Anda di halaman 1dari 11

Profil Kerajaan Majapahit

Amalia Ariella Mustazannah (X IIS 2)

Kemaharajaan Majapahit (bahasa Jawa: ꦏꦫꦠꦺꦴꦤ꧀ꦩꦗꦥꦲꦶꦠ꧀; Karaton Majapait,


Sanskerta: विल्व तिक्त; Wilwatikta) adalah sebuah kerajaan yang berpusat di Jawa Timur,
Indonesia, yang pernah berdiri sekitar tahun 1293 hingga 1527 M. Kerajaan ini mencapai
puncak kejayaannya menjadi kemaharajaan raya yang menguasai wilayah yang luas di
Nusantara pada masa kekuasaan Hayam Wuruk, yang berkuasa dari tahun 1350 hingga 1389.

Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang menguasai Nusantara dan
dianggap sebagai kerajaan terbesar dalam sejarah Indonesia. Menurut Negarakertagama,
kekuasaannya terbentang dari Jawa, Sumatra, Semenanjung Malaya, Kalimantan, hingga
Indonesia timur, meskipun wilayah kekuasaannya masih diperdebatkan.

1. Pendiri Majapahit
Kertarajasa Jayawardhana atau disebut juga Raden Wijaya (lahir: ? - wafat:
Majapahit, 1309) adalah pendiri Kerajaan Majapahit sekaligus raja pertama Majapahit
yang memerintah pada tahun 1293-1309, bergelar Prabu Kertarajasa Jayawardana,
atau lengkapnya Nararya Sanggramawijaya Sri Maharaja Kertarajasa Jayawardhana.

2. Raja-raja Majapahit
Nama Raja Gelar Tahun

1293 - 13
Raden Wijaya Kertarajasa Jayawardhana
09

Sri Maharaja Wiralandagopala Sri Sundarapandya Dewa 1309 - 13


Jayanagara
Adhiswara 28

Tribhuwana Sri Tribhuwanottunggadewi Maharajasa 1328 - 13


Wijayatunggadewi Jayawisnuwardhani 50

1350 - 13
Hayam Wuruk Maharaja Sri Rajasanagara
89

1389 - 14
Wikramawardhana Bhra Hyang Wisesa Aji Wikrama
29

1429 - 14
Suhita Prabu Stri Suhita
47

1447 - 14
Kertawijaya Sri Maharaja Wijaya Parakramawardhana
51

1451 - 14
Rajasawardhana Rajasawardhana Sang Sinagara
53

1456 - 14
Girishawardhana Girishawardhana Dyah Suryawikrama
66

Sri Adi Suraprabhawa Singhawikramawardhana Giripati 1466 - 14


Suraprabhawa
Pasutabhupati Ketubhuta 74

-Dyah Wijayakarana -Girindrawarddhana Dyah Wijayakarana


1474 - 15
-Dyah Wijayakusuma -Girindrawarddhana Dyah Wijayakusuma
27
-Dyah Raṇawijaya -Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya (Brawijaya V)

3. Kehidupan Politik
Kehidupan politik Kerajaan Majapahit berhubungan pemerintahan dan kepemimpinan
rajanya. Raja-raja itu antara lain

