Abstrak
Tulisan ini mendiskusikan tentang tiga yang mendasari proses pemahaman manusia tentang
Tuhan ; Pertama, Tuhan yang Transeden dan Tuhan yang Imanen. Tuhan pada satu sisi
adalah identik, atau lebih tepat serupa dan satu dengan alam, meskipun keduanya tidak setara,
karena Allah melalui asma-asma-Nya menampakkan Diri-Nya dalam alam. Tetapi disisi lain,
Tuhan sama sekali berbeda denga alam, karena Dia adalah Dzat Mutlak yang tidak terbatas,
dan berada di luar alam nisbi yang terbatas. Kedua, Tuhan obyektif dan Tuhan subyektif.
Tuhan dipahami dalam pengetahuan, konsep, penangkapan atau persepsi manusia. Disini Tuhan
dipahami melalui penggambaran manusia, sehingga setiap manusia mempunyai persepsi sendiri-
sendiri dalam mendekati, mencintai, dan ber-ibadah kepada-Nya. Ketiga, Tuhan yang Eksoteris
dan Tuhan yang Esoteris. Memahami Tuhan, secara baik dan benar tidak akan mungkin
bertemu pada jalur, eksoteris. Karena yang tampak di permukaan adalah realitas pluralitas
agama, seperti dipresentasikan oleh kehadiran agama Yahudi, Kristen, Islam, dan seterusnya itu.
Tetapi, titik temu agama-agama itu hanya mungkin terealisasi pada level esoteris (kata Huston
Smith), esensial (kata Baghavan Das), atau transenden (kata Frithjof Schuon)
.
Kata kunci: Telogi, Ketuhanan, dan Pluralisme
Ketika agama lahir dan turun, Nafis, dalam Komaruddin Hidayat dan
maka ia tidak lepas dari konteks ruang Ahmad Gaus AF (ed.), 1998: 79-80).
dan waktu, sekaligus sangat terkait
Oleh karena itu, setiap manusia
dengan kualitas individu dan mayarakat
sejatinya mempunyai otoritas yang sama
dalam memahami setiap pesan yang
(same outhority) untuk menerjemahkan
diajarkan setiap agama. Setiap orang atau
kepercayaan dan keyakinannya akan
masyarakat tertentu akan menggunakan
Tuhan, sesuai dengan pengalaman
simbol-simbol tertentu dalam
spritual yang dimilikinya. Setiap
mengekspresikan nilai keagamaan
penafsiran dan penterjemahan ini,
tersebut. Karena setiap individu dan
kemudian melembaga, menkristal,
kelompok masyarakat, mempunyai
PHQMDGL VHEXDK ´WDWD QLODLµ \DQJ
kultur yang beragam, maka ekspresi
GLDQJJDS ´SDOLQJ EHQDUµ GLEDQGLQJ
sebuah agama pun secara cultural dan
penafsiran dan penterjemahan kelompok
simbolik, akan beragam pula. Contoh
lain. Intitusionalisasi inilah kemudian
yang sangat sederhana adalah perbedaan
disebut sebagai agama.
