Anda di halaman 1dari 12

SEJARAH DAN FUNGSI MASJID DI INDONESIA

(Kajian Pendalaman Materi Sejarah dan Fungsi Masjid Pada Diklat Pembina
Kemasjidan)

Muchammad Toha

PENDAHULUAN
Pertumbuhan jumlah masjid di Indonesia cukup pesat, namun sampai saat
ini masih ada sebagian masjid yang belum difungsikan secara maksimal, masjid
masih sebatas digunakan sebagai tempat ibadah shalat lima waktu dan shalat-
shalat sunnah lainnya yang dilaksanakan secara berjamaah. Sedangkan fungsi-
fungsi lainnya seperti pembinaan jamaah, pusat sarana peningkatan kesejahteraan
umat, maupun pendidikan belum secara maksimal digunakan.
Ditinjau dari segi bahasa, masjid berasal dari kata sajada – yasjudu artinya
merendahkan diri, menyembah atau bersujud. Sebagai tempat bersujud, maka
secara harfiah berarti semua bumi adalah masjid dan tempat shalat, kecuali yang
dilarang ajaran Islam seperti, tempat sampah, tempat penyembelihan hewan,
pekuburan, kamar mandi, kandang hewan atau di atas Ka’bah. Sehingga dalam
Islam, seluruh bumi dimana saja adalah masjid, tempat shalat. Sedangkan
pemahaman secara khusus adalah bangunan atau tempat yang didirikan secara
khusus untuk melakukan ibadah yang memenuhi syarat untuk shalat rawatib (lima
waktu) dan shalat jum’at.
FUNGSI MASJID
Sejarah perkembangan masjid di masa Nabi Muhammad terutama pada
periode Madinah eksistensi masjid disamping fungsi utamanya sebagai tempat
sujud kepada Allah juga sebagai pusat kegiatan sosial kemasyarakatan dan pusat
kegiatan umat. Sehingga masjid tidak hanya menitik beratkan pada aktifitas yang
berdimensi ukhrawi, tetapi mengkombinasikan antara aktifitas ukhrowi dan
aktifitas duniawi.
Mengacu pada masa Rasulullah SAW peran dan fungsi masjid dapat
diformulasikan sebagai berikut : (1) Sebagai pelaksana peribadatan. Masjid
berasal dari kata sajada – yasjudu yang berarti merendahkan diri, menyembah atau

1
bersujud, dengan demikian sebagai tempat shalat dan dzikir kepada Allah SWT
merupakan fungsi utama dari masjid. (2) Sebagai tempat pertemuan. Masjid
menjadi tempat yang paling rutin digunakan oleh Rasulullah SAW dan para
sahabatnya bertemu. (3) Sebagai tempat bermusyawarah. Pada masa Rasullulah
SAW masjid juga digunakan sebagai tempat bermusyawarah, baik dalam
merencanakan suatu program maupun memecahkan persolan yang terjadi. (4)
Sebagai tempat perlindungan. Rasul dan para sahabatnya sering memberikan
perlindungan atau jaminan keamanan bagi seseorang bila dia masuk ke masjid. (5)
Sebagai tempat kegiatan sosial. Rasullullah SAW dan para sahabatnya
menjadikan masjid sebagai tempat kegiatan sosial, misalnya mengumpulkan
zakat, infaq dan shodaqoh melalui masjid, lalu menyalurkannya kepada para
sahabat yang sangat membutuhkannya. (6) Sebagai tempat pengobatan orang
sakit. Pada masa Rasulullah SAW perawatan dan pengobatan terhadap pasukan
perang dilakukan dilingkungan masjid. (7) Sebagai tempat latihan dan mengatur
strategi perang. Disamping memusyawarakan pengaturan strategi perang di
masjid, juga langsung melakukan latihan dan membentuk prajurit atau mujahidin
yang berkepribadian Islami dan memiliki kemampuan yang biasa diandalkan. (8)
Sebagai tempat dakwah dan madrasah. Rasulullah SAW juga menjadikan masjid
sebagai tempat untuk mengajarkan ilmu yang telah diperoleh dari Allah SWT
berupa wahyu. Ini berarti masjid berfungsi sebagai madrasah bagi kaum muslimin
untuk memperoleh ilmu pengetahuan.
Dalam masyarakat yang terus bergerak maju pada masa sekarang ini,
pengelolaan masjid yang dilakukan secara sambil lalu akan menyebabkan masjid
sulit berkembang, akhirnya berdampak umat Islam makin jauh tertinggal.
Sehingga para pengurus masjid senantiasa dituntut untuk terus meningkatkan
kinerjanya. Dalam rangka meningkatkan peran dan fungsi masjid perlu dilakukan
pengelolaan atau manajemen secara profesional meliputi: Pertama. Bidang Idarah
(Pengorganisasian) yang meliputi tentang perencanaan, pengorganisasian,
pengadministrasian, keuangan dan pengawasan. Kedua Imarah ( Kemakmuran)
Imarah menurut istilah adalah suatu usaha untuk memakmurkan masjid sebagai
tempat ibadah, pembinaan umat dan peningkatan kesejahteraan jamaah. Ketiga.

