DOSEN PENGAMPU:
Dr. E. FERNANDO M. MANULANG
DISUSUN OLEH:
NURUL LAYLAN HSB
2006616146
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
JAKARTA
JUNI 2021
Pertanyaan:
Mengapa ide hukum justru tidak mencari kebaruan-kebaruan seperti yang terjadi
di dunia pengetahuan non-hukum atau dunia seni? Padahal dunia secara umum
berkembang ke arah dan format baru. Apalagi semenjak dunia digital dan teknologi
Pembahasan:
kekuasaannya atas alam dengan membuka rahasia alam sebanyak mungkin. Modernisasi
telah mendorong pendayagunaan akal yang kuat dalam berpikir, hal tersebut dilatar
belakangi karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dilandaskan pada
nilai dari norma yang ada.1 Dalam positivism hukum, hukum ditaati bukan karena baik
atau adil, melainkan telah ditetapkan oleh penguasa yang sah, sehingga positivism
hukum tidak seolah-olah meninggalkan nilai-nilai yang membuat hukum itu sendiri
perubahan tersebut dalam pandangan mulhadi bersifat organik, dan pragmatis berta
1
Rahardjo mengingatkan bahwa ditengah gencarnya globalisasi yang menghapuskan
segala penghalang yang terjadi, serta adanya restrukturisasi global terutama dalam
terdiri atas, Pertama, kegiatan bertatanan (stelselmatige activiteit). Ilmu Hukum sebagai
Kedua, sistematika Ilmu Hukum berupaya dari sudut pandang konseptual untuk
Paul Scholten, bahwa titik berat sistemat- ika bagi ilmu hukum terletak pada kesatuan
2
Safik Fauzi, “Hukum Modern di Tengah Perubahan Sosial di Era Globalisasi”, Prosiding
Sendi, 2018, hlm. 397
3
I Dewa Gede Atmaja, “Menyoal Filsafat Ilmu Hukum” Jurnal Notariil, Vol.2 No.2, 2017, hlm.
120
2
Pembahasan mengenai pembaharuan ide hukum yang tidak mengalami
perubahan seperti ilmu non hukum berkaitan pula dengan adanya hukum dan
sebagai ilusi, tidak pasti, dan secara fundamental tidak dapat dipisahkan dari
kapitalisme liberal. Berbagai hal yang melatarbelakangi tidak adanya pembaruan dalam
hukum, salah satunya dikarenakan hukum mungkin bukan merupakan kunci utama
kohesi sosial dan kemajuan seperti yang diasumsikan oleh para ahli teori pra realis,
namun sebenarnya pada pendapat yang lain Douglas Scott menegaskan mengenai
sumber, kendala, dan akuntabel dari perkembangan ilmu hukum itu sendiri. 4
Pada dasarnya hukum setelah modernitas adalah hal yang paling sugestif ketika
percaya bahwa sikap seperti itu memungkinkannya untuk menyerap kritik terhadap
formalisme hukum tradisional dan positivisme tanpa menyerah pada “nihilisme” etis. .
dilatarbelakangi dari kekhasan ilmu hukum itu pula yang berkaitan dengan post
kedua tumbuh dari apresiasi terhadap fakta bahwa daya tarik yang terus-menerus dari
perbatasan keropos, perjanjian informal, dan standar fleksibel hanya dapat dipahami di
dunia di mana kapitalisme secara luas, jika dilebih-lebihkan, dianggap beroperasi "di
4
International Journal Of Constitutional Law, “Law After Modernity”, Oxford Academic, Vol. 12
Issue 1, January 2014, hlm. 269
3
luar negara. Pada intinya, dalam pembahasan tersebut dinyatakan bahwa salah satu
tujuannya yaitu untuk menunjukan bahwa “hukum tidak berlebihan”, karena tetap
membiarkan hukum pada karakteristik serta kekhasan dari ilmu hukum tersebut. 5
dinamika sosial yang lebih luas seperti seni atau arsitektur yang sudah lelah dan usang,
tetapi bahwa kekuatan yang dengannya mereka diulang menyembunyikan tidak adanya
"konsep 'terbuka', tidak untuk dipahami sebagai homogen, picik dan tertutup tetapi
sebaliknya mencakup entitas yang sangat plural dan peluang yang beragam. Ketika
semua dikatakan dan dilakukan, kesulitan-kesulitan ini dan terkait banyak berutang
pada Hukum setelah adopsi Modernitas dari pendekatan "budaya" terhadap hukum.
sebuah pendekatan yang Douglas- Scott berusaha untuk memperkuat dengan menyusun
heterogenitas dan referensi diri yang dia anggap berasal dari hukum. Keengganan untuk
berteori "budaya," konsep yang sangat kabur pada saat-saat terbaik, Douglas-Scott tidak
mengabaikan konteks yang lebih luas dari mana ia muncul dan untuk yang
ditanggapinya.6
dipahami dalam konteks budayanya, dalam arti bahwa hukum adalah objek budaya, dan
bahwa kita meningkatkan hukum jika kita menafsirkan dan menilainya dalam “cahaya
5
Ibid., hlm. 270
6
Ibid.