bahasa. Sehingga meskipun pesan
Keesaan Tuhan pada substansinya sama, Persoalannya kemudian adalah
tetapi formula bahasanya berbeda. ´EDJDLPDQD PHQMDGLNDQ DJDPD WHUVHEXW
berfungsi secara positif bagi kehidupan
Setiap bentuk kepercayaan ini, sehari-KDULµ \DQJ VHFDUD HNVLVWHQVial
memuat nilai-nilai yang mengharuskan berhubungan langsung dengan gejala-
PDQXVLD XQWXN PHQHUMHPDKNDQ ´ILUPDQ- gejala nyata di sekitarnya. Lahirlah
1\Dµ NHGDODP WUDGLVL \DQJ PHQJLWDULQ\D berbagai Legenda dan Mitos, sebagai
Proses penerjemahan inilah yang formativisme agama dalam bentuknya
kemudian melahirkan berbagai yang subjektif.4
pandangan dan penafsiran dari
´NHLQJLQDQ-1\Dµ WHUVHEXW $NDQ WHWDSL Ketika manusia hidup dalam
manusia kebanyakan tidak mampu lingkaran mitos, maka mitologi agama
menangkap kehadiran-Nya. Sehingga, menjadi cara pandang yang menarik
dalam sejarahnya, Tuhan yang diyakini untuk memahami Realitas yang lebih
manusia sebagai serba Maha Kuasa itu, relevan. Oleh sebab itu, cara pandang
tidak diterima secara tunggal, yang pada manusia tersebut perlu ² dalam istilah
gilirannya melahirkan cara berkeyakinan Dawam Rahardjo (dalam Muhammad
yang tidak tunggal (politheisme). Tidak Wahyuni Nafis (ed.), 1996: 191) ²
heran jika kemudian, Tuhan ditemukan ´GLWHODQMDQJLµ PHODOXL SHQHOLWLDQ VHMDUDK
oleh manusia dalam berbagai bentuk
4 Pengalaman religiusitas manusia,
nama dan istilah (Muhammad Wahyuni menurut Karen Amstrong, selalu berbenturan
GHQJDQ LVWLODK ´PLWRVµ ´PLVWLVLVPHµ GDQ
´PLVWHULµ Ketiganya berasal dari kata kerja
<XQDQL ´musterionµ \DQJ EHUDUWL PHQXWXS PDWD
dalam istilah-istilah bahasa Indo-Eropa, dan atau mulut. Ketiga istilah tersebut berakar dari
´,ODKµ ´,OOµ ´(Oµ ´$Oµ GDQ ´<DKZHKµ GDODP pengalaman tentang kegelapan dan kesunyian.
istilah-istilah bahasa Semitik. (Karen Amstrong, 2000:200- 233).
untuk mencari kebenaran sejarah dari simbol dari agama bukanlah tujuan akhir
mitos bahkan diapresiasi secara dalam beragama, melainkan sebagai
transformatif, dinamis, dan harmonis sarana atau media menuju Realitas
bagi keberlangsungan keberagamaan Tertinggi.
manusia (Khalafullah, 1999). Artinya,
Kedua, sistem simbol dalam
mitos mestinya tidak saja menjadi sebuah
beragama mempunyai keberni-laiannya
sistem ilmu dan menjadi orientasi
sendiri bagi orang yang mempunyai
keberagamaan manusia an sich, melainkan
watak dan sikap mental yang sepadan
menjadikan mitos sebagai sistem makna
dengannya. Akan menjadi persoalan,
(meaning system) yang secara intelektual
ketika simbolisme agama tersebut
merupakan bagian dari pengalaman
kemudian dipaksakan kepada orang yang
eksistensialnya dan mempunyai daya
tidak memiliki watak dan sikap sama
sentuh emosional yang kreatif. Hasil
dengan simbol agama yang dimaksud.
kreasi intelektual manusia atas mitos ini,
kemudian memunculkan sistem simbol, Dalam al-4XU·DQ SURVHV
yaitu suatu kreasi dialektik antara nilai- SHQHPXDQ ´6HVXDWX \DQJ 0DKD .XDVDµ
nilai agama dan budaya yang yang kemudian dimaknai dengan
melingkupinya, dan berfungsi untuk seperangkat simbol yang menyertainya,
menyederhanakan sesuatu yang dihadirkan dengan nama Allah. Selain
kompleks sehingga mudah untuk itu, terdapat nama-nama lain yang
dipahami. disebutkan dalam al-QXU·DQ 46 DO-Isra:
110), dengan sebutan al-Asma al-Husna
Eksistensi simbol dalam sistem
(Nama-Nama yang Indah). Sebagian
keyakinan ini, meniscayakan berbagai
EHVDU 8ODPD VHSDNDW EDKZD ´1DPD-
penafsiran lagi, karena otentisitas dan
1DPD \DQJ ,QGDKµ LQL VHEDQ\DN
rasionalitas kebenaran suatu bahasa
nama. Namun sebenarnya nama-nama
simbol tersebut, sangat terikat oleh
Allah tersebut tidak terbatas pada
situasi dan kondisi tertentu. Ada dua hal
sejumlah itu (al-Ghazali, 1996: 205-208).
