Anda di halaman 1dari 26

ARSITEKTUR VERNAKULAR RUMAH ADAT TONGKONAN

MASYARAKAT TORAJA

MATA KULIAH : ARSITEKTUR NUSANTARA

DOSEN : Dr.Ir.Primi Artiningrum,M.Arch.

Disusun oleh :

Maya Astuti/41220010002

Muhammad Iyan Fadillah/41220010009

Muhammar Riski Firdaus/41220010015

JURUSAN ARSITEKTUR

UNIVERSITAS MERCU BUANA MERUYA

2020
DAFTAR ISI

Bab I.......................................................................................................................................................2
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................................2
1.2 Permasalahan..............................................................................................................................3
1.3 Tujuan..........................................................................................................................................3
1.4 Manfaat.......................................................................................................................................3
1.5 Sistematika pembahasan.............................................................................................................4
Bab II......................................................................................................................................................5
2.2 Arsitektur tradisional...................................................................................................................6
2.1 Arsitektur Suku Toraja.................................................................................................................8
Bab III...................................................................................................................................................11
Metode………………………………………………………………………………………………………………………………………..11

Bab IV..................................................................................................................................................12
3.1 Rumah Tongkonan Toraja..........................................................................................................12
3.2 Tradisi Masyarakat Toraja..........................................................................................................13
Bab V...................................................................................................................................................16
4.1 Analisa Berdasarkan Teori.........................................................................................................16
4.2 Kasus Studi.................................................................................................................................16
Bab VI..................................................................................................................................................23
5.1 Kesimpulan................................................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................25
Bab I

Pendahuuan

Arsitektur Nusantara merupakan penghadiran bentuk dan tatanan bangunan yang


merupakan penghadiran adat, budaya dan kebiasaan yang berlangsung pada tiap
tempat, penggunaan pengetahuan dan pengalaman yang diwariskan turun temurun
mampu menghadirkan bangunan yang dapat bertahan dan identitas bangunan pada
tiap tempat.Salah satu arsitektur Nusantara yang memiliki identitas adalah arsitektur
tongkonan Toraja.Sistem struktur, konstruksi dan estetika yang hadir
memperlihatkan adanya pengetahuan terhadap struktur dan konstruksi yang
berbeda dengan sistem struktur dan konstruksi pada dunia barat.

Menemukan pengetahuan yang berasal dari masyarakat tanpa tulisan yang


banyak terdapat di bumi Nusantara, menjadi sebuah wujud pelestarian kekayaan
intelektual masyarakat tradisional Nusantara.Pengetahuan membangun, sistem
struktur dan konstruksi yang dimiliki masyarakat tradisional Nusantara salah satu
yang harus mendapat perhatian khusus.para pemikir untuk dapat menghadirkan
pengetahuan baru,hingga memperkaya pengetahuan sipil dan arsitektur.

1.1 Latar Belakang

Rumah tradisional di Indonesia memiliki karakteristik sebagai rumah panggung,


yang terbagi menjadi tiga bagian yaitu bagian atas sebagai atap bangunan, bagian
tengah sebagai badan bangunan dan bagian bawah sebagai kaki bangunan.
Kebanyakan bangunan ini terbuat dari bahan kayu dan selalu dibangun berdasarkan
lingkungan alam yang ditempatinya. Dari sisi bentuk struktur dan konstruksinya
cenderung memiliki karakteristik yang seragam, dimana bagian atas (atap)
mengalirkan beban ke bagian badan bangunan dan diakhiri pada bagian bawah
melalui struktur kaki bangunan.
Sebagai mahasiswa arsitektur akan lebih baiknya mengenal bangunan tradisional
tidak sekedar mengetahui bentuk bangunannya.Akan lebih baiknya apabila
mengetahui hal-hal terkait bangunan tersebut, seperti kepercayaannya serta
sejarahnya. Dengan pengetahuan tersebut akan menambah kreativitas kita dalam
merancang dan tidak salah paham dalam merencanakan sebuah bangunan.

Pada makalah ini kami akan membahas arsitektur tradisional, khususnya rumah
tongkonan sebagai rumah adat masyarakat toraja. Makalah ini diadaptasi dari
bebagai sumber seperti jurnal yang kami telusuri di jejaring internet. Dengan
makalah ini, sebagai explorasi kami dalam mencari informasi rumah tradisional
yang berada di Indonesia dalam mata kuliah kami yaitu Arsitektur Nusantara.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa itu rumah tongkonan ?

