Anda di halaman 1dari 40

MAKALAH

Mata Kuliah :
PENGETAHUAN KEPASIFIKAN
(ARS 1182)
Judul Tugas :

PERAN ARSITEKTUR TERHADAP BANGUNAN KHAS BIARA


BUDDHA VIHARA BUDDHAGAYA WATUGONG DI
KAWASAN PASIFIK
Dosen Pengajar :
Dwight Mooddy Rondonuwu, ST, MT

Mahasiswa / Nim :
Ray Andrew Stachys Tingginehe
220211020051

UNIVERSITAS SAM RATULANGI


FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM STUDI ARSITEKTUR
MANADO
2023

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan makalah tentang “Peran Arsitektur Terhadap Bangunan Khas
Biara Buddha Vihara Buddhagaya Watugong Di Kawasan Pasifik”

Tidak lupa juga saya mengucapkan terima kasih kepada bapak Dwight M. Rondonuwu
ST, MT, selaku dosen pengampu mata kuliah Pengetahuan Kepasifikan yang telah memberikan
bimbingan selama pembuatan Makalah dan semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini.

Saya berharap semoga makalah yang saya susun ini memberikan manfaat dan juga
inspirasi untuk pembaca. Sebagai penyusun, saya menyadari bahwa masih terdapat kekurangan
dalam penyusunan maupun tata bahasa penyampaian dalam makalah ini. Oleh karena itu, saya
sangat mengharapkan saran dan kritik dari pembaca agar saya dapat memperbaiki makalah ini.

Manado, Mei 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR....................................................................................................................i
DAFTAR ISI..................................................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR....................................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1
1.1 Latar Belakang..............................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.........................................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan...........................................................................................................2
1.4 Manfaat Penulisan.........................................................................................................3
BAB II LANDASAN TEORI....................................................................................................4
2.1 Teori Arsitektur.............................................................................................................4
2.1.1 Pengertian Arsitektur........................................................................................5
2.1.2 Sejarah Arsitektur.............................................................................................6
2.1.3 Arsitektur Indonesia..........................................................................................8
2.1.4 Arsitektur dan Kearifan Lokal........................................................................14
2.2 Teori Kepasifikan.......................................................................................................15
2.2.1 Peran Arsitektur Lokal....................................................................................15
2.2.2 Arsitektur Regional.........................................................................................16
BAB III PEMBAHASAN .......................................................................................................18
2.1 Sejarah Perkembangan Vihara Buddhagaya Watugong.............................................18
2.1.1 Watugong........................................................................................................20
2.2 Keunikan Bangunan Vihara Buddhagaya Watugong.................................................20
2.2.1 Pagoda Avalokitesvara....................................................................................20
2.2.2 Dhammasala....................................................................................................22
ii
BAB IV PENUTUP..................................................................................................................32
3.1 Kesimpulan.................................................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................................34

iii
DAFTAR GAMBAR
Halaman

Gambar 1. Vihara Buddhagaya Watugong


Gambar 2. Arsitektur Bangunan Tradisional di Indonesia
Gambar 3. Candi Borobudur di Jawa Tengah
Gambar 4. Candi Prambanan di Jawa Tengah
Gambar 5. Masjid Menara Kudus di Jawa Tengah
Gambar 6. Gedung Sate di Bandung
Gambar 7. Museum Tsunami Aceh
Gambar 8. Lokasi Vihara Buddhagaya Watugong di Kota Semarang
Gambar 9. Pagoda Avalokitesvara
Gambar 10. Dhammasala
Gambar 11. Watugong
Gambar 12. Plaza Borobudur
Gambar 13. Kuti Meditasi
Gambar 14. Kuti Bhikku
Gambar 15. Taman Bacaan Masyarakat
Gambar 16. Buddha Parinibbana
Gambar 17. Abhaya Mudra
Gambar 18. Pohon Bodhi

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bangunan bernilai sejarah di Dunia merupakan ruang karya manusia terhadap
display material, teknologi dan gaya kontruksi. Ditinjau dari keberadaan bangunan
bersejarah terdapat beberapa nilai-nilai yang tersampaikan secara estetik, spiritual, sosial,
simbolis serta otentik dapat dilihat dari bentuk eksterior maupun interior bangunan.
Indonesia memiliki banyak bangunan bersejarah sebagai bukti warisan nenek moyang
yang bisa dinikmati dan diapresiasi oleh semua kalangan saat ini. Vihara Buddhagaya
Watugong merupakan salah satu bangunan bersejarah di Indonesia yang biasa juga
dikenal dengan nama Klenteng Watugong.
Vihara Buddhagaya Watugong atau juga dikenal dengan nama Vihara
Buddhagaya merupakan salah satu tempat ibadah agama Buddha yang terletak
di Pudakpayung, Banyumanik, Semarang, Jawa Tengah. Lokasi tepatnya berada di depan
Markas Kodam IV/Diponegoro. Vihara ini dipercaya sebagai vihara pertama di Indonesia
yang dibuat sekitar tahun 1950 setelah runtuhnya kerajaan Majapahit.

Gambar 1. Vihara Buddhagaya Watugong

1
(Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Vihara_Buddhagaya_Watugong, 2023)

Pada mulanya Vihara Buddhagaya hanya digunakan sebagai tempat ibadah.


Namun, dengan melihat arsitektur bangunan yang sangat kental dengan
etnik Tiongkok dan Thailand, sehingga akhirnya Vihara ini juga dikembangkan menjadi
objek dan daya tarik wisata. Desain arsitekturnya yang indah, membuat Pagoda
Budhagaya Watugong ini begitu dikagumi oleh berbagai kalangan.
Komplek Vihara Buddhagaya Watugong tersebut terdiri dari dua bangunan utama yaitu
Pagoda Avalokitesvara yang berasal dari Tiongkok Cina dan Dhammasala berasal dari
Thailand dengan bentuk bangunan yang berbeda dan sangat mencolok. Bangunan-
bangunan di komplek vihara tersebut antara lain terdiri dari : Dhammasala, Pagogda
Avalokitesvara, Watugong, Plaza Borobudur, Kuti Meditasi, Kuti Bhikku, Taman bacaan
masyarakat, Buddha Parinibana, Abhaya Mudra dan Pohon Bodhi. Vihara ini menjadi
salah satu kebanggaan bagi warga Kota Semarang pada khususnya dan Jawa Tengah pada
umumnya.
Di arsitektur vihara, vihara biasanya memiliki ciri-ciri yang sama dalam warna,
interior, suasana, elemen pembentuk ruang, dan elemen estetika. Dalam warna, vihara
biasanya warna yang paling mendominasi yaitu warna merah yang berarti kegembiraan
dan bersifat mengundang dan juga warna emas yang berarti tertinggi. Dalam interior,
biasanya vihara memiliki interior yang bercorak budaya cina seperti penonjolan struktur,
konstruksi atap menggunakan balok kayu, dan ukiran-ukiran yang menggambarkan
simbol-simbol tertentu.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana sejarah berdirinya Vihara Buddhagaya Watugong di Kota Semarang ?
2. Apa yang menjadi daya tarik bangunan Vihara Buddhagaya Watugong?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Memberikan informasi mengenai perkembangan bangunan bersejarah Vihara
Buddhagaya Watugong.
2. Memberikan informasi apa yang menjadi daya Tarik pada bangunan Vihara
Buddhagaya Watugong.

