Anda di halaman 1dari 12

UNIVERSITAS INDONESIA

“TUGAS UJIAN AKHIR SEMESTER FILSAFAT


HUKUM”

DOSEN PENGAMPU:
Dr. E. FERNANDO M. MANULANG

DISUSUN OLEH:
NURUL LAYLAN HSB
2006616146

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
JAKARTA
JUNI 2021
Pertanyaan:

Mengapa ide hukum justru tidak mencari kebaruan-kebaruan seperti yang terjadi

di dunia pengetahuan non-hukum atau dunia seni? Padahal dunia secara umum

berkembang ke arah dan format baru. Apalagi semenjak dunia digital dan teknologi

informasi turut memengaruhi perubahan-perubahan tersebut.

Pembahasan:

Hukum modern berdasarkan karakteristik pandangan modernisasi dapat dilihat

pada cita-cita Farancois Bacon yang menginginkan manusia harus menggunakan

kekuasaannya atas alam dengan membuka rahasia alam sebanyak mungkin. Modernisasi

telah mendorong pendayagunaan akal yang kuat dalam berpikir, hal tersebut dilatar

belakangi karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dilandaskan pada

pengamatan dan pengamalan nyata.yang didasarkan pada bukti empiris. Sehingga

pandangan tersebut yang mengakibatkan adanya pembahasan mengenai filsafat

positivism. Pada kenyataannya positivism hukum bukan melepaskan moral ataupun

nilai dari norma yang ada.1 Dalam positivism hukum, hukum ditaati bukan karena baik

atau adil, melainkan telah ditetapkan oleh penguasa yang sah, sehingga positivism

hukum tidak seolah-olah meninggalkan nilai-nilai yang membuat hukum itu sendiri

tidak bisa diintervensi oleh berbagai ilmu lainnya.

Pengaruh kemajuan zaman serta pembaruan mulai mneyentuh pada berbagai

bidang hingga pada ilmu-ilmu pengetahuan serta teknologi informasi. Perubahan-

perubahan tersebut dalam pandangan mulhadi bersifat organik, dan pragmatis berta

bernuansa nilai praksis. Mengenai perubahan yang semakin berkembang, Satjipto


1
Putera Astomo, “Perbandingan Pemikiran Hans Kelsen Tentang Hukum dengan Gagasan
Satjpto Rahardjo Tentang Hukum Progresif Berbasis Teori Hukum”. Yustitia, Desember 2014, Hlm. 6

1
Rahardjo mengingatkan bahwa ditengah gencarnya globalisasi yang menghapuskan

segala penghalang yang terjadi, serta adanya restrukturisasi global terutama dalam

bidang ilmu pengetahuan, hendaknya terus dilakukan pengamatan apakah dampak

positif yang ditimbulkan akan berpengaruh pada rakyatnya atau tidak. 2

Dalam memahami ilmu hukum dan perkembangannya maka diperlukan

pembahasan mengenai komponen- komponen keilmiahan Ilmu Hukum tersebut yang

terdiri atas, Pertama, kegiatan bertatanan (stelselmatige activiteit). Ilmu Hukum sebagai

spsialisme sudah sangat tua, telah membangun seperangkat pengetahuan yang

tesistimatisasi (a body of systematical knowledge) seperti memilik pengertian-

pengertian (concepts), doktrin-doktrin, dan prioritas-prioritas peneltian yang

dikomunikasikan secara ilmiah melalui diskursus hukum. Diskursus hukum yang

bertatanan akademik, misalnya laporan hasil penelitian pada jurnal-jurnal hukum,

seminar-seminar, dan lokakaya) disebut diskursus hukum teoritikal, serta anotasi-

anotasi dan eksaminasi putusan-putusan pengadilan disebut diskursus hukum praktikal.