2
Bidang Ri’ayah (Pemeliharaan) Pengertian Ri’ayah masjid adalah memelihara
masjid dari segi bangunan, keindahan dan kebersihan.
Bila masjid hendak dimaksimalkan peran dan fungsinya sebagai tempat
pembinaan umat, maka banyak sisi aktifitas yang harus dikembangkan, yang
menyentuh semua kelompok jamaah, mulai kanak-kanak, hingga dewasa dalam
setiap aktifitas tidak memandang perbedaan baik dari segi perempuan atau laki-
laki, kaya atau miskin, berpendidikan rendah atau tinggi. Jelaslah bahwa semua
anggota masyarakat yang menjadi jamaah masjid harus mendapat pembinaan dari
masjid sehingga meningkatkan ketaqwaan mereka kepada Allah SWT.
ARSITEKTUR MASJID
Perkembangan bentuk penampilan masjid, sangat berkaitan erat dengan
perkembangan kegiatan-kegiatan keagamaan yang diselenggarakan umat Islam
didalamnya. Sedangkan perkembangan kegiatan keagamaan berkaitan erat dengan
perkembangan pemikiran mengenai ajaran Islam itu sendiri. Pemikiran tentang
Islam selalu mengalami perkembangan dan perluasan, karena Islam selalu
berinteraksi dengan realitas sosial yang dinamis.
Masjid yang ideal dari sisi peran dan fungsinya dengan segala program
yang hendak dilaksanakan, harus teraplikasi dalam bentuk bangunannya. Program
ruang banyak dan bervariasi, kepengurusan yang solid dan jamaah yang aktif
menurut tersedianya sarana aktifitas didalam masjid yang sangat memadai.
Seminim apapun fasilitas fisik yang dimiliki oleh sebuah masjid, pengembangan
aktifits tetap harus dilakukan sesuai dengan situasi dan kondisinya.
Dalam pembangunan dan pengembangan fisik masjid yang harus
diperhatikan dalam kaitan arsitekturnya adalah kesesuaian dengan fungsi dan
tujuan masjid itu sendiri. Sementara arsitektur yang menyangkut bentuk dan
model bangunan bias saja disesuaikan dengan kultur dan budaya setempat atau
mungkin juga berkembang mengikuti arsitektur modern.
Bangunan masjid yang ideal adalah masjid yang bentuk dan arsitekturnya
dapat menyentuh rasa yang paling dalam dari setiap jamaah, rasa yang dalam
kedamaian tertentu dan kepuasan bathin dari setiap jamaahnya untuk memperoleh