2. Seperti apa asal usul suku toraja?

3. Bagaimana ciri-ciri rumah tongkonan?

1.3 Tujuan

1. Untuk menjelaskan rumah tradisional tongkonan masyarakat toraja

2. Untuk menjelaskan filosofi rumah tongkonan

3. Untuk menjelaskan ciri-ciri rumah tongkonan

1.4 Manfaat

Bagi mahasiswa

Dengan membaca makalah ini diharapkan menambah pengetahuan tentang rumah


tradisional Tongkonan, yang nantinya bisa dijadikan referensi untuk melakukan
perancangan bangunan dan diharapkan bisa menginspirasi dalam membuat desain.
Bagi masyarakat

Dengan membaca makalah ini tentunya akan menambah pengetahuan masyarakan


akan salah satu rumah adat, yaitu rumah tongkonan masyarakat toraja.

1.5 Sistematika pembahasan

Bab I Membahas mengenai latar belakang, permasalahan, tujuan, manfaat, dan


sistematika pembahasan yang digunakan pada makalah ini.

Bab II membahas Kajian Pustaka

Bab III membahas metode yang penulis gunakan dalam merancang makalah

Bab IV berisi deskripsi kasus studi seperti lokasi, kebudayaan,konsep rumah.

Bab V berisi analisa dari teori-teori yang sudah disajikan pada bab II

Bab VI kesimpulan dari seluruh pembahasan di bab sebelumnya yang mampu


menjawab pertanyaan di rumusan masalah.
Bab II

Kajian Pustaka

2.1 Arsitektur Vernakular

Di Indonesia, arsitektur vernakular berkembang karena kritik dari seorang arsitek


Belanda terhadap bangunan di Indonesia yang sangat menjiplak arsitektur Eropa.
Beliau menghimbau kepada para arsitek di Hindia Belanda (Indonesia) untuk mulai
menaruh perhatian pada arsitektur inlander. Arsitektur neo-vernakular berkembang
pada era postmodern, dimana merupakan pengembangan dari arsitektur modern
yang dianggap sudah tidak dapat berkembang lagi. Menurut Charles Jenks (1990)
dalam bukunya berjudul “Language of Post-Modern Architecture” menjelaskan
terdapat 5 ciri dari arsitektur neo-vernakular sebagai berikut:

a) Penggunaan atap bumbungan diibaratkan sebagai pelindung dan penyambut


dibanding tembok yang dianggap sebagai permusuhan

b) Penggunaan batu bata pada era Victorian abad ke 19 (arsitektur barat)

c) Penggunaan kembali bentuk tradisional ramah lingkungan

d) Kesatuan antara interior yang terbuka dengan ruang terbuka pada eksterior

e) Penggunaan warna yang kontras (Indarti, 2015)

Arsitektur neo-vernakular mulai berkembang di Indonesia, salah satunya adalah


arsitektur Toraja. Arsitektur Toraja sendiri mulai ada dan berkembang sejak para
pelayar Cina datang ke Indonesia tepatnya ke Sulawesi Selatan. Dalam buku
“Toraja Simbolisme Unsur Visual Rumah Tradisional” arsitektur Toraja terdiri dari 5
bagian sebagai berikut (Said, 2004):

a) Pandangan kosmologi secara horizontal

b) Pandangan kosmologi secara vertical

c) Pola peruangan Tongkonan

d) Ragam hias

e) Elemen pelengkap

Teori ciri arsitektur neo-vernakular dan teori arsitektur Toraja tersebut kemudian
digunakan sebagai kriteria desain dalam membuat Hotel Resor dan memunculkan
delapan kriteria desain, antara lain

1. Penggunaan batu bata pada era Victorian abad ke 19,

2. penggunaan kembali bentuk tradisional ramah lingkungan,

3. Kesatuan antara interior yang terbuka dengan ruang terbuka pada eksterior,

4. Pandangan kosmologi secara horizontal,

5. Pandangan kosmologi secara vertical,

6. Pola peruangan Tongkonan,

7. Ragam hias, dan

8. Elemen pelengkap. Arsitektur Neo-Vernakular tidak menerapkan kaidah


vernakular secara utuh tetapi menampilkan visual lebih modern dan teta
melestarikan unsur lokal (Saputra, 2019).
2.2 Arsitektur tradisional

