Anda di halaman 1dari 24

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Osteoporosis

Osteoporosis sebagai kelainan klinis memiliki karakteristik dengan kadar

abnormal massa tulang yang rendah dan defek didalam struktur tulang yaitu suatu

kombinasi yang membuat tulang menjadi rapuh dan memiliki resiko yang lebih

besar terjadinya fraktur. Meskipun area kanselosa bertambah porositasnya dan

area kortikal menipis, tulang yang ada sebenarnya mengalami mineralisasi secara

normal 4.

Definisi osteoporosis yang paling banyak digunakan adalah menurut

WHO, dimana bone mineral density (BMD) dibawah 2,5 standar deviasi

dibandingkan usia muda pada suatu populasi (Tabel 1). Tapi definisi ini hanya

meliputi wanita post menopause yang dievaluasi dengan DEXA. Tidak ada

definisi yang sama untuk usia muda baik laki-laki atau perempuan 5.
6

Tabel 2.1. Definisi WHO tentang bone mineral density normal, osteopenia,

osteoporosis dan severe osteoporosis

Kehilangan massa tulang terjadi ketika bone remodeling mulai berfungsi

abnormal. Unit bone remodeling ini terdiri dari dua hal. Pertama proses cutting

cone atau resorpsi kanal yang terdiri dari osteoklas aktif dan sel-sel yang belum

berdiferensiasi. Proses cutting cone ini bekerja pada permukaan tulang yang tidak

aktif sebelumnya. Dalam dua minggu, proses ini akan membentuk terowongan

kecil pada tulang kortical dan lakuna pada permukaan tulang kanselosa. Pada titik

ini, bagian kedua dari siklus bone remodeling yaitu closing cone mulai bekerja.

Proses closing cone terdiri dari osteoblas yang mulai mengisi lubang dengan

tulang baru. Dalam tiga atau empat bulan proses ini akan menghasilkan struktur

tulang baru. Untuk orang usia muda, proses resorpsi dan formasi terjadi secara

seimbang. Seiring usia, proses ini menjadi tak seimbang dimana terjadi bone

resorption sedangkan deposisi berkurang. Seiring dengan waktu maka akan terjadi

bone loss dan bila memberat maka disebut sebagai osteoporosis 6.


7

Bila seseorang semakin menua terutama wanita postmenopause, mereka

akan kehilangan massa tulang dan menjadi lebih rentan terhadap fraktur. BMD

sendiri, tidak dapat memprediksi fraktur, karena ada faktor lain seperti bentuk dan

struktur dari tulang. Strukur suatu tulang terdiri dari tulang kortikal dan dengan

inti tulang trabekula. Pada proksimal femur tulang trabekula membentuk pola

seperti jaring-jaring dengan ketebalan yang bervariasi dalam jumlahnya. pola

tersebut memiliki struktur tiga dimensi yang kompleks yang terdiri seperti

penyangga 7.

Teknik untuk memeriksa resiko fraktur meliputi pemeriksaan klinis untuk

faktor risiko dan pengukuran massa tulang. Massa tulang dapat diukur dengan

teknik semikuantitatif untuk memerika morfologi trabekula femur proksimal

dengan metode Singh Index, radiogrammetri, radiographic absorptiometry,

quantitative computed tomography, ultrasonograf atau dengan energy

absorptiometry (dual energy X-ray absorptiometry (DEXA) atau single energy X-

ray absorptiometry (SEXA)) 1.

DEXA saat ini merupakan metode terbaik untuk mengukur massa tulang

karena akurasi dan presisi yang tinggi, namun membutuhkan biaya yang mahal.

Metode skrining yang lebih murah adalah dengan radiografi konvensional untuk

penelaahan pola trabekulasi dengan Singh Index. Singh Index telah banyak

dikritisi karena reliabilitasnya yang rendah, cenderung subjektif dan batasan

grading yang kurang jelas. Namun terdapat korelasi yang baik antara temuan

histologis dari biopsi krista iliaka dengan sistem grading dari Singh 1.
8

Pierre et al, meneliti geometri, densitometry, biomekanik dari femur kanan

dan kiri didapatkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara parameter

tersebut pada populasi mereka. Sehingga pada populasi yang tidak ada kelainan

patologis, pemeriksaan morfologi dapat dikerjakan pada salah satu sisi 8.

