Anda di halaman 1dari 2

NAMA : NINDY VANNESYA BUDIMAN

NIM : 210641010001
MATA KULIAH : MANAJEMEN PERPAJAKAN

KASUS BUT MENGENAI PERPAJAKAN DI INDONESIA

Kasus : Sengketa pajak mengenai pembuktian status bentuk usaha tetap (BUT)
Wajib Pajak X.Co
Pemohon : (X.Co) “Kantor perwakilan dagang dari suatu perusahaan yang
berkedudukan di Jepang”
Kronologi:
Wajib pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap
penetapan otoritas pajak. Majelis Hakim Pengadilan Pajak menyatakan kegiatan
pemasaran produk dari X Co kepada konsumen akhir di Indonesia sudah dilakukan
perusahaan lain. Selain itu, Majelis Hakim Pengadilan Pajak menilai dalam laporan
keuangan bulanan wajib pajak tidak memuat adanya kegiatan promosi yang dilakukan.
Kegiatan utama yang dilaksanakan wajib pajak ialah melakukan penelitian terkait
dengan kondisi sosial, ekonomi, dan politik di Indonesia serta potensi persaingan usaha
yang ada di Indonesia. Berdasarkan pada uraian di atas, Majelis Hakim Pengadilan
Pajak tidak dapat menerima koreksi yang dilakukan otoritas pajak.
Selanjutnya, terhadap permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak
memutuskan mengabulkan seluruhnya permohonan banding yang diajukan wajib pajak.
Dengan keluarnya Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put. 74047/PP/M.VIA/27/2016
tanggal 6 September 2016, otoritas pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis
ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 22 Desember 2016. Pokok sengketa dalam
perkara ini adalah koreksi positif dasar pengenaan pajak (DPP) PPh Pasal 15 masa
pajak Januari sampai dengan Desember 2010 sebesar Rp646.804.628.723 yang tidak
dapat dipertahankan Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Pendapat Pihak Bersengketa :


Menurut Pemohon PK, Termohon PK merupakan BUT dari X Co yang berkedudukan di
Jepang. Pendapat Pemohon PK tersebut dibuktikan dengan ditemukannya fakta
Termohon PK terdaftar pada KPP badan dan orang asing sejak 10 Juni 2002. Selama
berada di Indonesia, Termohon PK juga telah melakukan kewajiban perpajakan PPh
Pasal 21, PPh Pasal 4 ayat (2), PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26.
Selain itu, Termohon PK telah memenuhi beberapa kriteria sebagai BUT sesuai Pasal 5
ayat (1) OECD Model. 
1. Adanya tempat usaha.
2. Tempat usaha tersebut didirikan di suatu lokasi tertentu.
Dalam hal ini, Termohon PK terbukti mempunyai tempat usaha di Cilincing,
Jakarta Utara.
3. Subjek pajak mempunyai hak untuk memanfaatkan tempat usaha tersebut.
Termohon PK dapat dipastikan mempunyai hak untuk memanfaatkan tempat
usahanya karena telah membayar sewa dan menyetorkan PPh Pasal 4 ayat (2)
yang terutang atas sewa di lokasi tersebut.
4. Penggunaan tempat usaha tersebut harus bersifat permanen atau dalam waktu
yang melebihi periode waktu tertentu. Hal ini terbukti dari aktivitas Termohon PK
yang tidak bersifat sementara dan dilakukan terus menerus.
5. Kegiatan yang dilakukan Termohon PK melalui tempat usaha tersebut
merupakan kegiatan usaha berupa promosi produk (business activity test).
Kegiatan mempromosikan produk bukanlah aktivitas penunjang dan tidak
bersifat sementara. Kegiatan promosi yang Termohon PK lakukan selama 2010
telah mendatangkan manfaat. Hal ini terbukti dengan adanya kegiatan ekspor X
Co selaku induk perusahaan ke Indonesia.

Sebaliknya, Termohon PK tidak setuju dengan pendapat Pemohon PK. Menurut


Termohon PK, pihaknya bukan merupakan BUT dari X Co. Sebab, Termohon PK hanya
menjalankan usaha bersifat penunjang dan persiapan.
Merujuk pada Pasal 5 ayat (4) huruf e P3B antara Indonesia dan Jepang, yang
dikecualikan dari pengertian BUT adalah kegiatan yang bersifat persiapan atau
penunjang untuk kepentingan perusahaan. Dengan demikian, koreksi yang dilakukan
Pemohon PK tidak sesuai fakta dan peraturan yang berlaku sehingga harus ditolak.
Pertimbangan Mahkamah Agung:

Mahkamah Agung berpendapat bahwa alasan-alasan permohonan PK tidak dapat


dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan mengabulkan seluruhnya
permohonan banding sudah tepat dan benar. Terdapat dua pendapat Mahkamah
Agung sebagai beriku :
1. Koreksi positif dasar pengenaan pajak (DPP) PPh Pasal 15 masa pajak Januari
sampai dengan Desember 2010 sebesar Rp646.804.628.723 yang tidak dapat
dibenarkan. Setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil para pihak, pendapat
Pemohon PK tidak dapat menggugurkan fakta-fakta dan bukti-bukti yang
terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum Majelis Hakim
Pengadilan Pajak.
2. Mahkamah Agung berpendapat kegiatan Termohon PK terbukti hanya berupa
riset pemasaran dan tidak melakukan promosi produk. Dengan begitu, tidak
tepat apabila Termohon PK dikategorikan sebagai BUT dari X Co. Koreksi yang
dilakukan Pemohon PK tidak sesuai fakta dan peraturan yang berlaku.
Berdasarkan pada pertimbangan di atas, permohonan PK dinilai tidak beralasan
sehingga harus ditolak. Dengan demikian, Pemohon PK dinyatakan sebagai pihak yang
kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara.

Anda mungkin juga menyukai