Menurut Amos Rapoport (1960), Arsitektur tradisional merupakan bentukan


arsitektur yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Mempelajari
bangunan tradisional berarti mempelajari tradisi masyarakat yang lebih dari sekadar
tradisi membangun secara fisik. Masyarakat tradisional terikat dengan adat yang
menjadi konsesi dalam hidup bersama.

Arsitektur tradisional adalah arsitektur yang tumbuh dan berkembang dari


arsitektur rakyat,yang lahir dari masyarakat etnik dan berakar pada tradisi etnik.
Arsitektur tradisonal merupakan Proses pewarisan yang telah mengalami stagnasi
‘generasi penerus.Yang terpenting adalah menyadarkan masyarakat akan makna
dan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam karya tradisional itu.

Di masa lalu arsitektur tradisional merupakan bagian dari kebijakan dan kearifan
pembangunan ruang hidup masyarakatnya. Keberadaannya lekat dengan hidup
keseharian masyarakat tradisional yang masih menganut tata kehidupan kolektif.
Ada keserasian dan keselarasan antara makro kosmos (alam semesta) dan mikro
kosmos (bangunan) yang harus selalu dipelihara. Oleh karena itu, para arsitek
tradisional sangat menghormati dan menghargai alam dengan menciptakan karya-
karya arsitektur yang sarat berwawasan lingkungan.

Arsitektur tradisional juga mengalami proses pembaharuan, yang berawal


semenjak terjalinnya hubungan antara kerajaan di Jawa dengan berbagai kerajaan
di Nusantara Dari segi arsitektur perubahn terbatas pada ragam hias rumah-rumah
tradisional Belanda menampakkan bukti besarnya pengaruh arsitektur barat pada
keseluruhan bentuk arsitektur tradisional di berbagai wilayah budayaPembaharuan
tata ruang dalam yang disesuaikan dengan dinamika kehidupan modern, membuat
bangunan tradisional tetap menjadi tempat bernaung yang nyaman bagi
penghuninya Proses pembaharuan berlanjut hingga kini, dalam upaya mencari
bentuk yang selaras dengan pola kehidupan masyarakatnya

2.1 Arsitektur Suku Toraja

Suku Toraja dapat kita temukan di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan.
Sampai saat ini suku Toraja masih banyak yang menetap di Kabupaten Tana Toraja,
Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa.
Ada beberapa pendapat tentang asal-usul nama Toraja. Orang Bugis-Sidenreng
menyebutnya dengan nama to riajang yang artinya ‘orang yang berdiam di negeri
atas atau pegunungan. Masyarakat Luwu pada zaman Belanda menamakannya to
riaja yang berarti orang yang berdiam di sebelah barat. Sementara itu, versi lain
menyebutkan toraja berasal dari toraya. Asal katanya to dari tau yang berarti ‘orang’
dan raya dari kata marauyang berarti besar’. Jadi, toraya bermakna orang besar
atau bangsawan (Weni Rahayu).1

Bagi masyarakat Toraja, arah mata angin dianggap sebagai sesuatu yang
sakral. Hal itu berkaitan dengan kepercayaan yang mereka anut. Berikut ini
pembagian mata angin yang berhubungan dengan kepercayaan mereka.

1. Bagian utara (ulunna langi’) merupakan kepala langit tempat bersemayamnya


Puang Matua (Sang Pencipta).

2. Bagian Timur (mata allo) merupakan titik energi asal munculnya matahari.
Arah timur dianggap sebagai sumber kebahagiaan dan kehidupan. Pada
bagian inilah tiga kelompok Deata berada.

3. Bagian Barat (matampu) merupakan tempat matahari terbenam yang


dianggap sebagai lawan dari kehidupan. Arah Barat merupakan titik kematian
dan kesusahan.

4. Bagian selatan (pollo’na langi’) atau pantat langit merupakan lawan dari
tempat Puang Matua berdiam. Selatan dianggap sebagai sumber hal-hal
yang tidak baik atau angkara murka.

