Anda di halaman 1dari 14

Osteoporosis Ditinjau dari Sisi Pemeriksaan

Radiologi

Oleh : dr Bachtiar Razak Sp Rad


Bagian Radiologi Fakultas Kedokteran UNHAS

Artikel ini membahas tentang berbagai metode pemeriksaan


radiologi, dimulai dari metode pemeriksaan konvensional
(sederhana) hingga pada metode pemeriksaan yang telah
digunakan secara luas pada saat ini guna menunjang diagnosis
penyakit osteoporosis.

I. PENDAHULUAN

Osteoporosis adalah berkurangnya densitas dan penipisan


korteks tulang yang disebabkan oleh berkurang pembentukan
dan atau meningkatnya resorpsi tulang. Definisi terakhir menurut
WHO adalah penurunan massa tulang lebih dari 2,5 standar
deviasi massa tulang rata-rata dari populasi usia. Definisi di atas
bersifat amat konseptual, sebab yang dimaksud dengan
osteoporosis sendiri sebenarnya adalah kerapuhan tulang, dengan
resiko patah tulang yang menyertainya.

Saat ini, osteoporosis merupakan problem kesehatan yang


mendunia dan makin berkembang. Tujuh puluh lima juta
penduduk Eropa, Amerika dan Jepang; atau satu dari tiga wanita
paska menopause, serta kebanyakan orang lanjut usia (lansia)
termasuk pria mengalami kondisi ini. Sayangnya tidak banyak
orang yang menyadari bahwa proses ini telah menggerogoti
tubuhnya. Selain asimtomatik, belum ada prosedur diagnostik
yang secara langsung mengukur kerapuhan tulang. Yang sudah
ada adalah pengukuran densitas atau massa tulang. Jadi di sini
sifatnya adalah kuantitatif, bukan kualitatif. Bila secara klinis

1
dicurigai adanya proses ini, misalnya dengan bertambahnya
kiposis, berkurangnya tinggi badan dan nyeri punggung kronik
pada lansia, sebaiknya dilakukan pengukuran densitas atau
massa tulang ini.

I. IDENSITAS ATAU MASSA TULANG SECARA


RADIOLOGI.

A. Densitas tulang secara radiologi


Densitas adalah tingkat hitam putihnya gambar pada film
X-ray setelah diproses, ditentukan oleh berat molekul
dan tebal obyek. Tingkatan densitas tulang sebagai
berikut :
1. Osteolitik, densitas tulang menjadi
radiolusen/hitam akibat hilangnya sebagian
tulang baik trabekel maupun mineralnya.
2. Osteoporosis, berkurangnya densitas dan
menipisnya korteks akibat kurangnya
pembentukan.
3. Osteopenia, berkurangnya sedikit densitas
tulang.
4. Normoporosis, densitas normal, ada
keseimbangan antara pembentukan dan resorpsi
tulang.
5. Osteosklerotik, bertambahnya densitas dan
penebalan korteks tulang akibat bertambahnya
pembentukan dan atau berkurangnya resorpsi
tulang.

B. Pengukuran-Pengukuran Massa Tulang secara


Radiologi.
Berbagai teknik radiologi mengevaluasi densitas tulang
baik perifer maupun sentral, tulang trabekular maupun
kortikal, secara konvensional maupun dengan teknik

2
yang canggih.Secara konvensional dikenal morfometri
atau radiogrametri. Sedangkan teknik yang digunakan
secara meluas saat ini ialah Single Energy
Absorptiometry (SEA) dan Double Energy
Absorptiometry (DEA).Dikenal pula berbagai metode
pemeriksaan radiologi lain seperti : sidik radioisotop,
‘diphosphonate uptake’, analisis aktivasi netron dan
‘Compton scattering’, dan analisis ultrasonik terhadap
tulang. Sekilas pandang pengenalan terhadap metode-
metode tersebut diharapkan dapat membantu para dokter
dalam memilih teknik yang sesuai dalam rangka
penegakan diagnosis osteoporosis secara dini.

Morfometri / Radiogrametri
Dalam praktek klinik di Indonesia, pemeriksaan ini paling mudah
didapat, paling murah dan paling rendah dosis radiasinya
sehingga walaupun teknik-teknik canggih lain berkembang
dengan pesatnya, metode ini tetap tidak ditinggalkan. Informasi
tentang struktur tulang yang diberikan dapat
bersifat kualitatif maupunkuantitatif.

