190610067
Kelompok 3 Unit A
JUMP 1 : TERMINOLOGI
1. Nutrisi enteral/ Enteral Nutrition (EN) adalah nutrisi yang diberikan pada pasien yang tidak
dapat memenuhi kebutuhan nutrisinya melalui rute oral
2. Selang nasogastrik (nasogastric tube/NGT), yang dikenal juga dengan nama selang makanan
atau sonde, adalah selang plastik lunak yang dipasang melalui hidung (nasal) menuju
lambung (gaster)
3. Parenteral adalah metode pemberian nutrisi, obat, atau cairan melalui pembuluh darah
Penilaian status gizi secara langsung ini juga terbagi lagi menjadi beberapa cara, yaitu
sebagai berikut ini.
-Antropometri
-Pemeriksaan klinis
-Pemeriksan laboratorium
b.)Penilaian status gizi secara tidak langsung
Penilaian status gizi secara tidak langsung dilakukan dengan mempertimbangkan hal-hal
berikut ini:
-Survei konsumsi makanan
-Data statistik yang berkaitan dengan nutrisi
-Faktor ekologi
2. tidak boleh makan dari mulut dikarenakan baru melaksanakan operasi, usus nya sedang
dalam fae pemulihan, jadi dia mendapatkan nutrisi dari infus.
3. Untuk pemenuhan nutrisi, larutan parenteral harus mengandung asam amino, glukosa,
lemak, elektrolit, trace elements, dan vitamin. Kemudian Vitamin B12 diberikan tunggal
secara IM
4. a) Persiapan alat-alat
Ukuran NGT yang sesuai, senter, jelly/pelumas larut air, spuit 10 cc, stetoskop, handscoen
steril, plester/hypafix, tisu dan tempat sampah, segelas air.
b) Teknik pemasangan
Teknik pemasangan NGT yang tepat bertujuan memastikan penempatan NGT serta
mengurangi komplikasi yang terjadi.
Pasien posisi Fowler dengan tujuan memudahkan pasien saat menelan dan dengan bantuan
gaya gravitasi akan memudahkan masuknya pipa, tutupi pakaian dengan handuk, lalu
petugas mencuci tangan.
- Periksa pasien dari sisi kanan bila bertangan dominan kanan atau sebaliknya
- Evaluasi patensi dan simetrisitas kedua lubang hidung serta akses aliran udaranya, pilih
yang lebih lapang.
- Lubrikasi jalan nafas dengan gel lidokain 2% untuk efek anastesi.
- Pilih diameter pipa terbesar yang masih bisa melewati hidung pasien. Untuk gastric lavage,
buat lobang yang cukup besar pada ujung pipa untuk mengakomodasi pil yang lebih besar
dan fragmen-fragmen charchoal, serta pastikan patensi pipa.
- Mengukur panjang NGT yang akan dimasukkan dengan mengukur jarak dari ujung hidung
ke daun telinga lalu ke procesus xiphoideus sternum, tandai dengan plester atau tali untuk
mencegah insersi terlalu dalam.
- Lubrikasi ujung pipa dengan jeli anastesi atau lubrikan larut air kurang lebih 3” (7,6cm)
untuk mengurangi trauma pada mukosa hidung dan lipoid pneumonia. Fleksikan kepala
pasien kedepan sehingga saluran faring akan lebih lurus lanjutkan memasukkan NGT secara
gentle dan perlahan untuk mencegah turbinasi, nyeri serta perdarahan.
- Jangan dipaksakan mendorong NGT bila ada tahanan terutama di nasofaring minta pasien
untuk menurunkan kepalanya untuk menutup akses ke trakea serta membuka akses ke
esofagus. Saat tahanan berkurang, minta pasien untuk menelan atau minum segelas air
sambil lanjutkan mendorong pipa. Bila muncul respon muntah saat mendorong pipa, dorong
ke belakang dahi pasien untuk memfasilitasi pipa masuk ke dalam faring posterior dan
esofagus daripada ke laring, sedangkan menelan atau minum air akan membuat epiglotis
menutup dan mempermudah masuknya pipa. Ini diharapkan mampu mengurangi risiko
terjadinya komplikasi
- Jika muncul tanda-tanda batuk, stridor, sianosis, dan gejala-gejala distress napas,
kemungkinan pipa masuk ke dalam trakea. Tarik pipa beberapa sentimeter, putar sedikit,
kemudian dorong secara perlahan-lahan, minta pasien untuk menelan kembali sampai tanda
yang sudah ditentukan.