2.2 Pola Trabekula Femur Proksimal dan Singh Index

Trabekula dan korteks merupakan dua komponen yang utama, yang

menentukan resistensi proksimal femur terhadap fraktur. Namun demikian,

teknologi saat ini terbatas dalam kemampuannya untuk mengukur ketebalan

korteks, terutama dalam kisaran sub-milimeter. Sehingga resiko fraktur sulit

dievaluasi dengan pengukuran ketebalan korteks. Saat ini beberapa penelitian

telah menunjukkan peran yang besar dari tulang kanselous yang berkontribusi

pada kekuatan tulang proksimal femur 2.

Hal tersebut didukung oleh Reich menyimpulkan bahwa pada model in

vitro dengan tulang ayam, kehilangan 10% dari tulang trabekula secara substansial

mengubah respon deformasi saat tulang mengalami impaksi, sehingga integritas

tulang trabekula merupakan hal yang penting dalam menopang beban impaksi 9.

Pada 1970, Singh et al mendemonstrasikan bagaimana pola trabekula

femur proksimal mengalami degenerasi pada perjalanan osteoporosis. Mereka

mendekripsikan enam pola trabekula. Enam pola tersebut dapat dianalisis dari

radiograf pelvis yang diambil dengan posisi hip fleksi netral, abduksi dan internal

rotasi 15 derajat 7.
9

Pada femur proksimal terdapat gambaran trabekula yang disebut sebagai

primary compressive trabecula, secondary compressive trabecula, primary tensile

trabecula, secondary tensile trabecula, dan greater trochanter trabecula.

Trabekula-trabekula tersebut membentuk area yang terdiri dari trabekula yang

tipis dan tersusun longgar yang disebut sebagai Ward Triangle (Gambar 1). Pada

foto rontgen panggul normal, semua grup trabekula memiliki demarkasi yang jelas

namun area Ward Triangle akan tampak kosong dengan densitas yang samar.

Telah diteliti sebelumnya bhwa pola trabekula adalah simetris pada proksimal

femur kanan dan kiri 10.

Gambar 2.1. Grup trabekula normal dan Ward Triangle

Melalui penelaahan CT scan, distribusi dari trabekula femur proksimal adalah

sangat asimetris. Compressive trabecula terletak pada bagian tengah dari caput
10

femur pada potongan transversal (Gambar 2B). Pada potongan mid-coronal femur

proksimal (Gambar 2A), compressive trabecula meluas dari korteks inferior

collum femur, ke aspek superior caput femur. Sedangkan tensile trabecula,

meluas dari aspek superior collum femur ke dalam caput femur. Trabekula

tersebut selanjutnya menyilang pada bagian tengan caput femur (gambar 2A).

Compressive trabecula lebih lebar dibanding tensile trabecula dan memiliki

densitas yang lebih tinggi. Pada individu yang sehat, rata-rata nilai CT dari

compressive trabecula melebihi 400 HU, dimana mendekati densitas dari korteks.

Sedangkan rata-rata nilai CT dari tensile trabecula kurang dai 200 HU, dimana

mendekati densitas dari calcaneus. Ward Triangle terletak diluar compressive

trabecula dan lebih menyerupai elips 2.


11

Gambar 2.2. Lokasi dari trabekula dan Ward Triangle dengan CT scan. A.

Potongan mid coronal B. Potongan transversal 2.

Terdapat 6 gradasi pola trabekula yang mencerminkan peningkatan

kehilangan massa tulang 10. Yaitu seperti gambar dibawah (Gambar 3 – 8).

