharaan,

pendayagunaan dan pengawasan serta pengendalian sarana dan

prasarana, pelaksanaan fasilitasi penyuluhan, pengawasan, dan

pengendalian sumberdaya ikan, perkarantinaan ikan, publikasi hasil

penelitian, pemantauan wilayah pesisir, wisata bahari, pembinaan

mutu serta pengelolaan pemasaran dan distribusi hasil perikanan,

pelayanan jasa, pemanfaatan lahan dan fasilitas usaha, pelaksanaan

pengumpulan data, informasi dan publikasi.

Beberapa tugas pokok dan fungsi yang menjadi tanggung

jawab pelabuhan perikanan nusantara untia sebagaimana disebutkan

diatas, belum ada yang berjalan maksimal, semua masih uji coba.

Manusia merupakan sumberdaya yang terpenting dalam menentukan

keberhasilan suatu implementasi kebijakan menuntut ketersediaan

sumberdaya manusia yang memadai, baik dari segi jumlah,

kompetensi, maupun keterampilan dalam menjalankan tugas masing

124
masing. Setiap tahap implementasi menuntut adanya sumber daya

manusia yang berkualitas sesuai dengan pekerjaan yang diisyaratkan

oleh kebijakan yang telah ditetapkan.

Sumberdaya manusia dalam pengoperasian pelabuhan

perikanan untia secara faktual masih jauh dari cukup dan status

pegawai yang ada saat ini merupakan pegawai pusat yang

diperbantukan, sehingga tidak dapat berkonsentrasi penuh dalam

pengoperasian pelabuhan. Status pegawai yang ada umumnya

pinjaman dari berbagai pelabuhan perikanan dari daerah lain yang di

tempatkan untuk sementra di pelabuhan untia, seperti kepala

pelabuhan yang ditugaskan di untia, sebenarnya berasal dari

pelabuhan perikanan nusantara kendari. Untuk memberikan

pelayanan sesuai tupoksi pelabuhan perikanan nusantara untia

makassar sampai saat ini hanya berjumlah 4 (empat) orang staf

Pegawai Negeri Sipil dengan karakteristik satu orang sudah

mendekati pensiun, satu orang dari PPN Ambon, satu orang dari DKP

Sulawesi Selatan dan satu orang lagi dari PPN Kendari.

Karakteristik organisasi pelaksana pengoperasian pelabuhan

perikanan nusantara untia, terlihat masih sangat sederhana, dan

belum memenuhi syarat untuk dapat diandalkan dapat

mengoperasikan pelabuhan perikanan sebesar pelabuhan untia. Perlu

perhatian dari pemerintah pusat untuk mengoptimalkan pelabuhan

perikanan nusantara untia yang telah menelan biaya ratusan milyar

rupiah.

125
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diartikan bahwa untuk

dapat mencapai kinerja yang optimal maka organisasi pelaksana

kebijakan perlu didukung oleh struktur formal organisasi dan atribut-

atribut informal personil yang diperlukan. Keterbatasan dalam atribut-

atribut formal dan informal ini dapat menghambat pencapaian kinerja

kebijakan secara optimal.

5. Sikap para pelaksana

Sikap penerimaan atau penolakan dari agen pelaksana

kebijakan sangat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan

implementasi kebijakan publik. Hal ini sangat mungkin terjadi karena

kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat

yang mengenal betul permasalahan dan persoalan yang mereka

rasakan. Tetapi kebijakan publik biasanya bersifat top down yang

sangat mungkin para pengambil keputusan tidak mengetahui bahkan

tak mampu menyentuh kebutuhan, keinginan atau permasalahan yang

harus diselesaikan.

Pemahaman tentang maksud umum dari suatu standar dan

tujuan kebijakan adalah penting. Karena, bagaimanapun juga

implementasi kebijakan yang berhasil, bisa jadi gagal (frustated) ketika

para pelaksana (officials), tidak sepenuhnya menyadari terhadap

standar dan tujuan kebijakan. Arah disposisi para pelaksana

(implementors) terhadap standar dan tujuan kebijakan juga

merupakan hal yang “crucial”. Implementors mungkin bisa jadi gagal

126
dalam melaksanakan kebijakan, dikarenakan mereka menolak apa

yang menjadi tujuan suatu kebijakan.