- Konfirmasi penempatan NGT dengan memeriksa mulut dan tenggorokan pasien, pastikan
NGT tidak melengkung terutama pasien yang tidak sadar.
- Lakukan perawatan yang rutin selama terpasang NGT.
5. Ada 3 indikasi utama pemasangan NGT :
1. Pasien dengan maxillofacial injury atau fraktur basis cranii fossa anterior.
Pemasangan NGT melalui nasal berpotensi untuk misplacement NGT melalui fossa
cribiformis, menyebabkan penetrasi ke intracranial
2. Pasien dengan riwayat striktur esofagus dan varises esofagus.
3. Pasien dengan tumor esophagus
7. Komplikasi pemasangan NGT
JUMP 4 : SKEMA
Pengukuran berat badan memerlukan alat yang hasil ukurannya akurat. Untuk mendapatkan ukuran
berat badan yang akurat, terdapat beberapa persyaratan alat ukur berat di antaranya adalah
ketelitian alat ukur sebaiknya 0,1 kg (terutama alat yang digunakan untuk memonitor
pertumbuhan), skala jelas dan mudah dibaca, cukup aman jika digunakan, serta alat selalu
dikalibrasi.
Istilah tinggi badan digunakan untuk anak yang diukur dengan cara berdiri, sedangkan panjang
badan jika anak diukur dengan berbaring (belum bisa berdiri). Anak berumur 0–2 tahun diukur
dengan ukuran panjang badan, sedangkan anak berumur lebih dari 2 tahun dengan menggunakan
microtoise. Alat ukur yang digunakan untuk mengukur tinggi badan atau panjang badan harus
mempunyai ketelitian 0,1 cm.
Tinggi badan dapat diukur dengan menggunakan microtoise (baca: mikrotoa). Kelebihan alat ukur ini
adalah memiliki ketelitian 0,1 cm, mudah digunakan, tidak memerlukan tempat yang khusus, dan
memiliki harga yang relatif terjangkau. Kelemahannya adalah setiap kali akan melakukan
pengukuran harus dipasang pada dinding terlebih dahulu. Sedangkan panjang badan diukur dengan
infantometer (alat ukur panjang badan).
3. Lingkar kepala
Lingkar kepala dapat digunakan sebagai pengukuran ukuran pertumbuhan lingkar kepala dan
pertumbuhan otak, walaupun tidak sepenuhnya berkorelasi dengan volume otak. Pengukuran
lingkar kepala merupakan predikator terbaik dalam melihat perkembangan syaraf anak dan
pertumbuhan global otak dan struktur internal.
Menurut rujukan CDC 2000, bayi laki-laki yang baru lahir ukuran ideal lingkar kepalanya adalah 36
cm, dan pada usia 3 bulan menjadi 41 cm. Sedangkan pada bayi perempuan ukuran ideal lingkar
kepalanya adalah 35 cm, dan akan bertambah menjadi 40 cm pada usia 3 bulan. Pada usia 4-6 bulan
akan bertambah 1 cm per bulan, dan pada usia 6- 12 bulan pertambahan 0,5 cm per bulan.
Cara mengukur lingkar kepala dilakukan dengan melingkarkan pita pengukur melalui bagian paling
menonjol di bagian kepala belakang (protuberantia occipitalis) dan dahi (glabella). Saat pengukuran
sisi pita yang menunjukkan sentimeter berada di sisi dalam agar tidak meningkatkan kemungkinan
subjektivitas pengukur. Kemudian cocokkan terhadap standar pertumbuhan lingkar kepala.
Ukuran LILA digunakan untuk skrining kekurangan energi kronis yang digunakan untuk mendeteksi
ibu hamil dengan risiko melahirkan BBLR. Pengukuran LILA ditujukan untuk mengetahui apakah ibu
hamil atau wanita usia subur (WUS) menderita kurang energi kronis (KEK). Ambang batas LILA WUS
dengan risiko KEK adalah 23.5 cm. Apabila ukuran kurang dari 23.5 cm, artinya wanita tersebut
mempunyai risiko KEK, dan diperkirakan akan melahirkan berat bayi lahir rendah (BBLR).