2
1.4 Manfaat Penulisan
1. Untuk memberikan pengetahuan secara umum kepada pembaca tentang sejarah
perkembangan Vihara Buddhagaya Watugong.
2. Untuk mengetahui makna dan keunikan yang ada pada bangunan Vihara Buddhagaya
Watugong.

3
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Teori Arsitektur


Teori adalah ungkapan umum tentang apakah arsitektur itu, apa yang harus
dicapai dengan arsitektur, dan bagaimana cara yang paling baik untuk merancang. Teori
berguna bagi para arsitek pada bergabgai tahap dalam proses perancangan dan dapat
diterapkan pada banyak tipe bangunan.
Menurut Attoe dalam buku Pengantar Arsitektur (James C. Snyder, 1979) teori-
teori tentang apakah sebenarnya arsitektur itu meliputi identifikasi variable-variabel
penting seperti ruang, struktur, atau proses-proses kemasyarakatan yang dengan
pengertian demikian bangunan seharusnya dilihat atau dinilai.
Menurut Edward Robbins yang dikutip oleh Iwan Sudrajat (1999), berdasarkan
lingkup problematisasinya, teori arsitektur dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok,
yakni:
1. Theory in Architecture:
Umumnya mengamati aspek-aspek formal, tektonik, struktural, representasional,
dan prinsip-prinsip estetika yang melandasi gubahan arsitektur, serta berusaha
merumuskan dan mendefinisikan prinsip-prinsip teoritis yang praktis yang penting
bagi penciptaan desain bangunan yang baik. Teori yang superfisial, deskriptif dan
preskriptif, kurang dilandasi oleh interpretasi dan pemahaman kritis yang dalam.
2. Theory of Architecture:
Berusaha menjelaskan bagaimana para arsitek mengembangkan prinsip-prinsip
dan menggunakan pengetahuan, teknik dan sumber-sumber dalam proses desain
dan produksi bangunan. Isu pokok disini bukanlah prinsip-prinsip umum yang
memandu desain, tetapi bagaimana dan mengapa arsitek mendesain,
menggunakan media, dan bertindak; serta mengapa diantara mereka bisa terjadi
keragaman historis maupun budaya.

4
3. Theory about Architecture:
Bertujuan menjelaskan makna dan pengaruh arsitektur , mendudukkan arsitektur
dalam konteks sosial budaya, memerikan bagaimana arsitek bekerja sebagai
produser budaya, atau memahami bagaimana arsitektur digunakan dan diterima
oleh masyarakat. Dengan kata lain, teori ini berusaha menjelaskan bagaimana
arsitektur berfungsi, dipahami dan diproduksi secara sosial budaya.

2.1.1 Pengertian Arsitektur


Pada dasarnya arsitektur adalah ilmu dan seni yang mempelajari mengenai
rancangan bangunan. Menurut Marcus Vitruvius Pollio dalam bukunya yang berjudul
dalam bukunya Ten Books on Architecture (Book I Chapter III), Ilmu dan seni rancang
bangun dalam arsitektur adalah ilmu yang digunakan untuk menciptakan ruang yang
berdasarkan pada 3 (tiga) prinsip yaitu kekuatan (familitas), fungsi (utilitas) dan
keindahan (venustas). Oleh sebab itu, arsitektur identik dengan proses rancang sebuah
bangunan yang memiliki peranan sangat penting dalam menyumbangkan pengetahuan
dan peradaban manusia.
Menurut Francis DK Ching (1979) arsitektur membentuk suatu tautan yang
mempersatukan ruang, bentuk, teknik dan fungsi. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, arsitektur diartikan sebagai “seni dan ilmu merancang serta membuat
konstruksi bangunan” atau “metode dan gaya rancangan suatu konstruksi bangunan.”
Menurut Yulianto Samulyo (2003) arti kata arsitektur dalam tatanan Bahasa Belanda
dan Inggris dapat ditelusuri pengertian dan sekaligus pemahamanya dalam
penggunaanya, sebagaimana berikut ini :
 Arch = lengkung, membentuk lengkung, jenaka dalam istilah ini terdapat beberapa
ciri khas yang muncul yang harus dikuasai oleh penyandangnya yaitu dapat
mengusai permasalahan dengan baik, memberikan nuansa yang penuh jenaka atau
dinamik.
 Archont = pengelola utama atau pemimmpin, dalam istilah sifat yang ditonjolkan
adalah kepemimipinan.
 Architectonish = yang lebih menekankan pada ilmu bangunan atau bangunan
sebagai suatu ilmu istilah ini memberikan sifat bahwa sebuah bangunan

5
mempunyai tampilan yang menunjukan adanya gejala sentuhan teknik atau
teknologi.
 De architectonische = keindahan atau kecantikan dari sebuah kerajaan, nilai
keindahan yang memancar dari sebuah istana pada waktu itu merupakan tolak
ukur bagi suatu keindahan.
 Architraaf = balok utama dari sebuah kerangka mahkota, istilah ini memberi
gambaran tentang peran utama yang diberikan untuk mendukung bagian utama
bangunan.
 Architect = ahli bangunan, yaitu bahwa ia mempunyai kemampuan dalam bidang
teknik, dia juga orang mengusai seni.
Dari beberapa pengertian diatas dapat diambil kesimpulan definisi dari
arsitektur yaitu, arsitektur merupakan seni dan ilmu dalam merancang dan membangun
ruang maupun bangunan beserta fungsi-fungsinya.
2.1.2 Sejarah Arsitektur
Sejarah arsitektur meliputi berbagai perubahan gaya arsitektur melalui periode
sejarah yang berbeda, tren gaya, tren regional, dan perubahan sejarah. Asal-usul gaya
ini umumnya dianggap dengan manusia memenuhi kebutuhan perlindungan dan
tempat tinggal di awal evolusi mereka. Arsitektur lahir dari dinamika antara kebutuhan
(kebutuhan kondisi lingkungan yang kondusif, keamanan, dan sebagainya), dan cara
(bahan bangunan yang tersedia dan teknologi konstruksi). Arsitektur prasejarah dan
primitif merupakan tahap awal dinamika ini. Kemudian manusia menjadi lebih maju
dan pengetahuan mulai terbentuk melalui tradisi lisan dan praktik-praktik, arsitektur
berkembang menjadi ketrampilan. Pada tahap inilah terdapat proses uji coba,
improvisasi, atau peniruan sehingga menjadi hasil yang sukses.
Dari tahun ke tahun arsitektur mangalami perkembangan, dari yang model kuno
hingga model modern seperti saat ini. Perkembangan model ini tak luput dari campur
tangan seorang arsitektur andal yang berani berinovasi hingga akhirnya memunculkan
berbagai model arsitektur. Berikut perkembangan arsitektur dari zaman pra-sejarah
hingga masa kini :

6
1. Pra-sejarah
Pada zaman ini memang belum memiliki catatan tentang teknik arsitektur.
Model pada zaman ini benar-benar sangat sederhana, bahkan biasanya hanya
berupa gua kosong tanpa peralatan.
2. Mesir Kuno
Pada zaman ini, sangat terkenal bangunan berbentuk kerucut yang disebut
dengan Piramida Mesir. Piramida Mesir yang dibuat dengan sederhana tanpa
ukiran-ukiran indah bahkan hanya menggunakan bahan baku berupa batu polos
bewarna serupa dengan pasir yang ada di mesir.