Gambar 2.3. Grade 6. Semua grup trabekula terlihat pada foto rontgen. Ward

triangle menunjukkan beberapa trabekula yang tipis dan memiliki batas yang tak

jelas
12

Gambar 2.4. Grade 5 terdapat atenuasi trabekula primary compressive dan

primary tensile karena resorpsi yang mengaburkan strukturnya. Trabekula

secondary compressive juga tak jelas demarkasinya, sehingga Ward triangle

tampak prominen. Hal ini mencerminkan tahap awal bone loss

Gambar 2.5. Grade 4 tensile trabecula sangat berkurang jumlahnya. Resorpsi

tampak dimulai bagian luar dari tulang. Primary tensile trabecula masih dapat
13

dilacak kontinuitasnya dari lateral korteks ke bagian atas dari collum femur

sedangkan secondary compressive trabecula telah diresorpsi sehingga Ward

triangle terbuka pada bagian lateral. Tahap ini mencerminkan batas antara tulang

normal dengan osteoporosis.

Gambar 2.6. Grade 3 kontinuitas dari primary tensile trabecula terputus pada

greater trochanter. Trabekula tensile hanya terlihat jelas pada bagian atas dari

collum femur dimana densitasnya dapat dikomparasikan dengan primary

compressive trabecula. Tahap ini mencerminkan osteoporosis definitif.


14

Gambar 2.7. Grade 2 hanya primary compressive trabecula yang prominen.

Semua grup telah diresorpsi dan menjadi tak jelas secara radiologis. Grade ini

menggambarkan osteoporosis tahap lanjut

Gambar 2.8. Grade 1 primary compressive trabecula sangat berkurang

jumlahnya dan tak lagi prominen


15

Teknik menggunakan Singh Index pada femur proksimal memiliki

beberapa keuntungan dibandingkan metode lainnya yaitu ;

1. Secara anatomis, proksimal femur merupakan pilihan untuk penelitian

osteoporosis

2. Metodenya sangat mudah dan hanya memerlukan radiograf konvensional untuk

menggambarkan arsitektur internal

3. Metode ini dapat diaplikasikan karena menggambarkan strukur tulang dari pada

kuantitas tulang. Arsitektur internal dari femur proksimal merupakan variabel

independen terhadap umur, jenis kelamin dan ras

4. Pola trabekula dinilai dengan bertambahnya jumlah trabekula tulang normal

yang hilang sehingga setiap individu berfungsi sebagai kontrol sendiri.

Hal ini membuat Singh Index merupakan alat yang ideal untuk survei

massal dan rutin untuk diagnosis osteoporosis bila dibandingkan dengan metode

indeks fraktur vertebra dan metode ketebalan korteks metacarpal untuk

memprediksi fraktur sendi panggul. Metode singh index terbukti dapat dijadikan

metode yang murah sebagai diagnosis osteoporosis dan juga memiliki

kemungkinan sebagai prediktor fraktur collum femur di masa depan. Prediksi

risiko fraktur collum femur terjadi pada pasien dengan Singh Index kurang dari 4

dan risiko paling tinggi pada grade 2 atau kurang 10.

Metode Singh Iindex memiliki reliabilitas yang cukup baik pada

pemeriksaan osteoporosis derajat ringan. Kesimpulan mereka radiografi


16

konvensional tetap dapat digunakan sebagai grading osteoporosis karena

kebanyakan fraktur terjadi pada osteoporosis berat (Singh Index 3 sampai 1) 11.

Dengan metode trabecula radiographic sample, energi yang dihasilkan

oleh tulang normal tampak lebih tinggi dibanding dengan sampel dari populasi

osteopenia dan osteoporosis. Sehingga radiograf konvensional dapat digunakan

disamping pengukuran BMD untuk skrining osteoporosis dan pemeriksaan risiko

fraktur yang berhubungan 7.

Penelitian oleh Shankar et al, tentang radiologi pola trabekula pada wanita

post menopause menyimpulkan korelasi yang baik antara usia dengan gradasi pola

Singh Index. Mereka menggunakan modifikasi dari kriteria Singh untuk

mengurangi overlapping dan meningkatkan reliabilitas intra dan interobserver.

Modifikasi menurut mereka adalah grade 6 sebagai grade normal (Grade N ).

Grade 5 dan 4 digabungkan menjadi satu sebagai Grade A. grade 3 sebagai Grade

B. Grade 2 dan 1 digabungkan menjadi satu menjadi Grade C. Dengan cara

tersebut bias pada penelitian dapat direduksi 12.

Pada penelitian ini penulis menggunakan Modified Singh Index dari

Shankar, dengan tujuan untuk mengurangi bias.