Cara ukur pita LILA untuk mengukur lingkar lengan atas dilakukan pada lengan kiri atau lengan yang
tidak aktif. Pengukuran LILA dilakukan pada pertengahan antara pangkal lengan atas dan ujung siku
dalam ukuran cm (centi meter). Kelebihannya mudah dilakukan dan waktunya cepat, alat sederhana,
murah dan mudah dibawa.
5. Panjang Depa
Panjang depa merupakan ukuran untuk memprediksi tinggi badan bagi orang yang tidak bisa berdiri
tegak, misal karena bungkuk atau ada kelainan tulang pada kaki. Panjang depa relatif stabil,
sekalipun pada orang yang usia lanjut. Panjang depa dikrekomendasikan sebagai parameter prediksi
tinggi badan, tetapi tidak seluruh populasi memiliki hubungan 1:1 antara panjang depa dengan tinggi
badan. Pengukuran panjang depa juga relatif mudah dilakukan, alat yang murah, prosedur
pengukuran juga mudah sehingga dapat dilakukan di lapangan.
6. Tinggi Lutut
Ukuran tinggi lutut (knee height) berkorelasi dengan tinggi badan. Pengukuran tinggi lutut bertujuan
untuk mengestimasi tinggi badan klien yang tidak dapat berdiri dengan tegak, misalnya karena
kelainan tulang belakang atau tidak dapat berdiri. Pengukuran tinggi lutut dilakukan pada klien yang
sudah dewasa.
Pengukuran tinggi lutut dilakukan dengan menggunakan alat ukur caliper (kaliper). Pengukuran
dilakukan pada lutut kiri dengan posisi lutut yang diukur membentuk sudut sikusiku (90°).
Pengukuran tinggi lutut dapat dilakukan pada klien dengan posisi duduk atau dapat juga pada posisi
tidur.
7. Tinggi Duduk
Tinggi duduk dapat digunakan untuk memprediksi tinggi badan, terutama pada orang yang sudah
lanjut usia. Tinggi duduk dipengaruhi oleh potongan tulang rawan antar tulang belakang yang
mengalami kemunduran, juga tulang-tulang panjang pada tulang belakang mengalami perubahan
seiring dengan bertambahnya usia.
Mengukur tinggi duduk dapat dilakukan dengan menggunakan mikrotoise, dengan dibantu bangku
khusus. Orang yang mau diukur tinggi duduknya, duduk pada bangku, kemudian dengan
menggunakan mikrotoise dapat diketahui tinggi duduk orang tersebut.
Tingginya kandungan lemak di sekitar perut menggambarkan risiko kegemukan. Ukuran lingkar
pinggang akan mudah berubah tergantung banyaknya kandungan lemak dalam tubuh. Sebaliknya,
ukuran panggul pada orang sehat relatif stabil. Ukuran panggul seseorang yang berusia 40 tahun
akan sama dengan ukuran panggul orang tersebut ketika berusia 22 tahun. Oleh sebab itu, rasio
lingkar pinggang dan panggul (RLPP) atau waist to hip ratio (WHR) dapat menggambarkan
kegemukan.
Pada waktu melakukan pengukuran lingkar pinggang dan panggul, klien menggunakan pakaian
seminimal mungkin atau bahkan ditanggalkan, berdiri tegap dengan santai pada kedua kaki dan
berat badan terdistribusi normal, kedua tangan di samping, kedua kaki rapat, serta klien sebaiknya
dalam keadaan berpuasa.
B. METODE LABORATORIUM
Penentuan status gizi dengan metode laboratorium adalah salah satu metode yang dilakukan secara
langsung pada tubuh atau bagian tubuh. Tujuan penilaian status gizi ini adalah untuk
mengetahuitingkat ketersediaan zat gizi dalam tubuh sebagai akibat dari asupan gizi dari makanan.
Metode laboratorium mencakup dua pengukuran yaitu uji biokimia dan uji fungsi fisik. Uji biokimia
adalah mengukur status gizi dengan menggunakan peralatan laboratorium kimia. Tes biokimia
mengukur zat gizi dalam cairan tubuh atau jaringan tubuh atau ekskresi urin. Misalnya mengukur
status iodium dengan memeriksa urin, mengukur status hemoglobin dengan pemeriksaan darah dan
lainnya. Tes fungsi fisik merupakan kelanjutan dari tes biokimia atau tes fisik. Sebagai contoh tes
penglihatan mata (buta senja) sebagai gambaran kekurangan vitamin A atau kekurangan zink.