3. Klasik
Bangunan klasik ini berkembang di zaman Yunani Kuno hingga zaman Romawi.
Dengan ciri khas tiang-tiang dengan ukuran dan bentuk yang serupa.

4. Byzantine
Bangunan Byzantine masih berkembang di zaman Yunani Kuno namun
bangunan ini merupakan pengembangan dari bangunan klasik. Bangunan
Byzantine lebih terlihat anggun dari pada bangunan klasik.
5. Romanesque
Bangunan Romanesque masih menggunakan ide dari arsitektur Romawi, bahkan
Romanesque merupakan pengembangan dari Byzantine. Bangunan Romanesque
memiliki ciri khas berupa atap seperti kubah, jendela kecil yang tersebar di
tembok-tembok raksasa, dan memiliki pintu yang besar. Contoh bangunan
Romanesque yaitu Menara Pisa di Italia.
6. Gothic
Bangunan Gothic ini pertama kali di kembangan di Perancis dan tercipta dari
penggabungan dari bangunan Romanesque dan Moorish dari Spanyol. Ciri khas
dari bangunan ini yaitu memiliki atap yang tinggi dan bangunan ini dikelilingi
jendela kaca yang diukir indah serta penambahan patung-patung yang
difungsikan sebagai alat ibadah.
7. Renaissance
Bangunan Renaissance sering disebut dengan lahirnya kembali teknik arsitektur

7
Klasik pada zaman Romawi dan Yunani Kuno. Bangunan ini memfokuskan
pada aturan dan bentuk simetris.
8. Baroque
Bangunan Baroque merupakan teknik pembanguna dengan gaya baru, yaitu
menekankan pada kemewahan. Ornamen-ornamen perhiasan, lukisan estetik,
ukiran yang indah dan besar, serta penekanan kontras warna yang menambah
bangunan Baroque semakin lebih mewah seperti bangunan kerajaan.
9. Neoclassicism
Arsitektur Rennaisance membuat teknik ini, dan mempengaruhi seluruh Eropa
sehingga arsitektur Baroque dan Roccoco berbalik dan mengikuti teknik
Neoclassicism. Bangunan ini memiliki ciri khas berupa bentuk bangunan
simetris, penopang bangunan yang tinggi, atap berbentuk kubah, dan bagian
depan atas bangunan berbentuk segitiga.
10. Art Nouveau
Pada zaman ini arsitektur Neoclassicism beralih dan mulai menekuni gaya Art
Nouveau. Mereka percaya bahwa keindahan sebuah bangunan dapat mudah
ditemukan dari alam. Ciri khas bangunan Art Nouveau yaitu memiliki bentuk
bangunan asimetris, jendela-jendela kaca yang diukir, dan terdapat kepingan
batu.

11. Art Deco Architecture


Bangunan arsitektur ini pertama kali muncul di Perancis setelah peristiwa Perang
Dunia pertama dan mulai terkenal pada tahun 20an. Ciri khas bangunan ini
berbentuk lekukan zig-zag pada bagian sudutnya dan terdapat pilar ilusi sebagai
bagian dari sebuah teknik arsitektur bangunan tersebut.

12. Moderenist Styles in Architecture

Bangunan modern ini berbeda dari bangunan-bangunan pada zaman


sebelumnya. Bangunan ini lebih menekankan pada fungsi dan bersifat minimalis
serta sederhana, tidak ada lagi keindahan yang ditonjolkan pada bangunan-
bangunan sebelumnya.

8
2.1.3 Arsitektur Indonesia
Arsitektur Indonesia dipengaruhi oleh keanekaragaman budaya, sejarah dan geografi
di Indonesia. Para penyerang, penjajah, dan pedagang membawa perubahan
kebudayaan yang sangat mempengaruhi gaya dan teknik konstruksi bangunan.
Asitektur Indonesia terdiri dari klasik-tradisional, vernakular dan bangunan
barukontemporer. Arsitektur klasik-tradisional adalah bangunan yang dibangun oleh
zaman kuno. Arsitektur vernakular juga bentuk lain dari arsitektur tradisional,
terutama bangunan rumahhunian, dengan beberapa penyesuaian membangun oleh
beberapa generasi ke generasi.Arsitektur Baru atau kontemporer lebih banyak
menggunakan materi dan teknik konstruksi baru dan menerima pengaruh dari masa
kolonial Belanda ke era pasca kemerdekaan.
1. Arsitektur Tradisional (Vernakular)
Arsitektur Tradisional (Traditional Architecture) adalah arsitektur yang didapat
dari dengan cara yang sama dan diberikan secara turun temurun dengan sedikit /
tanpa perubahan sering disebut arsitektur berasal dari dua sumber. Pertama adalah
dari tradisi kedaerahan (Bruce Allsop, 1977). Arsitektur tradisional dan vernakular
di Indonesia Hindu besar dibawa ke Indonesia dari India melalui Jawa. Yang
kedua adalah arsitektur pribumi asli. Rumah-rumah vernakular yang kebanyakan
ditemukan di daerah pedesaan dibangun dengan menggunakan bahan-bahan alami
seperti atap ilalang, bambu,anyaman bambu, kayu kelapa, dan batu. Setiap
kelompok etnis biasanya diidentifikasikan dengan gaya rumah tradisionalnya yang
unik, yang dikenal sebagai "rumah adat."

9
Gambar 2. Arsitektur Bangunan Tradisional di Indonesia
(Sumber : Academia.edu, 2023)

Sebagian besar populasi di Indonesia memiliki akar dari warisan Austronesia yang
sama, dan sebagai hasilnya, rumah-rumah tradisional di Indonesia menunjukkan
kesamaan tertentu dengan rumah-rumah yang ditemukan di wilayah Austronesia
lainnya. Struktur arsitektur Austronesia yang paling awal adalah rumah panjang
komunal yang terbuat dari kayu, ditinggikan di atas panggung, dan dicirikan oleh
atap miring yang curam dan atap pelana yang menonjol. Contohnya dapat dilihat
pada rumah adat Batak dan Tongkonan Toraja.

