Anda di halaman 1dari 26

Materi Pembekalan Calon Babtisan Bayi – Wilayah Rohani Sta.

Margaretha Maria Alacoque

MATERI PEMBEKALAN CALON BABTISAN BAYI


PERTEMUAN I

Pada pertemuan ini, diharapkan orang tua calon babtis mengerti dan memahami benar mengenai
maksud dan tujuan pemberian Sakramen Permandian kepada anaknya, serta mengerti benar peran dan
tanggung jawab selaku orang tua terhadap tumbuh kembangnya hidup rohani anak.

Baptisan Bayi Menurut Pandangan Gereja Katolik

Kata Pengantar : Perbedaan Baptisan Yesus dan Baptisan kita


 Kitab Suci pernah menceritakan bahwa Yesus dibaptis di sungai Yordan oleh Yohanes pembaptis.
 Baptisan Yesus dan baptisan yang kita terima tidak sama.
 Baptisan kita adalah baptisan pertobatan sedangkan baptisan Yesus adalah bentuk solidaritas
Yesus dengan manusia yang selalu berdosa.
 Yesus tidak membutuhkan pertobatan, karena Yesus adalah Allah yang menjadi manusia (sama
dalam segala hal dengan manusia kecuali dalam hal dosa).

Baptisan Bayi

Banyak sekali saudara/i kita dari Gereja Protestan yang tidak dapat menerima praktek babtisan bayi.
alasan yang sering diajukan antara lain: Babtisan memerlukan pertobatan dan iman (anak kecil dan bayi
tidak bisa) juga yang sering juga diajukan adalah tidak adanya dasar alkitab bagi babtisan bayi.
Perlu kita ketahui bahwa babtisan bayi lebih merupakan Tradisi Apostolik, dan kita ketahui bahwa dasar
Iman Katolik tidak hanya Alkitab tetapi juga Tradisi Apostolik.
Jika kita ingin mencari babtisan bayi dalam kita suci hal itu sulit didapat karena dalam Kitab Suci tidak
diungkapkan secara eksplisit mengenai babtisan bayi tetapi tidak ada larangan agar anak-anak(bayi)
dibabtis.
Kita tahu bahwa babtisan itu melahir barukan dan menghapus dosa asal oleh karena itulah Gereja tidak
melarang bayi dibabtis. Lalu bagaimana dengan iman anak?? Jawaban yang mudah adalah bahwa
perkembangan iman anak adalah tanggung jawab orang tua, karena itu janji mereka ketika mereka
menikah untuk membesarkan anak-anak dalam iman katolik (tidak mungkin ada orang tua yang mau
anaknya berbeda iman dengannya).
Sekarang kita mencoba mereview Kitab Suci. dalam Kis 2:38-39 dikatakan: Jawab Petrus kepada mereka:
'Bertobatlah dan hendaklah kamu masing-masing memberi dirimu dibaptis dalam nama Yesus Kristus
untuk pengampunan dosamu, maka kamu akan menerima karunia Roh Kudus. Sebab bagi kamu lah janji
itu dan bagi anak-anakmu dan bagi orang yang masih jauh, yaitu sebanyak yang akan dipanggil oleh
Tuhan Allah kita.'
Disini jelas sekali ungkapan Petrus bahwa kita perlu bertobat dan dibabtis yang akhirnya kita mendapat
buah dari babtisan itu yaitu menerima Karunia Roh Kudus (ayat 38) dan janji itu berlaku pula untuk
anak-anak (bayi juga termasuk anak-anak) (ayat 39) tentunya juga dengan melakukan hal yang sama
yaitu dibabtis.

Disusun dan disarikan dari berbagai sumber oleh Sekretariat Wilayah & Sie Peribadatan
Materi Pembekalan Calon Babtisan Bayi – Wilayah Rohani Sta. Margaretha Maria Alacoque

Bila kita melihat dalam Perjanjian Lama dimana kita tahu bahwa bayi harus disunat (padahal mereka
tidak tahu apa-apa soal iman) lihat pada Kej 17:12, Im 2:21, Luk 2:21 lalu pada Kolose 2:11-12 "Dalam
Dia kamu telah disunat, bukan dengan sunat yang dilakukan oleh manusia, tetapi dengan sunat Kristus,
yang terdiri dari penanggalan akan tubuh yang berdosa, karena dengan Dia kamu dikuburkan dalam
baptisan, dan di dalam Dia kamu turut dibangkitkan juga oleh kepercayaanmu kepada kerja kuasa
Allah, yang telah membangkitkan Dia dari orang mati."
Disini jelas bahwa Paulus mempararelkan antara Sunat (ayat 11) dengan Babtisan (ayat 11b-12). Kita
tahu bahwa hukum sunat berlaku juga untuk anak (bayi) berarti babtispun demikian. lalu dalam Kis
16:15,33 dikatakan "ia dibaptis bersama-sama dengan seisi rumahnya" (ayat 15) dan "Seketika itu juga
ia dan keluarganya memberi diri dibaptis." (ayat 33) dari kedua ayat ini tidak tertutup kemungkinan
akan adanya bayi dan anak-anak yang ikut dibabtis karena pada ayat itu maupun sebelum atau
sesudahnya tidak ada kata "kecuali bayi atau anak-anak".
Pada abad ke II sudah ditemukan Babtisan bayi seperti St. Polikarpus, misalnya, dibunuh sebagai martir
pada tahun 155 M. Pada saat penguasa Romawi memaksa Polikarpus untuk menyangkal Yesus Kristus
dan untuk menyembah kaisar Roma, ia berseru demikian, "Delapan puluh enam tahun saya menjadi
hamba-Nya, dan Ia tidak pernah berbuat yang tidak baik kepadaku, bagaimana mungkin saya dapat
menghojat Rajaku yang telah menebusku?"
Kesaksian ini berarti bahwa Polikarpus dibaptis sejak ia masih bayi atau kanak-kanak, yakni sekitar tahun
70-an. Hal ini tidak benar hanya jika Polikarpus sudah mencapai usia yang amat tinggi pada tahun 155 M
itu, sehingga 86 tahun sebelumnya ia sudah dewasa dan baru dibaptis waktu itu.

Markus 1:9-11, Lukas 3:21-22, Yohanes 1; 32-34.


Pembaptisan bayi mulai dilakukan sejak abad ke-2 dengan menggunakan wali baptis dewasa. Santo
Agustinus membela kebiasaan ini, dan pada abad ke-6 Gereja Siria bahkan mewajibkan Pembaptisan
bayi.
Dengan berkembangnya paham dosa asal, pembaptisan bayi memperoleh dasar teoritisnya.
Berdasarkan argumentasinya Santo Paulus, bahwa semua orang mengambil bagian dalam dosa Adam,
Agustinus menarik kesimpulan bahwa setiap bayi tidak hanya lahir mewarisi kecenderungan untuk
berdosa, melainkan juga ikut mengambilbagian dalam dosa Adam itu. Agustinus mendasarkan
pahamnya pada Roma 5:12.
Sebelum abad ke-5 pembaptisan bayi dilaksanakan sebelum bayi berusia delapan hari, karena dianggap
penting demi keselamatan abadinya. (Roma 6:2-4; 1 Korintus 12:12-13; Galatia 3:26-29; Kolose 2:9-13)

BAPTIS BAYI - Kenapa ada Baptisan Bayi ?


Banyak saudara-saudara kita dari gereja lain tidak percaya dengan Baptisan Bayi. Karena mereka
menganggap bahwa bayi belum mengerti apa-apa. Bayi yang baru lahir belum dapat menentukan baik-
buruk, belum mempunyai iman, belum dapat menentukan salah benar, hitam putih dan sebagainya.
Maka dari itu tidak diperkenankan untuk membaptis bayi pada gereja-gereja tertentu.

Betulkah begitu?
Betul, menurut aturan dan tata cara mereka sendiri. Tetapi bagi Gereja Katolik yang Kudus, sebagai
tubuh Kristus tidaklah demikian. Gereja telah menetapkan bahwa menjadi kewajiban orangtua untuk
mendidik anaknya dalam terang Kristus di bawah Gereja yang Kudus yaitu Gereja Katolik.
Baptisan adalah lambang 'percaya', 'bertobat' dan 'penganugerahan perjanjian Allah'.
Memang semua juga tahu bahwa bayi belum bisa bertobat, tetapi kalau sejak kecil ia sudah diajari
beriman dan hidup dalam kebenaran Tuhan, ia akan mengenal dan percaya kepada Kristus.

Disusun dan disarikan dari berbagai sumber oleh Sekretariat Wilayah & Sie Peribadatan
Materi Pembekalan Calon Babtisan Bayi – Wilayah Rohani Sta. Margaretha Maria Alacoque

Sejak kecil ada di dalam keluarga Kristiani, maka ia pun telah mengenal kepercayaan Kristen dan belum
pernah tidak percaya. Di sinilah letak tanggung jawab orang tua baptis selagi bayi, supaya dengan
kesabaran dapat menjaga Iman Kristen yang telah ada padanya sejak dilahirkan.
Dapatkah seorang anak (apalagi masih bayi) percaya kepada-Nya?
Mungkin pertanyaan yang paling dekat dan tepat dengan baptisan adalah : “Sudahkah anak-anak/bayi
itu menjadi murid-Nya, bila orangtuanya adalah murid-Nya”?

Jika orangtua menjawab YA, atau orangtua yang akan membaptis anaknya menjawab YA, itu berarti
bahwa anaknya adalah juga murid Yesus. Maka dari itu para orang tua jangan ragu untuk membaptiskan
bayinya.

Kenapa?
Karena baptisan berkaitan erat dengan persoalan ‘menjadi murid-muridNya’ (Mt. 28:19). Jawaban dari
pertanyaan di atas adalah :
1. Logikanya sederhana. Gereja Katolik ingin bahwa semua orang siapapun juga - besar/kecil,
tua/muda, dewasa/anak2, sehat/sakit – tanpa pandang bulu mendapatkan rahmat keselamatan.
Dan itu dapat dicapai hanya melalui persatuan penuh dengan Yesus Kristus sebagai Sang Kepala
dan Gereja yang adalah Tubuh-Nya. Oleh karena itu baptisan bayi adalah ungkapan yang paling
esensial dari niat Gereja Katolik tersebut. Dengan baptisan, si bayi mendapatkan status baru
yaitu sejak dini telah menjadi WARGA NEGARA SURGAWI.
2. Karena Baptisan Bayi merupakan praktek jemaat Kristen Awal. Penemuan Katakombe
menunjukkan praktek pembaptisan bayi telah ada pada masa jemaat kristen awal.YA
3. Bapa Gereja Awal mendukung praktek baptisan bayi.
4. Banyak ayat di Alkitab yang mengacu ke Baptisan bayi:
a. Yesus menekankan pentingnya kelahiran kembali baptisan bagi kelayakan untuk
kerajaan surga (Yoh 3). Ini berarti semua yang memang bisa untuk dibaptis sebaiknya
dibaptis karena Allah menginginkan semua manusia untuk diselamatkan. Dan Karena
Yesus juga mengajukan bahwa anak-anak pantas mendapatkan kerajaan surga (Mat
19:14) dan menyuruh mereka untuk datang padaNya (Luk 18:15). Kata "anak-anak kecil"
yang digunakan di Luk 18:15 berasal dari kata Yunani "brephos" yang berarti bayi atau
bahkan embryo atau fetus.
b. St.Paulus (Kol 2) menjabarkan bagaimana baptisan menggantikan sunat dan kita tahu
bahwa sunat diperuntukkan baik bagi dewasa maupun bayi.
c. Kis 16:15 dan 1Kor 1:16 menunjukan pembatisan bagi satu keluarga. Kemungkinan,
meskipun tidak pasti, bahwa di dalam keluarga tersebut ada bayi ataupun anak kecil.
Kalau Yesus sendiri menyuruh anak-anak untuk datang kepadaNya maka merekapun berkenan di mata
Allah dan Tuhan tidak akan membuat pengecualian dan akan memberikan rahmat iman terhadap semua
orang berbagai bangsa termasuk anak-anak dan juga tentunya bagi seorang BAYI.

TANGGUNG JAWAB ORANGTUA

Isi dari tanggungjawab - dalam koridor keagamaan dan iman - orangtua terhadap anak bayi yang akan
dibaptis adalah sangat berat. Tanggungjawab tidak dapat berhenti dalam waktu-waktu tertentu, tetapi
tanggungjawab terus berkelanjutan sampai bayi yang dibaptis menjadi dewasa dan dapat menentukan
jalan hidupnya sendiri.
Orangtua diharapkan terus memperhatikan perkembangan iman anak sampai batas tertentu. Gereja
mengharapkan anak dapat berkembang dalam suasana keluarga yang kristiani.