A. Raden Wijaya
Berdirinya Kerajaan Majapahit sangat berhubungan dengan runtuhnya Kerajaan
Singasari. Kerajaan Singasari runtuh setelah salah satu raja vasalnya yaitu
Jayakatwang mengadakan pemberontakan. Kerajaan Majapahit didirikan oleh
Raden Wijaya yang merupakan menantu dari Raja Singasari terakhir yaitu
Kertanegara. Raden Wijaya beserta istri dan pengikutnya dapat meloloskan diri
ketika Singasari diserang Jayakatwang. Raden Wijaya meloloskan diri dan pergi
ke Madura untuk menemui dan meminta perlindungan Bupati Sumenep dari
Madura yaitu Aryawiraraja. Berkat Aryawiraraja juga, Raden Wijaya mendapat
pengampunan dari Jayakatwang, bahkan Raden Wijaya sendiri diberi tanah di
hutan Tarik dekat Mojokerto yang kemudian daerah itu dijadikan sebagai tempat
berdirinya kerajaan Majapahit.
Raden Wijaya kemudian menyusun kekuatan di Majapahit dan mencari saat yang
tepat untuk menyerang balik Jayakatwang. Untuk itu, dia mencoba mencari
dukungan kekuatan dari raja-raja yang masih setia pada Singasari atau raja yang
kurang senang pada Jayakatwang. Kesempatan untuk menghancurkan
Jayakatwang akhirnya muncul setelah tentara Mongol mendarat di Jawa untuk
menyerang Kertanegara. Keadaan seperti ini dimanfaatkan oleh Raden Wijaya
dengan cara memperalat mereka untuk menyerang Jayakatwang. Raden Wijaya
bersama-sama dengan pasukan Kubhilai Khan berhasil mengalahkan pasukan
Jayakatwang. Begitu pula Jayakatwang berhasil ditangkap dan lalu dibunuh oleh
pasukan Kubhilai Khan.
Setelah Jayakatwang terbunuh, lalu Raden Wijaya melakukan serangan balik
terhadap pasukan Kubhilai Khan. Raden Wijaya berhasil memukul mundur
pasukan Kubhilai Khan, sehingga mereka terpaksa menyelamatkan diri keluar
Jawa. Setelah berhasil mengusir pasukan Kubhilai Khan, Raden Wijaya
dinobatkan menjadi raja Majapahit pada tahun 1293 M dengan gelar Sri
Kertarajasa Jayawardhana.
Sebagai seorang raja yang besar, Raden Wijaya memperistri empat putri
Kertanegara sebagai permaisurinya. Dari Tribuana, ia mempunyai seorang putra
yang bernama Jayanegara. Sedangkan dari Gayatri, ia mempunyai dua orang putri,
yaitu Tribuanatunggadewi dan Rajadewi Maharajasa.
Para pengikut Raden Wijaya yang setia dan berjasa dalam mendirikan kerajaan
Majapahit, diberi kedudukan yang tinggi dalam pemerintahan. Tetapi ada saja
yang tidak puas dengan kedudukan yang diperolehnya. Hal ini menimbulkan
pemberontakan di sana-sini. Pada tahun 1309 M, Raden Wijaya meninggal dunia
dan didarmakan di Antahpura, dekat Blitar. Setelah Raden Wijaya meninggal
dunia, Kerajaan Majapahit dipimpin oleh Jayanegara dengan gelar Sri Jayanegara.

B. Jayanegera.
Pada masa pemerintahannya, Jayanegara dirongrong oleh serentetan
pemberontakan. Pemberontakan-pemberontakan ini datang dari Ranggalawe
(1309), Lembu Sora (1311), Juru Demung dan Gajah Biru (1314), Nambi (1316),
dan Kuti (1320).
Pemberontakan Kuti merupakan pemberontakan yang paling berbahaya karena
Kuti berhasil menduduki ibu kota Majapahit, sehingga raja Jayanegara terpaksa
melarikan diri ke daerah Badandea. Jayanegara diselamatkan oleh pasukan
Bhayangkari di bawah pimpinan Gajah Mada. Berkat ketangkasan dan siasat jitu
dari Gajah Mada, pemberontakan Kuti berhasil ditumpas. Sebagai penghargaan
atas jasa-jasanya, Gajah Mada diangkat menjadi Patih di Kahuripan pada tahun
1321 M dan Patih di Daha (Kediri).
Pada tahun 1328, Jayanegara tewas dibunuh oleh Tabib Israna Ratanca, ia
didharmakan di dalam pura di Sila Petak dan Bubat. Jayanegara tidak mempunyai
putra, maka takhta kerajaan digantikan oleh adik perempuannya yang bernama
Tribhuanatunggadewi. Ia dinobatkan menjadi raja Majapahit dengan gelar
Tribhuanatunggadewi Jaya Wisnu Wardhani.