2.3 Beban pada Proksimal Femur Saat Jatuh

Modulus elastisitas dari material trabekula tulang telah banyak diteliti pada

level jaringan. Modulus elastisitas jaringan trabekula disebutkan mendekati

jaringan kortikal. Meskipun DEXA lebih umum digunakan untuk pengukuran


17

BMD, namun tidak dapat membedakan antara kompartemen kortikal dan

trabekular 2.

Kontribusi tulang kortikal dan kanselosa pada fragilitas femur proksimal

masih kontroversial. Beban total yang dialami tulang kortikal dan kanselosa

hampir konstan dalam semua pembebanan namun berbeda berdasarkan lokasinya.

Tulang kortikal mengalami pembebanan sebesar 30% pada regio subcapital, 50%

pada pertengahan collum, 96% pada basis collum dan 80% pada regio

intertrochanter 13.

Jatuh (simple fall) adalah kejadian dan faktor risiko yang sangat penting

pada fraktur femur proksimal (fraktur Hip) pada usia tua. Diestimasikan bahwa >

90% fraktur hip disebabkan oleh karena jatuh. Beberapa penelitian telah dilakukan

untuk menganalisis karakteristik jatuh yang menjadi risiko terjadinya fraktur hip.

Arah terjadinya jatuh merupakan determinan yang penting pada kejadian fraktur

hip. Saat mengalami jatuh, risiko fraktur akan meningkat 6 kali saat jatuh keaarah

samping (sideway fall) dibanding jatuh ke depan (forward fall) atau ke belakang

(backward fall). Studi lainnya menyebutkan bahwa impaksi pada sisi lateral pelvis

meningkatkan risiko fraktur sebesar 20-30 kali lipat dibandingkan saat jatuh ke

sisi lainnya, selain itu jatuh saat berputar/berbelok berisiko menyebabkan fraktur

lebih tinggi dibanding saat berjalan lurus. Pada saat jatuh, beban kompresif yang

terjadi pada hanya mencapai 85% dari total beban, 15% beban akan

didistribusikan pada struktur disekitar sendi panggul. Beban yang dialami akan

berkurang apabila ketebalan jaringan lunak regio trochanter tinggi. Namun

penelitian lain menyebutkan penurunan ketebalan jaringan lunak regio trochanter


18

hanya berhubungan dengan peningkatan risiko fraktur pada wanita, tidak pada

pria 13.

Bone mineral density yang rendah adalah faktor risiko untuk terjadinya

fraktur panggul, namun lebih dari 50% fraktur panggul terjadi pada pasien

dengan BMD yang tidak menurun. Korteks superior pada collum femur manusia

lebih tipis dibanding korteks sisi inferior, dan ketebalan ini terus menurun seiring

bertambahnya usia. Saat terjatuh ,beban kompresif pada collum femur terjadi

paling besar pada sisi superior collum, dengan beban tensile paling besar pada

korteks inferior 14.

Berdasarkan bukti high speed video dari stimulasi fraktur, Bakke et al

mendemonstrasikan bahwa selama jatuh ke samping, fraktur femur proksimal

diinisiasi dari korteks superolateral. Letak tensile trabecula meluas dari korteks

superior collum femur dan memainkan peran penting terjadinya fraktur collum

femur. Dengan metode multidetected CT-scan, diantara individu normal tensile

trabecula lebih tipis dibandingkan compressive trabecula dengan nilai sekitar

setengahnya, dimana berfungsi menahan gaya tegang pada kondisi pembebanan

fisiologis. Selama jatuh kesamping (sideway falls) yang mengenai greater

trochanter, tensile trabecula sering harus juga menahan gaya kompresif. Ketika

tensile trabecula menjadi degenerasi dan gaya impaksi melebihi modulus

elastisitasnya, maka terjadi fraktur collum femur 2.

Fraktur intertrochanter diindikasikan memiliki degenerasi trabekula yang

lebih berat dari pada fraktur collum femur. Sehingga selama jatuh kesamping

yang mengenai greater trochanter, trabekula trochanter akan mengalami kerusakan


19

terlebih dulu, yang dapat berakibat fraktur intertrochanter. Hal ini mungkin yang

mendasari terjadinya fraktur intertrochanter lebih sering terjadi pada populasi

yang lebih tua 2.