3
kedamaian, ketentraman rohaniah dan kepuasan bathin dalam menghadapi Dzat
yang Maha Kuasa.
KEDUDUDUKAN MASJID
Masjid bukanlah sekedar atau semata-mata merupakan sebuah symbol
peribadatan umat Islam, tetapi memiliki makna luas dan memiliki hubungan erat
dengan beberapa hal, antara lain :
A. Hubungan Masjid dengan Lingkungan
Keberadaan masjid pada suatu komunitas merupakan gambaran yang jelas
tentang masyarakat dan lingkungan alam sekitarnya. Sesungguhnya hubungan
masjid dengan manusia pada satu sisi dan hubungan masjid dengan
lingkungan alam sekitar adalah satu kesatuan system yang utuh. Keduanya
saling memfungsikan atau dengan yang lainnya. Masjid adalah sistem yang
menjalankan fungsinya bagi kemajuan manusia dan lingkungan hidup
sekitarnya secara timbale balik dan demikian pula kewajiban manusia dalam
konteks kemakmuran masjid, manusia dan lingkungan alam sekitarnya dalah
suatu gambaran kongkret dari suatu system sosial dan budaya yang
menjalankan dan menerapkan perilaku yang adil terhadap sesama manusia dan
lingkungannya. Masjid dipandang sebagai pusat kekuasaan yang
membahayakan kepentingan ideology bagi pihak musuh yang memusuhi
Islam. Sebagaimana Firman Allah SWT dalam surat Al-Isra 1 dan 7; Al-Hajj
40; Al-Jin 18 dan sebagainya.
B. Hubungan Masjid Dengan Kemakmuran
Maraknya pertumbuhan pembangunan masjid oleh umat baik pada
masyarakat pedesaan maupun perkotaan semestinya perlu dipertanyakan
dengan merujuk pada landasan Qur’aniyah. Apakah masjid yang dibangun itu
berazas atas ketaqwaan kepada Allah SWT, dan masyarakat/ jamaahnya siap
berkorban demi masjid dalam semua peringkat kebutuhannya.: ini harus
dijawab dengan pasti, sebab Allah SWT telah menetapkan hanya dua ceritera
majid, yaitu : masjid sebagai ketaqwaan hamba kepada khaliknya atau masjid
sebagai lambang menjadi ajang tafarruq ( perpecahan) di tengah umat.

4
Persoalan yang kemudian timbul dari masjid yang dibangaun atas ceritera
taqwa adalah apakah masjid yang dibangun tersebut hanya dalam bentuk fisik
saja atau sekaligus sesmua bidang sesuai kebutuhan umat yang tidak hanya
dalam ibadah shalat, tetapai juga dalam bidang muamalat ? memakmurkan
masjid adalah memiliki arti luas sebagaimana fungsi da kedudukannya yang
telah dicontohkan Rasulullah SAW, baik dalam dalam pembangunan masid
Quba maupun masjid Nabawi yang mencakup berbagai aspek kehidupan
manusia; keimanan orang-perseorangan, peradaban, perubahan system dan
struktur masyarakat, pendidikan kesejahteraan (perlindungan hak asasi
manusia dan hak-hak sosial masyarakat), pemeintahan, lingkungan hidup,
pertanahan dan keamanan, penegakan keadilan yang berkepastian hokum dan
sebagainya. Allah SWT telah menegakannya dalam Al-Qur’an diantaranya
dalam surat At-Taubah 17 dan 18, 107 dan 108: Al-A’raf 29 dan 31 ; Al-Hajj
25 dan 31 dan sebagainya.
C. Hubungan Masjid Dengan Aqidah
Mencermati perkembangan kekinian dan menghindari hambatan untuk
mengisi masa depan umat yang lebih konstruktif da produktif, maka masjid
yang pertumbuhan kian pesat jumlahnya, dipandang secara positif sebagai
potensi umat. Kita berkeyakinan, hanyalah masjid dewasa ini yang mampu
menjadi benteng aqidah bagi perjuangan umat dalam menghadapai tantangan
masa depan. Problematika keutamaan di era kini dan esok tentulah amat
beragam dan begitu paradok. Kepentingan semacam ini mendorong kita pada
kehendak mengembalikan fungsi-fungsi masjid secara proporsional pada
format idealnya sebagaimana perintah Allah SWT dan sunnah Rasulullah
SAW. Ini mutlak diperlukan agar masjid sebagai asset umat dapat tumbuh dan
berkembang sebagai benteng aqidah.
SEJARAH PERKEMBANGAN MASJID
Ada tiga kebudayaan penting yang sangat berpengaruh pada jaman
sebelum kebudayaan Islam lahir. Kebudayaan-kebudayaan itu ikut serta nantinya
mewarnai kebudayaan Islam yang muncul kemudian. Pertama, kebudayaan
Romawi yang berkembang sekitar tahun 142 SM sampai 550 M. Bangsa Romawi

