Anda di halaman 1dari 7

SEJARAH DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN LAUT

Sebelum Perang Dunia II instansi yang menangani urusan perhubungan laut adalah Dienst van
Scheepvaart di bawah Departemen van Marine yang dipimpin oleh Hoofd van Dienst van den
Scheepvaart.

Tugas dan wewenang Dienst van Scheepvaart ditetapkan dalam Instructie voor den Hofd Inspecteur,
Hofd van den Dienst van Scheepvaart dengan Gouvernements Besluit tertanggal 8 Agustus 1930 No.
388 (Byblad No. 12365) antara lain memuat ketentuan bahwa Dienst van Scheepvaart berwenang
dalam urusan-urusan pelayaran termasuk lapangan kerja Departemen van Marine.

Instansi yang menangani pelayaran yaitu :

1. Departement van Economische Zaken (Departemen Ekonomi Pelayaran)


2. Dienst van Scheepvaart (Kantor Palayaran)
3. Departement van Verkeer en Waterstaat (Departemen Pekerjaan Umum dan Pengairan)

Periode Tahun 1945-1950

Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, ketika pusat pemerintahan Republik Indonesia
hijrah dari Jakarta ke Jogyakarta, pada tahun 1946 berdirilah Djawatan Oeroesan Laoet Seloeroeh
Indonesia, disingkat Djolsi.
Pada pertengahan tahun 1947 Djolsi dihapus dan sebagai gantinya dibentuk Djawatan Pelajaran
yang berada di bawah Kementrian Perhubungan dengan Menterinya, Ir. Djuanda.
Pemerintah pendudukan Belanda yang saat itu masih menduduki sebagian besar wilayah Republik
Indonesia, kemudian mendirikan kembali Dienst Van Scheepvaart, sehingga dalam waktu yang
bersamaan ada dua instansi yang mengurus pelayaran di Indonesia sampai dengan penyerahan
kedaulatan oleh Pemerintah Belanda kepada Pemerintah Republik Indonesia tanggal 27 Desember
1949.

Periode Tahun 1950-1955

Awal tahun 1950, Pemerintah Rewpublik Indonesia Serikat memutuskan, bahwa Departement Van
Scheepvaart tidak dilanjutkan sebagai kementrian, tetapi dimasukkan ke dalam Kementrian
Perhubungan, Tenaga dan Pekerjaan Umum, dengan Menterinya Ir. Laoh.
Dengan Pengumuman Menteri Perhubungan Tenaga dan Pekerjaan Umum No. 3 tanggal 9 Januari
1950 tentang Penggabungan Djawatan Pelajaran RI dan Departement Van Scheepvaart menjadi
Departemen Pelayaran terhitung mulai tanggal 1 Januari 1950.
Kemudian untuk mempermudah pengaturan bidang pelayaran, Kantor Urusan Pelayaran dari
Kementrian Kemakmuran dipindahkan ke Departemen Pelayaran di bawah Kementrian
Perhubungan, Tenaga dan Pekerjaan Umum, atas usul Kepala Departemen Pelayaran dengan
Keputusan Presiden No. 4 tahun 1950 (Berita Negara 1950 No.66) terhitung mulai tanggal 4
September 1950.
Pada tanggal 10 April 1954 dengan Keppres No. 137, dibentuklah badan baru, yaitu Direktorat
Pelayaran yang bertugas mengkoordinir pekerjaan jawatan-jawatan dan bagian dari Kementrian
Perhubungan yang Menterinya Abikusno Tjokrosujoso. Direktorat ini terdiri dari Djawatan
Pengawasan Pelajaran, Kantor Pelajaran Niaga dan Djawatan Pelabuhan.