Sebaliknya, penerimaan yang menyebar dan mendalam

terhadap standar dan tujuan kebijakan diantara mereka yang

bertanggung jawab untuk melaksanakan kebijakan tersebut,

merupakan potensi yang besar terhadap keberhasilan implementasi

kebijakan yang pada akhirnya, intesitas disposisi para pelaksana

(implementors) dapat mempengaruhi pelaksana (performance)

kebijakan. Kurangnya atau terbatasnya intensitas disposisi ini, akan

bisa menyebabkan gagalnya implementasi kebijakan.

Dalam pengimplementasian kebijakan pengoperasian

pelabuhan perikanan nusantara untia, sikap para pelaksana memiliki

pandangan yang sangat positip terhadap standar dan tujuan

kebijakan, baik dari segi pengetahuan yang mereka miliki,

pemahamannya terhadap tujuan pengoperasian pelabuhan perikanan

dan pendalamannya terhadap kebijakan yang ada.

Berdasarkan hasil pembahasan di atas, dapat dikatakan bahwa

sikap para pelaksana (implementor) kebijakan pengoperasian

pelabuhan perikanan untia cukup menguasai dan memahami

tugasnya dan bahkan senang dan optimis untuk jangka panjang,

untuk saat ini pelabuhan belum siap dijalankan maksimal. Masih perlu

keseriusan pihak kementerian kelautan dan perikanan dalam

mewujudkan pelabuhan perikanan nusantara yang sesungguhnya.

127
6. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik.

Lingkungan sosial, ekonomi dan politik yang tidak kondusif

dapat menjadi sumber masalah dari kegagalan kinerja implementasi

kebijakan. Karena itu, upaya implementasi kebijakan mensyaratkan

kondisi lingkungan eksternal yang kondusif. Sumber daya ekonomi

yang tersedia dalam pengelolaan pelabuhan perikanan untia sudah

lebih dari cukup, namun untuk mengoptimalkan sumberdaya ekonomi

dimaksud seperti sarana dan prasarana memiliki keterkaitan antara

satu dengan lainnya, sehingga masih diperlukan sumberdaya ekonomi

pendukung kearah pengoperasian pelabuhan perikanan untia..

Untuk lingkungan ekonomi dalam kondisi eksternal,

keberadaan pelabuhan perikanan nusantara untia, belum mampu

memberi kontribusi positip terhadap kemajuan prekonomian di sekitar

pelabuhan termasuk peningkatan ekonomi masyarakat. Selanjutnya

untuk kondisi sosial ekonomi belum dapat diukur secara signifikan

terhadap keberadaan pelabuhan perikanan untian dalam

hubungannya dengan masyarakat setempat maupun terhadap para

nelayan. Berdasarkan hasil pembahasan tersebut di atas bahwa

masih banyak nelayan yang belum mengetahui kalau telah dibangun

pelabuhan perikanan nusantara untia jauh lebih baik dan lebih modern

jika di bandingkan dengan semua pelabuhan perikanan di Sulawesi

Selatan.

Hal lain yang ikut mempengaruhi kinerja kebiajakn publik

adalah dari aspek poilitik, bagaimana keterlibatan politik dalam

128
mendukung implementasi kebijakan pengoperasian pelabuhan untia.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa para elit politik tidak

mempersoalkan pelabuhan perikanan yang dikelolah oleh Kementeria

kelautan dan perikanan yang ada di Untia, malah DPR ikut mendorong

percepatan pengoperasian pelabuhan perikanan untia, agar dapat

sejajar dengan pelabuhan perikanan nusantara yang ada di Kendari.

Selain itu tokoh masyarakat yang ada di sekitar pelabuhan, cukup

memberi apresiasi, hanya saja akses jalan masuk menuju pelabuhan

belum kunjung diperbaiki. Dengan demikian maka baik tokoh

masyarakat maupun anggota DPR kesemuanya dapat menerima

keberadaan pelabuhan perikanan untia dan memberi dukungan

terhadap pengimplementasian kebijakan pengopersian pelabuhan

agar dapat berkontribusi terhadap perekonomian daerah secara

keseluruhan.