Kedua, sistematika Ilmu Hukum berupaya dari sudut pandang konseptual untuk

mencapai “arsitotektonikal” tentang wilayah kenyataannya. Dikutip melalui pandangan

Paul Scholten, bahwa titik berat sistemat- ika bagi ilmu hukum terletak pada kesatuan

dan kesederhanaan, sehingga kerangka konseptual, doktrin-doktrin mudah dipa- hami

dan konstruksi yuridisnya tidak mengandung kontradiksi. Ketiga, pengujian yakni

argument-argumen yang disajikan oleh ilmuwan hukum terrbuka bagi kritik.3

2
Safik Fauzi, “Hukum Modern di Tengah Perubahan Sosial di Era Globalisasi”, Prosiding
Sendi, 2018, hlm. 397
3
I Dewa Gede Atmaja, “Menyoal Filsafat Ilmu Hukum” Jurnal Notariil, Vol.2 No.2, 2017, hlm.
120

2
Pembahasan mengenai pembaharuan ide hukum yang tidak mengalami

perubahan seperti ilmu non hukum berkaitan pula dengan adanya hukum dan

modernitas yang menarik perhatian dari Sionadh Douglas-Scott yang menyatakan

terkait hukum setelah adanya modernitas. Pernyataan Douglas Scott dilatarbelakangi

guna mempertahankan aturan hukum terhadap pendapat-pendapat yang menganggapnya

sebagai ilusi, tidak pasti, dan secara fundamental tidak dapat dipisahkan dari

kapitalisme liberal. Berbagai hal yang melatarbelakangi tidak adanya pembaruan dalam

hukum, salah satunya dikarenakan hukum mungkin bukan merupakan kunci utama

kohesi sosial dan kemajuan seperti yang diasumsikan oleh para ahli teori pra realis,

namun sebenarnya pada pendapat yang lain Douglas Scott menegaskan mengenai

sumber, kendala, dan akuntabel dari perkembangan ilmu hukum itu sendiri. 4

Pada dasarnya hukum setelah modernitas adalah hal yang paling sugestif ketika

menitikberatkan kebutuhan untuk mengembangkan teori hukum yang akan memberinya

ukuran perbedaan sambil menolak pernyataan otonomi yang kuat. Douglas-Scott

percaya bahwa sikap seperti itu memungkinkannya untuk menyerap kritik terhadap

formalisme hukum tradisional dan positivisme tanpa menyerah pada “nihilisme” etis. .

dilatarbelakangi dari kekhasan ilmu hukum itu pula yang berkaitan dengan post

modernisasi-terpuji. Yang pertama berangkat dari keinginan untuk menangkap

kekhususan hukum tanpa mengesampingkan bentuk-bentuk konstituennya, sehingga

dapat dikaitkan dan dikontekstualisasikan atas dasar fenomena ekstra-hukum. Yang

kedua tumbuh dari apresiasi terhadap fakta bahwa daya tarik yang terus-menerus dari

perbatasan keropos, perjanjian informal, dan standar fleksibel hanya dapat dipahami di

dunia di mana kapitalisme secara luas, jika dilebih-lebihkan, dianggap beroperasi "di
4
International Journal Of Constitutional Law, “Law After Modernity”, Oxford Academic, Vol. 12
Issue 1, January 2014, hlm. 269

3
luar negara. Pada intinya, dalam pembahasan tersebut dinyatakan bahwa salah satu

tujuannya yaitu untuk menunjukan bahwa “hukum tidak berlebihan”, karena tetap

membiarkan hukum pada karakteristik serta kekhasan dari ilmu hukum tersebut. 5

Pendapat Douglas-Scott terhadap yurisprudensi tradisional—khususnya

argumennya bahwa hukum adalah konstruksi “budaya”, yang responsif terhadap

dinamika sosial yang lebih luas seperti seni atau arsitektur yang sudah lelah dan usang,

tetapi bahwa kekuatan yang dengannya mereka diulang menyembunyikan tidak adanya

penjelasan yang benar-benar persuasif tentang normativitas hukum. ia juga mewujudkan

"konsep 'terbuka', tidak untuk dipahami sebagai homogen, picik dan tertutup tetapi

sebaliknya mencakup entitas yang sangat plural dan peluang yang beragam. Ketika

semua dikatakan dan dilakukan, kesulitan-kesulitan ini dan terkait banyak berutang

pada Hukum setelah adopsi Modernitas dari pendekatan "budaya" terhadap hukum.