1. Kelebihan
Metode laboratorium untuk menilai status gizi mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan
dengan metode yang lain. Kelebihan tersebut adalah:
a. Metode laboratorium dapat mengukur tingkat gizi pada jaringan tubuh secara tepat, sehingga
dapat dipastikan apakah seseorang mempunyai kadar zat gizi yang cukup atau kurang. Bahkan dalam
jumlah kecil sekalipun dapat terdeteksi, seperti kekurangan iodium dalam darah.
b. Dengan mengetahui tingkat gizi dalam tubuh, maka kemungkinan kejadian yang akan datang
dapat diprediksi. Dengan demikian dapat segera dilakukan upaya intervensi untuk mencegah
kekurangan gizi yang lebih parah.
c. Data yang diperoleh pemeriksaan laboratorium hasilnya cukup valid dan dapat dipercaya
ketepatannya.
2. Kelemahan Selain kelebihan tersebut di atas, metode laboratorium juga mempunyai beberapa
kelemahan, di antaranya adalah:
a. Pada umumnya pemeriksaan yang dilakukan di laboratorium memerlukan peralatan yang
harganya cukup mahal. Semakin canggih alat, maka harga akan semakin mahal, akibatnya biaya yang
harus dikeluarkan untuk melakukan pemeriksaan relatif mahal.
b. Peralatan laboratorium umumnya sangat sensitif dan mudah pecah, sehingga alat laboratorium
sulit untuk dibawa ke tempat yang jauh.
c. Pada waktu melakukan pemeriksaan dengan metode laboratorium, umumnya memerlukan
tempat dan kondisi yang khusus agar pemeriksaan berjalan dengan baik dan aman.
d. Batasan kecukupan zat gizi setiap individu tidak mutlak, tetapi berdasarkan kisaran. Misalnya
batasan anemi bagi wanita adalah kadar hemoglobinya 12 mg/dl, tetapi ada wanita dengan kadar
hemoglobin 11 mg/dl tidak menunjukkan gejala anemi.
C. METODE KLINIS
Pemeriksaan fisik dan riwayat medis merupakan metode klinis yang dapat digunakan untuk
mendeteksi gejala dan tanda yang berkaitan dengan kekurangan gizi. Gejala dan tanda yang muncul,
sering kurang spesifik untuk menggambarkan kekurangan zat gizi tertentu. Mengukur status gizi
dengan melakukan pemeriksaan bagian-bagian tubuh dengan tujuan untuk mengetahui gejala akibat
kekurangan atau kelebihan gizi. Pemeriksaan klinis biasanya dilakukan dengan bantuan perabaan,
pendengaran, pengetokan, penglihatan, dan lainnya. Misalnya pemeriksaan pembesaran kelenjar
gondok sebagai akibat dari kekurangan iodium.
Pemeriksaan klinis dilakukan dengan beberapa cara, di antaranya melalui kegiatan anamnesis,
observasi, palpasi, perkusi, dan/atau auskultasi.
1. Anamnesis adalah kegiatan wawancara antara pasien dengan tenaga kesehatan untuk
memperoleh keterangan tentang keluhan dan riwayat penyakit atau gangguan kesehatan yang
dialami seseorang dari awal sampai munculnya gejala yang dirasakan. Anamnesis dapat dilakukan
dengan dua cara yaitu:
a. Auto-anamnesis yaitu kegiatan wawancara langsung kepada pasien karena pasien dianggap
mampu tanya jawab.
b. Allo-anamnesis yaitu kegiatan wawancara secara tidak langsung atau dilakukan wawancara/tanya
jawab pada keluarga pasien atau orang yang mengetahui tentang pasien. Allo-anamnesis dilakukan
karena pasien belum dewasa (anakanak yang belum dapat mengemukakan pendapat terhadap apa
yang dirasakan), pasien dalam keadaan tidak sadar karena berbagai hal, pasien tidak dapat
berkomunikasi atau pasien yang mengalami gangguan jiwa.
2. Observasi/pengamatan adalah kegiatan yang dilakukan dengan cara melakukan pengamatan pada
bagian tubuh tertentu untuk mengetahui adanya gangguan kekurangan gizi. Misalnya mengamati
bagian putih mata untuk mengetahui anemi, orang yang menderita anemi bagian putih matanya
akan terlihat putih tanpa terlihat arteri yang sedikit kemerahan.
