Anda di halaman 1dari 9

TEKNOLOGI PENGELOLAAN LAHAN TANPA

OLAH TANAH (TOT) GUNA MENDUKUNG


PERTANIAN BERKELANJUTAN

Diajukan Untuk Mengikuti Kompetisi


ILMU TANAH FAIR 2020

Disusun oleh:
Safri Romadhoni (171510301065)

UNIVERSITAS JEMBER
2020
PENDAHULUAN
Degradasi lahan bukanlah isu baru, tetapi perhatian dunia terhadap isu ini
kembali mencuat setelah tekanan akan kebutuhan lahan untuk pertanian semakin
meningkat, dan sejalan dengan itu kesadaran global akan lingkungan juga makin
menguat, pengelolaan lahan pertanian berkelanjutan menuntut manusia di dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa menurunkan mutu lingkungan dan mutu
sumberdaya alam sehingga tetap lestari untuk diberdayakan generasi berikutnya
(FAO, 2007). Selain itu system pertanian berkelanjutan harus menjadi payung
semua teknologi yang layak secara lingkungan, teknis ekonomi dan social budaya.
Pengelolaan tanah intensif dan tidak berwawasan lingkungan
mengakibatkan tanah ter-erosi mencapai 46-482 ton/ha/th, padahal laju erosi yang
dapat di tolerir hanya 5-15 ton/ha/th (Fithriadi, dkk., 1997). Data dari lahan
pertanian Zimbagwe (Afrika) menunjukan bahwa kehilangan tanah akibat erosi
sebesar 50 ton/ha, menyebabkan kehilangan hara sebesar 105 Kg N/ha dan 8 Kg
P/ha, serta 700 Kg karbon organic/ha (Stocking,1994).
Menurut Melfi, (2005) Permukaan tanah bumi dengan kedalaman 30 cm
mengandung sekitar 800 giga ton karbon, hal ini lebih tinggi dari karbon atmosfir
yaitu sebesar 730 gigaton, dan vegetasi permukaan bumi sebesar 470-655 gigaton.
Pengolahan tanah dengan cara membalik dan membuka tanah dapat memacu
oksidasi dan aliran gas CO2, serta membuat permukaan tanah porus yang
menyebabkan cepatnya pelepasan gas CO2 dalam tanah yang mengakibatkan
meningkatnya emisi gas rumah kaca (Afandi, 2000).
Apabila kualitas tanah yang menjadi penompang utama dalam sumberdaya
pertanian terus menurun, maka pertanian (dalam arti luas) tersebut tidak dapat
menjamin kehidupan generasi esok karena tidak mampu lagi berproduksi secara
optimal, sehingga mengakibatkan penurunan pendapatan petani, atas dasar ini
penulis menyusun essay argumentative mengenai pengelolaan lahan tanpa olah
tanah (TOT) yang akan menjadi suatu teknologi di dalam sistem pertanian
berkelanjutan.

1
PEMBAHASAN
Sistem tanpa olah tanah (TOT) ini membiarkan permukaan tanah dengan
cara tidak menganggu tanah, kecuali alur kecil atau lubang tugalan untuk
penempatan benih, serta memanfaatkan sisa tanaman untuk menutupi permukaan
tanah, hal ini bertujuan untuk, mengurangi terjadinya aliran permukaan dan erosi
tanah, Meningkatkan kesuburan, keanekaragaman hayati, ketersediaan air,
porositas tanah dan sebagai penyimpan karbon dalam tanah (Utomo, 1999).

Gambar 1. Kekerasan tanah tiga system olah tanah setelah 23 tahun: T1= Olah tanah
intensif, T2= Olah tanah minimum, dan T3= tanpa olah tanah.
Sumber: Utomo, dkk., (2000).
Berdsarkan pengamatan penelitian jangka panjang yang dilakukan 1987
sampai tahun 2001 (Gambar 1) Menunjukan bahwa pada permukaan tanah 0 - 2,5
cm, kekerasan tanah TOT selama 5 - 10 tahun lebih tinggi dari pada pengolahan
tanah intensif, akan tetapi sebaliknya pada kedalaman 50 cm, justru kekerasana
tanah pengolahan lahan intensif lebih tinggi daripada TOT. mengerasnya tanah
permukaan pada perlakuan TOT tidak mempengaruhi produksi hasil tanaman,
karena akar tanaman masih mampu menembus tanah tersebut dengan baik
(Utomo, 2000).
Tabel 1. Sifat Fisik tanah pada system olah tanah jangka panjang (1997-2010).
Sifat Tanah (0-20 cm) Olah Tanah Intensif Tanpa Olah Tanah
Kelembaban tanah (%) 32,2 36
Air tersedia (% V) 10,8 12,4
Suhu (°C) 30,2 27,6
Sumber: Utomo, dkk., (2010).
Keunggulan sistem pertanian TOT dengan olah tanah intensif dapat dilihat
pada (table 1). Dimana kelembaban dam air tersedia tanah pada system TOT
menunjukan nilai yang lebih tinggi dibandingkan olah tanah intensif,