sebuah pendekatan yang Douglas- Scott berusaha untuk memperkuat dengan menyusun

bukunya dengan diskusi karya seni yang dimaksudkan untuk menggambarkan

heterogenitas dan referensi diri yang dia anggap berasal dari hukum. Keengganan untuk

berteori "budaya," konsep yang sangat kabur pada saat-saat terbaik, Douglas-Scott tidak

dapat mengembangkan penjelasan hukum yang akan menangkap kekhususannya tanpa

mengabaikan konteks yang lebih luas dari mana ia muncul dan untuk yang

ditanggapinya.6

Douglas Scott dalam bukunya menyatakan pandangannya bahwa hukum harus

dipahami dalam konteks budayanya, dalam arti bahwa hukum adalah objek budaya, dan

bahwa kita meningkatkan hukum jika kita menafsirkan dan menilainya dalam “cahaya

5
Ibid., hlm. 270
6
Ibid.

4
budaya”. Hukum setelah Modernitas adalah upaya yang canggih dan menggugah

pemikiran untuk menafsirkan kembali teori hukum, memperkuat karya sebelumnya

tentang pluralisme hukum, teori hukum transnasional, dan hukum Uni Eropa untuk

menguraikan teori hukum "budaya". Ini akan menjadi perhatian khusus bagi mereka

yang terganggu oleh keinginan luas untuk "melembagakan" hukum internasional dan

Uni Eropa. Itu tidak selalu meyakinkan, tetapi ini tentu saja bukan karena kurangnya

ambisi atau pengetahuan.7

Kekhasan dari ilmu hukum yang tidak mengalami pembaruan seperti pada ilmu

seni atau non hukum lainnya yang berubah seiring perkembangan zaman juga

dilatarbelakangi dari fungsi filsafat hukum itu sendiri. Roscoe Pound (1972:3)

menyebutkan bahwa ahli filsafat berupaya untuk memecahkan persoalan tentang

gagasan untuk menciptakan suatu hukum yang sempurna yang harus berdiri teguh

selama-lamanya, kemudian membuktikan bahwa kepada umat manusia bahwa hukum

yang telah selesai ditetapkan, kekuasannya tidak dipersoalkan lagi. Hukum tidak bisa

dilakukan pemecahan melalui sistem hukum yang berlaku pada masa tertentu. Dalam

hal ini filsafat hukum juga memiliki penjelasan bahwa hukum sebagai upaya untuk

memenuhi perkembangan hukum secara universal untuk menjamin kehidupan yang

akan datang8. Namun, dalam hal ini karakteristik ilmu hukum tetap tidak bisa diubah

karena sifat hukum yang pasti serta adanya penelaahan asas dasar dan etik serta

pengawasan sosial yang tetap didasarkan pada tujuan-tujuan masyarakat, masalah hak

asasi dan kodrat alam.

7
Ibid., hlm. 271
8
Bambang Hermoyo, “Peranan Filsafat Hukum dalam Mewujudkan Keadilan”, Fakultas Hukum
Universitas Sriwijaya, Hlm. 29

5
Menurut Savigny, dalam perkembangan hukum berlangsung pad atahap awal

diekspresikan secara spontan dari tradisi adat. Maka, keberagaman bentuk hukum pada

dasarnya tidak berevolusi dan mengalami perubahan berdasarkan adanya refleksi

alamiah yang disengaja atau suatu pertimbangan yang beralasan.9 Dalam hal

pengembangan ilmu-ilmu pengetahuan Comte, Bertrand Russel menganggap bahwa

ilmu pengetahuan non hukum tidak dapat disamakan dengan ilmu hukum. Misalnya

ilmu matematika adalah fixed number sedangkan perilaku manusia memiliki karakter

yang tidak stabil yang lebih kompleks karena terpengaruh keadaan. Oleh karena itu,

ilmu matematika dengan perilaku manusia adalah suatu hal yang bertentangan.10

Sehingga dari pernyataan tersebut maka hukum dalam perkembangannya berbeda

dengan ilmu non hukum karena hukum telah diciptakan berdasarkan perilaku manusia

dan tidak rentan terhadap perkembangan masa ke masa karena sifat dasarnya yang tetap

dan konkrit pada manusia.

Gagasan tentang hukum memiliki suatu perbedaan dalam konteks perkembangan

ilmu alam (eksak), dimana kehadiran paradigma baru cenderung akan mengembangkan

paradigm lama. Sedangkan dalam paradigm ilmu sosial (ilmu hukum), paradigm baru

dihadapan paradigma lama tidak selalu menjadi alasan musnahnya atau hilangnya

paradigma yang lama, karena paradigma baru pada dasarnya hanya saling bersaing dan

berimplikasi pada saling menguat atau melemah. Sehingga ilmu hukum tidak mudah

tergerus oleh zaman dan paradigma-paradigma baru yang berkembang.11

9
Luis Kutner, “Legal Philosophers: Savigny:German Lawgiver”, Marquette Law Review, 55, 2
(1972), hlm. 283-284
10
Michael Singer, Positivism of Auguste Comte”, dalam The Legal of Positivism”, (New York:
Palgrave Macmillan, 2005)
11
Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, “Ilmu Hukum dalam Perspektif Ilmu
PengetahuanModern”http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/index.php?option=com_content&view=article
&id=259:ilmu-hukum-dalam-perspektif-ilmu-pengetahuan-modern&catid=108&Itemid=161

