Cerpen memiliki ciri, unsur, dan perbedaan tersendiri dari novel atau karya
tulis lainnya. Bagi kamu yang sedang memulai untuk menulis sebuah
cerpen, ada baiknya kamu mengetahui cara membuat cerpen yang baik dan
benar.
Cerpen pada umumnya adalah suatu bentuk karangan fiksi. Genre yang
paling banyak diterbitkan adalah fiksi seperti fiksi ilmiah, fiksi horor, fiksi
detektif, dan lain sebagainya.
Tema adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Tema dapat
bersinonim dengan dengan ide utama dan tujuan utama. Jadi, merupakan
gagasan dasar umum, dasar cerita sebuah karya yang digunaka pengarang
untuk mengembangkan cerita. Tema berisi topik yang mau diangkat
misalnya; pendidikan, alam, agama, dan sebagainya.
Latar
Latar/setting merupakan gambaran tentang waktu, tempat dan suasana
peristiwa dalam cerita. Jadi, latar terdiri atas; latar waktu, latar tempat dan
latar suasana.
Alur cerita
Alur atau plot merupakan jalan cerita yang akan kamu kembangkan hingga
menjadi sebuah cerpen. Alur berupa susunan peristiwa atau kejadian yang
membentuk sebuah cerita.
- Alur campuran adalah campuran antara alur maju dan alur mundur.
Dalam penulisannya alur juga meliputi beberapa tahap yaitu:
Dalam tahap ini kamu juga harus menentukan konflik yang ingin kamu
bangun. Konfliklah yang akan membuat ceritamu hidup. Dari setiap konflik
pasti ada sebuah penyelesaian, maka tentukan juga penyelesaian dari
konflik yang kamu buat.
Sudut pandang
Amanat
Amanat berisi seputar pesan-pesan yang ingin disampaikan pengarang
kepada pembaca. Pesan tersebut berupa ajaran kehidupan yang baik dan
benar. Bisa berupa amanat sosial, keagamaan, moral, maupun budaya.
__________________________________________________________________________
SANG PENYEMANGAT-
Suhu malam sangat dingin untuk dirasakan, kulitku sendiri yang dapat tahu, serta ia
mulai membisikannya ke segala bagian tubuhku. Udaranya sangat tidak aman, bisa
jadi tidur merupakan salah satunya jalur tetapi saya tidak memiliki sandaran, apalagi
rasa kantuk juga saya tidak memiliki.
Di sela-sela lamunan, aku terpikir dengan peristiwa sore tadi yang terus terbesit
dalam pikiranku.
Sore itu pas di hadapanku duduk seseorang perempuan yang sepanjang 2 tahun ini
kuanggap bagaikan bidadari dalam hidupku, kepalanya tertunduk diiringi linangan air
mata yang membasahi wajah teduhnya, ia menyodorkan secarik pesan.
Serta langsung bangkit, dia pernah memelukku sejenak dalam situasiku yang belum
betul- betul paham apa iktikad dari pemberian pesan ini.
Iya…
Nama perempuan tersebut merupakan Nur Zahra, biasa saya memanggilnya dengan
Zahra.
Wujud perempuan yang sudah mengisi penuh hatiku ini, serta pada hari ini pas di
hari serta tempat ini jadi saksi bisu cerita cinta serta perjuangan seseorang lelaki
demi menciptakan tempat sandaran yang dapat buatnya aman serta senang apabila
terletak di sisinya.
Ikatan kami sudah merambah tahun kedua pas hari ini, tetapi saya belum betul-
betul paham dengan peristiwa sore tadi.
Tanganku masih terus memegangi pesan pemberian zahra yang masih belum berani
aku membacanya. Kesimpulannya aku terlelap dalam tidurku dengan banyaknya
persoalan tentang zahra.
Mentari pagi terbit dari ufuk timur serta menembus jendela kamar tidurku. Tidak
seperti biasanya cuma terdapat satu pemberitahuan di handphonku serta itu dari
temanku yang mengingatkanku buat mengisi absensinya, biasa penyakit mahasiswa.
Biasanya Zahra senantiasa meneleponku pagi- pagi sekali cuma buat
mengingatkanku buat makan pagi, dengan kata- katanya yang telah kuhafal.“
selamat pagi Haikal sayang jangan kurang ingat makan pagi serta jangan sampai
telat ke kampus ya” tetapi hari ini tidak terdapat perkataan penyemangat bagiku di
pagi ini.