2.4 Fraktur Panggul (Hip Fracture)

Terminologi fraktur panggul biasanya merujuk pada dua tipe fraktur yang

berbeda yang melibatkan proksimal femur yaitu fraktur collum femur

(intracapsular) dan intertrochanter femur (extracapsular). Fraktur intertrochanter

memiliki garis fraktur antara greater dan lesser trochanter. Terminologi

pertrochanter digunakan untuk mendeskripsikan fraktur intertrochanter dengan

ekstensi ke distal dari lesser trochanter 5.

Sepertiga dari populasi usia tua jatuh setiap tahunnya dan insiden jatuh

yang menyebabkan fraktur meningkat sesuai usia. Angka jatuh paling sering

terjadi di tempat tinggal dan berhubungan dengan meningkatnya resiko fraktur.

Risiko intrinsik untuk jatuh meliputi berikut ini 5 ;

Usia tua

Jenis kelamin wanita

Rendahnya body mass index

Komorbid medis

Penyakit muskuloskeletal

Gangguan kognitif

Gangguan gait dan keseimbangan

Gangguan sensorik
20

Hipotensi postural

Riwayat jatuh sebelumnya

Penggunaan obat-obat tertentu

Secara berlawanan, lingkungan yang membahayakan seperti lantai licin

dan permukaan yang tak rata, cahaya yang redup, sengatan listrik, sandal licin,

dan sepatu yang tak cocok merupakan fakor-fakor ekstrinsik. Namun faktor

instrinsik ini merupakan yang paling berperan penting. Orang usia lanjut biasanya

memiliki sistem muscular yang lemah dan keseimbangan yang berkurang 5.

Bagan dibawah menggambarkan pathologi fraktur panggul.

Gambar 2.9. Jalur patologi antara jatuh dan fraktur panggul


21

Gaya kedepan dapat menyebabkan orang usia 65 tahun yang berjalan,

terjatuh dan mendarat pada tangan dan lutut sehingga kemungkinan mengalami

fraktur pergelangan tangan atau bahu sebagai usaha mencegah jatuh. Secara

berlawanan orang usia 85 tahun akan berjalan lebih lambat. Bila keseimbangan

hilang maka jatuh cenderung ke sisi samping sehingga langsung mengenai

panggul 15.

Fraktur collum femur dan fraktur intertrochanter terjadi dengan frekuensi

yang sama. Hampir sembilan dari 10 fraktur panggul terjadi pada usia diatas 65

tahun. Kedua fraktur tersebut lebih umum pada wanita dari pada laki-laki. Fraktur

ini dapat terjadi pada usia muda dengan mekanisme cedera yang lebih besar

seperti kecelakan bermotor 16.

Prognosis dari kedua fraktur tersebut cukup berbeda. Fraktur

interrochanter biasanya dapat mengalami union bila reduksi dan fiksasi dilakukan

dengan benar dan meskipun malunion dapat menjadi masalah, namun komplikasi

jangka lama jarang terjadi. Area yang luas dari proksimal femur mengalami

cedera dimana kebanyakan merupakan tulang kanselosa dan kedua fragmen

memiliki suplai pembuluh darah yang banyak. Fraktur collum femur memiliki

lokasi intrakapsular dan melibatkan daerah dengan tulang kanselosa yang sedikit

dan periosteum yang tipis bahkan sering tidak ada. Meskipun suplai darah pada

fragmen distal cukup, suplai pembuluh darah ke caput femur dapat mengalami

gangguan atau bahkan menghilang, sehingga dengan alasan ini osteonekrosis dan

perubahan degeneratif selanjutnya dari caput femur atau nonunion sering menjadi

komplikasi fraktur collum femur 16.


22

2.4.1 Fraktur Intertrochanter

Fraktur intertrochanter didefinisikan sebagai fraktur femur proksimal

dimana garis fraktur terjadi mulai dari basis collum ekstrakapsular menuju regio

sepanjang trochanter minor sampai regio sebelum terbentuknya canalis medularis.