yang patut menjadi cacatan terkait
dengan simbol agama ini. Pertama, Nama Allah itu sendiri seringkali
seringkali pemeluk sebuah agama disebut dengan ism al-Jalalah atau ism al-
terjebak pada penafsiran terhadap sistem -DP· yaitu nama yang mencakup atau
simbol tersebut pada sisi harfiahnya. mewadahi semua nama Tuhan yang lain
Sementara eksistensi agama pada (untuk lebih jelas lihat Komaruddin
dasarnya adalah perpaduan antara form Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis,
dan substance yang tidak bisa dipisahkan. 1995: 23-48). Karena itu, kata Allah
Justru pada makna esensi dari sebuah mengacu pada Tuhan yang absolut, suatu
simbol agamalah, seseorang dapat Dzat Yang Maha Akbar dan Ghaib, yang
menembus nilai-nilai universal yang ada hakikat kualitasnya tidak mungkin lagi
dibalik pengungkapan bahasa ritual dideskripsikan dan ditangkap oleh daya
keagamaan. Dengan kata lain, simbol- nalar manusia.
,VWLODK ´$OODKµ LWX VHQGLUL VXGDK the dialectic of the name of God. Selanjutnya
dikenal oleh masyarakat Arab Pra-Islam. Raimundo Pannikar, merumuskan
Akan tetapi menurut Winner, sembilan kategori dialektika yang disebut
sebagaimana yang dikutip oleh al-Faruqi, dengan kairological moment, lima di
istilah Allah bagi mereka dikenal sebagai antaranya adalah;
dewa yang mengairi bumi, sehingga
Pertama, jauh sebelum adanya
mampu memberikan kesuburan bagi
sistem keberagamaan yang mengajarkan
pertanian dan tumbuh-tumbuhan serta
ke-Esaan Tuhan, setiap Tuhan dipahami
memberi minum ternak-ternak mereka
sebagai tuhan yang lokal, dengan
(Ismail Raji al-Faruqi and Lois Lamya al-
berbagai namanya yang lokal pula.
Faruqi, 1986: 65). Ketika Islam datang,
Artinya, mengetahui Tuhan berarti
istilah Allah ini dirubah dan dipahami
mengetahui nama-Nya, sebaliknya tidak
sebagai Tuhan yang Maha Esa, tempat
mengetahui nama-Nya berarti tidak
berlindung bagi segala yang ada, tidak
mengetahui Tuhan. Kedua, pengertian
beranak dan tidak diperanakkan. Juga
pluralitas Tuhan tersebut, mesti
tidak ada satupun yang menyerupai-Nya
dipahami sebagai nama. Karena setiap
(QS. al-Ikhlash: 1-4).
nama Tuhan, meskipun menunjuk pada
Menurut Ibn Arabi, Allah sebagai satu Tuhan, tetapi tidak dalam
Dzat yang Absolut dan Maha Ghaib pengertian politheisme. Ketiga, pluralitas
tidak memerlukan nama. Dan jikalau nama Tuhan hanya bisa dipahami
yang Absolut itu diberi nama, maka sebagai manifestasinya. Sehingga setiap
nama-nama itu tidaklah ada yang tepat, nama Tuhan tidak membuat lemah sifat
demikian kata Lao-Tzu (Muhammad ketuhanannya, karena semua nama itu
Wahyuni Nafis (ed.), 1996: 85). Hal ini merujuk pada sifat tuhan. Keempat,
wajar, karena definisi itu memberikan pluralitas nama-nama Tuhan tersebut,
penciutan dan penyempitan dari sebuah bukanlah nama Tuhan dalam pengertian
realitas (Komaruddin Hidayat dan yang sebenarnya. Karena nama Tuhan
Muhammad Wahyuni Nafis, 1995: 33). yang sebenarnya justru berada atau
Maka, ketika Allah yang Absolut tersembunyi dan rahasia. Kelima, esensi
didefinisikan, maka Ia tidak lagi menjadi dari nama rahasia Tuhan itu tidak bisa
Absolut. ditangkap oleh manusia, akan tetapi
Oleh karena itu, pluralitas atas karena manusia mampu menangkap dan
nama-nama Tuhan dalam bentangan menyaksikan sesuatu tanda kekuatan
sejarah panjang manusia harus dipahami Tuhan pada yang tampak, maka muncul
menjadi sebuah kemestian. Akan tetapi, kesadaran untuk mengetahui-Nya. Lebih
bahwa semua nama itu hanya dapat jauh, Pannikar (1979: 267) menulis :
dijadikan jastifikasi bagi nama dan sifat, Each name of God does not exchaust the
tidak dalam pengertian esensi. Dalam divinity, since there are other names that
ungkapan Raimundo Pannikar (1979: also refer to the divinity. The essence of the
secret name is that it us unknown. God is
266), perjalanan tersebut disebut sebagai
the question about him, to find him means mengendalikan peristiwa alam, dan
to seek him; to know him means not to seterusnya.