Periode Tahun 1955-1959

Periode Tahun 1959-1969

Kementrian Pelayaran hanya berumur dua tahun, sesudah Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959,
Kabinet Karya dibubarkan dan kemudian dibentuk Kabinet Kerja dengan Keputusan Presiden No. 153
tanggal 10 Juli 1959. Menteri Perhubungan Laut kemudian mengeluarkan Surat Keputusan tentang
Lapangan Kerja, Tugas dan Susunan Departemen Perhubungan Laut tanggal 31 Desember 1960.

Surat Keputusan tersebut mengatur bahwa lingkup kerja Departemen Perhubungan Laut meliputi :

1. Bidang perhubungan laut (dalam arti kata yang luas).


2. Bidang perhubungan terusan dan sungai
3. Bidang kepelabuhan
4. Bidang pengawasan dan pemeliharaan kapal

Keempat bidang kerja tersebut dilaksanakan oleh empat direktorat, yang pada dasarnya
melanjutkan tugas materiil dari jawatan dalam membina, mengatur, mengawasi dan melayani suatu
bidang kegiatan maritim, yaitu :

1. Direktorat Perkapalan
2. Direktorat Kepelabuhan
3. Direktorat Pelayaran Niaga
4. Direktorat Navigasi

Pada tahun 1967, Kabinet 100 diciutkan menjadi 37 menteri, Departemen Perhubungan Laut
menjadi Direktorat Jenderal dan berada di bawah Departemen Perhubungan, yang terdiri dari:
1. Sekretariat Direktorat Jenderal
2. Direktorat Lalulintas dan Angkutan Laut
3. Direktorat Pelabuhan dan Pengerukan
4. Direktorat Perkapalan dan Pelayaran
5. Direktorat Navigasi
6. Direktorat Produksi Jasa Maritim
7. Direktorat Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai
8. Pusdiklat Perhubungan Laut
9. Puslitbang Perhubungan Laut

Periode Tahun 1969-1985

Pada tanggal 1 April 1969 dimulai pelaksanaan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita),
setelah Orde Baru dalam tiga tahun terakhir sejak tahun 1966 berhasil menciptakan keadaan yang
stabil khususnya di bidang ekonomi.
Pada periode ini, yang menonjol diterbitkannya kebijakan PP. 1/1969 tentang Pelabuhan dan Daerah
Pelayaran dan PP. 2/1969 tentang Penyelenggaraan Angkutan Laut.
Pada PP. 1/1969 diatur Indonesia terbagi menjadi sembilan daerah pelayaran, dengan wilayah
sebagai berikut :

1. Daerah Pelayaran I berdomisili Medan dengan wilayah Aceh dan Sumatera Utara
2. Daerah Pelayaran II berdomisili di Dumai dengan wilayah Riau dan Sumatera Barat
3. Daerah Pelayaran III berdomisili di Tanjung Priok/Jakarta dengan wilayah Jambi, Sumatera Selatan,
Bengkulu, Lampung, DKI Jaya, Jawa Barat, dan Kalimantan Barat
4. Daerah Pelayaran IV berdomisili di Tanjung Perak/Surabaya dengan wilayah Jawa Tengah, Jawa
Timur, Bali, NTB dan NTT
5. Daerah Pelayaran V berdomisili di Banjarmasin dengan wilayah Kalimantan Tengah, Kalimantan
Selatan, dan Kalimantan Timur
6. Daerah Pelayaran VI berdomisili di Makassar/Ujung Pandang dengan wilayah Sulawesi Selatan dan
Sulawesi Tenggara
7. Daerah Pelayaran VII berdomisili di Manado dengan wilayah Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah
8. Daerah Pelayaran VIII berdomisili di Ambon dengan wilayah di Maluku
9. Daerah Pelayaran IX berdomisili di Jayapura dengan wilayah Irian Jaya (sekarang Papua)
Sedangkan PP. 2 tahun 1969 yang sangat efektif dalam pengemban peran perusahaan pelayaran
nasional, karena adanya pengelompokkan jenis perusahaan pelayaran, yaitu samudera, nusantara
dan khusus, dimana masing-masing jenis pelayaran diwajibkan memiliki kapal berbendera Indonesia.
Tiap jenis pelayaran mempunyai segmen pasar tersendiri dan tidak boleh saling mengganggu
(intrude), dan setiap kapal nusantara dan samudera ditempatkan pada pola trayek tertentu.
Sedangkan untuk pelayaran luar negeri/samudera diadakan kerjasama operasi pelayaran
(conference). Selain itu untuk angkutan log/kayu gelondongan dengan route ke Jepang, Korea dan
Taiwan diadakan kerjasama yang disebut Lamber Trade Agreement (LTA).

