Anda di halaman 1dari 4

Remaja dan Fandom: Mengukuhkan Peran Keluarga dalam Melindungi

Moral Anak Bangsa


Ade Hidayat (IAIN Syekh Nurjati Cirebon)

Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia


merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh negara sebagaimana amanat
yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) Alinea ke 4 (empat).
Remaja-remaja Indonesia merupakan aset negara yang wajib dilindungi.
Remaja merupakan generasi muda yang akan meneruskan cita-cita suatu bangsa,
untuk memimpin dan mengatur sebuah negara. Dengan demikian, remaja
haruslah memiliki kepribadian yang baik, kecerdasan yang dilandasi dengan ilmu
dan wawasan yang luas, memiliki jiwa yang semangat, pikiran terbuka dan
memiliki tujuan yang baik, berbobot dan bermanfaat serta berguna untuk
kemajuan bangsa dan negara. Namun, generasi muda Indonesia sebagian
terjerumus pada arus global yang sulit terkendali. Sebagian generasi muda
Indonesia saat ini mengalami krisis identitas dan korban dari gaya hidup luar.
Semakin banyak lifestyle dari luar Indonesia yang masuk, semakin tidak terkendali
pada generasi muda Indonesia saat ini.

Fakta Sebagian Remaja saat Ini


Beberapa waktu lalu, seseorang mengabarkan bahwa putrinya keluar dari grup
fandom sebuah grup musik Korea favoritnya. Alasan yang dikemukakan anak ke grup
fandomnya itu sederhana, tapi cukup menohok: “Banyak hal yang ingin aku kejar
untuk masa depanku. Aku ingin fokus pada kehidupan real life aku”.
Buat penggemar Kpop pasti sudah tidak asing dengan istilah fandom. Fandom
adalah sebenarnya adalah istilah bahasa Inggris yang memiliki arti “kepenggemaran”,
atau kumpulan/basis penggemar. Sebetulnya istilah fandom ini bisa dipakai untuk
kelompok apa saja. Namun, seiring berjalannya waktu, istilah tersebut sangat populer
dan menjadi ciri khas di dunia Kpop
Bagi sebagian orang, mungkin pernyataan keluar dari sebuah fandom grup
Kpop itu sederhana, tapi bagi sebagian remaja, hal itu tidak sederhana. Sebuah
fandom ibarat sebuah keluarga. Secara emosional mereka saling terikat satu sama lain.
Mereka saling support, bahkan saling bantu dalam kehidupan nyata (misal, bantu
memecahkan soal-soal ujian sulit). Mereka juga acap membuat proyek kerja bersama.
Umumnya proyek-proyek itu seputar grup musik favorit mereka, seperti proyek amal
atas nama grup idola (meski uangnya dari mereka sendiri), proyek tanam pohon, bikin
buku (seputar kecintaan terhadap idola), atau bikin album musik bersama (yang
musik-musiknya umumnya diadaptasi dari musik sang idola).
Kegiatan-kegiatan mereka cukup positif, meski, bila dibandingkan dengan
persentase waktu yang dihabiskan untuk mengurus sang idola, porsinya lebih sedikit.
Apa yang saya sebut mengurus itu, memang benar-benar mengurus. Seperti, mereka
mengurus jumlah viewer video musik idola. Begitu sang idola mengeluarkan video
musik baru, mereka semua langsung beramai-ramai streaming video untuk mencapai
target viewer, misalnya, 10 juta dalam 24 jam, 50 juta atau 100 juta dalam 24 jam. Untuk
grup populer macam BTS dan Blackpink, target viewernya 100 juta dalam 24 jam.
Untuk grup baru naik, cukup 10 juta, bahkan grup debut cukup 1 juta saja. Target-
target ini sangat menguras energi, waktu, dan juga uang tentu saja (untuk membeli
pulsa supaya bisa memutar video tersebut terus menerus selama 24 jam). Apa yang
didapat setelah target tercapai? Perasaan bangga yang semu saja. Keuntungan
finansial toh tetap milik grup idola. Hitung saja, berapa rupiah yang mereka dapatkan
dari jumlah viewer?
Itu baru satu kasus saja. Kegiatan “mengurus idola” jauh lebih banyak dari itu.
Beberapa contohnya, voting di berbagai aplikasi (agar grup idola menang), proyek
ulang tahun idola, proyek target penjualan album idola, dan proyek mention idola
supaya tetap berada di tangga teratas Billboard Sosial. Para fandom ini melakukan
dengan senang dan bahagia. Kenapa? Karena faktor emosi. Ketika mereka mendapat
support dari orang-orang yang satu ide dengan mereka, perasaan terikat muncul.
Inilah alasan kenapa banyak sekali remaja susah keluar dari fandom sebuah grup
musik. Sebab, di kehidupan nyatanya, mereka tidak mendapatkan ikatan emosi
seperti ini. Banyak sebabnya, seperti, orang tua yang tidak komunikatif, lingkungan
sekolah yang kurang kondusif, pembulian, dll. Akhirnya, mereka melarikan diri ke
fandom. Mereka hidup di dunia, “unreal life” karena seluruh kebutuhan emosi
mereka terpenuhi di sana.
Ini bukan cuma menimpa Kpoper saja. Perasaan terikat, bahkan sampai
mengkultuskan idola bisa terjadi di fandom mana saja. Penggemar Madonna,
misalnya, pernah membeli celana dalam sang idola seharga miliaran. Seorang
penggemar petenis Andre Agassi, pernah mengambil jejak telapak kaki Agassi dan
menyimpannya. Semua yang berasal dari sang idola dianggap seperti berkat. Obsesi,
imajinasi, kultus, membutakan akal. Ini bisa terjadi pada siapa saja, untuk tokoh mana
saja, entah artis, olahragawan, tokoh agama, pengarang, atau seniman.
Salahkah remaja-remaja ini? Penting menguak akar persoalan, bukan
permukaannya. Mengapa mereka bisa begitu? kebutuhan emosi apa yang tidak
mereka dapat dari lingkungan terdekatnya sehingga mereka mencarinya di dunia
maya. Seorang remaja, pasti butuh ikatan-ikatan sosial baru di luar keluarganya, itu
alamiah saja, tapi, ketika ikatan itu menenggelamkan mereka sangat dalam, berarti
ada masalah di sini. Sudah saatnya itu ditelisik.