know him (to name him means to invoke
him as an unknown God with an Pemahaman akan eksistensi Tuhan
unknown name), for his name is the ini, berimplikasi pada perilaku sosial bagi
question, pure, and simple. God is not yang meyakini dan mengimani-Nya,
subtance and has no name, but he is a dengan tingkat pemikiran yang berbeda-
question, a simple pronoun, an
interrogative: Who? beda. Tuhan-nya orang-orang sufi tentu
berbeda denga Tuhan yang dipahami
Mengenai Tuhan ini, secara
oleh kaum filosuf. Begitu juga ketika
filosofis telah diungkapkan dalam al-
Tuhan dipahami oleh seorang Teolog,
4XU·DQ GHQJDQ PHQ\HEXWQ\D Huwa
Mufassir, dan Mufaqqih. Belum lagi ketika
(Dia), yang kemudian disebut dengan
kaum Saintis, yang memiliki metodologi
Allah atau nama-nama yang indah (al-
yang berbeda, sudah pasti memiliki
asma al-husna) lainnya. Dalam salah satu
pemahaman yang berbeda pula dalam
firman-Nya, Allah mengatakan dalam al-
memandang Tuhan. Bahkan satu Sufi
4XU·DQ ´Katakanlah (ya Muhammad),
dengan Sufi lainnya, ketika
Huwa (Dia) yaitu (yang kamu dan orang-
mengungkapkan atau berbicara tentang
orang Arab biasa menyebutnya) Allah itu,
Tuhan memiliki perbedaan. Hal ini,
adalah Maha Esa, Tempat Bergantung (bagi
semakin menandaskan bahwa pluralitas
segala yang ada). Dia tidak beranak dan
dalam memahami dan meyakini Tuhan
tidak diperanakkan. Dan tidak ada satupun
itu pasti menjadi sebuah keniscayaan,
yang menyerupai-Nya (QS. al-Ikhlas: 1-4).
karena ia benar-benar merupakan realitas
Penjelasan tentang perjalanan yang tidak bisa dielakkan.
pemikiran manusia tentang Tuhan diatas,
Al-Qur'an dan hadits sendiri
menunjukkan bahwa Tuhan bagi
sebagai sebuah teks yang mengandung
manusia merupakan suatu hal yang
berbagai pesan, ajaran, dan amanat,
sangat manusiawi dan alami.
dimaknai dan aktualisasikan oleh umat
Pemahamanan manusia akan Tuhan
Islam secara berbeda-beda. Realitas dari
muncul dari kesadaran diri manusia
kemajmukan penafsiran ini, menurut
bahwa pada dasarnya manusia sangat
Munzir Hitami merupakan sebuah
lemah, lebih-lebih ketika dihadapkan
tuntutan bagi umat Islam untuk bersikap
pada berbagai peristiwa alam yang tidak
moderat. Lebih jauh Munzir Hitami
dijangkaunya. Oleh karenanya, Tuhan
(2005: 220-221) mengatakan;
GLSDKDPL GHQJDQ EHUEDJDL ´VRVRNµ \DQJ
beragam. Ada yang meyakini-Nya Pluralitas pemahaman ajaran agama
sebagai yang memberi Azab, ada yang dan kitab suci seperti al-Qur'an
adalah sebuah realitas yang tidak
mengimani-Nya sebagai yang memberi
dapat dipungkiri. Hal tersebut terjadi
rahmat dan kebaikan, dan ada pula yang karena dalam Islam sendiri memang
meyakini-Nya sebagai yang tidak ada lembaga yang mempunyai
otoritas untuk menyatukan
yang tersembunyi, Aku ingin agar Aku asma-Nya, disebutnya sebagai al-
dikenal, maka Aku ciptakan dunia, wahdaniyyah (keesaan tak berhingga).