Morfometri kualitatif
Penilaian struktur tulang secara kualitatif umumnya dilakukan
pada tulang belakang dan proksimal femur.

Tulang belakang
Menentukan densitas tulang melalui foto lateral setinggi lumbal
2,3 atau 1. Normalnya bayangan ini opak homogen. Dengan
berkurangnya massa tulang, korpus vertebra menjadi lebih
radiolusen, trabekula transversa perlahan-lahan mulai hilang,
gambaran trabekula vertikal menjadi lebih menonjol.

3
Kruse dan Kuhlencordt mengembangkan index tulang belakang
dengan menilai vertebra torakal 4 hingga lumbal 5:

Index 0 : Tidak terdapat tanda-tanda osteoporosis


Index 1 : Peningkatan radiolusensi
Index 2 : Infraksi dari satu endplate
Index 3 : Infraksi dari kedua endplate, atau Bikonkafitas
hebat, atau Pemipihan vertebra.
Index 4 : Fraktur kompressi
Index tulang belakang = Jumlah index T4-L5

Kleerekoper dkk di Detroit melakukan penilaian terhadap


perubahan-perubahan bentuk vertebra, yang mereka sebut
‘Permanent Vertebral Body Deforming Events’ (PVDE).
Perubahan-perubahan yang terjadi bervariasi dari kolaps
endplates (EP) hingga pemipihan/’Wedging’(W) dan fraktur
kompresi/’Crush fracture’(C) dan N adalah normal.

Perubahan tinggi vertebra juga dipakai sebagai indeks


progresivitas kehilangan massa tulang. Index korpus vertebra
membandingkan tinggi bagian tengah diskus dengan tinggi

4
bagian tengah korpus vertebra dari segmen lumbal atau torakal
bawah.

Proksimal femur
Index Singh
Pola trabekular pada proksimal femur menunjukkan perubahan-
perubahan karakteristik bersamaan dengan hilangnya massa
tubuh. Singh, dkk memberikan suatu sistem grading berdasarkan
perubahan-perubahan ini. Index yang rendah menunjukkan
rendahnya massa tulang.

5
Calcar femorale
Calcar femorale bervariasi ketebalannya, rata-rata lebih dari 5
mm. Pada osteoporosis terjadi penipisan calcar femorale.

Morfometri kuantitatif
Morfometri metakarpal
Metakarpal 2 yang paling sering digunakan, tapi ketepatan akan
lebih baik bila diukur metakarpal 2,3,dan 4. Dalam hal ini yang
diukur adalah Tebal Total Tulang (TT) dan Tebal Medulla
Tulang (TM) pada pertengahan metakarpal.

6
Selanjutnya dilakukan perhitungan sebagai berikut :

Sedangkan untuk pengukuran metakarpal 2,3 dan 4


perhitungannya adalah sebagai berikut :

Suatu kriteria diagnostik diberikan oleh penelitian yang


dilakukan oleh Smith (Smith’s study) :

7
Dengan pengetahuan tentang densitas gravimetri dari tulang
korteks dapat dihitung :

Dengan adanya gambaran tidak langsung densitas tulang total


kita mendapatkan nilai estimasi massa tulang yang dapat
dibandingkan dengan konsentrasi Hb per unit volume darah.

Energy Absorptiometry
Berbagai teknik absorpsiometri yang digunakan saat ini
didasarkan pada teknik Cameron dan Sorenson. Teknik ini terdiri
dari Single Photon Absorptiometry (SPA), Double Photon
Absorptiometry (DPA), Single Energy X-Ray Absorptiometry
(SXA), dan Double Energy X-ray Absorptiometry (DXA) .