6
Dalam memahami faktor perkembangan ilmu hukum yang cenderung konstan

disebabkan pula dari banyak teori-teori yang mengacu pendapat-pendapat tentang

hukum, mengenai hal ini juga didukung oleh pendapat Hans Kelsen dalam Teori

Hukum Murni yang mengatakan bahwa adanya hal yang berbeda dari teori hukum

positif yang bukanlah hasil dari penerapan peraturan legal khusus. Maka melalui hal

tersebut pula hakikat dari ilmu dapat ditentukan dari struktur dan karakteristik-

karakteristiknya, serta hukum adalah suatu hal yang independen.12

Doktrin-doktrin yang sekarang dikenal sebagai positivisme hukum mengalami

perkembangan substansial pertama mereka dalam karya Jeremy Bentham dan John

Austin pada akhir abad kedelapan belas dan awal abad kesembilan belas, meskipun

akarnya sudah dapat dilihat dalam karya Thomas Hobbes dan David Hume. Memang,

perdebatan tentang beberapa tema utama yang menjadi menonjol dalam positivisme

hukum kembali ke jaman dahulu.13

Selanjutnya faktor dari ide hukum yang tidak mengalami pembaruan disebabkan

pula oleh adanya sumber dari hukum itu sendiri. Seperti pandangan Thomas Aquinas

bahwa hukum sebagai aturan alam yang bersumber pada Tuhan. Aturan-aturan tersebut

kemudian mewujudkan diri dalam substansi yang disebut manusia, yaitu di dalam

kemampuannya mengenal apa yang baik dan apa yang jahat. Sesuatu yang baik,

menurut Thomas Aquinas adalah sesuatu yang sesuai dengan kecenderungan alam, dan

sesuatu yang baik itu harus dilakukan. Misalnya kemauan untuk mempertahankan

12
Ibid.
13
William E. Conklin, The Invisible Origin of Legal Positivism, (Dodrecht: Springer
Science+Business Media, 2001).

7
hidup, laki-laki dan wanita harus menikah, manusia harus bermasyarakat.14 Hukum

alam yang terletak pada akal budi manusia disebut Thomas Aquinas sebagai partisipasi

aturan yang berasal dari Tuhan, yaitu Hukum yang Abadi yang mewujudkandiri dalam

rasio makhluk hidup. Menurut pen-dapatnya, prinsip-prinsip hukum alam mengikat

setiap masyarakat. Oleh karena itu syarat yang dibutuhkan untuk eksistensi suatu sistem

hu-kum adalah bahwa hukum tersebut harus memuat prinsip-prinsip hukum alam.15

keberlakuan hukum alam didasarkan pada nilai-nilai atau ajaran-ajaran yang

bersumber dari olah pikiran manusia. Dalam hal ini olah pikiran tentu sangat

dipengaruhi tatanan sosial yang melingkupi kehidupan para pemikir-pemikir be-sar tadi.

Nilai-nilai (yang bersumber dari olah pikir tersebut) merupakan sesuatu yang bersifat

abstrak,apriori,akantetapi terjabarkan secara linear di dalam hukum yang mengatur

kehidup-an. Disebut bersifat apriorikarena bersifat abstrak dan bersumber dari olah pikir

yang ditun-tun oleh ajaran-ajaran agama. Hukum yang di-bangun dengan demikian akan

menjadi sepe-rangkat aturan yang mengatur hubungan antar manusia. Penalaran yang

dibangun bersifat deduktif, karena dari nilai-nilai tersebut di atas dibentuk aturan hukum

yang harus diberlakukan terhadap siapa pun yang melanggar aturan tersebut.16

Selanjutnya apabila melihat argumen Hans Kelsen yang memecah hukum

(dalam hal ini hukum positif) menjadi 2 (dua) bagian bahasan besar : teori hukum murni

dan stufenbautheorie. Terkait dengan pemikiran Hans Kelsen, beberapa ajarannya yang

terangkum dalam ajaran hukum murni (the pure theory of law) dipaparkan sebagai

berikut. Pertama, bahwa hukum harus dilepaskan dari moral, pertimbangan-

14
Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta: Kanisius,1980), hlm.
40; Clarence Morris ,The Great Legal Philosophers: Selected Reading in Jurisprudence,(
Philadelphia:University of Pennsylvania Press, 1963), hlm.32-33
15
FX Adi Samekto, “Menggugat Relasi Filsafat Positivisme Dengan Ajaran Hukum Doktrinal”,
Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12 No. 1, 2012, hlm. 76
16
Ibid., Hlm. 77