C. Tribhuanatunggadewi
Pada masa pemerintahannya, terjadi pemberontakan Sadeng dan Keta pada tahun
1331. Pemberontakan ini dapat dipadamkan oleh Gajah Mada. Sebagai
penghargaan atas jasanya, Gajah Mada diangkat menjadi mahapatih di Majapahit
oleh Tribhuanatunggadewi.
Di hadapan raja dan para pembesar Majapahit, Gajah Mada mengucapkan sumpah
yang terkenal dengan nama Sumpah Palapa. Isi sumpahnya, ia tidak akan Amukti
Palapa sebelum ia dapat menundukkan Nusantara, yaitu Gurun, Seran,
Panjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, dan Tumasik.
Dalam rangka mewujudkan cita-citanya, Gajah Mada menaklukkan Bali pada
tahun 1334, kemudian Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, Sumatra,
dan beberapa daerah di Semenanjung Malaka. Seperti yang tercantum dalam kitab
Negarakertagama, wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit sangat luas, yakni
meliputi daerah hampir seluas wilayah Republik Indonesia sekarang.
Tribhuanatunggadewi memerintah selama dua puluh dua tahun. Pada tahun 1350,
ia mengundurkan diri dari pemerintahan dan digantikan oleh putranya yang
bernama Hayam Wuruk. Pada tahun 1350 M, putra mahkota Hayam Wuruk
dinobatkan menjadi raja Majapahit dengan gelar Sri Rajasanagara dan ia
didampingi oleh Mahapatih Gajah Mada.

D. Hayam Wuruk

Kerajaan Majapahit mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan


Hayam Wuruk. Wilayah kekuasaan Majapahit meliputi seluruh Nusantara. Pada
saat itulah cita-cita Gajah Mada dengan Sumpah Palapa berhasil diwujudkan.
Usaha Gajah Mada dalam melaksanakan politiknya, berakhir pada tahun 1357
dengan terjadinya peristiwa di Bubat, yaitu perang antara Pajajaran dengan
Majapahit. Pada waktu itu, Hayam Wuruk bermaksud untuk menikahi putri Dyah
Pitaloka. Sebelum putri Dyah Pitaloka dan ayahnya beserta para pembesar
Kerajaan Pajajaran sampai di Majapahit, mereka beristirahat di lapangan Bubat.
Di sana terjadi perselisihan antara Gajah Mada yang menghendaki agar putri itu
dipersembahkan oleh raja Pajajaran kepada raja Majapahit. Para pembesar
Kerajaan Pajajaran tidak setuju, akhirnya terjadilah peperangan di Bubat yang
menyebabkan semua rombongan Kerajaan Pajajaran gugur.
Pada tahun 1364 M, Gajah Mada meninggal dunia. Hal itu merupakan kehilangan
yang sangat besar bagi Majapahit. Kemudian pada tahun 1389 Raja Hayam
Wuruk meninggal dunia. Hal ini menjadi salah satu penyebab surutnya kebesaran
Kerajaan Majapahit di samping terjadinya pertentangan yang berkembang menjadi
perang saudara.
Setelah Hayam Wuruk meninggal, takhta Kerajaan Majapahit diduduki oleh
Wikramawardhana. Ia adalah menantu Hayam Wuruk yang menikah dengan
putrinya yang bernama Kusumawardhani. Ia memerintah Kerajaan Majapahit
selama dua belas tahun.
Pada tahun 1429 M, Wikramawardhana meninggal dunia. Selanjutnya raja-raja
yang memerintah Majapahit setelah Wikramawardhana adalah:
1) Suhita (1429 M 1447 M), putri Wikramawardhana;
2) Kertawijaya (1448 M 1451 M), adik Suhita;
3) Sri Rajasawardhana (1451 M 1453 M);
4) Girindrawardhana (1456 M 1466 M), anak dari Kertawijaya;
5) Sri Singhawikramawardhana (1466 M 1474 M);
6) Girindrawardhana Dyah Ranawijaya.
Runtuhnya Kerajaan Majapahit pada tahun 1400 Saka (1478 M) dijelaskan dalam
Chandra Sengkala yang berbunyi, “Sirna ilang Kertaning-Bhumi” dengan adanya
peristiwa perang saudara antara Dyah Ranawijaya dengan Bhre Kahuripan. Selain
itu, keruntuhan Majapahit disebabkan karena serangan dari Kerajaan Islam
Demak.

