Anda di halaman 1dari 21

Peranan Imaging pada Trauma Tulang Belakang

Made Widhi Asih

Staf pada Departement Radiologi FK UNUD-RSUP Sanglah Denpasar

Abstrak
Trauma tulang belakang merupakan cedera yang sangat sering terjadi dengan tingkat
keparahan dan prognosis yang berbeda-beda dari kondisi asimptomatik hingga
disfungsi neurologis sementara, defisit fokal, ataupun keadaan yang lebih fatal.
Penyebab utama trauma tulang belakang adalah jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu
lintas, olahraga, dan trauma tumpul. Pencitraan memiliki peran penting dalam
pengelolaan trauma tulang belakang dimana secara khusus teknik neuroradiologis akan
dapat menentukan ada atau tidaknya lesi, menunjukkan lokasi yang tepat dari cedera,
mengevaluasi stabilitas tulang belakang, dan menentukan keterlibatan elemen saraf.
Semua faktor tersebut akan mempengaruhi penatalaksanaan dan prognostik dari
trauma tulang belakang. Dengan manajemen yang cepat dan tepat, dapat mengurangi
kerusakan neurologis yang mungkin dapat terjadi yang sangat penting bagi masa depan
pasien.
Keyword : Trauma tulang belakang, neuroimaging, radiografi konventional, CT, MRI

Abstract
Spinal trauma is a very common injury with varying severity and prognosis from
asymptomatic conditions to temporary neurological dysfunction, focal deficits, or more
fatal conditions. The main causes of spinal trauma are falls from a height, traffic
accidents, exercise, and blunt trauma. Imaging has an important role in the
management of spinal trauma which is specifically neuroradiological techniques will be
able to determine the presence or absence of lesions, delineate the exact location of
the injury, evaluate the stability of the spine, and determine the involvement of nerve
elements. All of these factors will affect the management and prognostics of spinal
trauma. With fast and precise management, it can reduce the neurological damage that
may occur which is very important for the future of the patient.
Keyword: Spinal trauma, neuroimaging, radiografi conventional, CT, MRI

6.1 Pendahuluan

1
Pencitraan memainkan peran penting dalam diagnosis trauma tulang belakang akut,
bertujuan terutama untuk menghindari kerusakan neurologis yang dapat dicegah dan
membantu dalam memulai pengobatan yang cepat dan akurat pada pasien. Kerusakan
neurologis yang dapat dicegah dalam jangka pendek dapat disebabkan oleh karena
kompresi medula spinalis (atau struktur saraf lainnya) yang diakibatkan oleh adanya
hematoma, herniasi diskus, atau kompresi mekanis oleh komponen tulang atau
pembuluh darah.(1,2)
Sensitivitas radiografi konventional untuk mengidentifikasi cedera tulang
belakang khususnya pada daerah cervical sangat rendah pada pasien yang lebih
tuadari usia 14. Sehingga radiografi disarankan hanya untuk kasus trauma dengan
kecurigaan rendah adanya cedera tulang belakang atau ketika CT tidak tersedia sesuai
dengan rekomendasi dari American College of Radiology (ACR).(3)
Radiografi konvensional dan computed tomography (CT) adalah modalitas
pencitraan awal yang digunakan dalam diagnosis sebagian besar kasus cedera tulang
belakang.Untuk tingkat thoracolumbar, MDCT adalah pemeriksaan yang lebih baik
untuk menggambarkan fraktur tulang belakang dibandingkan radiografi konvensional,
karena lebih sensitif dibandingkan foto konventional. MDCT mempunyai kemampuan
rekonstruksi multiplanar reformatted atau volume rendering yang dapat mendeteksi
fraktur kortikal yang kecil serta dapat menilai stabilitas tulang belakang untuk
pengambilan keputusan tindakan yang akan diambil oleh. MRI mempunyai resolusi
kontras yang lebih unggul dibandingkan CT scan, sehingga MRI telah memainkan
peran yang semakin penting dalam pengelolaan pasien trauma tulang belakang. MRI
merupakan modalitas pilihan untuk evaluasi ligamen dan struktur jaringan lunak lainnya,
diskus sertamedula spinalis.(4)

6.2 Anatomy Tulang Belakang


Tulang belakang terdiri dari 32 sampai 35 segmen vertebra, yaitu 7 cervical, 12
thoracal, 5 lumbal dan 3 sampai 5 coccygeal. Selain terdiri dari susunan tulang
vertebra, tulang belakang juga mengandung komponen lain seperti discus
intervertebralis, dan beberapa ligament termasuk ligamentum longitudinal anterior
(ALL), ligamentum longitudinal posterior (PLL), ligamentum flavum, ligamentum
interspinous, ligamentum supraspinous, dan kapsul sendi apophysis. Adapun di bagian
craniocervical junction sedikit berbeda secara anatomi dari tulang belakang di bagian
distalnya, karena tidak ditopang oleh beberapa ligament, melainkan hanya terdiri dari
membran tectorial, ligamentum transversal, dan ligamen alar yang bertindak sebagai
penstabil utama.
Membran tectorial dan ligamentum transversal yang normal dapat dengan
mudah divisualisasikan pada MRI, sedangkan karena kurangnya kontras dari jaringan
yang berdekatan, ligamen alar normal sulit untuk divisualisasikan.(5)
Corpus vertebra berfungsi sebagai pilar yang menopang kepala dan tubuh.
Bagian posterior corpus vertebra, bersama dengan lengkungan tulang belakang,
membentuk kanal tulang belakang, melindungi medulla spinalis. Lengkungan vertebra
dibentuk oleh pedikel dan lamina yang berpasangan. Prosesus articularis superior dan
inferior, prosesus transversus, dan prosesus spinosus berasal dari lengkung tulang
belakang.Foramen intervertebralis dibentuk oleh dua vertebra yang berdekatan, yang
merupakan tempat berjalannya saraf dan pembuluh darah. Komponen lain tulang
belakang adalah diskus intervertebralis yang terdiri dari inti nukleus pulposusdan
annulus
fibrosis di bagian luarnya. Fungsi utamanya adalahuntuk mendistribusikan beban dan
untuk memungkinkan fleksi / ekstensi dan lengkung lateral.Anulus fibrosis melekat pada
longitudinal anteriorligamentum (ALL) dan ligamentum longitudinal posterior (PLL).
Diskus yang normal pada MRI T2WI menunjukkan sinyal tinggi oleh karena kandungan
air yang tinggi pada nukleus pulposus dan bagian dalamannulus fibrosis sedangkan
pada bagian luar annulus fibrosis, menunjukkan sinyal rendah pada T1WI dan T2WI.(6,7)