Regio ini memiliki properti biomekanik yang kompleks. Fraktur intertrochanter

merupakan fraktur yang paling sering dioperasi, dengan fatality rate pasca operasi

yang tinggi, serta menjadi beban ekonomi yang berat akibat biaya perawatan

pasca truama yang tinggi. Alasan mengenai tingginya biaya perawatan,

diakibatkan buruknya waktu penyembuhan pasien pasca operasi untuk kembali

dapat melakukan mobilisasi secara mandiri 16.

Klasifikasi AO/OTA merupakan klasifikasi yang banyak dipakai pada

penelitian. Klasifikasi ini memiliki persetujuan interobserver yang tinggi. Pada

klasifikasi AO/OTA terdapat 9 tipe, dengan 3 kategori utama yaitu: Tipe 31A1

merupakan fraktur yang paling stabil, Tipe 32A2 merupakan fraktur yang kurang

stabil, dan Tipe 31A3 merupakan fraktur yang paling tidak stabil 5.
23

Gambar 2.10. Klasifikasi Fraktur Intertrochanter femur AO/OTA (Sumber:

Bucholz et al, 2010)

Pada fraktur intertrochanter pemilihan terapi definitif tergantung kondisi

umum pasien dan pola fraktur. Angka kesakitan dan kematian terjadi lebih rendah

pada pasien yang menjalani fiksasi internal, sehingga memungkinkan mobilisasi

segera. Penanganan operatif diindikasikan sesegera mungkin sesudah pasien stabil

secara medis dan dapat mentoleransi pembedahan. Secara umum mortalitas

menurun bila pembedahan dapat dikerjakan dalam 48 jam. Penanganan awal di

rumah sakit harus dilakukan dengan traksi kulit untuk mengurangi nyeri dan

displacement lebih jauh. Traksi skeletal sebagai terapi definitif jarang

diindikasikan dan berpotensi menyebabkan komplikasi seperti pressure sores,

deep vein thrombosis dan emboli pulmo, perubahan status mental dan malunion

tipe varus. Ketika pembedahan dikontraindikasikan, maka bila dimungkinkan,


24

pasien dimobilisasi sesegera mungkin sesudah nyeri berkurang dan menerima

hasil malunion atau nonunion 16.

Mayoritas pasien fraktur intertrochanter layak secara medis untuk

menjalani operasi. Tujuannya adalah mendapatkan fiksasi yang aman untuk

mobilisasi dini dan menyediakan lingkungan yang baik untuk penyembuhan

fraktur pada posisi yang baik. Reduksi fraktur biasanya dicapai dengan metode

tertutup, dengan traksi pada meja fraktur, dan dimonitor dengan fluoroskopi.

Dynamic hip screw (DHS) dengan side plate, merupakan pilihan pada kasus

frakur intertrochanter. Beberapa ahli bedah tidak berusaha untuk mendapatkan

reduksi anatomis pada fraktur yang kominutif namun justru memilih untuk

menjaga fragmen distal bergeser kearah medial untuk menambah stabilitas

mekanik. Screw pada DHS dapat bergeser pada rongga pada plate, sehingga

memungkinkan fraktur mengalami posisi impaksi yang stabil. Pasien dapat

dimobilisasi bangun dari tempat tidur pada hari sesudah operasi, dan weight

bearing dengan kruk atau walker dimulai begitu nyeri berkurang. Fraktur

intertrochanter biasanya sembuh dalam 6 – 12 minggu. Pilihan lainnya untuk

terapi fraktur intertrochanter yaitu dengan proksimal femur nail. Pada penelitian

sekarang ini didapatkan bahwa penggunaan DHS atau nail proksimal femur sama-

sama memiliki manfaat yang dapat dibandingkan 16.

Arthroplasty, baik itu hemiarthroplasty atau Total Hip arthroplasty jarang

diindikasikan pada fraktur intertrochanter. Indikasi arthroplasty terutama pada

kasus neoplasma, osteoporosis berat, pasien dengan penyakit ginjal dalam dialisis

dan pasien dengan Arthritis sebelumnya. Hemiarthroplasty cemented dilaporkan


25

memiliki angka dislokasi yang lebih rendah dibanding Total hip arthroplasty.