1
(Weni Rahayu) dalam bukunya yang berjudul suku toraja
Beberapa tingkatan sosial yang terdapat di dalam suku Toraja
(Tangketasik, 2010).

3.1 Tana’ Bulaan (Tingkatan Emas)


Tana’ bulaan adalah kasta keturunan bangsawan. Mereka biasanya menjabat
sebagai ketua atau perangkat adat, termasuk Puang, Pong, Ma’dika, Sokko
Kayu, Siambe’, dan Siindo. Golongan bangsawan ini sejak dulu memegang
peranan dan kekuasaan di dalam masyarakat. Mereka juga menguasai tanah
pertanian dan peternakan. Kapa’ (mahar pernikahan yang harus dibayar
setelah terjadi perceraian) berjumlah 6-12 ekor kerbau.
3.2 Tana’ Bassi (Tingkatan Besi)
Tana’ bassi adalah kasta keturunan bangsawan menengah. Tingkatan ini
dikenal juga dengan nama Tomakaka. Mereka biasanya menduduki jabatan
sebagai pembantu di dalam lembaga adat. Di antaranya sebagai Anak
Patalo/Tobara dan To Parenge. pernikahan golongan ini berjumlah 4-8 ekor
kerbau.

3.3 Tana’ Karurung (Tingkatan Ijuk/Enau)


Tana’ Karurung adalah kasta masyarakat biasa atau orang merdeka. Mereka
biasanya menjabat petugas/pembina sebagai padang (kepala dusun) dengan
gelar To Indo. Umumnya mereka menjadi buruh tani pada keluarga
bangsawan karena mereka tidak memiliki lahan pertanian. pernikahannya
berjumlah 2-4 ekor kerbau

3.4 Tana’ Kua-Kua (Tingkatan Rumput)


Tana’ kua-kua adalah kasta hamba sahaya atau keturu-nannya. Kasta ini
dikenal juga dengan nama to ma’ pariu. Artinya, orang yang disuruh bekerja
atau mengolah tanah pertanian yang kehidupannya bersama keluarganya
dijamin oleh tuannya. Mereka hanya berhak mengerjakan tugas to mebalun
(orang yang menyelenggarakan urusan jenazah yang masih berada di dalam
rumah). Golongan ini wajib mengabdi sepenuhnya kepada tana’ bulaan dan
tana’ bassi. Tana’ bulaan dan tana’ bassi pun mempercayai mereka karena
sumpah turun-menurun.

Bab III

Metode

Jenis Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif
deskriptif. Menurut Sugiyono (2016:9) metode deskriptif kualitatif adalah metode
penelitian yang berdasarkan pada filsafat postpositivisme digunakan untuk meneliti
pada kondisi objek yang alamiah (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana
peneliti adalah sebagai instrument kunci teknik pengumpulan data dilakukan secara
trigulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian
kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi. Penelitian deskriptif
kualitatif bertujuan untuk menggambarkan, melukiskan, menerangkan,menjelaskan
dan menjawab secara lebih rinci permasalahan yang akan diteliti dengan
mempelajari seorang individu, suatu kelompok atau suatu kejadian.
Bab IV

Rumah Tongkonan Masyarakat Toraja

3.1 RumahTongkonanToraja.

KabupatenToraja Utara

Toraja Utara merupakan salah satu kabupaten di provinsi Sulawesi Selatan.


Kabupaten Toraja Utara dengan ibu kota Rantepao, secara astronomis terletak
antara 20-30 Lintang Selatan dan 1190-1200 Bujur Timur, dengan batas-batas
wilayah : Sebelah utara berbatasan dengan kabupaten Luwu dan provinsi Sulawesi
Barat.Sebelah selatan berbatasan dengan kabupaten Tana Toraja ; Sebelah timur
berbatasan dengan kota Palopo dan kabupatenLuwu. Sebelah barat berbatasan
provinsi Sulawesi Barat.