5
mula-mula menaklukkan Yunani yang telah memiliki kebudayaan yang cukup
tinggi. Namun demikian kebudayaan Yunani ini tidaklah diterima begitu saja oleh
Bangsa Romawi, akan tetapi diadakan pembaharuan, perubahan dan
pengembangan. Dengan demikian kebudayaan Romawi akhirnya merupakan
kebudayaan yang memiliki mutu dan tingkatan yang tinggi, meskipun awalnya
mengambil intisari kebudayaan Yunani.
Kebudayaan ini dilanjutkan dengan kebudayaan Bizantium sekitar tahun
550 sampai 1453 M yang merupakan kegemilangan Romawi Timur dengan pusat
di Konstantinopel. Pada masa pemerintahan Kaisar Yustianus I (527 – 565 M)
kebudayaan Romawi sampai pada puncak keemasan, seni rancang bangun tumbuh
dengan pesatnya. Patung-patung banyak didirikan, juga bangunan gereja berkubah
antara lain yang cukup terkenal gereja Agya Sophia dan lain sebagainya.
Kedua, kebudayaan Persia. Negeri Persia dan Negeri Romawi Timur
merupakan dua imbangan kekuasaan yang selalu bersaing dan bermusuhan.
Kebudayaan Persia diawali oleh kebudaan Mesopotamia, Babilonia, Assiria dan
Sassanid. Bangsa Persia lama menyembah api yang merupakan lambang Tuhan,
sehingga api selalu dinyalakan di setiap tempat-tempat ibadah mereka.
Peninggalan-peninggalannya berupa reruntuhan istana di Babilon, Sussa,
Persepolis, Assiria.
Negeri Persia di bawah pimpinan Anusyirwan dengan kekuatan bala
tentaranya menyerbu dan mengalahkan daerah-aerah Romawi Timur, maka
terjadilah peperangan besar selama 20 tahun, yakni antara 541 – 561 M, dan
berakhir dengan perdamaian dimana Kaisar Yustianus harus membayar upeti
kepada Anusyirwan sebesar 30.000 dinar setiap tahunnya. Namun akhirnya
perdamaian ini hanyalah diatas kertas saja, sebab pemusuhan antara kedua bangsa
ini terus berlangsung, hingga akhirnya keduanya mengalami kemunduran.
Ketiga, kebudayaan Arab Jahiliyah. Dalam masa ini orang Arab telah
terbagi menjadi beberapa suku yang tidak jarang antara suku yang satu dengan
yang lain saling bermusuhan, namun yang kiranya perlu diketahui adalah daerah
mereka, yakni Hejaz adalah merupakan daerah yang berdaulat dan tidak pernah
menjadi jajahan kerajaan-kerajaan besar Romawi dan Persia. Dalam bidang sosial