4. Kehidupan Ekonomi
 Majapahit merupakan negara agraris dan juga sebagai negara maritim. Kedudukan
sebagai negara agraris tampak dari letaknya di pedalaman dan dekat aliran sungai.
Kedudukan sebagai negara maritim tampak dari kesanggupan angkatan laut
kerajaan itu untuk menanamkan pengaruh Majapahit di seluruh nusantara. Dengan
demikian, kehidupan ekonomi masyarakat Majapahit menitikberatkan pada bidang
pertanian dan pelayaran.
 Udara di Jawa panas sepanjang tahun. Panen padi terjadi dua kali dalam setahun,
butir berasnya amat halus. Terdapat pula wijen putih, kacang hijau, rempah-
rempah, dan lain-lain kecuali gandum. Buah-buahan banyak jenisnya, antara lain
pisang, kelapa, delima, pepaya, durian, manggis, langsa, dan semangka. Sayur
mayur berlimpah macamnya. Jenis binatang juga banyak.
 Untuk membantu pengairan pertanian yang teratur, pemerintah Majapahit
membangun dua buah bendungan, yaitu Bendungan Jiwu untuk persawahan dan
Bendungan Trailokyapur untuk mengairi daerah hilir.
 Majapahit memiliki mata uang sendiri yang bernama gobog. Gobog merupakan
uang logam yang terbuat dari campuran perak, timah hitam, timah putih, dan
tembaga. Bentuknya koin dengan lubang di tengahnya.
 Dalam transaksi perdagangan, selain menggunakan mata uang gobog, penduduk
Majapahit juga menggunakan uang kepeng dari berbagai dinasti. Menurut catatan
Wang Ta-yuan seorang pedagang dari Tiongkok, komoditas ekspor Jawa pada
saat itu ialah lada, garam, kain, dan burung kakak tua. Sedangkan komoditas
impornya adalah mutiara, emas, perak, sutra, barang keramik, dan barang dari
besi.

5. Kehidupan Sosial
Pola tata masyarakat Majapahit dibedakan atas lapisan-lapisan masyarakat yang
perbedaannya lebih bersifat statis. Walaupun di Majapahit terdapat empat kasta
seperti di India, yang lebih dikenal dengan catur warna, tetapi hanya bersifat teoritis
dalam literatur istana.

Pola ini dibedakan atas empat golongan masyarakat, yaitu brahmana, ksatria, waisya,
dan sudra. Namun terdapat pula golongan yang berada di luar lapisan ini, yaitu
Candala, Mleccha, dan Tuccha, yang merupakan golongan terbawah dari lapisan
masyarakat Majapahit.

Brahmana (kaum pendeta) mempunyai kewajiban menjalankan enam dharma, yaitu:


mengajar; belajar; melakukan persajian untuk diri sendiri dan orang lain; membagi
dan menerima derma (sedekah) untuk mencapai kesempurnaan hidup; dan bersatu
dengan Brahman (Tuhan). Mereka juga mempunyai pengaruh di dalam pemerintahan,
yang berada pada bidang keagamaan dan dikepalai oleh dua orang pendeta tinggi,
yaitu pendeta dari agama Siwa (Saiwadharmadhyaksa) dan agama Buddha
(Buddhadarmadyaksa). Saiwadyaksa mengepalai tempat suci (pahyangan) dan tempat
pemukiman empu (kalagyan). Buddhadyaksa mengepalai tempat sembahyang (kuti)
dan bihara (wihara). Menteri berhaji mengepalai para ulama (karesyan) dan para
pertapa (tapaswi).

Semua rohaniawan menghambakan hidupnya kepada raja yang disebut sebagai


wikuhaji. Para rohaniawan biasanya tinggal di sekitar bangunan agama, yaitu:
mandala, dharma, sima, wihara, dan sebagainya.
Kaum Ksatria merupakan keturunan dari pewaris tahta (raja) kerajaan terdahulu, yang
mempunyai tugas memerintah tampuk pemerintahan. Keluarga raja dapat dikatakan
merupakan keturunan dari kerajaan Singasari-Majapahit yang dapat dilihat dari
silsilah keluarganya dan keluarga-keluarga kerabat raja tersebar ke seluruh pelosok
negeri, karena mereka melakukan sistem poligami secara meluas yang disebut sebagai
wargahaji atau sakaparek. Semua anggota keluarga raja masing-masing diberi nama
atas gelar, umur, dan fungsi mereka di dalam masyarakat. Pemberian nama pribadi
dan nama gelar terhadap para putri dan putra raja didasarkan atas nama daerah
kerajaan yang akan mereka kuasai sebagai wakil raja.