2. Arsitektur Zaman Hindu-Buddha


Arsitektur Hindu-Buddha di Indonesia ditandai oleh bangunan-bangunan seperti
candi, stupa, dan arca yang dibangun selama berabad-abad. Ketika masuknya era
perkembangan Hindu dan Budha, banyak bangunan yang terpengaruh
kepercayaan, sosial, dan budaya. Bangunan dengan gata arsitektur ini dapat
dijumpai seperti bangunan Candi, istana dan kuil-kuil. Pengaruh kebudayaan
Hindu-Buddha dalam bidang arsitektur atau seni bangunan dapat kita lihat
dengan jelas pada candi-candi.Ada beberapa perbedaan fungsi antara candi
dalam agama Hindu dan candi dalam agama Buddha. Dalama gama Hindu, candi
difungsikan sebagaimakam.Adapun dalam agama Buddha, candi berfungsi

10
sebagai tempat pemujaan atau peribadatan. Contohnya adalah Candi Borobudur dan
Candi Prambanan, dua bangunan kuno yang terkenal di Indonesia dua bangunan kuno
yang terkenal di Indonesia. Candi Borobudur, adalah salah satu contoh candi Buddha
terbesar di dunia dan merupakan situs warisan dunia UNESCO. Bangunan ini dibangun
pada abad ke-9 dan berisi 504 arca Buddha serta 2.672 panel relief.

Gambar 3. Candi Borobudur di Jawa Tengah


(Sumber : Wikipedia, 2023)

11
Gambar 4. Candi Prambanan di Jawa Tengah
(Sumber : Wikipedia, 2023)

3. Arsitektur Zaman Islam

Selama abad ke-19, kesultanan-kesultanan di seluruh nusantara mulai memasukkan


pengaruh asing ke dalam arsitektur Islam mereka, sebagai alternatif dari gaya Jawa
yang sudah populer di wilayah tersebut. Gaya Indo-Islam dan Moor mulai disukai,
terutama di Kesultanan Aceh dan Kesultanan Deli. Hal ini terlihat dari desain
arsitektur masjid-masjid penting seperti Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh yang
dibangun pada 1881 dan Masjid Raya Medan yang dibangun pada 1906. Pada era
pasca kemerdekaan, telah terjadi pergeseran yang nyata terhadap pembangunan
masjid yang lebih sesuai dengan gaya Islam global. Kecenderungan ini
mencerminkan gerakan yang lebih luas di Indonesia menuju praktik Islam yang lebih
ortodoks. Akibatnya, desain masjid kontemporer di Indonesia cenderung mengikuti
konvensi arsitektur Islam yang sudah mapan di seluruh dunia.

Gambar 5. Masjid Menara Kudus di Jawa Tengah


(Sumber : Wikipedia, 2023)

4. Arsitektur Kolonial

12
Arsitektur kolonial Belanda di Indonesia dibangun di seluruh Nusantara yang dulu
dikenal sebagai Hindia Belanda. Sebagian besar bangunan era kolonial yang lebih
baik dan permanen terdapat di Jawa dan Sumatra, yang secara ekonomi dianggap
lebih penting selama masa penjajahan Belanda. Arsitektur kolonial didefinisikan
sebagai gaya arsitektur yang menggabungkan antara budaya Barat dengan Timur.
Pada tahun 1624 sampai dengan 1820, gaya kolonial (Dutch Colonial) adalah gaya
rancangan yang cukup terkenal di Belanda; gaya ini dimulai dari keinginan dan usaha
orang Eropa untuk menciptakan daerah jajahan seolah seperti negara asal mereka.
Salah satu contoh arsitektur colonial di Indonesia adalah Gedung Sate di Bandung.
Gedung Sate menunjukkan upaya kolonial untuk mencapai perpaduan arsitektur asli
Indonesia antara Jawa lokal, arsitektur Hindu-Buddha kuno di Indonesia, dan gaya
barat.

Gambar 6. Gedung Sate di Bandung


(Sumber : Wikipedia, 2023)

5. Arsitektur Kontemporer

13
Arsitektur kontemporer merupakan suatu bentuk karya arsitektur yang
sedang terjadi di masa sekarang. Schimbeck menyatakan bakwa arsitektur
kontemporer berkembang dari pemikiran bahwa arsitektur harus mampu menemukan
sasaran dan pemecahan bagi arsitektur hari esok dan situasi masa kini. Di
Indonesia arsitektur kontemporer, yang ditolak ukur dalam satu dasawarsa 45
terakhir memiliki dominiasi oleh pengaruh langgam arsitektur modern. Secara
garis besar arsitektur kontemporer memiliki aspek kekinian yang tidak terikat
oleh beberapa konsep konvensional. Menurut Gunawan, E. indikasi sebuah
arsitektur disebut sebagai arsitektur kontemporer meliputi 4 aspek,
yaitu:

a. Ekspresi bangunan bersifat subjektif,

b. Kontras dengan lingkungan sekitar,


c. Bentuk simple dan sederhana namun berkesan kuat,
d. Memiliki image, kesan, gambaran, serta penghayatan yang kuat

Gambar 7. Museum Tsunami Aceh


(Sumber : Wikipedia, 2023)

2.1.4 Arsitektur dan Kearifan Lokal


Kearifan lokal merupakan bagian dari budaya suatu masyarakat yang tidak
dapat dipisahkan dari bahasa masyarakat itu sendiri. Kearifan lokal biasanya

14
diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi melalui cerita
dari mulut ke mulut.
Dalam bidang arsitektur upaya penggalian kearifan lokal yang dimiliki
dan dijalankan oleh suatu kelompok masyarakat lebih mengarah pada bentuk-
bentuk kebijakan atau kearifan yang melingkupi tata-bangunan dan tata
lingkungan yang bersifat fisik ekologis. Salah satu tujuan penggalian nilai-nilai
kearifan lokal tersebut adalah untuk keserasian dan berlanjutan lingkungan
sekitar kita hidup.
Perlu pula untuk diketahui bahwa upaya penggalian nilai-nilai kearifan
lokal dalam bidang arsitektur bukan sebatas penggalian bagaimana atau cara-cara
‘solusi cerdas’ tanpa diimbangi bagaimana cara-cara ‘solusi arif dan bijaksana’.
Sehingga penyelesaian masalah yang kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari
bukan saja mendapatkan jawaban ‘smart’ (cerdas) tetapi juga sekaligus jawaban
yang ‘wisdom’ (arif), kemudian dapat berdampak pada keserasian dan
keberlanjutan pada generasi penerus di masa yang akan datang.

2.2 Teori Kepasifikan


Kepasifikan adalah hal hal atau kegiatan dimana yang dilakukan dikawasan
pasifik yang mencakup beberapa aspek yaitu sebagai berikut :

1. Aspek Sosial

2. Aspek Budaya

3. Aspek Teknologi

4. Aspek Sejarah

5. Aspek Ekonomi

Kepasifikan adalah hal-hal atau kegiatan dimana yang dilakukan dikawasan


pasifik yang mencakup beberapa aspek. Pasifikrim/Pasifikbasin menunjuk pada semua
negara yang berada di kawasan pasifik yakni mencakup Asia, Amerika, Kanada,
Australia, Selandia Baru, Jepang, Cina, Korea, Indonesia dll. PasifikPasifik Rim atau
Pasific Basin menunjuk pada semua negara di kawasan Asia Pasifik, yakni antara lain

15
Amerika Serikat, Kanada Australia, Selandia Baru, Jepang, Cina, Korea Selatan,
Singapura, Hong Kong, Taiawan, Indonesia, Thailand, Malaysia, dan Filipina.