6
mereka memiliki beberapa sifat terpuji, seperti: setia kawan, menepati janji,
menghormati tamu, dan yang tak kalah pentingnya adalah di tempat ini terdapat
suatu bangunan suci yang bernama Ka’bah.
A. Masjid Jaman Nabi Muhammad SAW
Pada jaman nabi Muhammad SAW masjid yang pertama kali dibangun
adalah Masjid Quba, masjid ini awalnya merupakan pelataran yang kemudian
dipagari dengan dinding tembok yang cukup tinggi. Pada saat itu
bangunannya masih amat sederhana, tiang-tiangnya terbuat dari batang-batang
pohon kormadan atapnya terbuat dari pelepah daun korma yang dicampur atau
diplester dengan tanah liat, mimbarnya juga terbuat dari potongan batang-
batang pohon korma yang ditidurkan dan ditumpuk tindih-menindih. Selain
itu, di Madinah juga di bangun Masjid Nabawi dengan pola yang sama dengan
Masjid Quba, yaitu berbentuk segi empat panjang berpagar tembok tinggi.
Pola awal ini memang cenderung mengarah pada bentuk yang fungsional
sesuai kebutuhan yang diajarkan Nabi, yaitu masjid sebagai saran kegiatan
ibadah maupun muamalah. Masjid Nabawi yang awalnya berbentuk sederhana
ini nantinya diperluas dan dibangun kembali dengan megah oleh kholifah Al
Walid pada tahun 706 M.
B. Masjid Jaman Khalifah
Pada jaman Kholifah, pembangunan dan penyempurnaan masjid ini
juga terus berlangsung, tercatat masa kepemimpinan Kholifah Umar dilakukan
pembangunan kembali Masjidil Haram yang sebenarnya telah ada sejak Nabi
Ibrahim. Masjid ini juga masih dalam bentuk sederhana dan mengarah ke sifat
fungsional, seperti halnya Masjid Nabawi. Selain itu juga dibangun Kufah
(637 M) akan tetapi yang agak ganjil, masjid ini tidak dikelilingi tembok batu
atau tanah liat yang tinggi, melainkan dibatasi dengan adanya kolam air. Pada
bangunan ini, bagian Liwan (tempat shalat) tiangnya terbuat dari mamer yang
dulunya berasal dari Istana Hirah Kerajaan Parsi. Pola arsitektur masjid pada
jaman ini cukup sederhana namun memilki kegunaan yang optimal. Bangunan
masjid terdiri dari sebuah tanah lapang dengan diberi dinding keliling
sehingga membentuk bagian Shaan (halaman dalam) dan Liwan (tempat

7
shalat). Sampai pada akhir kekhalifahan ini, yakni masa Ali, pola yang dianut
masih tetap pola awal, yakni pola empat persegi panjang dengan berdinding
tembok tinggi yang didalamnya terdapat Shaan Liwan, Riwaqs (serambi).
C. Masjid Jaman Daulah Umayyah
Pada masa ini bentuk bangunan masjid masih tetap memakai pola
Masjid Kufah yang berciri: Shaan, Liwan dan Riwaq denga tembok keliling,
namun terdapat adanya penambahan yakni adanya satu kubah didekat mihrab
serta adanya sistim struktur relung yang terbuat dari susunan batu cadas yang
diplester dengan diperkaya dengan ornamen dekoratif bermotif geometri atau
motif-motif tumbuhan. Dinasti Umayyah ini juga membangun Masjid Jamik
di Damaskus yang cukup megah, masjid ini pada tahun 1483 M terbakar
sebagian dan oleh Sultan Mamluk dari Mesir dibangun kembali dan diberi
nama Masjid Keit Bey. Pola dan organisasi ruang dari Masjid Keit Bey yang
demikian megah ini, kemudian amat berpengaruh pada pembangunan masjid
bertiang banyak pada jaman kemudian, seperti Masjid Qoiruan dekat Tunis
yang terkenal dengan menara tuanya. Pada masa kekuasaan Bani umayyah ini
pula, tepatnya pada saat Kholifah Abdul Malik (685-688 M) dibangunlah
Qubah Al Sakhra (Dome of the Rock) di Yerusalem tempat dimana Nabi
Muhammad dahulu memulai naik ke langit pada saat menjalankan Isra’ dan
Mi’raj. Bangunan ini merupakan suatu monumen yang bentuknya mirip
dengan bentuk Basilika di Konstantinopel.
D. Masjid Jaman Daulah Abbasiyah
Pada masa Daulah Abbasiyah ini bidang arsitektur berkembang cukup
pesat, mula-mula dikumpulkan para arsitek dan ahli bangunan dari berbagai
Negara untuk memperbaiki dan membangun berbagai bangunan terutama
masjid dan istana. Ahli-ahli bangunan itu dating dari Mesir, Romawi Timur
dan bahkan dari India, sehingga dalam hal ini akan melahirkan akulturasi yang
Tidak hanya bangunan masjid dan bangunan perumahan yang mendapat
kesempatan untuk dikembangkan, namun juga tata kota dan tata daerah juga
mendapat perhatian yang ckup memuaskan. Kota Bagdad direncanakan dan
dibangun menggunakan pola kota bundar (konsentris) di mana di bagian titik