Waisya merupakan masyarakat yang menekuni bidang pertanian dan perdagangan.


Mereka bekerja sebagai pedagang, peminjam uang, penggara sawah, dan beternak.

Kemudian kasta yang paling rendah dalam catur warna adalah kaum sudra yang
mempunyai kewajiban untuk mengabdi kepada kasta yang lebih tinggi, terutama pada
golongan brahmana.

Golongan terbawah yang tidak termasuk dalam catur warna dan sering disebut
sebagai pancama (warna kelima), yaitu:
1. Candala merupakan anak dari perkawinan campuran antara laki-laki (golongan
sudra) dengan wanita (dari ketiga golongan lainnya: brahmana, waisya, dan
waisya). Sehingga sang anak mempunyai status yang lebih rendah dari
ayahnya.
2. Mleccha adalah semua bangsa di luar Arya tanpa memandang bahasa dan
warna kulit, yaitu para pedagang-pedagang asing (Cina, India, Champa, Siam,
dll.) yang tidak menganut agama Hindu.
3. Tuccha ialah golongan yang merugikan masyarakat, salah satu contohnya
adalah para penjahat. Ketika mereka diketahui melakukan tatayi, maka raja
dapat menjatuhi hukuman mati kepada pelakunya. Perbuatan tatayi adalah
membakar rumah orang, meracuni sesama, mananung, mengamuk, merusak,
dan memfitnah kehormatan perempuan.
Dari aspek kedudukan dalam masyarakat Majapahit, wanita mempunyai status
yang lebih rendah dari para lelaki. Hal ini terlihat pada kewajiban mereka
untuk melayani dan menyenangkan hati para suami mereka saja. Wanita tidak
boleh ikut campur dalam urusan apapun, selain mengurusi dapur rumah tangga
mereka. Dalam undang-undang Majapahit pun para wanita yang sudah
menikah tidak boleh bercakap-cakap dengan lelaki lain, dan sebaliknya. Hal
ini bertujuan untuk menghindari pergaulan bebas antara kaum pria dan wanita.
Pada masa Majapahit bidang seni budaya berkembang pesat, terutama seni
sastra. Karya seni sastra yang dihasilkan pada masa zaman awal Majapahit,
antara lain sebagai berikut:
A. Kitab Negarakertagama karangan Empu Prapanca pada tahun 1365. Isinya
menceritakan hal-hal sebagai berikut:
1) Sejarah raja-raja Singasari dan Majapahit dengan masa
pemerintahannya.
2) Keadaan kota Majapahit dan daerah-daerah kekuasaannya.
3) Kisah perjalanan Raja Hayam Wuruk ketika berkunjung ke
daerah kekuasaannya di Jawa Timur beserta daftar candi-candi
yang ada.
4) Kehidupan keagamaan dengan upacara-upacara sakralnya,
misalnya upacara Srrada untuk menghormati roh Gayatri dan
menambah kesaktian raja.
B. Kitab Sutasoma karangan Empu Tantular. Kitab tersebut berisi riwayat
Sutasoma, seorang anak raja yang menjadi pendeta Buddha.
C. Kitab Arjunawijaya karangan Empu Tantular. Kitab tersebut berisi tentang
riwayat raja raksasa yang berhasil ditundukkan oleh Raja Arjunasasrabahu.
D. Kitab Kunjarakarna dan Parthayajna, tidak jelas siapa pengarangnya. Kitab
itu berisi kisah raksasa Kunjarakarna yang ingin menjadi manusia, dan
pengembaraan Pandawa di hutan karena kalah bermain dadu dengan
Kurawa.
Sedangkan, karya seni sastra yang dihasilkan pada zaman akhir
Majapahit antara lain, sebagai berikut:
a. Kitab Pararaton, isinya menceritakan riwayat raja-raja
Singasari dan Majapahit.
b. Kitab Sudayana, isinya tentang Peristiwa Bubat.
c. Kitab Sorandakan, isinya tentang pemberontakan Sora.
d. Kitab Ranggalawe, isinya tentang pemberontakan Ranggalawe.
e. Kitab Panjiwijayakrama, isinya riwayat R.Wijaya sampai
dengan menjadi Raja Majapahit.
f. Kitab Usana Jawa, isinya tentang penaklukan Bali oleh Gajah
Mada dan Aryadamar.
g. Kitab Tantu Panggelaran, tentang pemindahan gunung
Mahameru ke Pulau Jawa oleh Dewa Brahma, Wisnu, dan
Siwa.