VHKLQJJD PHUHND PHQJHQDONXµ (Ibn
Hubungan antara al-Ahâdiyah
'Arabi, t.th: 322). Berdasarkan hadits
dan al-Wahdâniyyah merupakan
LQL ,EQ ¶$UDEL EHUSHQGDSDW EDKZD
hubungan sesuatu yang potensial dan
ketika Tuhan akan melihat esensi-
aktual. Akan tetapi peralihan yang
Nya yang universal, mutlak, maka
pertama kepada yang berikutnya,
melalui nama-nama-Nya, Allah
berlangsung diluar ruang dan waktu,
menciptakan Kosmos.
karena tajalli Ilahi sebagai suatu
Hakikat-Nya hanyalah satu, proses eternal yang tiada henti-
sedangkan tanda-tanda-Nya banyak hentinya. Hal ini, menurut Ibn
sekali. Jika hakikat itu terpisah dari ¶$UDEL PHUXSDNDQ SHQJHQDODQ 7XKDQ
kita semua-1\D LDODK ´<DQJ
7XQJJDO 0XWODNµ GDQ MLND lewat asma dan sifat-Nya yang ber-
dimanifestasikan sifat-sifat dan asma- tajalli kepada alam semesta. Namun
asma-Nya, ia menjadi Yang Tunggal demikian bukan berarti bahwa Dzat
dalam aneka ragam. Semua iotu Ilahi adalah alam, dan alam adalah
WHUFDNXS GDODP VDWX QDPD ´$KDGµ identik dengan tuhan, sebab
kenyataan kita adalah bayang-bayang
atau sinar yang dicerminkan kepada- penampakan Diri Ilahi lewat tajalli-
nya. Jika dianggap sebagai hakikat, Nya merupakan tanda akan ke-
Dia adalah kenyataan kita dan jika Esaan-Nya, sebagaimana yang
dianggap sebagai keterbatasan, ia GLNDWDNDQ ROHK ,EQ ¶$UDEL W WK
bukanlah kenyataan kita (Moulvi ´Dan di dalam segala sesuatu bagi-Nya
SAQ. Husaini, 1913: 60).
adalah tanda, yang menunjukkan bahwa
Dengan demikian, realitas sesungguhnya Ia adalah Esa".
alam dan manusia merupakan
penampakan Diri Ilahi lewat asma- Realitas alam dan manusia,
Nya dan sifat-Nya, sebab Dzat Ilahi menjadi gambaran dari keberadaan
tidak mungkin dapat diketahui Ilahi, ´Manusia adalah sebuah mata
kecuali melalui asma da sifat-Nya. rantai yang menghubungkan Nama
Nama-Nama dan Sifat-Sifat tersebut Ketuhanan yang tidak dinyatakan dan
tidaklah memiliki perbedaan dalam dibedakan dari sesuatuµ %DKZD
eksistensinya di dalam Diri tuhan. manusia itu adalah merupakan
7HWDSL PHQXUXW ,EQ ¶$UDEL DGD UHIOHNVL GDUL ´*DPEDUDQ 7XKDQµ
perbedaan antara keesaan Dzat dan (David Emmanuel Singh, 1996). Hal
keesaan Asma Tuhan, keesaan dalam ini, bukanlah berarti penyamaan
Dzat VHULQJ GLVHEXW ROHK ,EQ ¶$UDEL antara Tuhan dengan realitas alam
sebagai al-ahâdiyyah (keesaan absolut), dan manusia. Sebab realitas alam dan
sementara keesaan Tuhan dalam manusia adalah penampakan bagi
asma dan sifat-Nya, sebagaimana
\DQJ VDPSDLNDQ ROHK ,EQ ¶$UDEL
dalam Ibn Arabi Misykat al-Anwar (terjemahan)
(Jakarta: Pustaka Firdaus. 1988), 157-165. seperti dikutip oleh Afandi (1990);
tentang Tuhan jelas menekankan You are not He and you are He
akan imanensi dan transendensi and
Tuhan. Sebab pantheisme You see Him in the essences of
thing both boundless and limited
menghilangkan perbedaan antara (Ibn 'Arabi, 1980: 75).