3. Palpasi adalah kegiatan perabaan pada bagian tubuh tertentu untuk mengetahui adanya kelainan
karena kekurangan gizi. Misalnya melakukan palpasi dengan menggunakan kedua ibu jari pada
kelenjar tyroid anak untuk mengetahui adanya pemerbesaran gondok karena kekurangan iodium.
4. Perkusi adalah melakukan mengetukkan pada bagian tubuh tertentu untuk mengetahui reaksi yang
terjadi atau suara yang keluar dari bagian tubuh yang diketuk.
5. Auskultasi adalah mendengarkan suara yang muncul dari bagian tubuh untuk mengetahui ada
tidaknya kelainan tubuh.
D. METODE PENGUKURAN KONSUMSI PANGAN
Pengukuran konsumsi makanan sering juga disebut survei konsumsi pangan, merupakan salah satu
metode pengukuran status gizi. Asupan makan yang kurang akan mengakibatkan status gizi kurang.
Sebaliknya, asupan makan yang lebih akan mengakibatkan status gizi lebih. Tujuan umum dari
pengukuran konsumsi pangan adalah untuk mengetahui asupan gizi dan makanan serta mengetahui
kebiasaan dan pola makan, baik pada individu, rumah tangga, maupun kelompok masyarakat.
Tujuan khusus pengukuran konsumsi pangan adalah:
1. menentukan tingkat kecukupan asupan gizi pada individu;
2. menentukan tingkat asupan gizi individu hubungannya dengan penyakit;
3. mengetahui rata-rata asupan gizi pada kelompok masyarakat;
4. menentukan proporsi masyarakat yang asupan gizinya kurang
Pengukuran konsumsi pangan dapat dilakukan dalam tiga area, yaitu mengukur asupan gizi pada
tingkat individu, mengukur asupan gizi pada tingkat rumah tangga dan mengukur konsumsi pangan
pada suatu wilayah.
1. Metode pengukuran konsumsi pangan individu
Metode pengukuran asupan gizi yang sering dipakai untuk mengukur asupan gizi pada individu ialah
metode recall 24 hour, estimated food record, penimbangan makanan (food weighing), dietary
history, dan frekuensi makanan (food frequency).
Prinsip pengukuran dari metode recall 24-hour adalah mencatat semua makanan yang dikonsumsi
baik di rumah maupun diluar rumah, mulai dari nama makanan yang dikonsumsi, komposisi dari
makanan tersebut dan berat dalam gram atau dalam ukuran rumah tangga (URT). Perlu ditanyakan
jumlah konsumsi makanan secara teliti dengan menggunakan URT, seperti sendok, gelas, piring, atau
ukuran lain. Untuk mendapatkan kebiasaan asupan makanan sehari-hari, wawancara recall
dilakukan minimal 2 x 24 jam, dengan hari yang tidak berurutan.
Metode frekuensi makanan kualitatif sering disebut sebagai metode FFQ. Metode ini tergolong pada
metode kualitatif, karena pengukurannya menekankan pada frekuensi makan. Informasi yang
diperoleh merupakan pola dan kebiasaan makan (habitual intakes). Konsumsi makanan yang
ditanyakan adalah yang spesifik untuk zat gizi tertentu, makanan tertentu, atau kelompok makanan
tertentu.
Metode frekuensi semikuantitatif (Semi Quantitative Food Frequency Quotionaire) sering disingkat
SFFQ adalah metode untuk mengetahui gambaran kebiasaan asupan gizi individu pada kurun waktu
tertentu. Tujuan dari metode ini adalah untuk mengetahui ratarata asupan zat gizi dalam sehari
pada individu. Metode SFFQ sama dengan FFQ, yang membedakan adalah responden ditanyakan
juga tentang rata-rata besaran atau ukuran setiap kali makan. Ukuran makanan yang dikonsumsi
setiap kali makan dapat dalam bentuk berat atau ukuran rumah tangga (URT). Dengan demikian
dapat diketahui rata-rata berat makanan dalam sehari, selanjutnya dapat dihitung asupan zat gizi
perhari.
Hiperglikemia mungkin terjadi pada fase ebb. Hiperglikemia terjadi akibat glikogenolisis hepar yang
merupakan efek sekunder dari katekolamin dan akibat stimulasi simpatik langsung dari pemecahan
glikogen. Hiperglikemia yang terjadi setelah trauma merupakan masalah yang sangat penting untuk
segera diatasi karena dapat menempatkan pasien pada kondisi berisiko tinggi terhadap berbagai
komplikasi, masa penyembuhan yang lebih lama, peningkatan waktu lama rawat, bahkan dapat
menyebabkan kematian. Permulaan fase flow, yang meliputi fase anabolik dan katabolik, ditandai
dengan curah jantung (CO) yang tinggi dengan restorasi oxygen delivery dan substrat metabolik.