Kulirik jam bilik di kamarku yang sudah menampilkan jam 8 yang tandanya sejam
lagi aku wajib telah hadir di kampus. Aku tidak mau mendengar ocehan diiringi
ceramahnya pak Yasir yang ialah dosen terkiler di kampusku.
Sehabis jam kuliahku berakhir, aku langsung bergegas mengarah ke rumah Zahra.
Jarak dari kampusku ke rumah Zahra bisa di tempuh dalam waktu 15 menit dengan
kecepatan wajar, dalam ekspedisi pikiranku senantiasa terjalin dengan kekasihku
Zahra, setibanya ku di rumah Zahra, kondisi rumahnya hening tidak nampak mobil
kepunyaan bapak Zahra yang biasa terparkir di taman rumah, tetapi bisa jadi bapak
Zahra lagi tidak di rumah.
Kucoba ucapkan salam hingga 3 kali tetapi tidak terdapat satu orang juga yang
keluar dari rumahnya, tetapi cuma terdapat tetangganya yang keluar serta
menghampiriku kemudian berkata“ maaf mas, keluarga pak Muzammil telah pindah
semenjak kemarin”
Mendadak hati ini bagai terserang sambaran petir, kaget bercampur dengan
kesedihan, di kala seperti itu terbesit di ingatanku dengan pesan pemberian dari
Zahra kemarin sore.
Langkahku cepat menelusuri rumah, adikku yang lagi duduk di ruang keluarga
nampak heran memandang kelakuan si kakak yang nampak risau serta tergesa-
gesa mengarah kamarnya,
Kugapai pesan pemberian Zahra yang tadi malam kuletakkan di atas tumpukan
buku- buku bacaanku.
Dear Haikal
Aku sayang kamu, bahkan sangat menyayangimu, aku tidak mampu buat
mengatakannya padamu, serta satu perihal yang wajib kamu tau tanganku berat
kala wajib menulis tiap kata di pesan ini, sangat banyak air mata di tiap katanya.
Salam sayang
Zahra Si penyemangat
Resolusi: Menerima dengan segala hal resiko terkait dengan tempat tinggal dengan
pisah hubungan.
Bulan purnama dan bintang-bintang begitu tenang untuk dipandang. Tetapi, hal itu
bertolak belakang dengan keadaanku yang sedang memegang tangan ayahku. Aku
menengok ke kanan dan kiri, kebingungan karena memasuki wilayah baru. Suasana
malam ini ramai sekali. Banyak orang berlalu lalang, memasarkan dagangannya, dan
mengobrol satu sama lain.
Jadi seperti ini kehidupan manusia sungguhan? Berkoloni dan bersosial dengan
sejenisnya. Pikirku berusaha mencerna keadaan.
Aku lebih sering menghabiskan waktuku di hutan. Ini baru pertama kalinya aku pergi ke
desa setelah Ayah memperbolehkanku untuk mengikutinya. Tapi sesungguhnya, ayahku
sedikit takut —merasa aku masih belum siap untuk berbaur— takut tiba-tiba aku
berubah wujud diluar kendaliku. Memang aku sadar, aku sedikit berbeda dengan
kebanyakan manusia. Karena aku adalah manusia serigala. Begitu juga dengan ayahku.
Aku tidak begitu mengerti kenapa Ayah sedikit takut dan melarangku untuk berubah
wujud di depan manusia. Ini bukanlah hal yang harus ditutupi, kan? Lagipula, serigala
itu cukup keren. Jika berubah wujud menjadi serigala, aku bisa berlari sangat cepat, aku
bisa mengejar seekor rusa, dan menerkamnya dengan mudah. Indraku juga jadi
semakin tajam. Aku bisa mencium dan mendengar sesuatu dari jarak jauh. Kemampuan
ini sangat berguna untuk berburu mangsa. Terakhir adalah warna bulu tubuhku yang
lucu, berwarna cokelat dengan warna putih di bagian perut, ujung kaki, ujung telinga,
dan ujung ekorku.
Berbicara tentang ekor, itu merupakan bagian tubuh yang paling aku sukai. Ekorku
menjulai panjang, lembut, dan bulunya mengembang. Aku sering memainkan ekorku
ketika aku hendak tidur atau menggoyangkannya ketika senang.