Konsensus umum menyatakan bahwa arthroplasty adalah prosedur salvage pada

internal fiksasi yang gagal dan tidak ada studi level 1 yang menyatakan perbedaan

antara DHS dan arthroplasty, kecuali pada angka transfusi yang lebih tinggi pada

arthroplasty 5.

2.4.2 Fraktur Collum Femur

Fraktur Collum femur didefinisikan sebagai fraktur femur proksimal

dimana garis fraktur berada lebih proksimal dari basis colum femur dan distal dari

caput femur. Mayoritas fraktur ini terjadi pada usia tua. Penyababnya yang peling

sering adalah karena jatuh akibat gaya yang ditransmisikan ke collum melalui

trochanter femur. Mekanisme lainnya adalah eksternal rotasi dari tungkai yang

menyebabkan terjadinya gaya tegang pada kapsul anterior dan ligamen

iliofemoral. Saat collum mengalami rotasi, caput femur masih terfiksir, maka

fraktur collum femur akan terjadi. Lokasi yang paling sering mengalami fraktur

adalah bagian yang paling lemah yaitu tepat dibawah permukaan sendi 5. Fraktur

collum femur dapat menimbulkan komplikasi yang cukup berbeda dengan fraktur

intertrochanter dengan isu utama adalah viabilitas caput femur.

Terdapat beberapa sistem klasifikasi pada fraktur collum femur. Ada yang

membagi berdasarkan lokasi anatomis yaitu: Subcapital, Transcervical atau

Basical. Ada juga klasifikasi berdasarkan derajat pergeseran (displacement)

menurut Garden. Klasifikasi yang banyak digunakan untuk kepentingan

penelitian adalah klasifikasi menurut AO/OTA. Pada sistem ini fraktur collum
26

femur masuk dalam kategori 31.B. Angka 3 untuk Femur, angka 1 untuk Femur

proksimal dan huruf B untuk fraktur Collum femur. Kategori tersebut dibagi lagi

berdasarkan lokasi fraktur dan derajat pergeseran yang terjadi. Perhatikan gambar

dibawah 5.

Gambar 2.11. Klasifikasi Fraktur Collum Femur AO/OTA (Sumber: Bucholz et

al, 2010).

Tujuan dari fiksasi interna fraktur collum femur adalah untuk

mempertahankan caput femur yang masih viable dan menyediakan keadaan yang

optimal untuk penyembuhan tulang sambil memungkinkan pasien untuk

mobilisasi sesegera mungkin. Karena pergeseran dan pergerakan fraktur site dapat

mengancam suplai pembuluh darah ke caput femur maka pembedahan harus

dikerjakan sesegera mungkin. Fraktur dapat direduksi dengan panduan

fluoroskopi dengan tujuan seanatomis mungkin. Pada kondisi tertentu reduksi

dilakukan secara terbuka, dengan pilihan approach anterior karena tidak terlalu
27

merusak pembuluh darah dibandingkan dengan approach posterior. Fiksasi

interna yang rigid dapat dicapai dengan partially threaded screw cannulated,

dynamic hip screw dan plate atau kombinasi. Pasien dapat dimobilisasi hari

sesudahnya dan weight bearing dimungkinkan, tergantung stabilitas dari

konstruksi fiksasi. Arthroplasty primer diindikasikan pada pasien usia tua dengan

displacement fraktur dimana potensi avaskular nekrosis sangat tinggi. Atau pada

fraktur yang tak dapat direduksi secara memuaskan, juga pada kondisi caput

femur yang memiliki patologi sebelumnya 17.

Algoritma pilihan terapi fraktur collum femur adalah sebagai berikut ;

Gambar 2.12. Algoritma penanganan Fraktur Collum Femur (Sumber: Bucholz

et al, 2010).
28

2.5 Kerangka Konsep Teori

Gambar 2.13. Kerangka konsep penelitian

2.6 Hipotesis

Terdapat korelasi antara pola trabekulasi femur proksimal dengan

Modified Singh Index dengan terjadinya fraktur intertrochanter atau fraktur collum

femur.

Anda mungkin juga menyukai