Gambar 6.1 CT Scan lumbosacral potongan aksial dan sagittal menunjukkan anatomi tulang
belakang. Sumber : koleksi pribadi penulis

Tulang belakang leher terdiri dari 7 tulang belakang, dimana segmen pertama
dankedua dari tulang belakang leher mempunyai struktur yang unik.Segmen pertama,
C1, juga dikenal sebagaiatlas, tidak memiliki corpus vertebra di bagian tengahnya,
melainkan berbentuk cincin dan terdiri dari lengkung anteriordan posterior dan massa
artikularis lateralis. Segmen kedua, C2, juga dikenal sebagai axis, yang juga berbentuk
cincindan memiliki prosesus odontoid yang mengarah ke superior, juga disebut sebagai
dens, yang terletak di posterior dari lengkungan anterior C1. Jarak normalantara dens
dan lengkungan anterior C1 adalahsekitar 3 mm pada orang dewasa dan 4 mm pada
anak-anak.(6)
Gambar 6.2 CT Scan cervical setinggi level
C2 potongan aksial, coronal dan sagittal
yang menunjukkan anatomi dari arcus
anterior dan posterior serta procesus
odontoid / dens dari C2. Sumber : koleksi
pribadi penulis

Kanalis spinalis berisi thecal sac yang dilapisi oleh dura mater dan dikelilingi oleh
ruang epidural, yang berisi epidural lemak dan pleksus vena besar. Komponen yang
berada di dalam thecal sac adalah medula spinalis, conus medularis, dan cauda equina,
dikelilingi oleh cairan serebrospinal yang mengalir bebas dalam ruang subarachnoid.
Conus medullaris biasanya berakhir dekat level vertebra L1. (6,7)

Gambar 6.3 MRI Lumbosacral potongan aksial dan sagittal menunjukkan anatomi tulang belakang pada
level lumbosacral. Sumber : koleksi pribadi penulis

Seperti halnya dengan tulang – tulang aksial lainnya, tulang belakang juga
mengalami konversi bertahap dari red marrow menjadi fatty marrow yang berakhir
sekitar usia 25 tahun kehidupan. Kandungan lemak corpus vertebra bervariasi sesuai
usia, degenerasi disk di dekatnya, terapi,seperti radiasi, dan peningkatan
hematopoiesis, seperti pada sickle cell diseaseatau pada penyakit lain yang
mempengaruhi bone marrow. Di usia muda pasien, fatty marrow dengan sinyal tinggi
terlihat sebagai daerah linier yang berdekatan dengan vena basivertebral.Dengan
bertambahnya usia, fatty marrow terlihat sebagai bandlike, triangular, atau multifokal.(6)
MRI merupakan modalitas yang sangat baik untuk menggambarkan anatomi
tulang belakang secara detail, termasuk isi di dalam kanalis spinalis, foramina neuralis,
sendi, ligamen, discus intervertebralis, dan bone marrow. Sedangkan CT Scan
merupakan modalitas yang lebih baik dibandingkan MRI untuk menilai struktur kortikal
dari tulang belakang.(2,6)
Gambar 6.4 Potongan Sagital ada T1WI (A), T2WI (B) dan T2Fatsat (C) menunjukkan fatty marrow
changes pada end plate superior L3, 4 tampak hiperintens pada T1WI dan T2WI serta hipointens pada
T2Fatsat. Sumber : koleksi pribadi penulis

6.3 Modalitas Pencitraan Tulang Belakang


CT scan merupakan modalitas imaging pilihan terutama untuk evaluasi kasus
trauma yang dapat dilakukan secara cepat, mudah dikerjakan dan dapat
menggambarkan dengan baik anatomi tulang, adanya fraktur, karakterisasi tingkat
fraktur, morfologi, dan lokasi fragmen fraktur serta adanya prevertebral/ paraspinal
hematoma. MDCT mempunyai sensitivitas dan spesifisitas masing-masing 98% dan
97% dengan kemampuan rekonstruksi gambar sesuai target pemeriksaan. Disamping
keunggulannya CT scan juga mempunyai keterbatasan yaitu ketidakmampuan untuk
mengevaluasi adanya cedera pada ligament dan medula spinalis. Selain itu, adanya
penyakit penyerta berupa penyakit degeneratif berat dan osteopenia akan mempersulit
evaluasi CT. Sedangkan indikasi MRI adalah pada pasien dengan defisit neurologi dan
pada fraktur unstable untuk mengevaluasi adanya cedera pada medula spinalis, nerve
root, discus intervertebralis dan ligament serta untuk mengevaluasi ada tidaknya
epidural hematoma. Tetapi screening MRI pada pasien dengan gambaran CT scan
yang normal tidak diperlukan oleh karena unstable ligamentous injury tanpa adanya
fraktur atau subluksasi adalah jarang.Untuk mengevaluasi kemungkinan cedera pada
jaringan lunak, seperti ligament, medula spinalis, discus intervertebralis dan jaringan
lunak paraspinal, MRI mempunyai sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan CT scan.
Sehingga peranan MRI meningkat pada pasien-pasien dengan trauma tulang belakang.
(3,5)