Periode Tahun 1985-2000

Dalam perkembangannya, dengan Keputusan Menteri Perhubungan No. 164/OT. 002/Phb-80


tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Perhubungan, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut
yang mempunyai tugas pokok menyelenggarakan sebagian tugas pokok Departemen Perhubungan
di bidang Perhubungan Laut berdasarkan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Menteri Perhubungan
dan peraturan Perundang-undangan yang berlaku, terdiri dari :

1. Sekretariat Direktorat Jenderal Perhubungan Laut


2. Direktorat Lalu-lintas Angkutan Laut
3. Direktorat Pelabuhan dan Pengerukan
4. Direktorat Perkapalan dan Pelayaran
5. Direktorat Navigasi
6. Direktorat Jasa Maritim
7. Direktorat Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai

Periode Tahun 2000 sampai sekarang

Berikutnya, dengan Keputusan Presiden No. 44 Tahun 1974 yang ditindaklanjuti dengan keputusan
Menteri Perhubungan No. KM 41 tahun 1998 Organisasi Direktorat Jasa Maritim ditiadakan yang
sebagian fungsinya keberadaannya dipindahkan ke Departemen Perindustrian dan yang lainnya ke
Direktorat Perkapalan dan Kepelautan serta Direktorat Penjagaan dan Penyelamatan.

Selanjutnya sesuai Keputusan Presiden No. 165 tahun 2000 yang dijabarkan dengan Keputusan
Menteri Perhubungan No. KM 24 tahun 2001, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut terdiri dari :

1. Sekretariat Direktorat Jenderal Perhubungan Laut


2. Direktorat Lalu-lintas Angkutan Laut
3. Direktorat Pelabuhan dan Pengerukan
4. Direktorat Perkapalan dan Kepelautan
5. Direktorat Kenavigasian
6. Direktorat Penjagaan Penyelamatan

Adapun penunjukan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut selaku administrator maritim di IMO
tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2015 tentang
Kementerian Perhubungan, Pasal 44 ayat 1, yang menetapkan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut
menjadi penanggung jawab pelaksanaan kegiatan dan administrasi pemerintah pada Organisasi
Maritim Internasional dan/atau lembaga internasional di bidang pelayaran lainnya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.