129
BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Variabel implementasi yang dapat memudahkan dalam memotret

tentang siapa yang bertanggung jawab atas apa. Model Van Meter dan

Van Horn, 1975 ini sangat memadai untuk menjelaskan tentang kebijakan

top-down, yakni kebijakan pemerintah pusat yang diimplementasikan di

daerah.

Kebijakan pengelolaan Pelabuhan Perikanan Nusantara Untia

tercermin dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor:

74/KEPMEN-KP/ 2016 tentang Pengelolaan Pelabuhan Perikanan

Nusantara Untia Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan dengan tugas

pokok dan fungsi sebagai berikut: (1) Menyusun rencana anggaran,

pemantauan, dan evaluasi pelabuhan perikanan; (2) Pelaksanaan

pengaturan keberangkatan, kedatangan, dan keberadaan kapal di

pelabuhan perikanan; (3) Pelaksanaan pelayanan penerbitansurat tanda

bukti lapor kedatangan, dan keberangkatan kapal perikanan; (4)

Pelaksanaan pemerikasaan log book; (5) Pelaksanaan pelayanan

penerbitan surat persetujuan berlayar; (6) Pelaksanaan pemberian

sertifikat Hasil tangkapan Ikan; (7) Pelaksanaan pengawsan pengisian

bahan bakar; (8) Pelaksanaan pembangunan, pengembangan,

pemerliharaan, pendayagunaan dan pengawasan serta pengendalian

sarana dan prasarana; (9) Pelaksanaan fasilitasi penyuluhan,

pengawasan, dan pengendalian sumberdaya ikan, perkarantinaan ikan,

130
publikasi hasil penelitian, pemantauan wilayah pesisir, wisata bahari,

pembinaan mutu serta pengelolaan pemasaran dan distribusi hasil

perikanan; (10) Pelayanan jasa, pemanfaatan lahan dan fasilitas usaha;

(11) Pelaksanaan pengumpulan data, informasi dan publikasi.

. Adapun variabel yang dianalisis dalam penelitian ini, dapat

disimpulkan sebagai berikut:

1. Berdasarkan standar-standar dan tujuan kebijakan, hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa baik standar-standar maupun tujuan dan sasaran

kebijakan, para implementor sudah memahami, dan memiliki

semangat serta komitmen yang kuat untuk mewujudkan tujuan tujuan

kebijakan, namun belum mampu mengimplementasikan yang

disebabkan masih serba kekurangan.

2. Untuk variabel sumberdaya yang digunakan, hasil penelitiam

menunjukkan bahwa proses implementasi kebijakan pengoperasian

pelabuhan dimaksud belum ditunjang oleh sumberdaya kebijakan

yang memadai seperti sumberdaya keuangan dan sumberdaya

pendukung seperti kelangkaan air bersih, stasiun pengisian bahan

bakar bagi nelayan dan cold storage.

3. Selanjutnya untuk variabel komunikasi antar organisasi dan aktifitas

penguatan, hasil penelitian menunjukkan bahwa upaya

mengimlementasikan kebijakan pemerintah terkait pengoperasian

pelabuhan perikanan untia pada konteks komunikasi antar organisasi,

belum berjalan sebagaimana yang diharapkan, hal ini dapat

ditunjukkan bahwa arahan teknis yang diharapkan bersumber dari

131
pusat/kementerian kelautan dan perikanan terkait pengoperasian

pelabuhan perikanan untia belum tersedia, baik berupa

tertulis/dokumen maupun isi koordinasi. Selanjutnya koordinasi dengan

Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan, Dinas

Kelautan dan Perikanan Kota Makassar serta pihak terkait lainnya,

juga belum berjalan dan bahkan mereka tidak mau tahu lagi setelah

pelabuhan perikanan ini selesai diresmikan.

4. Karakteristik organisasi pelaksana dalam pengoperasian pelabuhan

perikanan nusantara untia, terlihat masih sangat sederhana apabila

dilihat dari struktur organisasi yang ada. Sedangkan dari aspek

operasional belum dilengkapi Standar Operasional Prosedur.

5. Sikap para pelaksana sebagai variabel yang ikut menentukan dalam

implementasi kebijakan, berdasarkan hasil penelitian menunjukkan

bahwa sikap para pelaksana (implementor) kebijakan pengoperasian

pelabuhan perikanan untia cukup menguasai dan memahami

tugasnya dan bahkan senang dan optimis untuk jangka panjang,

untuk saat ini pelabuhan belum siap dijalankan maksimal, masih perlu

keseriusan pihak kementerian kelautan dan perikanan dalam

mewujudkan pelabuhan perikanan nusantara yang sesungguhnya.