Tetapi, apa boleh buat, sekeren atau sesuka apapun aku dengan wujud serigalaku, tetap
saja Ayah tidak akan mengizinkan jika aku berubah wujud di depan manusia. Daripada
aku tidak diajak pergi ke desa, aku memutuskan untuk menelan mentah-mentah saja
perintah Ayah itu.
Ayah selalu bercerita mengenai kehidupan manusia kepadaku. Terkadang ketika pulang
ke hutan, Ayah membawakan makanan yang dibuat oleh manusia, aromanya harum dan
lezat. Ayah juga sering menceritakan bagaimana kehidupan di desa. Cerita-cerita
Ayahlah yang membuatku penasaran, sehingga membuatku ingin ikut dengannya untuk
pergi ke desa.
Di antara itu semua, ada satu hal yang membuatku benar-benar ingin pergi ke desa. Itu
terjadi pada suatu malam ketika aku masih kecil. Kala itu, aku berjalan keluar hutan dan
dapat melihat desa dari kejauhan, namun aku tidak menghiraukannya. Sampai seketika,
ada suara yang menggelegar dari arah desa, suara itu menggema mengisi langit malam.
Secara refleks, aku menoleh ke sumber suara. Aku melihat suatu cahaya, ternyata tidak
hanya satu, disusul lagi dengan yang lain, bertubi-tubi cahaya itu meluncur dari desa ke
langit, dan meledak di angkasa. Melihatnya begitu indah, bewarna-warni, seperti bunga
raksasa. Aku terkesima melihatnya, dengan spontan aku melolong, saking indahnya
langit di malam itu.
‘Kembang api dari festival di desa’, itu yang dikatakan Ayah ketika aku bertanya
setelahnya. Festival yang diadakan satu tahun sekali itu merupakan momentum saat
manusia-manusia berkumpul dan menampilkan pertunjukan mereka. Terdengar seru
dan menarik. Nyatanya pun benar, festival memang seramai yang sedang aku alami
bersama ayahku sekarang ini.
“Gadis manis.” Aku mendengar suara yang datang ke arahku dari suatu stand setelah
aku melihat kanan-kiri mengamati suasana festival.
Aku menoleh, melihat nenek tua sedang melambaikan tangannya ke arahku—
mengajakku untuk mendekati stand-nya. Penasaran, aku pun menghampiri nenek tua
itu bersama ayahku.
Sesampainya di sana, aku diberikan sehelai daun. Aku cukup bingung. Untuk apa nenek
tua ini memberikan daun kepadaku? Dengan tatapan bingung, aku melihat nenek tua itu
tersenyum ke arahku. Aku pun membalasnya dengan pertanyaan.
Mendengar pertanyaan keduaku, nenek itu menunjukan giginya. Gigi nenek itu berwarna
merah, seperti baru saja memakan daging segar. Aku terkesiap dan sedikit mundur ke
belakang setelah melihatnya. Apakah manusia juga suka memakan daging segar?
Terdengar cekikikan dari arah belakangku—ayahku memegang kedua pundakku dari
belakang dan berkata di dekat telingaku,
“Elsa, mau coba nginang?”
Aku masih tidak mengerti dengan ucapan ayahku. Sampai nenek itu menawarkan hal
yang sama kepadaku.
“Gadis manis, mau coba nginang?” tanya nenek itu sambil menunjuk daun sirih yang
aku pegang.
“Apa itu nginang?” balasku.
Nenek itu menunjuk giginya yang merah dengan jari telunjuk dan berkata, “Lihat gigi
nenek, tetap utuh walaupun nenek sudah tua.”
Aku memang bisa melihatnya. Walaupun giginya bewarna merah, tetapi tidak ada satu
pun giginya yang ompong.
“Nginang itu mengunyah daun sirih dengan tambahan bahan-bahan lain. Seperti, kapur
sirih, gambir, dan biji pinang,” celetuk ayahku menjelaskan. “walaupun gigi jadi
kemerah-merahan seperti nenek itu, tetapi giginya cukup kuat untuk mengunyah
makanan keras.”
Aku mendongak terpana melihat Ayah menjelaskan mengenai nginang, tetapi tatapanku
teralih lagi karena suara nenek tadi seketika masuk mengenai gendang telingaku.