INTERNATIONAL MARITIME ORGANISATION


International Maritime Organization (IMO) merupakan badan khusus PBB yang bertanggungjawab
untuk keselamatan dan keamanan aktivitas pelayaran dan pencegahan polusi di laut oleh kapal.
Secara teknis, IMO memiliki tugas dalam pemutakhiran legislasi yang ada atau untuk
mengembangkan dan mengadopsi peraturan baru, melalui pertemuan yang dihadiri oleh ahli
maritim dari negara anggota, serta organisasi antar-pemerintah dan non-pemerintah lain seperti
BIMCO, CMI, Greenpeace, dan IALA. Hasil dari pertemuan komite dan sub-komite IMO adalah
konvensi internasional yang komprehensif yang didukung dengan ratusan rekomendasi yang
mengatur berbagai fase dalam bidang pelayaran internasional, yaitu:
 Kegiatan yang ditujukan bagi pencegahan kecelakaan, termasuk standar rancangan kapal,
konstruksi, perlengkapan, kegiatan operasional dan ketenagakerjaan berdasarkan perjanjian
internasional, antara lain International Convention for the Safety of Life at Sea  (SOLAS) tahun
1974 dan 1978; Convention for the Prevention of Pollution from Ships (MARPOL) tahun 1973;
dan Standards of Training, Certification and Watchkeeping for Seafarers (STCW) tahun 1978.
 Kegiatan yang perlu untuk mendata adanya kecelakaan, termasuk mengenai regulasi dalam
komunikasi keadaan darurat dan keselamatan, Konvensi SAR Internasional tahun 1979
dan International Convention on Oil Pollution Preparedness, Response and Co-
operation  (OPRC) tahun 1990.
 Adanya konvensi-konvensi yang menimbulkan rezim kompensasi dan pertanggungjawaban
seperti  International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage  (CLC) tahun
1969;  Convention establishing the International Fund for Compensation for Oil Pollution
Damage  (FUND Convention) tahun 1971; dan  Athens Convention covering liability and
compensation for passengers at sea  (Athens Convention) tahun 1974.
Setiap negara memiliki kewajiban untuk menjaga keselamatan navigasi di negaranya dengan
menyediakan peralatan aid to navigation seperti mercu suar, buoy dan tanda-tanda yang
dibutuhkan. IMO juga mengatur mengenai standarisasi penggunaan alat dan juga keselamatan
pelayaran.