Protokol MRI standard untuk cedera tulang belakang meliputi irisan sagital pada
sequence T1-weighted dan T2-weighted spin echo, T2*weighted, gradien recalled echo
(GRE), dan irisan sagital pada short tau inversion recovery (STIR), serta irisan axial
pada T2W dan T2*W GRE. Sequence T1W terutama digunakan paling baik untuk
menggambarkan anatomi dan adanya fraktur tulang. STIR atau T2-weighted imaging
dengan fat saturasi sangat sensitif untuk mendeteksi adanya edema pada tulang dan
ligament khususnya ligamen interspinosus atau supraspinosus, serta dapat
menggambarkan adanya kelainan pada medula spinalis, discus, dan epidural space
(seperti epidural hematoma). Sedangkan T2*W dan GRE digunakan untuk mendeteksi
adanya perdarahan di dalam dan di sekitar medula spinalis, sehingga irisan sagittal
pada T2*W harus di tambahkan dalam protocol trauma tulang belakang.Dengan
perkembangan teknologi, adanya perubahan pada medula spinalis yang disebabkan
oleh
trauma tulang belakang yang tidak terlihat pada MRI konventional, dapat dideteksi
dengan difusion tensor imaging (DTI).(2,4)

6.4 Trauma Tulang Belakang Akut


Untuk mengevaluasi stabilitas tulang belakang pada trauma tulang belakang akut, yang
paling sering digunakan adalah klasifikasi Denis yang membagi tulang belakang
menjadi 3 kolum yaitu kolum anterior, tengah dan posterior. Kolum anterior terdiri dari
ALL, 2/3 anterior corpus vertebra dan 2/3 anterior discus intervertebralis.Kolum medial
terdiri dari PLL, 1/3 posterior corpus vertebra dan 1/3 posterior discus intervertebralis
Sedangkan kolum posterior terdiri dari semua komponen yang berada di posterior PLL,
meliputi pedikel, facet joint dan prosesus articularis, ligamentum flavum, arkus
neuralisdan interconnecting ligament.(8,9,10)

Gambar 6.5 Diagram skematik dari 3 kolom klasifikasi Denis


Sumber: https://online.epocrates.com/diseases

6.4.1 Trauma Thoracolumbal


Menurut sistem klasifikasi Denis fraktur Thoracolumbar dapat dibedakan menjadi
cedera minor dan mayor. Cedera minor adalah cedera yang terbatas pada prosesus
transversus atau prosesis spinosus, pilar artikular, dan parsinterarticularis. Sedangkan
cedera mayor diklasifikasikan menjadi empat kelompok yaitu terdiri fraktur kompresi,
burst, seat-belt dan fraktur dislokasi.(9,10)

6.4.1.1 Kompresi Fraktur


Kompresi fraktur dapat mengenai aspek anterior atau lateral, dimana fraktur ini terjadi
oleh karena kegagalan kolum anterior di bawah level kompresi menahan beban,
dengan kolom tengah yang bertindak sebagai engsel sehingga kolom tengah terhindar
dari fraktur.(9,10,13,14)
Gambar 6.6 CT scan Lumbosactal potongan aksial (A) dan Sagital (B) menunjukkan fraktur kompresi
setinggi level L2. Sumber : koleksi pribadi penulis

6.4.1.2 Fraktur Burst


Fraktur Burst terjadi karena gaya beban aksial yang mengakibatkan kegagalan kolom
anterior dan tengah. Keterlibatan kolom tengah membedakan fraktur burst dari fraktur
kompresi. Fraktur ini seringkali disertai retropulsi fragmen tulang ke dalam kanalis
spinalis dan jarak interpedikular tampak melebar pada pencitraan frontal. Cedera ini
sering mengakibatkan cedera pada kompleks ligamen posterior sehingga merupakan
cedera tiga kolom dan diklasifikasikan sebagai fraktur burst “tidak stabil”.(10,13,14)

Gambar 6.7 CT Scan Lumbosacral potongan sagittal (A) dan Aksial (B) menunjukkan Burst fraktur
dengan retropulsi fragmen tulang ke dalam kanalis spinalis. Sumber : koleksi pribadi penulis

6.4.1.3 “Seat-belt type injury”


“Seat belt injury”identik dengan “chance fracture” dan cedera fleksi distraksi. Terdapat
hubunganantara pola fraktur tulang belakang ini dengan putaran sabuk pengaman dan
cedera intraabdomen, dimana sabuk putaran bertindak sebagai tumpuan di
seluruhdinding perut anterior. Ini menciptakan daya tarik hyperflexiondistention, yang
bergerak di posterior kearah depan. Kegagalan kolom posterior dan tengah terjadi lebih
hebat dibandingkan kolum anterior melalui daya tarik, yang seolah-olah membagi tubuh
vertebral menjadi dua. Cedera ini tidak stabil dan paling sering terjadi torakolumbal
junction, dan dapat menyebabkan defisit neurologis yang signifikan. (10,11,13)

Gambar 6.8 CT scan Lumbosacral potongan sagital (A) dan Aksial (B) menunjukkan chance fracture
yang mengenai corpus vertebra sampai prosesus articularis setinggi level L1. Sumber : koleksi
pribadi penulis