Disusun dan disarikan dari berbagai sumber oleh Sekretariat Wilayah & Sie Peribadatan
Materi Pembekalan Calon Babtisan Bayi – Wilayah Rohani Sta. Margaretha Maria Alacoque

Pada saat orangtua membawa bayi atau anaknya yang berusia di bawah lima tahun untuk dibaptis,
Gereja mengatakan “Keputusan untuk menjadi orang Katolik adalah keputusan orangtua, BUKAN
keputusan anak.”
Jadi kalau sepasang suami-istri membawa anaknya yang masih kecil dan mengatakan: “Pastor, tadi
malam anak saya tidak bisa tidur; menangis karena ingin menjadi orang Katolik” : itu BOHONG !
Kenapa..??? Karena bayi dan anak balita belum bisa ambil keputusan penting seperti itu. Lalu, kenapa
Gereja mengijinkan? Karena Gereja yakin dan percaya bahwa tanggung-jawab iman anak ada dalam
tangan orangtua berkat Sakramen Perkawinan. Artinya, jaminan iman anak ada pada tangan orangtua.
Maka, orangtua berkewajiban untuk membantu anak agar perlahan-lahan keputusan menjadi orang
Katolik bukan lagi keputusan orangtua, melainkan keputusan pribadi anak.
Orang tua Katolik saat menikah diharuskan Gereja untuk mengajarkan iman Katolik kepada anaknya.
Kebanyakan anak Katolik memang akhirnya beragama seperti orang tuanya.
Dan tentu saja peran orang tua sangat penting karena semua umat Katolik adalah Anggota Gereja yaitu
Tubuh Kristus dan Yesus sendiri sebagai Kepala-Nya.
Kepala dan Tubuh adalah SATU. Orang tua sebagai bagian Tubuh Kristus adalah yang utama dalam
membina mahkluk Katolik baru (bayi mereka). Kita sebagai umat Katolik lain yang juga termasuk tubuh
Kristus juga punya kewajiban untuk membimbing anak-anak Katolik.
Orang Tua bagaimanapun juga selalu memilihkan yang terbaik untuk anak-anaknya. "Adakah orangtua
yang akan memberi batu jika anaknya minta roti atau orangtua akan memberikan ular, jika anaknya
meminta seekor ikan?". Hanyalah orang tua yang bertanggung-jawab saja yang tahu apa yang terbaik
untuk anaknya, karena dengan itu mereka telah memberikan landasan dan pegangan hidup yang kuat
bagi kehidupan si kecil. Apa yang baik bagi orangtua mestinya baik pula bagi si anak.
(Kanonik no.868) menyatakan bahwa :
1. Orang tua dari bayi yang akan dibaptis sekurangkurangnya satu dari mereka atau yang
menggantikan orangtuanya secara legitimade dapat/bisa menyetujuinya.
2. Terdapat harapan yang cukup berdasar, bahwa anak tersebut akan dididik dalam terang Agama
Katolik.
Tentu yang mengaku imannya bukan anak/bayi yang dibaptis tetapi orangtuanya. Dengan pengakuan
itu, sekaligus sang orangtua berjanji untuk mendidik anaknya dalam iman yang dipegangnya. Inilah
tanggungjawab orangtua terhadap anaknya kelak. Nanti setelah anak itu dewasa, mereka harus
menyatakan imannya secara pribadi kepada Allah. Tugas dan tanggungjawab orangtua menang sangat
berat, maka dianjurkan perlu adanya Wali Baptis. Tugas wali baptis adalah membantu orangtua dalam
tanggung-jawab yang besar tadi.

Peran Wali Baptis / Orangtua Baptis


Mengapa orang yang dibaptis membutuhkan Wali Baptis atau Orangtua Baptis (god parents) ?
Dalam tradisi iman Gereja Katolik, peran wali baptis lebih dari sekedar gelar kehormatan. Sementara
orangtua yang sesungguhnya memiliki tanggungjawab utama untuk mengajarkan iman dan moral yang
baik kepada anak; demikian tugas wali baptis adalah ikut membantu mengajar, memberi contoh dan
keteladanan dalam hal iman dan moral hidup yang baik. Bahkan dalam tradisi yang sebenarnya, jika
terjadi sesuatu yang buruk menimpa salah satu atau kedua orangtua, maka tugas orang tua/wali baptis
bersama Gereja mengambil alih peran orangtua memelihara dan membesarkan mereka terutama secara
spiritual. Maka dalam tata hukum gereja, syarat utama untuk menjadi Bapak/Ibu Baptis atau Wali Baptis
adalah: Harus Katolik, sudah menerima sakramen Ekaristi dan Krisma; dan tak kalah pentingnya adalah
memiliki kapasitas sebagai “guru dan teladan” hidup kristen yang baik di tengah masyarakat.
Melihat pentingnya peran Bapak/Ibu Baptis atau Wali Baptis maka sebaiknya mereka dipilih tidak ‘asal
comot’, atau yang penting ada. Tetapi harusnya mereka pun dipersiapkan dengan baik atau minimal ikut

Disusun dan disarikan dari berbagai sumber oleh Sekretariat Wilayah & Sie Peribadatan
Materi Pembekalan Calon Babtisan Bayi – Wilayah Rohani Sta. Margaretha Maria Alacoque

terlibat dalam pembekalan calon baptis sendiri agar bersama-sama mengalami dinamika kelahiran baru
di dalam iman mereka.
Dalam tata liturgi Baptis, kehadiran wali baptis seiringan/selalu berdampingan dengan orang tua di
sepanjang liturgi Pembaptisan. Baik juga bahwa misalnya setelah pembaptisan pun, setelah merayakan
ekaristi, masih membiasakan diri duduk berdampingan/dekat dengan (keluarga) yang baru menerima
baptisan. Mereka ikut andil dalam upacara pembaptisan sebagai saksi iman atas upacara baptisan; juga
terlibat secara liturgis misalnya: menyalakan lilin baptis dan menyerahkan kepada orangtua
baptisan/baptisan sendiri, membantu meletakkan kain putih di bahu baptisan, menumpangkan tangan
di bahu baptisan sebagai penyaksi dan peneguh, membantu menyeka kening setelah pembaptisan, dll.
Namun semua peran2 tersebut sebaiknya dikonfirmasikan dulu dengan Imam dan atau petugas tata
laksana pembaptisan supaya bisa berjalan lancar dan khusyuk.
Dalam tiap kesempatan Ekaristi dan doa-doa pribadinya, adalah juga tugas para wali baptis untuk
mendoakan anak-anak baptis mereka agar senantiasa terpelihara imannya.

Sungguh besarlah peran orang tua dalam mendidik anak- anak, membentuk karakter dan membina iman
mereka, serta mengarahkan mereka kepada Kerajaan Surga. Namun kita percaya bahwa Tuhan tidak
pernah meninggalkan kita. Rahmat-Nya selalu tercurah kepada kita melalui Gereja-Nya, yang secara
khusus kita terima di dalam sakramen- sakramen, dalam doa dan permenungan akan Sabda-Nya.
Dengan rahmat Tuhan inilah kita dimampukan untuk membangun keluarga kita atas dasar yang kuat.
Oleh kasih karunia-Nya, kita dimampukan untuk teguh di dalam iman dan melaksanakannya dengan
suka cita. Pengalaman akan kasih Allah dan mengasihi Allah inilah yang menjadi tali pengikat di dalam
keluarga, sehingga apapun serangan dari luar tidak akan menggoyahkannya.

“Pendidikan Kristiani itu tidak hanya bertujuan pendewasaan pribadi manusia seperti telah diuraikan,
melainkan terutama hendak mencapai, supaya mereka yang telah dibaptis langkah demi langkah
semakin mendalami misteri keselamatan, dan dari hari ke hari makin menyadari kurnia iman yang
telah mereka terima; supaya mereka belajar menyembah Allah Bapa dalam Roh dan kebenaran (lih.
Yoh 4:23), terutama dalam perayaan Liturgi; supaya mereka dibina untuk menghayati hidup mereka
sebagai manusia baru dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya (Ef 4:22-24); supaya
dengan demikian mereka mencapai kedewasaan penuh, serta tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan
kepenuhan Kristus (lih. Ef 4:13), dan ikut serta mengusahakan pertumbuhan Tubuh Mistik. Selain itu
hendaklah umat beriman menyadari panggilan mereka, dan melatih diri untuk memberi kesaksian
tentang harapan yang ada dalam diri mereka (lih. 1Ptr 3:15) serta mendukung perubahan dunia
menurut tata-nilai Kristiani”

Disusun dan disarikan dari berbagai sumber oleh Sekretariat Wilayah & Sie Peribadatan
Materi Pembekalan Calon Babtisan Bayi – Wilayah Rohani Sta. Margaretha Maria Alacoque

MATERI PEMBEKALAN CALON BABTISAN BAYI


PERTEMUAN II

Pertemuan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran kepada orang tua calon babtis, orang tua /
wali babtis serta keluarga dan petugas yang akan terlibat dalam upacara penerimaan Sakramen
Permandian mengenai urutan atau tata cara penerimaan sakramen, agar semua pihak yang terlibat
dapat mempersiapkan dengan lebih baik, perlengkapan yang perlu disiapkan, orang-orang ataupun
petugas yang harus ada dan terlibat serta lain-lainnya yang dipandang perlu. Juga orang tua calon
babtis mengungkapkan makna dan alasan dipilihnya nama orang kudus sebagai pelindung calon babtis.
Orang tua / wali babtis boleh turut membantu mengarahkan dan atau memberikan penjelasan
mengenai pemilihan nama orang kudus sebagai pelindung.

Prosedur Permandian bagi Baptis Bayi/Balita.

 Orang tua dari balita menemui Pengurus Lingkungan / Wilayah Rohani meminta surat pengantar
untuk Baptisan Balita (usia baptisan balita di bawah umur 5 tahun).
 Orang tua dari balita mencari/memilih dan menghubungi sendiri wali baptis untuk anak mereka.
Bila dalam kondisi wali baptis hanya sendiri maka wali baptis sesuai dengan jenis kelamin anak
yang mau dibaptis. Namun disarankan wali baptis adalah pasutri (pasangan suami istri) Katolik
dan diharapkan dapat menjadi panutan iman bagi anaknya kelak.
 Datang & mendaftarkan anaknya di Sekretariat Paroki sambil membawa surat-surat berikut :
o Surat pengantar untuk baptisan balita dari Lingkungan / Wilayah Rohani
o Fotokopi surat perkawinan Gereja Katolik orang tua
o Fotokopi akte kelahiran / surat keterangan lahir dari rumah sakit/bidan
o Kartu keluarga katolik (bila tidak ada bisa diganti copy identitas orang tua dan wali
baptis)
 Jika tidak ada perubahan, baptisan diadakan sesuai dengan agenda dari masing-masing paroki.
Dimana sebelumnya, orang tua & wali baptis wajib mengikuti pertemuan pembekalan atau
pembinaan di Gereja.
 Orang tua wajib menyediakan iurastolae untuk romo. Besarnya iurastolae sebesar kemampuan
dan rasa syukur keluarga atas rahmat keselamatan dan pelayanan yang telah diterima.
Iurastolae boleh diberikan secara langsung kepada romo oleh pihak keluarga atau dikumpulkan
kepada petugas untuk kemudian diserahkan kepada romo yang membaptis. Bagi yang benar-
benar tidak mampu boleh tidak memberi iurastolae.
 Tidak perlu menyediakan biaya-biaya lain berkenaan dengan persiapan dan pelayanan Baptis ini,
karena semua sudah disediakan oleh Gereja secara gratis.
 Mengambil Surat Baptis di Sekretariat Paroki, setelah tercetak.

Disusun dan disarikan dari berbagai sumber oleh Sekretariat Wilayah & Sie Peribadatan
Materi Pembekalan Calon Babtisan Bayi – Wilayah Rohani Sta. Margaretha Maria Alacoque

Latihan Penerimaan Sakramen Baptis


Pada pertemuan ini, Petugas / Pembimbing dapat melakukan latihan tata cara atau urutan pada saat
penerimaan Sakramen Babtis. Kedua orang tua bayi dan kedua orang tua / wali babtis hendaklah hadir
secara lengkap dalam latihan ini. Segala pelengkapan yang dibutuhkan, dipersiapkan dengan sebaik-
baiknya, yakni antara lain : Lilin 2 buah, selendang / kain putih, bejana babtis, dan buku tata cara
sakramen pembabtisan.

Pemilihan Nama Baptis


Sepatutnya lah orang tua tidak hanya ‘asal-asalan’ dalam memilih nama baptis untuk anaknya. Karena
nama baptis ini akan melekat terus sepanjang hidup anak ini. Bahkan tidak sedikit orang tua yang turut
mencantumkan nama baptis anaknya dalam Akta Kelahiran Anak sebagai bagian dari nama anak itu
sendiri.
Sebaiknya orang tua mengetahui Riwayat Orang Kudus yang namanya digunakan sebagai nama baptis
anak. Mengetahui keteladanan hidup orang kudus tersebut dan memahami harapan apa yang diinginkan
pada sang anak dengan pemberian nama tersebut.
Menjadi kebiasaan yang baik pula bila dalam perjalanan hidup anak yang dibaptis ini, ia juga dibiasakan
memperingati Pesta Nama pelindungnya dan diceritakan kembali kisah kepahlawanan orang kudus yang
menjadi pelindungnya. Tidak hanya melulu peringatan ulang tahun anak semata yang dirayakan dan
dipestakan secara besar-besaran. Tapi dengan rutin memperingati pesta nama orang kudus
pelindungnya, akan memberikan penjelasan pula kepada sang anak, akan harapan yang dicita-citakan
orang tuanya saat memberikan nama baptis tersebut. Anak pun dilatih untuk meneladani semangat,
perjuangan dan hidup orang kudus yang menjadi pelindungnya.