6. Kondisi ekonomi, sosial, dan politik dalam implementasi kebijakan,

keberadaan pelabuhan perikanan nusantara untia, belum mampu

memberi kontribusi positip terhadap kemajuan prekonomian di sekitar

pelabuhan termasuk peningkatan ekonomi masyarakat. Selanjutnya

yang ikut mempengaruhi kinerja kebiajakan publik adalah dari aspek

132
poilitik, bagaimana keterlibatan politik dalam mendukung implementasi

kebijakan pengoperasian pelabuhan untia. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa para elit politik tidak mempersoalkan pelabuhan

perikanan yang dikelolah oleh Kementeria Kelautan dan Perikanan

yang ada di Untia, malah DPR ikut mendorong percepatan

pengoperasian pelabuhan perikanan untia, agar dapat sejajar dengan

Pelabuhan Perikanan Nusantara yang ada di Jawa Barat.

Berdasarkan kesimpulan kesimpulan yang tercermin dari 6

(enam) variabel yang digunakan dalam penelitian ini untuk melihat

kinerja kebijakan pengoperasian pelabuhan perikanan untia, tidak

satupun variabel yang dapat menunjukkan keberhasilan implementor.

Hal ini dapat disimpulkan bahwa kinerja kebijakan

pengoperasian pelabuhan nusantara untia belum berkinerja secara

baik. Kebijakan yang telah ditetapkan, ternyata belum dapat

diimplementasikan oleh para implementor yang ada.

B. Saran-Saran

Berdasar dari kesimpulan penelitian tersebut di atas, terdapat

beberapa catatan penelitian yang perlu disarankan sebagai berikut:

1. Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia sebagai

penanggungjawab pengoperasian Pelabuhan Perikanan Nusantara

Untia Kota Makassar, sudah saatnya memberikan perhatian yang

serius dalam upaya pengoperasian PPN Untia, mengingat asset

133
yang dimiliki tidak tanggung tanggung lebih 200 Milyar rupiah telah

dihabiskan untuk pembangunan PPN Untia.

2. Kementerian Kelautan dan Perikanan disarankan untuk segera

melakukan koordinasi dengan Kementerian Pendayagunaan

Aparatur Negara Republik Indonesia, agar dapat segera ditetapkan

dalam nomenklatur PPN Untia Kota Makassar. Dengan demikian

maka PPN Untia sudah dapat menyusun sumberdaya anggaran

tersendiri dibawah Kementeria Kelautan dan Perikanan.

3. Pengelola PPN Untia disarankan untuk lebih pro aktif dalam

mengkoordinasikan seluruh sumberdaya pendukung yang dapat

menunjang pengoperasian PPN Untia kearah yang lebih sempurna.

Untuk lebih jelasnya berikut tabel hasil penelitian dan rekomendasi yang

dihasilkan sebagai berikut:

No. Variabel Hasil Penelitian Rekomendasi

1. Standar dan - Terkait dengan standar - Perlu perhatian


Tujuan dan tujuan kebijakan yang serius dari
Kebijakan pengoperasian Kementerian
pelabuhan perikanan Kelautan dan
untia, telah ada Perikanan sebagai
penanggungjawab penanggung jawab
pelabuhan dan telah kegiatan untuk
mengerti dan faham akan segera
standar dan tujuan yang menyediakan
dikehendaki pada masa sarana dan
yang akan datang, yang prasarana yang
dibuktikan dengan diperlukan guna
adanya Keputusan mendukung
Menteri Kelautan dan pengoperasian
Perikanan No. pelabuhan
74/KEPMEN-KP/2016 perikanan untia
tentang pengelolaan Kota Makassar.
Pelabuhan Perikanan seperti, petunjuk
Nusantara Untia Kota operasional
Makassar, namun pelaksanaan

134
demikian belum dapat kegiatan, standar
diimplementasikan out put yang akan
dengan baik, akibat dihasilkan dan lain
masih terbatasnya lain sebagainya.
sarana dan prasarana
pendukung yang
diperlukan dalam proses
implementasi.