Single Photon Absorptiometry memakai isotop radionuklir


berenergi rendah seperti Iodine 125. Radiasi
monokromatik yang dihasilkannya secara sinkron melintasi
tulang yang diperiksa. Tulang dan jaringan lunak yang dilewati
melemahkan radiasi. Berkurangnya intensitas radiasi inilah yang
diukur. Single Energy X-ray Absorptiometry saat ini banyak
digunakan untuk menggantikan SPA, terutama dalam menilai
tulang di daerah pergelangan tangan. SEA ini lebih akurat dan
tidak menggunakan isotop. SPA dan SEA baik untuk menilai
tulang-tulang apendikular, namun untuk menilai tulang belakang
dan tulang panggul sebaiknya digunakan DPA atau DXA

8
Computed Tomography (CT)
Penggunaan CT, dalam hal ini Quantitative CT (QCT) untuk
mengukur densitas tulang amat menarik perhatian. Keuntungan
teknik ini adalah kemampuannya untuk merelokalisasi tempat
‘scanning’ dengan keakuratan yang amat tinggi sehingga didapat
gambaran anatomi dalam tiga dimensi secara tepat. Dengan
demikian, densitas yang terukur bersifat volumetrik, bukan
densitas areal seperti pada absorpsiometri. Batas antara tulang
kortikal dan tulang trabekular terlihat jelas.

‘Whole Body CT’ memberikan informasi densitas tulang dalam


satuan unit Hounsfield (HU); dimana bila densitas CT berada
pada kisaran –1000 s/d +1000 HU, maka :

Air : 0
Udara : -1000 HU

9
Tulang : +1000 HU
Korteks tulang : > 250 HU
Trabekula tulang : 30-260 HU

Hasil pengukuran CT berada dalam satuan HU, karenanya


dibutuhkan kalibrasi untuk mengubahnya ke densitas mineral
tulang yang relevan. Khususnya, pada QCT aksial, penderita di-
‘scan’ bersamaan dengan fantom kalibrasi. Cann-Genant juga
memperkenalkan suatu garis kalibrasi yang mengubah nilai
pengukuran dari satuan HU ke satuan mg/ml konsentrasi mineral
tulang (Cann-Genant Technique).

Single Energy Quantitative CT cukup akurat dalam menilai


tulang tibia dan femoris, namun untuk tulang belakang
keakuratannya berkurang. Hal ini disebabkan oleh atenuasi
jaringan lunak sum-sum tulang pada tulang belakang. Red
marrow memberikan attenuasi sama dengan air, yellow marrow
memberikan attenuasi tidak sama dengan air. Sekarang sudah ada
teknik untuk mengatasinya, yaitu Double Energy QCT, dimana
hasil akhir yang diberikan merupakan fat free image. QCT
memberikan hasil yang cukup akurat. Satu-satunya kekurangan
adalah tingginya radiasi (200-300 mrem)

Aplikasi pengukuran QCT dalam klinik adalah :

10
1. Penentuan kandungan mineral tulang dalam vertebra,
panggul atau radius untuk perkiraan osteoporosis.
2. Penentuan kandungan lemak/fat dalam vertebra untuk
diagnosis dini osteoporosis.
3. Penentuan kandungan zat besi/iron dalam hepar untuk
evaluasi diagnosis pasti penyakit liver.
4. Penentuan kandungan iodium dalam tiroid untuk
pemeriksaan penyakit tiroid.
5. Penentuan kandungan lemak dalam tubuh untuk
perkiraan komposisi tubuh.
6. Penentuan kalsium yang terdapat dalam nodul paru
untuk memastikan stadium penyakit.
7. Penentuan densitas elektron dalam jaringan untuk
planning radioterapi yang baik.

Sidik Radioisotop
Sidik radioisotop menggunakan technetium diphosphonate yang
diberi label. Zat tersebut diabsorbsi oleh kalsium yang berasal
dari kristal hidroksi apatit. Pemeriksaan ini memberikan
petunjuk aktivitas osteoblastik dan vaskularisasi skeletal.
Kelainan metabolik tulang dapat menyebabkan peningkatan
‘uptake’ secara menyeluruh dan osteoporosis terkadang
memberikan gambaran ‘washed out’

11
Radiographic Photodensitometry
Densitas tulang, dibandingkan dengan obyek tertentu yang
menjadi acuannya, misalnya lempeng aluminium. Keduanya
difoto dengan x-ray, hasilnya dibandingkan dengan memakai
densitometer cahaya. Alat ini (densitometer) pada saat artikel ini
dibuat belum tersedia di Makassar.

Aplikasi klinik pemeriksaan densitometri :


1. Menentukan efek pada tulang penderita dengan
gangguan metabolik.
2. Untuk memonitor progresifitas penyakit atau respon
terapi dengan pemeriksaan seri.
3. Menentukan perimenopause wanita, dengan penentuan
perubahan kadar estrogen.
4. Menentukan diagnosis dan beratnya osteoporosis.