Baiklah pada pertemuan ini, orang tua bayi serta orang tua / wali babtis berdiskusi dalam menetapkan
nama orang kudus yang akan digunakan oleh calon babtis. Hendaklah nama tersebut diketahui secara
baik riwayat hidupnya dan alasan kenapa dipilihnya nama tersebut sebagai pelindung bagi calon babtis.
Gunakanlah buku Ensiklopedi Orang Kudus atau dari referensi lainnya untuk mengetahui riwayat serta
teladan yang diberikan oleh orang-orang kudus tersebut.
Contoh: St. Blasius, Uskup dan Martir, diperingati setiap tanggal 3 Februari.
Blasius adalah seorang Uskup di Sebaste, di wilayah Armenia, Asia Kecil. Ia dikenal sebagai seorang ahli
Fisika dan seorang gembala yang baik hati. Pada masa pemerintahan Kaisar Licinius, ia ditangkap dan
dipenjarakan. Kemudian pada tahun 316, ia dihukum mati.
Menurut cerita rakyat, ia berhasil menyelamatkan seorang anak laki-laki dari kematian karena tulang
ikan yang tersangkut pada tenggorokannya. Doa dan berkat Santo Blasius melepaskan anak itu dari
bahaya kematian. Doa dan berkat Santo Blasius ini terus dilestarikan oleh Gereja hingga dewasa ini.
Pada setiap tanggal 3 Februari, Gereja menyatakan sebagai Pesta Peringatan Santo Blasius, umat
Katolik menghadiri misa Kudus untuk menerima berkat santo Blasius dari imam-imamnya.
Berkat yang diberikan imam-imam pada misa tersebut disertai doa berikut: “Moga-moga Allah karena
perantaraan Santo Blasius, Uskup dan Martir, membebaskan dikau dari penderitaan tenggorok dan dari
kemalangan lainnya. Atas nama Bapa, dan Putera dan Roh Kudus. Amin”.

Disusun dan disarikan dari berbagai sumber oleh Sekretariat Wilayah & Sie Peribadatan
Materi Pembekalan Calon Babtisan Bayi – Wilayah Rohani Sta. Margaretha Maria Alacoque

MATERI PEMBEKALAN CALON BABTISAN BAYI


PERTEMUAN III

Dalam pertemuan ini, orang tua calon babtis diajak untuk mendalami pokok-pokok iman dan pedoman
sebagai umat kristiani. Mengerti mengenai kebiasaan sebagai orang kristen serta mampu menguasai
doa-doa dasar agar kelak dapat mengajarkan kepada anak-anaknya mengenai doa-doa dasar ini.

I. Pokok-pokok Iman dan Pedoman Hidup Kristen


Iman berarti percaya, dan iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari
segala sesuatu yang tidak kita lihat.
Gereja telah merumuskan pokok-pokok iman yang tertuang dalam Syahadat. Tetapi selain iman, gereja
juga mengajarkan kepada kita akan kasih. Karenanya iman harus diamalkan dalam kasih. Iman dan kasih
harus diamalkan secara nyata dalam perbuatan, karena iman tanpa perbuatan adalah iman yang kosong.
Dan berikut adalah beberapa pokok iman dan kasih dalam hidup orang Katolik:
a. Syahadat Para Rasul
b. Syahadat berdasarkan Konsili Nike Konstantinopel
c. Hukum Kasih (Mrk 12:30-31)
d. Amal Kasih (Mat 25:34-36,40)
e. Sabda Bahagia (Mat 5:3-12)
f. Sepuluh Perintah Allah (Kel 20:1-17)
g. Lima Perintah Gereja

II. Kebiasaan Orang Kristen


Baiklah sebagai orang kristen terlebih sebagai orang Katolik, dalam hidup di tengah-tengah masyarakat,
kita hidup dengan kebiasaan yang menunjukkan sebagai orang kristen. Karena kebiasaan yang baik
sebagai orang kristen adalah juga bentuk pewartaan kita di tengah-tengah masyarakat.
Adapun kebiasaan-kebiasaan orang kristen tersebut antara lain:
 Berhimpun merayaan Ekaristi pada hari Minggu
 Membaca Kitab Suci
 Melaksanakan Ibadah Harian
 Berdoa bersama keluarga
 Berdoa secara pribadi
 Terlibat dalam kehidupan jemaat setempat (Lingkungan, Stasi, Paroki)
 Terlibat dalam masyarakat
 Berpuasa dan berpantang
 Memeriksa batin
 Mengaku dosa di hadapan Imam

Disusun dan disarikan dari berbagai sumber oleh Sekretariat Wilayah & Sie Peribadatan
Materi Pembekalan Calon Babtisan Bayi – Wilayah Rohani Sta. Margaretha Maria Alacoque

III. Doa-doa dasar


Doa-doa dasar hendaklah dikuasai terlebih dahulu oleh orang dewasa menjelang dibabtis. Pun begitu
bagi para orang tua yang anaknya dibabtis, hendaklah senantiasa memberikan pengajaran dan
pendidikan iman kepada anak dimulai dari doa-doa dasar ini terlebih dahulu.
Doa dasar diambil dari Kitab Suci dan tradisi Gereja. Doa-doa dasar itu antara lain:
 Tanda Salib
 Bapa Kami
 Kemuliaan
 Salam Maria
 Malaikat Tuhan
 Ratu Surga
 Kidung Zakharia
 Kidung Maria
 Kidung Simeon
 Terpujilah
 Doa Iman
 Doa Harapan
 Doa Kasih
 Doa Tobat
 Madah Allah Tuhan kami

Pada pertemuan ini hendaklah Petugas / Pembimbing memberikan tugas kepada orang tua / wali babtis
untuk menuntun orang tua calon babtis mengucapkan doa-doa dasar terutama yang belum benar-benar
dikuasai oleh orang tua calon babtis. Mencoba bertanya kepada orang tua calon babtis mengenai
beberapa hal seputar materi pertemuan ini, seperti Sepuluh Perintah Allah, Lima Perintah Gereja, dan
orang tua calon babtis menjawabnya dengan sebaik mungkin. Sampaikanlah kepada orang tua calon
babtis agar di kemudian hari wajib memberikan pengajaran dan pendidikan ini kepada anak-anaknya.

Hendaklah pada pertemuan ini diadakan pula ibadah harian (bisa ibadah pagi, ibadah siang atau ibadah
malam) yang dipimpin secara bergantian oleh orang tua calon babtis. Sebaiknya ibadah harian ini
dilakukan secara spontan dengan menggunakan doa-doa dasar yang sudah diberikan sebelumnya. Hal
ini untuk ‘melatih’ orang tua calon babtis mengembangkan ibadah harian di dalam keluarganya dan
menjadikan keluarga sebagai seminari kecil dalam hidup rohani mereka.

Disusun dan disarikan dari berbagai sumber oleh Sekretariat Wilayah & Sie Peribadatan
Materi Pembekalan Calon Babtisan Bayi – Wilayah Rohani Sta. Margaretha Maria Alacoque

MATERI PEMBEKALAN CALON BABTISAN BAYI


PERTEMUAN IV

Dalam pertemuan ini, orang tua calon babtis diajak untuk memahami dan mengerti benar akan
pentingnya pendidikan iman Katolik kepada anak sejak usia dini.

sumber : www.katoliksitas.org

Pendidikan Iman Katolik Anak Sejak Usia Dini di Dalam Keluarga, Paroki dan Sekolah
Tak kenal maka tak sayang
Pada tanggal 1 April 2010, kami menerima pesan yang sungguh tajam, yang diawali dengan kalimat
demikian, “Salam dari Sydney, Australia. Saya adalah bekas pengikut agama Katolik yang sekarang
pindah ke Kristen [Protestan]. Penyebabnya adalah dikarenakan karena pengajaran agama Katolik tidak
benar-benar berdasarkan alkitab, tetapi lebih berdasarkan hukum kanonisasi…. hukum Kanon adalah
buatan manusia belaka… bukan datang dari Tuhan. Tetapi Alkitab adalah datang dari Tuhan. Mungkin
hal ini berat untuk dimengerti bagi kalian di Indonesia yang tidak pernah tahu tentang sejarah agama
Katolik. Semoga suatu hari mata kalian terbuka.”
Demikianlah pesan yang kami terima dari Sherly, Australia. Komentar ini merupakan awal dari dialog
yang panjang antara dia dengan kami di Katolisitas. Namun semua tanggapan- tanggapannya malah
menunjukkan suatu fakta bahwa sesungguhnya, Sherly-lah yang belum sempat memahami ajaran Gereja
Katolik yang sebenarnya, sebelum ia memutuskan untuk meninggalkan Gereja Katolik. Demikianlah,
pandangan Sherly ini menjadi pandangan umum yang mungkin dimiliki oleh banyak orang yang pindah
dari Gereja Katolik ke gereja- gereja non- Katolik. Sayang memang, bahwa mereka pindah sebelum
sungguh-sungguh mengenal iman Katolik mereka. “Tak kenal maka tak sayang”, nampaknya inilah yang
terjadi. Banyak orang Katolik tidak dengan sungguh mengenal iman Katolik, sehingga mereka dengan
mudah berpindah ke gereja- gereja lain.

Alasan orang pindah Gereja


Walaupun ada banyak alasan yang dikemukakan, namun setidaknya, berikut ini adalah beberapa alasan
mengapa orang Katolik berpindah ke gereja lain. Umumnya, alasannya adalah karena mereka merasa
imannya tidak bertumbuh di Gereja Katolik; mereka berpikir bahwa ajaran Gereja Katolik itu salah/ tidak
sesuai dengan Alkitab; mereka merasa orang- orang Katolik hidupnya tidak baik dan mereka merasa
tidak diperhatikan di dalam Gereja Katolik.
Alasan- alasan semacam ini sesungguhnya menunjukkan adanya kerapuhan akar iman Katolik dalam diri
orang yang bersangkutan, di samping ada hal-hal yang memang perlu diperbaiki dalam kehidupan
menggereja dan proses katekese di dalam Gereja Katolik. Namun, adalah satu kenyataan, bahwa mereka
tidak sungguh- sungguh mengenal dan menghayati imannya, sehingga mudah terpengaruh, gampang
ragu, atau akhirnya apatis sambil mengatakan, “ah, kan semua agama sama saja”. Secara obyektif harus
diterima, bahwa akar permasalahan ini sesungguhnya berawal dari kurangnya pendidikan iman Katolik
pada anak- anak Katolik, sejak usia dini, baik di dalam keluarga, paroki maupun sekolah. Sebab, jika iman
sudah berakar sejak usia dini, sesungguhnya seseorang tidak akan pernah meragukan imannya atau
dengan mudah berpindah gereja, atau bahkan berpindah agama.

Disusun dan disarikan dari berbagai sumber oleh Sekretariat Wilayah & Sie Peribadatan
Materi Pembekalan Calon Babtisan Bayi – Wilayah Rohani Sta. Margaretha Maria Alacoque

Sekarang, mari kita lihat permasalahan pendidikan iman Katolik, mulai dari menggambarkan kondisi
ideal dan membandingkannya dengan kondisi yang banyak dialami oleh keluarga, paroki dan sekolah.
Setelah itu, kita akan melihat secara mendalam tentang tantangan di masing-masing tingkatan serta
usulan-usulan untuk memperbaikinya.

Idealisme dan kenyataan


1. Seluruh bagian dari Tubuh Mistik Kristus saling bahu membahu
Adalah suatu impian dari Gereja, bahwa semua anggota dari Tubuh Mistik Kristus saling bahu membahu
menciptakan suatu iklim, di mana setiap umat Allah dapat terus berjuang dalam kekudusan, sehingga
pada akhirnya seluruh umat Allah dapat sampai pada Tanah Terjanji, yaitu Surga. Sungguh menjadi
suatu kondisi yang begitu ideal, jika keluarga -sebagai Gereja yang terkecil- menjadi tempat di mana
anak-anak mendapatkan pondasi yang kokoh dalam iman Katolik dan anak-anak dapat belajar untuk
mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama. Dengan kata lain, keluarga menjadi tempat di mana anak-anak
dapat bertumbuh dalam kekudusan.
Situasi yang kondusif di dalam keluarga untuk bertumbuh dalam kekudusan seyogyanya berlangsung
terus-menerus, juga ketika anak-anak berada di sekolah. Keluarga dan sekolah harus bersama- sama
melakukan pembentukan dan pembinaan karakter anak- anak untuk menjadi seperti pribadi Kristus.
Pendidikan sekolah yang baik berfokus pada pembentukan anak-anak untuk menemukan jati dirinya
sebagai anak-anak Allah, dan membantu anak-anak untuk mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa
dan pikiran. Kasih kepada Tuhan ini juga dimanifestasikan dalam mengasihi sesama, yaitu anak-anak
dilatih untuk menjadi seseorang yang tidak hanya memikirkan kepandaian/ kebaikan sendiri, namun
juga mengusahakan kebaikan bagi orang lain. Sekolah menjadi suatu tempat, di mana anak-anak dapat
memusatkan perhatian pada sesuatu yang benar- benar baik, benar, dan indah (the good, truth, and
beautiful); dan bahwa di dalam kebersamaan, sesuatu yang baik, benar dan indah tersebut, semakin
menampakkan buah- buahnya.
Selanjutnya, setelah mendapatkan pondasi iman di dalam keluarga dan sekolah, maka Gereja di tingkat
paroki memberikan kesegaran kepada anak-anak dengan memperkuat pondasi iman, menyegarkan dan
menguatkan anak-anak dengan sakramen-sakramen, terutama Sakramen Ekaristi dan Sakramen Tobat.
Anak- anak yang mengikuti Bina Iman di paroki dilatih untuk mengetahui dan mengasihi Sabda Allah dan
iman Katolik. Pada saat yang bersamaan, orang tua juga dapat memperdalam iman mereka dengan
mengikuti berbagai kegiatan pembinaan iman di paroki, sehingga mereka dapat mengajarkan iman
Katolik yang benar kepada anak-anak mereka di dalam keluarga.
Dengan kondisi yang kondusif di keluarga, sekolah dan paroki, anak-anak dapat dibentuk dan diarahkan
untuk memberikan dirinya kepada Tuhan, dan masyarakat sekitarnya, sehingga pada akhirnya
kekristenan dapat membentuk masyarakat yang berdasarkan nilai-nilai Kristiani.