4
budaya”. Hukum setelah Modernitas adalah upaya yang canggih dan menggugah
tentang pluralisme hukum, teori hukum transnasional, dan hukum Uni Eropa untuk
menguraikan teori hukum "budaya". Ini akan menjadi perhatian khusus bagi mereka
yang terganggu oleh keinginan luas untuk "melembagakan" hukum internasional dan
Uni Eropa. Itu tidak selalu meyakinkan, tetapi ini tentu saja bukan karena kurangnya
Kekhasan dari ilmu hukum yang tidak mengalami pembaruan seperti pada ilmu
seni atau non hukum lainnya yang berubah seiring perkembangan zaman juga
dilatarbelakangi dari fungsi filsafat hukum itu sendiri. Roscoe Pound (1972:3)
gagasan untuk menciptakan suatu hukum yang sempurna yang harus berdiri teguh
yang telah selesai ditetapkan, kekuasannya tidak dipersoalkan lagi. Hukum tidak bisa
dilakukan pemecahan melalui sistem hukum yang berlaku pada masa tertentu. Dalam
hal ini filsafat hukum juga memiliki penjelasan bahwa hukum sebagai upaya untuk
akan datang8. Namun, dalam hal ini karakteristik ilmu hukum tetap tidak bisa diubah
karena sifat hukum yang pasti serta adanya penelaahan asas dasar dan etik serta
pengawasan sosial yang tetap didasarkan pada tujuan-tujuan masyarakat, masalah hak
7
Ibid., hlm. 271
8
Bambang Hermoyo, “Peranan Filsafat Hukum dalam Mewujudkan Keadilan”, Fakultas Hukum
Universitas Sriwijaya, Hlm. 29
5
Menurut Savigny, dalam perkembangan hukum berlangsung pad atahap awal
diekspresikan secara spontan dari tradisi adat. Maka, keberagaman bentuk hukum pada
alamiah yang disengaja atau suatu pertimbangan yang beralasan.9 Dalam hal
ilmu pengetahuan non hukum tidak dapat disamakan dengan ilmu hukum. Misalnya
ilmu matematika adalah fixed number sedangkan perilaku manusia memiliki karakter
yang tidak stabil yang lebih kompleks karena terpengaruh keadaan. Oleh karena itu,
ilmu matematika dengan perilaku manusia adalah suatu hal yang bertentangan.10
dengan ilmu non hukum karena hukum telah diciptakan berdasarkan perilaku manusia
dan tidak rentan terhadap perkembangan masa ke masa karena sifat dasarnya yang tetap
ilmu alam (eksak), dimana kehadiran paradigma baru cenderung akan mengembangkan
paradigm lama. Sedangkan dalam paradigm ilmu sosial (ilmu hukum), paradigm baru
dihadapan paradigma lama tidak selalu menjadi alasan musnahnya atau hilangnya
paradigma yang lama, karena paradigma baru pada dasarnya hanya saling bersaing dan
berimplikasi pada saling menguat atau melemah. Sehingga ilmu hukum tidak mudah
9
Luis Kutner, “Legal Philosophers: Savigny:German Lawgiver”, Marquette Law Review, 55, 2
(1972), hlm. 283-284
10
Michael Singer, Positivism of Auguste Comte”, dalam The Legal of Positivism”, (New York:
Palgrave Macmillan, 2005)
11
Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, “Ilmu Hukum dalam Perspektif Ilmu
PengetahuanModern”http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/index.php?option=com_content&view=article
&id=259:ilmu-hukum-dalam-perspektif-ilmu-pengetahuan-modern&catid=108&Itemid=161
6
Dalam memahami faktor perkembangan ilmu hukum yang cenderung konstan
hukum, mengenai hal ini juga didukung oleh pendapat Hans Kelsen dalam Teori
Hukum Murni yang mengatakan bahwa adanya hal yang berbeda dari teori hukum
positif yang bukanlah hasil dari penerapan peraturan legal khusus. Maka melalui hal
tersebut pula hakikat dari ilmu dapat ditentukan dari struktur dan karakteristik-
perkembangan substansial pertama mereka dalam karya Jeremy Bentham dan John
Austin pada akhir abad kedelapan belas dan awal abad kesembilan belas, meskipun
akarnya sudah dapat dilihat dalam karya Thomas Hobbes dan David Hume. Memang,
perdebatan tentang beberapa tema utama yang menjadi menonjol dalam positivisme
Selanjutnya faktor dari ide hukum yang tidak mengalami pembaruan disebabkan
pula oleh adanya sumber dari hukum itu sendiri. Seperti pandangan Thomas Aquinas
bahwa hukum sebagai aturan alam yang bersumber pada Tuhan. Aturan-aturan tersebut
kemudian mewujudkan diri dalam substansi yang disebut manusia, yaitu di dalam
kemampuannya mengenal apa yang baik dan apa yang jahat. Sesuatu yang baik,
menurut Thomas Aquinas adalah sesuatu yang sesuai dengan kecenderungan alam, dan
sesuatu yang baik itu harus dilakukan. Misalnya kemauan untuk mempertahankan
12
Ibid.