6.4.1.4 Fraktur dislokasi


Fraktur dislokasi sangat tidak stabil dan dapat terjadi dimana saja di sepanjang tulang
belakang torakolumbalis dengan kecenderungan pada torakolumbal junction. Mengenai
ketiga kolom sebagai akibat dari kompresi, ketegangan, rotasi, atau gaya geser.
Radiografi anteroposterior (AP) atau lateral dapat menunjukan adanya subluksasi atau
dislokasi, tetapi CT Scan dapat menunjukkan lebih jelas. (10,13)

Gambar 6.9 CT can Lumbosacral potongan sagital menunjukkan fraktur dislokasi setinggi level L1.
Sumber : koleksi pribadi penulis

Untuk membedakan jenis perawatan yang dibutuhkan pasien; perlu untuk


mengklasifikasikan fraktur menjadi fraktur stabil atau tidak stabil, yang akan
memberikan indikasi untuk terapi konservatif ataupun pembedahan.Ketidakstabilan
tulang belakang dapat dievaluasi dengan pemeriksaan radiologis yang menunjukkan
keterlibatan dua kolom, berdasarkan klasifikasi Denis. Adanya translasi lebih besar dari
2 mm merupakan temuan lain dari ketidakstabilan tulang belakang, yang menunjukkan
adanya cedera ligamen, pelebaran sendi facet dan ruang interspinosus, disrupsi dari
garis vertebra posterior, kehilangan tinggi coprus vertebralebih dari 50%, dan
kyphosislebih dari 20 derajat.(2,4,9)

Gambar 6.10 Menunjukkan 4 type fraktur thoracolumbal


Sumber: http://www.virtualmedstudent.com/links/musculoskeletal

Kelompok Studi Trauma Tulang Belakang mengembangkan sistem penilaian dan


klasifikasi lain yaitu The Thoracolumbar Injury Classification and Severity Score
(TLICS). Sistem yang lebih baru ini memberikan nilai numerik untuk setiap cedera
berdasarkan
tiga karakteristik cedera: morfologi cedera radiografi, integritas posterior ligamentous
complex (PLC), dan status neurologis pasien, untuk memberikan skor keparahan
keseluruhan, sehingga memungkinkan stratifikasi pasien ke dalam kelompok perawatan
bedah dan non-bedah. Pola cedera yang stabil (TLICS <4) dapat diobati secara non-
operatif dengan imobilisasi brace. Pola cedera yang tidak stabil (TLICS> 4) dapat
diobati secara operatif dengan prinsip koreksi deformitas, dekompresi neurologis jika
perlu dan stabilisasi tulang belakang.(2,4,11)
6.4.2 Trauma tulang belakang leher
Fraktur tulang belakang leher terjadi terutama pada dualevel: sepertiga di level C2 dan
setengahnya di C6 atau C7. Secara umum dibagi menjadi empat mekanisme yaitu
fleksi, ekstensi, beban aksial dan rotasional.(10,11,13,15)
6.4.2.1 Cedera Fleksi
Merupakan fraktur kompresi sederhana dan fraktur teardrop fleksi berada pada ujung
yang berlawanan dari spektrum keparahan. Fraktur kompresi sederhana atau wedge
fraktur merupakan cedera yang stabil hanya mengenai bagian anterior, namun fraktur
fleksi teardrop terjadi karena fleksi yang ekstrim dan axial loading dan menghasilkan
fraktur tulang triangular dari bagian anteroinferior corpus vertebra. Fragmen copus
vertebra posterior yang lebih besar dapat bergeser ke posterior dan masuk ke dalam
spinal kanal dan menyebabkan cedera medula spinalis. Fraktur ini sangat tidak stabil
dengan gangguan semua kolom dan C5 lebih sering beresiko. (10,11,13,15)

Gambar 6.11. Foto Cervical Lateral (A) dan CT Scan Cervical Sagital (B) menunjukkan fraktur tear drop
fleksi setinggi C5.
Sumber : koleksi pribadi penulis

“Clay-shoveler’s fracture”. Cedera ini adalah cedera yang stabil yang ditandai
dengan avulsi dari proses spinosus cervical bawah yang terjadi karena fleksi leher yang
tiba-tibadikombinasikan dengan kontraksi otot yang kuat dari bagian bawahotot leher.
Atau dapat juga terjadi dari benturan langsung pada proses spinosus. (9,11,13,15)
Gambar 6.12. Foto cervical lateral menunjukkan fraktur prosesus spinosus C7 (Clay-shoveler’s
fracture”). Sumber : Rathachai Kaewlai, M.D.2010

6.4.2.2 Cedera Ekstensi


Cedera ekstensi dapat mengenai ALL dan menghasilkan “extension-tear drop fracture"
yang merupakan fraktur avulsi dari sudut anterior corpus vertebra. “Hangman fracture”
adalah spondilolisis traumatis pada lengkung posterior C2 dengan atau tanpa disertai
spondilolistesis. Meskipun berpotensi tidak stabil, defisit neurologis jarang terjadi karena
diameter spinal kanal AP melebar pada tingkat fraktur. (9,11,13,15)

6.4.2.3 Cedera Beban Aksial


Jefferson fracture merupakan burst frakture dari ring C1, dimana beban gaya aksial
ditransmisikan melalui kondilus oksipital dan ke dalam massa lateral C1 yang
mengakibatkan fraktur lengkung saraf anterior dan posterior. Pada radiografi open
mouth tampak pelebaran asimetris dari lateral atlanto-dental interval. (9,11,13,15)

Gambar 6.13. Foto open mouth cervical menunjukkan pergeseran lateral mass C1 terhadap C2 yang
pada posisi lateral tampak adanya pelebaran atlantodens interval lusensi (fraktur ) pada arcus
posterior. CT Scan axial menunjukkan lebih jelas adanya fraktur pada aspek lateral arcus anterior kiri
dan aspek lateral arcus posterior kanan. Sumber : dr Andrew Dixon, Radiopedia