2. Bagian-bagian dari Tubuh Mistik Kristus belum saling mendukung.


Namun, sayangnya kondisi yang kondusif di keluarga, paroki maupun di sekolah, seperti yang
digambarkan di atas, sering tidak kita jumpai; entah karena semua bagian kurang menjalankan fungsinya
atau hanya satu atau dua bagian yang menjalankan fungsinya dengan baik. Betapa sering kita
menjumpai keluarga-keluarga, di mana orang tua, yang walaupun keduanya Katolik, tidak
memperhatikan pendidikan iman anak-anaknya, atau hanya seolah-olah mencukupi kebutuhan fisik
anak-anak. Hal ini dipersulit dengan kondisi pekerjaan dan kemacetan di kota-kota besar, sehingga
orang tua kurang mempunyai waktu yang cukup bagi anak-anaknya.
Kondisi yang kurang mendukung di dalam keluarga diperparah dengan kondisi yang cukup
memprihatinkan di dalam pendidikan di sekolah. Sebagian sekolah non-Katolik tidak memberikan
pendidikan Katolik dengan baik, bahkan kadang-kadang mengajarkan pokok-pokok iman yang
bertentangan dengan iman Katolik. Sekolah Katolik sendiri mulai kehilangan identitasnya, di mana nama

Disusun dan disarikan dari berbagai sumber oleh Sekretariat Wilayah & Sie Peribadatan
Materi Pembekalan Calon Babtisan Bayi – Wilayah Rohani Sta. Margaretha Maria Alacoque

‘Katolik’ seolah hanya diartikan sebatas memberikan pelajaran agama Katolik seminggu sekali dan Misa
bersama sebulan sekali. Padahal sangatlah penting untuk melakukan pendekatan yang holistik untuk
menyampaikan pendidikan iman yaitu: iman Katolik yang merasuk ke dalam sendi-sendi kehidupan di
sekolah, di setiap mata pelajaran, dan di setiap kegiatan di sekolah untuk membentuk karakter anak
dengan baik, sehingga mereka tidak hanya bertumbuh dalam hal intelektual, tetapi juga dalam hal
kekudusan.
Kondisi yang kurang ideal dapat juga terjadi dalam kehidupan menggereja di tingkat paroki. Secara
umum, paroki-paroki cenderung lebih menekankan akan banyaknya kegiatan tanpa memperhatikan
kesinambungan pembinaan iman secara terus-menerus, dari tingkat anak-anak, remaja, dewasa.

Dikotomi dalam pendidikan iman Katolik


1. Kontinuitas vs hit and run
Kalau kita amati, ada banyak kegiatan-kegiatan di dalam gereja yang bersifat hit and run, artinya
program-program tersebut diselenggarakan sesekali dalam satu tahun dan kemudian selesai tanpa
koordinasi dengan program-program yang lain, tanpa ada tindak lanjut dari program tersebut setelah
acara selesai. Program-program seperti ini memang lebih mudah dilaksanakan dan dikoordinasikan,
namun hanya mempunyai efek sesaat. Sedangkan, program-program yang bersifat berkesinambungan
kurang mendapat perhatian yang serius. Kemungkinan sebabnya adalah karena program-program
seperti ini membutuhkan komitmen yang besar, dan umumnya kurang memperlihatkan efeknya dalam
waktu singkat, walaupun dapat memberikan efek jangka panjang yang lebih efektif. Sebagai contoh,
program-program seminar sehari di paroki dengan topik yang bermacam-macam menjamur sepanjang
tahun. Namun, program-program seperti pendampingan kehidupan perkawinan, pembinaan rohani
komunitas basis, pembinaan iman OMK yang menuntut pengorbanan yang tinggi dan komitmen yang
terus menerus dari para pembinanya tidak terlalu mendapatkan prioritas dalam kehidupan menggereja.
Pembinaan ini sesungguhnya harus mengambil kekuatannya dari Kristus sendiri yang hadir dalam
sakramen- sakramen, terutama Ekaristi dan Sakramen Tobat. Maka pertanyaannya menjadi semakin
menjurus tajam: Sejauh mana paroki yang menginginkan pertumbuhan iman umat mengadakan Adorasi
Sakramen Mahakudus? Adakah kapel adorasi di paroki? Sudahkah menggiatkan umat untuk mengikuti
Misa harian di paroki maupun di Lingkungan? Sudahkah membuka kesempatan Pengakuan Dosa,
sedapat mungkin setiap hari? Sudahkah menggiatkan doa rosario dan pendalaman Kitab Suci dalam
keluarga? Tentunya, semua ini harus didasari oleh katekese yang baik kepada umat, sehingga umat
dapat mengetahui manfaat yang luar biasa yang dapat mereka peroleh dari rahmat Tuhan yang tersedia
bagi kita semua melalui doa, Sabda Tuhan, dan terutama melalui sakramen- sakramen, yang bersumber
pada Misteri Paska Kristus.
Demikian juga, gejala ‘hit and run’ terjadi dalam keluarga dan sekolah. Lebih mudah bagi orang tua
untuk mengirim anak-anak mengikuti retret daripada membuat komitmen untuk setiap malam
membacakan Alkitab kepada anak- anak, karena hal ini menuntut pengorbanan orang tua dalam hal
waktu dan tenaga. Demikian juga kondisi di sekolah, mengirim murid- murid untuk mengikuti program
live-in ke desa- desa akan terasa lebih mudah dilaksanakan, daripada mengintegrasikan iman Katolik
secara konsisten dalam setiap sendi kehidupan sekolah. Padahal, bukankah penerapan iman yang baik
tidak semata dicapai dengan cara “hit and run“, melainkan harus terus menerus menjadi bagian dari
kehidupan seseorang, atau mungkin lebih tepat, menjadi gaya hidup umat beriman? Dan untuk menjadi
gaya hidup, tidak ada cara lain, kecuali bahwa nilai- nilai iman harus diterapkan secara konsisten dari
mulai hal-hal terkecil sampai ke hal-hal besar, di berbagai sendi kehidupan, dan dimulai dari anak-anak
sejak usia dini.
Pernahkah kita berfikir, mengapa ada sebagian umat Katolik yang setelah mengikuti pelajaran agama
selama satu tahun, namun pengetahuan Alkitabnya kurang dibandingkan dengan sebagian umat Kristen
non Katolik yang tidak menjalani pelajaran agama namun langsung diterima di dalam jemaat? Melihat

Disusun dan disarikan dari berbagai sumber oleh Sekretariat Wilayah & Sie Peribadatan
Materi Pembekalan Calon Babtisan Bayi – Wilayah Rohani Sta. Margaretha Maria Alacoque

fakta ini, mungkin memang kualitas proses dan bahan katekese di Gereja Katolik secara umum kurang
memadai. Sementara gereja Kristen non-Katolik giat melakukan proses pendidikan iman secara terus
menerus dengan menerapkan komunitas basis/ cell-group, Gereja Katolik yang melakukan kegiatan
katekese selama satu tahun itu kurang menindaklanjutinya dengan pembinaan iman yang bersifat terus
menerus. Tentu saja, kita tidak dapat menutup mata bahwa ada paroki-paroki yang telah menjalankan
pembinaan umatnya secara terus-menerus, namun adalah suatu tantangan agar semua paroki di tanah
air juga dapat menerapkan hal serupa, agar semua umat Katolik dapat terus bertumbuh dalam iman dan
kekudusan, sesuai dengan pesan Konsili Vatikan II, Lumen Gentium bab V: Panggilan kepada semua
orang untuk hidup kudus.

2. Pembinaan spiritualitas vs aktivitas


Berapa sering kita mendengar diskusi yang seru untuk menyusun program dan aktivitas di dalam
pertemuan dewan paroki harian maupun pertemuan besar dewan paroki pleno. Mereka merencanakan
diadakannya seminar, pertemuan rutin, retret keluarga, dan segudang kegiatan lainnya. Program-
program seperti ini adalah sesuatu yang baik. Namun, apakah pernah terlintas di pikiran kita bahwa
pada akhirnya semua kegiatan ini harus mempunyai satu tujuan, yaitu membawa umat Allah untuk
bertumbuh dalam kekudusan, yang menuntun kita masuk ke dalam Kerajaan Surga? Dengan demikian,
apakah program-program berikut ini pernah dipikirkan: Bagaimana agar umat dapat terdorong untuk
mengaku dosa secara teratur misalnya sebulan sekali? Bagaimana agar umat dapat sesering mungkin
berpartisipasi dalam Sakramen Ekaristi? Bagaimana agar umat giat dalam menggali Sabda Allah; dan
bagaimana agar umat dapat bertumbuh dalam kasih, dll?

3. Preventif vs kuratif
Ada banyak orang tua yang mengeluh, mengapa anaknya menjadi sulit diatur. Para guru di sekolah
mengeluh bahwa anak jaman sekarang sungguh sulit dididik. Tidak ketinggalan romo paroki mengeluh,
umat sekarang senantiasa ingin dimanja dan dituruti kemauannya. Para orang tua bertanya mengapa
anaknya melakukan kenakalan di luar kewajaran. Pihak sekolah bertanya-tanya mengapa anak-anak
tidak mempunyai semangat belajar dan kurang bertanggungjawab serta menganggap iman Katolik
hanya sebatas slogan belaka. Dan pihak paroki mempertanyakan mengapa umat seolah-olah lesu darah,
kurang mau berpartisipasi dalam kehidupan menggereja, terjadi pertentangan antara satu seksi dengan
seksi yang lain. Pada saat semua ini terjadi, maka yang dilakukan adalah mulai mencari jalan bagaimana
mengatasi masalah-masalah yang terjadi. Dengan perkataan lain, kegiatan-kegiatan lebih bersifat kuratif
dan bukan preventif. Kegiatan banyak yang bersifat jangka pendek, namun kurang memikirkan strategi
jangka panjang.

4. Dibangun di atas batu vs dibangun di atas pasir


Ada banyak contoh dari umat yang berpindah dari Gereja Katolik ke gereja lain, karena mereka tidak
benar-benar mengetahui pengajaran Gereja Katolik dengan baik, seperti yang ditunjukan oleh contoh di
atas. Dalam konteks ini, maka seseorang tidak boleh hanya menghafal doktrin, namun harus mengerti
alasan di balik doktrin Gereja Katolik, yang dapat dijelaskan dengan prinsip tiga pilar kebenaran, yaitu:
Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium Gereja. Namun, untuk mengajarkan hal ini kepada umat
diperlukan pendekatan yang benar, dengan mempertimbangkan umur dan kondisi orang yang
bersangkutan. Dengan mengerti alasan yang benar di balik pengajaran iman Katolik, maka seseorang
tidak mudah untuk diombang-ambingkan oleh pengajaran-pengajaran lain, yang mungkin bertentangan
dengan iman Katolik. Hanya tahu dan hafal doktrin tanpa mengetahui alasannya secara mendalam
adalah sama saja dengan membangun rumah di atas pasir (lih. Mt 7:26-27). Dia tidak dapat bertahan
terhadap hujan dan angin pengajaran yang bertentangan dengan iman Katolik, karena tidak mempunyai
pondasi yang kuat.

Disusun dan disarikan dari berbagai sumber oleh Sekretariat Wilayah & Sie Peribadatan
Materi Pembekalan Calon Babtisan Bayi – Wilayah Rohani Sta. Margaretha Maria Alacoque

Sebagai contoh, dalam buku “Ikutilah Aku” dari Pankat KAS, hal 131 dituliskan alasan mengapa umat
Katolik menghormati Maria, yaitu: 1) Maria Bunda Allah, 2) Maria tetap perawan, 3) Maria tanpa noda,
4) Maria diangkat ke Sorga. Penjelasan tersebut tidak salah, namun kurang lengkap, sehingga kurang
membekali para calon baptis (katekumen) dengan pengertian yang baik. Empat hal di atas memang
menjelaskan tentang empat dogma tentang Bunda Maria, namun kurang menjelaskan alasan mengapa
umat Katolik menghormati Bunda Maria. Apakah penghormatan kita kepada Maria diukur dari apakah
kita percaya bahwa Maria diangkat ke Surga? Apakah umat Kristen non-Katolik dapat menerima
penjelasan umat Katolik dengan empat alasan di atas? Mengapakah kurang ditekankan, bahwa kita
menghormati Maria, karena Allah telah terlebih dahulu memilih dan menghormatinya? Mengapakah
kurang diberitahukan dasar- dasar Alkitabiahnya yang menyatakan hal itu, dan bahwa Gereja sejak abad-
abad awal juga telah menghormati Maria?