8
pertimbangan yang abstrak, pertimbangan politik, ekonomi dan faktor di luar hukum

lainnya. Tujuan hukum adalah kepastian hukum. Begitu kuatnya prinsip ini diajarkan

oleh Hans Kelsen sehingga ia pun sampai pada pendapat bahwa ilmu hukum harus

dipisahkan dari ilmu sosial. Seorang ahli hukum harus mempelajari hukum lepas dari

ilmu-ilmu kemasyarakatan maupun kondisi sosial. Kedua, hukum harus benar-benar

objektif tanpa prasangka. Oleh karena itu Hans Kelsen dalam hal ini berbeda dengan

HLA Hart maupun John Austin. Bagi Hans Kelsen aturan hukum bukanlah hasil dari

perintah penguasa karena penguasa berpotensi memiliki kepentingan subjektif dan bisa

memiliki agenda politik yang bisa menyebabkan aturan yang dibuat menjadi tidak

objektif.Ketiga, keadilan adalah persoalan di wilayah ought to be(yang seharusnya)

bukan is (yang ada). 17

Demikianlah maka dengan paradigma positivisme, ilmu-ilmu sosial telah

dibentuk menurut paham rasional dan empirisme ilmu pengetahuan alam yang sangat

menonjolkan epistemologi positivistik. Donny Gahral Adian, me-nyatakan positivisme

melembagakan pandangan objektivitasnya dalam suatu doktrin kesatuan ilmu (unified

science). Doktrin ini menyatakan bahwa ilmu alam maupun ilmu sosial harus berada di

bawah payung (paradigma) positivism. Sehingga dalam pembahasan bahwa ide hukum

tidak mengalami pembaruan, maka erat kaitannya dari latar belakang ilmu hukum itu

sendiri yang bersumber dari hukum alam, serta ilmu hukum bersifat objektif.

17
Ibid., hlm. 82

9
REFERENSI

Astomo Putera, “Perbandingan Pemikiran Hans Kelsen Tentang Hukum dengan

Gagasan Satjpto Rahardjo Tentang Hukum Progresif Berbasis Teori Hukum”.

Yustitia, Desember 2014

Atmaja, I Dewa Gede, “Menyoal Filsafat Ilmu Hukum” Jurnal Notariil, Vol.2 No.2,

2017

Conklin William E. The Invisible Origin of Legal Positivism, Dodrecht: Springer

Science+Business Media, 2001

Fauzi Safik, “Hukum Modern di Tengah Perubahan Sosial di Era Globalisasi”,

Prosiding Sendi, 2018.

Hermoyo Bambang, “Peranan Filsafat Hukum dalam Mewujudkan Keadilan”, Fakultas

Hukum Universitas Sriwijaya.

Huijbers Theo, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta: Kanisius,1980),

hlm. 40; Clarence Morris ,The Great Legal Philosophers: Selected Reading in

Jurisprudence,( Philadelphia:University of Pennsylvania Press, 1963

International Journal Of Constitutional Law, “Law After Modernity”, Oxford

Academic, Vol. 12 Issue 1, January 2014

Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, “Ilmu Hukum dalam Perspektif

IlmuPengetahuanModern”http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/index.php?option

10
=com_content&view=article&id=259:ilmu-hukum-dalam-perspektif-ilmu-

pengetahuan-modern&catid=108&Itemid=161

Kutner Luis, “Legal Philosophers: Savigny:German Lawgiver”, Marquette Law

Review, 55, 2 (1972), hlm. 283-284

Samekto FX Adi,“Menggugat Relasi Filsafat Positivisme Dengan Ajaran Hukum

Doktrinal”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12 No. 1, 2012, hlm. 76

Singer Michael, Positivism of Auguste Comte”, dalam The Legal of Positivism”, New

York: Palgrave Macmillan, 2005.

11

Anda mungkin juga menyukai