No. Variabel Hasil Penelitian Rekomendasi

2. Sumberdaya - Variabel sumberdaya - Diharapkan terjalin


yang yang digunakan, dalam komunikasi yang
digunakan mengimplementasikan baik antara
kebijakan Pengoperasian Kementerian
Pelabuhan Perikanan Kelautan dan
Nusantara Untia, Perikanan dengan
terutama sumberdaya Kementerian
keuangan, masih sangat Pendayagunaan
terbatas, hanya Aparatur Sipil
dialokasikan sebesar 1 Negara guna
Milyar dalam satu tahun, mencatatkan
sehingga menurut pihak pelabuhan
manajemen masih perikanan
sangat sulit nusantara ini,
mengoperasikan sehingga mendapat
pelabuhan sebesar ini nomenklatur
dengan dana yang ada. tersendiri.
Dana sebesar 1 milyar - Keterbatasan
untuk satu tahun hanya pasokan dana
cukup untuk pembayaran merupakan
gaji, perjalanan, kontributor utama
jasa/langganan serta bagi kegagalan
pemeliharaan asset yang implementasi
ada. program di daerah,
- Sumberdaya pendukung akan tetapi setelah
seperti perbaikan jalan mendapat
menuju pelabuhan, nomenklatur, maka
penyediaan infrastruktur pengelola sudah
air bersih, cold storage, dapat menyusun
stasiun pengisian bahan dan mengajukan
bakar bagi nelayan, anggaran sesuai
belum mendapat keperluan dalam
perhatian dari pengelolaan
kementerian Perikanan Pelabuhan
dan Kelautan. Perikanan
Nusantara Untia.
- Berdasarkan

135
penjelasan di atas
dapat direkomen
dasikan bahwa
untuk mencapai
kinerja kebijakan
yang optimal
diperlukan
ketegasan tentang
penyediaan sumber
daya, terutama
dana, dan
pengalokasi annya
secara konsisten.
- Perbaikan jalan
menuju pelabuhan,
penyediaan air
bersih, pengadaan
cold storage, dan
pengadaan stasiun
pengisian bahan
bakar bagi nelayan,
adalah sumberdaya
pendukung yang
mendesak untuk
dipenuhi.

No. Variabel Hasil Penelitian Rekomendasi

3. Komunikasi - Implementasi yang - Diperlukan


antar efektif mensyaratkan ketegasan
organisasi standar dan tujuan Kementerian
kebijakan dipahami oleh Kelautan dan
individu yang memangku Perikanan untuk
tanggung jawab. Hal segera
utama yang belum mendefinitipkan
berjalan dengan baik pengelola
adalah ketika standar pelabuhan
dan tujuan kebijakan perikanan
harus dikomunikasikan nusantara untia,
kepada para agar mereka dapat
implementor, sementara berkonsentarsi
implementor yang ada secara penuh
saat ini umumnya dalam upaya
berasal dari pelabuhan mengimplementasi
lain, mereka hanya kan kebijakan
ditempatkan sementara. pemerintah terkait
Dengan demikian maka pengoperasian
untuk terjalinnya pelabuhan yang

136
komunikasi antar berskala besar ini.
organisasi, masih sangat - Perlu diberikan
sulit untuk dilakukan, pengarahan teknis
malahan mereka tidak kepada para
pernah berkomunikasi pengelola
dengan organisasi diluar pelabuhan
pelabuhan dimana perikanan
mereka ditempatkan. nusantara untia
terkait pentingnya
komunikasi antar
organisasi.

No. Variabel Hasil Penelitian Rekomendasi

4. Karakteristik - Dari aspek Organisasi - Segera dilengkapi


organisasi Pelaksana, berdasarkan personalia
pelaksana temuan penelitian, pengelola
dijumpai organisasi pelabuhan
pengoperasian perikanan
pelabuhan nusantara nusantara untia
untia yang masih sangat berdasarkan
sederhana, baik struktur, tugas dan
sumberdaya manusia fungsi masing
yang sangat terbatas masing. Selain itu
maupun struktur dalam menjalankan
organisasi yang sangat tugas dan fungsi
sederhana, padahal pengelola
apabila dilihat dari tugas pelabuhan
dan fungsi pengelola perikanan agar
pelabuhan dilengkapi Standar
sesungguhnya sangat Operasional
banyak dan kompleks. prosedur, yang
dapat dipedomani
oleh masing
masing implemntor
.
No. Variabel Hasil Penelitian Rekomendasi