5. Isi vs cara
Sebenarnya isi dan cara bukanlah hal yang bertentangan, namun keduanya saling mendukung. Yang
penting, pada akhirnya katekumen mendapatkan pengertian yang menyeluruh akan rencana
keselamatan Allah[1]. Dalam konteks pendidikan iman Katolik kepada anak-anak di keluarga, para orang
tua yang telah memikirkan tentang isi dan caranya sudah maju selangkah, karena ada sebagian orang
tua Katolik yang mungkin bahkan tidak memikirkan hal tersebut. Namun, dalam konteks paroki,
seharusnya isi dan cara harus dipikirkan secara lebih serius, sehingga tercapai kualitas pembinaan iman
yang baik, entah di tingkat anak-anak, remaja maupun dewasa, termasuk pasangan yang akan menikah.
Apakah kita pernah mendengar keluhan dari orang tua yang mengatakan bahwa di Bina Iman anak
hanya banyak diajari mewarnai dan menggambar? Cara memang penting untuk mengajarkan iman
Katolik, sehingga anak-anak dapat mengerti iman Katolik dengan baik. Namun, cara yang baik tanpa
ditunjang isi yang berbobot tidaklah dapat dibenarkan.
Dalam konteks katekese dewasa, kita dapat melihat bahwa materi yang ada sekarang, sebenarnya
kurang memadai untuk memaparkan pokok-pokok iman Katolik secara menyeluruh. Hal ini dapat
terlihat bahwa setelah pembinaan satu tahun, banyak umat masih belum memahami imannya dengan
baik, sehingga dengan mudahnya mereka terbawa pada pengajaran yang tidak sesuai dengan iman
Katolik. Ada yang mengusulkan bahwa cara katekese harus diperbaiki, entah dengan drama, dll. Namun,
dari hasil pengamatan, sebetulnya cara-cara tersebut dapat menjadi bumerang, karena dapat
mengambil waktu pengajaran yang memang jelas-jelas sangat minim. Sebagai contohnya, dalam
kurikulum “Ikutilah Aku”, pembahasan tentang Trinitas (bab 34, hal. 100-102) hanya dilakukan satu sesi
(sekitar 1-1,5 jam). Bagaimana seseorang dapat memahami esensi Trinitas dalam satu pertemuan yang
harus ditambah dengan metode-metode yang dipandang menarik. Bagaimana dengan pendidikan iman
Katolik di sekolah? Memang pendidikan iman Katolik di sekolah tetap harus memperhatikan cara,
namun isi pengajaran juga harus diperhatikan. Memperhatikan cara lebih utama daripada isi adalah
sama dengan terlalu memperhatikan kemasan dibandingkan dengan isi yang sebenarnya. General
Catechetical Directory menegaskan bahwa tidaklah cukup untuk membangkitkan pengalaman spiritual
tanpa dibarengi dengan perjuangan untuk mengerti keseluruhan kebenaran akan rencana Allah[2]
dengan cara mempersiapkan umat beriman untuk mengerti Kitab Suci dan Tradisi yang hidup dalam
Gereja.[3]

6. Holistik vs sporadis
Salah satu kekuatan dari Gereja Katolik adalah hirarki yang tersusun sangat rapi, baik di tingkat stasi,
paroki, keuskupan, satu negara dan tingkat dunia. Menjadi suatu kekuatan yang begitu besar, kalau di
banyak tingkat, terutama di tingkat keuskupan dan seluruh keuskupan di negara yang sama dapat
menyediakan materi dan sumber yang benar-benar dapat membantu proses pendidikan iman Katolik
sejak usia dini. Namun, sering dijumpai bahwa banyak dari antara guru bina iman, katekis merasa tidak

Disusun dan disarikan dari berbagai sumber oleh Sekretariat Wilayah & Sie Peribadatan
Materi Pembekalan Calon Babtisan Bayi – Wilayah Rohani Sta. Margaretha Maria Alacoque

mempunyai materi yang memadai. Perlu dipikirkan bagaimana menggali potensi yang ada di dalam
Gereja Katolik, sehingga memungkinkan kita mempunyai bahan dan metode pengajaran iman Katolik
yang dapat dijangkau oleh seluruh umat beriman dari berbagai tempat. Yang perlu dipikirkan adalah
memberikan informasi selengkap mungkin, sehingga memungkinkan katekis untuk memilih bahan yang
ada dan menerapkannya secara kreatif pada peserta yang mempunyai latar belakang, umur, budaya dan
pendidikan yang berbeda.

Kurangnya pendidikan iman anak sejak usia dini


Mari, kita melihat permasalahan dan tantangan ini secara lebih mendalam. Hal kurangnya pendidikan
iman anak sejak usian dini terlihat tidak saja di rumah/ di tengah keluarga, tetapi juga di sekolah, bahkan
di sekolah Katolik, dan juga di paroki. Seandainya sudah ada sekalipun, patutlah kita pertanyakan,
apakah sudah cukup memadai, terutama jika ada cukup banyak umat Katolik yang meninggalkan Gereja
Katolik.

1. Kurangnya pendidikan iman Katolik di dalam keluarga


Dewasa ini ada banyak anak- anak yang menganggap rumah hanya sebagai tempat makan dan tidur.
Kedua orang tua sibuk dengan urusan mereka masing- masing, sehingga tidak ada waktu yang cukup
untuk berkomunikasi dengan anak- anak. Jika berkomunikasi tentang hal- hal yang sehari- hari saja
sudah kurang, apalagi pembicaraan tentang Tuhan dan iman Katolik. Kurangnya perhatian dari orang tua
ini mengakibatkan anak- anak mencari kesenangannya sendiri, asyik dengan dunia mereka sendiri, dan
mencari pemenuhan kebutuhan mereka untuk diperhatikan dan dikasihi dengan cara mereka sendiri.
Sebagian mungkin mendapatkannya dari permainan game di komputer/ internet, chatting di FB (Face
book), BBM (BlackBerry Messenger), nonton TV atau jalan- jalan/ shopping di Mall. Anak- anak dewasa
ini berkembang menjadi pribadi yang cenderung individualistik daripada berorientasi komunal dan
berinteraksi langsung dengan orang- orang di sekitar mereka. Atau, kesenangan sesaat dan kehidupan
hura- hura yang serba instan menjadi pilihan banyak anak muda sekarang ini. Soal iman? Bagi mereka
sepertinya hanya prioritas kedua, atau bahkan bahkan tidak menjadi prioritas sama sekali. Soal Tuhan?
Mungkin kurang menarik perhatian mereka. Dalam kondisi ini, orang tua seolah tak berdaya, dan
akhirnya menyerah sambil berkata, ‘Jaman sekarang memang berbeda dengan jaman dulu…. Sekarang
terserah anaknya saja deh, kita orang tua hanya dapat mendoakan…. ’
Suatu ironi, sebab seharusnya tugas utama orang tua adalah mendidik anak- anak agar mereka
mengenal dan mengasihi Allah, dan karena mengasihi Allah, mereka dapat mengasihi sesama; dan
dengan demikian orang tua menghantar anak- anak mereka ke Surga. Jadi sesungguhnya pembentukan
karakter anak sampai menjadikan mereka pribadi- pribadi yang mengutamakan Allah, merupakan tugas
orang tua. Sejauh mana hal ini dilakukan oleh para orang tua, jika sehari- harinya anak- anak
menghabiskan sebagian besar waktu di depan komputer/ TV atau alat- alat komunikasi lainnya, tanpa
atau sedikit sekali berkomunikasi dengan orang tua? Bagaimana orang tua dapat menampakkan wajah
Tuhan bagi anak- anak, jika sehari- harinya anak- anak jarang melihat wajah orang tua mereka? Atau jika
orang tua ada di rumah, apakah mereka memberikan perhatian khusus kepada anak- anak, ataukah
malah sibuk dengan urusan mereka sendiri? Sejauh mana orang tua mengarahkan anak- anak, sehingga
di tengah kesibukan mereka, anak- anak tetap mau berdoa dan membaca Kitab Suci?

2. Kurangnya pendidikan iman Katolik di sekolah


Pendidikan iman Katolik juga tidak mudah diperoleh di sekolah- sekolah, baik di sekolah negeri maupun
juga di sekolah- sekolah Katolik sendiri. Adanya kondisi pluralitas di masyarakat kita menjadikan sekolah-
sekolah Katolik sepertinya kehilangan jati diri dalam menyampaikan ajaran iman Katolik. Pendidikan
iman Katolik umumnya diidentikkan dengan mata pelajaran Agama sekali seminggu, dan diadakannya
Misa Kudus bagi semua murid sebanyak sebulan sekali. Dari pengalaman kami pribadi, penekanan yang

Disusun dan disarikan dari berbagai sumber oleh Sekretariat Wilayah & Sie Peribadatan
Materi Pembekalan Calon Babtisan Bayi – Wilayah Rohani Sta. Margaretha Maria Alacoque

lebih ditekankan adalah perbuatan baik, dan hanya sedikit pembahasan tentang iman Katolik. Akibatnya
anak- anak tidak sungguh- sungguh mengenal iman Katolik, atau mengenalnya hanya sebatas hafalan
dalam pelajaran Agama, namun kurang menangkap esensinya sebagai yang mendasari segala perbuatan
mereka. Pengenalan akan Kristus relatif minim, sehingga anak- anak tidak atau kurang mempunyai
hubungan yang pribadi dengan Kristus. Pengenalan tentang arti Gereja juga kurang memadai, sehingga
mereka tidak merasa sebagai bagian di dalamnya dan tidak berkeinginan untuk membaktikan diri
membangun Gereja demi kasih mereka kepada Kristus. Dalam kondisi semacam ini tak mengherankan
jika angka panggilan imamat atau kehidupan religius merosot.
Pendidikan iman yang komprehensif juga nampaknya masih merupakan ‘barang langka’ di tanah air.
Artinya, pendidikan iman Katolik yang terintegrasi dengan semua mata pelajaran yang lain, mulai dari
sejarah umat manusia, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, bahasa Inggris dan bahasa
Indonesia, kesenian, dst. Para guru juga mempunyai tanggung jawab untuk tidak hanya menjadi
pengajar ilmu untuk mengisi otak, namun juga teladan iman untuk mengisi hati para murid mereka.
Memang untuk melakukan hal- hal ini tidak mudah, dan memerlukan kerja keras dari pihak pengajar dan
koordinator kurikulum di sekolah, namun jika dilakukan, sesungguhnya sangat baik.

3. Kurangnya pendidikan iman Katolik di Paroki


Di paroki, pendidikan iman Katolik pada anak- anak juga mempunyai permasalahannya sendiri.
Tantangan yang dihadapi oleh para orang tua dan guru di sekolah, sebenarnya juga dihadapi oleh para
pengajar/ katekis di paroki. Bagaimana memperkenalkan Kristus dan misteri Paska-Nya kepada anak-
anak se-efektif mungkin, menjadi PR (Pekerjaan rumah) para guru Bina Iman/ katekis dan juga para
imam di paroki. Bina Iman bukan sekedar tempat berkumpulnya anak- anak untuk bermain dan
mewarnai, melainkan sarana untuk menyampaikan pengajaran iman yang dapat masuk di dalam pikiran
dan hati anak- anak, sehingga mereka dapat bersuka cita dan mensyukuri karunia iman yang Tuhan
sudah berikan kepada mereka.
Dewasa ini tenaga pengajar Bina Iman ataupun katekisasi secara umum adalah tenaga sukarela, dan
banyak di antaranya yang tidak secara khusus dibekali dengan latar belakang sebagai pengajar iman
Katolik. Dengan demikian, sangatlah logis jika memang para katekis membutuhkan buku panduan yang
dapat dijadikan acuan untuk mengajar. Di beberapa pertemuan guru- guru Bina Iman, evaluasi yang
disampaikan antara lain menyebutkan kesulitan mereka untuk memperoleh bahan- bahan pengajaran
(yang lengkap: dengan kisah, pembahasan, permainan, gambar, nyanyian, dari kisah- kisah Perjanjian
Lama dan Perjanjian Baru) untuk disampaikan kepada anak- anak. Umumnya mereka harus ‘meracik’
sendiri bahan pengajaran di antara tim pengajar. Dengan demikian, diperlukan waktu untuk
membicarakannya dan mempersiapkannya, dan ini tidak selamanya hal ini mudah bagi para relawan
pengajar, di tengah- tengah kesibukan mereka dalam pekerjaan/ keluarga.
Selain itu, jika diperhatikan, terdapat waktu jeda bagi pembinaan iman anak, yaitu periode antara waktu
setelah Komuni Pertama sampai menjelang penerimaan Sakramen Penguatan/ Krisma. Ada beberapa
paroki yang telah mengadakan Bina Iman Remaja, atau merekomendasikan anak- anak ini untuk
bergabung dengan dalam komunitas Putera/i Altar. Namun kita mengetahui bahwa hanya sedikit
prosentase jumlah anak- anak dalam paroki yang tergabung dengan kegiatan ini. Maka kelompok
mayoritas anak- anak di paroki tidak ‘tertangani’ pendidikan imannya.
Dewasa ini kitapun perlu memberikan perhatian kepada anak- anak Katolik yang bersekolah di sekolah-
sekolah National plus, yang juga kurang mendapat pengajaran tentang iman Katolik. Prosentase jumlah
anak- anak ini nampaknya terus menanjak setiap tahunnya, dan banyak di antara mereka mempunyai
kesulitan untuk bergabung dalam kegiatan Bina Iman di paroki, antara lain karena bahasa yang
digunakan dalam proses katekese tersebut adalah bahasa Indonesia, sedangkan anak- anak ini lebih
terbiasa menggunakan bahasa Inggris untuk berkomunikasi.
Bagaimana seharusnya?