8
tengahnya merupakan lokasi Masjid Jamik dan Istana Kholifah dengan alun-
alun yang amat luas, sedangkan di bagian luarnya terbentang melingkar daerah
pemukiman penduduk dengan jaringan jalan yang melingkar dan memusat
yang berakhir di tembok atau benteng kota dengan empat pintu gerbang kota.
Sedangkan pada bangunan masjid, meskipun pola bangunan masjidnya dapat
dikatakan tetap, namun sudah mulai diperkaya. Kalau dulu adzan
dikumandangkan pada bagian atap masjid, pada masa ini telah dibangun
menara yang cukup tinggi, disamping itu, pada bagian mihrab dan mimbar
telah terdapat hiasan ukir-ukiran yang cukup cantik dan rumit.
E. Masjid Jaman Daulah Umayyah Spanyol
Pada masa Daulah Umayyah di Spanyol ini, pola pembangunan masjid
tetap melanjutkan sebelumnya, denah bangunan masjid masih tetap
menggunakan pola Masjid Kufah yang menggunakan sruktur relung dan pilar
dengan atap datar lengkap dengan Shaan, Liwan dan Riwaq serta Kbah dan
Menara. Pada masjid ini pula, ragam hias berkembang dengan pesatnya, motif
geometris, tetumbuhan (flora), awan (alam) dan kaligrafi dikembangkan
dengan cermat cantik dan canggih. Sedangkan morif manusia dan hewan
(fauna) tidak dikembangkan atau justru dihapuskan karena memang tidak
sesuai dengan ajaran Islam, salah satunya didirikan adalah Masjid Jami’
Kordoba dipusat kota Kordoba dengan relung-relungdihias dengan motif
geometris dengan pilar penyangganya yang ratusn jumlahnya, diselesaikan
dengan baik. Jumlah kubah tidak lagi satu tetapi sudah menjadi empat
jumlahnya. Sebuah menara yang menjulang dibangun di halaman masjid
(Shaan).
F. Perkembangan Masjid di Indonesia
Istilah masjid mulai dikenal oleh masyarakat Indonesia sejak
masuknya agama Islam di wilayah Nusantara. Banyak teori yang
menunjukkan kapan Islam masuk ke wilayah Nusantara.
Para sultan dalam membangun masjid-masjid yang cukup besar dan
menonjol serta memiliki ragam arsitektur tertentu yang disesuaikan potensi
dan kondisi setempat pada waktu itu, sebagian dari masjid-masjid tersebut kini

9
masih bisa dijumpai di daerah-daerah seluruh Indonesia, seperti masjid Al
Mashum sebagai salah satu peninggalan kerajaan Maemun di Sumatra Utara,
masjid Pukau Rengat yang ada di Tanjung Pinang, masjid Agung Banten
peninggalan sultan Hasanuddin di kabupaten Serang provinsi Banten
(sekarang) dan lain-lain. Setelah itu muncullah berbagai bentuk arsitektur
masjid yang secara berangsur-angsur menunjukkan perubahan yang sangat
menentukan, sesuai dengan taraf dan kondisi perkembangan politik serta
tingkat kemampuan teknologi masyarakat Islam.
Masyarkat Indonesia dipandang dari aspek penyelenggaraan
administrasi pemerintahan, maka susunannya terdiri atas Pusat, Propinsi,
Kabupaten/Kota, Kecamatan dan Desa.
Berdasarkan Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia nomor
394/2004 tentang penetapan status masjid Wilayah sebagai berikut :
1. Masjid pada tingkat Pusat disebut Masjid Negara
2. Masjid pada tingkat Propinsi disebut Masjid Raya
3. Masjid pada tingkat Kabupaten/Kota disebut Masjid Agung
4. Masjid pada tingkat Kecamatan disebut Masjid Besar
5. Masjid pada tingkat Desa disebut Masjid Jami’

Masyarakat pedesaan mempunyai karakteristik simsem sosial dan


struktur masyarakat yang berbeda dengan lingkungan pemukiman
masyarakat baru (kawasan hunian baru, komplek perumahan-perumahan)
yang heterogen. Sebab pedesaan pada satu sisi merupakan bagian dari
system administrsi pemerintahan kita, dan pada sisi lain sebagaimana adanya
adalah berlaku suatau masyarakat hokum ada yang merupakan system dan
tata hukum nasional kita. Model masyarakat pedesaan kita demikian ini,
mengandung berbagai hikmah yang harus difahami secara mendalam
berkenaan dengan organisasi dan manajemen pengelolaan masjid sebagai
bagian interen dalam system pemerinthan masyarakat hokum adat. Masuk
masjid kategori ini adalah masjid yang dibangun dn dikenal sebagai masjid
Raya/Jami’ di desa.