Tuhan dan manusia, sementara Ibn (jika kamu hanya menegaskan
¶$UDEL PHngakui perbedaan atas transendensi-Nya, kamu membatasi-
keduanya, dan pantheisme tidak Nya
mengakui akan transendensi Tuhan, Dan jika kamu hanya menegaskan
imanensi-Nya, kamu membatasi-Nya
VHGDQJNDQ ,EQ ¶$UDEL Jika kamu memelihara kedua aspek
mempertahankan akan transendensi ini, kamu benar
Tuhan (Kautsar Azhari Noer, dalam Seorang imam dan guru dalam bidang
Edi A. Efendi, 1999: 64). Jika dilihat ilmu spritual
dari sisi tasybih, Tuhan adalah identik, Barang siapa yang menyatakan Dia
adalah dua hal, adalah seorang musyrik,
atau lebih tepat serupa dan satu Sementara yang mengucilkan-Nya,
dengan alam, meskipun keduanya coba untuk mengatur-Nya.
tidak setara, karena Allah melalui Hati-hati dalam membandingkan-Nya,
asma-asma-Nya menampakkan Diri- jika kamu menggabungkan dualitas
Nya dalam alam. Tetapi jika dilihat (Tuhan dan Alam)
Dan jika kesatuan, berhati-hatilah
dari sisi tanzih, Tuhan sama sekali menjadikan-Nya transenden.
berbeda denga alam, karena Dia Kamu bukan Dia, dan Kamu adalah
adalah Dzat Mutlak yang tidak Dia dan Kamu melihat-Nya dalam esensi
terbatas, dan berada di luar alam sesuatu yang terikat dan terbatas).
nisbi yang terbatas. Seluruh sikap Kesatuan transendensi dan
PHQWDO ,EQ ¶$UDEL WHUKDGDS GXD KDO imanensi Tuhan adalah prinsip
ini (transendensi dan imanensi coincidentia oppositorum atau al-MDP·
Tuhan) tersimpul dalam sajak- bayna al-addad dalm sistem Ibn Arabi,
sajaknya berikut ini: yang secara paralel terwujud pula
If you insist only on His dalam kesatuan ontologis antara
transcendence, you restrict Him, Yang Tersembunyi (al-Batin) dan
And if you insit only on His Yang Tampak (al-Zahir), antara Yang
immanence, you limit Him. Satu (al-Wahid) dan Yang Banyak (al-
If you maintain both aspects you Katsir). Dilihat dari segi Zat-Nya,
are right,
an Imam and master in the spritual Tuhan adalah transenden, munazzah
sciences. (tidak dapat dibandingkan dengan
Whoso would say He is two alam), dan dilihat dari segi asma-
things is polytheist, asma-Nya, Tuhan adalah imanen,
While the one who isolates Him musyabbah (serupa dengan alam),
tries to regulate Him.
Beware of comparing Him if you yang Tampak dan Yang Banyak.
profess duality, Tuhan sebagai satu-satunya Wujud
And, if unity, beware of making Hakiki, Zat Mutlak yang munazah,
Him transcendent.
yang tidak diketahui. Tuhan yang Maha Penyayang, jika Dia hanya
VHSHUWL LQL ROHK ,EQ ¶$UDEL GLVHEXW membimbing bangsa-bangsa semitik,
sebagai Tuhan Yang Sebenarnya (al- dan meninggalkan bangsa-bangsa
ilah al-haq), Tuhan Absolut (al-ilah al- India, Cina, Indian, Negro, dan lain-
muthlaq), dan Tuhan Yang Tidak lain dalam keesatan.
Diketahui (al-ilah al-majhul). Tuhan 2OHK NDUHQD LWX EDJL ,EQ ¶$UDEL
dalam pengertian ini adalah Tuhan Tuhan yang sebenarnya adalah
yang munazzal, Tuhan yang tidak 7XKDQ ´\DQJ WLGDN WHUGHILQLVLNDQµ
diperbandingkan dengan alam, dan DWDX ´7XKDQ <DQJ 7LGDN 'LNHWDKXLµ
sama sekali berbeda dengan alam. Hal ini juga dipertegas oleh Karen
´7LGDN DGD VHUXSD EDJi-1\Dµ 46 Armstrong (2001: 300) bahwa tidak
al-6\XUD ´3HQJOLKDWDQ WLGDN ada gunanya kita berusaha mencari
dapat mempersepsi-Nya, tetapi Dia atau mendefinisikan Tuhan yang
PHPSHUVHSVL VHPXD SHQJOLKDWDQµ sebenarnya, karena Dia di luar kata-
(QS. al-$Q·DP kata dan diskripsi manusia. Karena
Itulah Tuhan yang tidak bisa Dia adalah Mutlak, Transenden, jauh
dipahami dan dihampiri secara melampau realitas atau wujud alam
absolut, yang sering disebut dengan dan manusia. Dia berada pada
Dzat Tuhan. Dalam keabsolutan- limitasi yang tidak terbatas oleh
Nya, Dia terlepas dari semua sifat pengetahuan alam dan manusia.