6.4.2.4 Cedera Rotasional


Dislokasi sendi facet unilateral terjadi karena kombinasi fleksi dan rotasi. Faset artikular
inferior vertebra atas bergeser ke anterior dari faset artikular superior vertebra di bagian
bawahnya. Cedera ini dianggap stabil karena facet yang terkunci. Namun, cedera ini
dapat dikaitkan dengan defisit neurologis serta cedera pada kompleks diskoligamen.
Pada posisi lateral, tampak pemendekan vertebra yang terkena oleh karena mengalami
rotasi.(9,11,13,15)
Gambar 6.14. Foto cervical lateral menunjukkan unilateral locked facet dengan subluksasi dan facet yang
,membentuk konfigurasi “bow-tie” yang disebabkan cedera fleksi rotasional. Sumber : Thomas H.
Berquist, et al, Radiology Key

6.5 Cedera Ligament


Ligament spinal sangat penting untuk mempertahankan alignment normal antara
segmen tulang belakang dalam menerima beban fisiologis. Pada MRI ligamen normal
tulang belakang tampak sebagai pita dengan intensitas signal rendah pada semua
sequence. Kecuali pada ligamen interspinosus yang juga menunjukkan intensitas sinyal
rendah bergaris diselingi dengan area intensitas sinyal tinggi sesuai komponen lemak
pada gambar T1WI.(2,9)

Gambar 6.15 Irisan sagittal pada T2WI menunjukkan gambaran ligamentum longitudinal anterior yang
normal (panah biru), ligament longitudinal posterior (panah orange) dan ligament interspinous normal
bergaris/ lurik (panah hijau). Sumber : koleksi pribadi penulis

Robekan ligamen bisa terjadi partial maupun komplit, dimana robekan partial
terlihat sebagai area yang menunjukkan intensitas sinyal tinggi pada sequence STIR
yang menunjukkan adanya edema dan perdarahan, sedangkan robekan komplit tampak
area dengan intensitas signal tinggi pada STIR disertai dengan hilangnya gambaran
serat-serat ligament yang utuh. Mekanisme terjadinya trauma dapat mempengaruhi
jenis cedera ligamen. Kerusakan pada kolom anterior atau gabungan anterior dan
posterior yang melibatkan ALL dan PLL umumnya disebabkan oleh mekanisma trauma
berupa hiperekstensi. Sedangkan kerusakan yang mengakibatkan kolom posterior atau
gabungan kolom posterior dan cedera tengah yang ditandai dengan kerusakan
ligamentum flavum, ligamen interspinosus, ligamen supraspinous, kapsul sendi facet,
dan PLL, umumnya disebabkan oleh mekanisme trauma berupa hyperflexion.(2,5,15)
Cedera ALL dan PLL terlihat sebagai disrupsi dari signal hipointense pada
semua sequence disertai dengan edema prevertebral yang paling baik diidentifikasi
pada STIR. Cedera pada ligamentum flavum paling baik diidentifikasi pada irisan
parasagital yang juga terlihat sebagai diskontinuitas fokal. Cedera ligamen
interspinosus dan supraspinosus ditandai oleh peningkatan signal di ruang
interspinosus dan ujung dari proses spinosus, pada sequence STIR.Pelebaran sendi
facet disertai peningkatan signal cairan antara permukaan sendi merupakan tanda
adanya cedera pada kapsul sendi facet. Cedera ligament dapat mengubah cedera
kolom tunggal menjadi cedera dua kolom, karena merupakan komponen penting dari
kolum tulang belakang, sehingga dapat meningkatkan cedera yang stabil menjadi
cedera yang tidak stabil.(2,5,15)

Gambar 6.16 STIR MRI menunjukkan robekan total pada ligament longitudinal anterior (panah, a),
robekan total ligament longitudinal posterior (panah pendek tunggal, b), dan robekan ligamentum flavum
(panah panjang, b), robekan ligamentum nuchae (panah pendek double, b), cedera kapsul facet (panah,
c) dan cedera ligamentum interspinosus (panah pendek double, d) dengan contusion vertebra thoracal
(panah,d). Sumber: Kumar and Hayashi, 2016

6.6 Traumatik Herniasi Discus


Dislokasi fraktur vertebra dan cedera hiperekstensi tulang belakang, sering kali
menyebabkan cedera pada annulus fibrosus sehingga terjadi herniasi nucleus
pulposus. Hal ini dapat menyebabkan kompresi medula spinalis. Cedera diskus dapat
juga tanpa disertai herniasi yang ditandai adanya oleh pelebaran asimetris atau
penyempitan diskus disertai peningkatan signal pada STIR yang sesuai gambaran
edema.(2,6,15)

Gambar 6.17 Sagital T2WI (A) dan Axial T2WI (B) menunjukkan adanya herniasi diskus ke central, yang
menyebabkan stenosis kanalis spinalis dan kompresi pada medulla spinalis. Sumber : koleksi pribadi
penulis
6.7 Perdarahan Extradural
Perdarahan extradural pada trauma tulang belakang lebih sering terjadi dibandingkan
subdural hematoma maupun perdarahan subarachnoid. MRI merupakan modalitas
yang lebih baik dibandingkan CT scan pada kasus ini, dimana akan terlihat isointense
atau slight hyperintense pada T1WI dan hyperintens pada T2WI.(2,6,7)

Gambar 6.18. Sagital T1WI (a) dan axial gradient recalled echo (GRE) (b) menunjukkan adanya
hematoma epidural (panah), dan axial T2WI (c) menunjukkan hematoma subdural (panah panjang)lebih
dalam dari dura (panah pendek). Suber: Kumar and Hayashi, 2016