10
Dalam pada itu, sebagimana disinggung tadi, terdapat masjid-masjid
yang dibangun oleh kelompok-kelompok masyarakat desa yang umumnya
terkait dengan jaringan organisasi dakwah atau organisasi keagamaan.
Masuk dalam kategori ini adalah masjid milik lembaga-lembaga pendidikan
seperti pesantren dan juga dibangun oleh oerang-perseorangan yang lambat
laun menjadi masjid keluarga tertentu.
Perkembangan pertumbuhan masjid di Indonesia sebagaimana
diuraikan tadi, tidak lepas dari dinamika perubahan struktur masyarakat kita
yang mendorong kita memahaminya secara cermat untuk pemberdayaannya.
Fungsionalisasi masjid sebagai benteng aqidah perjuangan umat diperlukan
mengenal dan memahami karakteristik masjid-masjid yang ada dan terbangun
ditengah masyarakat.
PENUTUP
Pertambahan jumlah sarana ibadah merupakan sesuatu yang patut kita
syukuri, apalagi hal ini menunjukkan bahwa eksistensi dan umatnya khususnya
dinegeri kita masih sangat kuat. Namun disisi lain, sebagai muslim yang baik kita
harus merasa prihatin terhadap pemanfaatan masjid yang kurang optimal.
Melaksanakan fungsi-fungsi masjid sebagaimana tersebut dalam pembahasan
pada makalh ini merupakan hal yang patut kita upayakan agar masjid sebagai
sentra kegiatan keislaman senantiasa hidup dan sekaligus menghidupkan syiar
Islam.
Bangunan fisik masjid pada perkembangannya senantiasa mengikuti
perkembangan zaman, ada masjid yang mengikuti arsitektur kuno, modern dan
ada pula yang mengikuti arsitektur post-modern, hal ini dapat pula menjadi daya
tarik tersendiri bagi orang-orang yang datang ke masjid atau bahkan menjadi
kebanggaan masyarakat.

11
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama R.I. 2004. Kriteria Tipologi Masjid. Jakarta. Proyek


Peningkatan Pemberdayaan Rumah Ibadah dan Masyarakat, Direktorat
Jenderal Kelembagaan Agama Islam.
Departemen Agama R.I. 2004. Pedoman Akreditasi Masjid. Jakarta. Proyek
Peningkatan Pemberdayaan Rumah Ibdah dan Masyarakat, Direktorat
Jenderal Kelembagaan Agama Islam.
Departemen Agama R.I. 2004. Panduan Pembinaan Jamaah Masjid. Jakarta.
Proyek Peningkatan Pemberdayaan Rumah Ibadah dan Masyarakat.
Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam.
Departemen Agama R.I. 2004. Pedoman Penilaian Masjid Teladan. Jakarta.
Proyek Peningkatan Pemberdayaan Rumah Ibadah dan Masyarakat,
Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam.
Departemen Agama R.I. 2004. Pedoman Pemberdayaan Profil Masjid, Mushollah
Dan Langgar. Jakarta. Proyek Peningkatan Pemberdayaan Rumah Ibadah
dan Masyarakat, Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam.
Wiryoprawiro, Zein M, 1986. Perkembangan Arsitektur Masjid Di Jawa Timur.
Surabaya. PT. Bina Ilmu.
Sudarsono, Susmayati.1992. Ka’bah–Pemersatu Umat Islam. Jakarta. PT. Asdi
Mahasatya
Hillenbrand, Robert. 1994. Islamic Architecture. Edinburgh. Univercity Press.
Gazalba, Sidi. 1975. Masjid Pusat Ibadah Dan Kebudayaan Islam. Jakarta.
Pusaka Antara.

12

Anda mungkin juga menyukai