dan relasi yang dapat dipahami oleh
Dari sini kita dapat memahami
PDQXVLD 'LD LQL ROHK ,EQ ¶$UDEL
Tuhan dengan dua hal ; memahami
disebut sebagai Misteri Yang Absolut
Tuhan dengan persepsi kita sendiri,
(al-ghayb al-muthlaq). Jika kita lihat
melalui penampakan Diri Tuhan
dari peampakan Diri (tajalli) Tuhan,
lewat asma-asma-Nya. Maka yang
maka dapat dikataka bahwa Yang
NHGXD ´PHOHSDVNDQµ NHWHUEDWDVDQ
Absolut dalam keabsolutan-Nya
persepsi tentang Tuhan. Artinya, ada
adalah pada tingkat ke-Esaan (al-
wilayah yang mengharuskan kita
ahadiyyah).
untuk bersedia memasrahkan
Sulit rasanya, untuk menerima pengetahuan kita tentang Tuhan,
kenyataan bahwa Tuhan Maha Adil, SDGD 7XKDQ LWX VHQGLUL .DUHQD ´WDN
Maha Pengasih, Maha Penyayang, ada Tuhan yang bisa mengenal Allah,
jika Dia hanya membimbing bangsa- NHFXDOL $OODK VHQGLULµ %DQGLQJNDQ
bangsa tertentu saja, di belahan bumi dengan Sachiko Murata, 2000: 80-
kearah kebahagiaan dan kenikmatan, 81). Atau Dia bukanlah seperti
sementara membiarkan bangsa apapun (laisa kamitslihi syai) (QS. al-
lainnya dalam kesesatan dan Syura: 11), sebuah pendekatan dalam
kesengsaraan. Juga sangat sulit, memahami Tuhan yang dalam
untuk menerima kenyataan bahwa terminologi filafat agama biasa
Tuhan Maha Adil, Maha Pengasih, disebut via negativa atau teologi
tidak dapat diasosiasikan dengan apapun pada nilai-nilai universal Tuhan, seperti
(obyektif). Ketiga, Tuhan yang Eksoteris Kasih Sayang, Keindahan, Kebesaran,
dan Tuhan yang Esoteris. Memahami Keagungan, Kesucian Tuhan, sekaligus
Tuhan, secara baik dan benar tidak akan membangun interaksi moral antar
mungkin bertemu pada jalur, eksoteris. sesama makhluq ciptaan-Nya. Model
Karena yang tampak di permukaan pendekatannya pun lebih menekankan
adalah realitas pluralitas agama, seperti pada situasi dan kondisi yang tengah
dipresentasikan oleh kehadiran agama berlangsung, di samping tidak
Yahudi, Kristen, Islam, dan seterusnya melepaskan dimensi transsendental dari
itu. Tetapi, titik temu agama-agama itu suatu agama itu sendiri. Di sini ada
hanya mungkin terealisasi pada level dealektika yang dinamis antara dataran
esoteris (kata Huston Smith), esensial transendental-normatif substansif dari
(kata Baghavan Das), atau transenden sebuah agama, dengan dataran historis-
(kata Frithjof Schuon). HPSLULV GDODP PHODNXNDQ ´UHNRQVWUXNVLµ
Pemahaman tersebut, jika tidak penafsiran terhadap sebuah teks.
disertai dengan kesadaran bahwa
pluralitas bukan keniscayaan, maka akan
berimplikasi pada peneguhan akan truth
claim, yaitu membenarkan persepsinya
sendiri tentang Tuhan sekaligus
memperlemah pemahaman orang lain
tentang Tuhan. Sehingga dalam proses
sosialnya, seseorang cenderung
menggunakan pendekatan secara
Dokriner-Dogmatik. Pendekatan ini,
pada umumnya menjadikan agama
WDPSDN ´NDNXµ HNVNOXVLI GDQ LQWROHUDQ
Dan penafsiran-penafsiran agamanya
seringkali bertentangan secara deametral
dengan situasi dan kondisi yang ada.