6.8 Cedera Vascular


Cedera vaskular dapat disebabkan oleh trauma tumpul maupun cedera penetrasi.
Cedera pada arteri vertebralis lebih sering dibandingkan cedera arteri carotis terutama
pada trauma tumpul pada leher. Infark cerebral dan infark cerebellar, dapat terjadi
terutama pada cedera vascular bilateral. Cedera intimal minimal, visualisasi flap intimal,
pseudoaneurysm, diseksi dengan hematoma intramural, oklusi lengkap, ekstravasasi
aktif, dan pembentukan fistula arteriovenous merupakan temuan pencitraan pada
cedera vaskular. Temuan MRI pada sequence T1WI pada cedera vascular dapat
berupa irregularitas atau hilangnya gambaran flow void normal pada T2WI. Hematoma
intramural yang berhubungan dengan diseksi paling baik dievaluasi pada sequence
T1WI fat supressed yang menunjukkan intensitas signal tinggi. CT angiografi atau DSA
merupakan modalitas terpilih untuk evaluasi lebih lanjut dari cedera vaskular.(2,5,9)

Gambar 6.19 Axial T2WI (a) menunjukkan adanya diseksi arteri vertebra post traumatic dengan lumen
ganda (panah). Angiogram CT leher berikutnya (b) mengkonfirmasi temuan cedera arteri vertebralis
(panah). Angiografi tindak lanjut dari leher yang dilakukan pada hari berikutnya (c) menunjukkan adanya
pseudoaneurysm (panah). Sumber: Kumar and Hayashi, 2016
6.9 Cedera Medula Spinalis
MRI merupakan modalitas yang paling baik untuk menilai adanya cedera medula
spinalis pada cedera tulang belakang, terutama pada T2W irisan aksial dan sagital.
Selain itu sequence T2*W GRE juga sangat berguna menilai adanya perdarahan.
Hyperintens pada T2WI merupakan temuan MRI yang paling umum yang menunjukkan
adanya edema medula spinalis, sedangkan perdarahan terlihat sebagai signal
hipointens pada GRE. Biasanya adanya perdarahan berkaitan dengan prognosis yang
buruk. American Spinal Injury Association (ASIA) Impairment Scale digunakan untuk
mengevaluasi derajat luasnya cedera pada medula spinalis secara klinis. Kategori yang
digunakan meliputi : A= Komplit - tidak terdapat fungsi sensorik atau motorik normal
pada segmen sakral S4- 5;
B = Tidak lengkap - fungsi sensorik, tetapi bukan motorik, dipertahankan di bawah level
neurologis dan meluas melalui segmen sakral S4-5;
C = Tidak lengkap - fungsi motorik dipertahankan di bawah level neurologis, dan
sebagian besar otot kunci di bawah level neurologis memiliki grade otot <3;
D = fungsi motorik dipertahankan di bawah level neurologis, dan sebagian besar otot
kunci di bawah level neurologis memiliki grade otot ≥ 3;
E = Normal
Faktor lain yang menentukan nilai prognostik adalah terjadinya kompresi medula
spinalis oleh hematoma ekstra aksial, adanya edema medula spinalis, serta luasnya
luasnya hematoma medula spinalis. Sindrom medula spinalis central traumatis akut,
sering terjadi pada cedera hiperekstensi pada pasien yang lebih tua dengan perubahan
degeneratif pada tulang belakang, yang ditandai dengan disproporsional besarnya
gangguan fungsi motorik ekstremitas atas yang dibandingkan ekstremitas bawah
disertai disfungsi kandung kemih dan kehilangan sensorik di bawah tingkat cedera.
sedangkan cedera pada bagian grey matter dan bagian central dari medula spinalis
sering disebabkan oleh penyempitan canalis spinalis, osteofit atau ligamentum flavum
yang tertekuk.(2,10)

Gambar 6.20. Sagital T2WI (A) dan Axial T2WI (B) menunjukkan adanya spinal cord injury setinggi level
C 4 - 5. Sumber : koleksi pribadi penulis

6.10 Cedera pada Tulang dan Soft Tissue


Untuk mengevalusi cedera tulang yang minimal seperti kompresi dan fraktur kortikal,
MRI jauh lebih sensitif dibandingkan CT Scan, yang terlihat sebagai lesi hyperintens
pada STIR yang menunjukkan adanya edema bone marrow, dan perdarahan.
Sedangkan cedera pada soft tissue prevertebral dapat terlihat berupa gambaran
penebalan yang
abnormal yang berhubungan dengan edema dan perdarahan, dimana strain otot
menunjukkan intensitas signal yang tinggi pada STIR yang berhubungan dengan
edema, sedangkan perdarahan otot terlihat sebagian signal dengan intensitas
heterogen sesuai dengan usia perdarahannya. Cedera soft tissue lainnya juga dapat
mengenai otot-otot paraspinal muscles maupun saraf. Cedera soft tissue juga
merupakan salah satu indikator keparahan pada trauma tulang belakang.(2,10)
6.11 Fraktur Tulang Belakang Akut dan Fraktur Lama
Fraktur kompresi seringkali terjadi terutama pada orang tua, dan biasanya disebabkan
oleh osteoporosis. Diagnostik awal dapat dilakukan menggunakan radiografi tulang
belakang maupun CT, tetapi fraktur baru dan fraktur lama tidak selalu dengan mudah
dapat dibedakan. Riwayat adanya trauma sebelumnya digabung dengan pemeriksaan
fisik berupa adanya hematoma soft tissue dapat membantu untuk membedakan
keduanya. Fraktur akut biasanya menyebabkan terjadinya peningkatan kadar air oleh
karena perdarahan dan edema bone marrow, sehingga MRI sangat membantu ditandai
dengan hypointensitas pada T1WI dan hyperintensitas pada T2WI dan STIR. Tanda
penting lainnya yang mengarah ke suatu gambaran fraktur akut adalah ditemukannya
edema soft tissue. Adanya fatty marrow yang ditandai dengan sinyal tinggi pada T1WI
dan T2WI mengarah ke suatu gambaran fraktur lama tanpa adanya edema bone
marrow.(2,6)