2.2.1 Peran Arsitektur Lokal


Pemanfaatan tentang bentuk dan fungsi Arsitektur Tradisional lokal pada
perwujudan arsitektural merupakan eksplorasi konsep bangunan yang pernah
dikembangkan pada masa lalu untuk dilihat bagaimana perkembangannya pada
masa kini di dalam lingkungan baru yang jauh dari asal tradisinya dalam konteks
arsitektur.
Pemanfaatan tersebut sering dilakukan oleh para arsitek yang ingin
menjembatani kehadiran arsitektur tradisional sebagai bagian dari konsep yang
dapat mempertegas identitas lokal maupun menjadikannya sebagai suatubentuk
utama/iconic arsitecture dalam membentuk image/citra bagi suatu karya
arsitektural.

2.2.2 Arsitektur Regional


Arsitektur Regional adalah seni “membangun” komunitas dan “sistem”
tertentu oleh “sub-masakan” arsitek. Idenya adalah untuk menggunakan bahan
dan gaya lokal dalam kerangka estetika yang seragam, untuk menciptakan
bangunan dan tempat yang khas. Regionalisme dapat dilihat dalam desain kota,
lingkungan, wilayah, lingkungan individu, atau bahkan seluruh negara bagian dan
negara.
Regionalisme (kedaerahan) menekankan pada pengungkapan karakteristik
suatu daerah/tempat dalam arsitektur kontemporer. Pendekatan ini adalah salah
satu kritik terhadap Arsitektur Modern yang memandang arsitektur pada dasarnya
bersifat universal. Pendekatan ini dapat dibagi menjadi:
1. Regionalisme sebagai Sistem Budaya
Dalam pendekatan ini, budaya yang berkembang di suatu tempat difahami
sebagai sistem yang utuh yang meliputi berbagai aspek, di antaranya adalah
arsitektur yang merupakan perwujudan bendawi dari nilai-nilai budaya dan

16
wadah bagi kebiasaan masyarakat dalam budaya tersebut, sebagaimana
diungkapkan Rapoport:
My basic hypothesis, then, is that house form is not simply the result of
physical forces or any single casual factor, but is the consequence of a whole
range of socio-cultural factors seen in their broadest terms
Amos Rapoport, House Form and Culture, 1969

2. Regionalisme sebagai Jiwa suatu Papan


Christian Norberg-Schulz dalam bukunya Genius Loci: Towards a
Phenomenology of Place (1976) memahami papan (place) sebagai wujud
nyata (concrete phenomenon) keberadaan manusia dalam lingkungannya.
Lingkungan alam difahami sebagai:
2.3 Ancaman sehingga manusia perlu mewujudkan papan untuk berlindung
dari padanya, sekaligus sebagai
2.4 Idealita sehingga manusia melambangkannya dalam papan ciptaannya

Dia menengarai bahwa papan ciptaan manusia menjalin hubungan


dengan alam melalui tiga cara:
 Manusia memvisualisasikan karakter alam
 Manusia melengkapi alam Manusia menyimbolkan alam

3. Regionalisme sebagai ungkapan Identitas


Pendekatan populer ini mengasumsikan bahwa bentuk-bentuk tertentu
menyandang peran untuk menampilkan ciri daerah tertentu. Sejalan dengan
peran arsitektur sebagai Media Komunikasi Populer yang dirumuskan olh
Robert Venturi cs. dalam Learning from Las Vegas, bentuk ini sering menjadi
penanda yang tidak harus terkait dengan apa yang didalamnya.

4. Regionalisme sebagai Sikap Kritis


Regionalisme sering kali dipendang sebagai terbelakang (berorientasi ke masa
silam, tanpa memiliki visi ke depan) dan sempit (hanya berkutat pada satu

17
dareah dan tidak memiliki kontribusi dalam lingkup yang lebih luas).
Alexander Tsoniz dan Liane Lefaivre mengajukan istilah Critical
Regionalisme untuk menyebut regionalisme yang progresif, berkinerja baik
(high performance) serta memiliki relevansi ekonomis, ekologis dan sosial
dengan tantangan masa kini.

18
BAB III
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Perkembangan Vihara Buddhagaya Watugong


Vihara Buddhagaya Watugong atau juga dikenal dengan nama Vihara
Buddhagaya merupakan salah satu tempat ibadah agama Buddha yang terletak
di Pudakpayung, Banyumanik, Semarang Jawa Tengah. Lokasi tepatnya berada di depan
Markas Kodam IV/Diponegoro.

Gambar 8. Lokasi Vihara Buddhagaya Watugong di Kota Semarang


(Sumber : Google Maps, 2023)

Vihara Buddhagaya Watugong di Semarang berdiri sekitar tahun 1950 dan


merupakan vihara yang pertama dibangun setelah 500 tahun runtuhnya kerajaan
Majapahit. Vihara ini dipercaya merupakan vihara bagi umat Buddha yang pertama di
Indonesia. Kurang lebih 500 tahun sesudah keruntuhan Kerajaan Majapahit, muncul lah
berbagai kegiatan dan peristiwa yang menyadarkan berbagai kalangan penduduk akan
warisan luhur nenek moyang yaitu Buddha Dhamma agar dapat kembali dipraktekkan
oleh para pemeluknya. Usaha yang semula banyak digagas di zaman Hindia Belanda.
19
Akhirnya harapan akan adanya orang yang mampu untuk
mengajarkan Buddha Dhamma pada para umat dapat terwujud dengan
kehadiran Bhikkhu Narada Maha Thera dari Srilanka pada tahun 1934. Gayung pun
bersambut, kehadiran Dhammadutta tersebut dimanfaatkan oleh umat dan simpatisan
untuk mengembangkan diskusi dan memohon penjabaran Dhamma secara lebih luas lagi.
Puncaknya muncul putra pertama Indonesia yang mengabdikan diri secara penuh pada
penyebaran Buddha Dhamma, yakni pemuda Bogor bernama The Boan An yang
kemudian menjadi Bhikkhu Ashin Jinarakkhita.

Pada tahun 1955 Bhikkhu Ashin Jinarakkhita memimpin perayaan Waisak 2549
di Candi Borobudur, pada saat itu juga ada seorang hartawan yang menjadi tuan tanah
dari Semarang yang bernama Goei Thwan Ling dengan latar belakang
agama Buddha yang terkesan pada kepiawan dan kepribadian dari Bhikku Ashin
Jinarakkhita, maka Goei Thwan Ling menghibahkan dan mempersembahkan sebagian
tanah miliknya untuk digunakan sebagai pusat dan pengembangan Buddha Dhamma.
Tempat itulah yang kemudian diberi nama Vihara Buddhagaya. Pada 19 Oktober 1955
didirikan Yayasan Buddhagaya untuk menaungi aktivitas vihara. Dari vihara inilah
kemudian satu episode baru pengembangan Buddha Dhamma berlanjut.