Luas wilayah kabupaten Toraja Utara 1.151,47km2. Secara administrasi


pemerintahan kabupaten Toraja Utara terdiri atas:21 kecamatan yaitu : kecamatan
Sopai, Kesu, Sanggalangi, Buntao, Rantebua, Nanggala, Tondon, Tallanglipu,
Rantepao, Tikala, Sesean, Balusu, Sa’dan, Bangkelekila, Sesean, SeseanSuloara,
Kapalapitu, DendePiongan Napo, Awan RanteKarua, Rindingallo, BuntuPepasan,
dan Baruppu. Ke-21 kecamatan tersebut terbagi atas : 111 lembang/desa dan 40
kelurahan. Berdasarkan topografinya, kabupatenToraja Utara terletak pada dataran
tinggi (500-2.500 m dpl) dengan topografi berbukit-bukit sampai bergunung-gunung.
Toraja Utara tidak memiliki laut. Secara tradisional kabupaten Toraja Utara terbagi
atas 12 wilayah adat, yaitu : wilayah adatKesu, Buntao, Rantebua, Tondon,
Nanggala, Balusu, Sa’dan, Tikala, Pangalla, Dende’, Piongan, dan Madandan.
Walaupun secara umum adat istiadat dan tradisi pada masing-masing wilayah adat
tersebut sama karena berasal dari sumber peradaban yang sama yaitu peradaban.

3.2 Tradisi Masyarakat Toraja

 Rambu Solo

Rambu solo' merupakan tradisi pemakaman ala SukuToraja. Upacara ini digelar
untuk menghormati sekaligus menghantarkan arwah menuju alam akhirat melalui
serangkaian ritual dan doa.

 Tinggoro Tedong

Tradisi ini sebetulnya rangkaian dalam upacara kematian khas orang Toraja
(rambu solo'). Yaitu mempertontonkan prosesi penyembelihan kerbau yang
dilakukan dengan satu kali tebas saja.

Menurut kepercayaan leluhur orang Toraja atau yang disebut dengan Aluk Todolo,
kerbau merupakan hewan tunggangan bagi arwah jenazah untuk menempuh
perjalanannya menuju puya atau alam akhirat. Meski tergolong sadis, tradisi
ma'tinggoro tedong ini mampu menarik minat para wisatawan lokal hingga manca
negara.

 SilagaTedong

Seperti tinggoro tedong, silaga tedong atau adu kerbau ini juga merupakan satu
dari serangkaian acara yang digelar dalam prosesi rambu solo'. Tujuannya untuk
memberikan hiburanbagi keluarga yang berduka, sekaligus sebagai ajang
pertunjukan bagi ratusan para pelayat yang datang.

Untukmenambahkeseruan, lokasiadukerbaudilakukan di lapangan yang basah dan


becekatau di areal sawah yang berlumpur. Kerbau-kerbau yang diaduini juga
bukansembarangkerbau. Hanyakerbaudenganjenistertentu dan hargajualnya yang
terbilangfantastislah yang bisaikutbermain.

 Sisemba'

Tradisi sisemba' adalah permainan adu kaki yang dilakukan oleh anak-anak hingga
orang dewasa pada saat merayakan panen raya. Tradisi ini dilakukan di lapangan
atau di tempat terbuka dan biasanya mempertemukan dua kubu yang berasal dari
dua desa yang bersebelahan.

 Ma'Nene'

Tradisi SukuToraja selanjutnya adalah mengganti pakaian dan merias jasad


keluarga yang telah lama dikuburkan atau yang dikenal dengan sebutan ma'nene'.
Tradisi takbiasa ini kerap dilakukan oleh masyarakat desa baruppu Toraja utara
setiap 3 tahun sekali setelah panen besar di bulan Agustus.

3.3 Konsep Bangunan

Tongkonan berasal dari kata yang artinya tempat duduk, atau rumah pusaka yang
diwariskan secaraturun-temurun. Tongkonan merupakan tempat berkumpul atau
pertemuan keluarga dan masyarakat di lingkungan masyarakat sekitarnya. Dalam
arti luas Tongkonan adalah tempat memusyawarahkan sesuatu atau tempat
menyelesaikan masalah-masalah adat yang terjadi di masyarakat. Tongkonan juga
merupakan istana bagi Penguasa Adat dan pusat pertalian keluarga. Menurut
pandangan kosmologi arah Tongkonan di Toraja selalu menghadap keutara, kearah
ulunna lino (kepala dunia). Tata hadap dan penempatanTongkonan di dalam
lingkungannya berdasarkan Puang Matua, Deata-deata dan TomembaliPuang,
bertujuan untuk menjadikan Tongkonan sebagai tempat yang sakral dalam
menjalankan konsep kepercayaan AlukTodolo.