5. Sikap para - Variabel yang ikut - Masi perlu


pelaksana menentukan dalam keseriusan pihak
implementasi kebijakan Kementerian
adalah Sikap para Kelautan dan
pelaksana. Hasil Perikanan,
penelitian menunjukkan terutama
bahwa sikap para memberikan
pelaksana kebijakan motivasi kepada
pengoperasian para implementor
pelabuhan perikanan yang telah

137
nusantara untia, ditugaskan dalam
termasuk berkatagori upaya mewujudkan
baik, oleh karena mereka pelabuhan
cukup menguasai dan perikanan
memahami tugasnya nusantara untia
masing-masing, bahkan yang
senang dan optimis sesungguhnya.
untuk jangka panjang
memperoleh kesuksesan
yang besar.

No. Variabel Hasil Penelitian Rekomendasi

6. Kondisi - Untuk variabel kondisi - Perlu mendorong


sosial sosial ekonomi dan kekuatan-kekuatan
ekonomi dan politik bagi implementasi sosial, ekonomi
politik kebijakan pengoperasian dan politik
pelabuhan perikanan masyarakat
nusantara untia.Hasil disekitar pelabuhan
penelitian menunjukkan untuk mendukung
bahwa baik kondisi proses
sosial, kondisi ekonomi implementasi
maupun kondisi politik kebijakan
belum terlihat pengoperasian
dukungannya terhadap pelabuhan
proses implementasi perikanan untia
kebijakan pengoperasian Kota Makassar.
pelabuhan perikanan - Perlu dukungan
nusantara untia yang politik dalam upaya
suda dimulai pasca memaksimalkan
pengresmian oleh Bapak pengoperasian
Presiden Republik pelabuhan
Indonesia. perikanan
nusantara untia
Kota Makassar

138
DAFTAR PUSTAKA

Abidin, S. Z. 2004. Kebijakan Publik. Jakarta: Penerbit Pancur Siwah.

Antara,2007." Rusia Pelindo Sepakat Membangun Pendingin PPN Untia.”


Diakses 10/10/2017 Dari http://makassar.antaranews.com/berita/

Badan Pusat Statistik. 2009. Makassar dalam Angka 2009. Badan Pusat
Statistik Kota Makassar: Makassar

Badan Pusat Statistik. 2010. Makassar dalam Angka 2010. Badan Pusat
Statistik Kota Makassar: Makassar

Bevir, M., 2007. Encyclopedia of Governance. California: Sage


Publications, Inc.

Bowman, Ann O‟M., 2003. Policy Implementation. In Encyclopedia of


Public Administration and Public Policy, edited by Jack Rabin. Boca
Raton, FL.: Taylor & Francis Group. Pp. 209-212.

DeLeon, Peter., 1992. The Democratization of the Policy Sciences.


Public Administration Review, 52: 125-129.

Dye, Thomas R., 2001. Top Down Policymaking. New York: Chatham
House Publishers.

Edwards III, George C. 1980. Implementing Public Policy. Washington:


Congressional Quarterly Inc.

Goggin, Malcolm L., Ann O‟M. Bowman, James P. Lester and Lawrence
J. O‟Toole, Jr., 1990. Implementation Theory and Practice: Toward
A Third Generation. Illinois: Scott, Foresman.

Grindle, Merilee S. 1980. Politics and Policy Implementation in The Third


World. New Jersey: Princenton University Press.

Hill, Michael, and Hupe, Peter, 2002. Implementing Public Policy. London:
Sage Publication.
Imperial, M.T., 2001. Collaboration As An Implementation Strategy: An
Assessment of Six Watershed Management Programs. PhD
Dissertation in the School of Public and Environmental Affairs
Indiana University.