Mulai tahun 1955, Bhikkhu Ashin Jinarakkhita sang pelopor kebangkitan Buddha
Dhamma di nusantara menetap di Vihara Buddhagaya Semarang. Banyak sejarah besar
yang beliau torehkan bersama Vihara Buddhagaya, seperti Upasika Indonesia saat
perayaan Asidha pada bulan Juli 1955, menggagas perayaan Buddha Jayanti yang
diperingati oleh umat Buddha di seluruh dunia tahun 1956, penanaman pohon Bodhi pada
tanggal 24 Mei 1956 dan pendirian Sima Internasional pertama di KASAP
(belakang Makodam IV/Diponegoro) untuk penahbisan Bhikkhu.

Kemudian beberapa saat selama kurang lebih delapan tahun vihara ini sempat
terlantar, namun sekarang bangkit kembali di bawah binaan Sangha Theravada. Maka
pada bulan Februari 2001 dilakukan revitalisasi dan renovasi pada vihara ini yang
dimulai terlebih dahulu dengan pembangunan Gedung Dhammasala yang diresmikan
pada tanggal 3 November 2002 oleh Gubernur Jawa Tengah yaitu H.Mardiyanto.
Selanjutnya dibangun pula bangunan yang lain yaitu Pagoda Avalokitesvara pada bulan

20
November 2004 dan diresmikan pada tanggal 14 Juli 2005 oleh Gubernur Jawa
Tengah yaitu H.Mardiyanto.

Pembangunan berikutnya dilakukan untuk menjadikan komplek Vihara menjadi


tempat obyek wisata, dengan penambahan patung-patung baru, dan penambahan fasilitas
seperti kolam air mancur dan pohon bodhi. Namun, tujuan utama Pagoda Avalokitesvara
tetap tak berubah yaitu sebagai tempat sembahyang agama Buddha dan tempat wisata
religi yang menarik bagi pengunjung, dengan pemisahan area yang jelas dan tegas area
sembahyang dan area wisata.

2.1.1 Watugong
Watugong Merupakan batu alam asli yang berbentuk gong yang digunakan
sebagai nama kawasan di sekitar vihara sejak dahulu. Batu tersebut unik karena secara
langsung berbentuk gong tanpa rekayasa tangan manusia, juga sebagai peninggalan
sejarah setelah keruntuhan Kerajaan Majapahit. Batu alam ini terletak tepat di depan pos
keamanan vihara. Menurut kisahnya, pada awal sebelum berdirinya Vihara Buddhagaya
Watu Gong , ada batu berbentuk gong yang dianggap sakral oleh orang-orang. Ketika itu,
watu gong oleh masyarakat setempat dianggap keramat, sering digunakan sebagai tempat
untuk berdoa dan bertapa. Karena semakin banyak orang yang memuja watu gong
tersebut, lalu dibangunlah sebuah vihara yang diberi nama Vihara Buddhagaya
Watugong.

2.2 Keunikan Bangunan Vihara Buddhagaya Watugong

Peresmian Vihara Buddhagaya ini dilakukan secara bertahap mulai dari bangunan
utama sampai bangunan pendukung/fasilitas lainnya. Pagoda Avalokitesvara atau yang
lebih dikenal dengan Pagoda Kwan Im dibangun tahun 2004 dan diresmikan tanggal 14
juli 2005, tetapi ada bangunan utama lain yang lebih dahulu dibangun sekitar tahun 2002
yaitu Dhammasala. Komplek Vihara Buddhagaya Watugong tersebut terdiri dari dua
bangunan induk utama yaitu Pagoda Avalokitesvara dan Dhammasala serta beberapa
bangunan lain. Bangunan lain yang terdapat ada vihara ini yaitu Watugong, Plaza
Borobudur, Kuti Meditasi, Kuti Bhikku, Taman bacaan masyarakat, Buddha Parinibana,
Abhaya Mudra dan Pohon Bodhi.

2.2.1 Pagoda Avalokitesvara

21
Pagoda Avalokitesvara atau juga dikenal dengan nama Pagoda Kwan
Im merupakan bangunan utama lain yang terletak tepat berada di jalan utama dari Vihara
Buddhagaya Watugong. Mulai dibangun pada bulan Agustus 2004 dan diresmikan pada
tanggal 14 Juli 2005. Bangunan ini dinobatkan sebagai pagoda yang tertinggi di
Indonesia. Pada bangunan ini juga sangat kental dengan budaya Tiongkok yang
merupakan bangunan suci sebagai perwujudan Metta Karuna (cinta kasih) para Buddha
di alam semesta ini.

Gambar 9. Pagoda Avalokitesvara


(Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Vihara_Buddhagaya_Watugong, 2023)

Pagoda yang memiliki tinggi 45 meter ini dibangun dengan hampir semua
konstruksi bangunannya terbuat dari beton. Di bangunan ini banyak menggunakan latar
warna merah yang dibawa dari tradisi Tiongkok, yang menurut
orang Tiongkok melambangkan kebahagiaan. Pagoda ini terdiri dari tujuh tingkat yang

22
menjadi tempat dari sekitar 30 patung pemujaan. Di dalamnya terdapat sebuah rupa
Avalokitesvara Boddhisatva yang tingginya 5 meter yang berukuran raksasa mendiami
rongga tengahnya yang menjulang tinggi, dikelilingi gunungan buah-buahan dan bunga
sebagai persembahan. Di luar pagoda terdapat empat buah patung Dewi Kwan Im dan
sebuah patung Panglima We Po. Patung tersebut mempunyai makna yang berbedabeda
setiap patungnya. Patung Dewi yang membawa bunga teratai dipercayai sebagai tempat
doa untuk diberikan jodoh. Patung Dewi dengan anak perempuan ditujukan untuk pendoa
ingin punya anak perempuan sama dengan patung keberadaan Dewi dengan anak lakilaki,
ada 1 lagi patung Dewi untuk pendoa ingin mempunyai umur panjang. Dan terdapat juga
patung Panglima We Po sebagai pelindung keselamatan sekaligus penjaga pagoda itu.

Bentuk bangunan pagoda sendiri terdiri dari 6 susun diatas dindingnya melingkari
meliputi 8 sisi yang disebut Pat Kwa. Tiap-tiap sisi luar dindingnya ada 1 Patung Dewi
Kwan I mini dengan telapak tangan kanan tersebut terbuka dan menghadap ke depan ini
menjelaskan Dewi Kwan Im tengah memberi restu keselamatan bagi umat manusia. Dan
letaknyapun disesuaikan dengan arah mata angin yang bertujuan agar Dewi selalu
menebarkan cinta kasih serta dapat bisa menjaga Kota Semarang dari segala mata arah.
Secara keseluruhan jumlah patung di pagoda ini 30 buah. Material bangunan seperti
genteng, aksesori di dalam ruangan, lampu relief tangga yang terbuat dari batu, kolam air
mancur, hingga patung burung Hong da Kilin, semuanya diimpor langsung dari Cina.