Di samping seni sastra, seni bangunan juga berkembang pesat.


Bermacam-macam candi didirikan dengan ciri khas Jawa Timur,
yaitu dibuat dari bata, misalnya Candi Panataran, Candi Tigawangi,
Candi Surawana, Candi Jabung, dan Gapura Bajang Ratu.

6. Peninggalan
a.      Candi Sukuh
Candi Sukuh adalah sebuah kompleks candi agama Hindu yang terletak di wilayah
Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Candi ini dikategorikan sebagai candi Hindu
karena ditemukannya obyek pujaan lingga dan yoni. Candi ini digolongkan kontroversial
karena bentuknya yang kurang lazim dan karena banyaknya obyek-obyek lingga dan yoni
yang melambangkan seksualitas. Candi Sukuh telah diusulkan ke UNESCO untuk
menjadi salah satu Situs Warisan Dunia sejak tahun 1995.

b.      Candi Cetho
Candi Cetho merupakan sebuah candi bercorak agama Hindu peninggalan masa
akhir pemerintahan Majapahit (abad ke-15). Laporan ilmiah pertama mengenainya dibuat
oleh Van de Vlies pada 1842. A.J. Bernet Kempers juga melakukan penelitian
mengenainya. Ekskavasi (penggalian) untuk kepentingan rekonstruksi dilakukan pertama
kali pada tahun 1928 oleh Dinas Purbakala Hindia Belanda. Berdasarkan keadaannya
ketika reruntuhannya mulai diteliti, candi ini memiliki usia yang tidak jauh dengan Candi
Sukuh. Lokasi candi berada di Dusun Ceto, Desa Gumeng,Kecamatan Jenawi, Kabupaten
Karanganyar, pada ketinggian 1400m di atas permukaan laut
c.       Candi Pari
Candi Pari adalah sebuah peninggalan Masa Klasik Indonesia di Desa Candi Pari,
Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Propinsi Jawa Timur. Lokasi tersebut berada
sekitar 2 km ke arah barat laut pusat semburan lumpur PT Lapindo Brantas saat ini.
Dahulu, di atas gerbang ada batu dengan angka tahun 1293 Saka = 1371 Masehi.
Merupakan peninggalan zaman Majapahit pada masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk
1350-1389 M.
d.      Candi Jabung
Candi hindu ini terletak di Desa Jabung, Kecamatan Paiton,Kabupaten Probolinggo,
Jawa Timur. Struktur bangunan candi yang hanya dari bata merah ini mampu bertahan
ratusan tahun. Menurut keagamaan, Agama Budha dalam kitab Nagarakertagama Candi
Jabung di sebutkan dengan nama Bajrajinaparamitapura. Dalam kitab Nagarakertagama
candi Jabung dikunjungi oleh Raja Hayam Wuruk pada lawatannya keliling Jawa Timur
pada tahun 1359 Masehi. Pada kitabPararaton disebut Sajabung yaitu tempat pemakaman
Bhre Gundal salah seorang keluarga raja.
     Arsitektur bangunan candi ini hampir serupa dengan Candi Bahal yang ada di
Bahal, Sumatera Utara.