2
meningkatnya kelembaban tanah pada system TOT tidak lepas dari peranan mulsa
dari sisa tanaman. Mulsa dari seresah tersebut berpengaruh dalam mengurangi
pengaruh langsung sinar matahari dan angin, sehingga suhu tanah dan evaporasi
air menurun. Hal ini dapat terjadi karena energy dari sinar matahari yang
diperlukan untuk mengubah air menjadi uap air berkurang, selain itu udara tipis
antara mulsa dan permukaan tanah dapat mematahkan pergerakan uap air keatas,
sehingga kehilangan air melalui evaporasi menurun dan kelembaban tanah
meningkat (Blevins, dkk., 1984). Sementara itu meningkatnya ketersedian air
tanah TOT disebabkan oleh meningkatnya karbon organic tanah (Tabel 2) hasil
dekomposisi mulsa in situ yang setiap musim dikembalikan.
Penurunan suhu tanah di daerah tropic berpengaruh positif terhadap
aktifitas organisme tanah dan pertumbuhan tanaman, peranan mulsa dalam
meningkatkan kelembaban tanah dan air tersedia pada system TOT berhubungan
erat dengan peningkatan produksi terutama pada musim yang tidak terlalu basah.
Pada wilayah yang mempunyai curah hujan tinggi, peranan mulsa lebih dominan
dalam menurunkan laju erosi tanah, sehingga dapat menurunkan erodibilatas
tanah.
Tabel 2. Sifat kimia tanah pada 2 sistem olah tanah jangka panjang (1994 - 1997).
Sifat Tanah (0-20 cm) Olah Tanah Intensif Tanpa Olah Tanah
C (%) 1,3 1,6
KTK (Cmol/kg) 6,3 7,32
Sumber: Utomo, dkk., (2010).
Dari hasil penelitian jangka panjang ternyata sifat kimia tanah pada system
TOT lebih baik daripada olah tanah intensif. Meningkatnya bahan organic tanah
pada lahan TOT mampu meningkatkan muatan negative tanah yang didominasi
oleh mineral bermuatan tidak tetap. Peningkatan KTK tanah penting dalam
pengelolaaan tanah tropika karena dapat menjerap/mengikat kation sehingga
mengurangi pencucian basa-basa tanah.
Tabel 3. Sifat biologi tanah pada dua system olaha tanah jangka panjang (1990 -
1997).
Sifat Tanah (0-20 cm) Olah Tanah Intensif Tanpa Olah Tanah
Bakteri total (103 kln/g) 121 864
Mikoriza VAM (jml/100g) 146 187
Cacing tanah (jml/m2) 120 432
Sumber: Niswati, dkk., (1997).

3
Tekonologi TOT mempunyai potensi dalam meningkatkan biodiversitas
dan produktivitas tanah dalam mendukung sustainability sumberdaya tanah, Tabel
3 tersebut menunjukan bahwa tingginya nilia TOT di banding pegolahan tanah
intensif dari berbagai parameter. Meningkatnya biota tanah pada TOT berkaitan
erat dengan membaiknya kondisi mikroklimat akibat penggunaan mulsa dari
seresah sisa hasil tanaman, dan meningkatnya C-oranik tanah.
Tabel 4. Perlakuan system olah tanah jangka panjang terhadap penyimpanan C
Perlakuan Penyimpanan C
(kedalaman 0-20 cm ton C/ha)
Olah tanah intensif 42,5
Tanpa olah tanah 47,8
Sumber: Utomo, dkk., 2010)
Hasil penelitian jangka panjang yang dimulai sejak 1987 menunjukan
bahwa pada kedalaman 0-20 cm, C tersimpan dalam tanah dengan perlakuan
teknologi TOT menunjukan hasil yang lebih tinggi di banding denga olah tanah
intensif (table 4). Temuan ini dapat mendukung bahwa TOT merupakan teknologi
efektif yang mampu menyerap karbon tersimpan (C-storage) dalam tanah.
Tabel 5. Pengaruh Sistem olah tanah jangka panjang terhadap neraca karbon
pertanaman jagung per musim.
Perlakuan Brangkasan Biji Gulma Penyerapan Emisi C
(C ton/ha/musim)
Olah tanah intensif 3,4 2,8 2,3 8,5 1,5
Tanpa olah tanah 4,5 4,5 3,6 12,6 1
Sumber: Utomo, dkk., (2010).
Serapan C total di atas permukaan tanah dengan perlakuan TOT ternyata
bukan hanya mampu menurunkan C02, tetapi sekaligus mampu menyerap C
secara signifikan. Keunggulan teknologi TOT dengan olah tanah intensif ini
dalam hal penyerapan karbon biomassa di atas tanah, terutama dipasok secara
nyata oleh karbon dalam brangkasan jagung yang kelak digunakan sebagai mulsa
musim berikutnya dan penyerapan karbon yang tinggi tersebut membantu
mengurangi efek rumah kaca serta memperbaiki kualitas udara dari sector
pertanian yang saat ini sudah menjadi isu global.