Pagoda terbentuk karena ajaran Buddha akan stupa, bergabung dengan arstitektur
China berupa paviliun Dinasti Han, maka lahirlah bentuk Pagoda. Pada Pagoda ini
terdapat Patung Avalokithesvara (di China disebut Guan Yin) yang berada di tiap tingkat
Pagoda dan menghadap ke 4 penjuru mata angin untuk menyebarkan kasih sayang dan
mengusir kejahatan.

2.2.2 Dhammasala
Gedung Dhammasala merupakan salah satu bangunan utama yang terdiri dari dua
lantai dan terletak di sisi kanan dari vihara. Lantai bawah sebagai ruang aula serbaguna
yang luas dengan sebuah panggung di depannya dan biasa digunakan untuk kegiatan
pertemuan. Lantai atas berfungsi sebagai tempat puja bhakti (ruang ibadah utama) yang

23
dapat menampung 1000 umat. Untuk menuju ke ruang atas, harus dari luar karena tidak
ada tangga penghubung.

Gambar 10. Dhammasala


(Sumber : https://student-activity.binus.ac.id/himdkv/2021/08/makna-simbolik-dibalik-bangunan-
vihara/,2023)
Daya tarik wisata dari potensi Gedung Dhammasala antara lain dapat dilihat dari
bentuk bangunan yang berasal dari Thailand yaitu atap lancip dan dikelilingi bentuk
ukiran yang berada di luar gedung. Vihara Dhammasala dikelilingi pagar dengan ukiran
relief cerita Paticca Samuppada, yaitu proses kehidupan manusia dari lahir hingga
meninggal dunia. Wisatawan yang memasuki vihara biasanya ada ritual khusus yang
harus dijalankan, yaitu menginjak relief ayam, ular, dan babi yang ada di pintu masuk
vihara. Menurut keyakinan umat Buddha, ayam merupakan simbol keserakahan, ular
adalah lambang kebencian, sedangkan babi melambangkan kemalasan. Selain itu, juga
terdapat sebuah patung Buddha Duduk setinggi sekitar lima meter yang terbuat
dari kuningan dan mirip dengan yang ada di Candi Mendut. Gedung Dhammasala
tersebut menjadi tempat penting tetapi bersifat umum karena menjadi tempat pelaksaan
hari besar keagamaan maupun kegiatan yang berkaitan dengan pemerintah seperti:
sebagai tempat pertemuan organisasi Buddha mulai dari pertemuan area Semarang,
Provinsi Jawa Tengah, nasional maupun internasional yang diadakan setiap tahun sesuai
yang telah dijadwalkan pihak pengelola Vihara Buddhagaya Watugong.
24
Selain 2 bangunan utama tersebut terdapat beberapa bangunan dan fasilitas yang lain yang
menjadi sarana pendukung berkembangnya vihara ini yang antara lain :

1. Watugong

Merupakan batu alam asli yang berbentuk gong yang digunakan sebagai nama khawasan
di sekitar vihara sejak dahulu . Batu ini merupakan lambang sebagai tempat yang pertama
kali sebelum berdirinya vihara ini, juga sebagai peninggaalan setelah keruntuhan
Kerajaan Majapahit. Batu alam ini terletak tepat di depan pos security. Batu tersebut unik
karena secara langsung berbentuk gong tanpa rekayasa tangan manusia.

Gambar 11. Watugong


(Sumber : http://www.sasadaramk.com/2018/12/jejak-kearifan-lokal-watu-gong-di.html, 2023)

2. Plaza Borobudur

Merupakan area terbuka yang berbentuk mandala borobudur berfungsi sebagai tempat
puja bhakti di ruang terbuka. Terletak di samping kiri Gedung Dhammasala / tepat di
tengah Vihara Buddhagaya Watugong.

25
Gambar 12. Plaza Borobudur
(Sumber : Dewi Kartikawati, 2010)

3. Kuti Meditasi

Kuti Meditasi terdapat tepat di belakang dhammasala. Berfungsi untuk tempat tinggal
sementara para yogi (peserta latihan meditasi). Saat ini terdapat delapan kuti meditasi.
Meditasi ini sering disebut Meditasi Mengenal Diri. Para peserta meditasi ini tidak hanya
umat budha saja, tetapi terbuka untuk umum yang berkeinginan mengikuti meditasi ini.
Para peserta pun tidak hanya berasal dari semarang saja tetapi dari seluruh kota di
Indonesia. Daya tarik kuti meditasi tersebut merupakan bangunan yang tepat untuk
tempat penenangan batin, selain tempat yang asri di kuti ini menggambarkan suatu
ketenangan. Banyak pohon rindang dan tampak bangunan sederhana. Kuti ini
melambangkan dengan hidup kesederhanaan maka ketenangan hidup dapat dirasakan.

26
Gambar 13. Kuti Meditasi
(Sumber : Dewi Kartikawati, 2010)

4. Kuti Bhikku

Merupakan tempat tinggal bhikku sementara, yang didesain sedarhana. Tempat tersebut
tempat yang tidak boleh dikunjungi masyarakat dan umat Buddha. Karena bhiku adalah
murid tidak boleh sembarang orang keluar masuk tempat tersebut. Kuti ini terletak tepat
di samping kuti meditasi.

27
Gambar 14. Kuti Bhikku
(Sumber : Dewi Kartikawati, 2010)

5. Taman Bacaan Masyarakat

Memiliki koleksi berbagai macam buku, baik Buddhis maupun umum. Terbuka untuk
masyarakat yang ingin melakukann studi tentang Buddhisme. Sarana tersebut sebagai
penunjang berkembangnya untuk umat budha maupun masyarakat yang ingin belajar dan
mengerti agama Buddha.

28
Gambar 15. Taman Bacaan Masyarakat
(Sumber : Dewi Kartikawati, 2010)

6. Buddha Parinibbana

Sebuah rupang Buddha yang menggambarkan saat Buddha Gaotama Parinibbana (wafat).
Merupakan satu-satunya obyek bangunan tersisa dari masa awal aktivitas di Vihara
Buddhagaya tahun 1957. Patung ini terletak di sisi kanan belakang Pagoda
Avalokitesvara yang panjangnya 3 meter.

29
Gambar 16. Buddha Parinibbana
(Sumber : Dewi Kartikawati, 2010)

7. Abhaya Mudra

Rupang Buddha dengan posisi abhaya (memberkahi) tetapi masih dalam perencanaan
pembangunan. Patung ini akan dibuat dari bahan perunggu setinggi 36 meter diatas
sebuah gedung yang akan difungsikan sebagai museum dan perpustakaan.