Arti Penting Keanggotaan Indonesia di dalam IMO


Sejalan dengan Agenda Prioritas “Nawa Cita” pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional Periode 2015-2019, politik luar negeri Indonesia
mencerminkan identitas negara kepulauan yang diwujudkan melalui diplomasi maritim. Indonesia
secara konsisten dapat melaksanakan kebijakan politik luar negeri yang bebas dan aktif dan jati
dirinya sebagai negara maritim untuk mewujudkan tatanan dunia yang semakin baik, serta
memperjuangkan kepentingan nasional. Dalam hal ini, partisipasi aktif Indonesia di dalam IMO
merupakan upaya penguatan kebijakan politik luar negeri Indonesia yang dilandasi pada
kepentingan nasional dan jati diri sebagai negara maritim.
Indonesia telah menjadi salah satu negara anggota dan aktif dalam berbagai kegiatan IMO sejak
tahun 1961. Indonesia juga telah menunjukkan peran aktif serta perhatian dan dedikasi guna
mempromosikan pengembangan kerja sama internasional dalam bidang keselamatan dan keamanan
pelayaran, termasuk bidang perlindungan lingkungan laut.
Indonesia pertama kali mencalonkan dan terpilih menjadi anggota Dewan IMO pada tahun 1973,
untuk periode keanggotaan 1973-1975. Dua periode keanggotaan berikutnya yaitu 1975-1977 dan
1977-1979. Indonesia gagal menjadi anggota Dewan IMO pada tahun 1979-1981 dan 1981-1983.
Pada Sidang Assembly ke-13 yaitu pada tahun 1983, Indonesia terpilih kembali menjadi anggota
Dewan IMO dan selalu terpilih sampai saat ini.
Keberhasilan Indonesia menduduki posisi sebagai Dewan IMO kategori C saat ini merupakan
keberhasilan dari diplomasi yang dilaksanakan secara kolaboratif antara Ditjen Hukum dan
Perjanjian Internasional dan Ditjen Multilateral, Kementerian Luar Negeri; Ditjen Perhubungan Laut,
Kementerian Perhubungan; serta Kedutaan Besar Republik Indonesia di London yang berhasil
meyakinkan negara-negara anggota IMO lainnya mengenai peran penting Indonesia dalam dunia
maritim internasional. Pendekatan yang dilakukan di dalam negeri dilaksanakan dengan meminta
dukungan kepada perwakilan diplomatik dari negara-negara IMO yang ada di Indonesia maupun
melalui pendekatan bilateral oleh perwakilan-perwakilan Indonesia kepada instansi terkait di
negara-negara anggota IMO.
Sebagai negara pihak dalam IMO, maka Indonesia juga wajib dan telah meratifikasi Basel Convention
on the Control of Transboundary Movements of Hazardous Wastes and Their Disposal (Basel
Convention) tahun 1989; International Convention on Maritime Lines and Mortgages  tahun 1993;
dan Konvensi ILO 185 tentang Dokumen Identitas Pelaut tahun 1958.
Indonesia telah menjadi salah satu negara anggota IMO sejak tahun 1961 dan telah berpartisipasi
secara aktif dalam berbagai kegiatan IMO serta memberikan perhatian dan dedikasi dalam
mempromosikan pengembangan kerja sama internasional dalam bidang keselamatan dan keamanan
pelayaran, termasuk dalam bidang perlindungan lingkungan laut. Indonesia telah melaksanakan
kerja sama dengan IMO dalam melaksanakan tanggung jawab untuk menjaga keselamatan,
keamanan dan perlindungan lingkungan hidup.
Indonesia terpilih kembali menjadi anggota Dewan International Maritime Organization (IMO)
Kategori C Periode 2020 – 2021 dalam sidang IMO Assembly pada tanggal 29 November 2019 di
London, Inggris. dan Juga terpilih sebagai Extenal Auditor IMO mengalah Inggris dan Italy , terpilih
nya Indonesia sebagai anggota Dewan IMO yang berisikan 40 negara dengan 3 kategori dari total
174 negara anggota IMO menunjukan pengakuan dunia atas eksistensi Indonesia di sektor maritim
Internasional.
Keberhasilan Indonesia pada pemilihan anggota Dewan IMO tentunya memberikan tantangan
kepada Indonesia untuk meningkatkan jaminan keamanan dan keselamatan pelayaran yang efisien
sekaligus juga meningkatkan perlindungan lingkungan laut. Dalam melaksanakan peran aktifnya
sebagai anggota Dewan IMO, Indonesia berkewajiban untuk menempatkan keselamatan sebagai
prioritas utama dalam kegiatan pelayaran Indonesia.
Tugas Direktorat Jenderal Perhubungan Laut
Direktorat Jenderal Perhubungan Laut menyelenggarakan fungsi:
a. perumusan kebijakan di bidang penyelenggaraan angkutan di perairan, kepelabuhanan, sarana
dan prasarana pelayaran, perlindungan lingkungan maritim, serta peningkatan keselamatan dan
keamanan pelayaran;
b. pelaksanaan kebijakan di bidang penyelenggaraan angkutan di perairan, kepelabuhanan, sarana
dan prasarana pelayaran, perlindungan lingkungan maritim, serta peningkatan keselamatan dan
keamanan pelayaran;
c. penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang penyelenggaraan angkutan di
perairan, kepelabuhanan, sarana dan prasarana pelayaran, perlindungan lingkungan maritim, serta
peningkatan keselamatan dan keamanan pelayaran;
d. pelaksanaan pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang penyelenggaraan angkutan di
perairan, kepelabuhanan, sarana dan prasarana pelayaran, perlindungan lingkungan maritim, serta
peningkatan keselamatan dan keamanan pelayaran;
e. pelaksanaan evaluasi dan pelaporan di bidang penyelenggaraan angkutan di perairan,
kepelabuhanan, sarana dan prasarana pelayaran, perlindungan lingkungan maritim, serta
peningkatan keselamatan dan keamanan pelayaran;
f. pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Perhubungan Laut; dan
g. pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Menteri.

sesuai Perpres 40 tahun 2015 ttg kementerian perhubungan pasal 44


Direktorat Jenderal Perhubungan Laut menjadi penanggung jawab pelaksanaan kegiatan dan
administrasi Pemerintah pada Organisasi Maritim Internasional dan/atau lembaga internasional di
bidang pelayaran lainnya, sesuai peraturan perundangundangan.

MJKXL

Anda mungkin juga menyukai