Diphosphonate Uptake
Ambilan tulang terhadap diphosphonate dapat dihitung. Dua
puluh empat jam setelah penyuntikan technetium diphosphonate,
retensi isotop dalam tubuh dihitung. Retensi isotop terjadi pada
osteoporosis, sedangkan peningkatan dapat tampak pada
penyakit Paget, osteomalacia dan hiperparatiroid primer. Saat
ini, metode tersebut di atas digunakan dalam mendiagnosis
banding dan sebagai teknik penelitian.

Analisis Aktivasi Netron


Metode ini memungkinkan estimasi kalsium total tubuh dan
dengan demikian mengukur massa tulang total. Bombardir
netron yang berasal dari isotop kalsium-48 terhadap tulang
berubah menjadi radioaktif kalsium, dengan waktu paruh 8,8
menit, dan menghasilkan sinar gamma . Sinar yang dihasilkan

12
merupakan alat pengukur kadar kalsium. Seluruh tubuh dapat
dibombardir netron secara in vivo, dan kadar kalsium total dapat
ditentukan.

Compton Scattering
Metode ini mendeteksi dan mengukur sinar hambur yang terjadi
di sekitar sinar primer. Sinar primer difokuskan pada suatu area
kecil tulang. Intensitas sinar hambur yang terjadi di sekitarnya
merupakan alat pengukur kandungan mineral tulang. Dengan
memakai teknik yang sesuai, sinar hambur yang ditimbulkan
oleh tulang kortikal dan tulang trabekular dapat dibedakan.

Ultrasonografi
Ultrasonografi kuantitatif merupakan alat diagnostik yang secara
klinik amat menguntungkan karena kurangnya radiasi dan biaya
yang relatif rendah. Kebanyakan teknik mengukur tulang
kalkaneus, namun tempat-tempat lain seperti patella, tibia dan
jari-jari sedang diteliti kemungkinannya. Ultrasonon
memprediksi resiko patah tulang, namun apakah kedudukannya
dapat menggantikan pengukuran-pengukuran densitas tulang
lainnya atau menambah informasi yang didapat daripadanya
masih belum jelas.

III. PENUTUP

Dengan diperkenalkannya berbagai metode radiologi untuk


mengukur densitas/massa tulang sebagai parameter indirek
osteoporosis diharapkan penegakan diagnosis osteoporosis dapat
dilakukan lebih dini. Prosedur diagnostik radiologi kiranya dapat
menjadi pertimbangan mengingat sifatnya yang non invasif dan
biayanya yang relatif terjangkau.

13
Daftar Pustaka

1. Burgener FA, Kormano M. Osteopenia. In Differential


Diagnosis in Conventional Radiology, second ed.,
Thieme Medical Publishers, Inc, New York, 1991 : 1-42.
2. Christiansen C. Bone Mass and Ultrasound. In The
Pathophysiologic of Osteoporosis and Bone disease,
the first Combined Training Course for Industry and
Specialist, Bali, 24-25 September 1997.
3. Aitken M. Age-related Changes in Bone Mass. In
Osteoporosis in Clinical Practice, John Wright & Sons
Ltd, Bristol, England, 1984 : 37-43.
4. Woolf AD, Dixon AJ. Osteoporosis: the
Concepts.In Osteoporosis : a Clinical Guide, published
by Dunitz M, London, 1988 : 26-48.
5. Kreel L. Bones, Outline of Radiology, William
Heinimann Medical Books Ltd, London : 315-22.
6. Aitken M. Measurement of Bone Mass and Turnover.
In Osteoporosis in Clinical Practice, John Wright & Sons
Ltd, Bristol, England, 1984 : 19-35.
7. Kanis JA. Measurement of Bone Mass. In The
Pathofisiology of Osteoporosis and Bone Disease, the
second International Training Course on Osteoporosis
for Industry, Specialist and General Practitioners. Bali,
1-2 Mei, 1999.
8. Wegener OH. Densitometry. In Whole Body Computed
Tomography, second ed. Blackwell Scientific
Publication, Oxford, London, Edinburg, 1992 : 91-2.

14

Anda mungkin juga menyukai