Durasi fase flow tergantung pada keparahan trauma atau adanya infeksi dan perkembangan menjadi
komplikasi. Secara khas, puncak fase ini adalah sekitar 3-5 hari, dan akan turun pada 7-10 hari, dan
akan melebur ke dalam fase anabolik selama beberapa minggu. Selama terjadi fase hipermetabolik,
insulin akan meningkat, namun peningkatan level katekolamin, glukagon, dan kortisol akan
menetralkan hampir semua efek metabolik dari insulin. Peningkatan mobilisasi asam amino dan free
fatty acids dari simpanan otot perifer dan jaringan adiposa merupakan akibat dari ketidak
seimbangan hormon-hormon tersebut. hormon akan mengeluarkan substrat yang digunakan untuk
produksi energi salah satunya secara langsung sebagai glukosa atau melalui liver sebagai trigliserid.
Substrat lainnya akan berkontribusi terhadap sintesis protein di liver, dimana mediator humoral
akan meningkatkan produksi reaktan fase akut. Sintesis protein yang serupa juga terjadi pada sistem
imun guna menyembuhkan kerusakan jaringan. Meskipun, fase hipermetabolik ini melibatkan proses
katabolik dan anabolik, hasilnya adalah kehilangan protein secara signifikan, yang ditandai dengan
keseimbangan nitrogen negatif dan penurunan simpanan lemak. Hal ini akan menuju pada
modifikasi komposisi tubuh secara keseluruhan, ditandai dengan kehilangan protein, karbohidrat,
dan simpanan lemak, disertai dengan meluasnya kompartemen cairan ekstraselular (dan
intraselular).
Hormon pituitari dapat mengakibatkan efek sekunder terhadap sekresi hormon dari organ target,
salah satunya adalah pada organ pankreas akan dikeluarkan hormon glukagon dan penurunan
sekresi hormon insulin.1 Insulin memiliki efek anabolik melalui sintesis sejumlah besar molekul dari
molekul-molekul kecil dan menghambat katabolisme. Insulin juga akan meningkatkan oksidasi
glukosa dan sintesis glikogen, mengingat insulin menghambat glikogenolisis dan glukoneogenesis.
Dengan kata lain, hormon katabolik seperti katekolamin, kortisol, dan glukagon akan meningkatkan
glikogenolisis dan glukoneogenesis.
a. Enteral feeding
Nutrisi enteral/ Enteral Nutrition (EN) adalah nutrisi yang diberikan pada pasien yang tidak dapat
memenuhi kebutuhan nutrisinya melalui rute oral, formula nutrisi diberikan melalui tube ke
dalam lambung (gastric tube), nasogastrik tube (NGT), atau jejunum dapat secara manual
maupun dengan bantuan pompa mesin (gastrostomy dan jejunum percutaneous) (Yuliana, 2009).
Teknik pemasangan selang untuk memberikan nutrisi secara enteral pernah dijelaskan oleh Tuna,
M et al. (2013) dalam penelitiannya yaitu terdapat beberapa teknik untuk memasukkan selang
nasoenterik melalui nasogastric, nasoduodenum, atau nasojejunum, namun sebaiknya
menggunakan teknik PEG (Percutaneous Endoscopic Gastrostomy) karena komplikasinya lebih
sedikit. Teknik lain yang dapat digunakan adalah laparoskopi jejunustomi atau gastrojejunustomy.
Akan tetapi, sebagian besar pasien toleran terhadap pemasangan selang nasoenteric secara
manual.