Gambar 6.21. MRI Lumbosacral potongan Sagital menunjukkan fraktur kompresi akut pada CV Th12,
tampak hypointens pada T1WI (A) dan hyperintens pada T2WI (B) disertai soft tissue edema di vertebra
posterior. Sumber : koleksi pribadi penulis

6.12 Fraktur Benign Osteoporotik dan Fraktur Malignancy


Berkaitan dengan berbedanya penatalaksanaan pada fraktur osteoporotik akut dan
fraktur pathologis akut, sehingga penting untuk dapat membedakan keduanya. Temuan
MRI pada fraktur osteoporosis akut meliputi horizontal band signal abnormal yang
dipisahkan oleh garis lurus dari fatty marrow yang normal, relatif kurangnya keterlibatan
elemen posterior, dan tepi vertebral posterior yang menunjukkan angulasi dan cekung.
Sebaliknya, fraktur patologis akibat keganasan pada MRI ditandai oleh keterlibatan
seluruh tubuh vertebra oleh edema bone marrow yang abnormal, perluasan ke elemen
posterior, dinding vertebral posterior cembung, keterlibatan jaringan lunak di sekitarnya,
dan adanya lesi tulang lainnya.Adanya gambaran restricted diffusion MR Diffusion
weighted imaging pada fraktur malignant pathologis yang ditimbulkan oleh karena
tingginya tingkat selularitas dan nucleocytoplasmic ratio pada sel-sel tumor yang
membelah dengan cepat, juga sangat membantu untuk membedakan kedua jenis
fraktur tersebut.(2,6)
Gambar 6.22. Sagittal T1WI (a) dan sagittal T2WI (b) menunjukkan fraktur kompresi corpus vertebra
L1 dengan band horizontal dari edema bone marrow pada setengah bagian corpus vertebra superior
tanpa adanya massa soft tissue, mengesankan fraktur kompresi benign. Sumber: Kumar and
Hayashi, 2016

Gambar 6.23. MRI Thoracolumbal potongan Sagital pada T1WI (A), Sagital pada T2WI (B) dan potongan
aksial pada T1WI dengan kontras (C) menunjukkan fraktur kompresi pathologis Th10, Th11, L1, L5
disertai paravertebral soft tissue mass di sekitarnya dan perubahan intensitas signal bone marrow multiple
di corpus vertebra thoracolumbal, tampak hypointens pada T1WI, hyperintens pada T2WI. Sumber :
koleksi pribadi penulis

6.13 Difusion tensor imaging (DTI)


Difusion tensor imaging (DTI) adalah teknik pencitraan MR baru yang memberikan
penilaian objektif, noninvasif, in vivo cedera tulang belakang (SCI). DTI dapat menilai
integritas mikrostruktur traktus serat saraf yang didasarkan pada prinsip sederhana
difusi molekul air di dalam jaringan. Dalam jaringan saraf, mobilitas ini terbatas pada
satuarah tertentu dengan adanya hambatan biologis sepertimembran sel dan selubung
mielin, maka difusi disebutanisotropik. Gangguan atau perubahan molekul linier difusi
tersebut pada titik mana pun di sepanjang neuron dapat menjadi tanda pertama dari a
gangguan fisiologis, yang membuat DTI lebih sensitif terhadap diniberubah bahkan
sebelum perubahan struktural nyata terbukti.Perubahan difusi pada DTI dapat
dinilaibaik secara kualitatif dengan 'teknik pelacakan serat' (traktografi) atausecara
kuantitatif dengan menghitung indeks anisotropi DTI (datametrics). Tractography
memberikan representasi visual dan penilaianstatus difusi dari struktur yang dievaluasi,
yang memungkinkanpelacakan struktur longitudinal dari akson. Secara klinis, informasi
ini memungkinkanpenggambaran yang lebih baik dari serabut saraf yang rusak di
medula spinalis yang mengalami cedera.(11,12)
Gambar 6.24. T2WI sagital menunjukkan gambaran medula spinalis yang normal (A). Axial diffusion
tensor image dengan ROI (B) dan diffusion tensor tractography image (C) pada subyek yang sama
menunjukkan gambaran traktus white matter dari medula spinalis yang normal. Sumber M.M. D’souza, et
al., 2017

Gambar 6.25. T2WI sagital dan aksial pada kasus cedera medula spinalis (Frankle D) menunjukkan
perubahan degenerative awal pada medula spinalis (A, B). Axial DTI (C) dan diffusion tensor tractography
image (D) menunjukkan dirupsi white matter pada tempat cedera. Sumber:M.M. D’souza, et al., 2017