Aku yang sudah mendengar penjelasan Ayah pun mengangguk. Apa salahnya juga
mencoba? Lagipula lumayan, gigi taringku akan semakin kuat dan akan lebih mudah
untuk mencabik daging hasil buruanku.
Kami bertiga pun nginang selama tiga puluh menit. Ternyata daun sirih lumayan pahit,
baunya juga tajam. Karena indra penciumanku yang sensitif, aku menutup mata dan
hidungku sembari berusaha menahan baunya. Nenek itu tersenyum melihatku. Aku
heran ketika melihat Ayah yang biasa saja mengunyah daun sirih. Ayah malah
menertawakanku, seolah memandangku amatir. Mungkin Ayah sesekali suka nginang
juga?
Gigiku terpantul di cermin dan aku dengan bangga menoleh ke arah Ayah untuk
menunjukannya. Ayah membalas dengan menunjukan giginya juga. Gigi kami sama-
sama berwarna merah. Tidak terasa tiga puluh menit pun berlalu. Kami berpamitan
dengan nenek tua itu dan melambaikan tangan ke arahnya.
Hiruk pikuk kembali menyelimuti suasana festival ini. Kali ini, dentuman alat musik dari
sudut yang lain menjamu telingaku. Aku melihat beberapa orang yang kulitnya sangat
hitam, rambutrnya panjang, dan gimbal. Mereka bertanduk, terlihat seperti kerbau.
Mereka menyeruduk ke sana kemari, dan menggila.
Setelah puas menyaksikannya, aku dan ayahku mengitari tempat festival ini. Benar,
banyak sekali manusia yang menampilkan pertunjukannya, mulai dari menari dengan
menggunakan piring, menampilkan pasangan boneka yang besar, sampai aku melihat
suatu pertunjukan manusia menggigit beling. Melihatnya membuatku ngilu, menutup
mata, dan mengusap kedua pipiku. Kuat sekali ternyata gigi manusia.
Tak terasa malam semakin larut. Semua orang yang berada di festival digiring ke suatu
tanah lapang.
Aku menatap wajah ayahku dan kembali fokus melihat ke depan. Detak jantungku
berdegup semakin cepat. Padahal aku bisa menebak apa yang akan terjadi, tetapi tetap
saja aku gugup untuk melihatnya.
Hingga kami sampai di tanah lapang. Semua orang yang berada di tempat itu melihat ke
langit malam, menunggu sesuatu. Tiba-tiba seberkas cahaya meluncur dari bawah.
‘Ciuuu, daar!’
Suara perdana menggema mengisi ruang udara. Bunga raksasa itu mencuri keindahan
bintang-bintang di sekitarnya. Perasaanku tetap sama seperti saat pertama kali aku
melihatnya. Aku tertegun, tidak mengedip sedikit pun. Kemudian disusul dengan
kembang api lain yang meluncur ke angkasa. Pemandangan ini sangat indah. Seketika
aku memejamkan mataku, menikmati perasaan gembira yang sedang aku rasakan.
Aku bergeming, tidak tahu harus menjawab apa. Dari arah yang lain, aku melihat orang
berancang-ancang melempar sesuatu.
“Pergi sana!” Batu melesat ke arahku, Namun Ayah segera melindungiku sehingga batu
itu mengenai punggungnya.
Sekali, dua kali, hingga bertubi-tubi. Hampir semua orang melempariku dengan batu,
namun Ayah selalu berusaha mendekap dan melindungiku. Aku mencoba mengintip dari
sela-sela tubuh ayahku. Sayup-sayup aku melihat nenek yang mengajariku nginang.
Nenek itu menatap kami, dia terlihat iba, tetapi tidak membela. Kedua kepalan
tangannya terlihat bergetar di depan dadanya. Penglihatannya menyiratkan dia takut
melihatku.
Apakah aku menyeramkan? Atau begitu buruk rupa sehingga dilempari dengan batu?
Padahal aku sangat membanggakan tubuh serigala ini. Buluku yang lembut, ekorku
yang mengembang, serta perpaduan warna antara cokelat dan putih yang lucu pada
tubuhku. Lantas apa yang mereka takutkan?
Aku berusaha keluar dari dekapan ayahku. Ingin menunjukan gigi taringku yang
berwarna merah kepada nenek itu sambil mengatakan Ini aku, Nek. Akan tetapi ketika
aku menunjukannya, nenek itu malah berteriak.