13
William E. Conklin, The Invisible Origin of Legal Positivism, (Dodrecht: Springer
Science+Business Media, 2001).
7
hidup, laki-laki dan wanita harus menikah, manusia harus bermasyarakat.14 Hukum
alam yang terletak pada akal budi manusia disebut Thomas Aquinas sebagai partisipasi
aturan yang berasal dari Tuhan, yaitu Hukum yang Abadi yang mewujudkandiri dalam
setiap masyarakat. Oleh karena itu syarat yang dibutuhkan untuk eksistensi suatu sistem
hu-kum adalah bahwa hukum tersebut harus memuat prinsip-prinsip hukum alam.15
bersumber dari olah pikiran manusia. Dalam hal ini olah pikiran tentu sangat
dipengaruhi tatanan sosial yang melingkupi kehidupan para pemikir-pemikir be-sar tadi.
Nilai-nilai (yang bersumber dari olah pikir tersebut) merupakan sesuatu yang bersifat
kehidup-an. Disebut bersifat apriorikarena bersifat abstrak dan bersumber dari olah pikir
yang ditun-tun oleh ajaran-ajaran agama. Hukum yang di-bangun dengan demikian akan
menjadi sepe-rangkat aturan yang mengatur hubungan antar manusia. Penalaran yang
dibangun bersifat deduktif, karena dari nilai-nilai tersebut di atas dibentuk aturan hukum
yang harus diberlakukan terhadap siapa pun yang melanggar aturan tersebut.16
(dalam hal ini hukum positif) menjadi 2 (dua) bagian bahasan besar : teori hukum murni
dan stufenbautheorie. Terkait dengan pemikiran Hans Kelsen, beberapa ajarannya yang
terangkum dalam ajaran hukum murni (the pure theory of law) dipaparkan sebagai
14
Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta: Kanisius,1980), hlm.
40; Clarence Morris ,The Great Legal Philosophers: Selected Reading in Jurisprudence,(
Philadelphia:University of Pennsylvania Press, 1963), hlm.32-33
15
FX Adi Samekto, “Menggugat Relasi Filsafat Positivisme Dengan Ajaran Hukum Doktrinal”,
Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12 No. 1, 2012, hlm. 76
16
Ibid., Hlm. 77
8
pertimbangan yang abstrak, pertimbangan politik, ekonomi dan faktor di luar hukum
lainnya. Tujuan hukum adalah kepastian hukum. Begitu kuatnya prinsip ini diajarkan
oleh Hans Kelsen sehingga ia pun sampai pada pendapat bahwa ilmu hukum harus
dipisahkan dari ilmu sosial. Seorang ahli hukum harus mempelajari hukum lepas dari
objektif tanpa prasangka. Oleh karena itu Hans Kelsen dalam hal ini berbeda dengan
HLA Hart maupun John Austin. Bagi Hans Kelsen aturan hukum bukanlah hasil dari
perintah penguasa karena penguasa berpotensi memiliki kepentingan subjektif dan bisa
memiliki agenda politik yang bisa menyebabkan aturan yang dibuat menjadi tidak
dibentuk menurut paham rasional dan empirisme ilmu pengetahuan alam yang sangat
science). Doktrin ini menyatakan bahwa ilmu alam maupun ilmu sosial harus berada di
bawah payung (paradigma) positivism. Sehingga dalam pembahasan bahwa ide hukum
tidak mengalami pembaruan, maka erat kaitannya dari latar belakang ilmu hukum itu
sendiri yang bersumber dari hukum alam, serta ilmu hukum bersifat objektif.
17
Ibid., hlm. 82
9
REFERENSI
Atmaja, I Dewa Gede, “Menyoal Filsafat Ilmu Hukum” Jurnal Notariil, Vol.2 No.2,
2017
hlm. 40; Clarence Morris ,The Great Legal Philosophers: Selected Reading in
Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, “Ilmu Hukum dalam Perspektif
IlmuPengetahuanModern”http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/index.php?option
10
=com_content&view=article&id=259:ilmu-hukum-dalam-perspektif-ilmu-
pengetahuan-modern&catid=108&Itemid=161
Singer Michael, Positivism of Auguste Comte”, dalam The Legal of Positivism”, New
11