Implikasi lebih lanjut adalah proses
hubungan antar umat beragama
cenderung kaku dan doktrinal, bukan
pada proses pengembangan sikap dan
nalar yang toleran antar sesama.
Akibatnya, muncul generasi yang
bernalar negatif terhadap perbedaan dan
heterogenitas.
Oleh karena itu, kita perlu
memahami Tuhan yang menekankan
Mazhab Ciputat. Bandung: Zaman Nasr, S.H. (1989). Knowledge and the
Wacana Mulia. Sacred. New York.
-------. (2002). Tasauf Perennial; Kearifan -------. (1991). Tasawuf; Dulu dan Sekarang
Kritis Kaum Sufi. Jakarta: Serambi. (terjemahan). Jakarta: Pustaka
Firdaus.
Khalafullah, Ahmad. (1999). al-Fann al-
Qishashiy fi al-4XU·DQ DO-Karim. Nurcholish Madjid. (1984). Khazanah
Kairo-Beirut: Sina li al-Nasyr wa Intelektual Islam. Jakarta: Bulan
0X·DVVDVDK DO-Intisyar al-Araby. Bintang.
.KDPDPL =DGD ´0HPEHEDVNDQ -------. (1992). Islam Doktrin dan
Pendidikan Islam dari Peradaban. Jakarta: Paramadina.
Eksklusifisme menuju -------. (1995). Islam Agama Kemanusiaan;
,QNOXVLYLVPH GDQ 3OXUDOLVPHµ Membangun Tradisi dan Visi Baru
Tashwirul Afkar, No. 11 (2000). Islam di Indonesia. Jakarta:
Khan, Hazrat Inayat. (2003). Kesatuan Paramadina.
Ideal Agama-Agama (terjemahan). -------. (1999). Cendekiawan dan Religiusitas
Yogyakarta: Putra Langit. masyarakat. Jakarta: Paramadina.
.RPDUXGGLQ +LGD\DW ´0DQXVLD -------. (1999). Pintu-Pintu Menuju Tuhan.
dan Proses Penyempurnaan DiULµ Jakarta: Paramadina.
dalam Buddhy Munawar Rahman
(ed). Kontekstualisasi Doktrin Islam ------- ´,EQ DO-Arabi dan
dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina. 7DVDZXIµ GDODP 6XNDUGL (ed).
Kuliah-kuliah Tasawuf Bandung:
-------. (1996). Memahami Bahasa Agama; Pustaka Hidayah.
Sebuah kajian Hermeneutik. Jakarta:
Paramadina. Pannikar, Raimundo. (1979). Myth, Faith,
and Hermeneutics. New York: Paulist
------- ´0HODPSDXL 1DPD-Nama Press.
Islam dan PostmodenisPHµ GDODP
Edy A. Efendi (ed). Dekonstruksi 5XEDLGL ´'LVHPLQDVL 3HQGLGLNDQ
Mazhab Ciputat. Bandung: Zaman Perdamaian Berbasis Agama;
Wacana Mulia. Gagasan Intensifikasi Konsep Peace
Building %HUEDVLVL $JDPDµ
Mulyadhi Kartanegara. (2002). Panorama Nizamia, Vol. 8 No. 1 (2005).
Filsafat Islam; Sebuah Refleksi
Autobiografi. Bandung: Mizan. 6LQJK 'DYLG (PPDQXHO ´5ROH RI -HVXV
in Ibn al-¶$UDEL·V 6SULWXDOLW\µ The
0XQ·LP $ 6LUU\ HG Fiqh Lintas Asia Jurnal of Theologi, Vol. 10 No.
Agama; Membangun Masyarakat 1 (1996).
Inklusif-Pluralis. Jakarta:
Paramadina. Schuon, Fritjhof. (1975). The Trancendent
Unity of Religions. New York:
Munzir Hitami. (2005). Menangkap Pesan- Harper & Row.
Pesan Allah; Mengenal Wajah-wajah
Hermeneutika Kontemporer. Sukidi. (2001). New Age; Wisata Spritual
Pekanbaru: Susqa Press. Lintas Agama. Jakarta: Gramedia.
Murata, Sachiko. (2000). The Tao of Islam Taufik Abdullah, dkk. (t.th). Ensiklopedi
(terjemahan). Bandung: Mizan. Tematis Islam Asia Tenggara. Jakarta:
Ichtiar Baru Van Hoeve.