Metode pemberian nutrisi enteral ada 2 yaitu gravity drip (pemberian menggunakan corong yang
disambungkan ke selang nasogastric dengan kecepatan mengikuti gaya gravitasi) dan intermittent
feeding (pemberian nutrisi secara bertahap yang diatur kecepatannya menggunakan syringe
pump). Metode intermittent feeding lebih efektif dibandingkan metode gravity drip, hal ini dilihat
dari nilai mean volume residu lambung yang dihasilkan pada intermittent feeding lebih sedikit
dibandingkan gravity drip yaitu 2,47 ml : 6,93 ml. Hal ini dikarenakan kondisi lambung yang penuh
akibat pemberian secara gravity drip akan memperlambat motilitas lambung dan menyebabkan
isi lambung semakin asam sehingga akan mempengaruhi pembukaan spinkter pylorus. Efek dari
serangkaian kegiatan tersebut adalah terjadinya pengosongan lambung (Munawaroh, et al.,
2012). Volume residu lambung yang dihasilkan dari nutrisi enteral hingga 500 ml masih
dikategorikan normal karena tidak menimbulkan komplikasi gastrointestinal dan diet volume
rasio (diet yang diberikan) pada pasien yang terpasang ventilator dengan nutrisi enteral tidak
berpengaruh terhadap produksi volume residu lambung.
Nutrisi enteral sebaiknya diberikan pada semua pasien kritis kecuali pasien mengalami distensi
abdomen, perdarahan gastrointestinal, diare dan muntah. Nutrisi enteral yang diberikan pada
pasien dengan gangguan gastrointestinal dapat menyebabkan ketidakcukupan pemenuhan
nutrisi dan berisiko terjadi malnutrisi. (Ziegler, 2009). Penelitian lain mengenai banyaknya
penggunaan nutrisi enteral bagi pasien kritis juga dilakukan oleh Jonqueira et al. (2012) bahwa
terdapat protocol tentang pemberian nutrisi bagi pasien kritis dengan algoritma jika
hemodinamik pasien telah stabil, lakukan penghitungan kebutuhan nutrisi dengan memilih
pemberian nutrisi secara enteral. Penggunaan nutrisi enteral juga dapat meningkatkan status
nutrisi pasien, hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kim, Hyunjung et al.
(2011) pada 48 pasien ICU yang mendapat enteral feeding adekuat berupa energy selama 7 hari.
Status nutrisi pasien-pasien tersebut meningkat jika dibandingkan dengan pasien yang mendapat
enteral feeding dibawah kebutuhan. Selama perawatan dengan enteral feeding yang adekuat
terdapat penurunan nilai Body Mass Index (BMI), prealbumin dan Percent Ideal Body Weight
(PIBW).
b. Parenteral feeding
Nutrisi parenteral/ Parenteral Nutrition (PN) adalah suatu bentuk pemberian nutrisi yang
diberikan langsung melalui pembuluh darah tanpa melalui saluran pencernaan (Yuliana, 2009).
Metode pemberian nutrisi parenteral bisa melalui vena perifer dan vena central, namun risiko
terjadinya phlebitis lebih tinggi pada pemberian melalui vena perifer sehingga metode ini tidak
banyak digunakan. Nutrisi parenteral diberikan bila asupan nutrisi enteral tidak dapat memenuhi
kebutuhan pasien dan tidak dapat diberikan dengan baik. Nutrisi parenteral diberikan pada
pasien dengan kondisi reseksi usus massif, reseksi kolon, fistula dan pasien sudah dirawat selama
3-7 hari (Ziegler, 2009). Pemberian nutrisi melalui PN harus berdasarkan standar yang ada agar
tidak terjadi komplikasi diantaranya menentukan tempat insersi yang tepat (tidak boleh
digunakan untuk plebotomi dan memasukkan obat), persiapan formula PN secara steril 24 jam
sebelum diberikan ke pasien dan disimpan di kulkas serta aman dari pencahayaan agar
menurunkan degradasi biokimia dan kontaminasi bakteri. Namun sebelum diberikan ke pasien
suhu formula harus disesuaikan dengan suhu ruangan (Ziegler, 2009). Komponen dalam
pemberian nutrisi secara parenteral sebaiknya tidak menggunakan lemak dalam minggu pertama
selama perawatan di ICU, namun penggunaan asam lemak omega-3 masih boleh diberikan. Zat
gizi yang direkomendasikan adalah penambahan pemberian glutamin (Martindale, et al., 2009;
Ziegler, 2009). Penelitian lain juga mendukung penambahan pemberian glutamin dilakukan oleh
Jonqueiraet al. (2012) yaitu untuk meningkatkan toleransi pasien teerhadap nutrisi yang
diberikan maka selain pemberian enteral ditambahkan pula infus dengan volume minimal yaitu
15 ml/ jam dengan diet semi elemental, normokalori, hipolipid, dan hiperprotein dengan
penambahan glutamine.