Tongkonan merupakan rumah panggung persegi empat panjang yang dibuat agar
penghuni tidak mudah diganggu binatang buas maupun musuh. Berdasarkan
struktur vertikalnya, bangunan rumah adat Toraja terbagi atas tiga bagian utama
yaitu :bagian kaki (kolong) Tongkonan yang disebut sulluk banua merupakan kolong
bangunan rumah yang terbentuk oleh hubungan antara tiang-tiang dari kayu dan
berbentuk empat persegi

Transformasi Metafora Bentuk Tanduk Kerbau Rumah Tradisiona lToraja


Tongkonan layuk merupakan rumah adat tradisional Toraja yang tertua.
TongkonanLayuk (tongkonan berarti rumah, layuk berarti mulia) artinya rumah
pusaka yang luhur.
Bab V
Analisa Dan Pembahasan
4.1 AnalisaBerdasarkan Teori
Berdasarkan analisis yang dilakukan dengan pedoman kriteria ciri neo-vernakular
dan arsitektur Toraja pada bangunan, dapat disimpulkan bahwa tidak semua ciri
neo-vernakular menurut Charles Jenk dapat diterapkan pada bangunan. Selain itu
beberapa komponen dari arsitektur Toraja tidak dapat diaplikasikan, yaitu ragam
hias dan elemen pelengkap. Hal tersebut dikarenakan terdapat makna dan filosofi
yang diantaranya kurang relevan jika diterapkan pada bangunan. Ide desain yang
telah dirancang dapat menyelesaikan permasalahan desain yaitu kurangnya sarana
akomodasi di Tana Toraja yang dapat mempertahankan ciri khas bangunan Toraja
dengan penggabungan unsur modern. Penerapan kriteria ciri neo-vernakular dan
arsitektur Toraja di Tana Toraja diharap mampu mendukung pengenalan
kebudayaan, adat isitadat serta keindahan alam di Toraja, baik domestik maupun
manca Negara.

4.2 Kasus Studi


 Dalam pembangunan tongkonan sistem struktur yang digunakan adalah
sistem konstruksi pasak Dalam pandangan agama leluhur Aluk To Dolo,
struktur tongkonan dibagi menjadi tiga bagian utama. Ketiga bagian tersebut
adalah bagian bawah atau kaki (sallu banua), bagian tengah atau badan (kale
banua), dan bagian atas (rattiang banua).
1. Bagian Bawah atau Kaki (Sallu Banua)
Dalam kepercayaan orang Toraja sallu banua disebut se-bagai dunia bawah.
Fungsinya adalah sebagai kandang kerbau atau babi. Bagian ini merupakan
kolong rumah yang terdiri atas pondasi, kolom atau tiang (a’riri), balok, dan
tangga.
a) Pondasi
Pondasi terbuat dari batuan gunung yang disebut batu paradangan. Di atas
batu tersebut diletakkan kolom/tiang penyangga tongkonan tanpa adanya
pengikat.
b) Kolom/Tiang (A’riri)
Kolom pada banua tongkonan berbentuk persegi empat dan terbuat dari
kayu uru. Sementara itu, kolom pada alang berbentuk bulat dan terbuat dari
kayu nibung atau bangah, yaitu sejenis pohon palem. Perbedaan bentuk
tersebut menunjukkan perbedaan fungsi bangunan. Tongkonan di-gunakan
untuk manusia, sedangkan alang digunakan untuk barang (padi). Pada
bagian tengah sallu banua terdapat tiang simbolis yang berfungsi sebagai
pusat rumah atau ibu tiang. Letaknya di tengah agak ke belakang dengan
ukuran 22x22 cm. Tiang tersebut bernama a’riri (tonggak) possi (pusat) atau
tonggak pusat. Tiang tersebut merupakan lambang menyatunya manusia
dengan bumi. Keberadaannya mudah dikenali mudah dikenali dari hiasan
ukirannya.
c) Balok
Balok merupakan pengikat antara kolom-kolom sehingga dapat mencegah
terjadinya pergeseran tiang dengan pondasi. Untuk menghubungkan balok
dengan kolom digunakan sambungan pasak, bukan dari paku atau baut.
Pada tongkonan baloknya berjumlah 3 buah, sedangkan pada alang
berjumlah 1 buah, yaitu sebagai pengikat pada bagian bawah. Bahan yang
digunakan untuk membuat balok adalah kayu uru. d. Tangga Pada bagian
sallu banua juga terdapat sebuah tangga untuk naik ke tongkonan. Biasanya
tangga terletak di bagian kanan rumah. Tangga tersebut dibuat dari bahan
kayu uru.