Disusun dan disarikan dari berbagai sumber oleh Sekretariat Wilayah & Sie Peribadatan
Materi Pembekalan Calon Babtisan Bayi – Wilayah Rohani Sta. Margaretha Maria Alacoque

Konsili Vatikan II dalam Deklarasi tentang Pendidikan Kristiani (Gravissimum Educationis) menyatakan
tujuan pendidikan secara umum, dan pendidikan Kristiani secara khusus, demikian:

1. Secara umum
“Tujuan pendidikan dalam arti sesungguhnya ialah: mencapai pembentukan pribadi manusia dalam
perspektif tujuan terakhirnya dan demi kesejahteraan kelompok-kelompok masyarakat, di mana ia
sebagai manusia, adalah anggotanya, dan bila sudah dewasa ia akan mengambil bagian menunaikan
tugas kewajiban di dalamnya.”[4]. Tujuan terakhir manusia yang dimaksud di sini adalah kehidupan
kekal bersama Allah di Surga. Dengan demikian, pendidikan secara umum harus mengarah kepada
pembentukan (formation) pribadi manusia secara utuh, baik dari segi fisik, moral, intelektual agar anak-
anak dapat menjadi manusia yang bertanggung jawab di dalam menghadapi kehidupan ini, agar kelak
dapat masuk dalam Kerajaan Surga.

2. Secara khusus
a. Pendidikan Kristiani bertujuan untuk pendalaman misteri keselamatan, iman, makna kekudusan,
memberi kesaksian tentang pengharapan Kristiani.

“Pendidikan Kristiani itu tidak hanya bertujuan pendewasaan pribadi manusia seperti telah diuraikan,
melainkan terutama hendak mencapai, supaya mereka yang telah dibaptis langkah demi langkah
semakin mendalami misteri keselamatan, dan dari hari ke hari makin menyadari kurnia iman yang telah
mereka terima; supaya mereka belajar menyembah Allah Bapa dalam Roh dan kebenaran (lih. Yoh 4:23),
terutama dalam perayaan Liturgi; supaya mereka dibina untuk menghayati hidup mereka sebagai
manusia baru dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya (Ef 4:22-24); supaya dengan
demikian mereka mencapai kedewasaan penuh, serta tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan
kepenuhan Kristus (lih. Ef 4:13), dan ikut serta mengusahakan pertumbuhan Tubuh Mistik. Kecuali itu
hendaklah umat beriman menyadari panggilan mereka, dan melatih diri untuk memberi kesaksian
tentang harapan yang ada dalam diri mereka (lih. 1Ptr 3:15) serta mendukung perubahan dunia menurut
tata-nilai Kristiani …”[5]

b. Pendidikan Kristiani harus menanamkan nilai- nilai esensial di dalam hidup manusia

“Bahkan di tengah kesulitan- kesulitan karya pendidikan, kesulitan- kesulitan yang kadang lebih besar
dewasa ini, para orang tua harus dengan yakin dan berani mendidik anak- anak mereka tentang nilai-
nilai esensial di dalam hidup manusia. Anak- anak harus tumbuh dengan sikap yang benar tentang
kemerdekaan [ketidak- terikatan] terhadap barang- barang materi, dengan menerapkan gaya hidup yang
sederhana dan bersahaja, yakin bahwa “manusia itu lebih berharga karena apa adanya dia daripada
karena apa yang dia miliki.”[6]

Adalah suatu permenungan, sejauh manakah hal- hal yang disebutkan di atas dilakukan di dalam
keluarga, di sekolah dan di paroki?

Pendidikan iman Katolik di dalam keluarga


a. Orang tua adalah pendidik pertama dan utama anak- anak

Disusun dan disarikan dari berbagai sumber oleh Sekretariat Wilayah & Sie Peribadatan
Materi Pembekalan Calon Babtisan Bayi – Wilayah Rohani Sta. Margaretha Maria Alacoque

“Karena orang tua telah menyalurkan kehidupan kepada anak-anak, orang tua terikat kewajiban amat
serius untuk mendidik anak-anak mereka. Maka orang tualah yang harus diakui sebagai pendidik yang
pertama dan utama bagi anak- anak mereka”[7]. Dengan demikian, orang tua harus menyediakan waktu
bagi anak- anak untuk membentuk mereka menjadi pribadi- pribadi yang mengenal dan mengasihi Allah.
Kewajiban dan hak orang tua untuk mendidik anak- anak mereka tidak dapat seluruhnya digantikan
ataupun dialihkan kepada orang lain.[8]

Orang tua sebagai pendidik utama dalam hal iman kepada anak- anak berarti orang tua harus secara
aktif mendidik anak- anak dan terlibat dalam proses pendidikan anak- anaknya. Orang tua sendiri harus
mempraktekkan imannya, berusaha untuk hidup kudus, dan terus menerapkan ajaran iman dalam
kehidupan keluarga di rumah. Ini adalah sangat penting, agar anak melihat bahwa iman itu bukan hanya
untuk diajarkan tetapi untuk dilakukan, dan diteruskan lagi kemudian, jika anak- anak sendiri
membentuk keluarga di kemudian hari.

Sebagai pendidik utama, maka orang tua harus terlibat dalam proses pendidikan yang dilakukan oleh
sekolah, dan orang tua bertugas membentuk anak- anaknya. Orang tua harus mengetahui apa yang
sedang dipelajari oleh anak- anaknya di sekolah, buku- buku yang mereka baca, bagaimana sikap dan
tabiat anaknya di sekolah, siapakah teman- teman anak- anaknya, dan sebagainya. Tugas dan
tanggungjawab ini ini tidak dapat dialihkan ataupun dipasrahkan kepada pembantu rumah tangga
ataupun guru les. Orang tua tidak dapat memusatkan perhatian untuk urusan dan pekerjaan mereka
sendiri, dan kurang mempedulikan atau kurang mau terlibat dalam pendidikan anak- anak. Mengirim
anak- anak untuk les pelajaran, atau menyekolahkan anak di sekolah national plus, tidak menjamin
pembentukan karakter anak dengan baik.

Demikian pula dalam hal iman. Banyak orang tua berpikir, asal sudah mengirimkan anak ke Bina Iman,
maka tugasnya selesai. Pemikiran sedemikian sungguh keliru. Guru- guru di sekolah, guru les ataupun
guru Bina Iman hanyalah membantu orang tua, namun orang tua tetaplah yang harus melakukan
tugasnya sebagai pendidik utama. Mendidik anak dalam hal iman sesungguhnya tidak sulit, karena dapat
dimulai dari hal- hal sederhana. Namun dibutuhkan komitmen dan pengorbanan dari pihak orang tua,
misalnya: berdoa bersama anak- anak dan membacakan kisah Kitab Suci kepada mereka setiap malam,
membawa anak- anak ikut Misa Kudus dan sesudahnya menjelaskan kepada anak- anak maknanya,
mendorong anak- anak agar mempraktekkan suatu ajaran Sabda Tuhan, memberi koreksi jika anak
berbuat salah namun setelahnya tetap merangkul dengan kasih, dst.

Orang tua juga harus mempunyai perhatian kepada pengaruh media massa ke dalam kehidupan anak-
anak. Terlalu banyak menonton TV tidak memberikan efek yang baik pada anak, apalagi jika anak- anak
menonton TV tanpa pendampingan dari orang tua. Demikian pula dengan terlalu banyak bermain video
game, apalagi jika permainannya bersifat kekerasan yang sadis, seperti tembak- tembakan,
pembunuhan, dst, yang secara tidak langsung merangsang sifat- sifat agresif pada anak- anak, seperti
kemarahan, kekerasan, tidak mau mengalah, dst. Tak kalah seru, adalah kebiasaan ber FB (Face book) di
kalangan anak- anak remaja. Jika memungkinkan, silakan orang tuapun ber FB, bukan untuk memata-
matai anak, namun untuk mengetahui sekilas lingkungan pergaulan anak. Ada resiko yang umum terjadi,
yaitu jika anak terlalu banyak ‘bermain’ sendiri dengan komputer, TV, atau sejenisnya, maka lama
kelamaan ia menjadi tidak terbiasa untuk berinteraksi dengan orang lain. Ia menjadi kurang luwes di
dalam pergaulan, kurang dapat membawa diri, dan terlalu berpusat kepada diri sendiri. Tidak berarti
bahwa TV, game internet dan FB memberikan efek buruk semuanya. Efek negatif itu terjadi jika yang
ditonton, atau yang dimainkan tidak sesuai dengan ajaran iman dan moral; atau yang diajak

Disusun dan disarikan dari berbagai sumber oleh Sekretariat Wilayah & Sie Peribadatan
Materi Pembekalan Calon Babtisan Bayi – Wilayah Rohani Sta. Margaretha Maria Alacoque

berkomunikasi adalah orang- orang yang tidak membangun iman, atau malahan menjerumuskan
mereka; atau jika hal menonton TV dan bermain komputer tersebut sampai menyita hampir semua
waktu luang. Mengapa? Sebab jika ini yang terjadi, hati dan pikiran anak tidak lagi terarah kepada Tuhan
dan Kerajaan-Nya.
b. Orang tua berkewajiban untuk menyampaikan pendidikan dalam hal nilai- nilai esensial dalam hidup
manusia.

Dari orang tualah anak- anak belajar akan nilai- nilai yang esensial dan terpenting di dalam hidup. Nilai-
nilai esensial ini menurut Paus Yohanes Paulus II dalam Pengajaran Apostoliknya, Familiaris Consortio,
adalah: 1) keadilan yang menghormati martabat setiap manusia, terutama mereka yang termiskin dan
yang paling membutuhkan bantuan; 2) hukum kasih: memberikan diri untuk orang lain dan memberi
adalah suka cita, 3) pendidikan seksualitas yang menyangkut keseluruhan pribadi manusia, baik tubuh,
emosi maupun jiwa; 4) pendidikan tentang kemurnian (chastity); 5) pendidikan moral yang menjamin
anak- anak bertanggungjawab.[9].

c. Orang tua harus mengusahakan suasana kasih di rumah

Maka para orang tua harus menciptakan suasana di rumah yang penuh kasih dan penghormatan kepada
Tuhan dan sesama, sehingga pendidikan pribadi dan sosial yang menyeluruh bagi anak- anak dapat
ditumbuhkan[10]. Kasih orang tua adalah dasar dari pendidikan anak, sehingga kasih itu harus menjiwai
semua prinsipnya, disertai juga dengan nilai- nilai kebaikan, pelayanan, tidak pilih kasih, kesetiaan dan
pengorbanan[11]. Dalam hal ini, komunikasi antara anak dan orang tua adalah sangat penting, sebab
tanpa komunikasi akan sangat sulit menciptakan suasana yang penuh kasih di dalam keluarga.
d. Keluarga harus menjadi sekolah pertama untuk menanamkan kebijakan Kristiani dan orang tualah
yang memberikan teladan.

Keluarga harus menjadi sekolah yang pertama untuk menanamkan nilai- nilai dan kebajikan Kristiani,
seperti: memaafkan kesalahan orang lain, belajar meminta maaf jika berbuat salah, saling menghormati,
saling berbagi, saling menolong, saling menghibur jika ada yang kesusahan, saling memperhatikan
terutama kepada yang lemah, sakit, dan miskin, saling mengakui kelebihan dan kekurangan tiap- tiap
anggota keluarga, rela berkorban demi kebaikan orang lain, dst. Orang tua selayaknya memberikan
teladan dalam nilai- nilai Kristiani tersebut, dan bukan hanya dengan perkataan, tetapi terlebih dengan
perbuatan. Anak- anak akan dengan lebih cepat belajar melalui teladan perbuatan orang tua daripada
dari apa yang diajarkannya melalui perkataan saja.
e. Pengajaran tentang iman dalam keluarga dapat dilakukan di setiap kesempatan dan dapat dikemas
menarik

Pengajaran tentang Allah dan perintah- perintah-Nya ini tidak harus diberikan dalam bentuk ‘kuliah’ bagi
anak, yang pasti membosankan, tetapi hendaknya dikemas dalam bentuk yang lebih hidup dan menarik,
sesuai dengan umur anak. Quiz/ bermain tebak- tebakan, ayah atau ibu membacakan Kitab Suci
bergambar, atau sama- sama menonton DVD rohani dan dilanjutkan dengan diskusi singkat dapat
menjadi suatu pilihan. Di samping itu, jangan dilupakan bahwa setiap kejadian yang paling sederhana
sekalipun dapat dijadikan momen untuk pengajaran tentang iman. Contohnya pada saat anak jatuh
ketika belajar bersepeda, dapat dijadikan momen untuk mengajarkan betapa kita sebagai manusia dapat
jatuh dalam kesalahan dan dosa, namun Tuhan dapat menolong kita sehingga kita dapat bangkit lagi,
sebelum akhirnya kita berhasil. Atau contoh lain, pada saat ada tetangga/ saudara yang membutuhkan
pertolongan, itulah saatnya kita sekeluarga pergi menjenguk dan menghibur mereka.