Hatiku remuk mendengar perkataan nenek itu. Ini aku, Nek, yang tadi nenek ajari
nginang, yang tadi Nenek sebut gadis manis. Mengapa sekarang Nenek sangat
membenciku?
Aku melihat ke arah lain—ke arah orang-orang yang seperti kerbau. Mereka tidak
dilempari batu, padahal mereka terlihat lebih dekil dan berwarna gelap dariku. Kenapa
hanya aku yang dilempari batu?
“Manjauhlah dari siluman itu, Pak! Kau mau terbunuh juga?!” gertak warga dari arah
belakang ayahku yang ingin melempariku dengan batu.
Dengan cekat Ayah menoleh, menatap nanar orang itu. Ayah mengancam dengan
menunjukan gigi taringnya. Aku pun balik badan dan mulai berlari meninggalkan Ayah.
Aku sedikit mencuri pandang menatap ke belakang. Ayah berubah wujud menjadi
serigala.
Semua orang mundur menjaga jarak, tetapi tidak lama mereka membungkuk dan
mengambil batu. Serempak, mereka melempar batu itu bertubi-tubi mengenai badan
ayahku. Ayah melolong dan mengamuk, namun aku tetap berlari meninggalkan Ayah.
‘Dor!’
Dari suara kembang api yang ada, suara itu sangat mencolok dan membuatku menoleh
ke belakang lagi, melihat kondisi Ayah. Ayah sedikit terpental. Tatapannya kosong.
Terbesit kembali di ingatanku tentang Ibu, iya ibuku. Ketika aku masih kecil, Ibu
tersungkur di dalam hutan setelah terdengar suara yang sama, persis seperti yang
dialami oleh Ayah.
Aku mengadu kepada Ayah mengenai apa yang terjadi pada ibu dengan mata yang
berkaca-kaca. Ayah langsung berlari menyusul Ibu, begitu pun aku. Aku sangat khawatir
terhadap kondisi Ibu. Ketika aku dan ayahku sampai, nyawa ibuku telah tiada dan
segerombolan manusia tadi telah pergi.
“Elsa, jangan.” Suara lirih ayahku kembali mencuri perhatianku lagi. “Jangan kamu
membalasnya, jangan kamu membencinya.”
“Ta-tapi.” Suaraku tersengal-sengal, air mata mulai membasahi pipiku.
“Jangan, Elsa.” Suara Ayah semakin mengecil. “Uh-uhuk. Mereka hanya tidak tahu
tentang kita.”
Aku bisa mendengar detak jantung ayahku yang semakin melambat.
“A-aku mohon, Ayah, jangan berbicara lagi. Aku akan membalasnya!” pintaku.
Ayah menggeleng. “Maafkanlah.”
Aku bisa merasakan usapan Ayah lagi, kali ini sedikit bergetar.
“Kamu sangat cantik, Elsa, seperti ibumu.”
Tangan Ayah terjatuh. Setelah itu Ayah menutup mata dan menghembuskan nafas
terakhirnya.
Aku melolong sangat kencang, di tengah gemuruh ledakan kembang api. Kembang api
yang membuatku terjerumus ke dalam malapetaka.
“Hore! Akhirnya siluman itu mati!” ucap salah seorang yang memegang benda panjang
itu.
Aku sangat jelas mendengarnya dan menatap tajam orang itu.
Orang-orang itu sedikit mundur mengambil jarak, bukan karena mulai menghormatiku,
tetapi mereka malah mengambil aba-aba.
Kenapa? Kenapa kalian melakukan ini? Kami, manusia serigala, tidak pernah
mengganggu kehidupan kalian. Memang kami pemakan daging, tetapi kami tahu siapa
yang berhak kami terkam atau tidak. Kami tidak buas. Bagaimana aku sekarang tidak
membenci kalian? Kedua orangtuaku dibunuh. Bukannya ini sifat naluriah jika aku ingin
membalas dendam? Kami hanya berusaha hidup damai bersama kalian—itulah yang
diajarkan oleh kedua orangtuaku, tetapi sekarang aku benar-benar hancur dan kecewa.
Justru kalianlah makhluk yang buas dan menyeramkan.
Tanpa segan, aku berlari menuju orang yang telah membunuh ayahku. Sontak aku
melihat benda panjang itu menodong ke arah wajahku.
‘Dor!’