e.       Gapura Wringin Lawang


Dalam bahasa Jawa, Wringin Lawang berarti 'Pintu Beringin'. Gapura agung ini
terbuat dari bahan bata merah dengan luas dasar 13 x 11 meter dan tinggi 15,5 meter.
Diperkirakan dibangun pada abad ke-14. Gerbang ini lazim disebut bergaya candi bentar
atau tipe gerbang terbelah. Gaya arsitektur seperti ini diduga muncul pada era Majapahit
dan kini banyak ditemukan dalam arsitektur Bali.

f.       Gapura Bajang Ratu


Bangunan ini diperkirakan dibangun pada abad ke-14 dan adalah salah satu gapura
besar pada zaman keemasan Majapahit. Menurut catatan Badan Pelestarian Peninggalan
Purbakala Mojokerto, candi / gapura ini berfungsi sebagai pintu masuk bagi bangunan
suci untuk memperingati wafatnya Raja Jayanegara yang dalamNegarakertagama disebut
"kembali ke dunia Wisnu" tahun 1250 Saka (sekitar tahun 1328 M). Namun sebenarnya
sebelum wafatnya Jayanegara candi ini dipergunakan sebagai pintu belakang kerajaan.
Dugaan ini didukung adanya relief "Sri Tanjung" dan sayap gapura yang melambangkan
penglepasan dan sampai sekarang di daerah Trowulan sudah menjadi suatu kebudayaan
jika melayat orang meninggal diharuskan lewat pintu belakang.

g.      Candi Brahu
Nama candi ini, yaitu 'brahu', diduga berasal dari kata wanaru atau warahu. Nama
ini didapat dari sebutan sebuah bangunan suci yang disebut dalam Prasasti Alasantan.
Prasasti tersebut ditemukan tak jauh dari Candi Brahu.

h.      Candi Tikus
Candi ini terletak di kompleks Trowulan, sekitar 13 km di sebelah tenggara kota
Mojokerto. Candi Tikus yang semula telah terkubur dalam tanah ditemukan kembali pada
tahun 1914. Penggalian situs dilakukan berdasarkan laporan bupati Mojokerto, R.A.A.
Kromojoyo Adinegoro, tentang ditemukannya miniatur candi di sebuah pekuburan rakyat.
Pemugaran secara menyeluruh dilakukan pada tahun 1984 sampai dengan 1985. Nama
‘Tikus’ hanya merupakan sebutan yang digunakan masyarakat setempat. Konon, pada
saat ditemukan, tempat candi tersebut berada merupakan sarang tikus.

i.        Candi Surawana
Candi Surawana adalah candi Hindu yang terletak di Desa Canggu, Kecamatan
Pare, Kabupaten Kediri, sekitar 25 km arah timur laut dari Kota Kediri. Candi yang nama
sesungguhnya adalah Wishnubhawanapura ini diperkirakan dibangun pada abad 14 untuk
memuliakan Bhre Wengker, seorang raja dari Kerajaan Wengker yang berada di bawah
kekuasaan Kerajaan Majapahit. Raja Wengker ini mangkat pada tahun 1388 M. Dalam
Negarakertagamadiceritakan bahwa pada tahun 1361 Raja Hayam Wuruk dari Majapahit
pernah berkunjung bahkan menginap di Candi Surawana. Candi Surawana saat ini
keadaannya sudah tidak utuh. Hanya bagian dasar yang telah direkonstruksi.

j.        Candi Waringin Branjang


Candi Wringin Branjang terletak di Blitar, Jawa Timur. Candi yang terbuat dari
batu andesit ini memiliki bentuk yang sangat sederhana. Struktur bangunannya tidak
memiliki kaki candi, tetapi hanya mempunyai tubuh dan atap candi saja, dengan ukuran
panjang 400 cm, lebar 300 cm dan tingginya 500 cm. Sedangkan pintu masuknya
berukuran lebar 100 cm, tingginya 200 cm dan menghadap ke arah selatan. Pada bagian
dinding tidak terdapat relief atau hiasan lainnya, tetapi dinding-dinding ini memiliki
lubang ventilasi yang sederhana. Bentuk atap candi menyerupai atap rumah biasa, dan
diduga bangunan candi ini merupakan tempat penyimpanan alat-alat upacara dari zaman
Kerajaan Majapahit yakni pada abad ke 15 M.

7. Peta Wilayah Sumber Sejarah

Anda mungkin juga menyukai