d) Tangga
Pada bagian sallu banua juga terdapat sebuah tangga untuk naik ke
tongkonan. Biasanya tangga terletak di bagian kanan rumah. Tangga
tersebut dibuat dari bahan kayu uru.

2. Bagian Badan Rumah (Kale Banua)


Dalam kepercayaan orang Toraja kale banua disebut seba-gai dunia tengah (lino).
Fungsinya sebagai tempat untuk me-lakukan kegiatan sehari-hari. Kegiatan tersebut
menyangkut seluruh segi kehidupan manusia dalam hubungannya dengan

alam semesta. Bagian kale banua terdiri atas lantai, dinding, pintu, dan jendela.
1) Lantai
Lantai pada tongkonan disusun di atas pembalokan lantai. Arahnya
memanjang sejajar dengan balok utama. Bahan yang digunakan adalah
papan kayu uru. Sementara itu, bahan lantai pada alang terbuat dari kayu
palem atau banga.
2) Dinding
Dinding pada tongkonan disusun satu sama lain dengan sambungan pada
sisi-sisi papan. Pengikat utamanya ber-nama sambo rinding. Untuk dinding
yang berfungsi sebagai rangka, bahannya menggunakan kayu uru atau kayu
kecapi. Sementara itu, dinding pengisinya menggunakan bahan kayu enau.
Dinding bagian luar dipenuhi ukiran dengan berbagai motif. Sementara
dinding bagian dalam tidak menggunakan ukiran.
3) Pintu
Pintu di banua tongkonan dapat ditemukan pada ruang sali. Fungsinya
sebagai tempat keluar masuk penghuni. Selain itu, pintu juga berfungsi
sebagai jalan keluar jenazah pada saat pemakaman. Biasanya letak pintu
masuk berada di sebelah utara atau timur. Hal itu berkaitan dengan
kepercayaan Aluk todolo yang mereka anut. Utara dipercaya memiliki arti
kebaikan. Nenek moyang mereka berasal dari arah utara. Angin pun selalu
datang dari arah utara. Sementara itu, arah timur berarti kebahagiaan dan
keceriaan. Hal itu sesuai dengan arah terbitnya matahari yang berasal dari
sebelah timur.
4) Jendela (Pentiroan)
Jendela berfungsi sebagai tempat masuknya aliran angin dan cahaya
matahari dari berbagai arah mata angin. Setiap tongkonan umumnya memiliki
delapan buah jendela. Di setiap arah mata angin masing-masing terdapat dua
jendela.

3. Bagian Atas atau Kepala (Rattiang Banua)

Bagi masyarakat Toraja rattiang banua diyakini sebagai tempat Puang Matua
sehingga dianggap suci. Bagian ini merupakan penutup seluruh struktur rumah.
Fungsinya adalah sebagai tempat barang-barang seperti peralatan rumah tangga,
kain, dan sebagainya.
Bagian rumah yang terdapat pada rattiang banua adalah atap. Atap tongkonan
dibuat dari bambu pilihan yang disusun tumpang tindih. Bambu-bambu tersebut
dikait oleh beberapa reng bambu dan diikat dengan tali bambu/rotan. Model susunan
seperti itu dapat mencegah masuknya air hujan melalui celah-celah. Selain itu, dapat
berfungsi sebagai ventilasi pada tongkonan yang tidak memiliki celah pada
dindingnya.Susunan bambu diletakkan di atas kaso yang terdapat pada

rangka atap. Jumlah susunan berkisar antara 3-7 lapis. Setelah itu disusun
mengikuti bentuk rangka atap sehingga membentuk seperti perahu. Jumlah
lapisannya tidak ditentukan.