Disusun dan disarikan dari berbagai sumber oleh Sekretariat Wilayah & Sie Peribadatan
Materi Pembekalan Calon Babtisan Bayi – Wilayah Rohani Sta. Margaretha Maria Alacoque

Jika anak telah bertumbuh remaja, kemungkinan pengajaran tentang iman dapat dilakukan dengan lebih
mendalam, misalnya, sharing tentang pengalaman dalam hari itu, tentang latihan kebajikan tertentu
yang disepakati bersama sehari sebelumnya, misalnya tentang kesabaran. Dengarkan pengalaman anak
dan ceritakan juga pengalaman kita sebagai orang tua sepanjang hari itu untuk menjadi orang yang
sabar. Baik jika sharing ini ditutup dengan doa. Jika hal ini terus konsisten dilakukan, baik orang tua
maupun anak sama- sama bertumbuh dalam kekudusan.
f. Doa bersama sekeluarga merupakan hal yang harus dilakukan

Orang tua harus mengusahakan agar dapat melakukan doa bersama sekeluarga setiap hari, entah pada
pagi hari atau sore hari. Mother Teresa pernah mengatakan, “A family that prays together, stays
together” (Keluarga yang berdoa bersama, tetap bersatu bersama). Doa bersama juga dilakukan pada
saat sebelum dan sesudah makan. Doa bersama dapat berupa Ibadat Harian, doa spontan, doa rosario,
atau doa kaplet Kerahiman Ilahi, dan seterusnya, dan dapat juga dinyanyikan. Doa dapat dilanjutkan
dengan renungan Kitab Suci, dan anak- anak dan orang tua dapat melakukan sharing iman sesuai dengan
ayat- ayat yang direnungkan.

g. Orang tua mengarahkan anak- anak untuk bergabung ke dalam Gereja

Melalui keluargalah anak- anak secara berangsur- angsur diarahkan ke dalam persekutuan dengan
saudara- saudari seiman yang lain di dalam Gereja. Orang tua berkewajiban untuk membawa anak- anak
untuk turut mengambil bagian dalam kehidupan Gereja, baik dalam ibadah di paroki atau di lingkungan,
ataupun kegiatan rohani dalam komunitas- komunitas Gereja. Persaudaraan sesama umat Katolik di
dalam Kristus, harus juga diperkenalkan sejak dini kepada anak- anak. Orang tua juga harus memberikan
dorongan kepada anak- anak untuk mengambil bagian dalam sakramen- sakramen Gereja, terutama
Ekaristi dan Tobat.
Pendidikan iman Katolik di sekolah

Sekolah melaksanakan peran yang penting di dalam membantu para orang tua mendidik anak- anak
mereka. Dalam hal ini, sekolah tidak hanya bertugas untuk membantu pertumbuhan intelektual anak,
tetapi juga kemampuan untuk bertindak dengan bijak, memilah hal- hal yang baik dan yang buruk,
meneruskan tradisi yang baik dari generasi sebelumnya, dan untuk mempersiapkan anak- anak untuk
kehidupan sesuai dengan profesi mereka di masa datang.

Berikut ini adalah masukan tentang “Apakah yang menjadikan suatu sekolah adalah Sekolah Katolik?”
yang kami peroleh dari Maria Brownell, salah seorang kontributor situs Katolisitas. Maria berdomisili di
Wisconsin, Amerika Serikat, dan ia aktif terlibat dalam penyusunan kurikulum salah satu sekolah Katolik
di sana:

“Apakah yang menjadikan suatu sekolah adalah Sekolah Katolik?

1. Sekolah Katolik adalah sekolah yang bertujuan untuk membentuk anak menjadi kudus

Tujuan dari sekolah tersebut adalah tidak hanya mengajar, melainkan juga membentuk anak- anak
menjadi pribadi yang utuh. Sekolah tidak hanya harus mengajar mereka secara akademis, tetapi juga
untuk harus bekerja keras untuk membawa mereka kepada kekudusan. Manusia terdiri atas tubuh dan
jiwa, maka sekolah Katolik yang baik harus tidak hanya mengisi ‘kepala’ murid- muridnya dengan
informasi, tetapi harus juga mengisi hati murid- muridnya dengan iman Katolik dan kasih. Sekolah

Disusun dan disarikan dari berbagai sumber oleh Sekretariat Wilayah & Sie Peribadatan
Materi Pembekalan Calon Babtisan Bayi – Wilayah Rohani Sta. Margaretha Maria Alacoque

Katolik harus menanamkan dalam hati murid- muridnya, hati yang mengasihi dan melayani: pelayanan
kepada sesama, kepada negara dan kepada Tuhan.
2. Semua guru/ pendidik di sekolah harus Katolik dan bekerja sama dengan para orang tua murid untuk
mendidik anak- anak, terutama dalam hal iman.

a. Semua guru di sekolah harus Katolik dan mereka harus mengenal/ mengetahui tentang iman Katolik
dengan baik, dan melaksanakan ajaran iman mereka. Mereka harus percaya, setuju dan mengasihi
semua ajaran Katolik. Guru- guru juga harus mengejar kekudusan dalam kehidupan mereka sehari- hari.

b. Adalah ideal jika sekolah mempunyai juga imam pembimbing rohani yang turut aktif membina
sekolah tersebut. Atau suster (biarawati) yang juga dapat mengajar para murid. Imam, biarawan
ataupun biarawati yang mengajar di sekolah -misalnya untuk mata pelajaran Agama atau mata pelajaran
lain sesuai dengan keahlian masing- masing- dapat menjadi tokoh panutan bagi murid- murid dan
membantu mereka untuk semakin meneladani Kristus.

c. Para guru juga harus menerapkan ajaran iman Katolik di dalam pengajaran mereka di dalam setiap
mata pelajaran. Mereka harus mencari kesempatan- kesempatan untuk meng-integrasikan iman dalam
pengajarannya kepada murid- murid.

d. Setiap murid harus dihargai martabatnya sebagai anak Allah, dan sebaliknya semua murid harus
menghormati dan menaati para gurunya.

e. Sekolah harus bersama- sama dengan orang tua mendidik anak- anak dan membentuk karakter
mereka, sebab pada akhirnya, orang tua-lah yang merupakan pendidik pertama dan utama dalam hal
iman bagi anak- anak. Orang tua harus juga mendukung para guru, dan tidak cenderung mempunyai
sikap curiga kepada guru yang memberikan koreksi ataupun teguran kepada anaknya.
3. Kurikulum sekolah harus Katolik:

a. Liturgi harus dimasukkan di dalam kurikulum sekolah, seperti perayaan Misa Kudus, adorasi Sakramen
Mahakudus, dst.

b. Buku- buku yang dipergunakan harus baik secara akademis, namun juga setia terhadap ajaran Gereja.
Ini tidak berarti bahwa semua buku harus merupakan buku- buku Katolik. Namun demikian, buku- buku
tersebut harus tidak bertentangan dengan ajaran Gereja. Semua buku harus mengajarkan semua mata
pelajaran secara akademis dengan baik.

c. Kurikulum harus mengajarkan kepada para murid, “Bagaimana untuk BELAJAR” dan “Bagaimana untuk
BERPIKIR”, dan bukan hanya sekedar memberikan kepada mereka banyak informasi. Kurikulum harus
mengajar anak- anak untuk berpikir kritis, analitis dan jika memungkinkan secara filosofis. Pada
akhirnya, setelah luus SMA anak- anak harus dapat menjawab beberapa pertanyaan fundamental,
seperti: Siapakah aku? Mengapa saya ada di dunia? Apakah tujuan hidupku? Siapakah Tuhan dan apakah
rencana-Nya bagi dunia dan saya?

d. Iman harus diintegrasikan ke dalam kurikulum, di dalam semua mata pelajaran. Semua mata
pelajaran berhubungan dan saling mendukung satu dengan lainnya. Sebagai contohnya, ketika mereka
belajar sejarah, mereka perlu juga melihat sejarah dari sudut pandang Katolik. Kurikulum pelajaran
sejarah harus juga mengajarkan tentang sejarah keselamatan dari Tuhan, peran para Santa/ Santo
dalam kurun waktu/ sejarah tertentu.

Disusun dan disarikan dari berbagai sumber oleh Sekretariat Wilayah & Sie Peribadatan
Materi Pembekalan Calon Babtisan Bayi – Wilayah Rohani Sta. Margaretha Maria Alacoque

e. Literatur dan buku- buku bacaan harus memasukkan buku- buku Katolik dan kisah- kisah klasik yang
mengajarkan nilai- nilai kebajikan dan membedakan antara yang baik dari yang jahat, yang benar dari
yang salah. Di mata Tuhan, pada akhirnya orang- orang yang baik akan menang dan mereka yang jahat
selalu kalah. Contohnya, buku kisah the Chronicles of Narnia adalah lebih baik daripada Harry Potter,
karena karena pada kisah Narnia, tokoh- tokoh utamanya adalah anak- anak yang baik, dan bukan
penyihir. Dewasa ini banyak buku yang ingin mengacaukan konsep yang baik dan yang jahat pada anak-
anak. Kejahatan dapat kelihatan bagus, menarik dan berani, namun kejahatan adalah kejahatan, dan kita
tidak dapat membungkusnya dengan gula- gula seolah- olah itu baik.

f. Penekanan harus diberikan pada mata pelajaran dasar, seperti: membaca, menulis dan artimetika
(matematika). Sekolah harus mengajarkan kepada anak- anak bagaimana membaca dengan baik,
terutama buku- buku dengan banyak tulisan (bukan buku berupa komik yang memuat banyak gambar).

g. Contoh- contoh adalah sangat penting, terutama ketika guru mengajarkan matematika dan ilmu
pengetahuan. Anak- anak dapat belajar dengan baik ketika mereka menggunakan indera mereka, tidak
hanya dengan mata, telinga dan otak, tetapi juga dengan alat peraba (misalnya pengajaran
penjumlahan, dipraktekkan dengan menghitung koin, dst). Kurikulum harus mengkaitkan buku- buku
pelajaran dengan kehidupan nyata. Oleh karena itu, pengalaman praktis adalah sesuatu yang baik.
Contohnya, ajarkan mereka untuk menghargai dan menyukai ilmu pengetahuan melalui pengalaman
keluar melihat alam sekitar, tidak saja dari buku. Saat -saat seperti ini, adalah saatnya bagi para guru
untuk mengajarkan tentang Tuhan dan keajaiban alam ciptaan-Nya.

4. Lingkungan di dalam sekolah harus Katolik:

a. Harus ditekankan dan dipelihara, suatu lingkungan sekolah yang menyatakan kasih dan saling
menghormati, di antara para guru, murid dan staf di sekolah. Tidak diperkenankan saling berteriak/
marah- marah/ kasar satu sama lain (di antara guru, antara guru dan murid- murid ataupun di antara
para murid). Jika seorang murid berbuat salah, jangan dipermalukan: tidak diperkenankan mengkoreksi
murid di hadapan para murid yang lain.

b. Para murid harus merasa bahwa mereka dikasihi dan dihargai. Guru- guru ada di sana untuk
membantu mereka untuk menjadi seseorang seperti yang dikehendaki oleh Tuhan.

c. Tidak perlu menghargai mereka dengan banyak kado/ bingkisan. Para murid seharusnya di harapkan
untuk melakukan yang terbaik menurut kemampuan mereka, dan untuk memberikan apa yang terbaik
dari diri mereka kepada Tuhan.

d. Para Santa/ Santo harus menjadi teladan mereka, dan bukan para bintang film/ selebriti. Maka adalah
tugas para guru untuk memperkenalkan teladan para Santa/o kepada para muridnya.

e. Para guru harus mengajar anak- anak bagaimana untuk berpikir sendiri, dan untuk memberikan
dorongan/ inspirasi agar mereka menjadi yang terbaik bagi Tuhan, mencintai Tuhan dan sesama, dan
mencintai Gereja. Ketentuan disiplin harus berdasarkan kebajikan. Ketentuan tersebut harus
mendorong para murid untuk menjadi semakin berbudi dan kudus.

Disusun dan disarikan dari berbagai sumber oleh Sekretariat Wilayah & Sie Peribadatan
Materi Pembekalan Calon Babtisan Bayi – Wilayah Rohani Sta. Margaretha Maria Alacoque

f. Persaingan dalam sekolah harus tidak hanya di bidang akademis, olah raga dan musik, tetapi juga
dalam hal pembangunan karakter. Sebagai contohnya, penghargaan juga harus diberikan terhadap
murid- murid yang mempunyai hati yang melayani, pekerja keras/ rajin, dan suka menolong, dst.”