Solusi Perbaikan
Bisakah anak remaja kita ketika memutuskan keluar dari fandom grup
favoritnya, dan sepanjang hari menerima japrian dari teman-teman segrup yang
membujuknya kembali lagi, lalu dijawab dengan cool, “Aku sungguh heran dengan fans-
fans seperti ini, untuk apa mengeluarkan uang segitu banyak hanya untuk menampilkan foto
seorang idola di depan umum selama beberapa menit, padahal di saat yang sama jutaan orang
kelaparan dan kekurangan air bersih.”
Pernyataan dari anak yang timbul dari kesadaran, dimana orang tuanya juga
tidak memaksa anak agar tidak menyukai Kpop. Orangtua hanya perlu menguatkan
ikatan terus menerus dengan anak, membimbing dan mementori anak dalam
kehidupannya. Pada akhirnya, seiring kematangan berpikir anak, dia akan melihat
mana hal yang betul-betul penting untuknya. Anak dengan kesadarannya,
memutuskan apa yang ia anggap terbaik untuk masa depannya.
Namun, remaja yang mampu berpikir demikian tidak serta terbentuk begitu
saja. Sedari dini anak dibantu dan dibimbing oleh orangtua merancang semacam
“cetak biru” untuk melakukan satu aksi, baik kecil maupun besar sebagai bentuk
kontribusi dari permasalahan sosial yang ditekuni sebelumnya. Anak perlu dilibatkan
aktif dalam kegiatan yang berhubungan dengan masyarakat. Dalam konteks sekonkrit
mungkin, walaupun dalam bentuk sederhana, anak diajak bertindak riil memberi
andil solusi.
Sebagai contoh dalam problematika kemiskinan, tindakan riilnya anak beserta
orangtua maupun temannya memiliki jadwal mingguan atau bulanan untuk
membagikan nasi bungkus pada pengemis, atau berbagi rezeki pada tetangga yang
berkekurangan.
Dalam persoalan banjir, anak dengan penyertaan informasi dan kesadaran
tentang siklus bagaimana timbulnya sampah serta eksesnya, bagaimana pola
manajemen sampah di keluarga sehingga ramah lingkungan baik itu reduce, recycle,
ataupun reuse.
Dalam masalah kelaparan dan krisis pangan, dapat dihadirkan kesadaran
dengan pemutaran video/tayangan terkait sebagai perenungan bagaimana fenomena
kelaparan bisa terjadi, hingga mampu mendorong remaja untuk menghargai setiap
suap makanan, kepedulian dengan berdonasi, berempati, dan menahan daya
konsumtif. Dalam persoalan apapun, anak dengan bimbingan orangtua dapat
merancang minat, buku bacaan favorit, serta komunitas yang dijadikan acuan.
Tahap selanjutnya, remaja diberikan perencanaan jangka panjang, baik itu
dituangkan dalam diary, organigram pribadi atau bentuk lain tentang apa yang ingin
dicapai dalam mengambil andil kontribusi memecahkan permasalahan global
tersebut. Lebih konstruktif kita tidak sekedar bertanya apa cita-cita anak, namun
bertanya apa yang ingin anak kontribusikan, dari sana dapat menarik simpul tentang
cita-cita atau perencanaannya ke depan. Dengan paradigma tersebut, remaja
terhindarkan dengan perancangan cita-cita egosentris yang hampa dan teralienasi.***

Anda mungkin juga menyukai