Keputusan Mentri Kelautan dan Perikanan Republik Indinesia Nomor


KEP. 45/MEN/2011 tentang Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan
di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia

139
Keputusan Mentri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor
74/KEPMEN-KP/2006 tantang Pengelolaan Pelabuhan
Perikanan Unita, Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan.
Keputusan Walikota Makassar Nomor: 781/kep/552.3/2006 Tentang
Peruntukan Tanah Pembangunan Pelabuhan Perikanan
Nusantara Seluas 38 H di Kelurahan Untia Kecamatan
Biringkanaya Kota Makassar
Kompas,2016.” Presiden Jokowi Resmikan Pelabuhan Perikanan Untia
Makassar.” Diakses 10/10.2017. Darihttp://nasional.kompas.com/

Kraft, M.E., and Furlong, S.R., 2004. Public Policy: Politics, Analysys, and
Alternatives. Washington: CQ Press.

Landau, Martin, Russell Stout, Jr.. 1979. “To Manage is Not to Control:
Or the Folly of Type II Errors.” Public Administration Review,
March/April: 148-156.

Nugroho D., Riant, 2004. Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi, dan


Evaluasi. Jakarta: PT Elex Media Komputindo

Parsons, Wayne, 2005. Public Policy: An Introdustion to the Theory and


Practice of Policy Analysis. Cambridge: Edward Elgar Publishing,
Inc.

Paudel, Narendra Raj, 2009. “A Critical Account of Policy Implementation


Theories: Status and Reconsideration”, Nepalese Journal of Public
Policy and Governance, Vol. xxv, No.2, December, 36-54.

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia


NomorPER.08/MEN/2012 Tentang Pelabuhan Periknanan

Peraturan Meteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 18/


PERMEN-KP/2014 Tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan
Republik Indonesia
Pressman, Jeffrey and Aaron Wildawsky, 1973. Implementation.
California: University of California Press.

Robbins, Stephen P., 1994. Teori Organisasi: Struktur, Desain & Aplikasi.
Edisi 3. Jakarta: Penerbit Arcan.

Sabatier, P.A. and Mazmanian, D.A., 1980. The Implementation of Public


Policy: A Framework of Analysis. Policy Studies Journal, 8 (special
issue): 538–60.

140
Sabatier, Paul A., 1986. Top-down and Bottom-up Approaches to
Implementation Reserach: A Critical Analysis dan Suggested
Synthesis. Journal of Public Policy, 6:21-48.

Sulam, Ali., 2014. Potensi dan Tingkat Pemanfaatan Sumberdaya Ikan di


Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indoensia. Jakarta:
Penerbit Ref Graphika

Thoha, Miftah, 2008. Ilmu Administrasi Publik Kontemporer. Jakarta:


Prenada Media Group.

Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perikan

Van Meter, Donald S., dan Carl E. Van Horn, 1975; ‟The Policy
Implementation Process: A Conceptual Framework‟. Administration
and Society, Vol.6 No.4, Februari 1975.

Wilson, Charter A., 2006. Public Policy: Continuity and Change. New York:
McGraw-Hill.

Yin, Robert K., 2011. Qualitative Research: From Start to Finish. New
York: The Guilford Press, A Division of Guilford Publications, Inc.

--------------------oo00oo------------------

141
CURRICULUM VITAE

Nama : Muh. Ikramullah Akmal


Tempat lahir : Makassar
Tanggal lahir : 27 Juli 1994
Pendidikan : Magister Administrasi Pembangunan
Pekerjaan : Wakil Ketua III Bidang Kemahasiswaan STITEK
Balik Diwa Makassar
Alamat : Kompleks Perumahan Dosen Unhas Tamalanrea
Blok GB/10. Makassar, Kode Pos. 90241.

I. Pendidikan Dasar
Pendidikan TK SD SMP SMA
Nama Sekolah Unhas Impres Negeri 30 Negeri 21
Unhas
Bidang Ilmu - - - IPS
Tahun Masuk 1998 2000 2006 2009
Tahun Tamat 2000 2006 2009 2012
Nama Kepala Ny. Drs. Safwan Munir, Drs.
Sekolah Sriwahyuratri S.Ag; Patahuddin,
Rasjid M.Ag AM.
Alamat Sekolah Makassar Makassar Makassar Makassar

II. Pendidikan Lanjutan


Pendidikan Sarjana Magister
Nama Unhas Unhas
Perguruan
Tinggi
Bidang Ilmu Administrasi Negara Administrasi
Pembangunan
Tahun Masuk 2012 2016
Tahun Tamat 2016 2018
Lama Studi 3 Tahun 3 bulan 1Tahun 10 bulan
Predikat Cumlaude (Terbaik I.) Cumlaude
Lulusan
Judul
Implementsi Skripsi/
Program Gratis Implementasi Program Model Implementasi
Tesis/Disertasi Gratis Sumbangan Kebijakan Pengoperasian