4
Tabel 6. Analisis usaha tani jagung dua system olah tanah jangka panjang
Peubah Olah tanah intensif Tanpa olah tanah
Total biaya produksi (Rp/ha) 862.541 542.742
Pendapatan usahatani (Rp/ha) 375.709 1.011.957
Nisbah B-C 0,44 1,93
Sumber: Hendra, (1997).
Berdasarkan hasil analisis usaha tani jagung pada (Tabel 6) menunjukan
bahwa system TOT mampu menekan total biaya produksi sebesar 39% dan
meningkatkan pendapatan usaha tani sebesar 44-61 (%) di banding pengolahan
lahan olah tanah intensif. Penelitian yang dilakukan olaeh Soelaiman, dkk., (1993)
di tingkat petani juga menunjukan tingkat penggunaan tenaga kerja TOT pada
usaha tani jagung yang lebih rendah daripada laha olah tanah intensif.
Penghematan tenaga kerja TOT ini akan berdampak pada penurunan biaya
produksi usaha tani sehingga dapat meningkatkan pendapatan usaha tani.

PENUTUP

Sistem olah tanah intensif yang selama ini menjadi pilar bangsa ini,
ternyata untuk jangka panjang justru menyebabkan kemunduran kualitas
sumberdaya lingkungan. Selain itu dalam system olah tanah intensif memerlukan
energy, tenaga kerja dan waktu yang banyak dibanding lahan teknologi TOT. Jika
teknologi ini terus diterapkan pada lahan-lahan di indonesia, maka dikhawatirkan
program ketahanan pangan nasional akan terganggu dan kualitas sumberdaya
lahan dan lingkungan akan menurun.
Teknologi TOT telah menawarkan sebagai suatu teknologi terbaik yang
sudah teruji dalam mendukung pertanian berkelamjutan, karena dalam penerapan
teknologi TOT ini mampu (a) memperbaiki kualitas tanah dan meningkatkan
produktifitas lahan, (b) menghemat tenaga dan mengurangi biaya produksi secara
signifikan, sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani secara berkelanjutan,
(c) mengurangi emisi gas C02 sektor pertanian dan (d) mampu menigkatkan
penyerapan karbon baik di dalam tanah maupun di permukaan tanah. Dengan
demikian diharapkan ketahanan pangan dapat diperkuat dan program pegurangan
emisi gas rumah kaca nasional dapat diwujudkan.

5
Daftar Pustaka

Afandi. 2000. Konservasi tanah dan air di persimpangan jalan, antara mimpi dan
kenyataan. Seminar Nasional FOKUSHIMITI. 5 Juni 2000. Bandar
Lampung.

Blevins, R.L, M. S Smith and G. W Thomas. 1984. Change in soil properties


under no-tillage. Van Nostrand Reinhold Company inc. pp. 190-230.

Fithriadi, R., A. Ng, Ginting, O.S. Hadiwisastra, T. Dierolf, dan H. Beukeboom.


1997. Pengelolaan Sumberdaya Lahan Kering di Indonesia. Bogor.

Food and Agriculture Organization (FAO). 2007. Carbon sequestration in dry land
soils. National Resources Management and Environment Department.

Hendra, D. 1997. Pengaruh perbaikan beberapa karakteristik lahan terhadap


kesesuaian lahan tanaman jagung pada tanah Ultisol Gedungmeneg.
Skripsi Universitas Lampung.

Melfi, A. J. 2005. Soil, sugar and carbon sink. TWAS Newsletter. Vo: 17 No: 4.

Niswati, A., S. Yusnaini, M. Utomo, I.A. Asnuri dan A.I. Wirawan. 1997.
Longterm conservation tillage effect on meso fauna and mycorrhiza
density in Lampung.

Stocking, M. 1994. Soil erosion and conservation: A place for soil science. CAB
International.

Utomo, M. 1999. Pertanian dan bimas baru di era tahun 2000. Diskusi Panel
Bimas Baru di Era Tahun 2000. Departeman Pertanian. 4 Mei 1999.
Jakarta.

Utomo, M. 2000. Pengelolaan lahan kering berkelanjutan.. Seminar Nasinal


Pengembangan Wilayah Lahan Kering. Bandar Lampung.

Utomo, M., H. Buchari dan I. S. Banuwa. 2010. Peran olah tanah konservasi
jangka panjang dalam mitigasi pemanasan global: penyerapan karbon,
pengurangan gas rumah kaca dan peningkatan produktifitas lahan. Laporan
Akhir Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas nasional. DP2M.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai