Anda di halaman 1dari 14

Serial Membangun Industri Pekerja Migran Indonesia

Hilman Halinda - 1 Juni 2021


https://poskopmi2299031.wordpress.com/

MIGRASI PEKERJA INDONESIA PRA REFORMASI


“Jangan sekali-kali melupakan Sejarah.” – Soekarno

Perjalanan panjang migrasi tenaga kerja tercatat sebagai proses perkembangan perdagangan
ekonomi dunia yang semakin berkembang dari tahun ke tahun. Migrasi tenaga kerja terjadi
karena adanya perbedaan antar negara, terutama dalam memperoleh kesempatan dibidang
ekonomi. Migrasi pekerja Indonesia dicirikan dengan tingkat pendidikan yang rendah,
berumur antara 15 40 tahun.
Banyak pekerja migran Indonesia mempunyai etos kerja yang rendah jika dibandingkan dengan
tenaga kerja dari Thailand, Filipina, dan Korea Selatan. Rendahnya kualitas PMI berarti
rendahnya pengetahuan mereka tentang hak-haknya. Pekerja Indonesia menjadi sasaran utama
beberapa negara Industri besar, khususnya negara-negara yang tidak mempersyaratkan latar
belakang pendidikan tinggi dan lebih menekankan pada kemampuan dan keterampilan yang
dimiliki tenaga kerja.

MIGRASI ERA KOLONIALISME


Perpindahan tenaga kerja Indonesia antar
pulau dan luar negeri dimulai sejak masa
penjajahan di tahun 1887. Pada masa
tersebut, banyak tenaga kerja dikirim ke
beberapa daerah jajahan seperti Suriname,
Kaledonia dan Belanda.
Selama periode 1875 1940 pekerja migran
Indonesia sudah bekerja sebagai kuli kontrak
di Suriname dan New Caledonia. Menurut
catatan sensus 1930 jumlah pekerja migran Tenaga buruh Jawa yang datang ke Suriname
(sumber: Intisari online, 12 Oktober 2018)
Indonesia di Suriname sekitar 31.000 orang
dan di New Caledonia sekitar 6.000 orang. Pekerja Indonesia yang bekerja di Suriname dan
New Caledonia pada waktu itu adalah migran paksaan (kuli kontrak). Pada masa kolonial
kebanyakan migrasi internasional bersifat paksaan (forced Migration) dan cenderung permanen
(mobilitas penduduk yang bersifat menetap).
Di masa kolonial pengiriman tenaga kerja Indonesia dijadikan alat untuk menghasilkan tujuan
kolonial di Indonesia. Banyak buruh yang dikirimkan ke negara penerima tenaga kerja dengan
tujuan untuk memenuhi kepentingan-kepentingan para kolonial.
Mayoritas migran bekerja sebagai kuli kontrak di
perkebunan-perkebunan milik pengusaha asing.
Migrasi pekerja Indonesia pada masa itu berkaitan
dengan kepentingan negara penjajah dan para
pengusaha asing, bukan karena kebutuhan para migran.
Nasib mereka sangat menyedihkan karena dipaksa
bekerja tanpa ada perlindungan hukum dan aturan
kerja. Upah rendah, jam kerja panjang tanpa didukung
Imigran Jawa pekerja kebun di Suriname
(Foto: Wikimedia Commons) oleh fasilitas memadai serta perlakuan tanpa ada rasa
kemanusiaan.

Halaman 1 dari 14
Serial Membangun Industri Pekerja Migran Indonesia
Hilman Halinda - 1 Juni 2021
https://poskopmi2299031.wordpress.com/

MIGRASI BURUH MIGRAN JAWA KE MALAYSIA


Pada paruh kedua abad ke-19, Jawa mengalami
kehidupan tenang dengan peningkatan kualitas
layanan kesehatan dan pembukaan bidang-bidang
pekerjaan baru. Imbasnya adalah naiknya standar
hidup dan kemudian tingkat pertumbuhan
penduduk.
Tapi, lambat laun ketentraman dan pertumbuhan
itu justru jadi biang masalah. Menurut
penelitian Peter Boomgaard, rata-rata tingkat buruh Jawa di Perkebunan Deli
pertumbuhan penduduk Jawa per tahun sepanjang (http://www.kitlv.nl, 1900)
abad ke-19 mencapai 2,3% terhitung besar untuk ukuran zaman itu. Hal ini jadi persoalan
karena saat itu pemerintah kolonial belum punya kebijakan pengendalian kelahiran, demikian
juga masyarakat Jawa belum mengenal konsep semacam itu. Kondisi itu lantas memicu
kepadatan penduduk yang akut.
Menjelang pergantian abad, Pulau Jawa menjadi
salah satu wilayah berpenduduk terpadat di
dunia. Akibatnya, kesejahteraan perlahan
mengalami kemunduran. Lebih jauh, Peter
Boomgaard meyebut citra kemiskinan dan
kemandekan di Jawa juga muncul gara-gara
jutaan petani dan kuli yang semakin tidak
terurus.
Solusi yang diambil pemerintah kolonial untuk
buruh Jawa di Perkebunan Deli
mengatasi masalah tersebut adalah program
(http://www.kitlv.nl, 1900)
kolonisasi atau transmigrasi penduduk salah
satunya memindahkan penduduk di Jawa ke Sumatra dengan pertimbangan banyaknya
perkebunan swasta Eropa yang di buka dan membutuhkan tenaga kerja. Namun, dari awalnya
sekadar memenuhi kebutuhan buruh perkebunan di Sumatera, tenaga kerja Jawa diboyong pula
sampai ke Malaysia.
Migrasi orang Jawa ke Negeri Jiran sudah terjadi sejak 1870. Keberadaan mereka berpengaruh
besar terhadap kebijakan penyerapan tenaga kerja asing yang belakangan berkontribusi
membentuk tatanan sosial Malaysia modern.
Tahun 1833, pemerintah imperialis Inggris melarang perdagangan budak di seluruh wilayah
kekuasaan mereka di Hindia Timur, termasuk Singapura dan Malaya. Pemerintah kolonial pun
menerapkan kebijakan serupa di Hindia Belanda pada 1859. Transisi kebijakan ini diikuti oleh
pembukaan lapangan kerja yang melimpah tapi tidak didukung sumber daya manusia yang
cukup. Pasalnya, pertambahan penduduk di beberapa kawasan strategis Asia Tenggara kala itu
tidak setinggi di Pulau Jawa.
Sejak permulaan abad 19, Asia Tenggara termasuk kawasan lengang penduduk kendati
didukung iklim yang baik, curah hujan yang cukup, dan tanah yang subur. Sampai dekade
1870-an, wilayah dari ujung Myanmar, Filipina, hingga Kalimantan diperkirakan hanya dihuni
sekitar 55 juta orang.1

1
Anthony Reid dalam A History of Southeast Asia: Critical Crossroads (2015)

Halaman 2 dari 14
Serial Membangun Industri Pekerja Migran Indonesia
Hilman Halinda - 1 Juni 2021
https://poskopmi2299031.wordpress.com/

Meskipun populasinya rendah, perekonomian Asia Tenggara sedang mencapai titik puncaknya
berkat perniagaan internasional yang sangat maju. Perekonomian semakin bergeliat tatkala
investor-investor Eropa ikut menanam modalnya di Straits Settlements (SS). Untuk mengisi
kebutuhan tenaga kerja, sejak 1926, pemerintah kolonial Inggris di Semenanjung Malaya
mengimpor buruh asing dari India dan Cina.
Orang Jawa kemudian menyusul dipekerjakan
sebagai kuli kontrak perkebunan atau pertambangan
milik East India Company (EIC) sepanjang 1870-an.
Ahli demografi dari Universitas Adelaide, Australia,
Graeme Hugo berpendapat, pola perekrutan kongsi
dagang Inggris pada 1870 dilakukan secara terbuka
di kota-kota besar di Jawa dengan perjanjian tertulis
yang rinci. Mereka yang diterima tidak hanya
dikirim ke Semenanjung Malaya, tapi hingga ke
Sabah, Serawak, Vietnam, Thailand, Suriname,
bahkan Australia.
Dalam naskah ilmiah Indonesian Labour Migration to
Malaysia: Trends and Palicy Implication, Hugo
memaparkan bahwa praktik itu dianggap ilegal oleh
pemerintah kolonial Belanda. Mereka menganggap
EIC tidak berhak atas penduduk Tanah Jawa. Hal
tersebut tidak mengherankan karena Inggris dan
Belanda memang sering bersikutan soal perdagangan
dan batas wilayah sejak abad ke-17.
Pada permulaan abad ke-20, ketika Politik Etis
diterapkan, Belanda menerbitkan larangan
perekrutan orang Jawa sebagai kuli kontrak di
perusahaan yang berbasis di Malaya. Larangan ini
sebenarnya sudah terlambat karena saat itu sudah
ada sekitar 81.000 orang Jawa yang tinggal dan
bekerja di Semenanjung Malaya.
Meningkatnya jumlah perantau Jawa di Malaya
didorong oleh perubahan politik di Semenanjung
Malaya sejak 1874. Saat itu Inggris memperkuat
imperiumnya di Asia Tenggara dengan jalan
membangun negara koloni di Perak, Selangor, Negeri Sembilan, dan Pahang
yang direorganisasi di bawah bendera Federated Malay States (FMS) pada 1895. Birokrasi
FMS didominasi oleh pegawai kulit putih yang bertanggung jawab mengatur hal-hal yang
berkaitan dengan pertahanan dan urusan luar negeri.
Di bidang ekonomi, mereka mengandalkan kapitalis-kapitalis Eropa dan pemilik perkebunan
swasta yang bebas merekrut kuli dari India dan Cina. Ahli sejarah ekonomi di Universitas New
England Amarjit Kaur menyebut, pekerja migran asal Jawa mulai melambung jumlahnya ketika
upah pekerja dari India dan Cina naik dan dianggap terlalu mahal oleh para kapitalis itu.
Padahal, permintaan produk karet tengah meningkat.
Karena itulah, para pengusaha akhirnya mencari tenaga kerja murah dari Jawa untuk mengejar
produksi dan didukung para pejabat FMS. Mereka merasa orang Jawa sangat tepat mengisi

Halaman 3 dari 14
Serial Membangun Industri Pekerja Migran Indonesia
Hilman Halinda - 1 Juni 2021
https://poskopmi2299031.wordpress.com/

pekerjaan di bidang perkebunan. Selain terampil mengurus kebun, orang Jawa umumnya tidak
menuntut upah tinggi. Pertimbangan penting lain adalah kesamaan identitas rasial dengan
penduduk asli Malaya yang berkulit sawo matang. Asumsinya adalah orang Jawa dianggap
memiliki kesamaan budaya dan agama dengan orang-orang Melayu, sehingga mereka akan
lebih mudah berasimilasi dengan kehidupan masyarakat lokal.2
Atas desakan para pengusaha Eropa, FMS menjalin kerjasama dengan pemerintah kolonial
Belanda. Mereka merancang undang-undang khusus yang mengatur perekrutan orang Jawa
oleh perusahaan Eropa di seluruh Malaya. Di lain pihak, Belanda merasa perlu mengikat
perusahaan-perusahaan asing terkait kontrak pekerja Jawa agar tidak terjadi
penyalahgunaan. Para pemilik perkebunan harus mendapat persetujuan dari otoritas kolonial
Belanda, lalu menghubungi perusahaan perekrutan swasta di Singapura untuk mendapatkan
pekerja.
Dampaknya, pekerja Jawa hanya bisa didapatkan melalui agen penyalur swasta yang jumlahnya
terbatas. Para pengusaha Eropa menyiasatinya dengan menyewa jasa perekrut profesional
untuk mendapatkan pekerja Jawa secara efisien. Maka lahirlah sindikat penyedia pekerja di
Semarang dan Batavia yang bertugas menyeleksi, mengakomodasi, hingga memberangkatkan
para pekerja atas biaya para pengusaha Malaya.
Sindikat penyedia pekerja pada dasarnya adalah
kelanjutan dari sistem perniagaan kuno yang memiliki Tahun 1910-an hingga awal
banyak kekurangan. Pada kurun 1910-an dan awal 1920-an, dimulainya
1920-an, perekrutan pekerja Jawa berubah menjadi perekrutan pekerja Indonesia
kompetisi dagang antar agen penyalur.3
Selama Perang Dunia Pertama, jumlah pekerja migran
asal Jawa yang berada di Malaya mencapai lebih dari 180
ribu orang. Permukiman pekerja Jawa tersebar di Selangor, Perak, Johor, Kelantan, Trengganu,
dan Pahang. Selain perkebunan dan pertambangan, mereka juga merambah ke sektor usaha
lain seiring derasnya arus migrasi mandiri.
Pada awal abad 20, Malaya menjadi episentrum pekerja migran dari berbagai suku bangsa.
Menurut sensus yang dilakukan pemerintah Malaya pada 1931 dan 1934, kuantitas penduduk
setempat yang bisa dikategorikan sebagai pemilik asli tanah Melayu tereduksi hingga kurang
dari 50%.
Di tahun yang sama, pemerintah FMS memasukan orang Jawa ke dalam kategori penduduk
asli Malaya. Julukan Malaysia kemudian lahir untuk menyebut penduduk asli, pribumi Borneo
dan perantau Indonesia termasuk pekerja migran dari Jawa yang tinggal di Semenanjung
Malaya dan bagian utara Kalimantan sejak abad 19.4
Ketika Malaysia merdeka pada 1957, hak menjadi Malaysia bagi imigran Jawa tetap
dipertahankan. Konstruksi sosial warisan kolonialisme Inggris menetapkan bahwa orang
Malaysia asli haruslah memiliki kesamaan identitas dan beragama Islam. Dibandingkan orang-

kedudukannya. Di masa kolonial penggunaan pekerja Indonesia di Malaysia dalam berbagai


sektor menjadi tradisi dan adat merantau dalam kehidupan mereka dan menjadi suatu gaya
hidup yang positif dan dinamis.

2
Amarjit Kaur; Departing from Java: Javanese Labour, Migration and Diaspora (2018)
3
Thio Termoshuizen dalam studinya Dutch Colonialism, Migration and Cultural Heritage (2008)
4
Amarjit Kaur; Departing from Java: Javanese Labour, Migration and Diaspora (2018)

Halaman 4 dari 14
Serial Membangun Industri Pekerja Migran Indonesia
Hilman Halinda - 1 Juni 2021
https://poskopmi2299031.wordpress.com/

Dalam jumlah kecil pekerja migran Indonesia ditemui di Siam dan Serawak. Pada saat itu
pekerja migran Indonesia di Malaysia dan Singapura cukup besar tetapi belum dicatat sebagai
migran. Berbeda dengan pekerja di Suriname dan New Caledonia, pekerja di Malaysia dan
Singapura bekerja melalui kontrak perdagangan secara sukarela (voluntary migration).

Sejarah Diaspora Jawa di Malaysia


Tahun 1870-an Kebijakan Indigenisasi Melayu yang dikeluarkan Pemerintah
Kolonial Inggris, mendorong migrasi orang Jawa ke Malaysia
Tahun 1900 Permintaan tenaga kerja di Malysia meningkat, sehingga melahirkan
sejumlah agen pemasok buruh di Batavia dan Semarang
Tahun 1911 Lebih dari 117 ribu orang Indonesia menetap di Malaysia, 70%
diantaranya berasal dari Jawa
Tahun 1931 Etnis Jawa yang menetap di kawasan Federasi Negara-negara Melayu
diakui sebagai warga negara
Tahun 1980-an Gesekan antar ras mulai terjadi seiring bertambahnya jumlah TKI
yang tinggal sementara di Malaysia
(Sumber tirto.id)

MASA PEMERINTAHAN SOEKARNO (1945-1966)


Awal kemerdekaan Indonesia, merupakan tonggak sejarah bagi Lembaga Kementrian
perburuhan dalam era kemerdekaan Indonesia. Melalui Peraturan Pemerintah No 3 Tahun 1947
tanggal 25 Juli 1947 dibentuk lembaga yang mengurus masalah perburuhan di Indonesia
dengan nama Kementrian Perburuhan. Kemudian berdasarkan Peraturan Menteri Perburuhan
(PMP) Nomor 1 Tahun 1948 tanggal 29 Juli 1947 ditetapkan tugas pokok Kementerian
Perburuhan yang mencakup tugas urusan sosial menjadi Kementerian Perburuhan dan Sosial.
Pada masa pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS) organisasi Kementerian
Perburuhan tidak lagi mencakup urusan sosial dan struktur organisasinya didasarkan pada
Peraturan Menteri Perburuhan No 1/1950. Setelah RIS bubar, struktur organisasi
Kementerian Perburuhan disempurnakan Peraturan Kementerian Perburuhan No 1/1951.
Berdasarkan peraturan tersebut struktur organisasi Kementerian Perburuhan mencakup
struktur organisasi Kementerian sampai tingkat daerah dengan uraian tugas yang jelas.
Melalui Peraturan Menteri Perburuhan No 70/1954 terjadi perubahan yang kemudian
disempurnakan melalui Peraturan Menteri Perburuhan No 77 junto Peraturan Menteri
Perburuhan No 79/1954. Berdasarkan Peraturan tersebut Kementerian Perburuhan tidak
mengalami perubahan sampai dengan tahun 1964, kecuali untuk tingkat daerah. Sedangkan
struktur organisasinya terdiri dari Direktorat Hubungan dan Pengawasan Perburuhan dan
Direktorat Tenaga Kerja.
Sejak awal periode Demokrasi Terpimpin, terdapat organisasi buruh dan gabungan serikat
buruh baik yang berafiliasi dengan partai politik maupun yang bebas, pertentangan-
pertentangan mulai muncul dimana-mana, pada saat itu kegiatan Kementerian Perburuhan
dipusatkan pada usaha penyelesaian perselisihan perburuhan, sehingga melalui PMP No
12/1959 dibentuk kantor Panitia Perselisihan Perburuhan Tingkat Pusat (P4P) dan Tingkat
Daerah (P4D).

Halaman 5 dari 14
Serial Membangun Industri Pekerja Migran Indonesia
Hilman Halinda - 1 Juni 2021
https://poskopmi2299031.wordpress.com/

Struktur Organisasi Kementerian Perburuhan mulai berubah melalui Peraturan Menteri


Perburuhan No 8/1964 dengan ditetapkannya empat jabatan. Pembantu menteri untuk
urusan-urusan administrasi, penelitian, perencanaan dan penilaian hubungan dan pengawasan
perburuhan, dan tenaga kerja.
Dalam perkembangan selanjutnya, organisasi Kementerian Perburuhan berdasarkan Peraturan
tersebut disempurnakan dengan Peraturan Menteri Perburuhan No 13/1964 tanggal 27
November 1964, yang pada pokoknya menambah satu jabatan Pembantu Menteri Urusan
Khusus. Pada masa Soekarno pekerja migrasi internasional yang bekerja di luar negeri
khususnya Malaysia tetap berlangsung, namun mobilitasnya masih belum menjadi perhatian
pemerintah, selain skalanya relatif kecil, fokus pemerintah masih pada pembangunan awal
negara yang telah lama dikuasai oleh para kolonial.
Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-
Hatta diikuti dengan konsolidasi politik seluruh sektor masyarakat yang ada, tak terkecuali
kelompok buruh. Kelompok buruh sangat besar kontribusinya dalam pergerakan melawan
kolonialisme hingga masa menjelang kemerdekaan. Di masa revolusi, kelompok buruh tetap
menjadi eksponen yang progresif dalam masa mempertahankan kemerdekaan.
Surastri Karma Trimurti (S.K. Trimurti),
ditunjuk Soekarno sebagai Menteri Perburuhan
(Menteri Tenaga Kerja), dalam Kabinet Amir
Sjarifoeddin, Tahun 1947. Seorang perempuan
pejuang dan tokoh pergerakan perempuan dan
buruh, yang memperjuangan hak-hak buruh
perempuan, mengenai upah dan hak reproduksi
(cuti haid, dan melahirkan).
SK Trimurti berpidato pada peringatan Hari Ibu di alun-alun
Posisi politik kaum buruh diperkuat dengan Yogyakarta, 22 Desember 1947. Sumber Arsip Negara
Maklumat Presiden No. 1/1947 yang
menetapkan 40 pimpinan serikat buruh menjadi anggota Parlemen Sementara.
Era Kementerian Perburuhan dipimpin S.K. Trimurti, legislasi perburuhan disusun secara
protektif, antara lain UU No. 33/1947 tentang Kecelakaan, UU No. 12/1948 tentang
Perlindungan Kerja dan UU No. 23/1948 tentang Pengawasan Perburuhan.
Pada masa tersebut, kekuatan buruh terartikulasi melalui serikat buruh maupun partai-partai
politik yang mengusung agenda politik buruh. Hingga tahun 1965, keterlibatan buruh dalam
politik sangat tinggi dan mempunyai pengaruh yang sangat kuat.

SEJARAH ORANG FLORES DI SABAH


Berakhirnya konfrontasi Indonesia Malaysia, tidak mengurangi minat orang Flores ke Sabah,
faktor kesamaan religi merupakan alasan yang kuat bagi kedua belah pihak untuk tetap
bekerja/dipekerjakan di Sabah.

Inggris, Sabah memiliki keistimewaan untuk tidak tunduk secara mutlak pada kekuasaan
Federal Malaysia yang didominasi oleh politik bumiputera (mengunggulkan etnis Melayu).
Salah satu keistimewaan tersebut adalah meratifikasi ILO Migration for Employment (Revised)
Convention 1949 No. 97 pada tanggal 3 Maret 1949. Dengan meratifikasi ini, secara legal Sabah
memiliki komitmen untuk melindungi hak-hak buruh migran. Komitmen ini dilandasi bahwa
Sabah masih memerlukan pekerja migran untuk menggerakkan perekonomiannya. Kondisi
Halaman 6 dari 14
Serial Membangun Industri Pekerja Migran Indonesia
Hilman Halinda - 1 Juni 2021
https://poskopmi2299031.wordpress.com/

inilah yang makin membuat orang Flores (dan juga buruh migran dari wilayah lain) merasa
nyaman bekerja di Sabah, Malaysia Timur.
Meski sempat mengalami masa ketegangan semasa konfrontasi, populasi orang Flores ke Sabah
terus bertambah. Mereka yang bermigrasi membawa keluarga pada akhir tahun 1950-an
bahkan telah menetap turun-menurun meskipun tanpa dokumen kewarganegaraan (stateless).
Menurut keterangan petugas Kantor Penghubung KJRI Kota Kinabalu di Sabah, mereka telah
memproses sekitar 250.000 paspor amnesti untuk pekerja migran Indonesia tak berdokumen,
yang berstatus stateless. Sebagian besar diantaranya berasal dari kawasan Nusa Tenggara Timur.
Bagi warga Kadazan Sabah, kehadiran orang Flores makin membesarkan populasi penganut
Katolik dan membuat gereja makin memiliki pengaruh dalam politik di Sabah. Saat ini di
Sabah terdapat 3 keuskupan yaitu Kota Kinabalu, Sandakan dan Keningau. Tidaklah
mengherankan hingga saat ini, pelayanan bidang pendidikan dan kesehatan menjadi andalan
bagi warga Flores di Malaysia, terutama bagi pekerja migran tak berdokumen. Di Malaysia
sendiri, pekerja migran tak berdokumen tidak bisa mendapatkan hak pelayanan kesehatan
(apalagi pelayanan pendidikan).

MASA PEMERINTAHAN SOEHARTO (1966-1998)


Diangkatnya Soeharto tahun 1966 menjadi presiden adalah tonggak sejarah lahirnya orde baru.
Di masa ini pemerintah fokus pada pengembangan perekonomian. Sumber daya alam berupa
minyak menjadi sokongan eksternal dalam bentuk investasi yang masuk dan tumbuh memulai
proses industrialisasi, membuat migrasi tenaga kerja masih belum dilirik sebagai penopang
ekonomi.
Masa transisi 1966-1969, Kementerian Perburuhan berubah nama menjadi Departemen
Tenaga Kerja, dan diperluas menjadi Departemen Tenaga Kerja Transmigrasi dan Koperasi
pada Kabinet Pembangunan II. Susunan organisasi dan tata kerjanya diatur melalui Kepmen
Nakertranskop No. 1000/1975 mengacu kepada KEPPRES No 44/1974.
Dalam Kabinet Pembangunan III, unsur koperasi dipisahkan, sehingga menjadi Departemen
Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Masa Kabinet Pembangunan IV dibentuk Departemen
Transmigrasi, sehingga unsur transmigrasi dipisah dari Depnaker. Susunan organisasi dan tata
kerja Depnaker ditetapkan dengan Kepmenaker No 199/1984 dan No 55A/1983 tentang
susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Transmigrasi.

MULAINYA KEBIJAKAN REGULATIF PEMERINTAH


Tahun 1970 pemerintah mengeluarkan kebijakan program Antar Kerja Antar Negara (AKAN)
melalui Peraturan Menteri Tenaga kerja No. 4 Tahun 1970 tentang Pengerahan Tenaga
Kerja. Peraturan ini menjelaskan syarat umum pengerahan tenaga kerja, pemberian ijin
pengerahan dan pengawasan pemerintah serta sanksi untuk pelanggaran aturan tersebut.
Terbitnya peraturan tersebut menggeser kebijakan penempatan pekerja migran yang
sebelumnya bersifat adhoc (pasif) menjadi kebijakan regulatif (pengaturan)
Program AKAN ditangani oleh pejabat kepala seksi setingkat eselon IV dan bertanggung jawab
langsung kepada Direktorat Jenderal Pembinaan dan Penggunaan (Bina Guna), dan dibentuk
divisi atau Satuan Tugas Timur Tengah dan Satuan Tugas Asia Pasifik.
Pelayanan penempatan TKI ke luar negeri di provinsi dilaksanakan oleh Kantor Wilayah
Depnakertranskop dan Kantor Depnakertranskop Tingkat II untuk Kabupaten. Kegiatan yang
dinaungi oleh Dirjen Bina Guna ini berlangsung hingga 1986.
Halaman 7 dari 14
Serial Membangun Industri Pekerja Migran Indonesia
Hilman Halinda - 1 Juni 2021
https://poskopmi2299031.wordpress.com/

Tahun 1986 Direktorat Jenderal Bina Guna dan Direktorat Jenderal Pembinaan dan
Perlindungan (Bina Lindung) digabung menjadi Direktorat Jenderal Pembinaan dan
Penempatan (Binapenta). Seksi AKAN menjadi Pusat AKAN di bawah Sekretariat Jenderal.
Pusat AKAN bertugas melaksanakan penempatan TKI ke luar negeri. Di tingkat
provinsi/Kanwil, kegiatan penempatan TKI dilaksanakan oleh Balai AKAN. Pada 1994 Pusat
AKAN dibubarkan dan diganti menjadi Direktorat Ekspor Jasa TKI di bawah Direktorat
Jenderal Binapenta.
Tahun 1983, pemerintah membuat kebijakan deregulasi ketat perekonomian dalam upaya
untuk membangkitkan pendapatan luar negeri akibat kondisi harga minyak yang jatuh serta
program penempatan tenaga kerja sebagai sumber pendapatan ekonomi yang baru.
Kebijakan pengiriman tenaga kerja ke luar negeri salah satunya disebabkan oleh tingginya
angka pengangguran, terutama disebabkan prioritas pembangunan ekonomi di sektor industri
yang menyebabkan berkurangnya lahan pertanian.

PENEMPATAN PEKERJA INDONESIA KE ARAB SAUDI


Penempatan ke Arab Saudi bermula dari krisis tenaga kerja asing di Arab Saudi akibat pekerja
migran Philipina menuntut perbaikan upah dan kondisi kerja serta jaminan hukum
perburuhan, sehingga muncul larangan pemerintah Arab Saudi untuk menggunakan mereka.
Kondisi ini menjadi peluang pekerja Indonesia untuk mengisi pasar tenaga kerja asing di Arab
Saudi, terutama dengan karakteristik pekerja Indonesia yang relatif penurut serta faktor
kesamaan agama.
Menurut Faroek Basrewan, seorang pengusaha pionir penempatan buruh migran ke Saudi;
Posisi kita memang kurang menguntungkan, karena letak geografisnya yang jauh dari pihak
pemesan, dibandingkan dengan ketiga saingan kita, Mesir, Srilanka dan Bangladesh. Karena itu
untuk memperkuat daya saing kita, maka kita harus dapat mengimbanginya dengan prestasi lainnya.
Soal kejujuran dan kepatuhan kepada majikan, tenaga kerja Indonesia dapat diandalkan.
Melakukan ibadah salat, tidak menjadi masalah. Umumnya wanita-wanita dari desa rajin
melakukannya. Hal-hal ini sudah pasti akan memuaskan majikannya di sana
Migran Indonesia mayoritas bekerja di sektor domestik dengan pelaksana penempatannya
adalah perusahaan pengerah tenaga kerja yang memiliki keterkaitan dengan agen rekrutmen
tenaga kerja di Arab Saudi. Hal ini berlangsung pertengahan dekade 70-an dan meningkat
drastis pada dekade 80-an hingga dekade 90-an.
Tahun 1983, pemerintah Indonesia mulai mengatur tentang ijin usaha, hak dan kewajiban
perusahaan dan sanksi pidana untuk pelanggarannya, melalui Permenakertrans No. 129/1983
tentang Perusahaan Pengerah Tenaga Kerja Indonesia (PPTKI) ke Luar Negeri.
Peraturan ini ditindaklanjuti dengan SK Menakertrans No. 128/1983 tentang Penggunaan
Kartu Identitas Tenaga Kerja Indonesia (KITKI) yang Bekerja di Luar Negeri dan
Kepmenakertrans No. 149/1983 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pengerahan Tenaga Kerja
Indonesia Ke Arab Saudi, yang mengatur tentang biaya penempatan pekerja migran ke Arab
Saudi sebesar USD 870 (setara dengan Rp.1,627,770, kurs 1 USD = Rp.1,871) bagi tenaga
kerja pria dan USD 1.350 (setara dengan Rp. 2.525,850) bagi tenaga kerja wanita.5
Berdasarkan Kepmen tersebut, diperkirakan PPTKI mendapat keuntungan US$ 300 dari
seorang tenaga kerja, hal ini menyebabkan pertumbuhan perusahaan pengerah makin pesat.

5
Lampiran Kepmenakertrans No. 149/1983 tentang tata cara pelaksanaan pengerahan tenaga kerja Indonesia ke Arab Saudi

Halaman 8 dari 14
Serial Membangun Industri Pekerja Migran Indonesia
Hilman Halinda - 1 Juni 2021
https://poskopmi2299031.wordpress.com/

Tahun 1983, tercatat sekitar 74 perusahaan dan tahun 1985 meningkat menjadi 160
perusahaan. Terrence F. Kelly, menyebutkan bahwa rata-rata PPTKI mendapat keuntungan
USD 150-200 dari setiap TKI. Dengan asumsi pengiriman 1.000 pekerja, diperkirakan
keuntungan pertahun yang didapat mencapai USD 150.000-USD 200.000.
Karenanya tidak mengherankan jumlah perusahaan pengerah terus bertambah, dari 228
PPTKI tahun 1986 meningkat pada tahun 2001 sejumlah 422 dan tahun 2012 tercatat
sebanyak 570 perusahaan pengerah penempatan pekerja migran ke luar negeri.6
Kondisi tersebut selain menciptakan bisnis penempatan, juga melahirkan dikotomi sektor
formal dan informal yang memiliki kontribusi besar pada praktek diskriminasi dan
kriminalisasi pekerja migran sektor domestik hingga kini. Dikotomi ini dilegitimasi melalui
Kepmenakertrans No. 28/1985 tentang penetapan pola perjanjian kerja Antar Kerja Antar
Negara, yang mengatur pemisahan pola perjanjian kerja antara pekerja di sektor industri/jasa
publik dengan pekerja di sektor domestik.7
Masa itu pemerintah hanya mengawasi dan pembinaan, tidak terlibat langsung dalam proses
penempatan, Proses perekrutan hingga penempatan tenaga kerja Indonesia (terutama sektor
domestik) ke Arab Saudi, dilaksanakan PPTKI melalui skema P to P (private to private).
Pemerintah juga menerbitkan PP No. 36/1994 tentang Surat Perjalanan Republik
Indonesiayang mengatur pengurusan paspor di Kantor Imigrasi Cabang Khusus untuk calon
TKI yang akan bekerja ke Arab Saudi. Serta Kepmen 420/1985yang melarang pekerja migran
Indonesia (terutama Arab Saudi) berbicara kepada pihak lain, terutama media masa mengenai
kasus yang dialaminya.
Kedua regulasi tersebut banyak menimbulkan pro kontra masyarakat, khususnya LSM dan para
pemerhati TKI, sebagai berikut;
1. Kewajiban pengurusan paspor di Kantor Imigrasi Cabang Khusus banyak
menimbulkan praktek pemalsuan dokumen yang dipersyaratkan (KTP, KK, Rekom
Paspor dan lainnya). Saat itu marak bermunculan jasa pembuatan dokumen palsu
hingga stempel disnaker kab/kota se Indonesia.
2. Kepmen 420/1985 yang mengharuskan pekerja migran Indonesia (terutama Arab
Saudi) membuat pernyataan tidak akan berbicara kepada pihak lain, terutama media
masa mengenai kasus yang dialaminya dipandang merendahkan wibawa negara.
Pada tahun 1988, didorong oleh kenyataan bahwa volume migrasi pekerja Indonesia semakin
meningkat, Menteri Tenaga Kerja Cosmas Batubara (1988-1993), mengeluarkan Peraturan
Menteri No. 5 yang mengatur pengiriman tenaga kerja ke luar negeri.
Pertimbangan besarnya jumlah pengiriman tenaga kerja ke Arab Saudi pada tahun yang sama,
dikeluarkan Kepmenaker No. 1307 tentang Petunjuk teknis pengerahan tenaga kerja ke Arab
Saudi. Hingga pertengahan dekade 90-an lebih dari separuh pekerja Indonesia bekerja di
kawasan Timur Tengah, terutama Saudi Arabia.
Krisis ekonomi yang dimulai tahun 1996 telah merubah komposisi penempatan buruh migran
ke Saudi Arabia beralih ke Asia Tenggara dan Asia Timur disebabkan naiknya komponen biaya
pesawat akibat kemerosotan nilai rupiah terhadap mata uang asing.

6
Daftar nama pelaksana penempatan tenaga kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) Tahun 2002, Jakarta: Kemenakertrans, 2012
7
Lampiran Kepmenaker No. Kep.28/1985 tentang penetapan pola perjanjian kerja Antar Kerja Antar Negara/AKAN

Halaman 9 dari 14
Serial Membangun Industri Pekerja Migran Indonesia
Hilman Halinda - 1 Juni 2021
https://poskopmi2299031.wordpress.com/

Data Penempatan TKI ke Timur Tengah dan Seluruh Dunia Tahun 1969-1997
Data diolah dari Carunia Mulya Firdausy, 1998, hal. 107

PENEMPATAN KE MALAYSIA
Melalui New Economic Policy, sejak dekade 70-an ekonomi Malaysia terus berkembang dan
stabil melewati masa krisis. Hal tersebut menyebabkan arus migrasi pekerja (terutama dari
Indonesia) ke Malaysia makin meningkat. Pembangunan infrastruktur, megaproyek Petronas
Twin Tower, Sirkuit F1 Sepang dan ibukota baru Putrajaya serta pertumbuhan agro industri
perkebunan kelapa sawit, kakao dan karet menyerap jutaan pekerja pendatang dari Indonesia
yang mayoritas masuk ke Malaysia tanpa kelengkapan dokumen. Tak berlebihan kalau ada
anggapan bahwa tulang punggung ekonomi Malaysia adalah pekerja migran.
Percepatan arus masuk pekerja pendatang ke Malaysia juga berkat pengaruh yang signifikan
dari lobby dua organisasi industrialis Malaysia yaitu Malaysia Agricultural Planters
Association (MAPA) dan United Planting Association of Malaysia (UPAM) yang meminta
pemerintah Malaysia membuka lebar pintu masuk pekerja pendatang dengan memperlonggar
syarat masuk orang asing.
Pelonggaran syarat masuk orang asing ke Malaysia sangat dimanfaatkan oleh jejaring migran
tradisional berbasis etnis yang selama ini telah eksis di Malaysia. Jejaring migran yang kuat

Halaman 10 dari 14
Serial Membangun Industri Pekerja Migran Indonesia
Hilman Halinda - 1 Juni 2021
https://poskopmi2299031.wordpress.com/

adalah dari Bugis, Bawean dan Flores. Kombinasi aktifnya jejaring migran dan kemudahan
masuk ke Malaysia makin memperbanyak jumlah pekerja migran tak berdokumen di Malaysia.
Dekade awal 80an penempatan pekerja migran Indonesia ke Malaysia tanpa campur tangan
pemerintah, namun sejak tahun 1984 pola tersebut berubah. Melalui memorandum of
understanding (MoU) antara Indonesia dan Malaysia mengenai pengaturan aliran migrasi dari
Indonesia ke Malaysia yang ditandatangani di Medan pada tanggal 12 Mei 1984 8 , berlangsung
penerapan pengaturan sekaligus pengawasan arus migrasi tenaga kerja Indonesia ke Malaysia.
Kesepakatan ini ditindaklanjuti dengan Kepmenaker No 184/1984 untuk kantor wilayah
Depnaker Provinsi Kalimantan Timur, NTT dan Sulawesi Selatan untuk menerbitkan Surat
Rekomendasi bagi Pengerah Tenaga Kerja atau bagi pekerja migran Indonesia yang akan
bekerja di Malaysia, dan diperkuat dengan Kepmenaker No 408/1984 tentang Pengerahan dan
Pengiriman Tenaga Kerja di Malaysia. Kepmen ini menetapkan 2 lokasi pemberangkatan
pekerja migran Indonesia ke Malaysia, yaitu Jakarta untuk pengiriman ke Malaysia Barat dan
Nunukan ke Malaysia Timur.
Perusahaan yang menyelenggarakan bisnis penempatan pekerja migran ke luar negeri diawasi
Depnaker melalui Permen No. 129/1983 yang mengatur tentang ijin usaha, hak dan kewajiban
perusahaan dan sanksi pidana untuk yang melanggarnya.
Regulasi itu selain mengatur pendapatan negara melalui pembiayaan pengurusan dokumen,
visa kerja dan pajak (levy), juga menumbuhkan aktivitas bisnis baru pengerah tenaga kerja.
Jika di Indonesia, bisnis ini diarahkan untuk merekrut dan menyiapkan tenaga kerja, maka di
Malaysia bisnis ini beroperasi melayani kebutuhan pasar tenaga kerja, baik yang di sektor
perkebunan, konstruksi maupun rumah tangga. Pola baru ini memilah pola migrasi ke Malaysia
dalam dua kategori yaitu migrasi legal dan migrasi illegal atau dalam bahasa Melayu dikatakan
pendatang haram atau PATI (Pendatang Asing Tanpa Ijin). Pola ini mengawali babak baru
birokratisasi penempatan pekerja migran ke Malaysia yang memungkinkan adanya
penyalahgunaan kekuasaan penyelenggara setiap matarantai birokrasi yang terkait dengan
proses penempatan pekerja migran ke Malaysia, dan mendorong makin tingginya laju
penempatan pekerja migran ke Malaysia secara tak resmi. Hingga saat ini salah satu problem
besar pekerja migran Indonesia di Malaysia yang tak pernah terselesaikan secara tuntas adalah
persoalan pekerja migran tak berdokumen yang berdampak deportasi hampir setiap bulan.
Tahun 1996, 350-400 pekerja migran Indonesia tiap bulannya di deportasi. Selama periode
1994-1996, sebanyak 36.100 orang telah di deportasi dari Malaysia. 9
Pola penempatan pekerja migran Indonesia ke Saudi Arabia dan Malaysia mulai intensif
berlangsung pada dekade 80-an, melahirkan institusi baru badan usaha non negara yang
berbisnis penempatan buruh migran (Awalnya bernama Perusahaan Pengerah Tenaga Kerja
Indonesia (PPTKI), berubah menjadi Perusahaan Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia
(PJTKI) dan sesuai UU No. 39/2004 berubah menjadi Perusahaan Pengerah Jasa Tenaga Kerja
Indonesia Swasta atau PPTKIS).

8
Medan Agreement Nama resminya adalah Persetujuan Penyediaan Tenaga Kerja Antara Malaysia dan RI
9
Di sadur dari data Puslitbang Kependudukan dan Ketenagakerjaan LIPI Ed.Laila Nagib, Studi Kebijakan Pengembangan
Pengiriman Tenaga Kerja Wanita ke Luar Negeri, kerjasama Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan PPT-
LIPI: Jakarta, 2001, hal.9

Halaman 11 dari 14
Serial Membangun Industri Pekerja Migran Indonesia
Hilman Halinda - 1 Juni 2021
https://poskopmi2299031.wordpress.com/

Pengiriman TKI masa PELITA Sumber: Hugo (2005) dari tulisan Prijono Tjip

Institusi ini berkembang hingga sekarang dan memegang peran dominan dalam proses
penempatan pekerja migran Indonesia. Berdasarkan data penempatan BNP2TKI periode 2008
2019, rata-rata 73% pekerja migran Indonesia berangkat melalui fasilitasi perusahaan
rekrutmen swasta dengan skema P to P, tahun 2018 bahkan meningkat sebesar 85%.
Terlepas dari hal tersebut, dinamika penerbitan regulasi yang mengatur penempatan pekerja
migran Indonesia oleh Menteri Tenaga Kerja setidaknya membuat proses pengiriman PMI
menjadi lebih terstruktur. Peningkatan jumlah PMI yang bekerja di Malaysia dan Singapura
pada masa orde baru meningkat secara signifikan.

Tulisan ini hanya sejumput kecil dari upaya penelusuran berbagai peristiwa dan kebijakan terkait
migrasi pekerja migran Indonesia pada era sebelum reformasi, sangat diperlukan tambahan data dan
informasi serta pemikiran lain dari para senior dan pemerhati dunia pekerja migran Indonesia, untuk
melengkapi menjadi pengetahuan dan wawasan bagi generasi penerus

Halaman 12 dari 14
Serial Membangun Industri Pekerja Migran Indonesia
Hilman Halinda - 1 Juni 2021
https://poskopmi2299031.wordpress.com/

REFERENSI
1) Anthony Reid; A History of Southeast Asia: Critical Crossroads, 2015.
2) Amarjit Kaur; Departing from Java: Javanese Labour, Migration and Diaspora, 2018.
3) Awani Irewati, Kebijakan Indonesia Terhadap Masalah TKI di Malaysia dalam edisi
Awani Irewati, Kebijakan Luar Negeri Indonesia Terhadap Masalah TKI ilegal di
Negara ASEAN, Jakarta: Pusat Penelitian Politik LIPI, 2003.
4) Ed.Laila Nagib, Studi Kebijakan Pengembangan Pengiriman Tenaga Kerja Wanita
ke Luar Negeri, kerjasama Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan
PPT-LIPI, PPT-LIPI: Jakarta, 2001.
5) Graeme Hugo; Indonesian Labour Migration to Malaysia: Trends and Palicy
Implication, 1993.
6) Khazin Mohd. Thamrin, Kedatangan dan Pengguna Pekerja Indonesia di Malaysia
dari Perspektif Sejarah, edisi M. Arif Nasution, Mereka yang ke Seberang, Medan:
USU Press, 1997.
7) Migrant CARE, Selusur Kebijakan (Minus) Perlindungan Buruh Migran, 2013.
8) Peter Boomgaard (seorang Profesor Sejarah Lingkungan dan Ekonomi Asia Tenggara
di Universitas Amsterdam) Anak Jajahan Belanda: Sejarah Sosial dan Ekonomi Jawa
1795-1880 (2004: 1). diakses dari https://tirto.id/sejarah-buruh-migran-jawa-di-
perkebunan-swasta-malaya-abad-ke-19-fVfA
9) Prijono Tjiptoherijanto, Migrasi Internasional: Proses, Sistem, dan Masalah
Kebijakan, dalam edisi M. Arif Nasution, Globalisasi dan Migrasi Antar Negara,
Bandung: Kerjasama Yayasan Adikarya IKAPI dengan The Ford Foundation, 1999.
10) Tadjuddin Noer Effendi, Peluang Kerja, Migrasi Pekerja, dan Antisipasi menghadapi
era Pasar Bebas 2003 edisi M. Arif Nasution, Globalisasi dan Migrasi antar
Negara,Bandung: Kerjasama Yayasan Adikarya IKAPI dengan The Ford Foundation,
1999.
11) t, Nation Economic
Development- Project
Discussion paper INS/82/013-01 (B), Jakarta: International Labour Organization,
1986.
12) Thio Termoshuizen: Dutch Colonialism, Migration and Cultural Heritage, 2008.
13) KOMPAS,
12 Agustus 2002

Halaman 13 dari 14
Serial Membangun Industri Pekerja Migran Indonesia
Hilman Halinda - 1 Juni 2021
https://poskopmi2299031.wordpress.com/

Hilman Halinda

Rekam Jejak di dunia PMI


2005 Perancangan & Pengembangan SISKOTKLN Kemnaker
2006 - Perancangan & Pengembangan KTKLN berbasis smartcard Kemnaker
2007 - Perancangan & Pengembangan Sistem Pendataan Kedatangan TKI - BNP2TKI
2008 - Perancangan Penguatan SISKOTKLN - BNP2TKI
2009 - Pembangunan Data Center BNP2TKI
2011 - Perancangan & Pengembangan Pelayanan Pengaduan TKI (Crisis Center) - BNP2TKI
2011 - Perancangan & Pengembangan Call Center BNP2TKI
2012 - Perancangan & Pengembangan Jobsinfo - BNP2TKI
2014 - Perancangan & Pengembangan Sistem Informasi TKI Terpadu (Website) - BNP2TKI
2017 - Perancangan SISNAKER Kemnaker
2017 - Penguatan Data Center Kemnaker
2017 Penyusunan Konsep One Channel Policy ke Saudi Arab Kemnaker
2017 s.d April 2021 Perancangan & Pengembangan Pospay PMI (Basis Android) Pos Indonesia
2011 s.d 2016 Integrasi SISKOTKLN SIAK, SIMKIM, Portal Peduli WNI, Perwakilan RI

2011 s.d 2013 Operasionalisasi SISKOTKLN oleh Disnaker, BLKLN, Sarkes & LSP

Mei 2021 s.d sekarang Supporting berbagai program terkait Layanan PMI dan Keluarganya

TULISAN DAN BUKU - https://poskopmi2299031.wordpress.com/blog/


1. Profil Pekerja Migran Indonesia 2. Kronika Pekerja Migran Indonesia
3. Problematika Pekerja Migran Indonesia 4. Membedah Regulasi Migrasi Pekerja Indonesia
5. Zero Cost Migrasi PMI 6. Membangun Industri PMI (On Progress)

Halaman 14 dari 14

Anda mungkin juga menyukai