Komplikasi dan Clinical Outcome
Nutrisi Enteral/ Enteral Nutition (EN) memiliki komplikasi yang lebih rendah dibandingkan
parenteral nutrisi. Namun, seringkali penggunaan EN sendirian tidak mampu mencukupi target
kalori yang dibutuhkan pasien. Oleh karena itu kombinasi penggunaan EN dan PN merupakan
strategi untuk mencegah kekurangan nutrisi. Beberapa kelebihan EN jika dibandingkan dengan
PN yaitu biayanya lebih murah, penyerapan nutrisi oleh usus lebih baik, risiko infeksi lebih rendah
dan insiden komplikasi metabolik lebih rendah.
Beberapa komplikasi yang terjadi pada pemberian nutrisi melalui PN yaitu pneumothorax,
hiperglikemia, bleeding, dan thrombus pada pemasangan central venous cathether (CVC).
Pemberian PN dapat menurunkan risiko kematian sebesar 0,51 % dibandingkan pemberian
melalui EN. Risiko kematian juga dapat diturunkan sebesar 0,71 % dengan penambahan asupan
energy 1000 kcal/hari dan 0,84 % dengan pemberian protein 30 gr/hari. Kondisi tersebut berefek
apabila BMI < 25 atau ≥ 35 (Ziegler, 2009; Alberda, 2009). Penambahan asupan energy
1000kcal/hari juga dapat mengurangi lamanya penggunaan ventilator sebesar 3,5 %. Kondisi
malnutrisi juga meningkatkan lamanya penggunaan ventilator sebesar 1,76 % (Alberda, et al.,
2009; Menerez, et al., 2011). Komplikasi lain yang dapat ditimbulkan akibat pemberian nutrisi
adalah risiko infeksi. Hal ini terbukti bahwa dengan pemberian EN dapat menurunkan infeksi
sebesar 0,64 % dibanding PN, penelitian lain menunjukkan bahwa kasus infeksi lebih banyak
terjadi pada pasien yang diberi nutrisi secara parenteral dibandingkan EN yaitu 84 : 60 pasien
(Ziegler, 2009; Casaer, et al, 2011). Clinical outcome yang dapat dinilai dari status nutrisi pasien
kritis adalah kematian, lama rawat di ICU dan lamanya penggunaan ventilator.
Waktu Pemberian
Ada empat waktu pemberian nutrisi yang akan dibahas yaitu Early Enteral Nutrition, Late Enteral
Nutrition, Early Parenteral Nutrition dan Late Parenteral Nutrition. Early Enteral Nutrition (EEN)
adalah pemberian nutrisi enteral yang dimulai sejak pasien masuk ICU hingga 24 jam pertama.
Late Enteral Nutrition (LEN) merupakan pemberian EN pada pasien yang dimulai setelah 3 hari
pasien dirawat di ICU. Pengertian Early Parenteral Nutrition (EPN) yaitu nutrisi yang diberikan
secara parenteral sejak pasien masuk ICU hingga 24 jam pertama, sedangkan Late Parenteral
Nutrition (LPN) diartikan sebagai proses pemberian nutrisi parenteral yang dimulai setelah pasien
dirawat 8 hari di ICU (Simpson, 2005; Casaer, et al., 2011). Pemberian nutrisi secara awal atau
Early EN lebih baik dibandingkan Late EN. Hal ini terlihat pada kejadian kematian pada pasien
yang diberikan early EN dibandingkan dengan PN jumlahnya hampir sama yaitu 8:7, sedangkan
pemberian Late EN kejadian kematian lebih tinggi dibandingkan PN yaitu 46 : 30 pasien.
Pemberian EEN tinggi protein dapat mengurangi komplikasi sepsis dan memperpendek
penggunaan antibiotic.
Kondisi diatas berbeda dengan waktu pemberian parenteral nutrisi, bahwa Late PN memiliki
keuntungan lebih cepat sembuh dan komplikasi yang terjadi lebih sedikit dibanding Early PN.
Beberapa bukti menunjukkan bahwa kematian pasien dengan Late PN lebih rendah dibandingkan
Early PN yaitu 141: 146. Kondisi hipoglikemia lebih banyak terjadi pada penggunaan Late PN yaitu 81
berbanding 45. Kejadian infeksi lebih sering terjadi pada Early PN dibandingkan Late PN (605 : 531)
yaitu 26,2 % : 22,8 %, infeksi yang dapat terjadi antara lain infeksi pernafasan, saluran eliminasi urin,
kondisi luka dan hasil laboratoriu