Dengan demikian, memang ada banyak hal yang dapat dilakukan untuk menjadikan sekolah benar-
benar sekolah Katolik, yang sungguh- sungguh mengajarkan iman Katolik dan mengintegrasikannya di
dalam seluruh kegiatan belajar dan mengajar di sekolah.
Beberapa contoh konkret yang dapat dilakukan di Indonesia:

a. Doa bersama sebelum sekolah dimulai. Baik jika diterapkan doa Malaikat Tuhan (Angelus) pada jam
12 siang, dilanjutkan dengan renungan singkat Kitab Suci dan tentang kisah riwayat orang kudus (Santa/
santo) pada hari itu sesuai dengan kalender liturgi Gereja.

b. Diadakan Misa Kudus bersama minimal seminggu sekali (jika dapat diusahakan lebih sering lebih
baik), dengan disediakannya kesempatan mengaku dosa dalam Sakramen Pengakuan Dosa sebelum
Misa dimulai, dan Ibadah Tobat minimal sebulan sekali.

c. Diadakan kantin kejujuran (kantin tanpa penjaga, para pembeli harus dengan jujur membayar sesuai
dengan jumlah yang dibeli). Tentu anak- anak perlu dilatih untuk dapat memahami cara kerja kantin ini.

d. Diadakan piket kebersihan digilir per kelas untuk melatih anak- anak saling melayani.

e. Pelajaran tentang iman Katolik diintegrasikan dengan seni: seni suara/ musik, seni lukis, menjahit,
keramik, pidato dst.

f. Demikian juga pada pelajaran ilmu pengetahuan, hindari menggunakan buku- buku yang tidak sesuai
dengan ajaran iman Katolik, seperti evolusi Darwin (makroevolusi), atau buku sejarah yang mengatakan
bahwa Abad Pertengahan adalah Abad kegelapan; atau buku yang mengatakan bahwa dunia sudah
terlalu penuh, sehingga orang harus membatasi jumlah anak. Jika pemakaian buku- buku tersebut tidak
dapat dihindari, minimal para guru dapat memberikan penjelasan yang meluruskannya.

g. Pendidikan seksualitas pada anak- anak sesuai dengan umurnya, dengan menyampaikan nilai- nilai
Kristiani sesuai dengan ajaran Gereja Katolik.
Pendidikan iman Katolik di paroki

Mengingat fakta secara umum, bahwa dewasa ini banyak orang Katolik tidak sungguh- sungguh
mengenali imannya, maka pendidikan katekese sebaiknya dilakukan di semua lini, maksudnya adalah,
kepada anak- anak, kaum muda, maupun orang tua. Katekese anak dapat dilakukan melalui Bina Iman,
yang dilakukan sekali seminggu, menurut kelompok usia. Namun mungkin baik dipikirkan jika terdapat
buku panduan dari pihak keuskupan setempat, agar memudahkan para guru untuk mempersiapkan
pengajaran.

Alangkah baiknya, jika pastor paroki menghimbau dan mendukung Bina Iman, juga dalam hal mencari
para pengajar yang kompeten untuk mengajar Bina Iman. Mungkin kaum muda/ OMK dapat dilibatkan
dalam hal ini, setelah mereka menjalani semacam pelatihan untuk menjadi guru- guru Bina Iman. Jika
keuangan paroki memungkinkan, dapat pula diusahakan adanya staf khusus yang menangani hal
katekese umat, dalam hal ini untuk menjadi koordinator guru- guru Bina Iman, yang memberikan
pengarahan kepada para guru setiap minggunya (atau dua minggu sekali) sebelum mereka mengajar;

Disusun dan disarikan dari berbagai sumber oleh Sekretariat Wilayah & Sie Peribadatan
Materi Pembekalan Calon Babtisan Bayi – Wilayah Rohani Sta. Margaretha Maria Alacoque

ataupun juga mengkoordinasikan para katekis lainnya yang bertugas mengajar katekumen, calon Krisma
ataupun calon penerima Komuni pertama. Alangkah baiknya jika dalam pendidikan iman anak- anak ini,
pihak orang tua dilibatkan, misalnya dengan secara periodik mengadakan rekoleksi/ retret keluarga
ataupun semacam seminar setengah hari yang melibatkan orang tua, ataupun yang disertai dengan
acara rekreasi keluarga.

Di samping itu perlu diperhatikan adanya kesinambungan dalam pendidikan iman Katolik dari masa
kanak- kanak sampai usia dewasa. Jika tidak ada kelompok khusus antara usia Komuni pertama sampai
usia mudika maka perlu diusahakan komunitas ‘antara’ tersebut. Komunitas ini tidak selalu harus baru,
tetapi bisa juga mendayagunakan komunitas yang sudah ada, seperti Putra- Putri Altar, Legio Maria
Junior, Kelompok koor anak/ remaja, yang diberi pandampingan rohani.

Komunitas OMK atau pasangan muda juga dapat disemangati dengan katekese tentang pendalaman
iman Katolik. Selanjutnya, kelompok ini dapat didayagunakan untuk juga menjadi para guru Bina Iman
Anak dan Remaja. Jika memungkinkan, dipupuk juga pelatihan OMK untuk menjadi kelompok yang
berguna bagi kegiatan membangun kehidupan menggereja, seperti menjadi relawan yang mengunjungi
dan mendoakan umat paroki yang sakit, menjadi guru Bina Iman termasuk mengajar Bina Iman dalam
bahasa Inggris, menggiatkan kelompok Bible Study/ Bible Sharing untuk pendalaman iman, kelompok
diskusi apologetik, kelompok musik/ orkestra rohani dan seterusnya.

Hal yang juga dapat diterapkan untuk meningkatkan kualitas katekisasi adalah prinsip sponsor/
pendukung dalam proses katekumenat calon baptis. Sesungguhnya prinsip ini bukan hal yang baru,
melainkan sudah diterapkan oleh Gereja sejak jaman dulu, dan kini diterapkan kembali di banyak paroki
di negara- negara lain. Dalam proses ini, setiap katekumen didukung oleh seorang sponsor (dari salah
seorang umat yang sudah dibaptis), yaitu pendukung yang mendampingi katekumen sepanjang proses
katekumenat. Tugas seorang sponsor adalah membantu agar katekumen dapat semakin memahami
iman Katolik, membantunya menemukan motivasi yang lebih murni untuk menjadi Katolik dan
mendampinginya dalam pergumulan yang mungkin dihadapi dalam proses katekumenat. Maka para
sponsor adalah “mereka yang telah mengetahui dan membantu calon baptis dan berdiri sebagai saksi
baginya dalam hal karakter moral, iman dan intensi”.[12]. Kemungkinan, para lulusan kursus evangelisasi
di paroki dapat diarahkan untuk menjadi sponsor bagi para katekumen. Selain sponsor, setiap
katekumen juga mempunyai wali baptis yang mendampinginya, membantu pertumbuhan imannya dan
selalu mendoakannya setiap hari. “Para wali baptis adalah orang- orang yang dipilih oleh para
katekumen atas dasar teladan yang baik, persahabatan …. Adalah tanggung jawab dari para orang tua
baptis untuk memperlihatkan kepada para katekumen bagaimana mempraktekkan Injil di dalam
kehidupan pribadi dan sosial, untuk menguatkan mereka di saat- saat mereka ragu/ enggan dan kuatir,
untuk menjadi saksi dan untuk membimbing kemajuan katekumen dalam kehidupan sebelum dan
sesudah baptisan.”[13]. Karena peran sponsor dan para orang tua baptis sangatlah penting, maka
pentinglah pula dipersiapkan beberapa umat di paroki agar dapat melakukan tugas ini. Diperlukan
katekese umat dalam hal ini, agar mereka dapat terpanggil untuk menjadi sponsor [dan wali baptis] dan
melakukan tugas mereka dengan suka cita. Sponsor dan para katekis harus bersama- sama saling bahu-
membahu untuk mempersiapkan calon baptis menerima Kristus dalam sakramen- sakramen Inisiasi.
Perlu dipikirkan juga bagaimana menerapkan penggabungan para katekumen ke dalam kehidupan
seluruh umat beriman dalam liturgi, seperti yang ditetapkan dalam the RCIA (Rites of Christian Initiation
of Adults) yang disusun berdasarkan the Order of Christian Initiation of Adults yang dipromulgasikan
oleh Paus Paulus VI pada tahun 1972. Hal ini terlihat dalam beberapa ritual dalam liturgi yang
mencerminkan beberapa tahapan dalam masa katekumenat, sejak masa penerimaan sampai dibaptis,
seperti: Rite of Acceptance, Rite of Welcoming, Rite of Election, Rite of the Call to Continuing

Disusun dan disarikan dari berbagai sumber oleh Sekretariat Wilayah & Sie Peribadatan
Materi Pembekalan Calon Babtisan Bayi – Wilayah Rohani Sta. Margaretha Maria Alacoque

Conversion, Scrutinies, Sacraments of Initiation. Dan akhirnya, perlu dipikirkan bagaimana seluruh umat
di paroki menyambut mereka, sehingga mereka dapat masuk ke dalam kehidupan menggereja. Untuk
membantu umat yang baru dibaptis, maka mistagogi juga harus disusun secara serius.

Para katekis awam juga perlu terus memperdalam pengetahuan dan penghayatan mereka akan iman
Katolik, sehingga mereka dapat mengajar sesuai dengan pengajaran Magisterium Gereja; setelah
menerapkan ajaran tersebut dalam kehidupannya pribadinya sendiri. Alangkah baiknya jika seksi
Katekese KWI secara berkala mengadakan sesi pengajaran khusus tentang beberapa topik khas Katolik
secara mendalam (misalnya Maria, tentang Gereja, Sakramen, dst) yang dapat diikuti oleh semua
katekis. Harapannya agar para katekis menjadi semakin memahami ajaran iman Katolik, yang selalu
mengambil dasar dari Kitab Suci dan Tradisi Suci. Lebih lanjut, seksi Katekese KWI juga dapat
memberikan kursus kepada para katekis, yang nantinya menjadi dasar untuk pemberian sertifikat
mengajar kepada para katekis.

Selanjutnya, katekese lanjutan bagi kelompok umat yang baru dibaptis juga sangat penting. Mereka
yang baru dibaptis sebenarnya adalah ‘anak- anak’ dalam hal rohani, yang memerlukan pembinaan iman
lebih lanjut agar iman mereka dapat terus bertumbuh. Pembinaan lanjutan ini idealnya tidak hanya
dilakukan satu atau dua kali, tetapi seterusnya, sampai mereka dapat menjadi sponsor bagi para calon
baptis dalam angkatan berikutnya. Dengan demikian, harapannya proses katekese dapat berjalan
berkesinambungan dan ada proses regenerasi dalam proses tersebut.
Kesimpulan

Bahwa ada banyak umat Katolik yang tidak sungguh- sungguh mengenali imannya, menjadi tantangan
bagi kita untuk memperbaiki proses katekese di dalam Gereja Katolik. Proses katekese atau pendidikan
iman ini harus dimulai sejak dini, baik di keluarga, sekolah maupun di paroki. Di dalam semua proses
tersebut, harus tetap dipahami dan diterapkan bahwa orang tua merupakan pendidik pertama dan
utama bagi anak- anak mereka dalam hal iman dan pembentukan karakter. Dalam melakukan tugas ini,
orang tua memperoleh bantuan dari sekolah dan paroki dan ketiga pihak ini harus bersama- sama
berusaha untuk membentuk anak untuk mengasihi Tuhan dan sesama, dan menjadi pribadi yang
bertanggungjawab di dalam hidup ini, agar kelak dapat masuk dalam Kerajaan Surga. Dewasa ini ada
begitu banyak tantangan yang harus dihadapi untuk melaksanakan pendidikan iman sejak usia dini,
karena ada banyak tawaran dunia yang dapat lebih menarik perhatian anak-anak dan generasi muda.
Maka orang tua, pihak sekolah dan paroki harus bersatu padu untuk bersama- sama berusaha untuk
malaksanakan tugas pendidikan iman ini, dengan memperhatikan isi dan cara penyampaiannya. Jika
usaha terpadu ini dapat dilakukan secara berkesinambungan, dari usia dini sampai dewasa, maka besar
harapan kita bahwa semakin banyak umat Katolik dapat mengenal dan mengasihi imannya, dan dapat
pula menjadi saksi- saksi iman yang hidup untuk membangun Gereja dan masyarakat. Janganlah kita
lupa akan prinsip dasar dalam hal pendidikan iman ini : “Jangan biarkan dunia ini yang mendidik dan
membesarkan anak- anak kita, sebab sebagai orang tua, guru dan Gereja, kitalah yang harus mendidik
anak- anak agar mereka dapat masuk surga.” Mari kita bersama sebagai anggota Tubuh Kristus secara
bahu membahu bekerja bersama Kristus sang Kepala kita untuk mewujudkan kehendak-Nya yang
“mengendaki supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran” (1 Tim
2:4). Semoga pendidikan iman dalam keluarga, sekolah dan paroki mengarah kepada pengetahuan akan
kebenaran ini, yang menghantar kita sampai kepada kehidupan kekal.

Disusun dan disarikan dari berbagai sumber oleh Sekretariat Wilayah & Sie Peribadatan
Materi Pembekalan Calon Babtisan Bayi – Wilayah Rohani Sta. Margaretha Maria Alacoque

@andreas.indragunawan@gmail.com

Disusun dan disarikan dari berbagai sumber oleh Sekretariat Wilayah & Sie Peribadatan

Anda mungkin juga menyukai