Bagian ujung-ujung atap yang menjorok ke depan dan ke belakang disebut longa.
Dengan longa yang agak mengecil pada bagian ujungnya membuat atap banua
tongkonan dan alang menjadi unik dan indah. Longa disangga oleh tiang tinggi yang
disebut tulak somba. Pada tulak somba inilah biasanya dipasang tanduk kerbau
yang dikorbankan pada saat upacara kematian.
Bab VI

Kesimpulan

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian dari hasil penelitian dan analisis data yang telah dilakukan
maka dapat disimpulkan bahwa:

 Tongkonan berasal dari kata yang artinya tempat duduk, atau rumah pusaka
yang diwariskan secaraturun-temurun. Tongkonan merupakan tempat
berkumpul atau pertemuan keluarga dan masyarakat di lingkungan
masyarakat sekitarnya. Dalam arti luas Tongkonan adalah tempat
memusyawarahkan sesuatu atau tempat menyelesaikan masalah-masalah
adat yang terjadi di masyarakat. Tongkonan juga merupakan istana bagi
Penguasa Adat dan pusat pertalian keluarga. Menurut pandangan kosmologi
arah Tongkonan di Toraja selalu menghadap keutara, kearah ulunna lino
(kepala dunia). Tata hadap dan penempatanTongkonan di dalam
lingkungannya berdasarkan Puang Matua, Deata-deata dan
TomembaliPuang, bertujuan untuk menjadikan Tongkonan sebagai tempat
yang sakral dalam menjalankan konsep kepercayaan AlukTodolo.

 Ada beberapa pendapat tentang asal-usul nama Toraja. Orang Bugis


Sidenreng menyebutnya dengan nama to riajang yang artinya ‘orang yang
berdiam di negeri atas atau pegunungan. Masyarakat Luwu pada zaman
Belanda menamakannya to riaja yang berarti orang yang berdiam di sebelah
barat. Sementara itu, versi lain menyebutkan toraja berasal dari toraya. Asal
katanya to dari tau yang berarti ‘orang’ dan raya dari kata marauyang berarti
besar’. Jadi, toraya bermakna orang besar atau bangsawan.
 Secara fisik tongkonan merujuk pada rumah adat masyarakat suku Toraja.
Sebagaimana rumah adat daerah lain, tongkonan juga memiliki cirri khas
yaitu rumah panggung yang berbentuk persegi panjang. Bahan utamanya
terbuat dari lembaran papan dan batang kayu. Jenis kayu yang digunakan
adalah kayu uru yang merupakan tanaman lokal dari Sulawesi. Kayu uru
memiliki kualitas yang sangat baik. Laluciri khas selajutnya berada pada
bagian atap yang berbentuk melengkung seperti perahu dengan kedua ujung
atap menjulang. Sekilas bentuknya mirip dengan rumah adat bolon dari
Sumatra Utara, Bahan atapnya adalah tumpukan bilah bambu yang bagian
atasnya dilapisi rumbia, alang-alang, ijuk, atau seng. Ciri khas selanjutnya
terdapat Pada tiang utama (tulak somba) di bagian depan terdapat rangkaian
tanduk kerbau. Tanduk-tanduk kepala kerbau disusun berjajar dari atas ke
bawah. Tanduk kerbau tersebut berasal dari pengorbanan saat upacara
penguburan anggota keluarga. Jumlah tanduk kerbau melambangkan
kemampuan ekonomi sang pemilik rumah. Hal itu juga menunjukkan tingginya
derajat keluarga yang mendiami rumah tersebut. Semakin banyak tanduk
yang terpasang, semakin tinggi pula status sosial keluarga pemilik rumah
tongkonan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Rahayu, Weni. suku toraja . jakarta : s.n., 2017.

2. Kenyamanan Termal Pada Bangunan Hunian Tradisional Toraja. Alahudin, Muchlis. Papua : s.n.,
2012, Vol. 1 No 2.

3. Perwujudan Konsep Dan Nilai-Nilai Kosmologi Pada Bangunan Rumah Tradisional Toraja .
Mashuri. Sulawesi Tengah : s.n., 2010, Vol. 2 No 1.

Anda mungkin juga menyukai