6.14 Kesimpulan
Cedera traumatis tulang belakang memberikan dampak terhadap morbiditas dan
mortalitas jangka panjang. Penegakan diagnosa dan penatalaksanaannya secepatnya
mungkin adalahsangat penting dalam mencegah kerusakan neurologis lebih lanjut.
Dalam hal ini pencitraan memainkan peran penting dalam diagnosis trauma tulang
belakang akut. Secara khusus, teknik neuroradiologis menunjukkan lokasi yang tepat
dari cedera, mengevaluasi stabilitas tulang belakang, dan menentukan keterlibatan
komponen saraf. Radiografi konvensional dan computed tomography (CT) adalah
modalitas pencitraan awal yang digunakan dalam diagnosis sebagian besar kasus
cedera tulang belakang. Pemeriksaan CT scan dapat untuk mengevaluasi stabilitas
tulang belakang yang akan menentukan tindakan selanjutnya. Sedangkan MRI lebih
sensitif daripada modalitas pencitraan lainnya untuk menilai ligament dan struktur
jaringan lunak lainnya, diskus, medula spinalis, serta cedera osseus minimal. MRI juga
membantu dalam memprediksi prognosis dengan menunjukkan cedera medula spinalis
hemoragik dan non hemoragik.
Referensi
1. Tins, Bernhard J, Imaging investigations in Spine Trauma: The value of commonly
used imaging modalities and emerging imaging modalities, J Clin Orthop Trauma.
Elsevier; 2017, 8(2) 107–115
2. Daichi Hayashi, Yogesh Kumar, Role of magnetic resonance imaging in acute
spinal trauma: a pictorial review; BMC Musculoskeletal Disorders; 2016; 17:310
3. Jo, A., Wilseck, Z., Manganaro, M., & Ibrahim, M, Essentials of Spine Trauma
Imaging: Radiographs, CT and MRI; Seminar in Ultrasound, CT and MRI, 2018, vol
39 No 1
4. Lubdha M. Shah, MD Jeffrey S. Ross, MD, Imaging of Spine Trauma,
Neuroradiology Review Series; 2016, Volume 79, 626–642
5. Jose Conrado Rios, Thomas Paul Naidich, David L. Daniels, Victor M. Haughton,
Cheuk Ying Tang, Joy S. Reidenberg, Patrick A. Lento, Evan G. Stein, Girish
Manohar Fatterpekar, Tanvir Fiaz Choudhri, and Irina Oyfe, Imaging of the spine;
2011
6. Gaurav Jindal, MD, Bryan Pukenas, MD, Normal Spinal Anatomy on Magnetic
Resonance Imaging, Magn Reson Imaging Clin N Am 19 (2011) : 475–488
7. Bryan A. Pukenas, MD, Normal Anatomy of the Spine: What You Need to Know,
Neuroimaging: The Essentials,2015,
https://pdfs.semanticscholar.org/8b0f/e154fe05b92c480c9e3a5991e50f58fbae4a.pd
f
8. Gianluigi Guarnieri, corresponding author Roberto Izzo, MD, and Mario Muto, MD,
The Role of Emergency Radiology in Spine Trauma, Be J Radiology, 2016 : 89
(1061)
9. Purohit, N. B., Skiadas, V., & Sampson, M, Imaging features of spinal trauma: what
the radiologist needs to know, Clinical Radiology- Elsevier, 2015;70(5), 544–554
10. Pramit M. Phal, MBBS, FRANZCR, and James C. Anderson, MD, Imaging in Spinal
Trauma, Seminar in Roentgenology, 2006
11. Michael C. Hollingshead, MD, and Mauricio Castillo, MD, FACR, MRI in acute spinal
trauma, RSNA, 2006
12. Bharti Khurana , Scott E. Sheehan , Aaron Sodickson , Christopher M. Bono , Mitchel
B. Harris , Traumatic Thoracolumbar Spine Injuries: What the Spine Surgeon Wants
to Know, RadioGraphicsVol. 33, No. 7
13. Daniela Distefano and Alessandro Cianfoni, Imaging of Spinal Cord Compression,
Review Article - Imaging in Medicine (2014) Volume 6, Issue 1
14. Lennard A Nadalo, MD, FACR; Chief Editor: Felix S Chew, MD, MBA, Med, et all,
Lumbar Spine Trauma Imaging, Emedicine.medscape,2018
15. Mark P. Bernstein1 , Alexander B. Baxter, Cervical Spine Trauma, Pearls and
Pitfalls, ARRS Categorical Course, 2012Sameet K. Rao, Christopher Wasyliw,
Diego B. Nunez, Jr, Spectrum of Imaging Findings in Hyperextension Injuries of the
Neck, 2015, RadioGraphicsVol. 25, No. 5R. Martínez-Pérez, I. Paredes, S. Cepeda,
A. Ramos, A.M. Castaño-León, C. García-Fuentes, R.D. Lobato, P.A. Gómez and
A. Lagares, Spinal Cord Injury after Blunt Cervical Spine Trauma: Correlation of Soft-
Tissue Damage and Extension of Lesion, AJNR, 2014 : 35 (5) 1029-1034
18. Umesh C Parashari, Sachin Khanduri, Samarjit Bhadury ,Neera Kohli, Anit
Parihar, Ragini Singh, RN Srivastava, Deepika Upadhyay, Diagnostic and
prognostic role of MRI in spinal trauma, its comparison and correlation with clinical
profile and
neurological outcome, according to ASIA impairment scale, Journal of
Craniovertberal Junction and Spine, 2011: volume 2 (1) : 17-26
19. D’souza, M. M., Choudhary, A., Poonia, M., Kumar, P., & Khushu, S, Diffusion
tensor MR imaging in medula spinalis injury; 2017, 48(4), 880–884. journal
homepage: www.elsevier.com/locate/injury
20. Orel A. Zaninovich MD , Mauricio J. Avila MD, MHPE , Matthew Kay MBBS ,
Jennifer
L. Becker BMBS, MRCS, FRCR , R. John Hurlbert MD, PhD and Nikolay L.
Martirosyan MD, PhD, The role of diffusion tensor imaging in the diagnosis,
prognosis, and assessment of recovery and treatment of medula spinalis injury: a
systematic review; Journal of Neurosurgery. 2019; Vol 46 (3):E7

Anda mungkin juga menyukai