30
Gambar 17. Abhaya Mudra
(Sumber : Dewi Kartikawati, 2010)

8. Pohon Bodhi
Pohon Bodhi terletak di depan Pagoda Avalokitesvara dan dipercaya sudah ditanam
sejak tahun 1955.Pohon ini memiliki lambang sebagai pohon keabadian dan di ranting-
rantingnya terdapat banyak kertas merah. Kertas-kertas tersebut berisi harapan dan doa
bagi penulisnya, juga merupakan salah satu kepercayaan agama Buddha. Di bawah
Pohon Bodhi terdapat patung Buddha Gautama yang menyimbolkan bahwa dahulu
Buddha Gautama pernah bersemedi di bawah Pohon Boddhi hingga mendapatkan
pencerahan. Akan tetapi karena lokasinya yang berada persis di depan Pagoda, maka

31
dahan pohon ini difungsikan untuk menggantung kertas doa umat Tionghoa yang
berwarna merah dan menghiasi pohon Bodhi.

Gambar 18. Pohon Bodhi


Sumber : Dewi Kartikawati, 2010

32
BAB IV
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan tentang Vihara Buddhagaya Watugong, maka dapat


ditarik kesimpulan sebagai berikut.
1. Vihara Buddhagaya Watugong merupakan salah satu tempat ibadah
agama Buddha yang berdiri sekitar tahun 1950 dan dibangun setelah 500 tahun
runtuhnya kerajaan Majapahit. Vihara ini dipercaya merupakan vihara bagi umat
Buddha yang pertama di Indonesia. Vihara ini terletak
di Pudakpayung, Banyumanik, Semarang Jawa Tengah. Lokasi tepatnya berada di
depan Markas Kodam IV/Diponegoro. Karena kepedulian dan kepribadian
Bhikkhu Ashin yang berwibawa dan bijaksana, pada tahun 1955 sesudah
perayaan waisak 2549 yang dipimpinnya di Candi Agung Borobudur berkesan
pada batin seorang hartawan Semarang Goei Thwan Ling yang kemudian
mempersembahkan tanah miliknya untuk digunakan sebagai pusat pengembangan
Buddha Dhamma. Tempat itulah yang kemudian dineri nama Vihara Buddhagaya
dan pada tanggal 19 oktober 1955 didirikan yayasan Buddhagaya untuk menaungi
aktivitas vihara. Kemudian beberapa saat selama kurang lebih delapan tahun
vihara ini sempat terlantar, namun sekarang bangkit kembali di bawah
binaan Sangha Theravada. Maka pada bulan Februari 2001 dilakukan revitalisasi
dan renovasi pada vihara ini yang dimulai terlebih dahulu dengan pembangunan
Gedung Dhammasala yang diresmikan pada tanggal 3 November 2002
oleh Gubernur Jawa Tengah yaitu H.Mardiyanto. Selanjutnya dibangun pula
bangunan yang lain yaitu Pagoda Avalokitesvara pada bulan November 2004 dan
diresmikan pada tanggal 14 Juli 2005 oleh Gubernur Jawa
Tengah yaitu H.Mardiyanto.

2. Vihara Buddhagaya Watugong memiliki ciri khas bangunan yang unik, sehingga
ada beberapa hal yang menjadi daya tarik vihara tersebut adalah sebagai berikut:

33
a. Vihara Buddhagaya Watugong memiliki arsitektur bangunan yang sangat
kental dengan etnik Tiongkok dan Thailand, sehingga akhirnya Vihara ini
juga dikembangkan menjadi objek dan daya tarik wisata. Desain arsitekturnya
yang indah, membuat Pagoda Budhagaya Watugong ini begitu dikagumi oleh
berbagai kalangan.
b. Komplek Vihara Buddhagaya Watugong tersebut terdiri dari dua bangunan
induk utama yaitu Pagoda Avalokitesvara dan Dhammasala serta beberapa
bangunan lain. Bangunan lain yang terdapat ada vihara ini yaitu Watugong,
Plaza Borobudur, Kuti Meditasi, Kuti Bhikku, Taman bacaan masyarakat,
Buddha Parinibana, Abhaya Mudra dan Pohon Bodhi.
c. Pagoda Avalokitesvara atau sering disebut Pagoda Kwan Im merupakan
bangunan utama dengan tinggi 45 meter dan dinobatkan sebagai pagoda yang
tertinggi di Indonesia. Pagoda ini memiliki daya tarik tersendiri karena
bangunannya yang kental dengan tradisi Tiongkok Cina yang mencolok
dengan warna merah yang melembangkan kebahagiaan.
d. Gedung Dhammasala merupakan salah satu bangunan utama yang terdiri dari
dua lantai dan terletak di sisi kanan dari vihara. Lantai bawah sebagai ruang
aula serbaguna yang luas dengan sebuah panggung di depannya dan biasa
digunakan untuk kegiatan pertemuan. Daya tarik wisata dari potensi Gedung
Dhammasala antara lain dapat dilihat dari bentuk bangunan yang berasal
dari Thailand yaitu atap lancip dan dikelilingi bentuk ukiran yang berada di
luar gedung.

Pada mulanya Vihara Buddhagaya hanya digunakan sebagai tempat ibadah. Namun,
dengan melihat arsitektur bangunan yang sangat kental dengan
etnik Tiongkok dan Thailand, sehingga akhirnya Vihara ini juga dikembangkan menjadi
objek dan daya tarik wisata. Desain arsitekturnya yang indah, membuat Pagoda
Budhagaya Watugong ini begitu dikagumi oleh berbagai kalangan.

34
DAFTAR PUSTAKA

Academia.edu. 2023. Sejarah Arsitektur Indonesia.


https://www.academia.edu/36132644/Sejarah_Arsitektur_Indonesia. (diakses pada 27
Mei 2023)

Allsop, Bruce. 1977. A Modern Theory of Architecture. London : Routledge & Kegan Paul Ltd.

Ching, Francis D.K. 1979. Arsitektur : Bentuk-Ruang dan Susunannya. Penerbit Erlangga.

Gunawan, E. 2011. Reaktulisasi Ragam Art Deco Dalam Arsitektur Kontemporer. Manado:
Universitas Sam Ratulangi.

Himpunan Mahasiswa DKV. 2021. Makna Simbolik Bangunan Vihara.


https://student-activity.binus.ac.id/himdkv/2021/08/makna-simbolik-dibalik-bangunan-
vihara/.(diakses pada 24 Mei 2023)

KBBI. 2023. Arti Kata Arsitektur. https://www.kbbi.co.id/arti-kata/arsitektur. (diakses pada 27


Mei 2023)

Kartika, D. 2010. Potensi Wisata Religius di Vihara Buddhagaya Watugong Semarang.Skripsi.


Surakarta : Universitas Sebelas Maret.

Piutanti, R. 2015. Pemaknaan Kembali Kearifan Lokal Dalam Arsitektur (Keterkaitan Manusia,
Budaya dan Alam Nusantara). Jurnal : Universitas Brawijaya Malang

Snyder, James C dan Catanese, Anthony J. 1979 Pengantar Arsitektur. Jakarta : Erlangga.

Sumalio, Yulianto. 2003. Arsitektur Klasik Eropa. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Wikipedia. 2023. Vihara Buddhagaya Watugong.


https://id.wikipedia.org/wiki/Vihara Buddhagaya_Watugong.(diakses pada 23 Mei 2023)

35

Anda mungkin juga menyukai