Solusi Perbaikan
Bisakah anak remaja kita ketika memutuskan keluar dari fandom grup
favoritnya, dan sepanjang hari menerima japrian dari teman-teman segrup yang
membujuknya kembali lagi, lalu dijawab dengan cool, “Aku sungguh heran dengan fans-
fans seperti ini, untuk apa mengeluarkan uang segitu banyak hanya untuk menampilkan foto
seorang idola di depan umum selama beberapa menit, padahal di saat yang sama jutaan orang
kelaparan dan kekurangan air bersih.”
Pernyataan dari anak yang timbul dari kesadaran, dimana orang tuanya juga
tidak memaksa anak agar tidak menyukai Kpop. Orangtua hanya perlu menguatkan
ikatan terus menerus dengan anak, membimbing dan mementori anak dalam
kehidupannya. Pada akhirnya, seiring kematangan berpikir anak, dia akan melihat
mana hal yang betul-betul penting untuknya. Anak dengan kesadarannya,
memutuskan apa yang ia anggap terbaik untuk masa depannya.
Namun, remaja yang mampu berpikir demikian tidak serta terbentuk begitu
saja. Sedari dini anak dibantu dan dibimbing oleh orangtua merancang semacam
“cetak biru” untuk melakukan satu aksi, baik kecil maupun besar sebagai bentuk
kontribusi dari permasalahan sosial yang ditekuni sebelumnya. Anak perlu dilibatkan
aktif dalam kegiatan yang berhubungan dengan masyarakat. Dalam konteks sekonkrit
mungkin, walaupun dalam bentuk sederhana, anak diajak bertindak riil memberi
andil solusi.
Sebagai contoh dalam problematika kemiskinan, tindakan riilnya anak beserta
orangtua maupun temannya memiliki jadwal mingguan atau bulanan untuk
membagikan nasi bungkus pada pengemis, atau berbagi rezeki pada tetangga yang
berkekurangan.
Dalam persoalan banjir, anak dengan penyertaan informasi dan kesadaran
tentang siklus bagaimana timbulnya sampah serta eksesnya, bagaimana pola
manajemen sampah di keluarga sehingga ramah lingkungan baik itu reduce, recycle,
ataupun reuse.
Dalam masalah kelaparan dan krisis pangan, dapat dihadirkan kesadaran
dengan pemutaran video/tayangan terkait sebagai perenungan bagaimana fenomena
kelaparan bisa terjadi, hingga mampu mendorong remaja untuk menghargai setiap
suap makanan, kepedulian dengan berdonasi, berempati, dan menahan daya
konsumtif. Dalam persoalan apapun, anak dengan bimbingan orangtua dapat
merancang minat, buku bacaan favorit, serta komunitas yang dijadikan acuan.
Tahap selanjutnya, remaja diberikan perencanaan jangka panjang, baik itu
dituangkan dalam diary, organigram pribadi atau bentuk lain tentang apa yang ingin
dicapai dalam mengambil andil kontribusi memecahkan permasalahan global
tersebut. Lebih konstruktif kita tidak sekedar bertanya apa cita-cita anak, namun
bertanya apa yang ingin anak kontribusikan, dari sana dapat menarik simpul tentang
cita-cita atau perencanaannya ke depan. Dengan paradigma tersebut, remaja
terhindarkan dengan perancangan cita-cita egosentris yang hampa dan teralienasi.***