142
Penyelenggaraan Pelabuhan Perikanan
Pendidikan (SPP) bagi Untia Kota Makassar
Mahasiswa Baru Dua Provinsi Sulawesi Selatan
Semester di Provinsi
Sulawesi Selatan
Nama 1. Dr. H. Badu Ahmad, 1. Prof. Dr. Haselman,
Pembimbing M.Si M.Si
2. Drs. La Tamba, M.Si 2. Dr.Hj. Hasniati, M.Si

III. Pengalaman Mengajar


No. Nama Matakuliah Kode Matakuliah Waktu dan Tempat
1. Pancasila 1. Politeknik
Pertanian Negeri
2. Kewarganegaraan Pankep, sejak
3. Asas-asas Manajemen tahun 2016
2. STITEK Balik
4. Kewirausahaan Diwa Makassar,
sejak tahun 2015

IV. Riwayat Prestasi


Tingkatan
No. Tahun Nama Kegiatan
Lokal Nasional
1. 2010 Toyota Eco Youth - Juara I.
2. Pasukan Pengibar
2011 Gubernuran
Bendera
3. 2011 Parlemen Remaja - DPR-RI
4. 2011 FLS2N Tingkat Nasional Surabaya
5. MAWAPRES Utusan Juara III
2014 Departemen Administrasi FISIP – -
Negara UNHAS

V. Pengalaman Organisasi

No. Nama Organisasi/ Institusi Jabatan Tahun

1. OSIS Wakil Ketua 2011 – 2012


2. Devisi Kajian dan
HUMANIS FISIP UNHAS 2013 – 2014
Isu Strategis
3. Divisi
HIPMI - PT – UNHAS 2015 – 2016
Keorganisasian

143
4. 2016 -
HIPMI - PT – UNHAS Wakil Ketua
2017
5. Sekolah Tinggi Teknologi 2016
Wakil Ketua III Bidang
Kelautan (STITEK) Balik sampai
Kemahasiswaaan
Diwa Makassar sekarang

VI. Publikasi Ilmiah


Volume/No
No. Judul Artikel Ilmiah Nama Jurnal
mor/Tahun
1. Equal Opportunity In Higher Sci.Int. (lahore), ISSN
Education Through The Free 29 (1), 321- 1013-
Tuition Program For New 325,2017 5316;
Students In South Sulawesi CODEN:
SINTE8.
2. Model Implementasi Kebijakan JAKPP: Jurnal 4 No.2
Pelabuhan (Studi kasus Analisis Desember
Pelabuhan Perikanan Nusantara Kebijakan dan 2018
Untia Kota Makassar) Pelayanan
Publik

VII. Pemakalah Seminar Ilmiah.


Nama Pertemuan Judul Artikel Ilmiah Waktu dan
No.
Ilmiah/Seminar Tempat
1. Seminar International Equal Opportunity In 29 Januari
Higher Education 2017 di Cebu,
Through The Free Philipina
Tuition Program For
New Students In South
Sulawesi

VIII. Pengabdian Kepada Masyarakat


Jabatan Waktu dan
No. Nama Kegiatan
Tempat
1. Penyuluhan Sistem Penyuluh Kota Makassar
Ketatanegaraan Tingkat Kota Tahun 2010
Makassar
2. Sosialisasi Keselamatan Lalu Narasumber Kota Makassar
Lintas dan Angkutan jalan Tahun 2011
3. Penyuluhan Arkeologi Peserta Kota Makassar
2011
4. Latihan Dasar Peserta Makassar,
Kepemimpinan 2010
5. Road Seafty Championship Panitia Makassar,
2011

144
Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini benar dan
dapat dipertanggungjawabkan. Apabila dikemudian hari ternyata terdapat
ketidak sesuaian dengan kenyataan. Saya sanggup menerima sanksi.
Demikian biodata ini saya buat dengan sebenarnya untuk digunakan
sebagaimana mestinya.

Makassar, 21 Juli 2018


Yang membuat,

Muh. Ikramullah Akmal

145

Anda mungkin juga menyukai